Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 11
SEJENAK LU
SIAN meragu. Sulit untuk menerobos ke luar melalui pintu depan tanpa diketahui.
Ia sangsi apakah ia akan mampu menerobos di antara sekian banyak tokoh hwesio
Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian ia teringat akan cerita ayahnya
tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio
Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu
mengambil keputusan. Dengan menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan
pedangnya, kemudian muncul ke luar dari balik arca dan berjalan dengan langkah
tenang, dada dibusungkan, menuju ke luar.
Tentu saja
gerakannya ini tidak terlepas dari pendengaran para hwesio yang sedang berdoa.
Namun tepat seperti perhitungan Lu Sian, para hwesio itu tidak mau menunda
sembahyang mereka, sungguh pun mereka merasa terkejut, heran dan juga marah
sekali. Bagaimana ada seorang wanita muncul dari ruangan dalam kuil? Padahal
sebuah di antara larangan yang amat keras dari kuil Siauw-lim-si di mana pun
juga, adalah hadirnya seorang wanita ke bagian dalam kuil! Merupakan pantangan
keras karena para tokoh hwesio maklum bahwa di antara segala godaan, yang
paling mudah menjatuhkan keteguhan batin para pendeta adalah wanita.
Akan tetapi
deretan anak murid Siauw-lim-pai yang berlutut paling belakang, yaitu golongan
murid yang tidak menjadi pendeta, tidaklah setekun para hwesio itu. Melihat
munculnya seorang wanita muda cantik berpedang dari balik arca, terkejutlah
mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka. Enam orang murid Siauw-lim-pai sudah
melompat dengan gerakan ringan, menghadang di pintu tengah antara ruangan
tengah dan ruangan depan. Para tamu yang hadir di ruangan depan juga menjadi
heboh.
Melihat
dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin ia menyerbu ke luar, akan
tetapi maklum bahwa cara ini bukanlah cara yang bijaksana. Biarlah ia
mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa mengandalkan ketajaman
pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti, berdiri tegak dan tetap
tersenyum dingin. Ia tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta
itu biar pun masih banyak di antara mereka yang muda-muda, rata-rata memiliki
kepandaian tinggi karena mereka ini pun merupakan murid-murid Kian Hi Hosiang
ketua Siauw-lim.
Memang
sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Di antara anak murid yang bukan pendeta,
memang banyak yang langsung menjadi murid Kian Hi Hosiang, bahkan murid-murid
bukan pendeta inilah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi karena mereka
ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama.
Di antara
para hwesio, kiranya hanya dua orang yang menonjol kepandaiannya, yaitu Cheng
Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio, sungguh pun mereka itu sejak kecil hanya
belajar agama dan kebatinan, dan baru setelah tua mempelajari ilmu silat.
Bahkan tiga orang di antara para murid yang kini berdiri menghadang, yang
usianya di antara tiga puluh dan empat puluh tahun, terhitung suheng (kakak
seperguruan) Cheng Han dan Cheng Hie Hwesio, sungguh pun kedua orang hwesio ini
lebih tua usianya. Mengapa demikian? Karena tiga orang ini sudah lebih dulu
menjadi murid mempelajari ilmu silat dari Kian Hi Hosiang.
Akan tetapi
enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri menghadang dengan sinar mata
tajam, tidak turun tangan karena memang mereka hanya bermaksud mencegah wanita
cantik itu keluar dari situ. Mereka tidak akan mengganggu suasana hening dan
penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu. Akhirnya selesailah pembacaan doa
dan para hwesio itu bangkit berdiri.
Segera Cheng
Han Hwesio yang keras dan jujur itu membentak, "Wanita dari mana berani
mati memasuki kuil kami tanpa ijin?!"
Lu Sian
menentang pandang mata hwesio itu sambil tersenyum mengejek, tanpa menjawab.
Tak sudi ia menjawab. Pertanyaan itu dilontarkan dengan cara begitu kasar. Pada
saat itu, para tamu yang melihat sembahyangan telah selesai banyak yang
mendekat untuk melihat peristiwa aneh itu.
Tiba-tiba
seorang di antara mereka berseru. "Ah, dia Tok-siauw-kwi...!!"
Mendengar
julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) ini semua orang kaget sekali. Lu
Sian dengan tenang mengerling dan melihat dandanan orang itu seperti piauwsu
(pengawal). Ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah ada hubungannya dengan
para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang telah menghancurkan pertalian asmara antara
dia dengan Tan Hui.
Para pendeta
mendengar julukan yang biar pun masih baru namun sudah terkenal itu, terkejut.
Kian Hi Hosiang sendiri lalu berkata, "Omitohud...! Kiranya puteri
Beng-kauwcu yang sengaja datang membikin geger! Nona, di antara kami kaum
pendeta Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan hubungan
antara pinceng dan ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong tak pernah dikotori oleh
permusuhan. Mengapa kau hari ini mengganggu upacara sembahyang kami?"
Mendengar
ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari kakek itu, Lu Sian lalu berlagak
penuh kehalusan. Ia menjura dengan penuh hormat dan suaranya lemah lembut dan
merdu ketika ia menjawab, "Harap Losuhu sudi memaafkan saya yang lancang.
Karena mendengar dari Ayah bahwa Siauw-lim-pai paling benci kepada wanita dan
memberi pantangan bahwa lantai pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak
kaki wanita, dan sekali terinjak kaki wanita lantai akan dicuci dengan abu
dapur, maka saya menjadi tertarik dan tidak percaya. Maka, menggunakan
kesibukan di Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri masuk untuk melihat-lihat.
Kiranya tidak ada apa-apanya di dalam, yang macam begitu saja melarang terinjak
kaki wanita. Sungguh keterlaluan! Akan tetapi, betapa pun juga saya mohon maaf
kepada Losuhu dan biarlah setelah pulang akan saya ceritakan kepada Ayah bahwa
biar pun para pendeta lain di Siauw-lim-si galak-galak dan benci wanita, namun
ketuanya amat peramah dan baik hati."
Kian Hi
Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh cocok dengan
ayahnya. Pandai dan keji, baik tangan mau pun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik.
Melihat muka ayahmu dan mengingat bahwa hari ini adalah hari baik, biarlah
pinceng menganggap pelanggaran berat ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh
pergi." Ia menghela napas panjang.
"Suhu!
Ijinkanlah teecu (murid) mengajukan pertanyaan lebih dulu. Munculnya wanita ini
sungguh mencurigakan!"
Kian Hi
Hosiang mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi ampun
akan pelanggarannya."
"Pelanggaran
memasuki kuil memang telah Suhu beri ampun. Akan tetapi siapa tahu ada
pelanggaran lain yang lebih hebat. He, Tok-siauw-kwi, jawablah lebih dulu
pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi dari sini!"
Lu Sian
membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu dengan senyum mengejek. Panas
dadanya mendengar ia disebut Setan Cilik Beracun, sebuah julukan yang diberikan
orang kepadanya di luar kehendaknya. "Heh, Setan Tua Busuk, kalau
pertanyaanmu tidak busuk, baru akan kujawab!"
"Kurang
ajar, berani kau memaki pinceng?" Cheng Han Hwesio membentak dan matanya
melotot.
Lu Sian juga
pelototkan matanya. "Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku pun
menyebut engkau Setan Tua Busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara kita
sudah impas, satu-satu?"
Bukan main
marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang di antara murid Siauw-lim-pai yang
dipercaya suhunya, bahkan dialah calon ketua kelak, karena sejak saat gurunya
mengundurkan diri untuk bertapa, Cheng Han Hwesiolah yang mewakilinya. Karena
ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan sungguh-sungguh. Siapa nyana hari
ini ia dipermainkan seorang wanita muda di depan banyak tamu! Kalau ia tidak
ingat akan pesan suhunya, tentu ia sudah turun tangan memberi hajaran kepada
setan cilik ini!
"Baiklah
akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu sudah mengampunimu. Akan tetapi,
kami tidak percaya engkau akan dapat memasuki pekarangan belakang kuil tanpa
diketahui penjaga. Tentu ada yang membantumu masuk. Katakan, siapa dia yang
membantumu?"
Diam-diam Lu
Sian merasa heran. Para penjaga di belakang tadi sudah tahu agaknya akan
perbuatan Kwan Bi, kenapa kepala gundul ini belum tahu? Ah, tentu saja. Mereka
ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu belum dilaporkan. Ia tersenyum
lebar dan menjawab, "Losuhu, kuil ini adalah kuilmu, yang menjaga adalah
penjagamu, bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian penjagamu? Tentang bagaimana
caranya aku masuk ke pekarangan belakang, ah, itu kewajibanmu untuk mencari
tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."
"Nanti
dulu!" bentak Cheng Han Hwesio, suaranya mengguntur.
"Eh,
hwesio tua, kau mau apa?" Lu Sian menoleh ke arah Kian Hi Hosiang dan
berkata, "Losuhu yang mulia, muridmu yang satu ini benar-benar tidak
patut. Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"
"Cheng
Han, mengapa menahan dia? Lebih baik lekas-lekas suruh dia pergi," hwesio
tua itu mengomel dan diam-diam ia mencela muridnya yang hanya mencari perkara
saja menghadapi wanita ini. Di depan begini banyak orang, wanita berandalan ini
tentu dapat membuat para hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan orang
banyak.
"Suhu,"
Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada gurunya. "Dia baru saja berkeliaran
di dalam kuil, siapa tahu dia mengambil sesuatu?"
Mendengar
ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya hwesio galak itu ternyata bukan
orang bodoh. Ia lalu cepat melangkah maju, mengedikkan kepala membusungkan
dadanya mendekati Kian Hi Hosiang dan berkata nyaring, "Losuhu, apakah ada
orang menyangka aku mencuri benda di kuil? Hayo geledahlah aku, geledahlah!!"
Ia melangkah maju dan dadanya yang membusung itu menantang, agak berguncang
ketika ia menghampiri ketua Siauw-lim-si sampai dekat.
"Omitohud...!"
Kian Hi Hosiang melangkah mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu
dekat. "Pinceng takkan menggeledah..."
"Kau,
hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak
tahu malu, geledahlah aku!" Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga
mundur-mundur kewalahan, mukanya berubah merah sekali.
"Menuduh
orang mencuri, disuruh menggeledah tidak mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku
tidak mau berdiam lebih lama lagi di sini!" Lu Sian melangkah lebar menuju
ke pintu.
Mendadak
berkelebat bayangan putih yang tahu-tahu sudah menghadang di depan Lu Sian. Dia
adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, pedangnya di punggung,
kelihatan gesit dan gagah. "Cheng Han Suheng benar. Kau harus
digeledah!" bentak wanita ini.
Lu Sian
memandang dengan mata bersinar marah. "Kau? Hendak menggeledah? Berani kau
begini menghinaku?"
Wanita itu
adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang kepandaiannya sudah tinggi, bernama
Tan Liu Nio. Ia memandang rendah Lu Sian yang kelihatan masih seperti seorang
gadis muda, maka sambil tersenyum ia menjawab, "Mengapa tidak berani
menggeledahmu?" Kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak meraba tubuh
Lu Sian.
Akan tetapi
tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya sudah mencelat jauh ke
belakang, mukanya pucat karena hampir saja ia celaka. Ketika ia menggerakkan
tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan tahu-tahu secepat kilat dua jalan darah
maut di tubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian sehingga jalan satu-satunya bagi
Tan Liu Nio hanyalah melompat ke belakang secepat mungkin sehingga ia terhindar
dari pada mala-petaka yang hebat.
Lu Sian
tersenyum mengejek, "Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang gagah
dari Siauw-lim-pai memang hanya suka menghina seorang wanita! Hayo kalian
hwesio-hwesio perkasa, siapa mau menggeledah? Siapa mau menggunakan kesempatan
ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba badannya dengan dalih
menggeledah? Tak tahu malu!"
Semua hwesio
dan murid Siauw-lim-pai tidak ada yang berani berkutik. Mereka memandang dengan
muka merah dan serba salah. Tan Liu Nio merupakan seorang murid perempuan
terpandai di Siauw-lim-pai, maka murid perempuan lain tidak ada yang berani
maju. Tan Liu Nio sendiri hampir celaka menghadapi wanita berandalan yang lihai
itu, apalagi mereka. Ada pun murid-murid pria yang berkepandaian lebih tinggi,
menjadi mati kutu setelah mendengar ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba
susah kalau harus menggeledah tubuh seorang wanita secantik dan semuda itu,
apalagi di depan banyak orang. Padahal ketua mereka sendiri sudah mengampuni
wanita ini dan sudah memperkenankannya pergi.
Pada saat
itu dari luar menerobos beberapa orang laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi yang
bermuka pucat sekali. Tiga orang laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah
menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi Hosiang. Terdengar Kwan Bi berkata,
suaranya gemetar. "Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap menerima
hukuman."
"...apa...?
Ada apa...?" Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena ia
benar-benar tidak pernah meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan
tersayang ini.
"Suhu,
Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan lancang menyelundupkan seorang
wanita memasuki pekarangan belakang..."
"Keparat!"
Cheng Han Hwesio yang membentak ini.
Akan tetapi
pada saat itu, cepat bagaikan seekor garuda menyambar, Lu Sian sudah bergerak
ke depan dan menangkap lengan Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat ke luar.
Pada saat itu, Cheng Han Hwesio yang melihat hal ini cepat menyusul dengan
pukulan maut dari Siaw-lim-pai.
Yap Kwan Bi
juga terkejut dan hendak meronta dari tangkapan Lu Sian, namun tak berhasil.
Pada saat itu pula pukulan Cheng Han Hwesio tiba. Biar pun tidak menyentuh
tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan dadanya sesak sehingga pemuda ini
langsung muntah darah! Melihat Kwan Bi pingsan, Lu Sian lalu memanggulnya dan
sambil meloncat ke depan, tangan kirinya bergerak menyambit ke belakang.
Pada saat
itu tiga orang murid Siauw-lim-pai tingkatan atas bersama seorang wanita, yaitu
Tan Liu Nio sudah mengejar. Mereka berempat terkejut sekali dan cepat-cepat
mereka lompat menghindarkan diri dari sambaran sinar merah senjata rahasia Lu
Sian. Ketika mereka mengejar terus, mereka telah tertinggal jauh. Tentu saja
sukar bagi mereka berempat untuk dapat menyusul Lu Sian karena Lu Sian telah
mempergunakan ginkang-nya yang hebat, yang ia pelajari dari mendiang
Hui-kiam-eng Tan Hui, yaitu Ilmu Lari Cepat Coan-in-hui (Terbang Menerjang
Mega)!
Untung bagi
Lu Sian. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio yang hendak mengejar pula telah
dicegah oleh Kian Hi Hosiang yang berkata, "Omitohud... semoga Sang Buddha
melimpahkan kesadaran kepada mereka yang sesat. Cheng Han dan Cheng Hie, tak usah
mengejar. Ketiga Suheng-mu dan seorang Sumoi-mu sudah cukup. Kita tidak perlu
menanam bibit permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang muridku itu
sudah maklum. Asal dapat menangkap kembali Kwan Bi dan membawanya ke sini untuk
menerima hukuman, cukuplah."
Demikianlah,
upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang tadinya akan dibuat besar-besaran
dan meriah, ternyata menjadi sunyi dan muram akibat peristiwa itu. Para tamu
juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah tertimpa urusan yang tidak menyenangkan
mereka lalu berpamit dan meninggalkan kuil itu dalam keadaan suram.
Lu Sian
berlari cepat sekali. Setelah memasuki sebuah hutan tiga puluh lie jauhnya dari
Kim-peng, ia berhenti dan meletakkan tubuh Kwan Bi di atas rumput, terlindung
dari sinar matahari senja oleh pohon besar. Segera ia memeriksa keadaan
kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak kulit dada membayang biru, tanda
bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan yang cukup hebat. Cepat ia mencari
air untuk membasahi kepala pemuda itu, lalu memberinya pula minum sedikit.
Kwan Bi
siuman kembali dan membuka matanya. Melihat Lu Sian, ia tersenyum dan
menggeleng kepalanya. "Lu-cici, aku telah membikin kau banyak
susah..."
Lu Sian
menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan berbisik di telinganya.
"Hushhh, kau mengigau, bicara dibolak-balik. Akulah yang membuat kau
menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut. Selama ada aku di sini, tidak
ada seorang pun boleh mengganggumu, siapa pun juga dia!"
Kwan Bi
tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air mata membasahi pipinya, lalu
kembali dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak mungkin...
dosaku terhadap Suhu dan Siauw-lim-pai tidak boleh kuhindari, aku harus kembali
ke sana. Lu-cici kau pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak.
Cin... cinta kasihmu takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku,
biar kuhadapi sendiri kemarahan Suhu."
Lu Sian
menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda ini, rasa sayang yang terdorong
rasa haru mendengar betapa pemuda ini amat mencintainya, cinta sungguh-sungguh,
cinta yang membuat pemuda itu sanggup berkorban untuknya. Belum pernah ia
dicinta orang seperti ini, kecuali... kecuali agaknya... cinta kasih Kwee Seng
yang telah mati!
"Tidak,
aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka itu boleh saja datang dan mereka
hanya akan dapat mengganggu dirimu jika aku sudah menjadi mayat!"
"Lu-cici...
ah, Lu-cici...!" Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan
jantungnya akibat rasa haru dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu
menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.
Lu Sian
cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada yang terpukul, lalu sambil
duduk bersila ia mengarahkan sinkang-nya untuk membantu kekasihnya memanaskan
jalan darah, memperkuat hawa sehingga luka itu akan cepat sembuh. Ia duduk
dalam keadaan begini sampai senja terganti malam. Bulan sudah muncul sore-sore
dan keadaan menjadi terang seperti siang. Tiba-tiba Lu Sian terkejut oleh suara
bentakan.
"Perempuan
tak bermalu! Kau serahkan murid Siauw-lim-pai yang murtad itu kepada
kami!"
Lu Sian
terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari atas dada Kwan
Bi. Ia hanya mengerling dan tampaklah olehnya empat orang berdiri tidak jauh
dari pohon. Yang seorang adalah wanita yang tadi hendak menggeledahnya, maka ia
memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki semua, yaitu murid-murid
Siauw-lim-pai yang tadi ia lihat ikut menghadang di pintu.
Dua orang
berusia empat puluh lebih. Yang seorang lagi paling banyak berumur empat puluh,
mukanya putih halus seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan tetapi
matanya berkilauan terkena cahaya bulan. Orang kedua berkumis kecil panjang
bergantung ke bawah, sedangkan orang ke tiga bermuka kurus sehingga
tulang-tulang pipinya menonjol ke luar, tampak menyeramkan.
"Cih,
perempuan tak tahu malu. Menculik laki-laki!" Wanita yang bukan lain
adalah Tan Liu Nio murid Siauw-lim-pai itu mencaci.
Panas hati
Lu Sian. Wataknya yang nakal membuat ia sengaja memanaskan hati orang. Ia
menunduk, merangkul leher dan mencium Kwan Bi yang masih pingsan dengan mesra
dan lama! Dengan hati geli ia mendengar betapa Tan Liu Nio mengeluarkan suara
menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki berkumis itu membentak lagi.
"Kami
mengingat ayahmu ketua Beng-kauw, dengan baik-baik minta kembalinya adik
seperguruan kami. Akan tetapi bukan berarti kami takut kepadamu! Jangan
sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan apabila kau membangkang!"
Lu Sian
tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor kupu-kupu ia melompat ke atas
cabang pohon dan dari situ ia melayang turun. Indah sekali gerakannya, indah
seperti seorang dewi kahyangan menari dan seperti seekor kupu-kupu terbang
melayang mencari madu kembang. Dengan ringan sekali ia melompat pula ke depan
empat orang murid Siauw-lim-pai itu sambil berkata.
"Betul
kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak takut, kenapa kalian mau mengeroyokku
berempat?" Lu Sian berkata sambil tersenyum manis.
"Siapa
hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah
pengecut yang suka mengandalkan jumlah banyak mencari kemenangan!" bentak
si Muka Halus yang bernama Long Kiat.
"Aih,
aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk bersombong saja begitu, nanti kalau
sudah terdesak lalu melolong-lolong minta bantuan kawan dan sambil menebalkan
muka kalian berempat maju berbareng!"
"Cukup,
kami datang bukan untuk berdebat!" kata si Kumis yang bernama Lo Keng
Siong. "Kuulangi lagi, kami datang untuk membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak
ada sangkut-pautnya dengan kau!"
"Wah,
jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada sangkut-pautnya dengan aku? Kalian
hendak membawa pulang dia untuk dipukul lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku
yang tidak suka membiarkan dia disiksa."
Si Muka
Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu Nio, tak sabar lagi. Ia
membentak sambil menudingkan telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu
ke arah muka Lu Sian, "Bocah setan banyak tingkah! Kami datang berurusan
dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah
mencampuri urusan dalam orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami?!"
"Huh,
kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai yang tak tahu malu! Kalian semua
berhak apa mencampuri urusan pribadi Yap Kwan Bi dan aku? Kami saling mencinta,
kalian tahu? Kami saling mencinta, dan kami berhak, sama-sama muda sama-sama
suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak membiarkan kalian membawa pergi Yap
Kwan Bi yang sudah terluka oleh si Keledai Gundul tadi!"
"Kurang
ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau mundur dan jangan
mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong marah.
"Tidak
bisa tidak aku mencampuri urusan Yap Kwan Bi. Pendeknya, aku melarang kalian
membawanya pergi, habis perkara!"
"Kau
menantang?" kumis Lo Keng Siong bergerak-gerak.
"Terserah!
Aku sudah berjanji bahwa orang hanya dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku
sudah menjadi mayat!"
"Iblis
betina, kau sudah bosan hidup?"
"Hi-hik,
kalian hendak mengeroyok?" Lu Sian mengejek. "Kunasehatkan kalian,
kalau memang hendak memaksa dan hendak menyerangku, lebih baik kalian maju
berempat mengeroyokku, karena kalau maju seorang demi seorang berarti mengantar
nyawa dengan sia-sia!"
"Perempuan
sombong!" bentak Liong Kiat marah. "Twa-suheng, biar siauwte mengusir
iblis betina ini!"
"Eh,
eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas, aku sudah memberi peringatan.
Karena Kwan Bi juga murid Siauw-lim-pai, aku tidak bermaksud memusuhi
Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak, jangan salahkan kaki tanganku
yang tidak bermata."
"Sombong!"
Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan Kosong Lo-han-kun yang
terkenal tangguh itu. Dengan kuda-kuda terpentang dan langkah diseret hampir
berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan pusar. Berat
dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi
menderu.
Lu Sian
menggerakkan tangannya dengan jari terbuka. Dengan telapak tangannya ia
menerima kedua kepalan tangan lawan hingga telapak dan kepalan itu saling
menempel. Saat itu juga Lu Sian dapat merasakan tekanan tenaga si Muka Halus
amatlah kuatnya. Ia tidak melawan, melainkan meminjam tenaga pukulan Liong
Kiat. Kedua kakinya diayun ke belakang sehingga tubuhnya terangkat naik ke atas
dengan kedua tangan masih menempel pada kepalan lawan.
Selagi Liong
Kiat terkejut sekali menyaksikan penyambutan lawan yang luar biasa ini,
tiba-tiba Lu Sian sudah mengirim pukulan dengan sodokan jari tangan kanannya
mengarah ubun-ubun kepalanya. Karena pada saat itu tubuh Lu Sian berada tepat
di atasnya, maka serangan itu luar biasa dahsyat dan bahayanya, amat cepat
datangnya sehingga sukar ditangkis lagi!
"Sute,
awas....!" Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil lompat mendekat
diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio.
Pada saat
yang amat berbahaya itu, Liong Kiat masih sempat memperlihatkan bahwa murid
Siauw-lim-pai tidaklah semudah itu dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke
belakang, roboh terjengkang bagaikan sepotong balok kayu. Akan tetapi begitu
pundaknya menyentuh tanah, ia sudah melakukan poksai (salto) ke belakang,
berjungkir balik sampai tiga kali. Ia berdiri dengan muka pucat dan keringat
dingin membasahi dahinya. Bergidik ia kalau teringat betapa dalam segebrakan
saja ia tadi sudah hampir tercengkeram maut.
Lu Sian
sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang kepandaian Lu Sian sekarang jauh
bedanya dengan ketika ia mula-mula meninggalkan suaminya, Kam Si Ek. Sekarang
ia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Ginkang-nya sudah terlatih baik
dan yang ia warisi dari Tan Hui adalah ilmu ginkang yang terhebat di jaman itu.
Juga ia telah mempelajari tiga macam kitab Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka
baik ilmu silat tangan kosong mau pun ilmu pedangnya sudah meningkat beberapa
kali lipat, ditambah gerakan yang luar biasa cepatnya berkat ginkang
Coan-in-hui.
"Sudah
kukatakan, lebih baik kalian mundur dan jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau
kalau kalian nekad mengajak berkelahi, majulah berbareng. Kalau satu-satu,
percuma, tidak akan ramai!"
Bukan main
pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada keempat orang murid
Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa memang ilmu kepandaian
wanita ini seperti iblis, dia memang bukan lawan mereka kalau maju seorang demi
seorang. Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju, belum tentu
saudara seperguruan itu akan dapat menandingi Lu Sian.
"Kau
menantang kami maju berempat?" kata Lo Keng Siong hati-hati.
"Hi-hik,
mengapa tanya-tanya lagi? Majulah bersama, biar lebih asyik aku melayani kalian
berempat."
"Bukan
kami takut maju seorang demi seorang, akan tetapi kau menantang dan kau terlalu
menghina. Ji-wi Sute (Kedua Adik Seperguruan) dan Sumoi, mari kita basmi iblis
betina sombong ini!" seru Lo Keng Siong sambil mencabut senjatanya,
sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah bajunya.
Tan Liu Nio
dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan Tan Bhok mengeluarkan
senjatanya yang hebat, yaitu sehelai rantai baja. Mereka segera mengambil
kedudukan empat penjuru, mengurung Lu Sian dengan gerakan perlahan dan langkah
teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di tengah-tengah!
Lu Sian
masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda menyilang. Tubuhnya miring,
kedua lengannya diangkat ke atas, melengkung di atas kepala dengan jari-jari
tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat manis seperti orang menari, akan
tetapi menyembunyikan kesiap-siagaan yang lengkap dan gagah.
"Keluarkan
senjatamu!" bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil mengangkat
ruyungnya ke atas.
"Aku
sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kau perintah!" jawab
Lu Sian seenaknya.
"Ciuuuttt....
siiing... weeerrrr!!" keempat senjata itu sudah menyambar ganas, sinarnya
tertimpa cahaya bulan menyilaukan mata.
Akan tetapi
keempatnya hanya mengenai angin karena tubuh Lu Sian sudah lenyap menjadi
bayangan yang berkelebatan dan menyelinap di antara sinar keempat senjata itu.
Bukan main hebatnya ginkang Coan-in-hui itu! Makin hebat empat senjata itu
menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula Lu Sian bergerak
dan mendadak....
"Cranggg...
cringgg... tranggg-trang!" bunga api berpijar dan berhamburan.
Tanpa dapat
diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di
tangan kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.
Hanya Tan
Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang serasa
lumpuh karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga orang murid Siauw-lim-pai yang
lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa biar pun dalam ginkang mereka kalah
jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sinkang, setidaknya mereka dapat
mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat, mengerahkan tenaga dan berusaha
mengadu senjata agar pedang di tangan puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.
Namun Lu
Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan
baginya kalau ia mengadu tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang
memiliki lweekang hampir sempurna ini, maka ia lebih mengandalkan kelincahan
gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak mengelak
inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang
Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu mentaati guru mereka. Karena tadi
mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang,
tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah mengampuni Lu Sian,
kini mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.
"Tok-siauw-kwi,
kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan
mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.
Inilah
salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin mempermainkan mereka saja, mengalahkan
mereka dengan ilmunya kemudian lari lagi membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi
mendengar ucapan ini, bangkit kemarahan dan keangkuhannya. Dia memang seorang
yang keras hati, pantang dikatakan kalah. Mendengar ini darahnya bergolak dan
ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan lengking lebih mirip suara iblis
siluman.
Akan tetapi
pedangnya kini bergerak secara luar biasa, bergelombang dan berubah menjadi
gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran besar lalu berubah lagi
menjadi gelombang-gelombang yang datang menerjang ganas. Inilah Toa-hong Kiam-sut
yang kini telah menjadi ganas dan luar biasa dahsyatnya. Di tengah-tengah
lengkingnya yang belum putus, terdengar teriakan ngeri dan tampak Liong Kiat
terguling roboh dalam keadaan mengerikan karena pundaknya telah terbabat putus
berikut lengan kanannya. Ia bergelimpangan mandi darah, berkelojotan dan tak
dapat mengeluarkan suara lagi.
"Tok-siauw-kwi,
hutang jiwa harus dibayar jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali.
"Tok-siauw-kwi,
berani kau membunuh Sute-ku?!" Tan Bhok juga membentak dan rantainya
berdesing-desing menyambar.
Lu Sian
tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika ketiga orang pengeroyoknya yang
menyangka dia hendak kabur itu mendesaknya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak
dan... sinar merah menyambar ke arah mereka!
"Celaka....!"
Tan Liu Nio berseru.
Karena dia
berada paling belakang, maka ia sempat melihat gerakan ini dan dapat mengelak.
Akan tetapi dua orang suheng-nya yang jaraknya terlalu dekat, terlambat
mengelak. Mereka dapat melindungi tubuh atas dengan putaran senjata, akan
tetapi paha kanan masing-masing telah terkena jarum Siang-tok-ciam! Seketika
hidung mereka mencium bau amis akan tetapi harum, maka maklumlah mereka bahwa
mereka terkena senjata beracun. Namun keduanya masih belum roboh dan masih
memutar senjata.
Lu Sian
tidak berhenti sampai di situ. Begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia
telah menerjang maju lagi mainkan pedangnya dengan jurus dari Ilmu Pedang
Toa-hong Kiam-sut yang dahsyat. Dua kali pedangnya berkelebat dan robohlah Lo
Keng Siong yang tertembus pedang lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus
pinggangnya, perutnya robek dan isi perutnya ke luar. Mereka berdua tidak
menderita lama, cepat menghembuskan napas terakhir menyusul arwah Liong Kiat
yang tewas lebih dulu.
"Tok-siauw-kwi,
kau benar keji dan ganas...!" Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat,
lalu menyerbu dengan pedangnya.
Sambil
tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan tenaga.
"Tranggg...!"
pedang Tan Liu Nio terlepas dari tangannya.
Dengan
kakinya Lu Sian menendang, membuat tubuh Tan Liu Nio roboh terguling, kemudian
matanya yang sudah menjadi beringas itu berkilat ketika pedangnya ditusukkan ke
bawah.
"Trangggg!"
Lu Sian
meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Yap
Kwan Bi yang ternyata telah menangkis pedangnya.
"Kau...
kau Tok-siauw-kwi....??" dengan pedangnya Kwan Bi menuding kepada
kekasihnya.
"Orang
menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau tahu...."
"Kau...
kau perempuan hina...! Kau telah membunuh tiga orang Suheng-ku dan hendak
membunuh Suci-ku? Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!" Yap Kwan Bi
menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih lemah, sekali ditangkis ia roboh
terguling.
Lu Sian yang
mukanya menjadi pucat itu tiba-tiba meludah. "Cih, kiranya kau pun sama
saja! Laki-laki berhati palsu! Mual perutku melihatmu!" Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat Lu Sian lenyap dari tempat itu.
Yap Kwan Bi
menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan keadaan tiga orang suheng-nya
yang tewas dalam keadaan demikian mengerikan. Ia menjambaki rambutnya dan
memukuli kepalanya sendiri seperti orang gila. Percuma saja Tan Liu Nio
menghiburnya.
Akhirnya
murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari cepat melaporkan ke kuil Siauw-lim-si.
Tentu saja berita ini menimbulkan geger. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio
sendiri bersama beberapa orang sute berlari-lari ke arah hutan itu dan apa yang
mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah tewas di samping ketiga orang suheng-nya,
lehernya hampir putus dan tangan kanan penuh darahnya sendiri. Ia telah
membunuh diri karena telah menyesal!
Sementara
itu Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali. Ia
merasa kecewa dan menyesal. Ia benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta kasih
Kwan Bi yang tadinya dikira benar-benar suci murni. Bahkan pengalaman ini
membuat ia makin muak terhadap laki-laki, makin tidak percaya, dan makin sakit
hati. Di samping kekecewaannya, ia pun merasa girang bahwa ia berhasil
mengambil kitab Ilmu Im-yang-tiam-hoat dari Siauw-lim-pai. Ia gemas kepada
orang-orang Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan ikatan cinta kasihnya dengan
Kwan Bi, maka kini pikirannya tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil
Kwan-im-bio. Ia harus dapat merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia
selamanya takkan menjadi tua! Ia akan memaksa pendekar wanita Siauw-lim-pai itu
untuk menyerahkan rahasia kepandaiannya!
Hari telah
malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil itu telah menutup daun pintu
depan, akan tetapi sebuah lampu gantung menerangi ruangan depan. Lu Sian
menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju
pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut seorang pendekar wanita
bertanya.
"Siapakah
yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam mengunjungi
Kwan-im-bio?"
"Aku Lu
Sian, mohon bertemu dengan Su-nikouw!"
Ketika
Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum ramah dan menegur. "Eh,
kiranya Lu-lihiap yang datang. Keperluan apakah gerangan yang membawa Lihiap
malam-malam datang mengunjungi tempatku yang buruk? Dan di mana adanya Kwan
Bi?"
Akan tetapi
nikouw ini mengerutkan keningnya ketika melihat pandang mata Lu Sian amat
berlainan dengan beberapa hari yang lalu, bahkan ia melihat Lu Sian membanting
kaki lalu berkata tak manis. "Tak perlu kita berpanjang kata, Su-nikouw.
Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu tentang
ilmu awet muda!" Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang matanya.
Kalau
kemarin dulu ketika datang ke sini bersama Kwan Bi ia merasa suka kepada
pendeta wanita yang awet muda ini, sekarang ia memandangnya dengan mata benci.
Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya lagi. Memang pengaruh rasa benci
amat jahat, membutakan mata. Karena ia merasa sakit hati kepada Siauw-lim-pai,
menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang sudah mabok rasa benci,
pandang matanya akan berbalik!
Akan tetapi
Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu menguasai batinnya dan ia memandang Lu
Sian dengan senyum wajar. "Lihiap, biar pun pinni merasa heran sekali atas
perubahan sikapmu ini, namun penolakan pinni bukan disebabkan oleh sikapmu,
melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita yang belum sadar
akan kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan dan
kecantikan pada usia tua hanya akan menyelewengkan hati, membesarkan nafsu, dan
percayalah, kelak di waktu kau sudah berusia tua, kecantikan dan kemudaan yang
disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan belaka.”
"Tak
usah banyak cerewet!" Lu Sian membentak. Lazim, orang yang sudah membenci
seorang yang lain, apa pun yang keluar dari mulut orang yang di benci itu
selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kau mau serahkan secara
baik-baik atau dengan paksaan, aku tetap harus mendapatkan rahasia itu!"
Su-nikouw
menghela napas. "Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang gelap.
Biarlah lain kali kau datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan hal
ini perlahan-lahan secara baik-baik."
Alis yang
hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan tangan kiri. Su-nikouw cepat mengelak
dengan menjatuhkan diri ke belakang, namun terlambat, jalan darah di pundak
kirinya tertusuk sebatang Siang-tok-ciam! Nikouw itu terhuyung lalu menjatuhkan
dirinya di atas sebuah kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata terbuka lebar
saking heran dan kagetnya.
Sambil
tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan. "Kau sudah terluka
Siang-tok-ciam, obat pemunahnya hanya padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu
awet muda untuk ditukar dengan obat pemunahku."
Su-nikouw
yang masih duduk di atas kursi kelihatan tenang-tenang saja. "Omitihud....
kau ini wanita muda sungguh ganas, kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa kau
sadari! Seorang pertapa seperti aku ini menganggap kematian sebagai pembebasan
jiwa dari pada kurungan raga yang banyak kehendak dan lemah. Racun jarummu yang
mengancam nyawaku sama sekali tidak membikin pinni takut."
Diam-diam Lu
Sian menjadi kecewa sekali. Celaka, pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh,
hanya mengancam, akan tetapi kalau wanita gundul ini nekat menghadapi kematian,
tidak mau menukar obat pemunah dengan rahasia ilmu awet muda, bagaimana?
"Nikouw
bandel! Mengapa hendak kau kangkangi sendiri ilmu itu? Apakah kau hanya ingin
muda sendiri dan cantik sendiri? Ilmu seperti itu saja mengapa lebih kau hargai
dari pada nyawamu?"
Su-nikouw
menggeleng kepala. "Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari
Siauw-lim-pai, ilmu menguatkan tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang
kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak boleh sembarangan
diajarkan kepada orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau
pergi, pinni akan mati tanpa mengeluh!"
Tiba-tiba Lu
Sian tertawa. "Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku membiarkan kau
mati begitu saja kalau kau tidak mau membuka rahasia itu? Ketahuilah,
Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit nafsu birahi! Racun
Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu. Tidak
terasakah olehmu Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi dan
tulang punggungmu berdenyut keras? Sebelum mati oleh racun, kau terserang oleh
rangsangan birahi dan aku akan mengerammu dalam kamar bersama seorang laki-laki
yang kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya jiwamu kalau pada
saat kematianmu engkau melakukan pelanggaran yang paling besar bagi seorang
pendeta wanita!"
Napas
Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya memandang penuh kengerian.
"Ah, jangan.... jangan....! Sebenarnya siapakah engkau ini yang begini
keji?"
"Orang
menyebutku Tok-siauw-kwi."
"Aahhh...
kiranya engkau Tok-siauw-kwi...?" Nikouw itu makin ketakutan karena ia
pernah mendengar nama julukan ini sebagai seorang tokoh kang-ouw yang amat keji
dan ganas, maka ancaman tadi bukan tak mungkin dilakukan oleh Tok-siauw-kwi
yang terkenal kejam. Pula, sejak terluka tadi ia memang mencium bau harum yang
aneh dan memang betul tulang punggungnya berdenyutan keras!
Tentu saja
sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lebih mementingkan pelajaran batin,
nikouw ini tidak tahu tentang segala racun, dan ia tidak tahu bahwa Lu Sian
sebenarnya membohong. Siang-tok-ciam yang merah itu memang berbahaya dan
racunnya cukup jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan tetapi sekali-kali
tidak akan menimbulkan gejala nafsu birahi segala. Dia sengaja mengeluarkan
ancaman ini karena dengan tepat ia menduga bahwa hal seperti itu jauh lebih
mengerikan dari pada kematian bagi seorang wanita pertapa yang saleh!
"Bagaimana?
Aku mengenal seorang kepala rampok dalam hutan, usianya tiga puluh tahun,
tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan kaki
tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti monyet. Dia tunduk kepadaku dan
dia amat suka kepada wanita yang wajahnya bersih. Tentu dia akan senang sekali
mendapatkan engkau yang masih kelihatan muda dan cantik ini!"
Su-nikouw
bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar gambaran tentang laki-laki itu.
Tak tertahan lagi ia menangis, hal yang selama sepuluh tahun lebih tak pernah
ia lakukan. "Baiklah, baiklah..., kuberikan rahasia ilmu itu
kepadamu."
Ia lalu
masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa sebuah kitab tipis tulisan tangan
hasil pekerjaannya sendiri. "Tidak mudah mencapai tingkat seperti
aku," katanya. "Untuk dapat mengalahkan kerusakan kulit daging dan
tulang, kau harus memiliki dasar ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum)
dan untuk pelajaran itu, menyesal pinni tidak dapat memberi karena kitabnya
tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi seorang berkepandaian tinggi seperti
engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya dengan mudah. Hanya saja, ilmu
I-kin-swe-jwe yang paling hebat di dunia ini hanyalah dari Go-bi-pai, di
samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah, setelah kau memiliki ilmu itu, engkau
pelajari semedhi seperti tertunjuk dalam kitab ini, dan makan akar serta daun
yang sudah tertulis lengkap pula di situ."
Cepat Lu
Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya sebentar. Ia percaya bahwa nikouw
itu tidak akan membohonginya, maka ia pun lalu mengeluarkan obat pemunah dari
sakunya sambil tertawa. "Siang-tok-ciam senjata rahasiaku memang
mematikan, akan tetapi mana bisa membangkitkan nafsu birahi?"
Nikouw itu
marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri sedapatnya untuk tidak
memaki-maki. Akan tetapi setelah memberikan obat pemunahnya, Lu Sian sudah
melompat ke luar dan menghilang di tempat gelap sambil membawa kitab yang amat
diinginkannya itu.
Su-nikouw
kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan menarik napas panjang berkali-kali.
"Su Pek Hong... Su Pek Hong.... Inilah hukumannya kalau orang tidak
mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah bilang bahwa ilmu awet muda
ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik karena menentang hukum alam!
Betul kau hanya menghendaki awet muda demi kesehatan, namun wanita lain tentu
akan menganggapku pesolek dan ingin cantik selalu. Dan wanita yang selalu ingin
cantik seperti ingin mendapat perhatian dan pujian laki-laki. Ah, betapa
memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau menerima kekuasaan
alam? Jadilah nenek-nenek yang penerima, hadapilah kematian usia tua yang
sewajarnya, dan tentu tidak akan mengalami hal yang begini memalukan..."
Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu mempergunakan obat pemunah racun yang
ditinggalkan Lu Sian.
Harta benda,
kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah anugerah, bukti kemurahan Tuhan kepada
manusia. Namun dalam anugerah ini terbawa pula ujian yang amat berat. Siapa
yang kuat menerima anugerah ini, ia akan dapat menikmatinya lahir batin.
Sebaliknya, mereka yang tidak kuat menghadapi ujian ini, hanya akan menikmati
pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya mereka akan mengalami kemunduran
yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan.
Namun di
antara tiga macam anugerah itu, yang paling berbahaya akibatnya bagi mereka
yang tidak kuat adalah kekuasaan. Harta benda dapat menjadikan orang menjadi
hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat menjadikan orang menjadi sombong,
tinggi hati dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi kekuasaan yang timbul
dari kekuatan atau pun kedudukan, amatlah berbahaya karena dapat menjadikan
orang sewenang-wenang terhadap orang lain, mau menangnya sendiri saja tanpa
menghiraukan tata-susila dan peri-kemanusiaan.
Liu Lu Sian
termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam
ilmu silat yang ia kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan makin besar
kekusaannya terhadap orang lain mentaati kehendaknya. Ia menjadi mabok akan
kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan peri-kemanusiaan.
Makin ia turuti nafsunya, maka makin hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin
ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak puas dan menghendaki lebih.
Sepak terjangnya makin liar menjadi-jadi, sehingga beberapa tahun kemudian nama
Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai seorang tokoh yang ganas,
liar, kejam dan ditakuti.
Untuk
mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki
Go-bi-pai. Ia berhasil mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas
Bintang) yang selain mengajarkan latihan lweekang dan langkah-langkah kaki,
juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperi yang ia butuhkan. Ilmu
kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian
benar-benar menjadi seorang wanita sakti yang sukar dicari tandingannya. Di
Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup melarikan diri dengan
hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai yang
terkenal kosen!
Bukan hanya
Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka
Pek-giok-kiam (Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka
Hoa-san-pai. Dalam pertempuran di Hoa-san, ia dikeroyok dan berhasil merobohkan
lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang ganas dan
dahsyat. Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang
buruan, dicari dan dikejar oleh orang-orang Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan
Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah, ginkang-nya yang tinggi serta
kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.
Bukan hanya
itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan
persilatan yang sengaja ia datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan
ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan sehingga namanya menjulang
tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong! Yang
paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita
bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang sengaja hanya untuk
menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga di Kong-thong-pai
ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguh pun ia belum sanggup mengalahkan
ilmu pedang ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang
cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia atasi
dengan kelincahannya.
Demikianlah
selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw. Ilmu
kepandaiannya makin hebat, akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih
tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman yang khas, sedangkan bentuk
tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.
Betapa pun
liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa rindu
kepada puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua
kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada waktu itu, Kerajaan Cin Muda
telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Han Muda.
Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han.
Akan tetapi
alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar bahwa bekas suaminya, Kam Si
Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu ke mana
pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi dingin kembali dan ia
hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup aman sentosa di
samping bekas suaminya.
Lu Sian
termenung sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han. Ingin ia
menangis kalau teringat akan puteranya, namun hatinya yang keras mencegahnya
berduka lebih lama lagi. "Lebih baik dia tidak mengenal aku sebagai
ibunya," demikian pikirnya.
Bagaimana
kalau puteranya itu bertemu dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang
meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi,
iblis betina yang ditakuti orang? Lu Sian tersenyum, dan dengan gemas ia
meneguk cawan araknya yang ke sembilan kalinya. Cara ia menuangkan arak ke
mulut dan langsung ke perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah biasa
dengan minuman keras ini. Memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak
seperti dia itu. Cara ia minum benar-benar cara seorang ‘setan arak’ minum.
Tiba-tiba Lu
Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia
diperhatikan orang dari arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak
gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura tidak melihat, namun pandang
matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum, membuang muka
akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun
tergetar.
Betapa
tidak? Pemuda itu tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih
seperti muka wanita, namun alisnya hitam tebal, matanya lebar bercahaya terang
dan tajam seperti mata harimau. Wajah tampan dan tubuh tegap seorang pria
ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biar pun usianya sudah empat
puluh tahun!
Semenjak
hatinya yang mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui
dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya
manusia jenis lain yang menarik, dan hanya tepat dijadikan permainan belaka
untuk memuaskan nafsunya. Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang jatuh
bertekuk lutut oleh kecantikannya yang luar biasa. Tetapi setelah Lu Sian
mempermainkannya dan laki-laki itu benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu
Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi
patah hati, menjadi gila atau setengah gila!
Selagi Lu
Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja yang paling
tinggi berusia dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan
pandang mata Lu Sian yang tajam dapat melihat berkelebatnya senjata rahasia
halus menyambar ke arah si Pemuda Tampan! Lu Sian merasa khawatir sekali
melihat sikap pemuda itu seperti seorang pemuda pelajar yang tak mengerti ilmu
silat, maka ia lalu menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali menggerakkan
tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi
butiran-butiran nasi dan runtuh ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!
Pemuda itu
masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya yang
tadi mengancam nyawanya.
Setelah
senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh, terdengar orang berseru di luar rumah
makan, "Biar ada yang melindungi, kita harus bunuh pangeran ini!" dan
muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa golok telanjang di
tangan.
Pemilik
rumah makan dan dua orang pelayannya ketakutan, juga dua orang lain yang sedang
duduk makan di situ lari ke luar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut
sekali mendengar ucapan ini, bangkit berdiri dari kursinya dan mukanya pucat.
Gerakan ini saja menyakinkan Lu Sian bahwa pemuda yang diserang tadi
benar-benar tak pandai silat, maka ia melirik ke arah tiga orang tinggi besar
itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi tidak seperti penjahat.
“Tolong!
Tolong!” teriak pemuda itu saat melihat tiga orang tinggi besar itu menyerbu ke
arahnya.
Lu Sian
tidak mau tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari
kursinya. Terdengar tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan
menabrak meja kursi. Mata mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar
darah. Nyawa mereka sudah putus!
"Keparat
dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?!" terdengar bentakan
keras dan melayanglah tubuh seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung
menghantamkan pedangnya dari atas ke bawah tepat di atas kepala Lu Sian!
Wanita sakti
ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi
yang didudukinya mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di atasnya.
Pedang itu menyambar terus ke bawah dan....
"Crakkkkk!!"
meja yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong!
Pemuda yang
sebenarnya seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga
orang pengurus rumah makan kini berjongkok bersembunyi di balik meja.
Si Tosu
ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya pucat
seperti orang berpenyakitan. Namun menyaksikan betapa sekali bacok ia dapat
membelah meja yang tebal, dapat dibayangkan betapa besar tenaganya dan betapa
tajam pedangnya. Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya hanya mengenai meja sedangkan
wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat sebuah
meja lain. Ia membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah
Lu Sian, menerjang dengan pedang diputar cepat.
"Trakkk!"
pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit
yang berada di tangan Lu Sian.
Si Tosu
mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan
terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan
jepitannya sehingga si Tosu terhuyung mundur, dan pada saat itu pula sepasang
sumpit itu langsung melayang ke arah lambung dan leher si Tosu. Namun Si Tosu
ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan bergulingan
menyelamatkan diri.
Akan tetapi
baru saja ia melompat bangun, datang sinar merah menyambarnya. Tosu itu memutar
pedang dan banyak jarum runtuh, namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan
menancap di dadanya. Tosu itu mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum
di dadanya dan melihat jarum merah serta mencium bau harum, matanya terbelalak
memandang Lu Sian, telunjuknya menuding dan mulutnya berseru, "Kau...
Tok-siauw-kwi....!" namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun
jarum telah mencapai jantungnya dan ia mati dengan mata mendelik.
Lu Sian
hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.
Tiga orang
pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi mereka
dan berlutut di depan si Pemuda Tampan. "Syukur bahwa Tuhan masih
melindungi Paduka...."
"Sssst,
sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan
kota dan mengurus empat mayat penjahat itu," kata si Pemuda, kini sikapnya
agung dan sudah tenang kembali.
Ia lalu
melangkah menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan dada sambil
membungkuk memberi hormat. "Lihiap (Nona Perkasa) telah menolong nyawa
saya, sungguh merupakan budi amat besar dan membuat saya bingung bagaimana saya
akan dapat membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur katanya sopan
menyenangkan.
Lu Sian
segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang. Bibirnya tetap
tersenyum manis, kerling matanya benar-benar mengiris jantung. "Ah, urusan
kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada orang-orang jahat
hendak membunuh Kongcu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"
Pemuda itu
memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya
kagum akan kehebatan kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya
yang luar biasa, akan bau harum semerbak yang keluar dari tubuh wanita itu dan
memabokkannya. "Hebat sekali, Lihiap! Kalau tidak menyaksikan dengan mata
sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang kepandaiannya
seperti dewi, sedangkan Lihiap begini can.... eh, muda? Tadi pun merupakan
teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang penyerang saya jatuh
tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang ke empat tadi, sampai
mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Lihiap yang telah menolong
saya."
Berdebar
jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa
kagum yang terpancar dari matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama
sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya, melainkan langsung keluar dari
hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar
senyumnya sehingga tampak sedikit deretan gigi putih berkilau, ia berkata,
"Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan. Kalau tidak salah
pendengaran saya, bukankah Kongcu seorang pangeran? Inilah yang mengagumkan,
melihat seorang pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti
rakyat biasa, benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada jaman kini."
Pemuda itu
tersenyum. "Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Lihiap, sekali lagi,
katakanlah bagaimana saya harus membalas budimu?"
"Telah
saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kongcu hendak melakukan
sesuatu untuk menuruti permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di
hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai pangeran diserang oleh empat
orang ini dan siapakan mereka?"
Pemuda itu
menggerakkan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu
untuk menutup mulutnya dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang
lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata perlahan, "Lihiap di sini bukan
tempat kita bicara tentang itu. Saya persilakan Lihiap singgah di gedung kami,
sudikah Lihiap memberi penghormatan itu?"
"Ayaaa....!
Kongcu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan
besar sekali bagiku. Terima kasih, Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi
undangan Kongcu."
Pada saat
itu terdengar langkah kaki banyak orang dan masuklah tujuh orang berpakaian
seragam yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
"Bangunlah!"
kata sang Pangeran dengan sikap berwibawa. "Urus empat mayat ini dan
selidiki kalau-kalau masih ada teman-teman mereka yang berkeliaran dalam
kota!"
Mereka
bangkit dengan sikap hormat.
"Sediakan
dua ekor kuda untuk kami!" kata pula pemuda itu.
Cepat sekali
dua orang di antara mereka keluar, dan tak lama kemudian terdengarlah derap
kaki dua ekor kuda di depan pintu rumah makan.....
"Lihiap,
mari kita berangkat," ajak si Pangeran.
Ketika Lu
Sian hendak membayar harga makanan, cepat-cepat si Pemilik Rumah Makan mencegah
dengan ucapan manis. "Harap Lihiap tidak usah repot-repot. Semua yang
berada di sini hamba sediakan untuk keperluan sang Pangeran dan sahabat-sahabat
beliau!"
Pangeran itu
tersenyum dan mengajak Lu Sian ke luar. Di sana telah tersedia dua ekor kuda
besar beserta perlengkapannya. "Silakan, Lihiap," ajak pemuda itu.
Lu Sian
tidak sungkan-sungkan lagi. Segera ia melompat ke atas pelana kuda, diikuti
oleh pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum
dari belakang.
Walau pun
jarang keluar, Lu Sian pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, karena itu
ia mengenal jalan dan tahu pula bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman
sebuah gedung besar yang dahulu menjadi istana Gubernur Li! Hatinya berdebar
tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi
lega ketika teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini,
pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah dan tak pernah bertemu dengan para
pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia
takkan dikenal orang. Biar pun usianya sudah empat puluhan, namun ia tetap
kelihatan seperti seorang gadis dua puluh tahun lebih!
Bekas gedung
Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya banyak
sekali dan pemuda ini bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri belakang.
Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan, mereka lalu memasuki gedung. Banyak
sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh penghormatan.
"Sampaikan
kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap bersama seorang
pendekar wanita yang telah menolongku," kata Pangeran itu dengan sikap
gembira kepada seorang pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan memandang Lu
Sian penuh perhatian dan kagum.
Pangeran itu
mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian
memandangi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang
dinding. Alangkah bedanya dengan suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya itu biar
pun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan gedungnya tidak semewah
dan seindah ini.
"Lihiap,
bolehkah saya mengetahui nama Lihiap yang terhormat?"
Lu Sian
terkejut. Kalau ia mengakui namanya, ada bahayanya orang mengenalnya sebagai
bekas isteri Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab, "Saya
seorang wanita perantau yang tidak pernah mengingat nama. Seingat saya, nama
saya Sian, akan tetapi orang-orang menjuluki saya...."
"Tok-siauw-kwi?
Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi!
Kau patutnya seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Lihiap benar-benar seorang Dewi
karena namanya Sian (Dewa). Biarlah bagi saya, Lihiap adalah seorang Sian-li
dan selanjutnya kusebut begitu...."
"Ah,
Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah
Kongcu? Apakah Thai-cu (Pangeran Mahkota)?"
"Ah,
bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir,
ibuku selir ke tiga dari Sri Baginda. Namaku Lie Kong Hian."
Lu Sian
mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang
memberitahukan bahwa nyonya besar telah siap menerima puteranya dan seorang
sahabatnya. "Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang sekali
mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku," kata pangeran yang bernama
Lie Kong Hian itu.
Lu Sian
hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung ini
amat besar dan indah, di sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun indah
sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman bunga yang dihias pintu bulan
yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di ruangan belakang, ibu pemuda itu
sudah menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat
puluh tahun lebih namun masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya
menjaga dua orang pelayan wanita yang memijit-mijit punggungnya akan tetapi
segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong Hian dan Lu
Sian.
"Ibu....!"
pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja
sekali. "Inilah Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa
puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah
makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi)
yang perkasa ini.
"Nah,
itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasehat orang tua," sang ibu
mengomel. "Kau senang sekali keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa
suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di mana-mana
untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti
engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di
rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar diurus....!" Nyonya itu
menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian yang berdiri menundukkan
muka.
"Nona,
banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang
rasa hatiku kalau dia mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu
mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa Kim Bwee, sayang dia itu menjadi
ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."
"Ibu,
urusan dalam istana kau sebut-sebut di depan Lihiap, mana dia tahu? Sudahlah,
harap ibu beristirahat, aku mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman."
Ibunya
tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan tangan memberi ijin
mereka pergi meninggalkannya.
Sambil
berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari
pada taman di dalam tadi, diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja
yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat genit dan agaknya senang
melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia
memikirkan hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan
tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian.
Pemuda
pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata
berirama sehingga Lu Sian makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa
mereka sadari, percakapan menjadi lebih bebas dan kini mereka duduk berhadapan
di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati keindahan tubuh
ikan-ikan emas yang berenang di dalam empang teratai.
"Sian-li...."
Lu Sian
memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru sekarang
menyebutnya Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Lihiap atau
kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar sebutan Dewi ini, akan tetapi
juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) dari pada disebut Tok-siauw-kwi (Setan
Cilik Beracun)!
"Hemmm...?"
gumamnya sambil mengerling tajam.
Dengan gagap
pangeran muda itu berkata. "Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau
ucapan ibuku tadi menjadi kenyataan."
"Ucapan
yang bagaimana?"
"Kalau
kau menjadi pelindung yang selalu mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam
dan melihat Lu Sian tersenyum, sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan
wanita itu. Jari-jari tangan mereka yang mengeluarkan getaran dan saling
cengkeram menjadi bukti bahwa hati masing-masing telah menjawab.
Akan tetapi
dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan
berkata, "Apa salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus
tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para penyerangmu
tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"
Girang
sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak
akan menolaknya! Cepat ia bercerita, "Empat orang itu adalah orang-orang
yang bergabung dengan pemberontak. Mereka itu bekas anak buah Jenderal Kam Si
Ek yang sudah meletakkan jabatan."
Tentu saja
disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut. Akan tetapi ia dapat
menguasai perasaannya dan bertanya, "Mengapa meletakkan jabatan dan
mengapa pula mereka memberontak?"
"Setelah
Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si Ek menentang karena hal itu ia
anggap pengkhianatan terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh.
Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan hidup mengundurkan diri ke
dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang,
yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong. Mereka memberontak dan selalu berusaha
meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berdiri dengan jalan membunuhi
para bangsawan dan keluarga raja."
Diam-diam Lu
Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya baik-baik,
sungguh pun kini ia tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya
sudah meningkat hebat, sehingga tidak perlu lagi takut menghadapi orang-orang
pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu.
Melihat Lu
Sian tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya.
"Apakah Sian-li belum mendengar nama Couw Pa Ong?"
Lu Sian
mengangguk. "Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku mendengar
namanya, bahkan pernah bertemu dengannya."
Kagetlah
hati Pangeran. "Dan kau tidak gentar menghadapinya?"
"Ah,
kakek seperti itu, hanya patut menakut-nakuti anak kecil."
Kong Hian
memandang kagum sungguh pun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini
benar-benar akan sanggup menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa
Ong. "Kalau begitu benar-benar aku mendapat perlindungan dewi dari
kahyangan!" ia berseru girang.
"Kongcu,
tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu,
siapakah dia dan mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"
"Ah,
dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku.
Dia masih amat muda, akan tetapi di antara semua penghuni istana, dialah yang
paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang jenderal yang berguru
kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapa pun juga dibandingkan
denganmu, dia bukan apa-apa!"
Lu Sian tersenyum
lagi dan memainkan biji matanya. "Kau belum tahu sampai di mana
kepandaianku, bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat
lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"
Wajah
Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga
bahwa di antara pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra.
Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang masih muda mengadakan
hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak
peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan
seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan
benar-benar ‘setia’ seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.
"Lie-kongcu,
sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"
"Syaratnya?
Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang...
malam... jadi... eh, kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya,
aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku berlutut di depanmu....!"
Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar
hendak berlutut!
Dengan halus
Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut. "Nanti dulu, Kongcu.
Kau mempunyai syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku
harus mendapat kebebasan bergerak di dalam istana ini, kecuali tempat tinggal
Raja tentu saja."
"Baik,
baik, hal itu dapat dilaksanakan."
"Ke
dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku,
dan ke tiga, segala permintaanku harus kau turuti. Juga setiap saat aku
meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."
"Baik,
baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah
meninggalkanku siang malam..."
"Dan
tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"
Mendengar
ini, si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu
bangkit dan merangkul leher Lu Sian yang mudah saja terbuai dalam belaian si
Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia berbisik.
"Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita
masuk saja."
Pangeran
muda itu bertekuk lutut dan benar-benar jatuh menghadapi rayuan seorang wanita
yang berpengalaman seperti Lu Sian. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang
mewah dan bersih itu, ketika mereka makan minum menghadapi meja, si Pangeran
menuruti segala perintah Lu Sian, biar pun ia disuruh minum arak dari sepatu Lu
Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengambilkan perhiasan apa
saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan
dapat menghinggapi seorang pria dari pada kalau ia sudah tergila-gila kepada
seorang wanita!
Dua hari dua
malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar,
tenggelam ke dalam permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu Sian
terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak berada di dalam kamar. Ia
bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar,
mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai
panjang sampai ke pinggul. Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum.
Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai kenikmatan hidup
seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di
luar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.
Kagetlah
hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dan
kedua lengan terpentang. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang cantik
bersikap galak, membawa pedang di tangan dan di belakangnya terdapat seorang
gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang! Lu Sian cepat
meraba kantung jarumnya. Sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum
merahnya. Ia tidak segera turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu
apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh Kong Hian, tentu ia
akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!
"Kau
bersekongkol dengan pemberontak!" si Gadis membentak dengan suara yang
nyaring, sedangkan matanya memancarkan sinar berapi. "Hayo, serahkan dia
kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia kabarnya cantik
jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena
dia cantik?"
"Tidak...
tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal
pribadiku, dan malah menolongku dari pada serangan kaum pemberontak!"
"Tapi
dia Tok-siauw-kwi...!"
"Orang-orang
jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak.
Kim... eh, ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."
"Siapa
cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak
peduli! Akan tetapi sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku
sendiri yang akan menembus dadamu...!" Wanita itu mengancam dan
menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga
berpedang itu sudah bergerak mengurung.
"Chit-moi
(Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" tiba-tiba terdengar jerit tertahan
dan selir raja ke tiga, ibu Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk
puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya memandang kepada wanita
berpedang itu. "Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam!
Mengapa kau bersikap begini?"
"Sam-cici
(Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan
seorang perempuan pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya
saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti
membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"
"Tenanglah,
Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa
Hian-ji (Anak Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya
kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika mendengar bahwa ia suka
menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong
anakku? Dan andai kata ia pemberontak sekali pun, hal itu bukanlah salahnya
anakku, melainkan dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak
menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"
"Memang
aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di
kamarmu bukan?" pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi
merah sekali wajahnya dan akhirnya mengangguk.
Wanita
berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri
Baginda. Memang mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee
yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak puas menjadi selir
ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah
satu-satunya ‘anak tiri’ yang ia jadikan kekasihnya! Ada pun tindakannya
sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian besar terdorong oleh rasa
cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya yang paling ia sayangi
ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!
Coa Kim Bwee
bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang memang sudah siap
dengan pedang di tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu
mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong
Hian!
Lu Sian
tersenyum setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar. Ia sudah
senang tinggal di istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan
perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun tangan membunuh Coa
Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam
istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja, tentu
kematiannya akan menimbulkan geger. Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya
berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita
ini ia dekati. Untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan
wanita ini yang dilihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan.
Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang
telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan
menyisir rambutnya dengan sikap tenang.
Coa Kim Bwee
muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin. Tanpa
menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang
itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak. "Apakah engkau
Tok-siauw-kwi?" bentakannya mengandung keraguan karena ia benar-benar
tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi
masih muda. Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah berusia empat
puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri Jenderal Kam Si
Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu dan
bertanya.
Tanpa
menoleh Lu Sian menjawab melalui cermin. "Kalau betul, mengapa? Mau apakah
engkau datang bersama enam orang pembantumu dengan pedang di tangan?"
Kembali Coa
Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata
melalui cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee
menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa jeri seperti pada saat
ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi. "Aku datang
untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"
Lu Sian
tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih. "Adik yang manis, kalau ada
urusan yang hendak dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik
tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang menjemukan?"
Coa Kim Bwee
marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil
berkata, "Tangkap dia!"
Juga enam
orang pelayan itu marah karena dikatakan ‘menjemukan’ dan sama sekali tidak
dipandang mata oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan
perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang
cukup tinggi. Biasanya penjahat pria saja masih mampu mereka hadapi dan
kalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir
rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk mengeroyok. Akan tetapi mereka tidak
berani membantah karena telah menerima perintah.
Coa Kim Bwee
melangkah masuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam
orang pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang
dengan sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap
mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin di depannya.
"Serbu!"
seorang di antara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan
menyerbulah keenam orang pelayan itu ke depan.
Lu Sian
menggerakkan kepala sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan
cambuk yang banyak sekali menyambar ke depan, menggulung keenam orang
penyerangnya. Terdengar ia berseru, "Pergi kalian, tikus-tikus
busuk!"
Hebat bukan
main. Enam orang pelayan itu sama sekali tidak berdaya karena dalam sedetik
saja tubuh mereka, terutama tangan dan kaki, telah terbelit rambut dan
tiba-tiba bentakan itu ditutup dengan gerakan kepala. Akibatnya, enam orang
pelayan itu terlempar ke luar pintu bagaikan daun-daun kering terhembus angin
keras. Mereka menjerit-jerit dan jatuh tunggang-langgang di luar kamar,
babak-bundas dan ada yang terluka oleh senjata pedang mereka sendiri!
"Nah,
Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa
gangguan orang lain," kata Lu Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan
rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.
Coa Kim Bwee
berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan kepandaian
seperti ini. Ia kagum dan gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang bertangan
kosong, sambil masih enak-enak duduk dapat menghalau ke luar enam orang
penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum! Pula, bau harum
yang merangsang ke luar dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita
ini, pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika melihat enam orang pembantunya
itu merangkak bangun memungut pedang dan melongok ke dalam, ia memberi perintah
singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia menutup daun pintu dan melangkah
dekat, pedangnya masih di tangan.
"Engkau
hebat! Ilmu siluman apakah yang kau gunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa
aku takut...."
"Adik
yang manis, ilmu lweekang begitu saja kau herankan? Mari, mari kita main-main
sebentar agar kau tidak menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu
dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku, bagaimana?"
"Hemm,
kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang
lemah!"
"Kalau
aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu
menandakan bahwa kepandaianku masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah
bagaimana?"
Coa Kim Bwee
bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah puteri
seorang jenderal, yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si, tangan
kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi semenjak kecil Coa Kim Bwee mempunyai
pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang sendiri dan mengejar
ilmu silat. Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia berwajah
cantik jelita, banyaklah pemuda tergila-gila kepadanya.
Sebagai
puteri tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi,
bahkan ia berani mulai bermain gila dengan pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi
perang, ayahnya tewas dalam perang dan begitu Kerajaan Hou-han bangkit, Kim
Bwee yang terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir
ke tujuh oleh Raja Hou-han! Di dalam istana inilah terkabul semua nafsunya.
Selain kedudukannya yang tinggi sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya
yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling berpengaruh. Di
samping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah
di belakang punggung suaminya, Sang Raja, ia bermain gila dengan para pangeran
dan pengawal yang tampan!
Kini bertemu
dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia berpikir bahwa
kepandaiannya yang sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya, kalau sampai kalah
oleh wanita yang melawannya sambil duduk dan hanya mempergunakan rambut,
benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan paling baik adalah menarik
wanita cantik ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin sebagai guru. Maka
tanpa bersangsi lagi ia berkata. "Kalau pedangku ini kalah menghadapi
rambutmu, biarlah aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Lu Sian
tertawa. “Bagus,” pikirnya. “Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar
di istana. Jika menjadi gurunya, berarti kedudukanku akan tetap menyenangkan.
Selain itu, sebagai guru aku dapat melarang wanita selir raja ini memberitakan
di luar bahwa aku adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.”
"Baik,
nah, kau mulailah!" katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan
rambut panjang tergantung di kanan kiri.
Coa Kim Bwee
tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita di depannya ini
memang memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh
wanita ini, berarti ia menyingkirkan seorang ‘saingan’ berat, sebaliknya kalau
benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk mendapatkan
pelajaran ilmunya.
"Lihat
pedang!" bentaknya nyaring.
Tubuhnya
langsung bergerak, didahului sinar pedangnya yang berkelebat. Terdengar suara
berdesing tanda bahwa gerakannya cepat sekali dan tenaga yang menggerakkan
pedang memiliki sinkang cukup kuat. Lu Sian memandang rendah kepada lawannya,
namun menyaksikan kecepatan gerakan ini, timbul niatnya mencoba sampai di mana
kekuatan si Wanita Cantik. Maka ia menggerakkan kepalanya sedikit dan....
"Werrrr!"
segumpal rambut panjang menyambar ke depan.
Hebat memang
tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah ia melatih diri dengan tekun
menurut isi kitab-kitab yang dicurinya, selain kepandaiannya meningkat tinggi
juga tenaga sinkang-nya menjadi hebat luar biasa. Rambut yang lemas dan halus
itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras seperti kawat-kawat baja dan
kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang Coa Kim Bwee dan ujung rambut
melibat pedang. Berbahaya sekali perbuatan ini.
Betapa pun
tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sinkang-nya, namun rambut tetap merupakan
benda yang lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa detik. Mungkin cukup
kuat untuk melibat benda tumpul dan merupakan pengikat yang ampuh, akan tetapi
menghadapi mata pedang yang amat tajam, sungguh sebuah permainan yang banyak
resikonya.
Coa Kim Bwee
kaget sekali melihat betapa pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar
tadi, terutama setelah ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat ditarik
kembali. Cepat ia mengerahkan lweekang-nya dan berseru keras sambil mendorong
pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan tiba-tiba
Lu Sian melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung ke pinggir
terdorong oleh tenaganya sendiri, akan tetapi belasan helai rambut rontok
karena putus terbabat mata pedang yang tajam!
"Boleh
juga kau!" Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan
rambutnya sudah tergantung kembali ke depan dadanya.
Coa Kim Bwee
penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan pertama tadi,
hanya beberapa helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia sendiri
terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia yang berada di bawah angin, maka
seruan Lu Sian tadi di anggap sebagai ejekan yang membuat pipinya berubah merah
karena marah.
"Aku
masih belum kalah!" bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia
memutar pedangnya cepat sekali untuk mencegah libatan rambut lawannya.
Kelihatannya
Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar ke arah lehernya, tubuh
Lu Sian yang duduk di atas bangku pendek itu seperti hendak roboh ke kiri
sehingga pedang lewat di pinggir tubuhnya, dan pada saat itu juga kaki kanannya
menyambar bagaikan kilat cepatnya ke arah pusar Coa Kim Bwee. Hebat sekali
serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini, namun hebat pula
reaksi selir raja itu. Untung bahwa ia tidak memandang rendah kepada Lu Sian,
bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita cantik ini memang berilmu tinggi
sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta, tidak hanya
mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan membagi
perhatian untuk menjaga diri dengan memperhatikan gerakan lawan.
Maka begitu
melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat
menarik kembali pedangnya yang gagal, memutar pedang itu ke bawah membabat kaki
sambil melompat ke kanan belakang. Tendangan gagal, namun penyerangan Kim Bwee
juga gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak, berpisah dua meter
lebih. Seorang berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan
dada, tangan kanan memegang pedang di atas kepala, sedangkan yang seorang lagi
duduk enak-enak, kaki kanan bertumpang ke atas kaki kiri, tangan kiri mengelus
rambut dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang telinga. Lu Sian kelihatan
enak-enak saja menghadapi pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.
"Awas,
Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!" kata Lu Sian dengan suara
perlahan, pandang mata berseri dan mulut tersenyum.
Diam-diam ia
merasa girang karena telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya
ini. Melihat gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat
yang cukup tinggi sehingga untuk merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak
lama. Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut sebagai senjata, ia sudah dapat
memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang ahli, ia
dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee.
Diejek
demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar,
bibirnya bergerak-gerak, cuping hidungnya berkembang-kempis. Tiba-tiba ia
mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan pedangnya diputar
seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini karena gulungan sinar
pedang tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat pedang,
sedangkan tubuh Kim Bwee seakan-akan terlindung dari atas ke bawah, tak mungkin
diserang seperti tadi.
Lu Sian
duduk, memperhitungkan detik yang paling baik lalu berseru, "Lihat
senjataku!"
Dan kini
sekali kepalanya bergerak, semua rambutnya berkelebat ke depan merupakan
ratusan ribu batang kawat-kawat halus yang amat lemas. Tentu saja ada sebagian
rambut bertemu pedang, akan tetapi karena Lu Sian mempergunakan ‘tenaga halus’
sehingga rambutnya menjadi lemas dan ulet, maka rambut itu tidak dapat terbabat
putus, bahkan sebagian lagi terus membelit ke arah pergelangan lengan tangan
yang memegang pedang, sebagian membelit lengan kiri, sebagian lagi membelit
leher terus mencekik!
Kim Bwee
kaget setengah mati. Kedua lengannya serasa lumpuh dan lehernya tercekik
membuat ia tidak mampu bernapas lagi. Ia meronta-ronta, persis seperti seekor
lalat tertangkap sarang laba-laba dan terdengar suara ketawa cekikikan lalu
disusul robohnya tubuh Kim Bwee, terpelanting dan pedangnya sudah terlempar ke
sudut kamar!
Sejenak
nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami
kekalahan hebat dan andai kata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andai kata
dalam hati Kim Bwee tidak ada maksud hendak mengeduk ilmu, tentu penghinaan ini
takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti ini!
Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana.
Akan tetapi
Kim Bwee tidak mau melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa seorang sakti
seperti perempuan itu, belum tentu akan dapat ditawan dan sebelum para pengawal
datang, dia sendiri tentu akan dibunuh. Pula, perempuan ini bersikap baik
kepadanya dan lebih banyak untungnya dari pada ruginya kalau ia dapat menjadi
murid wanita ini. Memang ia amat cerdik, dan demi tercapainya maksud hati ia
rela melakukan hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun akan ia
jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam pertemuan pandang ini, Kim Bwee
tanpa ragu-ragu lagi serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Lu Sian
tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa. "Kau mengakui
keunggulanku? Nah, bangkitlah, dan mari kita duduk dan bicara yang baik."
Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim Bwee dan seketika Kim
Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi
jinak, tidak galak seperti tadi, malah pandang matanya penuh penyerahan.
"Adikku
yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari
Raja?"
Kim Bwee
mengangguk. "Dan kau tahu siapakah aku ini?"
"Kau
isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."
"Bekas
isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"
"Kau...
kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan
Tok-siauw-kwi."
"Semua
memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau
menerimanya kita tetap bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu
kepadamu."
"Ilmu
mempergunakan rambut sebagai senjata?" tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia
kagum sekali akan ilmu itu yang dianggapnya amat hebat.
Lu Sian
mengangguk. "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat.
Pendeknya, setelah belajar dariku, kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar
dikalahkan lawan."
Girang
sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut.
Akan tetapi
Lu Sian mencegahnya dan membentak. "Duduk kau!"
Kim Bwee
terkejut dan cepat ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.
"Kau
menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut
guru kepadaku dan tidak boleh berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap
hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku panggil adik padamu. Kita
kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan di dalam istana ini.
Mengerti?"
Tentu saja
makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya
bersinar-sinar ketika ia menjawab. "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja
aku mentaati semua permintaanmu."
"Bukan
Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat ke dua, tidak boleh
kau memberitahukan orang lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau
memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu lalu pergi dari sini.
Mengerti?"
Kembali Kim
Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat pandang
mata Lu Sian bahwa wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan main-main
belaka.
"Syarat
ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku dalam istana ini. Aku
tahu bahwa di antara engkau dan Kong Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu
menjadi pilihanku, engkau tidak boleh mengganggunya atau mendekatinya.
Mengerti?"
Kembali Kim
Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan!
Sekilas terbayang dalam benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia
tahu caranya. Dalam lingkungan istana, terdapat banyak sekali pangeran yang
tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka dan menyenangkan
hati ‘gurunya’ ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng untuk ditukar
dengan ilmu!
"Baiklah,
Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman
bunganya yang indah. Lebih baik Cici pindah ke sana agar lebih mudah kita
bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka mengalah. Dan...jangan
khawatir..." Ia mengedipkan matanya, "masih banyak aku mengenal
pangeran-pangeran muda dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti
menyenangkan!" Ia tertawa genit.
Lu Sian
tersenyum manis. Terhadap perempuan liar ini tidak perlu ia menyembunyikan
perasaannya. Ia mengangguk tanda setuju.
Demikianlah,
Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan
nafsu dalam istana Kerajaan Hou-han. Ia tidak mendapat gangguan karena
dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang menganggap dia seorang kakak misan sendiri.
Setahun lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi pangeran-pangeran dan
pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk
membalas ‘jasa’ dan kebaikan selir muda raja itu, ia menurunkan beberapa macam
ilmu yang hebat kepada Kim Bwee. Di antaranya adalah ilmu mempergunakan rambut
sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang mendasari ilmu awet muda serta
latihan dan obat untuk membikin keringat dan rambut berbau harum!
Segala macam
perjalanan ke arah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil ke arah itu. Sekali
keliru melangkah, orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam. Semua
perbuatan maksiat dimulai dengan iseng-iseng, dengan kecil-kecilan lebih
dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua tetes, setelah
termakan racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa
daratan.
Tidak ada
seorang penjudi di dunia ini yang membuka langkah perjudian dengan taruhan
besar. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan menjadilah ia
penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai ‘pekerjaannya’ dengan pencurian
besar-besaran. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian pula
dengan segala macam nafsu, termasuk nafsu birahi. Makin dituruti, makin tak
kenal puas, makin menggila dan makin haus!
Salah
langkah pertama yang dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya berumah tangga
dengan Kam Si Ek. Kalau di waktu itu ia kuat bertahan, mempergunakan
kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia takkan tersesat. Akan
tetapi sekali ia salah langkah, ia tersesat makin dalam dan akhirnya tenggelam
oleh gelombang permainan nafsunya sendiri!
Manusia
memang makhluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri.
Jalan menuju kehancuran kelihatan lebar dan menyenangkan, padahal amat lincah
menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya. Sebaliknya jalan menuju
kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui. Sekali salah pilih,
sesal pun tiada gunanya. Dalam kesadaran dan penyesalan, hendak bertaubat
sekali pun akan merupakan perjuangan yang lebih sukar lagi!
Seperti
telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan
adalah Dinasti Cin yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh
perang saudara yang tiada henti-hentinya ini, banyak timbul kerajaan-kerajaan
kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk berdiri
sendiri, di antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat
perubahan itulah Jenderal Kam Si Ek yang berjiwa patriotik dan setia kepada
Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani di dusun Ting-chun di
kaki gunung Cin-ling-san.
Akan tetapi
tidak demikian dengan sebagian besar pendukung Tang yang dipimpin oleh Kong Lo
Sengjin atau Couw Pa Ong bekas Raja Muda Kerajaan Tang lama. Ketika Kerajaan
Tang baru berhasil merobohkan Kerajaan Liang, ia memperoleh lagi kedudukan yang
baik sebagai pimpinan para panglima dan penasehat raja. Akan tetapi perang
saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru atau Tang Muda yang belum lama
berdiri ini roboh kembali dalam waktu tiga tahun saja dan kedudukannya diganti
oleh Kerajaan Cin Muda (936-947).
Kong Lo Sengjin
tentu saja tidak mau tinggal diam. Biar pun kerajaan yang dibelanya telah
runtuh, ia tidak putus asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk merebut
kekuasaan. Banyak orang-orang pandai menggabungkan diri dengan jago tua ini.
Selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, mereka ini juga selalu
mengadakan gangguan kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han
yang tidak mau diajak bekerja sama meruntuhkan Kerajaan Cin Muda.
Inilah
sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena
sudah tidak mempunyai pusat kerajaan, para pendukung Tang itu melakukan gerakan
liar, mengacau setiap kerajaan yang tidak mau bekerja sama. Dan karena
ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglima-panglimanya ketika
mendengar akan adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga
guru selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan tidak pernah mengganggu.
Dengan hadirnya Lu Sian di dalam istana, keselamatan raja sekeluarga lebih
terjamin. Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga bulan
setelah Lu Sian tinggal di dalam istana.
Malam itu
gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat tembok
sebelah selatan yang mengelilingi istana ketika lima orang penjaga diserbu oleh
tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu singkat saja lima orang penjaga ini
roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka sempat
berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung telah terbang
melompat pagar tembok dan lenyap ke dalam lingkungan istana!
Para penjaga
dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu
malang-melintang mandi darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda
bahaya dibunyikan. Regu penjaga yang malam hari itu mendapat giliran berjaga
terdiri dari tiga puluh orang, dibagi di luar dan di dalam. Kini tinggal dua puluh
lima orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan mencari-cari di
sekitar bangunan-bangunan istana. Namun tidak tampak bayangan seorang pun
penjahat.
Mendadak di
istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja terdengar suara wanita menjerit-jerit.
Para pengawal ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat empat orang wanita
pelayan telah mati pula. Akan tetapi di ruangan tengah, tak jauh dari kamar
Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang di tangan tengah melawan
keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita lain yang cantik dan biar
pun jarang terlihat penjaga, namun dapat diduga oleh mereka bahwa inilah kakak
misan Coa Kim Bwee yang kabarnya sakti, berdiri di sudut dengan sikap tenang
menonton pertempuran.
Ketika para
penjaga hendak menyerbu dan membantu selir Raja itu menghadapi tiga orang
penjahat, Lu Sian menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata,
"Jangan bantu!"
Para penjaga
kaget dan heran. Biar pun sudah dicegah mereka tetap maju dengan senjata di tangan.
Karena Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati
pencegahannya, bahkan dua orang penjaga sudah menerjang maju untuk membantu.
Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang di antara tiga penjahat
itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!
"Tolol!
Mundur dan jangan bantu aku!" bentak Coa Kim Bwee.
Kini para
penjaga itu terkejut dan cepat mundur. Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini
selir raja yang berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka hanya
berdiri menonton dengan hati gelisah. Betapa mereka tidak akan gelisah
menyaksikan kehebatan tiga orang tamu malam itu yang mainkan pedang mereka
begitu ganas sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat!
"Siauw-moi,
keluarkan ular!" tiba-tiba Lu Sian berkata.
Gerakan
pedang Coa Kim Bwee tiba-tiba berubah. Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya,
kadang-kadang ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu Pedang
Sin-coa Kiam-hoat yang mulai dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee
memiliki dasar yang kuat serta sudah menguasai gerakan ilmu silat tinggi, maka
gerakan pedangnya sudah amat berbahaya biar pun baru belajar beberapa bulan.
Tiga orang
lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini
mereka mengurung dalam bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan
Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang yang kedudukannya di ujung
segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung ke depan
dengan perubahan yang amat aneh dan sukar di duga, maka kini dikurung dengan
barisan ini kedudukan Coa Kim Bwee menjadi terdesak. Setiap kali ujung
pedangnya menyerang seorang lawan, yang dua sudah menerjangnya, agaknya rela
mengorbankan seorang kawan akan tetapi berhasil merobohkan yang dikeroyok.
Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga serangannya selalu ia
tarik kembali dan gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan akhirnya kembali hanya
menggerakkan pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya.
"Siauw-moi,
mundur!" teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik
dan melempar tubuh Kim Bwee ke belakang, kemudian menyerbu dengan tangan
kosong!
Tiga orang
berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak tiga
batang jarum meluncur cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan tangkas
ketiganya berhasil menyampok jarum itu dengan pedang. Pada saat itu pula mereka
mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau harum keluar dari
rambut Lu Sian tercium hidung mereka.
"Tok-siau-kwi...!"
seorang di antara mereka berseru kaget.
Memang nama
besar Tok-siauw-kwi pada waktu itu sudah amat terkenal di mana-mana setelah Lu
Sian melakukan perbuatan-perbuatan menghebohkan di pelbagai perkumpulan silat.
Selain ilmu silatnya yang tinggi dan wataknya yang ganas, yang juga membuat ia
terkenal terutama sekali bau harum dari tubuhnya dan Siang-tok-ciam (Jarum
Beracun Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum merah yang wangi
serta bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu
bahwa mereka berhadapan dengan Tok-siau-kwi!
"Tok-siau-kwi,
kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami?!" bentak pula seorang
di antara mereka sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Hemmm,
aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku,
berarti harus mati. Tahukah kalian akan hal ini?" kata Lu Sian sambil
tersenyum dingin.
Tiga orang
itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang yang
setia, maka biar pun menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak
menjadi takut. Kini bahkan mereka berbareng menerjang dengan gerakan pedang
yang dahsyat.
"Kau
menghianati suamimu...!"
Begitu
ucapan itu keluar dari mulut seorang penyerbu, tiba-tiba orang ini menjerit dan
roboh tak bernyawa lagi. Ternyata secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu
Totokan Im-yang-ci (Totokan Im Yang) yang ia pelajari dari kitab yang ia curi
dari kuil Siauw-lim-pai! Hebat sekali gerakannya dan kini dua batang pedang
telah menusuk, sebuah dari depan mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari
belakang membacok kepalanya. Diserang dari depan dan belakang ini, Lu Sian
tiba-tiba menggenjot tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuttt!
Singggg!" dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas.
Lu Sian
menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang itu terurai dan menyambar,
terpecah menjadi dua gumpal rambut hitam halus panjang yang secara tiba-tiba
telah berhasil melibat leher kedua orang pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat
ke belakang, kedua orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu Sian
bergerak.
“Plak!
Plak!” terdengar suara dan robohlah dua orang itu. Pada punggung mereka tampak
tanda jari-jari tangan yang berwarna merah, tapak tangan yang membakar baju di
punggung, menembus kulit dan terus hawa pukulannya yang penuh racun merusak isi
dada membuat mereka tewas seketika!
"Hebat,
Cici...!" Coa Kim Bwee berseru girang sekali.
Lu Sian
hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
"Cici,
harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan itu..."
"Mari
kita pulang," kata Lu Sian tenang saja.
Coa Kim Bwee
memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang
bergelimpangan, lalu berkata. "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso,
saya harus memberi laporan kepada Baginda."
Memang pada
waktu itu pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam
(orang kebiri) yang mewakili junjungan mereka untuk memeriksa keributan di luar
istana.
Ketika Coa
Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh kagum.
"Cici kepandaianmu hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan jasamu
dan beliau memerintahkan saya memanggil Cici menghadap."
Lu Sian
mengerutkan kening. "Ehhh...? Aku... tidak suka..."
"Akan
tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam
tentu memberi laporan. Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu di sini. Jangan
khawatir, beliau hanya akan menyampaikan penghargaannya, dan akulah yang
menanggung bahwa Cici takkan mendapat susah dan tetap akan bebas. Pula...
eh...," wanita itu tertawa genit. "Bukan hanya raja yang kagum
kepadamu, Cici. Juga di sana akan hadir semua pangeran dan panglima muda,
bukankah ini kesempatan baik untuk... eh, belajar kenal dengan mereka?"
Lu Sian
tersenyum dan mengerling genit. "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran
pucat dan panglima-panglima bopeng (cacat) saja!"
"Hi-hi-hik!
Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang
yang tampan seperti gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang
gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau jantan. Dua orang pangeran ini
termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah
berhasil. Barangkali Cici..."
"Ihh!
Kalau kau saja mereka tolak, apalagi aku yang lebih tua!"
"Lain
lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu
istimewa. Masih ada lagi beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng,
pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih...."
"Sudahlah,
kita tidur. Besok saja kita lihat...."
Demikianlah,
dua orang wanita yang menjadi hamba nafsu itu tidur mengaso.
Pada
keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu
Sian menjadi pusat perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para
pangeran dan panglima yang merasa amat kagum. Dan benar pula seperti yang
dikatakan Kim Bwee, di situ hadir pangeran-pangeran yang amat tampan dan
panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian.
Raja
kerajaan Hou-han ini amat pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya selalu
dimusuhi pihak yang ingin meruntuhkannya, oleh karena ini ia perlu membaiki
para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia menyatakan syukur dan terima kasihnya
atas bantuan Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah kakak angkat
selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan gelar Pelindung Dalam Istana
kepada Lu Sian dan memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi ke mana saja
dalam istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar yang hanya dimiliki permaisuri
dan kepala pengawal! Kemudian ia memberi hadiah sutera-sutera halus dan
perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.
Setelah
kembali ke kamar sendiri, Kim Bwee berseru girang. "Wah, Raja suka
kepadamu, Cici. Kalau kau mau...."
"Hush!
Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita berbeda, Kim Bwee. Siapa suka
melayani laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak
mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."
Coa Kim Bwee
tertawa. "Jangan khawatir, Cici. Saya dapat membujuk Raja dan menyatakan
bahwa kau sudah menjauhkan diri dari pada pria. Beliau membutuhkan
kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para
pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"
Lu Sian tersenyum,
memainkan biji matanya. "Hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita,
bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar
didekati."
"Ihh,
siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik ke arah Cici
penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada
jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."
Selir ke
tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa
gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah
kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa di antara
para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang
panglima muda.
"Hi-hi-hik!
Siapa bilang selera kita tidak cocok?" Kim Bwee bersorak. "Dan dua
orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kulit mukanya halus seperti
wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan panglima
muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti
seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali
kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!" dengan lagak genit Kim Bwee
meramkan matanya dan menelan ludah.
"Cihh!
Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat
berkenalan dengan mereka?"
"Mudah
saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah
sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan
mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani
menolaknya?"......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment