Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 09
Karena
perang saudara inilah maka kekuasaan Mancu mulai menyelundup memasuki Tiongkok.
Dengan dukungan para oknum penjilat yang tidak segan-segan menjual negara dan
bangsa demi sekelumit kesenangan duniawi bagi diri pribadi, cepat sekali bangsa
Mancu menguasai Tiongkok. Cerita ini dimulai pada tahun 1645 di mana tentara
Mancu menyerbu ke selatan dan sekarang, delapan tahun kemudian, hampir seluruh
Tiongkok dikuasai bala tentara Mancu yang mempunyai kaisar baru, yaitu Kaisar
Kang Hsi, kaisar ke empat dari Kerajaaan Ceng-tiauw atau kerajaan bangsa itu.
Di bawah
pimpinan Kaisar Kang Hsi inilah diadakan pembersihan secara besar-besaran
terhadap para pejuang yang mempertahankan tanah air menentang penjajah Mancu.
Para pejuang melakukan perlawanan mati-matian dan sebagai pusat perjuangan,
atau sebagai pucuk pimpinan gerakan para pejuang ini bersumber di Se-cwan di
mana Bu Sam Ki menjadi raja muda yang tak pernah mau tunduk terhadap penjajah
Mancu.
Seperti
lazim dalam jaman perang seperti itu, golongan-golongan terpecah dua, juga
golongan kaum kang-ouw. Banyak di antara mereka yang terjun ke dalam perjuangan
menentang kekuasaan Mancu, akan tetapi tidak sedikit pula yang mempergunakan
kesempatan itu untuk mencari kedudukan, kemuliaan dan kemewahan secara mudah,
yaitu menjadi pembantu pemerintah Mancu dan menentang bangsa sendiri yang oleh
pihak mereka disebut pengacau dan pemberontak.
Tanpa
disadari oleh manusia sendiri, kehidupan manusia semenjak masih kanak-kanak dan
mulai memiliki pengertian tentang perbedaan, tentang baik buruk, senang susah,
rugi untung, enak tidak enak, sepenuhnya dicengkeram dan dikuasai oleh
nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi, nafsu mencari kesenangan duniawi bagi
diri pribadi. Namun, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat kebajikan,
maka terjadilah perang di dalam hati nurani manusia sendiri. Satu pihak
merupakan dorongan nafsu yang mendorong manusia memperebutkan kesenangan bagi
diri pribadi, di lain pihak merupakan kesadaran manusiawi yang mencegah manusia
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak benar.
Maka
lahirlah perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya merupakan hamba nafsu namun yang
berkedok kebenaran! Perbuatan yang dilakukan demi dorongan nafsu mementingan
diri pribadi terhibur oleh anggapan bahwa perbuatan itu demi kebenaran. Otak
dan akal manusia tidak kekurangan bahan untuk mencari ‘kebenaran’ yang
menopengi perbuatan menghamba nafsu ini. Ada saja alasan, yang diperaya pula
oleh diri sendiri, bahwa perbuatan ini adalah benar dan demi kebenaran! Dengan
demikian, setiap perbuatan di dunia ini selalu dianggap benar oleh si pembuat
sendiri, dan terciptalah pertempuran-pertempuran dalam memperebutkan kebenaran!
Benarnya sendiri-sendiri! Benarnya masing-masing! Benar bagi diri sendiri yang
belum tentu benar bagi pihak lain. Dan terciptalah KEBENARAN NAFSU, yaitu bahwa
apa saja yang mendatangkan enak, senang dan untung bagi AKU, maka itu adalah
BENAR!
Negara
adalah wadah sekumpulan manusia yang dipimpin deh manusia pula, oleh karena
itu, kebenaran nafsu itu pun dianutnya. Bangsa Mancu yang menjajah itu pun
menganggap mereka benar! Mudah saja! Negara Tiongkok kacau-balau, perang
saudara tiada hentinya, rakyat hidup sengsara, ditindas oleh raja-raja muda dan
oleh mereka yang berkuasa, terjadi hukum rimba! Kami, bangsa Mancu datang untuk
membebaskan rakyat dari pada jurang kesengsaraan, kami datang untuk berusaha
mendatangkan kebahagiaan bagi rakyat. Karena itu, serbuan bangsa Mancu ke
selatan adalah benar pula!
Sungguh pun
harus diakui bahwa akal budi membuat mereka mencari alasan yang cukup kuat dan
memang kenyataannya demikian, namun pada hakekatnya yang bersembunyi di balik
semua itu adalah keuntungan! Keuntungan yang didapat dalam penjajahan ini, yang
sekaligus membuat bangsa Mancu memiliki negara yang amat besar dengan
penghasilan yang melimpah-limpah serta harta benda yang amat banyak.
Perasaan
benar ini bukan dibuat-buat dan memang setulusnya mereka itu merasa dirinya
benar. Nafsu-nafsu telah menyelubungi kesadaran batin manusia, seperti
mendung-mendung hitam tebal menyelubungi sinar matahari. Kegelapan menyelimuti
kesadaran sehingga mereka itu tidak sadar lagi bahwa mereka menjadi permainan
dan hamba-hamba nafsu. Banyak sekali orang yang menjadi korban seperti ini,
menganggap bahwa apa yang diperjuangkan itu benar dan suci sehingga rela dibela
mati-matian.
Demikian
pula di dalam Kerajaan Ceng. Banyak orang-orang gagah yang membela gerakan
Mancu ini mati-matian karena merasa bahwa apa yang diperjuangkannya itu adalah
demi kebenaran. Terutama sekali bagi mereka yang menjadi anggota bangsa Mancu,
tentu saja menganggap bahwa berjuang membasmi para ‘pemberontak’ adalah
pekerjaan yang semulia-mulianya, pekerjaan orang-orang gagah yang patut dipuji.
Banyak
sekali tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama membantu Kerajaan Ceng-tiauw ini
karena mereka itu menganggap bahwa bangsa Mancu yang gagah perkasa telah
berhasil mendatangkan kemakmuran di Tiongkok, meredakan perang saudara dan
mereka ini mempunyai harapan besar bahwa pemerintah baru ini benar-benar akan
dapat mengangkat nasib rakyat jelata. Tentu saja ini hanya alasan mereka,
karena banyak sekali di antara mereka melihat ‘nasib baik’ mereka sendiri yang
terutama sebagai landasan bantuan mereka.
Banyak pula
datuk-datuk golongan hitam yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi
membantu dan hal ini adalah hasil kecerdikan Pangeran Dorgan yang memegang
tampuk pimpinan sebagai pengganti Kaisar Abahai karena putera kaisar itu masih
sangat muda. Pangeran Dorgan memang cerdik sekali. Pandai mengambil hati para
orang pandai dan tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan biaya besar dalam usaha
ini. Di antara tokoh pandai yang terus merupakan pengawal-pengawal pilihan dan
yang masih terus membantu setelah Kaisar Kang Hsi naik tahta adalah Kang-thouw-kwi
Gak Liat yang merupakan jago yang diajukan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok,
seorang di antara para pangeran bangsa Han yang telah menghambakan diri kepada
Kerajaan Mancu.
Pada suatu
hari, para tokoh yang menjadi pengawal-pengawal istana dan penasihat-penasihat
mengenai usaha Kerajaan Mancu membasmi para pemberontak mengadakan pertemuan
atas undangan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Pangeran ini telah banyak jasanya
terhadap Kerajaan Mancu, telah terbukti kesetiaannya ketika berkali-kali
pangeran ini dengan pengaruhnya yang besar dan para pembantunya yang pandai
menghancurkan golongan pemberontak.
Karena
kepercayaan yang amat besar ini, Pangeran Dorgan pada beberapa tahun yang lalu
menghadiahkan seorang puteri Mancu kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan
setelah Kaisar Kang Hsi menduduki tahta kerajaan, Pangeran Ouwyang Cin Kok yang
kini telah dianggap ‘keluarga kaisar’ telah diangkat menjadi panglima bagian
keamanan yang bertugas melakukan operasi pembasmian terhadap para pemberontak.
Dan untuk merundingkan tugas inilah maka pada pagi hari ini Ouwyang Cin Kok
mengundang semua pembantunya dan pembantu para pembesar lain, termasuk
pengawal-pengawal kaisar sendiri ke dalam istananya.
Dengan
pakaian kebesaran sebagai seorang pangeran Kerajaan Ceng-tiauw, Pangeran
Ouwyang Cin Kok duduk di atas sebuah kursi yang terukir indah sekali. Pangeran
ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi masih tampak tampan dan
ganteng. Tubuhnya tinggi besar mukanya merah, pakaiannya indah rapi dan rambut
serta jenggot kumisnya juga terpelihara baik-baik.
Di sebelah
kirinya duduk seorang wanita Mancu yang cantik, bermata tajam lincah, usianya
tiga puluh tahun lebih, tubuhnya montok dan menggairahkan. Itulah puteri
Kerajaan Mancu, puteri selir Pangeran Dorgan yang diberikan sebagai hadiah
kepada Ouwyang Cin Kok dan kini menjadi selir terkasih pangeran ini. Selir ini
paling dikasihi, bukan hanya karena cantik montok dan mudanya, melainkan juga
terutama sekali karena selir ini menjadi ‘lambang’ kekuasaannya, sebagai
pangeran mantu Kerajaan Mancu! Dan untuk memperlihatkan kedudukannya yang
tinggi ini pulalah maka ketika menyambut datangnya tokoh-tokoh berilmu yang
membantu kerajaan baru, Ouwyang Cin Kok ditemani oleh sang selir.
Dengan
dikipasi kebutan terbuat dari bulu-bulu indah burung dewata, dilayani oleh para
pelayan wanita muda-muda dan cantik-cantik, Ouwyang Cin Kok dan selirnya itu
duduk menanti kunjungan para tokoh berilmu. Berturut-turut mereka datang
menghadap dan dipersilakan duduk di ruangan itu yang telah diatur untuk
menerima kunjungan mereka.
Yang pertama
kali muncul adalah putera Sang Pangeran sendiri, Ouwyang Seng murid terkasih
dari Kang-thouw-kwi Gak Liat, seorang pemuda tinggi tegap yang berwajah tampan
berpakaian indah, pesolek dan amat tinggi ilmu kepandaiannya karena dia telah
mewarisi Hwi-yang Sin-ciang gurunya. Bersama pemuda ini datang pula Nirahai
yang segera disambut oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok dengan ramah, karena Nirahai
adalah puteri kaisar sendiri dari selir. Sebagai puteri kaisar, tentu saja Nirahai
amat dihormati.
Puteri
Nirahai segera berangkulan dengan selir Ouwyang Cin Kok karena selir Mancu itu
masih terhitung bibinya, sungguh pun bibi yang sudah jauh. Kemudian mereka
berdua ini bercakap-cakap dengan asyiknya yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan tugas membasmi kaum pemberontak, melainkan percakapan antara
wanita yang sudah lama tidak bertemu.
Pangeran
Ouwyang Cin Kok dan puteranya lalu sibuk menyambut para tokoh berilmu yang
berdatangan. Kang-thouw-kwi Gak Liat datang bersama tiga orang muridnya yang lain,
yaitu Hiat-ciang Ma Su Nio yang cantik dan genit, dan kedua kakak beradik
Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Ketiga orang murid Setan Botak ini merupakan
tenaga-tenaga yang penting dan berjasa pula karena ilmu kepandaian mereka sudah
amat tinggi.
Selain empat
orang ini, muncul pula beberapa panglima-panglima yang berpangkat tinggi, di
antaranya adalah dua orang perwira Mancu yang terkenal berjasa dan berpengaruh.
Mereka ini adalah orang-orang Mancu asli. Akan tetapi seperti juga kaisar, para
panglima dan menteri yang berpangkat tinggi, mereka ini pun menggunakan nama
Han, dan berpakaian seperti pembesar-pembesar Han.
Seorang di
antara mereka adalah seorang panglima tinggi besar gagah menyeramkan.
Jenggotnya yang rapi memenuhi mukanya dari rambut terus melalui pipi bersambung
ke dagu. Panglima ini bernama Giam Cu, nama baru. Ada pun panglima ke dua juga
memakai she Giam, namanya Kok Ma. Giam Cu adalah panglima golok besar,
sedangkan Giam Kok Ma adalah panglima berkuda bertombak panjang. Keduanya
memiliki kepandaian tinggi dalam mengatur barisan, juga memiliki ilmu silat
yang lihai.
Kemudian
muncul pula dua orang tokoh kang-ouw yang namanya menggemparkan, yaitu kakak
beradik she Bhong. Mereka ini terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, karena
dahulu pekerjaan mereka adalah membongkar-bongkar kuburan baru untuk mencuri
perhiasan-perhiasan yang dipakai mayat-mayat yang dikubur dan dalam hal
membongkar kuburan, juga membongkar rumah, mereka adalah ahli-ahli yang sukar
dicari keduanya. Yang tua bernama Bhong Lek, mukanya kaya tikus, rambutnya
panjang riap-riapan, kumisnya jarang seperti kumis tikus, ada pun Bhong Poa
Sik, adiknya, mempunyai ciri yang aneh pada kepalanya, yaitu bagian ubun-ubun
kepalanya ada tonjolan seperti telur besar.
Semua tamu
dipersilakan duduk, kecuali seorang yang datang paling akhir. Orang itu biar
pun dipersilakan duduk, namun tetap berdiri, bahkan berdirinya aneh sekali,
yaitu hanya dengan kaki kiri, sedangkan kaki kanannya diangkat menempel pada
lutut kiri, persis seperti seekor burung bangau berdiri di tengah sawah!
Hebatnya, orang ini pun mempunyai kepala yang bentuknya seperti kepala burung,
bukan kepala burung yang indah, melainkan kepala burung yang diberondoli
bulunya sehingga kelihatan buruk, lucu dan juga mengerikan.
Lehernya
panjang kecil, kepalanya kecil lonjong, kedua telinganya memakai anting-anting
emas. Matanya agak juling, mulutnya selalu menyeringai, tampak giginya yang
panjang-panjang karena bibirnya cupet. Kumisnya meruncing ke depan menyerupai
paruh burung, kepalanya botak dan hanya ada beberapa helai rambut saja menambah
keburukannya. Tubuhnya kecil kurus, akan tetapi perutnya gendut seperti perut
anak menderita cacingan. Akan tetapi tangan kirinya memegang sebuah senjata
yang menakutkan orang, bergagang panjang yang melengkung seperti gendewa dan
ujungnya dipasangi sabit yang amat tajam. Ia berdiri di sudut seperti seekor
burung mengintai katak, matanya yang juling tak berkedip-kedip, mulutnya yang
menyeringai tidak bergerak-gerak, seolah-olah dia telah berubah menjadi arca
yang mati!
Hanya
seorang yang aneh inilah yang agaknya tidak dikenal oleh sebagian besar mereka
yang hadir. Yang mengenalnya hanyalah Puteri Nirahai, Pangeran Ouwyang Cin Kok,
dan selir pangeran itu. Bahkan Ouwyang-kongcu sendiri tidak mengenalnya dan
pemuda ini memandang tokoh itu dengan penuh keheranan.
Melihat
betapa para tamunya, termasuk puteranya, memandang ke arah manusia aneh itu
dengan pandang mata penuh keheranan dan pertanyaan, Pangeran Ouwyang Cin Kok
tertawa dan memberi isyarat dengan tangan agar para pelayan yang cantik-cantik
dan sedang mengeluarkan hidangan dan arak itu mundur. Mereka ini menyelesaikan
tugas menghidangkan makanan dan minuman, kemudian mengundurkan diri dari
ruangan yang lebar itu.
“Cu-wi
sekalian agaknya belum mengenal tokoh ini,” kata pangeran itu sambil memandang
kepada manusia berkepala seperti burung itu, “Padahal semenjak bangsa Mancu
yang jaya bergerak ke selatan, hasil yang baik dari gerakan itu sebagian
mengandalkan kelihaian tokoh ini.”
Kang-thouw-kwi
Gak Liat mengerutkan alisnya sambil memandang tokoh itu dengan pandang mata
merendahkan. Hatinya tidak senang mendengar betapa majikannya
menyanjung-nyanjung nama orang lain. Siapakah adanya tokoh yang jasanya lebih
besar dari pada dia? Maka ia segera berkata sambil tertawa.
“Bangsa
Mancu yang jaya adalah bangsa yang besar dan yang sudah ditakdirkan untuk
menguasai seluruh dunia, semua itu berkat jasanya rakyat seluruhnya, bukan jasa
perorangan. Harap Paduka sudi memperkenalkan hamba kepada orang gagah ini.”
“Ha-ha-ha,
Gak-lo-sicu, apa yang Lo-sicu ucapkan sungguh tepat. Bukan maksud kami untuk
menonjolkan jasa seseorang dan mengurangi jasa lain orang, karena masing-masing
memiliki jasanya sendiri-sendiri. Losuhu ini adalah tokoh berasal dari Khitan
yang amat terkenal, tetapi karena selalu menyembunyikan diri, tidak
mengherankan apa bila orangnya tidak dikenal, hanya namanya saja. Nirahai,
keponakanku yang manis, tolonglah engkau yang memperkenalkan Ciam-losuhu kepada
para Lo-sicu yang hadir.”
Ucapan
terakhir ini ia tujukan kepada Nirahai dengan suara yang halus dan ramah,
sehingga dalam kesempatan itu, Pangeran Ouwyang Cin Kok sekalian memperlihatkan
kepada yang hadir bahwa dia adalah sanak dekat kaisar dan berhak menyuruh
seorang puteri kaisar begitu saja karena, bukankah puteri kaisar itu terhitung
keponakan selirnya.
Nirahai
adalah seorang gadis yang selain memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah,
juga memiliki kecerdikan melebihi kebanyakan orang. Melihat sikap tuan rumah,
ia tersenyum manis dengan hati penuh maklum. Ia lalu bangkit berdiri, senyum
menghias menambah gemilang wajahnya. Gerakan tubuhnya ketika bangkit begitu
lemah gemulai seperti seorang penari, sama sekali tidak membayangkan kesaktian
seorang ahli silat.
“Tidaklah
terlalu mengherankan apa bila Gak-cianpwe dan saudara-saudara lainnya belum
mengenal Si Burung Hantu karena memang dia jarang sekali keluar di dunia
ramai.”
“Apa?
Sin-tiauw-kwi Ciam Tek?” Setan Botak Gak Liat berseru kaget, juga para panglima
dan tokoh-tokoh pengawal yang berada di situ terkejut sambil memandang kakek
yang memegang senjata mengerikan itu.
Nama ini,
terutama sekali julukan Sin-tiauw-kwi (Burung Rajawali Hantu) atau lebih
terkenal lagi Si Burung Hantu, terkenal sebagai tokoh dalam dongeng di Khitan!
Maka begitu kini mereka diperkenalkan dengan tokohnya, biar Gak Liat sendiri
memandang dengan sinar mata tidak percaya.
Nirahai
mengerti akan pandang mata mereka itu, maka ia tersenyum dan berkata, “Tentu
cu-wi menghubungkan nama julukan itu dengan burung hantu yang kabarnya
dipelihara Kaisar Khitan di jaman dahulu, bukan? Hendaknya diketahui bahwa
memang Ciam-locianpwe ini adalah seorang tokoh Khitan. Cu-wi tentu maklum bahwa
Khitan menjadi sumbernya orang-orang pandai. Pendekar besar tanpa tanding
Suling Emas sendiri adalah suami seorang Ratu Khitan, dan pendekar wanita sakti
Mutiara Hitam adalah puteri mereka! Di samping keluarga kaisar yang memiliki
kesaktian luar biasa itu, banyak pula ponggawa dan Panglima Khitan yang
memiliki ilmu kepandaian hebat-hebat. Sin-tiauw-kwi Ciam Tek ini adalah
satu-satunya orang yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian peninggalan
Hek-giam-lo (Raja Maut Hitam) yang amat terkenal di jamannya Pendekar Suling
Emas enam tujuh abad yang lalu. Karena Khitan dan Mancu bersekutu dan
berkeluarga, tentu saja semua tokoh Khitan membantu gerakan Mancu sekarang ini.”
Kang-thouw-kwi
Gak Liat dan yang lain-lain mengangguk-angguk. Tentu saja mereka pernah
mendengar nama-nama besar yang disebutkan gadis itu. Gak Liat lalu bangkit
berdiri dan menjura ke arah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek sambil berkata dalam bahasa
Khitan dengan lancar karena Si Botak ini paham hampir semua bahasa daerah.
“Selamat
berjumpa, Saudara Ciam Tek. Mudah-mudahan di antara kita akan terdapat kerja
sama yang erat.”
Si Burung
Hantu itu memandang Gak Liat dengan mata julingnya, lalu mengeluarkan suara
seperti burung mencicit akan tetapi hanya dapat dimengerti oleh Gak Liat karena
hanya suaranya saja yang mencicit, namun sesungguhnya merupakan kata-kata dalam
bahasa selatan yang pelo dan menggelikan hati para pendengarnya.
“Sudah lama
aku mendengar nama Setan Botak, kiranya begini saja orangnya!” Setelah berkata
demikian, Si Burung Hantu berdiri diam lagi dengan satu kaki, acuh tak acuh!
Gak Liat tidak menjadi marah, sudah biasa ia menghadapi sikap dan watak
aneh-aneh dari tokoh-tokoh besar, maka ia malah tertawa bergelak dan berkata.
“Ha-ha-ha,
lain kali aku ingin sekali merasakan lihainya patukanmu dan cakaranmu, Burung
Hantu!”
Pangeran
Ouwyang Cin Kok tertawa pula. Biar pun dia sendiri bukan termasuk golongan
kang-ouw, akan tetapi sudah terlalu banyak pembesar ini mengenal tokoh-tokoh
aneh di dunia kang-ouw sehingga ucapan Gak Liat yang seolah-olah menantang itu
dianggapnya biasa saja dan tidak mengkhawatirkan.
“Cu-wi
sekalian kami kumpulkan saat ini karena kami hendak membicarakan hal-hal yang
amat penting. Berkat bantuan-bantuan cu-wi sekalian, pemerintah kita dapat
memperoleh kemajuan-kemajuan di selatan dan kini, sungguh pun tak dapat
dikatakan bahwa pihak pemberontak telah terbasmi semua, namun mereka itu sudah
kehilangan kekuatan dan hanya bergerak secara sembunyi-sembunyi dan dalam
kelompok kecil atau malah secara perorangan. Yang penting kita harus
mencurahkan perhatian ke Se-cuan, karena Bu Sam Kwi merupakan kekuatan terakhir
yang merongrong kita. Bala tentara kita sudah menghimpit dan mengurung,
lambat-laun tentu pertahanannya dapat dijebolkan pula. Tugas kita yang
terpenting sekarang adalah mencegah agar sisa pemberontak di sini tidak
mengadakan hubungan dengan Se-cuan agar kekuatan mereka tetap terpecah-pecah.
Usaha yang dilakukan Puteri Nirahai dan puteraku Ouwyang Seng untuk memecah
belah persatuan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, menemui kegagalan. Akan
tetapi ada pula untungnya, yaitu timbulnya ganjalan hati antara mereka sehingga
tidak memungkinkan mereka itu akan bekerja sama. Pula, kedua partai besar itu
pun tidak melakuan perlawanan dan pemberontakan secara terang-terangan.”
“Akan
tetapi, mengapa tidak kita gempur saja Se-cuan sampai hancur? Setelah kita
dapat menguasai seluruh daratan, mengapa wilayah sebesar Se-cuan saja tidak
dapat segera dikalahkan? Berilah hamba lima laksa prajurit berkuda, akan hamba
hancur lumatkan Bu Sam Kwi dan seluruh anak buahnya!” Panglima brewok tinggi
besar berkata dengan sikap gagah.
“Betul apa
yang dikatakan oleh Giam-ciangkun,” kata Bhok Lek orang pertama dari kakak
beradik Tikus Kuburan. “Kabarnya benteng Se-cuan amat kuat, akan tetapi kalau
benteng itu dikurung dan hamba berdua dibantu tenaga-tenaga ahli melakukan
penyusupan ke dalam dengan menggali terowongan, akan mudah menghancurkan pertahanan
mereka!”
“Tidak
begitu mudah,” bantah Puteri Nirahai. “Saya mendengar bahwa di sana banyak
terdapat orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.”
“Hemmm,
kalau ada jago di pihak musuh, serahkan saja kepada hamba. Hamba sanggup
menghadapi lawan yang bagaimana lihai pun!” Setan Botak Gak Liat menyombong
sambil tersenyum.
Ouwyang Cin
Kok mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar semua orang yang
sedang ribut-ribut mengemukakan pendapat bulat untuk menyerang Se-cuan itu
tenang, kemudian sambil tersenyum ia berkata.
“Tidak dapat
kita membawa kehendak sendiri dan bertindak sesuka hati. Setiap gerakan kita
harus disesuaikan dengan taktik dari Hongsiang (Kaisar). Dengarlah baik-baik,
cu-wi sekalian, agar tahu apa yang menjadi siasat negara untuk menghadapi Bu
Sam Kwi pada saat ini di Secuan.”
Semua orang
mendengarkan penuh perhatian, termasuk Nirahai. Biar pun dia ini puteri selir
kaisar sendiri, namun tentang urusan politik ia tidak sepaham dengan pangeran
yang menjadi penasehat kaisar ini.
“Kalau kita
ingin berhasil menangkap semua ikan di kolam, kita harus mengacaukan air dan
mengejar ikan-ikan itu dengan membiarkan sebagian tempat itu tetap tenang
sehingga semua ikan akan melarikan diri sembunyi di bagian air yang tak
terganggu itu. Baru setelah semua ikan berkumpul di tempat kecil itu, kita
tutup jalan ke luar dan kita sergap di tempat kecil itu sehingga tak ada ikan
yang dapat lolos. Demikian pula dengan para pemberontak yang tersebar di empat
penjuru. Kita harus kejar-kejar mereka, melakukan operasi-operasi pembersihan
dengan teliti sehingga para pemberontak itu kehilangan tempat bersembunyi dan
terpaksa mereka akan bersembunyi semua ke Se-cuan. Hal ini lebih mudah bagi
kita dari pada kalau kita hancurkan Se-cuan sehingga para pemberontak itu
melarikan diri tersebar di mana-mana sehingga sukar untuk ditumpas karena
daerah Tiongkok luas sekali. Inilah sebab pertama mengapa kita tidak boleh memukul
Se-cuan pada sekarang ini.”
Semua orang
yang mendengarkan mengangguk-angguk, kagum akan siasat ini, siasat menggiring
ikan-ikan supaya berkumpul di suatu tempat.
“Ada pun
sebab kedua adalah karena Kaisar dengan secara bijaksana memutuskan bahwa rakyat
sudah terlalu lama menderita akibat perang, karena itu sementara ini tidak
perlu lagi mengadakan perang karena Se-cuan tidak begitu penting artinya bagi
kita. Sekarang rakyat perlu ditenangkan hatinya dengan pembangunan-pembangunan,
bukan dengan perang baru yang akan membikin rakyat mendapat kesan buruk
terhadap pemerintah baru. Tidak perlu dengan kekerasan, cukup dengan dikepung
dan dimatikan jalan hubungan mereka ke timur, mereka di Se-cuan akan hidup
serba kekurangan dan sengsara, akhirnya akan menjadi lemah dan kalah tanpa
diserang.”
Kembali Gak
Liat menjadi kagum. Dalam soal taktik perang dan siasat pemerintahan tentu saja
dia tidak mengerti apa-apa.
“Sekarang
sebab ketiga yang timbul dari kebijaksanaan Kaisar,” terdengar pula suara
Ouwyang Cin Kok. “Pemerintah baru menghadapi tugas membangun negara dan
menciptakan suasana adil makmur bagi rakyat jelata, mendatangkan kehidupan
damai dan tenteram sehingga dengan demikian tidak sia-sialah bangsa Mancu yang
jaya telah mengorbankan banyak nyawa untuk mengusir raja-raja lalim dari bumi
Tiongkok. Untuk pekerjaan pembangunan yang amat besar itu, kita amat
membutuhkan bantuan tenaga-tenaga orang pandai. Harus diakui bahwa di antara
para pemberontak banyak terdapat orang-orang pandai. Sungguh amat sayang kalau
mereka itu dibunuh demikian saja. Karena ini pula, bentrokan perang dengan
Se-cuan harus diundurkan agar kita mendapat banyak waktu untuk menarik
orang-orang pandai itu agar membantu kita. Untuk keperluan itulah Kaisar
menyediakan biaya yang amat besar, kemungkinan-kemungkinan pangkat bagi mereka,
dan di samping itu tentu saja mengandalkan kepandaian cu-wi untuk menundukkan
mereka. Makin banyak orang pandai membantu Kerajaan Ceng, makin baik.
Mengertikah cu-wi sekarang mengapa kita tidak diperbolehkan menyerbu Se-cuan
secara kasar?”
Semua orang
mengangguk, bahkan dari mulut Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terdengar suaranya yang
pelo memuji, “Hebat siasat ini! Hidup Kaisar!”
Biar pun
pelo, namun ucapannya itu membangkitkan semangat semua orang dan terdengarlah seruan
mereka, “Hidup Kaisar!”
Kang-thouw-kwi
Gak Liat adalah seorang datuk hitam yang tidak bercita-cita untuk negara mau
pun untuk kaisar, melainkan untuk diri sendiri. Karena itu, di dalam hatinya
mana ada kesetiaan terhadap pemerintah Mancu? Namun dia seorang cerdik dan
tidak mau ketinggalan pula ia ikut mengucapkan kata-kata itu.
“Biar pun
kita tidak menyerbu Se-cuan, akan tetapi untuk keperluan menarik orang-orang
pandai ke pihak kita dan mencegah mereka berhubungan dengan Se-cuan, maka
pekerjaan kita bukanlah ringan. Kita harus dapat menguasai seluruh dunia
kang-ouw, dapat mengetahui keadaannya dan hal ini kami serahkan ke dalam
pimpinan keponakanku Puteri Nirahai yang sudah cu-wi ketahui akan kecerdikannya
dan juga akan kepandaiannya yang tinggi.”
Kembali Si
Burung Hantu mengangguk, lalu berkata polos, “Puteri Nirahai mewarisi
kepandaian Puteri Mutiara Hitam, dia hebat...”
Juga Gak
Liat mengangguk berkata, “Aku sudah mengetahui kelihaian Puteri Nirahai.”
Gadis cantik
itu mengelilingkan pandang matanya dan girang bahwa tidak ada yang menentang
pengangkatannya sebagai pimpinan. Siapakah yang berani menentang? Selain dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga amat pandai bersiasat, cerdik dan banyak
akal, juga dia adalah puteri kaisar sendiri!
“Terima
kasih atas kepercayaan cu-wi kepadaku yang muda. Tentu saja aku tidak dapat
bekerja sendiri dan mengandalkan bantuan dari cu-wi sekalian, baru tugas kita
akan dapat berhasil baik. Di dunia kang-ouw ini banyak terdapat tokoh-tokoh
besar yang belum membantu kita. Di antara mereka itu adalah Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee.”
“Hemmm, Si
Muka Kuda itu sejak dahulu menentang Kerajaan Ceng-tiauw!” kata Gak Liat sambil
mengeluarkan suara menghina.
“Itulah
sebabnya mengapa kita harus berdaya upaya agar dia tertarik kepada kita dan
suka membantu, Gak-locianpwe. Karena kalau dia sudah mau membantu, tentu para
muridnya yang kudengar ada banyak sekali yang pandai, akan suka menjadi sekutu
kita pula. Kita harus menyelidiki ke In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san yang
dijadikan pusat perguruannya. Bahkan aku mendengar bahwa Si Nenek sakti
Toat-beng Ciu-sian-li juga berada di sana.”
“Iblis
betina itu berbahaya sekali, akan tetapi agaknya akan lebih mudah dibujuk untuk
bekerja sama. Dia tidak sesukar dan sekokoh Ma-bin Lo-mo pendiriannya. Biarlah
persoalan mereka itu serahkan saja kepadaku, aku akan berusaha mendekati
mereka.”
Puteri
Nirahai berseri wajahnya dan ia menjura ke arah Gak Liat. “Terima kasih banyak.
Bantuan Gak-locianpwe dalam hal ini benar-benar amat kami harapkan.”
Gadis itu
lalu mengerutkan keningnya dan berkata, “Ada sebuah hal lagi yang amat
memusingkan dan membutuhkan perhatian. Menurut hasil penyelidikan para
mata-mataku yang kusebar di mana-mana, sekarang aku telah mendapatkan
keterangan jelas tentang sebab-sebab kegagalan siasatku mengadu domba antara
Siauw-lim-pai dan keterangan itu amat mengejutkan dengan munculnya seorang
tokoh muda yang luar biasa sekali.”
“Hemmm,
siapakah dia dan apa yang telah dia lakukan?” Ouwyang Seng bertanya dengan hati
tak senang mendengar betapa gadis yang dicinta dan dipujanya ini agaknya merasa
kagum terhadap seorang ‘tokoh muda’.
“Siasatku
gagal karena pemuda aneh itu,” kata Nirahai. “Ketika dua peti berisi jenazah
dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang dikawal Pek-eng-piauwkiok itu dihadang oleh
murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah kuberi kabar secara diam-diam dan
bentrokan hebat antara murid-murid kedua partai sudah hampir terjadi, tiba-tiba
muncul orang muda itu bersama adik perempuannya, kemudian menggagalkan
bentrokan itu dengan mengalihkan permusuhan kepada dirinya sendiri!”
“Eh, apakah
maksudmu, Adik Nirahai?” Ouwyang-kongcu bertanya heran.
“Pemuda itu
yang mengira bahwa murid Siauw-lim-pai hendak merampok, sekali turun tangan
membunuh tujuh murid Siauw-lim-pai. Kemudian, ketika mengetahui kekeliruannya,
ia turun tangan pula membunuh murid-murid Hoa-san-pai!”
“Ihhh, hebat
sekali!” Gak Liat berseru. Bagi datuk hitam ini, setiap perbuatan kejam amat
mengagumkan hatinya, makin kejam makin tinggi dalam penilaiannya.
“Kemudian
pemuda itu bahkan mendatangi Pek-eng-piauwkiok, dan di sana dia mengamuk,
mengalahkan tokoh-tokoh Hoa-san-pai.”
“Luar
biasa...!” Bhong Poa Sik, si Tikus Kuburan Kecil berseru kaget.
“Kemudian,
tahukah cu-wi apa yang ia lakukan? Ia pun mendatangi Siauw-lim-si dan di sana
mengamuk, membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai pula, merobohkan banyak yang
lain dan dapat keluar lagi dari Siauw-lim-si dengan selamat.”
“Sukar
dipercaya!” kini Gak Liat berseru. Kakek ini maklum akan keadaan kuil
Siauw-lim-si, maklum pula akan lihainya tokoh-tokoh di situ. Sedangkan dia
sendiri tentu akan berpikir sepuluh kali sebelum berani menyerbu seorang diri
ke Siauw-lim-si!
“Memang
sukar dipercaya, akan tetapi para penyelidikku adalah orang-orang yang
berpengalaman puluhan tahun dan keterangan mereka selalu boleh dipercaya.
Keadaan pemuda itu amat mengherankan. Selain ilmunya yang tinggi luar biasa dan
keadaannya yang seperti tidak normal, juga dia mempunyai adik seorang gadis
Mancu.”
“Ah, kalau
begitu dia Sie Han...!” Gak Liat berseru. “Kalau dia sudah berkepandaian begitu
aneh dan tinggi sehingga berani mengacau Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, tentu
dia telah berhasil menemukan Pulau Es!”
Mendengar
ucapan ini, semua tokoh yang berada di situ menjadi terkejut dan tertarik
sekali. Disebutnya Pulau Es tentu saja menarik perhatian semua orang karena
semenjak bala tentara Mancu menguasai daratan Tiongkok, pemerintah baru ini pun
selalu berusaha untuk menemukan pulau itu dan mendapatkan pusaka yang berada di
sana. Bahkan usaha pencarian ini dipimpin Gak Liat sendiri.
“Aiiih,
kalau benar-benar dia menjadi pewaris pusaka di Pulau Es, tentu dia memiliki
ilmu yang hebat dan orang seperti itu patut kita tarik untuk membantu kita,”
kata Puteri Nirahai. “Atau kalau tidak mungkin dia membantu kita, dia akan
merupakan lawan yang berbahaya dan perlu dibinasakan. Terutama sekali gadis
Mancu itu harus diselamatkan dan diselidiki, puteri siapakah dia dan mengapa
sampai bisa menjadi adik pemuda yang bernama Sie Han itu.”
“Jangan
khawatir, hamba akan dapat membujuknya. Setidaknya dia pernah ikut dengan hamba
dan dengan bantuan Ouwyang-kongcu, hamba tentu akan dapat menyelamatkan pula
puteri Mancu itu,” kata Gak Liat.
Dia menawarkan
diri ini sebetulnya adalah dengan mengandung niat yang lain. Begitu mendengar
bahwa Han Han telah muncul, ia ingin sekali menemui pemuda itu dan kalau perlu
hendak memaksa pemuda itu menyerahkan pusaka-pusaka Pulau Es, atau kalau
mungkin mengantarkannya ke Pulau Es!
Puteri
Nirahai mengangguk-angguk. “Mendengar pelaporan yang kuterima, memang pemuda
itu mencurigakan dan lihai sekali, kiranya hanya Gak-locianpwe saja yang cukup
kuat untuk menghadapinya. Baiklah, urusan membujuk tokoh-tokoh di In-kok-san dan
mencari pemuda itu kuserahkan kepada Gak-locianpwe dan Ouwyang-twako. Aku
sendiri mempunyai rencana lain yang boleh cu-wi ketahui. Aku akan pergi ke
utara, mendatangi tanah kuburan Keluarga Suling Emas...”
“Eh,
Nirahai, bukankah itu berbahaya sekali?” Pangeran Ouwyang Cin Kok berseru
kaget.
Tanah
kuburan keluarga Suling Emas merupakan tempat keramat dari bangsa Khitan dan
kabarnya tak seorang asing pun boleh memasukinya. Biar pun Puteri Nirahai
termasuk keturunan Khitan, namun belum tentu dia diperbolehkan masuk oleh
penjaganya yang kabarnya amat galak dan memiliki ilmu kepandaian yang luar
biasa.
“Memang
berbahaya, akan tetapi kalau tidak saya sendiri yang mendatangi, siapakah orang
lain akan mampu melakukannya? Saya ingin membujuk penjaga kuburan untuk
meminjam suling emas yang disimpan di situ sebagai pusaka. Dengan suling emas
peninggalan pendekar sakti Suling Emas, kiranya akan lebih mudah mempengaruhi
para tokoh-tokoh kang-ouw untuk membantu Kerajaan Mancu. Senjata suling emas
itu amat dihormati di seluruh dunia kang-ouw, dan dengan senjata itu tentu akan
dapat dicapai hasil yang lebih besar dalam membujuk tokoh-tokoh kang-ouw.”
Pangeran
Ouwyang Cin Kok dan yang lain-lain mengangguk-angguk menyatakan setuju sungguh
pun hati mereka merasa ngeri mendengar bahwa puteri jelita itu hendak
mengunjungi tempat keramat yang sukar dikunjungi sembarangan orang itu. Setelah
membagi-bagi tugas, pertemuan itu dibubarkan. Ouwyang Seng lalu pergi bersama
gurunya untuk melakukan tugas mereka yang tidak ringan. Demikian pun yang
lain-lain bubaran dan melakukan tugas masing-masing. Pangeran Ouwyang Cin Kok
sendiri lalu bersiap untuk pergi menghadap kaisar menyampaikan laporan mengenai
pelaksanaan tugas-tugasnya.....
***************
Han Han dan
Lulu duduk mengaso di dalam hutan. Melihat kakaknya duduk bersemedhi, Lulu juga
tidak berani mengganggu, bahkan ia pun lalu duduk bersila dan siulian untuk
memulihkan tenaga dan menekan kekecewaan hatinya karena kehilangan pedang yang
terampas di Siauw-lim-pai.
Han Han
tidak dapat menyatukan panca inderanya. Dia sudah dapat menyalurkan hawa sakti
di tubuhnya dan mengobati akibat-akibat dari guncangan pukulan-pukulan yang ia
terima di Siauw-lim-pai, akan tetapi pikirannya bekerja keras. Hatinya terkesan
oleh wejangan-wejangan yang didengarnya dari mulut Kian Ti Hosiang, supek dari
ketua Siauw-lim-pai tadi. Mengenangkan semua wejangan itu, terjadi perang
tanding yang hebat dalam pikirannya sendiri.
Perasaan
menyesal menggumuli perasaannya, menyesal kalau ia kenangkan betapa sepak
terjangnya selama ini hanya mendatangkan mala petaka dan keributan belaka. Ia
sendiri tidak mengerti mengapa kalau datang perasaan marah akan sesuatu yang
dianggapnya jahat dan tidak adil, lalu timbul kemarahan yang tak tertahankan
dan seolah-olah ia baru akan merasa puas, terhindar dari himpitan nafsu amarah
kalau sudah ia lampiaskan dengan pukulan-pukulan sakti dari kedua tangannya,
kalau ia sudah ia menghajar banyak orang dan membunuhi lawannya! Pemuda ini
tidak tahu bahwa sesungguhnya terjadi konflik atau pertentangan hebat dalam
dirinya.
Mula-mula
pertentangan ini terjadi karena ia mempelajari dua macam sinkang yang
berlawanan yaitu inti sari Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang.
Pertentangan ini mempengaruhi jiwanya, ditambah lagi ketika ia membaca
kitab-kitab peninggalan penghuni Pulau Es yang sifatnya bersih dan berbareng ia
mempelajari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis)
yang bersifat kotor.
Terjadilah
pertentangan hebat sekali dari aliran bersih ditambah kesadaran watak aslinya
yang baik, berlawanan dengan pelajaran aliran kotor yang ditambah oleh
nafsunya, membuat ia kadang-kabang merasa tersiksa sekali. Kini ia mendapat
nasihat yang amat aneh dari kakek sakti di Siauw-lim-pai itu. Dia disuruh
membuntungi kaki kirinya! Nasihat apakah ini? Betul-betulkah kaki kirinya yang
mendatangkan perasaan tersiksa seperti itu?
Makin
dipikirkan makin bingunglah hatinya. Kebingungan ini makin memuncak kalau ia
pikirkan bahwa semua mala petaka yang timbul akibat sepak terjangnya itu sama
sekali terjadi bukan karena kesalahannya! Dia memang telah membunuh murid-murid
Siauw-lim-pai dan murid-murid Hoa-san-pai di hutan dahulu itu, akan tetapi
bukankah hal itu terjadi karena salah paham? Bukankah hal itu terjadi bukan
karena memang dia bermaksud jahat dan membunuhi mereka?
Kemudian
kekacauan yang timbul karena perlawanannya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai
di gedung Pek-eng-piauwkiok. Dia telah diserang, dituduh yang bukan-bukan,
dituduh mata-mata Mancu! Terjadi pertempuran, akan tetapi salahkah dia dalam
hal itu?
Dan akhirnya
peristiwa keributan di Siauw-lim-si. Dia datang dengan iktikad baik, dengan
maksud memberi penjelasan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai untuk melenyapkan
kesalah-pahaman. Akan tetapi dia disambut dengan kekerasan, bahkan seolah-olah
dipaksa untuk bertanding. Dia hanya membela diri, karena bukankah itu haknya?
Ataukah dia harus membiarkan saja dia ditawan, dipukul, atau dibunuh, juga Lulu
ditangkap? Karena membela diri, kembali dia melakukan pukulan-pukulan dan
pembunuhan-pembunuhan.
Teringat
akan ini semua, timbul kemarahannya. Tidak! Dia tidak bersalah! Akan tetapi
kalau ia ingat akan nasihat kakek di Siauw-lim-pai itu dia menyesal karena
kenyataannya, apa pun alasannya, sepak terjangnya menimbulkan keributan dan
mala petaka, bahkan pembunuhan. Salah kaki kirinyakah?
Tiba-tiba
Han Han meloncat bangun, tidak kuasa lagi menahan tubuhnya yang digetarkan dua
hawa yang bertentangan sebagai akibat perang dalam hatinya. Ia mengeluarkan
suara ah-ah-uh-uh seperti orang gagu, tubuhnya bergoyang-goyang, kaki tangannya
bergerak-gerak seolah-olah ia bertanding melawan dirinya sendiri! Kedua
tangannya seperti hendak saling pukul, atau lebih tepat, kalau tangan kiri
hendak memukul tubuhnya sendiri penuh penyesalan dan hendak menghukum, tangan
kanannya bergerak menangkis dengan keyakinan membela karena dia tidak bersalah.
Demikian pula kedua kakinya bergerak menurutkan suara hati yang berlawanan!
Entah berapa
lamanya Han Han berkhayal seperti itu. Tubuhnya bergerak-gerak aneh dan
kelihatan lucu sekali, padahal ia merasa amat tersiksa baik tubuh mau pun
batinnya. Tiba-tiba Lulu datang mendekatinya, dan melihat keadaan kakaknya ini
Lulu segera menyentuh lengan Han Han. Akan tetapi gadis ini menjerit karena
lengan yang disentuhnya itu mengeluarkan getaran yang membuat tangan yang
menyentuhnya seperti lumpuh. Ia meloncat ke belakang dan menjerit.
“Han-koko...
sadarlah...! Celaka, ada orang merampas kantung surat-surat itu...!”
Sebelum
gadis itu menjerit, Han Han sudah sadar. Sentuhan tangan yang halus dari
adiknya itu sudah menyadarkannya dan seolah-olah menariknya kembali ke dunia
dari alam khayal yang menakutkan. Ada sesuatu dalam sentuhan dan dalam suara
Lulu yang amat mempengaruhi jiwa Han Han sehingga kini dia sadar, menghentikan
gerakan-gerakan tubuhnya dan memandang adiknya itu.
“Apa? Apa
yang dirampas orang?”
“Karena kau
bersemedhi tidak sadar-sadar, aku lalu pergi mencari air untuk mandi. Kemudian
aku pergi ke sebuah kuil tua tak jauh dari sini, duduk di depan kuil dan
mengeluarkan kantung surat-surat dari Pulau Es untuk kubersihkan. Akan tetapi
tiba-tiba kantung itu terbang dari tanganku dan ketika aku meloncat dan
membalik, ternyata kantung itu telah dipegang oleh seorang kakek yang menyeramkan.
Aku minta kembali, bahkan memukulnya, akan tetapi ia tidak menjawab, dan ketika
kupukul, ia tidak mengelak atau menangkis, bahkan bergoyang pun tidak ketika
menerima pukulanku. Aku takut...!”
Merah wajah
Han Han mendengar bahwa kantung surat-surat itu dirampas orang. Kantung itu ia
anggap sebagai barang yang amat berharga berisi surat-surat penghuni Pulau Es
yang ia bawa dan akan ia sampaikan kepada siapa yang berhak menerimanya. Dan
kini dirampas orang!
“Hemmm,
kenapa aku selalu diganggu orang? Siapakah dia yang merampas kantung kita itu?
Mari kita temui dia.”
Lulu
memegang tangan kakaknya dan menarik kakaknya itu, diajak lari menuju ke kuil
tua yang hanya setengah li jauhnya dari situ, di pinggir sebuah sungai kecil.
“Tuh dia
masih berdiri depan kuil, Koko. Untung dia belum lari!” kata Lulu menuding ke
arah tubuh seorang laki-laki tinggi kurus berambut panjang yang berdiri
membelakangi mereka.
“Hemmm,
kurang ajar, biar kuminta kembali kantung itu!” Han Han meloncat ke depan kakek
itu, memandang dan alis matanya bergerak karena kaget.
“Ma-bin
Lo-mo...!” teriaknya ketika mengenal kakek penghuni In-kok-san itu.
Kakek itu
memang Ma-bin Lo-mo si Iblis Muka Kuda! Dengan wajah bengis ia memandang Han
Han dan tidak mengucapkan sepatah pun kata, hanya memandang dengan penuh
perhatian, manik matanya bergerak-gerak meneliti Han Han dari kepala sampai ke
kaki.
“Siangkoan-locianpwe,
harap suka mengembalikan kantung itu kepadaku. Kantung itu hanya berisi
surat-surat pribadi yang tidak ada gunanya bagi orang lain,” kata Han Han penuh
ketenangan setelah ia berhasil menekan hatinya yang kaget.
“Hemmm,
murid apakah engkau ini? Tidak menyebut Suhu lagi kepadaku?”
Han Han
tersenyum pahit. “Lupakah Locianpwe bahwa Locianpwe hendak membunuh saya di
perahu itu dahulu? Sikap Locianpwe bukan seperti guru yang menyayang murid,
bagaimana saya bisa menjadi murid yang menghormat guru?”
Bekas guru
dan murid ini saling memandang dan dalam pertemuan sinar mata itu diam-diam
Ma-bin Lo-mo menjadi kecut hatinya dan cepat ia mengalihkan pandang matanya. Ia
menghendaki sesuatu dari pemuda itu, maka ia lalu berganti siasat, bersikap
lunak dan manis.
“Han Han,
kau kembalikan dulu kitab-kitabku.”
Han Han
teringat akan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo yang ia bawa ke Pulau Es. Tanpa ia
sengaja, bahkan ia telah mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu yang ia gabung
dengan ilmu dari kitab-kitab peninggalkan Siang-mo-kiam. Ia tidak merasa
mencuri kitab-kitab itu, maka ia memperingatkan.
“Saya tidak
mencuri kitab-kitab Locianpwe.”
Kini Lulu
teringat akan Ma-bin Lo-mo, maka ia berkata, “Koko, bukankah dia ini orang
jahat yang menangkap kita di perahu dan meninggalkan kita dalam keadaan
terikat? Koko, dia jahat, jangan percaya dia!”
Ma-bin Lo-mo
tidak memperhatikan gadis Mancu yang dibencinya itu, dan berkata lagi kepada
Han Han, “Han Han, kitab-kitabku itu tertinggal di perahu, dan melihat betapa
engkau berhasil menyelamatkan diri, tentu kitab-kitab itu berada padamu. Akan
tetapi tidak apalah, bukankah engkau juga muridku yang berhak mempelajari ilmu
dari kitab-kitabku? Sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang kau
lakukan terhadapku, Han Han. Pertama, engkau bersaudara dengan seorang gadis
Mancu. Kedua, engkau mengambil kitab-kitabku. Akan tetapi aku mengampunimu
semua kesalahan itu, bahkan kantung ini yang hanya berisi surat-surat cinta,
kukembalikan kepadamu.” Sambil berkata demikian Ma-bin Lo-mo melemparkan
kantung ke arah Han Han.
Pemuda itu
menggerakkan tangan menyambut kantung itu dan menyimpannya dalam baju setelah
melihat bahwa isinya tidak lenyap. Ia melakukan hal ini seenaknya dan
sewajarnya saja, dan Ma-bin Lo-mo terkejut. Ketika melemparkan kantung tadi, ia
sengaja mengerahkan tenaga untuk menguji. Kalau hanya memiliki ilmu kepandaian
tinggi biasa saja, tentu pemuda itu akan roboh menerima lontaran kantung itu,
atau setidaknya terhuyung.
Akan tetapi
pemuda itu menerima seenaknya seolah-olah pelemparan kantung itu tidak disertai
pengerahan sinkang yang amat kuat. Tadinya, kalau melihat pemuda itu roboh atau
terhuyung saja tentu Ma-bin Lo-mo sudah menerjang maju untuk menangkapnya, akan
tetapi melihat sikap Han Han menerima kantung seenaknya itu amat mengejutkan
hatinya, maka kakek ini berlaku cerdik sekali dan tidak menyerang.
“Han Han,
mengingat akan hubungan lama antara kita, aku tidak akan mengganggumu, hanya
akan bertanya kepadamu tentang Pulau Es. Engkau tentu telah mendarat di Pulau
Es, bukan?”
“Jangan
katakan sesuatu kepadanya, Koko!” Lulu yang di dalam hatinya masih menaruh
dendam kepada kakek yang pernah hendak membunuh mereka itu, cepat berkata
mencegah. Akan tetapi tanpa dicegah pun Han Han tidak akan bercerita kepada
siapa juga tentang pulau rahasia itu.
“Saya tidak
dapat bicara apa-apa tentang pulau itu, Locianpwe.”
“Jadi engkau
telah menemukan pulau itu?”
Han Han
tidak menjawab, hanya menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau bicara tentang
itu.
“Han Han,
ingatlah. Aku hanya ingin engkau menceritakan tentang Pulau Es. Kalau aku
menggunakan kekerasan, engkau tentu takkan kuat melawanku. Ingat, dosamu sudah
terlalu besar terhadap perguruan kami dan kalau aku menyerahkan ergkau kepada
Toat-beng Ciu-sian-li, nyawamu tentu tidak akan diampuni lagi. Akan tetapi
kalau kau suka bicara denganku tentang Pulau Es, aku yang menanggung agar
engkau diampuni.”
“Maaf,
sia-sia saja engkau membujuk atau mengancam, Locianpwe. Saya tidak bisa bicara
tentang pulau itu. Hendaknya Locianpwe membiarkan saya dan Adik saya pergi.
Saya tidak hendak memusuhi Locianpwe sungguh pun Locianpwe pernah menyiksa dan
hendak membunuh kami berdua. Marilah kita mengambil jalan kita masing-masing
dan tidak saling mengganggu, Locianpwe.”
Muka Ma-bin
Lo-mo menjadi merah saking marahnya. Ucapan Han Han itu cukup sopan, akan
tetapi nadanya seperti ucapan seorang yang setingkat saja! Padahal dia adalah
seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti orang, sedangkan Han Han adalah
seorang muda yang malah menjadi bekas muridnya!
“Han Han,
sungguh engkau keras kepala! Akan tetapi betapa pun kerasnya kepalamu, apakah
cukup keras untuk menerima pukulanku?” Ia membentak dan melangkah maju dengan
sikap mengancam sekali.
Tetapi Han
Han tetap bersikap tenang. “Terserah kepada Locianpwe, tapi... tapi... harap
Locianpwe ingat bahwa kalau sampai terjadi bentrokan, hal itu bukanlah kehendak
saya, melainkan Locianpwe yang memaksaku.”
“Uwaaahhhhh,
sombongnya bocah ini. Tidak bisa dibujuk dengan omongan halus, agaknya perlu
dihajar dulu!”
Setelah
berkata demikian, Ma-bin Lo-mo menerjang maju mengirim pukulan. Karena dia
tidak ingin membunuh mati anak itu yang dia butuhkan untuk memberi petunjuk
tentang Pulau Es, maka ia tidak mengirim pukulan Swat-im Sin-jiu, melainkan
menampar dengan tangan kanan ke arah pundak disusul cengkeraman tangan kiri ke
arah dada. Biar pun tidak menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang, namun daya
pukulan kakek ini bukan main.
Han Han
mengelak ke kiri dan biar pun angin pukulan kakek itu mengenai pundaknya,
sedikit pun ia tidak merasakannya. Ia berkata penuh rasa menyesal, “Engkau
sungguh jahat, Ma-bin Lo-mo, tidak patut menerima penghormatan orang muda.”
“Hei, Han
Han. Apakah betul kau tidak mau bicara tentang Pulau Es? Ingat, tebusannya
adalah nyawamu dan nyawa bocah Mancu ini. Aku bahkan mau mengampuni bocah ini
asal engkau suka memberi penjelasan tentang Pulau Es.”
“Tidak! Dan
kalau engkau memaksa, terpaksa aku melawanmu, Ma-bin Lo-mo!”
“Bedebah!
Baru memiliki sedikit kepandaian saja engkau sudah berani melawan aku?”
Ma-bin Lo-mo
mencelat maju dengan gerakan cepat sekali sambil mencengkeram pundak Han Han.
Namun gerakan Han Han tidak kalah cepatnya, tahu-tahu ia sudah mengelak ke
kanan dan cengkeraman itu kembali luput. Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran sekali.
Begitu tubrukannya luput dan kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah melesat
lagi ke kanan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, membuat gerakan
menyilang mengarah kepala Han Han. Bukan main cepat dan lihainya serangan ini
sehingga Han Han terkejut dan cepat merendahkan diri untuk menghindarkan kedua
tangan yang menghimpit kepalanya dari kanan kiri itu. Akan tetapi dengan
gerakan susulan, tahu-tahu kaki Ma-bin Lo-mo menendang ke perut pemuda itu.
Selama
melatih diri di Pulau Es, sesungguhnya Han Han hanya memperoleh inti sari
tenaga sinkang yang amat hebat saja, yang tidak diperoleh ahli lain dalam
latihan biasa selama puluhan tahun. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, tentu
saja ia masih kalah jauh dibandingkan dengan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Kini menghadapi
gerakan serangan tokoh hitam yang hebat ini, tentu saja ia tidak menyangka sama
sekali dan tendangan itu tahu-tahu telah mengenai perutnya! Akan tetapi gerakan
hawa sinkang secara otomatis telah melindungi perutnya, dan ia menangkap kaki
itu sambil mendorong ke depan seperti membuang sesuatu yang menjijikkan.
“Dukkk!
Aihhhhh...!”
Tendangan
Ma-bin Lo-mo mengenai perut, akan tetapi tubuh Ma-bin Lo-mo terlempar sampai
jauh sekali. Kalau bukan kakek sakti ini tentu tubuhnya akan terbanting ke
bawah. Akan tetapi kakek ini malah melompat ke atas sehingga tenaga dorongan
itu terpatahkan dan ia turun lagi ke atas tanah dengan mata terbelalak merah
karena heran, kagum dan penasaran.
“Huh,
kiranya engkau sudah mempelajari sedikit ilmu, ya?”
Hati Ma-bin
Lo-mo makin tertarik untuk memaksa Han Han bicara tentang Pulau Es, karena
tentu saja ia ingin sekali mengetahui rahasia itu dan memiliki pusaka dari
Pulau Es. Melihat betapa Han Han sanggup menerima tendangannya, dan melihat
tenaga hebat ketika pemuda itu mendorong kakinya, hatinya makin yakin bahwa
pemuda ini tentu telah mewarisi kepandaian dari tempat rahasia itu, maka ia
makin tidak ingin membunuhnya dan hanya ingin menangkap dan memaksanya.
Kepalanya
yang penuh dengan akal dan muslihat itu bekerja dan tiba-tiba sambil tertawa
tubuhnya melesat, bukan menyerang Han Han, melainkan meloncat ke arah Lulu yang
berdiri menonton. Dia mendapat akal untuk menangkap Lulu dan menggunakan gadis
itu untuk memaksa Han Han!
“Ihhh, mau
apa engkau?”
Kembali
Ma-bin Lo-mo kecelik karena gadis yang ditubruk dan hendak ditangkapnya itu,
biar pun tergesa-gesa, tapi masih sempat melesat pergi dengan gerakan yang amat
ringan dan tak tersangka-sangka sehingga ia menubruk angin! Ketika ia membalik
dan hendak mengejar sambil mengirim pukulan jarak jauh untuk merobohkan gadis
itu, tiba-tiba dari samping terdengar bentakan Han Han.
“Jangan
ganggu Adikku!” Bentakan ini disusul dengan bertiupnya angin yang hawanya
dingin memukul ke arah lambungnya!
Ma-bin Lo-mo
cepat menggerakkan tangan menangkis, sekali ini karena penasaran ia menggunakan
tenaga Im-kang untuk membuat pemuda itu roboh.
“Desss!” Dua
tenaga raksasa bertemu dan akibatnya kedua orang itu terjengkang ke belakang!
“Eh, ehh...
tenaga Im-kang...?” Ma-bin Lo-mo yang sudah meloncat bangun lagi berkata penuh
keheranan.
“Ma-bin
Lo-mo, perlukah pertempuran ini dilanjutkan? Aku tidak ingin bermusuhan
denganmu!” Han Han berkata lagi.
“Sambutlah
ini...!” Ma-bin Lo-mo membentak dan sekali ini ia tidak ragu-ragu lagi untuk
menggunakan Swat-im Sin-ciang, menyerang lagi dengan gerakan lambat namun malah
amat berbahaya karena setiap gerakannya mengandung hawa dingin yang dahsyat.
Han Han
mengenal gerakan itu. Dia telah mempelajari kitab-kitab yang ditinggalkan di
dalam perahu oleh Iblis Muka Kuda ini, maklum bahwa lawannya telah menggunakan
Swat-im Sin-ciang. Ia mulai menjadi marah, bukan saja karena kakek itu
mendesaknya terus, terutama sekali karena ia melihat kelicikan kakek ini yang
hendak memaksanya dengan berusaha menawan Lulu. Maka ia pun lalu menggerakkan
kedua tangannya dengan gerakan yang sama. Ketika Ma-bin Lo-mo mendorong, ia pun
mendorong dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang pula!
“Wuuutttt...
desssss!”
Tubuh kedua
orang itu bergoyang-goyang, kemudian keduanya mundur terhuyung. Han Han dapat
mengerahkan tenaga Yang-kang sehingga seketika hawa dingin yang luar biasa itu
lenyap, akan tetapi Ma-bin Lo-mo membutuhkan loncatan ke atas dan
menggoyang-goyang tubuhnya baru ia pulih kembali. Ia memandang dengan mata
terbelalak kemudian ia berseru marah.
“Bocah
celaka! Engkau telah mencuri Swat-im Sin-ciang!” Akan tetapi sesungguhnya ia
merasa heran dan kaget setengah mati mendapat kenyataan bahwa tenaga Swat-im
Sin-ciang dari pemuda itu tidak berselisih jauh dengan tenaganya sendiri! Ia
sama sekali tidak mimpi bahwa sesungguhnya tenaga Han Han jauh lebih kuat dan
hebat dari pada tenaga sendiri.
Sebaliknya,
Han Han maklum betapa lihai dan kejamnya kakek ini dan bahwa sekali lagi,
setelah terlepas dari pada ancaman maut di Siauw-lim-si, kini ia terancam oleh
kakek yang amat sakti ini. Maka timbullah kemarahannya lagi dan ia mengambil
keputusan untuk melindungi Lulu dan dirinya sendiri, kalau perlu dengan taruhan
nyawa.
Kembali
Ma-bin Lo-mo sudah menyerang, kini serangannya hebat sekali karena kakek ini
tidak lagi menganggap Han Han seorang lawan ringan. Tubuhnya seperti berpusing
dan kedua tangannya seperti berubah banyak ketika ia melancarkan serangan ke
arah dada dan pusar pemuda itu. Han Han tetap tenang, namun juga bergerak
cepat. Ia memutar kedua lengannya dari kanan kiri menjaga tubuh depan dan
kembali ia berhasil menangkis pukulan-pukulan maut Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi
kakek itu menerjang terus dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat dengan
perubahan yang tak tersangka-sangka sehingga dalam gebrakan-gebrakan
selanjutnya tanpa dapat dielakkannya lagi terpaksa Han Han menerima
hantaman-hantaman yang mengenai pundak dan lambungnya. Akan tetapi tubuhnya
hanya terpental saja dan sama sekali tidak terluka sehingga diam-diam Ma-bin
Lo-mo makin penasaran dan terkejut.
Ketika
melihat kakek itu mengejarnya, Han Han yang sudah bangkit kembali sehabis
terbanting, cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut kedatangan lawan dengan
pukulan dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang. Ia sudah marah sekali, maka
kekuatan sinkang-nya dapat dibayangkan hebatnya. Angin menderu keras dan hawa
dingin melebihi saiju menyambar ke depan. Ma-bin Lo-mo tentu saja tidak takut
menghadapi pukulan yang menjadi keahliannya sendiri itu. Ia menangkis dengan
tenaga Swat-im Sin-ciang juga dan sekali ini dua tenaga sakti bertemu. Hanya
bedanya dengan tadi, kini Han Han yang menyerang dan Ma-bin Lo-mo yang
menangkis.
“Wesssss...!”
Tubuh Ma-bin
Lo-mo tergetar hebat, seolah-olah tubuhnya kemasukan aliran kilat dan sejenak
tubuhnya kaku membeku! Kakek ini mengeluarkan seruan aneh, kemudian melempar
tubuh ke belakang dan bergulingan sampai lama baru dapat melompat bangun
kembali, wajahnya pucat dan matanya terbelalak merah.
“Luar
biasa...!” Ia menggumam karena kini ia mendapatkan kenyataan pahit yang amat
hebat, yaitu bahwa tenaga Swat-im Sin-ciang pemuda itu jauh lebih kuat dari
pada tenaganya sendiri!
Didorong
oleh kemarahannya yang timbul dari rasa penasaran, kini tubuh Ma-bin Lo-mo
menerjang maju seperti badai mengamuk saking hebatnya. Tentu saja Han Han
menjadi sibuk sekali dan sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk balas
menyerang. Bahkan dia yang kalah jauh ilmu silatnya tak mungkin dapat
menghindarkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu dan hanya dapat mengelak
dan menangkis, melindungi dirinya di bagian-bagian yang berbahaya dan
membiarkan bagian-bagian yang dapat menahan pukulan untuk menerima
hantaman-hantaman dahsyat dari lawannya!
Ia menjadi
bulan-bulanan dan biar pun tubuh yang tidak berbabaya itu mengandung sinkang
kuat sehingga tidak terluka, namun kerasnya pukulan-pukulan itu membuat
tubuhnya berkali-kali terlempar dan bergulingan. Melihat betapa pemuda itu dapat
menahan pukulan-pukulannya yang cukup kuat untuk merobohkan lawan tangguh,
Ma-bin Lo-mo menjadi makin marah dan penasaran, serangannya makin diperhebat.
Lulu berdiri
dengan wajah tegang dan penuh kegelisahan. Seperti ketika ia me-nyaksikan
kakaknya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok, dan
kemudian menyaksikan kakaknya menghadapi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai,
kini pun ia hanya dapat menonton saja karena ia maklum bahwa untuk membantu
kakaknya tingkat kepandaiannya masih jauh dari pada cukup sehingga ia bukan
membantu malah membahayakan diri sendiri dan mengacaukan pertahanan kakaknya.
Kedua orang
itu memang bertanding dengan amat seru dan hebat. Keduanya mempergunakan hawa
sakti Im-kang sehingga dari tubuh mereka keluar hawa yang amat dingin yang
seolah-olah membikin beku keadaan sekeliling mereka, bahkan Lulu yang sudah
biasa tinggal di tempat dingin seperti Pulau Es sekali pun kini merasa betapa
hawa dingin menyerangnya dan otomatis sinkang di tubuhnya bekerja sehingga hawa
yang hangat timbul melenyapkan rasa dingin.
Han Han
tidak berani mencoba untuk menggunakan Yang-kang atau hawa sakti panas. Ia
maklum bahwa tingkat kakek ini sudah tinggi sekali, sehingga kalau ia
mengeluarkan Yang-kang, berarti ia menghadapi lawan dengan keras lawan keras
yang tentu saja resikonya amat besar. Sedikit saja kekuatannya kalah, akibatnya
dapat merenggut nyawa. Ia pun maklum bahwa biar pun dalam ilmu silat ia kalah
jauh, namun dengan pengerahan inti sari dari Im-kang ia masih dapat bertahan
karena kekuatan sinkang-nya tidak kalah oleh lawan.
Selagi Han
Han terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak disambung
kata-kata nyaring penuh ejekan, “Ma-bin Lo-mo si Setan Kuda benar-benar
sekarang tak tahu malu, mendesak orang muda dan tidak malu-malu mengeluarkan
Swat-im Sin-ciang!”
Han Han
melirik sebentar dan hatinya kecut ketika mengenal orang yang muncul dan
mengeluarkan kata-kata itu karena orang itu bukan lain adalah Kang-thouw-kwi
Gak Liat si Setan Botak bersama seorang pemuda tampan pesolek yang ia kenal
sebagai Ouwyang Seng! Celaka, pikirnya. Ma-bin Lo-mo jahat, akan tetapi dua
orang yang muncul ini tidak kalah jahat dan sama sekali tidak boleh diharapkan
bantuannya!
Akan tetapi,
selagi ia menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo yang masih mendesaknya tiba-tiba Gak
Liat meloncat maju dan memukul Iblis Muka Kuda dengan dorongan kedua lengan
yang menimbulkan hawa panas. Itulah Hwi-yang Sin-ciang!
“Eh, Setan
Botak, mau apa engkau?” Ma-bin Lo-mo membentak dan cepat ia meloncat jauh ke
belakang untuk menghindarkan pukulan itu.
Karena
loncatannya yang jauh itu kini Han Han berada di tengah, di antara dua orang
tokoh hitam itu. Pemuda itu menghadapi Gak Liat dan memandang dengan mata
berapi. Kemarahannya sudah membakar hatinya dan kini melihat kakek yang juga
amat jahat ini, ia memandang penuh kecurigaan.
"Han
Han, lupakah engkau kepadaku? Aku Owyang-kongcu, sahabat lamamu. Kami datang
untuk membantumu!" Ouwyang Seng sudah cepat berteriak untuk mengambil hati
pemuda itu.
Tadi ia
melihat betapa Han Han dapat menghadapi Ma-bin Lo-mo, biar pun terdesak namun
juga tidak dapat dirobohkan. Hal ini saja sudah menyatakan bahwa Han Han
sekarang benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi. Biar pun di dalam
hatinya ia sama sekali tidak suka kepada Han Han, namun demi tugasnya ia harus
mentaati perintah Puteri Nirahai untuk ‘menarik’ Han Han menjadi kawan, bukan
lawan.
“Ouwyang-kongcu,
saya tidak membutuhkan bantuan apa-apa darimu atau dari Gak-locianpwe.”
Ouwyang Seng
menghela napas panjang dengan muka menyatakan penyesalannya, lalu menghampiri
Lulu dan menjura sambil berkata, “Nona, bukankah Kakakmu itu keliru sekali? Dia
diserang dan didesak orang, masa tidak mau dibantu?”
Lulu sejenak
memandang Ouwyang Seng, kemudian berkata kepada kakaknya, “Koko, kalau mereka
memang benar-benar hendak membantu, mengapa kau menolak?”
“Lulu,
jangan mencampuri. Mereka itu pun bukan orang-orang yang dapat dipercaya!”
Akan tetapi
Lulu memandang wajah Ouwyang Seng yang tampan dan tersenyum-senyum itu dan ia
merasa heran akan ucapan kakaknya karena dalam pandangannya, pemuda tampan ini
sama sekali tidak jahat.
“Han Han,
betapa pun juga, engkau bukanlah lawan Iblis Muka Kuda. Biarlah aku membantumu
mengusir iblis itu, kemudian kita bicara sebagai kenalan-kenalan lama.
Bagaimana?”
“Gak-locianpwe,
apakah locianpwe juga seperti Ma-bin Lo-mo ini, hendak bertanya tentang Pulau
Es kepadaku setelah locianpwe membantuku mengenyahkan Ma-bin Lo-mo?”
Pertanyaan
yang tiba-tiba dari Han Han ini tepat menusuk hati Gak Liat yang memang ingin
sekali mendengar tentang Pulau Es itulah, sehingga ia lupa akan tugasnya dan
penuh gairah berteriak, “Ah, jadi engkau sudah berhasil sampai ke sana? Anak
baik, mari kubantu engkau membinasakan Iblis Muka Kuda, baru kita bicara
tentang Pulau Es!”
Kemarahan
hati Han Han meluap. “Kang-thouw-kwi, engkau setali tiga uang (sama saja)
dengan Ma-bin Lo-mo. Aku tidak sudi akan bantuanmu!”
Mendengar
jawaban ini dan karena mereka yakin bahwa Han Han tak dapat dibujuk, Ouwyang
Seng sudah cepat turun tangan untuk melakukan siasat yang ke dua. Yaitu,
merampas Lulu terlebih dahulu untuk menyelamatkan gadis Mancu itu dan juga
untuk dijadikan umpan memancing Han Han ke kota raja, bahkan kelak akan dapat
digunakan untuk memaksa Han Han tunduk akan perintah Puteri Nirahai. Ia maklum
bahwa sekali ini ia tidak boleh menurutkan nafsu birahinya yang berkobar begitu
ia melihat gadis Mancu yang cantik molek tidak kalah oleh Puteri Nirahai
sendiri itu, karena Lulu adalah seorang gadis Mancu dan keadaan gadis ini sudah
menjadi perhatian Puteri Nirahai dan sudah diumumkan kepada para pembantunya.
Cepat ia
menubruk untuk menangkap Lulu, akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika
tubuh gadis itu seperti seekor kupu-kupu yang hendak ditangkap saja, telah
melesat dan mengelak dari kedua tangannya! Itulah gerak otomatis yang sudah ada
pada diri Lulu sebagai hasil latihan-latihannya selama berada di Pulau Es
bersama Han Han.
Melihat
Ouwyang-kongcu tidak berhasil dan gadis itu berkelebat dekat dengannya, Gak
Liat lalu menggerakkan tangan kanannya mendorong perlahan. Lulu mengeluh dan
roboh dalam pelukan Ouwyang Seng yang sudah cepat menyambar, menotoknya dan
memondong tubuhnya.
“Koko...!”
Han Han
marah bukan main. “Keparat! Lepaskan Adikku!” Ia mengejar maju akan tetapi
dihadang oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Melihat ini, dengan muka merah dan
pandang mata beringas Han Han menerjang Gak Liat dan memukul dengan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang! Gak Liat terkejut bukan main melihat ini dan cepat
menangkis.
“Bressss...!”
Seperti yang
dialami oleh Ma-bin Lo-mo tadi, tubuh Kang-thouw-kwi Gak Liat tergetar oleh
pukulan Hwi-yang Sin-ciang, keahliannya sendiri. Ia tergetar dan terhuyung ke
belakang sedangkan Han Han hanya tergetar saja.
“Ha-ha,
Setan Botak! Bocah ini sekarang tak boleh dibuat main-main, dia telah mewarisi
pusaka Pulau Es!” Ma-bin Lo-mo mentertawakan Gak Liat.
“Kita berdua
harus menundukkannya!” Gak Liat yang amat cerdik berkata.
Dari pada
memperebutkan bocah itu dan kedua-duanya tidak berhasil, lebih baik
menangkapnya bersama dan kelak membagi-bagi hasilnya. Melihat betapa dalam
waktu lima enam tahun saja bocah ini sudah dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang
sedemikian hebatnya, dapat dibayangkan betapa luar biasa dan amat berharga
pusaka Pulau Es.
Ma-bin Lo-mo
bukan seorang bodoh. Ia maklum akan isi hati Gak Liat, maka ia berkata,
“Baiklah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup!”
Gak Liat
berteriak ke belakangnya, “Kongcu, lekas bawa pergi Nona itu!”
Ouwyang-kongcu
sudah mengempit tubuh Lulu dan menotoknya sehingga kini Lulu menjadi lemas tak
dapat bergerak atau berteriak lagi, kemudian ia melarikan diri secepatnya
meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh Lulu dengan lengan kirinya.
“Heiiiii,
Ouwyang Seng keparat kurang ajar! Lepaskan adikku...! Dasar anjing keparat,
kulumatkan tubuhmu, kuhancurkan kepalamu!”
Han Han
menerjang ke depan hendak mengejar Ouwyang Seng, tetapi ia disambut oleh
pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat, bahkan dari belakang ia diserang pula oleh
Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Han Han mengeluarkan suara menggereng seperti
beruang es, wajahnya merah dan matanya mengeluarkan sinar beringas. Kemarahan
hebat membuat ia menjadi mata gelap dan kebuasannya timbul kembali. Dua pukulan
dari depan dan belakang hampir berbareng mengenai tubuhnya, akan tetapi
seolah-olah tidak dirasakannya dan ia mengamuk, menggunakan Swat-im Sin-ciang
dan Hwi-yang Sin-ciang berganti-ganti tanpa aturan lagi sehingga dua orang
kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan heran dan kaget.
Andai kata
lawan-lawannya hanyalah orang-orang yang memiliki kepandaian tidak terlalu
tinggi, tentu amukan Han Han ini akan melumatkan tubuh mereka dan tentu
kebuasannya sudah mengorbankan banyak nyawa-nyawa lagi. Akan tetapi sekali ini
yang mengeroyoknya adalah dua orang di antara datuk-datuk hitam yang ilmu
kepandaiannya luar biasa sekali dan pada jaman itu sukar dicari tandingnya,
maka betapa pun ia mengamuk, tetap saja ia tidak dapat memukul lawannya, bahkan
tubuhnya berkali-kali harus menerima hantaman-hantaman yang amat berat.
Hantaman-hantaman
itu amat kuat dan membuat dada Han Han terasa sesak, kepalanya pening. Hal ini
menambah kemarahannya melihat adiknya diculik Ouwyang Seng. Ia menjadi nekat
dan ketika dua orang kakek itu kembali menyerangnya dari kanan kiri, ia
mengeluarkan pekik melengking dan mengerahkan seluruh sinkang-nya, menyalurkan
Hwi-yang Sin-ciang di tangan kiri menghantam Ma-bin Lo-mo, sedangkan tangan
kanannya dengan hawa Swat-im Sin-ciang menghantam Gak Liat.
Ia balas
memukul tanpa mempedulikan datangnya pukulan kedua lawan itu. Karena ia
menyalurkan sinkang secara terbalik dan dengan demikian sekaligus menghadapi
kedua lawan itu dengan dua macam tenaga yang berlawanan sehingga keras bertemu
keras, terjadilah tabrakan tenaga sakti yang luar biasa sekali.
“Desssss...!”
Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo seketika muntahkan darah segar dari mulut mereka akan
tetapi Han Han sendiri yang terhimpit oleh dua tenaga raksasa itu roboh
pingsan!
Kang-thouw-kwi
Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee cepat duduk bersila untuk mencegah
terluka di dalam dada mereka. Sepuluh menit kemudian mereka sudah bergerak
kembali dan keduanya memandang Han Han sambil menggeleng-geleng kepala.
“Dia luar
biasa sekali, Setan Botak,” Ma-bin Lo-mo berkata perlahan.
“Hemmm,
kalau tidak mengalami sendiri mana aku bisa percaya?” jawab Gak Liat dan
keduanya cepat menghampiri Han Han yang masih rebah pingsan.
Mereka
berdua lalu turun tangan menotok jalan darah Han Han. Ditotok oleh dua orang
ahli dengan dua cara menotok yang berlainan dan amat lihai, seketika tubuh Han
Han menjadi lemas dan tak lama kemudian ia siuman kembali. Betapa kaget dua
orang kakek itu ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak mengalami luka
sama sekali, padahal mereka berdua nyaris terluka parah di sebelah dalam dada!
Biar pun
tidak terluka parah, akan tetapi setelah siuman kembali Han Han merasa betapa
seluruh tubuhnya lemas sekali saking lelahnya. Dia tahu bahwa dia telah
tertotok dan dia tidak ingin mencoba untuk membebaskan diri, maklum bahwa di
tangan kedua orang kakek itu percuma saja baginya untuk melawan. Namun,
menyerahkan pun tidak ada sedikit juga di dalam hatinya. Ia memandang
kakek-kakek yang duduk di dekatnya lalu berkata.
“Kalian
telah mengalahkan aku, tidak lekas bunuh mau apa lagi?” Suaranya terdengar
dingin sekali dan sedikit pun tidak kelihatan gentar sehingga kedua orang kakek
datuk golongan hitam itu menjadi kagum.
“Han Han,
mengapa engkau amat keras kepala? Kami tidak ingin membunuhmu.”
“Benar, Han
Han. Engkau masih amat muda, tidak sayangkah kalau membuang nyawa secara
sia-sia?”
Mendengarkan
ucapan kedua orang kakek yang halus dan seolah-olah menyayangnya ini, rasa dada
Han Han menjadi makin sesak karena marah. Ia mengerti betul bahwa dua orang
kakek itu adalah datuk-datuk golongan hitam yang amat kejam, yang kini bersikap
halus kepadanya karena ada pamrihnya, sikap yang palsu seperti desis dua ekor
ular.
“Sudahlah,
bosan aku mendengarnya. Kalian sama-sama menghendaki aku bicara tentang Pulau
Es, bukan? Sudahlah, percuma saja bicara. Aku tidak mau bicara dan kalau kalian
mau bunuh, kerjakan saja. Aku tidak takut mati!”
Gak Liat dan
Siangkoan Lee saling memandang. Dalam bertemu pandang itu keduanya bersepakat
cara apa yang harus mereka pergunakan. Membujuk bocah yang berhati baja ini
akan sia-sia, jalan satu-satunya adalah paksaan dengan jalan penyiksaan.
“Baiklah,
hendak kulihat apakah engkau akan kuat mempertahankan kekerasan hatimu!” bentak
Ma-bin Lo-mo dan jari telunjuknya menotok punggung Han Han di tiga tempat.
Han Han
tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan Iblis Muka Kuda ini ketika menotoknya,
akan tetapi seketika ia merasa betapa seluruh tulang-tulang di tubuhnya nyeri,
seperti ditusuk-tusuk jarum! Ia mempertahankan diri agar tidak mengeluh. Walau
rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat sampai berdenyut-denyut di ubun-ubunnya,
akan tetapi ia tetap mengeraskan hatinya sehingga mukanya pucat penuh keringat.
“Engkau
tidak mau bicara tentang pulau itu?” Ma-bin Lo-mo membentak marah, akan tetapi
Han Han diam saja, hanya memandang dengan mata mendelik, sedikit pun tidak mau
menjawab.
“Ha-ha,
agaknya dia tetap berkeras. Biar kutambah sedikit!” Gak Liat lalu menggunakan
tangannya mengurut tengkuk Han Han dan seketika Han Han merasa betapa seluruh
tubuhnya gatal-gatal.
Bukan main
hebatnya penderitaan ini. Rasa tulang tertusuk-tusuk menimbulkan nyeri yang
sampai terasa di ubun-ubun, akan tetapi rasa gatal yang tidak nyeri malah
ternyata lebih hebat lagi karena merangsang syaraf-syaraf, terasa di bawah
kulitnya. Ingin sekali kedua tangannya menggaruk, namun kedua kaki tangannya
masih tertotok lumpuh! Hampir ia tak dapat menahan lagi dan ingin
menjerit-jerit sekerasnya, namun kekerasan hatinya yang tidak ingin
mengeluarkan keluhan membuat ia tidak suara sedikit pun, bahkan ia memejamkan
kedua matanya.
Begitu kedua
matanya dipejamkan, terbayanglah wajah Lulu dan teringatlah ia betapa adiknya
itu terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada yang dihadapinya sendiri.
Kekhawatiran dan kemarahan yang bergelombang hebat dalam dirinya mendatangkan
daya kemauan yang tidak lumrah. Seketika ia mengeluarkan pekik dahsyat,
tubuhnya bergerak dan seketika itu juga ia telah melompat bangun!
Hebat sekali
memang keadaan tubuh Han Han, kehebatan yang tidak wajar lagi. Sejak kepalanya
dibenturkan oleh perwira yang memperkosa ibunya, terjadi ketidak-wajaran dalam
tubuhnya, menimbulkan kekuatan kemauan yang dapat mengalahkan kekuatan jasmani
dan dengan sendirinya juga dapat memaksa jasmaninya melakukan hal-hal yang
tidak semestinya dapat dilakukan manusia biasa.
Dalam keadaan
tertotok tadi, dia sama sekali tak mampu bergerak, bahkan tak mampu mengerahkan
sinkang. Akan tetapi kekuatan kemauannya yang luar biasa, terdorong oleh
kemarahannya dan kekhawatirannya memikirkan Lulu, membuat ia mampu mengerahkan
sinkang-nya sehingga ia dapat membebaskan totokan pada tubuhnya dan sekaligus
juga membebaskan totokan dan pencetan yang menimbulkan rasa nyeri-nyeri dan
gatal-gatal tadi.
Begitu dapat
bergerak lagi, Han Han lalu meloncat hendak pergi dari situ mengejar Ouwyang
Seng yang membawa lari adiknya. Melihat ini, Setan Botak dan Iblis Muka Kuda
yang tadinya bengong dan kesima saking kagetnya melihat pemuda itu tiba-tiba
dapat bebas, cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Han Han tidak terluka
parah di dalam tubuhnya, namun seluruh tubuhnya sakit-sakit akibat pertandingan
tadi, maka larinya tidaklah secepat biasanya. Andai kata tidak demikian sekali
pun, tentu sukar baginya untuk dapat melarikan diri dari dua orang datuk hitam
itu.
“Kau hendak
lari ke mana?” Gak Liat mengejek.
“Hemmm,
jangan harap dapat melarikan diri!” Ma-bin Lo-mo juga mengejek.
Mendengar
suara mereka amat dekat di belakangnya, Han Han maklum bahwa lari pun memang
tiada gunanya. Ia teringat akan sesuatu, teringat akan pengalaman-pengalamannya
ketika kecil, betapa suaranya kadang-kadang dapat mempengaruhi orang. Hal itu
dahulu ia anggap tak masuk akal dan hanya kebetulan saja, akan tetapi dalam
keadaan tersudut seperti ini, tiada salahnya mencoba-coba. Ia mengumpulkan
seluruh kekuatan kemauannya, kemudian tiba-tiba membalik dan membentak.
“Berhenti
kalian!”
Dua orang
kakek yang sama sekali tidak menyangka akan dibentak seperti itu. Mereka
terkejut sekali dan berhenti seperti arca, memandang sepasang mata Han Han yang
mengeluarkan sinar kilat ketika pemuda itu membalikkan tubuh. Melihat keadaan
kedua datuk ini, Han Han ‘mendapat hati’ dan ia berkata lagi dengan suara penuh
wibawa karena didasari kemauan yang amat kuat.
“Gak Liat
dan Siangkoan Lee, bukankah kalian saling bermusuhan? Siapa tidak menyerang
dulu akan celaka!”
Gak Liat den
Siangkoan Lee seperti kemasukan kilat, mereka membalik, saling pandang dengan
mata penuh kemarahan.
“Setan
Botak. Engkau musuhku!”
“Iblis Muka
Kuda, aku harus membunuhmu!”
Kedua orang
tokoh besar dalam golongan kaum sesat itu segera saling hantam sendiri! Karena
Gak Liat mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang sedangkan Siangkoan Lee mempergunakan
Swat-im Sin-ciang tentu saja baku hantam antara dua orang datuk hitam itu
amatlah hebatnya dan hanya dalam dua kali gebrakan saja mereka berdua
terjengkang ke belakang.
Karena
mereka berdua memang telah memiliki kekuatan sinkang dan kekuatan batin yang
tinggi, maka pengaruh luar biasa dari pandang mata dan bentakan Han Han itu pun
hanya sebentar saja menguasai mereka. Setelah terjengkang barulah mereka
terheran-heran mengapa mereka saling serang sendiri, dan ketika mereka
memandang ternyata pemuda itu telah lari agak jauh! Tentu saja tergopoh-gopoh
dua orang kakek itu mengejar sambil menyumpah-nyumpah. Mereka menjadi penasaran
dan marah, dan tanpa bicara keduanya mengambil keputusan untuk menangkap dan
menyiksia bocah itu sampai mati kalau tidak mau bicara tentang Pulau Es.
Han Han
maklum bahwa kembali dua orang kakek itu sudah mengejar dekat. Ia tidak berani
lagi mencoba kekuatan mukjizat bentakannya, karena terbukti bahwa mereka itu
kini sudah tidak terpengaruh lagi. Ia berlari terus dan tiba di sebuah lereng
gunung yang banyak jurang-jurang dalam di kanan-kirinya. Celaka, pikirnya, ke
mana lagi harus melarikan diri? Ah, melarikan diri pun tidak ada gunanya dan ia
tidak tahu ke mana Lulu dibawa pergi Ouwyang Seng. Dari pada berlari yang
akhirnya tentu tersusul pula, lebih baik melawan mati-matian.
Pikiran ini
membuat ia nekat lalu membalikkan tubuhnya dan begitu dua orang lawannya datang
mendekat, dialah yang mendahului menerjang maju dan mengirim pukulan dengan
kedua tangannya. Pukulannya ampuh sekali dan terpaksa dua orang kakek itu
meloncat ke samping sambil mengibaskan lengan menangkis. Kembali Han Han
dikeroyok dua dan betapa pun ia melawan mati-matian, sebentar saja ia sudah
terdesak lagi.
Kedua orang
kakek itu selain berkepandaian tinggi juga merupakan orang-orang cerdik dan
banyak pengalaman. Mereka segera mengerti bahwa dalam hal ilmu silat, Han Han
masih belum mahir. Pemuda ini hanya memiliki sinkang yang benar-benar amat
hebat, di samping kekuatan mukjizat yang menimbulkan wibawa dan dapat
mempengaruhi orang lain. Karena itu mereka segera mempergunakan ilmu silat
untuk mendesak dan kini tubuh Han Han pontang-panting karena harus menerima
hantaman-hantaman yang tak dapat ia elakkan atau tangkis lagi. Ia terhuyung ke
sana ke mari, dijadikan seperti sebuah bola dipermainkan dua orang anak-anak
atau seekor tikus dipermainkan dua ekor kucing yang tidak segera membunuhnya,
melainkan hendak menyiksanya.
Memang
orang-orang seperti Setan Botak dan Iblis Muka Kuda ini memiliki watak sadis
yang luar biasa. Mereka itu tak pernah memiliki hati jujur, tidak pernah
memiliki rasa kasihan, bahkan melihat orang lain menderita dan tersiksa, timbul
semacam rasa puas dan gembira, sebaliknya menyaksikan orang lain senang dan
bahagia, hati mereka tidak senang, iri hati dan dengki. Karena inilah maka
mereka itu menjadi datuk-datuk golongan hitam, orang-orang yang sudah tidak
mengenal lagi baik atau buruk, atau tidak mempedulikannya, yang berbuat
semata-mata demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri saja.
Han Han yang
merasa betapa tubuhnya seperti akan pecah dan rasa nyeri membuat kepalanya
pening berdenyut-denyut, tetap membungkam dan tidak mau bicara sama sekali, apa
lagi bicara tentang Pulau Es. Dia malah menggigit bibir sampai berdarah menahan
rasa nyeri, dan masih terus melakukan perlawanan sejadinya yang tentu saja
tidak ada artinya bagi kedua orang kakek itu.
Sebuah
pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat mengenai leher Han Han, membuat pemuda ini
terpelanting. Sesaat ia tak dapat bangun sebab pandang matanya berkunang-kunang
dan segala sesuatu seperti berpusingan. Terpaksa Han Han memejamkan mata dan
menanti pukulan maut.
“Masihkah
engkau berkeras tidak mau memberi tahu tentang Pulau Es?” Ma-bin Lo-mo
membentak dan tubuhnya sudah mendoyong ke depan untuk memberi pukulan maut yang
akan menghancurkan kepala Han Han yang kini sudah tak mampu melindungi dirinya
lagi itu.
Han Han
tidak mau menjawab, bahkan kini ia membuka kedua matanya, terbelalak memandang
kepada dua orang kakek itu karena ia hendak menghadapi kematiannya dengan mata
terbuka agar dapat melihat bagaimana caranya dia mati! Dua orang kakek yang
sudah hilang harapan dan kesabaran untuk membujuk Han Han itu menggerakkan
tangan, seolah-olah hendak berlomba pula menikmati kesenangan membunuh pemuda
keras kepala itu. Kedua tangan mereka bergerak memukul ke arah kepala Han Han
dan... tubuh mereka terpental ke belakang dan terbanting cukup keras ke atas
tanah.
Han Han
terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika ia melihat searang kakek tua
renta yang berambut panjang terurai tidak diurus, pakaian sederhana bukan
seperti pakaian lagi, berkaki telanjang, berdiri tak jauh dari tempat itu.
Kakek tua renta itu patutnya seorang yang hidupnya terlantar, seorang jembel
tua, dan yang membuat Han Han kagum adalah wajah kakek itu yang masih kelihatan
tampan dan mencerminkan ketenangan dan kedamalan hati yang mukjizat. Kakek itu
berdiri dan tersenyum memandang dua orang datuk golongan hitam itu.
Kang-thouw-kwi
dan Ma-bin Lo-mo yang juga terkejut sekali meloncat bangun. Ketika melihat
kakek tua renta yang bertubuh tinggi besar itu, mereka mengeluarkan seruan
tertahan. Sejenak tubuh mereka menegang seolah-olah hendak menerjang kakek tua
renta itu, akan tetapi ternyata tidak demikian karena mereka membalikkan tubuh
dan... lari cepat meninggalkan tempat itu. Han Han menjadi heran sekali, akan
tetapi tidak sempat bertanya karena kakek tua renta itu pun sudah melangkah
pergi perlahan-lahan dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata-kata.
Han Han baru
mengeluarkan rintihan perlahan setelah dua orang iblis itu pergi dan tidak ada
orang lain di tempat itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tulang-tulangnya
seperti remuk rasanya. Akan tetapi lebih sakit lagi karena memikirkan Lulu. Ia
bangun dan bersila, mengerahkan sinkang-nya sehingga hawa yang hangat menjalar
di seluruh tubuhnya, mengurangi rasa sakit. Akan tetapi karena teringat akan
adiknya, tidak lama kemudian ia bangkit berdiri, agak terhuyung dan pening.
Mulutnya berbisik.
“Ouwyang
Seng, awas engkau kalau mengganggu Lulu...”
Ia tahu
bahwa Ouwyang Seng tinggal di kota raja. Tentu adiknya itu dibawa ke kota raja.
Ia harus mengejar secepatnya ke kota raja. Pikiran ini membuat ia melompat ke
depan, agaknya ingin dengan sekali lompatan ia dapat menyusul Ouwyang Seng.
Akan tetapi ia mengeluh dan terguling, menggeletak pingsan di pinggir jurang.
Tubuhnya nyaris terguling ke jurang kalau saja tidak ada sebuah batu
menghalangi tubuhnya yang menelungkup.
**************
Setelah
Kaisar Kang Hsi naik tahta Kerajaan Mancu pada tahun 1663, memang terjadi
perubahan besar-besaran menuju ke arah perbaikan. Kaisar ini menggunakan tangan
besi untuk menyapu para pemberontak, juga melakukan usaha keras untuk membasmi
korupsi dan penyuapan.
Dengan cara
radikal mengganti para pembesar tua yang korup dengan tenaga-tenaga muda, bukan
hanya diambil dari bangsa-bangsa di utara, yaitu bangsa Mancu, Mongol atau
Khitan, akan tetapi juga tidak pantang mempergunakan tenaga bangsa Han sendiri
yang sudah jelas mendukung pemerintah baru itu. Bahkan dengan sikap yang manis
dan jujur, kaisar ini membuka kesempatan bagi kaum muda terpelajar untuk
menduduki jabatan-jabatan penting di kota raja melalui ujian yang jujur, bebas
dari pada pengaruh suapan. Hal ini disambut dengan gembira oleh kaum terpelajar
yang semenjak dahulu bernasib sengsara karena dahulu, betapa pun pandainya
seseorang, kalau tidak dapat memberi suapan kepada pembesar yang bertugas, tak
pernah dapat lulus ujian. Sikap kaisar ini memang tepat sekali sehingga
pemerintahnya mendapatkan simpati dari pada kaum terpelajar.
Namun di
samping sikap lunak dan baik untuk menarik sebanyak mungkin kaum cerdik pandai
membantu roda pemerintahannya, Kaisar Kang Hsi juga bersikap bengis dan keras
terhadap rakyat yang tidak tunduk kepada pemerintah Mancu. Pembersihan
dilakukan di mana-mana, dan terutama sekali kaum kang-ouw mendapat pengamatan
keras. Tepat seperti yang diceritakan oleh Pangeran Ouwyang Cin Kok kepada para
pembantunya, bagaikan ikan-ikan para tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah
penjajah ini dikejar-kejar sehingga terpaksa mereka yang dapat menyelamatkan
diri lari ke Se-cuan untuk menggabung pada Bu Sam Kwi, raja muda yang merupakan
kekuatan terakhir yang menentang pemerintah Mancu.
Sudahlah
lazim di dunia ini bahwa perubahan-perubahan selalu mendatangkan korban dan
selalu menimbulkan ekses-ekses yang kadang-kadang merupakan mala petaka besar.
Sudah biasa pula bahwa perintah yang dikeluarkan dengan kebijaksanaan dan
mempunyai dasar yang baik sering kali berbeda dengan pelaksanaannya, atau
disalah gunakan oleh si pelaksana demi kesenangan dirinya sendiri. Demikian
pula dengan perintah kaisar. Kaisar memberi perintah untuk membersihkan kaum
pemberontak dengan maksud agar pertentangan segera berakhir dan dapat segera
menujukan seluruh kekuatan dan perhatian kepada pembangunan agar kehidupan
rakyat menjadi tenteram dan jauh dari pada perbuatan yang mengandung kekerasan.
Akan tetapi
bagaimanakah pelaksanaan dari pada perintah ini? Ketika perintah turun sampai
ke tangan Ouwyang Cin Kok dan menyerahkannya kepada Puteri Nirahai dan para
pembantunya, perintah itu masih murni dan dilaksanakan dengan baik pula. Akan
tetapi setelah perintah itu tersebar kepada pasukan-pasukan yang ditugaskan
melakukan pengejaran dan pembersihan terhadap orang-orang kang-ouw yang masih
menentang, terjadilah penyelewengan-penyelewengan dan penyalah-gunaan.
Pasukan-pasukan
Mancu yang beroperasi jauh dari kota raja, jauh dari pengawasan para pembesar,
hanya dipimpin oleh perwira-perwira rendahan yang dalam keadaan demikian
seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berkuasa penuh, segera melakukan
hal-hal yang sama sekali tidak menenteramkan rakyat, bahkan sebaliknya! Apa
lagi kalau ada di antara mereka yang tewas oleh sergapan kaum pemberontak
kang-ouw yang berkepandaian. Kemarahan dan dendam mereka yang tak dapat mereka
lampiaskan kepada para pemberontak lalu mereka timpakan kepada rakyat
dusun-dusun yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Terjadilah perampokan,
perkosaan, pembunuhan dan perampasan tanah untuk diberikan kepada mereka yang
dapat mengeluarkan perak dan emas sebagai sogokan!
Bermacam-macamlah
peristiwa yang terjadi di jaman sengsara bagi rakyat jelata itu. Kedatangan
pasukan-pasukan Mancu yang berdalih melakukan pembersihan terhadap kaum
pemberontak itu jauh-jauh sudah didengar oleh penduduk dusun-dusun sebagai
kedatangan segerombolan serigala-serigala kelaparan yang haus darah. Ada yang
bergegas lari mengungsi, akan tetapi sebagian besar hanya menerima nasib dan
menyandarkan nasib keluarga mereka kepada Tuhan. Mau lari mengungsi ke mana? Di
rumah pun setiap harinya sudah sukar mendapatkan makan, kalau mengungsi tanpa
tujuan, tanpa bekal, sama dengan mencari mati kelaparan di perjalanan!
Dan setelah
pasukan Mancu memasuki sebuah dusun, benar-benar nasib mereka yang menjadi
penghuni dusun itu berada di tangan Tuhan. Tidak ada seorang pun dapat membela
mereka. Tuhan yang menentukan siapa di antara penghuni dusun itu yang akan
ditimpa mala petaka, siapa yang dibakar rumahnya, dibunuh, dirampok, atau
diperkosa anak isterinya, siapa pula yang secara aneh terhindar dari mala
petaka seolah-olah para pasukan yang berubah ganas melebihi perampok-perampok
itu melewati atau tidak melihat rumah itu.
Manusia
adalah makhluk yang berakal budi, yang katanya merupakan makhluk-makhluk yang
tertinggi tingkat dan derajatnya di antara segala makhluk hidup yang bergerak.
Akan tetapi justru karena akal budi itulah maka tidak ada makhluk yang lebih
kejam dan buas dari pada seorang manusia yang menyombongkan akal budinya.
Sebagian besar manusia menyalah-gunakan akal yang dianugerahkan khusus kepada
manusia oleh Tuhan. Akal bukan dipergunakan untuk kebaikan, untuk kemanfaatan
bagi manusia umumnya dan dunia, melainkan semata-mata akal dipergunakan sebagai
alat untuk mencapai kepuasan nafsu-nafsunya yang tak kunjung habis. Akal
dipergunakan untuk mengakali (menipu) orang lain, budi dipergunakan sebagai
bahan utang-piutang!
Kalau
manusia sudah diperhamba nafsunya sendiri, benar-benar mengerikan sekali akibat
dari pada perbuatan-perbuatannya. Mata sudah menjadi gelap oleh nafsu, yang ada
hanyalah mengejar kenikmatan dan kepuasan nafsu, tanpa mempedulikan lagi apa
yang disebut baik dan buruk, tidak lagi sadar bahwa perbuatannya menyengsarakan
orang lain bahwa perbuatannya adalah amat jahat.
Dengan dalih
pembersihan dan menumpas kaum pemberontak, rakyat yang tidak berdosa
disembelih, hanya untuk dapat menyita barang-barangnya atau memperkosa isteri
dan gadisnya.
Di dalam
sebuah dusun, seorang ibu muda melihat suaminya disembelih di depan matanya,
kemudian karena diancam anaknya akan disembelih, ibu muda ini terpaksa
menyerahkan kehormatannya dinodai secara bergantian oleh tiga orang tentara
Mancu yang menyebut diri mereka pahlawan-pahlawan Kerajaan Mancu yang jaya!
Setelah ibu muda itu tergolek pingsan, tiga orang manusia itu membunuhnya, juga
membunuh bayinya!
Ada pula
gerombolan pasukan yang memperkosa isteri dan gadisnya di depan tuan rumah yang
diikat pada tiang rumah dan dipaksa menyaksikan betapa isteri dan anaknya
menjerit-jerit diperkosa seperti dua ekor domba diterkam harimau-harimau buas!
Banyak lagi kekejian-kekejian yang kalau diceritakan seakan-akan tidak masuk
akal, akan tetapi hal-hal semacam itu banyak terjadi di masa itu, dan terjadi
pula di mana-mana di bagian dunia ini, terutama sekali di waktu perang
mengamuk.
Perang
mengubah manusia-manusia beradab menjadi buas melebihi binatang yang paling
buas, menjadi jahat melebihi iblis yang paling jahat. Dan semua perbuatan ini
mereka lakukan dengan memaksakan pendirian di dalam hati sendiri bahwa yang
mereka lakukan itu adalah benar, karena mereka menjatuhkan hukuman bagi
musuh-musuh mereka. Mungkin ada di antara mereka yang setelah tenang kembali
menyadari betapa kejinya perbuatan mereka, namun mereka akan menghibur hati
sendiri bahwa banyak orang menemani mereka dalam perbuatan itu, bukan mereka
sendiri, maka berkuranglah penyesalan hati mereka, sungguh pun kadang-kadang
hati nurani mereka membuat mereka itu tersiksa batin mereka selama hidup
mereka.
Di sebuah
dusun, di sebelah selatan kota raja, hanya sejauh tiga ratus mil saja dari kota
raja, terjadilah geger ketika pasukan-pasukan Mancu melanda dusun-dusun di
sekitarnya dalam ‘operasi’ mereka. Memang ada juga hasilnya operasi yang
dilakukan pasukan itu demi tugas mereka yang semestinya, yaitu membasmi
perampok-perampok dan mereka yang masih menentang kekuasaan pemerintah Mancu.
Di dalam
hutan di luar dusun itu sebuah pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang telah
berhasil membasmi segerombolan perampok yang selain sering mengganggu penduduk
dan orang lewat, juga terkenal memusuhi pemerintah Mancu dan sering kali
menghadang dan merampok kereta-kereta pembesar Mancu yang lewat dan yang tidak
begitu kuat pengawalannya. Sarang perampok dibasmi, banyak yang dibunuh dan ada
pula yang melarikan diri. Kepala perampok dibunuh, akan tetapi seorang di
antara isteri-isteri perampok itu, yang muda cantik dan genit, tidak dibunuh
oleh perwira yang mengepalai pasukan, karena perempuan ini amat pandai
mengambil hati dan pandai pula merayu.
Perempuan
ini menceritakan bahwa dia bukanlah perampok, bahwa dia adalah puteri seorang
guru silat yang diculik perampok dan diperkosa. Akhirnya ia dapat jatuh ke
tangan kepala rampok itu dan dijadikan selirnya. Karena perwira itu dan
pembantu-pembantunya puas dengan rayuan wanita ini, maka dia dibawa sebagai
teman penghibur dalam tugas pembersihan yang mereka lakukan. Apa lagi ketika
wanita itu membuktikan bahwa dia pun pandai silat dan ikut pula melakukan
gerakan pembersihan, membantu para pasukan, dia makin disayang.
Hebatnya,
perempuan ini mempunyal kesenangan yang amat aneh, yaitu ia paling suka
menyaksikan wanita-wanita diperkosa oleh para anak buah pasukan! Bahkan dialah
yang sering kali menangkapi gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang cantik
untuk diberikan kepada para anak buah pasukan kemudian dengan tersenyum puas ia
menyaksikan betapa mereka itu diperkosa seperti domba disembelih! Hal ini
timbul dalam hatinya, merupakan semacam penyakit sebagai akibat dari pada pengalamannya
sendiri.
Ketika masih
gadis remaja, sebagai gadis terhormat anak seorang guru silat, dia diculik
perampok dan diperkosa oleh banyak orang. Semenjak itu nasibnya selalu seperti
itu, diperkosa ganti-berganti tangan sampai akhirnya ia jatuh ke tangan kepala
rampok dan dijadikan selirnya. Karena penderitaan batin yang amat hebat itulah
maka dia akhirnya ingin melihat setiap orang wanita diperkosa seperti yang
pernah ia alami sendiri!
Ketika
pasukan memasuki dusun di selatan kota raja itu dan si wanita cabul dan genit
ini mendengar bahwa di situ tinggal seorang guru silat dengan seorang isteri
dan seorang gadisnya, timbul kegairahan hatinya untuk menimpakan mala petaka
kepada guru silat dan keluarganya ini seperti yang pernah dialami keluarga
ayahnya sendiri. Maka ia lalu berbisik-bisik kepada komandan pasukan yang
tertawa terbahak, kemudian menjelang senja wanita itu bersama perwira dan tiga
orang pembantunya keluar dari gedung yang dijadikan markas sementara pasukan.
Empat orang
perwira itu mengenakan pakaian biasa, tidak seperti pakaian yang mereka pakai
jika menjalankan dinas sehingga mereka kelihatan seperti tokoh-tokoh persilatan
atau pembesar-pembesar sipil karena pakaian yang dipakai secara tiru-tiru oleh
orang-orang Mancu ini memang lucu. Tetapi gerakan mereka saat berjalan jelas
menunjukkan bahwa mereka adalah tentara-tentara Mancu.
Guru silat
pemilik rumah yang agak terpencil itu menyambut kedatangan empat orang
laki-laki tinggi besar dan seorang wanita cantik itu dengan hati gelisah. Dari
sikap mereka itu ia sudah mengenal bahwa empat orang itu tentulah orang-orang
Mancu, maka cepat ia menyambut mereka dengan hormat dan bertanya.
“Cu-wi
mencari siapakah?”
Empat orang
perwira Mancu itu belum pandai benar berbahasa Han, maka Si Wanita yang menjawabnya.
“Mereka ini adalah perwira-perwira Mancu yang memimpin pasukan mengadakan
pembersihan.”
Wajah guru
silat itu menjadi berubah dan ia bertanya hati-hati, “Ada keperluan apakah
cu-wi datang mengunjungi saya?”
Wanita cabul
itu tertawa dan berkata, “Hanya ada sedikit keperluan, yaitu mereka ini hendak
meminjam sebentar isterimu yang kabarnya cantik dan anak gadismu!” Empat orang
perwira itu tertawa bergelak dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Keparat!”
Guru silat itu marah sekali dan cepat menyambar goloknya dari atas meja sambil
berteriak ke dalam, “A-bwee, ajaklah anakmu lari!”
Empat orang
perwira itu tertawa bergelak, dan pemimpinnya lalu berkata. “Bunuh anjing
pemberontak ini!” Kemudian ia bersama wanita cabul itu melompat ke dalam dan
mengejar ibu dan anak yang melarikan diri melalui pintu belakang.
Kauwsu (Guru
Silat) itu mengamuk, dikeroyok tiga oleh tiga orang pembantu perwira. Akan
tetapi dia adalah guru silat yang kepandaiannya biasa saja, sedangkan tiga
orang lawannya adalah perwira-perwira muda yang kasar dan bertenaga besar, juga
hampir setiap hari bertempur, maka begitu dikeroyok dengan serangan-serangan
dahsyat, ia hanya dapat bertahan belasan jurus saja. Tiga batang golok di
tangan lawannya menyambar-nyambar dan guru silat itu roboh mandi darah dan
tewas seketika. Sambil tertawa-tawa tiga orang perwira itu menancapkan golok
mereka di atas meja, lalu berlari menyusul pemimpin mereka ke belakang. Mereka
sudah mendengar jeritan-jeritan wanita dan hal ini menambah gairah hati mereka.
Kasihan
sekali nasib isteri dan anak guru silat itu. Belum jauh mereka melarikan diri
sudah disusul oleh perwira dan si perempuan cabul dan cepat mereka itu ditawan.
Melihat bahwa isteri guru silat yang berusia kurang lebih tiga puluh itu
benar-benar amat cantik, jauh lebih menarik dan lebih matang dari pada gadisnya
yang berusia lima enam belas tahun, perwira itu langsung menubruk isteri guru
silat itu, memeluknya dan menciuminya sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi
isteri guru silat itu meronta, melawan dan mencakar. Ada pun gadis itu dengan
mudahnya dirobohkan si wanita cabul yang menyambar sabuknya. Gadis itu bangkit
berdiri dan lari, akan tetapi sabuknya terlepas dan sabuk yang panjang itu
membuat tubuhnya berputaran dan ia roboh kembali, sabuknya yang panjang berada
di tangan wanita cabul yang tertawa-tawa. Wanita itu membuat laso di ujung
sabuk dan mengalungkannya di leher gadis itu sehingga setiap kali gadis itu
meronta, sabuk itu mengikat dan menjerat lehernya dan dia roboh kembali.
Pada saat
itu tiga orang pembantu perwira yang berhasil membunuh si guru silat muncul dan
melihat gadis yang meronta-ronta itu, mereka tertawa bergelak. Si wanita cabul
memotong sabuk menjadi empat dan berkata, “Nih, ikat kaki tangannya, kita
permainkan dia, hi-hik!”
Laki-laki
yang buas sebanyak tiga orang itu tertawa-tawa dan dua orang mengikatkan sabuk
potongan itu pada kedua tangan Si Gadis, dan seorang lagi mengikatkan sabuknya
pada kaki kanan gadis itu. Ketika mereka menarik sabuk, dan si wanita cabul
menarik pula sabuknya yang menjerat leher, gadis itu terpentang kaki tangannya
dan berdiri dengan kaki kiri, berloncatan dan berteriak-teriak, “Jangan bunuh
aku..., jangan bunuh aku...!”
Sementara
itu, perwira yang sudah bangkit nafsunya setelah menggumuli isteri guru silat
dan mendapat perlawanan, bahkan pipinya kena dicakar, menjadi marah. Ia
menampar muka wanita itu sehingga terpelanting, kemudian berkata marah, “Hemmm,
apakah engkau masih menolak? Lihat, anakmu akan kusuruh robek menjadi empat
kalau kau menolak. Manis, mengapa kau menolak? Bukankah aku lebih gagah dari
pada suamimu yang kurus kering itu?”
“Ibu...
Ibu... tolonggggg...!” Gadis itu menjerit-jerit.
“Akhiuuu...
anakku...!” Si ibu menjerit, kemudian sambil terisak-isak ia berkata,
“Baiklah... baiklah... lakukanlah sesuka hatimu terhadap aku... akan tetapi
bebaskan anakku... lepaskan anakku...!”
Sambil
menangis terisak-isak isteri guru silat itu tidak meronta lagi, membiarkan saja
apa yang dilakukan oleh perwira yang menjadi buas itu dengan pakaian dan
tubuhnya. Sementara itu, Si Gadis yang melihat keadaan ibunya, cepat berkata
kepada tiga orang dan wanita cabul yang mengikatnya dengan sabuk. “Lepaskan
aku..., ah, lepaskan aku. Lihat, Ibuku sudah mau... lepaskan aku...!”
Anak gadis
itu yang hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri, agaknya lupa akan
keadaan ibunya, lupa betapa ibunya diperkosa orang secara buas, dan lupa betapa
ibunya terpaksa mau menerima penghinaan ini hanya demi keselamatannya.
“Lepaskan
aku! Ibu sudah tidak menolak lagi...!” Kembali ia menjerit.
Wanita cabul
itu tertawa terkekeh-kekeh. “Aduh... puas hatiku, persis seperti aku dahulu.
Hi-hi-hik, alangkah lucunya, hi-hik!” Ia menuding-nuding ke arah isteri guru
silat yang menggeliat-geliat dan merintih dalam tangisnya, kemudian mengedipkan
matanya kepada tiga orang perwira. “Kita main kucing dan tikus. Lepaskan dia!”
Tiga orang
perwira itu maklum dan sambil tertawa-tawa mereka melepaskan sabuk. Gadis itu
jatuh, kemudian bangkit berdiri dan tanpa mempedulikan ibunya ia lalu melarikan
diri. Akan tetapi ia menjerit lagi karena tiba-tiba tubuhnya terpelanting dan
kiranya sabuk yang mengikat kakinya telah ditarik dari belakang! Ia bangkit
lagi, akan tetapi ketika lari ke depan, di situ telah menghadang seorang
perwira dan sekali renggut bajunya robek sebagian! Si gadis menjerit dan lari
ke kiri, hanya untuk bertubrukan dengan seorang perwira lain yang juga merobek
bajunya sambil tertawa-tawa. Gadis itu menjadi panik, lari ke sana ke mari,
akan tetapi selalu bertemu perwira yang sengaja menghadangnya dan merobeki
bajunya sedikit demi sedikit sehingga hampir telanjang. Wanita cabul yang
menonton pertunjukan ini tertawa-tawa penuh kepuasan.
Setelah
pakaian gadis itu habis koyak-koyak, seorang perwira menubruk maju dan
memeluknya. Gadis itu menjerit, dan pada saat itu, jeritnya diikuti jerit Si
Perwira yang menciumnya. Mereka, perwira dan gadis itu, roboh terguling dan
masih berpelukan karena sebatang ranting telah menembus tubuh mereka berdua,
membuat tubuh mereka seperti dua ekor ikan disate!
Dari atas
pohon melayanglah turun seorang pemuda berpakaian putih sederhana yang bukan
lain adalah Han Han! Ketika pemuda ini yang kebetulan tiba di dusun itu dalam
pengejarannya kepada Ouwyang Seng melihat peristiwa yang terjadi di belakang
rumah guru silat, kemarahannya tak dapat ia tahan lagi. Dia tidak tahu bahwa empat
orang laki-laki itu adalah perwira-perwira Mancu, akan tetapi melihat perbuatan
mereka, dalam pandang matanya wajah mereka berubah seperti wajah
perwira-perwira yang telah memperkosa ibunya dan cici-nya. Maka ia menjadi mata
gelap. Lebih-lebih ketika menyaksikan sikap gadis itu sama sekali tidak patut,
seorang anak yang puthauw (tak berbakti), yang membiarkan ibunya menjadi korban
asal dia sendiri selamat.
Dalam
kemarahannya dan kemuakannya, ia melontarkan ranting pohon dari atas pohon,
sekaligus membunuh perwira dan gadis itu! Kemudian ia melayang turun dan sekali
tangannya menampar, perwira yang sedang memperkosa isteri guru silat itu
terguling dengan kepala remuk! Dua orang pembantu perwira dan wanita cabul
menjadi kaget sekali. Cepat mereka menerjang maju, akan tetapi sekali saja
menggerakkan kedua tangannya, Han Han membuat mereka bertiga roboh puia dengan
kepala remuk dan dada pecah!
Isteri guru
silat sudah bangkit dan lari menghampiri mayat puterinya sambil menangis,
kemudian lari memasuki rumah dan terdengar jeritnya. Han Han menyusul masuk dan
melihat isteri guru silat itu menggeletak mandi darah di samping mayat
suaminya. Kiranya wanita yang kehilangan suami dan anak ini mengambil keputusan
nekat, membunuh diri! Cepat-cepat Han Han meninggalkan tempat itu dan menghela
napas.
Ia
memikirkan perbuatan wanita tadi. Salahkah kalau dia membunuh diri? Salah
pulakah kalau dia menyerahkan kehormatannya kepada perwira untuk menyelamatkan
puterinya? Ah, betapa malang nasibnya. Suaminya dibunuh. Puterinya juga tewas,
dan dia sendiri sudah diperkosa. Harapan apa lagi dalam hidup? Memang, agaknya
kematianlah jalan terbaik.
Ketika
mendengar bahwa yang dibunuhnya itu adalah perwira-perwira yang memimpin
pasukan Mancu yang berada di dusun itu, Han Han terkejut dan juga marah.
Kiranya di mana-mana pasukan Mancu mendatangkan mala petaka! Bukan hanya Han
Han saja yang terkejut mendengar akan kematian empat orang perwira Mancu di
belakang rumah guru silat itu.
Juga semua
penduduk dusun itu terkejut sekali, bukan terkejut bercampur marah seperti Han
Han, melainkan terkejut dan ketakutan. Mereka semua maklum apa artinya
peristiwa itu, apa yang akan menjadi akibatnya. Tentu pasukan Mancu akan
mengamuk, menganggap dusun itu sebagai sarang pemberontak! Maka berbondonglah
malam hari itu juga semua penduduk lari mengungsi.
Mendengar
bahwa penduduk lari mengungsi, pasukan yang kehilangan pimpinannya itu menjadi
makin marah dan menganggap bahwa tentu dusun itu menjadi sarang gerombolan
pemberontak. Maka mereka lalu keluar dari gedung yang dijadikan markas, mulai
mengamuk dan membakari rumah-rumah yang sudah kosong, lalu melakukan pengejaran
terhadap para penduduk yang mengungsi.
Akan tetapi, sebelum keluar dari pintu dusun mereka
dihadang oleh Han Han yang
berdiri tegak sambil bertolak pinggang menghadapi tiga puluh orang pasukan
Mancu itu. Malam itu bulan telah keluar sore-sore, dan langit tanpa mendung
sehingga keadaan cukup terang. Pasukan itu heran menyaksikan ada seorang pemuda
yang rambutnya riap-riapan menghadang di tengah jalan.
Mereka
maklum bahwa tentu pemuda itu seorang pemberontak, karena hanya para
pemberontak atau para tokoh petualang kang-ouw saja yang tidak menguncir
rambutnya. Menguncir rambut ke belakang me-rupakan peraturan baru yang
dikeluarkan pemerintah Mancu, yaitu peraturan yang berlaku bagi rakyat bangsa
Han. Di samping peraturan menguncir rambut, juga ada peraturan bahwa bangsa Han
atau rakyat pedalaman tidak diperbolehkan membawa senjata tajam!
“Berhenti
semua!” Han Han membentak. “Mengapa kalian hendak mengejar rakyat tak berdosa
yang ketakutan dan melarikan diri mengungsi dari dusun mereka?”
“Heh,
pemberontak cilik, masih berpura-pura lagi! Pemberontak-pemberontak telah
membunuh perwira-perwira Mancu, dan semua penduduk ini tentu pemberontak,
termasuk engkau dan mereka semua harus dibasmi habis!” bentak seorang prajurit
yang brewok.
“Kalian
ingin tahu yang membunuh mereka di belakang rumah guru silat itu? Akulah
orangnya! Pimpinan kalian telah melakukan perbuatan keji membunuh tuan rumah
dan memperkosa ibu dan anak. Aku yang melihat hal itu tentu saja tidak tinggal
diam dan turun tangan membunuh mereka. Sekarang, kalau kalian hendak membunuh
rakyat yang tidak berdosa, aku pun tidak akan tinggal diam dan akan membunuh
kalian semua.”
“Wah,
keparat, sombongnya! Pimpinan kami memeriksa orang-orang yang dicurigai,
menghukum atau membunuh sudah menjadi haknya. Kau... pemberontak cilik sungguh
berani mati. Kawan-kawan, tangkap dan seret ke kota raja!”
Han Han
diserbu oleh puluhan orang anak buah pasukan itu. Namun Han Han sudah siap
sedia dan dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kedua kakinya tetap
terpentang lebar, tubuhnya berdiri tegak, dan hanya kedua lengannya yang
bergerak ke sekeliling tubuhnya. Setiap sambaran tombak dan golok yang bertemu
dengan tangannya tentu membuat senjata-senjata itu patah atau terlempar, dan
setiap kali tangannya menyambar dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu orang
itu roboh dengan napas putus!
Bagaikan
sekumpulan nyamuk menerjang api lilin, pasukan itu menyerang untuk roboh
sendiri. Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok bergelimpangan di sekeliling
Han Han dan kedua lengan baju pemuda ini sudah mandi darah para pengeroyoknya.
Setelah ada dua puluh orang prajurit roboh binasa, barulah sisanya menjadi
gentar dan tanpa dikomando lagi, karena pemimpin mereka memang tidak ada,
mereka itu membalikkan tubuh dan melarikan diri melalui pintu dusun sebelah
utara, berlawanan dengan arah yang ditempuh penduduk dusun yang lari mengungsi.
Han Han
menghela napas menyaksikan tumpukan mayat-mayat itu. Kembali hatinya dipenuhi
rasa penyesalan karena kembali begitu ia turun tangan melakukan sesuatu, tentu
akibatnya banyak nyawa melayang. Apakah hidupnya sudah dikutuk sehingga
tindakannya selalu hanya akan menimbulkan mala petaka dan pembunuhan belaka? Ia
menarik napas dan mukanya murung. Ia sampai tidak tahu bahwa ada beberapa orang
mendatangi tempat itu dan menghampiri dari jarak jauh.
Ketika
akhirnya ia mendengar langkah mereka dan menoleh, kiranya yang datang adalah
lima orang laki-laki setengah tua, penduduk dusun itu. Mereka berlima itu
segera menjatuhkan diri berlutut dan berkatalah seorang di antara mereka.
“Taihiap
telah menolong kami, menyelamatkan orang sedusun. Akan tetapi taihiap telah
membunuh banyak orang prajurit, bahkan membunuh empat orang perwira. Hal ini
hebat sekali, harap taihiap cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum barisan
besar datang dan melakukan pembersihan di sini.”
“Hemmm,
kalian berlima ini siapakah?”
“Kami adalah
penduduk dusun ini pula, taihiap.”
“Jangan
sebut aku taihiap, aku hanya seorang muda yang sudah banyak membunuh orang.
Mengapa kalian tidak ikut pergi mengungsi?”
“Kami
merupakan pengungsi-pengungsi yang paling akhir, yaitu laki-laki yang siap mengorbankan
diri menghambat pengejaran agar anak isteri kami dapat lari selamat. Akan
tetapi melihat taihiap menghadang, kami bersembunyi dan menonton. Taihiap telah
menyelamatkan kami, harap taihiap suka mendengar nasihat kami untuk
meninggalkan tempat ini sekarang juga.”
“Tidak,
kalian bantu aku menguburkan semua jenazah ini dan yang berada di belakang
rumah guru silat, baru kita pergi. Bagaimana? Ada yang suka membantuku?”
Lima orang
laki-laki itu saling pandang dengan mata heran. Pemuda ini sudah bersusah payah
menolong penduduk dan melawan para tentara Mancu, berhasil membunuh, akan
tetapi kini tidak lekas-lekas pergi menyelamatkan diri malah mengajak mereka
untuk mengubur jenazah-jenazah itu! Namun tentu saja mereka tidak berani
menolak dan tanpa banyak cakap mereka itu lalu membantu Han Han menggali
lubang-lubang kuburan untuk mengubur sekian banyaknya mayat-mayat itu.
Menjelang
pagi barulah pekerjaan itu selesai dan Han Han segera berkata, “Sekarang harap
kalian suka pergi cepat-cepat dari tempat ini. Aku akan bersembunyi dan melihat
apa yang akan terjadi sebagai akibat dari kejadian ini.”
Setelah
kelima orang itu cepat-cepat pergi dengan ketakutan kalau-kalau ada pasukan
besar Mancu yang akan datang menyerbu ke situ, Han Han lalu mengambil sebuah
daun pintu rumah yang terbakar, daun pintu yang lebar. Ia menggunakan
telunjuknya dengan kekuatan sinkang-nya mencoret-coret beberapa huruf besar
yang berbunyi:
Sie Han
membasmi pasukan yang merampok, memperkosa dan membunuh rakyat yang tidak
berdosa. Pemerintah yang baik melindungi rakyat, bukan menindas mereka.
Ia memasang
papan pintu itu di tengah dusun yang kini sudah kosong, kemudian ia bersembunyi
di pohon-pohon, menanti datangnya pasukan Mancu yang diduga pasti akan datang
ke dusun itu. Sambil duduk di atas dahan pohon dan makan kue kering yang ia
ambil dari sebuah rumah kosong, Han Han melamun dan mengenangkan semua
peristiwa yang dialaminya akhir-akhir ini dengan hati merana.
Hanya ada
dua hal yang berkesan sekali di hatinya. Pertama, tentu saja terculiknya Lulu
oleh Ouwyang Seng yang kini dicarinya dan merupakan tugas pokok dan terpenting
baginya di saat itu. Kedua adalah kakek tua renta berambut panjang yang aneh,
yang muncul ketika ia diancam maut di tangan Setan Botak dan Iblis Muka Kuda.
Mengapa dia tidak jadi dibunuh? Mengapa dua orang itu roboh dan mengapa pula
mereka lalu lari ketakutan? Apa yang telah dilakukan kakek aneh itu? Ia tidak
melihat kakek itu melakukan sesuatu! Dan anehnya, ia merasa seperti pernah
bertemu dengan kakek itu, hanya ia lupa lagi, entah kapan dan di mana.
Tak lama
kemudian tampaklah olehnya berbondong-bondong rakyat dusun melarikan diri
dengan wajah ketakutan dan dari sebelah belakang para pelarian ini terdengar
derap kaki kuda dan suara-suara makian.
“Pemberontak
keparat! Pembunuh-pembunuh keji!”
Makian-makian
ini disusul dengan munculnya dua orang penunggang kuda dan melihat pakaian
mereka, tahulah Han Han bahwa mereka itu adalah dua orang pengawal. Dua orang
pengawal itu memegang gendewa dan beberapa kali mereka melepas anak-anak panah
ke depan. Kiranya yang menjerit tadi adalah para pengungsi yang menjadi korban
anak panah mereka itu.
Han Han
memandang dengan mata terbelalak dan muka merah saking marahnya. Ia melihat
sendiri betapa seorang laki-laki muda dan seorang gadis yang melarikan diri
roboh oleh anak panah, bahkan seorang ibu setengah tua yang menggendong bayi
dan lewat di bawahnya menjerit ketika sebatang anak panah menancap di
punggungnya. Ibu ini roboh terguling, mendekap anaknya yang menangis. Seorang
laki-laki setengah tua berteriak kaget dan ternyata dia adalah suami ibu itu.
Sambil menangis bapak ini lalu menyambar tubuh anaknya yang masih kecil,
kemudian melarikan diri dan terpaksa meninggalkan mayat isterinya untuk
menyelamatkan dirinya dan anaknya karena kalau tidak lari tentu mereka berdua
menjadi korban keganasan dua orang perwira pengawal itu pula.
Han Han tak
dapat mengekang kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan pekik mengerikan dan
tubuhnya sudah melayang turun, langsung menerjang dua orang perwira pengawal
yang lewat di bawahnya. Dua orang pengawal itu kaget, namun ternyata bahwa
mereka pun bukan orang lemah, karena mereka dalam kegugupan diserang secara
tiba-tiba itu menghantamkan busur mereka kepada Han Han yang sudah menggerakkan
ranting di tangannya.
“Krak-krakkk...!”
Kedua buah
busur dua orang pengawal itu hancur berkeping-keping sehingga mereka terkejut
sekali. Akan tetapi Han Han sudah menggunakan kedua tangannya memukul. Dua
orang lawannya cepat melempar tubuh sendiri ke belakang, meloncat dari atas
punggung kuda.
“Bluk!
Krokkk!”
Dua ekor
kuda tunggangan mereka meringkik keras dan roboh terguling, berkelojotan tak
mampu bangun kembali karena tulang punggung mereka patah terkena pukulan kedua
tangan Han Han! Dua orang pengawal yang sudah meloncat bangun itu memandang
dengan mata terbelalak.
“Keparat!
Siapakah engkau yang membantu para pemberontak keji?” Seorang di antara perwira
pengawal itu sudah mencabut goloknya diikuti oleh kawannya. Dua perwira ini
memandang pemuda berambut panjang itu dengan hati gentar.
“Hemmm, di
dunia ini penuh dengan orang gila yang memaki orang lain gila, penuh dengan
maling yang berteriak maling. Rakyat lari mengungsi pasti ada sebabnya dan apa
lagi sebabnya kalau bukan karena kekejian orang-orang macam kalian? Rakyat
mengungsi mencari tempat aman, kalian mengejar dan membunuhi mereka. Sekarang
kalian masih memaki mereka sebagai pemberontak keji! Sungguh menjemukan!”
“Eh, orang
muda. Apakah engkau termasuk seorang pemberontak?”
“Aku bukan
pemberontak, akan tetapi aku menentang setiap kekejaman seperti yang kalian
lakukan terhadap para pengungsi tadi! Mereka adalah orang-orang lemah yang
tertindas, yang membutuhkan bantuan orang-orang yang mengaku dirinya gagah.”
“Ha-ha!
Mereka orang-orang lemah katamu? Hemmm, dengarlah orang muda. Kami adalah dua
di antara para pengawal yang mengawal Giam-tai-ciangkun bersama isterinya.
Tahukah engkau bahwa hampir saja kereta Tai-ciangkun hancur dan ada beberapa
orang teman pengawal tewas oleh pengungsi-pengungsi yang kau katakan lemah itu?
Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang menyelinap di antara rakyat jelata!”
“Tidak
percaya! Apakah ibu yang menggendong anak ini pun seorang pemberontak?”
Dua orang
perwira pengawal itu kelihatan agak malu dan seorang di antara mereka menjawab,
“Memang, kurasa bukan. Akan tetapi dalam pembersihan terhadap para pemberontak,
bukanlah hal aneh kalau ada rakyat yang terkena akibatnya, karena para
pemberontak bersembunyi di antara rakyat jelata.”
“Huh, alasan
kosong! Para pemberontak berada bersama rakyat, hal itu hanya berarti bahwa
rakyatlah yang memberontak! Mengapa rakyat memberontak? Karena rakyat tidak
suka akan pemerintah yang menguasainya! Kenapa tidak suka? Karena pemerintahnya
tidak benar. Dari pada membunuhi rakyat, lebih baik membersihkan diri sendiri
agar dapat disuka oleh rakyat!”
“Wah-wah,
bicaramu seperti pemberontak pula. Sombong!” Dua orang perwira itu mendengar
suara roda kereta dan derap kaki kuda mendatangi, maklum bahwa rombongan
panglima yang dikawalnya sudah tiba. Hal ini berarti bahwa kawan-kawan mereka
sudah tiba pula, maka timbullah keberanian mereka dan serentak mereka berdua
menerjang Han Han dengan golok.
Kini Han Han
sudah membuang tongkat ranting pohon tadi dan menghadapi kedua orang pengeroyok
dengan tangan kosong. Ia melihat betapa gerakan mereka itu baginya lambat
sekali, maka dengan tenang ia meloncat ke kiri, kemudian dari samping ia
menggunakan tangan kanan menampar ke arah mereka. Tamparan yang kelihatan
perlahan saja, dipandang sebelah mata oleh kedua orang perwira pengawal yang
cepat memutar tubuh menggerakkan golok lagi, bukan saja menangkis tamparan
lengan itu akan tetapi juga akan dilanjutkan dengan bacokan-bacokan mematikan.
Tentu saja
kedua orang perwira bangsa Mancu ini sama sekali tidak tahu bahwa tamparan itu
mengandung hawa pukulan maut Hwi-yang Sin-ciang! Mereka hanya melihat golok
mereka terbang dari tangan mereka, kemudian terasa hawa panas luar biasa
menembus dada dan selanjutnya mereka tidak tahu apa-apa lagi karena mereka
telah roboh dengan dada gosong dan tubuh tak bernyawa lagi!
Robohnya
kedua orang perwira ini tampak oleh rombongan pengawal yang mendahului sebuah
kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Rombongan pengawal di depan kereta
berjumlah dua puluh orang, mereka ini adalah anak buah dari dua orang perwira
tadi, maka melihat betapa dua orang pimpinan mereka roboh di tangan seorang
laki-laki muda berambut panjang yang tidak memegang senjata, mereka menjadi
marah dan membalapkan kuda ke depan sambil berteriak-teriak dan tombak serta
golok mereka diacung-acungkan ke atas.
Kereta itu
cukup indah, ditarik empat ekor kuda dan dikawal ketat. Rombongan pengawal di
depan tadinya berjumlah dua losin orang dikepalai dua orang perwira. Empat
orang pengawal telah tewas di perjalanan sehingga tinggal dua puluh orang. Di
belakang kereta juga dijaga pengawal dua losin orang dikepalai dua orang
perwira.
Melihat
adanya gangguan di depan, kereta dihentikan dan dua losin pengawal di belakang
telah mengurung kereta dan melindunginya, tidak membantu dua puluh orang
pengawal depan yang menerjang Han Han. Juga dua orang pengendara kereta tidak
turun dari tempatnya dan karena tempat duduk mereka itu tinggi, mereka dapat menyaksikan
pertandingan di sebelah depan.
Mata kedua
pengendara itu melotot dan wajah mereka pucat penuh keheranan dan kengerian.
Mereka melihat bahwa yang menghadang jalan hanyalah seorang pemuda rambut
panjang yang tidak memegang senjata, dan yang kini dikeroyok oleh dua puluh
orang pengawal itu. Dua orang pengendara ini tadinya sudah merasa yakin bahwa
kembali mereka akan melihat seorang pemberontak dicincang hancur tubuhnya oleh
para pengawal yang kuat itu. Akan tetapi ternyata apa yang terjadi di depan itu
jauh berlawanan dengan apa yang mereka duga.
Pemuda itu
dengan sikap tenang sekali hanya menggerakkan kedua tangan mendorong ke kanan
kiri, dan para pengawal yang mengeroyoknya seperti semut mengeroyok jangkerik
itu roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali! Dua orang pengendara itu
melihat jelas dari tempat duduk mereka yang tinggi betapa ada tombak yang
menusuk punggung pemuda rambut panjang itu, ada pula golok yang membacok pundak
dan leher. Akan tetapi, tombak itu patah-patah dan golok itu rompal, terlepas
dari tangan pemegangnya, kemudian sekali tangan pemuda itu berkelebat ke
belakang, agaknya tidak menyentuh kulit para pengawal, namun mereka yang gagal
menyerang ini roboh pula tak dapat bangun...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment