Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 17
TIBA-TIBA
saja terdengar suara keras pecahnya genteng di atas ruangan itu dan sesosok
bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang berlubang. Bayangan ini
bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya. Sie Liong
kini yakin bahwa pengalamannya di dalam kuburan telah mendatangkan suatu tenaga
sakti yang luar biasa baginya. Dia sudah dapat menyerap tenaga sakti Intisari
Bumi!
Dengan
tenaga sakti yang dahsyat itu, dia mampu bergerak dengan kecepatan yang
berlipat ganda dibandingkan sebelum dia menguasainya. Karena itulah, maka dia
merasa yakin akan dirinya karena walau pun sebelah lengannya telah buntung,
namun keadaannya jauh lebih kuat dari pada sebelum lengan kirinya buntung.
Dengan
tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan burung sehingga
dia mampu menyelinap cepat memasuki sarang para pemberontak itu tanpa diketahui
para penjaga. Setelah mengetahui bahwa Kim Sim Lama bersama para pembantunya
sedang berada di ruangan silat, dia pun meloncat naik ke atas genteng, lalu
memasuki ruangan itu melalui atap yang dijebolnya.
“Kim Sim
Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling
Ling!” berkata Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan
bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang menggetarkan isi dada Kim Sim
Lama dan para pembantunya.
Sikap Sie
Liong tenang saja walau pun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ.
Oleh karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang kini melekat
di tubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah
kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong.
Sejenak ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang,
suasana menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menegangkan!
Akhirnya Kim
Sim Lama dapat menguasai kekagetannya. Dia pun mengeluarkan suara tertawa untuk
mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar Bongkok. Pada saat tertawa, Kim Sim
Lama bukan sembarang tertawa, namun mengisinya dengan khikang sehingga suara
ketawanya juga bergema dan menggetarkan jantung.
“Ha-ha-ha-ha,
Pendekar Bongkok, atau sekarang telah menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar
Bongkok Buntung? Bagus sekali, kini engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang
hatiku pasti yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena kali ini kami
tidak ingin gagal. Engkau akan mati di tanganku sendiri!”
Walau pun
tahu bahwa dia menghadapi ancaman dan sedang berhadapan dengan Kim Sim Lama
bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi para anak buahnya yang puluhan
orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.
“Kim Sim
Lama, engkau telah menculik Ling Ling dan menggunakannya sebagai umpan untuk
memancing aku datang. Nah, sekarang aku telah datang memenuhi undanganmu.
Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!”
“Orang she
Sie yang sombong!” Mendadak saja Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw
yang terkenal berangasan itu telah meloncat dan memaki. “Tak perlu engkau
menjual lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw?
Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju.
Hayo kami Tibet Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami.
Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian
kuburan lagi!”
Empat orang
saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama.
Biar pun pernah mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh
kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil
menangkap Sie Liong. Akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka
bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka.
Kini setelah pendekar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka
akan mampu merobohkan dan membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong
memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. “Kim
Sim Lama, apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat aku percayai?
Tibet Ngo-houw hendak mengeroyok aku, apakah engkau pun akan ikut turun tangan
lagi membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus terang saja, apakah
engkau ingin maju sendiri ataukah hendak mengeroyokku dengan semua pembantumu
yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak-anak buahmu!”
Sie Liong
kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak pandang matanya
hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak
pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang
di antara anak buah Kim Sim Lama!
Ucapan ini
mengobarkan kemarahan di dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet
Ngo-houw. Memang dia harus mengakui bahwa dia pernah dikalahkan Pendekar
Bongkok pada saat dia maju seorang diri saja. Akan tetapi sekarang, Pendekar
Bongkok sudah kehilangan lengan kirinya! Jangankan dia maju berlima, bahkan
seorang diri pun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
“Pendekar
Bongkok, dengarlah baik-baik! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa
bantuan siapa pun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada
yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah
dan mengeluarkan omongan besar?! Nah, terimalah...!”
Thay Ku Lama
meloncat ke depan, dan mendadak dia merendahkan tubuhnya sampai hampir
berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu.
Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga
kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan. Kemudian, tiba-tiba saja dia
meloncat jauh ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak
tangan ke arah dada Sie Liong!
Sebetulnya,
orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali
dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau
ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama
itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai).
Kekuatan
yang luar biasa terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor
katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka segera
terciptalah gerak serangan yang amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat
dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke
arah dada Sie Liong. Semenjak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet
Ngo-houw itu akan menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia
tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya
menyambut.
“Desss...!
Plakkk!”
Pada saat
tangan kanannya menyambut serangan lawan, lengan baju kiri itu menyusul dengan
kecepatan kilat. Pertemuan tenaga sakti yang sangat hebat terjadi ketika tangan
kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thay Ku Lama. Pada saat itu
pula, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya
menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah-olah semua tenaganya membalik,
kemudian menghantam isi perutnya sendiri.
Pada saat
itu, nampak sinar putih sudah menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah
sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju
ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya
memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas!
Dalam
segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di
tangan Pendekar Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan
saja. Empat orang pendeta Lama itu selain terkejut, juga marah bukan main. Thay
Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay
Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya.
Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.
Sementara itu,
Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi
sungguh mengejutkan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama,
orang pertama Tibet Ngo-houw dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu.
Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar
Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana
hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum lengan kirinya buntung pun, Pendekar
Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia
mendapatkan ilmu baru?
Rasanya hal
itu tak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat semenjak Pendekar
Bongkok buntung lengan kirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari
saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya?!
Akan tetapi,
sekarang sepasang matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar
Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan
kirinya buntung! Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan
sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanannya dengan
gerakan mendorong-dorong, sedangkan lengan baju kirinya menyambar-nyambar.
Hebatnya,
semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum
bertemu dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri,
seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang
dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya.
Setelah
Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah-olah hendak menguji
tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi
dan tubuhnya membungkuk ke depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh
atasnya yang bongkok itu lurus ke depan. Tangan kanannya mencengkeram ke depan,
dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk garis lurus
bagaikan seekor naga meluncur. Tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya
membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.
Terdengar
suara bersiutan dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu
susul menyusul. Mata Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang
pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ternyata mereka telah
tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, hampir tidak percaya akan
apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah
buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu
dalam waktu demikian singkatnya?
Kim Sim Lama
sendiri menjadi gentar sekali melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki
Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya,
dia sendiri pun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bongkok. Maka, tanpa
malu-malu lagi dia kemudian mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para
pembantunya untuk maju mengeroyok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di
luar bersiap-siap mengepung!
“Kim Sim
Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!” bentak Sie
Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir
akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi
tentu saja Kim Sim Lama tidak mempedulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu
berbahaya baginya, apa lagi dia sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu
utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
“Bunuh dia!”
perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah.
Semua
pembantunya sudah menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung.
Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang bisa membunuh Tibet
Ngo-houw sedemikian mudahnya. Pamannya yang sudah buntung lengan kirinya itu
ternyata menjadi semakin sakti!
Diam-diam
ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak
membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu
pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang itu! Dia akan rela mengorbankan
nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan tetapi, pamannya telah
menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya.
Kini ia
termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia sudah bersumpah untuk
membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi
mengeroyok Pendekar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi
pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang
terdiri dari orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan,
Ki Tok Lama, dan belasan orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak
sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak itu, disusul suara
pertempuran besar.
Kim Sim Lama
terkejut, apa lagi ketika seorang prajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang
mereka diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai
Lama. Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para
pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian
bingung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu oleh pasukan Dalai Lama
sehingga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong
juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa
Bong Gan dan yang tinggal di situ akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka
berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis
itu, Sie Liong menghela napas panjang.
“Bi
Sian...,” kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi,
saat itu, ketika mereka berdiri hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas
itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh
pemuda bongkok ini. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia pergi
meninggalkan ibunya, merantau bersama Bong Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa
Bong Gan, sute-nya sendiri.
Semua ini
membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja
pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!
“Sie Liong,
akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa
ayah, Bersiaplah!” Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam.
Akan tetapi,
Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia
maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah
gadis itu, suami enci-nya. Percuma saja dia menyangkal.
“Bi Sian,
tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya, lalu pergi
dari sini.”
Pada saat
itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, “Suci, mari kita pergi!”
Melihat
betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera melangkah
menghampirinya. “Lepaskan Ling Ling...!”
Bong Gan
tersenyum mengejek. “Mundur kamu, bongkok! Atau... akan kubunuh gadis ini di
depan matamu!”
Mendengar
ancaman itu, Sie Liong terkejut dan dia pun menahan langkahnya. Dia bisa saja
menyerang Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan
lebih dulu membunuh Ling Ling. Melihat sute-nya hendak menjadikan gadis
peranakan Tibet itu menjadi sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Sute,
lepaskan gadis itu!”
“Aih, tidak
bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini
lebih dulu!” Tanpa malu-malu Bong Gan berseru.
“Pengecut!”
Bi Sian memaki. “Aku pun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada
Sie Liong. Biarlah aku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku.
Bebaskan gadis itu kataku!”
Bong Gan
memandang dengan bingung. Dia menoleh ke luar dan mendengarkan suara
pertempuran yang tengah berlangsung di luar. “Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie
Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau tidak akan menyerangku kalau aku
bebaskan gadis ini!”
Tentu saja
dia merasa takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah
dapat membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia
bukanlah lawan Pendekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah
membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka ia merasa jeri kalau-kalau
Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong
menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. “Kalau engkau tidak
mengganggu gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan
tetapi kalau engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke mana
pun engkau, akan kukejar sampai dapat!”
Bong Gan
bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke
arah Sie Liong. Gadis itu yang sejak tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie
Liong dengan muka pucat, terhuyung ke arah Sie Liong yang segera menyambut
dengan rangkulan penuh kasih sayang.
“Ling
Ling...”
“Liong-koko...
ahh, Liong-koko...!”
Tiba-tiba
saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air matanya
membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka
pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, membuatnya sesenggukan dan
tersedu-sedu.
“Suci,
marilah kita cepat pergi. Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan
pasukannya telah menyerbu. Kalau terlambat, kita celaka!” kata Bong Gan.
“Pengecut,
engkau boleh pergi. Aku tidak akan pergi, aku harus membalaskan kematian
ayahku. Dia telah membunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayahku, atau aku
akan mati pula di tangannya!”
“Bi Sian,
aku tidak membunuh ayahmu...” Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang
menangis itu, membantah lemah.
“Tak perlu
bohong! Tak perlu menyangkal! Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang
tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau adalah
pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!”
“Sie Liong
bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!” Mendadak terdengar teriakan seorang wanita dan
muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
“Ibuuu...!”
Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. “Ibu, apa
artinya ucapanmu tadi?”
“Bi Sian,
anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!”
“Ibu...!” Bi
Sian memandang kepada ibunya dengan hati penasaran. “Kalau bukan dia yang
membunuh ayah, habis siapa?”
“Engkau mau
tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!”
Jari
telunjuk Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang seketika pucat dan
terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan
tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet ke dinding.
“Ibu, apa
artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku
menjadi bingung, aku tidak mengerti...” Bi Sian masih meragu karena hal itu
dianggapnya tidak masuk akal.
“Tidak
benar, suci, itu fitnah saja!” Bong Gan mencoba untuk membantah, walau pun
wajahnya sudah menjadi pucat sekali.
“Diam kau!”
bentak Bi Sian. “Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar
aku dapat mengerti.”
“Bi Sian,
setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan mengenai kematian ayahmu.
Dan hasilnya sungguh mengejutkan sekali. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah
pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu minum arak sampai mabok di tempat itu.
Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur di sana, sebelum ayahmu tiba, di
sana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itulah yang sudah
membunuh ayahmu.”
“Siapa...,
siapa dia, ibu?”
“Tamu itu
adalah dia, Coa Bong Gan ini!”
“Bohong!”
teriak Bong Gan. “Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?”
“Hemmm, apa
perlunya?” Sie Lan Hong berkata. “Suamiku sudah melihatmu di rumah pelacuran.
Dan engkau tentu merasa takut kalau-kalau suamiku sampai menceritakan
kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku. Engkau telah jatuh cinta kepada
puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran
dan bermain gila di rumah pelacuran, maka engkau lalu membunuh suamiku yang
sedang mabok. Kemudian, untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai
adikku dan melempar kedok itu di dekat kamar Sie Liong!”
“Aihh,
pantas saja dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi
lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan jejaknya sama sekali,” kata Sie Liong
yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini
menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang pada Bong Gan. Saking
kagetnya, herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling
meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong.
“Liong-koko, jadi dia itulah yang sudah membuntungi lenganmu? Keparat
jahanam...!” Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor
singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
“Ling Ling,
ke sinilah...!”
Namun,
seruan Sie Liong itu telah terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar
lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan
memandang kepada semua orang dengan sikap menantang.
“Kalian
semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!”
Melihat
betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok
tidak berani berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah
memegang pedang masing-masing, tidak berani maju.
Akan tetapi,
Bi Sian tidak peduli. Dia melangkah maju menghampiri sute-nya, pedang
Pek-lian-kiam masih terhunus di tangannya, matanya tidak pernah berkedip,
terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Coa Bong
Gan... kau... kau.... yang telah membunuh ayah?” katanya lirih, seperti orang
bertanya juga seperti orang meragu dan tidak percaya.
“Suci,
mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mundur!” bentak Bong
Gan.
“Bunuh aku!
Keparat jahanam kau! Bunuh aku!” Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah
terlepas, ia nekat mencakar dan menggigit. “Hayo bunuh aku! Jahanam busuk kau,
bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku...!”
Bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah pedang yang dipegang Bong Gan.
Pemuda ini
kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika ia
hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena
tubuh gadis itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling dengan nekat
menubruk ke arah pedang.
Pedang yang runcing
itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh.
Mata Bong Gan terbelalak. Dia meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
“Ling-moi...!”
Secepat
kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi darah.
Sekali memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu
dalam keadaan sekarat!
“Ling
Ling... ahhh, Ling Ling... kenapa kau harus lakukan itu...?” Sie Liong
menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling
menggerakkan bibirnya, berkata lirih. “... aku... aku lebih baik mati...
koko... aku tidak berharga lagi... dia... dia telah monodaiku...” Dan ia pun
terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.
“Ling-moi...!
Ling-moi...!”
Sie Liong
mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan
lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak peduli betapa pakaian dan
tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia
merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa
dia sangat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
“Jahanam
engkau, Coa Bong Gan!” Sekali meloncat, Bi Sian sudah berada di depan pemuda
itu, sepasang matanya seperti dua bola api yang bernyala. “Engkau sungguh
seorang manusia berhati iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu
dan mengambilmu sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah dari pada seekor
binatang! Engkau sudah membunuh ayahku, engkau sudah membuntungi lengan kiri
paman Sie Liong! Kini aku tahu, engkau sudah menodai aku dengan tipu muslihat!
Dan engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa
Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!”
Kini Bong Gan
kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai
sandera untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tidak disangkanya, Ling Ling
dengan nekat membunuh diri. Dia menoleh ke arah satu-satunya pintu di ruangan
itu.
Di sana
sudah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk
menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang
ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling!
Kalau saja
dia dapat merobohkan suci-nya, maka masih ada harapan baginya untuk
menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya.
Yang ditakutinya hanya Pendekar Bongkok. Biar pun dia tahu akan kelihaian
suci-nya, bagaimana pun juga dia masih sanggup menandinginya.
“Bi Sian,
ingatlah, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan
segalanya dan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua...”
Dia masih
mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk
ke arah dada Bi Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia
sengaja bicara untuk membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil.
Bi Sian yang
mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan
ketika Bong Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia pun terkejut. Tak ada
kesempatan lagi untuk menangkis sehingga dia segera melempar diri ke samping
untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundaknya, pada pangkal lengan, masih
tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan
berdarah.
“Jahanam!”
Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya.
Demikian
marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang
sebetulnya jeri itu, lalu menangkis dan balas menyerang. Terjadilah
pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara
dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri.
Bi Sian
menggerakkan pedang dengan penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu
membunuh berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan perasaan gentar dan
bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar bisa memberi
kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya.
Bong Gan
sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih
baik dari pada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama
bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang dibantu oleh banyak
pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak buah pemberontak itu pun sudah
terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang
terpaksa menyerah karena sudah tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong
telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan
kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi
antara Bi Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi
mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh
Bong Gan.
Betapa
jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian
melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk
dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban
kejahatannya.
Akan tetapi,
dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu
tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan
menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong
yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang Bong Gan melarikan diri, ditemani
oleh Lie Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan
wajah pucat. Ia pun merasa amat iba kepada puterinya.
Puterinya
telah ditipu oleh sute-nya sendiri yang sangat jahat, bukan hanya puterinya
memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya sudah dinodai pemuda
itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia pun dapat merasakan betapa pedih
hati puterinya.
Tadi ia
hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie
Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat
kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri
kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie
Bouw Tek.
Lie Bouw Tek
sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan
membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang
amat lihai itu. Akan tetapi dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu
kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.
Pertempuran
antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh
jurus mereka saling serang, dan walau pun Bi Sian selalu berada di pihak yang
mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh
walau pun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya
sudah tersayat.
Bi Sian
sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya
robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang. Kini pedang Pek-lian-kiam
lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang
menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin
menyempit.
Pemuda itu
didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang luas itu. Dia maklum
bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka dia pun melawan mati-matian
dan dengan nekat.
“Haiiiittt...!”
Untuk ke
sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu
meluncur dan mencuat ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu
menusuk ke arah dada pemuda itu. Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian
adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay
Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung
Tulang Iga.
Tentu saja
Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk
melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya. Pada
saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan kirinya dan dengan jurus pukulan
Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya
menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!”
Biar pun
Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu.
Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhnya terpelanting. Ketika itu, Bi
Sian menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian,
jangan...!”
Namun
terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu
menusukkan pedangnya.
“Cappp...!”
Pedang itu
menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas
seketika, dan Bi Sian merintih-rintih.
“Bi
Sian...!” Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi,
melainkan memandang kepada ibunya.
“Ibu... maafkan...
aku...”
“Bi Sian...
anakku...!”
Sie Lan Hong
menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga
sudah berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti
yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, dia pun menarik
napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan
sukar baginya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian,
kenapa kau lakukan itu?” tegur Sie Liong.
Dia tahu
bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang
tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku...
untuk apa aku... hidup lebih lama...? Paman... kau... engkau mau memaafkan
aku...?”
Sie Liong
menunduk dan mencium dahi itu. “Tentu saja... engkau keponakanku yang
tersayang...”
Bi Sian
tersenyum walau pun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir
keluar dari dadanya.
“Paman...
kalau aku hidup... aku hanya akan menderita siksa batin... menyesali semua
kebodohanku… aku... aku ingin mati... akan kuceritakan kepada ayah... engkau
tidak membunuhnya, engkau... engkau pamanku yang baik...”
“Bi Sian...”
Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah... jangan
banyak cakap... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik...”
“Paman,
engkau amat mencinta... Ling Ling...?”
Diingatkan
kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh
lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia
mengangguk. “Aku... cinta padanya, Bi Sian. Aku... aku cinta...”
“Dan... aku?
Kau... sayang padaku, paman...? Bukan? Kau sayang kepadaku...?”
Dalam
ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie
Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia
hanya mengangguk-angguk saja, mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian
anakku...!” Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian
yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu...
katakanlah, engkau... memaafkan aku, ibu. Paman... paman Liong juga... sudah
memaafkan aku...”
Bi Sian
merangkul dan di antara isaknya dia berbisik. “Ibu memaafkanmu... nak...”
Dan
terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan
tetapi itu merupakan nafas terakhir.
“Bi
Sian...!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
Pertempuran
sudah berakhir. Kim Sim Lama menjadi tawanan dalam keadaan luka-luka berat. Dia
akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan
dikeram sampai akhir hidupnya.
Dalai Lama
sendiri turut datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah
dimasukkan ke dalam peti mati dan disembahyangi. Juga para pendeta Lama datang
melayat ketika dua buah peti itu sedang dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama
yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal di situ
hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih
duduk di atas tanah, di depan dua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas
dalam pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang
menyeramkan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak
berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi.
Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong
melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia
seorang gadis remaja, kemudian dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai
akhirnya melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan
akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara.
Suaminya
kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya
yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong
menjadi pembunuh ayahnya. Kemudian gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong
dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa
dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya.
Akan tetapi,
perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu
pahit dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini dia hidup sebatang kara,
dan ada Lie Bouw Tek di sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya?
Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun.
Alangkah
jantannya pria itu. Ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan
mencintanya. Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, dan penuh
kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek
juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang
dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena
timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung
jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah
terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang
wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita.
Selama ini
dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong,
dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan
segala syarat sebagai seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup
wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang
yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
Sie Liong
juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Dan demikianlah
hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya
selewatan saja. Segala cinta, segala harapan, segala kesenangan, hanya
selewatan. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah
permainan nafsu atas badan.
“Sie-taihiap!”
Panggilan
itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw
Tek yang memanggilnya. Sie Liong mengerutkan alisnya, tak mengenal siapa
laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama
encinya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap
mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku
belum mengenal siapa toako...,” katanya ragu.
Encinya
menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil
mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu. “Adikku, aku tadi belum sempat
minta maaf kapadamu. Maafkanlah encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu,
Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian
untuk membalas dendam kematian orang tua kita...”
Sie Liong
menarik napas panjang dan seketika menghalau semua kenangan itu. Tidak ada
gunanya!
“Sudahlah,
enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau
bisa sampai ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan
singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya, kemudian mengenai
perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam
perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini yang
menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan Lie-toako lalu mengantar aku sampai ke
Lhasa dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako ini mewakili
Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw sampai memusuhi
Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong
mengangguk-angguk. Dia tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya
terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia kemudian bangkit dan
memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata, “Kalau begitu terimalah
hormatku dan ucapan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enci ku,
Lie-toako.”
“Ahh, jangan
sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau pun tahu bahwa di
antara kita tak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas untuk
menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako,
sesudah apa yang kau lakukan kepada enci ku, harap jangan lagi menyebut taihiap
kepadaku. Namaku Sie Liong.”
“Baiklah,
adik Liong, dan terima kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya,
setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te,
mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah,
dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi
kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku,” kata pula Sie Lan Hong
dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi
Sie Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Maafkan
aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin menuruti suara hatiku, aku
ingin mengikuti gerak langkahku!”
“Akan
tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih
sayangku sebagai enci mu, ingin menghibur mu...”
Sie Liong
tersenyum, bukan sekedar senyum bahkan wajahnya nampak sangat cerah.
“Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua sudah terjadi dan
aku tidak merasa menyesal. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan
engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kau sayangi, kau
hormati, dan kau harapkan perlindungannya.” Sie Liong lalu menatap wajah Lie
Bouw Tek yang menjadi kemerahan.
Pendekar
Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan dia pun
kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
“Liong-te,
sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang sangat hebat, juga
memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti
yang agaknya telah dapat kau duga, aku jatuh cinta kepada enci mu. Dan
mengingat bahwa ia tidak memiliki anggota keluarga lainnya, maka aku ingin
menggunakan kesempatan terakhir ini untuk minta persetujuan mu. Setujukah
engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?”
Sie Liong
tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek.
Seorang laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur.
Cepat dia memberi hormat kepada pendekar itu.
“Lie-toako,
aku akan merasa berbahagia sekali apa bila engkau menjadi cihu ku. Tentu saja
aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan akhir kuserahkan
pada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan
Hong.”
Biar pun dia
merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur,
Lie Bouw Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang
menjadi kemerahan.
“Hong-moi,
engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adik mu. Nah, biar aku
mempergunakan kesempatan ini, disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan
kepadamu. Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?”
Kepala itu
semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia
mengangkat muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada
Sie Liong. Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong
merangkul dan menepuk-nepuk pundak encinya, tanpa bicara sepatah kata. Dia
membiarkan encinya menangis di pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari
hati encinya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik dekat telinga encinya.
“Enci Hong,
aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enci
ku yang baik.”
Lan Hong
mengusap air matanya. “Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup
berbahagia bersama kami...”
Walau pun
Lan Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun ucapan ‘hidup bersama kami’
itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan
lembut Sie Liong melepaskan rangkulan encinya. “Terima kasih, enci Hong. Aku
harus melanjutkan perjalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah
aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan
selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap kau
jaga baik-baik enci ku yang kusayang ini. Enci Hong, selamat tinggal. Sekarang
aku harus pergi.”
“Liong-te...!”
Lan Hong berseru, akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat
dan Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
“Liong-te...!”
Lan Hong kembali berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
“Sudahlah,
Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan
tangis. Mari, marilah kita menyongsong hidup baru. Engkau pun berhak untuk
menikmati kebahagiaan hidup, Hong-moi, bersamaku.”
Mereka lalu
perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka
terbentang luas, di mana mereka dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang
suram mereka lewati.
Pemberontakan
yang dipimpin Kim Sim Lama itu pun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan
menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan tewas dalam
pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama.
Juga pasukan
Dalai Lama menyerang serta memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang
dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah
Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram…..
***************
Di lembah
bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri.
Keheningan menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, akan tetapi Sie Liong tidak
merasa kesepian. Hening akan tetapi tidak kesepian. Dia merasa menyatu dengan
alam sekitarnya. Kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, di dalam dan di luar
dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama
Pendekar Bongkok kemudian amat terkenal di seluruh dunia persilatan, biar pun
jarang ada yang pernah bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pendekar
Bongkok tak pernah mau kembali ke selatan. Dia merantau di sepanjang gurun Gobi
dan di mana pun dia berada, dia selalu menentang kejahatan, membela yang benar
dan lemah.
Para
pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah
mendapatkan pertolongan Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami mara bahaya,
ketika mereka diancam gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama
besar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw di selatan.
Namun
Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia
tidak pernah mau memperkenalkan diri atau namanya sehingga orang-orang yang
tidak mau menggunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi
Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi). Sie Liong memang maklum
sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, tetapi juga lengan
kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan
penghinaan saja di dunia ramai.
Juga dia
tidak lagi mengharapkan kasih sayang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa
cinta antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta birahi yang selalu
menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah. Dan untuk itu, dia sudah tidak
mempunyai daya tarik sama sekali. Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti
Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan
rupa. Tidak, dia tidak akan lagi melibatkan diri dengan seorang wanita!
T A M A T
Serial Selanjutnya : Pendekar Super Sakti
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment