Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 07
KWEE SENG
tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging yang menempel di tulang paha,
sedangkan dengan daun lebar ia mengipasi lehernya, padahal hawa udara di pagi
hari itu amat dingin. "Kakek cebol, omonganmu memang tidak keliru dan
mendengar omonganmu tadi, agaknya kau tahu juga akan kebenaran. Akan tetapi,
kau menyangkal watakmu yang keji berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti di
depan mata."
Kakek itu
meloncat-loncat dan membanting-bantingkan kakinya di atas tanah, mukanya
memperlihatkan kejengkelan dan kemarahan. "Iihh... oohh... aku adalah Bu
Tek Lojin! Selamanya belum pernah ada orang berani memaki kepada Bu Tek Lojin.
Tapi hari ini kau jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek Lojin
berwatak keji dan dua buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek
Lojin. Hayo katakan, apa buktinya?"
Diam-diam
Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki nama yang hampir sama dengan Bu
Kek Siansu, manusia setengah dewa yang suci dan yang tidak membutuhkan apa-apa
lagi, yang sudah hampir dapat membebaskan diri sepenuhnya dari pada ikatan
lahir. Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah membayangkan kesombongan. Bu
Tek Lojin! Orang Tua Tanpa Tanding!
Belum pernah
Kwee Seng mendengar nama ini. Banyak tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang ia kenal,
baik mengenal muka mau pun hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia
mendengar nama Bu Tek Lojin! Ada Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, Hui-kiam-eng Tan Hui, Kim-tung Lo-kai, di samping tokoh-tokoh
besar yang menjadi ketua partai persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua
Siauw-lim-pai, Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana
munculnya kakek cebol yang mengaku bernama Orang Tua Tanpa Tanding ini????
"Huh,
tua bangka sombong, kau masih hendak berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah
jelas tampak di depan mata pada saat ini pun juga. Kau lihat yang menggeletak
di depan kakimu itu! Siapa dia? Kau agaknya malah hendak menolongnya, bukan?
Tadi kulihat betapa kau menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya
racun di mukanya. Mengapa kau menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan?
Bukankah orang-orang gagah tahu bahwa membantu pekerjaan penjahat sama artinya
dengan diri sendiri melakukan kejahatan? Bukti pertama sudah jelas, kau
membantu Bayisan Si Jahat!"
Tiba-tiba
kakek cebol yang mengaku bernama Bu Tek Lojin itu tertawa bergelak. Kembali
tubuhnya meloncat-loncat berjingkrakan seperti seorang anak kecil diberi
kembang gula. "Ho-ho-ho-hah! Ada anak ayam mengejar terbang seekor garuda!
Kau anak ayamnya dan aku garudanya!" Ia tertawa-tawa lagi.
Kwee Seng
mendongkol sekali. Kakek ini selain lihai ilmunya, juga lihai mulutnya, seperti
anak yang nakal sekali. Akan tetapi ia diam saja mendengarkan.
"Bocah,
kau tahu apa tentang membantu? Tahu apa tentang menolong? Tahu apa tentang
jahat dan baik? Membantu tidak sama dengan menolong, akan tetapi jahat tidak
ada bedanya dengan baik, kau tahu??"
Kwee Seng
seakan-akan menghadapi teka-teki. "Kakek sombong, apa bedanya membantu dan
menolong?"
"Uuhhh,
goblok! Kalau dia ini melakukan sesuatu dan aku ikut-ikutan mendorong agar apa
yang ia lakukan itu berhasil, itu namanya membantu. Melihat lebih dulu sebab
dan akibat sebelum berbuat, itulah membantu. Tanpa mempedulikan sebab dan
akibatnya lalu turun tangan, itulah menolong. Siapa pun juga dia, apa sebabnya
dan bagaimana akibatnya, tidak peduli, pendeknya harus turun tangan, itulah
penolong yang sejati!" Kakek itu bicaranya seperti orang membaca sajak,
pakai irama dan berlagu pula sehingga sukar dimengerti.
Akan tetapi
Kwee Seng terkejut karena mengenal filsafat ini. Biar pun diucapkan seperti
sajak berkelakar, namun adalah kata-kata filsafat yang amat dalam! Mulailah ia
kagum dan tidak lagi main-main.
"Bu Tek
Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kau katakan bahwa jahat tidak ada
bedanya dengan baik?"
"Ho-ho-hah-hah,
memang kau bodoh dan goblok! Semua menusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua
manusia goblok itu merasa diri pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan
buruk? Apa bedanya siang dan malam? Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada
matahari, mana ada siang malam? Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada?
Kalau tidak menyayang diri sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh
bocah, siapa namamu?"
"Aku
yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo Taisu!" Kwee Seng sengaja memakai
nama ini untuk menandingi kesombongan si Kakek. Ia memang telah mempunyai nama
poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Iblis Berhati Emas), akan tetapi untuk menggunakan
nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan dirinya sendiri. Padahal ia sudah
merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee Seng yang dianggap sudah mati
terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja menamakan dirinya Kim-mo Taisu
yang berarti Guru Besar Setan Emas!
"Wah,
wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama, memang memilih nama bebas, boleh
pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka aku pun memilih nama Bu Tek
Lojin, huah-hah-hah! Eh, Kim-mo Taisu yang tidak patut bernama Kim-mo Taisu
karena masih muda, aku tanya, apakah kau seorang baik?"
Ditanya
begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.
"Ha-ha-ha,
tentu saja dalam hatimu kau menjawab bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di
dunia ini orang yang mengaku dirinya orang jahat. Biar pun mulutnya bilang
jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi, siapakah dia yang baik? Yang baik
adalah dirinya sendiri. Orang yang melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya
sendiri, dianggap orang baik pula. Siapakah dia yang dinamakan orang jahat?
Yang jahat adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya
sendiri. Nah, mereka ini tentu akan disebut jahat. Baik dan jahat tidak ada,
sama saja, yang ada hanya penilaian di hati orang yang membedakan demi
kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri dianggap baik, yang tidak
menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha! Menolong yang dianggap baik, itu
bukan menolong namanya! Bukan menolong orang, melainkan menolong diri sendiri,
menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"
Di dalam hatinya
Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol ini kiranya bukan sembarangan orang!
Betapa pun juga, hatinya tidak puas. Kakek ini sifatnya terlalu berandalan,
terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya dan wataknya yang suka menggunakan
aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.
"Bu Tek
Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apa pun juga, boleh kau membongkar-bongkar
filsafat untuk mencari kebenaran sendiri. Akan tetapi aku melihat sendiri
betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada Puteri Mahkota Tayami dengan
nasehat supaya dia memakai bubuk itu membedaki mukanya. Apa kau mau bilang
bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak membikin rusak muka yang begitu
cantik, bukankah itu perbuatan keji sekali? Kalau kau masih mengaku seorang
manusia, di mana peri-kemanusiaanmu?"
"Huah-hah-hah!
Memang aku bukan manusia biasa, aku setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu,
memang kusengaja, dan memang maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang
menyebabkan semua keributan itu? Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu
berlomba dan saling membenci? Tak lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota!
Dan mengapa mereka berlomba memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia
cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya.
Kecantikan hanya sebatas kulit muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya,
hendak kulihat apakah para pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya
menghilangkan akibat dengan membongkar sebabnya!"
"Hemm,
membongkar sebab secara merusak tanpa mengenal kasihan seperti itu, benar-benar
mencerminkan hatimu yang keji. Kau tua bangka yang benar-benar berhati
iblis!"
"Uwaaaahh!
Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa kau mau mengajak aku berkelahi?"
"Bukan
mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran kepadamu!"
"Wah-wah,
kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada ular kecil mau menghajar seekor naga.
Lucu... lucu....!"
Makin
mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini, tadi menyamakan dia anak
ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia ular kecil dan mengangkat
dirinya sendiri seekor naga!
"Biar
pun naga, kalau matanya buta dan merusak sana-sini, apa boleh buat, wajib
dihajar!"
"Bagus,
mari kau layani aku beberapa jurus!" kakek itu berkata, lalu meloncat ke
kiri dan memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari
tangan terbuka dan miring, tubuhnya doyong ke depan, pundaknya diangkat pula ke
depan, matanya melirak-lirik, persis gaya seekor jago aduan yang akan
dipersabungkan!
Melihat
kakek itu tidak bersenjata, Kwee Seng menyelipkan tulang paha kambing dan daun
ke pinggangnya, kemudian ia pun menghampiri kakek itu, memasang kuda-kuda dan
diam-diam ia mengerahkan sinkang-nya seperti yang ia pelajari di Neraka Bumi.
Ia cukup maklum bahwa betapa pun aneh dan lucu sikap kakek itu, namun sudah
terbukti kemarin betapa kakek ini memiliki lweekang yang amat kuat serta
ginkang yang amat tinggi. Lawan ini amat berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng
lalu menanti sambil siap siaga, tidak mau menyerang lebih dulu.
Akan tetapi
kakek itu juga tak kunjung datang serangannya. Hanya kepalanya bergerak ke
kanan kiri, matanya lirak-lirik seperti ayam jago sedang menaksir-naksir
kekuatan lawan, kemudian kakinya melangkah-langkah berputar mengelilingi Kwee
Seng! Tentu saja Kwee Seng juga segera mengubah kedudukan kaki dan mengatur
langkah mengikuti si Kakek yang aneh. Ia melihat betapa jari-jari kakek itu
yang telanjang seperti kakinya sendiri, terpentang seperti cakar ayam.
Benar-benar kuda-kuda ilmu silat yang aneh sekali. Apakah kakek ini menciptakan
ilmunya berdasarkan gerakan ayam jago? Ataukah semacam burung? Ia
menaksir-naksir akan tetapi tetap waspada.
Tiba-tiba
kakek itu berseru, "Awas!" dan tubuhnya mencelat ke depan, menerjang,
kedua tangannya menggampar dari kanan kiri, kedua kakinya menendang.
Biar pun
kelihatan hanya sebuah terjangan kasar, namun jari-jari kakinya serta jari-jari
tangannya melakukan totokan di tujuh bagian hiato(jalan darah) yang berbahaya!
Kwee Seng kaget sekali, tak mungkin mengelak dari terjangan liar ini, maka
cepat ia menggerakkan kakinya melangkah mundur lalu kedua tangannya membuat
gerakan membentuk lingkaran-lingkaran dan sekaligus ia dapat menangkis dua
pasang tangan kaki kakek itu.
"Dukkk!"
tubuh Bu Tek Lojin mencelat ke belakang membuat salto dua kali, akan tetapi
kedudukan kaki Kwee Seng juga tergempur sehingga dia terhuyung-huyung ke
belakang.
Kagetlah
Kwee Seng. Setelah berlatih di Neraka Bumi, tenaganya mengalami kemajuan pesat
sekali. Namun kini ia ketemu batunya. Kakek yang menerjang di tengah udara itu
ternyata mampu membuatnya terhuyung-huyung, dan kedua lengannya yang menangkis
tadi seakan-akan bertemu dengan benda yang antep dan keras.
"Heh-heh,
kau boleh juga!" Kakek itu memuji, kemudian mengulangi lagi pasangannya
seperti ayam jago, berputar-putar sehingga terpaksa Kwee Seng juga berputaran.
Kembali Bu
Tek Lojin menerjang maju dan kali ini terjangannya disusul serangkaian serangan
yang ganas, memukul dan menendang bergantian, semua mengarah jalan darah yang
berbahaya. Kwee Seng berlaku cepat, tubuhnya mencelat ke sana-sini dan ia pun
membalas dengan pukulan tanpa memakai sungkan-sungkan lagi. Maka lenyaplah
bayangan kedua orang ahli silat yang mengerahkan ginkang ini, berkelebatan
seperti petir menyambar.
Berkali-kali
mereka beradu tangan dan selalu Kwee Seng terdesak mundur. Terang bahwa ia
kalah kuat dalam hal tenaga dalam, akan tetapi karena Kwee Seng memang memiliki
ilmu silat yang tinggi maka penjagaannya rapat sekali. Setelah mengalami
benturan tangan belasan kali yang membuat kedua lengannya terasa sakit-sakit,
Kwee Seng segera mengerahkan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).
Kedua tangannya menjadi lunak seperti kapas dan tenaga kakek itu seperti amblas
kalau bertemu dengan tangannya, sehingga ia tidak mengalami rasa nyeri lagi,
malah dengan ilmunya ini ia dapat membalas serangan dengan mendadak dan cepat,
membuat kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan memuji dan penasaran.
Tiba-tiba
kakek cebol itu mengganti dan gerakannya yang tadinya amat cepat lincah itu
menjadi gerakan lambat. Malah kedua kakinya seakan-akan tidak bertenaga,
seperti mengambang di atas air saja. Namun hebatnya, begitu mereka beradu
lengan, Kwee Seng terlempar ke belakang sedangkan kakek itu hanya menari-nari
dengan kedua kaki seperti tidak menginjak tanah.
Kwee Seng
terkejut sekali, ia melihat kakek itu tadi hanya membuat gerakan mendorong
dengan kedua tangan, mengapa begitu beradu tangan ia terlempar sampai tiga
meter ke belakang? Seakan-akan dari kedua tangan kakek itu mengandung tenaga
yang luar biasa kuatnya, padahal gerakan kakek itu lambat dan kelihatan lemah
serta kosong. Ia tidak tahu bahwa ini ilmu ciptaan Bu Tek Lo-jin yang
dinamainya Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Mengandung Kekuatan Selaksa Kati)! Ada
pun ilmu ini adalah ilmu sinkang yang mendasarkan ilmu memanfaatkan yang kosong
seperti seringkali disebut-sebut oleh Nabi Locu dalam kitabnya To-tik-keng
sehingga merupakan penggabungan ilmu silat dan ilmu batin yang tinggi.
Karena
maklum bahwa kalau ia terus melayani kakek sakti ini dengan tangan kosong tentu
ia akan kalah, Kwee Seng lalu mencabut tulang paha kambing dan daun lebar dari
ikat pinggangnya. "Bu Tek Lojin, dengan tangan kosong aku kalah, marilah
kita gunakan senjata!"
Bu Tek Lojin
bukanlah orang buta. Melihat lawannya yang muda mengeluarkan senjata yang
begitu sederhana dan aneh, ia tahu bahwa lawannya ini benar-benar merupakan
lawan yang tangguh sekali. Tadi pun diam-diam ia sudah terheran-heran mengapa
ada orang muda yang begitu lihai. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu
tanding yang semuda ini. Akan tetapi memang wataknya tinggi hati, tidak
memandang mata kepada lawan mana pun juga, maka ia tertawa sambil berkata,
"Jembel tengik, keluarkan saja semua kepandaianmu untuk kulihat!"
Setelah
berkata demikian kakek cebol itu langsung menyerang lagi dan kini kembali ilmu
silatnya sudah berubah. Tenaganya masih sehebat tadi, namun kedua tangannya
membuat gerakan yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar dengan tangan kirinya,
sedangkan yang kanan membentuk lingkaran-lingkaran sempit. Pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangannya datang bergulung-gulung seperti ombak samudera menerjang
habis segala yang merintanginya. Melihat hebatnya gerakan ini, Kwee Seng segera
memutar ulang paha kambing yang ia gunakan seperti pedang, untuk melindungi
tubuh, sedangkan daun di tangan kiri mulai ia kebut-kebutkan yang juga
mengeluarkan angin pukulan yang amat dahsyat.
Tiba-tiba
terdengar suara keras, "Bagus, Bu Tek Lojin, kau hajar mampus bocah itu.
Kalau kau kalah, baru aku yang maju!" Suara itu terdengar dari jauh akan
tetapi nyaring dan jelas sekali, kemudian sebelum suara itu lenyap
kumandangnya, orangnya sudah berkelebat datang. Seorang raksasa tinggi besar
berkepala gundul yang segera dikenal Kwee Seng sebagai musuh lamanya, Ban-pi
Lo-cia!
Sejenak
kakek cebol menghentikan serangannya, membanting-banting kaki dan memaki,
"Kau bilang kalau aku kalah? Kuda gundul, kau lihat saja aku menjatuhkan
jembel tengik ini. Kalau sudah, biar kau punya selaksa lengan (ban-pi), pasti
tanganku yang hanya dua ini akan kenyang menempilingi gundulmu sampai kau
berkuik-kuik dan berkaing-kaing!" Setelah berkata demikian, kakek cebol
itu segera menyerang Kwee Seng lagi dengan hebatnya.
Kwee Seng
mencelat ke kiri sambil memutar tulang paha kambing. "Berhenti dulu, Bu
Tek Lojin. Dia itu musuh lamaku, biarkan aku membuat perhitungan dengan dia!
Heh, manusia cabul, rasakan pembalasanku atas kematian Ang-siauw-hwa...!"
Kwee Seng hendak menyerang Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek cebol itu
merintangi, bahkan menyerangnya lagi sambil mengomel.
"Kau
belum kalah olehku, bagaimana bisa berhenti dan melawan orang lain?"
Karena
serangan kakek cebol ini memang hebat sekali, Kwee Seng tidak dapat memecah
perhatian dan terpaksa ia melayani lagi dengan hati mendongkol. Ia tahu bahwa
percuma saja bicara dengan kakek cebol ini. Jalan satu-satunya mengalahkan si
Cebol ini lebih dulu, baru nanti menghadapi Ban-pi Lo-cia. Akan tetapi ini
hanya rencana saja, pelaksanaannya sukar setengah mati karena si Cebol ini
benar-benar sakti luar biasa.
Sementara
itu, baru sekarang Ban-pi Lo-cia melihat tubuh Bayisan yang menggeletak di atas
tanah. Ia kaget sekali dan tidak mempedulikan lagi mereka yang sedang
bertempur. Cepat ia berlutut di dekat muridnya. Setelah melihat muka muridnya,
ia mengeluarkan suara tertahan, menotok dan mengurut sana-sini. Akhirnya
Bayisan dapat bicara.
"Suhu
(Guru)..." ia mengeluh.
"Muridku,
siapa yang melakukan ini padamu? Hayo katakan, siapa? Akan kubeset kulit
mukanya!"
Dengan suara
terputus-putus Bayisan bercerita terus terang kepada gurunya bagaimana ia
tergila-gila kepada Tayami dan memasuki kamarnya, kemudian Puteri Mahkota itu
menggunakan bubuk beracun mengenai mukanya. Ketika bicara agak panjang ini,
Bayisan telah terlalu banyak mengerahkan tenaganya, maka begitu habis bicara,
ia jatuh pingsan lagi.
Ban-pi
Lo-cia menarik napas panjang, menggeleng kepala dan berkata. "Ahhh, banyak
wanita cantik di dunia ini, mengapa kau memilih Puteri Mahkota bangsa sendiri?
Ah, tidak bisa aku menggangu Puteri Tayami. Tayami anak Kulu-khan, mengapa
engkau begini kejam? Muridku, jangan penasaran. Aku akan menurunkan semua
kepandaianku kepadamu agar kelak kau dapat menjagoi dan menjadi orang nomor
satu di Khitan!" Setelah berkata demikian, Ban-pi Lo-cia memondong tubuh
muridnya itu dan lari meninggalkan tempat itu tanpa peduli lagi kepada dua
orang yang sedang bertanding.
"Ban-pi
Lo-cia, kau hendak lari kemana?" Kwee Seng menusukkan tulang paha dengan
jurus maut Pat-sian-toat-beng (Delapan Dewa Mencabut Nyawa) dari Ilmu Pedang
Pat-sian Kiam-hoat.
Baru
sekarang ia menggunakan jurus Pat-sian Kiam-hoat karena tadi dalam menghadapi
Bu Tek Lojin ia belum mau mempergunakan ilmunya ini yang dahulu telah
diperbaiki oleh Bu Kek Siansu. Sekarang ia ingin sekali mengejar Ban-pi Lo-cia,
terpaksa ia menggunakan jurus ini. Kagetlah Bu Tek Lojin. Serangan ini memang
hebat sekali dan tak mungkin ditangkis atau dielakkan. Tulang itu ujungnya
tahu-tahu sudah mengancam ulu hati. Terpaksa Bu Tek Lojin menggunakan gerakan
yang sebetulnya kalau tidak terpaksa, ahli silat tinggi enggan melakukannya,
yaitu membuang diri ke belakang seperti batang pohon tumbang, lalu bergulingan
di atas tanah.
Akan tetapi
Kwee Seng memang hanya ingin membuat kakek cebol ini untuk sementara menjauhkan
diri, langsung ia meloncat dengan ginkang-nya yang hebat ke arah Ban-pi Lo-cia
yang sedang melarikan diri membawa muridnya, tulangnya menghantam ke arah
lambung Ban-pi Lo-cia. Kakek gundul ini mendengar desir angin, menangkis dengan
lengan karena tahu bahwa senjata lawan itu tidak tajam.
"Dukkk!!"
tubuh Ban-pi Lo-cia terguling!
Bukan main
kagetnya hati si Gundul, karena sama sekali tidak disangkanya Kwee Seng akan
sekuat itu, jauh lebih kuat dari pada beberapa tahun yang lalu. Tulang
lengannya tidak patah akan tetapi rasa nyeri menusuk sampai ke jantung. Ia
tidak berani main-main lagi. Karena ia memang amat kuat, sekali meloncat ia
telah berada jauh di depan, lalu menggunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan
tempat itu.
Kwee Seng
hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar geraman hebat dan kakek
cebol sudah menerjangnya penuh kemarahan karena tadi dipaksa harus bergulingan
sehingga pakaian dan rambut serta jenggotnya terkena debu. Terpaksa Kwee Seng
mencurahkan perhatiannya kepada kakek cebol lagi. Karena mendongkol, kini ia
segera mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan tulang di tangan kanan, sedangkan daun
lebar di tangan kiri ia mainkan dengan Ilmu Silat Lo-hai San-hoat.
Kalau tiga
empat tahun yang lalu saja sepasang ilmu ini dapat membuat ia terkenal dengan
sebutan Kim-mo-eng, apalagi sekarang setelah ia memperoleh kemajuan pesat di
Neraka Bumi. Hebat bukan main permainan pedang dan kipasnya. Dalam segebrakan
saja Bu-tek Lojin sudah terdesak sampai sepuluh jurus lebih. Kwee Seng
mengerahkan seluruh kepandaian karena maklum bahwa menghadapi kakek itu, sukar
baginya untuk dapat mengalahkannya. Dalam hal tenaga sinkang mau pun keringanan
tubuh, kakek cebol ini hebat sekali.
"Eh...
ohh... tahan dulu...!" Sambil mencelat ke sana-sini menghindarkan diri
dari sambaran daun dan tulang, Bu Tek Lojin berteriak-teriak. Sebagai seorang
pendekar, tentu saja Kwee Seng menurut dan menghentikan serangannya.
"Mau
bicara apa lagi. Bukankah kau yang tadi mendesakku untuk bertanding sampai
mati?" Kwee Seng menegur marah dan mendongkol.
"Mengapa
gaya permainan silatmu seperti itu? Apakah kau murid Bu... Bu Kek...
Siansu...?"
Kwee Seng
tersenyum. "Bukan, akan tetapi beliau pernah memberi petunjuk
kepadaku..."
"Wah...
celaka... cukuplah kita main-main." Kakek cebol itu lalu bersuit panjang
dan datanglah burung hantu melayang-layang di atas kepalanya, kemudian ia lari
meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas oleh burung hantu.
Sejenak Kwee
Seng terlongong heran, kemudian ia pernasaran dan berlari pula mengejar.
Ternyata ilmu lari cepat kakek itu hebat, sukar baginya untuk dapat menyusul.
Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan agaknya kalau dilanjutkan dia
sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa Bu Tek Lojin menjadi seperti
orang jeri dan lari?
Bayangan
kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung hantu merupakan titik hitam kecil
jauh di depan. Kwee Seng kehilangan semangat untuk mengejar terus maka ia
menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke depan. Ketika ia memasuki
hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa, suara ketawa Bu Tek Lojin!
Ia menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan.
Apa yang
dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan menyelinap di belakang pohon. Kiranya
kakek cebol itu sudah berdiri sambil tertawa bergelak, sedangkan didepannya
tampak seorang laki-laki bangsa Khitan yang bertubuh pendek pula akan tetapi
kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh Khitan yang kata orang adalah
panglima tua!
Memang, laki-laki
ini bukan lain adalah Kalisani yang telah meninggalkan kota raja dengan maksud
merantau ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu Kalisani bertemu
dengan kakek cebol yang amat ia kagumi sepak terjangnya ketika kakek itu
menggegerkan pesta perlombaan Khitan. Begitu melihat si Kakek Cebol, tanpa
ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.
"Lo-cianpwe
(Orang Tua Gagah) sudilah Lo-cianpwe menerima teecu (murid) sebagai murid. Apa
pun yang lo-cianpwe perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa raga
teecu."
Inilah yang
membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak sehingga terdengar tadi oleh Kwee
Seng. Kakek cebol itu setelah tertawa berkata, "Aku akan membikin kepalamu
seperti kepala Ban-pi Lo-cia, hendak kulihat apakah kau masih nekat mau
mengangkat aku sebagai gurumu!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu
menggerakkan telapak tangannya ke arah kepala Kalisani.
Bekas
Panglima Khitan ini terkejut sekali ketika merasa hawa panas menyambar
kepalanya. “Celaka,” pikirnya, “mati aku sekali ini!” Akan tetapi karena ia
telah terlanjur berjanji akan patuh menurut, ia meramkan matanya dan menguatkan
hatinya, kalau perlu mati, apa boleh buat!
Kwee Seng
yang mengintai juga kaget sekali. Telapak tangan kakek cebol itu bukannya
memukul, melainkan mengusap kepala Kalisani dan ketika ia mengangkat kembali
tangannya, semua rambut bagian atas kepala Kalisani rontok semua sehingga
kepala itu menjadi gundul kelimis bagian atasnya, botak tidak kepalang!
Diam-diam Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek cebol itu.
Kalisani
meringis, kulit kepalanya terasa panas dan sakit, akan tetapi tidak tembus
sampai menembus ke dalam, hanya terasa seperti dibakar. Melihat rambutnya
rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk belajar ilmu kepada kakek
yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk sampai jidatnya membentur
tanah sambil berkata, "Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang
Suhu membutuhkan, teecu serahkan!"
Bu Tek Lojin
tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati orang. Ia mengelus-elus jenggotnya
dan menarik napas panjang. "Kau boleh juga. Bukankah kau panglima di
Khitan, mengapa kau mengikuti aku dan hendak menjadi murid?"
"Sekarang
teecu bukanlah prajurit Khitan lagi. Teecu sudah meninggalkan kerajaan karena
jemu menyaksikan perebutan kekuasaan dan melihat betapa Khitan akan menjadi
tidak beres. Karena amat kagum akan kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai
satu niat di hati, yaitu menjadi murid suhu."
"Hah-hah-hah,
selamanya aku tidak menerima murid. Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan
kepandaian kepada jembel tengik, mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau
menjadi muridku. Nah, hayo kau gendong aku dan jangan berhenti sebelum kuminta,
biar pun kedua kakimu akan patah-patah!"
Bukan main
girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai
delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda.
Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata, "Hayo kau pun tertawa
yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!"
Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara
ketawa gurunya!
Kalau ada
orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri
terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam
dugaan. Pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah
sepasang orang gila yang liar. Yang menggendong seorang berkepala botak dan
tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa
bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan di atas mereka, terbanglah si Burung Hantu
sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan
membuat orang menggigil seram di waktu malam!
Kwee Seng
keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
Aneh-aneh di dunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan
meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan telah terhukum,
sungguh pun bukan langsung dari tangannya, ada pun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain
kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan
perhitungan. Betapa pun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji
Ban-pi Lo-cia tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.
Dalam
perantauannya yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa,
tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai
seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal betapa
keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa
banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya
telapak tangan kirinya! Di mana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah
perkasa dan sampai kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya,
dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai
Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian
compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di
sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar
Budiman!
Berbahayalah
orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng.
Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara,
ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan
tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap
Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi
peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa
sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila.
Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
***
www.sonnyogawa.com ***
Memang
sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada
serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun
boleh mengingkari atau menghindarinya karena hal ini sudahlah wajar. Namun,
betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang
waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu. Harus tetap berada di atas
nafsu dan dapat mengendalikannya.
Nafsu
seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik
jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya
kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada
sang kusir yang menguasai kuda itu, maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda
memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang kusir inilah rohani yang
harus diperkuat dengan kesadaran. Apabila sang kusir kuat dan dapat menguasai
keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan
untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila
sang kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan
akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya
tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!
Betapa pun
juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya
sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar
kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta
sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang
untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu birahi
semata.
Liu Lu Sian
telah melakukan kesalahan itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami
isteri sehingga ia rela meninggalkan Kam Si Ek dan puteranya, mencari
kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapa pun juga yang telah mengikatkan
diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai
kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri
atau suami yang baik. Lu Sian lari dari pada kewajiban-kewajiban yang
dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan
total, juga kebebasan cinta!
Ada juga
rasa sesal di hatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang
jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang
sesuka hatinya. Pergi ke mana pun ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat
kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan di sana ada
ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi
ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli
silat nomor satu di dunia ini!
Lu Sian berangkat
menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang
perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang
menjenguknya di rumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini,
untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya. Ia maklum betapa
ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya. Ketika ayahnya
bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu,
sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya
masih bersikap kikir, ia tahu di mana ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau
perlu akan dicurinya.
Ia tidak
tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati
‘kebebasannya’. Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata,
terutama laki-laki di sepanjang perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia
akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua
laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya. Alangkah senangnya dalam keadaan
seperti itu. Ia merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga,
tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh
kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya.
Akan tetapi,
beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu
akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu
sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih sayang mesra
terhadap dirinya.
Pada pagi
hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam rumah makan. Semalam ia sama sekali
tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah
semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu birahi
kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia malah sampai menangis penuh
penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang
keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya,
segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran di dalam
rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.
Hanya
semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia
termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya.
Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.
"Bung
pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak panas dan arak hangat!"
tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya. Ia melirik ke kanan
dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk di depan meja sebelah kanannya,
dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai tidak
tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru
ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali.
Dari sudut
matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya
tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan
dan kekhawatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan di pinggangnya tergantung
sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena
sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata, Lu Sian dapat menduga
bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi
seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu banyak ia
melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya
begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang
benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki
kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.
Pada saat
itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar,
diselingi suara berketuknya tongkat di atas tanah berbatu. Lapat-lapat
terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu
Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.
Beratap
langit berlantai bumi
Disanalah
tempat tinggal kami
Kami tidak
punya apa-apa
Makan
pakaian kami tinggal minta!
Kekagetan Lu
Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut
ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari
Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang). Menurut penuturan
ayahnya, di antara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang
paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah.
Mereka itu
rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biar pun hanya perkumpulan
pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama
gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka namakan diri
Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis
ke sana ke mari, hidup sederhana sekali!
Lu Sian
masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua
perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang
memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat. Biar pun tidak
secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa
propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan
mengenai ‘dunia pengemis’ bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong
inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran
nama Khong-sim Kai-pang.
Pada saat Lu
Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti,
tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar,
makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki gagah di dekat
pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya
tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya.
Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling
minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya
berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki
itu tampan dan gagah, amat menarik hati.
Muncullah
kini rombongan penyanyi itu di depan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang
pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng,
penuh tambalan, bahkan ada seorang di antara mereka yang kaki celana sebelah
kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang
sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih muda, biar pun
pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan
jelas tampak pengemis muda ini ‘pasang aksi’ ketika matanya memandang Lu Sian.
Tiga orang
pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi. Segera
mereka maju ke depan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan
tetapi mulut mereka masih senyum-senyum. Hanya si Pengemis Muda saja yang
kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya terhadap laki-laki
tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya. Pengemis
yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka
mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.
Tamu tak
diundang datang kemari
apakah
hendak menyerahkan diri?
Laki-laki
gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara
tenang, "Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok
lagi."
Pelayan
segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah.
Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja si
Laki-laki Gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar pintu.
"Eh,
kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan
diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa...." Tiba-tiba ia
menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda telah
mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja! Pelayan
itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa,
maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh ke arah tamunya yang enak-enak
makan, kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi.
Pengemis
muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah, matanya
melirik ke arah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun
tidak, melainkan terus memperhatikan si Laki-laki Gagah, dan di dalam hatinya
siap untuk membantu kalau laki-laki itu menghadapi bahaya.
Tanpa
mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua yang kaki celananya panjang
sebelah menyambung nyanyiannya.
Menyerahkan
diri membayar hutang
baru si
Kecil diantar pulang!
Pengemis
muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya
merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.
Diantar
pulang ke rumah siapa?
Apakah si
Manis ada yang punya?
Mendengar
nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Lu Sian dan dalam
beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar
matanya tampak terpesona, lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati
laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh
kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali
menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit.
Hati Lu Sian
juga berdebar aneh ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata
orang itu, ia seperti dapat menjeguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu
kagum kepadanya. Biasanya semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum dan
jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang tersenyum
mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!
Tiga orang
pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka kepada orang itu, kecuali pengemis
muda yang menyelewengkan nyanyian ke arah Lu Sian. Kini melihat orang itu sama
sekali tidak peduli mereka menjadi marah. Si Pengemis Muda menggerakkan
tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman ke arah leher laki-laki gagah.
Lu Sian
diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah senjata rahasia, yang biar pun
tidak terlalu hebat namun cukup berbahaya kalau si Laki-laki itu tidak dapat
menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan kagum ketika melihat laki-laki
itu mengangkat sumpitnya dan... paku hitam yang menyambar lehernya telah
terjepit di antara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang memegang sumpit
bergerak, paku hitam menyambar dengan kecepatan beberapa kali lipat dari pada
tadi ke arah si penyerang.
"Auuuhhh...!"
pengemis muda yang aksi itu meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil
mengaduh-aduh dan memegangi kaki kirinya yang diangkat-angkat. Paku tadi,
pakunya sendiri yang biasanya ia sombongkan sehingga ia memakai julukan
Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan Darah), kini telah menancap di paha
kirinya sampai tidak kelihatan lagi kepalanya!
Dua orang
pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si Celana Panjang Sebelah menerjang
dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah muka sedangkan pengemis sepatu
tunggal itu mencabut golok lalu membacok ke arah leher. Namun orang itu masih
enak-enak makan buburnya yang belum habis, membiarkan dua senjata itu menyambar
sampai dekat sekali.
Kali ini Lu
Sian benar-benar kaget. Sungguh berbahaya sekali ketenangan yang
berlebih-lebihan itu, pikirnya. Cepat tangannya menyambar sumpit yang tadi ia
pakai makan, sekali tangannya bergerak sepasang sumpit itu meluncur ke depan
seperti anak panah melesat dari busurnya.
"Tranggg!
Aduhhh! Aduhhh...!" Peristiwa yang terjadi beberapa detik itu mengherankan
sekali. Secara tiba-tiba, laki-laki yang dijadikan sasaran tongkat dan golok
itu lenyap dari atas kursinya sehingga golok dan tongkat saling bertemu di
udara, kemudian dalam detik selanjutnya, tangan dua orang pengemis yang
memegang senjata itu telah tertusuk sumpit, tembus di telapak tangan sehingga
senjata mereka terlepas dari pegangan, mereka berteriak-teriak kesakitan sambil
menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan kanan.
"Lee-hi-ta-teng
(Ikan Lee Meloncat) yang bagus!"
"Sambitan
yang luar biasa!"
Pujian yang
keluar dari mulut Lu Sian dan orang gagah itu terdengar dalam waktu bersamaan,
mereka saling pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh kagum dan
‘ada rasa’! akan tetapi laki-laki itu segera melangkah ke luar menghadapi tiga
orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata dengan suara lantang
berwibawa.
"Aku
Tan Hui adalah laki-laki yang tidak suka berlaku pengecut! Setahun yang lalu
urusanku dengan Khong-sim Kai-pang sudah kubereskan dengan Yu Jin Tianglo, kami
berdua saling menghargai dan bersahabat. Kenapa sekarang tanpa alasan Khong-sim
Kai-pang mengganggu anak kecil? Kalau ada urusan silahkan Yu Jin Tianglo
menemui aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil macam kalian? Hayo
katakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku, Tan Hui ingin bicara dengan dia sendiri.
Pergilah!"
Dengan
tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu mendorong. Hawa dorongan ini
menimbulkan angin dan tiga orang pengemis yang sudah terluka itu roboh
terguling! Mereka merangkak bangun, meringis kesakitan, lalu yang sebelah
kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu Sian.
"Nona,
kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan kami? Apa hubunganmu dengan
Hui-kiam-eng Tan Hui?"
Lu Sian
tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga pengemis muda yang pahanya terluka
itu untuk sejenak melupakan rasa nyerinya. "Aku bukan apa-apa dengan orang
gagah ini, ada pun namaku Lu Sian. Karena jemu menyaksikan sikap tengik kalian,
maka aku menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan kepada kepala
kalian!"
Tiga orang
pengemis itu memandang dengan mata melotot, kemudian mereka membalikkan tubuh
dan sambil menuntun pengemis muda yang terpincang-pincang mereka meninggalkan
tempat itu.
Lu Sian tadi
kaget juga mendengar laki-laki itu memperkenalkan namanya. Tentu saja ia sudah
mendengar akan Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) yang amat terkenal di
daerah timur ini, seorang yang kabarnya amat lihai ilmu pedangnya dan terutama
sekali ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya tak pernah menemui
tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang biasa saja, namun dilakukan
oleh Tan Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri tak mungkin dapat melakukan
gerakan ini secepat itu.
Di lain pihak,
Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah mendengar nama seorang pendekar
wanita bernama Sian dengan nama keturunan Lu. Akan tetapi sambitan sumpit tadi
jelas membuktikan bahwa wanita cantik jelita seperti bidadari di hadapannya ini
adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Ketika ia memandang wajah yang
tersenyum itu, sepasang mata yang bagaikan bintang begitu bercahaya, bening dan
berbentuk indah sekali, hidung mancung dan bibir merah basah, rambut sinom yang
terurai di kening, benar-benar membuatnya terpesona dan dengan gagap ia berkata
sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Nona,
banyak terima kasih atas bantuanmu tadi."
Lu Sian
tersenyum, tampaklah deretan gigi yang laksana mutiara, kemudian bibirnya
bergerak-gerak ketika bicara, matanya pun bersinar-sinar. "Ah, itu
bukanlah bantuan namanya dan tidak ada artinya. Kita mempunyai perasaan yang
sama, bukan? Sama-sama sebal menyaksikan tiga orang jembel tadi...."
Hening
sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya melihat betapa orang itu
memandangnya dengan melongo, jelas terpesona dan seperti lupa keadaan.
"Eh,
Tan-enghiong, kau kenapa...?" tegurnya sambil tersenyum manis.
Tan Hui
gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita begini cantik
jelita, yang bibirnya bergerak-gerak dan matanya bersinar-sinar. "Eh...
oh... kau... kau hebat sekali...."
Kembali Lu
Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka hanya berdiri saling pandang
dengan kaku. Akhirnya Lu Sian berkata, "Apakah kita akan terus bicara
sambil berdiri saja?"
Kembali Tan
Hui baru sadar akan keadaan yang serba canggung itu, maka ia menjadi malu.
Merah sekali mukanya ketika ia berkata, "Ah..., silakan, Nona. Mari
silakan duduk."
Mereka duduk
semeja, saling berhadapan. "Sudah lama aku mendengar tentang Khong-sim
Kai-pang. Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai perkumpulan
baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo yang lihai dan terkenal sebagai tokoh
baik-baik. Mengapa kau di musuhi mereka?"
Tan Hui
menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang sejenak tadi kehilangan
bayangan duka, kini menjadi keruh kembali. "Panjang ceritanya, Nona. Akan
tetapi aku yakin bahwa kita segolongan, maka tidak ada salahnya kalau aku
ceritakan hal ini kepadamu. Eh, Bung Pelayan, tolong kau antarkan seguci arak dan
sekati daging."
Pelayan
menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum dan terbongkok-bongkok penuh
hormat. "Maaf, Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah Tan-taihiap yang
terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis itu tidak tahu diri, berani main gila
terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap (Pendekar Besar)!"
"Sudahlah,
tolong kau sediakan pesananku."
Pelayan itu
tersenyum-senyum ramah, lalu berlari pergi untuk mempersiapkan pesanan itu. Ada
pun pelayan lain melihat rumah makan itu masih belum banyak tamu, menggunakan
kesempatan menganggur ini lari ke luar rumah makan untuk membual tentang
kehadiran pendekar budiman Hui-kiam-eng Tan Hui di tempat kerjanya!
"Aku
mempunyai banyak musuh," Tan Hui mulai bercerita setelah menarik napas
panjang. “Semua karena salahku. Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri
urusan lain orang. Tak tahan aku melihat orang ditindas atau kejahatan berlalu
saja tanpa turun tangan menolong. Sebab itu banyak pula orang
membenciku...."
"Sudah
selayaknya orang gagah dibenci orang jahat," Lu Sian berkata menghibur,
karena ia anggap hal seperti itu bukanlah hal yang patut disusahkan. Orang ini
gagah sekali dan sikapnya jantan, amat menarik hati. Akan tetapi wajahnya
selalu membayangkan kerisauan hati.
Tan Hui
mengangguk. "Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona. Karena itulah
maka aku tak pernah berhenti dengan tugasku, selalu kubela kebenaran dan
kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan untuk menghantam mereka
yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku mempunyai urusan dengan
Khong-sim Kai-pang. Setahun yang lalu, lima orang angguta Khong-sim Kai-pang
melakukan penyelewengan di kota Tong-an. Mereka minta derma secara paksa. Tidak
itu saja, malah seorang di antara mereka telah menculik puteri seorang hartawan
dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota itu, lalu turun tangan memberi
hajaran kepada mereka dan malah membunuh si penculik."
"Kenapa
tidak dibunuh semua saja?" Lu Sian memotong.
Tan Hui
menghela napas. "Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul akibat
begini panjang. Akan tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang
terkenal baik, apalagi aku memandang muka ketuanya, maka kuampunkan mereka dan
hanya membunuh seorang yang paling jahat. Aku sangka urusan hanya berhenti
sampai di situ. Tidak tahunya, ketika melakukan perjalanan aku dihadang dan
dikeroyok tiga puluh orang Khong-sim Kai-pang yang mendendam atas kematian
seorang temannya. Terjadi pertempuran dan biar pun aku merobohkan dan melukai
banyak di antara mereka, namun aku menjaga sehingga tidak seorang pun tewas.
Aku lalu pergi langsung mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu.
Yu Jin Tianglo marah sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan
penurunan tingkat. Urusan itu sudah beres sampai... setengah bulan yang
lalu..." Sampai di sini Tan Hui berhenti dan wajahnya memperlihatkan
kemuraman.
"Lalu
mereka mengganggumu? Kalau hanya pengemis-pengemis itu saja, takut apakah? Biar
mereka datang mencari mati. Kalau Yu Jin Tianglo membela anak buahnya yang
mencari perkara, dia pun tidak benar dan perlu diberi hajaran!"
Tan Hui
tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara penuh semangat dan marah-marah.
Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Lu Sian, mengapa gadis ini menjadi
begitu marah?
"Sungguh
tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo..."
"Tidak
enak bagaimana? Anak buahnya yang tak tahu aturan yang mencari-cari perkara!
Apakah kau takut menghadapi orang tua itu? Tan-enghiong, jangan khawatir, aku
akan membantumu. Aku tidak takut menghadapi orang tua itu kalau ia banyak
bertingkah membantu anak buahnya yang tidak benar!"
Tan Hui
tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian, maka ia makin terheran-heran. Memang
watak Lu Sian amat ganas menghadapi orang-orang yang ia anggap memusuhinya atau
memusuhi orang yang disukainya. Dan Tan Hui otomatis telah menarik perhatiannya
dan menimbulkan rasa sukanya!
Dengan muka
masih terheran Tan Hui bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih atas
perhatian Nona terhadap perkaraku."
"Ah,
kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau katakan tadi bahwa kita orang
segolongan? Tak perlu sungkan-sungkan lagi," jawab Lu Sian.
Tan Hui
duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu menghirup araknya.
"Persoalannya tidaklah begitu sederhana. Kalau hanya para anggota
Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah menguatirkan. Akan
tetapi dua pekan yang lalu... aku hidup sebatang kara, mengapa mereka
mengganggu anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima
tahun...."
Lu Sian
terkejut dan merasa agak kecewa. "Tan-enghiong! Kau bilang hidup sebatang
kara... tapi kau... mempunyai anak?"
Melihat
kekagetan orang, Tan Hui tersenyum duka. "Memang aku sebatang kara...
semenjak isteriku meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan
seorang anak yang kutitipkan kepada pamannya. Itu pula sebabnya orang-orang
jahat itu dapat menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin
mereka dapat melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau
seorang diri dan menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam,
serombongan anggota Khong-sim Kai-pang mendatangi rumah itu dan menggunakan
kekerasan menculik pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka
meninggalkan pesan bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus
menyerahkan diri kepada mereka!"
"Ah...
begitukah? Jahanam benar mereka! Di manakah adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia
seoranglah yang harus bertanggung-jawab menghadapi semua ini. Minta anak itu
dari tangannya, kalau tidak diberikan, berarti dia menantang!"
"Markas
Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu, hanya dua puluh li dari sini
jauhnya. Adapun Yu Jin Tianglo biasanya berdiam dalam sebuah kuil tua di luar
kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai di sini, siapa tahu, agaknya Yu
Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja datang untuk menentang!"
"Tak
usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita ke sana, aku akan membantumu,
Tan-enghiong!"
"Nona
Lu..., bukan aku tidak menghargai penawaranmu yang amat berharga itu. Akan
tetapi... urusan ini mengenai pribadiku sendiri, sedangkan Yu Jin Tianglo amat
lihai, belum lagi anak buahnya yang banyak...."
"Aku
tidak takut!"
"Aku
percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan tetapi... aku seorang duda yang
mencari anaknya, sedangkan kau... kau seorang Nona terhormat, seorang gadis
muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar melihat, tentu... ah, kiranya
amat tidak baik untuk namamu kelak...."
Tiba-tiba Lu
Sian serentak bangun berdiri, alisnya berkerut matanya berkilat. "Apa
peduliku akan pendapat orang luar! Aku suka membantumu, siapa melarangmu?
Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun seorang... janda! Kita maju
bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang, seorang duda dan seorang janda,
mana mungkin ada yang lebih cocok lagi?"
Tan Hui
tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia
bertemu dengan wanita begini cantik jelita, begini berani dan terbuka,
kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi hatinya, tinggi ilmu
silatnya. Seorang janda pula!
Pada saat
itu terdengar bentakan dari luar rumah makan. "Orang she Tan! Keluarlah
dan lekas berlutut untuk kami tangkap dan hadapkan kepada ketua kami!"
"Hemm,
mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku, mengapa Khong-sim Kai-pang dalam
waktu setahun telah begini berubah?"
"Kau
lihat saja bagaimana aku menghajar mereka!"
Sekali
menggerakkan kakinya Lu Sian sudah meloncat ke luar menghadapi dua orang
pengemis tua yang berdiri di depan rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar
desir angin dan tahu-tahu Tan Hui sudah pula berada di sampingnya. Kembali ia
kagum bukan main dan harus ia akui bahwa nama besar Hui-kiam-eng sebagai jago
ginkang nomor satu benar-benar bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah
sengaja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk
pamer kepada Tan Hui, juga untuk membikin jeri kedua orang pengemis tua. Siapa
kira, gerakannya itu bagi Tan Hui agaknya kurang cepat karena dalam sekejap
mata ia tersusul!
"Nanti
dulu, adik Sian!" bisik Tan Hui yang kini tidak tahu harus menyebut apa
kepada Lu Sian. Menyebut Nona tidak tepat karena Lu Sian ternyata bukan seorang
gadis, melainkan seorang janda seperti pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita
ini masih amat muda, maka ia merasa paling tepat menyebut adik saja.
"Biarkan aku bicara dulu dengan mereka."
Tanpa memberi
kesempatan kepada Lu Sian yang hendak membantah, Tan Hui sudah menjura kepada
dua orang pengemis tua itu sambil berkata, "Melihat ikat pinggang putih
yang Jiwi (Tuan Berdua) pakai, kiranya Ji-wi termasuk pimpinan Khong-sim
Kai-pang. Kini aku dapat bicara dengan baik, tidak seperti tiga orang anggota
tadi yang datang-datang lantas menyerang. Mungkin Ji-wi sudah tahu bahwa di
antara Khong-sim Kai-pang dan aku tidak ada urusan permusuhan semenjak aku
bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun yang lalu. Oleh karena itu, kuharap Ji-wi
suka menghadapkan aku kepada orang tua itu agar urusan di antara kita dapat
diselesaikan baik-baik. Ingin benar aku mendengar kata-kata orang tua itu
tentang main-main dari Khong-sim Kai-pang dengan anakku ini!"
Di dalam
ucapan Tan Hui ini, biar pun terdengar sopan dan lunak, namun terkandung
kekerasan tersembunyi sehingga sama sekali tak boleh dikatakan pendekar ini
merendahkan diri. Betapa pun juga, Lu Sian tidak puas. Menurut kata hatinya,
lebih baik menggunakan pedang dari pada menggunakan lidah dalam menghadapi
orang-orang macam itu.
Dua orang
pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh tahun lebih. Keduanya bersikap
sombong dan memandang rendah, apalagi yang memegang tongkat berbentuk ular.
Mukanya yang penuh keriput itu kelihatan pucat, akan tetapi selalu membayangkan
senyum mengejek dan pandang matanya seperti pandang mata seorang bangsawan
melihat pengemis. Dengan gerakan mulut yang kedua ujungnya ditarik ke bawah, Si
Tongkat Ular ini berkata, "Inikah orang muda sombong bernama Tan Hui yang
telah membunuh dan menghina anak buah Khong-sim Kai-pang?" Sambil berkata
demikian, ia menggoyang-goyangkan tongkatnya yang berbentuk ular itu di depan
dada dengan gerakan penuh aksi!
Akan tetapi
pengemis ke dua yang mempunyai kepala besar sekali, sikapnya biar sombong namun
lebih sungguh-sungguh dan berwibawa. Ia berkata dengan suara membayangkan
ketinggian hati. "Hui-kiam-eng Tan Hui! Setahun yang lalu kau menggunakan
kelemahan bekas pangcu (ketua) kami, mengandalkan kepandaian untuk membunuh dan
menghina anak buah kami. Sekarang kami telah mempunyai pangcu baru yang tidak
mau membiarkan Khong-sim Kai-pang dihina orang. Oleh karena itu, kalau kau
menghendaki anakmu selamat, pangcu kami minta kau datang menghadap kepada
beliau di Kang-hu!" Setelah berkata demikian, pengemis berkepala besar ini
membalikkan tubuh hendak pergi.
"Heh-heh,
mungkin dengan minta-minta ampun dan mengajak dia ini menghadap Pangcu, kau
akan diampuni!" kata Si Pengemis Bertongkat Ular yang lalu membalikkan
tubuh pula, kemudian dengan langkah dibuat-buat ia meninggalkan tempat itu,
setelah melirik-lirik ke arah Lu Sian.
Tan Hui
terkejut sekali dan termenung. Kiranya Yu Jin Tianglo sudah tidak menjadi Ketua
Khong-sim Kai-pang, sudah diganti. Pantas timbul urusan ini, pikirnya. Akan
tetapi, ke manakah perginya Yu Jin Tianglo? Dan siapa penggantinya? Ia harus
lekas-lekas datang ke Kang-hu dan semua pertanyaan itu tentu akan terjawab.
Terhadap sikap dua orang pengemis tua itu, Tan Hui sama sekali tidak ambil
peduli!
Boleh jadi
Tan Hui menganggap mereka itu tidak perlu dilayani. Akan tetapi tidak demikian
dengan Lu Sian. Dia masih dapat menahan kesabarannya melihat dua orang itu
memandang rendah Tan Hui. Akan tetapi ketika pengemis kurus bertongkat ular itu
membawa-bawa dia yang jelas sekali mengandung maksud kotor dan kurang ajar,
mana mungkin Lu Sian berlaku sabar lagi?
"Eh,
eh, nanti dulu, Lo-kai (Pengemis Tua) yang baik, aku mau bicara denganmu!"
Dengan langkah cepat Lu Sian mengejar.
Tan Hui mengerutkan
keningnya. Sahabat barunya ini benar-benar seorang wanita yang tidak tahu
bahaya, pikirnya. Melihat ikat pinggang putih lebar yang dipakai kedua orang
pengemis itu, terbukti bahwa mereka adalah pimpinan Khong-sim Kai-pang dan
sudah terkenal bahwa para pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah orang-orang yang
memiliki ilmu silat tinggi. Sekelebatan saja ia tadi dapat menerka bahwa si
Kepala Besar adalah seorang ahli lweekang yang amat kuat, sedangkan si Kurus
itu agaknya seorang ahli bermain ilmu tongkat.
Ia dapat
menduga bahwa Lu Sian tentu hendak mencari perkara, maka diam-diam ia merasa
khawatir, akan tetapi juga ingin sekali ia tahu sampai di mana kelihaian dua
orang pengemis itu dan terutama wanita yang menarik hatinya ini. Tadi ia hanya
menaksir kelihaian Lu Sian melihat cara ia menyambit dengan sumpit, akan tetapi
sesungguhnya hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Karena keinginan tahu inilah
maka ia tidak menghalangi Lu Sian, melainkan mendekat agar dalam keadaan
berbahaya, ia dapat memberikan pertolongan dengan cepat.
Kedua orang
pengemis itu berhenti. Si Kepala Besar tidak bergerak, hanya membalikkan
tubuhnya, akan tetapi si Kurus sudah melangkah lebar menghadapi Lu Sian sambil
memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai. "Nona mau bicara apakah?"
Ia melangkah maju sampai dekat sekali sehingga terpaksa Lu Sian mundur dua
langkah.
"Harum...
sedap...!" si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang
tercium keharuman luar biasa ketika ia mendekati Lu Sian.
Diam-diam
Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam
sudah menjadi heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi
mendengar seruan kurang ajar itu ia merasa panas dadanya. Benar-benar tidak
patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu!
Lu Sian
sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam,
kemudian ia berkata, "Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada
Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap pangcumu agar mendapat pengampunan,
apa artinya itu?"
Si Pengemis
tertawa. "He-he-he... Nona seorang yang cantik luar biasa seperti
bidadari, harum seperti mawar hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu girang
hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin kemarahannya terhadap
orang she Tan akan mencair."
Di dalam
hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek jembel
buruk seperti ini? Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis.
"Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu lihai dan
terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?"
Si Kurus
kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya. "Wah, namaku sih tidak
terlalu besar akan tetapi di dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup
menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat Aneh Ular
Sakti)!"
Kakek jembel
itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak tercengang
ketika melihat gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia bingung
melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan tetapi hatinya lalu membengkak
besar saking bangganya.
"Hebat,
Kakek Jembel, hebat namamu! Pantas kau selalu goyang-goyang tongkatmu seperti
ular! Kiranya julukanmu Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar di tengah
hari panas!"
Kembali
pengemis itu melengak. "Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru
sekali ini aku mendengar pujian begitu."
"Kau
tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan
mendatangkan hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti
perut kosong kebanyakan angin, maka angin busuk pula yang dikeluarkan!"
Tan Hui tak
dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas dan
liar, akan tetapi juga terlalu... menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa Koai-tung
marah bukan main. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dipermainkan oleh wanita
cantik ini.
"Uh-uh,
bocah kemarin sore, berani kau memandang rendah tongkatku dan nama
besarku?"
"Ah,
sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa,
tentu kau pun mempunyai keistimewaan pula."
"Memang,
aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa
seorang manusia melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau
ini, sekaligus hatiku lemas!" Ternyata kakek ini tidak hanya lihai
julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas.
Namun ia
menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai bicara.
"Sayang sekali, tua bangka jembel. Mulai hari ini julukanmu akan berganti
dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!" kata-kata ini ditutup dengan gerakan
tangan dan.....
"Singgg!"
pedang Toa-hong-kiam sudah berada di tangan kanan sedangkan tangan kirinya di
saat itu juga sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak
sebagai kilatan sinar merah yang semuanya menuju ke arah muka Si Pengemis Kurus!
"Aiiihhh!"
Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai. Dalam kegugupannya,
tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena
dipukul runtuh.
"Monyet
tua, makan pedangku!" Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia
menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat
bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai
mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah
menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!
"Eh...
orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!"
Lima kali
pengemis itu menangkis dengan tongkatnya. Keringat dingin mengucur membasahi
mukanya karena hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu
tongkatnya memang lihai, maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil
mengeluarkan seruan kaget, ia melompat ke belakang menjauhkan diri agar
terlepas dari pada rangkaian kilat menyambar itu.
Lu Sian
berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek. "Ular
Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?"
Kalau tadinya
pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil
membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi
demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak. Sejenak ia tak dapat
mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia
berteriak-teriak.
"Bocah
setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Berkata demikian ia lalu memutar
tongkatnya dan menerjang maju. Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh karena
ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga ke mana hendak
menyerang.
Sejak tadi
Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum
wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian
menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan
dan main-main saja. Pedang di tangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan
seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, ke mana pun ujung tongkat pengemis itu
meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental
kembali.
"Hebat
wanita ini!" diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan
dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan
tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun
ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan. Ilmu pedang ini
aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas.
Dalam waktu
singkat saja Sin-coa Koai-tung merasakan keganasan ini karena tiba-tiba
garis-garis itu berobah menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari
kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi pihak penyerang karena
setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian
berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian
terus menerus bergerak, sekali bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang
berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang
Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah
dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.
"Menarilah,
Ular Buduk, menarilah!" Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin
gencar dengan jarum dan pedangnya. Sengaja ia menutup jalan bawah dengan
serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsak ke arah muka sehingga
keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncat-loncat
menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia
melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah
tidak karuan lagi gerakannya!
Tiba-tiba Lu
Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi,
tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya
menggelinding ke dekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itu pun buntung!
"Nah,
bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?" Lu Sian
mengejek.
Kebetulan
saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia
tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju
dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan!
"Jangan
curang!" tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan
tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan
di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis
kepala besar.
"Dukkk!"
dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel.
Alangkah
kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat
dan tak dapat ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan
lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekang-nya
untuk melawan. Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling
tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang.
Pertandingan
macam ini selalu lebih berbahaya dari pada pertandingan ilmu silat yang setiap
serangan masih dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah
tentu akan menderita luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga
pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin
berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya
takkan sukar mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur
mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya!
Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.
"Koko,
mengapa begini sabar melayani dia?" tiba-tiba Lu Sian berkata halus di
belakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu.
Tan Hui
kaget. Tepukan itu biar pun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga
lweekang-nya, karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun
untuk menghindarkan diri tak mungkin. “Celaka,” pikirnya. “Apakah Lu Sian ini
hendak mencelakai aku?” Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya ‘koko’ begitu
mesra.
"Plakkk!"
Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tempat di mana hawa sinkang lewat dan
menjurus ke lengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya,
tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek
berkepala besar itu mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, lalu
bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!
"Kalian
yang curang!!" kakek itu memaki. Begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah
menyambar sebuah batu besar di sampingnya dan melontarkannya ke arah Tan Hui
dan Lu Sian.
Batu itu
besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi
dengan begitu mudah dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja!
Hebat serangan ini, karena jarak di antara mereka hanya empat meter sedangkan
batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia
banting ke belakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan
penuh kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat ke depan agak tinggi dan tepat
pendekar itu hinggap di atas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung
saja gerakan ini, kemudian ia ‘menunggang’ batu itu dan ketika batu jatuh ke
tanah, ia pun meloncat turun!
"Wah,
kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!" tanpa
terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman.
Kakek
berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata,
"Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau
kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu
atau menerima kematianmu, barulah kami benar-benar kagum!" Ia lalu
menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari
situ.
"Adik Lu
Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka.
Kiam-hoatmu aneh dan hebat, ada pun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku
seperti tidak bermata, tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar
wanita yang sakti!"
Lu Sian tersenyum,
girang sekali hatinya. "Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji
setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama
sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum. Kalau saja aku
dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh... alangkah akan bahagia hatiku."
"Bagi
seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin di
dunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau yang sudah mampu mempelajari
ilmu silat sehebat itu?"
"Benarkah?
Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah,
terima kasih... kau baik sekali, baik sekali..." saking girangnya Lu Sian
memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti
itu, mata saling pandang, dan di dalam hati masing-masing makin tertarik.
Semenjak dua
tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh
dengan kesunyian. Hal itu biar pun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia
tahan karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak mudah
hatinya tergoda oleh kecantikan wanita. Maka selama ini ia pun tinggal menduda,
sedikit pun tidak pernah menoleh ke arah wanita lain, menekuni kesunyian
hidupnya.
Akan tetapi
pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa
cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi
tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekali pun mungkin akan tergetar kalau
melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati.
Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat
bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu
Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada di sebelah bawah tingkatnya
sendiri!
"Bagaimana,
Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?"
Sudah berada
di ujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa ilmu
pedang dan ilmu ginkang-nya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan, ia
merasa agak meragu. "Aku tidak keberatan... eh, tapi... ilmu itu belum
pernah diturunkan kepada orang luar... eh, maksudku, itu adalah ilmu
turunan...."
Lu Sian yang
masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui terpaksa
meramkan mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat hatinya
berguncang keras. "Apakah kau tidak mau menganggap aku orang
dalam...?" suaranya merdu lirih seperti berbisik.
Pada saat
itu sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan di depan
rumah makan. Melihat ini Tan Hui segera berkata perlahan. "Moi-moi, tak
baik bicara di sini seperti ini. Di manakah kau tinggal? Mari kita bereskan
perhitungan dengan rumah makan dulu."
"Aku
tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar,
Tan-koko..."
Akan tetapi
sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari
mendatangi. Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa
dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya pengawal atau tukang pukul. Akan
tetapi begitu tiba di depan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri
berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal
barang berharga) yang mukanya penuh debu dan keringat, bahkan di antara mereka
ada yang terluka sehingga pakaian mereka berlumur darah.
"Tan-taihiap
(Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu
yang celaka....!" seorang di antara mereka yang tertua dan pundaknya
terluka bacokan, segera berkata dengan suara penuh permohonan. "Kebetulan
sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap di sini, maka kami
segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka
menolong, berarti kami sekeluarga akan mati...."
Tan Hui
mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan orang
gagah bersikap selemah ini. "Kalian ini rombongan piauwsu dari manakah dan
apa yang terjadi sehingga kalian merengek-rengek seperti anak kecil?"
tanyanya berisikan teguran.
"Maaf,
Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah
putus harapan. Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang
Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan
mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar yang pindah
tempat, yang katanya berharga ribuan tail emas. Karena perjalanan menuju kota
Sui-kiang biasanya aman, kami tidak merasa khawatir apa-apa. Ternyata di luar
dugaan, di lereng bukit itu, hanya empat puluh li dari sini, kami dihadang
perampok. Barang-barang kami dirampas semua, bahkan di antara kami ada yang
tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru di sana,
dipimpin oleh kepalanya yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami,
karena kami tidak mampu merampas kembali lima buah peti itu pasti perusahaan
kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!"
"Kalian
tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?" tiba-tiba
Lu Sian membentak mereka. "Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah
harus berani menanggung resikonya, mengapa kalian ribut merengek-rengek minta bantuan
orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami punya urusan
yang lebih penting!"
Tujuh orang
piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya wanita
cantik jelita yang galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu berada di
situ bersama Tan Hui, mereka lalu membentur-benturkan jidat ke tanah sambil
memohon-mohon dengan suara pilu.
"Sudah
bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang
selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami
mohon dengan segala kerendahan hati..."
"Hemmm,
sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu.
Di mana adanya si perampok?"
"Koko!
Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan
kita..."
"Hanya
sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam
perampok hina apa sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga
beres."
"Aku
tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!" Lu Sian
cemberut.
Tan Hui
tersenyum. "Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini, harap kau suka
menanti. Tak lama aku kembali."
Lu Sian
tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang ke arah para piauwsu
dengan marah. Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan. Setelah Tan
Hui pergi dengan cepatnya diikuti para piauwsu yang seakan-akan hidup kembali
karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan sikap
uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil
alat tulis, lalu ditulisnya beberapa huruf di atas kertas yang kemudian
dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah makan.
"Kalau
Tan-taihiap datang, kau berikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa,
surat ini sama harganya dengan sepasang telingamu!"
Pengurus itu
yang tadi melihat betapa wanita kosen ini membikin buntung telinga seorang
pengemis lihai, menjadi ngeri dan hanya dapat memandang dengan lidah keluar
ketika Lu Sian dengan langkah gesit keluar dari situ.
Mengapa
terjadi keanehan pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang? Dahulu perkumpulan ini
terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan dan kebaikan,
di bawah pimpinan Yu Jin Tianglo yang terkenal bijaksana dan keras terhadap
anak buahnya sehingga jarang terjadi anak buah perkumpulan ini berani melakukan
penyelewengan.
Akan tetapi,
memang terjadi perubahan hebat sejak tiga bulan yang lalu. Seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih bernama Pouw Kee Lui, berasal dari pantai Lautan
Po-hai, datang membuat gara-gara. Pouw Kee Lui ini bukan orang sembarangan, ia
murid seorang sakti yang bertapa di dalam gua-gua sepanjang pantai Po-hai. Semenjak
kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan memperoleh ilmu silat yang
tinggi sekali. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, ia tidak dapat menahan
gelora nafsunya yang memang selalu mengalahkan batinnya sehingga ia menculik
dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami wanita itu dan beberapa
orang keluarganya yang hendak membela wanita itu.
Gurunya
marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis, Pouw Kee Lui turun
tangan pula terhadap gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia berhasil
membunuh gurunya sendiri, kemudian membunuh pula wanita itu! Peninggalan
gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian ia ambil semua dan pergilah
Pouw Kee Lui meninggalkan pantai Po-hai dengan kedua tangan berlepotan darah
pembunuhan kejam! Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya, mempelajari
kitab-kitab dari suhunya, maka kepandaiannya makin meningkat tinggi.
Dalam
perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu
angkara murka, mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi
memuaskan dirinya. Merampok, membunuh, merampas wanita, dan mengganggu
orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga dalam beberapa
tahun saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas
dan kejam sepak terjangnya.
Pada suatu
hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan ia
mendengar tentang perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat. Dengan
tertarik ia mendatangi markas perkumpulan itu dan tercenganglah ia menyaksikan
betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata di sebelah dalamnya
terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap. Tertarik pula
melihat betapa kedudukan ketua perkumpulan ini amat dihormat, baik oleh anak
buah Khong-sim Kai-pang yang mempunyai ratusan orang anggota, mau pun oleh para
penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri memandang
perkumpulan ini dengan hormat! Maka timbullah niatnya yang bukan-bukan yaitu
ingin merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!
Dengan
tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia
menyatakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim
Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu menjadi marah, namun sekaligus
mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin Tianglo
sendiri yang tentu saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam
pertandingan yang hebat terbunuh olehnya!
Sifat-sifat
baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat
buruk itu tanpa diajarkan pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit
batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan kesaktian petualang muda itu,
para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk. Para anggota
perkumpulan ini menjadi gembira sekali melihat sifat Pouw Kee Lui atau
Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis) yang baru ini jauh berlainan dengan
sifat dan watak Yu Jin Tianglo. Nafsu mereka yang selama berada di bawah
pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini mendapat
jalan ke luar.
Mulailah
terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan
dendam yang selama ini terpaksa disimpan saja di dalam hati terhadap
Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah menyalahkan anak buahnya
sendiri, kini meluap-luap. Ketika para pimpinan menceritakan kepada ketua baru
itu, Pouw Kee Lui segera mengatur rencana dan menyuruh para pimpinan yang
berkepandaian cukup tinggi untuk menculik puteri Tan Hui yang baru berusia lima
tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini dilakukan karena ketua baru ini
merasa dirinya terlalu tinggi untuk langsung pergi mencari Hui-kiam-eng Tan
Hui!
Demikianlah
peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu
saja mengherankan hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan
kebesaran perkumpulan itu dan ketuanya, Yu Jin Tianglo.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat
penghinaan dari Tan Hui dan seorang wanita jelita bernama Lu Sian. Malah dua
orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian cukup dan ia utus menantang
Hui-kiam-eng Tan Hui juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan ini
sudah melampaui batas, dan ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk
mencari sendiri Tan Hui, tiba-tiba muncullah Lu Sian yang menerobos masuk
dengan pedang di tangan dan berseru.
"Di
mana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil
kembali puterinya!"
Di dalam
kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang sedang berkumpul, malah dua orang
pengemis yang telinganya buntung dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam
juga hadir di situ. Menyaksikan seorang wanita muda dengan pedang di tangan
yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona dan
keheranan. Ia dapat menduga tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi
telinga pembantunya. Ia terheran-heran bagaimana ada seorang wanita muda yang
cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu.
Pouw Kee Lui
pada hakekatnya bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia
benar-benar terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.
Namun ia tidak bodoh. Ia tahu bahwa seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah
berani dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan, tentulah memiliki
kepandaian yang boleh diandalkan. Kepandaian dua orang pembantunya bukanlah
rendah. Kalau dua orang pembantunya itu pulang dalam keadaan terluka cukup
hebat setelah bertemu dengan wanita ini, terkena jarum beracun harum,
telinganya buntung dan isi dadanya terguncang dan terluka, jelas bahwa di dalam
Kai-pang, kiranya hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi wanita itu.
Maka sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu
lebih dulu siapa gerangan wanita ini dan dari golongan mana.
Akan tetapi,
begitu dua orang pengemis yang kalah di depan rumah makan itu melihat munculnya
Lu Sian, mereka sudah lantas memaki dan memandang dengan mata melotot. Ini cukup
menjadi isyarat bagi para pimpinan pengemis yang jumlahnya ada tujuh orang
lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata masing-masing. Tujuh
orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang memiliki kepandaian
tinggi. Lima di antara mereka, bersenjatakan tongkat mereka, sedangkan yang dua
orang mencabut pedang.
Namun Lu
Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang, dan tangan
kanan yang memegang pedang menudingkan ujung pedangnya ke arah tujuh orang
pengemis itu, ia membentak, "Aku tidak ada tempo untuk berurusan dengan
segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu Jin Tianglo keluar untuk bicara
denganku!"
Akan tetapi
tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan mereka
lalu membuat gerakan mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian menjadi
gemas sekali dan ia sudah siap menerjang untuk memberi hajaran ketika di
belakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.
"Nona,
Yu Jin Tianglo yang kau tanyakan itu sudah mati."
Kaget sekali
Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis bahwa
para pengemis sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia sangka bahwa Yu
Jin Tianglo sudah mati. Cepat ia memutar tubuh menghadapi si pembicara yang
bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek, wajahnya berkulit
kasar akan tetapi tidaklah buruk bahkan mendekati tampan. Kelihatannya orang
ini lemah dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, akan tetapi sepasang
matanya mencorong bagaikan mata srigala. Pakaiannya biar sederhana, namun tidak
ada yang ditambal, maka ia sama sekali tidak kelihatan seperti anggota
pengemis, apalagi seperti ketua pengemis.
"Mati...?"
Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru.
"Ya,
mati," kata Pouw Kee Lui dan senyum sinis muncul di bibirnya. "Sangat
tidak kebetulan sekali, ia mati melawan aku."
Diam-diam
kagetlah Lu Sian. Siapa kira orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh
Yu Jin Tianglo yang terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di
depannya ini pantasnya seorang petani gunung, atau paling hebat seorang
pedagang obat keliling.
"Hemmm,"
akhirnya ia mendengus. "Kau siapakah?"
Akan tetapi
pada saat itu, tiba-tiba tujuh orang pengemis tua sudah serentak maju
menerjangnya. Terpaksa Lu Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh
menghadapi mereka yang sudah mengurungnya. Ia segera menggunakan jurus Delapan
Iblis Menahan Hujan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis
datangnya hujan senjata, bahkan sekaligus pula dapat balas menyerang! Terdengar
suara nyaring beradunya senjata dan di antara berdentingan ini Lu Sian
mendengar orang itu tertawa dan berkata dengan nada mengejek.
"Namaku
Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang ketua Khong-sim Kai-pang!"
Lu Sian
marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan lemah
itu amat curang. Tentu tadi selagi bicara dia memberi perintah kepada para
pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan kesempatan selagi ia agak lengah.
Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu. Kemarahannya
meluap-luap ketika ia memaki, "Pengecut tengik! Kalau tidak lekas kau
bebaskan puteri Tan Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang hari ini!"
Pouw Kee Lui
memperhatikan gerakan pedang nona itu. Diam-diam ia terkejut dan heran karena
ia sama sekali tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip Pat-sian Kiam-hoat
itu. Ia sudah berpengalaman dan boleh dibilang mengenal ilmu pedang dari
golongan mana pun, baik dari partai bersih mau pun dari golongan hitam. Akan
tetapi ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing baginya dan ia
harus akui bahwa ilmu pedang ini hebat!
"Wesss-wessss!"
tiba-tiba tedengar suara beberapa kali dan.... seorang demi seorang pengemis
tua yang mengeroyok Lu Sian terjungkal roboh karena mereka merasa kaki mereka
menjadi lumpuh secara mendadak.
Lu Sian
sendiri tidak tahu mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia
tidak mau mengotori pedangnya dengan lawan yang roboh bukan oleh dia. Dengan
heran dia hanya menambah tendangan saja, membuat mereka yang roboh mencelat ke
luar dari ruangan. Segera terdengar hiruk pikuk mereka memaki dan menyatakan
rasa heran.
"Ilmu
siluman....!"
"Dia
bukan manusia!"
Tujuh orang
pengemis itu memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi kaget bukan main.
Matanya mengerling ke kiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung
tempat beras, bersandar di sudut kiri ruangan itu, di belakang patung Budha. Ia
tahu betul bahwa tadinya tak pernah ada karung seperti itu. Tentu dari karung
itulah datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh, maka ia
berlaku hati-hati sekali.
Gadis cantik
jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya, dan masih mempunyai pembantu yang demikian
hebat ilmu pukulannya dari jarak jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak
berdaya, baru ia akan menghadapi tokoh aneh yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui
memang cerdik dan juga banyak akal bulusnya. Kini dengan wajah tersenyum dan
pandang mata kagum ia melangkah maju menghampiri Lu Sian sambil menjura dan
berkata.
"Lihiap
benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!" Akan tetapi ia menjura
bukan sembarang menghormat karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk
melancarkan pukulan yang amat kuat.
Lu Sian
kaget. Tentu saja ia sudah bersiap sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua
baru Khong-sim Kai-pang ini mungkin melakukan serangan gelap berselimut
penghormatan, akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa tenaga serangan
gelap itu akan sehebat ini. Ia merasa dadanya sesak. Cepat-cepat ia mengerahkan
tenaga untuk melawan dorongan tenaga yang tak tampak itu, dan legalah hatinya
bahwa ia berhasil mendorong mundur hawa pukulan Pouw Kee Lui.
Akan tetapi
pada saat keduanya bersitegang mengerahkan tenaga, dan pada saat Lu Sian merasa
lega karena mengira bahwa tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga
perasaan ini membuat ia agak lengah, tiba-tiba tangan kanan Pouw Kee Lui
menyambar ke depan dan tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah kena dicengkeram!
Lu Sian
terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu. Biasanya orang
yang saling mengadu tenaga lweekang seperti mereka itu sama sekali tidak
mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan gelap seperti yang dilakukan
ketua pengemis ini. Lengan kiri Lu Sian yang dicengkeram terasa sakit sekali,
seakan-akan dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api yang mengalir
masuk melalui pergelangan tangannya yang dicengkeram. Ia kaget dan marah, lalu
menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk dibacokkan ke arah muka lawan.
Namun tenaga
bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali. Agaknya si
Ketua Pengemis menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa nyeri
sehingga bacokan Lu Sian tidaklah sehebat yang ia inginkan. Dengan tangan
kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat mengenai tangan
kanan Lu Sian yang memegang pedang. Begitu keras tangkisan ini sehingga
terpaksa Lu Sian melepaskan pedangnya yang meluncur ke sebelah kanannya, ke
arah karung yang bersandar di sudut belakang arca! Ini saja sudah membuktikan
kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus sambil menangkis
serangan pedang, dapat membuat pedang lawan menyerang ‘karung’ itu.
Tepat
seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati. Tiba-tiba karung itu
mencelat ke atas dan pedang Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan
menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri setelah jatuh di atas lantai,
membal lagi ke atas dan hinggap di atas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan
tetapi tidak jatuh ke bawah.
Sementara
itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim
Kai-pang ini. Namun ia segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan
kanan dengan jari terbuka menghantam pusar lawan sambil tangan kirinya yang
masih dicengkeram itu di tarik keras.
Hebat sekali
serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu silat
Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan suara
teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee Lui juga kaget, terpaksa melepaskan
pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar pedangnya yang
menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi menghadapi
lawannya yang tangguh, tangan kirinya diam-diam mengambil segenggam
Siang-tok-ciam.
Pouw Kee Lui
kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu bahwa ia takkan kalah
menghadapi gadis jelita ini. Yang membuat ia ragu-ragu adalah setan karung itu,
yang ia belum ketahui siapa, bahkan belum ia ketahui apakah isinya, manusia,
binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berada dalam
karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi dari pada
kepandaian nona ini, bahkan belum tentu ia sendiri mampu menandinginya. Melihat
munculnya tokoh rahasia ini tepat pada waktu Lu Sian datang mewakili Tan Hui,
ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia berlaku lebih hati-hati.
Seperti biasa, Pouw Kee Lui orangnya cerdik, dapat melihat gelagat dan tidak
mau sembrono.
"Tahan
dulu, Nona!" ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya
lagi, bahkan siap dengan jarum-jarum rahasia di tangan kiri. Ketika ia
memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah terheran dan
menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun
harum dan berwarna merah.
Lu Sian juga
bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini benar-benar
amat lihai. Ia masih belum tahu pula apakah atau siapakah adanya karung yang
dapat bergerak aneh bahkan yang tidak termakan oleh pedangnya, yang dapat
mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan pengemis yang
mengeroyoknya tadi, dan yang sekarang masih bergoyang-goyang di atas kepala
arca. Menghadapi seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak boleh berlaku nekat dan
sembrono. Maka ia pun menahan serangannya, memandang dengan mulut cemberut,
hatinya masih mendongkol karena pergelangan tangan kirinya masih terasa nyeri
bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.
"Nona,
terus terang saja, di antara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa,
bahkan selamanya baru kali ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan
Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang kupimpin, bukan urusanku
pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk
menghindarkan kesalah-pahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang
datang mewakili Tan Hui, dari golongan mana dan apa sebabnya mewakili
Hui-kiam-eng Tan Hui yang tidak berani datang sendiri?"
Lu Sian
tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini seorang
lihai, pula di situ masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang yang juga
tidak boleh dipandang ringan kalau mereka maju mengeroyok, perlu ia
mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang. "Dari
golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk
dibandingkan dengan perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau
hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu Sian, adapun Ayahku adalah Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan...."
"Beng-kauwcu
(Ketua Beng-kauw)...??" Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget.
"Betul.
Nah, kau mau bicara apalagi?" Lu Sian berkata dengan suara angkuh.
"Aku
mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan Kam-goanswe...?"
"Sekarang
tidak lagi!" Lu Sian cepat memotong. "Nah, sekarang kau mau serahkan
puteri Hui-kiam-eng atau kita lanjutkan pertandingan?"
Pouw Kee Lui
tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi setelah ia
mengetahui bahwa wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi soalnya!
Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua dari
Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak buah
Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia merebut
kedudukan pangcu bukan karena ia terlalu mencinta para pengemis.
"Ah,
kiranya puteri Beng-kauwcu! Di antara kita orang segolongan, perlu apa terjadi
pertengkaran tiada artinya?"
"Kita
bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku
bukan pengemis!"
Kembali Pouw
Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak
merasa sebagai pengemis biar pun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan
tetapi para pimpinan Khong-sim Kai-pang memelototkan mata karena mereka sebagai
tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.
"Biarlah
kukembalikan anak Hui-kiam-eng karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu
Sin-ong!" Sambil berkata demikian, Pouw Kee Lui menoleh ke arah arca.
Alangkah kaget hatinya melihat bahwa setan karung tadi sudah tidak berada lagi
di tempat itu. Entah ke mana perginya!
Ia merasa
heran dan penasaran. Dengan kepandaiannya yang tinggi, bagaimana ia sampai
tidak dapat melihat perginya makhluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa
tentu karung itu terisi manusia sakti dari Beng-kauw yang terkenal dengan
tokoh-tokohnya yang sakti. Ia menghela napas. Baiknya ia berlaku hati-hati.
Kalau ia sampai berlaku ceroboh dan melanjutkan permusuhan dengan wanita ini,
biar pun ia akan dapat menangkan Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan
tokoh-tokoh Beng-kauw dan tentu setan karung itu seorang tokoh Beng-kauw yang
akan membantu Lu Sian.
Ia memberi
isyarat kepada seorang anggota Kai-pang yang cepat masuk ke belakang kuil itu
dan tak lama kemudian orang itu datang kembali menuntun seorang anak perempuan.
Anak itu berusia lima tahun, wajahnya cantik, walau pun masih kecil sudah
tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis, hanya dengan sepasang
matanya yang bening memandang ke arah Lu Sian.
Lu Sian
tersenyum kepada anak itu. "Anak baik, mari kau ikut aku pulang menemui Ayahmu."
Akan tetapi
anak itu diam saja, bergerak maju pun tidak, hanya memandang dengan penuh
pertanyaan dan ragu-ragu, agaknya tidak percaya kepada Lu Sian. Akan tetapi
ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun menurut saja, tidak membantah.
"Nah,
sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!" kata Lu Sian sambil
melangkah ke luar.
"Harap
sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!" kata Pouw Kee Lui tanpa
mempedulikan sikap para pembantunya yang kelihatan penasaran.
Setelah Lu
Sian pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi
para pembantunya sambil berkata, suaranya kereng. "Kalian mau apa?"
"Pangcu,
sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu. Pula, apakah kematian anak
buah kita di tangan Tan Hui harus didiamkan saja? Bukankah hal ini, biar pun
kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah, akan dipandang oleh dunia kang-ouw
bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan seorang temannya siluman betina?
Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan tertawaan dan...."
"Desss!"
Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan si pembicara itu, seorang pengemis tua,
jatuh tersungkur, giginya yang tinggal beberapa buah itu meloncat ke luar dari
mulutnya yang berdarah.
"Kau
tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga
mudah dikalahkan oleh Tan Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus
menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal berani menerjang saja
tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah
perkumpulan agama yang amat besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari
Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah Koksu Negara Nan-cao yang dalam sedetik bisa
mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kai-pang sama sekali
bukanlah lawan Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan
Khong-sim Kai-pang yang dulu dipimpin oleh seorang tua bangka lemah model Yu
Jin Tianglo? Phuh, hanya dua ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan
kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw dengan jalan mencelakai
puteri ketuanya. Sungguh tolol perbuatan begitu, berarti bunuh diri!"
Tercengang
para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu
banyak isi dan alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan yang
luas dari ketua baru ini.
"Kami
mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan," kata Si Kepala Besar.
Pouw Kee Lui
tertawa bergelak. "Di seluruh dunia ini, entah berapa banyaknya pengemis
macam kalian yang sesungguhnya merupakan kekuatan yang besar. Akan tetapi
kalian terpisah-pisah secara berkelompok, merupakan kaipang-kaipang yang tidak
ada artinya. Kalian lihat saja, aku akan menaklukkan semua kai-pang di seluruh
negeri, dengan Khong-sim Kai-pang menjadi golongan teratas. Setelah itu,
barulah kita menjadi kuat, dengan anak buah yang puluhan ribu orang banyaknya.
Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain tak usah kita pandang lagi!
Ha-ha-ha!"
Para
pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka
memikirkan hal ini, dan dengan ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu
bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo masih menjadi ketua mereka,
perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouw-pangcu
ini kepandaiannya jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk mendengarkan
uraian Pouw Kee Lui tentang rencananya hendak menundukkan para kai-pang,
menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada ketua kai-pang yang tidak tunduk akan
dibunuhnya.
Sementara
itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari
cepat mempergunakan ginkang-nya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga
puluh li lebih, di mana ia meninggalkan pakaiannya di rumah penginapan. Anak
perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang tengah malam, sampailah ia di
dusun itu, terus saja ia langsung menuju ke pondok penginapan dengan niat
menanti di situ sampai Tan Hui datang.
Akan tetapi,
pada saat itu ia melihat banyak orang di ruangan depan penginapan. Kiranya Tan
Hui baru saja kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para piauwsu.
Pendekar ini berhasil mengalahkan para perampok dan merampas kembali
barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan cepat Lu
Sian menyelinap ke tempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah
penginapan. Ia tidak dapat melihat jelas, akan tetapi dapat mendengar
percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau, dan mudah
dimengerti bahwa laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya
begini.
"Dasar
kau yang tidak mentaati nasehat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah
lagi dengan gadis pilihanku, tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu
sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu sendiri betapa Lian-ji (Anak Lian)
amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang
isterimu. Tidak akan ada wanita yang lebih tepat dari pada Siok Lan untuk
menjadi ibu Lian-ji...."
"Lauw-ko,
harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak
Lian...," terdengar suara wanita, suaranya menggetar penuh perasaan.
Tiba-tiba Lu
Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di bawah sinar lampu
tampaklah seorang laki-laki tua dan seorang gadis cantik di dalam ruangan itu,
selain ada beberapa orang lain yang berpakaian piauwsu. Ada pun Tan Hui duduk
menunjang dagu di atas bangku.
Setelah
menarik napas panjang berkali-kali, akhirnya Tan Hui meloncat bangun dan
berkata, "Aku harus menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha
menolong anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Kau
terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu
sampai besok pagi juga belum terlambat," kata suara parau.
"Akan
tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat berbahaya,
banyak orangnya yang pandai."
Pada saat
itu terdengar suara anak kecil berteriak. "Ayah...! Ayah...!" Dan
anak perempuan yang tadi digendong Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari
masuk.
"Lian-ji...!"
Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada di ruangan, disusul
tangis seorang wanita yang memeluk anak itu.
"Lian-ji!
Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak..."
"Bibi
Lan...!" Anak itu menangis dalam pelukan gadis cantik, sedangkan Tan Hui
yang sudah meloncat dekat membelai rambut kepala puterinya dengan wajah
berseri.
Tan Hui
menghadap ke arah pintu, kemudian berkata, "Adik Lu Sian, silakan
masuk!"
Akan tetapi
tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat
meloncat ke luar. Ia melihat bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari
halaman depan.
"Adik
Lu Sian...!" Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh
nona itu terguling roboh. Cepat ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu.
"Kau... terluka...?" bisiknya.
Sambil
merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih, "...punggungku... terkena...
jarum beracun...!" lalu ia menjerit dan pingsan.
Kagetlah
semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang
pingsan. "Inilah Nona Lu Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya
pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena racun. Lauw-ko, harap suka
menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu ke rumah, biar Adik Siok Lan
menemaninya. Aku harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan
racun, sekarang juga!"
Orang yang
suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan Hui
memondong tubuh seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya dan
berkata. "Mengapa susah-susah? Apakah tidak lebih baik dirawat di
penginapan sini lalu memanggil tabib?"
"Ah,
kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya dan hanya ahli-ahli
saja yang dapat mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku
sampai mengorbankan diri, bagaimana aku dapat ragu-ragu lagi untuk menolongnya?
Harap Lauw-ko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan, aku mohon
bantuanmu menemani keponakanmu." Setelah berkata demikian, sambil kedua
lengan memondong tubuh Lu Sian yang lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja
ia sudah berada di luar rumah penginapan.
"Tan-taihiap,
sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang
tidak mampu balas menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran!" seorang di
antara para piauwsu itu berteriak, namun Tan Hui tidak mempedulikan mereka.
Dengan
kecepatan luar biasa ia telah menggunakan ginkang-nya untuk berlari cepat
meninggalkan dusun itu. Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan pada
keesokan harinya ia masih kelihatan berlari-lari cepat keluar masuk hutan dan
dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun yang sunyi
dan tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh. Tan Hui girang sekali karena
tadinya ia merasa khawatir melihat Lu Sian tidak pernah bergerak dalam
pondongannya dengan wajah yang amat pucat.
"Bagaimana,
Sian-moi? Sakit sekalikah?" Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam
pondongannya.
Lu Sian
membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk. "Tan Hui Koko, kau
hendak bawa aku ke manakah?"
"Di
Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang
tinggal di kota I-kiang. Kalau aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai
di sana, dan kau tentu akan tertolong."
Lu Sian
menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan bagus
bentuknya. "Percuma, Koko, akan terlambat...."
Kaget sekali
Tan Hui mendengar hal ini. Ia seorang ahli pedang dan ahli ginkang, tidak
banyak mengetahui tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget dan
gugup. "Ah... kalau begitu... bagaimana baiknya Moi-moi?"
Sejenak Lu
Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya. "Tan Hui Koko, mengapa kau
membingungkan keadaanku? Kalau aku sampai mati pun kau tidak akan rugi
apa-apa!"
"Ah,
jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong
puteriku. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar
itu."
"Hemm,
jadi hanya karena ingin membalas budi? Andai kata aku tidak menolong anakmu,
tentu sekarang kau sudah tinggalkan aku mati kering di pinggir jalan tanpa
peduli sedikit pun, bukan?"
"Ah...
eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biar pun kita
baru saja berkenalan, akan tetapi aku... aku amat kagum dan suka kepadamu.
Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang paling penting, bagaimana
harus membebaskanmu dari pada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang... dalam
tiga hari terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti
tentang pengaruh racun?"
"Aku
tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun
ini. Akan tetapi aku sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku."
"Wah,
bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biar pun untuk itu aku harus korbankan
apa juga. Moi-moi yang baik, lekas kau katakan bagaimana aku dapat
menyembuhkanmu!" Girang sekali Tan Hui, hal ini dapat dirasakan oleh Lu
Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu memeluk tubuhnya makin
erat. Diam-diam Lu Sian tersenyum di dalam hatinya.
"Tan-koko,
tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan
tidak karuan. Lekaslah kau cari sebuah kamar penginapan di dusun ini."
"Kurasa
tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan di dusun kecil seperti ini,"
Tan Hui menjawab sangsi, memandang keadaan dusun yang sunyi itu.
"Kalau
begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu
untuk mengobati punggungku. Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum
bosan tinggal di dalam badanku."
Tan Hui
girang sekali dan dalam hati ia menjawab ucapan Lu Sian. "Siapa yang akan
bosan tinggal di dalam tubuh seindah tubuhmu?" Akan tetapi mulutnya tidak
menyatakan sesuatu.
Segera
mereka bisa mendapatkan sebuah rumah kecil yang cukup bersih, yang mereka sewa
dari keluarga petani. Dengan amat hati-hati Tan Hui meletakkan tubuh Lu Sian di
atas sebuah pembaringan dalam kamar sederhana tapi cukup bersih di pondok itu.
"Aduhh...!
Ah, punggungku yang terluka, kenapa kau telentangkan tubuhku...?" Lu Sian
mengeluh kesakitan, membuat Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu
wanita itu tertelungkup.
"Lekas,
Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas,
perih dan gatal-gatal...!"
Tan Hui
bingung melihat pinggang dan pinggul di depannya. "Ha...? Bagaimana bisa
memeriksanya...?" ia tergagap karena memang ia merasa sungkan sekali.
Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti harus membuka baju yang
menutupnya, betapa mungkin?
"Ah,
Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang
makin menghebat menjalar masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala
sopan santun dan sungkan-sungkan? Katakanlah, kau mau menolongku atau tidak?
Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati sendiri di
sini!"
"Moi-moi
kau tahu aku ingin sekali menolong..."
"Kalau
begitu, lekas kau buka baju di punggungku, kau robek saja! Lekas periksa dan
ceritakan kepadaku bagaimana macamnya dan di mana letaknya."
Mendengar
ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di
atas punggung dan....
"Brettt!"
baju luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh
jari-jari tangannya yang kuat.
Sejenak ia
puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju dengan urat-urat
merah membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir
kepeningannya, dan ia berkerut khawatir melihat di punggung kiri tujuh batang
jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu !....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment