Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 02
"Song-pangcu,
bicara tentang mengadu senjata berarti mengadu kepandaian. Seorang pangcu yang
mempunyai banyak anak buah tidak patut kalau turun tangan sendiri sebelum
mengajukan anak buahnya. Cobalah kau pecahkan barisan kami yang bernama
Pek-lian-tin (Barisan Teratai Putih) ini!" kata Lauw-pangcu.
Barisan itu
hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi sebenarnya merupakan gabungan
dari pada pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang diwakili oleh lingkaran
pertama di luar, ngo-heng-tin (barisan lima unsur) yang diwakili oleh lingkaran
ke dua dan im-yang-tin (barisan im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu
sesungguhnya bukan barisan hanya kerja sama antara dua orang yang menggunakan
dua jenis tenaga yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa
hebat dan kuatnya barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan
kuat.
Akan tetapi
It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan
tertawa mengejek. Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh
terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat
ke atas maka majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat,
tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun
masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda
dengan tongkat lawan yang putih.
Lima belas
orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar,
mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi
barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak
bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada
di depan mereka masing-masing. Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang
itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu
menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap
tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada
di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin.
Han Han
menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan
pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa
tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu
silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh?
Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti mereka ini?
Ia pun
memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian
Kai-pang. Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak?
Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah
membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama Teratai
Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih
terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu.
Menurut
patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa
Mancu! Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi
dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti
dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih
tertarik kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung.
“Anjing-anjing
hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin!” kata Sin Lian dengan
suara berbisik.
“Akan tetapi
jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan
orang dapat bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berpihak
kepada Pek-lian Kai-pang.
“Kau lihat
saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin, Sute.”
Han Han
tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah dimulai. Perhatiannya
tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Baru pertama kali ini selama
hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa
dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang
sekali.
Pertempuran
itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua
pihak. Mula-mula lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi
berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba.
Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama karena
memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan
latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju
hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga
penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu.
Kalau diukur
tingkat kepandaian perorangan antara anggota kedua ‘tin’ ini, agaknya berimbang
dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua
orang lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima
serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah
mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan tetapi,
setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya.
Tiba-tiba
mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan.
Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian
Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja, lalu bergerak ke
kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain. Ada pun orang ke dua pihak
lawan yang menyerangnya otomatis telah ‘diterima’ oleh teman yang datang
menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan
secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi
seorang lawan saja.
Kemudian
secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang,
cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak
lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang
kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka
menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat
dari dalam tadi berada dalam posisi lemah.
Terdengar
teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima
orang anggota Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan
karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka pihak lawan hanya ada dua
orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam
kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak!
“Nah, kau
lihat kelihaian Pek-lian-tin!” seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya
ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang
karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan
terengahnya napas mereka yang sedang bertempur.
Han Han
merasa kagum, akan tetapi juga ketidak-senangannya terhadap ilmu silat
bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang
berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah
mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut. Kemudian mereka berhenti
berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat
dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang dibentuk?
Ia menyapu
wajah mereka yang sedang bertempur seru. Wajah penuh keringat, berkilat-kilat,
akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh,
mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan
antara mati dan hidup ini! Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah
bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya
nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh!
Setelah
kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati
sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan
gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang
dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan lawan itu.
Terdengar
It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju
hitam mengubah gerakan. Mereka berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi
gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil
berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng,
melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang
menyerang dari bahaya.
Keadaan
makin seru dan kacau karena pihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh
penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu
oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di
luar. Perang sampyuhterjadi dan berjatuhanlah korban kedua pihak. Akan tetapi
sekali ini, pihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di pihak Hek-i
Kai-pang roboh tiga orang lagi.
Pat-kwa-tin
yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya
keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh pihak pengemis baju hitam yang
langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah barisan
Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang. Terjadi
perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara sembilan orang pengemis
Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i Kai-pang.
Akan tetapi
terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat orang pengemis baju
hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah
bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka ini merupakan
‘inti’ dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi dari pada
tiga belas orang teman yang lain. Selain tingkat kepandaian mereka lebih
tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di
antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak
memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang ke
luar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan
masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan!
Bersoraklah
pihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini pihak pengemis baju hitam sudah
tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja!
Sedangkan pihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas
orang. Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas
orang pengemis Pek-lian!
Namun
semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam itu harus dipuji. Agaknya
mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan
kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan
tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin
kacau. Pihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini
setelah empat orang pihak sendiri roboh pula!
Lima belas
orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggota Pek-lian Kai-pang
menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat!
Tujuh orang anggota Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biar
pun lawannya sudah roboh semua. Wajah mereka membayangkan kebanggaan karena
dalam pertempuran ini merekalah yang berada di pihak menang!
Tapi pada
saat itu terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu
telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju
menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat
bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok
bermata satu itu memang hebat. Biar pun kecil, tongkatnya yang hitam itu mengandung
tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika
tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan
tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh
orang Pek-lian-tin itu!
Lauw-pangcu
memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan,
tongkatnya menyambar ganas.
“Desssss...!”
dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur.
Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah
Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh.
“It-gan
Hek-houw! Engkau tua bangka tak tahu malu! Jangan hanya memperlihatkan
kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita
lihat siapakah di antara kita yang lebih unggul!” bentak Lauw-pangcu yang
menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.
“Orang she
Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah!” It-gan Hek-houw balas memaki sambil
lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah
siap sedia menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan
seru.
Ilmu tongkat
Lauw-pangcu, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa.
Ilmu ini diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang
dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai,
Memang
sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim,
adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan
Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas,
akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu
mengumpulkan kawan-kawan lama dan menerima kawan-kawan baru, lalu membentuk perkumpulan
pengemis Pek-lian Kai-pang.
Memang benar
bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai perkumpulan
pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng. Akan tetapi hal ini
bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak yang suka
bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng
musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah
Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan
dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang
pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan
mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik
pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase
terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali
bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.
Akan tetapi
pihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah ini, dengan
menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat
hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu
pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan
pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang
ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari
ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua!
It-gan
Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu
toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan.
Namun dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu
sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak
kirinya.
“Krakkk...!”
It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat
berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk.
Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh
kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari
mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.
“Orang she
Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku!”
Setelah berkata demikian It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari
situ, diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka.
Beberapa
orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi
Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.
“Pangcu,
anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan
keributan saja,” bantah seorang di antara mereka.
“Jangan
gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi
dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah
mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah
diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan
laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya
dan berkemas, paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan
tempat ini.”
Wajah para
pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah
Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak
seorang pun berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu
hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang
roboh dalam pertandingan tadi serta merawat yang luka.
“Han Han,
engkau di mana...?” teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu
yang sedang melamun sambil menonton anak buahnya menolong para korban. Ia cepat
membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya.
“Ada apakah,
Lian-ji? Ke mana Han Han?”
Sin Lian
mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini
bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana.
Kupanggil-panggil tidak menyahut.”
Lauw-pangcu
membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak
tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah
Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak
meninggalkan bekas.
Ke manakah
perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum
sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi
di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu,
melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andai kata mereka itu
merupakan jembel-jembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka
itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu.
Apa lagi
setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul
perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak
yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin ‘ong-ya’ di barat. Ia menjadi
makin tidak senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap
pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan
politik yang ia tidak mengerti.
Semua ini
membuat hatinya makin terasa hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika
melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam
anak ini lalu pergi dari situ dan terus berlari cepat ke luar dari dalam hutan.
Ia takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung
henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar
hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan.
Han Han
kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah
asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa
betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di
Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar. Masih terbayang jelas
betapa ia bertemu dengan jembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula
nama jembel cilik yang bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat!
Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya
itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan
Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi
perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas
gedung yang terbakar.
Dari jauh
sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han
lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak
laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang jembel cilik.
Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya
juga antep. Buktinya dua orang anak jembel itu roboh dan mengaduh-aduh.
Ketika Han
Han meneliti, kiranya seorang di antara dua anak jembel itu bukan lain adalah
Wan Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian
melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera
teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah
pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan
yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang
ditakuti penduduk kampung! Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua
orang anak jembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya
sambil membentak marah.
“Kau bocah
sombong dan jahat! Di mana-mana kau suka memukul orang!”
Melihat
datangnya seorang bocah jembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han
Han, mengeluh dan memegangi pantatnya. “Aduhhh... kau main curang, awas kau
kalau aku sudah dapat berdiri lagi...!”
Ada pun
bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat
belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang
sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi
pundak yang terpukul.
Bocah
berpakaian mewah yang membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda
dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng
ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apa lagi karena dia pernah digigit
pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia
berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata.
“Hemmmmm,
kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah mampus! Dahulu pun setengah
tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apa lagi sekarang setelah aku memperoleh
kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani
melawan kongcu-mu? Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan
tidak akan dapat bangun kembali.”
“Sombong!
Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kau kira aku
takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak diterapkan dalam tata
susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang
miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua
itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan!”
Ucapan Han
Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh
tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam
kitab yang pernah dibacanya!
“Wah-wah,
yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah jembel yang tidak
mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah
seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada
sebabnya?”
“Huh, macam
engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak
berdosa ini, apakah itu juga gagah?”
“Kau tidak
tahu! Aku dengan baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya jembel tua yang
suka berada di sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi
mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau
mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain
menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?”
Han Han
tertarik, jantungnya berdebar. “Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal
Lauw-pangcu?”
“Eh, engkau
tahu tempatnya?”
“Tentu saja!
Aku muridnya!”
Ouwyang Seng
terbelalak memandang. “Kau...? Muridnya...? Ha-ha-ha! Kebetulan sekali. Kau
tunjukkan padaku di mana dia!”
“Mau apa
sih?”
Han Han
menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya
diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam
kuda kuda yang pernah dilatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak
mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau
terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau
bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar
sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian
oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.
“Siapa
gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku
kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”
“Ha-ha-ha-ha!
Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”
Han Han
memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda
besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang
duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh
perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk
di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya.
Kepalanya
botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya,
kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti
batu digosok. Di sekeliling kepala bagian bawah, tumbuh sedikit rambut yang
kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya.
Kumisnya panjang, juga putih melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti
dua ekor ular kecil.
Alisnya
tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh seperti mata orang juling,
padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang
halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir
usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti
orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus
tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya.
“Suhu, bocah
jembel ini adalah murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia
mengantarkan kita kepada kakek jembel itu.”
Si Botak
tertawa lagi. “Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguh pun tidaklah sukar
untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan buntalan ini!”
Memang aneh
kalau seorang guru menyebut ‘kongcu’ atau tuan muda kepada muridnya. Memang
demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak
biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi
dalam Kerajaan Mancu. Namun hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat,
karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang
besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya.
Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak
yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.
Sambil
tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini
ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar!”
“Hei, bocah
murid Lauw-pangcu! Siapa namamu?”
Ujung cambuk
itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han
sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak. “Namaku Han
Han, dan biar pun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk
bersikap sombong kepadaku!”
“Ha-ha-ha-ha!
Kongcu, bocah ini hebat! Lihat matanya... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan
dia! Boleh dijadikan pelayan.”
Kiranya
kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar
biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan! Kakek inilah yang
oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat,
julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan
kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang
berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti dari
pada setan sendiri!
Kang-thouw-kwi
Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sukar
diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada beberapa orang
saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti.
Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai terpikat, tidak saja
menjadi ‘pelindung’ Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari
pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga
Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai
muridnya!
Namun
sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan
besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi
sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng terlalu rendah. Inilah sebabnya maka
mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik.
Dia bertugas
untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut
Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang
pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun tangan karena
‘gengsi’ pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan
Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu.
Namun karena
muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian
Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama.
Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini
yang ingin memberi ‘hajaran’ kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya
rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!
Di tengah
jalan, Ouwyang Seng membentak, “Heh! Han Han! Enak saja kau berjalan tanpa
membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan
buntalan suhu-ku ini sampai di tempat yang kau tunjukkan! Berani tidak kau
mengadu tenaga melawan aku?”
Kalau hanya
ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak
akan sudi. Akan tetapi ditanya ‘berani atau tidak’, segera bangkit semangatnya.
Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati
bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu,
tidak ada lagi rasa takut atau susah.
“Tentu saja
berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagai mana? Kalau berkelahi seperti dulu
aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam engkau!”
“Tidak usah
berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong
saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas
tanah, dia akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu.”
“Boleh!” Han
Han menjawab.
Si Setan
Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan
kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan
melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan.
“Siap?”
tanya Ouwyang Seng.
“Siap!”
jawab Han Han.
“Mulai!”
Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han.
Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong.
Han Han yang
merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan
tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai
berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua
kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan
Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat
merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat
bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk
mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah
terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong
sampai menempel dadanya.
“Heh-heh,
Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng tertawa mengejek. Masih
dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja sudah membuktikan bahwa
tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang dari pada Han Han.
Namun Han
Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi
ia belum merasa kalah karena dia belum keluar dari garis lingkaran! Ia sudah
tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua
kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali
belum keluar dari lingkaran.
“Kau kepala
batu!” Ouwyang Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menangkan pertandingan lebih cepat.
Akan tetapi
daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang,
namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh.
Bukankah kalau sudah roboh sekali pun, ia masih belum kalah karena belum keluar
dari garis lingkaran?
“Huah-ha-ha-ha,
anak luar biasa...!” Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan
tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari
garis lingkaran!
Han Han
terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia
terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia
terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit
tenaga mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!
Dengan
bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun
sudah bangkit berdiri memandang heran. Putera pangeran ini menyambar bungkusan
milik suhu-nya. “Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang
berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu!”
Han Han amat
cerdik. Biar pun ia tidak tahu apa sebabnya dan bagaimana caranya, namun ia
dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran
dan marah sekali. Apa lagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang
menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah
harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya berdebar, darahnya panas naik ke
kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.
“Aku?
Berlutut padamu? Tidak sudi!” Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring
ketika ia menyambung, “Ouwyang Seng! Engkaulah yang sepatutnya berlutut di
depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat!”
Tiba-tiba
saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan
mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh
penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya!
Han Han
mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal
atas penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu,
mengangkatnya ke pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu
berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main!”
Ouwyang Seng
kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di
depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel.
“Kenapa...?
Kenapa aku berlutut...?”
“Ajaib...
ajaib...!” Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel.
Tiba-tiba
Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke atas, tahu-tahu ia telah tergantung
di atas kuda. Kakek botak yang memegangi tengkuk bajunya itu mendekatkan
mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang
mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau
berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak
marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.
“Ajaib...
bocah ajaib... matamu ini... ah, luar biasa!” Si Setan Botak melontarkan tubuh
Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu
dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya,
membuat Han Han terhuyung pun tidak! Han Han makin terheran, akan tetapi ia
sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sinkang yang amat luar biasa
dari Si Kakek Botak.
Ada pun
Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak
tahu betapa ia menurut dan taat saja diperintah oleh Han Han sehingga ia
berlutut, kini menjadi uring-uringan.
“Tar-tar-tar!”
Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak,
“Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Jembel Tua!”
Han Han
sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang
Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka
berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas. “Ouwyang Seng...!”
“Keparat!
Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Jembel macam engkau berani menyebut namaku
sesukanya?”
“Namamu
memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak
butuh memanggil namamu.”
“Setan
pengemis! Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali
membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.
“Tar-tar...!”
Han Han yang
merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk
melepaskan bungkusan itu yang jatuh berdebuk ke atas tanah. Biar pun hatinya
panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan
kekerasan ia tidak akan menang, apa lagi di situ masih ada guru bocah nakal
itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi
dan memanggulnya di atas pundak.
Hidungnya
mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau
bangkai tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia
diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang
Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong.
Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan
menerima hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.
Senja hari
itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan
murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak
buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan
sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta
dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian
tampak membantu ayahnya.
“Han
Han...!” Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sute-nya itu datang
memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut
karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek
botak yang menunggang kuda dengan sikap tenang sekali.
Semua
anggota kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala
kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening
berkerut. Sungguh pun Si Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang
mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para
anggota Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati.
Lauw-pangcu
sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan
puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan
besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri
Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mukjizat dan yang ia sendiri tidak tahu
dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han
Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin
Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok.
Akan tetapi
begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama
Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu
menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya untuk menekan
perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju
menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat
dibayangkan betapa herannya para anggota Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua
mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh
hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil
berkata dengan suara mengandung rasa cemas.
“Sungguh
tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa
Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf
sebesarnya, karena tidak tahu lebih dahulu kami tidak dapat menyambut dengan
sepatutnya.”
Mendengar
ucapan itu, para anggota Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam
hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut
Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi
sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan
oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan
bertanya.
“Bocah,
apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?”
“Benar,”
jawab Han Han.
Si Setan
Botak tertawa. “Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kau hadiahkan isinya
kepada gurumu, ha-ha-ha!”
Han Han
menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apa lagi kalau ia ingat
betapa perkumpulan suhu-nya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban.
Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi
siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia
panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhu-nya! Karena girang, tanpa
berkata apa-apa lagi ia lalu menurunkan buntalan yang cukup berat itu,
menurunkannya di depan kaki suhu-nya dan membuka tali pengikatnya.
Begitu
bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han Han terpaksa menutup
hidung. Matanya terbelalak memandang isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat
wajahnya dan para anggota Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk
melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu
berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang
anggota Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu! Pantas saja
tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus!
“Aihhh...!”
Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa
Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.
Lauw-pangcu
memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk
kirinya menuding ke arah anak itu. “Murid jahanam! Engkau kembali membawa
malapetaka! Baiklah sebelum semua mati, engkau akan mampus di tanganku lebih
dulu!”
Setelah
berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya
melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya
seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke
arah dada Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andai
kata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekali
pun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari pada serangan maut
ini.
Gerakan
Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian
(Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat
Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagai mana tangguh pun akan sukar menjaga diri
dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat
itu.
Mengapa
Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula
menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung
mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus
sembarangan sekali pun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri!
Sesungguhnya
adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama
Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat
menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula
bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apa lagi melihat Han Han
tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja
ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi
pembantu musuh! Ada pun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling
ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai
kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han
tidak akan gagal lagi.
Han Han
bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya
dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal
takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.
“Ayahhhhh...!”
Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman
maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sute-nya, maka tanpa disadari ia
menjerit.
Tiba-tiba
tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan
Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh
terguling! Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan
meloncat bangun, tongkat masih di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia
menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata,
suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus.
“Gak-locianpwe,
saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe
mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai
seorang di antara Lima Datuk Besar?”
Baru
sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi
Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak.
Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan
bergerak, bagai mana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar
dan terbanting ke samping?
Lebih-lebih
Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah
setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada
di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini tanpa bergerak atau
turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia! Terutama sekali
ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai seorang di
antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan siapakah mereka
ini?
Kang-thouw-kwi
Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua
anggota Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat
karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu
‘terangkat’ oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang
turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para anggota Pek-lian
Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu! Mulutnya menyeringai dan kumisnya yang
panjang bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil hidup.
“Orang she
Lauw! Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu?
Huh, lancang sekali engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai
Putih) dahulu pun belum pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu,
akan tetapi sekarang telah menjadi pelayanku. Mana bisa kau bunuh dia begitu
saja? Pula kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang,
perkumpulan pemberontak rendah! Nah, kau serahkanlah kepalamu dan kepala semua
anggota-anggotamu seperti yang terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu
ini.”
Ucapan ini
terdengar seperti halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua
anggota pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka terdiri dari
lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya
datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biar pun ia sudah
mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima
Datuk Besar, namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah
pejuang-pejuang yang tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke
atas, memberi isyarat kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu
menerjang maju dengan tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan
menerjang kakek botak itu dari segala jurusan.
Melihat ini,
hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian
Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian. “Suci, mari hajar bocah
setan ini!” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki.
“Engkau murid murtad!”
Han Han yang
amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya,
tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh
terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang
menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek.
Bertandinglah
dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih
pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa
ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan
ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot
juga.
Han Han
lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu
dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat
sekali. Jauh lebih hebat dari pada perkelahian antara dua orang anak itu yang
tidak menarik hatinya. Apa lagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi
marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dia
menganggap bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga
yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu
bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan, lalu
memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.
Apa yang dilihat
Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal
dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang
maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak
itu sambil menerjang dengan tongkat mereka. Akan tetapi Si Setan Botak hanya
berdiri tegak. Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram
ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar,
kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan... tujuh orang pengemis Pek-lian
Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati!
Itulah
semacam kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan
tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat.
Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan
tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata
rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan sehingga
menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika! Kepandaian yang hebat
dan juga kekejaman yang amat menyeramkan.
“Heh-heh-heh...!”
Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para
anggota Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti
mata seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal!
Kembali
belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng
sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggota Pek-lian Kai-pang
rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah
serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh.
Namun kakek
botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat
mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam
leher, menusuk dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang
berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau
tusukan ujung tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara
bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak.
Namun sama
sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan
kirinya menyambar kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk. Tubuh
pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan....
“Prak-prak-prak!”
terdengar suara berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan
kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan
kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena
sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang dijadikan
senjata. Ada pun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping, telah
hancur dan tidak menyerupai kepala!
Lauw-pangcu
marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas dalam
keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah
menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu
ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh
orang.
“Heh-heh-heh,
bagus! Biar kubasmi habis kalian hari ini!” kata Si Setan Botak.
Tiba-tiba
tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan. Han Han yang
melihat kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan
kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi
besi panas! Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri
den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali! Hanya Lauw-pangcu dan dua
orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya terhuyung ke belakang, akan tetapi
tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah, mata mereka
terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima puluh orang anggota
Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas
menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu!
Han Han kini
menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si
Setan Botak. Bagai mana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai
khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian. Ternyata gadis
cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar
oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju
tanpa perhitungan lagi dan sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu
terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya den menangkap kedua lengannya terus
dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi!
“Kau bocah
galak seperti kucing! Kucing tidak berpakaian! Maka akan kutelanjangi kau, biar
kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak!” kata Ouwyang
Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu.
Wajah Han
Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan
keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki.
“Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu! Apa yang akan kau lakukan itu?
Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau!"
Ouwyang Seng
hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang
meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tiba-tiba tubuh Ouwyang Seng
terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin
Lian dan berkata halus, “Anak, kau minggirlah.”
Han Han
terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet
menyambar, tiba-tiba sudah ada di situ dan melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia
itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah
sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya
tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya
tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir.
Dan kiranya
yang datang secara cepat dan aneh bukan hanya wanita cantik itu, karena entah
dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di situ telah berdiri pula dua orang.
Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh pendek kecil
dan tangannya memegang sebatang cambuk besi. Laki-laki ini biar pun pendek
kecil, namun memiliki pandang mata yang kereng berwibawa. Ada pun laki-laki ke
dua adalah seorang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar berwajah
gagah, di tangannya memegang sebatang toya kuningan yang kelihatannya berat sekali.
Laki-laki
pendek yang memegang cambuk besi itu menjura ke arah Lauw-pangcu yang masih
pucat dan berkata, “Lauw-pangcu harap jangan khawatir, sekuat tenaga kami akan
membantumu menghadapi iblis ini!”
Lauw-pangcu
kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun
merasa tidak enak dan cepat berkata, “Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri
urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai orang gagah di tangan
Kang-thouw-kwi Gak Liat!”
Mendengar
disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga
Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling
mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun
telah mencabut pedangnya.
“Hemmm,
sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan
tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan
siap membantu mati-matian!” kata pula laki-laki pendek penuh semangat.
Si Setan
Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah
kemarin sore! Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago
cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?”
“Kami memang
anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid
Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa!” kata wanita
cantik itu, suaranya nyaring dan merdu.
“Heh-heh,
kau cantik dan bersemangat! Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?”
tanya pula Si Setan Botak memandang rendah.
“Ceng San
Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami!” kini Si Tinggi Besar menjawab,
suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek!
Tiga orang
itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang
terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan
perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga
Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan.
Yang tertua
dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa
Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk
Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang
wanita yang masih gadis, tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria
yang mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang
Cantik). Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot
dan selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya
penjajah bangsa Mancu.
Akan tetapi
ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa
bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh,
bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau
melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio
sendiri yang datang barulah patut melayani aku beberapa jurus.”
Ucapan ini
amat takabur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan
tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat
dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam Sam-eng yang
belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan
amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti
pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak
dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi.
Han Han yang
menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas,
merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat
siapa baik di antara kedua pihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia
tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti
orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa
tidak senang karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan
dengan begitu banyak kawan.
Sebagai
murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak
bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka ‘main keroyok’ secara
kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang
masih rendah tingkatnya. Memang mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka
melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya
saling susul dan berganti-ganti.
Mula-mula
terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita cantik sudah melayang
ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia menyerang kakek botak
itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke
depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga
lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran. Namun kakek botak
itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak
mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua
tangan ke atas.
“Krakkk!
Brettttt...! Ha-ha-ha-ha!”
Tubuh Bhok
Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun,
tangan kiri sibuk berusaha menutupi baju bagian dadanya yang sudah robek lebar
memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke
tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua! Pucatlah wajah semua orang.
Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong! Menangkap pedang
dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok
Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa.
“Iblis tua
bangka!” Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya.
Siauw-lim-pai
amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari
bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak
itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu
ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki
dari samping.
“Ayaaa...!”
Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja
roboh dan toyanya hampir terlempar.
Saat itu
dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk
menerjang dengan cambuk besinya.
“Tar-tar...!”
Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak
Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi,
membabat ujung cambuk.
“Cringgg...!”
Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah!
Lauw-pangcu
dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak
dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini
telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat
anggota Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok.
Kakek botak
itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan
mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang
dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan
dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan
pukulan. Setiap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sinkang yang
aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan
lawannya!
Akibatnya,
dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas,
Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan lengannya
patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan pundaknya patah
pula, ada pun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis itu dikempit oleh
Kang-thouw-kwi Gak Liat!
Kakek ini
terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang
mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh
kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil
memanggil nama ayahnya yang pingsan.
“Ayah...,
Ayahhh...!”
Biar pun
lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian
pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan
muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian.
“Locianpwe
adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam
pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe
menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,” kata Khu Cen Tiam yang
menyebut ‘locianpwe’ karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan
kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk
Hitam itu.
Lima Datuk
Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang
berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan,
akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam
orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam!
“Heh-heh-heh,
kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat
bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari
sebagai penebus nyawa kalian!”
Khu Cen Tiam
dan Liem Sian membentak marah. Biar pun sudah terluka, kemarahan mereka membuat
mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja keduanya
sudah terbanting dan terjengkang ke belakang!
“Baik, kalau
kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga
hari lagi. Kami para anggota Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu
membuat perhitungan!”
“Sute...!”
Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu
tertawa bergelak.
“Bagus...
bagus... kiranya akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang,
sekalian mengembalikan sumoi-mu yang kupinjam. Ha-ha-ha!”
Setelah
berkata demikian, sekali tubuhnya melayang kakek itu sambil mengempit tubuh
Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian
menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata, “Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak
pelayan itu!” Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan....
“Kraaakkkkk!”
batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke
bawah bersama-sama!
Han Han
bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah
meledak di atas kepalanya. “Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas!” bentak putera
pangeran itu.
Han Han
menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela
napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali
kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan
tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beberapa kali
terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah
keluar dari dalam hutan itu.
**************
Dapat
dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya
terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima
puluh orang anggota Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggotanya
sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian
hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu
mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini
tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok
Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun
di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati.
“Sudah
kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,”
demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti, selain ji-wi
terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang.
Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si
jahanam Sie Han!”
Khu Cen Tiam
dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu. “Pangcu jangan berkata
demikian. Kita sama-sama anggota Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati
menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan
pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk
merundingkan hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.”
“Ahhhhh,
iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang
ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang
akan mampu melawannya?” demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia
teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi.
“Di antara
saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok
dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga
hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan
untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi.”
Demikianlah,
setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini
bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang
menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi
meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang
yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu
mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi
Gak Liat.
Ada pun
Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim
yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han pergi menuju ke
timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah
hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata.
“Berhenti di
sini!” Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim.
“Di sinikah
tempatnya batu-batu bintang yang dicari suhu?” tanya Ouwyang Seng.
Si Setan
Botak mengangguk. “Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau
sudah tahu macamnya seperti yang pernah kuperlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu
itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini!”
Ouwyang Seng
melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat
dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan
ditarik sambil membentak. “Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang!”
Akan tetapi
sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak
marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas
batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan
rambut gadis itu yang hitam panjang.
Han Han
dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim
dan terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya
dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cici-nya sendiri yang
telah lenyap, sungguh pun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti
pandang mata cici-nya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia
menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan
telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring.
“Locianpwe
adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan
tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?”
“Han Han,
tutup mulutmu yang busuk!” Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan
Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk
mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka
bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan.
“Demi
iblis...! Matamu mata iblis...! Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang
telah kulakukan?”
Han Han
menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu.
“Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan
sakti yang tidak melakukan perbuatan hina!”
Si Setan
Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang
cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Ini kau anggap perbuatan hina
dan rendah? Ha-ha-ha-ha!” Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok
Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba
leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia
berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian
meramkan mata dan merintih perlahan.
Kemarahan
Han Han memuncak. Dengan mata berapi ia memandang kakek botak itu dan
membentak, “Locianpwe! Kau tidak akan menghina wanita!”
Kakek itu
mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya
bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak,
mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata perlahan, “Aku... aku...”
Tentu saja
Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan suhu-nya ini, maka ia berseru
keras dan heran, “Suhu...! Apa artinya ini...?”
Sesungguhnya
pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mukjizat
yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mukjizat tenaga sakti ini sehingga
seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang di antara Lima Datuk
Besar, sampai terpengaruh! Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak
tahu akan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan
pikirannya sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya.
Selain itu
Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi
sekali dalam ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan
muridnya. Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping.
Gadis itu terguling dan rebah miring tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat
telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu
kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang
mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguh pun kini kemarahan anak itu
mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan.
“Eh, Han
Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?”
Kalau Han
Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya karena hal itu
akan mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah
bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan
untuk menjawab, apa lagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar
selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim.
“Ayahku
bernama Sie Bun An.”
“Ayahmu ahli
silat tinggi dan tokoh kang-ouw?”
“Ah, tidak
sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah
melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.” Ia
berterus terang dengan suara keras.
Kalau dahulu
di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan
Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya,
yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami
penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan untuk
menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca kitab, dan
dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng!
Mendengar
ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik
terheran-heran. “Matamu itu... hemmm... Han Han, kau katakan, siapa nama
Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.”
“Aku tidak
pernah melihat Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan Ayahku tidak banyak
bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang
perantau dan namanya Sie Hoat...”
Kakek botak
itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak. “Sie Hoat...? Sie Hoat Si Dewa
Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)?
Pantas... pantas...”
Han Han
bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya! Ayahnya
adalah seorang sastrawan yang kaya raya. Biar pun ayahnya belum pernah
bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu
seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa
Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek
botak itu dan bertanya.
“Kenapa
locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?”
“Ha-ha-ha!
Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu! Dia masih
hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku
karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat
muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha!”
“Locianpwe,
apa yang locianpwe maksudkan...?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya
penuh rasa penasaran.
Akan tetapi
Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia
memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit. “Dan kini cucumu
menjadi pelayanku, Sie Hoat! Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan
jemputlah cucumu, ha-ha-ha!” Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim
yang masih rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri,
lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya.
“Locianpwe
tidak boleh...!”
Akan tetapi
ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng
dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu. “Engkau bocah tak tahu diri, berani
sekali mengganggu suhu! Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri
urusan orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu
bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang
melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa
tahu engkau akan diambil murid seperti aku!”
Han Han
terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya. Ia
mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang
demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak
mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang batu bintang dan tentang
kemungkinan ia diambil murid.
“Untuk
apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?” tanyanya sambil
memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu
karang yang banyak terdapat di situ.
“Kau lihat
baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kuceritakan,” jawab
Ouwyang Seng.
Han Han
melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil,
paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang,
runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan
mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari
dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari
Ouwyang Seng lalu memberi keterangan.
Seperti yang
pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang
menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai
Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu
besar pecahan dari bintang. Karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian
tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini
disebut batu bintang. Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya,
batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun
tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini
tidak diperhatikan orang.
“Akan tetapi
suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang mukjizat dari batu-batu ini,”
demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk
memperhebat ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.”
Sambil
memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali,
Han Han lalu bertanya. “Sifat mukjizat apakah? Dan apa itu Yang-kang?”
“Ah, dasar
kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa!” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu
Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan
ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada
seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang
(Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu
terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mukjizat dari Yang-kang,
dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya
bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas.
Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.”
“Bagai mana
caranya?”
“Kau akan
melihat sendiri! Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan
direndam air yang mendidih?”
“Ah,
masa...?” Tentu saja Han Han tidak percaya.
Ouwyang Seng
tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya se-hingga tampak kedua
lengannya yang berkulit putih dan halus. “Kedua lenganku ini kelak kalau sudah
jadi benar seperti kedua lengan suhu akan membuat aku dapat menjagoi seluruh
jagat! Kalau sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat
hangus tubuh lawan yang bagai mana kuat sekali pun!”
Han Han
memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan
kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan
sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak
memiliki kekuatan yang mukjizat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai,
bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu?
Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan
yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api!
“Benarkah
semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?”
Tiba-tiba
bocah itu melotot dan membentak marah, “Han Han! Di mana kesopananmu? Katamu
sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang
menjadi pelayan suhu-ku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa
Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota
raja. Sudah seharusnya kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan
sopan santun!”
Wajah Han
Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan
‘sopan santun’ yang diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan si kecil
mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya! Ia
mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi
pertanyaannya.
“Maaf,
benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?”
Berseri
wajah Ouwyang Seng. “Bagus! Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan
pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar.
Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku.
Tentu benar apa yang kuceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik
sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak
ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik
ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku,
karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.”
Han Han
mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul
cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang
memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka berdua lalu
kembali ke tempat di mana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Ketika kedua
orang anak itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di
atas batu dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari
situ ia melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia
melangkah pergi sambil terisak menangis.
“Ho-ho,
Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang
mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu, ho-ho-ha-ha!”
Wanita muda
itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah
itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata. Ia
bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan
kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu! Bhok Khim lalu membalikkan
tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara
ketawa bergelak Si Kakek Botak.
“Sudah
mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang
agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.”
Tubuh kakek
botak yang tadinya duduk tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han
sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu.
Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya! Ouwyang Seng
agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han
seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya. “Hayo kita
berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap!”
Kembali
mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh
kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan,
diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan
paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang
mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda.
Menjelang
malam tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak
Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang
indah sekali, yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat
Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar
tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja!
“Rumah siapa
ini...?” tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan
menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak. Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk
terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang
langsung memasuki gedung dari pintu tengah.
“Heh-heh,
rumah siapa lagi? Ini rumahku!”
“Rumahmu...?”
Han Han makin kagum.
“Bodoh,
bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa
artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang
biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh
suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah! Kau makan dulu, kemudian
tidur. Besok kita bekerja!” Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh
pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur.
Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malam pun
tiba.
Pada
keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung
masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap
keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk
bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan
untuk lari minggat dari situ. Betapa pun tertarik hatinya untuk menyaksikan
Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari
Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas dari pada tekanan mereka dan
dipaksa menjadi pelayan.
Karena kedua
kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa
mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan
mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa
rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama
sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok! Akan tetapi pintu gerbang
pun terlalu tinggi untuknya.
Selagi ia
termangu bingung, terdengar suara tertawa. “Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke
mana?”
Han Han
terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi
dan gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana
adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan
ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan
dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari
sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam
kamarnya dan ia duduk bersila dan bersemedhi seperti yang pernah dilatihnya di
bawah bimbingan Lauw-pangcu.
Setelah
Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini
dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di
situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat)
lengkap dengan dapurnya di mana ia dan muridnya melatih diri untuk memperkuat
Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang. Masih ada lagi sebuah tempat yang
letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia.
Kalau para
pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak
seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat
terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari
gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di
situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat
secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang
di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai
kalah oleh datuk lain.
Han Han
mendengar semua ini dari Ouwyang Seng. “Engkau harus taat akan perintah suhu
kalau kau ingin hidup,” antara lain putera pangeran itu berkata. “Kalau suhu
sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekali pun
tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki
daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku
sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati!”
Diam-diam
Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya.
Karena ketidak-senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu.
Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain! Akan tetapi ia tidak mau banyak
cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan
terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat
memperlihatkan ketidak-senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya.
“Aku harus
dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini,” pikirnya. Maka
ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan
Ouwyang Seng.
Ia harus
mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kuali baja yang amat
besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu
bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan
ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali
beradu dengan palu besi mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit
lengan, terasa panas sekali! Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke
dalam kuali besar yang airnya mulai mendidih.
Pada saat
itu muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba
seperti ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena
menggunakan ginkang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain
ringan tak terdengar, juga amat cepat.
“Suhu,
apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu bintang?” Ouwyang Seng
bertanya.
“Hemmm...
masih jauh! Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun
melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan
kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu
bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kuali besar itu kurang
penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya.
Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur!”
Dengan muka
keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kuali yang lebih kecil, yang tadi
ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kuali itu kelihatan
menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih.
Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua
tangannya ke dalam kuali air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan
menarik kembali kedua tangannya keluar.
“Aduh,
terlalu panas...!” serunya.
“Hemmmmm,
Kongcu kurang tekun berlatih!” Setan Botak menegur dan suaranya jelas
membayangkan bahwa hatinya tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apa lagi
berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kuali itu,
jangan ragu-ragu, masukkan!”
Ouwyang Seng
memandang ke arah suhu-nya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya
dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kuali di depannya.
Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba
kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng
tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang.
“Bantulah
dengan hawa dalam tubuh! Kongcu harus dalam keadaan siulian (semedhi) jika
tidak kuat,” suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata
dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam
pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak
menggigil lagi, wajahnya tenang.
“Berlatih
terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dan ulangi lagi
sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,” pesan Si Kakek sambil berdiri dan
bertolak pinggang.
Han Han yang
sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu
terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng
dalam keadaan semedhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas!
“Hei, mana
airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu bintang sampai hancur. Kalau
airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan
godok terus sampai hancur. Mengerti?”
Han Han
terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi. Cepat-cepat ia menyambar ember
kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kuali besar
berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata.
“Kerjakan
penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang
kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan
kumasukkan ke dalam air ini!”
Setelah
mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat
dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan
matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersemedhi
dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak
dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan
terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol
hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat
sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kuali dan
menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan ‘dapur’ dari
lian-bu-thia ini.
Baiknya ia
bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan
diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu
tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng
kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan
gurunya ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang
panas.
Karena
kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak
tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang
amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia
tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang
Pek-lian Kai-pang! Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban
kekejaman Si Setan Botak ini.
Menurut
penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak pengetahuannya tentang
keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagai mana yang ia ceritakan penuh
kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk
Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan
tokoh yang amat terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang,
dan sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan Mancu
menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang
melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian.
“Menurut kata
Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di
kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi muridnya. Kau lihat sendiri, betapa
hebat ilmunya. Dan aku... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku
agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu.”
Han Han amat
tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh,
sungguh pun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman
dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan dengan mata
sendiri.
“Kongcu,
tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku
Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?”
Ouwyang Seng
menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng
(Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah
mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan kutanyakan mereka.”
“Ah, jadi
Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?”
Ouwyang Seng
mengacungkan jempolnya. “Tentu saja, dan mereka pun hebat! Aku mempunyai dua
orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup
menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku
tekun belajar, aku akan lebih lihai dari pada mereka!”
Han Han
dapat menduga bahwa putera pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu
mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk
mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kali karena ingin
menggunakannya untuk berkelahi, memukul, apa lagi membunuh orang, melainkan
keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya.
Ketika ia menuangkan air tadi, ada air dari kuali, air yang mendidih dan
berwarna agak merah, memercik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit
lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi
mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas tanpa terluka?
“Kau
lanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han.
Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali
kau keluar dari lian-bu-thia ini, apa lagi berkeliaran di daerah terlarang di
belakang gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan!”
Sudah
menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin
terlarang makin ingin tahu.
“Ada apanya
sih di daerah terlarang itu, Kongcu?”
“Hush! Mana
aku tahu? Di situ tempat suhu bersemedhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh
masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan
menyeramkan! Ada tengkorak-tengkorak hidup... hihhh... ada setan-setannya di
situ. Akan tetapi suhu menguasai semua setan-setan yang membantunya memperdalam
ilmu-ilmunya itu.”
Han Han
merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali
menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati
dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersemedhi dan berlatih, ia pun
lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang.....
**************
Ho-han-hwe
(Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang
menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang
kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum
bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang
mereka namai golongan hitam atau kaum sesat! Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini,
namun tidak pernah ada tempat atau markasnya yang tertentu karena tentu saja
perkumpulan ini merupakan perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap
sebagai pemberontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara
tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu
dengan yang lain.
Kang-lam
Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari
Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan
antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang.
Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan golonga sepaham atau sahabat karena
perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh
Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi.
Akan tetapi,
tiga hari sebelum pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa
Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggota perkumpulan pengemis pejuang
ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri
terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka
ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok
Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh Setan Botak yang lihai luar biasa
itu. Semua ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan
Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi
Gak Liat.
Peristiwa
ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat
persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguh pun belum
pernah ada yang bertemu, apa lagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka
sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih, namun tak seorang pun
yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya hati mereka
lega ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam
(Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru
Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai.
Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi
musuh itu.
Selain
Siauw-lim Chit-kiam yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga
ada beberapa orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang
diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat
dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Botak
sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan
pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka.
Demikianlah,
pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah berkumpul dengan hati berdebar,
dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu
sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua
tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga,
letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada pihak musuh
datang menyerang.
Semenjak
pagi, sudah banyak anggota-anggota Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan
pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu
Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan
berkat ilmu pengobatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam.
Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin
dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh pandai.
Ada tiga
puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi
ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat
harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan
tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain
yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah
seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus
kering bermuka pucat.
Laki-laki
tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan
Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah
diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini selain
memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat.
Ada pun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka
pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti)
dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat,
adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lweekeh (tenaga dalam) yang amat
pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok
jalan darah).
Akan tetapi
berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini
agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat!
Sikap ini hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda
yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan
menimbulkan kekhawatiran dan keraguan.
“Mengapa
khawatir menghadapi Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu
berkata sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya
baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam! Tak perlu
gelisah! Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana
mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju
menghadapinya!”
Karena semua
orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi
dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apa lagi mereka semua sedang
dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah
ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk
mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu anggota-anggota
Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Botak secara mengerikan.
“Kami
percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang
berharga,” kata pula Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap sukalah
Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan
Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah
mengatur rencana dan siasat, apa bila dia datang dan tak dapat dilawan, kita
harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk
menghadapinya.” Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh
orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata,
hanya mendengarkan dengan sikap tenang.
Seorang di
antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang
berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan
tenang. “Kami bukanlah anggota-anggota Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi
undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan
kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Memang Gak Liat amat keji dan jahat,
sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apa lagi kalau Bhok Khim dia
ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguh pun kami sendiri belum pernah
melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju
bersama mungkin baru dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya
rencana diteruskan dan jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali
turun tangan memenuhi kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa
untuk membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.”
Setelah
bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersemedhi
seperti enam orang saudara seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya
tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersemedhi untuk mengumpulkan
tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat
dan sinkang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak,
tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan kelihaian lawan,
tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap.
Lauw-pangcu,
ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini telah mendapat
pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh
Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih
lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar
karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh
anggota Pek-lian Kai-pang.
Setelah
membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya di Tiong-kwan,
menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan keluar dari rumah,
ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan
bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan
siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak,
kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara
untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua!
Setelah
semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan tentang
usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk menentang
pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang
menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercampur sesal hebat ia
menambahkan.
“Kalau saya
merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan oleh... murid saya sendiri...
sungguh perih sekali perasaan hatiku...” Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang
sudah tua ini menitikkan air mata.
Ia merasa
menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid.
Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si Setan
Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah kepala
pembantu-pembantunya! Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa dan biar
pun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan menghantam remuk
sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Selama hidup aku takkan melupakan
murid murtad yang bernama Sie Han itu! Sekali waktu tentu akan kubalas dendam
ini!” Napasnya terengah dan ia menyambung, “Mohon bantuan para saudara untuk
kelak menangkap murid ini dan menyerahkannya kepada saya.” Setelah berkata
demikian, Lauw-pangcu muntahkan darah segar.
Song Kai
Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang, “Lauw-pangcu,
seorang gagah dapat menerima segala keadaan, betapa pun buruknya, dengan penuh
kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan
melemahkan semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri
Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di
punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali.
Akan tetapi
ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir
dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han, apa lagi Khu Cen Tiam dan Liem
Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi
mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu
tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak
akan terculik.
Para anggota
Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang
penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada
yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu
sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah,
juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang
ditawan..
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment