Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 10
Juga para
pengawal yang menjaga kereta di sebelah belakang memandang peristiwa yang
terjadi di depan dengan mata terbelalak. Jendela kereta terbuka, sebuah kepala
yang besar dan muka yang penuh brewok, muka yang gagah perkasa, muka si
panglima yang berada di dalam kereta, muncul dan bertanya kepada dua orang
perwira pimpinan pengawal belakang mengapa kereta lama berhenti di situ.
“Ada
gangguan pemberontak, Tai-ciangkun,” perwira-perwira itu melaporkan.
“Banyak?”
Sang panglima brewok bertanya tak acuh, memandang rendah karena dia sudah biasa
mengalami gangguan para pemberontak.
“Hanya
seorang saja, Tai-ciangkun.”
“Kalau hanya
seorang saja mengapa begitu lama?” Panglima itu membentak tak sabar.
Suara si
perwira yang melapor kini agak gemetar, “Dia lihai bukan main, Tai-ciangkun...
wah, seluruh pasukan pengawal depan hampir semua roboh di tangannya.”
Kagetlah
panglima itu. “Rombonganmu jangan meninggalkan kereta!” katanya sambil
menutupkan jendela dari dalam.
“Apa terjadi
apakah?” bertanya seorang wanita cantik yang duduk di dalam kereta di depan
panglima itu. Wanita berusia kurang lebih dua puluh enam tahun ini adalah
isteri panglima itu, dan ia sedang memangku seorang anak perempuan yang mungil.
“Ah, hanya
gangguan seorang pemberontak,” kata Panglima Giam Cu dengan suara tenang.
“Jangan khawatir, isteriku. Kau tenang-tenanglah di sini, para pengawal sudah
menjaga kita. Pula, jika perlu, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya,”
Panglima Giam Cu meraba gagang pedangnya.
Isterinya
menggerakkan tangan menyentuh lengannya. “Jangan...! Sudah berkali-kali kuminta
kepadamu agar engkau jangan membunuh orang. Kalau hal itu perlu sekali
dilakukan, biarlah para pengawal yang melakukannya.”
Panglima itu
tertawa, lalu membungkuk dan mencium pipi isterinya, kemudian berkata,
“Tentu... tentu... apa kau kira aku suka menjadi algojo setelah memiliki isteri
seorang dewi seperti engkau ini?”
Akan tetapi
biar pun mulutnya berkata demikian, hati panglima ini mulai merasa tidak enak
dan dia lalu menyingkapkan tirai di jendela depan kereta dan mengintai ke
depan. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika melihat bahwa dua puluh
orang pengawal dan dua orang perwira yang memimpin pengawal pasukan depan telah
roboh semua. Kuda-kuda tunggangan mereka lari cerai-berai dan kini ia melihat
seorang laki-laki muda yang rambutnya riap-riapan berpakaian putih sederhana,
berwajah beringas dan bermata menyeramkan, melangkah perlahan menghampiri
kereta yang terjaga oleh dua losin pengawal, dua orang perwira dan dua orang
pengendara kereta!
Han Han
memang sudah marah sekali. Kemarahannya memuncak ketika ia dikeroyok dua puluh
orang pengawal tadi. Hujan senjata ke arah tubuhnya tidak ia pedulikan karena
ia telah mengerahkan sinkang melindungi tubuh dan pada saat para pengeroyok
menerjangnya, ia menggunakan kedua tangannya memukul ke kanan kiri ke depan
belakang menggunakan Swat-im Sin-ciang. Setiap orang pengawal yang terkena hawa
pukulan ini tentu roboh dengan darah membeku dan jantung mereka berhenti
bekerja seketika. Tentu saja yang jatuh terus mati tak dapat hidup kembali!
Setelah
semua pengeroyoknya roboh, Han Han memandang ke arah kereta yang terjaga oleh
sepasukan pengawal lain. Pakaiannya robek di sana-sini terkena senjata tajam,
dan dia melangkah maju menghampiri kereta. Para pengawal hanyalah anak buah,
hanya alat, pikirnya. Yang duduk di kereta itu adalah pembesarnya dan dialah
biang keladinya yang harus ditumpas, pikirnya.
Sejenak
sunyi sekali ketika pemuda itu dengan langkah satu-satu dan lambat-lambat
menghampiri kereta. Setelah dekat, meledaklah suara teriakan-teriakan para
pengawal mengeroyok Han Han, didahului oleh dua orang perwira. Kini rombongan
pengawal ini mengeroyok Han Han setelah meloncat turun dari atas kuda dan
segera terdengar suara hiruk-pikuk, suara teriakan marah bercampur aduk dengan
suara senjata patah dan jatuh ke atas tanah, disusul pula jerit-jerit
mengerikan ketika Han Han mulai dengan amukannya.
Giam-hujin
(Nyonya Giam) mendekap puterinya. Mukanya menjadi pucat mendengar suara
hiruk-pikuk di luar kereta. Giam-ciangkun kembali mengintai dan panglima tinggi
besar brewokan ini mengeluarkan suara menggeram marah ketika menyaksikan betapa
dua orang perwira pengawal itu sudah tewas pula, dan kini orang muda yang aneh
itu sudah merobohkan para pengawal dengan setiap gerakan tangan seperti orang
membabat rumput saja!
“Si
keparat...!” Giam-ciangkun mencabut pedangnya dan hendak keluar dari kereta.
Akan tetapi isterinya memegang lengannya dan menariknya kembali.
“Jangan...
jangan tinggalkan aku...”
“Hemmm,
isteriku. Pemberontak itu lihai, para pengawal bukan lawannya. Aku sendiri yang
harus melawannya.”
“Tidak...
jangan tinggalkan aku. Aku takut...” Giam-hujin menahan dan anaknya mulai
menangis.
Giam-ciangkun
duduk kembali, menghela napas dan memangku pedangnya. “Baiklah, aku menjaga di
sini dan kalau dia berani masuk, kupenggal lehernya!”
Suara
hiruk-pikuk di luar makin gaduh dan tubuh Giam-hujin menggigil. Giam-ciangkun
diam-diam juga merasa gelisah sekali, apa lagi ketika ia mendengar jerit-jerit
kematian para anak buahnya. Ia mengintai dan alangkah kagetnya ketika pemuda
itu telah mengamuk dekat kereta dan para pengawal yang mengeroyoknya hanya
tinggal enam orang lagi. Mereka itu pun mengeroyok dari jarak jauh, menggunakan
senjata tombak yang panjang, seperti enam orang pemburu yang menyerang seekor
harimau dengan takut-takut terpaksa dan hanya menakut-nakuti dengan ujung
tombak saja!
Han Han yang
melihat tidak ada lagi pengeroyok yang mendesaknya, segera meloncat ke dekat
kereta. Ia menggerakkan tangan mencengkeram daun pintu dan merenggut.
“Braaaakkkkk!”
daun pintu itu terlepas dan pecah-pecah.
Pada saat
itulah Giam-ciangkun menerjang ke luar dengan loncatan dan tusukan pedangnya ke
arah dada Han Han. Han Han yang mendengar bersuitnya angin tusukan pedang maklum
bahwa orang yang menyerangnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka
ia cepat menggeser kaki ke kiri, tangannya menyampok pedang itu dan kakinya
menendang.
“Bukkkkk!”
Tubuh Giam-ciangkun yang tinggi besar itu terlempar sampai empat meter jauhnya!
Pada saat
Han Han hendak mengejar, dari atas melompat dua orang pengendara dengan golok
di tangan. Han Han menyambut mereka dengan kedua tangannya, tidak mempedulikan
dua batang golok yang membacok leher dan pundak. Tangannya berhasil
mencengkeram baju mereka dan sekali kedua tangannya bergerak, terdengar suara
keras dan pecahlah dua buah kepala yang diadukannya itu, darah muncrat bersama
otak!
Han Han
menghampiri panglima yang ditendangnya tadi. Giam-ciangkun bertubuh kuat dan ia
sudah bangun kembali dengan pedang di tangan. Ketika Han Han melihat wajah
Giam-ciangkun, terlepaslah pekik melengking dari mulutnya seperti teriakan
seekor beruang marah.
Ia melangkah
lagi sambil berkata, “Engkau...? Engkaukah ini...? Si keparat jahanam....
kebetulan sekali, kubeset kulitmu... kuminum darahmu...!”
Suara Han
Han perlahan dan mendesis, wajahnya beringas seperti bukan wajah manusia. Dia
mengenal perwira brewok yang dahulu memperkosa enci-nya!
Giam-ciangkun
merasa ngeri melihat wajah Han Han yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia
berteriak, “Serang...!”
Dan enam
orang sisa pengawal itu dengan nekat menerjang maju, menggunakan tombak mereka
yang datang seperti hujan ditusukkan ke arah tubuh Han Han.
Han Han yang
menemukan musuh besarnya, sekarang sudah menjadi marah sekali. Ia menggereng,
membiarkan tombak-tombak itu menusuknya. Kedua tangannya bergerak, yang kanan
memukul dengan ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang, yang kiri menggunakan Swat-im
Sin-ciang dan... enam orang pengawal itu roboh, yang tiga orang hangus seluruh
tubuh mereka, yang tiga orang lagi kaku membeku, keenamnya tewas di saat itu
juga.
“Kau...
iblis brewok... tibalah saatnya aku membalas dendam. Ha-ha-ha-ha!” Baru sekali
ini selama hidupnya Han Han tertawa seperti itu, suara ketawa yang tidak
sewajarnya, seperti bukan suaranya sendiri, seperti ketawa di luar kehendaknya
dan memang suara ketawa ini terdorong oleh nafsu dendam yang menyesak di hati.
Giam-ciangkun
merasa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi dia sudah menerjang maju lagi
dengan pedangnya, membacok ke arah kepala pemuda yang menyeramkan itu.
“Siuuuuuttttt...!
Plak-kreekkk...!” pedang yang kena ditampar tangan Han Han itu patah menjadi
dua!
Giam-ciangkun
kini melempar gagang pedangnya, memandang pemuda itu dengan mata terbelalak,
dan otomatis kakinya mundur-mundur ke arah kereta. Han Han masih tertawa-tawa
dan melangkah maju.
“Rebahlah!”
bentaknya dan tangannya melakukan gerakan mendorong.
Biar pun
Giam-ciangkun sudah mengerahkan tenaganya bertahan, namun tetap saja tubuhnya
terjengkang oleh hawa dorongan yang luar biasa kuatnya. Ia jatuh terlentang dan
pemuda itu melangkah maju perlahan-lahan!
Tiba-tiba
terdengar jerit dari dalam kereta dan Giam-hujin sudah turun dari kereta
memondong puterinya yang menangis keras sejak tadi. “Jangan bunuh dia... ah,
jangan bunuh suamiku... mohon taihiap sudi mengampuni nyawa suamiku...”
Han Han
tertegun memandang wanita memondong anak yang berlutut di depan kakinya.
Kemarahannya tak mungkin dapat dihapus oleh ratap tangis seorang wanita yang
tidak dikenalnya.
“Dia jahat,
aku harus membunuhnya...!” Ia menjawab, suaranya dingin.
“Ahhh...
ampunkan dia... ampunkan kami... taihiap, ampunkan suamiku...,” wanita itu
meratap-ratap sambil berlutut, kemudian menangis dan seolah-olah menciumi ujung
kaki Han Han.
Tergeraklah
hati Han Han. Ia menjadi marah kepada wanita ini yang telah menimbulkan
keraguan di hatinya. Dia harus membunuh perwira brewok ini! Apa pun yang
terjadi, dia harus membunuhnya! Si Brewok ini telah memperkosa enci-nya,
memperkosanya di depan matanya! Dialah orang ke dua di antara tujuh orang
perwira Mancu yang harus dibunuhnya. Harus! Yang pertama adalah perwira muka
kuning yang telah memperkosa dan membunuh ibunya, yang ke dua perwira ini yang
memperkosa enci-nya, kemudian yang lima orang lainnya, mereka yang telah
menghina keluarganya, harus dia balas dan tumpas semua!
“Dia orang
busuk, kau tahu itu?” Han Han tiba-tiba membungkuk, memegang kedua pundak
Nyonya Giam dan menariknya berdiri agar mereka dapat bertemu pandang. “Dia
manusia berhati iblis! Dia telah memperkosa...” Tiba-tiba Han Han berhenti
bicara, matanya terbelalak dan lehernya seperti dicekik rasanya.
Mereka
berpandangan, seorang wanita cantik dan pemuda perkasa itu, yang hampir sama
bentuk mukanya, keduanya terbelalak dan Nyonya Giam seolah-olah tidak percaya
kepada pandang matanya sendiri, berkedip-kedip, mukanya pucat, matanya
terbelalak, tangisnya terhenti seketika.
“Han
Han...!”
“Leng-cici...!”
Nyonya Giam
itu memang enci-nya, Sie Leng, gadis yang dahulu diperkosa kemudian dilarikan
oleh perwira brewok yang bukan lain adalah Giam Cu yang kini telah menjadi
panglima. Sie Leng terkulai lemas, roboh pingsan di dalam pelukan adiknya!
Han Han juga
lemas seketika. Getaran-getaran yang menguasai dirinya, yang membuat ia buas
dan haus darah, seketika lenyap meninggalkan tubuhnya yang terasa lemas dan
lelah sekali. Ia duduk di atas sebuah akar menonjol, memangku enci-nya yang
masih pingsan, memandang jauh ke depan dengan pandangan kosong. Ia tidak
mendengar dan tidak melihat betapa anak perempuan kecil itu memeluki ibunya dan
memanggil-manggil sambil menangis, “Ibu... Ibu... Ibu....!”
Dia tidak
sadar pula bahwa kini Giam Cu merangkak dan berlutut di depannya, sambil
berusaha mendiamkan puterinya.
Sampai lama
Han Han termangu dan melamun. Memangku tubuh enci-nya yang pingsan membuat ia
teringat akan segala hal ketika ia masih kecil. Bagaikan tampak di depan
matanya segala peristiwa di waktu ia masih kecil dan hampir ia tidak percaya
bahwa enci-nya yang tadinya disangka mati itu kini berpakaian mewah dan indah,
disebut ibu oleh seorang anak perempuan, dan agaknya menjadi isteri dari Si
Brewok yang akan dibunuhnya tadi!
Sie Leng
sadar dari pingsannya dan ia merasa seperti dalam mimpi ketika mendapatkan
dirinya dipangku seorang pemuda tampan berambut riap-riapan. Han Han! Pemuda
ini adalah Han Han, adiknya! Ia melihat Kwi Hong, puterinya masih menangis dan
suaminya berlutut di depan Han Han!
“Han
Han...!” Ia berseru dan merangkul adiknya. “Han Han, engkau tidak boleh
membunuh suamiku. Dia iparmu...! Han Han, engkau ampunkanlah dia...!” katanya
sambil berlutut pula di samping suaminya.
“Taihiap,
saya mengaku berdosa, akan tetapi demi enci-mu dan keponakanmu ini, saya mohon
ampun...,” terdengar pula suara Giam Cu yang besar.
Han Han
menjadi bingung, akhirnya menarik napas panjang dan berkata, suaranya dingin
dan sakit hatinya masih belum dapat ia hilangkan sama sekali, “Enci Leng,
apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau malah mintakan ampun kepadaku untuk
orang ini?”
“Han Han
adikku, dengarlah penuturanku.....”
Sie Leng
lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dibawa pergi oleh Giam Cu.
Mula-mula memang ia merasa sakit hati dan benci kepada Giam Cu yang
memperkosanya. Berkali-kali ia hendak membunuh diri, akan tetapi selalu
digagalkan oleh Giam Cu yang menjaganya dan ternyata bahwa perwira itu jatuh
cinta kepada gadis ini.
Dengan penuh
kasih sayang Giam Cu membujuk, bahkan tidak lagi ia memperkosa gadis itu,
diperlakukan dengan sikap halus dan dihujani kemewahan. Mula-mula Sie Leng
tidak mempedulikan sikap baik perwira itu, ia terlalu benci kepadanya dan lebih
baik mati dari pada menjadi isterinya. Akan tetapi Giam Cu terus membujuk,
bahkan mengenyahkan semua selirnya. Kemudian, setelah Sie Leng mendapatkan
dirinya dalam keadaan mengandung akibat perkosaan itu, ia menyerah!
“Dan
ternyata bahwa dia amat mencintaku, Han Han. Mencinta sungguh-sungguh dan
sampai sekarang pun terbukti cinta kasihnya kepadaku. Setelah dia naik pangkat
terus sampai menjadi panglima, dia tetap mencintaku, tidak mempunyai isteri
lain dan akhirnya aku pun mencintanya sebagai suamiku yang baik.”
Sie Leng
terisak, kemudian melanjutkan ceritanya, “Kandunganku yang pertama gugur dan
hal itu malah menggirangkan hati kami karena kalau anak itu terlahir, tentu
hanya akan menimbulkan kenangan pahit dari peristiwa jahanam yang terjadi di
rumah kita dahulu. Kemudian aku mengandung lagi dan terlahirlah keponakanmu
ini, Kwi Hong. Dia anak kami yang syah, yang lahir dari cinta kasih antara
kami. Han Han, setelah engkau mendengar penuturanku, maukah engkau mengampuni
suamiku?”
Han Han
meragu. “Akan tetapi dia dan kawan-kawannya terlampau jahat, Enci. Lupakah
engkau akan keadaan keluarga kita yang terbasmi habis?”
“Han Han,
terserah kalau engkau tidak bisa mengampuninya dan memaksa hendak membunuhnya.
Akan tetapi engkau harus membunuh aku dan keponakanmu ini lebih dulu!” Sie Leng
memondong anaknya dan menghadapi Han Han dengan sinar mata menantang.
Han Han
terbelalak memandang enci-nya dan melihat bahwa ucapan dan tantangannya itu
berhasil, Sie Leng lalu memegang tangan Han Han dan berkata, “Jangan menilai
orang lain secara sepintas lalu, Adikku. Apakah engkau tidak tahu bahwa kita
pun bukan keturunan orang baik-baik? Kakek kita seribu kali lebih ganas dan
jahat dari pada suamiku. Dia ini hanya menjadi buas karena tugasnya yang
diharuskan membasmi musuh. Sebaliknya Kakek kita... hemmm, orang sedunia
mengutuknya!”
“Apa... apa
maksudmu, Enci?”
“Ohhh,
engkau tidak tahu, Han Han? Apakah dahulu Ayah atau Ibu tidak pernah bercerita
tentang Kakek kita yang bernama Sie Hoat?”
Han Han
menelan ludah ketika mengangguk. Teringat ia betapa Setan Botak pernah
mentertawakan kakeknya. Kalau Setan Botak mengenal kakeknya, tentulah kakeknya
bukan sembarang orang!
“Kakek kita
itu adalah seorang Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) yang terkenal di seluruh
dunia kang-ouw karena jahatnya! Pekerjaannya hanyalah mengganggu anak isteri
orang, entah telah mencemarkan berapa ribu orang wanita di dunia ini! Dan lebih
banyak pula yang telah dibunuhnya! Nah, kau dengar sekarang? Apa yang dialami
Ibu dan aku sendiri, boleh dikatakan hukum karma sebagai pembalasan atas
dosa-dosa Kong-kong kita itu. Nasibku masih baik. Biar pun aku diperkosa, akan
tetapi ternyata kemudian bahwa yang memperkosaku menjadi suamiku yang mencinta
dan kucinta, menjadi Ayah puteriku. Nasibku masih jauh lebih baik dari pada
nasib ribuan orang wanita yang menjadi korban Kakek kita.”
Han Han
mendengarkan dengan mata terbelatak. “Ah, benarkah itu, Leng-cici? Kalau
begitu, Kakek kita itu memiliki kepandaian yang luar biasa?”
“Tentu saja!
Dia ditakuti oleh seluruh tokoh di dunia pada jamannya.”
“Kalau
begitu, mengapa Ayah kita begitu lemah...?”
“Ayah kita
bukanlah anaknya yang sah, melainkan anak yang terlahir dari seorang di antara
wanita-wanita yang diperkosanya...”
“Aihhh...!”
Han Han menutupi mukanya. Hukum karma? Dosa kakeknya mengakibatkan hancurnya
keluarga ayahnya?
“Sudahlah,
Adikku. Keturunan Ayah tinggal kita berdua, marilah engkau ikut bersamaku,
Adikku. Kakak iparmu ini amat mencintaku, dia seorang yang baik. Kalau dia
melakukan hal yang mengerikan terhadap keluarga Ayah, hal itu adalah tidak
mengherankan karena hal-hal semacam itu selalu terjadi dalam perang. Engkau
telah membunuhi semua pengawal kami, ah, mengapa, Adikku?”
Han Han
mengangkat muka, memandang kepada cihu-nya (kakak iparnya) yang masih
menundukkan muka. “Mengapa? Tanya saja kepada suamimu ini, Leng-cici! Para
pengawal itu membunuh-bunuhi rakyat yang tidak berdosa. Tentu saja aku tidak
mau mendiamkannya saja melihat penyembelihan orang-orang tak berdosa, melihat
para pengawal itu seperti serigala-serigala buas berburu manusia!”
“Hemmm, kau
anggap begitukah, Han Han? Lihatlah ini!” Sie Leng menyingkap bajunya dan
memperlihatkan pundaknya yang terluka, luka baru.
“Mengapa
pundakmu, Cici?”
“Akibat
serangan mendadak dari orang-orang tak berdosa itu! Mereka pura-pura menjadi
rakyat jelata, menonton kereta pembesar lewat. Tiba-tiba menyerang dengan
senjata rahasia, mengenai pundakku dan hampir membunuh keponakanmu kalau saja
tidak cepat ditangkis Cihu mu. Masih banyak hal terjadi, Han Han. Hal-hal
mengerikan yang dilakukan oleh rakyat tak berdosa itu. Pembunuhan-pembunuhan mengerikan
terhadap orang-orang yang bekerja kepada pemerintah baru. Akan tetapi semua itu
sudah wajar terjadi dalam perang.”
Han Han
termenung dan terbayanglah wajah Lulu. Adik angkatnya itu pun puteri seorang
Mancu yang keluarganya terbasmi oleh ‘rakyat’, oleh Lauw-pangcu dan teman-teman
yang menyebut diri mereka kaum pejuang. Bahkan oleh mereka yang menganggap diri
sendiri orang-orang gagah itu, Lulu disuruh berpakaian seperti jembel dan
dibiarkan hidup seorang diri. Apakah dosa Lulu? Berdosakah kalau dia kebetulan
oleh Thian dilahirkan sebagai anak keluarga Mancu? Salahkah sekarang kalau
cicinya mencinta pembesar Mancu yang memperkosanya? Ia menjadi bingung
memikirkan hal ini, lebih bingung lagi mendengar keterangan cici-nya bahwa
kakeknya, ayah dari ayahnya, adalah seorang pentolan kaum pemerkosa wanita
sehingga berjuluk Dewa Pemetik Bunga!
Tiba-tiba
Han Han berseru, “Awas...!”
Tubuhnya
bergerak mendorong cici-nya ke samping dan empat buah senjata piauw runtuh ke
bawah. Giam-ciangkun kaget sekali, cepat merangkul isteri dan anaknya,
berlindung di dekat kereta, di belakang Han Han yang sudah berdiri tegak
memandang ke depan.
“Pembesar
Mancu keparat, bersiaplah untuk mampus!” terdengar seruan nyaring sekali
sehingga Han Han diam-diam terkejut.
Yang datang
adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Buktinya, dari jauh sudah
dapat menyambit piauw yang ketika ia sampok tadi membayangkan tenaga besar, dan
sebelum tampak orangnya sudah terdengar suaranya yang nyaring. Tak lama
kemudian muncullah tiga orang muda yang gerakannya tangkas dan gesit,
berloncatan dengan gerakan ringan sekali membayangkan ginkang yang tinggi
tingkatnya. Mereka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda. Dua orang
gadis yang amat cantik dan seorang pemuda yang tampan. Usia mereka sebaya
dengan Han Han, dan dari pakaian mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang
muda dunia kang-ouw.
Han Han
memandang mereka dengan sinar mata penuh selidik. Jantungnya berdebar dan ia
mengingat-ingat karena merasa yakin bahwa dia mengenal tiga orang muda yang
perkasa ini. Tiga orang itu melihat seorang pemuda berpakaian putih robek-robek
dan berambut panjang riap-riapan berdiri tegak melindungi pembesar Mancu dan
anak isterinya, segera meloncat ke depan Han Han, memandang dengan penuh kemarahan
dan penuh selidik pula.
“Sute...!”
Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang cantik dan berpakaian kuning,
yang memiliki mata bening dan sikap jujur, berseru dan melangkah maju. “Benar,
engkau Han Han! Engkau Han-sute...!”
Han Han
tersenyum. Tentu saja! Mengapa ia hampir melupakan mereka ini, terutama sekali
gadis berpakaian kuning ini? Mereka ini adalah sahabat-sahabatnya dahulu, bukan
hanya sahabat, malah suci-suci-nya dan suheng-nya, karena dia bersama mereka
inilah yang dipilih oleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid! Gadis manis
berpakaian kuning ini siapa lagi kalau bukan Kim Cu! Dan gadis ke dua yang
pendiam dan bermata tajam berwajah serius itu adalah Phoa Ciok Lin, sedangkan
pemuda tampan itu adalah Gu Lai Kwan!
“Wah,
kiranya kedua suci dan suheng dari In-kok-san!” Ia menatap wajah Kim Cu dan
sampai agak lama mereka saling bertemu pandang.
Betapa
cantiknya Kim Cu sekarang, pikir Han Han dengan pandang mata mesra. Di antara
semua murid Ma-bin Lo-mo tentu saja Kim Cu merupakan murid yang paling dekat
dengannya. Bahkan takkan pernah ia dapat melupakan kebaikan Kim Cu pada
pertemuan terakhir mereka ketika liburan Sincia di lereng In-kok-san. Kim Cu
yang semestinya menangkapnya, bahkan membebaskannya, dan menbiarkannya pergi
bersama Lulu, bahkan memberi pakaian dan sepatu kepada Lulu!
“Kim Cu
Suci, bagaimanakah keadaanmu selama ini? Kuharap engkau baik-baik saja, dan
sampai kini aku belum pernah melupakan budi kebaikanmu.”
Tiba-tiba
kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan terpaksa ia menundukkan mukanya.
Untuk melenyapkan rasa jengah bahwa kenyataannya Han Han hanya memperhatikan
dia seorang, Kim Cu segera bertanya.
“Sute,
kenapa kau berada di sini? Dan siapakah yang membunuhi banyak pengawal
anjing-anjing Mancu itu?” Kim Cu menudingkan telunjuknya yang kecil runcing ke
arah mayat yang berserakan.
“Akulah yang
membunuh mereka,” kata Han Han perlahan penuh keraguan akan benar tidaknya
semua yang telah ia lakukan. Ia teringat akan wejangan kakek di Siauw-lim-si
itu dan kini ia kembali telah menyebabkan kematian banyak sekali manusia,
sampai puluhan banyaknya. Puluhan orang manusia yang sama sekali tidak
dikenalnya dan yang ia sungguh tidak tahu untuk apa ia bunuh!
“Engkau...?!”
Seruan ini terdengar dari mulut tiga orang muda perkasa itu dan mata Kim Cu
yang bening terbelalak memandang wajah Han Han. Seruan yang disertai perasaan
tidak percaya.
Mereka sudah
sering kali bentrok dengan para pengawal dan andai kata mereka bertiga
dikeroyok oleh empat puluh lebih orang pengawal itu, tentu saja mereka akan
mampu membunuh mereka semua. Akan tetapi Han Han? Seorang diri pula? Betapa
mungkin dapat dipercaya!
“Han-sute,
kalau engkau yang telah membunuh semua pengawalnya, mengapa tidak lekas
membunuh pembesar Mancu ini?” tanya Phoa Ciok Lin, mengerutkan alisnya dan
memandang tajam penuh selidik.
“Bahkan
engkau tadi telah menyampok piauw-piauw yang kulepaskan!” kata pula Gu Lai
Kwan. “Apa artinya semua ini?”
Sedangkan
Kim Cu tidak bertanya sesuatu, hanya memandang penuh kekhawatiran kepada pemuda
yang sejak dahulu amat disukanya dan amat dikaguminya itu. Ia sudah mengenal
watak Han Han yang aneh. Dahulu saja sudah mengambil seorang gadis Mancu
sebagai adik! Setelah kini dewasa, siapa tahu apa saja yang akan dilakukannya!
Han Han
menarik napas panjang lalu mengangguk perlahan. “Sesungguhnya, akulah yang
membunuh para pengawal itu dan aku pula yang menangkis sambaran piauw yang kau
lepaskan tadi.”
“Han Han,
engkau tentu melakukan tangkisan piauw karena salah paham, mengira kami menyerangmu.
Dan tadi Gu-suheng juga salah sangka, dari jauh tidak mengenalmu maka mengirim
serangan langsung!”
Han Han
menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak demikian, Kim Cu Suci. Aku memang
menangkis piauw-piauw itu untuk melindungi keluarga ini.”
“Apa...?!”
Kembali seruan ini keluar dari tiga mulut dengan berbareng.
Kalau mereka
melihat Han Han menjadi pelindung pembesar Mancu, hal ini tidak akan
mengherankan hati mereka. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Han Han membunuh
sekian banyaknya pengawal Mancu, mayat-mayat mereka pun masih belum dingin
benar, bagaimana sekarang orang aneh ini malah melindungi pembesar Mancu yang
dikawal oleh para pengawal yang dibunuhnya? Sungguh membingungkan!
“Han-sute,
minggirlah dan biarkan aku membunuh anjing Mancu ini bersama anak isterinya!”
Gu Lai Kwan membentak tidak sabar lagi.
Akan tetapi
Han Han tetap berdiri tegak menghadang. “Tidak boleh, Gu-suheng. Kalian tidak
boleh membunuh mereka.”
“Han Han!
Mengapa begini? Engkau sudah membunuhi pengawalnya, kini mengapa melindungi
mereka ini?” Kim Cu bertanya dengan suara kecewa dan penasaran.
“Karena dia
adalah Cici-ku dan anaknya adalah keponakanku!” jawab Han Han tegas.
“Kalau
begitu minggirlah dan biarkan kami membunuh Si Pembesar anjing...” Phoa Ciok
Lin berseru.
“Tidak
boleh. Dia adalah Cihu-ku, terpaksa aku harus melindunginya demi kebahagiaan
Cici dan keponakanku.”
“Han Han!”
Kim Cu berkata mendahului sumoi dan suheng-nya. “Kalau engkau masih keluarga
pembesar ini, mengapa kau membunuhi para pengawalnya?”
Han Han
menghela napas panjang, kemudian menjawab, “Karena kulihat mereka membunuh para
pengungsi.”
“Nah, itu
bagus sekali!” Kim Cu berkata girang. “Engkau menyaksikan sendiri betapa
jahatnya penjajah Mancu, Han Han! Mereka membunuhi rakyat jelata, mereka
membasmi keluargamu, bukan? Juga keluargaku, keluarga Sumoi dan Suheng ini!
Mereka itu jahat, patut dibasmi dari tanah air kita! Minggirlah dan biarkan aku
membunuh pembesar ini. Biar dia Cihu-mu, akan tetapi dia ini anjing Mancu.
Tentu saja kami tidak akan mengganggu Cici dan keponakanmu.”
“Benar apa
yang dikatakan Kim-sumoi, Han Han. Minggirlah. Engkau pun musuh bangsa Mancu.
Mereka itu sudah terlampau banyak membunuh rakyat yang tidak berdosa, telah
menginjak-injak tanah air dan rakyat kita. Jangan sampai seorang pemuda seperti
engkau menjadi seorang pengkhianat dan penjilat anjing Mancu.”
Mata Han Han
berkilat ketika ia menentang pandang mata Gu Lai Kwan. “Aku bukan sute kalian
dan hanya mengingat akan perhubungan di antara kita dahulu, terutama sekali
mengingat akan budi kebaikan Nona Kim Cu, maka aku melayani kalian bicara.
Bolehkah aku bertanya, sudah banyak pulakah kalian membasmi orang-orang Mancu
termasuk mereka yang mau bekerja sama dengan pemerintah Mancu?”
Tiga orang
ini mengira bahwa setelah membunuhi puluhan orang pengawal itu, Han Han lalu
menjadi sombong. “Ha-ha, sungguh pertanyaan lucu!” jawab Gu Lai Kwan. “Tentu
saja sudah banyak! Sedikitnya seratus orang telah tewas di tanganku ini!”
“Demikian
pula dengan Nona Kim Cu dan Nona Phoa Ciok Lin?” Han Han melanjutkan
pertanyaannya.
Dua orang
gadis itu mengangguk, pandang mata Kim Cu makin bingung dan khawatir. Ia merasa
tidak senang kalau harus bermusuh dengan Han Han.
Han Han
tersenyum, senyum yang mengandung penuh arti. “Mungkin Cihu-ku ini sudah banyak
membunuh orang. Akan tetapi aku pun sudah banyak membunuh orang dan kalian
bertiga sudah mengaku telah membunuh ratusan orang! Entah siapa yang lebih
jahat di antara kita pembunuh-pembunuh ini dan aku sangsi apakah ada yang baik
di antara kita!”
Sejenak tiga
orang muda itu bingung mendengar ucapan itu. “Akan tetapi, yang kami bunuh
adalah orang-orang Mancu yang jahat sedangkan yang dibunuh orang-orang Mancu
adalah rakyat yang tidak berdosa!” bantah Gu Lai Kwan penasaran.
“Gu Lai
Kwan, aku hendak melihat mana ada orang yang tidak berdosa...!” Han Han menarik
napas panjang, teringat akan cerita cici-nya tentang kakeknya, yang menjadi
pemerkosa wanita nomor satu di dunia!
“Han Han!
Tak usah banyak cakap, mau tidak engkau minggir dan membiarkan aku membunuh
anjing Mancu itu?”
Han Han
menggeleng kepala.
“Engkau mau
menjadi pengkhianat?!” bentak Phoa Ciok Lin yang seperti suheng-nya amat
membenci orang-orang Mancu dan sudah bersumpah hendak membunuh semua orang
Mancu untuk membalas dendam keluarganya yang habis terbasmi orang Mancu.
“Terserah
bagaimana penilaian kalian. Aku tetap tidak membiarkan kalian membunuh Cihu-ku
dan keluarganya. Sebaiknya kalian pergi saja.”
“Wah,
agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan menjadi sombong!” bentak Gu Lai
Kwan. “Minggirlah, atau terpaksa aku akan merobohkanmu lebih dulu!”
“Han Han,
minggirlah. Mengapa engkau berkeras?” Kim Cu berkata, suaranya setengah
memohon.
Akan tetapi
Han Han memandang gadis itu dan berkata, “Menyesal sekali, aku tidak dapat
memenuhi permintaanmu, Nona Kim Cu.”
“Kalau
begitu mampuslah!” Gu Lai Kwan menerjang maju, mengirim pukulan keras sekali ke
dada Han Han.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Gu Lai Kwan ini merupakan seorang di antara
empat murid yang diambil Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid, dioper dari
tangan Ma-bin Lo-mo, di samping Han Han, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin. Murid-murid
Ma-bin Lo-mo sudah hebat, menerima pelajaran ilmu kesaktian Swat-im Sin-ciang. Akan
tetapi sebagai murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja tingkat kepandaian tiga
orang itu lebih hebat dari pada murid-murid Ma-bin Lo-mo.
Mereka juga
telah menguasai Swat-im Sin-ciang, akan tetapi ilmu yang mereka kuasai baru
setengahnya ini seperti yang hanya dapat dicapai oleh semua murid Ma-bin Lo-mo,
telah diperhebat oleh pelajaran yang mereka terima dari Toat-beng Ciu-sian-li.
Dari nenek ini mereka menerima ilmu-ilmu silat tinggi, juga telah menguasai
ilmu pukulan yang disebut Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)
yang telah digabung dengan Swat-im Sin-ciang sehingga pukulan yang didasari
tenaga sinkang dingin itu kini mengandung racun yang mematikan. Ketika
menyerang Han Han, Gu Lai Kwan yang belum mengenal kelihaian Han Han, tidak
mengeluarkan pukulan ini, melainkan memukul dengan sinkang yang kuat akan
tetapi tidak mengandung hawa beracun.
Melihat
datangnya pukulan yang amat kuat ini, Han Han dapat mengukur dari sambaran
hawanya, maka dengan berani ia menerima pukulan itu dengan dadanya! Kim Cu
menahan seruannya yang sudah terlanjur keluar dari mulutnya ketika melihat
betapa Han Han menerima pukulan suhengnya begitu saja dengan dada. Pukulan itu
mengandung tenaga sinkang yang kuat dan isi dada dapat remuk terguncang dan
dapat menyebabkan kematian. Namun ia tidak keburu mencegah lagi, hanya
memandang dengan mata terbelalak. Ada pun Phoa Ciok Lin yang menyaksikan sikap
suci-nya ini mengerutkan kening dan diam-diam ia maklum bahwa Kim Cu menaruh
hati kepada pemuda berambut panjang bersinar mata aneh itu.
“Bukkk!”
“Ayaaaaa...!”
Gu Lai Kwan berseru kaget dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Tentu ia akan
terbanting roboh kalau saja tidak cepat mempergunakan ginkang-nya berjungkir
balik ke belakang sehingga ia dapat berdiri lagi dengan mata terbuka lebar.
Pukulannya tadi keras sekali, akan tetapi Han Han telah menerima dengan dada
terbuka dan sama sekali tidak bergeming, malah tenaga pukulannya membalik
sehingga ia terjengkang!
“Lai Kwan,
lebih baik engkau dan kedua Nona ini pergi saja dan jangan mengganggu aku,”
kata Han Han. Ia sama sekali tidak ingin bentrok dengan bekas saudara-saudara
seperguruannya itu.
Akan tetapi
ucapannya ini menambah kemarahan Lai Kwan yang menganggap Han Han memandang
rendah kepadanya. “Manusia sombong! Tidak tahu bahwa aku tadi telah berlaku
lunak kepadamu. Kalau benar-benar ingin berkelahi, nah, kau terimalah pukulan
ini!”
Setelah
berkata demikian, Lai Kwan melompat ke depan sambil mengeluarkan pekik
menyeramkan. Saat tubuhnya masih melambung di udara, kedua tangannya mendorong
ke depan. Itulah pukulan gabungan Swat-im Sin-ciang dan Toat-beng Tok-ciang
yang amat hebat!
Pukulan yang
mendatangkan suara bercuitan itu amat hebatnya dan Han Han tentu saja mengenal
pukulan lihai. Dia tidak berani menerima dengan tubuhnya seperti tadi, apa lagi
kini kedua tangan yang mendorong itu menuju ke arah pusarnya. Ia masih berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang lebar. Cepat ia menggerakkan tangan kirinya,
diayun dari kanan ke kiri dengan gerakan menangkis, diam-diam mengerahkan inti
tenaga Im-kang yang lebih kuat dari pada Swat-im Sin-ciang. Dua tenaga mukjizat
bertemu dan tentu saja Lai Kwan bukan lawan Han Han dalam hal tenaga sakti.
Sedangkan
Ma-bin Lo-mo sendiri tidak sanggup menandingi Han Han, apa lagi Lai Kwan.
Pemuda murid Toat-beng Ciu-sian-li ini merasa seolah-olah tubuhnya dibawa angin
puyuh, kedua lengannya yang mengirim dorongan tadi terbanting ke kanan, dan
tubuhnya tak dapat ia cegah lagi ikut terbanting sehingga ia roboh
terguling-guling sampai belasan kaki jauhnya!
“Aiiihhhhh...!”
Yang berseru ini adalah Kim Cu dan Phoa Ciok Lin, berseru saking heran dan
kagetnya. Mereka tentu saja maklum dan mengenal pukulan suheng mereka, dan tahu
betapa kuatnya pukulan itu. Akan tetapi Han Han dapat menangkis dengan
pengerahan tenaga sinkang dan akibatnya suheng mereka terpelanting sampai
belasan kaki jauhnya!
“Singgggg...!”
Ciok Lin sudah mencabut pedangnya.
“Singgggg...!”
Kim Cu juga mencabut pedang.
Lai Kwan
sudah meloncat bangun. Ia terengah-engah dan bergidik sambil menggoyang
pundaknya. Ia merasa betapa hawa dingin menyerang dadanya dan ia hanya mengira
bahwa pukulannya yang mengandung Swat-im Sin-ciang tadi membalik oleh tangkisan
Han Han yang memiliki sinkang amat kuat. Ia masih tidak tahu bahwa Han Han
telah memiliki inti sari Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya. Melihat
kedua orang sumoi-nya sudah mencabut pedang, Lai Kwan juga mencabut pedangnya
dan melangkah maju.
“Ah, kiranya
engkau telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas menjadi begini sombong!” kata
Lai Kwan. “Akan tetapi karena engkau seorang pengkhianat dan pembela anjing
Mancu, engkau akan mati di tangan kami!”
Ucapan itu
disusul oleh gerakan pedang yang amat cepat. Pedang di tangan Lai Kwan berubah
menjadi sinar putih yang menyilaukan mata. Berturut-turut tampak sinar
bergulung-gulung ketika Kim Cu dan Ciok Lin menggerakkan pedang mereka. Memang
tiga orang muda ini telah menerima ilmu pedang yang amat lihai dari guru
mereka. Tiga sinar pedang bergulung-gulung seperti tiga ekor naga sakti
mengurung tubuh Han Han.
Pemuda ini
terkejut juga melihat berkelebatnya gulungan sinar pedang yang amat cepat dan
mengeluarkan suara berdesing. Ia mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebat dan
mengelak ke sana ke sini. Diam-diam Kim Cu kagum bukan main. Ternyata bahwa Han
Han kini telah menjadi seorang sakti, tidak saja memiliki sinkang yang lebih
kuat dari pada Lai Kwan, bahkan memiliki ginkang yang istimewa sehingga
serangan mereka bertiga selalu mengenai tempat kosong!
“Pergilah
kalian! Aku tidak ingin membunuh kalian!” Berkali-kali Han Han berseru keras.
Memang dia
takut sekali kalau-kalau ia kesalahan tangan lagi membunuh tiga orang ini. Hal
ini amat tidak ia kehendaki, terutama sekali ia takut kalau-kalau ia salah
tangan melukai Kim Cu! Akan tetapi seruan-seruannya tidak dipedulikan tiga
orang itu yang menjadi makin penasaran, bahkan seruan Han Han itu dianggap oleh
mereka sebagai tanda memandang rendah. Mereka mempercepat gerakan pedang mereka
dan kini Han Han menjadi sibuk.
Memang,
kalau tiga orang itu hanya mengandalkan tenaga sinkang, kiranya mereka takkan
dapat berbuat banyak terhadap Han Han yang jauh lebih kuat, juga dalam hal
kecepatan gerakan, Han Han menang jauh. Akan tetapi karena mereka menggunakan
pedang dan ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang amat
hebat gerakannya, Han Han yang belum matang ilmu silatnya itu menjadi bingung.
Biar pun ia dapat mengelak cepat, akan tetapi karena dikeroyok tiga dan tidak
mengenal perubahan-perubahan gerakan tiga batang pedang yang menyambar-nyambar
ganas, tidak dapat ia menghindarkan diri dari sambaran-sambaran pedang sehingga
dalam belasan jurus berikutnya, pahanya tergores pedang dan pundaknya juga
terluka oleh tusukan ujung pedang.
Melihat
pedang mereka berhasil, Lai Kwan dan Ciok Lin lebih bernafsu lagi, hanya Kim Cu
saja yang berseru. “Han Han, pergilah. Untuk apa melindungi anjing Mancu dan
mengorbankan diri sendiri?”
Seruan ini
berkesan di hati Han Han dan ia kembali mencatat sikap baik dari gadis itu
terhadapnya. Akan tetapi mana mungkin ia membiarkan cici-nya, cihu-nya, dan
keponakannya dibunuh? Dia menjadi bingung sendiri. Semenjak dahulu ia bersumpah
dan mengambil keputusan di hatinya untuk membunuh perwira-perwira Mancu yang
telah membasmi keluarganya, tujuh orang jumlahnya dan terutama sekali perwira
muka kuning dan perwira brewok yang ternyata adalah Giam-ciangkun ini.
Akan tetapi
sekarang bagaimana? Ia malah melindungi nyawa perwira yang setiap saat dahulu
tak pernah ia lupakan sebagai musuh nomor satu itu, melindunginya dari ancaman
bekas suheng-nya dan kedua suci-nya! Bahkan ia terpaksa harus menentang dan
bertanding melawan Kim Cu, gadis yang demikian berbudi terhadapnya! Ia menjadi
bingung, akan tetapi apa yang harus ia lakukan?
“Mampuslah!”
Kembali pedang Lai Kwan berkelebat menusuk perutnya.
Han Han
kaget dan dengan hawa pukulan tangan menangkis sehingga pedang itu meleset,
tidak jadi menusuk perut akan tetapi masih melukai pahanya dengan goresan
pedang. Mulailah ia marah sekali. Mereka ini tidak tahu betapa sejak tadi dia
mengalah, hanya mengelak dan sama sekali tidak balas menyerang. Kebingungan
hatinya, ditambah rasa nyeri dari luka-luka itu menimbulkan kemarahannya.
Tiba-tiba Han Han memekik keras, tubuhnya mundur tiga langkah, kemudian ia
mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan tenaga Swat-im
Sin-ciang!
Tiga orang
murid Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah memiliki ilmu Swat-im Sin-ciang,
mengenal gerakan ini dan cepat mereka pun melakukan gerakan serupa untuk
menjaga diri. Akan tetapi, betapa kaget hati Ciok Lin dan Lai Kwan ketika
mereka merasa hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka, membuat mereka
terhuyung ke belakang dengan muka pucat, kemudian roboh terguling dengan tubuh
menggigil kedinginan!
“Swat-im
Sin-ciang...!” Kim Cu berseru kaget dan heran, juga khawatir melihat keadaan
kedua orang saudara seperguruannya. Dia sendiri tidak dipukul oleh Han Han,
maka dia tidak terluka.
Kini dengan
cepat ia menerjang maju, pedangnya menusuk dada. Han Han menangkis dengan hawa
pukulan Swat-im Sin-ciang, dan hawa dingin yang menyambar dari samping membuat
Kim Cu menggigil dan terhuyung. Han Han melangkah maju dan menyambar pedang
dari tangan Kim Cu. Gadis itu berdiri terbelalak memandang dengan mulut melongo
ketika melihat Han Han yang sudah marah sekali itu melampiaskan kemarahannya
pada pedang itu yang dipatah-patahkannya dengan jari tangan seperti orang
mematahkan sebatang lidi saja!
“Kim Cu,
engkau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi kalian. Harap engkau mengerti dan
suka membawa pergi kedua orang saudaramu.”
Sejenak Kim
Cu memandang wajah Han Han penuh kekecewaan, mengingatkan Han Han akan pandang
mata Kim Cu beberapa tahun yang lalu ketika Kim Cu melepasnya pergi bersama
Lulu. Kemudian dengan gerakan lunglai Kim Cu membalikkan tubuh, memeriksa Ciok
Lin dan Lai Kwan yang sudah bersila dan menghimpun tenaga menyembuhkan luka
mereka. Kim Cu membangunkan mereka, menggandeng mereka, sekali lagi memandang
kepada Han Han, kemudian membawa kedua orang saudaranya pergi. Terdengar oleh
Han Han isak tertahan keluar dari dada gadis itu!
Ia menghela
napas. Setelah bayangan Kim Cu dan kedua saudaranya lenyap di antara
pohon-pohon, ia membalikkan tubuh menghadapi Giam-ciangkun dan isterinya.
“Sungguh
berbahaya...!” Giam-ciangkun berkata lirih. “Dan ilmu kepandaianmu hebat bukan
main... Sie-taihiap.” Panglima yang baru saja terbebas dari maut untuk kedua
kalinya, pertama di tangan Han Han dan yang kedua kalinya di tangan murid-murid
Toat-beng Ciu-sian-li itu, amat cerdik dan masih belum berani menyebut Han Han
sebagai adik iparnya, berkata penuh kagum.
“Ah, untung
ada engkau, Adikku!” kata Sie Leng sambil memeluk adiknya dan mengucurkan air
mata. “Kalau tidak, tentu kami sekeluarga telah terbunuh oleh mereka. Han Han,
kepandaianmu luar biasa. Mari kau ikut bersama kami ke kota raja, dengan
kepandaianmu seperti itu tentu engkau akan mudah mendapatkan kedudukan tinggi.”
“Betul
sekali!” Giam-ciangkun berkata. “Aku yang menanggung bahwa engkau tentu akan
diangkat menjadi panglima pengawal istana!”
Han Han
termenung lalu berkata, “Memang aku hendak pergi ke kota raja, untuk mencari
seorang penjahat keji.”
“Siapakah
dia, Han-te (Adik Han)? Aku akan dapat membantu mencarinya,” kata Giam-ciangkun
penuh gairah.
“Tentu Cihu
(Kakak Ipar) tahu siapa dia. Dia bernama Ouwyang Seng...”
“Ah...!”
Giam-ciangkun teringat akan semua rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai di
dalam rapat di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok. Akan tetapi ia pura-pura
bertanya, “Tentu saja aku mengenalnya. Dia putera Pangeran Ouwyang Cin Kok.
Apakah yang telah ia lakukan terhadapmu, Adikku?”
Han Han
tidak peduli akan sikap yang amat baik dan mesra dari kakak iparnya yang betapa
pun juga masih tidak disukainya itu. “Aku mencarinya karena dia telah menculik
Adikku!”
“Eh-eh, Han
Han. Adikmu siapa? Engkau tidak mempunyai adik. Anak orang tua kita hanya aku
dan engkau!” kata Sie Leng heran.
“Kumaksudkan
Adik angkatku, namanya Lulu.”
“Lulu?
Seperti nama seorang anak perempuan bangsa Mancu...”
“Memang,
Leng-cici. Dia... seorang puteri keluarga perwira Mancu yang tewas dalam
perang. Dia diculik Ouwyang Seng.”
Giam-ciangkun
tersenyum. “Harap kau jangan khawatir, Adikku. Aku yang menanggung bahwa Adikmu
itu tidak akan diganggu. Tidak mungkin ada orang berani mengganggu dia, apa
lagi dia puteri perwira Mancu. Kurasa Ouwyang-kongcu menculiknya justru karena
mendengar bahwa Adik angkatmu itu puteri Mancu, maka dia menculiknya untuk
menyelamatkannya. Bisa jadi dianggap amat membahayakan keselamatan Lulu kalau
berada di sampingmu. Biarlah, aku yang akan menemui Ouwyang-kongcu dan pasti
Adikmu selamat di kota raja.”
Hati Han Han
menjadi lega mendengar ini. Mungkin benar juga apa yang dikatakan iparnya ini.
Lulu seorang puteri Mancu, mana mungkin Ouwyang Seng berani mengganggunya?
Tentu ada sebab lain mengapa Ouwyang Seng menculik Lulu.
“Baiklah,
aku akan ikut bersamamu ke kota raja, Leng-cici.”
Sie Leng
girang bukan main dan berangkatlah mereka naik kereta yang dikemudikan oleh
Giam-ciangkun sendiri sedangkan Han Han duduk di dalam kereta bersama Sie Leng
yang menghujankan pertanyaan yang dijawab singkat saja oleh Han Han. Betapa pun
juga, hati Han Han masih belum terbiasa oleh kenyataan bahwa enci-nya menjadi
isteri musuh besarnya. Akan tetapi karena Sie Leng benar-benar merasa bahagia
dapat bertemu dan berkumpul dengan adiknya, sikapnya jelas membayangkan
kebahagiaan dan keharuan sehingga hati Han Han tidak tega untuk menyatakan
ketidak-puasan hatinya.
“Leng-cici,
aku masih heran mendengar ceritamu tentang Kakek kita tadi.” Ia berkata
kemudian. “Benarkah Kakek kita yang bernama Sie Hoat itu berjuluk Jai-hwa-sian
dan menjadi tokoh jahat di dunia kang-ouw?”
Sie Leng
mengangguk. “Ibu pernah bercerita kepadaku dengan pesan agar hal itu jangan
kuceritakan kepada siapa pun juga, tidak pula kepadamu. Apalagi tidak boleh
terdengar oleh Ayah. Justru Ayah yang melarang keras cerita itu diketahui orang
lain.”
“Akan tetapi
aku masih merasa heran. Kalau Kakek merupakan seorang tokoh besar dunia
kang-ouw yang dijuluki Dewa, tentu kepandaiannya hebat. Mengapa Ayah seorang
begitu lemah? Kalau Ayah sepandai Kakek, tentu tidak sampai mengalami nasib
demikian menyedihkan. Cici, apakah engkau mengetahui cerita selengkapnya?”
Sie Leng
menghela napas panjang. Bicara tentang keluarganya merupakan pengalaman pahit
yang menyakitkan hati, karena hal itu mengingatkan dia bahwa suaminya yang
tercinta merupakan seorang di antara mereka yang membasmi keluarganya. Kemudian
ia berkata, “Aku pun hanya mendengar cerita dari Ibu. Akan tetapi engkau
sekarang sudah dewasa, sebaiknya kalau kuceritakan kepadamu, sungguh pun cerita
Ibu itu pun tidak lengkap dan tidak jelas karena urusan itu selalu dirahasiakan
oleh Ayah.”
Sie Leng
lalu bercerita seperti yang ia dengar dari ibunya. Puluhan tahun yang lalu,
kakek mereka, yaitu ayah dari ayah mereka yang bernama Sie Hoat terkenal
sebagai seorang tokoh dunia hitam yang amat ditakuti orang dan berjuluk
Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), yaitu seorang penjahat besar yang biasanya
suka menculik wanita-wanita, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri
orang, kemudian diperkosanya. Kalau hatinya puas dengan wanita itu, maka wanita
itu tidak akan dibunuh, bahkan diberi hadiah banyak benda berharga mahal hasil
curian di istana-istana pangeran atau hartawan. Akan tetapi kalau wanita itu
mengecewakan hatinya, apa lagi melawan, lalu dibunuhnya secara keji,
ditelanjangi dan disayat-sayat tubuhnya.
Karena
banyak tokoh kang-ouw yang berusaha menentangnya tewas pula di tangan penjahat
cabul yang amat lihai ini, maka namanya makin terkenal dan dia ditakuti oleh
tokoh-tokoh kang-ouw. Wanita yang memuaskan hatinya pun hanya beberapa kali
saja didatangi, kemudian ia tinggalkan begitu saja karena tokoh jahat ini tidak
pernah mau mengikatkan diri kepada seorang wanita. Ada dikabarkan di antara
para tokoh kang-ouw bahwa dia sesungguhnya mempunyai isteri dan anak, akan
tetapi tidak ada seorang pun yang tahu betul akan hal ini.
Di antara
para wanita yang memuaskan hatinya dan yang ia datangi sampai belasan kali
hanya seorang gadis puteri seorang sastrawan she Kwa. Orang tua gadis yang
bernasib malang ini tahu dari puterinya bahwa puterinya menjadi korban Jai-hwa-sian,
akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan? Dengan hati perih mereka itu
hanya dapat menutup rapat rahasia itu.
Akan tetapi
betapa sedih hati mereka ibu ayah dan anak itu ketika terdapat kenyataan bahwa
gadis itu mengandung, sebagai akibat gangguan Jai-hwa-sian selama belasan kali
itu. Jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh hanyalah pindah secara
diam-diam dari dusun mereka ke tempat lain dan di tempat baru ini puteri mereka
diperkenalkan sebagai seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya dalam
keadaan mengandung.
Demikianlah,
gadis she Kwa itu kemudian melahirkan seorang putera. Kakeknya, sastrawan Kwa,
yang khawatir kalau-kalau anak keturunan Jai-hwa-sian itu akan mewarisi watak
ayahnya, lalu memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil anak itu dididik
kesusastraan oleh kakeknya, sama sekali tidak diperbolehkan belajar ilmu silat.
Ibu anak itu meninggal dunia tidak lama kemudian karena menanggung penderitaan
batin yang hebat, karena sebenarnya gadis she Kwa ini sudah jatuh cinta kepada
Jai-hwa-sian yang memang tampan dan pandai merayu wanita.
Setelah
dewasa, kakeknya menceritakan Sie Bun An tentang riwayat ibunya, maka tahulah
Sie Bun An bahwa dia adalah putera penjahat besar Sie Hoat yang berjuluk
Jai-hwa-sian! Hal ini membuat pemuda yang semenjak kecil dididik kesusastraan
dan mempelajari filsafat itu membenci ayahnya dan sama sekali tidak pernah
bercerita kepada lain orang. Ia amat maju dalam pelajarannya sehingga mendapat
sebutan siucai setelah lulus ujian kota raja. Dia lalu dikawinkan dan hidup
sebagai siucai di Kam-chi.
“Demikianlah
riwayat yang kudengar dari Ibu kita, Han Han. Siapa kira, biar pun Ayah kita
tidak mewarisi kepandaian Kakek kita itu, sekarang engkau memiliki ilmu silat
yang begitu tinggi. Kiranya engkau yang mewarisi kepandaiannya, akan tetapi
kuharap engkau tidak akan mewarisi wataknya.”
Han Han
menghela napas panjang. Teringat ia akan ucapan-ucapan Gak Liat Si Setan Botak
yang tertawa bergelak ketika mendengar bahwa kakeknya bernama Sie Hoat dan
menyebut kakeknya itu sebagai Jai-hwa-sian! Pantas saja Gak Liat
mentertawakannya karena kakek itu memperkosa Bhok Khim dan ia mencoba untuk
menentangnya. Memang mentertawakan kalau cucu Jai-hwa-sian mencela perbuatan
Gak Liat, karena perbuatan Gak Liat memperkosa Bhok Khim itu masih belum
apa-apa kalau dibandingkan dengan perbuatan Jai-hwa-sian terhadap ratusan,
bahkan ribuan orang wanita!
“Hemmm, aku
merasa malu untuk mengaku menjadi cucu seorang jahanam keji seperti
Jai-hwa-sian, Cici.” Suara Han Han begitu dingin sehingga Sie Leng sendiri
mengkirik mendengarnya. Ia teringat akan perbuatan Giam Cu kepadanya dan ia
mulai merasa ragu-ragu apakah adiknya ini tidak amat membenci suaminya! Juga ia
merasa ngeri kalau mengingat bahwa si pemerkosa ibu mereka adalah Giam Kok Ma,
seorang panglima yang berada di kota raja pula.
***************
Han Han
kagum menyaksikan rumah enci-nya yang seperti istana, lengkap dengan perabot
rumah yang serba mewah dan rumah itu sendiri amat besar, penuh dengan pelayan.
Dia diperlakukan dengan sikap hormat sekali oleh cihu-nya dan karena pada
dasarnya Han Han adalah seorang yang perasa dan mudah tunduk oleh sikap lunak,
ia menjadi makin tidak enak hatinya. Mau membalas kebaikan cihu-nya, ia selalu
teringat akan terbasminya keluarganya, mau bersikap kasar, cihu-nya amat hormat
kepadanya dan ia juga merasa kasihan kepada cici-nya yang amat mencinta
suaminya. Yang merupakan hiburan hatinya adalah Kwi Hong, keponakannya yang
mungil dan pandai bicara. Ia sering kali bermain-main dengan keponakannya itu,
akan tetapi kalau teringat kepada Lulu, hatinya menjadi murung lagi.
Seperti
telah dijanjikannya, setiba di kota raja cihu-nya itu lalu mengunjungi rumah
Pangeran Ouwyang Cin Kok dan dengan girang sekali ia menceritakan
pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Sie Han, pemuda perkasa yang aneh
dan yang menjadi bahan percakapan dalam sidang tempo hari.
“Ah, kiranya
dia adalah Adik isterimu sendiri? Ha-ha-ha, bagus sekali kalau begitu!”
Pangeran Ouwyang Cin Kok bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya.
“Akan tetapi
wataknya amat aneh dan sukar diselami, Ong-ya, bahkan isteri hamba yang menjadi
kakaknya sendiri pun menyatakan bahwa perubahan amat aneh dan amat besar
terjadi pada adiknya sehingga hampir ia tidak mengenal watak adiknya. Pula, ada
sebuah hal yang amat membahayakan sehingga hamba khawatir kalau-kalau dia akan
mengamuk. Kepandaiannya benar-benar menakjubkan sekali. Hamba khawatir...”
“Hemmm,
tentang kepandaiannya, aku sudah mendengar dari puteraku. Betapa pun pandainya,
jago-jago sakti kita akan mampu menundukkannya.”
“Tentang
Ouwyang-kongcu inilah yang mengkhawatirkan hati hamba. Menurut pernyataannya,
Adik angkatnya yang bernama Lulu, puteri Mancu itu, diculik oleh Ouwyang-kongcu
dan dia marah sekali, mengancam hendak membunuh Kongcu kalau Adiknya tidak
dibebaskan dalam keadaan selamat.”
Pangeran
Ouwyang Cin Kok mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang.
“Aahhh,
sungguh kedua orang bocah itu mendatangkan banyak kerepotan saja! Adik isterimu
itu aneh dan sudah mendatangkan banyak pusing, kini Adik angkatnya itu pun
tidak kalah anehnya. Memang Lulu itu itu anak perwira yang menjadi korban
penyerbuan kaum pemberontak beberapa tahun yang lalu. Anak itu disangka mati,
kiranya muncul sebagai Adik angkat iparmu! Ouwyang Seng sudah berhasil
menculiknya dan karena Kaisar merasa kasihan akan nasib anak itu, mengingat
pula akan jasa orang tuanya, Lulu diperbolehkan tinggal di dalam istana sebagai
dayang istana. Akan tetapi celaka sekali, baru beberapa hari saja bocah itu
telah menghilang, minggat entah ke mana! Kini Ouwyang Seng yang bingung pergi
mencarinya, karena lenyapnya Lulu tadinya dianggap mengacaukan rencana
memancing Han Han ke kota raja. Siapa tahu dia telah ikut bersamamu. Kini Han
Han mencari Lulu, benar-benar memusingkan!”
Giam-ciangkun
juga menjadi bingung. “Wah, kalau begitu bagaimana baiknya? Han Han tentu tidak
akan mempercayai keterangan itu dan hal ini bisa berbahaya.”
“Jangan
khawatir. Katakan saja terus terang bahwa Lulu minggat dari istana. Kalau tidak
percaya boleh suruh dia menyelidiki ke istana. Sementara itu, engkau harus
dapat membujuknya dan memperkenalkannya kepada para tokoh pengawal dan
pembantu. Sementara menanti kembalinya Gak-locianpwe dan keponakanku Puteri
Nirahai, juga puteraku, kita harus dapat membujuknya. Kalau perlu, kita
menggunakan akal untuk membuat dia tidak berdaya.”
Mereka
berunding, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok lalu memanggil tokoh-tokoh yang
berada di kota raja, di antaranya adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek, kakak beradik
Tikus Kuburan Bhong Lek dan Bhong Poa Sik, Hek-giam-ong, Pek-giam-ong dan
Hiat-ciang-sian-li Ma Su Nio yang ketiganya adalah murid-murid Setan Botak Gak
Liat dan beberapa orang panglima pengawal, termasuk Giam Kok Ma Ciangkun,
panglima bermuka kuning yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han.
Kemudian
diambil keputusan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh ini kepada Han Han di rumah
Giam-ciangkun karena di situ terdapat Sie Leng yang dianggap dapat menundukkan
Han Han apa bila pemuda itu bersikap menentang. Sebelum pertemuan itu
dibubarkan, diam-diam Giam Cu berbisik kepada Giam Kok Ma yang menjadi pucat
sekali mukanya. Panglima muka kuning ini mendengar betapa Han Han mencarinya
dan tentu akan membunuhnya kalau berjumpa, mengingat bahwa Giam Kok Ma inilah
yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han. Panglima muka kuning ini lalu
pulang ke rumahnya dengan muka makin kuning dan jantung berdebar-debar gelisah.
Setelah tiba
di rumahnya, Giam Cu disambut oleh isterinya dan Han Han yang ingin segera
mendengar bagaimana kabarnya tentang diri adiknya. Giam-ciangkun menarik napas
panjang dan berkata, “Wah, Han-te. Adik angkatmu itu benar-benar membikin
pusing kita semua.”
“Bagaimanakah?
Di mana Lulu?”
“Tepat
seperti dugaanku, karena Lulu adalah puteri perwira, Ouwyang-kongcu sama sekali
tidak berani mengganggunya dan memang tidak berniat mengganggunya. Bahkan Lulu
dihadapkan kepada Kaisar sendiri yang mengingat akan jasa-jasa Ayahnya lalu
mengangkat Lulu menjadi dayang istana, yaitu para siuli yang menjadi pelayan
dalam dan sebagai puteri-puteri yang terhormat. Akan tetapi, entah mengapa,
setelah mendapat kemuliaan itu, baru beberapa hari saja tahu-tahu Lulu telah minggat
dari istana. Entah ke mana perginya tak seorang pun mengetahuinya!”
Wajah Han
Han yang tadinya bergembira dan lega itu kini berubah menjadi suram. Ia
memandang tajam kepada Gam-ciangkun dan berkata, “Apakah Cihu menceritakan hal
yang sebenarnya?”
“Han Han,
Cihu-mu tidak pernah berbohong!” Sie Leng berkata menegur adiknya.
“Tidak
mengherankan kalau Han-te kurang percaya. Akan tetapi aku berani bersumpah dan
kalau hal itu pun masih kurang meyakinkan hatimu, boleh saja Han-te melakukan
penyelidikan sendiri ke istana dan bertanya-tanya. Kurasa tidak semua petugas
istana dapat melakukan kebohongan yang sama.”
Han Han
duduk melamun. Ia percaya karena apa perlunya berbohong kepadanya? Pula,
setelah tinggal di situ beberapa hari lamanya, ia mendapat kenyataan bahwa
cihu-nya benar-benar mencinta cici-nya dan bahwa benar-benar cici-nya hidup
bahagia di situ. Ia menghela napas panjang.
“Kalau
begitu, aku pun tidak bisa lama tinggal di sini. Aku harus pergi mencari jejak
Lulu. Tidak mungkin aku dapat membiarkan adikku itu merana seorang diri. Aku
merasa yakin bahwa pasti dia minggat untuk mencariku.”
“Ah, mengapa
terburu-buru, Adik Han Han! Istana sendiri telah berusaha mencarinya dan banyak
penyelidik telah disebar untuk mencari Lulu, bahkan ada perintah dari Kaisar
sendiri untuk memanggil gadis itu. Kurasa, sebagai seorang gadis Mancu dia
tidak akan berani membangkang terhadap perintah Kaisar. Lebih baik engkau
menanti di sini, pasti akan dapat ditemukan. Sementara itu, engkau yang
memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi apakah tidak ingin berkenalan dengan
tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berada di sini? Aku telah mengundang
mereka dan mereka ingin benar berkenalan denganmu. Di antara mereka terdapat
seorang tokoh sakti dan aneh berjuluk Sin-tiauw-kwi yang kabarnya murid
keturunan tokoh sakti Hek-giam-lo dari Khitan. Ada lagi kakak beradik yang
berjuluk Tikus Kuburan, juga mereka memiliki ilmu yang luar biasa lihainya. Di
samping itu, lebih baik kau tunggu tokoh yang paling hebat di antara kita
semua, yaitu Puteri Nirahai yang memiliki ilmu kepandaian mukjizat biar pun dia
hanya seorang gadis muda, dia memiliki ilmu keturunan dari pendekar wanita
sakti Mutiara Hitam di Khitan!”
Hati Han Han
tertarik juga mendengar ucapan itu, terutama sekali mendengar nama Puteri
Nirahai. Bukankah itu puteri Mancu yang amat lihai, yang telah mengatur siasat
mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Kalau Nirahai memiliki ilmu
keturunan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, berarti gadis Mancu itu masih
mempunyai hubungan perguruan dengan Siang-mo-kiam Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa,
dua orang sakti Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh sendiri itu karena
mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam.
Selain ingin
bertemu dengan orang-orang sakti yang disebut cihu-nya itu, juga memang kalau
dipikir, ke mana ia harus mencari adiknya yang telah melarikan diri dari
istana? Adiknya memang nakal, diberi kemuliaan di istana tidak betah dan malah
minggat tanpa pamit. Ia tertawa di dalam hatinya. Kalau Lulu tidak menghendaki,
biar kaisar sendiri tidak akan dapat menahannya! Adiknya memang nakal dan lucu,
tentu sekarang sedang bingung mencari-carinya, padahal dia sudah berada di kota
raja! Kaisar mempunyai kaki tangan di mana-mana, tentu lebih mudah mencari
adiknya itu.
Melihat pemuda
aneh itu agaknya sudah dapat terbujuk, Giam-ciangkun menjadi girang dan
mengatur rencana untuk mempertemukan Han Han dengan para tokoh lain, bahkan
mulai membujuk-bujuk Han Han betapa senangnya kalau pemuda itu suka menjadi
pengawal atau jagoan kerajaan.
“Engkau akan
cepat mendapat kemajuan, namamu akan dikenal di seluruh negeri, akan mendapat
kehormatan besar bahkan siapa tahu kelak akan mendapat kehormatan menjadi
pengawal pribadi kaisar sendiri,” demikian antara lain Giam-ciangkun membujuk
adik iparnya.
Han Han
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau menjadi panglima pengawal kalau
pekerjaannya hanya membunuhi orang-orang, Cihu. Selain aku tidak mempunyai
cita-cita menjadi pembesar, juga agaknya tidak mungkin aku menjadi pembesar
Mancu karena aku masih harus membunuh enam orang perwira Mancu.”
Giam-ciangkun
mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah maksudmu, Han Han?”
Han Han
memandang cihu-nya dengan tajam. Kini ia mendapatkan kesempatan untuk bicara
berdua dengan cihu-nya. “Cihu tentu mengerti bahwa aku telah bersumpah untuk
membunuh tujuh orang perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuaku. Cihu
sendiri karena sudah menjadi suami Cici-ku dan kulihat memang Cihu saling
mencinta dengan Cici, maka aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi enam orang
perwira lainnya, terutama sekali perwira muka kuning yang telah memperkosa dan
membunuh mendiang Ibuku, tak dapat aku mengampuninya begitu saja. Sebelum aku
dapat membunuh enam orang perwira itu, tidak mungkin aku menjadi petugas
kaisar.”
Wajah
panglima tinggi besar yang penuh jenggot terpelihara baik-baik itu berubah
pucat. “Aihhhhh, Adik Han Han. Apakah engkau tidak dapat melupakan hal itu?
Apakah engkau tidak dapat menerima kenyataan dan menganggap peristiwa itu
sebagai peristiwa dalam perang yang lazim terjadi?”
Han Han
menggeleng kepalanya. “Perang atau tidak, perbuatan manusia dapat dibedakan
bagaimana yang jahat dan bagaimana pula yang baik. Kalau orang tuaku tewas
dalam pertempuran, aku pun tidak begitu bodoh untuk mencari
pembunuh-pembunuhnya. Akan tetapi orang tuaku tidak terbasmi selagi bertempur,
melainkan dibasmi secara keji tanpa alasan. Tidak, Cihu. Tidak mungkin aku
mengampuni enam orang perwira yang lain!”
Giam-ciangkuan
tidak berkata apa-apa lagi, akan tetapi Han Han maklum bahwa perasaan cihu-nya
tersinggung, akan tetapi dia tidak mempedulikannya. Bahkan pada malam harinya,
karena ia telah menaruh curiga akan sikap cihu-nya yang ia tahu menaruh
ganjelan hati terhadap dirinya, dengan mempergunakan kepandaiannya Han Han
dapat menyelinap mendekati jendela kamar cici-nya dan mendengar percakapan
lirih yang terjadi di dalam kamar itu. Bagi orang yang tidak memiliki sinkang
tinggi sehingga daya tangkap telinganya amat tajam, tidak mungkin mendengarkan
percakapan di dalam kamar yang dilakukan sambil berbisik-bisik itu.
“Sungguh
celaka. Adikmu itu tentu akan menimbulkan mala petaka besar. Dia masih
mendendam kepada Giam Kok Ma dan lima orang perwira lainnya yang dulu menyerbu
rumahmu. Dia bersumpah untuk membunuh mereka.”
“Aih, anak
itu memang keras hati sekali. Aku tidak peduli kalau mereka berenam itu
dibunuh, akan tetapi kalau dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, tentu dia
akan dikejar-keiar dan ditangkap. Bagaimana baiknya, suamiku?”
“Satu-satunya
jalan untuk menghindarkan pembunuhan adalah memberi tahu mereka agar
cepat-cepat meninggalkan kota raja dan jangan menampakkan diri sebelum Han Han
pergi dari kota raja. Kurasa, kalau terlalu lama anak itu berada di sini
akhirnya pasti akan timbul mala petaka. Wataknya aneh sekali.”
Cici-nya
menghela napas panjang. “Betapa berat rasa hatiku harus berpisah kembali dengan
saudara kandungku yang hanya satu-satunya itu. Akan tetapi agaknya ucapanmu itu
benar sekali dan terserahlah apa yang hendak kau lakukan, asal Han Han terbebas
dari pada bahaya.”
“Aku akan
mengirim surat sekarang juga kepada Giam Kok Ma, agar dia bersama lima orang
kawan lain itu melarikan diri.”
Han Han
cepat menyelinap pergi, jantungnya berdebar keras. Ia agak terharu mendengar
ucapan cici-nya, juga ia percaya bahwa cihu-nya tidak akan mencelakainya. Akan
tetapi mendengar bahwa cihu-nya hendak mengirim surat kepada perwira yang
bernama Giam Kok Ma, ia girang sekali. Kiranya enam orang musuh besarnya yang
lain itu berada di kota raja pula! Tentu Giam Kok Ma itu pun seorang di antara
enam orang perwira itu.
Perwira
rendahan yang diutus Giam-ciangkun membawa surat itu sama sekali tidak tahu
bahwa di belakangnya ada orang yang membayangi perjalanannya seperti setan. Ia
tidak tahu sama sekali bahwa bayangan yang mengikutinya itu terus ikut memasuki
halaman istana Panglima Giam Kok Ma, dan bayangan yang bukan lain adalah Han
Han itu menyelinap ke dalam gelap setelah tiba di istana itu.
Bahkan
ketika perwira utusan itu menyampaikan surat kepada Panglima Giam Kok Ma yang
membaca surat itu dengan muka berkerut-kerut, Han Han mengintai dari lubang di
atas genteng. Sinar mata Han Han berapi-api ketika mengenali panglima yang
mukanya kuning itu. Itulah dia si keparat yang dahulu memperkosa ibunya!
Mukanya
terasa panas dan kalau menurutkan nafsunya, ingin ia pada saat itu juga
melompat ke dalam kamar dan membunuh musuh besarnya itu. Akan tetapi Han Han
menahan kemarahannya. Lebih baik menanti sampai mereka semua berkumpul,
pikirnya. Kalau kubunuh dia sekarang, aku masih harus mencari yang lima orang
lainnya dan hal itu tidak akan mudah. Apa lagi cihu-nya sama sekali tidak suka
membantunya dalam hal pembalasan dendam ini dan hal ini pun ia maklumi, bahkan
cihunya tentu saja akan memberi kabar secara diam-diam kepada rekan-rekannya
untuk melarikan diri.
Han Han
memang telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi betapa pun
juga dia hanya seorang pemuda yang kurang pengalaman. Mana mungkin ia dapat
menandingi kecerdikan tokoh-tokoh istana? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan
tidak menduga sedikit pun bahwa sesungguhnya semua ini telah diatur dan
direncanakan oleh para tokoh itu, di bawah pimpinan Pangeran Ouwyang Cin Kok.
Tidak tahu bahwa semua itu adalah pelaksanaan siasat mereka.
Karena
Giam-ciangkun maklum bahwa di dalam hatinya Han Han tidak senang kepadanya dan
bahwa pemuda ini merupakan ancaman baginya untuk selama hidupnya, maka ia telah
mengatur rencana bersama Ouwyang Cin Kok dan para tokoh lainnya. Kalau mereka
menanti kembalinya Gak Liat, Puteri Nirahai dan Ouwyang Seng, tentu akan
memakan waktu lama dan siapa tahu dalam waktu itu apa yang akan dilakukan
pemuda aneh itu. Apa pun yang dilakukannya, pasti menimbulkan kengerian dalam
hati mereka, mengingat betapa mudahnya Han Han membunuh puluhan orang pengawal.
Kebetulan
sekali dua hari sebelum Han Han mendengarkan percakapan antara cihu dan
cici-nya, muncul seorang nenek yang luar biasa di waktu malam di dalam gedung
istana Pangeran Ouwyang Cin Kok. Munculnya seperti iblis saja, tahu-tahu telah
berada di ruangan dalam tanpa diketahui oleh para pengawal yang menjaga.
Kehadirannya baru diketahui hanya setelah dia lewat di kamar yang dijadikan
kamar tidur Sin-tiauw-kwi Ciam Tek saja.
“Rebahlah!”
Tiba-tiba nenek itu mendengar suara kaku di belakangnya.
Nenek itu
merasa betapa ada angin pukulan yang hebat luar biasa mendorongnya dari
belakang. Nenek ini bukan lain adalah Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Maklum
bahwa ada orang berkepandaian tinggi menyerangnya dari belakang, nenek ini
memutar tubuhnya. Pemutaran tubuhnya ini didahului oleh menyambarnya
anting-anting panjang berbentuk rantai gelang yang tergantung di kedua
telinganya. Rantai gelang itu menyambar ke depan menangkis pukulan
Sin-tiauw-kwi Ciam Tek.
“Tranggggg...!”
Pukulan yang
dilakukan Sin-tiauw-kwi adalah pukulan Hek-in Sin-ciang. Dari kedua telapak
tangannya mengebul asap hitam, hebatnya bukan main. Ketika ujung rantai gelang
bertemu dengan tangan Si Burung Hantu, sebuah gelang terlepas, akan tetapi
bukan terlepas runtuh, melainkan terlepas dan meluncur ke arah tubuh Si Burung
Hantu, menyambar jalan darah mematikan di tenggorokan!
Kedua orang
tokoh sakti itu sama-sama terkejut, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut ketika
tangkisan senjatanya yang aneh itu mengakibatkan sebuah gelang putus, maka ia
membuat gelang itu meluncur menyerang lawan sambil meloncat mundur. Ada pun
Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terkejut bukan main bahwa serangannya yang amat ampuh
itu selain dapat dihindarkan lawan, juga lawan yang lihai itu malah berbalik
menyerang dengan senjata rahasia yang aneh itu. Cepat ia miringkan kepalanya
dan mulutnya yang runcing meniup gelang itu sehingga menyeleweng dan masuk ke
dalam dinding!
Mendengar
suara ribut-ribut, sebentar saja ruangan itu penuh dengan para pengawal yang
mengepung nenek itu. Kakak beradik Tikus Kuburan yang mengenal nenek itu
berseru dengan kaget, “Ah, kiranya Toat-beng Ciu-sian-li yang datang?”
Nenek yang
tadinya menyapu para pengawal yang mengurungnya dengan pandang mata mengejek,
kini memandang kakak beradik itu dan berkata, “Eh-eh, agaknya kedua Tikus
Kuburan juga kesasar sampai di sini. Orang-orang she Bhong, aku memenuhi
undangan Setan Botak yang menyatakan bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok membutuhkan
bantuan orang pandai, akan tetapi beginikah penerimaan Pangeran Ouwyang Cin Kok
terhadap tamunya? Siapa kira Pangeran Ouwyang memelihara anjing galak yang
mukanya seperti burung sekarat!” Ia melirik kepada Sin-tiauw-kwi yang mendengus
saja mendengar ucapan menghina itu.
Pangeran
Ouwyang Cin Kok yang telah bangun pula tadi bersembunyi di tempat rahasia.
Ketika mendengar bahwa nenek yang mengerikan itu adalah Toat-beng Ciu-sian-li,
dan melihat bahwa jagoan-jagoannya telah berada di situ, kini berani muncul dan
ia segera berkata.
“Ah, harap
locianpwe suka memaafkan orang-orangku. Karena kedatangan locianpwe tanpa
memberi tahu dan pada tengah malam secara begini mengejutkan, maka
orang-orangku tidak mengenal locianpwe. Silakan duduk.”
Toat-beng
Ciu-sian-li sejenak memandang wajah pangeran itu, lalu tertawa dan minum
araknya dari guci arak yang selalu diselipkan di pinggang, kemudian tertawa
lagi sehingga kepalanya bergoyang-goyang dan anting-antingnya yang besar dan
amat panjang itu mengeluarkan bunyi berkerincingan.
“He-he-he,
Pangeran Ouwyang dapat menghargai orang pandai, itu bagus! Eh, Ouwyang Ong-ya,
anjingmu ini selain galak juga lihai sekali. Siapakah dia?” Ia menudingkan
telunjuknya ke arah Sin-tiauw-kwi yang sudah berdiri dengan sebelah kaki.
“Apakah
locianpwe belum mengenalnya? Dia berjuluk Sin-tiauw-kwi.”
Nenek itu
membelalakkan kedua matanya. “Wah-wah, kiranya inikah Si Burung Hantu? Luar
biasa sekali, pantas dengan namanya, memang engkau buruk seperti burung hantu.
Aku ingin sekali mencoba kepandaianmu!”
“Hemmm,
nenek tua bangka. Bukankah engkau ini seorang di antara selir-selir Suma Kiat?
Aku pun ingin mencoba gebukan-gebukanmu beberapa jurus! Kapan saja dan di mana
saja!”
Mendengar
ini, di dalam hatinya Pangeran Ouwyang Cin Kok mengomel. Celaka sekali orang-orang
sakti yang wataknya aneh ini. Kalau dibiarkan tentu akan saling gebuk dan
rumahnya menjadi arena perkelahian di antara pembantu-pembantunya sendiri. Bisa
berabe! Cepat ia tertawa dan meloncat ke depan.
“Harap ji-wi
suka menangguhkan pibu itu untuk lain kali saja. Sekarang ada urusan yang amat
penting yang kuharapkan akan mendapat bantuan Ciu-sian-li. Marilah kita bicara
di dalam ruangan belakang. Silakan, locianpwe.”
Demikianlah
pangeran yang cerdik ini berunding dengan tokoh-tokoh itu dan hasil perundingan
ini merupakan siasat yang dijalankan Giam-ciangkun terhadap Han Han. Di luar
tahu pemuda itu sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li yang lihai membayangi pemuda
ini, terus membayanginya ketika Han Han mengikuti utusan yang membawa surat
Giam-ciangkun kepada rekannya, si panglima muka kuning, Giam Kok Ma.
Ini sudah
termasuk rencana mereka. Kalau Han Han langsung turun tangan terhadap Giam Kok
Ma, tentu ia akan berhadapan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Kalau tidak dan
pemuda ini mengikuti Giam Kok Ma seperti yang mereka duga, hal ini pun sudah
mereka persiapkan untuk menyambut pemuda itu!
Ketika Han
Han mengintai dari atas genteng di gedung Giam Kok Ma, ia mendengar musuh
besarnya itu berkata.
“Baiklah,
sampaikan kepada Giam-ciangkun bahwa aku sudah mengerti akan isi suratnya dan
besok pagi-pagi aku akan menghubungi rekan-rekan yang terancam.”
Mendengar
ini Han Han lalu meninggalkan gedung dan bersembunyi di atas sebatang pohon
sambil menjaga. Pada keesokan harinya, ia melihat Giam Kok Ma, musuh besarnya
itu meninggalkan gedung menunggang kuda dikawal oleh enam orang pengawal. Ia
cepat meloncat turun dan mempergunakan ginkang-nya mengikuti dari jauh. Larinya
cepat sekali sehingga biar pun panglima bersama pengawal-pengawalnya itu
membalapkan kuda, ia masih dapat mengikuti mereka.
Jauh di luar
kota, rombongan itu memasuki sebuah hutan dan ternyata di pinggir hutan itu
terdapat sebuah bangunan yang indah, agaknya sebuah rumah peristirahatan
pembesar Mancu. Ia melihat Giam Kok Ma memasuki rumah itu, sedangkan para
pengawal lalu menuntun kuda ke kandang kuda dan masuk di bagian belakang gedung
itu.
Han Han
cepat melayang naik ke atas genteng. Dari atas ia mencari-cari namun tidak
melihat bayangan musuhnya. Ia mencari terus dan akhirnya karena khawatir kalau-kalau
kehilangan musuhnya, ia meloncat turun masuk ke dalam melalui jendela dan tiba
di sebuah ruangan yang luas. Baru saja kakinya menginjak lantai, sebuah pintu
terbuka dan yang muncul adalah... Giam Cu cihu-nya.
“Eh, Adik
Han Han! Mengapa engkau berada di sini?” Panglima brewok ini bertanya dengan
wajah kaget dan heran.
“Cihu, ini
rumah siapakah?” Han Han balas bertanya, suaranya juga heran akan tetapi kereng
dan dingin.
“Ini
rumahku, rumah peristirahatan!” jawab cihu-nya. “Dan sungguh kebetulan sekali
kedatanganmu, Adikku. Memang aku sedang memanggil berkumpul tokoh-tokoh
pengawal istana di sini untuk memperkenalkannya kepadamu. Siapa tahu, engkau
malah sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?”
“Cihu, aku
mengejar musuh besarku, perwira muka kuning! Ke mana dia? Harap Cihu jangan
mencampuri, suruh dia keluar bersama musuh-musuhku yang lain!”
“Eh-eh, Adik
Han Han. Mengapa engkau memaksa diri hendak menyebabkan kekacauan? Harap kau
suka memandang mukaku dan mengingat Encimu. Jika engkau melakukan hal-hal yang
mengacaukan di sini, dan membunuh panglima-panglima kerajaan, berarti engkau
akan mendatangkan mala petaka kepadaku.”
“Mengapa
mereka datang ke rumah Cihu di sini? Mau apa? Apa artinya ini semua?”
“Adikku,
mereka adalah panglima-panglima kerajaan, tentu saja mereka pun sudah biasa
mengadakan pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih baik
kuperkenalkan kau dengan para pengawal.”
Pada saat
itu beberapa buah pintu terbuka dan muncullah tiga orang yang amat aneh
keadaannya. Han Han memandang tajam dan ia pun siap dan waspada, maklum bahwa
tiga orang yang muncul ini bukanlah orang-orang sembarangan dan ia mulai curiga
terhadap cihu-nya.
“Sam-wi
locianpwe, inilah Adik iparku yang gagah perkasa dan yang telah mem-persiapkan
tenaganya untuk membantu kerajaan. Inilah pendekar muda Sie Han.” Giam-ciangkun
memperkenalkan, kemudian berkata kepada Han Han, “Adikku, locianpwe itu adalah
Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Ada pun kedua orang
locianpwe ini adalah kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang Tikus Kuburan,
juga memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”
Han Han
memandang mereka, terutama sekali Si Burung Hantu yang amat aneh keadaannya
itu. Burung Hantu memandang Han Han dengan mata disipitkan, jelas sekali
memandang rendah, kemudian berkata.
“Ehemmm,
Adik iparmu ini lumayan juga, Giam-ciangkun!” Mungkin karena ketika bicara
mulutnya terbuka dan mengeluarkan bau yang seperti sampah, dua ekor lalat
terbang menyambar ke arah mulutnya.
“Heh, segala
macam lalat mengganggu saja!” kata Si Burung Hantu dan dua kali tampak sinar
berkelebat-kelebat ketika manusia aneh ini menggerakkan senjatanya yang seperti
sabit dan... tubuh dua ekor lalat kecil itu jatuh ke lantai, terbelah menjadi
dua!
Han Han yang
melihat ini diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali, maklum bahwa manusia yang
seperti burung itu benar-benar amat sakti. Akan tetapi dia tidak mau peduli,
lalu berkata kepada Giam-ciangkun, “Cihu, aku tidak ingin berkenalan dengan
para locianpwe ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuh-musuhku.
Suruh mereka keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di dalam
rumah ini!”
“Heh-heh,
bocah yang menjadi iparmu ini sungguh tidak memandang mata kepada kami,
Ciangkun. Siapakah yang menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya di sini?”
tanya Bhong Poa Sik yang kepalanya botak dan ubun-ubunnya ada ‘telur’-nya.
Giam-ciangkun
menarik napas panjang. “Hemmm, inilah yang menyusahkan hatiku, Sam-wi
Locianpwe. Adik iparku ini mempunyai dendam pribadi terhadap rekan kita Giam
Kok Ma dan lima orang panglima lain dan berkeras hendak membunuh mereka.
Bagaimana aku harus berbuat? Dia ini adalah Adik iparku sendiri, sedangkan
membunuh enam orang rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku Han
Han, pikirlah baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang
tidak ada gunanya itu dan marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para
locianpwe ini. Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan dapat menghargai seorang
pandai.”
Han Han
mengerutkan keningnya dan menggeleng kepala. “Tidak bisa, Cihu. Dari pada
menjadi seorang anak yang puthauw (durhaka), yang tidak mau membalas kematian
keluarga orang tuaku, lebih baik aku menempuh segala bahaya sampai mati!”
“Hem, bocah
sombong. Engkau hendak membunuhi enam orang panglima kerajaan? Wah-wah, nanti
dulu! Apa kau kira hadirnya orang macam aku di sini tiada gunanya? Lawan dulu
sabitku, baru boleh kau coba-coba melanjutkan niatmu yang jahat!” Sin-tiauw-kwi
mengejek dan kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu meloncat-loncat
seperti burung, maju mendekati Han Han.
“Orang muda,
dengan adanya kami di sini, mana mungkin engkau akan membunuh panglima
kerajaan? Jangan mimpi di siang hari!” bentak Bhong Lek yang sudah maju pula
bersama adiknya.
Han Han
mengerutkan keningnya dan memandang kakak iparnya, lalu berkata, suaranya
dingin sekali. “Hemmm, beginikah kehendakmu, Cihu?”
Bertemu
pandang dengan adik iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri.
Pandang mata Han Han seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi hatinya, maka
sambil menggerakkan pundaknya dan mengalihkan pandang ia menjawab, “Engkaulah
yang menyusahkan aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang pun di sini yang akan
membiarkan engkau membunuh orang, apa lagi hendak membunuh enam orang panglima.
Bahkan aku sendiri mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau aku
membiarkanmu, berarti aku seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau
sadar?”
Han Han
memutar otaknya dan teringatlah ia akan semua kejadian semenjak malam tadi. Ia
ingat akan percakapan antara cihu-nya dan cici-nya, kemudian teringat akan
perbuatan Giam Kok Ma sehingga perwira itu pergi ke tempat ini. Ternyata
cihu-nya sudah berada di sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua ini
sudah diatur lebih dulu? Dugaan ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia
mengangkat muka membusungkan dada.
“Keputusanku
sudah jelas! Aku akan mencari Si Keparat Panglima Muka Kuning yang bernama Giam
Kok Ma itu dan lima orang sekutunya yang dulu menghancurkan keluarga orang
tuaku. Jika ada yang ingin menghalangi, dia itu pun harus kuenyahkan!”
“Heh-heh,
orang muda yang sombong!” Dua orang Tikus Kuburan sudah menubruk maju untuk
menangkap Han Han. Mereka memandang rendah sekali. Pemuda itu masih bocah, biar
pun keadaannya aneh dan sikapnya luar biasa dingin dan beraninya, namun
mempunyai kepandaian apakah?
Han Han yang
sudah marah itu membalikkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya mendorong.
Karena maklum akan kelihaian dua orang kakek ini, sekaligus ia telah
mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang pada kedua lengannya.
“Hayaaaaa...!”
Dua orang itu terkejut setengah mati ketika ada hawa panas menyambar dan
menyesakkan dada mereka, membuyarkan semua tenaga sinkang mereka yang mereka
pergunakan untuk menahan pukulan, akhirnya mereka tidak kuat dan terpaksa
melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menjauhkan diri! Mereka meloncat
bangun dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
“Hmmm,
kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian!” Si Burung Hantu membentak, akan
tetapi sebelum ia turun tangan, terdengar suara ketawa.
“Hi-hi-hi,
burung yang jelek, jangan rampas korbanku! Serahkan bocah ini kepadaku!” Tubuh
Toat-beng Ciu-sian-li melayang turun dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan
Han Han.
Karena
merasa pernah menjadi murid wanita ini, Han Han terkejut sekali dan otomatis ia
menjura dengan hormat sambil berkata, “Subo, harap jangan mencampuri urusan
pribadiku!”
“Heh-heh-hi-hik,
kalian semua telah mendengarnya, kan? Dia adalah muridku dan karena dia telah
melakukan dosa melanggar peraturan-peraturan perguruan, maka dia sepenuhnya
menjadi hakku.”
Sin-tiauw-kwi
tertawa. “Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan guru dan
murid. Toat-beng Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan tidak benar, memang perlu
sekali akan pengajaranmu!”
Toat-beng
Ciu-sian-li menghadapi Han Han sambil menyeringai. “Bocah iblis murid durhaka.
Apakah engkau tidak lekas berlutut minta ampun kepada gurumu?”
Han Han
mengerutkan alisnya. Ia melihat cihu-nya sudah duduk dengan tenang di atas
kursi menghadapi meja, juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil tempat duduk
sedangkan Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan satu kaki, sikap mereka semua
seperti orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik. Han Han menduga
bahwa memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang mereka
hendak mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang musuh-musuhnya
yang hendak ia basmi. Ia menjadi penasaran, akan tetapi sedikit pun tidak
gentar. Ia menghadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.
“Locianpwe,
aku menghormatimu sebagai bekas guru, akan tetapi sekarang aku bukanlah muridmu
lagi. Tentang kesalahanku dahulu telah melarikan diri darimu karena aku memang
tidak suka menjadi muridmu. Sekarang, karena sedang menghadapi urusan pribadi
hendak membasmi musuh-musuh keluargaku, harap kau orang tua suka mengalah dan
membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah selesai aku membasmi
musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita.”
“Eh, Si
keparat bocah tak mengenal budi! Tak usah banyak bicara hayo lekas berlutut di
depanku!”
Akan tetapi
bentakan ini malah mendatangkan rasa penasaran di hati Han Han. Selama ia
keluar dari Pulau Es, dia selalu dimusuhi orang, baik oleh tokoh-tokoh kang-ouw
yang disebut golongan putih mau pun oleh tokoh-tokoh golongan hitam. Rasa
penasaran ini membuat ia marah dan nekat.
“Toat-beng
Ciu-sian-li, engkau mempunyai pendirian, aku pun punya! Aku akan membasmi
musuh-musuhku dan siapa pun yang menghalangiku, biar engkau sekali pun, akan
kulawan!”
“Wah-wah,
baru sekarang aku melihat murid lebih galak dari gurunya!” kata Sin-tiauw-kwi
sambil tertawa.
“Tutup
mulutmu, Burung Buruk!” Ciu-sian-li membentak. “Kau kira aku tidak dapat
menguasai muridku? Han Han, sekali lagi, engkau tidak mau taat?”
“Terserah
kepadamu, aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi.”
Toat-beng
Ciu-sian-li mengeluarkan suara teriakan melengking dan tiba-tiba rantai gelang
yang dijadikan anting-anting telinganya itu menyambar dari kanan kiri, yang
kiri menyambar kepala Han Han, yang kanan menyambar ke arah dada. Sambaran
kedua benda itu cepat dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi berdesing dan Han Han
yang tidak keburu mengelak, mengerahkan tenaganya dan menghantam ke arah dua
ujung rantai gelang itu dengan kedua telapak tangannya.
“Plak-plak!”
“Bukkk!”
Tanpa
disangka-sangka oleh Han Han, pukulan nenek itu sudah menyusul pada saat ia
menggerakkan tangan menangkis sehingga dadanya kena didorong oleh tangan kiri
nenek itu. Tubuh Han Han roboh bergulingan, dadanya ampek dan napasnya sesak.
Akan tetapi ia menahan napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu terkejut bukan
main karena tangkisan kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya
kehilangan dua buah mata gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.
“Bocah
keparat, berani engkau melawan Toat-beng Ciu-sian-li?” Nenek itu memekik dan
tubuhnya sudah melayang naik dan meluncur ke arah Han Han dengan terjangan
dahsyat sekali.
Kedua tangan
nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut
Nyawa). Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan bunyinya dan tercium bau amis
sebelum pukulan itu datang. Melihat ini Han Han maklum bahwa ia menghadapi
lawan yang lebih lihai dari pada Gak Liat atau Ma-bin Lo-mo, maka ia cepat
mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dan
menggunakan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...!
Plak-plak...!” dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya kembali Han Han
terjengkang dan bergulingan.
Akan tetapi
nenek itu berdiri menggigil dan mulutnya berseru berkali-kali, “Luar biasa...
luar biasa...!”
Memang ia
merasa heran setengah mati mendapat kenyataan betapa kekuatan Im-kang bocah itu
lebih hebat dari pada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo sendiri!
“Heh-heh-heh,
Dewi Pemabuk! Apakah engkau kewalahan menghadapi muridmu sendiri?” Si Burung
Hantu mengejek sambil tertawa.
Nenek itu
melengking tinggi karena marahnya, tubuhnya berkelebat cepat ke depan dan
segera Han Han dihujani serangan dengan kedua tangan yang bergantian memukul,
kedua kaki yang bergantian menendang, dan sepasang anting-anting raksasa yang
menyambar-nyambar dari kiri kanan! Hebat bukan main sepak terjang nenek ini
sehingga secara berturut-turut Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan
dan hantaman senjata rantai gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa
tubuhnya sakit-sakit semua.
Sepasang
Tikus Kuburan bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan memang mereka kagum
bukan main. Sudah lama mereka mendengar nama besar Toat-beng Ciu-sian-li, akan
tetapi baru sekarang mereka menyaksikan kelihaian nenek itu. Tadi mereka sudah
mengenal kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat betapa nenek itu mendesak dan
menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han, tentu saja mereka
menjadi kagum sekali. Ada pun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa adik
isterinya terancam bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya ia
menganggap Han Han sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.
Seperti yang
pernah dilakukan oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat, nenek ini pun tidak ingin
membunuh Han Han karena dia sudah mendengar dari tiga orang muridnya tentang
keadaan diri Han Han yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Dia pun
diam-diam menduga bahwa Han Han tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es,
maka ia ingin memaksa anak muda itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es,
ingin menangkapnya dan membawanya pergi.
Di samping
ini, juga ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada para jagoan kerajaan, maka
ia sengaja mempermainkan Han Han dan mengeluarkan kepandaiannya yang memang
mengagumkan sekali. Kalau ia kehendaki, tentu ia telah dapat membunuh Han Han
dengan pukulan-pukulan Toat-beng-tok-ciang yang dikerahkan dengan tenaga
sepenuhnya.
Untuk ke
sekian kalinya, ketika dengan nekat Han Han menubruk, menggunakan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im Sin-ciang dengan
tangan kiri yang amat mengagumkan hati nenek itu, Toat-beng Ciu-sian-li
mencelat ke atas sehingga kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya
menendang, mengenai dada Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di
sudut ruangan itu. Han Han terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja
hiasan tinggi yang menjadi tempat pot bunga. Ia meloncat bangun dan mematahkan
kaki meja itu.
Seperti juga
kursi yang diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat dari pada akar pohon
yang bengkak-bengkok dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi sebatang tongkat dan
dengan senjata sederhana ini Han Han maju lagi menghadapi Si Nenek sakti dengan
kemarahan meluap-luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh, akan tetapi
kemauannya yang keras membuat ia nekat dan pantang menyerah, kalau perlu ia
akan mempertaruhkan nyawanya di tangan bekas gurunya ini.
“Ha-ha-ha-ha,
biar engkau berubah menjadi tiga orang, tak mungkin engkau dapat menangkap
Toat-beng Ciu-sian-li, bocah sombong!” Bhong Lek yang mukanya seperti tikus
mengejek.
“Heh-heh,
biar dia berkepala tiga dan berlengan enam, takkan mampu menang!” Bhong Poa Sik
mengejek pula.
Mendengar
ini, nenek itu terkekeh. “Jangankan hanya menjadi tiga, biar menjadi tiga puluh
sekali pun aku masih sanggup mempermainkannya!”
Han Han
makin marah, merasa dianggap rendah sekali. Ia teringat akan kemampuannya yang
luar biasa, yang hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam menghadapi Setan
Botak dan Si Muka Kuda tempo hari. Mendengar itu, ia pun lalu berkata dengan
suara lantang, sinar matanya menyambar-nyambar seperti kilatan halilintar dan
suaranya yang mengandung khikang kuat itu didasari kekuatan kemauan mukjizat
yang amat berpengaruh.
“Nenek
sombong! Lihat, aku sudah menjadi tiga orang! Engkau mau bisa apa?” Sambil
berkata demikian ia menyerang dengan pukulan tongkat kaki meja ke depan dan
terbelalaklah semua orang ketika melihat betapa Han Han benar-benar telah
menjadi tiga orang! Tiga orang muda berambut riap-riapan, ketiganya memegang
tongkat dan menyerang Toat-beng Ciu-sian-li dari tiga jurusan!
“Hehhh...!
Mimpikah aku?” Si Burung Hantu berkata gagap dengan mata makin menjuling.
“Demi segala
iblis di neraka!” Si Muka Tikus Bhok Lek berseru dengan mata terbelalak.
“Ajaib...
se... se... setan...!” Adiknya juga berseru.
“Ilmu hitam
apakah ini...?” Giam-ciangkun juga berseru, jantungnya seperti berhenti
berdetik.
“Ayaaaaa...!”
Toat-beng Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit, punggungnya terkena
hantaman tongkat.
Akan tetapi
tubuhnya kebal dan sungguh pun ia merasa punggungnya nyeri, namun ia tidak
terluka dan kembali ia melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas dan ia
menghindarkan pukulan tangan kanan kedua orang ‘Han Han’ yang berada di
belakangnya sambil menggerakkan rantai gelang telinga kanannya menyerang ke
arah dada Han Han yang bergerak ke depannya.
“Pranggg...!”
Sambil memegang tongkat dengan tangan kiri, dengan telapak tangan kanannya Han
Han menampar ujung rantai itu sehingga dua buah gelang pecah-pecah. Dalam
pandang mata empat orang yang menjadi penonton, dua orang ‘Han Han’ yang lain
juga memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka menerjang berbareng.
“Eh...
hiiihhhhh...!”
Toat-beng
Ciu-sian-li selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti itu. Ia kembali
meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan.
Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang rantainya dan melontarkannya ke arah
tiga orang lawannya. Memang anting-anting luar biasa itu selain menjadi
‘perhiasan’ dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan sebagai senjata
rahasia, yaitu dengan cara melolos gelang-gelangan rantainya.
Han Han
cepat mengelak sambil menangkis dengan tongkatnya.
“Trakkk...!”
Tongkatnya
patah dan remuk dan ternyata bahwa tongkat kedua orang ‘bayangannya’ juga patah
dan remuk. Kini dia dan bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan tangan
kosong.
Melihat ini
Giam-ciangkun segera berseru, “Ilmu sihir! Dia hanya seorang, yang dua hanyalah
bayangan!”
Toat-beng
Ciu-sian-li bukan seorang bodoh. Dia seorang datuk golongan hitam yang sakti.
Maka ia segera sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat mengubah diri
menjadi tiga orang, maka ia mengerahkan kekuatan batinnya dan seketika
pandangannya menjadi terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas muridnya yang
telah memperoleh kemajuan luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga
sinkang yang menakjubkan.
Akan tetapi
rasa gentar dan bingung tadi dipergunakan baik-baik oleh Han Han. Selagi
lawannya bingung, ia mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan begitu tubuh
nenek itu turun, ia menubruk ke depan, memukul dengan dorongan dahsyat. Kini ia
menggunakan inti tenaga Im-kang yang ia latih selama bertahun-tahun di Pulau Es
menurut petunjuk kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang Pedang Iblis
dan dengan pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku dan
menjadi sebongkah salju sebesar kerbau!
“Ihhhhh...!”
Toat-beng
Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa pukulan yang amat dingin itu. Baru
terkena hawanya saja, ia merasa semua darah di tubuhnya seperti membeku, maka
maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena pukulan itu, tentu ia tidak akan
kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba
tubuhnya lenyap.
Pukulan Han
Han mengenai lantai di belakang tempat nenek itu tadi berdiri, membuat lantai
itu bergetar dan semua perabot yang berada di belakangnya hancur semua. Kiranya
nenek itu mempergunakan tenaganya yang mukjizat dan tubuhnya telah amblas ke
lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat ke luar dari lantai yang
mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki, ia kelihatan pucat dan
dari ujung bibirnya menetes darah. Ia hanya kena serempet saja, namun cukup
membuat nenek ini terluka!
“Ha-ha-ha,
nenek setan arak, biar kubantu engkau!” Tiba-tiba terdengar seruan keras dan
tahu-tahu Gak Liat Si Setan Botak telah berada di belakang Han Han, lalu
secepat kilat ia memukul punggung Han Han dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang.
Han Han
merasa betapa hawa panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan sinkang
melindungi tubuhnya sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai
punggungnya dan biar pun tubuhnya dilindungi sinkang yang kuat, tidak urung ia
terlempar juga dan roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciu-sian-li.
“Ha-ha-ha!
Aku sudah membantumu. Engkau pun harus membantu kami, membantu kerajaan,
Toat-beng Ciu-sian-li!” kata pula Gak Liat.
Nenek itu
memandang tubuh yang tergolek pingsan di depan kakinya, mengusap darah dari
ujung bibirnya dan menarik napas panjang. “Sebetulnya aku tidak membutuhkan
bantuanmu, Setan Botak. Akan tetapi aku memang sudah berjanji untuk membantu
kalian asal Kaisar dapat menghargai tenaga orang. Sekarang aku ada urusan
pribadi dengan bocah ini. Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!” Ia
mengempit tubuh Han Han yang lemas dan hendak pergi.
“Ha-ha-ha,
takkan ada gunanya kau membujuk dia untuk bicara tentang Pulau Es, Ciu-sian-li.
Dia keras kepala, engkau takkan berhasil!” kata pula Gak Liat.
Toat-beng
Ciu-sian-li menengok dan berkata, suaranya dingin, “Siapa hendak bicara tentang
Pulau Es? Dia bekas muridku yang durhaka, harus diberi hukuman untuk memberi
contoh kepada murid-murid lain!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat
dan lenyap.
Giam-ciangkun
bernapas lega, merasa seolah-olah sebuah batu berat yang selalu menekan di
dalam dadanya telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti itu.
“Aaahhhhh,
sungguh berbahaya...,” katanya sambil menyapu peluh yang membasahi lehernya.
Pintu
terbuka dan muncullah Giam Kok Ma. Mukanya yang kuning kini berubah putih dan
ia bertanya terengah-engah, “Be... betulkah apa yang kulihat tadi? Dia... iblis
cilik itu... berubah menjadi tiga? Celaka... jangan-jangan hanya satu yang
dibawa pergi, yang dua lagi...” Panglima muka kuning ini memandang ke seluruh
ruangan dengan mata jelalatan, takut kalau-kalau ia akan menemukan dua orang
Han Han lagi di tempat itu yang pasti akan membunuhnya.
Kang-thouw-kwi
Gak Liat tertawa, lalu duduk di atas kursi dan berkata, “Ciangkun, tidak usah
khawatir. Dia memang memiliki sedikit ilmu sihir. Bukan tubuhnya berubah
menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi pandangan dan kemauan kita sehingga kita
melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu betul-betul amat berbahaya kalau
dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh. Untung dia telah
tertawan oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa Ciu-sian-li.
Iblis cilik itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-ha-ha!”
“Syukurlah
kalau begitu,” kata Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati lega.
“Tenaga
sinkang-nya tidak lumrah manusia,” kata kedua orang Saudara Bhong.
Gak Liat
hanya tertawa, tidak mau bicara banyak karena dia sendiri masih ngeri kalau
mengingat betapa dia dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika melawan bocah
itu, dan lebih-lebih lagi, ketika hendak membunuhnya tiba-tiba muncul tokoh
yang paling disegani, paling dihormati, juga paling ditakuti di dunia ini.
Koai-lojin!
“Ehmmm...
sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk menghajar bocah sombong itu!”
tiba-tiba Sin-tiauw-kwi berkata sambil menggoyang senjata sabit di tangannya.
“Ha-ha-ha,
Sin-tiauw-kwi burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu akan mampus di tangan
Ciu-sian-li. Kalau kau ingin memperlihatkan kepandaianmu, boleh kau coba-coba
dengan aku.”
“Boleh!
Sekarang pun boleh!” kata Si Burung Hantu dan ia menggerakkan tangan kirinya ke
arah seekor lalat yang selalu banyak beterbangan di sekitar tubuhnya yang mungkin
karena tertarik baunya yang apek dan tengik.
Begitu ia
memutar-mutar tangannya, ada angin berpusingan keras dan betapa pun lalat itu
hendak terbang, ia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan hanya terbang
bingung berputar-putar di depannya! Demonstrasi sinkang yang seperti main-main
ini sesungguhnya hebat, memperlihatkan betapa Si Burung Hantu sudah menguasai
sinkang sampai cukup tinggi sehingga mampu menggunakan tenaga yang dibikin
halus seperti itu!
“Ha-ha-ha!
Beraninya hanya sama lalat!” Setan Botak tertawa dan menggerakkan tangannya
mendorong ke arah lalat yang beterbangan berputaran itu. Lalat itu jatuh dan...
hangus!
“Huh!”
Sin-tiauw-kwi mendengus. “Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi dapat menghanguskan
seekor lalat, akan tetapi aku tidak takut!” katanya menantang.
Melihat ini
Giam-ciangkun lalu bangkit berdiri dan menengahi mereka. Hatinya kesal
menyaksikan ulah kedua orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak yang saling
tidak mau mengalah. “Sudahlah, harap ji-wi locianpwe suka menghentikan
main-main yang berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil
perjalanan locianpwe?”
“Seperti
ciangkun telah melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li sudah menyanggupi untuk
membantu kita. Biar pun omongan nenek tua bangka itu belum tentu dapat
dipegang, akan tetapi saya yakin, bahwa dia tidak akan sudi membantu kaum
pemberontak. Tentang Ma-bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu
sukar sekali diurus. Akan tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan
murid-muridnya yang selalu dia tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru
dalam hati mereka. Hemmm, Si Muka Kuda itu mengira bahwa tidak ada orang
mengetahui rahasianya. Dia lupa bahwa tidak mudah orang menyembunyikan rahasia
dari Kang-thouw-kwi, heh-heh!”
“Bagus!
Rahasia apakah itu locianpwe? Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah banyak
mendatangkan banyak kepusingan pada para penjaga di perbatasan. Kalau kita
dapat menundukkan mereka, berarti semua tenaga anti pemberontakan dapat
dikerahkan menghadapi Se-cuan saja.”
“Rahasia
besar Ma-bin Lo-mo, rahasia busuk, ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa, menyambar guci
arak di atas meja, kemudian minum arak sampai terdengar bunyi menggelogok di
tenggorokannya. “Setiap orang muridnya adalah putera-puteri keluarga yang
terbasmi habis. Semua muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga mereka
terbasmi oleh pasukan Mancu. Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi
oleh pasukan Mancu. Yang membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri.
Ha-ha-ha!”
Sepasang
Tikus Kuburan terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya Ma-bin Lo-mo, seorang
bekas menteri Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti Kerajaan Mancu. Mereka
mendengar betapa di In-kok-san, di puncak Pegunungan Tai-hang-san, kakek itu
melatih puluhan orang murid yang kini telah menjadi orang-orang muda berilmu
yang di mana-mana memusingkan petugas kerajaan karena mereka itu selalu
melakukan kekacauan. Mereka ini mendengar bahwa para murid In-kok-san memusuhi
Kerajaan Mancu karena mereka adalah keturunan para keluarga yang terbasmi oleh
pasukan Mancu dalam perang.
“Eh,
Gak-locianpwe. Benarkah itu?”
Kang-thouw-kwi
melototkan matanya kepada kedua orang saudara Bhong ini. “Mengapa tidak benar?
Orang lain boleh ditipu, akan tetapi aku tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin
Lo-mo. Dia memilih calon murid, laki-laki atau perempuan yang memiliki tulang
dan bakat baik, kemudian ia membasmi keluarga calon murid itu, mengatakan bahwa
yang membasmi adalah orang-orang Mancu. Ia membawa murid itu ke In-kok-san.
Selain memberi kepandaian, juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng.
Dalam usahanya membentuk barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah baru
itu ia dibantu oleh Si Muka Tengkorak Swi Coan, Si Muka Bopeng Ouw Kian dan Kek
Bu Hwesio. Kalau murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka, ha-ha-ha,
hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!”
“Akan
tetapi, betapa mungkin dapat menginsafkan para muridnya, locianpwe?”
“Hal itu
memang sukar, akan tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan dapat mencari akalnya.
Tentang siasat, sebaiknya kita serahkan kepada Sang Puteri yang seratus kali
lebih cerdik dari pada saya si tua bangka. Dan tentang gadis Mancu yang menjadi
adik angkat Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah mendengar dari murid saya
Ouwyang-kongcu.”
“Ouwyang-kongcu
memang sudah pulang bersama Lulu, akan tetapi gadis itu hanya menimbulkan
keributan saja. Dia telah diterima di istana, bahkan telah diangkat menjadi
siuli, akan tetapi baru beberapa hari saja dia sudah minggat entah ke mana.
Kini Ouwyang-kongcu sedang berusaha mencarinya dan belum pulang.”
“Wah,
sungguh merepotkan. Dan Puteri Nirahai, apakah sudah pulang?”
“Belum,”
jawab Giam-ciangkun. “Marilah kita kembali ke kota raja. Kita harus memberi
laporan kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan aku sendiri masih menghadapi
kesukaran. Hemmm... tak tahu aku bagaimana harus menyampaikan kepada isteriku
tentang adiknya.”
Giam Kok Ma
berkata, “Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik iparmu itu pergi tanpa pamit
mencari Lulu. Bukankah alasan itu yang paling baik?”
Giam Cu
mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya benar begitu. Memang tidak ada alasan lain.”
Kembalilah
mereka beramai ke kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang bukan main dan baru
pada malam hari itu ia dapat tidur, setelah beberapa malam semenjak diberi tahu
Giam Cu bahwa dia dan rekan-rekannya diancam oleh Han Han, ia sama sekali tidak
dapat tidur nyenyak tidak dapat makan enak.
***************
Di dalam
kempitan seorang sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi dua jalan
darahnya telah ditotok, biar pun sudah sadar Han Han tidak mampu berbuat
apa-apa. Melihat dirinya dikempit dan dibawa lari cepat sekali, Han Han
berkata.
“Toat-beng
Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi? Lebih
baik kau bunuh sajalah aku, habis perkara!”
Mendengar
ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu
berkata. “Enak saja membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan
di In-kok-san. Engkau harus dihukum! Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk
meringankan hukumanmu?”
Han Han
tersenyum pahit. “Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan
kelihaianku dan engkau menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es,
bukan?”
“Benar,
benar...!” Ciu-sian-li berkata penuh gairah. “Bicaralah, dan aku akan
memperingan hukuman, bahkan mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari
berharga atau tidaknya bicaramu.”
Han Han
berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai
di dunia ini? Gak Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti
yang berkepandaian tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh mereka masih belum
puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu orang lain!
Tidak salah
ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini
ingin memeluk dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan! Kalau ia bicara tentang
Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak akan dibunuh! Benarkah ini? Andai kata
benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia sendiri sangsi
apakah dia akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni
Pulau Es!
Padahal dia
dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni Pulau Es!
Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah menjadi anak puthauw, belum
mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini mau ditambah menjadi
pengkhianat lagi? Biar pun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha agar tidak
menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang
mempertahankan kebenaran dari pada hidup sebagai seorang manusia yang rendah
budi!
“Tidak ada
yang dapat kubicarakan tentang Pulau Es,” katanya tegas.
“Hemmm,
bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa?”
“Sesukamulah.
Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak
takut mati, Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku
habis-habisan, mereka pun hanya melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik
kau bunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun tidak jemu!”
Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia
tidak hanya menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut
dengan mata terbuka.
“Hemmm,
enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi
contoh bagi semua murid yang murtad!”
Han Han
tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh
sama sekali. Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan
mengempitnya lalu membawanya lari cepat sekali seperti terbang.....
***************
Para murid
di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani. Walau
pun mereka itu tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh
orang saja, namun sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu.
In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para murid itu pulang,
karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi.
Setelah
mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah
penjajah, In-kok-san menjadi sunyi. Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di
sana. Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu berada di
situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya untuk
memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal
politik. Dia tekun melatih tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan
Gu Lai Kwan.
Biar pun
demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin
Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga mereka terbasmi oleh
bangsa Mancu, apa lagi karena semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga
saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang muda ini tentu saja tidak
mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo.
Sering kali
mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar
Mancu, membunuhi mereka, terutama sekali kepala-kepala kampung atau
pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat
betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan
menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi
betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang
muridnya melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang
Panglima Mancu yang hendak pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah
kalah melawan Han Han! Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu
saja ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada semua murid
Ma-bin Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu?
Nenek itu
marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa
Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es. Maka ia
lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan ia bertemu
dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu istana
dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik,
maka ia dianjurkan oleh Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin
Kok seperti telah direncanakan.
Karena
memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek itu
menyanggupi dan seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang
Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han Han
berada di kota raja. Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han
keluar kota raja, kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san.
Mula-mula
memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es. Akan tetapi
setelah hatinya yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang
memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam
Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan
menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika
Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang
muridnya menyambutnya dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi
girang sekali bahwa orang yang pernah mengalahkannya dan membuatnya penasaran
kini telah ditawan gurunya. Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas karena gadis
bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima
Mancu.
Ada pun Kim
Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang
karena ia merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang
paling baik ini akan mengalami hukuman yang mengerikan! Akan tetapi karena ia
tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan
muka pucat. Juga belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di
In-kok-san memandang dan saling berbisik membicarakan Han Han yang tentu saja
mereka kenal sebagai seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari
In-kok-san.
Nenek itu
menoleh kepada para murid yang bergerombol memandang itu dan berkata, “Murid
murtad sudah tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!”
Nenek itu
langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar
penyiksaan atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya
terdapat sebuah dipan bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li
melempar tubuh Han Han ke atas dipan.
“Ikat kedua
tangannya!” Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang
yang terbuat dari serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke
belakang dan membelenggunya, melibat-libat kedua lengan dan tubuhnya dengan
erat sekali.
Han Han
tidak berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya sekilas saja
melayangkan pandang matanya kepada para murid itu dan mengenal mereka. Akan
tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu, sejenak pandang mata mereka
melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis itu
memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba. Ia
menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan karena
dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan terlalu menderita rasa nyeri.
Akan tetapi
harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan
jalan darahnya. Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya. Ketika ia
berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya
itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak? Dia tidak akan dapat melawan
Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu
dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang
tentu akan mengeroyoknya. Karena ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu
miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan
nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut
yang sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati!
Apakah
artinya mati? Apakah bedanya antara mati dan hidup? Dari mana ia datang sebelum
hidup? Dalam pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir barulah ada
hidup, dan sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia tidak ada. Betapa akal budi
dapat menyelami keadaan sebelum lahir? Dan betapa pula dapat menyelami keadaan
sesudah mati?
Betapa pun
juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak mungkin ada terlahir dari tidak
ada. Kalau sebelum terlahir itu dia ada tentu sesudah mati juga ada, yaitu
keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang tak terselami akal manusia
selagi hidup. Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya menembus pintu rahasia
itu, kembali kepada keadaan sebelum dia terlahir. Kalau demikian, sama halnya
dengan kembali ke asalnya, yaitu asal sebelum terlahir, mengapa takut mati?
Han Han
tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada rasa khawatir di hatinya dan ia
memejamkan matanya seperti tidur, atau lebih tepat lagi seperti dalam keadaan
semedhi karena memang dia bersemedhi untuk menyambut uluran tangan maut yang
sudah berada di ambang pintu.
Keadaan di
dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar.
Mereka adalah orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah
banyak membunuh musuh tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apa bila ada seorang
murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka berdebar tegang, karena
nasib seperti yang dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula
diri mereka sendiri.
“Kim Cu, kau
isi guci arakku yang kosong ini!” Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil
melontarkan guci araknya yang kosong kepada si murid.
Lontaran ini
sengaja ia lakukan dengan tenaga sinkang sehingga bagi orang yang tidak
memiliki sinkang kuat dan tidak terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup
untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang meninggalkan badan! Akan tetapi
dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari
pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi
guci arak, ia berlari kembali dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.
Toat-beng
Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari
mulutnya karena agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya.
Kemudian ia menurunkan guci dari mulut dan berkata, suaranya bengis
menyeramkan.
“Murid-muridku,
juga murid Ma-bin Lo-mo, semua murid-murid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han
ini adalah seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak
hal yang melanggar peraturan Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini
kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku
masih memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apa bila dia
suka bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang
tibalah saat terakhir bagimu! Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau
bicara tentang rahasia itu kepadaku?”
Hening
sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin
mendengarkan jawaban Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar
berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia bicara di luar
kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang
gemetar.
“Han Han...
kau bicaralah...!”
Gadis itu
terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah
kesunyian. Ketika ia sadar bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya
menjadi merah dan ia menundukkan mukanya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment