Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 01
Sie Kauwsu
(Guru Silat Sie) membaca surat itu dengan kedua tangan agak gemetar dan mukanya
berubah pucat. Karena senja hari telah tiba dan cuaca tidak begitu terang lagi,
ia lalu menyalakan sebuah lampu meja, kemudian dibacanya sekali lagi surat itu.
Sehelai kertas yang bertuliskan beberapa huruf dengan tinta merah.
Sie Kian,
akhirnya aku dapat menemukan engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh keluarga
mu dan segala mahluk yang hidup di dekat rumah mu, akan kubunuh semua!
Demikianlah
bunyi surat itu. Tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, Sie Kauwsu atau Sie Kian
tahu benar siapa penulisnya. Tadi dia menemukan surat itu di daun pintu
belakang rumahnya, tertancap pada daun pintu dengan sebatang piauw (senjata
rahasia) beronce merah. Dia mengenal benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia
pernah terluka pada pundaknya oleh piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa
pemilik piawsu, siapa penulis surat.
Peristiwa
itu terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke
daerah Hok-kian untuk mengunjungi seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin
melancong, sebab semenjak menjadi guru silat, dia tidak pernah sempat
melancong. Kini dia mempunyai seorang murid terpandai yang dapat mewakilinya
mengajar para murid lainnya sehingga dia mempunyai kesempatan untuk pergi.
Kepergiannya
direncanakan selama satu bulan. Dia tidak dapat membawa anak isterinya, sebab
anaknya yang ke dua baru lahir beberapa bulan yang lalu. Masih terlalu kecil
untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan yang sudah berusia
lima belas tahun, juga tidak dapat diajak pergi karena harus membantu ibunya di
rumah. Maka dia pun pergi seorang diri ke timur.
Dalam
perjalanan inilah terjadinya peristiwa itu. Di sebuah hutan dia melihat
perampokan terhadap satu keluarga bangsawan yang sedang melakukan perjalanan
dengan kereta. Perampok itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda.
Kurang lebih dua puluh lima tahun usia mereka.
Sie Kian
turun tangan melindungi bangsawan itu, dan terjadilah perkelahian antara dia
dan suami isteri itu. Ternyata suami isteri itu lihai juga, akan tetapi mereka
masih belum mampu mengalahkan Sie Kian yang pandai bersilat pedang.
Perkelahian
itu berakhir dengan kematian isteri perampok itu, serta luka-luka parah pada
perampok yang dengan penuh duka memanggul jenazah isterinya. Sie Kian sendiri
juga terluka di pundaknya, terkena sebatang senjata rahasia piauw yang sempat
dilemparkan oleh perampok itu.
Perampok itu
sempat menanyakan tentang diri lawannya, dan karena Sie Kian adalah seorang
gagah yang tak pernah menyembunyikan nama serta selalu bertanggung jawab atas
segala perbuatannya, maka Sie Kian terus terang memberi tahukan.
“Sie Kian,
kalau engkau membunuhku, aku tidak akan begini merasa sakit hati,” demikian
perampok itu sebelum pergi. “Juga apa bila engkau hanya menghalangi perbuatan
kami merampok, aku pun tidak peduli. Akan tetapi engkau sudah membunuh isteriku
tercinta dan aku bersumpah bahwa kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh
seluruh keluargamu dan semua penghuni rumahmu!”
Setelah
mengeluarkan ucapan itu, perampok muda itu pergi dengan muka berduka. Sie Kian
membiarkannya pergi dan mengira bahwa ucapan itu tentu hanya ancaman seorang
perampok yang kecewa.
Akan tetapi,
ternyata hari ini ada surat dan piauw beronce merah! Perampok itu ternyata
bukan hanya meninggalkan ancaman kosong belaka dan hari ini, kurang lebih lima
tahun sejak peristiwa itu, perampok itu benar-benar datang untuk melaksanakan
ancamannya dan sumpahnya!
Diam-diam
Sie Kian bergidik. Ancaman di dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan tetapi,
dia tidak takut!
Selama
hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki jantan. Demi membela kebenaran, dia
tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman surat itu hanya ancaman seorang penjahat,
seorang perampok, dan dia akan menyambutnya, menandinginya dengan sikap seorang
pendekar sejati! Tidak, dia tidak akan minta bantuan orang lain!
Setelah
termenung sejenak, Sie Kian menyimpan surat dan piauw itu ke dalam kantung
bajunya. Dia pun memasuki kamar di mana isterinya sedang berbaring sambil
menyusui anak mereka, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh bulan dan mereka
beri nama Sie Liong.
Dengan wajah
tenang saja Sie Kian duduk di kursi dalam kamar itu dan bertanya kepada
isterinya, di mana adanya puteri mereka yang bernama Sie Lan Hong. Dia dan
isterinya memang hanya mempunyai dua orang anak, yaitu pertama Sie Lan Hong
yang sudah berusia lima belas tahun dan setelah lewat empat belas tahun lebih
barulah isterinya melahirkan Sie Liong.
“Ia baru
saja keluar dari sini, mungkin kini ia berada di dalam kamarnya!” jawab
istrinya sambil bangkit duduk karena Sie Liong sudah tertidur pulas. “Ada
apakah? Kelihatannya engkau begitu pendiam!” Isteri yang sudah amat mengenal
watak suaminya itu bertanya dengan pandang mata curiga melihat sikap suaminya
yang menjadi begitu pendiam, tidak seperti biasanya.
“Panggil
dulu Lan Hong ke sini, juga pangil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan
penting sekali yang hendak kubicarakan dengan kalian bertiga!”
Isteri Sie
Kian memandang suaminya dengan heran, akan tetapi tidak membantah dan ia lalu
keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang gadis
yang manis, yaitu Lan Hong, dan seorang laki-laki muda berusia kurang lebih dua
puluh lima tahun.
Pria ini
adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini membantu Sie Kian memimpin para murid
yang belajar di perguruan silat itu. Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang
tidak memiliki sanak keluarga, maka dia diterima tinggal di rumah gurunya itu,
sebagai murid, juga sebagai pembantu gurunya. Tentu saja Cu An merasa terkejut
dan sangat heran ketika oleh ibu gurunya dia dipanggil menghadap gurunya di
dalam kamar gurunya itu!
Setelah
isterinya, puterinya dan muridnya duduk di atas bangku dalam kamar itu, dengan
sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara. “Kalian tentu masih ingat akan
ceritaku tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu pada waktu aku
mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu, bukan?”
“Peristiwa
yang mana?” tanya isterinya.
“Apakah suhu
maksudkan pertemuan suhu dengan suami isteri perampok itu?” tanya Cu An.
Gurunya
mengangguk. “Benar. Seperti telah aku ceritakan, aku berhasil menyelamatkan
keluarga bangsawan dari kota raja yang dirampok oleh perampok yang terdiri dari
suami isteri itu. Dalam perkelahian itu, aku terluka oleh senjata rahasia
piauw, akan tetapi aku berhasil membunuh isteri perampok itu dan melukainya.
Akan tetapi, ketika itu aku tidak menceritakan pada kalian akan sumpah dan
dendam perampok yang kematian isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting
dan semua perampok yang dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan
tetapi..., hari ini ancaman perampok itu agaknya akan dilaksanakan!” Sie Kian
menarik napas panjang.
“Ancaman
bagaimana?” tanya isterinya, nampak khawatir.
“Ketika itu,
sambil memanggul jenazah isterinya dan dalam keadaan luka, dia bersumpah bahwa
pada suatu hari dia akan mencari diriku dan akan membasmi seluruh keluargaku.
Tapi, ancaman yang keluar dari mulut seorang perampok seperti itu, mana ada
harganya untuk diperhatikan dan dianggap serius?”
“Akan
tetapi... dia bersumpah karena kematian isterinya, dan hal itu berbahaya
sekali!” kata isterinya.
Sie Kian
kembali menarik napas dan dia mengangguk. “Benar sekali pendapatmu itu dan
sekarang inilah buktinya.” Dia mengeluarkan senjata piauw dan kertas bersurat
itu. “Tadi kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat
itu berbunyi begini…”
Sie Kian
membaca surat itu, didengarkan dengan muka pucat oleh isterinya. Lan Hong dan
Cu An mendengarkan dengan sikap tenang. Mereka adalah orang-orang muda yang
sejak kecil sudah belajar ilmu silat, maka memiliki ketabahan besar.
“Ayah, kalau
dia muncul, kita lawan dia! Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!” kata Lan
Hong dengan penuh semangat.
“Sumoi
benar, suhu. Kita tidak perlu takut menghadapi ancaman dan gertak kosong dari
seorang penjahat seperti dia...”
“Ha-ha-ha-ha-ha...!”
Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng.
Sie Kian
meloncat dari kursinya. “Lan Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian di
sini!” berkata demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam
kamar itu dan dia segera keluar dan meloncat ke atas genteng.
Pada saat
Sie Kian meloncat ke atas genteng, terdengar suara anjing menggonggong di
belakang, akan tetapi suara gonggongannya berubah menjadi pekik kesakitan lalu
sunyi.
Sie Kian
melayang turun dan lari ke belakang. Dia tidak melihat berkelebatnya orang,
hanya menemukan anjing peliharaannya itu telah mati dan sebuah ronce merah
nampak di lehernya. Anjing itu mati dengan sebatang senjata piauw terbenam di
dalam lehernya! Sie Kian mencari-cari, memandang ke kanan kiri dengan waspada.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik
kuda.
“Celaka...!”
serunya.
Dia cepat
lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di samping rumah. Dan seperti
juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam peliharaannya, dan seekor kuda,
telah menggeletak mati!
Sie Kian
tidak mempedulikan lagi keadaan binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia
lari masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar
jerit wanita yang datangnya dari kamar para pelayan di belakang.
Sie Kian
terkejut sekali dan kembali dia melompat keluar, menuju ke kamar pelayan. Dia
merasa menyesal sekali mengapa memandang rendah lawan sehingga dia lupa untuk
memanggil dua orang pelayannya agar berkumpul di dalam rumah besar. Dan seperti
yang dikhawatirkan, dua orang pelayan wanita itu telah tewas di dalam sebuah
kamar pelayan, leher mereka hampir putus sehingga kamar itu banjir darah. Jelas
bahwa leher mereka terbabat oleh pedang!
Sie Kian
menjadi marah sekali. Dia meloncat masuk ke dalam rumah dan hatinya lega
melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih berjaga di depan kamar, sedangkan
isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas pembaringan memangku Sie Liong yang
masih tidur nyenyak.
“Apa... apa
yang terjadi...?” tanya isterinya ketika dia tiba di kamar itu.
“Jahanam
itu..., dia telah mulai melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan kita
dibunuhnya, juga dua orang pelayan kita dibunuhnya.”
“Aihhh...!”
Isterinya menangis.
“Sudah,
tenanglah dan jangan menangis. Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak
main-main dan ancamannya bukan gertakan kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian
tetap berjaga di sini, menjaga keselamatan ibumu serta adikmu. Aku yang akan menghadapi
jahanam busuk itu!”
“Baik,
ayah,” kata Lan Hong dengan muka pucat biar pun ia masih bersikap tenang. Kini
tangannya memegang sebatang pedang.
“Teecu akan
menjaga subo dengan taruhan nyawa, suhu!” berkata Cu An dengan sikap gagah.
Juga dia memegang sebatang pedang.
Dengan hati
penuh kemarahan, Sie Kian lalu keluar dari dalam kamar. Dia berdiri sejenak di
ruangan tengah dan memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar suara apa-apa.
Sementara itu, malam sudah tiba dengan sunyinya. Dia lalu keluar berindap-indap
dari dalam ruangan itu, kemudian mengelilingi rumah dan memeriksa setiap sudut.
Namun, tidak nampak bayangan orang.
Dengan gemas
dia lalu meloncat naik ke atas genteng, berdiri di wuwungan rumahnya, lalu
berteriak, “Perampok laknat, penjahat keji, jahanam keparat! Keluarlah dari
tempat persembunyianmu dan marilah kita bertanding secara jantan untuk
menentukan siapa yang lebih kuat!”
Namun tidak
ada jawaban dan suasana sunyi saja.
Tempat
tinggal keluarga Sie memang berada di sudut kota Tiong-cin, di pinggiran kota,
dan memiliki pekarangan luas, agak jauh dari tetangga, agak terpencil. Memang
Sie Kian memilih tempat ini di mana dia dapat membuat sebuah lapangan yang luas
untuk melatih silat para muridnya.
Sebagai
seorang guru silat bayaran, Sie Kian menerima siapa saja yang mau menjadi
muridnya dan mampu membayar. Oleh karena itu dia memiliki banyak sekali murid,
baik dari kota Tiong-cin sendiri mau pun dari dusun-dusun sekitarnya dan dari
kota lain. Akan tetapi, semua muridnya tidak ada yang tinggal di situ kecuali
Cu An yang merupakan murid utama dan kini bahkan menjadi guru pembantunya.
Karena
usahanya mencari musuh itu sia-sia, dan tantangannya juga tidak mendapatkan
jawaban, akhirnya dengan hati mendongkol Sie Kian masuk lagi ke dalam rumah.
Ketika isterinya, Lan Hong, dan Cu An memandang kepadanya dengan mata bertanya,
ia hanya menggelengkan kepala.
“Tidak ada
bayangan si keparat itu! Dia tentu telah pergi atau bersembunyi untuk menanti
kelengahanku, atau dia hendak mendatangkan ketegangan di dalam hati kita.”
Memang
suasana menjadi tegang sekali. Bahkan Cu An yang biasanya tenang itu kini
nampak agak pucat. Siapa orangnya yang tidak akan tegang menanti musuh yang
main kucing-kucingan dan amat kejam itu? Semua binatang peliharaan telah
dibunuhnya, juga dua orang pelayan wanita yang sama sekali tidak berdosa dan
sekarang dia menghilang, membiarkan semua orang dicekam ketegangan dan
kegelisahan.
Mereka
berempat duduk di dalam kamar itu. Isteri Sie Kian merupakan orang yang paling
ketakutan. Sie Kian duduk dengan tenang, akan tetapi pendengarannya terus
dicurahkan keluar untuk menangkap gerakan yang tidak wajar di luar rumah. Yang
benar-benar tenang hanyalah Sie Liong, anak berusia sepuluh bulan itu! Dia
masih suci, batinnya masih bersih dari pengetahuan sehingga rasa takut dan duka
tidak akan pernah dapat menyentuhnya.
“Suhu...!”
Suara Cu An
terdengar aneh ketika memecah kesunyian itu. Bahkan suara yang hanya merupakan
satu kata panggilan itu sempat mengejutkan Lan Hong yang cepat menoleh
kepadanya dengan kaget. Demikian juga nyonya Sie yang amat terperanjat. Hanya
Sie Kian yang dengan tenang memandang muridnya itu.
“Ada apakah,
Cu An? Takutkah engkau?”
Pemuda itu
menjilat bibirnya yang kering. Akan tetapi lidahnya juga kering, bahkan
mulutnya pun terasa kering sekali, dan dia menggelengkan kepalanya.
“Suhu, teecu
tidak takut, hanya tegang. Kalau musuh sudah berada di depan teecu, biar teecu
terancam maut pun teecu tidak takut. Akan tetapi suasana tak menentu ini
sungguh menegangkan. Bagaimana kalau kita semua pindah saja ke lian-bu-thia
(ruangan belajar silat)? Di sana lebih luas. Jika terjadi penyerangan
sewaktu-waktu, kita akan lebih leluasa untuk menghadapi musuh.”
Setelah berpikir
sejenak, Sie Kian mengangguk, “Engkau benar, Cu An. Kita belum tahu berapa
orang jumlah musuh yang akan datang menyerbu, dan kamar ini memang terlalu
sempit sehingga membahayakan keselamatan subo-mu dan adikmu yang kecil. Mari
kita semua pindah saja ke ruangan latihan silat.”
Sie Kian
menyuruh puterinya membawa kasur supaya di ruangan yang luas itu isterinya
dapat menidurkan puteranya yang masih kecil. Dengan penuh waspada mereka semua
lalu pindah ke dalam ruangan berlatih silat, sebuah ruangan yang sepuluh kali
lebih luas dari pada kamar itu, dan di situ hanya ada satu pintu besar dari
mana orang luar dapat masuk. Kasur yang dibawa Lan Hong diletakkan di sudut
ruangan itu dan ibunya lalu duduk di situ sambil memangku Sie Liong.
Setelah
pindah ke ruangan yang lebih luas ini, benar saja hati mereka bertiga yang siap
menghadapi musuh menjadi lebih tenang. Ruangan itu cukup luas dan mereka
bertiga hanya perlu melindungi Nyonya Sie dari depan saja karena tempat itu
dikelilingi dinding sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mempersatukan tenaga
menghadapi serbuan musuh.
Betapa pun
juga, suasana tegang tetap saja mencekam hati mereka. Sie Kian sendiri berulang
kali mengepal tinju, merasa dipermainkan oleh musuhnya. Dia tahu bahwa kali ini
dia harus berjuang mati-matian mempertahankan nyawa keluarganya.
Dia berjanji
bahwa sekali ini dia akan membasmi semua musuh yang datang, tidak akan memberi
kesempatan seorang pun berhasil lolos agar supaya tidak terulang pembalasan
dandam seperti ini. Kalau saja dulu dia membunuh perampok pria itu, tentu tidak
akan timbul masalah seperti sekarang.
Tiba-tiba
Sie Kian terkejut dan dia meloncat keluar dari pintu lian-bu-thia. Juga Cu An
dan Lan Hong meloncat berdiri. Dengan pedang siap di tangan kanan mereka berdua
sudah mengambil sikap berjaga-jaga. Sedangkan nyonya Sie memeluk puteranya dengan
muka pucat, mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan.
Tidak lama
kemudian terdengar suara kucing mengeong, disusul dengan suara Sie Kian
menyumpah-nyumpah! Kiranya suara yang mencurigakan tadi hanyalah suara seekor
kucing yang kebetulan lewat! Sungguh menggelikan sekali betapa ketegangan
membuat semua orang menjadi demikian mudah kaget.
Sie Kian
muncul kembali dari pintu dan dia pun menahan ketawanya, walau pun perutnya
terasa geli. Demikian Pula Cu An dan Lan Hong. Dari jauh terdengar suara ayam
jantan berkokok. Biasanya, kalau ada ayam jantan yang berkokok, ayam jantan di
kandang keluarga itu akan menyambutnya. Sekali ini, kokok ayam itu tidak ada
yang menyambut, akan tetapi Sie Kian maklum bahwa tengah malam telah lewat.
Ayam jantan di
sana itu sudah biasa berkokok di saat tengah malam, kemudian di waktu pagi
sekali. Kini tengah malam telah lewat. Betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya
baru saja dia menerima surat itu, di senja hari tadi, dan tahu-tahu kini sudah
lewat tengah malam.
Tiba-tiba
mereka semua dikejutkan oleh suara ketawa terbahak-bahak yang datangnya dari
luar rumah! Kini Sie Kian melompat berdiri dan dia membentak marah.
“Pengecut
hina yang berada di luar! Masuklah, aku berada di lian-bu-thia dan sejak tadi
menanti kedatanganmu. Mari kita bertanding sampai seorang di antara kita
menggeletak tak bernyawa lagi!” tantangnya.
Suara ketawa
itu berhenti, dan kini disusul suara yang mengandung ejekan, “Sie Kian! Aku
memang memberi waktu agar kalian dicekam ketegangan. Sekarang aku datang untuk
membunuhmu. Keluarlah, aku menunggumu di pekarangan depan rumahmu!”
“Jahanam
busuk! Engkau masuklah, aku sudah menanti dengan pedang di tangan untuk
membunuhmu!” bentak Sie Kian yang tidak ingin meninggalkan keluarganya.
“Ha-ha-ha-ha,
Sie Kian kini menjadi seorang pengecut dan penakut! Aku menantangmu di luar,
dan engkau bersembunyi di balik gaun isterimu? Ha-ha-ha! Keluarlah dan sambut
aku, kalau tidak aku akan membakar rumahmu ini.”
“Suhu...,
jangan keluar, mungkin ini suatu siasat memancing harimau keluar sarangnya,”
bisik Cu An gelisah.
“Tidak, di
sini ada engkau dan Lan Hong, hatiku tenang dengan adanya kalian berdua yang
menjaga ibumu. Aku akan keluar menyambut tantangan anjing keparat itu!”
“Hayo, Sie
Kian! Apakah engkau benar-benar takut?” teriakan itu datang lagi dari luar.
“Jahanam
busuk, siapa takut? Tunggulah, aku akan menyambut tantanganmu!” Sie Kian segera
meloncat keluar, terus menuju ke pekarangan depan rumahnya.
Orang itu
sudah menanti di luar. Dua buah lampu yang tergantung di serambi depan cukup
terang untuk menerangi pekarangan itu. Memang tadi dia menggantung dua buah
lampu supaya tempat itu menjadi terang, tidak seperti biasanya yang hanya
diterangi sebuah lampu gantung. Dari penerangan dua buah lampu itu, Sie Kian
yang telah berdiri berhadapan dalam jarak empat meter dengan orang itu, dapat
mengenal wajah musuh besarnya.
Wajah
seorang laki-laki yang masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun usianya. Wajah
seorang laki-laki yang cukup tampan, halus dan tidak ditumbuhi kumis dan
jenggot lebat. Bahkan wajah itu posolek, pakaiannya pun rapi dan bagus,
sepatunya mengkilap baru.
Itulah wajah
perampok yang lima tahun yang lalu berkelahi dengannya, perampok yang kematian
isterinya. Akan tetapi kini ada sesuatu dalam sikap orang itu yang menunjukkan
bahwa dia bukanlah orang yang dahulu, bahwa sekarang dia telah menjadi seorang
yang memiliki kepandaian tinggi. Agaknya selama lima tahun ini dia telah
menggembleng diri mati-matian, hanya untuk melakukan balas dendam ini.
Akan tetapi
Sie Kian tidak merasa gentar. Kalau berhadapan dengan seorang lawan, betapa pun
kuat lawan itu, dia tidak pernah gentar. Tak ada lagi ketegangan seperti tadi.
Hanya ada sedikit kekhawatiran bahwa orang ini menggunakan tipu muslihat,
memancing dia keluar dan ada temannya yang akan menyerang ke dalam. Akan tetapi
kekhawatiran ini pun diusirnya dengan keyakinan bahwa murid kepala dan
puterinya cukup kuat untuk melindungi isteri dan puteranya yang masih kecil.
“Hemmm,
kiranya engkau perampok busuk yang dahulu itu? Sungguh perbuatanmu ini
menunjukkan kecurangan dan membuktikan bahwa engkau hanyalah seorang pengecut.
Apa bila hendak membalas dendam, kenapa tidak langsung saja menantangku? Kenapa
memakai jalan membunuhi binatang-binatang dan pelayan-pelayan yang tidak
berdosa?”
“Ha-ha-ha,
Sie Kian, lupakah kau akan sumpahku bahwa suatu hari aku akan membasmi engkau
bersama seluruh keluargamu dan seluruh isi rumahmu? Ha-ha-ha, sekaranglah
saatnya! Tidak perlu banyak cakap lagi, nanti kalau sudah mati nyawamu akan
bertemu dengan isteriku dan masih ada waktu bagimu untuk minta ampun
kepadanya!”
“Jahanam
busuk!” Sie Kian memaki dan dia pun sudah menyerang dengan pedangnya.
Serangannya
dahsyat sekali karena dalam marahnya, ingin Sie Kian segera merobohkan musuh
ini. Pedangnya berkelebat dari samping dan mengirim bacokan ke arah leher orang
itu yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat leher itu terpenggal putus.
Akan tetapi,
orang itu bergerak cepat sekali dan dengan mantap pedangnya berkelebat dari
samping ke atas, menangkis bacokan pedang Sie Kian.
“Tringggg...!”
Nampaklah
bunga api berpijar dan Sie Kian merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat.
Dia terkejut dan meloncat ke belakang, melihat pedangnya. Ternyata pedangnya
itu patah sedikit pada mata pedangnya, hal ini menunjukkan bahwa pedang di
tangan lawannya adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh!
Orang itu
tertawa mengejek dan langsung kembali menyerang dengan dahsyat. Sie Kian
mengelak ke samping dan membalas serangan musuh dan mereka segera terlibat
dalam perkelahian mati-matian dan seru sekali. Dan sekali ini Sie Kian harus
mengakui dalam hatinya bahwa lawannya sungguh sama sekali tidak boleh disamakan
dengan dahulu, tak boleh dipandang rendah karena ternyata memiliki ilmu pedang
yang hebat, di samping tenaga sinkang kuat ditambah lagi sebatang pedang pusaka
yang ampuh!
Mulailah Sie
Kian merasa khawatir. Seorang lawan saja sudah begini lihai, apa lagi kalau dia
datang berkawan. Ahhh, isteri dan anaknya berada di dalam! Bagaimana kalau dia
kalah? Bagaimana kalau ada kawan-kawan penjahat ini? Lebih baik menyuruh mereka
melarikan diri! Biarlah, dia akan mati di tangan musuh, asal keluarganya
selamat!
“Singgg...!”
Pedang lawan
meluncur dekat sekali dengan dadanya. Sie Kian mengelak ke kanan, akan tetapi
pedang itu sudah membacok dari kiri dengan kecepatan kilat. Sie Kian
menggerakkan pedang menangkis. Terpaksa menangkis karena semenjak tadi dia
tidak pernah mengadu senjata secara langsung, maklum bahwa pedangnya akan kalah
kuat. Kini, karena tidak mungkin mengelak lagi, terpaksa dia menangkis.
“Cringgg...!”
Pedang di
tangan Sie Kian patah dan buntung pada bagian atasnya! Lawannya tertawa
bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sie Kian untuk mengerahkan tenaga
berteriak ke arah dalam rumah.
“Lan
Hong...! Ajak ibu dan adikmu melarikan diri! Cepaaaattt...!”
Lawannya
tertawa bergelak, tertawa mengejek. Pedangnya kembali menyambar dengan
cepatnya, menusuk ke arah lambung Sie Kian. Guru silat ini melihat datangnya
serangan yang amat berbahaya. Dia melempar tubuhnya ke atas tanah dan
bergulingan sehingga terbebas dari tusukan tadi. Akan tetapi lawannya mengejar
dan pada saat itu muncullah Kim Cu An.
Pemuda ini
mendengar teriakan gurunya, menjadi khawatir sekali. Sejak tadi, tidak ada
musuh menyerbu lian-bu-thia itu, maka dia berpendapat bahwa musuh hanya seorang
saja dan agaknya gurunya membutuhkan bantuan. Jika tidak begitu, tentu gurunya
tidak berteriak menyuruh puterinya membawa ibu dan adiknya melarikan diri!
Kim Cu An
lalu berlari keluar. Di pekarangan itu dia melihat suhu-nya bergulingan di atas
tanah, sedang dikejar oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung yang gerakannya
gesit bukan main.
“Suhu, teecu
datang membantumu!” teriak Cu An.
Dia lalu
menggerakkan pedangnya membacok orang itu dari belakang. Akan tetapi orang itu
memutar pedangnya menangkis.
“Tranggg...!”
Cu An
mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya terpental dan hampir terlepas dari
pegangan saking kuatnya tenaga lawan dan ketika dia melihat, pedangnya telah
buntung ujungnya!
“Hati-hati,
Cu An, dia memegang pedang pusaka!” teriak Sie Kian yang sudah terbebas dari
desakan tadi berkat bantuan muridnya.
Kini guru
dan murid menghadapi lawan tangguh itu dengan pedang mereka yang sudah buntung
ujungnya!
Orang itu
lalu tertawa lagi. “Ha-ha-ha kebetulan sekali. Kalian sudah berkumpul di sini
sehingga tidak melelahkan aku yang harus mencari ke sana-sini! Kalian akan
mampus di tanganku!”
“Nanti dulu!
Perkenalkan dulu namamu sebelum kami membunuhmu!” bentak Sie Kian yang ingin
tahu siapa sebenarnya musuh besarnya ini.
“Ha-ha-ha,
apa artinya kalau kuperkenalkan namaku pada kalian yang sebentar lagi akan
mampus?”
Tiba-tiba
saja orang itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Pedangnya bergerak amat
cepat, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar, mengeluarkan
suara berdesing dan menimbulkan angin berpusing. Sungguh suatu ilmu pedang yang
sangat hebat!
Sie Kian dan
Cu An segera mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaian mereka untuk menahan
serangan itu. Namun mereka segera terdesak dan tiba-tiba tangan kiri lawan itu
bergerak. Tiga batang piauw beronce merah lalu menyambar ke arah tiga bagian
tubuh depan Cu An, sedangkan pedangnya membuat gerakan memutar, membacok ke
arah tubuh Sie Kian, kemudian dilanjutkan tusukan-tusukan maut!
Guru dan
murid ini menjadi repot sekali. Hampir saja tadi Cu An menjadi korban senjata
rahasia piauw itu. Untung dia masih dapat melempar tubuhnya ke atas tanah
sehingga terbebas dari renggutan maut lewat senjata piauw itu. Dan Sie Kian
juga terhuyung ke belakang dalam usahanya mengelak dan menangkis gulungan sinar
pedang.
Pada saat
itu, lawannya kembali menggerakkan tangan kiri. Tiga sinar merah meluncur ke
arah tenggorokan, dada dan lambung Sie Kian yang sedang terhuyung, dan orang
itu meninggalkannya, pedangnya kini menyambar-nyambar ke arah Cu An yang baru
saja meloncat bangun dari atas tanah di mana dia berguling tadi. Cu An berusaha
menangkis, akan tetapi kembali pedangnya patah dan pedang lawan meluncur terus
memasuki dadanya.
“Cappp...!”
Pedang
dicabut, darah menyembur dan tubuh Cu An terjengkang, tewas seketika karena
jantungnya ditembusi pedang lawan.
Sie Kian
yang juga repot sekali mengelak dari sambaran tiga batang piauw tadi, terkejut
bukan main melihat muridnya roboh. Akan tetapi pada saat itu, lawannya sudah
datang menerjangnya. Dia berusaha menangkis, namun seperti keadaan muridnya,
pedang yang menangkis itu patah dan pedang lawan meluncur terus menyambar ke
arah leher dengan kekuatan dahsyat.
Terdengar
suara bacokan keras dan leher Sie Kian terbabat putus. Kepalanya terlepas dari
tubuhnya dan menggelinding ke atas tanah. Tubuhnya terbanting keras dan darah
bercucuran membasahi tanah pekarangan. Orang itu tertawa bergelak. Dengan wajah
gembira dia menyambar rambut kepala Sie Kian dengan tangan kirinya, lalu dia
berloncatan memasuki rumah itu.
Sementara
itu, Lan Hong yang tadi mendengar teriakan ayahnya, menjadi khawatir luar
biasa. Bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ayahnya terancam bahaya? Apa
lagi, ia harus membawa lari ibunya dan adiknya, bagaimana mungkin ia dapat
berlari cepat, dan andai kata ia melarikan ibunya dan adiknya, tentu akan dapat
dikejar dan disusul pula oleh musuh yang lihai.
Ia merasa
bimbang, apa lagi ketika melihat suheng-nya melompat keluar untuk membantu
ayahnya. Lan Hong lalu berdiri melindungi ibunya yang masih tetap mendekap
adiknya. Ketika melihat ibunya menggigil ketakutan, ia berkata dengan gagah,
sambil mengangkat pedangnya.
“Ibu, jangan
takut! Aku akan melindungi ibu dan adik Liong.”
Melihat
sikap puterinya yang gagah itu, timbul pula keberanian Nyonya Sie. Orang jahat
akan mengganggu anak-anaknya? Tidak, ia tidak boleh tinggal diam saja! Biar pun
tidak sangat mendalam, ia pernah pula belajar ilmu silat.
Dan kini,
melihat puterinya akan menghadapi orang jahat, dan melihat bayinya terancam,
bangkit semangat dan keberaniannya. Apa lagi mengingat betapa suaminya juga
sedang terancam bahaya maut. Ia segera menurunkan Sie Liong yang masih tidur
itu ke atas kasur, lalu ia sendiri berlari ke arah rak senjata yang berada di
sudut ruangan belajar silat itu, memilih senjata sebatang golok kecil yang
ringan dan ia berdiri di samping puterinya.
“Kita
bersama menghadapi penjahat, Hong-ji!” katanya.
Lan Hong
khawatir melihat ibunya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, lebih banyak
orang yang menghadang penjahat tentu lebih baik. Ia hanya mengharapkan ayahnya
dan suheng-nya sudah cukup untuk mengusir penjahat yang menyerbu rumah mereka.
Tidak lama
kemudian, terdengar suara ketawa dan sebuah benda melayang dari pintu ruangan
itu masuk ke dalam. Benda itu jatuh ke lantai, lalu menggelinding ke depan dua
orang wanita itu. Lan Hong yang saat itu sudah siap siaga, cepat memandang
benda itu. Sebuah kepala yang lehernya masih berlepotan darah!
“Ayah...!”
Ia menjerit.
Ibunya
melengking kemudian menubruk ke depan, melemparkan goloknya dan menangis
menggerung-gerung. Pada saat itu ada bayangan orang berkelebat masuk.
“Ibu
mundur...!” Lan Hong berteriak, akan tetapi terlambat.
Ibunya sudah
meloncat ke depan dan menubruk kepala suaminya itu, dan pada saat itu,
laki-laki jangkung yang berkelebat masuk itu sudah menggerakkan pedangnya.
“Crakkkk!”
Pedang itu
menyambar cepat dan kuat sekali. Leher ibu yang sedang menangisi kepala
suaminya itu pun terbabat putus, kepalanya menggelinding di atas lantai dan
darahnya menyembur-nyembur.
“Ibuuu...!”
Lan Hong
hampir pingsan melihat ini, akan tetapi kemarahan membuat ia dapat menahan
diri. Dengan kemarahan meluap, dendam sakit hati yang amat hebat, ia pun
menyerang laki-laki itu dengan pedangnya. Ia menusuk dengan sekuat tenaga ke
arah dada orang itu sambil mengeluarkan suara melengking nyaring saking
marahnya.
Laki-laki
itu mengelak. Dia mengamati gadis yang menyerangnya, dan sinar kagum lalu
terpancar dari pandang matanya.
“Ahh, engkau
sungguh manis sekali! Engkau puteri Sie Kian? Sungguh tidak kusangka guru silat
itu mempunyai seorang puteri yang begini cantik dan manis!” Kembali dia pun
mengelak ketika pedang di tangan Lan Hong menyambar ke arah lehernya.
Lan Hong
tidak mempedulikan kata-kata orang itu yang memuji-muji kecantikan dirinya.
Hatinya penuh dendam kebencian dan ingin ia menyayat-nyayat dan mencincang
hancur tubuh musuh besar yang telah membunuh ayah ibunya itu. Ia melanjutkan
serangannya, dan kemarahan membuat serangannya itu tidak teratur lagi, akan
tetapi justru serangan seperti itu amat berbahaya.
Melihat
kenekatan gadis yang menyerangnya sambil bercucuran air mata itu, laki-laki itu
pun menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang. Pedang
yang menangkis itu mengeluarkan tenaga getaran kuat sehingga ketika dua pedang
itu bertemu, pedang di tangan Lan Hong patah dan juga terlepas dari
pegangannya!
Gadis itu
berdiri dengan muka pucat, akan tetapi matanya terbelalak memandang penuh
kebencian. Laki-laki di depannya itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
wajahnya tampan dan pakaiannya rapi, tubuhnya tinggi semampai. Seorang pria
yang akan menarik hati setiap orang wanita, akan tetapi pada saat itu, Lan Hong
melihatnya seperti setan jahat yang amat dibencinya.
Laki-laki
itu menodongkan pedangnya ke depan dada Lan Hong, tersenyum dan kembali matanya
memancarkan sinar kagum dan juga heran.
“Sungguh
mati, jika usiamu tak semuda ini, tentu kau kukira isteriku! Engkau mirip benar
dengan isteriku, bahkan engkau lebih cantik, lebih segar dan lebih muda! Ahhh,
ayahmu sudah membunuh istriku, sudah sepatutnya kalau dia menyerahkan puterinya
sebagai pengganti isteriku. Ha-ha-ha-ha, benar sekali! Nona manis, engkau akan
menjadi isteriku. Aku tidak akan membunuhmu, sebaliknya malah, aku akan
mengambil engkau menjadi isteriku, isteriku yang tercinta, dan aku akan
membahagiakanmu, akan melindungimu... engkau akan menjadi pengganti isteriku
yang telah tiada...”
“Tidak sudi!
Lebih baik aku mati dari pada menjadi isterimu, jahanam!” teriak Lan Hong.
Sekarang gadis ini menyerang dengan kepalan tangannya, menghantam ke arah muka
yang amat dibencinya itu.
“Plakk!”
Tangan itu
telah tertangkap pada pergelangannya oleh tangan kiri pria itu.
“Nona,
pikirkan baik-baik dan jangan menurutkan nafsu amarah. Ingatlah bahwa aku
terpaksa membunuh keluarga ayahmu karena ayahmu pernah membunuh isteriku yang
tercinta. Sekarang, semua hutang sudah lunas dan engkau..., engkau sungguh
menarik hatiku, Engkau menjadi pengganti isteriku. Mudah saja bagiku untuk
memaksamu dan memperkosamu, nona. Akan tetapi aku sungguh tidak menghendaki
cara itu. Aku ingin engkau dengan suka rela menyerahkan diri padaku, menjadi
isteriku!”
“Tidak!
Tidak sudi! Lebih baik aku mati!” Lan Hong meronta-ronta.
Pada saat
itu terdengar tangis seorang anak kecil! Sie Liong agaknya terbangun dan dia
menangis menjerit-jerit seperti anak yang ketakutan. Baik Lan Hong mau pun
orang itu sangat terkejut. Orang itu melepaskan Lan Hong yang tadi sudah
melupakan adiknya itu, dan dengan pedang di tangan dia menghampiri kasur
terhampar di mana anak itu rebah menangis.
“Aha!
Kiranya keluarga Sie masih mempunyai seorang anak kecil? Laki-laki pula! Ahh,
dia harus mampus...!”
Tiba-tiba
saja Lan Hong menubruk adiknya.
“Tunggu...!
Jangan... jangan bunuh adikku...!” jerit Lan Hong sambil mendekap adiknya,
melindunginya. Mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang laki-laki itu.
“Jangan bunuh adikku... ahh, kumohon padamu, jangan bunuh adikku yang masih
kecil ini...!”
“Dia putera
ayahmu dan kelak hanya akan menjadi ancaman bahaya bagiku. Aku harus
membunuhnya. Berikan dia padaku!” Lelaki itu menghardik, sekarang suaranya
berubah, terdengar galak dan kejam, tidak seperti tadi, penuh nada manis
merayu,.
Lan Hong
membayangkan betapa orang itu akan membunuh adiknya. Kalau ia melawan, ia pun
tentu akan mati. Baginya, mati bukanlah apa-apa, akan tetapi kalau ia mati dan
adiknya mati pula, lalu siapa kelak yang akan membalas dendam yang setinggi
gunung sedalam lautan ini? Satu-satunya jalan, ia harus mengorbankan diri,
menyerahkan diri, demi adiknya agar dapat hidup, agar kelak akan ada yang
membalaskan kehancuran dan pembasmian keluarga ayahnya ini!
“Tidak!
Tunggu..! Aku... aku akan menyerahkan diri dengan suka rela... aku akan menjadi
isterimu asalkan engkau... tidak membunuh adikku...! Kalau engkau tetap
membunuhnya, aku akan melawanmu sampai mati dan aku tidak akan menyerahkan
diri, tapi aku akan membunuh diri!”
Sejenak pria
itu tertegun, memandang kepada anak laki-laki dalam pondongan gadis itu, lalu
memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki. Sungguh aneh sekali, pikirnya.
Gadis ini mirip benar dengan isterinya yang telah tiada! Dan begitu bertemu,
timbul rasa suka kepada gadis ini.
Baru
penolakannya saja sudah amat menyakitkan hati, kalau dia harus memperkosanya,
hatinya akan lebih kecewa lagi. Kalau gadis itu menyerahkan diri secara suka
rela, mau menjadi isterinya, alangkah akan bahagianya hatinya! Hidupnya akan
menjadi terang lagi setelah kegelapan bertahun-tahun yang dideritanya karena
kematian isterinya. Akan tetapi anak itu! Ah, bukankah janjinya hanya tidak
akan membunuhnya? Baik, dia tidak akan membunuhnya, tapi...
“Benar
engkau akan menyerahkan diri kepadaku dengan suka rela?”
“Benar!”
“Dan engkau
mau berjanji akan belajar mencintaku seperti aku mencintamu setelah aku menjadi
suamimu yang mencintamu?”
Wajah gadis
itu berubah merah. “Aku... aku akan mencoba...”
“Bagus!
Kalau begitu, aku tidak akan membunuh adikmu, akan tetapi sekali saja engkau
memperlihatkan sikap memusuhi aku yang menjadi suamimu, adikmu akan kubunuh!”
“Tidak,
engkau harus bersumpah lebih dahulu! Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan
membunuh Sie Liong, adikku ini. Bagaimana pun juga aku percaya bahwa engkau
masih memiliki harga diri dan kehormatan untuk memegang teguh sumpahmu.
Bersumpahlah, baru aku akan percaya padamu.” Gadis itu mempertahankan diri
sambil terus mendekap adiknya yang sudah berhenti menangis.
Pria itu
tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau cantik, engkau manis, dan engkau
cerdik! Sungguh membuat aku samakin jatuh cinta saja. Engkau patut menjadi
isteriku, sungguh! Siapakah namamu? Aku akan bersumpah.”
“Namaku Sie
Lan Hong dan adikku ini Sie Liong.”
“Nah,
sekarang dengarkan sumpahku!” kata pria itu dan dia pun berdiri dengan tegak,
mengangkat pedangnya di depan dahi, mengacung ke atas dan dia pun berkata
dengan suara lantang. “Aku, Yauw Sun Kok, bersumpah demi nama dan kehormatanku,
dengan disaksikan oleh pedang pusakaku, Bumi dan Langit, bahwa kalau Sie Lan
Hong menjadi isteriku dan membalas cinta kasihku, menyerah dengan suka rela
kepadaku, maka aku tak akan membunuh Sie Liong! Biar Bumi dan Langit mengutuk
aku kalau aku melanggar sumpahku!”
Setelah
bersumpah, pria yang barusan mengaku bernama Yauw Sun Kok itu menyimpan
pedangnya ke dalam sarung pedang dan tersenyum pada Lan Hong. “Nah, bagaimana?
Puaskah engkau dengan sumpahku tadi?”
Lan Hong
mengangguk dan Sun Kok nampak girang sekali.
“Manisku,
Hong-moi, kekasihku, isteriku... kemenangan ini harus kita rayakan bersama.
Untuk memperkuat sumpahku, saat ini juga engkau harus menjadi isteriku yang
tercinta. Tidurkan adikmu itu...”
Dengan
lembut Sun Kok lalu mengambil Sie Liong dari dekapan Lan Hong, merebahkan anak
itu di tepi kasur. Kemudian, dengan lembut namun penuh gairah, bagaikan seekor
harimau, dia menerkam Lan Hong, mendorong gadis itu rebah ke atas kasur di
dekat adiknya!
Dapat
dibayangkan betapa hancur perasaan hati gadis itu. Dara yang sedang remaja ini
terpaksa harus menyerahkan dirinya bulat-bulat, tanpa mengadakan perlawanan
sedikit pun, menyerahkan dirinya untuk digauli pria yang baru saja membunuh
ayahnya, ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di
dalam rumah.
Bahkan ia
harus melayani pria itu di kasur yang dihamparkan di atas lantai lian-bu-thia,
dan dari tempat ia rebah terlentang itu ia dapat melihat dua buah kepala yang
berlepotan darah di atas lantai, tak jauh dari situ. Kepala ayahnya dan Ibunya!
Kini Sie
Liong mulai menangis lagi, meraung-raung. Lan Hong juga menangis, merintih
kesakitan. Namun, Yauw Sun Kok yang dibakar nafsu birahinya itu tidak
mempedulikan semua itu. Dia sudah merasa bangga, juga bahagia sekali karena
gadis itu benar-benar menyerahkan diri bulat-bulat tanpa perlawanan sedikit
pun!
Dia pun
tidak peduli ketika gadis itu, di antara isak tangis dan rintihannya,
berbisik-bisik, “Ayah... Ibu... ampunkanlah anakmu ini... demi keselamatan Sie
Liong... ahhhh...”
Setelah
merasa puas dengan penyerahan diri yang sama sekali tidak mengandung perlawanan
seperti dijanjikan gadis itu, Yauw Sun Kok merasa semakin sayang kepada Lan
Hong. Rasa sayang itu dibuktikannya dengan menuruti permintaan gadis itu untuk
menguburkan jenazah ayah ibu gadis itu, suheng-nya, dan dua orang pelayan.
Pada malam
itu juga, Sun Kok menggali lubang-lubang di belakang rumah keluarga Sie,
menguburkan jenazah suami isteri Sie Kian dalam satu lubang, jenazah Kim Cu An
dan dua orang pelayan di lain lubang. Kemudian, menjelang pagi, dia pun
memondong tubuh Lan Hong yang juga memondong Sie Liong, lalu melarikan diri
secepatnya meninggalkan tempat itu.
Pada
keesokan harinya, beberapa tetangga mendapatkan rumah keluarga Sie sunyi sepi.
Ketika tetangga ini memeriksa, mereka tidak menemukan seorang pun penghuni
rumah itu. Di pekarangan dan di ruangan berlatih silat nampak banyak darah
berceceran, dan semua binatang di rumah itu mati di dalam kandangnya.
Tentu saja
para petugas pemerintah melakukan pemeriksaan dan mereka menemukan dua buah
lubang kuburan baru itu. Kuburan dibongkar dan gegerlah kota Tiong-cin ketika
mereka menemukan mayat-mayat Sie Kian, isterinya, muridnya, dan dua orang
pelayan wanita.
Jelas mereka
itu tewas karena dibunuh, bahkan Sie Kian dan isterinya tewas dengan kepala
terpisah dari badannya. Yang membuat semua orang bingung adalah lenyapnya Sie
Lan Hong dan Sie Liong, dua orang anak keluarga Sie itu.
Teka-teki
peristiwa yang terjadi di rumah keluarga Sie itu tetap merupakan rahasia yang
tidak dapat terpecahkan oleh semua orang. Dan rahasia itu memang tidak mungkin
dapat dipecahkan karena dua orang yang dapat menjadi kunci pembuka rahasia itu,
yaitu Sie Lan Hong dan Sie Liong, telah pergi jauh sekali dari tempat itu.
Ratusan bahkan ribuan li jauhnya dari kota Tiong-cin karena Yauw Sun Kok
membawanya pergi ke barat, jauh sekali, di perbatasan barat propinsi Sin-kiang.
Yauw Sun Kok
adalah seorang laki-laki petualang yang sudah hidup sebatang kara sejak masih
kecil. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena wabah penyakit menular
yang amat berbahaya di dusunnya. Dalam usia sepuluh tahun dia sudah hidup
sebatang kara dan yatim piatu.
Kehidupan
yang keras seorang diri ini menggemblengnya menjadi seorang pemuda yang keras.
Namun, dia memang memiliki kecerdikan sehingga meski pun ketika ayah ibunya
meninggal dia baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi dia sudah mempunyai
kepandaian membaca dan menulis.
Ketika dia
hidup seorang diri, merantau sebatang kara dan menemui banyak kekerasan dan
kesulitan hidup, dia mengerti bahwa dalam kehidupan yang sulit dan serba keras
itu, dia perlu menguasai ilmu silat. Maka, ke mana pun dia merantau, dia selalu
berusaha untuk mempelajari ilmu silat dari siapa pun.
Akhirnya,
pada usia lima belas tahun, setelah menguasai beberapa macam ilmu silat, dia
bekerja pada seorang kepala perampok kenamaan di sepanjang Sungai Kuning.
Karena dia amat setia dan pandai mengambil hati, dia pun menjadi murid kepala
perampok itu dan kemudian mempelajari ilmu silat dan ilmu... merampok!
Sering kali
dia mewakili gurunya memimpin anak buah untuk merampok atau membajak
perahu-perahu di sungai dan dalam usia dua puluh tahun, dia sudah menjadi
seorang perampok yang lihai dan ditakuti. Bukan saja ilmu silatnya cukup lihai,
akan tetapi juga dia masih bersikap seperti orang terpelajar dengan modal
sedikit ilmu sastra yang pernah dipelajari pada waktu ayahnya masih hidup.
Pakaiannya
selalu rapi, dan karena wajahnya tampan, maka banyak wanita yang jatuh hati
padanya. Di antara gadis yang tergila-gila kepadanya adalah puteri kepala
perampok itu sendiri! Gadis puteri kepala perampok itu memang cantik manis, dan
segera terjadilah hubungan akrab di antara mereka.
Akan tetapi,
kepala perampok itu tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan Sun Kok yang
menjadi pembantunya dan muridnya pula. Walau pun dia adalah kepala perampok,
akan tetapi dia tidak ingin melihat puterinya menjadi isteri seorang perampok!
Dia ingin melihat puterinya menjadi isteri dari seorang pejabat tinggi atau
seorang hartawan, paling tidak seorang yang hidup terhormat dan terpandang!
Di sini
terbukti bahwa tiap orang yang melakukan penyelewengan dalam hidupnya, sama
sekali bukan karena dia tak tahu atau menyukai pekerjaan maksiat atau
penyelewengan itu! Kalau dia mampu, tentu saja dia akan menjauhi perbuatan
menyeleweng itu! Kalau seorang pencuri, ketika sudah menjadi kaya raya dan
terhormat, tak mungkin dia ingin mencuri lagi!
Kepala
perampok itu pun tidak ingin mempunyai mantu seorang perampok! Akan tetapi,
hubungan antara Sun Kok dan puteri perampok itu sudah amat jauh dan mendalam,
bahkan puteri kepala perampok itu sudah berulang kali menyerahkan dirinya
kepada Sun Kok. Sudah berulang kali mereka melakukan hubungan suami isteri
dengan pencurahan kasih sayang. Karena dihalangi oleh orang tua gadis itu,
jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah minggat!
Sun Kok dan
kekasihnya meninggalkan sarang kepala perampok itu. Ketika lari gadis itu
membawa pula beberapa barang berharga. Mulailah mereka berdua hidup sebagai
suami isteri perampok! Mereka pergi jauh meninggalkan sarang kepala perampok di
tepi Sungai Kuning itu dan menjadi perampok di sepanjang perbatasan Propinsi
Hok-kian di timur.
Demikianlah
sedikit riwayat Yauw Sun Kok. Sampai lima tahun kemudian, saat ia berusia dua
puluh lima tahun dan menjadi perampok bersama isterinya tercinta, mereka berdua
ketika sedang merampok kereta keluarga bangsawan, mereka bertemu dengan Sie
Kian dan dalam perkelahian tersebut, isteri Yauw Sun Kok tewas di tangan Sie
Kian!
Yauw Sun Kok
yang kematian isterinya menjadi berduka sekali dan dia mendendam sakit hati
yang hebat terhadap Sie Kian. Kembali kini dia hidup sebatang kara karena
isterinya belum pernah melahirkan seorang anak.
Dengan
dendam yang bernyala, Yauw Sun Kok lalu merantau ke barat. Dia mendengar bahwa
Pegunungan Himalaya merupakan gudang para pertapa yang mempunyai ilmu
kepandaian tinggi. Maka ke sanalah dia pergi, untuk belajar ilmu silat yang
lebih tinggi agar kelak dia dapat membalas dendamnya kepada Sie Kian.
Selama lima
tahun, Yauw Sun Kok menghamburkan semua hartanya yang dikumpulkan dari hasil
merampok bersama isterinya, termasuk harta bawaan isterinya, hanya untuk
belajar ilmu silat. Bermacam guru ditemuinya dan dia pun berhasil mempelajari
ilmu silat yang lebih tinggi.
Dia pun
behasil mendapat sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-lian-kiam (Pedang
Teratai Putih) karena di badan pedang itu terdapat ukiran setangkai bunga
teratai putih. Pedang itu sendiri terbuat dari baja putih sehingga kalau
dimainkan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Setelah
merasa cukup mempunyai ilmu silat yang boleh diandalkan, Yauw Sun Kok lalu
pergi mencari musuh besarnya. Tidak sukar baginya untuk menemukan tempat
tinggal Sie Kian atau Sie Kauwsu yang membuka perguruan silat bayaran di kota
Tiong-cin itu.
Dia
melakukan penyelidikan dan merasa girang melihat betapa rumah keluarga Sie itu
berdiri terpencil dan para muridnya tinggal di luar perguruan. Setelah
memperhitungkan masak-masak, dia lalu mengirim surat ancaman dengan
mempergunakan senjata rahasia piauw-nya dan akhirnya, dia berhasil membasmi
keluarga Sie, dan melarikan dua orang anak musuh besarnya.
Sungguh di
luar perhitungannya bahwa dia dapat jatuh cinta kepada Lan Hong, padahal dia
bukahlah seorang yang mata keranjang dan mudah tergila-gila kepada wanita
cantik. Mungkin karena antara wajah Lan Hong dengan mendiang isterinya ada
persamaan atau kemiripan, maka dia tertarik sekali.
Setelah
berhasil menaklukan Lan Hong sehingga gadis remaja itu menyerahkan diri
kepadanya, Yauw Sun Kok merasa gembira sekali. Dia maklum bahwa perbuatannya di
Tiong-cin itu akan menimbulkan kegemparan, maka dia kemudian melakukan
perjalanan secepatnya menuju ke barat! Dia membawa Lan Hong yang telah menjadi
isterinya itu ke Sin-kiang bersama anak kecil itu.
Di sebuah
kota kecil bernama Sung-jan, di perbatasan barat Propinsi Sin-kiang, Tauw Sun
Kok telah memiliki sebuah rumah yang lumayan. Di sinilah tempat tinggalnya yang
terakhir setelah menuntut ilmu.
Di kota ini
namanya sudah mulai terkenal sebagai seorang yang sakti. Namanya dapat terkenal
karena dia memiliki hubungan dengan banyak tokoh kang-ouw di daerah barat. Memang
Sun Kok pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan
dengan kepandaiannya mengambil hati ini, dia dapat mempelajari banyak macam
ilmu silat.
Setelah tiba
di rumahnya, Sun Kok lalu merayakan pesta pernikahannya dengan Sie Lan Hong!
Meriah juga pesta itu karena selain mengundang orang-orang terkemuka di kota
Sung-jan, juga dia mengundang tokoh-tokoh kang-ouw di daerah barat yang menjadi
kenalannya.
Suatu
keanehan terjadi dalam hati Sie Lan Hong. Melihat sikap bekas musuh besar yang kini
menjadi suaminya itu, sikap yang sangat baik, penuh dengan kelembutan dan cinta
kasih, penuh kemesraan dan kesabaran, sedikit demi sedikit lenyaplah kebencian
dalam hati dara remaja ini! Apalagi dia melihat betapa Sun Kok memang
bersungguh-sungguh memperisterinya, bukan sekedar main-main dan untuk
mempermainkannya saja.
Melihat
betapa suaminya mengadakan pesta yang meriah untuk pengesahan pernikahan
mereka, mulai timbul perasaan suka di hati gadis ini. Sun Kok yang
berpengalaman itu memang pandai merayu, dan Lan Hong adalah seorang gadis yang
usianya baru lima belas tahun, maka mudah saja dia terbuai dalam kemesraan
serta kenikmatan kasih sayang suaminya. Perlahan-lahan, rasa benci dan dendam
itu lenyap terganti perasaan cinta!
Akan tetapi
ada suatu hal yang menggelisahkan hati Yauw Sun Kok. Dia pun kini sudah tidak
mendendam lagi kepada keluarga Sie, dan cintanya terhadap Lan Hong yang sudah
menjadi isterinya adalah cinta yang mendalam. Bahkan ia pun tidak membenci Sie
Liong, adik isterinya itu. Sebaliknya, dia bahkan juga memiliki perasaan sayang
kepada anak itu, di samping perasaan iba mengingat betapa anak itu sudah tidak
mempunyai ayah bunda lagi.
Akan tetapi,
di samping perasaan sayang dan iba ini, ada semacam kegelisahan timbul di dalam
hatinya setiap kali dia memangku dan menimang Sie Liong. Dalam diri anak ini
dia melihat ancaman bahaya besar!
Kalau kelak
Sie Liong sudah menjadi seorang dewasa, tentu dia akan mendengar akan kematian
ayah ibunya di tangan kakak iparnya ini, dan tentu akan terjadi mala petaka!
Besar sekali kemungkinannya, Sie Liong kelak akan mencoba untuk membalas
dendam! Dari pihak isterinya, dia tidak khawatir karena dia dapat merasakan
kemesraan dan kasih sayang dari isterinya kepadanya. Akan tetapi anak ini?
Setahun
kemudian, ketika Sie Liong sudah pandai berjalan, pada suatu hari Sun Kok
mengajaknya ke kebun belakang. Sementara itu Lan Hong sedang menyusui anaknya
di dalam kamar. Sesudah menikah setahun lamanya, Lan Hong melahirkan seorang
anak perempuan yang mungil dan diberi nama Yauw Bi Sian. Ketika itu, Bi Sian
baru berusia satu bulan.
Sun Kok
mengajak Sie Liong ke kebun dan memang anak ini dekat sekali dengan dia. Sun
Kok sering kali menimang dan memondongnya, seolah-olah adik isterinya itu anak
kandungnya sendiri. Sun Kok tidak berpura-pura, di dalam hatinya memang ada
rasa sayang dan iba kepada Sie Liong.
Akan tetapi,
ketika dia membawa Sie Liong bermain-main di kebun belakang, kembali dia
teringat akan bahaya yang bisa mengancam dari diri anak ini. Dia tahu bahwa Sie
Liong mempunyai tulang yang kuat dan darah yang bersih. Anak ini berbakat baik
sekali untuk kelak menjadi seorang yang gagah perkasa. Jika kelak anak ini
menjadi seorang pandai, tentu keselamatan dirinya akan terancam!
Wajah anak
itu saja sudah mulai mengingatkan dia akan wajah Sie Kian yang dahulu
dibunuhnya. Berbeda dari wajah isterinya yang lebih mirip ibunya. Kelak Sie
Liong akan menjadi Sie Kian kedua yang mungkin akan membunuhnya untuk membalas
dendam!
Mulailah dia
merasa menyesal, mengapa dia membunuh dan membasmi keluarga Sie tanpa mengenal
ampun. Pada saat itu dia insyaf, mendiang Sie Kian membunuh isterinya bukan
karena benci atau dendam, melainkan dalam sebuah perkelahian yang wajar.
Ketika itu,
sebagai seorang pendekar, Sie Kian membela bangsawan yang dirampoknya. Dalam
perkelahian itu Sie Kian berhasil mengalahkan dia dan isterinya. Isterinya
tewas dan dia terluka, juga Sie Kian terluka oleh senjata rahasia piauw-nya.
Bagaimana
pun juga, anak ini merupakan ancaman bahaya besar. Betapa mudahnya melenyapkan
ancaman baginya itu. Sekali menggerakkan tangannya, anak ini akan mati dan
lenyaplah ancaman bahaya itu. Akan tetapi, dia teringat akan sumpahnya kepada
isterinya. Dia telah bersumpah tidak akan membunuh anak ini, dan isterinya
ternyata juga memegang teguh janjinya.
Isterinya
itu kini benar-benar menjadi seorang isteri yang mencinta, mesra dan bahkan
telah melahirkan seorang anak keturunannya! Bagaimana mungkin dia dapat
melanggar sumpahnya? Isterinya benar. Bagaimana pun juga, dia masih memiliki
harga diri dan dia tidak akan melanggar sumpahnya! Dan pula, bagaimana dia tega
untuk membunuh anak ini yang sudah disayangnya pula?
“Ci-hu
(kakak ipar)... ci-hu... tangkap... tangkap...!” Tiba-tiba Sie Liong berseru
gembira sambil menunjuk ke arah seekor kupu-kupu kuning yang sedang beterbangan
di antara kembang-kembang yang tumbuh di kebun itu.
Yauw Sun Kok
memandang anak itu. Dia tersenyum. “Kau tangkaplah sendiri, Sie Liong! Engkau
anak pandai, harus mampu menangkap sendiri kupu-kupu itu.”
Sie Liong
dengan gembira berlari-lari mengejar kupu-kupu itu. Akan tetapi kupu-kupu itu
terlampau gesit dan terbangnya terlampau tinggi bagi Sie Liong yang mengejar
terus. Karena ketika berlari-lari itu dia selalu melihat ke arah kupu-kupu di
atas, tiba-tiba kaki Sie Liong tersandung batu besar dan dia pun tergelincir
dan terguling.
“Dukkk!”
Ketika
terjatuh itu, kepalanya membentur batu dan anak itu pun pingsan! Kepalanya yang
kanan dekat pelipis mengeluarkan benjolan berdarah.
Sun Kok
terkejut dan cepat dia meloncat menghampiri dan memondong tubuh anak itu, lalu
duduk di atas bangku dan memangkunya. Sie Liong telah pingsan. Ketika dia
hendak menyadarkan anak itu dengan memijat belakang kepalanya, tiba-tiba
menyelinap pikiran lain dalam benaknya. Inilah kesempatan yang amat baik!
Dia tidak
akan membunuh anak ini, akan tetapi dapat membuatnya menjadi cacat dan dengan
cacatnya itu, kelak dia tidak akan dapat menjadi orang kuat dan terhindarlah
dia dari ancaman balas dendam anak ini! Membuat dia cacat tak berarti
membunuhnya. Dia tidak melanggar sumpahnya.
Dalam
keadaan pingsan begini, anak ini pun tidak merasakan apa-apa! Dan dia akan
mengusahakan agar sama sekali tak ada bekas-bekas penganiayaan, sehingga
peristiwa jatuhnya anak ini kelak dapat menjadi alasan mengapa dia menjadi
cacat!
Tanpa ragu
lagi, Sun Kok menelungkupkan tubuh Sie Liong yang pingsan itu, membuka bajunya,
kemudian dengan dua jari tangan kanannya, dia menotok dan memuntir tiga kali di
punggung anak itu! Benarlah seperti dugaannya, anak yang pingsan itu tidak
kelihatan kesakitan, padahal tiga kali totokan jari dan puntiran itu sudah
membuat tulang punggung itu retak serta jaringan syaraf dan ototnya menjadi
hancur!
Setelah
membereskan kembali pakaiannya, Sun Kok lalu memondong tubuh itu lagi dan
membawanya pulang ke rumah. Tanda biru menghitam pada punggung itu tentu tak
akan menimbulkan kecurigaan. Tak ada seorang pun akan menyangka bahwa tanda itu
adalah tanda bekas totokan dan puntiran jari tangannya!
Lan Hong
sangat terkejut ketika melihat suaminya memasuki kamar sambil memondong tubuh
Sie Liong yang lemas seperti anak tidur.
“Ahh, ada
apakah?” tanyanya sambil memandang wajah suaminya dengan khawatir.
“Dia
mengejar kupu-kupu, namun tersandung dan terjatuh. Kepalanya terbanting ke atas
batu dan dia pingsan,” katanya sambil merebahkan tubuh anak itu ke atas
pembaringan.
Lan Hong
sejenak memandang wajah suaminya. Sepasang alisnya berkerut, sedangkan pandang
matanya penuh dengan kecurigaan. Melihat isterinya memandangnya seperti itu,
Sun Kok manghampiri dan merangkul isterinya.
“Isteriku,
apakah sampai kini engkau belum juga percaya padaku? Ingat, aku tidak akan
pernah melupakan sumpahku. Aku tidak akan membunuh Sie Liong! Aku sudah sangat
sayang kepadanya. Bagaimana kini engkau dapat memandang kepadaku dengan penuh
kecurigaan seperti itu?”
Lan Hong
membalas rangkulan suaminya.
“Ahh,
maafkan aku...,” dan ia pun segera memeriksa keadaan Sie Liong.
Kelihatannya
hanya kepala anak itu saja yang terluka, berdarah dan membenjol. Akan tetapi
biar pun mereka berdua telah berusaha untuk membikin sadar, anak itu tetap saja
pingsan. Hal ini membuat Lan Hong merasa khawatir sekali dan suaminya segera
pergi mengundang seorang tabib yang terkenal pandai di kota Sung-jan itu. Tabib
itu seorang peranakan Nepal dan memang dia pandai sekali dalam soal pengobatan.
Orang
berkulit hitam, tinggi kurus dan bersorban putih itu datang membawa keranjang
obatnya dan segera memeriksa Sie Liong. Tabib itu sudah lama mengenal Yauw Sun
Kok yang di kota itu dikenal sebagai seorang ahli silat yang pandai, selain
pekerjaannya sebagai seorang pedagang rempah-rempah yang cukup maju.
Mula-mula
dia memeriksa keadaan kepala yang membenjol itu, ditunggui dengan penuh
kekhawatiran oleh Lan Hong yang memondong puterinya sambil didampingi suaminya.
Tabib itu mengangguk-angguk.
“Hanya luka
di luar, tidak ada yang berbahaya dengan kepala ini. Hemmm, kenapa dia belum
juga siuman? Tentu ada luka lain. Biar kuperiksa tubuhnya.”
Dia lalu
membuka pakaian anak itu, dibantu oleh Sun Kok. Ia sama sekali tidak merasa
khawatir. Seorang tabib yang pandai seperti orang Nepal ini pasti dengan mudah
akan dapat menemukan luka di punggung itu, akan tetapi tidak mungkin akan tahu
bahwa itu disebabkan oleh totokan jari tangan dan akan mengira bahwa punggung
itu pun terpukul benda keras.
Dugaannya
memang benar. Setelah memeriksa seluruh tubuh Sie Liong, akhirnya tabib itu
menemukan tanda menghitam di tulang pungungnya.
“Ahhh,
inilah yang menyebabkan dia pingsan terus! Punggungnya terluka, dan luka ini
lebih hebat dari pada luka di kepalanya!”
Dia
memeriksa dengan teliti, lalu mengerutkan alisnya, menggeleng-geleng kepalanya
dan menarik napas panjang.
“Bagaimanakah
keadaannya, Sin-she (Tabib)?” tanya Lan Hong khawatir melihat muka orang Nepal
itu.
“Tidak
baik... sungguh tidak baik...! Luka di punggung ini hebat sekali. Agaknya
tulang punggung ini retak, dan otot-ototnya juga terluka parah...”
“Aihh!
Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dan... dan... apakah dia masih bisa
disembuhkan, Sin-she?” tanya pula Lan Hong sambil memandang suaminya.
Sun Kok
mengangguk-angguk. “Aku hanya melihat ada batu besar di bawahnya ketika dia
jatuh. Oleh karena yang nampak hanya kepalanya yang membenjol dan berdarah,
kusangka hanya itu saja lukanya. Tentu tadi punggungnya terbanting pada batu
yang menonjol sehingga seperti terpukul.”
Tabib itu
mengangguk-angguk. “Agaknya begitulah. Akan tetapi jangan khawatir, anak ini
masih kecil sehingga luka parah itu tidak akan sampai merenggut nyawanya, walau
pun aku khawatir sekali...”
Melihat
tabib itu nampak ragu-ragu, Lan Hong bertanya cemas, “Khawatir apa, Sin-she?
Katakanlah, apa yang akan terjadi dengan adikku?”
“Dia akan
dapat disembuhkan dengan obatku dan oleh kekuatan tubuhnya sendiri yang masih
murni. Akan tetapi, pertumbuhan tulang punggungnya itu akan tidak normal dan
aku khawatir kelak dia akan menjadi seorang yang bongkok.”
“Ahhh...!”
Lan Hong menutupi mukanya dengan tangan, ngeri membayangkan adiknya menjadi
seorang yang bongkok punggungnya.
Tangan
suaminya menyentuh pundaknya dengan lembut. “Tidak perlu berduka. Biar pun
cacat, biar bongkok asal sehat, bukankah begitu? Yang penting Sie Liong dapat
sembuh dan sehat kembali.”
Sie Liong
mendapat perawatan baik-baik dan tepat seperti keterangan tabib pandai itu, Sie
Liong dapat sembuh, akan tetapi pertumbuhan tulang punggungnya tidak normal.
Dua tahun kemudian sudah nampak betapa punggungnya bongkok dan ada punuk di
punggungnya seperti punggung onta.
Yauw Sun Kok
diam-diam tersenyum seorang diri. Dia merasa lega dan aman sekarang. Seorang
bocah yang bongkok punggungnya, bagaimana pun juga tidak mungkin akan dapat
menjadi seorang yang perlu ditakuti.
Rasa takut
dapat membuat orang menjadi curang dan kejam sekali. Sun Kok melakukan
kekejaman itu kepada seorang anak kecil yang sebetulnya sudah mulai disayangnya
karena dia takut membayangkan betapa Sie Liong kelak akan mengetahui tentang
kedua orang tuanya yang dibunuhnya, kemudian anak itu akan membalas dendam
kepadanya.
Sie Lan Hong
juga bukan seorang wanita yang bodoh. Walau pun suaminya memberi keterangan
bahwa Sie Liong terjatuh menimpa batu pada saat mengejar kupu-kupu, dan ketika
telah sadar Sie Liong pun dapat bercerita sedikit-sedikit bahwa kupu-kupunya
yang nakal, bahwa dia terjatuh ketika mengejar kupu-kupu, akan tetapi diam-diam
Lan Hong menaruh perasaan curiga kepada suaminya.
Dia tahu
bahwa suaminya itu, bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau Sie
Liong kelak akan mengetahui mengenai kematian orang tuanya, lalu anak itu akan
membalas dendam kepadanya. Dia merasa curiga apakah jatuhnya adiknya itu bukan
disengaja dan dibuat oleh suaminya!
Akan tetapi
ia sudah terlalu mencinta suaminya, apalagi kini mereka sudah mempunyai seorang
anak. Andai kata memang benar ada unsur kesengajaan dari suaminya yang
menyebabkan adiknya terjatuh dan menjadi cacat, tetap saja suaminya tidak
melanggar sumpahnya.
Suaminya
pernah bersumpah tidak akan membunuh Sie Liong! Dan membuatnya cacat bukanlah
pembunuhan. Karena itu, khawatir kalau dia menuduh tanpa bukti hanya akan
merenggangkan kasih sayang antara dia dan suaminya, maka Lan Hong diam saja dan
menahan itu di dalam hatinya…..
***************
Waktu
berjalan dengan amat cepatnya dan Sie Liong kini telah menjadi seorang anak
laki-laki berusia tiga belas tahun. Enci-nya tidak mempunyai anak lain kecuali
Yauw Bi Sian yang kini sudah berusia sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh
besar sebagai seorang anak laki-laki yang amat cerdas, rajin dan pendiam. Akan
tetapi dia rajin sekali bekerja.
Meski
punggungnya bongkok dengan punuk sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya sehat
dan dia tak pernah sakit. Juga otaknya cerdas sekali sehingga ketika seorang
guru sastra didatangkan oleh Sun Kok untuk mengajar puterinya, Sie Liong yang
turut pula belajar, dengan cepat sekali dapat menghafal semua huruf sehingga
guru yang mengajar itu memujinya sebagai anak yang amat cerdas.
Sun Kok
masih merasa aman melihat perkembangan Sie Liong yang sekarang menjadi seorang
anak yang biar pun pandai membaca dan menulis, akan tetapi seorang anak bongkok
yang biar pun sehat tapi bertubuh lemah. Hanya satu hal yang mengecewakan
hatinya, yaitu melihat bahwa Sie Liong tidak menjadi seorang anak berpenyakitan
seperti yang diharapkannya, melainkan menjadi seorang anak sehat.
Sering kali
terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Di satu pihak dia merasa kecewa
melihat anak itu sehat, di lain pihak dia merasa girang karena betapa pun juga
ia merasa sayang kepada anak itu!
Sie Liong
memang seorang anak yang tahu diri. Ia merasa bahwa hidupnya menumpang kepada
cihu (kakak ipar), maka dia pun tidak bermalas-malasan. Setiap hari, pagi-pagi
sekali dia sudah bangun dan membantu pekerjaan rumah, walau pun cihu-nya
memiliki beberapa orang pelayan.
Semenjak
kecil Bi Sian sangat dekat dengannya karena dialah yang selalu mengajak
keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga merasa amat akrab dan sayang sekali
kepada pamannya itu. Oleh karena usia mereka hanya berselisih dua tahun saja,
maka biar pun mereka itu adalah paman dan keponakan, namun hubungan mereka amat
akrab sebagai dua orang anak yang sebaya atau sepantar.
Semenjak Bi
Sian berusia enam tahun, ayahnya telah mulai memberi pelajaran ilmu silat
kepadanya. Melihat ini, Sie Liong merasa ingin sekali untuk ikut belajar, akan
tetapi selalu cihu-nya melarangnya.
“Sie Liong,
engkau harus tahu bahwa keadaan tubuhmu ini tidak memungkinkan engkau belajar
ilmu silat. Ketahuilah bahwa syarat utama bagi orang yang ingin menguasai ilmu
silat dengan baik adalah ketegakan tubuhnya. Tulang punggung mulai tengkuk
sampai pinggang haruslah tegak dan rata, maka tidak baik kalau engkau berlatih
silat. Lebih baik engkau menekuni ilmu membaca dan menulis.” Demikian Sun Kok
pernah berkata.
Mendengar
ini, Sie Liong menundukkan mukanya dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu
diri dan mulai saat itu, dia tidak pernah mengemukakan keinginannya untuk
belajar ilmu silat.
Akan tetapi,
Bi Sian amat sayang kepada paman kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu belaka
akan isi hati kawan bermainnya ini, maka ia pun tahu benar betapa paman kecil
itu ingin sekali ikut belajar ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali mereka
hanya berdua saja tanpa diketahui orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua
gerakan yang dipelajari dari ayahnya kepada Sie Liong.
Dan si
bongkok ini pun menerimanya dengan sangat gembira. Memang dia ingin sekali
belajar silat, maka tentu saja dia gembira menyambut uluran tangan Bi Sian yang
mau mengajarnya.
Ternyata
kecerdasannya membantu dirinya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah
menghafal setiap gerakan. Bahkan karena bakatnya ini dia mampu bergerak lebih
lincah dan lebih cekatan, jauh lebih baik dibandingkan Bi Sian.
Tentu saja
ada hambatan yang besar baginya, yaitu tubuhnya yang bongkok. Karena itu, dalam
beberapa gerakan nampak betapa gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu
sekali. Selain itu kadang-kadang Sie Liong merasa nyeri pada tengkuk dan
punggungnya setelah dia berlatih silat bersama Bi Sian.
Setelah Sie
Liong berusia tiga belas tahun dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua orang
anak ini telah mempelajari banyak macam gerakan silat. Bi Sian sudah menjadi
seorang gadis cilik yang pandai bersilat. Gerakannya lincah sekali dan karena
sejak kecil dia digembleng ayahnya dan mempelajari semedhi dan latihan
pernapasan, maka meski pun usianya baru sebelas tahun, anak perempuan ini
memiliki tenaga yang kuat.
Dua orang
anak yang saling mengasihi dan saling membela ini dapat menyimpan rahasia Sie
Liong mempelajari ilmu silat. Baik Sun Kok mau pun Lan Hong sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa kesehatan Sie Liong yang baik dan gerakannya yang
cekatan itu adalah akibat anak itu sudah belajar silat. Suami isteri itu hanya
mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya anak itu bekerja, memikul air, menyapu
dan pekerjaan lain yang dilakukannya tanpa diperintah.
Akan tetapi
akhirnya kemampuan Sie Liong bersilat itu terbuka dengan terjadinya suatu
peristiwa. Semua orang di Sung-jan tahu belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah
seorang ahli silat yang pandai. Pernah beberapa kali Yauw Sun Kok membantu
petugas-petugas keamanan kota memberantas gerombolan perampok hingga dia
dikenal sebagai seorang jagoan yang disegani.
Oleh karena
itu, tidak ada penduduk yang berani mengganggu keluarganya. Walau pun semua
orang mengenal Sie Liong sebagai si Bongkok, namun di depan Yauw Sun Kok dan
isterinya, tidak ada seorang pun yang berani mengganggu anak bongkok itu,
karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok.
Pada suatu
hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie Liong
yang disuruh enci-nya pergi ke pasar untuk berbelanja berbagai bumbu dapur yang
persediannya sudah hampir habis. Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian lalu
berkeras hendak ikut dengannya. Ibunya memperkenankan karena anak perempuan itu
dapat pula membantu Sie Liong membawa barang belanjaan yang cukup banyak.
Hari itu
memang ramai sekali orang pergi berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat
ramai. Maklumlah, orang-orang hendak menyambut hari raya Imlek, menyambut
‘tahun baru’ atau munculnya musim semi yang cerah dan mendatangkan berkah bagi
para petani melalui sawah ladang mereka.
Seminggu
lagi ‘sin-cia’ tiba. Orang-orang sibuk berbelanja membeli berbagai keperluan
dapur, kemudian mulai ramai memasak karena pada hari-hari itu biasanya mereka
akan mengadakan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing.
Hati Sie
Liong dan Bi Sian gembira sekali ketika mereka membawa keranjang kosong pergi
ke pasar. Jalan menuju ke pasar itu pun ramai, penuh dengan orang berlalu
lalang dan wajah mereka rata-rata gembira.
Banyak orang
sudah mengenal Sie Liong karena bongkoknya memang mudah membuat orang
mengingatnya. Dan banyak orang yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa Sie
Liong. Ada yang menyebutnya Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang menyebutnya
dengan, “Hee, bocah bongkok!” begitu saja.
Akan tetapi,
Sie Liong tetap tersenyum dan menjawab mereka semua dengan kata-kata ramah
bahwa dia akan pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa mereka yang
menyebutnya si bongkok itu pun bukan dengan maksud menghina, melainkan dengan
ramah dan hendak bergurau. Dia sudah terbiasa mendengar sebutan si bongkok.
Dulu, ketika dia berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti akan harga diri,
memang sebutan itu terasa menyakitkan hati.
Apalagi
kalau dia bercermin dan melihat betapa tubuhnya melengkung ke depan, dia merasa
rendah diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa, kini sebutan si bongkok tidak
mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bertubuh
bongkok, dan memang sepatutnya disebut si bongkok!
Akan tetapi,
setiap kali ada orang menyebut Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi Sian
mengerutkan alisnya dan melotot marah kepada orang yang menyebut demikian. Di
dalam hatinya, Bi Sian tidak rela paman kecilnya disebut Si Bongkok, yang
dianggapnya sebagai suatu ejekan atau hinaan.
Dua orang
anak yang berjalan berdampingan itu memang merupakan pemandangan yang agak
ganjil.
Wajah Sie
Liong memang tidak buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Namun
tubuhnya yang melengkung ke depan itu, dengan punuk pada punggungnya yang makin
membesar, membuat dia nampak amat pendek dan kedua lengannya kelihatan panjang
bagaikan lengan monyet. Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja
yang menarik hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan
juga iba dalam hati orang yang memandangnya.
Sebaliknya,
Yauw Bi Sian adalah seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil.
Wajahnya amat manis, terutama sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih
mulus, bentuk tubuh yang masih kekanak-kanakan itu pun padat dan sehat,
menjanjikan bentuk tubuh seorang wanita yang indah.
Kalau dara
cilik ini diumpamakan setangkai bunga yang belum mekar, kuncup yang indah
menarik, sebaliknya Sie Liong seperti seekor kupu-kupu yang jelek dan cacat.
Sungguh tidak merupakan pasangan yang serasi.
Mereka sudah
tiba di dekat pasar ketika tiga orang anak laki-laki yang berusia antara tiga
belas sampai lima belas tahun melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu tadinya
sedang bermain-main di tepi jalan. Ketika melihat Sie Liong dan Bi Sian, mereka
menghentikan permainan mereka dan memandang kepada dua orang anak yang membawa
keranjang kosong itu.
Mereka
bertiga tahu siapa adanya Sie Liong dan mereka tak pernah berani mengganggu,
mengingat bahwa Si Bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang terkenal
jagoan. Akan tetapi mereka melihat Bi Sian yang dalam pandangan mereka sangat
manis dan menarik.
Mulailah
mereka merasa iri kepada Sie Liong. Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk
berjalan bersama Si Bongkok. Karena iri hati, maka tiga orang anak itu sengaja
hendak memperolok-olok Sie Liong.
“Nona Yauw,
apakah engkau hendak berbelanja ke pasar?” bertanya seorang di antara mereka.
Karena
pertanyaan itu sopan dan wajar, Bi Sian lalu mengangguk. “Benar, aku hendak
berbelanja ke pasar.”
“Kalau
begitu, marilah kuantar engkau, Nona. Biar nanti kami bertiga yang membawakan
barang belanjaanmu sampai ke rumahmu.”
“Benar, nona
Yauw. Dari pada engkau berjalan dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan
orang!” kata anak ke dua.
“Nona Yauw,”
kata orang ke tiga sambil tertawa. “Engkau membawa monyetmu ke pasar, apakah
hendak kau jual?”
Tiga orang
anak itu tertawa sambil menuding kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja,
tidak marah karena dianggap mereka bertiga itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi
Sian yang menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan dia melangkah maju
dengan sikap mengancam.
“Kalian ini
tikus-tikus busuk, berani menghina orang! Apakah kalian hendak menantang
berkelahi?” bentak Bi Sian dengan sikap galak.
Anak yang
paling besar di antara mereka, yang bertubuh jangkung kurus dan mukanya penuh
jerawat, berusia kurang lebih lima belas tahun, lalu memberi hormat kepada Bi
Sian. “Aih, mana kami berani menghinamu, nona Yauw? Kami hanya main-main dengan
Si Bongkok ini, karena memang kami penasaran melihat nona diantar oleh Si
Bongkok. Suruh saja dia pulang dan kami bertiga akan menjadi pengawal dan
pengantar nona agar di jalan tidak ada yang berani mengganggu.”
“Siapa butuh
kawalan kalian? Dan jangan kalian mengejek dan menghina dia. Dia adalah
pamanku, menghina dia berarti menghina aku! Nah, enyahlah kalian!”
Dua orang
anak laki-laki yang lain hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu
menarik tangan mereka.
“Mari kita
pergi dari sini!” katanya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan
berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang
menonton.
Ketika tiga
orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian.
Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puterinya Yauw Sun Kok yang
gagah perkasa, kata mereka.
Seorang di
antara mereka, seorang kakek penjual kue, menghampiri Bi Sian.
“Nona Yauw,
hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan keamanan
kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.”
Bi Sian
mengepal tinju. “Aku tidak takut!”
Sie Liong
menghadapi kakek itu. “Terima kasih, lopek. Kami tidak mau mencari keributan.
Merekalah yang tadi mengganggu kami yang sedang berjalan menuju ke pasar.”
Orang-orang
bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah
berbelanja, mereka pun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah
penuh dengan barang belanjaan.
Sie Liong
sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian hanya perlu membawa
keranjang kecil yang tak begitu berat. Barang-barang yang berat dimasukkan
dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia memanggul keranjang itu di
pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih
membawa lima ekor ayam pada kaki mereka.
Jarak antara
rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak
kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang sunyi
karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba
muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja
bersembunyi dan sekarang keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di
situ.
Yang tiga
orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah lagi dua
orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima belas tahun, yang
sikapnya seperti jagoan. Anak penuh jerawat yang menurut kakek tadi adalah
putera komandan pasukan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang
menghadang paling depan.
“Monyet
bongkok, berhenti dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu.
Sie Liong
bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi malah Bi Sian yang
menjadi marah. Ia segera melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah
maju menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu.
“Engkau
lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”
“Nona, kami
bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami hanya
tak rela melihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok,
berikan keranjang itu kepada kami dan engkau boleh merangkak pergi dari sini,
biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!”
Kemarahan Bi
Sian memuncak. “Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!” katanya dan ia pun
sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian
sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan kuat.
“Plakkk!”
Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan.
“Aduhh...!”
Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan
nyeri. Ternyata pipi itu menjadi biru membengkak! “Nona, kenapa engkau memukul
aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan penasaran.
“Keparat,
kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!” kata Bi Sian.
Bi Sian
sudah menerjang maju lagi. Sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain
yang mencoba untuk menangkap lengannya, tahu-tahu jatuh tersungkur dan
memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.
“Wah, anak
perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih besar
dan mereka pun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!”
Bi Sian lalu
membagi-bagi pukulan dan tendangan sehingga lima orang anak laki-laki itu jatuh
bangun.
Akan tetapi
mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di antara
mereka menubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke
belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi
kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A Cong,
cepat kau hajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia
tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua
lengan Bi Sian.
Biar pun
kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak
berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar.
Mereka hanya memegangi Bi Sian supaya anak itu tidak dapat melepaskan diri dan
tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain,
termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi,
Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang
kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk
berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda serta
mengganggu, bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia memang anak cacat, bongkok
dan hal itu tidak perlu dibantahnya.
Akan tetapi,
melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah
merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua
hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa
dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak
jahat! Lepaskan Bi Sian!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih
memegangi anak perempuan itu.
Akan tetapi
Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam,
nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam
itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpandai di kota itu.
“Heh, monyet
bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw jika telah kenyang menghajar mukamu
yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie
Liong.
Sie Liong
belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi selama ini dia dengan tekun
mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari
Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam
kamarnya, atau di tempat sunyi di mana tidak ada orang melihatnya. Karena itu,
dia telah memiliki kepekaan dan gerakan otomatis.
Meski dia
belum pernah berkelahi, namun dia sudah dapat mengenal gerakan-gerakan dalam
latihan itu seperti gerakan untuk mengelak, menangkis, memukul, menendang dan
sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara
otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan itu pun luput!
Ki Cong
menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak ini pun
dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.
“Dukkk!”
Kaki yang menendang itu pun tertangkis.
Melihat
betapa dua kali serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi
penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah
akan bisa merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali
sehingga dia merasa kakinya nyeri.
Temannya
yang lebih tua darinya dan mempunyai ilmu silat yang lebih pandai, segera
menerjang ke depan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi,
sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul dan menendang
dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat
yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia
mendapatkan bimbingan guru. Maka gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak
lebih hanya gerakan kembangan saja, seperti tarian. Maka, pada saat menghadapi
serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah
biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan.
Tadinya dia
hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini
tubuhnya mulai menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya
bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala
pekerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan
yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai
merobohkannya.
Setelah kini
tubuhnya serta mukanya menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa
tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian
berteriak-teriak.
“Jangan
pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ahhh, kalian anak-anak
jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
“Plakkk!”
Dia
menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan saja pukulan si muka hitam mengenai
dadanya. Akan tetapi dia lalu membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan
kanan ke arah leher putera komandan itu.
“Desss!”
Tenaga Sie
Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher
dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka
hitam menyerang dari samping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka Sie
Liong. Agaknya dia bermaksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, namun terlalu
rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman
itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek
terluka. Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari
telunjuk yang berada di mulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
“Krekk!”
Hampir saja
jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya sudah
retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan. Sie Liong lantas
melepaskan gigitannya dan anak itu memegangi jari tangannya sambil
meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya.
Lu Ki Cong
yang tadi terpukul pangkal lehernya, sekarang sudah bangun lagi. Dengan
kemarahan berkobar dia menggunakan kedua tangannya memukul dari atas ke arah
ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia dapat melakukan
serangan seperti itu dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie
Liong akan terluka parah atau setidaknya akan roboh pingsan...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete