Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 16
Camundi Lama
tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat
dibantah pula, bahwa kekuasaan Thian dapat melakukan apa saja.
Apa bila
Thian menghendaki, apa pun yang menurut akal pikiran tidak mungkin, dapat
terjadi dengan mudahnya. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di dalam
alam semesta, tetapi manusia tidak memperhatikannya, tidak sadar dan waspada
sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat dari pada usaha manusia.
Camundi Lama
hanya melihat kebenaran yang terkandung di dalam ucapan Sie Liong, tidak
melihat bahwa kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu
terjadi di sekelilingnya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi
alat yang digunakan Thian untuk menyelamatkan Sie Liong.
Pada waktu
Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat apa-apa. Gelap
pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali, kemudian berusaha
mengingat-ingat.
Tepat pada
hari itu habislah sudah seluruh sisa pengaruh racun penghilang pikiran, dan
ingatannya pulih kembali lagi. Kewaspadaan Sie Liong timbul kembali, terasa di
seluruh tubuh. Teringatlah dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya untuk
menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan perkelahian melawan
Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu
mengeroyoknya.
Hanya sampai
di situ saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan
dirinya. Tahu-tahu dia berada di sini!
Dia membuka
mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya tetap gelap. Sudah butakah kedua
matanya? Dia menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam
sebuah peti!
Dia
meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam sebuah
peti yang teramat gelap. Sebuah peti yang tertutup rapat!
Kembali dia
mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan
dalam sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama. Dia teringat pula dengan hati
terkejut bahwa dia pernah diserang seorang pria dengan golok, ditangkis dengan
lengan kirinya dan lengan kiri itu buntung.
Cepat tangan
kanannya bergerak lagi meraba lengan kirinya. Buntung! Lengan kirinya memang
benar sudah buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.
“Ya
Thian...!” Dia berseru lirih.
Sampai
beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Thian
mengapa lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi, kembali dia menyandarkan
diri kepada kekuasaan Thian. Apa bila memang Thian menghendaki, jangankan hanya
sebuah lengan kirinya, meski seluruh tubuhnya dihancurkan, biar nyawanya
dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang
tulus ini, dia pun merasa aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan
tenang sekali.
Tanpa
mengingat sedikit pun lagi mengenai lengan kiri yang buntung, dia menggunakan
tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya.
Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan
jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung ke atas dan
agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara
segar masuk dari tabung itu!
Dia mencoba
untuk menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mencoba kekuatan peti
itu. Akan tetapi ternyata tenaganya lemah sekali. Dan dia teringat bahwa
sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan
tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu sudah sembuh! Akan
tetapi tenaganya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sinkang-nya sudah
lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya.
Camundi
Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan.
Ahhh, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul
Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!
“Hemm,
mereka memasukkan aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan
melihat gelapnya, dan mencium bau tanah ini, dengan tabung memasukkan udara
segar, hemmm... agaknya peti ini berada di dalam tanah!” Dia terbelalak, namun
tetap saja gelap gulita.
“Ahh, mereka
telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!”
Kembali
perasaan khawatir dan takut menghantuinya, akan tetapi hampir berbarengan,
kesadaran menyerahkan diri kepada Thian mengusir itu semua. Dia harus pasrah,
dan percaya sepenuhnya akan kekuasaan Thian.
“Kekuasaan
Thian berada di mana pun juga,” demikian pernah Pek Sim Siansu berkata, “di
tempat yang paling tinggi mau pun paling rendah, di dalam benda yang paling
besar sampai yang paling kecil, di atas langit mau pun di bawah bumi...”
“Di bawah
bumi... ahhh, di sini pun ada kekuasaan Thian! Ya Thian, hamba menyerah, hamba
pasrah, apa pun yang Thian kehendaki jadilah!” Di dalam hati Sie Liong bersorak
dan pikirannya pun menjadi semakin terang.
Dia mulai
menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti dan peti
itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan
hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati.
Tentu ini
perbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tak berniat
menyelidiki karena hal itu akan sia-sia saja. Yang penting sekarang harus
mencari jalan untuk keluar dari tempat ini secepatnya. Kembali dia menggerakkan
kedua kaki beserta sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti.
Akan tetapi
ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganya pun terlalu kecil. Percuma saja,
pikirnya. Dan pula, andai kata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di
dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan
tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang
mengerikan.
Tidak, dia
tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang
tabung itu, berarti ada orang yang tidak menghendaki dia mati dan tentu mereka
pun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.
Dia kemudian
mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun
penghilang ingatan, akan tetapi agaknya racun itu telah kehilangan daya
kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib itu,
dia juga keracunan.
Darahnya
keracunan sehingga dia sudah kehilangan tenaga sinkang-nya dan setiap kali
mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah
tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah
berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa
nyerinya yang hilang. Tenaga sinkang-nya belum kembali.
Kembali dia
menggerakkan tangan kanan, menekan ke arah peti.
“Krek...
krekk...!” Peti itu retak oleh dorongannya.
Tenaga
biasa, bukan tenaga sinkang. Akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang
terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti
sedikit terbuka sehingga ada tanah dan pasir masuk dan menimpa mukanya! Dengan
cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan kanan membersihkan muka.
Celaka,
pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan tertekan tanah dan
pasir, dan akan mati kehabisan hawa udara. Kini dia malah tidak berani bargerak
sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah dan pasir jatuh
ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie
Liong, tenanglah dan pergunakan akalmu. Akal juga pemberian Thian yang harus
dipergunakan pada saat yang dibutuhkan, seperti saat sekarang ini! Dia memang
sudah menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Thian, tetapi di samping itu dia
harus berikhtiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya,
pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Thian
membimbing, akan tetapi bimbingan itu pun tentu disalurkan melalui alat-alat
yang ada padanya.
Dia pun
mengingat-ingat. Dia sedang berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Tiba-tiba
teringatlah dia akan pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Siansu kepadanya,
yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga mukjijat yang berada dalam alam semesta
ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api dalam hawa, dalam logam, dalam
tanah, dan dalam air!
Di dalam
tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti
Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan, segala benda
di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan hawa panas,
yang mengeluarkan apa saja.
Bumi nampak
lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini berasal dari bumi dan akan kembali
ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat,
mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, di dalam tanah, terdapat
kekuasaan Thian, yaitu energi yang maha dahsyat itu!
Dia hanya
tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Thian menghendaki, maka tentu dia
akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, akan tetapi telah cukup
untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
Mulailah Sie
Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulailah dia
menghimpun hawa murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan
penuh penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa
yang hangat memasuki tubuhnya melalui napas yang dihisapnya. Hawa yang hangat
ini berputar di dalam pusarnya, seolah-olah membangkitkan kembali tenaga
saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang terhisap olehnya itu
sekarang bercampur dengan sesuatu yang belum pernah dirasakannya.
Berbeda
dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah.
Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin, kadang menyesakkan dada,
terbawa masuk ke dalam tubuhnya, berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa
tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi!
Itulah
kekuasaan Thian yang sudah diyakininya. Agaknya Thian menghendaki demikian
sehingga tanpa disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong sudah
berhasil menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam
peti!
Dan
kebetulan sekali pula, sesungguhnya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan
dan diatur oleh kekuasaan Thian, pada saat itu racun dalam darahnya mulai
dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke dalam perutnya oleh Camundi Lama.
Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sinkang-nya perlahan-lahan
pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga
Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga sinkang yang sudah ada dalam
tubuhnya. Akan tetapi Sie Liong tak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan
perhatian pada pernapasannya, sambil menyerahkan segala sesuatunya kepada
Thian, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati….
***************
Lie Bouw Tek
memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil
menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini
tahulah dia bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang
sudah mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah
suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabui mata umum
dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi
dia tidak peduli akan semua masalah itu. Dia tidak ingin mencampuri urusan
pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, namun juga tidak membantu
para pemberontak. Dia hanya ingin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya
yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puterinya, Yauw Bi Sian.
Karena tidak
bermaksud mencampuri urusan pemberontakan melainkan urusan pribadi, maka Lie
Bouw Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk pergi mengunjungi sarang
Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie
Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan
puterinya.
Pria perkasa
berusia tiga puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga
tahun itu melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin
akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan
suatu yang selain membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh
damai. Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat
matahari bersinar lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apa pun menjadi
lebih merdu. Dunia nampak lebih indah dari pada biasanya!
Pada pagi
hari yang cerah itu, mereka sampai di lereng sebuah bukit dan dari lereng itu
mereka dapat melihat ke bawah. Pemandangan alam di pagi hari itu teramat
indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan
airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar
telaga itu dipenuhi dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam.
Musim bunga telah tiba dan sekarang bukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali
pohon yang berbunga indah.
Dari Kong Ka
Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang.
Mereka tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang
tidak salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu,
tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh
belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta
ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.
Lie Bouw Tek
berpura-pura kaget walau pun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak
buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata, “Maafkan
kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang
yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi
menunjukkan jalannya ke kuil itu?”
Dari Kong Ka
Lama Lie Bouw Tek juga sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu
tersembunyi di belakang sebuah kuil milik Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya
merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, ia tadi mengajak Lan Hong untuk
mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan hendak mencari
jalan dari belakang kuil.
Mendengar
ucapan Lie Bouw Tek ini, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis
berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin
rombongan berkata, “Jalan menuju ke kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari
kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di
tempat ini? Di sini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorang pun
boleh berkunjung di sini tanpa seijin kami.”
Lie Bouw Tek
mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kami berdua. Kami tidak
sengaja hendak melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena sangat tertarik oleh
pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya
dan...”
“Katakanlah
apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus
menangkap ji-wi dan kami ajak menghadap para pimpinan kami yang akan menentukan
selanjutnya.”
Lie Bouw Tek
sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini Lan Hong
menyentuh lengannya, kemudian ia pun melangkah maju dan berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi
suhu suka memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian).
Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia
seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan...”
“Pendekar
Bongkok!” seru seorang di antara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong
dan Bouw Tek girang sekali.
“Benar dia!
Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari,” kata Lie Bouw Tek. “Dapatkah cuwi
memberi tahu di mana dia?”
Akan tetapi
begitu mereka mendengar bahwa yang datang ini adalah anggota keluarga Pendekar
Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai
musuh yang tentu datang dengan maksud akan membebaskan Pendekar Bongkok yang
pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari
mereka berlari menuju ke sarang untuk melapor.
Melihat
sikap mereka yang mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek lalu
mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.
“Cu-wi
tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek,
seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan dari
Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pai,
kami hanya mencari adik kami itu!”
Akan tetapi,
para pendeta itu mengepung semakin ketat. “Ji-wi harus menyerah untuk kami
tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau seorang yang akan
menentukan apakah ji-wi bersalah ataukah tidak. Menyerahlah dari pada kami
harus menggunakan kekerasan!”
“Hemm,
kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah
laku kalian seperti perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apa pun,
bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau menyerah!”
Sambil berkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar
merah.
Sie Lan Hong
juga mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang
ini berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau
sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Ia pun
siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.
“Hemm,
terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak pemimpin rombongan.
Empat orang
sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga
menerjang ke arah Sie Lan Hong. Berbagai macam senjata mereka lantas berkelebat
menyerang dengan serentak.
“Trang-trang-tranggg...!”
Bunga api
berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah
berkelebatan dan empat orang pendeta itu berseru kaget. Mereka berloncatan
mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di
tangan pendekar Kun-lun-pai itu!
Dua orang
yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja
wanita cantik itu mampu mengelak dan menangkis, bahkan dia membalas dengan
hebat dan sebuah tendangan kakinya sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung
dan mamegangi perutnya.
Para pendeta
itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi,
tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa, “Tahan semua senjata...!”
Para pendeta
itu mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan
menghentikan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri
saling mendekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi.
Lie Bouw Tek
yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya
menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan
bahwa dia berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka
memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama
itu walau pun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak,
hampir sama merahnya dengan jubahnya yang lebar.
Lie Bouw Tek
sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka
dia dapat menduga dengan siapa dia kini sedang berhadapan. Dia cepat mengangkat
kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga
mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek
berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.
“Kalau kami
tidak salah menduga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah
hormat kami, locianpwe.”
Kim Sim Lama
membungkuk sedikit. “Omitohud... orang muda yang gagah, sicu sudah mengenal
pinceng (aku) tetapi kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali
memasuki tempat larangan kami. Siapakah kalian dan ada keperluan apa maka
kalian berkeliaran di sini?”
Tadi dia
sudah mendengar laporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar
yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, dia pun
cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar
sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.
Dengan
lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan diri. “Saya bernama Lie Bouw Tek, murid
Kun-lun-pai yang menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan
penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, di samping memusuhi
para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak
kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini
kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan
sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.”
Kim Sim Lama
mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu dia berkata,
“Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng.
Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan
pinceng, kita berbicara di dalam dan pinceng akan memberi keterangan yang
selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu.”
Biar pun dia
maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya,
namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak
akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah
utusan Kun-lun-pai. Betapa pun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai
masih memiliki wibawa yang cukup kuat.
Mereka
diajak memasuki ruangan belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka
duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk
pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang
ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai
para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.
“Sicu (orang
gagah), sekarang pinceng ingin lebih dahulu menjelaskan mengenai sikap
bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para
pertapa, tosu dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng
mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil
Thay Yang Suhu ke sini.”
Ki Tok Lama,
pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia
sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong lalu
memandang kepada tosu itu.
Seorang
kakek yang berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul
dengan rambut amat pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar
dan berwajah tampan. Di punggungnya tampak sepasang pedang. Thai Yang Suhu
memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian dipersilakan duduk di sebelah
kanannya oleh pemimpin itu.
“Sicu Lie
Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama
Thai Yang Suhu, dan dia adalah salah seorang tosu yang dahulu bertapa di
Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi.”
“Locianpwe,
terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama
memusuhi Kun-lun-pai, padahal selamanya Kun-lun-pai tidak pernah mencampuri
urusan para pendeta Lama di Tibet. Ada pun urusan lain dengan pihak lain, kami
dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,” kata Lie Bouw Tek.
“Omitohud,
bersabarlah, sicu, semua ini tentu ada hubungannya, dan karena pelaksana utama
ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di
sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku
Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk turut pula memberi penjelasan tentang
tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.”
Thay Ku Lama
yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera
berkata dari tempat duduknya. “Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan
sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa
menyesal kenapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama
menjadi semakin lalim itu. Kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu
masih kecil, ketika dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, para
pertapa Himalaya sudah bermaksud membela penduduk dusun yang hendak
mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walau pun dalam
pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi, dia
tidak peduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi
para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi
semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para
pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena
itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah
gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kami pun
meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk
menentang Dalai Lama yang lalim itu. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa kami
hanyalah pelaksana, sedangkan yang bertanggung jawab terhadap para tosu,
pertapa mau pun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”
Lie Bouw Tek
mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang
didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai Yang Suhu
berkata dengan suaranya yang lembut.
“Semua yang
diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu
merupakan seorang di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri
mengungsi dan bahkan menjadi musuh Tibet Ngo-houw yang pada saat itu menjadi
petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka meninggalkan
Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman
Dalai Lama. Karena itu, maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang
hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan
tosu mau membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.”
Lie Bouw Tek
menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul
pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi
Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin
sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
“Locianpwe
tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok
Sie Liong. Mohon petunjuk locianpwe, sekarang di mana adanya adik saya itu.”
“Omitohud...
harap toanio bisa menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar
Bongkok. Dia sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.”
“Ahhhhhh...!”
Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
“Tidak
mungkin...!” Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali.
Dia
mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama
dengan dia. Jika dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh
Kun-lun-pai, pendekar itu pun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu
dan pertapa.
“Omitohud...
pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk
membalaskan dendam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia lalu
dikeroyok dan tewas. Apa bila ji-wi (kalian) hendak membuktikan, dapat kalian
kunjungi makamnya.”
“Ahh...
Liong-te (adik Liong)... benarkah... engkau sudah tewas...?” Lan Hong menahan
tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”
“Marilah,
pinto akan antarkan jika ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih
baru!” kata Thai Yang Suhu.
Mendengar
ini, Lan Hong segera bangkit berdiri. “Lie toako, aku ingin menengok makam
adikku!”
Lie Bouw Tok
merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu
melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya
melihat kuburannya! Dia pun mengangguk kepada Thai Yang Suhu.
“Totiang,
terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami.
Mari kita berangkat.”
Keduanya
memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai Yang Subu, mereka
maninggalkan kuil itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong
diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran,
mencoba untuk mencari keterangan dari Thai Yang Suhu bagaimana sampai Pendekar
Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.
“Siancai...
bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa
Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang
memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san. Dan
tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika
jenazahnya sedang dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui.
Selebihnya Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.”
“Liong-te...!”
Lan Hong mengeluh. Ia menggunakan ujung lengan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya,
mereka tiba di taman kuburan itu. Sunyi sekali di situ karena taman kuburan itu
memang terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka
kecuali mereka bertiga tidak ada orang lain yang berkunjung ke situ.
Sebelum
pergi meninggalkan kuil tadi, Thai Yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa
biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana
itu dan Lie Bouw Tek serta Sie Lan Hong melakukan upacara sembahyang dengan
sederhana namun khidmat, diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat
kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah
kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
“Benarkah
ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini?
Benarkah yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”
Mendengar
ucapan yang merupakan penumpahan rasa penasaran yang tanpa disadari telah
keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya.
“Lie-sicu,
apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Jika sicu masih
belum percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat
apakah benar jenazah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”
Mendengar
nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan
tetapi, Lan Hong sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apa lagi
mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan
kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.
“Adikku Sie
Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak
menjadi ragu lagi. Adikku... ahh, adikku Sie Liong...!” Dan sekali ini Lan Hong
yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara
itu, di bawah gundukan tanah itu pun sedang terjadi peristiwa hebat yang tak
diketahui seorang pun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong ‘bertapa’ di
dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang
sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya.
Selama tujuh
hari tujuh malam itu dia pasrah kepada nasib! Bukankah segala sesuatu yang
berada di atas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam
tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tidak
bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat.
Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apa pun agar
kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang
akan hal-hal yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Siansu padanya, tentang Tenaga
Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepasrahan kepada
kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mukjijat
itu. Dia sudah pasrah sepenuhnya. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung,
ingatannya hilang, darahnya pun keracunan.
Di luar
kesadarannya, Tenaga Inti Bumi telah merasuk ke dalam tubuhnya. Tenaga sakti
yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya,
bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih
kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang
ditiup, terus ditiup hingga rasanya menggembung, makin lama makin kuat,
sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Dia tidak
tahu betapa pada saat itu, di atas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang
menangis dan memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah
tewas. Sejak tadi dia hanya merasa tubuhnya seperti akan meledak, maka tanpa
mempedulikan apa pun yang akan terjadi, dia menggerakkan sebelah tangan dan
kedua kakinya, meronta dan mendorong serta menendang.
“Blaaaaarrrrr...!”
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya tiga orang yang berada di depan gundukan tanah
kuburan itu ketika tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan
tanah itu mendadak pecah, bagaikan ada bahan peledak yang amat kuat meledak
dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu kerikil berhamburan.
Sie Lan Hong
menjerit. Lie Bouw Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar
jangan terkena tanah dan batu kerikil yang muncrat berhamburan. Mereka masih
melihat sesosok bayangan orang meloncat keluar dari dalam lubang di bawah
gundukan tanah itu, meluncur ke atas dan berjungkir balik lima kali sebelum
melayang turun ke atas tanah.
“Keparat...!
Kau... iblis...!” Terdengar Thai Yang Suhu membentak.
Pendeta
palsu ini pun terkejut bukan main ketika melihat gundukan tanah itu tiba-tiba
saja meledak dan dari dalamnya meloncat seorang yang dikenalnya sebagai
Pendekar Bongkok! Masih persis Pendekar Bongkok seminggu yang lalu, hanya kini
pakaian dan rambutnya kusut dan kotor berlumpur, mukanya merah seperti udang
direbus, matanya mencorong seperti bukan mata manusia.
Melihat ini,
Thai Yang Suhu yang khawatir kalau rahasianya terbuka, segera meloncat maju dan
menerjang dengan sepasang pedangnya! Dia langsung melakukan serangan maut,
menusukkan pedang kanan ke arah tenggorokan sedangkan pedang kiri ke arah
lambung Pendekar Bongkok!
Pada saat
itu, Sie Liong masih belum mendapatkan kembali ingatannya sepenuhnya. Dia hanya
bergerak tanpa perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan
mukjijat yang terhimpun di dalam dirinya. Ketika pedang di tangan Thai Yang
Suhu itu meluncur ke arah tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan
bentakan yang aneh, melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar
pedang yang menyambarnya.
“Bresss...!”
Tubuh Thai
Yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit
kembali karena kedua pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk
menyerang, entah bagaimana sudah membalik dan menancap di dada dan lehernya
sendiri! Dia pun tewas seketika!
“Liong-te...!”
Lan Hong meloncat menghampiri Sie Liong.
Akan tetapi,
dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong telah melarikan diri. Dia
belum ingat siapa wanita itu, dan dia tidak ingin terjadi wanita itu tewas
seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu melompat, dia terkejut sendiri
karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti terbang saja!
Melihat
adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru
memanggil-manggil dan mengejar.
“Liong-te,
tunggu...! Liong-te...!”
Akan tetapi
dengan beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan
Hong berdiri bingung, tidak tahu ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah
berada di dekatnya dan pendekar Kun-lun-pai ini berkata.
“Sudahlah,
Hong-moi. Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana.
Dia... dia... seperti dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk
dapat menyusul dia.”
Dia masih
terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar Bongkok, adik wanita
yang dikasihinya itu. Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui
dugaannya selama ini. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar Bongkok itu,
tidak lumrah manusia!
“Aihh,
Lie-toako... apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi? Dia... dia
buntung! Aihh, adikku, apa yang telah mereka lakukan kepadamu? Aku harus
mencari Kim Sim Lama, aku harus membalaskan adikku, akan kuminta pertanggungan
jawabnya!” Lan Hong menangis.
“Tenanglah,
Hong-moi. Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau
kita kembali ke sana, tentu mereka tidak akan menerima kita sebaik tadi. Apa
lagi Thai Yang Suhu telah tewas. Kita bahkan harus cepat-cepat pergi dari sini.
Aku hendak menghadap Dalai Lama dan melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan
pengikutnya itu jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan mereka
berbahaya sekali. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama.
Kemudian baru kita mencari jejak adikmu Sie Liong dan puterimu...”
“Bi Sian...!
Ah, di mana anakku Bi Sian? Apa yang telah terjadi dengannya? Melihat apa yang
menimpa diri adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako.”
“Hong-moi,
kita tetap berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa,
Hong-moi. Dan tenangkan hatimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi? Kurasa ia mampu menjaga diri sendiri.”
“Memang
benar, toako. Dia lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, dia masih muda, kurang
pengalaman, dan di dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan
keji.”
Lie Bouw Tek
terus menghiburnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Melihat ini, perlahan-lahan
kegelisahan Lan Hong menipis hingga akhirnya dia tenang kembali.
Mereka
berdua menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam tanah
itu kosong dan pendekar Kun-lun-pai itu menemukan sebuah tabung bambu yang
sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu,
lalu membuangnya jauh-jauh.
Kemudian,
dia menyeret mayat Thai Yang Suhu dan mendorongnya ke dalam lubang bekas
kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu
dengan tanah yang tadi berhamburan. Semua ini mereka kerjakan dengan
tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang melihatnya. Setelah itu baru
kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana Dalai Lama
untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.....
***************
Gadis itu
dikenal oleh semua orang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis
gila yang menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi
telaga itu. Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi
keadaannya kotor dan seperti seorang gembel gila.
Pakaiannya
butut, kotor dan dekil, berbau apek lagi. Rambutnya saling lekat dan kotor,
awut-awutan bagaikan rambut siluman yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya
yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar,
kadang kala gelisah, kadang pula terbelalak menakutkan, dan ada kalanya merah
karena tangis.
Orang
melihat dia kadang menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara
seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan. Sekali
lihat saja orang sudah tahu bahwa dia seorang wanita muda yang hidup terlantar,
terlunta-lunta, seorang gembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang
akan merasa semakin jijik karena ulahnya.
Tidak ada seorang
pria pun yang dapat merasa tertarik oleh seorang perempuan seperti wanita gila
itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apek itu, melainkan
juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan merangkul mereka!
Dia makan
apa saja yang dia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para
nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba,
orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak
menarik.
Tidak ada
seorang pun yang tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakan
seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk
tubuhnya yang menggairahkan. Dan tak seorang pun yang tahu bahwa gadis itu
memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi gembel menjijikkan!
Dia adalah
Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yang sudah yatim piatu itu. Dia
tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling
membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walau pun ia
merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali
menjemputnya.
Setelah
lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah
Bibi Cili. Dia pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya
manusia di dunia ini yang dicintainya!
Ling Ling
maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali
bagi seorang wanita yang lemah, apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan,
bahaya itu lebih besar lagi mengancam dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan
akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri
mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia bahkan sengaja bergaya seperti orang
gila yang menjijikkan dan menakutkan.
Dengan cara
demikian, benar saja tidak seorang pun pria sudi mendekatinya, apa lagi
mengganggunya. Ia lalu berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu,
setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang.
Akan tetapi
makin hari ia semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang
dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Ia tidak berani
untuk bertanya-tanya karena maklum bahwa Pendekar Bongkok amat dikenal orang
dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu
menangis dengan sedih, tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja
lalu memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia
disangka gila dan bebas dari gangguan orang.
Makin hari
ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak
perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh
keyakinan besar bahwa Sie Liong tak mungkin dapat melupakannya dan
meninggalkannya begitu saja.
Ia tahu
bahwa Sie Liong hanya bongkok punggungnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa
Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil
keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati
kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
“Liong-ko...
ah, Liong-koko... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di
hatimu betapa selama ini aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa
aku merindukanmu? Liong-koko...” demikian ia meratap-ratap sambil menangis
kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari
ia mengharapkan. Apa bila matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya
bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba,
ia pun mengharap bahwa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang
dikenangkannya itu.
Ia tidak
pernah putus asa. Tidak, ia adalah keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan,
di lingkungan yang sangat keras dan sukar sekali, dan keadaan lingkungan yang
sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus
harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan, kekerasan dan
kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di
mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di goa-goa, di
bawah pohon di balik semak belukar. Mula-mula dia merasa takut sekali, akan
tetapi lambat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah.
Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan
Sie Liong.
Pada senja
hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah
goa di tepi telaga. Goa kecil yang tertutup pohon dan ilalang, yang enak untuk
melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin
malam.
Tubuhnya
terasa sangat nyaman. Sore tadi seorang pelancong dan keluarganya yang membawa
makanan dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka
kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan
gembiranya.
Karena
perutnya kenyang, dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat
banyak orang lagi dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong, karena
hatinya penuh harapan dan tubuhnya terasa segar, malam itu ia pun tidur
nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong.
Kalau ada
orang yang berada dekat dengan goa kecil itu, tentu dia akan mendengar betapa
dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis bahagia
yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam
mimpi.
PADA
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya
ke permukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa,
dia hendak membersihkan badannya di bagian-bagian tertentu saja. Ia tidak
berani mandi sampai bersih. Bahkan sesudah mencuci muka, segera dia melumuri
kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur!
Pada saat dia
berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba dia melihat
bayangannya sendiri pada permukaan air. Hampir saja dia menjerit saking
kagetnya. Wajahnya demikian buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut
itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya!
Hari ini Sie
Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia
akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata
meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru
membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya sudah seperti diremas
rasanya. Sakit bukan main!
Tidak, Sie
Liong tak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya,
tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan
bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko,
engkau tidak boleh jijik padaku...,” keluhnya dan seperti sudah berubah gila
sungguh ia lalu meloncat ke dalam air yang amat dingin itu! Ia memang pandai
renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air.
Lupa bahwa
pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun
dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa
gembira sekali, seolah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut
perjumpaannya dengan Sie Liong.
Ia mencuci
rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan
mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biar pun agak kurus, kini
nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis bagaikan
tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai
panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudara yang
kini terbebas dari pakaian yang butut.
Karena dia
hanya membayangkan pertemuannya yang sangat membahagiakan dengan Sie Liong,
dalam kegembiraannya Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaan. Dia
tidak tahu betapa tidak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang
dari menjala ikan semalaman suntuk berjalan beriringan lewat di situ, memanggul
jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam.
Ketika
mereka lewat dekat goa kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air.
Mereka menengok dan ketiganya langsung berdiri bengong, terpukau bagaikan sudah
berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap di balik batang
pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis...
gila itu...!” bisik seorang di antara mereka.
“Benar,
gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.”
“Tapi... ia
cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan
panjang. Dan tubuhnya itu! Ahh, betapa menarik dia.”
“Benar!
Lihat dadanya itu... hemmm...!”
Ling Ling
sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah
melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik
ke darat. Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan
pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi
tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah goanya. Tak tahu sama sekali
ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang
berubah menjadi buas!
Ling Ling
membuat api unggun di dalam goanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk
menghangatkan tubuhnya yang agak kedinginan, tetapi juga perlu untuk
mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu.
Pakaian itu masih
jelek, robek sana sini, akan tetapi walau pun butut tidaklah sekotor tadi.
Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeber
pakaiannya dekat api agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak
berbekas lagi ‘kegilaannya’.
Ling Ling
terbelalak dan terpekik ketika tiba-tiba tiga orang laki-laki muda itu
berloncatan memasuki goanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh
bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor
kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau.
Melihat
keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukan penjahat,
melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail
ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang
senang melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita.
Akan tetapi,
keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang
mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap
gila itu, gembel gila menjijikkan yang biasanya mereka hindari, sekarang
ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang
luar biasa indah dan menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebut
menguasai hati dan pikiran.
Dan sekali
nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbangan pun lenyap. Baik buruk menjadi
kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang agar melakukan
pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he-he,
engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak,
tidak! Aku jelek, aku orang gila! Jangan ganggu aku!” Ling Ling
berteriak-teriak.
Akan tetapi
tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada
yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu.
Ling Ling
ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit.
Akan tetapi, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga
orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu birahi mereka menjadi semakin berkobar.
Mereka tidak peduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka,
gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapa pun
dengan nekatnya Ling Ling meronta, tetapi apa arti kekuatan seorang gadis
berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat,
yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan
kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa bagi tiga pemuda yang
bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga
Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
“Jangan...”
Lepaskan aku... Aku orang gila, aku jelek... aahhh... toloooooong...!”
Seorang di
antara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada
saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat
terakhir ketika ia sudah ditelentangkan di lantai goa dan seorang di antara
tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke dalam
goa.
“Aduuuhh...!”
“Auhhh...!”
“Heiii, aduhh...!”
Semua
terjadi demikian cepatnya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang
terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari
tubuhnya dan mereka pun seperti terseret keluar dari dalam goa sambil
mengaduh-aduh.
“Aku gila...
Jangan ganggu aku,.... aku jelek dan gila...!”
Ling Ling
cepat meraih tanah dari sudut goa dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan
tanah basah itu, juga rambutnya. Bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering,
menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding goa yang lembab, kemudian ia
mengenakan kembali pakaiannya. Dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu
ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang
pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak
mereka terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka
dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka,
tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar
dari dalam goa dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun
sia-sia.
Bahkan,
semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka
seperti akan copot bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak
berani meronta lagi dan diam saja diseret keluar dari dalam goa, lalu terus
diseret sampai jauh dari goa.
Mereka
merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah
seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok. Orang itu menggunakan sebelah tangan,
yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu dan
menyeret mereka dengan ringan saja!
Setelah
sadar bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang
lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda
itu menjadi marah sekali.
“Keparat
busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.
Orang itu
bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya
racun perampas ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa
dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat
semuanya. Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan
kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta
tolong.
Dengan
kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran,
tubuhnya berkelebat. Ketika dia memasuki goa kecil itu dan melihat tiga orang
pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu
turun tangan. Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga
orang pemuda itu terpaksa melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat,
tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan,
kemudian menyeret mereka keluar dari dalam goa.
Mendengar
bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda
nelayan itu berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan
tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu
dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan
penghinaan.
Tanpa banyak
cakap lagi, ketiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda
bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara
mendengus-dengus, dan serangan mereka itu dilakukan penuh kemarahan.
“Ehhh...?”
Mereka
terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak
hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu
sudah berada di belakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan
tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan
tiga orang itu pun terjengkang, terbanting keras!
“Hemmm,
kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie
Liong berkata lirih.
Tiga orang
itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak
bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau
leher, membuat mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu
menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan
kami..., taihiap, jangan bunuh kami...!” Mereka berlutut sambil mengangkat
kedua tangan ke atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong
mengerutkan alisnya. “Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu sebab dia
melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun,
taihiap, kami... kami bukan penjahat... kami adalah nelayan yang baru pulang
dari menjala ikan...”
“Huh, kalian
jahat!” kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni
mereka. “Pergilah!”
Kakinya
menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit
dan melarikan diri ketakutan.
Dia teringat
kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi,
maka kakinya melangkah perlahan menuju ke goa kecil di tepi telaga.
“Jangan
ganggu... aku jelek... aku gila... aku kotor, he-he-heh... hi-hi-hik, jangan
ganggu aku...” Terdengar suara wanita itu dalam goa itu.
Sie Liong
cepat menyelinap ke balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu
keluar dari goa dan alisnya berkerut. Seorang wanita gembel gila! Rambutnya
kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula.
Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila
lagi!
Dan wanita
inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu?
Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit gairah birahinya melihat wanita gembel
gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik,
aku gila... ha-ha... jangan ganggu aku... ahhh, jangan ganggu aku...!”
Wanita itu
adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan
setelah ia mengubah dirinya menjadi gembel gila lagi, barulah ia berani keluar
dan untuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan
tetapi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia menghentikan
tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan!
Ia teringat
akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan
teringat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak
ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya.
Sementara
itu dari tempat pengintaiannya Sie Liong tadinya juga mengira bahwa wanita itu
memang gembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke
kanan kiri, lalu menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu
menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan
alisnya berkerut.
Dia adalah
seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya
pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah
baru asli! Ia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya pada saat wanita
yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-hu-huu...
Liong-ko... ahhh, Liong-koko... uhu-hu-hu... kenapa engkau begitu tega...
Liong-ko... uhu-huuu... kalau ada engkau, tentu tidak ada... yang berani
mengangguku... aihh, Liong-koko... di mana engkau...?”
Sie Liong
merasa kepalanya laksana disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh
kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur cepat
ke arah wanita yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita
itu, dan diangkatnya mukanya, lalu tangannya yang tinggal sebelah itu
menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu.
Sinar
matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk
mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi...!
Ling Ling... ahhh, Ling Ling... mengapa engkau jadi begini...?” Sie Liong
berlutut.
siasaLing Ling terbelalak, wajahnya pucat
sekali. Diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, ke arah
lengan kiri yang buntung... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak
terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya
mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan
susah payah baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko...?
Engkau... engkau...” matanya lalu memandang lengan kiri yang buntung. “…engkau
Liong-koko...?”
“Ling-moi,
ini aku, Sie Liong...”
“Liong-koko...!”
Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan akhirnya terkulai, roboh
pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
“Ling-moi,
ahhh, Ling-moi... kau maafkan aku, Ling-moi...!” Sie Liong merangkul serta
mencium pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi
pipi itu.
Kecerdikannya
membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang
ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih
dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi
meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya.
Agaknya,
dengan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang gembel gila untuk
menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa
tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia
menduganya.
Dengan
perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie
Liong mengurut tengkuknya. Karena sebenarnya gadis itu tidak terluka apa pun,
hanya pingsan akibat batinnya terguncang hebat, maka dalam waktu singkat dia
sudah siuman kembali.
Begitu
membuka kedua matanya dan dapat bergerak, Ling Ling sudah berseru gelisah,
“Liong-ko, di mana engkau...?” Dan ia pun serentak bangkit duduk.
Sie Liong
merangkulnya dari samping. “Aku di sini, Ling Ling...”
Ling Ling
menoleh. “Aihhh, Liong-koko... engkau benar Liong-koko...!”
Ia merangkul
dan menangis sesunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan
gadis itu menangis, membiarkan dia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan
yang diderita selama ini agar larut bersama tangisnya.
Setelah
tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari
dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi
dan matanya kini bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi.
“Liong-koko,
kenapa engkau pergi begitu lama? Ahh, Liong-koko, jangan kau tinggalkan aku
lagi. Lebih baik aku mati saja dari pada harus kau tinggalkan lagi,
Liong-koko...”
Tiba-tiba ia
teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat
kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju
kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu.
“Liong-koko...
di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi...? Engkau... lengan
kirimu... buntung...?”
Sie Liong
mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan
lengan kiri, akan tetapi sebagai gantinya dia pun mendapatkan ilmu yang sangat
hebat, sehingga sekarang dia mempunyai tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan
sebelum kehilangan lengan kirinya.
“Aku
terjebak oleh musuh pada saat melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam.
Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tetapi Tuhan masih
melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu.”
“Liong-koko...
ahhh, Liong-koko, kasihan sekali engkau...” gadis itu meraba-raba, lalu
menyingkap baju pemuda itu.
Melihat
betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu
kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi
pundak yang sudah tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah-olah
hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.
Sie Liong
merangkulnya dengan perasaan terharu. “Ling-moi, mengapa engkau masih selalu
mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki
yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada
diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kau harapkan dari seorang seperti
aku?”
“Liong-koko,
aku... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta
padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya pria yang kucinta, bahkan
satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan
tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa
engkau, hidupku akan gulita. Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sampingmu
koko, tentu saja... kalau... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang
bodoh dan buruk, yatim piatu pula.”
“Ling
Ling... ahh, Ling Ling…”
Sie Liong
merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang
dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat
merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang mata gadis itu,
melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya.
“Ling Ling,
aku pun cinta padamu. Aku... aku ingin memperisterimu...”
“Liong-koko…!
Alangkah bahagianya hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu
selama hidupku!”
Sie Liong
tersenyum. “Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari
lumpur itu, juga bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di
sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling
telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia pun bangkit, tersenyum penuh
kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih
sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan
muka dan leher, serta tangannya dari lumpur. Juga rambutnya.
Tidak lama
kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biar pun pakaian Ling Ling masih
butut, akan tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga
rambutnya disanggul. Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak
keluar dari dalam kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani
yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
Sambil
berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lhasa, sambil bercakap-cakap, Ling Ling
lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa karena gelisah memikirkan Sie
Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah
bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa harus menyamar sebagai seorang
gembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, persis
seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga
orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan
tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang gembel gila, bagaimana tiga orang
itu masih ingin mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling
tersipu-sipu. “Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu,
Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu
denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan
khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti gembel gila yang
kotor. Karena keadaan sunyi sepi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku,
lalu memasuki goa. Agaknya, ketika mandi itu, mereka sudah melihatku, dan
ketika aku memasuki goa, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku...”
“Ahh, kita
harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala petunjuk-Nya kepada kita!” seru
Sie Liong dan gadis itu demikian terheran-heran sehingga ia berhenti melangkah
dan memandang wajah Sie Liong dengan heran.
Bibi Cili
menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut
kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi
marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang
lihai sekali. Walau pun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut.
“Aih,
taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa
pamit dan saya tidak tahu ke mana dia pergi. Dan sekarang, tahu-tahu telah
kembali dengan taihiap, dan... ihhh, pakaiannya seperti ini...”
Sie Liong
tersenyum. “Kami tak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih
sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar
mencarikan pakaian untuk kami, dan ke dua kalinya, sekali lagi aku akan
menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”
“Liong-koko…!
Apa artinya kata-katamu ini? Engkau... hendak menitipkan aku... hendak
meninggalkan aku lagi?” suara itu sudah mengandung isak, sedang wajah itu
berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes.
Sie Liong
tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. “Pergilah, bibi. Harap engkau carikan
beberapa pasang pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, bila urusanku
telah selesai, pasti harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan buat
tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak
usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberi uang
berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu.”
Bibi Cili
lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong
menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.
“Ling-moi,
dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain
amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tak mungkin dapat mendiamkan
saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah
menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Karena itulah
aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak
mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itu
terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau
berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu aku sudah kembali.”
“Akan
tetapi, Liong-ko... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau
untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat
menjaga diriku, Ling Ling. Andai kata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu
tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan jika hal itu memang harus terjadi,
engkau atau aku atau siapa pun juga tidak akan mampu mencegahnya.”
“Biar pun
aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku
harus mati pun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan
tinggalkan aku, bawalah aku...”
Pada saat
itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu
dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak
laki-laki yang suka disuruh-suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada
apa?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci...
celaka, cici... bibi Cici... bibi... Cili...”
“Ada apa
dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.
“Ia... ia tadi
ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta kemudian dilarikan
keluar kota...”
Sie Liong
segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu para anak buah
Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka
wanita itu ditangkap.
“Ling-moi,
aku harus menyelamatkan bibi Cili...,” katanya.
Sebelum Ling
Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu
ke mana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke
sarang Kim-sim-pang!
Sementara
itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan
dan bersembunyi ke dalam rumahnya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan
terakhir Sie Liong masih terngiang di telinganya. Bagaimana pun juga, ia harus
mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya.
Gerombolan
penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, pendekar itu
tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus
dapat memaklumi tugas seorang pendekar!
Ia tadi
telah terlalu mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi
miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka semua
yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh
harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan
tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak
dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh.
Ling Ling
hendak menjerit, akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, dia pun
roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain
saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang lantas membawanya lari
melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali…..
**************
Sie Liong
melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tidak lama kemudian, tepat
seperti diduganya, dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda
dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah
berhasil menyusul. Sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang
menarik kereta dan biar pun dia hanya memiliki sebuah tangan saja, akan tetapi
tangan yang mengandung tenaga sangat dahsyat itu sekali tangkap telah membuat
kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam
kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu segera
melompat turun. Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak
cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi,
pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya lalu berputar
seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak...!”
Lima orang
itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan
baju tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang.
Golok mereka beterbangan dan mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau
tidak berani bangkit lagi.
Sie Liong
tidak mempedulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Di
dalam kereta Bibi Cili duduk ketakutan sambil menangis. Sie Liong membimbingnya
turun dari kereta.
“Jangan
takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya.
Wanita itu
hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang
ke rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili
masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak
menculik bibi Cili.
Setelah
mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia sudah
tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai
kertas di atas meja, tertancap oleh sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya
kertas itu dan dia membaca tulisannya.
Pendekar
Bongkok!
Kalau engkau
menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama
Sie Liong
mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong
dan dia berkata lirih, “Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi
Tuhan, kubunuh engkau!”
Dan tubuhnya
berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi makin ketakutan…..
“Omitohud...
sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau
begitu, demi keamanan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa
kami harus mengambil tindakan.” Dalai Lama bicara dengan nada suara serius,
setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang menghadap bersama
Sie Lan Hong.
Setelah
mereka meninggalkan kuburan, di mana mereka melihat kuburan Sie Liong meledak
dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai Yang
Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi
menghadap Dalai Lama kembali.
Dalai Lama
adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang
dikuasai amarah. Tetapi sesudah mendengar laporan dari Lie Bouw Tek mengenai
perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja hendak melempar fitnah kepadanya, apa lagi
mendengar pula betapa Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan
berbuat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja.
Dalai Lama
lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang
berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan
diam-diam Lie Bouw Tek merasa kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak orang
pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam perundingan
itu, oleh karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi
keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang
dari dua puluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Kong Ka Lama sendiri,
memimpin kurang lebih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu
berangkat menuju ke sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga
berada di antara para pimpinan. Dan di belakang mereka, menyusul kemudian lima
ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, tetapi mengambil jalan
lain supaya dapat melakukan pengepungan…..
***************
Di pihak
Kim-sim-pang juga para pimpinannya sedang membuat persiapan, akan tetapi
persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari
para penyelidik bahwa Thai Yang Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar
Bongkok yang sudah kosong, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia
menyebar para penyelidik untuk mencari di mana adanya Pendekar Bongkok.
Para
penyelidik ini sempat melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong
wanita gembel gila dari gangguan tiga orang nelayan. Mereka lalu melaporkan hal
ini kepada Kim Sim Lama yang cepat mengatur siasat bersama para pembantunya
yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar Bongkok masih hidup dan
dapat keluar dari dalam kuburan! Bahkan telah membunuh Thai Yang Suhu pula!
Tadinya,
ketika mendengar bahwa mayat Thai Yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat
Pendekar Bongkok lenyap, dia menduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang
melakukan pembunuhan terhadap pembantunya itu dan membawa lari mayat Pendekar
Bongkok. Akan tetapi, pada waktu dia mendengar laporan para anak buahnya
tentang kemunculan Pendekar Bongkok yang menolong gadis gembel gila, dia menjadi
terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan
hal itu.
“Ahhh,
bagaimana mungkin dia hidup kembali?” Thai Hok Lama, orang ke empat Tibet
Ngo-houw yang juga merupakan seorang ahli racun itu berseru. “Mungkin saja dia
dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan tetapi bagaimana mungkin dia bisa
tetap hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas selama beberapa hari? Ini
tentu ada orang yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu
tentu Camundi Lama!”
“Hemmm,
benar sekali!” kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. “Kami
memang sejak dahulu tidak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada
Dalai Lama. Hanya karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak
membunuhnya.”
Kim Sim Lama
mengangguk-angguk. Dia pun curiga kepada Camundi Lama. “Panggil Camundi Lama ke
sini!” teriaknya kepada pengawal.
Sementara
itu, mendengar akan lolosnya Pendekar Bongkok, bukan main terkejut dan marahnya
hati Coa Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim
Lama karena rahasianya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya
baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu. Tentu Sie
Liong tidak akan tinggal diam saja dan pasti akan membalas dendam. Pendekar Bongkok
itu harus didahului!
“Locianpwe,
Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan kiranya saya tahu bagaimana caranya!”
kata Coa Bong Gan.
Yauw Bi Sian
yang hadir di situ tidak banyak bicara. Memang ia masih merasa amat menyesal
bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia
semangatnya lemah, dan pula bagaimana pun juga, Pendekar Bongkok adalah orang
yang telah membunuh ayah kandungnya.
“Bagaimana
cara itu?” tanya Kim Sim Lama, tertarik.
“Dia harus
dipaksa datang ke sini. Saya akan memancingnya agar dia keluar dari rumah
pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis gembel gila itu, dan kalau dia
sudah tiba di sini, mudah saja untuk membunuhnya!”
Kim Sim Lama
tersenyum cerah. “Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kau buntungi, betapa pun
lihainya, dia tidak ada artinya lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!”
Coa Bong Gan
cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula sebuah
kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggalkan rumah bibi Cili,
dia menyuruh empat orang pembantunya itu menculik bibi Cili di tempat ramai.
Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan orang tentang penculikan itu.
Dan tepat
seperti yang sudah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam
rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang
lantas dipergunakan oleh Bong Gan untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling,
sambil dia meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si
Pendekar Bongkok.
Ketika
Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengobatan itu
menghadap sambil tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lolosnya Pendekar
Bongkok dari dalam kuburan. Tidak sia-sia semua usahanya menyelamatkan pendekar
itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama
mencurigainya.
“Camundi
Lama!” bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. “Engkau memang pengkhianat!
Apa yang telah kau lakukan saat engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?”
Camundi Lama
tersenyum, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dadanya. “Omitohud...
pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi
hamba kemurkaan dan kejahatan. Engkaulah yang sudah menjadi pengkhianat,
mengkhianati Dalai Lama, mengkhianati kebenaran, mengkhianati manusia dan
Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar
Bongkok. Pinceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia
dapat bernapas melalui tabung.”
“Keparat
jahanam!” Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim
Sim Lama juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.
“Tangkap
dia! Akan kusiksa sendiri dia sampai mati!”
Akan tetapi,
ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama
tertawa. “Ha-ha-ha, tak perlu kalian repot-repot. Sekarang pun pinceng akan
pergi meninggalkan kalian orang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim
Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak hanya akan meracuni
dirimu sendiri lahir batin.”
Setelah
berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika semua orang memeriksa kakek
itu, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli
pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya
halus namun pasti. Pada waktu Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim
Lama menjadi amat girang.
“Ahh, pantas
kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini,” katanya sambil memandang Ling Ling
yang nampak ketakutan. “Kiranya gadis ini bukanlah gembel gila, melainkan
seorang gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biarlah kami serahkan gadis ini
dalam pengawasanmu. Jangan sampai dia dapat meloloskan diri sebelum Pendekar
Bongkok datang memenuhi tantangan kami.”
Coa Bong Gan
mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya
memandang dengan alis berkerut, namun tidak peduli. Kini ia tidak peduli
apa-apa lagi, juga tidak peduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu
bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu dikuasai oleh kekuatan sihir
dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat,
juga ahli dalam ilmu sihir.
Sebetulnya,
sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dapat
dikuasai dengan ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang risau dan
bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada
Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia merasa iba.
Juga
perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang
timbul dari nafsu birahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci,
bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan khianat, bermain
gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat karena melihat
kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi
pemuda itu berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Kini Kim Sim
Lama, dan para pembantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi
ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama
untuk menyelamatkan Ling Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini. Akan
tetapi Bi Sian sendiri diam-diam meragukannya. Bagaimana Sie Liong akan berani
datang? Selain Kim Sim Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong,
juga kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga kelihaiannya
tentu saja berkurang banyak!
Selain itu,
mengapa pula pamannya itu akan mati-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan
seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya
agak gelap? Bagaimana pun juga, ia ikut merasa tegang menanti kemunculan Sie
Liong, Si Pendekar Bongkok.
Akhirnya,
saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itu pun tibalah. Kemunculan Pendekar
Bongkok benar-benar mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri.
Semenjak penculikan terhadap Ling Ling dilakukan dan sejak kemunculan Sie Liong
si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua
anak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi
betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantunya sedang duduk di
dalam ruangan belakang, ruangan luas yang juga digunakan sebagai ruangan
berlatih silat, duduk berunding untuk mengaturt kalau Pendekar Bongkok berani
muncul.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment