Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 17

Bu Song lalu
membaca sajak dengan suara bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya
mendengarkan, dan cukup hanya sekali saja mendengar, sebagai seorang sastrawan
Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik napas panjang dan berkata, "Sajak
yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun terlalu tinggi untuk otak dan
terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan
getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song
muridku!" tiba-tiba Kim-mo Taisu yang tadinya menanggung nyeri di
punggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri.
Diam-diam Bu
Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastra dan silat bersikap aneh
sekali mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhu-nya juga akan bersikap aneh
seperti mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu
mengandung sesuatu yang mukjijat dan jahat.
"Jangan
kau khawatir, Bu Song. Kim Mo Taisu kegirangan seperti gila karena ia memang
mencari dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi
girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat
ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang
gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka
tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah
berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo
Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
ADA muncul
dari TIADA,
betapa
mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari
ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari
titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya
semua itu kosong hampa,
sesungguhnya
tidak ada apa-apa!
Sampai tiga
kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang
merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib.
Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata menempel di atas pipi.
Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas dan
lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya
lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu
Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song
mendekat dan duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul
dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan, karenanya,
tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah
laku. Mencari sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari
kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua kekuatan Im dan
Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi.
Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi
oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait,
saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Tidak ada
yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang
paling tinggi atau pun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait,
seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air, saling
mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan
terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada
pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak
sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih
kembali, kait-mengait, berputar-putar. Semua sudah sewajarnya dan sudah
semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu
kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu
kosong dan hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar,
sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan kosong belaka. Karena
sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa.
Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu
Song?"
Dengan terus
terang Bu Song menjawab, "Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang
mengerti."
Kim-mo Taisu
tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan
tajam sekali, bening dan penuh pengertian. "Tidak aneh, Bu Song. Memang
kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu, sungguh pun engkau
sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya
begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam
peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit
atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang
dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian
anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya,
tidak ada sifat suka mau pun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa
hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!"
Bu Song
kaget, terheran, semua jelas membayang di wajahnya.
"Mengapa
kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum
hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada
kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau
ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada
pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar,
karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan
Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam
peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya. Yang tidak semestinya, yang
tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain
sehingga meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit,
menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya tidak selaras.
Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan
kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang
dihadapinya, menyesuaikan diri dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan
kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran Ngo-heng
akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."
Sampai lama
keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata, "Maafkan teecu, Suhu.
Teecu yang masih bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun,
menurut pendapat teecu, justru menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah
yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur
menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan
banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum! Daun telinga wanita menurut
kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk
tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum
sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai
dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib,
terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri
dari pada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikurniai akal budi untuk dipergunakan.
Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak,
kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran
perasaan. Memang manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang
betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri dari pada kemanusiaan. Kalau
tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng dari pada
kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau
kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah,
tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."
Bu Song
keluar dari tenda suhu-nya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan
tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih berjaga di situ, di depan
satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu
menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada
Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ.
Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk
menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song
mengaso pula, di bagian belakang tenda.
Lewat tengah
hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia tadi
hening dalam semedhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi di
sekitarnya. Karena terganggu semedhinya, Bu Song melompat bangun dan lari ke
depan. Kiranya suhu-nya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan dengan Kong
Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Lauw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok
tengkorak seperti iblis!
"Hemm,
Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi
hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita
agar lekas beres!" Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali,
bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil. Sikap yang
penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan
itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.
"Kwee
Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau menurut kehendakku. Karena
itu engkau harus mati, kalau tidak tentu kau hanya akan merintangi usaha
kami!" kata Kong Lo Sengjin.
"Kau
harus menebus kematian Suhu!" bentak Lauw Kiat sambil menggerakkan
tongkatnya.
"Ha-ha,
Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu belasan tahun yang lalu?
Sekarang harus kau tebus!" kata Pouw-kai-ong. Hanya Hek-giam-lo yang diam
saja, dan diam-diam Kim-mo Taisu menduga-duga siapa gerangan orang yang
bersembunyi di balik kedok tengkorak ini.
Kim-mo Taisu
menarik napas panjang. "Menang atau kalah, hidup atau mati, sama saja.
Yang penting adalah berdiri di atas kebenaran! Kalau kalian merasa penasaran,
majulah!"
Pada saat
itu Bu Song sudah tidak sabar lagi. Ia melompat ke luar dan membentak,
"Manusia-manusia berhati keji dan curang! Setelah memiliki ilmu kepandaian
tinggi, mengapa masih belum dapat membuang sifat pengecut dan curang? Suhu
sedang terluka, hal ini kalian semua tahu. Akan tetapi kalian datang berempat
untuk mengeroyoknya. Di mana keadilan dan kegagahan kalian?"
"Bu
Song, kau mundurlah dan lihat saja. Jangan mencampuri dan melibatkan dirimu
dengan urusan kotor ini. Bu Song, jangan kau tiru gurumu yang menanamkan pohon
kebencian sehingga menghasilkan buah-buah dendam dan permusuhan," suara
Kim-mo Taisu tenang dan sabar, namun mengandung wibawa sehingga Bu Song
terpaksa mundur lagi.
Dada pemuda
ini panas dan penuh amarah, namun ditekan-tekannya dan ia hanya dapat memandang
dengan hati was-was dan penasaran. Muak ia melihat sikap musuh-musuh gurunya
itu yang sama sekali tidak mengindahkan aturan dunia kang-ouw. Orang yang sudah
menamakan dirinya pendekar, pantang melawan orang sakit, apalagi mengeroyoknya!
Dan empat orang itu, melihat tingkat ilmunya, sudah menempati tingkat lebih
tinggi dari pada pendekar-pendekar silat biasa. Sungguh menjemukan dan
menyakitkan hati, menimbulkan rasa penasaran.
Di antara
empat orang itu, agaknya hanya Lauw Kiat seorang yang masih memiliki harga
diri. Lauw Kiat murid kedua Ban-pi Lo-cia ini adalah seorang Khitan peranakan.
Ibunya seorang Khitan, ayahnya seorang Han yang bernama keturunan Lauw. Akan
tetapi karena sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia dan ia ikut ibunya di
Khitan, maka ia berjiwa orang Khitan. Ia selain berkepandaian tinggi, juga
terkenal sebagai seorang gagah perkasa di Khitan, yang biar pun tidak
mengikatkan diri dalam ketentaraan, namun ia setia kepada rajanya dan selalu
membantu gerakan bala tentara Khitan. Ia menghargai kegagahan, dan mengenal
tata cara, aturan dan sopan santun pendekar dunia persilatan.
Mendengar
teguran Bu Song tadi, merah seluruh muka Lauw Kiat. Ditegur tentang aturan oleh
seorang pemuda tentu saja benar-benar amat memalukan. Maka ia lalu menerjang
maju sambil berseru, "Kim-mo Taisu, aku membela kematian Suhu Ban-pi
Lo-cia! Lihat seranganku!" Hebat juga serbuan Lauw Kiat ini, karena
tongkatnya yang baru, berat dan terbuat dari pada baja, menyambar ganas dan
mendatangkan angin pukulan yang amat kuat.
Kim-mo Taisu
yang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya dan masih belum sembuh tidak mau
menghamburkan tenaga dan ingin menyelesaikan pertandingan itu secara secepat
mungkin. Maka ia tidak mengelak menghadapi sambaran tongkat baja itu, namun
secepat kilat kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangan. Kipas di tangan
kirinya menahan tongkat yang menjadi lekat pada kipas, kemudian bagaikan
halilintar menyambar pedangnya sudah membabat ke arah leher Lauw Kiat.
Tokoh Khitan
ini kaget bukan main. Ia berusaha keras membetot tongkatnya sambil merendahkan
tubuh untuk menghindarkan sabetan pedang. Akan tetapi sungguh tak disangkanya
bahwa pedang itu sama sekali tidak menyabet leher seperti tampaknya, melainkan
membabat kaki. Kasihan sekali Lauw Kiat yang tidak sempat menghindarkan
serangan luar biasa ini. Terdengar ia mengeluh dan robohlah tokoh ini dengan
kedua kakinya buntung. Darah bercucuran dari kedua lutut yang sudah buntung
itu, akan tetapi Lauw Kiat sudah pingsan, tidak merasakan nyeri lagi.
Kim-mo Taisu
mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dan tahu-tahu ia sudah berlutut di
dekat tubuh Lauw Kiat, menotok jalan darah di paha untuk menghentikan darah
yang mengalir ke luar, kemudian mengeluarkan obat bubuk untuk mengobati luka
agar melenyapkan rasa nyeri.
Akan tetapi
tiba-tiba Bu Song berseru, "Suhu, awas!"
Seruan
peringatan Bu Song ini tidak ada gunanya karena tentu saja pendekar sakti itu
sudah tahu bahwa dia diserang hebat oleh Kong Lo Sengjin, Hek-giam-lo dan
Pouw-kai-ong secara berbareng, pada saat ia masih berlutut dan hendak mengobati
luka kedua kaki Pak-sin tung! Cepat Kim-mo Taisu menggerakkan tubuh melesat
pergi dari situ sambil membawa pedang dan kipasnya. Obat bubuk tadi ia
sebarkan, merupakan senjata rahasia mengarah mata ketiga orang pengeroyoknya
yang terpaksa melompat mundur, karena tahu bahwa jika obat bubuk itu memasuki mata,
akan celakalah mereka, mata menjadi pedih dan tak dapat dibuka dan tentu saja
akan berbahaya bagi mereka.
Dalam
detik-detik selanjutnya terjadilah pertandingan mati-matian yang amat cepat.
Kalau tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian yang tinggi sudah mengeluarkan
jurus-jurus simpanannya, pertandingan silat berubah menjadi adu nyawa yang
cepat dan menyeramkan. Setiap gerak merupakan serangan maut. Cepat dan kuat,
sukar diikuti pandangan mata, seakan-akan mereka sudah bergulat menjadi satu.
Tiba-tiba
terdengar suara keras, dan empat buah senjata runtuh dan rusak. Tongkat
Pouw-kai-ong patah menjadi dua ketika bertemu secara hebat dengan kipas di
tangan kiri Kim-mo Taisu yang juga robek tengahnya dan patah gagangnya. Senjata
sabit di tangan Hek-giam-lo yang mengerikan itu juga patah menjadi tiga bertemu
dengan pedang Kim-mo Taisu yang juga patah menjadi dua.
Terdengar
mereka mengeluarkan teriakan-teriakan kaget dibarengi dengan lengking tinggi
yang keluar dari mulut Kim-mo Taisu dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah beradu
telapak tangan dengan Kong Lo Sengjin. Keduanya berhadapan, Kim-mo Taisu agak
merendahkan tubuh dengan lutut ditekuk, kedua lengan diluruskan kedepan, kedua
telapak tangan beradu dengan telapak tangan Kong Lo Sengjin yang ‘berdiri’ di
kedua tongkatnya. Mereka mengerahkan sinkang dan mengadu tenaga dalam secara
mati-matian!
Pouw-kai-ong
cepat menempelkan telapak tangan kanan ke punggung Kong Lo Sengjin sebelah
kanan, dan Hek-giam-lo juga meniru perbuatan Raja Pengemis itu, menempelkan
telapak tangan kiri ke punggung kakek lumpuh yang sebelah kiri. Mereka berdua
sebagai ahli-ahli tingkat tinggi maklum bahwa dalam keadaan mengadu tenaga
seperti itu, kalau mereka menyerang Kim-mo Taisu dengan pukulan, yang berbahaya
justru Kong Lo Senjin sendiri. Pukulan yang mengenai tubuh Kim-mo Taisu dapat
‘ditarik’ dan ‘disalurkan’ oleh lawan kepada Kong Lo Sengjin sehingga sama
artinya dengan memukul kawan sendiri sambil meminjam tangan lawan! Satu-satunya
cara terbaik untuk membantu adalah seperti yang mereka lakukan. Tenaga sinkang
mereka tersalur dan membantu Kong Lo Sengjin menekan lawan.
Hebat
akibatnya. Tadinya Kim-mo Taisu masih menang tenaga ketika menghadapi Kong Lo
Sengjin yang sudah tua. Kalau dilanjutkan, beberapa menit lagi tentu ia akan
sanggup merobohkan kakek itu. Akan tetapi setelah dua orang lawannya yang lain
datang mengeroyoknya, bukan main hebatnya tenaga yang tersalur melalui dua
telapak tangan Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu berusaha menahan, namun ia tidak
kuat, apalagi karena di sebelah dalam dadanya masih terluka cukup berat. Betapa
pun juga, pendekar yang gagah perkasa ini sama sekali tidak mengeluh, dan sama
sekali tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengerahkan sinkang-nya dan
mempertahankan diri sehingga wajahnya pucat, matanya berkilat dan dari kedua
ujung bibirnya menetes darah segar!
Melihat
keadaan gurunya sedemikian rupa itu, Bu Song tak dapat tinggal diam lagi. Biar
pun suhu-nya tadi sudah memesan agar ia tidak turut campur, namun bagaimana ia
dapat berpeluk tangan melihat suhu-nya terancam kematian oleh tiga orang lawan
itu?
"Maaf,
Suhu. Terpaksa teecu harus turun tangan!" Ia membentak dan segera melompat
maju.
Seperti juga
Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, Bu Song mengerti bahwa untuk membantu suhu-nya
yang sedang mengadu tenaga dalam itu, sama sekali ia tidak boleh menggunakan
Iweekang memukul para lawan suhu-nya karena hal ini amat membahayakan suhu-nya
sendiri. Maka ia lalu menggerakkan kedua tangannya, keduanya dengan jari-jari
terbuka, yang kanan menusuk ke arah mata Pouw-kai-ong sedangkan yang kiri
merenggut kedok Hek-giam-lo.
Perhitungan
Bu Song tepat. Pouw-kai-ong yang ia serang matanya dan tidak dapat mengelak mau
tak mau harus melayaninya dengan tangkisan, yang berarti menarik tenaganya
membantu Kong Lo Sengjin, sedangkan Hek-giam-lo yang selalu mengenakan kedok,
tentu merupakan pantangan paling besar baginya untuk dibuka kedoknya dan pasti
akan melayaninya. Kalau dia menggunakan suling, tentu hasilnya lebih baik.
Namun betapa pun juga, Bu Song tak sampai hati dan merasa malu harus menyerang
dua orang yang tak bersiap itu dengan senjata!
Pouw-kai-ong
dan Hek-giam-lo yang melihat bahayanya serangan, cepat menangkis sambil
melompat mundur, melepaskan bantuan mereka pada Kong Lo Sengjin. Bu Song kini
baru mau menggunakan sulingnya dan sekali sulingnya bergerak, terdengar suara melengking
tinggi dan sinar suling itu membawa hawa pukulan dahsyat. Bukan main kagetnya
Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong karena mereka maklum bahwa tenaga dan kepandaian
orang muda itu hebat bukan main, jelas tampak dari gerakan serangan itu.
Sedangkan mereka berdua sudah tidak bersenjata lagi, yang tadi patah dan rusak
sampyuh (sama-sama rusak) dengan senjata-senjata Kim-mo Taisu. Maka mereka
hanya mengandalkan gerakan mereka yang cepat untuk mengelak dan mundur-mundur!
Sementara
itu, ketika melihat betapa Kong Lo Sengjin ditinggalkan oleh kedua orang
pembantunya, Kim-mo Taisu yang sudah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya
cepat mengerahkan tenaga terakhir dan mendorong sekuatnya. Kong Lo Sengjin
mengeluh dan tubuhnya terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang, seperti
daun kering tertiup angin, lalu roboh terbanting. Ketika ia bangkit berdiri di
atas kedua tongkatnya, wajahnya pucat sekali, matanya seperti tidak bersinar
lagi, dan tanpa berkata apa-apa kakek ini melangkah pergi sempoyongan seperti
orang mabok.
"Bu
Song, mundur!!" Kim-mo Taisu berseru.
Bu Song
girang mendengar suara suhu-nya dan ia mencelat mundur di samping suhu-nya,
siap membela orang tua ini. Kim-mo Taisu lalu memandang dua orang musuh itu
sambil berkata, suaranya penuh wibawa, "Apakah kalian masih hendak
melanjutkan pertandingan?"
Dua orang
itu, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, tentu saja hati mereka menjadi jeri. Tanpa
berkata apa-apa, Hek-giam-lo mengempit tubuh Lauw Kiat dan melompat pergi dari
situ bersama Pouw-kai-ong yang juga pergi mengambil jurusan lain. Kedua tokoh
ini memang telah dapat dibujuk oleh Kong Lo Sengjin untuk membantunya, bersama
Ban-pi Lo-cia, dengan janji-janji muluk seperti biasa. Kini melihat betapa Kong
Lo Sengjin sendiri telah dikalahkan Kim-mo Taisu dan pergi meninggalkan
gelanggang tanpa mempedulikan mereka, tentu saja mereka pun tiada nafsu lagi
untuk menandingi Kim-mo Taisu yang demikian saktinya.
Setelah
semua musuh pergi, Kim-mo Taisu terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau saja
tidak segera dipeluk oleh Bu Song.
"Bagaimana,
Suhu? Hebatkah lukamu...?"
Kim-mo Taisu
menggeleng kepala, menarik napas dalam lalu berdiri lagi, dibantu oleh Bu Song.
"Lukaku memang hebat dan berat, tapi tidak seberat luka Kong Lo Sengjin.
Akan tetapi tidak apa, sudah semestinya terjadi dalam pertandingan. Akan tetapi
hatiku terasa pedih dan sakit. Bu Song, kau lihatlah baik-baik di
sekelilingmu... kau lihatlah mayat-mayat itu...."
Tentu saja
sejak tadi Bu Song sudah melihatnya. Ratusan, mungkin ribuan mayat berserakan
di sekitar lereng bukit, mayat-mayat tentara Sung dan Khitan yang belum sempat
diurus orang karena perang masih terus terjadi, kejar-mengejar. Pemandangan itu
amat mengerikan, juga menyedihkan.
"Bu
Song, kau berlututlah!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata.
Bu Song terkejut,
juga merasa heran, akan tetapi ia tidak membantah, lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan suhu-nya.
"Bersumpahlah
bahwa kau menaati pesanku yang terakhir ini!"
Bu Song
menekan perasaannya yang diselimuti kedukaan karena ia maklum akan keadaan
suhu-nya. "Teecu bersumpah demi Thian Yang Maha Kuasa akan menaati pesan
Suhu."
"Kau
hanya boleh mempergunakan kepandaian silat yang kau miliki untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan, untuk menentang yang jahat dan untuk menolong yang
lemah tertindas, di samping penggunaan untuk membela diri. Kalau kau
mempergunakan ilmu silatmu untuk menyombongkan kepandaian, untuk menanam
permusuhan, dan untuk melampiaskan nafsu mencari kemenangan, kau...kau akan
terkutuk...!"
"Teecu
akan mentaati pesan Suhu ini!" jawab Bu Song, suaranya tegas karena keluar
dari hati yang jujur. Tanpa pesan suhu-nya, memang ia pun berpendirian seperti
yang diinginkan suhu-nya itu.
"Jangan
kau mendendam kepada siapa juga dan untuk dapat melakukan hal ini, kau harus
mematikan rasa benci terhadap siapa pun juga. Hati-hatilah terhadap wanita, Bu
Song. Sesungguhnya hidup gurumu selama ini jatuh bangun hanya karena wanita,
karena kelemahan hatiku terhadap wanita. Jangan mudah menjatuhkan cinta, karena
bagi penghidupanku selama ini, cinta itulah yang merupakan pangkal segala
derita. Leburkan rasa cintamu menjadi kasih sayang yang merata terhadap semua
manusia, dan hidupmu akan penuh bahagia." Kembali Kim-mo Taisu berhenti
dan napasnya terengah-engah. Ia menekan dadanya dan wajahnya menjadi pucat
sekali.
Bu Song
cepat bangun dan memeluk suhu-nya. "Mari kita masuk ke dalam kemah dan
beristirahat, Suhu."
Kim-mo Taisu
tidak membantah diajak masuk dan dibaringkan di dalam, akan tetapi ia masih
sempat memberi pesan teakhir, "Sewaktu-waktu... pada hari pertama musim
semi... datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau berjodoh dengan... Bu Kek
Siansu...," kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan darah
segar.
Bu Song
terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu ia menotok beberapa
jalan darah di leher dan dada suhu-nya seperti yang pernah ia pelajari dari
suhu-nya, kemudian ia mengulur tangan, meletakkan telapak tangannya di dada
suhu-nya sambil mengerahkan tenaga.
Akan tetapi
tak lama kemudian Kim-mo Taisu membuka mata dan tangannya bergerak perlahan
menolak tangan muridnya, bahkan memberi tanda dengan tangan agar muridnya
keluar dari tenda. Ia bangkit duduk dengan susah payah. Bu song dengan hati
terharu membantu gurunya bersila, kemudian melihat gurunya duduk diam meramkan
mata, ia tidak berani mengganggu dan hendak keluar memenuhi permintaan gurunya
dengan isyarat tangan tadi.
Pada saat
itu tampak sinar menyambar-nyambar dari luar tenda. Kiranya benda-benda itu
adalah hui-to (pisau terbang) yang dilontarkan dengan kuat, bagaikan anak-anak
panah meluncur ke seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya. Bu Song terkejut,
namun tidak gugup. Dengan cepat dan tenang, kedua tangannya bergerak dan berhasil
menyampok runtuh pisau-pisau terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil
menendang pergi empat buah hui-to!
"Pengecut
keji!" Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo bersama
sepuluh orang yang semua memegang sebatang pisau seperti yang menyambar tadi.
Teringatlah Bu Song ketika beberapa tahun yang lalu melihat dua orang anggota
Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang itu terbunuh
oleh Kong Lo Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo
ini adalah anggota-anggota Hui-to-pang.
"Hek-giam-lo,
kau kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini apakah orang-orang Hui-to-pang?"
"Wah,
bocah ini mengenal kita!" seorang di antara pemegang pisau itu berseru dan
tiba-tiba pisau di tangannya menyambar ke arah leher Bu Song.
Bu Song
sengaja memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia tidak
mengelak, melainkan membuka mulut dan ‘menangkap’ pisau itu dari samping dengan
giginya! Kemudian sekali meniup, pisau itu meluncur cepat dan menancap pada batang
pohon sampai ke gagangnya!
"Jangan
mencari perkara, harap kalian pergi!" kata Bu Song, teringat akan pesan
suhu-nya.
"Si Tua
Bangka sedang terluka, serbu!" teriakan ini keluar dari balik kedok
tengkorak dan menyerbulah sepuluh orang itu, juga Hek-giam-lo mengurung Bu
Song! Hek-giam-lo sudah mempunyai senjata baru, yaitu sabit bergagang panjang
yang mengerikan. Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak senjata macam ini
sehingga begitu senjatanya rusak, ia sudah memiliki gantinya.
Oleh karena
Hek-giam-lo adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu saja ia mendendam karena Kim-mo
Taisu yang telah menewaskan gurunya. Namun hal ini tidak ada seorang pun yang
tahu, juga orang-orang yang terkenal di Khitan tidak ada yang tahu, tidak ada
yang menduga bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan itu sebetulnya adalah Bayisan,
bekas Panglima Khitan yang dulunya tampan itu.
Tentu saja
hanya Raja Kubakan yang tahu dan menerima sahabatnya itu, juga sute-nya (adik
seperguruannya), Lauw Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh Kim-mo Taisu.
Tewasnya gurunya dan buntungnya kedua kaki Lauw Kiat membuat Hek-giam-lo marah
sekali dan belum merasa puas kalau belum dapat membunuh Kim-mo Taisu! Inilah
sebabnya mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang tidak tahu duduk
persoalannya, tentu saja kemudian merasa heran dan marah.
Juga orang
muda ini tidak tahu mengapa Hui-to-pang memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang
membunuh isteri gurunya, yang disuruh oleh Kong Lo Sengjin, adalah orang
Hui-to-pang. Hal ini juga ada sebab-sebabnya. Ketika Kim-mo Taisu masih
merantau sebagai seorang pendekar jembel gila, di kota besar Cin-an di Propinsi
Shan-tung, Kim-mo Taisu pernah bentrok dengan ketua Hui-to-pang. Persoalannya
adalah karena ketua Hui-to-pang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya merampas
dengan paksa seorang gadis yang dicintai puteranya.
Puteranya
jatuh cinta kepada seorang gadis anak pedagang kulit di kota itu. Maka
diajukannya pinangan. Akan tetapi ayah si gadis menolak pinangan itu dengan
alasan bahwa puterinya sejak kecil telah dipertunangkan dengan keluarga lain.
Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena tidak suka bermantukan putera ketua
Hui-to-pang yang terkenal sebagai perkumpulan tukang-tukang pukul.
Kalau saja
ketua Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar penolakan yang sesungguhnya,
agaknya ia pun tidak akan memaksa setelah mendengar gadis itu sudah
dipertunangkan dengan orang lain. Akan tetapi begitu mendengar alasan penolakan
yang sesungguhnya, ia menjadi marah sekali. Toko si Penjual Kulit
diobrak-abrik, si Penjual Kulit dan isterinya mati terbunuh dan anak
perempuannya diculik!
Kebetulan
pada hari itu Kim-mo Taisu lewat di kota itu. Mendengar peristiwa ini
bangkitlah jiwa pendekarnya dan malam hari ia mendatangi gedung ketua
Hui-to-pang. Kemarahannya memuncak ketika mendengar betapa gadis itu
menggantung diri sampai mati setelah menjadi korban keganasan putera ketua
Hui-to-pang.
Pertempuran
terjadi dan ketua Hui-to-pang yang tadinya memandang rendah kepada jembel gila
itu dan yang marah karena Kim-mo Taisu dianggap terlalu lancang dan usil
mengurusi urusan ‘sepele’ orang lain, ternyata kalah dan terluka! Ketika para
anggota Hui-to-pang hendak mengeroyok, Kim-mo Taisu berhasil menangkap putera
Ketua Hui-to-pang dan dijadikan perisai sehingga ia berhasil keluar. Saking
marahnya, ketika hendak meninggalkan tempat itu dan membebaskan putera ketua
Hui-to-pang, Kim-mo Taisu membuntungi ujung hidung dan kedua telinga pemuda
hidung belang itu!
Inilah
sebab-sebab permusuhan dan dendam Hui-to-pang kepada Kim-mo Taisu. Tokoh yang
berhasil dihasut Kong Lo Sengjin dan akhirnya membunuh isteri Kim-mo Taisu
adalah adik kandung Hui-to-pangcu (Ketua) sendiri. Demikianlah tidak
mengherankan apabila kini mereka bersekongkol dengan Hek-giam-lo untuk
mengeroyok Kim-mo Taisu. Apalagi ketika mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa
dua orang tokoh mereka yang berusaha menawan sastrawan Ciu Gwan Liong dalam
usaha mereka merampas dan mencari kitab dan suling pemberian Bu Kek Siansu itu
terbunuh oleh Kim-mo Taisu! Dendam mereka makin mendalam. Memang kakek tua
renta yang lumpuh, Kong Lo Sengjin, bekas raja muda itu amat licin, penuh tipu
muslihat dan curang. Pandai ia melempar batu sembunyi tangan, melemparkan
kesalahan ke pundak orang untuk mengadu domba!
Biar pun dua
orang anggota pimpinan Hui-to-pang sudah roboh oleh totokan suling dan pukulan
tangan kiri Bu Song, namun jumlah mereka masih delapan orang dan karena kini
mereka bergerak hati-hati dan tidak berani memandang rendah lawan muda ini,
keadaan mereka menjadi lebih kuat dari pada tadi. Apalagi Hek-giam-lo juga
mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat. Pertandingan di luar tenda itu
benar-benar seru dan mati-matian.
Namun Bu
Song seperti seekor burung garuda yang mengamuk. Gerakannya luar biasa sekali
setelah mendapat gemblengan Bu Tek Lojin. Apalagi senjatanya merupakan senjata
yang ampuh dan aneh, terbuat dari pada logam yang tampaknya seperti emas, akan
tetapi sesungguhnya merupakan logam campuran yang ajaib, yang menjadi lebih
ampuh lagi karena benda ini tadinya milik Bu Kek Siansu, seorang pertapa yang
sudah dijuluki dewa oleh tokoh-tokoh besar persilatan. Sepak terjangnya hebat
menggetarkan para pengeroyoknya dan beberapa kali orang-orang Hui-to-pang itu
kehilangan golok mereka yang terbang atau runtuh begitu terbentur suling yang
mengandung tenaga sinkang mukjijat!
Tiba-tiba
orang-orang Hui-to-pang ini meloncat mundur, dan begitu tangan mereka bergerak,
golok terbang melayang dan meluncur cepat menghujani tubuh Bu Song! Bu Song
kaget dan marah sekali. Ia memutar sulingnya dan menerjang maju, dengan tidak
terduga-duga ia menggunakan kedua kakinya melakukan tendangan berantai dan
robohlah dua orang Hui-to-pang setelah tubuh mereka mencelat sampai lima meter
lebih!
Namun pada
saat itu, selagi Bu Song masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan
hui-to dari empat penjuru, tiba-tiba terdengar angin keras dan berkelebatlah
belasan batang hui-to yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata! Inilah
Cap-sha-hui-to (Tiga Belas Golok Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo!
Ketika Bayisan menyembunyikan diri, ia pernah mempelajari ilmu golok terbang
dari ketua Hui-to-pang, yaitu melontarkan golok sebagi senjata rahasia. Dan
karena tingkat kepandaiannya memang amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada
ketua Hui-to-pang sendiri, maka begitu ia mendapatkan rahasia ilmu melontarkan
golok terbang ia dapat menciptakan ilmu ini yang lebih hebat dari pada orang
yang mengajarnya. Ia dapat menciptakan golok yang gagangnya melengkung sehingga
kalau ia melontarkannya, golok itu dapat terbang kembali kepadanya apabila
tidak mengenai lawan dan dapat ia sambut dan pergunakan lagi! Lebih hebat pula,
kedua tangannya dapat melontarkan tiga belas batang golok terbang sekaligus!
Ini memang hebat luar biasa, karena Hui-to-pangcu sendiri, ketua Perkumpulan
Golok Terbang, hanya dapat melontarkan sebanyak tujuh batang golok!
Bu Song
terkejut menghadapi serangan ini, dan tentu saja ia memutar sulingnya menangkis
sambil mengelak. Akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa golok yang
tidak mengenai sulingnya dapat terbang membalik. Ada tiga batang yang terbang
membalik sehingga ia amat kaget dan berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi
kurang cepat dan sebatang golok milik Hek-giam-lo menancap di pundak kirinya!
Melihat
hasil ini, enam orang Hui-to-pang menyerbu serentak dengan tusukan dan bacokan
golok yang datang bagaikan hujan ke arah tubuh Bu Song. Bu Song mengeluarkan
suara keras dari kerongkongannya, suara keras yang mengiringi pengerahan tenaga
dalam, memutar sulingnya untuk melindungi tubuh karena Hek-giam-lo pun sudah
menerjangnya lagi. Pundaknya terasa sakit dan panas sekali sehingga lengan
kirinya hampir lumpuh. Keadaannya berbahaya sekali, namun Bu Song menggigit
bibir dan memutar suling, mengambil keputusan akan melindungi suhu-nya sampai
titik darah terakhir.
Pada saat
itu tiba-tiba Kim-mo Taisu muncul di pintu tenda. Mukanya tidak kelihatan
pucat, matanya berkilat penuh wibawa, sikapnya menantang dan dia membentak,
"Hek-giam-lo, kau masih tidak mau pergi? Orang-orang Hui-to-pang, belum
puaskah kalian dengan pertumpahan darah dan pengorbanan nyawa?" Sambil
berkata demikian, dengan mudah saja Kim-mo Taisu menggunakan ujung lengan
bajunya menyampok beberapa buah hui-to yang menyambar ke arahnya, karena orang-orang
Hui-to-pang sudah menyerangnya dengan hui-to begitu melihat musuh besar ini
muncul. Golok-golok terbang itu runtuh dan patah semua menjadi dua potong!
Gentarlah
hati Hek-giam-lo dan sisa orang-orang Hui-to-pang ketika melihat Kim-mo Taisu
yang ternyata masih gagah perkasa itu. Jelas bagi mereka bahwa kalau pendekar
sakti ini maju, dengan bantuan muridnya yang pandai, pihak mereka akan
mengalami kekalahan besar. Maka Hek-giam-lo mendengus dan membalikkan tubuh
lalu berlari pergi, diikuti oleh enam orang anggota Hui-to-pang yang tidak
pedulikan empat orang temannya yang tewas.
Begitu
orang-orang itu lenyap dari pandangan, Kim-mo Taisu roboh terguling di depan
pintu tenda! Bu Song cepat melompat dan berlutut memeriksa keadaan suhu-nya.
Akan tetapi ternyata Kim-mo Taisu Kwee Seng, pendekar sakti yang pernah
menggemparkan dunia persilatan itu telah menghembuskan napas terakhir. Bu Song
menundukkan kepalanya, termenung sejenak, lalu ia mengangkat jenazah suhu-nya
dibawa ke dalam tenda dan dibaringkan.
Bu Song lalu
mencabut hui-to yang menancap di pundak kirinya. Darah mengucur ke luar, akan
tetapi segera berhenti setelah Bu Song menekan jalan darah di pundaknya dan
menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Ia tidak khawatir akan racun, karena
menurut suhu-nya, tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Kemudian Bu Song mencari
dan memilih tempat yang baik di lereng gunung Tai-hang-san, menggali lubang dan
mengubur jenazah suhu-nya, menaruh sebuah batu besar di depan kuburan. Kemudian
ia mengerahkan tenaga, dengan jari telunjuk kanan Bu Song mencorat-coret pada
permukaan batu itu. Terciptalah goresan sedalam dua senti meter yang membentuk
huruf-huruf indah.
MAKAM
PENDEKAR BUDIMAN KIM-MO TAISU KWEE SENG
Setelah itu
Bu Song lalu mengubur pula jenazah empat orang Hui-to-pang, lalu mendaki puncak
mengubur mayat yang dilihatnya berserakan. Tak lama kemudian muncullah penduduk
daerah pegunungan Tai-hang-san. Mereka beramai-ramai lalu mengubur semua
jenazah, baik mayat tentara Sung mau pun mayat orang Khitan. Bu Song membantu
sekuat tenaga. Saking banyaknya mayat di sekitar pegunungan, pekerjaan
dilanjutkan sampai keesokan harinya dengan mengubur lima sampai sepuluh mayat
dalam satu lubang. Ketika pada keesokan harinya akhirnya semua mayat terkubur,
penduduk dusun tidak melihat lagi pemuda tampan yang ikut bekerja mati-matian
tanpa mengeluarkan sepatah kata pun itu.
Bu Song
telah pergi dengan diam-diam, hatinya trenyuh memikirkan keadaan perang dan
segala akibatnya. Rakyat dusun, rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, yang
selalu taat dan patuh serta takut, mereka inilah yang selalu menjadi korban
terakhir. Tanpa diperintahkan mereka mengubur semua mayat. Mereka harus
mengubur semua mayat itu karena kalau tidak, keselamatan mereka terancam oleh
bahaya menjalarnya wabah penyakit yang hebat.
Setelah
gurunya meninggal dunia, barulah Bu Song merasa betapa hidupnya sunyi dan
sebatang kara. Ada timbul ingatan dalam hatinya untuk pergi ke Nan-cao,
menjumpai kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ayah dari ibunya yang sampai kini
tidak pernah ia jumpai. Tentu saja ia tidak pernah mimpi bahwa pernah ia
bertemu dengan ibunya, bahkan ia berani menegur dan menasehati ibunya itu yang
hendak membunuhnya! Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa karena sikap dan
kata-katanya maka ibunya menjadi sadar dan insyaf, membuat ibunya lalu
menyembunyikan diri tidak mau muncul lagi di dunia ramai untuk menebus
dosa-dosanya!
Akan tetapi
Bu Song tidak dapat melupakan Suma Ceng. Betapa pun juga, cinta kasih yang
terpendam dalam hatinya takkan dapat lenyap. Betapa mungkin ia dapat
melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Suma Ceng, gadis yang telah merampas
hatinya, yang telah menyerahkan jiwa raga kepadanya? Karena rasa rindunya
kepada Suma Ceng tak tertahankan lagi, maka ia menunda niatnya pergi ke Nan-cao
mencari keluarga ibunya, sebaliknya ia lalu pergi lagi ke kota raja. Tadinya
memang ia sudah ke kota raja, akan tetapi ketika itu ia hendak mencari
suhu-nya. Mendengar bahwa suhu-nya pergi bersama tentara Sung ke utara, ia
segera keluar dari kota raja untuk menyusul suhu-nya. Sekarang ia pergi ke kota
raja dengan tujuan lain, yaitu mencari tahu tentang diri kekasihnya, Suma Ceng.
Hatinya
berdebar ketika ia memasuki pintu gerbang kota raja. Ia tahu betapa hubungannya
dengan Suma Ceng kurang lebih tiga tahun yang lalu telah menimbulkan kegemparan
di dalam rumah tangga keluarga Pangeran Suma Kong. Dia sendiri telah disiksa
dan kalau tidak ditolong suhu-nya, tentu ia akan tewas tersiksa. Akan tetapi
bagaimanakah dengan Suma Ceng? Darahnya naik dan mukanya menjadi panas kalau ia
membayangkan jangan-jangan kekasihnya itu mengalami siksa dan derita pula,
jangan-jangan malah telah mati! Ia menggereget giginya. Ia harus menyelidiki
dan membuktikan bahwa Suma Ceng kekasihnya tidak sengsara hidupnya.
Ia memasuki
pintu gerbang kota raja ketika hari sudah menjelang senja. Keadaan mulai sepi,
apalagi karena Bu Song masuk dari pintu gerbang bagian selatan, ia melalui
pinggiran kota raja yang paling sunyi. Mendadak ia mendengar suara ribut-ribut
di sebelah depan. Bu Song melihat seorang laki-laki muda, berpakaian penuh
tambalan akan tetapi baik baju mau pun tambalannya terbuat dari kain baru dan
bersih sekali sehingga lebih patut disebut pakaian berkembang aneh, sedang
berdiri bertolak pinggang dan memaki-maki belasan pengemis berpakaian penuh
tambalan dan butut.
Tertarik
hati Bu Song dan ia segera mendekat. Pengemis baju bersih itu usianya kurang
lebih tiga puluh tahun, sedangkan sebelas orang pengemis baju kotor paling muda
berusia tiga puluh lima tahun. Akan tetapi sungguh mengherankan betapa belasan
pengemis itu yang kelihatan murung dan muram wajahnya, sama sekali tidak berani
membalas atau marah saat dimaki-maki oleh si Pengemis Baju Bersih. Bahkan
seorang di antara mereka yang usianya sudah amat tua dengan muka sabar berkata,
"Sudahlah,
Sahabat muda. Harap kau suka maafkan kami orang-orang tua yang tadi tidak
mengenal siapa adanya engkau."
"Huh,
memang kalian ini jembel-jembel busuk! Biar pura-pura sudah menerima kalah dan
menjadi jembel, masih bersikap sombong-sombongan. Kau kira engkau masih guru
silat kenamaan dan anggota-anggota Sin-kauw-bukoan? Huh!" Pengemis muda
baju bersih itu lalu menggerakkan kaki menendang. Tendangan keras dan
mengandung tenaga mengenai perut kakek jembel itu hingga mengeluarkan suara
berdebuk keras.
Bu Song
terkejut. Tendangan itu keras sekali dan dapat diduga bahwa pengemis baju
bersih itu memiliki tenaga kasar yang amat kuat. Akan tetapi ketika mengenai
perut si Kakek, agaknya tidak terasa apa-apa oleh kakek itu. Diam-diam ia
merasa kagum dan heran. Terang bahwa ilmu kepandaian kakek jembel berbaju kotor
itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian si Pengemis Baju Bersih, akan tetapi
mengapa dihina diam dan mengalah saja?
Bahkan kini
pengemis baju bersih itu marah-marah dan memaki-maki, "Kau hendak melawan?
Mengandalkan ilmu kepandaianmu?" Sambil memaki, pengemis baju bersih ini
menggerakkan kaki tangannya, menghantam dan menendang.
Biar pun
kakek itu dapat menerima tendangan dan pukulan ini tanpa terluka, namun ia
terhuyung-huyung dan ketika ia mundur-mundur, tak diketahuinya bahwa di
belakangnya terdapat selokan. Kakinya terpeleset dan ia jatuh ke dalam selokan
yang airnya kotor!
Pengemis
baju bersih itu tertawa bergelak, lalu pergi dari situ dengan lagak sombong.
Para pengemis baju kotor yang lain hanya memandang lalu menundukkan kepala
sambil menarik napas panjang. Jelas bahwa mereka ini pun menahan kemarahan hati
dan melihat gerak-gerik mereka, Bu song dapat menduga pula bahwa mereka ini pun
bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah oleh pengemis baju bersih yang
sombong tadi. Akan tetapi mengapa mereka itu, seperti juga kakek yang
dipukulinya tadi, diam saja dan mengalah?
Setelah
pengemis baju bersih itu pergi tak tampak lagi, kakek pengemis yang jatuh ke
dalam selokan tadi membanting banting kaki dan menarik napas panjang
berulang-ulang sambil mengeluh, "Aahhh... heh...!"
"Suhu,
mengapa Suhu menerima terus-menerus penghinaan macam ini? Mari kita serbu saja
dan mengadu nyawa dengan si bedebah!" seorang pengemis yang termuda
berkata, suaranya mengandung penasaran.
"Hushh,
jangan bicara sembarangan!" kakek itu menegur, lalu kembali menghela napas
dan menggeleng-geleng kepalanya.
Seorang
pengemis lain yang lebih tua berkata, "Twa-suheng (Kakak Tertua), ada
benarnya juga ucapan muridmu. Seorang gagah lebih baik mati dari pada mengalami
penghinaan dalam hidupnya!"
"Sudahlah,
Sute (Adik Seperguruan). Melawan tanpa perhitungan kepada lawan yang jauh lebih
kuat sehingga lebih merupakan bunuh diri, bukanlah gagah namanya, melainkan
bodoh. Siapa orangnya mau mengalami penghinaan? Aku pun tidak suka, akan tetapi
kita harus mencari jalan keluar yang baik, menanti kesempatan yang tepat!"
"Akan
tetapi sampai kapan kita menanti lagi, Suhu?" Si murid mendesak,
"Mungkin Suhu cukup sabar menghadapi semua penghinaan itu, akan tetapi
teecu (murid) tidak dapat bertahan lagi, Suhu. Lain kali, kalau mereka itu
berani sekali lagi melakukan penghinaan terhadap Suhu, teecu tidak berani
tanggung apakah teecu akan dapat menahan diri. Agaknya pasti akan teecu lawan
dengan taruhan nyawa! Teecu rasa, biar pun akhirnya kita kalah oleh si Bedebah
she Pouw, namun sebelum kita mati, kita tentu dapat membunuh puluhan orang
musuh sehingga mati pun tidak penasaran!"
Si Kakek
kembali menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Percuma... tidak ada
gunanya...!"
Bu Song
adalah seorang yang masih muda. Melihat sikap pengemis baju bersih tadi pun
hatinya sudah merasa mendongkol. Kini mendengarkan perbantahan antara guru dan
murid ini, ia merasa penasaran dan tanpa disadarinya ia lalu berkata,
"Muridnya begitu bersemangat, gurunya begini melempem, sungguh lucu. Kalau
seseorang sudah kehilangan keberaniannya menentang si jahat, dia tidak patut
menjadi guru lagi!"
Pengemis
termuda yang menjadi murid kakek itu tiba-tiba melompat ke depan Bu Song dan
semua pengemis kaget dan heran. Mengapa ada orang mendekati mereka tanpa mereka
ketahui?
"Eh,
orang muda, lancang sekali mulutmu berani menegur Suhu! Tidak tahukah engkau
dengan siapa kau berhadapan? Suhu adalah Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu (Guru Silat
Liong berjuluk Kepalan Monyet Sakti), dahulu jagoan kota Sin-Yang! Hayo lekas
kau minta maaf dan menarik kembali omonganmu yang lancang kalau kau tidak ingin
merasai pukulanku!"
"Aihh...
aihh...! Kenapa mendadak menjadi begini galak? Tadi kau diam saja ketika ada
pengemis tolol memaki-maki lalu memukul dan menendang Kakek ini sampai masuk
selokan bau!"
Sejenak
mereka itu memperlihatkan muka malu, akan tetapi pengemis muda itu, yaitu yang
termuda di antara mereka, baru tiga puluh lima tahun, lalu membentak marah.
"Urusan sesama kaum kai-pang (perkumpulan pengemis) tidak ada
hina-menghina, pula merupakan urusan dalam, bukan urusanmu. Akan tetapi engkau
ini orang luar berani menghina kami? Tidak tahukah bahwa kami adalah bekas
orang-orang Sin-kauw-bukoan yang terkenal?"
Bu Song
tersenyum. Tentu saja dia tidak pernah mendengar Sin-kauw-bukoan (Perguruan
Monyet Sakti). Kalau mereka ini bekas orang-orang perguruan silat ternama,
mengapa sekarang menjadi pengemis? Bahkan agaknya golongan pengemis yang paling
rendah tingkatnya. Buktinya tadi mereka ini tidak berani melawan walau pun
diperhina oleh pengemis lain yang jelas kepandaiannya tidak berapa tinggi.
"Aku
bicara sejujurnya. Siapa menghina? Dan kau ini galak amat, mau apa?" Bu
Song sengaja memancing kemarahan orang.
Cepat sekali
pengemis itu menerjangnya dengan pukulan ke arah dada, disusul dengan tangan kiri
mencengkeram ke arah lambung. Memang Bu Song hendak menguji kepandaian mereka
ini, terutama kepandaian mereka yang menjadi guru dan setingkatnya. Dengan
tenang ia menggerakkan kakinya mundur dua langkah, sengaja berlaku lambat untuk
memancing lawannya. Benar saja, lawannya terkena pancingannya karena menyangka
bahwa ia tidak begitu lihai sehingga dengan girang lawannya sudah menubruk
maju, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada dengan keyakinan pasti kena. Bu
Song memiringkan tubuhnya, menyampok dari samping dan mengerjakan kakinya,
yaitu ujung sepatunya menotok sambungan lutut. Tak dapat dicegah lagi pengemis
itu terguling!
Terdengar
teriakan keras dan tahu-tahu orang yang disebut adik seperguruan kakek itu tadi
menyerbu. Pukulannya jauh lebih cepat dan berat jika dibandingkan dengan murid
keponakannya yang kini sudah merangkak bangun sambil memijit-mijit lututnya.
Diam-diam Bu Song makin terheran. Kepandaian murid tadi, apalagi paman guru
ini, agaknya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengemis baju bersih yang
menghina tadi. Apalagi kepandaian si Kakek yang berjuluk Sin-kauw-jiu itu!
Mengapa
mereka sama sekali tidak melawan tadi dan kini terhadap seorang luar seperti
dia, biar pun kata-katanya sejujurnya dan sama sekali tidak bisa dibilang menghina,
mereka sudah turun tangan? Di samping keheranannya ini, hatinya pun tertarik
dan suka kepada para pengemis baju kotor ini. Jelas bahwa jika maju seorang
demi seorang, mereka itu bukan tandingannya. Namun mereka tidak mau maju
mengeroyok. Hal ini saja membuktikan bahwa mereka ini bukan golongan
orang-orang jahat yang mengandalkan kepandaian atau teman banyak untuk berlaku
sewenang-wenang dan menghina orang lain. Sikap mereka terhadapnya adalah sikap
orang gagah yang hendak memperebutkan kebenaran dan kehormatan dengan ilmu
kepandaian secara gagah pula.
Karena
tertarik dan ingin berkenalan, Bu Song tidak mau mempermainkan lawannya terlalu
lama. Dengan gerakan indah, ia berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah
dorongan yang disertai tenaga dalam. Biar pun dorongannya tidak menyentuh dada
orang, namun pengemis itu tetap saja tanpa dapat ia pertahankan lagi, roboh
terjengkang ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik saja ia dapat
menyelamatkan diri tidak terbanting keras! Namun hal ini sudah cukup membuka
matanya bahwa orang muda yang kelihatan lemah ini sama sekali bukan
tandingannya. "Kau hebat, orang muda!"
Orang ketiga
yang lebih tua sudah menyambar ke depan. Orang ini adalah kakak seperguruan
dari yang tadi roboh, merupakan orang ke dua di Sin-kauw-bukoan. Pukulannya
mengandung tenaga Iwee-kang yang ampuh dan kuat sehingga setiap ia menggerakkan
tangannya, terdengar suara angin menyambar. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika tiba-tiba lawannya berkelebat dan lenyap dari depannya! Pengemis yang berwajah
muram ini kaget dan bingung, lalu mendengar suara ketawa di belakangnya. Ketika
ia membalikkan tubuh, kiranya lawannya sudah berada di situ, enek-enak saja
tersenyum dan memandangnya.
Ia menjadi
penasaran dan cepat menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan yang dibuka
jari-jarinya, seperti tangan monyet hendak mencengkeram. Hebat tubrukannya ini
karena tangan itu tidak segera mencengkeram, melainkan menanti ke mana lawan
akan mengelak. Gerak tipu Ilmu Silat Monyet Sakti ini amat hebat dan jarang
sekali gagal. Namun kembali matanya mejadi kabur karena lawannya yang muda itu
berkelebat tanpa dapat ia duga ke mana, hanya tahu-tahu sudah melewati atas
kepalanya. Ketika ia memutar tubuh, kembali orang muda itu berkelebat
menyelinap dari samping, kemudian pada detik selanjutnya, sebelum ia sempat
membalikkan tubuh, ia merasa tengkuknya disentuh oleh jari-jari tangan yang
hangat. Pengemis ini kaget sekali dan berseru, "Hebat... aku mengaku
kalah...!" Ia melompat ke pinggir dan memandang dengan mata terbelalak
keheranan.
Kini kakek
tua renta itu berjalan maju. Langkahnya sudah membayangkan usia tua. Matanya
memandang Bu Song, berkedip-kedip penuh keheranan. "Melihat gerakanmu,
orang muda, kau mengingatkan aku akan seseorang... ah, seseorang yang tadinya kukagumi,
akan tetapi ternyata mengecewakan hatiku...."
Makin
tertarik hati Bu Song. "Siapakah orang itu, Sin-kauw-jiu Liong-kauw-su?
"Ah,
jangan sebut-sebut julukanku yang kosong melompong. Dan aku bukan kauwsu lagi
melainkan seorang jembel busuk yang tiada harganya. Sebut saja aku Lokai
(Pengemis Tua). Nama orang itu selalu kusimpan sebagai rahasia, biar pun dia
sudah mengecewakan hatiku, namun tidak akan kusebut-sebut. Akan tetapi karena
gerakanmu mirip dia, kalau kau bisa mengalahkan toyaku, biarlah hitung-hitung
aku kalah bertaruh dan akan kusebut namanya di depanmu. Kau jagalah, orang
muda!" Kakek itu menerima sebatang toya kuningan yang kedua ujungnya
dilapis baja. Begitu toya itu berada di kedua tangannya, benda itu seakan-akan
menjadi hidup dan bergerak-gerak amat cepatnya.
"Orang
muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!"
Sesungguhnya,
biar pun kakek ini kelihatannya jauh lebih lihai dari pada si murid atau
sute-nya tadi, Bu Song tidak takut menghadapinya dengan tangan kosong. Akan
tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah seorang yang dahulunya tentu ternama,
ia pun segan untuk memandang rendah. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan
mereka, apalagi Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu, dan ia bahkan menaruh iba kepada
bekas guru silat dan murid-muridnya ini yang telah merosot derajatnya menjadi
pengemis-pengemis yang dihina orang. Di samping rasa iba ini, ada pula rasa
penasaran mengapa semangat si guru demikian melempem dan tidak layak menjadi
sikap seorang gagah?
"Kauwsu,
bukan aku yang mengajak berkelahi. Kalau tidak terdesak, untuk apa aku
mengeluarkan senjata? Aku tidak mau melukai orang!" jawabnya. "Kalau
kau hendak main-main, silakan mulai."
Kakek itu
kelihatan marah sekali. "Sudah terlalu lama dihina orang tanpa berani
membalas! Sekarang ada engkau ini orang muda yang datang-datang menghina kami.
Orang muda, jangan salahkan aku kalau toyaku tidak mengenal kasihan. Kau
sambutlah!" Tampak gulungan sinar kuning ketika toya itu menyambar
dahsyat, menyerang dengan pukulan menyamping ke arah lambung kiri Bu Song
disusul gentakan ujung lain yang menyusul dengan hantaman ke arah kepala andai
kata pukulan pertama dapat dielakkan.
Akan tetapi,
sekali berkelebat tubuh orang muda itu lenyap dari depannya! Liong-kauwsu
terkejut, cepat membalikkan tubuh menggerakkan toyanya, lalu menerjang ke
belakang tubuh. Benar saja dugaannya, orang muda yang dapat bergerak luar biasa
cepatnya itu tadi telah berada di belakangnya sehingga serangan susulannya ini
tepat sekali.
Dengan
tusukan kuat ujung toyanya menyambar ke arah dada, kemudian ketika orang muda
itu mengelak ke kiri, toyanya mengejar terus dengan sontekan ke kanan,
menghantam leher lalu disontekkan lagi, menggunakan ujung yang lain
menyerampang kaki. Semua ini dilakukan oleh kakek itu dengan kecepatan kilat,
dan biar pun ia sudah tua, namun tiap kali digerakkan, kedua ujung toya itu
menggetar dan dilihat dengan mata biasa ujungnya berubah menjadi puluhan
batang.
"Ilmu
toya yang bagus!" Bu Song memuji akan tetapi kembali tubuhnya lenyap tanpa
diketahui kakek itu saking cepatnya.
Dari
belakangnya Liong-kauw-su merasa betapa ujung toyanya disentuh lawan. Ia cepat
membalikkan tubuh dan melihat lawannya itu tersenyum-senyum berdiri di
belakangnya, kini sudah mengeluarkan sebuah benda kuning berkilauan di tangan.
Bukan main kaget dan kagumnya hati kakek itu. Ia tadi maklum bahwa lawannya
akan mudah merobohkannya, atau merampas toyanya, karena bukankah tadi lawannya
sudah menyentuh ujung toya dari belakang sebelum ia mampu membalikkan tubuh?
Akan tetapi
orang muda itu tidak melakukan hal ini, bahkan mengeluarkan senjata, padahal
dengan tangan kosong sekali pun agaknya akan sukar baginya untuk mengalahkan
orang muda ini. Ketika ia memperhatikan senjata di tangan orang muda itu, ia
berseru kaget, juga sute-nya berseru, "Kim-siaw (Suling Emas)...!"
Bu Song
memandang suling emas di tangannya dan pada saat itu jantungnya berdebar aneh.
Nama yang bagus! Kim-siauw! Namanya sendiri sudah lapuk, sudah terlalu banyak
mendatangkan hal-hal yang menyedihkan! Namanya sendiri, Bu Song, selalu terkait
dengan hal-hal yang mematahkan hati, mengingatkan ia akan ayah bundanya yang
cerai-berai, akan hidupnya yang sebatang kara. Mengingatkan ia akan
pengalaman-pengalamannya yang pahit-getir, akan kematian Kwee Eng yang sudah
dicalonkan menjadi isterinya, wanita pertama yang merampas hatinya. Kemudian,
yang masih membekas dalam sekali di kalbunya, mengingatkan ia akan Suma Ceng,
wanita kekasihnya yang tadinya ia anggap sebagai pengganti Kwee Eng yang tewas.
Nama Bu Song sungguh diselimuti kegelapan, nama yang sial.
Akan tetapi
ia tidak dapat melamun terus karena kembali toya yang berat itu menyambar
dibarengi seruan Liong-kauw-su. Tampak sinar emas bergulung-gulung ketika Bu
Song menggerakkan sulingnya. Sinar ini seakan-akan merupakan tali emas yang
menggulung dan melibat-libat toya, kemudian tanpa dapat dicegah lagi oleh Liong-kauwsu,
juga tanpa ia ketahui bagaimana caranya, toyanya terlepas dari tangannya,
melayang tinggi ke atas dan ketika turun, disambut oleh suling di tangan Bu
Song, diputar-putar sampai berhenti melintang di atas suling yang disodorkan
kepada Liong-kauwsu, diikuti kata-kata. "Terimalah kembali toyamu,
Liong-kauwsu!"
"Hebat...!
Kau lebih hebat dari pada Kim-mo Taisu...!" kakek itu berkata dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga. Juga murid-muridnya serta sute-nya memandang
penuh kekaguman.
"Dan
suling emas itu...! Orang muda, bolehkah kami mengetahui, siapakah namamu yang
mulia?"
Bu Song
tersenyum pahit, memandang sulingnya yang ia pegang di tangan kanan, ditegakkan
lurus depan muka, kemudian berkata, "Suling emas... suling emas... inilah
namaku... Suling Emas!"
Sin-kauw-jiu
Liong-kauwsu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak pengalaman. Ia maklum
bahwa orang muda ini adalah seorang sakti yang tidak mau namanya dikenal.
Timbul harapan dalam hatinya bahwa orang muda yang luar biasa ini akan dapat
membantunya menebus semua penghinaan dan sakit hati yang selama puluhan tahun
ia derita.
Akan tetapi
pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang datang-datang membentak,
"Lagi-lagi ada manusia tak berbudi yang berani menghina kaum jembel
mengandalkan kepandaiannya?"
Para kakek
pengemis dan juga Suling Emas (karena Bu Song sendiri merubah namanya, mulai
sekarang kita mengenalnya sebagai Suling Emas) menoleh dan melihat bahwa yang
datang itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
pakaiannya tambal-tambalan dan bahkan kedua lengan bajunya buntung
compang-camping, memakai caping (topi petani) lebar yang menutupi sebagian
mukanya. Juga capingnya itu butut, compang-camping pinggirnya. Namun tubuh
orang itu tampak kuat, matanya bersinar-sinar, mukanya bersih tidak berjenggot.
Celananya yang butut juga buntung sebatas lutut. Setelah berkata demikian,
serta merta orang yang baru tiba ini menerjang Suling Emas dengan
serangan-serangan kilat.
"Eh,
sahabat... jangan salah kira. Dia... Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)
tidak..." Liong-kauwsu tidak melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas
sudah memotong.
"Biarlah,
Kauwsu. Orang ini lihai, biarkan kami main-main sebentar!"
Memang
Suling Emas kagum menghadapi serbuan orang yang baru datang ini. Baru bergebrak
sejurus saja tahulah bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang tingkat
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada tingkat kakek guru silat itu. Pukulan
kedua tangan dan tendangan kedua kakinya mendatangkan angin halus, seakan-akan
tidak mengandung tenaga, namun ternyata penuh dengan tenaga sinkang yang amat
kuat. Juga gerakan-gerakannya aneh dan membingungkan serta cepat sekali,
membuktikan bahwa ginkang orang ini pun sudah mencapai tingkat tinggi!
Suling Emas
sudah menyimpan sulingnya dan cepat ia mengelak lalu balas menyerang, juga
mempergunakan kecepatan gerakannya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua
lutut sampai hampir berjongkok untuk menghindarkan hantaman kedua tangan kearah
dada dan leher tadi, sambil secepat kilat membalas dengan tusukan jari-jari
tangannya ke arah pusar lawan. Dengan amat cepatnya tubuh lawannya itu sudah
melambung tinggi sehingga tusukannya tak berhasil. Dari atas pengemis itu sudah
berjungkir balik dan kini melakukan serangan dari atas, dengan kepala di bawah
kaki di atas, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan
bergerak membentuk lingkaran-lingkaran untuk mencegah jalan ke luar!
Suling Emas
maklum bahwa menghadapi serangan ini, tidak ada jalan untuk mengelak.
Satu-satunya jalan hanyalah mengadu tenaga. Karena lawan ini melayang turun
sehingga tenaganya ditambah oleh berat tubuh serta tenaga luncuran turun, tentu
saja orang itu lebih menguntungkan keadaannya. Namun ia tidak gentar, bahkan ia
lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya seakan berakar di atas tanah, membiarkan
lawan melayang turun sampai dekat lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak
mengimbangi kedudukan kedua tangan lawan untuk menangkis.
"Dukkk...!!"
dua pasang tangan bertemu dan akibatnya tubuh pengemis itu mencelat ke atas
sampai lima meter lebih, sedangkan kuda-kuda Suling Emas sungguh pun tidak
tergeser, namun kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai lewat sepatunya!
Pengemis ini
memang hebat. Walau pun tubuhnya terlempar begitu tinggi, namun ia tidak
kehilangan akal. Beberapa kali pinggangnya bergerak, tubuhnya melentik seperti
ular dan ia sudah berhasil memulihkan keseimbangan tubuhnya, lalu meloncat
turun dengan gerakan ringan, tepat berdiri menghadapi Suling Emas. Keduanya
saling pandang penuh kekaguman.
"Kepandaianmu
luar biasa sekali, sobat!" kata Suling Emas sambil tersenyum. Kata-kata
ini keluar dari hatinya yang tulus karena memang ia kagum menyaksikan
kepandaian pengemis ini. Ketika tadi terlempar ke atas, caping pengemis itu
terlepas dan tampaklah kini wajahnya yang cukup tampan dan gagah. Wajah yang
banyak membayangkan kepahitan hidup, rambutnya awut-awutan, namun bersih dan
mengandung cahaya bersemangat.
Di lain
pihak, pengemis itu agaknya merasa penasaran, kagum, dan juga kaget. Tentu saja
ia tidak menyangka akan berhadapan dengan orang yang begini sakti. Mendengar
ucapan Suling Emas dan melihat senyum itu, ia salah sangka, mengira bahwa
lawannya mengejek. Maka ia lalu memandang dengan sinar mata tajam, mulutnya
berkata penuh geram, "Orang muda, kau memang hebat! Akan tetapi jangan kau
tertawa-tawa lebih dahulu. Aku Yu Kang baru menerima kalah kalau kau mampu
mengalahkan senjataku ini!"
Suling Emas
sudah menaruh hati sayang kepada pengemis yang amat lihai ini, maka ia tidak
ingin menanam permusuhan. Akan tetapi sebelum ia mampu menjawab, pengemis yang
bernama Yu Kang itu dengan jari-jari kaki telanjang telah menggenjot tanah dan
tubuhnya melayang ke depan Suling Emas, tangan kanannya sudah memegang sebatang
tongkat rotan kecil. Tongkat itu tadinya terselip di belakang punggungnya.
Kelihatannya
sederhana sekali, besarnya hanya seibu jari kaki, panjangnya dua lengan. Namun
melihat betapa ‘senjata’ yang lebih patut disebut senjata kanak-kanak bermain
perang-perangan itu setelah berada di tangan pengemis ini menggetar-getar dan
mengeluarkan suara melengking tiada hentinya. Diam-diam Suling Emas kaget dan
cepat ia pun mencabut sulingnya. Gerakan tongkat rotan yang mengeluarkan suara
melengking itu mengandung tenaga lweekang yang hebat, maka Suling Emas segera
memutar sulingnya pula dan terdengarlah suara melengking lebih tinggi dan
nyaring.
"Bagus!
Sambutlah seranganku!" Yu Kang berseru keras dan tubuhnya menyambar maju,
tongkatnya bekelebatan dan membentuk sinar kilat menyambar amat cepatnya.
Suling Emas
pun maklum akan bahayanya serangan ini, maka ia lalu menggerakkan sulingnya dan
lenyaplah bentuk suling, berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang
membentuk lingkaran-lingkaran. Ia telah mainkan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat
yang luar biasa ampuhnya. Harus diakui bahwa di antara para tokoh persilatan,
banyak kiranya yang mengenal tokoh persilatan, banyak kiranya yang mengenal
Pat-sian Kiam-hoat, bahkan banyak yang ahli. Namun Pat-sian Kiam-hoat yang
dimainkan oleh Suling Emas ini lain dari pada yang lain.
Kalau
Pat-sian Kiam-hoat biasa mempunyai enam puluh empat jurus, akan tetapi Pat-sian
Kiam-hoat yang diwariskan oleh Kim-mo Taisu kepada Suling Emas hanya mempunyai
enam belas jurus. Enam belas jurus yang sudah mencakup semua inti sari Pat-sian
Kiam-hoat, bahkan sudah pula meliputi bagian-bagian terpenting yang terpendam.
Di samping ini, setelah semua pintu dalam tubuh Suling Emas dibuka oleh Bu Tek
Lojin, maka sinkang di tubuhnya dapat bergerak lancar sehingga permainan ilmu
pedang ini menjadi makin hebat. Setiap gerakan dan getaran mengandung hawa
sakti yang dahsyat.
Sin-kauw-jiu
Liong Kong, guru silat yang telah menjadi pengemis itu, bersama murid-muridnya
dan sute-nya, menjadi penonton yang bengong terlongong. Terheran-heran mereka
menonton pertandingan luar biasa ini. Tak dapat mata mereka mengikuti gerakan
kedua orang muda itu, yang tampak hanyalah gulungan sinar kuning bercampur aduk
dengan kilatan ujung tongkat yang menjadi ratusan banyaknya, membungkus
bayangan dua orang yang tidak kelihatan bentuknya dan kabur saking banyaknya!
Diam-diam
guru silat itu menarik napas panjang dan insyaf betapa ilmu kepandaian di dunia
itu tiada batasnya. Dahulu ia amat kagum kepada sahabatnya, Kim-mo Taisu yang
gerakannya sama dengan Pendekar Suling Emas ini. Kemudian ia dibikin penasaran
akan tetapi tidak berdaya oleh seorang tokoh muda yang baru, dua puluh tahun
yang lalu, yaitu orang yang mengaku menjadi raja pengemis, berjuluk
Pouw-kai-ong (Raja Pengemis Pouw) yang memiliki ilmu kepandaian hebat pula.
Kini di depan matanya, bertanding dua orang muda yang begini hebat, benar-benar
membuat ia merasa betapa tingkat kepandaiannya sendiri sebenarnya bukan
apa-apa!
"Wah-wah-wah,
kau hebat! Aku mengaku kalah!" tiba-tiba terdengar Yu Kang berseru keras
dan tubuhnya terlempar sejauh enam tujuh meter di mana kedua kakinya berhasil
menahan robohnya, akan tetapi ia masih tetap saja terhuyung-huyung!
Suling Emas
sudah menyimpan sulingnya, melangkah maju sambil menjura. "Yu-twako, kau
benar-benar hebat! Aku kagum sekali."
Pengemis
muda itu menghela napas, berjalan maju, meyelipkan tongkatnya di belakang
punggung sambil berkata, "Sudahlah, tak perlu kau merendah. Sudah jelas
aku bukan tandinganmu. Andai kata si keparat she Pouw itu selihai engkau,
biarlah aku mati di tangannya dan mendiang ayah takkan dapat tenang dalam
kuburnya!" Setelah berkata demikian, Yu Kang melangkah pergi.
"Yu-enghiong
(Orang Gagah she Yu), nanti dulu...!" tiba-tiba Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu
berseru sambil mendekat.
Yu Kang
membalikkan tubuhnya. "Kau orang tua mau apa lagi? Aku melihat betapa
kalian jembel-jembel tiada guna dipermainkan orang-orang, akan tetapi aku
sendiri juga seorang jembel tiada guna, tak dapat membela kalian."
"Bukan
demikian, Yu-enghiong. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak dihina oleh
Kim-siauw-eng, sama sekali tidak! Yang menghina kami adalah si keparat she Pouw
yang kau sebut tadi! Dua puluh tahun kami dihina dan ditindas, karena itu mohon
bantuan Yu-enghiong. Marilah kita bersatu untuk menghadapi Pouw-kai-ong yang
jahat!"
Yu Kang
melotot, terheran. "Kalian ini pun mendendam kepada Pouw-kai-ong si
jahat?"
Tiba-tiba
Suling Emas yang mendengarkan percakapan itu berkata, "Ah, kiranya kita
adalah orang-orang segolongan. Aku sendiri pun boleh dianggap sebagai seorang
musuh besar Pouw-kai-ong, bahkan beberapa kali pernah aku bertanding melawan
dia dan kawan-kawannya!"
Kakek itu
berseru girang, lalu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang
muda gagah itu, diturut oleh teman-temannya. "Mohon bantuan Ji-wi Enghiong
membasmi Pouw-kai-ong yang jahat..."
"Lo-kai
(Pengemis Tua), harap jangan banyak tingkah. Kita dapat saling bantu dalam hal
ini. Bangunlah! Lo-kai ini dari kai-pang (perkumpulan pengemis) yang manakah?
Aliran apa?" Pertanyaan Yu Kang ini diajukan dengan sikap penuh wibawa
yang menunjukkan bahwa dia agaknya mengenal baik akan peraturan perkumpulan
pengemis.
Orang tua
itu bangkit berdiri dan sukar untuk menjawab. Timbul kekhawatiran di hatinya
bahwa pengemis muda yang perkasa ini takkan mau bekerja sama kalau mendengar
bahwa dia sebetulnya bukan pengemis sama sekali, melainkan pengemis paksaan!
Melihat
keadaan kakek itu meragu, Suling Emas lalu berkata, "Saudara Yu Kang,
Lopek (Paman Tua) ini sama sekali bukan pengemis. Dia dahulu adalah kedua dari
Sin-jiu-bu-koan, berjuluk Sin-kauw-jiu bernama Liong Keng."
"Nama
kosong belaka..., nama kosong belaka...," Liong-kauwsu menggoyang-goyang
kedua tangan dengan perasaan malu.
"Hemm,
kalau begitu bukan golongan pengemis? Mengapa berpakaian pengemis? Mau
main-main dengan pengemis, ya? Liong-kauwsu, kalau kau dan kawan-kawanmu ini
hanya pura-pura menjadi pengemis untuk mencapai tujuan, aku tidak sudi bekerja
sama!"
"Tidak...
tidak... ah, Yu-enghiong salah sangka. Memang kami terpaksa menjadi pengemis,
akan tetapi andai kata pembalasan dendam kami sudah terkabul, kami pun tetap
akan menjadi pengemis. Kami sudah tidak punya apa-apa, dan untuk selanjutnya,
kami rela menjadi pengemis asal saja si Keparat Pouw-kai-ong sudah mendapat
hukumannya!"
"Kalau
begitu, boleh kita bekerja sama," kata Yu Kang mengangguk-angguk.
"Marilah
Ji-wi Enghiong, kita bicara sambil berunding di tempat kami, di bawah jembatan
Tembok Merah."
Yu Kang
mengangguk dan Suling Emas juga menerima baik undangan ini. Mereka lalu
berangkat menuju ke jembatan besar di pinggir kota itu dan turunlah mereka ke
kolong jembatan. Di tempat sederhana inilah Liong-kauwsu beserta anak buahnya
tinggal! Biar pun kolong jembatan, karena dirawat maka tanahnya cukup bersih
dan baunya tidak busuk. Beberapa orang murid Liong-kauwsu sibuk menyembelih
angsa besar yang mereka tadi tangkap, entah dari mana. Tak lama kemudian bau
harum paha angsa dipanggang membuat air liur memenuhi mulut. Beberapa orang
lagi mengeluarkan cawan retak dan seguci besar arak!
Mereka
bercakap-cakap sambil memegangi paha angsa panggang yang gurih dan berlemak,
menggerogoti daging yang lezat didorong masuk arak keras. Mereka duduk
seenaknya, ada yang berjongkok, ada yang bersandar pada dinding jembatan, ada
pula yang berdiri, ada pula yang sambil rebah-rebahan dan mencari kutu pada
baju mereka yang rombeng! Suling Emas duduk bersila di tengah-tengah dan ikut
makan dengan enaknya.
Yang
mendapat giliran pertama untuk bercerita adalah Liong-kauwsu. Kakek ini
menghentikan makannya, melempar tulang paha angsa ke tengah air kali yang
mengalir di dekat mereka, mengusap minyak lemak dari bibir dengan ujung bajunya
yang kotor, kemudian menarik napas dan bercerita. "Belasan tahun yang lalu
terjadinya mala-petaka itu, yang merubah semua jalan hidupku dan murid-muridku
serta keluarga kami...." Ia menarik napas panjang lagi, kemudian ia
menceritakan pengalamannya secara jelas singkat seperti berikut.
Perguruan
Sin-kauw-bu-koan di kota Sin-yang cukup terkenal karena baik gurunya, yaitu
Sin-kauw-jiu Liong Keng, mau pun para murid-muridnya merupakan orang-orang
gagah yang biar pun kuat tidak mempergunakan kekuatannya untuk melakukan
penindasan, bahkan membela kebenaran dan keadilan. Liong-kauwsu tidak mempunyai
anak keturunan sendiri, akan tetapi ia mengangkat seorang murid wanita sebagai
anak. Wanita itu bernama Liong Bi Loan, seorang gadis cantik yang pandai silat.
Pada suatu
hari, Liong Bi Loan bertemu dengan Pouw-kai-ong yang ketika itu masih muda dan
tampan. Dalam pertandingan Bi Loan dikalahkan dan gadis ini terpikat, lalu lari
bersama Pouw-kai-ong. Liong-kauwsu tidak mampu mencegahnya karena terhadap
Pouw-kai-ong, ia sama sekali tidak berdaya, jauh kalah lihai kepandaiannya.
Seperti
telah kita ketahui, dalam kesedihan dan kebingungannya, Liong-kauwsu bertemu
dengan Kim-mo Taisu, kemudian minta pertolongan Kim-mo Taisu untuk menghadapi
Pouw-kai-ong. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak dapat berbuat sesuatu terhadap
Pouw-kai-ong ketika pendekar ini melihat betapa gadis puteri guru silat itu
dengan suka rela ikut Pouw-kai-ong! Hal inilah yang membuat kecewa hati
Liong-kauwsu yang tadinya amat mengharapkan Kim-mo Taisu berhasil membawa
pulang puteri angkatnya. Terpaksa ia menerima keadaan dan tidak mau merintangi
lagi puteri angkatnya yang ikut Pouw-kai-ong.
Akan tetapi
dua tahun kemudian, luka dihatinya menjadi robek kembali ketika Liong-kauwsu
mendengar kabar betapa anak angkatnya itu hidup merana dan sengsara di samping
Pouw-kai-ong yang mulai nampak ‘belangnya’. Pouw-kai-ong sudah mulai bosan dan
memperlakukan Liong Bi Loan seperti seorang budak belian, bahkan tidak jarang
memukulinya. Kemudian secara berterang Pouw-kai-ong main gila dengan
wanita-wanita lain dengan memaksa Liong Bi Loan melayani dia berpesta dengan
perempuan-perempuan lain yang menjadi kekasih baru. Akhirnya Liong Bi Loan tak
kuat menahan, untuk melawan ia kalah kuat, dan wanita ini mengambil jalan
terakhir dengan menggantung diri!
Mendengar
ini Liong-kawsu dan beberapa orang muridnya yang setia, juga dua orang
sute-nya, secara nekat menyerbu ke tempat yang dijadikan markas besar
Pouw-kai-ong, yaitu sebuah kuil tua di luar kota Kang-hu, bekas markas besar
perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Namun, mereka ini sama sekali bukanlah
tandingan Pouw-kai-ong. Bahkan bukan Pouw-kai-ong sendiri yang turun tangan,
baru anak buahnya saja sudah membuat Liong-kauwsu dan anak buahnya kocar-kacir
dan dihajar habis-habisan.
Pouw-kai-ong
tidak membunuh Liong-kauwsu, namun merampas semua miliknya, kemudian memaksa
bekas Ketua Sin-kauw-bu-koan ini bersama anak buahnya hidup sebagai anggota
kai-pang, berpakaian seperti pengemis! Lebih hebat lagi, rombongan Liong-kauwsu
ini selalu dihina oleh anak buah Pouw-kai-ong yang berpakaian tambal-tambalan
namun bersih, atau terkenal dengan sebutan pengemis baju bersih, sebaliknya
dari pada rombongan Liong-kauwsu dan para pengemis taklukan lain yang disebut
rombongan pengemis baju kotor.

"Demikianlah,
Kim-siauw-hiap (Pendekar Suling Emas)," Liong Keng mengakhiri ceritanya
dengan muka berduka. "Bertahun-tahun kami menderita penghinaan dan
sepatutnya penderitaan ini kami akhiri dengan bunuh diri saja seperti yang
dilakukan puteriku. Akan tetapi dalam hati ini masih belum mau menerima, masih
menyimpan penasaran dan dendam setinggi langit, masih selalu mengharapkan
kesempatan untuk membalas! Oleh karena itulah, sampai begini tua saya tetap
mempertahankan nyawa untuk menanti datangnya kesempatan itu. Untung sekali hari
ini mempertemukan kami dengan Ji-wi Taihiap (Kedua Pendekar Besar) sehingga
boleh diharapkan cita-cita akan tercapai juga sebelum nyawa meninggalkan
badan."
Yu Kang
melompat berdiri, membanting tulang paha angsa ke kanan. Tulang itu melesak ke
dalam dinding tembok jembatan yang keras! "Harap Paman Tua Liong tidak
berkecil hati. Dengan bekerja sama, masa si Keparat Pouw itu tidak akan dapat
ditundukkan? Dengarlah baik-baik, aku Yu Kang juga sudah bersumpah, takkan
berhenti berusaha sebelum si jahat Pouw Kee Lui menerima hukumannya. Seluruh
keluargaku habis dibasmi keparat itu, dan hanya karena Tuhan menghendaki saja
aku bebas dari pada pembasmian sehingga setidaknya ada keturunan ayah yang
berusaha membalaskan dendam keluarga ini."
Yu Kang lalu
bercerita. Dia adalah putera bungsu mendiang Yu Jin Tianglo ketua perkumpulan
pengemis Khong-sim Kai-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita
ini, pada belasan tahun yang lalu ketika Pouw Kee Lui yang memiliki kepandaian
tinggi itu muncul dari timur, dia telah menyerbu Khong-sim Kai-pang, merobohkan
semua yang melawannya, membunuh Ketua Khong-sim Kai-pang sekeluarga, membunuh
tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang pula dan merampas kedudukan ketua Khong-sim
Kai-pang. Para anggota yang tidak mau tunduk dibunuhnya sehingga akhirnya para
anggota lain menjadi ketakutan dan mengakui kekuasaan ketua baru ini, yang
kemudian memakai julukan Pouw-kai-ong si Raja Pengemis Pouw. Bersama anak
buahnya yang dilatihnya, ia menundukkan hampir seluruh perkumpulan pengemis
sehingga julukannya ‘raja pengemis’ benar-benar tepat.
Akan tetapi
sama sekali di luar dugaan Pouw-kai-ong yang cerdik bahwa ketika ia melakukan
pembasmian terhadap keluarga Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim Kai-pang, Yu Kang
putera bungsu ketua pengemis itu yang baru berusia tiga belas tahun dan
kebetulan sekali pada waktu peristiwa hebat terjadi, sedang bermain-main di
luar kota sehingga terbebas dari pada maut. Ketika Yu Kang melihat keadaan
keluarganya yang terbasmi habis, tidak seorang pun masih hidup, ayah bundanya,
kakak-kakaknya, semua tewas di tangan Pouw-kai-ong, ia segera melarikan diri.
Selama belasan tahun Yu Kang putera ketua pengemis Khong-sim Kai-pang ini
menggembleng diri dengan ilmu silat, belajar dari tokoh-tokoh pengemis yang
telah mengasingkan diri bertapa di gunung-gunung. Ia selalu berpakaian sebagai
pengemis dan hidup sebagai pengemis pula, tetap setia kepada cara hidup ayahnya
dan dendam di hatinya terhadap Pouw Kee Lui tak pernah terlupa sehari pun!
Setelah
tujuh belas tahun menggembleng diri, kini dalam usia hampir tiga puluh tahun,
barulah Yu Kang turun dari puncak gunung-gunung dan mulai mencari musuh
besarnya, Pouw Kee Lui yang kini sudah menjadi Pouw-kai-ong. Karena tidak tahu
harus mencari di mana, maka ia langsung menuju ke kota raja, oleh karena untuk
mencari seorang ‘raja’ pengemis, kiranya paling tepat menyelidiki dari kota
raja, pusat segala macam kegiatan.
"Demikianlah
sedikit riwayatku, dan kebetulan aku bertemu dengan kalian yang kukira adalah
pengemis-pengemis yang mengalami penghinaan. Di sepanjang perjalanan banyak aku
mendengar akan perpecahan golongan pengemis menjadi dua, pengemis baju bersih
dan pengemis baju kotor, dan tentang penindasan yang dilakukan pengemis baju
bersih terhadap pengemis baju kotor. Siapa kira, pengemis baju bersih adalah
pengikut-pengikut setia dari Pouw-kai-ong, musuh besarku! Di sepanjang jalan,
tidak ada yang berani menyebut-nyebut tentang Pouw-kai-ong."
Liong-kauwsu
yang kini sudah berubah sebutan menjadi Liong-lokai (Pengemis Tua Liong) itu
menarik napas panjang. "Memang demikianlah. Tidak ada yang berani
membicarakan perihal Pouw-kai-ong, apalagi bicara buruk karena kaki tangannya
banyak sekali dan hukumannya amatlah berat mengerikan." Kakek itu kini
menoleh kepada Suling Emas dan berkata, "Setelah kini saya dan Yu Tai-hiap
bercerita, saya harap Kim-siaw Tai-hiap sudi pula memberi sedikit penuturan dan
penjelasan."
"Sesungguhnya
tidak ada apa-apa yang patut kuceritakan," Suling Emas berkata dan
tiba-tiba wajahnya yang tampan itu seperti diselubungi awan gelap. Betapa tidak
akan keruh hatinya kalau ia diingatkan akan riwayatnya yang sembilan puluh
persen terisi hal-hal menyedihkan itu? Pula ia sudah tidak mau mengingat
hal-hal lampau, bahkan hendak melupakan namanya. Setelah berhenti sejenak, ia
menyambung. "Pertemuanku dengan Pouw-kai-ong dalam pertempuran hanyalah
secara kebetulan saja. Akan tetapi karena aku tahu betapa jahatnya
Pouw-kai-ong, maka aku bersimpati kepada orang-orang yang telah menjadi
korbannya seperti kalian. Dan untuk bicara terus terang, Yu-twako menduga
tepat. Pouw-kai-ong amat lihai dan... maaf, kurasa Yu-twako sendiri tidak akan
dapat mengalahkannya!"
Yu Kang
mengangguk-angguk, sepasang alisnya yang tebal berkerut-kerut. "Aku pun
sudah menyelidiki dan mendengar bahwa si Keparat she Pouw itu amat lihai. Kau
yang sudah bertanding dengannya, tentu dapat menilainya dengan tepat,
Kim-siauw-eng. Dan aku percaya, kalau kau yang begini lihai masih mengaguminya,
tentulah ia merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi aku tidak akan
mundur setapak juga, kalau perlu nyawaku kupertaruhkan untuk membalas kematian
seluruh keluarga ayahku." Yu Kang mengepal tinju, mukanya merah dan
matanya berapi-api.
"Yu-taihiap...."
"Harap
Liong-lokai jangan menyebut aku Taihiap (Pendekar Besar)!" Yu Kang
memotong kata-kata kakek itu dengan sengit. "Aku hanyalah seorang pengemis
jembel yang tiada guna!" Memang watak Yu Kang keras dan jujur, tanpa
dipalsukan tata cara dan sopan santun. Mungkin sakit hatinya dan mala-petaka
yang menimpa keluarganya membuat ia berwatak seperti itu.
"Baiklah,
Yu-hiante. Harap jangan berkecil hati. Kalau kita maju bersama dan minta
bantuan Kim-siauw-eng dan orang-orang gagah lainnya, kiranya si Keparat Pouw
itu akan dapat dibasmi."
"Hemm,
terserah kau orang tua yang mengaturnya," akhirnya Yu Kang berkata sambil
duduk kembali, menyambar paha angsa panggang dan menenggak araknya.
Liong-lokai
lalu menjura kepada Suling Emas. "Kami mohon dengan hormat sudilah kiranya
Kim-siauw-eng membantu usaha kami membalas dendam, mengeroyok si Keparat she
Pouw yang jahat."
Suling Emas
tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Mana bisa begitu, Lo-kai? Tak mungkin
aku mengeroyok lawan."
"Akan
tetapi, bukankah Kim-siauw-enghiong juga memusuhinya?"
"Betul.
Seperti telah kukatakan tadi, aku bolehlah dimasukkan sebagai seorang di antara
musuh-musuhnya. Akan tetapi aku tidak mempunyai dendam pribadi dengannya. Siapa
saja yang jahat, boleh dianggap musuhku, karena kalau dia tidak bisa
diinsyafkan, tentu akan kugunakan kekerasan mencegah si jahat merajalela
menindas si lemah. Karena itu, berbeda sekali dengan kalian, aku tidak menaruh
dendam dan aku hanya akan menghadapinya satu lawan satu. Tak mungkin aku sampai
hati melakukan pengeroyokan terhadap lawan yang betapa pun juga lihainya."
Tiba-tiba Yu
Kang menghentikan gerakannya makan paha panggang. Ia memandang tajam ke arah
Suling Emas, lalu mengangguk-angguk dan berkata murung, "Benar sekali,
Suling Emas! Aku sendiri pun, kalau tidak dimabok dendam kesumat, tidak sudi
mengeroyok orang. Akan tetapi, kalau maju sendiri tidak bisa menang sampai
kapan dapat membalas dendam? Dendamku jauh lebih besar dari pada segala macam
aturan pertandingan." Agaknya ucapannya ini berlawanan dengan wataknya
yang gagah, maka untuk mencuci rasa malu, Yu Kang menggelogok arak sebanyaknya
ke dalam perutnya!
"Akan
tetapi, menghadapi seorang penjahat keji macam Pouw-kai-ong, bagaimana harus
mengingat akan peraturan? Dia membunuhi orang, merampas kai-pang, mengangkat
diri sendiri menjadi raja pengemis, kemudian merampas anak gadis orang tanpa
melamar, memaksa kami menjadi pengemis, apakah semua perbuatannya itu
menurutkan aturan? Bukankah orang bijaksana jaman dahulu mengatakan bahwa
kebaikan dibalas dengan kebaikan berganda, akan tetapi kejahatan harus dibalas
dengan keadilan? Dan terhadap seorang keji jahat macam Pouw-kai-ong, apakah
yang lebih adil dari pada mengeroyoknya dan menghukumnya bersama?"
"Sudahlah,
Liong-lokai!" tiba-tiba Yu Kang berkata keras. "Orang yang tidak mau,
apa gunanya dipaksa-paksa? Biarlah siapa yang mendiamkan saja kejahatan
merajalela, dia itu membantu kejahatan! Apalagi urusan ini adalah urusan kita
para pengemis, mana seorang kongcu terpelajar mau mencampuri urusan segala
jembel?"
Hening
sejenak setelah Yu Kang mengeluarkan kata-kata yang keras, jujur tanpa
tedeng-tedeng lagi ini. Para pengemis tua itu merasa khawatir, kalau-kalau
Suling Emas akan menjadi marah. Namun Suling Emas bukanlah seorang yang mudah
marah. Gemblengan hidup membuat ia kuat bertahan akan segala serangan. Pula ia
dapat membedakan mana emas mana tembaga dan tahu bahwa di balik sikap kasarnya,
Yu Kang adalah seorang gagah.
"Yu-twako,
ucapanmu memang benar sekali. Untuk mengeroyok orang, biar dipaksa-paksa aku
tentu tetap tidak akan mau. Pula, aku justru paling tidak mau mencampuri urusan
orang lain karena aku menghormati kalian golongan pengemis yang biar pun
berpakaian kotor namun berhati bersih. Akan tetapi kau keliru sangka kalau aku
akan mendiamkan saja kejahatan merajalela."
"Hemm,
omongan Suling Emas seperti omongan guru sekolah berbelit-belit! Pendeknya, kau
mau membantu kami atau tidak?" Yu Kang mencela.
"Tentu
saja, akan tetapi tidak secara keroyokan. Biarlah dia nanti kuhadapi sendiri,
kalian lihat saja. Kalau aku kalah dan tewas di tangannya, anggap saja hal itu
urusanku, dan barulah kalian boleh turun tangan terhadap Pouw-kai-ong."
Tiba-tiba Yu
kang melompat lagi ke atas. "Mana bisa?? Liong-lokai, mari kita berangkat.
Urusan ini adalah urusan kita, urusan antara para pengemis, bahkan Pouw-kai-ong
sendiri pun seorang pengemis yang jahat dan menyeleweng. Kitalah yang harus
menghukumnya, bagaimana kita bisa menyerahkan hal ini kepada orang luar? Suling
Emas, kami tidak membutuhkan bantuanmu lagi. Marilah, Liong-lokai. Engkau tahu
di mana si Jahanam itu?"
Kakek jembel
itu mengerling kepada Suling Emas dengan mata kecewa, akan tetapi ia lalu
bangkit berdiri diikuti teman-temannya dan menjawab pertanyaan Yu Kang,
"Kebetulan dia berada tak jauh dari sini. Marilah, Yu-hiante. Kami ada
sebelas orang, bersama Hiante jadi dua belas. Masih ada lima orang saudara
Bhong, pengemis-pengemis dari Yu-nan yang telah lama menanti-nanti kesempatan
untuk mengeroyok musuh besar mereka. Seperti juga engkau, Hiante, kelima
Bhong-heng-te (Persaudaraan Bhong) itu pun keturunan ketua kai-pang
(perkumpulan pengemis) yang dibasmi oleh Pouw-kai-ong."
"Bagus,
kalau begitu marilah kita berangkat!" kata Yu Kang.
Rombongan
pengemis itu meninggalkan kolong jembatan. Hanya Liong-lokai seorang yang
menjura kepada Suling Emas. Yu Kang melangkah pergi tanpa menoleh. Suling Emas
berdiri terlongong, akan tetapi tersenyum pahit melihat rombongan pengemis itu
pergi dari situ. Sejenak ia termangu dan mengangkat pundak. Memang benar ucapan
Yu kang bahwa urusan di antara pengemis adalah urusan dalam, orang luar tidak
berhak mencampuri.
Akan tetapi
tiba-tiba Suling Emas mengerutkan keningnya. Mereka itu seperti domba-domba
digiring ke pejagalan! Ia tahu benar bahwa biar pun dikeroyok oleh mereka, Pouw
Kee Lui masih tetap merupakan lawan yang terlalu kuat. Mereka itu seakan-akan
mengantar nyawa dengan sia-sia, akan mati konyol. Dan ia tahu bahwa mereka
adalah orang baik-baik. Mana mungkin ia mendiamkan Pouw-kai-ong membunuh mereka
begitu saja? Kedua kakinya bergerak dan di lain saat Suling Emas sudah
mengikuti rombongan itu dari jauh.
Malam itu
terang bulan. Rombongan pengemis yang tadinya hanya dua belas orang itu kini
sudah bertambah lima lagi, yaitu lima orang Bhong-heng-te yang tubuhnya
tinggi-tinggi dan dari langkah kaki mereka dapat diketahui bahwa mereka ini pun
bukan orang-orang lemah. Tujuh belas orang pengemis ini berangkat ke luar kota,
menuju ke sebelah utara kota raja. Di kaki gunung yang sunyi, jauh dari kota
raja dan jauh dari dusun-dusun, mereka berhenti lalu bergerak sembunyi
mengurung sebuah pondok kecil yang berdiri sunyi di tempat itu.
Dua orang di
antara kelima Bhong-heng-te melompat ke luar dari tempat persembunyian, lalu
menghadapi pintu pondok dan seorang di antara mereka berseru nyaring,
"Pouw Kee Lui, keparat busuk! Kami telah datang hendak menagih hutangmu
kepada keluarga Bhong, hayo keluar!"
Suling Emas
yang bersembunyi di balik batu-batu besar tak jauh dari tempat itu mengerutkan
kening. Kalau memang mereka hendak mengeroyok, mengapa tidak langsung saja
mendatangi pondok dan menyerbu? Dengan pengeroyokan tujuh belas orang, agaknya
Pouw-kai-ong akan kewalahan juga. Apakah mereka terlalu memandang rendah
kepandaian si Raja Pengemis?
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa terkekeh dan dari atas gunung kecil melayang turun
sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya. Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, bayangan itu tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, tikus-tikus
busuk berani mengantar nyawa?!"
Ucapan ini
disusul gerakan yang hebat sekali. Sebelum dua orang she Bong itu mampu
menjawab, bayangan yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong ini,
telah menerjang maju dengan gerakan seperti kilat dan... dua orang saudara
Bhong yang sudah berusaha menangkis itu terpental ke belakang dan roboh tak
dapat bergerak lagi!
Pada saat
itu muncul tiga orang saudara Bhong yang lain, muncul dari samping kiri,
disusul munculnya tiga orang dari depan dan tiga orang dari kanan. Tampak
Liong-lokai ikut pula dari kanan sedangkan Yu Kang tampak di antara tiga orang
dari depan. Enam orang pengemis lain mengambil jalan memutar hendak menyerbu
dari belakang punggung Pouw-kai-ong.
"Ha-ha-ha!
Kiranya tikus tua she Liong ikut pula. Bagus!!" Seruan ini disusul suara
bersiutan dan Pouw-kai-ong telah memutar sebatang tongkat yang berubah menjadi
segulung sinar hitam.
Ketika
Pouw-kai-ong menerjang ke kanan sambil menggerakkan tongkatnya, terdengar
seruan kaget dan kesakitan. Liong-lokai dan dua orang temannya sudah
mengeluarkan senjata masing-masing. Akan tetapi begitu sinar bergulung-gulung
berwarna hitam itu datang, dan mereka menangkis, ternyata tubuh Liong-lokai
berikut toyanya terlempar ke belakang sedangkan dua orang muridnya roboh dan
tewas! Baiknya Liong-lokai tadi dapat menangkis dengan toyanya dan ketika
terlempar masih dapat menggulingkan tubuh, kalau tidak tentu ia menjadi korban
pula.
"Ha-ha-ha,
tikus-tikus busuk!" Pouw-kai-ong berseru sambil tertawa-tawa dan memutar
tongkatnya sambil membalikkan tubuh karena pada saat itu belasan orang telah
maju mengeroyok.
Hanya Yu
Kang seoranglah yang merupakan lawan berat dalam pengeroyokan ini. Yang
lain-lain hanyalah lawan lunak bagi Pouw-kai-ong sehingga enak saja ia membabat
dengan tongkatnya. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, sepuluh orang
anggota pengemis telah roboh terluka berat atau tewas. Kini tinggal
Liong-lokai, Yu Kang, dua orang saurdara Bhong, dan tiga orang pengemis lain
yang masih bertahan. Namun mereka terdesak hebat, hanya mampu menangkis saja
karena tongkat di tangan Pouw-kai-ong benar-benar luar biasa sekali!
Suling Emas
tidak tega melihat ini. Kalau ia diamkan saja, tentu tujuh orang itu lama-lama
akan roboh semua. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke
depan dan begitu ia menggerakkan sulingnya menangkis tongkat, Pouw-kai-ong
berseru keras dan meloncat mundur sampai empat lima meter jauhnya.
"Siapa
kau?!" bentaknya.
Suling Emas
tidak mempedulikannya, melainkan menoleh ke belakang dan berkata, "Harap
rawat teman-temanmu yang terluka, biar kulayani dia sendiri!" Setelah
berkata demikian, Suling Emas menerjang maju, menyerang dengan sulingnya sambil
berkata, "Keparat she Pouw, dosamu sudah bertumpuk!"
Pouw-kai-ong
terkejut menyaksikan berkelebatnya sinar kuning emas yang begitu cepatnya, dan
lebih kaget lagi karena tangan kanannya tergetar ketika menangkis dengan
tongkat. Hebat lawan ini, pikirnya. Ia merasa penasara ketika memandang dan
mendapat kenyataan bahwa lawannya hanya seorang muda yang takkan lebih dari dua
puluh lima tahun usianya. Melihat suling emas itu, tiba-tiba ia teringat.
"Setan!
Kau murid Kim-mo Taisu...??"
"Orang
tua jahat, tak usah banyak cerewet!" Suling emas merasa ngeri menyaksikan
muka Raja Pengemis itu yang menyeringai menyeramkan.
Pouw-kai-ong
berusia lima puluh tahun kurang lebih. Pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi
amat indah kembang-kembangnya. Mukanya sudah berkeriput, rambutnya licin
ditutup pembungkus kepala dari sutera, matanya berkilat-kilat seperti mata
setan dan gerakan tongkatnya memang luar biasa cepat dan beratnya.
Pertandingan
antara dua orang sakti ini hebat luar biasa. Yu Kang sendiri yang sudah banyak
menerima gemblengan orang-orang sakti, berdiri tertegun dan diam-diam harus ia
akui bahwa seorang diri, tak mungkin ia dapat menangkan Raja Pengemis itu.
Dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, kalau ia maju membantu Suling Emas, tentu
kakek jahat itu dapat dirobohkan dengan mudah. Akan tetapi ia tahu dan mengenal
watak Suling Emas yang tentu tidak mau dibantu. Maka ia hanya menonton penuh
kekaguman, sedangkan Liong-lokai dan anak muridnya merawat mereka yang terluka
dan tewas.
Suling Emas
sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan Ilmu Pedang Pat-sian
Kiam-hoat yang hebat. Gerakannya selain cepat, juga mengandung tenaga mukjijat
sehingga sulingnya mengeluarkan suara melengking seperti ditiup orang. Namun,
kelebihannya dalam ilmu silat sakti ini diimbangi oleh kelebihan Pouw-kai-ong
dalam pengalaman dan kematangan. Suling Emas belum lama menguasai ilmunya,
sedangkan Pouw-kai-ong sudah matang, sudah digembleng dalam
pertandingan-pertandingan berat. Maka hebatlah pertandingan ini yang sekaligus
merupakan ujian berat bagi Suling Emas. Tubuh kedua orang sakti itu sudah tak
dapat dilihat lagi, lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka! Biar pun
pertandingan itu mengerikan dan merupakan pertandingan mati-matian, namun
kelihatannya amat indah di malam bulan purnama itu!
Perawatan
terhadap mereka yang terluka sudah selesai dan kini Liong-lokai dan Yu Kang
berdiri dengan mata terbelalak kagum. "Bukan main... sungguh
hebat...!" Bisik kakek jembel itu penuh keheranan dan kekaguman.
"Suling
Emas benar," kata Yu Kang. "Kepandaian iblis itu benar-benar hebat
sekali. Pantas saja ayah sekeluarga terbasmi habis...!"
"Mengapa
kita tidak menyerbu sekarang? Kesempatan baik terbuka..."
"Tidak,
Liong-lokai. Tidak boleh kita menggunakan keadaan ini mencari kemenangan. Hal
itu akan merupakan penghinaan bagi Suling Emas. Dia berwatak aneh, akan tetapi
patut dihormati. Mari kita kurung si Iblis agar dia jangan sampai dapat
melarikan diri!"
Tujuh orang
sisa rombongan pengemis itu segera mengurung, siap dengan senjata
masing-masing. Yu Kang bersenjatakan sebatang pedang, Liong-lokai bersenjatakan
toya kuningan, tiga orang muridnya juga bersenjatakan toya, sedangkan dua orang
saudara Bhong yang kehilangan tiga saudaranya itu bersenjatakan golok.
Suling Emas
masih kurang matang latihannya untuk mengalahkan Pouw-kai-ong dengan ilmu
silatnya. Akan tetapi berkat tenaga sinkang yang hebat di dalam tubuhnya, ia
berhasil mendesak lawannya itu yang mulai terengah-engah dan bermandi peluh.
"Bocah
setan, mampuslah!" Saking marahnya, Pouw-kai-ong lalu mengerahkan
tenaganya dan menghantam dengan tongkatnya ke arah kepala Suling Emas dengan
gerakan memutar. Sebuah serangan yang luar biasa hebatnya, merupakan jurus maut
tanpa memperhatikan pertahanan diri lagi. Agaknya Pouw-kai-ong sudah nekat,
apalagi melihat betapa sisa rombongan pengemis tadi sudah mengurungnya.
Suling Emas
mengangkat sulingnya menangkis.
"Plakk...!!"
sepasang senjata ampuh bertemu dan... tubuh Pouw-kai-ong terhuyung ke belakang,
tongkatnya patah-patah! Suling Emas juga tidak mengejar, hanya berdiri sambil
meramkan kedua mata mengumpulkan tenaga. Pertemuan tenaga lewat senjata tadi
benar-benar hebat, membuat dadanya sesak dan agak sakit.
Mendadak
terdengar suara hiruk-pikuk dan ketika Suling Emas membuka matanya, ia melihat
tujuh orang itu sudah menyerbu sambil berteriak-teriak. Suling Emas menarik
napas panjang dan melompat mundur, menonton dari tempat persembunyiannya yang
tadi. Setelah ia tidak bertanding dengan Raja Pengemis itu, tentu saja ia tidak
dapat menghalangi mereka mengeroyok Pouw-kai-ong. Agaknya rombongan pengemis
yang dipimpin Yu Kang dan Liong-lokai itu segera menyerang ketika melihat
Pouw-kai-ong terhuyung mundur dan tongkatnya sudah patah-patah.
Namun Si
Raja pengemis adalah seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Memang kini senjatanya sudah rusak dan dadanya terasa sesak sekali, akan tetapi
menghadapi pengeroyokan tujuh orang itu ia sama sekali tidak gentar. Bahkan di
antara hujan senjata itu ia bergerak sambil memekik, kedua kaki tangannya
bergerak dan... kembali dua orang murid Liong-lokai roboh terguling!
Pada saat
itu terdengar sorak-sorai gemuruh dan bermunculanlah puluhan, bahkan ratusan
orang pengemis yang serta merta mengeroyok Pouw-kai-ong! Mereka ini adalah
rombongan-rombongan pengemis yang tadi sudah diberi kabar melalui teman-teman
oleh Liong-lokai sehingga dari pelbagai penjuru datanglah mereka yang ingin
sekali melihat si Raja Pengemis yang dibenci menemui kematiannya.
Pouw-kai-ong
terkejut sekali. Matanya jelalatan hendak mencari jalan ke luar, namun ia sudah
terkurung rapat. Biar pun ia lihai, namun menghadapi ratusan orang pengemis
yang mengurungnya rapat dengan senjata di tangan, benar-benar merupakan ancaman
maut yang mengerikan. Ia mengamuk dan lagi-lagi ia merobohkan beberapa orang.
Bahkan Yu Kang yang maju paling dekat, telah kena pukulan tangannya sehingga
tulang pundak kiri Yu Kang patah! Juga Liong-lokai kena hantaman lambungnya,
membuat kakek ini terlempar dan roboh tak bernyawa lagi di saat itu juga. Masih
banyak lagi korbannya, ada belasan orang.
Namun ia
sendiri mulai terkena pukulan, dari kanan kiri, dari depan belakang.
Pouw-kai-ong terhuyung-huyung, mandi darah tapi masih terus mengamuk.
Bacokan-bacokan dan hantaman-hantaman ruyung datang bagaikan hujan, bajunya
sudah compang-camping, tubuhnya penuh darah. Akhirnya ia roboh! Masih saja
mereka menghujani senjata.
"Berhenti...!!"
tiba-tiba Suling Emas melayang dan tiba di dekat Pouw-kai-ong. Sekali sulingnya
bergerak, tampak sinar kuning emas dan semua senjata yang ditujukan kepada
tubuh yang mandi darah itu terpental.
"Wah,
ini konconya! Keroyok...!!" teriak seorang pengemis.
"Jangan!
Mundur semua!!" Yu Kang berseru sambil menggunakan tangan kanannya yang
tidak terluka untuk mendorong minggir beberapa orang pengemis yang menghalang
jalan. "Dia bukan konco iblis Pouw, bahkan dialah yang memungkinkan kita
merobohkan iblis itu!"
Suara Yu
Kang nyaring dan penuh wibawa. Apalagi ketika para pimpinan pengemis mengenal
bahwa pengemis kosen ini adalah putera mendiang Yu Jin Tianglo seperti yang
diperkenalkan oleh Liong-lokai. Mereka lalu mundur.
Yu Kang
mendekati Suling Emas dan bertanya, suaranya nyaring. "Suling Emas! Apa
maksudmu menghalangi kami membunuh iblis ini?"
Suling Emas
menggeleng kepala, memandang kepada tubuh yang mandi darah di depannya. Muka
itu hancur, bahkan sebuah dari pada matanya remuk! Bibirnya robek hidungnya
bengkok. Muka yang mengerikan! Andai kata dapat hidup terus tentu menjadi seorang
yang cacad mukanya.
"Sudah
kukatakan tadi bahwa aku tidak suka akan pengeroyokan. Biar pun dia roboh oleh
kalian, akan tetapi lebih dulu aku telah membikin dia tidak berdaya dengan
merusak tongkatnya. Kalau ia masih bersenjata, apakah kalian kira akan dapat
dengan mudah merobohkannya? Tentu dia akan dapat melarikan diri. Karena itu aku
merasa seakan-akan ikut mengeroyoknya! Dia sudah mendapat hajaran keras, lebih
mati dari pada hidup. Lihat mukanya! Lihat mukanya! Lihat badannya! Urusannya
dengan kalian adalah urusan pribadi, aku tidak mau terseret dalam pengeroyokan
dan pembunuhan begini curang."
Sejenak
Suling Emas beradu pandang dengan Yu Kang. Kemudian Yu Kang menunduk dan
melihat keadaan Pouw-kai-ong. Ia agaknya merasa puas, berdongak ke udara, mulutnya
berkemak-kemik seperti membaca doa. Kemudian ia meloncat ke atas batu besar tak
jauh dari situ. Tangan kirinya sengkleh, tergantung lepas karena tulang pundak
kirinya patah. Akan tetapi sikapnya gagah dan suaranya nyaring.
"Kawan-kawan!
Dengarkan aku bicara. Aku adalah Yu Kang, putera mendiang Yu Jin Tianglo ketua
Khong-sim Kai-pang. Bicara tentang dendam kepada si Jahat Pouw, agaknya di
antara kita akulah yang paling parah. Akan tetapi aku puas melihat dia kini
dirobohkan, dan... harus kita akui bahwa tanpa bantuan Pendekar Suling Emas
belum tentu kita akan berhasil. Oleh karena itu, biarlah kita jangan
membunuhnya sesuai dengan permintaan Pendekar Suling Emas. Tanpa kita turun
tangan lagi, kurasa dia pun akan mampus! Bergembira dan bersoraklah bahwa mulai
detik ini kita terbebas dari pada cengkeraman seorang jahat seperti
Pouw-kai-ong!"
Ratusan
orang pengemis baju kotor itu bersorak gegap-gempita. Ada pula yang berseru,
"Hancurkan pengemis baju bersih!"
"Angkat
Saudara Yu Kang menjadi ketua seluruh kai-pang!"
"Mari
saudara-saudara, kita iringkan Saudara Yu Kang mengumpulkan semua pengemis baju
kotor untuk membasmi pengemis baju bersih!"
Sorak-sorai
makin menjadi-jadi dan ratusan pasang tangan diulur ke depan sehingga Yu Kang
tak kuasa lagi mencegah para pengemis itu mendukungnya dan mengaraknya pergi
dari situ sambil bersorak-sorak! Hanya beberapa orang pengemis tua yang tinggal
untuk mengurus penguburan para korban dan merawat mereka yang terluka.
Suling Emas
berdiri memandang semua ini dengan hati terharu. Ia kagum akan kegagahan Yu
Kang yang biar pun kasar dan jujur, namun memiliki jiwa pendekar. Ia terharu
menyaksikan jembel-jembel itu bersatu padu untuk membasmi penindas dan
memperbaiki nasib, menggantungkan harapan mereka kepada Yu Kang, satu-satunya
pengemis yang boleh diharapkan akan dapat memimpin mereka, melepaskan diri dari
pada penindasan orang-orang jahat.
Setelah
semua mayat dikubur dan para pengemis tua pergi membawa teman-teman yang
terluka sehingga di situ sunyi sepi, Suling Emas kembali memandang tubuh Pouw
Kee Lui yang masih menggeletak mandi darah. Suling Emas menarik napas panjang,
lalu menyambar tubuh itu, membawanya ke dalam pondok. Ia merebahkan tubuh yang
masih pingsan itu ke atas pembaringan, kemudian pergilah ia dari tempat itu.
Belum jauh
ia pergi, ia mendengar suara orang dan cepat ia menyelinap lalu mengintai.
Kiranya beberapa orang wanita cantik dan beberapa orang laki-laki, semua
berpakaian seperti pelayan-pelayan, berindap-indap memasuki pondok dari
belakang. Ia kembali menghela napas. Kiranya orang she Pouw itu menjadikan
pondok itu sebagai tempat istirahat dan bersenang-senang, ditemani beberapa
orang wanita cantik dan mempunyai pelayan-pelayan secukupnya. Biarlah, biar
mereka itu merawatnya. Suling Emas tidak jadi mencari daun obat di dalam hutan,
menyerahkan nasib bekas Raja Pengemis itu kepada para selir dan pelayannya. Ia
hanya mengharap mudah-mudahan pelajaran pahit itu tadi akan membuat
Pouw-kai-ong menjadi bertobat.
Suling Emas
melanjutkan perjalanannya, kembali menuju ke kota raja. Ia merasa girang
mendengar percakapan rakyat yang merasa puas dengan adanya raja baru yang adil
dan tidak suka menjalankan kekerasan terhadap rakyatnya. Ia tidak melihat
perubahan apa-apa ketika pada keesokan harinya memasuki pintu gerbang kota
raja, sehingga ia makin gembira. Saat pertama kali ia masuk kota raja ketika ia
menyusul suhu-nya, ia tidak mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kota raja.
Kini ia menggunakan kesempatan untuk keliling kota sehingga bertambah
kegembiraannya menyaksikan keadaan yang makmur dan ramai.
Akan tetapi
kegembiraan ini musnah seketika setelah ia mendengar berita tentang keluarga
Suma. Ia mendengar berita bahwa Pangeran Suma Kong sudah pindah ke An-sui, kota
kecil yang letaknya cukup jauh dari kota raja, sekitar empat atau lima hari
perjalanan cepat. Kegembiraan ini bahkan berubah menjadi kedukaan ketika ia
mendengar berita lain yang menusuk perasaannya. Berita bahwa Suma Ceng telah
menikah dengan seorang pangeran she Kiang yang menghancurkan hatinya. Bahkan ia
mendengar bahwa Suma Ceng, bekas kekasihnya, kini hidup di lingkungan istana
raja, bersama suaminya dan dua orang anaknya! Suma Ceng sudah menjadi isteri
seorang pangeran dan malah sudah menjadi ibu dari dua orang anak!
Hancur
hatinya, perih seperti tertusuk seribu batang jarum. Setelah mendapatkan
keterangan ini, Suling Emas meninggalkan kota raja, berjalan di tengah malam
buta sambil meramkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh berderai.
Akhirnya ia berhenti di jalan yang sunyi, duduk di pinggir jalan,
menyembunyikan mukanya di antara kedua lutut, jari-jari tangan mencengkeram
rambutnya. Habislah sudah harapannya. Padamlah semua cahaya hidupnya. Apa lagi
yang boleh dipandang? Kekasih pertama direnggut maut. Kekasih berikutnya
direnggut laki-laki lain! Ayah kandung menikah lagi. Ibu kandung tak tentu
rimbanya, mungkin sudah mati karena tidak pernah lagi ia mendengar beritanya. Siapa
lagi yang dapat dijadikan teman dalam hidupnya?
Kakeknya! Ya
benar. Kakeknya masih ada. Kakeknya bukanlah sembarang orang. Kakeknya adalah
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua Beng-kauw, bahkan menduduki tempat tinggi di
Kerajaan Nan-cao! Mengapa ia tidak pergi ke negara kakeknya? Siapa tahu
kalau-kalau ibunya juga pulang ke sana? Selain menghubungi keluarga terdekat
yang masih ada, juga ia maklum bahwa di sana ia akan dapat banyak belajar untuk
memperdalam ilmunya. Gurunya sendiri seringkali bicara tentang Pat-jiu Sin-ong
dengan penuh kagum.
Setelah
duduk termenung dalam keadaan duka cita seperti itu sampai sinar matahari
memerah menjelang fajar, Suling Emas mengangkat mukanya. Orang lain akan kaget
kalau menyaksikan perubahan wajah pendekar ini. Tampak tua dan tidak ada lagi
sinar pada mukanya. Hanya kemuraman yang tampak. Pandang matanya sayu.
Tiba-tiba ia
meloncat bangun dan cepat menyelinap, bersembunyi di balik sebatang pohon besar
di pinggir jalan. Biar pun keadaan hati Suling Emas sedang mengalami kehancuran
dan dirinya tenggelam dalam duka nestapa, namun naluri kependekarannya tak
pernah menjadi tumpul. Panca inderanya peka sekali dan gerakan tiga sosok
bayangan yang berlari-lari ke luar dari kota raja menimbulkan kecurigaannya
sehingga ia cepat-cepat bersembunyi untuk mengintai.
Tiga orang
yang berlari amat cepat itu tidak berlari lagi, kini tampak berjalan sambil
bercakap-cakap. Suling Emas cepat menyelinap dan mendekati mereka untuk
mendengarkan. Setelah dekat, dari balik pohon ia melihat seorang nenek dan dua
orang kakek. Nenek itu berwajah galak penuh keriput, memondong sebuah bungkusan
kain kuning dari sutera halus. Kakek pertama sudah tua, akan tetapi tubuhnya
tinggi besar dan nampak kuat, tubuh atasnya tidak berbaju. Serasa ia mengenal
tiga orang tua ini, akan tetapi di mana ia pernah bertemu? Akan tetapi begitu
mereka bertiga bercakap-cakap segera ia ingat.
"A-liong,
kau yang paling kuat dan dapat menempuh perjalanan jauh, kau sajalah yang
mengantarkan pangeran cilik ini kepada Ong-ya. Biar aku dan A-kwi menyambut
para pengejar sehingga kau dapat pergi jauh takkan terkejar lagi," kata si
Nenek Tua.
"Betul
ucapan Sam Hwa," kata kakek pertama yang bertongkat. "Langkahmu lebih
lebar dari pada kami berdua, dan aku pun malas kalau harus berlari-lari
dikejar-kejar seperti maling."
"Ihh...,
aksinya! Memang kita bertiga maling, siapa tidak tahu?" bentak nenek itu
sambil menyerahkan bungkusan sutera kuning kepada kakek tinggi besar yang
disebut A-liong. Kakek A-liong agaknya tidak senang dengan tugas ini, akan
tetapi karena ‘kalah suara’ ia menerima juga bungkusan itu. Begitu bungkusan
itu dipondongnya, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil yang nyaring sekali.
"Eh-eh,
kau apakan dia? Sejak tadi diam saja, begitu kau sentuh lalu menangis!"
kata si Nenek Tua mengomel.
"Wah,
celaka. Kalau menangis seperti itu tentu kau akan menjadi tontonan di sepanjang
jalan," kata A-kwi. "Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan
orang-orang di jalan? Bahwa anak ini anak selirmu? Ataukah cucumu yang kematian
ayah bundanya?"
Namun
A-liong sudah menggigil ngeri, agaknya semua bulu di badannya berdiri semua
ketika ia merasa betapa anak kecil meronta-ronta dan menjerit-jerit keras.
Cepat ia mengulurkan tangan ke depan, memberikan bungkusan itu kembali kepada
Sam Hwa sambil berkata, "Tidak baik..., tidak baik...! Dalam pondongan
tangan halus dia diam saja. Tanganku kasar, tidak sehalus tanganmu, Sam
Hwa."
"Cihh!
Omongan tua bangka tak bermalu!" kata Sam Hwa dengan muka agak merah
sambil menerima kembali bungkusan sutera kuning yang ternyata berisi seorang
anak kecil itu.
"Ha-ha-ha!
Bukan karena tanganmu kasar, A-liong, melainkan bau keringatmu yang terlalu
keras sehingga anak itu tidak tahan!" A-kwi menggoda.
Suling Emas
mengenal tiga orang ini sebagai pelayan-pelayan Kong Lo Sengjin! Setelah ia
mendengar percakapan mereka, ia menjadi kaget sekali. Sam Hwa si nenek tua tadi
menyebut ‘pangeran cilik’ yang harus diantarkan kepada Ong-ya! Keonaran apalagi
yang akan dilakukan Kong Lo Sengjin dan anak buahnya? Mereka itu bicara tentang
pengejaran. Tak salah lagi, tentulah mereka bertiga menculik pangeran kecil itu
dari dalam istana raja atas perintah Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh.
Teringat akan percakapan rakyat yang memuji-muji kaisar baru dari Kerajaan
Sung, Suling Emas segera mengambil keputusan untuk menolong anak kecil itu.
Dengan
gerakan ringan sekali Suling Emas melompat dan melayang ke luar dari tempat
sembunyinya, tangan kirinya langsung menerjang dengan serangan maut ke arah
kepala Sam Hwa. Serangan ini sengaja ia lakukan dengan pengerahan tenaga sehingga
terdengar suara angin bersiut menyambar.
Sam Hwa
terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat pandai, maklum ia bahwa bayangan
yang menyambar dan menyerangnya ini melakukan serangan maut yang berbahaya.
Maka cepat ia membuang diri ke belakang sambil mengangkat tangan kanan
melindungi kepala. Akan tetapi pada saat itu, bocah yang dipondongnya telah
diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan kanan menotok pundaknya lalu
merampas bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam Hwa mencegah perampasan ini karena
totokan pada pundak itu melumpuhkan lengan kirinya yang memondong. Di lain
saat, Suling Emas sudah melompat ke belakang, bocah dalam selimut kuning itu
dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi, lebih nyaring dari pada tadi!
"Kembalikan
anakku...!" Sam Hwa memekik marah. Setelah melihat bahwa yang merampas
bocah itu bukan seorang pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda
berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa tidak ragu-ragu untuk mengakui pangeran
cilik itu sebagai anaknya!
A-liong dan A-kwi
juga melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kurang ajar, berani sekali
kau merampok anak orang di tengah jalan?"....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment