Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang iblis
Jilid 01
KUIL TUA itu
berdiri di tepi Sungai Fen Ho, di lembah antara Pegunungan Tai Hang San dan Lu
Liang San, di sebelah selatan kota Taigoan. Sunyi sekali keadaan di sekitar
tempat itu, sunyi dan gelap sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu
cocok sekali dengan keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya.
Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang percaya, tempat seperti itu paling
cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.
Akan tetapi,
pada sore hari itu keadaan di sekeliling kuil tampak amat menyeramkan karena
ada bayangan-bayangan yang berkelebatan. Begitu cepat gerakan bayangan-bayangan
itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mengadakan persiapan
sesuatu. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali
bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia yang
menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar,
bersikap kasar dan berwajah liar.
Gerakan
mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan
kekuatan yang jauh lebih dari pada manusia-manusia biasa. Golok besar yang
terselip di punggung dan golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa
mereka adalah orang-orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan
ilmu silat dan senjata mereka.
Memang
sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang
sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal
bertahun-tahun lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat
tinggi karena mereka ini yang berjuluk Fen Ho Ngo Kwi (Lima Iblis Sungai
Fen-ho) adalah anak buah yang sudah menerima gemblengan dari mendiang Kang
Thouw Kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal dengan nama poyokan Setan Botak
itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak
menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.
"Twako,
tidak kelirukah kita? Apakah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan
Gak-locianpwe?" Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi
lalat besar di dagunya, bertanya kepada orang tertua di antara mereka yang
matanya besar sebelah.
"Tidak
salah lagi," jawab orang tertua Fen Ho Ngo Kwi yang usianya kurang lebih
lima puluh tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua. "Satu-satunya kuil
tua di tepi Sungai Fen Ho di daerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh
heran, mengapa kelihatan sunyi dan kosong?"
"Lebih
baik kita serbu saja ke dalam!" kata Si Tahi Lalat sambil mencabut
goloknya.
Twako-nya
mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, bersiap untuk menyerbu.
Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata,
"Kau masuk dari pintu belakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari
jendela kanan, seorang menjaga di luar dan aku yang akan menerjang dari pintu
depan!" Mereka berpencar, gerakan mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu
telah dikurung. Pemimpin itu memberi isarat dengan tangan dan mereka menyerbu
memasuki kuil dari empat jurusan.
Tiba-tiba
tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar
hitam ini adalah senjata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja.
Lima orang tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka
menangkis.
"Cring-cring-tranggg...!"
Terdengar
suara nyaring dan golok mereka itu patah semua, disusul suara jerit lima orang
itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata
rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Mereka roboh dengan dahi pecah
karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap di antara alis
mereka. Tubuh mereka berkelojotan, mulut mereka mengeluarkan suara mengorok dan
akhirnya tubuh mereka berhenti bergerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka
yang bergerak mengucur keluar dari dahi!
Dari
belakang dan depan kuil berlompatan keluar dua orang kakek sambil tertawa-tawa.
Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti kurang makan, pantasnya
mereka adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia sekali
lepas dapat merobohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi menjadi
bukti bahwa dua orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang
hebat. Begitu mudahnya mereka membunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang
datuk sesat Kang-thouw-kwi, benar-benar sukar dipercaya!
"Heh-heh,
Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh
menjemukan!" kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti
tengkorak dibungkus kulit tipis saja. Ia bertolak pinggang memandang
mayat-mayat para bajak setelah melompat dengan gerakan seperti terbang
cepatnya.
Kakek ke dua
yang tadi bersembunyi di belakang kuil juga melompat cepat dan ia membelalakkan
kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu tidur memejamkan
mata. "Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bukankah Pangcu berpesan
agar kita hati-hati? Pesanan itu menandakan bahwa di sini tentu terdapat banyak
lawan pandai." katanya, juga bertolak pinggang. Tampak pada lengan kanan
kedua orang kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada
kulit lengan mereka.
"Heh-heh,
Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang? Selama negeri
dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau
partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita malah makin kuat.
Kini tibalah saatnya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu
menginginkan bocah itu, siapa yang akan berani menentang?"
Si Mata
Sipit mengangguk-angguk. "Engkau benar, Suheng. Keinginan Pangcu kita
merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapa pun juga. Yang menentangnya
berarti mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai
terbesar dan terkuat di dunia untuk masa kini."
"Awas,
Sute...!" Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru, dan keduanya cepat mengelak
dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba
sekali ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan tetapi yang
menyambar amat cepat dan kuatnya, masing-masing tiga batang menyambar ke arah
leher, ulu hati, dan pusar mereka! Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti
yang mereka lakukan tadi karena sungguh amat berbahaya sekali untuk menyambut
hui-to-hui-to yang meluncur secepat itu.
Dua orang
anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka
menggerakkan tangan dan meluncurlah sinar-sinar hitam dari senjata rahasia
bintang mereka ke arah datangnya hui-to tadi. Senjata rahasia mereka itu tadi
sudah terbukti keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan
tetapi betapa terkejut hati mereka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang
luput menyerang mereka tadi kini terbang kembali amat cepatnya dan dari samping
enam golok kecil itu menyambari bintang-bintang mereka.
Terdengar
suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang golok kecil bersama
bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah. Biar pun dua orang
anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega
bahwa bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga
hui-to-hui-to itu pun runtuh, tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga
lawan yang belum tampak. Mereka segera meloncat bangun dan Si Mata Sipit
memaki.
"Keparat
curang, siapa engkau?"
Dari balik
rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil tersenyum
mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya
kecil panjang, bajunya berlengan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh
tahun lebih, rambutnya diikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan
bajunya lebar. Yang amat mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit
mereka. Yang wanita kulitnya, dari mukanya sampai kulit lengannya berwarna
jambon kemerahan, sedangkan yang laki-laki kulitnya berwarna ungu kebiruan!
Sungguh sukar mencari orang berkulit dengan warna seperti itu, seolah-olah
kulit tubuh mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya kulit, bahkan
mata mereka pun berwarna seperti kulit mereka!
"Ha-ha-ha,
tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang sombong sekali,
dan ternyata ucapan mereka besar-besar. Ha-ha-ha!" Laki-laki berkulit ungu
itu tertawa keras.
"Gentong
kosong berbunyi nyaring, orang yang bodoh bermulut besar. Apa anehnya?"
Wanita berkulit jambon itu menyambung, bersungut-sungut dan memandang kepada
dua orang murid Thian-liong-pang dengan pandang mata merendahkan.
Dua orang
murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka lebar.
Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan wanita
itu. Kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih membayangkan rasa kaget
dan heran.
"Ji-wi...
Ji-wi... dari Pulau Neraka...?"
Kini kedua
orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling pandang.
Kemudian laki-laki bermuka ungu itu menghadapi kedua orang Thian-liong-pang dan
menjura, "Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang tajam sekali.
Pantas terkenal sebagai partai besar! Kami tidak pernah turun ke dunia ramai,
kini sekali muncul Ji-wi telah dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan
sekali!"
Dia lalu
mengeluarkan suara yang aneh, nyaring sekali dan terdengar seperti suara
burung. Dari dalam hutan di belakangnya terdengar suara siulan yang sama dan
tak lama kemudian tampaklah belasan orang berlarian datang ke tempat itu
seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang Thian-liong-pang memandang
dengan mata terbelalak karena kulit belasan orang ini pun aneh sekali, delapan
orang berkulit hitam dan delapan orang pula berkulit merah tua!
Si Muka
Tengkorak lalu bersuit nyaring dan dari sebelah belakangnya muncul pula
serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua
rombongan kini berhadapan dengan sikap siap siaga menanti perintah bertanding.
Akan tetapi,
kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi, "Ha-ha-ha, kiranya
Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat perintah
agar tidak memancing pertempuran dengan pihak lain, apa lagi dengan pihak
Thian-liong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada di dalam
kuil."
"Nanti
dulu, sobat!" Si Muka Tengkorak berkata. "Kami pun menerima tugas
dari Pangcu (Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam kuil. Dan
Thian-liong-pang tidak ingin bermusuhan, apa lagi dengan pihak Ji-wi, karena
sudah menjadi cita-cita Thian-liong-pang untuk bersahabat dan menyatukan semua
partai persilatan."
"Hemmm,
bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan buktinya? Kami
melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) membunuh lima
orang ini," Si Muka Ungu mencela.
Murid
Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat lima orang
Fen-ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. "Mereka hanyalah bajak-bajak sungai
yang hina, tidak masuk hitungan. Apa lagi mereka itu merupakan golongan yang
patut dibasmi. Harap Ji-wi dapat mengerti dan membedakan."
"Sudahlah!"
Si Wanita bermuka jambon mencela. "Kami tidak peduli akan semua urusan
kalian. Kami datang hendak mengambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas
melaksanakan tugas!" Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.
"Ehh,
ehh, nanti dulu, Toanio!" Kini Si Mata Sipit maju menghalang. "Terang
bahwa Thian-liong-pang tidak ingin bermusuh, akan tetapi agaknya dalam urusan
ini di antara kita ada pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah
itu."
"Bagus!
Jikalau demikian, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat membereskan
pertentangan ini!" Wanita bermuka jambon itu membentak lantang. Suheng-nya
juga memandang marah dan enam belas orang anak buah mereka semua sudah mencabut
pedang.
"Srat-srat-sratttt!"
"Sing-sing-sing!"
Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut pedang dan
golok.
Dua orang
murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat tangan memberi
isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudian Si Muka Tengkorak menjura
dan berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari Pulau
Neraka itu.
"Harap
Ji-wi menghindarkan pertempuran yang tidak perlu. Memang kita semua sebagai
utusan-utusan harus melaksanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang
merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam
pertempuran."
"Hemm,
maksudmu bagaimana?" tanya wanita bermuka jambon menantang.
"Kita
mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat dibereskan
secara orang-orang gagah."
"Maksudmu
sebagai orang-orang gagah mengadu ilmu?" tantang Si Wanita.
"Begitulah.
Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam kuil
kepada yang menang. Setuju?"
"Akur!
Majulah!" Si Wanita menantang.
Dua orang
Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka Tengkorak
memandang ke sekeliling. Kedua pasukan sudah mundur jauh dan setengah
bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. "Tempat ini kurang lega
untuk bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!" katanya dan ia menghampiri
sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenaknya ia
mendorong dan pohon itu tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.
"Benar,
harus disingkirkan pohon-pohon ini!" kata Si Mata Sipit. Dia pun
menghampiri sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suheng-nya. Sebentar
saja enam batang pohon sudah mereka tumbangkan!
Para
anggauta Thian-liong-pang bersorak memberi semangat sedangkan para anak buah
yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandang tarbelalak, kagum akan
kekuatan hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi laki-laki bermuka
ungu dan wanita bermuka jambon itu tertawa mengejek.
"Batu-batu
ini pun menghalang gerakan pertandingan!" kata Si Wanita muka jambon dan
kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu
terbang seperti sepotong batu kerikil dilempar saja. Suheng-nya juga melakukan
ini dan sebentar saja ada delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini
bersorak-sorak dan giliran anak buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri
hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!
"Bagus!
Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!" kata Si
Mata Sipit.
Seperti
dikomando saja, empat orang itu telah saling serang dengan hebat. Keempat orang
ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat
kepandaian mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih
berbahaya dari pada sambaran pedang atau golok, dan angin menderu ketika mereka
saling pukul sehingga rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!
Wanita muka
jambon bertanding melawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit lebih
besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu lengan,
akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga gerakannya
jauh lebih cepat sehingga pertandingan itu amat seru. Di lain pihak,
pertandingan antara Si Muka Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena
tenaga mereka seimbang. Berkali-kali mereka keduanya terdorong mundur, akan
tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan melanjutkan pertandingan mereka.
Pada waktu
itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul sejak
bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang berlangsung, Thian-liong-pang
tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga mereka dan
memperdalam ilmu silat. Puluhan tahun yang lalu Thian-liong-pang berpusat di
Yen-an, di kaki Lu-liang-san sebelah barat. Thian-liong-pang menjadi sebuah
partai golongan hitam, diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu yang berjuluk
Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti) dengan murid-muridnya yang jahat sebanyak
dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga).
Akan tetapi,
semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu kakek itu sendiri, seorang
laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali ke
jalan lurus. Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang
yang gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Ilmu silat mereka itu adalah ilmu
keturunan dari dua orang kakek sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong
dan Lam-kek Sian-ong. Makin lama ketua-ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan
Li, memperdalam ilmu kesaktian dari kedua orang kakek sakti itu sehingga kini
para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-orang yang berilmu tinggi
sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima, namun ilmu
kepandaian mereka sudah hebat sekali.
Ada pun dua
orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat rendah
di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar orang-orang
aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka masih
rendah, namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh
Thian-liong-pang tingkat lima! Anak buah Pulau Neraka semua kulitnya berwarna
hitam atau merah. Warna hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul
merah sebagai tingkat lebih tinggi, kemudian biru, ungu, hijau dan jambon.
Makin terang warna itu, makin tinggilah tingkat kepandaiannya!
Namun pada
masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah dongeng saja karena
sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Nama Pulau Neraka disejajarkan dalam
rahasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua orang tokoh
Thian-liong-pang itupun hanya mendengar ‘dongeng’ dari ketua mereka, tentang
warna-warna aneh kulit para penghuni Pulau Neraka, maka tadi mereka dapat
menduga tepat!
Pertandingan
masih terus berlangsung dengan hebatnya. Pada saat-saat yang amat berbahaya
bagi nyawa mereka itu, tak seorang pun di antara mereka ingat akan anak yang
mereka jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu,
bahkan yang menyebabkan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu?
Bocah itu
adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan kulit
putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang
lebih lima tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup seorang diri di
dalam kuil tua! Benar amat mentakjubkan keberanian anak ini.
Tadinya dia
tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan tetapi semenjak ibunya pergi
meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang diri di tempat
sunyi ini. Namun dia tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh, mencari
makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan
buah-buahan atau tidak dapat menangkap binatang, ia hanya makan daun-daun muda
ditambah air gunung! Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu
binatang itu dapat ia bunuh dengan sambitan batu karena anak ini pandai
menyambit, dan tenaganya mengagumkan. Tidaklah aneh kalau diketahui bahwa
semenjak kecil ia digembleng oleh ibunya yang sakti.
Ibunya
merupakan seorang murid Siauw Lim Pai yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari
Siauw Lim Pai, lalu mempelajari ilmu-ilmu aneh ini secara mengawur sehingga
mempengaruhi jiwanya, membuatnya setengah gila. Kegilaannya ini bukan semata
karena dia keliru mempelajari ilmu-ilmu rahasia dari Siauw Lim Pai, melainkan
terutama sekali karena tekanan jiwanya ketika dia dahulu dicemarkan oleh
mendiang datuk sesat Kang Thouw Kwi Gak Liat Si Setan Botak. Nama wanita ini
adalah Bhok Khim, dahulu merupakan seorang di antara Kang Lam Sam Eng (Tiga
Pendekar Kang-lam) tokoh-tokoh Siauw Lim Pai dan dia berjuluk Bi Kiam (Pedang
Cantik)!
Di dalam
cerita Pendekar Super Sakti telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang meninggalkan
puteranya di kuil tua itu pergi mencari Gak Liat dan berhasil membalas dendam
dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh besar
yang memperkosanya itu.
Demikianlah,
anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi
dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di luar
kuil. Dia melihat kamatian Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian menyaksikan
pertandingan antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh
Pulau Neraka.
Anak ini
amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang di luar itu
memperebutkan dia! Akan tetapi dia tidak tahu mengapa dan juga di dalam hatinya
dia tidak berpihak kepada siapa-siapa, hanya ingin melihat siapa di antara
mereka yang paling lihai. Ibunya juga seorang berilmu tinggi, maka karena sejak
kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini sepasang matanya yang bening dan tajam
itu menonton pertandingan dengan hati amat tertarik.
Cuaca
menjadi semakin gelap dengan datangnya malam, akan tetapi pertandingan antara
dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena
pukulan dua tiga kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang roboh dan
masih bertanding terus, biar pun napas mereka mulai terengah dan uap putih mengepul
dari kepala mereka.
"Omitohud...!
Mengapa kalian bertanding mati-matian di sini? Apa yang telah terjadi?"
Tiba-tiba terdengar teguran dibarengi munculnya seorang hwesio yang tinggi
kurus. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun
suaranya penuh wibawa.
Akan tetapi
empat orang yang tengah bertanding tidak mempedulikannya dan hwesio ini menarik
napas panjang. "Aaahhh, jalan damai banyak sekali, mengapa menempuh jalan
kekerasan yang hanya akan membahayakan keselamatan? Kepandaian Cu-wi yang
tinggi ini pasti dipelajari susah payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan
digunakan untuk mengadu nyawa?"
Setelah
berkata demikian, hwesio ini kemudian melangkah maju, kedua tangannya
dikembangkan ke kanan kiri dan... empat orang yang sedang bertanding itu
tiba-tiba terhuyung mundur oleh dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan!
Otomatis pertandingan terhenti dan empat orang itu dengan napas sengal-sengal
memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus itu.
"Maaf,
maaf, pinceng terpaksa menghentikan pertandingan ini. Ada urusan dapat
didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?"
"Losuhu
siapakah?" Si Muka Tengkorak bertanya, sikapnya menghormat karena dia
maklum bahwa hwesio itu adalah seorang berilmu yang amat lihai.
"Pinceng
adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding
dengan mereka?" Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna
kulit dua orang tokoh Pulau Neraka yang biar pun cuaca mulai gelap masih tampak
warna mereka yang menyolok mengingatkan dia akan ‘dongeng’ tentang penghuni
Pulau Neraka!
Si Muka
Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, "Kiranya Losuhu adalah
seorang tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utusan
Thian-liong-pang dan kedua orang sahabat ini pun utusan-utusan dari Pulau
Neraka."
Mendengar
ini, hwesio tua itu tercengang dan ia kembali memandang kedua orang itu dengan
penuh perhatian. Hatinya bertanya-tanya. Kalau begitu, benarkah dongeng yang
didengarnya tentang Pulau Neraka? Kalau mereka itu sudah turun ke dunia ramai,
bersama dengan turunnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang kabarnya tidak lagi
mau berurusan dengan dunia ramai, tentu dunia ini akan menjadi benar-benar
ramai!
"Mengapa
Cu-wi bertempur?"
"Kami
sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam
kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan
dalam pibu (adu kepandaian) yang adil."
"Omitohud!
Betapa anehnya dunia ini...!" Hwesio tua itu berkata.
Dia adalah Siauw
Lam Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di
Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluhan
tahun dia menjadi pelayan Kian Ti Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang
memiliki ilmu seperti dewa!
"Lama
sekali pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan akhirnya
sampai di tempat ini untuk mengambil puteranya yang ditinggalkan! Anak itu
adalah putera dari Bhok Khim, seorang murid Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya
Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya. Harap Cu-wi menghentikan
pertempuran dan biarkan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim-si untuk membawanya
pulang ke Siauw-lim-si." Setelah berkata demikian, hwesio itu dengan
tenang melangkah menuju ke kuil.
"Tahan...!"
Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang tadi saling serang.
Berbareng
mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari tempat
persembunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua puluh
orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati kuil.
Hwesio tua itu memandang penuh perhatian, agaknya siap untuk menolong anak di
dalam kuil kalau orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi rombongan
Thian-liong-pang itu sibuk melempar-lemparkan benda hitam di seputar kuil.
sedangkan anak buah Pulau Neraka melempar-lemparkan cairan merah di seputar
kuil. Begitu benda cair yang mereka siramkan itu mengenai tanah, mengepullah
asap kemerahan yang berbau harum bercampur amis!
Sementara
itu, anak laki-laki yang sejak tadi memandang dari dalam kuil, ketika
menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah,
mengerti bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk
ikut dengan hwesio itu yang dianggapnya paling lihai di antara orang-orang aneh
yang berada di luar kuil. Lebih-lebih lagi ketika ia mendengar keterangan
hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah
diceritakan ibunya, dan bahwa hwesio itu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai,
tentu saja ia memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang
melempar-lemparkan benda hitam dan cairan merah yang kini mengepulkan asap dan
tanah yang tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti
mendidih, ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.
"Berhenti...!"
Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke depan, ke arah
anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu masih jauh, akan tetapi
angin dorongan tangannya membuat anak itu terjengkang dan jatuh terlentang
kembali ke dalam kuil. "Anak, jangan keluar, berbahaya sekali! Asap itu
beracun!" teriak Siauw Lam Hwesio dan bocah yang ternyata cerdik ini
segera mengerti dan kembali ia bersembunyi di dalam kuil sambil mengintai dari
tempatnya yang tadi.
Siauw Lam
Hwesio mengeluh, "Omitohud, alangkah kejinya!"
Ia kini
dapat melihat jelas bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia
berbentuk bintang yang berduri runcing sekali dan kini benda-benda itu
bertebaran di sekeliling kuil, menghalang jalan masuk dalam jarak lebar.
Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah mengandung racun pula dan amat
runcing sehingga akan menembus sepatu. Sedikit saja kulit terluka oleh
benda-benda ini, tentu akan menimbulkan bahaya kematian! Ada pun benda cair
yang dapat ‘membakar’ tanah dan mengeluarkan asap kemerahan berbau harum amis
itu pun merupakan racun yang berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh
racun-racun yang lihai!
"Omitohud...!
Kalian ternyata mengandung niat yang tidak baik dan berkeras hendak menghalangi
pinceng mengambil putera keturunan murid Siauw-lim-pai itu. Hemm..., baiklah,
kita sama melihat saja siapa yang akan dapat mengambil anak itu sekarang!"
Setelah berkata demikian hwesio kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas
bahwa biar pun sikapnya tenang namun ia sudah mengambil keputusan untuk
merintangi siapa saja memasuki kuil!
Sementara
itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang memisahkan diri, berada di
sebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau Neraka berada di sebelah kanan. Agaknya
mereka itu tidak ada yang berani turun tangan lebih dulu karena sama-sama
maklum bahwa pihak lain tentu akan merintangi mereka mengambil anak yang berada
di dalam kuil! Kalau saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu,
tentu terjadi pertempuran di antara mereka, memperebutkan anak tadi! Akan
tetapi kini mereka tahu bahwa siapa pun yang turun tangan lebih dulu, tidak
hanya akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga menghadapi hwesio yang mereka
tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka tak ada yang bergerak mendahului.
Sambil membuat api unggun mereka berbisik-bisik mengatur dan mencari siasat!
Api unggun
mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin bertiup
sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak kaget, tiba-tiba muncul
seorang laki-laki yang keadaannya amat menyeramkan hati mereka. Laki-laki itu
masih muda, berwajah tampan akan tetapi sebelah kakinya, yang kiri buntung!
Laki-laki itu tahu-tahu telah berdiri di situ, bersandar pada tongkat bututnya
dan yang amat mengherankan adalah rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, akan
tetapi rambut yang tebal panjang itu berwarna putih semua!
Orang-orang
kedua rombongan ini adalah orang-orang yang selama bertahun-tahun tidak pernah
terjun ke dunia ramai, maka mereka tadi tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan
tidak mengenal pula siapa gerangan pemuda berkaki buntung itu. Padahal pemuda
ini jauh lebih terkenal dari pada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini
bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan
sebutan Pendekar Siluman oleh mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan
ilmu sihirnya yang mengerikan!
Para pembaca
cerita Pendekar Super Sakti tentu telah tahu betapa di dalam hidupnya yang
kurang lebih dua puluh lima tahun itu, pendekar ini mengalami banyak sekali
tekanan batin dan yang terakhir sekali batinnya amat tertekan dan kesengsaraan
serta kekecewaannya dalam hidup membuat rambutnya semua menjadi putih! Kini ia
datang untuk memenuhi permintaan mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan
melepaskan napas terakhir. Bhok Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman ini suka merawat dan mendidik puteranya yang
ditinggalkan di kuil tua ini!
Di dalam
bagian terakhir cerita ‘Pendekar Super Sakti’ telah diceritakan betapa Suma Han
ini setelah melaksanakan pernikahan adik angkatnya, Lulu yang menikah dengan
Hoa-san Gi Hiap Wan Si Kiat, lalu pergi meninggalkan dunia ramai untuk merantau
dan berusaha melupakan segala pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan
tetapi ia tidak melupakan pesan Bhok Kim, maka ia lalu menuju ke tempat yang
dikatakan oleh Bhok Kim dalam pesan terakhirnya.
Akan tetapi
betapa heran hatinya ketika ia melihat dua rombongan orang berada di tempat itu
dan lebih-lebih lagi herannya ketika ia mengenal hwesio tua kurus kering yang
duduk bersila di depan kuil. Ia mengenal hwesio ini ketika dahulu bersama adik
angkatnya ia mengunjungi kuil Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti
Hosiang dan pelayannya, yaitu Siauw Lam Hwesio yang kini duduk bersila di
tempat itu! Sejenak pendekar berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya ke
arah kuil dan keningnya berkerut ketika ia melihat senjata-senjata rahasia dan
kepulan-kepulan asap kemerahan yang dapat ia lihat di bawah sinar api unggun
kedua rombongan.
Ia lalu
menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berkata, "Maaf, kalau saya tidak
salah mengenal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari
Siauw-lim-si?"
Hwesio tua
itu bersila sambil semedhi memejamkan kedua matanya, namun seluruh panca
inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap gerakan ke arah kuil
pasti akan diketahui olehnya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika
tahu-tahu ada suara orang menegur di depannya, padahal dia sama sekali tidak
mendengar gerakan orang datang, apa lagi sampai mendekatinya!
Hal ini saja
dapat dibayangkan betapa hebat kemajuan yang didapat pendekar ini semenjak dia
mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun yang lalu. Dan memang tidak
mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan ringan karena Pendekar Super
Sakti ini bergerak dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun!
Mula-mula
Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu ketika pendekar itu
mengunjungi Siauw-lim-si, pemuda itu belum buntung kaki kirinya. Akan tetapi
karena kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan karena wajah dan rambut
panjang itu hanya berubah warnanya, Siauw Lam Hwesio segera merangkap kedua
tangan di depan dada dan berkata penuh takjub.
"Omitohud...!
Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu berada di sini pula?
Dan kaki kiri Sicu...? Ah, syukurlah... sungguh pinceng ikut merasa bahagia
melihat kaki kiri Sicu sudah buntung!"
Ucapan
hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan di situ amat sunyi, maka semua
orang kedua rombongan mendengar ucapan itu. Mereka saling pandang dan merasa
heran, diam-diam mereka menganggap betapa ucapan hwesio tua itu kurang ajar dan
tidak patut. Memang, bagi yang tidak mengerti tentu saja amat tidak pantas
mendengar orang merasa bahagia melihat orang terbuntung kakinya!
Suma Han,
pendekar itu pun merasa heran, akan tetapi sama sekali tidak tersinggung, hanya
merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti bahwa buntungnya kaki kirinya
merupakan hal yang amat menguntungkan baginya! Maka ia pun segera menekuk lutut
kaki tunggalnya dan duduk bersila di depan hwesio itu sambil bertanya,
"Locianpwe!
Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?"
Hwesio itu
tersenyum dan memandang pendekar sakti itu. "Lupakah Sicu akan pesan
mendiang Kian Ti Hosiang?"
"Aahhhhh...!
Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia? Sungguh saya merasa menyesal
sekali...!"
"Omitohud...!
Mengapa, Sicu? Beliau telah bebas dari pada kesengsaraan, mengapa disesalkan?
Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu beliau memberi nasihat kepada Sicu agar
membuntungi kaki kiri Sicu, bukan? Nah, setelah Sicu pergi, pinceng tidak dapat
menahan keheranan hati dan mengajukan pertanyaan yang hanya dapat dijawab
singkat oleh Kian Ti Hosiang bahwa kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu
takkan dapat berusia panjang...! Maka, pinceng sekarang ikut merasa bahagia
melihat betapa Sicu telah diselamatkan dari pada ancaman bahaya maut."
Suma Han
mengangguk-angguk dan memuji. "Betapa sakti mendiang Kian Ti Hosiang!
Betapa tajam penglihatannya, sungguh saya merasa kagum sekali. Sekarang,
bolehkah saya bertanya mengapa Locianpwe berada di sini? Dan siapa pula kedua
rombongan itu? Dan keadaan di sekeliling kuil itu? Apa yang telah terjadi,
Locianpwe?"
Hwesio tua
itu menghela napas panjang. "Ruwet sekali, Sicu...! Putera seorang murid
Siauw-lim-pai berada di dalam kuil dan sudah menjadi tugas pinceng untuk
merawat dan mendidiknya. Akan tetapi ternyata rombongan-rombongan dari
Thian-liong-pang dan Pulau Neraka datang pula dengan niat yang sama, yaitu
mengambil anak itu sesuai dengan perintah ketua-ketua mereka. Entah mengapa
mereka hendak pula mengambil anak itu. Mereka lalu mengurung kuil dengan racun
dan kami semua mengambil keputusan untuk mencegah masing-masing mengambil anak
itu. Susahnya, pinceng tidak mau menggunakan kekerasan karena pinceng tidak
ingin menarik Siauw-lim-pai bermusuhan dengan Thian-liong-pang mau pun Pulau
Neraka." Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan peristiwa yang
terjadi.
Suma Han
mendengarkan penuh keheranan. Kemudian ia berkata lirih agar tidak terdengar
oleh orang-orang di kedua rombongan, "Locianpwe, terus terang saja,
kedatangan saya ini pun dengan maksud untuk mengambil anak itu, putera mendiang
Bhok-toanio."
Hwesio itu terkejut,
memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar aneh ketika pandang matanya
bertemu dengan pandang mata pendekar itu. Ia bergidik. Pandang mata pendekar
ini benar-benar hebat, bukan seperti mata manusia! "Mengapa, Sicu?"
tanyanya lirih.
"Saya
datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya terakhir." Suma
Han lalu menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya setelah wanita itu tidak
berhasil meninggalkan pesan kepada kedua orang suheng-nya yaitu Khu Cen Thiam
dan Liem Sian.
Siauw Lam
Hwesio mengangguk-angguk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai itu.
"Mereka terlalu dipengaruhi perasaan, tidak ingat lagi akan peri
kemanusiaan. Betapa bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu. Kalau
begitu, baiklah, biar anak itu ikut bersama Sicu."
"Tidak,
Locianpwe. Setelah Locianpwe berada di sini, sudah sepatutnya kalau putera
Bhok-toanio itu ikut bersama Locianpwe. Saya sendiri hidup sebatang kara,
miskin papa tidak mempunyai rumah. Saya khawatir kalau-kalau anak itu hanya
akan menderita dan terlantar bersama saya. Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe
agar mendapat didikan yang baik dan kelak bisa menjadi seorang manusia yang
berguna. Pula, Bhok-toanio menyerahkan anak itu kepada saya hanya karena
terpaksa dan di sana tidak ada orang lain lagi. Locianpwe atau lebih tepat
Siauw-lim-pai lebih berhak atas diri anak itu."
Hwesio tua
itu mengangguk-angguk. "Sicu benar. Anak keturunan orang itu perlu sekali
mendapat didikan yang benar agar tidak menjadi seorang sesat seperti... darah
keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng dapat mengambil anak itu tanpa
menanam permusuhan dengan mereka?" Hwesio itu memandang ke arah dua
rombongan.
Ucapan
terakhir hwesio tentang darah keturunan sesat itu menikam ulu hati Suma Han.
Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini segera tenggelam dan
lenyap dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang yang mempunyai darah keturunan
sesat, bahkan nenek moyangnya, bangsawan yang ber-she Suma, terkenal sebagai
orang-orang jahat!
Dia kini
menoleh ke arah dua rombongan, melihat betapa pemimpin kedua rombongan itu,
yang terdiri dari dua orang duduk bercakap-cakap di dekat api unggun
masing-masing, sedangkan anak buah mereka membuat api unggun sendiri dalam
jarak yang agak jauh, siap menanti perintah mereka.
"Harap
Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundurkan mereka."
"Sicu,
ingat. Pinceng tidak menghendaki kekerasan, apa lagi pertumpahan darah.
Kehidupan putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan pertumpahan darah dan
pembunuhan!"
Suma Han
tersenyum, mengangguk. "Saya mengerti, Locianpwe. Harap Lo-cianpwe
menyerahkan hal ini kepada saya." Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan
terpincang-pincang meninggalkan hwesio itu yang memandang bengong melihat
pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam.
Dua orang
Thian-liong-pang duduk di depan api unggun, membicarakan pemuda berkaki tunggal
yang pergi terpincang-pincang dan lenyap dalam gelap. Si Muka Tengkorak berkata
lirih. "Sebaiknya dia pergi. Aku sudah khawatir kalau-kalau dia membantu
Si Hwesio."
"Hemm,
bocah berkaki buntung seperti itu bisa apakah? Andai kata membantu Si Hwesio
Siauw-lim-pai, seorang di antara anak buah kita tentu bisa
membinasakannya!" kata Si Mata Sipit.
"Ahh,
Sute. Jangan memandang rendah dia. Tidakkah kau melihat sinar matanya tadi?
Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua itu! Dia seperti
siluman saja. Ngeri aku melihatnya!"
"Ah,
Suheng! Andai kata dia siluman sekali pun, aku tidak takut kepadanya! Kalau dia
berani muncul, kutebas batang lehernya dengan pedang ini!" Si Mata Sipit
mengeluarkan sebatang pedang yang tadi tidak dipergunakannya ketika menghadapi
dua orang Pulau Neraka. "Dia tentu bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut
pesan Pangcu, hanya orang-orang partai besar saja yang harus kita indahkan dan
jaga jangan sampai kita bentrok dengan mereka. Atau kubuntungi lagi kaki
tunggalnya, hendak kulihat dia bisa berbuat apa?"
Tiba-tiba
terdengar suara lirih di depan mereka, "Ha-ha-ha, aku memang siluman.
Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap seorang siluman? Bocah
itu putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio Siauw-lim-si. Kalau
kalian masih banyak ribut, kutelan kalian hidup-hidup!"
Dua orang
itu terbelalak kaget. Suara itu datang dari dalam api unggun! Mereka menatap
api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun menebal, bergulung ke
atas dan... asap tebal itu membentuk tubuh seorang raksasa! Makin lama makin
jelaslah bentuk itu dan muncullah seorang raksasa yang besarnya tiga empat kali
ukuran manusia biasa, raksasa yang wajahnya persis pemuda berkaki buntung tadi,
kakinya buntung, tongkat butut di tangannya, rambutnya riap-riapan putih dan
kini ‘raksasa’ itu mengulur tangan kanan hendak menangkap mereka!
"Huuuuhhh...!
Sii... siluman...!" Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa akan ancamannya,
bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.
"Siluman...
siluman raksasa...!" Si Muka Tengkorak juga melompat bangun.
Mukanya
sendiri seperti tengkorak, seperti siluman yang tentu akan menimbulkan rasa
ngeri di hati orang yang melihatnya, akan tetapi kini dia berdiri terbelalak,
kedua kakinya menggigil. Kemudian kedua orang jagoan ini lari terbirit-birit
diturut oleh anak buahnya yang juga melihat ‘siluman raksasa’ itu!
Keributan
ini terdengar oleh rombongan Pulau Neraka. Mereka menjadi terheran-heran
melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ada
siluman! Karena mereka tidak melihat sesuatu, mereka diam-diam mentertawakan
rombongan Thian-liong-pang yang mereka anggap pengecut dan penakut, seperti
sekumpulan anak-anak kecil yang ketakutan dan melihat yang bukan-bukan di dalam
tempat sunyi itu.
"Hi-hik,
sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang Thian-liong-pang dan
kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang pandai. Sekarang, di tempat
sunyi ini mereka ketakutan dan lari karena melihat siluman?" Wanita
bermuka jambon tertawa.
"Huh!
Siluman? Kita dari Pulau Neraka sudah lama dianggap manusia-manusia siluman
maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih baik lagi kalau mereka
melarikan diri sehingga pekerjaan kita menjadi ringan. Besok pagi kita harus
dapat membawa lari anak itu dari sini!" kata laki-laki muka ungu sambil
menaruh lagi ranting kayu kering untuk membesarkan api unggun.
"Tapi...
bagaimana dengan hwesio tua itu? Dia tentu akan merintangi kita dan tentu kita
akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus membunuhnya. Kalau tidak
dibunuh, bagaimana kita bisa mengambil bocah itu?" Sumoinya membantah.
"Apa sukarnya?
Kita boleh menggunakan akal. Dia hanya seorang diri, dan kita berjumlah banyak.
Kita atur begini..." Dia kini bicara bisik-bisik. "Biarlah besok
kutantang dia. Dia toh tidak akan dapat memasuki kuil. Kutantang dia
bertanding, dan selagi aku melawan dia, engkau bersama anak buah kita menyerbu
ke kuil, membawa lari bocah itu!"
"Akan
tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?"
"Kalau
dia terlalu lihai, engkau membantuku dan biar anak buah kita yang menyerbu ke
dalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat dirampas, kita
tinggalkan dia. Apa sukarnya?"
"Akan
tetapi... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya
sekali."
"Hemm,
mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak buah kita membersihkan
senjata-senjata rahasia yang tersebar di depan kuil. Besok setelah matahari
terbit, kita bergerak serentak dan pasti berhasil."
"Aihh,
Suheng lupa akan bocah buntung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?"
"Biarkan
dia muncul! Kita takut apa? Sikapnya saja menyeramkan, akan tetapi bocah itu
bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad pula. Dengan kakinya yang
hanya sebuah, dia bisa apa? Apakah engkau takut, Sumoi?"
"Aku?
Takut? Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut kepada bocah
buntung seperti dia itu?" Wanita muka jambon itu bangkit berdiri,
mendekati api unggun dan membesarkan api unggun sambil berkata lagi,
"untuk membuktikan bahwa aku tidak takut, kalau benar dia berani muncul,
akan kupenggal lehernya dan kubawa pulang kepalanya untuk hiasan dinding di
kamarku..."
Tiba-tiba ia
berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih memegang ranting
membesarkan api, mulutnya terbuka lebar. Juga suheng-nya sudah meloncat berdiri
dan memandang dengan mata terbelalak. Ternyata di atas api unggun telah berdiri
pemuda buntung yang mereka bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung itu
tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini
tertegun, terdengar ‘raksasa’ itu berkata, suaranya besar dan parau.
"Engkau
akan menebas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai oleh-oleh? Untuk
hiasan dinding kamar? Nah, ini kuberikan kepalaku kepadamu!" Raksasa itu
menjambak rambutnya sendiri, membetot dan... kepala raksasa itu copot dan kini
tergantung di tangan kanannya yang diulur untuk menyerahkan kepala itu kepada
wanita bermuka jambon!
"Cel...
celaka... ib... iblisssss...!" Wanita itu melompat ke belakang, menahan
air kencingnya yang hampir keluar saking takutnya. Suheng-nya sudah
mendahuluinya lari terbirit-birit. Keduanya kini lari pontang-panting dan anak
buah mereka juga lari sambil berteriak-teriak karena mereka dikejar seorang
raksasa yang memegangi kepalanya yang copot!
Siauw Lam
Hwesio hanya melihat betapa kedua rombongan itu secara aneh melarikan diri,
padahal dia hanya melihat Suma Han menghampiri mereka dan bicara lirih, Hwesio
tua ini sudah memiliki banyak pengalaman, dan juga dia memiliki ilmu kepandaian
tinggi sekali. Akan tetapi apa yang disaksikannya itu benar-benar membuat ia
tidak mengerti, kagum dan menarik napas panjang lalu berbisik, "Omitohud...!
Dia itu manusia ataukah siluman...?"
Akan tetapi
diam-diam ia merasa bersyukur bahwa kedua rombongan itu telah pergi sehingga
besok akan memudahkan baginya membawa pergi putera Bhok Khim. Dia tidak berani
memasuki kuil malam itu karena masih ada bahaya racun mengancam. Besok setelah
matahari bersinar, baru ia akan mencari akal untuk memasuki kuil dan
menghindarkan diri dari pada bahaya racun yang mengancam. Dia tidak melihat
Suma Han muncul lagi, maka diam-diam ia bersyukur dan berterima kasih lalu
melanjutkan semedhinya sambil memasang perhatian kalau-kalau ada musuh yang
berniat buruk memasuki kuil malam itu.
Akan tetapi
malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, ketika embun pagi
telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang kemerahan dan cuaca sudah
mulai terang, Siauw Lam Hwesio membuka matanya dan bangkit berdiri. Akan
tetapi, suara di sebelah belakang membuat ia menengok dan alangkah kecewa dan
cemas hati hwesio ini ketika melihat bahwa kedua rombongan dari Thian-liong-pang
dan Pulau Neraka itu ternyata masih berada di situ, biar pun kini dalam jarak
yang agak jauh dan ternyata kedua rombongan itu kini menjadi satu! Agaknya,
keduanya telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk menghadapi rintangan
menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi dan melihat hwesio
tua telah bangkit berdiri, mereka pun berindap-indap mulai mendekati kuil!
Melihat ini,
Siauw Lam Hwesio berkata, "Apakah kalian masih belum mau pergi dan
membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?"
Si Muka
Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, "Tidak bisa! Kami tidak
boleh membiarkan engkau mengambil anak itu!"
Laki-laki
bermuka ungu juga berkata, "Losuhu, biar pun engkau dibantu siluman, kami
tidak takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu, baru kemudian kita
bicara tentang anak yang kita perebutkan!"
"Hemm,
pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi
hendaknya kalian ingat bahwa sekali ini, Siauw-lim-pai bertindak untuk
urusannya sendiri karena anak itu adalah anak dari murid Siauw-lim-pai, berarti
masih keluarga Siauw-lim-pai. Maka apabila pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi
menghalangi, berarti bahwa Cu-wi yang mencari permusuhan dengan Siauw-lim-pai,
bukan pinceng yang sengaja menimbulkan pertentangan!"
"Ha-ha-ha,
Siauw Lam Hwesio. Setelah matahari bersinar dan tidak ada Pendekar Siluman yang
main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa bicara tentang permusuhan
antara partai? Sekarang adalah urusan pribadi di antara kita! Siauw Lam Hwesio,
aku menantangmu bertanding, apakah engkau berani?"
"Omitohud!
Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain. Kalau semalam kalian
lari pontang-panting karena Suma-sicu, hal itu adalah kehendak pendekar itu
sendiri. Dan selamanya pinceng tidak pernah mengadakan pibu dengan siapa juga.
Sekarang pinceng tidak ingin berurusan dengan kalian, baik atas nama partai mau
pun perorangan. Pinceng hendak mengambil anak itu!"
"Eh,
hwesio penakut! Aku menantangmu, apakah kau tidak berani? Apakah keberanianmu
hanya mengandalkan Pendekar Siluman? Di mana dia sekarang? Seekor siluman akan
lari kalau melihat sinar matahari, apakah semalam itu bukan siluman ciptaan
ilmu hitammu sendiri?" Wanita muka jambon mengejek.
Tiba-tiba
terdengar suara dari dalam kuil. "Siapa mencari Pendekar Siluman? Aku
berada di sini!" Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah Suma Han,
terpincang-pincang sambil memondong seorang anak laki-laki yang memandang
kepadanya dengan wajah berseri.
Suma Han
terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua orang yang memandang
terbelalak karena senjata-senjata rahasia itu masih bertebaran di situ dan asap
kemerahan masih mengepul tipis! Tiba-tiba Suma Han menggerakkan kaki tunggalnya
dan bagi para anak buah kedua rombongan, tubuh pendekar kaki buntung itu
lenyap. Akan tetapi dua orang tokoh Pulau Neraka dan dua orang tokoh
Thian-liong-pang, juga Siauw Lam Hwesio, melihat betapa pemuda buntung itu
mencelat ke atas tinggi sekali, berjungkir balik lima kali di udara melewati
asap kemerahan dan meluncur turun di dekat mereka tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun.
"Hebat...!
Menyenangkan sekali...!" Anak laki-laki dalam pondongan Suma Han yang
diajak mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu tidak menjadi cemas,
bahkan bertepuk-tepuk tangan dan bersorak kegirangan! Ia masih bersorak ketika
Suma Han menurunkannya ke atas tanah.
"Siapa
mencari aku? Aku Pendekar Siluman berada di sini! Dengarkanlah wahai kalian
orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka! Aku sama sekali
bukan pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku bertindak atas
kehendakku sendiri dan semua yang kulakukan adalah menjadi tanggung jawabku
sendiri! Aku mengambil anak ini dan kuserahkan kepada Siauw-lim-pai karena aku
menganggap anak ini sudah seharusnya ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada di
antara kalian yang tidak menerima, jangan menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan
tetapi akulah yang bertanggung jawab!" Suma Han lalu mendorong tubuh anak
itu yang mencelat ke arah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu menerimanya dan
memondongnya.
"Tidak!
Aku lebih suka ikut denganmu, Paman Buntung!" bocah itu berkata.
"Hemm,
dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi
kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia
yang berguna. Jangan membantah lagi!" Di dalam suara Suma Han terkandung
wibawa yang membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya. "Locianpwe,
harap membawa pergi anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan lagi dengan
mereka ini. Sayalah yang bertanggung jawab dalam urusan ini!"
"Omitohud...!
Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu," Siauw Lam
Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata
semua orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi.
Tiba-tiba
dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka bergerak.
Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan
senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang.
Akan tetapi tiba-tiba tubuh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika
senjata-senjata itu sudah lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ke tangan
pemiliknya, mendadak tubuh pendekar itu melayang turun dari atas, kemudian
hinggap di tempatnya semula berdiri. Kiranya tubuh pendekar butung itu tadi
mencelat ke udara dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum pahit
sambil bersandar pada tongkat bututnya!
"Serbu...!"
bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.
"Tangkap!"
pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buahnya.
Kini puluhan
macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini menggerakkan
kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini, tongkatnya berkelebatan dan
terdengarlah bunyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak
senjata-senjata itu beterbangan dalam keadaan patah-patah.
Empat orang
pimpinan kedua rombongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim
pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang mereka. Kini Suma Han mendorongkan
kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong
mundur, terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan
wajah mereka berubah, gentar dan heran.
"Siapakah
engkau, hai pemuda yang luar biasa?" Si Muka Tengkorak dari
Thian-lion-pang bertanya.
"Namaku
Suma Han!" jawab Pendekar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali
tidak merasa bangga akan namanya.
"Engkau
datang dari partai manakah dan siapa julukanmu? Kami perlu tahu untuk kami
laporkan kepada ketua kami!" tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu.
Suma Han
memandang orang ini, kemudian memandang orang-orang dari Pulau Neraka yang
mukanya berwarna-warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah orang-orang
aneh sekali, tentu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak baik menanam
bibit permusuhan dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar,
"Kalian
sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Ada pun partaiku? Tidak ada
partai, tempatku adalah Pulau Es!"
Di luar
sangkaan Suma Han, mendengar ini, rombongan muka berwarna itu langsung
mengeluarkan seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu
menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya.
"Mohon diampunkan kelancangan hamba sekalian yang tidak mengenal sehingga
telah berani bersikap kurang ajar terhadap To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau
Es!"
Tentu saja
Suma Han terkejut sekali, akan tetapi hatinya girang karena hal itu berarti
bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. "Sudahlah, harap kalian jangan
bersikap sungkan. Di antara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap saja
di masa depan kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada
Ketua Thian-liong-pang dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!"
Setelah
berkata demikian, Suma Han sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga dalam
sekejap mata saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan mereka semua. Para
anak buah dua rombongan itu bengong terheran-heran dan penuh kekaguman, apa
lagi kalau mereka teringat akan peristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar
Siluman mulai saat itu makin terkenal, bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih
dikenal sebagai Pendekar Siluman dari pada Pendekar Super Sakti.
"Adikmu
yang seperti setan itu hanya mendatangkan malapetaka saja! Sungguh celaka!
Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku mengambil engkau menjadi
isteriku! Adikmu itu telah berani melarikan Puteri Nirahai dari istana! Celaka,
sekarang kita tentu akan tertimpa bencana karena engkau adalah cicinya!"
Giam Cu, panglima brewok bertubuh tinggi besar itu menggebrak meja dan melotot
kepada isterinya yang memandangnya dengan mata terbelalak dan air mata
bercucuran.
Isterinya
yang muda dan cantik itu adalah Sie Leng, atau lebih tepat Suma Leng, kakak
perempuan dan satu-satunya saudara kandung dari Suma Han. Dalam cerita Pedekar
Super Sakti telah diceritakan bahwa Suma Leng ini, ketika masih dara remaja,
telah diperkosa dan diculik oleh panglima Mancu dan kemudian diambil menjadi
isterinya karena panglima itu ternyata jatuh cinta kepada karbannya ini.
"Kalau
dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?" Suma
Leng membantah, akan tetapi ia menjadi cemas menyaksikan sikap suaminya
kepadanya yang amat berubah ini. Baru sekarang suaminya yang biasanya
memperlihatkan sikap kasih sayang, kelihatan marah-marah dan sinar kebencian
terpancar dari mata.
"Tiada
sangkut pautnya katamu?" Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya
menghantam permukaan meja.
"Brakkk!"
Meja itu pecah-pecah menjadi beberapa potong.
"Semua
orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka tentu kita
sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara-gara engkau
mempunyai adik siluman, aku pun akan turut celaka pula." Wajah panglima
itu menjadi pucat teringat akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri.
"Kecuali kalau..."
Suma Leng
mendapat firasat buruk. Jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat terakhir
yang tak lengkap itu keluar perlahan-lahan dari mulut suaminya. Dengan nada
yang rendah dan lirih ia bertanya, "...kecuali kalau apa...?"
Akan tetapi
pertanyaannya ini disusul jerit mengerikan karena tiba-tiba berkelebat sinar
menyilaukan dan tahu-tahu ujung pedang di tangan Giam Cu telah menembus dada
isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!
Suma Leng
terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dadanya yang tertusuk pedang.
"Kau... kau...," ia terengah-engah, terhuyung ke belakang.
Sedetik
Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan
keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri.
"Terpaksa, demi keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)..."
"Ibu...!
Ibuuuuu...!" Seorang anak perempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari
dari dalam.
Seorang
kanak-kanak memiliki perasaan yang sangat tajam dan halus sekali. Apa lagi
dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat sehingga anak perempuan
yang biasanya diasuh oleh para pelayan, kini seperti digerakkan sesuatu yang
mukjizat, meronta dan berlari mencari ibunya!
"Kwi
Hong...!" Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.
"Ibuuuu...!"
Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu memasuki kamar dan berlari
menghampiri ibunya.
Tiba-tiba
tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya, akan tetapi bocah itu lalu meronta
dan menangis dalam pondongan ayahnya.
"Aku
mau Ibu...! Lepaskan, aku akan turut Ibu...!"
"Husshh!
Ibumu jahat dan nakal, engkau turut Ayah saja!" bentak Panglima Giam Cu
dalam usahanya menghibur anaknya secara kaku dan kasar.
"Tidakkkk...!
Aku mau Ibu... mau Ibu...!" Anak itu meronta-ronta.
"Kwi
Hong... Kwi Hong... engkau... engkau hati-hatilah anakku... ohhhhhh!" Suma
Leng menghembuskan napas terakhir dan bagaikan digerakkan sesuatu, anak itu
menjerit dan menangis sekerasnya.
"Diam!
Kutampar engkau kalau tidak mau diam!" Giam Cu membentak, namun anak itu
tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar-benar
menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu.
Para pelayan
datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mereka menggeletak di
lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi. Giam Cu
menerangkan. "Dia membunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han
yang menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana."
Para pelayan
mengundurkan diri sambil memondong Kwi Hong dan ramailah berita tentang
kematian isteri panglima ini yang membunuh diri. Berita ini tentu saja
terdengar oleh Kaisar dan tepat seperti yang diperhitungkan Giam Cu, dia tidak
diganggu oleh Istana berhubung dengan perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri
Nirahai karena orang yang menjadi kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!

Akan tetapi,
tentu saja penghuni gedung panglima ini dapat menduga bahwa nyonya majikan
mereka sama sekali tidak membunuh diri, melainkan dibunuh oleh Giam-ciangkun.
Namun mereka tidak berani bicara tentang itu. Lagi pula, andai kata Kaisar
sendiri mendengar bahwa kematian kakak perempuan Suma Han itu disebabkan oleh
pembunuhan Giam Cu, hal ini bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana
terhadap kesetiaan Giam Cu!
Kurang lebih
empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi, menjelang tengah malam,
Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia terkejut sekali melihat bayangan
orang dalam kamarnya. Cepat ia mendorong tubuh wanita muda yang montok dan
hangat itu, yang menjadi kekasihnya semenjak isterinya tewas, dan dengan hanya
berpakaian dalam ia meloncat turun dari pembaringan. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika ia mengenal orang yang berdiri di dalam kamarnya itu, seorang
laki-laki muda berkaki tunggal, bertongkat, rambutnya riap-riapan berwarna
putih semua. Suma Han!
Memang
benarlah. Suma Han atau Si Pendekar Siluman yang berada di dalam kamar itu.
Setelah berhasil menyelamatkan putera Bhok Khim di kelenteng tua itu dan
menyerahkan anak itu kepada Siauw Lam Hwesio, pendekar ini diam-diam pergi ke
kota raja untuk mengunjungi enci-nya dan minta diri karena ia mengambil
keputusan untuk pergi mencari Pulau Es dan menghabiskan sisa hidupnya di tempat
itu. Ia ingin bertemu dengan enci-nya untuk terakhir kalinya. Dapat dibayangkan
betapa kaget dan duka hatinya mendengar bahwa enci-nya itu telah mati membunuh
diri beberapa bulan yang lalu, yaitu beberapa hari setelah ia melarikan Puteri
Nirahai dari penjara!
Karena
merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam itu Suma Han
mempergunakan kepandaiannya memasuki kamar cihu-nya (kakak iparnya). Sebelum
Giam Cu hilang kagetnya, Suma Han telah menggerakkan tongkat dan sekali totokan
membuat tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan lagi. Wanita muda yang telanjang
bulat itu terbangun dan hendak menjerit, namun kembali Suma Han menotok
sehingga wanita itu roboh lemas kembali ke atas kasur.
Suma Han
menatap wajah cihu-nya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang
aneh, "Ceritakan sebab kematian Enci Leng!"
Seperti
dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima itu mendengar
suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia kendalikan dan kuasai lagi,
yang bicara tanpa dapat dicegahnya, "Dia mati kubunuh, kutusuk pedang dari
dada tembus ke punggungnya."
Suma Han
memejamkan mata sejenak untuk ‘menelan’ kemarahan yang menyesak dada, lalu
membuka lagi matanya dan bertanya, "Mengapa engkau membunuhnya? Bukankah
engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?"
Seperti
sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu menjawab,
"Aku masih sayang kepadanya... tetapi... aku harus membunuhnya. Itulah
jalan satu-satunya bagiku untuk menyelamatkan diri dari kemarahan Kaisar karena
perbuatan adiknya. Aku menyesal... akan tetapi terpaksa...!"
Suma Han
menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar itu. Tak lama
kemudian, tampaklah tubuhnya mencelat-celat di atas wuwungan rumah-rumah kota
raja meloncati tembok kota keluar dari kota raja. Akan tetapi sekarang lengan
kanannya memondong seorang anak kecil yang terbungkus selimut merah tebal.
Seorang bocah yang masih tidur, yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun
lebih, yang tidur nyenyak tidak tahu bahwa dia telah dibawa pergi pamannya
meninggalkan gedung ayahnya, meninggalkan kota raja, bahkan meninggalkan dunia
ramai!
Memang,
semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja karena semua
orang menemukan Giam-ciangkun dalam keadaan berubah ingatan dan puteri panglima
itu lenyap sehingga orang-orang mulai menduga bahwa ini tentu perbuatan
Pendekar Siluman, diperkuat oleh kesaksian selir panglima itu yang melihat
laki-laki buntung dalam kamar, semenjak itulah Suma Han lenyap dari dunia
ramai. Akhirnya Kaisar menghentikan usahanya untuk mencari pendekar ini, juga
sudah putus harapan untuk dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang hilang.
Masih banyak
sekali urusan yang lebih penting dari pada hilangnya puteri dari selir ini,
terutama sekali urusan penumpasan para pemberontak di Secuan. Setelah berhasil
mengadakan persekutuan dengan Pangeran Kiu yang bersaing dengan Raja Muda Bu
Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet, pasukan-pasukan Mancu kembali
melakukan penyerbuan dan tekanan-tekanan di Secuan terus-menerus dilakukan.
Pihak pejuang yang melawan kekuasaan pemerintah Mancu melakukan perlawanan
mati-matian. Akan tetapi, berkat siasat yang dilakukan Puteri Nirahai dahulu,
yaitu mendekati dan menjanjikan perdamaian dengan para tokoh kang-ouw, kini
perlawanan Bu Sam Kwi kehilangan bantuan orang-orang pandai dari dunia kang-ouw
sehingga makin lama pertahanannya menjadi makin lemah.
Memang patut
dikagumi keuletan pertahanan pihak Secuan yang pantang mundur. Bahkan matinya
Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruntuhkan semangat perlawanan pasukan
Secuan. Mereka terus mengadakan perlawanan gigih dan barulah setelah melakukan
perang lagi selama empat tahun lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan dapat
dihancurkan dan Secuan dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya
Secuan, berhenti pula perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat
menguasai seluruh Tiong-goan.
Ternyata
pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup bijaksana dan ternyata
pula bahwa orang-orang Mancu tidak hanya pandai perang, melainkan pandai pula
mengatur pemerintahan. Untuk menundukkan semangat perlawanan bangsa pribumi,
pemerintah mengadakan peraturan yang keras. Model pakaian diganti dan rakyat
dianjurkan bahkan kadang-kadang dengan kekerasan, untuk merobah model pakaian
Mancu. Rambut harus dibiarkan panjang dan dikuncir. Selain ini, diadakan pula
larangan membawa senjata tajam.
Namun di
samping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak yang
menyenangkan hati rakyat. Korupsi dan penyuapan diberantas, kejahatan dihukum
keras. Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat kesempatan untuk menduduki
jabatan-jabatan penting. Kebudayaan ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mulai
merasa lega karena biar pun negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan
mereka kini lebih tenteram dan keselamatan mereka terjamin. Terutama sekali
karena bangsa Mancu tidak menganggap mereka sebagai pendatang atau orang asing,
tidak mengangkut kekayaan di bumi yang dijajah itu ke Mancu, melainkan melebur
diri menjadi rakyat dari negara itu. Para pembesar dan bangsawan mempelajari
kebudayaan Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai berbicara dalam bahasa bangsa
jajahannya ini.
Dalam
keadaan yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali partai-partai persilatan
yang tadinya tenggelam dan menyembunyikan diri. Karena sekarang tidak ada lagi
‘musuh rakyat’ yang harus mereka lawan dengan ilmu kepandaian mereka, mulailah
lagi timbul penyakit lama kaum kang-ouw ini, yaitu berlomba untuk menjagoi di
dunia persilatan! Mulai kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai
semua pusaka-pusaka peninggalan tokoh-tokoh persilatan yang sakti, mulai
memperebutkan pusaka-pusaka untuk memperkuat kedudukan masing-masing agar dapat
menjadi jagoan nomor satu di dunia kang-ouw.
Dalam
pandangan kaum kang-ouw ini, pemerintah yang baru mendatangkan kesan baik, maka
sebagian ada yang menghambakan diri kepada pemerintah untuk memperkokoh
kedudukan dan kemuliaan. Namun, kaum persilatan yang memang berwatak aneh itu
merupakan petualang-petualang yang haus akan ketegangan-ketegangan, maka lebih
banyak lagi yang tidak mengikatkan diri dengan pemerintah dan hidup bebas
seperti yang ditempuh nenek moyang mereka di dunia kang-ouw.
Lima tahun
telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi ketegangan di dunia
kang-ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar berita bahwa terjadi
perubahan-perubahan yang amat hebat di dalam partai-partai besar. Agaknya
partai-partai besar itu selama lima tahun ini sibuk dengan urusan dalam partai
sendiri, tentang penggantian ketua, dewan pimpinan dan lain-lain, juga
memperkuat kedudukan untuk menghadapi ‘sesuatu’ yang dibisik-bisikkan sebagai
hal amat gawat! Karena itu, di dalam ketenangan itu bersembunyi sesuatu yang
sewaktu-waktu akan meledak di dunia kang-ouw! Api dalam sekam yang setiap saat
dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap untuk pecah!
Ada
terdengar berita bahwa sekarang para tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw mulai
mengincar kedudukan dan tingkat di dunia persilatan. Hal ini tidak mengherankan
oleh karena bukankah tokoh-tokoh lama sudah lenyap dan banyak yang mengundurkan
diri tanpa pamit? Akan tetapi, semua orang kang-ouw tahu bahwa perebutan
tingkat di dunia kang-ouw tidak kalah ramainya dengan saingan perebutan sebuah
kerajaan!
Selama lima
tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian-kejadian amat penting. Pertama
adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua dari Siauw-lim-pai, disusul
setahun kemudian dengan meninggalnya Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai.
Setelah dua orang tokoh ini meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi
pimpinan yang ditakuti, maka terjadilah guncangan-guncangan akibat perebutan
kekuasaan dan anak muridnya terpecah karena mempertahankan pilihan calon ketua
masing-masing.
Di dalam
keributan dan guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun tangan. Hwesio tua ini
sebetulnya hanyalah seorang hwesio yang kedudukannya rendah, dan tidak pernah
mencampuri urusan partai. Akan tetapi oleh kerena dia bekas pelayan Kian Ti
Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa Siauw Lam Hwesio mewarisi ilmu kepandaian
Kian Ti Hosiang sehingga jarang ada murid Siauw-lim-pai lain yang mampu
mengimbangi tingkatnya, maka ketika Siauw Lam Hwesio turun tangan melerai,
nasihatnya ditaati. Apa lagi karena Siauw Lam Hwesio yang biasanya pendiam dan
sabar itu agaknya menjadi marah sekali menyaksikan perebutan kekuasaan antara
saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata-kata dan keputusannya.
"Tidak
mau insaf jugakah kalian betapa nama kita sebagai pendeta-pendeta menjadi bahan
ejekan dan kecaman dunia? Betapa banyak orang-orang yang berpakaian seperti
pendeta akan tetapi kelakuannya amat jahat. Mereka itu sebetulnya hanyalah
penjahat-penjahat yang menyembunyikan diri dalam pakaian pendeta, tetapi
perbuatan mereka itu telah mencemarkan nama kita. Sekarang, kalian sebagai
pendeta-pendeta asli, sebagai hwesio-hwesio murid Siauw-lim-si yang sejak kecil
digembleng dengan ilmu dan kebatinan, ternyata masih tidak mampu menguasai
nafsu akan kemuliaan dan kedudukan sehingga kedudukan ketua saja diperebutkan!
Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli rambut kepala? Apa artinya kepala
gundul akan tetapi hatinya berbulu? Sungguh mencemarkan dan memalukan perbuatan
kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa malu untuk berpakaian pendeta dan
menggunduli kepala. Nah, mulai sekarang biarlah aku tidak menjadi pendeta lagi,
kepalaku tidak gundul lagi agar jangan dikira aku pun seorang busuk menyamar
sebagai pendeta hwesio!"
Setelah
berkata demikian, Siauw Lam Hwesio mengeluarkan ilmunya yang mukjizat. Seluruh
tubuhnya menggigil, kulit tubuhnya mengeluarkan keringat dan... di permukaan
kepalanya yang gundul licin itu tiba-tiba telah tumbuh rambut yang panjangnya
ada dua senti! Ketika ia menggerakkan tubuh, pakaian pendeta yang menempel di
tubuhnya hancur berantakan!
Melihat
kesaktian yang hebat ini, para murid Siauw-lim-pai tunduk dan dapatlah kini
dipilih seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak laki-laki putera
Bhok Kim yang dibawa ke kuil Siauw-lim-si oleh kakek itu kini telah menjadi
muridnya dan tinggal pula di Siauw-lim-si membantu pekerjaan gurunya sebagai
pelayan. Semua hwesio di kuil itu sayang kepada Bun Beng, demikian nama anak
itu, karena bocah itu amat rajin dan penurut, pula memiliki kecerdikan yang
luar biasa dengan wajahnya yang tampan dan sepasang matanya yang bening tajam.
Sejak
peristiwa hebat di mana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan rambutnya itu, dia bersama
Bun Beng masih tinggal di dalam kuil, di bagian belakang dan mengerjakan
pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil, mengisi air, menyapu dan
lain-lain, dibantu oleh muridnya.
Pada malam
itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah gurunya muram.
Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan tetapi biasanya wajah gurunya
itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini jelas membayangkan kemuraman.
Kakek itu kini rambutnya telah panjang sampai lewat pundak, jenggot dan
kumisnya juga panjang. Rambut dan jenggot itu telah putih semua, seperti
benang-benang perak, dan pakaiannya sederhana sekali.
"Suhu,
apakah yang mengganggu pikiran Suhu?" Bun Beng bertanya ketika guru dan
murid ini duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka.
Kakek yang
kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya Kakek Siauw Lam
saja, memandang muridnya sambil menyembunyikan kekaguman hatinya dari sinar
matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa, pikirnya. Selama lima tahun ini,
dalam pelajaran sastera semua kitab kuno yang berada di perpustakaan kuil habis
‘dilahapnya’, sedangkan dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki bakat
yang menakjubkan. Sekali diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal ini
masih belum mengagumkan hati kakek Siauw Lam, dan yang benar-benar mengagumkan
hatinya adalah pandangan yang amat luas dari bocah ini. Usia Bun Beng baru
sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat mengerti bahwa saat itu
dia sedang menderita gangguan pikiran! Bukan main!
Kakek itu
menarik napas panjang, lalu menjawab, "Betapa pikiran takkan terganggu
kalau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku? Semenjak dunia
berkembang, manusia selalu menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri sehingga
timbullah hal-hal yang saling merugikan di antara manusia. Kita yang
mempelajari ilmu silat, sedikit banyak mempunyai pertalian dengan dunia
persilatan. Karena itu mendengar akan keruhnya dunia kang-ouw pada saat ini,
mau tidak mau hatiku menjadi pilu dan penuh kekhawatiran akan terjadi
bentrokan-bentrokan hebat di antara para pendekar sehingga akan mengorbankan
nyawa banyak orang gagah secara sia-sia belaka."
"Apakah
yang terjadi di dunia kang-ouw, Suhu?"
Tampaknya
memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan dunia kang-ouw
dengan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun lebih. Akan tetapi karena
Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah bocah biasa, tanpa ragu-ragu
lagi ia lalu bercerita.
"Dunia
kang-ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini mulai geger
dengan adanya berita yang amat mengejutkan. Pertama, lenyapnya pusaka-pusaka
peninggalan keluarga Suling Emas yang amat dipuja oleh kaum kang-ouw, baik dari
golongan hitam mau pun golongan putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang menggiriskan,
yaitu Sepasang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua orang
Siang-mo-kiam tahu-tahu dibongkar orang dan diduga bahwa Sepasang Pedang Iblis
yang tentu berada dengan sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu telah diambil
pembongkar kuburan. Kalau pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas amat dipuja
dunia kang-ouw sebagai pusaka-pusaka keramat yang patut dihormat, adalah
Sepasang Pedang Iblis merupakan pusaka yang mengerikan dan menakutkan karena
munculnya Sepasang Pedang Iblis itu berarti munculnya pula geger dan keributan
di dunia kang-ouw. Hal ke tiga adalah berita tentang ditemukannya kitab-kitab
warisan keluarga Bu Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan adalah bahwa kini
pemerintah telah menguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu. Karena
pendengaran orang kang-ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa tempat
itu adalah sebuah di antara pulau-pulau karang kecil di tengah-tengah Sungai
Huang-ho yang sudah dekat dengan muaranya di Teluk Po-hai. Nah, dengan adanya
berita ini, aku menduga bahwa tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki
kepandaian tinggi sedang berlomba untuk mendapatkan pusaka-pusaka itu, tentu
ramailah Sungai Huang-ho di daerah itu."
"Daerah
mana, Suhu?"
"Kabarnya
sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota Cin-an, di sebelah
timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai laut."
"Siapa
sajakah yang akan muncul, Suhu? Apakah... Pendekar Siluman juga akan
hadir?"
Selama lima
tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar Siluman berkaki buntung
yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia bertanya kepada suhunya tentang
diri Suma Han, akan tetapi gurunya agaknya enggan bicara tentang Pendekar
Siluman itu.
"Entahlah,
mana aku tahu siapa yang akan muncul? Hanya kabarnya sekarang ini di dunia
kang-ouw telah muncul banyak sekali orang yang memiliki kesaktian luar
biasa."
"Seperti
Pendekar Siluman?"
Kakek itu
memandang muridnya, sinar matanya tersenyum. "Mungkin lebih! Biar pun aku hanya
mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini Thian-liong-pang memiliki seorang
ketua yang kepandaiannya seperti dewa! Dan juga bermunculan tokoh-tokoh dari
Pulau Neraka yang kabarnya mempunyai kepandaian seperti iblis-iblis neraka
sendiri. Tentang ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh rahasia
seperti ketua baru Thian-liong-pang! Ketua dua partai ini hanya kabarnya saja
yang sudah keluar ke dunia kang-ouw, namun mungkin jarang ada yang pernah
melihat mereka. Di samping Thian-liong-pang dan pulau Neraka, kini bahkan
muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-penghuni Pulau Es!"
"Pendekar
Siluman...?" Bun Beng makin tertarik.
"Entahlah.
Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh rahasia. Tidak ada yang
tahu pula siapa ketuanya, namun kabarnya, anak buahnya pun sudah memiliki
kesaktian luar biasa. Apa lagi ketuanya!"
Mendengar
penuturan tentang dunia kang-ouw dengan banyak keanehannya itu, hati Bun Beng
tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang matanya seolah-olah melekat
dan tergantung pada bibir gurunya untuk mengikuti gerak-gerik agar jangan ada
sepatah pun kata yang terlewat oleh penangkapannya. Kalau gurunya berhenti, ia
pun termenung dan pikirannya melayang-layang jauh sekali.
Biar pun
Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid Siauw-lim-pai yang juga
mendengarnya sebagai kabar angin saja, namun sesungguhnya kabar itu banyak yang
benar. Memang telah terjadi hal-hal luar biasa di dunia kang-ouw selama
beberapa tahun ini.
Pertama
adalah tentang lenyapnya pusaka-pusaka keluarga Suling Emas. Pusaka-pusaka ini,
termasuk senjata keramat Pendekar Sakti Suling Emas yang berbentuk sebatang
suling emas yang indah, tadinya tersimpan di tanah kuburan keluarga Suling Emas
yang terletak di daerah Khitan. Tanah kuburan ini terjaga keras oleh seorang
tokoh sakti yang disegani karena selain dia bekas pelayan keturunan terakhir
keluarga pendekar itu, juga berkali-kali merobohkan orang-orang yang berusaha
merampas pusaka-pusaka itu.
Ketika
Puteri Nirahai mengunjungi kuburan itu untuk meminjam suling emas guna
mempengaruhi kaum kang-ouw, puteri ini pun kewalahan menghadapi penjaga yang
sakti itu. Penjaga itu adalah kakek bongkok Gu Toan yang setia, yang menjaga
kuburan keluarga Suling Emas, membela seluruh pusaka, lebih-lebih dari pada
membela nyawanya sendiri! Akan tetapi, geger pertama mengguncang dunia kang-ouw
ketika pada suatu hari kakek bongkok Gu Toan itu tanpa terluka terdapat sudah
tak bernyawa lagi di depan pintu pagar kuburan, dan semua pusaka telah lenyap tanpa
bekas!
Dunia
kang-ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik, tetapi
pusaka-pusaka itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya! Keguncangan ini belum
juga reda, dunia kang-ouw sudah digegerkan oleh guncangan ke dua, yaitu ketika
tokoh-tokoh tua menemukan kuburan Siang-mo-kiam telah dibongkar orang dan
Sepasang Pedang Iblis yang diduga berada di dalam kuburan itu telah lenyap.
Atau lebih tepat lagi, tidak ada orang yang tahu sebelumnya bahwa Siang-mo-kiam
telah tewas, menduga bahwa setelah dua orang iblis jantan betina itu tewas
namun Sepasang Pedang Iblis tak dapat ditemukan pada sisa mayat mereka,
tentulah Sepasang Pedang Iblis itu telah terjatuh ke tangan orang lain. Dan hal
ini berarti BAHAYA!
Telah
diceritakan dalam cerita "Pendekar Super Sakti" bahwa yang mengubur
jenazah Siang-mo-kiam itu adalah Suma Han dan adik angkatnya, Lulu gadis Mancu.
Siang-mo-kiam merupakan sepasang kakek dan nenek yang aneh sekali, dan keanehan
itu agaknya terpengaruh oleh Sepasang Pedang Iblis yang memiliki riwayat
menyeramkan dan aneh.
Ratusan
tahun yang lalu, di jamannya Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam puteri
Pendekar Suling Emas, sepasang pedang itu dibuat oleh sepasang kakek nenek
berbangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali. Karena mereka berdua
kalah dalam pertandingan melawan Pendekar Wanita Mutiara Hitam, maka keduanya
lalu membayar taruhan mereka, yaitu membuatkan sepasang pedang, masing-masing
membuat sebatang untuk Mutiara Hitam.
Cara
pembuatan pedang itu luar biasa sekali, bahannya pun dari dua bongkah logam
aneh milik Mutiara Hitam. Kedua orang kakek nenek India yang selalu berlomba
tidak mau saling mengalah itu, kini berlomba pula dalam membuat pedang. Bentuk
pedang serupa karena memang contohnya diberikan oleh Mutiara Hitam, maka
keduanya lalu bersaing untuk membuat pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka
tidak segan-segan untuk mengorbankan anak-anak kecil yang diambil darahnya
untuk dijadikan ‘bumbu’ dalam ‘memasak’ pedang! Bahkan akhirnya, persaingan itu
memuncak sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu saling bunuh dengan
pedang mereka pada saat Mutiara Hitam datang hendak mengambilnya!
Sepasang
Pedang Iblis itu kemudian terjatuh ke tangan dua orang murid Mutiara Hitam
laki-laki dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka yang sebetulnya saling
mencinta ini, lalu saling bersaing tidak mau kalah sehingga berubah menjadi
ganas sekali dan akhirnya, sebagai kakek dan nenek, mereka pun tewas oleh
pedang masing-masing! Jenazah kedua kakek dan nenek murid Mutiara Hitam ini
dikubur oleh Suma Han dan Lulu. Kedua orang yang pada waktu itu masih amat muda
itu mengubur pula Sepasang Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.
Demikian
riwayat Sepasang Pedang Iblis yang kini telah lenyap pula. Bagaimana dunia
kang-ouw tidak akan menjadi geger karenanya?
Bukan hanya
lenyapnya pusaka Keluarga Suling Emas dan Sepasang Pedang Iblis saja yang
menggegerkan dunia kang-ouw dan kaum persilatan, akan tetapi berita tentang
ditemukannya kitab-kitab pusaka warisan keluarga Bu Kek Siansu tidak kalah
hangatnya. Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw manakah yang tidak mengenalnya?
Pendekar Sakti Suling Emas banyak menerima ilmu dari kakek sakti yang dianggap
manusia dewa itu!
Bahkan
banyak tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam juga memperoleh ilmu dari Bu Kek
Siansu karena dahulu kabarnya setiap tahun Bu Kek Siansu ‘turun’ ke dunia untuk
membagi-bagikan ilmu kepada mereka yang berjodoh dengannya! Ilmu-ilmu mukjizat
yang dimiliki kaum sesat, seperti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api)
dan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu
yang diberikan oleh Bu Kek Siansu! Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa
kitab-kitab pusaka peninggalan keluarga Bu Kek Siansu ditemukan, tentu saja
dunia kang-ouw menjadi geger!
Kabar
terakhir tentang ditemukannya peta yang menunjukkan tempat penyimpanan
pusaka-pusaka dan kitab-kitab oleh pemerintah telah menjadi puncak ketegangan
dan kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang sakti yang selama ini lebih
suka menyembunyikan diri di dalam goa-goa rahasia, di dalam pulau-pulau
terasing, atau di puncak-puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia.
"Suhu,
teecu ingin mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan bertemu
dengan tokoh-tokoh sakti!" Tiba-tiba Bun Beng berkata setelah termenung
sejenak.
Kakek Siauw
Lam terkejut, memandang muridnya dengan alis berkerut, "Ah, apakah kau
kira hal itu merupakan main-main? Kalau para tokoh itu sudah bertemu dan saling
memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh
dari sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya
maut!"
"Suhu,
tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa
memperoleh kemajuan? Pengalaman itu tentu amat berguna bagi teecu, selain
menambah pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu untuk bertemu dengan
orang-orang sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan permintaan teecu ini."
Kakek itu
sudah cukup mengenal watak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu.
Muridnya ini, di samping bakat-bakat dan watak-watak lainnya, juga memiliki
keberanian yang tidak lumrah dimiliki anak kecil, di samping kekerasan hati
yang pantang mundur kalau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma
saja, bahkan memberi kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya.
Dia mengerti bahwa kalau dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi
penasaran dan ada kemungkinan akan minggat!
Kakek Siauw
Lam lalu menarik napas panjang sambil berkata, "Hemmmm... terserah
kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar berani menempuh
segala bahaya itu."
"Suhu,
terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari
Suhu!"
Bun Beng
menjadi gembira sekali, dan cepat membuat persiapan untuk melakukan perjalanan
jauh yang selamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam-diam merasa kagum
sekali dan tersenyum di dalam hati.
***************
Waktu lima
tahun memang merupakan waktu yang cukup lama dalam kehidupan manusia, dan waktu
ini cukup untuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal-hal yang menimpa
dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang mengalami perubahan hebat sehingga
perubahan besar menimpa diri Siauw Lam Hwesio yang kini telah meninggalkan
kependetaannya dan menjadi orang biasa karena kekecewaannya menyaksikan
keributan yang terjadi di antara murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.
Perubahan
besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekuasaan alam telah
mempermainkan penghidupannya, dan agaknya memang semenjak kecil Suma Han
ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit yang membuat dia dalam usia
semuda itu sudah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan
keramaian dunia sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia.
Untuk dapat mengikuti pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti
perjalanannya yang penuh pengalaman dahsyat.
Setelah
berhasil merampas keponakannya, Giam Kwi Hong yang berusia hampir empat tahun,
puteri dari mendiang enci-nya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu
melarikan diri ke timur. Kwi Hong masih tidur nyenyak dalam pondongannya dan
baru pada keesokan harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan
seorang laki-laki yang tak dikenalinya, anak itu menangis dan Suma Han mulai
bingung. Susah payah dia berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena
anak itu menjerit-jerit mencari ibunya!
"Diamlah,
Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik." Berulang kali ia menghibur dengan suara
halus dan penuh rasa kasihan teringat akan enci-nya yang telah meninggal dunia.
"Lihat, kucarikan buah-buah, kembang...!" Sibuklah dia meloncat dan
berlari ke sana-sini, memetik buah-buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak
yang ia dudukkan di atas rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.
"Ibuuuuu...!
Aku mau turut Ibu... hi-hik-hikk...!" Kwi Hong menangis terus tanpa peduli
dengan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok-gosok kedua matanya
dengan punggung tangan.
Suma Han
yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menjadi makin bingung.
Tak pernah disangkanya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia begitu
bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk-bujuk
tanpa hasil.
"Aduh,
Kwi Hong... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku
adalah adik Ibumu, aku Paman Han...!"
Tangan yang
menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu
memandangnya, tangisnya terhenti sebentar. Alangkah indahnya mata itu, Suma Han
memandang kagum, seolah-olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin
bening dan bersih!
"Paman
Han Han...?"
Suma Han
tersenyum lebar, "Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah ceritakan kepadamu. Aku
Paman Han Han...!" Ia tertawa lega, tetapi kembali ia tertegun bingung
melihat Kwi Hong lagi-lagi menangis sedih.
"Ibuku...!
Mana Ibuku...? Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!"
Celaka!
Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang sudah mati? Dan tidak
mungkin pula menerangkan kepada bocah sekecil ini bahwa ibunya telah mati.
Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba-tiba ia melihat
seekor kelinci bergerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia
meloncat dan sekali sambar ia sudah berhasil menangkap kelinci putih itu.
"Kwi
Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!" Suma Han
memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong.
Anak itu
memandang, tangisnya terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya,
memondong kelinci sambil tersenyum dan berkata. "Kelinci cantik...!"
Baru
sekarang Suma Han merasa betapa hatinya lega dan girang bukan main hingga mau
rasanya ia menari-nari dan menyanyi-nyanyi! Ia mencium pipi anak itu, kemudian
berkata, "Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Pamanmu akan
mencarikan binatang-binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah buah ini. Nih,
Paman kupaskan kulitnya, manis sekali, makanlah!"
Kwi Hong
suka makan buah itu, apa lagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit
kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga
dia mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan
menuju ke pantai laut di mana dahulu ia mendarat bersama Lulu ketika mereka
berdua meninggalkan Pulau Es. Dia hendak kembali ke Pulau Es itu bersama Kwi
Hong.
Setelah
melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya dan sering kali dia terpaksa
menggunakan kekuatan mukjizatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu
terlalu rewel, akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa.
Pada suatu senja tibalah Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal
sekali. Air laut kebiruan tampak dari atas seperti permadani biru terbentang
luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau berombak saking tingginya tempat
itu.
Dari tempat
yang tinggi ini, Suma Han memandang ke kanan kiri dan mulailah ia mengenal
daerah ini. Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di sanalah dia bersama Lulu,
tiba-tiba tubuh Suma Han menjadi lemas dan hatinya makin kosong. Semenjak ia
berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu, tahulah dia bahwa
semenjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun hanyalah Lulu
yang ia cinta, sepenuh jiwa raganya dan ia rela menderita asal adiknya itu
hidup bahagia.
"Lulu,
semoga engkau selalu hidup bahagia!" Ia berbisik lirih seperti orang
berdoa.
"Paman
Han Han, kau bilang apa?"
Kwi Hong
dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam kenangan
yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang dipondongnya. Kwi
Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan sepotong-sepotong,
terdengar lucu sekali.
"Ah,
tidak, Paman tidak bilang apa-apa." kata Suma Han sambil mengambung pipi
keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
"Paman
tangkapkan binatang lagi! Kelinci lagi... kelinciku lari!"
"Di
sini mana ada kelinci?"
"Uh-hu-huk,
minta kelinci...!" Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma
Han, dalam waktu sebulan lebih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti
agaknya bahwa kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi, maka
sekarang pun ia mempergunakan ‘senjatanya’ yang lihai ini!
"Di
sini tidak ada kelinci. Ikan, ya? Ikan laut? Atau udang? Kepiting... eh
kepiting baik sekali, lucu sekali! Kutangkapkan kepiting, ya?"
"Tidak,
tidak mau... hi-hi-hik, mau kelinci!" Kwi Hong menendang-nendangkan kaki
dan menggeleng-gelengkan kepala sambil mewek.
Suma Han
menarik napas panjang. "Baiklah, baiklah... eh, rewel benar anak
ini." Ia menurunkan Kwi Hong yang seketika sudah berhenti menangis ketika
mendengar pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali pamannya
sanggup pasti akan dipenuhinya.
"Lihat
baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!" Suma Han menggunakan ilmunya yang
mukjizat, mempengaruhi keponakannya sendiri.
Seketika Kwi
Hong tertawa-tawa gembira melihat seekor kelinci putih besar di depannya. Ia
lupa sama sekali kepada pamannya yang sudah lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu
mengelus-elus kepala kelinci itu dan menarik-narik telinganya yang besar dengan
penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya ketika kepalanya
dielus-elus dan kedua telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!
"Paman...!
Paman Han Han...!" Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke atas, telunjuknya
menuding-nuding ke atas.
"Tangkapkan
burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung...!" Anak itu kini sudah lupa
akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas dan menuding-nuding
sambil berteriak-teriak.
Suma Han
menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula memandang ke atas. Terkejut
dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar-besar sekali sedang
bertanding di angkasa dengan serunya!
"Heran
sekali!" serunya. "Burung garuda dan rajawali...!"
"Tangkapkan
burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu...!" Kwi Hong bersorak.
Akan tetapi
sekali ini Suma Han tidak memperhatikan permintaan keponakannya karena ia
tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang
burung-burung garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apa lagi sekarang dua
ekor burung itu sedang berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil
mengeluarkan suara melengking yang amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan
dahsyat di angkasa!
Akan tetapi
serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawali itu bodol dan Si
Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garuda itu pun mengeluarkan
lengking nyaring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di
atas sebatang pohon besar tak jauh dari situ.
"Paman,
tangkapkan burung... hi-hi-hik...!" Kwi Hong menangis ketika melihat dua
ekor burung itu lenyap.
"Baiklah,
jangan menangis. Kau duduk saja di sini, ya? Paman hendak mencoba untuk
menangkap burung itu." Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap burung
semata-mata memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sendiri pun
amat tertarik oleh burung garuda perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap
burung raksasa itu! Cepat tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan
kepandaiannya yang hebat, pendekar ini meloncat naik ke atas pohon.
Burung
garuda itu besar sekali! Tingginya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya
besar kuat dan paruhnya menyeramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang
agak kusut karena pertandingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang
manusia mendekatinya.
Dengan
sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda, lalu
menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru, "Sin-eng (Garuda
Sakti), kita bersahabat!"
Tentu saja
burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha memutar
leher untuk menyerang, akan tetapi lengan yang memeluknya demikian kuat
sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan
tiba-tiba meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk di
atas punggungnya! Melihat ini Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan
melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Bagus...!
Bagus sekali...! Paman, aku ikut...! Aku ikut terbang naik burung...!"
Walau pun
selamanya baru sekali ini mengalami naik burung raksasa, Suma Han tidak merasa
takut. Ia hanya khawatir kalau-kalau burung itu membawanya terbang jauh
meninggalkan Kwi Hong. "Sin-eng, turunlah, kita jemput anak itu...!"
Akan tetapi,
dalam ketakutannya burung garuda itu malahan terbang meluncur, terus membubung
tinggi ke angkasa, seakan-akan hendak membawa terbang Suma Han ke bulan yang
pada senja hari itu sudah mulai tampak!
Suma Han
mulai cemas dan memandang ke bawah. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya
ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar ke arah
Kwi Hong yang masih berteriak-teriak sambil melambai-lambaikan kedua tangannya.
Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan
oleh garuda putih yang ditungganginya.
"Celaka...!"
Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh kaki rajawali dan
mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis ketakutan.
"Sin-eng,
demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!" Suma Han mencengkeram leher garuda dan
memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan
tetapi karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun.
Suma Han
menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, "Sin-eng, kejar
rajawali itu. Cepat...!"
Agaknya
burung garuda itu biar pun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat mengenal
makhluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke
mana kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si
Burung Rajawali yang terbang cepat ke arah lautan! Tanpa dikomando lagi, burung
garuda itu terbang mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian,
tersusullah burung rajawali yang mencengkeram Kwi Hong.
Anak itu
masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa hati Suma Han melihat bahwa yang
dicengkeram rajawali itu adalah punggung baju Kwi Hong. Kalau baju itu robek,
atau kalau rajawali itu melepaskan cengkeramannya! Ia memandang ke bawah dan
bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air kebiruan dari laut yang amat
luas, mengerikan dengan ombak besar membuih!
"Sin-eng,
terbang ke bawahnya, serang dia dari bawah, selamatkan anak itu!" Suma Han
mendorong kepala garuda.
Garuda itu
menyerbu ke depan, menukik ke bawah tubuh rajawali. Dengan gerakan tangkas
sekali Suma Han mengulur tangan kanannya dan tongkatnya memukul kaki yang
mencengkeram. Rajawali memekik kesakitan, kaki yang mencengkeram kena dipukul,
cengkeramannya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong terlepas dari sambaran tangan
Suma Han. Baiknya garuda itu dengan gerakan tiba-tiba dan amat tangkasnya
mengulur kaki dan berhasil mencengkeram tubuh Kwi Hong!
"Sin-eng
yang baik, terima kasih banyak!" Suma Han bersorak ketika ia mengambil
keponakannya dari cengkeraman garuda dan melihat bahwa tubuh keponakannya sama
sekali tidak luka, tanda bahwa garuda itu berniat baik dan mencengkeram untuk
menolong!
Kwi Hong
masih menangis ketika dipangku Suma Han di atas punggung garuda. "Paman,
burung itu nakal...!"
Suma Han
menghela napas lega. Bocah ini benar amat mengagumkan. Biar pun mengalami hal
yang begitu menakutkan, namun ia tidak pingsan dan tidak ketakutan. Ia
memandang rajawali yang kini melarikan diri terbang jauh, sedangkan ketika ia
mencari-cari dengan pandang matanya, tidak tampak lagi daratan. Di mana-mana
air melulu dan cuaca mulai gelap, malam mulai tiba!
"Sin-eng
yang baik, bawalah kami kembali ke daratan!" Berkali-kali Suma Han
membujuk, kini tidak lagi ia berani ‘mengemudi’ leher burung itu karena dia
sendiri tidak tahu mana arah daratan.
Burung itu
terbang terus, cepat sekali, dan terpaksa Suma Han menyerahkan nasibnya pada
burung itu, yakin bahwa betapa pun juga, pasti burung itu akan mendarat.
Anehnya, Kwi Hong tidak menangis lagi, bahkan tertawa-tawa dan menuding ke arah
bulan sepotong yang kelihatan indah sekali sambil berkata, "Bagus...!
Bulan bagus...!"
Suma Han
menjadi lega hatinya dan melepas jubah luarnya untuk diselimutkan tubuh
keponakannya karena terbang di atas punggung garuda itu mereka bertumbuk dengan
angin yang amat besar dan dingin. Namun dapat dibayangkan betapa cemas hatinya
karena burung itu terbang terus seolah-olah tidak akan berhenti lagi! Ia
khawatir kalau-kalau burung itu kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah. Kini
keadaan makin gelap. Sinar bulan sepotong tidak mampu menembus halimun yang
terbentang di bawah kaki mereka. Dia tidak tahu lagi apakah di bawah mereka itu
masih lautan atau daratan!
Semalam
suntuk burung raksasa itu terbang dan bagi Suma Han, semalam itu seperti
setahun lamanya! Kwi Hong tertidur pulas di atas pangkuannya, untung baginya
karena kalau dalam keadaan seperti itu anak itu rewel menangis, dia benar-benar
akan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa!
Ketika
matahari pagi mulai mengusir kegelapan, Suma Han mendapat kenyataan bahwa
mereka terbang di atas sekumpulan pulau-pulau di lautan luas! Jantungnya
berdebar tegang. Pulau-pulau ini! Bukankah kepulauan yang dekat dengan Pulau
Es? Dan burung itu masih terus terbang ke arah utara. Hal ini dapat ia ketahui
dengan melihat munculnya matahari di sebelah kanannya.
Setelah
beberapa lamanya melewati sekumpulan pulau-pulau sehingga kepulauan itu lenyap
jauh di belakang, burung itu menukik turun menuju ke sebuah pulau yang tampak
keputihan. Hampir Suma Han bersorak. Itulah Pulau Es! Tak salah lagi. Kini
mulai tampaklah bentuk bangunan di tengah pulau. Istana Pulau Es! Dan benar
saja burung itu melayang turun menuju ke pulau.
Tiba-tiba
burung garuda mengeluarkan pekik dahsyat, melengking panjang dan dari pulau itu
terdengar pula lengking yang sama, akan tetapi lebih tinggi nadanya dan
tampaklah seekor burung garuda lain, terbang ke atas menyambut kedatangan
mereka! Burung garuda yang terbang menyambut ini kelihatan bingung dan kaget
ketika melihat betapa di punggung temannya duduk dua orang manusia. Dia
mengeluarkan bunyi nyaring berkali-kali dan dijawab oleh garuda yang diduduki
Suma Han dengan pekik-pekik pendek seperti orang bertanya dan menjawab.
Suma Han
menjadi geli hatinya dan sedetik ia dapat menduga bahwa burung garuda yang
menyambut itu tentulah garuda betina sedangkan yang dia tunggangi tentu yang
jantan. Baik manusia mau pun binatang sama saja, yang betina lebih ‘cerewet’!
Dua ekor
burung itu melayang turun ke atas pulau, tepat di depan Istana Pulau Es. Suma
Han meloncat turun sambil memondong Kwi Hong yang sudah terbangun. Kwi Hong
menggigil kedinginan begitu menginjak tanah yang dingin sekali. Akan tetapi,
begitu turun di atas pulau Suma Han tak dapat menahan lagi keharuannya dan
pendekar yang sudah kosong hatinya itu kini menangis tersedu-sedu!
Usianya
belum ada tiga puluh tahun, baru dua puluh delapan atau dua puluh sembilan,
namun kini ia sudah kembali ke Pulau Es untuk selamanya, mungkin! Bukan hal ini
yang menyebabkan runtuhnya air matanya, melainkan keharuan melihat tempat di
mana ia hidup berdua dengan Lulu sampai bertahun-tahun, penuh kebahagiaan. Kini
Lulu telah tiada di sampingnya lagi!
"Paman
Han Han, kenapa menangis? Siapa yang nakal kepadamu?" Tiba-tiba Kwi Hong
menghampiri den memeluk leher Suma Han yang duduk di atas tanah.
Mendengar
ini, Suma Han merangkul Kwi Hong, berusaha menghentikan tangisnya yang ia tahu
amat perlu karena kalau ditahan-tahan dapat menyebabkan luka di dalam tubuhnya
dan menimbulkan penyakit.
Terdengar
suara lirih, dan ketika Suma Han mengangkat muka, dia melihat betapa dua ekor
burung garuda itu memandang kepadanya seperti orang turut berduka cita! Melihat
ini timbul semangat Suma Han dan dia memondong tubuh Kwi Hong sambil melompat
bangun dan tersenyum!
"Kwi
Hong, keponakanku, anakku, muridku! Kita sekarang tinggal di sini, di Pulau Es.
Lihat, itulah Istana Pulau Es di mana dahulu aku tinggal. Istana kita! Kita
hidup di sini bersama dua ekor burung yang sakti ini, sepasang Sin-eng yang
setia!"
"Tapi
Ibu...?"
"Kelak
kau akan tahu tentang Ibumu. Mari kita carikan ikan untuk hadiah Sin-eng yang
telah mengantar kita ke sini!"
Suma Han
lalu berloncatan ke pantai pulau sambil menggendong Kwi Hong. Dengan
kepandaiannya, mudah saja bagi Suma Han membunuh banyak ikan besar dengan
tongkatnya dan dia melontarkan ikan-ikan itu kepada burung garuda yang
mengikuti mereka ke pantai. Dua ekor burung itu girang sekali dan melahap
ikan-ikan itu sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Bagi mereka, amatlah sukar
mencari ikan-ikan di dalam air dan mereka harus mencari makanan di pulau-pulau
lain, mengintai dan menyergap binatang dengan susah payah. Kini ada orang yang
memberi makan demikian banyaknya, tentu saja mereka girang sekali.
Demikianlah,
untuk kedua kalinya Suma Han hidup di dalam Istana Pulau Es, dan kini bersama
Kwi Hong yang digembleng sehingga akhirnya bocah itu dapat bertahan melawan hawa
dingin di Pulau Es yang bagi orang biasa akan amat menyiksa, bahkan dapat
membunuhnya.
Sepasang
burung garuda menjadi jinak. Ternyata mereka ini adalah sepasang burung yang
amat cerdik dan mereka merupakan binatang tunggangan yang amat berguna bagi Suma
Han. Untuk mencari bahan makanan, Suma Han sering menunggang garuda jantan yang
mengantarnya terbang ke pulau-pulau lain di mana tumbuh buah-buah dan
bahan-bahan makanan, juga binatang-binatang hutan. Hanya beberapa bulan sekali
saja Suma Han pergi mencari bahan makanan, sekali cari cukup untuk dua tiga
bulan. Bahan-bahan makanan itu tidak akan mudah membusuk kalau ditaruh di Pulau
Es yang dingin.
Kwi Hong
ternyata juga merupakan seorang anak yang cerdik dan berbakat baik.
Keberaniannya luar biasa sehingga dalam usianya lima tahun saja dia sudah
berani menunggang garuda betina yang menjadi teman baiknya, diterbangkan tinggi
di angkasa, di antara awan-awan putih!
Hanya satu
hal yang menjadi ganjalan di hati Suma Han. Bagi dia sendiri, dia sudah puas
hidup di pulau itu, dan dia tidak akan menyesal hidup menyendiri di situ sampai
mati sekali pun. Akan tetapi Kwi Hong! Anak itu membutuhkan pergaulan dengan
manusia lain! Kalau tidak, apa akan jadinya dengan Kwi Hong? Bagaimana dengan
perkembangan jiwanya dan pembentukan wataknya? Dia bukan seorang ahli didik dan
di tempat seperti itu, mana mungkin ada manusia lain yang dapat dijadikan teman
pergaulan Kwi Hong?
Kurang lebih
dua tahun kemudian setelah Suma Han tinggal di Pulau Es, pada suatu hari
seperti biasa dalam dua tiga bulan sekali, ia menunggang Garuda Putih jantan
untuk pergi mencari bahan makanan. Sekali ini, karena hendak melihat-lihat
keadaan, dia mengajak garuda itu terbang ke arah utara, kemudian berkeliling ke
timur, tidak seperti biasanya menuju ke sekelompok pulau yang subur di selatan.
Tiba-tiba
pandang matanya melihat sebuah perahu layar besar yang berwarna hitam, hitam
seluruhnya sampai layarnya pun semua berwarna hitam. Hatinya tertarik dan ia
menyuruh garuda putih melayang turun mendekati perahu layar. Dari jauh di atas
ia sudah melihat pemandangan yang memanaskan hatinya.
Di atas
perahu itu terdapat empat puluh orang laki-laki dan perempuan yang terbelenggu
dan diikat pada tiang-tiang besi yang sengaja didirikan di perahu, dan mereka
ini sedang disiksa, dicambuki, oleh lima orang laki-laki dan seorang wanita
yang mukanya berwarna jambon, sedangkan laki-laki itu semua mukanya berwarna
ungu! Di atas dek tampak beberapa orang pula bekerja, agaknya anak buah perahu,
dan muka mereka ini berwarna hitam dan merah. Orang-orang Pulau Neraka! Suma
Han tertarik sekali dan menyuruh garudanya makin mendekat. Semua orang yang
berada di perahu kini dapat melihat garuda itu dan ributlah mereka melihat
seorang manusia menunggang seekor burung garuda.
Akan tetapi
Suma Han sudah melihat cukup jelas, sampai dia dapat mengenal bahwa di antara
empat puluh orang laki-laki dan wanita yang ditawan itu sebagian besar adalah
bekas saudara-saudara seperguruannya, yaitu anak murid In-kok-san (Lembah Mega)
di Gunung Tai-hang-san! Bahkan di antara enam belas orang wanita tawanan itu
terdapat bekas suci-nya, yaitu Phoa Ciok Lin yang kini telah menjadi seorang
wanita cantik dan gagah berusia dua puluh tujuh tahun! Ada pun para tawanan
yang lain tentu bukan orang-orang sembarangan pula, dapat dilihat dari sikap
mereka yang gagah dan sama sekali tidak kelihatan takut biar pun dirantai dan
dicambuki!
Diam-diam
Suma Han menjadi terkejut dan heran sekali. Dia tahu bahwa anak murid
In-kok-san, bekas murid-murid mendiang Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang terkenal
sekali sebagai datuk golongan hitam, memiliki kepandaian tinggi dan mereka
adalah pejuang-pejuang yang kemudian membalik dan memusuhi guru mereka sendiri
setelah mereka tahu bahwa pembunuh orang-orang tua mereka sebenarnya adalah
guru mereka sendiri. Bagaimana mereka yang begini banyak jumlahnya dapat
tertawan oleh orang-orang Pulau Neraka itu? Biar pun ia tahu bahwa laki-laki
bermuka ungu dan perempuan bermuka jambon itu lihai sekali, namun kiranya tidak
akan mudah menawan sekian banyaknya orang-orang yang berilmu tinggi! Betapa pun
juga, dia harus menolong mereka!
Garuda putih
menukik turun ke arah permukaan perahu dan kini mereka yang berada di bawah
dapat melihat jelas laki-laki berambut riap-riapan putih dan berkaki buntung
yang menunggang garuda itu.
"Dia...
Pendekar Siluman...!" Seruan ini keluar dari mulut wanita muka jambon dan
laki-laki muka ungu yang pernah bertemu dengan Suma Han saat mereka
memperebutkan putera Bhok Khim di dalam kuil tua.
Juga para
murid In-kok-san kini mengenal Suma Han, namun mereka itu hanya memandang
dengan heran dan jantung berdebar. Benar bahwa Suma Han pernah menjadi murid
In-kok-san, bahkan pernah diambil murid Toat-beng Ciu-san-li bersama tiga orang
murid In-kok-san lain termasuk Phoa Ciok Lin, akan tetapi telah terjadi bentrok
antara Suma Han dengan Ma-bin Lo-mo dan dengan Toat-beng Ciu-sian-li.
Bahkan kedua
orang datuk In-kok-san itu tewas di tangan bekas murid ini, sedangkan kaki kiri
Suma Han juga buntung oleh Toat-beng Ciu-sian-li! Biar pun bekas saudara
seperguruan, namun sekarang tidak mungkin menganggapnya saudara seperguruan
lagi. Kini di antara mereka sudah tidak ada hubungannya sama sekali dan mereka
pun sudah mendengar bahwa laki-laki muda yang buntung ini memiliki ilmu kepandaian
seperti setan!
Kini burung
garuda sudah melayang turun di atas dek perahu dan semua orang makin kagum
mendapat kenyataan bahwa burung itu benar-benar amat besar, setinggi manusia.
"Wah,
dia tidak kalah besar dengan Tiauw-ong (Rajawali)!" Terdengar seorang di
antara anak buah perahu itu berseru dan diam-diam Suma Han menduga bahwa
tentulah burung rajawali yang dahulu pernah dikalahkan garudanya itu adalah
binatang peliharaan Pulau Neraka!
"Pendekar
Siluman, mau apa engkau datang ke sini? Bukankah kau dahulu bilang bahwa engkau
tidak mencari permusuhan? Harap jangan mencampuri urusan kami!" Laki-laki
muka ungu sudah maju dan menegurnya.
Suma Han
yang sudah meloncat turun dari punggung garuda dan berdiri tenang mengerling ke
arah para tawanan, kemudian ia bertanya kepada laki-laki muka ungu itu.
"Aku
melihat dari angkasa hal yang tidak wajar ini. Mengapa mereka ini
ditawan?"
"Ini
adalah urusan kami sendiri, orang lain tidak berhak mencampuri. Ataukah ada
hubungan antara To-cu (Majikan Pulau) Pulau Es dengan seorang di antara tawanan
ini? Kalau benar demikian, kami bersedia membebaskannya."
Diam-diam
Suma Han merasa geli di dalam hatinya. Dahulu, secara tidak sengaja ia mengaku
tinggal di Pulau Es kepada dua orang utusan Pulau Neraka dan siapa sangka,
sekarang hal itu benar-benar
telah
terbukti. Sekarang dia menjadi penghuni atau majikan dari Pulau Es.
Mendengar
pertanyaan Si Muka Ungu yang setengah menghormat dan takut setengah penasaran
menentangnya itu, Suma Han kembali mengerling ke arah para tawanan. Timbul
sebuah pikiran yang membuat jantungnya berdebar. Bukankah dia sedang bingung
memikirkan masa depan Kwi Hong yang tidak mempunyai teman...?
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment