Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 21
Sampai lama
mereka saling mendekap berciuman, lupa akan segala. Kemudian kesadaran datang
memasuki pikiran mereka, hampir berbareng dan kedua orang muda yang sejak kecil
sudah tergembleng batinnya ini segera sadar dan dapat menguasai rangsangan hati
masing-masing, lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di atas dada yang
bidang itu, kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi bulu matanya
yang panjang.
“Ahhh,
maafkan aku...!” Han Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang
membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.
“Bukan...
bukan salahmu, Han Han...,” Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai
berjam-jam.
Han Han yang
tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur, maka
dia pun tidak bergerak, hanya bersandar pada batang pohon tanpa mau mengganggu
kekasihnya yang disangkanya pulas. Tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata.
Mereka berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing
dapat menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih dari pada
yang telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.
“Nirahai,
kekasih pujaan hatiku... terima kasih...”
Nirahai
bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling
berpegangan. “Mengapa, Han Han? Mengapa berterima kasih?”
“Engkau
seperti membangkitkan kembali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa
murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa
yang kelaparan, seperti tetesan embun segar pada tunas melayu di bumi
mengering... engkau yang begini cantik jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai,
katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa jatuh cinta kepada seorang
seperti aku yang bunt...”
Nirahai
cepat menggerakkan tangannya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu
menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
“Aku cinta
padamu karena engkau memang tampan dan gagah perkasa, terutama sekali karena
engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang
rendah hati, sederhana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau
kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah
dan sabar.”
“Terima
kasih, Nirahai. Terima kasih!” Han Han memeluknya dan memberi sebuah ciuman
lembut di dahi Nirahai.
Sentuhan
ciuman ini terasa menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi
terasa demikian lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi
satu.
Malam
terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi
telah tiba. Nirahai bangkit melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil
tersenyum seperti sang matahari pagi sendiri dia berkata.
“Han Han,
sekarang aku harus meninggalkanmu, kalau tidak tentu akan ada pasukan yang
mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas dalam pibu melawanmu.”
“Engkau dan
aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta!” Han Han
menggoda.
“Wah, entah
Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang ketularan!” Nirahai berkata sambil
membantu Han Han bangkit berdiri. Akan tetapi ia segera berkata dengan
sungguh-sungguh, “Aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan
pulang ke kota raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua
orang guru dan sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa
pengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada
Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku
ke sana.”
Kekhawatiran
muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang
dipeluknya, yang dianggapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah
puteri kaisar! Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang
amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di antara mereka.
“Nirahai...!”
katanya, suaranya gemetar penuh kegelisahan. “Bagaimana... kalau... kalau
Kaisar menolak?”
Nirahai
menggeleng kepala. “Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu
Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi. Andai kata demikian pun, di dalam
hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang pun di dunia ini akan dapat
menghalangiku!”
“Nirahai...!”
Han Han memeluknya dan sejenak mereka berpelukan.
Akhirnya
Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua
tangannya, ia berkata, “Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di
istana. Sebulan lagi kita bertemu kembali!” Setelah berkata demikian, dara itu
meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan
tangan dan tersenyum manis sekali.
Han Han
berdiri seperti arca, terpesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap
dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga
penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri Nirahai! Dia akan menjadi
putera mantu Kaisar Mancu! Siapa dapat percaya? Ia merasa seperti dalam mimpi
dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai! Setelah tampak olehnya
bayangan Nirahai yang sudah jauh, barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi.
Semua peristiwa tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada
buktinya lagi, yaitu dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu
untuk meyakinkan hatinya bahwa dia tidaklah mimpi.
Akan tetapi
ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan
heran melihat seorang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua
tangan bersedakap dan kepala menunduk di depan dua makam baru itu! Kakek itu
sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jenggotnya yang panjang, kumisnya
yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang sampai ke pipi telah putih semua,
tidak ada yang hitam selembar pun. Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya
masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain
kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki
celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan
kakinya putih bersih dan tidak tampak keriput!
Tiba-tiba
kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri
kakek itu tersentak kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu
mencorong seperti mata harimau di waktu malam dan mengandung pengaruh mukjizat
yang membuat Han Han merasa kakinya seperti lumpuh! Akan tetapi kakek itu segera
membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi
kepada Han Han.
“Locianpwe,
harap berhenti dulu...!” Han Han berteriak dan meloncat melakukan pengejaran.
Akan tetapi
kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus
melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga
Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya!
“Locianpwe,
tunggu...!” Han Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan ginkang-nya,
mempergunakan ilmunya berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga
tubuhnya seolah-olah terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat
menyambar.
“Locianpwe...!”
Han Han memanggil.
Sungguh aneh
sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan
tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara
dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi.
Han Han
merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri.
Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu? Kalau kakek
itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya
berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu menyusul!
“Locianpwe,
teecu hendak bicara, harap suka menunggu dulu!” Untuk ketiga kalinya Han Han
berseru keras. Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat cepat bukan main,
sebentar saja sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam!
Han Han terkejut.
Maklumlah ia bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa.
Dia mengejar terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari
penuh ia terus mengejar sambil berloncatan mendekat.
Akan tetapi
setelah mengejar sampai hari menjadi sore akhirnya kakek itu lenyap di antara
bangunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga! Timbul keinginan hati Han Han
untuk menyelidiki siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu,
maka dia lalu menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri
telaga.
Hari telah
senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri
bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan,
berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan
ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi
dikejar-kejarnya itu sedang duduk menongkrong (berjongkok) di atas sebuah batu
besar di pinggir telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang
sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek
itu ternyata sedang enak-enak memancing!
Kakek itu
menengok dan kembali Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek
itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian
berkata dengan ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran
luar biasa itu berseri, “Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?”
Han Han
berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang
seperti pernah dikenalnya. Kemudian dengan sikap hormat dan suara halus ia
berkata, “Teecu mohon maaf sebanyaknya kalau teecu mengganggu locianpwe dan
lancang datang ke tempat ini.”
“Tidak
mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu
lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari dunia ramai.”
Tiba-tiba
Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah
Koai-lojin...!” Han Han berkata dengan seruan girang. “Locianpwe yang telah
menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan
Kang-thouw-kwi... dan... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe atau yang
terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es!”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar
kita dapat bicara dengan leluasa.”
Girang bukan
main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seperti bertemu dengan
seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa! Ia lalu bangkit
berdiri dan duduk di dekat kakek yang sedang memancing itu.
“Dugaanmu
memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama
dua orang sumoi-ku yang telah kau rawat dan makamkan jenazahnya secara baik.
Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han.”
Han Han
kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini sudah mengenal namanya,
mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat sakti ini tentu saja
sudah mengetahui segala hal!
“Sungguh
berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan suhu!” Han Han menyebut suhu
karena bukankah dia murid Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua
orang nenek yang telah tewas?
Kakek itu
tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari ujung tali pancing yang
tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk. “Yah, boleh juga
engkau menyebut aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es.
Dan aku girang sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Engkau keturunan
keluarga Suma yang banyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari
kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat.
Aku gembira melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau
mewarisi watak yang baik dari kakak nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling
Emas. Dan aku girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung.”
Di dalam
hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat
akan nasehat hwesio tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang
menasehatkan agar dia membuntungi kaki kirinya! Rasa penasaran agaknya
terbayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil
berkata.
“Suma Han.
Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran. Andai kata tidak terjadi seperti
sekarang, andai kata kaki kirimu tidak dibuntung orang, agaknya sekarang ini
engkau sudah mati.”
“Ahhhhh...!”
Han Han terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak,
tidak percaya. “Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti
Hosiang dari Siauw-lim-si menasehatkan teecu agar teecu membuntungi kaki kiri
teecu!”
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Kian Ti Hosiang kiranya masih berpemandangan awas, sungguh
mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak
tahu, akan tetapi berbareng dengan hawa mukjizat yang terpancar keluar dari
pandang matamu itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam
tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri. Penyakit itu timbul di dalam daging betismu
dan menanam akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat
di dunia ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah
membuntungi kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar
penyakit itu akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kakimu akan
naik ke perut, kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis
dihisapnya dan engkau akan mati. Maka sungguh untung sekali bahwa kakimu
dibuntungi orang sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan
kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang.”
Han Han
bergidik ngeri. Kiranya begitukah? Bagaimana timbulnya penyakit itu? Apakah
sejak... sejak ia melihat ibu dan enci-nya diperkosa orang kemudian ia
dibanting ke dinding oleh perwira Mancu?
“Terima
kasih atas keterangan suhu. Sungguh pun teecu tak dapat mengerti bagaimana
dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan setelah kini
secara kebetulan Thian memberi berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu,
teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu.”
“Hemmm...
petunjuk apa lagi yang dapat kuberikan kepadamu? Ilmu kepandaianmu telah cukup
setelah engkau menerima warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw
Bwee. Hemmm... dua buah bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang
sumoi-ku, siapa kira mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh
oleh perbuatan manusia ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma
Han, hanya obrolan-obrolan kosong yang kiranya ada gunanya kalau engkau mampu
menangkap inti sarinya. Aku sudah bosan akan keramaian dunia, sudah makin
terhimpit perasaanku menyaksikan ulah manusia di dunia ramai. Engkau sudah
datang ke sini, segala pertanyaanmu akan kujawab. Aku sudah menjauhkan diri
dari pada perbuatan-perbuatan yang hanya akan menambah keruhnya dunia. Aku
lebih senang hidup bebas lepas, menyatukan diri dengan alam semesta dan melihat
segala kewajaran terjadi demikian indah dan gaibnya, tiada terganggu oleh
manusia yang penuh kepalsuan nafsu-nafsunya, semua berjalan lancar seperti
gerakan awan, matahari, bulan dan bintang.”
Han Han
adalah seorang pemuda yang amat peka perasaannya terhadap filsafat, dan dia
jujur, kritis dan berani menyatakan suara hatinya. Mendengar ucapan kakek yang
dianggap gurunya sendiri itu, dia lalu berkata.
“Harap suhu
maafkan pertanyaan teecu yang lancang. Suhu tadi menyatakan tidak suka akan
ulah manusia yang dipalsukan oleh nafsu, dan suhu lebih senang hidup menyatukan
diri dengan alam bebas, akan tetapi... maaf, suhu, mengapa suhu masih suka
memancing ikan? Bukankah perbuatan ini berarti membahayakan kebebasan hidup
ikan-ikan di telaga ini?”
“Ha-ha-ha!
Bagus sekali! Aku sudah khawatir kalau-kalau engkau hanya tunduk secara membuta
saja, muridku yang baik! Pertanyaanmu itu membuktikan bahwa engkau pandai
mempergunakan akal budi dan kesadaranmu sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan
tidak menganut pelajaran secara membuta tanpa mengadakan wawasan dan
mempergunakan nalar (logika). Engkau heran melihat aku memegang tangkai
pancing? Nah, lihatlah!” Kakek itu mengangkat tangkai pancingnya dan Han Han
terbelalak heran. Di ujung tali pancingnya, hanya tali biasa saja yang
dipasangi sepotong kerikil!
“Ah, maaf,
suhu. Teecu berani menduga yang bukan-bukan, tetapi... apakah gunanya suhu
memancing tanpa umpan, melainkan hanya memakai batu? Mengapa suhu... eh,
bermain-main seperti anak kecil?”
“Ha-ha-ha,
tepat sekali! Anak-anak kecil yang masih gemar bermain-main itulah
manusia-manusia yang wajar dan murni, muridku. Betapa bahagianya kalau seorang
kakek-kakek dapat kembali wajar seperti kanak-kanak! Aku memang bermain-main,
muridku, bermain dengan apa yang disebut manusia dengan kata-kata nasib, yaitu
nasib ikan!”
Han Han
tidak mengerti dan memandang kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Koai-lojin tertawa lagi dan berkata, “Banyak ikan di telaga ini, akan tetapi
kenapa kebetulan ikan ini dan ikan itu yang mendekat pancing dan menyentuh batu
dengan mulutnya? Kalau pancing ini pancing benar-benar, bukankah ikan itu akan
terkait pancing dan mati? Aku senang bermain-main dengan ini melihat-lihat dan
menduga-duga ikan mana gerangan yang akan berjodoh dan menyentuh umpan batu
ini, ha-ha-ha!”
Han Han ikut
tertawa dan diam-diam ia menggeleng kepala. Betapa aneh selera kakek ini dalam
mencari kesenangan bermain-main! Apa sih senangnya dengan permainan seperti
itu? Namun permainan ini saja sudah membuktikan betapa tajam pandang mata kakek
itu sehingga dapat melihat ikan di dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu
tidak akan senang, karena tidak melihat ikan yang menyentuh umpannya.
“Marilah
ikut ke dalam pondok, Suma Han. Perutku sudah lapar, dan engkau tentu suka
menemani aku minum sambil bercakap-cakap, bukan?”
Girang hati
Han Han, akan tetapi menjadi makin heran melihat sikap kakek ini yang biasa
saja, tidak sedikit pun memperlihatkan keanehan seperti orang-orang sakti
lainnya. Ia lalu mengikuti kakek itu yang memanggul tangkai pancingnya dan
berjalan melenggang seenaknya dengan wajah gembira seperti wajah seorang tukang
pancing yang memperoleh banyak hasil!
Ketika
memasuki pondok kecil mungil yang berada di sebelah kanan, Han Han melihat
makanan sudah tersedia di atas meja yang serba lengkap. Sayur-sayuran dimasak
tidak kurang dari lima macam, ada buah-buahan yang masak dan bermacam-macam,
bahkan tersedia arak wangi! Pemuda ini makin terheran-heran memandang semua
itu.
“Duduklah,
Suma Han. Makanan ini aku sendiri yang memasaknya, buah-buahan itu pun aku
sendiri yang mencari di hutan, dan arak ini... ha-ha, kubeli dari warung arak
di dusun sebelah utara. Marilah kita makan nasi ditemani sayur dan minum arak!”
Bagaikan
seorang petani tua yang ramah sedang menjamu tamunya, Koai-lojin lalu mengajak
Han Han makan bersama. Sikapnya biasa saja seperti seorang petani sederhana
sungguh pun masakan-masakan itu ternyata enak juga, agaknya memakai bumbu yang
cukup dan araknya pun amat baik!
Han Han
tidak berani bertanya lagi dan makan tanpa berkata apa-apa. Setelah mereka menghabiskan
nasi dan sayur, makan buah-buahan dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh
kepuasan lalu berkata.
“Suma Han,
mengapa engkau menyimpan keherananmu di dalam hati? Kalau engkau terheran
menyaksikan sikap dan perbuatanku, tanyalah. Hanya dengan bertanya orang dapat
mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya
orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan
hidupnya.”
Kembali Han
Han terkejut. Kakek ini kelihatannya biasa sederhana dan wajar tidak
membayangkan keanehan dan tidak bersikap sebagai orang sakti, namun mengapa
dapat mengetahui isi hatinya?
“Maaf, suhu.
Teecu memang amat terheran-heran menyaksikan suhu dan agaknya inilah sebabnya
suhu disebut Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Suhu mengasingkan diri dari dunia
ramai. Biasanya, seorang pendeta yang mengasingkan diri dari dunia ramai adalah
orang-orang yang tekun bertapa, berpuasa atau kalau makan pun seadanya saja,
daun dan rumput, minum pun air yang keluar dari sumber, pekerjaannya hanya
memuja Tuhan dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu,
maaf... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biar pun tanpa
daging.”
“Untuk
bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan
berada di mana pun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam segala benda dan
makhluk di seluruh alam. Tidak, Suma Han, aku tidak seperti mereka yang mencari
tempat sunyi mengasingkan diri untuk memuja Tuhan. Aku meninggalkan dunia
ramai, menjauhkan diri dari pada manusia lain karena dunia ramai menggoncangkan
ketenteraman hatiku, membuat aku kecewa dan berduka. Manusia telah menyelimuti
diri dengan kepalsuan-kepalsuan yang mereka sebut peradaban, yang pada
hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua yang jahat, yang berakar di dalam
seluruh kehidupan manusia, yang kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri,
dendam dan segala perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan
dan penderitaan.”
Han Han
mendengarkan dengan penuh perhatian dan memandang kakek itu yang mengaso
sebentar untuk minum seteguk arak wangi dari cawannya.
“Aku
meninggalkan keramaian bukan untuk bersembahyang dan hidup sebagai pendeta atau
pertapa, karena bersembahyang adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang
akan terdengar oleh Tuhan biar pun hanya dibisikkan hati di antara kebisingan
dan keramaian. Aku tidak berpuasa dan menuntut hidup pertapa karena aku tidak
mau menyiksa tubuh dan perasaan. Tubuh manusia merupakan rumah bagi jiwa, maka
adalah kewajibanku untuk memelihara baik-baik rumah yang diberikan oleh Tuhan
kepadaku ini. Aku pun tidak menolak anugerah Tuhan berupa kenikmatan bagi
tubuhku, asal saja dapat dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak.
Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah
jiwaku.”
Han Han
mengangguk-angguk, takjub akan filsafat yang demikian sederhana namun wajar,
tidak mengkhayalkan yang tinggi-tinggi, sungguh jauh bedanya dengan
filsafat-filsafat kuno yang sering dibacanya.
“Manusia
sekarang lupa bahwa makan adalah kebutuhan tubuh atau langsung adalah kebutuhan
perut karena yang menampungnya pertama kali adalah perut. Manusia terlalu mabuk
akan kesenangan sehingga untuk makan pun yang diutamakan adalah kelezatannya,
yang mendatangkan rasa enak pada mulut tanpa mempedulikan kegunaannya bagi si
perut, lupa bahwa yang enak bagi mulut belum tentu enak bagi perut sehingga
terlalu sering terjadi mulut menikmati makanan yang sesungguhnya merupakan
racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”
“Suhu,
kenikmatan dan kegunaan apakah yang suhu dapat peroleh dari pengasingan diri
dari dunia ramai ini?”
“Aku hidup
di alam bebas dan menikmati keindahan dan keagungan alam yang sudah tak dapat
tampak lagi oleh mata manusia yang hampir buta oleh kesenangan duniawi, melihat
cahaya keemasan matahari, menikmati keharuman bunga-bunga, juga dapat
mendengarkan dendang merdu anak sungai mengalir dan bisikan-bisikan angin pada
daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tampak nyata di mana-mana, dan
aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai
dengan kekuasaan Tuhan.”
Demikianlah,
dengan filsafat yang gamblang, yang tidak berliku-liku, Han Han menerima
gemblengan batin dari kakek itu selama belasan hari di pinggir telaga. Pada
hari ke lima belas, kakek itu berkata setelah mereka sarapan pagi, “Hari ini
kita berpisah, muridku. Aku akan pergi dari tempat ini.”
“Suhu hendak
pergi ke manakah dan kapan teecu diperkenankan menghadap suhu lagi?”
Kakek itu
tertawa dan mengelus jenggotnya. “Entahlah, aku ingin mengikuti jejak angin dan
awan! Dan apa bila Tuhan menghendaki, tentu kita dapat saling berjumpa lagi.”
Han Han lalu
menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, sebelum suhu meninggalkan teecu, teecu mohon
petunjuk suhu dan sudilah memberi tambahan ilmu untuk teecu pergunakan dalam
tugas teecu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan.”
“Ha-ha-ha!
Memang amat merdu dan indah bunyinya! Membela kebenaran dan keadilan, menentang
kelaliman dan kejahatan! Betapa merdu dan indah bunyinya, akan tetapi betapa
lucu kenyataannya, seperti judul adegan panggung serombongan badut! Karena itu,
kuperingatkan kepadamu, Suma Han, jangan engkau menjadi seorang di antara
badut-badut yang tidak lucu itu. Membela kebenaran dan keadilan siapa?
Kebenaran dan keadilan untuk siapa? Kalau hanya benar dan adil untukmu sendiri,
jangan disebut-sebut lagi karena semua itu palsu! Menentang kelaliman dan
kejahatan yang mana? Hati-hatilah menentukan ini, Suma Han, dan yang terpenting
adalah mengalahkan kelaliman dan kejahatan yang merajalela di dalam hati
sendiri, dibangkitkan oleh nafsu kesenangan pribadi. Yang baik itu belum tentu
baik, sedangkan yang buruk juga belum tentu buruk. Dan jangan sekali-kali
engkau memandang rendah yang buruk karena sudah jelas bahwa hanya karena adanya
buruk maka ada baik, karena ada kedosaan maka manusia mengejar kesucian. Karena
adanya Neraka maka ada Surga. Tanpa ada keburukan mana mungkin ada kebaikan?
Karena itu, pengejaran kebaikan itu pertama-tama dicetuskan oleh keburukan!
Kepandaianmu sudah cukup, engkau minta ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu
silatmu yang tinggi, tenaga sinkangmu yang sukar dilawan, ginkangmu yang luar
biasa dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau masih memiliki kekuatan dahsyat
yang mukjizat, yang masih terpendam. Tanpa kau sadari, mungkin timbul berbareng
dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah memiliki tenaga i-hun-to-hoat
yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang dahsyat ini, siapakah yang akan
dapat mengalahkanmu?”
Han Han
teringat akan ilmu mukjizat yang sering kali timbul dalam dirinya, teringat
akan pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana tanpa disadari ia dapat
menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya menguasai kemauan orang
lain. Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya ilmu itu, dan teringat
pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh memiliki ilmu
I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Setelah ia dewasa dan banyak mengenal
tokoh-tokoh kangouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu sihir yang
dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat berkata.
“Suhu, teecu
tidak pernah mempelajari I-hun-to-hoat. Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir
yang berbahaya dan jahat?”
“Ilmu tetap
ilmu, baik atau jahatnya tergantung si pemakai. Akan tetapi memang benar bahwa
makin tinggi ilmu itu, makin berbahaya karena besarnya kegunaan ilmu yang
tinggi membuat manusia lupa diri dan mempergunakannya untuk mengejar kesenangan
pribadi dengan merugikan orang lain. I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai
pikiran dan kemauan orang. Engkau sudah memiliki tenaga yang amat kuat, yang
timbul secara aneh melalui pandang matamu. Hanya tinggal kau menguasainya saja,
sehingga mampu mempergunakannya. Aku percaya bahwa engkau akan dapat
memanfaatkan ilmu itu sebaik-baiknya. Caranya hanya melalui siulian dan
pemusatan kekuatan yang kemudian diluncurkan keluar melalui pandang mata dan
suara.” Dengan jelas Koai-lojin memberi petunjuk kepada Han Han sampai dua jam
lebih. Akhirnya Han Han dapat mengerti jelas dan sebelum pergi, kakek itu
berpesan.
“Engkau
harus berhati-hati benar dengan ilmu ini, Suma Han. Dengan ilmu ini, yang
kutahu amat kuat berada dalam dirimu, engkau akan menjadi seorang yang sukar
terkalahkan dan dengan ilmu itu engkau dapat melakukan apa saja sehingga akan
mudah menyeretmu sendiri ke jurang kehancuran. Selamat tinggal!” Koai-lojin
berkelebat pergi meninggalkan muridnya yang masih berlutut.
Hati Han Han
menjadi makin kuat karena kepercayaan kepada diri sendiri makin kokoh. Ilmu
baru yang dimilikinya membuat ia menjadi makin tenang, akan tetapi juga makin
hati-hati mengendalikan perasaan dan hatinya, karena ia tahu bahwa dengan
ilmunya ini ia akan dapat menguasai manusia lain yang tentu saja tidak memiliki
kekuatan batin yang amat kuat.
Karena waktu
yang dijanjikan oleh Puteri Nirahai tinggal beberapa hari lagi, maka Han Han
lalu mempergunakan gerak kilatnya untuk berloncatan cepat meninggalkan tempat
itu, menuju ke kota raja. Biar pun ia menghadapi saat yang amat menyenangkan,
yaitu perjumpaannya kembali dengan puteri itu, namun hatinya tetap diliputi
kekhawatiran kalau-kalau akan muncul penghalang besar bagi kebahagiaannya
bersama Nirahai.
***************
Han Han tiba
di kota raja tepat pada hari yang dijanjikan, yaitu sebulan setelah berpisah
dengan Nirahai. Pagi hari itu dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan
langsung ia menuju ke istana. Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang
istana, seorang perwira muda tinggi besar memanggilnya.
“Suma-taihiap...!”
Han Han
menoleh dan memandang perwira muda itu dengan heran. Dia tidak mengenal perwira
itu, namun ia yakin perwira itu memanggilnya karena kini perwira itu dengan
langkah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan kiri dan berkata perlahan.
“Harap
taihiap suka mengikuti saya. Ada pesan penting dari Puteri Nirahai untuk
taihiap!”
Han Han
mengangguk dan keningnya berkerut, hatinya tidak enak rasanya ketika ia
terpincang-pincang mengikuti perwira itu yang berjalan menuju ke tempat sepi di
jembatan sebelah barat. Di tempat sepi ini ia berhenti dan mengajak Han Han
menyeberangi jembatan. Kemudian ia berkata.
“Saya diberi
tugas oleh Sang Puteri untuk menghadang taihiap dan menyerahkan surat ini.
Maaf, saya tidak dapat menemani taihiap lebih lama lagi karena kalau sampai
ketahuan, tentu saya akan ditangkap. Dan sebaiknya kalau taihiap lekas keluar
dari kota raja karena taihiap dianggap sebagai seorang pelarian yang harus
ditangkap.” Setelah berkata demikian, perwira muda itu cepat pergi meninggalkan
Han Han.
Makin tidak
enak rasa hati Han Han, akan tetapi ia menekan perasaannya dan tetap bersikap
tenang. Dibukanya sampul surat itu dan dikeluarkannya sehelai kertas yang penuh
dengan tulisan indah dan halus, tulisan Nirahai yang sudah dikenalnya ketika
mereka bersama mengukir batu nisan untuk makam kedua orang nenek di puncak
Bukit Cengger Ayam.
Han Han
mulai membaca dan kerut di antara alisnya makin mendalam, sinar matanya menjadi
tajam berapi membayangkan kemarahan. Apakah isi surat kekasihnya itu? Kabar
buruk! Terlampau buruk bagi Han Han yang datang dengan hati penuh harapan dan
kegembiraan, sungguh pun kabar buruk seperti yang dibayangkan dari tulisan
Nirahai ini memang sudah dikhawatirkannya.
Di dalam
surat itu Nirahai menceritakan betapa kaisar menjadi marah sekali ketika
Nirahai menceritakan tentang perjodohan itu dan mohon ijin. Kaisar marah-marah
dan memakinya sebagai anak yang tak tahu malu, mencemarkan nama besar Kerajaan
Mancu. Masa puteri Kaisar Mancu yang mulia, puteri yang terkenal sebagai
seorang panglima besar akan menikah dengan seorang bekas pemberontak, seorang
yang telah membunuh Ouwyang Seng yang tadinya direncanakan hendak dijadikan
suami Nirahai, bahkan seorang yang buntung sebelah kakinya! Kemarahan kaisar
amat hebat sehingga kaisar memerintahkan para pengawal untuk menangkap Nirahai
dan memasukkan puterinya sendiri itu ke dalam penjara istana!
‘Aku ditahan
di dalam kamarku sendiri di istana,’ demikian Nirahai menutup suratnya,
‘dilayani seperti biasa akan tetapi dikurung pasukan pengawal dan tidak boleh
keluar dari kamar. Aku bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Han
Han, aku cinta padamu akan tetapi aku pun berat kepada keluarga dan kerajaanku.
Biarlah kuanggap hal ini sebagai ujian, ujian bagi cinta kasih kita, terutama
ujian bagi cintamu. Terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan kini untuk
mencari jalan keluar!’
Dengan sinar
mata berapi Han Han membaca kalimat-kalimat terakhir, ‘Aku tahu bahwa Ayahanda
Kaisar telah terkena hasutan Pangeran Ouwyang Cin Kok sehingga beliau
membencimu dan menyatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada menjadi
isterimu!’
Han Han
membaca sekali lagi isi surat itu dari awal sampai akhir, kemudian ia meremas
hancur kertas itu. Nirahai menantangnya! Menantangnya untuk mengambil
keputusan, untuk bertindak demi cinta kasihnya! Dan Pangeran Ouwyang Cin Kok
adalah biang keladi dari kegagalan ini. Timbul niatnya untuk mendatangi istana
pangeran itu dan hendak mengamuk untuk kedua kalinya, membunuh pangeran tua
itu.
Akan tetapi,
teringat akan wejangan Koai-lojin, ia cepat menarik kembali dan menekan nafsu
amarahnya, menghapus dendamnya dengan kesadaran bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok
bersikap seperti itu tentu ada sebabnya. Dan sebabnya adalah kematian putera
tunggalnya, yaitu ouwyang Seng. Ayah manakah yang tidak akan menjadi marah,
sakit hati, dan bertekad untuk membalas dendam atas kematian puteranya yang
dibunuh orang? Han Han menghela napas dan mengusir pergi bayangan Pangeran
Ouwyang Cin Kok, bahkan lalu memusatkan pikirannya untuk menyelundup ke istana
dan bagaimana untuk dapat membebaskan Nirahai.
Ia harus
membebaskan Nirahai dari tahanan dan membawanya lari! Jelas kekasihnya itu
menantangnya untuk bertindak. Ia tahu bahwa dengan ilmu kepandaiannya dan
pengaruhnya, tentu saja Nirahai dapat membebaskan diri sendiri tanpa ada
pengawal yang berani menghalanginya, akan tetapi puteri itu agaknya tidak suka
memberontak terhadap keputusan ayahnya. Maka puteri itu menantangnya untuk
bertindak, karena kalau Han Han yang turun tangan membebaskannya, hal itu tidak
dapat dianggap sang puteri memberontak.
Dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Han Han untuk meloncat ke atas
benteng yang mengelilingi istana, kemudian cepat sekali, dilindungi oleh
kegelapan malam, pemuda ini meloncat turun ke dalam taman istana. Dengan mudah
ia dapat menemukan kamar Puteri Nirahai karena kamar ini merupakan sebuah
bangunan mungil dan mewah tak jauh dari taman, dan bangunan ini dijaga oleh
kepungan pasukan pengawal yang jumlahnya seratus orang lebih! Tidak mungkin
memasuki bangunan itu tanpa diketahui mereka karena sekeliling bangunan kecil
itu dikepung ketat.
Kebetulan
sekali Han Han melihat empat orang wanita-wanita muda yang cantik-cantik,
berpakaian sebagai pelayan-pelayan istana jalan beriringan datang menuju ke
bangunan itu sambil membawa baki-baki yang tertutup kain, agaknya hidangan
untuk sang puteri. Han Han cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan meloncat ke
depan, muncul dari balik pohon dan berkata.
“Adik-adik
yang manis, aku adalah rekan kalian! Aku pelayan dari istana Ibunda Sang
Puteri, diperintahkan oleh beliau untuk menjenguk keadaan puterinya.”
Empat orang
wanita pelayan itu tertegun melihat berkelebatnya bayangan, akan tetapi hati
mereka lega ketika melihat seorang wanita cantik yang berpakaian seperti
mereka! Mereka adalah pelayan-pelayan Puteri Nirahai dan biar pun belum pernah
melihat ‘gadis pelayan’ yang muncul ini, akan tetapi mereka percaya bahwa tentu
ini pelayan dari ibunda sang puteri, kalau tidak siapa lagi berani menyamar di
tempat itu?
“Kalau
begitu, marilah ikut bersama kami, Cici. Kami pun hendak mengantar hidangan
malam Sang Puteri,” jawab seorang di antara mereka.
Han Han yang
sudah berhasil menguasai empat orang wanita pelayan itu menggunakan kekuatan
gaib yang memancar keluar dengan pengaruh mukjizat sehingga mereka melihat dia
sebagai seorang pelayan cantik, lalu berjalan perlahan di belakang empat orang
pelayan itu. Mereka mengambil jalan memutar dan menghampiri pintu samping yang
terjaga oleh lima orang pengawal. Melihat datangnya empat pelayan Sang Puteri
Nirahai, lima orang pengawal itu segera mengenal mereka dan tidak berani
main-main karena pelayan-pelayan Puteri Nirahai ini selain memiliki ilmu silat
yang tak boleh dipandang ringan, juga para pelayan Nirahai terkenal galak-galak
dan tidak boleh diganggu.
Han Han
sudah menggunakan kekuatan matanya sehingga lima orang pengawal itu pun
melihatnya sebagai seorang gadis pelayan dan membiarkan Han Han lewat bersama
empat pelayan lain. Begitu memasuki sebuah kamar besar yang berbau harum dan
indah, empat orang pelayan itu sudah mengatur isi baki di atas meja dan Han Han
yang melihat Puteri Nirahai duduk termenung di dekat pembaringan, di atas
sebuah bangku menghadapi meja bundar, cepat menghampiri dengan jantung berdebar
saking terharu dan girangnya.
Karena para
pelayan masih berada di ruangan kamar itu, terpaksa Han Han lalu menggunakan
kekuatan matanya, sambil berlutut ia berkata, “Puteri, hamba datang
menghadap...”
Nirahai
membalikkan mukanya memandang dan dara ini bangkit berdiri. Sejenak matanya
seperti orang bingung, dikejap-kejap beberapa kali dan terpaksa Han Han harus
mengerahkan pandang matanya dengan tenaga mukjizatnya sambil berkata lagi untuk
memperkuat pengaruhnya, “Hamba adalah seorang pelayan Ibu Paduka.”
Biar pun
Nirahai juga memiliki kekuatan batin yang besar serta kemauan yang keras tidak
mudah dipengaruhi orang lain, namun setelah kelihatan bingung sejenak, akhirnya
ia terpengaruh juga dan berkata dengan lesu, “Mau apa engkau?”
“Hamba akan
menyampaikan sesuatu yang amat rahasia kepada Paduka, di bawah empat mata
saja.”
Nirahai yang
sedang kesal hatinya itu hampir marah, akan tetapi mengingat bahwa pelayan ini
adalah utusan ibunya, ia lalu menoleh kepada empat orang pelayannya dan
berkata, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini!”
Empat orang
pelayan yang sedang mengatur hidangan itu sejenak menengok ke arah Han Han,
kemudian mereka keluar dari kamar dan menunggu di luar kamar, di ruangan depan
sambil berbisik-bisik. Hati mereka merasa iri dan tidak senang karena belum
pernah Puteri Nirahai mengusir mereka hanya karena hendak bicara dengan seorang
pelayan lain!
Setelah
empat orang itu keluar dari kamar dan pintunya ditutup perlahan, Han Han
bangkit berdiri dan berkata halus penuh rasa haru, “Nirahai...!”
Nirahai
meloncat ke belakang dan mukanya seketika berubah pucat ketika melihat Han Han
telah berdiri di depannya. Ia mengejap-ngejapkan matanya, menggoyang-goyang
kepala, memandang bingung dan sampai lama tak dapat mengeluarkan suara,
kadang-kadang matanya mencari-cari ke kanan kiri, mencari pelayan utusan ibunya
tadi.
“Nirahai,
jangan bingung. Pelayan tadi akulah yang jadi, akalku agar dapat masuk ke
sini.”
Kini Nirahai
memandang Han Han dengan mata terbelalak lebar, penuh kagum. Hatinya girang dan
bangga bukan main, akan tetapi juga penuh heran. Dia tahu bahwa pemuda ini
memiliki ilmu kesaktian yang hebat, jauh melampaui kepandaiannya sendiri, akan
tetapi apa yang dilakukan pemuda itu tadi benar-benar membuat dia tidak
mengerti.
“Han Han...!
Bagaimana...? Tadi... eh, bagaimana engkau bisa mengubah diri menjadi
pelayan...?”
Han Han
tersenyum dan melangkah maju, menyambar tangan kekasihnya itu dan memandang
dengan wajah berseri, tersenyum dan sinar matanya mesra. “Nirahai, aku sejak
tadi tidak mengubah diri, hanya pandangan mereka dan juga pandanganmu yang
kuubah dan tunduk kepada kemauaku...”
“Ihhhhh...
I-hun-to-hoat...?” Nirahai bertanya, tidak percaya. “Aku sudah melihat ilmu
I-hun-to-hoat yang dilakukan oleh Thai Li Lama, dan memang banyak yang terjatuh
di bawah pengaruhnya, akan tetapi aku sendiri dapat melawannya dan aku tidak
terpengaruh!”
Han Han yang
sudah merasa rindu sekali kepada Nirahai merangkul pundak dara itu. “Mungkin
aku lebih kuat dari pada dia, dan mungkin karena suaraku telah kau kenal,
mungkin pula karena engkau tidak tahu bahwa aku menggunakan ilmu kekuatan
kemauanku, maka engkau terpengaruh. Nirahai... ahhhh, Nirahai, mengapa menjadi
begini ikatan kita...?”
Nirahai
balas merangkul dan dara ini yang kini diingatkan akan keadaannya, terisak di
atas dada Han Han. “Sudah nasibku... nasibku yang buruk dan malang...!”
“Tidak,
Nirahai. Tidak ada nasib buruk dan malang. Yang terjadi semua di dunia ini,
yang menimpa kepada kita, baik mau pun buruk, sudahlah semestinya dan tidak
boleh kita terima sebagai nasib buruk. Hanya kita harus berusaha untuk
mengatasi segala persoalan. Sekarang, setelah aku berhasil masuk di sini
bertemu denganmu, apa yang kau kehendaki?”
Nirahai
melingkarkan kedua lengannya di leher Han Han. “Aku menyerahkan kepadamu.
Engkau pilihan hatiku... terserah... aku hanya menurut...”
Han Han
menjadi girang sekali dan baru sekarang ia merasa sebagai seorang laki-laki
yang berdiri tegak, penuh tanggung jawab dan dibutuhkan seorang seperti
Nirahai! Dahulu, melindungi dan membela Lulu ia anggap sebagai hal yang
semestinya, tidak menimbulkan perasaan kagum seperti sekarang karena yang telah
menyerahkan nasib diri kepadanya adalah seorang puteri kaisar! Saking terharu
dan girangnya, ia memegangi kedua pipi dara itu, mengangkat mukanya dan mencium
bibir yang tak pernah membosankan itu. Ia berbisik mesra, “Nirahai, pujaan
hatiku, calon isteriku... biarlah aku yang melarikan engkau dari tempat ini.
Aku yang mempertanggung jawabkan kesemuanya!”
Tiba-tiba
Nirahai melepaskan pelukan Han Han, menyambar baju tebal, topi bulu dan pedang
payungnya yang baru. “Han Han, kita lakukan bersama, dan mempertanggung
jawabkan bersama! Kalau kita berdua menghendaki, siapakah yang akan mampu
mencegah kita keluar dari sini?”
“Tidak,
Nirahai. Tidak boleh begitu. Engkau ditahan sebagai tawanan oleh Ayahmu
sendiri, tidak baik kalau engkau memberontak. Biarlah aku yang...”
Tiba-tiba
empat orang pelayan wanita itu yang tadi mendengar isak tangis sang puteri,
kini membuka daun pintu dan memasuki kamar. Nirahai berdiri tegak memandang,
sama sekali tidak terkejut karena dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah Han Han berada di sampingnya, puteri ini menjadi besar hatinya,
dibesarkan oleh rasa girang bahwa ujian terakhir bagi cinta kasih Han Han ternyata
membuktikan bahwa pemuda itu tidak gentar menghadapi tantangan dan bahaya untuk
datang ke kamarnya, kamar tahanan dalam istana yang dikepung ratusan orang
pengawal! Kini hatinya besar dan ia menanti reaksi dari kekasihnya ketika empat
orang pelayan itu masuk.
Sejenak,
empat orang pelayan itu terbelalak dengan muka pucat. Han Han segera berkata
sambil menggunakan ilmunya, “Akulah Dewa berkepala singa!”
Wajah empat
orang pelayan itu menjadi pucat sekali ketika mereka melihat seorang laki-laki
berkaki buntung sebelah, memegang tongkat dan berkepala singa dengan sepasang
mata mencorong dan mulut bergigi runcing terbuka. Kemudian dengan kaki
menggigil dan tubuh gemetar, empat orang pelayan itu melarikan diri keluar dari
pintu sambil menjerit-jerit seperti orang mengigau saking takutnya. Mereka
adalah pelayan-pelayan Nirahai yang memiliki ilmu silat lumayan, untuk
menghadapi lawan manusia, mereka cukup dapat diandalkan. Akan tetapi melihat
orang berkepala singa tentu saja menjadi ketakutan.
Han Han
mempergunakan kesempatan itu berkata cepat, “Nirahai, engkau menjadi tawananku.
Biarlah aku melarikan engkau dari tempat ini!”
Nirahai
hanya mengangguk karena masih kagum menyaksikan pengaruh ilmu Han Han terhadap
empat orang pelayannya. Bagi kedua matanya, Han Han tetap seperti biasa, sama
sekali tidak berkepala singa! Han Han cepat menggerakkan jari tangan kanannya,
menepuk pundak Nirahai dan menotok jalan darahnya sehingga Nirahai terkulai
lemas. Han Han lalu menyambar tubuh kekasihnya, memanggulnya di pundak kanan
setelah menyelipkan senjata kekasihnya di pinggangnya. Cepat seperti kilat
menyambar ia sudah meloncat ke luar dari dalam kamar itu, terus berlari keluar
dari pintu samping dari mana tadi ia masuk bersama empat orang pelayan.
Keadaan di
luar geger tidak karuan ketika empat orang pelayan itu menjerit-jerit dan
berlari keluar. Sampai lama mereka tidak dapat bicara, hanya mengeluarkan jerit
seperti orang mengigau.
“Ssseeettttt...
taaaaannn... singaaa...!”
Akhirnya
para pengawal yang kebingungan menangkap lengan mereka untuk ditanyai.
Memang
inilah yang dikehendaki Han Han maka dia tadi membikin takut empat orang
pelayan, yaitu untuk mengacaukan keadaan para pengawal yang menjaga di luar.
Dalam keadaan kacau-balau dan tidak teratur itu, karena semua pengawal menjadi
panik melihat betapa empat orang pelayan sang puteri yang biasanya gagah
perkasa itu menjerit-jerit karena melihat setan sehingga mereka lupa membunyikan
tanda bahaya dan lupa melapor, tiba-tiba Han Han berkelebat, mencelat keluar
sambil memondong tubuh Nirahai yang terkulai lemas.
“Celaka...!
Tangkap penjahat!” teriak seorang di antara mereka.
“Itu dia...!
Puteri telah diculik!”
“Tangkap!”
“Kejar...!”
Makin
paniklah para pengawal itu dan geger keadaan di istana ketika bunyi kentongan
tanda bahaya dipukul gencar. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi
siapakah yang dapat mengejar pemuda buntung yang meloncat dengan gerakan
seperti terbang ke atas dan dalam sekejap mata saja lenyap ditelan kegelapan
malam?
Han Han
memang sengaja tidak mau menggunakan kekerasan menghadapi banyak pengawal
karena menghadapi banyak sekali orang tentu saja tak mungkin Ilmu I-hun-to-hoat
dipergunakannya untuk mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Dia memang tidak
takut untuk menggunakan kekerasan melawan mereka, akan tetapi, semenjak bertemu
dengan Koai-lojin dan menerima wejangan-wejangan kakek sakti itu, ia merasa
menyesal atas sepak terjangnya yang sudah-sudah dan berjanji dalam hatinya
tidak akan lagi melakukan pembunuhan dan hanya akan menundukkan lawan dengan
kepandaiannya. Tentu saja dia tidak suka untuk melawan para pengawal dan
kesalahan tangan membunuh mereka yang tidak berdosa, apa lagi kalau hal itu
akibatnya akan memperbesar pertentangan antara Nirahai dengan keluarganya.
Gerakan Han
Han yang amat cepat tidak memungkinkan para pengawal untuk mengejarnya, tidak
dapat menggunakan anak panah karena khawatir kalau-kalau mengenai tubuh Puteri
Nirahai yang dipanggul pemuda itu. Dengan demikian, tanpa banyak kesukaran lagi
Han Han berhasil membawa Nirahai keluar dari istana, kemudian melarikan diri
melalui pintu gerbang kota raja. Beberapa puluh orang tentara penjaga yang
berusaha menghadangnya roboh terpelanting ke kanan kiri dan senjata-senjata
mereka terlempar beterbangan ketika Han Han menggerakkan tongkatnya, dan dalam
waktu beberapa menit saja Han Han telah menerobos keluar dari pintu gerbang dan
lenyap dalam gelap.
Setelah
keluar dari benteng, Han Han menurunkan Nirahai dan membebaskan totokannya,
kemudian tanpa bicara lagi mereka melanjutkan perjalanan dan lari dengan cepat.
Han Han mengerti bahwa perasaan Nirahai tertekan sekali, maka dia tidak
mengeluarkan kata-kata, hanya berlari sambil menggandeng tangan kekasihnya.
“Ke manakah
kita pergi?” Tiba-tiba Nirahai bertanya tanpa mengurangi kecepatannya berlari.
“Kita pergi
ke tempat yang sunyi dan indah di dekat telaga.”
Nirahai
tidak berkata-kata lagi dan mereka berlari terus. Han Han merasa tidak enak
hatinya. Bagi dia sendiri, tentu saja peristiwa ini amat menyenangkan hatinya.
Ia mencinta puteri yang jelita ini dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang
guru mereka, Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee. Andai kata dia diterima oleh
kaisar dan tinggal di istana, tentu dia akan merasa sengsara dan tidak betah.
Dengan cara sekarang ini, membawa Nirahai melarikan diri, dia merasa lebih
bebas dan dia yakin akan mendapatkan kebahagiaan besar apa bila dapat hidup
berdua sebagai suami isteri bersama Nirahai dan merantau berdua, atau tinggal
di suatu tempat berdua saja!
Memang, bagi
dia, peristiwa di istana ini amatlah menyenangkan. Akan tetapi, dia mengerti
betapa peristiwa itu amat menghimpit perasaan hati Nirahai. Dia mengenal
Nirahai sebagai seorang puteri kaisar yang luar biasa, tidak hanya cantik
jelita dan berilmu silat tinggi, malah juga menjadi pimpinan angkatan perang
yang menumpas para pemberontak dan sisa-sisa kerajaan lama yang belum mau
tunduk terhadap pemerintah Mancu! Dara jelita yang perkasa ini mempunyai
kesetiaan besar terhadap kerajaan ayahnya dan kini dia melarikan diri sebagai
seorang tahanan dan pelarian. Betapa hal ini tidak akan menghancurkan
cita-citanya?
Hati Han Han
khawatir sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa dan mempercepat
gerakannya untuk mengimbangi larinya Nirahai yang amat cepat itu. Mereka
seolah-olah berlomba, berlomba ke mana? Ke arah pantai bahagia? Mudah-mudahan
begitu, bisik hati Han Han. Dengan mesra ia menggunakan tangan kanannya
menangkap tangan kiri Nirahai. Dara itu yang tadinya lari cepat tanpa bicara
seperti orang termenung, menoleh dan mereka berdua saling pandang. Nirahai
tersenyum dan balas menggenggam jari tangan Han Han. Sambil bergandeng tangan,
kedua orang muda yang berilmu tinggi itu berlari cepat sekali, bayangan mereka
menjadi satu berkelebat cepat di antara bayang-bayang pohon.
“Indah
sekali...! Indah dan sunyi...!” Nirahai berseru penuh kagum ketika mereka
berdua tiba di pinggir telaga di mana terdapat dua buah bangunan mungil yang
tadinya dijadikan tempat tinggal kakek sakti Koai-lojin.
Namun ketika
pagi itu mereka tiba di situ dan Nirahai mengagumi pemandangan indah di kala
sinar matahari pagi membakar permukaan telaga dengan warna kemerahan, Han Han
tidak melihat semua keindahan itu karena pada saat itu tidak ada keindahan di
dunia ini yang dapat menandingi keindahan wajah yang dipandangnya dari samping.
Wajah yang lembut namun menyembunyikan kekerasan, wajah yang sejuk namun
menyembunyikan api menggairahkan, wajah yang mirip benar dengan wajah Lulu!
“Memang
indah, Nirahai. Indah sekali... akan tetapi tidak sunyi. Dengan adanya kita
berdua di sini, kesunyian musnah, dunia akan penuh dengan kita, dengan cinta
kasih kita... Nirahai...!”
Dara itu
tergugah dari pesona dan menoleh, lalu tersenyum penuh kebanggaan ketika ia
mendapatkan sinar mata penuh kemesraan dan kasih sayang terpancar dari sepasang
mata Han Han. Sinar mata yang demikian mesra dan hangat, cerah dan lembut,
mengalahkan sinar matahari pagi. Nirahai menarik napas panjang ketika Han Han
merangkul pundaknya. Ia merebahkan kepala, disandarkan di dada pemuda itu.
“Aaahhhhh...!”
Nirahai menarik napas panjang, hatinya terasa lapang seolah-olah penuh dengan
sinar matahari pagi, membuat ia merasa seperti akan terbang dan menari-nari di
antara mega-mega putih berarak dan mandi cahaya matahari pagi yang mulai berwarna
keemasan, indah sekali. “Han Han, adakah sinar matamu itu mencerminkan rasa
hatimu? Adakah engkau benar-benar mencintaku seperti matahari mencinta
permukaan telaga?”
Han Han
menundukkan mukanya, menyentuh dan menelusuri permukaan dahi dan alis itu
dengan ujung hidungnya sebelum menjawab lirih, “Nirahai kekasihku, aku cinta
kepadamu, Nirahai...” Ia mempererat pelukannya dan hatinya penuh dengan cinta
mesra. “Ahhh, betapa aku mencintamu, dengan sepenuh jiwa ragaku, sepenuh
hatiku. Aku rela mengorbankan jiwa ragaku untukmu, Nirahai!”
Dara itu
memejamkan matanya, kembali menarik napas dan membelaikan pipinya di dagu Han
Han yang menunduk, sikap yang amat manja bagi Han Han, mengingatkan ia akan
sikap seekor kucing yang minta dibelai.
“Betapa
hebat kekuasaan cinta...!” Hanya demikian Nirahai berkata, suaranya lirih
seperti orang mengeluh, atau lebih mendekati lagi seperti orang merintih,
rintihan yang menjadi penyambung antara nyeri dan nikmat, antara suka dan duka.
Bisikan ini
membuat Han Han sadar akan anehnya peristiwa yang terjadi sekarang ini. Yang
dipeluknya, yang diciumnya adalah seorang puteri kaisar! Seorang panglima besar
dan merupakan orang amat berpengaruh, berkuasa dan penting dalam Kerajaan
Mancu! Seorang dara yang cantik jelita sukar ditemukan keduanya, namun kini
berada dalam pelukannya! Sukar untuk dapat dipercaya! Dan memang hebat sekali
kekuasaan cinta, memungkinkan terjadinya hal yang agaknya tak masuk akal!
“Nirahai,
apakah engkau juga telah benar-benar mencinta aku seperti cintaku kepadamu?”
Han Han tak dapat menahan pertanyaan yang timbul dari hatinya yang masih sukar
untuk dapat menerima kenyataan yang dianggapnya aneh itu.
Mendengar
pertanyaan ini Nirahai mengangkat kepalanya yang bersandar di dada Han Han,
memutar tubuh sehingga mereka berdiri berhadapan di pinggir telaga itu. Sejenak
mereka beradu pandang kemudian terdengar suara Nirahai yang halus merdu namun
tegas.
“Han Han,
aku mengerti mengapa engkau masih mengajukan pertanyaan itu biar pun engkau
yang cerdik tentu sudah merasa yakin akan cintaku dengan bukti yang sekarang
kita hadapi. Aku telah meninggalkan kerajaan Ayahku, meninggalkan kedudukan dan
kemuliaan, meninggalkan cita-cita dan lebih dari pada itu semua, aku bahkan
telah menjadikan diriku dimusuhi kerajaan dan keluarga. Semua ini hanya karena
cintaku kepadamu. Masih belum cukupkah bukti dan pengorbanan itu?”
Han Han
menarik napas panjang, hatinya penuh keharuan karena ia merasa sangsi apakah
seorang pemuda berkaki buntung sebelah seperti dia, yang yatim piatu dan
miskin, tidak mempunyai tempat tinggal, patut menerima cinta kasih seorang
puteri seperti Nirahai?
“Maaf,
Nirahai, bukan sekali-kali aku masih menyangsikan perasaan cintamu yang suci.
Hanya saja... yang membuat aku sukar untuk dapat percaya, bagaimana mungkin
seorang puteri bangsawan seperti engkau menghancurkan nasib dan masa depanmu
sendiri? Sudah tentu aku... aku akan berbahagia sekali kalau engkau selalu
berada di sampingku, akan tetapi hatiku pun akan selalu tertekan dan hancur
kalau melihat engkau menjadi sengsara kelak...”
Nirahai
menubruk Han Han, merangkulnya dan menutup mulut Han Han dengan jari tangannya
yang halus. “Jangan lanjutkan...! Aku cinta padamu, karena hanya engkau
satu-satunya pria yang patut menjadi suamiku! Kita sudah dijodohkan oleh kedua
orang guru kita, dan kita sudah saling mencinta. Itu sudah cukup! Aku pun tidak
ingin perjodohan kita dirayakan besar-besaran, bahkan tidak peduli kalau tidak
dirayakan oleh kita berdua! Tentang kedudukan dan kemuliaan? Dengan kepandaian
kita, apa sukarnya mendapatkan itu?”
“Tapi,
Nirahai... demi menjaga namamu, semestinya kalau pernikahan kita dirayakan,
disyahkan! Ohhh, dua bulan lagi Lulu akan menikah, bagaimana kalau kita rayakan
bersama-sama dan...”
“Hussshhhhh...!
Mengapa meributkan soal tetek-bengek seperti itu sedangkan aku berada di
dekatmu? Apa kau lupa bahwa aku lelah, bahkan aku lapar, bahwa aku...”
Han Han
tertawa dan menutup mulut Nirahai dengan ciuman untuk menghentikan celaannya,
kemudian ia memondong tubuh kekasihnya itu, dibawa berloncatan ke dalam pondok
di sebelah kiri telaga di mana ia pernah tinggal bersama Koai-lojin.
Han Han
adalah seorang pemuda yang telah dewasa, seorang pria yang selama hidupnya
belum pernah terjun ke dalam lautan cinta asmara seorang wanita. Dia telah
berkali-kali menerima cinta kasih wanita, cinta kasih murni yang dibuktikan
dengan pengorbanan-pengorbanan. Kim Cu yang mencintanya berkorban menjadi
nikouw, Soan Li tewas karena hendak menolongnya dan dara itu pun mengaku
mencintanya. Demikian pula Tan Hian Ceng dan Lauw Sin Liam, mereka itu
mencintanya dan tewas ketika bendak menolongnya. Betapa pun juga, tidak pernah
dia bermain cinta dengan seorang di antara mereka, apa lagi karena di lubuk
hatinya, ia tidak menemukan cinta kasih terhadap mereka. Kini hatinya roboh di
bawah kaki Nirahai. Dia mencinta puteri kaisar ini, bahkan Nirahai juga
mencintanya, dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka.
Ada pun
Nirahai adalah seorang dara bangsawan yang tinggi hati. Belum pernah ia
tertarik kepada pria, apa lagi jatuh cinta. Memang pernah ia dikabarkan akan
dijodohkan dengan Ouwyang-kongcu puteri Pangeran Ouwyang Cin Kok, akan tetapi
di dalam batinnya ia tidak mengandung perasaan apa-apa terhadap pemuda itu. Kini,
begitu bertemu dengan Han Han, menyaksikan sepak terjang pemuda buntung itu dan
terutama sekali setelah dia merasa kalah pibu menghadapi pemuda ini, dia
tertarik dan sekaligus tunduk dan jatuh cinta. Apa lagi setelah Nenek Maya
mengambil keputusan menjodohkannya dengah Han Han, sudah bulatlah tekad di hati
Nirahai untuk menjadi isteri Han Han! Dia memiliki kekerasan hati yang luar
biasa, maka untuk memenuhi keputusan ini, dia sanggup menempuh rintangan apa
pun juga!
Kedua orang
muda itu sudah sama dewasa, sama mencinta dan cinta kasih mereka makin mesra
dan mendalam karena peristiwa di istana sehingga mereka merasa bersatu hati,
sehidup semati. Tempat di mana mereka bersembunyi, di pinggir telaga itu
merupakan tempat yang sunyi, tenang, indah dan romantis. Tiada sesuatu yang
menjadi penghalang di antara cinta kasih mereka, bahkan Nirahai tidak lagi
peduli akan upacara perjodohan, menganggap bahwa dia sudah menjadi isteri Han
Han semenjak ia minggat dari istana.
Tidaklah
mungkin menyalahkan mereka ini kalau keduanya sebagai orang-orang muda yang
saling tergila-gila, saling mencinta dan saling menderita, kini menumpahkan
semua perasaan cinta kasih mereka di tempat sunyi itu. Bagi keduanya, hal ini
merupakan pengalaman pertama sehingga membuat mereka lupa akan segala dan mabuk
oleh manisnya madu asmara, terlupa masa lalu tak peduli masa depan, yang
teringat hanyalah perpaduan kasih, di dalam pondok, di tepi telaga, di antara
bunga-bunga yang tumbuh di hutan kecil pinggir telaga. Mereka bersendau-gurau,
saling menggoda, saling memanja, saling menyayang, tiada ubahnya seperti
sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Betapa pun
besarnya badai dan ombak, akhirnya akan mereda juga. Gelombang nafsu asmara
yang lebih besar dan dahsyat dari pada badai dan ombak pun akhirnya akan mereda
juga. Selama satu bulan, Han Han dan Nirahai seolah-olah lupa segala, tidak
peduli akan masa lalu dan masa depan, ingatnya hanya berlomba merenggut madu
asmara yang makin direguk makin mendatangkan dahaga. Setelah lewat sebulan,
cinta kasih mereka yang menyala-nyala terbakar nafsu birahi mulai mereda dan
mulailah mereka berdua sadar bahwa cinta kasih bukanlah cinta birahi semata,
dan mulailah keduanya merenungkan masa depan mereka!
Bagaikan dua
orang yang mengaso tenang setelah diombang-ambingkan gelombang dahsyat selama
sebulan lebih, pada pagi hari itu mereka duduk di tepi telaga. Han Han duduk
bersandar batu hitam yang dulu sering kali dijadikan tempat duduk Koai-lojin di
waktu memancing. Nirahai duduk di depannya, setengah dipangkunya dan merebahkan
kepala dengan rambut terurai lepas di atas dada Han Han. Sampai berjam-jam
kedua muda-mudi ini duduk seperti itu, tak bergerak dan penuh dengan
kebahagiaan, dengan kepuasan, saling menikmati kehadiran kekasih masing-masing
yang hanya terasa oleh detik jantung dan alunan nafas.
Angin
semilir dari tengah telaga datang bertiup, membuat rambut yang hitam berikal
melambai dan menggelitik leher Han Han, menyadarkan pemuda ini dari lamunan
nikmat yang membuatnya tenggelam. Ia menggerakkan lehernya mengusir rasa gatal
dan geli, kemudian melanjutkan gerakan jari-jari tangannya dengan mengelus
rambut halus di atas dadanya itu penuh kasih sayang dan mesra. “Nirahai,
isteriku tercinta...”
Nirahai
bergerak, menengadah dan tersenyum memandang wajah Han Han. “Dan engkau
suamiku...”
Han Han
menunduk, memberi hadiah ciuman mesra untuk sebutan yang menggetarkan perasaannya
itu. Biasanya, selama sebulan ini, satu ciuman saja sudah cukup membuat
keduanya tenggelam dalam lautan asmara, tidak ingat lagi akan hal lain,
menghapus semua niat yang hendak dibicarakan, karena semua kemauan sudah lumpuh
dan kalah oleh gelombang asmara yang menghanyutkan. Tetapi kini Han Han dapat
menahan diri dan ia berbisik.
“Nirahai,
aku teringat bahwa sebulan lagi Lulu akan menikah. Aku harus hadir dan
menyusulnya ke Kwan-teng. Marilah kita pergi ke sana...”
Sepasang
mata Nirahai yang selama sebulan ini selalu dalam keadaan seperti orang
mengantuk, kini mulai menemukan kembali sinarnya ketika mendengar ucapan Han
Han itu. Sudah sebulan mereka berdua tidak pernah mengucapkan kata-kata yang
lain dari pada cumbu rayu sehingga kini seperti baru sadar dari mimpi. Sadar
bahwa di sana masih terdapat banyak hal lain di samping urusan cinta kasih
mereka! Matanya mulai bersinar, perlahan ia bangkit dari dada suaminya, lalu
duduk di atas tanah bertilam rumput, memutar tubuh berhadapan dengan Han Han.
Kedua tangannya mulai memilin-milin rambutnya yang selama ini dibiarkan terurai
lepas untuk dibelai dan dipermainkan jari-jari tangan Han Han yang penuh cinta
kasih.
Baru saat
itulah keduanya saling pandang dalam keadaan sadar, dan otomatis timbul kerut-kerut
kecil di wajah mereka, Han Han pada dahinya, Nirahai di antara kedua matanya.
“Han Han,
engkau tahu bahwa tidak mungkin bagi aku untuk pergi ke Kwan-teng atau ke mana
pun juga. Aku telah menjadi seorang pelarian, dan aku merasa malu untuk bertemu
dengan tokoh-tokoh kang-ouw kalau mereka mendengar bahwa aku adalah seorang
puteri pelarian.”
“Mengapa
tidak mungkin, isteriku?” Han Han menggenggam tangan Nirahai. “Mengapa tidak
mungkin pergi ke sana? Apa yang ditakuti? Andai kata engkau dikejar, apakah kita
tidak mampu melawan? Dan mengapa pula malu kepada orang lain? Siapa yang akan
berani menghinamu? Akan kuhancurkan mulut yang berani mengejekmu.”
Nirahai
menggeleng kepalanya, lalu berkata, suaranya tegas, “Tidak, suamiku. Aku tidak
mau pergi ke Kwan-teng atau ke mana saja. Aku sudah mempunyai rencana matang
yang sudah berhari-hari ini kupikirkan dan baru sekarang akan kusampaikan
kepadamu.”
Berdebar
jantung Han Han, seolah-olah ada firasat tidak enak terasa olehnya. Ia menatap
wajah Nirahai dan dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa wajah yang
cantik itu diselubungi kekerasan hati yang sukar ditembus. Diam-diam ia menjadi
gelisah, akan tetapi ia menekan hatinya dan bertanya halus.
“Nirahai,
bagaimanakah rencanamu itu?”
“Di selatan
ini aku yang telah membuat jasa besar telah dimusuhi oleh kerajaan. Karena itu,
jalan satu-satunya bagiku adalah kembali ke utara! Di Khitan aku akan lebih
dihargai, dan aku mempunyai seorang paman, adik Ibuku, yang kini menjadi
seorang panglima besar dari suku bangsa Mongol. Aku hendak menyusulnya ke sana
dan engkau... kuharap saja suka pergi ke sana bersamaku, Han Han.”
Sejenak
kedua orang yang selama sebulan lebih mabuk dan tenggelam dalam lautan asmara
itu, kini saling berpandangan penuh kesadaran dan penuh kekhawatiran
menyaksikan jalan pikiran dan cita-cita mereka yang saling bertentangan.
“Aku harus
mengurus pernikahan adikku...,” Han Han membantah lemah, berpegang kepada
alasan ini untuk menarik Nirahai yang dicintanya itu dari cita-citanya akan
pergi ke utara di luar tembok besar.
Nirahai
mengangguk-angguk, tersenyum lalu merangkul Han Han, menciumnya mesra yang
dibalas Han Han sepenuh hatinya. Akan tetapi, kedua orang ini merasa betapa
dalam ciuman mereka terdapat sesuatu yang mengganjal, tidak seperti yang
sudah-sudah dan keduanya menjadi gelisah.
“Aku tahu,
Han Han. Memang seharusnya engkau menghadiri pernikahan Lulu. Pergilah ke
Kwan-teng dan uruslah pernikahan adik kita itu. Aku akan menantimu di sini dan
kalau engkau sudah kembali ke sini dari Kwan-teng, kita berdua baru pergi ke
utara.”
Han Han
mengerutkan keningnya dengan jantung berdebar tegang. Ke utara? Mau apa ke
sana? Hidup di antara suku bangsa Mongol yang sama sekali asing baginya?
Teringat akan sejarah betapa bangsa Mongol pernah menjadi penjajah bangsanya,
dia tahu bahwa tentu dirinya akan terlibat urusan politik dan pemerintahan lagi
di utara yang asing itu dan ia maklum bahwa dia tidak akan merasa bahagia di
sana. Ia seolah-olah dapat merasa betapa bahaya besar bagi kebahagiaan dia dan
Nirahai menunggunya di utara!
Cepat ia
memegang kedua pundak Nirahai, memaksa kekasihnya itu menghadapnya dan
memandang wajah yang jelita itu penuh selidik. “Nirahai, kekasihku, pujaan
hatiku! Engkau adalah isteriku, dan aku akan hidup sengsara tanpa engkau di
sampingku! Marilah engkau ikut bersamaku, ke Kwan-teng, kemudian merantau ke mana
saja, berdua, hidup penuh bahagia, jangan kita melibatkan diri lagi dengan
urusan kerajaan. Aku... aku mendapat firasat buruk, kalau kita pergi ke
utara... tentu kita akan terlibat dan terseret lagi dalam urusan kerajaan,
politik dan perang! Aku ingin kita berdua hidup merantau, bebas lepas tidak
terikat urusan duniawi, seperti sepasang burung dara di angkasa... marilah,
Nirahai sebelum terlambat.”
Han Han yang
merasa gelisah itu menjadi terharu dan hendak memeluk isterinya, akan tetapi
tiba-tiba Nirahai melepaskan diri dari pelukan Han Han, mundur tiga langkah dan
menatap wajah Han Han dengan sinar mata tajam dan wajah diliputi sikap dingin
murung.
“Han Han,
sudah kukhawatirkan hal ini akan terjadi semenjak malam pertama aku terlena
dalam belai rayumu. Engkau lupa bahwa aku adalah seorang puteri! Bahwa tak
mungkin bagiku hidup seperti seorang petualangan yang tak tentu tempat
tinggalnya! Engkau lupa bahwa di dalam tubuhku mengalir darah pahlawan, yang
semenjak nenek moyangku dahulu rela mengorbankan jiwa raga demi untuk negara
dan bangsa! Biar pun kini kerajaan menganggap aku seorang pelarian, namun aku
tetap harus bersetia kepada kerajaan Ayahku.”
Han Han
menjadi pucat wajahnya dan ia membantah lemah, “Nirahai, akan tetapi engkau
isteriku yang tercinta!”
Nirahai
tersenyum pahit. “Memang, aku isterimu yang mencintamu, Han Han. Aku cinta
kepadamu, demi Tuhan aku cinta padamu, tapi...”
“Tapi engkau
lebih cinta kepada bangsamu?” Han Han berseru penasaran dan hatinya berduka
sekali.
Sadarlah ia
kini bahwa ia lupa akan sebuah hal yang membuat Nirahai amat jauh bedanya
dengan Lulu. Memang wajah mereka mirip sekali, mempunyai segi-segi keindahan
yang sama, akan tetapi ia lupa bahwa Nirahai tidak mungkin bisa memiliki jiwa
seperti Lulu yang lebih polos dan jujur, yang menganggap sama antara
bangsa-bangsa sehingga Lulu tidak menaruh dendam terhadap bangsa pribumi,
bahkan telah mengambil tindakan mengagumkan dengan mengangkat Lauw-pangcu,
pembunuh orang tuanya, sebagai ayah angkat! Nirahai juga tidak mempunyai permusuhan
pribadi dengan kaum pejuang, akan tetapi Nirahai ini adalah seorang pejuang
sampai ke sumsum-sumsumnya, seorang yang lebih mencinta negara dan bangsa
melebihi apa pun juga!
Mendengar
tuduhan Han Han itu, Nirahai tersenyum dan mengangguk, “Memang betul, Han Han.
Aku mencintamu, akan tetapi aku lebih cinta kepada bangsaku yang melebihi
cintaku kepada diriku sendiri. Engkau adalah seorang yang berpengetahuan luas,
tentu mengerti akan watak keturunan pahlawan. Betapa pun juga, aku cinta
kepadamu, suamiku, ahhhh, betapa cintaku kepadamu. Karena itu, kau kasihanilah
aku. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan dan yang akan
menghancurkan kebahagiaan kita berdua, marilah sekarang saja kita pergi ke
utara dan melupakan segala hal! Marilah, Han Han, demi cinta kasih kita...!”
Suara
Nirahai makin melemah dan akhirnya ia terisak perlahan. Han Han terkejut dan
makin terharu. Isterinya, kekasihnya yang berhati baja itu, kini ternyata telah
menderita tekanan batin hebat sekali!
Ia segera
memeluknya dan mereka berciuman penuh kemesraan. Sesaat pertentangan paham yang
timbul dari percakapan tadi terlupa dan lenyap, tenggelam oleh rasa cinta kasih
mereka. Akan tetapi badai kecil asmara ini pun lewat dan mereka kembali sadar
dan teringat akan urusan penting yang mereka hadapi dan yang tak mungkin mereka
hindari.
“Han Han,
kau sendiri mengatakan bahwa Lulu telah mendapatkan jodoh yang amat baik, yang
boleh dipercaya. Aku pun percaya bahwa Wan Sin Kiat adalah seorang pemuda yang
baik sekali, gagah perkasa dan bertanggung jawab. Karena itu, mengapa engkau
masih mengkhawatirkan keadaan Lulu? Marilah kita pergi ke utara sekarang juga.”
Han Han
menggeleng kepala. “Tidak mungkin aku pergi jauh sebelum aku menyaksikan
pernikahan adikku, Nirahai.”
“Kalau
begitu, pergilah cepat dan kembalilah cepat pula. Aku akan menantimu di sini,
suamiku.”
Han Han
termenung, keningnya berkerut dan wajahnya muram. Tak disangkanya sama sekali
bahwa dia harus menghadapi keputusan yang begitu sukar dan yang akan
menghancurkan hidupnya! Dia membayangkan masa depannya bersama Nirahai di
utara, di antara bangsa Mongol yang asing baginya sama sekali! Dia membayangkan
Nirahai menjadi seorang pahlawan puteri di antara bangsa Mongol dan dia
sendiri... dia hanyalah suami sang puteri yang bagaimana pun juga tidak mungkin
dapat menjadi pahlawan bangsa itu, dan dia hanya akan ‘membonceng’ kemuliaan
isterinya! Dia akan merasa terhina, seorang suami bangsa asing, yang buntung
pula. Han Han bergidik ngeri.
“Tidak,
Nirahai. Aku akan pergi ke Kwan-teng dan engkau harus ikut bersamaku! Setelah
aku merayakan pernikahan Lulu, kita berdua akan pergi, ke mana saja, asal bebas
dari ikatan. Ke utara pun boleh, akan tetapi dengan janji bahwa kita berdua
tidak akan mengikatkan diri dengan urusan negara!”
Sepasang
alis itu berkerut, sepasang mata itu bersinar merah dan Han Han terkejut,
maklum bahwa datangnya badai yang lain lagi dari pada badai asmara yang
memabukkan. Setelah berulang kali menarik napas panjang sampai terdengar nyata,
Nirahai berkata, “Sudah kukhawatirkan akan menjadi begini...! Jodoh takkan
dapat kekal hanya didasari cinta birahi saja! Yang penting adalah kesesuaian
paham dan cita-cita! Ahhh, Han Han, tak mungkin aku dapat memenuhi permintaanmu
itu. Kalau engkau memang mencintaku, engkau harus memenuhi permintaanku ikut
dengan aku sekarang juga ke utara.”
“Engkau yang
tidak sungguh-sungguh mencintaku, Nirahai. Engkau lebih mencinta cita-citamu!”
“Dan engkau,
Han Han, engkau seperti telah buta. Engkau memang mencintaku, cinta nafsu,
cinta birahi, padahal sesungguhnya engkau mencinta... Lulu!”
Han Han
meloncat kaget dan memandang Nirahai dengan mata terbelalak.
“Apa... apa
kau bilang...?”
Nirahai
tertawa pahit dan anehnya, dua titik air mata membasahi kedua pipinya. Ia
tertawa akan tetapi menangis, amat mengharukan ketika suaranya yang gemetar
berkata, “Kuketahui setelah terlambat! Baru pada akhir-akhir ini... engkau
mencumbu dan merayu, mencinta tubuhku, akan tetapi hatimu lari mencari Lulu.
Tanpa kau sadari, mulutmu yang menciumi bibirku membisikkan nama Lulu! Saat
itulah aku tahu bahwa sesungguhnya engkau telah jatuh cinta kepada Lulu! Akan
tetapi, sudah terlanjur! Dan kini aku teringat akan sikap dan kata-kata Lulu.
Adikmu itu, adik angkatmu itu, dia pun mencintamu, Han Han. Mencintamu dengan
sepenuh jiwa raganya, mungkin cintanya terhadapmu jauh lebih murni dari pada
cintaku kepadamu. Mungkin dia akan melakukan apa saja yang kau kehendaki. Akan
tetapi, semua itu telah lewat, tiada gunanya lagi disesalkan, kita telah
menjadi suami isteri! Kita tidak boleh berpisah lagi karena hal itu akan
berarti menghancurkan kebahagiaan kita. Aku mencintamu dan engkau mencintaku.
Sungguh pun mungkin cinta kasih di antara kita lebih disuburkan oleh nafsu
birahi karena kita saling mengagumi, namun kita dapat menikmati cinta kasih
kita bersama. Sekarang belum terlambat, marilah kita pergi ke utara.”
Han Han
menjadi pucat sekali wajahnya, matanya kehilangan sinarnya. Pukulan batin yang
dideritanya sekali ini terlalu berat baginya. Kenyataan yang dibuka secara
terang-terangan oleh Nirahai merobek-robek hatinya dan ia harus mengakui
kebenaran ucapan Nirahai. Betapa bodohnya! Lululah yang dia cinta! Bahkan
mungkin sekali karena kemiripan wajah Nirahai dengan Lulu maka dia tergila-gila
kepada puteri ini! Dan sekarang sudah terlanjur!
“Nirahai,
terima kasih. Engkau benar hebat dan jujur, aku amat menghargai keterus
teranganmu. Maafkan aku, Nirahai, kalau tanpa kusengaja aku menyakiti hatimu.
Sudah semestinya kalau aku menebus dosa-dosaku dengan menuruti kehendakmu. Akan
tetapi, engkau bersabarlah. Aku akan pergi ke Kwan-teng lebih dulu, merayakan
pernikahan adikku, baru kita bicara lagi tentang ke utara.”
Nirahai
membanting kakinya. Dia sudah marah sekali dan sudah habis kesabarannya.
“Tidak! Sekarang juga kita harus dapat mengambil keputusan! Han Han, kita
bukanlah anak-anak kecil lagi! Kita bukan orang-orang yang lemah dan ragu-ragu
dalam mengambil keputusan. Kita harus dapat menentukan nasib sendiri karena hal
ini menyangkut masa depan dan kehidupan kita. Dengarlah keputusan yang tak
dapat diubah-ubah lagi, Han Han. Aku cinta padamu, dan akan bersedia melayanimu
sebagai seorang isteri yang mencintamu sampai kematian memisahkan kita. Akan
tetapi, di samping itu aku harus pergi ke Mongol dan aku harus mengabdikan
diriku untuk nusa bangsaku, biar pun dengan cara lain dari pada yang
sudah-sudah. Aku hanya minta engkau tidak menghalangi cita-citaku itu dan aku
bersumpah bahwa cintaku kepadamu takkan berubah!”
Sementara
itu, biar pun amat berduka, Han Han sudah pula berpikir masak-masak, maka ia
menjawab, “Aku pun sudah mengambil keputusan, Nirahai. Aku cinta padamu dan aku
akan mencintamu selamanya, akan tetapi aku tidak mau terikat dengan urusan
pemerintah. Aku harus menikahkan Lulu lebih dulu, kemudian aku akan mengikutimu
ke mana pun engkau pergi, akan tetapi aku hanya minta engkau tidak mencampuri
urusan negara yang hanya akan merenggangkan hubungan kita suami isteri.”
Sejenak
sunyi dan mereka berpandangan. Akhirnya Nirahai bertanya nyaring. “Sudah
tetapkah keputusan hatimu itu?”
Han Han
mengangguk tanpa mengalihkan pandang matanya yang bertaut dengan pandang mata
Nirahai. Tiba-tiba Nirahai tertawa nyaring dan terkekeh-kekeh.
“Nirahai...!”
Han Han maju hendak merangkul. Ia ngeri melihat Nirahai tertawa seperti itu,
dengan muka pucat, dengan air mata bercucuran, dengan mulut tertarik seperti
orang menangis, seperti mayat tertawa!
“Jangan
dekati!” Nirahai membentak, kemudian ia berkata lirih bercampur isak, “Kalau
begitu keputusan kita, kita harus berpisah, sekarang juga, lebih cepat lebih
baik. Nah, selamat tinggal, Han Han. Engkau kekasihku, engkau suamiku, akan
tetapi juga musuhku! Engkau kucinta, akan tetapi juga kubenci!” Setelah berkata
demikian, puteri jelita itu meloncat dan lari pergi secepat kilat.
“Nirahai...!”
Han Han menjerit, hanya lirih keluar dari mulut, akan tetapi amat nyaring
keluar dari hatinya yang berdarah.
Ia terus
berdiri termenung memandang sampai bayangan Nirahai lenyap, berdiri seperti
patung, agak terbongkok seolah-olah terlampau berat beban yang dipikul dan
menimpa punggungnya, bersandar pada tongkatnya dan diam tak bergerak. Hanya air
matanya saja yang jatuh satu-satu tak dihiraukannya.
“Nirahai...
Nirahai...!” Hatinya menjerit-jerit.
“Nirahai...!
Lulu...! Lulu...!” Ia menjadi bingung, pukulan batin yang dideritanya membuat
ia seolah-olah menjadi batu.
Kalau saja
Nirahai tidak sedemikian keras hatinya. Kalau saja ia meragu dan kembali ke
tempat itu, tentu hati wanita ini akan hancur luluh dan mencair melihat keadaan
Han Han. Sampai tiga hari tiga malam Han Han masih berdiri di tempat itu,
bersandar pada tongkatnya, tak pernah bergerak kecuali untuk membisikkan nama
Nirahai dan Lulu! Dan yang amat mengharukan adalah rambutnya. Rambut yang gemuk
dan panjang, yang biasanya berwarna hitam mengkilap itu kini telah menjadi
putih semua! Putih seperti benang-benang perak, seperti rambut seorang kakek
berusia seratus tahun!
Selama tiga
hari tiga malam ini terjadi perubahan hebat pada dirinya. Badannya menjadi
semakin kurus, mukanya kuyu pucat tidak ada cahayanya, seperti muka orang yang
kehilangan semangat dan kegairahan hidup. Tiada sepercik pun sinar kegembiraan
terlukis di mukanya. Dan memang selama tiga hari tiga malam itu Han Han hanya
memikirkan nasibnya. Hidup semenjak kecil baginya hanya merupakan serangkaian
kesengsaraan yang tidak ada putus-putusnya. Makin diingat makin menghimpit
perasaan.
Teringat ia
akan wejangan-wejangan Koai-lojin yang dia tahu juga banyak mengalami duka
nestapa dalam hidupnya, mengalami kekecewaan-kecewaan besar. Sayup sampai bergema
di telinganya wejangan kakek sakti itu sebelum meninggalkannya.
“Hidup itu
menderita duka? Hidup itu menikmati suka? Tidak benar semua itu. Hidup adalah
hidup, ada pun suka atau duka adalah urusan hati, tidak ada sangkut-pautnya
dengan hidup. Peristiwa yang menimpa kita tak lepas dari perbuatan kita
sendiri. Seni yang amat indah dan besarlah cara penerimaan kita terhadap segala
peristiwa. Penerimaan, sekali lagi penerimaan! Kalau engkau sudah dapat
menguasai nafsu dan hati, sudah pandai menggunakan pikiran sehingga mendapat
kesadaran, engkau akan pandai pula menerima segala hal yang menimpa dirimu
sehingga engkau bisa saja bersuka dalam duka, dan berduka dalam suka!”
Tiba-tiba
Han Han tersenyum setelah ia teringat akan wejangan ini dan mulailah tubuhnya
yang kaku membatu itu dapat bergerak lagi. Seolah-olah tubuhnya hidup kembali
sungguh pun ia merasa betapa hatinya hampa dan kosong. Dia tidak sadar bahwa
rambutnya sudah putih semua dan bahwa ada sinar aneh terpancar dari matanya
yang biasanya bersinar tajam luar biasa. Dengan langkah terpincang-pincang Han
Han meninggalkan tempat itu menuju ke Kwan-teng.
Selagi Han
Han berjalan terpincang-pincang menuruni sebuah lereng sambil melamun,
tiba-tiba tampak belasan orang hwesio berloncatan keluar dan menghadapinya
dengan sikap mengancam. Han Han mengangkat muka memandang dan ia mengenal Ceng
San Hwesio dan belasan orang anak murid Siauw-lim-pai, semuanya pendeta-pendeta
berkepala gundul yang tingkatnya sudah tinggi.
Han Han
merasa heran. Kalau sampai ketua Siauw-lim-pai sendiri keluar dari
Siauw-lim-si, tentulah ada urusan yang amat penting. Biasanya yang mewakili
ketua Siauw-lim-pai ini adalah Ceng To Hwesio, sute dari Ceng San Hwesio. Akan
tetapi ia teringat bahwa Ceng To Hwesio telah tewas dalam pertandingan melawan
Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Han Han
menjura dengan hormat kepada ketua Siauw-lim-pai itu dan berkata, “Kiranya
locianpwe dan para losuhu dari Siauw-lim-pai yang bertemu dengan saya di tempat
sunyi ini, dan agaknya menghadang perjalanan saya. Tidak tahu ada kepentingan
apakah?”
“Hemmm,
orang muda tidak tahu malu! Dahulu engkau membikin kacau Siauw-lim-si, hal itu
telah pinceng lupakan dan dianggap habis. Sekarang engkau yang tadinya telah
membuat nama di Se-cuan, secara tidak tahu malu sekali bersekongkol dengan
Nirahai perempuan iblis itu...!”
“Maaf,
locianpwe. Nirahai adalah isteriku, bukan iblis. Aku melarang siapa saja
menghina dan memaki isteriku! Apakah kesalahan Nirahai? Bukankah di puncak
Tai-hang-san telah diadakan perdamaian?”
“Hemmm,
perdamaian? Engkau kini menjadi suami Nirahai? Bagus, seperti yang telah
pinceng duga, engkau seorang yang tak tahu malu! Kau bicara tentang perdamaian
atas nama Nirahai? Perdamaian yang mengorbankan nyawa Sute Ceng To Hwesio dan
engkau yang telah ditolong murid kami Lauw Sin Lian sampai dia mengorbankan
nyawa, engkau... malah menjadi suami pembunuhnya? Suma Han, pinceng telah
mendengar keturunan siapakah engkau ini, maka pinceng tidak merasa heran bahwa
engkau hanyalah seorang rendah budi yang tak patut dinilai sepak-terjangnya!”
Han Han
merasa heran sekali mengapa hatinya tidak marah seujung rambut pun mendengar
penghinaan yang luar biasa itu. Entah bagaimana, hatinya seperti kosong
melompong, tidak dapat diusik lagi oleh perasaan apa pun. Mestinya ia marah
mendengar kata-kata yang menghina itu, akan tetapi ia malah tersenyum! Bukan
dibuat-buat, melainkan senyum wajar karena ia merasa geli menyaksikan kebodohan
seorang kakek yang sudah menganggap diri pendeta dan menjadi ketua partai
besar.
“Locianpwe,
harap jangan salah sangka. Mendiang Ceng To Hwesio tewas dalam sebuah
pertandingan perorangan melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sama sekali bukan
kesalahan Nirahai. Ada pun kematian Sin Lian... hmmm, semoga Thian memberi
tempat yang penuh damai bagi arwahnya, kematiannya pun di luar kesalahan
Nirahai karena yang melakukannya adalah Ouwyang-kongcu dan para pembantunya.”
“Pinceng
tidak sudi melayani percakapan seorang yang tak boleh dipercaya seperti engkau.
Sekarang, lebih baik engkau menebus semua kesalahanmu dengan dua hal. Pertama
mengembalikan anak Bhok Khim, dan ke dua, memberi tahu di mana adanya iblis
betina Nirahai!”
Kembali Han
Han tersenyum sambil menghela napas panjang. “Locianpwe, ketika Bhok Khim
Toanio hendak menghembuskan napas terakhir, dia minta tolong kepada kedua orang
suhengnya, akan tetapi kedua orang suhengnya memandang rendah sehingga akhirnya
Bhok-toanio menyerahkan puteranya kepada saya. Sekarang locianpwe memintanya,
untuk apa?”
“Untuk apa,
kau tidak perlu tahu. Anak itu adalah anak Bhok Khim seorang murid kami,
kamilah yang berhak atas dirinya.”
“Saya
sendiri belum menemukan anak itu, locianpwe, maka tidak dapat saya serahkan,
dan kalau locianpwe hendak mencarinya, silakan mencari sendiri. Ada pun tentang
Nirahai, saya tidak dapat memberi tahu kepada siapa juga ke mana perginya
karena saya harus melindungi isteri saya.”
“Omitohud!
Bicara berbelit-belit, padahal maksudnya hanya menentang dan menolak! Suma Han,
apakah terpaksa pinceng harus turun tangan memaksamu?” Ceng San Hwesio
membentak.
Berkerut
kening Han Han, bukan karena marah melainkan karena penasaran menyaksikan sikap
seorang ketua partai besar yang sungguh tidak patut itu. Sepasang matanya yang
tajam itu mengeluarkan sinar yang aneh, menyapu belasan orang hwesio itu,
kemudian berhenti ke wajah Ceng San Hwesio dan ia berkata, “Bukan saya yang
mencari perkara, silakan kalau locianpwe hendak menggunakan kekerasan!”
Para murid
Siauw-lim-pai sudah menyaksikan sikap Han Han yang mereka anggap kurang ajar
dan tidak menaruh hormat kepada ketua mereka. Terdengar bentakan mereka dan
mereka sudah melolos senjata masing-masing, toya, golok dan pedang, gemerlapan
tertimpa sinar matahari.
“Hemmm,
cu-wi hendak menggunakan kekerasan? Jangan mengira bahwa saya takut menghadapi
cu-wi. Lihat baik-baik, saya sudah siap, apakah cu-wi kira akan dapat
mengalahkan saya?”
Para hwesio
yang sudah menerjang maju dengan senjata di tangan itu tiba-tiba terbelalak dan
berdiri di tempat masing-masing dengan muka pucat. Bahkan Ceng San Hwesio
sendiri berkali-kali mengucapkan “omitohud!” dan membaca mantera ketika melihat
pemuda berkaki buntung itu kini berdiri dengan tegak, tubuhnya berubah menjadi
dua! Kakinya tetap sebuah, akan tetapi kepalanya dua dan lengannya menjadi
empat buah, yang dua memegang tongkat yang dua lagi mengepai siap melakukan
perlawanan!
“Omitohud!
Dia menggunakan ilmu silat siluman! Jangan takut, serbu!” Ceng San Hwesio
berseru penuh wibawa.
Biar pun
hati mereka gentar sekali, sebelas orang anak murid Siauw-lim-pai yang sudah
tinggi tingkatnya itu memaksa diri menyerbu ke arah Han Han yang masih berdiri
tegak. Ketika senjata-senjata para anak buah Siauw-lim-pai itu datang menyambar
seperti hujan, tiba-tiba tampak dua batang tongkat berkelebat seperti dua ekor
naga.
“Trang-cring-cring-trakkk!”
Golok dan
pedang beterbangan, toya-toya patah ketika bertemu dengan dua batang tongkat
itu. Bahkan Ceng San Hwesio sendiri yang turut menyerbu dengan kepalan
tangannya bertemu dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas sekali,
membuat ia terhuyung mundur!
“Ceng San
Hwesio, jalan kekerasan hanya akan mendatangkan maut dan kerusakan kepada diri
sendiri. Selamat tinggal dan ingatlah selalu bahwa saya sedikit pun tidak
pernah dan tidak akan memusuhi Siauw-lim-pai yang saya hormati dan kagumi!”
Pemuda ini menggunakan kekuatan matanya dan menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun,
sekali berkelebat lenyap dari depan mata para murid Siauw-lim-pai.
“Di... dia
menghilang seperti siluman!” Para murid Siauw-lim-pai berbisik dengan suara
gemetar.
Namun ketua
Siauw-lim-pai yang sudah tinggi ilmunya itu maklum bahwa Han Han menggunakan
ilmu ginkang yang luar biasa sekali di samping pengaruh pandang matanya yang
dapat menyihir para muridnya termasuk dia sendiri. Maka dia menarik napas
panjang dan mengajak murid-muridnya pergi dari situ untuk melanjutkan usaha
mereka mencari Nirahai yang tentu saja sia-sia belaka karena pada waktu itu,
Nirahai telah pergi jauh ke utara dengan hati yang sama hancurnya seperti yang
diderita Han Han.
Setelah
mengalami peristiwa pertemuannya dengan ketua Siauw-lim-pai yang amat tidak
enak itu, Han Han tidak mau lagi termenung dan ia melakukan perjalanan cepat
sambil mengerahkan kepandaian, menghindarkan pertemuan dan terutama sekali
bentrokan dengan orang lain.
Demikianlah,
pada suatu pagi, saat yang ia rindu-rindukan, yang dinanti-nantikan tiba ketika
ia memasuki kota Kwan-teng dan dengan jantung berdebar ia langsung menuju ke
Pek-eng-piauwkiok, yaitu gedung perusahaan ekspedisi milik Hoa-san Pek-eng Tan
Bu Kong, murid Hoa-san-pai yang ramah itu.
“Han-koko...!”
Lulu menjerit dan lari menyambut kedatangan Han Han ketika Han Han memasuki
ruangan depan Pek-eng-piauwkiok.
“Lulu...!”
Han Han memeluk adiknya dan menumpahkan seluruh kerinduan hatinya.
“Han-koko
rambutmu... ahhh rambutmu kenapa...?” Lulu yang sudah menangis itu menggunakan
kedua tangannya membelai rambut yang putih semua itu. “Han-koko... kenapa
engkau? Kenapa rambutmu... jadi begini?”
Kembali Han
Han merasai keanehan pada dirinya. Rasa haru menyusup ke dadanya, akan tetapi
segera tenggelam seperti sebuah batu dilempar di permukaan telaga dan lenyap
tak berbekas! Dia malah dapat tersenyum sambil mengelus rambut adiknya.
“Lulu,
adikku. Rambut hitam menjadi putih apa anehnya? Sudah wajar dan harap jangan
diributkan.”
“Koko...
Han-koko... ahhh, Han-koko...!”
Lulu
merintih-rintih sambil menangis. Air matanya membasahi baju di dada Han Han,
dipandang penuh keharuan oleh Wan Sin Kiat yang pada saat itu merasa benar
betapa besar cinta kasih calon isterinya kepada kakaknya. Akhirnya Sin Kiat
yang bijaksana meninggalkan kakak dan adik itu masuk ke ruangan dalam dengan
alasan hendak menyampaikan kedatangan Han Han kepada gurunya.
Setelah
tinggal berdua saja, Lulu mempererat pelukannya dan tangisnya makin
tersedu-sedu. “Koko... Koko jangan tinggalkan aku lagi, Koko. Marilah kita
pergi berdua... hu-hu-huuukkk...”
“Eh, eh,
bocah nakal! Apa pula yang kau katakan ini? Engkau akan menikah dengan Sin
Kiat. Bukankah engkau cinta kepadanya?”
“Aku... aku
suka menjadi isterinya akan tetapi aku tidak akan bahagia kalau berpisah
darimu, koko. Baru berpisah tiga bulan saja, engkau sudah tertimpa malapetaka
lagi. Pertama kali, perpisahan kita membuat engkau kehilangan sebelah
kakimu...” Lulu mengguguk tangisnya. “Dan sekarang... rambutmu putih semua!”
“Hushhh
jangan berkata demikian. Engkau akan hidup bahagia di samping suamimu, jangan
pikirkan aku lagi.” Biar pun mulutnya berkata demikian, hati Han Han tidak
karuan rasanya.
Memeluk
adiknya ini teringatlah ia ketika ia memeluk Nirahai dan diam-diam ia kini
harus membenarkan ucapan Nirahai yang menyatakan bahwa sesungguhnya dia
mencinta Lulu. Memang benar. Baru sekarang dia tahu Lulu lah yang dicintanya!
Dicintanya sejak dahulu! Bukan hanya dicinta sebagai adiknya, melainkan
dicintanya sebagai seorang wanita satu-satunya di dunia ini yang akan
membahagiakan hidupnya!
“Tidak
mungkin, Han-koko. Tak mungkin aku tidak memikirkan engkau. Biar pun aku
menjadi isterinya, aku akan sengsara kalau kau tidak berada di dekatku. Lebih
baik aku selamanya tidak kawin, biarlah aku ikut bersamamu... huk-huk-huk, kita
kembali ke Pulau Es...!”
Han Han
tersentak kaget. Permintaan Lulu ini cocok sekali dengan perasaan hatinya. Dia
harus melawan ini. Tidak boleh begini! Kalau dia menuruti perasaannya, dia tahu
bahwa dia akan menemukan bahagia asmara yang sejati di samping Lulu. Akan
tetapi hal itu hanya akan menambah dosanya yang sudah bertumpuk-tumpuk.
“Tidak!
Lulu, jangan berpikiran gila seperti itu! Engkau adikku, dan adik berada di
samping kakaknya di waktu kecil, setelah dewasa dan bertemu jodohnya, harus
berpisah.”
“Aku tidak
mau...! Tidak mau...!” Lulu terisak-isak dan membanting-banting kakinya.
Kembali Han
Han teringat kepada Nirahai. Selama sebulan itu, ketika ia memeluk dan mencinta
Nirahai, bukankah setengah hatinya menganggap bahwa Nirahai menjadi pengganti
Lulu? Dan sekarang dia memeluk Lulu! Akan tetapi Lulu yang dipeluknya ini
adalah adiknya! Lebih patut menjadi isteri Wan Sin Kiat.
“Lulu!
Apakah engkau ingin melihat kakakmu makin sengsara? Aku bisa mati karena duka
jika engkau bersikap seperti ini!”
Lulu
merintih dan melepaskan pelukannya, melangkah mundur sambil memandang kakaknya
dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Han-koko, benar-benarkah engkau
menghendaki aku kawin dengan Sin Kiat?”
Sejenak
mereka berpandangan. Lulu memandang dengan matanya yang lebar penuh selidik.
Han Han berusaha mengelak dan menyembunyikan perasaan hatinya. Jelas sekali
tampak olehnya betapa sinar mata adiknya itu menyorotkan cinta kasih yang
mendalam, penuh pemasrahan, cinta kasih dengan pemasrahan total tanpa halangan
perbedaan paham seperti yang dimiliki Nirahai, dan agaknya karena kenyataan
bahwa mereka kakak beradik yang membuat Lulu tidak berani menyatakan perasaan
melalui mulutnya.
Han Han
mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya untuk menekan perasaannya, kemudian ia
tersenyum lebar dan memandang adiknya seperti memandang seorang anak nakal
sambil berkata, “Lulu... Lulu adikku sayang, mengapa kau masih bertanya lagi?
Engkau tahu, satu-satunya kebahagiaan bagiku adalah melihat engkau bahagia
adikku. Dan aku yakin engkau akan bahagia menjadi isteri Sin Kiat. Bukankah
selama ini dia bersikap amat baik padamu?”
Lulu menarik
napas panjang, menggunakan punggung tangan untuk mengeringkan air mata dari
pelupuk mata dan pipi. “Dia baik, akan tetapi engkau jauh lebih baik”
“Hushhhhh!
Tentu lain! Dia adalah calon suamimu, dan aku hanya kakakmu.” Han Han
menggandeng tangan adiknya sambil tertawa. “Jangan seperti anak kecil, Lulu.
Mari kita masuk menghadap Locianpwe Im-yang Seng-cu, guru Sin Kiat.”
Lulu
terpaksa menghentikan tangisnya dan tidak sempat lagi berbantahan dengan
kakaknya karena tak lama kemudian Sin Kiat muncul lagi bersama gurunya, Im-yang
Seng-cu, Tan Bu Kong dan beberapa orang anak murid Hoa-san-pai yang telah
berada di situ. Ketika melihat Han Han yang rambutnya sudah putih semua,
Im-yang Seng-cu membalas penghormatannya sambil berkata, “Siancai... telah
banyak sudah aku mendengar akan sepak terjangmu, orang muda, membuatku kagum.
Kiranya engkau cucu sahabatku Suma Hoat telah menjadi seorang pendekar yang
amat sakti!”
Han Han yang
sudah menjura penuh hormat, segera menjawab, “Harap locianpwe tidak memuji
secara berlebihan. Saya hanyalah seorang kakak yang kini datang untuk merayakan
pernikahan adik saya Lulu dengan murid locianpwe. Mohon locianpwe maafkan,
karena keadaan kami kakak beradik yang tiada orang tua dan tidak memiliki
sesuatu, maka segala pelaksanaan upacara dan perayaan kami serahkan kepada
pihak locianpwe.”
“Suma-taihiap
mengapa bersikap sungkan? Kita berada di antara keluarga sendiri. Tentu saja
kami sudah mempersiapkan segalanya, bahkan kami telah menyebar undangan,” kata
Tan-piauwsu yang menjadi tuan rumah.
Ramailah
mereka merundingkan rencana pernikahan yang akan diadakan beberapa hari lagi.
Kini Lulu tidak pernah rewel lagi sehingga hati Han Han terasa lega sungguh pun
tiap kali bertemu pandang dengan adiknya itu, Han Han merasa jantungnya
tertikam melihat sinar duka menyuramkan sepasang mata adiknya yang biasanya
berseri dan wajahnya yang biasanya cerah itu.
Akhirnya,
tibalah harinya yang telah dinanti-nantikan dan dilangsungkanlah pernikahan
antara Wan Sin Kiat, jago muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoa-san Gi-hiap dengan
Lulu. Upacara pernikahan dilangsungkan secara sederhana, namun cukup meriah dan
dihadiri oleh tamu-tamu terhormat dari kota Kwan-teng dan sekitarnya. Han Han
dan Im-yang Seng-cu sebagai wakil kedua mempelai memandang penuh keharuan
ketika sepasang mempelai bersembahyang di depan meja sembahyang, mengangkat
dupa wangi, berdampingan dalam pakaian mempelai yang membuat Lulu tampak makin
cantik jelita.
Dalam
keharuannya, Han Han merasa lega hatinya. Belum pernah ia merasa begitu lega
hatinya seperti ketika menyaksikan adiknya bersembahyang di samping Sin Kiat.
Adiknya merupakan satu-satunya persoalan yang memberatkan hatinya, karena kalau
dia pergi menjauhi segala kesengsaraan dunia, bagaimana dengan adiknya yang
ditinggalkannya. Kini adiknya sudah ada yang memiliki, ada yang mengurus,
membela dan melindungi. Dan dia percaya bahwa Sin Kiat akan menjadi seorang
suami yang baik, dia percaya bahwa tentu Lulu akan hidup sebagai seorang isteri
yang penuh kebahagiaan.
Malam tadi,
untuk yang terakhir kalinya Lulu menemuinya dan menangis, dengan terisak-isak
minta supaya pernikahan dibatalkan! “Koko... lebih senang kalau aku pergi saja
bersamamu!” Demikian adiknya itu rewel lagi.
“Eh, eh,
bagaimana engkau ini, Lulu? Besok dirayakan perkawinan, tamu-tamu akan datang,
mana bisa dibatalkan? Eh, terus terang saja. Katakanlah, apa engkau tidak cinta
kepada Sin Kiat?”
Lulu
mengangguk. “Aku suka padanya, Koko. Aku mau menjadi isterinya, akan tetapi...
berat sekali kalau aku harus berpisah darimu. Kau berjanjilah bahwa setelah aku
menikah, engkau akan tinggal bersama kami untuk selamanya!”
“Hush, bocah
nakal! Apa kau akan mengikat kakiku seperti seekor burung? Jangan begitu,
adikku. Engkau mencinta Sin Kiat, dia pun mencintaimu. Kalau kalian sudah
menjadi suami isteri, berarti kalian merupakan dua tubuh satu hati, sehidup
semati dan mengenai aku... ah, aku hanya kakakmu, dan aku... aku akan mencari
jodohku sendiri!” Terpaksa Han Han menggunakan alasan ini dan benar saja, wajah
adiknya menjadi berseri dan biar pun pipinya masih basah, kini Lulu dapat
tersenyum.
“Benarkah,
Koko? Kenapa tidak dengan Suci Nirahai?”
Kalau saja
kini rongga dada Han Han tidak sudah kosong melompong, tentu disebutnya nama
Nirahai ini akan membuat perasaannya tertikam hebat. Akan tetapi tikaman itu
mengenai tempat kosong dan ia hanya memejamkan mata sesaat, kemudian menjawab,
“Entahlah, adikku. Soal jodoh berada di tangan Tuhan, seperti jodohmu dengan
Sin Kiat ini pun sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kasih.”
Bujukan-bujukannya
ini membuat Lulu dapat bersikap wajar dan gembira ketika sepasang mempelai
bersembahyang dan mengikuti upacara pertemuan. Setelah upacara selesai dan
sepasang mempelai duduk bersanding, barulah pesta dimulai dan suasana menjadi
gembira sekali. Sebagai kedua wali sepasang mempelai, Han Han duduk berhadapan
dengan Im-yang Seng-cu dan minum arak wangi.
Akan tetapi,
mendadak suasana gembira itu dipecahkan oleh suara yang nyaring menggema,
datang dari luar pekarangan gedung Pek-eng-piauwkiok, “Suma Han, pinceng tidak
ingin mengganggu pesta pernikahan. Keluarlah agar kita dapat bicara!”
Han Han dan
semua orang yang berada di situ terkejut karena suara ini mendatangkan getaran
hebat yang seolah-olah menimbulkan gempa bumi. Han Han mengenal suara Thian Tok
Lama, pendeta Tibet, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata kepada para tamu,
“Harap cu-wi melanjutkan makan minum, urusan ini adalah urusan saya sendiri
yang akan saya bereskan di luar!” Setelah berkata demikian, Han Han lalu
terpincang-pincang keluar dari ruangan pesta itu.
Akan tetapi,
Im-yang Seng-cu yang mengerti bahwa orang yang mengeluarkan suara seperti itu
tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa segera bangkit dan diam-diam
mengikuti Han Han. Lulu juga cepat bangkit berdiri dan sebelum dapat dicegah,
sudah lari keluar. Tentu saja Sin Kiat tidak mau membiarkan isterinya pergi
sendiri, dan cepat ia pun ikut keluar. Melihat betapa sepasang mempelai keluar,
tentu saja para tamu menjadi tertarik dan ingin tahu, maka tanpa dapat dicegah
lagi, berbondong-bondong mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata
yang berada di depan gedung Pek-eng-piauwkiok itu adalah dua orang pendeta
Tibet, bukan lain Thian Tok Lama dan Thai Li Lama yang berdiri dengan sikap
tenang, akan tetapi mata mereka memandang marah.
“Kiranya
ji-wi yang datang,” kata Han Han, sikapnya tenang. “Ada keperluan apakah
mengganggu aku yang sedang merayakan pernikahan adikku?”
“Suma-taihiap,
kami berdua masih mengingat akan hubungan lama, karena itu kami datang bukan
dengan niat mencari keributan. Tak perlu kiranya kami jelaskan lagi dan tidak
perlu pula urusan ini dibicarakan panjang lebar. Kami hanya ingin tahu di mana
adanya Sang Puteri sekarang.”
Han Han
memandang tajam dan melihat betapa sepasukan pengawal kerajaan yang jumlahnya
dua puluh empat orang, kesemuanya pengawal pilihan dan yang berbaris rapi di
belakang dua orang pendeta itu, telah siap menerjang. Akan tetapi ia didahului
oleh Im-yang Seng-cu yang telah meloncat maju mendekati kedua orang pendeta
Lama itu sambil menudingkan tongkatnya, “Pinto sebagai tuan rumah yang mengadakan
pesta pernikahan murid pinto, mengharap agar ji-wi Losuhu tidak menggangu
perayaan kami, atau, kalau ji-wi beriktikad baik, kami persilakan untuk masuk
sebagai tamu-tamu yang kami hormati.”
Thian Tok
Lama memandang tosu kurus itu dengan alis berkerut, kemudian ia berkata tegas
dan angkuh, “Kami tidak ingin mengganggu dan tidak mau diganggu! Kami tidak
mempunyai urusan dengan siapa pun juga, kecuali dengan Suma Han. Harap yang
lain tidak mencampuri urusan kami!”
Bayangan
Lulu berkelebat dan dia sudah berdiri di dekat kakaknya. Dengan tirai masih
menutupi mukanya, dia menudingkan telunjuknya dan membentak. “Thian Tok Lama
dan Thai Li Lama. Aku mengenal siapa kalian! Beranikah kalian menghinaku dengan
mengacau hari pernikahanku dan menghina kakakku?”
Wan Sin Kiat
juga sudah berkata keras, “Ji-wi Losuhu sudah menyeberang ke pihak musuh, hal
itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami! Mengapa ji-wi sekarang datang
mengganggu?”
Thian Tok
Lama memandang sepasang mempelai itu lalu tertawa. “Omitohud...! Seorang puteri
Mancu berjodoh dengan seorang tokoh pejuang! Betapa manis dan baiknya! Kami
tidak mengganggu kalian, melainkan hendak berurusan dengan Suma Han!”
“Suma Han
adalah wali mempelai wanita, menjadi tamu agung bagi pinto. Siapa pun juga
tidak boleh mengganggunya. Pinto sebagai tuan rumah berhak melindunginya. Harap
ji-wi suka pergi!” Sambil berkata demikian, Im-yang Seng-cu meloncat maju dan
menggerakkan tongkatnya.
“Locianpwe,
jangan...!” Han Han berseru mencegah.
Namun
terlambat. Im-yang Seng-cu yang dapat menduga bahwa kedua orang pendeta itu
tentu lihai dan berbahaya sekali, telah menyerang dengan tongkatnya. Thian Tok
Lama tertawa dan menggerakkan tangan kanan menyambut tongkat.
“Krekkk...!”
Tongkat di
tangan Im-yang Seng-cu patah menjadi dua dan tosu ini terhuyung ke belakang.
Kagetlah Im-yang Seng-cu. Dia merupakan seorang sakti yang berilmu tinggi, akan
tetapi ternyata dalam segebrakan saja tangkisan tangan pendeta aneh itu telah
mematahkan tongkatnya dan ia merasa sebuah tenaga panas mendorongnya sehingga
ia terhuyung. Mengertilah ia bahwa hwesio ini amat sakti!
“Pendeta
sesat!”
Lulu dan Sin
Kiat bergerak hendak menyerang, akan tetapi Han Han sudah melonjorkan lengannya
mencegah, lalu berkata penuh wibawa, “Kalian sedang merayakan pernikahan, tidak
boleh bergerak dan berkelahi. Urusan ini memang tiada sangkut pautnya dengan
lain orang, biarlah aku sendiri yang membereskan!”
Mendengar
ucapan Han Han ini, Lulu dan Sin Kiat mundur dan kini Han Han sendiri menghadapi
dua orang pendeta Lama itu. “Ji-wi Losuhu, baiklah pertanyaan ji-wi tadi
kujawab. Tentang Puteri Nirahai, aku tidak tahu dia berada di mana sekarang.
Jawabku ini sama sekali tidak membohong, karena memang aku tidak tahu ke mana
dia pergi setelah berhasil kuselamatkan dari tahanan istana. Akan tetapi, perlu
ji-wi ketahui pula bahwa andai kata aku tahu di mana dia berada sekali pun,
takkan keberitahukan kepada siapa pun juga jika tidak dia kehendaki. Nah,
setelah kujawab sejujurnya, harap ji-wi tidak mengganggu lagi dan suka pergi
dari sini.”
Ramailah
anak buah pasukan pengawal itu bicara sendiri mendengar jawaban Han Han. Thian
Tok Lama mengerutkan keningnya dan nampak marah. “Suma Han! Engkau telah
melakukan dosa besar, menyerbu istana dan melarikan Sang Puteri, sekarang
sengaja hendak menyembunyikannya. Namun, pinceng masih ingat akan hubungan
antara kita dan pinceng persilahkan engkau ikut bersama kami untuk menghadapi
kaisar dan memberi jawaban sendiri.”
“Kalau aku
tidak mau?”
“Berarti
engkau tidak mengindahkan iktikad baik kami dan terpaksa kami menggunakan
kekerasan menangkapmu!”
Han Han
tertawa. “Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, apakah yang kalian andalkan untuk
dapat menangkap aku? Kalau hendak menggunakan kekerasan silakan!”
Kedua orang
pendeta Tibet itu sudah mengenal kelihaian Han Han, maka dengan cerdik mereka
tadi hendak menggunakan bujukan halus. Kini melihat pemuda itu tak dapat
dibujuk, Thian Tok Lama lalu mengangkat tangan dan memberi perintah kepada para
pasukan pengawal pilihan, “Tangkap si pemberontak!”
Terdengar
suara nyaring dan tampak sinar berkilauan ketika dua losin pasukan pengawal itu
mencabut senjata mereka. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama pun sudah bersiap-siap
untuk menyerbu kalau pasukan itu sudah mengeroyok. Akan tetapi Han Han yang
tidak ingin membunuh orang, sudah mendahului mereka. Tiba-tiba ia mengeluarkan
suara keras sekali, “Jangan bergerak!”
Dan tubuhnya
sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung garuda menyambar. Aneh sekali,
dua puluh empat orang yang sudah mencabut senjata itu kini berdiri diam seperti
arca dan sekali tubuh Han Han menyambar turun, dengan mudahnya Han Han merampas
dan melucuti senjata-senjata mereka, mematah-matahkan semua senjata itu dengan
kedua tangan seperti orang mematah-matahkan sekumpulan lidi saja! Kemudian ia
membuang senjata-senjata yang sudah patah itu ke atas tanah.
Melihat ini,
semua orang terheran-heran. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terkejut sekali.
Terutama Thai Li Lama yang merupakan seorang tokoh dan ahli sihir. Dia tadi
sampai ikut diam tak mampu bergerak mendengar bentakan Han Han, maka tahulah
pendeta ini bahwa sekarang Si Pemuda berkaki buntung telah memiliki kekuatan
yang mukjizat, jauh lebih kuat dari pada dahulu ketika bertanding kekuatan
sihir dengannya.
Namun,
sebagai dua orang yang memiliki sinkang tenaga batin kuat, dua orang pendeta
Tibet ini sudah dapat menguasai dirinya kembali dan sambil berseru marah mereka
menerjang maju dari kiri kanan memukul dengan pengerahan sinkang ke arah Han
Han.
Menghadapi
pukulan dari kiri kanan yang amat kuat ini, Han Han malah berdiri tegak dan
memejamkan matanya! Tentu saja Im-yang Seng-cu, Lulu dan Sin Kiat menjadi
terkejut dan amat khawatir menyaksikan dua pukulan yang mendatangkan angin
mendesir kuat sekali itu. Tiba-tiba Han Han mengembangkan kedua lengannya dan
berseru.
“Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama, pergilah kalian!”
Kedua
telapak tangan Han Han menyambut pukulan dua orang lawannya. Terjadilah
pertemuan tenaga yang amat hebat! Tubuh Han Han diam seperti arca, akan tetapi
tubuh dua orang pendeta Lama itu tergoncang hebat. Mereka masih hendak
bertahan, namun mereka terguncang makin hebat dan kalau dilanjutkan pertahanan
mereka, tentu isi dada mereka akan hancur. Mengerti akan bahaya maut, keduanya
lalu melompat mundur dan terhuyung-huyung, lalu roboh terpelanting dan cepat
mereka duduk bersila mengatur pernapasan!
Pasukan itu
menjadi gempar. Mereka tadi tak dapat menggerakkan kaki tangan sama sekali, dan
barulah sekarang mereka dapat bergerak, namun apa yang dapat mereka lakukan?
Senjata telah dirampas begitu mudah, dan dua orang pendeta itu telah terluka
hebat.
“Pergilah,
dan bawalah mereka pergi dari sini,” Han Han berkata halus kepada pasukan itu.
Akan tetapi
dua orang pendeta itu sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada Han Han
dengan sinar mata penuh kemarahan, kekaguman dan juga penasaran. Mereka
benar-benar merasa heran sekali mengapa baru berpisah beberapa bulan saja,
agaknya kepandaian Si Pemuda buntung ini sudah meningkat secara luar biasa!
“Suma Han,
semenjak saat ini, engkau adalah musuh negara dan kami akan selalu berusaha
untuk membunuhmu! Engkau seorang pelarian, seperti halnya Puteri Nirahai!” kata
Thian Tok Lama.
Han Han
menghela napas panjang. “Sudah untung kami! Akan tetapi, peganglah aturan
orang-orang gagah ji-wi losuhu. Kalian boleh saja mencari aku dan Sang Puteri,
akan tetapi jangan sekali-kali mengganggu orang lain yang tiada sangkut-pautnya
dengan kami. Sang Puteri telah pergi, dan aku pun akan pergi dari sini. Kalian
boleh mencari kami kalau bisa, suatu usaha yang sia-sia belaka karena
sesungguhnya aku tidak peduli akan urusan dunia lagi. Nah, pergilah!”
“Engkau...
siluman!” Thai Li Lama berseru penuh keheranan. “Engkau patut dijuluki Pendekar
Siluman!”
Para pasukan
yang masih terheran-heran menyaksikan cara pemuda itu merampas senjata mereka,
otomatis berseru, “Pendekar Siluman...!”
“Kalian
jangan memaki kakakku! Hayo pergi, kalau tidak, sekali aku turun tangan, aku
tak akan sesabar kakakku dan takkan puas sebelum kepala kalian menggelinding di
sini!” Lulu meloncat maju dan memaki-maki marah mendengar kakaknya dijuluki
Pendekar Siluman.
Dua orang
hwesio Lama itu menghela napas lalu membalikkan tubuh, melangkah pergi diikuti
para pasukan yang masih merasa ngeri dan takut. Semua tamu yang menyaksikan
peristiwa ini juga memandang Han Han seperti orang memandang makhluk aneh bukan
manusia, kagum heran dan juga seram. Hanya Im-yang Seng-cu yang memandang penuh
kekaguman, menjura kepada Han Han sambil berkata lirih.
“Sungguh
bahagia sekali bagi mata tuaku ini menyaksikan cucu sahabat baik Suma Hoat
menjadi seorang yang kesaktiannya jauh melampaui nenek moyangnya. Siancai...
siancai!”
Lulu sudah
menggandeng tangan Han Han diajak memasuki gedung dan dara yang sejenak lupa
bahwa dia sedang menjadi pengantin ini menegur kakaknya, “Han-koko, mengapa kau
tidak menceritakan aku tentang Suci Nirahai? Engkau melarikan dia dari istana?
Aihhh, engkau nakal sekali. Kau harus menceritakan hal itu kepadaku, Koko...!”
Setelah
pesta pernikahan itu selesai dan para tamu sudah pulang, barulah pada malam
hari itu Han Han terpaksa bercerita kepada Lulu dan Sin Kiat. Dengan terus
terang Han Han menceritakan bahwa atas keputusan mendiang Nenek Maya dan Nenek
Khu Siauw Bwee, dia dijodohkan dengan Nirahai.
Mendengar
penuturan Han Han sampai di sini, Lulu menangis. Menangis karena gurunya, Nenek
Maya, telah meninggal dunia, dan menangis saking terharu mendengar bahwa
kakaknya dijodohkan dengan Nirahai.
Han Han
melanjutkan ceritanya yang menyedihkan, betapa kaisar bukan hanya melarang
perjodohan itu, bahkan menjebloskan Nirahai ke dalam penjara. Betapa dia
menyerbu istana untuk membebaskan Puteri Nirahai.
“Di mana
suci sekarang, Koko? Kenapa tidak ikut ke sini?” Lulu bertanya tak sabar.
“Benar
sekali pertanyaan isteriku, Han Han. Kenapa dia tidak ikut ke sini dan...
alangkah baiknya kalau tadinya dirayakan pernikahan kalian di sini,” kata pula
Sin Kiat yang menyebut Lulu ‘isteriku’ dengan suara mesra, akan tetapi tidak
dapat mengubah panggilannya terhadap Han Han yang dianggapnya sahabat sejak
kecil.
“Ya, kenapa
tidak begitu, Koko? Mana suci?” Lulu bertanya lagi penuh desakan.
Han Han
merasa jantungnya seperti ditusuk, akan tetapi hanya untuk beberapa detik saja
karena perasaan ini telah tenggelam dan lenyap. Betapa pun juga, wajahnya
membayangkan kesayuan dan kekosongan, sayu dan layu, sinar matanya seperti
lampu kehabisan minyak. Ia menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Dia telah
pergi, Lulu. Dan harap jangan mendesakku... cukup kalau kuberitahukan bahwa...
bahwa... di antara kami tidak sepaham.”
“Koko...!”
Lulu memegang pundak kakaknya dan menangis. Dia telah mengenal betul wajah
kakaknya dan maklum bahwa pada saat itu, kakaknya sedang menderita tekanan
batin yang amat hebat.
“Husshh,
jangan begini, Lulu.” Dari atas pundak Lulu, Han Han memberi isyarat kepada Sin
Kiat untuk menghibur Lulu.
Dia bangkit
berdiri dan berkata, “Lulu, tentang diriku tak perlu kau hiraukan lagi. Bagiku,
yang terpenting adalah keadaanmu. Sudah menjadi kewajibanku untuk berusaha
sekuat tenaga demi kebahagiaanmu. Kini engkau telah menemukan jodoh, telah
mendapatkan seorang suami yang kupercaya penuh akan mencintamu selamanya, akan
menjagamu, membimbingmu dan melindungimu dengan seluruh jiwa raganya. Maka
legalah hatiku, adikku. Cukuplah hidup ini bagiku kalau melihat engkau bahagia.
Kini aku dapat pergi dengan hati lapang, tidak lagi mengkhawatirkan hidupmu.
Yang pandai-pandailah engkau menjaga dan mengatur rumah tanggamu, Lulu. Yang
hati-hatilah engkau bersama suamimu mendayung biduk rumah tanggamu menuju ke
pantai bahagia. Aku... aku hanya dapat mendoakan setiap saat untuk
kebahagiaanmu.”
“Koko...!
Engkau... engkau akan ke mana...?” Lulu bertanya dengan muka pucat melihat
kakaknya bangkit berdiri dan agaknya siap hendak pergi itu.
Han Han
tersenyum, senyum yang menyayat jantung Lulu. “Ke mana? Tentu saja pergi dari
sini, adikku. Aku sudah bebas sekarang, bebas lepas seperti burung di udara,
bebas dari pada tugas, bebas dari segala-galanya. Aku akan pergi, sekarang
juga...”
“Koko,
jangan pergi sekarang...!” Lulu berteriak, mukanya makin pucat dan air matanya
mengucur deras. Melihat keadaan isterinya ini, Sin Kiat cepat merangkul pundak
isterinya dan ikut berkata.
“Han Han,
mengapa tergesa-gesa? Tinggallah di sini barang sepekan...”
Han Han
menengok keluar jendela. Bulan sedang purnama dan di luar rumah terang seperti
siang. “Tidak, aku harus pergi sekarang! Malam ini merupakan malam bahagia bagi
kalian, dan merupakan malam keramat bagiku. Aku harus pergi, selagi bulan
sedang purnama, selagi hatiku sedang terang...”
“Han-koko...!”
Lulu menjerit menahan isak. “Engkau hendak pergi ke manakah? Malam-malam
begini...? Ke mana...?”
Kembali Han
Han memaksa tersenyum kepada adiknya. “Ke mana? Ke manakah semua manusia akan
pergi? Hemmm, aku tidak tahu, adikku. Dunia ini terlalu luas, dan di mana pun
sama saja. Terserah kepada hati dan kakiku ke mana aku pergi. Jangan engkau
memikirkan aku lagi, adikku. Nah, selamat tinggal...”
“Koko...!”
“Han Han,
jangan pergi seperti ini! Besok saja...!” Sin Kiat mencegah.
“Tidak,
sekarang inilah saatnya,” Han Han berpincangan keluar.
“Koko, aku
antar engkau...” Lulu mengejar. Sin Kiat juga mengejar. “Kami antar sampai
keluar kota!” kata Sin Kiat yang terharu menyaksikan penderitaan isterinya. Han
Han tak dapat membantah lagi.
Di luar
ruangan gedung, mereka bertemu dengan Tan-piauwsu, atau Tan Bu Kong pemilik
Pek-eng-piauwkiok. Ketika mendengar bahwa malam hari itu juga Han Han akan
pergi, Tan Bu Kong menyatakan keheranannya, akan tetapi dia tidak berani mencegah
bahkan ikut pula mengantar.
Setibanya di
luar kota, Han Han berkata, “Sudah cukup, adikku Lulu. Cukuplah Sin Kiat dan
Tan-piauwsu. Kembalilah kalian ke kota, aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Koko...!
Ahhh, Koko... jangan... jangan tinggalkan aku...!” Lulu tidak mempedulikan
apa-apa lagi, menubruk Han Han, merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada
kakaknya sambil menangis sesunggukan.
“Lulu,
engkau bukan anak kecil lagi, mengapa bersikap begini? Tidak baik begini,
Lulu...”
“Bawalah
aku, Koko... bawalah aku..., aku tidak bisa berpisah lagi darimu...!”
“Lulu!” Han
Han membentak sehingga Lulu tersentak kaget. Dengan gerakan halus Han Han
mendorong Lulu mundur, kemudian berkata, “Ingat, engkau adalah isteri Wan Sin
Kiat yang mencintamu dan kau cinta. Adikku sayang, selamat tinggal, semoga
Tuhan melindungimu selamanya!” Setelah berkata demikian, Han Han membalikkan
tubuh dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan mereka.
Lulu seperti
terkena pesona berdiri seperti patung, mukanya pucat, air matanya bercucuran,
matanya tak pernah berkedip menatap tubuh yang pergi itu. Tubuh seorang
laki-laki yang berkaki satu, terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya,
rambutnya terurai lepas berwarna putih. Sesosok tubuh yang menimbulkan haru dan
iba kepada yang melihatnya, terutama sekali Lulu.
“Koko...!
Han-koko... kakakku...!”
Sin Kiat
sudah memegang lengannya. “Kuatkan hatimu, isteriku. Biarkan kakakmu pergi, di
sini ada aku suamimu yang mencintamu lahir batin...” Sin Kiat menahan isak yang
bercampur dalam suaranya.
Lulu
membalikkan tubuh memandang suaminya, kemudian menubruk suaminya dan menangis
tersedu-sedu. “Han-koko... ah, Han-koko... betapa malang dan sengsara nasib
kakakku... dia... selalu berusaha menolong orang sengsara... akan tetapi dia
sendiri selalu dirundung malang... ohhh, kakakku...”
Sin Kiat
memeluk isterinya, kemudian mereka berdua memandang tubuh yang makin menjauh
itu. Tubuh yang berjalan terpincang-pincang di bawah sinar bulan purnama, dan
tidak pernah sekali juga Han Han menoleh. Bukan karena tidak ingin, oh, dia
ingin sekali menoleh, akan tetapi dia tidak mau tampak oleh mereka betapa kedua
pipinya basah oleh tetesan air matanya.
T A M A T
Serial Selanjutnya : Sepasang Pedang Iblis
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment