Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 19
"Aihh,
dua-duanya keras kepala!" terdengar laki-laki itu berseru.
Dan
tiba-tiba saja Ci Sian mengenal suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar
olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini
pula yang menyadarkan dia bahwa dirinya telah terpengaruh sihir ketika memilih
kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma!
Dan
tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, demikian cepatnya laki-laki itu
bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan
terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara
mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung
suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya
untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak
mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!
“Sudah,
jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur,” kata
pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat
ke belakang.
“Isteriku,
engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak
dan menyerangnya?”
Wanita
berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya
menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus
dan keras. “Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya,
ya?”
“In-moi....!
Kau.... cemburu? Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!” Pria itu
berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka.
Akan tetapi
Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan
berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu
antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini
amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah pria itu. Wajah seorang pendekar
yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan
gagah pula.
Pasangan
yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa
kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak
sangat berduka? Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah
diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi,
gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.
“Taihiap....
bukankah Taihiap ini adalah.... Pendekar Siluman Kecil?” akhirnya dia
memberanikan diri bertanya.
Sepasang
mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan
sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walau pun tidak setajam mata pendekar
ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
“Bertahun-tahun
lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona?”
Suara pendekar itu halus, tapi mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan
sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.
“Saya sering
mendengar nama besar Taihiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan
sering kali bercerita tentang Taihiap.”
“Siapa
Suheng-mu itu, Nona?”
“Suheng saya
she Kam bernama Hong....”
“Ahhh,
kiranya Siauw Hong? Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas?”
“Benar, dan
dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas,” kata Ci Sian dengan
bangga.
“Bagus!
Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja,
bukankah kita bertemu dengan orang sendiri? Karena itu, tidak baik untuk
membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat
sendiri.”
Wanita
cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menarik napas dan
menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian. “Adik yang baik, engkau masih muda
dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan
Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu?”
Melihat
sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian segera merasa terharu dan balas
merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang
gagah ini.
“Enci yang
gagah, maafkanlah sikap saya tadi.”
“Hush, aku
yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!” Wanita itu tertawa dan dia nampak
manis bukan main. “Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu
sudah mendengar tentang nama kami....”
“Suheng
hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera
dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan
tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah?”
“Memang
Suheng-mu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang
In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia....”
suaranya mengandung keluhan lagi.
“Eihhh,
isteriku, mengapa mulai lagi? Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan
bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini?”
“Namaku Bu
Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat untuk
membasmi Hek-i-mo,” katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka
itu amat ramah kepadanya.
Suami isteri
itu saling pandang. “Hek-i-mo? Dan bagaimana hasilnya?” tanya pendekar itu.
“Suheng
telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil
melarikan diri,” kata Ci Sian dengan bangga.
Pendekar
berambut putih itu mengangguk-angguk. “Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi
keturunan Pendekar Suling Emas.”
Para pembaca
cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya
Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalam kisah Jodoh Rajawali,
Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri
Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita
yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng
dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman
Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu
tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma.
Akan tetapi,
setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini
memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka sekali.
Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa
tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah
mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri.
Akhirnya,
suami isteri itu tak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan
mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguh pun ayah mereka, yaitu Suma
Han, dan kedua ibunya mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar
dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka sampai di daerah barat, di
dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.
Tentu saja
Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong,
pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam
kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini
telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi
gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah
mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil
keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan
banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar
Suling Emas.
“Di mana
sekarang Suheng-mu yang perkasa itu?” tanya Kian Bu kepada Ci Sian.
Wajah dara
ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, dia telah
meninggalkan diriku dan aku sekarang justru sedang mencarinya, Taihiap.”
jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan.
Siang In
merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan
wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada
hubungannya dengan kerinduan. Maka dia pun dapat menduga bahwa tentu ada
hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong dari pada hubungan suheng
dan sumoi belaka.
“Jangan
berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apa pun di dunia ini yang tidak dapat
diatasi. Bersabarlah.”
Mendengar
ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri
dan cepat menyambung, “Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu.
Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran.”
Diam-diam Ci
Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In,
hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suheng-nya itu
setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah
kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan
juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka.
Selagi ia
hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata
dengan lirih. “Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami.”
Melihat
sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang
berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, dia
mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu
lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu
sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat,
tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi
sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung
kekuatan aneh.
Begitu enam
orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian,
mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus
kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.
“Siancai....
tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki
kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang?”
Suma Kian Bu
sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang
matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang
pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab
dengan suara tenang.
“Totiang,
kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari
permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang
pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk
mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal
sekali.”
Tosu kurus
itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit.
“Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu.”
“Salah paham
apa?” Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. “Sudah jelas ada
teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk
merampas kuda hitam!”
Sepasang
mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu
pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya
seram.
“Aha,
agaknya kesalah-pahaman ini berasal darimu, Nona,” tosu itu berkata sambil
tersenyum.
“Apa? Sudah
jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau
hendak menyangkalnya, Totiang?” Ci Sian berkata lagi, penasaran.
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul
Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu
melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalah pahaman yang makin
besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha
untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!”
“Enak saja
menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh
aku mencuri pula. Huhh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang
kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!” Ci Sian
membentak.
“Dan kakek
pedagang kuda itu menerima pemberian kami!” Tiba-tiba Siang In berkata,
suaranya lantang. “Hek-liong-ma adalah kuda milik kami yang kami berikan kepada
pedagang kuda itu!”
Mendengar
ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut.
Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si
Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan
makanan selama dua hari!
“Ahh,
kiranya Hek-liong-ma ini kudamu, Enci?” Ci Sian bertanya heran.
“Nah,
lihatlah, Totiang. Kami bukanlah pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman
Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau
mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan,” kata Suma
Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.
“Ho-ho-ho,
Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman
kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walau pun mereka berusaha mencuri
Hek-liong-ma.”
“Omongan apa
itu?” Ci Sian membentak. “Bukan pencuri akan tetapi mencuri!”
“Siancai....
Nona muda amat keras hati,” tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. “Agar
jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya
orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Pada waktu
kami melihat Hek-liong-ma, kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami
dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa
pun, lalu membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau
menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya.” Tosu itu dengan
singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang ‘terpaksa’ mencuri
kuda terbaik.
Di daerah
Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya
seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang
luas sekali, yang kebanyakan didapatkannya dengan mengandalkan kekayaan mereka
yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka
raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan
pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya.
Keadaan
seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu. Bahkan setelah Kerajaan
Mancu berkuasa sekali pun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja
kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguh pun penguasa-penguasa ini juga membayar
pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi
bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil.
Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya
yang pada hakekatnya hanyalah karena berlomba kedudukan dan kekuasaan.
Akan tetapi,
karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan
kekacauan, Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan
itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini
bertangan besi, perlombaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain. Sekarang
bukan lagi perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan
perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, atau perlombaan kuda dan
beberapa macam ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu
tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang
menang akan merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang
kalah!
Yang paling
sering diadakan perlombaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan
kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda
terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh, dari barat
melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda
itu mempunyai harga yang sangat mahal. Setiap tahun sekali tentu diadakan
perlombaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu raja-raja kecil ini
juga saling berlomba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda
terbaik. Jadi semacam perlombaan mencari kuda terbaik.
Tosu itu
bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang
memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Pada waktu mereka melihat
kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat
Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat
kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik
sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk
membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlombaan beberapa hari
yang akan datang.
Akan tetapi,
kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian
seseorang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat dipinjamkan atau
disewakannya. Hal inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk
mencuri kuda hitam dan secara kebetulan pula mereka itu dilihat Ci Sian yang
segera membantu kakek pedagang kuda.
“Nah,
demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka memaklumi keadaan kami.”
Sambung tosu itu. ”Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya
sampai perlombaan berlangsung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan
kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah
memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi
kesulitan sekarang.”
“Setelah
kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku,
sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah?” Ci Sian bertanya, sikapnya
menantang.
Tosu itu
tersenyum. “Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah
orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik.
Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk
mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!”
Dan mendadak
kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang
pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam
pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu
berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!
“Hemm,
permainan kanak-kanak saja!” Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut
Siang In.
Teng Siang
In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain
ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah
menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang
dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.
“Ci Sian,
jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat
di batang pohon!”
Ci Sian
terkejut sekali karena ketika dia menengok, benar saja kudanya masih tetap
berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi, sedangkan kuda hitam yang
berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja!
Melihat ini,
kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu
dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar
untuk mempererat perkenalan!”
Setelah
berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika
Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam
jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas.
Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis.
Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, kemudian terbentuklah seekor ular
yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun
hendak mematuk Siang In!
Ci Sian
kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya
berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun
tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir,
dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan
nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata,
“Totiang,
apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau?” Dan aneh sekali, tangan
kirinya itu seperti berubah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus
terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya
yang kuat, lalu menelan ular itu!
“Bagus....!
Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!” kata tosu itu.
Dan kini dia
menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel
ada tanah tercongkel tongkat dan tanah itu berhamburan, lalu berubah
menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari
menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang
terbelalak dengan jijik dan geli.
Juga wajah
Siang In agak berubah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu. Memang
pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi
wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak
waktu lagi, cepat-cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu
dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat
kuatnya.
“Asal tanah
kembali jadi tanah!”
Nampak asap
mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berubah menjadi seonggok tanah
kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran. “Kami lihat bahwa
kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan
kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu
sihir?”
Siang In
tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk
mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu dia menjawab.
“Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini? Dari merekalah
aku mempelajari sihir.”
Tiba-tiba
saja sikap tosu itu berubah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura.
“Ahh, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto
terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!” Lalu dia menoleh
kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata.
“Ahhh, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama
sekali tak boleh diganggu....“
Akan tetapi,
wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat seperti
mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir
seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur?
“Tapi, pihak
lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda
yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin
kita bisa menang? Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan
kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!” kata seorang di antara
mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.
“Habis,
kalian mau apa? Mau tetap merampas kudaku ini?” Ci Sian membentak dan melangkah
maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.
Si Pemegang
Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun
jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap
halus. “Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri
kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam
kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja.”
“Hemm, kalau
aku menolak?”
“Terpaksa
kami akan menggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan
kelak kami kembalikan bersama uang sewanya,” kata Si Botak sambil melintangkan
sepasang goloknya di depan dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya
juga sudah siap dengan senjata masing-masing, untuk menggertak supaya nona itu
suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan.
Akan tetapi
sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si
Pendekar Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan
tetapi begitu melihat sikap Si Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda,
timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat dilihat dari kerutan kedua
alisnya. “Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan
senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!”
Dan
tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar
teriakan-teriakan kaget dan orang-orang itu hendak mempertahankan senjata
masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki pendekar itu dengan
serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang
mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan
kedua goloknya itu terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana!
Dalam waktu
yang tidak terlalu lama, Kian Bu telah meloncat ke depan tosu itu dan
menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah. Terdengar bunyi
berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang
menjadi pemimpin atau juga guru mereka!
Diam-diam Ci
Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi
belasan orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui
bahwa gerakan pendekar itu sungguh amat luar biasa, seperti kilat saja
berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar Siluman
Kecil ini sungguh merupakan seorang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan
yang amat tangguh!
Juga tosu
itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali.
“Siancai....,”
katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada, “Kami orang-orang kasar
seperti buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di
depan mata. Sesungguhnya, orang yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma
itu tentu saja seorang pendekar sakti. Alangkah bodohnya kami.... harap Cu-wi
para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang oleh keadaan terpaksa
bersikap kasar.”
“Ah, celaka!
Sekali ini hancurlah kita!” kata Si Botak. “Kuda mana lagi yang akan mampu
menandingi kuda hitam milik Si Topi Merah itu? Hayaaaa....!” Dia mengeluh
panjang pendek.
Mendengar
ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu
berkata, “Coba ceritakan tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam
yang bagaimanakah yang dimilikinya?”
Tosu itu
lalu menarik napas panjang. “Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang
menjadi saingan terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan
tanah yang jahat, kejam dan sewenang-wenang, karena itu majikan kami
memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai tukang jual beli
wanita yang amat kejam.”
“Hemm,
setiap orang tentu membela majikan masing-masing,” kata Kian Bu tertawa.
“Siancai,
agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Taihiap tentu mengerti bahwa seorang
tosu seperti pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gaji besar dan hadiah.
Sama sekali tidak! Jikalau pinto membela majikan kami, yaitu Thio-wangwe,
adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan tanah di
daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan
bijaksana, juga amat mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw.”
“Teruskanlah
cerita tentang kuda hitam itu,” Siang In mendesak karena ia merasa tertarik
sekali mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.
“Kami tidak
tahu banyak, Toanio,” Tosu itu melanjutkan. “Yang kami dengar hanya baru-baru
ini, Bouw-thicu (Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar
biasa, sama dengan Hek-liong-ma ini, bahkan sudah memperoleh ahli penunggangnya
pula, yaitu seorang wanita cantik yang amat terkenal. Wanita itu memang amat
lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai
seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai
sekali.”
“Hemm....“
Siang In saling pandang dengan suaminya. “Dan kuda hitam yang sama dengan
Hek-liong-ma itu tentu seekor kuda betina, bukan?”
“Benar
sekali, Toanio.”
“Itu adalah
kuda kami pula yang hilang dicuri orang!” Siang In berkata dan bukan saja
orang-orangnya Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi
juga Ci Sian terkejut mendengar ini.
“Kami
tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami
memasuki daerah Sin-kiang, pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina
kami hilang dicuri orang. Kami sudah berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak
berhasil menemukan kuda itu. Dan karena kawannya hilang itulah maka
Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya
kepada pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu.”
“Dan kakek
pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan
kalian,” Ci Sian menyambung.
“Ahh, kalau
begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!” Si Botak berseru keras.
“Biarlah
kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami,” kata Siang In.
“Dan biarkan
Hek-liong-ma berlomba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk
mengalahkannya. Aku pun mau menjadi penunggang Hek-liong-ma,” kata pula Ci
Sian.
“Bagus, dan
dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kau kalahkan,” Siang In berseru
gembira.
Tentu saja
tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan
mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal
majikan mereka, yaitu Thio-thicu.
Di dalam
perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan
berkata terus terang. “Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar
Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari Kam-suheng, ternyata memang hebat
sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik sekali dengan
Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya?”
“Jenderal
Kao Cin Liong? Ahh, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si
Naga Sakti Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah
belasan tahun kami tidak berhubungan dengan keluarga Kao,” kata Kian Bu.
Bicara
tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa
lalu dan akan isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung
dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu. Banyak sudah yang dialaminya dengan para
tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga mengingatkan dia akan keadaannya
sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga mempunyai
keturunan. Hal ini mendatangkan duka.
Semua orang
sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah
mempunyai seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah
menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia sendiri sampai hampir berusia empat
puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justru karena urusan ingin mempunyai
anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah
Sin-kiang. Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga sering kali
sakit-sakitan.
Dia tahu
bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan
gelisah. Seolah-olah kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup
sama sekali. Wataknya yang dahulunya amat riang jenaka itu tenggelam dan
lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.
Oleh karena
itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan
menghadapi urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi
pendekar ini, urusan perlombaan kuda itu merupakan urusan kekanak-kanakan, dan
andai kata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat bergembira, tentu dia
langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi hajaran,
dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih
kembali kegembiraan hidupnya.
Thio-wangwe
atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh
tahun yang bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan. Memang dia ini
berpotongan cukong, akan tetapi sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan
hati orang yang diajaknya bicara.
Ketika
mendengar bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan
Liang Go Tosu padanya, datang mengunjungi dan bersedia membantunya dalam
perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang akan mampu bersaing dengan kuda
hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambut dengan segala kehormatan. Dia
bersama isterinya dan kelima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah
tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggota
keluarga lain.
Tiga orang
pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam
ruangan yang luas dan berperabot mewah. Kuda Hek-liong-ma pun tadi sudah
disambut oleh para tukang kuda, dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal
yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan rapi, dipimpin sendiri
oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali.
Dalam
perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang
Gi Tosu yang tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu
menjelaskan kesemuanya kepada Siang In dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara
kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini dari pada Kian Bu yang
nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak
diam saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa,
dan terutama sekali sinar matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan
untuk bertemu pandang terlalu lama dengan pendekar ini.
“Sungguh
menyesal sekali kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang
berbahaya ini dan karenanya merepotkan Sam-wi saja,” antara lain tuan tanah
Thio itu berkata. “Tetapi, orang she Bouw itu sungguh selalu mencari perkara.
Sesungguhnya, pada dasarnya ia hendak menentang campur tangan pemerintah, ingin
memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang
menentang pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu
yang paling berkuasa di daerah ini. Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu
condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini mulai berkembang
kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol.
Walau pun kini belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh
bahwa kalau kelak terjadi pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali
dari Sin-kiang inilah pecahnya.”
Mendengar
ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah
menyangkut gejala pemberontakan, maka penting juga baginya. Dia sendiri,
seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau Es, tidak melibatkan diri dengan
politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah
membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan.
Tetapi bukan
itu saja, sebenarnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk
mencegah terjadinya perang lagi, karena semua perang hanya berakibat
mendatangkan mala petaka dan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini
maklum bahwa biar pun ibunya adalah puteri Mancu, namun ayahnya adalah seorang
Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh
bangsa Mancu.
Dia maklum
pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah
bangsa Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa dari pada
penjajahan. Dan dia tidak menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu,
apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak sewenang-wenang seperti yang
didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini.
Akan tetapi
dia sendiri bingung, tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya adalah puteri
Mancu! Dan ayahnya ialah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua
keluarga Pulau Es, dia tidak mau turut mencampuri, hanya sedapat mungkin harus
mencegah terjadinya perang, sebab yang jelas perang akan mendatangkan kesengsaraan
kepada rakyat, apa pun alasan perang itu.
Akan tetapi
Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak
kepada penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini
memburukkan nama tuan tanah yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia
mengerutkan alisnya dan bertanya, “Thio-wangwe, apakah alasannya maka engkau
menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, amat jahat dan juga hendak
memberontak?”
Sikap dan
nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap
sungguh-sungguh dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini
dengan tajam. “Harap Toanio jangan salah mengerti dan mengira saya
memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu, dua tiga tahun yang
lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya
sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan
untuk itu kami semua masing-masing memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang
pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun tangan melarang segala macam
pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan untuk
mencari keunggulan dalam perlombaan-perlombaan, terutama sekali lomba kuda.
Kami semua telah sadar bahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah
memang sangat tidak baik dan membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian
dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orang-orang pandai dari golongan
hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya melakukan
penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu.
Akan tetapi, semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan
dan penculikan-penculikan yang terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan
lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang luar biasa itu, dia pun
menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!”
“Hemm,
bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja?” pancing Siang In.
“Penjinak
kuda? Memang, akan tetapi dia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan dia kejam
bukan main. Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan
wanita itu saya pernah mempunyai hubungan baik. Ia pernah membantu kami di
sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya, terpaksa kami
mengeluarkannya.”
Akan tetapi
sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti
dan waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan
sepihak. “Baiklah, kita lihat saja nanti, Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda
kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak akan ada lain kuda betina yang
serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu
bahwa wanita she Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia
akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she Bouw itu sewenang-wenang dan jahat,
kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi, kuharap saja
engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe.” Ucapan terakhir ini
mengandung ancaman halus.
Thio-wangwe
tertawa dan mengangkat cawan araknya. “Kalau aku berbohong, biarlah aku
menerima hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa.” Setelah berkata demikian, dia
menuangkan arak cawannya ke dalam perut melalui mulutnya.
Tiga orang
tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi
Siang In dan Ci Sian tidak mau tinggal diam. Mereka tidak mau bertindak
sembrono membela orang yang belum mereka ketahui benar bagaimana keadaannya.
Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Oleh karena itu,
mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua. Keluarlah
mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh
dan yang hendak beritirahat di dalam kamarnya.
Hari telah
menjelang senja. Dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan
bertanya-tanya kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe.
Dan hati mereka puas karena setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek
yang mereka tanyai, semua memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa Thio-wangwe
adalah seorang hartawan yang amat dermawan dan tidak pernah bertindak
sewenang-wenang.
Namun mereka
masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya
menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan
melihat keadaan rumah tangga mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ
pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka sederhana, namun mereka itu
sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira.
Pada senja
hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarangan luar dengan gembira,
ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan
makan dan tidak dicekam rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan
yang membuktikan adanya dugaan mereka, kedua orang wanita ini merasa puas dan
yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang patut dibela.
“Cici,
sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu,” kata Ci Sian
ketika Siang In mengajaknya kembali.
“Ehh,
beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu
baru tujuh belas tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku lebih patut
menjadi Bibimu.”
“Aihh,
engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak sekali
menyebut Bibi kepadamu, Enci Siang In,” kata Ci Sian tertawa. “Pula, engkau
belum mempunyai anak, belum pantas disebut Bibi....“
Tiba-tiba
wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan
kata-kata yang mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung
dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar wanita ini memejamkan matanya dan
berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.
“Cici!
Engkau kenapakah....?” Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya
itu tiba-tiba saja menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi
sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh orang lain.
Siang In
tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai
beberapa lama ia menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya.
“Maafkan, Ci Sian.... ahhh, baru sekarang aku dapat menangis, seolah-olah aku
bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan kesedihanku....
aku.... aku sungguh lemah....“
“Ahhh, tidak
mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau
bersedih? Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari
Pendekar Siluman Kecil Sakti dan tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih.”
“Ci Sian,
kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum memiliki anak itulah yang menusuk
perasaanku dan membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku.”
“Ohh....
kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti
hatimu....”
“Tidak
mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang
isteri yang bodoh. Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau
Es hanya karena kebodohanku inilah, karena kami tidak punya anak. Sudah belasan
tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku sampai merasa malu sekali
kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia mau
mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi,
merantau sampai di tempat ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh
keturunan.”
“Kasihan
engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu....“
“Tidak ada
seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau
tahu di mana adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jeng-liong-cu
(Mustika Naga Hijau) saja yang dapat memberikan keturunan kepada suami-isteri.”
“Jeng-liong-cu....?
Di mana kita bisa mendapatkan itu?” Ci Sian bertanya heran.
“Kabar angin
yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena
itulah kami tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku
merasa kecewa dan sengsara!” Nyonya yang masih cantik jelita itu menarik napas
panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih.
Ci Sian
termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu dia pun
menjadi bengong, kemudian termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya dia
pun mengeluarkan kata-kata bersama tarikan napas panjang. “Aihhh....siapa
kira....“
Siang In
mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja. “Apa
maksudmu, Ci Sian?”
“Sungguh
keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira
hanya aku seorang saja yang dirundung duka. Tadinya kusangka bahwa di dunia ini
tidak ada wanita yang lebih kebingungan dan berduka dari pada aku. Apalagi Cici
yang nampak hidup demikian bahagia, di samping suami yang mencinta,
berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat
ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku menjadi semakin
bingung. Apakah hidup ini hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka?”
Memang
demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan.
Kecewa menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda
duka selalu beranggapan bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang
paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka. Inilah sebabnya mengapa
orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain
menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar dari pada
yang dideritanya sendiri.
Orang yang
dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai
macam hiburan berupa kesenangan mau pun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan
mau pun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau
petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan takluk membiarkan
dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, membunuh diri,
menjadi gila dan sebagainya.
Namun,
segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena
duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula.
Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke mana
pun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik
hiburan badaniah mau pun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si
duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui
kehidupan kita.
Lalu
bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada
kecewa? Tanpa menyerah dan takluk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri
kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya,
kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya
dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.
Kecewa
bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari
penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri
sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan.
Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan
kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan
berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak
terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat
sekali.
Si aku
terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani mau pun rohani, dan
kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan
dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang
menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan
diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir mau pun
batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka.
Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka!
Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.
Kita akan
menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk
si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak.
Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka,
lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula,
bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak
itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justru keinginan untuk lari dari duka
inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku,
maka menambah subur keinginan-keinginan si aku.
Habis
bagaimana? Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan
dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka
menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian, karena sikap ‘menerima nasib’
ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan
apatis, menjadi masa bodoh! Ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat
atau gairah hidup!
Kalau datang
kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita menghadapinya? Bukan membiarkan
pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan kecewa dan duka itu,
melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh
perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari dari padanya? Beranikah kita
mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa
penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya
pengamatan saja yang ada?
Bukan si aku
yang mengamati duka, karena jika begitu, tentu akan timbul penilaian dan
tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam lingkaran setan dari
permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh
perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan. Maukah dan
beranikah kita mencoba? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori
melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing.
Kini Ci Sian
yang merenungkan keadaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam
dalam kesedihannya sendiri. Wajah gadis ini lesu, pandang matanya layu,
merenung dan menerawang ke tempat jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi
lamunan dan kesenangannya sendiri saja.
Sebuah
tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In. “Adikku, Ci Sian,
mengapakah engkau yang semuda ini dirundung duka? Pada saat aku sebaya
denganmu, hidup ini rasanya penuh kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang
muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka?”
“Ahh, Enci,
aku sungguh bingung sekali....“ Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri
pendekar Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia
hatinya, Ci Sian yang selama ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung,
kini seperti memperoleh tempat pencurahan isi hatinya.
Dengan sedih
dia menceritakan semua pengalamannya, sejak dia diajak oleh kakeknya dan
pertemuannya yang pertama sekali dengan Kam Hong, sampai pengalamannya bersama
Kam Hong yang amat berbahaya, sehingga akhirnya mereka berdua secara kebetulan
menemukan jenazah kuno yang mengandung rahasia ilmu silat sehingga mereka
menjadi suheng dan sumoi. Kemudian tentang penyerbuan mereka berdua ke sarang
Hek-i-mo, betapa mereka berdua mengobrak-abrik sarang gerombolan jahat itu.
Betapa kemudian ia melawan Hek-i Mo-ong dan munculnya Sim Hong Bu yang lalu
membantunya.
“Dan pada
saat itu, Kam-suheng telah pergi meninggalkan aku, Cici! Tanpa ada alasan sama
sekali, meninggalkan aku begitu saja sendirian di dunia ini....” Ci Sian
mengakhiri ceritanya dengan suara sedih. “Dia tidak memberi tahu hendak ke mana
dan di mana aku dapat bertemu dengan dia. Aku tidak mempunyai keluarga.... aku
tidak mau lagi mengenal Ayahku.... dan aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku
mencarinya, tapi aku pun tidak tahu harus mencari ke mana....“
“Hemm....
Kam Hong, meninggalkanmu setelah pemuda bernama Sim Hong Bu itu muncul?” tanya
Siang In.
“Benar,
Cici. Aku sendiri pun tidak tahu mengapa.”
“Bagaimana
keadaan Sim Hong Bu itu? Pemuda yang baikkah dia?”
“Dia seorang
pemuda yang mewarisi ilmu dan pedang Koai-liong-kiam, kepandaiannya tinggi
sekali dan dia.... dia seorang pemuda yang gagah dan baik.”
“Usianya
sebaya denganmu?”
“Ya,
begitulah, mungkin hanya selisih dua tiga tahun....”
“Dan Kam
Hong? Berapa usianya?” Siang In mengingat-ingat dan menjawab sendiri. “Kalau
tidak salah, dia itu sudah sebaya denganku, tentu sudah tiga puluh tahun
lebih.”
“Cici,
mengapa engkau bertanya-tanya tentang usia?”
“Jawab dulu
pertanyaanku, apakah engkau dan Kam Hong saling mencinta?”
“Tentu saja,
kami adalah Suheng dan Sumoi, dan lebih dari itu, kami sudah banyak menghadapi
banyak hal-hal yang hebat bersama, menghadapi maut dan kesengsaraan, ancaman
bahaya....“
“Bukan
begitu maksudku, tapi mencinta sebagai seorang pria dan wanita.”
Ditanya
demikian, sampai lama Ci Sian menundukkan mukanya. Pertanyaan seperti ini
memang pernah memasuki hatinya, akan tetapi setiap kali ia segera menghindarinya,
karena merasa sukar menerima pertanyaan itu. Akan tetapi, karena pertanyaan itu
keluar dari mulut orang lain, maka ia memikirkannya secara mendalam dan
akhirnya ia menjawab sejujurnya.
“Entahlah,
Enci Siang In. Aku sendiri tak tahu, karena kami tidak pernah menyatakannya
dengan kata-kata. Akan tetapi, Kam-suheng amat baik kepadaku dan aku.... ah,
setelah berpisah darinya, aku merasa betapa aku kehilangan dia, betapa hidupku
kesepian dan tiada kegembiraan.”
“Hemm, itu
artinya engkau cinta padanya, Ci Sian. Dan aku yakin bahwa dia pun tentu jatuh
cinta kepadamu.”
“Tapi, kalau
benar demikian, Cici, kenapa dia malah meninggalkan aku?”
“Ya, cinta
memang kadang-kadang mendatangkan hal-hal yang aneh-aneh,” kata Siang In yang
merenung dan mengenangkan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika dia bercinta
dengan Suma Kian Bu yang kini menjadi suaminya. “Jika dia meninggalkanmu, hanya
ada dua kemungkinan, Ci Sian. Pertama, karena dia cemburu....”
“Cemburu....?
Dia, Kam-suheng cemburu....?” Ci Sian berseru dengan pandang mata terbelalak
keheranan.
“Mungkin
sekali! Bukankah dia meninggalkanmu setelah munculnya pemuda gagah perkasa Sim
Hong Bu itu? Mungkin dia melihat sesuatu antara engkau dan pemuda itu, atau
barangkali menduga sesuatu....”
“Ah,
jangan-jangan demikian adanya! Sim Hong Bu itu kutinggalkan karena dia.... dia
menyatakan cintanya kepadaku!”
“Nah,
itulah! Dia tentu melihat tanda-tanda bahwa pemuda yang lain itu jatuh cinta
padamu dan merasa cemburu, mengira engkau juga tertarik kepada Sim Hong Bu
itu.”
“Akan
tetapi, tidak mungkin. Kam-suheng sama sekali tidak memiliki watak seperti itu!
Dia seorang pendekar tulen, tidak mungkin sedangkal itu jalan pikiran atau
perasaan hatinya!”
”Kalau tidak
demikian, maka besar kemungkinan adalah karena hal yang kedua.”
“Apakah itu,
Enci Siang In?”
“Karena dia
jauh lebih tua darimu, sepatutnya menjadi pamanmu, maka mungkin saja dia
sengaja mengundurkan diri setelah melihat bahwa engkau lebih pantas dengan
pemuda Sim yang lebih muda dan yang sebaya denganmu itu. Mungkin dia merasa
bahwa engkau lebih cocok dengan pemuda yang sebaya, dan melihat bahwa pemuda itu
mencintamu, maka dia sengaja mundur. Banyak terdapat pendekar berhati mulia
yang sengaja mau berkorban diri demi orang yang dicintanya.”
“Ah,
Kam-suheng....!” Dan Ci Sian menangis! Hatinya terharu sekali karena ia pun
kini melihat kemungkinan ini.
Kini Siang
In yang merangkul dara yang menangis itu, membiarkan Ci Sian menangis dan
setelah agak reda tangis dara itu, ia menghibur, “Sudahlah, Ci Sian. Jangan
berduka, dan jangan putus asa. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia tidak
akan membiarkan engkau begitu saja. Dan kalau memang engkau berjodoh padanya,
tentu akan tiba saatnya engkau bertemu kembali dengannya. Agaknya memang orang
yang jatuh cinta harus selalu mengalami banyak suka duka, seperti aku dahulu.”
Akhirnya,
setelah Ci Sian terhibur dan menghentikan tangisnya, dua orang wanita perkasa
ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara untuk mendatangi rumah
keluarga Bouw, yaitu tuan tanah yang memiliki daerah kekuasaan di sebelah utara
dari wilayah kekuasaan Thio-thicu.
Batas tanah
antara mereka itu ditandai dengan pagar kawat yang tinggi, akan tetapi tidak
sukar bagi Ci Sian dan Siang In untuk melompati pagar dan memasuki wilayah
kekuasaan Bouw-thicu. Mereka sebelumnya memang sudah menyelidiki tempat tinggal
Bouw-thicu ini, maka kini dengan mudah mereka mengunjungi perkampungan
Bouw-thicu yang cukup ramai, tak kalah ramainya dengan perkampungan tempat
tinggal Thio-thicu….
Bagaikan
bayangan burung-burung raksasa saja dua orang wanita ini berkelebatan di atas
genteng-genteng rumah para penghuni perkampungan itu sampai akhirnya mereka
tiba di atas wuwungan yang tinggi dari rumah berloteng milik Bouw-thicu.
Tiba-tiba
sekali Ci Sian memegang dengan Siang In dan berbisik. “Ssttt....!”
Siang In
kagum sekali akan ketajaman pendengaran dan penglihatan dara itu, dan cepat ia
menengok. Benar saja, dari arah barat nampak bayangan orang berkelebatan di
atas genteng-genteng rumah orang, dan gerakannya memang cepat bukan main. Dan
melihat bentuk tubuh bayangan itu, walau pun dari jauh sudah mudah diduga bahwa
bayangan itu adalah seorang wanita.
Mereka
berdua cepat mendekam di balik wuwungan yang tinggi dan menanti. Dan memang
dugaan mereka benar karena bayangan yang bertubuh ramping itu ternyata datang
ke jurusan mereka, atau lebih tepat lagi ke jurusan rumah gedung bertingkat
tempat tinggal Bouw-thicu. Dan melihat cara bayangan itu melompat dari genteng
tingkat pertama ke atas genteng loteng, dapatlah dimengerti oleh dua orang
pendekar wanita itu bahwa bayangan itu memiliki ginkang yang cukup tinggi,
bahkan ketika kaki bayangan itu hinggap di atas genteng loteng, sama sekali
tidak terdengar jejak kakinya.
“Tentu ia
malingnya....,“ bisik Ci Sian dan dara ini sudah hendak bergerak.
Siang In
merasakan gerakan ini. Cepat ia memegang lengan Ci Sian dan menggeleng kepala,
“Jangan....”
Ci Sian
sadar akan kesembronoannya. Kalau ia bergerak, berarti menggagalkan
segala-galanya. Padahal, menurut percakapan antara suami istri pendekar itu, dia
mengerti bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata ingin merampas kembali kuda
dan menundukkan orang she Bouw, akan tetapi juga berusaha untuk mengatasi dan
mendamaikan pertentangan antara para tuan tanah di daerah Sin-kiang itu. Maka
dia mengangguk dan keduanya membiarkan bayangan itu menyelinap dan melayang
turun di bagian belakang bangunan itu.
Setelah
memberi waktu beberapa lama dan keadaannya sunyi benar, barulah keduanya dengan
hati-hati meloncat turun ke belakang bangunan, kemudian melalui taman bunga
mereka berindap-indap memasuki bangunan dari tembok belakang yang dapat dengan
mudah mereka lompati.
Tidak lama
kemudian kedua orang wanita sakti itu telah mengintai ke dalam sebuah ruangan
belakang di gedung itu dan mereka menemukan wanita yang tadi melayang masuk
sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Dari
percakapan itu, tahulah mereka bahwa laki-laki tinggi besar itu bukan lain
adalah Bouw-thicu, ditemani oleh empat orang pembantunya yang semuanya nampak
garang dan bertenaga kuat, sedangkan wanita itu tentulah Lui Shi yang telah
mereka dengar.
Memang
seorang wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun akan
tetapi nampak masih cantik dengan muka dirias tebal, sikapnya genit, dan
pakaiannya serba ringkas namun wanita ini pesolek sekali. Dan mendengar
percakapan mereka, tahulah Siang In dan Ci Sian bahwa Lui Shi ini pun baru
pulang dari penyelidikannya ke tempat tinggal Thio-thicu!
“Bagaimana,
Nona Lui, benarkah berita angin itu bahwa orang she Thio itu memperoleh seekor
kuda hebat yang dapat menyaingi kuda kita?” antara lain Bouw-thicu bertanya.
Mendengar
pertanyaan ini, diam-diam Siang In dan Ci Sian kagum juga akan cara kerjanya
para anak buah orang ini sehingga tentang kuda Hek-liong-ma yang akan membantu
Thio-thicu dalam perlombaan, sudah didengar oleh orang she Bouw ini.
“Memang
benar, Bouw-loya,” jawab wanita yang masih disebut nona itu, menunjukkan bahwa
wanita ini masih belum menikah. “Akan tetapi Lo-ya tidak usah khawatir, karena
biar pun kuda hitam mereka itu pun baik sekali, akan tetapi kuda itu hanyalah
seekor kuda jantan. Maka dalam perlombaan, tidak mungkin kuda jantan itu mau
melampaui kuda hitamku yang betina. Dan andai kata demikian pun, saya masih
mempunyai akal untuk menundukkan kuda lawan itu agar jangan melanggar atau
mendahului.”
“Hemm,
perlombaan kuda itu penting sekali, Nona Lui, dan bagaimana pun juga, pihak
kita sekali-kali tak boleh kalah. Jika memang orang she Thio itu betul-betul
menemukan kuda jempolan dan dalam perlombaan dapat mengalahkan kudamu, lalu
bagaimana?”
“Jangan
khawatir, saya mempunyai jampe untuk menahan kuda itu, dan kalau jampe itu
gagal, masih ada jarum-jarum saya untuk merobohkannya kalau perlu agar kuda
kita tidak terkalahkan.”
Mendengar
ini, Bouw-thicu tertawa girang. “Bagus, bagus.... akalmu sungguh bagus sekali,
Nona. Kalau kuda kita benar-benar menang, jangan khawatir, hadiahnya besar
sekali untukmu!” Terdengar mereka tertawa-tawa.
Siang In
lalu menarik lengan Ci Sian untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati
mereka pergi dan meloncat naik ke atas genteng, lalu mempergunakan ilmu berlari
cepat untuk kembali ke perkampungan Thio-thicu.
“Si Genit
itu! Ingin sekali kutampar mukanya yang dipulas itu!” Di tengah jalan Ci Sian
mengomel. “Ia mau menjampe kuda dan menyerang dengan jarum! Si keparat!”
“Kita harus
sabar dan menanti sampai perlombaan diadakan. Tentang jampe, jangan khawatir,
Hek-liong-ma tentu masih lebih taat kepada suamiku, dan tentang serangan
jarumnya....”
“Serahkan
saja jarum-jarum itu kepadaku, Enci Siang In! Kalau benar-benar ia berani
menyerang dengan jarum, awas Si Genit itu!” Ci Sian mengepal tinju.
Ketika dua
orang pendekar wanita ini tiba kembali di rumah Thio-thicu, ternyata Suma Kian
Bu masih menanti di luar kamar. Pendekar ini dengan tersenyum mendengarkan
cerita isterinya tentang hasil penyelidikannya. Malam itu mereka mengaso dan
tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, kecuali antara Kian Bu dan isterinya.
Luar biasa.....
***************
Lapangan
rumput itu sangat luas dan sepotong tanah ini merupakan wilayah milik
pemerintah, jadi merupakan daerah netral bagi para tuan tanah yang pada pagi
hari itu berkumpul di situ. Suasana amat meriah, seperti dalam pesta. Dan
memang pesta itu diadakan tiap tahun dan diprakarsai oleh pejabat pemerintah di
Sin-kiang, dalam usahanya untuk mengalihkan permusuhan antara para tuan tanah
itu menjadi semacam perlombaan yang sehat. Dan yang populer adalah lomba kuda
itulah.
Pembesar
yang paling tinggi, yaitu semacam gubernur atau kepala Propinsi Sin-kiang,
sudah hadir bersama para pembesar bawahannya yang lain, dan sepasukan tentara
pengawal berbaris rapi di seputar panggung kehormatan yang dibangun untuk para
pembesar ini, di luar arena perlombaan kuda. Dari tempat yang tinggi di
panggung ini, para pembesar dapat melihat pemandangan yang indah dan aneh,
yaitu kelompok-kelompok orang yang mudah dibedakan dari atas dengan melihat
warna tenda, pakaian pasukan pengawal, dan bendera mereka.
Setiap tuan
tanah datang bukan hanya membawa kuda jagoan mereka, akan tetapi juga para
pembantunya dan sepasukan pengawal masing-masing yang berpakaian seragam.
Bermacam-macam warna pakaian pasukan pengawal ini, tetapi semuanya berbeda!
Dan lucunya,
tenda yang mereka dirikan, untuk Sang Tuan Tanah dan keluarganya tentu saja,
agar terlindung dari panas dan dapat menyaksikan balapan itu dengan santai,
tenda-tenda itu pun tidak ada yang sama warnanya!
Karena
perbedaan warna inilah maka pemandangan dari atas panggung para pembesar itu
nampak indah dan aneh. Tenda-tenda para tuan tanah itu didirikan di sekitar
luar arena perlombaan yang amat luas itu, masing-masing memilih tempat yang agak
tinggi agar mudah mengikuti perlombaan kuda.
Rombongan
Thio-thicu berada di tempat yang tidak jauh dari panggung, tempat para pembesar
duduk. Seperti para tuan tanah yang lain, juga di tempat ini didirikan sebuah
tenda besar tempat Thio-thicu berlindung dari sengatan matahari siang nanti.
Akan tetapi tidak seperti yang lain, Thio-thicu tidak membawa pasukan pengawal,
melainkan hanya beberapa orang pengawal saja yang juga bertindak sebagai
pelayan. Thio-thicu bahkan tidak membawa keluarganya. Pihak tuan tanah Thio ini
hanya membawa seekor kuda saja, yang ditutupi selimut kuda sehingga tidak
nampak jelas dari luar apa warna kuda itu dan bagaimana macamnya karena muka
kuda itu pun tertutup selimut.
Suma Kian Bu
dan dua orang pendekar wanita itu datang bersama Thio-thicu. Karena ia akan
menunggang Hek-liong-ma ikut berlomba, Ci Sian mengenakan pakaian ringkas warna
kuning, rambutnya diikat dengan kain sutera merah. Akan tetapi ia telah memberi
tahu kepada Thio-thicu bahwa ia hanya akan keluar bersama kudanya kalau semua
peserta telah berkumpul. Sejak tadi, banyak sudah peserta yang memasuki
gelanggang, menunggangi kuda masing-masing dan menjalankan kuda mereka
berkeliling sebagai pemanasan dan juga untuk berlagak. Setiap kuda dengan
penunggangnya mempunyai pendukung sendiri-sendiri, tentu saja kawan-kawannya
para pembantu majikan masing-masing.
Kali ini,
yang mengikuti perlombaan hanya ada sembilan orang thicu, sungguh pun hampir
semua thicu yang jumlahnya sekitar dua puluh orang lebih itu datang untuk menyaksikan
perlombaan itu, juga untuk bertaruh dengan taruhan-taruhan yang besar sekali
nilainya. Hal ini adalah karena para thicu yang tanggung-tanggung saja sudah
mengundurkan diri, tidak berani mengikuti perlombaan, apalagi setelah mendengar
akan adanya kuda hitam milik Bouw-thicu yang dapat lari seperti terbang itu.
Yang mengikuti perlombaan hanyalah para thicu yang tergolong besar, dalam arti
luas daerahnya dan kekayaannya.
Namun semua
orang sudah mendengar bahwa yang agaknya akan mampu menandingi kuda hitam milik
Bouw-thicu hanyalah kuda Thio-thicu. Menurut kabar angin, Thio-thicu memiliki
kuda ‘simpanan’ yang belum pernah dilihat orang, akan tetapi yang kabarnya akan
mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu itu. Maka, tujuan orang-orang di
situ, termasuk para pembesar, hanyalah kepada dua orang tuan tanah ini. Dan
terjadilah taruhan-taruhan besar di antara para thicu yang tidak ikut berlomba,
bahkan yang ikut berlomba dengan menurunkan seekor kuda pun kemudian ikut
bertaruh antara dua thicu terkemuka ini.
Sudah ada
tujuh ekor kuda yang memasuki arena. Tujuh ekor kuda pilihan yang besar dan
kuat, dengan penunggang yang semuanya adalah pria-pria muda yang tubuhnya
kerempeng. Memang sebaiknya kalau penunggang kuda balap dipilih orang bertubuh
kecil dan ringan, demikian pendapat para pemilik kuda balap.
Tujuh ekor
kuda itu dengan para penunggangnya berjalan dengan gagah berputaran di sekitar
tempat permulaan, atau garis start di mana telah berkumpul pula para petugas
yang mengatur perlombaan. Di tempat pemberangkatan itu telah dipasang sembilan
tempat kuda, agar para kuda itu dapat bersiap dengan tenang dan baru bergerak
kalau aba-aba dan pintu tempat itu sudah diberikan dan dibuka. Akan tetapi
karena para pengikut belum lengkap, maka para penunggang kuda belum memasuki
tempat masing-masing, masih memperagakan kebolehan mereka menunggang kuda dan
keindahan kuda tunggangan mereka.
Agaknya Lui
Shi, wanita pembantu Bouw-thicu itu memang sengaja menanti dan hendak melihat
seperti apa macamnya kuda yang akan diajukan oleh Thio-thicu. Oleh karena itu,
ia pun menanti dan belum juga keluar bersama kudanya. Akhirnya setelah menanti
dan belum juga kuda jagoan Thio-thicu muncul, dan para penonton yang sudah
tidak sabar lagi berteriak-teriak menuntut agar Bouw-thicu yang sudah
dinanti-nanti orang itu suka mengeluarkan kudanya, Bouw-thicu menyuruh Lui Shi
untuk memasuki arena. Maka muncullah wanita cantik ini di atas kudanya yang
hitam, dengan amat gagahnya memasuki arena itu.
Kuda
hitamnya memang amat indah. Besar dan bertubuh kuat sekali, bulunya hitam
mengkilap seperti dicat, bulu surinya riap-riapan amat rapinya dan bulu ekornya
juga subur dan indah. Wanita itu sendiri nampak cantik dan gagah, perkasa,
apalagi karena wajahnya yang dirias tebal, dari jauh nampak amat cantik,
jelita.
Pakaiannya
dari sutera putih dan merah muda itu serasi benar dengan bulu kuda yang hitam
kelam, maka ketika kudanya memasuki arena, dan angin membuat bulu suri dan ekor
kuda juga baju sutera putih dan merah muda itu berkibar-kibar, para penonton
menyambutnya dengan sorak-sorai dan tepuk tangan.
Pada pagi
hari itu, boleh dibilang seluruh penduduk di sekitar daerah itu berkumpul di
tempat itu, terutama kaum prianya. Sorak-sorai yang menggegap-gempita menyambut
munculnya Lui Shi ini membuat kuda hitam yang ditungganginya terkejut dan
berdiri di atas dua kaki belakang. Semua orang terkejut dan khawatir, akan
tetapi Lui Shi dapat duduk di atas punggung kuda yang berdiri itu dengan
enaknya, bahkan mengangkat tangan kiri melambai-lambai ke segala jurusan dengan
gaya memikat.
Ketika kuda
hitam itu sudah menurunkan kembali kedua kaki depannya, tiba-tiba wanita itu
sendiri meloncat dan tubuhnya yang tadinya duduk itu kini berdiri di atas
punggung kuda, dan ia melarikan kudanya berputar-putar di situ seperti seorang
akrobat pemain sirkus kuda yang mahir. Kembali para penonton menyambutnya
dengan tepuk sorak gembira.
Lui Shi
sengaja lewat di depan panggung, memberi hormat kepada para pembesar kemudian
lewat pula di depan rombongan Thio-thicu dengan lagak mengejek. Ketika Lui Shi
lewat di situ, Suma Kian Bu dan Siang ln sengaja tidak memperlihatkan diri.
Ci Sian
melihat bahwa calon lawannya sudah muncul, lalu membuka penutup dan pelindung
tubuh kudanya, meloncat ke atas pungung kuda itu dan setelah mengangguk kepada
Siang In dan Kian Bu, dia pun lalu menggerakkan kudanya memasuki arena
perlombaan.
Semua
penonton memang sudah sejak tadi menanti munculnya kuda dari Thio-thicu,
terutama mereka yang berpihak kepada tuan tanah ini dan telah mempertaruhkan
banyak uang untuk kuda Thio-thicu. Kini, melihat munculnya seekor kuda hitam
yang serupa benar dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hanya bedanya kuda hitam
ini jantan sedangkan kuda hitam milih Bouw-thicu betina, semua orang
terheran-heran. Apalagi ketika melihat bahwa yang menunggang kuda hitam itu
adalah seorang dara remaja yang berpakaian serba kuning, seorang dara yang biar
pun tidak memakai riasan muka seperti Lui Shi akan tetapi yang memiliki
kecantikan seperti bidadari dan sikapnya amat gagah, pecahlah ledakan
sorak-sorai dan tepuk tangan.
Semua orang
memang sudah mendengar berita angin bahwa Thio-thicu juga telah mendapatkan
seekor kuda pilihan yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik
Bouw-thicu. Akan tetapi tidak ada yang mengira bahwa kuda itu pun adalah seekor
kuda hitam yang sama benar, bahkan agak lebih tinggi dibandingkan dengan kuda
milik Bouw-thicu. Dan yang membuat mereka gembira dan terheran-heran karena
sama sekali lebih tidak mereka sangka lagi adalah bahwa penunggangnya juga
seorang wanita, bahkan seorang dara remaja yang demikian cantik dan gagahnya!
Biar pun
dari jauh Lui Shi nampak cantik sekali, akan tetapi semua orang tahu bahwa
kecantikan wanita yang lebih tua itu banyak dibantu oleh bedak dan gincu,
sedangkan kecantikan dara remaja itu adalah kecantikan asli. Maka, kenyataan
bahwa kuda kedua orang tuan tanah yang saling bersaing itu serupa, dan juga
penunggangnya sama wanita cantik, tentu saja para penonton menjadi gembira sekali
dan suasana menjadi tegang, apalagi mereka yang bertaruh. Sibuklah mereka ini
untuk menambah atau merubah taruhan mereka setelah kedua ‘jago’ itu keluar.
Sementara
itu, melaLui wakil masing-masing, terjadi pertaruhan yang luar biasa antara
Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka itu saling mempertaruhkan tanah di perbatasan
antara wilayah mereka, tanah yang luasnya lebih dari separoh milik mereka,
masih ditambah lagi dengan sejumlah perak dan emas yang membuat salah satu di
antara mereka rudin kalau kalah! Dan pertaruhan besar ini disyahkan dan
disaksikan oleh kepala daerah sendiri!
Ci Sian
tidak berlagak seperti yang diperlihatkan Lui Shi tadi. Akan tetapi tanpa
berlagak sekali pun dara ini sudah nampak gagah sekali. Hek-liong-ma berlari
congklang dan Ci Sian langsung melarikan kudanya ke dalam tempat berkotak yang
diperuntukkan para pembalap itu. Ia membawa kudanya memasuki tempat yang
bertuliskan huruf Thio.
Sementara
itu, semua kuda sudah memasuki kotak masing-masing sebab para petugas
perlombaan sudah mengibarkan bendera, pertanda bahwa perlombaan akan dimulai
dan semua kuda harus bersiap-siap di dalam kotak masing-masing. Semua pembalap
memandang ke arah petugas yang memegang sebuah bendera merah dan yang berdiri
di tempat yang agak tinggi. Petugas inilah yang akan memberi tanda dimulainya
balap kuda itu. Kalau bendera yang diangkatnya tinggi itu sudah dikelebatkan
turun, itulah tandanya.
Dan Si
Petugas itu pun masih memegang tangkai bendera dengan kedua tangannya dan dia
sejak tadi memandang ke atas panggung, ke arah kepala daerah. Karena kalau para
pembalap itu menanti tanda dari dia, maka dia pun menanti tanda dari pembesar
itu. Hanya kepala daerah saja yang berhak memberi tanda bahwa perlombaan boleh
dimulai.
Agaknya
kepala daerah itu sedang menerima laporan-laporan dari para petugas dan
penyelidikannya bahwa segala sesuatunya berjalan beres, tidak ada apa apa yang
mencurigakan dan tidak ada permainan curang dilakukan orang dalam perlombaan
itu. Maka, setelah merasa yakin bahwa tidak ada hal yang patut dicurigai,
kepala daerah itu lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat tangan ke
kanan, ke atas dan menggerakkan tangan itu tiba-tiba ke bawah. Inilah tanda
bahwa perlombaan boleh dimulai, yang merupakan isyarat bagi Si Petugas pemegang
bendera merah.
Semua mata
penonton hampir tak pernah berkedip memandang ke arah kotak-kotak itu, menanti
dengan hati berdebar saat dimulainya perlombaan yang menegangkan hati itu,
terutama yang akan terjadi di antara dua penunggang kuda wanita itu. Akan
tetapi, di dalam ketegangan ini ada saja penonton yang berkelakar mengatakan
bahwa jangan-jangan yang dinanti-nanti dengan tegang, yaitu dua orang pembalap
wanita itu, ternyata akan menjadi pemenang dari belakang!
“Bagaimana
pun juga, mereka hanyalah wanita-wanita!” tambahnya.
Kelakar ini
mengurangi ketegangan dan terdengar suara ketawa. Bagaimana pun juga, kelakar
itu masuk di akal dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi seperti yang
diramalkan oleh orang itu. Dan betapa akan lucunya kalau kedua penunggang kuda
wanita itu, yang kini dikagumi dan dijadikan pusat pertaruhan yang amat ramai,
di akhir perlombaan itu akan menjadi juara dari belakang, yaitu nomor satu dan
nomor dua paling akhir!
Begitu
kepala daerah itu menggerakkan tangannya, petugas yang memegang bendera merah
pun berseru dengan suara nyaring, suara yang sudah dinanti-nanti oleh para
peserta perlombaan.
“Perlombaan
dimulaiiiii!” Dan bendera merah itu pun berkelebat turun dari atas.
Para pembalap
itu menggebrak kuda masing-masing pada saat para petugas menarik palang yang
menutup kotak-kotak itu dan mulailah terdengar derap kaki kuda yang diiringi
tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton. Binatang-binatang itu seperti
mendapatkan semangat tambahan, atau memang ketakutan mendengar sorak-sorai itu
dan mereka pun lari semakin kencang.
Menurut
peraturan perlombaan, para pembalap harus mengelilingi arena balap itu sebanyak
tiga kali putaran, dan setelah memutar lapangan itu tiga kali, lalu membelok ke
depan panggung para pembesar di mana telah disediakan seikat bunga dengan pita
merah yang digantungkan. Peserta yang paling dulu meraih dan mengambil seikat
bunga inilah yang dinyatakan sebagai pemenang pertama.
Adapula di
situ digantungkan ikatan bunga untuk diambil oleh pemenang ke dua dan ke tiga.
Dan di sepanjang arena perlombaan itu, di tengah jalan diadakan
rintangan-rintangan seperti pagar dan parit yang mesti dilompati oleh kuda
peserta. Jadi, yang diperlombakan bukan sekedar hanya kecepatan, melainkan juga
ketangkasan dan kemahiran si penunggang kuda.
Pada tengah
putaran pertama, sembilan ekor kuda itu masih kelihatan sama cepatnya. Mereka
lari kencang berdampingan seolah-olah mereka itu sudah bersepakat untuk lari
bersama, tidak saling mendahului. Akan tetapi begitu mereka tiba di
rintangan-rintangan di mana mereka harus mengerahkan kekuatan kaki dan
kemahiran penunggang kuda masing-masing untuk melompat agar tidak sampai
tersandung pagar atau jatuh ke dalam parit lumpur, mulailah nampak keunggulan
Lui Shi.
Wanita ini
mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya ini merupakan tanda bagi kuda
hitamnya untuk meloncati parit dengan loncatan yang amat indah dan tinggi, jauh
melampaui para saingannya dan ketika tiba di seberang parit, kuda itu lalu lari
membalap dengan cepat sekali seolah-olah keempat kakinya tidak lagi menyentuh
bumi!
Sorak-sorai
meledak dari para penonton di luar arena balap itu, terutama sekali dari anak
buah Bouw-thicu dan dari mereka yang berpihak dan bertaruh atas kuda hitam milik
Bouw-thicu. Dan seolah-olah didorong oleh suara sorak-sorai ini, kuda hitam
yang ditunggangi Lui Shi makin membalap sehingga jauh meninggalkan para
saingannya.
Sedangkan
Hek-liong-ma yang ditunggangi Ci Sian masih bersama-sama dengan para pembalap
lain, hanya berada paling depan saja. Makin cepat juga kuda hitam Lui Shi
meluncur sehingga ketika putaran pertama habis, ia telah meninggalkan para
lawan sejauh hampir seperempat putaran! Tentu saja para penonton menjadi
gegap-gempita, bersorak-sorak dan mencemooh kuda lain, terutama Ci Sian yang
tadinya diharapkan akan dapat mengimbangi kecepatan kuda milik Bouw-thicu itu.
Hal ini membuat Lui Shi timbul kesombongannya dan mulailah ia berlagak.
Ia
berloncatan di atas punggung kudanya, berjungkir-balik, berjongkok dan
menari-nari di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu. Memang harus
diakui bahwa wanita ini pandai sekali menunggang kuda. Berdiri di atas punggung
kudanya yang berlari kencang itu agaknya bagi wanita itu tiada bedanya dengan
berdiri di atas tanah saja!
Para
penonton tentu saja menjadi semakin gembira, ada yang tertawa dan bertepuk
tangan riuh, bahkan mereka yang berpihak kepada kuda lain pun mau tidak mau
harus mengagumi kepandaian wanita itu dan kecepatan lari kuda hitam yang
ditungganginya. Mereka semua tahu bahwa apa yang dipertontonkan wanita itu
bukanlah main-main, berbeda dengan pertunjukan komedi kuda di mana kudanya
tidak berlari sekencang itu dan bukan sedang dalam suatu perlombaan besar.
Sekali saja salah perhitungan dan wanita itu terjatuh dari punggung kuda,
akibatnya maut!
Thio-thicu
memandang semua itu dan wajahnya berubah agak lesu. Dia adalah seorang yang
sudah sering mengadakan perlombaan kuda dan setelah melihat betapa dalam
putaran pertama, jadi sepertiga jarak perlombaan, pihak musuh sudah mendahului
dengan seperempat putaran, harapannya sudah menipis.
Tak mungkin
ada kuda yang akan dapat menyusul ketinggalan sejauh itu. Dan diam-diam dia pun
harus mengakui bahwa kuda hitam milik orang she Bouw itu memang luar biasa
sekali. Belum pernah dia melihat ada kuda dapat berlari secepat itu, juga belum
pernah melihat penunggang kuda sepandai wanita yang bekerja untuk lawan itu.
Maka dia pun
menoleh ke arah Suma Kian Bu dan Teng Siang In yang duduk di sebelah kirinya
dan dia terheran-heran. Suami isteri pendekar ini nampak tenang-tenang saja!
Hal ini membuat dia penasaran, maka dia pun tak dapat menahan hatinya bertanya
kepada Siang In yang duduknya paling dekat dengannya, “Bagaimana pendapat
Toanio? Kuda kita agaknya akan kalah....”
Betapa
herannya hati tuan tanah itu ketika mendengar jawaban pendekar wanita itu
dengan suara tenang, “Ia tidak akan kalah. Adik Ci Sian adalah seorang
penunggang kuda yang baik dan mencinta kudanya. Ia tidak mau menguras tenaga
kudanya, tetapi menanti saat baik. Lihatlah....!”
Tuan tanah
itu menengok, apalagi karena tepat pada saat itu terdengar sorak-sorai yang
riuh-rendah, dan tepuk tangan gegap-gempita. Ketika dia menoleh ke arah
perlombaan, wajahnya segera berubah, kalau tadinya lesu kini menjadi
berseri-seri dan saking lupa diri dia sampai bangkit berdiri dari tempat
duduknya. Dia melihat kuda hitam yang ditunggangi Ci Sian mulai ‘terbang’! Ya,
memang lebih pantas disebut terbang karena kuda hitam itu berlompatan atau
berlari seperti terbang saja, meninggalkan kelompok teman-temannya yang tadinya
tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi!
Lui Shi
tadinya masih enak-enakan, masih mengira bahwa semua tepuk sorak itu adalah
untuknya. Memang dia sudah yakin akan kemenangannya dan memandang rendah kepada
semua lawannya. Bukankah ia sudah menang seperempat putaran dan dua putaran
lagi ia akan meninggalkan mereka lebih jauh lagi!
Akan tetapi
ketika dia iseng-iseng menoleh ke arah panggung dan melihat betapa rombongan
Thio-thicu juga bersorak-sorak, bahkan Thio-thicu sendiri yang gendut itu
bangkit berdiri dan berjingkrak-jingkrak, dia terkejut dan heran sekali. Cepat
Lui Shi menoleh dan ketika ia melihat seekor kuda hitam meluncur cepat sekali
dari belakang, tahulah ia bahwa kuda hitam yang ditunggangi dara remaja itu,
milik Thio-thicu, telah mulai berusaha untuk mengejar dan menyusulnya!
“Setan!” Ia
memaki.
Kalau
tadinya ia enak-enakan jongkok di atas punggung kudanya, kini ia turun lagi dan
duduk di atas punggung, lalu membedal kudanya agar berlari lebih cepat lagi.
Kuda hitam tunggangannya itu bukan lain adalah kuda hitam milik suami isteri
dari Pulau Es itu, dan kuda ini memiliki ketangkasan yang seimbang dengan
Hek-liong-ma. Maka begitu dibedal, kuda ini meringkik dan me-luncur ke depan
lebih cepat lagi.
Terjadilah
kejar-mengejar antara dua ekor kuda hitam ini. Kejar-mengejar dalam putaran
yang kedua dan pada saat menghadapi rintangan, mereka berlompatan dengan amat
cekatan. Karena kuda hitam Lui Shi dibedal sekuatnya, maka kembali Hek-liong-ma
tidak dapat menyusulnya dan jarak di antara mereka masih cukup jauh, sungguh
pun Hek-liong-ma juga sudah jauh sekali meninggalkan para lawan yang lain! Dan
ketika putaran kedua habis, jarak antara mereka masih ada sedikitnya lima puluh
meter!
Tentu saja
kejar-kejaran ini membuat para penonton panas dingin rasanya, apalagi di pihak
Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka dari kedua rombongan ini sudah bangkit
berdiri semua dan tiada yang tidak menggerakkan kaki tangan dan mulut mereka
untuk memberi dorongan semangat. Seolah-olah nampak semangat mereka beterbangan
ke arah dua kuda jagoan masing-masing dan semangat itu ikut mendorong pantat
kuda agar lebih cepat lagi!
Tinggal satu
putaran lagi dan di sinilah letak keuntungan Ci Sian. Kuda hitam yang
ditunggangi Lui Shi telah lebih dulu diperas tenaganya, dipaksa berlari
sekencangnya dan pada putaran terakhir ini, nampak betapa kuda itu menjadi
lemah. Mulutnya mulai berbuih dan hidungnya mendengus-dengus, tanda bahwa kuda
itu mulai kelelahan. Tidak demikian dengan Hek-liong-ma yang kelihatan semakin
gembira untuk mengejar kuda di depan itu.
Lomba itu
kini seolah-olah hanya dilakukan oleh dua ekor kuda hitam itu. Yang lain-lain
sudah tidak masuk hitungan lagi. Bahkan para thicu yang memiliki kuda lain itu
sama sekali tidak lagi memperhatikan kuda mereka sendiri yang jauh tertinggal
di belakang, melainkan menujukan perhatian mereka kepada dua ekor kuda yang
berlari secepat terbang itu. Dan para petaruh mulai berteriak-teriak untuk
menambah taruhan mereka.
Kini, lambat
namun jelas sekali, Hek-liong-ma mulai dapat mengurangi jaraknya dari kuda
hitam di depan. Dan Lui Shi yang sejak tadi sering menoleh ke belakang, melihat
pula akan hal ini. Telinganya dapat menangkap derap kaki kuda di belakangnya
itu, yang merupakan suara seperti ancaman setan, makin lama semakin jelas.
Sekarang
mereka berdua tiba di tempat di mana ada rintangan-rintangan pagar dan parit
dan mulailah kini Hek-liong-ma memperlihatkan ketangkasannya. Lompatan demi
lompatan dilakukannya dan perlahan-lahan kuda ini mulai dapat menyusul kuda
hitam yang ditunggangi Lui Shi! Ketika semua rintangan dapat dilompati oleh dua
ekor kuda itu, kini dua ekor kuda itu sudah hampir sejajar, dan Hek-liong-ma
hanya kalah setengah badan saja!
Sekarang Lui
Shi dapat melihat wajah Ci Sian yang tersenyum tenang, wajah yang menimbulkan
benci dan iri dalam hati Lui Shi. Tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan suara nyaring
yang bunyinya seperti ringkikan kuda.
“Hiiii-yehh....
hiii-yehhh....!”
Dan
akibatnya memang hebat. Hek-liong-ma mengurangi kecepatan gerakan kakinya dan
berlari di belakang kuda hitam betina itu! Mereka kini sudah melalui separuh
dari putaran terakhir!
Ci Sian
terkejut sekali dan ia teringat bahwa wanita ini adalah seorang penjinak kuda.
Tentu teriakannya tadi merupakan teriakan yang khas, yang merupakan bahasa kuda
yang agaknya menahan Hek-liong-ma! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara
lain di dekat mereka. Suara ini seolah-olah berada dekat sekali dengan dua
orang wanita itu, dan seperti suara setan yang tidak nampak.
“Hek-liong-ma....
ckk, ckk.... hyaaakkk....!”
Mendengar
suara ini, Hek-liong-ma tiba-tiba meloncat ke depan dan dengan beberapa kali
loncatan saja kuda ini sudah dapat menyamai lagi sehingga lari berendeng dengan
kuda hitam! Penonton seperti gila, berteriak-teriak seperti orang kemasukan
setan menyaksikan peristiwa ini, kejar-mengejar yang mendebarkan dan
menegangkan hati ini. Ada beberapa orang petaruh yang jantungnya lemah sudah
jatuh pingsan di tempat dia berdiri!
Melihat ini,
Lui Shi terkejut bukan main dan beberapa kali ia berusaha untuk menguasai
Hek-liong-ma dengan teriakan-teriakan aneh. Akan tetapi selalu ada suara lain
yang menentangnya dan agaknya Hek-liong-ma lebih taat kepada suara tanpa rupa
ini. Diam-diam Ci Sian kagum bukan main dan tahulah dia bahwa suara itu
tentulah suara Pendekar Siluman Kecil yang mempergunakan khikang yang amat
kuat, mengirim suara dari jauh untuk menguasai Hek-liong-ma.
Melihat
betapa Hek-liong-ma kini malah telah menang setengah badan dibandingkan dengan
kudanya, Lui Shi marah bukan main. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik
bajunya dan tangan itu bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah belakang kuda
Hek-liong-ma.
Akan tetapi,
sejak tadi Ci Sian tidak pernah lengah. Ia tahu akan kecurangan lawan, maka
sejak tadi pun ia sudah bersiap. Melihat tangan kiri lawan merogoh saku saja ia
sudah curiga, maka begitu tangan kiri itu bergerak dan jarum-jarum meluncur ke
arah belakang tubuh Hek-liong-ma, cepat dara ini mencondongkan tubuhnya ke
belakang.
Dengan
tangan kiri ia mengebut dan mengerahkan tenaga khikang sehingga jarum-jarum itu
runtuh, akan tetapi dia masih sempat menyambar dan menangkap beberapa batang
jarum dengan tangan kirinya, lalu langsung menyambit dan jarum-jarum itu
terbang kembali kepada pemiliknya. Akan tetapi berbeda dengan Lui Shi, Ci Sian
tidak menyerang kuda, melainkan langsung menyambitkan jarum-jarum itu ke arah
tubuh Lui Shi!
Lui Shi
kaget bukan main. Tak disangka bahwa dara remaja yang menjadi penunggang kuda
hitam itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!
Disangkanya hanya seorang penunggang kuda yang mahir ilmu menunggang kuda saja.
Siapa tahu, dengan kebasan tangannya, bukan saja dara itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya,
bahkan dapat menangkap jarum-jarumnya dan kini sambitan cepat seperti kilat
menyambar! Wanita ini mengeluarkan seruan kaget dan mendadak saja tubuhnya
lenyap dari atas kuda.
“Ehhh....?!”
Ci Sian terkejut, akan tetapi ia menjadi kagum ketika wanita itu muncul kembali
dan ternyata tadi ketika mengelak dari serangan jarumnya, wanita itu telah
menjatuhkan dirinya ke bawah perut kuda dengan kedua kaki tetap mengait tubuh
kuda itu. Sungguh merupakan ilmu menunggang kuda yang hebat, yang hanya dimiliki
oleh ahli-ahli pemain sirkus yang amat mahir.
Kini mereka
terus membalapkan kuda mereka dan dua ekor kuda itu masih terus lari berendeng,
sungguh pun Hek-liong-ma menang setengah badan. Sorak-sorai masih
menggegap-gempita di kalangan penonton, bahkan para pembesar yang juga
ikut-ikutan merasa tegang, sudah berdiri semua di atas panggung dan ikut
bertepuk-tangan.
Kini putaran
terakhir hampir habis! Melihat kudanya akan kalah begini terus, tiba-tiba Lui
Shi mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menaburkan benda putih di atas
pinggul dan ekor kudanya. Tiba-tiba Hek-liong-ma mengeluarkan suara meringkik
aneh dan.... kuda ini menahan larinya, lalu berlari di belakang kuda hitam itu
sambil mendengus-dengus!
Ci Sian
menjadi terkejut dan juga bingung. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia
tidak tahu bahwa Lui Shi yang ahli itu telah menaburkan obat yang membuat
kuda-kuda jantan seolah-olah menganggap kuda betina itu sedang dalam waktu
birahi! Dan hal ini merangsang kuda Hek-liong-ma yang sudah mengenal kuda hitam
itu sebagai kawan lamanya, lalu lari di belakangnya, tidak mau mendahului.
Tentu saja
para penonton bersorak-sorak lagi melihat ramainya perlombaan itu, melihat
betapa kini kembali kuda tuan tanah Thio tertinggal di belakang, kalah satu
badan! Bahkan Suma Kian Bu dan isterinya juga berdiri saling pandang dengan
bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan tidak tahu pula harus berbuat
apa. Pendekar Siluman Kecil telah mengirim aba-aba kepada Hek-liong-ma, akan
tetapi tetap saja kuda ini tidak mau mendahului kuda betina.
Putaran
terakhir sudah habis dan kini tinggal membelok untuk merebutkan ikatan bunga
dengan pita merah sebagai tanda pemenang atau juara pertama! Dan Hek-liong-ma
masih ketinggalan satu badan! Pada saat terakhir itu, saking penasarannya,
tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan suling emasnya, meniup suling itu dengan nada
yang begitu tinggi sehingga tidak terdengar oleh telinga manusia.
Akan tetapi
karena dia mengerahkan khikang dan menujukan suara suling dengan ilmu yang
dipelajarinya bersama Kam Hong, menujukan suara itu menyerang kuda hitam yang
ditunggangi Lui Shi, tiba-tiba saja kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu
meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan tentu saja
otomatis larinya terhenti!
Kuda itu
telah terserang pendengarannya oleh suara lengkingan tinggi yang menggetar dan
seolah-olah menusuk kedua telinganya, membuat binatang itu meringkik kesakitan
dan juga amat terkejut. Tentu saja kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh
Ci Sian. Ia membedal kudanya, Hek-liong-ma meloncat ke depan dan sebelum Lui
Shi mampu menguasai kembali kuda hitamnya yang ketakutan, dengan mudahnya Ci
Sian sudah meraih dan menyambar ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda
bahwa ia keluar sebagai juara.
Sorak-sorai
dan tepuk tangan riuh memenuhi lapangan itu dan Lui Shi yang akhirnya berhasil
menguasai kembali kudanya karena kini tidak ada lagi suara suling yang membikin
takut kuda itu, baru dapat melihat ketika mendengar sorak-sorai itu bahwa
kejuaraan telah direbut oleh Ci Sian dan kuda hitamnya.
“Keparat....!”
ia mengutuk dan membalapkan kudanya ke depan dengan muka merah penuh geram.
Ia tahu
bahwa dara remaja itu tentu telah melakukan sesuatu yang membuat kudanya tadi
ketakutan. Ia pun tadi melihat dara itu meniup suling yang mengkilap, dan biar
pun telinganya tidak menangkap suara apa-apa, namun getaran yang halus sekali
terasa olehnya maka tahulah ia bahwa dara itu menggunakan siasat untuk membuat
kudanya ketakutan dan berjingkrak tadi. Maka ia menjadi marah sekali sehingga
ia tidak ingat lagi bahwa di samping hadiah sebagai juara pertama, masih ada juara
ke dua dan ke tiga. Ia membalapkan kudanya untuk mengejar Ci Sian yang sudah
mengambil ikatan kembang dengan pita merah itu.
“Iblis
curang!” bentak Lui Shi sambil mengejar.
Melihat
sikap wanita ini, Ci Sian maklum bahwa ia terancam serangan, maka cepat ia
melemparkan ikatan bunga sebagai tanda juara itu ke arah Thio-thicu karena ia
sudah tiba di depan rombongan itu, lalu ia pun meloncat turun ke atas tanah,
dan membiarkan Hek-liong-ma dirawat oleh beberapa orang tukang kuda pembantu
Thio-thicu yang segera menyelimuti kuda itu dengan selimut bulu dan menyeka
keringat kuda itu.
Melihat
betapa Ci Sian sudah menantinya dengan berdiri tegak, Lui Shi menjadi makin
marah, merasa kalau ditantang. Maka ia pun meloncat turun dari atas kudanya ke
depan Ci Sian.
“Lui Shi....
ambil juara ke dua!” terdengar Bouw-thicu dan anak buahnya berteriak.
Akan tetapi
Lui Shi seperti tidak mendengar seruan-seruan itu, dan Ci Sian yang diam-diam
merasa marah kepada wanita curang ini, sengaja mengejek agar Bouw-thicu
kehilangan semua kejuaraan.
“Hemm,
wanita tak tahu malu. Engkau sudah kalah, masih banyak lagak mau apakah?”
Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengejek Ci Sian lalu meloncat ke
atas panggung.
Panggung itu
memang memanjang ke depan, tempat para petugas tadi menyampaikan pengumuman dan
lain-lain, dan kini ditinggalkan kosong karena semua pembesar dan petugas sudah
duduk di kursi masing-masing. Dan Ci Sian melompat ke tempat ini dengan
sengaja, untuk memancing Lui Shi menjauhi kejuaraan yang ke dua dan ke tiga,
dan juga agar mereka berdua dapat nampak oleh semua orang yang berada di bawah,
terutama sekali oleh para pembesar yang duduk di atas panggung.
Diejek oleh
Ci Sian, kemarahan Lui Shi meluap, membuatnya menjadi mata gelap dan tanpa
peduli apa-apa lagi, melihat lawannya itu melompat naik ke atas panggung, ia
pun lalu menggunakan ginkang-nya meloncat ke atas panggung. Semua ini dapat
dilihat dengan jelas oleh para penonton, juga oleh para pembesar dan tentu saja
semua orang tertarik dan tegang. Kini semua mata memandang ke arah dua orang
wanita itu yang sudah saling berhadapan di ujung panggung, dan agaknya tidak
ada seorang pun yang mempedulikan jalannya perlombaan lagi. Ada pertunjukan
yang lebih menarik dan menegangkan di atas panggung.
“Eh, engkau
berani mengejarku?” Ci Sian terus menggoda dan mengejek. “Sudah kalah tidak mau
menyadari kebodohan sendiri, malah mengamuk-ngamuk. Sungguh engkau ini
nenek-nenek tak tahu malu, tebal muka....!” Ci Sian terus menggoda.
Sepasang
mata wanita itu mendelik dan kini wajahnya tidak kelihatan terlalu cantik lagi.
Bahkan mengarah buruk, karena keringatnya membasahi dahi, membuat pupur tebal
itu luntur dan kulit mukanya yang tertutup bedak tidak rata itu malah menjadi
coreng-moreng.
“Keparat,
kubunuh engkau.... kubunuh engkau....” Lui Shi berkata, suaranya mendesis dan
napasnya agak memburu saking marahnya.
“Aha, begitu
mudahkah? Benarkah engkau akan mampu?” Ci Sian tetap saja mengejek.
Ucapan dan
sikap dara remaja ini bagaikan angin yang mengipasi api kemarahan Lui Shi, maka
wanita ini menjadi lupa diri. Ia lupa bahwa ia berada di tempat yang gawat, di
depan para pembesar dan pejabat setempat, bahkan di depan kepala daerah
Propinsi Sin-kiang! Dengan mata gelap ia sudah melolos keluar senjatanya, yaitu
sebatang pedang lemas yang dapat digulungnya dan disembunyikannya di balik
bajunya, dan dengan pedang di tangan ini ia menerjang maju, mulutnya mendesis,
“Kucincang engkau.... kucincang dan kupenggal kepalamu....!”
Akan tetapi
ia terlalu memandang rendah kepada Ci Sian, terkecoh oleh keadaan dara remaja
itu. Meski dalam pandangan orang-orang lain yang menyaksikannya, serangan
pedang dari Lui Shi itu amat cepat dan kuat serta amat berbahaya, namun dalam
pandangan Ci Sian tidaklah demikian. Ia dapat mengikuti gerakan pedang itu
dengan baik, dan dengan mudahnya ia mengelak sampai tujuh kali beruntun ketika
pedang itu menyerang bertubi-tubi.
Tenaga
manusia itu terbatas dan tidak mungkin serangan dilanjutkan terus tanpa henti,
karena si penyerang perlu memulihkan tenaga dan mengatur napas. Ketika pedang
itu berhenti bergerak menyerang setelah semua bacokan dan tusukannya mengenai
angin belaka, detik ini dimanfaatkan oleh Ci Sian. Tangan kirinya menyambar dan
biar pun Lui Shi juga seorang wanita yang gesit, namun sehabis menyerang
bertubi-tubi itu, ia belum mampu menjaga diri, maka dengan kecepatan sekejap
mata, tahu-tahu pipinya telah berkenalan dengan telapak tangan Ci Sian yang
menyambar.
“Plakkk....!”
Telapak
tangan Ci Sian itu halus lembut dan hangat, telapak tangan seorang dara yang
terpelihara dan terawat baik-baik, yang tidak pernah atau jarang bekerja berat.
Akan tetapi karena tangan itu terlatih, mengandung kekuatan sinkang yang amat
hebat, maka biar pun tamparan itu dilakukan oleh Ci Sian dengan perlahan saja,
bukan dengan niat membunuh, tidak urung tubuh Lui Shi terputar seperti disambar
halilintar, dan setelah berjungkir balik dan memutar pedang mengatur
keseimbangan, barulah ia terhindar dari keadaan terpelanting dan roboh. Seluruh
mukanya terasa berdenyut-denyut dan panas sekali, dan ternyata pipi kanannya
telah membengkak dan merah, sedangkan ujung bibirnya pecah berdarah! Sejenak ia
terbelalak, saking terkejut, heran dan penasaran. Akan tetapi segera semua itu
ditelan oleh kemarahannya yang berkobar-kobar.
Orang marah
sama dengan orang mabuk. Dalam keadaan marah, kewaspadaan kita tertutup,
seolah-olah tertutup oleh asap dari api kemarahan, membuat kita buta dan tidak
dapat melihat kenyataan dengan terang. Kemarahan membutakan mata menulikan
telinga. Dalam keadaan mabuk seperti itu, orang dapat melakukan apa saja,
terutama melakukan hal-hal yang kejam, karena satu-satunya tujuan hanyalah
melampiaskan kemarahan yang hanya dapat terlaksana dengan membalas dendam
kepada orang yang menimbulkan kemarahan itu. Kemarahan merupakan penghamburan
energi batin yang amat besar dan amat kuat sehingga banyaknya kemarahan akan
mempengaruhi jasmani, menjadi lekas lapuk dan tua.
Dalam
kemarahannya, Lui Shi seperti tidak melihat apa-apa lagi kecuali wajah dara
remaja yang dianggapnya seperti setan yang amat dibencinya itu. Ia mengeluarkan
pekik melengking tinggi yang menyeramkan dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang sama ketika ia menyerang kuda, dan
tahulah Ci Sian bahwa lawannya yang curang ini kembali mempergunakan senjata
rahasia jarum-jarum halus.
Namun,
senjata rahasia seperti itu tentu saja merupakan permainan kanak-kanak bagi
pendekar wanita remaja yang telah memiliki kesaktian ini. Dengan kebutan tangan
kirinya, Ci Sian membuat semua jarum itu runtuh, sedangkan yang melesat dan
sempat mengenai kulit tubuhnya setelah menembus pakaian, hanya bertemu dengan
kulit yang dilindungi sinkang amat kuat sehingga tidak terasa sama sekali! Ci
Sian mencabuti empat lima batang jarum yang menancap di pakaiannya, dan
membuangnya ke atas lantai seperti membuang kutu busuk.
Lui Shi
terbelalak. Kalau saja tidak dimabokkan oleh kemarahan yang berkobar, semua
kenyataan ini saja tentu telah menyadarkannya bahwa dara remaja itu bukan
lawannya, terlalu tangguh baginya. Namun ia sudah mabok dan ia sudah menubruk
lagi dengan pedangnya, menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada Ci Sian.
Kini Ci Sian
tidak mau memberi hati lagi. Ia miringkan tubuh, tangan kirinya mengikuti
gerakan lawan menusuk dengan jari tangan ke arah lambung. Tusukan ini amat
cepat dan berbahaya, mengeluarkan angin bersuit mengejutkan Lui Shi yang cepat
menarik pedang dan hendak membacok tangan yang menusuk itu. Akan tetapi
tiba-tiba saja tangan Ci Sian Sian menyambar dan tanpa dapat dihindarkan lagi,
untuk kedua kalinya pipi Lui Shi ditampar. Sekali ini pipi kiri.
“Plakkk!”
Tamparan
yang keras sekali, membuat tubuh itu terputar dan terpelanting, dan ketika Lui
Shi mampu bergulingan untuk mematahkan kejatuhan tubuhnya dan ia melompat
bangun, pipi kirinya bengkak lebih besar dari pada pipi kanannya dan ujung
mulut kirinya juga berdarah. Mukanya menjadi buruk sekali setelah kedua pipinya
bengkak itu, bahkan bengkak-bengkak itu sampai membuat kedua matanya nampak
sipit dan lucu, dan hidungnya terjepit antara dua bukit membengkak dari kedua
pipinya.
“Anak
setan....!” Ia memaki dan menerjang lagi.
Ci Sian
memapaki dengan tendangan hingga akhirnya Lui Shi terjengkang. Akan tetapi
kembali wanita itu bangkit dan menyerang. Kembali Ci Sian menendang dan sekali
ini ia mengerahkan lebih banyak tenaga.
“Dessss....!”
Tubuh Lui
Shi terlempar dan terguling-guling sampai ke depan kursi kepala daerah yang
sudah menjadi marah sekali. Semua orang melihat betapa Lui Shi yang mulai lebih
dulu berkelahi itu. Lui Shi yang melakukan penyerangan-penyerangan sedangkan Ci
Sian hanya melindungi diri saja. Maka kepala daerah itu lalu membentak.
“Tangkap
perempuan pengacau ini!”
Lui Shi
bukanlah wanita sembarangan. Ialah yang menghubungkan Bouw-thicu dengan para
pemberontak Mongol. Kini melihat bahwa dirinya hendak ditangkap, kemarahannya
yang sudah meluap itu membuat ia meloncat berdiri dan hendak menyerang pembesar
itu! Akan tetapi tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu
dan Teng Siang In telah berdiri di depannya!
Lui Shi
mengenal suami isteri yang menjadi pemilik kuda yang dicurinya. Akan tetapi ia
tidak mengenal mereka ini siapa dan belum tahu bahwa pemilik kuda itu adalah
sepasang suami isteri yang kepandaiannya malah lebih tinggi dari pada
kepandaian gurunya sekali pun! Maka ia tidak takut.
“Maling
kuda, engkau menyerahlah!” Kian Bu berkata.
“Huh!
Mampuslah!” kata Lui Shi dan ia pun menubruk dengan tusukan pedangnya.
“Takkkk!”
Pedang itu
dengan tepat mengenai dada pendekar berambut putih itu, akan tetapi pedang itu
melengkung! Pedang lemas, akan tetapi kalau dipergunakan oleh Lui Shi dengan
pengerahan sinkang, pedang itu dapat menjadi keras atau lemas. Kini, dia
menggunakan tenaga keras dan ternyata ketika mengenai dada orang, pedangnya
melengkung seperti sebatang daun saja! Dan tahu-tahu pedangnya itu telah
dijepit oleh dua jari tangan pria itu.
Lui Shi
mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya terlepas dari jepitan ibu jari dan
telunjuk tangan kiri pendekar itu, namun hasilnya sia-sia belaka, pedangnya itu
seolah-olah sudah berakar pada kedua jari itu! Bukan main kagetnya hati Lui
Shi. Baru sekarang ia tahu bahwa pemilik kuda yang memiliki wajah tampan gagah
namun amat menyeramkan ini kiranya memiliki kepandaian lebih hebat lagi! Kian
Bu mengerahkan tenaga pada jari-jari tangannya, membuat gerakan menekuk dan
memuntir.
“Krekkkk!”
Pedang itu patah menjadi dua!
Pucatlah
wajah Lui Shi. Pedangnya itu adalah sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja
pilihan, yang mampu membabat putus besi dan baja biasa. Akan tetapi kini pedang
itu patah oleh tekukan dua jari tangan orang ini! Tubuhnya mulai gemetaran
karena tahulah ia bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang sakti!
“Maling
busuk, sebaiknya engkau menyerah,” kata lagi Suma Kian Bu.
“Aku.... aku
tak mencuri apa-apa....” Dalam gugupnya Lui Shi mencoba untuk membela diri.
“Bagus!
Sudah mencuri, membohong pula!” Siang In mencibir. “Sungguh pengecut tak tahu
malu. Kuda hitam betina itu adalah kuda milik kami yang sudah kau curi dari
kami, menggunakan kepandaianmu menjinakkan kuda. Dan kini engkau masih berani
hendak menyangkal?”
Tiba-tiba
dari samping terdengar suara orang, suara yang berat dan berwibawa, “Harap
jangan ada fitnah-fitnah yang tidak sehat di sini! Kuda hitam itu adalah milik
kami, dan kami menerimanya dari Lui Shi dengan syah. Kuda itu sejak dahulu
adalah milik Lui Shi, bagaimana kini tiba-tiba ada orang menuduhnya mencuri?”
Suara ini
adalah suara Bouw-thicu yang sudah tiba di tempat itu bersama beberapa orang
pengawal pribadinya. Tuan tanah yang bertubuh tinggi besar ini naik ke panggung
dan setelah memberi hormat kepada para pembesar, terutama kepala daerah yang
dikenalnya dengan baik, lalu mengeluarkan teguran itu kepada Suma Kian Bu dan
Teng Siang In.
Mendengar
teguran tuan tanah yang tinggi besar itu, Kian Bu berkata, “Bouw-thicu, mungkin
engkau sendiri juga tertipu oleh wanita ini. Akan tetapi kuda hitam itu benar
milik kami. Kuda kami adalah sepasang, dan yang betina hilang dalam perjalanan
kami, dan ternyata di curi oleh wanita ini.”
“Bohong....!”
Lui Shi berkata dengan suara teriakan, sikapnya sudah pulih karena ia dibela
oleh Bouw-thicu. Kini ia kelihatan marah dan penasaran, “Kuda itu sejak kecil
kukenal dan kupelihara, bagaimana tiba-tiba ada orang mengakuinya?”
“Taijin,
kami mohon keadilan!” Bouw-thicu berkata kepada Kepala Daerah Propinsi
Sin-Kiang yang langsung menghadapi pertikaian ini.
Kepala
daerah itu tersenyum dan memandang kepada Suma Kian Bu.
“Kalau ada
dua pihak mengakui seekor kuda sebagai miliknya, maka jalan satu-satunya
hanyalah agar kedua pihak memperlihatkan bukti akan kebenaran pengakuan
masing-masing. Kalau ada bukti, barulah benar bahwa dia pemiliknya.“
Bouw-thicu
tersenyum. Biar pun dia tadi kecewa karena kekalahan Lui Shi, bahkan kejuaraan
kedua dan ketiga telah direnggut peserta lain, namun kini agaknya terbuka
kesempatan baginya untuk menjatuhkan nama Thio-thicu, atau setidaknya orangnya
tuan tanah lawan itu, di hadapan semua pembesar dan semua penonton.
Biar pun dia
kalah bertaruh, kekalahannya yang amat besar, baik dalam hal tanah yang luas
mau pun jumlah uang yang amat banyak, namun dia akan menang muka.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment