Sunday, May 20, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Bongkok Jilid 16



























            Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Pendekar Bongkok
                  Jilid 16


Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kekuasaan Thian dapat melakukan apa saja.

Apa bila Thian menghendaki, apa pun yang menurut akal pikiran tidak mungkin, dapat terjadi dengan mudahnya. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di dalam alam semesta, tetapi manusia tidak memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat dari pada usaha manusia.

Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang terkandung di dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekelilingnya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang digunakan Thian untuk menyelamatkan Sie Liong.

Pada waktu Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat apa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali, kemudian berusaha mengingat-ingat.

Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh sisa pengaruh racun penghilang pikiran, dan ingatannya pulih kembali lagi. Kewaspadaan Sie Liong timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Teringatlah dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya untuk menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu mengeroyoknya.

Hanya sampai di situ saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahu-tahu dia berada di sini!

Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya tetap gelap. Sudah butakah kedua matanya? Dia menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam sebuah peti!

Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam sebuah peti yang teramat gelap. Sebuah peti yang tertutup rapat!

Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama. Dia teringat pula dengan hati terkejut bahwa dia pernah diserang seorang pria dengan golok, ditangkis dengan lengan kirinya dan lengan kiri itu buntung.

Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kirinya. Buntung! Lengan kirinya memang benar sudah buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.

“Ya Thian...!” Dia berseru lirih.

Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Thian mengapa lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi, kembali dia menyandarkan diri kepada kekuasaan Thian. Apa bila memang Thian menghendaki, jangankan hanya sebuah lengan kirinya, meski seluruh tubuhnya dihancurkan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang tulus ini, dia pun merasa aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.

Tanpa mengingat sedikit pun lagi mengenai lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung ke atas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari tabung itu!

Dia mencoba untuk menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mencoba kekuatan peti itu. Akan tetapi ternyata tenaganya lemah sekali. Dan dia teringat bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu sudah sembuh! Akan tetapi tenaganya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sinkang-nya sudah lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya.

Camundi Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan. Ahhh, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!

“Hemm, mereka memasukkan aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya, dan mencium bau tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemmm... agaknya peti ini berada di dalam tanah!” Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita.

“Ahh, mereka telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!”

Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, akan tetapi hampir berbarengan, kesadaran menyerahkan diri kepada Thian mengusir itu semua. Dia harus pasrah, dan percaya sepenuhnya akan kekuasaan Thian.

“Kekuasaan Thian berada di mana pun juga,” demikian pernah Pek Sim Siansu berkata, “di tempat yang paling tinggi mau pun paling rendah, di dalam benda yang paling besar sampai yang paling kecil, di atas langit mau pun di bawah bumi...”

“Di bawah bumi... ahhh, di sini pun ada kekuasaan Thian! Ya Thian, hamba menyerah, hamba pasrah, apa pun yang Thian kehendaki jadilah!” Di dalam hati Sie Liong bersorak dan pikirannya pun menjadi semakin terang.

Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati.

Tentu ini perbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tak berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia saja. Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini secepatnya. Kembali dia menggerakkan kedua kaki beserta sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti.

Akan tetapi ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganya pun terlalu kecil. Percuma saja, pikirnya. Dan pula, andai kata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang mengerikan.

Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang tabung itu, berarti ada orang yang tidak menghendaki dia mati dan tentu mereka pun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.

Dia kemudian mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan, akan tetapi agaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib itu, dia juga keracunan.

Darahnya keracunan sehingga dia sudah kehilangan tenaga sinkang-nya dan setiap kali mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa nyerinya yang hilang. Tenaga sinkang-nya belum kembali.

Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan ke arah peti.

“Krek... krekk...!” Peti itu retak oleh dorongannya.

Tenaga biasa, bukan tenaga sinkang. Akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti sedikit terbuka sehingga ada tanah dan pasir masuk dan menimpa mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan kanan membersihkan muka.

Celaka, pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan tertekan tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa udara. Kini dia malah tidak berani bargerak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.

Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan akalmu. Akal juga pemberian Thian yang harus dipergunakan pada saat yang dibutuhkan, seperti saat sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Thian, tetapi di samping itu dia harus berikhtiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Thian membimbing, akan tetapi bimbingan itu pun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya.

Dia pun mengingat-ingat. Dia sedang berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Tiba-tiba teringatlah dia akan pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Siansu kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga mukjijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api dalam hawa, dalam logam, dalam tanah, dan dalam air!

Di dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja.

Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, di dalam tanah, terdapat kekuasaan Thian, yaitu energi yang maha dahsyat itu!

Dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Thian menghendaki, maka tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, akan tetapi telah cukup untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.

Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulailah dia menghimpun hawa murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuhnya melalui napas yang dihisapnya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah-olah membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang terhisap olehnya itu sekarang bercampur dengan sesuatu yang belum pernah dirasakannya.

Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin, kadang menyesakkan dada, terbawa masuk ke dalam tubuhnya, berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi!

Itulah kekuasaan Thian yang sudah diyakininya. Agaknya Thian menghendaki demikian sehingga tanpa disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong sudah berhasil menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti!

Dan kebetulan sekali pula, sesungguhnya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh kekuasaan Thian, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke dalam perutnya oleh Camundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sinkang-nya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga sinkang yang sudah ada dalam tubuhnya. Akan tetapi Sie Liong tak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perhatian pada pernapasannya, sambil menyerahkan segala sesuatunya kepada Thian, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati….


                                  ***************


Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini tahulah dia bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang sudah mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabui mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!

Akan tetapi dia tidak peduli akan semua masalah itu. Dia tidak ingin mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, namun juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya ingin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puterinya, Yauw Bi Sian.

Karena tidak bermaksud mencampuri urusan pemberontakan melainkan urusan pribadi, maka Lie Bouw Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk pergi mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.

Pria perkasa berusia tiga puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu yang selain membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat matahari bersinar lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apa pun menjadi lebih merdu. Dunia nampak lebih indah dari pada biasanya!

Pada pagi hari yang cerah itu, mereka sampai di lereng sebuah bukit dan dari lereng itu mereka dapat melihat ke bawah. Pemandangan alam di pagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar telaga itu dipenuhi dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan sekarang bukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.

Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.

Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walau pun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata, “Maafkan kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil itu?”

Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek juga sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di belakang sebuah kuil milik Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, ia tadi mengajak Lan Hong untuk mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan hendak mencari jalan dari belakang kuil.

Mendengar ucapan Lie Bouw Tek ini, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin rombongan berkata, “Jalan menuju ke kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini? Di sini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorang pun boleh berkunjung di sini tanpa seijin kami.”

Lie Bouw Tek mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena sangat tertarik oleh pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan...”

“Katakanlah apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan kami ajak menghadap para pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya.”

Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini Lan Hong menyentuh lengannya, kemudian ia pun melangkah maju dan berkata dengan lembut.

“Harap cu-wi suhu suka memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan...”

“Pendekar Bongkok!” seru seorang di antara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali.

“Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari,” kata Lie Bouw Tek. “Dapatkah cuwi memberi tahu di mana dia?”

Akan tetapi begitu mereka mendengar bahwa yang datang ini adalah anggota keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud akan membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka berlari menuju ke sarang untuk melapor.

Melihat sikap mereka yang mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek lalu mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.

“Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan dari Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pai, kami hanya mencari adik kami itu!”

Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat. “Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau seorang yang akan menentukan apakah ji-wi bersalah ataukah tidak. Menyerahlah dari pada kami harus menggunakan kekerasan!”

“Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apa pun, bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau menyerah!” Sambil berkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah.

Sie Lan Hong juga mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Ia pun siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.

“Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak pemimpin rombongan.

Empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang ke arah Sie Lan Hong. Berbagai macam senjata mereka lantas berkelebat menyerang dengan serentak.

“Trang-trang-tranggg...!”

Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebatan dan empat orang pendeta itu berseru kaget. Mereka berloncatan mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar Kun-lun-pai itu!

Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik itu mampu mengelak dan menangkis, bahkan dia membalas dengan hebat dan sebuah tendangan kakinya sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.

Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa, “Tahan semua senjata...!”

Para pendeta itu mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan menghentikan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi.

Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama itu walau pun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan jubahnya yang lebar.

Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga dengan siapa dia kini sedang berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.

“Kalau kami tidak salah menduga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe.”

Kim Sim Lama membungkuk sedikit. “Omitohud... orang muda yang gagah, sicu sudah mengenal pinceng (aku) tetapi kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan kami. Siapakah kalian dan ada keperluan apa maka kalian berkeliaran di sini?”

Tadi dia sudah mendengar laporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, dia pun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.

Dengan lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan diri. “Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, di samping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.”

Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu dia berkata, “Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita berbicara di dalam dan pinceng akan memberi keterangan yang selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu.”

Biar pun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Betapa pun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.

Mereka diajak memasuki ruangan belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.

“Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dahulu menjelaskan mengenai sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para pertapa, tosu dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay Yang Suhu ke sini.”

Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong lalu memandang kepada tosu itu.

Seorang kakek yang berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut amat pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan berwajah tampan. Di punggungnya tampak sepasang pedang. Thai Yang Suhu memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh pemimpin itu.

“Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai Yang Suhu, dan dia adalah salah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi.”

“Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, padahal selamanya Kun-lun-pai tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Ada pun urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,” kata Lie Bouw Tek.

“Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini tentu ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk turut pula memberi penjelasan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.”

Thay Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari tempat duduknya. “Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal kenapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. Kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, ketika dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, para pertapa Himalaya sudah bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walau pun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi, dia tidak peduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kami pun meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, sedangkan yang bertanggung jawab terhadap para tosu, pertapa mau pun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”

Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai Yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut.

“Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh Tibet Ngo-houw yang pada saat itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itu, maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu mau membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.”

Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.

“Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mohon petunjuk locianpwe, sekarang di mana adanya adik saya itu.”

“Omitohud... harap toanio bisa menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.”

“Ahhhhhh...!” Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.

“Tidak mungkin...!” Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali.

Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Jika dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itu pun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.

“Omitohud... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dendam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia lalu dikeroyok dan tewas. Apa bila ji-wi (kalian) hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya.”

“Ahh... Liong-te (adik Liong)... benarkah... engkau sudah tewas...?” Lan Hong menahan tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”

“Marilah, pinto akan antarkan jika ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!” kata Thai Yang Suhu.

Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri. “Lie toako, aku ingin menengok makam adikku!”

Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburannya! Dia pun mengangguk kepada Thai Yang Suhu.

“Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita berangkat.”

Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai Yang Subu, mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk mencari keterangan dari Thai Yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.

“Siancai... bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya sedang dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui. Selebihnya Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.”

“Liong-te...!” Lan Hong mengeluh. Ia menggunakan ujung lengan baju untuk mengusap air matanya.

Akhirnya, mereka tiba di taman kuburan itu. Sunyi sekali di situ karena taman kuburan itu memang terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka kecuali mereka bertiga tidak ada orang lain yang berkunjung ke situ.

Sebelum pergi meninggalkan kuil tadi, Thai Yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek serta Sie Lan Hong melakukan upacara sembahyang dengan sederhana namun khidmat, diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.

Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.

“Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”

Mendengar ucapan yang merupakan penumpahan rasa penasaran yang tanpa disadari telah keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya.

“Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Jika sicu masih belum percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jenazah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”

Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apa lagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.

“Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku... ahh, adikku Sie Liong...!” Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.

Sementara itu, di bawah gundukan tanah itu pun sedang terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorang pun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong ‘bertapa’ di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya.

Selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada nasib! Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tidak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apa pun agar kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.

Terkenang akan hal-hal yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Siansu padanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mukjijat itu. Dia sudah pasrah sepenuhnya. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya pun keracunan.

Di luar kesadarannya, Tenaga Inti Bumi telah merasuk ke dalam tubuhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup hingga rasanya menggembung, makin lama makin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!

Dia tidak tahu betapa pada saat itu, di atas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas. Sejak tadi dia hanya merasa tubuhnya seperti akan meledak, maka tanpa mempedulikan apa pun yang akan terjadi, dia menggerakkan sebelah tangan dan kedua kakinya, meronta dan mendorong serta menendang.

“Blaaaaarrrrr...!”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya tiga orang yang berada di depan gundukan tanah kuburan itu ketika tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu mendadak pecah, bagaikan ada bahan peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu kerikil berhamburan.

Sie Lan Hong menjerit. Lie Bouw Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena tanah dan batu kerikil yang muncrat berhamburan. Mereka masih melihat sesosok bayangan orang meloncat keluar dari dalam lubang di bawah gundukan tanah itu, meluncur ke atas dan berjungkir balik lima kali sebelum melayang turun ke atas tanah.

“Keparat...! Kau... iblis...!” Terdengar Thai Yang Suhu membentak.

Pendeta palsu ini pun terkejut bukan main ketika melihat gundukan tanah itu tiba-tiba saja meledak dan dari dalamnya meloncat seorang yang dikenalnya sebagai Pendekar Bongkok! Masih persis Pendekar Bongkok seminggu yang lalu, hanya kini pakaian dan rambutnya kusut dan kotor berlumpur, mukanya merah seperti udang direbus, matanya mencorong seperti bukan mata manusia.

Melihat ini, Thai Yang Suhu yang khawatir kalau rahasianya terbuka, segera meloncat maju dan menerjang dengan sepasang pedangnya! Dia langsung melakukan serangan maut, menusukkan pedang kanan ke arah tenggorokan sedangkan pedang kiri ke arah lambung Pendekar Bongkok!

Pada saat itu, Sie Liong masih belum mendapatkan kembali ingatannya sepenuhnya. Dia hanya bergerak tanpa perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mukjijat yang terhimpun di dalam dirinya. Ketika pedang di tangan Thai Yang Suhu itu meluncur ke arah tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan bentakan yang aneh, melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar pedang yang menyambarnya.

“Bresss...!”

Tubuh Thai Yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit kembali karena kedua pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk menyerang, entah bagaimana sudah membalik dan menancap di dada dan lehernya sendiri! Dia pun tewas seketika!

“Liong-te...!” Lan Hong meloncat menghampiri Sie Liong.

Akan tetapi, dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong telah melarikan diri. Dia belum ingat siapa wanita itu, dan dia tidak ingin terjadi wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu melompat, dia terkejut sendiri karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti terbang saja!

Melihat adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil dan mengejar.

“Liong-te, tunggu...! Liong-te...!”

Akan tetapi dengan beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Hong berdiri bingung, tidak tahu ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di dekatnya dan pendekar Kun-lun-pai ini berkata.

“Sudahlah, Hong-moi. Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana. Dia... dia... seperti dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyusul dia.”

Dia masih terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar Bongkok, adik wanita yang dikasihinya itu. Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui dugaannya selama ini. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar Bongkok itu, tidak lumrah manusia!

“Aihh, Lie-toako... apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi? Dia... dia buntung! Aihh, adikku, apa yang telah mereka lakukan kepadamu? Aku harus mencari Kim Sim Lama, aku harus membalaskan adikku, akan kuminta pertanggungan jawabnya!” Lan Hong menangis.

“Tenanglah, Hong-moi. Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau kita kembali ke sana, tentu mereka tidak akan menerima kita sebaik tadi. Apa lagi Thai Yang Suhu telah tewas. Kita bahkan harus cepat-cepat pergi dari sini. Aku hendak menghadap Dalai Lama dan melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan pengikutnya itu jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan mereka berbahaya sekali. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari jejak adikmu Sie Liong dan puterimu...”

“Bi Sian...! Ah, di mana anakku Bi Sian? Apa yang telah terjadi dengannya? Melihat apa yang menimpa diri adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako.”

“Hong-moi, kita tetap berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi. Dan tenangkan hatimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi? Kurasa ia mampu menjaga diri sendiri.”

“Memang benar, toako. Dia lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, dia masih muda, kurang pengalaman, dan di dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan keji.”

Lie Bouw Tek terus menghiburnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Melihat ini, perlahan-lahan kegelisahan Lan Hong menipis hingga akhirnya dia tenang kembali.

Mereka berdua menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam tanah itu kosong dan pendekar Kun-lun-pai itu menemukan sebuah tabung bambu yang sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu, lalu membuangnya jauh-jauh.

Kemudian, dia menyeret mayat Thai Yang Suhu dan mendorongnya ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan. Semua ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang melihatnya. Setelah itu baru kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana Dalai Lama untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.....


                                     ***************


Gadis itu dikenal oleh semua orang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya kotor dan seperti seorang gembel gila.

Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apek lagi. Rambutnya saling lekat dan kotor, awut-awutan bagaikan rambut siluman yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang kala gelisah, kadang pula terbelalak menakutkan, dan ada kalanya merah karena tangis.

Orang melihat dia kadang menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan. Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa dia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang gembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa semakin jijik karena ulahnya.

Tidak ada seorang pria pun yang dapat merasa tertarik oleh seorang perempuan seperti wanita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apek itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan merangkul mereka!

Dia makan apa saja yang dia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.

Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuhnya yang menggairahkan. Dan tak seorang pun yang tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi gembel menjijikkan!

Dia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yang sudah yatim piatu itu. Dia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walau pun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali menjemputnya.

Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili. Dia pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya!

Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah, apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu lebih besar lagi mengancam dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia bahkan sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan.

Dengan cara demikian, benar saja tidak seorang pun pria sudi mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia lalu berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang.

Akan tetapi makin hari ia semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Ia tidak berani untuk bertanya-tanya karena maklum bahwa Pendekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis dengan sedih, tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas dari gangguan orang.

Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tak mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu saja.

Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggungnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.

“Liong-ko... ah, Liong-koko... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa selama ini aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukanmu? Liong-koko...” demikian ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.

Setiap hari ia mengharapkan. Apa bila matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, ia pun mengharap bahwa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu.

Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia adalah keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang sangat keras dan sukar sekali, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.

Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di goa-goa, di bawah pohon di balik semak belukar. Mula-mula dia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.

Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah goa di tepi telaga. Goa kecil yang tertutup pohon dan ilalang, yang enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam.

Tubuhnya terasa sangat nyaman. Sore tadi seorang pelancong dan keluarganya yang membawa makanan dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan gembiranya.

Karena perutnya kenyang, dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang lagi dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong, karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya terasa segar, malam itu ia pun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong.

Kalau ada orang yang berada dekat dengan goa kecil itu, tentu dia akan mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis bahagia yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi.

PADA keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, dia hendak membersihkan badannya di bagian-bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan sesudah mencuci muka, segera dia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur!

Pada saat dia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba dia melihat bayangannya sendiri pada permukaan air. Hampir saja dia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demikian buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya!

Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya sudah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main!

Tidak, Sie Liong tak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!

“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku...,” keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu meloncat ke dalam air yang amat dingin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air.

Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong.

Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biar pun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis bagaikan tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudara yang kini terbebas dari pakaian yang butut.

Karena dia hanya membayangkan pertemuannya yang sangat membahagiakan dengan Sie Liong, dalam kegembiraannya Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaan. Dia tidak tahu betapa tidak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalaman suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam.

Ketika mereka lewat dekat goa kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya langsung berdiri bengong, terpukau bagaikan sudah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.

“Gadis... gila itu...!” bisik seorang di antara mereka.

“Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.”

“Tapi... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ahh, betapa menarik dia.”

“Benar! Lihat dadanya itu... hemmm...!”

Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat. Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah goanya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!

Ling Ling membuat api unggun di dalam goanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuhnya yang agak kedinginan, tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu.


                  
cerita silat karya kho ping hoo


Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walau pun butut tidaklah sekotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeber pakaiannya dekat api agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi ‘kegilaannya’.

Ling Ling terbelalak dan terpekik ketika tiba-tiba tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki goanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau.

Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukan penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang senang melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita.

Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, gembel gila menjijikkan yang biasanya mereka hindari, sekarang ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang luar biasa indah dan menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebut menguasai hati dan pikiran.

Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbangan pun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang agar melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.

“He-he-he, engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.

“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila! Jangan ganggu aku!” Ling Ling berteriak-teriak.

Akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu.

Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Akan tetapi, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu birahi mereka menjadi semakin berkobar. Mereka tidak peduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!

Betapa pun dengan nekatnya Ling Ling meronta, tetapi apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa bagi tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.

“Jangan...” Lepaskan aku... Aku orang gila, aku jelek... aahhh... toloooooong...!”

Seorang di antara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan di lantai goa dan seorang di antara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam goa.

“Aduuuhh...!”
“Auhhh...!”
“Heiii, aduhh...!”

Semua terjadi demikian cepatnya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan mereka pun seperti terseret keluar dari dalam goa sambil mengaduh-aduh.

“Aku gila... Jangan ganggu aku,.... aku jelek dan gila...!”

Ling Ling cepat meraih tanah dari sudut goa dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya. Bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding goa yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya. Dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!

Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam goa dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia.

Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja diseret keluar dari dalam goa, lalu terus diseret sampai jauh dari goa.

Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok. Orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja!

Setelah sadar bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.

“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.

Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya. Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong.

Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat. Ketika dia memasuki goa kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan. Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu terpaksa melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam goa.

Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan.

Tanpa banyak cakap lagi, ketiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu dilakukan penuh kemarahan.

“Ehhh...?”

Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itu pun terjengkang, terbanting keras!

“Hemmm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.

Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher, membuat mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.

“Ampunkan kami..., taihiap, jangan bunuh kami...!” Mereka berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.

Sie Liong mengerutkan alisnya. “Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu sebab dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.

“Ampun, taihiap, kami... kami bukan penjahat... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan...”

“Huh, kalian jahat!” kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!”

Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan.

Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya melangkah perlahan menuju ke goa kecil di tepi telaga.

“Jangan ganggu... aku jelek... aku gila... aku kotor, he-he-heh... hi-hi-hik, jangan ganggu aku...” Terdengar suara wanita itu dalam goa itu.

Sie Liong cepat menyelinap ke balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari goa dan alisnya berkerut. Seorang wanita gembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi!

Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit gairah birahinya melihat wanita gembel gila yang menjijikkan ini?

“Hi-hi-hik, aku gila... ha-ha... jangan ganggu aku... ahhh, jangan ganggu aku...!”

Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi gembel gila lagi, barulah ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan tetapi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan!

Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.

Sementara itu dari tempat pengintaiannya Sie Liong tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang gembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, lalu menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut.

Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru asli! Ia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya pada saat wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.

“Hu-hu-huu... Liong-ko... ahhh, Liong-koko... uhu-hu-hu... kenapa engkau begitu tega... Liong-ko... uhu-huuu... kalau ada engkau, tentu tidak ada... yang berani mengangguku... aihh, Liong-koko... di mana engkau...?”

Sie Liong merasa kepalanya laksana disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur cepat ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, dan diangkatnya mukanya, lalu tangannya yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu.

Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.

“Ling-moi...! Ling Ling... ahhh, Ling Ling... mengapa engkau jadi begini...?” Sie Liong berlutut.

 siasaLing Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali. Diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah lengan kiri yang buntung... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.

“Liong-ko...? Engkau... engkau...” matanya lalu memandang lengan kiri yang buntung. “…engkau Liong-koko...?”

“Ling-moi, ini aku, Sie Liong...”

“Liong-koko...!” Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan akhirnya terkulai, roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.

“Ling-moi, ahhh, Ling-moi... kau maafkan aku, Ling-moi...!” Sie Liong merangkul serta mencium pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu.

Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya.

Agaknya, dengan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.

Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Karena sebenarnya gadis itu tidak terluka apa pun, hanya pingsan akibat batinnya terguncang hebat, maka dalam waktu singkat dia sudah siuman kembali.

Begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, Ling Ling sudah berseru gelisah, “Liong-ko, di mana engkau...?” Dan ia pun serentak bangkit duduk.

Sie Liong merangkulnya dari samping. “Aku di sini, Ling Ling...”

Ling Ling menoleh. “Aihhh, Liong-koko... engkau benar Liong-koko...!”

Ia merangkul dan menangis sesunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan dia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar larut bersama tangisnya.

Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi.

“Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ahh, Liong-koko, jangan kau tinggalkan aku lagi. Lebih baik aku mati saja dari pada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko...”

Tiba-tiba ia teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu.

“Liong-koko... di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi...? Engkau... lengan kirimu... buntung...?”

Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan lengan kiri, akan tetapi sebagai gantinya dia pun mendapatkan ilmu yang sangat hebat, sehingga sekarang dia mempunyai tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya.

“Aku terjebak oleh musuh pada saat melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tetapi Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.”

“Liong-koko... ahhh, Liong-koko, kasihan sekali engkau...” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu.

Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang sudah tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah-olah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.

Sie Liong merangkulnya dengan perasaan terharu. “Ling-moi, mengapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kau harapkan dari seorang seperti aku?”

“Liong-koko, aku... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya pria yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sampingmu koko, tentu saja... kalau... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula.”

“Ling Ling... ahh, Ling Ling…”

Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang mata gadis itu, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya.

“Ling Ling, aku pun cinta padamu. Aku... aku ingin memperisterimu...”

“Liong-koko…! Alangkah bahagianya hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!”

Sie Liong tersenyum. “Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, juga bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.”

Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia pun bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, serta tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.

Tidak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biar pun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul. Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalam kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.

Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lhasa, sambil bercakap-cakap, Ling Ling lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa harus menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, persis seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.

“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang gembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.

Ling Ling tersipu-sipu. “Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti gembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi sepi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki goa. Agaknya, ketika mandi itu, mereka sudah melihatku, dan ketika aku memasuki goa, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku...”

“Ahh, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala petunjuk-Nya kepada kita!” seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran-heran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.

Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walau pun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.

“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu ke mana dia pergi. Dan sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan... ihhh, pakaiannya seperti ini...”

Sie Liong tersenyum. “Kami tak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, dan ke dua kalinya, sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”

“Liong-koko…! Apa artinya kata-katamu ini? Engkau... hendak menitipkan aku... hendak meninggalkan aku lagi?” suara itu sudah mengandung isak, sedang wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.

Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. “Pergilah, bibi. Harap engkau carikan beberapa pasang pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, bila urusanku telah selesai, pasti harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan buat tinggalnya Ling-moi di sini.”

“Aih, tidak usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberi uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.”

Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.

“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Karena itulah aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itu terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu aku sudah kembali.”

“Akan tetapi, Liong-ko... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”

“Aku dapat menjaga diriku, Ling Ling. Andai kata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan jika hal itu memang harus terjadi, engkau atau aku atau siapa pun juga tidak akan mampu mencegahnya.”

“Biar pun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus mati pun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku...”

Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh-suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.

“A-kian, ada apa?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.

“Ci-ci... celaka, cici... bibi Cici... bibi... Cili...”

“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.

“Ia... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta kemudian dilarikan keluar kota...”

Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu para anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.

“Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi Cili...,” katanya.

Sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!

Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi ke dalam rumahnya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimana pun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya.

Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, pendekar itu tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar!

Ia tadi telah terlalu mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka semua yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh.

Ling Ling hendak menjerit, akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, dia pun roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang lantas membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali…..


                                               **************


Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tidak lama kemudian, tepat seperti diduganya, dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul. Sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang menarik kereta dan biar pun dia hanya memiliki sebuah tangan saja, akan tetapi tangan yang mengandung tenaga sangat dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.

Dari dalam kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu segera melompat turun. Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya lalu berputar seperti sebuah gasing.

“Plak-plak-plak-plak-plak...!”

Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi.

Sie Liong tidak mempedulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Di dalam kereta Bibi Cili duduk ketakutan sambil menangis. Sie Liong membimbingnya turun dari kereta.

“Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya.

Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.

Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia sudah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas meja, tertancap oleh sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dia membaca tulisannya.

Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama

Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih, “Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!”

Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi makin ketakutan…..

“Omitohud... sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu, demi keamanan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil tindakan.” Dalai Lama bicara dengan nada suara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang menghadap bersama Sie Lan Hong.

Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana mereka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai Yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali.

Dalai Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang dikuasai amarah. Tetapi sesudah mendengar laporan dari Lie Bouw Tek mengenai perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja hendak melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar pula betapa Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan berbuat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.

Dalai Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek merasa kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak orang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam perundingan itu, oleh karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.

Tidak kurang dari dua puluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Kong Ka Lama sendiri, memimpin kurang lebih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan. Dan di belakang mereka, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, tetapi mengambil jalan lain supaya dapat melakukan pengepungan…..


                                                 ***************


Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya sedang membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa Thai Yang Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah kosong, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para penyelidik untuk mencari di mana adanya Pendekar Bongkok.

Para penyelidik ini sempat melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita gembel gila dari gangguan tiga orang nelayan. Mereka lalu melaporkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat mengatur siasat bersama para pembantunya yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar Bongkok masih hidup dan dapat keluar dari dalam kuburan! Bahkan telah membunuh Thai Yang Suhu pula!

Tadinya, ketika mendengar bahwa mayat Thai Yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok lenyap, dia menduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang melakukan pembunuhan terhadap pembantunya itu dan membawa lari mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi, pada waktu dia mendengar laporan para anak buahnya tentang kemunculan Pendekar Bongkok yang menolong gadis gembel gila, dia menjadi terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.

“Ahhh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?” Thai Hok Lama, orang ke empat Tibet Ngo-houw yang juga merupakan seorang ahli racun itu berseru. “Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan tetapi bagaimana mungkin dia bisa tetap hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas selama beberapa hari? Ini tentu ada orang yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu tentu Camundi Lama!”

“Hemmm, benar sekali!” kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. “Kami memang sejak dahulu tidak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya.”

Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Dia pun curiga kepada Camundi Lama. “Panggil Camundi Lama ke sini!” teriaknya kepada pengawal.

Sementara itu, mendengar akan lolosnya Pendekar Bongkok, bukan main terkejut dan marahnya hati Coa Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasianya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu. Tentu Sie Liong tidak akan tinggal diam saja dan pasti akan membalas dendam. Pendekar Bongkok itu harus didahului!

“Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan kiranya saya tahu bagaimana caranya!” kata Coa Bong Gan.

Yauw Bi Sian yang hadir di situ tidak banyak bicara. Memang ia masih merasa amat menyesal bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula bagaimana pun juga, Pendekar Bongkok adalah orang yang telah membunuh ayah kandungnya.

“Bagaimana cara itu?” tanya Kim Sim Lama, tertarik.

“Dia harus dipaksa datang ke sini. Saya akan memancingnya agar dia keluar dari rumah pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis gembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini, mudah saja untuk membunuhnya!”

Kim Sim Lama tersenyum cerah. “Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kau buntungi, betapa pun lihainya, dia tidak ada artinya lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!”

Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula sebuah kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggalkan rumah bibi Cili, dia menyuruh empat orang pembantunya itu menculik bibi Cili di tempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan orang tentang penculikan itu.

Dan tepat seperti yang sudah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang lantas dipergunakan oleh Bong Gan untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling, sambil dia meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.

Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengobatan itu menghadap sambil tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lolosnya Pendekar Bongkok dari dalam kuburan. Tidak sia-sia semua usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.

“Camundi Lama!” bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. “Engkau memang pengkhianat! Apa yang telah kau lakukan saat engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?”

Camundi Lama tersenyum, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dadanya. “Omitohud... pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan kejahatan. Engkaulah yang sudah menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai Lama, mengkhianati kebenaran, mengkhianati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pinceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui tabung.”

“Keparat jahanam!” Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.

“Tangkap dia! Akan kusiksa sendiri dia sampai mati!”

Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. “Ha-ha-ha, tak perlu kalian repot-repot. Sekarang pun pinceng akan pergi meninggalkan kalian orang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak hanya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin.”

Setelah berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika semua orang memeriksa kakek itu, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya halus namun pasti. Pada waktu Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi amat girang.

“Ahh, pantas kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini,” katanya sambil memandang Ling Ling yang nampak ketakutan. “Kiranya gadis ini bukanlah gembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biarlah kami serahkan gadis ini dalam pengawasanmu. Jangan sampai dia dapat meloloskan diri sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan kami.”

Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya memandang dengan alis berkerut, namun tidak peduli. Kini ia tidak peduli apa-apa lagi, juga tidak peduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu dikuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, juga ahli dalam ilmu sihir.

Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dapat dikuasai dengan ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia merasa iba.

Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang timbul dari nafsu birahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan khianat, bermain gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi pemuda itu berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Kini Kim Sim Lama, dan para pembantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama untuk menyelamatkan Ling Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini. Akan tetapi Bi Sian sendiri diam-diam meragukannya. Bagaimana Sie Liong akan berani datang? Selain Kim Sim Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong, juga kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga kelihaiannya tentu saja berkurang banyak!

Selain itu, mengapa pula pamannya itu akan mati-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimana pun juga, ia ikut merasa tegang menanti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.

Akhirnya, saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itu pun tibalah. Kemunculan Pendekar Bongkok benar-benar mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak penculikan terhadap Ling Ling dilakukan dan sejak kemunculan Sie Liong si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua anak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.

Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantunya sedang duduk di dalam ruangan belakang, ruangan luas yang juga digunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding untuk mengaturt kalau Pendekar Bongkok berani muncul.
























Terima kasih telah membaca Serial ini










                   



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12