Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 02
Melihat ini,
Lauw-piauwsu lalu mengundurkan diri untuk membantu teman-temannya yang masih
sibuk mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan tetapi, ketika matahari mulai
mengirim sinarnya yang merah keemasan, membuat benang-benang sutera menerobos
celah antara daun-daun bambu, dia mendengar teriakan Siauw Goat,
“Kongkong....!”
Dia cepat
menghampiri dan melihat anak itu berlutut dan mendekap kedua tangan kakek itu
yang masih duduk bersila seperti tadi akan tetapi kedua tangannya dirangkap di
atas pergelangan kaki. Anak perempuan itu tak menangis, hanya berlutut dan
membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya. Lauw Sek memandang wajah kakek itu,
ia mengerutkan alisnya dan meraba pergelangan tangan kanan kakek itu untuk
merasakan denyut nadinya. "Dia sudah meninggal dunia!"
Lauw Sek
terkejut dan menoleh. Kiranya yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda yang
entah dari mana baru saja muncul dan begitu melihat wajah kakek itu telah
berhenti bernapas. Dan memang sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat merasakan
ada denyut nadi, maka dia lalu mengelus kepala Siauw Goat.
“Siauw Goat,
kakekmu telah meninggal dunia dalam keadaan tenang, janganlah engkau berduka
lagi, Nak.” Suara piauwsu ini agak gemetar karena dia merasa terharu sekali.
Dia tahu bahwa kakek ini agaknya sedang mengidap penyakit berat, dan ketika
malam tadi menolongnya merobohkan dua orang perampok, agaknya kakek ini terlalu
banyak mengerahkan tenaga sehingga luka di dalam tubuhnya makin parah dan
mengakibatkan tewasnya.
Anak
perempuan itu mengangkat mukanya. Mukanya pucat, sepasang matanya bersinar
sinar, namun tidak nampak dia menangis sungguh pun ada bekas air mata membasahi
kedua mata dan pipinya. Dia sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia mengepal
tinju kanannya yang kecil sambil berkata, “Aku bersumpah untuk membalas
kematian kakekku kepada Si Jembel tua bangka Koai-tung Sin-kai dan perkumpulan
penjahat Eng-jiauw-pang!”
“Hemm, gadis
cilik engkau lancang sekali! Koai-tung Sin-kai bukan....“
“Kau peduli
apa?” Siauw Goat meloncat berdiri, bertolak pinggang menghadapi pemuda
sastrawan yang tadi mencelanya. “Semalam Kongkong yang sedang menderita luka
parah telah terpaksa membantu para piauwsu menghadapi penjahat-penjahat
perampok Eng-jiauw-pang dan saat itu engkau bersembunyi di mana? Sekarang
setelah kakekku meninggal, engkau muncul dan pura-pura hendak menasehatiku.
Bagus, ya?”
Sastrawan
itu terbelalak, tersenyum urung dan mukanya berubah merah. Wah, anak ini luar
biasa, pikirnya. Ketika mengangkat muka, dia melihat pandang mata semua orang
ditujukan kepadanya, seolah-olah mereka itu mendukung teguran anak perempuan
itu.
“Aku
menemukan jejak manusia salju dan mengikutinya semalam suntuk, akan tetapi tak
berhasil menemukannya,” dia menggumam.
“Yeti....?”
Lauw Sek berteriak dengan muka pucat dan semua piauwsu juga menjadi pucat
mukanya, bahkan ada yang menggigil ketakutan dan memandang ke kanan kiri.
“Di.... di mana.... dia....?” Lauw-piauwsu bukanlah orang yang lemah, akan
tetapi sebagai seorang piauwsu yang sering kali melalui daerah ini, tentu saja
dia sudah mendengar banyak tentang manusia salju atau Yeti, betapa makhluk itu
kalau sudah mengamuk amat berbahaya, tidak ada manusia di dunia ini yang mampu
menandinginya. Maka tidak mengherankan kalau dia menjadi pucat ketakutan.
Sastrawan
itu menggerakkan pundaknya. “Aku hanya menemukan jejak kakinya saja, dan jelas
bahwa orang-orang yang terbunuh itu adalah korban-korbannya.”
“Tapi
biasanya Yeti tidak pernah mengganggu manusia. Kecuali kalau dia lebih dulu
diganggu. Tentu ada hal hebat dan aneh terjadi maka Yeti dapat mengamuk seperti
itu, membunuh banyak orang dan melihat betapa para korban itu dikoyak-koyak
jelaslah bahwa Yeti itu benar-benar sedang marah. Kita harus cepat melanjutkan
perjalanan. Mari kita cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu segera melanjutkan
perjalanan ke dusun Lhagat!”
Semua orang
lalu sibuk bekerja menggali sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika mereka
hendak mengubur kakek itu, ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk bersila
telah kaku dan tidak dapat ditekuk kaki tangannya agar dapat rebah telentang.
“Biarkan saja!”
tiba-tiba Siauw Goat berkata lantang. “Kongkong lebih suka tidur bersila,
jangan ganggu jenazahnya!” Anak itu tidak tega melihat betapa para piauwsu
berusaha untuk menarik-narik kaki tangan kongkong-nya.
Sastrawan
muda itu hanya tersenyum saja dan mengangguk-angguk. Maka beramai ramai para
piauwsu lalu menggotong tubuh yang masih bersila itu, meletakkannya ke dalam
lubang yang cukup dalam. Setelah Siauw Goat memberi hormat untuk yang terakhir
kalinya dengan hio yang menjadi bekal para piauwsu, kemudian semua piauwsu juga
memberi hormat, bahkan juga tiga orang saudagar gendut, kecuali Si Sastrawan,
maka jenazah dalam lubang itu lalu ditimbuni tanah. Tidak terdengar tangis,
akan tetapi sastrawan itu melihat betapa air matanya bercucuran dari kedua mata
Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak ini menangis, namun kekerasan hatinya
membuat tidak ada isak keluar dari mulutnya.
“Luar
biasa.... anak luar biasa....,” Sastrawan muda itu menggumam kepada diri
sendiri.
Setelah
selesai penguburan itu, Siauw Goat lalu minta kepada Lauw Sek agar makam itu
diberi tanda. Piauwsu itu kelihatan bingung. “Ah, tanda apa yang dapat dipakai
di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil ditumpuk.” Dia lalu memerintahkan
orang-orangnya untuk mengumpulkan batu-batu.
Akan tetapi
tiba-tiba tampak sastrawan muda itu datang dan kedua tangannya yang diangkat ke
atas kepala itu membawa sebongkah batu sebesar kerbau bunting! Semua orang
memandang dengan kagum dan terkejut, tetapi dengan seenaknya sastrawan itu
menurunkan batu perlahan-lahan ke depan makam baru. Tanpa berkata sesuatu dia
lalu mundur lagi. Gadis cilik itu pun hanya memandang sejenak kepada Si
Sastrawan, tanpa mengucapkan terima kasihnya karena dia masih mendongkol kepada
sastrawan itu. Kalau semalam sastrawan itu berada di situ dan kakeknya tidak
perlu harus menandingi para perampok, kakeknya belum tentu akan mati!
Rombongan
itu kemudian melanjutkan perjalanan, menuruni lembah, dari hutan bambu itu
terus menurun, menuju ke dusun Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan dengan
agak tergesa-gesa dan pada wajah para piauwsu itu terbayang ketakutan setelah
mereka mendengar cerita Si Sastrawan bahwa Yeti berkeliaran di daerah itu dan
membunuh orang secara amat mengerikan.
Mereka tidak
banyak bicara selama dalam perjalanan ini, bukan hanya karena takut dan ngeri
kepada Yeti, akan tetapi juga karena mereka masih menghormati kematian Kakek
Kun dan berada dalam keadaan berkabung. Juga Siauw Goat yang biasanya lincah
itu kini nampak pendiam, akan tetapi sepasang matanya kadang-kadang mengeluarkan
sinar penuh api kemarahan.
“Siauw Goat,
Kongkong-mu meninggalkan pesan agar mulai saat ini aku menjadi walimu,
mengamatimu, mengurusmu dan mengantarkan engkau untuk mencari orang tuamu,” di
dalam perjalanan itu Lauw Sek mendekatinya dan berkata lirih.
Gadis cilik
itu mengangguk tanpa menjawab.
“Oleh karena
itu, mulai sekarang, kuharap engkau suka menuruti segala petunjukku, karena aku
merasa bertanggung jawab atas dirimu. Engkau tentu mengerti bahwa aku harus
memenuhi segala janjiku kepada Kongkong-mu, Siauw Goat.”
Gadis cilik
itu mengangkat kepala dan memandang kepada wajah piauwsu itu dengan sinar mata
penuh selidik, sinar mata yang amat tajam. Agaknya dia merasa puas dengan hasil
penyelidikan sinar matanya, karena dia kembali mengangguk dan bibirnya bergerak
perlahan, terdengar dia menjawab lirih. “Baiklah, Lauw-pek.”
Walau pun
dia berjalan agak menyendiri dan agak jauh dari Siauw Goat, akan tetapi
pendengaran yang tajam dari Si Sastrawan dapat menangkap percakapan lirih itu
dan dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan dengan secepat mungkin
dan kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi barang-barang bawaan yang dikawal
karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut yang membantu mereka.
********************
Lhagat
adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung
besar. Lhagat merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena
tempat ini merupakan tempat pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan
dari Tibet ke Nepal atau India, atau pun sebaliknya. Juga merupakan tempat di
mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan mereka dari negaranya
masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai
negeri yang bertetangga.
Tempat
perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut
pengakuannya secara resmi, Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara
Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh dari kota-kota lain, juga amat
terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar, sedangkan
tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah
itu memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja! Semua hal termasuk
keamanan, pajak, dan peraturan peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala
Daerah ini mempunyai pasukan sendiri.
Akan tetapi
dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena
Kepala Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang
besar dengan adanya pusat perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang
berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh bantuan berupa pungutan
derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang yang
tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka.
Pada
hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram,
keramaian yang ada hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang
sebagian dari pada keuntungan mereka untuk bersenang-senang. Akan tetapi pada
waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam hati penduduk Lhagat,
membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan. Ada dua peristiwa terjadi dan
inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya.
Yang pertama
adalah orang-orang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan
pakaian dan sikap aneh-aneh dan biar pun sebagian besar mereka itu mengaku
pelancong dan pedagang, akan tetapi sikap mereka amat mencurigakan karena yang
mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan yang mengaku pedagang
tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam senjata tajam
dan aneh-aneh!
Jelaslah
bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kang-ouw dan
berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal hal yang
amat hebat. Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk
Lhagat.
Yang membuat
mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan
di sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan.
Hampir setiap hari datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya
mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong itu atau oleh para pemburu,
pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu
ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak. Meski peristiwa
ini dihubungkan dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para
penghuni Lhagat tetap saja menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang
mereka dengan sinar mata tidak senang.
“Yeti tidak
pernah mengamuk dan membunuhi manusia,” kata seorang kakek penghuni asli
Lhagat. “Selama hidupku belum pernah aku mendengar ada Yeti mengamuk karena
makhluk itu bukan sebangsa binatang buas pemakan bangkai. Kalau sampai ada Yeti
mengamuk, kalau memang benar Yeti yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu,
maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi yang berani
membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?”
Inilah
sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak
muram dan sunyi, wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana
seperti itulah rombongan Lauw-piauwsu memasuki Lhagat. Rombongan
Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat, bahkan Kepala
Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan
rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini
membawa saudagar-saudagar dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu
saja tidak dicurigai.
Maka biar
pun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak memiliki
hotel karena banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah
sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk memperoleh tempat penginapan. Banyak
penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauw-piauwsu
yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal menumpang di
rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan
Lauw-piauwsu dan rombongannya.
Lauw-piauwsu
kemudian menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk
melanjutkan perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari
Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman dan baik. Dan dari perbatasan ini
nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan dioperkan kepada
kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri. Lauw-piauwsu
sendiri bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di
rumah samping gedung kepala daerah sambil merawat dan mengobati dua orang yang
terluka itu.
Tiga orang
saudagar gendut yang ikut dalam rombongan sudah memisahkan diri setelah
membayar biaya pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan
kesengsaraan dan ketakutan yang mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan
muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan barang-barang berharga mereka di
pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda. Juga sastrawan muda itu sudah
tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena
memang dia tidak merasa menumpang, hanya ‘kebetulan’ saja melakukan perjalanan
bersama rombongan itu.
Lauw-piauwsu
mendengar dari para prajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong
asing itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat
melanjutkan perjalanan karena pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan
biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang berani
melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti
ingin mati konyol.
Karena
hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang
kang-ouw makin banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ
tidak dapat pergi karena adanya badai salju itu. Maka kini hampir semua rumah
menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan tentang ditemukannya
mayat mayat di sekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota
itu menjadi panik.
Apalagi
ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat
mengkhawatirkan adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan
prajurit untuk melakukan penyelidikan dan telah tiga hari lamanya pasukan itu
berangkat, sampai sekarang belum ada kabar beritanya! Mereka semua kini
menanti-nanti dengan gelisah.
Karena
Lauw-piauwsu sibuk merawat kedua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh
banyak kesempatan untuk menyendiri. Namun dara cilik ini agaknya telah reda
kedukaannya karena kematian kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali
kelincahan dan kegembiraannya.
“Lauw-pek,
kapan kita melanjutkan perjalanan?” berkali-kali dia bertanya.
“Sabarlah,
Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau
para pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan
memenuhi pesan kakekmu. Pula sekarang terdapat badai salju, tidak seorang pun
yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu berbahaya sekali.”
Siauw Goat
tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah
mendengar jelas tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali
kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan para penghuni dusun Lhagat. Dia
dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat Lauw-piauwsu!
“Lauw-pek,
aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan
anak panahnya yang baik di ujung dusun.”
Lauw Sek
memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan. “Busur dan anak panah?
Untuk apa?”
“Untuk
mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku
dapat melindungi diri sendiri dengan senjata itu.”
“Ahh, apakah
engkau bisa mempergunakan busur dan anak panah, Siauw Goat?”
“Engkau
lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita membeli sebuah busur dan beberapa batang
anak panah untukku!”
Lauw Sek
tersenyum mengangguk dan mereka lalu pergi ke tempat orang menjual senjata yang
banyak diperjual belikan di situ karena para pemburu sering kehilangan anak
panah dan selalu membutuhkan cadangan baru. Lauw Sek kemudian memilihkan
sebatang busur yang tidak terlalu besar dan berat, dan segebung anak panah yang
belasan batang jumlahnya. Giranglah hati Siauw Goat. Dia segera mengalungkan
tempat anak panah itu di pundaknya.
“Mari kita
coba anak panahku, Lauw-pek,” katanya gembira dan mereka lalu pergi ke tempat
sunyi. “Lihat, aku akan memanah batang pohon itu!” Siauw Goat berkata lagi
sambil menuding ke arah sebatang pohon yang tidak lebih besar dari tubuhnya
sendiri.
Cepat sekali
dia sudah mengambil dua batang anak panah, tahu-tahu sudah dipasang di busurnya
dan terdengar tali gendewa menjepret dan dua batang anak panah itu meluncur
cepat dan menancap tepat di tengah-tengah batang pohon, berjajar dengan
rapinya! Diam-diam Lauw Sek kagum juga. Memang anak ini bukan pembual,
pikirnya. Ilmu memanahnya memang boleh juga dan dapat diandalkan sebagai
pelindung dirinya kalau bertemu dengan orang jahat. Pantaslah kalau diingat
bahwa anak ini adalah cucu dari seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek Kun.
“Bagus!”
Lauw Sek memuji sambil tertawa. “Kiranya engkau ahli memanah, Siauw Goat. Aku
girang melihat ini, dan hatiku merasa lebih aman karena engkau pandai menjaga
diri. Akan tetapi jangan engkau sembarangan menggunakan anak panah untuk
melukai orang.”
Siauw Goat
menghampiri pohon itu dan mencabut dua batang anak panahnya, lalu disimpannya
kembali ke tempat anak panah yang tergantung di punggungnya. “Aku tahu,
Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini pun hanya kupergunakan apabila perlu dan
terdesak saja. Sebelum mempergunakan anak panah itu, busur ini pun sudah cukup
baik untuk kupakai menjaga diri.”
Ucapan ini
makin menggirangkan hati Lauw Sek karena dia tahu bahwa selain pandai memanah,
gadis cilik ini tentu pandai bermain silat menggunakan busur itu sebagai
senjata, dan hal ini pun tidak mengherankan mengingat akan kepandaian kakeknya.
Dia kagum karena menggunakan busur sebagai senjata bukankah hal yang mudah dan
harus dipelajari secara khusus, berbeda dengan senjata-senjata lain seperti
pedang, golok, tombak atau toya misalnya.
Akan tetapi
pada keesokan harinya Lauw-piauwsu menjadi bingung sekali ketika dia tidak
melihat anak perempuan itu di kamarnya. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa
pagi pagi sekali anak perempuan itu telah pergi meninggalkan tempat itu membawa
busur dan anak panah. Lauw-piauwsu segera mencarinya, akan tetapi biar pun dia
bertanya-tanya dan berputar-putar di daerah dusun, tetap saja dia tidak dapat
menemukan Siauw Goat. Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Apalagi
keadaan makin gawat saja dengan berita-berita tentang adanya banyak orang yang
kedapatan mati dalam keadaan mengerikan.
Akhirnya
Lauw-piauwsu bertemu dengan seorang penduduk yang melihat Siauw Goat. “Dia pagi
tadi ikut bersama pasukan keluar dari pintu gerbang!”
Mendengar
ini Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya. Pasukan itu adalah pasukan yang diutus
oleh Kepala Daerah untuk menyusul pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak
ada kabar beritanya! Mau apa anak itu ikut dengan rombongan pasukan,yang
bertugas menyusul pasukan pertama itu? Teringat akan janjinya kepada Kakek Kun,
Lauw Sek merasa tidak enak sekali dan karena keadaan kedua orang temannya yang
terluka kini sudah mendingan, dia lalu pergi pula untuk menyusul dan mencari
Siauw Goat.
Ke mana
perginya anak perempuan itu? Memang benar seperti apa yang didengar oleh Lauw
Sek dari penghuni Lhagat itu. Siauw Goat yang banyak kenalan itu mendengar
bahwa Kepala Daerah mengirim pasukan untuk mencari pasukan pertama yang sudah
tiga hari pergi untuk menyelidiki tentang kematian-kematian aneh yang terjadi
di sekitar Lhagat. Mendengar ini, hati Siauw Goat tertarik sekali dan diam-diam
dia lalu membujuk komandan pasukan itu untuk diperkenankan ikut!
Sang
Komandan, seperti juga orang-orang lain, suka kepada gadis cilik yang lincah
ini, apalagi dia tahu bahwa gadis cilik ini adalah ‘puteri angkat’ dari
Lauw-piauwsu yang telah dikenalnya, bahkan yang kini tinggal di rumah samping
dari gedung Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan senang hati komandan itu
menerima permintaan Siauw Goat dan demikianlah, pagi-pagi benar Siauw Goat
sudah bangun, membawa gendewa dan anak panahnya lalu ikut dengan rombongan
pasukan itu keluar dari Lhagat untuk menyusul dan mencari pasukan pertama.
Biar pun
hati Lauw Sek sudah tidak begitu khawatir lagi setelah mendengar bahwa Siauw
Goat ikut bersama pasukan, namun dia tetap keluar dari dusun itu untuk
mencarinya. Adalah menjadi kewajibannya seperti dijanjikan kepada mendiang
Kakek Kun untuk menjaga Siauw Goat. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak
itu, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Lauw Sek berlari cepat mengejar
rombongan pasukan yang menuju ke barat. Dia telah ketinggalan beberapa jam
lamanya.
Menjelang
tengah hari, pada saat dia tiba di puncak sebuah bukit dan memandang ke bawah
ke arah barat, nampaklah olehnya serombongan orang. Hatinya berdebar tegang
karena dia mengenal orang yang berpakaian seragam. Yang membuatnya tegang dan
khawatir adalah ketika dia melihat mereka itu menggotong mayat beberapa orang!
Larilah Lauw Sek dan baru hatinya merasa lapang ketika dia mengenal Siauw Goat
berada di antara mereka. Dara cilik ini masih memegang busur dan dia berjalan
dengan langkah tegap di samping komandan pasukan, sedangkan anak buah pasukan
itu ternyata menggotong mayat-mayat sebanyak tujuh orang!
“Siauw
Goat....!” Lauw Sek memanggil girang sambil berlari menghampiri.
“Lauw-pek,
engkau mau ke mana?” tanya gadis cilik itu.
Lauw Sek
memandang dengan mata terbelalak, menahan kemarahannya. “Ke mana lagi kalau
tidak mencarimu, anak nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pamit?”
Siauw Goat
tersenyum. “Habis, kalau pamit tentu Lauw-pek tidak akan menyetujui.”
Komandan itu
cepat menghampiri Lauw Sek. “Ahh, Lauw-piauwsu, jadi puterimu ini tidak
memberitahu bahwa dia ikut bersama kami? Ahh, maafkan kami, kami kira dia sudah
memberi tahu dan....”
“Sudahlah,
syukur tidak terjadi sesuatu dengan dia. Dan mayat-mayat ini....“ dia tidak
melanjutkan karena pandang matanya mengenal sepatu dan pakaian seragam pada
mayat-mayat itu maka mengertilah dia bahwa mayat-mayat itu adalah mayat-mayat
para prajurit pasukan pertama yang tiada kabar beritanya itu! Ternyata mereka
juga telah menjadi korban, entah korban Yeti seperti yang dikabarkan orang,
entah korban apa.
“Kami
menemukan mereka di lereng bukit di sana, hanya ada tujuh orang yang telah
tewas, sedangkan sisanya semua berada di dalam jurang yang amat curam, tak
mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka yang berada di dasar jurang itu,” kata
komandan pasukan sambil menarik napas panjang.
“Siapa....
yang melakukan itu?” tanya Lauw Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena
sebetulnya semua orang, juga dia, menduga keras bahwa tentulah semua pembunuhan
itu dilakukan oleh Yeti!
Komandan itu
mengangkat pundak, kemudian berkata lirih. “Kami tak menemukan siapa siapa di
sana, hanya melihat jejak kaki yang besar dan dalam....“
“Jejak....”
“Yeti,
Pek-pek! Sudah pasti jejak makhluk kejam itu! Aku sudah minta kepada paman
paman ini untuk melanjutkan perjalanan mencari makhluk itu, akan tetapi mereka
tidak mau dan lebih dulu hendak membawa pulang mayat-mayat itu. Aku ingin
bertemu dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku untuk membunuhnya!”
“Hushh,
Siauw Goat, jangan lancang bicara kau!” Lauw-piauwsu berkata dan dia merasa
seram, memandang ke kanan kiri.
“Apakah
Pek-pek juga takut terhadap Yeti yang jahat itu?” Hemm, kalau Kongkong masih
hidup, tentu kongkong akan mencarinya dan membunuhnya supaya dia tidak lagi
membunuhi banyak orang.”
Diam-diam
Lauw Sek kagum sekali kepada anak perempuan ini dan mengertilah dia mengapa
anak ini minta dibelikan busur dan anak panah. Kiranya diam-diam anak itu marah
kepada Yeti yang membunuh banyak orang dan ketika terbuka kesempatan, dia ikut
bersama pasukan itu dengan harapan untuk dapat membunuh Yeti! Akan tetapi, keberanian
yang nekat dari anak ini kelak dapat membuat repot kalau dia mengantar anak ini
mencari orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang perjalanan kembali ke Lhagat,
Lauw Sek mengomeli Siauw Goat dan memesan dengan keras bahwa anak itu
selanjutnya tidak boleh pergi tanpa pamit.
“Siauw Goat,
engkau tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu, maka engkau
tidak boleh pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Mengerti?”
Melihat
wajah yang marah dan suara yang kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut dan
dia tidak menjawab, hanya mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw Goat tak pernah
mau bicara lagi dalam perjalanan itu sampai mereka memasuki dusun Lhagat,
disambut dengan wajah pucat oleh semua orang yang melihat mayat-mayat para
prajurit keamanan itu dan mendengar tentang kematian seluruh pasukan pertama
secara mengerikan dan juga aneh. Makin paniklah orang-orang di situ, dan
sekarang mereka membicarakan Yeti dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah
takut kalau-kalau makhluk iblis itu akan muncul kalau namanya disebut-sebut
dengan keras.
Ratap tangis
terdengar di Lhagat hari itu ketika keluarga para prajurit yang tewas itu
menangisi kematian mereka. Penduduk merasa prihatin dan juga diam-diam marah
sekali. Kaum tua di Lhagat masih tetap berpendapat bahwa semua ini adalah
gara-gara para orang kang-ouw yang berdatangan di Lhagat. Tentu di antara
mereka itu ada yang mengusik Yeti sehingga makhluk yang oleh para penghuni
Lhagat dianggap dewa penjaga gunung salju itu kini mengamuk dan membunuh orang tanpa
pilih bulu lagi. Maka kaum tua ini lalu mendesak kepala daerah untuk melakukan
upacara sembahyang agar dewa itu berhenti mengamuk.
Akan tetapi
di kalangan orang kang-ouw yang berada di Lhagat, diam-diam merasa curiga.
Mungkinkah Yeti yang mengamuk? Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah ada
rahasia tersembunyi di balik pembunuhan-pembunuhan itu? Mereka semua tahu bahwa
kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga berada di daerah itu untuk
mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam istana.
Dan pembunuhan pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan
sesat, tentu saja kalau bukan Yeti pelakunya.
Siauw Goat
yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang
melainkan memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya.
Melihat gadis cilik itu kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas
panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh tugas yang amat berat dari
mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan!
Masuknya
Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para
pelayannya dengan senyum gembira. “Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut
bersama rombongan pasukan yang menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!”
teriak Si Pemilik Warung.
“Ceritakan
apa lagi?” kata Siauw Goat dengan nada tak senang. “Mereka semua telah mati
oleh iblis terkutuk Yeti itu!”
“Siocia....!”
Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak
dan muka pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan
makhluk yang sakti dan dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis
cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu iblis terkutuk!
Melihat
sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada
Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang
masih belum penuh betul itu, lalu berkata, “Tunggu saja, kalau aku bertemu
dengan Yeti si iblis terkutuk, akan kuhabiskan semua anak panahku untuk
membunuhnya!”
Semua orang
menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang
laki-laki di sudut warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan,
agaknya dia setengah mabok. Kepalanya bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan
berkata, “Ha-ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut busuk....!”
Semua orang
menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah
omongan Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang
semua orang menganggapnya omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti
dan bersumbar akan membunuhnya? Akan tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan main
mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang anak panah pada
busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si
Pemabok.
“Tringgg!”
Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari
tangannya. Arak muncrat dan menyiram mukanya.
“Ehhh....?”
Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah. “Berani
engkau....?”
Akan tetapi
beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata, “Ssttt.... kau sudah
mabok rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia
puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!”
Ternyata
nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat
dibujuk-bujuk meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak
sambil tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.
“Hemmm,
engkau makin angkuh saja....!” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Siauw Goat
cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang
lain duduk seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal,
maka bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya
merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka gembiralah hatinya, lupa bahwa
dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.
“Eh, kau di
sini?” tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat
dengan wajah yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri. Sikap yang
demikian lincah, senyum yang demikian manis dan wajah yang berseri-seri itu
tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku.
Sastrawan
muda itu pun menahan senyumnya dan setelah mereka saling berpandangan,
sastrawan muda itu lalu bangkit berdiri dan berkata. “Duduklah, dan kalau
engkau suka, mari makan dan minum denganku.”
“Kalau aku
suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main,
agaknya....“ dia menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu
melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal. “agaknya saat ini aku bisa
menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!”
Tentu saja
wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan
sastrawan muda itu pun hampir tak kuat menahan senyumnya. “Lopek, tambahkan
lagi bakminya, daging panggang dan.... ehh, Siauw Goat, apa engkau suka minum
arak?”
Gadis cilik
itu menggeleng kepala. “Untukku teh panas saja!”
Dia pun lalu
duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol
dengan asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan
permintaan pemilik warung dan para pelayan, kini dengan suka rela tanpa diminta
dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti rombongan pasukan dan
menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.
“Wah, jejak
kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah
dulu Paman juga pernah melihatnya?”
Cara gadis
cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya
sendiri, membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang
demikian akrab itu membuatnya tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah
Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika melihat wajah tampan itu
tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.
“Hei, apa
yang kau pandang?” sastrawan itu berseru.
“Wajahmu!
Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering
tersenyum atau tertawa, sebaliknya selalu bermuram saja yang menyelimuti
ketampananmu?”
Sepasang
mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan
kepolosan watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan.
Perlahan lahan wajah yang muram itu berseri. “Engkau pun manis sekali, Siauw
Goat.”
Gadis cilik
itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan
dirinya sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari
tangan Si Pemabok tadi. Kalau tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan
merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan mengenai tubuh orang
itu!
“Paman,
engkau tentu seorang siucai (sastrawan), bukan? Pakaianmu itu....”
Pria itu
hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Biarlah
kupanggil engkau Paman Sastrawan! Namamu tidak dapat diberitahukan orang lain,
bukan?”
Kembali pria
itu terkejut. Bocah ini sungguh bermata tajam sekali dan agaknya mampu
menjenguk isi hatinya. “Bagaimana engkau bisa menduga begitu?”
Siauw Goat
mengangguk-angguk. “Kau ini seperti mendiang kakekku, selalu menyelimuti diri
dengan rahasia dan keanehan. Kau tahu, bahkan namaku pun dirahasiakan kakek,
setidaknya, nama lengkapku dan aku hanya boleh memperkenalkan diri dengan nama
Goat saja, yang hanya merupakan sebutan. Dan nama kakek hanya diperkenalkan
sebagai Kun saja. Biarlah, aku pun tidak akan mendesak untuk bertanya siapa
namamu, karena andai kata kau berikan pun, tentu itu nama palsu. Tetapi, boleh
aku bertanya, engkau hendak pergi ke mana, Paman?”
Ditanya
demikian, sastrawan itu termangu-mangu, lalu menarik napas panjang dan berkata,
“Ke mana, ya? Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tempat
tertentu, hanya merantau saja. Sudah puluhan propinsi kulalui, ratusan kota
kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi. Entah sudah berapa ratus buah gunung
kudaki, ratusan batang sungai kuseberangi....“
“Aihhh
senangnya....!” Siauw Goat berseru, kemudian menengadah seperti orang yang
membayangkan semua itu dengan wajah berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu
tersenyum!
Sastrawan
itu memandang heran. “Apanya yang senang?”
“Tidak
senangkah engkau?”
“Entahlah....“
“Tentu
senang sekali.” Tiba-tiba dia menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang kecil
menuding ke luar jendela warung, ke arah seekor burung yang sedang beterbangan
di angkasa. “Lihat, engkau seperti burung itu! Alangkah senangnya, terbang
bebas lepas tanpa ada yang mengikat!”
Sastrawan
itu memandang sebentar, lalu dia menatap wajah mungil itu sambil berkata,
“Siauw Goat, engkau agaknya tidak mendengar keluhan burung itu....”
“Apa? Dia
hanya berkicau riang! Apakah dia mengeluh, dan apa yang dikeluhkannya?”
“Dengar
baik-baik. Kalau dia sudah kelelahan terbang, kepanasan, kehujanan, akhirnya
dia mengeluh, merindukan sebuah sarang di mana dia dapat beristirahat dengan
tenang dan aman....“
“Ohh....
ahh.... benarkah itu, Paman?” Gadis itu termenung, agaknya kata-kata sastrawan
itu menimbulkan kebimbangan di dalam hatinya. Dia sendiri selama ini
membayangkan betapa bahagianya hidup bebas lepas seperti burung di udara, akan
tetapi ternyata sastrawan yang hidup seperti burung ini agaknya tidak merasakan
kebahagiaan itu, bahkan agaknya merindukan rumah, merindukan ikatan!
Memang
selama manusia belum dapat bebas dalam arti yang sebenarnya, dia akan selalu
merindukan sesuatu yang tidak atau belum ada! Tidaklah mengherankan apabila
manusia yang tinggal di tepi laut merindukan keindahan alam pegunungan,
sebaliknya mereka yang tinggal di lereng gunung merindukan keindahan pantai
lautan!
Manusia yang
belum bebas selalu menganggap keadaan orang lain lebih menyenangkan dari pada
keadaan diri sendiri, milik orang lain lebih menarik dari pada miliknya
sendiri, dan selanjutnya. Pendeknya, yang terbaik dan terindah itu selalu
berada di sana, sedangkan yang berada di sini selalu membosankan, buruk dan
tidak seindah yang di sana!
<
br>Hanya kalau orang sudah benar-benar bebas dari pada permainan pikiran
yang mengejar kesenangan, kalau sudah bebas dari bayangan-bayangan kesenangan
masa lalu yang menjadi kenangan, bebas dari penilaian, bebas dari perbandingan,
maka dia dapat membuka mata dan memandang dengan wajar, memandang dengan
waspada dan dengan penuh perhatian, sepenuh perhatiannya, kepada apa adanya di
saat ini!
Dan kalau
sudah dapat memandang seperti itu, setiap saat terhadap apa yang ada, tanpa
dikotori perbandingan dan penilaian, maka batin tidak lagi digoda oleh bayangan
bayangan yang hanya mendatangkan pengejaran kesenangan dan akhirnya menuntun
kita kepada kebosanan, kekecewaan dan kesengsaraan. Hanya kalau mata kita
terbuka dan mengamati apa adanya setiap saat, maka akan nampaklah segala yang
ada pada apa adanya itu.
Dan apabila
dalam penglihatan hasil pengamatan ini masih ada ‘ini baik dan menyenangkan’,
‘itu buruk dan tidak menyenangkan’, maka pengamatan itu pun akan menjadi kotor
dan ternoda karena yang berkata baik atau buruk, itu bukan lain adalah pikiran
yang selalu menjangkau kesenangan!
Maka,
dapatkah kita mengamati segala sesuatu yang terjadi, baik di luar mau pun di
dalam diri, mengamati segala macam benda di luar kita dan segala macam
gerak-gerik tubuh kita, kata-kata kita, pikiran kita, tanpa penilaian, tanpa
perbandingan dan hanya pengamatan saja yang ada, tanpa adanya si aku atau
pikiran yang mengamati.
Pengamatan
seperti ini bebas dari baik buruk atau susah senang, pengamatan seperti ini
melahirkan tindakan-tindakan wajar yang tidak dipengaruhi untung rugi.
Pengamatan seperti ini adalah bebas, dan hanya dalam kebebasan inilah cinta
kasih dapat menembuskan sinarnya.
“Paman
Sastrawan, jika memang engkau merasa bosan merantau bebas seperti seekor
burung, mengapa tidak kau hentikan saja?” Siauw Goat memang seorang anak yang
cerdik, maka kini dia mendesak pemuda sastrawan itu.
“Karena aku
tidak mungkin berhenti, aku harus mencari....”
“Mencari
apa? Mencari siapa?”
“Mencari
isteriku....”
“Ehhh....?”
Siauw Goat memandang dengan matanya yang bening tajam.
Sastrawan
itu menarik napas panjang. Anak perempuan itu demikian menarik hatinya,
merupakan satu-satunya orang yang selama bertahun-tahun ini dapat menggerakkan
hatinya sehingga dia mau bicara tentang dirinya. Kini dia berkata dengan nada
suara berat. “Sudah hampir lima tahun aku mencarinya.... ke seluruh kolong
langit.... dan aku sudah hampir putus asa....”
“Isterimu kenapa,
Paman? Bagaimana mungkin seorang isteri lari darimu? Siapa dia dan siapa
namanya, bagaimana macamnya? Biar aku bantu mencari!”
Menghadapi
pertanyaan bertubil-tubi itu, sastrawan muda ini menahan senyum. Dia sudah
sadar lagi dan kini hanya menggeleng kepala.
Siapakah
sebenarnya pemuda sastrawan ini? Pernah dia mengaku kepada Koai-tung Sin-kai
Bhok Sun bahwa Sai-cu Kai-ong pernah menjadi gurunya. Dari pengakuan ini para
pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu akan dapat mengenalnya atau
menduga siapa adanya sastrawan muda ini.
Sastrawan
muda yang berwajah tampan gagah dan bertubuh jangkung tegap ini bernama Kam
Hong. Dia adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas yang pernah
menggegerkan dunia persilatan. Semenjak kecil Kam Hong sudah menjadi yatim
piatu dan dia dirawat oleh seorang kakek sakti berjuluk Sin-siauw Sengjin
(Manusia Dewa Suling Sakti) yang sebetulnya merupakan keturunan dari seorang
hamba dari Suling Emas dan kakek inilah yang secara rahasia menyimpan
kitab-kitab peninggalan Suling Emas, menyimpannya untuk kelak diserahkan kepada
yang berhak yaitu Kam Hong sebagai keturunan langsung dari pendekar sakti
Suling Emas.
Ketika masih
kecil sekali, Kam Hong telah ditunangkan dengan seorang anak perempuan yang
merupakan keturunan langsung dari keluarga Yu, yaitu yang dahulu menjadi
sahabat baik Suling Emas dan menjadi pendiri dari perkumpulan pengemIs
Khong-sim Kai-pang. Kemudian, Sin-siauw Sengjin menyerahkan Kam Hong kepada
Sai-cu Kai-ong untuk digembleng, sedangkan Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu
Kong Tek yang telah ditunangkan dengan Kam Hong itu sebaliknya oleh kakeknya
diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk dididik. Jadi, dua orang kakek ini
telah saling menukar cucu dan momongan masing-masing untuk digembleng, dengan maksud
agar keturunan Suling Emas itu memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi dan juga agar
dapat tersembunyi karena Suling Emas mempunyai banyak musuh-musuh yang selalu
berusaha untuk membasmi keturunannya.
Akan tetapi
Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong yang diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin itu
diculik orang dan penculiknya itu bukan orang sembarangan, melainkan Hek-sin
Touw-ong Si Raja Maling Sakti Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan
dia menculik anak itu bukan dengan niat buruk, bahkan dia mengambil anak
perempuan itu sebagai muridnya yang terkasih!
Peristiwa
ini menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik seperti yang dapat diikuti dalam
cerita JODOH RAJAWALI. Dalam cerita itu dituturkan betapa setelah mereka
menjadi dewasa, akhirnya Kam Hong dapat bertemu dengan Yu Hwi yang telah
dijodohkan kepadanya oleh dua orang kakek itu. Akan tetapi Yu Hwi yang
sebelumnya oleh gurunya diberi nama Kang Swi Hwa dan berjuluk Ang-siocia,
agaknya tidak mau menerima perjodohan itu apalagi karena dalam perantauannya dia
tadinya menyamar sebagai pria dan ketika dia terluka dan pingsan, Kam Hong yang
menolongnya pernah membuka bajunya dan melihat rahasianya bahwa dia seorang
dara yang menyamar pria, maka peristiwa ini membuatnya merasa malu dan
mendongkol kepada Kam Hong. Maka, ketika ia diberitahu bahwa dia adalah cucu
Sai-cu Kai-ong bernama Yu Hwi dan bahwa dia telah dijodohkan sejak kecil kepada
Kam Hong, dia menjadi marah lalu melarikan diri minggat!
Demikianlah
riwayat singkat dari Kam Hong. Pemuda ini kemudian mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan dari nenek moyangnya, yaitu Suling Emas. Dan memang dia berbakat
sekali maka akhirnya dia dapat menguasai semua ilmu-ilmu itu, membuat Sin-siauw
Sengjin menjadi girang bukan main. Ilmu-ilmu itu amat sukar, dan Sin-siauw
Sengjin sendiri yang sudah selama puluhan tahun berusaha menguasainya, tetap
gagal sungguh pun dengan latihan-latihan itu dia telah merupakan seorang tokoh
puncak di dunia persilatan.
Kini, pemuda
keturunan Suling Emas itu mampu menguasai seluruh ilmu itu! Dan tentu saja,
dengan ilmu-ilmu yang amat hebat ini. Kam Hong kini menjadi seorang pemuda yang
memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya, bahkan Sin-siauw Sengjin
sendiri, mau pun bekas gurunya sendiri. Sai-cu Kai-ong, kini bukan
tandingannya! Akan tetapi, biar pun dia memiliki ilmu kepandaian bun (sastra)
dan bu (silat) yang amat tinggi, namun di dalam hati Kam Hong menderita. Telah
bertahun-tahun dia berusaha mencari Yu Hwi, mencari tunangannya atau yang
bahkan telah diakui sebagai isterinya di depan Siauw Goat itu, namun hasilnya
sia-sia belaka.
Kam Hong
sendiri belum yakin benar apakah dia mencinta Yu Hwi, juga dia tidak tahu
apakah tunangannya itu mencintanya, sungguh pun mudah dugaannya bahwa tentu Yu
Hwi tidak mencintanya, bahkan membencinya melihat betapa dara itu melarikan
diri ketika diberitahu bahwa antara mereka telah ada ikatan perjodohan. Akan
tetapi, ikatan jodoh itu telah ditentukan oleh kedua pihak wali mereka semenjak
mereka masih kanak kanak, oleh karena itu, dia tidak mungkin dapat
memutuskannya begitu saja! Janji antara keluarga merupakan hal yang harus
dipegang teguh, karena menyangkut kehormatan dan nama keluarga!
Apalagi
kalau dia mengingat bahwa antara keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas dan
keluarga Yu, yaitu keluarga para ketua Khong-sim Kai-pang, terdapat hubungan
yang amat baik. Ikatan perjodohan yang sudah ditentukan oleh kedua kakek yang
mewakili dua keluarga itu adalah urusan kehormatan, maka bagaimana pun juga
harus dipegang teguh, harus dilaksanakan. Oleh karena itulah maka dia
mati-matian mencari Yu Hwi tunangannya itu dan akan dicarinya terus sampai
dapat, ke mana pun dia harus pergi.
Kenekatan
Kam Hong dalam mencari Yu Hwi itu sama sekali bukan terdorong oleh cintanya
karena dia sendiri belum tahu apakah dia mencinta dara yang ditunangkan
kepadanya itu, melainkan terdorong oleh kebiasaan atau tradisi atau kebudayaan
atau pandangan umum pada waktu itu yang dianggapnya benar dan baik. Dan bukan
Kam Hong saja yang berkeadaan seperti itu.
Bahkan
sampai sekarang pun, kehidupan kita penuh dengan pengaruh-pengaruh yang datang
dari tradisi, kebiasaan, kebudayaan atau pandangan umum ini. Semua itu
membentuk kita menjadi manusia-manusia yang tidak bebas, terikat oleh ketentuan
ketentuan itu, membuat kita menjadi manusia-manusia robot yang bergerak menurut
apa yang telah digariskan oleh tradisi, oleh kebiasaan, oleh kebudayaan atau
pun oleh pandangan umum itu.
Kita ingin
dianggap benar, dianggap baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Segala
perbuatan yang dilakukan menurut contoh-contoh ketentuan yang dianggap baik, maka
jelas perbuatan itu adalah palsu adanya. Kalau seorang melakukan sesuatu yang
dianggapnya baik, maka di balik perbuatan yang dilakukannya itu terkandung
pamrih, yaitu agar dianggap baik oleh orang lain atau dirinya sendiri! Setiap
perbuatan yang didasari dengan cinta kasih adalah spontan, tidak dinilai
sebagai baik atau buruk, pikiran tidak mencampuri, dan si pelaku bahkan tidak
ingat bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang baik.
Tradisi atau
kebiasaan yang dinamakan pandangan atau pendapat umum telah kita terima sebagai
garis ketentuan hidup, membelenggu kita lahir batin sehingga kita hidup seperti
pelawak-pelawak yang bermain di atas punggung! Kita tak berani menanggalkan itu
semua karena takut akan pandangan orang, takut akan pendapat umum, dan takut
kalau-kalau kita akan terasing. Terutama sekali kita takut karena dengan
menanggalkan itu semua kita akan menjadi kosong dan tidak berarti apa-apa lagi!
Betapa hidup
kita hanya merupakan gerakan-gerakan kebiasaan itu kita mencandu dan merasakan
kesenangan dan keenakan palsu, seperti halnya keenakan orang merokok atau minum
arak. Keenakan itu timbul karena kecanduan, karena kebiasaan, dan di balik
keenakan itu terdapat pengrusakan terhadap diri sendiri tanpa kita sadari lagi,
karena kita mabok oleh keenakan itu.
Semua panca
indera kita telah tumpul kecanduan oleh kebiasaan yang ditanamkan kepada kita
sejak kita masih kecil. Baik penciuman, penglihatan, pendengaran, selera dan
segalanya telah dibentuk sedemikian rupa oleh kebiasaan ini. Oleh karena
bentukan bentukan inilah maka selera setiap bangsa selalu berbeda-beda, baik
dalam hal penciuman, penglihatan, pendengaran dan sebagainya, dipengaruhi oleh
kebiasaan, oleh keadaan setempat dan sekeliling. Kita akan merasa terganggu
oleh sesuatu bunyi musik yang asing bagi kita, padahal orang-orang dari mana
musik itu berasal akan menari-nari karena bagi mereka suara itu amat merdu dan
enak didengar. Kita mungkin akan muntah untuk makan sesuatu yang menjadi
makanan kegemaran bangsa lain, dan sebagainya. Jadi enak tidak enak, baik buruk
bukan terletak pada suara kita, atau pada makanan itu, melainkan ditentukan
oleh selera yang telah dibentuk semenjak kita lahir.
Mendengar
penuturan Kam Hong, Siauw Goat merasa tertarik dan entah bagaimana dia merasa
amat kasihan kepada sastrawan itu! Ketika pertanyaannya tidak terjawab, dan
melihat betapa pemuda itu hanya tersenyum saja, senyum yang baginya merupakan
sesuatu yang menyembunyikan tangis, Siauw Goat bertanya lagi, “Siapakah
namanya, Paman? Dan siapa namamu?”
Kini Kam Hong
menatap wajah gadis cilik itu. Baru dia merasa heran mengapa dia begini
tertarik kepada anak ini, mengapa kalau selama ini dia merahasiakan keadaan
dirinya, kini secara terbuka dia menceritakan tentang tunangannya kepada Siauw
Goat? Apakah yang menyebabkan dia percaya dan tertarik? Apakah mata yang bening
dan polos itu? Apakah mulut yang kecil mungil dengan bibir merah merekah
seperti sekuntum bunga yang masih menguncup itu? Ataukah ada suara yang merdu
itu? Ataukah karena dia merasa kasihan mengingat betapa anak ini ditinggal mati
kakeknya dan hidup sebatang kara di dunia?
“Siauw Goat,
aku sendiri sudah hampir melupakan namaku. Kalau kini kuberitahukan maukah kau
berjanji untuk merahasiakan namaku dan nama isteriku?”
Siauw Goat
mengangguk. “Aku bersumpah untuk merahasiakannya, Paman. Kongkong sendiri pun
selalu merahasiakan keadaan keluarga kami.”
“Baiklah,
kuberitahukan kepadamu sebagai satu-satunya orang yang mengenal namaku yang
selama bertahun-tahun ini selalu kurahasiakan. Aku she Kam dan bernama Hong,
sedangkan isteriku itu she Yu bernama Hwi.”
“Kam Hong
dan Yu Hwi.... akan kuingat baik-baik nama-nama itu Paman.”
Tiba-tiba
mereka tertarik oleh munculnya empat buah tandu yang digotong oleh orang orang
yang bertubuh kekar. Setiap tandu digotong oleh empat orang dan pintu tandu itu
tertutup tirai sutera berwarna-warni, ada yang merah, ada yang hijau atau
kuning. Tentu saja iring-iringan empat buah tandu ini menarik perhatian orang
dan ketika para penggotong tandu itu berhenti di depan rumah makan itu, Kam
Hong dan Siauw Goat memandang dengan penuh perhatian.
“Turunkan
tandu!” tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita yang duduk di dalam
tandu pertama. Mendengar ini, empat orang penggotong tandu pertama itu
menurunkan tandu di atas tanah, dan tiga tandu lain yang berada di belakang
juga diturunkan oleh para penggotongnya. Agaknya tandu pertama ini merupakan
tandu pimpinan!
Tirai-tirai
empat buah tandu itu tersingkap dari dalam sehingga semua orang yang memandang,
terutama kaum prianya, menahan napas dan mata mereka terbelalak penuh kagum
memandang kepada empat orang wanita yang cantik-cantik! Kini wanita yang duduk
di tandu paling depan keluar dari tandu dan tiga orang yang lain juga
mengikutinya. Makin kagumlah semua orang melihat bahwa selain berwajah cantik
cantik, juga mereka itu memiliki tubuh langsing menarik.
Akan tetapi
wajah-wajah yang cantik jelita ini memiliki sepasang mata yang sinarnya tajam
sekali, berkilat, dan wajah itu pun kelihatan dingin dan angkuh, sedikit pun
tidak mengandung senyum. Lebih lagi di punggung mereka nampak gagang pedang dan
sikap mereka demikian gesit dan gagah sehingga mudah diduga bahwa wanita-wanita
cantik ini bukanlah wanita-wanita lemah. Oleh karena itu, pandang mata kagum
dari para pria yang berada di sekitar warung itu mengandung perasaan segan.
Empat orang
wanita itu berkumpul di depan warung, memandang ke kanan kiri penuh selidik.
Ketika itu, Kam Hong dan Siauw Goat telah selesai makan dan mereka sudah keluar
dari warung. Melihat Kam Hong dan Siauw Goat yang membawa busur dan anak panah,
seorang di antara empat wanita itu, yang paling muda, kurang lebih dua puluh
lima tahun usianya sedangkan yang lain-lain sekitar tiga puluhan, dan yang
berpakaian baju hijau, melangkah maju dan bertanya kepada Kam Hong, nada
suaranya ketus dan angkuh sekali seperti seorang nona majikan bertanya kepada
pelayannya. “Ehh, apakah kamu melihat dua orang anak laki-laki kembar yang
usianya sekitar empat belas tahun lewat di dusun ini?”
Semenjak
melihat munculnya empat orang wanita itu, di dalam hatinya Siauw Goat sudah
merasa tidak suka. Dia menganggap empat orang wanita itu sombong dan angkuh
sekali. Kini mendengar seorang di antara mereka mengajukan pertanyaan kepada
Kam Hong dengan lagak seperti itu, muka Siauw Goat telah menjadi merah karena
marah. Selagi Kam Hong memandang dengan sikap tak acuh, agaknya merasa enggan
untuk menjawab, Siauw Goat sudah melompat maju ke depan wanita baju hijau itu,
lalu menudingkan ujung busurnya ke arah hidung wanita itu sambil membentak.
“Huhh,
engkau menyapa orang dengan ah-ah-eh-eh, lagakmu seperti ratu saja! Manusia tak
tahu sopan santun macam engkau ini tidak berharga bicara dengan pamanku!”
Wanita
cantik berbaju hijau itu memandang kepada Siauw Goat dengan mata berapi-api dan
alisnya yang bagus bentuknya itu, dengan bantuan penghitam alis, agak berkerut
dan sejenak ia hanya memandang dengan mata tajam bersinar-sinar. Akan tetapi,
Siauw Goat juga membalas pandang mata itu dengan sama tajamnya, bahkan
mengandung tantangan!
“Bocah
siluman, mulutmu busuk. Kalau kau besar engkau tentu menjadi iblis, lebih baik
kuenyahkan sekarang!” kata wanita baju hijau itu yang telah merah kedua pipinya
karena marah dan malu mendengar dia dimaki-maki seorang anak perempuan di depan
umum.
Tentu saja
Siauw Goat menjadi seperti api yang disiram minyak, makin berkobarlah
kemarahannya. Dengan sepasang mata terbuka lebar dia lalu memaki-maki.
“Engkaulah siluman rase, siluman kucing, siluman anjing! Engkaulah iblis busuk
yang harus dibasmi dari permukaan bumi!” Setelah berkata demikian, Siauw Goat
sudah menggerakkan busurnya, menyerang dengan cepat.
Wanita itu
terkejut dan marah melihat betapa ujung busur itu langsung menusuk ke arah
tenggorokannya kemudian dibalik karena tidak mengenai sasaran dan menusuk ke
bawah pusar! Dan saat itu, tangan kiri Siauw Goat sudah maju mencengkeram ke
arah buah dadanya!
“Cih, Iblis
kecil ini benar jahat!” teriaknya melihat serangan-serangan yang dianggapnya
kasar dan selain berbahaya juga tidak patut.
Tangan
kirinya mengibas dan dari tangan kiri itu menyambar hawa pukulan yang membuat
Siauw Goat terpelanting! Wanita baju hijau itu sudah marah sekali dan dengan
sinar mata penuh benci dia sudah melangkah maju dan menyusulkan pukulan tangan
kanan, juga pukulan jarak jauh mengandung tenaga sinkang yang dahsyat.
Serangkum angin menyambar ke arah kepala Siauw Goat yang masih telentang di
atas tanah.
“Tahan dulu!”
Tiba-tiba Kam Hong berkata halus dan dia pun menggerakkan tangan ke depan,
menangkis pukulan itu. Dua hawa pukulan sinkang bertemu dan akibatnya wanita
baju hijau itu terhuyung ke belakang!
Wanita baju
hijau itu terkejut bukan main! Dia tadi merasa betapa tenaganya bertemu dengan
tenaga yang amat kuatnya, yang membuat dadanya tergetar dan cepat dia menarik
kembali tenaganya dan akibatnya dia terhuyung seperti disambar angin taufan.
Wajahnya menjadi pucat dan dia memandang kepada sasterawan itu dengan mata
terbelalak.
Wanita di
dalam tandu terdepan, yang berusia tiga puluh tahunan, mempunyai tahi lalat di
dagu, berbaju kuning dan yang memiliki wajah paling manis di antara mereka
berempat, juga melihat gerakan tadi dan dia memandang tajam kepada Kam Hong.
Melihat sastrawan yang nampak lemah dan yang sekarang menunduk dengan sikap
menyembunyikan diri itu, Si Baju Kuning menarik napas panjang.
“A-ciu,
jangan membikin ribut!” tegurnya kepada Si Baju Hijau, dan dengan isyarat
tangan, dia memasuki tandu, diikuti oleh Si Baju Hijau A-ciu dan dua orang
temannya. Empat buah tandu lalu digotong oleh para penggotong yang bertubuh
kuat itu dan mereka pun pergi dari depan warung yang mulai dipenuhi penonton
itu.
“Siluman
dia! Hemm, lain kali akan kuhajar dia!” Siauw Goat berkata penasaran sambil
bangun dan mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor.
Para
penonton diam-diam merasa geli akan tetapi juga kagum kepada anak perempuan
yang bandel dan tidak mengenal takut ini. Agaknya Siauw Goat juga tahu bahwa
orang orang diam-diam mentertawakannya, maka setelah mengerling satu kali
kepada Kam Hong dia kemudian pergi dengan langkah lebar untuk kembali ke tempat
pemondokan Lauw-piauwsu.
Kam Hong
sendiri kemudian pergi dari situ tanpa menarik perhatian orang karena
perbuatannya ketika menangkis pukulan wanita baju hijau itu dilakukan dengan
tenaga sinkang jarak jauh sehingga orang tidak melihat dia bergerak untuk
bertanding. Tidak ada yang tahu betapa pemuda ini diam-diam membayangi empat
buah tandu yang digotong keluar dusun itu lagi setelah wanita-wanita itu di
sepanjang jalan bertanya-tanya tentang ‘dua orang anak laki-laki kembar’.
Pada saat
terdengar berita bahwa badai salju sudah mereda, mulailah dusun Lhagat
mengalami kesibukan-kesibukan. Mereka yang menamakan dirinya pelancong
pelancong dan pedagang-pedagang mulai berkemas karena mereka sudah harus
menanti sampai beberapa hari lamanya, tertunda perjalanan mereka karena adanya
badai salju itu. Kini, badai salju telah berlalu atau setidaknya mereda. Hal
ini ditandai dengan mereda dan kecilnya angin dingin yang bertiup keras dalam
beberapa hari ini melalui Lhagat, dari arah selatan dan barat.
Rombongan
Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal
telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang
piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun
sudah-sembuh kembali.
Oleh karena
itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup
lengkap, membekali setiap anggota rombongan dengan baju-baju bulu yang amat
tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan diliputi salju,
berangkatlah rombongan ini.
Anak buah
Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi
karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan
Siauw Goat mencari orang tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya
untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat
sukar ini. Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para
piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima
sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu
diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya
pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekali pun!
Lauw-piauwsu
membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia pun tadinya
hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat
kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras.
“Lauw-pek
aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi
naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!”
Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan
itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.
Anak
perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa
gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya
muncul kembali. Kadang-kadang dia mendahului rombongan, kadang-kadang agak
ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang
perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini
tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya
itu.
Jalan
pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai
dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang
berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap,
sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat
seolah-olah mereka berlomba dalam mengejar sesuatu.
Sering kali
ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya
itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa
dan biar pun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari
istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini,
namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka
itu.
Setelah
melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw
Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat
salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas. Banyak pohon yang tidak
berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula
bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang
mengamuk selama berhari hari itu.
Menjelang
senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis
rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis
yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan
Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi
harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya! Orang itu
mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua
Koai-tung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat
terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.
“Jembel
lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.
“Ssttt,
Siauw Goat....!” Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut.
Ketua
piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan
dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di
atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran
ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja.
Pengemis itu
menggeliat kemudian terbangun agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat bahwa
wajah pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang
mencorong amat tajamnya. Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot
yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar matahari dan sepasang mata
yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan
jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh.
Semua ini
membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa
pengemis muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya!
Setelah mengeluarkan suara tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis
muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik mendaki lereng itu,
menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.
“Ihh, dia
seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.
“Siauw Goat,
lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di
sini banyak terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita
kesalahan bicara dapat menimbulkan hal-hal yang hebat,” kata Lauw Sek menegur
Siauw Goat.
“Ah,
Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel
lagi, tidak urung dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya,
dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek tidak melihat mukanya yang
menyeramkan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“
Terpaksa
Lauw-piauwsu tidak membantah lagi. Dia tahu bahwa watak anak perempuan ini
keras dan pemberani bukan main, dan kalau dia mempergunakan sikap keras,
mungkin akan menjadi makin berabe keadaannya. “Mari kita melanjutkan
cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak itu, kita
harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana
ada daerah berbatu di mana terdapat banyak goa untuk tempat bermalam dan
berlindung dari salju.”
Mereka
melanjutkan pendakian. Kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain,
bahkan juga menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan.
Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak nampak
lagi. Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap mereka tiba
di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Akan tetapi ternyata
banyak juga orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali
sehingga tidak sukar bagi rombongan piauwsu ini untuk menemukan sebuah goa
kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.
“Ihhh,
engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah.
Kiranya
ketika mereka memasuki goa, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada
sesosok tubuh manusia rebah di sudut goa dan ketika dia mendekati untuk melihat
lebih jelas karena cuaca sudah remang-remang, ternyata yang tidur di situ
adalah Si Pengemis muda tadi!
Pengemis itu
menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan
diam-diam Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah,
bahkan tidak memakai pakaian tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat
sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh dan
pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!
“Siauw Goat,
tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!” Lauw Sek memperingatkan gadis
cilik itu.
Akan tetapi
Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang
dipejamkan yang kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu
seperti mentertawakan, maka dia menjadi semakin gemas.
“Ehhh,
jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya,
akan kuhajar! Kalau bukan, lekas kau keluar dari goa ini karena engkau
menjemukan dan menjijikkan!”
Semua
piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah amat keterlaluan menghina
orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu
seolah olah tidak mendengar maki-makian Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum.
Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang rendah. Dia duduk
sambil menggaruk garuk lehernya.
Lauw Sek
memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu.
Kemudian para piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan
dengan diam saja, kadang-kadang mata mereka mengerling ke arah pengemis muda
yang duduk membelakangi mereka di sudut goa. Tiba-tiba pengemis itu tertawa
bergelak, suara ketawanya bergema di dalam goa itu, amat menyeramkan
seolah-olah di sebelah dalam dari goa itu terdapat iblis-iblis yang ikut
tertawa bersamanya. Kemudian pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar,
kata-katanya tidak karuan!
Cinta itu
gila
gagah itu
lemah
pintar itu
tolol!
Mulut
semanis-manisnya
membohong
sebesar-besarnya
tapi sampai
mati aku tidak bisa lupa....!
Suara
nyanyian itu pun bergema di dalam goa seperti para iblis ikut pula bernyanyi,
lalu pengemis itu tertawa-tawa lagi. Tetapi suara ketawanya yang bergelak itu
mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak dan suasana menjadi hening
sekali, hening yang menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan. Pengemis
itu menangis!
Para piauwsu
saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!
“Celaka,
bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat mengomel dan Lauw Sek menyentuh
tangannya, menyuruhnya diam.
Seorang
piauwsu yang merasa kasihan kemudian bangkit dan menghampiri pengemis itu, memberinya
sepotong besar roti kering. “Sobat kau terimalah roti ini dan makanlah bersama
kami,” katanya.
Pengemis itu
menengok, menyeringai, menerima roti itu dan menciumnya beberapa kali, terkekeh
dan kemudian dia membuang roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia lalu
mengomel tanpa menoleh, masih menghadap ke arah dinding batu, seolah-olah dia
mengomel kepada dinding itu. “Memberi roti berisi racun! Mulut manis
menyembunyikan hati yang pahit. Huh, manusia adalah makhluk palsu, jahat dan
keji, makhluk paling kotor di dunia ini, ha-ha-ha....!”
Piauwsu yang
tadi memberi roti masih berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja dia
menjadi marah bukan main. Dia memberi roti karena terdorong oleh rasa kasihan
kepada pengemis muda ini, akan tetapi pemberiannya itu dibuang, bahkan disertai
ucapan yang seolah-olah mengejek bahwa pemberiannya itu adalah palsu, roti itu
beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di depan kawan-kawannya. Dia merasa
terhina dan marah, maka dia ingin menakut-nakuti pengemis itu. Segera dicabutnya
goloknya yang besar dan tajam berkilauan itu.
“Jembel
gila!” bentaknya. “Engkau ditolong malah balas menghina orang! Engkau amat
menjemukan. Hayo keluar dari goa ini dan jangan mengganggu kami, kalau tidak,
akan kupotong daun telingamu!” Untuk menakut-nakuti, piauwsu itu menempelkan
goloknya ke dekat telinga orang!
Lauw-piauwsu
memandang dengan alis berkerut, tetapi dia tahu bahwa anak buahnya itu hanya
menggertak saja. Memang sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari dalam goa dan
mencari tempat bermalam lainnya karena dengan adanya pengemis gila itu memang
membuat hati menjadi tidak enak. Lagi pula, melihat betapa pengemis gila itu
menghina pemberiannya dengan membuang roti tadi, menandakan bahwa di balik
kegilaannya, memang ada watak tidak baik pada Si Pengemis.
Pengemis itu
perlahan-lahan bangkit berdiri, seperti orang ketakutan memandang ke arah golok
yang menempel di telinganya, kini dia memutar tubuh menghadapi piauwsu yang
masih menodongnya dengan golok. Piauwsu itu bersikap garang untuk menakut
nakuti, dan pengemis muda itu juga mundur-mundur sampai dekat dengan mulut goa.
“Hayo
keluar, pergi dari sini!” kembali piauwsu itu membentak.
Tiba-tiba
tangan kiri pengemis itu bergerak dan tahu-tahu dia telah menangkap dan
menggenggam golok itu! Si Piauwsu terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat tajam
dan pengemis itu tentu akan melukai tangannya sendiri. Dia tak berani menarik
goloknya yang dicengkeram oleh karena takut kalau-kalau goloknya akan membikin
putus tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera terjadi hal yang membuat semua
orang terbelalak.
“Krakkkkk....!”
Tangan itu mencengkeram dan golok itu menjadi patah-patah dalam cengkeraman
tangan kiri pengemis muda itu. Dengan suara ketawa tertahan, pengemis itu
kemudian melemparkan pecahan golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah hendak
membersihkan telapak tangannya dari debu kotor, kemudian melangkah lebar keluar
dari goa dan tak lama kemudian terdengar suara tangisnya, sesenggukan yang
makin lama makin jauh sampai tidak terdengar lagi.
Semua orang,
termasuk Siauw Goat dan Lauw-piauwsu, masih tertegun menahan napas seperti
patung tidak bergerak. Mereka terlampau heran dan kagum. Peristiwa yang terjadi
itu seolah-olah merupakan mimpi atau dongeng yang sukar dipercaya. Golok
piauwsu itu terdiri dari baja yang baik, hal ini diketahui benar oleh Lauw Sek.
Juga amat tebal dan amat tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali cengkeram saja
golok itu patah patah, dan bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu hanya
sehelai daun kering saja? Piauwsu pemilik golok itu sendiri masih berdiri
dengan muka pucat dan matanya terbelalak memandang sisa goloknya yang masih
dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan sedikit sisa golok yang sudah buntung!
“Ahhh....
kiranya dia.... seorang manusia sakti....,” terdengar Lauw Sek akhirnya berkata
dengan suara agak gemetar. “Mulai sekarang kita harus berhati-hati, jangan
sekali-kali mengganggu orang....”
Biar pun
pengemis gila itu sudah pergi, suasana menjadi sangat menyeramkan setelah
terjadinya peristiwa itu. Lauw Sek menduga-duga siapa gerangan pengemis gila
itu! Dia banyak mengenal orang-orang kang-ouw, akan tetapi belum pernah dia
mendengar tentang pengemis ini. Seorang pengemis yang dia lihat masih muda,
belum ada tiga puluh tahun usianya, dan dia belum pernah mendengar di dunia
kang-ouw seorang tokoh pengemis yang memiliki kepandaian sehebat itu.
Tentu saja
Lauw Sek tidak mengenal pengemis itu karena sebenarnya orang gila itu bukan
tokoh pengemis, bukan seorang tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang
terkenal. Pakaiannya bagai pengemis sebab memang dia tak mempedulikan pakaiannya
sehingga compang-camping seperti pakaian pengemis. Akan tetapi dia tidak pernah
mengemis! Kalau orang gila itu menyebutkan nama julukannya sebelum dia
berkeadaan seperti sekarang ini, tentu Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan
mengenalnya. Pengemis muda itu sesungguhnya berjuluk Si Jari Maut!
Para pembaca
cerita kisah Jodoh Rajawali yang sudah mengenal Si Jari Maut tentu tidak akan
merasa heran lagi kalau dengan sekali cengkeram saja dia telah mampu mematahkan
golok! Pengemis ini adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Di dalam kisah jodoh sepasang rajawalidiceritakan bahwa Ang
Tek Hoat adalah seorang calon mantu Raja Bhutan, lalu mengapa kini dia menjadi
seorang pengemis gila yang terlunta-lunta seperti itu?
Pemuda gagah
perkasa ini memang bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai hiburan saja,
padahal segala sesuatu terjadi sebagai akibat dari pada perbuatannya sendiri.
Ketika masih amat muda, Ang Tek Hoat melakukan banyak penyelewengan, melakukan
banyak kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya sendiri inilah yang menyeret
dia ke dalam keadaan yang amat sengsara.
Dia saling
mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal Raja Bhutan, akan tetapi
ikatan jodoh yang akhirnya disetujui pula oleh Raja Bhutan itu selalu gagal dan
kedua orang muda yang saling mencinta itu selalu terpisah oleh berbagai
persoalan yang timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti Dewi pergi dari
Bhutan dan tidak pernah kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang telah berjasa
menyelamatkan Kerajaan Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat menjadi
panglima muda oleh Raja Bhutan dan pertunangannya dengan Sang Puteri telah
disahkan oleh Sang Raja!
Biar pun dia
menikmati kehidupan mulia dan terhormat di Kerajaan Bhutan, namun Tek Hoat
menderita karena puteri yang dicintanya itu tidak berada di sampingnya. Oleh
karena itu, dia tidak mau tinggal berenang dalam lautan kemewahan di Bhutan,
sebaliknya dia lalu pergi dan merantau untuk mencari kekasihnya, yaitu Puteri
Syanti Dewi yang amat dicintanya. Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak
pernah berhasil menemukan Sang Puteri dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan
membuat dia menjadi terganggu jiwanya dan membuat dia menjadi seperti seorang
pengemis gila!
Dan agaknya,
walau pun pikirannya sudah terganggu, dalam kegilaannya itu Tek Hoat mendengar
pula akan peristiwa yang akan menggegerkan dunia kang-ouw dan yang membuat
banyak tokoh kang-ouw berbondong-bondong pergi ke Pegunungan Himalaya. Dan dia
pun terseret oleh arus ini dan pergi ke Pegunungan Himalaya, sungguh pun selama
bertahun-tahun dan sampai saat itu yang menjadi tujuan semua perjalanannya
hanya satu, yaitu mencari Puteri Syanti Dewi!
Tentu saja
sekali mencengkeram Tek Hoat mampu mematahkan golok piauwsu itu karena pemuda
ini memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia pernah mendapat
gemblengan dari Sai-cu Lo-mo dan mewarisi ilmu silat gabungan dari Pat-mo
Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun. Kemudian sekali, yang membuat dia menjadi
sedemikian lihainya adalah karena dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang datuk
Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini
dia dapat menghimpun tenaga sakti yang dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua
ini dimatangkan oleh pengalaman pengalamannya menghadapi banyak sekali
pertempuran melawan orang-orang pandai. Kini usianya sudah sekitar dua puluh
delapan tahun, akan tetapi keadaan hidupnya menjadi sedemikian rusak sehingga
tidak ada orang yang mengenalnya kecuali sebagai seorang pengemis muda yang
gila!
Malam itu
lewat tanpa ada peristiwa apa-apa di dalam goa besar yang dijadikan tempat
bermalam para piauwsu. Hati mereka merasa lega dan pada keesokan harinya mereka
keluar dari goa untuk melanjutkan perjalanan, setelah cuaca tidak begitu gelap
lagi tanda bahwa matahari telah naik tinggi. Akan tetapi matahari tidak nampak,
hanya sinarnya saja yang membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin sekali karena
kabut memenuhi udara. Mereka hendak menuju ke Gunung Kongmaa La karena menurut
pesan Kakek Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw Goat dapat ditemukan.
Pada waktu
mereka melewati goa-goa yang kemarin sore penuh dengan orang-orang kang-ouw
yang melakukan perjalanan dan mengaso di situ, ternyata goa-goa itu telah
kosong semua, tanda bahwa mereka itu pagi-pagi benar telah melanjutkan
perjalanan seperti orang tergesa-gesa. Lauw-piauwsu maklum bahwa mereka itu
adalah orang orang kang-ouw yang agaknya mencari pedang pusaka yang hilang dan
juga berlomba untuk mendapatkannya. Dia tidak peduli karena dia mempunyai tugas
lain dan sama sekali tidak ingin untuk ikut berlomba memperebutkan. Oleh karena
itu, dia memimpln rombongannya jalan seenaknya karena perjalanan mendaki itu
amat sukar sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat kehabisan tenaga.
Biar pun badai
salju telah mereda, namun salju masih turun dan memenuhl permukaan bumi,
menaburi batang-batang pohon tanpa daun sehingga menciptakan pohon-pohon putih.
Seluruh permukaan bumi menjadi putih dan pemandangan amat luar biasa,
seolah-olah dunia dilapisi dengan perak, membuat orang merasa seperti dalam
dunia mimpi.
Lewat tengah
hari mereka tiba di sebuah puncak bukit yang datar dan begitu mereka tiba di
situ, mereka melihat bahwa di tempat itu sedang terjadi pertempuran yang amat
hebat. Lauw Sek cepat menyuruh rombongannya berhenti dan mereka melihat dari
jarak yang cukup jauh agar tidak terlibat dalam pertempuran itu.
“Ahh,
bukankah mereka itu tosu-tosu dari Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata
lirih dengan nada suara khawatir.
“Benar,
Lauw-twako, yang bersenjata rantai baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh
Go-bi-pai!” sambung seorang piauwsu.
Kini semua
piauwsu merasa yakin bahwa lima orang tosu tua yang sedang bertempur melawan
empat orang wanita itu adalah tosu-tosu Go-bi-pai. Mereka tidak mengenal empat
orang wanita yang amat lihai itu, maka tentu saja diam-diam mereka berpihak
kepada para tosu Go-bi-pai yang mereka kenal sebagai tosu-tosu gagah perkasa
yang menentang kejahatan.
Kini para
tosu itu tampak terdesak hebat oleh pedang-pedang yang dimainkan oleh empat
orang wanita cantik itu. Para wanita itu memang hebat sekali. Pedang di tangan
mereka lenyap berubah menjadi gulungan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima
orang tosu Go-bi-pai itu melawan mati-matian dengan senjata mereka yang bermacam
macam, ada rantai baja, ada toya, ada pula yang menggunakan pedang. Namun semua
perlawanan mereka sia-sia belaka karena mereka terdesak dan terkurung oleh
sinar sinar pedang yang berkilauan itu.
Akhirnya,
dua orang di antara para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh bergulingan.
Tiga orang temannya lalu berloncatan ke belakang, menyambar tubuh dua orang
kawan yang terluka dan larilah lima orang tosu itu dengan cepat menuruni
puncak, tidak dikejar oleh empat orang wanita itu.
Tiba-tiba
Siauw Goat berteriak. “Itu adalah empat siluman rase yang jahat!” Dan anak
perempuan ini membawa busurnya lari cepat menuju ke arah empat orang wanita
itu.
Melihat ini,
Lauw-piauwsu cepat meloncat dan mengejar. “Siauw Goat, kembali kau....!”
bentaknya.
Empat orang
wanita itu menoleh dan mereka segera mengenali Siauw Goat, anak perempuan yang
pernah menghina dan memaki wanita baju hijau dari rombongan itu di depan rumah
makan. Melihat ini, dan mendengar anak perempuan itu memaki mereka empat
siluman rase jahat, wanita baju hijau itu terkejut dan marah bukan main.
Bagaikan terbang cepatnya dia berlari menghampiri sambil membawa pedangnya.
“Bocah setan
engkau mengantar nyawa!” teriaknya.
Melihat ini,
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Dia mempercepat larinya dan karena jarak
antara dia lebih dekat dengan Siauw Goat dibandingkan dengan wanita baju hijau
itu, biar pun baju hijau berlari seperti terbang cepatnya, maka dia lebih dulu
dapat menyusul Siauw Goat. Akan tetapi saat itu, Siauw Goat telah memasang dua
batang anak panah dan melepaskan anak panah dari busurnya, dibidikkan ke arah
wanita baju hijau tadi. Lauw Sek datang terlambat. Dia memegang lengan Siauw
Goat akan tetapi dua batang anak panah itu telah meluncur ke arah wanita baju
hijau yang menjadi semakin marah menghadapi serangan ini. Sekali memutar
pedang, dua batang anak panah itu patah-patah dan runtuh, dan dia terus berlari
menghampiri.
Akan tetapi
Lauw Sek telah berdiri melindungi Siauw Goat dan wanita baju hijau itu berhenti
menghadapinya dengan sinar mata tajam penuh kemarahan.
“Hayo cepat
kau serahkan budak itu, kalau tidak engkau pun akan kubunuh sekalian!”
hardiknya.
Lauw Sek
sudah maklum bahwa wanita itu lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai
sendiri pun tidak mampu mengalahkan dia dan kawan-kawannya, maka dia cepat
mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata. “Toanio, harap sudi
memaafkan keponakanku ini dengan memandang mukaku. Harap Toanio ketahui bahwa aku
adalah Lauw Sek, pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu dan....”
“Tidak
peduli engkau pengawal nyawa dari neraka sekali pun, engkau tetap harus
menyerahkan bocah setan itu kepadaku kalau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”
Lauw Sek
mengerutkan alisnya. Wanita ini ternyata galak dan kejam, juga sombong sekali,
pikirnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan sabar sambil melirik ke arah anak
buahnya yang sudah mendekati tempat itu. Betapa pun juga, dia bersama anak
buahnya berjumlah dua belas orang dan wanita itu hanya empat orang. Tentu enam
belas orang pemanggul tandu itu tidak masuk hitungan, pikirnya.
“Toanio, aku
bicara dengan baik-baik, harap Toanio suka menghabiskan urusan dengan seorang
anak kecil yang belum tahu apa-apa....“
“Cerewet!”
Wanita baju hijau itu membentak, sama sekali tidak mempedulikan bahwa rombongan
piauwsu yang berpakaian seragam putih itu kini sudah berada di depannya semua,
seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka. “Berikan anak itu
atau berikan nyawamu!”
“Terlalu!”
membentak beberapa orang piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi marah melihat
sikap wanita itu, maklum bahwa tiada jalan damai. Maka dia pun lalu mendorong
Siauw Goat ke belakang dan mencabut sepasang goloknya, melintangkan sepasang
golok itu di depan dadanya.
“Toanio,
engkau sungguh amat mendesak orang!”
“Peduli
amat!” Wanita baju hijau itu membentak dan dia telah menggerakkan pedangnya
menyerang. Lauw Sek cepat menggerakkan sepasang goloknya menangkis.
“Tranggg....!”
Lauw-piauwsu
terkejut bukan main. Kedua tangannya yang memegang golok tergetar hebat ketika
menangkis pedang itu dan pedang yang ditangkisnya itu tidak terpental melainkan
terus meluncur ke arah lehernya! Untung dia cepat membuang tubuh ke belakang
sehingga serangan dahsyat itu luput dan beberapa orang temannya sudah menerjang
maju pula sehingga dalam waktu singkat wanita baju hijau itu sudah terkurung!
Akan tetapi,
tiga orang wanita cantik lainnya telah datang seperti terbang cepatnya,
masing-masing memegang sebatang pedang dan mereka itu langsung menyerbu ke
dalam pertempuran. Bukan main hebatnya gerakan mereka. Terutama wanita yang
mengenakan baju warna kuning, yang tercantik di antara keempat wanita itu,
pedangnya berkelebatan seperti kilat dan dalam beberapa gebrakan saja dua orang
piauwsu telah terluka lengannya, mengucurkan darah sehingga senjata mereka
terlepas dari pegangan.
Lauw Sek
terkejut dan dia cepat menerjang wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita
itu dengan senyum dingin dan begitu golok kirinya bertemu dengan pedang wanita
itu, hampir saja goloknya terlepas dari pegangan karena tangannya tergetar
hampir lumpuh! Lauw Sek maklum bahwa wanita baju kuning ini ternyata yang
paling lihai di antara mereka, maka dia pun cepat menyambitkan hui-to ke arah
wanita itu. Biar pun sekaligus ia menyambitkan enam batang pisau terbang dari
jarak dekat, namun sinar pedang wanita itu meruntuhkan semua hui-to itu dan
membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat Lauw Sek terhuyung
mundur.
Akan tetapi,
betapa pun Lauw Sek dan anak buahnya melakukan perlawanan mati matian, mereka
dua belas orang laki-laki gagah perkasa ini ternyata sama sekali bukan lawan
empat orang wanita cantik itu! Seorang demi seorang roboh, dan hebatnya, empat
orang wanita itu sama sekali tidak mau memberi ampun, terus mengejar yang
terluka dan mengirim tusukan maut sehingga mereka yang berjatuhan itu semua
tewas oleh tusukan tusukan pedang!
Melihat ini
Lauw Sek menjadi gelisah sekali dan dia berteriak kepada Siauw Goat, “Siauw
Goat kau larilah.... cepat....!”
Lauw Sek
sendiri dengan nekat bersama sisa teman-temannya menahan empat orang wanita
itu. Siauw Goat adalah seorang anak yang cerdik. Biar pun dia pemberani, namun
dia dapat melihat betapa sia-sianya melawan empat orang wanita yang lihai itu.
Maka dia pun lalu melarikan diri dengan cepat sambil membuang busur dan anak
panahnya yang tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi empat orang wanita yang
amat sakti itu. Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia berloncatan di atas
salju dan sebentar saja sudah menghilang di balik tumpukan salju yang membukit.
Akan tetapi gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat
meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.
“Iblis
cilik, mau lari ke mana kau?”
Lauw Sek
terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini
membuat dia lengah sehingga sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenai
pundaknya, membuat pundak itu terluka parah. Dan ketika sebuah tendangan
menyusul mengenai pinggangnya, maka robohlah Lauw-piauwsu! Teman-temannya masih
nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para piauwsu itu,
semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita
itu!
Lauw Sek
membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari
pingsannya, melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning,
sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi, agaknya mereka semua mengejar
Siauw Goat!
“Kami
membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat
permainan oleh serombongan piauwsu yang lancang!” kata wanita baju kuning itu.
“Siapa....
siapa kalian....?” Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa
sebelas orang anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan
sekali. Dia bangkit duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah
sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena hawa dingin dan salju
yang turun ke atas luka besar itu.
Wanita baju
kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek di saat
itu, senyum ini seperti senyum iblis dari neraka! “Memang kami sengaja
membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa kami. Kami adalah utusan dari
Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!”
Wanita baju
kuning itu menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai
dada Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil
tersenyum wanita baju kuning itu lalu melompat dan lari dari situ untuk
menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang penggotong tandu itu duduk
seenaknya saja semenjak tadi menonton pertempuran di dekat tandu-tandu kosong
mereka, seolah olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!
Sementara
itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri
secepatnya tanpa arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun
naik. Dia melihat adanya tiga orang yang mengejarnya. Untung baginya bahwa
hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan para
pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya
segera tertutup oleh salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang
meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya.
Dia
mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh
lengkingan lain yang lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa
lengking pertama itu adalah suara wanita pertama yang dijawab oleh wanita ke
empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah bergabung dengan tiga
orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.
Beberapa
kali Siauw Goat roboh terguling. Napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa
lemah dan hawa dingin yang luar biasa membuat dia makin menderita. Jubah bulu
tebal itu dikerudungkan di tubuh dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya
erat-erat dan dia melanjutkan larinya biar pun napasnya seperti akan putus
rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari
tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, mendadak salju yang diinjaknya
itu runtuh ke bawah sehingga tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya ‘bukit’ itu
adalah sebatang pohon yang tertutup salju sehingga bergunduk menjadi semacam
bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu menjadi
runtuh.
Perutnya
terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah
hawa dingin, kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhlrnya tubuh
yang berguling-guling itu berhenti, akan tetapi tidak bangun kembali karena
Siauw Goat merasa malas untuk bangun! Terasa nikmat sekali rebah miring di atas
salju, dan biar pun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas
yang sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa
hanya, dingin dan ingin tidur!
Akan tetapi
dia teringat akan nasehat-nasehat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau
sampai orang tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis
berjumpa dengan pengemis muda lihai yang tidur di atas salju dengan pakaian
tipis.
“Pengemis
itu tentu seorang kang-ouw yang sakti,” demikian kata piauwsu itu. “Padahal,
tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang
kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali untuk tidur, rasa kantuk
menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju, itu merupakan
tanda bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam
keadaan membeku darahnya!”
Siauw Goat
bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih
harus membalas kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya.
Tidak, dia tidak boleh mati! Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit
lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya lecet-lecet, agaknya
terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang telah hampir
mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak
lari.
Akan tetapi
baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan!
Akan tetapi, sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita
wanita yang mengejarnya, melainkan bayangan dua orang pria. Bayangan inilah
yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah kepada kelelahannya. Ada
orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir
sebelum membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.
Dua orang
itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat
seorang gadis cilik berlari-lari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan
liar itu, dan terkejutlah mereka saat melihat gadis itu berguling-guling di
atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak
bergerak di atas salju.
“Ahh,
mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!” Seorang di
antara mereka berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling.
Orang kedua tidak menjawab akan tetapi ikut berlari.
Mereka
adalah dua orang laki-laki yang memegang busur dan membawa banyak anak panah,
sikap mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti
biasa dipakai para pemburu. Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima
belas tahun usianya, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan, kejujuran dan
ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan membayangkan kecerdasan. Pria
kedua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang gagah
membayang kesabaran.
Memang
mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga
pemburu turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan
berpengalaman. Mereka berasal dari Lok-yang di mana sekeluarga mereka bekerja
sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di Pegunungan Himalaya juga
untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu
tertarik akan berita tentang makhluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti.
Sebagai pemburu permburu berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan
mereka ingin sekali dapat menangkap makhluk itu yang menurut pendapat mereka
tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan tetapi
biar pun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang
belum juga berhasil berjumpa dengan makhluk itu sendiri.
Pemuda
remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya
sudah sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama
Sim Hong Bu. Ada pun pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu
halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari ayah Hong Bu.
Dahulu
mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat,
kemudian adik-adiknya Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi,
tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan Sim Kun sedang berburu beruang di
utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun dan nyawa
mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu
dan Sim Tek pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh
duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu
mengajaknya merantau ke daerah daerah liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan
yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita
tentang Yeti.
Di dalam
kisah jodoh rajawali
ada
diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut tentu masih
ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui Lan,
dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar kejar pasukan, kemudian bersama
keluarga Sim dan kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai
menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.
Sim Hong Bu
dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera
memeriksa gadis cilik itu.
“Hemm, dia
pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya hanya kedinginan dan
kelaparan,” kata Sim Tek. “Hong Bu, lekas kau ambil arak dan obat penghangat
perut dan juga pel penambah darah itu.”
Sim Hong Bu
cepat-cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya.
Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya
dengan obat pemanas kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia
meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan nekat dia siap untuk melawan.
“Siapa
kalian....?!” bentaknya.
Hong Bu
tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang
gagah dan sama sekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis itu
saat meloncat dan mengepal kedua tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu
pernah mempelajari ilmu silat.
“Nona, kami
menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan
menyadarkanmu. Kami adalah pemburu-pemburu....”
“Ahh,
maaf....!” Tiba-tiba sikap dara itu berubah. “Dan terima kasih atas kebaikan
kalian. Mana.... mana mereka itu?”
“Mereka
siapa?” tanya Hong Bu.
“Mereka yang
mengejarku! Empat orang iblis betina itu....!” Siauw Goat lalu memandang ke
sekeliling dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu
dan anak buahnya yang terdesak dan bahkan banyak yang sudah roboh.
“Tidak ada
siapa-siapa di sini selain kita bertiga,” kata Sim Tek heran.
“Jangan
khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan
anak panah dan busurku ini!” Sim Hong Bu berkata menghibur sambil tangannya
mengangkat busurnya yang besar ke atas kepala.
Pada saat
itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan
getaran panjang.
“Itu
mereka....!” Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. “Pinjamkan
pedangmu, aku harus melawan mereka mati-matian!” katanya.
Hong Bu dan
pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan kemudian menyerahkan
pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata, “Jangan khawatir, aku dan Paman
akan menjagamu dan menghadapi mereka!” Belum nampak adanya orang lain di situ
dan suara melengking tadi agaknya dikeluarkan dari tempat jauh.
“Siapakah
mereka, Nona? Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu?” Sim Tek yang lebih
berhati-hati itu bertanya kepada Siauw Goat.
Dia maklum
bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan
seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak
seperti keponakannya yang begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis
cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang menjadi persoalannya maka gadis
itu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di pihak salah?
Bukan tidak mungkin itu!
“Aku tidak
tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para
piauwsu yang mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!”
“Jahat
mereka itu!” Hong Bu berseru marah.
Mendadak
terdengar suara melengking nyaring dan keempat orang wanita itu kini telah
muncul dari balik bukit salju dan gerakan mereka sangat cepatnya ketika mereka
lari menghampiri. Tetapi Sim Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan tegak
melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan Hong Bu siap dengan
busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang diterimanya
dari Hong Bu tadi.
Melihat
betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria
yang kelihatan gagah, empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau
yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap Siauw Goat, melangkah maju
sambil berkata kepada teman-temannya. “Biar kuhadapi anjing-anjing ini!”
Mendengar
ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar
amat sombong sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis
cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di pihak salah.
“Harap Nona
sabar sedikit,” katanya sambil melangkah maju. “Tidak baik menggunakan
kekerasan terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan
dengan tenang.”
“Heh,
pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah
sebelum terpaksa kubunuh engkau!” bentak wanita baju hijau yang oleh tiga
temannya disebut A-ciu itu.
“Paman, Nona
cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!”
Tiba-tiba
Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini
telah menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat
kali dan berturut-turut, empat batang anak panah menyambar seperti kilat ke
arah empat orang wanita cantik itu! Akan tetapi, anak-anak panah itu semua
menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud
membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.
Akan tetapi,
betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat
empat orang wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka
menendang ke arah anak panah yang menyambar itu dan.... anak-anak panah itu
semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu!
Tentu saja
pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi
hampir saja menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan
mata terbelalak, kemudian dengan suara menggeram seperti seekor singa muda dia
menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang dihantamkan ke arah kepala
A-ciu.
“Plakkk!”
Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan
tangan A-ciu.
Melihat itu
Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah
menggerakkan pedangnya dan maju menerjang dengan nekat. A-ciu dikeroyok tiga,
tapi wanita cantik baju hijau ini hanya tersenyum dan mendengus dengan sikap
mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran senjata ketiga orang
pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw
Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang
lagi.
“Plakk!
Aughhhh....!” Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena
disambar jari tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh,
sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia
sudah siap untuk menerjang lagi.
Kembali
wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong
Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.
“Huh, kalau
aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas? Tadi aku
hanya hendak menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama
sekali. Hayo segera menggelinding pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!”
A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan bertolak pinggang.
“Kami adalah
lelaki sejati, tak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa
melindunginya!” kata Sim Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu yang sudah biasa
menghadapi bahaya ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa keempat orang
wanita ini sangat kejam dan agaknya akan membunuh anak perempuan itu, maka dia
sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.
“Lebih baik
mati dari pada membiarkan dia kalian bunuh!” Hong Bu juga membentak dan dengan
nekat anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah
menyerang lagi dengan pedangnya, menahan rasa nyeri di pundaknya.
“Hemm,
kalian benar-benar bosan hidup!” A-ciu membentak dan kini dia menyambut
serangan itu dengan terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan
tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua orang penyerangnya itu. Hong Bu
dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka terlempar.
“Mampuslah!”
A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.
“Hemm,
sungguh ganas!” Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan
tiba-tiba tubuh A-ciu terdorong ke belakang.
Wanita
berbaju hijau ini terkejut, memandang orang yang baru datang dan yang serta
merta menangkis serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.
“Ahhh,
kiranya engkau lagi!” bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal
penangkis itu ternyata adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah
melindungi anak perempuan bengal itu di depan restoran tempo hari!
“Sayang, aku
terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak
mungkin engkau sampai dapat membunuhi para piauwsu itu,” Kam Hong menarik napas
panjang dan suaranya yang tenang itu terdengar bercampur nada marah. “Kalian
ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!”
“Apa?” Siauw
Goat menjerit. “Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu?”
Anak perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke
depan.
Pedang
pinjaman tadi telah terlempar dan sekarang dia menyerang A-ciu dengan kedua
tangan kosong saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah
mendengar betapa semua piauwsu telah tewas oleh empat orang wanita ini.
Melihat dia
diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah. “Huh, engkau setan cilik
menjadi gara-gara! Mampuslah!” bentaknya.
Dan dia
memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan
pengerahan tenaga sinkang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu
anak perempuan ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
“Hahh....?!”
Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di
tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!
“Plakkk!”
Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya
mengenai pipi kiri A-ciu!
Melihat
tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya ‘tidak seberapa’
wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan
tangannya ke arah perut orang. Melihat ini, A-ciu yang masih terkejut merasakan
keanehan tadi, cepat menggerakkan kakinya untuk mengelak dan dilanjutkan dengan
tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak
dapat digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.
“Ngekkk!”
perutnya kena dihantam dan walau pun tidak membahayakan, namun cukup membuat
perutnya mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sinkang menyambut
pukulan, ternyata seperti juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu!
Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya telah dilumpuhkan orang.
Siauw Goat
makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu
terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan
lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi mereka segera tahu mengapa
terjadi hal sedemikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang berdiri
tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu. Kiranya pemuda sastrawan
itulah yang mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sinkang jarak jauh
yang amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan
penyerangan Siauw Goat!
“Desss!!”
Sebuah
pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu
berdarah, tetapi Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung
tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang, akan tetapi sedikit
melukai kulit tangan Siauw Goat.
“Cukuplah,
Siauw Goat.” kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik lengan gadis cilik
itu.
Pada saat
itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita berbaju
kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka,
sudah mencabut pedangnya, diikuti pula oleh dua orang temannya dan juga oleh
A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena marah akan
tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.
“A-kiauw,
engkau di sebelah kanannya!” perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat
sudah berada di sebelah kanan Kam Hong.
“A-bwee,
engkau di sebelah kirinya!” perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke
sebelah kiri Kam Hong.
“A-ciu,
engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segi Empat, kalian tahu apa yang
harus dimainkan!” bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan
itu.
Kam Hong
hanya berdiri dengan tenang, diam tidak bergerak, agak menunduk dan lebih
menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka dari
pada menggunakan matanya. Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim
Hong Bu memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, juga Siauw Goat amat
tertarik.
Anak ini
mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau
seenaknya dan semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia
adalah anak yang semenjak kecil mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti
akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada Kam Hong karena dia
dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau
diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit
bukan main.
Tiba-tiba
terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah mulai menyerang dengan tusukan
pedangnya ke arah punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain
berturut turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee juga sudah menggerakkan pedang
mereka melakukan serangan kilat.
Hebatnya,
serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang
menyerang dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan
loncatan ke atas seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah
seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan gerakan lurus dan
bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.
Tiba-tiba
dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walau pun seluruh tubuh masih
nampak tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya.
Ketika tangan kirinya bergerak, seperti bermain sulap saja nampak sinar putih
yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang,
kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua
serangan empat pedang lawan!
Ketika empat
orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat
kuat, mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang. Kiranya
sinar putih lebar tadi adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang
oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu dipakai untuk mengipasi lehernya
seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan!
Padahal,
berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu
merupakan pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas
Pengacau Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu warisan keluarga
Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu
pernah mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu
berhenti mengebut, empat orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan
mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah yang tertulis di permukaan
kipas putih itu.
Hanya yang
kosong dapat menerima tanpa meluap
Hanya yang
lembut mampu menerobos yang kasar
Yang merasa
cukup adalah yang sesungguhnya kaya raya!
Huruf-huruf
indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat kalimat
itu adalah kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong,
keturunan dari para tokoh Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati
Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis itu dan mengandung
pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima
pengertian-pengertian baru, hati dan pikiran haruslah kosong.
Mata dan
telinga yang memandang atau mendengar secara kosong, yaitu tanpa adanya
pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam pikiran,
dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari
sampai sedalam-dalamnya segala persoalan yang dihadapinya.
Orang yang
merasa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kepintaran adalah seperti katak
dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring suaranya saja.
Demikian pula kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan
menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu.
Kalimat
terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Meski disebut
pengemis, orang yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun
karena tidak pernah mengeluh, tak pernah membandingkan, tidak pernah merasa
kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan oleh karena merasa cukup itulah maka
dia tidak menginginkan apa-apa lagi sehingga orang beginilah yang patut disebut
kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih
selalu merasa tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu
tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang ditempuhnya!
A-hui
mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang
tadinya berjalan mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan.
Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur rapi, oleh karena memang mereka
mempergunakan Barisan Segi Empat yang amat teratur. Pedang mereka gemerlapan
dan menyambar nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan
angin serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung
kuncir Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa kuatnya sinkang dari empat
orang wanita itu.
Akan tetapi
Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan,
hanya berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang sangat tegap.
Kipasnya bergerak cepat, kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai
atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua serangan pedang itu gagal
karena tertangkis dan membalik.
Kadang-kadang
kipas itu tertutup dan dipergunakan untuk membalas serangan lawan dengan
totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah yang penting, kadang-kadang
dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk mengebut ke
arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar
bernapas karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!
Pertempuran
itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin
lama makin cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah
mereka itu beterbangan mengelilingi Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang.
Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkali-kali Sim Tek menarik
napas panjang saking kagumnya.
“Paman,
sastrawan itu hebat sekali, ya?”
Pamannya
mengangguk tanpa melepaskan pandangan matanya dari pertarungan itu. “Bukan main
lihainya, hanya dengan kipas.... padahal empat orang wanita itu amat tangguhnya....”
“Mana lebih
lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman?”
Pamannya
menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak tahu.... tidak tahu....“ katanya penuh
kagum karena kini gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita
itu terdesak dan gerakan mereka terpaksa makin melebar.
“Siapa
Siluman Kecil itu? Apa sih kehebatannya?” Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri
tidak jauh dari Hong Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang
lain, dia juga masih terus menonton pertempuran itu.
Sejenak Hong
Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar
betapa Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak
kecil itu kini dipandang rendah orang.
“Pendekar
Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak
ada yang mampu melawannya!” demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke
arah pertempuran yang menjadi semakin seru itu.
“Tidak
mungkin!” Siauw Goat membantah. “Pendekar nomor satu di kolong langit adalah
mendiang Kongkong-ku, kemudian nomor dua adalah dia itu!” Dia menunjuk kepada
bayangan Kam Hong, lalu tiba-tiba ia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya
amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, “Heii, Paman Kam, lekas selesaikan
pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!”
Bukan hanya
Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar
Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat
terkejut dan mereka itu berloncatan mundur.
“Tahan!”
seru A-hui sambil melintangkan pedang di depan dada. Keringatnya bercucuran
membasahi seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong
berhenti bergerak dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali.
“Pernah
apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil?”
Kam Hong
tersenyum dan menggeleng kepala. “Bukan apa-apa.”
“Tapi setan
cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau adalah
musuhnya?”
“Hemmm,
perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah
seorang pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya? Sudahlah,
kalian lekas pergi dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat
bahwa engkau sudah membunuh banyak orang dalam rombongan piauwsu itu, kalian
harus dihukum....“
“Paman Kam,
bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!” Siauw Goat berteriak lagi.
Empat orang
wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.
“Katakan
dahulu siapa engkau baru kami mau sudah!” teriak A-hui sambil menggerakkan
pedang diikuti oleh tiga orang temannya.
“Pergilah....!”
Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan
menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu
terjengkang ke belakang, pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju!
Mereka
terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan
gagahnya, tangan kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan
tangan kanan tahu-tahu telah memegang sebatang suling terbuat dari pada emas
yang sinarnya berkilauan.
“Suling
Emas....?!” A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan
sastrawan muda itu dengan mata terbelalak.
Nama
Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka,
dan biar pun pernah dihebohkan oleh dunia kangouw bahwa Pendekar Suling Emas
meninggalkan pusaka-pusaka, namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya
maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu.
Dan kini
muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai
sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu sekarang
sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan mengambll pedang masing-masing, tidak
berani banyak lagak lagi!.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment