Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 28
Dia harus
melepaskan ikatan jodohnya dengan puteri gurunya! Memang, dia belum pernah
jatuh cinta, dan terhadap Bi Eng dia hanya merasa kagum saja, apalagi karena
tadinya menganggap gadis itu sebagai calon isterinya. Akan tetapi, dia belum
pernah merasa jatuh cinta kepada gadis itu.
“Ayah....!”
Kembali dia mengeluh dan menggerakkan jari-jari tangannya, dengan lembut
merapatkan mata dan mulut jenazah ayahnya yang masih hangat.
Pada saat
itu teringatlah Sim Houw akan sikap Bi Eng dalam hutan cemara itu. Dan sikap
pemuda yang diserangnya. Kini dia dapat menduga bahwa tentu pemuda Pulau Es
yang dibela oleh Bi Eng itulah pemuda yang bernama Suma Ceng Liong dan oleh
ayahnya dikatakan saling mencinta dengan Bi Eng. Mengertilah dia akan sikap Bi
Eng sekarang. Tentu tunangannya itu dibujuk oleh pemuda Pulau Es untuk tidak
melawan pasukan dan gadis itu berada dalam kebingungan dan keraguan.
“Suhu....!”
Sim Houw
menengok kaget. Karena duka dan tenggelam dalam renungannya sendiri, pemuda
yang lihai itu sampai tidak tahu bahwa ada dua orang menghampirinya. Kiranya Bi
Eng dan Ceng Liong sudah berdiri di belakangnya, dalam jarak lima meter. Sim
Houw merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Rasa duka yang amat hebat
bergelombang menerjang hatinya dan dia pun memejamkan hatinya, lalu menunduk
dan memegangi pundak ayahnya, menahan air matanya yang akan tumpah lagi.
“Suhu....!”
Sekali lagi Bi Eng berseru.
Kini gadis
itu pun lari menghampiri, kemudian menjatuhkan diri berlutut di dekat jenazah
gurunya. Dia tidak dapat menahan air matanya yang menetes-netes turun membasahi
pipinya. Sejenak dia terisak. Gurunya adalah seorang yang sangat sayang
kepadanya, maka kini melihat gurunya rebah menjadi mayat, tentu saja hal ini
amat mengejutkan dan menyedihkan hatinya.
Setelah
tangisnya mereda, Bi Eng memandang kepada Sim Houw dengan mata basah. “Apakah
yang telah terjadi? Mengapa.... suhu....”
“Tenangkan
hatimu, sumoi. Ayah sudah tewas sebagai seorang patriot yang berjiwa besar,
tewas dalam membela tanah air dan bangsa dari tangan penjajah!” Ucapan Sim Houw
itu lantang dan memang dia sengaja bicara keras agar terdengar oleh Suma Ceng
Liong. Sebetulnya, tak perlu dia bicara keras karena sejak tadi Ceng Liong
berada di situ, bahkan kini pemuda itu berlutut pula tak jauh dari jenazah itu.
“Sim-locianpwe
tewas sebagai orang besar yang gagah perkasa, sungguh makin besar rasa kagum
dan hormatku kepadanya,” kata Suma Ceng Liong seperti bicara kepada diri
sendiri.
Sim Houw
menoleh dan melihat pemuda itu dia bangkit berdiri dan bertanya kepada Bi Eng
yang masih terus berlutut, “Kam-sumoi, aku melihat dia ini yang kau bela di
Hutan Cemara. Siapakah dia? Maukah engkau memperkenalkan aku dengannya?”
Wajah gadis
itu berubah menjadi merah sekali. Akan tetapi Bi Eng adalah seorang gadis yang
memang memiliki dasar watak yang amat gagah dan tabah. Ia berani berbuat dan
berani bertanggung jawab, apa pun resikonya ia berani menghadapinya. Maka ia
pun bangkit dan sejenak ia memandang kepada Ceng Liong, kemudian menghadapi Sim
Houw. Ia tidak tahu mengapa Sim Houw yang biasanya menyebutnya siocia (nona)
itu sekarang berubah menjadi sumoi (adik seperguruan), maka dia pun menyebut
suheng kepadanya.
“Sim-suheng,
dia ini adalah.... Suma Ceng Liong, dia dan aku adalah.... sahabat baik.”
Sim Houw
memandang kepada Ceng Liong. Keduanya saling pandang dan kini Ceng Liong juga
sudah bangkit berdiri. Sinar mata Sim Houw penuh selidik, sedangkan sinar mata
Ceng Liong menunduk seperti orang yang merasa bersalah.
“Kam-sumoi,
bagaimana pun juga, kita berdua oleh orang tua kita masing-masing telah
ditunangkan. Sebagai orang yang dicalonkan sebagai suamimu tentu saja aku
berhak mengetahui keadaan sebenarnya dari perasaan hatimu, bukan?”
“Sim-suheng,
apa maksudmu?” Bi Eng bertanya, memandang tajam.
“Sumoi,
katakanlah terus terang. Apakah engkau mencinta saudara Suma Ceng Liong ini?”
Tentu saja
pertanyaan yang merupakan serangan langsung ini sangat mengejutkan Bi Eng.
Tidak disangkanya tunangannya itu akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dan
karena datangnya pertanyaan begitu tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka, dia
menjadi terkejut dan sejenak dia bungkam tanpa mampu mengeluarkan jawaban!
“Sumoi, aku
berhak mengetahui, bukan?” Sim Houw mendesak, penasaran.
Bi Eng sudah
dapat menguasai lagi hatinya dan ia pun mengangguk. “Benar, suheng,” jawabnya
kemudian dengan suara tegas sehingga Ceng Liong merasa terharu bukan main.
Kini Sim
Houw membalikkan tubuh menghadapinya. Ceng Liong sudah bersiap untuk menghadapi
serangan karena dia tahu bahwa pemuda ini merupakan lawan yang amat tangguh.
Akan tetapi Sim Houw tidak membuat gerakan menyerangnya sama sekali, melainkan
bertanya, suaranya tetap tenang dan tegas.
“Saudara
Suma Ceng Liong, apakah engkau mencinta sumoi Kam Bi Eng?”
Ceng Liong
mengangguk perlahan. “Saudara Sim, terus terang saja, dahulu, di waktu remaja
kami pernah saling bertemu dan berkenalan. Baru dalam Hutan Cemara kami saling
jumpa lagi dan.... dan kami saling jatuh cinta. Ya, aku memang mencintanya,
saudara Sim.”
Sim Houw
menarik napas panjang. “Bagus, aku menghargai kejujuran kalian berdua. Sekarang
bereslah sudah....” dan dia pun berlutut kembali dekat jenazah ayahnya.
“Sim-suheng....
kau.... kau maafkan aku....” Bi Eng mendekati dan berkata lirih dengan hati
kasihan.
Akan tetapi
Sim Houw menoleh kepadanya dan terseyum, lalu menggelengkan kepala. “Sumoi,
tidak ada apa-apa yang perlu dirisaukan atau dimaafkan. Aku pun harus jujur
kepadamu. Sesungguhnya, pertalian antara kita hanya dibuat oleh orang-orang tua
kita, sedangkan di antara kita sendiri tidak pernah ada apa-apa. Kita bahkan
belum pernah berkenalan atau bergaul, jadi.... bagiku tidak mengapalah kalau
diputuskan juga. Akan tetapi, oleh karena hal ini menyangkut nama orang tua,
yang memutuskannya haruslah orang tua pula. Maka, aku akan mengurus jenazah
ayah lebih dulu, setelah itu aku akan menghadap suhu atau ayahmu dan minta
diputuskannya tali perjadohan antara kita.”
Bi Eng dan
Ceng Liong menjadi girang sekali. “Suheng, betapa bijaksana hatimu....”
Kembali Sim
Houw tersenyum pahit dan menggeleng kepala. “Aku bertindak biasa saja, sesuai
dengan pesan terakhir ayahku....”
“Suhu....?”
Bi Eng bertanya kaget.
“Dia melihat
dan mendengar percakapan kalian, dialah yang memberi tahu kepadaku dalam pesan
terakhir bahwa kalian saling mencinta dan dia pula yang menyuruh aku memutuskan
tali perjodohan.”
“Ah,
suhu.... suhu.... sebelum meninggal.... dia marah kepadaku, suheng?” tanya Bi
Eng cemas.
Gurunya amat
sayang kepadanya. Hatinya akan merasa menyesal sekali kalau sebelum meninggal
dunia gurunya itu mengandung hati marah dan menyesal kepadanya. Akan tetapi,
legalah hatinya ketika pemuda itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
sumoi. Ayah adalah orang yang juga sudah mengalami penderitaan pahit dalam
pernikahannya dan karena itu dia menjadi bijaksana. Dia tahu bahwa pernikahan
tanpa cinta kasih kedua pihak tak akan mendatangkan kebahagiaan. Oleh karena
itu bahkan ayah yang menganjurkan agar aku membatalkan ikatan perjodohan ini
secara resmi.”
“Ahhh, suhu
sungguh bijaksana, semoga arwahnya diterima oleh Thian....,” kata Bi Eng
terharu sekali, akan tetapi juga girang dan berterima kasih kepada mendiang
suhu-nya.
“Nah,
pergilah, sumoi. Pergilah lebih dulu ke rumah orang tuamu, aku akan menyusul
kemudian setelah selesai mengurus jenazah ayah.”
“Tidak,
suheng. Aku akan membantumu mengurus jenazah suhu.”
“Jangan,
sumoi. Pergilah dan tinggalkan aku sendiri bersama ayah.... ahhh, tinggalkan
aku.... sendirian bersama ayah....!”
Pemuda itu
menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Agaknya kedukaan yang mencekam hatinya
sudah memuncak, membuat pemuda itu tidak kuat bertahan lagi. Melihat ini, Ceng
Liong menyentuh lengan kekasihnya dan memberi isyarat untuk pergi dari situ.
Hidup
manusia akan selalu bergelimang duka apabila batin tidak bebas seluruhnya dari
pada ikatan-ikatan. Ikatan dengan orang lain seperti isteri, anak-anak,
keluarga. Ikatan dengan benda, kekayaan, kepandaian, kedudukan, nama dan
sebagainya. Selama batin terikat, maka sekali terjadi perpisahan akan timbullah
duka. Dan perpisahan ini pasti terjadi, baik dengan jalan orang atau benda yang
terikat di batin kita itu mati atau hilang, atau sebaliknya kita sendiri yang
meninggalkan mereka ketika kita mati. Dan mati berarti perpisahan, berpisah
dari semuanya. Maka, apabila batin terikat, kita takut menghadapi kematian,
takut akan kehilangan semua itu, takut kehilangan ketenteraman yang kita
dambakan.
Cinta bukan
berarti pengikatan batin. Cinta tidak akan menimbulkan duka. Pengikatan batin
timbul karena nafsu, karena si aku yang ingin memiliki segala yang menyenangkan
dan membuang segala yang tidak menyenangkan.
Kebebasan
batin dari ikatan bukanlah berarti bahwa kita menjadi tidak peduli terhadap
keluarga kita, terhadap orang-orang lain, terhadap pekerjaan, harta milik, nama
dan sebagainya itu. Bukan berarti kita tidak acuh terhadap kewajiban-kewajiban
kita sebagai seorang manusia yang hidup bermasyarakat, berkeluarga di dunia
ramai ini. Sama sekali tidak demikian. Kebebasan batin berarti batin yang tidak
terikat oleh ikatan-ikatan lahiriah itu karena kewaspadaan melihat bahwa
ikatan-ikatan hanya akan menimbulkan duka, baik bagi diri sendiri mau pun bagi
orang lain.
Rombongan itu jelas sekali dapat dikenal
sebagai rombongan pembesar. Kereta-kereta yang megah itu diberi tanda pangkat
dan tiga buah kereta yang tertutup itu dikawal oleh pasukan yang jumlahnya tiga
losin. Meski hanya tiga losin orang prajurit yang mengawal tiga buah kereta
itu, namun para prajurit itu nampak tegap-tegap dan memang mereka adalah
prajurit-prajurit pilihan dari kota raja yang sekarang sedang bertugas mengawal
Louw-ciangkun, pembesar militer yang baru saja diangkat oleh kaisar dan kini
sedang menuju ke tempat dia bertugas, yaitu di kota Shen-yang, jauh di utara.
Louw Tek
Ciang, pembesar militer itu, adalah orang amat cerdik. Dia tahu bahwa dirinya
terancam bahaya setelah dia mengkhianati para pendekar di Gunung Cemara. Oleh
karena itu, sebelum berangkat ke tempat tugasnya, dia telah membuat persiapan
yang dianggapnya cukup matang. Dia mengutus seorang prajurit untuk mengundang
keluarga Cu ke kota raja. Sambil menanti kedatangan guru-gurunya, diam-diam dia
juga sudah mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh yang pernah menjadi
persekutuan untuk mencari kedudukan.
Mereka itu
adalah tokoh-tokoh yang pernah bersekutu dengan Yong Ki Pok, gubernur di
Sin-kiang yang memberontak. Gerombolan orang ini masih selalu menanti-nanti
saat yang baik dan akhirnya mereka dapat berhubungan dengan Louw Tek Ciang yang
sudah memperoleh kedudukan baik itu. Pembesar muda ini dapat mereka pergunakan
sebagai tangga atau batu loncatan ke arah kedudukan yang lebih menguntungkan.
Di lain
pihak, Tek Ciang yang cerdik itu dapat mempergunakan kepandaian mereka untuk
melindungi dirinya. Yang berhasil dihubungi oleh Tek Ciang dan sudah menanti di
luar kota raja untuk bergabung dengannya adalah Thai-hong Lama, yaitu Lama
jubah merah dari Tibet yang lihai sekali itu. Juga Pek-bin Tok-ong, tokoh Go-bi
yang tidak kalah lihainya.
Bahkan dua
orang asing yang merupakan tokoh-tokoh pula dalam persekutuan itu, yaitu
Siwananda bekas Koksu Nepal, dan Tai-lu-cin raksasa Mongol, juga ikut serta
dalam persekutuan bekerja sama dengan Tek Ciang. Empat orang tokoh lihai ini
menyelundup ke dalam pasukan pengawal karena Tek Ciang cukup cerdik untuk
menyembunyikan mereka, bukan hanya dari mata orang luar yang akan menaruh
curiga, akan tetapi juga dari mata Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In yang
datang memenuhi undangannya ke kota raja.
Keluarga Cu
itu merasa gembira dan bangga sekali melihat kemajuan yang dicapai Louw Tek
Ciang. Dua orang tokoh keluarga Cu itu biar pun agak kecewa mendengar bahwa Tek
Ciang belum sempat membalaskan kekalahan mereka kepada pendekar Kam Hong, juga
merasa menyesal sekali mendengar bahwa murid baru mereka yang ke dua, yaitu
Pouw Kui Lok, telah tewas.
Akan tetapi
kekecewaan ini terobati ketika Tek Ciang menjanjikan bahwa kelak dia tentu akan
dapat membalas kekalahan itu karena dia sedang menyempurnakan ilmu Sin-liong
Ho-kang untuk melawan lengkingan suara suling dari keluarga Pendekar Suling
Emas itu. Juga hati dua orang kakek ini terhibur ketika mereka diajak oleh Tek
Ciang untuk ikut pergi ke Shen-yang, tempat di mana dia akan bertugas sebagai
seorang panglima baru.
Tentu saja
Cu Pek In juga gembira bukan main dan tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi
wanita ini memperlihatkan kemesraannya terhadap Tek Ciang, kini berterang di
depan ayah dan pamannya. Di antara kedua orang ini memang sudah ada hubungan
cinta ketika Tek Ciang belajar ilmu di Lembah Naga Siluman. Kini, setelah Tek
Ciang menjadi seorang panglima, tentu saja Cu Pek In mengharapkan untuk menjadi
isteri yang sah dari pria yang sepuluh tahun lebih muda darinya itu.
Demikianlah,
pada suatu pagi yang amat cerah, berangkatlah Louw Tek Ciang bersama
rombongannya. Dia duduk di sebuah kereta bersama Cu Pek In dan biar pun hal ini
sesungguhnya amat janggal, namun Cu Han Bu yang sudah prihatin melihat hubungan
puterinya putus dengan menantunya, dan diam-diam mengharapkan puterinya itu
akan dapat menjadi isteri murid barunya yang kini menjadi panglima, pura-pura
tidak tahu dan diam saja.
Cu Han Bu
sendiri bersama adiknya, Cu Seng Bu, duduk di kereta ke dua sedangkan
barang-barang mereka ditaruh di dalam kereta ke tiga. Tiga buah kereta ini
dikawal oleh tiga losin pasukan pilihan yang sengaja dipilih oleh Tek Ciang
dari pasukan keamanan di kota raja.
Ketika
rombongan tiba di luar tembok kota raja muncullah empat orang tokoh petualang
itu di tempat yang dijanjikan. Tek Ciang keluar sebentar dari kereta untuk
menyambut mereka. Empat orang itu lalu diberi kuda-kuda pilihan yang sudah
disediakan, kemudian mereka berempat turut pula dalam pasukan pengawal,
diterima sebagai empat orang ‘pengawal-pengawal pribadi’ Louw-ciangkun!
Lewat tengah
hari, rombongan ini melalui sebuah bukit yang sunyi. Ketika mereka tiba di
tanah datar yang diapit hutan, tiba-tiba mereka dihadang oleh beberapa orang
yang berdiri di tengah jalan dan mereka mengangkat tangan ke atas memberi
isyarat agar rombongan itu berhenti.
Ketika para
pengawal yang berada di depan mengenal seorang di antara mereka yang berdiri
menghadang, mereka terkejut, lalu menghentikan kuda dan memberi isyarat ke
belakang agar rombongan berhenti. Seorang perwira pasukan pengawal segera turun
dari atas kudanya dan memberi hormat kepada orang yang dikenalnya itu.
Orang itu
adalah Kao Cin Liong! Biar pun dia kini sudah tidak menjadi panglima lagi,
sudah mengundurkan diri dan berpakaian biasa, tetapi para prajurit itu
mengenalnya. Nama Kao Cin Liong ini amat populer di antara prajurit sebagai
seorang panglima yang disegani dan dikagumi. Maka, begitu melihat bahwa yang
menghadang dan menyuruh mereka berhenti itu adalah bekas jenderal itu dan
beberapa orang tua yang nampak gagah, pasukan pengawal itu segera berhenti.
Ketika
kereta terpaksa dihentikan oleh kusirnya karena para pengawal di depan juga
menghentikan kuda, Tek Ciang merasa heran. Dia pun menjenguk keluar dari
jendela. Dapat dibayangkan alangkah kaget rasa hatinya ketika dia melihat
orang-orang yang menghadang di depan itu. Kao Cin Liong, Suma Hui, Suma Kian
Lee dan isterinya, Kao Kok Cu dan isterinya, dan seorang pemuda yang tidak
dikenalnya. Pemuda itu adalah Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai, kekasih Can
Kui Eng.
Celaka,
pikirnya. Biar pun dia sendiri mempunyai kepandaian tinggi, juga dua orang
gurunya she Cu yang lihai berada di situ, bersama Cu Pek In, dan masih dibantu
oleh empat orang tokoh yang sakti, akan tetapi dia merasa gentar juga
menghadapi para penghadang itu, terutama sekali terhadap Suma Kian Lee bersama
isteri dan Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri.
Maka dia
lalu menoleh ke belakang, memikirkan jalan lari atau kembali ke kota raja untuk
melapor dan mengerahkan bala tentara menghadapi mereka itu. Akan tetapi betapa
kagetnya ketika dia melihat jalan mundur sudah dipotong pula. Di situ berkumpul
banyak sekali pendekar, agaknya para pendekar yang lolos dari pengepungan di
Hutan Cemara!
“Pemberontakan!
Serbu mereka....!” Bentak Tek Ciang kepada pasukan pengawalnya.
Teriakan ini
mengejutkan Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang segera berloncatan keluar. Juga Cu
Pek In meloncat keluar mencabut sulingnya, sedangkan empat orang kakek yang
menyelinap di antara para pengawal sudah bersiap-siap pula. Akan tetapi,
perwira dan para prajurit pengawal itu sendiri diam saja tidak bergerak!
“Pasukan
pengawal, serbu para pemberontak yang menghadang di depan!” Tek Ciang
mengulangi perintahnya.
Akan tetapi
para prajurit itu tidak bergerak, dan perwiranya pun tidak memberi aba-aba
menyerang, bahkan dia yang sudah turun dari kuda itu lari menghampiri Tek
Ciang, lalu berkata.
“Ciangkun,
mereka bukan pemberontak, melainkan Kao-goanswe dan beberapa orang locianpwe
yang hendak bicara dengan Louw-ciangkun!”
Dua orang
she Cu itu juga sudah menghampiri Tek Ciang dan mendengar pelaporan perwira
itu. Cu Han Bu berkata kepada muridnya. “Kalau mereka ada urusan, lebih baik
kita temui saja dan dengarkan apa kehendak mereka menghadang perjalanan kita.”
Tek Ciang
merasa serba salah dan karena di situ terdapat keluarga Cu, dia pun tidak dapat
berbuat lain kecuali menurut, akan tetapi lebih dahulu dia membakar hati kedua
orang gurunya.
“Harap suhu
ketahui bahwa kita sudah terkurung dari depan dan belakang. Mereka adalah
pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah dan mereka tentu akan
mengganggu teecu yang baru saja diangkat menjadi panglima.”
“Jangan
takut, kalau memang mereka pemberontak, kita hancurkan di sini bersama pasukan
pengawal!” kata Cu Han Bu.
“Akan tetapi
suhu tidak tahu siapa mereka! Mereka adalah komplotan keluarga yang hendak
mencelakakan teecu. Seperti pernah teecu ceritakan kepada ji-wi suhu, isteri
teecu dirampas oleh Jenderal Kao Cin Liong dan sekarang dialah yang menghadang
di sana bersama bekas isteri teecu, bekas kedua mertua teecu dan juga orang tua
jenderal itu. Mereka tentu akan mencelakai teecu.”
Cu Han Bu
mengerutkan alisnya. Memang pernah Tek Ciang bercerita bahwa ia pernah menikah
akan tetapi isterinya itu dirampas oleh seorang jenderal muda. Isterinya, juga
kedua orang mertuanya memilih jenderal itu yang berkedudukan tinggi. Karena Tek
Ciang sebagai muridnya yang berbakat itu telah menjadi seorang duda, maka
diam-diam mengharapkan agar murid ini dapat berjodoh dengan puterinya yang juga
dapat dibilang sudah menjadi janda karena sudah berpisah dari suaminya. Maka,
kini mendengar bahwa keluarga bekas isteri dan jenderal yang merampas isteri
muridnya itu yang menghadang, tentu saja hatinya sudah diliputi rasa tidak
senang.
“Jangan
takut, aku akan membantumu!” katanya membesarkan hati dan mereka bertiga,
diikuti pula oleh Cu Pek In, segera berjalan menuju ke depan di mana tujuh
orang itu berdiri di tengah jalan.
Diam-diam,
empat orang pembantu Tek Ciang juga sudah mendekati tempat itu, bersiap untuk
membantu kalau diperlukan. Di antara mereka dan Tek Ciang, memang sudah ada
persetujuan bahwa mereka tak akan sembarangan keluar memperlihatkan diri kalau
tidak dimintai bantuan. Hal ini untuk mencegah adanya kecurigaan dari siapa pun
juga datangnya.
Sejak tadi
Suma Hui hanya memandang pada Tek Ciang seorang, tidak mempedulikan lain orang
yang datang bersama musuh besarnya ini. Begitu Tek Ciang bersama rombongannya
tiba di situ, Suma Hui sudah mencabut keluar sepasang pedangnya dan dengan
sikap gagah wanita ini berdiri melintangkan sepasang pedang di depan dada,
sambil membentak. “Louw Tek Ciang, kami datang untuk mengadu nyawa denganmu!
Bersiaplah!”
Menghadapi
Suma Hui, tentu saja Tek Ciang tak merasa takut sedikit pun juga. Tapi dia
merasa gentar menghadapi yang lain-lain, maka ia berusaha menarik sikap angkuh
dan membentak. “Keluarga pemberontak! Berani kau menghadang perjalananku?
Tahukah kalian bahwa aku adalah seorang pembesar pemerintah, seorang pejabat
militer yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat tugas?”
“Louw Tek
Ciang, tidak perlu banyak cerewet. Engkau tahu bahwa urusan antara kita adalah
urusan pribadi, sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!” Suma
Hui membentak dan kelihatannya wanita ini sudah marah sekali, penuh dendam yang
ditahan-tahan sejak bertahun-tahun.
Diam-diam
keluarga Cu merasa heran sekali. Wanita ini, kalau benar bekas isteri Tek
Ciang, telah melakukan perbuatan tidak mengenal malu, lari dari suami untuk
menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong, akan tetapi wanita itu kini kelihatannya
begitu marah dan penuh dendam kepada Tek Ciang, bekas suaminya yang
ditinggalkan!
Tek Ciang
merasa tersudut, akan tetapi dia tersenyum mengejek sambil memandang wajah Suma
Hui yang belum pernah menjadi isterinya yang sesungguhnya itu. “Hemm, Suma Hui,
jangan dikira aku takut melawanmu. Akan tetapi apakah hanya engkau yang akan
maju menandingiku, ataukah engkau hendak mengandalkan pengeroyokan orang-orang
lain?”
“Keparat
Louw Tek Ciang! Fitnah yang dahulu pernah kau jatuhkan kepada diriku sudah
patut kau tebus dengan nyawamu!” bentak Kao Cin Liong sambil mengepal tinjunya
dan memandang marah.
“Iblis
busuk, aku pun sudah terlalu lama menitipkan nyawamu kepadamu, sekarang harus
kucabut nyawamu untuk perbuatanmu yang terkutuk terhadap keluarga kami!”
Tiba-tiba Suma Kian Lee membentak pula dan sepasang mata pendekar ini mencorong
mengeluarkan sinar berkilat.
“Biarkan aku
yang akan menghancur-lumatkan kepala iblis jahanam ini!” Kim Hwee Li membanting
kakinya dengan marah.
Melihat
betapa semua orang memusuhi dan hendak membunuh muridnya, tentu saja Cu Han Bu,
Cu Seng Bu dan juga Cu Pek In menjadi penasaran dan marah. Dua orang kakek Cu
sudah melangkah maju dan Cu Han Bu dengan alis berkerut lalu berkata, suaranya
lantang berwibawa.
“Bagus!
Sudah lama kami mendengar bahwa keluarga Pulau Es adalah orang-orang gagah dan
pendekar-pendekar sejati, akan tetapi kiranya hanyalah orang-orang yang
mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok orang lain! Sungguh mengherankan
sekali!”
“Siapa mau
mengeroyok dan siapa mengandalkan jumlah banyak? Cih, tak tahu malu! Lihat
saja, siapa yang lebih banyak membawa kawan? Boleh kalian maju satu demi satu,
semua akan kami tandingi satu lawan satu!” Kim Hwee Li sudah membentak dan
melangkah maju.
Akan tetapi
Suma Kian Lee dapat menduga bahwa dua orang kakek itu tentu bukan orang
sembarangan. Dia sudah mengenal kelicikan Tek Ciang dan dia khawatir
kalau-kalau Tek Ciang mengelabui tokoh sakti untuk diadu domba dengan pihaknya.
Maka dengan tenang dia meraba lengan isterinya dan memberi isyarat agar supaya
isterinya bersabar, kemudian dia sendiri menjura kepada dua orang kakek itu.
“Maaf, saya
Suma Kian Lee adalah keturunan Pulau Es. Supaya tidak terjadi kesalah pahaman,
saya ingin tahu siapakah ji-wi dan hendaknya ji-wi ketahui bahwa antara kami
dan iblis busuk Louw Tek Ciang ini terdapat urusan pribadi yang tidak mungkin
dapat dicampuri orang lain.”
Mendengar
bahwa pria yang gagah dan bersikap tenang itu adalah Suma Kian Lee, putera
Pendekar Super Sakti yang terkenal, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memandang penuh
perhatian. Mereka berdua sudah mendengar cerita murid mereka Louw Tek Ciang,
bahwa Tek Ciang menjadi murid dan kemudian menjadi mantu pendekar ini, akan
tetapi betapa kemudian isterinya itu, dengan persetujuan ayahnya, menyeleweng,
bahkan lalu menjadi isteri jenderal Kao Cin Liong. Oleh karena itu, biar pun
diam-diam mereka kagum kepada putera Pendekar Super Sakti ini, namun di dalam
hati mereka sudah terkandung rasa tidak suka. Karena itu, Cu Han Bu tersenyum
pahit.
“Ahhh,
kiranya kami berhadapan dengan pendekar Suma yang terkenal? Maaf, kami berdua
hanya orang-orang biasa saja, namaku Cu Han Bu dan ini adikku Cu Seng Bu. Biar
pun antara kalian dan Louw Tek Ciang terdapat urusan pribadi, tetapi mengingat
bahwa Tek Ciang telah menjadi murid kami, maka urusan pribadinya berarti juga
urusan kami.”
Suma Kian
Lee yang tidak pernah atau jarang sekali merantau, tidak mendengar nama
keluarga Cu. Akan tetapi dari sikap mereka dia dapat menduga bahwa dua orang
she Cu ini tentu memiliki kepandaian tinggi dan bukan golongan orang jahat.
Besar sekali kemungkinannya mereka berdua ini dikelabui pula oleh Tek Ciang
sehingga mereka sampai mengambil murid seorang jahat macam Tek Ciang.
“Biarkan
mereka membantu murid mereka yang jahat, kami tidak takut!” Kim Hwee Li sudah
membentak marah, akan tetapi kembali suaminya menyentuh lengan isterinya agar
isterinya bersabar.
“Pendapat
ji-wi kami hormati, bahwa urusan pribadi murid berarti juga urusan pribadi
gurunya. Akan tetapi kami kira para pendekar bijaksana tidak akan ada yang
membela muridnya kalau mengetahui bahwa muridnya itu menyeleweng dan jahat,
sebaliknya mereka tentu akan menghukum muridnya. Dan kami percaya bahwa ji-wi
termasuk pendekar bijaksana, bukan golongan sesat yang saling membantu dalam
kejahatan.”
Dua orang
kakek Cu itu saling pandang, lalu mereka menoleh dan memandang kepada murid
mereka dengan alis berkerut dan mata penuh selidik. “Tek Ciang, katakanlah, ada
urusan pribadi apakah yang terjadi antara engkau dan keluarga Suma ini? Mengapa
mereka menganggap engkau jahat? Hayo ceritakan semua sejujurnya. Kalau engkau
benar, sampai mati pun akan kami bela.”
Tek Ciang
memandang kepada dua orang gurunya dan jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi
wajahnya tidak memperlihatkan perubahan dan dia masih merasa yakin bahwa dua
orang she Cu itu tentu akan membantu dan membelanya karena selain dia adalah
murid mereka yang mereka andalkan, juga dia tahu sekali bahwa Cu Han Bu
mengharapkan dia menjadi suami puterinya yang janda itu.
“Ji-wi suhu,
tentu saja mereka menjelek-jelekkan teecu, hal itu tidaklah mengherankan sama
sekali. Seperti yang pernah teecu beri tahukan kepada suhu berdua, teecu pernah
diterima menjadi murid Suma Kian Lee, bahkan diambil menantu, dijodohkan dengan
Suma Hui, yaitu wanita itu. Akan tetapi, setelah muncul Jenderal Kao Cin Liong
yang sekarang sudah bukan jenderal lagi, tali perjodohan kami diputuskan dan
isteri teecu itu dirampas oleh Kao Cin Liong dengan persetujuan isteri dan
mertua teecu sendiri. Agaknya mereka hendak membunuh teecu karena tidak ingin
rahasia busuk mereka tersiar dan merusak nama besar keluarga para pendekar
Pulau Es!” Dengan senyum mengejek Tek Ciang memandang kepada Suma Hui, Cin
Liong dan yang lain-lain, lalu disambungnya. “Coba kalian bantah kebenaran
ceritaku tadi. Bukankah Suma Hui telah dijodohkan dengan aku? Bukankah ia kini
malah menjadi isteri Kao Cin Liong?”
Tek Ciang
yang cerdik ini merasa yakin bahwa keluarga Suma itu tak akan mempunyai alasan
lagi untuk membantahnya. Alasan satu-satunya hanyalah menceritakan tentang
peristiwa memalukan yang terjadi antara Suma Hui dan dia, dan dia yakin bahwa
aib itu sampai mati sekali pun pasti tidak akan diceritakan mereka kepada orang
lain.
Kini dua
orang kakek Cu itu kembali menghadapi Suma Kian Lee. Dengan hati lega mereka
melihat betapa keluarga itu nampak diam saja, seolah-olah menandakan bahwa
keterangan murid mereka tadi benar. “Bagaimana sekarang, saudara Suma? Setelah
mendengar keterangan murid kami, beranikah kalian menyangkal kebenarannya? Dan
kalau semua keterangannya tadi benar, berarti kalianlah yang jahat, bukan murid
kami!” demikian kata Cu Han Bu dengan sikap kereng.
Suma Kian
Lee sekeluarga saling pandang, juga Kao Kok Cu yang biasanya tenang sekali itu
pun kini kelihatan merah mukanya.
Tiba-tiba
Suma Hui melangkah maju. Dengan sikap gagah ia berkata lantang. “Kalian hanya
baru mendengarkan keterangan sepihak. Dengarlah keteranganku akan peristiwa
yang sebenarnya terjadi. Iblis busuk ini, jahanam keji ini, telah....”
“Hui-ji....!”
Suma Kian Lee berseru untuk mencegah puterinya.
“Biarlah,
ayah. Tidak tahukah ayah bahwa jahanam ini sengaja menceritakan semua itu
karena dia mengira bahwa kita tak akan berani membuka rahasia itu?” Setelah
berkata demikian Suma Hui melanjutkan lagi sambil memandang dua orang kakek Cu.
“Kalian orang-orang tua yang mudah dikelabui jahanam ini, dengarkanlah
baik-baik. Mula-mula jahanam ini mengelabui ayah, memikat hati ayah sedemikian
rupa hingga ayah percaya kepadanya, bahkan mengambilnya sebagai murid. Ayah
telah mengorbankan semua ilmu dari Pulau Es untuk diberikan kepada jahanam ini.
Akan tetapi tahukah kalian apa yang diperbuat jahanam ini? Ayah demikian
terpikat dan tertipu sehingga ayah mengikat tali perjodahan antara aku dan dia.
Ayah berniat memungut menantu kepadanya! Akan tetapi, aku tidak mencintanya
karena aku sudah mencinta Kao Cin Liong. Dan pada suatu malam.... dengan
bantuan tokoh sesat Jai-hwa Siauw-ok yang juga menjadi gurunya, jahanam busuk
yang menjadi murid kalian ini membiusku dengan asap beracun, kemudian dia....
memperkosa diriku dan sengaja membisikkan nama Kao Cin Liong kepadaku yang
berada dalam keadaan setengah sadar.”
“Suhu,
jangan percaya obrolan perempuan ini. Seorang isteri yang sudah menyeleweng
meninggalkan suami dan kemudian menikah lagi dengan pria lain, mana bisa
dipercaya omongannya?” Tek Ciang membantah.
“Diam!”
Bentak Cu Han Bu kepada muridnya. “Biarkan dia melanjutkan penuturannya, benar
mau pun tidak!”
“Kami
sekeluarga terkena tipunya,” Suma Hui melanjutkan. “Sehingga kami sekeluarga
memusuhi Kao Cin Liong dan hampir terjadi kesalah-pahaman antara keluarga kami.
Aku sendiri bertahun-tahun memusuhi dan mendendam kepada Kao Cin Liong yang
merupakan satu-satunya pria yang kucinta. Baru rahasia kebusukannya terbuka
ketika kami dinikahkan. Aku melihat tonjolan daging berambut di punggungnya,
sama seperti yang terdapat pada punggung orang yang memperkosa diriku! Dia pun
sudah mengaku, akan tetapi dia dapat melarikan diri karena bantuan Jai-hwa
Siauw-ok, gurunya....”
“Suhu,
jangan percaya! Mereka ini adalah pemberontak-pemberontak, Jenderal Kao Cin
Liong telah berhenti dari jabatannya sebab dia bersekongkol pula dengan
pemberontak-pemberontak! Keluarga Pulau Es adalah pemberontak-pemberontak!
Prajurit pengawal, tangkap mereka!”
“Para
prajurit yang gagah, kalian mundurlah!” Tiba-tiba dengan suara lantang Kao Cin
Liong membentak. “Kalian sudah mengenal siapa aku, sebaliknya baru kini
mengenal manusia jahanam ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan pribadi, karena
tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah!”
Mendengar
bentakan Kao Cin Liong dan melihat bekas jenderal muda itu, para prajurit
pengawal menjadi bimbang. Mereka tak berani menentang bekas jenderal yang mereka
kagumi itu.
“Ji-wi
locianpwe,” kata Kao Cin Liong kepada dua orang kakek she Cu. “Kami sekalian
bukanlah pemberontak....”
“Kalau bukan
pemberontak, mereka tentu pengkhianat-pengkhianat yang menyebabkan matinya para
pendekar yang mengadakan pertemuan di Gunung Hutan Cemara!” Tek Ciang berseru
lantang. “Ji-wi suhu, ketahuilah bahwa ratusan orang pendekar dan para patriot
yang sedang mengadakan pertemuan di Hutan Cemara telah dikhianati oleh keluarga
Pulau Es yang menentang mereka, sehingga mereka terbasmi oleh pasukan
pemerintah....”
“Bohong!
Ahhh, manusia keji, penyebar kejahatan dan kebohongan. Tuhan pasti akan
menjatuhkan hukuman kepadamu!” Tiba-tiba terdengar bentakan dan majulah seorang
pemuda gagah perkasa. Pemuda ini adalah Kwee Cin Koan. Dia segera menghampiri
kelompok orang yang sedang bersitegang itu.
Tek Ciang
mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Kwee Cin Koan, pemuda kekasih Can
Kui Eng yang menyerahkan surat rahasia kepada mendiang gadis murid Kun-lun-pai
itu. Dia mulai merasa khawatir, namun semua perbuatannya di Kun-lun-pai tidak
diketahui pemuda ini, takut apa?
Cin Koan
memberi homat kepada mereka semua. “Cu-wi locianpwe yang terhormat, saya adalah
Kwee Cin Koan, murid Kong-thong-pai yang telah menyelidiki dengan seksama dan
tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Cu-locianpwe, saya tahu bahwa ji-wi adalah
tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman di barat, dan agaknya, seperti juga halnya
Suma-locianpwe, ji-wi telah dikelabui oleh iblis Louw Tek Ciang ini. Dia pun
dapat pula mengelabui para tosu Kun-lun-pai sehingga dia diberi pinjam untuk
mempelajari kitab Sin-liong Ho-kang. Cu-wi locianpwe, dengarlah ceritaku....”
“Engkau
seorang di antara pemberontak yang dapat melarikan diri. Pengawal, tangkap
dia!”
“Diam!”
Bentak Cu Han Bu dengan marah, lalu memandang kepada para prajurit. “Siapa
berani mengganggu dia akan berhadapan dengan aku!” Lalu katanya kepada Kwee Cin
Koan. “Orang muda, teruskan ceritamu!”
“Saya
berterus terang saja bahwa saya adalah seorang di antara para pendekar dan
patriot yang berkumpul di Hutan Cemara. Beberapa pekan yang lalu saya membawa
sepucuk surat dari kawan-kawan kami yang ditujukan kepada Gan-ciangkun di kota
raja, yang maksudnya mohon petunjuk dan kerja sama dengan panglima itu untuk
dapat menentang pemerintah penjajah. Surat itu saya serahkan kepada.... kekasih
saya yang bernama Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai dengan pesan agar ia yang
membawa surat itu ke kota raja dan menyampaikan kepada Gan-ciangkun setelah ia
selesai menjaga Louw Tek Ciang yang sedang mempelajari kitab Kun-lun-pai itu
tanpa meninggalkan kuil.” Pemuda itu berhenti sebentar karena apa yang hendak
diceritakan masih amat menyakitkan hatinya.
Pemuda ini
sudah melakukan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan bersama para tosu dari
Kun-lun-pai, akhirnya dia dapat menduga apa yang telah terjadi ketika melihat
betapa Louw Tek Ciang membantu pasukan yang menyergap para pendekar. Mudah saja
diduga apa yang telah terjadi dan pemuda itu menjadi marah bukan main,
mati-matian dan nekat dia hendak menghadang Louw Tek Ciang untuk membalas
dendam. Dan kebetulan dia bertemu dan bergabung dengan rombongan keluarga Pulau
Es!
“Tidak ada
kabar ceritanya kekasih saya itu sampai terjadinya pertemuan di Hutan Cemara
dan penyergapan pasukan pemerintah di mana saya melihat jahanam ini ikut
membantu pasukan pemerintah. Saya yang ikut menyerah bersama keluarga Pulau Es
lalu mengadakan penyelidikan ke Kun-lun-pai dan.... saya mendengar bahwa
kekasih saya itu tewas dan diperkosa oleh paman gurunya sendiri bernama Pouw
Kui Lok yang kemudian dibunuh oleh Louw Tek Ciang....”
“Apa? Kui
Lok kau bunuh....?” Cu Han Bu membentak, kaget bukan main mendengar cerita ini.
Wajah Tek
Ciang berubah pucat, lalu merah kembali. “Suhu, dia memperkosa gadis murid
Kun-lun-pai itu, maka teecu menjadi marah. Kemudian kami berkelahi sampai dia
terbunuh oleh teecu....”
“Bohong....!”
bentak Cin Koan. “Jahanam ini memang pandai berbohong sehingga para tosu
Kun-lun-pai sendiri juga telah tertipu olehnya. Setelah dia muncul dengan
pasukan pemerintah, barulah kami semua tahu karena dapat menduga apa yang telah
terjadi. Surat buat Gan-ciangkun itu berada pada Kui Eng, bagaimana bisa
terjatuh ke tangan jahanam ini dan digunakannya untuk mengkhianati para
pendekar? Dia membawa surat itu ke kota raja, menghadap kaisar dan melapor.
Setelah penyergapan berhasil, dia lalu mendapat anugerah pangkat. Dialah yang
memperkosa kekasih saya, dan dia pula yang membunuhnya, merampas surat rahasia
itu. Mungkin perbuatannya itu ketahuan oleh Pouw Kui Lok, maka dibunuhnya orang
itu, dan kitab pelajaran Sin-liong Ho-kang juga dicurinya!”
Wajah Cu Han
Bu dan Cu Seng Bu menjadi pucat, dan wajah Cu Pek In merah sekali bahkan kedua
matanya menjadi basah.
“Benarkah
semua itu? Louw Tek Ciang, benarkah semua yang kudengar itu? Benarkah cerita
keluarga Pulau Es dan benarkah cerita pemuda Kong-thong-pai ini?”
“Tidak,
orang ini pembohong besar dan harus kubunuh sekarang juga!”
Tek Ciang
sudah menerjang ke depan, menyerang Kwee Cin Koan dengan hebatnya. Terdengar
suara mencicit karena ia telah menyerang dengan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang
dahsyat, ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Agaknya dia ingin
sekali membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Serangan ini dahsyat bukan main
dan agaknya betapa pun lihainya, Kwee Cin Koan tentu akan roboh kalau saja Cin
Liong tidak cepat bergerak ke depan dan menangkis.
“Dukkk....!”
Cin Liong
merasa betapa lengannya tergetar hebat. Ia terkejut. Ia sudah menggunakan
Sin-liong-ciang-hoat yang ampuh untuk menangkis, akan tetapi lengannya masih
juga tergetar. Memang pada saat itu, kepandaian Tek Ciang sudah mencapai
tingkat yang tinggi. Dia pernah digembleng oleh Suma Kian Lee, menjadi murid
Jai-hwa Siauw-ok, kemudian malah digembleng oleh keluarga Cu di Lembah Naga
Siluman, bahkan akhir-akhir ini dia mempelajari ilmu sakti Sin- liong Ho-kang
dari Kun-lun-pai.
Melihat
majunya Kao Cin Liong, hati Cu Han Bu tidak senang. Muridnya itu, bagaimana pun
salahnya, tadi menyerang pemuda yang membeberkan kebusukan, dan majunya Kao Cin
Liong dianggapnya sebagai pengeroyokan.
“Mengandalkan
jumlah banyak untuk mengeroyok sungguh tidak bisa kudiamkan saja!” katanya.
Kakek ini
pun menggerakkan tangannya menyerang ke arah Cin Liong. Angin kebutan lengan
bajunya menyambar dahsyat ke depan dan tahulah Cin Liong bahwa kakek yang
menyerangnya ini memiliki kepandaian hebat. Maka dia pun sudah bersiap-siap.
Akan tetapi pada saat itu terdengar angin menyambar pula dari belakangnya.
“Perlahan
dulu!” Kiranya Kao Kok Cu sudah pula menggerakkan tangan tunggalnya ke depan.
Angin
pukulan yang amat kuat menyambar dan bertemu dengan angin pukulan yang
dilancarkan Cu Han Bu. Akibatnya, tokoh Lembah Naga Siluman itu merasa betapa
hawa pukulannya membalik sehingga dia terkejut bukan main. Dipandangnya
laki-laki gagah berlengan buntung itu. Dia tahu betapa lihainya orang berlengan
satu, ayah Jenderal Kao Cin Liong ini, akan tetapi dia berkata dengan suara lantang,
penuh ejekan.
“Ayah
membela anak tanpa melihat kebenaran lagi. Apakah itu gagah namanya?”
Dengan
sebelah tangannya, Kao Kok Cu memberi hormat. “Sobat she Cu, perlahan dulu
bicara dan pergunakanlah kesadaran dan kewaspadaanmu. Semua cerita tentang
muridmu seperti yang kau dengar tadi adalah benar belaka. Perbuatannya atas
diri Suma Hui juga benar. Jika tidak benar, tidak mungkin puteraku
mengawininya. Muridmu adalah seorang yang berhati busuk dan licik, banyak orang
menjadi korban tipuannya. Apakah engkau juga membiarkan dirimu tertipu dan
terbawa-bawa oleh kejahatan dan kebusukannya?”
Wajah Cu Han
Bu berubah merah sekali. Memang dia sudah merasa bimbang ragu atas diri
muridnya setelah mendengar cerita-cerita tadi, akan tetapi kekecewaan membuat
dia masih berusaha untuk menghilangkan keraguan itu dan membela muridnya. Kini
dia membalikkan tubuh, melotot memandang muridnya.
“Louw Tek
Ciang, demi Tuhan, mengakulah sejujurnya! Benarkah semua cerita yang kudengar
tadi?”
Tek Ciang
menjadi pucat mukanya, sebentar berubah merah lalu pucat lagi. Dia merasa
tersudut. Walau pun dia tidak takut karena mengandalkan pasukannya dan empat
orang tokoh sakti yang berada di dalam pasukan itu, akan tetapi tentu saja dia
sangat mengharapkan bantuan dua orang gurunya ini untuk menghadapi keluarga
Pulau Es yang demikian tangguhnya, apalagi pihak lawan dibantu oleh Naga Sakti
Gurun Pasir dan isterinya.
Selagi Tek
Ciang kebingungan dan belum menjawab pertanyaan Cu Han Bu, tiba-tiba terdengar
suara gaduh dan di antara para prajurit pengawal terjadilah perkelahian yang
hebat. Yang sedang berkelahi adalah Kao Cin Liong yang dikeroyok oleh empat
orang pembantu Tek Ciang yang menyelundup di antara para pasukan dan menutupi
pakaian mereka dengan pakaian seragam pasukan.
Kiranya tadi
Cin Liong telah mempergunakan kesempatan untuk mendekati para perwira pasukan
dan meminta kepada mereka agar jangan bergerak dan jangan mencampuri urusan
pribadinya. Dalam kesempatan itulah sang perwira yang masih kagum dan hormat
terhadap bekas jenderal muda ini membisikkan adanya empat orang aneh yang
diselundupkan pembesar baru itu di dalam pasukan. Kao Cin Liong merasa curiga
lalu mencarinya.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati jenderal muda ini ketika dia melihat empat
orang itu. Tentu saja dia mengenal mereka, bekas komplotan pemberontak yang
pernah digagalkan pasukan pemerintah. Maka sambil berseru keras dia pun maju
menerjang dan disambut oleh empat orang itu. Karena keempat orang itu memang
lihai sekali, dikeroyok empat Cin Liong kewalahan dan mundur terus mendekati
kelompok keluarga Pulau Es.
Dia meloncat
ke depan Cu Han Bu sambil berkata. “Lihatlah, locianpwe. Siapa yang bersembunyi
di dalam pasukan pengawal itu? Mereka adalah Thai-hong Lama, Pek-bin Tok-ong,
Siwananda, dan Tai-lu-cin, empat orang yang pernah bersekongkol dengan
pemberontak! Jahanam Louw Tek Ciang ini telah bersekongkol dengan
pemberontak-pemberontak yang terdiri dari golongan sesat!”
Tentu saja
semua orang terkejut, akan tetapi yang lebih kaget dan marah adalah Cu Han Bu
dan Cu Seng Bu. Bagaimana pun juga, mereka adalah pendekar-pendekar yang tentu
saja tidak suka kepada golongan hitam dan kini murid mereka, bahkan yang
diharapkan menjadi suami Cu Pek In, telah bersekongkol dengan tokoh-tokoh jahat
itu! Kenyataan ini melenyapkan keraguan mereka bahwa memang mereka telah
tertipu, mereka telah keliru mengambil murid!
“Pasukan
pengawal, maju dan serbu mereka ini....!” Tek Ciang yang sudah terpojok itu
memberi aba-aba dengan keras.
Akan tetapi,
perwira pemimpin pasukan itu diam saja seperti patung dan para prajurit yang
melihat komandan mereka diam saja, juga tak ada yang berani bergerak. Memang
hati mereka sudah condong memihak Kao Cin Liong, maka diamnya komandan mereka
itu membuat mereka lega. Mereka tidak suka menentang bekas jenderal itu, segan
dan takut.
“Louw Tek
Ciang, segera berlututlah engkau di depan kami dan sebagai murid kami,
mengakulah terus terang!” Cu Han Bu membentak.
Akan tetapi
Tek Ciang yang sudah melihat betapa keadaannya terhimpit dan hanya mengandalkan
empat orang pembantunya yang kini sudah berdiri di situ dengan sikap siap
berkelahi, tentu saja tidak sudi untuk berlutut dan menyerah begitu saja.
“Ji-wi suhu,
kalau tidak mau membantuku, persetan dengan kalian!”
“Louw Tek
Ciang, engkau sungguh jahat!” Terdengar teriakan Cu Pek In dengan suara
mengandung isak.
Wanita ini
tiba-tiba saja menyerang Tek Ciang dari belakang, menggunakan sulingnya menotok
ke arah tengkuk. Akan tetapi, biar pun Pek In merupakan puteri tunggal Cu Han
Bu, dalam hal ilmu kepandaian ia masih jauh di bawah tingkat Tek Ciang.
Serangan berupa totokan maut dengan suling ke arah tengkuk itu dihadapi Tek
Ciang dengan tenang saja.
Dia memutar
tubuh sambil menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari terpentang.
Terdengar suara bercuitan dan tiba-tiba saja tubuh Cu Pek In terpelanting dan
wanita ini tewas seketika karena dia telah menjadi korban serangan Kiam-ci yang
amat hebat, dilakukan dengan kedua tangan dari jarak dekat sekali. Semua orang
terkejut dan tidak dapat mencegah karena peristiwa ini begitu tiba-tiba dan
tidak terduga-duga.
Sepasang
mata Cu Han Bu terbelalak dan wajahnya pucat sekali memandang tubuh puterinya
yang kini menggeletak tak bernyawa, dari lehernya mengucur darah, juga dari
dadanya!
“Kau....
kau.... keparat.... kau membunuh puteriku?” Cu Han Bu mengeluarkan teriakan
marah lalu menerjang dan menyerang muridnya itu.
Cu Seng Bu
yang semenjak tadi juga sudah marah sekali, melihat kakaknya maju menyerang
bekas murid itu, dia pun lalu menyerang dengan sengit.
Cu Han Bu
terkenal dengan julukan Kim-kong-sian dan dia mempergunakan senjatanya yang
berupa sabuk emas. Sabuk itu berubah menjadi segulungan sinar emas yang lihai
sekali dan karena inilah dia dijuluki Dewa Sinar Emas. Sedangkan adiknya, Cu
Seng Bu dijuluki Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) karena memiliki ginkang yang
amat hebat sehingga ketika dia menyerang maju, tubuhnya lenyap, hanya nampak
berkelebatnya bayangannya saja.
Akan tetapi,
Tek Ciang sama sekali tidak gentar menghadapi serangan kedua orang gurunya ini.
Dia mengelak cepat dari sambaran sabuk emas di tangan Cu Han Bu dan pedang
lemas di tangan Cu Seng Bu. Bagaimana pun juga, dia sudah mengenal dasar-dasar
gerakan ilmu silat dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu. Dan ketika dia
membalas, dia mempergunakan ilmu-ilmu pukulan dari Pulau Es yang sama sekali
tidak dikenal oleh kakak beradik she Cu itu sehingga mereka berdua terdesak!
Karena
maklum betapa lihainya dua orang lawan ini, Tek Ciang juga sudah mencabut
pedangnya. Pedang di tangan kanan itu bergerak cepat dan lihai sekali karena
dia telah menggunakan ilmu silat pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dulu
dipelajarinya dari Suma Kian Lee. Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang
Iblis) ini seharusnya dimainkan dengan sepasang pedang. Akan tetapi karena Tek
Ciang hanya memegang sebatang pedang, dia menggunakan tangan kirinya untuk
mengimbangi dengan Ilmu Kiam-ci, yaitu Jari Pedang dan tangan kirinya itu pun
tidak kalah lihainya dari pada tangan kanan yang memegang pedang!
Tek Ciang
memang amat pandai mengombinasikan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari
bermacam aliran. Maka, karena dia sudah mengenal gerakan kedua orang she Cu
yang mengeroyoknya sebaliknya dua orang itu tidak mengenal gerakan-gerakannya,
biar pun dikeroyok dua, Tek Ciang sebaliknya malah mendesak bekas guru-gurunya
itu.
Ketika Cin
Liong dan Suma Hui hendak maju, Kao Kok Cu memberi isyarat kepada putera dan
menantunya itu untuk menahan diri. Dan Cin Liong mengerti akan isyarat ayahnya.
Tentu ayahnya mengingat bahwa Tek Ciang telah diangkat sebagai seorang pejabat
tinggi oleh kaisar dan kini ada banyak saksi, yaitu pasukan pengawal yang
berada di situ. Biarkanlah pejabat baru itu kini berkelahi melawan dua orang
bekas gurunya sehingga para saksi itu akan melihat sendiri sehingga kelak
keluarga Pulau Es tidak akan disalahkan sebagai pemberontak-pemberontak yang
membunuh pejabat pemerintah!
Akan tetapi,
Suma Hui yang menaruh dendam yang amat besar terhadap Tek Ciang, orang yang
nyaris membuat hidupnya berantakan dan rusak, memandang dengan sinar mata
berapi-api. Hatinya menjadi semakin panas melihat betapa Tek Ciang menghadapi
kedua orang lawannya dengan menggunakan ilmu pedang dari Pulau Es.
Serang-menyerang
terjadi dengan amat serunya. Melihat betapa dua orang kakek Cu itu semakin
terdesak, bahkan Cu Seng Bu terluka pangkal lengan kirinya, robek bajunya dan
berdarah karena sambaran Kiam-ci, hati Suma Hui menjadi semakin marah. Dua
orang kakek itu biar pun lihai tidak mengenal gerakan pedang Tek Ciang. Akan
tetapi ia tentu saja sudah mengenal baik Siang-mo Kiam-hoat itu dan bahkan dia
dapat melihat kelemahan-kelemahannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan
nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke udara, dan ketika tubuhnya tiba di atas
Tek Ciang, ia membalikkan tubuh meluncur ke bawah dan pedangnya menyambar ke
arah ubun-ubun kepala Tek Ciang!
Pada saat
itu, Tek Ciang sedang menghadapi serangan lawan dan memang ubun-ubun kepalanya
merupakan satu-satunya daerah yang terbuka. Terkejutlah Tek Ciang. Jika ia
berusaha menangkis atau mengelak dari serangan di atas itu, tentu dia akan
terancam oleh senjata dua orang she Cu. Ia teringat akan ilmu barunya.
Tiba-tiba saja mulutnya mengeluarkan suara melengking yang amat hebat.
Menggetarkan jantung semua orang yang hadir. Bahkan Suma Hui yang sedang
menyerang itu terkejut dan serangannya menyeleweng, tidak mengenai ubun-ubun
kepala melainkan mengenai pundak, dan itu pun hanya menyerempet saja sehingga
merobek baju dan melukai kulit.
Akan tetapi
lengkingan suara yang mengandung Ilmu Sin-liong Ho-kang itu memang dahsyat
sekali, demikian hebatnya terasa oleh dua orang kakek Cu sehingga mereka
tertegun dan tubuh mereka bagaikan dimasuki getaran kuat yang membuat mereka
lumpuh selama beberapa detik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Ciang
sebaik- baiknya. Dia telah dapat miringkan tubuh sehingga pedang Suma Hui hanya
melukai pundaknya, dan melihat dua orang kakek itu masih tertegun, pedang di
tangan kanan dan jari-jari tangan kirinya menyambar seperti kilat.
Dua orang
kakek Cu mengeluarkan teriakan keras. Pedang di tangan kanan Tek Ciang telah
menembus perut Cu Han Bu, sedangkan Cu Seng Bu terkena pukulan Kiam-ci tepat
pada dadanya. Keduanya merupakan serangan mematikan dan kalau bukan dua orang
kakek Cu itu yang terkena, tentu roboh seketika.
Akan tetapi
dua orang kakek itu hanya berteriak dan dengan mata melotot keduanya menubruk
ke depan, dari kanan kiri Tek Ciang. Hal ini sama sekali tidak terduga oleh Tek
Ciang dan dia tidak memperoleh kesempatan untuk mengelak sama sekali. Tahu-tahu
dua pasang tangan dengan jari-jari mencengkeram telah menerkam kepalanya dan
dua puluh buah jari tangan menancap ke dalam kepala!
Tek Ciang
mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya terguling, membawa dua tubuh lain
itu dan tubuhnya berkelojotan, dengan kaki dan tangan meregang. Akan tetapi
tubuh dua orang kakek itu tidak bergerak, kaku dan kedua tangan mereka masih
mencengkeram kepala, dua pasang mata itu masih melotot mengerikan! Akhirnya
tubuh Tek Ciang pun diam tak bergerak lagi setelah nyawanya melayang bersama
dua orang kakek yang masih terus mencengkeram kepalanya itu.
Suma Hui
yang berdiri dekat suaminya berbisik. “Puas sudah hatiku....!”
Kao Cin
Liong menarik napas panjang. Dia tahu akan perasaan hati isterinya. Dan dia
merasa girang bahwa isterinya tadi hanya membantu saja robohnya Tek Ciang,
tidak langsung menjadi pembunuh Tek Ciang. Betapa pun juga, harus diakui bahwa
robohnya Tek Ciang diawali dengan serangan Suma Hui tadi.
Melihat Tek Ciang
roboh, empat orang pembantunya itu menjadi gentar. Mereka tadi sudah melihat
betapa pasukan itu tidak taat lagi kepada Tek Ciang dan tidak berani melawan
bekas Jenderal Kao Cin Liong. Kini, melihat Tek Ciang tewas, mereka pun merasa
tiada gunanya melawan lagi dan mereka saling pandang, lalu membalikkan tubuh
hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan
Cin Liong sudah menghadang mereka.
“Perlahan
dulu, sobat. Kalian tidak boleh pergi dan harus menjadi tawanan pasukan!”
Empat orang
itu terkejut dan maklum bahwa mereka takkan mungkin lolos kalau tidak
menggunakan kekerasan, maka mereka pun segera mencabut senjata masing-masing
dan menerjang bekas jenderal itu. Akan tetapi Suma Hui, Suma Kian Lee, Kim Hwee
Li, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng sudah maju. Menghadapi keluarga yang sakti itu,
empat orang tokoh sesat itu tidak dapat berbuat banyak. Dalam waktu tiga puluh
jurus lebih saja, mereka berempat sudah dapat dirobohkan, dibelenggu oleh
pasukan dan dibawa kembali ke kota raja. Atas permintaan Kao Cin Liong,
komandan pasukan melapor kepada atasannya yang melanjutkan kepada kaisar bahwa
Panglima Louw Tek Ciang di tengah jalan bertengkar dengan dua orang gurunya dan
dalam perkelahian itu dia tewas, demikian pula kedua orang gurunya. Ditambahkan
pula bahwa ternyata pembesar baru itu telah bersekongkol dengan empat orang
pemberontak yang dapat ditawan.
Suma Ceng
Liong bersama Kam Bi Eng pergi ke puncak Bukit Nelayan, menghadap Kam Hong dan
Bu Ci Sian. Dengan terus terang dan berani mereka berdua menghadap suami isteri
ini dan menceritakan segala hal tentang diri mereka, tentang pertemuan di Hutan
Cemara, tentang tewasnya Sim Hong Bu dan juga tentang cinta kasih antara mereka
dan tentang pertemuan mereka dengan Sim Houw. Mula-mula Kam Hong dan isterinya
terkejut sekali. Terutama sekali Kam Hong, yang mengerutkan alisnya dan
memandang marah. Apalagi setelah kini Sim Hong Bu gugur, dia marah karena harus
memegang teguh perjanjiannya dengan sahabat itu.
“Bi Eng,
bagaimana engkau dapat mengharapkan aku melanggar janji terhadap seorang
sahabat yang telah meninggal dunia?” katanya dengan nada lebih banyak menegur
dari pada bertanya.
“Ayah, suhu
Sim Hong Bu sendiri yang telah menyetujui seperti yang kami dengar dari Sim
Houw suheng.”
“Sudahlah,
aku baru mau mempertimbangkannya kalau aku sudah mendengar sendiri penuturan
Sim Houw!”
Biar pun
dengan hati yang tidak enak, Suma Ceng Liong tinggal di rumah kekasihnya itu.
Sikap tuan dan nyonya rumah yang pendiam membuat dia merasa canggung sekali,
akan tetapi demi cintanya terhadap Bi Eng, dia pun mempertahankan diri. Apalagi
sikap Bi Eng amat manis dan gadis ini selalu membesarkan hatinya. Akhirnya,
saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Sim Houw datang berkunjung. Pemuda ini
menjatuhkan diri berlutut di depan guru atau juga calon mertuanya dan tidak
dapat menahan cucuran air matanya. Kam Hong dan isterinya merasa terharu
sekali.
“Kami telah
mendengar tentang kematian ayahmu, Sim Houw. Akan tetapi, usaplah air matamu.
Ayahmu tewas sebagai seorang pendekar dan patriot sejati yang gugur dalam
perjuangan yang patut. Tidak perlu ditangisi dan bukan sikap seorang pendekar
kalau mudah saja mencucurkan air matanya.”
“Maaf, suhu,
maafkan kelemahan teecu,” jawab Sim Houw.
Seperti yang
sudah direncanakan dengan isterinya, apalagi di situ tidak terdapat Bi Eng dan
Ceng Liong yang sedang berburu di hutan, Kam Hong memancing. “Sim Houw, setelah
ayahmu meninggal dunia, kami merasa perlu untuk mempercepat pelaksanaan
pernikahanmu dengan Bi Eng....”
“Tidak,
suhu....! Maafkan teecu, suhu, akan tetapi.... ikatan perjodohan antara teecu
dan sumoi itu tidak mungkin dilanjutkan....”
Kam Hong
pura-pura kaget dan marah. “Sim Houw! Omongan apa yang kau keluarkan ini? Apa
maksudmu?”
“Suhu,
sebelum meninggal, ayah berpesan kepada teecu agar teecu menghadap suhu dan
menyatakan bahwa ikatan perjodohan itu agar diputuskan.”
Kam Hong
mengangguk-angguk. Jika begitu puterinya tidak berbohong. “Apa alasannya
mendiang ayahmu berpesan seaneh itu?”
“Sederhana
saja alasannya, suhu, yaitu bahwa sumoi tidak berjodoh dengan teecu, maksud
teecu.... ehhh, sumoi dan teecu tidak saling mencinta....”
Inilah
keterangan yang dikehendaki Kam Hong dan isterinya. “Sim Houw, katakan sekali
lagi, apakah benar-benar engkau tidak mencinta Bi Eng?” tanya Bu Ci Sian.
Sim Houw
merasa bingung dan takut menghadapi pertanyaan ini. Dia harus mengaku
sejujurnya bahwa dia kagum sekali dan suka kepada Bi Eng. Siapa orangnya tidak
akan suka dan kagum kepada gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat
manis itu? Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu apakah dia mencinta Bi Eng,
suatu perasaan yang belum pernah dirasakannya. Yang jelas, mendengar bahwa Bi
Eng mencinta pemuda lain, dia tidak merasa duka atau marah.
“Subo,
maafkanlah teecu. Tentu saja antara teecu dan sumoi terdapat rasa sayang
sebagai saudara seperguruan, akan tetapi tentang cinta.... sumoi telah mencinta
seorang pemuda lain. Bagaimana teecu dan ia dapat saling mencinta? Dan menurut
ayah, jodoh tanpa cinta hanya akan berakhir dengan duka nestapa.”
Mendengar
ucapan pemuda ini, wajah Bu Ci Sian berubah pucat. Dahulu, dahulu sekali, pada
waktu Sim Hong Bu, ayah pemuda ini, masih menjadi seorang pemuda, Hong Bu
pernah mati-matian jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia tidak membalas
cintanya dan dia mencinta Kam Hong. Kemudian Sim Hong Bu menikah dengan Cu Pek
In. Ia pun menarik napas panjang dan tenggelam dalam kenangan. Kam Hong merasa
lega sekali mendengar penjelasan muridnya ini. Jadi benar semua keterangan
puterinya. Puterinya saling mencinta dengan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar
Super Sakti dari Pulau Es itu. Dan putusnya tali perjodohan puterinya dengan
Sim Houw ini pun sudah sah, karena disetujui oleh Sim Hong Bu dan oleh Sim Houw
sendiri.
“Baiklah,
kalau begitu kami menjadi yakin, Sim Houw. Ketahuilah bahwa sebetulnya kami
telah mendengar kesemuanya itu dari Bi Eng.”
“Ahh, jadi
sumoi sudah pulang dan menceritakan semua kepada suhu dan subo? Dan pemuda
itu.... ehhh, maksud teecu, saudara Suma Ceng Liong....”
“Dia pun
sudah berada di sini. Mereka berdua sudah menceritakan semuanya kepada kami,
akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin mendengar dari engkau sendiri,
Sim Houw.”
Wajah pemuda
itu berseri gembira. “Ahhh, kalau begitu hati teecu menjadi lega dan gembira.
Mereka itu betul-betul saling mencinta dan pemuda itu amat gagah dan jujur,
menjadi calon jodoh sumoi yang amat baik.”
Sim Houw
tidak lama berada di puncak Bukit Nelayan. Setelah bertemu dan beramah tamah
dengan Bi Eng dan Ceng Liong dan makan bersama dari hidangan hasil buruan
sepasang muda mudi itu, dia pun berpamit dan mendapat doa restu dari suhu
beserta subonya yang merasa terharu dan kasihan, juga kagum terhadap murid itu.
Perjodohan antara Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong tak mengalami banyak
kesulitan. Suma Kian Bu dan Teng Siang In segera datang berkunjung ke puncak
Bukit Nelayan setelah mendengar permintaan Ceng Liong untuk mengajukan pinangan
dan diterima dengan senang hati dan gembira oleh Kam Hong dan isterinya.
Beberapa
bulan kemudian, pernikahan antara kedua orang muda itu pun dirayakan dengan
amat meriah, dihadiri pula oleh orang-orang gagah dari segenap penjuru dan di
dalam perayaan ini berkumpullah semua keluarga para pendekar Pulau Es dengan
lengkap. Kam Hong dan isterinya merasa bangga dan berbahagia sekali dapat
berbesan dengan keluarga Pulau Es apalagi setelah mereka mendengar penuturan
mantu mereka tentang riwayatnya sampai dia menjadi murid Hek-i Mo-ong dan
diajak menyerbu ke Bukit Nelayan. Mereka yang tadinya merasa tidak senang
melihat pemuda itu menjadi murid Hek-i Mo-ong, kini berbalik menjadi kagum.
Demikianlah,
cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh keluarga Pulau Es.
Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup bahagia. Suma Ceng Liong
hidup berbahagia pula bersama isterinya, Kam Bi Eng. Dan biar pun Suma Ciang
Bun masih merasa kehilangan Gangga, tetapi dia semakin matang dan makin dapat
mengenal diri sendiri. Perlahan-lahan dia membiarkan dirinya berubah melalui
kewaspadaan.
Serial Selanjutnya : Suling Naga
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment