Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 01
KAISAR Kian
Liong atau Chien Lung merupakan kaisar Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu) yang paling
terkenal dan paling besar sepanjang sejarah Bangsa Mancu, semenjak bangsa yang
tadinya dianggap bangsa liar di utara itu menguasai Tiongkok mulai tahun 1644.
Kaisar Kian
Liong adalah seorang kaisar yang telah terkenal semenjak dia masih menjadi
pangeran, dihormati dan dikagumi oleh rakyat dari semua lapisan, bahkan dicinta
oleh para pendekar karena pangeran itu memang berjiwa gagah perkasa, mencinta
rakyat jelata, adil dan bijaksana.
Oleh karena
itu, setelah dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1735, pada waktu itu dia
baru berusia sembilan belas tahun, boleh dibilang seluruh rakyat mendukungnya.
Biar pun dia juga seorang Bangsa Mancu, namun cara hidupnya, sikapnya dan jalan
pikirannya adalah seorang Han tulen.
Baru saja
dia memerintah selama lima tahun, sudah nampak kemajuan-kemajuan pesat dalam
pemerintahannya. Pemberontakan-pemberontakan rakyat padam dan kehidupan rakyat
mulai makmur. Taraf kehidupan rakyat kecil terangkat dan rakyat mulai mengenal
pembesar dan pejabat sebagai bapak-bapak pelindung, bukan sebagai pemeras dan
penindas seperti di waktu-waktu yang lampau.
Tidak
mungkin seorang manusia dapat bertindak tanpa ada yang menentangnya. Kalau
seorang kaisar bertindak bijaksana terhadap rakyat, melindungi rakyat, secara
otomatis dia harus menentang penindasan, harus menentang pembesar-pembesar yang
korup dan yang menindas rakyat. Sebaliknya, kalau seorang kaisar berpihak pada
penindasan dan korupsi, tentu saja berarti dia pun menjadi penindas rakyat.
Dalam hal
pertama, dengan sendirinya kaisar akan ditentang oleh mereka yang merasa
dirugikan oleh keadilan kaisar yang tentu saja dapat ditegakkan dengan
kekerasan. Dia akan ditentang oleh para koruptor yang merasa terhalang dan
terhenti sumber kemuliaannya. Sebaliknya, menindas rakyat tentu akan menghadapi
pemberontakan di sana-sini.
Akan tetapi,
ternyata Kaisar Kian Liong yang muda itu memilih untuk menjadi pelindung rakyat
dan menghadapi para koruptor dan penindas dengan kekerasan dan keadilan. Inilah
yang membuat rakyat mendukungnya dan para pendekar di empat penjuru juga
mendukungnya. Kenyataan ini yang membuat pemerintahannya menjadi kuat. Sejarah
menyatakan bahwa dengan dukungan rakyat jelata, pemerintah akan menjadi kuat,
sebaliknya kalau ditentang rakyat, hanya mengandalkan bala tentara saja,
pemerintah akan menjadi rapuh.
Kaisar Kian
Liong pada waktu itu, kurang lebih tahun 1740, setelah lima tahun dia menjadi
kaisar, seakan merupakan bintang yang mengeluarkan sinar terang. Sinarnya
menerangi hati rakyat sampai jauh ke pelosok-pelosok, bahkan sinar itu terasa
sekali di tempat yang terpencil sekali pun, seperti di Pulau Es.
Pulau Es
adalah sebuah pulau terpencil jauh di utara, sebuah pulau di antara ribuan
pulau kecil yang berserakan di sekitar Lautan Kuning, Lautan Timur dan Lautan
Jepang. Pulau Es ini merupakan pulau rahasia dan jarang ada manusia yang tahu
di mana letaknya yang tepat, jarang pula ada yang pernah menyaksikannya,
apalagi mendarat di sana. Akan tetapi namanya sudah terkenal sekali, terutama
di kalangan para pendekar di dunia kang-ouw. Bahkan Pulau Es menjadi semacam
dongeng bagi mereka, menjadi semacam nama yang mereka kagumi, hormati, akan
tetapi juga takuti.
Siapakah
orangnya yang tidak segan dan gentar mendengar nama Pulau Es, yang menjadi
tempat Istana Pulau Es dengan penghuninya Pendekar Super Sakti atau juga
Pendekar Siluman, majikan Pulau Es? Pendekar ini yang namanya Suma Han,
memiliki kesaktian seperti dewa dalam dongeng, pernah menggegerkan dunia
kang-ouw dan karena dia merupakan seorang pendekar sejati yang bijaksana dan
budiman, maka dia dipuja-puja oleh para pendekar sebagai seorang datuk yang
dikagumi.
Para pembaca
dari cerita-cerita terdahulu yang menjadi serial dari kisah mengenai Pulau Es
tentu telah mengenal siapa itu Pendekar Super Sakti Suma Han yang hidup dengan
tenteram dan tenang di Pulau Es bersama kedua orang isterinya yang tercinta.
Isterinya
yang pertama adalah Puteri Nirahai, seorang puteri berdarah keluarga Kaisar
Mancu yang sangat gagah perkasa dan agung, yang karena cinta kasihnya yang
mendalam terhadap suaminya, telah rela meninggalkan kehidupan di istana sebagai
puteri dan juga sebagai panglima yang banyak jasanya, rela hidup di tempat
sunyi itu bersama suami dan madunya.
Madunya itu,
isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti, juga bukan orang sembarangan. Wanita
ini namanya Lulu, sebenarnya juga seorang puteri Bangsa Mancu walau pun bukan
keluarga kaisar seperti Puteri Nirahai. Juga Lulu ini memiliki kepandaian yang
hebat karena ia pernah menjadi majikan Pulau Neraka! Dalam hal ilmu silat,
agaknya ia tidak kalah jauh dibandingkan dengan madunya itu, apalagi setelah
keduanya menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan menerima bimbingan sang suami
yang mempunyai kepandaian seperti dewa itu.
Bagaimanakah
Suma Han dapat hidup bersama dua orang isterinya dalam keadaan rukun dan
tenteram? Mengapa kedua orang isterinya itu tidak saling cemburu atau iri?
Dapatkah Pendekar Super Sakti Suma Han membagi-bagi cinta kasihnya kepada dua
orang isterinya itu?
Sesungguhnya,
tidak mungkin cinta kasih dibagi-bagi! Cinta kasih itu memancar dari batin dan
terasa oleh siapa pun juga. Demikian pula cinta kasih Suma Han terhadap dua
orang isterinya, sebulat hatinya dan tidak berat sebelah. Kedua orang wanita
itu merasa benar akan hal ini dan oleh karena itu mereka pun tidak pernah
merasa iri atau cemburu. Bahkan kedua orang wanita ini saling mencinta seperti
kakak beradik sendiri saja.
Tidak ada
keinginan untuk mengejar pemuasan kesenangan dirinya sendiri saja bagi cinta
kasih. Yang ada hanyalah kemesraan, belas kasih, dan kalau pun ada suatu
keinginan, kalau boleh dinamakan keinginan, maka keinginan itu mungkin hanya
satu, yakni ingin melihat orang yang dikasihinya itu berbahagia! Hanya orang
yang memiliki sinar cinta kasih di dalam batinnya sajalah yang akan mengenal
cinta kasih, yang akan mengenal kebahagiaan dalam hidupnya.
Bahagia
adalah tidak adanya sedikit pun konflik batin atau konflik lahir. Bahagia
adalah keadaan hebas dari ikatan apa pun juga, jadi batinnya hening dan tidak
mempunyai apa-apa walau pun boleh jadi secara lahiriah dia memiliki segalanya.
Dan karena batin tidak memiliki apa-apa, tidak terikat apa-apa inilah maka dia
telah memiliki segala-galanya!
Siapakah
sebenarnya pendekar yang disebut Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman,
atau juga Tocu (Majikan) Pulau Es itu? Orang macam apakah dia itu? Suma Han
adalah seorang yang kini telah tua sekali. Usianya telah mendekati seratus
tahun, atau tepatnya sembilan puluh lima tahun! Seorang kakek yang bertubuh
tinggi sedang, perutnya tidak gendut, kaki tangannya masih nampak kokoh kuat
walau pun kakinya hanya sebelah saja.
Kaki kirinya
buntung sebatas paha, dan untuk melangkah dia dibantu oleh tongkat. Rambutnya
panjang terurai, tidak pernah digelung, dibiarkan terurai di pundak. Akan
tetapi rambut itu terpelihara sekali, bersih dan halus seperti benang-benang
perak yang mengkilap kalau tertimpa cahaya matahari.
Selain rambutnya,
juga alisnya, kumis dan jenggotnya semua telah putih. Tak ada sehelai pun yang
hitam. Namun wajahnya masih nampak segar kemerahan, matanya masih awas dan
tajam pandangannya, walau pun bersinar lembut sekali. Pendengarannya masih amat
baik, juga giginya tidak ompong. Pendeknya panca indranya masih tidak banyak
menurun, masih kuat.
Kesehatannya
memang amat mengagumkan. Tidak pernah dia sakit. Tentu saja, usia tua telah
membuat tubuhnya agak layu dan tenaga otot dan tulangnya tidaklah sekuat dahulu
lagi. Pakaiannya sederhana, akan tetapi selalu bersih dan rapi berkat rawatan
kedua orang isterinya yang amat mencintanya. Dan dalam usia hampir satu abad
itu, harus diakui bahwa masih membayang bekas ketampanan wajah pendekar ini.
Pendekar tua
ini dihormati dan disegani oleh semua tokoh kang-ouw karena dia memang lihai
bukan main. Banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, di antaranya
yang hebat-hebat adalah Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api),
Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Sepasang Iblis) yang dimainkan dengan tongkatnya, dan terutama sekali Ilmu
Soan-hong Lui-kun (Silat Sakti Badai Petir) yang membuat tubuhnya dapat
bergerak sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Dan di samping
ilmu silat tinggi yang banyak ragamnya, juga pendekar ini mempunyai kekuatan
sihir yang luar biasa, yang membuat dia dijuluki Pendekar Siluman!
Isterinya
yang pertama, Puteri Nirahai juga sudah tua sekali, selisihnya hanya beberapa
tahun dengan suaminya. Nirahai ini berdarah Mancu asli, dan sudah beberapa kali
namanya menjadi terkenal ketika ia menjadi panglima dan menggerak-kan pasukan
pemerintah menumpas pemberontakan-pemberontakan dengan hasil baik. Ia bukan
saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga mahir dalam ilmu perang.
Ia mewarisi
ilmu-ilmu dari dua orang pendekar wanita yang berjuluk Mutiara Hitam dan
Tok-siauw-kwi yang menjadi ibu kandung Pendekar Suling Emas, maka Nirahai ini
amat lihai dengan Ilmu-ilmu Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), Pat-mo
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Setan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan
Dewa) yang lalu digabungnya dengan Pat-mo Kiam-hoat, juga senjata rahasianya
Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) amat berbahaya.
Di waktu
mudanya, Nirahai cantik sekali, dengan pakaian bergaya Mancu dan topi bulu
selalu menghias rambut kepalanya yang dahulunya panjang dan hitam berombak akan
tetapi sekarang telah menjadi putih itu. Dalam usianya yang sembilan puluh
tahun lebih, ia masih belum kehilangan kerampingan tubuhnya dan kecantikan
wajahnya masih membayang pada garis-garis mukanya. Wataknya halus akan tetapi
tegas, agung dan agak tinggi hati karena ia memiliki darah bangsawan tinggi di
tubuhnya.
Isteri ke
dua yang bernama Lulu, sesungguhnya tak dapat dikatakan isteri pertama atau ke
dua di antara kedua wanita ini karena mereka tidak merasa berbeda dalam tingkat
menjadi isteri-isteri Pendekar Super Sakti, juga merupakan seorang nenek yang
luar biasa lihainya. Karena ia pernah menjadi ketua Pulau Neraka, maka sampai
tua pun Lulu lebih suka mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana namun
bersih dan rapi.
Ia juga
berdarah Mancu yang lihai sekali karena ia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan
dari Pendekar Suling Emas, terutama sekali Ilmu Hong-in Bun-hoat (Silat Sastera
Hujan Angin) dan Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa), dua ilmu yang
berasal dari manusia dewa Bu Kek Siansu. Watak Lulu ini keras dan ganas, namun
ia berjiwa pendekar dan dalam membela keadilan dia seperti seekor naga betina
yang pantang mundur.
Di waktu
mudanya, ia pernah meliar sampai menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi
akhirnya ia dapat ‘dijinakkan’ oleh Pendekar Super Sakti dan menjadi isterinya.
Usianya hanya setahun lebih muda dari Nirahai, sehingga ia kini sudah berusia
sembilan puluh tahun dan menjadi seorang nenek yang gerak-geriknya masih gesit.
Demikianlah
keadaan suami isteri yang sudah tua renta itu. Karena mereka sudah tua, mereka
tidak mau lagi memusingkan diri dengan urusan dunia dan sudah bertahun-tahun
mereka bertiga tidak meninggalkan Pulau Es, hidup tenteram dan tenang di tempat
terasing itu, dan setiap hari lebih banyak duduk bersemedhi di kamar
masing-masing. Urusan rumah tangga ditangani oleh keluarga yang lebih muda,
yaitu tiga orang cucu mereka yang tinggal di Pulau Es untuk belajar ilmu dari
kakek dan nenek-nenek mereka.
Bagi para
pembaca yang telah mengenal keluarga Pulau Es, tentu tahu bahwa Puteri Nirahai
dan Suma Han mempunyai seorang putera yang bernama Suma Kian Bu yang juga
pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya sehingga dia
mendapatkan julukan Pendekar Siluman Kecil! Pendekar ini, selain mewarisi
ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga mempunyai sebuah ilmu yang membuat dia terkenal
sekali, yaitu Ilmu Sin-ho Coan-in, dan juga Ilmu Jouw-sang Hui-teng (Terbang Di
Atas Rumput).
Suma Kian Bu
ini menikah dengan seorang pendekar wanita pula bernama Teng Siang In yang
pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Suami isteri pendekar ini sekarang ting-gal
di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, di dusun dekat hutan yang sunyi
dan indah, hidup tenteram sebagai petani yang juga berdagang rempah-rempah dan
hasil bumi ke kota Cin-an. Mereka hanya mempunyai seorang putera yang kini
telah berusia sepuluh tahun, bernama Suma Ceng Liong.
Lulu juga
mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya
setahun lebih tua dari pada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang
pendekar wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat dari Hek-tiauw
Lo-mo iblis yang amat jahat, yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian
serba hitam, namun berjiwa pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan
keliaran Kim Hwee Li dapat dijinakkan oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma
Kian Lee yang berwatak halus lembut dan bijaksana.
Suami isteri
ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin
sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini
telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas
tahun bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang
sudah berusia lima belas tahun.
Tiga orang
cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun
yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun,
yang kini menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua
mereka menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima
pendidikan dari kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli
waris ahli waris, juga di samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga
orang tua renta yang hidup kesepian itu.
Selain tiga
orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu, di Pulau Es masih terdapat lima
orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk
murid, hanya pelayan-pelayan biasa biar pun mereka juga tidak urung terpercik
sedikit ilmu dari keluarga berilmu itu dan biar pun mereka itu tadinya hanya
kaum nelayan kasar belaka namun kini mereka telah memiliki kekuatan yang akan
mengejutkan orang biasa. Demikianlah sekelumit tentang para penghuni Pulau Es
pada waktu cerita ini terjadi.
Pulau itu
sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es
sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Di situ tidak dapat
ditanami tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan
para penghuni harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan
itu, dan hal ini dikerjakan oleh para pelayan. Sebulan sekali pun cukuplah
untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan makanan lain seperti daging dapat
mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup besar, ada lima hektar
luasnya dan merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit. Di tengah
pulau itu nampaklah sebuah bangunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana saking
tuanya.
Bangunan
besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para
penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu
sudah lama tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas sehingga nampak
bata yang tua dan besar tebal. Di depan istana terdapat pintu yang besar dan
kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan depan istana kuno itu yang
luas.
Sampai kini,
bagian dalam istana yang dijadikan tempat tinggal masih terpelihara baik-baik
dan masih nampak indah walau pun perabot-perabot rumahnya amat kuno. Tentu saja
tidak sekuno bangunan itu sendiri. Ruangan depan itu masih terpelihara, nampak
bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan yang nyeni
dan indah.
Dindingnya
terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno menghias dinding, yang tentu
merupakan benda langka dan mahal di kota, bersaing dengan tulisan-tulisan
pasangan yang merupakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak,
paduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak.
Lantai
ruangan terbuat dari batu mengkilap bersih. Perabot-perabot seperti meja kursi
dan lemari-lemari kayu terbuat dari pada kayu besi yang kuat, terukir nyeni
berbentuk kepala naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung
hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan
yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua
pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah lorong
yang menuju ke bangunan kecil.
Di sudut
ruangan, juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga
keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam
senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena
melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan
run-cingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda
pilihan yang ampuh!
Keadaan di
sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di
luar. Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa seram karena pantasnya
dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat
bersih dan terawat, juga enak ditinggali, walau pun harus diakui bahwa hawanya
amat dingin. Perabot-perabot rumah yang serba kuno memenuhi seluruh ruangan,
dan istana itu memiliki banyak kamar tidur, juga ruangan makan, ruangan duduk
dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupakan semacam lian-bu-thia
(ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.
Demikianlah
gambaran singkat tentang Pulau Es, istananya dan penghuni-penghuninya, dan
suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah para penghuninya selalu nampak
cerah. Di pulau inilah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat
yang ditakuti dan juga disegani, cerita ini dimulai…..
***************
“Bun-koko,
ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk mengajarnya
kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia sepuluh
tahun.
Suaranya
nyaring dan biar pun dia merengek dan memohon, namun jelas dia bukan seorang
anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak
berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya
kuat membayangkan keteguhan hati. Sepasang matanya amat tajam seperti mata
harimau, alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini
adalah Suma Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau
Pendekar Siluman Kecil dan isterinya, Teng Siang In.
Para pembaca
cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat betapa suami isteri ini
baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua berhasil membunuh seekor ular
hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam kecil yang
disebut cu (mustika). Karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan kemudian
melahirkan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk menyatakan
perasaan bersyukur kepada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka
dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga
dikaruniai putera.
Pagi hari
itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu
terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong
sudah berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan
puteri Suma Kian Lee yang merupakan kakak-kakak misannya.
“Ah,
Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir
Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang
kepadaku dan baru memberi dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang.
Kalau engkau mau mempelajari ilmu itu, mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang
Bun.
Pemuda
putera Suma Kian Lee ini berwatak halus dan pendiam seperti ayahnya. Biar pun
usianya baru lima belas tahun akan tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya
selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka agak kecoklatan, tak
seputih kulit muka Ceng Liong, dan matanya lebar, membayangkan kesungguhan dan
kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah mau pun
sikapnya.
Mendengar
jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui. “Hui-cici,
bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?”
Sikap dan
kata-kata Ceng Liong terhadap gadis itu agak berbeda dari pada sikapnya
terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong yang lincah itu
kadang-kadang berani bergurau, akan tetapi menghadapi dara itu dia tidak berani
main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan
tetapi kadang-kadang, kalau sedang ‘kumat’ menurut istilah Ceng Liong, dara itu
bisa menjadi galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum
kenakalan Ceng Liong dengan kata-kata mau pun dengan cubitan dan jeweran!
Karena inilah maka Ceng Liong agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap
hormat seperti layaknya seorang adik terhadap saudara yang lebih tua, kalau
bicara dengan Suma Hui.
Dara itu
mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam
kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit
putih kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, dengan
bulu mata panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu
merah membasah, wajah yang manis!
Memang Suma
Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi juga
wataknya yang keras, lincah, kadang-kadang ganas dan liar walau pun pada
dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan
jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik hati, bagaikan
setangkai bunga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang
sangat kuat sehingga setiap gerakan anggota tubuhnya yang mana pun, kerling
mata, senyum bibir, gerakan cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua
itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.
“Ceng Liong,
apakah engkau sudah melupakan semua nasehat kakek dan kedua orang nenek kita
yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipelajari secara serampangan atau
sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai
dari dasarnya dulu. Tanpa dasar dan kerangka yang kokoh kuat, jangan harap akan
dapat menguasai ilmu silat dengan sempurna.
Mempelajari
gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi semua itu hanya akan menjadi
gerakan-gerakan kosong untuk menggertak orang belaka, tanpa isi yang bermutu.
Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah kau kira
mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan membuat istana pasir di pantai saja?
Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan
ingin melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?”
“Mengerti,
ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yang menjawab.
Adik ini
biar pun pendiam dan serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan
kiranya hanya dia yang berani membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu
bahwa enci-nya itu terlalu sayang kepadanya sehingga tidak akan pernah
memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu itu malah diberi nasehat dan
teguran, hati Ciang Bun membela dan dia pun mengejek enci-nya yang bersikap
seperti seorang guru memberi kuliah.
“Hushh!”
Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”
“Kalau
engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus
menegurnya?” Ciang Bun membela Ceng Liong.
“Huh, engkau
yang tolol!” Suma Hui membanting kaki kirinya.
Sungguh
kebiasaan ini persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee
Li, ibunya, suka membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting
kaki kiri kalau hatinya sedang kesal.
“Bun-te,
engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja dengan cara-caramu yang
memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya jika mengajarkan
Swat-im Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sinkang-nya. Engkau sendiri
baru memperdalam Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong
ini dilatih Swat-im Sin-ciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan
mempelajari ilmu itu sebelum waktunya?”
Ciang Bun
maklum bahwa melawan enci-nya ini, tak mungkin dia akan dapat menang berdebat,
maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong
lalu berkata, “Aih, sudahlah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan aku pun
tadi hanya minta dengan iseng-iseng saja.”
Suma Hui
memang mudah kesal dan marah, tetapi dia pun mudah sekali melupakan
kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu
nampak ramah lagi. “Adikku yang baik, ketahuilah bahwa biar pun Ilmu Swat-im
Sin-ciang tidak dapat dikata lebih tinggi tingkatnya dari pada Hwi-yang
Sin-ciang, tetapi mempelajari kedua ilmu itu di Pulau Es, tentu saja Hwi-yang
Sin-ciang jauh lebih mudah. Kita tinggal di tempat ini secara otomatis telah
berlatih. Di dalam tubuh kita sudah ada kelengkapan-kelengkapan untuk
menyesuaikan diri dengan hawa yang di luar tubuh. Daya kekuatan melawan dingin
di tempat ini bekerja sepenuhnya dan ditambah dengan latihan-latihan, maka otomatis
kita mudah sekali mengerahkan tenaga panas untuk menahan serangan hawa dingin
di pulau ini. Maka, dengan latihan melawan hawa dingin, kita mudah saja dapat
menguasai Hwi-yang Sin-ciang yang mengandalkan tenaga panas di tubuh.
Sebaliknya, karena kita sudah biasa mengerahkan hawa panas melawan serangan
dingin, agak sukarlah bagi kita untuk menguasai Swat-im Sin-ciang. Ilmu ini
lebih mudah dipelajari di tempat-tempat yang panas karena otomatis daya tahan
dalam tubuh kita bergerak melawan udara panas. Mari kita berlatih, Bun-te.
Engkau berlatih Hwi-yang Sin-ciang dan aku berlatih Swat-im Sin-ciang. Biarlah
adik Ceng Liong menyaksikan dan memperhatikan baik-baik agar kelak setelah tiba
waktunya dia belajar, dia sudah tahu cukup banyak.”
Mereka
bertiga lalu berjalan menuju ke ujung pulau di sebelah barat. Setelah kini
lenyap kekesalan hatinya, Suma Hui menggandeng tangan kedua orang adiknya itu
dan mereka berjalan dengan gembira menuju ke ujung pulau itu di mana terdapat
sebuah teluk kecil. Teluk ini banyak mengandung gumpalan-gumpalau es yang
mengambang di atas air laut.
“Ceng Liong,
coba kau latihlah Sin-coa-kun yang telah kau pelajari dari nenek Nirahai!” kata
Suma Hui. “Aku mendengar dari nenek bahwa engkau berbakat sekali dalam ilmu
silat tangan kosong. Coba mainkanlah agar kami melihatnya.”
Ceng Liong
meloncat ke depan, lalu berkata kepada mereka. “Hui-cici dan Bun-koko, kalau
ada yang belum benar harap kalian suka memberi petunjuk kepadaku!”
Kemudian,
anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini lalu bersilat. Gerakannya memang
mantap, cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat, lincah dan lemas. Tubuhnya
dan kedua lengannya berliuk-liuk seperti tubuh ular dan kedua tangan itu
membentuk kepala ular, mematuk ke sana-sini. Meski usianya baru sepuluh tahun, namun
gerakan tangannya ketika menyerang itu sudah mengandung hawa pukulan yang
mengeluarkan suara bersuitan. Ini tandanya bahwa anak ini telah memiliki tenaga
sinkang yang cukup kuat! Inilah hasil gemblengan yang diperolehnya selama dua
tahun di Pulau Es.
Ilmu
Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) itu memang hebat, membuat tubuhnya lincah dan
terutama sekali menjadi lemas dan sukar dapat dipukul lawan. Suma Hui dan Suma
Ciang Bun memandang kagum. Memang benar ucapan nenek Nirahai, anak ini sungguh
berbakat sekali. Ilmu silat ini tidak mudah, namun Ceng Liong dapat
menguasainya dengan baik dan gerakan-gerakannya sedemikian lemas sehingga
hampir tidak ada kelemahannya.
Setelah
selesai bersilat, wajah Ceng Liong nampak merah, ada uap putih mengepul dari
kepalanya. Akan tetapi, napasnya biasa saja, tidak terengah-engah, padahal
untuk memainkan Sin-coa-kun sampai habis membutuhkan pengerahan tenaga luar
dalam yang cukup berat.
“Gerakanmu
bagus sekali, Liong-te. Sekarang engkau Bun-te, perlihatkan sampai di manakah
kemajuan latihanmu dalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang,” Suma Hui menyuruh adiknya.
“Aku hanya
baru dapat mencairkan gumpalan es saja, cici,” kata Ciang Bun dengan sikap
malu-malu.
“Itu pun
sudah merupakan kemajuan yang hebat, adikku,” kakaknya menghibur.
Ciang Bun
lalu mulai bersilat, mainkan ilmu silat yang amat hebat dan aneh.
Gerak-geriknya seperti orang menari-nari saja, dengan tangan membuat gerakan
seperti orang menulis huruf-huruf di udara. Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat
yang amat luar biasa, karena ilmu ini adalah ilmu yang diturunkan oleh manusia
dewa Bu Kek Siansu dan yang dahulu pernah diwarisi oleh Lulu, nenek dari pemuda
ini. Jarang ada orang yang berkesempatan menyaksikan ilmu silat yang langka
ini.
Setelah
mainkan ilmu silat ini beberapa jurus, akhirnya Ciang Bun menghentikan
gerakan-gerakannya dan berdiri di tepi teluk dengan kedua tangan terangkap
seperti menyembah di depan dada. Kedudukan ini disebut Hoan-khi-pai-hud
(Memindahkan Hawa Menyembah Buddha) dan sekarang pemuda berusia lima belas
tahun ini sedang mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Nampak uap mengepul
dari seluruh tubuhnya dan Ceng Liong yang sejak tadi memandang kagum merasa
betapa ada hawa panas keluar dari tubuh kakaknya itu, makin lama semakin panas.
Akhirnya,
tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan suara melengking tinggi dan mengejutkan.
Tubuhnya bergerak sedangkan kedua tangannya mendorong-dorong ke arah
gumpalan-gumpalan es yang mengambang di air laut di dekat tepi. Hawa panas
menyambar-nyambar ke arah gumpalan-gumpalan es itu dan gumpalan es sebesar
kepala kerbau itu seketika mencair seperti didekati api panas!
“Hebat
sekali, engkau sungguh lihai, Bun-koko!” Ceng Liong memuji sambil bertepuk
tangan dengan hati gembira sekali.
Setelah
mencairkan empat gumpal es, Ciang Bun menghentikan gerakannya dan sambil
tersenyum malu-malu dia mengusap peluh yang membasahi dahi dan lehernya. “Ahhh,
aku masih harus banyak berlatih, Liong-te,” katanya merendah.
Demikianlah
watak Ciang Bun, pemalu dan rendah hati, sungguh amat berbeda dengan cici-nya
yang lincah jenaka dan kadang-kadang dapat saja bersikap angkuh.
“Dan
sekarang harap engkau suka memberi petunjuk dan memperlihatkan kehebatan
Swat-im Sin-ciang, Hui-cici.” Ciang Bun menyambung untuk menutupi rasa
jengahnya oleh pujian Ceng Liong tadi.
Suma Hui
menarik napas panjang. “Berlatih Swat-im Sin-ciang di Pulau Es sungguh tidak
mudah, membutuhkan pengerahan tenaga yang lipat dibandingkan dengan kalau
berlatih Hwi-yang Sin-ciang. Baiklah, aku akan berlatih dan kalian lihatlah
baik-baik, siapa tahu kelak kalian dapat melampaui aku dalam ilmu ini.”
Dara cantik
jelita ini lalu mempererat ikat pinggangnya dan ia pun mulai memperlihatkan
kemahiran dan kelincahannya. Ia mainkan ilmu silat yang kelihatannya amat
lembut dan halus indah, namun sesungguhnya ilmu silat ini adalah ilmu yang
ganas bukan main, karena ini adalah Ilmu Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas
Pencabut Nyawa) yang sudah dipelajarinya dari neneknya, yaitu nenek Lulu. Ilmu
ini pun sesungguhnya berasal dari Bu Kek Siansu, akan tetapi asalnya tidaklah
begitu ganas. Hanya setelah terjatuh ke tangan nenek sakti Maya, maka menjadi
ganas dan setelah terjatuh ke tangan nenek Lulu semakin ganas!
Seperti juga
perbuatan adiknya tadi, sambil bersilat itu Suma Hui mendekati pantai teluk dan
tiba-tiba dia pun mengeluarkan lengkingan-lengkingan tinggi nyaring dan kedua
tangannya memukul-mukul ke air di tepi teluk. Air laut itu muncrat-mucrat ke
darat dan ketika tiba di atas batu, terdengar suara berketikan karena air laut
itu ternyata telah membeku dan menjadi butiran-butiran es!
Sungguh
merupakan ilmu pukulan yang amat dahsyat dan mengerikan, dan menjadi kebalikan
dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dapat mencairkan es tadi. Swat-im
Sin-ciang ini mengandung hawa sedemikian dinginnya sehingga dapat membuat air
menjadi beku! Lawan yang kurang kuat sinkang-nya, kalau terkena pukulan ini
mana mampu menahannya? Darahnya mungkin bisa menjadi beku!
“Hebat....!
Hebat....!” Ceng Liong bertepuk tangan memuji dan dia pun meleletkan lidah
saking kagumnya melihat betapa air yang muncrat-muncrat itu berubah menjadi es.
Tiga orang
ini lalu berbincang-bincang di tepi teluk, membicarakan tentang ilmu-ilmu silat
yang mereka pelajari dan beberapa kali mereka saling memperlihatkan ilmu yang
sedang mereka latih di mana Suma Hui memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang
adiknya. Mereka bertiga adalah ahli waris-ahli waris langsung dari keluarga
Pulau Es dan tentu saja merekalah yang berhak untuk mewarisi semua ilmu dari
Pendekar Super Sakti dan keluarganya.
Sementara
itu, di dalam Istana Pulau Es itu sendiri, di dalam ruangan semedhi, Pendekar
Super Sakti Suma Han sedang duduk bersila di atas lantai bertilam babut tebal,
berhadapan dengan kedua orang isterinya, yaitu nenek Nirahai dan nenek Lulu.
Mengharukan juga melihat pendekar sakti yang kini sudah menjadi seorang kakek
tua renta itu duduk berhadapan dengan kedua isterinya yang sudah menjadi
nenek-nenek tua renta pula, dalam keadaan yang demikian penuh kedamaian dan
ketenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang di antara mereka.
Bagi orang
lain mungkin mereka bertiga itu hanya merupakan kakek dan nenek yang tua renta
dan buruk digerogoti usia. Namun bagi mereka masing-masing, mereka masih saling
merasa kagum dan tiada bedanya dengan dahulu di waktu mereka masih muda belia.
Tentu saja mereka pun sadar bahwa mereka telah amat tua, seperti yang dapat
diikuti dari percakapan mereka di dalam ruangan semedhi yang sunyi itu. Tidak
ada seorang pun pelayan berani mendekati ruangan semedhi ini tanpa dipanggil.
Mereka bertiga sejak tadi bercakap-cakap, setelah pada pagi hari itu mereka
menghentikan semedhi mereka.
“Kematian
telah berada di depan mata....” Terdengar suara halus Suma Han, suara yang
keluar seperti tanpa disengaja, dan tidak ada tanda-tanda perasaan tertentu di
balik pernyataan ini.
Kedua orang
nenek itu, yang tadinya duduk bersila dengan muka tertunduk, sekarang
mengangkat muka memandang wajah suami mereka. Pandang mata mereka itu masih
penuh kagum, penuh rasa kasih, dan pengertian. Akan tetapi ucapan tadi
memancing datangnya kerut di kening mereka.
“Suamiku,
apa artinya ucapanmu tadi?” tanya nenek Nirahai.
“Mengapa
tiba-tiba menyinggung tentang kematian di pagi hari secerah ini?” Nenek Lulu
juga menyambung dengan nada suara penuh teguran dan pertanyaan.
Kakek Suma
Han mengangkat mukanya dan wajahnya yang masih kemerahan itu kini penuh senyum
ketika matanya bertemu dengan pandang mata kedua orang isterinya. “Apakah
kalian terkejut dan merasa takut mendengar kata kematian itu?” tanyanya,
suaranya halus penuh kasih sayang.
“Hemmm,
siapa yang takut mati?” Nirahai mencela.
“Aku pun
tidak pernah takut kepada kematian!” nenek Lulu juga menyambung.
Kakek itu
mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua orang
isterinya itu berganti-ganti. “Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan
kelanjutan dari pada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada
mati. Ada hidup tentu ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walau pun
kematian bukan merupakan akhir segala-galanya.
Orang
sesungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan ngeri karena
harus berpisah dari segala-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari segala
macam bentuk pengikatan manis dalam hidupnya. Kematian adalah suatu hal yang
wajar. Jadi, kalian berdua sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi
kematian?”
“Nanti dulu,
suamiku,” kata nenek Nirahai. “Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih sehat
walau pun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara
tentang kematian? Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita
tidak takut menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang
ke-takutan menghadapinya?”
Kini kakek
Suma Han tertawa. Suara ketawanya masih seperti suara ketawa orang muda dan
giginya pun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih
muda walau pun rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua.
“Engkau
masih dapat tertawa seperti itu, akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh
tidak lucu!” Nenek Lulu berkata.
Ucapan
isterinya yang biasanya galak ini membuat Suma Han makin gembira tertawa. “Kita
membicarakan kematian bukan karena takut, namun membicarakannya sebagai suatu
hal yang tidak terhindarkan dan suatu hal yang sangat akrab di dalam hatiku.
Sesungguhnya, bukankah kita bertiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup,
yaitu mati dari pada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah
berusia begini lanjut. Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia selanjut
kita dan hal ini terjadi karena cara hidup kita yang bersih dan selalu menjaga
diri tidak menyalahi hukum-hukum kehidupan dan mempunyai tertib diri. Terutama
sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku bertanya, aku
hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan kematian
yang sudah berada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita
tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan
usia....”
“Sudahlah,
suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut
menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh
kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekali pun kita merasa
takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”
“Heh-heh,
engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya jika
engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan
ketabahanmu, sehingga andai kata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu
akan kau sambut dia dengan senyum mengejek,” Nirahai mencela dengan kelakar
karena memang nenek ini sudah tahu benar akan keberanian madunya yang tidak
pernah mengenal takut itu.
“Benar,
enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati
sebagai seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”
Suma Han
menatap wajah isterinya ini lalu bertanya, “Apa maksudmu?”
“Semenjak
kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah
banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak
cucu. Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan
mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh ngeri juga hatiku. Aku
ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, meski sudah tua,
seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala
misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”
Nenek
Nirahai mengangguk-angguk. “Tepat! Jika membayangkan mati dalam keadaan seperti
ini, aku pun sering kali merasa ngeri. Berilah aku pasukan, aku akan maju
perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan
aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai
seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan. Hihh, mengerikan!”
Mendengar
ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.
“Aihh,
kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari
kalian. Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup,
mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”
“Tetapi,
bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi lawan
yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya
membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang
isterinya menjawab hampir berbareng.
Pendekar tua
itu mengangguk-angguk. “Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walau
kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang
kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”
“Suamiku,
jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku
ingin mati sebagai seorang gagah. Biar pun sudah tua begini, ngeri aku
membayangkan mati sebagai seorang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”
Suaminya
mengangguk-angguk. “Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah
kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega
bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”
“Suamiku,
sudahlah, tak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup.
Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai.
Setelah
menghentikan semedhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari
tiga malam, mereka bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han
mengangguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan
tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih
empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan
makanan-makanan lembut dan ringan untuk mengisi perut mereka yang kosong.
Setelah
mereka bertiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan
ringan, Suma Han bertanya, “Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara
mereka di dalam?”
“Mereka
tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah
tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke
kota raja? Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu
meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”
“Menurut
berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat
bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang
kaisar yang benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur,
negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan
keadaan se-perti itu.”
“Semenjak
masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong
sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.
“Aku jadi
ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata
nenek Lulu.
“Sebaiknya
panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.
“Biar aku
yang mencari mereka!”
Nenek Lulu bangkit
dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini kemudian meninggalkan
ruangan semedhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya….
“Jangan
lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak
kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan
perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis
sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas dari pada
gerakan lawan.” Demikian Suma Hui memberi nasehat kepada kedua orang adiknya.
Kemudian
dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai
memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Sepasang Iblis). Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang
ini amat hebat, dahsyat, dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui
nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang
menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua
gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun
dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang
yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang yang tidak mengerti, atau yang
ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa
itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak
berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan
seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main.
Ilmu Pedang
Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah
dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia
persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua
orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat
adanya perubahan aneh yang terjadi di lautan di sekitar Pulau Es.
Ternyata
pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak bermunculan belasan buah
layar di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak
perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!
“Bagus!
Bagus dan indah sekali!”
“Cantik
jelita seperti bidadari!”
Suara
pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar
Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan
menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya.
Dua orang anak laki-laki itu pun cepat menengok dan mereka bertiga kini
berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu,
sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah
perahu.
Tiga orang
cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka
belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang
dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu
kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara
yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri
pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk
dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka
berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali
dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak
sopan.
Hatinya
sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu
memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara
pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurang ajaran, walau pun tujuh
orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun. Namun,
dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka
itu rata-rata pandai main silat.
Seorang di
antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil
tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti
muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di
punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.
“Ha-ha-ha,
Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tidak kusangka, di tempat kosong seperti
ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki
kepandaian menari amat indah lagi. Aihh, nona, dari pada hidup di tempat
terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang
terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu
tentu akan senang!” Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang
dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.
“Jahanam....!”
Suma Hui memaki.
Dan hanya
dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong.
Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya
seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai
julukan Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu
tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main.
Akan tetapi,
orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai
seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena
tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak
sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah
jagoan paling hebat di dunia.
“Eh, eh,
engkau memaki?” Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan,
dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
“Setan!”
Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya
sudah menerjang ke depan.
Biar pun
usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera Pendekar Siluman
Kecil Suma Kian Bu! Semenjak kecil, bahkan semenjak dapat berjalan kaki, dia
sudah digembleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging
padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini,
sejak berusia delapan tahun, dia digembleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai
dan menerima petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Tentu saja dia bukanlah anak
laki-laki berusia sepuluh tahun sembarangan saja!
Terjangan
itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tubuh yang
sudah dua tahun menahan dinginnya Pulau Es itu telah dapat menghimpun tenaga
panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah mempergunakan
tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari
ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan
terbang.
Si muka
tikus amat terkejut, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat
dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan putera Pendekar
Siluman Kecil itu tetap meluncur menghantam perut.
“Dukkk....!”
Tubuh Dewa
Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang kepalanya
terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya
bergoyang-goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akan tetapi dia
sudah marah sekali dan sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari
punggungnya, lalu bangkit berdiri.
Akan tetapi,
Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan. Dan sekali ini dia membuat serangan
dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu
‘mematuk’ ke arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala
masih pening.
“Tukkk!”
Dan tubuh
itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia roboh
pingsan karena pukulan itu merupakan totokan yang disertai hawa pukulan panas.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari
perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan dan
merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah
melihat orang-orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa
seorang teman mereka yang mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan
seorang anak kecil, hanya dalam dua gebrakan saja!
Seorang yang
bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak,
dan biar pun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat
dia nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal
ini dapat dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu
tergetar. Dia termasuk seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat
rekannya roboh sedemikian mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju
dia pun segera menubruk ke arah Ceng Liong.
“Dukkk!”
Si gendut
itu terkejut dan meloncat kembali ke belakang ketika ada tangan yang amat kuat
menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat itu
yang menangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi
betapa ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. Dengan mata
melotot dia memandang pemuda remaja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang
kelihatannya masih hijau. Dia menjadi penasaran sekali.
“Engkau
berani melawanku?!” bentaknya.
Tanpa
menanti jawaban lagi si gendut ini langsung saja melakukan serangan dahsyat.
Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya dan ingin segera membalas kekalahan
temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun hanya dengan sekali pukul.
Maka begitu
menyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama kakinya menendang
kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan kedua
tangannya mengarah leher dan kepala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat
cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu
pasti tidak akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di antara serangannya
itu akan mengenai sasaran.
Akan tetapi,
dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan itu
sudah dapat mengukur dari sambaran anginnya bahwa si gendut ini biar pun jauh
lebih lihai dari pada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya besar mulut dan
besar tenaga otot belaka. Maka dia pun tidak mengelak, melainkan sengaja
menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di kedua tangannya.
“Duk-takk-takkk!”
Tiga kali
tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang mengandung tenaga sinkang
panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke belakang.
“Bresss!
Ngekkk!”
Bunyi
pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan bunyi ke dua adalah
bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat bangkit
dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang
membuat bantingan itu menjadi berat dan hebat sekali.
Kini semua
orang memandang terbelalak. Kiranya kemenangan anak laki-laki kecil tadi
melawan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan
karena memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat!
Tosu berusia
enam puluhan tahun yang agaknya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari
perahu itu kini melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga
agak kemerahan, mulutnya tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan
lengan bajunya yang lebar. Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran
bulat lambang Im Yang.
“Siancai....
siancai....!” katanya dengan alim. “Kiranya di tempat sunyi ini terdapat
orang-orang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda,
siapakah kalian dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?”
Karena masih
menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya walau
pun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab, “Tocu Pulau Es
adalah kakek kami.”
Terdengar
seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru,
“Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?”
“Kakekku
adalah Pendekar Super Sakti, dan bukan siluman!” Tiba-tiba Ceng Liong
membentak.
Bagi
keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap
dan lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan
tetapi anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah
kandungnya, yaitu Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Bagus!
Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum kita menebang batangnya, lebih baik
menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!” Kata-kata ini belum
dapat dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja
tosu itu sudah menyerangnya dengan hebat.
Gerakan tosu
ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dua
orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun. Jelaslah bahwa
tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang
sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan
memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga sinkang yang kuat. Kalau tidak
lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang
gagah dalam perahu itu.
Suma Hui
telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan.
Dalam menghadapi serangan tosu itu, dia bersikap tenang saja dan dengan waspada
dia mengikuti gerakan lawan yang melakukan serangan.
Tosu itu
menampar dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras
itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka, sedangkan yang lebih
berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut saja ke arah
dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan
kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap
mata saja dara perkasa ini pun maklum bahwa lawannya menggunakan sinkang yang
keras atau panas, maka ia pun sudah siap untuk menyambutnya.
Ia sengaja
membiarkan dirinya seolah terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk
menangkis tamparan tangan kiri lawan seakan-akan dia tidak tahu bahwa dorongan
tangan kanan lawan itulah yang berbahaya.
“Plakk!”
Lengan
kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan lawan yang
kuat dan panas itu pun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-im
Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan ia pun menangkis dorongan itu sambil
mengerahkan sebagian dari tenaga dingin.
“Dukkk....!”
Pertemuan
kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa
langkah dan biar pun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya
menggigil dan mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang pada
wajah dara itu, seolah-olah tidak percaya.
Dia sendiri
adalah ahli sinkang dan telah menguasai tenaga Im dan Yang dari ilmu partainya,
akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia sudah harus
mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak mungkin dia
mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini. Karena itu, dia tadi
telah mempergunakan tenaga panas atau Yang-kang ketika menyerang lawan. Siapa
kira, dara itu malah mempergunakan tenaga dingin yang amat kuat untuk
melawannya, membuat tubuhnya seketika kedinginan!
Tosu
Im-yang-pai itu menjadi penasaran sekali. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk
mengusir hawa dingin itu, kemudian dia mengeluarkan teriakan nyaring dan
menyerang lagi kalang kabut dengan amat dahsyatnya. Namun Suma Hui telah siap
siaga dan menyambut serangan-serangannya dengan lincah, tak hanya mengelak dan
menangkis, bahkan juga balas menyerang dengan sengit.
Dara ini
telah mempergunakan Ilmu Toat-beng Bian-kun yang lembut namun dahsyat itu.
Tentu saja tosu Im-yang-pai itu tidak mengenal ilmu silat ini dan segera dia
mulai terdesak hebat.
“Pergilah!”
Suma Hui berseru nyaring.
Dan tangan
kirinya yang kecil itu menyambar halus ke arah leher lawan. Tosu itu cepat
berusaha mengelak dan balas memukul, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget
karena tahu-tahu tangan itu sudah menyambar dan mengenai ujung pundaknya, biar
pun dia sudah melempar tubuh ke belakang.
“Brettt!”
Jubahnya di bagian pundak hancur dan ujung pundak itu terasa nyeri seperti
hancur daging kulitnya.
Untung
baginya bahwa tulang pundaknya tidak terkena serempet pukulan itu. Bagai mana
pun juga, hal itu membuatnya terkejut dan ketika dia melempar tubuh ke belakang
tadi, dia terus menjatuhkan diri bergulingan menjauh. Ketika dia meloncat
bangun, keringat dingin membasahi dahinya, maklum bahwa hampir saja dia celaka
oleh dara muda itu.
Dia maklum
bahwa biar pun dara itu masih muda sekali, namun sebagai cucu Pendekar Super
Sakti, ternyata sudah memiliki ilmu kepandaian yang sangat hebat dan kalau
dilanjutkannya melawan dara itu, besar bahayanya dia akan kalah dan celaka.
Maka dia pun memberi isyarat kepada kawan-kawannya lalu mencabut pedangnya.
Enam orang
kawannya itu, dua orang yang tadi dirobohkan oleh Ciang Bun dan Ceng Liong dan
yang sudah pulih kembali, segera menerjang dengan senjata masing-masing di
tangan! Jelas bahwa mereka itu berniat membunuh, seperti sekumpulan serigala
yang haus darah.
Akan tetapi
Suma Hui telah melolos pula sepasang pedangnya, melemparkan sebatang kepada
Ceng Liong, sedangkan Ciang Bun juga sudah mengeluarkan pedang yang biasanya
dipakai berlatih. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti ini kemudian memutar
pedang di tangan masing-masing dan mengamuk menyambut serbuan tujuh orang
penjahat itu.
Terjadiiah
perkelahian yang amat hebat dan berat sebelah. Di satu pihak adalah tiga orang
yang masih amat muda, bahkan yang seorang masih anak-anak, sedangkan di lain
pihak adalah tujuh orang tokoh-tokoh dunia persilatan yang sudah memiliki nama
besar. Bagaimana pun juga, tujuh orang ini sama sekali tidak mampu mendesak,
bahkan ujung pedang Ciang Bun telah melukai paha seorang lawan, juga ujung
pedang Suma Hui telah melukai lengan kiri lawan.
Ceng Liong
yang masih kecil itu pun masih mampu mempertahankan diri, mengelak, menangkis
bahkan balas menyerang walau pun dia dikeroyok oleh dua orang jagoan! Tentu
saja Ciang Bun tidak sampai hati membiarkan adik kecil ini dikeroyok dua, maka
sambil menghadapi pengeroyokan dua orang lainnya, dia selalu mendekati Ceng
Liong dan sewaktu-waktu membantunya agar supaya jangan terlalu dihimpit. Suma
Hui sendiri dikeroyok tiga, seorang di antaranya adalah tosu Im-yang-pai, akan
tetapi dara ini jelas dapat mendesak tiga orang lawannya dan kalau dilanjutkan,
agaknya tak lama lagi dara ini akan mampu merobohkan mereka bertiga.
Akan tetapi,
pada saat itu, dua buah perahu didayung ke tepi oleh para penumpangnya dan dari
masing-masing perahu berlompatan lima orang yang memiliki gerakan ringan,
terutama sekali seorang di antaranya yang berpakaian seperti pertapa dan
rambutnya digelung ke atas, mukanya penuh cambang bauk dan tangannya memegang
sebatang cambuk baja yang hitam panjang! Sepuluh orang ini nampak terkejut dan
terheran-heran menyaksikan betapa tujuh orang rekan mereka yang mengeroyok tiga
orang muda setengah anak-anak itu terdesak dan kewalahan.
“Tahan!
Mundur semua!”
“Tar-tar-tar!”
Tiba-tiba terdengar bunyi lecutan cambuk baja yang meledak-ledak di atas kepala
tiga orang cucu Pendekar Super Sakti.
Mereka
terkejut sekali dan Suma Hui maklum akan kehebatan tenaga yang terkandung dalam
ujung cambuk itu, maka ia pun meloncat ke belakang sambil meneriaki kedua orang
adiknya untuk mundur. Dua orang anak laki-laki itu pun tahu akan kelihaian tosu
ini, maka mereka pun cepat mundur sambil melintangkan pedang melindungi
dirinya.
Kakek itu
bukanlah orang sembarangan. Dialah tokoh utama Im-yang-pai yang telah membawa
perkumpulan itu menyeleweng ke jalan sesat. Nama julukannya adalah Ngo-bwe
Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima). Mukanya memang penuh cambang bauk
seperti muka singa, dan julukan Lima Ekor itu didapatnya dari senjatanya.
Senjata Thi-pian (Cambuk Besi) yang ujungnya lima sehingga merupakan ekor yang
lima buah banyaknya. Cambuknya ini berbahaya sekali dan jarang dia menemui
tandingan. Tentu saja, sebagai seorang tokoh besar bahkan dia berani mengangkat
diri dengan sebutan ciangbujin atau datuk setelah tewasnya Im-kan Ngo-ok (Lima
Jahat Dari Akhirat), dia malu kalau harus menghadapi tiga orang anak-anak muda
dengan pengeroyokan.
Para pembaca
cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah tahu bahwa sepuluh atau sebelas
tahun yang lalu, di dunia persilatan terdapat lima orang datuk sesat yang
terkenal yaitu Im-kan Ngo-ok. Im-kan Ngo-ok pada sebelas tahun yang lalu telah
tewas semua di tangan pendekar-pendekar muda. Tak dapat disangkal bahwa selain
lima orang datuk ini, di dalam dunia kaum sesat masih terdapat banyak orang
yang kepandaiannya tidak kalah atau tidak selisih jauh dibandingkan dengan
mereka, akan tetapi yang menonjol hanyalah Im-kan Ngo-ok. Baru setelah lima orang
itu tewas, bermunculan datuk-datuk baru dan satu di antaranya adalah Ngo-bwe
Sai-kong inilah!
Setelah
mengamati tiga orang muda itu, akhirnya pandang mata saikong ini melekat pada
wajah Suma Hui. Saikong ini telah berusia lanjut, paling sedikit enam puluh
lima tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak gagah dan tubuhnya tinggi besar
dan kokoh kuat, dan pandang matanya masih penuh nafsu birah, ciri seorang
laki-laki yang besar nafsunya dan mata keranjang. Memang inilah satu di antara
cacat saikong itu.
“Nona manis,
mari engkau ikut denganku, akan kuajari bagaimana caranya bermain pedang!”
katanya sambil tersenyum dan melangkah maju menghampiri Suma Hui.
“Setan tua
jangan ganggu cici-ku!” dengan pandang mata penuh dengan kemarahan, Ceng Liong
yang masih terengah-engah karena perkelahian tadi sudah menggerakkan pedangnya
dan menusuk ke arah perut saikong itu. Kakek itu sama sekali tak mengelak,
melainkan menerima saja tusukan itu.
Ceng Liong
adalah seorang anak keturunan pendekar sakti dan cucu dari Pendekar Super
Sakti. Sejak kecil bukan hanya telah digembleng ilmu-ilmu silat tinggi, akan
tetapi juga digembleng oleh ajaran-ajaran tentang kegagahan. Oleh karena itu,
melihat betapa lawannya tidak mengelak atau menangkis, tentu saja dia terkejut
sekali. Merupakan pantangan bagi seorang gagah untuk menyerang orang yang tidak
mau melawan. Akan tetapi, tusukannya telah dilakukan dan dia tidak dapat
menariknya kembali, kecuali mengurangi tenaga sinkang yang tadinya telah
dikerahkannya.
“Tukkk!”
Pedang itu
tepat menusuk perut, akan tetapi mental kembali dan Ceng Liong malah terdorong
mundur dua langkah!
“Heh-heh,
anak nakal, pergilah!” Kakek itu berkata dan tangan kirinya bergerak, ujung
lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah kepala Ceng Liong.
Serangan yang
kelihatannya sederhana saja akan tetapi di dalam ujung lengan baju itu
terkandung tenaga kuat yang mampu membuat ujung lengan baju itu memecahkan batu
karang! Ceng Liong biar pun masih kecil namun dia sudah tahu akan ilmu-ilmu
yang hebat dan dia mengenal serangan berbahaya, maka dia pun menggerakkan
tangan kirinya menangkis ujung lengan baju.
“Plakk!”
Dan
akibatnya, tubuh Ceng Liong terbanting keras. Anak ini segera menggulingkan
tubuhnya, membiarkan dirinya bergulingan dan akhirnya dia dapat meloncat bangun
tanpa luka. Dengan pedang di tangan, anak ini hendak menyerang lagi, akan
tetapi dia didahului oleh Ciang Bun yang sudah meloncat ke depan.
“Kakek
siluman, berani engkau memukul adikku?”
Ciang Bun
juga menggerakkan pedangnya. Serangannya tentu saja berbeda dengan serangan
Ceng Liong tadi, jauh lebih kuat dan lebih berbahaya. Ngo-bwe Sai-kong tahu akan
hal ini, maka dia pun tidak berani ceroboh menerima sambaran pedang itu dengan
tubuhnya. Tangan kanannya bergerak dan terdengar bunyi ledakan saat ujung
cambuk besinya melecut dan menangkis pedang itu.
“Cringgg!”
Ciang Bun
terkejut sekali dan cepat menggunakan sinkang untuk melawan getaran hebat yang
dirasakannya ketika pedangnya bertemu dengan ujung cambuk. Di lain pihak,
Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut dan terheran-heran. Dia telah mengerahkan tenaga
sinkang-nya, dan sudah merasa yakin bahwa tentu pedang pemuda remaja itu akan
terlempar jauh, bahkan lengan pemuda itu tentu akan menjadi lumpuh. Akan
tetapi, pedang itu tidak terlepas dan lengan itu pun sama sekali tidak lumpuh
karena pada detik berikutnya, pedang itu kembali telah menyerangnya dengan amat
ganas!
“Hemm, bocah
bandel!” katanya.
Dan kembali
terdengar ledakan-ledakan pada saat pecut besi itu menyambar-nyambar, menahan
pedang ke mana pun pedang itu bergerak. Dan setiap kali pedang bertemu dengan
ujung cambuk besi, Ciang Bun merasa betapa lengannya tergetar hebat.
“Bun-te,
mundurlah!” Tiba-tiba Suma Hui berteriak.
Dia maklum
bahwa adiknya kewalahan dan kalau dilanjutkan adiknya itu akan terancam bahaya,
maka ia pun sudah meloncat ke depan, kemudian menyerang kakek itu dengan
pedangnya. Serangannya sangat hebat karena dara ini yang maklum akan kelihaian
lawan telah mengerahkan tenaga dan sudah memainkan jurus dari Siang-mo Kiam-sut
setelah dengan cekatan dia menerima pedang dari Ceng Liong yang mengembalikan
pedang itu kepada Suma Hui. Dengan sepasang pedang di tangannya dan mainkan
Siang-mo Kiam-sut, dara ini benar-benar merupakan lawan yang amat berbahaya.
Ngo-bwe
Sai-kong maklum akan hal ini, maka dia pun beberapa kali mengeluarkan seruan
kaget ketika nyaris ujung pedang dara itu mengenai tubuhnya. Dia tahu bahwa
dara ini sangat lihai, dan karena dia dapat pula menduga bahwa tentu dara ini
ada hubungannya dengan majikan pulau, yaitu Pendekar Super Sakti, maka dia pun
tidak berani memandang rendah. Cambuk besinya lalu digerakkan dan terjadilah
perkelahian yang seru antara mereka, ditonton oleh semua orang yang menjadi
semakin kagum saja melihat betapa seorang dara muda seperti itu dapat
menandingi seorang datuk seperti Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai dan ditakuti
orang.
Biar pun
masih muda, baru delapan belas tahun usianya, namun dara itu sebenarnya telah
memiliki dasar ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada lawannya. Akan
tetapi, ia kalah jauh dalam pengalaman, siasat dan juga latihan. Suma Hui
merupakan batu mulia yang belum tergosok, pengalamannya masih jauh kurang, dan
juga latihannya masih belum matang.
Oleh karena
itulah, setelah menandingi kakek yang seperti iblis itu selama tiga puluh
jurus, ia mulai terdesak dan bingung oleh bunyi cambuk yang meledak-ledak dan
lima ujung cambuk yang seperti telah berubah menjadi lima ekor ular yang
mematuk-matuk itu. Akhirnya, satu di antara lima ujung cambuk itu telah
menyerempet pundaknya.
Suma Hui
terhuyung. Pundaknya tidak terluka berat dan hanya terasa panas, akan tetapi
kedudukannya menjadi terhuyung, kuda-kudanya terbongkar dan pertahanannya
terbuka. Pada saat itu juga cambuk sudah meledak-ledak lagi, siap menyambar
turun dengan serangan maut selagi keadaan Suma Hui lemah seperti itu. Dan
agaknya kakek itu pun tidak merasa sayang lagi untuk membunuh dara yang
dianggapnya berbahaya ini, maka cambuknya pun meledak dan meluncur ke bawah.
“Trangggg....!”
Bunga api
muncrat dan kakek itu terkejut, cepat melompat ke belakang dan mengangkat muka
memandang wanita tua berpakaian serba hitam itu. Dia makin terkejut karena
melihat betapa nenek tua renta ini memiliki sepasang mata yang mencorong
seperti mata naga dalam dongeng! Tidak dapat disangsikan lagi bahwa nenek ini
tentulah seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Ngo-bwe Sai-kong tahu diri,
maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat.
“Siancai....!
Siapakah toanio yang terhormat dan masih ada hubungan apa dengan tocu Pulau
Es?”
Nenek itu
bukan lain adalah nenek Lulu yang tadi meninggalkan suami dan madunya untuk
keluar dari istana mencari tiga orang cucunya. Ketika tadi ia keluar dan
mencari-cari, ia mendengar sesuatu yang tidak wajar dari arah tepi teluk, maka
ia pun segera menuju ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya
melihat begitu banyaknya orang di situ, mengurung tiga orang cucunya dan
melihat betapa Suma Hui terdesak hebat oleh cambuk besi seorang kakek saikong
berpakaian pendeta.
Ia menjadi
marah sekali dan segera turun tangan menangkis ujung cambuk besi itu. Kini,
dengan sinar matanya yang berapi-api, nenek tua renta ini menyapu keadaan di
situ dengan sikap marah. Ada tujuh belas orang di situ, dan kesemuanya memiliki
ilmu silat yang kuat, terutama sekali kakek yang berhadapan dengannya ini. Ia
menyapu keadaan tiga orang cucunya dengan pandang mata dengan hati merasa lega.
Cucu-cucunya selamat, tidak ada yang terluka nampaknya. Dan orang-orang ini
pasti bukan orang baik-baik.
“Hemm,
kalian ini orang-orang lancang agaknya sudah bosan hidup, berani mendarat di
Pulau Es tanpa ijin. Bahkan kalian berani mati mengganggu cucu-cucuku ini,
sungguh dosa kalian hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Suaranya lembut akan
tetapi di dalam kelembutannya mengandung ancaman yang menyeramkan. Banyak di
antara tujuh belas orang itu seketika menjadi pucat wajahmya mendengar
kata-kata itu.
Juga Ngo-bwe
Sai-kong terkejut. Kiranya nenek ini adalah isteri Pendekar Super Sakti. Dia
dan kawan-kawannya telah mempelajari dan mencari tahu akan keadaan keluarga
Pulau Es dan dia mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang
isteri. Yang pertama sudah amat terkenal dan dia sendiri pernah melihatnya
ketika Puteri Nirahai menjadi panglima. Dan kabarnya yang seorang lagi adalah
seorang wanita yang juga amat lihai dan agaknya inilah orangnya!
“Bagus
sekali, kedatangan kami justeru untuk mencabut nyawa keluarga Pulau Es, dan
akan kami mulai dengan nyawamu!” kata Ngo-bwe Sai-kong tanpa banyak komentar
lagi. Cambuknya sudah meledak-ledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala
nenek itu dan dia pun sudah memberi tanda kepada teman-temannya yang segera
menyerbu.
Suma Hui,
Ciang Bun, dan Ceng Liong sudah melawan lagi. Mereka bertiga dikeroyok oleh
tujuh orang pertama tadi yang ditambah lagi dengan lima orang. Sedangkan nenek
Lulu dikeroyok oleh lima orang yang lain, yaitu Ngo-bwe Sai-kong dan empat
orang temannya. Ternyata bahwa empat orang teman Ngo-bwe Sai-kong ini merupakan
yang terpandai di antara rombongan itu, dengan kepandaian yang hanya setingkat
di bawah Ngo-bwe Sai-kong!
Dan
mengamuklah nenek Lulu! Tubuhnya yang berpakaian hitam itu lenyap berubah
menjadi bayangan hitam yang menyelinap di antara senjata-senjata kelima orang
pengeroyoknya dan kadang-kadang terdengar lengkingan-lengkingannya kalau ia
balas menyerang. Sepak terjangnya menggiriskan dan dalam waktu belasan jurus
saja ia sudah berhasil menampar kepala dua orang pengeroyok secara beruntun.
“Krakk!
Krakk!” Dua orang itu roboh dengan kepala remuk dan tewas seketika!
Tentu saja
Ngo-bwe Sai-kong menjadi terkejut dan cepat-cepat memberi tanda kepada
pembantu-pembantunya untuk segera maju mengeroyok. Lima orang yang tadi ikut
mengeroyok tiga orang cucu majikan Pulau Es itu lalu ikut menerjang dan membantu
saikong itu. Nenek Lulu dikeroyok oleh delapan orang, dan tiga orang anak muda
itu masih tetap dikepung oleh tujuh orang lawan yang dipimpin oleh tosu
Im-yang-pai yang menjadi murid keponakan Ngo-bwe Sai-kong.
Dikeroyok
oleh delapan orang itu, nenek Lulu tidak terdesak, bahkan dia mengamuk bagaikan
seekor naga betina. Wajahnya berseri, gembira tetapi juga ganas, bibirnya
tersenyum dan matanya berkilat-kilat. Ia tetap bertangan kosong, tetapi
kepandaian nenek ini sudah demikian hebatnya sehingga tangkisan lengannya pada
senjata lawan menimbulkan bunyi seolah-olah senjata itu bertemu dengan logam
yang keras!
Akan tetapi,
bagaimana pun juga, nenek Lulu yang usianya telah sembilan puluh tahun lebih
itu tidaklah sekuat dahulu lagi daya tahannya. Selain usia tua telah
menggerogoti tubuh dan kekuatannya dari dalam, juga selama puluhan tahun ia
tinggal di Pulau Es, tidak pernah lagi bertanding dengan siapa pun juga
sehingga bagaimana pun juga ia sudah kehilangan banyak kelincahannya, kurang
latihan. Maka, setelah dia mengamuk hebat selama kurang lebih seratus jurus
saja, napasnya sudah mulai terengah-engah dan kelelahan mulai membuatnya merasa
lemas.
Akan tetapi,
akibat dari amukannya itu memang hebat. Ia telah merobohkan tujuh orang yang
tewas seketika dan selain itu, juga ia mampu melindungi tiga orang cucunya
karena selama mengamuk, nenek ini terus memperhatikan cucu-cucunya dan setiap
kali menolong kalau ada cucunya yang terancam bahaya senjata para pengeroyok.
Akan tetapi, akhirnya ia sendiri terdesak hebat, apalagi oleh desakan cambuk
besi di tangan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai dan ganas. Nenek ini segera tahu
bahwa ia sudah mulai kehilangan kekuatannya dan hal ini amat membahayakan tiga
orang cucunya.
“Hui....,
Bun...., Liong.... larilah, beritahu kakek kalian....!” Akan tetapi pada saat
itu, sebatang pedang telah menusuk paha kaki kirinya.
Nenek ini
terhuyung, tetapi tangan kirinya dapat menangkap pedang itu, merenggutnya lepas
dan sekali melontarkan pedang itu ke depan, terdengar jerit mengerikan karena
si pemilik pedang roboh dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Akan tetapi
pada saat itu, sebuah di antara lima ujung cambuk besi Ngo-bwe Sai-kong
menyambar sedemikian cepatnya sehingga tidak sempat dielakkan lagi oleh nenek
Lulu.
“Tukkk....!”
Tubuh nenek
itu nampak kejang seketika, akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan lengking
panjang dan tahu-tahu tubuhnya telah meluncur ke depan, kedua tangannya
bergerak menusuk dengan jari tangan terbuka.
“Plak!
Dukkk....!”
Tubuh
Ngo–bwe Sai-kong yang tinggi besar itu terjengkang dan dari mulutnya terdengar
teriakan menyayat hati dibarengi semburan darah segar, lalu kaki tangan kakek
itu berkelojotan, matanya melotot dan dari tenggorakannya terdengar suara mengorok.
Nenek Lulu
sendiri terhuyung, tetapi terdengar suara ketawa dari mulutnya, sungguh amat
menyeramkan hati. Dan pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang, yang
satu langsung menyambar tubuh nenek Lulu dan memondongnya sebelum tubuh itu
terguling, sedangkan bayangan yang satu lagi langsung mengamuk, membuat para
pengeroyok jatuh bangun.
Dua bayangan
ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han dan isterinya, Puteri Nirahai. Kakek
Suma Han sudah melihat keadaan isterinya, maka dia pun langsung menyambar tubuh
nenek Lulu, sedangkan nenek Nirahai mengamuk, menggunakan kaki tangannya,
menampar dan menendang ke sana-sini.
Para
pengeroyok menjadi panik setelah melihat robohnya Ngo-bwe Sai-kong, apalagi
dengan munculnya Pendekar Super Sakti yang kini nampak sibuk memeriksa keadaan
nenek Lulu sedangkan nenek Nirahai mengamuk seperti naga sakti beterbangan.
Maka, sisa para pengeroyok itu lalu berloncatan ke dalam tiga buah perahu
mereka sambil membawa teman-teman yang tewas dan terluka.
“Jangan
harap dapat lari dari sini!” bentak nenek Nirahai sambil mengejar, akan tetapi
tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu lengannya telah
dipegang oleh suaminya.
“Tidak perlu
dikejar, biarkan mereka pergi....,” kata Suma Han dengan suara halus.
Sejenak ada
kekerasan dan perlawanan dalam sinar mata nenek Nirahai, tetapi seperti biasa,
kekerasannya mencair setelah bertemu dengan pandang mata suaminya. Seperti baru
tersadar dari mimpi buruk, nenek Nirahai memejamkan mata dan menyandarkan
mukanya di dada suaminya itu sebentar, lalu dia teringat lagi dan cepat
melepaskan dirinya dan lari menghampiri tubuh nenek Lulu. Tiga orang cucunya
juga telah berlutut di dekat tubuh nenek Lulu, kelihatan bingung melihat nenek
itu rebah dengan napas lemah sekali dan mata terpejam, akan tetapi mulut nenek
itu tersenyum!
“Bagaimana
keadaannya....?” Nenek Nirahai bertanya khawatir.
“Kita bawa
dia pulang,” kata kakek Suma Han tanpa menjawab pertanyaan itu, hanya memondong
tubuh isterinya ke dua itu lalu membawanya kembali ke istana, diikuti oleh
nenek Nirahai yang menundukkan mukanya menyembunyikan kedukaan karena ia telah
dapat merasakan dari sikap suaminya bahwa keadaan madunya itu tak dapat
tertolong lagi.
Mereka
disambut oleh tiga orang pria dan dua orang wanita pelayan mereka. Para pelayan
itulah yang tadi melaporkan kepada Suma Han dan Nirahai tentang adanya
perkelahian di tepi pantai teluk itu. Mereka sendiri tidak berani sembarangan
turun tangan melihat betapa para penyerbu itu adalah orang-orang pandai.
Tubuh nenek
Lulu direbahkan di atas dipan di dalam kamarnya. Kakek Suma Han dan nenek
Nirahai lalu mempergunakan sinkang mereka untuk membantu nenek Lulu,
menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung. Akhirnya nenek Lulu
mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka kedua matanya.
Mula-mula ia
seperti orang keheranan melihat suaminya, madunya, dan tiga orang cucunya
menunggunya di dalam kamarnya. Akan tetapi ia segera teringat dan mulutnya
bergerak, akan tetapi tidak ada suara yang keluar, melainkan darah yang
mengalir dari ujung bibirnya yang kiri karena ia miring sedikit ke kiri.
“Tenanglah,
engkau terluka parah....,” kata suaminya dengan suara halus.
“Me....
mereka....?” bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi pandang
matanya berseri lega ketika ia melihat keadaan tiga orang cucunya sehat-sehat
saja.
“Mereka
sudah kuhajar dan tentu sudah kubunuh semua kalau saja suami kita yang selalu
berhati lunak ini tidak menghalangiku!” kata nenek Nirahai. “Engkau terluka
oleh saikong itu, dia lihai sekali akan tetapi engkau telah berhasil melempar
nyawanya ke neraka!”
Nenek Lulu
tersenyum dan melirik kepada suaminya. Sungguh mengherankan sekali. Dalam
keadaan terluka parah itu, sampai ia tidak mampu mengeluarkan suara, nenek ini
tersenyum-senyum gembira dan seperti hendak menggoda suaminya yang dicela oleh
madunya! Mulutnya kembali bergerak-gerak hendak bicara akan tetapi ia
terbatuk-batuk.
Kakek Suma
Han lalu menotok beberapa jalan darah di leher dan kedua pundaknya dan napas
nenek Lulu sekarang kelihatan lega. Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya ia
mampu juga mengeluarkan suara.
“Aku
gembira... aku... aku dapat mati seperti... harimau betina... yang gagah....!
Aku... senang sekali... cucu-cucuku... jadilah orang gagah...” Sampai di sini
suaranya habis, kepalanya terkulai dan matanya kehilangan cahayanya.
Kakek Suma
Han menggunakan tangannya, menutupkan mata dan mulut isterinya, dan nenek
Nirahai menahan isak membetulkan letak kaki tangan madunya. Tiga orang cucu
mereka itu terbelalak memandang, kemudian tiba-tiba pecahlah suara tangis Suma
Hui.
“Nenek....!
Nenek telah meninggal dunia....!”
Melihat
encinya menangis, Ciang Bun juga menangis, akan tetapi tangisnya tidak
bersuara, hanya mengucurkan air mata saja yang diusapnya dengan lengan bajunya.
Akan tetapi, Ceng Liong menangis terisak-isak seperti enci-nya. Melihat mereka
bertiga menangis, para pelayan wanita juga menangis. Akhirnya Nirahai tidak
dapat menahan lagi air matanya yang mengalir turun. Telah puluhan tahun ia
hidup bersama suaminya dan madunya itu dan ia sudah menganggap Lulu sebagai
adiknya sendiri.
“Aku ingin
seperti Lulu! Aku ingin mati seperti Lulu!” Berkali-kali nenek Nirahai berkata
sambil mengepal tinju dan air mata yang menetes-netes menuruni kedua pipinya
itu didiamkannya saja.
Kakek Suma
Han yang duduk bersila di dekat jenazah isterinya, tersenyum sendiri
menyaksikan bagaimana kedukaan terbentuk dalam dirinya. Mula-mula dia melihat
kenyataan bahwa isterinya yang tercinta itu mati. Kenyataan yang tak dapat dirubah
oleh siapa pun juga, kenyataan yang wajar dan tidak mengandung suka mau pun
duka.
Siapakah
orangnya yang dapat menghindarkan diri dari kematian? Dan matinya Lulu wajar,
juga tidak perlu dibuat penasaran. Usianya sudah sembilan puluh tahun dan tewas
dalam tangan seorang lawan yang amat lihai, masih dikeroyok banyak orang lagi.
Kematian yang wajar.
Lalu pada
saat dia mendengar semua orang menangis, dan melihat wajah nenek Lulu,
pikirannya membayangkan segala hal yang telah dilalui dalam hidupnya bersama
Lulu. Terbayang dan terkenang kembali masa-masa muda mereka, saat-saat manis
mereka, suka duka mereka yang mereka hadapi dengan bahu-membahu, dan saling
mencinta.
Pikirannya
membayangkan pula bahwa dia telah kehilangan salah seorang yang amat
dicintanya. Semua kenangan ini lalu mendatangkan rasa iba diri dan muncullah
duka! Suma Han melihat ini semua dan dia pun tersenyum di dalam hati. Duka
timbul dari pikiran yang mengenangkan hal-hal lampau, timbul dari pikiran yang
membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa depan, sehingga timbullah
rasa iba diri, rasa kesepian dan perasaan nelangsa yang menimbulkan duka.
Pendekar
Super Sakti membiarkan tiga orang cucunya dan juga isterinya tenggelam sebentar
dalam iba diri dan duka, kemudian dia berkata, suaranya halus, ditujukan kepada
mereka semua, isterinya, cucu-cucunya, dan para pelayan.
“Sudahlah,
cukup sudah semua tangis yang tiada gunanya ini. Kematian adalah suatu
kewajaran yang akan menimpa setiap orang manusia hidup di dunia ini. Kenapa
harus ditangisi? Tangis tidak menguntungkan yang mati, juga merugikan dan
melemahkan batin sendiri. Andai kata yang mati dapat mengetahui, maka tangis
merupakan ikatan yang menahan dirinya dengan dunia dan kehidupan. Dan bagi yang
hidup, tangis itu hanya merupakan kelemahan batin yang penuh dengan perasaan
iba diri.”
Nenek
Nirahai yang sudah mengerti benar akan hakekat mati hidup, mengerti akan apa
yang dimaksudkan oleh suaminya, hanya menundukkan muka saja. Para pelayan baru
setengah mengerti, akan tetapi mereka tentu saja tidak berani membantah mau pun
bertanya.
Tidak
demikian dengan Suma Hui. Ia seorang dara yang sejak kecil memiliki daya cipta,
tidak hanya mengekor terhadap pendapat orang-orang tua atau siapa pun juga.
Segala perasaan dan keinginan tahunya tidak mudah dipuaskan oleh pendapat orang
dan harus diselidikinya sendiri. Maka, mendengar ucapan kakeknya tadi ia pun
membantah.
“Akan tetapi
saya sama sekali tidak iba diri, kong-kong! Saya tidak kasihan kepada diri
sendiri, melainkan kasihan kepada nenek!”
Suma Han
memandang kepada cucunya itu dan tersenyum. “Coba jelaskan, mengapa engkau
kasihan kepada nenekmu Lulu, Hui?”
“Nenek tewas
dalam perkelahian, terbunuh orang, tentu saja saya kasihan kepadanya!”
“Mengapa
kasihan? Nenekmu adalah seorang pendekar sejak kecil, bahkan perkelahian
merupakan kegemarannya. Kalau sekarang ia tewas dalam perkelahian, hal itu
adalah wajar dan engkau mendengar sendiri ucapan terakhirnya tadi betapa ia
merasa gembira sekali dapat tewas dalam sebuah perkelahian, pantaskah itu kalau
kita malah kasihan kepadanya?”
“Tapi,
matinya karena kekerasan, karena terpaksa, kong-kong! Kalau tidak ada penjahat
menyerbu, sekarang nenek Lulu tentu masih hidup bersama kita. Tidak kasihankah
itu?” Suma Hui mencoba untuk membantah.
Kakek tua
renta itu mengeleng kepala, masih tersenyum. “Semua bentuk kematian tentu ada
sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya, padahal sebenarnya sudah merupakan suatu
kelanjutan yang wajar dari pada kehidupan. Kalau orang mati karena penyakit,
bukankah itu merupakan hal yang dipaksakan juga? Kalau penyakit itu tidak
datang kepadanya, dia tidak akan mati, begitu tentu bantahannya. Cucuku yang
baik, kematian merupakan kelanjutan dari pada kehidupan, dan tentu saja untuk
suatu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-macam, ada yang
penyakit, ada kecelakaan, ada bencana alam, ada perkelahian, perang dan
sebagainya. Mengertikah engkau?”
Suma Hui
mengangguk dan menunduk, sekarang dia dapat melihat kebenaran yang dibeberkan
oleh kakeknya itu. Segala peristiwa adalah wajar dan tak dapat dirubah lagi,
baik buruknya tergantung dari pada penanggapan kita sendiri.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment