Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 01
ANAK
LAKI-LAKI berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca jendela
dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya
menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya. Ruangan itu luas dan
terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak tawa
tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh ayahnya. Dari luar jendela
ia tidak dapat menangkap suara percakapan yang diselingi tawa itu karena amat
bising bercampur suara musik, akan tetapi anak ini menjadi marah dan sedih
menyaksikan sikap ayahnya terhadap para tamu pembesar itu.
Ayahnya
bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang biasanya bengis terhadap
para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini menjadi manis berlebih-lebihan,
tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua tangan sendiri
melayani seorang pembesar yang brewok tinggi besar, menuangkan arak sambil
membungkuk-bungkuk.
Ayahnya yang
dipanggil ke kanan kiri oleh para pembesar menjadi gugup dan kakinya tersandung
kaki meja. Guci arak yang dipegangnya miring, isinya tertumpah dan sedikit arak
menyiram celana dan sepatu seorang pembesar lain yang bermuka kuning. Anak itu
dari luar jendela melihat betapa pembesar ini memelototkan mata, mulutnya
membentak-bentak dan tangannya menuding-nuding ke arah sepatu dan celananya.
Ayahnya cepat berlutut dan menggunakan ujung bajunya menyusuti sepatu dan
celana itu sambil mengangguk-angguk dan bersoja seperti seekor ayam makan padi!
Tak terasa lagi air mata mengalir ke luar dari sepasang mata anak laki-laki
itu, membasahi kedua pipinya dan ia mengepalkan kedua tangannya.
Ia marah dan
sedih, dan terutama sekali, ia malu! Ia malu sekali menyaksikan sikap ayahnya.
Mengapa ayahnya sampai begitu merendahkan diri? Bukankah ayahnya terkenal
sebagai Sie-wangwe (Hartawan Sie) yang amat kaya raya dan disegani semua orang,
bukan hanya karena kaya rayanya, melainkan juga karena ia terkenal pula dengan
nama Sie-siucai (Orang Terpelajar Sie). Ayahnya hafal akan isi kitab-kitab, bahkan
dia sendiri telah dididik oleh ayahnya itu menghafal dan menelaah isi
kitab-kitab kebudayaan dan kitab-kitab filsafat.
Semenjak
berusia lima tahun, dia telah belajar membaca, kemudian membaca kitab-kitab
kuno dan oleh ayahnya diharuskan mempelajari isi kitab-kitab itu yang menuntun
orang mempelajari hidup dan kebudayaan sehingga dapat menjadi seorang manusia
yang berguna dan baik. Akan tetapi, setelah kini menghadapi pembesar-pembesar
Mancu, mengapa ayahnya menjadi seorang penjilat yang begitu rendah?
Anak itu
bernama Han, lengkapnya Sie Han dan panggilannya sehari-hari adalah Han Han.
Dia putera bungsu Keluarga Sie, karena Sie Bun An yang disebut Hartawan Sie
atau Sastrawan Sie hanya mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang
anak perempuan, kini telah berusia tujuh belas tahun, bernama Sie Leng. Han Han
adalah anak ke dua. (Ini anaknya Jay-hwa-sian Suma Hoat yang dibawa minggat
sejak masih dalam kandungan ibunya, Kwa Bi Kiok. Untuk lebih jelasnya silahkan
baca episode Istana Pulau Es)
Pada saat
itu, Han Han yang mengintai dari balik kaca jendela melihat ayahnya sudah
bangkit kembali, agaknya mendapat ampun dari pembesar muka kuning, dan kini
menghampiri pembesar brewok yang sudah setengah mabuk dan memanggilnya.
Pembesar brewok itu berkata-kata kepada ayahnya dan ia melihat betapa ayahnya
menjadi pucat sekali dan menggeleng-gelengkan kepala. Akan tetapi pembesar
brewokan itu menggerakkan tangan kanan dan ayahnya terpelanting roboh.
Han Han
hampir menjerit. Ayahnya telah ditampar oleh pembesar brewok itu! Dan semua
pelayan yang membantu melayani tujuh orang pembesar itu berdiri dengan muka
pucat dan tubuh menggigil. Tujuh orang pembesar Mancu kini tertawa-tawa dan
riuh-rendahlah mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan mendesak ayahnya melakukan
sesuatu.
Si Pembesar
Muka Kuning sekarang menggerakkan tangan sambil berdiri dan ia telah mencabut
pedangnya. Dengan gerakan penuh ancaman pembesar muka kuning itu menusukkan
pedangnya sehingga ujung pedang menancap di atas meja, berdiri dengan gagang
bergoyang-goyang mengerikan.
Han Han
membelalakkan matanya dan ia menyelinap turun dari tempat pengintaiannya. Kini
ia menjenguk dari pintu belakang, terus masuk dan akhirnya ia berhasil masuk
tanpa diketahui, berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di balik tirai kayu,
di mana ia dapat mengintai dan juga dapat mendengarkan percakapan mereka.
“Sie Bun
An!” terdengar pembesar brewok membentak sambil menundingkan telunjuknya kepada
sastrawan itu yang sudah berlutut dengan tubuh menggigil dan muka pucat,
“Apakah engkau masih berani membantah dan tidak memenuhi perintah kami?”
Suaranya terdengar lucu karena kaku dan pelo ketika bicara dalam bahasa Han.
“Kau kira
kami ini orang-orang macam apa? Kami bukan serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa
artinya penyanyi-penyanyi dan pelacur-pelacur ini?” Si Muka Kuning menunjuk ke
arah para wanita sewaan yang memang disediakan di situ untuk melayani dan
menghibur mereka. “Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau
kami tidak menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu!”
“Ha-ha-ha!
Aku mendengar Nyonya Sie dan puterinya amat cantik manis!” berkata seorang
pembesar lain yang perutnya gendut tapi kepalanya kecil.
“Suruh
mereka melayani kami, baru kami percaya bahwa engkau benar-benar tunduk dan
taat kepada pemerintah baru, bangsa Mancu yang jaya!” kata pula seorang
pembesar lain yang kurus kering.
“Tapi...
tapi...!” Suara ayahnya sukar terdengar karena menggigil dan perlahan,
kepalanya digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke atas. “Hal itu ti...
tidak mungkin... ampunkan kami, Taijin...”
Melihat
ayahnya meratap seperti itu, air mata Han Han makin deras ke luar membasahi
pipinya. Bukan hanya sedih karena kasihan, melainkan terutama sekali karena
malu dan kecewa. Ia tahu banyak keluarga di kota itu yang pergi mengungsi
sebelum kota itu terjatuh ke tangan bangsa Mancu, mengungsi dan meninggalkan
rumah serta hartanya. Akan tetapi ayahnya tidak mau meninggalkan kota, rupanya
sayang kepada hartanya dan percaya bahwa kalau ia bersikap baik dan suka
menyuap kepada bangsa Mancu, ia akan dapat hidup aman di situ.
“Kau
membantah? Kalau begitu kau memberontak terhadap kami, ya? Hukumannya penggal
kepala!” Si Perwira Muka Kuning bangkit dari kursinya, mencabut pedang yang
menancap di atas meja dan mengangkat pedang itu, siap memenggal kepala Sie Bun
An yang masih berlutut. Semua pelayan yang hadir, termasuk penabuh musik dan
wanita-wanita sewaan menjadi pucat dan mendekap mulut sendiri agar tidak
menjerit. Han Han dari balik tirai memandang dengan mata melotot.
“Tahan...!”
Terdengar jerit dari dalam dan muncullah Sie-hujin (Nyonya Sie) berlari dari
dalam. “Mohon para Taijin yang mulia sudi mengampuni suami hamba...! Biarlah
hamba melayani Taijin...”
Tujuh orang
perwira Mancu itu menoleh dan berserilah wajah mereka. Perwira muka kuning
menyeringai dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian sekali tangan kirinya
bergerak, ia telah menyambar pinggang Nyonya Sie dan dipeluk, terus dipangkunya
sambil tertawa-tawa.
“Benar
cantik...! Masih cantik, montok dan harum...! Hemmm...!” Perwira muka kuning
itu tidak segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya itu yang saking kaget,
takut dan malunya hanya terbelalak pucat.
Memang
Nyonya Sie adalah seorang wanita cantik. Biar pun usianya sudah tiga puluh lima
tahun, akan tetapi tubuhnya yang terawat baik itu masih padat, wajahnya yang
memang jelita tampak lebih matang menggairahkan. Para perwira lainnya tertawa
bergelak menyaksikan betapa perwira muka kuning itu mendekap dan mencium sesuka
hatinya, seolah-olah di situ tidak ada orang lain lagi, sedangkan para pelayan
yang melihat betapa nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti
itu, menggigil dan menundukkan muka tidak berani memandang. Sie Bun An sendiri
yang masih berlutut memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak
dapat bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu.
“Taijin...
ampun...” Nyonya Sie megap-megap karena sukar ia bicara dengan bibir diciumi
secara kasar seperti itu. “... lepaskan... ohhh, ampun, saya... adalah wanita
baik-baik...”
Sebagai
jawaban, perwira muka kuning itu tertawa dan mencubit dagunya yang halus.
“Karena wanita baik-baik, aku suka padamu, manis. Hayo kau minum arak ini untuk
menyambut aku, ha-ha-ha!” Perwira itu menyambar cawan araknya yang masih penuh,
lalu memaksa nyonya itu minum.
Nyonya Sie
hendak menolak, akan tetapi dipaksa sehingga sebagian arak memasuki mulut,
sebagian tumpah mengenai pakaiannya. Arak merah itu membuat pakaiannya yang
putih seperti terkena darah.
Han Han
menggigil seluruh tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia mengepal tinju dengan
air mata bercucuran. Ia hendak melompat maju menolong ibunya, akan tetapi pada
saat itu ia tertarik oleh tingkah perwira brewok yang meloncat berdiri.
Gerakannya amat gesit sehingga amat janggal bagi tubuhnya yang tinggi besar dan
perutnya yang seperti gentong gandum.
“Ha-ha-ha,
kalau ibunya matang dan denok seperti ini, tentu puterinya ranum dan segar.
Cocok untukku! Biar kujemput dia!” Sambil berkata demikian perwira brewok itu
sambil tertawa-tawa melangkah masuk melalui pintu dalam.
“Ha-ha-ha,
baik sekali! Jemput dia, jemput dia...!” sorak perwira lain.
“Ohhh,
uuuhhhh...!” Nyonya Sie meronta, akan tetapi perwira muka kuning mempererat
pelukannya dan membungkam mulutnya dengan ciuman kasar.
Han Han
menggigil di tempatnya. Kakinya seperti terpaku dan dengan penuh perasaan jijik
ia melihat betapa ayahnya kini bertutut sambil menangis! Alangkah lemahnya
ayahnya itu! Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari mengejar perwira
brewok atau menyerang perwira muka kuning? Mati bukan apa-apa untuk membela
kebenaran.
Bukankah
demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab tentang kegagahan seorang enghiong
disebut bahwa seribu kali lebih berharga mati sebagai seorang terhormat dari
pada hidup sebagai seekor anjing penjilat. Dan ayahnya ternyata memilih hidup
seperti anjing penjilat! Bukankah peri-bahasa mengatakan bahwa harimau mati
meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama? Kulit harimau berharga,
nama pun harus berharga. Akan tetapi ayahnya memilih hidup sebagai tikus yang
tidak ada harganya sama sekali.
Terdengar
jerit mengerikan dan tak lama kemudian perwira brewok itu telah muncul kembali
sambil memondong seorang gadis yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Gadis yang
cantik sekali, tubuhnya seperti batang pohon yangliu, rambutnya panjang hitam
dan kulitnya putih seperti susu baru diperas.
Perwira
brewok itu melangkah lebar, kemudian duduk kembali di tempatnya sambil memangku
Sie Leng dan menciumi muka yang halus putih kemerahan itu dengan mukanya
sendiri yang kasar dan penuh cambang bauk sehingga seakan-akan muka yang halus
itu disikat oleh sikat yang kasar dan kaku. Sie Leng yang hendak menjerit tak
dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup oleh mulut Si Perwira Brewok
yang lebar.
Tiba-tiba
terdengar teriakan serak dan melompatlah Sie Bun An yang tadinya berlutut.
Bangga hati Han Han melihat betapa ayahnya kini menjadi seekor harimau,
meloncat bangun dan sambil berteriak menerjang maju hendak memukul Si Perwira
Brewok. Akan tetapi kebanggaan hati Han Han berubah menjadi kecemasan ketika Si
Brewok itu menyambut tubuh ayahnya dengan sebuah hantaman tangan kiri yang
tepat mengenai dada ayahnya.
“Dukkk...!”
Tubuh Sie
Bun An terlempar ke belakang dan mulutnya muntahkan darah segar. Hartawan ini
sejak kecilnya hanya tekun mempelajari sastra, sama sekali tidak pandai ilmu
silat, maka tentu saja sekali terkena pukulan berat perwira brewok itu, ia
terluka dalam dan muntah darah. Namun, Sie Bun An benar-benar telah menjadi
seekor harimau marah. Kemarahan dan sakit hati membuat ia seperti tidak
merasakan nyeri akibat pukulan itu. Sambil berteriak, ia maju lagi. Karena
ketika dia terlempar, ia jatuh ke dekat tempat duduk perwira muka kuning yang
masih menciumi isterinya dan meremas-remas serta meraba-taba tubuh wanita yang
ketakutan itu, kini Sie Bun An menyerang perwira muka kuning. Akan tetapi
perwira muka kuning itu sudah mencabut pedangnya, menusuk ke depan dan...
“Blesssss...!”
pedang itu menembus perut Sie Bun An sampai ke punggung. Tubuh Sie Bun An
menegang kaku, matanya terbelalak, dan ketika pedang dicabut, ia mendekap
perutnya lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak bergerak lagi. Lantai di
bawahnya merah oleh genangan darahnya yang masih mengucur ke luar dari perut
dan punggung.
Han Han
hampir pingsan menyaksikan semua ini. Ia melihat betapa ibunya dan cici-nya
menjerit dan meronta-ronta, namun perwira brewok dan perwira muka kuning sambil
tertawa-tawa telah memondong tubuh mereka, bangun berdiri dan Si Brewok berkata
dengan suara memerintah kepada lima orang perwira lain yang masih duduk.
“Rumah ini
boleh dibersihkan, suruh anak buah masuk membantu!”
Setelah
berkata demikian, Si Brewok memondong tubuh Sie Leng masuk ke dalam ruangan
belakang, diikuti oleh Si Muka Kuning yang memondong Nyonya Sie. Dua orang
wanita ini menjerit-jerit, akan tetapi segera dibungkam oleh ciuman-ciuman. Ada
pun lima orang perwira itu bersorak dan berpestalah mereka. Pesta yang amat
liar karena sambil berteriak memanggil pasukan yang menjaga di luar, mereka ini
meraih para wanita sewaan dan berpesta mabuk-mabukan. Mayat Sie Bun An masih
menggeletak di situ tidak ada yang berani merawatnya.
Dengan tubuh
menggigil saking marah dan dukanya, Han Han menyelinap ke belakang dan memasuki
rumah melalui pintu belakang. Ia sudah mengambil ke-putusan nekat untuk mati
bersama ayah dan ibunya. Ia harus menolong ibunya, menolong cici-nya! Tanpa
mengenal takut lagi anak ini berlari-lari menuju ke kamar ibunya.
Akan tetapi
sebelum ia memasuki kamar ibunya yang sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar jerit
cici-nya di kamar sebelah, yaitu kamar cici-nya. Cepat ia mendorong pintu kamar
itu dan apa yang disaksikannya membuat darahnya mendidih. Cici-nya
menjerit-jerit dan berusaha melawan perwira Mancu brewok yang hendak
memperkosanya, akan tetapi kembali jeritnya lenyap ke dalam mulut Si Perwira.
Pakaian
gadis yang bernasib malang itu robek semua dan ia sama sekali tidak berdaya
menandingi kekuatan Si Perwira Brewok yang terengah-engah dan terkekeh-kekeh,
agaknya makin hebat nona itu meronta dan melawan, makin senanglah hatinya.
Dalam pandangan Han Han, ia seolah-olah melihat seekor kucing besar yang mempermainkan
seekor tikus kecil sebelum ditelannya. Ia sudah melangkah maju dengan tangan
terkepal, hendak nekat menubruk dan memukul punggung Si Brewok ketika tiba-tiba
terdengar suara ibunya.
“Leng-ji
(Anak Leng)... anakku...!”
Suara ini
terdengarnya demikian memilukan sehingga Han Han mengurungkan niatnya menolong
cici-nya, atau terlupa karena seluruh perhatiannya kini tertuju kepada ibunya.
Agaknya Nyonya Sie yang sudah hampir pingsan karena teringat kepada suaminya,
dan kini pun tidak berdaya menghadapi rangsangan Si Perwira Muka Kuning, timbul
kekuatannya ketika mendengar jerit Sie Leng, kemudian meronta sambil memanggil
anaknya. Ia berhasil melepaskan diri dari pada cengkeraman kedua tangan perwira
muka kuning. Dengan pakaian hampir telanjang ia lari ke pintu, namun sekali
melompat, perwira muka kuning telah menangkapnya kembali dan melemparkannya ke
atas pembaringan sambil tertawa.
“Heh-heh,
biarkanlah puterimu sedang bersenang-senang dengan kawanku. Mari kini
bersenang-senang di sini, Manis. Heh-heh-heh!” Kembali ia menubruk nyonya itu.
Pada saat
itulah Han Han mendorong pintu kamar ibunya dan meloncat masuk. Melihat keadaan
ibunya, ia berteriak nyaring dan menerjang maju, memukuli punggung perwira muka
kuning, menjambak rambutnya, membetot-betotnya agar melepaskan ibunya.
“Ehhh! Bocah
setan...! Mau apa kau...?” Perwira itu menoleh, tanpa menghentikan usahanya
menggelut Nyonya Sie.
“Han Han...!
Pergilah...! Pergilah jauh-jauh dari sini...!” Nyonya Sie bergerak dan
membelalakkan mata melihat puteranya.
“Ibu...!”
“Hemmm,
anakmu, ya? Mengganggu saja!” Si Perwira Muka Kuning meloncat, menjambak rambut
Han Han sehingga tubuh anak itu tergantung. Akan tetapi Han Han tidak takut,
malah melotot dan kedua tangannya berusaha memukul. Perwira itu lalu menampari
mukanya.
“Plak-plak-plak!”
Berkali-kali sampai muka itu menjadi matang biru dan membengkak, mulutnya
mengeluarkan darah.
Namun anak
itu masih memandang dengan mata melotot penuh kebencian kepada perwira muka
kuning.
“Han
Han...!” Nyonya Sie menjerit.
Perwira itu
membanting tubuh Han Han ke atas lantai, suaranya berdebuk dan tubuh anak itu
rebah miring. Akan tetapi Han Han masih bergerak hendak bangun. Sebuah
tendangan mengenai tengkuknya, membuat kepalanya nanar dan berkunang. Lalu
kembali kaki perwira itu menendang, keras sekali mengenai dadanya. Tubuh anak
itu terlempar membentur dinding. Kepalanya terbanting pada dinding, napasnya
sesak dan anak itu roboh tak sadarkan diri, mukanya membengkak dan matang biru
se-hingga matanya tidak tampak, mulutnya mengeluarkan darah, demikian pula
hi-dungnya.
“Han
Han...!” Namun jerit Nyonya Sie ini lenyap dalam suara gaduh di seluruh rumah
itu, di mana para serdadu Mancu mulai merampoki barang-barang berharga, dan
la-pat-lapat terdengar jerit tertahan Sie Leng diselingi suara ketawa yang
parau dari perwira brewok dan suara kekeh menjijikkan dari perwira muka kuning.
Malam yang
amat mengerikan. Malam terkutuk bagi keluarga Sie. Malam jahanam di mana
terjadi perbuatan-perbuatan terkutuk yang sudah terlampau sering terjadi di
dalam jaman perang. Pembunuh-pembunuhan, perkosaan, perampokan!
Perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan manusia-manusia beradab.
Malam penuh noda, darah membanjir dan iblis tertawa gembira karena malam-malam
jahanam seperti itu adalah malam-malam kemenangan baginya.
Han Han
tersadar di tengah-tengah suara hiruk-pikuk. Ia segera teringat dan cepat
bangkit. Akan tetapi ia mengeluh, kepalanya nyeri bukan main, berdenyut-denyut
keras, kiut-miut rasanya seperti akan pecah, dadanya pun nyeri dan napasnya
sesak. Ia tentu akan roboh kembali kalau saja tidak melihat ibunya. Ibunya
menggeletak di lantai tidak berpakaian lagi. Tubuhnya yang berkulit putih itu
berlepotan darah dan darah tergenang di bawahnya, mengalir ke bagian yang
rendah dari lantai kamar itu. Leher ibunya terluka besar sekali, hampir putus
sehingga kepala itu letaknya terlalu miring dan tampak aneh.
“Ibu...!”
Han Han belum sadar betul akan keadaan ibunya, terhuyung-huyung menghampiri dan
hendak mengangkat tubuh ibunya. Akan tetapi matanya terbelalak memandang leher
yang hampir putus, mata yang terbuka, mata yang tidak bersinar lagi.
“Ohhh...
ohhh... Ibuuuuu...!” Han Han menjerit dan tergelimpang roboh di dekat mayat
ibunya, pingsan kembali.
Rumah gedung
Keluarga Sie yang telah dirampok habis-habisan itu kini dimakan api. Ini adalah
siasat para perwira tadi yang lebih baik membuat rumah itu menjadi lautan api
untuk menutupi perbuatan-perbuatan biadab mereka. Kalau rumah sudah hancur
menjadi abu, siapa bisa membuktikan bahwa rumah itu habis dirampok? Kalau mayat
itu sudah menjadu abu, siapa dapat mengatakan bahwa mereka itu diperkosa atau
dibunuh?
Tidak ada
seorang pun tetangga yang berani muncul. Mereka sendiri masih merasa untung
terlewat oleh bencana yang ditimbulkan oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Pada
setiap negara yang dilanda perang, terbuktilah bahwa segala sesuatu yang
tadinya dianggap menguntungkan dan menyenangkan bahkan dapat menjadi
sebab-sebab malapetaka! Aneh akan tetapi nyata bahwa dalam keadaan seperti itu,
mereka yang kaya raya dan mereka yang mempunyai anak-anak perempuan cantik
malah menjadi korban, sebaliknya mereka yang miskin tidak mempunyai apa-apa dan
yang tidak mempunyai anak gadis cantik, malah aman dan tidak terganggu! Kalau
sudah begini, tak seorang pun berani mengatakan bahwa harta benda dan kekayaan
duniawi ini merupakan syarat hidup bahagia!
Di antara
sinar api yang membakar rumah gedung Keluarga Sie, yang menerangi kegelapan
malam sunyi, tampak bayangan seorang laki-laki tua dengan nekat menyelinap
memasuki rumah bagian yang belum dimakan api. Asap tebal menyambutnya,
membuatnya terbatuk-batuk dan membuat matanya seperti buta, akan tetapi orang
ini terus masuk dan meraba-raba. Biar pun api itu amat terang, namun cahayanya
membuat mata buta karena setiap mata dibuka, hawa panas menusuk-nusuk.
Akan tetapi
orang itu agaknya sudah hafal akan keadaan di dalam gedung ini. Buktinya ia
dapat terus menyelinap masuk, menuju ke kamar-kamar di sebelah belakang, dekat
ruangan dalam yang tadi dipakai pesta-pora, di mana kini menggeletak mayat Sie
Bun An dan tiga orang pelayan pria yang juga dibunuh oleh serdadu-serdadu Mancu
itu. Laki-laki itu tidak mempedulikan mayat-mayat ini, terus terhuyung-huyung
masuk dan akhirnya ia memasuki kamar Nyonya Sie mendorong pintu yang sudah
mulai termakan api.
“Sie-hujin...!
Kongcu (Tuan Muda)...!” Ia berseru dan cepat berlutut dekat dua sosok tubuh
itu. Tubuh Nyonya Sie yang telanjang bulat dan mandi darah itu hanya ia lirik
sebentar saja, akan tetapi ketika ia meraba tubuh Sie Han yang belum mati,
cepat ia mendukung tubuh anak itu dan hendak dibawanya ke luar kamar. Akan
tetapi pintu kamar itu kini sudah terbakar semua, bahkan mulai runtuh dan atap
pun sudah terjilat api!
Laki-laki
itu kebingungan lalu menuju ke jendela kamar. Didorongnya jendela itu dengan
bahunya, dan asap bercampur api menjilat masuk. Ia tidak peduli akan hawa panas
yang menyesak dada, terus saja ia menerobos ke luar melalui jendela dan
setibanya di luar jendela, sebagian atap yang terbakar menimpanya! Orang itu
mendekap tubuh Han Han dan kayu yang membara menimpa kepala dan pun-daknya.
Rasa nyeri dan panas menyengat tubuhnya, membuatnya hampir roboh. Akan tetapi
ia hanya jatuh berlutut saja, cepat bangkit kembali dan terhuyung-huyung
mencari jalan keluar.
Beberapa
kali ia menerjang lautan api, rambutnya sudah terbakar habis, juga kumis,
jenggot dan alisnya. Mukanya sudah hangus dan melepuh, pakaiannya setengah
telanjang dan hangus, tubuhnya melepuh semua dan napasnya terengah-engah. Akan
tetapi akhirnya ia berhasil keluar dari lautan api dan terhuyung-huyung
memasuki taman yang gelap. Sinar api hanya menyinar melalui celah-celah pohon
kembang dan di tempat inilah laki-laki itu terguling roboh. Tubuh Han Han
terlepas dari dukungannya dan terbanting pula ke atas tanah yang bertilam
rumput hijau basah dan segar.
“Ibu...!”
Han Han siuman kembali dan pertama-tama yang teringat olehnya adalah ibunya.
Akan tetapi sinar merah dan suara berkerotokan rumah terbakar itu
menyadarkannya dan ia cepat bangkit duduk menoleh ke arah rumah keluarganya
yang terbakar. “Ibu...!”
“Aagghhh...
Kongcu... Ibumu... sudah tewas...”
Han Han
bangkit dan terhuyung-huyung menghampiri orang yang rebah tak jauh dari situ.
Ia berlutut dan hampir tak dapat mengenal wajah yang sudah melepuh, kepala yang
gundul dan tubuh yang hangus itu. Akan tetapi sinar api kadang-kadang menjilat
sampai ke situ dan ia dapat mengenal bentuk muka ini.
“A Sam...!”
Ia memeluk. Anak ini amat cerdik dan kuat ingatan. Tadi ia berada di kamar
ibunya, sekarang berada di taman dan A Sam luka-luka terbakar. Segera ia dapat
menarik kesimpulan bahwa pelayannya yang setia inilah yang menolongnya keluar
dari rumahnya yang terbakar. Ia teringat ayahnya yang sudah tewas pula, dan
teringat cici-nya di kamar sebelah.
“Cici
Leng...?”
“...dibawa
pergi... anjing-anjing Mancu... kau pergilah, Kongcu... pergilah jauh-jauh...
menyamar sebagai pengemis... jangan berada di kota ini... aku... aku...
auugghhh...” A Sam, pelayan tua yang amat setia dari Keluarga Sie, yang selalu
menjadi teman bermain Han Han semenjak ia dapat berjalan, menjadi lemas.
“A Sam...! A
Sam...!” Namun orang itu tidak menyahut, dan tidak akan dapat menjawab lagi
karena ia telah mati. Mati sebagai seorang yang setia dan karenanya mati
sebagai seekor harimau!
Han Han
duduk melamun. Ia tidak menangis. Tidak dapat menangis lagi. Dan ia merasa
seolah-olah ada sesuatu yang mendorongnya untuk berpikir, untuk berbuat dan
menggunakan akalnya. Matanya melirik ke kanan kiri seperti mata seekor anjing
yang dikurung dan mencari kesempatan untuk keluar. Mata yang cerdik sekali.
Suatu
mukjizat telah terjadi pada diri Han Han yang tidak ia sadari sendiri. Ketika
tadi ia dibanting lalu ditendang, kepalanya terbanting menumbuk dinding dan
getaran bantingan inilah yang agaknya mengubah keadaan pikirannya. Mendatangkan
ketabahan luar biasa, kecerdikan yang aneh, dan membuat ia tidak dapat susah
lagi! Biar pun kini menghadapi kematian ayah bundanya, dan kehilangan cicinya,
yang berarti bahwa seluruh keluarganya hancur, ia sama sekali tidak merasa
susah! Yang ada hanya bayangan tujuh orang perwira, terutama sekali wajah dan
bentuk tubuh perwira brewok dan perwira muka kuning, seperti terukir di
benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya!
Dari
peristiwa terkutuk dan malam jahanam itu, terciptalah seorang yang aneh, dan
orang yang melihatnya tentu akan mengira bahwa Han Han telah menjadi gila oleh
peristiwa mengerikan itu. Ketika anak itu akhirnya membungkuk, mencium dahi
gosong bekas pelayannya, kemudian bangkit berdiri dan terhuyung-huyung
meninggalkan taman, memasuki bagian-bagian yang gelap, orang yang melihatnya
tentu akan merasa kasihan sekali. Akan tetapi orang itu akan tercengang kalau
saja dapat melihat betapa mata itu berkilat-kilat, betapa mulut yang masih
bengkak itu tersenyum aneh. Bocah ini hanya berhenti sebentar untuk merobek sebagian
dari pakaiannya, mengotori tubuhnya dengan abu, membuang sepatunya kemudian
menyelinap sampai keluar dari kota.
Peristiwa
terkutuk itu terjadi di kota Kam-chi ketika pasukan-pasukan Mancu memperluas
wilayahnya dan menyerbu ke jurusan selatan, yaitu pada tahun 1645 dan merampas
kota Nan-king. Dan tidak hanya terjadi di Kam-chi saja, melainkan di setiap
kota dan dusun selalu terjadilah pembunuhan-pembunuhan, perkosaan-perkosaan,
penculikan dan perampokan yang keji. Memang demikianlah sifat kekejian yang
ditimbulkan oleh perang, di bagian mana saja di dunia ini, semenjak masa dahulu
sampai sekarang.
Gelombang
bangsa Mancu ini dimulai ketika di antara bangsa dari utara ini muncul seorang
tokoh besar yang menjadi raja mereka, yaitu Raja Nurhacu (tahun 1616) yang
menamakan diri sendiri kaisar dan mendirikan wangsa atau Kerajaan Ceng. Di
bawah bimbingan Kaisar Nurhacu yang kebesarannya menyamai Raja Mongol Jengis
Khan yang tersohor itu, mulailah bangsa Mancu membuka dan mengembangkan
sayapnya, menaklukkan gerombolan-gerombolan dan suku-suku bangsa yang dipimpin
raja-raja kecil sehingga dalam beberapa tahun saja berhasil menguasai seluruh
Mancuria.
Melihat
kekuasaan dan kekuatan bangsa Mancu, bangsa Mongol yang sudah lama kehilangan
kekuasaannya setelah Pemerintahan Goan hancur, menjadi tertarik dan
menggabungkan diri dengan bangsa Mancu. Persekutuan ini amat kuat dan barisan
gabungan ini menyerbu dan menundukkan Korea dalam tahun 1637.
Kemudian
pasukan Mancu yang diperkuat dengan pasukan Mongol dan pasukan taklukan dari
Korea, di bawah pimpinan Kaisar Abahai yang menggantikan Kaisar Nurhacu
(1626-1646), menyerbu terus ke Shan-tung, berhasil menundukkan propinsi ini dan
menghancurkan bala tentara Beng, lalu terus menyerbu ke arah ibu kotanya, yaitu
Peking. Namun penyerbuan ini tertunda karena Kaisar Abahai meninggal. Karena
putera mahkota masih sangat muda, maka kekuasaan dipegang oleh Pangeran Dorgan,
saudara mendiang Kaisar Abahai.
Pangeran
Dorgan adalah seorang ahli perang yang ulung. Ia mengerti bahwa di dalam
pemerintah Beng sendiri terjadi pemberontakan-pemberontakan, dan Peking telah
terjatuh ke tangan pemberontak Lie Cu Seng yang menyerbu dari selatan. Dengan
cerdik Pangeran Dorgan menghubungi Bu Sam Kwi, panglima yang menjaga tapal
batas utara, dan bersama Panglima Beng yang berkhianat ini menyerbulah bala
tentara Mancu ke Peking dan berhasil mengalahkan barisan pemberontak Lie Cu
Seng. Lie Cu Seng sendiri melarikan dari Peking setelah merampok kota indah itu
habis-habisan.
Akhirnya Bu
Sam Kwi sadar bahwa ia telah memasukkan serigala ke tanah airnya, maka ia
merasa menyesal dan membawa bala tentaranya mengungsi ke barat daya yaitu ke
Se-cwan di mana ia memperkuat kedudukannya dan menjadi raja yang berdaulat di
situ, jauh dari kekuasaan dan pengaruh pemerintah Mancu yaitu Kerajaan
Ceng-tiauw.
Pangeran
Dorgan melanjutkan penyerbuannya ke selatan dan di bawah pimpinan pangeran
inilah bala tentara Mancu berhasil terus menduduki Nan-king dan wilayah bagian
selatan. Pangeran Dorgan yang amat cerdik itu pandai mengambil hati para
pembesar dan hartawan di selatan, mengumumkan tidak akan mengganggu mereka asal
mereka suka bekerja sama. Tentu saja ada terjadi kekecualian, yaitu mereka yang
tidak mau bekerja sama tentu dirampok habis dan dibasmi keluarganya. Ada pula
terjadi hal-hal seperti yang menimpa Keluarga Sie di Kam-chi itu, dan pelaporan
ke atas tentu berbunyi sama, yaitu bahwa keluarga itu tidak mau bekerja sama
sehingga terpaksa dibasmi!
Demikianlah,
cerita ini dimulai pada tahun 1645, dimulai dengan lembaran hitam dan sebagai
contoh dari sekian banyaknya peristiwa keji dan terkutuk, diceritakan
kemalangan yang menimpa Keluarga Sie..
**************
BEBERAPA
BULAN kemudian setelah terjadinya peristiwa terkutuk di Kam-chi itu, tampak
seorang anak laki-laki berpakaian penuh tambalan berjalan seorang diri memasuki
kota Tiong-kwan di lembah Sungai Huang-ho. Kota ini telah lebih dulu
ditaklukkan oleh tentara Mancu sehingga kini keadaan di situ sudah tampak aman
dan tenteram. Rakyat sudah mulai bekerja lagi seperti biasa, seolah-olah tidak
pernah terjadi perang, seolah-olah rakyat tidak peduli siapa yang berkuasa,
siapa yang menjadi raja dan bangsa apa yang menjajah mereka! Anak kecil itu
berusia sepuluh tahun lebih, berjalan melenggang seenaknya dan di pundaknya
tergantung sebuah keranjang yang terisi beberapa buah roti kering dari gandum.
Dia bukan
lain adalah Sie Han, atau Han Han. Kalau ada orang Kam-chi yang bertemu
dengannya, tentu tidak akan dapat mengenalnya sebagai bekas putera sastrawan
Sie Bun An. Bukan hanya pakaiannya yang penuh tambalan dan kakinya yang
telanjang serta kulit kaki tangannya yang kotor itu yang membuat orang
pangling, namun memang terjadi perubahan besar pada diri anak ini.
Pandang
matanya jauh berbeda, pandang mata yang amat tajam dan manik mata itu
seolah-olah mengeluarkan sinar yang menembus dada orang. Bola mata yang bening
itu bergerak-gerak lincah sebagai pencerminan otaknya yang dapat bekerja cepat.
Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus dengan saputangan yang kotor.
Ketika
berjalan melalui jalan yang sunyi menuju ke kota Tiong-kwan ini, Han Han
bernyanyi dengan suara nyaring. Orang tentu akan tercengang keheranan kalau
mendengar kata-kata nyanyiannya. Orang yang tidak pernah membaca kitab tentu
menganggapnya bernyanyi ngawur saja atau sedikitnya mengira dia tidak waras.
Akan tetapi
kaum terpelajar akan lebih tercengang keheranan karena tentu akan mengenal
nyanyian dari sajak ciptaan sastrawan besar Go Pek di jaman Kerajaan Sui,
ratusan tahun yang lalu.
Bekerja
seenaknya tak tertekan tak diperintah,
mengemis ke
mana saja mengetuk hati nurani manusia.
Amboi...
betapa bebas dan senangnya!
Mereka yang
tidak tahu akan kebahagiaan para pengemis,
tidak tahu
pula senangnya kehidupan burung di udara!
Setelah
selesai menyanyikan sajak yang ia hafal dari kitab-kitab yang pernah dibacanya,
Han Han lalu mencela sendiri, dengan ucapan bisik-bisik seperti berkata kepada
diri sendiri, mencela nyanyian tadi.
“Wah, Go Pek
memang pelamun kosong! Kalau ditakdirkan menjadi manusia, kenapa menginginkan
kehidupan burung? Manusia dan burung tidak sama. Orang yang malas dan hanya
suka mengemis adalah orang yang tiada gunanya. Dan apakah artinya hidup di
dunia kalau tidak ada gunanya?” Ia menggeleng-geleng kepalanya lalu bernyanyi
lagi akan tetapi sekali ini nyanyiannya jauh berbeda de-ngan tadi, karena
nyanyiannya seperti lagu kanak-kanak:
Duk-ceng,
duk-ceng!
warna hitam
tampak putih,
bau busuk
disangka wangi,
suara
brengsek terdengar merdu,
rasa pahit
katanya manis!
Duk-ceng,
duk-ceng!
Jangan
percaya mata dan telinga mulut,
semua itu
palsu belaka.
Duk-ceng,
duk-ceng, duk-ceng-ceng!
Terdengarnya
saja nyanyian ini seperti nyanyian kanak-kanak. Suara duk-ceng itu adalah
suaranya tambur dan gembreng. Akan tetapi sesungguhnya, nyanyian ini adalah
nyanyian kaum Agama To dan mempunyai arti yang amat dalam. Nyanyian yang
menyindirkan betapa manusia dikuasai oleh panca inderanya, betapa manusia
selalu menurutkan perasaannya. Betapa tepatnya nyanyian kanak-kanak ini karena
setiap hari pun sampai sekarang dapat kita lihat ‘dagelan’ (lawak) macam itu.
Betapa banyaknya orang melihat hal hitam sebagai putih sehingga yang benar
disalahkan, yang salah dibenarkan. Betapa yang busuk-busuk dapat ditutup dengan
harta sehingga tercium wangi, suara-suara yang menyesatkan dianggap merdu kalau
suara itu menguntungkannya, dan masih banyak kenyataan-kenyataan lain.
Semua itu
dikenal Han Han dari kitab-kitabnya. Dia meninggalkan rumah dan keluarganya
yang terbasmi habis itu tanpa membawa uang sepeser pun. Akan tetapi Han Han
seorang anak yang cerdik dan semenjak peristiwa itu terjadi, ia menemukan
ketabahan dan keuletan yang luar biasa sekali.
Di sepanjang
jalan dalam perantauannya yang tiada bertujuan ini, ia selalu mencari
pekerjaan, membantu petani kalau lewat di dusun, membantu mencuci piring di
restoran, menggosok kuda dan kereta, mengangkut barang-barang yang dibongkar
dari perahu dan lain-lain. Dengan keuletannya ini, ia tidak pernah kekurangan
makan dan pada saat itu, ia malah masih mempunyai bekal roti kering yang akan
cukup menghindarkannya dari kelaparan selama beberapa hari.
Ketika ia
memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan dan memasuki tempat yang mulai ramai,
Han Han tidak bernyanyi lagi, bahkan sikapnya pun tidak acuh seperti sikap seorang
pengemis biasa. Ia melihat-lihat keadaan kota yang cukup ramai itu karena
letaknya yang dekat dengan Sungai Huang-ho membuat kota ini mudah melakukan
hubungan dengan kota-kota lain.
Akan tetapi
ada hal yang membuat Han Han diam-diam termenung dan prihatin, yaitu banyaknya
pengemis di kota ini. Bukan pengemis-pengemis biasa yang terdiri dari
orang-orang tua yang sudah tidak kuat bekerja dan tidak mempunyai keluarga yang
menyokongnya, melainkan pengemis-pengemis cilik yang terdiri dari anak-anak sebaya
dengan dia sendiri.
Akibat
perang, keluhnya diam-diam dengan perasaan tidak senang. Anak-anak yang sudah
kehilangan orang tua dan keluarga, atau anak-anak yang orang tuanya demikian
miskin sehingga mereka ini terlantar dan mencari makan dengan jalan mengemis.
Anak-anak usia belasan tahun yang pakaiannya compang-camping, ada yang penuh
tambalan, ada pula yang hanya memakai celana butut tanpa baju, dengan tubuh
kurus akan tetapi perut gendut tanda perut yang jarang diisi atau diisi secara
tidak teratur. Muka yang kurus pucat, sinar mata yang sayu tidak bercahaya,
pencerminan hati yang kehilangan harapan dan pegangan. Akan tetapi ada pula di
antara mereka yang nakal-nakal, dengan sinar mata mencemoohkan dunia, tidak
peduli akan segala perbuatannya, tidak tahu membedakan pula antara baik dan
buruk. Pengaruh keadaan!
Tiba-tiba
sebatang kayu bercabang menodongnya. Han Han mengangkat muka, sadar dari
lamunan dan melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang anak laki-laki sebaya
dengan dia, akan tetapi tubuhnya amat kurus sehingga tulang-tulang iga yang
tidak tertutup baju itu tampak nyata. Muka yang cekung kurus itu membayangkan
ketampanan, sedangkan matanya bersinar cerdik menimbulkan rasa suka di hati Han
Han.
“Berlutut
kamu! Berlutut dan tunduk kepada perwira tinggi atau kupenggal kepalamu! Engkau
tentu pencuri, he? Atau pencopet?” Mata anak itu melirik ke arah keranjang yang
terisi roti kering.
Melihat
lagak anak ini seperti seorang perwira menodongkan pedang dengan angkuhnya, Han
Han tertawa terbahak dengan hati geli. “Ha-ha-ha-ha! Perwira macam apa ini?
Bajunya dari kulit hidup, bukan terhias bintang melainkan terhias tulang-tulang
iga. Dan celananya, bukan terhias baju besi melainkan terhias tambal-tambalan!
Apakah kamu ini perwira dari neraka?”
Melihat Han
Han tidak marah sehingga tidak ada alasan untuk diajak berkelahi, malah tertawa
dan mengeluarkan kata-kata lucu, anak itu pun menyeringai tertawa. Giginya
putih dan rata, menambah ketampanan wajahnya dan menambah rasa suka di hati Han
Han.
“Kau orang
baru di sini? Bagaimana kau datang? Dan dari mana kau mendapatkan roti kering
begitu banyak?” tanya anak itu, menyelinapkan rantingnya di pinggang seperti
seorang perwira menyimpan pedangnya.
“Kau mau?
Lapar? Nih sebuah untukmu,” kata Han Han sambil menyerahkan sebuah roti kering.
Anak itu
memandang terbelalak, menelan ludah dan bertanya ragu, “Benar-benar kau berikan
sebuah untukku? Tidak main-main?” Ia merasa heran karena belum pernah melihat
seorang pengemis lain memberinya sepotong roti dengan sikap begitu royal dan
ramah.
“Mengapa
tidak? Kalau kau lapar! Mari kita makan di pinggir jalan,” kata Han Han sambil
berjalan ke tepi jalan lalu duduk di atas tanah.
Anak itu
telah menerima roti pemberian Han Han, memandang roti seperti belum percaya, lalu
mengikuti Han Han duduk di tepi jalan. Seketika sikap bocah itu berubah ramah
dan akrab dan memang itulah sifat aslinya. Kalau tadi ia seperti anak yang
memancing perkelahian adalah watak yang dibentuk oleh keadaan sekelilingnya.
“Wah...!
Keras...!” Anak itu mengeluh ketika mencoba menggigit rotinya.
Han Han
tersenyum. “Memang keras sekali, sengaja dibuat untuk dapat bertahan sampai
berbulan-bulan. Makannya harus dicelup air teh, baru nikmat.”
“Wah, dari
mana bisa mendapatkan air teh?”
“Beli, kalau
kamu mau pergi membeli sebentar.”
“Hah? Beli?
Memang kau kira aku ini kongcu (tuan muda) hartawan?”
Han Han
tertawa geli dan merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong uang kecil, sisa hasil
ia membantu pedagang membongkar barangnya kemarin dulu.
“Nih, kau
belilah air teh, kutunggu di sini. Untuk dapat membeli air teh saja masa
memerlukan seorang kongcu hartawan?”
Kembali anak
itu memandang heran, akan tetapi ia lalu menyambar uang itu dan lari pergi dari
situ, membawa roti keringnya. Han Han menghela napas. Kalau dia tidak kembali
ke sini, aku tidak akan heran, pikirnya. Bocah-bocah seperti itu patut
dikasihani! Benar-benar sebuah pemikiran yang amat janggal. Dia sendiri yang
tadinya seorang ‘kongcu’ hartawan dan terpelajar, tinggal di rumah gedung dilayani
banyak pelayan, sekarang keadaannya tiada bedanya dengan anak-anak pengemis,
namun ia masih menaruh kasihan kepada mereka!
Dugaan Han
Han keliru dan ia menjadi makin suka kepada bocah itu ketika melihatnya datang
berlari sambil membawa sebuah kulit waluh kering yang ternyata terisi air teh.
Terengah-engah ia duduk di dekat Han Han. Han Han melirik dan mendapat
kenyataan bahwa roti kering di tangan anak itu masih utuh, ia makin suka. Ini
menandakan bahwa anak ini memiliki watak jujur dan setia, tidak mau mendahului
makan roti dengan air teh sebelum tiba di tempat Han Han!
“Nah,
mulailah!” ajak Han Han yang mengambil sepotong roti, mencelupkannya di air teh
sampai lama, kemudian mulai makan roti itu.
Anak itu
menirunya, dan setelah ia berhasil menggigit sepotong roti, ia mengunyahnya
dengan lahap sambil mulutnya mengomel. “Wah, enak! Harum dan gurih...!”
Tidak ada
balas jasa yang lebih nikmat lagi bagi seorang pemberi kecuali kalau
pemberiannya itu dipuji dan menyenangkan hati orang yang diberinya. Wajah Han
Han berseri dan teringatlah ia akan ujar-ujar kuno yang berbunyi:
‘Bahagiakanlah hati orang yang memberimu dengan menghargai pemberiannya!’ Bocah
ini telah melakukan hal itu. Tak mungkin dia tahu akan ujar-ujar ini, tentu
hanya kebetulan saja!
“Siapa
namamu?” tanya Han Han.
“Wan Sin
Kiat! Ayahku dahulu prajurit, tewas di medan perang melawan anjing... eh,
tentara Mancu.” Bocah itu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau makiannya
terdengar orang. “Ibuku lari bersama seorang perwira Mancu. Aku tidak sudi ikut
ibu, maka merantau dan... beginilah. Engkau siapa?”
“Aku Han
Han...”
“Tentu
seorang kongcu yang menyamar menjadi pengemis!”
“Eh!
Sembarangan saja menuduh. Aku bukan kongcu, juga bukan pengemis!”
“Lagak dan
sikapmu seperti kongcu. Kau patut menjadi kongcu. Mungkin juga bukan, akan
tetapi bukan pengemis? Heh, jangan berolok, kawan. Pakaianmu itu!”
Han Han
penasaran. “Biar pun pakaianku butut, aku tidak pernah mengemis! Aku makan dari
hasil keringatku. Roti itu pun pemberian pedagang roti yang kubantu membongkar
muatan terigu!”
“Ahhh,
begitukah?” Sin Kiat menghela napas dan menunduk. “Kalau aku... aku pengemis
tulen.”
Han Han
merasa menyesal telah menyinggung perasaan orang tanpa disengaja. Ia memegang
lengan anak itu dan berkata, “Engkau sampai menjadi begini akibat perang...,
bukan kehendakmu, Sin Kiat.”
Tiba-tiba
Sin Kiat berkata penuh semangat. “Kalau sudah besar aku akan menjadi seorang
prajurit seperti mendiang Ayahku! Bahkan aku akan menanjak menjadi Perwira. Kau
lihat saja!”
Han Han
tersenyum. Melihat semangat bocah ini, kelak dia tidak akan merasa heran kalau
benar-benar Wan Sin Kiat menjadi seorang perwira. “Nih, kau ambil lagi
rotinya,” ia menawarkan ketika melihat roti pertama sudah habis memasuki perut
kawan baru itu.
Sin Kiat
mengambil sepotong lagi, kemudian tiba-tiba seperti orang teringat akan
sesuatu, ia memegang lengan Han Han dan berkata, “Han Han, apakah engkau suka
membagi rotimu kepada anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?”
“Hah? Kalau
perlu tentu saja boleh.”
“Bagus!
Engkau benar-henar anak jempol! Mari ikut aku!” Sin Kiat bangkit berdiri,
menarik tangan Han Han dan mengajak teman baru yang mempunyai banyak roti itu
berlari memasuki kota.
Mereka lewat
di pasar, lalu membelok ke sebuah gedung bobrok yang tadinya terbakar, dan kini
tinggal sisa dinding-dinding gosong dan kotor dan sebagian atapnya. Ketika tiba
di situ, ternyata di situ terdapat dua orang anak sebaya dengannya yang juga
berpakaian seperti pengemis, bahkan ada pula seorang kakek berpakaian seperti
pengemis, kakek yang kurus kering dan rambutnya riap-riapan.
“Mana
teman-teman yang lain? Ada rejeki datang!” Sin Kiat berseru dengan wajah
berseri-seri.
“Pergi
mengemis ke pasar,” jawab seorang anak pengemis yang kepalanya gundul. “Katanya
ada pembesar meninjau pasar.”
“Huh, bodoh!
Belum tentu mendapat sedekah, yang sudah pasti mererima cambukan para pengawal
yang galak,” kata Sin Kiat mengomel.
“Itulah
sebabnya mengapa kami berdua tidak ikut pergi,” kata pengemis ke dua. “Aku
benci melihat pembesar...”
Terdengar
batuk-batuk dari kakek pengemis yang melenggut di sudut. “Hmmm..., anak-anak,
hati-hatilah sedikit kalau bicara. Apakah anak-anak sekecil kalian sudah bosan
hidup?”
Tiga orang
anak pengemis itu menjadi pucat dan celingukan memandang ke kanan kiri. Han Han
berpendapat bahwa anak-anak itu seperti anak-anak burung yang ketakutan selalu,
maka ia makin kasihan kepada mereka. Tanpa diminta ia lalu mengambil roti-roti
kering dari keranjangnya, pertama-tama ia memberi kepada kakek itu.
“Lopek, silakan
makan roti kering seadanya.”
Kakek itu
memandang dengan tajam. Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa kakek itu
mempunyai pandang mata yang demikian tajamnya. Lalu kakek itu setelah meneliti
Han Han dari kepala sampai ke kaki, mengangguk-angguk dan menerima roti terus
melenggut lagi sambil makan roti kering. Kembali Han Han tercengang. Kakek itu
sudah tua dan kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak lengkap lagi, namun roti
kering yang keras itu digigitnya seperti seorang menggigit kerupuk saja! Ia lalu
membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak lain yang menerimanya dengan
gembira.
Han Han lalu
menurunkan keranjang rotinya dan mempersilakan siapa saja yang masih lapar
untuk mengambil lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di atas lantai rumah gedung
yang terbakar itu. Heran sekali, ia merasa betah di situ, merasa seperti berada
di rumah sendiri. Seolah-olah gedung yang bekas terbakar ini adalah gedung
keluarganya.
Sin Kiat
mendekati kakek pengemis dan berkata dengan suara mendesak, “Kek, kau ajarilah
aku silat agar kelak aku menjadi orang kuat. Aku ingin menjadi seorang
perwira!”
Kakek itu
membuka matanya, menjawab malas. “Aku tidak bisa silat...”
“Bohong...!
Kakek bohong...!” Sin Kiat dan dua orang temannya berteriak-teriak.
Akan tetapi
kakek itu hanya melenggut, mulutnya tersenyum aneh. Han Han memandang penuh
perhatian. Banyak sudah ia membaca tentang pengemis-pengemis yang sakti, bahkan
membaca tentang sastrawan-sastrawan yang hidupnya seperti pengemis.
“Kemarin
dulu kau membubarkan selosin serdadu dengan tongkat bututmu itu. Dengan apakah
kalau tidak dengan ilmu silat? Hayo, Kek, jangan pelit, ah. Ajari kami ilmu
silat. Han Han tadi sudah begitu ramah dan murah hati, membagi-bagikan roti
keringnya, apakah kau begini pelit untuk membagi ilmu silat kepada kami? Ingat,
Kek, roti yang dibagi-bagikan menjadi habis, sebaliknya ilmu silatmu kalau
dibagi sampai seribu orang sekali pun takkan menjadi habis!”
Han Han
kagum mendengar alasan Sin Kiat ini. Anak cerdik, pikirnya. Akan tetapi ia
merasa kasihan dan tidak enak hati melihat kakek tua itu didesak-desak, maka ia
segera berkata, “Aku tidak suka belajar silat!”
“Hehhh??”
Tiga orang anak itu berseru heran dan memandang Han Han dengan kecewa.
Sin Kiat
memegang lengannya dan bertanya, “Mengapa, Han Han? Semua orang yang tertindas
dan terhina ingin belajar silat, mengapa kau tidak?”
“Kalau
pandai silat, kan kita selalu menang kalau berkelahi dan menjadi jagoan!” kata
Si Gundul sambil membusungkan dadanya yang tipis kerempeng.
“Kalau
pandai silat, orang-orang akan takut kepada kita dan memberi apa saja yang kita
minta!” kata bocah pengemis yang lain.
“Dan aku
akan menjadi orang kuat sehingga kelak dapat menjadi perwira,” kata pula Sin
Kiat.
Han Han
menghela napas. Dari pernyataan-pernyataan ini sudah dapat dinilai watak dan
cita-cita ketiga orang anak ini. “Aku tetap tidak suka belajar silat. Pandai
silat membikin orang menjadi kuat, dan hanya si kuat saja yang suka menindas si
lemah! Orang yang merasa kuat akan selalu mencari permusuhan, suka berkelahi,
suka pukul orang, bahkan suka membunuh orang. Tidak! Pandai silat amat tidak
baik, orang menjadi jahat karenanya.”
Kakek yang
tadinya melenggut dan agaknya lega karena terbebas dari desakan anak-anak itu,
kini membuka matanya dan tertawa. “Ho-ho-ho! Omongan takabur dan menyeleweng
jauh, bocah! Omongan sombong! Siapa bilang ilmu silat menimbulkan kejahatan dan
kekejaman? Uh-uh, sombongnya! Ilmu silat tetap ilmu silat, tidak baik dan tidak
jahat. Baik atau jahatnya tergantung si orang yang memilikinya. Kalau digunakan
untuk kejahatan menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan menjadi
ilmu baik. Betapa banyaknya kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak
pandai silat dan yang lemah tubuhnya. Ho-ho-ho-ho, apa kau kira pedang lebih
tajam dari pada pena? Pedang hanya dapat membunuh satu orang sekali sabet, akan
tetapi pena sekali gores dapat menghancurkan keluarga bahkan dapat
menggulingkan kerajaan. Ha-ha-ha!”
Han Han
tercengang dan berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek jembel itu. Teringat ia
akan sejarah betapa fitnah-fitnah yang amat keji terjadi karena coretan pena.
Dan betapa tepatnya pula filsafat tentang baik buruknya ilmu yang tergantung
dari pada si pemilik ilmu. Tak disangkanya ia akan mendengar ucapan demikian
dalam isinya dari mulut seorang kakek jembel. Melihat betapa bantahan kakek itu
membuat Han Han bungkam, Sin Kiat menjadi gembira dan mendapat kesempatan untuk
mendesak lagi.
“Hayolah,
Kek, ajari kami ilmu silat.”
“Aku tidak
bisa ilmu silat.”
“Waaah,
Kakek selalu mengelak. Habis, tongkat bututmu kemarin dulu itu dapat mematahkan
tombak, membikin pedang dan golok serdadu-serdadu itu terpelanting, dan membuat
mereka roboh,” bantah Sin Kiat.
“Ahhh, itu
hanya Ilmu Tongkat Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat).”
“Kalau
begitu, ajarkan kami Pek-lian Tung-hoat!” kata Sin Kiat, dibantu oleh dua orang
kawannya.
Kakek itu
menggeleng kepala. “Tidak mudah, tidak mudah. Kalian tidak berjodoh dengan
kami. Yang berjodoh adalah bocah ini. Siapakah namamu tadi? Han Han? Kau
berjodoh dengan kami. Marilah ikut bersamaku.” Kakek yang kelihatan lesu dan
lemas itu, tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan ternyata ia jangkung sekali.
Han Han
begitu kaget dan herannya sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan tadi.
Kini kakek itu sudah menyentuhkan ujung tongkat bututnya ke pundak kanan Han
Han, kemudian membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ. Anehnya, tubuh
Han Han tertarik oleh ujung tongkat yang melekat pundaknya sehingga anak ini
pun terhuyung maju dan terpaksa melangkah mengikuti kakek itu!
“Heiiiii...!
Ehhh...?” Han Han menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan tongkat dari
pundaknya, namun tidak herhasil. Tongkat itu melekat seolah-olah berakar di
pundaknya dan ada tenaga membetot yang amat hebat tak terlawan olehnya, membuat
ia terseret terus!
Han Han
adalah seorang anak yang memiliki kecerdikan luar biasa. Biar pun ia seorang
anak yang asing sama sekali akan ilmu silat, namun dari kitab bacaan ia sudah
banyak mengetahui bahwa di dunia ini selain terdapat sastrawan-sastrawan luar
biasa, orang-orang yang pandai berfilsafat dan pandai membuat sajak-sajak
indah, juga terdapat orang-orang dari golongan ‘bu’ (persilatan) yang disebut
pendekar-pendekar sakti.
Maka tahulah
ia bahwa kakek jembel ini pun tentulah seorang pendekar sakti yang berilmu
tinggi. Maka timbul keinginan hatinya untuk mengenalnya lebih dekat dan untuk
mengetahui ke mana ia akan dibawa. Ia tidak merasa takut, maka ia lalu berkata,
“Locianpwe, kalau memang locianpwe ingin mengajak aku pergi, harap lepaskan
tongkat. Tidak enak sekali diseret-seret seperti seekor anjing.”
Akan tetapi
kakek itu tidak mempedulikannya, bahkan kini langkahnya lebar-lebar dan cepat
sehingga Han Han terpaksa harus melangkah cepat pula kalau tidak mau terseret.
Sebentar saja mereka telah pergi jauh dan teriakan-teriakan Sin Kiat yang
mengingatkan bahwa keranjang rotinya masih tertinggal, kini tidak terdengar
lagi. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari kota dan terus menuju ke tepi
Sungai Huang-ho. Setibanya di tepi sungai, kakek itu melanjutkan perjalanan ke
kanan, jadi ke arah utara.
Mereka
berjalan sudah lebih tiga jam, akan tetapi kakek itu tidak mengeluarkan sepatah
kata pun. Han Han yang juga memiliki kekerasan hati dan pada saat itu di
samping keinginan tahunya juga merasa penasaran dan mengkal, merasa dirinya
dipaksa pergi setengah diculik, tidak pernah bertanya apa-apa pula. Ia berjalan
terus di belakang kakek itu. Tentu saja kakek itu yang melangkah lebar dan
cepat membuat ia sering kali harus setengah berlari dan tubuhnya sudah lelah
sekali. Jalannya tidak rata, menyusup-nyusup hutan dan naik turun. Akan tetapi
dengan kekerasan hatinya, Han Han mengikuti terus kakek itu yang akhirnya
membawanya masuk ke sebuah hutan di pinggir Sungai Huang-ho.
Di tepi sungai
dalam hutan ini, tampaklah oleh Han Han bagian yang sudah dibersihkan,
pohon-pohonnya ditebangi dan terdapat tempat terbuka yang amat luas, bahkan
dipagari dengan bambu. Dari jauh sudah tampak bentuk yang aneh dari tempat ini,
agak bundar, akan tetapi Han Han tidak tahu apa maknanya.
Baru setelah
mereka memasuki pintu gerbang dan membaca papan yang tergantung di depan pintu,
tahulah Han Han bahwa bentuk bundar dari tempat itu dengan lingkaran-lingkaran
aneh adalah bentuk bunga teratai, sesuai dengan nama tempat itu yang menjadi
pusat dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang (Persatuan Pengemis Teratai Putih).
Han Han berdebar jantungnya. Sudah banyak ia membaca tentang kai-pang dan
ketuanya yang sakti, dan baru sekali ini memasuki sarang kai-pang. Siapakah pangcunya?
Kakek itu
memasuki pintu gerbang dan tampaklah banyak orang-orang berpakaian pengemis
berkeliaran di sekitar tempat itu. Di tengah-tengah terdapat bangunan pondok
berbentuk kelenteng dan dari situ mengepul asap hio yang wangi.
Para jembel
itu melihat masuknya kakek bersama Han Han, namun mereka hanya melirik saja dan
tak seorang pun ambil peduli. Kakek itu menghampiri pondok kelenteng, lalu
masuk ke ruangan depan di mana terdapat meja sembahyang. Han Han mengikuti dari
belakang dan berdiri memandang heran ketika melihat kakek itu tiba-tiba duduk
bersila dengan kedua kaki saling bertumpangan paha di depan meja sembahyang
yang berbentuk teratai, kemudian kakek ini melakukan upacara sembahyang yang
aneh. Kedua lengannya digerak-gerakkan, dilonjorkan ke depan, diangkat ke atas,
ditekuk ke belakang sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang tidak
dimengerti Han Han. Kemudian kakek itu berdiri menyalakan hio dan bersembahyag
seperti biasa. Setelah menancapkan hio di tempat dupa, ia melangkah ke luar
lagi, memberi isyarat dengan lambaian tangan kepada Han Han untuk mengikutinya.
Han Han ikut
terus dan ternyata mereka menuju ke sungai di mana terdapat sebuah kolam besar
yang mendapatkan airnya dari sungai, dialirkan ke tempat itu. Karena kolam di
pinggir sungai itu cukup lebar dan permukaannya sama dengan permukaan air
sungai, maka air di situ tenang. Di atas permukaan air kolam terdapat beberapa
belas benda berbentuk bunga-bunga teratai warna putih, terbuat dari pada kayu,
mengambang dan bergerak-gerak perlahan di permukaan kolam.
Yang membuat
Han Han tercengang adalah ketika ia melihat beberapa orang sedang berlatih,
berloncatan dari satu ke lain teratai kayu di permukaan air. Ada tiga orang
yang berlatih, sementara itu masih ada tiga puluh orang lebih menonton di
pinggir kolam. Mereka semua itu adalah orang-orang berpakaian tambal-tambalan
terdiri dari laki-laki dan wanita. Akan tetapi lebih banyak lelaki dari pada
wanitanya yang hanya ada beberapa orang.
Han Han
tidak mengerti ilmu silat, namun menyaksikan tiga orang itu berloncatan ke atas
teratai-teratai kayu yang mengambang di air, melihat gerakan mereka yang begitu
ringan dan gesit, ia kagum. Ternyata mereka itu sedang berlatih, karena setelah
tiga orang itu meloncat ke darat, mereka digantikan oleh tiga orang lain. Ada
pula yang belum mahir meloncat sehingga terpeleset dan teratai yang diinjaknya
miring membuat ia terjungkal ke air. Yang menonton mentertawakannya, ada yang
mengejek, ada yang memberi petunjuk, membicarakan kesalahannya sehingga ia
terjatuh.
Ketika kakek
yang membawa Han Han muncul, suara tertawa-tawa itu berhenti, akan tetapi tak
seorang pun menegurnya. Yang berlatih masih tetap berlatih, namun kini lebih
tekun dan serius. Kemudian terdengar kakek itu berkata, “Latihan ginkang ini
bukan untuk main-main. Tanpa ketekunan kalian takkan mendapat kemajuan. Panggil
Sin Lian!”
Han Han
melihat betapa semua pengemis yang berada di situ amat menghormat dan taat
kepada kakek ini. Agaknya kakek inilah ketua mereka! Akan tetapi mengapa mereka
itu seperti acuh tak acuh atas kedatangan kakek itu? Mengapa tidak ada yang
memberi hormat? Sungguh mengherankan.
Sementara
itu, seorang pengemis tua yang tadi berlari-lari untuk memenuhi perintah kakek
ini, datang bersama seorang anak perempuan yang juga berlarian dan dari jauh
sudah memanggil.
“Ayah...!”
Anak itu menghampiri ayahnya dan memeluk pinggang kakek itu. Si kakek
mengelus-elus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
Kembali Han
Han tercengang. Kakek ini sudah amat tua, sedikitnya tentu enam puluh tujuh
tahun usianya, akan tetapi anaknya baru berusia paling banyak sembilan tahun!
Juga keadaan anak itu amat mencolok, cantik mungil dan pakaiannya indah bersih,
wajahnya berseri-seri matanya kocak gembira. Kehadirannya di antara para jembel
itu benar-benar merupakan seekor burung murai di antara sekumpulan gagak.
"Lian-ji
(Anak Lian), mengapa kau tidak ikut latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh)
dengan para Pamanmu?" Suara dalam pertanyaan ini halus dan penuh kasih
sayang, namun mengandung teguran.
“Aku pergi
ke hutan, Ayah. Bunga mawar sedang bersemi, indah sekali.”
“Hemmm, ada
waktunya berlatih, ada pula waktunya bersenang. Jangan campur aduk. Coba kau
perlihatkan latihanmu!”
Anak
perempuan itu tertawa dengan sikap manja, lalu melepaskan ayahnya dan
menghampiri tepi kolam. Yang berlatih telah mendarat. Mereka semua kelihatan
gembira memandang ke arah gadis cilik itu, dan jelas tampak betapa mereka semua
menyayang anak yang bernama Sin Lian ini. Bahkan kini tidak ada lagi yang
berlatih, memberi kesempatan kepada anak itu untuk berlatih seorang diri
sehingga tidak mengganggu.
“Heiiittttt...!”
Anak itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring. Tubuhnya lalu meloncat ke
tengah kolam, melambung agak tinggi kemudian di udara ia berjungkir-balik
sampai dua kali, baru tubuhnya turun dan kakinya hinggap di atas sebuah teratai
kayu.
Indah bukan
main loncatan tadi dan terdengar seruan-seruan, “Bagus...!”
Han Han
melongo. Apa yang disaksikannya itu terlalu aneh dan indah. Kagum ia melihat
betapa anak perempuan itu kini berdiri di atas teratai kayu yang bergerak-gerak
timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Namun tubuh anak itu sedikit pun tidak
bergoyang, bahkan terdengar lagi seruannya.
“Heeiiittitt!”
dan tubuhnya sudah mencelat ke atas lagi, lalu hinggap di atas teratai kayu
yang lainnya.
Demikianlah,
bagaikan seekor katak, anak itu berloncatan dari satu teratai ke lain teratai,
makin lama makin cepat sehingga seakan-akan ia terbang di permukaan air. Hanya
benda-benda berbentuk teratai itu saja yang bergerak-gerak timbul tenggelam dan
bergoyang-goyang. Seruan-seruan menjerit nyaring itu terdengar susul-menyusul
dan akhirnya tubuh anak itu mumbul ke atas dan berjungkir-balik membuat pok-sai
(salto) sampai tiga kali dan ketika turun ia melayang ke dekat kakek tadi.
Tepuk tangan
memuji dari para penonton membuat wajah anak perempuan itu makin berseri.
Wajahnya menjadi merah dan napasnya terengah-engah karena tadi dia telah
mengerahkan banyak tenaga. Kakek yang menjadi ayahnya mengangkat muka dan
terhentilah semua tepuk tangan.
“Masih jauh
dari pada sempurna, Lian-ji. Teratai-teratai itu masih bergoyang terlalu keras.
Lihat baik-baik, juga kalian semua!”
Tiba-tiba
tubuh kakek itu melayang seperti sehelai daun kering ke tengah kolam, hinggap
di atas teratai, lalu meloncat ke lain teratai, terus-menerus dan cepat sekali.
Tidak lebih indah dari pada permainan Sin Lian tadi, akan tetapi hebatnya,
teratai-teratai yang diinjaknya itu sama sekali tidak bergoyang, seolah-olah
hanya kejatuhan sehelai daun kering saja!
Kakek itu
kemudian mendarat kembali dan berkata, “Untuk dapat menginjak teratai kayu
tanpa menggerakkannya, membutuhkan latihan sedikitnya lima tahun dengan tekun.
Apa lagi dapat meloncat dan hinggap di atas bunga teratai asli, membutuhkan
bakat dan latihan yang amat mendalam.”
Setelah
berkata demikian, kakek itu menggandeng tangan Sin Lian, menggapai ke arah Han
Han dan mengajak mereka memasuki sebuah pondok bambu sederhana di sebelah kiri
pondok kelenteng. Juga pondok sederhana ini dihias dengan lukisan-lukisan dan
ukir-ukiran teratai putih.
“Bocah ini
siapakah, Ayah?” Sin Lian bertanya ketika kakek itu mengajak mereka duduk di
atas bangku.
“Namanya Han
Han. Siapakah she-mu (nama keturunan), Han Han?”
“Aku she Sie
bernama Han, biasa disebut Han Han,” jawab anak itu. “Locianpwe ini siapakah?
Apakah ketua dari Pek-lian Kai-pang?”
Kakek itu
memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Engkau tahu bahwa di sini sarang
Pek-lian Kai-pang? Dari mana kau mengenal nama Pek-lian Kai-pang?”
Han Han
teringat bahwa ucapannya tadi membuka rahasianya bahwa ia pandai membaca.
Memang tidak patut bagi seorang yang keadaannya seperti pengemis macam dia ini
pandai membaca. Maka cepat-cepat ia berkata, “Aku hanya mengira-ngira saja,
locianpwe. Kulihat di sini semua berpakaian rombeng, tentu merupakan sebuah
kai-pang. ada pun tentang namanya, di sini kulihat banyak sekali hiasan-hiasan
berupa teratai putih, maka tentu saja aku menduga bahwa nama kai-pang di sini
tentulah Pek-lian Kai-pang.”
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Nah, kau dengar sendiri, Sin Lian. Betapa cerdiknya anak
ini. Dia ini adalah calon muridku, dan agaknya dialah yang boleh diharapkan
kelak untuk...”
“Aku tidak
ingin menjadi murid locianpwe!” Han Han memotong cepat-cepat dengan suara
nyaring.
“Wah, bocah
sombong engkau!” Sin Lian mendamprat. “Kau tidak mau menjadi murid Ayah,
sedangkan seluruh bocah di dunia ini mengilar untuk menjadi muridnya. Kau tidak
tahu siapa Ayah? Ayah adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang tersohor di seluruh
wilayah Sungai Huang-ho! Apakah engkau lebih suka menjadi jembel busuk yang
tiada artinya, mengandalkan hidup dari sisa makanan?”
Merah wajah
Han Han. Matanya melotot memandang anak perempuan itu. Ia merasa terhina
sekali. “Aku bukan pengemis! Dan aku tidak suka menjadi murid pengemis! Aku
tidak mau menjadi anggota kai-pang!”
“Lagaknya!
Engkau pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis!
Pakaianmu tambal-tambalan, kalau bukan pengemis, apakah kau ini Pangeran?”
“Bukan! Aku
bukan pengemis, biar pakaianku tambal-tambalan aku tidak pernah mengemis! Tidak
seperti engkau, biar pakaianmu baik tapi...”
“Kau kurang
ajar! Beranikah kau kepadaku?”
“Mengapa
tidak berani? Kalau aku benar, biar terhadap kaisar sekali pun aku berani!”
“Phuhhh!
Kalau berani hayo kita berkelahi!”
“Aku bukan
tukang berkelahi, bukan tukang pukul, tapi aku tidak takut kepadamu.”
“Hayo pukul
aku kalau berani!”
“Aku bukan
tukang pukul!”
“Kalau
kupukul, kau berani membalas?”
“Tentu
saja!”
“Plakkk...!”
Pipi Han Han
sudah kena ditampar oleh Sin Lian sampai Han Han terpelanting dari bangkunya.
Ia bangkit dan timbul kemarahannya, akan tetapi Han Han sudah membaca kitab
tentang sifat seorang gagah, tentu saja ia malu kalau harus bergelut dengan
seorang anak perempuan.
“Tidak
sakit!” katanya sambil meraba pipinya yang menjadi merah.
“Balaslah!”
“Membalas
anak perempuan? Untuk apa, memalukan saja. Pukulanmu seperti tahu, tidak terasa
sama sekali.”
“Sombong
kau!” Sin Lian marah sekali, menerjang maju dan gerakannya cepat bukan main.
“Dukkk...
plenggggg...!”
Han Han
terjengkang roboh. Perutnya menjadi mulas kena ditendang tadi dan kepalanya
pening oleh tempilingan yang cukup keras. Gerakan kaki tangan bocah itu luar
biasa cepatnya sehingga Han Han tidak tahu bagai mana caranya bocah itu
menendang dan memukul. Rasa nyeri membuat lantai seperti berputar. Ia marah dan
kini ia melompat bangun.
“Kau...
perempuan keji!” katanya lalu ia menerjang maju, hendak menampar.
Namun
tamparannya mengenai angin belaka dan sebelum ia sempat melihat, kembali tangan
kiri gadis cilik itu mampir di pipinya, menimbulkan suara nyaring dan terasa
amat panas dan pedas. Tonjokan kepalan kanan yang kecil namun terlatih
menyusul, mengenai lehernya, membuat Han Han terhuyung-huyung ke belakang.
Tiba-tiba sebuah kaki yang kecil menyapu kedua kakinya. Tanpa ampun lagi tubuh
Han Han kembali terpelanting, terbanting pada lantai di mana ia hanya duduk
sambil memegangi kepalanya yang puyeng seketika.
“Cukup,
Lian-ji.” Terdengar kakek itu berkata, suaranya tenang dan halus.
Kakek ini
tadi diam saja melihat puterinya menghajar Han Han, karena memang hal ini ia
sengaja, untuk ‘membakar’ hati Han Han dan menimbulkan semangat jantannya. Dia
menduga bahwa setelah mengalami hajaran tentu bocah itu akan merasa terhina dan
sadar betapa perlunya mempelajari ilmu untuk memperkuat diri sehingga kelak
tidak akan terhina orang lagi. Ia maju dan mengangkat bangun Han Han,
disuruhnya duduk lagi di bangku.
Han Han
masih pening. Ketika ia memandang bocah perempuan itu, wajah yang manis namun
menggemaskan hatinya saat itu kelihatan menjadi dua. Memandang benda lain juga
kelihatan dua! Maka ia meramkan mata sejenak sampai peningnya hilang, baru ia
membuka matanya memandang kakek itu dengan mata penasaran
“Nah, bagaimana
pendapatmu sekarang? Kalau kau menjadi muridku, tidak mungkin kau akan mudah
dihajar orang lain begitu saja.”
Akan tetapi
jawaban Han Han sungguh di luar dugaan Lauw-pangcu. Anak ini mengangkat muka
dan dadanya, lalu berkata, “Aku tetap tidak mau belajar berkelahi! Apa sih
gagahnya mengalahkan lain orang? Mengalahkan diri sendiri baru patut disebut
gagah perkasa!” Dalam kemarahannya, tanpa disadarinya lagi Han Han mengucapkan
ujar-ujar dari kitab.
Kembali
kakek itu tercengang. “Aihhh! Dari mana kamu mengetahui filsafat itu?”
“Filsafat
apa? Itu pendapatku sendiri. Mengalahkan dan memukul orang paling-paling bisa disebut
sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian dan menjadi tukang pukul!”
“Dan
mengalahkan diri sendiri? Apa yang kau maksudkan?” Kakek itu memancing.
Han Han
cerdik, ia pandai menutupi rahasianya, maka setelah otaknya bekerja, ia
berkata, “Tidak tunduk kepada kemarahan sehingga tidak memukul orang, tidak
merugikan orang lain karena kepingin, tidak melakukan pekerjaan hina biar pun
perut lapar, mengalahkan diri sendiri.” Dengan ucapan ini ia telah menyindir
orang yang telah memukulnya, dan menyindir pekerjaan mengemis yang dianggapnya
hina.
“Bocah
bermulut lancang! Ayah, biar kuhajar lagi dia sampai setengah mampus!”
Lauw-pangcu
menggeleng kepala. “Biarkan dia pergi.”
Han Han
memang telah berdiri dan melangkah pergi dari tempat itu. Ia keluar dari pintu
gerbang tanpa ada yang mengganggunya, kemudian dia berlari cepat untuk segera
meninggalkan tempat itu. Ia teringat bahwa tadi ia dibawa ke timur, akan tetapi
ia tidak ingin kembali ke barat. Tidak ingin kembali ke kota Tiong-kwan karena
takut kalau-kalau bertemu dengan kakek itu lagi kelak dan menimbulkan hal-hal
yang amat tidak enak. Sekarang saja ia sudah babak-belur, perutnya masih mulas,
kepalanya masih berdenyut-denyut. Sambil berlari ia teringat akan Sin Lian dan
diam-diam ia mengomel.
“Bocah perempuan
yang keji dan galak!”
Han Han
berjalan terus ke timur menyusuri Sungai Huang-ho. Setelah malam tiba, ia
mengaso di pinggir sebuah hutan dan mengisi perutnya yang lapar dengan
telur-telur burung yang ia temukan di jalan. Juga ada beberapa macam buah-buah
yang dapat dimakan sehingga malam itu ia dapat tertidur nyenyak di pinggir
hutan.
Pada
keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh tampak sebuah dusun.
Uang bekal dan makanan sudah habis, ia harus mencari pekerjaan di dusun itu
sekedar dapat makan. Di mana pun juga pasti ada pekerjaan. Biar pun di dusun,
para petani membutuhkan tenaga bantuan dan tentu ada orang-orang kaya yang
membutuhkan tenaga pula. Asal rajin dan mau bekerja, tak mungkin orang sampai
kelaparan. Tidak seperti pengemis-pengemis itu, hanya bermalas-malasan, ingin
makan enak tanpa bekerja, biar pun hanya makanan sisa. Menjijikkan! Alangkah
hinanya! Tentu saja ia tidak sudi menjadi pengemis, biar pun diberi pelajaran
ilmu memukul orang! Apa lagi selalu berdekatan dengan bocah perempuan yang
ganas itu. Ia bergidik kalau teringat akan Sin Lian, sungguh pun harus ia akui
bahwa wajah bocah itu manis sekali.
Ketika Han
Han berjalan sambil termenung sampai di pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dari depan. Han Han mengangkat muka dan memandang.
Seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berpakaian indah dan berwajah tampan
menunggang seekor kuda yang besar dan membalapkan kuda itu keluar dari dusun.
Han Han cepat minggir, akan tetapi sambil tertawa-tawa anak laki-laki itu
sengaja menyerempetkan kudanya sehingga Han Han yang sudah berusaha melompat
masih terlanggar dan jatuh terguling. Beberapa orang dusun melihat hal ini
berseru tertahan, agaknya mereka takut untuk mengeluarkan seruan keras.
“Bocah
sombong, apakah kau sudah gila?” Han Han berteriak marah sambil merangkak
bangun.
Kuda itu
dihentikan dan diputar. Anak laki-laki yang duduk di atasnya kini tidak tertawa
lagi, melainkan memandang Han Han dengan wajah bengis. Setelah kuda-nya tiba di
depan Han Han, ia lalu melompat turun, gerakannya tangkas sekali, lalu
menghadapi Han Han sambil menudingkan telunjuknya. “Jembel busuk! Berani engkau
memaki aku?”
“Setan
kepala angin! Mengapa tidak berani? Yang kumaki bukan orangnya, melainkan
perbuatannya. Biar kau kaisar sekali pun, kalau perbuatannya tidak benar, tentu
akan dimaki orang!” Han Han membantah berani.
Anak itu
usianya antara sebelas tahun, kini mendengar ucapan seperti itu keluar dari
mulut seorang anak jembel, ia menjadi terheran-heran sehingga lupa
kemarahannya. “Engkau siapakah berani berkata seperti itu?”
“Aku Han Han
dan siapa takut mengeluarkan kata-kata benar?”
“Wah-wah,
agaknya sudah miring otakmu. Tidak tahukah engkau bahwa aku adalah
Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang)? Orang sekitar daerah ini tidak ada yang
berani kepadaku. Apa lagi jembel macam kamu! Hayo bertutut dan mohon ampun!”
Bentakan ini mengandung suara marah.
Seorang di
antara para penduduk dusun yang mulai datang berkerumun segera mendekati Han
Han dan berkata, “Kau agaknya bukan anak sini. Lebih baik lekas bertutut mohon
ampun kepada Kongcu.”
Mendengar
ini Han Han makin marah. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan
bertolak pinggang, lalu berkata, “Apa perlunya minta ampun? Orang bersalah
sekali pun tidak perlu minta ampun dan harus berani menerima hukumannya! Apa
lagi orang tidak bersalah!”
Ucapan ini
rupa-rupanya merupakan pendapat yang baru sama sekali dan mengherankan semua
orang. Bahkan pemuda tampan itu sendiri terheran dan berkurang kemarahannya,
lalu mengomel.
“Tidak salah
katamu? Kau berdiri di jalan, menghalang kudaku!”
“Bukan aku
yang menghalang, tapi kau yang menabrak! Berani berbuat tidak berani mengaku,
laki-laki macam apa kau?”
“Berani kau?
Apa sudah bosan hidup?” bentak anak yang disebut tuan muda Ouwyang itu.
Setelah
berkata demikian, ia menerjang maju. Han Han berusaha melawan, namun ternyata
Ouwyang-kongcu ini tangkas dan kuat sekali. Begitu menerjang, Han Han telah
kena digampar kepalanya dan ditonjok dadanya. Han Han terjengkang, napasnya
sesak. Sebuah tendangan mengenai lehernya dan dunia menjadi hitam bagi Han Han.
“Jembel
busuk bosan hidup! Kau belum mengenal kelihaian Kongcu mu, ya?” Suara
Ouwyang-kongcu ini terdengar sayup-sayup oleh Han Han, dan pemuda tampan itu
mengeluarkan sehelai tambang dari saku pelana kudanya. Diikatnya kaki kiri Han
Han, kemudian ia memegangi ujung tali itu dan melompat naik ke atas kudanya.
Ketika kudanya dilarikan, tubuh Han Han tentu saja terseret di atas tanah!
Orang-orang
yang berada di situ hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak ada seorang
pun berani membela Han Han. Mereka hanya saling pandang dan menggeleng-geleng
kepala dengan hati kasihan kepada anak jembel yang amat pemberani itu.
Han Han
memiliki kenekatan dan nyali yang luar biasa sekali. Juga tubuhnya memiliki
daya tahan mengagumkan. Hal ini telah dilihat oleh mata yang awas dari
Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang sehingga kakek itu merasa tertarik dan
ingin mengambilnya sebagai murid.
Biar pun ia
tadi telah dipukul hebat dan kini tubuhnya diseret seperti itu, ia masih tidak
merasa takut. Bahkan ia marah sekali. Tidak dipedulikan punggung dan pinggulnya
lecet-lecet, pakaiannya yang sudah penuh tambalan itu makin buruk karena
compang-camping. Ia tidak mengeluh, tidak pula minta ampun, bahkan ia yang
terseret itu berusaha mengangkat tubuh atasnya dan menudingkan telunjuknya ke
depan, ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki-maki.
“Bocah kejam
melebihi iblis! Kelakuanmu ini akan menyeretmu ke lembah kecelakaan!”
Pada saat
itu, dari arah kanan berkelebat sinar putih. Ternyata itu adalah sebatang piauw
(pisau sambit) yang disambitkan oleh seorang gadis cilik. Piauw itu tepat
sekali mengenal tambang yang menyeret Han Han sehingga putus seketika dan Han
Han terbebas, tidak terseret lagi.
Sambil duduk
dan berusaha membuka ikatan kakinya, Han Han memandang dengan mata terbelalak
ketika mengenal bahwa anak perempuan itu bukan lain adalah Sin Lian! Han Han
mengeluh. Dia ditolong dari tangan seorang anak laki-laki kejam oleh seorang
anak wanita ganas! Kedua orang anak itu setali tiga uang, sama-sama ganas dan
kejam, tiada yang dipilih!
Sin Lian
sudah meloncat turun dari atas batu di mana ia tadi berdiri dan menyambitkan
piauw nya. Sikapnya garang sekali ketika ia memandang Ouwyang-kongcu dan
telunjuknya yang kecil runcing itu menuding ke arah Ouwyang-kongcu sambil
memaki.
“Setan alas
kau! Monyet pengecut kau! Beraninya hanya menyiksa bocah jembel yang tidak bisa
silat! Hayo lawan aku kalau berani, kalau minta remuk tulang-tulangmu!” Sin
Lian memasang kuda-kuda menantang.
Ouwyang-kongcu
ini adalah putera seorang bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Ouwyang Cin Kok. Dia
putera pangeran, tentu saja selain kaya raya juga angkuh dan sudah biasa
menerima penghormatan di mana-mana. Namanya adalah Ouwyang Seng dan pada waktu
itu ia sedang menerima pendidikan ilmu silat dari gurunya, seorang tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi dan sakti.
Sebagai
putera pangeran, tentu saja dalam perguruannya tersedia segala perlengkapan
untuk kebutuhannya setiap hari, sampai-sampai tersedia seekor kuda untuknya.
Dan ia pun belajar sambil main-main, kadang-kadang menunggang kuda pergi ke
dusun-dusun dan ke mana pun juga ia pergi, anak nakal ini tentu disambut
penduduk dusun dengan ramah dan hormat, sungguh pun di dalam hati mereka ini
membencinya karena kenakalannya suka menggoda orang. Kini dimaki-maki seperti
itu, Ouwyang Seng marah sekali lalu meloncat turun dari atas kudanya.
“Eh, kau
bocah dusun! Berani kau memaki Kongcu mu? Kau pun sudah bosan hidup agaknya!”
Sambil berkata demikian Ouwyang Seng lalu menggunakan sisa tambang yang berada
di tangannya, yang panjangnya ada dua meter lebih untuk menyerang.
Serangannya
hebat, cepat dan keras sekali sehingga mengejutkan Sin Lian yang cepat melompat
dan mengelak. Dari gerakan serangan itu Sin Lian dapat menduga bahwa anak nakal
ini pandai silat. Memang dugaannya tidak keliru. Ouwyang Seng diasuh oleh
seorang guru yang amat pandai sehingga biar pun cara ia belajar kurang tekun,
namun jarang ada anak sebaya dengannya yang mampu melawannya, biar pun anak itu
pandai silat sekali pun.
Sebaliknya,
melihat betapa anak perempuan yang tadinya hendak ia rangket karena telah
berani memakinya itu dapat mengelak demikian cepat, Ouwyang Seng menjadi
penasaran dan menerjang lebih gencar lagi. Sin Lian tidak diberi kesempatan
membalas serangan-serangannya karena tambang itu menyerang terus-menerus,
membuat ia harus menggunakan ginkang dan berloncatan ke sana ke mari.
“Monyet
cilik! Monyet curang! Jangan pakai tambang kalau berani!” Sin Lian memaki
kalang-kabut karena ia benar-benar terdesak dan tidak sempat membalas sama
sekali, bahkan pahanya telah kena dipecut satu kali sehingga terasa pedas dan
panas.
Ouwyang Seng
tertawa bergelak. Ia kini tahu bahwa biar pun memiliki kegesitan luar biasa,
anak perempuan ini masih bukan merupakan lawan berat baginya. Maka ia lalu
membuang tambang itu dan berkata, “Majulah kalau ingin merasakan kaki dan
tangan yang sakti!”
Melihat
pemuda cilik itu sudah membuang tambangnya, Sin Lian menjadi girang dan cepat
ia menerjang maju dengan kaki tangannya yang gesit. Namun dengan mudah Ouwyang
Seng menangkis sambil mengerahkan tenaga, membuat Sin Lian meringis kesakitan.
Ouwyang Seng tertawa lagi, lalu mendesak dengan pukulan aneh. Sin Lian berseru
kaget, terhuyung mundur dan tiba-tiba lututnya kena ditendang Ouwyang Seng
sehingga ia roboh terguling.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Han Han telah melompat dan menubruk
Ouwyang Seng dari belakang. Mulutnya mencela, “Laki-laki apa, menerjang
perempuan!” Kedua lengannya merangkul leher dengan sekuat tenaga, kedua kakinya
mengait pinggang!
Ouwyang Seng
terkejut, meronta-ronta. Akan tetapi biar pun tidak pandai silat, Han Han pada
dasarnya memang memiliki tenaga besar. Apa lagi ia mempunyai kelebihan, yaitu
nyali dan kenekatan. Biar pun Ouwyang Seng mengobat-abitkannya, ia tetap tidak
mau melepaskan rangkulan lengan dan kempitan kakinya, seperti seekor lintah
yang kelaparan menempel pada daging gemuk.
“Lepaskan...!
Lepaskan, kau jembel busuk... lepaskan...!” Akan tetapi Han Han tidak mau
melepaskannya, bahkan menggunakan tangannya untuk mencekik leher!
Penduduk
dusun yang menghampiri dan menonton perkelahian ini tidak berani mencampuri,
hanya memandang terheran-heran. Orang-orang tidak ada yang berani melawan
Ouwyang-kongcu, kini seorang anak perempuan dan seorang pengemis cilik berani
menghinanya, memakinya, dan melawannya.
Ouwyang Seng
yang meronta-ronta akhirnya roboh, membawa tubuh Han Han bersama-sama. Mereka
bergulingan di atas tanah, bergelut, namun tetap Han Han tidak mau melepaskan
kaki tangannya. Ouwyang Seng mendapat akal, ia lalu menangkap tangan Han Han
dan menekuk jari telunjuknya. Bukan main nyerinya rasa telunjuk itu, sampai
terasa menusuk di ulu hatinya. Han Han menjadi marah, lalu... menggigit bahu
Ouwyang Seng sekuat tenaga.
“Ouuww...
aduh... aduh... mati aku, aduhhh...!” Ouwyang Seng menjerit-jerit, pundaknya
berdarah dan akhirnya ia menangis berkaok-kaok, melolong-lolong sambil
meronta-ronta.
Penduduk
dusun yang melihat ini menjadi khawatir. Takut kalau terbawa-bawa, maka mereka
lalu memburu dan cepat melerai, menarik Han Han melepaskan rangkulannya,
kempitannya dan gigitannya.
“Hi-hi-hik!
Pengecut besar! Bisanya hanya menangis! Hi-hi-hik, kau hebat, Han Han...!” Sin
Lian bertepuk-tepuk tangan. Ia masih duduk karena lututnya yang tertendang itu
membuatnya tak dapat berdiri, agaknya terlepas sambungannya. Juga Han Han
merasa betapa telunjuk tangan kirinya sakit sekali, seperti patah sambungannya
pula.
Ouwyang Seng
tadi menangis bukan hanya karena sakit, melainkan terutama sekali karena
ketakutan setelah usahanya melepaskan rangkulan gagal. Kini setelah bebas ia
menjadi marah sekali dan menerjang Han Han dengan pukulan keras. Han Han
terjengkang dan terpaksa menerima hantaman dan tendangan. Sin Lian memaki-maki,
dan untuk ini Ouwyang Seng segera melompat ke dekatnya dan menendang kepalanya.
Biar pun tak dapat bangun, namun Sin Lian yang mengerti ilmu silat mencoba
untuk menangkis dengan lengan, dan akibatnya ia pun roboh terguling-guling.
Ouwyang Seng
menjadi mata gelap saking marahnya. Disambarnya sebuah batu sebesar kepalanya
dengan kedua tangan dan ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi, kemudian
dihantamkan ke arah kepala Han Han. Kalau hantaman ini kena, tentu kepala Han
Han akan remuk.
Akan tetapi
tiba-tiba batu itu tertahan dan di situ telah berdiri Lauw-pangcu. Sekali renggut
batu itu terampas dan dibuang ke pinggir. “Anak keji, pergilah!” Lauw-pangcu
berkata dan ia menangkap tengkuk Ouwyang Seng terus dilempar ke depan. Tubuh
anak itu melayang dan... jatuh tepat di atas punggung kudanya.
Ouwyang Seng
maklum bahwa kakek itu amat lihai, akan tetapi dasar seorang anak yang manja,
ia malah memaki, “Tua bangka jembel busuk! Kalau berani, katakan siapa namamu!”
Lauw-pangcu
hanya mengira bahwa anak itu adalah seorang anak bangsawan manja saja, maka
sambil tersenyum ia berkata “Bocah, aku adalah orang she Lauw.”
Ouwyang Seng
menarik kendali kudanya, menendang perut kuda itu yang segera meloncat maju dan
membalap ke depan, meninggalkan debu mengebul tinggi.
Han Han
bukan tidak mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh kakek itu, dan ia sudah
terlalu banyak belajar tentang kebudayaan dan tentang budi, maka ia segera
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Saya menghaturkan
terima kasih atas pertolongan locianpwe.”
Lauw-pangcu
tersenyum. “Bangunlah dan mari ikut bersamaku, Han Han.” Ia lalu memondong
tubuh puterinya dan Han Han terpaksa mengikutinya karena tidak mau dianggap tak
mengenal budi.
Setelah tiba
di sarang Pek-lian Kai-pang, Lauw-pangcu mengobati Sin Lian dan telunjuk tangan
Han Han. Hebat sekali cara kakek ini membenarkan sambungan tulang karena
setelah diurut sebentar dan ditempeli koyok, dalam waktu setengah hari saja
telah sembuh kembali.
“Pengalamanmu
hari ini tentu telah meyakinkan hatimu, Han Han, betapa pentingnya mempelajari
ilmu menjaga diri. Berkali-kali engkau dapat dipukuli orang, dan hampir saja
tewas. Aku tidak berniat buruk denganmu, bukan hendak mengajarmu menjadi tukang
pukul. Aku melihat bakat yang amat luar biasa pada dirimu yang tak akan dapat
ditemukan di antara sepuluh laksa orang anak, maka engkau berjodoh untuk
mewarisi semua ilmuku, Han Han.”
“Akan
tetapi, locianpwe, aku tidak ingin belajar silat.”
“Coba sajalah.
Dan pepatah mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Kalau kau sudah
mengenal seluk-beluk ilmu itu, kau tentu akan suka sekali. Sementara ini,
biarlah engkau akan menerima menjadi muridku dan coba belajar, hitung-hitung
untuk membalas budi kepadaku. Bagai mana?”
Kakek itu
memang cerdik. Ia telah mengenal bahwa bocah ini memiliki watak yang aneh dan
keras luar biasa, memiliki kemauan yang tak terpatahkan, tidak dapat dipaksa
dan mengenal budi. Karena itu ia sengaja mengemukakan tentang balas budi untuk
mengikat dan memaksa. Dan memang usahanya berhasil, Han Han terjebak. Anak ini
sudah mempelajari kitab tentang budi pekerti sampai mendarah daging, di mana
diajarkan bahwa setiap budi yang dilepas orang harus dibalas berlipat ganda,
sebaliknya budi sendiri yang dicurahkan kepada orang lain harus dianggap
sebagai kewajiban dan segera dilupakan.
“Baik,
locianpwe.”
“Bagus, Han
Han. Sekarang engkau telah menjadi muridku. Aku adalah gurumu dan Sin Lian ini
adalah suci mu (Kakak Seperguruan), biar pun dia lebih muda darimu.”
“Baik, suhu,
teecu (murid) mengerti.”
Makin kagum
hati kakek itu dan timbul persangkaannya bahwa anak ini tentu bukan keturunan
orang biasa ketika mendengar Han Han menyebut dia suhu dan diri sendiri teecu,
kemudian betapa anak itu berlutut di depannya dan paikui (menyembah) sampai
delapan kali.
Ia
mengangkat bangun muridnya itu dan berkata, “Han Han, muridku yang baik.
Sebagai seorang murid, pertama-tama engkau harus mengerti apakah yang menjadi
kewajiban utama seorang murid?”
“Teecu
mengerti. Harus taat dan berdisiplin. Taat terhadap segala perintah suhu, dan
berdisiplin dalam memegang tugas, kemudian harus setia dan berbakti terhadap
guru.”
Kalau tadi
Lauw-pangcu hanya kagum saja, kini ia terheran-heran dan tercengang. “Sin Lian,
dengar baik-baik omongan sute mu (Adik Seperguruan) ini! Engkau dapat belajar
banyak dari dia! Han Han, pendapatmu tadi tepat sekali. Nah, sekarang sebagai
perintah pertama dari suhu mu, kau ceritakanlah pengalamanmu, siapa orang tuamu
dan bagai mana engkau sampai menjadi seorang anak terlunta-lunta dan hidup
seorang diri.”
Han Han
terkejut mendengar pertanyaan ini. Ia sudah mengambil keputusan ketika ia
meninggalkan rumah orang tuanya yang terbakar, di mana terdapat mayat ayah
bundanya, untuk menyimpan rahasia tentang dirinya, untuk melupakan penglihatan
itu dan hanya mengingat wajah tujuh orang perwira Mancu, terutama wajah Si
Brewok dan Si Muka Kuning. Kini orang yang menjadi gurunya secara terpaksa ini
pertama kali mengharuskan dia menceritakan pengalaman dan riwayatnya!
Ia
menundukkan mukanya, dan begitu rasa penasaran dan sakit hati timbul karena
pertanyaan itu mengingatkan ia akan semua malapetaka yang menimpa keluarganya,
mendadak ada rasa aneh sekali di kepalanya. Kepalanya sebelah belakang kanan yang
dahulu terbanting pada dinding ketika ia dilemparkan panglima muka kuning, kini
berdenyutan keras, seolah-olah kepala bagian itu bergerak-gerak dan kepalanya
menjadi pening. Ia hanya berkata perlahan sambil menunduk.
“Teecu tidak
dapat menceritakan itu...”
Tiba-tiba
Sin Lian mencela dengan suara keras dan nyaring, “Sute (Adik Seperguruan)!
Engkau ini murid macam apa? Sudah tahu akan kewajiban murid, akan tetapi pada
kesempatan pertama kau telah tidak mentaati perintah guru!”
Han Han
makin marah. Bocah ini benar-benar cerewet sekali, dan ia merasa terdesak. Ia
mengangkat mukanya memandang Sin Lian, melihat betapa anak perempuan yang lebih
muda dari padanya akan tetapi telah menjadi kakak seperguruannya itu juga
memandang kepadanya dengan sinar mata aneh, seperti orang terpesona, terbelalak
keheranan.
Dengan hati
marah Han Han memandang dan di dalam hatinya ia memaki. “Kau bocah cerewet! Kau
seperti seekor monyet yang menari-nari!”
Mendadak
terjadi hal yang amat aneh. Sin Lian tiba-tiba meloncat mundur dan menggerakkan
kaki tangannya menari-nari, mulutnya berbisik-bisik, “Aku seekor monyet...
menari-nari...! Aku seekor monyet yang menari-nari...!” Dan ia menari-nari
dengan gerakan lucu, seolah-olah ia meniru gerakan monyet!
Lauw-pangcu
tadinya mengira bahwa Sin Lian yang memang biasanya nakal itu sengaja hendak
memperolok-olok dan mempermainkan Han Han, maka dengan bengis ia membentak
puterinya yang manja itu, “Sin Lian! Hentikan itu!”
Akan tetapi,
puterinya yang biar pun manja namun selalu mentaati perintahnya itu masih saja
berjoget secara aneh dan lucu sambil terus berbisik, “Aku seekor monyet
menari-nari... seekor monyet menari-nari...”
Terkejutlah
Lauw-pangcu! Ia menoleh dan memandang kepada Han Han dan mukanya berubah pucat,
matanya terbelalak. Ia melihat betapa sepasang mata anak ini menyinarkan cahaya
yang amat aneh, manik mata yang hitam itu seperti mengeluarkan api, demikian
tajamnya seperti menembus otak, membuat ia tidak mampu menggerakkan bola mata,
membuat ia terpaksa memandang sepasang mata itu, seperti melekat, seperti
tertarik besi sembrani!
Ia
mengerahkan sinkang, berusaha melawan, namun terdengarlah suara Han Han,
padahal anak itu tidak menggerakkan bibir, terdengar suaranya penuh wibawa,
penuh pengaruh luar biasa. “Suhu sudah tua, tidak perlu merisaukan suci yang
nakal. Lebih baik suhu mengaso dan tidur dari pada menjengkelkan kelakuan
suci...”
Terjadi
keanehan ke dua. Kakek itu menguap dan mulutnya berkata lirih, “Auhhh, aku
sudah tua... ingin mengaso dan tidur...” Lalu kakek itu pun merebahkan kepala
di atas meja, berbantal lengan dan tidur!
Han Han
melongo saking herannya. Ia menoleh kepada Sin Lian yang masih terus
menari-nari sambil berbisik-bisik, “Aku seekor monyet yang menari-nari...
seekor monyet...” Ketika ia menoleh pula memandang gurunya, kakek itu masih
tidur nyenyak!
Melihat ini
Han Han makin bingung. Tadi ia mengira bahwa Sin Lian hanya mempermainkannya
dan menari-nari untuk mengejeknya, maka ketika memandang gurunya, ia merasa
kasihan dan hatinya menghibur gurunya agar supaya jangan jengkel dan supaya
guru yang tua itu mengaso dan tidur dari pada mempedulikan Sin Lian. Akan
tetapi sekarang gurunya benar-benar tidur dan Sin Lian masih terus menari-nari
seperti telah menjadi gila! Dari bingung, Han Han menjadi ketakutan dan
diguncang-guncangnya pundak Lauw-pangcu sambil berteriak-teriak.
“Suhu...!Suhu...
Bangunlah, suhu...!”
Lauw-pangcu
serentak bangun dan matanya terbelalak ketika meloncat dari bangkunya. “Apa...
apa yang terjadi...?” tanyanya seperti orang habis bangun dari mimpi, padahal
ia tertidur belum ada dua menit!
Ketika ia
menoleh ke arah puterinya, wajahnya kembali menjadi pucat. Kakek ini sudah
mempunyai pengalaman yang banyak sekali, akan tetapi apa yang ia alami sekarang
ini benar-benar membuat ia tidak mengerti dan terheran-heran. Namun ia sudah
dapat menguasai perasaannya. Cepat ia melompat mendekati Sin Lian yang masih
menari-nari berloncat-loncatan seperti seekor monyet nakal itu, menangkap
pundak puterinya dan menotok punggungnya. Sin Lian mengeluarkan suara merintih
perlahan lalu roboh pingsan dalam pelukan ayahnya.
“Dia... dia
kenapakah, Suhu? Suci mengapa tadi...?” tanya Han Han, khawatir juga
menyaksikan semua itu karena kini ia dapat menduga bahwa keadaan Sin Lian tadi
tidak wajar, bukan menari-nari untuk mengejeknya.
Kakek itu
hanya menghela napas panjang, lalu merebahkan tubuh puterinya di atas dipan,
memeriksanya sebentar lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, sebentar lagi pun
sembuh, ia tertidur.” Kemudian ia mengajak Han Han keluar.
“Han Han,
mari kita bicara di luar.”
Dengan hati
tidak enak Han Han mengikuti gurunya keluar kamar dan duduk di ruang depan
pondok kecil itu. Mereka duduk berhadapan dan Lauw-pangcu kini memandang wajah
muridnya dengan pandang mata tajam penuh selidik. Makin tidak enak hati Han Han
dan ia menunduk.
“Han Han,
pandanglah mataku!” perintah kakek itu.
Han Han
mengangkat mukanya memandang. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan jantung
kakek itu berdebar. Mata yang hebat! Ia merasa betapa sinar mata itu mendesak
pandang matanya, menusuk masuk dan membuat jantungnya tergetar. Seperti mata
iblis! Akan tetapi saat itu kosong sehingga yang terasa hanya ketajamannya yang
menggetarkan dan betapa pun kakek ini mengerahkan sinkang-nya, akhirnya ia
tidak kuat menahan dan terpaksa mengalihkan pandang matanya, tidak kuat lebih
lama beradu pandang. Padahal ia telah memiliki sinkang (tenaga sakti) yang amat
kuat! Tertipukah ia? Adakah bocah ini murid seorang sakti yang telah memiliki
tenaga mukjizat? Harus kucoba lagi.
Berpikir
demikian, Lauw-pangcu menggerakkan tangan kanan cepat sekali, tahu-tahu telah
menotok jalan darah kian-keng-hiat di pundak anak itu. Seketika tubuh Han Han
menjadi kaku tak dapat digerakkan, akan tetapi hanya sebentar saja karena kakek
itu telah menotoknya kembali, membebaskannya. Lauw-pangcu menunduk dan makin
heran.
Jelas bahwa
anak ini tidak mengerti silat, dan tidak pernah belajar silat. Orang yang
mengerti ilmu silat tentu memiliki gerak otomatis sebagai reaksi atas
penyerangan terhadap dirinya. Anak ini sama sekali tidak mempunyai gerak itu,
tidak berusaha mengelak atau menangkis, bahkan urat syaraf di pundaknya tidak
menentang, tanda bahwa urat syarafnya juga belum terlatih, tidak biasa akan
serangan cepat lawan. Akan tetapi pandang mata itu, pengaruhnya yang hebat!
Ada pun Han
Han ketika tadi merasa pundaknya disentuh gurunya membuat tubuhnya kaku
menegang, kemudian pulih kembali, menjadi heran dan penasaran. Ia tidak tahu
apa yang dilakukan suhu-nya. Akan tetapi ia menganggap suhu-nya itu penuh
rahasia, tidak berterus terang dan seolah-olah tidak mempercayainya. Tiba-tiba
suhu-nya itu memegang kedua pundaknya dengan cekalan erat, mata kakek itu
menatapnya penuh selidik dan terdengarlah pertanyaannya dengan suara keras
mendesak dan bengis.
“Han Han!
Dari mana kau mempelajari ilmu I-hun-to-hoat (semacam hypnotis)?”
“Apa?
I-hun-to-hoat, suhu? Mendengar pun baru sekarang. Sudah teecu katakan bahwa
teccu tidak pernah mempelajari ilmu apa-apa...”
“Hemmm,
jangan mencoba untuk menyangkal. Habis, apa yang kau lakukan terhadap suci mu
dan aku tadi kalau bukan Ilmu I-hun-to-hoat?” Ilmu I-hun-to-hoat adalah semacam
ilmu hypnotis, membetot semangat dan menguasai kemauan orang dengan penggunaan
sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Han Han
makin tak senang hatinya. Ia sudah menentang perasaan hati dan pendapatnya
sendiri dan sudah suka menjadi murid Lauw-pangcu. Akan tetapi mengapa suhunya
ini sekarang menuduhnya yang bukan-bukan?
“Suhu,
mengapa suhu menuduh yang bukan-bukan? Suhu mengambil murid teecu ini hendak
diajar ilmu ataukah untuk dituduh-tuduh saja? Sudah teecu katakan bahwa teecu
tidak pernah belajar silat.”
“Tapi...
tapi pandang matamu dan peristiwa tadi! Lian-ji menari-nari di luar
kehendaknya, aku pun tertidur di luar kemauanku. Hal ini hanya mungkin terjadi
kalau orang menggunakan Ilmu I-hun-to-hoat yang amat kuat. Han Han, aku tidak
mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Kalau kau benar-benar pernah menjadi
murid orang sakti, aku pun malah makin suka kepadamu. Perlu apa kau membohong?
Sudah ada buktinya peristiwa tadi, aku sendiri mengalami, dan pandang matamu juga
penuh dengan tenaga mukjizat yang hanya timbul dari sinkang yang tinggi.”
Han Han
menjadi tidak sabar. “Teecu tidak mengerti apa yang suhu katakan itu, tidak
pernah mendengar apa itu I-hun-to-hoat, dan apa itu sinkang! Pendeknya, teecu
belum pernah belajar ilmu silat, bahkan sebelum menjadi murid suhu, teecu
membenci ilmu silat. Malah sekarang, karena suhu tuduh yang bukan-bukan, timbul
pula rasa tidak senang itu”
“Han Han,
jangan salah mengerti. Memang ada sesuatu yang amat aneh terjadi, dan kurasa,
ada sesuatu yang ajaib sekali terdapat dalam dirimu. Aku tidak menuduh sedikit pun
juga dan kau pun harap suka berterus terang. Mungkinkah kau pernah membaca
kitab kuno tentang ilmu menguasai semangat dan kemauan orang lain, dan telah
mempelajarinya?”
“Tidak, sama
sekali tidak.”
“Engkau anak
aneh. Datang-datang kau bagi-bagikan roti kering kepada lain jembel. Hal ini
saja sudah membuktikan keanehanmu. Dan cara kau bicara, sungguh tidak seperti
seorang anak jembel.”
“Teecu bukan
pengemis!”
“Kalau
begitu engkau seorang anak keluarga bangsawan yang terlunta-lunta. Bukankah
begitu?”
“Tidak,
tidak! Teecu sudah katakan bahwa teecu tidak dapat menceritakan asal-usul dan
riwayat teecu. Teecu sendiri hampir lupa. Mengapa suhu memancing-mancing? Apa
artinya riwayat teecu? Pendeknya, teecu seorang yang tiada ayah bunda lagi,
tiada saudara, sebatang-kara. Suhu, teecu biar pun hidup melarat dan seorang
bodoh, namun teecu berpegang kepada peribahasa It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi
(Sepatah kata dikeluarkan, empat ekor kuda pun tidak kuat menariknya kembali)!”
Lauw-pangcu
tercengang. Ucapan muridnya ini jelas membuktikan bahwa bocah itu bukan bocah
sembarangan, dan bukan hanya memiliki watak yang keras, memiliki pribadi yang
aneh, tenaga sakti simpanan yang penuh rahasia, akan tetapi juga memiliki
asal-usul yang menarik dan tentu bukan dari keluarga sembarangan. Ia menjadi
girang sekali, akan tetapi juga khawatir. Anak ini selain memiliki kekuatan
mukjizat, juga memiliki watak yang sukar diukur dalamnya, sukar dijenguk isinya
sehingga bagi dia yang menjadi gurunya, akan sukarlah untuk membentuk watak bocah
ini kelak. Diam-diam ia heran dan berpikir keras untuk menduga, ilmu apakah
yang telah dimiliki atau yang masuk secara aneh dalam diri bocah ini.
Tentu saja
Lauw-pangcu tidak dapat menduganya, tidak mengerti akan keadaan Han Han.
Jangankan orang luar, sedangkan Han Han sendiri pun tidak mengerti, tidak sadar
bahwa ada perubahan hebat pada dirinya, bahwa ada sesuatu yang secara ajaib
terjadi di dalam dirinya.
Ketika ia
dihajar oleh perwira muka kuning dahulu di dalam kamar karena ia telah
‘mengganggu’ perwira muka kuning itu yang sedang memperkosa ibunya, ia dilempar
dan kepalanya terbanting pada dinding kamar dengan keras sekali sehingga ia
menjadi pingsan. Entah bagaimana hanya Tuhan yang mengatur dan mengetahuinya,
bantingan kepala yang terjadi pada saat hatinya merasa tertusuk-tusuk oleh
perasaan duka, marah, sakit hati dan gelisah itu, bantingan keras yang
menggetarkan otaknya, telah merubah dan mengguncangkan otaknya, merubah susunan
syaraf dalam kepala.
Tanpa ia
sadari, timbullah semacam kekuatan mukjizat di dalam kepalanya yang menyinar
keluar dari matanya. Kekuatan mukjizat ini terutama sekali timbul apa bila
hatinya terganggu dan membuatnya menjadi marah dan sakit hati. Kekuatan
mukjizat yang membuat pandang matanya kuat melebihi pandang mata seorang ahli
sihir yang bagaimana pandai sekali pun, yang membuat daya ciptanya sedemikian
kuatnya sehingga dalam keadaan seperti itu, mudah saja ia ‘merampas’ dan
menguasai semangat kemauan orang!
Kalau
ahli-ahli sihir memperoleh kekuatan mereka karena latihan dan ketekunan, adalah
Han Han memperolehnya karena kekuasaan Thian yang tiada batasnya. Susunan otak
dan syarafnya, seperti manusia-manusia lain, adalah sempurna sekali sehingga
segala sesuatu dapat dipergunakan secara normal. Akan tetapi, hantaman
kepalanya pada dinding itu menggoyahkan kesempurnaan itu sehingga cara kerja
otak dan syarafnya menjadi terganggu. Justeru gangguan ini yang menimbulkan
kekuatan hebat itu!
Namun Han
Han sendiri tidak sadar akan hal ini. Karenanya ia tidak dapat menguasai
kekuatan mukjizat ini dan kekuatan ini hanya timbul kalau ia sedang marah
seperti yang tadi timbul dan tanpa ia sadari sendiri telah membuat Sin Lian
menari-nari seperti monyet dan Lauw-pangcu tertidur pulas di luar kehendaknya!
Lauw-pangcu
menghela napas panjang. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman luas, ia telah
dapat mengenal sifat-sifat Han Han. Ia tahu bahwa kalau ia mendesak terus,
hasilnya malah merugikan karena anak ini tentu akan kehilangan gairah belajar
ilmu silat.
Pada saat
itu Sin Lian berlari-lari ke luar dari kamarnya dan berkata, “Ayah... Ayah...
aku mimpi aneh...”
Sekejap
Lauw-pangcu memandang puterinya, lalu mengerling kepada Han Han yang
menundukkan muka. “Mimpi apa?”
“Aku mimpi
menjadi monyet dan menari-nari... eh, sute masih di sini. Bagaimana, Ayah,
apakah dia masih berkepala batu tidak mau menceritakan riwayatnya?”
Mendengar
ucapan puterinya itu, Lauw-pangcu kembali melirik kepada Han Han yang masih
menunduk, hanya mukanya menjadi merah karena anak ini pun terkejut dan heran di
dalam hatinya. Tadi dia telah memaki di dalam hatinya, memaki Sin Lian seperti
monyet menari-nari dan gadis cilik ini pun lalu menari-nari tanpa sadar.
Kemudian sekarang bocah ini mengatakan mimpi menjadi monyet dan menari. Apa yang
telah terjadi? Dia sendiri tidak mengerti dan bingung. Akan tetapi hatinya lega
ketika mendengar gurunya berkata.
“Sute mu
sama sekali tidak kepala batu, Lian-ji. Jangan kau kurang ajar dan terlalu
mendesaknya. Han Han adalah seorang keturunan keluarga Sie, dan karena dia
sudah tiada ayah bunda lagi, memang tidak ada sesuatu yang perlu diceritakan.”
“Aihhhhh...,
dia ini jaka lola (yatim piatu)...?” Suara Sin Lian mengandung penuh iba
sehingga lunturlah semua kebencian di hati Han Han. Apa lagi ketika ia
memandang kepada ‘suci-nya’ itu dan melihat pandang mata Sin Lian terhadapnya
begitu lembut dan penuh kasihan, ia lalu tersenyum kepada Sin Lian. Dara cilik
itu membalas senyumnya dan mulai detik itu terjalinlah rasa persahabatan antara
mereka.
Mulailah
Lauw-pangcu mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Han Han. Hatinya girang
bukan main karena dugaannya sama sekali tidak meleset. Bocah ini memiliki
ingatan yang amat luar biasa, seperti kertas putih bersih saja, sekali ditulis
tidak akan luntur lagi.
Mudah saja
bocah ini menerima pelajaran kouw-koat (teori silat) dan sekali mendengar terus
mengerti dan ingat. Sebentar saja ia sudah dapat menghafal semua nama dan
kedudukan bhesi (kuda-kuda). Juga ketika melatih kuda-kuda, sebentar saja ia
sudah dapat menguasainya sungguh pun kuda-kudanya itu tentu saja hanya
merupakan kulit yang belum ada isinya. Ketika Sin Lian disuruh mengujinya,
sekali serampang dengan kaki, kuda-kuda yang dilakukan Han Han itu rontok dan
ia pun terguling! Maka Lauw-pangcu makin yakin bahwa anak ini memang belum
pernah belajar silat.
Mulai hari
itu Han Han disuruh berlatih memasang kuda-kuda dengan tekun dan Sin Lian yang
menjadi suci nya selalu menemaninya dan mengawasinya dengan rajin pula. Dalam
keadaan apa pun juga, Han Han diharuskan memasang kuda-kuda dan dengan
demikian, ia mulai memaksa otot-otot kakinya, dan melatih otot-otot kakinya itu
agar menjadi seperti kaki ahli silat karena sepasang kaki merupakan pilar
terpenting bagi seorang ahli silat. Makin kuat kuda-kudanya, makin sempurnalah
ilmu silatnya, demikian pendapat para ahli silat.
Han Han
merupakan seorang anak yang rajin dan tekun. Akan tetapi kerajinannya ini hanya
ditujukan untuk membaca kitab karena memang sejak kecil ia sudah ‘berkecimpung’
dalam lautan kitab-kitab dan huruf-huruf sastra. Kalau disuruh menghafal,
sekali baca ia dapat mengingat seribu huruf di luar kepala. Kini disuruh
melatih bhesi, ia merasa tersiksa sekali. Menimba air pun harus dengan sepasang
kaki memasang bhesi, di waktu berdiri, di waktu jongkok, bahkan di waktu ia
berdiri memasak air dan membantu pekerjaan Sin Lian mengurus rumah, ia
diharuskan oleh gurunya untuk memasang kuda-kuda. Dan semua ini selalu diawasi
dan dikontrol secara keras oleh Sin Lian!
“Sute,
memang membosankan belajar bhesi seperti ini. Akan tetapi karena bhesi amat
penting, Sute harus tekun. Aku sendiri semenjak pandai berjalan sudah disuruh
belajar bhesi oleh Ayah!”
Han Han
menarik napas panjang. Sudah hampir sebulan ia berlatih bhesi seperti ini.
Bayangkan saja. Dalam sebulan itu ia selalu memasang bhesi! Hanya di waktu
tidur nyenyak saja kakinya tidak dikakukan karena dalam tidur ia terlupa. Kedua
kakinya terasa kaku sekali, bahkan kalau dilonjorkan menimbulkan rasa
sakit-sakit.
“Suci,
apakah belajar silat begini tidak menjemukan? Jangan-jangan kalau sudah lulus,
sekali berdiri memasang bhesi kedua kakiku lalu berakar di tanah dan tidak
dapat dicabut lagi. Berapa lama aku harus melatih bhesi seperti ini?”
“Tergantung
orangnya, Sute. Akan tetapi menurut kata Ayah, engkau memiliki daya tahan dan
bakat yang luar biasa sehingga dalam beberapa hari lagi tentu Ayah akan
mengajar lebih lanjut.”
“Mengajar
apa?”
“Ilmu silat
tentunya. Ilmu pukulan.”
“Wah, aku
tidak suka.”
“Mengapa?”
“Ilmu saja
kok ilmu memukul orang! Untuk memukul, menyiksa dan membunuh orang saja
digunakan ilmu yang harus dipelajari. Alangkah kejinya!”
“Sute, kau
ini bocah aneh sekali. Ilmu silat bukan semata-mata memukul orang. Memukul
hanya merupakan sebuah di antara gerakan silat, di samping gerakan mengelak,
menangkis, menendang, menyikut dan lain-lain. Menurut penjelasan Ayah, ilmu
silat adalah ilmu tata gerak menjaga dari serangan lawan, juga ilmu kesehatan
karena dengan latihan ilmu silat, jalan darah kita beredar dengan lancar dan
betul, mendatangkan kesehatan. Selain itu, juga merupakan seni tari yang indah,
dan terakhir merupakan latihan batin, meningkatkan harga diri dan memupuk sifat
rendah hati.”
Han Han
mendengarkan dengan melongo. Mereka duduk mengaso setelah berlatih kuda-kuda
itu di dalam taman liar yang dipelihara oleh Sin Lian, duduk di atas rumput
yang tebal. Tak disangkanya bahwa puteri ketua pengemis ini dapat bicara
seperti itu! Disangkanya bahwa Sin Lian hanya pandai bersilat dan pandai memaki,
galak, ganas, akan tetapi juga ramah sekali.
“Keteranganmu
amat menarik,” katanya tersenyum, “dan engkau pandai membela kebaikan ilmu
silat. Tentang yang pertama, aku percaya karena engkau pandai menjaga serangan
lawan bahkan pandai menyerang. Juga bahwa ilmu silat adalah ilmu menyehatkan
tubuh, boleh dipercaya melihat betapa engkau sehat dan kuat serta lincah
sekali. Akan tetapi bahwa ilmu silat adalah ilmu yang mengandung seni tari
indah, masih kusangsikan.”
“Masih
sangsi? Kau lihat dan katakan apakah ini tidak indah,” kata Sin Lian yang sudah
melompat bangun dan dara cilik ini mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya
cepat, namun terutama sekali amat indah. Gerakan tangan kaki teratur rapi dan
benar-benar membuat Han Han menahan napas. Ia melihat betapa gerakan-gerakan
itu, biar pun agak terlalu cepat, namun tiada ubahnya seperti seorang dewi yang
menari dengan indahnya, sama sekali tidak kelihatan sebagai ilmu untuk
berkelahi. Betapa lemasnya kedua lengan dan tubuh itu!
“Bagus!
Memang indah sekali, Suci!” katanya memuji dengan sejujurnya.
Sin Lian
berhenti bersilat, lalu duduk pula di dekat Han Han.
“Harus
kuakui bahwa ilmu silat tadi seperti orang menari saja. Kini aku percaya bahwa
dalam ilmu silat terkandung seni tari yang indah, sungguh pun aku masih sangsi
apakah aku dapat belajar bersilat seindah yang kau mainkan itu. Tentang
meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati, kurasa hal ini bukan
karena ilmu silat, melainkan tergantung dari pada sifat orangnya.”
“Ah, tidak
bisa! Seorang guru yang baik seperti Ayah, di samping mengajarkan ilmu silat,
juga menekankan aturan-aturan keras untuk membuat muridnya memiliki harga diri,
menjadi pembela kebenaran dan keadilan, serta tidak sombong.”
“Kalau
begitu aku suka belajar ilmu silat. Biar kuminta suhu mengajarku gerakan kaki
tangan.”
Sin Lian
menggeleng-geleng kepalanya yang bagus bentuknya. “Tidak begitu mudah, Sute.
Kuda-kudamu belum sempurna benar. Lebih baik kita berlatih lagi agar
kuda-kudamu cepat sempurna. Setelah kuda-kudamu kuat benar, baru kau akan
diberi pelajaran gerakan kaki tangan.”
“Berapa lama
lagi kiranya? Sebulan, dua bulan, tiga bulan?”
“Tergantung
dari kemajuanmu, Sute. Mungkin setahun baru diberi pelajaran pukulan.”
Jawaban ini
membuat semangat Han Han menjadi lesu kembali. Disuruh belajar bhesi sampai
setahun? Wah, berat sekali! Membosankan. Memang pada dasarnya ia kurang dapat
melihat manfaatnya ilmu silat dan tadinya sama sekali tidak suka. Kini setelah
mulai tertarik, ia terbentur pada kesukaran belajar kuda-kuda yang membosankan
itu sampai setahun!
Sin Lian
baru berusia sembilan tahun lebih, akan tetapi ternyata dia seorang bocah yang
cerdik. Melihat wajah sutenya menjadi muram, ia cepat berkata. “Sute, jangan memandang
rendah kuda-kuda. Karena sesungguhnya pokok kekuatan ilmu silat terletak pada
kekokohan bhesi inilah. Bagaikan rumah, demikian kata Ayah, bhesi adalah
tiang-tiangnya, pukulan tendangan dan gerakan lain hanya bagian atasnya atau
cabang-cabangnya berupa daun-daun jendela dan penghias-penghias lain. Apa
artinya rumah itu tampak indah dan kuat kalau hanya tampaknya saja dan
tiang-tiangnya tidak kuat? Tertiup angin keras sedikit saja akan roboh!
Demikian pula orang pandai silat. Kalau hanya kelihatannya saja bagus dan kuat,
namun tidak memiliki sepasang kaki yang dapat berkuda-kuda kuat, sekali bertemu
lawan berat akan mudah dirobohkan. Memang terlalu banyak orang yang hanya ingin
pandai memukul, menendang, sehingga kelihatannya pandai. Akan tetapi kalau demikian
halnya, engkau hanya akan menguasai seni tarinya saja tidak akan dapat
menguasai inti sari ilmu silat.”
Kembali Han
Han tertegun. Bocah perempuan ini pandai sekali berdebat dan jalan pikirannya
seperti orang dewasa saja. Agaknya memang Lauw-pangcu sudah menggemblengnya
sejak kecil, bukan hanya digembleng ilmu silat, melainkan juga nasehat-nasehat
dan wejangan-wejangan.
“Baiklah,
Suci, aku akan tekun berlatih bhesi,” kata Han Han sambil menghela napas.
Mulailah ia berlatih lagi, mengulangi berbagai kuda-kuda yang sukar-sukar,
diawasi dan diberi petunjuk oleh suci-nya yang lebih muda darinya itu. Sampai
hari menjadi gelap barulah keduanya meninggalkan taman.
Tiga bulan
kemudian Han Han masih belum dilatih gerak pukulan, akan tetapi di samping
latihan bhesi, ia mulai dilatih mengatur napas dan bersemedhi oleh gurunya.
Pelajaran ini pun membosankan baginya, namun setidaknya ia cukup mengerti akan
manfaat siulian (semedhi) dan mengatur pernapasan, karena dalam kitab-kitab
kuno hal ini pun selalu disebut-sebut sebagai kewajiban setiap orang yang
hendak menguasai diri pribadi dan menguasai nafsu-nafsunya. Karena itu, latihan
siulian dan mengatur napas ini lebih mudah ia pelajari. Hanya bedanya, kalau
siulian untuk menguasai diri pribadi dan mengendalikan nafsu dilakukan dengan
duduk diam dan belajar mengendalikan pikiran dan menenteramkan hati serta
menutup semua perasaan, adalah siulian yang diajarkan oleh Lauw-pangcu ini
ditujukan untuk melancarkan jalan darah, untuk menguasai pernapasan dan
terutama sekali untuk menggunakan hawa dalam tubuh sebagai kekuatan!
Lauw-pangcu
kembali tertegun dan terheran-heran ketika pada hari-hari pertama ia mengajar
murid barunya ini bersemedhi. Dalam waktu singkat saja Han Han sudah dapat
mematikan semua rasa dan berada dalam keadaan hening yang hanya akan dapat
dicapai oleh orang yang sudah berbulan-bulan belajar semedhi! Ia hanya mengira
bahwa Han Han memang memiliki bakat luar biasa dan kemauan yang amat keras
seperti baja, tidak tahu bahwa hal ini timbul dari keadaan yang ‘tidak wajar’
dalam diri Han Han akibat terbantingnya kepalanya pada dinding dahulu.
Lebih-lebih
lagi keheranannya ketika ia melatih Han Han untuk mengumpulkan hawa ke pusar
dan bertanya apakah ada terasa hawa di situ, anak itu mengangguk! Ia lalu menyuruh
muridnya menggunakan kemauan untuk mendorong hawa panas itu naik ke dada dan
kembali Han Han mengangguk, sebagai tanda bahwa ia telah melakukan perintah
suhu-nya. Lauw-pangcu tidak percaya, lalu meraba dada muridnya. Ia terbelalak.
Dada itu mengeluarkan getaran yang amat kuat sehingga tubuh bocah itu
menggigil, mukanya merah seperti terbakar. Cepat-cepat ia menurunkan lagi hawa
panas itu turun ke pusar sehingga keadaan anak itu normal kembali.
Setelah Han
Han dan gurunya duduk mengaso tidak berlatih, gurunya berkata. “Dalam latihan
siulian, kau cepat maju, Han Han. Hati-hatilah, jangan kau sembrono dengan hawa
panas di pusar itu. Itu merupakan kekuatan hebat dan kalau kau sudah dapat
mengendalikannya, hawa itu dapat kau dorong ke bagian tubuh yang mana pun juga,
merupakan kekuatan sinkang yang luar biasa. Akan tetapi kalau kau sembrono dan
keliru menggunakannya, dapat merusak bagian dalam tubuhmu sendiri. Sebaiknya
secara perlahan kau latih dan kuasai hawa itu, mendorongnya perlahan-lahan dan
maju sedikit demi sedikit, sampai dapat kau perintah dia maju ke pundak,
kemudian turun ke lengan dan sebagainya. Hawa itu dapat diperkuat dengan
latihan semedhi dan pernapasan yang benar seperti yang kuajarkan kepadamu. Kau
sudah hafal akan teorinya, tinggal melaksanakan dalam latihan-latihan yang
tekun.”
Demikianlah,
hanya dengan setengah hati Han Han melanjutkan latihannya, yakni memperkuat
kuda-kuda dan latihan semedhi. Sebetulnya ia sudah tidak kerasan sama sekali
tinggal di sarang Pek-lian Kai-pang ini. Ia merasa tidak bebas lagi, tidak
seperti ketika ia berkeliaran tanpa tujuan. Sekarang ia terikat oleh
kewajiban-kewajiban berlatih dan membantu pekerjaan rumah tangga yang dilakukan
Sin Lian. Ia tidak lagi dapat berlaku sekehendak hatinya, mau tidur tinggal tidur,
mau jalan tidak ada yang melarang, bisa tertawa sesukanya atau menangis
semaunya kalau ia kehendaki.
Di situ ia
terpaksa berlaku tidak wajar dan palsu. Ia tidak suka berlatih silat, namun
terpaksa ia lakukan. Kalau hatinya sedang mengkal, ia seharusnya cemberut,
menurutkan hatinya, akan tetapi di depan gurunya, Sin Lian dan para anggota
kai-pang, ia memaksa diri tersenyum! Benar-benar hidup tersiksa baginya.
Lebih-lebih kalau ia mengingat akan sikap para suheng-suheng (kakak
seperguruan) atau susiok-susiok (paman seperguruan) terhadap dirinya, membuat
ia makin tidak kerasan lagi.
Mereka itu
anggota-anggota kai-pang yang taat, memandang rendah dan hina kepadanya karena
ia bukan termasuk golongan pengemis! Kalau tidak mau menjadi pengemis, mengapa
belajar ilmu silat di situ dan memakai pakaian rombeng, demikian mereka sering
kali menegurnya.
Han Han
sering kali dihina, dipukul dan diejek. Akan tetapi dasar dia memiliki watak
keras dan berani, sedikit pun tidak mempunyai watak pengecut, ia tidak pernah mengeluh
di depan gurunya. Bahkan di depan Sin Lian ia tidak pernah menceritakan
perlakuan mereka itu terhadap dirinya. Sikap ini menolongnya karena para
anggota kai-pang yang gagah itu merasa kagum menyaksikan sikap Han Han dan
gangguan-gangguan mereka makin berkurang.
Sudah lima
bulan Han Han berada di sarang Pek-lian Kai-pang itu. Pada suatu pagi,
datanglah serombongan pengemis ke tempat itu. Mereka ini terdiri dari belasan
orang pengemis, tampak kuat-kuat seperti para anggota Pek-lian Kai-pang. Hanya
bedanya, kalau pakaian para anggota Pek-lian Kai-pang, biar pun bertotol-totol
berkembang atau tambal-tambalan, dasarnya selalu warna putih, adalah rombongan
pengemis yang datang ini pakaiannya serba hitam! Wajah mereka juga
bengis-bengis, dan mereka dipimpin seorang pengemis tua bongkok berpakaian
hitam yang matanya hanya satu, yaitu yang kanan karena mata kirinya buta.
Han Han yang
sedang berlatih bersama Sin Lian segera berlari-lari menghampiri bersama gadis
cilik itu yang menjadi tegang dan berbisik, “Ah, mereka adalah orang Hek-i
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Tentu mencari keributan!”
Han Han
menjadi berdebar tegang hatinya. Benar-benarkah akan terjadi bentrokan antara
para pengemis? Alangkah aneh dan lucunya. Sama-sama pengemis, masih bertengkar!
Ia dan Sin Lian menonton dari pinggir karena saat itu, Lauw-pangcu sendiri
telah menyambut datangnya rombongan pengemis baju hitam ini bersama anak
buahnya yang sudah berbaris rapi. Rata-rata para anggota Pek-lian Kai-pang
bersikap kereng.
Lauw-pangcu
telah mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Biar pun belum
pernah jumpa, namun tidak akan keliru dugaan saya kalau yang datang berkunjung
ini adalah Song-pangcu (Ketua Pengemis Song) dari lembah utara!”
Kakek
bongkok itu mengeluarkan suara mendengus seolah-olah sikap sopan dan ramah ini
malah tidak menyenangkan hatinya. “Benar, Lauw-pangcu. Aku orang she Song ketua
Hek-i Kai-pang dari seberang sungai. Tak perlu kiranya kita berpanjang debat,
Lauw-pangcu, karena kita sama tahu bahwa di antara anak buah kita sudah sering
kali timbul bentrok, dan...”
“Bentrokan
yang sengaja dilakukan oleh anggota-anggotamu, Song-pangcu!” bantah Lauw-pangcu
dengan suara kereng. “Sudah jelas daerah kita dibatasi sungai, namun para
anggotamu sengaja menyeberang sungai dan mendesak daerah kami di selatan!”
“Tidak perlu
dibicarakan lagi urusan itu!” Song-pangcu memotong marah. “Kami tidak perlu
lagi banyak cakap dengan segala pemberontak...”
“Song-pangcu!
Mengapa kau menuduh yang bukan-bukan?”
“Ha-ha-ha!
Menuduh, katamu? Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian Kai-pang adalah cabang dan
pecahan dari Pek-lian-kauw yang memberontak dan jahat? Siapa tidak tahu akan
kontak antara kalian dengan pemberontak di barat?”
Lauw-pangcu
menjadi pucat mukanya lalu berubah merah sekali. “Song-pangcu, memang tidak
perlu banyak cakap. Antara kita terdapat jurang pemisah dan bibit permusuhan.
Sekarang, kalian datang mau apa?”
“Ha-ha, mau
apa lagi? Membereskan urusan antara kita dengan senjata!” kata It-gan Hek-houw
sambil terkekeh dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang juga berwarna hitam
seperti pakaiannya.
Lauw-pangcu
memberi isyarat dengan tangan dan melompatlah lima belas orang anggota Pek-lian
Kai-pang tingkat tinggi. Mereka inilah yang oleh Sin Lian dan Han Han disebut
susiok dan mereka ini yang mewakili Lauw-pangcu melatih ilmu silat kepada para
murid. Hanya Sin Lian dan Han Han berdua saja yang menerima pendidikan langsung
dari ketua Pek-lian Kai-pang ini.
Lima belas
orang itu bergerak secara teratur, berputaran dan terbentuklah sebuah barisan
lingkaran tiga lapis. Yang luar terdiri dari delapan orang, sebelah dalamnya
lima orang dan yang paling dalam dua orang. Bentuknya seperti teratai...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment