Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 01
Puncak-puncak
gunung menjulang tinggi di sekeliling, berlomba megah menembus awan. Sinar
matahari pagi merah membakar langit di atas puncak di timur, mengusir kegelapan
sisa malam dan menyalakan segala sesuatu di permukaan bumi dengan cahayanya
yang merah keemasan.
Salju yang
menutupi puncak-puncak tertinggi seperti puncak-puncak Yolmo Lungma (Mount
Everest), Kancen Yunga, dan Kongmaa La, berkilauan dengan sinar merah matahari
pagi, seolah-olah perut gunung-gunung itu penuh dengan emas murni.
Daun-daun pohon
yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam
tadi, nampak segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di
setiap ujung daun dan rumput hijau. Cahaya matahari menciptakan jalan emas
memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir tenang, seolah-olah
masih malas dan kedinginan.
Sukarlah
menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi
yang cerah dan amat indah. Kata-kata tiada artinya lagi untuk menggambarkan
keindahan. Kata-kata adalah kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan
adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun di antara jutaan daun yang
bergerak lembut dihembus angin pagi.
Seperti
biasa, dari semenjak dahulu sekali sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi
mendahului sang surya hanyalah burung-burung, hewan-hewan, dan manusia-manusia
petani yang miskin! Orang kaya di kota biasanya baru akan bangun dari kamar
mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi sekali!
Pegunungan
Himalaya merupakan pegunungan yang paling hebat di seluruh dunia ini, paling
luas, dan paling banyak memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia. Memanjang
dari barat ke timur sebagai tapal batas yang sukar diukur dan ditentukan
letaknya dari negara-negara India, Tibet, Nepal dan Bhutan.
Pegunungan
Himalaya memiliki banyak sekali gunung atau puncak-puncak yang amat tinggi,
yang tertinggi dan di atas tujuh ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla Mandhayaf
Gosainthan, Yolmo Lungma Kamet, Nanda Dhaula atau Giri, Chomo Lungma atau Mount
Everest sebagai puncak tertinggi (8882 meter), dan Kancen (Kincin) Yunga. Itu
adalah deretan raksasa-raksasa puncak yang amat tinggi di Pegunungan Himalaya.
Dan di antara puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara lembah-lembah yang
amat curam, mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang juga dinamakan Sungai
Brahmaputera.
Sungai Yalu
Cangpo yang mengalir di daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi para petani
Tibet, sungguh pun mereka yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah buruh buruh
tani belaka karena semua sawah ladang telah menjadi milik para tuan tanah dan
para pembesar yang berkuasa di Tibet, di samping para pendeta yang memiliki
kekuasaan besar sekali di negara ini.
Pagi itu,
sebuah perahu yang ditumpangi tiga orang didayung meluncur lambat-lambat menentang
aliran air, merayap perlahan di tepi di mana arus tidak begitu kuat. Mereka
bertiga memakai pakaian tebal karena hawa sangatlah dinginnya. Di sebelah
tebing di mana perahu itu meluncur lewat, nampak belasan orang petani Tibet
sedang bekerja mencangkul tanah.
Sepagi itu
mereka sudah bekerja, dan dari pinggang ke atas mereka bertelanjang sehingga
nampak otot-otot tubuh yang kekar karena terbiasa bekerja keras. Seorang di
antara mereka, yang bertubuh kokoh kekar, menghentikan cangkulnya untuk
melempangkan pinggang, mengurut punggung lalu menarik napas panjang.
“Sudah
lelah? Heh-heh-heh, mengapa tidak bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan
menambah semangat?” temannya menegur.
Laki-laki
bertubuh kokoh itu tersenyum, kemudian mengembangkan dada menghisap hawa udara
sepenuh paru-parunya beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara
nyanyiannya dalam bahasa Tibet. Suaranya nyaring, bergema sampai jauh ke lembah
dan menyentuh permukaan air sungai, dan Si Penyanyi ini menengadah seolah olah
hendak mengadukan nasibnya dalam nyanyian itu kepada puncak-puncak yang
menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu tua
yang amat disuka oleh para petani miskin.
Wahai Yolmo
Lungma yang tinggi!
Ahoi, Yalu
Cangpo yang panjang!
Dapatkah
kalian memberi jawaban?
Kedua
tanganku kuat bekerja berat
namun tiada
seperseratus yang di hasilkannya
menjadi
bagianku untuk makan!
Aku punya
hati
suaranya
membeku di mulut,
telingaku
disuruh tuli
mataku
disuruh buta
nyawaku
lebih murah dari pada seekor domba!
Wahai, Yolmo
Lungma
sembunyikan
aku di puncakmu yang tinggi!
Ahaoi, Yalu
Cangpo,
tenggelamkan
aku di airmu yang dalam!
Tiga orang
yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyian itu terdengar
jelas oleh mereka yang berada di bawah dan karena orang yang bernyanyi tidak
nampak dari perahu, maka terdengar menyeramkan, apalagi karena suara itu
bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh air dan dinding batu gunung.
Akan tetapi
tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut, apalagi karena mereka segera
mengenal lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang pernah dilarang oleh pemerintah
Tibet karena lagu itu pernah membakar semangat para petani miskin sehingga
hampir saja menimbulkan pemberontakan. Akan tetapi, biar pun sekarang tidak ada
lagi rakyat miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu masih digemari oleh para
petani.
Tiga orang
dalam perahu ini merupakan tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai. Pegunungan
Kun-lun memang terkenal sebagai satu di antara tempat-tempat yang dihuni banyak
orang pandai, pertapa-pertapa gemblengan, sungguh pun yang paling terkenal
tentu saja adalah perkumpulan Kun-lun-pai yang merupakan satu di antara
partai-partai persilatan terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu yang bertapa
di lereng Pegunungan Kun-lun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu yang condong
kepada aliran Im-yang.
Yang seorang
berusia enam puluh tahun berjuluk Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus dengan
mulut yang selalu tersenyum. Orang ke dua juga berusia sekitar enam puluh
tahun, tubuhnya gendut tapi mukanya pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute
dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga masih lebih muda, usianya empat puluh
lima tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap, pakaiannya sederhana dan
di punggungnya tergantung sepasang pedang.
Dia pun
seorang tosu dari aliran lain, tetapi merupakan sahabat baik dari Hok Keng Cu
dan Hok Ya Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam, dan di dunia kang-ouw dia
terkenal dengan julukan Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Dari
julukannya saja orang dapat menduga bahwa Hui-siang-kiam Ciok Kam ini tentu
mahir ilmu pedang pasangan dan memiliki ginkang yang hebat. Dan memang
demikianlah adanya.
Apakah yang
menarik tiga orang pertapa Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan sesukar
dan sejauh itu sampai di Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu Cangpo? Bukan
hanya mereka bertiga saja yang pada waktu itu nampak berkeliaran di daerah
Pegunungan Himalaya. Sudah hampir sebulan lamanya daerah Pegunungan Himalaya
yang jarang dikunjungi orang itu ramai dengan datangnya banyak sekali
orang-orang kang-ouw kenamaan, seolah-olah ada pesta besar di pegunungan itu
yang menarik para tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok. Sesungguhnya bukan pesta
yang menarik para tokoh kang-ouw seperti besi semberani yang kuat menarik jarum-jarum
halus itu, melainkan suatu berita yang datangnya dari kota raja tentang
lenyapnya sebuah pedang pusaka yang disimpan di dalam kamar pusaka istana
kerajaan!
Kurang lebih
dua bulan yang lalu, terjadilah geger di kota raja karena pedang pusaka kerajaan,
satu di antara pusaka-pusaka yang paling diagungkan telah lenyap tanpa bekas
dari dalam gudang pusaka yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak
terdengar suara sedikit pun, dan tidak kelihatan ada maling masuk, akan tetapi
ketika seperti biasa seorang pengawal yang bertugas mengurus pusaka-pusaka itu
memasuki gudang untuk memeriksa, pedang pusaka yang bernama Koai-liong-pokiam
(Pedang Pusaka Naga Siluman) itu telah hilang dari tempatnya!
Tentu saja
kota raja menjadi geger. Pedang ini telah dianggap sebagai pusaka pelindung
keagungan keluarga Kaisar! Maka dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan orang
orang pandai untuk mencari jejak pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja
segera tersiar keluar dan gegerlah dunia persilatan!
Koai-liong-pokiam
merupakan pedang pusaka yang dianggap memiliki wibawa untuk melindungi keamanan
atau keagungan keluarga Kaisar, tetapi di kalangan persilatan, di dunia
kang-ouw, pedang itu dianggap sebagai pedang ajaib yang amat ampuh, yang
dirindukan oleh seluruh tokoh persilatan karena pernah ada desas-desus bahwa
siapa yang memiliki pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar dikalahkan
karena pedang itu ampuh bukan kepalang!
Maka bukan
hanya pasukan kerajaan saja yang sibuk melakukan penyelidikan untuk mencari
pencurinya dan mengembalikan pedang Koai-liong-pokiam ke Istana, akan tetapi
tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya
sebagian di antara mereka yang berusaha mencari pedang untuk dikembalikan
kepada Kaisar agar memperoleh hadiah, sedangkan sebagian besar pula ingin
memperoleh pedang itu untuk dimilikinya sendiri!
Kemudian,
sebulan yang lalu, tersiar berita yang mengejutkan dan menggegerkan lagi bahwa
pedang pusaka itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang
menarik semua tokoh kang-ouw untuk berbondong-bondong pergi mengunjungi daerah
Pegunungan Himalaya untuk mengadu nasib memperebutkan pedang pusaka itu. Atau
setidaknya, mereka akan mendapat tambahan pengalaman. Daerah Himalaya memang
merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia
persilatan!
Akan tetapi,
dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri
dari partai-partai persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi
pendukung kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Ada pun kelompok ke dua
terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang berkepandaian tinggi.
Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum
sesat!
Dan ketika
tersiar berita tentang Koai-liong-pokiam, bukan hanya golongan putih yang
geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri
daerah Himalaya bukan saja golongan putih, bahkan lebih banyak pula golongan
hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya tiba-tiba
menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali.
Semenjak
kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhan pembunuhan
dan penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para
pedagang mau pun para pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan,
bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat tentu akan diintai malaikat maut!
Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi
saja yang berani melanjutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang
lebih kecil nyalinya lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka
berani melanjutkan perjalanan mereka.
Tiga orang
tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa
pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah
Himalaya, maka mereka pun datang berkunjung melalui jalan air Sungai Yalu
Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi
bahayanya tidak kalah besarnya. Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus
sungai! Akan tetapi, dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan
perjalanan dan pada hari itu mereka pagi-pagi sekali telah tiba dibawah tebing
yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing.
Mendengar nyanyian
itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tak asing
dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah
ini. Akan tetapi Hui-siang-kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan
perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia bisa sampai berada di situ
pun karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti kedua orang
kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh
penasaran itu. Dia menarik napas panjang.
“Siancai....!”
kata tosu muda ini. ”Agaknya di ujung dunia yang mana pun, kita selalu akan
bertemu dengan manusia-manusia yang selalu berkeluh kesah karena merasa
hidupnya sengsara!” Dia dapat menangkap keluh-kesah dalam suara nyanyian itu.
“Ciok-toyu,
itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno,” kata Hok Ya Cu menerangkan,
lalu menterjemahkan lagu itu dalam bahasa Han.
“Lagu itu
penuh keluhan, membuat aku penasaran saja,“ Ciok Kam berkata seorang diri, lalu
dia bangkit seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah
tosu muda ini bernyanyi, suaranya nyaring melengking karena didorong oleh
tenaga khikang yang cukup kuat.
Yolmo Lungma
tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo
panjang tenang karena hening
manusia
dengan segala kesibukannya
membuat
gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak
puas selamanya tidak akan puas!
Aih....
sebelum hayat meninggalkan badan
tak
mungkinkah mengenal kecukupan?
“Ha-ha,
Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah?” Hok Keng Cu
bertanya.
Ciok Kam
tosu menarik napas panjang “Sebagian juga mencela kita sendiri, Toheng.
Bukankah karena ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini?”
Sebelum kedua
orang temannya itu ada yang menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar teriakan
yang bergema ke bawah, “Ahooii.... kalian yang berada di bawah!”
Hui-siang-kiam
Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang
laki-laki yang kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan
kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak mengerti apa yang dikatakannya karena
orang itu bicara dalam bahasa Tibet.
Hok Keng Cu
yang mengerti bahasa itu segera berteriak dengan mengerahkan khikang sehingga
suaranya bergema sampai ke atas tebing, “Sobat, kau mau apakah?”
Orang di
atas itu adalah si penyanyi tadi, dan sekarang dia berkata lagi, “Hati-hati,
jangan lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk!
Sudah banyak orang dibunuhnya!”
Hok Keng Cu
dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng
Cu menjawab nyaring, “Terima kasih atas pemberitahuanmu....”
Lalu mereka
melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandangan mata petani yang masih
menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu.
“Ahhh,
apakah yang dikatakan orang itu tadi?” tanya Ciok-tosu kepada kedua orang
sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu
muda itu berkerut.
“Apa dan
siapakah yang dinamakan Yeti itu?” tanyanya, “Kalau dia seorang sejahat itu,
sebaiknya kita bertiga membasminya!”
“Ciok-toyu,
engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi
dengan kaki tangan kita!” kata Hok Keng Cu.
“Hemm, kalau
begitu dia iblis?” tanya Ciok-tosu dengan heran.
“Bukan juga,
kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia
bukan iblis, melainkan seekor makhluk setengah manusia setengah binatang yang
amat buas, dan memiliki kekuatan yang mukjijat, tidak masuk akal!”
“Ehhh.... ?”
Tosu muda itu makin kaget.
“Pinto (aku)
rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi
Kongmaa La itu, sungguh pun sebenarnya paling baik jika mengambil jalan dari
gunung itu, di mana terdapat jalan buatan manusia yang mudah dilalui,” kata
pula Hok Keng Cu.
“Toheng,
pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu?” tanya Ciok Kam.
Yang ditanya
menggeleng kepala. “Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan
Yeti.”
“Kalau
begitu, mengapa Ji-wi Toheng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia,
atau iblis atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita
untuk membasminya!”
“Kami tidak
takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit.
Kami hanya pernah mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan
oleh orang yang betapa kuat dan pandai pun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor
gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata tajam dan kecepatan
gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan seperti
terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi makhluk seperti itu?”
Hui-siang-kiam
Ciok Kam mengerutkan alisnya, tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi
karena hatinya tertarik sekali. “Seperti apa macamnya, Toheng? Aku ingin sekali
melihatnya.”
“Kami belum
pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam-macam. Ada yang bilang seperti
beruang, ada pula yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi
seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan dengan kedua kaki seperti manusia!”
Hening sejenak.
Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, “Ahh, jangan-jangan mayat mayat yang
kita lihat terapung di atas air sungai itu adalah korban dia!”
Dua orang
sahabatnya termenung, kemudian mengangguk-angguk. Mereka pun sedang memikirkan
hal itu dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat
manusia berturut-turut terapung di atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak
dan luka-luka.
“Tadinya
pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di
daerah Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang
mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar To-yu.”
“Tapi.... di
tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau
senjata tajam,” Ciok-tosu membantah.
“Kuku tangan
Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang mana pun
juga!” kini Hok Ya Cu ikut bicara.
Mereka
mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing
masing dan cerita tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam
hati mereka.
Matahari
telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang
tumbuh di kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi
belasan meter saja. Mulai nampak keindahan pemandangan di kanan kiri sungai.
Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang sukar sekali ditembus manusia,
dan jauh di kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi yang tertutup awan dan
salju. Hawa masih dingin sungguh pun sinar matahari cukup cerah di pagi itu.
Di sebelah
kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain
di kanan kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu
menyenangkan dan menimbulkan harapan, tidak menyeramkan seperti warna
gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran.
“Gunung
apakah itu?” Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya.
“Itulah
Kongmaa La....,“ jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa
jeri.
Ciok-tosu
menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung
itu pula dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu
bahwa dua orang sahabatnya itu bukan orang lemah, melainkan sudah terkenal
sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mengapa kini memperlihatkan
sikap yang demikian takut dan pengecut? Sikap kedua orang temannya itu
tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya.
“Pinto mau
mendarat di sana!” tiba-tiba dia berkata.
“Ehh....?”
Hok Keng Cu berseru.
“Berbahaya sekali,
Ciok-Toyu!” seru Hok Ya Cu menyambung.
“Kalau Ji-wi
Toheng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat
Kongmaa La!” Melihat dua orang sahabatnya itu hanya saling pandang dan ragu
untuk menjawabnya, Ciok-tosu kemudian menyambung. “Bukankah Ji-wi mengajak
pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud untuk mencari pencuri pedang
pusaka Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan berhasil?
Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri
pedang pusaka!”
Mendengar
ini, dua orang tosu itu terkejut dan saling pandang, lalu mengangguk-angguk.
Kemudian Hok Keng Cu berkata. “Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La!”
Hok Ya Cu
hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suheng-nya. Mereka kemudian mendayung
perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La
itu. Di bagian ini memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat
mendarat, menarik perahu ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di dalam
semak-semak.
“Ini namanya
Lembah Arun!” berkata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan
daerah Himalaya itu.
Hok Ya Cu
dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh
menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang
puncaknya tertutup awan dan salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga
menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah tubuhnya tertutup salju dan awan.
Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti menyangga
atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru
dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam menahan napas.
“Betapa
hebatnya kekuasaan To!” dia menggumam karena takjub dan terpesona oleh
keindahan itu.
Memang
indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tiada apa-apa lagi! Siapa
gerangan mampu menggambarkan keindahan, keagungan, kebesaran yang demikian
hebat? Yang dapat menggambarkan secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu
hening! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan pikiran tidak sibuk
menilai dan membanding-banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi,
maka segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran
masuk dan menilai, membandingkan keindahan itu, berusaha mengabadikannya di dalam
ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah, hanya menjadi gambaran yang
menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan!
Dalam
keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang
terbentang luas di alam maya pada, terasa sekali kemukjijatan yang terkandung
di dalam segala sesuatu, dari tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh
kita sendiri seperti tumbuhnya pohon-pohon di hutan, dari setiap urat syaraf di
tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air di bawah permukaan bumi sampai
kepada kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari,
bintang-bintang. Dalam keheningan memandang semua itu, terasalah bahwa kita
adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di dalam suatu
ketertiban yang selaras dan ajaib.
Namun
sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar
kesenangan yang sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu
belaka. Kita tidak lagi menghargai semua keajaiban itu, kita hanya mampu
menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama dan
sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan
dan menyebut semua itu menjadi pengetahuan teoritis, menjadi bahan perdebatan
dan percekcokan, mempertahankan pendapat masing-masing tentang yang maha besar
itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik akan asapnya sehingga
hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta
kehilangan cahaya dan apinya itu!
Tiga orang
tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata
mereka itu sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu
duduk di atas rumput dan rasa lapar membuat mereka membuka bekal roti kering
mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang mereka dapat ambil
sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber
air kecil yang amat jernih.
Lembah Arun
berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur, merupakan lembah sungai yang
paling curam di dalam dunia ini. Suatu tempat yang indah namun terasing dari
manusia dan keadaannya sungguh luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan
penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun liar tak pernah tersentuh
tangan dan terinjak kaki manusia. Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang
tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia
dan Puncak Kancen Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia.
Di depan
adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak
berbeda dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan
Himalaya itu. Sambil makan dan minum secara sederhana itu, hanya roti kering
dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali, menghadapi
kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka
terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka
menghentikan percakapan sampai perut mereka terasa kenyang.
“Mari kita
lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan,
sebelum senja kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok
kosong yang dahulu menjadi tempat pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama
meninggal dunia. Hanya pondok itulah satu-satunya tempat yang baik untuk kita
dapat melewatkan malam di daerah ini!” kata Hok Keng Cu yang sudah
berpengalaman di tempat itu.
Mereka
bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi,
mau tidak mau muncul kembali bayangan makhluk yang dinamakan Yeti itu di benak
Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada Hok Keng Cu.
“Toheng,
sebetulnya, apakah artinya Yeti itu?”
Hok Keng Cu
mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan
makhluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan makhluk itu akan muncul di depan
mereka! Akan tetapi karena dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia
menjawab, “Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya daerah
berbatu dan Teh artinya makhluk. Jadi Yeti dinamakan makhluk dari daerah
berbatu oleh bangsa Tibet.”
Ciok Kam
mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih
penasaran dan bertanya lagi. “Mengapa dinamakan makhluk, apakah belum ada
ketentuan dia itu sebenarnya apakah? Binatang, manusia, ataukah setan?”
“Sstt....
Toyu, hati-hatilah kalau bicara....!” Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah
pucat.
“Tidak
mengapa,” Hok Keng Cu berkata. “Ciok-toyu bukanlah bermaksud menghina melainkan
karena memang ingin sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak
ada manusia yang dapat menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti
itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita, hanya melihat Yeti dari kejauhan
saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu.... tewas! Dan dari
keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa makhluk
itu menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai
seekor monyet besar. Akan tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas
kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi besar menakutkan.”
Penggambaran
tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok
Keng Cu menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak
bicara lagi. Akan tetapi suasana menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang
makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi. Memang luar biasa sekali
kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki.
Seolah-olah dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap
domba-domba putih berarak di angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin
karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup salju.
Mereka kini
tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam
sehingga biar pun tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu
tinggi, mereka harus melangkah dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin sepatu
mereka pecah-pecah oleh tusukan batu-batu runcing. Matahari telah naik semakin
tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat baying-bayang pendek di belakang
mereka.
Mereka
berjalan beriring-iringan karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di
bawah kaki mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan
mengerahkan ginkang sehingga tubuh mereka dapat bergerak ringan sekali. Hok
Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu disusul sute-nya, baru
kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak
pernah tertinggal, karena dalam hal ginkang dia lebih unggul dari pada dua
orang sahabatnya sehingga melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar
baginya. Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan dan tosu tua ini
berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar
itu.
Hok Ya Cu
dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia
memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang
sudah mulai membusuk! Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dua orang
ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu
(pengawal barang atau guru silat), usia mereka sukar ditaksir karena muka itu
sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan
sebatang pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua
orang itu terobek dan luka yang menganga itu sungguh mengerikan untuk
dipandang.
“Lihat
ini....!” Ciok-tosu berseru.
Dua orang
tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka telah mengambil pedang
dan golok, mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat
bahwa dua buah senjata itu telah rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan
untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok dengan
jarinya dan mendapat kenyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam
yang cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu.
Terdengar suara nyaring yang mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda
bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun dua buah senjata itu rompal dan
rusak!
Mereka
bertiga saling pandang. Sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu
kata yang sama. Yeti!
“Mari kita
melanjutkan perjalanan!” akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas
terdengar gemetar dan tidak lancar.
“Tapi....
tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini....,“ kata Ciok-tosu sambil memandang
kepada dua mayat itu.
“Ahh, kita
tidak ada waktu, Toyu, jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu.
Pula, tempat ini penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah!” Hok Keng Cu
mendesak dan Ciok-tosu akhirnya menurut juga karena memang sukarlah mengubur
mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat manusia berserakan
seperti itu tak terurus.
Bayang-bayang
di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke
barat, di depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok
Keng Cu nampak lega.
“Kita sudah
hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan
berisitirahat!” Biar pun mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang
teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini merasa lapang dadanya karena tidak
ada makhluk mengerikan itu mengganggu mereka.
Akan tetapi,
ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok Keng Cu
yang berjalan di depan, meloncat ke belakang dan berseru, “Siancai....!”
Dua orang
temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak. Tidak jauh dari situ,
tertutup rumput yang agak tinggi, nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan
mereka semua telah menjadi mayat dan melihat darah yang masih berceceran di
mana mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu belum
lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan
menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di
leher dan perut atau dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang
tajam, dan hampir semua mayat itu matanya terbelalak lebar, seolah-olah mereka
itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas.
Ciok Kam
sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan
memegang pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk
hati tosu muda ini. Ada perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan
penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat orang-orang ini adalah
sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan
orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga
dari senjata-senjata yang berserakan di tempat itu.
Dan ini
tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani
datang ke daerah ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang
datang ke situ dengan maksud yang sama, yaitu mencari pedang pusaka
Koai-liong-po-kiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja
secara mengerikan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani
tadi bahwa tempat ini berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi
benarkah Yeti yang mengamuk?
“Hei,
manusia atau makhluk jahat, lekas keluarlah dan tandingi sepasang pedangku!”
teriaknya.
Dua orang
sahabatnya terkejut sekali. “Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke
pondok itu sebelum terlambat!” seru Hok Keng Cu.
“Toheng, ada
kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa
bukan Yeti yang melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula
berkeliaran di daerah ini!” kata Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat
begitu banyak orang dibunuh.
“Ciok-toyu,
engkau ikut bersama pinto, harap engkau suka menurut dan tidak usah menyusahkan
pinto. Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok!” kata
Hok Keng Cu dan nada suaranya terdengar marah.
Ciok Kam
sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu
sahabatnya itu adalah orang-orang pandai, dan kalau sampai mereka nampak begitu
ketakutan tentu ada sebabnya. Dia sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi
terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja.
“Baiklah,
Toheng, mari kita pergi!” katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang
tosu itu, dia tetap memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur.
Akhirnya,
dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua teman seperjalanannya itu ke
dinding gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang
sebenarnya lebih mirip sebuah goa yang tertutup oleh sebuah batu besar.
“Bantu pinto
menggeser pintu batu ini!” katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga
mendorong batu bundar besar yang menutupi lubang goa.
Hanya dengan
pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan lahan batu
bundar itu dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang goa yang cukup
lebar. Mereka segera memasuki goa itu. Goa itu luas dan nampak burung-burung
walet berseliweran di sebelah dalam.
“Batu itu
dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal menggesernya
menutup lagi dan kita aman sudah,” kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega.
“Sekarang lebih dulu kita mengambil air untuk persediaan semalam ini. Juga
kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita melanjutkan
perjalanan.”
Diam-diam
Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia
tidak banyak bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di
luar pondok batu goa, menampung air itu di gentong batu yang terdapat di dalam
goa itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Mereka bertiga lalu duduk di
dalam pondok, mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore masih
memasuki goa dari pintu yang terbuka itu.
“Besok pagi
kita ke manakah?” Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan
hatinya.
“Ke Lereng
Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan,
dan di sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka
itu. Tentu seorang di antara para pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke
sana pula perginya semua orang kang-ouw yang mengunjungi daerah ini untuk
mencari pedang pusaka itu.”
“Masih
jauhkah dari sini?”
“Tidak jauh
lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma
akan nampak sebuah lereng di sebelah timur. Di situ nampak dinding batu gunung
yang kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke
atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan. Karena itulah dinamakan
Lereng Awan Merah.”
“Mengapa
banyak pertapa berkumpul di sana?”
“Karena
daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk
ditanami sayur-sayuran.”
Malam pun
tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan
mereka merasa aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api
unggun ini mereka makan roti tawar dan minum air yang mereka sediakan tadi.
Sesudah itu mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan tidur. Api unggun
bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu goa batu. Tidak lama kemudian
api unggun itu padam, akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka
telah tidur pulas saking lelahnya.
Sinar
matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang
masih menutup lubang goa ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia
tidur menghadap pintu dan sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya.
Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan merasa kaget karena sinar
matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata seekor
makhluk yang menakutkan! Akan tetapi dia segera sadar dan merasa geli sendiri,
lalu bangkit duduk dan menggaruk-garuk mukanya di mana terdapat bintul-bintul
kecil.
“Hemmm, di
tempat seperti ini ada juga nyamuknya,” gerutunya.
Tiba-tiba
dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah
batu dan goa itu menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menghalanginya di
depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri dan terbelalak memandang ke
arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu yang
tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk
lagi dan dia memperhatikan.
Pendengarannya
yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup goa
itu. Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia
terbelalak, karena napas itu begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan
pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di luar goa. Cepat dia
menghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka
dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang.
“Lekas Ji-wi
Toheng, bangunlah!”
Dua orang
tosu itu terbangun dan terkejut, tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu
menuding ke arah pintu. Kini terdengar gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua
orang tosu itu sudah meloncat berdiri dengan mata terbelalak.
“Jangan
khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu!” Hok Keng Cu berkata
dan tangannya meraba sakunya.
Tosu ini
tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu
sabuk sutera putih yang dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk dan sabuk
ini dapat dimainkan sebagai senjata cambuk untuk menotok jalan darah lawan.
Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang tipis yang biasanya
disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang
pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan
tegang, sama sekali tak bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam goa
batu itu, mata mereka memandang ke arah batu bundar penutup goa, ke arah sinar
kecil dari matahari yang menerobos masuk.
Tiba-tiba
terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak!
Tiga orang tosu itu terkejut dan melihat betapa celah-celah yang dimasuki sinar
matahari itu makin membesar.
Hok Keng Cu
berteriak. “Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka!”
Mereka
berloncatan ke dekat pintu, lalu tiga pasang tangan yang mengandung kekuatan
sinkang yang besar itu memegang dan mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan
tetapi ada kekuatan dahsyat dari luar yang menentang dan yang mendorong pintu
itu ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang amat hebat, dilakukan dengan
diam-diam di tempat yang asing dan aneh itu dalam suasana yang amat menyeramkan
dan menegangkan.
Terdengar
suara dari luar, seperti suara singa menggereng atau harimau mengaum sehingga
suara itu menggetarkan bumi sampai ke dalam goa. Setelah terdengar suara
dahsyat ini, tenaga yang mendorong batu bundar ke kanan semakin kuat! Tiga
orang tosu itu mempertahankan, namun mereka ikut terdorong ke kanan!
Celah-celah makin melebar dan lubang itu hampir nampak!
“Lepaskan
dan terjang ke luar! Di dalam tidak leluasa!” Hok Keng Cu tiba-tiba berseru
setelah mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak mampu
mempertahankan batu besar yang didorong terbuka dari luar itu.
Ketika tiga
orang tosu itu menarik kembali tangan mereka, batu besar itu dengan cepat
terdorong ke kanan dan terbukalah goa itu. Mereka agak silau oleh masuknya
sinar matahari yang cerah, akan tetapi mereka sudah berloncatan keluar goa dan
telah mempersiapkan senjata di tangan. Ketika tiba di luar dan membalik, mereka
bertiga terbelalak dan wajah mereka pucat ketika mereka melihat makhluk yang
berdiri di depan mereka.
Makhluk itu
tingginya dua meter lebih, tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang warnanya merah
coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut tubuhnya
yang kasar itu agak panjang di bagian kedua pundaknya, menutupi pundak seperti
baju bulu. Mukanya agak rata, bersih tidak berambut, seperti muka monyet besar
yang lebih mirip manusia dari pada monyet. Mulutnya lebar, ketika itu
menyeringai marah memperlihatkan gigi yang besar-besar seperti gigi manusia
bentuknya, tidak bersiung. Kepalanya di bagian atas meruncing seperti bentuk
kerucut. Kedua lengannya yang besar itu panjang sampai ke lutut, kedua
pundaknya menurun seperti biasa terdapat pada pundak monyet besar.
Akan tetapi
makhluk ini tidak berekor dan lebih mendekati bentuk tubuh manusia dari pada
monyet atau beruang. Seluruh perawakannya membayangkan keadaan yang kokoh kuat
seperti batu gunung! Akan tetapi yang menarik perhatian tiga orang tosu itu
adalah sebatang pedang yang menancap di paha kanan makhluk ini. Sebatang pedang
pendek yang mengkilap menusuk dari depan dan menembus paha kanan itu sampai ke
belakang. Tidak nampak darah dekat tempat pedang itu menancap, agaknya sudah
agak lama pedang itu menancap di paha makhluk aneh ini.
“Yetiiii!”
Akhirnya terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan.
Makhluk ini
melangkah maju sambil mengeluarkan suara gerengan aneh. Tiba-tiba Hok Ya Cu
mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke arah leher
makhluk itu.
“Aurgghhhh....!”
Yeti itu mendengus dari tenggorokannya dan dengan gerakan lamban namun
mengeluarkan angin dahsyat, tangannya bergerak ke depan. Pedang di tangan Hok
Ya Cu menebas ke arah lengan yang diangkat itu.
“Trakkkk!”
Pedang itu terpental dan tangan Hok Ya Cu yang memegang pedang itu tergetar,
membuat orangnya terhuyung ke belakang.
“Dia kebal!”
kata Hok Ya Cu yang sudah menerjang pula, menggerakkan sabuk sutera yang sudah
dilolosnya tadi dari pinggangnya. Nampak sinar putih berkelebat panjang seperti
seekor ular, dibarengi suara bercuitan amat kuatnya, menotok ke arah kedua mata
makhluk itu secara bertubi-tubi!
Yeti itu
agaknya tidak mau atau tidak dapat mengelak, hanya memejamkan kedua mata ketika
ujung sabuk putih itu mematuk-matuk.
“Tak-tuk-tak-tuk!”
terdengar suara dan seperti juga pedang tadi, seolah-olah ujung sabuk yang
sudah menjadi kaku karena digerakkan dengan sinkang itu bertemu dan menotok
benda-benda keras melebihi baja!
Yeti menjadi
marah, kedua lengannya yang panjang itu menyambar ke depan dan Hok Keng Cu
terpaksa menarik sabuknya karena dia maklum bahwa sekali sabuknya kena
ditangkap, akan sukarlah menyelamatkan senjatanya itu.
Sementara
itu, Hok Ya Cu sudah menggerakkan pedangnya lagi, akan tetapi ke mana pun
pedangnya menyerang, menusuk atau membacok, selalu terpental kembali sehingga
tosu ini menjadi sangat jeri. Ada pun Ciok Kam setelah melihat keadaan dua
orang sahabatnya itu, segera mengeluarkan lengkingan panjang dan dia pun
menerjang ke depan, sepasang pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga
membentuk sinar sinar yang saling bersilang, kemudian menjadi dua gulungan
sinar berkilauan yang menerjang Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah dan
hebatnya ilmu siang-kiam (sepasang pedang) dari tosu muda Kun-lun-pai ini!
Yeti itu
menggeram ketika sinar-sinar pedang itu mengurungnya. Dia menggerakkan kedua
tangannya dan setiap kali pedang itu bertemu dengan tangannya, maka pedang itu
terpental dan akhirnya Ciok-tosu tidak dapat bertahan lagi dan terpaksa
meloncat ke belakang karena selain semua bagian tubuh makhluk ini kebal dan
keras bukan main, bahkan bulu-bulunya yang pendek kasar itu agaknya juga kuat
seperti kawat-kawat baja tulen, dia juga merasa betapa kedua tangannya nyeri
dan ketika dia meloncat mundur dan melihat kedua tangannya, ternyata ada bagian
telapak tangannya yang pecah dan berdarah!
Ciok Kam
merasa penasaran sekali. Paha kanan makhluk ini ditembus pedang yang masih
menancap, berarti bahwa makhluk ini tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu
dapat menancap di paha makhluk itu, mengapa kedua pedangnya tidak? Dia
menerjang lagi dan kini sinar pedangnya yang bergulung-gulung mengarah paha
makhluk itu.
“Trak-trak,
tringgg....!”
“Aihhhh....!”
Ciok-tosu menjerit dan mencelat ke belakang, memandang pedang di tangan
kanannya yang telah buntung menjadi dua potong! Pedangnya itu tadi menyerang
paha kanan makhluk itu dan tanpa disengaja, makhluk itu menggerakkan kaki dan
pedangnya bertemu dengan pedang yang menancap di paha makhluk itu dan....
pedangnya buntung seperti terbuat dari pada tanah liat saja! Dan pedang di
tangan kiri yang menusuk paha kiri makhluk itu terpental kembali!
“Dia kebal
dan lihai, mari kita lari!” Hok Keng Cu berseru.
Akan tetapi
Ciok Kam yang merasa penasaran itu tidak mau lari. Mereka bertiga adalah
tokoh-tokoh Kun-lun-san yang terkenal jagoan, masa kini mengeroyok seekor
binatang aneh yang sudah terluka paha kanannya ini tidak mampu menang?
Tiba-tiba
Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya melayang ke atas.
Inilah keistimewaannya dan yang membuat dia dijuluki Hui-siang-kiam (Sepasang
Pedang Terbang). Biar pun pedangnya tinggal sebatang, namun kini dengan
meloncat sangat cepatnya, tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia menyerang
dan menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun kepala makhluk itu! Jurusnya ini
adalah jurus pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw yang akan mampu
menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.
Yeti itu
menggereng, kedua tangannya melindungi kepala dan digerakkan sedemikian
kerasnya sehingga ketika pedang itu menusuk, pedang dan orangnya kena
ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu terpental sampai beberapa meter jauhnya,
menumbuk batang pohon dan terpelanting, terbanting ke atas tanah dan terus
menggelundung masuk ke dalam jurang!
Melihat ini,
Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu marah sekali dan berbareng mereka itu menyerang
dengan pedang dan sabuk sutera.
“Crattt!”
Ujung sabuk sutera mengenai tepi mata kanan makhluk itu.
Makhluk ini
mengaum. Tangan kanannya yang panjang berbulu itu bergerak sedemikian cepatnya
sehingga tahu-tahu pundak Hok Keng Cu karena dicengkeram. Kuku-kuku yang amat
panjang, kuat tajam dan runcing melengkung itu meremukkan tulang pundak dan
betapa pun tosu itu meronta, dia tak mampu melepaskan diri.
“Tidaaaak....
jangaaaaannn.....!” Tosu itu menjerit dan matanya terbelalak, akan tetapi
makhluk itu sudah menggerakkan lengan kirinya dengan kuku-kuku diulur menusuk
dan menggurat. Terdengar kain robek dan kukunya telah merobek kain berikut
kulit dan daging tosu itu, dari ulu hati sampai ke pusar sehingga terobeklah
perutnya dan isinya berantakan! Ketika dilepas, tubuh itu sudah tak bernyawa
lagi dan mandi darah.
Hok Ya Cu
terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia menggigil. Maklum bahwa dia tidak akan
mampu melawan makhluk itu, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri.
Akan tetapi, dengan sekali lompat saja, makhluk yang kelihatannya lamban itu
sudah mengejarnya. Sekali tangannya bergerak, jari-jari tangan yang kuat itu
sudah menampar ke arah leher.
“Krekkkkk!”
Tubuh Hok Ya Cu terpelanting dan roboh dengan tulang leher patah-patah. Tentu
saja dia pun tewas seketika!
Yeti itu
masih marah. Sepasang matanya kini menjadi kemerahan dan beringas. Dia
mendengus-dengus, kemudian melangkah, terpincang-pincang dan kaku karena paha
kanannya tertembus pedang, memasuki goa. Di dalam goa dia mengamuk, mengobrak
abrik kayu-kayu bakar dan melempar-lemparkan batu-batu. Setelah puas mengamuk
lalu dia keluar dan biar pun terpincang-pincang, tubuhnya dapat dengan cepat
mendaki lereng yang berbatu-batu, kemudian menuruni jurang dan lenyap ditelan
semak-semak belukar.
Suasana
menjadi sunyi sekali di tempat itu. Sunyi dan menyeramkan. Bau amis darah terbawa
angin yang lalu, bercampur dengan bau daun-daun yang dihidupkan oleh sinar
matahari pagi. Burung-burung yang tadinya seperti bersembunyi ketakutan, mulai
menampakkan diri. Hanya beberapa macam burung yang tahan hidup di daerah dingin
seperti Lembah Arun ini.
Mayat Hok
Keng Cu telentang mengerikan. Matanya terbelalak dan perutnya terbuka. Mayat
Hok Ya Cu rebah miring, kepalanya terputar dan matanya juga terbelalak seperti
ketakutan.
Kurang lebih
dua jam kemudian, nampak sesosok tubuh merangkak-rangkak keluar dari dalam
jurang. Itulah Ciok Kam Tosu! Ternyata dia belum tewas dan ketika dia
terguliing ke dalam jurang dalam keadaan pingsan, ada semak-semak yang
kebetulan menahan tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh ke dalam jurang
yang seolah-olah tidak berdasar saking dalamnya itu. Dan karena dia pingsan,
maka makhluk aneh itu tidak mendengar dia bergerak lagi dan mengira dia sudah
mati maka meninggalkannya.
Ketika tiba
di atas tebing jurang dan melihat keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu
terbelalak, menghampiri mayat mereka dan menangislah tosu ini. Dengan hati
penuh duka dia lalu menguburkan dua mayat sahabatnya itu. Sampai matahari turun
ke barat, barulah dia selesai menggali lubang dan menguburkan mayat kedua orang
tosu dari Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri semua dan hampir kehabisan
tenaga. Maka dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali ke dalam goa, tanpa
menutupkan batu bundar karena tenaganya sudah habis. Akan tetapi tidak terjadi
sesuatu malam itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciok-tosu telah
berada di depan makam dua orang sahabatnya. Dia mengepal tinju dan
mengamang-amangkan tinjunya itu ke jurusan puncak gunung.
“Makhluk
biadab, aku bersumpah akan membalaskan kematian dua orang sahabatku!” Setelah
berkata demikian Ciok Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu, terus mendaki
lereng itu menuju ke barat, membawa pedangnya yang tinggal sebuah dan juga
membawa pedang Hok Ya Cu untuk melengkapi pedangnya sehingga kini dia memiliki
lagi sepasang pedang, sungguh pun ukuran dan beratnya tidak sama.
Alam di
sekeliling, tempat itu masih indah seperti biasa, tidak terpengaruh oleh
peristiwa itu. Akan tetapi bagi pandangan Ciok-tosu, sama sekali tidak berubah.
Keindahan alam yang tadinya mempesona itu kini baginya berubah menjadi keadaan
yang liar dan buas penuh ancaman maut, dan dipandangnya dengan sinar mata penuh
dendam kebencian dan kemarahan di samping rasa takut yang besar.
Pada waktu
itu, seperti telah diceritakan di bagian depan. Pegunungan Himalaya dibanjiri
pengunjung yang terdiri dari orang-orang kang-ouw bermacam-macam golongan, baik
dari golongan bersih mau pun golongan sesat. Berbondong-bondong mereka datang
mendaki Pegunungan Himalaya, ada yang datang dari timur dan langsung mendaki
pegunungan itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau Nepal, mendaki dari
selatan, dan ada pula yang datang dari utara.
Pada suatu
pagi, dari arah utara berjalan serombongan orang melalui dataran tinggi yang
berlapis pasir, berjalan terseok-seok kelelahan menuju ke selatan. Mereka
terdiri dari belasan orang dan melihat gerak-gerik mereka, kebanyakan dari
mereka itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, atau
setidaknya merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar menghadapi kesukaran dan
bahaya.
Memang
demikianlah adanya. Dua belas orang di antara mereka adalah serombongan piauwsu
(pengawal-pengawal bayaran) dari perusahaan ekspedisi Pek-i-piauw-kiok
(Perusahaan Pengawalan Baju Putih). Baju mereka semua memang berwarna putih,
dengan sulaman sebatang senjata rahasia Hui-to (pisau terbang) di dada kiri,
sungguh pun celana mereka bermacam-macam warnanya. Sulaman pisau terbang itu
bukan sekedar hiasan belaka karena memang semua anggota Pek-i-piauw-kiok
mempunyai keahlian melemparkan pisau sebagai senjata rahasia dengan lontaran
cepat, kuat dan tepat.
Di antara
dua belas orang ini terdapat pemimpinnya, seorang piauwsu yang usianya kurang
lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus akan tetapi memiliki sepasang mata yang
tajam dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang
pandai dan seorang yang telah memiliki banyak pengalaman. Piauwsu ini adalah
pemimpin dari Pek-i-piauw-kiok sendiri bernama Lauw Sek, dan julukannya adalah
Toat-beng Hui-to (Pisau Terbang Pencabut Nyawa) karena memang dia seorang ahli
yang pandai dalam penggunaan senjata ini dan dialah yang melatih semua anak
buahnya sehingga mereka semua mahir melontarkan pisau terbang.
Sebelas
orang anak buahnya itu merupakan anggota piauw-kiok pilihan yang rata-rata
memiliki kepandaian cukup tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu sedang melakukan
tugas yang amat penting. Dia bersama sebelas orang anak buahnya bertugas
mengawal pengiriman barang-barang berharga milik seorang pedagang dari Katmandu
di Nepal yang dipikul oleh empat orang dan sebagian dipanggul oleh para anggota
piauw-kiok.
Barang-barang
berharga ini dikirim dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke rumah pedagang itu
di Nepal dan tentu saja untuk biaya pengiriman dan pengawalan ini, si saudagar
membayar mahal sekali kepada Lauw-piauwsu. Perjalanan itu amat jauh, sukar dan
juga penuh bahaya dan hanya rombongan piauwsu seperti yang dipimpin oleh
Lauw-piauwsu itu sajalah yang berani menerima pekerjaan berat itu.
Di dalam
rombongan itu terdapat pula seorang gadis kecil bersama kakeknya yang telah tua
namun yang juga memiliki kekuatan yang mengagumkan. Kakek ini jelas memiliki
kepandaian silat yang kuat, dapat dibuktikan dengan cara dia mendaki
jalan-jalan yang sukar dan mendaki, dan kadang-kadang dia masih harus
menggendong cucunya sambil membawa buntalan bekal mereka berdua.
Gadis kecil
itu berusia kurang lebih dua belas tahun, seorang gadis yang mungil dan manis,
lincah jenaka dan memiliki watak bengal dan pemberani. Hanya di waktu melewati
jurang-jurang yang berbahaya sajalah maka dia tidak membantah kalau kakeknya
memondongnya. Akan tetapi kalau hanya melewati jalan-jalan kasar dan sukar saja
tanpa ada bahaya mengancam, anak ini berjalan mendahului kakeknya. Sebentar
saja anak perempuan itu dikenal oleh semua anggota rombongan dan disebut Siauw
Goat (Bulan Kecil). Memang, kelincahan anak itu, kejenakaan dan kegembiraannya,
membuat dia seperti menjadi sang bulan yang menerangi kegelapan malam dan
mendatangkan keindahan dengan suaranya yang nyaring, nyanyiannya yang merdu,
tariannya yang gemulai dan gerak-geriknya yang lincah jenaka.
Tiada
seorang pun di antara rombongan itu yang mengetahui nama selengkapnya dari Si
Bulan Kecil. Mereka mendengar kakek itu menyebut ‘Goat’ kepada anak perempuan
itu, maka mereka lalu menyebutnya Siauw Goat. Bahkan anak itu pun hanya
tersenyum manis saja disebut seperti itu, dan kalau ada yang iseng-iseng
bertanya, dia pun mengaku bahwa namanya ‘Goat’.
Kakek itu
pendiam sekali, tidak pernah mau bicara kalau tidak perlu. Ketika ada orang
menanyakan, dia hanya menjawab pendek bahwa namanya hanya terdiri dari satu
huruf, yaitu ‘Kun’. Maka terkenallah dia sebagai Kun-lopek atau Kakek Kun!
Semua orang menduga bahwa tentu ada rahasia yang menarik di balik riwayat kakek
ini.
Selain
Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat pula seorang sastrawan yang juga pendiam
seperti kakek itu dan keadaannya lebih aneh lagi karena dia sama sekali tidak
mau menerangkan namanya! Akan tetapi tidak ada orang yang berani mendesak untuk
bertanya kepadanya, karena diam-diam Lauw-piauwsu, kepala rombongan pengawal
bayaran itu yang berpengalaman dan bermata tajam, sudah membisikkan kepada
semua orang bahwa sastrawan itu adalah seorang yang tentu memiliki kepandaian
amat tinggi dan agaknya merupakan seorang di antara orang-orang kang-ouw yang
datang ke Pegunungan Himalaya untuk mencari pedang kerajaan yang dicuri orang.
Maka semua
orang tidak ada yang berani banyak cakap, dan memandang kepada sastrawan itu
dengan segan dan juga takut bukan tanpa kecurigaan. Namun sastrawan itu tidak
peduli, dia seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Usianya masih muda,
kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan sikapnya gagah biar pun gerak
geriknya amat halus. Semuda itu dia sudah kelihatan pendiam dan sering kali
muram wajahnya, begitu serius seperti wajah seorang kakek saja! Pakaiannya
sederhana, pakaian yang biasa dipakai oleh sastrawan atau orang yang
bersekolah, dengan jubah yang agak longgar dan lebar. Dugaan Lauw-piauwsu dan
sikap sastrawan muda ini yang amat pendiam membuat orang lain dalam rombongan
itu tidak berani banyak bicara dengan dia.
Selain Kakek
Kun, Siauw Goat dan sastrawan ini, masih terdapat pula beberapa orang pedagang,
yang karena mendengar akan adanya orang-orang kang-ouw di Pegunungan Himalaya,
tidak berani melakukan perjalanan tanpa teman dan ikut bersama rombongan
piauwsu yang mereka andalkan, dengan membayar uang jasa sekedarnya. Jumlah para
pedagang ini ada tiga orang sehingga dengan rombongan piauwsu, rombongan mereka
semua berjumlah delapan belas orang ditambah pula empat orang pemikul barang
barang kawalan. Jadi semua ada dua puluh dua orang!
Tiga orang
pedagang keliling itu adalah orang-orang yang bertubuh gendut-gendut dan mereka
sudah mandi keringat karena sejak tadi jalan mendaki terus. Napas mereka juga
sudah kempas-kempis. Beberapa kali sambil berjalan mereka minum air dari tempat
air mereka, akan tetapi karena minum ini pula keringat mereka menjadi semakin
membanjir keluar.
“Ahh....
kami telah lelah sekali.... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu?”
seorang di antara mereka mengeluh.
“Paman dari
tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat
saja!” tiba-tiba Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda.
Pedagang
gendut itu pura-pura melotot. “Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau
sendiri tidak lelah!”
Siauw Goat
mencibirkan bibirnya yang mungil, kemudian mengangkat dada dan bertolak
pinggang. “Aku tidak selelah Paman! Buktinya, hayolah kita berlomba lari!”
tantangnya.
Tentu saja
yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah
payah, apalagi diajak berlomba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak
gesit.
“Sedikit
lagi,” kata Lauw-piauwsu. “Kita mengaso di hutan depan sana itu.” Dia menuding
ke depan dan memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon
hijau lebat.
Matahari
sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan
sinar matahari masih terlapis kabut, akan tetapi berjalan mendaki terus-menerus
sejak tadi memang amat melelahkan dan pohon-pohon di depan itu seperti melambai
lambai membuat orang ingin lekas-lekas mencapai tempat itu untuk melempar diri
di bawah pohon yang rindang.
Agaknya
karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut
itu, Siauw Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, sebab
dara ini pun senang sekali melihat hutan di depan itu setelah semenjak kemarin
mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat langkah-langkah terasa
berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena
jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya
melihat pasir saja, dengan beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus
dan setengah kering. Maka tentu saja sebuah hutan akan merupakan pemandangan
baru yang amat menyegarkan.
“Hati-hatilah,
Goat!” Kakek Kun berkata, tetapi tidak melarang cucunya yang setengah berlari
mendahului semua rombongan itu.
Siauw Goat
menoleh, tertawa manis kepada kakeknya.
“Jangan
khawatir, Kongkong!” katanya melambaikan tangan lalu melanjutkan larinya ke
depan.
Kebetulan
sekali Kakek Kun berjalan di dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi sastrawan itu
memandang ke arah gadis cilik yang berlarian ke depan, alisnya berkerut dan
akhirnya, tanpa terdengar orang lain, dia berkata kepada kakek di sebelahnya
itu dengan suara tenang dan halus, “Lopek salah sekali membawa cucu yang
demikian muda dalam perjalanan yang sukar ini!” Suara itu tenang dan halus,
juga lirih, akan tetapi penuh nada teguran sehingga kakek itu menoleh, sejenak
menentang pandang mata sastrawan muda itu.
Dua pasang
mata bertemu pandang dan keduanya diam-diam terkejut. Sastrawan muda itu
melihat sinar mata yang mencorong keluar dari sepasang mata kakek yang biasanya
bermuram durja dan termenung saja itu, dan sebaliknya, kakek itu pun melihat
sinar mata yang amat tajam menusuk dari mata pemuda sastrawan itu, jelas
membayangkan pandang mata seorang yang ‘berisi’. Memang keduanya, dalam sikap
mereka yang pendiam dan tidak acuh, sudah saling mencurigai dan menduga bahwa
masing-masing adalah orang yang diliputi rahasia dan bukan orang sembarangan,
sungguh pun keduanya kelihatan seperti orang sastrawan muda dan seorang kakek
yang keduanya lemah.
Sastrawan
itu tiba-tiba merasa mukanya panas dan tahulah dia bahwa mukanya menjadi merah
karena malu. Karena merasa seolah-olah sinar mata kakek yang mencorong itu
menjawabnya dengan teguran. “Kau peduli apa?”
Akan tetapi
karena merasa penasaran dan juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw Goat yang
mungil dan masih kecil itu, dan merasa bahwa dia sudah terlanjur mengajukan
pertanyaan yang nadanya menegur, dia merasa kepalang tanggung dan sastrawan itu
melanjutkan kata-katanya dengan lirih tanpa terdengar orang lain, kini dengan
sebuah pertanyaan. “Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak membawa cucu Lopek
yang kecil itu? Tentu saja kalau boleh aku bertanya?”
Kembali
mereka berpandangan dan beberapa lamanya kakek itu tidak mejawab, hanya
melanjutkan langkahnya satu-satu dan perlahan-lahan, akan tetapi pandang
matanya tak pernah meninggalkan wajah pemuda sastrawan itu. Kemudian terdengar
dia menjawab, atau lebih tepat lagi berbalik dengan pertanyaan pula. “Dan ke
mana engkau hendak pergi, orang muda?”
Sastrawan
muda itu tersenyum. Selama dalam perjalanan ini, dia merahasiakan diri dengan
angkuhnya, karena memang dia tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa kira,
dia sekarang bertemu ‘batu’ dan kakek ini ternyata tidak kalah angkuh olehnya!
Buktinya, sebelum menjawab pertanyaannya, kakek ini bertanya lebih dulu, tanda
bahwa kakek itu tidak akan menjawab sebelum dia menjawab lebih dulu!
“Baiklah,”
katanya lirih. “Jangan kau kira bahwa aku datang ke sini untuk mencari pedang
kerajaan. Sama sekali bukan. Aku mendaki pegunungan ini untuk mencari isteriku
yang pergi!”
Sepasang
mata yang tadinya mencorong tajam itu tiba-tiba melunak, seolah-olah merasa
kasihan mendengar ucapan ini, akan tetapi hanya sebentar dan kembali sinar mata
kakek itu menjadi acuh tak acuh. Kemudian, dengan nada suara sama tak acuhnya,
dia berkata sebagai jawaban dari pertanyaan sastrawan muda tadi. “Aku membawa
cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan, dia tidak mempunyai siapa-siapa
lagi selain aku!”
Sekarang
sastrawan itu yang merasa kasihan, bukan kepada Si kakek melainkan kepada anak
perempuan itu. Ia menoleh dan melihat anak itu masih berlari-lari dengan
gembira, hampir tiba di hutan.
“Mengapa
diajak ke tempat seperti ini?” Dia mendesak.
“Untuk
mencari musuh kami!” Jawaban itu singkat saja dan kini kakek itu mempercepat
langkahnya, sengaja menjauh.
Sastrawan
itu kembali terkejut. Dia semakin merasa yakin bahwa kakek itu tentu bukan
orang sembarangan, biar pun sama sekali tidak pernah memperlihatkan
kepandaiannya.
Siauw Goat
sudah tiba lebih dulu di tepi hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang berdaun
lebat, hijau segar itu, dia gembira sekali dan terus berloncatan memasukinya.
Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke depan. Di bawah sebatang pohon raksasa
nampak seorang kakek rebah telentang di atas rumput tebal.
Kakek ini
seorang pengemis, itu sudah jelas. Pakaiannya penuh tambalan dan robek robek di
sana-sini. Di dekatnya, bersandar di sebatang pohon, nampak sebatang tongkat
bambu butut dan di bawahnya terdapat sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan butut,
dan sebuah mangkok kosong yang sudah retak-retak pinggirnya. Jelas dia adalah
seorang pengemis tua yang sedang tidur.
Melihat
seorang kakek pengemis tidur di tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang liar
dan sunyi tiada orangnya itu, tentu saja Siauw Goat menjadi terheran-heran.
Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di kota-kota di mana terdapat banyak
orang kaya yang dapat memberi derma kepada mereka. Akan tetapi mengapa jembel
tua ini berada di tempat sunyi seperti ini? Mau mengemis kepada siapa?
Siauw Goat
adalah seorang anak perempuan yang hatinya perasa dan peka sekali, mudah
tertawa, mudah marah, mudah kasihan, pendeknya segala macam perasaan mudah
sekali menguasai hatinya. Melihat kakek jembel yang bertubuh kurus itu, segera
timbul perasaan kasihan. Maka dia lalu menghampiri, dengan maksud memberi
sekedar sumbangan karena dia mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia ingin
memberi beberapa potong uang kecil kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat
seperti itu, apakah gunanya uang? Dia sendiri pernah mengomel kepada kakeknya
karena sama sekali tidak diberi kesempatan untuk jajan karena di sepanjang
jalan tidak ada orang berjualan apa pun.
“Kakek tua,
bangunlah, kuberi derma padamu!” katanya lirih.
Dia melihat
betapa wajah yang telentang itu membuka mata, hanya sebentar dan dara cilik itu
melihat sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam seperti mata kakeknya, akan
tetapi hanya sebentar mata itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam kembali!
Siauw Goat merasa penasaran. Jelas bahwa kakek ini tidak tidur, akan tetapi
hanya tidak mempedulikan dia saja dan pura-pura tidur!
“Hei,
Lo-kai....!” teriak Siauw Goat sambil mengguncang-guncang pundak kakek itu
untuk membangunkannya. Akan tetapi yang diguncang-guncang tetap tidur, bahkan
sekarang terdengar dia mendengkur!
“Lo-kai
(Pengemis Tua), kau tidak tidur, jangan bohongi aku!” Siauw Goat mencela dan
terus mengguncangnya, namun tidak ada hasilnya.
“Hemm, kau
sengaja mempermainkan aku, ya?” Siauw Goat meloncat berdiri, sepasang matanya
yang jernih dan jeli itu bergerak-gerak mencari akal, deretan giginya yang
putih menggigit bibir bawah. Rasa kasihan yang timbul melihat keadaan kakek
pengemis itu sudah lenyap sama sekali, terganti oleh perasaan gemas dan marah
karena merasa dia dipermainkan oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini
sudah memutar-mutar otak untuk mencari akal, untuk membalas kakek yang
mempermainkannya.
Dia
tersenyum kecil dan menutup mulut dengan jari tangan kiri untuk menahan ketawa,
kemudian dia mencabut sebatang rumput alang-alang yang tumbuh di bawah pohon
itu. Dengan berjingkat-jingkat dia menghampiri lagi kakek pengemis yang
kelihatan masih tidur mendengkur itu. Dengan menggunakan rumput ilalang yang
panjang itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu dengan ujung rumput yang
runcing. Siauw Goat merasa yakin bahwa siapa pun juga, kalau dikilik seperti
itu, tentu akan merasa geli dan pasti akan terbangun, apalagi kakek yang hanya
pura-pura tidur ini.
“Ehhh....?”
Dia berbisik dengan hati kesal dan kedua alisnya berkerut.
Sampai lelah
tangannya, kakek itu tetap saja tidur mendengkur, seolah-olah sama sekali tidak
merasakan kilikan ujung ilalang di sekitar hidungnya itu. Bahkan ketika ujung
rumput itu memasuki lubang hidungnya, dia tetap tidak bergerak sedikit pun!
Padahal, orang lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti itu, tentu tidak
hanya akan bangun, akan tetapi juga dapat bersin.
Makin
kesallah hati anak perempuan itu. “Ihhh, tidurnya seperti babi mati! Hanya akan
terbangun kalau disiram air!”
Teringat
air, dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya dan memandang ke kanan
kiri. Dia melihat rombongan itu sudah makin dekat. Dia harus cepat-cepat
memaksa kakek ini bangun sebelum kongkong-nya dekat karena tentu kongkong-nya
akan memarahinya. Dilihatnya ciu-ouw (guci arak) di dekat batang pohon itu lalu
diambilnya. Dibukanya tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa didalam guci
masih ada araknya. Kalau tidak ada air, arak pun jadilah untuk memaksa Si Tua
malas itu bangun, pikirnya. Maka dia lalu mendekati kakek jembel itu dan
menuangkan arak dari guci ke arah muka Si Pengemis tua!
Tiba-tiba
terjadi keanehan yang membuat Siauw Goat menahan seruannya. Dia merasa seperti
ada tenaga yang menahan tangannya, dan ketika arak itu tertumpah keluar guci,
arak itu secara aneh meluncur tepat ke dalam mulut Si Kakek jembel yang sudah
terbuka dan terdengar suara celegukan ketika kakek itu minum arak yang memasuki
mulutnya. Padahal, mulut itu tidak berada tepat di bawah guci sehingga arak itu
meluncur miring! Seolah-olah arak itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga dapat
langsung memasuki mulut!
“Wah, kau
habiskan arakku, bocah setan!” Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan
kakek pengemis yang sudah bangun duduk itu mengincar-incar ke dalam guci
araknya yang sudah kosong karena memang araknya tinggal tidak banyak lagi dan
semua telah diminumnya secara aneh tadi.
Siauw Goat
menjadi marah. “Apa?! Aku yang menghabiskan arakmu? Kakek jembel, jangan kau
menuduh orang sembarangan, ya? Tidak tahu malu, engkau sendirilah yang minum
habis arak itu, sekarang menuduh aku yang menghabiskan. Hihh!”
“Guci itu
berada di sana, apa bisa bergerak sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan
cilik ini yang mengambilnya? Arak tinggal sedikit kuhemat-hemat, tahu-tahu
sekarang kau habiskan!” Kakek jembel itu marah-marah dan bersikap seperti anak
kecil.
“Ihh, kau
galak dan tak tahu malu! Arak itu kau sendiri yang minum habis, mau marah
kepadaku. Sudahlah, tadinya aku mau memberi derma uang, sekarang jangan harap
ya? Aku tidak suka padamu!” Siauw Goat kemudian membalikkan tubuh hendak pergi
meninggalkan kakek pengemis itu. Tetapi baru kira-kira tiga meter melangkah,
tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolah-olah ada dinding tak tampak yang
menghalangnya untuk melangkah maju terus.
“Aha, kau
hendak lari ke mana, bocah setan? Enak saja, sudah menghabiskan arak orang lalu
mau pergi begitu saja. Engkau harus mengganti arakku!”
Siauw Goat
tidak tahu bagaimana dia tidak mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi anak ini
semenjak kecil sudah banyak melihat keanehan-keanehan yang diperbuat oleh orang
orang pandai ilmu silat, oleh karena itu dia tidak merasa heran dan dia dapat
menduga bahwa tentu kakek jembel ini seorang yang pandai dan yang sengaja
mempergunakan kepandaian yang aneh untuk menahannya.
“Idihhh! Tak
tahu malu! Mulut sendiri yang minum, perut sendiri yang menampung, orang lain
yang disuruh bertanggung jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti, pula mana aku
punya arak? Aku tidak pernah minum arak!” teriaknya sambil membalikkan tubuh
dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang jernih tajam.
“Ha, kulihat
engkau tidak datang sendirian. Rombonganmu tentu membawa arak untuk mengganti
arakku!”
“Tidak! Biar
mereka punya arak sekali pun, aku tidak sudi mengganti arak yang kau minum
sendiri!” Siauw Goat yang mulai timbul kemarahan, dan kekerasan hatinya itu membentak.
“Huh, kalau
begitu, harus kau ganti dengan darahmu sebanyak arakku tadi!” pengemis itu
berkata.
Akan tetapi
kelirulah dia kalau dia mengira dapat menakut-nakuti anak perempuan itu.
Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu makin terbelalak dan makin marah.
“Aihhh! Kiranya engkau seorang jahat! Engkau tentu sebangsa siluman yang tidak
hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali dan suka minum darah manusia!
Kongkong tentu akan membasmi siluman macam engkau!”
Kembali
Siauw Goat hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak
mampu menggerakkan kakinya, padahal pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri
saja ke arahnya dalam jarak tiga meter!
Pada saat
itu, rombongan telah tiba di situ dan yang paling depan adalah para piauwsu.
Empat orang piauwsu yang berada paling depan terkejut melihat Siauw Goat
berdiri seperti patung dan meronta-ronta seperti tertahan sesuatu itu dan
seorang kakek jembel yang duduk di bawah pohon menjulurkan tangan ke arah anak
itu. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang berpengalaman dan mereka dapat menduga
bahwa tentu anak perempuan itu berada di bawah kekuasaan Si Kakek Jembel
sungguh pun mereka tidak tahu secara bagaimana dan mengapa. Mereka, seperti
yang lain-lain, juga amat sayang dan suka kepada Siauw Goat, maka serentak
empat orang ini meloncat ke dekat Siauw Goat.
“Kau
kenapakah, Siauw Goat?”
“Kakek
jembel itu.... dan aku.... aku tidak dapat bergerak maju!” kata Siauw Goat yang
meronta-ronta, seperti melawan tangan tak nampak yang memeganginya.
Empat orang
itu lalu memegang kedua tangan Siauw Goat dengan maksud hendak melepaskannya,
akan tetapi tiba-tiba ada tenaga luar biasa yang mendorong mereka dan betapa
pun empat orang piauwsu itu mempertahankannya, tetap saja mereka terdorong dan
jatuh tunggang-langgang seperti daun-daun kering tertiup angin keras.
Melihat ini,
terkejutlah Lauw-piauwsu. Dia tadi melihat betapa kakek pengemis itu hanya
mendorong tangan kirinya ke depan dan empat orang anak buahnya telah
terpelanting, tanda bahwa kakek itu telah melakukan pukulan jarak jauh dan
ternyata tenaga sakti itu amatlah kuatnya. Di tempat seperti itu melihat orang
menyerang anak buahnya, apalagi mereka telah mendengar bahwa di pegunungan ini
sekarang banyak datang orang-orang dari kaum sesat, maka tentu saja
Lauw-piauwsu segera menduga bahwa tentu kakek itu merupakan seorang tokoh kaum
sesat yang sengaja menghadang dengan niat tidak baik. Apalagi melihat betapa
Siauw Goat masih juga belum mampu bergerak, maka secepat kilat kedua tangannya
itu masing-masing telah melontarkan masing-masing tiga batang pisau terbang
sehingga secara berturut-turut ada enam buah pisau terbang menyambar nyambar ke
arah enam bagian tubuh yang berbahaya dari kakek jembel itu!
Sepasang
mata kakek pengemis itu terbelalak dan ternyata dia memiliki mata yang lebar
sekali. Tangannya telah menangkap tongkat bambunya yang tersandar pada batang
pohon di belakangnya dan begitu dia menggerakkan tongkat, nampak gulungan sinar
menangkis cahaya-cahaya pisau terbang yang menyambar. Terdengar suara nyaring
dan pisau-pisau terbang itu meluncur kembali sehingga menyerang pemiliknya
dengan kecepatan yang luar biasa!
Tentu saja
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai seorang ahli pisau
terbang, tentu saja dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisaunya
sendiri. Tangan kanannya sudah mencabut sepasang siang-to (golok sepasang) yang
kemudian dibagi dua dengan tangan kirinya dan dua gulungan sinar golok itu
menyampok pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu diambilnya dan disimpannya
kembali ke pinggangnya.
Tiba-tiba
terdengar suara Kakek Kun yang tenang namun berwibawa, “Tahan semua, jangan
mencampuri urusan cucuku!” Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu dan anak
buahnya yang tentu saja sudah menjadi marah dan siap untuk mengeroyok.
Mendengar
seruan ini, Lauw-piauwsu lalu meloncat mundur dan memberi isyarat kepada semua
anak buahnya untuk mundur. Dia sendiri diam-diam merasa kaget dan kagum karena
ketika dia menangkis pisau-pisau terbangnya tadi, ketika golok-goloknya bertemu
dengan pisau-pisau kecil itu, dia merasa betapa kedua tangannya kesemutan,
tanda bahwa tenaga yang melontarkan pisau-pisaunya itu amatlah kuatnya. Padahal
kakek itu hanya menangkis saja pisau-pisau itu dengan tongkat bambunya. Maka
dapatlah, dibayangkan betapa lihainya jembel tua itu!
Kakek Kun
kini melangkah maju, masih dalam jarak tiga meter dari cucunya. Dengan sepasang
matanya yang mencorong, dia menatap ke arah kakek jembel yang masih duduk
sambil tersenyum itu. Kemudian Kakek Kun mengangguk dan berkata kepada pengemis
itu, “Sobat, kalau cucuku mempunyai kesalahan terhadapmu, anggaplah saja itu
kelancangan anak-anak, perlukah engkau menanggapinya dengan serius? Kalau
hendak berurusan, baiklah engkau berurusan dengan aku sebagai kakeknya yang
bertanggung jawab!”
Lauw-piauwsu
dan orang-orangnya memandang dengan hati tegang dan juga dengan penuh
keheranan. Baru sekarang mereka mendengar Kakek Kun bicara banyak dan begitu
kakek ini mengeluarkan suara, mereka dapat mengenal ciri-ciri kegagahan seorang
kang-ouw yang menghadapi segala bahaya dan ancaman dengan tenang dan dingin.
Kakek Kun memang dapat melihat betapa cucunya berada dalam kekuasaan tenaga
sakti dari pengemis tua itu, maka dia tidak mau menggunakan kekerasan dan
melarang orang-orang lain menyerang pengemis itu karena hal ini dapat
membahayakan cucunya.
Pengemis itu
membalas pandang mata Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di depannya dengan
tangan kanan yang memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya masih tetap
diluruskan ke arah Siauw Goat yang masih berdiri tak mampu pergi. Kemudian dia
berkata dengan suara bernada mengejek. “Kalau berada di dunia bawah sana, tentu
saja aku Si Jembel Tua tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang anak kecil.
Akan tetapi di sini, arak merupakan sebagian nyawaku. Arakku tinggal sedikit
dihabiskan oleh anak lancang ini, maka sebelum arakku diganti, takkan
kubebaskan dia!” Suaranya penuh tantangan ditujukan kepada semua orang yang
berdiri di depannya.
“Bohong! Dia
bohong, Kongkong! Sisa arak dalam gucinya itu dia minum sendiri sampai habis!”
teriak Siauw Goat dengan marah.
Kakek Kun
mengerutkan alisnya yang sudah putih semua dan matanya yang mencorong menyambar
kepada wajah pengemis itu. “Cucuku tidak pernah membohong!” bentaknya.
Pengemis tua
itu memandang kepada Siauw Goat. “Setan cilik, hayo kau katakan siapa yang mengambil
guci arakku dan menuangkan sisa araknya sampai habis!”
“Memang aku
yang mengambil, aku pula yang menuangkan sisa araknya, akan tetapi kutuangkan
semua ke dalam mulutmu! Hayo kau sangkal kalau berani!” bentak Siauw Goat
dengan sikap menantang.
“Tetap saja
perbuatanmu itu membuat arakku habis, baik masuk perut atau pun masuk tanah.
Engkau atau orang lain harus mengganti arakku!” kakek jembel itu bersikeras
dengan sikap kukuh.
Tiba-tiba
terdengar suara yang halus tenang. “Locianpwe, semua omongan baru benar kalau
ada buktinya. Apakah Locianpwe dapat membuktikan bahwa guci arakmu itu telah
kosong?” Semua orang menoleh, juga pengemis tua itu dan yang bicara dengan
tenang itu bukan lain adalah Si Sastrawan muda tadi, yang sudah berdiri dengan
sikap tenang menghadapi pengemis tua itu.
“Tentu
saja!” Pengemis tua itu berteriak. “Lihat, ini guci arakku kosong sama sekali!”
Dia mengangkat guci arak yang kosong itu, mengarahkan mulut guci ke depan.
Tiba-tiba
nampak sinar kuning emas meluncur dari tangan sastrawan itu dan tercium bau
arak wangi. Semua orang terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning emas itu
adalah arak yang muncrat keluar dari dalam guci arak yang dipegang oleh tangan
kanan sastrawan itu dan arak itu terus meluncur ke depan, tepat sekali memasuki
guci arak kosongnya yang dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian cepatnya
peristiwa ini terjadi dan demikian kagum dan herannya semua orang sehingga
suasana menjadi sunyi dan yang terdengar hanyalah percikan arak yang masuk ke
dalam guci kakek jembel. Kakek itu pun terbelalak dan tersenyum lebar. Gucinya
pun terisi arak dan kini sastrawan itu sudah menyimpan kembali gucinya dan
sinar kuning emas itu pun lenyap.
“Saya telah
mengganti arakmu, Locianpwe!” katanya tenang.
Kakek jembel
itu mendekatkan mulut guci ke depan hidungnya, menyedot-nyedot dan terkekeh
girang. “Wah, arak wangi dari Pao-teng kiranya! Hemm, wangi.... wangi!” Dan dia
pun meneguk sekali, mengecap-ngecap bibirnya. “Hebat, arak tua yang lezat.
Ha-ha-ha, anak baik, kau boleh pergi sekarang.” Dia menurunkan tangan kirinya
dan Siauw Goat pun dapat bergerak.
Anak ini
lalu berlari mendekati kongkong-nya. “Kongkong, kau bunuhlah siluman jahat
ini!” katanya merengek, menarik tangan kakeknya mendekati pengemis itu. Akan
tetapi pengemis itu sudah merebahkan diri lagi, meringkuk miring seperti orang
hendak tidur lagi, tanpa mempedulikan mereka semua!
Tentu saja
Kakek Kun menjadi bingung dan ragu. Sebagai seorang yang berpandangan luas, dia
tahu bahwa kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw yang pandai, dan
kesalahannya terhadap cucunya tidaklah sedemikian hebatnya sehingga perlu
dibunuh seperti diminta oleh cucunya. Maka dia menarik tangan Siauw Goat
menjauhi pengemis itu.
Siauw Goat yang
bertolak pinggang dengan tangan kiri memandang kepada pengemis itu penuh
kemarahan, tertarik pergi menjauh.
“Kongkong,
katamu kita harus bersikap gagah, kalau bertemu orang jahat atau siluman harus
menentangnya. Jembel tua bangka ini jelas orang jahat atau siluman, mengapa
Kongkong tidak menghajarnya? Dia akan menjadi semakin besar kepala!”
Kembali
Kakek Kun mengerutkan alisnya karena bingung. Dia tak ingin mencari perkara
dengan kakek jembel itu, akan tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek pengemis itu
akan memandang rendah kepadanya, dan dia akan menjadi buah tertawaan
orang-orang lain.
“Sudahlah,
perlu apa layani dia?” Akhirnya dia berkata.
Ucapan ini
membuat Si Kakek pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak, jenggotnya yang
tidak teratur itu bergerak-gerak.
“Ha-ha-ha-ha!”
Kakek jembel itulah yang tertawa mendengar permintaan cucu kepada kakeknya itu.
“Apakah aku ini dianggap lalat saja yang mudah dibunuh? Eh, engkau yang
mempunyai cucu bengal itu, coba kau ambil daun ini apakah dapat sebelum bicara
tentang bunuh-membunuh!” Sambil berkata demikian, jembel tua itu mengambil
sehelai daun pohon yang gugur.
Daun yang
sudah mulai menguning itu lalu dilontarkannya ke atas dan daun itu melayang
naik. Akan tetapi kakek jembel itu tidak menurunkan tangannya, dan tangan itu
seperti ketika dia ‘menahan’ Siauw Goat tadi, diangkat dengan telapak tangan ke
arah daun itu dan.... daun itu tidak dapat melayang turun, mengambang di udara
seperti tertahan oleh suatu tenaga yang tidak nampak, kemudian daun itu melayang
ke arah Kakek Kun!
Kakek Kun
sejak tadi memandang tajam dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu
memamerkan tenaga sinkang yang dipergunakan untuk menyerangnya dengan daun itu,
sungguh pun penyerangan itu hanya merupakan suatu ujian belaka.
“Hemm,
cucuku memang masih kecil, akan tetapi engkau tak lain hanyalah seorang anak
kecil pula yang bertubuh tua bangka!” kata Kakek Kun dan dia pun lalu
meluruskan tangannya ke depan, ke arah daun yang melayang-layang ke arah
dirinya itu.
Daun itu
berhenti ditengah-tengah, tidak meluncur maju lagi, seolah-olah tertahan oleh
tenaga lain yang datang dari kakek itu, bahkan terdorong mundur kembali ke arah
kakek pengemis. Akan tetapi kakek pengemis itu menggetarkan tangannya dan kini
daun itu berhenti di tengah-tengah di antara dua orang kakek. Mereka tidak
bicara lagi, dan mata mereka ditujukan ke arah daun yang diam saja di udara
seperti terjepit di antara dua kekuatan dahsyat!
Makin lama
dua orang kakek itu makin diam dan lengan mereka yang diluruskan tergetar,
makin lama makin menggigil dan dari kepala mereka mulai nampaklah uap putih!
Inilah tanda bahwa keduanya saling mengerahkan tenaga untuk mencapai kemenangan
dalam adu tenaga dalam yang amat dahsyat itu!
Semua
piauwsu yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan
muka penuh ketegangan. Tingkat kepandaian mereka, bahkan tingkat kepandaian
Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah mencapai setinggi itu, tetapi mereka semua
mengerti apa artinya pertandingan antara dua orang kakek ini. Baru sekarang
Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya sadar bahwa dua orang kakek itu benar-benar
merupakan orang orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali!
Diam-diam
sastrawan muda itu memandang pertandingan itu dengan kedua alis berkerut dan
pandang mata penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang tahu, di antara para anggota
rombongan itu, di samping dua orang kakek yang saling bertanding tenaga
sinkang, bahwa pertandingan itu mengandung bahaya yang amat hebat antara dua
orang itu, keduanya terancam bahaya besar yang dapat menyeret nyawa mereka ke
alam baka!
Pertandingan
itu sudah terlanjur, tenaga sinkang mereka sudah terlanjur saling melekat dan
sukar untuk ditarik kembali karena siapa yang menariknya kembali lebih dulu
akan terancam bahaya dorongan hawa sinkang lawan. Melanjutkannya pun berbahaya
karena mereka memiliki tingkat tenaga sinkang yang berimbang, dan kalau
dilanjutkan maka keduanya akhirnya tentu akan kehabisan tenaga dan dapat
terluka sendiri. Kalau keduanya mau menarik kembali tenaga dalam waktu yang
bersamaan, agaknya mereka masih dapat tertolong, akan tetapi agaknya kedua
orang kakek ini sama-sama memiliki kekerasan hati dan tidak ada yang mau
mengalah!
“Ji-wi
seperti dua orang anak kecil sedang berebutan sehelai daun!” Tiba-tiba
terdengar sastrawan itu berseru. Dari samping dia lalu menggerakkan tangan
kanannya ke depan, mengarah tengah-tengah antara kedua orang kakek itu, yaitu
ke arah daun yang masih mengambang di udara.
Dua orang
kakek itu berseru kaget dan daun itu hancur-lebur, rontok berhamburan melayang
ke bawah. Dua orang kakek itu sudah menarik tenaga masing-masing pada saat yang
sama ketika keduanya merasa terdorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya dan
mereka terhindar dari mala petaka. Kini mereka dengan mata terbelalak memandang
kepada sastrawan itu yang berdiri dengan sikap tenang saja. Bahkan Kakek Kun
sendiri tidak pernah menyangka bahwa sastrawan itu ternyata memiliki tenaga
sinkang yang demikian dahsyatnya, sungguh pun dia sudah tahu bahwa sastrawan
itu bukan orang sembarangan.
Kakek
pengemis itu kini bangkit berdiri, tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang
saja, tangan kanan memegang tongkat bambu dan tangan kiri memegang guci arak.
Ujung tongkat bambunya kini menyentuh mangkok retak di bawah pohon dan mangkok
itu melayang naik, lalu seperti seekor burung hidup saja mangkok itu menyambar
turun dan menyusup ke dalam karung butut di atas punggungnya.
Tiba-tiba
sastrawan itu berkata, suaranya seperti orang bernyanyi perlahan akan tetapi
pandang matanya yang tajam ditujukan kepada kakek pengemis itu.
“Arak untuk
menghibur hati yang duka, mangkok untuk minta derma, dan tongkat untuk memukul
anjing. Kalau arak untuk mabok-mabokan, mangkok untuk memaksa orang memberi
makanan dan tongkat digunakan untuk memukul orang baik-baik, itu namanya
menyeleweng dan tidak pantas menjadi pengemis!”
Mendengar
ucapan itu, kakek pengemis terbelalak dan memandang penuh keheranan kepada Si
Sastrawan dari kepala sampai ke kaki. Kemudian dia mengangguk-angguk, lalu
berkata, “Bukankah itu ajaran terkenal dari Khong-sim Kai-pang?”
“Khong-sim
Kai-pang sekarang sudah tidak ada lagi,” jawab sastrawan itu.
Khong-sim
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) adalah sebuah perkumpulan yang
paling terkenal di jaman dahulu, merupakan perkumpulan yang paling terkenal di
antara perkumpulan pengemis lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang she Yu
yang amat lihai, dianggap sebagai tokoh besar dunia pengemis.
“Siapa tidak
tahu akan hal itu? Akan tetapi, bukankah masih ada ketuanya yang terakhir,
yaitu Sai-cu Kai-ong? Orang muda yang perkasa, apakah hubunganmu dengan Sai-cu
Kai-ong?”
“Beliau
pernah menjadi guruku.”
Mendengar
jawaban ini, pengemis tua itu kelihatan terkejut dan cepat menjura. Jawaban itu
menunjukkan bahwa pemuda ini bukan hanya menjadi murid tokoh pengemis besar
itu, akan tetapi juga tentu telah mempelajari ilmu dari orang lain, maka
jawabannya adalah ‘pernah menjadi guruku’.
“Aihh,
kiranya begitu! Sungguh lama sekali aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong
yang amat kukagumi, dan kini bertemu dengan seorang muridnya yang perkasa,
benar benar merupakan pertemuan yang menggembirakan. Jangan khawatir, orang
muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya tidak pernah meninggalkan kedudukan
pengemis untuk berubah menjadi perampok, dan tongkat bututku ini tidak pernah
salah memukul orang!” Kakek kurus itu tertawa.
Sastrawan
itu memandang tajam. Tentu saja ia juga pernah mendengar nama Koai-tung Sin-kai
Bhok Sun, seorang tokoh dunia pengemis yang amat terkenal, sebagai datuk kaum
pengemis di dunia selatan di samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh pengemis
di daerah timur dan selatan. Maka dia pun menjura dengan hormat.
“Kiranya
Locianpwe adalah Koai-tung Sin-kai yang terkenal. Saya percaya bahwa Locianpwe
tidak pernah salah memukul orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi hal yang
tidak menyenangkan antara teman segolongan sendiri.” Sastrawan muda itu berani
menggunakan sebutan segolongan karena dia mengenal nama kakek pengemis itu
sebagai seorang tokoh kang-ouw yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini, biar pun
belum diketahuinya benar, dia percaya bukanlah seorang penjahat.
Koai-tung
Sin-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, semua gara-gara kekerasan hati, dan
dibandingkan dengan kami dua orang tua yang keras hati, anak perempuan itu
memiliki kekerasan hati yang jauh lebih hebat lagi!” Dia lalu menjura kepada
Kakek Kun sambil berkata, “Sahabat, maafkan kesalah fahaman tadi. Engkau
sungguh hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai merasa takluk. Tidak tahu
siapakah julukanmu?”
Kakek Kun
mengerutkan alisnya, agaknya sukar untuk menjawab. Sementara itu, tiba tiba
Siauw Goat berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring. “Kongkong,
hati-hati, di balik air tenang ada ikan buasnya, di balik kulit halus ada
ulatnya!”
Semua orang
tentu saja mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang hendak
memperingatkan kakeknya agar tidak tertipu oleh sikap manis pengemis tua itu karena
dia masih saja merasa penasaran dan menganggapnya jahat. Akan tetapi kakek
pengemis itu tertawa gembira mendengar ucapan itu.
“Hei, anak
nakal, engkau pendendam benar, akan tetapi engkau pun membantuku untuk
berkenalan dengan orang-orang gagah seperti murid Sai-cu Kai-ong dan kakekmu
ini, tentu saja kalau dia tidak merasa terlalu tinggi untuk berkenalan dengan
seorang jembel tua bangka seperti aku!”
Ucapan dan
sikap kakek pengemis itu membayangkan ketinggian hatinya, sungguh tidak sesuai
sama sekali dengan keadaan pakaiannya seperti seorang pengemis! Dan Kakek Kun
sejenak memandang dengan sinar mata tajam dan mukanya berubah pucat, akan
tetapi hal ini hanya dapat ditangkap oleh pandang mata sastrawan itu yang
mengerutkan alisnya karena sastrawan ini dapat melihat bahwa kakek ini seperti
merasa terpukul dan agaknya kakek ini menderita sekali.
Padahal dia
tahu bahwa dalam adu tenaga tadi, Kakek Kun tidak kalah kuat, maka tidak
mungkin kalau terluka oleh adu tenaga tadi. Akan tetapi sekarang kakek itu menunjukkan
gejala-gejala seperti orang yang menderita luka dalam yang amat hebat, sungguh
pun hal itu agaknya hendak disembunyikan. Akan tetapi mengingat akan keangkuhan
kakek ini, Si Sastrawan juga mengambil sikap tidak peduli.
Akhirnya
terdengar kakek itu menggumam, “Orang-orang menyebutku Kakek Kun, dan aku tidak
ingin mencari musuh baru atau sahabat baru.” Setelah berkata demikian, dia
membalikkan tubuhnya membelakangi pengemis itu dan terdengar dia batuk-batuk
kecil lalu menggandeng tangan cucunya dan pergi dari situ.
Sejenak
kakek pengemis itu memandang dengan mata terbelalak, mukanya lalu menjadi merah
dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, aku pun tidak ingin berdekatan dengan rombongan
orang-orang tinggi hati dan besar kepala. Huhhh!” Kakek pengemis itu berkelebat
dan sekali meloncat dia pun lenyap dari situ.
Semua orang
terkejut, termasuk Lauw Sek. Kepala piauwsu ini sudah banyak melakukan
perjalanan dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh, maka
mengertilah dia bahwa pengemis tua itu benar-benar seorang yang pandai sekali
dan untunglah bahwa orang pandai itu tidak bermaksud mengganggu barang-barang
kawalannya. Juga dia merasa beruntung bahwa ada orang-orang sakti seperti Kakek
Kun dan juga sastrawan muda itu dalam rombongannya.
“Kita
mengaso di sini dulu,” katanya, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang
saudagar gendut itu. “Malam nanti kita dapat melewatkan malam di dalam hutan
bambu, dan besok pagi-pagi kita menuruni lembah di depan itu dan tiba di dusun
Lhagat, dari mana kita akan melanjutkan pendakian ke Pegunungan Himalaya.”
Sambil
mengeluarkan napas lega tiga orang saudagar itu mencari tempat teduh di bawah
pohon, melepaskan beberapa kancing baju bagian atas lalu mengebut-ngebutkan
kipas yang mereka bawa untuk mengeringkan peluh yang membasahi leher dan dada.
Para pemikul barang kawalan rombongan piauwsu itu pun menurunkan pikulan mereka
dan para piauwsu membuka buntalan mengeluarkan bekal makanan dan minuman.
Sastrawan
itu menyendiri agak jauh, duduk melamun dengan wajah seperti biasanya, agak
sayu dan muram. Demikian pula Kakek Kun membawa cucunya menjauh sedikit, duduk
bersila dan seperti orang bersemedhi, sedangkan cucunya nampak makan bekal
mereka roti kering sambil minum air jernih dari guci. Agaknya kakek itu
mengomeli cucunya, sebab tidak seperti biasa, Siauw Goat juga menjadi pendiam
dan agak murung, duduk saja dekat kakeknya, tidak seperti biasa lincah dan tak
pernah mau diam.
Setelah
peristiwa yang baru saja terjadi, di mana sastrawan itu dan Kakek Kun terpaksa
memperlihatkan ilmu mereka yang tinggi, rombongan piauwsu itu menjadi jeri dan
sungkan, tidak berani sembarangan menegur, apalagi bersikap sebagai
sahabat-sahabat yang setingkat! Mereka bahkan mempunyai perasaan segan dan
takut-takut. Agaknya Kakek Kun dan sastrawan itu juga merasa lebih senang kalau
didiamkan saja, lebih senang tenggelam dalam lamunan mereka sendiri!
Setelah
makan minum dan beristirahat, Lauw-piauwsu lalu menggerakkan lagi rombongannya.
“Kita tidak boleh terlambat, sebelum gelap harus dapat tiba di hutan bambu di
lembah itu karena sekeliling daerah ini hanya hutan bambu itulah tempat yang
paling baik untuk melewatkan malam,” katanya dan semua orang tidak ada yang
membantah, biar pun dari wajah mereka, tiga orang saudagar gendut itu mengeluh.
Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan menderita, hal itu karena mereka
mengharapkan keuntungan berlipat ganda dari batu-batu permata di saku-saku baju
mereka, yang akan mereka jual di Nepal atau Bhutan.
Memang amat
luar biasa. Betapa manusia dapat menahan segala kesukaran, segala derita kalau
dia sedang mengejar sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan!
Perjalanan itu amat melelahkan, jalannya naik turun dan kadang-kadang melalui
daerah yang berbatu dan batu-batu yang runcing itu seperti hendak menembus
sepatu, terasa oleh kulit telapak kaki. Akan tetapi menjelang senja, akhirnya
dengan tubuh yang amat letih bagi tiga orang saudagar itu, tibalah mereka di
hutan bambu yang dirmaksudkan oleh Lauw-piauwsu. Para piauwsu juga letih.
Apalagi orang-orang yang memikul barang bawaan mereka itu, mereka mandi
keringat ketika menurunkan barang barang itu, menumpuknya di dekat rumpun bambu
yang tinggi melengkung.
Tanah di
hutan itu penuh dengan daun bambu kering sehingga enak diduduki, seperti duduk
di atas kasur saja.
“Hati-hati
kalau malam nanti membuat api unggun,” kata Lauw-piauwsu. “Sekitar api unggun
harus dibersihkan dari daun kering agar tidak menjalar dan menimbulkan
kebakaran dalam hutan, walau pun hal itu agaknya tidak mungkin karena kurasa
malam ini hawanya akan dingin dan lembab. Sebaiknya membuat satu api unggun
besar dan kita duduk di sekelilingnya, agar lebih hangat dan lebih aman, dapat
saling menjaga.”
Tiba-tiba
terdengar suara teriakan yang mengejutkan dan seorang di antara para piauwsu
yang tadi mencari ranting-ranting kering agak jauh dari situ berlari mendatangi
dengan muka pucat dan napas yang memburu, kelihatan ketakutan sekali, kemudian
terdengar dia berteriak dengan suara gagap. “Ada.... ada mayat....!”
Semua orang
lalu memburu ke arah piauwsu itu menudingkan telunjuknya yang gemetar dan
setelah tiba di tempat itu barulah mereka tahu mengapa piauwsu itu, seorang
yang biasa dalam pertempuran dan sudah sering kali melihat orang terbunuh,
kelihatan begitu gugup dan ketakutan. Memang amat mengerikan sekali apa yang
mereka lihat itu. Mayat-mayat berserakan, dalam keadaan menyedihkan karena
tidak ada tubuh mereka yang utuh! Tubuh itu seperti ‘dirobek-robek’, bahkan ada
yang kaki tangannya putus atau terlepas dari badan! Dan melihat betapa tempat
itu masih berceceran darah yang mulai membeku dapat diduga bahwa pembunuhan itu
terjadi di hari tadi. Ada lima mayat di tempat itu.
Tentu saja
para piauwsu menjadi ribut, dan tiga orang saudagar gendut itu hampir saja
pingsan, lari menjauhi dan muntah-muntah. Hanya sastrawan itu dan Kakek Kun yang
tetap tenang, walau pun kakek itu melarang cucunya mendekat, kemudian membawa
cucunya kembali dan menjauh dari tempat yang menyeramkan itu.
Lauw-piauwsu
lalu mengajak anak buahnya untuk menggali sebuah lubang besar dan menguburkan
lima mayat itu menjadi satu. Melihat ini, ada sinar mata kagum pada mata Kakek
Kun yang mencorong itu dan dia mulai merasa suka kepada kepala piauwsu itu yang
ternyata, dalam keadaan seperti itu, meski dia seorang yang biasa menggunakan
kekerasan dan menghadapi tantangan hidup dengan golok di tangan, namun masih
memiliki peri kemanusiaan dan suka mengurus dan mengubur mayat orang-orang yang
sama sekali tidak dikenalnya.
Dengan
adanya lima mayat di dekat tempat itu, tentu saja suasana menjadi seram dan
semua orang merasa amat tidak enak hatinya. Sastrawan muda yang sejak tadi
termenung, kini bangkit berdiri dan melangkah pergi.
“Taihiap,
engkau hendak ke manakah?” Lauw-piauwsu tidak dapat menahan hatinya dan
bertanya sambil menghampiri sastrawan yang agaknya hendak pergi itu. Dia
menyebut taihiap karena dia maklum bahwa sastrawan itu adalah seorang pendekar
yang amat tinggi ilmunya. Sebelum peristiwa dengan kakek pengemis itu, dia
selalu menyebutnya kongcu (tuan muda). Sastrawan muda itu berhenti melangkah
dan menoleh.
“Pembunuh
kejam itu tentu berada di sekitar sini, aku hendak menyelidiki.” katanya, lalu
melanjutkan langkahnya.
Lauw-piauwsu
tidak berani bertanya lebih banyak lagi, bahkan hatinya merasa lega karena
memang tadi pun dia sudah merasa curiga. Pembunuhan kejam itu belum lama
terjadi dan memang kemungkinan besar pembunuhnya, siapa pun orangnya atau apa
pun makhluknya, masih bersembunyi di sekitar hutan bambu ini. Dia bergidik
mengingat ini dan setelah anak buahnya membuat sebuah api unggun yang besar dan
semua orang mulai mengaso tanpa makan malam karena tidak ada yang dapat menelan
makanan setelah melihat keadaan mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu mengatur
para anak buahnya untuk melakukan penjagaan secara bergilir.
Malam itu
suasananya sunyi sekali, sunyi yang amat menyeramkan. Suasana ini bukan hanya
diciptakan oleh keadaan di dalam hutan bambu itu, yang memang terasa amat
menyeramkan, dengan bunyi daun-daun bambu terhembus angin, bergesekan dan
diseling suara berdesirnya batang-batang bambu yang saling bergosokan, seperti
tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka dongeng, melainkan terutama sekali
disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut yang menyelubungi hati rombongan itu.
Lewat tengah
malam, di waktu keadaan amat sunyinya karena sebagian dari anggota rombongan
sudah tidur, sedangkan angin pun berhenti bertiup sehingga keadaannya amat
sunyi melengang, tiba-tiba terdengar pekik-pekik kesakitan. Tentu saja pekik
yang merobek kesunyian itu mengejutkan semua orang. Bahkan mereka yang sudah
tidur, tentu saja tidur dalam keadaan gelisah dan diburu ketakutan, serentak
terbangun dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika mereka melihat dua di
antara empat orang pemikul barang itu telah roboh mandi darah dan tak bergerak lagi,
sedangkan dua orang piauwsu sudah luka-luka namun masih mempertahankan diri
melawan dua orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai!
Ketika semua
orang terbangun dan memandang, ternyata dua orang piauwsu itu pun tak sanggup
mempertahankan diri lebih lama lagi. Mereka berdua ini bersenjata golok besar,
akan tetapi mereka terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar yang tidak
memegang senjata, akan tetapi kedua tangan mereka memakai semacam sarung tangan
yang mengerikan karena sarung tangan itu dipasangi lima buah jari tangan yang
melengkung dan berkuku tajam kuat terbuat dari pada baja! Tubuh dua orang
piauwsu itu sudah luka luka dan mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu
meloncat, dua orang piauwsu itu roboh dengan perut terbuka karena dicengkeram dan
dikoyak oleh kuku-kuku baja itu. Mereka pun menjerit dan berkelojotan!
Toat-beng
Hui-to Lauw Sek marah sekali dan kedua tangannya diayun. Nampak sinar sinar
berkilauan menyambar ke arah dua orang tinggi besar itu.
“Tring-tring-cring....!”
Dua orang
itu tidak mengelak, akan tetapi menggerakkan kedua tangan mereka dan enam
batang hui-to yang menyambar mereka itu dapat mereka sampok runtuh semua! Pada
saat itu, seorang piauwsu cepat menambah kayu pada api unggun sehingga keadaan
menjadi terang.
“Kalian....!?”
Lauw-piauwsu berteriak dengan mata terbelalak ketika dia kini mengenal wajah
dua orang tinggi besar itu yang tertimpa sinar api unggun.
Semua orang
pun menjadi terkejut dan terheran-heran karena dua orang tinggi besar itu bukan
lain adalah dua di antara empat orang pemikul barang-barang dalam rombongan
mereka! Dua di antara para pemikul barang-barang yang mereka tadinya hanya
anggap sebagai orang--orang kasar yang mengandalkan tenaga kasar untuk menjadi
kuli angkut dan memperoleh hasil nafkah sekedarnya itu!
“Kalian
anggota Eng-jiauw-pang...?” Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan keheranan masih
mencekam hatinya.
“Ha-ha-ha!”
Seorang di antara dua orang ‘kuli’ itu tertawa. “Lauw-piauwsu, kami hanya
menghendaki satu peti ini saja!” katanya sambil menepuk peti hitam yang sudah
diikat di punggungnya. Peti kecil itu justru merupakan benda yang paling
berharga di antara semua yang dikawalnya karena peti itu berisi batu-batu intan
besar.
“Pek-i-piauw-kiok
tidak pernah bermusuhan dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka memandang
persahabatan antara dunia liok-lim (rimba hijau) kangouw (sungai telaga) dan
tidak mengganggu. Pada suatu hari tentu aku sendiri yang akan datang
mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk menghaturkan terima kasih,” kata Lauw Sek
dengan tenang akan tetapi dengan kemarahan yang sudah mulai naik ke kepalanya.
Diam-diam
ketua Pek-i-piauw-kiok ini merasa menyesal sekali mengapa bisa sampai
‘kebobolan’ dan tidak tahu bahwa ada perampok dari perkumpulan perampok yang
paling ganas di Se-cuan menyamar sebagai dua orang kuli angkut barang! Memang
dua orang kuli angkut ini baru pertama kali dipekerjakan, namun dengan
perantaraan dua orang kuli lain yang kini telah tewas itu, dibunuh oleh dua
orang anggota Eng-jiauw-pang.
Dia segera
mengenal dua orang anggota Eng-jiauw-pang begitu melihat cakar garuda di kedua
tangan itu, yang merupakan sarung tangan dan senjata andalan dari para anggota
Eng-jiauw-pang yang tidak banyak jumlahnya akan tetapi rata-rata memiliki
kepandaian tinggi itu. Selama ini dia tidak pernah mau berurusan dengan fihak
Eng-jiauw-pang dan perampok-perampok ini pun bukan perampok biasa, tidak pernah
merampok barang barang yang tidak berharga.
“Ha-ha-ha,
antara perampok dan piauwsu, mana ada kerja sama yang adil? Kalau kalian berani
main sogok seribu tail, tentu karena kalian ada untung sepuluh ribu tail!
Sudahlah, kami sudah bersusah payah memangguli barang-barang ini, dan peti ini
adalah upah kami!”
“Tidak
mungkin kalian dapat melarikan peti itu tanpa melalui mayatku!” Lauw-piauwsu
membentak dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang goloknya, diikuti anak
buahnya yang hanya tinggal sembilan orang saja karena yang dua orang sudah
terluka parah.
Terjadilah
perkelahian yang amat hebat di bawah sinar api unggun yang kadang-kadang
membesar kadang-kadang mengecil itu. Bayangan-bayangan yang dibuat oleh sinar
api ini sungguh menambah seramnya keadaan karena seolah-olah banyak iblis dan
setan ikut pula berkelahi, atau menari-nari kegirangan di antara mereka yang
bertempur mati matian.
Dua orang
En-jiauw-pang itu memang lihai bukan main. Sepasang senjata mereka yang
merupakan sarung tangan berkuku baja itu amat berbahaya dan biar pun mereka
berdua dikeroyok oleh sepuluh orang piauwsu yang bersenjata tajam, namun mereka
berhasil melukai pula empat orang! Namun, Lauw-piauwsu memutar sepasang
goloknya secara cepat dan dibantu oleh sisa teman-temannya, dia berhasil
mendesak dan mengepung ketat sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu kewalahan
juga. Tiba-tiba seorang di antara mereka membentak keras, terdengar ledakan dan
nampak asap kehijauan mengepul tebal.
“Awas asap
beracun!” Lauw-piauwsu berseru dan anak buahnya berlompatan mundur.
Dengan
sendirinya kepungan itu menjadi berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang itu
menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke belakang. Akan tetapi,
tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan mereka melihat seorang kakek tua sudah
berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan lain adalah Kakek Kun yang berdiri
dengan wajah bengis.
“Tinggalkan
peti itu!” bentaknya.
“Kun-locianpwe,
harap engkau jangan mencampuri urusan antara Eng-jiauw-pang dan
Pek-i-piauw-kiok!” seorang di antara mereka berseru marah.
“Hemm, aku
tak peduli apa itu Eng-jiauw-pang dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku melihat
kalian melakukan kejahatan, maka dari mana pun kalian datang pasti akan
kutentang!”
Dua orang
itu membentak keras dan mereka menubruk dari kanan kiri. Kakek Kun cepat
menangkis dan balas menyerang dengan pukulan dan tamparan yang juga dapat
dielakkan dan ditangkis oleh dua orang Eng-jiauw-pang itu. Terjadilah
pertempuran amat serunya dan kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi dua
orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok banyak itu mampu mendesak para pengepungnya,
sebaliknya kini mereka mengeroyok seorang kakek dan merekalah yang terdesak
hebat. Setiap tamparan yang keluar dari tangan kakek itu demikian ampuhnya
sehingga kalau mereka tidak mampu mengelak dan terpaksa menangkisnya, mereka
tentu terdorong dan terhuyung-huyung!
Betapa pun
juga, dua orang perampok itu menjadi nekat oleh karena tempat itu sudah
dikepung lagi oleh Lauw-piauwsu dan teman-temannya, siap untuk menerjang kalau
mereka berdua hendak melarikan diri. Pertempuran dilanjutkan dengan mati-matian.
Namun setelah lewat lima puluh jurus lebih, setelah berkali-kali mengadu tenaga
mereka dengan sinking, akhirnya dengan tamparan-tamparannya yang mengandung
tenaga sinkang amat kuat itu Kakek Kun berhasil membuat mereka terpelanting dan
mengaduh aduh, sukar untuk bangkit kembali!
Lauw-piauwsu
merampas kembali peti hitam itu dan dia sudah mengangkat golok untuk membunuh.
Akan tetapi Kakek Kun berseru, “Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!”
Dua orang
perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak
tahu harus marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh
kakek ini, akan tetapi sebaliknya, nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka
tadinya jeri terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu mencari kesempatan. Kini
sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan
mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh
itu turun tangan mencampuri dan menggagalkan usaha mereka!
Melihat
sinar mata dua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas
panjang, suaranya terdengar lirih sekali. “Pergilah.... pergilah....!”
Kedua orang
itu kemudian mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap.
Lauw-piauwsu yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri
Kakek Kun dan memberi hormat, “Kun-locianpwe telah menolong kami, sungguh besar
budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima kasih....”
“Kongkong....!”
Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lainnya terkejut melihat
kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah
segar.
“Kun-locianpwe....!”
Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan
tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila
sebentar. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin
lama pernapasannya makin baik dan normal kembali, sungguh pun wajahnya masih
amat pucat.
“Kongkong,
kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kongkong telah terluka parah,
masih melayani segala jembel dan perampok busuk!” terdengar Siauw Goat
mengomel.
“Kongkong....!”
Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu
bahwa kakeknya amat menderita.
Lauw-piauwsu
kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini
merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api
unggun. Siauw Goat berlutut didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut
seperti menunjukkan ketidak senangan hatinya.
“Kun-Locianpwe,
dapatkah saya membantu Locianpwe?” Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya,
sedangkan para anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam
pertandingan melawan dua orang perampok Eng-jiauw-pang tadi, sedangkan dua
orang kuli angkut itu telah tewas.
Kakek itu
tidak menjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap
amat berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia
memegang pergelangan tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah
dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat gosok,
membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya dengan obat
gosok panas itu.
Menjelang
pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka,
dan menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian
menoleh serta memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah
meninggalkannya.
“Lauw-piauwsu....,”
katanya lemah.
“Bagaimana,
Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?”
“Dekatkan
telingamu....,“ katanya semakin lemah.
Ketika
Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik
bisik menceritakan riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu
lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan sambil mengangguk-angguk tanda
mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan terkejut.
Setelah
menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek
itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya.
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari tangan kakek yang sudah terluka
parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan dia tahu
bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!
“Lauw-piauwsu,
bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kau beritahukan orang lain, bahwa
engkau akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku
akan membawamu bersama untuk mengubur rahasia itu!”
Lauw Sek
terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya
berilmu tinggi, memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh,
keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia lalu membisikkan sumpahnya.
“Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya dengar dari
Kun-locianpwe saat ini.”
Jari-jari
tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas
lega kembali.
“Dan
benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kau janjikan tadi?”
“Tentu saja,
Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan
suka membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apa pun juga.”
,
“Hemm....
aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya.
Maka, kuserahkan Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja
karena namanya termasuk rahasia itu.... dan kau harus membantunya sampai dia
dapat bertemu dengan orang tuanya....“
“Baik,
Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya.”
“Aku tidak
minta tolong secara cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan benda dari saku
bajuku, Goat-ji (Anak Goat)....”
Siauw Goat
sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik bisik
dekat telinga Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Sekarang dia lalu
memenuhi permintaan kakeknya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain
hitam.
“Lauw-piauwsu....
inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup....“ Dia
menyerahkan kantung kain hitam itu.
“Kun-locianpwe!
Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!”
“Terimalah....
dan bukalah....” Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat
Lauw Sek tidak berani membantah lagi.
Dibukanya
kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur
burung merpati. Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di
atas telapak tangannya itu, dia terbelalak.
“Ini....
ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?”
katanya gagap, terpesona oleh benda yang berkilauan biru itu.
“Kau....
mengenalnya....?”
Lauw Sek
mengangguk. “Bukankah ini mutiara biru India yang hanya....”
“Sudahlah....
laksanakan permintaanku....” Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk
bersila.
Tangannya
masih mampu menangkis saat Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya. Akhirnya dia
dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila
dengan kedua kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki
kanan telentang di atas paha kiri.
Ini adalah
cara duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan
dan kini kakek itu duduk seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih
tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk atas menutup, kedua tangannya
terletak di atas kedua lutut, telentang!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment