Cerita sIlat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 10
Setelah
kekurangan dua orang pengeroyok, tiga orang ini bukan menjadi lemah, bahkan
makin kuat. Hal ini adalah karena dua orang yang telah toboh tadi memiliki
tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua tadi bukannya membantu, bahkan
menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga orang ini dan sekarang setelah
lapangannya lebih luas dan longgar, mereka ini dapat bersilat leluasa dan
mencurahkan seluruh daya serangnya.
Kim-mo Taisu
terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia menyelingi ayunan cambuknya dengan
pukulan Hek-see-ciang, yaitu pukulan beracun dari Tangan Pasir Hitam yang hanya
setingkat lebih lunak dari pada tangan Cui-beng-ciang milik Ma Thai Kun! Bukan
ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah permainan tongkat dan pedangnya dengan
serangan air ludah! Luar biasa berbahaya dan menjijikkan sekali cara bertempur
si Raja Pengemis ini. Akan tetapi air ludah yang kadang-kadang ia semburkan
dari mulutnya itu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Ketika Kim-mo Taisu
kurang cepat mengelak sehingga ada air ludah sedikit mengenai betisnya, terasa
panas seperti terpercik air mendidih!
Ia kaget
sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang pengeroyoknya yang lihai
ini dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan
Cap-jit-seng-kiam, maka permaianannya itu hanyalah ilmu pedang belaka, ilmu
pedang yang luar biasa namun masih kurang berhasil untuk menghadapi
pengeroyokan lawan yang begini saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang
sebetulnya merupakan ilmu yang sudah ia rangkai menjadi sepasang, dapat
dimainkan berbareng.
Pada
dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang, penyempurnaan dari Pat-sian
Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu, sedangkan Lo-hai-kun
aslinya adalah Lo-hai San-hoat, ilmu kipas yang juga telah mendapat petunjuk Bu
Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya, Kim-mo Taisu harus bermain pedang
dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara sempurna.
Akan tetapi
sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia
tidak memiliki pedang mau pun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau
perlu ia mempergunakan cabang sebagai pedang. Tentu saja tidak bisa sehebat
pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak ada
pedang, kini ia gantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena
tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan yang
mendatangkan angin.
Betapa pun
juga Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis
desakan pukulan Ma Thai Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba
tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di tangan Ban-pi Lo-cia telah membelit
pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding melawan
Ban-pi Lo-cia, pinggangnya juga pernah terbelit dan ia tidak mampu melepaskan
diri begitu saja.
Seperti juga
dahulu, ia cepat mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk,
tubuhnya melayang ke arah Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada
sedangkan tangan kirinya menampar kepala! Hebat bukan main serangan ini dan
Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya akan melakukan perlawanan senekat
ini. Terpaksa ia melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan
ke belakang!
Memang
Kim-mo Taisu juga hanya menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk,
maka ia tidak mengejar karena pada saat itu, pedang di tangan Pouw Kee Lui
sudah menyerangnya dengan ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya.
Kim-mo Taisu cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari
tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat, saling mengisap dan saling membetot.
Pada saat
itu Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat
pendekar ini roboh terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang
dan tongkat Pouw Kee Lui. Kini dalam keadaan setengah berbaring, Kim-mo Taisu
mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak menindas atau
membikin patah cabang itu di tangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu
di bawah dan Pouw Kee Lui di atas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu
terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja pengemis itu kalah kuat.
Ma Thai Kun
sudah melangkah maju. Wajahnya merah dan membayangkan kegirangan hatinya.
"Sekarang mampus engkau!" katanya lalu mengirim pukulan
Cui-beng-ciang ke arah kepala Kim-mo Taisu!
Kagetlah
pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata si Raja
Pengemis, maka tak mungkin ia mengelak lagi dalam ke adaan setengah terbaring
itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga sakti dan
menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.
"Plakk!"
kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam
keadaan setengah terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang
lawan dengan kedua tangannya! Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi
Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang
sudah tak dapat menghadapinya lagi itu.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan nyaring.
"Ha-ha-ho-ho! Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani bersekongkol
dengan segala macam penjahat? Benar-benar memalukan sekali!" Dan muncullah
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri tempat
pertandingan itu.
Bukan main
kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suheng-nya ini. Dalam keadaan
tangannya lekat pada tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia diserang,
sedangkan ia maklum akan watak suheng-nya yang keras seperti baja dan tidak
mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya melompat mundur dan
dengan mata beringas ia memandang suheng-nya, lalu memaki. "Lui Gan, di
antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu menentang
aku?"
"Cerewet!
Sebelum menghajar mampus padamu dengan tangan sendiri, hatiku takkan tenteram
karena pada suatu saat tentu kau mampus di tangan orang lain dan hal ini sama
sekali tidak kukehendaki!"
"Liu
Gan, kau benar-benar terlalu!" Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan
sambil mengeluarkan teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat
menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak beradik
seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru.
Biar pun
sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena
Ban-pi Lo-cia kini sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia
masih setengah berbaring. Akan tetapi tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berseru marah,
tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.
"Setan
iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?!" bentaknya.
Terdengar
jawaban nyaring pula, "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan.
Tempo hari, karena kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang,
kau rasakanlah tanganku!" Dan muncullah seorang kakek tua yang rambutnya
riap-riapan dan kumisnya panjang, yang ‘berdiri’ bukan di atas kedua kaki
melainkan di atas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin
atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa
Ong!
"Couw
Pa Ong! Kau masih belum mampus?" Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali.
Ketika
merobohkan Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan
melihat dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa Ong
sudah dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak
dapat digunakan lagi. Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia
tahu betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi
ketika tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak
bernafsu lagi untuk melanjutkan pertandingan.
Ban-pi
Lo-cia yang cerdik sudah cepat membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun
tentu sukar dapat mengalahkan bekas suheng-nya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar
sekali dapat mengatasi Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah
dia akan dapat menangkan Couw Pa Ong, biar pun kakek itu kini sudah lumpuh
kedua kakinya.
Melihat
gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil berkata.
"Couw Pa Ong, sekarang di antara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku
pergi saja!" Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat itu.
"Monyet
dari Khitan, kau hendak lari ke mana?" Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke
depan dan kedua tongkat yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari
cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.
Melihat
seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar.
Ia menggunakan kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan
mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan lari pergi. Kim-mo Taisu tidak
mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah lama ia
mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat
betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh
ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini tentulah amat lihai, dan ternyata
benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan sepasang tongkat
saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai
urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan saja raja pengemis itu lari.
Ma Thai Kun
berusaha melawan bekas suheng-nya, namun setelah beberapa kali mereka beradu
lengan, maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi bekas
suheng-nya. Maka setelah melihat betapa Ban-pi Lo-cia lari, juga Pouw Kee Lui
yang dibantunya lari diam-diam, ia mengutuk kecurangan dan sifat pengecut
mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus
Cui-beng-ciang yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan
menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan
bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga
meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah
segar, melompat kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.
"Kalau
belum mampus hatiku belum tenteram!" Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat
kemudian Kim-mo Taisu berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat
sunyi itu.
Ia
termenung, menghela napas berulang-ulang. “Tadi hampir saja aku menghadapi
bahaya maut yang tak terelakkan lagi. Kalau memang Tuhan belum menghendaki aku
mati, akhirnya pertolongan datang juga,” pikirnya.
Ia cukup
mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mustahil kakek ini sengaja menolongnya. Andai
kata seorang di antara para pengeroyok bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek
Beng-kauw itu sulit diharapkan untuk menjadi penolong dan justru akan menikmati
kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya untuk
membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya mendurhakai Beng-kauw.
Ada pun
kemunculan kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya belum tentu karena kakek yang tak
dikenalnya itu akan datang membantunya. Semuanya serba kebetulan, dan memang
aneh kalau orang belum ditakdirkan mati. Sebetulnya mati bukan apa-apa bagi
Kim-mo Taisu, ia sama sekali tidak gentar. Hanya ia akan merasa sayang sekali
kalau dalam pertandingan tadi dia yang mati, karena dengan demikian berarti
orang-orang macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw kai-ong akan makin merajalela, padahal
dua orang itu sama sekali tidak ada artinya hadir di dunia ini karena hanya
menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain!
"Kwee-koko....!"
Kim-mo Taisu
terkejut dan tidak bergerak. Ia justru membelalakkan mata. Gila, pikirnya,
mengapa tiba-iba ia bermimpi mendengar suara wanita? Tak mungkin ada wanita
memanggilnya Kwee-koko dengan suara semerdu itu.
"Kwee-koko....!"
Dengan
jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya dan wajahnya segera berubah,
matanya terbelalak, dan mulutnya ternganga ketika ia melihat seorang wanita
cantik jelita berdiri di situ, menggandeng seorang anak perempuan berusia
kurang lebih sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya dengan sepasang
mata berlinang air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo memandangnya
dengan telunjuk kiri di mulut, seperti anak terheran-heran.
"Kwee-koko...!"
untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya, suaranya gemetar penuh perasaan.
"Mengapa engkau menjadi begini?" Air matanya membanjir turun
membasahi sepasang pipinya.
Kim-mo Taisu
menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir bayangan itu, namun sia-sia. Tetap
saja wanita cantik itu masih berdiri di depannya, wanita cantik yang bukan lain
adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak mungkin! Ang-siauw-hwa sudah mati, tewas
membunuh diri karena perbuatan Ban-pi Lo-cia! Sekali lagi ia memandang dengan
teliti. Wajah itu, cantik manis dengan rambut digelung tinggi-tinggi ke atas,
ujungnya terjuntai ke belakang, tubuh yang kecil ramping padat itu. Tak salah
lagi, dia inilah Ang-siauw-hwa si Kembang Pelacur di Telaga Barat. Tapi
Ang-siauw-hwa sudah mati, hal ini ia yakin benar.
"Nona....
Eh, Nyonya.... Siapakah....?" ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar
karena jantungnya berdebar keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal
ini sudah pasti, maka ia tidak pernah mengenal wanita ini. Mengapa dia
memanggilnya Kwee-koko dengan suara begitu mesra?
Wanita itu
menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah, lalu ia memandang lagi sambil
berkata halus, "Kwee-koko, aku adalah Gin Lin...."
"Ah...!"
Kim-mo Taisu menepuk dahinya. "Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim
Lin...?" Ia cepat menahan sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama julukan
Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim Lin sebagai seorang pelacur.
Wanita itu
mengangguk. "Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara kembarku."
"Apa...?
Engkau sudah tahu bahwa dia... eh, dia... bernama Ang-siauw-hwa dan sudah
meninggal dunia?"
"Aku
tahu karena engkau sendiri yang menceritakan kepadaku...."
"Hehh...?!"
Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi melihat wanita itu
menyembunyikan senyum manis, senyum membayangkan kegelian hati. Aneh, pikirnya.
Jangan-jangan saudara kembar Ang-siauw-hwa ini seorang yang tidak beres
otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda Kwee.
"Nona, maaf. Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana kau bisa tahu bahwa
aku she Kwee?"
Naik sedu-sedan
dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang. "Kwee-koko, apakah
kau tidak mengenal suaraku?"
"Suaramu
seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa...."
"Ah,
alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya
tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya. Kwee-koko, kau kenalilah aku?"
Wanita itu
dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, menutupi muka
dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu
melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan muka
pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka Buni yang kini berdiri di depannya!
"Kau...?!
Kau...?!" ia berkata, suaranya menggigil dan kakinya melangkah maju.
Gin Lin
melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh. "Kwee-koko, apakah kau
sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo Taisu
berdongak dan tertawa bergelak-gelak, "Kau rindu....? Ah, dan aku....
aku... ah, sampai gila aku memikirkan kau....!"
Bagaikan
didorong tenaga mukjijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, lalu
berdekapan mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih
tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata ketika mereka
berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia
menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh ‘nenek’ itu.
"Ha-ha-ha-ha!
Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!"
Gin Lin
mengusap-ngusap rambut yang terurai itu. "Kwee-koko, kenapa kau sampai
menjadi begini?"
"Apa?
Seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan keadaanmu sebagai seorang
nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan seorang
nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku tercinta!"
Gin Lin
memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis, sedangkan
suaminya masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan
pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa segala sehingga tidak ingat bahwa
anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu menangis pula
menyaksikan mereka mengucurkan air mata.
"Ibu...
Ibu....!" Anak itu memanggil.
Kim-mo Taisu
tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan
terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat. "Kau.. kau... sudah menjadi
isteri orang lain...?"
Gin Lin
tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu.
"Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku
melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk mati di
Neraka Bumi. Aku membawanya ke luar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."
Terdengar
rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan
anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil
tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya.
Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan
hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling
besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat
ini.
"Isteriku...!
Anakku...! Ah, Kwee Seng... Kwee Seng... agaknya Thian masih menaruh kasihan
kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah...
sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau
tidak mau menjadi ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih
menangis? Apa Ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?"
Ucapan yang
keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu.
Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang
selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi, ternyata masih menaruh cinta kasih
yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andai kata Gin Lin
benar-benar seorang nenek sekali pun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang
yang begitu mencintanya.
"Eng
Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!"
Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi
Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?"
"Ayah
tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!" Anak itu
memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata
membasahi pipi.
"Suhu...!"
Kwee Seng
memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ.
"Teecu
menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru)
dan... dan adik puteri Suhu," kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya
dan muka ikut bergembira.
Kim-mo Taisu
menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi
muridnya berkata, "Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa
pamit?"
Mendengar
suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng
segera menjawab ayahnya. "Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang
membawa Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik,
Ayah!"
"Ehh...??"
Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan
isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu
ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk
kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat. Maka setibanya di
rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu,
menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tanpa mau
kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku
lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya
benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw
Pa Ong yang membantumu."
"Couw
Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?"
"Mari
kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?"
terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia
tidak mengenal arti kata ‘pulang’ lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan
memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu
Song, kau ikut dengan kami," kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan
tetapi Bu Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu
Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata,
akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka.
Anak itu
sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan
suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi
sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh
ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng
Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula agaknya suhunya marah kepadanya.
Kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu
Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan
ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut!
Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar
ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang
anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani
luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya
dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi
karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya
sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya
lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera
membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu
Song, kau lihat aku!"
Bu Song
mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang
suhunya dengan mata tajam.
"Ketika
aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa
pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song
menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau
bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh...??
Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?"
Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran.
"Karena...
karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu...."
"Apa
kau bilang?!" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya, lalu
berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya baik-baik. "Dia itu
kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah
teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau
ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu...."
Jantung
Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa
ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si
Ek...??"
Bu Song
meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu
mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak
baik, tentu saja aku mengenal mereka!"
"Kalau
begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan
tubuhnya dan lari.
Akan tetapi
dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya.
"Kenapa?"
"Teecu
tidak mau Suhu kembalikan teecu ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak
mencari ibu."
Kim-mo Taisu
mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada
ayah dan kakekmu. Kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari
Ibumu."
Kembali ia
menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu
Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang
luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri.
Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi
muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di
hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang
sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti
puteranya sendiri.
Maka
turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Tangan Kim-mo Taisu
tak pernah dilepaskan oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air mata
sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya selama
bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan
pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun
menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga dan
mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, tentu saja sambil tertawa-tawa.
Secara
singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi,
pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya
makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa
suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
Kemudian
tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang
Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin kepada Kwee Seng, Gin Lin dan Kim Lin adalah
anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan
Tang. Khu Si Cai ini adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal.
Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga
Kaisar dan para bangsawan menjadi korban. Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu
yang ikut terbasmi.
Sepasang
bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang
pelayan, dibawa lari ke luar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan
dibakar. Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya
Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari
saudara kembarnya. Anak ini menangis sambil lari ke sana kemari, jatuh bangun
ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang.
Akhirnya ia
jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik
itu kalau saja tidak ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan
lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang anak
perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya
dan membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu
itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang
patriot pembela Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa
Ong," demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia tidak tahu bahwa
aku adalah keponakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat,
dan malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu juga terluka parah di
sebelah dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia
telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan
kebetulan sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka
Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw
(kakek guru) dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu
Kwan Cin Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga
dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan
Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm,
seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar
lagi?" Kim-mo Taisu mencela.
"Dia
sudah putus harapan. Katanya kepadaku, dari pada keluar dari Neraka Bumi
melihat negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai
mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya dunia, betapa
jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena
itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari
Neraka Bumi, sampai... sampai.... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan...
lahirnya Eng Eng." Jari-jari tangan Gin Lin mencengkeram jari-jari tangan
suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika
mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh
itu telah berada di situ, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang
dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu. Ada pun Kim-mo Taisu segera
maju dan memberi hormat dengan kikuk. Sebagai tokoh kang-ouw, ia enggan memberi
hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak
enak pula kalau tidak memberi hormat.
Kong Lo
Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali.
"Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang sendiri. Ha-ha-ha!
Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami keponakanku adalah Kim-mo
Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih
belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau
sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan Tang
menjadi makin besar.”
"Maaf,
Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk
memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha,
coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan,
dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang berkuasa. Juga isterimu dianggap
sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu
dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"
Kim-mo Taisu
mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid
saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri
di tempat aman tenteram."
Keng Lo
Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin! Kau dengar
kata-kata suamimu? Apa kau sudah lupa lagi akan keluarga Ayah Bundamu yang
terbasmi?"
"Paman,
harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke mana pun juga ia pergi. Tentang sakit
hati keluarga, sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."
"Haaahhh,
pergilah...!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang
pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan
menggunakan kedua ‘kakinya’ yang berupa sepasang tongkat.
Gin Lin lalu
berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu rumah tangga yaitu A-kwi, A-liong,
dan Sam-hwa yang ternyata bukanlah pembantu rumah tangga sembarangan, karena
ketiga orang ini adalah bekas-bekas panglima pembantu Kong Lo Sengjin ketika
kakek ini masih menjadi Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong! Setelah selesai, dengan
terharu Gin Lin berpamit dari tiga orang pembantu ini. Mereka pun kelihatan
terharu, apalagi Sam-hwa yang menangisi kepergian Eng Eng yang ia anggap sebagai
cucunya.
"Harap
kalian bertiga jangan terlalu sedih," akhirnya Gin Lin berkata.
"Betapa pun juga, waktu akan membawa kita berkumpul dalam perjuangan yang
sama," kata-kata ini agaknya menyadarkan mereka dan berserilah wajah
mereka, malah mereka mengantar keluarga itu sampai jauh ke luar hutan.
Setelah
mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya apa artinya ucapan isterinya ketika
berpisah tadi.
Gin Lin
menarik napas panjang. "Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang
pembela Kerajaan Tang. Seperti juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan
keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis, betapa kerajaan runtuh
diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di
lubuk hati kita masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat
dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali? Kakek sudah berusaha keras,
dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang
Muda, akan tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja,
dan Kerajaan Tang Muda kembali jatuh di tangan musuh yang mendirikan Kerajaan
Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali seperti dahulu, agaknya
hati kita masih akan tetap mengandung dendam."
Kim-mo Taisu
mengangguk-angguk, akan tetapi tidak menjawab apa-apa. Baginya, perasaan dendam
itu tidak ada dan tak dapat ia merasakan atau mengerti apa yang diutarakan
isterinya itu, karena ia sendiri tidak pernah melibatkan diri dengan urusan
negara.
"Yang
terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu Song," akhirnya ia berkata. "Dan
kalau kita terlibat urusan perang, bagaimana kita mampu mendidik anak-anak itu?
Mari kita pergi ke tempat yang tenteram dan jauh dari pada keributan."
"Ke
manakah? Asal jangan ke Neraka Bumi!" Gin Lin berkata dan meremang bulu
tengkuknya kalau ia membayangkan betapa puterinya harus hidup di neraka itu!
"Tempat
yang baik dan berjasa," Kim-mo Taisu berkata sambil melamun.
"Ihhh,
neraka itu kau anggap baik?"
Suaminya
tersenyum dan memegang tangan si Isteri. "Kalau tidak ada Neraka Bumi,
bagaimana kita bisa saling berjumpa?"
Gin Lin
menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum dan berkata, "Sudahlah,
ke mana kita sekarang pergi?"
"Ke
Min-san!"
Selama
tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin Cu, Gin Lin membaca
kitab-kitab dan banyak tahu akan teori ilmu silat sambil melatih diri
sedapatnya. Biar pun kurang sempurna karena kurang bimbingan, namun dia telah
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh itu
mereka tidak mengalami banyak kesulitan. Apabila mereka melalui jalan yang
sukar, Gin Lin menggendong puterinya sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan
Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya.
Setelah melakukan
perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya mereka sampai juga ke Puncak
Min-san di mana Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah pondok sederhana untuk
tempat tinggal mereka, jauh dari pada dunia keramaian. Mulai saat itu, Bu Song
dan Eng Eng menerima gemblengan dari Kim-mo Taisu dan isterinya. Akan tetapi
oleh karena Bu Song masih saja kukuh tidak mau mempelajari ilmu silat, maka
hanya Eng Eng saja yang menerima latihan ilmu silat, sedangkan Bu Song mendapat
pelajaran ilmu sastra.
Seperti kita
ketahui, Kim-mo Taisu Kwee Seng ini dahulu adalah seorang mahasiswa yang tak
pernah lulus dalam ujian. Biar pun ia lebih gemar ilmu silat, namun
sesungguhnya ia bukanlah seorang yang bodoh dalam ilmu sastra. Tidak, bahkan ia
amat pandai. Hanya pada masa itu, untuk dapat lulus dalam ujian tidaklah mudah.
Nafsu korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang menyerang seluruh pembesar yang
berhak memeriksa ujian. Jangan harap seorang mahasiswa akan dapat lulus dalam
ujian bila tanpa memberikan uang sogokan. Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang
yang berjiwa pendekar, tentu saja ia tidak sudi untuk melakukan penyuapan.
Tidak mau ia lulus ujian dengan cara menyogok, inilah yang membuat ia gagal
terus dalam ujian.
Karena
memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia dapat mengajarkan ilmu itu
kepada Bu Song. Akan tetapi, di samping ilmu menulis dan membaca sajak ini,
diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasar-dasar ilmu silat yang secara
cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu kesehatan dan ilmu
pengobatan. Dalam diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka segala
macam pelajaran dapat ia terima dengan mudah. Bahkan dalam latihan semedhi dan
peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh lebih maju dari pada Eng Eng.
Bertahun-tahun
keluarga ini hidup bersunyi, hanya bertetangga penduduk gunung yang tinggal di
lereng Min-san. Hanya sepekan sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena
penduduk tidak ada yang berani naik ke puncak yang sukar itu. Namun mereka
hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan.
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian, maka agar jalan ceritera dapat
lancar, marilah kita mengikuti perjalanan tokoh wanita kita ini. Di dalam jilid
dua telah dituturkan betapa dalam kemarahannya, Lu Sian membunuh kekasihnya
sendiri, yaitu Hui-kiam-eng Tan Hui, lalu membunuhi pula atau setidaknya
membikin luka berat sembilan orang piauwsu yang ia anggap sebagai gara-gara
pertengkarannya dengan Tan Hui.
Setelah
ikatan asmara yang mesra dengan Tan Hui selama kurang lebih dua bulan, kini
kembali Lu Sian bebas seperti burung liar yang terbang melayang di udara. Agak
menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh Tan Hui, laki-laki yang cukup
menyenangkan hatinya. Akan tetapi di samping kekecewaan dan penyesalannya itu,
terselip rasa bangga dan girang bahwa ia kini telah mewarisi ilmu ginkang dari
kekasihnya itu, yaitu Ilmu Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega). Ginkang ini
jauh lebih hebat dari pada ginkang yang pernah ia pelajari. Dengan hati
gembira, lupa lagi akan kematian kekasihnya, Lu Sian berlari-lari secepat
terbang menggunakan Coan-in-hui.
Selagi ia
berlompatan melalui perjalanan yang amat sukar di lereng bukit, tiba-tiba ia
melihat sebuah benda bergerak-gerak jauh di depannya. Lu Sian kaget seketika
melihat bahwa benda itu bukan lain adalah sebuah bantal atau karung yang dapat
berlompatan cepat sekali. Ia mengenal benda ajaib ini karena di dalam rumah
Raja Pengemis, benda ini telah menolongnya ketika ia berada dalam bahaya. Maka
ia lalu mengerahkan tenaga dan cepat mengejar. Karena kini ginkang-nya memang
sudah mulai mahir, gerakannya seperti burung walet menyambar-nyambar dan biar
pun gerakan benda ajaib itu juga amat cepat, namun setengah jam kemudian ia
berhasil memperdekat jarak di antara mereka.
Akan tetapi
benda itu terus berloncatan, seakan-akan melarikan diri, melompati jurang dan
mendaki bukit itu. Lu Sian merasa heran. Tak salah lagi, pastilah benda itu
terisi orang, akan tetapi mengapa begitu kecil? Apakah seorang anak kecil?
Tidak mungkin rasanya. Masa seorang anak kecil memiliki kepandaian sehebat itu?
Orang tua pun akan sukar bergerak sedemikian cepatnya kalau bersembunyi di
dalam karung.
"Lo-cianpwe,
tunggu! Aku mau bicara!" serunya. Namun bantal itu malah makin cepat
bergerak maju berloncatan.
Lu Sian
menjadi gemas. “Biar pun kau hendak lari ke langit, masa aku tidak mampu
mengejarmu?” demikian pikirnya dan ia mengejar terus.
Akhirnya
benda itu tiba di puncak sebuah bukit kecil dan Lu Sian telah dapat
menyusulnya. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam benda itu, "Waduh,
waduh..., habis napasku...! Terlalu sekali, mengejar orang terus-terusan. Aku
terima kalah!"
Setelah
terdengar suara ini, bantal itu pecah dan muncullah seorang kakek yang pendek
kecil berjenggot panjang berkepala besar. Tubuhnya pendek seperti kanak-kanak
berusia sepuluh tahun, akan tetapi melihat kepala yang besar dan penuh kumis
dan jenggot itu, jelas dia seorang kakek yang sudah tua sekali! Napasnya
mengkas-mengkis (terengah-engah), dan begitu keluar dari dalam karung, ia
seperti tidak melihat Lu Sian, melainkan memandang ke kanan kiri dengan wajah
ketakutan, seperti mencari sesuatu.
Lu Sian
menahan senyumnya, lalu menjura dan berkata, "Kakek lucu, mengapa kau
bersembunyi dalam bantal dan mengapa pula lari terbirit-birit?"
Dengan napas
masih tersengal-sengal kakek itu menyusut peluh di dahinya, lalu berkata
cemberut, "Kenapa kau mengejar-ngejarku terus? Huh, tentu saja aku kalah
napas. Coba aku masih muda, ilmu ginkang Coan-in-hui itu mana mampu
mengejarku?"
"Kakek
yang baik, harap jangan marah. Aku mengejarmu untuk menghaturkan terima kasih
atas pertolonganmu di rumah Kai-ong."
"Sudahlah,
apa kau melihat Bu Kek Siansu?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan kembali
matanya jelalatan ke kanan kiri, pada wajahnya tersirat ketakutan.
Lu Sian
adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Melihat lagak kakek ini ia dapat
menduga, bahwa biar pun kakek ini seorang sakti, namun ada yang ditakuti. Dan
agaknya Bu Kek Siansu yang amat ditakuti. Tentu saja ia pernah mendengar nama
Bu Kek Siansu. Siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam dunia kang-ouw, pasti
pernah mendengar nama itu, biar pun jarang sekali yang dapat bertemu muka
dengan manusia dewa yang sakti itu. Maka ia tidak menjawab, melainkan berkata,
"Sekarang tidak melihatnya, akan tetapi siapa tahu gerak-gerik manusia
dewa itu? Eh, Kakek, siapakah kau dan mengapa bertanya tentang Bu Kek
Siansu?"
"Aku...
aku jijik bertemu dengannya!" jawabnya dan kakek itu mengangkat muka dan
membusungkan dadanya yang tipis. "Mau tahu siapa aku? Bocah, dengar
baik-baik supaya jangan terjungkal karena kaget. Akulah Bu Tek Lojin!"
Belum pernah
Lu Sian mendengar nama ini. Ia menganggap orang ini selain lucu juga agak
sombong. Baru namanya saja Bu Tek (tidak terlawan)! "Biar kau tidak
terlawan, akan tetapi lariku lebih cepat dari pada larimu."
"Huh,
bocah masih bau air susu! Kau sombong. Apakah ayahmu, si gila Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan itu datang bersamamu?"
"Kalau
aku panggil dia, tentu ayah datang!" jawab Lu Sian, sengaja mempergunakan
nama ayahnya untuk menakuti orang. Ia percaya bahwa nama ayahnya cukup disegani
kawan ditakuti lawan, buktinya Si Raja Pengemis yang lihai itu pun kuncup
hatinya mendengar bahwa ia puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
"Ho-ho-ho-hoh!
Lekas panggil ayahmu datang. Dia ditambah kau ditambah seorang lawan lagi, akan
kupermainkan seperti... seperti... seperti...."
"Seperti
apa?" Lu Sian sudah marah, mendongkol hatinya mendengar dia dan ayahnya
dipandang ringan.
"Seperti
ini!" Kakek itu lalu menggunakan ujung kakinya mencongkel sebuah batu
dan... batu itu mencelat terbang ke atas, padahal batu itu besar dan amat
berat. "Nah, ini engkau. Dan ini Ayahmu!" ia mencongkel sebuah batu
lain yang lebih besar ke atas seperti tadi. "Dan yang ke tiga ini kawan
ayahmu!" Batu ke tiga mencelat ke atas dan kini tiga buah batu besar itu
melayang turun berturut-turut akan menimpa kepala si Kakek Cebol.
Akan tetapi
kakek itu menggerakkan kedua tangannya dengan telapak menghadap ke atas dan...
tiga buah batu itu bermain-main di udara, bergerak ke atas dan ke bawah, tak
pernah menyentuh telapak tangan kakek itu, seakan-akan ada hawa yang
berkekuatan luar biasa menahan dan mempermainkan tiga buah batu itu.
Lu Sian
melongo. Ia maklum bahwa itu adalah permainan tenaga sinkang. Akan tetapi untuk
dapat mempermainkan tiga batu besar seperti itu, benar-benar membutuhkan tenaga
sinkang yang hebat luar biasa. Kakek ini sakti sekali dan ternyata
kesombongannya bukan kosong belaka.
"Nah,
kalian bertiga bisa apa terhadapku?" Ia lalu membuat gerakan dengan
tangannya lalu membentak, "Turun!"
Heran
sekali. Tiga buah batu itu bertumpang-tindih bersusun tiga, lalu perlahan-lahan
turun ke atas tanah seperti dipegang tangan yang kuat, turunnya pun
perlahan-lahan dan tidak menimbulkan debu. Akan tetapi begitu kakek itu
melompat mundur, tiga buah batu yang tersusun itu hancur berantakan!
Lu Sian
menelan ludah. Hebat bukan main. Timbul keinginannya memperoleh ilmu dari kakek
sakti ini, maka ia cepat menjura sambil memuji. "Wah, hebat sekali
kepandaian Lo-cianpwe!"
Kakek itu
kelihatan girang dan bangga, lalu bertolak pinggang membusungkan dada. Matanya
mengedip-ngedip dan hidungnya bergerak-gerak dengan ujung hidung yang mekar!
"Nah, maka kau jangan main-main dengan Bu Tek Lojin! Aku pesan kepadamu,
dan temannya-temanmu, apabila suling emas terjatuh ke dalam tangan seorang di
antara kalian, harus cepat-cepat serahkan kepada Bu Tek Lojin. Mengerti?"
"Tidak,
tidak mengerti." Lu Sian menggeleng kepala.
Kakek itu
marah-marah dan mengepal tinjunya, mengamang-amangkan kedua tinjunya di depan
hidung Lu Sian. "Kau lihat ini?" bentaknya.
Lu Sian
benar-benar merasa ngeri dan takut, dan saking gugupnya ia menjawab sambil
mengangguk-angguk. "Aku lihat, dan baunya busuk!" Lu Sian kaget
mendengar ucapannya sendiri. Celaka, sifat lincah dan liarnya kumat sehingga ia
bicara tanpa dipikir. Ia sudah siap-siap menanti serangan, karena kakek aneh
ini tentu marah.
Akan tetapi
Bu Tek Lojin malah membawa kedua tangannya ke depan hidungnya sendiri,
mencium-cium. Hidungnya dikernyitkan dan ia berkata. "Benar bau tak enak!
Habis belum dicuci, berhari-hari bersembunyi dalam karung! Eh, bocah, biar
tanganku bau, akan tetapi apakah badanmu lebih keras dari pada batu tadi?"
"Maaf
Kek, aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang kau maksudkan dengan suling
emas?"
"Wah,
ketanggor (melanggar batu) aku sekali ini! Kau benar bocah hijau tak tahu
apa-apa. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan agaknya tidak pernah memberi pengertian kepada
bocah ini! Suling Emas adalah pusaka pemberian Bu Kek Siansu kepada Sastrawan
Ciu Bun. Sekarang Sastrawan Ciu Bun lenyap, entah mampus atau belum, akan
tetapi suling emas itu lenyap, menjadi perebutan orang-orang di dunia. Nah, aku
perlu suling itu. Kalau seorang di antara kalian menemukannya, harus diberikan
kepadaku. Harus, mengerti?!"
"Tidak,
tidak mengerti."
"Tolol!
Kau menantang?"
"Tidak,
Bu Tek Lojin. Kumaksudkan, aku tidak mengerti mengapa hanya sebuah suling emas
saja dijadikan rebutan. Berapa sih harganya suling emas? Agaknya orang-orang
kang-ouw sekarang sudah menjadi mata duitan semua!"
Kakek itu
tertawa bergelak-gelak, perutnya sampai menjadi keras. Ia memegangi perutnya,
tubuhnya ditekuk menjadi lebih pendek lagi. "Ho-ho-ho-hah-hah! Goblok!
Sekali goblok tetap tolol. Kau tahu apa? Suling itu menjadi kunci rahasia ilmu
kesaktian hebat. Selain itu, emasnya mengandung logam murni yang berasal dari
bintang, siapa memegangnya, berarti memegang sebuah senjata yang paling ampuh
di dunia ini."
"Ah,
begitukah? Baik, nanti kusampaikan kepada ayah dan kawan-kawan lain," kata
Lu Sian, akan tetapi di dalam hatinya sudah timbul keinginan untuk memiliki
sendiri suling emas itu.
Kakek itu
kaget. Biar pun sakti, agaknya ia mudah kaget. "Bocah gendeng, bikin kaget
saja, kukira Bu... eh!" Ia menghentikan ucapannya, lalu berseru keras.
"Muridku! Kau naik ke sini!"
Karena tidak
ingin berurusan dengan kakek itu, Lu Sian berkata, "Bu Tek Lojin,
sudahlah, aku minta diri, hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh,
nanti dulu, kau jumpai muridku yang baik!"
“Hemm,
segala murid anak kecil disuruh menjumpai,” pikir Lu Sian. Akan tetapi tidak
enak kalau membantah dan membuat marahnya kakek sakti ini, maka ia berdiri
menanti.
"Bocah
tolol, tidak lekas-lekas naik? Kalau habis sabarku, kujewer telingamu sampai
copot!" teriak kakek itu marah-marah.
Diam-diam Lu
Sian merasa kasihan kepada bocah murid kakek yang demikian galak ini.
"Teecu
datang, Suhu!" terdengar teriakan dari jauh, akan tetapi mendadak
berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang
tubuhnya juga agak cebol gemuk, kepalanya botak dan jenggotnya juga panjang!
Hampir Lu
Sian tak dapat menahan ketawanya. Yang disebut bocah dan ia sangka kanak-kanak
ini tidak tahunya juga seorang laki-laki yang sudah tua, malah panjang
jenggotnya, laki-laki yang seperti juga gurunya, berpakaian tidak karuan dan
bertelanjang kaki. Orang botak itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
gurunya.
"Kalisani,
hayo kau lawan perempuan ini untuk ujian. Dia puteri Pat-jiu Sin-ong, cukup
untuk kau pakai berlatih!"
Kalisani,
murid Bu Tek Lojin yang kita kenal sebagai bekas Panglima Khitan itu segera
bangkit berdiri memandang Lu Sian, lalu menjura. "Nona, Suhu sudah
memerintah kepadaku, terpaksa kuharap Nona suka melayaniku barang sepuluh
jurus!"
Setelah
berkata demikian, ia memasang kuda-kuda seperti orang hendak membuang air,
karena ia berjongkok sampai rendah sekali dan mukanya menahan napas sampai
merah seperti orang sakit perut! Kuda-kuda ini lucu sekali.
Seandainya
Lu Sian belum menduga bahwa lawan aneh ini seorang yang tak boleh dipandang
ringan, tentu ia tidak dapat menahan ketawanya. Lu Sian sendiri memiliki watak
aneh, keras hati dan tidak mau kalah. Sekarang ia ditantang terang-terangan.
Biar pun ia tahu bahwa kepandaian Bu Tek Lojin jauh lebih tinggi dari pada
tingkat kepandaiannya, namun ia tidak takut. Apa pun yang akan terjadi ia harus
memperlihatkan kepandaiannya. Oleh karena itu, melihat Kalisani sudah memasang
kuda-kuda, ia berseru keras, "Orang hutan, jaga seranganku!"
Tubuhnya
bergerak cepat sekali dan ia menerjang maju, langsung mengirim tendangan dengan
ujung sepatunya ke arah leher orang yang berjongkok di depannya. Ketika
lawannya melompat ke belakang sambil mengulur tangan dengan maksud menangkap
kakinya yang menendang, Lu Sian menarik kakinya dan tubuhnya condong ke depan,
langsung tangan kanannya menghantam dada sedangkan tangan kiri dengan dua jari
tangan menusuk ke arah mata. Inilah jurus dari Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular
Sakti) yang amat berbahaya dan ganas.
Akan tetapi
Kalisani bukanlah seorang yang masih hijau. Sebelum menjadi murid Bu Tek Lojin,
ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi panglima tua di Khitan.
Tentu saja ia tidak dapat dikalahkan dengan mudah, dan jurus yang berbahaya ini
dengan amat mudahnya dapat ia hindarkan dengan cara melompat ke kanan. Malah ia
segera membalas serangan lawan dengan pukulan keras dari kanan.
Melihat
lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali, Lu Sian makin bersemangat. Ia
mengelak dari pukulan itu dan balas menerjang ganas sambil mengerahkan
ginkang-nya dan terus mainkan Ilmu Silat Ular Sakti yang memiliki jurus-jurus
ganas dan berbahaya. Berkat ginkang Coan-in-hui yang ia pelajari dari Tan Hui,
kini permainan Ilmu Silat Tangan Kosong Ular Sakti menjadi berlipat ganda lebih
lihai dari pada sebelum ia memiliki ginkang itu.
Diam-diam
Kalisani terkejut sekali. Sedikit pun juga ia tidak mengira bahwa lawannya
begini hebat. Tadi ketika ia disuruh suhunya menandingi Lu Sian, ia merasa
ragu-ragu dan tidak enak hati. Dia seorang yang sudah tua dan berpengalaman
banyak, pula memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana harus melawan seorang wanita
muda? Akan tetapi karena suhunya yang memberi perintah, tentu saja ia tidak
berani membantah. Ia tadinya hendak berjaga diri saja dan sedapat mungkin
mengalahkan wanita ini dengan lunak, karena Kalisani bukanlah seorang pria yang
suka menghina atau menyakiti hati wanita.
Siapa kira,
kini menghadapi desakan Lu Sian, ia menjadi bingung dan pandang matanya kabur.
Demikian cepatnya wanita ini bergerak! Maka ia lalu tidak sungkan-sungkan lagi,
cepat ia pun mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan tenaga dalam pada kedua
lengannya, mempercepat gerakannya. Alangkah herannya ketika beberapa kali
lengan mereka saling bertemu, wanita itu tidak roboh atau mencelat, bahkan dia
sendiri merasa betapa hawa pukulan yang amat kuat menggetarkan lengannya!
Maklumlah ia kini bahwa biar pun masih muda wanita yang pantas menjadi lawannya
ini lihai sekali. Pantas saja suhunya mengatakan bahwa wanita ini cukup tangguh
untuk diajak berlatih ilmu silat!
Dengan ilmu
ginkang Coan-in-hui, Lu Sian benar-benar dapat menguasai lawannya. Ia menang
cepat dan sudah tiga kali tangannya berhasil menyerempet tubuh lawan, malah
satu kali ia berhasil memukul pundak Kalisani. Akan tetapi tubuh lawannya kebal
dan pukulan itu hanya membuat Kalisani terhuyung-huyung sebentar, maka ia
berlaku amat hati-hati dan mencari kesempatan untuk dapat memukul tepat. Lu
Sian sengaja mempermainkan lawan dengan kecepatannya untuk mengacaukan
pertahanannya.
"Bocah
tolol! Segala macam ilmu cakar bebek dari Khitan itu mana mampu menghadapi
Sin-coa-kun dari Beng-kauw? Tolol! Kau muridku, mengapa tidak menggunakan
pelajaran dariku?" Bu Tek Lojin marah-marah, mencak-mencak dan
memaki-maki.
Kalisani
memang tidak mau mempergunakan ilmu simpanannya yang ia pelajari dari Bu Tek
Lojin. Ilmu itu ada tiga macam, yaitu Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong
Selaksa Kati) yang merupakan penghimpunan tenaga sinkang yang luar biasa, ke
dua adalah Khong-in-liu-san yang merupakan ilmu serangan yang luar biasa
hebatnya, dan ke tiga adalah Ilmu Silat Kim-lun-sin-hoat (Ilmu Sakti Roda
Emas), semacam ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tangan kosong, akan
tetapi lebih tepat dengan gelang atau roda emas yang ia terima sebagai tanda
mata dari Tayami!
Ilmu-ilmu
ini ia tahu amat hebat, maka ia tidak tega untuk mempergunakannya terhadap Lu
Sian yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak ada permusuhan dengannya. Kini
mendengar seruan gurunya, baru ia ingat. Akan tetapi terlambat. Sebelum ia
sempat mempergunakan ilmu itu, sebuah hantaman Lu Sian mengenai lehernya,
membuat Kalisani terlempar dan bergulingan, kemudian terbentur pohon dan rebah
telentang dengan mata mendelik. Pingsan!
"Uuhhh,
tolol, mencari mampus!" Bu Tek Lojin marah dan mendongkol sekali melihat
‘jagonya’ keok. Ia lompat mendekat, dan dua kali menotok leher dan punggung,
muridnya sudah merangkak bangun lagi. "Hayo maju lagi, kalau kau tidak
bisa menang kulemparkan kau ke dalam jurang!" bentaknya. Memang kakek ini
memiliki watak yang luar biasa sekali, sama sekali ia tidak pernah mau mengaku
kalah terhadap siapa pun juga.
"Bu Tek
Lojin, aku tidak hendak bermusuh!" kata Lu Sian, mendongkol juga karena
sudah jelas ia menang, mengapa kakek ini nekat menyuruh muridnya maju lagi?
"Aku tadi melayani hanya untuk membuktikan bahwa bukan muridmu saja yang
memiliki kepandaian di kolong jagad ini. Sekarang aku tidak ada waktu
lagi."
"E-e-eh,
nanti dulu! Siapa bilang muridku kalah? Tadi ia sengaja mengalah, kau tahu?
Kalisani, hayo maju lagi!"
Lu Sian
gemas. Orang tua ini harus diberi rasa, pikirnya. Kali ini aku akan memukul
mampus muridnya, lihat dia hendak berlagak bagaimana lagi? Maka ia cepat
berseru keras dan mendahului Kalisani, menerjang dengan cepat.
Kalisani
sudah bersiap sedia. Ia sudah merasakan kehebatan kepandaian lawan, maka
sekarang ia cepat merobah gerakannya dan mainkan ilmu silat Kim-lun-sin-hoat
dan mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin. Tulang-tulangnya berbunyi
berkerotokan, ini tanda bahwa sinkang di tubuhnya telah terhimpun. Sebenarnya,
ia belum matang dalam latihan Khong-in-ban-kin, maka tulang-tulangnya
mengeluarkan bunyi. Kalau ia sudah berhasil menghimpun tenaga tanpa
tulang-tulangnya berbunyi, barulah ilmunya itu sempurna.....
Ketika
menerjang, Lu Sian disambut dengan hawa pukulan jarak jauh yang luar biasa kuatnya,
yang menolak setiap gerakannya sehingga ia tidak dapat mendekati lawannya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lu Sian. Sebaliknya, kedua tangan lawan
yang digerakkan berputar-putar membentuk lingkaran-lingkaran seperti roda itu
membingungkan hatinya. Baru belasan jurus, Lu Sian sudah main mundur.
"Hua-hah-ho-ho-ho-hoh!"
Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak menyaksikan betapa muridnya dapat mendesak
lawan. "Kalisani, jangan sungkan. Hantam dia sampai babak belur! Comot
hidungnya, jewer telinganya, cubit pantatnya, ha-ha-ha!"
Dapat
dibayangkan betapa marahnya Lu Sian mendengar ejekan-ejekan ini. “Kakek tua
bangka mau mampus,” pikirnya marah.
Pada saat ia
meloncat jauh ke belakang, tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan dari kedua
tangannya itu menyambar sinar-sinar kemerahan ke arah Kalisani dan Bu Tek Lo
Jin! Kakek cebol ini masih tertawa-tawa, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya
berhenti dan terkejutlah ia melihat sinar merah menyambar. Namun dengan mudah
saja ia mengebutkan lengan baju dan semua jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun
Harum) yang dilepaskan Lu Sian runtuh ke tanah.
Kalisani
sebaliknya kaget sekali. Tahu bahwa dari depan menyambar senjata rahasia
berbahaya, ia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, sehingga ia
terbebas dari pada ancaman jarum maut. Akan tetapi Lu Sian tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan itu. Dalam kemendongkolannya, Lu Sian sudah mencabut
pedang Toa-hong-kiam dan kini ia memutar pedang menerjang Kalisani dengan Ilmu
Pedang Toa-hong Kiam-hoat yang gerakannya seperti angin badai mengamuk.
Kasihanlah Kalisani. Ia berloncatan ke sana ke mari menghindar dari gulungan
sinar pedang, gerakannya benar-benar seperti monyet berjoget.
"Wah,
bocah jahat!"
Tiba-tiba
pedang di tangan Lu Sian berhenti di udara, dan ketika Lu Sian menoleh, kiranya
pedangnya itu ujungnya sudah dijepit dua buah jari tangan Bu Tek Lojin. Lu Sian
marah sekali. Cepat ia mengerahkan tenaga menarik pedang untuk membikin buntung
jari tangan orang. Namun sia-sia, sedikit pun pedangnya tidak bergeming, masih
tetap terjepit dua buah jari tangan.
"Lepaskan
pedangku!"
"Heh-heh-hoh!"
"Bu Tek
Lojin, lepaskan pedangku!"
"Kalau
tidak kulepaskan, kau mau apa? Mau panggil ayahmu? Panggillah dia, Aku tidak
takut!"
"Ayah
tidak berada di sini. Akan tetapi akan kupanggil Bu Kek Siansu!"
Tangan yang
menjepit pedang itu tiba-tiba gemetar dan Lu Sian mempergunakan kesempatan ini
untuk menarik pedangnya dan meloncat mundur.
"Kau
bohong! Dia... dia... eh, tidak berada di sini...," biar pun mulut berkata
demikian, namun kakek itu jelalatan memandang ke sana ke mari.
"Hemm,
kau tidak percaya? Baru tadi aku bertemu dengan beliau, dan aku mendengar
beliau mengancam hendak menghajar kepalamu sampai peyok dan gepeng!"
"Oh...
ah... tidak... bisa....!"
"Kau
tidak percaya? Biar kupanggil beliau. Beliau paling benci melihat kau
mengganggu orang muda. Siansu...! Siansu...! Silakan datang ke sini, Bu Tek
Lojin menantang Siansu...!!"
"Ohhh...
jangan...! Jangan... aku... aku hanya main-main tadi... Eh, murid tolol, hayo
pergi!" Kakek aneh itu menyambar lengan muridnya dan sekali berkelebat
mereka lenyap dari tempat itu.
Lu Sian
berdiri termenung. Untuk ke sekian kalinya ia mendapatkan orang-orang yang jauh
lebih lihai dari padanya! Ah, selamanya ia tentu akan menemui kekecewaan dan
penghinaan saja kalau ia tidak berhasil memiliki ilmu kepandaian yang paling
tinggi di dunia ini. Ia teringat akan ayahnya. Betapa pun juga, tingkat
kepandaian ayahnya sudah amat tinggi dan ia ingat bahwa ayahnya menyimpan
kitab-kitab ilmu yang tinggi dan dirahasiakan. Ia harus menemui ayahnya,
menceritakan perceraiannya dengan Kam Si Ek, kemudian minta kepada ayahnya
untuk menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi kepadanya.
Dengan
pikiran ini, Liu Lu Sian lalu berangkat ke selatan, melakukan perjalanan cepat
menuju ke Nan-cao, ke rumah ayahnya. Akan tetapi kembali ia kecewa. Ketika
ayahnya mendengar bahwa ia meninggalkan Kam Si Ek, ayahnya marah-marah dan
memaki-makinya.
"Isteri
dan anak macam apa engkau ini?!" antara lain kata-kata Pat-jiu Sin-ong
ketika marah-marah memakinya. "Seorang isteri dan ibu meninggalkan suami
dan anak begitu saja?! Sungguh celaka!!"
"Kam Si
Ek terlalu kukuh dan cinta kepada tugasnya, Ayah. Asal kuajak pindah dan
meninggalkan pekerjaannya, dia marah-marah. Aku bosan dan merasa dijadikan
bujang dalam rumah!"
"Huh!
Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk mengurus rumah tangga, melayani
suami dan memelihara anak. Ke mana pun si suami pergi, si isteri harus
mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam SI Ek memang sudah terkenal sebagai
seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu meninggalkan tugasnya? Sayang
dia menjadi orang Shan-si. Kalau dia menjadi penduduk sini dan membantu negara
kita, alangkah baiknya. Dan kau meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka!
Perbuatanmu ini akan mengotori pula namaku sebagai ayahmu. Tahu?!"
Lu Sian
tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia lari ke kamarnya dengan muka
merah, menutup diri dalam kamar tidak mau keluar lagi. Ia memeras otak. Agaknya
tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan menyenangkan, pikirnya. Pula, setelah
ayahnya marah-marah agaknya tidak mungkin tercapai pengharapannya, yaitu
menerima ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya. Oleh karena inilah, maka pada malam
hari itu juga ia menyelinap masuk ke dalam kamar pusaka ayahnya, mengambil tiga
kitab rahasia simpanan ayahnya yang oleh ayahnya disebut Sam-po Cin-keng (Kitab
Tiga Pusaka), lalu malam itu juga ia meninggalkan ayahnya!
Tiga buah
kitab itu adalah pusaka yang amat dirahasiakan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Sebuah
merupakan kitab pelajaran inti Ilmu Khi-kang Coan-im-I-hun-to (Suara Merampas
Semangat Orang). Ada pun kitab kedua merupakan inti Ilmu Pukulan
Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) dan kitab ke tiga adalah
inti pelajaran Ilmu Silat Beng-kauw-kun (Ilmu Silat Beng-kauw) yang merupakan
ciptaan baru dengan maksud untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan
Beng-kauw. Ilmu silat ini adalah gabungan dari pada semua ilmu silat yang
pernah diajarkan ayahnya kepada Lu Sian, yaitu Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan
Toa-hong-kun.
Dengan
semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini. Beng-kauw-kun dapat ia pelajari
dengan mudah. Karena ia sudah mengenal tiga macam ilmu silat itu, maka tentu
saja lebih mudah baginya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu silat
gabungan yang amat hebat ini. Akan tetapi bukanlah pekerjaan mudah untuk
melatih kedua ilmu perampas semangat melalui suara dan pandang mata. Untuk itu
ia harus memperkuat sinkang dan khi-kangnya lebih dahulu. Maka setiap kali ada
kesempatan, ia lalu bersemedhi dan melatih tenaga dalam menurut petunjuk
kitab-kitab itu.
Di samping
melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi dari ayahnya, juga Liu Lu Sian
mulai mencari keterangan perihal suling emas seperti yang ia dengar dari Bu Tek
Lojin. Kakek ini amat sakti, dan kalau kakek itu sendiri menginginkan suling
emas yang katanya menjadi rahasia akan ilmu silat yang paling tinggi, tentu
suling emas itu merupakan benda keramat yang tak ternilai harganya. Akan tetapi
tak seorang pun di antara orang-orang kang-ouw yang ia tanyai tahu akan benda
keramat itu.
Ia merantau
terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Min
(Hok-kian sekarang). Pada suatu hari menjelang senja ia tiba di kota Kim-peng
yang ramai dengan perdagangan dan banyak dikunjungi orang luar kota. Lu Sian
masuk ke dalam sebuah rumah penginapan An-hoa, tidak mempedulikan pandang mata
banyak laki-laki yang berada di ruangan depan. Seorang pelayan
terbongkok-bongkok datang menyambutnya, dan langsung bersikap hormat ketika
melihat pedang di pinggang Liu Lu Sian.
"Bung
Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih untukku!" kata Lu Sian lantang.
"Maaf,
Lihiap (Pendekar Wanita), maaf... semua kamar telah penuh. Dan agaknya di
seluruh rumah penginapan dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong karena kota
Kim-peng kita kebanjiran tamu yang hendak menyaksikan perayaan besar di kuil
Siauw-lim-si."
Mendongkol
sekali rasa hati Lu Sian. Sudah biasa baginya tidur di atas pohon atau di dalam
goa kalau ia kemalaman di hutan, akan tetapi kalau ia berada di kota seperti
sekarang ini, tentu saja ia ingin bermalam dalam sebuah kamar rumah penginapan.
"Ah,
tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar untukku?" tanyanya, suaranya
bernada kecewa dan menyesal.
"Sungguh
mati, saya merasa menyesal sekali, Nona. Kami akan senang sekali dapat melayani
Nona, akan tetapi apa hendak dikata, banyak sekali tamu berkunjung. Sebelum
Nona datang, sudah banyak pula tamu yang terpaksa kami tolak karena sudah
kehabisan kamar."
Lu Sian
menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan hatinya, ingin ia memaksa dan
menggunakan kekerasan. Akan tetapi ia tekan perasaan ini dan ia sudah
membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah penginapan An-hoa tu ketika
tiba-tiba terdengar orang berkata.
"Nona,
mencari ke mana pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik kau bermalam di kamarku,
semalam atau selamanya pun boleh!"
Lu Sian
memandang. Laki-laki itu usianya sudah tiga puluh tahun lebih, wajahnya bundar
gemuk seperti bola, basah oleh peluh. Baju di dadanya terbuka, agaknya karena
hawa yang panas sehingga tampak dadanya yang gemuk berdaging. Matanya sipit,
mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia ini duduk menghadapi meja
bersama tiga orang laki-laki lain yang tersenyum-senyum menahan ketawa.
Hati Lu Sian
yang sudah mendongkol itu kini mendidih, akan tetapi hanya dugaannya saja
laki-laki ini main-main dengannya, kenyataannya belum terbukti. Maka ia lalu
berkata, "Terima kasih atas kebaikan tuan memberikan kamar tuan kepada
saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur di mana?"
Laki-laki
gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada tiga orang kawannya yang juga
tertawa gembira. Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati Lu
Sian sambil berkata, "Aiihhh, Nona, mengapa repot-repot? Kamar yang kusewa
itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua. Kalau
sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"
"Ha-ha-ha-ha!
Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya terpingkal-pingkal. "Memang tidak
banyak bergerak akan tetapi kalau sudah pulas! Ha-ha!" si Gendut berkata
lagi.
Meledak
rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat itu muncul seorang pemuda dari
kiri, seorang pemuda yang sejak tadi duduk di meja sudut, berpakaian serba
kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura kepada Lu Sian sambil berkata,
"Nona, harap jangan melayani mereka. Kau pakailah kamarku, aku dapat tidur
bersama dua orang suhengku di kamar belakang...."
Akan tetapi
Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan orang lain lagi karena matanya sudah
memancarkan cahaya berapi ditujukan kepada si laki-laki gendut. Tiba-tiba
tubuhnya bergerak ke depan, saking cepatnya sukar diikuti pandang mata, dan....
"Plak-plak-plak-plak!"
Muka dan
tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan oleh kedua tangan Lu Sian,
tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada si Gendut untuk mengelak, membalas,
bahkan bernapas. Tubuh si Gendut itu seperti di sambar petir, tersentak ke
kanan kiri, ke belakang, terhuyung-huyung dan akhirnya roboh menabrak kursi.
Kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya menonjol ke luar, hidungnya
remuk, telinga kirinya hilang dan napasnya empas-empis mau putus!
"Hayo,
mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat
bermulut kotor! Hayo kalian bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai
aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali tikus kalian kalau tidak berani
maju!" Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.
Pemuda
pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang
demikian ganas, juga amat kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki
kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya yang ringan tangkas
sekali.
Si Gendut
dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari perkara
dan mencari keuntungan di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat itu
menjadi kaget dan marah melihat kawannya dihajar setengah mati. Tadi mereka
hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga mereka tak
sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan....
"Sratt-sratt-sratt!"
tangan mereka telah mencabut golok.
"Awas...!
Lari...!!" pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu.
Namun
terlambat! Sinar merah menyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke arah tiga
orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang menyambar ke arah pemuda baju
kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan tangannya
menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan tetapi
tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang dan merintih-rintih karena dada
mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!
"Ah,
jarum beracun yang hebat!" pemuda baju kuning itu berseru kaget sambil
meneliti jarum merah di tangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu
Sian, menjura sambil berkata. "Nona, kumohon dengan hormat sudilah kiranya
Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."
Lu Sian
melirik dengan pandang mata dingin. "Hemm, kau memiliki kepandaian
juga!" katanya, hatinya panas karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda
itu. "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?" Ucapan
terakhir ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam.
Pemuda itu
tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan, Nona.
Sebodoh-bodohnya orang macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk
bersahabat dengan segala macam buaya darat."
Lu Sian
merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda yang
tampan sekali ini bukan sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat tampan,
mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar dan memandang dunia dengan
jujur dan berani. Senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan yang membayangkan
sifat jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.
"Kalau
bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?" tanyanya, masih mengagumi
wajah yang amat tampan dan bentuk tubuh yang tegap dan padat.
"Nona,
aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang
ini mencari mampus berani mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar
terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa ayam yang mudah dicabut
begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini, bukankah
berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat pengajaran,
maka sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi obat penawar racun. Alangkah
tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini dikotori oleh pembunuhan yang
disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh mengharapkan kebijaksanaan
Nona."
Pemuda itu
bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap
kemarahan di hati Lu Sian, seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan
bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena jantungnya sudah jungkir
balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama
hidupnya ia bertemu dengan wanita secantik ini. Dan ketika bibir yang kecil
mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah daya tariknya sehingga ia
hampir jatuh berlutut.
Ketika
pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna
kuning, memberikan tiga bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil
berkata, "Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan kepadaku!"
Tiga orang
itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut jarum-jarum
yang menancap di dada mereka, dua batang seorang. Setelah membersihkan
jarum-jarum itu dengan baju, mereka menyodorkannya kepada Lu Sian yang menerima
dan menyimpannya.
"Sekarang
minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!"
Tergesa-gesa
mereka membuka bungkusan obat, meminumnya dengan arak dan seketika rasa
gatal-gatal dan panas pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri,
mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka membentur lantai di depan Lu
Sian.
"Kalian
bertiga tidak lekas pergi membawa teman kalian yang sial ini, apakah menanti
hajaran lagi?" Yap Kwan Bi berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu.
Tanpa banyak
bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman mereka yang mukanya
dirusak oleh Lu Sian tadi, meninggalkan rumah penginapan. Karena semua orang
memandangnya dengan mata kagum dan takut, Lu Sian membuang muka dan hendak
berjalan keluar meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi
Yap Kwan Bi cepat berkata, "Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan
kamarku. Percayalah, tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku
akan tidur bersama kedua suhengku yang belum datang. Kami bertiga memakai kamar
besar."
Tak enak
hati Lu Sian untuk menampik terus. Memang ia membutuhkan kamar dan pemuda ini
amat sopan, amat tampan, amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas
penghormatan pemuda itu. "Terima kasih. Kau baik sekali, Saudara Yap.
Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku, maka
aku persilakan kau suka menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku
sore hari ini."
Yap Kwan Bi
adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita. Penawaran ini mendebarkan
jantungnya dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang
sendirian mengajak makan minum seorang pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa
wanita ini bukanlah gadis sembarangan, melainkan seorang perantauan di dunia
kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat menjura
menghaturkan terima kasih. "Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke
kamar Nona," katanya hormat.
Lu Sian
mengangguk dan memanggil pelayan. "Pesankan semeja makanan dan minuman
untuk dua orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke
kamarku."
"Baik,
Lihiap, baik...," pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat
untuk melakukan perintah orang.
Lu Sian
bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang
tadi menyaksikan peristiwa hebat itu. Kamar itu tidak besar, namun cukup
bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya untuk dipindahkan ke kamar
lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul ke luar dari dalam bungkusan
pakaian. Ia tersenyum. Gerak gerik pemuda ini benar-benar sopan, dan ia
demikian tampan, ia demikian tangkas.
"Saudara
Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan.
Silakan."
Mereka duduk
menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar. Mulut belum berkata apa-apa, mata
sudah saling pandang. Sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar dilepaskan,
lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali. Ia menjadi bingung dan gugup
sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya.
Melihat
seorang pemuda terpesona oleh kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh
baginya. Akan tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya itu
memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan pemuda ini sebaliknya malah menjadi
malu-malu dan panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu akan
menjadi makin panik, maka ia segera berkata dengan senyum manis menghias bibir.
"Saudara Yap memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum
sekali."
Pemuda itu
tersenyum dan cepat-cepat menjawab. "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah
artinya kebodohanku ini dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang
membuat semua orang, terutama aku sendiri, menjadi amat kagum."
Pada saat
itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja depan
sepasang orang muda itu.
Setelah
pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil
tersenyum, "Dalam pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi sahabat,
akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing kita gunakan. Saudara
Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat
mengatur tentang sebutan."
Melihat
wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang.
"Tahun ini usiaku dua puluh satu tahun."
"Kalau
begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!"
Pemuda itu
dengan muka gembira bangkit berdiri dan menjura. "Lu-cici (Kakak
Lu)!"
Lu Sian juga
bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini menyangka dia she
Lu bernama Sian. Ia pun menjura dan berkata dengan senyum melebar dan kerling
mata menyambar, "Yap-te yang baik...!"
Mereka duduk
kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan makan
dengan sikap lincah manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di pihak
pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata mereka saling sambar dan saling lekat
di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu ketika dalam
waktu bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak disengaja,
akan tetapi lama kelamaan ada unsur kesengajaan!
Ketika hawa
arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung bibirnya
bergerak-gerak manis dan sinar matanya memancarkan kehangatan. Ia berkata,
"Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah memiliki kepandaian
hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"
"Lu-cici
terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling
rendah di antara murid-murid Siauw-lim-pai."
"Ahh!
Kiranya murid Siauw-lim-pai?" Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan
pandang mata kagum, lalu ia tertawa dan berdiri sambil memberi hormat.
"Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang pendekar besar dari
Siauw-lim!"
"Lu-cici
jangan mentertawakan Siauw-te!" Pemuda itu pun berdiri dan tertawa.
"Kau membikin aku menjadi kikuk saja! Marilah kita duduk kembali dan
jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang bodoh."
Mereka tertawa-tawa
gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya bicara makin
bebas dan gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata yang mulai
memancarkan dendam birahi.
"Yap-te,
siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai?
Ilmu silat dari Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu,
terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama aku mendengar akan kebesaran
Siauw-lim-pai, dan sejak kecil aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali mendapat
kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang menjadi
pusat Siauw-lim-pai!"
"Ah,
aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andai kata dapat mengantar Lu-cici
melihat-lihat ke sana! Sayang, sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak
mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki ruangan dalam perguruan kami.
Maaf, Lu-cici."
Lu Sian
menarik napas panjang. "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau
menceritakan tentang keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan
bukankah itu sama dengan melihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat dengan
meminjam sepasang matamu yang awas." Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun
tertawa.
Maka sambil
makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil
Siauw-lim-si yang luas, tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan
latihan, ruangan ujian dan kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Lu
Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.
"Kamar
kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid,
kecuali kalau masuk bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan
langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua Siauw-lim-pai sendiri."
"Adik
yang gagah, kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan?"
Yap Kwan Bi
mengangguk. "Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku memperdalam Ilmu
I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam tubuh dan tentang
ilmu semedhi melatih napas."
"Wah,
kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku
menjenguk ke sana sebentar. Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar
Cici-mu ini masuk sebentar saja ke sana?"
Pemuda itu
bergidik. "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat lain, biar
mempertaruhkan nyawa, akan kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam
Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan di sana sama sekali tidak
boleh dibuat main-main. Para Suhu amat keras dan lihai."
Lu Sian
menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar keadaan
ruangan-ruangan sebelah dalam Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi
tadi. "Berapa banyakkah kitab-kitab di dalam kamar kitab itu?"
Ia terus
menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat kemudian
Lu Sian sudah tahu betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa kitab tentang
semedhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu Silat Lo-han-kun di rak kedua
sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini.
Akan tetapi
yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan darah
dari Siauw-lim-pai, yang bernama Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia dengar
dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan darah Siauw-lim-pai ini
adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar pelajaran segala macam
ilmu menotok jalan darah. Maka hatinya berdebar ketika ia bertanya kepada Kwan
Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling atas di
ujung kiri.
"Yap-te,
aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan dapat menjadi sahabat. Kau
menyenangkan sekali!"
"Ah,
Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik sekali kepadaku dan... aku berhutang
budi kepadamu. Entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu ini,
Lu-cici."
Keadaan
pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia minum arak sampai banyak, akan
tetapi menghadapi seorang wanita cantik jelita seperti Lu Sian, ia menjadi lupa
diri dan minum terus setiap kali si Jelita mengisi cawan araknya. Lenyaplah
kekakuan sikap Yap Kwan Bi.
Ketika Lu
Sian mengulur tangan kirinya di atas meja, dekat dengan tangan kanannya,
jari-jarinya merayap mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu. Biar
pun yang bersentuhan hanyalah ujung jari dengan punggung tangan, namun
seakan-akan ada aliran listrik memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai
pusat pembangkit tenaga, langsung menyerang jantung yang menjadi berdebar-debar
keras. Karena tidak ada reaksi apa-apa dari pihak Lu Sian, tangan pemuda itu
makin berani dan di lain saat sepuluh buah jari tangan mereka sudah saling
cengkeram!
"Lu-cici...
alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici. Kau... kau begini cantik jelita dan
tentu lebih muda dari padaku. Kau paling banyak delapan belas tahun...,"
pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari tangan itu membuat
napasnya sesak dan kepalanya pusing!
Lu Sian
tersenyum manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu menarik
kembali lengannya. Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput air,
bibirnya tersenyum-senyum aneh dan matanya memandang pemuda itu setengah
terpejam. Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang menggelora.
Dia wanita lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu
yang datang membakar.
"Yap-te,
aku memang lebih tua dari padamu."
"Ah,
kau ini seperti Bibi Guruku saja, Lu-cici. Dia sudah berusia lima puluh tahun,
akan tetapi semua orang tentu tidak percaya karena ia kelihatan masih muda. Ah,
agaknya biar pun Bibi Guru tidak mewarisi kelihaian ilmu silat Siauw-lim-pai,
namun ia telah mewarisi Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Suci Sumsum) dengan
sempurna sehingga ia dapat mengalahkan usia tua dan menjadi tetap muda!"
Serentak
perhatian Lu Sian terbangkit. "Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah
aku bisa berkenalan dengannya?"
"Tentu
saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek Hong, dan kini setelah menjadi
pendeta wanita disebut Su-nikouw. Ia menjadi ketua kuil wanita di sebelah barat
kota. Kau ingin bertemu dengannya, Cici? Mari kuantar!"
"Ah,
kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi dulu...."
"Mandi?
Air persediaan di rumah penginapan ini hanya sedikit, itu pun tidak terlalu
bersih, Lu-cici. Di sebelah barat terdapat telaga kecil di sebuah hutan, tidak
jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal Bibi Guru Su-nikouw. Airnya jernih
sekali dan aku sendiri selalu mandi di sana."
Lu Sian
serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri. "Kalau begitu menanti apa
lagi? Mari kita ke sana, mandi, lalu mengunjungi Bibi Gurumu Su-nikouw!"
Setelah
membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan.
Malam telah tiba ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi
yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangan Lu Sian, diajak
berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap. Mereka setengah berlari menuju ke
sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat,
mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak
bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap
karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Jalan yang mereka lalui semakin
licin setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan.
"Hati-hati,
jalannya licin..," baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset
dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh,
hampir jatuh aku...," Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak
melepaskan pelukannya. "Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?" tegurnya
pura-pura marah.
Dengan dada
turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan
berbisik di dekat telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil.
"Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu, Lu-cici!"
Lu Sian
tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan
diri dari pelukan. "Aihhh, kiranya kau nakal!" kemudian sambil
tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga.
Kini
pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali
menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu
menjadi amat romantis. Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa
dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang
muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung.
Demikian pula dengan Kwan Bi. Andai kata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh
perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita
sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset
hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh
nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.
"Yap-te,
mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira
Yap Kwan Bi
berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak mau pun membuka
suara. Matanya memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya
kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang
tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan
selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya. Betapa tidak?
Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti
dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak
berada di situ. Setelah menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, wanita
itu kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar
lalu meloncat ke dalam air!
Suara air
muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati
berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam
air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan bermain-main dengan air
yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu
Sian sambil berkata, "Lu-cici, kau... tidak marah kepadaku?"
"Marah?
Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air.
"Kau
tidak marah mendengar aku mencintaimu?"
"Hi-hik,
kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kau buktikan dulu
cintamu!" jawab Lu Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah
sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit yang turun dan mandi
di telaga ini.
"Oh,
Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini
buktinya...!" Kwan Bi memeluk, merangkul dan mencium.
"Eiiihhh...
ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu
Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan, lalu tertawa-tawa menggoda,
membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya. "Adikku yang
tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan
suka menolongku."
"Pertolongan
apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekali pun, aku
pasti akan memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu,"
kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking hebatnya golombang
nafsu membakarnya.
"Yap
Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si,
memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah kau menolongku?"
Bukan main
kagetnya hati Yap Kwan Bi. "Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali
Lu-cici!"
Bibir yang
melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu
bergerak-gerak mengejek, "Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani
bersumpah?" Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas
rumput.
Setelah
wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya
tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi seperti dicabut
semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa itu, pandang matanya
menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah pemuda ini.
Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini, yang teringat
olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap titik darahnya,
setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam kerinduan
membutuhkan si jelita!
"Lu-cici...,
tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat.
Diam-diam Lu
Sian tersenyum. Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang
sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai sekali
pun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi, si muda remaja yang
tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa
lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku," Lu Sian
pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga
tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.
Yap Kwan Bi
menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di
depannya. "Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya
menyatakan sukar sekali."
"Jadi
kau mau menolongku?" tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda
itu. Tentu saja begitu tubuhnya mendekat, dari rambut serta tubuhnya terpancar
semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja
ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu,
Lu-cici. Biar pun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan,
tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici,
biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku,"
suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian.
Agaknya
dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh
bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia
lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau
baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti
engkau." Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu
terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku,
bersabarlah. Kau ceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di
Siauw-lim-si? Padahal di sana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai
yang lihai."
"Kau
betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar
di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih
kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut
pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang
beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam
upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan, semua
tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Ada pun penjagaan hanya
dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itu pun yang dijaga hanya sekeliling
tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu
gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah
sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara
sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"
Girang
sekali hati Lu Sian. "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah,
masih banyak waktu bagi kita untuk...." Lu Sian mengerling tajam.
"...untuk
bersenang-senang bersama bukan?" Yap Kwan Bi langsung menyambar kata-kata
yang sengaja tidak diselesaikan Lu Sian.
Lu Sian
tersenyum. "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di sudut
hatimu sudah ada maksud itu?"
Wajah yang
tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata
dengan suara sungguh-sungguh, "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya
berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh
para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila
kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke sana bersama,
Lu-cici. Orang-orang tentu akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita,
bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan
kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba
wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi. "Eh, bocah pelupa!
Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada Bibi Gurumu Su-nikouw?"
Yap Kwan Bi
tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya
kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari
urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah mengenakan
pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil
Kwan-im-bio.
Su-nikouw
atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi
ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh
orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian
memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja
dan tubuhnya terlalu kurus. Akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan
tangannya, wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya.
Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun
lebih! Benar-benar hebat sekali. Timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk
mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh,
Kwan Bi, kaukah ini? Dari mana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut
membuat persiapan di Siauw-lim-si?"
Yap Kwan Bi
sudah memberi hormat, lalu menjawab, "Bibi Guru, kedatangan teecu (murid)
adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa
dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng
(Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga
besok lusa." Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu
Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak
mengganggu.
"Aih
kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua
tangan di depan dada.
Lu Sian
cepat-cepat membalas, menjura dan berkata, "Sudah lama mendengar nama
besar Suthai dan setelah bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan
heran luar biasa."
"Omitohud...!
Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi?
Dahulu pinni terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat
Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus bagian yang dapat
pinni miliki."
"Berhasil
melawan usia tua merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang akan
menjadi kebanggaan kaum wanita," kata Lu Sian.
"Aihh,
agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa
sih artinya awet muda bagi seorang pendeta macam pinni? Pinni memang
mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan usia tua, akan tetapi sekali-kali
bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya agar jangan
terlalu mudah diganggu penyakit!"
Setelah
bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke
manakah mereka pergi? Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang
muda hamba nafsu ini menyerah bulat-bulat kepada nafsu mereka sendiri, dan
semalaman itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan
dibuai nafsu, di dekat telaga dalam hutan.
Yap Kwan Bi
adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja dia
benar-benar jatuh ketika bertemu seorang wanita seperti Lu Sian. Kwan Bi
dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama sekali bukan merupakan nafsu,
melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya
terbatas pada darah daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih suci murni! Sama
sekali ia tidak tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu belaka, tidak tahu bahwa
perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinahan yang sama sekali
tidak patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan,
lebih tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria.
Bagi Lu Sian,
dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria, siapa pun
juga dia, harus dia dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk
menghibur hatinya, dan untuk kemudian dipermainkan atau dipatahkan cintanya! Lu
Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau tunduk kepada
cinta nafsu, hanya cinta untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi
ditundukkan cinta, sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!
Dua hari
kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di
Siauw-lim-si yang besar diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang
dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu terdiri dari bermacam golongan.
Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw
memerlukan datang pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir
ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahun!
Kian Hi
Hosiang, ketua Siauw Lim Pai, kini sudah amat tua dan pikun, namun masih
dihormat dan dicinta oleh semua anak muridnya. Memang jasanya amat besar ketika
ia masih kuat. Berkat keuletannya dan disiplin keras yang ia jalankan di
Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai
dan pendekar-pendekar yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai
makin harum, disegani kawan ditakuti lawan.
Sekarang
Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun, sehingga kerjanya hanya
bersemedhi saja. Sementara urusan Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang
paling dipercaya, yaitu murid pertama Cheng Han Hwesio, dan murid kedua Cheng
Hie Hwesio. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon ketua karena ia
berwatak tekun, jujur, keras hati, berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio
(Pendeta Buddha) ia sudah menjauhkan diri dari pada urusan duniawi.
Ada pun
Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biar pun
dalam hal disiplin sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan
ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal sebagai hwesio pengawas para
murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan
penyelewengan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai, biar pun murid murtad
itu berada di tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas dari
jangkauan tangan besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan
menghukumnya sesuai dengan peraturan perguruan Siauw-lim-pai!
Para tamu
disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan
depan yang amat luas. Setelah terdengar bunyi genta yang keras dan nyaring,
semua hwesio berkumpul di ruangan dalam untuk mulai upacara sembahyangan. Asap
hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi seram. Di barisan belakang para
hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki dan
wanita, semua bersikap gagah bersemangat.
Mereka ini
adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu
silat di kuil besar itu mau pun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan
kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan selamat kepada sukong mereka serta
ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid, kesemuanya murid-murid
Kian Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan di
sekeliling tembok yang memagari Siauw-lim-si.
Seperti
telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang
di antara murid-murid yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi
Hosiang, murid tersayang, biar pun usianya masih amat muda. Pada saat di
ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan
upacara sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas
itu sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun.
Akan tetapi
pada saat itu kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya
bayang-bayang orang yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan
lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja ia tadi muncul dari tembok bagian
selatan. Setelah mendapat ‘tanda aman’ dari Yap Kwan Bi yang berjaga di situ,
Lu Sian lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun
ke pekarangan belakang, terus menyelinap dan berindap-indap masuk melalui
bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang kuil Siauw-lim-si.
Ia menjadi
kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara cumbu rayu, ia telah mendapat
gambaran dan keterangan yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si ini dari
Kwan Bi. Andai kata tidak mendapat keterangan yang jelas lebih dulu, kiranya
akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan, yaitu kamar kitab.
Bukan main luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama
bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat keterangan jelas, maka ia mulai
menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke tujuh belas dari kiri, itulah
kamar kitab!
Dengan
jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan
kepalanya pening ketika ia lihat deretan kitab di atas rak buku. Bukan main
banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir lapuk! Bau di kamar itu
amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula
di deretan mana letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri
rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung kiri.
Wajahnya
berseri setelah membuka dua tiga buah kitab. Sebuah kitab yang amat kecil,
hanya sebesar telapak tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia
kehendaki. Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok jalan darah yang
amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga
tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di
balik baju dalam, menyelinap di antara buah dadanya. Tempat aman!
Dikancingkannya lagi baju luarnya, dan dengan hati girang ia berlompatan menuju
ke belakang. Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi
Yap Kwan Bi dengan cinta mesra sebagai upahnya!
Bibirnya
sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah
mereka janjikan ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok.
Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat menyelinap di balik sebuah
arca penjaga taman. Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali bukan
Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang
telanjang di tangan dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan!
Dari luar
tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun
lebih. Dengan gerakan ringan ia berdiri di atas, di sebelah laki-laki pertama,
lalu berkata perlahan, "Belum kelihatan?"
"Belum,
akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini. Mana Liok-sute?"
"Dia
menjaga di tembok timur."
"Dan
Yap-sute?"
"Sudah
dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira Yap-sute akan sampai hati berlaku
khianat terhadap perguruan kita. Sayang sekali, kasihan dia yang masih amat
muda..."
Wajah dua
orang laki-laki itu nampak muram dan berkali-kali menarik napas panjang. Dari
balik arca itu, Lu Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar percakapan
mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi menyelundupkannya masuk telah diketahui
dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu saja Lu Sian
tidak takut. Ia sudah ingin menerjang naik ke atas mempergunakan kekerasan
melawan para penghadangnya.
Akan tetapi
ia segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu
dihadapkan pada para hwesio pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus
menolong kekasihnya yang tertawan karena dia! Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu
menyelinap di antara bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam, menuju ke depan!
Karena maklum bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan
waspada.
Akan tetapi,
di ruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap sunyi
sekali. Setelah ia mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar suara berisik
dari para hwesio yang berdoa. Asap hio menyambutnya ketika Lu Sian memasuki
lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan tengah yang menjadi
tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah arca Buddha
yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian. Betapa pun tabahnya, ia merasa ngeri
juga kalau memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan para tokoh Siauw-lim-pai
yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan!
Hampir saja
ia kembali lagi dan nekat menerjang ke luar melalui tembok belakang yang hanya
terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta. Akan tetapi kalau
mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan niat ini dan melanjutkan
langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup oleh arca
besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang berlutut di depan arca dan berdoa
beramai-ramai.
Lu Sian
mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang dan
mengintai dengan hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang hwesio
berlutut dan berdoa. Paling depan tampak seorang hwesio yang amat tua, dengan
wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat usianya, Lu Sian
dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang.
Di sebelah belakang kakek ini berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh
tahun lebih. Yang sebelah kanan berwajah keras dan berwibawa, dia menduga tentu
Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri di belakang kakek itu tentulah Cheng Hie Hwesio
yang wajahnya halus tanpa kumis jenggot.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment