Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Sepasang Pedang Iblis
Jilid 02
Para tawanan
ini rata-rata adalah seorang gagah, bahkan wanita-wanitanya, terutama sekali
Phoa Ciok Lin, adalah wanita-wanita yang memiliki wajah cantik dan pandang mata
gagah pula. Melihat bahwa mereka yang bukan murid In-kok-san tertawan bersama
murid-murid In-kok-san yang kesemuanya pejuang-pejuang gagah perkasa, tentulah
orang-orang ini pun bukan penjahat-penjahat dan tergolong pejuang yang gagah
pula.
"Jadi
kalian mau tahu apa hubunganku dengan mereka ini? Mereka ini adalah anak
buahku, anak buah Pulau Es! Kalian berani menawan mereka?"
Mendengar
ini, wajah semua orang yang berada di atas perahu itu berubah, bukan hanya
wajah para anak buah Pulau Neraka, juga para tawanan memandang dengan bingung.
Melihat ini, Suma Han sudah mengajukan pertanyaan kepada para tawanan, suaranya
mengandung penuh wibawa, namun dingin seolah-olah menanyakan hal yang amat
kecil artinya.
"Katakanlah,
kalian lebih senang menjadi anak buah Pulau Es di bawah pimpinanku ataukah
ingin ikut dengan rombongan Pulau Neraka?"
Tiba-tiba
seorang yang bertubuh gemuk, berjenggot panjang, rambutnya dikuncir, menjawab,
"Kami jauh lebih senang menjadi anak buah Pulau Es, siapa sudi menjadi
budak paksaan Pulau Neraka?"
Empat puluh
orang itu serentak menjawab dan menyatakan keinginan hati mereka untuk menjadi
anak buah Pulau Es. Hanya Phoa Ciok Lin dan beberapa orang anak murid
In-kok-san yang membungkam agaknya masih segan untuk menyatakan menjadi anak
buah laki-laki buntung itu.
Pada saat
itu laki-laki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar
lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau! Akan tetapi memang
demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti mengapa empat puluh orang
gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang memiliki ilmu kepandaian lebih
tinggi dari pada mereka semua. Dan hal itu terbukti pula dari sikap jeri dan
pandang mata penuh kekhawatiran dari para tawanan ketika Si Muka Hijau ini
keluar.
Suma Han
dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan
seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang
menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka
mengatur barisan yang aneh berdasarkan warna-warna muka mereka. Ada kelompok
muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka
hijau hanya ada seorang saja, kakek tinggi kurus itulah.
Setelah
berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat
mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mukjizat dari Suma Han. Dia
segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat,
"Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari
Pulau Es?"
"Benar."
jawab Suma Han. "Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau
Neraka?"
"Ahhh,
hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan
tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan
empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum
pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor
bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana
ini?"
Suma Han
merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, "Tadinya mereka bukan
apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku
menuntut agar mereka dibebaskan!"
Sepasang
alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di mukanya makin
keruh. "Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja
tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau
hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas
yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan
dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang
ini, dan hanya dengan kepandaian pula pihak lain dapat merampasnya!"
Diam-diam
Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang
keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang
terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka
hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk
Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau
Neraka. Bukan main!
"Hemm,
kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?" Suma Han
bertanya, sikapnya dingin.
"Mana
berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan
tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau
hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang
petugas yang baik."
"Ah,
kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang
tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari
kita menentukan tingkat kepandaian!"
Biar pun
mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap
seorang yang hendak bertanding. Dia masih tetap berdiri seenaknya di atas kaki
kanannya, dengan ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri. Hanya
sepasang matanya yang tanpa diketahui siapa pun juga, sejak tadi telah
melancarkan serangan hebat!
Suma Han
mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan,
kemudian dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa
merobohkan mereka hingga kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia
tak menghendaki terjadinya hal ini, karena itu dia mengambil keputusan untuk
melawan dengan ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mukjizat yang
tersembunyi di dalam kemauannya dan dipancarkan melalui pandang matanya.
"Singgg...!"
Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang
sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar getar
itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang
memiliki kepandaian tinggi.
"Maaf,
To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang
ajar." Walau pun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk
hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa
lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki
buntung sebelah dan tidak memegang senjata.
"Orang
tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat
menggigitmu sendiri. Kau seranglah, aku telah siap!" kata Suma Han sambil
mengerahkan kekuatan mukjizatnya melalui mata.
Para tawanan
yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan
khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua
tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya
secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan
senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk
membantu kakinya yang hanya sebuah!
Ada pun Si
Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biar pun bocah
buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda dan mengaku sebagai Majikan
Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk
Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut
menghadapinya dengan sikap merendahkan seperti itu.
"To-cu
sambut pedang hamba!"
Tiba-tiba
tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu meluncur ke arah
leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur
dengan suara berdesing dan dari jauh sudah menyambar hawa dingin ke arah leher
Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak
atau mengelak, bahkan tidak menangkis. Pemuda buntung ini hanya memandang
dengan mata seperti mengeluarkan kilat.
"Hayaaaa...!"
tiba-tiba Si Muka Hijau memekik.
Matanya
terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang di tangannya itu
tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu
membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit ke arah lehernya sendiri!
Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha
mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah
tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor ‘ular’ dan
terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan matanya memandang ‘ular’
yang jatuh ke atas lantai perahu.
Bagi orang
lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat
betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han.
Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak
mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya
sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan
pedangnya yang terjatuh ke lantai perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!
"Ilmu
siluman...!" Si Muka Hijau berteriak ketika kini matanya melihat bahwa
‘ular’ tadi telah berubah menjadi pedangnya sendiri!
Mendengar
ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han.
Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya
lalu berkata,
"Siapa
lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?"
Semua anak
buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi
raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah dan
lengannya menjadi enam buah biar pun kakinya masih tetap satu! Melihat ini
mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan
segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka
berlutut.
"Mohon
To-cu sudi mengampunkan hamba semua. Biarlah kami melaporkan kepada To-cu kami
bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-cu Pulau Es karena kami tak sanggup
melawannya." kata Si Muka Hijau.
"Hemm,
kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun
tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?"
Si Muka
Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil
diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang
wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang
tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh para anak
buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang
dayung.
Perahu kecil
itu didayung cepat sekali. Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang sambil
memegang tambang dan... belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan dapat
berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau itu demikian
kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak
buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki mereka sehingga
mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula
cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah
jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!
Suma Han
kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan
yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Tetapi ia tidak peduli, lalu menggunakan
tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara mereka itu,
termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Suma Han.
Akan tetapi anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya
dan berkata dengan suara dingin.
"Siapa
yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut.
Yang tidak mau, takkan dipaksa!"
Sedetik
pandang matanya bertemu dengan pandang mata Phoa Ciok Lin bekas suci-nya. Namun
wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para murid
In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-san dan seorang
laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang
mereka dan Si Muka Pucat berkata,
"Aku
mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi engkau
telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak
sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang
takut mati?"
Suma Han
memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di
antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia
tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si
Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia
memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu. “Hemm, orang ini
pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman,” pikirnya.
"Aku
tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak
buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!"
"Pergi
ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai."
Suma Han
memandang tajam dengan alis berkerut. "Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk
berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan menjadi anak buah
Pulau Es, atau sekarang juga keluar dari perahu ini!"
"Engkau...
iblis siluman... keji!" Lo Hoat memaki.
"Pergilah
atau harus kulempar keluar?"
"Manusia
rendah, coba kau lempar kalau..." Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan
kanan Suma Han bergerak sedikit dan... tubuh itu terlempar ke luar dari perahu
dan jatuh tercebur ke air!
"Apakah
kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?" tanya Suma Han
kepada dua orang murid In-kok-san.
"Engkau
adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu menjadi majikan dan
berlutut di depanmu?" seorang di antara mereka membantah. "Kami
adalah orang-orang yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!"
"Orang
yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku
bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua
pilihan. Tunduk kepadaku atau... keluar dari perahu ini!"
"Lebih
baik mati!" Dua orang itu meloncat ke luar dari perahu dan kembali air
laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air.
Mereka yang
berlutut memandang ke arah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu
berjuang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung
dan membunuh mereka.
"Pasangkan
layar, kita berangkat!" kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu.
"Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana
garuda terbang!"
Mereka yang
berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah diselamatkan
dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa,
kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan benar-benar
seperti di neraka!
Tentu saja
jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biar pun pendekar
ini dijuluki Pendekar Siluman! Apa lagi nama Pulau Es merupakan daya tarik
besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh
tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di mana terdapat
pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es,
tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang.
Perahu hitam
itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira
penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan
di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih
termangu-mangu. Mereka teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang
ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak
dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu
kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi
ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak
membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri sedangkan
jalan hidup terbuka lebar.
Demikianlah
tiga puluh orang gagah itu kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah
berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan
bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka! Suma Han
mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan
bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat.
Tentu saja
yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih
pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak
dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya
dalam ilmu silat Suma Han turun tangan sendiri mengajar keponakannya.
Kini Pulau
Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang
penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di antara mereka itu ada
yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana namun gembira. Dan
mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma
Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan
tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati,
taati dan juga cintai!
Namun Suma
Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersemedhi di dalam ruangan
Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung
Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari
bahan makanan tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur
semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau,
sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar.
Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga
dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan
ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.
Demikianlah
selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat
dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya di dunia
kang-ouw.
***************
"Suhu...!
Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak
mengajak pulang ke Siauw-lim-si?" Bun Beng terkejut dan khawatir ketika
senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di
depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun
gunung dan masuk keluar hutan.
Kakek Siauw
Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama
ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan
muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal
takut.
"Muridku,
apa kau kira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini?
Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu.
Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara
tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana."
Wajah Bun
Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, "Terima kasih, Suhu. Terima
kasih!"
Kakek Siauw
Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya. "Sudahlah.
Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan."
Guru dan
murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari
sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun.
"Bun
Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan
dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan
berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu
kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak
seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah
kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau
berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi
dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kau pelajari
dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan
tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm... mungkin
kepandaian yang kumiliki sekali pun sama sekali tidak ada artinya."
Bun Beng
terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di
Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw
yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun selamanya gurunya tidak pernah bicara
bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat
Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu
dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu.
Sejenak mereka
tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang
murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima
tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan
pesan ibunya ketika hendak pergi.
"Bun
Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku
tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang
lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku."
Ternyata
kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling
memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada
gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau
menerangkan hanya berkata, "Belajarlah yang rajin, kelak engkau akan tahu
sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu."
Sekarang
timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih
usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biar pun kini suhunya
itu menemaninya.
"Suhu, harap
Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati?
Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau
masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka,
teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah Ibu?
Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?"
Melihat
suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan, "Suhu, harap Suhu
jangan khawatir mengatakan andai kata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama
teecu menganggap Ibu telah tiada, dan keraguan ini lebih menyiksa dari pada
mendengar kenyataannya."
Bukan main
anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia
pun lalu menjawab, "Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah
tewas, Bun Beng."
Bun Beng
menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar
ketika ia bertanya, "Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di tangan
musuh besarnya?"
"Tidak
muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi
musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, mereka keduanya
tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak
lagi memikirkan Ibumu?"
"Baik,
Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau
menjawab kalau teecu menanyakan Ayah."
Berat rasa
hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau membohong,
akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini
adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia menjawab
tenang, "Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng."
"Oohhh...!"
Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena memang
selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. "Tahukah Suhu, siapa nama Ayah
teecu?"
"Namanya...
Gak Liat."
Bun Beng
mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya dengan dua
huruf besar-besar. "Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan bahwa
teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak..."
"Dan
engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?" Kakek itu memandang tajam
wajah muridnya yang disinari api unggun.
"Tentu
saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu..." Suara ini agak
keluar tersendat oleh keharuan.
Kakek itu
memegang pundak Bun Beng. "Kematian orang bukanlah hal yang patut
disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan
mati, dan mati berarti terbebas dari pada duka nestapa dan derita perasaan di
waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi
seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan
kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup
senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendiri. Langit
adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut
apa?"
Anak itu
memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
"Terima
kasih, Suhu. Apa lagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan
tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia
ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti,
seperti... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih
sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?"
Gurunya
tertawa. "Tidak salah kata-katamu. Dunia ini memang penuh orang sakti. Dan
Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan
dia, ahhh... Suhumu ini bukan apa-apa."
"Suhu
terlalu merendahkan diri. Teecu tidak percaya!"
"Memang,
sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah
hati, tapi bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh
kemajuan pesat dalam hidup, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir
oleh kesombongannya sendiri. Bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini
kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang
mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat
tinggi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia
memiliki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sulit membayangkan untuk
mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso,
besok kita melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu dengan
mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai-nya mereka itu."
Membayangkan
para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya. Dan
malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar
sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!
Pada
keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan berdua
gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan
segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama
setiap kota, dusun, bahkan sungai!
Ketika
mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng
mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika
suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan
nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian
pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!
"Eh,
eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah
mengenal orang!" Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta
mereka bangkit.
Akan tetapi
tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka
yang bertubuh bongkok segera berkata, "Kami dari Pek-lian Kai-pang
selamanya tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apa lagi terhadap
Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang
ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu."
Mendengar
bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian Kai-pang, atau lebih tepat hanya
sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal itu
setelah Pek-lian Kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (baca Pendekar Super
Sakti), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata, "Kami berdua
ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu
untuk disewa."
Wajah tiga
orang pengemis itu berubah. Mereka kaget dan pucat. "Ke... ke sana...!
Aih, Locianpwe. Di antara kami dan para nelayan, siapakah yang berani pergi ke
sana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain
lagi, dan jika saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya takkan
dapat menahan keinginan hati menonton keramaian itu. Locianpwe membutuhkan
perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami
kira tidak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi ke muara. Marilah,
Locianpwe."
Ketiga orang
jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh
lagi padahal tadi begitu menghormat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan
hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek
jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai yang
agak menyendiri dan jauh dari tempat ramai, tiga orang kakek jembel itu
berhenti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.
"Itulah
perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi perahu Locianpwe.
Silakan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe."
Tiga orang
kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan anehnya
gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi
tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek
Siauw Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata.
"Di
dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah
benda adalah milik bersama, terutama jika dipergunakan untuk kebutuhan
mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu
dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan menimbulkan ketidak puasan si
pemberi yang menganggap orang itu bersikap sungkan seperti orang asing bukan
segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan
menganggap bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!"
Bun Beng
melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu,
pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang
buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tiang layar dari bambu dan layar-layarnya
banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi.
Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup kuat!
Kakek Siauw
Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan dayung
menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke
tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung. Mula-mula memang sukar sekali,
apa lagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi biasa
dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur
dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk membantu lajunya
perahu.
Bun Beng
benar-benar merasa gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar dan sekali
berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu! Ternyata jauh lebih
enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau
melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandangan alamnya tidak
kalah menariknya karena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan
diseling pegunungan dan hutan-hutan liar menghijau.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang menurun. Arus airnya
kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga
Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah
menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri
dan menuding ke depan sambil berkata.
"Suhu,
lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala,
siapakah mereka itu?"
"Kau
tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan jangan
mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai
persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap
menunggu-nunggu." Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang sebab
ia dapat merasakan betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu perpecahan dapat
meledak di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.
Setelah
perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk diam saja,
mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan tengah. Banyak perahu
malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu
memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu bertumbukan, tentu akan
terjadi keributan itu.
Ketika kakek
Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena ternyata
bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan
bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa
itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Sungai Huang-ho, bahkan
kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan
tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar
memperlambat lajunya perahu mereka.
Tiba-tiba
tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang
menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti berbunyi:
Dari delapan
penjuru muncul harimau dan naga
datang ke
muara memperebutkan mustika.
yang merasa
dirinya bukan harimau atau naga
pergilah
jangan mencari jalan ke neraka!
Kakek Siauw
Lam masih tetap tenang, bahkan kini menggunakan tongkatnya dipukul-pukulkan dan
digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya menerbitkan
suara berirama lalu terdengarlah kakek ini bernyanyi:
Harimau dan
naga memperebutkan mustika, biarlah!
Sang Kucing
tidak menghendaki apa-apa
hanya ingin
menonton menggunakan mata sendiri
siapa yang
ambil peduli?
Bun Beng
yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan dengan
nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat
suhunya yang dipermainkan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga
menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu penghalang itu
terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!
Juga para
pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat,
maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan mereka semua berdiri di
kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua tangan ke depan dada ketika
perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula,
suaranya lantang:
Burung
terbang dapat dipanah
ikan
berenang dapat dijala
binatang
lari dapat dijebak!
Kami yang
bodoh tidak dapat mengenal naga sakti
yang
menunggang angin dan mega
Maaf, maaf,
maaf!
Akan tetapi
kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu muridnya
mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang
itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun
Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.
"Eh,
Suhu! Apakah artinya semua nyanyian tadi? Sikap mereka begitu menakutkan akan
tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?"
Kakek itu
menghela napas panjang lalu menggeleng kepala. "Gerombolan bajak dapat
mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja
menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua
Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang sembarangan!"
"Bajak?
Apakah mereka itu bajak, Suhu?"
Gurunya
mengangguk. "Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang
mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyindirkan bahwa di
muara sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan
naga dan harimau memperebutkan mustika yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka
itu. Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak
perlu mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua mereka pun
merupakan seorang di antara mereka yang dianggap naga harimau!"
Bun Beng
mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai
kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biar pun kucing, bukan sembarang
kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu
bukan sembarang kucing melainkan seekor naga yang menunggang angin dan mega!
Bukankah begitu, Suhu?"
Gurunya
mengangguk. "Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan
minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Biksu Khong Hu
Cu yang ditujukan kepada Biksu Lo Cu setelah kedua Biksu itu saling berjumpa
dan bercengkerama."
Perahu
melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit,
diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan
waktu dengan berlatih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia
pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan
berseru,
"Suhu...!
Di atas tebing itu... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf besarnya
berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya
berjaga-jaga di daerah ini!"
"Ssst,
kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita
tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian
terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia penyimpanan pusaka berada di
situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari
darat. Cepat, kita pinggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu
karang yang menonjol itu!" Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung
perahu sehingga perahu mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu
melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel
batu karang dan tidak hanyut.
Malam tiba
dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu
sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya
malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.
"Suhu,
kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?"
"Berbahaya!
Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru
kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh tidak baik kalau kita
melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat
melihat keadaan dan menyesuaikan diri."
"Suhu,
selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang
dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan
keadaan mereka kepada teecu."
"Yang
mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka."
"Pulau
Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Di mana itu, Suhu?"
"Sampai
sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun
baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh rahasia seperti Pulau
Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, walau pun
tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak
buahnya, tentu saja. Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan
dan mencari, karena kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana.
Namun tidak pernah ada yang berhasil. Ada pun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya
dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama.
Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi manusia, penuh
dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan,
tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua! Maka, amatlah mengagetkan
ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit
tubuhnya! Mengerikan!"
"Wah,
hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat
mereka?"
Kakek itu
menggeleng kepala. "Ketika aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu
di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan
warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agaknya, melihat keadaan mereka
dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan
kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti
iblis! Akan tetapi entahlah, tak pernah ada orang yang bertemu dengannya.
Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku pun masih heran
memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu,
sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!"
Bun Beng
makin tertarik dan makin terheran-heran. "Kalau tokoh-tokoh yang lain itu
siapakah, Suhu?"
"Mereka
juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka yang hanya merupakan anak buah
tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka. Mereka
itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang
muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena
tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh
sekali yang ilmu kepandaiannya tidak lumrah manusia!"
"Kalau
begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang
muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pusaka-pusaka
itu! Siapa yang akan mampu menandingi mereka?"
Kakek itu
menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aaahh, kau tidak tahu
tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya
dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak
sekali terdapat orang-orang pandai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah
memiliki kepandaian menggila! Kini setelah ada umpan berupa berita
pusaka-pusaka itu, hmm, aku hendak melihat apakah orang-orang sakti itu tidak
tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali. Dan jangan kira pihak
lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang
pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat.
Apa lagi ada kudengar bahwa koksu mempunyai dua orang pembantu yang ilmu
kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu jarang
dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah dua
orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaiannya
luar biasa sekali."
Dengan hati
penuh keheranan dan kekaguman Bun Beng mendengarkan penuturan suhunya dan
akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menanti dengan hati tidak
sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu memandang wajah muridnya di
bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang
diri.
"Bocah
ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agaknya dia
ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di
tempat ini. Hemm... semoga dia kelak akan dapat berdiri di atas kebenaran,
keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda ayah bundanya." Kakek
ini pun lalu duduk bersila, bersemedhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya
yang tua.
*************
Sementara
itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, seorang kakek
berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh
tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang
sembarangan karena dialah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat
oleh Kaisar sebagai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap.
Kakek botak
ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, seorang keturunan
India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya
Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan
setelah mendemonstrasikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan, dia
diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan.
Im-kan
Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan
tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus
dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk
menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga
tajam itu rupanya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan
merasa khawatir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.
Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana
mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu
Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pembantunya. Dua orang
pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta
Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Ada pun tiga
orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan
sembarangan orang, melainkan jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai
pasukan pengawal istana!
"Maaf
Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan
saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi kesempatan kepada
mereka sehingga membahayakan pusaka yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik
kita turun tangan mengusir mereka. Kalau mereka membangkang, apa sukarnya
menangkap dan membasmi mereka sebagai pemberontak?" tanya Bhe Ti Kong,
panglima yang tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan bermata
lebar, pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen.
Dua orang
panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan pertanyaan ini
karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang pendeta Lama itu yang
duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi
jawaban Im-kan Seng-jin.
Kakek botak
yang tubuhnya tinggi kurus itu tersenyum memandang si penanya, kemudian
mempermainkan jari-jari tangannya, ditekuk-tekuk sehingga mengeluarkan bunyi
krak-krok-krok! "Tahukah kalian apa yang menyebabkan bunyi ini jika
buku-buku jari ditekuk? Yang mendatangkan bunyi adalah pecahnya
gelembung-gelembung yang terhimpit! Heh-heh-heh, Bhe-goanswe (Jenderal Bhe),
sebagai seorang panglima perang tentu engkau sudah tahu akan siasat-siasat
perang, bukan? Ada saatnya menyerang, ada pula saatnya mundur dan ada saatnya
bersabar menanti kesempatan baik. Menghadapi partai-partai orang kang-ouw
sekarang ini, aku mengambil siasat menanti dan melihat (wait and see)!
Mengertikah kalian semua mengapa kita harus menanti dan melihat apa yang akan
mereka kerjakan?"
Kelima orang
pembantunya itu tidak ada yang mengerti, dan Bhe Ti Kong berkata lagi,
"Sungguh saya bingung. Mengapa Koksu mengambil siasat ini? Mereka adalah
orang-orang kang-ouw dan di antara mereka banyak terdapat tokoh-tokoh sakti,
akan tetapi selama ini mereka tidak mengambil sikap bermusuh terhadap
pemerintah. Jikalau sekarang kita mempergunakan kekuasaan minta mereka mundur,
tentu mereka tidak membantah. Menurut para penyelidik, mereka itu bukan hanya
sekedar tertarik untuk mendapatkan pusaka-pusaka, melainkan juga menggunakan
kesempatan ini untuk berpibu, mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang
pantas disebut jago nomor satu atau datuk paling tinggi! Segala perkara kosong
itu perlu apa dibiarkan mengacau usaha kita mencari pusaka?"
Jenderal Bhe
Ti Kong ini sejak kecil adalah orang peperangan, maka sikapnya jujur dan keras,
siasatnya pun keras dan tidak mempunyai sifat plintat-plintut menggunakan akal
bulus.
Im-kan
Seng-jin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sekali ini engkau salah,
Bhe-goanswe. Bukan hanya kesalahan satu macam, melainkan semua pendapatmu itu
keliru dan meleset!"
Melihat
sinar mata penuh tantangan dari atasannya itu, Bhe Ti Kong menunduk, dan
suaranya perlahan ketika ia berkata, "Tentu Koksu yang benar, saya mohon
penjelasan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan siasat
Koksu!"
"Pertama,
perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanyalah menunjukkan
kepulauan ini sebagai petunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku jelas
menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai
dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah muara. Karena belum
diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan
mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka
diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita
dapatkan! Dari pada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu
hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau secara
kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak
demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan
ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai
mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?"
Lima orang
pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Kalau
mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memusuhi
pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan mengusir mereka
sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepada pemerintah?
Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka akan membenci
dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu penasaran dan akan mengintai
gerak-gerik kita dalam mencari pusaka."
Kembali lima
orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan
yang luas dan perhitungan masak ini.
"Tentang
mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin
berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi
pemerintah! Selain itu hemmm... aku pun ingin sekali menonton pibu. Ha-ha, tak
dapat disangkal pula bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi
gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita
pun meramaikan pibu mereka itu? Kita berlima... heh-heh, berenam dengan aku
maksudku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan
sekali, ha-ha!"
Kini dua
orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun ingin
sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang
terkenal dan terutama sekali jika dia yang nanti terpilih menjadi datuk nomor
satu!
Ketika
perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersemedhi
dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, Kakek Siauw
Lam sadar dari semedhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air,
suara sebuah perahu meluncur datang mendekati perahunya! Namun kakek itu
pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenangnya, hanya diam-diam ia
bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari
gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang
meloncat ke atas perahunya, dan orang-orang ini biar pun memiliki ginkang yang
tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap
pura-pura tidak tahu.
"Kita
sergap dan ikat," bisik seorang di antara mereka.
Legalah hati
kakek Siauw Lam. Bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan
ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak
melakukan perlawanan.
"Heiii!
Apa ini? Lepaskan...!" Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika
terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya,
"Suhu...!"
"Diamlah,
Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat." kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
"Tidak
berniat jahat mengapa membelenggu kita?" Bun Beng membantah,
terheran-heran.
Kini kedua
tangan guru dan murid itu telah dibelenggu ke belakang dan mereka melihat enam
orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.
"Engkau
benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton
keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan
tetapi juga tidak mau merampas hak seorang penonton. Mari, kalian akan mendapat
tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton dengan enak, ha-ha!"
Tubuh guru
dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka
dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara.
Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan perahu, disambut oleh seorang laki-laki
berkumis pendek dan membawa sebatang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa,
matanya tajam dan biar pun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun
mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.
"Lemparkan
mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di
tempat semula," kata orang berpedang itu setelah melempar pandang kepada
Kakek Siauw Lam.
"Baik,
Pangcu," jawab anak buahnya, namun orang berpedang itu sudah berkelebat
cepat sekali, lenyap dari situ.
Kakek Siauw
Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di pantai pulau itu,
kemudian enam orang bersama perahunya pergi. Semua ini dilakukan menjelang pagi
ketika cuaca masih gelap.
Keadaan
sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng
memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk
anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggalkan itu yang
datar, akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain di sekeliling
pulau itu tentu merupakan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan
bahwa pulau itu berada di muara paling ujung dan sudah berbatasan dengan laut
sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau
itu di sebelah luar.
Ketika
berusaha memandang ke seberang, yaitu di kanan kiri sungai yang telah menjadi
luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan
sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada manusianya, padahal dia dapat menduga
bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau dan sudah jelas sekali di
seberang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang
sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia
teringat akan keadaan dirinya dan suhunya.
"Suhu,
teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan? Kita ini dibelenggu dan
dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka? Apakah benar-benar kita disuruh
menonton akan tetapi tidak boleh bergerak maka dibelenggu seperti ini?"
"Sabar
dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalaman, ingat? Nah,
justru pengalaman-pengalaman yang tidak enaklah yang merupakan pengalaman tak
terlupakan dan mengandung banyak pelajaran. Mereka itu tidak berniat jahat,
karena kalau demikian, tentu tadi mereka akan membunuh kita dan tentu saja aku
tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan
buktinya kita ditinggalkan di sini."
"Akan
tetapi... mengapa, Suhu? Apa maksudnya semua?"
"Aku
sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja. Namun kalau
dugaanku tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan menjadi penonton lagi,
Bun Beng, melainkan ikut pula main dalam keramaian ini, bahkan menjadi pemegang
peran babak pertama dalam adegan pembukaan!"
Bun, Beng
membelalakkan matanya. "Apa maksud Suhu?"
"Melihat
adanya pasukan-pasukan pemerintah yang sudah memblokir tempat ini, agaknya para
partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan sembunyi-sembunyi di
sekitar tempat ini merasa ragu-ragu untuk memulai keramaian ini. Mereka
mengambil sikap menunggu dan melihat, tidak ada yang berani memulai karena
resiko dan bahayanya amat besar. Selain adanya saingan yang berat dan banyak
jumlahnya, di sini terdapat pula pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh
koksu. Hal ini tentu saja bukan merupakan hal sepele yang boleh dibuat
main-main. Oleh karena itu, dengan adanya kita sebagai orang luar atau katakan
penonton, maka mereka mendapat kesempatan baik untuk menarik kita dan kita
dijadikan semacam umpan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan
keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka taruh di sini yang dapat
dilihat dari semua penjuru kalau matahari sudah muncul nanti. Kehadiran kita
ini pasti menarik semua orang dan tentu akan ada yang mulai muncul sehingga
pesta dapat dimulai!"
"Hemm,
kurang ajar sekali mereka!" Bun Beng mengomel. "Kalau aku mereka
jadikan umpan masih tak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan
membelenggu Suhu! Siapakah mereka yang menangkap kita tadi, Suhu?"
"Melihat
sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah kalau aku menduga
bahwa mereka adalah pimpinan Hek-liong-pang yang membantu ketua mereka dalam
usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang tadi lihai dan cepat sekali
gerakannya dan disebut Pangcu (Ketua), agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang.
Hek-liong-pang merupakan kekuasaan tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah
dunia kang-ouw, sekali ini keramaian mengambil tempat di wilayah atau daerah
kekuasaan Hek-liong-pang. Tegasnya, saat ini dapat dianggap bahwa
Hek-liong-pang menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan hanya ingin menjadi
penonton saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan mendapatkan pusaka
yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka melihat betapa
keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begitu banyak pasukan
pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk menyalakan sumbu yang
akan meledakkan keramaian, yaitu kita inilah."
"Sekarang,
apa yang akan Suhu lakukan? Apakah kita akan mandah begini saja?"
Kakek itu
tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw Lam dan
memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku itu kini mulai
tampak sinarnya dan terutama sekali kalau bicara dengan muridnya, ia mulai
banyak tersenyum. Memang muridnya tidak seperti bocah biasa. Anak ini jalan
pikirannya seperti orang tua, tidak kekanak-kanakan lagi, dan kecerewetannya
menanyakan segala macam hal menandakan bahwa anak ini mempunyai hasrat besar
untuk maju.
“Bun Beng,
kalau aku mengendaki, apa sih sukarnya merobohkan enam orang itu? Akan tetapi
aku sengaja membiarkan mereka menangkap kita. Kalau saja tidak bersama engkau,
tentu aku tidak sudi mengalami penghinaan dari pimpinan bajak ini. Engkau
hendak mencari pengalaman dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti. Nah,
sekarang engkau berada di tengah-tengah dan akan mengalami sendiri keramaian
itu. Karena inilah aku sengaja mengalah. Kita tunggu saja dan lihat apa yang akan
terjadi selanjutnya. Hari masih terlalu pagi, matahari belum bersinar, tentu
mereka belum dapat melihat kita. Tunggu saja nanti kalau matahari sudah
bersinar, dan kalau ikan-ikan itu sudah melihat umpan yang lezat ini, hemmm,
tentu mereka akan bermunculan dan akan memenuhi idaman hatimu.”
Bun Beng
tidak bertanya lagi dan kini ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk mencoba
apakah dia akan dapat mematahkan belenggu yang mengikat kedua lengannya.
Beberapa kali ia mengerahkan tenaganya, namun sia-sia saja. Belenggu itu
terlalu kuat baginya. Biar pun Kakek Siauw Lam tidak melihat usahanya ini,
namun kiranya kakek itu mengetahui karena kakek itu berkata.
“Muridku,
usiamu belum cukup berlatih sinkang, maka tenaga dasar darimu mana mungkin
dapat mematahkan belenggu. Akan tetapi, lupakah engkau akan latihan
Jiu-kut-kang yang kuajarkan kepadamu?”
Bun Beng
tertegun. Tentu saja dia telah mempelajari ilmu Jiu-kut-kang itu, yaitu ilmu
melemaskan diri atau cara untuk melemaskan urat dan sambungan tulang. Dia
tadinya tidak dapat mengerti mengapa untuk mematahkan belenggu yang kuat,
suhu-nya menganjurkan dia ilmu itu. Dia tidak membantah dan mulailah ia
mengumpulkan inderanya dan mengerahkan ilmu itu sehingga kedua lengannya
menjadi lemas dan lunak. Seketika ikatan pada kedua pergelangan tangan itu
menjadi mengendur dan ia menjadi girang sekali. Kiranya Jiu-kut-kang bukan
dipergunakan untuk mematahkan belenggu, melainkan untuk membuat kedua tangannya
dapat dilolos keluar tanpa mematahkan belenggu! Ia mencoba dan... dengan
mudahnya ia menarik keluar tangannya dari ikatan.
“Suhu,
teecu... berhasil...!”
“Bagus,
tentu saja berhasil. Akan tetapi jangan sekali-kali membebaskan kedua tanganmu,
bersikaplah seperti engkau terbelenggu.”
Bun Beng
mengerti maksud kata-kata suhu-nya. Dia tidak boleh memperlihatkan kepada orang
lain bahwa belenggunya dapat terlepas. Maka sambil bersandar pada batu karang,
Bun Beng mempermainkan belenggu itu dengan ilmu Jiu-kut-kang, melolos tangannya
lalu memasukkan lagi pada belenggu yang kini hanya merupakan lingkaran tali
yang tiada gunanya itu. Dia terbelenggu, akan tetapi belenggu itu malah dapat
ia pergunakan untuk berlatih Jiu-kut-kang, sehingga diam-diam ia menertawakan
kawanan bajak yang membelenggu tadi. Baru dia saja dapat membebaskan dari
belenggu, apa lagi suhu-nya. Sungguh kawanan bajak itu benar-benar tak tahu
diri, berani mati membelenggu suhu-nya!
Matahari
mulai memancarkan sinarnya di permukaan pulau itu dan hati Bun Beng sudah mulai
berdebar tegang dan gembira, bukan hanya karena sinar matahari telah mengusir
hawa dingin, terutama sekali karena ia mengharapkan untuk dapat menyaksikan
keramaian yang tentu akan segera dimulai. Namun sampai berapa lamanya, keadaan
tetap sunyi. Agaknya para tokoh itu masih merasa segan dan malu-malu kucing
untuk memulai dan membuka keramaian.
Bun Beng
telah memasukkan kembali kedua tangannya ke dalam tali pengikat dan bersandar
pada batu karang seperti yang dilakukan suhu-nya. Kakek itu masih bersandar
pada sisi batu seperti orang tidur, kelihatannya enak dan tenang saja. Tak lama
kemudian, setelah Bun Beng hampir hilang sabarnya dan sudah bergerak hendak
bertanya kepada suhu-nya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali
seperti burung menyambar dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri dua orang
laki-laki tua yang berpakaian sederhana.
Dua orang
kakek itu usianya antara lima puluh tahun, yang seorang gemuk sekali, yang
kedua amat kurus namun keduanya berpakaian sederhana, berjenggot dan bermata
tajam.
Setelah
memandang kakek Siauw Lam dengan penuh perhatian, tiba-tiba Si Gemuk itu
menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat dan berkata.
“Ahhh,
kiranya Locianpwe yang berada di sini? Maafkan karena... eh, karena rambut
Locianpwe yang membuat saya tidak mengenal bahwa yang semalam berada di sini
adalah Siauw Lam Locianpwe dari Siauw-lim-pai.”
Mendengar
ini, temannya yang kurus kelihatan kaget dan cepat berlutut memberi hormat.
Kakek Siauw
Lam menghela napas panjang. Kiranya rambut panjangnya itu tidak dapat
menyembunyikan namanya. Ia mengerling dan melihat berkelebatnya bayangan orang.
Tampak enam orang pimpinan bajak bersama ketua mereka, dan jauh di sana tampak
pula berkelebatnya banyak orang yang memiliki gerakan amat gesit tanda bahwa
orang-orang pandai itu telah mulai berdatangan. Kemudian ia memandang orang
gemuk yang mengenalnya, mengingat-ingat akan tetapi tidak mengenal Si Gemuk
itu. Juga orang kurus itu ia tidak mengenalnya.
Sementara itu,
para pimpinan bajak Hek-liong-pang sudah datang mendekat. Mereka ini siap
dengan senjata mereka, bahkan ketuanya yang belum mencabut senjata berkata,
“Siapakah Ji-wi yang berani datang ke wilayah kami tanpa ijin?”
Akan tetapi
pertanyaan ini sama sekali tidak diacuhkan oleh Si Gemuk dan Si Kurus itu,
seolah-olah mereka itu hanya sekumpulan lalat saja dan pertanyaan itu seperti
gonggongan anjing. Juga kakek Siauw Lam tidak mempedulikan mereka, kini
bertanya kepada Si Gemuk,
“Mataku yang
sudah tua mungkin tidak awas lagi maka tidak dapat mengenal Ji-wi sicu yang
gagah perkasa. Siapakah Ji-wi yang mengenal aku orang tua tiada guna?”
“Saya
bernama Yap Sun dan ini adalah Sute Thung Sik Lun, pembantu saya. Kami berdua
adalah utusan dari Pulau Es!”
“Utusan dari
Pulau Es??” Bun Beng berteriak girang dan anak ini sudah menarik kedua
tangannya terlepas dari ikatan sambil melompat berdiri.
“Utusan dari
Pulau Es!” para pimpinan Hek-liong-pang berseru kaget sekali. Mendengar
disebutnya Pulau Es bagi mereka seperti mendengar bunyi guntur di tengah hari.
Dua utusan
Pulau Es itu lalu bangkit berdiri setelah memberi hormat kepada kakek Siauw
Lam, kemudian mereka membalikkan tubuh menghadapi pimpinan Hek-liong-pang. Yap
Sun, wakil dari Pulau Es itu berkata dingin.
“Hek-liong-pang
seperti dipimpin orang-orang buta dan lancang, berani menghina seorang
Locianpwe yang patut dihormati. Kami berdua utusan Pulau Es ingin meninjau
pertemuan orang-orang gagah yang kabarnya akan diadakan di sini. Apakah pihak
Hek-liong-pang keberatan dengan kehadiran kami?”

Enam orang
pimpinan Hek-liong-pang bersama ketua mereka itu tadi tidak hanya kaget
mendengar nama Pulau Es, juga melihat betapa wakil Pulau Es begitu menghormati
Si Kakek Tua, dan kaget pula melihat bocah itu ternyata mampu melepaskan ikatan
tangannya! Ketuanya yang berpedang di punggungnya cepat menguasai diri dan kini
merangkapkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda menghormati sambil
berkata,
“Maaf, maaf!
Tidak mengenal maka tak sayang, kata orang. Karena tidak mengenal maka kami
berlaku kurang hormat yang berpura-pura sebagai penonton lemah, tidak mengenal
Ji-wi sebagai utusan Pulau Es yang terhormat. Setelah mengenal kami persilakan
Ji-wi dan juga Locianpwe untuk naik ke tengah pulau!”
Dua orang
kakek gemuk dan kurus itu tanpa banyak cakap lagi lalu melangkah dan naik ke
atas bukit, diikuti oleh tujuh orang pimpinan Hek-liong-pang. Ada pun kakek
Siauw lam, sekali menggerakkan tangan telah mematahkan belenggunya, kemudian
menggandeng tangan muridnya dan berkata,
“Hebat!
Pulau Es mengirim wakilnya. Keramaian dimulai dan engkau akan menyaksikan
pertunjukan menarik. Mari kita naik!”
Dengan
jantung berdebar tegang Bun Beng mengikuti suhu-nya naik ke bukit batu karang
itu. Setelah mereka tiba di atas, ternyata bahwa puncak bukit yang berada di
tengah pulau itu daratan yang luas, bahkan sebagian besar menjorok ke pinggir
merupakan tebing tinggi. Air muara dan air laut berada di bawah tebing itu.
Pemandangan sungguh indah menakjubkan, namun juga berbahaya dan mengerikan. Dan
di tempat itu kini sudah penuh orang sehingga diam-diam Bun Beng merasa heran
bagaimana dalam waktu singkat tempat itu telah dikunjungi begitu banyak orang
yang semua tampak gagah perkasa.
Sebuah kapal
layar besar tampak berlabuh tak jauh dari pinggir pulau, dan melihat keadaan
layarnya dan bendera yang berkibar di tiang kapal itu tentulah milik
pemerintah.
Kakek Siauw
Lam mengajak Bun Beng duduk agak jauh, di atas batu karang tinggi agar enak
mereka menonton keramaian. Dari tempat itu Bun Beng dapat melihat seluruh
daratan, dan karena jaraknya dekat, ia dapat pula mendengar. Dengan penuh
perhatiasn Bun Beng menyapu tempat itu dengan pandang matanya. Ia melihat
beberapa kelompok orang, dengan bendera masing-masing. Dari tempat ia menonton,
ia dapat membaca huruf-huruf pada bendera itu.
Ketua
Hek-liong-pang berdiri bersama enam orang pembantunya di kanan, dengan bendera
bertuliskan huruf ‘Hek-liong-pang’. Di sebelahnya terdapat rombongan belasan
orang yang berbendera Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) yang
semua memakai pakaian hitam penuh tambalan. Kemudian terdapat pula rombongan
yang berbendera Hui-houw-pai (Partai Macan Terbang) yang seperti bendera
Hek-liong-pang yang bergambar naga hitam, bendera Hui-houw-pai ini bergambar
seekor harimau bersayap! Kemudian tampak pula rombongan Thian-liong-pang yang
hanya terdiri dari empat orang, kelihatan biasa saja namun rombongan ini
menjauhkan diri dan kelihatan tak gentar.
Di ujung
sekali tampak rombongan yang aneh menyeramkan. Rombongan ini tidak membawa
bendera akan tetapi mudah dekenal karena warna-warna muka mereka sudah
merupakan bendera tersendiri. Ada warna muka jambon, ungu, hijau pupus, biru
laut. Semua ada sebelas orang, akan tetapi warna mereka semua adalah muda,
menandakan bahwa wakil Pulau Neraka yang datang ini adalah orang-orang yang
tingkatnya sudah tinggi.
Di samping
rombongan-rombongan ini, tampak pula rombongan dari partai-partai persilatan
besar yang hanya terdiri dari beberapa orang dan tidak dikenal oleh Bun Beng.
Akan tetapi, kakek Siauw Lam membantunya dan sambil menuding dengan
telunjuknya, kakek ini memperkenalkan tokoh-tokoh yang hadir, tentu saja yang
dikenalnya karena banyak di antara mereka merupakan ‘wajah-wajah baru’ yang
selama ini hanya menyembunyikan dirinya. Maka tahulah Bun Beng bahwa di tempat
itu hadir pula tokoh-tokoh dari Hoa-san-pai, Khong-tong-pai dan partai-partai
lain yang kecil.
Dari partai
Siauw-lim-pai ternyata ada pula yang hadir yaitu lima orang Siauw-lim Ngo-kiam
(Lima Pedang Siauw-lim). Bun Beng belum pernah melihat mereka, maka kini dia
memandang penuh perhatian.
“Mereka adalah
tokoh-tokoh Siauw-lim-pai penting dan terkenal, murid-murid Ceng San Hwesio
ketua Siauw-lim-pai yang lama. Tentunya ada tujuh orang murid yang terkenal
dengan nama Siauw-lim Chit-kiam, akan tetapi dua di antara mereke telah terjadi
perang (baca cerita Pendekar Super Sakti). Kini tinggal lima orang itu,
ahli-ahli pedang yang patut dibanggakan oleh Siauw-lim-pai.
Tentu saja
Bun Beng memandang ke arah lima orang kakek itu dengan hati girang karena
mereka adalah jago-jago pedang Siauw-lim-pai yang berdiri dengan sikap tenang
dan amat gagahnya, dalam pandangannya jauh lebih gagah dari pada yang lain.
Mereka terdiri dari dua orang hwesio dan tiga kakek bukan pendeta.
“Suhu, kalau
begitu teecu harus menyebut apa kepada mereka?”
Lama kakek
Siauw Lam tidak menjawab, akhirnya dia berkata perlahan. “Aku hanyalah seorang
pelayan di Siauw-lim-si, akan tetapi menurut tingkat, karena aku menjadi murid
mendiang Kian Ti Hosiang, maka mereka adalah murid-murid keponakanku dan engkau
boleh menyebut suheng kepada mereka.”
Girang hati
Bun Beng. Mereka itu adalah kakak-kakak seperguruannya. Ingin sekali dia dapat
berdiri di samping mereka, mewakili Siauw-lim-pai, akan tetapi gurunya
melarang.
“Kita hanya
penonton, tidak boleh melibatkan diri secara langsung.”
Sementara itu,
ketua Hek-liong-pang yang berpedang dan tampak gagah itu sudah maju ke tengah
lapangan dan memberi hormat kepada semua yang hadir. Dengan lantang namun penuh
hormat dia berkata.
“Saya
sebagai ketua Hek-liong-pang bernama Huang-ho Sin-liong Ciok Khun (Naga Sakti
Huang-ho), dan sebagai tuan rumah karena tempat ini termasuk wilayah kekuasaan
Hek-liong-pang, menghaturkan selamat datang kepada Cu-wi Locianpwe sekalian.
Maksud kunjungan kita semua di tempat ini tanpa ada yang mengundang mempunyai
tujuan yang sama. Kini kita semua melihat pula hadirnya pasukan pemerintah maka
biarlah pemerintah menjadi saksi diadakannya pemilihan bengcu (ketua)
persilatan di dunia kang-ouw. Kami hanya akan menyerahkan pulau ini kepada
pihak yang patut menjadi bengcu, maka pihak yang sekiranya tidak mempunyai
kepandaian dan tenaga untuk menangkan pibu, harap mundur saja.”
Ucapan ini
disambut suara gemuruh mereka yang hadir, ada yang pro dan ada pula yang
kontra, namun semua setuju bahwa urusan ‘pusaka’ tidak disinggung-singgung
karena mereka tahu biar pun kini belum nampak pasukan pemerintah turun ke
pulau, namun tentu ada para penyelidiknya yang turut menyaksikan dan mendengar.
“Kami pihak
Hek-liong-pang yang mempunyai daerah sepanjang Sungai Huang-ho dari Terusan
Besar sampai ke muara telah bersepakat dengan pihak Hek-i Kai-pang yang
mempunyai daerah sepanjang lembah Huang-ho di utara, untuk bersama-sama menjadi
tuan rumah dan kami mengambil kehormatan untuk membuka pibu ini. Karena kami
maklum bahwa yang hadir adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang memiliki
ilmu-ilmu kepandaian tinggi sekali, maka kami mngambil keputusan untuk maju
sendiri sebagai penguji pertama. Gu-loheng, marilah!”
Dari
rombongan Hek-i Kai-pang melonat keluar seorang laki-laki tinggi besar berusia
lima puluhan tahun, memegang sebatang tongkat hitam, sama dengan pakaiannya
yang terbuat dari pada sutera hitam. Inilah Toat-beng-tung Gu Ban Koai (Si
Tongkat Maut), ketua Hek-i Kai-pang yang selama ini, seperti juga
Hek-liong-pang, telah dapat memperkuat perkumpulannya.
Dahulu
Hek-liong-pang tidaklah begitu kuat ketika diketuai oleh ayah dari Ciok Khun
ini yang bernama Ciok Ceng. Akan tetapi, Ciok Khun memiliki ilmu kepandaian
yang jauh lebih tinggi dari ayahnya karena ia telah berguru kepada seorang pendeta
perantauan yang datang dari seberang lautan timur. Dia memiliki ilmu pedang
yang dahsyat dan aneh.
Demikian
pula dengan Hek-i Kai-pang. Ketika dulu diketuai oleh It-gan Hek-houw
Song-pangcu, perkumpulan ini tidak memperoleh kemajuan. Akan tetapi sekarang
setelah dipimpin oleh ketuanya yang baru, Hek-i Kai-pang menjadi maju dan makin
kuat. Hal ini adalah karena ketuanya sekarang adalah seorang yang amat lihai,
terutama sekali ilmu tongkatnya sehingga dia mendapat julukan Tongkat Maut!
Karena pibu
yang diadakan tanpa perjanjian lebih dulu ini sebenarnya bukanlah pibu biasa,
dan biar pun tidak diucapkan telah dimengerti oleh semua yang hadir bahwa pibu
ini lebih pantas dikatakan memperebutkan hak ‘siapa yang menang akan berhak
mencari pusaka di tempat itu’, maka yang maju adalah kedua orang ketua itu
sendiri!
Huang-ho
Sin-liong Ciok Khun sudah mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi lawan yang
berani memasuki kalangan pibu, di samping Toat-beng-tung Gu Ban Koai yang sudah
melintangkan tongkat di depan dada.
Perlu
diketahui bahwa kebiasaan memperebutkan bengcu atas pemimpin persilatan, atau
juga datuk persilatan yang merupakan jagoan terpandai, adalah kebiasaan
golongan hitam dan perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dalam bidang persilatan.
Kaum partai besar seperti Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain yang di
samping mengembangkan ilmu silat juga terutama sekali mengembangkan agama dan
ilmu kebatinan, tidak bernafsu untuk disebut sebagai jago silat nomor satu.
Oleh karena
itu partai-partai besar yang hadir di saat itu tidak diwakili oleh ketua-ketua
mereka, dan kedatangan mereka itu semata-mata hanya tertarik oleh berita
ditemukannya tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang hilang, sama sekali tidak
bermaksud mengikuti pibu untuk memperebutkan kedudukan jago nomor satu. Maka
tantangan pibu yang dibuka oleh kedua ketua itu mereka sambut dengan sikap
dingin dan tidak ada niat untuk turun tangan, kecuali hanya untuk menonton saja
dan meilhat perkembangan keadaan lebih lanjut.
Akan tetapi tidak
demikian dengan rombongan yang lain, yang selain ingin memperoleh pusaka juga
tentu saja ingin disebut jago nomor satu dan perkumpulannya merupakan
perkumpulan yang terkuat dan terbesar sehingga mereka mempunyai kedudukan mulia
di dunia kang-ouw.
Dua orang
meloncat ke depan. Yang seorang adalah ketua Hui-houw-pai bernama Sim Koa Bi,
berjuluk Hui Houw (Macan Terbang) dan perkumpulannya menggunakan nama
perkumpulan itulah. Tubuhnya gemuk pendek dan ia memegang sebuah senjata
rangtai baja yang ujungnya dipasangi bola berduri di kanan kiri. Orang kedua
yang meloncat keluar dari golongan perorangan tanpa rombongan adalah seorang
yang bertubuh kecil kurus, berpakaian mewah dan kedua tangannya memegang
sepasang pedang. Usianya sebaya dengan ketua Hui-houw-pai, yaitu sekitar tiga
puluh lima tahun. Akan tetapi sikapnya malu-malu seperti perempuan, dan dia
berdiri di situ sambil tersenyum-senyum merendah.
“Aku
Hui-houw Sim Koa Bi ketua Hui-houw-pai mohon pengajaran dari dua pangcu!” kata
ketua Hui-houw-pai dengan suara mengguntur.
“Saya Kwa Ok
Kian yang bodoh memberanikan diri memperluas pengetahuan. Untuk memperebutkan
bengcu tentu saja saya tidak berani. Cukup kalau ikut meramaikan pertemuan ini
agar menghangatkan hati para Locianpwe sebelum turun tangan!” kata orang kurus
sambil tersenyum. Biar pun sikapnya demikian merendah, namun orang ini adalah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali karena sejak kecil dia
menggembleng ilmu di daerah Go-bi-san, dan baru sekarang turun gunung.
Dua orang
tuan rumah itu memandang penuh perhatian, kemudian Ciok Khun berkata, “Kami
berdua sebagai pihak tuan rumah mempersilakan Ji-wi untuk memilih lawan di
antara kami berdua.”
Sim Koa Bi
ketua Hui-houw-pai cepat berkata, “Aku ingin sekali berkenalan dengan tongkat maut
dari pangcu Hek-i Kai-pang!”
Dia memang
sudah mendengar akan kelihaian ketua Hek-liong-pang, maka dengan cerdik ia
memilih ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam itu yang belum ia kenal. Tentu
saja ia tidak tahu bahwa tingkat kepandaian pengemis ini sebetulnya tidak
berbeda jauh dengan tingkat kepandaian ketua Hek-liong-pang!
Kwa Ok Kian
tersenyum dan menghampiri Ciok Khun sambil berkata, “Kalau begitu biarlah saya
menerima pengajaran dari Ciok-pangcu!”
“Silakan!”
kata Ciok Khun yang sudah melihat betapa ketua Hek-i Kai-pang telah mulai
bertanding melawan ketua Hui-houw-pai.
“Pangcu,
lihat siang-kiam!”
Dua sinar
berkelebat ketika Si Kecil ini menggerakkan sepasang pedangnya, tahu-tahu
pedang kanan membabat leher dan pedang kiri membabat kaki lawan dengan gerakan
yang berlawanan. Hebat bukan main serangan ini sehingga Ciok Khun berseru
memuji, menangkis pedang yang mengancam leher sambil meloncat ke atas
menghindari babatan pada kakinya. Kemudian ketua Hek-liong-pang ini pun
melanjutkan gerakannya dengan serangan balasan. Mereka segera bertanding dengan
seru dan yang tampak hanyalah sinar pedang bergulung-gulung menyilaukan mata.
Pertandingan
antara ketua Hui-houw-pai melawan ketua Hek-i Kai-pang juga berjalan dengan
amat hebat. Sim Koa Bi yang pendek gemuk itu ternyata lihai sekali. Gerakannya
cepat dan rantai di tangannya menjadi sinar bergulung-gulung. Yang mengagumkan
sekali adalah gerakan loncatannya, seperti terbang saja dan dari atas rantainya
menyambar. Kedua kakinya juga melakukan tendangan-tendangan yang amat
berbahaya.
Namun Gu Ban
Koai dengan tongkatnya bergerak tenang. Tongkatnya membentuk pertahanan yang
amat kuat dan kadang-kadang, biar pun hanya jarang saja, satu melawan tiga
dibandingkan dengan gencarnya serangan rantai, tongkat itu secara tiba-tiba
menyambar dan kalau mengenai lawan tentu akan mendatangkan bahaya maut. Agaknya
tidaklah mengecewakan kalau ketua partai pengemis ini mendapat julukan Tongkat
Maut karena tongkatnya selalu mengirim serangan dahsyat dan lebih banyak
bertahan dari pada menyerang. Pendeknya, setiap serangan tentu sudah
diperhitungkan masak-masak, bukan sembarang menyerang untuk mengacaukan lawan,
melainkan serangan untuk merenggut nyawa lawan!
Bun Beng
berdiri dan menonton dengan bengong penuh kekaguman. Dia sering kali melihat
murid-murid Siauw-lim-pai berlatih silat, akan tetapi baru sekarang dia melihat
pertandingan sehebat itu. Gerakan-gerakan pedang itu bagaikan halilintar
menyambar, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi sinar terang
bergulung-gulung. Dan rantai bersama tongkat itu pun bergerak secara hebat
sehingga si Tongkat nampak berubah menjadi puluhan banyaknya dan rantainya
berubah menjadi gulungan sinar.
“Suhu, siapa
yang akan menang dalam pertandingan dahsyat itu?” tanyanya kepada gurunya tanpa
mengalihkan pandang matanya dari medan pertandingan.
“Hemm,
pertandingan ini belum berapa hebat, Bun Beng. Kalau orang yang sakti maju,
tidak perlu menggunakan senjata keras! Kulihat orang she Kwa itu biar pun
memiliki ilmu siang-kiam yang hebat dan memiliki gerakan yang cepat, namun ia
masih kalah pengalaman dibandingkan dengan ketua Hek-liong-pang, dan tenaga
sinkang-nya kalah kuat. Agaknya ketua Hek-liong-pang yang akan menang. Ada pun
pertandingan yang satu lagi, jelas bahwa ketua Hek-i Kai-pang yang menang
karena dia lebih tenang dan tongkat mautnya itu benar-benar berbahaya sekali.
Perhatikanlah, pihak tuan rumah itu kini mulai mendesak.”
Bun Beng
memandang penuh perhatian. Telah lima tahun lamanya dia digembleng oleh
gurunya. Pengetahuannya dalam hal ilmu silat sudah mendalam, bahkan sudah
banyak ilmu silat tinggi yang dia pelajari sehingga dia hanya kurang matang
dalam latihan saja dan tenaganya masih belum besar. Akan tetapi dia sudah
memiliki kewaspadaan dan dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas.
Dia melihat
bahwa kini pihak tuan rumah, yaitu kedua pangcu itu, telah mendesak lawan
masing-masing sehingga kedua lawannya lebih banyak menangkis dari pada
menyerang. Namun dia dapat melihat pula bahwa pihak tuan rumah tidak berniat
membunuh lawan, maka kini desakan ditujukan pada lengan atau kaki lawan, bukan
di bagian yang berbahaya.
“Saya mengaku
kalah! Hek-liong-pang mempunyai pangcu yang hebat!” Kwa Ok Kian berteriak
sambil melompat mundur, kemudian dia melompat meninggalkan pulau itu dengan
perahu kecil.
Berbeda
dengan orang she Kwa ini, ketua Hui-houw-pai agaknya merasa malu kalau harus mengaku
kalah begitu saja, apalagi dia datang bersama para pembantunya dan di situ
terdapat banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi. Sebagai seorang ketua partai
persilatan, ia merasa malu kalau mengaku kalah sebelum roboh. Maka ia menggigit
bibirnya dan secara mati-matian melakukan perlawanan memutar rantainya sambil
melakukan gerakan meloncat tinggi sesuai dengan julukannya, yaitu Macan
Terbang!
Namun dia
sudah terdesak dan tertindih, gerakan-gerakannya sudah terkurung lingkaran
sinar tongkat hitam, maka dalam belasan jurus berikutnya ia kewalahan dan
terlambat menangkis.
“Kreekkk!”
terdengar suara dan tubuh Sim Koa Bi terbanting tak dapa bangkit kembali karena
tulang kering kaki kanannya remuk dihantam tongkat.
Para
pembantunya cepat datang dan menggotongnya pergi dari pulau itu dengan perahu
mereka. Setelah ketua mereka kalah, mau apa lagi?Bertahan di tempat itu tidak
ada gunanya, pula, hanya mendatangkan malu saja.
Setelah
babak pertama dibuka oleh kedua orang pangcu sebagai pihak tuan rumah,
muncullah dua orang jagoan perorangan, yang seorang dari selatan, yang kedua
dari barat. Kembali mereka disambut oleh kedua orang pangcu yang kosen itu.
Pertandingan kali ini lebih dahsyat lagi, lebih hebat dari pada tadi. Biar pun
pertandingan ini pun berakhir dengan kemenangan kedua orang pangcu, akan tetapi
mereka berdua menjadi lelah sehingga setelah berhasil memperoleh kemenangan,
pangcu dari Hek-liong-pang berkata sambil menjura ke empat penjuru.
“Karena kami
berdua telah amat lelah, harap Cu-wi sekalian sudi mempertimbangkan dan memberi
kesempatan kepada kami untuk beristirahat. Selanjutnya kami mohon agar para
Enghiong yang ingin mengukur kepandaian satu kepada yang lain suka maju lebih
dulu. Kalau kami sudah beristirahat, nanti kami akan maju untuk menghadapi para
pemenangnya.”
Tentu saja
alasan ini diterima baik, maka kini majulah empat orang dari dari golongan
partai lain dan kembali terjadi pertandingan antara keempat orang itu, terbagi
menjadi dua rombongan. Pertandingan ini berjalan tidak seimbang dan dalam waktu
tiga puluh jurus saja, dua orang dari dua macam bu-koan (perguruan silat) sudah
memperoleh kemenangan. Kemudian dua orang pemenang ini berhadapan dengan kedua
orang pangcu tuan rumah yang tadi keluar sebagai pemenang sampai dua kali.
Kembali terjadi pertandingan menggunakan senjata yang amat seru.
“Hemm,
agaknya para Locianpwe yang sakti masih menanti kesempatan, hanya suka maju
kalau melihat lawan yang cukup berharga untuk dilawan,” kata kakek Siauw Lam
perlahan.
“Aihhh,
apakah yang bertanding masih kurang lihai, Suhu?” Bu Beng bertanya heran, juga
terkejut bahwa mereka yang telah bertanding sehebat itu ternyata masih belum
dianggap lihai oleh gurunya.
“Ahh, mereka
itu hanya termasuk tokoh pertengahan saja, Bun Beng. Tingkat mereka itu belum
berapa tinggi, dan tiap orang dari suheng-suheng-mu Siauw-lim Ngo-kiam masih
akan sanggup menandingi mereka. Kulihat kedua orang pangcu itu, hemmm...
agaknya akan ramailah dengan tingkat para suheng-mu. Biar pun tidak kalah,
namun membutuhkan waktu lama, sedikitnya seratus jurus. Kalau tokoh sakti sudah
keluar, barulah hebat!”
Tepat
seperti yang diduga oleh kakek itu, Ciok Khun dan Gu Ban Koai kembali keluar
sebagai pemenang, kemenangan mereka untuk ketiga kalinya! Karena melihat
kelihaian dua orang pangcu itu, para tokoh pertengahan menjadi jeri untuk maju.
Bahkan banyak pula yang diam-diam pergi dari tempat itu karena merasa tidak ada
harapan untuk memperoleh kemenangan. Yang tinggal hanyalah rombongan
Thian-liong-pang, Hek-liong-pang, Hek-i kai-pang, Pulau Neraka dan dua utusan
Pulau Es serta beberapa orang lagi tokoh yang belum turun ke gelanggang. Ada
pun koksu Bhong Ji Kun bersama para pembantunya kelihatan berdiri di atas kapal
dan menonton dari jauh.
Kedua orang
pangcu itu merasa gembira sekali dengan kemenangan mereka yang berturut-turut
dan kepercayaan mereka kepada diri sendiri makin besar. Setidaknya mereka kini
sudah termasuk golongan ‘atas’ karena bukankah yang tinggal di situ hanya
rombongan yang terkenal di samping partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai,
Kun-lun-pai dan lain-lain. Andai kata mereka dikalahkan sekali pun, mereka
sudah mengangkat nama sendiri dan perkumpulan yang tidak dapat disejajarkan
dengan perkumpulan ‘kecil’ seperti yang telah dikalahkan tadi.
Ciok Khun
ketua Hek-liong-pang yang bertindak sebagai juru bicara dan sebagai tuan rumah
segera menjura dan berkata, “Harap para Locianpwe tidak ragu-ragu untuk segera
maju. Kami berdua siap mencari petunjuk!”
“Pangcu dari
Hek-liong-pang, jangan sombong setelah memperoleh kemenangan! Pinto-lah lawan kalian!”
ucapan ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan di situ telah berdiri
seorang tosu berpakaian kuning yang membawa pedang di punggungnya.
Gerakan tosu
ini amat ringan seperti sehelai bulu ditiup angin. Ternyata dia adalah seorang
tosu yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Tubuhnya kurus kering tanpa
daging, hanya kulit membungkus tulang. Wajahnya seperti tengkorak, sangat
menyeramkan!
“Mohon
tanya, siapakah nama dan julukan Totiang dan dari partai apa?” Ciok Khun
menjura dan memandang penuh perhatian karena dia tidak mengenal tosu ini.
“Pinto Hok
Cin Cu, bukan dari partai mana pun juga, seorang pendeta perantau yang
kebetulan mendengar akan pertemuan ini. Pinto ingin mencoba kepandaian
jago-jago dari seluruh penjuru!”
Ciok Khun
yang dapat menduga bahwa tosu ini tentu lihai sekali, segera berkata, “Baik
sekali, Totiang. Siapakah di antara kami berdua yang mendapat kehormatan
melayani Totiang?”
“Ha-ha-ha!”
Suara ketawa tosu itu melengking, mengejutkan semua orang. “Kalian berdua
pangcu-pangcu cilik ini majulah bersama. Akan pinto layani sekaligus juga agar
tidak membuang banyak waktu!”
Mendengar
ucapan ini, terkejutlah semua orang. Kedua orang pangcu ini amat lihai dan
sudah memperoleh kemenangan sampai tiga kali. Akan tetapi kini mereka ditantang
untuk mengeroyok tosu kurus kering ini. Betapa takaburnya! Kedua pangcu itu
menjadi merah mukanya dan saling pandang, kemudian Ciok Khun menjura kepada
semua tokoh persilatan dan berkata dengan lantang.
“Pertandingan
pibu antara orang-orang gagah tidak mengenal keroyokan dan harus berjalan
dengan adil. Akan tetapi sekarang Hok Cin Cu Totiang menantang kami berdua
untuk maju bersama. Hal itu disaksikan oleh semua Locianpwe yang hadir,
sehingga seandainya kami memperoleh kemenangan, harap jangan dikatakan kami
curang dan mengandalkan pengeroyokan!”
“Ha-ha-ha!
Siapa bilang kalian akan menang? Majulah!” sambil berkata demikian, tosu kurus
mencabut pedangnya. Tampak sinar merah disusul suara dengung yang nyaring.
Kemudian tosu itu menggerakkan pedangnya beberapa kali dan terdengar lengking
berdengung-dengung seperti suling ditiup!
“Hemm,
agaknya dialah yang dulu terkenal dengan julukan Cui-siauw-kiam (Pedang Peniup
Suling). Wah, aku mendengar bahwa ilmu pedangnya adalah ilmu pedang campuran
dari Go-bi Kiam-hoat dan Kun-lun Kiam-sut. Tentu dia lihai sekali,” kata kakek
Siauw Lam.
“Suhu, teecu
tidak suka kepada tosu itu. Dia sombong!” kata Bun Beng.
Gurunya
tersenyum. “Tidak perlu suka atau tidak suka, yang penting menilai dan
mencontoh. Kalau kau anggap dia sombong, maka jangan kau mencontoh sikapnya,
habis perkara. Perasaan tidak suka itu pun bukan perasaan yang baik, mungkin
tidak kalah buruknya dengan sikap sombong!”
Bun Beng
membungkam, merasa bersalah. Dia lalu memandang penuh perhatian karena kini
kedua orang pangcu itu sudah siap dengan senjata mereka, menghadapi tosu itu
dari kanan dan kiri. Agaknya keduanya merasa bahwa sekali ini mereka harus
berhati-hati, maka mereka hanya bersiap saja, tidak berani langsung membuka
serangan.
Tosu kurus
itu agaknya mengerti akan hal ini, maka kembali ia tertawa, kemudian terdengar
suara berdesing-desing disusul dengan suara mendengung nyaring. Pedangnya
berubah menjadi sinar perak yang menyambar kanan kiri.
“Trang-trangggg...!”
Bunga api berpijar dan kedua orang pangcu itu terhuyung mundur.
Mereka
terkejut sekali karena tangkisan senjata mereka bertemu dengan tenaga yang amat
dahsyat, membuat mereka terhuyung-huyung. Akan tetapi keduanya sudah meloncat
maju dan terjadilah pertandingan yang hebat. Bukan hanya saking cepatnya,
demikian cepat gerakan Si Tosu sehingga tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus
sinar pedang yang seperti perak itu, yang menyambar ke kanan kiri mengejar
kedua lawannya, melainkan terutama sekali hebat karena terdengar suara tiupan
suling merdu seolah-olah saling mengikuti tari-tarian indah, bukan pertandingan
mati-matian! Suara ini keluar dari sambaran pedang yang digerakkan dengan
pengerahan sinkang kuat sekali, dan karena pedang itu dipasangi lubang-lubang
kecil, maka menimbulkan suara seperti suling ditiup. Tentu saja tanpa latihan
puluhan tahun dan tanpa dorongan tenaga sinkang yang tepat dan kuat, tidak
mungkin mainkan pedang sampai menimbulkan suara tiupan suling seperti itu!
“Kejam
sekali dia...!” kakek Siauw Lam berseru perlahan.
Bun Beng
agak sukar mengikuti pertandingan yang agak cepat itu dengan pandang matanya.
Dia hanya mendengar dua kali suara ‘crat-crat’ disusul muncratnya darah dan
robohnya dua orang pangcu itu.
Pertandingan
hanya berlangsung dua puluh jurus dan kedua orang pangcu roboh dengan luka
parah! Hek-liong-pangcu roboh dengan paha kanan terkuak lebar sampai tampak
tulangnya, sedangkan Hek-i Kai-pangcu roboh dengan pundak kiri patah tulangnya.
Anak buah mereka segera menolong pangcu masing-masing yang roboh pingsan,
kemudian mereka meninggalkan pulau dengan perahu masing-masing.
Suasana
menjadi sunyi. Tosu itu mengelus-elus pedangnya penuh kasih sayang, lalu
berkata, “Pedangku yang baik, hari ini engkau boleh berpesta pora!”
Bun Beng
mengepal tinjunya. “Suhu, dia itu selain sombong juga kejam. Kalau teecu
berkepandaian tentu teecu akan maju dan melabraknya! Sayang kepandaiannya
terlalu tinggi, dia lihai bukan main. Akan tetapi teecu yakin bahwa Suhu tentu
akan dapat melabraknya sampai dia meratap minta ampun!”
“Hushh!
Ingat bahwa kita adalah penonton. Dia memang lihai dan baru sekarang engkau
akan menyaksikan kehebatan tokoh-tokoh kang-ouw,” jawab suhu-nya.
Tosu kurus
itu kini memandang ke sekeliling. “Pinto paling suka main pedang. Adakah di
sini ahli-ahli pedang untuk bermain-main dengan pinto? Telah lama pinto
mendengar nama-nama besar seperti Siauw-lim Chit-kiam yang dulu kabarnya
dikalahkan oleh Kang-thouw-kwi, malah dua di antaranya tewas oleh puteri
jelita! Apakah mereka yang lima orang masih hidup? Ataukah sudah tidak berani
lagi mencabut pedang setelah hilang yang dua orang?”
“Hemm, tosu
sesat!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan kelima orang Siauw-lim
Ngo-kiam sudah meloncat ke depan tosu itu.
Bun Beng
memandang penuh perhatian dan jantungnya berdebar. Kini barulah mereka akan
membuka mata menyaksikan kelihaian Siauw-lim-pai, pikirnya bangga.
Akan tetapi
dengan heran ia mendengar gurunya mengeluh, “Mengapa mereka itu masih berdarah
panas? Mudah saja dipancing, sungguh celaka!”
Bun Beng
tidak sempat bertanya karena ia tertarik sekali memandang ke lapangan itu. Si
Tosu kurus menggunakan matanya yang sipit, menyapu kelima orang itu dengan
pandang matanya penuh perhatian. Dia melihat dua orang hwesio dan tiga orang
kakek yang usianya rata-rata lima enam puluh tahun, sikapnya gagah perkasa dan
tenang sekali. Dia menduga-duga, kemudian tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha!
Agaknya kalian inikah yang terkenal dengan julukan Siauw-lim Chit-kiam yang
sudah tinggal lima orang?”
Memang
mereka adalah lima orang sisa Chit-kiam, dua orang telah tewas, yaitu orang
keenam dan ketujuh. Yang pertama adalah Song Kai Sin, tinggi tegap, usianya
hampir tujuh puluh tahun. Kedua adalah Lui Kong Hwesio, juga tinggi besar dan
bermata lebar, berusia enam puluh dua tahun. Orang ketiga dan keempat adalah
Oei Swan dan Oei Kong, kakak beradik yang berwajah sama, juga sudah enam puluh
tahun lebih. Ada pun yang kelima adalah Lui Pek Hwesio yang bertubuh kecil
bermata tajam, berusia enam puluh tahun.
“Hok Cin Cu,
kami tahu bahwa engkau adalah orang yang dahulu mengganas di pantai selatan dan
berjuluk Cui-siauw-kiam. Kini berlagak sebagai tosu, akan tetapi kami tahu
bahwa engkau hanyalah seorang sombong yang mengaku-aku sebagai tosu sehingga
mencemarkan agama To saja. Engkau tadi mencari kami, nah, kami Siauw-lim
Ngo-kiam berada di sini, engkau mau apa?” Yang bicara adalah Song Kai Sin,
orang tertua Siauw-lim Ngo-kiam.
“Ha-ha-ha-ha!
Bagus sekali! Kiranya Siauw-lim-pai mengutus jago-jago pedangnya untuk merebut
kedudukan tertinggi di dunia persilatan!”
“Jangan asal
membuka mulut!” bentak Lui Kong Hwesio marah. Siauw-lim-pai tidak butuh akan
segala macam adu kepandaian! Kami hanya maju ke sini karena tadi kau
mengeluarkan tantangan, pendeta palsu!”
“Ha-ha-ha-ha!
Dengar ucapan hwesio ini! Dia memaki pinto pendeta palsu sedangkan dia yang
berkepala gundul dan berjubah hwesio masih suka memaki orang!”
Wajah Lui
Kong Hwesio menjadi merah dan dia tak dapat membantah. Memang harus diakui
bahwa dia menuntut penghidupan suci, selalu bersikap halus penuh welas asih
terhadap sesama manusia. Akan tetapi sebagai pendekar, dia tidak dapat bersikap
halus terhadap orang jahat!
“Hok Cin
Cu,” cepat Song Kai Sin berkata. Tak perlu banyak cakap. Kami tidak ingin
mengadu kepandaian untuk memperebutkan kedudukan apa pun juga. Akan tetapi,
kami sebagai murid-murid Siauw-lim-pai takkan pernah mundur kalau Siauw-lim-pai
ditantang!”
“Benarkah?
Kalau begitu untuk apa kalian hadir di sini? Apa untuk mencoba-coba untung
barang kali saja bisa mendapatkan pusaka? Ha-ha!”
Ucapan itu
mengejutkan semua orang yang hadir. Mereka tanpa berjanji telah sepaham dalam
hati bahwa tentu saja mereka semua tidak ada yang berterang hendak mencari
pusaka yang kabarnya telah ditemukan petanya oleh pemerintah. Apa lagi kini
pihak pemerintah hadir juga. Karena itu mereka menggunakan dalih pibu. Siapa
kira tosu ini bicara seenaknya saja!
“Kami tidak
sudi berbantah dengan orang macam engkau, Hok Cin Cu. Pendeknya jika engkau
menantang Siauw-lim Ngo-kiam, tarik kembali tantanganmu!”
Tosu itu tertawa
lagi. “Ha-ha-ha! Siapa takut? Andai kata jumlah kalian masih lengkap tujuh
orang, pinto tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam, apa lagi hanya
Siauw-lim Ngo-kiam! Majulah kalian berlima!” Ia sudah menggerakkan pedangnya
sehingga berdengung-dengung.
Song Kai Sin
maklum bahwa tosu ini amat lihai pedangnya, mungkin tidak di sebelah bawah
datuk-datuk sesat jaman dahulu seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo
dan yang lain-lain. Maka ia cepat memberi isyarat kepada para sute-nya untuk
membentuk lingkaran dan mainkan Chit-seng Sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh
Bintang).
Tosu ini
berseru keras, lalu bergerak memutar pinggangnya sehingga terdengar bunyi
mengaung seperti suling ditiup. Lima orang gagah Siauw-lim-pai itu pun lalu
menggerakkan pedang mereka dan gterdengarlah bunyi mencicit-cicit dan pedang
mereka berubah menjadi sinar-sinar terang yang meluncur ke depan.
“Hebat para
suheng itu!” Bun Beng berseru girang.
“Hemm...,
Chit-seng Sin-kiam seharusnya dimainkan oleh tujuh orang, kini dimainkan oleh
hanya mereka berlima, sungguh banyak berkurang kelihaiannya. Kalau lengkap
mungkin menang. Akan tetapi sekarang...!”
Kakek itu
melangkahkan kaki, menuruni tebing dan mendekati lapangan pertandingan, diikuti
oleh Bun Beng dengan jantung berdebar. Demikian lihaikah tosu kurus itu
sehingga suhu-nya merasa khawatir bahkan seperti sudah tahu bahwa lima orang
suheng-nya akan kalah?
Pertempuran
kali ini benar-benar hebat luar biasa. Mata para penonton sampai menjadi silau
dan telinga mereka sakit-sakit mendengar nyanyian pedang Si Tosu diseling suara
mencicit nyaring lima batang pedang jago-jagi Siauw-lim-pai itu. Tubuh enam
orang itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung menjadi satu.
Untuk membedakan mana pedang mereka hanya nampak pedang bersinar perak yang
bergulung-gulung, itulah pedang Hok Cin Cu, sedangkan pedang murid-murid
Siauw-lim-pai merupakan sinar-sinar terang yang gerakannya lurus maju mundur
hanya membentuk lingkaran kecil di luar lingkaran besar sinar pedang Hok Cin
Cu.
Seratus
jurus telah lewat dan pertandingan masih berjalan seru. Akan tetapi lingkaran
sinar pedang seperti perak itu makin membesar, suara suling makin n\yaring
melengking sedangkan lingkaran kecil yang jumlahnya lima itu makin mengecil,
suara mencicit juga makin melemah. Inilah tandanya bahwa kelima orang Siauw-lim
Ngo-kiam mulai terdesak hebat!
Bun Beng
tidak mengerti karena dia tidak dapat mengikuti pertandingan yang terlampau
cepat baginya itu. Dia menengok ke muka suhu-nya dan melihat alis gurunya
berkerut, maka dia pun menjadi khawatir, lalu memandang lagi ke arah
pertandingan.
“Trang-trang-trang-trang-trang!!”
Lingkaran-lingkaran
pedang yang kecil-kecil itu bercerai berai dan tampaklah lima orang
Siauw-lim-pai itu mencelat ke belakang dengan muka pucat. Tosu itu tertawa dan
sinar pedangnya menyambar ke arah mereka, agaknya dia belum merasa puas kalau
pedangnya belum minum darah lawan!
“Tahan...!”
terdengar bentakan halus dan tubuh kakek Siauw Lam telah melayang ke depan. Ia
menggerakkan tangan kanannya dan ujung lengan bajunya menggulung ujung pedang
Hok Cin Cu, kemudian mendorongnya sambil melepaskan libatan.
Hok Cin Cu
terkejut. Hampir saja pedangnya terlepas dan ia cepat memandang. Kiranya di
depannya telah berdiri seorang kakek tua, sedangkan Siauw-lim Ngo-kiam sudah
menyimpan pedang dan menjura dengan hormat kepada kakek itu.
“Mundurlah
kalian, mengapa mengikuti hati panas?” kakek Siauw Lam menegur dengan suara
halus akan tetapi kelima orang itu menjadi merah mukanya, kemudian mengundurkan
diri.
Biar pun Hok
Cin Cu maklum dari gerakan kakek itu bahwa ia menghadapi seorang lihai, namun
karena ia berwatak sombong dan terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri,
dia tidak takut dan kini menghadapi kakek Siauw Lam sambil berkata,
“Kakek tua
renta! Kenapa engkau lancang dan curang membantu lima orang yang sudah
mengeroyokku?!”
Kakek Siauw
Lam merangkap kedua tangan ke depan dada. “Maaf, Totiang. Andai kata
pertandingan tadi merupakan sebuah pibu, tentu aku orang tua tidak berani turut
campur. Akan tetapi pertandingan tadi bukan pibu, melainkan Totiang telah
menantang Siauw-lim-pai. Murid-murid Siauw-lim-pai itu tadi berdarah panas,
maka biarlah aku orang tua yang mintakan maaf dan harap Totiang tidak mencari
permusuhan dengan Siauw-lim-pai yang tidak ingin bermusuh dengan siapa pun
juga.”
“Heh, kakek
tua. Apakah engkau tokoh Siauw-lim-pai?”
“Aku
mendapat kehormatan sebagai orang Siauw-lim-pai, maka aku berani mintakan maaf
atas nama Siauw-lim Ngo-kiam kepadamu, Totiang!”
“Siapa
engkau? Dan apa kedudukanmu di Siauw-lim-pai?”
“Namaku
Siauw Lam, dan aku hanya seorang pelayan di Siauw-lim-pai.”
Wajah Hok
Cin Cu berubah merah. “Pelayan?” Ia menoleh ke arah Siauw-lim Ngo-kiam dan
bertanya lantang, “Siauw-lim Ngo-kiam, benarkah kakek ini hanya seorang kakek
di Siauw-lim-si?”
Song Kai Sin
menjawab, “Beliau adalah terhitung supek kami, akan tetapi benar bekerja
sebagai pelayan di Siauw-lim-si.”
Hok Cin Cu
menjadi bingung. Kalau dia melawan kakek yang lihai ini dan sampai kalah,
bukankah namanya akan hancur lebur karena dia kalah oleh seorang pelayan saja
dari Siauw-lim-pai?
“Kakek tua,
apakah engkau menantangku?”
“Aku tidak
menantang siapa-siapa.”
“Aku orang
lemah, mana ingin pibu segala?”
“Kalau
begitu pergilah!”
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring. “Hok Cin Cu manusia tinggi hati! Berani engkau
menghina seorang Locianpwe?”
Yang muncul
adalah Yap Sun dan Thung Sik Lun, dua orang utusan Pulau Es dan yang membentak
adalah Yap Sun. Kemudian Yap Sun menjura kepada kakek Siauw Lam sambil berkata,
“Harap Locianpwe sudi mengundurkan diri, tak pantas bagi Locianpwe untuk
melayani orang gila ini lebih lama lagi.”
Kakek Siauw
Lam mengangguk dan mundur, akan tetapi ia bingung karena tidak melihat bayangan
Bun Beng! Anak itu diam-diam telah pergi dari tempat tadi. Namun karena di situ
terdapat banyak orang dan suasana menjadi tegang, kakek ini bersikap tenang.
Bun Beng adalah seorang bocah cerdik dan tidak ada alasan untuk khawatir bagi
dirinya. Agaknya bocah itu menggunakan kesempatan kunjungan itu untuk pergi
menemui orang sakti!
Kini Yap Sun
dan Thung Sik Lun menghadapi Hok Cin Cu yang memandang marah dan membentak,
“Kalian ini siapa lagi berani membuka mulut besar?”
“Kami adalah
dua orang utusan dari Pulau Es!”
Mendengar ucapan
ini, semua orang memandang dengan muka berubah, seperti halnya para pimpinan
Hek-liong-pang tadi. Namun Hok Cin Cu agaknya memandang rendah, apa lagi
melihat bahwa kakek gemuk dan kakek kurus itu tidak menunjukkan keanehan
apa-apa.
“Tidak perlu
kami sembunyikan lagi. Kami menjadi utusan Pulau Es untuk meninjau dan kami
tertarik memasuki pibu.”
“Bagus!” Hok
Cin Cu kini mendapatkan kesempatan untuk ‘mencuci muka’ setelah tadi ia
mengalami hal yang merendahkan dirinya ketika berhadapan dengan kakek Siauw Lam
yang telah ia rasakan kelihaiannya.Ia masih ragu-ragu apakah akan dapat
menangkan kakek itu, akan tetapi terhadap dua orang ini ia memandang rendah
sekali.
“Apakah
kalian juga hendak maju berdua? Kalau memang ingin maju berdua, jangan
malu-malu, katakan saja. Pinto berani menghadapi kalian berdua sekaligus.!”
Yap Sun
menjadi merah mukanya, akan tetapi wajahnya tetap tenang dan dingin. Suaranya
lebih dingin lagi ketika berkata, “Majikan kami adalah seorang pendekar yang
mengangkat kependekaran dan kegagahan di atas segala apa, tentu saja kami tidak
akan menggunakan jumlah banyak untuk mencari kemenangan.”
“Suheng,
biarlah aku menghadapi tosu ini,” kata Thung Sik Lun yang bertubuh kurus.
“Baiklah,
Sute.” Kemudian Yap Sun berkata kepada Hok Cin Cu, “Sute-ku ini yang akan
menandingimu Hok Cin Cu.”
Yap Sun lalu
meloncat ke pinggir dan berkata tenang kepada sute-nya, “Thung-sute, hati-hati,
jangan sampai melakukan pembunuhan. Jangan membunuh dia.”
Ucapan yang
dikatakan dengan suara bersungguh-sungguh ini membuat dada Hok Cin Cu seperti
akan meledak saking marahnya. Ucapan itu sungguh dirasakan amat merendahkan
dirinya. Bukan dipesan hati-hati agar jangan kalah, melainkan dipesan
berhati-hati agar jangan membunuh lawan!
“Kami dari
Pulau Es tidak pernah menggunakan senjata, kecuali kalau amat perlu dan sangat
terpaksa. Untuk main-main denganmu, biarlah aku menggunakan tangan kosong saja.
Totiang, pakailah pedangmu!”
Baru
sekarang Hok Cin Cu tak dapat menertawakan lawannya karena kemarahan telah
menguasai hatinya. Dia merasa dipandang rendah sekali dan hal ini dianggapnya
sebagai penghinaan, sungguh pun kakek kurus dari Pulau Es itu sebetulnya sama
sekali tidak mau memandang rendah atau menghina, melainkan bicara sesungguhnya.
“Siapakah
namamu, orang yang sudah bosan hidup? Katakanlah namamu agar kalau pedangku
memenggal lehermu, akan pinto ketahui siapa orang sombong yang sudah kubunuh
dalam pibu ini!”
“Namaku
Thung Sik Lun dan marilah kita mulai, Hok Cin Cu!”
Pedang di tangan
Hok Cin Cu itu sudah mengaung dan menyambar dari atas ke bawah hendak membelah
tubuh lawan, akan tetapi gerakannya tidak lurus melainkan seperti ular
berlenggak-lenggok hingga tampak sinar pedangnya seperti halilintar menyambar
di angkasa. Namun tubuh kakek kurus itu telah lenyap dan tahu-tahu telah
berpindah tempat ke kiri. Tosu itu terkejut melihat kecepatan gerak lawan yang
tidak tampak menggoyang tubuh tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke kiri,
maka cepat pedangnya menyusul dan dia mengirim serangkaian serangan dengan
pedangnya sehebat gelombang lautan dan terdengar suara suling nyaring mengikuti
berkelebatnya sinar pedang.
Thung Sik
Lun memiliki bakat yang baik dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh majikan
Pulau Es ia telah digembleng dengan ilmu gerak kilat sehingga tubuhnya dapat
bergerak lebih cepat dari pada berkelebatnya sinar pedang Hok Cin Cu, maka
serangan-serangan itu selalu gagal karena tubuh kakek kurus ini telah mencelat
ke sana-sini amat cepatnya.
Semua orang
yang menyaksikan pertandingan dahsyat ini melongo karena gerakan tubuh Si Kakek
Kurus sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya tampak seolah-olah menjadi banyak.
Hok Cin Cu
menjadi penasaran sekali. Sudah belasan jurus pedangnya menyerang namun sama
sekali tak pernah berhasil. Ia berseru keras dan menyerang lebih cepat. Thung
Sik Lun maklum akan kelihaian lawan, maka ia pun mempercayai gerakan tubuhnya
sehingga tubuhnya lenyap hanya merupakan bayangan yang kadang-kadang tampak
kadang-kadang tidak. Sambil mengelak ini, Thung Sik Lun kini membalas, tangan
kirinya mendorong ke arah lawan dengan jari terbuka.
“Wuuuttttt...!”
“Aihhh!” Hok
Cin Cu terhuyung dan berseru kaget karena dorongan tangan lawan itu mengandung
tenaga yang hebat bukan main, mengandung hawa panas dan amat kuat sehingga
tubuhnya bergetar dan ia terhuyung ke belakang.!
Hok Cin Cu
cepat meloncat ke atas dan berjungkir balik ke belakang, kemudian turun dengan
wajah pucat, memandang lawannya yang masih tetap berdiri tegak dan tenang.
Maklumlah tosu ini bahwa lawannya, tokoh Pulau Es ini, memiliki sinkang yang
sangat luar biasa. Dia seorang yang licin dan cerdik sekali, biar pun marah dan
penasaran akan tetapi tidak nekat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu
dia teancam bahaya mati. Maka ia lalu berkata.
“Sobat dari
Pulau Es, kepandaianmu hebat. Biarlah kali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi
tunggulah saja, pada suatu hari aku akan datang mengunjungi Pulau Es untuk
menantang pibu kepada majikan Pulau Es!” Setelah berkata demikian, tanpa
menanti lawan menjawab dan tidak memberi kesempatan orang lain mengejeknya,
tosu cerdik ini sudah meloncat jauh dan berlari cepat sekali, kemudian
menghilang di pantai yang berbatu-batu.
Kejadian ini
membuat semua orang terkejut dan melongo. Hok Cin Cu yang demikian lihai ilmu
pedangnya, dalam waktu cepat sekali telah mengaku kalah kepada orang kedua dari
Pulau Es, padahal belum dirobohkan! Dan menurut pengintaian mereka, orang Pulau
Es itu tidaklah sehebat Si Tosu, hanya memiliki gerakan cepat dan pandai
mengelak saja. Mengapa tosu yang ilmu pedangnya luar biasa itu mengalah begitu
saja?
Hal ini
membuat penasaran yang hadir, maka keluarlah seorang laki-laki berusia lima
puluh tahun berpakaian pendeta, berambut gondrong dengan cambang bauk mencongak
ke sana-sini. Lehernya digantungi kalung yang ada kelenengannya seperti yang
biasa digantungkan di leher kerbau atau sapi. Kiranya dia adalah seorang
saikong yang mukanya seperti singa dan suaranya parau ketika ia berkata
menggeledek.
“Aku telah
mendengar bahwa Pulau Es dikuasai oleh seorang Pendekar Siluman. Kini
menyaksikan pertandingan tadi, aku baru percaya orang-orang Pulau Es pandai
menggunakan ilmu siluman! Kalau kalian menggunakan ilmu silat, kiraku tidak
akan mampu mengalahkan Hok Cin Cu, biar pun ilmu pedangnya hanya bagus ditonton
dan enak didengar saja. Heh, orang Pulau Es, marilah kalian melawan aku,
Siangkoan Cinjin dari Goa Tengkorak!”
Setelah
berkata demikian, saikong itu lalu menggoyang tubuhnya seperti tingkah seekor singa
mengeringkan bulunya dan terdengarlah suara mengaum yang dahsyat dari mulutnya.
Suara ini mengandung getaran yang amat kuat sehingga semua orang yang mendengar
menjadi terkejut sekali. Untung bahwa yang kini tinggal di situ hanya
orang-orang yang berilmu tinggi sehingga mereka cepat mengerahkan tenaga mereka
untuk melawan pengaruh getaran suara itu, karena kalau orang tidak memiliki
sinkang kuat, mendengar suara getaran ini pasti akan roboh! Mengeluarkan suara
mengaum seperti singa yang dapat merobohkan lawan dan mendatangkan rasa takut
dan ngeri ini adalah ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikerahkan dengan
tenaga khikang amat kuatnya. Dari teriakan dahsyat ini saja sudah dapat
diketahui betapa lihainya saikong ini.
Kakek Siauw
Lam yang semenjak tadi menyaksikan pertandingan dengan penuh perhatian,
terkejut sekali mendengar digunakannya ilmu Sai-cu Ho-kang ini karena ia segera
teringat akan muridnya. Muridnya belum memiliki sinkang yang kuat maka ilmu itu
dapat mencelakakan muridnya itu. Ia tidak bernafsu lagi menonton dan mulailah
ia mencari muridnya itu. Ketika ia tidak dapat melihat muridnya di antara para
tokoh yang hadir, kakek ini lalu pergi ke pantai dan mengelilingi pulau untuk
mencari.
Kemana
perginya bocah itu? Ketika tadi Bun Beng menyaksikan pertandingan dan melihat
para suheng-nya kalah lalu gurunya maju menolong, dari tempat ia berdiri ia
melihat rombongan koksu di kapal itu tertawa-tawa, seolah-olah menertawakan
para suheng-nya yang kalah. Hatinya menjadi panas, apa lagi ketika melihat
koksu itu bersama beberapa orang lain turun dari kapal dan memasuki sebuah
perahu kecil yang didayung ke pulau. Ia tidak dapat menahan kemarahan hatinya.
Ingin ia menantang koksu itu untuk melawan gurunya atau mengikuti pibu.
Dianggapnya
amat tak tahu malu orang-orang pemerintah itu yang hanya menonton dan memblokir
tempat itu seperti seekor serigala yang membiarkan anjing-anjing berebut
tulang. Biar pun masih kecil, dari cerita kakek Siauw Lam, Bun Beng dapat
menduga bahwa kehadiran pasukan pemerintah itu pasti mengandung maksud tidak
baik terhadap para tokoh. Ingin ia melihat jago-jago kerajaan itu turun
gelanggang mengadu kepandaian dengan orang gagah. Maka ia lalu menuruni tebing,
lupa akan gurunya, kemudian berlari menuju ke arah pantai untuk memapaki koksu
negara dan pembantu-pembantunya.
Yang berada
di perahu kecil itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri, koksu bersama
lima orang pembantunya, yaitu Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan tiga orang
jenderal pasukan pengawal. Perahu di dayung oleh Bhe Ti Kong, panglima tinggi
besar yang bertenaga kuat itu sehingga sebengtar saja perahu telah mendarat.
Setelah menyaksikan sepak terjang dua orang utusan Pulau Es, Im-kan Seng-jin
menjadi tertarik sekali dan sudah ‘gatal-gatal tangan’ untuk mendekati dan
kalau perlu ikut main-main dengan para orang gagah. Demikian pula dengan kedua
orang hwesio Lama dari Tibet, ingin sekali mencoba kepandaian orang-orang sakti
itu.
Akan tetapi,
baru saja mereka mendarat, seorang anak laki-laki telah menghadang mereka sambil
bertolak pinggang dan memandang dengan mata melotot! Bocah ini bukan lain
adalah Bun Beng! Enam orang itu heran melihat ada seorang anak kecil berada di
tempat seperti itu. Sungguh tidak pernah mereka sangka!
Tempat itu
pada saat ini pantasnya hanya dikunjungi oleh orang-orang sakti yang berilmu
tinggi, bukan tempat bermain anak kecil. Dan anak ini sengaja menghadang,
berdiri menantang dan memandang dengan mata melotot marah!
“Eh, bocah
kurang ajar! Mau apa kau ke sini? Hayo pergi!” Bhe Ti Kong membentak.
Akan tetapi
Bun Beng tidak bergerak dari tempatnya, bahkan berkata nyaring. “Siapa yang
kurang ajar? Aku di sini tidak melakukan apa-apa, sebaliknya kalian yang
sungguh tidak patut hanya menonton dan menertawakan orang! Kalau memang kalian
ada kepandaian, mengapa tidak ikut pibu saja ke sana? Ataukah beraninya hanya
menertawakan yang kalah?”
Sejenak enam
orang itu terbelalak mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang
bocah yang usianya kurang lebih sepuluh tahun. Bhe Ti Kong menjadi marah
sekali.
“Bocah
setan!” bentaknya dan tangannya bergerak menangkap pundak Bun Beng dengan
maksud untuk dilemparkan agar jangan menghadang dan mengganggu.
“Wuuuussss!”
tangannya luput.
Hal ini
makin mengherankan mereka, terutama sekali Bhe Ti Kong. Seorang bocah masih
begitu kecil sudah dapat mengelak dari tangkapannya. Hal ini benar-benar
mengejutkan, karena seorang dewasa sekali pun belum tentu dapat mengelak
secepat itu. Ia menjadi penasaran dan menubruk ke depan, cepat sekali.
Bun Beng
mengerti bahwa untuk mengelak ia kalah cepat, maka ia menyambut tubrukan
panglima itu dengan pukulan tangannya ke arah perut Bhe Ti Kong.
“Aihhh!” Bhe
Ti Kong kaget, akan tetapi ia berhasil menangkap tangan kecil yang memukul,
kemudian tubuh Bun Beng diangkat hendak dibanting.
“Bhe-goanswe,
jangan!” tiba-tiba terdengar suara Im-kan Seng-jin. “Lemparkan dia kepadaku!”
Bhe Ti Kong
menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan melayanglah
tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan kakek botak
tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jari-jari
tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telunjuk, diukur dari depan ke
belakang, dari kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit
bagian-bagian kepala Bun Beng.
Wajahnya
menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan
Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelopak matanya, kemudian
menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa
dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya
memegang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar,
wajahnya berseri.
"Aahhhh,
Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni, dan
kepalanya...! Hebat...! Rongga otaknya luas, daya tangkapnya kuat, semangatnya
besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua! Benar-benar seorang
sin-tong (anak ajaib) yang sukar ditemukan keduanya! Wah, kalau dia sudah
kuberi makan obat kuat secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat untuk aku
melaksanakan ilmu peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar
Darah)!"
Tiga orang
panglima itu tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang Bun Beng
dengan sinar mata kasihan lalu menundukkan muka, sedangkan Thian Tok Lama lalu
berkata perlahan.
"Omitohud...,
semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!"
"Heh-heh-heh!
Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa saja!
Bagi orang-orang seperti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah
memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan kemajuan kita. Ha-ha-ha! Eh,
Sin-tong, siapa namamu?"
"Aku
bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!" Bun
Beng meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya
I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia mengerti, betapa tabah pun hatinya tentu akan merasa
ngeri karena ilmu itu adalah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini
hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk
menggantikan sumsum dan darahnya sendiri yang sudah lemah dan kotor!
"Engkau
mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!" Koksu itu melepaskan pegangannya.
Bun Beng
menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi... tubuhnya tak dapat
bergerak maju, kedua kakinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh
sesuatu yang tidak nampak!
"Ha-ha-ha!
Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus selalu
ikut bersamaku, tidak boleh berpisah sedikit pun. Tidur pun harus di sampingku.
Hayo, ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!"
Tubuh Bun
Beng didorong dan... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti rombongan
itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak kedua kakinya
tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh ini
menggunakan ilmu iblis, pikirnya.
"Bun
Beng...!"
"Suhu...!"
Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Kakek Siauw Lam di
depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut
kakek itu sebagai gurunya.
"Bun
Beng, ke sinilah engkau!" Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya
gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.
"Teecu...
teecu tidak bisa, Suhu...!" kata Bun Beng sambil berusaha menggerakkan
kedua kakinya.
"Siapa
bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!" Kakek Siauw Lam yang sudah
melihat bahwa Bun Beng sebenarnya tertahan oleh hawa sinkang yang keluar dari
tangan koksu itu, menggerakkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan
sinkangnya. Terdengar suara bercuitan dan... tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong
ke depan, ke arah gurunya.
"Heh-heh,
boleh juga tua bangka ini," Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk
menyembunyikan kagetnya, kemudian ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan.
Terjadilah
tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng merasa betapa
tubuhnya ditarik ke depan dan ke belakang. Akan tetapi akhirnya... ia tertarik
ke belakang dan tangan koksu itu sudah menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa.
Bukan main
kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tidak disangkanya bahwa koksu itu ternyata
memiliki kekuatan sinkang yang luar biasa sekali! Maka ia cepat menjura dan
berkata, "Mohon Paduka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan
maafkan hamba yang tidak tahu diri berani berlaku lancang."
"Heh-heh,
engkau guru bocah ini?"
"Benar,
Taijin."
"Siapa
namamu?"
"Nama
hamba Siauw Lam, salah seorang anggota Siauw-lim-pai." Kakek itu sengaja
menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh karena pada waktu itu
pemerintah tidak mau bermusuhan dengan partai-partai persilatan besar, terutama
Siauw-lim-pai yang kuat.
Tiba-tiba
Thian Tok Lama mengerutkan alisnya dan berkata, "Seingat pinceng, yang
bernama Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!"
Kakek Siauw
Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hormat sambil berkata,
"Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah
bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang biasa, Kakek Siauw
Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai."
Mendengar
ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka berkerut.
Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwesio telah mengundurkan diri
dari kependetaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati mereka bahwa kakek itu
adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!
"Kakek
Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan
mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!"
"Tidak,
Suhu, dia tidak sayang kepada teecu! Dia hendak menggunakan teecu sebagai
syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!"
Im-kan
Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah
Kakek Siauw Lam menjadi pucat, matanya menyinarkan api kemarahan.
"Taijin,
harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai. Kembalikan muridku!" bentaknya.
Im-kan
Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah. "Apa?! Engkau pelayan kuil
berani menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?"
"Saya
tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa
sekali pun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!" Kakek itu sudah marah
sekali karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hendak dijadikan syarat
orang melaksanakan ilmu iblis itu.
"Ha-ha-ha,
Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!" Im-kan Seng-jin berkata.
Dua orang
Lama itu memang sudah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya lalu
menerjang maju dari kanan kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari
kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin
keras menyambar disertai uap hitam, ada pun dari kanan Thai Li Lama juga
memukul dengan pukulan sakti Sin-kun-hoat-lek!
Melihat
datangnya pukulan yang mengandung hawa sakti amat dahsyatnya itu, Kakek Siauw
Lam terkejut dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat dan
harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun
mengerahkan sinkangnya, mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan jari
tangan terbuka dan menerima pukulan kedua lawan itu dengan telapak tangannya.
"Plak!
Plak!" Telapak tangan mereka bertemu dan melekat.
Tiga orang
itu berdiri tak bergerak, saling beradu telapak tangan yang mengeluarkan hawa
sakti dan terjadilah adu tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit lamanya
ketiga orang kakek ini berdiri tegak tak bergerak, akan tetapi lambat-laun
tubuh kedua orang Lama itu bergoyang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam
masih tegak, sama sekali tidak terguncang, hanya dari rambut kepalanya mengepul
uap putih dan mukanya pucat.
"Orang
Siauw-lim-pai memang hebat...!" terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan.
Sebetulnya,
dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi karena dia tidak mau
kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek. Mendadak ia menggerakkan
tangan kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek Siauw Lam. Angin yang keras dan
panas menyambar ke depan, tenaga yang tidak nampak menghantam dada Kakek Siauw
Lam yang tentu saja tidak dapat mengelak atau menangkis karena dia sedang
terhimpit oleh tenaga kedua orang Lama yang sudah hampir ia kalahkan itu.
"Uahhh...!"
Kakek Siauw Lam tergetar tubuhnya dan dari mulutnya tersembur darah segar, akan
tetapi matanya mendelik memandang Im-kan Seng-jin dan dia masih tetap
mempertahankan himpitan kedua orang Lama, sedikit pun tidak berkurang tenaga
sinkangnya biar pun sudah menderita luka parah!
Tiba-tiba
Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat maju, tampak
sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang istimewa yaitu sebuah
tombak gagang pendek.
"Cappp!"
Tombak itu menusuk lambung Kakek Siauw Lam sampai tembus!
"Suhuuu...!"
Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak dapat digerakkan.
Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat betapa suhu-nya roboh,
mengerang perlahan lalu terdiam, tak bergerak lagi.
Sejenak enam
orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak dengan adanya kejadian itu.
Betapa pun juga, yang mereka bunuh adalah seorang tokoh Siau Lim Pai...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment