Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 06
Mendadak
kakek nelayan itu mengibaskan lengan kanannya ke depan, telapak tangannya
mendorong ke arah sinar pedang dan....
“Tranngggg...!!”
Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas tanah dan tujuh orang pendekar
Siauw-lim-pai itu meloncat ke belakang dengan muka pucat.
Kembali
kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang seolah-olah tidak
terjadi apa-apa yang penting. "Tujuh pedang lihai takkan ada gunanya kalau
titik sasarannya terpencar, jika titik sasaran dipusatkan, alangkah akan
kuatnya..."
Tujuh orang
pendekar pedang itu terkejut dan menjadi girang sekali karena mereka mendapat
petunjuk yang menjadi rahasia kekuatan ilmu pedang mereka dan yang tak pernah
mereka pikirkan, maka mereka cepat mengambil pedang masing-masing dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek nelayan ini yang mereka ketahui adalah
Koai-lojin, manusia dewa yang pernah mereka dengar disebut-sebut suhu mereka
namun yang tak pernah mereka jumpai itu.
"Hendaknya
Cu-wi sekalian kembali ke tempat asal masing-masing. Tiada gunanya
memperebutkan pusaka karena pusaka yang diperebutkan melalui cucuran darah
orang lain hanya akan mendatangkan kutuk. Mencari sesuatu harus dengan cucuran
keringat sendiri, bukan dengan cucuran darah orang lain. Dan kalau tidak
berjodoh, takkan mendapat. Hendaknya segera Cu-wi meninggalkan tempat berbahaya
ini dan kiranya kepandaian Cu-wi sudah lebih dari cukup untuk melakukan hal-hal
yang bermanfaat bagi dunia dan manusia.”
Dia
berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan berkata, “Siangkoan-sicu kehilangan perahu,
boleh menggunakan perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah, selamat
berlayar."
Kakek
nelayan itu sudah duduk bersila di atas tanah. Kiranya di bawah capingnya yang
lebar itu terdapat tirai sutera hitam yang menyembunyikan mukanya, akan tetapi
dari balik tirai sutera hitam itu tampak sepasang mata yang mengeluarkan cahaya
lembut namun penuh wibawa sehingga mereka yang berada di situ tidak berani
membantah lagi, termasuk Gak Liat dan Siangkoan Lee yang biasanya ganas seperti
iblis.
Gak Liat bersungut-sungut
dan mengumpulkan sisa para perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak
kembali, yang menandakan bahwa totokan itu memang dilakukan dengan sengaja
menghentikan gerakan mereka untuk beberapa menit saja. Akan tetapi buyarlah
harapan Gak Liat yang diam-diam masih hendak mencari Pulau Es ketika secara
aneh sekali semua teropong yang berada di situ telah lenyap.
Mereka
berbondong-bondong kembali ke perahu sambil membawa mayat teman-teman mereka,
dan betapa heran dan mendongkol hati Gak Liat ketika mendapat kenyataan bahwa
teropong-teropong yang disimpan di perahu juga lenyap semua. Terpaksa mereka
melayarkan perahu dan mencari-cari secara ngawur saja, namun akhirnya tidak
berhasil juga, dan karena daerah itu banyak diserang badai, mereka akhirnya
pergi ke selatan.
Demikian
pula dengan Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Dengan perahu nelayan
kecil mereka tidak berani mengambil resiko diserang badai, maka mereka juga
berlayar kembali ke selatan. Siauw-lim Chit-kiam meninggalkan pulau itu dan
mereka langsung berlayar kembali ke selatan. Di waktu semua orang meninggalkan
pulau, terdengar lapat-lapat suara nyanyian kakek nelayan:
Yang tidak
ingin itu cukup dan puas
Yang ingin
itu kurang dan kecewa...!
Yang tidak
mencari akan mendapat
Yang mencari
akan sia-sia...!
Yang ada
tidak dimanfaatkan
Yang tidak
ada dicari-cari...!
Tak lama
kemudian, setelah tiga buah perahu itu mulai mengecil dan hanya tampak sebagai
titik hitam di kaki langit, tampak kakek nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat
dari jauh, dia seolah-olah melayang di atas air dengan jubah berkibar-kibar
tertiup angin. Akan tetapi andai kata ada yang dapat melihat dari dekat, akan
tampaklah betapa kakek nelayan yang aneh ini sesungguhnya berdiri di atas dua
batang bambu dan bambu itu meluncur cepat ke depan karena jubah kakek itu
tertiup angin dan sengaja dikembangkan sehingga menjadi pengganti layar!
**************
"Han-ko...!
Sadarlah! Engkau sudah tiga hari tiga malam di situ!" Lulu berteriak
sambil berdiri bertolak pinggang di pondok taman, memandang kepada Han Han yang
duduk bersila tanpa sepatu di atas batu es. Sebagian tubuh dan di atas kepala
Han Han penuh dengan salju membeku. Di belakangnya beruang es sedang
menggaruk-garuk salju yang menutup air, agaknya dia mencium ikan di bawah situ.
Lulu kini
bukanlah Lulu enam tahun yang lalu. Ketika datang ke pulau itu terbawa perahu
bersama Han Han, usianya baru sembilan tahun. Kini dia telah menjadi seorang
gadis remaja berusia lima belas tahun, berwajah cantik dengan sepasang mata
lebar dan indah. Tubuhnya ramping kecil namun singset dan padat, membayangkan
tenaga sakti yang amat kuat.
Ada pun Han
Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi sekarang. Dia kini telah
berusia delapan belas tahun, telah menjadi seorang jejaka remaja yang tampan
dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang dan pinggangnya kecil.
Tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu tersenyum, akan tetapi
matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada orang akan dapat bertahan bertemu
pandang dengan pemuda luar biasa itu.
Dia sedang
melatih diri dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang selama
enam tahun itu telah memperoleh kemajuan yang amat menakjubkan. Tenaga sinkang
yang ia kerahkan menjadi Im-kang amat dahsyat sehingga sekali dorong dengan
kekuatan Im-kang, ia dapat membuat air membeku seketika menjadi gumpalan es
yang besar! Dan kalau dia sedang melatih diri, dia sengaja duduk di luar,
membiarkan dirinya diserang hujan salju dan ia bertelanjang kaki. Namun hawa
dingin tidak lagi mengganggunya karena dengan tenaga sinkang ia telah membuat
tubuhnya lebih dingin dari pada yang di luar dirinya, sehingga tubuhnya
seolah-olah berubah menjadi es dan salju yang melekat pada tubuhnya sampai
membeku!
"Koko!
Terlalu sekali kau! Masa aku kau diamkan sampai tiga hari tiga malam?
Benar-benar kakak yang tidak menyayang adik!" Lulu membanting-banting kaki
kanannya dengan jengkel!
Akan tetapi
Han Han sama sekali tidak mendengar ucapan adiknya ini karena dia masih
tenggelam ke dalam semedhi. Alisnya berkerut, wajahnya berseri dan bibirnya
yang tersenyum itu membayangkan senyum yang mengejek. Dalam keadaan terlelap
itu timbul bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya, yaitu betapa dengan
amat mudahnya ia menangkap para perwira yang dahulu membasmi keluarga orang
tuanya, dan membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian melaksanakan
pembalasannya dengan memuaskan sekali.
Ia
memikirkan dan mencari-cari cara yang paling mengerikan, paling kejam dan
paling menyakitkan untuk membunuh musuh-musuhnya itu sedikit demikian sedikit,
untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan yang mengalahkan siksaan di dalam
neraka seperti yang pernah ia baca dalam kitab-kitab. Dan ia telah mencurahkan
segala perhatiannya kepada cara-cara penyiksaan ini ketika ia mulai siulian,
tepat seperti cara mencurahkan perhatian dalam semedhi seperti yang pernah
diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li kepadanya. Tidaklah mengherankan apa bila
wajahnya kini mengandung sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa disadari
telah melatih diri dengan ilmu yang amat sesat.
"Han-ko...
Han-ko... tolong.... Paman Beruang diserang ular...!”
Kalau Lulu
hanya mengomel dan marah-marah, kiranya Han Han takkan dapat sadar dari keadaan
semedhinya. Akan tetapi mendengar adiknya yang dicintanya itu menjerit minta
tolong, seketika ia sadar dan membuka matanya. Setelah pikirannya yang tadi
sedang membayangkan siksaan yang paling kejam terhadap musuh-musuhnya sudah
mulai terang, ia menoleh.
Dilihatnya
Lulu sedang menarik seekor ular dari leher beruang yang terkapar di atas salju
sambil berkelojotan. Dia merasa heran sekali mengapa beruang es yang selain
bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan dapat bergerak sigap itu kini terkapar
hanya oleh gigitan seekor ular merah darah yang entah bagaimana tadi menggigit
leher beruang dan membelit leher itu.
Pada waktu
itu, Lulu telah menjadi seorang gadis remaja yang memiliki kepandaian tinggi.
Dengan pengerahan sinkang, ia dapat merenggut tubuh ular itu terlepas dari
tubuh beruang. Ular merah itu tiba-tiba melejit sehingga terlepaslah pegangan
tangan Lulu karena ular itu licin dan tenaganya ketika melejit besar sekali.
Ular merah yang panjangnya ada semeter dan besarnya hanya seibu jari kaki itu
kini meluncur dari bawah dan menyerang ke arah leher Lulu!
Namun gadis
ini sudah menyambar dengan tangannya dan dengan gerakan manis dan tepat sekali
jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menangkap dan menjepit
leher ular itu. Ia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, dua buah jarinya yang
kecil itu seperti sepasang sumpit menjepit, dan ular itu tidak dapat melepaskan
dirinya lagi, hanya dapat meronta-ronta dan mulai melibat tangan Lulu yang
menjadi jijik dan geli. Ketika merasa betapa tubuh ular yang licin dan panas
itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya, bulu tengkuk Lulu berdiri
dan ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan diremas hancur dengan tangan
kiri.
"Tunggu,
Moi-moi. Jangan bunuh dulu!" tiba-tiba Han Han meloncat dan sekali
tubuhnya bergerak, ia telah berada di depan Lulu. Gerakan Han Han benar-benar
luar biasa cepatnya dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa ini pun ia
dapatkan dari hasil latihan-latihannya yang menyeleweng.
"Mau
apa kau? Enak-enak saja siulian dan setelah ular jahat ini kutangkap, tidak
boleh kubunuh!" Lulu mengomel.
"Jangan
dibunuh begitu saja. Terlalu enak bagi ular keparat itu kalau dibunuh begitu
saja. Lihat apa yang telah ia lakukan. Lihat Paman Beruang itu!" Han Han
menunjuk ke bawah.
Lulu
menengok ke arah beruang dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han cepat
menyambar ular itu dan ia pegang pada lehernya. Dengan mudah ia melepaskan
belitan tubuh ular dari tangan Lulu dan gadis ini pun tidak mempedulikan lagi
kepada ular itu, melainkan cepat menubruk tubuh beruang sambil memekik-mekik
memanggil.
"Paman
Beruang... Paman....!”
Akan tetapi
beruang es itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan karena mukanya yarig
putih menjadi biru sedangkan kulit pada telapak keempat kakinya ada totol-totol
merah.
Sampai lama
Lulu menangisi beruang yang mati itu. Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han
Han tidak ikut menangisi beruang yang mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han
Han berdiri di bawah pohon yang tidak berdaun, entah sedang melakukan apa,
hanya tampak olehnya asap mengebul seolah-olah kakaknya itu sedang membakar
sesuatu.
"Apa
yang kau lakukan itu, Koko?" Lulu bangkit berdiri dan berlari menghampiri
kakaknya. Ketika melihat apa yang dilakukan Han Han, gadis ini memandang dengan
mata terbelalak.
Ternyata Han
Han telah mengikat leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan menggantung
binatang itu di pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering yang
bernyala untuk membakar ular itu sedikit demi sedikit! Ular itu
menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han tidak membakarnya terus
melainkan menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api, menyiksanya dengan kejam
sekali, seolah-olah merasa puas dan gembira menyaksikan betapa ular itu
menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andai kata ular itu dapat bersuara, tentu
sudah melolong karena kesakitan.
"Han-ko,
kenapa tidak kau bunuh saja dia?”
"Ha-ha,
terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, Lulu. Biar dia rasakan hukumannya dan
dalam penderitaan sakit ini biar dia sadar akan dosanya telah membunuh Paman
Beruang. Lihat dia menggeliat-geliat berkelojotan! Setelah dia cukup tersiksa,
akan kuambil darahnya untuk kita minum!"
"Ihhh,
jijik! Aku tidak mau!"
"Mengapa,
Lulu? Ingat, ular ini kulitnya berwarna merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku
pernah membaca kitab yang menyatakan bahwa makin berbisa seekor ular, makin
lezat dan makin banyak khasiat darah dan dagingnya. Selain untuk menikmati
darahnya dan dagingnya, juga kalau kita makan dia, berarti kita membalaskan
sakit hati Paman Beruang! Apakah kau tidak ingin membalas dendam kematian
paman, Beruang?"
"Tentu
saja! Biar kuhancurkan kepalanya!"
"Eiiiiit,
jangan! Dia harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang, darahnya akan membeku.
Darahnya akan kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya kita bakar dan kita
makan. Biar arwah Paman Beruang melihatnya dan menjadi puas. Kepalanya kita
kubur bersama mayat Paman Beruang." Berkata demikian, sinar mata Han Han
bercahaya penuh kepuasan.
"Koko,
kau tidak menengok... dia...?" Lulu menuding ke arah tubuh beruang yang
sudah menjadi mayat.
"Perlu
apa? Dia sudah mati. Dia bukan Paman Beruang lagi, dia adalah bangkai yang akan
kita kubur nanti. Nah, kau lihat, aku akan mengambil darah ular keparat
ini."
Setelah
berkata demikian, Han Han mengambil sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian
dengan kekuatan tangannya ia merobek kulit dan daging di bagian ekor ular itu.
Binatang ini berkelojotan dan darah yang merah sekali mulai menetes-netes
keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam cawan. Makin deras darah menetes,
makin keras tubuh ular menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih
setengah jam darah itu bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular
itu makin lemah menggeliat dan akhirnya hanya bergerak-gerak lemas, darahnya
tidak menetes lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat beruang di
mana Lulu berlutut sambil membelai bulu beruang dengan penuh kesedihan.
"Lulu,
mari kita minum darah ini di depan mayat Paman Beruang sebagai tanda pembalasan
terhadap ular." Setelah berkata demikian, Han Han minum sebagian besar
darah ular itu dari cawan, kemudian menyerahkan cawan dengan sisa darahnya
kepada Lulu.
Lulu
menerima cawan itu, mukanya berkerut dan menyeringai. "Ihhh, aku...
jijik..., Koko!”
"Lulu,"
kata Han Han sambil menjilat sedikit darah ular di bibirnya dengan lidahnya.
"Rasanya manis dan enak pula. Apakah kau tidak mau menyenangkan arwah
Paman Beruang? Dia saat ini mungkin sedang menggereng marah melihat
ketidak-setiaanmu."
Lulu
bergidik dan memandang ke kanan kiri seolah-olah mencari arwah itu, kemudian ia
menengok ke arah bangkai beruang itu. Beruang itu mati dengan mata terbuka, dan
kebetulan sekali muka beruang itu menghadapnya. Dalam pandangan Lulu,
seolah-olah mata beruang yang sudah mati itu mendelik marah kepadanya! Kembali
ia bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia minum darah ular itu sampai
habis. Memang benar ada rasa manis, akan tetapi baunya amis dan ia harus
menahan diri dengan meraba leher agar jangan muntah.
"Koko...
badanku... menjadi panas...!"
"Bagus!
Itu tandanya bahwa darah ular ini benar-benar besar khasiatnya, Lulu. Nah,
sekarang kau bantu aku memanggang daging ular. Kita makan di depan mayat Paman
Beruang sebagai upacara sembahyang, kemudian kita kubur mayat Paman Beruang
bersama kepala ular yang tadi menggigitnya, agar di akherat Paman Beruang dapat
mengejek dan menyiksa ular yang hanya tinggal kepalanya saja."
Ular itu
sudah mati dan karenanya Lulu tidak jijik lagi. Han Han menguliti ular itu
setelah memenggal kepalanya yang ia putar dan patahkan begitu saja dengan
jari-jari tangannya yang kuat. Kepala ular itu ia taruh ke dalam telapak kaki
depan beruang, kemudian Lulu memanggang daging ular yang putih kemerahan itu.
‘Upacara’ makan daging panggang ular itu lebih menyenangkan bagi Lulu, karena
ternyata bahwa daging itu benar-benar gurih dan sedap lezat sehingga sebentar
saja habislah daging ular sepanjang satu meter itu!
Setelah itu
mereka lalu menggali lubang sampai tampak tanah dan terus menggali sedalam satu
meter lebih, kemudian mengubur mayat beruang bersama kepala ular. Lulu menangis
terisak-isak ketika mereka menguruk lubang itu. Teringat kepada beruang yang
selama enam tahun menjadi kawan bermain dan kawan berlatih silat, Lulu menjadi
berduka sekali dan terus menangis di atas gundukan salju yang menjadi kuburan
beruang.
Han Han
membiarkan adiknya menangis. Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu
nisan kuburan beruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam
setengahnya dalam salju. Dengan tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan
heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu itu terdapat
ukir-ukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju, kemudian
membaca huruf-huruf terukir itu.
Betapa
menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan
daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian,
pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat!
Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular
salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak
berjodoh dengan Pulau Es?
Demikianlah
bunyi tulisan itu dan jantung Han Han berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat?
Teringatlah ia akan patung yang dipuja di In-kok-san, yang menurut cerita
Ma-bin Lo-mo dan Kim Cu adalah sucouw mereka bernama Suma Kiat! Dan menurut
cerita itu selanjutnya, Ma-bin Lo-mo mempunyai seorang suheng yang menjadi
perantau, yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali, yaitu putera tunggal sucouw
itu dan bernama Suma Hoat! Kalau begitu, suheng dari Ma-bin Lo-mo itukah
penghuni Pulau Es? Patung pria yang tampan itu adakah itu Suma Hoat? Akan
tetapi coretan, huruf terukir di batu ini amat jauh bedanya dengan
tulisan-tulisan di dinding istana yang amat indah. Coretan ini huruf-hurufnya
buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju merah. Apakah ular yang telah
membunuh beruang?
Akan tetapi
Han Han tidak mempedulikan lagi. Semua yang ada hubungannya dengan In-kok-san
tidak menarik hatinya, apa lagi kalau ia teringat betapa ia terancam hukuman
potong kaki oleh perguruan itu. Membaca tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia
bahwa sampai kini pun tetap ia terancam bahaya hukuman itu. Cepat ia mengangkat
batu itu dan meletakkannya di depan kuburan beruang, dengan ukiran huruf-huruf
itu ia taruh di bawah agar tidak tampak!
Ditaruhnya
batu nisan di depan kuburan ini membuat tangis Lulu makin keras sampai gadis
ini tersedu-sedu. Han Han memeluknya, kemudian setengah memaksanya bangkit
berdiri dan menuntunnya ke dalam pondok di taman.
"Sudahlah,
Adikku. Untuk apa ditangisi lagi? Biar engkau menangis air mata darah sekali
pun, Paman Beruang tidak akan dapat hidup kembali. Ketahuilah bahwa kini
mungkin dia sedang enak-enak mengganyang kepala ular yang membunuhnya.!"
Akan tetapi
hiburan ini tidak menghentikan tangis Lulu yang karena kematian beruang jadi
teringat akan kematian orang tuanya. Gadis itu terisak-isak menangis sambil
bersandar di dada Han Han. Akhirnya pemuda itu mendiamkannya saja dan tiupan
angin laut membuat gadis yang berduka itu akhirnya tertidur di dalam
pelukannya. Han Han merasa tubuhnya panas dan aneh sekali, seolah-olah ada
ribuan ekor semut di balik kulit tubuhnya merayap-rayap. Angin bersilir sejuk
dan akhirnya ia pun tertidur sambil duduk di lantai pondok yang terbuat dari
pada marmer, dengan Lulu masih bersandar di dadanya.
Mereka
berdua tertidur seperti orang mabuk, tidur nyenyak sehingga tidak tahu betapa
malam telah tiba. Malam bulan purnama dan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam
pondok yang tidak berdinding itu. Hawa udara pun amat dinginnya. Namun aneh
sekali, kedua orang muda itu berpeluh!
"Han-ko....
ah, Han-ko...."
Han Han
membuka matanya, jantungnya berdenyut-denyut tidak karuan. Tubuhnya panas dan
telinganya mendengar suara terngiang-ngiang. Suara panggilan Lulu seperti
mengambang di atas lautan suara mengiang itu. Ia melihat wajah Lulu dekat
sekali di atas dadanya, wajah yang cantik jelita, bersinar-sinar keemasan
tertimpa sinar bulan. Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti
berlinang air, memandang kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu
kembang-kempis, seolah-olah sukar bernapas dan mulut yang kecil itu pun
terbuka, membantu pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu? Dan apa yang
terjadi pada dirinya? Ia merasa panas sekali!
“Lulu...!”
"Han-koko...!"
Suara gadis itu seperti mengerang lirih.
Muka mereka
berdekatan, pandang mata mereka melekat dan ada dorongan aneh yang membuat Han
Han menundukkan mukanya, menyentuh dahi adiknya dengan hidung. Belaian seperti
ini tidaklah aneh bagi mereka. Sudah sering kali kalau menghibur adiknya, ia
mencium dahi atau pipi Lulu. Akan tetapi begitu hidungnya menyentuh dahi
adiknya, jantungnya berdebar keras sekali, napasnya sesak. Ia seperti mencium
bau harum yang selamanya tak pernah ia alami, dan ia terus mencium, bahkan kini
dengan bibirnya, dengan mulutnya! Gilakah dia?
Han Han
masih sadar akan hal yang tidak semestinya ini, dan dia menjadi makin kaget
ketika merasa betapa Lulu juga membalas menciumnya, tidak seperti biasa,
melainkan ciuman yang penuh nafsu panas sehingga akhirnya mulut mereka bertemu
dalam ciuman mesra. Akan tetapi keduanya seperti terkejut dan keduanya
merenggut muka masing-masing, saling pandang dengan mata terbelalak dan malu,
kemudian Han Han melepaskan pelukannya, pura-pura tidak sadar akan apa yang
baru saja terjadi.
“Aku...
aku... panas sekali...,” dengan suara terputus-putus Han Han berkata lirih
untuk menutupi hal yang baru saja terjadi.
"Aku
pun... begitu.... Koko...," Lulu juga bicara dengan bingung sambil
berusaha mengelakkan pandang mata mereka agar jangan bertemu.
Han Han yang
merasa betapa tubuhnya menjadi panas dan tidak karuan rasanya, menekan
ketegangan yang ditimbulkan oleh ciuman tidak semestinya tadi dengan tertawa
aneh. "Heh mungkin racun ular hemmm, tidak tertahankan panasnya, lebih
baik kubuka bajuku!"
Karena dia
sudah biasa dalam latihannya membuka baju atasnya di depan Lulu, maka ia
sekarang membuka bajunya dengan maksud agar keadaan perasaannya biasa kembali.
Akan tetapi kini pandang mata Lulu menatap setiap gerakannya, dan mata yang
lebar itu memandangnya penuh kemesraan, memandang tubuh atasnya yang telanjang
itu dengan pandang mata luar biasa.
"Lulu!
Kau kenapa?" Han Han membentak karena pandang mata itu seperti menembus
dadanya dan mendatangkan rangsang yang lebih hebat lagi. Ia sengaja membentak
marah untuk menutupi perasaannya.
Lulu
terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis itu menjadi merah seperti
dibakar dan pandang matanya seperti orang mabuk. "Entahlah... aku... pun
merasa panas sekali, tak tertahankan, Koko...." Gadis itu seperti dalam
keadaan tidak sadar membuka kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah
pakaian dalamnya yang tipis.
Han Han
meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia mengerahkan seluruh sinkang-nya untuk
melawan perasaan panas ini, akan tetapi hasilnya malah membuat tubuhnya makin
panas, lalu berubah dingin, dan seluruh tubuh seperti dimasuki
gelembung-gelembung tenaga mukjizat yang membuat ia merasa seperti sebuah bola
karena penuh angin. Ia mengeluh dan terhuyung-huyung.
"Han-ko....,
kau kenapa.... hati-hati, kau bisa jatuh!" Lulu meloncat bangun dan
memeluk kakaknya untuk mencegah kakaknya terguling.
Akan tetapi
sentuhan tubuh mereka yang tadinya sebagai sentuhan seperti biasa itu
mendatangkan getaran yang mukjizat. Mereka akhirnya berpelukan dan kembali
mereka berciuman dengan penuh nafsu, penuh gairah dan dalam keadaan tidak atau
setengah sadar! Seluruh hati dan pikiran mereka sepenuhnya dikuasai oleh nafsu
yang bergolak tak tertahankan, membuat darah mereka mendidih dan pikiran mereka
gelap. Mereka lupa segala, saling membelai mesra, berdekapan dengan mata
dipejamkan.
Ketika Han
Han membuka mata dan melihat betapa tanpa disadari ia hampir menelanjangi Lulu
yang tidak melawan, bahkan membantunya penuh gairah nafsu birahi, ia terkejut
seperti disambar halilintar. Kekuatan batin dan sinkang Han Han jauh lebih
besar dari pada Lulu, maka ia masih dapat sadar dan cepat ia mendorong tubuh
adiknya itu sehingga Lulu terhuyung dan roboh terlentang dengan napas
terengah-engah dan mata terpejam, tubuh dara itu menggeliat-geliat.
"Lulu!
Ini tidak benar! Engkau Adikku!!" Han Han berkata, berteriak dengan suara
nyaring.
"Han-ko....
ahhh, Han-ko.... jangan tinggalkan aku... aku bukan Adikmu, Han-ko....!"
"Gila!"
Han Han membentak lagi, menahan diri sekuatnya agar tidak menubruk dan memeluk
gadis itu, melanjutkan hasrat birahi yang memenuhi benak dan hatinya.
"Kita keracunan! Ular merah itu! Keparat...!"
Terlintas
dalam benaknya bunyi tulisan pada batu, dan kini mengertilah ia mengapa Suma
Hoat mengutuk ular salju merah. Agaknya Suma Hoat juga makan daging dan darah
ular itu dan merasa pula rangsangan nafsu birahi seperti ini. Teringat akan ini,
Han Han lalu mengeluarkan pekik menyeramkan dan tubuhnya meloncat ke luar dari
dalam pondok itu.
Ia
berlari-lari seperti orang gila menjauhi pondok. Ketika ia tiba di pantai yang
berbatu-batu, ia lalu mengamuk. Dipergunakan kaki tangannya untuk memukul,
menendang, dengan pengerahan tenaga sinkang, kadang-kadang menggunakan tenaga
inti Hwi-yang Sin-ciang di luar kesadarannya, akan tetapi lebih banyak ia
menggunakan tenaga Im-kang.
Terdengar
bunyi ledakan-ledakan keras ketika batu-batu besar itu pecah berantakan oleh
amukan Han Han yang seperti telah menjadi gila. Han Han terus mengamuk
sepanjang malam sampai pagi, sampai habis tenaga sinkang-nya dan ia menggunakan
tenaga biasa sehingga kaki dan tangannya luka-luka dan akhirnya ia roboh
pingsan di antara batu-batu yang sudah hancur berantakan itu.
Matahari
telah naik tinggi ketika Lulu mengguncang-guncang tubuh Han Han yang
menggeletak di pantai, tubuh atas telanjang, tangan kaki luka-luka. Gadis itu
menangis dan memanggil-manggil.
"Han-koko...
Han-ko.... jangan tinggalkan aku....! Han-ko....!!"
Han Han
membuka matanya, mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar matahari.
"Han-ko,
kau kenapa?" Lulu bertanya penuh kekhawatiran, air mata masih membasahi
kedua pipinya.
Han Han
menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningannya. Juga mengusir
pemandangan yang aneh. Kini, melihat wajah Lulu yang cantik, sepasang pipi yang
merah itu, ia merasa berbeda dari biasanya. Tidak seperti biasanya ia memandang
dara ini seperti adiknya. Kecantikan Lulu kini menyentuh hatinya dan
membingungkannya, sungguh pun gairah gila seperti yang mendorongnya malam tadi
sudah lenyap.
"Tidak
apa... Aku... aku hanya mimpi buruk... tanpa sadar, kuhantami batu-batu
ini...," ia melihat kaki dan tangannya yang lecet-lecet.
"Aku
pun mimpi, Koko. Mimpi aneh akan tetapi indah sekali...."
"Mimpi
apa?" Han Han memandang tajam, diam-diam memaki diri sendiri mengapa kini
Lulu tampak lain dalam pandangannya.
"Aku
tadi pagi terbangun di pondok taman dan.... dan pakaianku tidak karuan, aku
mimpi.... engkau seperti bukan Kakakku, melainkan... ah, sungguh aneh akan
tetapi aku aku senang sekali, Koko..." Dan gadis itu menundukkan mukanya.
Kedua pipinya menjadi makin kemerahan sampai ke telinganya.
"Hushhh!
Kau gila! Kita keracunan ular keparat itu!"
Lulu
memandang muka Han Han penuh selidik. Gadis ini masih terlalu murni dan polos
dan dia bertanya, "Betulkah, Koko? Keracunan ular itu? Akan tetapi...,
setelah mimpi itu, aku... heran sekali, kau seperti bukan Kakakku dan aku
khawatir kalau-kalau kau akan meninggalkan aku…”
"Sudahlah,
jangan berpikir yang bukan-bukan. Lulu, kita harus meninggalkan pulau
ini." Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tetap karena di dalam hatinya
Han Han maklum bahwa makin lama mereka berada di pulau itu, makin besar
bahayanya dan ia khawatir bahwa akhirnya ia tidak akan kuat bertahan.
Ia
mengeraskan hatinya, memusatkan tenaga batinnya dan kemauannya untuk mengambil
keputusan bahwa gadis ini adalah adiknya, adiknya! Ia merasa kuat kini dan mulai
berani memandang wajah Lulu lagi, diperkuat oleh kemauannya yang memaksa hati
dan pikirannya bahwa Lulu adalah adiknya, bukan orang lain dan bahwa tidak
boleh ia mencinta Lulu seperti perasaannya malam tadi. Lulu adiknya! Lulu
adiknya! Kekuatan kemauan Han Han memang luar biasa dan ia sudah tenang
kembali. Sambil tertawa ia menangkap tangan Lulu, diajak bangkit berdiri dan
sambil berkelakar ia berkata.
"Kita
harus membuat perahu, kita akan meninggalkan tempat ini secepat mungkin! Kau
bocah malas, harus membantu!"
Kekuatan
kemauan yang terpancar ke luar dari mata Han Han mempengaruhi Lulu pula. Gadis
itu pun menjadi biasa dan bertanya keras.
"Pergi
ke mana, Koko?"
"Eh,
anak bodoh dan pelupa. Apakah kau selamanya akan tinggal di pulau ini sampai
menjadi nenek-nenek? Apakah kau tidak ingin mencari musuh besarmu?"
Lulu menjadi
bersemangat. "Betul! Kita harus pergi mencari musuh besar kita!"
Demikianlah,
kedua orang muda itu lalu mulai membuat perahu. Han Han bukan seorang ahli maka
tentu saja membuat perahu amatlah sukar baginya. Namun berkat tenaga dan
kemauannya yang kuat, tiga hari kemudian selesailah dia membuat sebuah rakit
dari kain dan bambu seadanya, menggandeng-gandengnya dengan ikatan akar yang
cukup kuat. Ia menyediakan dua buah cabang pohon untuk mendayung.
Baru saja
selesai ia mengikat sambungan terakhir, tiba-tiba terdengar suara
mendesis-desis keras sekali dan terdengar Lulu berlari-lari sambil menjerit-jerit.
"Ular...! Ular....! Banyak sekali ular....!"
Han Han
terkejut dan menengok. Dilihatnya Lulu beriari-lari menghampirinya dengan wajah
pucat penuh jijik. Dari jauh tampaklah ratusan, mungkin ribuan ekor ular merah
mendatangi sambil mengeluarkan suara mendesis mengerikan sekali.
"Cepat!
Naikkan bekal makanan dan air itu ke atas perahu!" teriak Han Han dan
sibuklah mereka mengangkuti bekal makanan dan minuman ke atas perahu.
Beberapa
ekor ular merah sudah datang dekat dan Han Han membunuhnya dengan injakan-injakan
kakinya pada kepala ular-ular itu. Setelah semua bekal diangkut ke perahu, Han
Han lalu mendorong perahu rakit itu ke air dan bersama Lulu ia mendayung
perahunya ke tengah laut.
Ular-ular
itu agaknya tidak takut air, buktinya mereka itu terus mengejar dan berenang
sambil terus mendesis-desis. Lulu yang merasa geli itu memukuli ular-ular
terdekat dengan dayungnya. Tenaga pukulan gadis ini sudah kuat sekali sehingga
dalam waktu singkat puluhan ekor ular mati dengan kepala remuk.
Han Han
mengerahkan tenaga mendayung perahu yang meluncur cepat sehingga mereka dapat
meninggalkan ular-ular yang mengejar. Dari jauh, kedua orang anak muda itu
memandang ke arah pulau dengan pandang mata sayu. Betapa pun juga, selama enam
tahun mereka hidup di pulau itu, Pulau Es yang tadinya amat indah, namun yang
kini menjadi pulau ular yang menyeramkan. Dari jauh tampak warna merah
ular-ular itu seolah-olah pulau itu penuh dengan bunga-bunga merah yang mulai
mekar.
"Arah
mana yang kita tuju ini, Han-ko?" tanya Lulu sambil membantu kakaknya
mendayung.
"Arah
selatan. Pulau Es adanya hanya di utara, maka kita harus kembali ke
selatan."
"Bagaimana
kau tahu bahwa arah yang kita tempuh ini menuju ke selatan?"
"Ha-ha,
kau bodoh sekali! Kau tahu dari mana munculnya matahari?"
"Dari
timur."
"Nah,
kau lihat. Matahari yang baru muncul itu berada di sebelah kiri kita, berarti
kita kini maju ke arah selatan."
Mulailah Han
Han dan Lulu menuju kepada pengalaman-pengalaman baru dengan hati penuh
ketegangan, juga kegembiraan karena mereka kini akan memasuki dunia ramai yang
sudah enam tahun mereka tinggalkan. Bekal yang mereka bawa cukup banyak, juga
mereka membawa bekal pakaian. Han Han tidak lupa untuk membawa kantung karet
berisikan surat-surat peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es, karena
sesuai dengan pesan di luar sampul, ia hendak menyampaikan surat-surat
peninggalan itu kepada yang berhak sebagai tanda terima kasih dan tanda bakti
kepada penghuni Pulau Es. Tentu saja ia tidak tahu kepada siapa surat itu akan
diberikan, akan tetapi hal ini akan dia selidiki kelak.
Sungguh pun
kedua orang muda itu, terutama sekali Han Han, kini telah merupakan seorang yang
memiliki tenaga luar biasa dan jauh sekali bedanya dengan ketika dahulu menjadi
tawanan Ma-bin Lo-mo, namun perjalanan pulang ini bukanlah merupakan perjalanan
yang mudah. Apa lagi kalau diingat bahwa perahu mereka bukanlah perahu biasa,
melainkan hanya batang-batang kayu dan bambu disambung-sambung sehingga biar
pun mereka dapat mendayung dengan kuat dan cepat, namun perahu yang melaju di
laut bebas itu sering kali mundur lagi karena terbawa ombak.
Dalam
perjalanan selama belasan hari ini tiga kali mereka diserang badai yang ganas
sehingga kalau saja mereka tidak kuat-kuat berpegang kepada rakit itu, tentu
mereka sudah terlempar ke laut dan binasa. Perbekalan mereka hanya sedikit saja
yang dapat diselamatkan selama mereka diserang badai dan akhirnya mereka harus
berjuang melawan ombak selama tiga hari tiga malam, tanpa makan dan minum!
Untung bahwa mereka berdua telah memiliki daya tahan yang luar biasa sehingga
mereka hanya merasa lelah sekali ketika akhirnya mereka berhasil mendarat di
pantai yang sunyi dan penuh dengan hutan liar.
Dapat
dibayangkan betapa gembira hati mereka setelah dapat mendarat, melihat tanah
dan pohon-pohon berdaun hijau. Selama enam tahun mereka tidak pernah melihat
tanah karena daratan di Pulau Es itu seluruhnya tertutup salju dan es membatu.
Juga di Pulau Es hanya ada beberapa macam tanaman saja yang dapat hidup dan
berdaun, dan sekarang mereka melihat pohon-pohon raksasa yang hidup subur
dengan daun-daun hijau.
Sambil
tertawa-tawa kedua orang muda itu lalu mencari buah-buah yang dapat mereka
makan dan ketika mereka menemukan buah-buah apel yang dapat dimakan dan sudah
masak, mereka makan buah-buahan seperti seorang kelaparan! Han Han juga
menangkap seekor rusa yang mereka panggang dagingnya dan sehari itu mereka
berdua berpesta-pora dan makan dengan lahap sampai perut mereka penuh
kekenyangan.
"Kita
mendarat di mana, Koko?"
"Siapa
tahu? Dan aku tidak peduli, pokoknya mendarat di tanah! Ah, Lulu, aku merasa
seolah-olah hidup kembali! Mari kita melanjutkan perjalanan terus ke selatan.
Akhirnya tentu kita bertemu manusia yang menuju ke kota raja!"
"Keluarga
Ayahku dahulu tinggal di kota raja!" kata Lulu dengan suara terharu,
teringat akan keluarganya yang sudah terbasmi habis.
"Dan
musuh-musuhku tentu berada di kota raja pula!" kata Han Han penuh
semangat.
Terbayanglah
wajah-wajah para perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya. Dengan penuh
semangat dan kegembiraan, kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke
barat, menjauhi pantai taut. Mereka melakukan perjalanan sampai belasan hari,
naik turun gunung, masuk keluar hutan dan belum juga mereka bertemu dengan
dusun yang ada manusianya. Namun mereka tidak menjadi putus asa dan terus
melakukan perjalanan seenaknya. Mereka tidak tergesa-gesa karena tidak ada
sesuatu yang memaksa mereka tergesa-gesa.....
**************
Kurang lebih
dua bulan kemudian, setelah Han Han dan Lulu bertemu dengan dusun dan mendapat
keterangan bahwa kota raja tidak jauh lagi berada di sebelah selatan, pada
suatu pagi mereka memasuki sebuah hutan besar. Mereka mengikuti jalan yang
masuk ke hutan itu, sebuah jalan umum yang biasa dipergunakan oleh orang yang
melakukan perjalanan jauh. Ada tapak-tapak kereta menjalur panjang di jalan itu
dan dengan hati gembira Han Han dan Lulu berjalan sambil melihat-lihat burung
yang beterbangan di antara dahan-dahan pohon menyambut datangnya pagi dengan
kicau dan tarian mereka dari dahan ke dahan.
Keadaan Han
Han mengherankan orang-orang yang melihatnya. Pemuda ini bertubuh tegap dan
jangkung, pakaiannya cukup bersih dan terbuat dari kain mahal, akan tetapi
bentuknya sederhana. Yang amat menarik adalah rambutnya yang dibiarkan terurai
ke punggungnya, rambut yang hitam dan kaku mengkilap, tak pernah disisir karena
Han Han memang sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk bersolek.
Lebih hebat
lagi adalah sepasang matanya. Mata itu kini merupakan dua buah benda yang
mengeluarkan sinar aneh. Kadang-kadang tenang seperti air telaga, seperti orang
termenung kehilangan semangat, kadang-kadang secara tiba-tiba menjadi amat
tajam dan panas seperti mengandung bara api. Tidak pernah ada orang yang berani
menentang pandang mata Han Han dan setiap orang yang beradu pandang menjadi
ngeri mengkirik karena pandang mata itu seolah-olah menelanjangi mereka dan
dapat menembus terus ke lubuk hati.
Lulu juga
amat menarik perhatian orang, akan tetapi bukan karena anehnya, melainkan
karena cantik jelitanya dan karena sikapnya yang polos dan tidak pernah
malu-malu seperti gadis-gadis biasa. Sepasang mata gadis remaja inilah yang
menjadi daya penarik luar biasa, sepasang mata yang lebar dan jeli, yang
pandang matanya dapat membuat segala sesuatu di dunia ini tampak lebih cemerlang,
lebih indah.
Pakaian Lulu
termasuk mewah dan indah karena gadis ini memang mengenakan pakaian-pakaian
indah yang ia dapatkan di dalam kamarnya. Bahkan ia memakai pula sebuah
anting-anting bermata mutiara yang amat besar dan mahal. Namun hanya sepasang
anting-anting dan pita rambut sutera merah saja yang menghias tubuhnya, dengan
ikat pinggang kuning emas, baju berwarna merah muda dan sepatu putih.
Gadis remaja
ini benar cantik jelita mengagumkan semua pria yang memandangnya. Akan tetapi
setiap orang pria yang memandang kagum, begitu bertemu pandang dengan kakak
gadis itu, seketika mengkeret dan mundur teratur karena merasa ngeri.
"Koko,
apakah kau mengetahui nama musuh-musuhmu, para perwira yang membunuh orang
tuamu?"
Sebetulnya
Han Han tidak pernah merasa suka membicarakan tentang musuh-musuhnya dengan
adik angkatnya ini. Bukankah Lulu seorang anak perwira Mancu pula? Bicara
tentang perwira-perwira Mancu yang menjadi musuh besarnya tentu mendatangkan
rasa tidak enak dalam hati Lulu.
"Tidak,
Lulu. Aku tidak tahu," jawabnya singkat.
"Tapi
kau mengenal wajah mereka? Aku ingin sekali melihat mereka yang begitu kejam
terhadap keluargamu, Koko. Engkau seorang yang begini baik. Kalau Ayahku masih
ada, tentu perwira-perwira yang kejam itu akan dilaporkan dan dijatuhi hukuman!
Aku masih ingat betapa Ayah dahulu mencela keras prajurit-prajurit yang
melakukan perampokan.”
Han Han diam
saja. “Hemm, benarkah ayah Lulu perwira yang baik? Adakah perwira Mancu yang
baik?”
Ma-bin Lo-mo
dan semua murid In-kok-san mengutuk semua orang Mancu. Demikian banyaknya
anak-anak yang menjadi murid Ma-bin Lo-mo adalah korban-korban kebiadaban
orang-orang Mancu, termasuk Kim Cu. Bahkan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan
Botak itu, baru menjadi kaki tangan Mancu saja sudah begitu kejamnya!
Orang-orang
Mancu dan kaki tangannya adalah orang-orang yang seperti iblis! Akan tetapi Han
Han membantah sendiri pendapat ini. Ma-bin Lo-mo adalah seorang yang anti
Mancu, akan tetapi mengapa kekejamannya tidak kalah oleh Gak Liat! Apakah semua
orang yang berkepandaian tinggi di dunia ini adalah orang-orang berwatak iblis?
Han Han menjadi bingung dan ia mengambil keputusan untuk menentang semua
orang-orang yang berilmu tinggi!
"Bagaimana,
Koko?"
“Ha...?
Apa....?”
"Kau
belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau mengenal wajah mereka?"
Han Han
mengangguk dan terbayanglah wajah tujuh orang perwira Mancu itu, terutama Si
Muka Kuning dan Si Brewok. Yang lima lainnya juga akan dikenalinya setiap saat
dan tujuh orang ini harus ia bunuh, lebih-lebih dua orang perwira yang telah
memperkosa ibunya dan kakaknya!
"Aku
mengenal mereka, akan tetapi sukar dikatakan.... sudahlah, Lulu. Aku tidak suka
membicarakan mereka."
"Baiklah,
Han-ko. Memang sebuah kenang-kenangan yang tidak enak. Akan tetapi aku akan
mencari Lauw-Pangcu...”
“Sukar,
Lulu...”
"Mengapa
sukar?" tanya Lulu dan memandang penuh selidik.
“Dia seorang
pejuang...”
"Pemberontak,
maksudmu?"
"Ya,
pemberontak bagi pihak Mancu, pejuang bagi rakyat. Sama saja. Kalau tidak dia
sudah mati, tentu dia selalu bersembunyi, sukar ditemukan...."
"Aku
tidak khawatir. Ada engkau di sampingku, masa tidak dapat mencarinya? Kau tentu
akan membantuku, Koko."
"Tentu
saja, Moi-moi. Hanya, kurasa sukar melawan dia. Kau takkan menang, dia lihai
sekali."
"Kalau
kau membantuku, tentu akan menang!" kata pula Lulu dengan suara mengandung
penuh kepercayaan.
"Belum
tentu. Kawan-kawannya banyak sekali dan amat lihai..."
Tiba-tiba
terdengar bunyi derap kaki kuda dan bunyi roda kereta. Terpaksa Lulu
menghentikan percakapan itu dan hati Han Han menjadi lega. Bagaimana ia dapat
bicara dengan enak hati kalau pembicaraan itu mengenai permusuhan dengan
Lauw-pangcu, gurunya yang pertama? Bagaimana nanti sikap Lauw Sin Lian puteri
Lauw-pangcu kalau dia membantu Lulu memusuhi Lauw-pangcu?
Kereta yang
lewat tak lama kemudian menyusul mereka itu adalah sebuah kereta besar ditarik
oleh empat ekor kuda dan di dalamnya tidak ada penumpangnya, melainkan dua buah
peti yang panjangnya ada dua meter, tinggi dan lebarnya satu meter. Dua buah
peti itu ditaruh berjajar di dalam kereta dan di atas kereta hanya ada seorang
kusir dan seorang laki-laki bersenjata golok.
Di kanan
kiri dan belakang kereta ada belasan orang berpakaian piauwsu (pengawal) yang
dikepalai oleh seorang laki-laki berjenggot panjang. Mereka ini semua
menunggang kuda, sikap mereka kereng dan gerak-gerik mereka membayangkan bahwa
para piauwsu ini memiliki kepandaian silat yang tidak lemah. Ketika para
piauwsu ini lewat, semua mata mereka ditujukan kepada Lulu dan mereka
tertawa-tawa, pandang mata mereka kagum sekali.
Han Han
tidak mempedulikan hat ini, dan Lulu malah tersenyum, sama sekali dia tidak tahu
bahwa mereka itu bersikap kurang ajar. Han Han hanya memperhatikan sebuah
bendera di atas kereta, bendera yang bersulam gambar seekor burung garuda putih
di atas dasar biru, dan empat huruf besar yang berbunyi HOA SAN PEK ENG (Garuda
Putih dari Hoa-san) sedangkan di bawahnya terdapat dua huruf kecil yang
berbunyi Piauwkiok (Perusahaan Pengawal Barang).
"Mereka
itu ramah!" kata Lulu setelah rombongan piauwsu ini lewat.
Han Han
tidak menjawab. Dia juga tidak tahu bahwa seperti kebanyakan kaum pria kalau
melihat wanita cantik, para piauwsu tadi tertawa-tawa dengan sikap kurang ajar.
Hanya ia harus mengakui bahwa mereka itu ramah, sungguh pun keramahan mereka
tidak menyenangkan hatinya.
"Hoa-san
Pek-eng Piauwkiok! Apa artinya itu, Koko?"
"Mereka
itu adalah rombongan piauwsu, yaitu pengawal-pengawal barang kiriman dan nama
itu adalah merknya. Mungkin piauwkiok itu dipimpin oleh orang dari Hoa-san
atau... ah, benar juga. Agaknya pemimpinnya adalah seorang anak murid
Hoa-san-pai."
"Kalau
begitu, mereka itu adalah orang-orang kang-ouw, Koko! Kenapa tidak kau katakan
dari tadi?”
"Kalau
mereka orang-orang kang-ouw, habis mau apa?"
"Ah,
kita harus berkenalan dengan mereka. Tentu mereka dapat bercerita banyak
tentang dunia kang-ouw. Bukankah engkau menjadi buronan In-kok-san? Dan engkau
pun mencari tahu tentang penghuni Pulau Es, bukankah kau ingin menyampaikan
surat-surat peninggalan manusia sakti itu? Mungkin sekali para piauwsu yang
tentu banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, akan dapat memberi keterangan
kepada kita."
"Wah,
kau benar juga, Moi-moi. Mari kita kejar mereka!" Han Han lalu menggunakan
kepandaiannya untuk berlari cepat dan Lulu juga cepat mengejarnya.
Biar pun
Lulu tidak dapat bergerak secepat Han Han, namun dibandingkan dengan orang biasa,
gadis ini dapat berlari amat cepat karena ia memiliki keringanan tubuh, tenaga
sinkang, dan napasnya tidak kalah panjang oleh napas kuda. Lebih dari
seperempat jam mereka berlari cepat dan hutan itu makin lebat. Ketika mereka
tiba di bagian yang berbatu-batu, mereka mendengar suara ribut-ribut dan
sayup-sayup terdengar pula suara beradunya senjata berdencing-dencing.
"Koko,
ada orang bertempur...!"
"Hemmm,
agaknya para piauwsu itu menghadapi musuh. Mari kita percepat lari kita!"
Han Han mengerahkan tenaganya meloncat dan tentu saja Lulu tertinggal jauh.
Akan tetapi
Lulu sekarang bukan seperti Lulu enam tahun yang lalu. Dahulu ia penakut, akan
tetapi sekarang Lulu menjadi seorang yang tabah dan pemberani. Biar pun
tertinggal di belakang ia tidak takut dan mempercepat juga larinya agar dapat
sampai ke tempat pertempuran itu.
Dugaan Han
Han ketika dia bicara dengan Lulu tadi memanglah tepat. Pek-eng-piauwkiok
adalah sebuah piauwkiok yang kenamaan di kota Kwan-teng. Terkenal sebagai
piauwkiok yang boleh dipercaya dan yang dapat menjamin keamanan semua barang
kiriman sehingga tidak hanya para saudagar besar menjadi langganannya, bahkan
para bangsawan yang mengirimkan barang-barang berharga selalu minta diantar dan
dikawal oleh perusahaan pengawalan barang Garuda Putih ini. Hal ini bukan hanya
karena Pek-eng-piauwkiok mempunyai banyak sekali piauwsu yang cakap dan kosen,
melainkan terutama sekali karena piauwkiok itu dipimpin oleh seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi.
Ketua atau
pemimpin piauwkiok ini adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, seorang bekas pendekar
perantauan yang gagah perkasa bernama Tan Bu Kong yang berjuluk Hoa-san Pek-eng
(Garuda Putih dari Hoa-san). Setelah ia bosan merantau dan sudah berusia lima
puluh tahun, juga mengingat bahwa sebagai seorang kepala keluarga tidak baik
kalau dia menjadi perantau terus, ia membuka piauwkiok itu yang ia beri nama
mengambil dari julukannya yang sudah terkenal. Dalam masa sepuluh tahun saja,
nama piauwkiok itu menjadi terkenal sekali dan setiap pengiriman barang yang
diberi tanda bendera piauwkiok ini, tentu akan lewat dengan aman sampai ke
tempat tujuan karena para perampok dan penjahat merasa segan untuk memusuhi
Pek-eng-piauwkiok.
Setelah
perusahaannya menjadi besar, Tan-piauwsu lalu mendatangkan adik-adik
seperguruannya, yaitu anak-anak murid Hoa-san-pai yang masih menganggur untuk
membantunya bekerja, mewakilinya mengantar barang-barang yang penting. Kiriman
barang yang tidak begitu penting cukup dikawal oleh orang-orangnya yang
kesemuanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi.
Dengan demikian, selain ia dapat menjamin nafkah hidup para sute-nya, juga
mereka dapat berkumpul dan dapat melanjutkan cita-cita yang dipesankan oleh
guru besar Hoa-san-pai, yaitu diam-diam membantu perjuangan para patriot yang
menentang kekuasaan pemerintah Mancu.
Akan tetapi,
perjuangan ini selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu
kekuasaan pemerintah Mancu sudah terlalu meluas dan hampir seluruh pedalaman
telah diduduki sehingga perlawanan berupa perang terbuka takkan ada gunanya dan
pasti akan mengalami kekalahan dan kegagalan. Dengan demikian, di samping
tugasnya menjadi piauwkiok, Pek-eng-piauwkiok juga menjadi tempat rahasia dari
para patriot untuk mengadakan pertemuan, perundingan, pengiriman barang-barang
rahasia, dan juga pembantu dalam bidang pembiayaan.
Beberapa
hari yang lalu, kantor pusat Pek-eng-piauwkiok di Kwan-teng kedatangan seorang
wanita yang cantik jelita dan berpakaian mewah. Wanita ini datang berkuda dan
melihat pakaiannya, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang gadis Mancu yang
berpengaruh dan berkuasa. Kedatangannya saja dikawal oleh selosin prajurit
Mancu yang bersenjata lengkap.
Ada pun
gadis cantik ini sendiri menunjukkan bahwa dia bukan gadis biasa, melainkan
seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian. Hal ini dapat dilihat dari cara
melompat turun dari kuda, dari gerak-geriknya yang gesit, dan dari cara
bicaranya. Gadis bangsawan Mancu ini dengan suara keras menyatakan kepada para
penjaga piauwkiok bahwa dia ingin berjumpa dengan ketua Pek-eng-piauwkiok!
Hati
Tan-piauwsu merasa tidak enak, akan tetapi sebagai seorang tokoh kang-ouw yang
berpengalaman, ia keluar dengan sikap tenang dan dengan sikap hormat ia
menyambut gadis Mancu yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu. Ia
memberi hormat, mempersilakannya duduk, menghidangkan air teh kemudian
menanyakan maksud kedatangannya.
Biar pun
gadis itu masih berpegang kepada kebiasaan lama, yaitu berpakaian sebagai
seorang wanita bangsawan Mancu, namun setelah membuka mulut bicara, ternyata ia
dapat berbicara bahasa Han dengan fasih sekali.
"Apakah
saya berhadapan dengan Tan Bu Kong Piauwsu sendiri yang berjuluk Hoa-san
Pek-eng?"
Tan-piauwsu
tidak menjadi heran menyaksikan lagak gadis muda ini. Dalam pengalamannya ia
sudah banyak menyaksikan wanita-wanita yang berkepandaian, dan sudah mendengar
bahwa di antara para tokoh Mancu banyak terdapat wanita-wanita yang berilmu
tinggi. Apa lagi wanita-wanita yang berasal dari bangsa Khitan dan yang kini
banyak masuk dalam pasukan Mancu sehingga pasukan itu merupakan pasukan
gabungan yang amat kuat. Maka ia lalu menjura dan menjawab.
"Tidak
salah dugaan Nona. Saya adalah Tan Bu Kong yang memimpin piauwkiok ini. Apakah
yang dapat saya lakukan untukmu, Nona?"
"Pek-eng-piauwkiok
adalah sebuah piauwkiok kenamaan yang katanya dapat menjamin keamanan setiap
barang kiriman. Sampai di manakah kebenaran berita itu?"
"Saya
tidak perlu bersombong, Nona. Namun kenyataannya, selama sepuluh tahun ini
tidak ada barang kiriman yang tidak sampai di tempat tujuannya. Sungguh pun ada
terjadi gangguan-gangguan di tengah jalan, namun semua gangguan dapat diatasi
dan kami belum pernah merugikan para langganan kami."
Gadis itu
tersenyum mengejek. Senyumnya manis sekali dan pasti akan mudah merobohkan hati
setiap orang pria. Akan tetapi, di balik senyum ini membayang kekerasan hati
yang dingin membeku sehingga diam-diam Tan-piauw-su bergidik. Wanita muda ini
amat berbahaya, pikirnya.
"Hemmm,
bagus kalau begitu. Saya memiliki dua buah peti kiriman yang harus dibawa ke
Nam-keng. Apakah engkau berani menjamin bahwa barang-barang itu akan sampai ke
tempat tujuan dengan selamat, Tan-piauwsu?"
"Menjamin
sampainya barang kiriman ke tempat tujuan dengan selamat adalah kewajiban
mutlak setiap piauwkiok, Nona, karena itu, saya berani menjamin!"
Kembali
senyum mengejek itu menghias bibir gadis itu sehingga Tan-piauwsu menjadi
mendongkol, akan tetapi segera ditutupnya dengan sikap hati-hati dan waspada.
"Bagaimana
andai kata kiriman itu dirampok di tengah jalan?"
"Akan
kami bela mati-matian!”
"Bagaimana
andai kata.... hemmm, maaf, piauwsu. Bagaimana andai kata kalian gagal
mempertaruhkan keselamatan barang-barang itu dan kemudian sampai terampas
orang?"
"Hah!
Tak mungkin! Dan kalau terjadi demikian... hal ini.... tak ada lain jalan
kecuali mengganti harga barang-barang kiriman itu."
Gadis itu
tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara.
"Barang-barangku dalam dua peti itu biar pun diganti dengan seluruh benda
milikmu ditambah milik penduduk kota ini masih takkan cukup, Tan-piauwsu!
Dengar baik-baik. Aku menghendaki dua buah peti mati itu dikirimkan sekarang
juga dan berapa pun kau minta untuk biayanya akan kubayar! Akan tetapi, kalau
sampai hilang di jalan, tanggungannya adalah nyawamu! Engkau akan ditangkap dan
dihukum mati sebagai pemberontak!"
Berubah
wajah Tan-piauwsu. Dia memandang gadis muda itu dengan alis terangkat.
"Mengapa begitu?"
"Tentu
saja! Selama sepuluh tahun engkau mengawasi barang, kesemuanya selamat, akan
tetapi sekarang mengawal benda penting dari seorang Puteri Mancu, kalau sampai
hilang maka ini berarti bahwa kau sengaja membikin hilang dan berarti kau
memusuhi pemerintah Mancu! Nah, sekarang kutanya engkau, Tan-piauwsu. Beranikah
engkau mengawal barang-barangku ini ke Nam-keng?"
Ditanya
begitu, Tan-piauwsu merasa tersinggung kehormatannya. Juga piauwsu yang
berpengalaman luas ini berpikir bahwa kalau ia menolak, akan menimbulkan kesan
bahwa dia anti kepada pemerintah Mancu. Ia percaya bahwa para tokoh kang-ouw
tidak ada yang akan mengganggunya, apa lagi di daerah selatan ia memiliki
banyak sahabat dan namanya sudah terkenal. Siapa yang akan berani dan mau
mengganggu barang kiriman yang dikawalnya?
"Baiklah!
Akan tetapi karena jaminannya adalah nyawa, maka biaya pengirimannya tentu
harus lipat sepuluh kali dari biasa!"
"Hi-hik!
Jangankan sepuluh kali lipat, biar dua puluh kali pun kubayar sekarang juga.
Nih, cukupkah?" Gadis itu mengeluarkan sebuah pundi-pundi uang dan
melemparkannya di atas meja.
Tan-piauwsu
mengambilnya dan membuka. Matanya terbelalak melihat bahwa pundi-pundi itu
isinya potongan-potongan emas belaka yang menurut taksirannya berharga tiga
empat puluh kali dari pada tarip biasa!
"Terlalu
banyak! Saya tidak setamak itu dan nyawa saya yang tua pun tidak semahal
ini," katanya tersenyum.
"Engkau
benar-benar jujur dan gagah, Tan-piauwsu. Saya boleh berlapang dada kalau dua
buah petiku itu dilindungi oleh Pek-eng-piauw-kiok. Biarlah semua emas itu
kuserahkan kepada Pek-eng-piauwkiok, akan tetapi kuminta hari ini juga
barang-barangku dikirim."
"Di
manakah dua peti itu?"
Gadis itu
kembali tersenyum. "Sudah tersedia di luar pintu piauwkiok ini!" Ia
bertepuk tangan tiga kali dan selosin pengawalnya memberi hormat di depan
pintu. "Bawa masuk dua peti itu ke sini."
Para
pengawal mundur dan tak lama kemudian mereka masuk lagi menggotong dua buah
peti yang panjangnya dua meter, lebar dan tingginya satu meter. Peti-peti itu
terbuat dari kayu besi yang kuat dan keras, dicat keemasan dan selain kokoh
kuat, juga rapi dan halus. Batas antara peti dan tutupnya tidak tampak sehingga
agaknya untuk membuka peti itu jalan satu-satunya hanya merusaknya, yaitu
membukanya secara paksa. Agaknya hal ini sengaja dilakukan untuk mencegah orang
luar yang ingin tahu membuka peti-peti itu.
"Agaknya
Nona tidak akan memberi tahu apa isi kedua buah peti ini?" Tan-piauwsu
memancing.
"Perlukah
itu? Tugasmu hanya mengawal dan mengantar sampai ke tempat tujuan. Tentang
isinya adalah rahasiaku, Tan-piauwsu."
"Baiklah,
dalam waktu paling lama sebulan dua buah peti ini tentu akan tiba di tempat
tujuannya di Nam-keng. Harap Nona suka memberi alamat penerimanya.”
Gadis Mancu
itu lalu menuliskan alamat penerimanya dengan gerakan tangan cepat dan ternyata
huruf-huruf tulisannya amat indah dan halus. Alamat di Nam-keng itu adalah alamat
sebuah rumah penginapan!
"Eh,
mengapa tidak ada nama penerimanya? Hanya nama penginapan."
"Tidak
perlu karena penerimanya adalah aku sendiri yang tentu akan berada di rumah
penginapan itu pada saat barang-barang itu tiba."
Tan-piauwsu
tidak mau banyak bertanya lagi, padahal merupakan hal yang aneh kalau gadis ini
menyatakan dapat berada di sana lebih dulu dari pada rombongan piauwsu yang
melakukan perjalanan cepat! Dia mulai menaruh curiga, akan tetapi untuk menjaga
keselamatan diri dan piauwkiok-nya, dia tidak dapat menolak kiriman itu.
"Nah,
sampai bertemu kembali, Tan-piauwsu! Hati-hati, kalau sampai gagal, aku sendiri
yang akan memimpin pasukan untuk menangkapmu!"
Setelah
berkata demikian, gadis itu tertawa dan meninggalkan piauwkiok, dikawal oleh
selosin orang prajurit. Suara derap kaki kuda mereka meninggalkan kesan yang
menyeramkan bagi para piauwsu yang berada di situ, seolah-olah derap kaki kuda
itu mendendangkan peringatan yang mengerikan.
Setelah
gadis Mancu yang tidak memperkenalkan namanya bersama para prajurit Mancu itu
pergi, Tan-piauwsu cepat berkata kepada seorang di antara sute-nya yang
bertubuh kurus tinggi.
"Teng-sute,
lekas kau selidiki ke mana mereka itu pergi!”.
Orang she
Teng yang kurus itu mengangguk dan sekali berkelebat ia sudah lari keluar dari
tempat itu. Dia memang ahli ginkang yang dapat berlari cepat sekali, maka
dialah yang disuruh oleh Tan-piauwsu untuk mengejar rombongan gadis itu dan
mengetahui di mana tempat tinggal dan siapa gerangan gadis aneh itu. Kemudian
Tan-piauwsu mengumpulkan lima orang sute-nya yang lain dan diajaknya masuk ke
ruangan dalam untuk berunding.
"Sute
sekalian, gadis Mancu tadi amat mencurigakan. Aku dapat merasa yakin bahwa tentu
ada sesuatu yang tidak beres. Tentu dia mengandung maksud tertentu di balik
pengiriman ini."
"Aku
pun berpikir demikian, Suheng. Mengapa Suheng tidak menolak saja tadi?"
berkata sute-nya yang tertua, seorang berusia lima puluh tahun lebih,
berjenggot panjang dan bertubuh kecil pendek, namun bermata tajam. Dia ini
adalah seorang Hoa-san-pai yang bernama Lie Cit San dan dialah merupakan orang
ke dua di Pek-eng-piauwkiok karena tingkat kepandaiannya pun paling tinggi di
antara para sute dari Tan-piauwsu.
"Tidak
bisa menolak, Sute. Dia sudah sengaja memilih kita dan kalau aku menolak, dia
memiliki alasan untuk mengecap kita sebagai pemberontak-pemberontak yang tidak
mau mengawal barang milik seorang Puteri Mancu. Aku khawatir kalau-kalau
rahasia perjuangan kita tercium oleh mereka dan sekarang ini mereka menggunakan
ujian di balik pengiriman barang."
"Dugaanmu
bagaimana, Suheng?"
"Ada
dua kemungkinan. Kalau dia mau mengganggu kita, mungkin dia sendiri yang akan
mempersiapkan orang-orangnya untuk merampas peti-peti itu di tengah jalan
sehingga dengan mudah akan menghancurkan kita."
"Keji
sekali! Akan tetapi kita akan lawan dia, Suheng!" kata Ok Sun, sute-nya
yang berangasan, seorang berusia tiga puluh lebih yang bertubuh kekar dan di
pinggangnya tergantung sebuah golok besar.
"Tentu
saja akan kita lawan, akan tetapi ada kemungkinan lain yang lebih melegakan
hati. Yaitu mungkin ini hanya merupakan ujian bagi kesetiaan kita terhadap
Pemerintah Mancu. Kalau benar demikian, kita akan selamat."
"Jangan-jangan
dua peti itu terisi peralatan untuk menghancurkan kawan-kawan seperjuangan
kita!" kata seorang sute lain.
"Hal
itu tidak penting dan kurasa tidak demikian. Untuk menjaga kemungkinan pertama,
yaitu gadis aneh itu mengerahkan orang-orang untuk mengganggu kita di jalan,
aku sendiri akan mengawalnya!" kata Tan-piauwsu sambil mengepal tinju. Dia
harus unjuk gigi, dan untuk menjaga nama baik Pek-eng-piauwkiok, akan dia lawan
mati-matian setiap usaha untuk merampas dua buah peti itu.
Tiba-tiba
Kwee Twan Giap, sute-nya yang paling muda akan tetapi terkenal paling cerdik,
berkata. "Suheng, justeru inilah yang kukhawatirkan. Agaknya justeru
pemikiran dan keputusan Twa-suheng ini yang sudah diperhitungkan mereka!"
“Apa
maksudmu, Kwee-sute?"
"Bukan
lain, tipu muslihat memancing harimau keluar dari sarang!"
Tan-piauwsu
dan empat orang sute-nya yang lain terkejut dan membelalakkan mata. Tan-piauwsu
meninju meja di depannya. "Ah, tepat sekali, Sute! Mengapa hal yang
mungkin sekali ini kulupakan? Memancing harimau keluar dari sarang! Ah, bisa
jadi itulah inti dari rahasia pengiriman aneh ini. Kita harus bersiap-siap
untuk kemungkinan itu!”
"Sebaiknya
begini saja, Twa-suheng," kata pula sute termuda yang cerdik itu.
"Pengawalan barang ini diserahkan saja kepada seorang di antara kami,
karena untuk menghadapi gangguan di jalan, kurasa tidaklah amat berat. Apa lagi
kalau diingat bahwa perjalanan itu menuju ke Nam-keng. Daerah sepanjang
perjalanan ke selatan penuh dengan sahabat-sahabat kita, sehingga kalau terjadi
sesuatu, banyak sahabat yang dapat membantu. Ada pun Suheng sendiri bersama
para Suheng lainnya menjaga di sini untuk menghalau setiap gangguan dan juga
untuk dapat melihat perkembangan, kalau perlu merundingkan dengan kawan-kawan
seperjuangan yang datang dan lewat di kota ini."
Usul ini
dapat diterima dan akhirnya Tan Bu Kong menetapkan Lie Cit San dan Ok Sun
sebagai wakilnya mengawal dua buah peti itu, membawa pasukan piauwsu pilihan
sebanyak lima belas orang. Hari itu juga berangkatlah dua orang piauwsu dan
lima belas orang anak buahnya, mengawal dua buah peti yang dimasukkan ke dalam
kereta yang ditarik empat ekor kuda besar.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, di dalam hutan, rombongan piauwsu ini bertemu
dengan Han Han dan Lulu. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan
seorang pemudi berjalan di hutan yang liar dan sunyi itu, Lie Cit San sudah
menjadi curiga dan berbisik.
"Awas,
semua siap sedia! Dua orang di depan itu mencurigakan!"
Demikianlah,
rombongan piauwsu itu lewat dan ketika mereka melihat bahwa yang mereka curigai
itu hanyalah seorarg pemuda sederhana dan seorang gadis remaja yang cantik,
mereka tertawa-tawa dan memandang ke arah Lulu dengan kagum dan tentu saja
timbul sifat-sifat kurang ajar mereka, sungguh pun di depan Lie Cit San dan Ok
Sun para anak buah itu tidak berani mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan.
Ketika
rombongan ini tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu, mendadak muncul
sembilan orang laki-laki yang gagah sikapnya dan mereka ini sengaja menghadang
di tengah jalan. Usia sembilan orang ini dari dua puluh sampai empat puluh
tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi dan seperti biasa dipakai
orang-orang yang pandai ilmu silat, mereka itu seperti bukan golongan perampok.
Seorang di antara mereka, yang paling tua, sudah mengangkat tangan ke atas dan
berseru.
"Pek-eng-piauwsu
yang mengawal kereta, berhenti dulu!"
Lie Cit San
yang menunggang kuda, segera mengajukan kudanya, mengerutkan kening dan matanya
yang tajam memandang penuh selidik, kemudian bertanya.
"Sahabat-sahabat
yang berada di depan siapakah dan apa maksudnya menghentikan kami? Hendaknya
diketahui bahwa kami mewakili Suheng kami Hoa-san Pek-eng untuk mengawal
barang-barang dalam kereta menuju ke Nam-keng. Harap sahabat-sahabat suka
minggir dan membiarkan kami lewat!"
Sembilan
orang laki-laki itu mengeluarkan suara marah dan yang tertua di antara mereka
segera mengangkat tangan memberi isyarat agar teman-temannya bersikap tenang.
Kemudian ia berkata kepada Lie Cit San.
"Orang-orang
Hoa-san-pai amat sombongnya sehingga seperti buta, tidak membedakan orang! Kami
bukanlah golongan perampok rendah yang menjadi sahabat para piauwsu! Kami
adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai yang sengaja mencegat kalian di sini untuk
membalas dendam!"
Lie Cit San
terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Dia memang tahu bahwa beberapa bulan
yang lalu terjadi bentrokan antara beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai
dengan anak murid Hoa-san-pai, akan tetapi bentrokan itu terjadi antara
orang-orang muda yang masih kurang pengalaman dan hal itu telah dibereskan oleh
golongan tua.
Urusannya
hanya kecil karena terjadi hubungan cinta antara seorang murid wanita
Hoa-san-pai dengan seorang murid pria Siauw-lim-pai. Hubungan cinta ini
menimbulkan rasa iri pada saudara-saudara seperguruan lain sehingga terjadilah
bentrokan itu. Dalam bentrokan itu pun hanya mengakibatkan luka-luka tak
berarti di kedua pihak. Mengapa hal yang sudah padam itu kini hendak digali dan
dipanaskan kembali oleh sembilan orang anak murid Siauw-lim-pai yang tidak
dapat dikatakan orang-orang muda ini?
Lie Cit San
bukan seorang anak muda yang berdarah panas, maka ia menyabarkan hatinya dan
mengangkat kedua tangan setelah meloncat turun dari atas kuda. Sute-nya, Ok Sun
yang tadinya berada di atas kereta juga meloncat turun dengan gerakan gesit,
berdiri di dekat suheng-nya dalam keadaan siap-siap. Tokoh Hoa-san-pai yang
berangasan ini sudah meraba-raba gagang senjata.
"Maafkan
kalau kami salah menyangka," kata Lie Cit San. "Kiranya Cu-wi adalah
para Enghiong dari Siauw-lim-pai! Lebih baik lagi kalau begitu. Hendaknya Cu-wi
suka memberi tahu apakah sebabnya Cu-wi sekalian menahan kami?"
Ok Sun yang
marah menyambung, "Biar pun anak-anak murid Siauw-lim-pai namun lagaknya
seperti perampok, menghadang perjalanan orang. Suheng, kurasa mereka ini telah
menjadi antek-antek Mancu dan sekarang mereka diperalat oleh gadis Mancu
itu!"
"Tutup
mulutmu!" bentak seorang pemuda di antara sembilan orang murid
Siauw-lim-pai itu.
Lie Cit San
dan pemimpin rombongan Siauw-lim-pai segera menghardik saudara masing-masing
agar suka diam. Kemudian orang Siauw-lim-pai itu berkata, "Aku Liong Tik
adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang menjunjung kebenaran dan keadiIan!
Maksud kami sembilan orang murid Siauw-lim-pai menahan kalian tidak lain hanya
untuk bertanya apa isinya kereta yang kalian kawal!"
"Ada
sangkut-paut apakah hal itu dengan kamu orang-orang Siauw-lim-pai yang
sombong?" bentak Ok Sun yang memang berangasan. Sebagai seorang murid
Hoa-san-pai tentu saja hatinya masih panas oleh bentrokan antara murid-murid
keponakannya dengan murid-murid Siauw-lim-pai beberapa bulan lalu.
Akan tetapi
kembali Lie Cit San yang masih sabar itu menyambung. "Mengapakah para
sahabat gagah dari Siauw-lim-pai ingin mengetahui hal itu? Hendaknya Cu-wi
sekalian tahu bahwa kami sendiri hanya bertugas untuk mengawal barang dan sama
sekali tidak tahu apa isinya dua buah peti yang kami kawal, bahkan kami pun
tidak ingin mengetahui barang milik orang lain."
“Dua buah
peti...?” Sembilan orang Siauw-lim-pai itu saling pandang penuh arti, kemudian
memandang marah ke arah kereta.
Liong Tik
yang tertua di antara saudara-saudaranya mengimbangi kesabaran Lie Cit San.
Kini ia berkata, suaranya masih halus namun nadanya memaksa, "Kami percaya
bahwa dua orang saudara Hoa-san-pai yang gagah tidak mengetahui isinya, akan
tetapi kami minta agar kedua buah peti itu dibuka agar kita bersama dapat
melihat isinya!"
"Perampok-perampok
berkedok Siauw-lim-pai! Kalau ternyata isinya emas permata tentu kalian akan
merampoknya!" bentak Ok Sun sambil mencabut golok besarnya. Para anak
murid Siauw-lim-pai juga sudah mencabut senjata masing-masing dengan sikap
marah.
Lie Cit San
menggeleng kepala. "Tidak mungkin hal itu dilakukan,” katanya. “Kami harus
menjaga nama baik kami sebagai piauwsu, tidak akan membuka peti kiriman barang
orang lain, juga tidak memperbolehkan siapa juga membukanya."
"Twa-suheng,
sudah jelas bahwa mereka hendak menyembunyikan. Kalau tidak lekas turun tangan,
mau menanti apa lagi?" bentak seorang di antara anak murid Siauw-lim-pai
yang paling berangasan sambil meloncat maju dengan pedang di tangan.
Ok Sun
menggereng dan kedua orang itu sudah bertanding dengan sengit. Melihat ini, Lie
Cit San dan Liong Tik maklum bahwa bentrokan tak dapat dielakkan lagi, terpaksa
mereka pun maju. Lie Cit San mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang
cambuk besi yang kecil panjang, sedangkan Liong Tik mengeluarkan senjata
sepasang tombak bercagak dan kedua orang ini pun sudah bertanding hebat.
Tujuh orang
anak murid Siauw-lim-pai yang lain sudah menyerbu ke arah kereta dan mereka
disambut oleh lima belas orang anak buah piauwsu sehingga sebentar saja di situ
terjadi pertandingan yang seru, terdengar bunyi senjata-senjata bertemu
diseling teriakan marah mereka.
Pertandingan
antara dua orang murid Hoa-san-pai melawan dua orang murid Siauw-lim-pai
terjadi seru dan berimbang, akan tetapi lima belas orang anak buah rombongan
piauwkiok itu segera terdesak hebat oleh tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai.
Setelah lewat belasan jurus, mulailah pihak piauwkiok terdesak dan empat orang
sudah roboh terjungkal mandi darah.
Tiba-tiba
terdengar bentakan yang amat keras, "Semua berhenti!!"
Aneh sekali.
Bentakan itu selain keras dan penuh wibawa, juga mengandung tenaga mukjizat
yang membuat mereka yang sedang bertempur itu serentak meloncat mundur dengan
kaget dan gentar, menahan senjata masing-masing dan memandang terbelalak kepada
seorang pemuda rambut riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di tengah antara
mereka. Pemuda ini bukan lain adalah Han Han yang segera dapat memilih pihak
karena melihat betapa tadi rombongan piauwsu itu terdesak, bahkan ada empat
orang di antara mereka yang roboh dan tewas. Kini ia memutar tubuh,
membelakangi para piauwsu, menghadapi para murid Siauw-lim-pai dan membentak
marah.
"Perampok-perampok
laknat, berani kalian mengganggu orang lewat? Orang-orang jahat macam kalian
ini patut dibasmi!"
Para piauwsu
yang mengenal Han Han sebagai pemuda yang tadi mereka lewati memandang heran
namun juga geli. Pemuda hijau macam ini mana mungkin dapat menakuti hati para
anak murid Siauw-lim-pai yang lihai itu. Dan betul saja dugaan mereka,
murid-murid Siauw-lim-pai marah sekali karena mengira bahwa pemuda liar yang
bermata setan ini pasti seorang anak murid Hoa-san-pai pula. Maka seorang di
antara mereka yang termuda, yang tidak memandang mata kepada Han Han, sudah
menerjang sambil membentak.
"Bocah
setan, mampuslah!"
Pemuda
Siauw-lim-pai itu bersenjata sebuah toya yang memang merupakan sebuah di antara
senjata kaum Siauw-lim-pai yang ampuh. Begitu toya digerakkan, segera terdengar
bunyi mengaung dan ujung toya itu tergetar menimbulkan bayangan belasan batang
banyaknya. Kini toya itu rneluncur ke arah tubuh Han Han, menyodok ke dadanya.
Han Han sama sekali tidak bergerak.
"Krakkk!!"
Toya itu
dengan tepat menyodok ulu hati Han Han, akan tetapi pemuda ini sama sekali
tidak bergeming, sebaliknya toya itu patah-patah menjadi tiga potong! Anak
murid Siauw-lim-pai itu terdorong tenaganya sendiri sehingga menubruk tubuh Han
Han. Pemuda ini mengangkat tangan kiri yang terbuka, memukul ke arah tengkuk
lawannya.
"Krekkk!"
murid Siuw-lim-pai roboh dengan batang leher patah dan tewas seketika!
Peristiwa
ini menimbulkan geger. Delapan orang anak murid Siauw-lim-pai menjadi marah
sekali dan mereka maju dengan senjata mereka menerjang Han Han. Saking marahnya
menyaksikan seorang saudara mereka tewas, mereka itu lupa akan sifat kegagahan
dan delapan orang jagoan Siauw-lim-pai dengan senjata di tangan kini menerjang
dan mengeroyok seorang pemuda tanggung yang tak terkenal dan bertangan kosong!
Pada saat
itu Lulu juga sudah tiba di situ dan gadis ini dengan mata berkilat dan muka
berseri berteriak-teriak, "Han-ko, sikat saja perampok-perampok itu!"
Akibat
pengeroyokan itu sungguh hebat! Han Han kaku sekali gerakannya dan ia tidak
mempunyai ilmu silat tertentu untuk dimainkan menghadapi pengeroyokan itu. Biar
pun ia sudah mempelajari gerak kaki, namun gerak tangannya hanya ia pelajari
sepintas lalu saja karena selama enam tahun ini ia hanya memusatkan
ketekunannya untuk memupuk tenaga sinkang. Ia memasang bhesi dengan kuda-kuda
Chi-ma-se, kedua kakinya terpentang dan lutut ditekuk, akan tetapi kedua
lengannya dikembangkan dan diputar-putar menghadapi setiap serangan para
pengeroyok.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kagetnya kedua pihak yang bermusuhan melihat akibat
pertandingan ini. Setiap kali ada senjata datang menyerang, Han Han memapakinya
dengan dorongan atau kibasan tangannya dan si penyerang terguling, senjatanya
patah-patah dan orangnya roboh tewas, ada kalanya tewas dengan muka kebiruan
seperti membeku, ada kalanya pula tewas dengan tubuh hitam seperti hangus
terbakar!
Dalam keadaan
tidak sadar akan kekuatan sendiri, Han Han telah ‘mengisi’ lengan kiri dengan
tenaga inti Im-kang, sedangkan tangan kanannya mengandung tenaga inti
Yang-kang. Kekuatan dan kedahsyatan setiap gerak tangannya tidak kalah oleh
ilmu pukulan Swat-im Sinkang mau pun Hwi-yang Sinkang! Karena dia tidak
menyerang, hanya memapaki mereka yang menyerang saja, maka dalam
gebrakan-gebrakan itu robohlah tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan
tak bernyawa lagi, sedangkan Liong Tik dan seorang sutenya yang lebih tinggi
ilmunya dapat meloncat ke belakang sehingga terhindar dari bahaya maut, akan
tetapi juga senjata mereka itu remuk oleh hantaman hawa pukulan yang keluar
dari tangan Han Han.
Pada saat
itu keadaan Han Han benar-benar mengerikan sekali. Ia masih berdiri seperti
tadi karena ia telah merobohkan tujuh orang murid Siauw-lim-pai dalam keadaan
tak mengubah kedudukan kaki sama sekali. Ia berdiri menghadapi Liong Tik dan
sutenya, siap menerima serangan. Matanya mengeluarkan cahaya yang tajam sekali,
mulutnya tersenyum mengerikan seperti senyum setan mengejek sehingga wajahnya
yang tampan itu kelihatan menyeramkan, kedua lengannya dikembangkan ke kanan
kiri. Karena pihak lawan yang tinggal dua orang itu terbelalak dan tidak
menyerangnya, maka ia pun diam tak bergerak dan sesaat keadaan di situ menjadi
sunyi karena Lie Cit San, Ok Sun dan semua anggota piauw-su juga terbelalak
dengan hati ngeri.
Derap kaki
kuda terdengar jelas di saat yang sunyi itu dan Lulu menengok ke kanan. Seekor
kuda hitam datang seperti terbang cepatnya dan di atas kuda itu duduk seorang
gadis cantik. Bukan duduk, lebih tepat berdiri karena gadis itu memang berdiri
dengan kaki di kanan kiri perut kuda, di atas tempat kaki. Dapat berdiri
seperti itu selagi kuda membalap dengan miring membuktikan betapa pandainya
gadis cantik ini menunggang kuda. Akan tetapi wajah gadis itu diliputi kedukaan
dan kegelisahan.
Melihat
betapa anak murid Siauw-lim-pai banyak yang tewas dan kereta yang membawa dua
buah peti berada di situ dalam keadaan ditinggalkan karena para piauwsu tadi
menyambut penyerbuan para murid Siauw-lim-pai, gadis itu mengeluarkan teriakan
nyaring dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat sekali mendahului kuda dan
tahu-tahu ia telah berada di belakang kereta. Para piauwsu terkejut, akan
tetapi sebelum ada yang sempat bergerak, gadis itu sudah menggerakkan tangan
dua kali.
"Brakkkkk!
Brakkkkk!!"
Dua buah peti
itu terpukul bagian atasnya oleh dua tangan yang kecil halus, seketika bagian
tutupnya remuk dan terbukalah kedua peti itu. Si gadis cantik menjenguk ke
dalam peti-peti itu dan terdengar teriakannya menyayat hati.
"Liok-suhu...!
Chit-suhu...!!" Dan gadis itu menangis tersedu-sedu.
Para piauwsu
tercengang keheranan, apa lagi setelah Liong Tik dan seorang sutenya berlari
menghampiri kereta, menjenguk isi peti dan menjatuhkan diri berlutut pula
sambil menangis. Lie Cit San dan Ok Sun, diikuti para piauwsu lari pula
mendekat dan mereka terbelalak ketika melihat isi peti,.
"Aihhhhh...!!"
Lie Cit San dan Ok Sun terhuyung ke belakang dengan muka pucat sekali. Kiranya
di dalam dua buah peti itu terisi dua sosok mayat orang yang bukan lain adaiah
Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim
Chit-kiam!
Gadis cantik
itu sudah menghentikan tangisnya lalu bangkit berdiri. Sikapnya dingin sekali,
penuh hawa amarah meluap-luap, penuh dendam sakit hati yang harus dilampiaskan.
Ia bertanya kepada Liong Tik dan sute-nya.
"Siapa
yang membunuh saudara-saudaramu itu?"
"Sukouw
(Bibi Guru)... mohon bantuan... para Sute dibunuh oleh bocah iblis
itu...!" Liong Tik menuding ke arah Han Han yang masih berdiri seperti
arca.
Tadi Han Han
seperti kemasukan pengaruh yang aneh, terdapat rasa gembira sekali ketika kedua
tangannya merobohkan para pengeroyoknya. Namun kini ia memandang mayat-mayat
yang bergelimpangan itu dengan bengong. Ia baru sadar ketika ada suara wanita
membentak di depannya.
"Siapa
engkau yang begini kejam telah membunuh tujuh orang murid keponakanku?"
Tiba-tiba
Lulu yang berdiri di belakang Han Han tertawa geli sehingga suasana tegang itu
menjadi terpecah. "Hi-hi-hi, aneh sekali! Melihat muka dan tubuhmu, usiamu
tidak akan banyak selisihnya dengan usiaku, akan tetapi engkau mempunyai
keponakan-keponakan yang sudah tua-tua. Aneh dan lucu, hi-hi-hik!"
Akan tetapi
gadis itu tidak mempedulikannya, bahkan seperti tidak mendengarnya karena gadis
itu kini sedang memandang Han Han penuh perhatian, bahkan wajahnya yang cantik
kini menjadi agak pucat, sinar matanya penuh keheranan dan tidak percaya.
Han Han yang
sadar akan teguran suara wanita, mengangkat muka dan begitu ia memandang wajah
gadis cantik di depannya itu, ia terbelalak dan sampai lama tidak dapat
mengeluarkan suara. Kedua orang ini saling pandang, kadang-kadang meragu,
kemudian merasa yakin dan Han Han berkata lirih.
“...
Suci...!!”
"Engkau...?
Engkau... Han Han...? Dan engkau membantu Hoa-san-pai, menjadi anjing penjajah
Mancu...?”
“Suci...
sama sekali tidak...”
"Kau
bukan Suteku lagi! Kau musuh yang harus mati di tanganku" Gadis itu
menyerang dengan dahsyat sekali. Biar pun dia menyerang dengan pukulan tangan
ke arah dada Han Han, namun tangan kosong gadis cantik ini jauh lebih berbahaya
dari pada serangan senjata para murid Siauw-lim-pai tadi. Datangnya antep,
cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat.
"Dukkkkk…!”
Han Han yang tidak menangkis itu terpukul dadanya, terhuyung mundur dua
langkah.
Akan tetapi
gadis itu sendiri terbanting roboh! Gadis yang sesungguhnya adalah Lauw Sin
Lian ini terkejut dan meloncat bangun. Tangan kanannya yang memukul itu menjadi
kebiruan dan tubuhnya menggigil kedinginan! Cepat-cepat ia menahan napas dan
mengerahkan hawa dari pusarnya sehingga rasa dingin itu dapat diusir. Ia
memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak, kemudian ia menoleh kepada dua
orang murid keponakannya sambil berkata, suaranya mengandung isak tertahan.
"Naikkan
jenazah para Sute itu ke atas kereta."
Dua orang
murid Siauw-lim-pai itu segera melaksanakan perintah ini dengan air mata
bercucuran. Lauw Sin Lian meloncat ke atas kereta, diikuti dua orang murid
keponakannya, kemudian setelah sekali lagi menoleh ke arah Han Han dengan
pandang mata penuh kebencian, ia lalu memekik nyaring dan menarik kendali kuda.
Empat ekor kuda itu meringkik dan meloncat ke depan, lalu membalap. Para
piauwsu tidak ada yang berani berkutik. Mereka masih terkejut dan bingung
menyaksikan kenyataan yang amat mengerikan tadi.
"Suci...!"
Han Han mengeluh perlahan, kemudian ia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan,
menghadapi anak murid Hoa-san-pai yang masih berdiri pucat. Pandang mata Han
Han mengandung sesuatu yang membuat dua orang ini bergidik.
“Kalian...
Kalian…… manusia-manusia iblis! Kiranya kalianlah yang jahat, dan kalian
membuat aku membunuh mereka yang tak berdosa...!" Suara Han Han perlahan
seperti mendesis, namun hal ini bahkan menambah keseramannya.
Dua orang
murid Hoa-san-pai itu menggeleng kepala. "Tidak... tidak...!"
Akan tetapi
kedua tangan Han Han sudah menyambar, melakukan gerakan menampar ke depan.
Jarak antara mereka masih jauh, ada dua meter, namun tamparan ini mengandung
hawa sinkang yang hebat, mengandung hawa pukulan yang biasa ia latih di Pulau
Es, pukulan-pukulan yang dapat membuat air membeku menjadi bongkah-bongkah es
sebesar anak lembu!
Dua orang
murid Hoa-san-pai itu roboh tanpa dapat bersambat lagi, roboh dengan tubuh kaku
membeku dan tewas seketika! Para anak buah piauwsu menjadi pucat sekali, akan
tetapi Han Han sudah menghadapi mereka dan berkata.
"Kalian
hanya anak buah, tidak tahu apa-apa... !" Tanpa berkata apa-apa lagi Han
Han lalu menyambar tangan adiknya dan ditariknya lalu diajak pergi cepat-cepat
dari tempat itu.
Sebentar
saja kedua orang muda ini lenyap dari tempat itu dan barulah para anggota
piauwkiok itu sibuk mengurus jenazah kedua orang pimpinan mereka dan empat
orang jenazah itu. Dengan penuh duka dan masih menggigil kalau teringat kepada
pemuda yang mereka anggap iblis itu, mereka kembali ke Kwan-teng untuk
melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.
“Eh-eh,
berhenti dulu, Han-ko...!" Lulu merenggut tangannya dan terpaksa Han Han
berhenti. Wajah pemuda ini keruh tanda bahwa pikirannya kalut dan hatinya
terganggu oleh peristiwa dalam hutan tadi.
"Han-ko,
semua peristiwa tadi amatlah mengherankan hatiku. Siapakah gadis cantik yang
kau sebut Suci tadi? Benarkah dia itu Kakak Seperguruanmu?"
Han Han yang
masih kalut pikirannya itu mengangguk. "Dia Suciku, dia Puteri guruku yang
pertama. Dia puteri Lauw-pangcu…" Baru Han Han teringat dan kalau bisa ia
hendak menelan kembali semua kata-kata yang sudah dikeluarkan. Namun terlambat
karena Lulu sudah mendengar semua dan gadis itu tiba-tiba menjerit, lalu
membalikkan tubuh dan lari secepatnya.
“Eh,
Moi-moi..., tunggu dulu...!!” Han Han meloncat dan cepat mengejar. Sebentar
saja ia dapat menyusul dan memegang tangan Lulu. Akan tetapi Lulu merenggutkan
tangannya dan dengan cemberut memandang Han Han dengan muka merah dan air mata
memmbasahi pipinya.
"Jangan
dekat-dekat! Jangan pegang-pegang! Kau kiranya murid musuh besarku! Apakah kau
hendak membelanya? Mulai sekarang aku tidak sudi berdekatan denganmu!"
"Eh,
Lulu jangan begitu. Aku tetap Kakakmu, dan aku tidak akan membela siapa pun
juga kecuali engkau Adikku..."
"Bohong!
Mana mungkin membelaku kalau musuh besarku adalah Gurumu sendiri? Kakek jahat
she Lauw itu adalah Gurumu, baru puterinya saja sudah kau bela tadi! Sudahlah,
karena kau murid musuh besarku, berarti engkau musuhku juga. Nah, kau lekas
serang dan bunuh aku..., lekas bunuh aku... Tak mungkin aku dapat membalas
kematian keluargaku karena engkau murid musuhku. Bunuh aku, engkau murid musuh
besarku!" Saking berduka dan marah, omongan Lulu menjadi kacau-balau tidak
karuan dan bercampur dengan isak yang ditahan-tahannya. Sepasang matanya yang
lebar dan yang biasanya bersinar seperti sepasang matahari kembar itu kini
menyuram, dan dua butir air mata jernih seperti mutiara menggantung di bulu
matanya yang lentik.
Han Han
melangkah maju dan memegang kedua pundak Lulu, tersenyum duka dan berkata,
"Baiklah, lulu. Engkau menganggap aku musuhmu, nah, ini dadaku sudah
terbuka di depanmu. Kau hantamlah aku sampai mati, kalau kau tetap menganggap
aku musuhmu."
Sepasang
mata yang lebar indah itu memandang ke arah dada Han Han, dada kakaknya yang
selama ini menjadi tempat ia bersandar. Ia bergidik, tetapi mulutnya masih
mencela. "Kau mengejek! Kau tahu bahwa betapa pun keras aku memukul,
takkan melukai dadamu, engkau kuat dan kebal..."
"Adikku
yang manis. Sekali ini aku tidak akan melawan, dan aku akan senang mati di
tanganmu, kalau hal itu memang kau kehendaki dan akan menyenangkan hatimu.
Apakah akan senang hatimu kalau kau dapat memukul mati Kakakmu ini,
Moi-moi?"
Lulu
menengadahkan mukanya, mereka berpandangan dan Lulu terisak menangis sambil
menubruk kakaknya, menyembunyikan mukanya di dada yang ditawarkan untuk ia
pukul itu. Air matanya membasahi baju dan dada Han Han yang mengelus-elus
kepala adiknya penuh kasih sayang.
"Lulu,
sudahlah jangan menangis. Aku bukan musuhmu melainkan Kakakmu."
"Akan
tetapi kau murid Lauw-pangcu, musuh besarku."
"Sekarang
tidak lagi, Lulu. Itu dahulu ketika aku masih kecil. Engkau mendengar sendiri
betapa puterinya tadi mengatakan demikian pula, bahwa dia bukan Suciku dan aku
bukan Sutenya. Puterinya itu pun kini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai
yang hebat"
Lulu
mengangkat mukanya memandang. Mukanya masih agak basah, kulit muka yang halus
itu kemerahan dan kemarahan sudah menghilang dari pandang matanya yang kini
menatap wajah kakaknya penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Koko,
engkau mencinta dia…?"
"Siapa?"
“Dia, puteri
musuh besarku itu...”
"Aha!
Kau maksudkan Lauw Sin Lian tadi? Dia bekas Suciku, ahhh... tidak, aku tidak
tahu tentang cinta, jangan bertanya yang bukan-bukan!"
"Syukurlah,
aku akan bingung sekali kalau sampai engkau mencinta puteri musuh besarku. Akan
bagaimanakah sikapku? Dia puteri musuh besarku akan tetapi juga... eh calon
So-so (Kakak Ipar), kan merepotkan hati namanya!"
"Hussh,
kau memang nakaI, Moi-moi. Apakah lupa baru saja kau mengamuk dan menangis?
Sekarang sudah menggoda orang!"
Lulu
tersenyum, giginya yang rapi dan putih berkilat di balik kemerahan bibirnya.
"Tapi aku girang, tak mungkin kau menikah dengan Lauw Sin Lian. Dia sudah
marah dan benci kepadamu karena kau telah membunuh murid-murid
keponakannya!"
Han Han menghela
napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Lulu, jangan menganggap
hal itu seperti main-main! Aku tadi telah salah membunuh orang. Kusangka
tadinya orang-orang Siauw-lim-pai itu yang jahat dan menjadi perampok, kiranya
piauwsu-piauwsu anak murid Hoa-san-pai itu yang jahat, menyembunyikan dua orang
tokoh Siauw-lim-pai yang mereka bunuh di dalam peti-peti itu."
Seketika
wajah Lulu menjadi serius dan membayangkan kekhawatiran. "Wah, kalau
begitu engkau akan dimusuhi oleh Siauw-lim-pai, Koko?"
Han Han
tersenyum dan pandang matanya membayangkan ejekan. "Aku tidak takut!
Mengapa mesti takut karena memang aku membunuh mereka karena salah sangka? Juga
sikap mereka itu sendiri yang mendorongku membunuh mereka. Bahkan aku akan
pergi ke Siauw-lim-pai, mencari Sin Lian untuk menjelaskan peristiwa itu."
"Bagus
sekali! Mari kita ke sana, Koko. Engkau ingin memberi penjelasan kepada Sin
Lian dan aku akan bertanya di mana adanya Ayahnya agar aku dapat membalas
dendam! Engkau tentu akan membantuku membunuh Lauw-pangcu, bukan?"
Han Han
merasa serba salah, akan tetapi dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Kurasa
sekarang engkau telah cukup lihai untuk mengalahkan Lauw-pangcu, Lulu.
Bagaimana mungkin aku dapat turun tangan terhadap dia yang dahulu amat baik
kepadaku? Aku hanya berjanji akan melindungimu jika kau sekiranya kalah, akan
tetapi untuk membantumu membunuhnya..., wah, berat juga."
"Tidak
apalah tidak kau bantu juga! Kalau aku kalah, aku dapat belajar lagi darimu dan
lain kali kucari lagi dia dia. Mari kita ke Siauw-lim-pai mencari Sin Lian,
Koko!"
Akan tetapi
Han Han menggeleng kepala. "Tidak sekarang, Moi-moi. Aku akan pergi dulu
mencari pusat Pek-eng-piauwkiok itu! Aku telah kesalahan tangan membunuh murid
Siauw-lim-pai dan semua itu hanya karena kejahatan dan kepalsuan orang-orang
Pek-eng-piauwkiok. Mungkin dua orang piauwsu yang mengawal dua peti terisi
mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam itu pun hanya petugas saja. Tentu
ketua piauwkiok itu yang menjadi biang keladi dan yang bertanggung jawab. Dia
yang harus menebus semua kesalahan ini. Setelah aku menghukum orang yang
menjadi biang keladi peristiwa di hutan itu, yang menjadi pembunuh dua orang di
antara Siauw-lim Chit-kiam, barulah aku akan mengajakmu pergi ke
Slauw-lim-pai."
“Tapi, ke
mana kau akan mencari Pek-eng-piauwkiok, Koko? Kita tidak mengenal
mereka..."
"Wah,
kau bodoh sekali, Lulu! Kita pergi saja ke jurusan dari mana mereka datang,
kemudian kita bertanya pada orang, apa sukarnya?" Tanpa memberi kesempatan
kepada adiknya yang cerewet itu membantah lagi, Han Han menyambar tangan Lulu
dan digandengnya, kemudian mengajak dara itu pergi meninggalkan tempat itu.
Biar pun
cukup lama berada di Putau Es, namun Han Han masih belum kehilangan
kecerdikannya, kalau tak dapat dikatakan dia makin cerdik, karena ada sesuatu
yang aneh dalam dirinya yang membuat otaknya dapat bekerja lebih cepat. Tepat
seperti yang diduganya, dengan mudah mereka dapat mencari keterangan tentang
Pek-eng-piauwkiok.
Piauwkiok
yang besar dan terkenal ini berada di kota Kwan-teng, dan dua orang muda itu
segera pergi ke kota Kwan-teng, tidak peduli akan tatapan pandang mata
keheranan dan kagum dari orang-orang yang berjumpa dengan mereka. Heran melihat
Han Han yang aneh dan rambutnya riap-riapan, kagum menyaksikan Lulu yang cantik
jelita. Pandang mata heran dan kagum ini lama-lama terbiasa bagi mereka.
Di dalam
hatinya, Han Han mengambil keputusan untuk menebus semua pembunuhan. yang ia
lakukan di hutan tadi, pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan seakan-akan di
luar kesadarannya. Entah bagaimana, sekali bertemu tanding ia mendapat perasaan
gembira dan senang sekali merobohkan para lawannya tanpa dasar apa-apa! Dan
begitu keluar pulau, dia telah melakukan pembunuhan terhadap orang-orang
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, dua partai persilatan yang besar! Karena itu,
dia harus membereskan urusan ini, mencari siapa yang bersalah dan siapa yang
menjadi biang keladinya.
***************
Memang tidak
salah pendapat Han Han bahwa Hoa-san-pai adalah sebuah partai persilatan yang
besar dan terkenal, sungguh pun tidaklah sebesar partai Siauw-lim-pai yang
seolah-olah menjadi sumber partai persilatan di Tiongkok. Hoa-san-pai yang
berpusat di puncak Gunung Hoa-san itu mempunyai banyak sekali anak murid yang
pandai-pandai dan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh anak murid Hoa-san-pai
adalah tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai
pendekar-pendekar pembela keadilan.
Pek-eng-piauwkiok
dipimpin oleh Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, seorang tokoh Hoa-san-pai yang
tinggi ilmu silatnya. Di dalam anak tangga tingkat Hoa-san-pai, Tan Bu Kong
menduduki tingkat lima. Di samping para sute-nya yang tentu saja lebih rendah
tingkatnya, dia telah berhasil membuat nama besar, tidak hanya mengakibatkan
kemajuan dan keuntungan piauwkiok yang ia pegang, akan tetapi juga sekaligus
mengangkat nama besar Hoa-san-pai. Apa lagi karena di samping perusahaannya
ini, diam-diam Pek-eng-piauwkiok menjadi tempat pertemuan tersembunyi di antara
para patriot yang melakukan gerakan menentang pemerintah penjajah Mancu.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Pek-eng-piauwkiok didatangi seorang gadis
Mancu yang cantik jelita dan juga aneh, yang mengirimkan dua buah peti panjang
dengan biaya amat mahal itu. Setelah dua buah peti itu diberangkatkan, hati Tan
Bu Kong yang menjaga di rumah menjadi amat tidak enak dan selalu gelisah. Dia
memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan hatinya makin
tidak enak ketika sampai sore sute-nya yang ia suruh mengikuti dan menyelidiki
gadis Mancu itu belum juga kembali. Sute-nya itu, Teng Lok, memiliki kepandaian
yang boleh diandalkan dan terutama sekali ginkang-nya amat tinggi, tidak kalah
oleh dia sendiri. Mengapa sampai sore belum juga sute-nya itu kembali?
Menjelang
malam, Tan-piauwsu mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia meloncat dan
berlari keluar dengan jantung berdebar, siap menghadapi segala kemungkinan
karena agaknya para anak buahnya ribut-ribut oleh sesuatu yang tentunya tidak
beres. Ketika ia tiba di luar dan memandang, wajahnya menjadi pucat dan cepat
ia menyongsong ke depan dan berseru.
"Teng-sute...!"
Adik
seperguruannya itu sedang digotong oleh anak buahnya dan agaknya begitu tiba di
depan gedung piauwkiok, adik seperguruannya itu roboh pingsan. Tidak aneh kalau
melihat keadaannya yang demikian mengerikan. Lengan kanannya buntung sebatas
siku dan lehernya terluka mengeluarkan darah. Cepat orang she Teng ini digotong
masuk direbahkan di atas dipan dalam kamar. Setelah menerima perawatan,
akhirnya dia mengerang dan siuman. Luka di lehernya tidak membahayakan, hanya
lengannya yang buntung itu benar-benar mengerikan. Ketika ia menengok dan
memandang suheng-nya duduk di situ menjaganya, ia mengeluh.
"Ahhh,
Suheng..., untung siauwte masih hidup... dan dapat bercerita kepada
Suheng..."
Tan Bu Kong
menekan pundak sutenya dan dengan terharu berkata, "Tenanglah, Sute dan
ceritakan perlahan-lahan dan seenaknya, engkau masih amat menderita...”
"Tidak,
harus sekarang juga Suheng dengar. Gadis Mancu itu bukan manusia! Dia seperti
iblis! Ketika aku mengikuti keretanya, kusangka tidak ada yang tahu dan aku
terus membayanginya sampai kereta itu berhenti di luar kota raja di mana
terdapat sebuah gedung peristirahatan yang mewah, entah punya siapa, yang jelas
tentu milik seorang pembesar Mancu. Diam-diam aku lalu menyelidik dan akhirnya
aku dapat membekuk seorang pelayan, kuseret keluar dan di bawah ancaman, dia
mengaku bahwa gedung itu tempat peristirahatan Puteri Nirahai yang katanya
adalah puteri Kaisar Mancu dari selir. Akan tetapi pada saat itu juga,
tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan gadis Mancu itu telah berada di situ
tanpa kuketahui sama sekali. Dia menyindir bahwa aku sejak tadi membayangi
keretanya dan untuk kelancangan itu aku harus dihukum. Aku menyatakan bahwa
sebagai pimpinan piauwkiok, aku wajib mengetahui alamat pengirim barang. Dia
tidak peduli dan minta supaya aku membuntungi lengan kananku dengan pedang
sendiri!"
“Ah...,
terang dia bersikap tidak baik terhadap kita!" kata Tan Bu Kong marah.
"Bukan
hanya tidak baik, bahkan telah direncanakannya, Suheng! Aku tentu saja tidak
mau dan hendak pergi, akan tetapi aku selalu terguling roboh setiap kali
tangannya bergerak mendorongku. Agaknya dia memiliki sinkang yang luar biasa
dan dengan pukulan jarak jauh selalu merobohkan aku setiap aku hendak pergi.
Aku menjadi marah, mencabut pedang dan menyerang gadis penjajah laknat
itu!" Muka Teng Lok menjadi merah karena ia masih penasaran dan marah
terhadap gadis bangsa Mancu itu.
"Lalu
bagaimana, Sute?"
"Dia
lihai sekali. Entah bagaimana aku sendiri tidak tahu, tiba-tiba pedangku telah
dirampasnya dan di lain saat, lenganku telah terbabat buntung dan leherku
terluka. Hanya dengan mengandalkan ginkang saja aku dapat melarikan diri untuk
melapor kepadamu, Suheng."
Pucat wajah
Tan Bu Kong, pucat karena kaget dan marah. Dia maklum akan gawatnya persoalan.
Andai kata gadis itu bukan puteri Mancu, apa lagi puteri kaisar sendiri, tentu
dia akan mengerahkan tenaga untuk mendatangi dan membalas semua ini. Akan tetapi
gadis itu adalah puteri Mancu, kalau diganggu, tentu berarti merupakan perang
terbuka menentang Pemerintah Mancu dan hal ini akan menyeret pula Hoa-san-pai!
“Itu belum
semua, Suheng," kata pula Teng Lok sambil memandang wajah suheng-nya yang
berkerut. "Ketika aku lari, aku tahu bahwa jika dia menghendaki, tentu dia
akan dapat mengejar dan membunuhku. Akan tetapi dia hanya tertawa dan
mengatakan bahwa kita harus bersiap-siap menanti serbuan orang-orang
Siauw-lim-pai. Entah apa maksudnya, akan tetapi aku khawatir sekali, Suheng.
Gadis itu seperti iblis betina dan entah pekerjaan terkutuk apa yang sedang dia
lakukan..."
"Hemmm...,
tentu ada hubungannya dengan peti-peti itu. Baik kita tunggu saja dan engkau
beristirahatlah, Sute sambil merawat diri. Kelak, karena kini lenganmu buntung,
tentu Suhu akan dapat memberi ilmu yang khusus untukmu. Sementara ini aku akan
memperkuat penjagaan, bersiap menanti datangnya bahaya yang terasa benar olehku
sedang mengancam kita."
Semenjak
sore hari itu sampai tiga hari tiga malam lamanya Tan Bu Kong makin gelisah.
Duduk salah berdiri pun tak enak, makan tak sedap tidur tak nyenyak, dan selalu
menanti-nanti kembalinya rombongan sutenya yang pergi mengawal dua buah peti
itu ke selatan.
Dapat
dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika pada suatu sore, sepekan kemudian,
rombongan anak buahnya berlari-lari datang dengan wajah kusut, tanpa membawa
kereta piauwkiok dan tanpa dipimpin oleh dua orang sutenya yang bertugas
mengantar dua buah peti itu. Tan-piauwsu membentak para anak buahnya yang
bercerita simpang-siur dan amat gaduh, lalu memerintahkan seorang yang tertua
di antara mereka untuk menceritakan semua pengalamannya.
Piauwsu tua
itu bercerita sambil mencucurkan air mata, menceritakan semua peristiwa yang
terjadi, betapa kereta mereka dihadang oleh serombongan anak murid
Siauw-lim-pai yang hendak memaksa membuka dua buah peti itu, kemudian betapa
mereka bertanding melawan anak-anak murid Siauw-lim-pai dan munculnya seorang
pemuda aneh yang rambutnya riap-riapan bersama seorang dara remaja jelita yang
secara mengerikan telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang anak murid
Siauw-lim-pai, kemudian betapa muncul seorang gadis anak murid Siauw-lim-pai
yang lihai dan yang membuka dua buah peti dengan secara paksa.
"Dibuka?
Apa isinya...?" Tan-piauwsu bertanya dengan suara keras saking tegang
hatinya.
"Isinya
adalah dua mayat manusia, mayat dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam...”
"Hayaaa...!!!"
Tan Bu Kong mencelat bangun dari kursinya dengan muka pucat sekali.
“Celaka...!"
Piauwsu itu
lalu melanjutkan ceritanya. Betapa gadis murid Siauw-lim-pai itu menyerang Si
Pemuda aneh namun dapat dikalahkan dan kemudian gadis itu membawa pergi
jenazah-jenazah dalam peti dan jenazah para anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian
dengan suara terengah-engah dia menceritakan betapa pemuda aneh itu menjadi
marah kepada para piauwsu, dan dengan sekali gerakan telah membunuh Lie Cit San
dan Ok Sun!
"Ahhh!
Siapakah pemuda yang ganas dan kejam itu?" Tan-piauwsu berseru dengan alis
berdiri.
"Entahlah,
kami hanya mendengar gadis murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mengenalnya dan
pemuda itu malah menyebut Suci kepada murid Siauw-lim-pai itu, dan gadis itu
menyebut namanya Han Han..."
Akan tetapi,
biar pun kedua orang sutenya tewas, hal ini tidak mengurangi kekhawatiran hati
Tan-piauwsu dan kemarahannya terhadap Si Puteri Mancu. Sebagai seorang yang
berpengalaman, tahulah dia bahwa pihaknya, yaitu Pek-eng-piauwkiok yang tentu
saja dapat juga dianggap mewakili Hoa-san-pai, telah diadu domba secara licin
dan keji sekali oleh Puteri Mancu yang lihai itu! Pantas saja puteri itu
menyindir kepada sutenya, Teng Lok bahwa Hoa-san-pai harus bersiap-siap untuk
menghadapi penyerbuan Siauw-Hm-pai!
Kini
jelaslah sudah bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, kedua orang dari
Siauw-lim Chit-kiam, telah dibunuh oleh puteri Mancu yang kemudian memasukkan
dua jenazah itu ke dalam peti dan sengaja menyuruh Pek-eng-piauwkiok
mengawalnya ke selatan. Dan ia dapat menduga pula bahwa tentu pihak
Siauw-lim-pai secara diam-diam diberi tahu oleh puteri iblis itu sehingga
mereka menghadang kereta dan minta lihat isi peti! Hal ini kalau dipikirkan
amat sederhana, sebuah tipu muslihat yang mudah, akan tetapi betapa kejinya!
Tentu saja pihak Siauw-lim-pai berkeyakinan bahwa dua orang tokoh mereka itu
terbunuh oleh Hoa-san-pai dan tentu akan timbul dendam dan bentrokan hebat
antara kedua partai besar ini.
Tan-piauwsu
termenung. Si pembuat urusan ini adalah puteri Mancu itu, tak salah lagi,
sungguh pun ia bergidik kalau mengingat betapa dua orang di antara Siauw-lim
Chit-kiam sampai dapat terbunuh! Padahal dia tahu bahwa Siauw-lim Chit-kiam
adalah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, yang memiliki tingkat ilmu
kepandaian amat hebatnya, masing-masing merupakan tokoh Siauw-lim-pai tingkat
tiga!
Kalau biang
keladinya adalah puteri Mancu, dan yang menjadi korban adalah Hoa-san-pai dan
Siauw-lim-pai, dua buah partai yang menentang Mancu, maka mudah saja diduga
sebabnya! Tentu pihak Pemerintah Mancu sengaja mengadu domba Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai agar dua partai yang memusuhi Mancu ini menjadi lemah dan saling
gempur sendiri. Dan hal ini amatlah berbahaya!
Malam hari
itu juga Tan Bu Kong menyuruh seorang sutenya untuk pergi ke Hoa-san,
miengabarkan peristiwa hebat ini kepada pimpinan Hoa-san-pai agar dapat
mengambil langkah-langkah seperlunya untuk-mencegah terjadinya pertentangan
hebat antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang akan timbul sebagai akibat
taktik adu domba yang amat keji itu. Juga mengundang tokoh-tokoh sakti Hoa-san-pai
untuk diajak mengambil tindakan terhadap puteri Mancu yang amat sakti dan aneh
itu.
Dia maklum
bahwa dia sendiri takkan mungkin dapat mengalahkan puteri Mancu yang telah
berhasil membunuh dua orang sakti seperti dua di antara Siauw-lim Chit-kiam.
Atau, andai kata bukan puteri itu yang membunuh, karena dia masih tidak percaya
seorang puteri remaja seperti itu akan sanggup membunuh dua di antara Siauw-lim
Chit-kiam, tentu ada orang sakti di belakang puteri itu yang tentu akan
melindungi Sang Puteri.
Pada
keesokan harinya, tanpa disangka-sangka muncullah seorang pemuda tinggi besar
yang gagah dan tampan bersama seorang gadis baju kuning yang cantik manis.
Kedatangan dua orang ini sedikit menghibur hati Tan Bu Kong karena mereka itu,
biar pun terhitung sute dan sumoi-nya, namun murid-murid dari supek-nya ini
memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampauinya!
Sutenya itu
adalah seorang pemuda yang tampan dan tinggi besar, usianya dua puluh tahun
lebih, gerak-geriknya halus, wajahnya periang dan peramah, tetapi sesungguhnya
dia inilah pendekar muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoo-san Gi-hiap (Pendekar
Budiman dari Hoa-san)! Ada pun gadis cantik manis berusia antara delapan belas
tahun itu pun bukan sembarang orang karena dialah tokoh kang-ouw yang amat terkenal
yang berjuluk Hoa-san Kiam-li (Dewi Pedang Hoa-san)! Biar pun masih muda, dua
orang pendekar Hoa-san ini telah membuat nama besar dengan perbuatan-perbuatan
mereka yang menggemparkan dalam membela kebenaran dan keadilan.
Ketika
melihat wajah suheng mereka yang keruh, pemuda dan dara ini cepat bertanya apa
yang terjadi sehingga menyusahkan hati Tan-piauwsu.
"Kami
berdua menerima pesan Suhu untuk datang membantu usaha Suheng menghimpun
orang-orang gagah yang bergerak menentang kekuasaan penjajah Mancu," kata
pemuda tampan itu. "Mengapa Suheng kelihatan tidak bersemangat dan
berduka?”
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati dua orang muda perkasa itu ketika tiba-tiba
Tan-piauwsu mengeluh, menarik napas panjang dan matanya menjadi basah dengan
air mata! Suheng mereka, yang gagah perkasa dan banyak pengalaman di dunia
kang-ouw itu menangis! Tentu terjadi sesuatu yang amat hebat!
"Sute
dan Sumoi, kedatangan kalian ini merupakan cahaya penerang bagi hatiku yang
sedang gelap, akan tetapi aku membutuhkan bantuan para Locianpwe, para Susiok
dan Suhu kita di Hoa-san-pai karena tanpa mereka, kiranya sukar untuk membikin
terang perkara yang amat gelap in!" Tan Bu Kong lalu menceritakan semua
peristiwa yang terjadi semenjak puteri Mancu itu menitipkan dua buah peti untuk
dikirim ke selatan.
Mendengar
semua itu, Hoa-san Gihiap mengepalkan tinjunya. "Ah, jelas Puteri Mancu
itulah yang mengatur semua rencana terkutuk itu! Biarlah aku akan pergi
menangkapnya, kemudian menyeretnya ke Siauw-lim-pai, memaksanya mengaku akan semua
perbuatannya. Hanya dengan jalan itu semua perkara dapat dlbereskan,
Suheng."
"Betul
pendapat Wan-suheng!" kata Hoa-san Kiam-li penuh semangat. "Biar aku
membantu Wan-suheng menangkap iblis betina yang palsu itu!"
Tan Bu Kong
mengangkat tangan dan menggeleng kepala. "Bukan aku kurang percaya akan
kesanggupan Sute dan Sumoi, akan tetapi sungguh sembrono sekali kalau hal itu
dilakukan. Pertama, ada kemungkinan puteri itu memiliki kelihaian yang amat
luar biasa kalau benar dia yang membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam.
Kelihaiannya telah dirasakan oleh Suheng kalian Teng Lok, akan tetapi akan
lebih hebat lagi kalau dia dapat membunuh dua orang Locianpwe dari
Siauw-lim-pai itu. Selain itu, mungkin dia mempunyai kawan-kawan yang berilmu
tinggi dan hal ini tidak mengherankan kalau diingat betapa datuk-datuk besar
golongan hitam banyak yang menghambakan diri kepada penjajah Mancu. Hal itu
saja sudah menjadi sebab yang harus kita perhatikan dan sama sekali tidak boleh
dianggap ringan. Ada lagi hal yang harus dipikirkan masak-masak sebelum kalian
mengambil keputusan untuk menangkap puteri itu. Dia adalah puteri dari Kaisar
Mancu sendiri, sungguh pun puteri selir namun kedudukannya amat tinggi sehingga
kalau sampai dia kita tawan, tentu akan timbul geger dan Hoa-san-pai tentu akan
diserang secara terang-terangan oleh bala tentara Mancu. Dalam hal ilmu
kepandaian, tentu Sute dan Sumoi jauh melampaui aku, namun dalam hal
pengalaman, aku jauh lebih tua dan lebih banyak mengalami hal-hal yang sulit.
Sebaiknya Sute dan Sumoi secara diam-diam melakukan penyelidikan terhadap
Puteri itu. Tentu saja kalian harus berhati-hati, jangan sampai terjadi hal
yang menimpa diri Sute Teng Lok. Cukup kalau Sute dan Sumoi mengetahui latar
belakang puteri itu, apakah ada orang-orang sakti di sana, dan siapa
sesungguhnya puteri yang aneh dan lihai itu."
Mau tidak
mau kedua orang muda perkasa itu harus tunduk dan merasa kagum akan pandangan
yang luas dari suheng mereka itu. Mereka menyanggupi dan pertemuan antara
murid-murid seperguruan itu dilanjutkan dengan makan minum dalam suasana
prihatin.
"Sebaiknya
Sute dan Sumoi melakukan penyelidlkan di waktu siang saja agar tidak berbahaya.
Kita menanti kembalinya utusanku ke Hoa-san. Setelah para Locianpwe dari
Hoa-san tiba, barulah kita mengambil keputusan berdasarkan pendapat
beliau-beliau itu agar sepak terjang kita tidak simpang-siur." Demikian
pesan Tan Bu Kong yang dipatuhi oleh dua orang adik seperguruannya.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda perkasa itu sudah
meninggalkan piauwkiok dan melakukan penyelidikan ke tempat yang ditunjuk oleh
Teng Lok, yaitu di luar kota raja yang tidak begitu jauh dari situ, hanya dalam
jarak perjalanan seperempat hari saja.
Pada sore
harinya menjelang senja, selagi Tan-piauwsu dan para anak buahnya duduk menanti
kedua orang sute-nya itu, juga menanti berita dari Hoa-san, tiba-tiba muncul
dua orang muda di depan pintu gerbang piauwkiok. Melihat mereka ini, para
pengawal yang tempo hari ikut mengawal dua peti jenazah menjadi pucat dan
gugup. Ada yang berbisi-bisik.
“Dia
datang…! Dia datang...!!”
Ketika Tan
Bu Kong menengok dan melihat seorang pemuda yang berambut panjang riap-riapan,
berwajah tampan dan aneh, sinar matanya tajam sekali dengan sikap tenang muncul
di depan pintu menggandeng tangan seorang dara remaja yang cantik jelita,
kemudian mendengar suara orang-orangnya, hatinya berdebar dan ia dapat menduga
bahwa tentu inilah pemuda aneh yang telah membunuh tujuh orang murid
Siauw-lim-pai dan membunuh pula dua orang sute-nya, yaitu Lie Cit San dan Ok
Sun. Sejenak Tan-piauwsu terbelalak keheranan, sama sekali tidak mengira bahwa
orang yang dikabarkan amat aneh dan amat lihai itu hanyalah seorang pemuda
remaja yang kelihatannya terlalu tenang dan terlalu lemah, bahkan terlalu
sederhana mendekati tidak normal! Yang membiarkan rambutnya terurai seperti itu
biasanya hanyalah kaum pertapa yang tidak peduli lagi akan keadaan dirinya!
"Apakah
di sini Pek-eng-piauwkiok?" Han Han, pemuda itu, bertanya sambil memandang
ke arah Tan-piauwsu yang baru muncul dari dalam dengan langkah lebar.
Tan Bu Kong
mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan sambil menjawab,
"Benar, di sini adalah kantor Peng-eng-piauwkiok. Kalau Siauw-enghiong
(Pemuda Gagah) ada keperluan, silakan masuk, kita bicara di dalam!"
Betapa pun
juga, Han Han yang sudah hafal akan sopan santun dan belajar tentang kebudayaan
dan kesusastraan semenjak kecil, menjadi kikuk juga dan terpaksa ia pun
membalas dengan mengangkat kedua tangan depan dada sambil melangkah masuk,
diantar oleh tuan rumah memasuki ruangan dalam yang luas. Di belakang
Tan-piauwsu, para pengawal mengikuti dengan wajah tegang. Teng Lok masih
beristirahat di dalam kamarnya dan di situ hanya terdapat empat orang sute Tan-piauwsu
yang tingkat kepandaiannya belum dapat diandalkan, sungguh pun tentu saja
sebagai murid-murid Hoa-san-pai jauh lebih lihai dari pada semua pengawal yang
bekerja di Pek-eng-piauwkiok.
"Siauw-enghiong
dan Lihiap, silakan duduk," kata Tan-piauwsu.
Akan tetapi
Han Han tetap berdiri dan Lulu juga berdiri karena melihat kokonya tidak duduk.
Gadis ini hanya memandang ke kanan kiri, mengagumi perabot rumah yang biar pun
tidak seindah perabot di Istana Pulau Es, namun jauh berbeda. Han Han berkata
dengan kening dikerutkan.
"Harap
tidak usah repot-repot karena saya datang untuk mencari pemimpin
Pek-eng-piauwkiok."
Tan-piauwsu
memandang tajam, lalu menjawab, “Saya Tan Bu Kong adalah pemimpin
Pek-eng-piauwkiok. Enghiong siapakah dan ada keperluan apa mencari saya?"
Sebagai seorang yang berpengalaman, piauwsu ini tidak langsung menyatakan
mengenai pemuda ini, melainkan pura-pura bertanya akan maksud kedatangan pemuda
itu yang memang belum dapat diduganya.
"Bagus
sekali! Jadi engkau pemimpin piauwkiok ini? Tan-piauwsu, tidak perlu main
sandiwara lagi! Tentu orang-orangmu telah menceritakan betapa aku telah
membunuh kedua orang pembantumu. Engkau tentu yang bertanggung jawab tentang
pengiriman dan pembunuhan dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dua orang di antara
Siauw-lim Chit-kiam. Karena itu, aku datang untuk membunuhmu sebagai tebusan
kejahatanmu. Bersiaplah!" Han Han sudah bergerak hendak memukul.
"Nanti
dulu, Siauw-enghiong! Yang kau bunuh itu adalah dua orang Suteku, justru aku
ingin bertanya mengapa engkau membunuh mereka? Dan mengapa pula engkau hendak
membunuhku?”
"Sudah
jelas, kalian telah membunuh dua orang dari Siauw-lim Chit-kiam dan memasukkan
jenazah mereka dalam peti. Karena salah sangka, aku membantu orang-orangmu dan
kesalahan tangan membunuh orang-orang Siauw-lim-pai. Engkaulah yang bertanggung
jawab. Aku bukan algojo, tukang bunuh orang tanpa sebab, maka engkau yang
menjadi biang keladinya harus menebus dosa!" Setelah berkata demikian, Han
Han menggerakkan tangan kirinya melakukan pukulan dengan jari tangan terbuka.
"Wesssss...!"
Angin pukulan yang amat dingin menyambar.
Tan-piauwsu
mengenal tenaga sakti yang menyambar ganas. Ia berseru kaget dan cepat ia
meloncat ke kanan untuk mengelak. Sebuah meja yang berdiri dua meter di
belakangnya menggantikannya kena sambaran tenaga pukulan itu dan pecah
berantakan, terlempar sampai jauh!
Tan Bu Kong
merasa ngeri, dan cepat ia melompat mundur sambil berseru, "Nanti dulu,
Siauw-enghioog! Aku sama sekali tidak mengerti tentang jenazah-jenazah itu.
Bukan kami yang bertanggung jawab, kami pun terperosok dalam perangkap
musuh..."
“Sudah ada
bukti hendak menyangkal lagi? Koko, orang ini pintar mainkan lidah, jangan kena
dibohongi. Sikat saja!” kata Lulu yang ingin agar urusan ini cepat selesai
sehingga ia dapat mengajak kakaknya mencari Lauw Sin Lian agar dapat ia
bertanya tentang musuh besarnya, ayah dari gadis itu.
Han Han juga
berpendapat seperti Lulu. Sudah jelas buktinya bahwa peti-peti yang berisi
jenazah itu diangkut oleh Pek-eng-piauwkiok, dan jelas pula bahwa ketika
orang-orang Siauw-lim-pai minta supaya peti-peti itu dibuka, para pengawal
Pek-eng-piauwkiok rnencegahnya mati-matian. Andai kata bukan orang Siauw-lim
Chit-kiam, setidaknya Pek-eng-piauwkiok tentu bersekutu untuk merahasiakannya.
"Tidak
perlu banyak cakap lagi!" katanya karena hatinya amat kesal kalau ia
teringat betapa ia telah membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai yang tidak berdosa
dan karenanya Sin Lian, gadis yang dahulu amat baik terhadap dirinya, yang
telah berkali-kali menolongnya, dan yang dengan rajin sekali memberi
petunjuk-petunjuk kepadanya ketika ia mula-mula berlatih silat, menjadi marah-marah
dan membenci kepadanya.
Ia memukul
lagi dengan tangan kirinya. Sejak tadi Tan-piauwsu sudah siap sedia, dan
melihat gerakan pemuda aneh itu ia maklum betapa pemuda itu gerakannya kaku
namun memiliki hawa sakti yang menggiriskan. Sebab itu begitu tangan kiri Han
Han bergerak, ia telah berkelebat cepat, mempergunakan ginkang-nya meloncat
tinggi dan melewati tubuh Han Han sambil mengayun tangan menotok pundak pemuda
itu. Tan Bu Kong berjuluk Hoa-san Pek-eng (Garuda Putih dari Hoa-san), dan
julukan ini saja menunjukkan bahwa dia dapat bergerak tangkas dan cepat seperti
seekor burung garuda putih. Kecepatannya yang luar biasa ini membuat Han Han
tak dapat menghindarkan totokan sehingga dua jari tangan piauwsu itu dengan
keras menotok pundaknya.
"Dukkk!"
"Aduhhhhh...!"
Bukan Han Han yang mengaduh, melainkan Tan-piauwsu sendiri karena tulang kedua
jari tangannya hampir patah ketika ia menotok pundak yang keras dan panas
seperti besi membara!
Han Han
menjadi marah, lalu memutar tubuhnya sehingga kedua kakinya bersilang, tangan
kanan diayun ke depan mendorong ke arah tubuh Tan-piauwsu yang baru saja turun
ke atas lantai.
"Aihhh...!!"
Tan Bu Kong cepat meloncat lagi ke atas.
"Byarrr...!!"
Pukulan tangan kanan Han Han mengandung tenaga sakti Yang-kang, dan karena
pukulannya dielakkan maka hawa pukulannya terdorong terus menghantam tiang
balok besar. Separuh dari tiang kayu itu rontok dan mengepulkan asap, sebagian
besar gosong seperti terbakar api!
Tan-piauwsu
dan para sute-nya yang menyaksikan kehebatan pukulan ini menahan napas dan
mereka telah bersiap-siap untuk mengeroyok. Namun Han Han tidak mempedulikan
mereka, terus mengejar Tan-piauwsu yang mempergunakan gerakan-gerakan ginkang
untuk menghindarkan diri dari setiap pukulan jarak jauh.
Betapa pun
cepat gerakan Tan-piauwsu, ternyata gerakan Han Han yang memiliki tingkat
sinkang jauh lebih kuat masih menang cepat! Pemuda ini mulai meloncat-loncat
pula sehingga dalam belasan kali serangan saja, Tan-piauwsu telah kehilangan
lubang untuk mengelak, sehingga ketika ia untuk ke sekian kalinya meloncat ke
atas untuk menghindarkan diri, ia kurang cepat dan pundak kirinya masih terkena
sambaran hawa sakti dari dorongan tangan kiri Han Han. Biar pun tidak tepat
kenanya, hanya diserempet saja, namun tubuh Tan-piauwsu terguling dan dia
menggigil karena kedinginan. Namun piauwsu yang sudah banyak pengalaman ini
masih sempat mencegah sute-sute-nya dengan teriakan.
"Sute,
mundur semua!" Dan ia sendiri lalu meloncat ke atas karena dorongan tangan
kanan Han Han telah menyusulnya.
"Desssss!"
Lantai
menjadi berlubang dan mengepulkan asap ketika terkena sambaran hawa yang keluar
dari tangan kanan pemuda sakti itu. Ia mulai merasa penasaran dan ketika ia
hendak menerjang tubuh Tan-piauwsu yang masih melambung itu, tiba-tiba
berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, kemudian tahu-tahu
tubuh Tan-piauwsu telah disambar orang itu sehingga kembali pukulan Han Han
luput!
Ternyata
yang datang dan sempat menolong Tan-piauwsu dari bahaya maut itu adalah seorang
pemuda tampan sekali, bertubuh tinggi besar dan di belakangnya berdiri seorang
gadis cantik yang telah mencabut pedang dan sikap kereng berdiri memandang Han
Han...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment