Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 18
DAN
memanglah, Kam Hong semenjak tadi mempergunakan ilmu-ilmunya yang lama.
Pertama-tama tadi ia mainkan Pat-sian-kun, dan kini pun setelah memegang
suling, ia masih melanjutkan dengan ilmu Pat-sian Kiam-hoat, menggunakan
sulingnya sebagai pengganti pedang.
Memang ilmu
ini hebat sekali, tetapi delapan orang pengeroyoknya itu benar-benar amat
tangguh. Meski Kam Hong dapat membela diri dengan sulingnya, namun dia tidak
diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang!
Kemudian Kam
Hong mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula
dia mengubah Pat-sian Kiam-hoat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu silat yang
gerakannya dilakukan dengan membuat huruf-huruf di udara, merupakan gerakan
ilmu silat yang lihai sekali.
Kemudian,
karena ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu
banyak pengeroyok yang rata-rata memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi
ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang, lalu Kim-kong
Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya
serta menggabungkan dengan sulingnya dalam permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu
Kipas Pengacau Lautan).
Namun, tetap
saja dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap
kali dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan
terdorong, akan tetapi segera mereka menerima bisikan-bisikan guru mereka
melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera mengubah
gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya!
Dengan demikian,
walau pun delapan orang Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong,
sesungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak dari Hek-i Mo-ong yang mengatur
semua gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya.
Diam-diam
Kam Hong terkejut. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek
moyangnya melalui Seng-siauw Sengjin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar
dicari tandingannya. Akan tetapi, ternyata semua ilmu ini tidak mampu
merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini
benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan
kalau tidak dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban.
Teringat dia
akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah
sudah berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas
menghadapi Hek-i Pat-mo ini, juga dia teringat akan nasehat gurunya yang
pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo itu amat berbahaya.
Memang
tadinya Kam Hong tak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu
simpanannya. Dia telah memiliki banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek
moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak akan menggunakan Kim-siauw
Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu masih
terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan
agaknya sampai mati pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik
kesempurnaannya.
Kini, dia
tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah
baginya untuk mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya. Siapa
tahu, dia harus mengerahkan sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju
dan kalau sumoi-nya tidak mampu menahan raja iblis itu.
Tiba-tiba
Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi
dari suling yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah
dan lambat, akan tetapi sesuai dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar
itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi melengking suara suling itu!
Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi.
Memang,
Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi
mengaung-ngaung seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu
Kim-siauw Kiam-sut ini. Ilmu ini dibarengi dengan khikang yang amat kuat dan
jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya sendiri,
baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan!
Melihat ini,
lega dan giranglah hati Ci Sian. Suheng-nya mulai mengeluarkan Kim-siauw
Kiam-sut dan memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kellhatan
terkejut dan bingung melihat betapa delapan orangnya menjadi kacau gerakannya
dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara, akan tetapi betapa
kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara
suling pemuda itu!
Memang hebat
bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam
Hong memainkannya dengan pengerahan tenaga sinkang sepenuhnya, didorong oleh
kekuatan khikang yang telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu
itu, maka belum sampai dua puluh jurus saja, sinar suling yang keemasan itu dan
suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah mengurung dan
mendesak delapan orang lawannya.
Akan tetapi,
Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga
sedikit lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah
terpelanting ke kanan kiri, dan ketika mereka bangkit berdiri, ternyata cakar
setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua! Wajah mereka
berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama.
Delapan
orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa
kalah dalam perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi
orang-orang kang-ouw yang berani menentang guru mereka, dan biar pun sudah
memiliki kepandaian tinggi, mereka masih terus melanjutkan pelajaran mereka, belajar
segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi semakin
lihai. Maka, kini ketika menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda,
mereka merasa penasaran bukan main.
Mereka tidak
dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi
kemenangan telah membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru
mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkan mereka!
Mereka
saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu sudah duduk bersila
dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan
kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng,
suara yang terdengar oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih,
terdengarnya seperti, “Auuuummmm....!”
Akan tetapi
bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara
itu seperti memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua
telinganya dan terus menyusup masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya
sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh suara itu. Dia mulai
menggigil dan mukanya pucat.
Namun pemuda
ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah
cepat menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling
dengan hanya tangan kanan saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa
khikang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia tidak perlu menggunakan
jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling.
Tangan
kirinya, telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari
saluran hawa hangat yang keluar dari telapak tangannya sendiri, mendatangkan
getaran halus yang melindungi jantungnya. Dan terdengarlah kini suara
melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu! Biar pun suling itu
tidak dimainkan lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun
tenaga tiupan yang sudah mencapai kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri
lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong.
Terjadilah
pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara
yang bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung
kekuatan dasyat untuk menjatuhkan lawan masing-masing!
Suara yang
terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan walau pun langsung
ditujukan kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan akibatnya sehingga
dara ini pun mengerahkan sinkang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu
ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini hanya terserang getaran yang
lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong.
Akan tetapi,
suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara
auman mereka. Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main,
akan tetapi tidak mempunyai daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar
merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Pat-mo, suara itu merupakan
malapetaka!
Suara itu
menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara auman mereka itu kembali
dan menyerang mereka sendiri! Mereka merasakan gelombang suara yang menggetar
ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat
dan mereka bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh
atau dibunuh! Kalau mereka lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan
lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya mereka kalah kuat, mereka tidak
peduli lagi!
Melihat
kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa
lawan-lawannya itu hendak mengadu nyawa dan dia sudah tidak mempunyai jalan
lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia menghindar, berarti dia
kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa
dia pun memperkuat pengerahan khikang-nya, disalurkan melalui suara suling.
Sungguh
mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling
melengking-lengking itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan
hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri terpaksa harus mengerahkan sinkang
buat melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara. Akan tetapi, kakek ini
mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut.
Dan dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para
muridnya itu menjadi semakin lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling,
bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga penuh keringat dan napas
mereka terengah-engah.
Melihat hal
ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba
mengeluarkan teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang
buas. Tangan kirinya sudah mengeluarkan sebuah kipas merah sedangkan tangan
kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak Gigi Srigala) dan
dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat
menyambar ganas ke arah pemuda itu.
Akan tetapi,
Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat
dipercaya kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk
diputar cepat dan menyerangnya. Betapa pun juga, kipas merah itu lihai bukan
main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah oleh tenaga yang amat
hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman
lawan.
Dia
mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika
tubuh delapan orang itu terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar
darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah
melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan
merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka. Akan tetapi, Kam Hong juga
terkejut sekali ketika merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa
dia pun menderita luka dan hal ini terjadi karena delapan orang itu tadi
dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga dia
kurang dapat menjaga diri.
Sementara
itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena
ia tahu bahwa lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak
waktu, begitu maju ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat
Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan amat tekun dibawah bimbingan
Kam Hong.
Memang tak
dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimiliki oleh Ci Sian
masih jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang sudah lebih lama melatih diri.
Akan tetapi Ci Sian telah menguasai dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya,
dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh, sedangkan dara itu
pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang luar
biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat, maka ia
bukan merupakan lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu.
Hek-i Mo-ong
sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan
orang murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main kenapa tadi
menyuruh mereka maju. Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan
tangan kanannya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci
Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya.
Tombak
Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan
runcing tajam agak melengkung seperti gigi serigala, dan tentu saja ujung
senjata itu mengandung racun yang amat berbahaya, telah bertahun-tahun direndam
semua racun-racun yang paling jahat. Ia mainkan Long-gee-pang ini bagai orang
memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah
tangan saja, yaitu tangan kanan untuk memainkan Long-gee-pang.
Sedangkan
tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu sebab tangan ini lebih sering
memainkan kipas merahnya. Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan
untuk menotok jalan darah. Memang gerakan-gerakannya hebat sekali. Tombaknya
itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar tombak itu nampak
berkelebat sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar
dari tiap gerakan tombaknya.
Ci Sian
memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking. Sungguh pun tak
sehebat permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari
ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut. Biar pun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan
ilmu silat dan serangan tombak dan totokan-totokan kipas, melainkan juga
dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun Ci Sian
terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun
mengandung kekuatan khikang yang hebat.
Betapa pun
juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakek
itu. Ia mulai merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya
saja maka dia masih mampu menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut.
Selama itu,
Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya.
Akan tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian. Bagaimana pun
juga, dia harus membantu sumoi-nya. Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu
saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu sumoi-nya, apalagi kalau
yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja iblis itu. Dan
dalam jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan
melindungi diri sendiri. Dia tahu bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih
terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia harus
mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa mala petaka kalau
dia berhadapan dengan Hek-i Mo-ong.
Setelah rasa
sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci
Sian sudah terdesak hebat, Kam Hong sudah siap-siap untuk membantu sumoi-nya.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring.
“Hek-i
Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita
sama-sama basmi Iblis ini!” Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan
suara berdengung-dengung amat kuatnya, bahkan dalam suara mengaung ini pun
terkandung kekuatan yang mukjijat.
“Sim Hong
Bu, bagus kau datang membantuku!” Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang
sudah merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai
seorang pemuda yang amat lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang. Ia
mengira bahwa suheng-nya telah terluka dan tidak dapat maju lagi.
Sementara
itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di
tangan pemuda yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat!
Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dibandingkan dengan dara remaja ini!
Ada pun Kam
Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh
perhatian, mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang
pemuda itu memang hebat bukan main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong pokiam,
yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam ilmu pedang Koai-liong
Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya. Keluarga
Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong
Kiam-sut!
Dan
sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut
dimainkan dengan suling emas oleh sumoi-nya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut
dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan. Dua
ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai dan
diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena
begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat,
dapat saling mengimbangi bahkan saling cocok, saling isi dan saling melindungi!
Teringatlah
dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang
merupakan nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan
pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak pembuat pedang itu. Dan ilmu pedang itu
lalu ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti.
Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit
banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw
Kiam-sut, seperti halnya keluarga Cu di lembah itu.
Melihat
hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat
dan bahkan saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat
dikatakan bahwa penggabungan itu malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi
sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi lengkap! Dan dia melihat pula
hal lain!
Dia melihat
betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan di antara
gerakan cepat mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat
atau mengerling Ci Sian. Pemuda itu mencinta Ci Sian! Dan dia melihat pula
betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali, sebaya dan juga
sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan
wajah berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali
bertemu dengan Hong Bu, apalagi dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh
tangguh.
Padahal, dia
mengenal benar watak Ci Sian dan andai kata yang membantunya itu orang lain,
tentu Ci Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian
malah girang dibantu Hong Bu, maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci
Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka kepada pemuda ini. Teringat
pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh, Kam Hong
merasa jantungnya seperti tertusuk!
“Bodoh kau!
Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!” Kam Hong
mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia
merasa cemburu!
Bodoh, dia
harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak
wajar dan tidak tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru
delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci Sian. Hong Bu itulah yang tepat
menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua pun
selisihnya hanya satu atau dua tahun.
Dan Ci Sian
telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan
jalan berlatih dan menggunakannya dalam praktek. Tidak ada lagi yang dapat
diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat tidak baik kalau dia terus mengajak dara
itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, dan juga bagi
dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia
harus mengundurkan diri, dia harus tahu diri.
Tiba-tiba
Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan
itu, puluhan orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam
Hong bahwa kakek itu merasa kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun
lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya. Ketika anak buah Hek-i Mo-ong
hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong telah menyerbu dan menyambut
mereka dengan putaran sulingnya yang berubah menjadi sinar emas
bergulung-gulung.
Dan biar pun
anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun
menghadapi suling di tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan
lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan sinar emas itu menyambar, tentu
sedikitnya ada dua orang anggota Hek-i Mo-ong yang roboh.
Dan para
anggota Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu
dan Ci Sian, akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani
ikut membantu ketua mereka karena gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi
mereka. Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka sudah mundur
lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat.
Dan ketua
gerombolan itu sudah mulai lelah, dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya
kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah berdiri dan terkenal di
seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang
sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, kini
mengalami ambang kehancuran.
Tiba-tiba
kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik
jubahnya. Begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar
ledakan-ledakan nyaring dan nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat
itu.
Melihat ini,
Kam Hong cepat berteriak, “Hong Bu! Ci Sian! Mundur!”
Dua orang
muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek
yang sudah lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong
menyuruh mereka mundur dan mereka pun bersikap waspada. Kalau saja mereka
mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya yang mengancam
lebih besar. Kini mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah
paku-paku dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari
balik asap hitam. Dan asap itu sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk,
tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.
Kam Hong,
Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi
para anggota Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani
mereka dengan senjata rahasia beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar
suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu runtuh dan mereka bertiga
lalu dikeroyok.
Akan tetapi,
karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu
bukanlah lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini. Berturut-turut
robohlah mereka itu satu demi satu. Dan akhirnya, setelah lebih dari setengah
jumlah anggota Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa ketua mereka telah
lari meninggalkan mereka, sisa anggota Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang
di malam gelap.
“Ehhh, di
mana Suheng?” Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suheng-nya tidak berada di tempat
itu.
Tadi, di
antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di
samping Hong Bu dan dia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian
lain. Akan tetapi setelah semua musuh pergi dan sebagian lagi roboh malang
melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong.
Hong Bu juga
melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk
mencari Kam Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.
“Suheng....!”
Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan
tidak nampak pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.
“Mungkin dia
mengejar Mo-ong,” kata Hong Bu.
Ci Sian
mengangguk dan mengerutkan alisnya. “Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar
kalau dia sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang
manusia iblis yang curang seperti Mo-ong itu amat berbahaya. Mari kita ikut
mengejar dan membantunya.” Tanpa menanti jawaban Ci Sian sudah meloncat ke
depan.
“Tunggu,
Nona. Lihat ini....!”
Ci Sian
berhenti dan membalikkan tubuhnya. la melihat Hong Bu menghampiri sebatang
pohon tak jauh dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih
seperti kertas tertempel di bawah dahan rendah. Biar pun cuaca agak suram
karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih dapat
dibaca.
“Ci Sian, ke
sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meninggalkan surat ini!”
kata Hong Bu.
Ci Sian
segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu.
Bu-sumoi
yang baik,
Selesailah
sudah tugasku mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Kini tidak ada gunanya
lagi bagimu aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu
baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa perpisahan dan aku tidak ingin
perpisahan antara kita menimbulkan duka.
Suheng-mu :
Kam Hong.
“Ah,
Suheng....!” Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas
itu dan merasa kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan
berlinang air mata. Mengapa suheng-nya meninggalkannya?
Hong Bu yang
melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu. “Suheng-mu pergi
meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?”
Ci Sian
tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia
menarik napas panjang. “Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja
meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan sehelai surat seperti ini....
sungguh aneh sekali....”
“Kalau aku
boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula
Suheng-mu itu hendak pergi?”
Ci Sian
menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan
tertentu. Kami melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo buat membalas
dendam atas kematian Ibuku, dan di sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu
kepadaku. Tapi.... ahhh, tak kusangka dia akan pergi begitu saja....”
Ci Sian
benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di
dunia ini tidak ada lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong
pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk
membantah atau menahannya.
“Jadi engkau
tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya.”
“Kita....?”
“Ya, aku
akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam
perjalananku ini. Aku mau membantumu mencari Kam-twako.”
“Mari kita
pergi dulu dari tempat terkutuk ini!” Ci Sian berkata sambil melompat pergi.
Hong Bu
mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka
berlari terus dan Ci Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa
bicara. Mereka keluar dari daerah itu akan tetapi ketika mereka tiba di luar
kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan
telah condong ke barat dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti
berlari. Di tepi jalan terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani
mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka duduk di atas bangku bambu di
bawah pondok.
“Kita
menanti sampai pagi di sini saja,” kata Ci Sian.
Hong Bu
mengangguk. “Sebaiknya begitulah.”
Dan mereka
pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong
Bu dapat merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa
kasihan, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana dapat menghiburnya dan dia
khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja.
Berulang
kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya
melayang-layang, membayangkan semua pengalamannya semenjak kecil sampai dia
bertemu dengan Kam Hong dan mengalami banyak hal bersama. Kiranya pendekar itu
melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua hal, yaitu pertama untuk mengajarkan
ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang dahulu mereka temukan berdua, dan
membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo.
Tidak ada
hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian
termenung dan merasa berduka. Dia.... dia tidak mencintaku! Demikian pikiran
yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam Hong mencintanya, tidak mungkin
mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini. Kembali ia
menarik napas panjang.
Hong Bu yang
sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum
bukan main karena tadi dia melihat sendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang
dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega. Dia dapat menduga bahwa Ci Sian
merasa berduka ditinggalkan suheng-nya, dan merasa hidupnya kesepian, merasa
sendirian saja di dunia yang luas ini.
“Bagaimana
kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku
menjaga di sini,” kata Hong Bu dengan lirih dan halus.
Hampir saja
Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi
begitu ia menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara
halus tadi adalah Hong Bu, ia menggeleng kepala. “Aku tidak mengantuk. Dan
lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang terjadi di sana tadi,
tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat
sambil duduk di sini sampai pagi. Ehh, Hong Bu, bagaimana kau dapat muncul
secara tiba-tiba dan membantuku menghadapi, raja iblis itu?” Tiba-tiba Ci Sian
teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan hal ini cukup untuk
membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan
sendiri lagi.
Hong Bu
tersenyum, tetapi senyum pahit. “Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan dari
pada nasibmu, Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak
saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa tujuan sama sekali! Kadang-kadang
kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku merasa
seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin,
entah hendak dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian
dan bingung. Apalagi kalau teringat bahwa aku telah menjadi seorang buronan dan
dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan
aku!”
“Ehhh?
Kenapa? Apa dosamu maka engkau dikejar-kejar oleh Kaisar?”
Hong Bu
menepuk pedang di pinggangnya. “Karena pedang inilah.”
“Koai-liong
Po-kiam?”
“Ya,
Koai-liong Po-kiam. Ci Sian, engkau pasti sudah mendengar riwayat pedang yang
meributkan ini. Walau pun pedang ini buatan nenek moyang keluarga Cu, akan
tetapi pernah lenyap dan tahu-tahu berada di Istana Kaisar tanpa ada yang tahu
bagaimana. Kemudian Bibi guru Tang Cun Ciu mencurinya dari istana, yang
sesungguhnya bagi kami bukan mencuri melainkan mengambil kembali hak milik
keluarga Cu. Kemudian, karena oleh mendiang Supek Ouwyang Kwan yang dulu
menjadi Yeti itu aku diangkat sebagai ahli waris ilmu Koai-liong Po-kiam dan
pedangnya, maka pedang dan ilmu itu jatuh kepadaku.”
“Ya, dan
engkau bersembunyi lalu berlatih di dalam goa itu,” kata Ci Sian.
“Benar, akan
tetapi selagi aku beristirahat, baru-baru ini, di lembah kedatangan orang-orang
sakti utusan Kaisar yang menuntut dikembalikannya pedang pusaka ini. Tentu saja
Suhu Cu Han Bu dan Susiok Cu Seng Bu yang berada di lembah menentang dan
terjadi pertempuran, dengan janji bahwa kalau pihak Suhu kalah, Suhu dan Susiok
akan menjadi hwesio dan memberitahu di mana adanya pedang. Sebaliknya kalau
utusan itu yang kalah, utusan itu tidak boleh mengganggu lagi. Nah, terjadi
pertempuran dan akibatnya.... Suhu dan Susiok kini menjadi hweslo....”
“Hah....?!”
Ci Sian terbelalak, kaget sekali. “Maksudmu.... kedua Locianpwe itu telah
kalah?”
Hong Bu
mengangguk.
“Tapi....
tapi menurut kata Suheng, Gurumu itu memiliki kesaktian yang luar biasa sekali,
bahkan menurut Suheng, saat Suheng dan Gurumu pi-bu, Suheng mengalami kesulitan
besar untuk memperoleh kemenangan tipis! Kalau begitu, alangkah saktinya utusan
Kaisar ltu. Siapakah mereka itu?”
“Mereka
adalah Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Dia bersama
puteranya yang telah mengalahkan dan melukai Suhu dan Susiok.”
“Jenderal
Muda Kao Cin Liong dan ayahnya? Ahhh....!” Ci Sian terkejut dan dia pun
mengerti sekarang mengapa guru dan Susiok Hong Bu sampai kalah, sungguh pun hal
itu juga amat mengherankan hatinya. Dia tahu bahwa Kao Cin Liong adalah seorang
pemuda sakti, akan tetapi tidak pernah mengira bahwa jenderal muda itu akan
mampu mengalahkan tokoh penghuni Lembah Suling Emas!
“Agaknya
engkau telah mengenal mereka.”
“Tentu saja,
aku mengenal baik Jenderal Muda Kao Cin Liong. Jadi, kini engkau menjadi buruan
mereka?”
“Ya, karena
pedang pusaka ada padaku, dan karena memenuhi perjanjian pi-bu itu Suhu
memberitahukan mereka bahwa pedang ada padaku tanpa memberitahu aku berada di
mana, maka tentu mereka itu akan mencariku dan kalau bertemu, tentu mereka akan
menuntut agar aku menyerahkan pedang ini.”
“Dan engkau
akan menyerahkan pedang itu?”
“Tidak!”
jawab Hong Bu dengan tegas. “Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa aku akan
mempertahankan pedang ini, karena pedang ini sesungguhnya adalah milik keluarga
Cu dan aku telah menjadi ahli-warisnya. Betapa pun juga, akan kupertahankan
dengan taruhan nyawa.“
Diam-diam Ci
Sian memandang khawatir. “Ahh, engkau berada dalam keadaan yang amat tidak
enak, Hong Bu.”
Hong Bu
menarik napas panjang. “Memang, demikianlah kenyataannya. Tetapi bukan
menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya yang membuat hatiku merasa amat
tidak enak, melainkan menghadapi.... Suheng-mu.”
“Ehhh....?”
Ci Sian lalu teringat akan semua yang terjadi ketika suheng-nya melakukan pi-bu
(adu ilmu silat) melawan penghuni lembah, dan kata-kata Cu Han Bu bahwa kelak
akan terbukti keunggulan Koai-liong Kiam-sut terhadap Kim-siauw Kiam-sut. “Jadi
kau.... kau hendak mewakili keluarga Cu untuk menentang Suheng? Engkau hendak
menebus kekalahan Gurumu?”
“Begitulah
pesan Suhu kepadaku ....“
Sebelum Hong
Bu melanjutkan kata-katanya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali
tidak setuju dan tidak ingin berhadapan dengan Kam Hong yang amat dikaguminya
itu sebagai lawan, Ci Sian sudah segera meloncat keluar dari pondok dan
mencabut sulingnya!
“Bagus!
Tidak perlu kau bersusah payah mencari Suheng! Mari hadapilah aku kalau engkau
masih penasaran! Aku juga merupakan ahli-waris Kim-siauw Kiam-sut dan jangan
harap dengan ilmu pedang tumpulmu itu akan mampu menandingi Kim-siauw Kiam-sut
kami!”
“Eh-eh....
Ci Sian....!” Hong Bu meloncat keluar pula dengan maksud untuk membantah,
tetapi dia sudah disambut oleh sinar keemasan yang mengeluarkan bunyi
melengking ketika suling di tangan Ci Sian itu bergerak menyambar dengan
serangan yang amat hebat.
Hampir saja
kepala Hong Bu kena disambar suling. Oleh karena datangnya serangan demikian
dahsyat dan tak terduga-duga, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu
bergulingan, barulah dia terlepas dari cengkeraman maut!
“Ehhh, nanti
dulu, Ci Sian....!”
Akan tetapi
Ci Sian sudah menyerang lagi sambil membentak, “Mau bicara apa lagi? Mari kita
lihat siapa lebih unggul di antara kita!” Dan gulungan sinar kuning emas itu
sudah menyembar dengan dahsyatnya.
“Tringgg....!”
Bunga api berpijar pada saat pedang Koai-liong Po-kiam bertemu dengan suling
emas di tangan Ci Sian.
Dara itu
merasa tangannya tergetar hebat, akan tetapi ia kini bukan seorang dara yang
lemah, maka dengan kecepatan kilat ia sudah menyerang lagi. Percuma saja bagi
Hong Bu yang berkali-kali minta gadis itu bersabar sehingga terpaksa dia pun
harus mainkan pedangnya karena serangan-serangan Ci Sian sama sekali tak boleh
dipandang ringan. Gadis itu kini telah menguasai sebuah ilmu yang amat lihai,
bahkan tadi pun mampu melawan seorang tokoh sakti seperti Hek-i Mo-ong.
Terjadilah
perkelahian antara pedang dan suling yang amat hebat di waktu menjelang pagi
itu. Suara beradunya kedua senjata itu terdengar berkali-kali dan pertandingan
yang terjadi di tempat sunyi itu benar-benar amat hebat. Baik gerakan pedang
mau pun suling keduanya mengeluarkan suara yang aneh. Pedang itu
mengaung-ngaung seperti seekor naga yang marah, sedangkan suling itu
mengeluarkan suara berlagu, sehingga nampaknya seolah-olah seekor naga yang
sedang menari-nari diiringi musik yang gagah!
Ci Sian
menyerang dengan sungguh-sungguh karena ia sudah marah sekali. Marah dan
kecewa. Tadinya ia menganggap Hong Bu seorang pemuda yang amat menyenangkan,
dan seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi ternyata tidak demikian!
Hong Bu adalah seorang musuh yang hendak mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut! Maka
dari itu, kemarahannya membuat gerakannya menjadi semakin hebat. Kekecewaan
karena kenyataan bahwa pemuda ini adalah seorang musuh yang membuat Ci Sian
menjadi nekat seperti itu, ditambah lagi dengan perasaan duka karena suheng-nya
telah pergi meninggalkannya! Biarlah, pikirnya nekat, kalau aku kalah dan mati,
biar suheng akan menyesal seumur hidup!
Sebaliknya,
Hong Bu menjadi sibuk dan bingung bukan main. Dia telah jatuh cinta pada gadis
ini, seorang gadis yang amat dikaguminya dan dicintanya. Akan tetapi gadis ini
sekarang menyerangnya kalang-kabut dan nekat. Dia tadi telah berterus terang,
hanya karena dia tidak ingin menyimpan rahasia terhadap Ci Sian, hanya karena
dia ingin bersikap jujur. Akan tetapi sebelum dia menyatakan bahwa dia tidak
setuju dengan perintah gurunya, gadis itu telah menyerangnya demikian
dahsyatnya hingga terpaksa dia harus membela diri.
Dan makin
lama mereka bertanding, Hong Bu merasa makin tertarik. Tadi pun, ketika dia
membantu Ci Sian menghadapi Hek-i Mo-ong, dia sudah melihat kenyataan yang amat
mengherankan hatinya. Yaitu, bahwa ilmu pedangnya dapat bekerja sama dengan
ilmu suling yang dimainkan Ci Sian. Bahkan terasa enak dan cocok, saling
mengisi, saling melindungi dan bahkan saling melengkapi.
Karena
itulah, ketika kini Ci Sian menyerangnya secara bertubi-tubi, timbul keinginan
tahunya untuk mempelajari ilmu suling itu, apalagi ketika dia melihat bahwa
pada dasarnya, dia seperti tidak asing dengan dasar gerakan dari Kim-siauw
Kiam-sut. Biarlah dia melayani Ci Sian untuk beberapa lama sehingga dia dapat
menyelami bagai mana sesungguhnya Kim-siauw Kiam-sut dan di mana letak
ketangguhannya. Maka dia pun membela diri, bukan hanya menangkis dan mengelak, tetapi
juga balas menyerang karena dia hendak melihat pula bagaimana ilmu pedang yang
dimainkan dengan suling itu dalam pertahanan dan serangan balasan. Juga dia
amat mengagumi kekuatan khikang dahsyat yang keluar dari suara suling itu
ketika dimainkan sedemikian cepatnya oleh Ci Sian.
Sebetulnya,
tidaklah aneh kenyataan yang dilihat oleh Hong Bu itu, seperti juga sudah
dilihat oleh Kam Hong dan yang diduga dengan tepat oleh pendekar ini. Kim-siauw
Kiam-sut adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, ciptaan Si Pencipta
suling itu sendiri, yaitu Cu Keng Ong. Sedangkan Koai-liong Po-kiam adalah ilmu
pedang ciptaan Cu Hak, seorang keturunan dari Cu Keng Ong yang lihai, yang
telah membuat pedang Koai-liong Pok-kiam, dan ilmu pedang ini lalu
disempurnakan oleh Ouwyang Kwan. Tentu saja penciptaan ilmu pedang ini menjadi
amat dipengaruhi oleh Kim-siauw Kiam-sut, bahkan ilmu inilah yang menjadi
sumbernya, maka pada dasarnya banyak terdapat persamaan-persamaan.
Dalam
gembiranya karena dapat mempelajari ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu, Hong Bu lupa
diri dan dia terus melayani Ci Sian sampai berjam-jam. Entah sudah berapa ratus
jurus mereka bertanding dan Hong Bu selalu hanya menjaga diri saja, hanya
kadang-kadang membalas serangan lawan kalau dia terlalu terdesak. Sampai
matahari pagi menerangi bumi, kedua orang muda remaja itu masih saja
bertanding!
Muka dan
leher Ci Sian sudah basah oleh keringat dan dia sudah lelah sekali karena malam
tadi dia sudah banyak memeras keringat ketika melawan Mo-ong. Maka dapat
dibayangkan rasa gemas hati dara ini. Gemas dan marah sekali karena dia merasa
dipermainkan! Kalau ia segera roboh dan tewas, ia tidak akan merasa penasaran.
Akan tetapi sekarang ini keadaannya sungguh menggemaskan dan melelahkan, menang
tidak kalah pun tidak!
Jurus apa
pun yang dikeluarkannya, pihak lawan hanya sebentar saja terdesak, akan tetapi
segera Hong Bu dapat memperbaiki kedudukannya lagi dan melawan dengan
tangguhnya. Ia merasa seperti menghadapi dinding baja saja terhadap pemuda ini.
Semua serangannya gagal total! Dan serangan-serangan pemuda itu agaknya tidak
sungguh-sungguh, seolah-olah Hong Bu memandang rendah kepadanya.
Hal ini
sungguh-sungguh membuat ia mendongkol dan marah sekali. Sudah dicobanya untuk
mendesak dengan sekuat tenaga, tetapi, sesungguhnya latihan-latihannya belum
cukup matang dan memang dia kalah tenaga dari Hong Bu. Maka sampai tangannya
yang memegang suling rasanya seperti lumpuh dan napasnya sudah memburu, belum
juga ada ketentuannya dalam pertandingan itu. Saking jengkelnya, beberapa butir
air mata keluar dari kedua matanya tanpa dapat dicegah lagi!
“Tring-trangggg....!”
Keduanya
melangkah mundur saking kerasnya senjata mereka beradu dan Hong Bu terbelalak.
“Ci
Sian....! Kau.... kau menangis....?”
“Siapa
menangis? Ahhh, kau.... kau.... manusia kejam!” Dan Ci Sian sudah menyerang
lagi, tidak peduli betapa air matanya bertambah deras oleh pertanyaan pemuda
tadi.
“Ah, maafkan
aku.... ah, bukan maksudku.... aku hanya ingin memperhatikan ilmumu yang amat
hebat itu, Ci Sian.... ahhh….”
“Tranggg....!”
Dan melihat
Ci Sian menangis seperti itu, air matanya menetes-netes, tiba-tiba Hong Bu
merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia memasukkan pedangnya di sarung pedang, dan
berdiri sambil bersedakap. Suling itu menyambar datang dan Hong Bu memejamkan
mata, tidak mengelak atau menangkis!
“Wuuuuttt....!”
Suling itu
lewat di atas kepalanya karena Ci San terkejut setengah mati melihat pemuda itu
tidak mengelak, maka ia tadi menyelewengkan serangannya, lalu tangan kirinya
memukul ke arah pundak pemuda itu.
“Desss....!”
Tubuh Hong
Bu terguling roboh. Biar pun tidak terlalu keras, namun pada waktu itu Ci Sian
sudah memiliki sinkang yang sangat kuat, maka pukulannya tadi cukup untuk
membuat Hong Bu yang sama sekali tidak mengerahkan sinkang itu terpelanting.
“Bangun!
Hayo lawanlah! Pengecut!” Ci Sian memaki.
Hong Bu yang
telentang itu memandang dan tersenyum. Dia pun berkeringat pada muka dan
lehernya. “Tidak, Ci Sian, maafkan aku. Sungguh mati aku tidak bermaksud
membikin engkau marah dan berduka sampai menangis....”
“Aku tidak
menangis, keparat! Hayo bangkit dan lawanlah aku, mari kita lanjutkan dan
bertanding sampai seorang di antara kita mampus!”
Akan tetapi
Hong Bu hanya bangkit duduk dan menggeleng kepalanya. “Tidak, aku.... tidak
sanggup lagi melawanmu, Ci Sian....“
“Pengecut
kau, keparat! Jangan mempermainkan aku, kau!” Dan Ci Sian menggerakkan
sulingnya ke atas, lalu suling itu menyambar ke bawah.
Akan tetapi
Hong Bu hanya memandang, sedikit pun tidak pernah berkedip, seolah-olah dia
siap menghadapi kematian dengan rela. Sinar keemasan yang menyambar turun itu
berhenti dan ujung suling itu sudah menyentuh kulit leher Hong Bu, dan di bawah
kulit itulah terdapat jalan darah yang mematikan. Sedikit saja suling itu
ditotokkan, maka nyawa Hong Bu akan melayang! Namun, pemuda itu hanya tersenyum
pahit.
“Aku tidak
mempermainkan engkau, Ci Sian. Aku tidak mau melawanmu....”
“Hayo
bangkit engkau, keparat! Atau.... hemm, kubunuh engkau sehingga mati konyol!”
ujung suling itu menempel lebih ketat.
“Terserah
kepadamu, Ci Sian. Aku akan rela mati di tanganmu. Memang lebih baik mati dari
pada aku harus berhadapan denganmu sebagai musuh. Aku tak bisa memusuhimu, Ci
Sian, dan aku rela mati di tanganmu karena aku.... aku cinta padamu....”
“Ihhhhh....!”
Ci Sian meloncat ke belakang dan melepaskan sulingnya seolah-olah suling itu
kini telah berubah menjadi seekor ular! Matanya terbelalak, dan air matanya
masih menetes-netes turun ke atas kedua pipinya.
“Kau....
kau....”
Ia tidak
dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya terasa seperti diremas-remas. Ia
menjadi bingung, penuh dengan perasaan marah, menyesal, juga terharu. Tidak
tahu ia harus bagaimana menanggapi pengakuan cinta itu. Hong Bu cinta padanya?
Apakah cinta itu? Bagaimanakah cinta itu? Ia menjadi bingung dan karena bingung
itulah ia menangis!
Hong Bu kini
bangkit berdiri dan memandang dengan muka yang agak pucat. “Maafkan aku, Ci
Sian.... mungkin aku menyinggung perasaanmu dengan pengakuanku itu.... Aku tahu
bahwa aku tidak berharga untuk seorang dara seperti engkau.... akan tetapi, aku
tidak dapat pula merahasiakan ini. Semenjak kita saling bertemu.... aku telah
jatuh cinta padamu. Entah, begitulah kenyataannya dan kalau tadi aku melayanimu
bertanding, maksudku hanya untuk melihat begaimana sesungguhnya ilmu Kim-siauw
Kiam-sut itu karena aku melihat betapa ilmu kita begitu serasi dan....”
Tetapi Ci
Sian sudah menyambar sulingnya. Hong Bu siap untuk menerima serangan maut, akan
tetapi gadis itu meloncat pergi dan lari secepatnya sambil masih menangis.
“Ci
Sian....! Aku cinta padamu....!” Hong Bu melangkah beberapa tindak ke depan,
dua tangannya diulur ke depan, akan tetapi dia hanya menarik napas panjang
berulang kali, lalu menundukkan mukanya yang menjadi muram ketika melihat dara
itu menghilang. Dia tidak mau mengejar, karena pengejarannya tentu akan
menambah marah dan dia sama sekali tidak ingin membikin marah atau susah kepada
dara yang dicintanya itu.
Cinta asmara
memang sesuatu yang amat aneh. Tidak akan ada habis-habisnya kalau dibicarakan,
dan di dunia ini terdapat entah berapa banyak kisah-kisah tentang cinta asmara
dan akibat-akibatnya. Cinta asmara memiliki kekuasaan yang tidak terbatas!
Dapat
menundukkan manusia yang bagaimana kuatnya pun. Dapat membuat hati yang
sekeras-kerasnya menjadi selunak-lunaknya, sebaliknya bisa mendatangkan
kekerasan yang amat mengerikan. Cinta asmara dapat mengakibatkan perbuatan yang
selembut-lembutnya dan sebaik-baiknya, tapi dapat pula mendatangkan perbuatan
yang sekejam-kejamnya.
Betapa pun
hidup tanpa cinta sama dengan pohon tanpa bunga, seperti bumi tanpa matahari,
hampa dan tidak ada artinya sama sekali. Akan tetapi, tidak seperti yang
kebanyakan dari kita kehendaki, yang dimaksudkan dengan cinta di sini bukanlah
cinta orang lain kepada kita, melainkan yang terpenting adalah cinta kita
kepada orang lain!
Cinta di
dalam batin kita itulah api kehidupan, itulah kebajikan, itulah kebahagiaan.
Dan cinta ini baru ada apabila batin sudah bersih dari pada kebencian, iri
hati, dan keinginan untuk senang sendiri. Yang penting adalah sinar kasih itu
bernyala dalam hati, dan ini baru terjadi apabila hati kita kosong dan terbuka.
Keinginan
akan cinta kasih orang lain terhadap kita tiada lain hanyalah keinginan untuk
menikmati kesenangan melalui orang yang kita harapkan cintanya itu. Lain tiada.
Setelah
meningggalkan Hong Bu, Ci Sian melakukan perjalanan seorang diri sambil
menundukkan mukanya. Ia tak tahu ke mana kakinya melangkah, pokoknya kembali ke
timur. Ia harus mencari suheng-nya.
Ia tak mau
menerima begitu saja sikap suheng-nya yang meninggalkan ia hidup sendirian di
dunia yang kejam ini. Ia sungguh tak mengerti sikap suheng-nya. Suheng-nya itu
nampak demikian cinta kepadanya, tetapi mengapa tiba-tiba saja suheng-nya
meninggalkannya?
Dan
bagaimana pula dengan Hong Bu itu? Ia benar-benar bingung mengenangkan sikap
dan kata-kata Hong Bu. Pemuda itu begitu saja menyatakan cinta padanya.
Benarkah Hong Bu cinta padanya? Kiranya hal itu memang benar. Buktinya, selain
Hong Bu mengakui cintanya, juga pemuda itu bahkan rela untuk dibunuhnya dan
sama sekali tidak hendak melawan ketika ia menodongnya dengan suling. Betapa
mudahnya untuk membunuh Hong Bu saat itu, dan pemuda itu hanya pasrah saja,
Hong Bu memang jatuh cinta padanya! Dan Kam Hong? Apakah suheng-nya itu tidak cinta
padanya?
Dan
bagaimana dengan ia sendiri? Apakah ia dapat menerima cinta Hong Bu? Apakah ia
juga dapat membalas cintanya itu? Dan bagaimanakah perasaannya terhadap
suhengnya? Ci Sian bingung sendiri menghadapi pertanyaan-pertanyaan hatinya
ini. Ia tidak tahu apakah ia mencinta mereka. Yang ia ketahui adalah bahwa ia
merasa kehilangan dan bersedih ketika ditinggalkan Kam Hong.
Dan ia juga
amat suka kepada Hong Bu dan agaknya, ia akan suka melakukan perjalanan dengan
pemuda itu di sampingnya, sebagai sahabatnya, kalau saja Hong Bu bukan
musuhnya, musuh Kam Hong, dan terutama sekali kalau saja pemuda itu tidak
lancang menyatakan cintanya!
Cinta asmara
adalah pengikatan. Dan ikatan antara dua orang manusia, atau juga antara
manusia dengan benda atau dengan gagasan. Ikatan seperti ini dapat timbul
melalui kebiasaan, melalui pergaulan. Seseorang yang dekat dengan seorang lain,
yang dapat merasakan banyak kenikmatan dari pergaulannya itu, akan menjadi
biasa dan terikat, dan akan sakitlah kalau pada suatu saat ia harus terpisah
dari orang lain itu, baik orang lain itu anaknya, isterinya, suaminya, orang
tuanya atau pun sahabatnya. Bahkan dengan benda pun dapat terjadi hal seperti
itu.
Cinta asmara
atau cinta yang timbul karena kenikmatan adalah pengikatan yang dapat timbul
dari kebiasaan atau pergaulan yang erat. Kita sejak kecil sudah terbiasa untuk
mengikatkan diri kita secara batiniah kepada segala sesuatu yang menimbulkan
kenikmatan atau kesenangan. Dan justru ikatan inilah yang menjadi sebab utama
dari pada rasa takut akan kehilangan, dan rasa duka karena perpisahan.
Beberapa
pekan kemudian, pada suatu hari, pagi-pagi sekali Ci Sian yang melakukan
perjalanan ke timur itu tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tempat itu
amat sunyi, jauh dari pedusunan dan ia semakin merasa betapa ia seorang diri
saja di dunia ini. Berdiri menghadapi padang rumput yang sedemikian luasnya, di
lereng bukit, memandang ke kaki langit yang tidak memperlihatkan tanda-tanda
adanya rumah atau manusia, mendatangkan rasa kesepian yang mencekik. Keadaan di
situ hening sekali. Ci Sian melihat rumput-rumput hijau seperti air samudera
yang bergelombang kecil, ujungnya digerakkan angin berombak-ombak amat
indahnya, mengeluarkan bunyi berdesau seperti desau keluhan hatinya di saat itu.
Tiba-tiba ia
mendengar ringkik kuda di depan, di balik puncak bukit. Kesepiannya yang
mencekam itu membuyar dan timbul harapan akan bertemu dengan manusia. Sudah
sejak kemarin dulu ia tidak bertemu manusia di daerah yang amat sunyi itu. Maka
ia pun bergerak dan berlari menuju ke puncak bukit. Setelah ia tiba di puncak
itu, ia berhenti dan memandang dengan penuh kagum ke bawah puncak.
Di sana, di
padang rumput yang subur ia melihat sekumpulan kuda yang bergerak bebas, sedang
makan rumput dan berkejaran. Sekumpulah kuda yang amat baik, akan tetapi
pandang mata Ci Sian melekat kepada seekor kuda berbulu hitam yang menjadi
pemimpin kuda-kuda itu. Kuda hitam yang bertubuh ramping dan nampak kuat
sekali, dengan leher yang panjang dan gerakan yang lincah.
Dan dari
puncak itu, nampaklah atap-atap rumah di bawah bukit. Pemandangan ini membuat
hatinya lega. Bukan hanya sekumpulan kuda yang sedang makan rumput itu yang
amat indah dipandang, akan tetapi juga atap rumah-rumah dusun itu. Ia sudah
dekat dengan sebuah dusun, akan bertemu dengan manusia, dan akan dapat makan
makanan yang pantas.
Dengan
hati-hati ia lalu turun dari puncak agar tidak mengejutkan sekelompok kuda itu.
Matanya tidak pernah terlepas dari kuda hitam yang amat indah itu, dan
diam-diam ia merasa kagum dan suka sekali karena ia maklum bahwa kuda itu amat
baik dan jarang ia melihat seekor kuda sebaik itu.
Akan tetapi
tiba-tiba ia terkejut dan memandang terbelalak ke depan. Ia melihat ada dua
orang laki-laki yang menghampiri sekumpulan kuda itu dan anehnya, kuda hitam
itu meringkik dengan nyaring, mengangkat kedua kaki ke atas, agaknya untuk
memberi tanda kepada teman-temannya dan sekumpulan kuda itu lalu lari
cerai-berai! Sikap sekumpulan kuda itu jelas membuktikan bahwa mereka tidak
biasa dengan dua orang itu atau melihat orang-orang asing mendekati mereka.
Dan Ci Sian
melihat dengan jelas bahwa dua orang itu bermaksud menangkap kuda hitam! Dan ia
pun mengerti bahwa dua orang itu ternyata memiliki gerakan yang amat ringan
sekali. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kecil, kurus dan pendek, dengan
gerakan seperti seekor burung terbang telah meloncat ke depan kuda itu dan
mengangkat kedua tangan.
Kuda itu
meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan hendak menubruk
laki-laki kurus itu. Tetapi pada saat kuda itu mengangkat tubuhnya ke atas,
kepalanya tinggi-tinggi di udara dan dengan hidung mendengus-dengus, tiba-tiba
ada sinar hitam melayang dan ternyata itu adalah sebatang tali laso yang
dilemparkan oleh pria ke dua, yaitu yang bertubuh tinggi besar. Cepat sekali
tali laso itu meluncur dan si kuda hitam tidak sempat mengelak, tali laso sudah
menjerat lehernya. Binatang itu meringkik keras dan meronta-ronta.
“Cepat naik
ke punggungnya dan jinakkan dia!” kata orang tinggi besar itu kepada temannya.
Si Kurus
Pendek meloncat lagi dan diam-diam Ci Sian kagum karena memang ginkang dari Si
Kurus itu hebat sekali. Sekali meloncat saja Si Kecil itu sudah melayang ke
atas punggung kuda hitam itu, dan sudah duduk di atas punggungnya.
Kuda hitam
meringkik semakin keras dan tubuhnya menggeliat-geliat, meronta-ronta dan
meloncat-loncat, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan berusaha untuk
melemparkan orang yang menempel di punggungnya. Akan tetapi Si Kecil itu
agaknya memang seorang ahli menunggang kuda, karena seperti seekor lintah dia
menempel di atas punggung dan tetap duduk di situ biar pun kuda itu berusaha
melemparkannya dengan meloncat-loncat lucu, melekuk-lengkungkan punggung
sejadi-jadinya. Sampai lama sekali kuda itu meronta-ronta dan Si Kecil itu
dengan susah payah berusaha bertahan, diberi semangat oleh temannya dengan
teriakan-teriakan.
Ci Sian yang
menonton perjuangan kuda hitam itu, yang dengan sekuat tenaga hendak
membebaskan diri dari pengganggunya, merasa tegang dan diam-diam ia berpihak
kepada si kuda hitam, mengharapkan kuda itu berhasil melempar Si Penunggang dan
menang! Maka ia ikut mengepal tinju ketika kuda itu menjerit-jerit dan
meringkik-ringkik, dan tiba-tiba saja kuda itu menjatuhkan dirinya ke kanan dan
tentu dengan maksud hendak bergulingan agar pengganggu di punggungnya itu
tergencet!
Orang tinggi
besar itu terkejut sekali dan berteriak, “Cepat pergi!”
Tentu saja
Si Kecil itu lebih kaget lagi. Dan untung dia memiliki ilmu ginkang yang hebat,
maka ia dapat melempar tubuhnya dengan loncatan cepat menghindarkan diri
sehingga tidak sampai tergencet! Ci Sian hampir bersorak gembira ketika kuda
itu bangun kembali dan meringkik-ringkik seperti yang bersorak karena menang.
Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah
menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali laso dan menahan,
menariknya dengan kuat.
Kuda itu
tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan
mengerahkan tenaga, melawan tenaga tarikan itu. Tali itu tadi agak turun
mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia menarik sekuat tenaga,
ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi
dengan tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia
berhasil, kini dia mengadu tenaga dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu.
Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang agak merendah dan
mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli
ginkang, maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!
Kembali Ci
Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak
membantu kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang,
tertarik antara dua kekuatan besar dan akhirnya, orang tinggi besar itu
menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan! Ci Sian sekali ini tidak
dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh
sehingga suara ketawanya tidak sampai terdengar orang.
Akan tetapi,
dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan
tangan mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka
kuda itu. Dan kuda hitam itu berbangkis-bangkis, meringkik dan
menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyung-huyung seperti
mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya
gemetaran.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. ”Pencuri-pencuri kuda busuk!”
Dan
muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda.
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk kudanya
itu diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia lalu menghampiri
dua orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia
tahu bahwa dua orang yang berusaha menangkap kuda hitam itu adalah
pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu karena ia melihat
betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ,
sedangkan Si Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan
permainan tali lasonya.
Pencuri kuda
yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak
karena pengaruh obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi
tempat itu, sedangan kawannya yang lihai menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di
depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah,
berdiri sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut
marah seperti seorang dewasa melihat kenakalan seorang anak-anak saja.
“Ehh, maling
Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini?” bentak Ci Sian dengan suara lantang.
Ia melihat
bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan
kecil, bahkan kalah tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya
usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah agak berkeriput itu, tentu tidak
kurang dari lima puluh tahun.
Orang pendek
kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang
menghadangnya hanyalah seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah
saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa senjata dan tidak menunjukkan
seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar. Ci Sian heran
melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai
mulut yang besar. Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah
mukanya robek di tengah-tengah sampai ke telinga.
“Heh, gadis
manis, minggirlah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai
pipimu yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah,
anak baik, biarkan kakekmu lewat!”
“Hemm,
maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!” kata Ci
Sian dan memang apa yang dikatakannya itu benar.
Di antara
kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling
rendah sekali pun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling
paling busuk di dunia bagi maling kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan seorang perantau, jadi
kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.
Kiranya Si
Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba
berubah merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena
marah, “Bocah setan, engkau memang bosan hidup agaknya!”
Dan tubuhnya
dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci
Sian dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh
kecil ini memandang rendah kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang
dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan tetapi, dia kecelik bukan main
karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya malah
tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas
tanah!
Akan tetapi,
dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh
dara remaja itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, ia merangkak bangun
dan mencabut sebatang ruyung dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi
dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan ganasnya.
Akan tetapi,
jika hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci
Sian. Gadis ini melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biar pun ia
tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai kecepatan yang lebih dari pada orang
biasa. Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit tubuhnya,
membiarkan ruyung lewat.
“Plakkk!”
Terdengar
suara begitu tangan kirinya menyambar, dan kepala maling itu telah kena tampar
di pangkal telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting
untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini agak hebat. Ruyungnya terlepas dan
dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia melihat
betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!
Sementara
itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar
itu terjadi dengan serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si
Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar dan lebih kuat, Si Kakek terdesak
dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali laso itu.
Ketika Ci
Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dan tidak
dapat bangkit lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur.
Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar telah berhasil melaso kakek pemilik
kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali laso itu tidak
membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!
Kakek itu
kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan
dengan tangan kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian
dengan suatu sentakan tiba-tiba, sambil membentak nyaring ia membuat Si Tinggi
Besar itu terpelantlng dan terbanting keras! Si Tinggi Besar terkejut dan marah
sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan
seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja
itu, tentu dara itu takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja
membiarkan orang itu menubruk dekat dan tiba-tiba saja, tubuhnya menyelinap
pergi.
“Brukkk....!”
Si Tinggi
Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu menubruk tempat kosong dan
tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka
merah, membalik dan melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan
tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang besar dan
kuat itu. Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar tubuh
miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia
menggunakan jari tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.
“Tukkk....!”
Perlahan
saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya, Si Tinggi
Besar itu mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja menjadi kaku dan
kejang. Pada saat itu pula, Si Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah
lari menghampiri.
“Siauw-te,
mari kita bekuk dulu bocah setan ini!” kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar
yang juga sudah bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak
mengusir kepeningannya karena terbanting tadi.
Si Katai
telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga
mencabut sebatang golok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang
pencuri kuda itu menghampiri Ci Sian yang masih berdiri dengan tenang dan
bertolak pinggang.
Melihat ini,
pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunya, segera
membentak. “Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!”
Akan tetapi
Ci Sian berkata halus, “Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi
hajaran keras agar kelak tidak berani lagi mencuri kuda.”
Melihat
sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu,
Si Kakek pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap
membantu kalau gadis itu terancam bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu
gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang
lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.
Dua orang
yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang
menggagalkan usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi,
dengan marah menerjang dari kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan
ganasnya. Akan tetapi, dengan amat mudah Ci Sian mengelak ke sana sini, ke
kanan kiri dan kadang-kadang melompat tinggi, dan semua sambaran senjata itu
tiada yang mengenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!
“Lepaskan
senjata!” Mendadak Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu
menyaksikan hal yang aneh.
Dua orang
itu, seperti anggota pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya,
melepaskan senjata mereka masing-masing! Sebenarnya tidak terjadi keanehan atau
sihir seperti yang disangka oleh kakek itu, melainkan karena kecepatan gerakan
Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir, melainkan
dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak
tadi, menotok pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat
mengenai jalan darah, maka seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka
lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang itu terlepas. Dan selagi
mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh,
tiba-tiba Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya
tinggi-tinggi dan melontarkannya ke arah Si Tinggi Besar.
“Brussss....!”
Kaki Si
Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang
hendak menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya lantas terpelanting
bergulingan.
“Ehhh,
Siauw-te, kenapa kau memukulku?” Si Kecil mengomel.
“Dan engkau
menendang dadaku!” Si Tinggi Besar juga membentak.
Keduanya
bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang bukan main kuat
mencengkeram tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakkan kedua tangan,
kepala dua orang itu bertumbukan.
“Brukkkk....!”
Dan keduanya
menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda
hitam di sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu
membawa mereka ke tempat itu dan melemparkan mereka di antara tumpukan
tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!
“Nah,
pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!” katanya sambil tertawa gembira.
“Tar-tar-tarrr....!”
Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya hingga meledak-ledak dan ujung pecut
itu menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian.
“Pencuri-pencuri
kuda harus merasakan lecutan cambuk kuda!” katanya sambil tertawa gembira pula.
Sengatan-sengatan
ujung pecut membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan
mempercepat mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan
pinggul yang disambar lecutan cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng
terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti suara ketawa Ci Sian yang
merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi
hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang
dikaguminya ltu.
“Li-hiap,
terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu.”
Ci Sian
memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun,
bertubuh jangkung kurus akan tetapi wajahnya masih nampak segar seperti biasa
wajah orang-orang tua yang biasa hidup di tempat terbuka, banyak terkena hawa
segar dan sinar matahari yang panas.
“Engkaukah
yang memiliki kuda-kuda itu, Lo-pek?” tanya Ci Sian sambil memandang kepada
kuda hitam yang masih berdiri dengan kepala tergantung.
“Benar,
Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri
tadi bukanlah pencuri kuda biasa, Nona. Andai kata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda
Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak akan sudi menyentuh kuda.”
Ci Sian
mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu
hanya kuda hitam itu saja.
“Hek-liong-ma....?
Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk
yang keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit.....”
“Tidak,
tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasanya
dipergunakan orang untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya.
Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa mereka tadi adalah pencuri-pencuri
kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa.”
“Ah,
pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau
sudah sebelum berhasil mencuri Hek-liong-ma.”
”Itulah yang
sedang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ahhh, sungguh aneh pendekar yang
menyerahkan kuda ini kepadaku.... coba saja bayangkan.... kuda ini hanya
ditukar untuk makan selama dua hari dan pengobatan kuda yang tidak berapa
banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku terlalu
mencinta kuda ini.... dan celakanya, selama berada bersamaku dia selalu menarik
datangnya penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin
menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap.”
Ci Sian
terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan
memperhatikan apakah orang itu tidak berubah gila. Kuda seperti ini hendak
diberikan begitu saja kepadanya? Dan juga orang itu menerimanya begitu saja
dari pemberian orang lain?
“Siapakah
yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek? Sungguh aneh sekali kalau ada
orang memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja.”
“Seorang pendekar!
Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun
mata tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa,
tentu seorang pendekar sakti!”
“Siapa dia,
Paman? Bagaimana ceritanya?”
“Aku tidak
tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda
hitam yang sakit cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak
kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan kurang baik terpelihara. Dia
menyerahkan kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan
selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia
lenyap dan tak pernah datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda
hitam itu telah sembuh dan kau lihat sendiri, Li-hiap. Kuda itu memang hebat.
Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang
ingin mencurinya.”
“Tapi....,
tapi kuda itu mahal sekali tentu....”
“Memang,
sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor
kuda yang baik dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan
sekarang aku pun hendak menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka
aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan kuda ini kalau berada padaku hanya
akan mendatangkan maling-maling belaka, memang sudah sepatutnya menjadi
tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu
kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dengan Taihiap
yang memberi kuda ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu
kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak dan penurut sekali.”
Kakek itu
lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke
dalam semangkok air dan memberi minum kuda hitam itu. Tidak lama kemudian, kuda
hitam itu berbangkis-bangkis dan segar kembali. Dia tidak meronta sama sekali
ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.
Ketika kakek
itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang
lengkap, dara itu menerimanya. “Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik
sekali.”
“Tidak lebih
baik dari pada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah,
selamat jalan, Li-hiap, aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang
tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang dibawa orang. Habis perkara.”
Ci Sian
meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama
sekali tidak liar atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas
punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana perlakuan kasar dan mana yang
tidak kasar.
Ci Sian
memandang kepada kakek itu. “Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh
sepertimu. Dan sekali lagi terima kasih.”
“Ha-ha, dan
jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih,
karena kalau tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang
tadi. Selamat jalan!” Dan kakek itu lalu membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian
untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.
Ci Sian lalu
membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat
dan berlari seperti terbang saja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan
terdengar suara desir angin di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu
seolah-olah tak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak dan mudah sekali
mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah
dimengerti oleh Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor
kuda tunggangan yang baik sekali! Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka
heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari pemiliknya.
Maka ia
menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat
rumah-rumah pedusunan. Di tengah jalan di luar dusun, ia melihat tiga orang
laki-laki berdiri di depan. Melihat cara mereka berdiri, terang mereka sengaja
menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan. Kalau ia
melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya.
Akan tetapi,
Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya
meloncat ke atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa
dua di antara tiga orang itu adalah Si Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai
tadi! Biar pun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi, namun pakaian
mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda tentu masih keras melekat
pada tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena
orang ini adalah seorang yang berpakaian seperti pendeta, dengan jubah yang
lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang pendeta saikong yang memelihara
cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan alis yang sangat
tebal menyeramkan.
“Bocah
setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!” kata Si
Tinggi Besar dengan nada menantang.
“Hemm,
kiranya kalian mengundang paman guru kalian?” kata Ci Sian.
Dia
memperhatikan saikong itu. Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh
tahun, tubuhnya gemuk dan tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan
sepasang matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti mata seekor harimau
kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu menjelajahi seluruh
tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.
“Hei, mata
iblis! Engkau lagi memandang apa?” bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali
kuda di batang pohon.
“Ha-ha-ha,
memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha!
Biar murid-murid keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka,
akan tetapi melihat kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau
menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!”
Ci Sian
adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang.
Biasanya, ia suka menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling
benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka kini mendengar pendeta brewok
itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa marah bukan
main. Betapa pun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.
“Hei, engkau
ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau
ini yang bernama Ti Pat Kai itu?” Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan
yang hebat karena Ti Pat Kai adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam
cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan malas dan
suka sekali makan.
Mendengar
ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah
bukan main. Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya.
“Kalian
larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi
hajaran agar ia kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita
cantik!” Setelah berkata demikian, saikong itu mengeluarkan suara gerengan yang
nyaring.
Suara itu
mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah
dari ilmu Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara. Sai-cu
Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa dan ilmu yang berdasarkan tenaga khikang ini
memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan yang ada pada auman singa
atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah mampu
melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mukjijat yang
membuat calon korbannya menjadi lumpuh. Dan kini, saikong itu juga
mempergunakan ilmu ini, walau pun tingkatnya masih rendah akan tetapi suara
gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat.
Akan tetapi,
sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justru dara ini memperoleh kesaktiannya
berdasarkan latihan khikang tingkat tinggi melalui sulingnya, justru ilmu
meniup suling dan Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya
pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Ho-kang dari saikong itu seperti
mainan anak-anak saja bagi Ci Sian!
“Hi-hik,
gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara
babi yang hendak disembelih!” Ci Sian mengejek.
Kakek itu
menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu birahinya melihat dara jelita
ini, sekarang, ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu
dan yang tinggal hanyalah nafsu kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu
berubah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi merah padam. Sambil
menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking memuncak marahnya, dia
sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan
jari-jari kedua tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak
menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan yang mudah saja Ci Sian mengelak.
Kakek itu
membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk
cakar setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian
maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat
mengelak lagi dan sebelum dia membalas, kakek itu dengan cepatnya sudah dapat
membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah kecepatan
menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.
Pada saat
itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh
dua orang penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga
kuda hitamnya mau saja dibawa kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi
lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan tangannya dari samping.
“Wuuuuttt....
plakkk!”
Dan saikong
itu terpelanting. Biar pun saikong itu memiliki gerakan yang cepat untuk
menyambung serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi
sehingga biar pun dia sudah berusaha mengelak, tetap saja pundaknya kena
ditampar tangan kecil halus akan tetapi mengandung tenaga kuat itu sehingga dia
terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat dan
langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.
“Plak-plak-dukkk!”
Ci Sian kini
tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar
berbulu dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa
kali Si Saikong menyeringai kesakitan. Akhirnya kembali dia kena ditampar dan
terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan remuk rasanya.
“Singgg....!”
Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk
gergaji. Amat besar, lebar berkilauan tajam dan mengerikan sekali.
Ci Sian
menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia
merasa kaget dan kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi
oleh dua orang masih mampu lari secepat itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya
ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti. Maka begitu melihat sinar
golok menyambar, ia cepat menghindar.
Seperti juga
ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong itu memiliki
keistimewaan yang sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa
berhenti bergerak telah membalik dan menyambung serangan pertama tadi dengan
serangan selanjutnya. Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu
golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari
kekuatan khikang-nya.
Saikong itu
tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah
cukup bagi Ci Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, maka terdengar suara yang
amat nyaring….
“Plakkk!”
dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling olehnya.
Kakek itu
terpelanting ke kiri dan roboh tidak bergerak lagi, pingsan dan goloknya
terlempar. Ci Sian tidak mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia
cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya kuda hitam yang kini tidak nampak
bayangannya lagi.
Kuda itu
sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti
jejaknya karena kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang
nyata. Jejak itu membawanya keluar dari dusun, bahkan tidak memasuki dusun
melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput lain yang agak
tandus.
Pada saat
dia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja
berloncatan kurang lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka
itu semua memegang sebatang golok. Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci
Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman dua orang pencuri kuda
tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia
melihat pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.
“Singgg....!”
Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian
mencabut sulingnya.
Akan tetapi
mereka segera tertawa geli. “Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!”
“Aihhh,
sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!”
Teriakan-teriakan
itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka
bahwa mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh
seorang pendekar wanita yang lihai. Karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi
dan kini muncul untuk mengurung. Akan tetapi, ketika melihat dara yang remaja
dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa
melihat bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang
suling emas yang indah! Tentu saja mereka lalu memandang ringan dan
mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek.
Si Tinggi
Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololan
teman-temannya yang memandang rendah gadis itu. Akan tetapi dia sendiri pun
menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini menempelkan suling pada bibiirnya
yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini? Tadi, gadis
itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk
menghibur teman-temannya dengan nyanyian dan tarian?
Memang Ci
Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar
ini, apalagi melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke
dalam hutan. Maka ia pun tidak mau membuang banyak waktu dan terus saja ia
meniup sulingnya. Mula-mula memang terdengar nada-nada merdu yang membuat dua
puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka
menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan
membuat mereka merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum.
Mereka mulai
menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masih saja menembus
masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua
puluh orang itu roboh pingsan semua!
Dan Ci Sian
sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan,
mengikuti jejak kaki kudanya. Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan
agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari.
Akan tetapi
ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari
pohon-pohon di sekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja
kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu
tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya! Ia
meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya
rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat
menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta,
makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah!
Sebentar
saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga
sinkang mau pun khikang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk
diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya
tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!
Dan kini
dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang
merupakan empang penuh lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama
kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang
tinggal nampak bagian atasnya itu saja!
Ci Sian yang
masih memegang sulingnya cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu
runtuh dan patah-patah. Tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makin
merosot ke bawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia
akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya,
dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot
lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang tidak
sudi dia lakukan.
Maka ia lalu
menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking
dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di
balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali!
Tiba-tiba
terdengar suara orang di dekat telinganya. “Ihhh, siluman apa yang dapat
mengeluarkan suara seperti itu?”
Ci Sian
menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tak nampak seorang pun
manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya!
Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh),
akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya
gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara
sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!
Dan
tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan
dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol
bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya! Tentu saja ini merupakan
pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon,
dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar
dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah!
Ia melompat
keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam
lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang
berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi
ada orang-oraag yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan
tetapi di situ tidak nampak seorang pun!
Ci Sian
menjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati
karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang
mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua
mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau
bersembunyi antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh
seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut
digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini
memegang sebatang pedang.
Ci Sian
sudah marah dan sudah memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi, ketika
orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang
mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah
merobohkan empat orang dengan sulingnya.
Akan tetapi
tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala,
mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya, “Nona, lihat apakah engkau
akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!”
Dan
tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang
usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi
kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan
gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu
ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan
ketat!
Ci Sian
menjadi terkejut dan marah. Dia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi
celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat
dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya
pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun
lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya!
Maka tahulah
Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling
sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara
menggetar yang cukup kuat. Menurut petunjuk suheng-nya, suara yang mengandung
getaran khikang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekali pun.
Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian
mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari,
tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya.
Ci Sian
melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Ketika dia
menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang
makan rumput di tepi hutan sebelah sana dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan
ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih
curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap. Akan tetapi ternyata tidak terjadi
sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di
mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu
yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma.
Kalau
Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu
menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan
dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan
pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi kuda ini reaksinya
lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput
hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju,
sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan
seperti seekor harimau!
“Hemm,
sadarlah dan buka matamu baik-baik!” terdengar bisikan aneh seperti tadi.
Dan karena
suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan
tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun
dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama
sekali bukanlah Hek-liong-ma, juga bukan berwarna hitam, melainkan kuda coklat
yang amat buruk lagi berpenyakitan.
“Ihhh....!”
Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran.
Bagaimana
tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma? Apa yang telah
terjadi? Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia
pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat
kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya didengarnya
tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya
ketika ia terjebak dalam lumpur.
Dan begitu
ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia
lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda
hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia
merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia
membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.
Sementara
itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke
lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah
pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan
memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti
patung tidak jauh dari situ. Dia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat
itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja.
Seorang
laki-laki yang tak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia
tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian dan bentuk tubuhnya
dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan
nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan
kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia merasa curiga.
Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda, pikirnya. Ia harus
berhati-hati.
Para pencuri
kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir
segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung
kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang sekarang
menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak
sebuah batu di bawah pohon itu.
Sungguh menyeramkan
keadaan laki-laki itu, dia bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke
bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah
yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang
perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari. Tentu seorang laki-laki yang telah
tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua. Akan
tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda.
Setelah tiba
agak dekat sekali pun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup
oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa
seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia
berhati-hati sekali. Betapa pun juga, karena harus melewati orang itu dan tidak
mungkin mengambil jalan memutar, maka dia terus menuntun kuda hitam dan
melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki
rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu.
Mendadak
laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh
ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya, “Nona, sebaiknya engkau jangan melalui
jalan menuju ke depan itu.”
Ci Sian
terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan
tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera
dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya. “Mengapa?” tanyanya dengan nada suara
tidak puas. “Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa?”
“Tidak ada
yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana,” kata orang itu tanpa
menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.
“Kenapa?”
tanya Ci Sian penasaran.
Suara itu
bening, tidak seperti suara seorang kakek tua. “Karena isteriku sedang jengkel
dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu
akan lebih marah lagi dan engkau pasti akan menghadapi kesukaran.”
Begitu
singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu
rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi
ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu
begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia
harus ikut-ikutan merasa takut? Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun
kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau
orang itu akan menyerangnya.
Akan tetapi,
kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan
mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan
laki-laki rambut panjang itu.
“Hishhh,
hayo maju, Hek-liong-ma!” Ci Sian coba menarik-narik kendali kudanya yang
mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut.
Pria itu
ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata
dia seorang laki-laki yang nampak berwajah tampan dan gagah. Melihat wajah itu
usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suheng-nya, Kam
Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya sekitar dua
tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan!
Akan tetapi,
pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu
menggerakkan tangan kirinya.
“Pergilah,
Hek-liong-ma!” katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak,
jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih.
Ci Sian
terkejut. “Apakah hubunganmu dengan kuda ini? Apakah.... apakah engkau yang
menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu?” Tiba-tiba dia teringat
akan cerita kakek itu.
Laki-laki
itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata
tak acuh. “Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik.”
Melihat
sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap
manis kepadanya, akan tetapi laki-laki ini memperlakukan dia seolah-olah dia
tidak nampak olehnya. Laki-laki yang sombong, pikirnya dan dia pun tidak mau
bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang
diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.
Setelah
melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu
meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankannya perlahan-lahan menuruni
lereng. Perutnya terasa amat lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun
untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke
bawah.
Di depan
sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk
melindungi mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan
melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan
juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita
secantik wanita berpayung itu.
Wanita itu
usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walau pun wajahnya nampak cantik
manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak
padat dan ramping menggairahkan. Gerakannya ketika melenggang seperti seorang
sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga
memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik.
Setelah dekat, ia dapat melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam
dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.
“Berhenti!
Berhenti dan turun kau!” Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan
bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan,
Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.
“Apa.... apa
katamu....?” tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu
mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh
kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan
tetapi hal ini masih dilawannya.
“Turun
kataku! Turun dari atas kuda itu!” kembali wanita berpayung itu membentak dan
sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak
kecil takut akan perintah ayahnya.
Padahal,
bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu,
yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini
meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.
“Huh, engkau
tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!” kata wanita berpayung itu sambil
mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian. “Masih muda sudah
belajar mencuri, ya? Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!”
Marahlah Ci
Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja
membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari
atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkang-nya dan tahulah ia
bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita
itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan
telunjuknya.
“Siluman
betina! Jangan sembarangan menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah
jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan
ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!”
“Eh,
ehhh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah
lagi? Engkau memang patut dihajar!” Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah
maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan
menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.
“Plakkk!”
Ci Sian
menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama
kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas
dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah
orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke
belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.
“Aihhh,
kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya? Pantas berani kurang ajar
kepadaku!”
“Perempuan
galak, siapa takut kepadamu?” Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah
dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki
kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya.
Sungguh
tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu
sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia
sengaja mengeluarkan sulingnya.
“Ahhh,
kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main
sebentar!” Suara wanita itu berubah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak
ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru.
Dan cepat
seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung
yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut
ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur
dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan
lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!
“Bagus!” Ci
Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas
dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar
sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khikang,
dan sekaligus dia menangkis tiga kali.
Wanita itu
memandang kagum oleh karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya
gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk
mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian, “Cukup,
jangan berkelahi!”
Akan tetapi
anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini,
kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat
dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar
sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama
ganasnya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment