Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 02
"Akan
tetapi, kong-kong, bukankah semua orang menangis kalau kematian orang yang
dicintanya? Mengapa tidak boleh menangis? Apakah orang tidak boleh bersedih
kalau kematian keluarga yang dicinta?” Tiba-tiba Ceng Liong bertanya dengan
nada suara membantah.
Kakek itu
memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. Anak ini cerdas sekali, pikirnya.
“Aku tidak
mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian
membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan
iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bahwa kita
pun HARUS menangis? Akan lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa
kita menangisi kematian. Mengapa? Coba kalian bertiga menjawab. Kenapa kita
biasanya menangisi kematian?”
“Karena
tidak tega....,” jawab Suma Hui.
“Karena kita
kasihan kepada yang mati,” sambung Ceng Liong.
“Karena kita
ditinggalkan,” mendadak Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini
ikut menjawab.
“Ya, karena
kita ditinggalkan, itulah jawabannya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega
atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan kepada orang yang mati kalau
kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu? Yang jelas, kematian
membebaskan orang dari pada segala kesengsaraan hidup, ketuaan, kelemahan dan
penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan sebagainya. Tidak masuk akal kalau kita
kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang jelas, kita merasa kasihan
kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian, itulah
yang menyebabkan orang menangisi kematian.”
Nenek
Nirahai mendengarkan saja dan wajahnya kelihatan diliputi awan. Melihat ini,
kakek Suma Han bertanya, “Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum
meresap di hatimu?”
Nenek itu
memandang kepada suaminya. “Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak
menyedihkan kematian, tetapi prihatin melihat bahwa aku pun akan mati dan
betapa menyebalkan kalau kelak mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan
sampai rusak jasmani ini. Adik Lulu sungguh beruntung....”
“Hemm,
engkau agaknya merasa iri kepada Lulu? Mengapa meributkan soal itu?”
“Kematian
memang bukan apa-apa, akan tetapi bagaimana kita mati itulah yang penting.
Sungguh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati
sebagai seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit,
terhadap kuman-kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!”
“Hemm, soal
itu serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap
menghadapi saat tibanya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikit
pun rasa takut.”
Suma Han
lalu memerintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti
jenazah, peti yang memang sudah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk
nenek Lulu. Juga kakek itu dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati
untuk diri mereka sendiri. Tempat itu terpencil dan untuk membeli peti mati
harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka memang telah bersiap dengan
peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.
Karena
mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah
yang terisi jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang
sebagaimana lajimnya, kemudian mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di
tepi jenazah.
Tiada air
mata yang tumpah lagi sekarang, setelah mereka tadi mendengar percakapan
mengenai kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya. Mereka semua
melihat kesia-siaan dan kepalsuan tangis perkabungan itu. Bagaimana pun juga,
karena menghormat si mati dan keluarganya, para pelayan itu bersikap
sungguh-sungguh dan prihatin.
Menurut
keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada keesokan
harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walau pun pengagum
ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah
dari pada pemakaman.
Mungkin saja
hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena kewaspadaannya melihat
bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang mati mau pun
yang hidup dari pada pemakaman jenazah yang menghabiskan tempat, pembuangan dan
penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para
keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.
Malam itu,
beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah
nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat suaminya, seperti menjaga peti
jenazah, dalam keadaan setengah semedhi. Akan tetapi, melihat api lilin-lilin
itu bergoyang-goyang tertiup angin malam yang lewat di ruangan depan istana di
mana peti jenazah ditaruh, nenek Nirahai teringat kepada madunya.
Begitulah
Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin itu, bergoyang-goyang, lincah,
berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh suka dan
dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Peri kehidupan nenek Lulu pada
waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisah
Pendekar Super Sakti dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.
Tiga orang
cucunya dan lima orang pelayan tidak berada di ruangan itu karena mereka itu
menyingkir dan membiarkan suami isteri itu merenung di dekat peti jenazah.
Delapan orang itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini
diprakarsai oleh Suma Hui.
“Para
penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biar pun nenek Nirahai telah berhasil
menghajar dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu masih hidup dan siapa
tahu mereka itu masih merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman
jahat mereka dan kembali menyerbu lagi, kita harus sudah bersiap-siap
menghadapi mereka,” demikian dara perkasa yang gagah berani itu berkata kepada
adik-adiknya dan kepada lima orang pelayan itu.
Mereka semua
telah bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian
nenek Lulu kalau mereka itu berani muncul lagi malam hari itu. Dengan cara
berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana. Suma Hui sebagai pemimpin
mereka melakukan perondaan.
Malam semakin
larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan di Pulau Es semakin sunyi. Hawa
udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting sajalah yang akan
lancang memasuki Pulau Es itu di waktu malam yang sedingin itu, apalagi kalau
dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pendekar Super Sakti yang
gagah perkasa.
Akan tetapi,
bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba muncul
dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es. Dia seorang laki-laki muda yang
mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam
gelap dan akhirnya bisa mendarat di bagian yang datar dari pulau itu di sebelah
selatan.
Hanya dengan
penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram
kehijauan, pria itu berhasil mendarat, menyeret perahunya naik dan kemudian
meninggalkan perahunya, berjalan dengan langkah terhuyung-huyung menuju tengah
pulau.
Beberapa
kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya
dia dapat memperbaiki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman,
dia melihat lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana.
Kadang-kadang sinar lampu itu lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya
yang masih jauh letaknya di malam yang cuacanya remang-remang.
Akhirnya,
setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak mudah, orang yang seperti dalam
sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu
menjulang tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang
karena ditinggalkan awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan
bumi, dan orang itu tertegun.
“Sebuah....
istana....? Di pulau kosong ini....? Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau sudah
gilakah aku....?”
Dia pun
melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana
itu. Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sendiri, dia lalu meraba
dinding itu, mendorong-dorongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mukanya dan
ternyata dia adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan dan gagah sekali
walau pun pakaiannya kusut dan pecah-pecah di sana-sini.
Tubuhnya
nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha. Di ketiga tempat ini,
pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki itu
berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh
delapan atau dua puluh sembilan tahun.
Tiba-tiba
tiga orang nelayan pria dari Istana Pulau Es datang menyerbu dan menyerang
dirinya tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung
besi, senjata yang paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya adalah
nelayan-nelayan sebelum menjadi pelayan di Pulau Es. Akan tetapi walau pun
mereka juga ketularan ilmu silat dari para majikan mereka dan tubuh mereka kuat
karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es, namun karena mereka tidak
pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya cepat dan kuat namun
kaku sekali.
“Heii....
aku bukan penjahat....!” Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya
dayung-dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya.
Meski dia
sudah luka-luka dan diserang secara tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana
itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia berhasil mengelak lalu menangkap
sebatang dayung. Sekali renggut dayung itu pindah ke tangannya dan dua kali dia
menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua orang pelayan itu.
Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa
orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata
mereka.
Akan tetapi
orang itu tak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil berkata
lagi, “Aku bukan penjahat....!”
Sesosok
bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu
dengan sepasang pedang di tangan. “Orang baik-baik tak akan berkeliaran di sini
tanpa ijin! Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!” Suma Hui sudah menggerakkan
sepasang pedangnya dan ia pun sudah menyerang dengan dahsyatnya.
“Trang....!
Cringgg....!”
“Ehhh, nanti
dulu.... ehhh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!”
Pria itu
menangkis dan mengelak, repot juga menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat
ganas itu. Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan
makin repotlah dia menghadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah
dan mendendam atas kematian neneknya itu. Biar pun orang itu berteriak-teriak,
tetap saja Suma Hui menyerang terus, bahkan semakin hebat karena dara ini mulai
merasa penasaran bahwa sepasang pedangnya belum juga berhasil, padahal orang
itu telah luka-luka.
“Singgg....
wuuuut, singggg....!”
Sepasang
pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu terus
menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga yang ganas.
“Cringgg....
cringgg....!”
Pria itu
terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat pedang dan nyaris
ada pedang yang menyerempet lehernya!
“Tidak....!
Aku bukan penjahat, dengar dulu, nona....!”
“Tranggg....!”
Kini Suma
Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan tinggal
sepanjang pedang, pria itu malah dapat menggunakan dengan amat hebatnya,
seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini menangkisnya terbukti bahwa
pria itu memiliki ilmu pedang yang hebat pula! Bukan hanya itu, kini pria itu
agaknya telah mengerahkan sinkang sehingga bukan saja potongan dayung itu
menjadi kuat, juga tenaga yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya
tergetar!
Tentu ini
seorang tokoh sesat yang lihai, yang diutus oleh gerombolan penyerbu pagi tadi
untuk memata-matai istana, pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan
protes pria itu, ia menyerang semakin ganas.
Karena marah
dan mendendam, Suma Hui menjadi berkurang kewaspadaannya, tidak menyadari bahwa
sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, tetapi hanya
mengelak dan menangkis sambil mundur saja. Juga ia tak menyadari kenyataan
bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu
untuk menjadi mata-mata.
Suma Hui
menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka
dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung
pedang kiri dara itu menyerempet pundaknya yang kanan.
“Crottt....!”
Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke
belakang, potongan dayungnya terlepas.
Suma Hui
yang sudah marah dan merasa yakin bahwa orang ini adalah satu di antara
musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi untuk mengirim tusukan maut.
“Tringg....!”
Pedang itu
terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-tiba ada
pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang menangkis
itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat
dipergunakan sebagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari
puteri ini.
“Tidak
pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!” kata nenek itu yang sejak tadi
sudah menyaksikan perkelahian itu.
Ternyata
diam-diam nenek ini sudah bersiap-siap pula. Pedang payungnya sudah
dipersiapkan dan ketika ia mendengar suara tidak wajar di luar istana, ia
meninggalkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria
yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama
sekali tidak mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan
memiliki dasar gerakan yang luar biasa lihainya!
Mula-mula ia
terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya menyerang terus. Akan tetapi
setelah melihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap pria itu tidak
mau membalas, bahkan terancam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah
cucunya melakukan pembunuhan.
Merobohkan
lawan dalam usaha membela diri, atau merobohkan lawan buat membasmi kejahatan
dan membela kebenaran, memang menjadi tugas seorang pendekar. Akan tetapi,
merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum diketahui dengan pasti
apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuhan yang kejam dan jahat! Dan
itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini memandang
kepada neneknya dengan heran dan penasaran.
“Akan
tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!”
kata Suma Hui, dan dua orang adiknya yang sejak tadi sudah berada di situ pula,
bersikap membenarkan enci mereka.
Akan tetapi
tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati,
“Nenek Lulu.... terbunuh....? Ahhh, dan ini.... ini benarkah ini…. Pulau Es dan
istananya?”
Nenek
Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan
membentak, “Siapakah engkau....? Di sini memang benar Pulau Es dan kami
keluarga penghuninya.”
Akan tetapi,
pria itu mendadak mengeluh dengan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh pingsan.
Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan
untuk menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di
mana Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.
“Siapa dia?
Apa yang terjadi?” tanya Pendekar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap
tenang. Agaknya, tidak ada apa pun di dunia ini yang akan dapat mengguncang
ketenangan hati pendekar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya
tidak ada yang aneh, melainkan merupakan hal-hal yang wajar saja.
Dengan
singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam
hari sehingga tadi menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan
tetapi orang itu sama sekali tidak mau membalas.
“Kulihat
gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka
di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia
terkejut lalu pingsan.”
Pendekar
Super Sakti lalu mernbantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh
pria itu. Ternyata bahwa luka-luka itu tidak terlalu parah. Apalagi mereka
memperoleh kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memiliki tenaga
sinkang yang kuat, yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek
pendekar ini bersama isterinya mengobatinya.
Mereka semua
memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma Hui yang ingin sekali
tahu siapa adanya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang diam-diam
harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini
merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah
sekali! Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi
lalat kecil. Bentuk hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik
kegagahannya.
Setelah
memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan
membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua
renta yang pandang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah
dijumpainya, dia terkejut dan teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri,
melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga peti jenazah. Dia terbelalak
memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek tua renta itu, pandang
matanya menurun ke arah kaki kiri yang buntung, dan pemuda itu lalu bangkit
duduk dan seketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
“Harap
ampunkan saya, akan tetapi bukankah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super
Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama locianpwe Puteri Nirahai, dan yang
berada di dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?” Suaranya agak
gemetar penuh perasaan.
Suma Han
mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti benang-benang perak. “Benar. Orang
muda, engkau siapakah?”
“Kong-couw
(kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!” Dan pemuda itu lalu maju
berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis. “Ampunkan saya.... ahhh,
saya telah terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nyawa nenek buyut....!”
Suma Han
berkata halus, akan tetapi penuh wibawa, “Simpan air matamu kalau benar engkau
adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?”
“Nama saya
Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya
adalah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng....”
“Aihhh....!”
Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu.
“Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini
adalah masih keponakan kalian sendiri!”
Tentu saja
ketiga orang muda itu memandang heran dan terutama sekali Suma Hui menjadi
terkejut, memandang kepada pria yang gagah itu dengan mata terbuka lebar-lebar.
“Dia.... dia
keponakanku....?” katanya tergagap, tidak percaya.
“Dengarlah,
akan kujelaskan kepada kalian.” Nenek itu kemudian menceritakan dengan singkat
hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es.
“Mendiang
nenekmu Lulu, sebelum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang
mempunyai seorang putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian
mempunyai seorang puteri yang diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan
kalian merupakan saudara-saudara misan tiri, dan karena Kao Cin Liong ini
putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah masih keponakan luar kalian sendiri.”
Kemudian
nenek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan berkata, “Cin Liong,
perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma Hui dan Suma
Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee, sedangkan
Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu.”
Sejak tadi
Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan dia
pun cepat-cepat menjura dengan hormat, “Bibi, dan kedua paman kecil, harap
maafkan kelancangan saya tadi.”
Suma Hui dan
kedua orang adiknya lalu membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab
gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah, “Ah, tidak.... sayalah yang
minta maaf....”
“Kao Cin
Liong, ceritakanlah keadaanmu, keadaan orang tuamu, dan bagaimana pula engkau
bisa sampai di Pulau Es dan mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya
engkau mengatakan terlambat tadi.” Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang
halus dan tenang.
Semua orang
mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan pada pemuda yang
ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan
memejamkan matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya
sehingga dia harus bercerita panjang. Dia pun mulai bercerita.....
***************
Siapakah
pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini? Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga
Siluman tentu telah mengenalnya dengan baik. Seperti telah diceritakan oleh
nenek Nirahai tadi, pemuda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan
Ceng. Dan Kao Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar
yang ditakuti semua orang kang-ouw dengan julukannya Naga Sakti Gurun Pasir!
Kao Kok Cu adalah putera mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh
seluruh pasukan dan rakyat sebagai seorang jenderal besar yang gagah perkasa
dan bijaksana.
Kao Cin
Liong sendiri, semenjak muda sekali, semenjak berusia tujuh belas tahun, telah
membuat nama besar dan menjadi jenderal muda di kota raja! Jenderal Muda Kao
Cin Liong ini makin terkenal ketika beberapa kali dia berhasil menundukkan dan
membasmi para pemberontak di barat. Agaknya pemuda ini meniru jejak kakeknya,
yaitu Jenderal Kao Liang, dan ingin menjadi seorang jenderal yang baik. Selain
berkedudukan tinggi dan memperoleh kepercayaan Kaisar Kian Liong, juga jenderal
muda ini memiliki ilmu silat yang hebat. Dia digembleng oleh ayahnya sendiri,
maka tentu saja kepandaiannya hebat.
Akan tetapi,
ada suatu hal yang patut disayangkan. Sepuluh tahun yang lalu, jenderal muda
ini jatuh cinta kepada seorang dara perkasa yang bernama Bu Ci Sian, namun
cintanya bertepuk tangan sebelah.
Sebagai
seorang pendekar yang gagah, dia menyadari keadaan ini. Dia mengalah dan
mundur, akan tetapi dengan hati nelangsa dan sejak itu, dia menjauhi wanita.
Ayah bundanya sudah berkali-kali mendesaknya agar dia suka memilih seorang
calon isteri, atau mau dicarikan jodoh oleh orang tuanya, namun Cin Liong selalu
menolak.
Sampai
sekarang, dalam usia dua puluh sembilan tahun dan telah memiliki kedudukan
tinggi, Kao Cin Liong masih belum juga menikah, bahkan tidak mempunyai seorang
selir pun. Padahal, pada umumnya, orang yang memiliki kedudukan setinggi dia
itu, andai kata belum menikah juga, tentu setidaknya sudah mempunyai lima enam
orang selir muda yang cantik-cantik! Akan tetapi, biar pun dia memiliki
kedudukan tinggi sebagai seorang jenderal, akan tetapi jiwanya tetap adalah
jiwa seorang pendekar yang tidak menyukai adanya kepincangan-kepincangan dan
ketidak adilan.
Cin Liong
tinggal seorang diri di sebuah gedung yang megah di kota raja, dengan beberapa
orang pelayan yang bertugas merawat gedungnya. Dia sendiri jarang berada di
kota raja, lebih sering melakukan pengamatan dan pemeriksaan terhadap
kesatuan-kesatuan yang bertugas di luar kota raja. Jenderal muda ini banyak
membantu usaha Kaisar Kian Liong untuk memberantas korupsi dan penyalah gunaan
kekuasaan dan wewenang.
Banyak sudah
para pejabat, terutama di kalangan ketentaraan, yang telah dipecat dan dituntut
oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong sehingga namanya semakin ditakuti dan
disegani. Dia demikian sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang dia berkunjung
ke tempat tinggal ayah bundanya yang mendiami Istana Gurun Pasir, jauh di
utara, di dekat perbatasan utara.
Kesempatan
berkunjung itu tiba ketika dia memperoleh tugas baru. Pada waktu itu Kaisar
Kian Liong sudah menduduki tahta selama lima tahun dan sejak hari pertama
menjadi kaisar, Kaisar Kian Liong bergerak melakukan pembersihan dan
perbaikan-perbaikan. Akan tetapi, muncullah gangguan berupa pemberontakan di
perbatasan barat dan ada berita pula bahwa di utara, di luar Tembok Besar, juga
terjadi pergerakan-pergerakan.
Karena itu,
Jenderal Kao Cin Liong mendapatkan tugas untuk melakukan penyelidikan. Jenderal
muda ini lalu berangkat sendiri, ingin melakukan penyelidikan sendiri sebelum
mengambil keputusan mengirim pasukan bala tentara untuk melakukan pembersihan.
Berangkatlah dia ke utara, karena dia ingin menyelidiki ke utara lebih dahulu
sambil mengunjungi orang tuanya, baru kemudian berangkat ke barat.
Dengan
menunggang seekor kuda yang baik, Cin Liong melakukan perjalanan cepat ke
utara. Dia memakai pakaian biasa, karena lebih leluasa baginya untuk melakukan
penyelidikan jika dia menjadi orang biasa. Tanpa halangan suatu pun, pada suatu
pagi dia tiba di benteng lama di perbatasan utara. Benteng ini telah tua dan
rusak, tidak lagi dipakai karena kini pasukan pemerintah telah membangun sebuah
benteng baru yang kokoh kuat, di tempat yang lebih baik dan tepat untuk
menghadang masuknya pasukan musuh dari luar.
Karena malam
telah tiba dan perjalanan dari benteng kuno itu menuju ke Istana Gurun Pasir
masih memakan waktu setengah hari, maka Cin Liong berhenti dan mengambil
keputusan untuk bermalam di dalam benteng tua itu. Dia menambatkan kudanya di
luar, mencarikan rumput untuk kudanya, kemudian dia memasuki bangunan kecil
bekas tempat penjagaan di luar benteng itu dan membuat api unggun dari
kayu-kayu bekas bangunan rusak. Lalu dikeluarkannya ransum bawaannya, yaitu
roti kering dan daging kering, dimakannya makanan sederhana ini dengan sebotol
arak ringan.
Tiba-tiba
Cin Liong menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan, sebab
telinganya mendengar derap kaki kuda yang lemah karena kelelahan. Ada tiga
orang penunggang kuda sedang menuju ke benteng tua itu. Tentu pedagang-pedagang
yang kemalaman, pikirnya. Derap kaki kuda mereka menunjukkan bahwa mereka baru
saja melakukan perjalanan jauh dan kuda mereka telah amat kelelahan. Ternyata
tiga orang penunggang kuda itu berhenti di depan bangunan kecil itu pula dan
terdengar suara mereka ketika mereka turun dari punggung kuda.
“Ehhh, ada
kuda!”
“Hemm, kuda
bagus!”
“Tentu
orangnya di dalam. Nah, itu ada asap api unggun.”
“Wah, bau
arak pula!”
Pintu
bangunan kecil itu mereka dorong dan Cin Liong masih duduk menghadapi api
unggun dan makan dengan tenang ketika mereka bertiga itu memasuki ruangan yang
kotor itu. Tiga orang kasar yang bertubuh tinggi besar, pakaian mereka pun
penuh debu dan wajah mereka yang kehitaman karena banyak terbakar matahari itu
nampak bahwa mereka sudah biasa dengan kekerasan dan kekasaran.
“Wah, orang
muda yang tampan, sungguh berani berada seorang diri di tempat seperti ini!”
“Dan makan
minum tanpa menawarkannya kepada kita yang lapar dan haus!”
Mendengar
ucapan kedua orang itu, Cin Liong menjawab, “Kalau kalian lapar dan haus, mari
ikutlah makan minum seadanya.”
Akan tetapi
orang ke tiga, yang matanya buta sebelah, yaitu tinggal mata kanan saja yang
tinggal, melangkah maju dan menghardik, “Orang muda, jangan berlagak! Hayo kau
tanggalkan semua pakaian itu dari tubuhmu, kemudian pergi dari sini, tinggalkan
pakaian, buntalan dan kuda, dan jangan banyak cerewet lagi!”
Cin Liong
mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa orang ini tidak bergurau, dan kini dua
orang yang lain sudah pula menyeringai dan tangan mereka mengusap gagang golok.
Sialan, pikirnya, bertemu dengan perampok-perampok rendah.
Dia
melanjutkan minum araknya dari botol. Setelah menelan roti dan arak yang berada
di dalam mulutnya, dia meletakkan botol arak di depannya, menambah kayu pada
api unggun lalu berkata tenang, “Hemm, kiranya kalian hanya perampok-perampok
kecil yang hendak merampok seorang kelana yang kemalaman di sini.”
“Bocah
setan! Kau menghina! Kami bukan perampok-perampok kecil, kami bergerak di
bidang yang lebih besar. Awas mulutmu!”
“Kalau bukan
perampok, mengapa hendak merampok aku?”
“Ha-ha-ha,
kami sedang bergembira. Kami tidak mau membunuhmu, hanya menukar nyawa dan
badanmu dengan semua pakaian dan kuda yang kau miliki. Hayo, cepat lakukan
perintahku atau engkau akan segera menjadi pengiring arwah keluarga Pulau Es,
ha-ha-ha!”
Tentu saja
Cin Liong terkejut dan heran sekali mendengar disebutnya keluarga Pulau Es.
“Hemm, apa
maksudmu membawa-bawa nama keluarga Pulau Es dalam urusan ini?” tanyanya,
sikapnya tetap tenang.
“Ha-ha-ha,
itulah mengapa kami bergembira dan hendak merayakannya malam ini! Kami akan
membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Gurun Pasir, dan semua tokoh
pendekar akan kami basmi, dan kami akan merajai dunia kembali, akan bebas dari
gangguan mereka. Ha-ha-ha!”
Cin Liong
menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu orang-orang ini
sudah mabok, maka dia pun lalu berkata sebal, “Sudahlah, kalian ini agaknya orang-orang
gila. Pergilah dan jangan menggangguku lagi!”
“Hei, bocah
lancang mulut! Berani kau memaki kami gila? Engkau sudah bosan hidup, ya?”
Seorang di antara mereka sudah mencabut golok dan menerjang maju, mengayun
goloknya ke arah leher Cin Liong yang masih duduk menghadapi api.
Diam-diam
Cin Liong menjadi marah sekali. Sungguh orang-orang ini kejam luar biasa,
begitu saja hendak membunuhnya tanpa sebab sama sekali. Orang macam ini hanya
merupakan penyakit dalam masyarakat dan tentu akan selalu mendatangkan bencana
kalau tidak dibasmi atau setidaknya diberi hajaran keras.
Cin Liong
menggerakkan tangannya. Sepotong kayu lantas meluncur dan menghantam
pergelangan tangan.
“Takkk!
Aduhhh....!”
Biar pun
orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman biasa, melainkan totokan
yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa lumpuh dan
golok itu pun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin
Liong bergerak ke depan.
“Desss!”
Orang itu
kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dan
dia pun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!
Orang ke dua
yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut dan
marah sekali. “Keparat, berani engkau memukul kawanku?” bentaknya dan dia pun
sudah mencabut golok, mengeluarkan bentakan nyaring kemudian meloncat ke depan,
goloknya terayun dan membabat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah
tubuh Cin Liong.
Akan tetapi,
kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir meluncur dan
menyambar muka orang itu.
“Eh! Oh!
Aughh....!” Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap
sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah
dari tempat duduknya.
Pada waktu
tubuh lawan itu terhuyung lewat, kaki Cin Liong terangkat dan ‘menyentuh’
selakangnya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya hebat karena orang itu
terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan. Kedua tangannya mendekap
selangkangan dan dia bergulingan seperti ayam disembelih, kemudian kejang dan
semaput pula!
Melihat ini,
agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan
api unggun itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia dan dua
orang kawannya bukan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di
dunia hitam, akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh
pemuda yang sejak tadi tidak berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia
takkan menang melawan pemuda itu, dan tiba-tiba si mata sebelah itu lalu
membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.
“Berhenti!”
Cin Liong menghardik.
Ketika orang
itu tidak berhenti, dia lalu menyambar sebatang golok yang tadi terlepas dari
tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu meluncur seperti anak panah
ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di pintu.
“Crottt!
Aduuuhhh....!” Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal dengan paha kanannya
ditembus golok!
“Merangkaklah
ke sini!” Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.
Si mata
tunggal menoleh ragu, tetapi maklum bahwa kalau dia membangkang, tentu dia akan
lebih celaka lagi. Maka dia pun bangkit dengan susah payah, lalu merangkak dan
memasuki ruang itu kembali. Mukanya penuh keringat dingin, mata tunggalnya
melotot memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu.
Setelah
minum seteguk arak untuk mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong
mengangkat muka memandang kepada si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal
terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata
harimau!
“Ampun....
ampunkan saya....” Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata
setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.
Dengan sikap
masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata,
“Ceritakan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun
Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kubakar hidup-hidup!”
Ucapan itu
tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggigil dan
mukanya semakin pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan
dari pada sekedar ancaman kasar karena dia dapat merasakan bahwa ucapan itu
sama sekali bukan ancaman kosong.
“Kami....
ahh, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat
rendah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu? Rombongan itu sudah berangkat
siang tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau
Es....”
Cin Liong
tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa
orang ini tidak berbohong. “Mereka siapa? Berapa orang banyaknya dan siapa yang
memimpin?”
“Banyak
sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga
hanya tingkat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh
lima orang datuk dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan.”
Tiba-tiba si
mata satu itu nampak lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk
yang menjadi pimpinan golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia
mengharapkan pemuda ini akan menjadi gentar mendengarnya.
“Mereka itu
siapa?” Cin Liong mendesak.
“Lima orang
datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-i
Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si
Ulat Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima
adalah Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!” Berkata demikian, si
mata satu itu melupakan penderitaan pahanya yang tertembus golok. Mata
tunggalnya memandang ke arah wajah pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi
gentar dan bersikap lunak kepadanya.
Tetapi dia
kecelik dan menjadi semakin gelisah ketika pandang mata pemuda itu makin tajam,
seolah-olah hendak menembus jantungnya. Memang Cin Liong menjadi kaget dan
marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang sebagian sudah dikenalnya itu.
Terutama sekali nama Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya sebagai seorang tokoh
sesat yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya
saja sebagai kabar angin yang terlalu dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kalau yang
empat itu kini bergabung dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat,
berarti bahwa empat orang itu pun tentu lihai sekali. Sekarang, mereka berlima
itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan menuju ke Pulau Es!
“Katakan,
mengapa mereka pergi ke Pulau Es?”
“Keluarga
Pulau Es sejak dahulu terkenal sebagai keluarga yang banyak menyusahkan kami.
Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kaisar yang sekarang ini amat ketat
menekan kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami kemudian
berunding dan mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk
bersama-sama menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana
Gurun Pasir dan semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka
itu terbasmi, barulah kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!”
Sebuah kayu bakar menyambar dan mengenai kepala si mata satu yang segera
terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!
Cin Liong
lalu melompat keluar dari dalam bangunan kecil itu, melepas kendali kudanya dan
menunggang kudanya meninggalkan tempat itu.
“Maafkan,
kuda yang baik, terpaksa kita harus melakukan perjalanan lagi secepatnya.” Dia
pun lalu menuju ke timur untuk menyusul rombongan kaum sesat yang hendak
menyerbu Pulau Es itu.
Selama
hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah
banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat
mengira-ngira di mana letak pulau itu. Dia pun amat menghormati keluarga Pulau
Es, karena ayah bundanya amat menghormatinya dan terutama sekali mendengar
bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari nenek Lulu yang kini menjadi isteri
dari Pendekar Super Sakti.
Biar pun
belum pernah jumpa, dia banyak mendengar tentang keluarga itu dan sudah sejak
lama ada keinginan di hatinya untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal
di dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng itu, dan bertemu muka dengan
manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya.
Kini, mendengar
bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu Pulau
Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau
setidaknya, dia harus dapat mendahului rombongan kaum sesat itu dan memberi
tahu kepada para penghuni Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau
nenek buyutnya, tinggal di pulau itu, entah sudah mati ataukah masih hidup
karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua sekali usianya.
Karena
rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk
mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia
dapat menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah
perahu layar besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati
mereka bersama para nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan
pemasangan layar dan sebagainya.
Dia mendapat
kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal
Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya.
Mereka hanya pernah bertemu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat
sepuluh tahun. Juga, dia tidak pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis
ini.
Dan empat
orang tokoh datuk lainnya belum pernah melihatnya. Tentu saja di antara para
tokoh sesat itu ada yang pernah bertemu dengannya, akan tetapi pertemuan itu
terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima. Sekarang, dengan
menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorang pun di
antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jenderal Kao Cin Liong!
Dan Cin
Liong dapat melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang
sikapnya kasar-kasar, tanda bahwa mereka itu pun dari golongan sesat di negara
mereka yang kini bergabung dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau
Es! Agaknya orang-orang Korea dan Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk
jalan.
Ketika
akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan
kecil juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu nelayan ini terdapat Cin
Liong yang memakai caping lebar, menyamar sebagai nelayan. Karena di situ
banyak terdapat perahu-perahu nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini
tidak menarik perhatian dan dia dapat membayangi rombongan itu dengan leluasa.
Pada hari ke
tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil
dan mereka berputar-putar seperti mencari-cari. Akhirnya, dari perahu kecilnya,
Cin Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan
sebagian putih karena pulau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang
berkumpul di atas perahu-perahu besar itu menuding-nuding ke arah pulau, Cin
Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang dinamakan Pulau Es!
Malam itu,
kedua belas buah perahu itu berhenti dan membuang jangkar, tidak berani
melanjutkan perjalanan karena daerah itu berbahaya, banyak terdapat bukit-bukit
es yang mengambang dan dapat tertabrak perahu. Apalagi malam itu gelap sekali.
Cin Liong juga menghentikan perahunya dan melepas jangkar, berlindung di balik
sebuah bukit es.
Akan tetapi,
pada keesokan harinya, sebelum terjadi kesibukan di perahu-perahu besar itu,
dia sudah mendahului mereka dan mendayung perahunya menuju ke pulau itu. Pagi
itu masih gelap, kabut tebal menyelimuti pulau sehingga dengan mudah Cin Liong
dapat mendarat. Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah
pulau batu karang yang sebagian tertutup salju.
Akan tetapi,
setelah tiba di tebing yang paling tinggi, yaitu di bagian barat pulau, dan
memandang ke arah sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan! Padahal,
menurut penuturan orang tuanya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah
bangunan besar yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu?
Kalau benar, mana istananya?
Dia berada
di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan
mengusir kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan
dia dapat melihat jelas, tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan
serombongan orang yang mendaki tebing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan
cepat dan lincah!
Dia terkejut
sekali, akan tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia
berlari ke kiri, dari situ pun sudah nampak beberapa orang berlarian naik,
demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan di sebelah belakangnya adalah
tebing curam yang tidak mungkin dapat dituruninya.
Tebing itu
amat curam, dalamnya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu
nampak air laut menggelora dan menghantami dinding tebing sehingga menjadi
lekuk dalam seperti goa besar.
Cin Liong
lalu bersikap pura-pura sebagai seorang nelayan yang tersesat ke pulau itu.
Maka dia sengaja bersikap terang dan pura-pura tidak tahu bahwa ada orang-orang
naik ke puncak tebing itu dari tiga jurusan. Setelah mereka dekat, barulah dia
pura-pura kaget, memandang dan bangkit berdiri.
“Cu-wi
siapakah dan hendak pergi ke manakah?” Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.
“Siapa
engkau?” bentak seorang di antara mereka yang usianya tidak kurang dari enam
puluh tahun dan bersikap galak.
“Saya
seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan....”
“Tangkap
pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!”
Empat orang
menerjang maju hendak menangkap Cin Liong. Pemuda ini pun maklum bahwa sekali
tertawan, tentu ia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum
sesat yang kejam. Andai kata dia benar seorang nelayan biasa yang tak berdosa
sekali pun tentu akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apa lagi dia yang
hanya seorang nelayan palsu.
Maka begitu
empat orang itu menerjang maju, dia pun bergerak cepat menggerakkan kaki
tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua
orang lagi agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat! Dan mereka
semua kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu bukanlah nelayan biasa, maka
terjadilah pengeroyokan di atas puncak tebing karang itu!
Cin Liong
mengamuk untuk mempertahankan diri. Segera dia memperoleh kenyataan betapa para
pengeroyok itu sungguh bukan orang sembarangan, melainkan rata-rata memiliki
ilmu silat yang tangguh! Dan mereka itu menyerangnya secara bertubi-tubi,
mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang yang
menyerangnya.
Cin Liong
adalah seorang panglima yang sudah sering kali melakukan pertempuran dan
menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa baru sekali
ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai ilmu silatnya. Bagaimana
pun juga, tingkat kepandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah
tingkatnya, maka biar pun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang
senjata tajam, dia masih mampu mempertahankan diri dan merobohkan beberapa
orang lagi. Hanya pakaiannya saja yang robek tergores senjata tajam, sedang
luka ringan dideritanya pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu
tidak dilindungi sinkang.
Pemuda ini
adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sinkang-nya sudah
kuat sekali dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap
serangan senjata tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak
mungkin dilakukan terus-menerus dan pada saat kosong itulah pahanya tadi
tergores pedang. Lukanya mengucurkan darah, tapi tidak membuat gerakannya
menjadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk makin ganas bagaikan seekor naga
mengamuk.
Akan tetapi,
tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda ini
terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong
yang mukanya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor
lima. Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai, ketua dari
Im-yang-pai.
“Tar-tar-tar-tarrr....!”
Cambuk besi
itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dahsyatnya. Cin Liong yang sedang
menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar biasa
berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main.
Pundak dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti
kepala ular mematuk-matuk ke arah jalan darah yang mematikan.
Biar pun Cin
Liong masih dapat melindungi tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian
yang terkena lecutan menjadi robek-robek. Darah mengucur keluar dan dia masih
terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai merasa penasaran sekali. Raja Iblis
ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, tetapi dia lupa lagi di mana. Dia
hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang mempunyai kepandaian sehebat itu,
tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah sepatutnya kalau
dibasmi.
Maka dia pun
tak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama Ngo-bwe Sai-kong, walau pun dia
merasa tidak akan kalah andai kata dia harus menghadapinya satu lawan satu.
Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua keluarga pendekar,
dimulai dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia menganggap
perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika
atau kesopanan dalam dunia persilatan.
Setelah
terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tak ada
jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau
yang masuk perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh tidak akan mengampuninya dan
pasti akan membunuhnya. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh atau
dibunuh!
Sejak tadi
ia hanya menggunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya
dari ayah bundanya. Akan tetapi, melihat keadaannya yang amat berbahaya, dia
pun lalu teringat akan ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya
boleh dipergunakan kalau keadaan sudah terlalu memaksa. Apa lagi kini dia
melihat betapa dua orang kakek yang sudah terlampau berat baginya itu dibantu
lagi oleh sedikitnya tujuh orang yang mulai menyerangnya dari pelbagai jurusan!
“Hyaaaaaatttt....!”
Cin Liong
mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh, memanjang ke depan
seperti seekor naga dan gerakan kedua lengannya seperti cakar naga, kakinya
menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke
kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!
“Ahh, dia
murid Istana Gurun Pasir!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan dia pun
mendesak ke depan.
Ngo-bwe Sai-kong
juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di tangannya itu menyerang makin
ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke arah ubun-ubun kepala
Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilindungi terlalu kuat dan tidak mungkin dia
berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sinkang kuat itu,
maka Cin Liong terhuyung ke belakang ketika melompat.
Kesempatan
itu digunakan oleh Hek-i Mo-ong. Selagi tubuh pemuda itu masih berada di udara,
dia mendesak maju dan mendorong dengan kedua telapak tangannya yang terbuka.
Angin pukulan dahsyat menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi,
terpaksa mendorongkan kedua tangan untuk menyambut. Akan tetapi, karena
tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga bertemu, tubuhnya terdorong
keras ke belakang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin Liong terjengkang
dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu!
Hek-i Mo-ong
tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan
para anak buah mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama
dengan melayangnya tubuh pemuda itu ke bawah. Mereka semua dapat melihat betapa
tubuh itu menimpa air laut yang muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam
dan lenyap ditelan ombak yang membuih putih dan berkejaran menghantam karang!
Tentu tubuh
pemuda itu tenggelam, atau dicaplok ikan besar, atau dihempaskan oleh ombak ke
batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja, semua orang dapat melihat
betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang yang sudah terjatuh
ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!
Akan tetapi,
Hek-i Mo-ong dan para kawannya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan
manusia, dalam arti kata bahwa bukan manusia yang menentukan mati hidupnya
seseorang. Bahkan mati hidup dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia.
Oleh karena itu, mana mungkin mereka itu dapat memastikan bahwa pemuda yang
terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah tentu akan mati? Orang baru
dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah melihat keadaan orang
itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati.
Akan tetapi,
selagi hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian,
kecuali hanya melalui kira-kira dan anggapan-anggapan atau pun
pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-ikutan menurut pendapat orang-orang
terdahulu atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut masing-masing. Selagi
jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana kematian itu. Baru
keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan mati.
Akan tetapi,
kematian jasmani merupakan perubahan yang wajar. Ada kematian lain yang amat
ditakuti manusia, yaitu kematian yang merupakan pelepasan dari semua ikatan!
Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan
dengan benda yang disayangnya, dengan manusia lain yang amat dicintanya, dengan
kedudukan, nama besar dan sebagainya yang semuanya itu dianggap menyenangkan
sekali. Jadi hakekatnya, orang takut mati karena enggan berpisah dari
kesenangan!
Ketika dia
terjengkang dan merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong
bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar benar bahwa nyawanya
terancam maut. Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil
membuat pemuda ini selalu waspada dan sedikit pun tidak menjadi panik. Biar pun
tubuhnya melayang dari tempat begitu tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut
berupa air laut berombak yang susul-menyusul menghantam batu karang, namun dia
tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja otaknya telah membuat
perhitungan yang masak.
Dia tahu
bahwa musuh-musuhnya yang lihai dan berjumlah banyak itu tentu mengamati
kejatuhannya dari atas. Kalau mereka melihat bahwa dia dapat menyelamatkan
diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu mereka dan kalau hal
ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamatkan diri dari
kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini
membutuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang.
Pertama-tama,
dia harus dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras,
terutama kepalanya karena hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan
celakalah dia, tentu mati tenggelam atau kalau terapung pun tentu akan dibunuh
oleh orang-orang itu, atau dihempaskan ombak menghantam batu karang! Maka,
pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan jatuh ke air dalam
keadaan yang menguntungkan dirinya.
Setelah itu,
dia harus dapat menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal
ini dapat dilakukan kalau dia dapat menyelam dan berenang memasuki goa di bawah
tebing. Di situ dia akan selamat dan tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan
perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu beberapa detik saja selagi tubuhnya
itu meluncur ke bawah.
“Byurrrrrr....!”
Air muncrat
tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu. Dengan demikian,
kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat melawan
arus ombak sampai ke dasar laut di mana ombak tidak begitu besar dan kuat gerakannya.
Karena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika
kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang
menyentuh dasar laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang
cepat menuju ke tepi. Kedua tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan
akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia dapat menyentuh dinding tebing di
bawah laut.
Dengan
kekuatan khi-kangnya, dia menahan napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada
dinding tebing yang tidak rata, dia memanjat ke atas dan muncul di dalam goa
bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia mencari tempat
bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai siang.
Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggalkan pulau,
menuju ke utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.
Tubuhnya
sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau
beristirahat, tidak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es
dan dia yakin bahwa pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka dia
pun lalu membuka layar dan perahu kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke
utara, menyusul rombongan dua belas perahu besar tadi.
Akan tetapi,
dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di balik
gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah
pulau yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu
apa yang telah terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggalkan pulau putih
yang disangkanya tentu Pulau Es itu.
Dia merasa
lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah, terlalu lelah
dan juga lapar. Setelah bertemu dengan rombongan perahu itu, dia harus
berhati-hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bongkahan es.
Setelah
malam tiba, dia baru berani mendayung perahunya keluar dari balik bongkahan es
menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang walau pun
sinarnya muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak
seperti gunung abu-abu di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu, lalu
dia mendarat. Akhirnya, dia mendekati istana tengah pulau itu dan ketahuan oleh
Suma Hui.
Keluarga
Pulau Es mendengar penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu lalu
mengakhiri cerita dengan suara menyesal, “Demikianlah, Suma kong-couw, saya
akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh
menyesal sekali bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut
Lulu menjadi korban.”
Kakek Suma
Han mengangguk. “Memang dia telah tewas dalam pertempuran melawan sebagian dari
pada para penyerbu. Akan tetapi, engkau baru saja datang dan engkau tentu
lapar. Makanlah dulu, Cin Liong.”
Nirahai lalu
berkata kepada Suma Hui, “Hui, kau suruh pelayan untuk menyiapkan makanan untuk
keponakanmu Cin Liong.”
Suma Hui
bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi
sikapnya agak canggung, “Marilah....”
Cin Liong
bangkit dan menjawab dengan hormat, “Baik, bibi Hui dan terima kasih.” Lalu dia
mengikuti gadis itu menuju ke dalam.
“Temanilah
dia makan minum di dalam,” kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya.
Ciang Bun
dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek
mereka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi
isyarat agar mereka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja.
Setelah
semua orang muda itu pergi, nenek Nirahai lalu menoleh kepada suaminya dan
berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran, “Menurut penuturan Cin
Liong, jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada
lima orang, termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan
adik Lulu, masih ada empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku
pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia
merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Apalagi ada tiga orang lagi
temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang.”
Sejak tadi,
kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali
tidak ada nada yang menyinggung, “Apakah engkau merasa takut?”
Nenek
Nirahai menggeleng kepalanya. “Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa
takut berhadapan dengan musuh yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, tetap saja
aku merasa khawatir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan keadaan mereka amat
kuat. Oleh karena itu, tewasnya seorang di antara mereka saja tidak mungkin
membuat mereka tidak berani datang lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa
mereka tentu akan datang menyerbu dan kini sedang menghimpun kekuatan.”
“Dan engkau
tidak takut....?”
“Memang, aku
tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagi pun aku
tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu
kita....!”
Kakek itu
tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biar pun mereka sudah
tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah
mukanya. Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat
hatinya runtuh!
Kakek itu
agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka dia pun berkata, “Engkau
lebih paham dari pada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang
banyak itu, isteriku.”
“Baiklah,
serahkan saja kepadaku,” kata nenek Nirahai yang segera keluar dari ruangan
itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu.
Ketika ia
melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah
bintang-bintang di langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya,
membayangkan bahwa di tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang
mengintai dan sewaktu-waktu akan menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi
gembira dan berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan
mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang menunggang kuda sebagai
seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan mengatur siasat perang
untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah dunianya. Inilah
kesukaannya. Perang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman musuh yang amat kuat,
menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk
dapat mencapai kemenangan!
Wajah nenek
Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang Bun
dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua
wanita itu, mengajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.
“Dengankan
baik-baik,” ia memulai dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian
karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak musuh
setelah mereka mendengar penuturan Cin Liong tadi. “Agaknya pulau kita ini
sedang dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar
yang memuat kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai
ilmu silat, dan mereka dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar
kemungkinan mereka itu akan datang menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini,
entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang ini haruslah bersiap-siap
untuk mempertahankan pulau kita.”
“Baik,
nyonya. Kami berlima akan mempertahankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!”
jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia
empat puluh tahun. Empat orang temannya mengangguk penuh ketegasan karena
mereka itu sudah merasa seperti anggota keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta
dengan tempat itu dan dengan keluarga yang mereka hormati dan kagumi itu.
Melihat
sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu dan bangga sekali. Banyak sudah ia
melihat prajurit-prajurit yang dahulu menjadi anak buahnya bersikap gagah
seperti ini, akan tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang memang bertugas
untuk menghadapi musuh. Ada pula prajurit-prajurit yang kalau merasa terancam
keselamatan mereka lalu lari tunggang-langgang tanpa menunggu komando lagi.
Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan
sedikit saja ilmu silat keluarga Istana Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan,
mereka itu sungguh patut dibanggakan!
“Bagus!
Kalian harus berjaga malam ini secara bergilir. Tidak boleh semua berjaga.
Cukup seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam
bergilir jaga. Ini penting karena kalian harus menyimpan tenaga. Kurang tidur
bisa melelahkan dan melemahkan. Supaya dapat tidur akan kuberi obat. Nah,
sekarang berpencar dan berjagalah sampai aku datang menyuruh siapa yang harus
berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan nyalakan lampu di bagian depan
istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan.”
Setelah lima
orang pelayan itu pergi menjalankan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata
kepada tiga orang cucunya, “Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar
halaman istana dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang.”
Suma Hui,
Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan mereka pun keluar dengan sikap gagah,
sedikit pun tidak nampak gentar walau pun mereka tahu bahwa tempat tinggal
mereka akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu
pergi, nenek Nirahai lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya.
Tentu saja pemuda ini merasa heran, akan tetapi dia pun diam saja dan mengikuti
nenek itu yang membawanya pergi ke halaman samping di sebelah kanan istana itu.
“Cin Liong,
di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi
engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang,” kata
nenek Nirahai setelah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. “Maka,
aku sengaja membawamu ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja,
katakanlah bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan lawan dan apa akan
jadinya kalau lawan menyerbu secara serentak mengerahkan seluruh kekuatan
mereka?”
Cin Liong
menarik napas panjang. “Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi
terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan kekuatan pihak musuh terlalu
besar. Akan tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan begitu banyaknya
orang yang rata-rata lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau
memang kita hendak menyelamatkan diri, jalan satu-satunya adalah diam-diam
meninggalkan pulau ini sebelum mereka menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan
pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu lebih mengenal daerah ini, agaknya
masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri.”
“Kao Cin
Liong!” Nenek itu menegur. “Ayahmu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah
lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar biasa, akan tetapi engkau
putera tunggalnya menyarankan kepadaku untuk melarikan diri? Jenderal muda
macam apakah engkau ini?”
Wajah pemuda
itu berubah merah. “Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-mata
karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan
sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan
dua orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus
menghadapi bahaya maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu.”
Nenek itu
mengangguk-angguk. “Justeru karena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin
Liong. Engkau tentu paham bahwa orang-orang seperti kong-couw-mu dan aku,
sampai mati pun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan
tetapi, aku pun tidak menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi
korban dan mati konyol.”
“Jadi nenek
menghendaki agar saya menyelamatkan mereka bertiga dan membawa mereka diam-diam
pergi meninggalkan Pulau Es?” tanya Cin Liong.
“Benar,
engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini,
melainkan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan
menjadi gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut menghadapi musuh.
Hanya kalau kita kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan
mereka dan bersembunyi.”
“Akan
tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka? Tentu
akan dicari musuh dan akhirnya ketemu juga.”
“Marilah
engkau ikut denganku,” berkata nenek itu. “Dan perhatikan benar-benar tempat
persembunyian itu.”
Cin Liong
mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil dan mereka berhadapan
dengan dinding tebal. Nenek Nirahai kemudian meloncat sampai dua meter
tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak
yang ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah
dikeraskan itu merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula.
Terdengar suara berderit dan lantai tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah
sebuah lubang.
Nenek
Nirahai memasuki lubang yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong
mengikutinya. Begitu memasuki lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa
yang berada di kepala tangga dan lantai ruangan itu pun bergeser lagi menutupi
lubang. Mereka terus menuruni lorong rahasia itu dan akhirnya mereka tiba di
sebuah ruangan yang cukup luas di bawah tanah, tepat di bawah istana itu. Di
situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan makanan kering yang
kiranya akan cukup untuk menghidupkan tiga empat orang selama satu bulan.
“Nah, di
sinilah tempat persembunyian itu. Kalau keadaan sudah mendesak, engkau harus
membawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couw-mu dan aku,
cucu-cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan
menyelamatkan mereka dan membawanya ke sini kalau keadaan memaksa?”
“Saya
berjanji!”
Nenek
Nirahai tersenyum girang dan merangkul pemuda itu. “Bagus! Aku percaya akan
janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga
seorang pendekar dan seorang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong,
mari kita keluar. Ingat, andai kata mereka itu tak mau kau bawa lari sembunyi,
jangan ragu-ragu, pergunakan kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka
menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?”
“Baik, nek.
Saya mengerti.”
Mereka lalu
keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali
lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali
menghadapi dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping.
“Kalau
mereka sudah menyerang, sebaiknya kalau kita memancing mereka ke halaman ini.
Halaman ini merupakan medan pertempuran yang paling baik bagi kita. Musuh hanya
dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja. Sebelah kanan ada bangunan,
juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak sampai dapat
dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan
sekuatnya. Bagai mana pendapatmu, Cin Liong? Apakah engkau memiliki siasat lain
untuk menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?”
Cin Liong
merasa kagum sekali kepada nenek yang dapat mengatur siasat sedemikian
cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling
baik. Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan
tiga orang cucunya ini berada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali
dan kalau keadaan memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui
pintu kecil tanpa diketahui oleh pihak musuh.
“Maafkan
kalau saya lancang memberi pendapat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan
di tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terdesak. Menghadapi lawan yang
jauh lebih banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melakukan
serangan-serangan tersembunyi agar membuat mereka terpecah-pecah kekuatan
mereka? Untuk itu, saya kira nenek dan saya sendiri akan mampu melakukannya,
juga kalau kong-couw sudi....”
“Kong-couw-mu
jangan dibawa-bawa. Bagaimana pun juga, dia tidak mau maju perang. Aku mengerti
maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau
besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara
sembunyi-sembunyi dengan cara pukul dan lari agar mereka kacau-balau dan
terpecah-belah. Akan tetapi mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat
orang pandai, siasat itu tidak mungkin kita lakukan terus-menerus dan akhirnya
kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah terkepung seperti itu, kita harus
cepat membawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat bersama-sama
menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat dengan
tempat rahasia itu.”
Cin Liong
mengangguk-angguk. “Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil,
juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan
penyerangan-penyerangan gelap, menggunakan anak panah atau senjata rahasia
lainnya dari dalam istana yang terlindung.”
Nenek itu
mengangguk-angguk. “Sayang engkau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku masih
sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali
mempunyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!” Wajah nenek itu berseri
gembira dan semangatnya berperang timbul dan berkobar. Melihat ini, Cin Liong
merasa kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar
biasa pandainya!
“Ahh, sejak
kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat hebat
dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih
harus banyak belajar dari nenek.”
Malam itu
lewat tanpa adanya penyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat
menyeramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang
menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau
tidur sebentar pun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu
mereka merasa tidak sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai
memaksa mereka untuk bergilir jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga
mereka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang sungguh penting karena pada
keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan tidak lelah atau
mengantuk.
Pada
keesokan harinya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka
dan di samping itu mereka pun membawa gendewa dan anak panah. Biar pun mereka
bukan ahli panah, tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara menggunakannya
dan mereka lalu memilih tempat yang strategis di balik jendela-jendela yang
menghadap ke empat penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang
sudah pandai mempergunakan senjata rahasia jarum.
Suma Hui
sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia bersembunyi di
wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun dan Ceng Liong bersembunyi di
balik tiang besar, bersiap dengan senjata rahasia piauw dan jarum di tangan.
Nenek Nirahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa nenek ini
tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh.
Dia merasa
amat heran dan kagum melihat sikap kong-couw-nya yang masih tetap duduk bersila
di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada
bahaya apa pun yang mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang
sependapat dengan nenek Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat
oleh nenek Lulu, tidak berani ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam
gelap dan tentu menanti sampai terang tanah baru akan datang menyerang dengan
pengerahan kekuatan mereka.
Perhitungan
ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari
telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah
perahu yang ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera
berlari menuju ke Istana Pulau Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah
menjadi empat rombongan terdiri dari sepuluh orang lebih dan masing-masing
rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara empat orang datuk kaum sesat!
Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas orang menyerbu ke arah
istana dari depan.
Gerakan
kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke
arah istana dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka
itu amat menyeramkan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang
dari empat penjuru akan dapat mengecilkan hati orang.
Akan tetapi,
tidak demikian dengan para penghuni Pulau Es, keluarga Pendekar Super Sakti.
Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itu pun tidak ada yang merasa gentar.
Mereka itu memandang dengan mata tidak pernah berkedip, yang memegang busur
sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang membawa senjata
rahasia telah menggenggam jarum-jarumnya, mereka menanti saat para musuh itu
datang dalam jarak yang cukup dekat.
Sementara
itu, Cin Liong dan tiga orang muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah
bersiap-siap. Cin Liong dan Suma Hui bersiap di atas wuwungan dan kedua orang
muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang besar. Cin Liong dan tiga
orang muda itu telah bersepakat. Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong akan menyerang
dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para pelayan yang
menanti di empat penjuru.
Penyerangan
ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengenai sasaran, akan tetapi juga
dimaksudkan untuk menjadi pancingan agar perhatian musuh tertuju kepada para
penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah, Cin Liong dan
Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan
menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang
direncanakan oleh nenek Nirahai.
Para
penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin langsung oleh
Hek-i Mo-ong adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu.
Maka ketika mereka sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah
dan senjata-senjata rahasia lainnya, mereka dapat bergerak cepat, menangkis
atau pun mengelak sehingga semua anak panah, jarum dan piauw itu tidak ada yang
berhasil mengenai tubuh mereka.
Akan tetapi,
pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana
senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan
menyambar dari atas. Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas
oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek
Nirahai yang telah menurunkan kepada dara itu.
Betapa pun
lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi
serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap
saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan
leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan
karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini
benar-benar amat ampuh.
Sementara
itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya
tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar,
dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak
panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah
yang dilepas oleh Cin Liong.
Sebagai
seorang jenderal, tentu saja dia selain mahir ilmu silat tinggi, juga ahli
dalam hal menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas
selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela. Terdengar
teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil
merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri.
Yang paling
sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah
dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan
sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh
Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan
enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum
halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!
Ternyata
siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam
segebrakan itu sebelas orang anggota gerombolan penyerbu telah dapat
dirobohkan. Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya
marah bukan main.
“Serbu!
Bunuh semua orang yang berada di dalam istana!” teriak Hek-i Mo-ong sambil
meloncat ke depan, membawa senjatanya yang mengerikan yaitu sebatang tombak
Long-ge-pang (Tombak Gigi Serigala).
Kakek ini
memang menyeramkan sekali. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, akan tetapi
karena tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa, dia masih nampak kuat. Hek-i
Mo-ong ini sebenarnya bernama Phang Kui, seorang peranakan Bangsa Kozak, ibunya
seorang wanita utara yang juga bertulang besar. Rambutnya sudah putih semua,
dan pakaiannya serba hitam, membuat wajahnya yang berkulit putih dan rambut,
jenggot dan kumisnya yang juga putih itu kelihatan menyolok. Di pinggangnya
nampak sebatang kipas merah yang ujungnya runcing.
Di samping
senjata Long-ge-pang yang dipegang oleh tangan kanannya itu, kipas merah ini
merupakan senjata yang sangat ampuh pula. Kipas merah ini bukan hanya dapat
dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan ujungnya yang runcing, akan
tetapi juga merupakan alat penarik perhatian untuk melakukan sihir terhadap
lawan. Di samping ilmu silatnya yang luar biasa tingginya, Hek-i Mo-ong ini
terkenal sekali dengan ilmu sihirnya. Selain itu, tubuhnya kebal terhadap
segala macam senjata.
Orang ke dua
dari para pimpinan gerombolan yang menyerbu Pulau Es adalah Ngo-bwe Sai-kong
yang telah tewas oleh nenek Lulu dalam sebuah perkelahian mati-matian yang
akhirnya menyebabkan keduanya mati sampyuh.
Orang ke
tiga adalah Ulat Seribu, seorang wanita yang melihat keadaan wajahnya yang amat
buruk hingga sukar untuk diketahui usianya. Wajah itu bopeng dan pletat-pletot,
mengerikan dan bahkan menjijikkan. Wajah yang habis digerogoti penyakit kulit
yang hebat. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya yang masih padat dan indah,
kulit leher dan lengannya yang putih mulus maka usia wanita ini tentu tidak
akan lebih dari tiga puluh lima tahun.
Wanita ini
peranakan Korea. Dia bersekutu dengan gerombolan ini membawa beberapa orang
anak buahnya, orang-orang Korea yang bertubuh jangkung-jangkung. Si Ulat Seribu
ini amat keras wataknya, dan lihai bukan main, terutama sekali ginkang-nya yang
membuat ia dapat bergerak seperti terbang cepatnya. Selain itu, yang membuat
lawan menjadi ngeri dan gentar adalah kebiasaannya yang aneh.
Ia suka
memelihara dan membawa segala macam ulat. Dari ulat yang gundul sampai
ulat-ulat berbulu dan gatal, ulat-ulat beracun. Kadang-kadang, ulat-ulat itu
merayap di kedua lengannya yang putih mulus, dan ulat-ulat ini bukanlah ulat
sembarangan yang dipelihara sebagai hobby belaka. Ulat-ulat itu adalah ulat
beracun dan dapat ia gunakan sebagai senjata untuk merobohkan lawan!
Keadaan yang
mengerikan inilah yang membuat dia dikenal dengan sebutan Si Ulat Seribu saja,
dan tidak ada orang lain yang mengenal namanya. Di samping ulat-ulat beracun,
wanita ini terkenal ahli bermain silat dengan sabuk merahnya yang pada ujungnya
terdapat kaitan-kaitan dari emas.
Orang ke
empat bernama Liok Can Sui, berjuluk Eng-jiauw Siauw-ong, berusia enam puluh
tahun. Dia memang ketua dari perkumpulan Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku
Garuda), sebuah perkumpulan perampok yang amat ditakuti orang, yang berkedudukan
di daerah Se-cuan. Siauw-ong (Raja Muda) ini sangat lihai ilmunya, dan ganas
sekali senjatanya, yaitu sepasang sarung tangan kuku garuda dan di samping itu
dia pun merupakan seorang ahli racun yang ampuh.
Datuk ke
lima berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun akan
tetapi masih nampak ganteng dengan pakaiannya yang mewah dan pesolek. Dia
memang pantas dan berhak memakai julukan Siauw-ok (Si Jahat Kecil) karena
dialah satu-satunya orang yang mewarisi ilmu dari Im-kan Ngo-ok yang telah
terbasmi dan tewas semua.
Jai-hwa
Siauw-ok ini dahulunya merupakan seorang pria tampan yang menjadi kekasih dari
Ji-ok, tokoh nomor dua dari Im-kan Ngo-ok. Karena pandai menyenangkan hati
iblis betina itu, dia mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Ji-ok, di antaranya
adalah Kiam-ci (Jari Pedang). Bahkan melalui wanita tua yang tergila-gila
padanya itu, dengan jalan mencuri, dia dapat pula mempelajari Ilmu Silat
Thian-te Hong-i dari Sam-ok, dan juga pukulan Hoa-mo-kang (Katak Buduk) yang
lihai dari Su-ok.
Sesuai
dengan julukannya Jai-hwa (Pemetik Bunga), datuk ini memang mempunyai
kelemahan, yaitu mata keranjang. Setiap kali melihat wanita muda yang
menggerakkan nafsu birahnya, tentu dia akan turun tangan memperkosanya, tidak
perduli anak orang atau isteri orang!
Empat orang
datuk yang merasa marah oleh karena seorang rekan mereka, Ngo-bwe Sai-kong
telah tewas di Pulau Es, dan kini melihat dalam segebrakan saja ada sebelas
orang anak buah mereka roboh, menjadi penasaran. Mereka lalu memimpin sisa anak
buah mereka yang masih cukup banyak itu untuk menyerbu.
Akan tetapi
mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para penghuni Pulau Es. Dan sesuai
dengan siasat nenek Nirahai, Cin Liong, Suma Hui, Suma Ciang Bun dan juga Suma
Ceng Liong kini menerjang keluar dan mengamuk di antara para anak buah
gerombolan. Nenek Nirahai sendiri pun sudah menerjang turun dari atas wuwungan
samping dan begitu pedang payungnya bergerak, beberapa orang sudah terpelanting
dan roboh tewas seketika!
Cin Liong
juga mengamuk. Dia telah memegang sebatang pedang yang dipilihnya dari rak
senjata di Istana Pulau Es. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar
bergulung-gulung dan biar pun para anak buah gerombolan itu adalah orang-orang
pilihan, namun amukannya membuat tiga orang roboh binasa mandi darah!
Suma Hui pun
tak mau kalah. Dara ini mengamuk, menggunakan sepasang pedangnya dan sudah ada
seorang lawan tewas dan seorang lagi luka berat. Suma Ciang Bun juga mengamuk
dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang baru
diperdalam itu untuk mengamuk. Pemuda ini berhasil merobohkan seorang lawan
pula.
Suma Ceng
Liong, anak berusia sepuluh tahun itu juga turut membantu keluarganya,
menggunakan sebatang tombak dan anak ini memang mengagumkan sekali. Seorang
anggota gerombolan yang bersenjata golok besar menyerangnya kalang-kabut, namun
anak ini memainkan tombaknya sedemikian rupa sehingga ke mana pun golok itu
menyambar, selalu tertangkis atau hanya mengenai tempat kosong belaka,
sedangkan ujung tombak itu pun kadang-kadang melakukan serangan balasan yang
tidak kalah berbahayanya!
Setelah
mengamuk bagaikan naga-naga besar kecil yang menyerbu turun dari angkasa, dan
merobohkan separuh dari jumlah para penyerbu, akhirnya Hek-i Mo-ong dan tiga
orang rekannya berhasil mengepung dan mendesak mereka mundur. Bahkan lima orang
pelayan yang tadi melawan mati-matian itu pun sudah roboh satu demi satu dan
tewas dengan tangan masih memegang senjata, seperti prajurit-prajurit yang
gagah perkasa.
Nenek
Nirahai kemudian menyambar tubuh Ceng Liong yang terancam bahaya dan membawanya
melompat masuk halaman samping. Cin Liong juga memutar pedangnya melindungi
Ciang Bun yang didesak oleh Eng-jiauw Siauw-ong, sedangkan Jai-hwa Siauw-ok
yang sejak tadi kagum akan kecantikan Suma Hui telah menerjang dara itu, akan
tetapi tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup.
Keluarga Pulau Es itu mundur semua sampai di halaman samping dan di sini mereka
semua mengamuk mati-matian...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment