Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 07
Pemuda itu
adalah Hoa-san Gi-hiap dan gadis itu bukan lain adalah sumoi-nya, Hoa-san
Kiam-li. Mereka berdua baru saja pulang dari penyelidikan mereka ke gedung
tempat tinggal puteri Mancu. Ketika memasuki piauw-kiok, mereka melihat
pertandingan itu dan terkejut sekali menyaksikan suheng mereka terancam bahaya.
Hoa-san
Gi-hiap yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada Tan-piauwsu, sekali
pandang saja maklum bahwa pemuda rambut panjang itu memiliki sinking yang luar
biasa sekali dan bahwa untuk menolong suheng-nya, jalan satu-satunya hanya
menyambar tubuhnya dan membawanya pergi. Maka ia cepat meloncat, menggunakan
ginkang-nya dan untung ia tidak terlambat sehingga Tan-piauwsu terhindar dari
bencana maut.
"Siapakah
engkau yang datang membikin kacau di sini?" Hoa-san Gi-hiap menegur
setelah ia menurunkan tubuh Tan Bu Kong yang segera bersila di lantai sambil
mengatur napas untuk melawan hawa dingin yang menerobos masuk melalui
pundaknya.
"Hemmm,
dan kau sendiri siapa berani berlancang tangan mencampuri urusan orang
lain?" Han Han juga menegur.
Dua orang
muda itu berhadapan, saling memandang dengan sinar mata tajam. Mereka sama
tinggi, hanya Han Han kalah gemuk karena dia memang agak kurus, sama tampan dan
usia mereka pun agaknya sebaya.
Para murid
Hoa-san-pai dan para pengawal memandang dengan hati tegang. Pemuda rambut
riap-riapan itu lihai sekali, akan tetapi mereka pun maklum bahwa pemuda tokoh
Hoa-san-pai itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkat Tan-piawsu
sendiri. Juga Hoa-san Kiam-li amat lihai sehingga dengan adanya dua orang muda
itu, hati mereka menjadi lega.
Han Han dan
jago muda Hoa-san-pai itu masih saling berpandangan, tidak menjawab pertanyaan
masing-masing yang sama maksudnya. Akan tetapi pandang mata mereka kini
berubah, tidak lagi penuh penasaran dan kemarahan seperti tadi, melainkan penuh
keheranan, keraguan dan menduga-duga.
"Ya
Tuhan...! Bukankah kau... kau Sie Han? Yang dahulu disebut Han Han, jembel baik
budi yang membagi-bagi roti?" Hoa-san Gi-hiap berseru penuh keheranan.
"Dan
kau..., jembel cilik nakal, kau Wan Sin Kiat yang dahulu kepingin menjadi
perwira! Benarkah?" teriak Han Han.
Dua orang
muda itu saling pandang, kemudian tertawa bergelak lalu saling tubruk, saling
rangkul sambil tertawa-tawa! Semua orang yang berada di situ memandang dengan
mata terbelalak. Mereka tertegun dan hanya dapat mernandang dua orang muda yang
tadinya diharapkan akan bertanding dengan hebat kini malah berpelukan dan
tertawa-tawa itu.
"Koko,
siapakah dia ini? Jembel cilik nakal? Kawan jembelmu di waktu kecil? Wah,
ketika aku dahulu menjadi jembel cilik, aku tidak punya sahabat baik!"
kata Lulu yang menghampiri mereka.
Han Han
masih tertawa-tawa ketika ia melepaskan rangkulannya dari pundak Sin Kiat atau
Hoa-san Gi-hiap itu. Ia lalu menoleh kepada adiknya.
"Lulu,
dia ini bernama Wan Sin Kiat, sahabat baikku, seorang jantan tulen! Sin Kiat,
ini Adikku, namanya Lulu. Manis, ya?"
Sin Kiat
yang tentu saja tidak biasa dengan sikap tulus wajar seperti itu menjura kepada
Lulu dengan muka merah. Jantungnya terasa seperti copot tersendal ke luar oleh
sinar mata yang menyorot dari sepasang mata yang seperti bintang kembar itu. Ia
menahan napas karena harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia
bertemu dengan seorang dara sejelita ini. Dan dara ini adik Han Han!
Setelah
menjura dengan hormat tanpa dibalas oleh Lulu yang hanya memandang kagum
melihat wajah tampan dan sikap halus ramah itu, Sin Kiat menoleh kepada
sumoi-nya yang juga sudah menghampiri mereka. "Han Han, dia adalah
Sumoi-ku, namanya Lu Soan Li. Sumoi, inilah Sie Han, sahabat baikku di waktu
kecil!"
Han Han
masih ingat untuk melakukan penghormatan dengan merangkap kedua tangan di depan
dada, akan tetapi mulutnya langsung menyatakan isi hatinya tanpa disadarinya,
"Nona
cantik sekali!"
Lu Soan Li
menjadi merah mukanya, semerah udang direbus, sedangkan semua orang
mendengarkan sambil menahan napas. Namun ternyata Soan Li tidak marah, hanya
tersenyum dan membalas penghormatan Han Han.
"Sute!
Apa artinya ini? Dia... dia sahabatmu?" Tiba-tiba Tan Bu Kong menegur dan
piauwsu ini sudah dapat berdiri, memandang dengan mata terbelalak penuh rasa
heran dan penasaran.
Sin Kiat teringat
akan suheng-nya. "Suheng, dia ini Sie Han, sahabatku. Han Han, dia ini
Tan-suheng. Eh, mengapa kau tadi bertempur melawan Suheng? Kau hebat bukan
main, untung aku keburu datang. Kenapakah kau memusuhi Suheng-ku yang baik hati
ini?"
Alis Han Han
berkerut. "Ah, dia Suheng-mu, Sin Kiat? Hemmm, sungguh-sungguh tidak
menyenangkan sekali. Harap kau ingat akan persahabatan kita dan jangan
mencampuri urusan ini. Aku datang hendak membunuh orang jahat ini!"
"Eh,
apa artinya ini? Han Han, mengapa begitu?"
"Sute,
mengapa engkau begini lemah? Biar pun di waktu kecil sahabat, akan tetapi
sekarang dia musuh besar kita! Dia seorang kejam yang telah membunuh kedua
Suheng-mu Lie Cit San dan Ok Sun!"
Sin Kiat dan
Soan Li melangkah mundur sampai tiga tindak dengan muka pucat. Apa lagi Sin
Kiat, dia terheran-heran dan sejenak menjadi bingung mendengar keterangan yang
baginya seperti halilintar menyambar ini. "Han Han! Benarkah itu? Engkau
yang membunuh dua orang Suheng-ku yang mengawal kereta?"
Han Han
mengangguk. "Benar, Sin Kiat. Dan aku akan membunuh Tan-piauwsu ini pula,
harap engkau jangan mencampurinya!"
Dengan wajah
pucat Sin Kiat memandang sahabatnya di waktu kecil itu. "Han Han, benarkah
engkau menjadi begini kejam sekarang? Ceritakan mengapa engkau membunuh dua
orang Suheng-ku yang mengawal kereta dan mengapa pula kau hendak membunuh
Tan-suheng. Aku sudah mendengar penuturan para pengawal Pek-eng-piauwkiok, akan
tetapi sepak terjangmu sungguh membuat aku tidak mengerti."
"Sin
Kiat, bukan urusanmu. Minggirlah!"
"Tidak!
Kalau kau tidak mau memberi penjelasan, lebih baik kau membunuh aku pula, dan
tentu akan kucoba melawanmu sekuatku."
Mereka
berpandangan pula. Han Han menghela napas. "Engkau keras kepala seperti
dulu! Aku membunuh dua orang piauwsu itu karena mereka jahat, mereka
menyembunyikan jenazah dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dalam kereta,
melarang orang-orang Siauw-lim-pai melihat jenazah, sehingga aku menjadi
tertipu pula, membantu mereka dan kesalahan tangan membunuh tujuh murid
Siauw-lim-pai yang tidak berdosa. Karena itu aku membunuh dua orang piauwsu itu
dan kini aku akan membunuh pula Tan-piauwsu yang sebagai pemimpin menjadi biang
keladi utama!"
Sin Kiat
mengangkat tangannya. "Wah, semua adalah kesalah-pahaman yang amat besar!
Semua adalah sahabat-sahabat, baik antara Siauw-lim-pai dengan Hoa-san-pai, mau
pun antara engkau pribadi dengan kami. Kita semua telah menjadi korban
perbuatan terkutuk, korban tipu muslihat yang dipasang oleh puteri Mancu yang
lihai itu. Tan-suheng, Han Han tidak dapat dipersalahkan telah membunuh
Lie-suheng dan Ok-suheng setelah dia membantu mereka menghadapi orang-orang
Siauw-lim-pai. Han Han, akulah yang menanggung bahwa kami semua, terutama
Tan-suheng, sama sekali tidak bersalah dalam urusan dua jenazah dalam peti.
Mari kita bicara dan dengarlah penuturanku."
Sin Kiat
menggandeng tangan Han Han, menariknya duduk menghadapi meja besar di ruangan
itu. Lulu mengikuti kakaknya, dan Soan Li juga mengikuti suheng-nya, kedua
orang gadis ini tidak ikut bicara karena maklum betapa tegangnya urusan antara
mereka itu.
Setelah
mereka mengambil tempat duduk, Wan Sin Kiat menceritakan semua peristiwa yang
terjadi dari semula. Ketika gadis Mancu yang ternyata adalah Puteri Nirahai
seperti yang dia ketahui dari hasil penyelidikannya hari itu, mendatangi
Pek-eng-piauwkiok mengirimkan dua buah peti dengan biaya mahal namun dengan
janji takkan dibuka dan apa bila tidak sampai di tempatnya, Pek-eng-piauwkiok
akan dibasmi dan dianggap pemberontak.
"Kami
tidak mungkin dapat menolak permintaannya yang luar biasa itu,
Sie-enghiong," Tan-piauwsu memotong cerita sute-nya, "karena
mengingat bahwa dia itu adalah seorang puteri Kaisar sehingga apa bila kami
menolak, tentu kami akan dicap menentang pemerintah. Dan sebagai orang-orang
gagah yang memegang teguh janji, tentu saja para pembantuku tidak mau membuka
peti-peti itu, biar pun dengan taruhan nyawa karena hal itu telah menjadi tugas
mereka. Kalau saja kami tahu bahwa isi dua buah peti adalah jenazah manusia,
apa lagi jenazah kedua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang terkenal, biar
dihukum mati sekali pun tentu saja kami tidak sudi menerima permintaan puteri
iblis itu."
Wan Sin Kiat
lalu melanjutkan ceritanya tentang pengawal kereta yang dihadang oleh anak-anak
murid Siauw-lim-pai, juga tentang suheng-nya, Teng Lok yang membayangi Puteri
Nirahai dan kemudian terbuntung lengannya. Ia menutup penuturannya dengan kata-kata,
"Nah, kau kini mengerti Han Han, bahwa peristiwa ini sama sekali bukanlah
kesalahan pihak kami, juga terutama sekali bukan kesalahan Tan-piauwsu. Semua
ini tentu telah diatur oleh puteri iblis itu yang sengaja hendak mengadu domba
antara pihak Hoa-san-pai dan pihak Siauw-lim-pai. Siasat kejinya itu pasti akan
berhasil baik dan kedua pihak tentu melakukan pertandingan saling membunuh
dalam hutan itu kalau saja tidak muncul engkau yang mengacaukan semua rencana
keji itu. Akan tetapi biar pun mengacau, tetap saja merugikan kedua pihak
karena engkau yang masuk pula dalam perangkap telah membunuh tujuh anak murid
Siauw-lim-pai dan dua orang murid Hoa-san-pai. Keadaan ini gawat sekali, Han
Han. Betapa pun juga, pihak Siauw-lim-pai tentu tidak mau menerima kematian
tujuh orang murid mereka sebagai tambahan kematian dua orang di antara
Siauw-lim Chit-kiam. Bagi mereka hal itu merupakan mala petaka hebat dan tentu
saja semua kesalahan ditimpakan kepada Hoa-san-pai karena engkau sendiri pun
tentu dianggap seorang dari Hoa-san-pai, atau setidaknya menjadi pembantu
Hoa-san-pai."
Han Han
bukan seorang bodoh. Setelah mendengar penuturan itu, ia segera dapat melihat
dan mengerti. Mudah saja diperkirakan bagaimana jalannya tipu muslihat yang
licin itu. Hatinya merasa menyesal dan kecewa sekali. Nasibnya benar-benar amat
buruk. Dia telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tidak berdosa
karena salah sangka. Kemudian dalam marahnya oleh kesalahan tangan itu, ia
membunuh pula dua orang murid Hoa-san-pai yang ternyata kemudian tidak berdosa
pula! Han Han mengerutkan keningnya, menggeleng kepala dan berkata.
“Aahhh...
kalau begitu semua kesalahan tertimpa di pundakku! Baik Siauw-lim-pai mau pun
Hoa-san-pai tentu menyalahkan aku karena aku telah membunuh anak murid mereka.
Tan-piauwsu, harap kau maafkan kekasaranku tadi." Ia bangkit menjura
kepada Tan-piauwsu yang cepat membalas.
Piauwsu ini
memandang kagum dan menghela napas karena selama hidupnya baru sekali ini ia
bertemu seorang pemuda yang demikian anehnya dan demikian kuat sinkang-nya.
"Engkau juga tidak boleh terlalu disalahkan, Sie-enghiong. Andai kata
engkau tidak turun tangan dan terlibat dalam urusan ini, kurasa antara
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai tetap saja akan terjadi pertentangan yang mungkin
membawa akibat lebih parah dan lebih berlarut-larut lagi."
Sejenak
keadaan menjadi sunyi, semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing
menghadapi urusan yang amat tidak menyenangkan hati itu. Tiba-tiba terdengar
suara Lulu.
"Wah,
sialan benar, Koko! Kau membantu rombongan piauwsu ternyata salah tangan
membunuh murid-murid Siauw-lim-pai yang tak berdosa! Kemudian kau membunuh dua
orang piauwsu untuk membela kematian murid-murid Siauw-lim-pai dan ternyata
yang kau bunuh itu juga tidak bersalah! Itulah kalau kau terlalu bernafsu untuk
menolong orang, Koko! Sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadamu!"
Semua orang
tertegun. Dara remaja yang cantik jelita ini bicaranya amat kasar, jujur dan
tanpa sungkan-sungkan lagi. Akan tetapi Sin Kiat memandang dengan mata kagum.
Semenjak tadi, tiap kali ia memandang Lulu jantungnya berdebar tidak karuan dan
setiap gerak-gerik Lulu selalu menarik hatinya, bahkan ketika Lulu mencela Han
Han, ia tersenyum dan di dalam hati membenarkan dara ini seribu prosen!
Memang
demikianlah kalau cinta kasih telah mencengkeram hati seorang pemuda. Apa pun
yang dilakukan, diucapkan dan dipikir dara yang dicintanya, selalu benar dan
menarik hati! Tanpa disadarinya sendiri, sekali bertemu dengan Lulu, Wan Sin
Kiat pendekar muda Hoa-san-pai ini telah bertekuk lutut, hatinya jungkir-balik
dalam cengkeraman asmara.
"Menurut
pendapat saya, Saudara Sie tidaklah salah. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan
itu dalam pertempuran dan dengan dasar hendak berbuat baik. Pembunuhan atas
diri tujuh orang murid Siauw-lim-pai terjadi karena Saudara Sie mengira mereka
itu perampok yang hendak mengganggu rombongan pengawal Pek-eng-piauwkiok.
Kemudian pembunuhan yang dia lakukan atas diri kedua orang Suheng kami pun
didasari pendapat bahwa mereka berdua itu amat jahat terhadap orang-orang
Siauw-lim-pai. Hanya sayang sekali bahwa Saudara Sie terlalu terburu nafsu.
Andai kata tidak terburu nafsu dan agak sabar sambil meneliti keadaan, belum
tentu terjadi hal yang amat menyedihkan ini." Ucapan yang keluar dari
mulut Lu Soan Li terdengar sungguh-sungguh, pandang matanya yang ditujukan
kepada Han Han penuh simpati dan pembelaan.
Hal ini
terasa pula oleh Han Han sehingga ia bangkit menjura kepada nona itu sambil
berkata, "Nona Lu benar-benar amat adil dan aku mengucapkan terima kasih,
juga aku harus mengakui semua kelancanganku yang telah mengakibatkan bencana
ini. Biarlah akan kuhadapi semua akibatnya, bahkan aku akan menghadap
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai untuk menerima hukuman kalau perlu!"
Jawaban ini
memancing keluar sinar mata yang penuh kekaguman dari pandang mata Lu Soan Li.
Seperti halnya suheng-nya yang sekaligus tergila-gila kepada Lulu, gadis
pendekar Hoa-san-pai ini pun amat tertarik akan pribadi Han Han yang aneh dan
penuh dengan sifat-sifat liar ganas namun gagah perkasa.
"Ah,
engkau tidak boleh dipersalahkan, Han Han!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat
berkata. "Yang bersalah adalah Puteri Nirahai yang seperti iblis betina
itu! Aku bersama Sumoi sehari tadi pergi menyelidik dan mendapat kabar bahwa
dia itu adalah puteri selir Kaisar Mancu bernama Nirahai dan bahwa kini dia
sedang pergi ke kota raja; agaknya untuk melaporkan hasil muslihatnya kepada
Kaisar. Terkutuk benar puteri Mancu itu. Dan orang-orang Mancu memang amat
jahat, penjajah laknat yang sepatutnya dibasmi dari muka Bumi ini!" Dalam
kemarahan terhadap penjajah Mancu, Sin Kiat bangkit dari kursinya. Memang semua
anak murid Hoa-san-pai adalah patriot-patriot yang merasa marah melihat tanah
air dijajah bangsa Mancu sehingga menimbulkan rasa benci kepada bangsa Mancu.
Tiba-tiba
semua orang, terutama sekali Sin Kiat sendiri, dikejutkan oleh bentakan Lulu
yang sudah bangkit berdiri pula kemudian bertolak pinggang. Matanya yang lebar
memancarkan kemarahan, sepasang pipinya menjadi merah sekali, mulutnya yang
kecil cemberut, kepalanya bergerak-gerak sehingga rambut yang dikepang dua itu
bergoyang, satu di depan dada, yang lain di belakang punggung. Manis bukan main
dalam pandangan Sin Kiat, akan tetapi pada saat itu pemuda ini memandang
terbelalak dengan kaget mendengar bentakan Lulu.
"Eihhh……
eihhhhh..., seenaknya saja membuka mulut, ya?!" Telunjuk tangan kirinya
diangkat menuding ke arah hidung Sin Kiat, sedangkan tangan kanannya masih
bertolak pinggang. "Wan Sin Kiat, apakah engkau hendak menyamakan satu
bangsa manusia dengan seladang gandum saja?"
Sin Kiat
terbelalak heran. "Apa... apa... maksudmu, Nona...?" Baru sekali ini
selama hidupnya, pendekar muda yang biasanya lincah, ramah, tabah dan pandai
bicara itu kehilangan akal dan menjadi gugup.
Lulu
memandang tajam dengan sepasang matanya yang lebar dan indah sehingga Sin Kiat
menjadi makin bingung dan gugup, seolah-olah menjadi seorang pesakitan yang
menghadapi jaksa penuntut. "Kalau ada beberapa batang gandum yang busuk,
orang menganggap seladang gandum itu busuk. Akan tetapi kalau ada beberapa
orang Mancu jahat, apakah patut kalau seluruh bangsa Mancu dianggap jahat semua?
Kalau begitu, karena aku mendengar bahwa banyak bangsa Han yang menjadi
pengkhianat bangsa, semua bangsa Han adalah pengkhianat, termasuk engkau! Dan
aku tahu bahwa banyak sekali perampok bangsa Han, maka semua bangsa Han adalah
perampok, termasuk engkau! Ada pula bangsa Han yang jahat sekali maka semua
bangsa Han adalah jahat, terutama engkau! Begitukah pendapatmu??"
Muka Sin
Kiat menjadi merah, kemudian pucat, dan dengan gugup ia berkata, "Tentu
saja tidak, dan... ehhh, itu lain lagi... akan tetapi... ahhh, mengapa kau
marah-marah karena aku mencela bangsa Mancu yang menjadi musuh kita,
Nona?"
"Tentu
saja marah! Kau mengatakan aku jahat dan patut dibasmi dari muka bumi, dan kau
masih bertanya mengapa aku marah? Hayo, kau basmilah aku! Kau kira aku takut
padamu?” bibir itu bergerak mencela, namun justru terlihat amat indah bagi yang
Wan Sin Kiat yang dicelanya.
Han Han
hanya memandang sambil tersenyum. Rasakan kau, Sin Kiat, pikirnya dengan hati
geli. Rasakan kau menghadapi adikku yang liar ini. Ketemu tanding kau!
"Eh,
kapan aku mengatakan demikian, Nona? Bagaimana ini, Han Han?"
"Tak
usah mencari pelindung! Dan seorang laki-laki tidak patut plin-plan, bicara
mencla-mencle! Bukankah kau tadi mengatakan bahwa semua bangsa Mancu jahat dan
patut dibasmi dari muka bumi ini?"
"Benar
demikian, akan tetapi tidak menyangkut dirimu, Nona...”
"Kau
bilang semua bangsa Mancu dan kini mengatakan tidak menyangkut diriku? Aku
seorang gadis Mancu, tahukah engkau??"
“Aihhh...!"
Sin Kiat terkejut sekali dan semua orang yang berada di situ pun terkejut,
cepat bangkit berdiri dalam keadaan siap siaga. Kalau gadis ini seorang Mancu,
berarti bahwa rahasia Pek-eng-piauwkiok sebagai anggota pejuang menjadi bocor!
"Hayo,
siapa yang menganggap aku jahat dan patut dibasmi? Maju! Aku tidak
takut!!" bentak Lulu dengan mata dilebarkan dan sikap mengancam.
Lu Soan Li
yang sejak tadi memperhatikan Han Han secara diam-diam dan melihat betapa
pemuda rambut terurai itu tersenyum-senyum geli, dapat lebih dulu menguasai
hatinya. Ia melangkah maju dan memegang pundak Lulu sambil berkata,
"Aihhh, Adik Lulu yang baik, siapa sih yang mau memusuhimu? Suheng telah
salah bicara, apakah kau begini kejam untuk menekannya? Lihat, dia sudah amat
menyesal dan kebingungan!"
Dengan muka
merah Wan Sin Kiat lalu menjura. "Harap Nona Sie suka memaafkan mulutku
yang lancang."
Lulu
cemberut dan mengerling ke arah pemuda tinggi besar itu. "Habis, kau
terlalu menghina sih...!”
Han Han
tertawa, lalu berkata nyaring setelah menyaksikan ketegangan membayang di wajah
semua orang yang hadir, "Tak perlu disembunyikan, memang Adikku ini adalah
seorang gadis Mancu, akan tetapi sekarang telah menjadi Adikku, she Sie dan
namanya tetap Lulu. Hendaknya diketahui bahwa semenjak kecil, Adikku ini hidup
sebatang-kara dan menderita karena Ayah bundanya dan seluruh keluarganya
dibasmi habis oleh para pejuang."
"Ahhhhh...!"
seruan ini keluar dari mulut Sin Kiat.
"Apa
ah-ah-uh-uh-uh sejak tadi? Biar keluargaku dibunuh habis oleh orang Han, aku
tidak begitu tolol untuk menganggap semua orang Han musuh-musuhku yang harus
kubasmi habis dari muka bumi!"
Wajah Sin
Kiat makin merah dan ia benar-benar terpukul. Seolah-olah dibuka matanya betapa
kelirunya mendendam kepada bangsa lain hanya karena terjadi perang, karena
sesungguhnya tidak semua orang dari sesuatu bangsa itu jahat semua atau baik
semua.
"Aku
telah mengaku salah, harap Nona maafkan dan mau hukum apa pun juga aku siap
menerimanya."
Han Han
tersenyum lebar. "Lulu, dia sudah mengaku salah dan minta dihukum. Hayo,
kau hukumlah dia kalau kau mau!"
Aneh sekali,
digoda kakaknya begini, Lulu yang biasanya lincah dan nakal kini hanya
cemberut, kemudian melengos dengan kedua pipinya merah. Semua orang merasa lega
bahwa tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akan tetapi tetap saja masih
ada rasa tegang di antara mereka setelah mendengar bahwa dara jelita itu adalah
seorang gadis Mancu. Mereka semua telah menjadi korban kekejian seorang puteri
Mancu, kini di situ terdapat seorang gadis Mancu, bagaimana mereka tidak akan
menjadi gelisah dan tidak enak hati?
"Keadaan
menyedihkan seperti yang kini timbul dalam hati Sin Kiat dan Lulu adalah akibat
perang yang terkutuk!" demikian Han Han berkata setelah semua orang duduk
kembali. "Perang yang hanya dicetuskan oleh beberapa gelintir orang yang
berambisi, yang memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, membakar hati semua
rakyat, menimbulkan kekejaman-kekejaman, menimbulkan dendam, menimbulkan
kebencian antara bangsa yang sesungguhnya adalah sesama manusia. Perang
menjadikan keluargaku terbasmi orang-orang Mancu dan sebaliknya menjadikan
keluarga Adikku Lulu terbasmi oleh orang-orang Han. Yang suka akan perang
hanyalah mereka yang menginginkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di kerajaan. Dengan
dalih membela nusa bangsa, mereka ini mempergunakan kekuatan rakyat yang
sebetulnya membenci perang karena perang hanya mendatangkan malapetaka bagi
rakyat jelata, sebaliknya mendatangkan kemuliaan duniawi bagi para penggerak
perang yang mendapat kemenangan! Rakyat Mancu ditipu oleh para pimpinan mereka,
dijadikan bala tentara yang setiap saat kehilangan nyawanya. Sebaliknya rakyat
pribumi ditipu oleh pimpinan mereka, dijadikan pula tentara yang mengorbankan
nyawa. Dalihnya berlainan, namun selalu yang muluk-muluk memabukkan dan
membodohi rakyat, padahal semua itu hanya ditujukan kepada pamrih yang satu,
yaitu kemuliaan dan kemenangan bagi para pimpinan!"
Mendengar
ucapan penuh nafsu dari pemuda aneh yang rambutnya terurai kacau itu,
Tan-piauwsu sendiri melongo. Ucapan itu mengandung penuh kepahitan, namun
memang pada kenyataannya demikianlah. Dan pendirian seperti yang diucapkan
pemuda ini bahkan menjadi pendirian pula dari banyak partai persilatan termasuk
Hoa-san-pai sendiri ketika terjadi perang saudara. Akan tetapi hanya dalam
perang saudara saja para tokoh kang-ouw tidak suka mencampurkan diri, diperalat
oleh mereka yang memperebutkan kedudukan dengan saling bunuh antara sebangsa
sendiri!
Akan tetapi
sekarang yang menjajah negara adalah bangsa Mancu sehingga pendapat Han Han itu
lebih luas lagi, tidak lagi mengenal bangsa melainkan berlaku untuk seluruh
manusia sedunia! Ia maklum bahwa tentu bocah itu terpengaruh oleh kasih
sayangnya terhadap adik angkatnya, gadis Mancu itu sehingga pertalian persaudaraan
antara mereka melenyapkan rasa benci kepada bangsa Mancu, sungguh pun
keluarganya sendiri terbasmi oleh orang-orang Manchu.
"Tepat
sekali, Koko!" Lulu bersorak girang. "Aku akan senang sekali melihat
para kaisar yang gendut karena banyak makan dan terlalu senang hidupnya,
berikut semua pembesar-pembesar tinggi mengadakan perang sendiri, tidak
membawa-bawa rakyat jelata! Biarkan mereka itu berperang, kaisar lawan kaisar,
menteri lawan menteri, dan pembesar lawan pembesar. Tentu badut-badut itu akan
terkencing-kencing ketakutan menghadapi ancaman maut!"
Kembali
semua orang terheran. Tidak ada yang mau membantah pendapat dua orang muda yang
aneh itu karena mereka tidak ingin timbulnya satu kesalahpahaman lagi. Bahkan
Tan-piauwsu lalu membelokkan percakapan.
"Yang
terpenting sekarang kita harus menghadapi kenyataan. Tak dapat disangkal lagi
bahwa pihak Siauw-lim-pai tentu akan memusuhi Sie-enghiong, juga pihak
pimpinan. Hoa-san-pai akan salah paham terhadap Sie-enghiong. Oleh karena itu
saya harap Ji-wi suka sementara tinggal di sini menanti datangnya mereka itu.
Saya yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai tentu akan datang ke sini, mengingat
bahwa peristiwa ini timbul dari Pek-eng-piauwkiok yang membawa dua peti
jenazah. Kalau Sie-enghiong berada di sini, ada kami yang akan menjadi saksi
dan yang akan menerangkan duduknya perkara sebenarnya sehingga semua pihak
mengerti bahwa yang menjadi biang keladinya adalah puteri Mancu itu."
Han Han
mengerutkan keningnya. "Akan tetapi kami tidak suka mengganggu Cu-wi
sekalian. Lebih baik aku dan Adikku pergi, karena aku pun ingin sekali bertemu
dengan puteri Mancu yang demikian lihainya. Tentang kemarahan pihak
Siauw-lim-pai mau pun pimpinan Hoa-san-pai, biarlah kami sendiri yang
menanggungnya."
Wan Sin Kiat
memegang tangan sahabatnya itu. "Aih, Han Han. Mengapa kau banyak sungkan?
Kita berada di antara sahabat sendiri. Aku ingin sekali bercakap-cakap
denganmu. Tinggallah di sini barang sepekan. Apakah engkau sudah melupakan
sahabatmu ini? Sahabat senasib sependeritaan di waktu kecil? Aku ingin
mendengar semua pengalamanmu, juga ingin menceritakan pengalaman-pengalamanku.
Demi persahabatan kita, kuharap kau dan Nona Sie sudi untuk tinggal beberapa
hari lamanya di sini."
Berat juga
rasanya hati Han Han untuk menolak. Apa lagi ketika Lu Soan Li merangkul Lulu
dan berkata, "Adik yang manis, kuharap kau tidak menolak undangan kami.
Aku ingin sekali belajar satu dua pukulan darimu yang lihai agar bertambah
pengertianku!"
"Aih,
Cici. Engkau merendahkan diri. Sebagai tokoh Hoa-san-pai, agaknya aku yang
harus berguru kepadamu!" Dua orang gadis itu bersendau-gurau, keduanya
sama muda remaja, sama cantik jelita.
Han Han
merasa kasihan kepada adiknya dan tidak tega untuk memaksanya pergi sekarang
juga. Sudah terlalu lama Lulu tinggal menyendiri di pulau, terlalu lama jauh
dari pergaulan mesra. Kini bertemu dengan gadis Hoa-san-pai itu, timbul
kegembiraan hati Lulu dan sebaiknya kalau mereka tinggal di situ beberapa
lamanya. Juga ia tidak dapat membantah bahwa ia merasa amat suka kepada sahabat
lamanya yang kini telah menjadi seorang pemuda tampan yang gagah perkasa itu,
di samping merasa suka kepada Lu Soan Li yang cantik manis, pendiam dan
memiliki sifat-sifat gagah dalam gerak-geriknya.
Demikianlah,
Han Han dan Lulu tinggal di Pek-eng-piauwkiok, dijamu dan diperlakukan dengan
manis dan hormat oleh Tan-piauwsu dan para anah buahnya. Mereka telah melupakan
rasa dendam bahwa pemuda ini telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun. Kini mereka
maklum bahwa pemuda ini melakukan hal itu tanpa dasar membenci Hoa-san-pai.
Bahkan tadinya pemuda itu membantu Lie Cit San dan Ok Sun menghadapi
orang-orang Siauw-lim-pai sehingga membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai.
Kemudian pemuda itu membunuh dua orang tokoh Hoa-san-pai itu hanya karena
menganggap mereka ini jahat. Semua terjadi karena kesalah-pahaman, terjadi
sebagai akibat dari pada tipu muslihat keji yang diatur oleh Puteri Nirahai
yang selain lihai juga amat cerdik itu.
Lulu
benar-benar mendapatkan kegembiraan di tempat ini. Dia merupakan sahabat yang
amat cocok dengan Lu Soan Li, bahkan ia bersikap manis terhadap Wan Sin Kiat.
Juga Han Han merasa suka kepada Lu Soan Li yang manis budi dan pendiam. Empat
orang muda ini setiap hari berkumpul, bercakap-cakap dan Han Han mendengarkan
penuturan Wan Sin Kiat dengan hati tertarik.
Dari
penuturan tokoh muda Hoa-san-pai itu, ternyata bahwa tidak lama setelah
berpisah dari Han Han, Wan Sin Kiat bertemu dengan seorang tosu aneh.
Sesungguhnya tosu ini adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, akan tetapi berbeda
dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang lain, tokoh ini adalah seorang tosu
perantau yang selain wataknya aneh juga memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi karena ilmu-ilmunya dari Hoa-san-pai mendapat kemajuan pesat setelah ia
banyak merantau dan menyempurnakan ilmu-ilmunya dengan membandingkannya dengan
ilmu dari lain golongan. Tosu ini berjuluk Im-yang Seng-cu. Selain Sin Kiat, dia
juga mengambil seorang murid wanita, yaitu Lu Soan Li yang hidupnya juga sudah
sebatang-kara, ditinggal mati keluarganya dalam sebuah bencana banjir Sungai
Huang-ho.
Berkat
gemblengan suhu mereka yang memiliki kesaktian melebihi tokoh-tokoh Hoa-san-pai
lainnya, Sin Kiat dan Soan Li menjadi jago muda yang lihai sekali, sehingga
biar pun menurut tingkat mereka itu terhitung masih sute dan sumoi dari
Tan-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu silat, mereka jauh melampaui tingkat
kepandaian sang suheng ini.
Sudah banyak
mereka melakukan perbuatan-perbuatan menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak
terjang mereka sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa, bahkan semenjak ada
gerakan perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu, kedua orang muda ini
sudah banyak berjasa. Tentu saja ketika menceritakan pengalamannya Sin Kiat
tidak menceritakan tentang perjuangan ini, khawatir kalau-kalau akan membikin
hati Lulu menjadi tidak enak. Apa lagi karena ia mengenal pendirian Han Han
yang agaknya tidak ingin melibatkan dirinya dalam urusan perang. Ia hanya
menceritakan tentang pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu, kemudian betapa
bersama sumoi-nya dia digembleng oleh gurunya sambil merantau sampai jauh ke
selatan dan ke barat.
Diceritakannya
pula pertandingan-pertandingan melawan kaum penjahat dalam usaha mereka
membasmi kejahatan sehingga Sin Kiat mendapat julukan Hoa-san Gi-hiap dan
sumoi-nya dijuluki Hoa-san Kiam-li. Nama mereka terkenal di dunia kang-ouw
sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang mengagumkan.
Han Han dan Lulu
mendengarkan dengan amat tertarik. Apa lagi Lulu. Dia mendengarkan penuturan
pemuda tampan tinggi besar itu seperti mendengar dongeng yang amat menarik
hati. Ia seolah-olah berubah menjadi arca, pandang matanya melekat dan
bergantung kepada bibir Sin Kiat yang bergerak-gerak ketika bercerita.
Baru setelah
selesai cerita itu, Lulu menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak
lalu berkata, "Wahhh kalian hebat sekali...! Kalian ini pendekar-pendekar
muda yang amat mengagumkan...!"
Ketika
pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sin Kiat, Lulu melihat betapa
pandang mata pemuda itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri seolah-olah
ucapan Lulu tadi mendatangkan rasa bahagia yang luar biasa. Tentu saja Lulu
tidak mengerti atau dapat menduga akan isi hati Sin Kiat, hanya dia pada saat
itu merasa betapa wajah pemuda ini sungguh tampan dan gagah. Entah mengapa,
jantungnya berdebar dan pipinya tiba-tiba terasa panas.
Untuk
menghindarkan perasaan yang tidak dikenalnya ini, Lulu berpaling kepada Soan Li
dan berkata, "Enci Soan Li, engkau hebat sekali, lain waktu kau harus
memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku!"
Soan Li
merangkulnya dan mengerling kepada Han Han. "Adik Lulu, engkau seperti
mutiara terpendam, tidak dikenal akan tetapi dalam hal kepandaian, agaknya aku
boleh berguru kepadamu!"
"Wah,
Adikku dan aku ini sama sekali tidak memiliki kepandaian, mana dapat
dibandingkan dengan Sin Kiat dan kau, Nona Lu?" Han Han berkata sambil
tersenyum. Gadis itu memandangnya dan sejenak pandang mata mereka bertemu,
bertaut dan seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka sukar sekali untuk
melepaskan pandang mata mereka dari pertemuan yang melekat itu.
Lulu
bertepuk tangan. "Hi-hik, dari tadi tiada hentinya kalian saling memandang
saja. Ada apakah dengan Enci Soan Li, Koko? Dan mengapa kau mengerling saja
kepada Kakakku, Enci Soan Li?"
"Ihhh,
genit kau, Adik Lulu!" Soan Li menjadi merah sekali mukanya dan ia
mencubit paha Lulu sehingga gadis ini menjerit.
Han Han juga
merasa betapa mukanya menjadi panas, maka ia tertawa dan memandang, "Lulu,
kita mempunyai mata untuk memandang! Apa salahnya dipakai memandang sesuatu
yang indah dan menarik?"
Ucapan Han
Han yang terus terang ini membuat Soan Li menjadi makin malu dan jengah lagi.
Dia sendiri diam-diam menjadi amat heran akan diri sendiri. Sudah banyak kali
terjadi ia menjadi marah-marah kalau mendengar ada laki-laki mengeluarkan
ucapan-ucapan tentang dirinya, memuji-muji kecantikannya dan sebagainya. Bahkan
ada laki-laki kurang ajar yang dibunuhnya hanya karena mengeluarkan
ucapan-ucapan yang bermaksud kotor dan kurang ajar.
Kini,
mendengar ucapan-ucapan Han Han yang memuji kecantikannya dengan blak-blakan di
depan banyak orang ketika mereka diperkenalkan, kini secara terang-terangan
pula dalam menjawab godaan Lulu, mengapa dia tidak marah malah menjadi...
berdebar jantungnya, berdebar karena girang?
Akan tetapi
pemuda ini lain dari pada laki-laki lain, dia membela perasaannya sendiri yang
tidak wajar. Pemuda ini secara terang-terangan menyatakan isi hatinya, tanpa
tedeng aling-aling, akan tetapi juga bersih dari pada niat-niat kurang ajar.
Hal ini dapat dilihat dari pancaran pandang matanya yang wajar dan biasa, sinar
mata kagum yang tidak ditutup-tutupi, seperti kewajaran sinar mata orang mengagumi
bintang di langit atau mawar di taman.
Sin Kiat
hanya tersenyum saja melihat sumoi-nya digoda Lulu, kemudian ia berkata kepada
Han Han, "Han Han, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita kepada kami.
Tentu pengalamanmu amat menarik hati, terutama tentang pertemuan dengan Adikmu,
dan tentang Gurumu. Melihat akan kelihaianmu, Gurumu ini tentu amat
sakti."
"Nanti
dulu, Sin Kiat. Aku teringat akan ketekadan hatimu dahulu. Bukankah kau dahulu
pernah menyatakan kepadaku bahwa engkau ingin menjadi seorang perwira Mancu?
Kenapa sekarang engkau sebaliknya malah menjadi orang yang memusuhi
perwira-perwira Mancu?"
Sin Kiat
menarik napas panjang. "Ada sebabnya memang. Ingatkah engkau dahulu betapa
kau telah membelaku ketika aku dipukuli oleh bangsawan muda Ouwyang Seng murid
datuk hitam Kang-thouw-kwi itu? Nah, semenjak itu aku berbalik haluan, apa lagi
setelah bertemu dengan Suhu, menerima pelajaran dan juga mendengarkan
wejangan-wejangannya. Han Han, sekarang ceritakanlah kepadaku, bagaimana engkau
bertemu dengan Nona Lulu?"
"Wah,
aku menjadi kikuk sekali kau sebut Nona! Usiamu tentu tidak banyak selisihnya
dengan Han-koko, maka aku akan menyebutmu Wan-koko dan kau pun menyebut aku
Adik seperti biasa Koko menyebutku. Kalau tidak mau, aku selamanya tidak akan
mau bicara denganmu!" Tiba-tiba Lulu berkata kepada Sin Kiat. Pemuda ini
menjadi merah mukanya, namun hatinya menjadi girang bukan main.
"Baiklah,
Lulu-moi, dan terima kasih atas kebaikanmu," Sin Kiat berdiri dan menjura.
"Wah,
kebetulan sekali usul Lulu ini. Aku pun hendak mencontohnya dan kuminta Nona Lu
Soan Li juga jangan bersungkan-sungkan lagi, mulai sekarang mau tak mau kusebut
Moi-moi dan harap suka menyebut Kakak kepadaku!”
Jantung di
dalam dada Soan Li berdebar. Dia merasa makin suka kepada kakak beradik yang baru
dikenalnya ini. Mereka berdua itu begitu jujur, begitu polos, dan juga ia dapat
menduga bahwa mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali.
"Terima
kasih atas kebaikanmu, Han-twako."
"Sebetulnya
tidak ada yang banyak dapat diceritakan tentang kami berdua," kata Han
Han. "Engkau sudah tahu bahwa aku dahulu di waktu kecilku adalah seorang
bocah jembel seperti engkau, Sin Kiat. Dan aku bertemu dengan adikku Lulu ini
yang juga seorang bocah jembel setelah hidup terlunta-lunta karena keuarganya
terbasmi semua. Nah, kami saling bertemu dan mengangkat saudara, sampai
sekarang kami menjadi kakak beradik yang tak pernah berpisahan."
"Han-twako,
belehkah aku mengetahui, siapakah Suhu-mu yang mulia?" tiba-tiba Soan Li
bertanya mendahului suheng-nya, karena ia ingin sekali mendengar siapa adanya
guru dari pemuda yang amat mengagumkan hatinya ini.
Han Han dan
Lulu saling berpandangan sejenak. Mereka berdua selama ini berlatih di Pulau
Es, berlatih tanpa guru, hanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab dan berlatih
secara ngawur. Ataukah beruang itu dapat dianggap menjadi guru mereka? Ah,
tidak, beruang itu hanya teman berlatih. Guru mereka adalah penghuni-penghuni
Pulau Es, pemilik-pemilik istana yang meninggalkan kitab-kitab pelajaran, akan
tetapi siapakah dia itu?
Han Han
memiliki pikiran yang tidak lumrah, dapat berpikir cepat melebihi manusia
biasa, dapat mengambil keputusan yang amat tepat dalam sedetik dua detik
pemikiran saja. Ia tahu bahwa Sin Kiat dan Soan Li adalah murid-murid
Hoa-san-pai yang menentang Mancu, dan dia tidak boleh sekali-kali
memperlihatkan sikap bermusuh atau mengaku sebagai pihak yang bermusuhan.
Dia telah
belajar ilmu dari Lauw-pangcu, kemudian mencuri ilmu dari Kang-thouw-kwi Gak
Liat. Akan tetapi dua orang ini tidak boleh dia sebut-sebut, karena menyebut
nama Lauw-pangcu berarti menyinggung hati Lulu, menyebut Kang-thouw-wi Gak Liat
sebagai guru lebih tidak mungkin lagi karena Setan Botak itu adalah kaki tangan
Mancu. Dan dia tidak suka berbohong maka ia mendapat jalan tengah yang baik.
"Guruku
adalah Suhu Siangkoan Lee..."
"Ahhh...!"
Sin Kiat dan Soan Li benar-benar terkejut mendengar ini. "Ma-bin Lo-mo…?”
Han Han
memandang wajah Sin Kiat. "Benar, mengapa? Apakah kau mengenal Suhu? Dia
juga seorang yang amat setia kepada Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kalau tidak
salah dia bekas menteri..."
"Tentu
saja kami telah mendengar namanya. Ah, Ma-bin Lo-mo, seorang di antara
datuk-datuk hitam yang amat sakti. Pantas saja kau begini lihai, Han Han.
Kiranya engkau murid tokoh besar itu!"
Lulu yang
mendengarkan ucapan Han Han itu pun diam saja, hanya memandang dengan sinar
mata nakal. Ia menganggap bahwa kakaknya ini tidak terlalu berbohong, karena
memang kakaknya menjadi murid banyak orang sakti, di antaranya Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee yang hampir membunuhnya, bahkan yang telah berusaha membakar
mereka berdua di perahu. Ia tidak mengerti mengapa kakaknya seolah-olah tidak
mau bercerita terus terang bahwa mereka berdua telah belajar ilmu di Pulau Es.
Biar pun
Lulu dan Han Han baru tinggal di Pek-eng-piauwkiok selama beberapa hari, namun
hubungan empat orang muda ini menjadi amat akrab. Apa lagi karena di situ ada
Lulu yang wataknya lincah jenaka, yang nakal dan tak pernah malu-malu, jujur
dan tidak mengenal palsu, sebentar saja rasa jengah yang membatasi pergaulan
mereka menjadi lenyap. Berkat kelincahan Lulu, Lu Soan Li menjadi tidak
malu-malu lagi terhadap Han Han, juga Sin Kiat makin tertarik kepada gadis
Mancu yang benar-benar telah menjatuhkan hatinya itu.
Sepekan
kemudian, ketika Lulu sedang mengumpulkan bunga-bunga yang dipetiknya dalam
taman bunga tak jauh dari gedung Pek-eng-piauwkiok, ia dikejutkan oleh suara
Sin Kiat, "Wah, Lulu-moi, setiap pagi kau tentu berada di sini memetik
bunga!"
Dara jelita
itu menoleh dan tersenyum. Bagi Sin Kiat, senyumnya amat manis dan hangat,
sehangat matahari di pagi hari itu. Taman bunga itu menjadi makin cerah dan
makin jernih bagi Sin Kiat.
"Tentu
saja, Twako. Bertahun-tahun aku tidak berkesempatan melihat bunga, sekarang ada
begini banyak bunga indiah di sini. Dahulu aku hanya melihat bunga-bunga es
melulu..." Tiba-tiba gadis itu teringat akan larangan kakaknya untuk
bercerita kepada siapa juga tentang Pulau Es, maka ia terikejut dan
menghentikan kata-katanya.
Akan tetapi
Sin Kiat telah mendengar kalimat terakhir itu dan dia mendekat. "Bunga es?
Apa maksudmu, Moi-moi?"
"Eh...
oh... tidak apa-apa..." Lulu yang biasanya amat jujur polos dan tidak
biasa membohong itu menjadi gagap. Ia sama sekali tidak senang untuk
menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu, karena untuk ini, terpaksa ia harus
pula membohong, padahal ketidak-wajaran ini terasa amat asing dan amat sukar
baginya.
Sin Kiat
memandang tajam, hatinya merasa tidak enak, bahkan sakit karena ia mengerti bahwa
dara yang dikaguminya ini menyembunyikan sesuatu dari padanya dan hal ini
menimbulkan kesan bahwa Lulu tidak menaruh kepercayaan penuh kepadanya! Dengan
nada sedih ia lalu berkata, tanpa disadarinya ia memegang kedua tangan Lulu
yang penuh bunga.
"Moi-moi,
mengapa engkau tidak percaya kepadaku? Ahhh, sungguh mati, aku tidak ingin
memaksamu untuk membuka sesuatu yang kau rahasiakan, akan tetapi... ah,
ketidak-percayaanmu ini menyakitkan hatiku, Moi-moi. Tidak tahukah engkau,
tidak merasakah engkau betapa aku…… aku cinta kepadamu, Lulu?"
Lulu
tersenyum dan dengan gerakan halus menarik tangannya sehingga terlepas dari
genggaman jari tangan pemuda itu, yang membuat jantungnya berdebar tidak
karuan.
"Aku
merasakan itu dan aku tahu, Twako. Akan tetapi, tidak kelirukah cintamu itu kau
jatuhkan atas diriku? Ingat, aku seorang gadis Mancu, musuhmu!"
Sin Kiat
memandang penuh keharuan. "Moi-moi, tak dapatkah kau memaafkan kesalahan
ucapanku ketika pertama kali kita bertemu? Tidak, aku tidak memusuhi seluruh
bangsa Mancu, dan aku hanya akan menentang yang jahat, siapa pun dia dan bangsa
apa pun dia. Engkau bagiku bukan bangsa apa-apa, engkau adalah Lulu,
satu-satunya gadis yang pernah dan akan menjadi pujaan hatiku, menjadi
satu-satunya wanita yang kucinta!"
Tiba-tiba
Lulu tertawa. Hati Sin Kiat makin sakit, mengira bahwa dara yang dicintanya ini
mentertawakan pernyataan cinta kasihnya! Tidak ada hal yang lebih menyakitkan
hati bagi seorang pria dari pada cinta kasihnya ditertawai oleh wanita yang
dicintanya.
"Hi-hi-hik,
alangkah lucunya!"
"Apa
yang lucu, Moi-moi? Mengapa engkau tertawa?" Sin Kiat bertanya, mukanya
menjadi agak pucat.
"Habis,
lucu sekali sih! Engkau dan Sumoi-mu keduanya telah jatuh cinta kepada aku dan
Kakakku, bukankah ini lucu sekali namanya?"
Sin Kiat
memandang wajah jelita itu dengan kaget. "Apa? Sumoi mencinta Kakakmu? Ah,
bagaimana engkau bisa tahu?"
"Apa
sih sukarnya mengetahui itu? Aku tahu bahwa Sumoi-mu mencinta Han-koko dan
bahwa engkau mencintaku. Mau bukti? Mari, kau ikut denganku!"
Lulu
menancapkan bunga-bunga yang dipetiknya di atas tanah, kemudian ia memegang
tangan Sin Kiat dan menarik pemuda itu, diajak pergi ke sebelah selatan taman
bunga, di mana terdapat pondok yang bercat kuning dan disebut pondok Cahaya
Matahari karena pondok ini menghadap ke timur dan setiap pagi menerima sinar
matahari sepenuhnya. Memang pondok ini dipergunakan untuk mandi cahaya matahari
oleh keluarga Tan-piauwsu.
Sin Kiat
menjadi tegang dan juga girang. Ia merasa betapa kulit telapak tangan yang
halus dan hangat menggandengnya. Akan tetapi ia pun gelisah kalau mengingat
bahwa perbuatan dara ini menggandengnya terdorong oleh sifatnya yang polos dan
kekanak-kanakan, bukan sekali-kali terdorong oleh cinta kasih seperti yang ia
harapkan.
Setelah
mereka tiba di pondok, Lulu menaruh telunjuknya di depan mulut sebagai isyarat
agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara berisik, kemudian berindap-indap ia
mengajak Sin Kiat memasuki pondok dari pintu belakang, terus menembus sampai ke
ruangan depan pondok. Lulu berhenti dan memandang Sin Kiat dengan sinar mata
penuh kebanggaan dan kemenangan. Tangan kanannya bertolak pinggang, sedangkan
tangan kiri menuding ke sebelah luar di mana tampak Han Han duduk di atas anak
tangga pondok itu sambil bercakap-cakap dengan Soan Li dalam suasana mesra dan
ramah.
"Nah,
betul tidak keteranganku? Itu mereka mengobrol dengan asyiknya! Sumoi-mu mencinta
Kakakku dan setiap pagi mereka berdua tentu duduk dan mengobrol mesra di situ.
Semenjak semula sudah kuduga, dalam pertemuan pertama mereka sudah saling
lirak-lirik, hi-hik!"
"Wah,
ini sama sekali tidak boleh...!" kata Sin Kiat dengan alis dikerutkan.
"Apa
kau bilang? Apanya dan mengapa tidak boleh? Jangan main-main kau, ya? Apa kau
hendak menghina Kakakku? Menganggap Kakakku kurang berharga untuk
Sumoi-mu?" Kini Lulu menghadapi Sin Kiat dengan mata terbelalak marah,
kedua tangan di pinggang, sikapnya menantang.
"Bukan...,
bukan begitu, akan tetapi Sumoi... dia... dia telah ditunangkan oleh Suhu...
dia sudah mempunyai calon suami..."
Kini Lulu
yang terbelalak kaget. "Apa kau bilang? Dan engkau calon suaminya?"
"Bukan,
bukan! Calon suaminya adalah seorang sastrawan..."
"Taihiap...!
Para pimpinan Hoa-san-pai telah tiba, Taihiap diminta untuk menyambut...!"
Seruan ini keluar dari mulut seorang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang datang
berlari-lari. Ia berteriak-teriak sehingga tidak saja Sin Kiat dan Lulu yang
menengok kaget dan percakapan mereka terputus, juga Han Han dan Soan Li menjadi
kaget dan menengok, lalu menghampiri mereka.
Sepintas
lalu Sin Kiat melihat betapa wajah sumoi-nya berseri-seri, agak kemerahan
sehingga hatinya makin tidak enak. Dia akan merasa bahagia sekali kalau
sumoi-nya dapat menjadi calon isteri Han Han, andai kata dia belum bertunangan.
Akan tetapi sumoi-nya telah ditunangkan kepada orang lain! Berbeda dengan wajah
Soan Li, Lulu mau pun Sin Kiat melihat betapa wajah Han Han biasa saja.
Semua urusan
mengenai sumoi-nya itu segera terhapus dari ingatan Sin Kiat karena pada saat
itu ada urusan yang lebih gawat, yaitu dengan datangnya para pimpinan
Hoa-san-pai yang tentu akan timbul persoalan yang amat gawat dengan Han Han.
"Han
Han, tokoh-tokoh Hoa-san-pai telah tiba, sebaiknya engkau bersamaku pergi
menyambut mereka agar persoalan ini lekas beres."
Han Han
mengangguk, sikapnya tenang sekali, berbeda dengan Sin Kiat dan sumoi-nya yang
mengerutkan kening dan kelihatan gelisah. Han Han sudah membunuh dua orang
murid Hoa-san-pai, apa pun alasannya, tentu akan membikin hati para pimpinan
Hoa-san-pai menjadi tidak puas. Sungguh pun Sin Kiat dan Soan Li merupakan dua
orang tokoh Hoa-san-pai, namun mereka tidak banyak mengenal para pimpinan
Hoa-san-pai karena mereka itu digembleng oleh guru mereka, Im-yang Seng-cu,
dalam perantauan dan hanya satu kali mereka disuruh guru mereka pergi menghadap
ketua Hoa-san-pai di Puncak Hoa-san. Maka hanya ketua Hoa-san-pai saja yang
mereka kenal, sedangkan para susiok (paman guru) lainnya, mereka tidak kenal.
Ketika empat
orang muda itu tiba di ruangan dalam yang lebar, di situ Tan-piauwsu dan para
sute-nya telah menghadap tiga orang tosu tua dengan sikap hormat. Sin Kiat dan
Soan Li sebagai murid-murid Hoa-san-pai, cepat melangkah maju dan menjatuhkan
diri berlutut di depan tiga orang tosu itu yang duduk berjajar di atas
bangku-bangku kehormatan.
"Suhu
dan Ji-wi Supek (Dua Uwa Guru), ini adalah Sute Wan Sin Kiat dan Sumoi Lu Soan
Li," Tan-piauwsu memperkenalkan dua orang muda itu.
“Hemmm...!”
Tosu yang berjenggot pendek, guru Tan Bu Kong, mengangguk-angguk dan berkata,
"Agaknya kalian inikah murid-murid Sute Im-yang Seng-cu?"
"Tidak
salah dugaan Sam-wi Supek. Teecu berdua adalah murid-murid Suhu Im-yang
Seng-cu. Teecu berdua menghaturkan hormat kepada Sam-wi Supek," kata Sin
Kiat sambil memberi hormat, yang dicontoh oleh Soan Li.
"Bagus!
Kalian tidak mengecewakan menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Pinto telah
mendengar akan sepak-terjang kalian di dunia kang-ouw," kata tosu ke dua
yang lebih tua dan yang didahinya terdapat cacat bekas luka memanjang.
"Duduklah baik-baik di bangku di pinggir sana." Tosu ini menunjuk
bangku-bangku dengan sikap tidak begitu mengacuhkan. Betapa pun juga, dua orang
muda ini hanyalah murid-murid keponakan mereka, dan mereka bertiga datang untuk
membereskan urusan yang amat gawat.
Dengan sikap
hormat Sin Kiat dan Soan Li duduk di atas bangku-bangku yang ditunjuk oleh tosu
codet (luka di dahi) itu. Diam-diam Han Han, terutama sekali Lulu, merasa tidak
puas menyaksikan sikap angkuh Si Tosu terhadap sahabat-sahabat baik mereka.
Akan tetapi mereka tidak peduli dan hanya berdiri di pinggiran, tidak jauh dari
tempat duduk dua orang sahabat mereka itu. Tiga orang tosu tua yang melihat Han
Han dan Lulu tidak mengacuhkannya pula karena mereka ini mengira bahwa Han Han
dan Lulu tentulah orang-orang muda tak berarti, anggota keluarga atau
pembantu-pembantu di Pek-eng-piauwkiok.
Tiga orang
tosu Hoa-san-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tiga, karena mereka ini adalah
murid-murid langsung dari ketua Hoa-san-pai, yaitu yang bernama Thian Cu
Cinjin, seorang tosu yang amat sakti dan sudah berusia tinggi. Mereka bertiga
ini adalah kakak beradik seperguruan. Yang paling tua adalah tosu tinggi kurus
yang berjenggot panjang bernama atau lebih tepat berjuluk Bhok Seng-cu, yang ke
dua adalah tosu codet yang luka dahinya, berjuluk Kong Seng-cu, ada pun tosu ke
tiga adalah guru dari Tan-piauwsu yang berjuluk Lok Seng-cu.
Mereka ini
rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, namun masih nampak sehat,
berwibawa, dan penuh semangat karena sesungguhnya tiga orang tosu inilah yang
bertugas untuk melaksanakan segala peraturan di Hoa-san-pai. Mungkin karena
terpengaruh tugas mereka yang harus dilaksanakan secara baik-baik dan penuh
disiplin, maka tiga orang tosu ini sudah biasa berwatak keras asal benar!
Mereka
bertiga tidak begitu ramah ketika diperkenalkan kepada Sin Kiat dan Soan Li,
karena sesungguhnya mereka bertiga tidak suka kepada Im-yang Seng-cu, tokoh
Hoa-san-pai yang dianggap menyeleweng, yaitu menyeleweng dari pada aturan
Hoa-san-pai, tidak suka menjadi tosu di Hoa-san-pai melainkan lebih suka
mengembara dan berkeluyuran! Juga perasaan tidak suka ini timbul pula karena
Im-yang Seng-cu dianggap tidak setia kepada Hoa-san-pai, mempelajari ilmu
silat-ilmu silat lain golongan, bahkan berani ‘mengawinkan’ iImu silat
Hoa-san-pai yang asli dengan ilmu silat golongan lain. Apa lagi kalau diingat
bahwa mereka itu tidaklah seguru dengan Im-yang Seng-cu karena Im-yang Seng-cu
bukanlah murid Thian Cu Cinjin, melainkan murid dari Tee Cu Cinjin yang sudah
meninggal dunia, yaitu sute dari Thian Cu Cinjin.
"Tan Bu
Kong, kami sudah mendengar akan pelaporanmu dari mulut utusan
Pek-eng-piauwkiok. Karena mengingat akan gawatnya persoalan, maka kami bertiga
datang sendiri untuk memberi hukuman kepada dia yang berdosa. Benarkah bahwa
kedua orang Sute-mu Lie Cit San dan Ok Sun dibunuh orang?"
Mendengar
pertanyaan ini, berkerut alis Wan Sin Kiat. Para supek-nya ini ternyata adalah
orang-orang yang berhati keras dan yang dipentingkan adalah urusan kematian
anak murid Hoa-san-pai, padahal di balik urusan ini tersembunyi hal yang lebih
gawat lagi, yaitu ancaman permusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai. Ataukah
mungkin laporan utusan Tan-piauwsu yang tidak jelas menyampaikan laporan?
Namun, ia tidak berani mengganggu, hanya mendengarkan saja.
"Benar,
Suhu. Sute Lie Cit San dan Sute Ok Sun tewas, bahkan Sute Teng Lok juga terluka
hebat, buntung lengannya. Semua ini terjadi karena tipu muslihat keji seorang
gadis Mancu, seorang puteri Kaisar sendiri yang bernama Puteri Nirahai...”
"Siapakah
yang membunuh dan melukai Sute-sute-mu? Apakah dia murid Siauw-lim-pai?”
"Bukan,
Suhu. Memang terjadi bentrokan dengan pihak Siauw-lim-pai, akan tetapi semua
itu adalah akibat tipu muslihat keji Puteri Mancu Nirahai. Sebaiknya teecu
menceritakan asal mula terjadinya perkara yang hebat ini." Melihat betapa
tiga orang tosu tua itu diam saja dan semua memandang kepadanya, Tan Bu Kong
segera menceritakan asal mula terjadinya peristiwa itu.
Betapa
puteri itu datang mengirim dua buah peti ke selatan dan betapa dia tidak berani
menolak karena tidak ingin dicurigai oleh pemerintah Mancu akan perjuangan
Hoa-san-pai menentang penjajah. Kemudian betapa Teng Lok sampai buntung
lengannya ketika menyelidiki keadaan puteri aneh itu. Diceritakannya pula
betapa rombongan piauwsu yang mengantar dua buah peti ke selatan, di tengah
jalan dihadang oleh anak-anak murid Siauw-im-pai yang memaksa mereka membuka
peti sehingga terjadi pertempuran.
"Pinto
telah mendengar penuturan itu dari utusanmu, tak perlu diulangi lagi," Lok
Seng-cu memotong tak sabar sambil menggerakkan tangan kirinya ke atas sehingga
ujung lengan bajunya bergetar dan bergoyang. "Pinto hanya tertarik
mendengar akan kematian murid-murid Lie Cit San dan Ok Sun. Siapakah yang
membunuh mereka?"
Berkerut
kening Han Han. Ingin ia melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu, mengaku
bahwa dialah yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ketika
bertemu pandang dengan Wan Sin Kiat, ia melihat pemuda itu menggeleng-geleng
kepala perlahan sehingga ia membatalkan niatnya.
Tan-piauwsu
juga bingung sekali atas pertanyaan gurunya yang mendesak-desak itu,
seolah-olah tidak hendak memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan semua
agar kesalahan tangan Han Han itu dapat diperingan dengan alasan kuat. Akan
tetapi piauwsu ini sudah merasa yakin akan kebersihan hati Han Han dalam pembunuhan
terhadap dua orang sute-nya itu. Ia memberanikan hatinya dan melanjutkan
ceritanya.
"Pertempuran
berat sebelah itu tentu akan berakibat terbasminya semua anak buah piauwsu yang
mengawal kalau saja tidak secara kebetulan muncul seorang pendekar muda yang
membantu pihak Hoa-san-pai dan pemuda itu memukul tewas tujuh orang anak murid
Siauw-lim-pai. Kemudian pihak Siauw-lim-pai memaksa membuka dua buah peti
kiriman puteri Mancu dan isinya ternyata adalah..."
"Mayat-mayat
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam! Pinto
sudah tahu semua akan hal itu. Bu Kong, katakan, siapa yang membunuh dua orang
Sute-mu?"
"Pendekar
muda yang tadinya membantu Hoa-san-pai dan membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai
ketika melihat bahwa dua peti itu berisi mayat tokoh-tokoh Siauw-lim, menjadi
menyesal dan marah sekali, mengira bahwa pihak Hoa-san-pai yang bersalah, maka
dalam kemarahannya ia turun tangan membunuh kedua orang Sute, tidak tahu bahwa
baik pihak Siauw-lim-pai mau pun pihak Hoa-san-pai tidak bersalah karena mereka
semua telah termasuk dalam perangkap dan siasat adu domba puteri Mancu
itu..."
"Tan Bu
Kong! Engkau berpihak kepada siapakah? Katakan, di mana adanya orang yang
membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu!" bentak Lok Seng-cu dengan nada
marah sehingga Tan-piauwsu menjadi jeri dan menundukkan mukanya.
"Totiang,
akulah orangnya yang membunuh dua orang muridmu itu!" Tiba-tiba terdengar
suara Han Han memecah kesunyian sehingga suasana menjadi tambah sunyi lagi
karena kini kesunyian itu dicekam ketegangan yang memuncak ketika tiga orang
tosu tua itu menoleh dan memandang kepada Han Han penuh perhatian. Han Han
sudah melangkah maju dengan sikap tenang, kemudian berdiri menghadapi tiga
orang Hoa-san-pai itu sambil melanjutkan kata-katanya.
"Memang
aku yang telah membunuh mereka, hal ini tidak kupungkiri dan aku mohon maaf
kepada Totiang bertiga sebagai guru-guru mereka. Aku merasa menyesal sekali
telah membunuh mereka berdua seperti rasa penyesalanku telah membunuh tujuh
orang murid Siauw-lim-pai yang tak bersalah. Akan tetapi aku tidak merasa
bersalah karena aku membunuh dua orang murid Hoa-san-pai dengan persangkaan
bahwa Hoa-san-pailah yang membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan kusangka
bersikap palsu sehingga menyebabkan aku kesalahan tangan membunuh murid-murid
Siauw-lim-pai. Hal itu telah terjadi di luar kesadaranku, dan aku pasti akan
mencari biang keladinya, Puteri Mancu itu. Nah, kurasa cukup lama aku tinggal
di sini bersama Adikku. Tan-piauwsu, dan juga kalian berdua, Sin Kiat dan Adik
Lu Soan Li, aku harus pergi dari sini setelah bertemu dengan tokoh-tokoh
Hoa-san-pai dan minta maaf. Aku hendak pergi menemui pimpinan Siauw-lim-pai
untuk menjelaskan persoalan. Sampai jumpa kembali..."
"Berhenti!"
Tiba-tiba Bhok Seng-cu yang tinggi kurus dan berjenggot panjang membentak.
Suaranya mengejutkan semua orang karena mengandung getaran yang menusuk rongga
dada, tanda bahwa kakek ini telah mempergunakan khikang yang amat kuat.
Han Han yang
tadinya sudah melangkah hendak keluar diikuti oleh Lulu, berhenti dan
membalikkan tubuhnya. Sikapnya tenang saja, demikian pula dengan Lulu sehingga
Bhok Seng-cu sendiri menjadi terheran-heran. Hampir semua yang hadir di situ,
kecuali Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li yang rnemiliki tingkat kepandaian yang
lebih tinggi, menjadi pucat sekali wajah mereka karena pengaruh bentakan tadi,
akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak terpengaruh, kaget sedikit pun
tidak!
“Orang muda,
apakah sedemikian murahnya kau menghargai nyawa dua orang anak murid kami? Cukup
dengan pernyataan menyesal dan minta maaf? Sungguh engkau memandang rendah
kepada Hoa-san-pai!" kata Bhok Seng-cu dengan alis terangkat.
"Habis
apa yang harus kulakukan,Totiang? Aku telah lama menanti kedatangan Totiang di
sini, hal itu karena aku memandang Hoa-san-pai," jawab Han Han dengan
sikap yang masih tenang. Pandang mata pemuda ini bertemu dengan pandang mata
Bhok Seng-cu dan kakek Hoa-san-pai ini bergidik dan mengalihkan pandang
matanya.
"Hutang
nyawa harus dibayar dengan nyawa!" bentak Lok Seng-cu, guru Tan-piauwsu
yang menjadi marah sekali kalau teringat betapa murid-muridnya terbunuh hanya
oleh seorang pemuda yang tak di kenaI sama sekali, bukan pula murid
Siauw-lim-pai, bahkan seorang pemuda yang kelihatannya liar. Andai kata kedua
orang muridnya tewas di tangan seorang tokoh besar, atau setidaknya oleh anak
murid Siauw-lim-pai yang pandai, dia tidak akan begitu malu.
"Suheng,"
katanya kepada Bhok Seng-cu. “Bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini menjadi
kaki tangan Mancu yang sengaja membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai agar taktik adu domba berhasil baik. Bocah setan ini tak boleh
diberi ampun!"
"Suhu
dan Ji-wi Supek, Han Han bukanlah kaki tangan Mancu...!" Tiba-tiba Wan Sin
Kiat berseru dari tempat duduknya karena tidak tahan lagi mendengar
ucapan-ucapan suhu-nya dan supek-nya yang nadanya menekan Han Han. "Teecu
mengenal dia baik-baik semenjak dia masih kanak-kanak karena dia adalah sahabat
baik teecu di waktu kecil."
"Wan
Sin Kiat! Tak patut engkau sebagai anak murid Hoa-san-pai bicara seperti itu
terhadap seorang yang telah membunuh dua orang Suheng-mu! Di mana kesetiaanmu
terhadap Hoa-san-pai? Apakah kalau dia ini menjadi sahabat baikmu di waktu
kecil, lalu tak mungkin lagi menjadi kaki tangan Mancu? Pandangan picik
sekali!" bentak Bhok Seng-cu sambil menatap wajah pemuda itu dengan mata
melotot.
Sin Kiat
menunduk, akan tetapi ia menjawab dengan suara tenang, "Maaf, Supek. Bukan
karena itu, melainkan karena dia adalah murid Ma-bin Lo-mo Siang-koan
Lee..."
"Ahhhhh
!" Seruan ini keluar dari mulut ketiga orang tosu tua itu karena mereka
benar-benar merasa kaget sekali mendengar bahwa pemuda ini adalah murid seorang
di antara tokoh-tokoh datuk hitam yang amat terkenal itu.
Mereka pun
maklum bahwa biar pun seorang tokoh datuk hitam, namun Siang-koan Lee bukanlah
seorang yang tunduk kepada pemerintah penjajah Mancu. Kini mereka kembali
memandang kepada Han Han penuh perhatian dan dengan pandang mata agak meragu.
Akan tetapi hanya sebentar saja mereka meragu karena segera terdengar suara
Bhok Seng-cu yang kaku dan tegas.
"Kalau
dia murid Ma-bin Lo-mo, memang bukan kaki tangan Mancu. Akan tetapi biar pun
demikian, dia telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, dan dia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya. Biar pun murid Ma-bin Lo-mo tidak boleh
menghina kami orang-orang Hoa-san-pai!"
"Suheng,
nanti dulu, Suheng!" Tiba-tiba Kong Seng-cu berkata dan tiba-tiba tubuh
tosu ini sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan langkah lebar
menghampiri Lulu. Teringat olehnya bahwa tadi pemuda itu mengakui gadis ini
sebagai adiknya. Ia menghampiri dan memandang gadis itu penuh perhatian,
mulutnya menggerutu, "Adiknya...? Ini Adikmu...?"
Han Han yang
merasa sebal menyaksikan sikap congkak dari tiga orang Hoa-san-pai ini berkata,
"Benar, Totiang. Dia Adik angkatku."
Tosu yang
dahinya terhias bekas luka itu berjalan mengelilingi Lulu sambil memandang
seperti orang memeriksa kuda yang hendak dibelinya. Lulu yang dipandang penuh
perhatian tersenyum-senyum, dan melirak-lirik dengan sikap lucu dan
mentertawakan. Akhirnya tosu itu kembali ke bangkunya, duduk dan berkata,
"Gadis ini adalah seorang wanita Mancu!"
Semua orang
yang mendengar ini menjadi terheran, bagaimana tosu codet ini dapat mernduga
sedemikian tepatnya.
"Wanita
Mancu?" Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu berseru kaget.
Lok Seng-cu
memandang kepada Tan-piauwsu dengan pandang mata bengis lalu membentak,
"Tan Bu Kong! Betulkah bahwa gadis ini seorang wanita Mancu dan sudah kau
biarkan dia menjadi tamumu?"
Sebelum
Tan-piauwsu sempat menjawab, Lulu sudah melangkah maju dan menjawab dengan
suara Iantang sambil memandang kepada Kong Seng-cu, "Benar sekali! Aku
adalah seorang gadis Mancu dan namaku Lulu, she Sie karena Kakakku ini pun she
Sie. Tosu codet, matamu benar-benar tajam sekali!"
“Siancai...!
Apa kata pinto? Dalam jarak sepuluh Ii, pinto sudah dapat mengenal wanita
Mancu! Suheng dan Sute, biar pun orang she Sie ini murid Ma-bi lo-mo, akan
tetapi dia mempunyai Adik angkat wanita Mancu! Terang bahwa dia telah
berkhianat, dan mungkin sekali dia sekarang menjadi kaki .tangan Puteri Mancu
itu! Wah, berbahaya kalau begini, sama sekali tidak boleh membebaskan
dia."
"Tosu
codet, selain matamu awas sekali, juga hatimu busuk sekali. Tentu karena
kebusukan hatimu maka dahimu menjadi codet, bekas terluka senjata tajam. Sayang
di dahi, sebaiknya di mulut agar mulutmu tidak dapat menghamburkan
ucapan-ucapan busuk lagi.” Lulu yang diam-diam marah kini mulai mempermainkan
tosu itu.
Semua orang
terkejut sekali, bahkan Sin Kiat menjadi pucat wajahnya. Gadis yang dicintanya
itu benar-benar berani mati, mengeluarkan omongan yang seperti itu terhadap
Kong Seng-cu, seorang di antara ketiga murid ketua Hoa-san-pai yang berilmu
tinggi!
Pemuda
perkasa ini maklum bahwa ucapan itu akan rnempunyai akibat yang berbahaya
sekali bagi Han Han dan Lulu, maka ia memandang dengan jantung berdebar dan
muka pucat. Juga para anak buah Pek-eng-piauwkiok terutama sekali Tan Bu Kong,
menjadi khawatir sekali, apa lagi karena Tan-piauwsu maklum bahwa perbuatannya
menerima seorang gadis Mancu sebagai tamu benar-benar akan menimbulkan salah
paham dari para supek-nya.
"Suhu,
harap maafkan teecu. Biar pun dia seorang gadis Mancu, akan tetapi dia lain
lagi, sama sekali tidak menganggap kita sebagai musuh dan dan dia adalah Adik
angkat Sie-taihiap..."
Ucapan ini
malah merupakan angin yang membesarkan api kemarahan di dada tiga orang tosu
itu, terutama sekali Kong Seng-cu yang dihina dan dimaki oleh seorang gadis
Mancu.
"Bocah
Mancu, mampuslah!" bentak Kong Seng-cu
Tanpa
bangkit dari tempat duduknya, kakek berdahi codet ini mengirim pukulan jarak
jauh dengan dorongan tangan kanannya ke arah dada Lulu. Jarak antara mereka ada
empat meter dan kakek ini yang memandang rendah gadis Mancu itu yang disangkanya
gadis biasa saja, menaksir bahwa pukulannya ini cukup kuat untuk merusak isi
dada gadis yang dianggapnya jahat dan musuh rakyat itu.
Angin
pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lulu dan jelas tampak betapa baju gadis
itu di bagian dadanya berkibar disambar angin pukulan. Akan tetapi gadis itu
sendiri berdiri sambil tersenyum-senyum manis, sama sekali tidak bergerak,
seolah-olah ia tidak merasakan datangnya angin pukulan jarak jauh ini seperti
sebongkah batu gunung ditiup angin semilir! Dan memang sesungguhnyalah bahwa
Lulu sama sekali tidak tahu bahwa dia dipukul orang! Akan tetapi mengapa
pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti amat kuat dari tokoh
Hoa-san-pai itu sama sekali tidak terasa olehnya? Apakah Lulu sudah memiliki
kesaktian yang luar biasa seperti Han Han?
Sebetulnya
tidaklah demikian. Seperti kita ketahui, ketika berdiam di Pulau Es Lulu juga
tekun belajar di bawah bimbingan Han Han. Akan tetapi berbeda dengan Han Han
yang memiliki dasar tidak karuan, bahkan secara paksa menggembleng diri dengan
ilmu dari aliran hitam, Lulu sebaliknya mempelajari kitab-kitab peninggalan
manusia sakti pemilik Istana Pulau Es.
Gadis ini
berlatih semedhi dan pengumpulan hawa murni untuk membentuk tenaga sakti
menurut petunjuk kitab yang dibacanya di pulau itu, dan ternyata ia dapat
memiliki sinkang yang murni dan bersih yang amat kuat dan yang kini telah
menjadi satu dengan darah daging dan pernapasannya sehingga tenaga sakti ini
akan bergerak dengan sendirinya setiap kali ada bahaya mengancam tubuhnya.
Juga gadis
ini melatih ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang dari dua buah kitab lain
yang sudah amat tua dan tidak berjudul lagi, ilmu silat tangan kosong yang
lebih mirip ilmu tari karena gerakan-gerakannya indah sekali sehingga sering
kali jika sedang berlatih, Lulu ditertawai dan digoda Han Han, dikatakan bahwa
tarian adiknya amat indah dan ‘bahwa’ adiknya bukan mempelajari ilmu silat
melainkan ilmu tari. Namun dengan ‘ilmu tari’ ini Lulu telah dapat membuat
beruang es mengaku kalah!
Ada pun ilmu
pedangnya juga amat indah, akan tetapi karena dipulau itu mereka tidak
mempunyai pedang, Lulu selalu berlatih mempergunakan sebatang ranting. Dengan
adanya sinkang yang sudah mendarah daging itulah maka tadi ketika Kong Seng-cu
melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga sinkang, begitu angin
pukulan menyentuh kulit, otomatis sinkang di tubuh Lulu bergerak dan menolak
serangan dari luar itu maka gadis ini tidak merasakan apa-apa sungguh pun
bajunya sampai berkibar dilanda angin pukulan jarak jauh tokoh Hoa-san-pai itu!
Wan Sin Kiat
menjadi pucat mukanya, dan pandang matanya menjadi kagum dan heran bukan main.
Sebagai murid tersayang dari Im-yang Seng-cu, seorang tokoh yang biar pun
tingkatnya hanya saudara seperguruan dari tiga orang tosu ini, namun memiliki
ilmu kepandaian jauh lebih tinggi, dan sebagai seorang yang ahli dalam ilmu
silat Hoa-san-pai, Sin Kiat tadi dapat melihat jelas gerakan Kong Seng-cu dan
maklum bahwa supek-nya itu dengan secara keji sekali telah melakukan pukulan
jarak jauh yang disebut jurus Sian-jin-hian-ko (Dewa Memberi Buah) dan yang
mengandung tenaga sinkang amat kuat.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya ketika melihat bahwa gadis yang
telah membuat jantungnya jungkir balik dan bertekuk lutut itu sama sekali tidak
merasakan pukulan itu, bahkan berkedip pun tidak, malah senyumnya makin lebar
dan makin manis, mata yang lebar itu makin bersinar-sinar!
"Eh,
Tosu Codet. Engkau mengeluarkan ilmu hitam apakah?" Setelah bajunya
berkibar dan dadanya agak berdenyut kulitnya, barulah Lulu sadar bahwa tosu itu
tadi telah memukulnya dengan pengerahan sinkang, maka ia sengaja mengejek.
Diam-diam gadis ini bersikap waspada dan hati-hati karena maklum bahwa para
tosu Hoa-san-pai itu benar-benar hendak memusuhi dia dan Han Han.
Sementara
itu, ketika melihat betapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Kong Seng-cu
kepada gadis Mancu itu sama. sekali tidak berhasil, tiga orang tokoh
Hoa-san-pai ini diam-diam terkejut dan berhati-hati. Mereka maklum bahwa gadis
Mancu yang masih remaja itu telah memiliki tenaga sinkang yang hebat dan tidak
lumrah dimiliki seorang gadis yang demikian muda.
Tiga orang
tosu itu menjadi serba salah. Mau merintahkan anak murid turun tangan terhadap
Han Han dan Lulu, mereka maklum bahwa murid-murid yang berada di situ agaknya
bukanlah lawan pemuda berambut riap-riapan dan adiknya yang bertenaga sinkang
hebat itu. Mau turun tangan sendiri, mereka masih merasa tidak enak dan malu
karena amatlah menurunkan derajat bagi mereka untuk turun tangan terhadap dua
orang yang masih amat muda, boleh disebut setengah dewasa itu!
Tiba-tiba
pandang meta Bhok Seng cu yang memandangi para anak murid Hoa-san-pai dan anak
buah Pek-eng-piauwkiok itu menatap ke satu arah. Ketika Lok Seng-cu dan Kong
Seng-cu yang ragu-ragu menoleh ke arah suheng mereka yang tentu saja sebagai
orang tertua di antara mereka merupakan penentu terakhir, mereka berdua pun
mengikuti arah pandang mata suheng mereka itu dan wajah mereka berseri.
Mengertilah kedua orang tosu ini akan jalan pikiran suheng mereka dan mereka
pun setuju sekali. Tanpa mengeluarkan suara, tiga orang tosu Hoa-san-pai ini
telah bersepakat untuk memerintahkan Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menghadapi Han
Han dan Lulu!
Mereka itu
sama mudanya sehingga tidak akan menurunkan nama Hoa-san-pai, mereka berdua itu
pun murid-murid Hoa-san-pai yang lihai ilmunya sehingga di dunia kang-ouw
terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap dan Hoa-san Kiam-li. Dan yang
menggirangkan hati ketiga orang tosu ini, dua orang muda itu adalah murid-murid
Im-yang Seng-cu, seorang tokoh Hoa-san-pai yang mereka anggap menyeleweng dan
murtad sehingga kalau dua orang murid itu sampai kalah, Hoa-san-pai tidaklah
terlalu merasa malu dan memang tiga orang tosu ini dalam kebenciannya terhadap
Im-yang Seng-cu menjadi tidak suka pula kepada Sin Kiat dan Soan Li.
Rasa benci
terhadap Im-yang Seng-cu bukan semata karena tokoh Hoa-san-pai ini meninggalkan
Hoa-san-pai, melainkan lebih banyak terdorong rasa iri hati. Im-yang Seng-cu
membuat nama besar bukan bersandar kepada Hoa-san-pai karena ilmu silatnya
telah bercampur dengan ilmu-ilmu silat lain. Di samping ini, Im-yang Seng-cu
tidak lagi hidup terikat dan terkurung di Hoa-san, melainkan hidup sebagai
seorang pendekar dan petualang yang bebas dan bebas pula menikmati kesenangan
duniawi!
"Murid-murid
Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li! Pinto memerintahkan kalian untuk menangkap musuh
Hoa-san-pai dan adiknya, gadis Mancu itu. Kerjakan perintah pinto sebagai
murid-murid Hoa-san-pai yang baik!" Bhok Seng-cu berkata dengan nada suara
halus dan muka berseri. Dua orang sute-nya mengangguk-angguk dan tersenyum
sambil meraba-raba jenggot mereka.
Sin Kiat dan
Soan Li menjadi terkejut bukan main mendengar perintah ini. Wajah mereka
berubah dan jantung mereka berdebar karena mereka tersudut ke dalam keadaan yang
serba salah. Untuk membantah, perintah itu keluar dari mulut supek mereka dan
dikeluarkan atas nama Hoa-san-pai. Untuk mentaati perintah, bagaimana mereka
dapat memusuhi dua orang muda yang menjadi sahabat baik mereka, bahkan dua
orang muda yang masing-masing telah menjatuhkan hati mereka?
Mereka tak
tahu harus berbuat apa, merasa mundur salah maju tidak sesuai dengan suara hati
mereka. Apa lagi ketika mereka melihat betapa Han Han dan Lulu kini menoleh dan
memandang mereka dengan sikap tenang dan bahkan Lulu tersenyum-senyum memandang
Sin Kiat karena gadis nakal ini agaknya merasa geli, sama sekali tidak kasihan
melihat pemuda itu yang ia tahu menjadi bingung. Baru saja menyatakan cinta,
kini disuruh menyerang!
Teringatlah
dua orang murid Hoa-san-pai ini akan pesan suhu mereka, yaitu Im-yang Seng-cu,
"Kalian memang dapat disebut murid-murid Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu
yang kuberikan kepada kalian sesungguhnya bukanlah ilmu asli dari Hoa-san-pai.
Karena itu kalian harus berhati-hati terhadap Hoa-san-pai. Para tosu
Hoa-san-pai, yaitu Suheng-suheng dan Sute-sute-ku, adalah tosu-tosu yang kukuh
dan terlalu kaku memegang aturan sehingga kadang-kadang mereka itu keras
sekali. Memang demikian watak orang-orang yang terikat oleh keadaan pada
lahirnya namun sesungguhnya batinnya belum dapat mereka sesuaikan dengan
keadaan lahir. Mereka banyak yang merasa iri hati melihat kehidupan orang-orang
di luar lingkungan tosu yang hidup serba bebas dan dapat mengecap kenikmatan
hidup tanpa pantangan-pantangan. Lebih baik kalau kalian menjauhkan diri dari
urusan Hoa-san-pai.”
Demikianlah
pesan suhu mereka dan kini, di luar kehendak mereka, mereka dihadapkan dengan
urusan yang amat sulit yang menyangkut Hoa-san-pai.
"Mengapa
kalian tidak lekas turun tangan? Apakah kalian hendak menentang perintah pinto
dan hendak menjadi murid murtad Hoa-san-pai pula?" kini suara Bhok Seng-cu
terdengar keras dan tidak senang, mengandung tekanan menyindir bahwa guru kedua
orang muda itu adalah seorang murid murtad Hoa-san-pai
Soan Li
hanya dapat memandang kepada suheng-nya dengan pandang mata penuh permohonan
agar suheng ini dapat mengambil keputusan. Sin Kiat menghela napas panjang lalu
berkata.
"Supek,
mohon maaf, bukan sekali-kali teecu membantah. Hanya teecu teringat akan pesan
Suhu bahwa segala perbuatan teecu berdua harus didasarkan kebenaran. Teecu
menganggap bahwa Saudara Sie Han dan Lulu tidak bersalah dalam urusan ini,
bagaimana mungkin teecu berdua harus memusuhi mereka?"
"Wan
Sin Kiat! Bocah ini telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai yang terhitung
Suheng-suheng-mu sendiri dan kau masih hendak membelanya? Dan gadis ini, sudah
terang dia itu gadis Mancu, seorang musuh bangsa kita, dan engkau pun hendak
membelanya? Pelajaran macam apakah ini yang diberikan Gurumu kepada
kalian?" bentak Kong Seng-cu.
Ucapan keras
yang menambah ketegangan itu disusul suara Lulu yang perlahan akan tetapi
karena keadaan yang amat sunyi, terdengar oleh semua telinga, "Koko, Tosu
Codet itu galak sekali! Kalau terjadi pertempuran, kau bikin mukanya bertambah
satu codet lagi, baru puas hatiku!"
"Sssttttt,
Lulu, jangan lancang mulut...!" Han Han menjawab lirih, akan tetapi tentu
saja terdengar pula oleh semua orang.
Kong Seng-cu
hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu dengan mata
melotot. Untuk turun tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak turun tangan,
jantungnya serasa ditusuk-tusuk oleh sindiran dan ejekan gadis Mancu itu.
"Supek,"
jawab Sin Kiat dengan suara tenang. "Suhu mengajarkan agar teecu tidak
sembrono dalam sepak terjang teecu, tidak menurutkan panasnya nafsu hati
melainkan menggunakan pertimbangan pikiran dan liangsim (hati nurani). Biar pun
Han Han membunuh kedua orang Suheng teecu, akan tetapi dia membunuh bukan
karena kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat Puteri Mancu. Ada pun Adik
Lulu ini dia bukanlah musuh, dia tidak memusuhi kita.”
"Kreeekkkkk!"
Lengan kursi yang diduduki Bhok Seng-cu hancur berkeping-keping karena
dicengkeram tangan tosu lihai ini yang sudah tak dapat mengendalikan lagi
kemarahannya.
"Murid
murtad!" Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin Kiat, kemudian menoleh ke
arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid Hoa-san-pai pembantu Tan-piauwsu
yang lain sambil berseru, "Tangkap dua orang murid murtad ini, dan kami
akan turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu itu!"
"Serrr...
serrrrr...!"
Bhok Seng-cu
menggerakkan tangan kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah Han Han dan
Lulu. Itulah hancuran kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi, kini
ditimpukkan dengan pengerahan sinkang sehingga merupakan senjata rahasia yang
amat berbahaya, menyambar ke arah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi hanya
berdiri dengan sikap tenang di tengah ruangan itu.
Han Han
mengibaskan tangannya sehingga hancuran kayu itu runtuh ke bawah, sedangkan
Lulu dengan sikap lincah meloncat ke samping, mengelak sambil tertawa mengejek,
"Wah, sayang luput, Tosu galak!"
Tan-piauwsu
dan para sutenya, juga anak buah Pek-eng-piauwkiok yang sudah menganggap diri
mereka sebagai anak buah Hoa-san-pai tidak berani membantah perintah itu dan
mereka telah mencabut senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu!
Di luar tahunya semua orang, Kwee Twan Giap sute termuda dari Tan-piauwsu yang
amat cerdik, telah memberi tanda dengan jari tangan agar Sin Kiat dan Soan Li
cepat melarikan diri saja sehingga terhindar pertandingan antara murid
Hoa-san-pai sendiri. Melihat ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat dalam hati
mereka akan ikhtikad baik Kwee Twan Giap.
Akan tetapi,
sebelum dua orang murid Im-yang Seng-cu ini sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba
terdengar pekik melengking keras sekali yang membuat semua orang tertegun,
bahkan banyak di antara mereka meremang bulu tengkuknya mendengar suara ini.
Suara ini keluar dari mulut Han Han yang sudah meloncat ke depan sambil
melengking keras, kemudian berkata.
"Majulah
semua! Tosu-tosu picik, hayo majulah kalian. Kalau kekerasan yang kalian
kehendaki, kekerasan yang kalian dapat!"
Lulu juga
meloncat ke dekat kakaknya sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung,
"Jangan mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li, keroyoklah kami kalau
kalian sudah bosan hidup!"
Akan tetapi
tiba-tiba Han Han sudah menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke kanan kiri
dan terdengarlah suara hiruk-pikuk jatuhnya beberapa buah senjata pedang dan
golok karena pemiliknya rebah terguling disambar hawa pukulan hebat luar biasa,
yaitu yang menyambar ke luar dari kedua telapak tangan Han Han. Amat mengerikan
akibatnya karena empat orang itu roboh dengan lengan kanan sebatas siku gosong
seperti dibakar. Masih untung bahwa Han Han menyerang mereka mengarah lengan,
kalau tubuh mereka yang terkena sambaran hawa pukulan yang merupakan inti dari
Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa mereka telah melayang!
Lulu menjadi
gembira, tubuhnya berkelebat ke kiri dan sebuah tendangan membuat seorang anak
buah piauwkiok menjerit kesakitan, lengan tangannya patah tulangnya dan
pedangnya mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat dengan gerakan indah dan cepat,
seperti seekor burung walet terbang dan tahu-tahu pedang itu telah berada di
tangannya, lalu ia melayang turun, berdiri tersenyum-senyum menimang-nimang dan
memandang pedang, sikapnya seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah
boneka.
"Pedang
yang bagus sekali!'" Ia memainkan ronce-ronce pedang yang berwarna kuning
itu dan mengelus-elus mata pedang yang tajam.
Melihat ini
Tan-piauwsu dan para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu maju
menyerbu, bukan menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, melainkan menyerbu Han Han dan
Lulu yang telah bergerak terlebih dulu. Biar pun sampai mati dalam
pertandingan, mereka ini memilih mati di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan
orang-orang lain, bahkan boleh juga dianggap musuh karena Han Han telah
membunuh dua orang murid Hoa-san-pai sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu.
Kalau mereka menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, berarti mereka bermusuhan dengan
murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau tewas berarti mati konyol!
“Han Han...
Lulu-moi..., kasihanilah mereka yang tak berdosa, jangan bunuh mereka...!"
Sin Kiat berteriak dengan hati sedih dan amat terkejut menyaksikan sepak
terjang Han Han.
Lulu
mendengar getaran suara Sin Kiat ini dan ketika ia mengerling kepada kakaknya,
ia melihat bahwa kakaknya telah diserang nafsunya yang aneh, yang kadang-kadang
datang seperti ketika kakaknya ini menyiksa ular merah di Pulau Es. Ia cepat
berbisik.
"Koko,
jangan bunuh orang...."
Pada saat
itu Han Han memang telah kemasukan nafsu iblis yang selalu menyerangnya apa
bila ia mengerahkan sinkang di tubuhnya. Latihan-latihan yang ia tempuh selama
bertahun-tahun adalah latihan-latihan ilmu golongan hitam yang selalu
menimbulkan nafsu ingin menyiksa dan membunuh. Begitu menyaksikan sikap tiga
orang tosu Hoa-san-pai, kemarahannya bangkit dan sekali ia mengerahkan sinkang,
nafsu membunuh ini telah bangkit di dadanya. Sepasang matanya yang amat tajam
itu menjadi agak kemerahan, napasnya agak terengah dan ia merasa seolah-olah ia
bukan bernapas hawa melainkan api. Akan tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu
itu merupakan embun dingin sejuk yang seketika dapat menekan gairahnya untuk
membunuh musuh sebanyaknya. Ia mengangguk sambil berkata lirih.
"Lulu,
kau tahan mereka itu, biar aku menghadapi tiga orang tosu sombong!"
Lulu
tersenyum, menggerakkan tubuh ke kanan menghindarkan bacokan seorang anak buah
piauwkiok, tangan kirinya menyambar tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh
dengan mata mendelik, pingsan! Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain
karena memang ilmu silat tangan kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau
Es memang aneh, juga ditambah dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar
kesengajaannya ketika ia berlatih dengan beruang es yang lihai sekali. Biasanya
kalau ia memukul tengkuk beruang es dengan tangan miring, beruang itu
kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan kalau terkena juga, beruang es
itu hanya akan terhuyung. Siapa kira orang ini sekali kena disambar tengkuknya
terus roboh pingsan!
Hebat bukan
main sepak terjang Lulu. Dia kini telah meloncat ke dekat kakaknya, menyerahkan
pedang dengan sikap seperti anak kecil dan berkata, "Aku titip dulu, Koko,
jangan sampai hilang pedangku"
Setelah
berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran seperti orang menari, namun
cepat bukan main sehingga para anak buah Peng-eng-piauwkiok hanya melihat
bayangan berkelebatan di sekeliling mereka dan mencium keharuman yang keluar
dari rambut dan pakaian Lulu. Pada detik-detik berikutnya, senjata-senjata di
tangan mereka beterbangan dan orangnya pun mengaduh-aduh. Ada yang patah tulang
lengannya, ada yang terkilir kakinya kena tendangan, ada yang pening kepalanya
dengan mata berkunang karena ditempiling, dan ada pula yang mulas perutnya kena
dicium ujung sepatu gadis itu. Mereka seolah-olah melawan bayangan setan,
membacok dan menusuk secara ngawur karena tidak dapat melihat jelas lawannya,
dan tahu-tahu dua puluh orang lebih telah kehilangan senjata dan tubuh mereka
malang-melintang di ruangan itu!
"Bukan
main !" Sin Kiat berseru sambil menahan napas saking kagumnya.
Dia sendiri
adalah seorang ahli silat kelas tinggi dan memiliki ginkang yang hebat. Akan
tetapi menyaksikan gerakan Lulu, ia menjadi bengong karena gerakan gadis itu
seolah-olah terbang saja! Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang
setinggi itu? Siapakah gerangan gurunya? Melihat gerakannya yang jelas
membayangkan ilmu dari golongan bersih, kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu
juga murid Ma-bin Lo-mo. Kalau Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan
dan pukulan pemuda mengerikan sekall, Jelas termasuk ilmu dari kaum sesat.
Kini hanya
tinggal Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap dan dua orang sute-nya yang lain saja di
antara para piauwsu yang belum roboh. Mereka berempat ketika menyaksikan betapa
semua anak buah piauwkiok roboh oleh gadis Mancu itu menjadi kaget akan tetapi
juga marah. Tanpa dikomando lagi mereka sudah mencabut senjata dan menerjang
maju. Tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat
atau lima, ilmu silat mereka sudah hebat dan gerakan mereka ketika menyerang
Lulu tak boleh disamakan dengan gerakan para anak buah Pek-eng-piauwkiok tadi.
"Pergilah...!"
terdengar bentakan Han Han.
Ia tidak
membiarkan adiknya dikeroyok murid-murid Hoa-san-pai ini. Dia membentak dan
kedua tangannya mendorong ke kanan kiri dan... empat orang murid Hoa-san-pai
itu terpental sampai empat meter ke belakang, roboh tak dapat bangkit kembali
karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa yang keluar dari kedua telapak
tangan Han Han. Untung bagi mereka bahwa Han Han masih ingat akan cegahan
adiknya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya membuat mereka roboh
pingsan dengan tulang remuk saja.
"Siancai...
pemuda iblis...!”
Bhok Seng-cu
dan Lok Seng-cu dengan gerakan tenang namun sesungguhnya cepat dan mengandung
tenaga sinkang yang amat kuat, meloncat turun dari kursi mereka diikuti oleh
Kong Seng-cu.
Melihat tiga
orang kakek tokoh Hoa-san-pai itu hendak turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan
Soan Li menjadi khawatir sekali. Mereka maklum akan kelihaian tiga orang supek
mereka ini. Karena sekali ini yang turun tangan adalah tokoh tinggi yang
berkepandaian hebat, maka akibatnya pun tentu mengerikan. Mereka masih bingung
dan serba salah, tidak tahu harus berbuat apa. Membantu sana salah membantu
sini tak benar. Maka mereka hanya memandang bengong dan jantung mereka serasa
berhenti berdetik.
"Koko,
mana pedangku? Biar kau serahan Si Codet galak itu kepadaku!" kata Lulu
yang agaknya tidak mengenal bahaya.
Pedang itu
tadi oleh Han Han ditancapkan di atas tanah ketika ia membantu Lulu dan
merobohkan empat orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu menyambar pedang itu dan
terus dimainkan sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.
"Hayo,
Tosu Codet, beranikah engkau melawan pedang wasiat jimat keramatku?
Sudah sejak
tadi Kong Seng-cu diejek dan dipermainkan Lulu. Sekarang kemarahannya memuncak.
Ia lupa diri, lupa bahwa adalah pantangan pertama dan terutama bagi seorang
ahli tapa seperti dia untuk mudah dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras
ia telah mencabut pedangnya dan menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang gemilang
kehijauan itu bagaikan kilat menyambar ke arah leher Lulu!
"Cringgg...!
Iiihhhhh...!” Lulu berteriak kaget dan memandang pedangnya yang tinggal
sepotong, lalu berkata, “Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet! Wah, kau berikan
saja pedangmu itu padaku dan aku serta koko-ku akan mengampunimu. Hayo,
serahkan pedangmu sebagai pengganti nyawamu!”
Ketika
menangkis tadi, pedang rampasannya bertemu dengan pedang Kong Seng-cu yang
bersinar kehijauan, dan sekali beradu, pedang rampasannya buntung. Maka ia
menjadi tertarik sekali dan wajah serta matanya berseri memandang pedang
kehijauan yang dipegang Kong Seng-cu.
Dapat
dibayangkan betapa marah dan mendongkol hati Kong Seng-cu mendengar ucapan
gadis itu. Sudah terang bahwa sekali serang saja, biar pun gadis itu berhasil
menangkisnya, namun pedang gadis itu menjadi buntung sehingga hal ini dapat
dipakai ukuran bahwa dia sudah menang dalam satu gebrakan. Namun gadis itu
masih mengeluarkan ucapan untuk menukar pedangnya dengan nyawa. Seolah-olah
gadis itu baru mau mengampuninya kalau dia sudah memberi ‘thiap’ (sogokan)
kepada gadis Mancu itu berupa pedangnya!
Padahal
pedangnya itu bukanlah sembarang pedang! ltulah pedang Cheng-kong-kiam (Pedang
Sinar Hijau), sebuah pusaka Hoa-san-pai! Cheng-kong-kiam ini dahulu amat
terkenal didunia kang-ouw sebagai senjata ampuh dari para pimpinan Hoa-san-pai
dan kini berada di tangan Kong Seng-cu karena dia merupakan seorang di antara
pemimpin Hoa-san-pai, dan di antara ketiga orang tosu itu, dialah yang paling
pandai dalam kiam-sut (ilmu pedang) Hoa-san-pai. Dan sekarang, pedang itu
diminta oleh Lulu sebagai barang ‘sogokan’. Sungguh keterlaluan sekali!
"Perempuan
Mancu keparat, engkau tak patut dibiarkan hidup!" Kong Seng-cu yang sudah
memuncak kemarahannya itu kini menerjang maju dengan ganas, mengeluarkan
jurus-jurus maut dari Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut.
"Ayaaaaa...,
Tosu Codet selain galak juga ganas sekali !" Mulut Lulu berkata demikian,
akan tetapi sesungguhnya dia tidak berpura-pura dan menjadi kaget sekali.
Kasihan dara
remaja ini. Biar pun dia telah mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dan aneh
dari Pulau Es, akan tetapi dia kurang pengalaman dan selamanya dia hanya
berlatih dalam pertandingan pura-pura melawan beruang es. Kini dia diserang
oleh seorang tosu Hoa-san-pai tingkat empat yang memegang sebatang pedang
pusaka Hoa-san-pai pula, yang sudah menjadi ahli pedang sebelum dia terlahir.
Tentu saja dia terkejut dan kewalahan. Baiknya, selama di Pulau Es gadis ini
telah berlatih secara aneh dan hebat sehingga dia memiliki sinkang dan ginkang
yang tidak lumrah manusia biasa sehingga biar pun terdesak, ia selalu dapat
bergerak cepat, menghindar diri dengan meloncat ke sana kemari, mengelak terus
karena tidak berani menangkis dengan pedangnya yang tinggal sepotong.
"Sing-sing-sing...!
Siuuuuutttt...! Aihhh...!" Untuk ke sekian kalinya hampir saja ujung
pedang bersinar hijau itu mencium kulit leher Lulu yang putih halus sehingga
gadis itu membelalakkan matanya. Untung ia masih bisa cepat sekali menarik
tubuh ke belakang, lalu meloncat ke atas dan berjungkir-balik empat meter di
sebelah belakangnya.
Namun Kong
Seng-cu yang sudah marah dan penasaran itu menerjang terus tanpa mengenal
kasihan. Kong Seng-cu tidak malu menyerang dengan pedangnya karena tadi Lulu
juga memegang pedang, bahkan biar pun sekarang pedang gadis itu tinggal
sepotong, namun masih terus dipegangnya sehingga gadis itu dapat dikatakan
‘bersenjata’ dan dia tidak akan disebut menyerang seorang yang bertangan kosong
dengan senjatanya.
Berbeda
dengan Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu. Mereka berdua setelah menyaksikan betapa
Kong Seng-cu sudah turun tangan terhadap gadis Mancu yang telah merobohkan para
anak buah Pek-eng-piauwkiok, lalu melangkah maju menghampiri Han Han pula.
Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat juga, maka
mereka pun tidak malu-malu untuk turun tangan berdua, sungguh pun mereka masih
merasa sungkan menggunakan senjata. Mereka percaya bahwa andai kata seorang
diri masih diragukan untuk dapat menundukkan pemuda liar itu, berdua tentu akan
dapat menawannya untuk diseret ke depan ketua Hoa-san-pai. Dengan demikian,
barulah nama besar dan wibawa Hoa-san-pai tidak akan tercemar karena tewas dan
robohnya beberapa orang anak murid Hoa-san-pai di tangan bocah ini.
"Pemuda
iblis, menyerahlah!" Lok Seng-cu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah
pundak Han Han.
Pemuda ini
sudah menjadi marah, apa lagi melihat betapa Lulu diserang dengan pedang oleh
Kong Seng-cu. Kini menghadapi cengkeraman tangan Lok Seng-cu, ia sama sekali
tidak mengelak, bahkan menggerakkan tangan pula menangkis sambil mengerahkan
tenaga dengan lengan kiri.
“Plakkkkk...!"
"Ayaaaaa...!"
Tubuh Lok
Seng-cu terpelanting dan hampir saja tosu ini roboh kalau saja dia tidak cepat
meloncat ke atas dan berjungkir-balik, wajahnya pucat dan lengan kirinya agak
membiru. Hawa dingin seperti es menusuk-nusuk lengannya itu. Dia sudah
mendengar akan kelihaian Ma-bin Lo-mo yang kabarnya memiliki ilmu pukulan
Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Es) yang mengandung Im-kang yang amat
kuat. Akan tetapi sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa murid
datuk hitarn itu rnemiliki sinkang sekuat ini! Cepat Lok Seng-cu menghimpun
tenaga dalarnnya dan segera rasa dingin menusuk-nusuk itu lenyap kembali.
Melihat
sute-nya hampir roboh dalam segebrakan, Bhok Seng-cu terkejut bukan main. Cepat
ia pun menubruk maju dari sebelah kanan pemuda itu dan mengirim dorongan dengan
telapak tangannya ke arah dada Han Han. Dorongan ini bukan sembarang dorongan,
melainkan pukulan sakti yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang kuat
sekali.
Han Han
dapat merasakan sambaran angin dahsyat yang panas, maka ia pun segera membuka
tangan kanan dan memapaki telapak tangan kakek yang mendorongnya.
"Plakkk...!"
Dua telapak
tangan yang mengandung hawa Yang-kang bertemu dan melekat! Bhok Seng-cu kembali
tertegun. Cepat-cepat ia mengerahkan sinkang-nya untuk memperkuat Yang-kang
yang mendorong ke luar dari telapak tangannya. Pemuda ini menggunakan Yang-kang
yang amat panas! Hal ini benar-benar mengagetkan Bhok Seng-cu karena hawa panas
yang menyambut telapak tangannya itu hampir tak tertahankan olehnya!
Melihat
betapa suheng-nya telah turun tangan akan tetapi belum mampu merobohkan pemuda
itu, Lok Seng-cu menjadi penasaran dan ia pun menerjang maju dan kini ia
memukul dengan mengerahkan hawa Im-kang. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi
Hoa-san-pai, tiga orang tosu ini tentu saja telah kuat sekali sinkang-nya
sehingga mereka pun menguasai tenaga Yang-kang mau pun Im-kang. Lok Seng-cu
yang sudah merasakan betapa pemuda itu tadi menerima cengkeramannya dengan
tangkisan yang mengandung hawa sakti dingin, kini menyerang pula dengan Im-kang
karena ia maklum pula melihat jurus yang dipergunakan suheng-nya bahwa Bhok
Seng-cu menyerang pemuda itu dengan Yang-kang dan bahwa pemuda itu menyambut
dorongan suheng-nya dengan hawa sakti panas pula. Kesempatan bagus pikirnya.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangan kiri pemuda itu menerima
telapak tangannya dengan sinkang yang berhawa dingin pula! Betapa mungkin ini?
Dengan tangan kanannya pemuda itu melawan hawa panas Bhok Seng-cu dengan hawa
panas pula, dan dengan tangan kirinya menghadapi Lok Seng-cu dengan sinkang
yang berlawanan, yaitu dengan hawa dingin!
Lok Seng-cu
juga merasa betapa hawa dingin yang keluar dari telapak tangan pemuda itu amat
luar biasa dan hampir ia tidak kuat menahannya. Terpaksa ia mengerahkan seluruh
tenaga saktinya untuk melawan. Ada pun Bhok Seng-cu yang sudah berkeringat
dahinya karena hawa panas menjalari seluruh tubuhnya, juga mengerahkan tenaga
dengan mata setengah dipejamkan untuk melawan sinkang pemuda itu yang benar-benar
amat luar biasa. Tiga orang ini hanya berdiri tak bergerak dengan telapak
tangan beradu, telapak tangan mereka saling melekat.
Melihat ini,
Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menjadi bengong saking heran dan kagumnya. Han Han
seorang diri mampu menahan pukulan-pukulan sakti kedua orang supek mereka!
Mereka sudah menduga bahwa Han Han adalah seorang pemuda yang memiliki
kesaktian luar biasa, akan tetapi sungguh jauh melampaui batas dugaan mereka
bahwa pemuda itu mampu menahan serangan hawa sakti dua orang kakek itu, dan
bahkan Han Han masih dapat menengok dan memperhatikan keadaan Lulu yang
terdesak hebat oleh pedang Kong Seng-cu yang lihai.
Dua orang
muda ini menjadi makin gelisah dan bingung. Melihat anak buah Pek-eng-piauwkiok
terluka semua termasuk Tan-piauwsu dan tiga orang sute-nya sehingga ruangan itu
penuh dengan mereka yang rebah dan merintih-rintih, kini melihat betapa Lulu
terancam maut di ujung pedang Kong Seng-cu, dan melihat Han Han juga bergulat
dengan maut, mereka menjadi bingung tak tahu harus berbuat apa.
Betapa pun
juga, Han Han dan Lulu jelas merupakan musuh atau lawan pihak Hoa-san-pai
sehingga menurut patut, sebagai murid-murid Hoa-san-pai pula, mereka semestinya
membantu para supek mereka. Mereka memiliki ilmu silat tinggi, tidak banyak
selisihnya dengan tiga orang tosu itu, bahkan dalam hal ilmu silat mungkin
mereka lebih lihai. Jika pada saat itu mereka turun tangan membantu, tentu Han
Han dan Lulu takkan dapat bertahan lebih lama lagi.
Namun hati
mereka tidak mengijinkan mereka turun tangan! Karena itu mereka hanya memandang
dengan muka pucat. Apa lagi Sin Kiat yang jatuh cinta kepada Lulu, hatinya
menjadi amat bingung karena ingin sekali membantu Lulu, membebaskan gadis itu
dari desakan berbahaya pedang Kong Seng-cu. Namun, bagaimana mungkin ia melawan
supek-nya sendiri?
Sementara
itu Han Han memandang ke arah adiknya dengan hati penuh kekhawatiran. Ia maklum
bahwa adiknya takkan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi menghadapi ilmu
pedang tosu itu. Jangankan Lulu, dia sendiri pun bukanlah tandingan tosu-tosu
Hoa-san-pai ini kalau harus bertanding mempergunakan atau mengandalkan ilmu
silat. Han Han maklum bahwa menghadapi mereka, ia hanya dapat mengandalkan
kekuatan sinkang-nya, karena dalam hal ilmu silat, dia tidak lebih pandai dari
pada Lulu kalau tidak mau dikatakan bahkan lebih rendah lagi karena Lulu telah
mempelajari ilmu silat dari kitab peninggalan pemilik Pulau Es. Untuk menolong
adiknya, ia harus cepat menundukkan dua orang kakek ini.
"Aiiiggghhhhh…...!!"
Seruan
dahsyat ini keluar dari dada Han Han. Kedua orang tosu yang mempertahankan
desakan sinkang-nya menjadi kaget seperti disambar petir ketika tiba-tiba
mereka merasakan perubahan pada kedua lengan pemuda itu. Bhok Seng-cu yang
tadinya menghadapi hawa Yang-kang panas dari tangan Han Han, tiba-tiba merasa
betapa telapak tangan pemuda itu berubah menjadi dingin sekali, terlalu dingin
sehingga seluruh lengannya seperti ditusuk-tusuk jarum! Di lain pihak, Lok
Seng-cu yang tadinya menghadapi Im-kang dingin, tiba-tiba merasa betapa tangan
pemuda itu berubah menjadi panas luar biasa.
Cepat kedua
orang tosu itu pun mengubah sinkang mereka untuk menyesuaikan diri, akan tetapi
kembali Han Han menukar sinkang-nya secara tiba-tiba. Dua orang tosu itu hampir
tidak dapat percaya kepada perasaan tangannya sendiri. Selama hidup mereka,
belum pernah mereka menyaksikan hal seperti ini. Betapa mungkin mengubah-ubah
sinkang secara mendadak seperti itu?
Karena
perubahan-perubahan ini, mereka menjadi kacau dan tak kuat bertahan lagi, sehingga
ketika Han Han mengerahkan tenaga mendorong, tubuh mereka mencelat ke belakang
dan mereka roboh terbanting dengan napas megap-megap hampir putus karena dada
mereka terluka oleh sinkang mereka yang membalik secara tiba-tiba. Cepat mereka
bersila dan memejamkan mata untuk menolong nyawa mereka yang terancam maut.
Han Han
sudah meloncat ke dekat adiknya dan sekali kedua tangannya mendorong ke depan,
Kong Seng-cu tak dapat bertahan. Tosu ini merasa betapa seluruh tubuhnya
menjadi dingin, seolah-olah darah di tubuhnya membeku. Ia menggigil dan tanpa
dapat ia cegah lagi, pedang pusaka Cheng-kong-kiam terlepas dari tangannya yang
menjadi kaku. Lulu cepat menyambar pedang itu dan tertawa girang sekali, tidak
mempedulikan lagi Kong Seng-cu yang sudah cepat duduk bersila seperti kedua
orang saudara seperguruannya, mengerahkan tenaga sakti untuk menolong nyawanya
yang terancam maut.
Suasana
menjadi sunyi, yang terdengar hanya rintihan beberapa orang anak buah
Pek-eng-piauwkiok yang tak dapat menahan nyeri. Namun tak seorang pun tewas
dalam pertempuran aneh yang hanya memakan waktu sebentar saja itu. Wan Sin Kiat
dan Lu Soan Li terlampau terheran-heran sehingga mereka itu masih bengong. Han
Han menggandeng tangan Lulu yang masih mengagumi pedang rampasannya, kemudian
Han Han menoleh kepada dua orang murid Im-yang Seng-cu sambil berkata.
"Sin
Kiat dan Adik Soan Li, selamat tinggal. Kami berdua harus pergi sekarang
juga."
Lulu juga
menoleh kepada dua orang muda itu, tersenyum manis dan mengedipkan matanya yang
lebar kepada Sin Kiat sambil berkata, "Selamat berpisah dan sampai jumpa
pula, ya?"
Hati Sin
Kiat terasa sakit. Ia bersedih harus berpisah dari gadis yang telah merampas
hatinya itu. Akan tetapi pada saat seperti itu dia tidak dapat berkata apa-apa,
apa lagi menahannya, bahkan ia maklum bahwa paling baik kedua orang itu cepat
pergi dari tempat itu. Juga Soan Li hanya dapat memandang punggung Han Han yang
bidang sampai bayangan kedua orang itu lenyap dari situ, keluar dari piauwkiok
melalui pintu gerbang yang sudah tidak terjaga lagi.
Sin Kiat
memandang ke arah tiga orang supek-nya yang masih duduk bersila dengan wajah
pucat akan tetapi napas mereka tidak begitu sesak lagi, kemudian memandang
kepada para suheng-nya yang terluka. Hatinya berduka sekali. la segera
menghampiri Bhok Seng-cu dan berkata dengan suara terharu.
“Supek,
sungguh teecu merasa menyesal sekali telah terjadi malapetaka ini.”
"Teecu
mohon maaf tidak dapat membantu Supek," kata pula Soan Li.
"Dia
terlalu hebat, seperti dewa... andai kata teecu berdua melawan pun tidak akan
ada gunanya...," kata pula Sin Kiat, masih kagum bukan main menyaksikan
sepak terjang Han Han tadi.
Bhok Seng-cu
membuka matanya memandang kepada Sin Kiat dan Soan Li. Dua orang muda ini
terkejut dan otomatis melangkah mundur melihat betapa sinar mata Bhok Seng-cu
penuh dengan api kemarahan.
"Manusia-manusia
khianat! Murid-murid murtad! Pergilah! Mulai detik ini kalian bukanlah murid,
melainkan musuh Hoa-san-pai!"
"Supek..."
"Pinto
bukan Supek kalian, keparat! Pergi !!" bentak pula Bhok Seng-cu.
Sin Kiat dan
Soan Li saling pandang, di mata gadis itu tampak dua butir air mata yang
ditahannya agar tidak runtuh. Sin Kiat menghela napas panjang, bangkit berdiri
karena tadi mereka berlutut, lalu berkata lirih kepada Soan Li.
"Marilah
kita pergi, Sumoi. Kelak Suhu tentu akan dapat mengerti keadaan kita..."
Soan Li juga
bangkit berdiri dan pergilah kedua orang muda itu meninggalkan rumah piauwkiok
itu, pergi dengan hati perih karena sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang
sudah membuat nama besar dan mengharumkan nama Hoa-san-pai, kini mereka diusir
pergi dan tidak diakui sebagai murid. Padahal julukan mereka pun memakai nama
Hoa-san.
**************
Siauw-lim-pai
merupakan perkumpulan atau partai silat yang bukan saja paling tua. Banyak
orang mengatakan bahwa Siauw-lim-pai merupakan sumber dari semua partai
persilatan yang kemudian timbul. Tentu saja ilmu silat yang keluar itu
bercampur baur dengan gerakan-gerakan dari lain golongan dan suku bangsa
sehingga ratusan tahun kemudian, ilmu silat dari partai lain sudah tak dapat
dibedakan lagi dengan sumbernya. Tentu saja amat berbeda dalam lagak ragam dan
kembangannya, walau pun kalau dilihat lebih mendalam pada dasarnya memang tiada
perbedaan dalam ilmu silat yang hanya terdiri dari dua pokok, yaitu menjaga
diri serapat mungkin dan menyerang lawan setepat mungkin.
Sejak
pertama kali didirikan oleh tokoh besar dalam dunia persilatan mau pun Agama
Buddha, yaitu Tat Mo Couw-su, Siauw-lim-pai selalu berada di bawah bimbingan
para hwesio sehingga di mana-mana didirikan kuil Siauw-lim atau Siauw-lim-si.
Sesuai dengan alam fikiran manusia yang selalu berubah-ubah, di dalam
Siauw-lim-pai sering kali terjadi perubahan yang tentu saja ditentukan oleh
pimpinan setempat dan terdorong oleh keadaan pula. Perubahan peraturan yang
kadang-kadang amat menyolok.
Pernah
terdapat peraturan dalam kuil Siauw-lim-si yang mengeluarkan pantangan bagi
seluruh murid untuk berdekatan dengan wanita! Bahkan ada larangan keras bagi
tamu-tamu wanita yang datang bersembahyang ke kuil untuk melangkah melewati
pintu tengah yang sudah dijadikan garis demarkasi! Mungkin peraturan ini
dikeluarkan untuk memperkuat batin para murid yang sedang digembleng agar
jangan sampai ternoda oleh nafsu birahi karena sesungguhnya, terutama bagi
mereka yang sedang melatih sinkang, hubungan dengan wanita merupakan pantangan
dan penghalang besar sekali bagi penghimpunan tenaga murni.
Akan tetapi,
peraturan yang kelihatan seolah-olah ‘anti wanita’ ini pun tidak dapat
dipertahankan dan kembali terjadi perubahan di mana para tokoh Siauw-lim-pai
ada yang mulai menerima murid-murid wanita. Hal ini terutama sekali terjadi
atas kesadaran para tokoh Siauw-lim-pai bahwa dalam keadaan negara kacau, pihak
wanitalah yang sering kali mengalami penghinaan dan kekejian-kekejian karena
pihak wanita termasuk golongan lemah. Maka dalam keadaan negara kacau dan
kejahatan merajalela, perlu sekali wanita diharuskan menjadi nikouw (pendeta).
Sekarang murid murid itu, baik pria mau pun wanita tidak diharuskan mencukur
rambut menjadi pendeta, akan tetapi tentu saja mereka ini sekaligus menjadi
pula murid-murid agama Budha. Hal ini adalah penyebar-luasan agama mereka
melalui perguruan silat.
Demikianlah,
peraturan bebas kewajiban menjadi pendeta ini sudah berjalan seratus tahun
lebih, jauh sebelum bangsa Mancu menyerbu pedalaman dan menjajah dengan
mendirikan Kerajaan Ceng. Sekarang di dalam Siaw-lim-pai terdapat tokoh-tokoh
bukan pendeta seperti Kang-lam Sam-eng, dan bahkan tujuh orang tokoh
Siauw-lim-pai sendiri, murid-murid langsung dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu
Siauw-lim Chit-kiam, terdiri dari hanya dua orang hwesio dan lima orang bukan
hwesio. Pada masa itu, anak murid Siauw-lim-pai tersebar luas di kalangan
rakyat jelata. Ada yang menjadi petani, nelayan, piauwsu, kauwsu (guru silat)
dan banyak pula yang menjadi pendekar-pendekar perantau.
Pada waktu
itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah guru Siauw-lim Chit-kiam berjuluk
Ceng San Hwesio. Hwesio ini usianya kurang lebih delapan puluh tahun, bertubuh
tegap agak kurus, berwajah kereng dan penuh wibawa. Seperi halnya Hoa-san-pai
dan banyak perkumpulan silat lain, diam-diam Siauw-lim-pai juga menentang
bangsa Mancu yang datang menjajah. Sungguh pun tidak secara terang-terangan,
tetapi banyak para pendekar Siauw-lim-pai membantu perjuangan para patriot yang
berusaha menentang dan mengusir penjajah yang makin lama makin kuat itu. Apa
lagi karena Ceng San Hwesio sendiri adalah seorang yang anti penjajahan,
sehingga sejak penjajahan Mancu, lenyaplah sebagian besar kesabarannya sebagai
seorang hwesio dan semangat patriotnya timbul, mengeraskan hatinya dan
mengeraskan wajahnya. Di dalam setiap pertemuan dengan murid-muridnya, dia
selalu memberi wejangan agar para anak murid Siauw-lim-pai melakukan segala
usaha untuk menentang bangsa Mancu, kalau perlu dengan taruhan nyawa.
Sebagai
ketua Siauw-lim-pai, tentu saja Ceng San Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang
hebat sekali. Dia seorang ahli lweekeh yang sudah matang sehingga benda apa pun
juga yang berada di tangannya dapat menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi
Ceng San Hwesio tidak pernah mempergunakan senjata, tidak mau mempergunakan
tongkat hwesio sebagai senjata seperti kebiasaan para ketua lainnya, melainkan
lebih suka mengandalkan tasbih putih yang terbuat dari pada biji jagung jali
yang besar-besar.
Seperti
telah disinggung di bagian depan, beberapa kali telah terjadi
bentrokan-bentrokan antara anak murid Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai. Akan
tetapi bentrokan-bentrokan ini hanya terjadi karena urusan pribadi dan berkat
kebijaksanaan para pimpinan kedua pihak, bentrokan antara kedua partai yang
sama-sama menjadi pembantu-pembantu para pejuang itu dapat diredakan, bahkan di
antara para pimpinan telah menghukum murid masing-masing dan saling minta maaf
sehingga urusan dianggap telah selesai.
Ceng San
Hwesio yang memegang keras peraturan, berdisiplin terhadap murid-muridnya,
selain memberi hukuman kepada murid-murid yang menimbulkan bentrokan juga
mengeluarkan ancaman bahwa siapa yang membuat gara-gara keributan dan
menimbulkan bentrokan baru dengan pihak Hoa-san-pai, akan dihukum berat.
Akan tetapi,
beberapa hari kemudian ketika hwesio penjaga pintu membuka pintu gerbang
Siauw-lim-si dan siap untuk menyapu pekarangan, dia melihat tubuh tiga orang
menggeletak di depan pintu. Ketika diperiksa, hwesio ini kaget sekali mendapat
kenyataan bahwa mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang membuka toko obat
di kota Seng-kwan. Segera ia berseru minta tolong dan beberapa orang hwesio
mengangkat tiga batang tubuh itu ke dalam. Dua di antaranya sudah tewas,
sedangkan seorang diantara mereka masih hidup akan tetapi sudah empis-empis
napasnya dan keadaannya payah sekali.
Kebetulan
sekali pada waktu itu dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam berada di kuil
itu. Mereka ini adalah Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, orang ke enam dan ke
tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam. Ketika mendengar ribut-ribut, dua orang
pendekar pedang Siauw-lim yang sedang menghadap suhu mereka segera keluar untuk
melihat mewakili Ceng San Hwesio. Mereka berdua kaget sekali dan cepat
memeriksa. Tiga orang anak murid Siauw-lim-pai itu terluka oleh pedang yang
menggorok leher mereka. Yang dua orang hampir putus lehernya dan telah mati,
sedangkan yang masih hidup terluka parah, tak dapat diharapkan lagi dapat
tertolong.
Liong Ki Tek
yang bersikap tenang cepat menotok beberapa jalan darah di pundak dan punggung
orang yang terluka hebat itu sehingga rasa nyeri tidaklah terlalu hebat lagi.
Begitu rasa nyeri mereda, orang yang sekarat itu mengeluarkan suara yang tidak
jelas, berbisik dan seperti mengorok tertahan di kerongkongannya. Akan tetapi
Liong Ki Tek dan Liok Si Bhok sudah dapat mendengar apa yang dimaksudkan anak
murid yang sekarat itu.
"...Hoa-san-pai...
Tee-kong-bio...” Setelah mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas itu, anak
murid Siauw-lim-pai itu pun menghembuskan napas terakhir menyusul kedua orang
saudaranya yang tewas lebih dulu.
Liok Si Bhok
dan Liong Ki Tek lalu menghadap guru mereka untuk merundingkan peristiwa
menyedihkan itu. Ceng San Hwesio yang biasanya bersikap tenang saat itu menjadi
merah mukanya dan jelas sekali bahwa hwesio tua ini diserang nafsu kemarahan
yang besar.
"Kalian
pergilah, carilah mereka di Tee-kong-bio. Akan tetapi jangan bunuh, tangkap
mereka dan seret ke sini. Pinceng menghendaki agar dia menjadi tawanan kita
sehingga ada pimpinan Hoa-san-pai yang datang untuk mendengarkan
kekejaman-kekejaman anak murid mereka. Sungguh keji sekali!"
Liok Si Bhok
dan Liong Ki Tek segera berangkat meninggalkan kuil Siauw lim-si untuk mencari
Tee-kong-bio (Kuil Dewa Bumi) yang terletak di luar dusun Ciu-si-bun. Kuil ini
sebenarnya hanyalah bekas kuil, karena sudah tidak dipakai lagi, tidak
dipergunakan sebagai kuil. Letaknya pun di luar kota, di pinggir jalan sebuah
hutan dan karena tidak ada yang merawatnya, maka menjadi kotor dan rusak. Akan
tetapi perlengkapan kuil itu masih ada, seperti meja-meja sembahyang yang
reyot, arca-arca dan ukiran-ukiran di dinding yang sudah berlumut. Tidak ada
yang berani mengambil benda-benda di situ atau mengganggunya karena menurut
desas-desus di dusun-dusun sekeliling tempat itu, Tee-kong-bio sekarang dihuni
oleh makhluk-makhluk halus atau iblis-iblis sehingga tempat itu menjadi angker.
Karena
keadaan kuil yang dianggap angker inilah maka ketika Liok Si Bhok dan Liong Ki
Tek keluar dari dusun Ciu-si-bun menuju ke kuil itu, keadaan di sekeliling
tempat itu sunyi seperti kuburan. Waktu itu sudah menjelang senja, dan sungguh
pun cuaca belum gelap, namun tidak ada penduduk dusun yang berani berada di
daerah angker ini. Kesunyian itu amat terasa oleh dua orang tokoh Siauw-lim-pai
ini dan mereka berjalan terus dengan tenang dan penuh kewaspadaan.
“Liong-sute,
aku masih ragu-ragu akan kebenaran ucapan murid yang sudah dalam sekarat itu.
Mereka adalah pedagang-pedagang obat di kota, bagaimana mereka bisa menyebut
nama Hoa-san-pai di Tee-kong-bio?"
"Entahlah,
Liok-suheng. Aku sendiri pun ragu-ragu. Tetapi agaknya tidak sembarangan dia
mengatakan itu, tentu ada hubungannya. Aku yakin terdapat rahasia dalam
peristiwa itu dan rahasianya terletak di kuil depan itu."
Liok Si Bhok
yang sudah berusia enam puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk. Dia merupakan
tokoh ke enam dari Siauw-lim Chit-kiam, seorang yang bertubuh pendek gemuk
namun tubuhnya itu dapat bergerak dengan gesit sekali. Wajahnya bundar dan
selalu kelihatan serius, namun mulutnya hampir selalu tersenyum, menandakan
bahwa dalam keseriusannya itu sebetulnya dia adalah seorang yang peramah.
Ada pun
Liong Ki Tek, orang ketujuh atau yang termuda dari Siauw-lim Chit-kiam, usianya
kurang lebih lima puluh lima tahun. Berbeda dengan suheng ke enam itu, tubuhnya
tinggi kurus sehingga tinggi suheng-nya hanya sampai dipundaknya. Sikap orang
termuda dari Tujuh Pedang Siauw-lim-pai ini amat tenang sehingga kelihatan
lamban, akan tetapi biji matanya yang bergerak-gerak terus itu menandakan bahwa
biar pun tenang ia sama sekali tidak lamban melainkan terus waspada dan setiap
urat syaraf di tubuhnya sudah siap.
Ketika kedua
orang tokoh Siauw-lim-pai ini memasuki pekarangan kuil Tee-kong-bio yang sunyi,
tiba-tiba mereka mendengar kepak sayap burung. Dengan kaget mereka mengangkat
muka memandang. Kiranya ada tiga ekor burung gagak terbang dari atas genteng
kuil itu, agaknya terkejut oleh kedatangan mereka. Melihat ini kedua orang itu
saling pandang dan menjadi agak kecewa. Terbangnya tiga ekor burung itu dapat
diartikan bahwa di kuil itu tidak ada orangnya. Tentu burung yang ketakutan
melihat mereka datang itu tidak akan berani tetap tinggal di situ.
Akan tetapi
mereka melangkah maju terus, melewati pekarangan yang lebar dan yang tertutup
rumput agak tinggi itu, sampai di anak tangga yang cukup tinggi, ada dua puluh
anak tangga banyaknya sehingga ruangan depan kuil itu tingginya hampir dua
meter dari tanah di pekarangan. Biar pun mulut kedua orang kakek ini tidak
mengeluarkan suara, namun keduanya seperti telah bersepakat dan melangkahlah
mereka menaiki anak tangga dengan langkah ringan dan sikap tenang.
Begitu
mereka melangkahi anak tangga terakhir dan tiba di ruangan depan, terdengar
suara bercicit keras. Keduanya segera bersiap untuk menghadapi serangan senjata
rahasia ketika pandang mata mereka yang tajam dapat menangkap meluncurnya dua
buah benda hitam dari sebelah dalam kuil. Akan tetapi sebelum benda itu
menyerang mereka, benda-benda itu menyambar ke atas dan mengeluarkan bunyi
bercicit, dan ternyata dua buah benda hitam itu adalah dua ekor kelelawar besar!
Liok Si Bhok
dan Liong Ki Tek saling pandang, tersenyum dan menghela napas panjang. Mereka
tadi sudah merasa agak tegang, dan kini ternyata mereka kecelik. Bahkan
keluarnya dua ekor kelelawar dari sebelah dalam kuil ini lebih meyakinkan
dugaan mereka bahwa kuil itu kosong karena kalau memang ada orangnya, tentu dua
ekor kelelawar itu sudah sejak tadi terbang pergi, tidak menanti kedatangan
mereka yang mengejutkan binatang itu.
"Ah,
Chit-te (Adik ke Tujuh), tempat ini tidak ada orangnya...," kata Liok Si Bhok
kecewa.
"Sebaiknya
kita menyelidiki keadaan di dalam Liok-heng (Kakak ke Enam)," jawab Liong
Ki Tek. Karena hubungan di antara Siauw-lim Chit-kiam amat erat sehingga mereka
itu bukan hanya merupakan kakak beradik seperguruan melainkan merasa seperti kakak
beradik sekandung, kadang-kadang mereka menyebut kakak dan adik.
Mereka maju
terus. Akan tetapi karena hati mereka merasa makin yakin bahwa kuil itu kosong,
mereka tidak menjadi tegang lagi. Kuil ini benar sudah kosong ditinggalkan dan
dalam keadaan rusak, bahkan ada sebagian atapnya yang runtuh. Arca-arca yang
tidak terawat di situ bahkan kelihatan makin menyeramkan. Mereka melangkah maju
terus, meneliti setiap ruangan yang mereka lalui. Tiba-tiba keduanya
menghentikan langkah. Pada saat yang sama kedua orang gagah perkasa ini mencium
bau yang amat harum, bau minyak harum yang biasa dipakai wanita! Mereka
mengerutkan kening.
Seperti para
suheng mereka, baik yang menjadi hwesio seperti Lui Kong Hwesio dan Lui Pek
Hwesio orang kedua dan kelima dari Siauw-lim Chit-kiam, kedua orang ini pun
merupakan murid-murid angkatan lama sehingga mereka pernah mengalami pelajaran
pantangan mendekati wanita. Bahkan mereka itu tidak pernah kawin, seperti
suheng-suheng mereka. Maka begitu mencium bau harum minyak wangi yang
menandakan bahwa di situ ada wanitanya, mereka mengerutkan kening. Bukan hanya
karena mereka segan berurusan dengan wanita, melainkan juga mereka terkejut
menghadapi kenyataan ini.
Kalau di
situ ada orangnya, apa lagi wanita, hal ini berarti bahwa wanita atau siapa
adanya orang yang memakai wangi-wangian itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang
hebat! Tentu gerakan-gerakannya sedemikian halus dan ringan sehingga kelelawar
dan burung gagak yang berada di kuil itu sampai tidak tahu dan tidak menjadi
kaget.
"Sahabat-sahabat
Hoa-san-pai, silakan keluar. Kami dua orang utusan Siauw-lim-pai ingin bertemu
dan bicara!” Liok Si Bhok berseru sambil mengerahkan khikang-nya hingga
suaranya bergema di seluruh kuil, bahkan menggetarkan sarang laba-laba yang
banyak terdapat di sudut-sudut ruangan itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment