Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 02
Sie Liong
yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau lagi menerima pukulan
begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang
dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama ‘Dua Tiang Penyangga
Langit’.
Kedua lengannya
dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang
menghantam ubun-ubun kepalanya.
"Dukkk!"
Kuat sekali
kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua
lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya.
Pada saat
itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya ‘terbuka’ sampai ke perut. Dia
cepat merendahkan tubuhnya. Kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan
karena bongkoknya itu ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga dia pun menyeruduk
ke depan! Kepalanya secara telak mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!”
Dan tubuh Lu
Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong
tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang telah roboh itu. Si muka hitam
mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanannya yang hampir putus tergigit, sedangkan
Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak
terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian.
Kini ia
meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi
Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu
terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk.
Tiga orang
anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan
dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua
orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada
yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong
dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh
kekaguman.
“Paman
Liong, engkau sungguh hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka...,” kata Bi Sian
sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik
itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong
merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap
semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa
girang ini bergelimang rasa malu dan dia pun dengan lembut menarik kedua
tangannya sambil membuang muka.
“Ahhh...
sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayam-ayamnya berloncatan
jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka
berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapa pun
mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga ada banyak
barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas
panjang.
“Ahh, aku
tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar
aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi
Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah
kepadaku...!”
“Mengapa
ayah harus marah? Bukankah engkau sudah menolongku, paman? Biar nanti aku yang
menceritakan dan kalau ayah dan ibu tetap marah kepadamu, aku yang akan
membelamu!”
“Jangan, Bi
Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu agar jangan ceritakan bahwa aku telah
berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan supaya aku tidak berkelahi.
Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya.
Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku.
Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian
memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu,
dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu.
“Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku tadi sempat melihat betapa
engkau dipukuli dan ditendangi...”
Tiba-tiba
rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak,
tidak berapa nyeri...”
“Paman,
kalau nanti aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan
berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua
darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang
bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong
meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lebam membiru, akan tetapi
dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dia dapat
merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat
membayangkan bahwa dari mukanya akan mudah kelihatan bekas-bekas perkelahian.
“Ah,
bagaimana baiknya...? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.”
Dia kelihatan bingung.
Melihat
kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia
telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walau pun dianggapnya sikap itu
berlebihan.
“Baiklah,
paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan
menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal yang
mengganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka
kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena
aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah
tanggung-jawabku.”
“Dan engkau
akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau
dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biarlah kukatakan bahwa
barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan
engkau tak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian
mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie
Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata
terbelalak dan penuh keheranan.
“Aihh! Apa
yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan
ayamnya hanya tiga ekor? Ehh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?”
Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
”Sie Liong!
Engkau tadi berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah
ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak.
Sie Liong
hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat
kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian
sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia lalu
berkata, “Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak
bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada
yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Mendengar
kata-kata dan melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan
mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa?
Ceritakan apa yang sudah terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak,
dan mengapa pula barang belanjaan menjadi kotor berantakan dan ada yang
hilang?”
Lan Hong
yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu kelihatan kesakitan dan
mukanya bengkak-bengkak, lalu berkata, “Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau
minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang
anak itu minum air teh yang semenjak tadi tersedia di atas meja, kemudian
mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Pada waktu
kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi di dekat ladang itu kami dihadang
oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun,
ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong,
mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak
kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Tetapi
mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku
lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya,
aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima
ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja.
Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat sekali seperti
setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang,
dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa?!
Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu
anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tak
tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku
bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aihh!” Yauw
Sun Kok menepuk pahanya sendiri.
Tentu saja
dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan hanya sahabat baiknya, bahkan
di antara mereka pernah timbul percakapan tentang menjodohkan anak
masing-masing satu sama lain. Perwira itu hanya memiliki seorang anak saja,
yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Meski pun belum diresmikan, bahkan
isterinya sendiri belum diberi tahu tentang hal itu, di antara kedua orang itu
seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi!
Lalu dia
memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian,
coba ceritakan sekali lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu?
Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian
bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong
mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang hendak mengantar, dan dia mengusir
paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia bersama teman-temannya malah
memukuli paman Liong.”
Ah, kini
mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu
telah diberi tahu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian,
maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan
iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja
isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa
ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok
masih tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil
tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie
Liong! Ha-ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak
cacat... ehh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kau beri tahu?”
Bi Sian
menjadi penasaran. “Sudah kuberi tahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia
cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw Sun Kok
masih tersenyum ketika menjawab. “Tentu anak itu sudah mendengar dari ayahnya
akan rencana ayahnya dan aku untuk menjodohkan engkau dengan dia...”
“Ayah...!”
Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut.
Sejenak anak
ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, tetapi ia lalu lari
masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan
mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur sambil membawa barang-barang belanjaan
untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih,
Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau
bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan
Hong menegur suaminya.
Suaminya
hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum
akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan
omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu, engkau
pun belum kuberi tahu. Bagaimana pun juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku.
Peristiwa perkelahian antara kedua orang anak yang ingin kami jodohkan itu
sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh
tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.” Yauw
Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong
lalu memasuki kamar puterinya dan disambut oleh anaknya yang matanya merah
karena baru saja menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah
bersungut-sungut. “Ibu, aku tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Ehhh? Tikus
jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena dia memang tidak mengerti.
“Itu, anak
bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkan dengan dia, ibu? Kalau
benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu
hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau
ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkau pun akan
kuberi tahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa
tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia
pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi
ke rumahnya? Celaka...!” Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan
tangan.
Terlambat.
Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa
curiga.
“Sian-ji,
ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah
Lu-ciangkun? Mengapa engkau mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian
maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya
akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia
lebih dulu memberi tahukan ibunya dan menarik ibunya di pihaknya supaya nanti
membela dia dan pamannya.
“Ibu, aku
tadi... berbohong kepada ayah, maka aku amat kaget mendengar ayah pergi ke
rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong?
Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang
berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka
tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku
ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan kelima orang itu dia hajar sampai
luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong?
Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu
dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebih besar?
“Benar, ibu.
Aku tidak berbohong.”
Bi Sian lalu
menceritakan semua yang sudah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu
menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Dialah yang marah-marah
dan memukul. Akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang
anak lain memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil
menolongnya. Mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga
melarikan diri.
“Paman Liong
minta kepadaku, supaya jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut
berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana,
tentu tikus jerawatan itu akan mengadu kepada ayah dan menceritakan bahwa paman
Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong
masih bingung dan heran. “Tapi... tapi... Sie Liong cacat dan lemah....”
Walau pun
matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga
bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu
kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua
ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada
aku, ibu. Ketika melawan anak-anak nakal itu, dia hebat bukan main!”
Terkejutlah
hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya telah mempelajari ilmu silat! Ahhh,
jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Hal itulah
yang sangat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa
suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang
tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa
suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak
tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam!
Perih rasa
hati Lan Hong. Ia sendiri sering kali termenung dan merasa berdosa kepada ayah
ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, walau pun dengan alasan untuk
membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan dia telah terpaksa
menyerahkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya.
Akan tetapi
akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan
seorang anak perempuan. Ia pun tak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie
Liong dan suaminya. Akan tetapi, sekarang terjadi peristiwa itu dan suaminya
tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji...
jangan... jangan kau menceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka
mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi,
kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman
Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku yang seorang anak
perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong
adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah
sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah justru
melarangnya?”
“Ayahmu...
lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung.
Berbahaya sekali jika dia mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau
tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi
hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang
berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengan hati
yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam
dengan muka merah.
Memang Sun
Kok marah sekali. Ketika ia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, ia
bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie
Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia
mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu
bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali.
“Bukan hanya
Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak
bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja
Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat
menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai
silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri.
Kalau Sie
Liong dibiarkan terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang
yang pandai, kelak keselamatan nyawanya tentu akan terancam! Akan tetapi, jalan
satu-satunya untuk mengatasi ini hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau
melakukan hal itu.
Bukan hanya
karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa selamanya dia tidak akan
membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya.
Bagaimana pun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang
sangat baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia
dapat mempunyai kepandaian ilmu silat?
“Sie
Liong...!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat
itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya masih
basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah
itu dengan lap dan air.
“Ci-hu
memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di
depan cihu-nya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie Liong,
dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam
Sie Liong terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini
memang memiliki ketabahan yang luar biasa sehingga wajahnya yang
bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi
Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat.
Apakah anak
perempuan itu yang memberi tahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena
kalau Bi Sian sudah memberi tahu, tak mungkin cihu-nya bertanya dari siapa dia
mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi
Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong
menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihu-nya dengan berani.
“Saya tidak
belajar silat dari siapa pun, cihu.”
“Brakkk!”
Yauw Sun Kok
menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak.
“Bohong kau!
Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-ciangkun dan kawan-kawannya,
dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau
belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang
memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih
dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memprotes.
“Diam kau!
Tadi kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi!
Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong
sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang selalu
mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempelajari ilmu silat, akan
tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok
memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin bisa belajar silat tanpa guru!
Coba kau mainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!”
katanya, setengah mengejek, setengah marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku
hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong
memandang pada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi
dia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu
akan menjadi semakin marah. Bagaimana pun juga, kemarahan suaminya itu cukup
beralasan karena larangannya sudah dilanggar oleh Sie Liong. Maka dia lalu
mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau
mainkanlah ilmu silat yang pernah kau pelajari agar cihu-mu melihatnya, Sie
Liong,” katanya lembut.
Mendengar
ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang
secara diam-diam telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia
sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah,
cihu. Akan tetapi harap jangan ditertawakan sebab permainanku tentu jelek dan
tidak karuan.”
Maka dia pun
lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti jika dia
berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih
silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali
karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri!
Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik
dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti...!”
bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya dan berdiri di depan Sie Liong
yang segera menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa
engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu.
Saya mempelajarinya dengan... mencuri lihat dan mengintai ketika... Bi Sian
sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan di dalam
hati, lalu saya menirukan gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih
terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali
mempelajarinya...”
Yauw Sun Kok
bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini.
Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang sangat baik. Padahal dia
sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju
dari pada Bi Sian. Dia pun mencari akal.
“Sie Liong,
pada waktu aku melarang engkau belajar silat, tentu hal itu sudah kupikirkan
masak-masak, demi kebaikanmu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok,
sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali jika engkau mempelajari ilmu silat!
Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua
jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti aku
pun akan menyerang engkau dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri
nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong
mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihu-nya yang biasanya amat
sayang kepadanya. Sedikit pun dia tidak menaruh hati curiga dan dia pun
mentaati perintah itu. Dia lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang
cihu-nya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong
memandang dengan jantung berdebar. Wanita ini masih belum tahu apa yang
dikehendaki oleh suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa adiknya ini ternyata benar-benar sudah menguasai gerakan
silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata
terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong. Ia pun mengira bahwa
ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu ketika
mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai
dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu
sangat sayang kepadanya dan ia pun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam
Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak
ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar jika dibandingkan anak-anak
sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak
mengherankan bila lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan
terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi
orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah
menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus,
mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri
dengan elakan dan tangkisan karena cihu-nya menyerang dengan jurus-jurus yang
telah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam
benak cihu-nya. Tiba-tiba gerakan tangan cihu-nya demikian cepatnya sehingga
Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk!
Plakkk!”
Dua kali
tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika
tubuh anak itu masih berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang
bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah
darah!
Agaknya Yauw
Sun Kok masih belum puas. Akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh
Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah,
kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah
melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang
kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok
menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan kepada dia
betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti
itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untunglah
tadi dia masih ingat sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya. Kalau
tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya
dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian cepat
membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu sama sekali tidak kelihatan
menyesal atau marah, walau pun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah
dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang
ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam!
Ayah telah menghajar paman Liong yang tak berdosa! Ayah, paman Liong membohong
kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia tidak pernah
mengintai, tidak mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan
semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum,
hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak
menantang ayahnya.
“Hushh,”
ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan
menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga
akan hal itu.
“Ayah, paman
Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal
itu!”
“Hemm, kalau
dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun
Kok.
“Kalau paman
Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku
juga! Paman Liong sama sekali tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan
dia, ayah!” Kembali Bi Sian membantah biar pun ibunya sudah mencoba untuk
mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian,
pikiranmu sungguh pendek! Coba kau bayangkan. Jika engkau pergi sendiri ke
pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi
perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat
darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong
sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal sekali bahwa
karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayahnya
sendiri.
“Baik, cihu.
Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi
Sian.”
Lega rasa
hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimana pun juga, dia tidak pernah
membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok
karena perbuatannya.
Akan tetapi
dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan
keselamatan dirinya sendiri. Jika ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tak akan
membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh
kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba
kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini
mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya.
Dia segera memberi obat minum dan mengharap supaya Sie Liong benar-benar kapok
dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri…..
***************
Meja
sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw
melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong
saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun.
Tadinya dia
sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu pada waktu dia masih menjadi
perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia sudah melupakan begitu
saja kedua orang tuanya yang telah tiada, juga melupakan nenek moyangnya. Akan
tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya sehingga
setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong
masih menderita akibat pukulan cihu-nya dua hari yang lalu. Dia masih sering
batuk-batuk. Meski kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun
kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk,
dan kepalanya pun terasa pusing.
Selama dua
malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali bahkan
dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik
kepadanya, akan tetapi kini cihu-nya malah memukulnya.
Dan Bi Sian
menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula
betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ciangkun itu! Hal
ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian.
Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi
baik, tetapi akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu!
Dia pun
teringat kepada enci-nya, dan merasa kasihan kepada enci-nya. Dia merasa betapa
enci-nya sangat sayang kepadanya, dan enci-nya tentu menderita tekanan batin
yang hebat ketika melihat dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi
ketegangan antara cihu-nya dan enci-nya gara-gara dia.
Dan dia pun
sering kali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang
diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang amat
mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatangkan kesedihan
di hati enci-nya.
Cihu-nya
amat baik dan sayang kepada enci-nya, juga Bi Sian seorang anak yang baik,
kehidupan enci-nya juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Lalu masalah apa
yang menyebabkan enci-nya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang
berduka?
Agaknya Yauw
Sun Kok masih mendongkol akibat peristiwa dua hari yang lalu. Mukanya nampak
muram. Setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja
sembahyang, dia pun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya di
mana dia berdagang rempah-rempah dibantu oleh beberapa orang pegawai.
Di ruangan
sembahyang itu sekarang tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian
bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian,
sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat pada kakek nenek
dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam ialah ayah ibu
suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang
anak itu menyalakan beberapa hio dan mulai bersembahyang. Pada waktu Sie Liong
bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti
diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya!
Usianya
belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Enci-nya lalu
menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari
yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok
juga terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin sedih teringat akan ayah ibunya yang
telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah
itu dan dia pun lalu menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di
depan meja sembahyang.
Bi Sian
terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat
pamannya menangis. Pamannya yang kuat, amat tabah dan selalu tenang, kini
menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ia pun menjatuhkan diri berlutut
dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman
Liong, ada apa? Apakah... apakah engkau sakit...?” Bi Sian merasa menyesal
sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia
merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong
menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah
lembut dan baik dari gadis cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak
mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat
keadaan adiknya, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong cepat
mendekati dan berlutut, lalu merangkul adiknya.
“Adik Liong,
engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat
engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?”
Sie Liong
menggeleng kepala sambil mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk
menghentikan tangisnya.
“Yang sakit
adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih
kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada
yang membunuh mereka?”
“Aku pun
merasa heran, ibu, dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek
dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong
tak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua
benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh
adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar-debar penuh
ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas
tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suheng-nya, dan dua orang
pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang
menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh.
Kemudian
muncul si pembunuh yang sangat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya
sendiri, ayah kandung Bi Sian! Pada saat itu, ia baru berusia lima belas tahun!
Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya
bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh
besar itu!
Kemudian,
sesudah menjadi isteri Yauw Sun Kok, dia dapat mengusir perasaan dendam dan
bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw
Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya,
menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian.
Lalu
bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya?
Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar
keluarganya? Sudah lama dia menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi
kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah
mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimana pun, dia tidak akan
membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci,
mengapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan sangat
ragu-ragu?” Sie Liong mendesak enci-nya, dan sekarang sepasang matanya yang
masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah enci-nya dengan penuh
selidik.
“Ahh,
tidak,” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena
mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan
hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kau dengarkan ceritaku, dan engkau
juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita sudah menjadi korban wabah yang
sangat berbahaya. Penyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu
kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari amukan
wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan, melarikan diri
mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia
menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke
sini.”
Mendengar
cerita enci-nya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan
ibu kita, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri
kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong
memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata.
Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walau pun adiknya mempunyai gambaran dan
maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya
dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas
paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
“Enci, di
manakah kita tinggal dahulu?”
Lan Hong
memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. “Mengapa engkau menanyakan hal itu,
adikku? Tempat itu adalah tempat mala petaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah
lama kulupakan. Kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini.”
“Aku hanya
ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke
sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong
menggigit bibirnya. Tidak mungkin dia membohongi adiknya lagi, dan pula, apa
salahnya kalau ia memberi tahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di
depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita
itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin.”
Sie Liong
mencatat nama dan letaknya dusun ini di dalam hatinya dan malam itu dia tidak
dapat tidur. Dia gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena
kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri…..
***************
Pada suatu
pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar!
Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang sangat hebat, naik turun bukit
dan jurang, serta memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li
Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).
Beberapa
bagian dari Tembok Besar ini dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga
perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang
yang sedang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itu pun berjalan seorang
diri dalam kesunyian.
Kemudian
suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan
jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
Tembok Besar
memanjang
ribuan li
bekas tangan
manusia
masih hidup
atau sudah mati
Tembok Besar
lambang kekerasan
untuk
mempertahankan kekuasaan
berapa puluh
laksa manusia mati
untuk
menciptakan bangunan ini?
Nyanyian
yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan
menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut,
kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.
Orang itu
sudah tua sekali. Jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang semua sudah putih
dibiarkan riap-riapan. Akan tetapi wajahnya masih nampak merah dan halus
seperti wajah orang muda. Tubuhnya yang tinggi kurus itu masih berdiri tegak
lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang bagai langkah seekor
harimau. Usianya tentu paling sedikit tujuh puluh tahun.
Pakaiannya
hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki
sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu. Kakinya
mengenakan sandal kulit kayu pula.
Sambil
berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, ia memandang ke kanan kiri. Seluruh
yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang
penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat
kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk
membantu di berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.
Gerak-gerik
kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan
jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam di
sekitarnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala
sesuatu yang ada di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan
pandang matanya. Meski hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang
nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan
terpusat.
Pohon-pohon
tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar.
Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam
sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah,
tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langit pun akan sukar saking
lebatnya daun-daun pohon. Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia
seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekelilingnya dengan
jelas.
Beberapa
ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan
cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang
itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena
putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun
kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan dia pun
tersenyum penuh bahagia.
Alangkah
bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan
oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati
sekeliling kita tanpa penilaian, maka kita pun akan dapat melihat segala
keindahan itu!
Dalam
gerak-gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar
matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung,
senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah
mentakjubkan semua itu!
Sayang,
batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam
masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, permusuhan,
iri hati, cemburu, kebencian, yang semuanya mendatangkan kesengsaraan di dalam
batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu?
Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan.
Tiba-tiba
kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya.
“Aihh, perjalanan masih amat jauh, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan
begini.”
Setelah
berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang
nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan
itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu
adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan goa
pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan.
Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari
Pegunungan Himalaya di barat.
Para
penduduk perkampungan sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai
seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan
pengobatan. Karena kakek itu dikabarkan sangat sakti, maka semua orang
menghormatinya dan dia pun disebut sebagai Pek-sim Siansu.
Sebutan
‘pek-sim’ ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai orang yang berhati
putih, seorang yang sangat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu
saja sebutan Pek-sim Siansu (Guru Suci Berhati Putih).
Kakek ini
telah mengalami suatu kejadian aneh. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu
malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan
sampai tengah malam dia bersemedhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapa pun,
ia pergi begitu saja meninggalkan goa pertapaannya dan melakukan perjalanan ke
barat! Yang dituju adalah perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet!
Malam itu,
dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dirinya supaya
melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci
seperti Pek-sin Siansu, peristiwa mendapat ilham atau isyarat gaib bukanlah hal
yang aneh lagi.
Manusia yang
hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak
yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang dengan
nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak
dikotori oleh segala macam nafsu, maka dia memiliki badan dan batin yang amat
peka!
Kekuatan
alam ini merupakan kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian,
dan alam sudah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan serta batin
manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan
mampu menerima isyarat-isyarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau
bahkan penglihatan, dalam sadar mau pun dalam tidur.
Dan Pek-sim
Siansu sudah mencapai tingkat seperti itu. Maka, tidaklah mengherankan kalau
pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke
barat.
Mari kita
tengok apa yang tengah terjadi di daerah perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah
selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tidak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke
selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang
berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara
Sin-kiang dan Tibet. Biar pun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan
Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san ini pun telah terkenal sekali dengan
puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan
hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya.
Dan di
Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang yang
menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan
satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai
Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.
Kurang lebih
tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet
dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Penyebabnya hanyalah perselisihan
paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat!
Betapa
banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap
manusia agar supaya dapat hidup tenteram dan damai, menjauhi segala bentuk permusuhan,
kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, di antara mereka malah
bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!
Bentrokan
antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin
meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak
pula yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini
menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam
permusuhan ataukah tidak!
Banyak di antara
para pertapa yang benar-benar telah menjauhkan diri dari permusuhan. Maka
mereka itu mengalah, lalu diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari
mereka ‘mengungsi’ ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu
untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.
Demikianlah,
pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian
dari Himalaya. Dan Pek-sim Siansu juga merupakan seorang pertapa di Himalaya
yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, amat jauh di timur sampai
dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.
Dan kini
terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama
Jubah Merah yang mengamuk serta menyerang para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya
mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap
para pertapa asal Himalaya. Mendengar betapa para pertapa itu banyak yang
melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu
lalu mengamuk ke sana!
Menurut
kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tak berdosa menjadi
korban dan terbunuh oleh mereka!
Keributan
yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-pai.
Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar
oleh keributan itu dan biar pun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja
para tokohnya merasa tidak enak.
Kun-lun-pai
sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui bahwa
Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Apa bila kini ada
orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuh para pertapa yang tak
berdosa, maka berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak
menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya dan bahkan mendatangkan
kekacauan.
Sementara
itu, serbuan lima orang pendeta Lama Jubah Merah dari Tibet itu kemudian mendatangkan
perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau
pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak pada para pendeta Lama,
sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang.
Perpecahan
ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan
karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang sangat lihai dan
tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang
amat hebat dan yang mengguncang Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok
perkumpulan Kun-lun-pai.
Ketua
Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hwat Tosu, seorang penganut Agama To
yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sute-nya yang berjuluk
Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi.
Di perguruan
Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang
terbagi dalam empat tingkatan. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada
belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk
memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.
Thian Hwat
Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di
Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan
dalam tanpa dihadiri seorang pun murid karena mereka ingin bicara empat mata
saja.
“Suheng,
keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama
Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan
rumah yang tidak berani berkutik walau pun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!”
kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.
“Siancai-siancai-siancai...!”
Thian Hwat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
“Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau
maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama Jubah Merah itu, bukan?”
“Benar
sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari
Tibet, dan lima orang pendeta Lama Jubah Merah itu sungguh sombong sekali.
Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka
yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat membiarkan mereka merajalela
di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”
“Aihh, sute,
apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya
merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di
Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili Dalai Lama di Tibet untuk
memberi hukuman kepada mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka tidak
mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan
kita tidak terlibat apa pun, bagaimana kita dapat mencampuri? Apa bila kita
ikut bertindak, mungkin malah dapat menimbulkan salah paham yang lebih besar,
sute.”
“Tidak,
suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat seperti itu! Kita selalu mencoba
untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar
supaya mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah
tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang
membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu justru
memberi contoh yang buruk sekali kepada para murid?”
“Ingat,
sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang
lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama
dan para pertapa itu pun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya yang terjadi
antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita
mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa
Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan
selanjutnya.”
“Dan
membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto
akan bersemedhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,” berkata
demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu lalu
meninggalkan suheng-nya untuk bersemedhi di dalam kamarnya sendiri.
Sementara
itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang
berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun
dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia
lebih kurang dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai.
Mereka itu
bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biar pun sudah lima tahun berlatih
dengan tekun, mereka baru mencapai tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa
tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat
pertama.
Sebagai
murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di
pinggang mereka, walau pun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga
diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang
lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat bila mereka melanggar
peraturan perguruan.
Ciang Sun
dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka
baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli
rempah-rempah dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.
Tiba-tiba
keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri, dari mana mereka
mendengar suara orang membentak-bentak.
“Engkau harus
menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima
keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan
kami bunuh di sini!” demikian suara yang membentak itu.
“Siancai...!
Puluhan tahun yang lalu, pada waktu pinto masih agak muda dan bertapa di
Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang
tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan
hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan
penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara
yang halus menjawab.
Ciang Sun
dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan menyelinap dengan hati-hati di
antara pepohonan mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua
orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di
atas tanah. Pakaian tosu itu robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan
sikap mengancam di depannya.
Dua orang
Lama itu berusia sekitar lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar. Kepala
mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah
darah. Ada pun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian,
rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu
sudah tujuh puluh tahun.
“Tidak
berdosa? Omitohud... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para
pertapa, semenjak puluhan tahun yang lalu telah mempunyai rencana jahat di
Himalaya, yaitu berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai
Lama serta merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak
dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada
codet bekas luka di dahinya.
“Sudahlah,
untuk apa lagi bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah
engkau adalah seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam
Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?!”
teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.
“Siancai...
memang pinto disebut Pek In Tosu. Kami tiga orang kakek dari Himalaya telah
bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apa lagi
memberontak.”
“Aahh, tidak
perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hendak membela diri, nanti
saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”
“Siancai...!
Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat
jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana.”
“Apa?! Kalau
begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!” teriak si muka bopeng.
Dua orang
murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah
sekali dan kesabaran mereka pun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang
sejak pertama kali masuk ke perguruan itu sudah diajarkan sikap pendekar yang
menentang penindasan, tentu saja mereka menjadi marah melihat sikap dua pendeta
Lama itu. Apa lagi mereka pun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah
mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta
Lama sebanyak lima orang.
Kabarnya,
mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal
ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang di dalam hati mereka terhadap para
pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga
sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua
orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.
“Kalian ini
adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah
pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. “Tetapi tindakan
kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada
orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”
“Totiang,
silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata
Kok Han.
Sementara
itu, kedua orang pendeta Lama itu saling pandang, lalu mereka menghadapi dua
orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu kedua orang pemuda itu
dengan pandang matanya yang liar dan tajam bagaikan mata harimau, dan suaranya
terdengar parau serta penuh teguran.
“Hemm,
kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani ikut mencampuri urusan
orang-orang tua? Mengingat bahwa kalian masih kanak-kanak, biar pinceng berdua
memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami kehilangan
kesabaran.”
“Kami bukan
orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan
orang yang dapat begitu saja membiarkan terjadinya kesewenang-wenangan dan
penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami telah digembleng
untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!” kata pula
Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat
dia tampak gagah sekali. Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan,
apa lagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat dia pun nampak gagah.
Dua orang
Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng itu berkata,
“Ha-ha-ha, semenjak kapankah Thian Hwat Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami
dan berani menentang para Lama dari Tibet?”
Lama yang
mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata
mencorong, lalu berkata, “Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke
Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari
Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan
bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”
“Kami tidak
diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini!
Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian menggunakan
kekerasan dan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini,
baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.
“Siancai...!
Ji-wi kongcu harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu bisa
membahayakan keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.
“Biarlah
totiang, kami yang bertanggung jawab,” kata Ciang Sun.
Sedangkan
Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Sekali
lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan
dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami
dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!” berkata
demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga
Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk
bertanding!
Kembali dua
orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa.
Thay Si Lama
yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek, “Kami tidak akan membebaskan
dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikun-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat
melakukan apakah?”
Ini
merupakan tantangan! Tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah,
apa lagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina
perkumpulan mereka pula.
“Engkau
memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si
Lama si muka bopeng.
“Kalian
memang patut dihajar supaya tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!”
bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang
bermuka codet.
“Plak!
Plak!”
Pukulan dua
orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua orang Lama itu, bahkan
diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan tepat
mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi?
Dua orang
pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika
bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan
mereka telah menjadi bengkak dan membiru!
Dasar orang
muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan
mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari
pinggang masing-masing dan mereka berdua pun menyerbu ke depan, menusukkan
pedang mereka ke arah dada dua orang pendeta Lama itu.
Kini dua
orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan
telanjang. Pedang dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka
yang mencengkeram.
“Krekkk!
Krekkk!”
Dua batang
pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu. Sebelum
dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah
melangkah maju. Dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid
Kun-lun-pai itu dan mereka pun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi
karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya bisa
memandang dengan mata melotot.
Thay Si Lama
yang mukanya bopeng mencela temannya. “Suheng, kenapa tidak engkau habiskan
saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa
mereka!” Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju. Tangannya sudah
bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang
sudah tidak berdaya itu.
“Siancai...,
kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!”
Tiba-tiba
kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah
berkelebat. Nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si
Lama ke arah dua orang pemuda itu telah tertangkis.
“Dukkk!”
Dua lengan
bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini
mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu
menjadi merah padam.
“Omitohud,
bagus sekali! Sekarang Pek In Tosu unjuk gigi dan melawan kami!” kata Thay Ku
Lama si muka codet sambil menyeringai mengejek. “Mengapa tadi pura-pura alim
dan sama sekali tidak melakukan perlawanan?”
“Siancai...!
Sudah puluhan tahun kami para pertapa mencoba untuk melenyapkan semua bentuk
nafsu, dan kami pantang mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, melihat betapa
kalian hendak membunuh dua orang muda yang sama sekali tidak berdosa, bagaimana
mungkin pinto mendiamkannya saja? Kalian telah menghajar dua orang bocah ini
untuk kelancangan mereka, akan tetapi kenapa hendak kalian bunuh? Apakah kalian
juga telah siap untuk menentang Kun-lun-pai?”
“Pek In
Tosu, semua orang tahu bahwa engkau adalah seorang di antara Himalaya Sam Lojin
yang kabarnya memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Akan tetapi jangan mengira
kami Lima Harimau Tibet akan gentar menghadapimu. Nah, keluarkanlah kesaktianmu
karena kami hendak membunuh engkau dan juga dua orang bocah ini!” kata Thay Ku
Lama.
Pendeta Lama
yang mukanya codet dan perutnya gendut itu tiba-tiba memasang kuda-kuda yang
aneh, yaitu seperti orang berjongkok. Kedua lengan ditekuk dengan tangan
membentuk cakar, telentang di kanan kiri dada, dan perutnya yang gendut itu
makin lama semakin menggembung ketika dia menyedot napas sebanyaknya sampai
keluar suara angin berdesis. Lalu dari dalam perutnya terdengar suara.
“Kok-kok-kok!”
Dan kedua
tangan yang tadinya telentang itu kini menelungkup perlahan-lahan. Seluruh
tubuhnya tergetar dan seluruh syarafnya menegang karena dia sudah siap
melancarkan pukulan maut yang amat dahsyat.
Agaknya,
untuk menghadapi seorang di antara Himalaya Sam Lojin, Lama yang bermuka codet
dan perutnya gendut ini hendak mengeluarkan ilmu simpanannya supaya dengan
sekali pukul atau sekali serang dia sudah akan mampu merobohkan lawannya yang
dia duga tentu lihai sekali.
Diam-diam
Pek In Tosu terkejut. Dia sudah pernah mendengar akan ilmu yang sekarang
diperlihatkan lawannya itu. Itu adalah semacam pukulan jarak jauh yang
mengandalkan sinkang dan khikang, yang dinamakan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan
Sakti Awan Hitam dan Badai). Perut gendut yang menggembung itulah yang menjadi
sumbernya dorongan tenaga sakti yang amat ampuh.
Maklum bahwa
lawan telah mengeluarkan ilmu simpanannya, siap menyerangnya, Pek In Tosu
berkata lembut, “Siancai... pinto terpaksa melanggar pantangan, semoga mendapat
pengampunan...!”
Dan kakek
ini pun menggerakkan kedua lengannya, diputar seperti membentuk bulatan-bulatan
yang saling dorong. Tubuhnya makin direndahkan dan kedua kakinya dipentang
lebar, lalu kedua tangannya berhenti bergerak, saling bertemu di depan dada
seperti menyembah dan dia pun sudah siap menanti serangan dahsyat dari
lawannya.
Bunyi kokok
dari perut Thay Ku Lama semakin keras dan semakin cepat, dan dari kedua telapak
tangannya mengepul uap hitam! Telapak tangan itu pun berubah kehitaman. Sungguh
dahsyat bukan main ilmu ini, dahsyat dan amat berbahaya bagi lawan.
Pek In Tosu
melihat ini semua. Akan tetapi dia masih tetap tenang saja, bukan tenang
memandang rendah, melainkan tenang menghadapi apa pun yang terjadi dan yang
akan menimpa dirinya.
Tiba-tiba
Thay Ku Lama yang membuat kuda-kuda seperti seekor katak itu menerjang dan
tubuhnya meloncat ke atas depan. Bunyi kokok itu semakin keras dan tiba-tiba
ada angin besar sekali menyambar ke arah Pek In Tosu, angin keras yang membawa
tenaga pukulan dahsyat dan uap hitam!
Bukan main
dahsyatnya serangan ini. Angin itu saja sudah mengandung tenaga sakti yang amat
kuat dan mampu merobohkan lawan, dan asap hitam itu pun mengandung racun yang
berbahaya, apa lagi kalau tubuh lawan sampai tersentuh oleh kedua telapak
tangan hitam itu.
Tetapi,
tiba-tiba dari kedua telapak tangan Pek In Tosu keluar asap putih! Itulah ilmu
sakti Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang menyambar ke depan,
menyambut angin dan asap hitam dari pukulan lawan. Kaki kakek tua itu bergeser
ke kiri dan kedua tangannya membuat gerakan memutar dari kiri, menangkis kedua
tangan lawan yang digerakkan lurus ke depan seperti orang mendorong daun pintu.
“Plakk!
Plakk!”
Dua pasang
tangan itu saling bertemu, dan akibatnya, tubuh gendut dari Thay Ku Lama terpelanting
ke kiri. Akan tetapi, kuda-kuda Pek In Tosu juga terguncang sehingga kakek itu
terpaksa melangkah mundur tiga langkah untuk mengembalikan keseimbangan tubuh.
Pada saat
itu, dari arah kanan Thay Si Lama telah datang menyerangnya. Lama muka bopeng ini
juga lihai bukan main, dan begitu menyerang dia sudah mengeluarkan ilmu
simpanannya, yaitu yang disebut Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).
Bukan saja
kedua tangan itu membagi-bagi tamparan dan totokan maut, akan tetapi juga dari
kedua telapak tangan itu keluar angin pukulan dahsyat yang mengeluarkan suara
bercuitan, dan juga mengandung tenaga mukjizat dari ilmu sihir yang membuat
kedua tangan itu seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya dan menyerang
dari semua sudut!
“Siancay…!”
Pek In Tosu memuji dan berseru, dilanjutkan dengan pembacaan mantera dan dia
pun tetap mempergunakan ilmu pukulan sakti Pek In Sin-ciang.
Terjadilah
pertandingan silat yang aneh dan seru. Semua sambaran tangan Thay Si Lama yang
disertai hawa mukjizat itu seperti tertolak mundur semua oleh awan putih yang
keluar dari kedua telapak tangan Pek In Tosu. Bahkan kini asap atau awan putih
semakin besar dan semakin tebal, mendesak Thay Si Lama yang mulai main mundur!
Melihat Thay Si Lama semakin terdesak, Thay Ku Lama mengeluarkan suara kokok
lagi dan dia pun membantu sute-nya, mengeroyok Pek In Tosu!
Dikeroyok
dua oleh dua orang Lama yang sakti itu, Pek In Tosu yang sudah tua sekali itu
kelihatan terdesak! Sebetulnya dengan tenaga sinkang-nya yang setingkat lebih
kuat, disertai keringanan tubuhnya yang memudahkan ia untuk berkelebat
menghindarkan diri dari pukulan-pukulan dahsyat kedua orang lawannya, Pek In
Tosu tidak perlu terdesak.
Namun,
usianya sudah tujuh puluh tahun dan tubuhnya sudah mulai lemah dimakan usia.
Apa lagi selama puluhan tahun ini dia tidak pernah bertanding, sebab itu tentu
saja dia kewalahan dan akhirnya terdesak. Kedua orang lawannya, dua orang
pendeta Lama yang usianya baru lima puluhan tahun itu, agaknya memang terlatih
dan mereka sering kali berkelahi, maka gerakan mereka lebih lincah dan juga
daya tahan mereka lebih kuat.
Tiba-tiba
Pek-sin Tosu berseru, “Siancai...!” dan dia lalu duduk bersila di atas tanah!
Thay Ku Lama
dan Thay Si Lama tertegun dan cepat menahan gerakan mereka. Mereka merasa amat
heran melihat lawan mereka kini tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata
seperti orang bersemedhi, kedua telapak kakinya telentang di atas paha. Itulah
cara duduk bersila dalam kedudukan Teratai yang kokoh kuat.
Mereka
mengira bahwa kakek itu telah kelelahan dan pasrah untuk mati, maka keduanya
lalu saling pandang dan Thay Ku Lama menghantamkan tangan kanannya ke ubun-ubun
kepala Pek In Tosu. Ilmu Hek-in Tai-hong-ciang hanya dapat dilakukan dalam
keadaan berjongkok dan menyerang ke atas, ke arah lawan yang berdiri. Kini
lawannya itu duduk bersila, maka tentu saja dia tidak dapat menggunakan tenaga
katak sakti itu!
Dia
menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala. Kalau saja
pukulan itu tepat mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi lawannya tentu
akan tewas seketika! Akan tetapi, Pek In Tosu mengangkat tangan kirinya
menangkis.
“Dukkk!”
Tubuh Thay
Ku Lama terpental! Kiranya kakek tua renta itu duduk bersila bukan karena putus
harapan dan pasrah menerima binasa, melainkan dia mengambil sikap bertahan dan
melindungi tubuhnya secara yang paling istimewa dan paling kuat!
Kedudukan
seperti Teratai itu memang merupakan cara bersila yang paling kokoh kuat
seperti piramida, dan seolah-olah kakek itu dapat menyedot hawa bumi yang
membuat tubuhnya kuat sekali dan tangkisannya membuat lawan terpental!
Thay Si Lama
menjadi penasaran dan dia pun menyerang dari arah belakang. Akan tetapi,
kembali Pek In Tosu menangkis, tangannya diangkat ke arah belakang dan begitu
kedua tangan bertemu, tubuh Thay Si Lama terpental dan terhuyung!
Dua orang
pendeta Lama itu menjadi makin penasaran. Mereka adalah dua orang tokoh yang
kenamaan, dua di antara Lima Harimau Tibet yang sudah sangat terkenal. Sejak
belasan tahun ini mereka merupakan tulang punggung dari pemerintahan Dalai
Lama. Merekalah yang menjaga kedaulatan dan kekuasaan Dalai Lama sehingga
ditaati oleh jutaan orang manusia!
Selama ini,
belum pernah Harimau Tibet bertemu tanding. Mustahil bila kini menghadapi
seorang pertapa tua renta saja mereka sampai tak mampu merobohkan, padahal
pertapa itu kini sama tidak dapat membalas lagi, hanya duduk bersila sambil
membela diri!
Namun,
berkali-kali menyerang, baik bergantian mau pun berbareng dan hasilnya sama
saja. Setiap kali ditangkis, mereka terpental dan terhuyung, bahkan pernah pula
hampir terjengkang. Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin
kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka.
Keduanya
saling pandang, memberi isyarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba mereka pun
menghentikan serangan mereka dan hanya berdiri di depan dan belakang Pek In
Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan
mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan
lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di dalam kuil
mereka untuk memuja para dewa.
Akan tetapi,
lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir.
Nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa saja, tetapi juga untuk mengundang
setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara
nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan
kadang-kadang di dalam suaranya ada selingan suara kokok seperti kalau dia
sedang mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama
yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang
terjepit.
Suara nyanyian
itu bukan suara sembarangan, melainkan dikeluarkan dengan tenaga khikang dan
sihir. Suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang
pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan
kini kepala mereka pun menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh
memang! Makin lama, tindakan mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang
suara nyanyian mereka sendiri.
Mula-mula
tubuh Pek In Tosu gemetar. Kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang
membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa ia sedang berjuang mati-matian untuk
melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu!
Pek In Tosu
bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil semedhi yang
berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia
dipengaruhi kekuatan apa pun dari luar.
Akan tetapi,
diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya
untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar walau pun dia berusaha
keras mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu memiliki kekuatan gaib
untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran!
Getaran yang
disebabkan suara itu membuat tubuh Pek In Tosu gemetar. Dia pun lalu melawan,
mengerahkan khikang sehingga dari kepalanya keluar uap putih yang semakin lama
semakin menebal. Namun, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan
tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang.
Mula-mula
goyangan itu hanya perlahan-lahan. Tetapi makin lama goyangan kepala Pek In
Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan
oleh dua orang penyerangnya!
Sekarang
keadaan kakek tua renta itu gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang
itu ialah sejenis ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang
mengandung sihir. Jika Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian
itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu akan mudah dirobohkan dan dibunuh
karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang
pendeta Lama itu!
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam
kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara lainnya yang memecahkan
kesunyian. Tadinya yang terdengar hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta
Lama itu, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba saja
terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada
batu!
Suara ini
pun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama
pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua
orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan
dan menjadi kebalikannya. Tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau
karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul
batu. Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu?
Tidak jauh
dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu sedang
memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang
dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini
mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan ‘paduan suara’ antara mereka.
Dua orang
pendeta Lama itu terkejut dan marah. Mereka lalu cepat-cepat menyesuaikan irama
nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena jika mereka bisa membuat
irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan
menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik,
akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan.
Sejenak
mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In
Tosu semakin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng
kepala!
Akan tetapi
hal itu hanya berlangsung sebentar saja karena ketukan bambu itu sekarang
berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua
orang pendeta Lama. Bahkan kini ketukannya menjadi lebih keras dan iramanya
sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan
berubah lagi menjadi lambat. Kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, lalu
berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya.
Tentu saja
tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian
mereka. Kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balaunya sehingga daya
hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali.
Pek In Tosu
seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia sudah hanyut, kini nampak duduk
bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga
tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan.
Bahkan dua
orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan
menggeleng-gelengkan kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini
langkah-langkah kaki mereka menjadi kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur
dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak
laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah
kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang
dan tidak terawat, awut-awutan, bahkan sebagian menutupi dahi dan mukanya.
Wajah itu
tidak buruk, malah bentuknya tampan. Matanya lebar dan memiliki sinar terang,
sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, akan tetapi wajah
itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya
ada daging menonjol di punggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong!
Seperti kita
ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa
perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan
kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan juga menerima
pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri
lagi. Dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan
keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh
Bi Sian!
Semenjak
itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apa lagi ketika mereka melakukan
sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena
penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin
berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu
gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan
ke kebun samping rumah.
Tiba-tiba
dia mendengar suara enci-nya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara
cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan membentak! Memang kamar
enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara tadi keluar melalui
celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi,
dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah
tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar enci-nya nampak cahaya lampu belum
dipadamkan.
“Jelas bahwa
dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia
mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Kedua, dia
berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan dia memukul dan
menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu
memang sungguh keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa?
Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang
membuat dia menjadi bongkok!”
“Ehh? Apa
yang kau katakan itu?” cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan Sie Liong
yang mendengar ucapan enci-nya itu.
“Ya, engkau
yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula
sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt...!
Lan Hong, apa yang kau katakan ini?”
Terdengar
enci-nya menangis. “Setelah... setelah apa yang kulakukan untukmu semua...
setelah kuserahkan badanku, cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan
agar adikku dapat diselamatkan..., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia
telah menjadi bongkok, cacat, dan engkau... masih juga membencinya?”
“Kau jelas
keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa aku pun suka padanya, hanya aku...,
benarlah, aku khawatir dan kau pun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah
merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini
untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu... dia seolah-olah menjadi
penghalang kebahagiaan kita... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku
bermimpi buruk, tak dapat tidur...”
Hening
sejenak, lalu terdengar enci-nya berkata lirih. “Aku dapat memaklumi perasaan
hatimu, akan tetapi... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak
diganggu!”
“Lan Hong,
demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?!”
enci-nya setengah menjerit. “Maksud... maksudmu...?”
“Biar
kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang
kacung, dan mudah-mudahan kelak dia dapat menjadi seorang hwesio. Bukankah hal
itu sangat baik baginya? Menjadi seorang hwesio merupakan kedudukan yang
terhormat, mulia dan bahkan disegani orang.”
“Ahhh...
tetapi... tetapi...”
“Tidak ada
tetapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau juga menghendaki supaya
kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah
hening sampai lama, lalu terdengar enci-nya berkata, “Baiklah, akan tetapi aku
harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku boleh mengunjunginya dan
menjenguknya sewaktu-waktu...”
Sie Liong
tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas
pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, ingin
menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan
menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak
disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia takkan menyusahkan cihu-nya
lagi! Dia tidak akan membuat enci-nya cekcok dengan suami enci-nya. Bagaimana
pun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan
membencinya.
Bukankah
enci-nya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini
mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan
cihu-nya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihu-nya, yang demikian
gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok
yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut?
Tidak, dia
tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia kemudian mengeraskan hatinya dan
menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak
terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain
menjadi sebuah buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di
atas mejanya.
Enci Lan
Hong dan cihu,
Maafkan
saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara,
selamat tinggal.
Sie Liong.
Biar pun
baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak
yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak
pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa
buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara,
melainkan ke selatan!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment