Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 08
"Tujuh
batang jarum merah!" katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit
di sekitar jarum-jarum itu mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan
hebat.
"Lekas
cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!"
Karena ingin
sekali menolong, sedangkan dia sendiri memang tidak mengerti tentang senjata
beracun, Tan Hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang
jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa
sebentar, tampak bekas tusukan jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik
merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak, memberikan
jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko,
kau cari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kau bakarlah ujung kedua jarum
itu sebentar. Cepat, Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan
bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar
ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang
kembali ke dalam kamar membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan
petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.
"Sekarang
kau tusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu,
Koko, diamkan sebentar lalu kau tusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari
tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya
pun berkerut. Bermacam perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah
kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan tidak karuan yang
ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini
seakan-akan menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak
malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar lagi ketika ia menyuruh Tan Hui
menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biar pun dia
merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak
kelihatan biru lagi, namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya
menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui menggigil dan terpaksa
meramkan kedua matanya.
"Koko,
kau kenapakah...?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui
sadar. Ia membuka matanya dan merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa
Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan sepasang mata
menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku...
aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani
berlancang tangan menghadapimu dalam keadaan begini."
Lu Sian
meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu?
Koko, kau telah mengobatiku, mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini,
apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko, bukankah...
bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan Hui
menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya,
berilmu tinggi pula. Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila?
Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila!
"Moi-moi,
tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah,
Sian-moi, aku hanya seorang duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu
dan....."
Tiba-tiba Lu
Sian menutupkan jari-jari tangannya yang kecil dan berkulit halus itu di depan
mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapa pun
hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria,
biasanya takkan kuat menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu.
Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat dari pada gerak kilat ratusan
anak panah atau ribuan mata pedang!
Tan Hui
adalah seorang pendekar yang memiliki nama besar. Nama julukan Hui-kiam-eng
bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan dan
kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang
laki-laki juga, malah ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan
cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di dekatnya. Kalau saja ia tidak
kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapa pun cantiknya akan dapat
berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan
isterinya, sedang haus akan cinta.
Celakanya,
ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat,
cantik jelita, apalagi yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita
muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai hampir membuka dadanya,
yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir
tersenyum menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan
batinnya dan tergila-gila membiarkan diri menjadi hamba nafsu asmara?
Begitu
tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah sebuah
pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! Lupa bahwa ia
telah melanggar pantangan, melanggar susila. Lupa pula bahwa ia melanggar hukum
keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu Sian untuk
menurunkan ilmu ginkang yang luar biasa dari keluarganya!
Tan Hui,
pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok oleh
kecantikan wajah dan keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan segala,
mengejar kesenangan yang tak kunjung puas. Sampai berpekan-pekan Tan Hui dan Lu
Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main di pinggir anak
sungai dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, di samping
berlatih ilmu ginkang yang diturunkan oleh Tan Hui kepada kekasihnya.
Ilmu ginkang
keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara melatihnya.
Rahasia kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan semedhi, cara
penyaluran jalan darah di waktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau
berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan ginkang dari golongan
lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersemedhi dalam keadaan
telanjang bulat!
Inilah
sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan
ginkang, dan menyatakan bahwa hanya orang ‘dalam’ atau keluarga sendiri yang
boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain, bagaimana mungkin dengan
syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita menjadi
kekasihnya, menjadi isteri walau pun di luar pernikahan, tentu saja syarat itu
tidak menyusahkan mereka lagi.
Karena Lu
Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan di samping ini juga amat
cerdik, dalam waktu kurang lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai
ilmu ginkang yang diturunkan oleh kekasihnya kepadanya. Ia merasa girang
sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari ginkang yang terkenal di
dunia kang-ouw sebagai ginkang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena
mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang kekasih yang menyenangkan
hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti bekas suaminya,
Jenderal Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin!
Sudah dapat
ia membayangkan berapa akan bahagia hidupnya di samping Tan Hui, karena
kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah di dunia
kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin
menjadi suami isteri jagoan nomor satu di dunia! Dengan Tan Hui di sampingnya,
bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai. Akan tetapi, betapa pun juga,
manusia takkan mampu mengatur nasibnya sendiri kalau perbuatannya bertentangan
dengan peri-kebajikan. Mimpi yang muluk-muluk ini ternyata menghadapi kegagalan
total yang menyedihkan!
Pagi hari
itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi
mandi di anak sungai, kebetulan datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng
Tan Hui di dalam dusun. Mereka ini adalah serombongan piauwsu terdiri dari
sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan bahwa mereka
diminta tolong oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya. Sebagai
pembalasan budi, tentu saja para piauwsu ini segera mencarinya.
Selain
menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu
ini membawa berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan
tetapi pendekar ini masih mampu menekan perasaannya dan segera ia menyuruh
pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan kepada kakak iparnya
bahwa ia segera pulang.
Demikianlah,
ketika Lu Sian pulang dari anak sungai dengan wajah berseri, wajah seorang
wanita dalam mabuk cinta, ia disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas
sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang mengamuk di hatinya.
Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk. Namun ia mencinta Lu Sian maka
yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan singkat.
"Sian-moi,
sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat
tinggal!"
"Eh-eh-eh,
Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?" Lu Sian menangkap
lengan kekasihnya yang hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya
bergurau.
Akan tetapi
Tan Hui tidaklah bergurau. Secara kasar ia merenggut lengannya yang dipegang Lu
Sian sambil berkata, "Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi
meninggalkanmu karena hendak menikah dengan Siok Lan, gadis dusun yang
baik!"
Tiba-tiba
sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia
menghadapi Tan Hui sambil berkata, "Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah
apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini? Mengapa kau marah-marah
kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam
kau masih memperlihatkan cinta kasih yang besar terhadap diriku dan...."
"Cukup!"
Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi
merah. "Jangan sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan
biadab kita yang tak mengenal tata susila. Perbuatan terkutuk!"
"Tan
Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya
kepadamu, dan kau bilang itu terkutuk?"
"Perbuatan
jinah yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku
pergi!" Tan Hui memaksa keluar dari pintu depan.
Akan tetapi
Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya. "Kau bicara! Kau keluarkan isi
hatimu! Aku akan mati penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah,
mengapa kau marah-marah dan membenci padaku?"
Dengan
kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia
menunduk dan menarik napas panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak.
"Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu mengelak. Kiranya kau
menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah
kau menipuku, mewarisi ginkang dan menyeretku ke dalam hubungan jinah karena
kau adalah isteri dari seorang Jederal Kam Si Ek, apakah kau sekarang masih
tidak mau melepaskan aku?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara
pahit sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.
"Hemm,
kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri
Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku, karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui
Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagi-pagi ini kau berubah? Sejak
kapankah kau ketahui rahasiaku itu?"
"Tadi
para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar
dari para pengemis Khong-sim Kai-pang tentang kau...."
"Uh-uh,
begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal
itu akan mudah kau lempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti
lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti kumbang yang terbang
pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang
laki-laki begitu rendah ahlak?"
Tan Hui
marah. "Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti
akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih
cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam Si Ek, seorang
pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjinah denganmu, ini saja sudah merupakan
perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan
tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu dengan wajah
secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah ini?
Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa
meninggalkan suami dan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk mencuri
ginkang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu. Biar pun aku cinta kepadamu,
namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan
menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh siluman betina
macam engkau!" Tan Hui meloncat jauh ke depan.
Terdengar
pekik kemarahan dan tangan kiri Lu Sian bergerak. Sinar merah menyambar ke arah
Tan Hui disusul bentakannya, "Tan Hui, kau terlalu menghinaku!"
Mendengar
sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat mengelak dan tangannya menyambar.
Ia berhasil menangkap sebatang di antara jarum-jarum yang tadi menyambarnya.
Tan Hui tertegun melihat jarum merah di tangannya itu, kemudian kemarahannya
memuncak. Ia tidak jadi lari pergi, malah kini ia kembali dan memaki-maki,
"Sungguh perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau terluka dahulu itu,
hanyalah akalmu saja untuk merayu aku dan menyeret aku ke dalam jurang
perjinahan, ya? Yang melukai punggungmu adalah jarum-jarum merahmu
sendiri!"
Lu Sian
tersenyum mengejek. "Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala
macam akal untuk memperoleh cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku
sudah kagum dan hal ini menimbulkan rasa cinta. Akan tetapi kiranya kau hanya
seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab, melawan
suara hati dan perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!"
"Dan
aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan lacur... kau..." saking marahnya
Tan Hui tak dapat melanjutkan kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.
Lu Sian juga
sudah mencabut pedangnya dan tanpa berkata-kata lagi, kedua orang muda yang
semalam masih saling peluk cium dengan kasih sayang yang semesra-mesranya, kini
bertanding pedang dengan hebat dan mati-matian karena hati dipenuhi kemarahan
sehingga setiap serangan merupakan tangan maut yang mencari korban.
Julukan Tan
Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali.
Akan tetapi sesungguhnya, yang membuat ilmu pedangnya menjadi lihai itu adalah
karena ia memiliki ilmu ginkang yang hebat. Ilmu meringankan tubuh ini membuat
ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga ilmu pedangnya tentu saja menjadi
amat berbahaya karena cepatnya.
Biar pun
ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu
Sian yang diwarisi dari ayahnya, pada dasarnya kalah tinggi, namun andai kata
Lu Sian belum mempelajari ginkang istimewa itu, agaknya Tan Hui akan dapat
mengimbanginya dengan kecepatan. Namun kini Lu Sian telah memiliki ginkang
Coan-in-hui (Terbang Terjang Awan) yang dipelajari dan dilatih secara tekun
dari Tan Hui. Biar pun dibandingkan dengan Tan Hui ginkang-nya masih kalah
sedikit, tapi ginkang ini membuat ilmu pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan ayahnya
menjadi beberapa kali lipat dahsyatnya.
Lu Sian
adalah seorang wanita yang berwatak keras dan aneh. Memang tidak dapat disangkal
pula bahwa semenjak meninggalkan suaminya, Kam Si Ek, belum pernah ia jatuh
cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia mencinta Tan Hui dan agaknya akan
bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja tidak terjadi perselisihan
di pagi hari itu. Karena ia berwatak keras, begitu Tan Hui memperlihatkan sikap
membenci dan menghina, maka ia pun memaksa perasaannya untuk balas membenci,
dan menganggap Tan Hui seorang musuh yang harus dibasmi.
Pertandingan
berlangsung makin hebat dan seru. Berdentingan pedang mereka saling beradu,
diseling bersiutnya pedang menyambar membelah angin ketika dielakkan lawan.
Setelah berjalan seratus jurus mulailah Tan Hui terdesak. Ilmu pedang yang
dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak mengandung gerakan-gerakan yang curang.
Di samping
kalah tinggi ilmu pedangnya, juga di dalam hatinya, Tan Hui tidaklah sebulat Lu
Sian untuk membunuh lawan. Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan setelah
mendengar bahwa kekasihnya yang benar-benar amat dicintanya itu adalah isteri
orang! Ia menentang Lu Sian terdorong kemarahan karena kecewa inilah, maka
setelah bertanding agak lama, mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang
secara sungguh-sungguh.
Berbeda
dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat. Melihat betapa lawannya mulai
terdesak, ia berseru keras dan berubahlah pedangnya menjadi segulungan sinar
yang amat hebat. Angin menderu-deru keluar dari sinar ini yang tadinya
bergulung-gulung, tapi makin lama makin cepat membentuk lingkaran-lingkaran
secara cepat sekali mengurung tubuh Tan Hui. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang
dimainkan oleh Lu Sian. Ilmu pedang yang dimilikinya, biasanya sudah hebat
sekali apalagi sekarang setelah ginkang-nya maju pesat. Maka cepatlah
gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar dari gerakan senjata itu.
Tan Hui yang
sudah terdesak hebat itu berseru keras saking kagumnya menyaksikan ilmu pedang
yang demikian dahsyatnya. Cepat ia mempertahankan diri, namun kecepatan
pedangnya tidak cukup untuk membendung datangnya lingkaran-lingkaran yang
bergelombang seperti ombak badai ini. Baru saja pedangnya berdenting karena
bertemu dengan pedang Lu Sian, pedang wanita itu sudah menyelinap dengan
kecepatan yang tak dapat disangka-sangka, tahu-tahu sudah memasuki perut
Hui-kiam-eng Tan Hui!
"Cepppp!"
Hanya sedetik
terjadinya hal ini, bahkan Lu Sian sendiri merasa kaget. Cepat-cepat ia
mencabut pedang dan meloncat mundur sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak
dengan mata terbelalak memandang bekas kekasihnya yang kini menjadi musuhnya
itu.
Tan Hui
masih berdiri tegak, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menutup luka di
perutnya sambil menekan keras-keras, namun tetap saja darahnya menetes-netes
melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya pucat, akan tetapi bibirnya
tersenyum pahit.
"Tidak
penasaran Hui-kiam-eng roboh di tangan puteri Beng-kauwcu karena memang
kiam-hoat-mu hebat luar biasa. Akan tetapi sebagai bekas kekasihku, biarlah
kunasehatkan kepadamu, bahwa kalau kau melanjutkan kesukaanmu menggoda dan
menghancurkan hati laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk, kau akan banyak
dimusuhi orang. Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada suamimu sehingga
hidupmu kelak akan terjamin...?"
"Cerewet!
Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku. Kau sudah terluka, aku memberi
kesempatan kepadamu untuk pergi mengingat akan perkenalan kita yang lalu!"
Senyum di
mulut Tan Hui berubah makin pahit. "Seorang pendekar tidak akan lari dari
pada maut. Lukaku memang hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri
tegak, pedangku masih di tangan. Siapa bilang aku kalah? Baru kalah kalau
pedang ini sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat
berdiri. Lihat serangan!" Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat,
sambil menekan perut dengan tangan kiri. Karena gerakannya dalam menyerang ini
mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang ditutupnya dengan
tangan.
Lu Sian
cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi saja selagi masih belum terluka,
Tan Hui tidak mampu menandingi ilmu pedangnya, apalagi sekarang setelah pendekar
itu terluka parah. Tiga kali berturut-turut ujung pedang Lu Sian mengenai dada
dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal roboh bergulingan lalu diam
telentang, tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan kanan masih memegang pedang
dan mulutnya tetap tersenyum! Melihat keadaan bekas kekasihnya ini, Lu Sian
menarik napas panjang menyimpan pedangnya.
"Salahmu
sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari mati..."
Tan Hui
menggigit bibirnya menahan sakit, napasnya terengah-engah, kemudian terdengar
ia lirih berkata, "Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi... tapi
tak mungkin. Aku sudah jatuh... aku terlalu mencintamu. Sian-moi, hanya
pesanku... jangan kau turunkan ginkang kepada orang lain... dan kalau kelak
anakku... mencarimu untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap kau
ampunkan dia...," makin lirih suara Tan Hui, kemudian hanya terdengar
bisik-bisik yang tak dapat dimengerti, dan akhirnya ia diam tak bergerak lagi.
Sejenak Lu
Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan rasa haru yang hendak mencekam
hatinya. Ia seorang yang berwatak keras, tak mau ia dipengaruhi rasa kasihan.
Kemudian ia berlutut di dekat mayat Tan Hui. Setelah mati wajah Tan Hui tampak
tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian akan malam-malam bahagia bersama
pendekar ini. Ia membungkuk dan mencium muka Tan Hui sambil berbisik lirih,
"Akan kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"
"Celaka
ia membunuh Tan-taihiap!" terdengar suara berdesing dicabutnya golok dan
pedang.
Perlahan Lu
Sian bangkit berdiri, ujung matanya menyapu sembilan orang piauwsu yang sudah
mengurungnya. Sinar matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah tersenyum
mengejek dan ujung hidungnya agak berkembang kempis. Alamat celakalah mereka
yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah seperti itu, karena itu adalah
tanda-tanda dari pada kemarahan yang meluap-luap. Tadi Tan Hui dapat
mengenalnya dari keterangan para piauwsu, sehingga secara tidak langsung para
piauwsu inilah yang merusak kebahagiaannya dengan Tan Hui!
"Kalian
piauwsu-piauwsu jahanam inikah yang menceritakan kepada Tan Hui siapa adanya
aku?" suaranya terdengar satu-satu perlahan dan jelas, diucapkan dengan
mulut setengah tersenyum.
Seorang
piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki. "Kau siluman betina! Kau
puteri Beng-kauwcu dan sudah menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau
membunuh Tan-taihiap... ah, perempuan keji, kau...!"
"Syiuuutt,
cring... crokkk!"
Piauwsu muda
itu sia-sia menangkis ketika sinar berkilauan menyambar ke arahnya. Goloknya
yang menangkis patah menjadi dua disusul lehernya yang terbacok sampai putus
sama sekali dan kepalanya terpental jauh. Tubuhnya yang tak berkepala lagi
roboh dan menyemprotkan darah seperti air mancur!
Ributlah
delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka itu menerjang dari segala
penjuru. Namun Lu Sian sudah siap sedia, dan dia sudah tak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam di tangannya berkelebat laksana naga
mengamuk. Kini ginkang-nya sudah maju pesat sekali sehingga gerakannya sukar
diikuti pandangan mata para piauwsu itu. Sungguh pun delapan orang itu
menerjang berbareng, namun mereka masih kalah cepat oleh Lu Sian yang
seakan-akan dapat melejit dan menyelinap di antara sinar golok dan pedang para
pengeroyok, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang Toa-hong-kiam
di tangannya merobohkan mereka seorang demi seorang!
Hanya
terdengar bunyi senjata berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar
bersiutan, kemudian yang terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang
pengeroyok, disusul orang ke dua ke tiga dan seterusnya dengan tangan buntung,
perut robek, atau muka terbelah dua. Darah muncrat-muncrat dan tubuh
bergelimpangan. Tidak sampai seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu
telah roboh mandi darah di sekeliling mayat Tan Hui! Ada di antara mereka yang
tidak tewas, akan tetapi mereka ini tentu akan menjadi orang cacat karena
sebelah tangannya atau sebelah kakinya buntung!
Sambil
tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya, menyarungkannya kembali,
lalu pergi dari situ tanpa menengok lagi. Hanya beberapa loncatan saja dan ia
sudah lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi, barulah penduduk dusun itu
geger, berlarian keluar dari rumah dengan muka pucat. Di halaman pondok yang
tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari
orang-orang dusun melihat mereka berkasih-kasihan, kini penuh dengan tubuh
bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan kesemuanya
mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada
pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka
sedapatnya.
Semenjak
peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang
selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan
hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi mereka yang ia anggap
musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu
akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan
menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan
berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati
tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga
sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!
Seorang anak
kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak
pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal
yang amat sengsara. Sembilan dari pada sepuluh orang anak kecil tentu akan
menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia
sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada
siapa.
Akan tetapi,
biar pun baru berusia sembilan tahun, namun Bu Song bukan anak sembarangan.
Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia
dijejali kitab-kitab. Pada masa itu, yang disebut kitab pelajaran hanyalah
kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat,
segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah
mempunyai pandangan yang luas, sudah dapat mempergunakan kebijakan dan dapat
menangkap suara batin.
Ia adalah
putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin
dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja.
Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka hatinya keras, kemauannya besar
dan kenekatannya bulat. Sekali ia mengambil keputusan, akan diterjangnya terus
tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam
perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan
oleh ancaman maut sekali pun.
Kemudian
kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat
saja mencari jalan hidup. Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama
sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia
tidak malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun, sekedar
minta upah sebagai pengisi perutnya. Memotong kayu, menjaga sawah, menggembala
kerbau, menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja
akan dikerjakannya. Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun
tak pernah tinggal terlalu lama di sebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya
untuk menyambung hidupnya.
Biar pun
ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu
Song yang berusia sembilan tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia
pun tidak ingin belajar silat, karena sejak kecil, kitab-kitab filsafat dan
nasehat-nasehat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli
silat. Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian
nasehat ayahnya. Menjadi tentara, menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau
menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan musuh, untuk
membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat
mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera,
membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan
dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian
silatnya.
Inilah
sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai
bersajak, pandai pula menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan
wataknyalah maka ia ‘memaksa diri’ untuk membenci ilmu silat, padahal wataknya
yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu menunjukkan
bahwa ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi seorang
sastrawan!
Karena
semenjak kecil ia memang hidup sebagai putera seorang pembesar yang serba
cukup, maka biar pun sekarang telah menjadi seorang ‘gelandangan’, namun Bu
Song selalu dapat menjaga dirinya agar tetap bersih dan sehat. Biar pun
pakaiannya kemudian habis dijualnya untuk makan sehingga yang dimilikinya hanya
yang menempel pada tubuhnya, namun ia merawat pakaian itu dengan hati-hati,
mencucinya setiap kali pakaian itu kotor. Oleh karena inilah, Bu Song selalu
tampak sehat dan bersih, tidak seperti seorang anak jembel.
Pada suatu
hari dalam perantauannya tanpa arah, tibalah Bu Song di lembah Sungai Huai yang
subur daerahnya. Ia meninggalkan kabupaten Jwee-bun di mana ia tinggal selama
sebulan dan bekerja membantu seorang pemilik rumah makan. Kini dengan bekal
sisa uang gajinya, Bu Song berangkat pagi-pagi meninggalkan Jwee-bun, terus ke
timur melalui hutan-hutan kecil sepanjang lembah sungai.
Matahari
sudah naik tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun pohon di atas kepalanya.
Angin semilir berdendang dengan daun bunga, mengiringi nyanyian burung-burung
hutan. Di sana-sini binatang kelinci dengan telinganya yang panjang-panjang
berlompatan saling kejar dan bermain ‘sembunyi-cari’ dengan teman-temannya di
antara rumpun. Demikian indah pemandangan, demikian merdu pendengaran, demikian
nyaman perasaan pada pagi yang cerah itu sehingga Bu Song lupa akan segala
kesukaran yang pernah ia alami mau pun yang akan ia hadapi. Anak ini berdiri
diam tak bergerak agar jangan mengagetkan kelinci-kelinci itu, menonton mereka
bermain-main dengan hati geli.
"Ha-ha-ha-ha!
Akulah raja di antara segala raja! Dikawal monyet-monyet berkuda!
Ha-ha-ha!"
Bu Song
tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara ketawa yang disambung kata-kata
yang dinyanyikan itu. Suara itu datangnya dari belakang, masih jauh sekali.
Heran sekali ia, mengapa di dalam hutan sesunyi ini ada seorang bernyanyi
seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi makin heran ketika mendengar
suaran kaki kuda, kemudian melihat munculnya lima ekor kuda besar-besar
ditunggangi lima orang yang wajahnya kelihatan bengis-bengis.
Kuda
terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam
menyeret seorang laki-laki yang pakaiannya compang-camping penuh tambalan.
Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi tadi, karena memang keadaannya
seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup besar dan
kuat, dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh si penunggang kuda. Si gila ini
tangan kanannya memegang sebuah paha panggang yang besar, mungkin paha angsa
atau kalkun, yang digerogotinya. Biar pun kedua lengannya terikat, ia kelihatan
enak-enak saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama sekali
tidak kelihatan takut.
“Terang dia
gila,” pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima orang itu. Mereka kelihatan galak
dan membawa senjata tajam. Rasa iba menyesak di dadanya. Orang itu jelas gila,
berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa seperti itu?
Tentu saja
Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila itu adalah seorang sakti yang
telah menggemparkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang hebat dalam
menentang kejahatan, disertai tindakannya yang selalu edan-edanan seperti orang
tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh jadi lima orang itu juga seperti
Bu Song, tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka tangkap itu adalah Kim-mo
Taisu, pendekar sastrawan gila yang dahulu adalah seorang sastrawan tampan dan
gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk Kim-mo eng!
Terdorong
oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri orang gila itu.
"He,
bocah! Mau apa kau?!" seorang di antara para penunggang kuda itu
membentak, tangannya bergerak dan cambuk di tangannya itu mengeluarkan bunyi
bergeletar seperti mercon.
"Aku
hanya ingin bicara dengan paman ini, apa salahnya?" Bu Song menjawab dan
ia nekat mendekati terus biar pun ia diancam dengan cambuk yang panjang dan
dapat berbunyi menakutkan itu.
Laki-laki
gila itu dengan enaknya menggigit sepotong daging dari paha panggang yang
dipegangnya, melirik ke kanan memandang Bu Song, lalu tertawa dan berkata.
"Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit dan makan
sepotong!" Sedapatnya ia mengeluarkan tangannya yang terikat untuk
memberikan paha panggang itu kepada Bu Song.
"Tidak,
Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah sendiri." Bu Song terpaksa harus maju
setengah berlari untuk mengimbangi orang gila yang terseret di belakang kuda
itu. Orang gila itu terpaksa pula melangkah lebar dan terhuyung-huyung.
"Paman,
kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan kau hendak dibawa ke mana?"
"Bocah
gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!"
Cambuk di
tangan penunggang kuda yang paling belakang melecut ke arah Bu Song dan orang
gila itu. Cambuk itu panjang dan tangan yang memegangnya biar pun kurus namun
bertenaga sehingga lecutan itu keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan
leher orang gila. Akan tetapi anehnya, Bu Song sama sekali tidak merasa sakit
karena ujung cambuk itu ketika mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan
tertangkis tenaga yang tak tampak.
"Heh-heh-heh,
bocah sinting, kenapa kau bertanya-tanya?" si Gila itu berkata kepada Bu
Song sambil tertawa menggerogoti paha panggang pula.
"Aku
kasihan kepadamu, Paman. Biarlah kumintakan ampun untukmu..."
"Hush,
jangan goblok! Aku memang berdosa, aku mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan
untuk itu aku harus menerima hukuman. Biarlah aku diseret dan hukum seret ini
baru habis kalau paha ini pun habis kumakan."
"Kau
masih tidak mau pergi?!" Kembali si penunggang kuda mencambuk, kini ujung
cambuk mengenai pipi Bu Song, terasa sakit dan panas. Namun Bu Song memang
keras hati, ia tidak mundur, dan terus berlari di sebelah si Gila.
Kini orang
gila itu memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah
jalur merah di pipi yang tercambuk. "Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan! Kau mau
tahu? Mereka ini adalah lima ekor monyet yang hendak menangkap anjing, akan
tetapi sayang kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah, pergilah
kau, sampai jumpa pula!"
Tentu saja
Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud kata-kata si Gila itu, hanya ia
dapat menduga bahwa si Gila ini tentu memaki para penawannya yang disebut
sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya, si Gila ini malah mengumpamakan
diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata bersajak mengandung sindiran yang
memaki orang!
"Cerewet,
masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau bosan hidup?"
Kembali
cambuk itu melecut hingga mengenai kaki Bu Song. Sekali cambuk itu digerakkan,
Bu Song terlempar bergulingan ke pinggir jalan. Kulitnya lecet-lecet, akan
tetapi Bu Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat ia bangun berdiri dan
sempat melihat betapa orang gila itu kini terseret-seret karena lima ekor kuda itu
dilarikan cepat-cepat. Biar pun terseret-seret jatuh bangun dan
terhuyung-huyung, namun si Gila itu masih tertawa-tawa dan bernyanyi dengan
suara riang dan nyaring. Bu Song berdiri bengong, penuh iba dan juga penuh
kagum kepada orang gila itu.
Biar pun
kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja sebetulnya hal itu disengaja oleh
Kim-mo Taisu Kwee Seng! Pagi hari itu, baru saja ia bangun dari tidur nyenyak
di sebelah kuil bobrok di luar kota kabupaten Jwee-bun ketika lima orang
penunggang kuda itu serentak menyergapnya. Karena tidak tahu apa urusannya,
Kwee Seng tidak melawan dan memang pada saat itu, gilanya sedang kumat.
Malam tadi
ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya dari rumah makan terbesar di kota
itu, minum-minum sampai mabok dan kalau sudah begini, tentu ia teringat akan
semua pederitaannya sehingga membuat ia tertawa-tawa dan menangis seorang diri.
Ketika lima orang itu menyergapnya dan mengikat kedua lengannya dengan tali
yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat untuk membelenggu lawan, ia hanya
tertawa-tawa dan memutar-mutar biji matanya.
Setelah
membelenggu kedua tangannya, orang tinggi besar muka hitam yang memimpin
rombongan lima orang itu lalu bertolak pinggang dan berkata, "Kami adalah
murid-murid tertua dari perkumpulan Sian-kauw-bu-koan (Perkumpulan Silat Monyet
Sakti). Kami mentaati perintah Suhu menyelidiki dan mengejar penjahat yang tiga
malam yang lalu telah mengganggu rumah Suhu. Kau lah agaknya orangnya, karena
kaulah orang baru yang kami temui dan jelas bahwa kau pandai ilmu silat, hanya
berpura-pura gila. Kami takkan membunuhmu sebelum kau dihadapkan kepada
Suhu."
Demikianlah,
Kwee Seng digusur keluar, lalu mereka menunggang kuda dan menarik Kwee Seng
yang dibelenggu itu keluar dari Jwee-bun. Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari
dan bernyanyi-nyanyi. "Akulah raja-diraja! Pengawal-pengawalku
monyet-monyet berkuda!"
Ia
menari-nari di pinggir-pinggir jalan. Ketika mereka lewat di depan rumah makan,
kaki Kwee Seng menendang meja. Anehnya, meja itu tidak roboh, hanya paha panggang
yang berada di tempatnya telah berloncatan. Kwee Seng tertawa dan menyambar
sebuah paha panggang yang meloncat di dekatnya, terus saja digerogotinya paha
panggang yang masih panas itu sambil mulutnya mengoceh, "Enak... enak,
gurih sedap...!"
Pemilik warung
marah-marah, bersama beberapa orang pembantunya memungut paha panggang yang
berjatuhan di tanah, kemudian mereka hendak memukuli orang gila itu.
Akan tetapi
Si Muka Hitam membentak. "Jangan sembarangan pukul tawanan kami! Nih,
kerugianmu kuganti!" ia melemparkan sepotong uang perak yang diterima oleh
pemilik warung dengan girang.
Arak-arakan
itu kemudian menjadi tontonan. Anak-anak menggoda Kwee Seng, orang-orang tua
mempercakapkan kejadian aneh itu. Menyaksikan tingkah Kwee Seng yang mencuri
paha panggang, dan melihat betapa kepala rombongan orang berkuda itu dengan
baik membayar kerugian si tukang warung, otomatis semua orang berpihak kepada
para penunggang kuda dan menduga bahwa orang gila itu tentulah telah melakukan
perbuatan jahat.
Kwee Seng terus
diseret berlari-lari di belakang kuda sambil tetap menggerogoti daging paha.
Setelah dagingnya habis semua tinggal tulang yang juga ia gigit pecah ujungnya
untuk dihisap sumsumnya, mendadak Kwee Seng berhenti dan berkata, "Sudah
cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun habis!"
Kuda di
depannya lari terus, akan tetapi penunggangnya, si Muka Hitam yang memegangi
ujung tali belenggu tersentak ke belakang dan jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget
sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh
berdiri di atas tanah sambil membelalakkan matanya. Empat orang kawannya juga
cepat melompat turun dan mencabut senjata masing-masing, sikap mereka
mengancam, akan tetapi juga agak jeri.
Kwee Seng
menggerakkan kedua tangannya dan....
"Bret,
brett!" tali yang mengikat pergelangan kedua tangannya putus dengan mudah.
Kembali lima
orang itu terkejut. Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut goloknya, siap
menghadapi tawanan yang memberontak ini.
Kwee Seng
tertawa bergelak, menoleh ke kanan kiri memandang lima orang yang mengurungnya.
"Heh-heh, habis makan tidak minum, sungguh tak enak sekali. Eh,
sahabat-sahabat seperjalanan, siapa di antara kalian yang mempunyai arak? Aku
ingin sekali minum!"
Empat orang
itu sudah gatal-gatal tangannya hendak menerjang, akan tetapi si Muka Hitam
menggeleng kepala, menghampiri kudanya yang sudah dipegang oleh seorang
temannya, mengeluarkan sebuah guci arak dan melemparkannya kepada Kwee Seng.
Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak lalu menuangkan isinya ke mulut,
meneguk arak dengan lahap sekali tak kunjung henti sampai akhirnya guci itu
kosong!
"Heh-heh,
arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan dahaga!" katanya sambil mengusap
mulut dengan lengan baju. "Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri
paha panggang, maka aku suka kalian hukum diseret-seret. Akan tetapi sekarang
barang curian itu sudah habis, maka sampai di sini pula hukumanku."
"Tidak
perlu segala pura-pura ini!" si Muka Hitam membentak. "Seorang gagah
tidak akan menyangkal perbuatannya. Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura
gila, apakah tidak malu kalau bersikap pengecut? Kaulah satu-satunya orang yang
mungkin melakukan pengacauan di rumah Suhu, oleh karena itu kami harap supaya
kau ikut baik-baik menghadap Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras
menolak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan pula!"
"Siapa
guru kalian itu?" Kwee Seng bertanya tak acuh.
"Suhu
adalah guru silat yang mendirikan Silat Monyet Sakti, namanya terkenal sebagai
seorang yang menghargai persahabatan dan tidak pernah mengganggu golongan
lain."
"Aha!
Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti) Liong Keng Lo-enghiong di kota
Sin-yang."
Lima orang
itu cepat saling pandang dan wajah mereka berubah girang. "Hemm, kau sudah
mengenal Suhu, sudah mengacau rumahnya tiga hari yang lalu, masih berpura-pura
lagi!" tegur si Muka Hitam.
"Ha-ha-ha!
Liong-lo-enghiong memang patut menjadi monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini
benar-benar monyet buntung yang lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian
hendak menangkap anjing, akan tetapi keliru menangkap hariamau, bukankah itu
amat lucu? Sudahlah, aku hendak pergi!"
Setelah
berkata demikian, Kwee Seng melempar guci arak yang sudah kosong ke atas tanah,
kemudian tanpa menoleh lagi ia berjalan melewati mereka dengan lenggang
seenaknya dan bernyanyi-nyanyi!
Kalau To
menyuram, dianjurkan prikebajikan!
Prikebajikan
muncul, tampak pula kemunafikan!
Kalau rumah
tangga hancur berantakan, dianjurkan kerukunan!
Setelah
negara kacau, baru timbul pahlawan!
Hayaaaaa......!
Hayaaaa...! Hayaaaaa......!!!
Nyanyian itu
adalah ayat-ayat dalam kitab To-tek-kheng pelajaran Nabi Lo Cu. Kwee Seng amat
tertarik oleh pelajaran Agama To-kauw ini setelah selama tiga tahun ia berada
di Neraka Bumi. Di sana terkumpul banyak kitab-kitab kuno tentang To-kauw milik
nenek penghuni Neraka Bumi, dan banyak pula kitab-kitab ini dibacanya. Agaknya
pengaruh pelajaran To ini pulalah yang membuat Kwee Seng kini menjadi tak acuh
akan keduniawian, bersikap bebas lepas seperti orang tidak normal!
Ada pun
ketika melihat si Gila seperti hendak melarikan diri, lima orang itu cepat lari
mengejar dan mengurungnya dengan senjata di tangan, sikap mengancam dan siap
menerjang. Si Muka Hitam yang tinggi besar berdiri menghadapi Kwee Seng sambil
membentak. "Kau tidak boleh pergi sebelum ikut kami menghadap Suhu!"
"Ha-ha-ha,
aku akan menghadap Suhu-mu sekarang juga!" Kwee Seng berkata sambil
berjalan terus tanpa mempedulikan mereka.
Tentu saja
lima orang itu tidak sudi percaya dan menyangka Kwee Seng mempergunakan siasat
untuk dapat melarikan diri. Si Muka Hitam memberi tanda dan menyerbulah mereka
semua dengan golok dan pedang mereka. Senjata-senjata itu mereka tujukan pada
tempat-tempat yang tidak berbahaya, bahkan ada yang hanya dipakai mengancam
karena mereka tidak berniat membunuh si Gila ini yang perlu dihadapkan kepada
guru mereka untuk diperiksa.
"Siuuuttt...
werr-werr-werrr!"
Lima orang
itu menjadi silau matanya melihat sinar menyilaukan mata disambung tubuh mereka
terpental ke belakang. Entah apa yang terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar
dan jatuh duduk terjengkang, sedangkan senjata mereka lenyap entah ke mana
bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila yang mereka serang tadi! Mereka
saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka adalah murid-murid pilihan dari
Sin-kauw-jiu Liong Keng, jagoan Sin-yang! Bagaimana mereka dapat dengan mudah
saja, dalam segebrakan dirobohkan seorang lawan tanpa mereka ketahui bagaimana
caranya?
"Eh,
Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua)... lihat...!" seorang di antara
mereka berkata sambil menudingkan telunjuknya ke belakang.
Si Muka
Hitam dan adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang mereka
yang lenyap tadi telah menancap di atas tanah, di sekeliling guci arak yang
kosong! Entah bagaimana bisa menancap di situ, dan kapan terjadinya, mereka
sama sekali tidak dapat menerka. Mereka bangkit dengan penuh keheranan,
kekaguman, juga kekhawatiran karena perguruan mereka menghadapi seorang musuh
yang sedemikian saktinya. Setelah membersihkan pakaian, mereka lalu mengambil
senjata dan meloncat ke atas kuda yang mereka kaburkan cepat-cepat ke Sin-yang
untuk memberi laporan kepada guru mereka.
Dengan cepat
lima orang itu membalapkan kuda karena mereka amat khawatir akan keselamatan
perguruan mereka. Guru mereka harus diberi peringatan akan datangnya
mala-petaka dari tangan si Jembel yang sakti itu. Lima ekor kuda mereka sampai
mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki Sin-yang dan cepat-cepat mereka
melompat turun di depan rumah besar yang pintu depannya terdapat tulisan
‘Sin-kauw-bu-koan’ (Perguruan Silat Monyet Sakti). Mereka berlima lalu lari
masuk tanpa mempedulikan pertanyaan para murid lain yang berada di depan
gedung.
"Mana
Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap Suhu!" demikianlah ucapan mereka
sambil berlari terus menuju ke ruangan dalam.
Akan tetapi
begitu mereka membuka pintu ruangan tamu, lima orang murid ini berdiri seperti
patung, membelalakkan mata karena hampir tidak percaya kepada pandang mata dan
pendengaran telinga sendiri. Suhu mereka, seorang tua berusia enam puluh tahun
yang jenggotnya sudah putih semua, duduk di ruangan tamu menjamu seorang tamu
yang tertawa-tawa bergelak sambil minum arak, menimbulkan suasana gembira.
Sedangkan suhu mereka juga tertawa-tawa. Tamu itu berpakaian compang-camping
dan bukan lain adalah.... Jembel Gila yang mereka keroyok tadi!
Orang gila
itu kini menoleh ke arah mereka sambil mengangkat cawan arak dan berkata sambil
tertawa. "Ha-ha, percayakah kalian sekarang bahwa aku akan menghadap
Liong-lo-enghing (Orang Tua Gagah she Liong)?"
Lima orang
murid itu masih bingung dan khawatir. Orang gila itu memang sikapnya
edan-edanan, jangan-jangan suhu mereka kena ditipu pula. Suhu mereka memang
selalu ramah kepada siapa pun juga, siapa tahu bahwa si Gila inilah mungkin
orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.
"Suhu...
eh, dia ini...," si Muka Hitam berkata akan tetapi segera menghentikan
kata-katanya ketika melihat sepasang mata suhunya memandang marah kepadanya.
"Hemm,
apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap tamu agung? Hayo lekas memberi
hormat kepada yang terhormat Kim-mo Taisu!"
Lima orang
itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram air es! Tentu saja mereka sudah
mendengar suhu mereka bicara dengan kagum tentang seorang pendekar aneh yang
menggemparkan dunia persilatan, yaitu seorang pendekar muda yang amat sakti dan
jarang dapat ditemui orang namun perbuatan-perbuatannya membuat namanya
menjulang tinggi di antara para pendekar lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa
kira nama besar ini dimiliki oleh seorang jembel muda! Patutnya nama julukan
Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua yang berwibawa. Kalau saja bukan suhu
mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun mereka takkan dapat percaya.
Meremang bulu tengkuk mereka saat mengingat bahwa mereka telah menawan dan
menyeret-nyeret Kim-mo Taisu.
Serempak
lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee Seng sambil
berkata, "Mohon Taisu sudi mengampuni kekurang-ajaran kami berlima!"
Sin-kauw
Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan bercuriga ketika melihat
murid-murid kepala ini memberi penghormatan seperti itu kepada tamu-tamunya,
maka cepat ia bertanya dengan suara kereng. "Hemm, apakah yang telah
kalian perbuat terhadap dia?"
Si Muka
Hitam segera menjawab, suaranya penuh penyesalan, "Suhu, teecu berlima
dalam menyelidiki penjahat telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap
Taisu, mohon Suhu dapat mengampunkan teecu."
"Hah...??
Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka! Gila betul murid-muridku. Harap
Taisu suka memaafkan aku orang tua yang mempunyai murid-murid tolol,"
Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee Seng.
Kwee Seng
tertawa dan balas menjura. "Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh bila
terjadi kesalah-pahaman. Kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat
mengetahui bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"
Liong Keng
duduk kembali, mengelus jenggotnya dan wajahnya kelihatan murung. Ia menarik
napas panjang lalu memberi perintah kepada lima orang muridnya untuk bangun.
Dengan taat mereka bangkit dan mengambil tempat duduk di belakang suhu mereka.
Kini pandang mata mereka terhadap Kim-mo Taisu berobah sama sekali, penuh
keseganan dan kekaguman.
"Memang
murid-muridku goblok, akan tetapi dapat dimengerti juga kesalah-dugaan mereka
karena musuh yang datang pun seorang muda yang suka memakai pakaian jembel
seperti Taisu. Dan dia lihai bukan main... hemm, ataukah agaknya aku yang sudah
terlalu tua dan tiada guna...?" kembali guru silat tua itu menarik napas
panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba ia
bangkit berdiri, gerakannya cepat sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil
berkata. "Kim-mo Taisu, aku sudah tahu sampai di mana hebatnya
kepandaianmu ketika kau membantuku setahun yang lalu di Hutan Ayam Putih
membasmi perampok. Coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku sudah amat
merosot?"
Setelah berkata
demikian, guru silat tua itu tiba-tiba menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk
di atas bangkunya. Guru silat tua itu memukul dengan tangan kanannya, pukulan
yang antep dan ampuh, namun Kwee Seng hanya duduk tersenyum. Ketika pukulan
sudah tiba pada sasarannya, terdengar suara keras dan bangku yang diduduki Kwee
Seng tadi hancur berkeping-keping, akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah
tidak berada di situ! Kejadian ini berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee
Seng juga amat luar biasa sehingga guru silat dan lima orang muridnya melongo,
lalu celingukan mencari-cari dengan mata mereka.
"Ha-ha,
pukulan tanganmu masih ampuh sekali, Lo-enghiong!" tiba-tiba terdengar
suaranya.
Ketika semua
orang memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng itu telah berada di sudut
ruangan, punggungnya menempel pada sudut dinding bagian atas, seperti orang
enak-enak duduk saja! Ternyata pendekar sakti itu sekaligus telah membuktikan
kehebatan ginkang-nya ketika ia ‘menghilang’ dan juga kekuatan lweekang-nya
dengan cara menempelkan punggung pada dinding!
"Hemm,
kau anggap pukulan tanganku masih cukup ampuh? Sekarang harap kau suka melihat
ilmu toyaku, bagaimana?"
Cepat sekali
guru silat itu tahu-tahu sudah menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat
atau pentung terbuat dari pada sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah
senjata yang berat dan keras bukan main. Toya itu kemudian diputar-putarnya
sampai mengeluarkan angin berciutan, toyanya sendiri hilang bentuknya karena
yang tampak hanya gulungan sinar kuning yang makin lama makin berkembang lebar.
Terdengar suara keras berkali-kali dan di lain saat si Guru Silat sudah
meloncat turun, toyanya melintang di depan dada, dan ia bengong memandang ke
atas di mana tadi Kim-mo Taisu berada.
Pendekar
sakti itu sudah tidak berada di atas. Malah dinding itu memperlihatkan akibat
serangan yang hebat tadi, yaitu berlubang-lubang pada tujuh tempat, tepat di
bagian tubuh yang berbahaya.
"Wah,
ilmu toyamu masih amat luar biasa Lo-enghiong!" tiba-tiba Kim-mo Taisu
berkata dan kiranya pendekar ini tadi melompat ke sudut lain dari ruangan itu
dengan gerakan demikian cepatnya sehingga tak tampak oleh mereka yang berada di
ruangan itu.
Kini ia
menghampiri si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa, "Kau yang
begini tua masih sehebat ini, benar-benar harus diberi ucapan selamat dengan
seguci arak wangi."
Liong Keng
tersenyum dan melempar toyanya ke arah muridnya yang cepat menerimanya dan
menyimpannya. "Ha-ha-ha, pujianmu kosong, dan orang setua aku ini sudah
tidak butuhkan itu lagi. Taisu, kalau kau menganggap bahwa ilmuku masih belum
berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei, ambil lagi guci
besar arak wangi untuk Taisu!"
Biar pun
tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee Seng minum arak yang baru
dibuka dari guci, namun kerut-kerut di dahinya timbul lagi dan ia menarik napas
panjang berkali-kali.
"Lo-enghiong,
mengapa kau simpan-simpan penasaran di hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan
siapa itu orang muda berpakaian jembel yang lihai sekali?"
Liong Keng
kembali menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin orang
mati penasaran! Aku Liong Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru silat
tak pernah mencari permusuhan dengan siapa pun juga, kecuali dengan orang-orang
jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa tahu,
sekali ini namaku hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak
terkenal)!"
Dengan suara
penuh penasaran ia lalu bercerita akan peristiwa yang menimpa padanya beberapa
hari yang lalu......
Liong Keng
seorang guru silat yang terkenal. Walau pun merupakan guru bayaran, namun dalam
menerima murid ia tidak asal menerima orang yang mampu membayar saja. Ia
memilih calon murid yang berbakat dan yang berkelakuan baik-baik, bahkan banyak
di antara muridnya yang karena miskin tidak perlu membayarnya. Ada seorang
murid perempuan, anak seorang janda miskin yang amat dikasihinya sehingga
ketika janda itu meninggal dunia, murid perempuan yang bernama Bi Loan itu ia
pungut sebagai puterinya, karena guru silat itu sendiri memang tidak mempunyai
keturunan.
Bi Loan
menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti. Wajahnya cukup cantik
sehingga guru silat itu tentu saja mengharapkan mantu yang pantas. Sebagai
seorang gadis yang pandai silat, puteri Sin-kauw-jiu Liong Keng, Bi Loan
bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam kamarnya. Ia sudah biasa
keluar pintu, bahkan biasa pula menggunakan kepandaiannya untuk membela si
lemah yang tertindas. Tidak ada orang yang berani mencoba-coba mengganggunya.
Selain gadis itu sendiri pandai silat, juga orang merasa sungkan bermusuhan
dengan Sin-kauw-jiu Liong Keng dan murid-muridnya yang banyak jumlahnya.
"Akan
tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya.
"Bi Loan memasuki sebuah tempat judi karena tertarik. Di tempat itu tentu
saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan mendengar ucapan kurang
ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu
dihajar kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang-langgang.
Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena
ia berpakaian jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan
kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela
para penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu
melarikan diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar
saja mereka lenyap dari tempat itu...," sampai di sini guru silat itu
berhenti bercerita dan menarik napas panjang.
"Lalu
bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
"Tak
seorang pun yang tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari
semalam Bi Loan tidak pulang. Aku menjadi khawatir dan pada keesokan harinya
aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan di dalam sebuah kuil kosong
di hutan sebelah barat kota...."
Melihat
wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis
itu?"
"Dia
tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali.
Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah
menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong
(Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
“Demikianlah
pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah
dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar.
Dan setibanya di rumah, ia hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali
menyatakan hendak ikut Kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan
hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan
membawa pergi Bi Loan!"
"Apa? Bagaimana
terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya
sudah lumayan. Kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu
mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian
jembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh
aku harus merasa malu. Sudah menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, tapi aku
sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia.
Aku harus tutup perguruanku!"
"Suhu...!"
lima orang murid kepala berseru.
"Ahh,
perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?" guru silat
itu menghela napas. "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik
tenagaku mau pun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar
seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku
sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku,
memondongnya ke luar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku
berkata ‘Selamat tinggal, Ayah’ dan melihat berkelebatnya bayangan itu di atas.
Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku
pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh...
toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian menghilang di dalam
gelap...!"
Makin kagum
hati Kwee Seng. Selama ini baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda
yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain
yang menyebut diri raja pengemis yang demikian lihai!
"Nah,
selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan
penyelidikan, akan tetapi bukannya mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang
menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar kepadamu. Betapa pun juga,
hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena kalau tidak kau sahabat muda, siapa
lagi yang dapat mencuci bersih namaku ini?" suara guru silat itu terdengar
sedih sekali, penuh permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan
telah banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.
"Baiklah,
Lo-enghiong," Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi
ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan
dapat menemukannya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu
telah memilih si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu
kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara...," perih hati Kwee Seng
berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang
berkali-kali menjadi korban asmara jahil!
Liong Keng
menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri,
bagaimana aku bisa mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang
demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai
keturunan."
Setelah
menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee
Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat
menarik hatinya... si Raja Pengemis!
Dua orang
penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu
memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala
botak bertanya serius, "Dari mana mau ke mana?"
Pertanyaan
singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia
tertawa dan menjawab seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"
Sejenak
kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka
tertawa bergelak. Orang ke dua yang hidungnya bengkok ke atas kemudian
menghardik. "Jembel kapiran! Hayo lekas pergi, di sini bukan tempat kau
mengemis!"
"Tempat
apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting.
"Di
sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin
kupukul mampus?" bentak si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar
kepala Kwee Seng itu di depan hidung si Pendekar Sakti.
"Waduh,
tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya.
Kwee Seng
lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada papan nama di depan pintu,
mengerutkan keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu
otomatis menarik kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya tangannya itu
memang bau karena hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat.
Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum
ia sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran
karena pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras, "Ban Hwa
Po Koan” (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah, kebetulan sekali, aku paling gemar
berjudi!"
Sekaligus
kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel
pandai membaca huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula?
"Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta, bagaimana kau bisa
berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek si Botak dan kedua orang
penjaga pintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut.
Mendadak
suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan
Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak
yang berkilauan! "Apakah modal sekian ini kurang cukup?"
Dua orang
itu menelan ludah, menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya tidak kurang dari
seratus tail perak. Kemudian mereka mengangguk-angguk. "Cukup... cukup...
silakan masuk...!"
Kwee Seng
menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk, diawasi dua
orang penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak mempedulikan
mereka, terus saja melangkah masuk ke dalam ruangan yang cukup luas, di mana
terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja judi. Ngeri hati Kwee
Seng ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah manusia
lagi, melainkan seperti sekelompok binatang kelaparan. Muka penuh peluh,
berkilauan basah, mata melotot dan seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh
kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang kelihatan putus asa,
penasaran, dendam, dan iri.
“Tempat
setan dan iblis berpesta-pora,” pikir Kwee Seng. Hawa udara terasa panas di
dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam. Luar panas karena kurang
hawa, dalam panas karena pengaruh uang.
Kwee Seng
menghampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja adalah
meja permainan dadu. Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi di sini
agaknya tempat istimewa di mana taruhannya amat besar. Uang perak
bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas.
Yang mainkan
dadu adalah seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu terpejam.
Orang itu usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung sampai ke
siku. Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar biji-biji dadu di
dalam mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas meja
dengan biji-biji dadu di bawah mangkok.
Mulailah
orang-orang memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika
pemasangan selesai, dengan gerakan tangan cepat sekali pemain itu membuka
mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di atas meja dengan permukaan
memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka
yang keluar.
Bagi yang
pasangannya kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah
berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Bagi yang kalah, dan sebagian besar
memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu betapa tumpukan uang
taruhan mereka digaruk oleh si Bandar yang tertawa-tawa lebar. Agaknya yang
nasibnya mujur adalah selalu si Bandar, buktinya yang mendapat atau yang
pasangannya terkena selalu hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang
taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!
Kedatangan
Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas
meja. Setelah melihat tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang
bertaruh, Kwee Seng mendesak maju. Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan
pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan keras. Jelas tampak
bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang.
Yang merasa pasangannya hanya kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga
akhirnya Kwee Seng dapat duduk berhadapan dengan si Bandar Judi. Pundi-pundi
itu belum dibuka, maka si Bandar yang kurus itu memandang tajam dengan mata
sipitnya.
"Pasangan
dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?" tanya si Bandar dan diam-diam
ia merasa heran mengapa penjaga pintu memperkenankan seorang jembel masuk
ruangan itu.
"Heh-heh-heh,
kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!" Kwee Seng membuka
pundi-pundinya dan terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi
pundi-pundi oleh mereka. "Tapi aku tidak sudi berjudi kecil-kecilan. Aku
ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap,
dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"
Kembali
orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa
Po-koan adalah rumah judi besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah
ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini tersenyum-senyum
memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus.
"Mengapa
tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan kau pertaruhkan?"
"Isi
pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"
Ramai sekali
terdengar seruan kaget ketika para penjudi mendengar ucapan ini. Sekali pasang
seratus dua puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang dapat melakukan
hal ini! Bahkan si Bandar Kurus itu sendiri menjadi basah penuh keringat karena
betapa pun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan yang begini hebat.
Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepalanya
seperti orang mencari kutu rambut.
"Eh,
Muka Tikus, berani tidak kau?" akhirnya ia berkata kesal melihat bandar
itu hanya memandang kepadanya.
Ada yang
tertawa geli, ada pula yang khawatir mendengar jembel itu berani menyebut muka
tikus kepada bandar. Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang tukang
pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap tubuhnya, diam-diam mendekati Kwee Seng
dan berdiri di belakang si Jembel ini sambil saling memberi tanda dengan mata,
siap untuk menerjang kalau perlu.
"Apa?
Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?"
Si Bandar
menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam, memasukkannya ke dalam mangkok yang
telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua orang tidak ada yang
mengeluarkan suara. Mereka menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi
sunyi, dan agaknya sebuah jarum yang jatuh ke lantai akan terdengar pada saat
itu.
Kwee Seng
masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya ke depan. "Seratus
dua puluh tail perak kupasangkan untuk angka ganjil!" katanya nyaring.
Si Bandar
tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini lunak
tersodor di depan mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna
sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat mempergunakan dua jari telunjuk dan
tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji dadu di waktu
ia menutup atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan
ini sudah ia lakukan bertahun-tahun dan tak pernah ada yang tahu.
Dengan
jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka
hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup
mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan dapat melihat angka yang
berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka mangkok, cepat
jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok
bekerja membalik biji-biji dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi
taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian, selalu pemasang taruhan besar akan
kalah.
Sekarang
jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu. Alangkah mudahnya
untuk membalikkan biji dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas
untuk memperoleh kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah mudahnya!
"Baik!"
katanya. "Semua orang di sini menjadi saksi. Kau memasang angka
ganjil!"
Kemudian ia
menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi lagi, dan memutar-mutar dadu ke
dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga dadu yang berputaran di dalam
mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya, kemudian dengan gerakan
tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan biji dadu di bawahnya.
"Heh-heh-heh!"
si Bandar mengusap peluh di dahinya. "Apakah kau tidak merobah pasanganmu?
Tetap ganjil? Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak
memilih. Ganjil atau genap?"
Suasana
makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua
tangannya di atas meja, di depannya. Tenang-tenang saja ia menjawab, "Aku
tetap memasang angka ganjil!"
Si Bandar
dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata, "Nah, siap
untuk dibuka, semua orang menjadi saksi!" Jari-jarinya bergerak dan
mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar. "Heeeeeiiitt!"
Semua mata
memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah titik
merah.
"Ganjil...!"
semua mulut berseru.
"Aaahhhhh....!"
Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji
dadu, hampir tidak percaya kepada matanya sendiri.
Tadi ketika
menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi berangka lima,
maka ketika membuka mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik
ke angka enam atau empat. Akan tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada
angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan jarinya tadi berhasil baik?
Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?
"Heh-heh-heh,
apakah kemenanganku hanya cukup kau bayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar
seratus dua puluh tail!" kata Kwee Seng tertawa-tawa.
Empat orang
tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi bandar itu
tidak memberi tanda, maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu
menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh yang memenuhi muka dan
lehernya, kemudian ia tertawa.
"Heh-heh-heh...
tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk
botoh kendil?"
Kwee Seng
memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah
‘botoh kendil’ ini. Botoh berarti penjudi, ada pun kendil adalah perabot dapur
untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira istilah itu merupakan makian.
"Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini
membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah
diketahui bahwa jembel ini bukanlah seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia
begini berani bertaruhan besar dan malah menang?
"Botoh
kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat
kemenangan, termasuk golongan yang licik!" jawab si bandar yang juga terheran-heran.
Kwee Seng
tertawa, tidak jadi marah. "Wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau
aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani
menghadapi kekalahan? Jangan khawatir, Tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar
dulu kemenanganku!"
Dengan
tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan
pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi
hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru
di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring.
"Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!"
Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan
berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar.
Perjudian di
dalam ruangan itu seakan-akan menjadi terhenti sama sekali. Semua penjudi kini
menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan si Bandar
bermata sipit. Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri.
Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik
kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal si Jembel! Kalau tadi
ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan
berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus!
Kau memang benar-benar penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai
memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh,
aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol," Kwee Seng membantah, akan
tetapi matanya mengawasi dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua
tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.
Si Bandar
menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di
atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya. "Nah, sekarang ulangi taruhanmu
biar disaksikan semua orang!" si Bandar berkata, suaranya agak gemetar
karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang
ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan
Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.
"Aku
mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!" Kwee Seng
berkata tenang tapi cukup jelas.
Muka si
Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa
penuh ejekan. "Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh
dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!"
Tangannya
membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa
karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap.
Begitu tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua
buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah,
ganjil lagi...!!" seru semua orang dan si Bandar menengok kaget. Kedua
kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas
memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya.
Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh,
mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? Semua orang melihat jelas
bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua
ratus empat puluh tail!"
Bandar itu
bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele. "Ini... ini
tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?" Ia sudah memandang ke arah
empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap si Jembel, menyeretnya
keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo
bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar
lagi?"
Selagi si
Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula
datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa.
Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih,
akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang
muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis
tua itu.
Heran tapi
nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan
pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang
pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu
berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan
dengan Kwee Seng!
"Baiklah,
Pangcu," kata si Bandar.
Mendengar
sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan
memandang kakek itu penuh perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya
tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain
bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung.
Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya,
sedangkan kedua tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam
Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia
bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lweekang-nya memperoleh
kemenangan, yaitu dengan hawa lweekang disalurkan melalui tangan menekan meja
membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya. Dua buah pundi-pundi
hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat
pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail!
Setelah
membayar, si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian karena ia takut kalau
kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung-jawabkan
kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, si
Kakek berkata perlahan. "Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana
nasib baik orang muda ini."
Mendengar
ini, si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa si Kakek hendak
membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser
dari pundaknya.
Siapakah
kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng
kota. Kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu
diberi nama Ban-hwa Po-koan karena sesungguhnya terjadi perubahan hebat pada
Ban-hwa Kai-pang. Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak
terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para
pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan
para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para
tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan), ketua
Ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan akan tetapi juga lega karena dengan
hadirnya ketua ini mereka menjadi besar hati.
Si Bandar
dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia
membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka
tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali
untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung
mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah,
sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?"
Keadaan
menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang dari pada tadi. Semua orang yang
berada di situ, biar pun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat
menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah
judi. Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan
dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang
serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah
judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang
tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.
Sambil
melirik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil
berkata, "Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan
puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar
mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum
dan memberi tanda dengan mata supaya si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu
menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar membalik
menjadi angka empat atau dua. Dengan gerakan hati-hati si Bandar menangkap
pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia
merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa
yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini
sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua
pengemis itu membantunya dengan tenaga sinkang.
"Siap
Buka... heeiittt! Aduuhhh...!" si Bandar berteriak kesakitan ketika
mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan
digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa
sinkang si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah
bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil
lagi...!"
“Hebat...!!"
Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga!
Diam-diam si
Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang
sembarangan. Ia maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu
menyerang dengan dorongan berhawa sinkang dari jari-jari tangan, mencegah si
Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!
Wajah bandar
itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa
gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata, "Sahabat
muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas dibayar mau
tunggu kapan lagi?"
Mendengar
ini, si Bandar dan para pembantunya segera sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi
mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke
sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang
dibayarkan ini adalah hasil keuntungan rumah judi itu selama beberapa hari!
Orang-orang
di situ makin terheran-heran. Mereka melihat betapa jembel muda yang kini sudah
menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya
berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, agaknya
masih belum puas. Buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu.
Kini kakek
pengemis itu yang bertanya. "Sahabat muda, masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng
tertawa, menengok ke kanan kiri. "Mana arak? Berilah seguci arak berapa
saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang
tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis. Cepat-cepat ia
menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng.
"Tidak
usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi
langganan baik," kata si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi
bersikap sebagai tuan rumah.
"Bagus!
Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi,"
kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum
sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan
mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik...
ha-ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika
bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, si
Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan
perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai
jauh.
"Ha-ha-ha,
memang dia sedang sialan!" Kwee Seng menertawakan.
Koai-tung
Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik.
"Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh,
semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!"
seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan
hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali
pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang
pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau
benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah
orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kau mainkanlah dadu itu. Delapan
pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm,
orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu bukan kemenangan uang," kata
si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak
seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah
seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak,
dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada
kalau diputar oleh si Bandar tadi.
"Heh-heh,
orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka
ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan
lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah
keterangan."
Semua orang
makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang
kang-ouw, uang tidaklah berharga.
"Uangmu
delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus
disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan
kantung perak."
Percakapan
ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan
perasaan heran. Kwee Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah
tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya Kai-ong
(raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah
wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan
apakah dengan Kai-ong?"
"Urusan
pribadi. Bagaimana, kau terima?"
Kakek itu
mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga dari
pada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kau dapat,
delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau bayarkan kepadaku.
Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan tentang di mana
adanya Kai-ong. Akur?"
Semua orang
terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri
jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu si
Jembel menolak.
Akan tetapi
Kwee Seng mengangguk dan berkata, "Cocok!"
“Wah,
benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang
Kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah
tangan dibuntungi?!” demikian pikir sebagian besar orang di sana.
Keadaan
menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu
berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja,
menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib si Jembel dan tangan kirinya.
Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya
terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun suasana yang amat
tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi si Jembel muda, kini ia malah
mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut,
sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik
ke arah mangkok di atas meja.
Melihat
kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru.
"Siap buka, lihatlah!"
Tangan
kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi
pada saat itu, jari-jari tangan kiri Kwee Seng juga menegang dan seperti halnya
Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sinkang
(hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata
memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu
di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin karena begitu
tadi mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti
bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu
berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan
terbelalak dan melotot seperti mau terloncat ke luar dari tempatnya.
Kembali
terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji
dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua
antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam
melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyong ke angka tiga, di lain
saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling
dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang
memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika
orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan
muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya.
Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya
menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke
arah dadu, napasnya agak terengah-engah.
Ada pun
pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya
menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan
kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini
menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka
angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu
membalik lagi menjadi miring!
"Pangcu,
apa kau masih hendak berkeras?” terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum.
Betapa pun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan
peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini
adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu
tenaga sinkang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa
kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena
jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sinkang.
Akan tetapi
Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah
ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia
ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini
menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama
yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba
Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas
meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan
terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang
mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu
ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan
tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih
miring!
Tentu saja
semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa
aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara
mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa
terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!"
teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok
dari tangan kirinya menuju Kwee Seng.
Namun
pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan. Sebelum mangkok itu
menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali, kemudian terhenti
di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena ‘terjepit’
di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua
yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu?”
Ucapan Kwee
Seng ini diikuti pengerahan tenaga sinkang. Tadi dalam menahan serangan lawan
ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah
tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga,
tetap saja dadu itu kini membalik dan biar pun masih mengambang di udara, namun
jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya.
Semua orang
yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata, "Angka
tiga...!"
"Hemm,
berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...!"
Pada saat
Kwee Seng berkata demikian itu, empat orang tukang pukul sudah mencabut golok
dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng
tahu akan hal ini. Namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak
ada arti baginya, dan karena ia sedang mengerahkan sinkang sehingga seluruh
tubuhnya terlindung, ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok
itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, dan tiba-tiba....
"Wuutttt!"
senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat.
Saking
hebatnya tenaga membalik, tanpa dapat dicegah lagi golok-golok itu menyerang
pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi. Bukan kepala Kwee
Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul
punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara
berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biar pun tidak tajam, namun
punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka ‘bocor’ dan tumbuh
tanduk biru!
Pada saat
berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula
biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung Tiang-lo ke belakang
menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa, lalu menyambar guci araknya dan menenggak
habis araknya. Sementara itu Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya
sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia
menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di
tangan, sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri,
takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung
Tiang-lo mengangkat kedua tangan menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang
Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan Kai-ong. Di lereng sebelah utara
Tapie-san, di mana Kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng
tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Seenaknya
Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail
lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu
sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit
dan membawanya seakan-akan amat ringan.
"Siapa
yang kalah judi di sini, mari ikut aku ke luar!" kata Kwee Seng sambil
melangkah terus.
Sebentar
saja, lebih dari tiga puluh orang ikut ke luar, dan tentu saja tidak semua dari
mereka menderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan
ikut pula ke luar. Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata
banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar
akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang
lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding
dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-saudara
sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar
berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan
kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir
batin. Pada lahirnya, saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan
rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan
menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, saudara akan
menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama,
menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian
untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan
suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!"
Tentu saja
ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng
membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis,
seorang kebagian dua puluh tail perak lebih! Setelah membagi habis delapan pundi-pundi
uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan
karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman,
perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!" Ucapan
ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee
Seng dari depan rumah judi.
Kwee Seng
sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak
yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya. Ia melirik dan
melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun
bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki
yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa
kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku
bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi,
menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng
melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia
lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh
kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng!
"Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada
anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa
kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah,
Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu,
aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan
melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena
melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak
mengerti."
Hampir Kwee
Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya
mengenai sastra dan silat, kini diberi ‘kuliah’ oleh seorang bocah yang berusia
sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik
sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi
yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat
yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan,
menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di
depannya dengan pandang mata penuh perhatian.
Kwee Seng
tertawa lagi. "Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan, mengapa
perbuatanku tadi kau katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?”
"Karena
perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa
ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang
diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan
dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas,
berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
Diri sendiri
melakukan kejahatan
diri sendiri
menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri
menghindarkan kejahatan
diri sendiri
mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau
tidak tergantung kepribadiannya
orang lain
mana mampu membersihkannya?
Kwee Seng
melongo. "Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu
adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak itu.
Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
Bu Song
mengangguk. "Aku membacanya dari kitab. Kalau Sang Buddha yang
mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini
pun aneh dan membuat Kwee Seng makin tertarik. "Anak baik, mari kau
duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu ‘anak sinting’.
Setelah Bu Song
ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya. "Anak
baik, coba kau jelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku
tadi."
"Para
penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat
mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau tidak mau judi, adalah mereka
sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena
tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua
perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang
tergantung dari pada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik?
Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa
betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati
berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi
sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan
berjudi."
Kwee Seng
melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab
suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu
dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama
sekali bukanlah hafalan dari kitab suci mana pun juga, melainkan keluar dari
pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan
sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi.
Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini ‘ngoceh’ tanpa sengaja tapi tepat.
Ia hendak menguji pula.
"Hemm,
kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah
sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala
macam nasehat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi
itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran
dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu
hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada
kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih
suka mencoba dari orang lain dari pada belajar sendiri! Oleh karana itu,
perbaikilah dirimu sendiri sebelum engkau memperbaiki orang lain."
"Ah,
kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru kagum.
"Boleh
juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi
guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan
jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau semua orang
masing-masing belajar memperbaiki diri sendiri, maka apa perlunya segala macam
nasehat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri,
orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa
sia-sia saja Paman menasehati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau
mereka yang telah mendengar nasehat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman
sendiri seorang maling...."
"Hahhh...?
Apa kau bilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan
penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi
diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya
memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku
tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan
fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman
sendiri ketika pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang
bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan
itu?"
Sejenak Kwee
Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa
kaku. "Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kau anggap maling! Anak baik, aku
sama sekali bukan maling!"
Bu Song
menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu
mencuri. Mencuri paha ayam mau pun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan
mencuri, Paman."
Kwee Seng
mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan
tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke
atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia
mengingat di mana dan kapan. Ada pun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu
memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut
dan rambut riap-riapan itu.
Kembali ia
menghela napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan
sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian
Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam
ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Semenjak perantauannya, baru kali
ini ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini
menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat
menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik
kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaannya.
Andai kata dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu
Sian....!
Sekarang ia
tertarik oleh keadaan bocah ini. Kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja
persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya
sambil bernyanyi dengan suara keras.
Lima warna
membutakan mata
lima bunyi
menulikan telinga
lima lezat
merusak rasa
memburu
membunuh menjadikan buas
benda dihargai
menjadi curang
itulah
sebabnya orang bijaksana
mementingkan
kebutuhan perut
tak
menghiraukan panca indera!
Bu Song
memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini
begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula
sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di
hatinya. Karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk
dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat
menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji. "Bagus
sekali, Paman, terutama isi sajaknya!"
Kwee Seng
tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"
Bu Song
menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab
Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya
melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca
kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum pernah
membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To,
bukan?"
Kwee Seng
girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak
dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik
siapakah namamu?"
"Aku
bernama Bu Song, paman."
"Bu
Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa she-mu (nama keturunan)?"
Bu Song
mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she.
Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng
memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau
tinggal?"
Bu Song
memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau,
Paman."
"Heh...?
Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal...
Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau juga tidak mempunyai tempat tinggal?"
Bu Song
mengangguk!
"Dan
orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?"
Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah,
seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia
dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini
tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit,
tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu
Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf,
Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama.
Aku pergi...!"
"Hee,
nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"
Sambil
menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang
bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa
tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman. Aku tidak dapat dan tidak mau
bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus
meninggalkan Paman, biar pun dengan penuh sesal dan kecewa...."
"He, Bu
Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu
atau orang tuamu"......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment