Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas
Jilid 16
Bu Song
menyimpan sulingnya diselipkan di ikat pinggang dan tertutup baju. Ia maklum
bahwa suling itu tentu akan menimbulkan perkara kalau sampai terlihat orang
jahat. Orang-orang kang-ouw mencarinya, tentu mengharapkan hikmatnya, sedangkan
orang-orang jahat tentu juga menginginkannya karena harganya. Suling ini
terbuat dari emas yang tentu saja mahal harganya.
Setelah tiba
di darat, Bu Song menambah hadiah sepotong perak kepada nelayan itu yang
menjadi girang sekali karena hari itu ia benar-benar mendapatkan rejeki besar.
Kemudian Bu Song meninggalkan pantai dan melakukan perjalanan cepat ke utara.
Ia harus mencari suhu-nya dan menceritakan semua pengalamannya di Pulau
Pek-coa-to.
Makin ke
utara, makin ramailah ia mendengar orang bicara tentang perubahan besar di
kerajaan.
Ia mendengar
bahwa seorang panglima besar yang gagah perkasa telah mengambil alih kekuasaan
dan medirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Sung! Juga mendengar bahwa kaisar
baru ini amat murah hati, tidak akan menghukum siapa pun juga asal tidak
mengadakan perlawanan. Karena berita inilah maka di kota-kota kecil tidak
timbul keributan, dan para pembesar melakukan tugasnya seperti biasa sambil
menanti perkembangan lebih lanjut. Pada waktu itu Bu Song berusia dua puluh
tiga tahun.
Maklum bahwa
suhu-nya tentu memperhatikan perubahan di kota raja, ia mengambil keputusan
untuk pergi ke kota raja mencari suhu-nya.....
***************
Kita
tinggalkan dulu Bu Song yang melakukan perjalanan menuju ke kota raja, dan mari
kita menengok keadaan Suma Ceng, gadis bangsawan yang tak dapat menahan gelora
cinta kasihnya sehingga mengadakan hubungan rahasia dengan Bu Song, pegawai
ayahnya itu.
Melihat
betapa puterinya telah mencemarkan nama keluarga, Pangeran Suma Kong marah
bukan main. "Anak macam itu hanya akan menyeret nama orang tuanya ke dalam
lumpur kehinaan!" Ia memaki setelah menerima laporan puteranya.
"Lebih baik mati dari pada dibiarkan hidup! Boan-ji (Anak Boan), enyahkan
saja dia dari muka bumi!"
Suma Boan
terkejut. Ia juga merasa tak senang dan marah melihat adiknya melakukan
perhubungan gelap dengan Bu Song. Akan tetapi betapa pun juga Suma Boan
menyayangi adiknya. Ia tidak mempunyai saudara lain kecuali Suma Ceng.
Bagaimana ia tega membunuhnya? Diam-daim ia merasa kecewa dan menyesal sekali
mengapa Bu Song sampai dapat lolos dari tangannya.
"Ayah,
harap ampunkan Ceng-moi. Betapa pun juga, yang salah besar dan jahat adalah Bu
Song. Ceng-moi seorang yang masih muda, tentu saja mudah di bujuk dan dipikat.
Ayah, karena hal itu telah terjadi, maka sebaiknya kita mencari jalan ke
luar."
"Jalan
ke luar satu-satunya hanyalah menyuruhnya minum racun agar habis riwayatnya dan
tidak mengotori nama keluarga kita!" bentak Pangeran Suma Kong marah.
"Bukan
begitu, Ayah. Yang kumaksudkan adalah jalan ke luar yang baik dan terhormat.
Betapa pun juga, Ceng-moi adalah adikku, mana aku tega kepadanya? Ayah,
sahabatku Pangeran Kiang pernah melihat Ceng-moi dan pernah dalam keadaan mabok
ia memuji-muji Ceng-moi di depanku. Ayah, aku dapat atur agar Ceng-moi segera
dijodohkan dengan dia! Selain sahabat baik, dia pun belajar silat kepadaku, dan
dalam segala hal, dia selalu menurut kepadaku."
Berseri
sedikit wajah Suma Kong yang tadinya keruh. Pangeran Kiang yang dimaksudkan
puteranya itu memang betul bukan seorang yang cukup ‘berharga’ untuk menjadi
mantunya. Seorang pangeran miskin, sudah tiada ayah lagi, hanya mengandalkan
Jenderal Cao Kuang Yin yang menjadi pamannya. Akan tetapi betapa pun juga orang
muda itu masih seorang pangeran! Tidak buruk!
"Sesukamulah.
Akan tetapi atur supaya cepat-cepat menikah, dalam bulan ini juga. Siapa
tahu..." Suma Kong mengigit bibir dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku
mengerti, Ayah."
Demikianlah,
dengan perantaraan Suma Boan, urusan perjodohan itu dibicarakan. Pangeran Kiang
adalah seorang pangeran muda yang tidak punya ayah lagi, menganggur, hidupnya
hanya bersenang-senang, menjadi sahabat, murid, juga ‘antek’ Suma Boan.
Mendengar usul dan bujukan Suma Boan, serta merta ia menyatakan setuju dengan
hati girang. Ibunya miskin, pamannya yaitu adik ibunya, Jenderal Cao Kuang Yin
yang terkenal, adalah seorang pembesar bu (militer) yang jujur dan setia
sehingga hidupnya sederhana dan tidak kaya raya, sehingga bantuan dari paman
ini pun hanya sekedarnya.
Kalau di
satu pihak Pangeran Kiang Ti girang bukan main atas usul Suma Boan, karena dia
sendiri sampai mati pun tidak berani lancang melamar puteri Pangeran Suma Kong
yang kaya raya itu, adalah di lain pihak Suma Ceng mendengarkan berita yang
disampaikan kakaknya itu dengan banjir air mata.
"Koko...
ah, mengapa begini...?" ratap tangisnya. "Dimana... Kanda Bu Song...?
Kau apakan dia...?
Suma Boan
marah sekali kepada adiknya, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang kakak
membuatnya kasihan juga. Ia mendongkol bahwa dalam keadaan seperti itu adiknya
masih saja memikirkan Bu Song!
"Ceng
Ceng! Kau ini puteri seorang bangsawan agung! Puteri seorang pangeran besar!
Pergunakanlah pikiranmu dan akal sehat. Mengapa kau merendahkan diri sedemikian
rupa? Apakah kau hendak menyeret nama baik ayah dan keluarga ke dalam
lumpur?"
"Aku...
aku... cinta padanya, Koko..."
"Setan!
Sudah, jangan sebut-sebut lagi namanya. Bu Song sudah mampus!"
Ceng Ceng menangis
tersedu-sedu. "Kau bunuh dia...! Ah, kau bunuh dia, Koko... kenapa kau
tidak bunuh aku sekali...?"
"Goblok?
Kalau tidak ada kakakmu ini yang berjuang mati-matian, apa kau kira sekarang
kau masih hidup? Ayah lebih senang melihat kau mati dari pada kau bermain gila
dengan seorang macam Bu Song."
"Ohhh...,
Ayah...!" Suma Ceng makin sedih mendengar hal ini.
"Dengar,
Ceng-moi. Mengadakan hubungan gelap, apalagi dengan seorang yang kedudukannya
rendah, bagi seorang gadis bangsawan hukumannya hanya mati. Akan tetapi aku
berhasil meredakan kemarahan Ayah dan mengusulkan agar kau dijodohkan dengan
Pangeran Kian Ti."
"Aku
tidak mau... tidak sudi...!"
"Plak!"
Suma Boan menampar pipi adiknya sehingga Suma Ceng hampir terpelanting jatuh.
"Auuhhh!"
Suma Ceng berdiri, memegangi pipinya dan memandang dengan mata terbelalak
kepada kakaknya. Biasanya, kakak kandungnya ini amat mencintanya, tidak pernah
memukulnya. Maka ia menjadi kaget dan heran, lupa akan kesedihannya dan
memandang dengan mata terbelalak.
"Ceng-moi,
kau tahu apa artinya kalau perbuatanmu yang tak tahu malu ini diketahui orang
luar? Cemar yang menimpa keluarga kita berarti menodai nama keluarga raja! Dan
akibatnya, tidak hanya kau yang menerima hukuman, juga Ayah dan kita sekeluarga!
Mungkin Ayah akan dihentikan, dipecat, dan dibuang! Nah, inginkah kau melihat
hal itu terjadi?"
Suma Ceng
menundukkan kepala, terisak-isak dan menggeleng-gelengkan kepala.
Suma Boan
mendekati dan mengelus rambut adiknya. "Kau tahu aku sayang kepadamu, dan
aku melakukan ini untuk kebaikanmu pula. Kiang Ti adalah seorang pemuda yang
baik, dia keturunan pangeran setingkat dengan ayah. Tentang dia miskin bukanlah
hal yang perlu dipikirkan. Bukankah Ayah keadaannya cukup? Nah, adikku yang
manis, kau harus menurut demi kebaikanmu dan kebaikan keluarga kita."
Suma Ceng
menubruk dan menyembunyikan muka di dada kakaknya sambil menangis tersedu-sedu.
Suma Boan mengelus rambut adiknya dan tersenyum, maklum bahwa bujukannya
berhasil.
Demikianlah,
dalam enam bulan itu juga, secara meriah sekali Suma Ceng dikawinkan dengan
Kiang Ti, pangeran yang miskin. Di balik tirai yang menutupi mukanya, Suma Ceng
menangis. Sebaliknya, Kiang Ti tersenyum-senyum girang. Memang ia pernah
melihat Suma Ceng dan mengagumi kecantikan puteri pangeran ini. Kini gadis yang
membuatnya rindu dan mabok kepayang itu secara tak terduga-duga dijodohkan
dengannya. Ia benar-benar merasa heran karena belum pernah ia mimpi kejatuhan
bulan! Ia merasa rejekinya baik sekali!.
Akan tetapi
kurang lebih dua tahun kemudian setelah Suma Ceng menjadi isteri Kiang Ti,
keadaannya menjadi terbalik sama sekali. Kini keluarga Suma Konglah yang merasa
rejekinya baik karena mempunyai mantu Kiang Ti. Seperti telah diketahui, Kiang
Ti adalah putera seorang pangeran yang menjadi keponakan Jenderal Cao Kuang
Yin. Dan kebetulan jenderal inilah yang menggulingkan tahta kerajaan, kemudian
menjadi kaisar pertama dari Dinasti Sung! Tentu saja sebagai keponakan Kaisar,
Kiang Ti kini menjadi pangeran yang terhormat dan tinggi kedudukannya, dan
karena itu keluarga Suma juga ikut terangkat naik!
Memang hal
ini sedikit banyak ada pengaruhnya dan menguntungkan Suma Kong. Dia terkenal
sebagai seorang pangeran yang korup. Akan tetapi kaisar baru, yaitu bekas
Jenderal Cao Kuang Yin, walau pun tahu akan watak korup pangeran ini, namun
mengingat bahwa masih ada pertalian keluarga melalui Kiang Ti, tidak mau
mengutik-utik tentang perbuatan-perbuatannya yang lalu. Kaisar hanya memberi
pensiun kepada Pangeran Suma Kong dan membiarkan keluarga pangeran yang sudah
kaya raya itu pindah dari kota raja ke kota An-sui.
Ada pun
pangeran Kiang Ti yang masih keponakan Sang Kaisar, tentu saja dapat tinggal di
kompleks istana yang megah, bersama isterinya yang telah mempunyai seorang
putera. Pangeran Kiang Ti amat mencinta isterinya. Karena sikap yang amat baik,
penuh cinta dan penuh kesabaran dari Kian Ti ini, maka sedikit banyak kepahitan
hati Suma Ceng karena terpisah dari kekasihnya dapat terobati.
Demikianlah
keadaan keluarga Suma selama dua tahun itu. Kini biar pun Suma Boan tinggal di
An-sui bersama ayahnya, namun karena ia kaya raya dan masih terhitung keluarga
kerajaan, di tambah pula dengan ilmu kepandaian yang tinggi sejak ia menjadi
murid Pouw-kai-ong, Suma Boan menjadi amat terkenal di kota raja. Siapakah yang
tidak mengenal Suma Kongcu yang berjuluk Lui-kong-sian Si Dewa Guntur?
Mengandalkan kedudukan keluarganya sebagai sanak kaisar, serta harta benda dan
ilmunya, pemuda bangsawan ini malang melintang di kota raja dan sekitarnya tanpa
ada yang berani mengganggunya.
***************
Bu Song
meninggalkan pantai selatan dan menuju ke utara. Akan tetapi baru saja ia
meninggalkan pantai, ia mendengar suara aneh di atas kapalnya. Ketika ia
memandang ke atas, ternyata seekor burung yang buruk rupanya terbang melintas
dekat kepalanya sambil mengeluarkan bunyi "kuk-kuk-kuk!"
Teringatlah
Bu Song bahwa di pulau Pek-coa-to tadi pun serasa pernah ia melihat burung ini,
akan tetapi ia lupa lagi entah di mana. Burung itu adalah burung hantu, atau
burung malam yang matanya berkilauan seperti mata kucing, bertelinga seperti
kucing pula. Burung itu terbang cepat sekali dan lenyap di dalam sebuah hutan
kecil di depan.
Hari telah
menjelang senja ketika Bu Song mempergunakan ilmu lari cepat memasuki hutan
kecil itu. Hutan itu kecil namun liar dan gelap, hutan belukar yang agaknya
tidak pernah didatangi manusia. Banyak bagian yang gelap, apalagi karena di
situ terdapat batu karang. Agaknya di jaman dahulu, air laut sampai di bagian
daratan ini.
"Aduhhh...!
Setan iblis siluman tak bermata! Perut orang diinjak-injak seenaknya.
Keparat!"
Bu Song juga
kaget bukan main. Tadinya tidak ada apa-apa di depannya, bagaimana ketika ia
berlari, kakinya sampai bisa menginjak perut orang tanpa ia ketahui? Betapa pun
suram dan agak gelap tempat itu, tak mungkin ia tidak melihat seorang tidur
telentang di depannya menghalang jalan. Tak mungkin! Tadinya benar-benar tidak
ada siapa-siapa, bagaimana tahu-tahu kakek aneh itu dapat terinjak perutnya
oleh kakinya? Ia demikian kaget sampai berjungkir-balik ke belakang. Mendengar
suara marah-marah itu ia memandang penuh perhatian.
Seorang
kakek yang aneh. Tubuhnya pendek sekali seperti seorang anak berumur belasan
tahun. Kakinya yang kecil telanjang, kedua tangannya juga kecil. Akan tetapi
kepalanya besar, kepala seorang kakek tua renta penuh jenggot dan kumis
panjang. Rambutnya panjang terurai. Benar-benar seorang kakek aneh dan kalau
memang di dunia ini ada setan iblis atau siluman seperti makian kakek tadi,
kiranya kakek inilah patut menjadi seorang di antaranya. Akan tetapi karena
kakek itu pandai mengumpat caci, agaknya ia manusia biasa, pikir Bu Song.
Cepat-cepat ia menjura dan memberi hormat.
"Mohon
maaf sebesarnya, Kek. Saya tidak buta dan tidak sengaja menginjak perutmu. Akan
tetapi aku berani bersumpah bahwa tadi aku tidak melihat ada orang di
sini!"
"Memang
tidak ada! Kalau aku tidak sengaja membiarkan perutku tersentuh kakimu, apa kau
kira akan mampu menginjak perutku? Cih!"
Diam-diam Bu
Song terkejut dan juga mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu
seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sengaja hendak mempermainkannya,
karena ia benar-benar tadi tidak melihat ada orang tidur di tengah jalan. Hal
ini saja sudah membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian kakek itu sehingga
dapat membiarkan dirinya terinjak tanpa dia yang menginjaknya melihatnya!
Karena yakin
bahwa kakek itu seorang sakti, ia cepat-cepat memberi hormat lagi dan berkata,
"Maafkan saya, Lo-cianpwe (Orang Tua Sakti). Sesungguhnya seorang muda
seperti saya mana berani bersikap kurang ajar terhadap seorang tua? Apalagi
sampai menginjak perut Lo-cianpwe, selain tidak berani juga takkan sanggup
melakukannya. Bolehlah saya bertanya, Lo-cianpwe siapakah dan apakah maksud
hati Lo-cianpwe mempermainkan seorang muda seperti saya yang tidak bersalah
apa-apa terhadap Lo-cianpwe?"
Tiba-tiba
kakek itu tertawa bergelak. Suara ketawanya amat tidak enak didengar, bukan
seperti suara manusia. Bu Song teringat akan suara burung hantu yang tadi
terbang lewat dan... benar saja, dari atas kini terdengar suara burung itu dan
sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu burung hantu yang tadi itu kini sudah
hinggap di atas pundak kanan kakek pendek itu!
"Siapa
main-main? Aku sengaja membiarkan perutku kau injak atau tidak, itu urusanku!
Tapi yang jelas dan tak dapat dibantah lagi, kau sudah berlaku kurang ajar
menginjak perutku. Betul tidak? Hayo, kau sangkal kalau berani, kau... eh,
siapa namamu?" kata-kata dan sikap kakek ini amat menggelikan, tidak
karuan dan seperti orang gila, atau seperti anak kecil yang nasar (mau menang
sendiri).
"Nama
saya Bu Song, Lo-cianpwe, she... Liu."
"Heh,
Bu Song! Hayo bilang, kau tadi menginjak perutku atau tidak?"
"Heh...
betul... tapi... tapi saya tidak sengaja Lo-cianpwe."
"Tidak
sengaja atau sengaja, apa bedanya? Yang jelas, buktinya kau sudah menginjak
perutku. Kau tahu siapa aku?"
"Saya
belum mendapat kehormatan mengenal nama Lo-cianpwe yang mulia."
"Aku
adalah Bu Tek Lojin! Dan kau sudah berani menginjak perutku, hukumannya hanya
satu, yaitu mati!"
Biar pun
tadinya Bu Song menganggap kakek itu seorang sakti yang patut ia hormati, akan
tetapi mendengar ucapan-ucapannya dan melihat sikapnya, ia mulai merasa
mendongkol sekali. Betapa pun saktinya, kiranya kakek ini bukanlah seorang yang
patut dihormati, bukan seorang sakti yang budiman. Akan tetapi ia tetap menahan
kemarahannya dan bersikap sabar. Ia belum pernah mendengar nama Bu Tek Lojin.
Biar pun tak dapat disangkal bahwa ia tadi telah menginjak perut orang, akan
tetapi ia melakukan hal ini tanpa ia sengaja, bahkan si Kakek itu sendiri yang
agaknya sengaja mencari perkara.
"Bu Tek
Lojin," jawabnya tanpa menyebut lo-cianpwe lagi karena ia merasa tidak
senang melihat sikap kakek yang luar biasa ini. "Yang memberi kehidupan
kepadaku adalah Tuhan. Apabila Tuhan yang berkenan mengambil kehidupanku, aku
akan pasrah dengan rela, akan tetapi kalau orang lain yang menghendaki
kematianku, biar pun orang itu seorang tua terhormat dan sakti seperti kau,
bagaimana pun juga akan kupertahankan hak hidupku!"
Kakek itu
memandang dengan mata tajam dan tertarik. "Aha, kau pandai bicara.
Bicaramu seperti seorang terpelajar, pakaianmu seperti seorang terpelajar pula,
agaknya kau seorang sastrawan muda! Dan seorang terpelajar tentu pandai bermain
catur. Orang muda, kau pandai main catur?"
Kakek aneh,
pikir Bu Song. Bicaranya membolak-balik sukar ditentukan arahnya. Akan tetapi
ia melayaninya juga dan menjawab, "Bermain catur tentu saja aku bisa, akan
tetapi tidak pandai."
"Bagus!"
Kakek itu terkekeh-kekeh dan dari balik bajunya ia mengeluarkan sehelai kertas
yang dilipat-lipat dan segenggam biji catur. Kertas itu ia bentangkan di atas
tanah dan ternyata adalah kertas gambar papan catur! "Duduklah, mari kita
bertanding catur!"
Kakek itu
tidak waras otaknya barangkali, pikir Bu Song. Akan tetapi ia menjadi curiga
dan bertanya, "Bu Tek Lojin, apa arti permainan catur ini?"
"Ha-ha-ha,
bicara tentang ilmu silat, memalukan sekali kalau aku melayani kau bertanding.
Burungku akan mentertawakan aku, akan menganggap aku keterlaluan mendesak orang
muda dengan ilmu silatku yang tentu saja jauh lebih unggul karena aku jauh
lebih tua, menang pengalaman dan menang latihan. Akan tetapi permainan catur
tidak tergantung dari umur, melainkan dari siasat yang muda mengalahkan yang
tua! Kalau tadi kukatakan bahwa kau telah berdosa kepadaku dan harus dihukum
mati, sekarang aku memberi kesempatan kepadamu untuk menebus nyawamu dengan
permaianan catur. Kalau kau menang, kesalahanmu menginjak-injak perutku
habislah dan aku tidak menghendaki nyawamu!"
Bu Song
diam-diam makin penasaran dan mendongkol. "Kalau aku kalah?"
tanyanya, menahan hati panas.
"Ha-ha!
Tentu saja kau kalah! Kalau kau kalah, berarti kau hutang dua kali kepadaku.
Sebelum kubunuh kau harus menyerahkan suling emas dengan suka rela kepadaku!"
Berdebar
jantung Bu Song. Kakek ini tidaklah gila dan tidak bodoh. Kiranya sengaja
mencari gara-gara dan mencari perkara karena ingin merampas suling dan untuk
itu tidak akan segan-segan membunuhnya. Maklumlah Bu Song bahwa ia menghadapi
hal yang amat gawat dan berbahaya dan oleh karena ini seketika timbul
ketenangannya. Ia teringat akan nasehat suhu-nya bahwa dalam menghadapi perkara
apa pun juga, terutama sekali harus menenangkan hati. Ketenangan akan membuat
kita waspada dan hanya dengan ketenangan kita akan dapat menguasai diri dan
mengambil tindakan secara tepat. Maka ia lalu mengerahkan tenaga untuk
menenangkan hati dan mengusir semua kekhawatiran. Bahkan wajahnya membayangkan
senyum ketika ia memandang kakek itu.
"Orang
tua, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa seorang perantau miskin seperti aku
ini mempunyai sebuah benda dari emas?"
"Ha-ha-ho-ho-ho!
Kau datang dari Pulau Pek-coa-to, aku mendengar suara suling di sana. Siapa
lagi kalau bukan kepadamu suling itu diberikan oleh Ciu Bun si tua bangka
berkepala batu? Ha-ha-ha! Dasar aku yang bodoh, percaya saja si Kepala Batu
telah dibunuh Couw Pa Ong!"
Makin
kagetlah hati Bu Song. Kiranya kakek ini tahu pula bahwa ia bertemu dengan Ciu
Bun di pulau. Kalau begini, tak dapat dihindarkan lagi. Kakek ini tentu luar
biasa saktinya dan bertanding ilmu silat dengan kakek ini, jelas ia takkan
menang. Namun bertanding catur, belum tentu! Suhu-nya sendiri, Kim-mo Taisu
yang juga seorang jago catur, sukar mengalahkan dia dan menurut suhu-nya, ia memiliki
bakat yang luar biasa untuk bermain catur.
"Baiklah,
kuterima tantanganmu bermain catur, orang tua!" katanya, wajahnya berseri
dan matanya bersinar. "Akan tetapi, sebagai seorang kakek yang sudah
berusia tua, tidak sepatutnya engkau menipu mentah-mentah seorang muda seperti
aku. Biar pun di sini tidak ada orang kecuali kita berdua, setidaknya kau tentu
akan malu jika sikapmu itu diketahui oleh burungmu."
"Apa?
Menipumu mentah-mentah? Heh-heh, orang muda, jaga baik-baik lidahmu kalau kau
ingin mati dengan lidah utuh nanti!"
"Bu Tek
Lojin, orang bertanding apa saja ada taruhannya. Kita akan bertanding catur,
jadi kita berdua harus bertaruh pula. Akan tetapi engkau tadi hanya menyuruh
aku yang bertaruh, akan tetapi kau sendiri tanpa modal alias bermain tanpa
taruhan. Kalau aku kalah, aku harus mati dan memberikan sebuah suling emas
kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, harus ada taruhannya pula!"
Mata kakek
itu ketap-ketip (berkejap-kejap), agaknya otaknya dikerjakan keras-keras.
Akhirnya ia mengangguk-angguk dan berkata, "Omonganmu cengli (menurut
aturan) juga! Nah, kalau aku kalah, kau boleh bunuh aku!"
Kembali Bu
Song kaget. Jawaban-jawaban kakek ini benar-benar aneh dan mengagetkan karena
tidak disangka-sangka. Akan tetapi melihat betapa sepasang mata itu
bersinar-sinar dan biji matanya bergerak-gerak seperti tingkah seorang
kanak-kanak nakal yang cerdik dan penuh tipu muslihat, mulut yang tersembunyi
di balik jenggot itu bergerak-gerak seperti menahan tawa, Bu Song maklum dan
berseru, "Wah, ternyata Bu Tek Lojin tidak hanya pandai ilmunya, akan
tetapi pandai pula akal bulusnya. Pantas saja menjadi Bu Tek (Tiada Lawan),
kiranya selain mengandalkan kesaktian juga mengandalkan tipu muslihat!"
Kakek itu
yang tadinya sudah duduk menghadapi kertas bergambar papan catur, kini meloncat
tinggi sehingga burung di pundaknya kaget dan mengembangkan sayapnya menjaga
keseimbangan tubuh. Bu Tek Lojin mencak-mencak dan menari dengan kedua kakinya
berloncatan, kedua tangannya bergerak seperti orang lari di tempat, mukanya
menjadi merah dan matanya bergerak-gerak melotot. "Kurang ajar kau! Tipu
muslihat apa yang kau maksudkan sekarang? Awas, jangan bikin aku marah!"
"Habis,
taruhanmu benar-benar tidak adil. Kalau kau kalah main catur, kau bilang aku
boleh membunuhmu. Tentu saja ini tidak adil sama sekali. Aku boleh membunuhmu,
akan tetapi dalam hatimu kau mentertawakan aku dan bilang mana aku sanggup
membunuhmu? Wah, Bu Tek Lojin kakek tua, kau memberikan ekor menyembunyikan
kepala! Tidak mau aku diakali begitu. Kalau kau mau memenuhi sayarat taruhanku,
boleh kau coba-coba melawan aku bermain catur kalau kau becus! Akan tetapi
kalau tidak mau memenuhi syarat taruhanku, sudahlah, kalau kau orang tua hendak
berlaku sewenang-wenang terhadap orang muda dan tidak malu didengar semua orang
kang-ouw betapa kakek yang bernama Bu Tek Lojin beraninya hanya menghina orang
muda, terserah kau apakan aku, boleh saja!"
Sejenak
kakek itu tidak dapat berkata-kata. Ucapan Bu Song itu benar-benar tepat sekali
menghantam apa yang tersembunyi di dalam rencana pikirannya sehingga ia menjadi
terkesima, seolah-olah menerima serangan tepat di ulu hatinya. Kembali matanya
berkedip-kedip memandang kagum lalu berkata, "Wah, kiranya kau bukan bocah
sembarang bocah, cukup cerdik! Tentu akan merupakan lawan catur yang ulet! Coba
kau kemukakan syaratmu, orang muda."
Sebetulnya
Bu Song bukanlah termasuk orang muda yang suka banyak bicara, bukan pula pandai
berdebat. Kalau sekarang ia bersikap demikian adalah semata-mata terdorong oleh
pengertian yang timbul dari ketenangannya bahwa hanya dengan cara ini sajalah
agaknya ia dapat menghadapi kakek ini!
"Begini
syarat taruhanku, Bu Tek Lojin. Kalau aku kalah bermain catur denganmu, biarlah
takluk dan menyerah kepadamu. Akan tetapi kalau kau yang kalah, kau harus pergi
tinggalkan aku dan jangan mengganggu lagi, jangan minta benda emas atau suling
segala macam dan jangan membunuh atau melukaiku! Coba pertimbangkan, kalau aku
kalah, aku hanya minta engkau pergi dan aku tidak mengganggumu. Sebaliknya
kalau aku kalah, aku takluk kepadamu dan menyerah. Bukankah ini berarti aku
sudah banyak mengalah kepadamu?"
Kakek itu
menggaruk-garuk jenggotnya yang putih dan tebal, mendapatkan seekor semut yang
entah bagaimana tahu-tahu tersesat ke tempat itu. Dengan gemas ia memencet
semut itu hancur di antara kedua jarinya, lalu mengangguk-angguk. "Kongto,
kongto (adil, adil). Mari kita mulai!"
Bu Song
menarik napas lega. Setidaknya bahaya pertama sudah dapat diatasi, ia dapat
menghadapi kakek ini bermain catur dengan tenang. Kalau ia menang nanti, ia
bebas. Kalau kalah, ia masih dapat melihat keadaan. Kalau kakek itu tidak
membunuhnya, tentu saja hal itu baik sekali. Kalau kakek itu akan membunuhnya,
tentu saja ia tidak akan tinggal diam dan mati konyol!
Permainan
catur dimulai. Kakek itu mempersilakan Bu Song menggerakkan biji caturnya lebih
dahulu. Bu Song berlaku hati-hati dan membuat gerakan sederhana. Akan tetapi
gerakan biji catur kakek itu amat luar biasa, terlalu berani, kasar dan sama
sekali tidak mempergunakan teknik bermain catur, membabi buta dan asal makan
saja! Sibuk juga Bu Song menghadapi perlawanan kasar dan ceroboh macam ini.
Kakek itu bermain seperti tidak mempergunakan otak sehingga sebentar saja Bu
Song dipaksa saling makan dan dalam waktu singkat biji-biji catur mereka yang berada
di atas papan tinggal sedikit.
Sekarang
mulailah kakek itu benar-benar bermain catur. Gerakan-gerakan atau
langkah-langkah biji caturnya teratur rapi, mendesak dan memancing penuh tipu
muslihat dan ternyata merupakan permainan catur tingkat tinggi! Bu Song kaget
dan mengertilah ia akan cara bermain lawannya. Ia tetap berlaku hati-hati
sebelum menggerakkan biji caturnya. Kening pemuda ini sampai kerut-merut karena
pencurahan perhatian yang bulat dan pemerasan otak yang sungguh-sungguh.
Kakek itu
pun kini tidak main-main lagi. Duduk tekun menghadapi papan catur, tangan kiri
menekan tanah, lutut kaki tangan diangkat untuk menumpangkan tangan kanan.
Matanya tidak pernah berkedip memandang papan catur, bibir yang tersembunyi di
balik kumis itu berkemak-kemik seperti orang membaca doa atau menghafal
sesuatu. Bahkan burung hantu yang hinggap di atas lengan kanannya juga diam tak
bergerak seperti mati.
Pertandingan
kini menegangkan sekali. Bu Song menang sebuah biji catur. Biji caturnya
tinggal empat, akan tetapi biji catur kakek itu tinggal tiga buah lagi! Kini
setiap gerakan dilakukan hati-hati dan setelah memakan waktu pemikiran yang
cukup lama. Keadaannya tegang. Biar pun mereka berdua kelihatan tenang-tenang
dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, bahkan bergerak pun hanya kalau
menjalankan biji catur, namun ketegangannya tidak kalah oleh pertandingan
silat. Hal ini adalah karena bagi Bu Song, pertandingan ini sama artinya dengan
pertandingan mengadu nyawa!
Dalam
keadaan menang kuat satu biji, Bu Song berusaha memancing lawan dengan
umpan-umpannya. Ia mengumpankan biji yang kelebihan itu dan apabila lawannya
kena dipancing, tentu dalam waktu singkat ia dapat menghabiskan biji catur
lawan. Akan tetapi dalam keadaan kalah kuat itu, Bu Tek Lojin ternyata cerdik
sekali dan tidak menghiraukan umpan, melainkan main dalam sistem pertahanan
yang ulet bukan main.
Bu Song
menukar siasat. Karena semua umpan pancingannya tidak berhasil, ia kini
mempergunakan kelebihan biji caturnya untuk mendesak dan mengurung, lalu
menggiring biji-biji lawan ke sudut sehingga si Kakek itu tidak bisa
mendapatkan jalan ke luar lagi kecuali mengadu biji atau saling makan. Dan
kalau saling makan, berarti Bu Song akan menang karena ia masih kelebihan
sebuah biji catur!
Sampai lama
kakek itu memandang ke arah papan di mana tiga buah biji caturnya sudah
kehabisan jalan. Keringat besar-besar memenuhi dahinya dan akhirnya ia menarik
napas panjang, menggerakkan biji caturnya dan terpaksa makan biji catur lawan.
Bu Song tersenyum. Kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Dengan gembira
ia pun balas memakan, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak mengambil
biji catur lawan, biji catur itu lekat pada kertas dan tak dapat diambil
kecuali kalau dengan kertasnya. Diam-diam ia mendongkol sekali. Kakek ini mulai
curang, pikirnya, atau menggunakan akal bulus. Terpaksa ia lalu mengerahkan
sinkang-nya, disalurkan pada jari-jari tangannya dan dapatlah ia kini mengambil
biji catur itu dari atas kertas dan tiba-tiba Bu Tek Lojin tertawa
bergelak-gelak dan melompat berdiri.
"Ha-ha-ha!
Hebat kepandaianmu main catur."
Dengan
girang Bu Song juga bangkit berdiri dan hatinya lega sekali." "Bu Tek
Lojin, apakah kau mengaku kalah?"
"Eh, Bu
Song. Selain ilmu bermain catur, juga tenaga lweekangmu lumayan. Kau murid
siapa?"
"Suhu
Kim-mo Taisu berkenan memberi sedikit pelajaran kepada saya."
"Oh-oh-oh...!
Kiranya murid Kim-mo Taisu? Ha-ha-ha, benar-benar tidak kusangka! Orang gila
itu punya murid sebaik ini? Berapa tahun kau belajar ilmu silat dari si Gila
itu?"
Tak senang
hati Bu Song mendengar suhu-nya disebut orang gila dan sama sekali tidak
dipandang mata oleh kakek ini, padahal ia tahu benar betapa di dunia kang-ouw
gurunya adalah seorang tokoh besar yang disegani kawan atau lawan. Akan tetapi
ia menjawab juga, "Hanya dua tahun. Dibanding dengan Suhu, saya belum ada
sepersepuluhnya!"
Mendadak
kakek itu menggerakkan tubuhnya dan alangkah kagetnya Bu Song karena tanpa
peringatan apa-apa kakek itu sudah menyerangnya dengan pukulan yang hebat
sekali karena mendatangkan angin berciutan. Pukulan tangan kiri kakek dengan
jari tangan terbuka itu menusuk ke arah dadanya. Cepat Bu Song miringkan tubuh
mengelak. Akan tetapi pukulan susulan tangan kanan kakek itu memasuki bagian
lambung kiri! Kecepatan serangan susulan ini tidak memungkinkan Bu Song
mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis.
"Dukkk!"
tubuh kakek itu tergetar sehingga burung hantu yang hinggap di pundaknya
mengeluarkan suara keras lalu terbang ke atas.
Akan tetapi
tubuh Bu Song terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Orang
muda itu terhuyung-huyung dan setelah beberapa meter jauhnya barulah ia
berhasil mempertahankan diri agar tidak sampai terbanting jatuh. Cepat ia
memutar tubuh menghadapi kakek itu, lalu menegur, "Bu Tek Lojin, apakah
begitu mudah kau melupakan janji taruhanmu?"
Akan tetapi
kakek itu menjawab dengan makian, "Bocah lancang. Berani kau berani main
gila dan membohongi seorang tua bangka seperti aku?"
Kakek itu
tertawa mengejek. "Kau kira aku begitu bodoh? Jangankan belajar kepada
Kim-mo Taisu si gila itu, biar pun kau belajar dari aku sendiri, tak mungkin
kau seperti sekarang ini!"
"Aku
bersumpah bahwa aku tidak membohong!"
"Sudahlah!
Keluarkan suling emas itu dan kau ajari aku meniup suling!"
Bu Song
kaget. Tak disangkanya kakek ini seorang yang sama sekali tidak merasa malu
untuk melanggar janjinya. Kalau begini, percuma saja ia tadi mati-matian
menggunakan otak untuk memenangkan pertandingan catur!
"Bu Tek
Lojin! Benar-benarkah kau tidak malu melanggar janjimu? Kau sudah kalah bermain
catur, berarti kau harus memenuhi taruhanmu!"
"Huh!
Jangan banyak cerewet! Aku minta pinjam suling dan minta kau mengajar tiupan
suling, sama sekali tidak pernah kujanjikan. Hayo cepat keluarkan suling emas
itu, jangan kau bikin marah orang tua seperti aku!"
Bu Song
maklum bahwa kakek ini hanya menggunakan ucapan tipuan, akan tetapi
sesungguhnya ingin merampas suling berikut rahasianya. Akhirnya ia toh harus
melawan dengan kekerasan juga. Maka ia berdiri tegak, menggeleng kepala dan
menjawab, "Bu Tek Lojin! Suling adalah alat musik untuk menenangkan hati
dan pikiran, dan menjadi pegangan seorang yang suka akan kesenian dan
kesusastraan. Aku sudah berjanji takkan memberikan benda ini kepada siapa pun
juga. Harap kau jangan memaksa."
Kakek itu
berjingkrak-jingkrak saking marahnya. "Bocah sial! Semua tokoh kang-ouw
tidak ada seorang pun berani membantah perintahku! Apa kau sudah bosan hidup?
Serang dia!" Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bu Song.
Agaknya ini merupakan perintah bagi burung hantu yang terbang berputaran di
atas karena tiba-tiba burung itu mengeluarkan pekik menyeramkan, lalu seperti
sebuah peluru kendali burung itu meluncur ke arah muka Bu Song, menyerang
dengan paruh dan kedua cakarnya ditambah kedua sayapnya yang menampar!
Bu Song
sudah siap siaga. Sungguh pun ia tidak mengira bahwa binatang itu yang akan
mewakili si Kakek menyerangnya, namun karena ia sudah siap. Dengan mudah saja
ia berhasil mengelak dengan merendahkan dirinya. Burung itu menyambar lewat di
atas kepalanya, akan tetapi luar biasa sekali burung ini. Begitu sambarannya
luput, secara tiba-tiba ia dapat menghentikan luncuran tubuhnya dan dengan gerakan
sayap ia sudah membalik, lalu menerjang lagi mengarah sepasang mata Bu Song!
Cepat dan tak terduga-duga gerakan ini sehingga biar pun Bu Song sekali lagi
mengelak, burung itu masih berhasil menggores pipi kanan Bu Song dengan
cakarnya! Luka di pipi itu tidak berbahaya, hanya luka kulit, namun
mengeluarkan darah menetes-netes!
Bu Tek Lojin
tertawa terkekeh-kekeh dan bertepuk-tepuk tangan. Mendengar ini, bangkit
kemarahan di hati Bu Song. Ia mulai panas. Apalagi burung itu kini sudah
menyambar pula dari depan. Tadi Bu Song sampai terkena cakaran karena ia kurang
hati-hati dan sama sekali tidak menduga bahwa binatang itu dapat bergerak
secepat itu, atau ada juga sedikit sikap memandang rendah.
Burung hantu
itu hanya seekor burung sebesar ayam, tentu saja ia tadinya memandang rendah.
Siapa kira, burung itu ternyata bukanlah burung biasa dan memiliki gerakan
cepat dan berbahaya! Bahkan gerak-geriknya seperti seorang ahli silat yang
terlatih baik. Kini dengan gerakan ekor dan sayapnya, burung itu sudah membalik
lagi dan menerjang Bu Song, seperti tadi menyerang muka, paruhnya menusuk di
antara kedua mata, sayapnya menghantam kanan kiri kepala bagian pelipis, kedua
cakarnya mencengkeram ke arah tenggorokan! Serangan hebat yang boleh dikatakan
serangan maut!
Namun Bu
Song selain marah juga sudah siap dan waspada. Kini ia tidak mau mengelak,
melainkan mengulur tangan kanan ke depan menyambut burung itu dengan
cengkeraman dari samping. Cengkeraman tangan Bu Song ini hebat karena
mengandung pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Kalau burung itu kena
dicengkeram oleh jari-jari tangan kanan Bu Song, pasti akan hancur!
Burung itu
ternyata hebat. Paruhnya mengeluarkan teriakan keras, agaknya ia kaget
menghadapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu dan secara luar biasa tubuhnya
membalik ke atas dan... cengkeraman tangan Bu Song luput! Bahkan susulan
hantaman tangan kiri Bu Song yang dilancarkan menyusul cengkeramannya juga
tidak dapat menyusul kecepatan gerakan burung itu dan hanya menyerempet ekornya
sehingga tiga helai bulu ekor burung itu rontok!
Si burung
hantu agaknya menjadi marah sekali. Dari atas ia menyambar turun dengan
kecepatan roket, menerjang kepala Bu Song. Kagetlah orang muda ini. Cepat ia
miringkan tubuh menggerakkan kepala, namun pita rambutnya masih terkena
cengkeraman dan terlepaslah rambutnya! Bu Song tidak diberi kesempatan karena
lagi-lagi burung itu sudah menerjangnya sambil mengeluarkan pekik menyeramkan.
Benar-benar seekor burung luar biasa, pikir Bu Song. Kali ini Bu Song
mengangkat lengan kanan melindungi kepala, akan tetapi ia sengaja tidak balas
menyerang, melainkan memberikan lengannya sebagai umpan dan penutup kepala.
Agaknya
burung itu yang juga penasaran tak pernah dapat mengenai kepala lawan, kini
hendak melampiaskan kemarahannya kepada lengan itu. Ia mencengkeram, mematuk
dan menampar lengan kanan Bu Song. Namun, begitu kedua cakarnya mencengkeram
lengan kanan Bu Song yang kulitnya keras licin karena penuh hawa sakti sehingga
kuku-kuku burung tajam meruncing itu hanya merobek baju, tangan kiri Bu Song
bergerak menghantam, tepat mengenai punggung burung itu.
"Bukkk!"
burung itu mengeluarkan pekik keras lalu tubuhnya mencelat, kedua sayapnya
berusaha terbang namun sia-sia, ia jatuh lagi seperti sebuah batu, berdebuk di
atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi karena tulang-tulang punggungnya
remuk dan dagingnya hancur. Dari paruhnya keluar darah.
"Wah,
berani kau membunuh burungku yang kupelihara puluhan tahun?" bentak Bu Tek
Lojin marah.
"Aku
hanya membela diri," bantah Bu Song. "Burungmu yang menyerang dan
hendak membunuhku!" Bu Song membereskan rambutnya yang terlepas
awut-awutan, mengikat kembali dengan sutera pengikat rambut yang tadi terlepas
dan jatuh ke tanah.
Kakek itu
menarik napas panjang. "Nah, kau keluarkan suling emas itu
cepat-cepat!"
Bu Song
mendongkol sekali. "Kalau saya tidak mau menuruti permintaanmu, bagaimana
Bu Tek Lojin?"
"Mau
atau tidak masa bodoh, pokoknya kau harus keluarkan suling emas itu!"
jawaban ini disusul tangan kakek itu yang diulur ke depan mencengkeram dada Bu
Song.
Dari tangan
kakek itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat sehingga belum juga tangan
kakek itu mendekati dada, Bu Song sudah merasa betapa dadanya tergetar hebat.
Cepat kakek itu terus saja maju hendak mencengkeram pundaknya. Bu Song
mengerahkan tenaga dan melawan mati-matian. Dengan gerakan yang gesit ia
berhasil mengelak, lalu dari samping ia membalas dengan pukulan tangan kiri.
Biar pun baru belajar dua tahun lebih, akan tetapi karena memang dasar-dasar
ilmu silat tinggi sudah ada padanya, maka Bu Song sudah berhasil mewarisi
ilmu-ilmu simpanan Kim-mo Taisu, yaitu ilmu silat tangan kosong Bian-sin-kun
(Tangan Kapas Sakti), Cap-jit-seng-kun (Ilmu Silat Tujuh Belas Bintang),
Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas
Mengacau Lautan).
Empat ilmu
ini adalah ilmu silat pilihan, tingkatnya tinggi dan hanya dapat dimainkan oleh
orang yang memiliki sinkang sempurna karena setiap gerakan selalu harus
disertai pengerahan tenaga lweekang. Oleh karena ini maka pukulannya ke arah
dada kakek itu pun bukan pukulan biasa, dan sebelum tiba di tubuh orang sudah
didahului angin pukulan yang dahsyat pula.
Namun kakek
itu amat luar biasa gerakannya. Hanya dengan kepretan jari tangan saja ia
berhasil menghalau serangan balasan Bu Song, kemudian dengan gerak ilmu silat
aneh sekali ia mulai mendesak Bu Song. Pemuda ini maklum akan kesaktian lawan,
maka ia melawan sekuat tenaga. Namun ia kalah cepat sehingga untuk tiga kali serangan
lawan ia hanya dapat membalas satu kali saja!
"Wah,
kau bohong...! Kau bohong...!" kakek itu menyerang, mendesak sambil
memaki-maki.
Bu Song diam
saja. Bagaimana ia dapat menjawab kalau seluruh perhatiannya harus ia curahkan
untuk menjaga diri agar jangan sampai terkena pukulan lawan yang lihai ini?
"Masa
belajar dua tahun sudah memiliki kepandaian seperti ini? Kau bohong atau...
memang kau seorang manusia luar biasa!" sambil bicara kakek pendek itu
melakukan gerakan yang amat aneh dan cepat. Tanpa dapat dicegah lagi, dalam
serangkaian serangan yang susul menyusul, lutut Bu Song terkena ciuman ujung
kaki telanjang itu hingga pemuda ini terguling!
Tentu saja
Bu Song terkejut sekali. Begitu tubuhnya mencium tanah, dengan gerakan lincah
ia gerakkan kaki tangannya menekan dan sekaligus tubuhnya sudah mencelat ke
atas dan berdiri kembali. Malah kini ia mengeluarkan suling emas dari balik
bajunya dan serta merta Bu Song menyerang dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat!
Ia tidak berpedang, maka suling itu dapat ia pergunakan sebagai pedang.
Hebat sekali
gerakan Pat-sian Kiam-hoat ini, dan ternyata suling itu juga merupakan benda
mukjijat karena sekali berkelebat telah membentuk segulung cahaya kekuningan
yang menyilaukan mata, bahkan mengeluarkan bunyi melengking aneh karena dalam
gerakan itu lubangnya kemasukan angin seperti ditiup!
"Aih...!"
Bu Tek Lojin mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya ia lempar ke belakang,
terus ia bergulingan menjauh di atas tanah. Setelah melompat berdiri, ia
memandang kaget dan kagum. "Wah, hebat ilmu pedangmu, tidak kecewa kau
menjadi murid Kim-mo Taisu. Akan tetapi dua tahun... ah, tak mungkin! Dan
suling emas itu.... hebat pula!"
Akan tetapi
sambil bicara, kakek itu sudah menerjang maju lagi. Dengan gerakan aneh dan
cepat, tubuhnya miring-miring kemudian menerjang Bu Song dengan pukulan-pukulan
yang mendatangkan angin menderu. Bu Song yang sudah bertekad bulat tidak hendak
menyerahkan sulingnya mentah-mentah dan hendak melawan sekuat tenaga, menyambut
bayangan kakek yang berkelebatan itu dengan gerakan sulingnya. Ia tetap mainkan
Pat-sian Kiam-hoat bahkan kini tangan kirinya ia gerakkan dengan ilmu Lo-hai
San-hoat. Biar pun ilmu silat ini adalah ilmu silat yang khusus diciptakan
Kim-mo Taisu untuk mainkan senjata kipas, akan tetapi dapat juga dimainkan
dengan tangan kosong. Gerakan kipas menampar dilakukan dengan jari-jari
dikembangkan, ada pun totokan ujung gagang kipas dapat diubah menjadi totokan
jari tangan.
Kembali Bu
Tek Lojin memuji-muji. Kakek yang tak pernah mau kalah dan merasa bahwa dialah
orang nomor satu di dunia ini tidak memuji kosong belaka. Dalam hatinya ia
benar-benar memuji. Baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang
muda yang begini hebat kepandaiannya, apalagi kalau diingat bahwa orang muda
ini hanya belajar silat selama dua tahun! Dia sendiri merasa tidak sanggup
mendidik murid yang bagaimana berbakat pun selama dua tahun menjadi sehebat
ini!
Pertandingan
kini berlangsung lebih hebat dari pada tadi. Memang Bu Song seorang luar biasa.
Dia memang kurang latihan kalau dibandingkan dengan lawannya. Akan tetapi
gerakan-gerakannya sudah hampir sempurna, apalagi suling emas di tangannya itu
ternyata cocok sekali dipakai mainkan Pat-sian Kiam-hoat. Tubuhnya tidak nampak
lagi, lenyap saking cepatnya gerakan kaki tangan dan terselimut gulungan sinar
kuning menyilaukan mata dari suling itu. Gulungan sinar ini memanjang dan
membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga emas bermain-main, sedangkan
tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi angin
berciutan.
Namun
lawannya adalah seorang sakti dan luar biasa, memiliki sinkang yang jauh
melampaui manusia biasa sehingga Bu Song selalu masih terdesak. Ketika tangan
kirinya menampar ke arah pelipis kanan kakek itu, Bu Tek Lojin tertawa dan
meloncat ke atas, membiarkan jari-jari tangan Bu Song bertemu dengan pundaknya.
"Plakkk!"
Bu Song
kaget sekali, tangannya serasa hancur dan panas. Selagi ia hendak melompat ke
belakang, kakek itu sudah menyambar ke depan, tangan kanan kakek itu
mencengkeram ke arah matanya sedangkan tangan kiri merampas suling! Bu Song
terkejut melihat tangan yang menyambar ke arah mata. Lengah sedikit saja tentu
matanya akan menjadi buta, atau setidaknya mukanya akan terluka dan bercacat.
Terpaksa ia
mengelak. Karena perhatiannya tercurah sepenuhnya menghadapi bahaya mengerikan
ini, ia tidak dapat mencegah lagi sulingnya terampas. Ia hanya merasa betapa
tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan menjadi seperti lumpuh,
kemudian sulingnya terlepas dari genggamannya. Dengan nekat ia melancarkan
tendangannya mengenai pantat kurus si Kakek tua yang sudah membalikkan tubuh
setelah berhasil merampas suling, dan... tubuh kakek itu terlempar ke atas tinggi
sekali dan tidak turun lagi!
Bu Song
terheran dan memandang ke atas. Kiranya kakek itu sudah duduk di atas cabang
sebatang pohon, duduk menggantungkan kedua kakinya dan kedua tangannya
menimang-nimang suling emas, mengelus-elusnya dan mengintai lubang-lubangnya.
Kemudian kakek itu meniup-niup lubang suling. Memang suling itu bisa berbunyi,
akan tetapi bunyinya tidak karuan dan menyakitkan telinga.
Memang kakek
aneh ini selamanya tidak pernah meniup suling. Beberapa kali ia berusaha
meniup, bahkan mengerahkan khikang-nya akan tetapi dalam hal meniup suling,
ilmu khikang tidak dapat menolong banyak. Makin kuat angin memasuki lubang,
makin tidak karuan bunyi suling, bahkan ketika kakek itu meniup sekerasnya,
terlampau banyak tenaga angin memasuki lubang sehingga yang keluar hanya suara
mendesis saja! Akhirnya kakek itu berhenti meniup, memijit-mijit kedua
pelipisnya yang merasa lelah dan berdenyut, mulutnya merengut kecewa.
"Heiii,
hayo kau ajari aku meniup suling! Benda ini diperebutkan semua orang, apa sih
kegunaannya kalau aku tidak pandai meniup dan melagukannya?"
Bu Song
sudah dapat menguasai dirinya. Ia mendapat kenyataan pahit betapa kesaktian
kakek itu mengandalkan kepandaian silat. Mengingat akan kesaktian kakek itu,
belum tentu kalau seorang tokoh seperti itu suka melanggar janji. Mungkin kakek
ini memang benar-benar hanya ingin meminjam suling emas dan mempelajari
bunyinya serta tahu rahasianya. Mungkin kakek ini hanya tertarik karena semua
orang memperebutkannya, karena benda ini adalah benda keramat pemberian seorang
kakek yang dianggap manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu. Bu Tek Lojin sudah
sedemikian saktinya, kiranya sukar dicari tandingnya di atas dunia ini, maka
untuk apakah kakek itu menginginkan suling emas? Tentu hanya karena ingin tahu.
Maka Bu Song
lalu menjawab, "Bu Tek Lojin adalah seorang Lo-cianpwe yang sakti dan
berkedudukan tinggi. Betulkah kali ini tidak melanggar janji, hanya akan
meminjam suling dan belajar meniupnya? Kalau betul demikian, saya yang muda
tentu saja akan suka sekali memberi petunjuk tentang ilmu meniup suling kepada
Lo-cianpwe."
"Ha-ha-ha,
begitu baru anak baik!" tiba-tiba tubuh kakek itu melayang turun dan ia
sudah duduk di atas batu besar sambil melambaikan tangan menyuruh Bu Song
mendekat. "Coba kau beritahu, bagaimana memegangnya, bagaimana meniupnya
dan bagaimana membuka tutup lubang-lubangnya?"
Bu Song
memeberi petunjuk sedapatnya, bahkan ia memberi contoh membunyikan suling itu,
dari nada rendah sampai nada tertinggi. Akan tetapi dasar kakek itu sudah terlalu
tua, sudah terlambat untuk belajar, apa lagi mempelajari seni musik yang
membutuhkan bakat! Bukan main sukarnya. Jari-jari tangannya canggung kaku,
bibirnya sukar meniup sempurna karena terganggu kumis tebal dan ia tidak
memiliki perasaan peka akan bunyi seperti perasaan seniman. Lebih dua jam kakek
itu meniup-niup sampai sepasang matanya melotot dan kedua pipinya kembung,
hasilnya sia-sia belaka, yang dikeluarkan dari suling hanya suara
merengek-rengek seperti kucing terinjak ekornya!
Tiba-tiba
kakek itu menghentikan usahanya belajar, mendengus-dengus dan dari matanya
keluar dua butir air mata yang besar-besar! Kiranya saking marah dan jengkelnya
melihat hasil kosong usahanya, kakek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Tidak ada gunanya! Suling sialan, tidak ada gunanya. Hanya suara iblis
yang keluar dari lubangnya. Untuk apa diperebutkan? Suling keparat lebih baik
dihancurkan!"
Setelah
berkata demikian, berulang-ulang kakek itu menghantamkan suling itu kepada batu
yang didudukinya. Terdengar suara keras dan tampak bunga api berpijar keluar
ketika suling bertemu dengan batu.
"Lo-cianpwe,
jangan...!" Bu Song kaget dan mencegah sambil melangkah maju karena ia
khawatir kalau-kalau sulingnya akan rusak.
Akan tetapi
sebuah dorongan tangan kiri kakek itu mengeluarkan angin yang menghantam
dadanya dan membuat Bu Song terpelanting ke belakang! Kakek itu agaknya makin
marah ketika mendapat kenyataan bahwa suling itu tidak rusak sama sekali biar
pun ia pukul-pukulkan ke batu, bahkan batunya yang remuk-remuk di bagian yang
dipukul suling.
"Lo-cianpwe,
harap jangan marah. Suara suling itu dapat dibarengi bunyi sajak, baru selaras
dan nikmat didengar!" dalam gugupnya Bu Song sengaja bicara terus terang
akan rahasia suling.
Tangan yang
sudah diangkat untuk menghantamkan suling sekuatnya pada batu itu berhenti
bergerak. Kakek itu memandangnya seperti orang terheran-heran. "Kau tahu
pula akan kitab kuno yang dibawa Ciu Gwan Liong? Apakah begitu kebetulan
sehingga engkau mendapatkan kitab itu pula?"
Bu Song
menggeleng kepala. "Kitab apakah, Lo-cianpwe? Saya hanya pernah mendengar
Suhu bersyair yang katanya Suhu dengar dari Lo-cianpwe Bu Kek Siansu dan yang
ternyata menjadi timpalan bunyi suling ini."
Berubah
wajah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Bagaimana bunyinya? Hayo
perdengarkan padaku, bagaimana bunyinya?"
"Lo-cianpwe,
syair dan bunyi suling harus dilagukan bersama, barulah dapat dinikmati
perpaduannya yang luar biasa. Oleh karena hal ini membutuhkan dua orang maka
biarlah Lo-cianpwe menghafal bunyi syair, kemudian kita berdua mainkan lagu
mukjijat ini, Lo-cianpwe yang membaca syair dan saya yang menyuling."
"Boleh,
boleh!" Kakek itu berkata tak sabar. "Lekas kau perdengarkan, akan
kuhafalkan!"
ADA muncul
dari TIADA,
betapa
mungkin mencari sumber TIADA!
Mengapa cari
ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari
titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya
semua itu kosong hampa,
Sesungguhnya
tidak ada apa-apa!
Bu Song
sengaja memilih syair terakhir dari kitab kuno itu yang telah membuat Ciu Bun
girang luar biasa. Mula-mula Bu Tek Lojin mengikuti dan meniru bunyi syair
sebaris demi sebaris, kemudian setelah hafal, kakek itu berseri-seri wajahnya,
sajak itu dihafal berulang-ulang dan makin lama suaranya menjadi makin nyaring!
Tiba-tiba
kakek itu menubruk dan meloncat, kedua lengannya merangkul pundak Bu Song dan
memeluknya! “Anak baik! Lekas kau tiup suling ini, lekas beri kesempatan
telingaku mendengar perpaduannya...!"
Bu Song lalu
duduk bersila, sambil berkata, "Mulailah, Lo-cianpwe, saya akan mengiringi
dengan bunyi suling."
Kakek itu
pun melompat berdiri di atas batu besar, membusungkan dada, menengadah ke
langit, lalu membaca syair itu kuat-kuat dengan suara dilagukan seperti yang
dipelajarinya dari Bu Song tadi. Lambat-lambat keluarnya suara itu, dan
berirama. Suara suling yang ditiup Bu Song mengiringi, dan karena Bu Song
berusaha memenangkan hati kakek itu dengan cara ini, maka ia mencurahkan
seluruh perhatian dan perasaannya sehingga suara suling itu luar biasa sekali,
menggetar-getar dan mengalun, menggores perasaan.
Mula-mula
kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia
baca, ia mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh
perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit mukanya sebentar pucat sebentar merah
dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua matanya.
Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak
melanjutkan nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak
menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti orang gila, kemudian tertawa-tawa
dan menangis lagi!
Bu Song
kaget sekali. Sungguh jauh berbeda akibat yang menimpa diri kakek ini kalau
dibandingkan dengan Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan suara
mukjijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya kakek ini menjadi seperti
orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun dari
atas batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas batu
dan akhirnya ia terduduk dengan lemas. Duduk bersila seperti orang bersemedhi,
kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya menunduk dan ia tidak
bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!
Bu Song
melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih duduk
bersila di atas batu lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu. Tadinya ia
terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang selanjutnya akan terjadi. Ia
tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak. Namun harus ia
akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu kemukjijatan yang
luar biasa. Dia sendiri hanya merasa betapa nikmat paduan suara syair dan
suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu menangis dan menjambaki
rambutnya, kini ia merasa khawatir karena kakek itu diam seperti berubah
menjadi batu. Dengan hati-hati ia memanggil.
"Lo-cianpwe...!"
Kakek itu tidak menjawab.
Bu Song
bukan seorang bodoh. Seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk pergi
dengan aman, membawa pergi suing emas yang dicari oleh orang-orang pandai itu.
Akan tetapi dia seorang yang memiliki dasar hati penuh welas asih (belas
kasihan) kepada orang lain. Melihat kakek itu seperti orang berduka, ia menjadi
iba hati dan perlahan ia meniup lagi sulngnya, lirih namun amat merdu karena
ditiup dengan penuh perasaan.
Belum habis
ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada
Bu Song. Ternyata kedua matanya merah dan basah.
"Bu
Song, lekas kau mainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan
melawan kalau aku menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan
untuk membalas budimu yang telah membuka mata hatiku. Mulailah, Anak
baik!"
Bu Song
tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum
bahwa menghadapi kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak
membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan
suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika
melakukan gerak jurus pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia
kaget namun tidak melawan dan bukan main herannya karena jurus pertama yang
dilakukan dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak terganggu
oleh totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar
melalui lambung yang baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan
itu mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari pada biasanya.
Bu Song
menjadi girang, lenyap semua sisa kekhawatirannya karena ia maklum bahwa kakek
ini membantunya, membantu membuka ‘pintu’ dalam tubuh agar hawa sakti yang ia
salurkan dari pusat dapat lancar. Ia teringat akan cerita suhu-nya bahwa ilmu
semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat tinggi
sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam tubuh orang
lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan justru akan membahayakan tubuh
penolong itu sendiri.
Namun Bu
Song tidak sempat mencegah lagi. Ia sudah bersilat menghabiskan enam belas
jurus Pat-sian Kiam-hoat gubahan suhu-nya dan enam belas kali pula ia merasa
ditotok dan dipukul di bagian-bagian tertentu dari tubuhnya oleh kakek itu yang
melakukannya dengan amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan.
Begitu selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan
cepat menengok.
Kiranya
kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat seperti mayat, matanya
tertutup dan sama sekali tubuhnya tidak bergerak. Bu Song meloncat mendekati
dan memanggil lirih, "Lo-cianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab.
Melihat
keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin hati Bu Song bahwa kakek itu
telah mengorbankan diri dan menurunkan ilmu yang hebat kepadanya. Maka tanpa
ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Lo-cianpwe,
banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan Lo-cianpwe!"
Kembali
tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut. Karena tidak ada suara apa-apa
dari kakek itu, Bu Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu
duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke atas batu dan mengulur tangan meraba.
Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda kakek
itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba
pergelangan tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung
kakek itu pun tidak merasai hembusan napas! Kakek ini telah mati!
Karena
menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya
menyempurnakan gerakan dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu
dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil
menitikkan air mata! Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk
membuat lubang di tanah.
Tak jauh
dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat sebatang pohon. Di bawah
pohon itulah Bu Song lalu menggali lubang, hanya menggunakan sebuah batu
runcing dibantu tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Matahari telah
condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai. Sebuah lubang yang cukup
lebar dan dalam telah terbuka. Selagi ia hendak menghampiri kakek yang duduk
bersila dan disangka mati itu, mendadak tubuh itu melayang langsung ke dalam
lubang itu dan kini duduk di dalam lubang dalam keadaan bersila!
Bu Song
bengong. Lalu berlutut sambil memanggil, "Lo-cianpwe...!"
Hatinya
girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana
mungkin ada mayat bisa meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau
masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak terasa detik perjalanan darahnya,
dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang kuburan?
Setelah
berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah
tidak mau melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir
sambil berkata, "Lo-cianpwe, sekali lagi terima kasih atas budi kebaikan
Lo-cianpwe. Perkenankan teecu pergi melanjutkan perjalanan mencari Suhu."
Kemudian ia
bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca duduk
bersila di dalam lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan tubuh,
pergi dari tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
***************
Pergantian
kekuasaan terjadi secara lunak. Benar-benar luar biasa, sungguh pun selama
jaman Lima Dinasti yang setengah abad lamanya itu (907-960), kerajaan jatuh
bangun tanpa ada perang saudara yang cukup serius. Akan tetapi habisnya jaman
Lima Dinasti yang diambil alih oleh Kerajaan Sung ini benar-benar merupakan
peralihan kekuasaan yang paling lunak. Hal ini adalah karena Jenderal Cao Kuang
Yin menguasai sebagian terbesar bala tentara, di samping politiknya yang lunak
sehingga dia sama sekali tidak membolehkan anak buahnya melakukan kekerasan dan
gangguan di kota raja. Keluarga kerajaan ‘musuh’ pun tak seorang pun diusik,
bahkan banyak di antara mereka diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian
mereka.
Biar pun
keadaan di kota raja sendiri aman tenteram dan tidak terjadi banyak keributan
dalam peralihan kekuasaan itu, namun peristiwa itu menarik perhatian suku
bangsa Khitan yang sejak dulu menjadi musuh besar. Kerajaan Khitan menduga
bahwa tentu keadaan di kota raja menjadi kacau karena peralihan kekuasaan ini.
Oleh karena itulah maka bala tentara Khitan lalu menyerbu dari utara. Juga
kerajaan-kerajaan lain ingin mengambil keuntungan dari peralihan kekuasaan ini
dan mereka mengadakan serangan ke perbatasan untuk memperlebar wilayah mereka,
menggunakan kesempatan selagi para pemimpin pasukan di perbatasan kebingungan
karena mendengar tentang pergantian kekuasaan di kota raja.
Mendengar
tentang serangan-serangan dari empat penjuru ini, Kaisar Sung pertama menjadi
marah dan segera mengirim pasukan-pasukan dan utusan-utusan ke perbatasan untuk
membantu para pasukan lama di sana sambil mengangkat pemimpin lama menjadi
pemimpin baru. Ada pun yang paling diperhatikan adalah serangan dari utara,
dari suku bangsa Khitan, oleh karena memang dari suku bangsa Khitan inilah
datangnya bahaya yang paling besar.
Untuk
menghalau musuh lama ini, Kaisar Sung Thai Cu lalu mengerahkan sebuah barisan
besar, dipimpin oleh panglima-panglima pembantunya yang setia dan gagah
perkasa, serta pandai mengatur barisan. Selain ini juga kaisar yang bijaksana
dan pandai mempergunakan tenaga ini memanggil Kim-mo Taisu dan minta bantuan
pendekar ini untuk menyertai barisan besar itu melawan pasukan-pasukan Khitan
yang terkenal kuat dan memiliki panglima-panglima yang berkepandaian tinggi
pula.
Kim-mo Taisu
maklum bahwa hanya kaisar kerajaan baru inilah yang dapat diharapkan akan
mendatangkan kemakmuran kepada rakyat. Maka dengan rela hati ia mengulurkan
bantuannya dan berangkatlah Kim-mo Taisu dengan barisan Kerajaan Sung yang
pertama kali mengadakan ekspedisi ke utara untuk melawan musuh besar mereka,
yaitu bangsa Khitan. Selain memang suka membantu kaisar ini, juga Kim-mo Taisu
memiliki urusan pribadi di utara, yaitu untuk mencari musuh lamanya, ialah Ban-pi
Lo-cia si tokoh Khitan yang sakti. Juga ingin ia bertemu kembali dengan musuh
lamanya, Bayisan manusia Khitan yang curang. Ingin ia memberi hajaran orang itu
untuk kedua kalinya!
Pada masa
itu kedudukan bangsa Khitan sudah masuk jauh melewati tembok besar yang tadinya
dibangun dengan maksud mencegah masuknya musuh-musuh seperti bangsa Khitan! Hal
ini terjadi ketika Dinasti Cin (936-947) berdiri. Kerajaan Cin hanya dapat
berdiri dan merebut kekuasaan dari Kerajaan Tang muda karena bantuan barisan
Khitan. Untuk jasa ini, Kerajaan Cin memberikan wilayah ujung timur laut di
sebelah selatan tembok besar sampai ke kota besar Yen (Peking sekarang), juga
wilayah Pegunungan Yin-san. Wilayah yang luas dan jauh lebih subur dari pada
daerah kekuasaan bangsa Khitan sendiri jauh di utara.
Ketika
barisan besar dari Kerajaan Sung sudah menyeberangi Pegunungan Tai-hang-san di
sebelah selatan Peking, tiba-tiba muncullah pasukan-pasukan Khitan dari segala
jurusan dan terjadilah perang hebat di sekitar lereng pegunungan Tai-hang-san.
Perang yang berlangsung dengan seru dan baru berakhir setelah matahari menyelam
di sebelah barat. Pasukan-pasukan Khitan seperti pasukan-pasukan setan
melenyapkan diri dan sunyilah keadaan di sekitar bekas tempat peperangan.
Mayat-mayat menggeletak bergelimpangan dan udara penuh dengan bau amisnya
darah, penuh pula dengan rintihan dan keluhan mereka yang menderita luka.
Para
Panglima Sung memerintahkan pasukan-pasukan dalam barisan besar untuk mundur ke
balik puncak Tai-hang-san dan membuat perkemahan besar di lapangan terbuka
sehingga tidak memungkinkan pihak musuh untuk melakukan penyerbuan serentak.
Bendera besar Kerajaan Sung dipasang di tengah-tengah perkemahan, dikelilingi
oleh bendera-bendera para panglima yang memimpin barisan itu.
Dalam perang
ini Kim-mo Taisu tidak ikut maju karena pendekar ini melihat betapa di pihak
Khitan juga tidak ada tokoh bukan tentara yang ikut perang. Ikut sertanya dalam
barisan itu adalah untuk menandingi orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia.
Kalau hanya perang biasa, pasukan lawan pasukan, tidak perlu ia bantu karena
selain ia tidak mengerti tentang mengatur pasukan dan siasat perang, juga hal
ini selain merendahkan kemampuan pasukan Sung, juga dapat merendahkan namanya
sendiri sebagai pendekar sakti.
Malam itu
para penjaga perkemahan menjaga dengan penuh kewaspadaan, akan tetapi juga diam
tidak berani mengeluarkan suara ribut. Para panglima sudah memberi perintah
agar malam itu dipergunakan betul-betul oleh pasukan untuk beristirahat
secukupnya agar besok menjadi segar kembali untuk menghadapi lawan. Karena
itulah maka tidak ada penjaga yang bermain kartu, tidak ada yang bersenda-gurau
dan malam menjadi sunyi sekali.
Namun pada
pagi harinya, para penjaga menjadi gempar ketika mereka melihat betapa
bendera-bendera itu kini telah lenyap. Di atas tiang bendera yang tengah, yang
paling tinggi, tampak sebuah benda kecil bergantung. Dalam keadaan terjaga
keras dan rapat, ada orang dapat menyelundup masuk ke dalam perkemahan sudah
merupakan hal aneh. Akan tetapi kalau orang itu dapat mengambil semua bendera
lalu meninggalkan sesuatu di puncak tiang tanpa merobohkan tiang-tiang bendera,
benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa.
Beberapa
orang penjaga hendak menurunkan tiang untuk mengambil benda yang tergantung di
atas, akan tetapi komandan jaga melarangnya. "Jangan sentuh! Biar kita
melapor ke dalam agar panglima menyaksikan sendiri hal ini. Siap saja untuk
menerima teguran, mungkin hukuman!" Dengan muka pucat dan lesu komandan
jaga lalu menghadap para panglima yang juga sudah bangun karena mendengar suara
ribut-ribut di luar.
Empat orang
panglima yang memimpin barisan itu berlari-lari keluar. Semalam mereka semua
dalam barisan, dari prajurit sampai panglima, tidak ada yang menanggalkan
pakaian seragam dan selalu berdekatan dengan senjata. Empat orang panglima itu
masih dalam pakaian dinas, hanya muka dan rambut mereka kusut karena begitu
bangun tidur mereka berlarian ke luar. Mereka berhenti di luar tenda untuk
menerima pelaporan komandan jaga yang melapor dengan suara gemetar, menceritakan
betapa keras dan ketat mereka melakukan penjagaan semalam, namun ternyata pagi
hari itu semua bendera lenyap dan sebagai gantinya di ujung tiang tengah yang
paling tinggi terdapat sebuah benda kecil tergantung di atas.
Pada saat
itu Kim-mo Taisu dengan tenang juga sudah datang ke tempat itu. Empat orang
panglima itu saling pandang dengan kening berkerut, lalu memberi perintah untuk
mencatat semua prajurit dan komandannya yang bertugas jaga malam itu untuk
dihukum kelak kalau memang mereka bersalah dan lalai. Setelah itu, bersama
Kim-mo Taisu mereka melangkah ke luar. Para prajurit yang tadinya ribut-ribut
kini semua terdiam melihat muculnya empat orang panglima. Keadaan sunyi dan
ketika mereka melihat ke atas, empat orang panglima itu menjadi pucat mukanya.
"Betapa
mungkin menyelundup masuk dan melakukan perbuatan itu!" kata Panglima
Phang, panglima yang tertua di antara rekan-rekannya, kemudian menoleh kepada
Kim-mo Taisu sambil berkata, "Agaknya pihak musuh mempergunakan orang
sakti untuk mempermainkan kita. Kami kira hanya Taisu yang dapat menerangkan
hal ini."
Diam-diam
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. Ia suka kepada kaisar pendiri Kerajaan
Sung, maka ia menyambut permintaan bantuan raja itu dengan hati terbuka. Akan
tetapi maklum pula bahwa empat orang panglima ini diam-diam di dalam hati
mereka memandang rendah kepadanya. Memang hal ini pun tidaklah aneh dan ia
tidak terlalu menyalahkan panglima-panglima itu, karena sesungguhnya, apakah
artinya dia sebagai seorang pendekar silat dalam perang yang begitu besar?
Kepandaiannya tidak berarti banyak. Andai kata ia mampu mengamuk dan membunuh
puluhan orang lawan, akan tetapi tidak mungkin ia mengundurkan serbuan ratusan,
ribuan, bahkan ratusan ribu orang musuh dengan kepandaian silatnya itu!
Berbeda
dengan panglima ini yang memiliki kepandaian ilmu perang, pandai mengatur
barisan dan siasat perang. Sesungguhnya di tangan mereka inilah letak dasar
kemenangan. Andai kata dia disuruh memimpin seratus ribu orang prajurit dan
disuruh melawan perang panglima yang pandai yang hanya mempunyai lima puluh
ribu orang prajurit belum tentu dia dapat mencapai kemenangan! Ilmunya hanya
berguna untuk pertandingan perorangan, namun hampir tidak ada gunanya dalam
perang antara ratusan ribu orang itu.
Akan tetapi,
kalau ada peristiwa seperti pagi hari ini barulah ilmu perorangan seperti yang
ia miliki dapat dipergunakan, bahkan dibutuhkan. Ia menjura dan berkata,
"Phang-ciangkun, permainan itu tidak ada artinya sama sekali. Anak-anak
pun kalau dilatih mampu melakukannya. Biar kuturunkan benda itu dan kupasang
kembali bendera-bendera tanpa menurunkan tiangnya!"
Setelah
berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Kim-mo Taisu menggenggam sekepal
tanah pasir. Hanya dengan sedikit melirik, dan kembali dengan gerakan yang
terlihat sembarangan, ia sambitkan gumpalan tanah itu ke atas, ke arah ujung
tiang. Tiang bendera itu tingginya sepuluh meter lebih dan agaknya bagi orang
biasa takkan mungkin menimpuk jatuh benda yang berada di tempat setinggi itu
hanya menggunakan tanah pasir. Akan tetapi Kim-mo Taisu bukanlah orang biasa!
Begitu sinar hitam berkelebat ke atas, benda yang tergantung di puncak tiang
itu pun melayang jatuh, disambut sorak sorai para prajurit yang mengagumi
kehebatan Kim-mo Taisu.
Phang-ciangkun
mengambil benda itu yang ternyata hanyalah surat bersampul kuning. Ketika ia
melihat huruf-huruf yang tertulis di luar sampul ia berseru heran. "Haiii!
Kiranya sebuah surat ditujukan kepada Taisu!"
Dengan hati heran akan tetapi sikapnya tenang,
Kim-mo Taisu menerima sampul kuning itu dan membacanya. Benar saja. Huruf-huruf
indah menghias sampul itu dan ditujukan kepadanya. Ia segera mengeluarkan
suratnya dan membaca. Kiranya terisi surat tantangan dari... Kong Lo Sengjin!
Sungguh hal yang tak tersangka-sangka! Dia mencari-cari Kong Lo Sengjin ke
mana-mana, kiranya malah kakek lumpuh itu kini berada di sini dan mengajukan
surat tantangan kepadanya!
Tentu saja
kalau kakek itu yang datang menyelundup dan melakukan hal-hal itu, bukanlah
sesuatu yang aneh. Hanya anehnya, mengapa kakek itu menurunkan semua bendera?
Bukankah itu merupakan penghinaan bagi Kerajaan Sung, padahal kakek lumpuh itu
dahulu ikut pula membantu para panglima memaksa Cao Kuang Yin menjadi raja dan
memberontak? Mungkin untuk memamerkan kepandaian saja?
Saking
girang hatinya akan bertemu dengan kakek yang hendak dimintai pertanggungan
jawabnya tentang pembunuhan terhadap isterinya, tanpa disadarinya Kim-mo Taisu
bergelak, lalu berkata, "Harap diambilkan bendera-bendera baru, biar
kupasangkan di tempatnya!"
Di dalam
hatinya sama sekali tidak terkandung niatnya untuk memamerkan kepandaian,
melainkan hanya untuk menandingi perbuatan Kong Lo Sengjin dan di samping itu
juga untuk membesarkan hati barisan. Bukankah ia ditugaskan menyertai barisan
itu untuk melawan pihak musuh kalau menggunakan tenaga orang sakti?
Ketika lima
buah bendera itu dibawa keluar oleh petugas dan diterima Panglima Phang lalu
diberikan kepadanya, Kim-mo Taisu lalu mengayun tubuhnya ke atas. Memang
sepandai-pandainya manusia, tak mungkin ia mampu terbang tanpa sayap, maka
loncatan Kim-mo Taisu pun tidak dapat mencapai puncak tiang yang tingginya
belasan meter itu. Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan
tenaga tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan
cara ini akhirnya tubuhnya mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan
bendera Kerajaan Sung.
Jauh
dibawahnya, para prajurit bertepuk-tepuk tangan memuji tiada hentinya. Memang,
apa yang dilakukan oleh Kim-mo Taisu itu adalah pertunjukan hebat yang takkan
mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang sakti yang sudah memiliki
lweekang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.
Selesai
mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin
pagi, Kim-mo Taisu menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk
meloncat ke tiang lain yang lebih rendah. Berturut-turut ia memasangkan
bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu dengan
cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah
berada di tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah.
Kim-mo Taisu dengan gerak layang yang amat indah dan ringan meloncat turun dari
atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa menimbulkan sedikit pun
suara mau pun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.
"Phang-ciangkun,
surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya
harus meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!"
Panglima
Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan
banyak siasat perang, ia menaruh curiga. "Maaf, Taisu. Kalau Taisu tidak
menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam kancah perang melawan musuh bangsa
Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk Taisu itu
sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti
sekarang ini, kami merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat
memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak mereka menggunakan orang-orang
pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak menggunakan saat
Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!"
Kim-mo Taisu
mengagguk-angguk. "Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang agaknya
begitulah. Namun musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh negara,
bahkan sejak dahulu ia musuh orang Khitan pula. Entah mengapa kali ini ia
merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian dan menakut-nakuti
kanak-kanak saja. Betapa pun juga, memang dia selama ini kucari-cari, maka saya
harus menerima tantangannya. Jangan Ciangkun berkhawatir. Saya ditantang untuk
mendatangi puncak itu di mana dia menanti. Dari puncak saya akan dapat melihat
keadaan barisan di sini dan setiap waktu Ciangkun membutuhkan tenagaku, dapat
Ciangkun melepas tanda panah berapi ke udara. Kalau ada tanda itu, berarti saya
harus datang, dan saya pasti akan meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali
ke sini secepatnya! Karena, andai kata orang-orang Khitan mengerahkan
barisannya menyerbu, untuk menghadapi mereka tergantung dari keahlian Ciangkun
berempat mengatur barisan. Tugas saya hanya menghadapi orang-orang macam yang
semalam datang menyelundup ke sini. Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya
pergi!" Kim-mo Taisu menjura, kemudian berkelebat dan lenyap dari situ.
Yang tampak hanya bayangannya saja berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya
melalui atas kepala sekumpulan prajurit yang berdiri menghadang jalan ke luar!
Semua orang
kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung yang
berada tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka ketika
tak lama kemudian tampak bayangan kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari
mendaki puncak!
"Puncak
itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan
menyusul kalau kita memerlukan tenaganya," kata Phang-ciangkun kepada
teman-temannya.
Mereka lalu
bersiap-siap menyambut musuh. Memang tidak terlalu kepagian mereka berkemas dan
bersiap karena tak lama kemudian terdengar suara derap kaki bercampur
sorak-sorai dan suara terompet serta tambur orang-orang Khitan! Cepat
Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat tinggi untuk mempelajari
keadaan, kemudian turun setelah musuh tampak muncul dari depan dan dari kiri.
Phang-ciangkun
dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai, dan dia
sudah mempunyai banyak pengalaman pula menghadapi barisan Khitan sehingga
banyak ia mengenal siasat-siasat barisan Khitan yang mengandalkan kekuatan atau
siasat perang gerilya. Maka Phang-ciangkun tidak hanya mencurahkan perhatian ke
arah utara dan barat (depan dan kiri), melainkan menaruh perhatian dan
penjagaan pula kepada jurusan lain untuk mencegah dan mematahkan serangan
gelap.
***************
Dengan ilmu
lari cepatnya Kim-mo Taisu mendaki puncak Gunung Tai-hangsan. Setelah tiba di
lereng puncak tampaklah matahari rendah di timur, bulat dan besar berwarna
merah seperti bola api yang indah sekali. Sejenak Kim-mo Taisu menunda langkah
kakinya dan memandang penuh kekaguman. Kemudian ia memutar tubuh dan melihat ke
bawah. Tampak barisan Sung yang amat besar jumlahnya itu mulai bergerak dan
juga tampak amat megah dan indah.
Barisan itu
seperti semut, terpisah-pisah dan terbagi menjadi lima bagian, masing-masing
bergerak ke empat penjuru dan yang ke lima tinggal di tengah. Barisan darat,
barisan kuda, barisan panah, barisan tombak, dan barisan golok panjang serta
golok pendek tampak jelas dari atas karena barisan-barisan itu memakai pakaian
seragam yang berbeda-beda. Bendera-bendera berkibar dan suara penyambutan
perang dari bawah yang amat gemuruh itu hanya terdengar gemanya saja dari
tempat tinggi ini, seperti sekumpulan tawon merah.
Jauh di
sebelah utara, tampak samar-samar pasukan-pasukan Khitan, ada pula yang
bergerak dari balik puncak. Dibandingkan dengan barisan Sung, pasukan-pasukan
Khitan itu tidak berarti jumlahnya dan legalah hati Kim-mo Taisu. Ia percaya
akan kemampuan para komandan pasukan Sung, akan keberanian
prajurit-prajuritnya.
Dengan hati
lega Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya ke puncak. Sedikit pun ia tidak
merasa ragu-ragu atau takut-takut, sesungguh pun ia dapat menduga bahwa Kong Lo
Sengjin yang berwatak aneh dan curang itu mungkin sekali membawa
pembantu-pembantu.
Tiba-tiba ia
terheran ketika dari balik sebatang pohon muncul seorang laki-laki yang
bersenandung seorang diri, tangan kanannya memegang sebuah mouw-pit (pena bulu)
hitam, tangan kirinya memegang mouw-pit putih. Kiranya ia muncul bukan untuk
menghadangnya, karena ia mundur-mundur, memandang ke arah batang pohon yang
besar itu, maju lagi dan tangan kirinya bergerak ke depan.
"Rettt!"
mouw-pit putih telah membuat coretan pendek pada sehelai kertas putih yang
dibentangkan di batang pohon. Kemudian ia mundur lagi sampai tiga meter lebih.
Matanya menyipit, menatap ke depan, kepalanya miring-miring, lalu ia maju lagi
menggerakkan mouw-pit hitam di tangan kanan.
"Rettt!"
lalu ia mundur lagi. Mulutnya yang tadinya bersenandung tidak jelas apa
maksudnya, kini bernyanyi, suaranya serak dan suara nyanyian itu tidak enak
didengar.
Biar iblis
kalau berhati emas, bukan jahat namanya!
Biar raja
kalau berwatak serigala, dia melebihi iblis!
Biar
serigala kalau banyak dan mengandalkan pengeroyokan,
seekor
harimau pun bisa mengalami bencana!
Karena itu
lebih baik lari menjauhkan diri!
Kim-mo Taisu
yang sedang menghadapi urusan penting, tadinya tidak ingin menunda
perjalanannya. Akan tetapi mendengar nyanyian ini, terutama baris kalimat
pertama dan kedua, dia menjadi tertarik. Dia dijuluki Kim-mo Taisu. Guru Besar
Iblis Berhati Emas! Sedangkan Kong Lo Sengjin adalah Sin-jiu Couw Pa Ong,
seorang raja muda! Jelas bahwa sajak yang dinyanyikan itu bukan hanya kebetulan
saja. Apalagi disebut-sebut tentang serigala-serigala yang hendak mengeroyok,
maka sang harimau lebih baik pergi jauh.
Tak salah
lagi! Orang aneh itu bernyanyi dengan kata-kata memberi peringatan kepadanya
agar jangan melayani tantangan Couw Pa Ong yang akan mengeroyoknya! Ketika
Kim-mo Taisu mendekat, tampak olehnya bahwa laki-laki yang usianya lima puluh
tahun lebih, agak pendek dan matanya lebar itu sedang melukis. Ia memandang ke
arah kertas yang dibentangkan dan menempel batang pohon dan... hampir saja
Kim-mo Taisu berseru saking kagumnya.
Dia sendiri
adalah seorang sastrawan, tentu saja mengenal seni lukis, bahkan sedikit banyak
pandai juga melukis. Bukankah menulis huruf sama dengan seni lukis pula? Apa
yang dilihatnya di atas kertas itu benar-benar sebuah lukisan yang mengagumkan.
Coretan-coretannya kuat sekali, kuat dan hidup. Gambar itu melukiskan empat
ekor serigala sedang berkelahi mengeroyok seekor harimau. Biar pun lukisan itu
hanya hitam putih, namun hidup sekali.
Mata empat
ekor serigala itu seolah-olah hidup dan menyinarkan kelicikan dan kecurangan di
samping kebuasan. Mulut mereka seolah-olah tampak hidup mengeluarkan uap amis,
dengan air liur menetes-netes, lidah terjulur keluar, gigi runcing-runcing
penuh ancaman. Juga harimau itu amat indah, membayangkan kegagahan dan
keberanian, akan tetapi keadaannya payah dikeroyok empat ekor serigala yang
buas dan berkelahi dengan cara yang curang itu, selalu mengarah kaki belakang
sang harimau.
"Lukisanmu
indah sekali, Sobat!" Kim-mo Taisu memuji.
Orang itu
kelihatan kaget bukan main. Kedua mouw-pit-nya sampai melayang ke atas dan
sekali tangan kanannya bergerak ia sudah mencabut sebatang pedang yang bersinar
terang kekuningan. Tubuhnya melompat ke belakang membalikkan tubuh dan siap
dengan pedang di depan dada. Ketika sepasang mouw-pit hitam putih itu meluncur
turun, tanpa mengalihkan pandang mata ke arah Kim-mo Taisu, dengan tangan
kirinya bergerak ke depan dan tahu-tahu kedua mouw-pit itu sudah terjepit di
antara tangan kirinya!
Mereka
saling pandang. Kim-mo Taisu maklum bahwa pelukis aneh ini ternyata memiliki
kepandaian yang tinggi pula, maka ia makin kagum dan cepat-cepat ia mengangkat
kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan menjura.
"Maafkan
saya kalau saya mengganggu Saudara yang sedang enak-enak melukis. Akan tetapi
melihat lukisan yang hebat luar biasa ini, dan mendengar nyanyian Saudara, tak
mungkin saya lewatkan begitu saja. Kim-mo Taisu bukanlah seorang yang tidak
tahu akan maksud baik orang lain, juga tidak buta akan kepandaian melukis yang
begini mengagumkan!"
Tiba-tiba
orang itu tertawa dan mukanya berubah lucu sekali. Apalagi ketika ia memasang
kuda-kuda tadi, pinggulnya lenggak-lenggok seperti orang sedang ber-agogo!
Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya, lalu balas memberi hormat sambil
pecuca-pecucu (mulut digerak-gerakkan meruncing).
"Wah-wah-wah!
Akulah yang layak ditampar! Aku yang layak minta maaf karena seperti orang buta
saja tidak melihat timbulnya matahari pagi yang demikian indah merajai angkasa
raya! Tidak mengenal Kim-mo Taisu yang tersohor sebagai seorang pendekar sakti,
terutama baik budi pekertinya. Maaf, maaf!" Ia menghormat lagi lalu
berkata, "Aku yang bodoh bernama Gan Siang Kok, akan tetapi anak-anak
kecil yang suka melihat gambar-gambarku menyebutku Gan-lopek. Heh-heh-heh,
memang aku sudah tua tentu saja suka disebut lopek (paman tua)! Mau pura-pura
muda saja, rambut sudah beruban gigi sudah tidak lengkap, Heh-heh, hati sih
tinggal muda, tapi rambut dan gigi ini tak dapat disangkal ketuaannya.
Ha-ha-ha!"
Kim-mo Taisu
tersenyum. Orang ini biar pun aneh, wataknya terbuka dan mempunyai pandangan
luas dan selalu gembira. Agaknya memandang dunia dengan hati terbuka dan dari
sudut yang mengandung kelucuan.
Memang kalau
orang berpemandangan awas dan berhati terbuka, di dunia ini banyak sekali
terdapat hal-hal yang membuat hati menjadi geli, seperti melihat badut-badut
berlagak di atas panggung. Melihat betapa di dalam kehidupan manusia
sehari-hari, selalu manusia tunduk kepada kepalsuan yang disebut kebiasaan
umum! Kekeliruan-kekeliruan dan penyelewengan-penyelewengan yang tidak dianggap
salah lagi karena orang banyak, bahkan semua orang melakukannya!
Kepalsuan
yang kadang-kadang disebut kesopanan, disebut kebiasaan umum, disebut peraturan
dan bahkan disebut hukum! Alangkah lucunya manusia-manusia yang berselimut
segala yang baik-baik itu membiarkan diri berlagak seperti badut-badut berkedok
kepalsuan! Tentu saja hal ini tidak akan tampak oleh manusia sesama badut.
Hanya orang yang sudah sadar saja yang akan dapat menjadi penonton. Orang-orang
yang masih mabok dan belum sadar, mabok keduniaan, akan terseret dan ikut main
di atas panggung menjadi badut-badut, dan bahkan saling berlomba memperebutkan
kejuaraan badut paling lucu!
"Kalau
begitu, biar pun selisih usia kita tidaklah terlalu banyak, aku yang lebih muda
akan menyebutmu Gan-lopek juga."
"Heh-heh-heh,
itu yang paling baik. Merupakan kehormatan besar sekali mempunyai keponakan
seorang berwatak pendeta dan bertubuh pendekar yang harus disebut Taisu (guru
besar) oleh Paman tuanya. Ha-ha!"
"Gan-lopek,
harap sudahi main-main ini. Tidak perlu kiranya kau berpura-pura lagi bahwa
yang kau nyanyikan dan yang kau lukis ini kebetulan saja menyangkut diriku.
Terima kasih atas peringatanmu bahwa di atas sana menanti musuh-musuhku yang
berjumlah banyak hendak mengeroyokku. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa seekor
harimau tidak pernah mengenal takut. Nah, aku pun tidak takut karena aku
berbekal kebenaran. Sekali lagi terima kasih dan selamat berpisah,
Gan-lopek!" Setelah memberi hormat lagi, Kim-mo Taisu melanjutkan
perjalanannya.
Gan-lopek
melanjutkan corat-coretnya, mulutnya mengomel, "Cari mati...., cari
mati...!"
Ketika
kemudian Kim-mo Taisu menengok, ia melihat betapa Gan-lopek yang aneh dan lucu
itu telah mencoret-coret gambarnya sehingga gambar yang indah itu berubah
menjadi hitam semua, seperti seorang kanak-kanak yang ngambul dan sengaja
merusak lukisan itu untuk melampiaskan kekecewaan dan kemendongkolan. Kim-mo
Taisu tersenyum, mengangkat kedua pundak, lalu melanjutkan perjalanannya
mendaki puncak.
Di atas
puncak Tai-hang-san itu terdapat bagian yang rata dan ditumbuhi rumput hijau.
Tempat itu cukup luas dan pemandangan dari puncak itu ke bawah amatlah
indahnya. Kim-mo Taisu melihat ke bawah dan tampak pemandangan luar biasa
karena kini ‘semut-semut’ di bawah itu sudah mulai berperang!
Tiba-tiba
dari belakang pohon-pohon di sekitar lapangan itu muncul empat orang yang
bergerak cepat menghampirinya. Paling depan ia mengenal Kong Lo Sengjin yang
‘berjalan’ di atas kedua tongkatnya. Akan tetapi alangkah kaget, heran dan juga
girangnya ketika melihat bahwa orang ke dua adalah Ban-pi Lo-cia! Tanpa ia
cari-cari kini musuh-musuh besarnya telah berkumpul sehingga mudah baginya
untuk segera menyelesaikan perhitungan lama!
Dasar
seorang yang berwatak pendekar, Kim-mo Taisu hanya teringat akan keuntungan
perjumpaan ini, sama sekali tidak ingat bahwa Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia
menjadi satu merupakan lawan yang bukan main beratnya, belum lagi ditambah dua
orang yang berada di belakang mereka. Ada pun dua orang itu juga bukan orang
sembarangan, karena yang satu adalah Pouw-kai-ong, Si Raja Pengemis yang jahat
dan licik, memiliki kepandaian yang aneh sekali. Orang ke dua adalah Lauw Kiat,
murid Ban-pi Lo-cia yang tentu saja tinggi ilmunya, dan semenjak terakhir
mengeroyoknya, tentu kini telah bertambah ilmunya.
Akan tetapi
Kim-mo Taisu sama sekali tidak merasa gentar. Memang harus ia akui bahwa
bersatunya Kong Lo Sengjin dengan Ban-pi Lo-cia, merupakan hal yang tidak ia
sangka-sangka dan memang kedua orang itu ditambah Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat
merupakan lawan yang berat sekali, jauh lebih berat ketika ia dikeroyok oleh
Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong, dan Ma Thai Kun dahulu. Namun selama belasan tahun
ini pun ilmunya sendiri sudah mendapat kemajuan pesat. Dahulu ia terhitung
masih muda, dan kini ia sudah dapat mematangkan ilmu kepandaiannya, sedangkan
dua orang lawannya yang paling pandai, Ban-pi Lo-cia dan Kong Lo Sengjin, sudah
terlalu tua sekarang dan karenanya tentu berkurang tenaganya.
"Hemm,
siapa duga Sin-jiu Couw Pa Ong yang dahulu terkenal sebagai seorang patriot
sejati, seorang pembela tanah air dan negara sampai mengorbankan kedua kakinya,
kini menyeberang kepada musuh dan tidak malu dalam usia tua merubah diri
menjadi seorang penghianat yang serendah-rendahnya karena bersekutu dengan
orang Khitan!" Kim-mo Taisu menegur karena memang hatinya merasa tertusuk
dan marah bukan main menyaksikan paman mendiang isterinya itu bersekutu dengan
Ban-pi Lo-cia. "Berlaku curang, menggunakan orang Hui-to-pang membunuh
keponakannya sendiri dan melemparkan fitnah kepada orang lain adalah biasa,
akan tetapi menghianati negara adalah kejahatan yang rendah, yang akan
mendatangkan noda yang tak terhapuskan selama tujuh keturunan!"
Marahlah
Kong Lo Sengjin mendengar ini. Marah luar biasa sehingga mukanya menjadi pucat,
alisnya berdiri dan rambutnya yang sudah awut-awutan itu seketika seperti
menjadi kaku. Ia melangkah lebar dengan tongkatnya mendekati Kim-mo Taisu dan
memaki dengan bentakan keras. "Tutup mulutmu! Kwee Seng, kau anak kecil
tahu apa tentang perjuangan? Ketika kau belum terlahir aku sudah berjuang
membela negara. Sekarang kau berani memberi kuliah tentang perjuangan kepadaku?
Keparat!"
Kim-mo Taisu
tersenyum mengejek. "Justru karena kau sudah terlalu tua maka engkau
menjadi pikun. Sudah layak kalau orang dinilai dari perbuatannya paling akhir.
Seribu perbuatan baik akan terhapus oleh sebuah perbuatan buruk. Seribu
perbuatan buruk dapat saja dicuci oleh sebuah perbuatan baik terakhir. Kong Lo
Sengjin, kau sudah tua, mendekati saat kematian, mengapa tidak menyiapkan bekal
yang baik malah menumpuk dosa dan kecemaran? Mengapa tidak mencari jalan terang
malah tersesat dalam kegelapan? Mengapa seorang patriot berubah menjadi
penghianat?"
"Setan
neraka!" Kong Lo Sengjin semakin marah. "Aku sudah mengorbankan
seluruh keluargaku untuk negara, bahkan mengorbankan kedua kakiku! Aku memang
menyuruh bunuh isterimu untuk membangkitkan semangatmu agar kau mengikuti
jejakku! Kau yang baru berkorban isteri saja sudah ribut dan hendak membalasku.
Jangan kira aku takut. Kini kau menuduhku yang bukan-bukan. Kau anak kecil tahu
apa? Semenjak Kerajaan Tang runtuh, selama setengah abad rakyat kita ditindas
oleh raja-raja lalim. Mula-mula mereka baik, akan tetapi akhirnya sama saja.
Keadaan begini harus diakhiri dan bangsa Khitan yang jaya sajalah yang akan
dapat membantu merubah keadaan. Dengan bantuan bangsa Khitan, aku akan
mendirikan kembali Kerajaan Tang yang megah! Kau, Kim-mo Taisu, kalau kau mau
membantu kami, aku dan sahabat-sahabatku ini akan melupakan segala urusan di
antara kita yang sudah lewat, dan mari kita bangun kembali Kerajaan Tang dengan
bantuan sahabat-sahabat Khitan. Kelak kau akan menjadi raja muda, karena kau
masih terhitung mantu keponakanku!"
Kim-mo Taisu
memandang dengan mata terbelalak, kemudian bertanya, suaranya perlahan dan
lirih, "Dan kau...kau menjadi kaisarnya?"
"Siapa
lagi? Akulah raja muda Kerajaan Tang yang terakhir!" jawab Kong Lo Sengjin
sambil membusungkan dada.
“Celaka,”
pikir Kim-mo Taisu. Kakek ini sudah menjadi gila! Menjadi Kaisar Kerajaan Tang
yang dibangun dengan bantuan bangsa Khitan? Sama saja dengan memasukkan barisan
serigala ke dalam rumah. Apakah kalau seandainya bangsa Khitan berhasil, mereka
mau menyerahkan kekuasaan kepada Kong Lo Sengjin? Kepada seorang kakek lumpuh?
Membayangkan betapa kerajaan dikuasai oleh seorang kaisar lumpuh, Kim-mo Taisu
menjadi geli hatinya dan tak tertahankan lagi ia tertawa tergelak.
"Ha-ha-ha!
Kong Lo Sengjin, kiranya engkau sudah menjadi gila! Tak usah kau melamunkan
yang bukan-bukan karena sekarang juga kau harus menebus kematian isteriku
dengan nyawamu! Ada pun teman-temanmu ini, terutama sekali Ban-pi Lo-cia, juga
takkan lepas dari tanganku karena dia harus menebus kematian adik isteriku.
Kong Lo Sengjin, tahukah engkau bahwa adik kembar Gin Lin yang bernama Khu Kim
Lin tewas karena kekejian dan kebiadaban manusia Khitan ini?"
"Tutup
mulut! Urusan pribadi tidak penting, yang penting urusan negara!" Kong Lo
Sengjin sudah menjadi marah sekali dan menerjang Kim-mo Taisu dengan kedua
tongkatnya yang bergerak-gerak bergantian secara dahsyat. Tentu saja kakek yang
berubah wataknya ini tidak peduli betapa keponakannya mati karena Ban-pi
Lo-cia, karena dia sendiri pun tega menyuruh membunuh keponakannya, isteri Kim-mo
Taisu, hanya untuk kepentingan cita-citanya.
Kim-mo Taisu
yang kini sudah siap untuk bertanding, cepat mengelak dengan lompatan tinggi ke
kanan. Ketika kakinya kembali menyentuh bumi, tangan kanannya sudah memegang
sebatang pedang, tangan kirinya memegang sebuah kipas. Memang semenjak ia
mengambil keputusan untuk mencari musuh-musuh besarnya yang terdiri dari
orang-orang sakti, dan mengingat akan pengalamannya ketika ia dikeroyok tanpa
memegang senjata. Kim-mo Taisu sudah mempersiapkan diri dengan sepasang
senjatanya yang lengkap yaitu pedang dan kipas.
Begitu
lawannya mendesak maju, sekaligus Kim-mo Taisu menggerakkan pedang dan kipas.
Pedangnya mainkan Pat-sian Kiam-hoat dan kipasnya mainkan Lo-hai San-hoat yang
merupakan pasangan luar biasa dan hebat. Betapa pun saktinya Kong Lo Sengjin,
kakek itu langsung terhuyung ke belakang saat menghadapi serbuan sepasang
senjata aneh yang mengeluarkan angin pukulan dahsyat ini.
Akan tetapi
pada saat itu, Ban-pi Lo-cia sudah menerjang maju dengan cambuk hitamnya sambil
tertawa, "Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, sekali ini kau takkan dapat lolos dari
cambukku!"
Betapa kaget
hati kakek Khitan raksasa ini ketika ujung cambuknya menyambar dan sudah dekat
dengan tubuh lawan, tetapi ujung cambuk itu terpental kembali seakan-akan ada
tenaga luar biasa yang menolaknya. Kiranya kebutan kipas di tangan kiri Kim-mo
Taisu telah berhasil mendorong kembali ujung cambuk itu. Dari gerakan ini saja
dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sinkang Kim-mo Taisu dan diam-diam Ban-pi
Lo-cia merasa khawatir. Ia maklum bahwa selama belasan tahun ini, Kim-mo Taisu
telah mendapat kemajuan pesat sekali dan dalam hal tenaga dalam saja ia sudah
tidak dapat menandingi lawannya! Biar pun begitu, kakek raksasa ini tidak
takut, apalagi pada saat itu, Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat sudah menyerbu maju
untuk membantu.
Yang hebat
dan tak tersangka-sangka oleh Kim-mo Taisu adalah Pouw-kai-ong. Begitu Raja
Pengemis ini bergerak menggunakan sebatang tongkat pengemis, terdengar angin
menderu dan serangannya berbahaya sekali. Kiranya Raja Pengemis yang sebaya
dengannya itu juga telah memperoleh kemajuan hebat. Hanya Lauw Kiat murid
Ban-pi Lo-cia sajalah yang merupakan lawan paling lemah di antara empat orang
ini. Namun pengeroyokan mereka cukup berbahaya dan membuat Kim-mo Taisu harus
mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Pertandingan
berlangsung dengan amat hebatnya. Betapa pun dia dikurung dan tidak diberi kesempatan
oleh empat orang pengeroyoknya, namun Kim-mo Taisu kadang-kadang menggunakan
kesempatan untuk mengerling ke bawah puncak, untuk melihat kalau-kalau ia
dibutuhkan oleh panglima bala tentara Sung.
Di bawah
puncak juga terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan melawan bala
tentara Sung. Terjadilah penyembelihan manusia besar-besaran oleh kedua pihak.
Penyembelihan dan pembunuhan kejam tanpa sebab-sebab pribadi, hanya untuk
memenuhi kehendak beberapa gelintir manusia yang ingin melihat cita-citanya
terlaksana! Bunuh-membunuh, yang kalah roboh dan harus mati, yang menang
tertawa dan hidup. Seolah-olah yang menang lupa bahwasannya mereka pun hanya
menang untuk sementara saja, menang untuk waktu yang tidak lama, karena maut
tentu akan datang menjemput nyawa mereka untuk menyusul nyawa mereka yang
kalah!
Pedang dan
golok yang memang haus darah, menusuk membacok mencincang hancur tubuh lawan
yang kalah, senang hati menyiksa yang kalah. Seolah-olah mereka ini lupa
bahwasanya sebelum maut kelak mencabut nyawa mereka, akan tiba masanya mereka
mengalami suka dan derita sebelum mati, mungkin jauh lebih mengerikan dan lebih
sengsara dari pada penderitaan mereka yang dicincang dalam perang. Lupa bahwa
siksaan dalam bentuk penyakit sebelum mati kadang kala amat mengerikan dan
sengsara.
Dalam
mengejar hasrat dan nafsu, manusia lupa bahwa tidak ada yang menang atau kalah
dalam kehidupan manusia. Yang menang mutlak dan abadi hanya Tuhan. Karena itu
bahagialah mereka yang mengabdikan diri sebagai hamba Tuhan, sebagai prajurit
Tuhan yang bersenjatakan kasih, yang hanya mengharapkan damai dan tenteram di
dunia, tidak ada perang, tidak ada bunuh membunuh, tidak ada benci, tidak ada
dendam. Yang ada hanya kasih sayang sesama hidup, bergembira melihat orang lain
bersenang, prihatin dan mengulurkan tangan menolong melihat orang lain
bersusah.
Kalau hidup
antar manusia sudah seperti itu, hidup antar negara tentu menjadi demikian
pula. Tidak ada bentrok politik, tiada perang agama, tiada perbedaan di antara
bangsa, penuh kasih, penuh toleransi. Amboi, alangkah nikmat hidup di dunia
dalam keadaan seperti itu.
Kim-mo Taisu
benar-benar seorang pendekar sakti. Empat orang lawannya adalah orang-orang
luar biasa, ahli-ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bahkan yang dua
orang, yaitu Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia adalah dua orang sakti yang
merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Namun, sampai sejam lebih
mereka bertempur, belum juga empat orang itu dapat merobohkan Kim-mo Taisu.
Betapa pun
juga harus diakui bahwa keadaan Kim-mo Taisu amat berbahaya. Selain empat orang
itu lihai juga, mereka, terutama Ban-pi Lo-cia dan Kong-lo Sengjin, bertanding
penuh semangat dan kebulatan tekad. Agaknya dua orang kakek itu maklum bahwa
kali ini harus ada keputusan terakhir, mempertaruhkan nyawa untuk menang atau
kalah. Hidup atau mati! Karena kenekatan inilah maka Kim-mo Taisu mulai
terdesak. Ia belum mampu melukai seorang di antara empat orang pengeroyoknya
yang dapat bekerja sama amat baik dan rapi, saling melindungi dan saling
menjaga.
Agaknya Lauw
Kiat mulai hilang sabar. Ia bersuit keras dan dari dalam hutan di puncak gunung
muncullah dua belas orang Khitan yang bertubuh tinggi besar. Mereka datang
membawa sebuah jala ikan. Aneh sekali mengapa sebuah jala ikan dibawa oleh dua
belas orang. Sebetulnya jala itu bukan sembarang jala, melainkan sebuah alat
untuk menangkap orang sakti. Jala ini terbuat dari pada bahan yang kuat sekali,
tidak putus oleh sabetan senjata tajam, dan di sebelah dalamnya terdapat banyak
kaitan-kaitan berbentuk pancing sehingga sekali seorang tertutup jala, betapa
pun saktinya, akan sukar baginya untuk lolos karena makin keras ia bergerak
memberontak akan makin banyak pula kaitan-kaitan kecil berbentuk pancing
menancap di tubuhnya!
"Bantu
kami tangkap dia!" seru Lauw Kiat dalam bahasa Khitan.
Akan tetapi
selagi dua belas orang itu mempersiapkan jala dan mengatur kedudukan mereka
yang dipersulit oleh adanya pertandingan yang sedemikian cepat gerakannya,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu tiba di situ, bayangan itu
tertawa-tawa dan menyerang dua belas orang tinggi besar itu secara
kalang-kabut. Dari sudut matanya Kim-mo Taisu melihat bahwa yang datang
menyerang dua belas orang penebar jala itu bukan lain adalah Gan-lopek si
pelukis tadi!
Benar saja
dugaan Kim-mo Taisu ketika bertemu dengan kakek pelukis ini tadi. Tidak hanya
pandai melukis dan melawak, Gan-lopek ini ternyata lihai pula ilmu silatnya.
Setidaknya terlalu lihai untuk dua belas orang tinggi besar yang hanya pandai
bermain dengan jala itu. Mereka itu adalah orang-orang Khitan yang biasa
menjala ikan, biasa pula mereka menangkap anjing laut dengan jala. Tentang ilmu
silat, mereka hanya tahu sedikit-sedikit, walau pun bertenaga besar.
Karena
penyerbuan Gan-lopek ini tak tersangka-sangka, dua belas orang itu tidak sempat
mempergunakan jala mereka, maka mereka mencabut golok besar dan menerjang kakek
yang tertawa-tawa itu. Kiranya Gan-lopek hanya melayani mereka dengan sepasang
mouw-pit-nya. Pedangnya masih tergantung di pinggang, sama sekali tidak ia
pergunakan. Akan tetapi sepasang mouw-pitnya hebat.
Ketika
tubuhnya berkelebatan dengan pinggul megal-megol seperti orang menari agogo,
kedua tangannya bergerak cepat. Terdengar teriakan-teriakan marah. Sebentar
saja enam orang tinggi besar sudah tidak bisa berkelahi lagi karena mereka
menggunakan kedua tangan mereka yang menjadi gelap karena dicoret-coret oleh
sepasang mouw-pit sehingga muka mereka itu coreng-moreng dengan warna hitam dan
putih sedangkan mata mereka penuh tinta! Kemudian mereka roboh seorang demi
seorang tertotok gagang mouw-pit.
Sayang
Gan-lopek orangnya suka bergurau. Kalau saja ia cepat-cepat merobohkan dua
belas orang itu tanpa bergurau seperti itu, agaknya ia masih akan sempat
membantu Kim-mo Taisu yang terdesak hebat. Ketika Gan-lopek sedang enak-enaknya
membabati roboh dua belas orang tinggi besar itu seperti orang membabat rumput
saja, tiba-tiba ia merasa angin menyambar hebat dan dahsyat dari belakangnya,
didahului suara Kim-mo Taisu, "Gan-lopek, awas!"
Gan-lopek
terkejut, cepat menggerakkan kedua tangan ke belakang, menangkis dengan
sepasang mouw-pit-nya. Akan tetapi terdengar suara keras, sepasang mouw-pit-nya
patah dan pundak kanannya kena hantam ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia yang
telah menyerang Gan-lopek ketika melihat Gan-lopek merobohkan dua belas orang
tukang jala.
"Aduuhh...!"
Gan-lopek roboh terguling dan terus ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari
serangan susulan. Sambil berguli
ngan Gan-lopek
muntahkan darah segar, tanda bahwa hantaman pada pundaknya tadi telah
mengakibatkan luka berat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi cambuk hitam
itu bagaikan tangan maut terus mengejarnya untuk memberi pukulan maut terakhir.
Melihat
keadaan ini, Kim-mo Taisu berseru keras, pedangnya bergerak menjadi sinar
panjang ke depan, membuat para pengeroyoknya kaget dan mundur. Kesempatan ini
ia pergunakan untuk menggerakkan tubuhnya, meloncat dan melayang ke arah Ban-pi
Lo-cia sambil mengirim tusukan dengan pedang ke arah punggung kakek raksasa
itu.
Ban-pi
Lo-cia tengah mendesak Gan-lopek yang bergulingan. Mendengar angin serangan
dari belakang, raksasa Khitan itu cepat membalikkan tubuh sambil mengayun
Lui-kong-pian, yaitu cambuk hitamnya yang ampuh itu. Kim-mo Taisu sudah menduga
akan hal ini. Cepat ia menggerakkan kipasnya ketika kakinya sudah turun di atas
tanah sambil mengerahkan sinkang, menciptakan tenaga melekat. Begitu bertemu
kipas, cambuk Lui-kong-pian itu tak dapat terlepas dari kipas dan pada saat itu
pedang Kim-mo Taisu datang menusuk dada.
Ban-pi
Lo-cia cepat mengerahkan tenaga Hek-see-ciang di tangan kirinya, menghantam ke
arah lambung Kim-mo Taisu tanpa mempedulikan tusukan pedang. Dalam keadaan
berbahaya itu, kakek raksasa ini agaknya ingin mengadu nyawa, mengajak mati
bersama. Namun Kim-mo Taisu tidak sudi menerima ajakan ini, pedangnya yang
menusuk otomatis bergerak membabat ke bawah.
"Crakkk!""
buntunglah lengan kiri Ban-pi Lo-cia sebatas bawah siku. Darah menyemprot akan
tetapi sedikit pun tidak terdengar keluhan Ban-pi Lo-cia, bahkan kakek itu
tertawa bergelak dan cambuknya yang kini sudah terlepas menyambar pula.
Kim-mo Taisu
melihat sambaran cambuk ditambah serangan dari belakang tentu dari seorang di
antara para pengeroyok, cepat merebahkan diri ke bawah, bergulingan dan melihat
kesempatan baik, ia meloncat ke atas dan mengerjakan pedangnya yang tak dapat
dielakkan lagi oleh Ban-pi Lo-cia yang sudah terhuyung-huyung. Pedang menancap
di perutnya yang gendut. Kim-mo Taisu menyontek pedang ke atas lalu meloncat
sambil mencabut pedang.
Ban-pi
Lo-cia makin keras tertawa bergelak, akan tetapi kini ia tertawa sambil
memandang ususnya yang keluar dari lubang besar di perut. Dipegangnya usus itu
dengan kedua tangannya, akan tetapi ia terhuyung, lalu roboh berkelojotan.
Hasil
menewaskan seorang musuh besar ini bukan didapat dengan mudah begitu saja oleh
Kim-mo Taisu. Tanpa pencurahan tenaga dan perhatian yang menyeluruh dalam
serangan ini, tidak mungkin ia akan mampu merobohkan seorang sakti seperti
Ban-pi Lo-cia. Dan karena pencurahan perhatian yang menyeluruh inilah, maka
Kim-mo Taisu menebus dengan pengorbanan dirinya.
Ketika
Kim-mo Taisu bergulingan ke bawah tadi, dari belakang telah menyambar serangan
hebat yang datang dari pukulan tongkat Pouw-kai-ong. Dengan gerakan berguling
ia berhasil menghindarkan ancaman tongkat Pouw-kai-ong, bahkan berhasil menusuk
dan menewaskan Ban-pi Lo-cia. Namun selagi ia menusuk dan menyontekkan
pedangnya ke atas lalu dicabut dan siap meloncat mundur, tiba-tiba datang
pukulan yang hebat dari arah kiri, sedangkan dari arah kanannya menyambar
tongkat Pouw-kai-ong, dari belakang juga ia ditusuk oleh tongkat di tangan Lauw
Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang marah sekali melihat suhu-nya tewas.
Pada saat
itu Kim-mo Taisu baru saja meloncat, kedudukan kedua kakinya masih belum
menginjak tanah dengan kuat. Terpaksa ia menggerakkan tubuh miring sehingga ia
dapat menangkis tongkat Lauw Kiat dengan pedang dan menyampok tongkat
Pouw-kai-ong dengan kipas. Maksudnya hendak melanjutkan tangkisan pedangnya itu
terus ke kanan membabat pukulan yang anginnya dahsyat dan membuntungkan lengan
Kong Lo Sengjin. Namun terlambat.
Kiranya Kong
Lo Sengjin tidak memukul ke arah yang tadi, melainkan mengirim pukulan jarak
jauh ke arah punggung. Kim-mo Taisu yang sedang menangkis dua tongkat itu tak
sempat lagi mengelak. Punggungnya terkena pukulan jarak jauh dan ia terguling!
Sebagai seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, pukulan jarak jauh itu hanya
mampu membuat ia terguling saja. Cepat ia terus menggelinding sambil
menggerakkan pedang dan kipasnya menjaga diri. Akan tetapi ketika ia meloncat
berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia merasa punggungnya sakit dan kaku!
Inilah
hebatnya Kong Lo Sengjin dan ini pula yang menyebabkan ia dahulu dijuluki
Sin-jiu (Kepalan Sakti). Kakek ini memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang
ampuh. Orang-orang yang kepandaiannya rendah, sekali terkena sambaran angin
pukulannya akan roboh dan tewas seketika. Kim-mo Taisu memang kuat dan bukanlah
seorang lawan berilmu rendah. Akan tetapi tadi ia sedang menangkis dan ternyata
kakek lumpuh itu telah mengirim pukulan tepat pada saat ia menangkis dan dengan
tepat pula memilih bagian yang pada saat itu ‘koson’". Tadi Kim-mo Taisu
menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang karena maklum bahwa kedua tongkat
itu digerakkan oleh dua lawan yang lihai. Oleh karena inilah maka tentu saja
tenaga sinkang-nya dipergunakan dan disalurkan ke dalam kedua lengan sehingga
bagian punggungnya yang amat kuat itu menjadi kosong dan lemah.
Kim-mo Taisu
terkejut, maklum bahwa ia telah menderita luka berat. Ia memuntahkan darah
hidup, akan tetapi segera dapat mengatur pernapasan dan serangan berikutnya
dari ketiga orang itu dapat ia hadapi lagi dengan gerakan yang cukup kuat dan
cepat. Memang hebat kekuatan Kim-mo Taisu, kuat dan ulet, berani dan pantang
mundur.
"Taisu,
mari lari...!" dengan suara lemah Gan-lopek yang sudah terluka pun itu
mengajak. Gan-lopek terluka hebat oleh pukulan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia, dan
tak mungkin kuat lagi menghadapi lawan-lawan yang tangguh itu, maka ia mengajak
Kim-mo Taisu melarikan diri. Ia melompat pergi dari tempat itu. Akan tetapi
Kim-mo Taisu tidak mau melarikan diri. Ia melawan terus dengan nekat sungguh
pun punggungnya terasa makin sakit.
Gan-lopek
berlari pergi sambil menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa nekat
seperti Kim-mo Taisu. Dia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang
urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu Kim-mo Taisu adalah karena
ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak menggunakan jala yang ia kenal dan
tahu amat berbahaya itu. Pula ia memang merasa simpati dan suka kepada Kim-mo
Taisu yang namanya terkenal harum. Ia sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu
dengan jalan merobohkan dua belas orang tukang jala. Dan ia pun baru saja
tertolong oleh Kim-mo Taisu dari ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia. Sudah
impas. Akan tetapi dia sudah terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya
tanpa sebab. Kim-mo Taisu boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk
tidak melarikan diri.
Memang
wawasan Gan-lopek itu benar. Andai kata Kim-mo Taisu tidak berhadapan dengan
Kong Lo Sengjin, agaknya ia pun akan melarikan diri. Lawan juga menggunakan
kecurangan dengan mengeroyok, maka melarikan diri bukanlah hal yang memalukan.
Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo Sengjin. Semua perhitungan
harus diselesaikan saat itu juga.
Pertandingan
antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang lawannya masih berjalan seru. Biar pun
Kim-mo Taisu telah terluka berat, akan tetapi pihak pengeroyok juga telah
kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu hanya dapat membatasi diri dengan
bertahan karena kalau ia terlalu banyak menghamburkan tenaga untuk menyerang,
tentu keadaannya akan makin payah dan berbahaya. Pada saat lawan menyerang saja
ia mengandalkan kegesitannya mengelak sambil balas menyerang, dan dengan cara
ini ia dapat menghemat tenaganya. Ia sudah bertekad bahwa biar pun akhirnya ia
kalah dan tewas, ia harus dapat merobohkan Kong Lo Sengjin lebih dahulu!
Pada saat
yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu, tiba-tiba muncullah Bu Song dan
sepasukan tentara. Melihat suhu-nya dikeroyok dan keadaannya payah, Bu Song
mengeluarkan suara melengking tinggi dan mendahului pasukan itu meloncat ke
depan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga orang yang mengeroyok. Kim-mo Taisu
seorang diri saja sudah cukup berat dan sukar dirobohkan, apa lagi datang bala
bantuan belasan orang banyaknya! Mereka terdiri dari orang-orang yang licik dan
curang, maka begitu melihat pihak mereka terancam, tanpa dikomando lagi mereka
lalu melompat pergi, dan Luw Kiat yang pergi lebih dulu setelah menyambar
jenazah gurunya.
Bu Song
cepat menghampiri suhu-nya yang berdiri terhuyung-huyung. "Suhu...!"
tegurnya penuh khawatir.
Kim-mo Taisu
menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa ke sini?"
"Teecu
baru saja datang. Di kota raja teecu mendengar akan keberangkatan Suhu bersama
barisan. Teecu menyusul dan hendak membantu. Di lereng gunung barisan kita
telah berhasil memukul mundur musuh dan kini sedang mengadakan pengejaran.
Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali, menyuruh teecu menyusul ke
sini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?"
Biar pun
mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu masih sanggup melakukan
perjalanan cepat bersama muridnya, mendahului pasukan turun dari puncak. Akan
tetapi begitu tiba di perkemahan, pendekar ini kembali muntahkan darah segar
dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhu-nya, memondongnya ke dalam
perkemahan dan membaringkannya, lalu merawatnya.
Setelah
siuman Kim-mo Taisu berkata, "Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya.
Akan tetapi tidak cukup hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat
ceritakan pengalamanmu. Berhasilkah?" Setelah bertanya demikian, Kim-mo
Taisu lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Bu Song yang
maklum bahwa suhu-nya perlu mengaso dan memulihkan kesehatannya, segera
menuturkan pengalamannya di Pek-coa-to dan perjumpaannya dengan Bu Tek Lojin.
Perjalanannya berhasil baik dan merupakan berita menyenangkan, maka ia berani
bercerita kepada suhu-nya.
Benar saja,
biar pun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo Taisu berseri-seri mendengar
penuturan muridnya. Ia masih mengatur napasnya, panjang-panjang menarik napas
sehingga dadanya mekar dan perutnya mengempis, ditahannya lama-lama baru
dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian ia membuka kedua matanya,
memandang muridnya.
"Keluarkan
suling itu," katanya lirih.
Dengan hati
bangga dan girang dapat menyenangkan hati suhu-nya, Bu Song mengeluarkan suling
emas dari balik jubahnya, menyerahkan suling itu kepada suhu-nya.
Akan tetapi
Kim-mo Taisu tidak memegang suling itu, hanya memandang dan berkata,
"Memang betul ini suling emas, hadiah Bu Kek Siansu kepada sastrawan Ciu
Bun. Apakah sudah kau pelajari cara meniupnya untuk mengiringi sajak dalam
kitab?"
"Sudah,
Suhu."
"Coba
kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian Kiam-hoat."
Bu Song
melangkah mundur, lalu menggerakkan suling melakukan jurus-jurus Pat-sian
Kiam-hoat. Baru tiga jurus suhu-nya sudah berkata, "Cukup! Kau sungguh
bernasib baik sekali, muridku. Sekarang aku tidak khawatir lagi. Dengan bantuan
Bu Tek Lojin, kau sudah melampaui gurumu...."
"Ah,
mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh...."
Kim-mo Taisu
tertawa dan bertanya memotong kata-kata muridnya, "Coba ceritakan
bagaimana keadaan perang ketika kau tiba di sini?"
Ternyata
ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi di sekitar pegunungan
Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi
hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh kalah banyak. Girang
hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan, sambil bertanya-tanya
kepada para prajurit tentang suhu-nya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan
merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya. Akhirnya ia tiba di
perkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat di
perkemahan.
Keadaan
kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam
karena pihak musuh muncul seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya
serba hitam, mukanya tertutup kedok tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah
sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan. Gerakannya cepat dan tenaganya
mukjijat sehingga setiap orang prajurit yang berani menentangnya tentu roboh
dengan tubuh terpotong menjadi dua!
Akan tetapi
para prajurit pengawal itu adalah prajurit-prajurit pilihan yang tidak takut
mati. Untuk menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini,
puluhan orang prajurit mengurung iblis itu. Biar pun banyak sekali prajurit
yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia iblis ini, namun sang
Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar untuk membunuh empat
orang panglima.
Pada saat
itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat keadaan ini ia menjadi marah, dan
sekali melompat ia telah melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia iblis,
tiba di depan iblis itu lalu menerjang dengan suling emasnya yang ia tahu
adalah senjata yang ampuh sekali. Si Manusia Iblis itu tadi mengaku berjuluk
Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja lehernya kena
hantaman suling yang mengeluarkan sinar kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang
tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah Bu Song menangkis
dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan
mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo memekik
kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari pegangan.
Melihat
betapa orang muda di depannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa
khawatir, apalagi para prajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih
mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya mencelat jauh, sabitnya
diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu dipergunakan
oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri! Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu
dengan mudah dan cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat
penjuru mencari selamat memasuki hutan-hutan di lereng gunung.
"Demikianlah,
Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan
melakukan pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan
pengawal tadi," Bu Song mengakhiri ceritanya.
Kim-mo Taisu
mengangguk-angguk, senang hatinya. Lalu ia mengerutkan keningnya dan kemudian
bertanya, "Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek sakti Bu
Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara antara sajak
dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu amat
menarik."
Bu Song
mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar sajak
terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap lebih
aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu mendengarkan, kemudian tiba-tiba
ia berkata, "Bagaimana bunyi sajak terakhir itu?"....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment