Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Para Pendekar Pulau Es
Jilid 27
CENG LIONG
sejak tadi merasa tidak setuju dengan sikap para tokoh yang hendak melakukan
pemilihan bengcu melalui adu ilmu silat. Dan dia pun melihat sesuatu yang
menarik hatinya, yaitu ketika ada seorang pemuda gagah perkasa bercakap-cakap
dengan Sim Hong Bu. Bahkan pendekar berbaju kulit harimau itu memeluk pemuda
itu. Dia lalu bertanya kepada Bi Eng siapa adanya pemuda yang baru muncul itu.
Bi Eng menoleh, dan ketika ia memandang pemuda itu, wajahnya menjadi merah
sekali.
“Itulah
putera suhu....,” katanya lirih.
Jantung di
dalam dada Ceng Liong berdebar keras penuh ketegangan. Jadi pemuda itukah
tunangan kekasihnya? Seorang pemuda yang kelihatan gagah sekali! Akan tetapi Bi
Eng tidak mencintanya dan malah memilih dia!
Selagi semua
orang berbisik dan bicara sendiri karena mereka terbagi menjadi dua golongan
yang mendukung dan menentang usul diadakannya pibu untuk menentukan siapa yang
akan menjadi bengcu, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara ketawa ini
mengatasi semua suara berisik sehingga semua orang lalu menoleh dan memandang
kepada kakek yang tertawa-tawa itu.
Kakek ini
sudah berdiri dan karena suara ketawanya yang luar biasa, maka semua orang
dengan mudah dapat menemukannya. Dia berdiri sambil bertolak pinggang. Seorang
kakek yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun. Akan tetapi wajahnya masih
nampak ganteng, pakaiannya pesolek dan indah. Di dekatnya sendiri empat orang
wanita setengah tua yang kesemuanya cantik-cantik. Mereka yang berada di situ,
hanya ada beberapa orang saja yang sudah mengenalnya.
Kakek ini
bukan lain adalah Bu-taihiap atau nama lengkapnya adalah Bu Seng Kin, seorang
pendekar besar yang suka bertualang. Kini Bu-taihiap yang hadir bersama empat
orang isterinya itu memandang kepada Ci Hong Tosu, masih tertawa, dengan nada
mengejek.
“Pertemuan
macam apakah ini? Pertemuan antara orang-orang yang berjiwa patriot, ataukah
pertemuan gerombolan tukang pukul yang hanya hendak pamer kepandaian silat?
Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Ci Hong Tosu
mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak mengenal siapa adanya kakek itu, akan
tetapi dia mengenalnya sebagai seorang di antara para calon karena tadi ada
orang yang mencalonkan kakek ganteng ini.
“Siancai....,
siapa menyetujui cara kami boleh maju memperebutkan kedudukan bengcu, yang
tidak setuju boleh mundur!”
“Harap cu-wi
pikirkan baik-baik!” Tiba-tiba Sim Hong Bu maju menghadapi Giam San-jin yang
masih berdiri di dataran itu dengan sikap menantang lawan.
“Apa yang
harus dipikirkan lagi, Sim-sicu? Bukankah kita berkumpul di sini untuk bicara
tentang perjuangan dan sebelum itu harus diangkat dulu seorang bengcu yang akan
menjadi pemimpin dan menunjuk orang-orang untuk menjadi pembantu-pembantunya.
Nah, calon-calon sudah diambil dan sekarang tinggal diadakan pemilihan melalui
adu kepandaian!”
“Betul!
Lebih baik cepat laksanakan pibu!” terdengar beberapa orang berseru.
Sebagai
ahli-ahli silat, memang biasanya mereka ini suka sekali nonton orang mengadu
ilmu silat, apalagi kalau diingat bahwa yang berkumpul di situ sekarang adalah
tokoh-tokoh besar dunia persilatan saat ini, maka tentu akan menjadi ramai
sekali dan mereka berkesempatan untuk melihat ilmu-ilmu silat hebat yang akan
dikeluarkan. Mereka akan memperoleh banyak kemajuan dan pengalaman dalam pibu
ini.
Sim Hong Bu
mengangkat kedua tangan ke atas, meminta agar semua orang tenang. Kemudian dia
berkata kepada Giam San-jin. “Maaf, sobat. Akan tetapi saya kira tidaklah tepat
kalau diadakan pibu dalam pemilihan bengcu ini. Dalam pibu, mungkin ada yang
akan roboh terluka bahkan mungkin saja akan ada yang tewas.”
Giam San-jin
tertawa. “Ha-ha, siapa yang tidak tahu akan hal itu, sicu? Bukankah kita semua
ini adalah orang-orang yang semenjak kecil sudah berkecimpung dengan dunia
persilatan dan sudah biasa dengan kalah menang, luka dan mati? Akan tetapi hal
itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang macam kita. Kalau ada
orang yang takut terluka atau tewas dalam pibu, mana ada harganya orang itu
menjadi bengcu, menjadi pemimpin kita? Karena itu, kami harap agar dapat
diputuskan sekarang juga agar pibu segera diadakan untuk menentukan siapa yang
patut menjadi bengcu. Ingat, sicu sekarang ini hanya memimpin pertemuan
sementara saja sebelum bengcu dipilih, karena itu sicu tidak berhak menentukan
sesuatu. Dan banyak saudara yang menyetujui diadakan pibu. Bukankah demikian,
cu-wi yang mulia?”
Ucapan ketua
Pat-kwa-pai disambut sorak-sorai dan tentu saja dia menang suara karena baru
anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai saja sudah hampir separuh jumlah yang
hadir. Melihat ini, Sim Hong Bu menjadi bingung dan tidak tahu harus berkata
apa lagi.
Pada saat
itu, Ceng Liong melompat ke depan Giam San-jin dan tentu saja dia tidak mau
bertindak lancang dan terlebih dahulu dia menjura kepada Sim Hong Bu.
“Sim-locianpwe,
bolehkah saya bicara kepada para hadirin yang terhormat?”
Sim Hong Bu
memandang wajah Ceng Liong. Sejenak dia memandang tajam, lalu dia mengangguk.
“Silakan, dan mudah-mudahan kekacauan ini dapat diredakan,” katanya sambil
mundur.
Giam San-jin
mengerutkan alis, memandang kepada pemuda remaja yang berani maju dan hendak
bicara itu, tetapi Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikannya. Pemuda ini
lalu menjura ke empat penjuru, kemudian suaranya terdengar menggeledek. “Cu-wi
sekalian, perkenankan saya bicara sebentar dan harap cu-wi sudi
mempertimbangkan dengan baik-baik.”
Diam-diam
Giam San-jin, juga para tokoh yang hadir di situ terkejut. Di dalam suara
pemuda ini terkandung getaran yang sangat hebat, yang terasa sampai ke jantung
mereka, tanda bahwa kekuatan khikang pemuda yang bicara ini besar sekali.
Karena itu, tentu saja semua orang memandang kepadanya penuh perhatian dan
ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan oleh pemuda itu.
Ceng Liong
sudah mengambil keputusan untuk menghalangi terjadinya kekacauan di dalam
pertemuan ini. Maka dengan sikap tenang namun tegas dia pun mulai bicara,
suaranya tetap lantang karena memang dia ingin mengatasi semua kegaduhan agar
dapat didengar dengan baik oleh mereka semua.
“Cu-wi yang
terhormat. Saya mengajak cu-wi sekalian untuk merenungkan sejenak dan menjawab
pertanyaan yang kita ajukan kepada diri sendiri, yaitu untuk apakah kita semua
ini dari jauh-jauh datang berkumpul ke sini dan mengadakan pertemuan ini?
Jawabannya tentu mudah dan dapat disetujui kita semua, yaitu bahwa kita
berkumpul untuk bersatu padu dan berjuang membebaskan negara dari penjajahan.
Dan sekarang, dalam pemilihan bengcu, kita akan berhadapan sebagai orang-orang
yang hendak memperebutkan kedudukan! Bahkan untuk memperebutkan kedudukan
bengcu, kita tak segan-segan untuk saling serang, saling melukai dan bahkan
untuk saling bunuh! Para saudara yang tidak menyetujui pertandingan pibu
memperebutkan kedudukan ini tentu orang-orang gagah perkasa yang juga tidak
takut terluka atau mati, akan tetapi tidak setuju karena melihat bodohnya
keputusan ini. Tidak setuju karena cara yang digunakan untuk memilih bengcu ini
tidak baik!”
Ucapan
pemuda itu membuat semua orang tertegun, bahkan mereka yang tadinya menyetujui
diadakannya pibu kini terdiam. Akan tetapi, Giam San-jin yang memelopori cara
pibu yang tadi didahului oleh Tang Gun dan Su Ciok, menganggap pemuda ini
menjadi penghalang yang menentangnya.
“Cara apa
pun yang kita adakan adalah baik karena untuk suatu tujuan yang baik pula.
Tujuan kita adalah memilih bengcu yang benar-benar patut kita jadikan pemimpin.
Apa salahnya cara pibu bagi orang-orang yang menganggap dirinya pendekar?”
demikian kepala rombongan Pat-kwa-pai membantah, juga ia telah mengerahkan
tenaga khikang dalam suaranya sehingga terdengar lantang.
“Maaf,” kata
Ceng Liong, menjura kepada orang tua itu. “Bukan maksud saya untuk semata-mata
menentang pendapat itu, melainkan mengajak semua saudara untuk mempertimbangkan
dengan penuh kesadaran. Kita berkumpul dengan maksud untuk bersatu. Dalam
menghadapi perjuangan besar, kita perlu bersatu padu. Akan tetapi, cara
pemilihan bengcu dengan jalan pibu bukanlah hal yang menguntungkan, bahkan
sangat berbahaya. Dalam pibu, yang terluka apa lagi yang tewas tentu
menimbulkan dendam dan hal ini dapat memecah-belah persatuan antara kita. Pula
harus diingat bahwa, seorang bengcu yang akan memimpin perjuangan, tidak cukup
kalau hanya mempunyai kepandaian silat tinggi. Perang lebih membutuhkan ilmu
perang, walau pun dalam pertempuran dibutuhkan kemahiran ilmu silat bagi para
pejuang yang bertempur. Yang penting adalah caranya untuk bersatu, karena
caralah yang menentukan sesuatu, yang menciptakan baik buruknya sesuatu, bukan
tujuan.”
Semua orang
yang mendengarkan menjadi semakin bingung, terutama bagi yang tadi menyetujui
diadakannya pibu. Mereka dapat merasakan kebenaran ucapan pemuda itu. Akan
tetapi sebagai orang-orang yang suka akan ilmu silat, mereka pun ingin sekali
jika pibu diadakan supaya mereka dapat menikmati pertandingan-pertandingan yang
tentu akan hebat sekali itu.
Sementara
itu, Giam San-jin sudah marah sekali, merasa bahwa dia disudutkan oleh pemuda
remaja yang tidak dikenal itu. Maka dia pun melangkah maju menghampiri Ceng
Liong dan menegur keras.
“Orang muda,
siapakah engkau berani berlagak menggurui kami? Bagaimana pun juga, kami tetap
mengambil keputusan untuk memilih bengcu dengan cara pibu! Kalau sudah begitu,
engkau mau apa? Kalau kau tidak setuju, boleh angkat kaki dari sini. Dalam
urusan penting ini, kami tidak membutuhkan nasehat-nasehat seorang bocah hijau
seperti engkau!”
Tentu saja
ucapan ini merupakan penghinaan yang memanaskan hati. Akan tetapi Ceng Liong
tetap bersikap tenang, bahkan dia tersenyum. Kalau saja dia tidak ingat bahwa
di situ terdapat banyak tamu para pendekar sakti dan para locianpwe, tentu dia
sudah mempermainkan kakek yang sombong ini. Kini dia harus bersikap dan
bertindak tegas kalau dia tetap menghendaki agar pertemuan itu tidak sampai
berubah menjadi arena pertandingan yang akibatnya tentu akan memecah-belah
kekuatan di antara mereka saja.
“Locianpwe,”
katanya dengan sikap hormat. “Bagimana pun juga, saya akan menentang pibu yang
diadakan untuk pemilihan bengcu.” Ucapannya itu hormat, akan tetapi tenang dan
tegas sekali.
Suasana
menjadi tegang ketika pemuda itu mengeluarkan ucapan ini. Betapa beraninya
pemuda itu, pikir mereka. Atau lancang dan tak tahu diri? Berani menentang
seperti itu kepada Giam San-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu
kepandaian hebat. Bahkan Tang Gun dan Su Ciok yang lihai itu pun tadi gentar
dan mundur berhadapan dengan kakek berpakaian pertapa ini.
Tentu saja
Giam San-jin menjadi semakin marah. Pemuda ini menyebutnya locianpwe, berarti
mengakui bahwa kedudukan dan kepandaiannya jauh lebih tinggi, akan tetapi
berani menentangnya!
“Orang muda,
dengan ucapanmu tadi berarti bahwa engkau hendak menentangku, atau apakah
engkau hendak memasuki pula pertandingan pibu ini melawan aku?”
Ceng Liong
menggeleng kepala. “Harap locianpwe tidak salah mengerti. Saya tidak bermaksud
ikut pibu memperebutkan kedudukan, bahkan saya menentangnya. Bukan berarti saya
hendak menentang pribadi locianpwe pribadi, melainkan yang saya tentang adalah
cara yang buruk dan hanya yang membuat perpecahan di antara kita itulah.”
“Hemm, orang
muda, omonganmu berliku-liku akan tetapi yang jelas, engkau hendak menentang
aku! Kalau aku melanjutkan pemilihan pibu ini, apakah engkau tetap berani
menentangku?”
“Demi mencegah
terjadinya perpecahan, siapa pun juga akan saya tentang kalau memaksakan
diadakannya pibu,” jawab Ceng Liong tenang.
“Keparat!
Engkau berani menentang aku? Orang muda, sebelum engkau kuhajar, lebih dahulu
katakan siapa namamu?”
“Nama saya
Suma Ceng Liong.”
“Suma?
Engkau she Suma? Hemm, apakah ada hubungannya dengan keluarga Suma Han Pendekar
Super Sakti Pulau Es?” tanya kakek Pat-kwa-pai itu terkejut.
“Saya adalah
cucunya,” jawab Ceng Liong singkat, terpaksa tidak dapat merahasiakan lagi
keadaan keluarganya.
Pengakuan
Ceng Liong itu membuat suasana menjadi semakin tegang karena siapakah yang
tidak pernah mendengar tentang keluarga para pendekar Pulau Es? Kini pandang
mata mereka terhadap Ceng Liong makin penuh perhatian dan semua orang ingin
menyaksikan bagaimana sepak terjang seorang cucu dari Pendekar Super Sakti.
“Ha-ha-ha!”
tiba-tiba terdengar suara ketawa lembut disusul suara Ci Hong Tosu, tokoh
Pek-lian-pai yang tinggi kurus itu. “Cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es,
ya? Bagus, siapa tidak tahu bahwa keluarga Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau
Es adalah keluarga pendukung kaisar, pendukung pemerintah penjajah Mancu? Siapa
tidak tahu bahwa isteri Pendekar Super Sakti adalah Puteri Mancu? Ingat nama
Puteri Nirahai, isterinya yang menjadi panglima Mancu, dan Puteri Milana,
puterinya yang juga menjadi panglima Mancu. Dan sekarang cucunya berada di
sini, siapa tahu dia malah menjadi mata-mata Kerajaan Mancu!”
Tentu saja
semua orang menjadi tegang mendengar kata-kata ini dan muka Ceng Liong berubah
menjadi merah. Dia mengerti bahwa Pek-lian-kauw dengan perkumpulannya,
Pek-lian-pai memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada keluarga kakeknya,
sebab memang banyak di antara para pimpinan Pek-lian-kauw yang menyeleweng dan
pernah dihajar oleh keluarga kakeknya itu.
“Totiang,
harap jangan sembarangan membuka mulut menyebar fitnah!” bentaknya.
Akan tetapi
Giam San-jin sudah mendapat angin dengan ucapan tokoh Pek-lian-pai tadi. Dia
sudah menyambar tongkatnya yang tadi dipegang oleh seorang muridnya, sebuah
tongkat baja yang kecil panjang dan kedua ujungnya runcing. Dia memutar
tongkatnya dan berteriak, “Mata-mata Mancu atau bukan, engkau sudah berani
menentang kami dan berarti engkau harus menandingi aku dalam ilmu silat! Orang
muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!”
Ceng Liong
tersenyum pahit. Tidak disangkanya bahwa dalam pertemuan antara para pendekar
dan patriot itu dia akan bertemu dengan orang-orang semacam ini dan harus
mengalami hal sepahit ini. Tetapi dia pun kini maklum bahwa selama ada
orang-orang seperti ini yang mencampuri perjuangan para patriot, maka
perjuangan itu yang tadinya bertujuan mulia membebaskan negara dari tangan
penjajah asing, akan diselewengkan menjadi tujuan orang-orang yang berambisi
mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri mau pun gerombolannya. Maka,
dia pun harus memberantasnya!
“Giam
San-jin, aku pun sejak dulu sudah banyak mendengar bahwa Pat-kwa-pai, apa lagi
Pek-lian-pai, hanya namanya saja perkumpulan pendekar dan patriot, akan tetapi
sesungguhnya banyak hal-hal jahat dan sewenang-wenang telah kalian lakukan.
Kalau engkau memaksa perkelahian, baiklah, aku tak pernah menggunakan senjata.
Majulah, bukan pribadimu yang kulawan, tapi sikap perpecahan yang buruk itu
yang kutentang!”
“Bocah
sombong! Engkau sendiri yang mencari mati sendiri!” bentak Giam San-jin yang
menjadi semakin marah karena dia merasa dipandang rendah oleh pemuda itu.
Seorang
pemuda remaja berani menantangnya dan kini menghadapinya dengan tangan kosong,
padahal dia telah mempergunakan senjatanya yang paling ampuh dan ditakuti,
yaitu tongkatnya yang jarang menemui tandingan! Kini dia menerjang maju,
tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga nampaklah gulungan sinar yang
mengandung banyak sekali ujung tongkat runcing yang mengeluarkan suara
berdengung-dengung dan tiba-tiba saja ujung tongkat itu mencuat dan menyerang
ke arah jalan darah di tubuh Ceng Liong secara bertubi-tubi! Serangan itu hebat
sekali karena makin dielakkan, makin meningkat bahaya serangannya, makin gencar
dan makin kuat!
Akan tetapi
sekali ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menghadapi Suma Ceng Liong. Biar pun masih
muda, akan tetapi Suma Ceng Liong telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es dan di
samping itu dia juga sudah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Hek-i Mo-ong.
Oleh karena itu, menghadapi hujan serangan tongkat yang bergerak dengan amat
cepatnya itu dia bersikap tenang saja.
Tubuhnya
mengelak berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang kalau dia tidak dapat
mengelak lagi, dia hanya menggerakkan tangannya dan jari-jari tangan itu
menyentil ke arah ujung tongkat yang datang menotok. Setiap kali ujung tongkat
bertemu dengan jari tangannya, terdengar suara berdencing dan ujung tongkat itu
pun terpental seperti ditangkis oleh benda yang keras dan kuat sekali! Sampai
habis jurus itu dimainkan Giam San-jin, tidak satu kali pun totokan-totokannya
menemui sasaran!
Tentu saja
hal ini membuat kakek itu menjadi semakin penasaran. Tadinya dia sengaja
mengeluarkan jurus simpanan ketika menyerang untuk pertama kalinya. Dia tahu
bahwa dia berhadapan dengan anggota keluarga pendekar Pulau Es, maka begitu
menyerang dia mengeluarkan jurus simpanannya. Akan tetapi ternyata bahwa jurus
yang ampuh itu dapat disambut dan dihindarkan oleh pemuda itu tanpa banyak
kesulitan! Padahal, ilmu serangannya tadi adalah jurus dari Pat-kwa-pai yang
ampuh, yang gerakannya didasari perhitungan pat-kwa dan memenuhi delapan
penjuru, menutup semua kemungkinan jalan keluar.
Namun,
lawannya dapat menyelamatkan diri dengan baiknya, seolah-olah sudah tahu akan
rahasia pat-kwa. Dan memang, dia tidak tahu bahwa pemuda ini tentu saja sudah
hafal akan rahasia pat-kwa. Di dalam keluarga para pendekar Pulau Es, terdapat
ilmu-ilmu Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa) serta Pat-mo-kun (Silat Delapan
Iblis) yang kesemuanya berdasarkan garis-garis pat-kwa. Apalagi Ceng Liong,
bahkan sudah mempelajari gabungan kedua ilmu itu. Dengan demikian serangan
lawan yang didasari perhitungan pat-kwa tadi baginya seperti permainan
kanak-kanak saja.
Dalam
kemarahan dan penasarannya, Giam San-jin menghujankan serangan-serangan lain
yang semuanya merupakan serangan maut yang mengancam nyawa. Ceng Liong sengaja
menghadapinya dengan elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan saja, bahkan ketika
menangkis dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Dia masih merasa segan untuk
mengalahkan kakek ini dalam beberapa gebrakan saja. Bukan maksudnya untuk
membikin malu orang dalam pertemuan itu. Bagaimana pun juga, dia hendak
mencegah adanya perasaan dendam agar pertemuan itu dapat berlangsung dengan
baik.
Akan tetapi,
sikap mengalah Ceng Liong ini disalah artikan oleh Giam San-jin. Biar pun kakek
ini terhitung seorang yang berkedudukan tinggi dan memilki tingkat kepandaian
tinggi sehingga dia sudah dapat melihat dari gerakan-gerakan lawan bahwa
lawannya ini biar pun masih muda akan tetapi lihai bukan main, namun sifatnya
yang selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain membuat
dia mengira bahwa sikap Ceng Liong yang tidak pernah membalas itu bukan
mengalah, melainkan takut! Maka dia pun menyerang semakin ganas lagi karena dia
berpendapat bahwa lawan yang sudah gentar atau takut akan mudah dirobohkan.
Setelah
lewat dua puluh jurus dan lawannya tidak mau tahu bahwa dia sudah banyak
mengalah, Ceng Liong menjadi gemas juga. Kakek ini memang tidak tahu diri.
Meski dia masih segan untuk membikin malu, tetapi dia mengambil keputusan untuk
merampas tongkat lawan agar terbuka mata lawan bahwa dia akan mudah
mengalahkannya kalau memang dia mau. Dua puluh jurus sudah cukup lama baginya untuk
melihat bagian-bagian gerakan lawan yang mengandung kelemahan.
Pada saat
itu Giam San-jin menggerakkan tongkatnya dengan cepat dan kilat, menyapu ke
arah pinggang Ceng Liong. Gerakan ini berbahaya sekali dan karena cepatnya,
maka agak sukar bagi pemuda itu untuk mengelak dan kalau ditangkis, dia pun
akan menghadapi hantaman tongkat yang mengandung pengerahan tenaga sekuatnya
dari kakek pertapa itu.
“Hyaaaat....!”
Ceng Liong
mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya tiba-tiba lenyap dari pandang
mata lawan karena dia sudah meloncat ke atas dengan kecepatan seperti seekor
burung terbang saja. Tongkat yang menyambar itu lewat di bawah kakinya dan
pemuda ini menggunakan kedua tangannya untuk menotok ke arah kedua pundak
lawan. Cepat bukan main gerakannya ini.
Giam San-jin
terkejut bukan main, akan tetapi dia pun bukanlah seorang yang lemah.
Kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biar pun serangan Ceng Liong
yang datangnya tiba-tiba dan tidak terduga-daga itu memang mengejutkan, namun
dalam keadaan terancam bahaya itu dia masih mampu menyambut dengan serangan
rambut panjang riap-riapan itu ke arah leher Ceng Liong!
Rambut itu
bergerak seperti ujung cambuk dan menotok ke arah jalan darah maut di
tenggorokan lawan. Ini memang merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan kakek
itu, dan amat berbahaya karena rambut itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan
dengan senjata lain. Dengan pengerahan sinkang-nya, rambut itu menjadi kaku dan
menotok jalan darah seperti ujung tongkat atau jari tangan yang keras.
Akan tetapi
Ceng Liong sudah waspada. Dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka menghadapi
serangan balasan yang mendadak itu dia pun bersikap tenang saja. Tangan kiri
yang tadi menotok pundak lawan ditariknya untuk menangkis serangan rambut itu sedangkan
tangan kanannya masih meneruskan totokan ke arah pundak kiri lawan.
Giam San-jin
miringkan tubuhnya untuk menyelamatkan pundak. Pundaknya memang terhindar dari
totokan yang akan melumpuhkan lengan, akan tetapi tangan kanan Ceng Liong itu
masih menyerempet pangkal lengan di bawah pundaknya.
“Plakkkk....!”
Baju di
bagian itu robek dan Giam San-jin terhuyung-huyung, mukanya berubah merah
sekali.
“Maaf,
locianpwe, harap suka menghentikan serangan!” Ceng Liong berkata sambil menjura
dengan harapan kakek itu menyudahi pertandingan yang tidak diharapkan itu.
Akan tetapi
kakek itu sudah memuncak kemarahannya sehingga dia menjadi gelap mata dan dalam
keadaan seperti itu dia tidak dapat melihat kenyataan bahwa lawannya jauh lebih
unggul dan tangguh.
Dia berseru.
“Aku belum kalah!” kemudian dia menyerang lagi dengan tongkatnya.
Dengan
cekatan Ceng Liong melompat ke samping, rasa penasaran mulai menyusup ke dalam
hatinya. Kakek ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya.
Pada saat
itu Ceng Liong melihat betapa kakek Ci Hong Tosu, tokoh Pek-lian-kauw itu,
bersama kedua orang tosu pembantunya, telah maju pula. Dia mengira bahwa mereka
bertiga itu hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ternyata mereka bertiga segera
duduk bersila dan bersedakap, memejamkan mata.
Pada saat
itu Ceng Liong merasakan adanya gelombang getaran aneh yang melanda dirinya.
Tahulah dia apa artinya ini. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu mempergunakan
ilmu sihir untuk membantu Giam San-jin dan menyerangnya! Sebagai cucu Pendekar
Super Sakti, putera Pendekar Siluman Kecil dan yang mempunyai ibu seorang ahli
sihir, maka tentu saja Ceng Liong tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia
mengerahkan tenaga batinnya.
Pada saat
itu Giam San-jin sudah menyerang lagi. Kakek ini pun paham bahwa tokoh
Pek-lian-kauw yang menjadi sahabatnya itu telah pula membantunya dengan ilmu
sihir. Giranglah hatinya dan dia menyerang dengan dahsyat. Tetapi betapa kaget
hatinya pada saat pemuda itu menyambut hantaman tongkatnya dengan kedua tangan
yang mencengkeram!
“Braaakkkk....!”
Begitu
tongkatnya bertemu kedua tangan Ceng Liong, tokoh Pat-kwa-pai itu merasa
tubuhnya tergetar hebat seperti disambar petir dan ia pun terpelanting keras
sedangkan tongkatnya terampas oleh Ceng Liong. Dia tidak mengenal pukulan
pemuda itu dan memang dalam kemarahannya tadi Ceng Liong telah menggunakan
pukulan jari tangan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dari
Hek-i Mo-ong.
Pada saat
itu, terdengar suara halus. “Suma Ceng Liong, engkau adalah seekor anjing, hayo
cepat merangkak dan menggonggong!”
Suara yang
penuh wibawa ini keluar dari mulut Ci Hong Tosu yang masih duduk bersila
bersama kedua orang pembantunya. Mereka bertiga itu menggabungkan tenaga sakti
untuk menyihir dan mempengaruhi Ceng Liong, hendak memasukkan dan memaksa
keyakinan pemuda itu bahwa dia adalah seekor anjing yang harus merangkak dan
menggonggong. Jelaslah betapa kejinya perangai tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia
hendak membikin malu pemuda itu melalui kekuatan sihirnya agar supaya semua
orang melihat pemuda itu merangkak-rangkak dan menggongong-gonggong!
Gelombang
tenaga yang amat kuat melanda Ceng Liong dan pemuda ini merasa betapa ada
tenaga mukjijat yang memaksanya agar mentaati perintah tadi. Akan tetapi, dia
tahu apa artinya itu. Tiba-tiba dia melemparkan tongkat rampasannya dan
menjatuhkan diri duduk di atas tanah, bukan untuk merangkak melainkan untuk
bersila dan dia pun menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan mengerahkan
kekuatan batin untuk melindungi dirinya dari serangan gelombang tenaga yang
menyihirnya itu.
Terjadilah
pertandingan ilmu sihir yang tak dapat terlihat orang lain. Akan tetapi mereka
yang berada di situ dapat merasakan adanya getaran-getaran aneh yang memenuhi
tempat itu dan seolah-olah dua tenaga yang berlawanan saling tarik-menarik
dengan kuatnya.
Tiba-tiba
terjadilah hal yang amat luar biasa. Terdengar suara bagaikan anjing-anjing
menggonggong dan menyalak. Tetapi tidak ada anjing di situ dan suara gonggongan
itu pun aneh, bukan seperti suara anjing-anjing tulen. Dan semua orang
terbelalak dengan muka pucat ketika mereka melihat tiga orang Pek-lian-pai itu,
yang tadinya duduk bersila, kini sudah merangkak-rangkak sambil menggonggong
dan menyalak seperti tiga ekor anjing yang kebingungan!
Tentu saja
peristiwa luar biasa ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran. Mereka
teringat betapa tadi tokoh Pek-lian-kauw itu menyuruh Ceng Liong merangkak dan
menggonggong. Kini mereka dapat menduga betapa ilmu sihir yang dipergunakan
kakek Pek-lian-kauw itu telah membalik dan terjadi peristiwa senjata makan
tuan!
Ceng Liong
sendiri pun terkejut dan merasa heran. Dia tadi hanya mengerahkan tenaga untuk
menolak gelombang tenaga sihir yang menyerangnya dan yang seperti hendak
memaksanya mengaku bahwa dia seekor anjing. Akan tetapi kenapa sekarang mereka
bertiga yang tersihir? Apakah kekuatan sihirnya sudah menjadi sedemikian
ampuhnya?
Akan tetapi
tiba-tiba dia tersenyum dan memandang ke kiri. Dia melihat munculnya ayah dan
ibunya dan tahulah dia bahwa ibunya yang tadi turun tangan menghajar tiga orang
Pek-lian-kauw yang hendak menghinanya itu!
Kiranya di
antara para pendekar yang hadir di tempat itu terdapat pula Suma Kian Bu dan
Teng Siang In, isterinya yang ahli dalam hal sihir itu. Pendekar ini walau pun
sudah mengutus puteranya untuk mewakili mereka, tapi masih merasa ragu-ragu dan
mereka berdua pergi tak lama setelah putera mereka berangkat.
“Bagaimana
pun juga, kita tidak boleh sembrono ikut bergerak dengan mereka yang hendak
memberontak walau pun pada prinsipnya kita setuju,” antara lain Suma Kian Bu
berkata kepada isterinya. “Kita harus menyelidiki dulu dengan seksama akan
bersihnya cita-cita itu. Lagi pula, aku harus ingat kepada keluarga Pulau Es
dan minta pendapat mereka lebih dulu.”
Isterinya
setuju. “Memang, aku pun merasa khawatir dan sangsi. Sebaiknya kalau kita berunding
dahulu dengan keluargamu, terutama sekali kakakmu Suma Kian Lee, enci Milana
dan juga Kao Cin Liong yang mempunyai kedudukan penting sebagai panglima di
kota raja.”
Demikianlah,
suami isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke utara. Mula-mula mereka
mengunjungi Suma Kian Lee dan mendengar penuturan adiknya, Suma Kian Lee
terkejut sekali.
“Bu-te,
masalah ini gawat sekali!” kata Suma Kian Lee. “Memang aku sendiri pun dapat
mengerti tentang jiwa patriot para pendekar yang tidak suka akan penjajahan
Bangsa Mancu. Akan tetapi urusan besar itu tidak dapat dilukukan secara begitu
sembrono. Apalagi kita sendiri, keluarga Pulau Es, harus berhati-hati. Betapa
pun juga, nenek-nenek kita adalah wanita Mancu, walau pun kita tahu bahwa enci
Milana dan suaminya juga tidak suka akan penjajahan, bahkan enci Milana sudah
tidak lagi mau membantu pemerintah dan mengundurkan diri bersama suaminya.
Sebaiknya kalau kita bicarakan hal yang amat gawat ini dengan Cin Liong. Engkau
mengenal dia. Biar pun dia seorang jenderal dan panglima perang di kota raja,
akan tetapi dia adalah seorang pendekar.”
Demikianlah,
mereka berempat, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka,
berangkat ke kota raja. Kebetulan sekali di kota raja mereka berjumpa dengan
Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, bahkan Puteri Milana
dan suaminya, pendekar Gak Bun Beng yang usianya kini sudah hampir tujuh puluh
tahun, berada pula di kota raja dan dapatlah keluarga besar para pendekar Pulau
Es itu berkumpul.
Dengan
hati-hati Suma Kian Bu mengajak keluarganya berkumpul di rumah Jenderal Kao Cin
Liong. Dia menceritakan tentang pertemuan para pendekar di Hutan Cemara yang
merencanakan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Tentu saja
berita ini amat mengejutkan hati Gak Bun Beng dan isterinya, terutama sekali
amat mengejutkan hati Kao Cin Liong yang menerima berita itu dengan gelisah.
Jenderal
muda ini mengangguk-angguk. “Saya juga dapat mengerti akan jiwa patriot itu,
bahkan terus terang saja, kadang-kadang ada pula rasa penasaran dalam hati saya
melihat adanya penjajahan. Tetapi, dengan jalan mengabdi pemerintah dan
melakukan tugas dengan adil dan baik berarti ikut mendorong roda pemerintahan
ke jalan yang benar dan tidak menindas rakyat. Saya bingung sekali, tidak tahu
harus berbuat bagaimana menghadapi berita ini.”
“Biarlah
kami pergi ke sana melakukan penyelidikan lebih dahulu,” kata Suma Kian Bu.
“Setelah melihat bagaimana keadaan mereka itu, baru kita dapat menentukan sikap
apa yang harus kita ambil.”
Puteri
Milana yang usianya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak segar
dan gagah itu kemudian bicara, suaranya halus akan tetapi tegas. “Kita anggota
keluarga Pulau Es harus melihat kenyataan bahwa dari pihak ibu kita, kita juga
berdarah Mancu. Namun dalam urusan ini kita tidak boleh membiarkan diri terbuai
oleh keturunan atau bangsa. Yang penting adalah rasa keadilan dan kegagahan,
dan harus bertindak bijaksana. Urusan ini bukan urusan yang remeh, melainkan
gawat sekali. Kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang, hal ini bukan
hanya menjadi urusan kita atau para pendekar, melainkan seluruh rakyat akan
terguncang dan biasanya dalam perang akan terjatuh banyak korban. Hal ini bukan
berarti bahwa aku tidak menyetujui cita-cita membebaskan tanah air dari pada
penjajahan, hanya caranya harus yang wajar dan hati-hati karena menyangkut
kehidupan rakyat jelata.”
Setelah
mengadakan perundingan serta mengemukakan kebijaksanaan-kebijaksanaan
masing-masing selama hampir samalam suntuk, pada keesokan harinya, Suma Kian Bu
dan Suma Kian Lee bersama isteri mereka, berangkat menuju ke Hutan Cemara untuk
melakukan penyelidikan dan peninjauan tanpa melibatkan diri sebelum mereka
melihat sendiri bagaimana keadaan para patriot yang merencanakan pembebasan tanah
air dari tangan penjajah Mancu itu.
Demikianlah,
dengan jalan menyelinap di antara para pendekar yang memenuhi Hutan Cemara, dua
pasang suami isteri pendekar ini dengan diam-diam mengikuti jalannya pertemuan
dan mereka menyaksikan terjadinya kekacauan oleh sikap dan ulah para tokoh
Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pang. Akhirnya, melihat Ceng Liong maju
menentang tokoh Pat-kwa-pai yang kemudian dibantu oleh orang-orang
Pek-lian-kauw yang menggunakan ilmu sihir, Teng Siang In menjadi marah dan nyonya
ini kemudian menggunakan keahlian sihirnya untuk membantu puteranya dan memberi
hajaran keras kepada tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Dengan
girang Suma Ceng Liong lalu berlari menghampiri ayah bundanya. Akan tetapi
sebelum sempat bicara, tiba-tiba mereka dan semua orang yang berada di dalam
hutan itu dikejutkan oleh suara terompet dan tambur yang dipukul dan ditiup
dengan gencar. Semua orang memandang sekeliling dan dapat dibayangkan betapa
kaget hati mereka melihat bahwa tempat itu sudah dikurung dari jauh oleh banyak
sekali pasukan tentara pemerintah! Hutan Cemara itu sudah dikepung, mungkin
oleh ribuan orang tentara!
Bagaimanakah
tempat itu mendadak saja dikurung oleh ribuan orang tentara? Demikian para
pendekar bertanya-tanya dan suasana menjadi panik. Beberapa orang pendekar
mengenal dua pasang suami isteri Suma yang baru muncul, maka segera
terdengarlah teriakan-teriakan yang dipelopori olehi Ci Hong Tosu yang sudah
sadar kembali dari keadaannya seperti anjing tadi.
“Pengkhianatan!
Keluarga Pulau Es yang berkhianat. Mereka yang membawa pasukan untuk mengepung
kita!”
Teriakan-teriakan
kemarahan terdengar dan semua mata ditujukan kepada Ceng Liong, Suma Kian Bu
dan Suma Kian Lee bersama isteri. Para pendekar jadi tergugah oleh teriakan Ci
Hong Tosu tadi dan kini mereka memandang keluarga Pulau Es dengan alis
berkerut.
Sebenarnya,
apa yang telah terjadi? Benarkah keluarga Pulau Es yang mengkhianati para
pendekar yang sedang berkumpul di tempat itu? Seperti telah kita ketahui, hal
itu sama sekali tidak benar.
Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu datang bersama isteri mereka saja, dan mereka datang untuk
menyelidiki, bukan untuk mengkhianati dan membawa pasukan. Tetapi, bagaimana
mendadak pasukan yang besar jumlahnya itu tahu-tahu sudah mengepung tempat itu?
Apakah Jenderal Kao Cin Liong yang berkhianat? Juga tidak! Biar pun dia
merupakan seorang panglima muda yang setia, akan tetapi dia pun berjiwa
pendekar dan tidak mungkin mau melakukan kecurangan dan pengkhianatan seperti
itu terhadap para pendekar.
Lalu siapa
pengkhianatnya? Kiranya tidak sukar untuk menebaknya. Tentu saja yang menjadi
pengkhianat adalah Louw Tek Ciang! Seperti telah diceritakan di bagian depan,
laki-laki yang berwatak buruk dan kotor ini telah menemukan dan merampas surat
dari para pimpinan pendekar dan patriot yang ditujukan kepada Gan-ciangkun,
seorang panglima di kota raja yang juga mempunyai ambisi besar untuk bersekutu
dengan para pemberontak.
Seperti kita
ketahui, Tek Ciang merampas surat itu dari Can Kui Eng, murid Kun-lun-pai yang
menerimanya dari kekasihnya, Kwee Cin Koan murid Kong-thong-pai yang juga
menjadi anggota para pendekar yang mempunyai prakarsa atas pertemuan di Hutan
Cemara. Tek Ciang bukan hanya merampas surat, tetapi bahkan memperkosa Can Kui
Eng dan kemudian dia membunuh pula Pouw Kui Lok yang masih sute-nya sendiri
itu, dan lalu menjatuhkan fitnah kepada Pouw Kui Lok yang dilaporkannya kepada
pimpinan Kun-lun-pai sebagai pemerkosa dan pembunuh Can Kui Eng!
Setelah
berhasil mengelabui para tosu Kun-lun-pai dan mencuri kitab Sin-liong Ho-kang,
Tek Ciang lalu menjanjikan untuk mencari kitab itu. Pergilah manusia berhati
kejam ini ke kota raja. Dengan sikapnya yang sopan dan terpelajar, akhirnya Tek
Ciang berhasil dihadapkan kepada kaisar dan ia melaporkan tentang pemberontakan
itu, menyerahkan suratnya kepada kaisar.
Tentu saja
Kaisar Kian Liong merasa kaget dan marah bukan main. Dia selalu bersikap baik
dan bersahabat kepada para pendekar, maka sungguh tidak disangkanya sama sekali
bahwa kini para pendekar sedang mengadakan persekutuan untuk memberontak
kepadanya! Dengan kemarahan memuncak, kaisar itu lantas memerintahkan pengawal
untuk pergi menangkap Panglima Gan sekeluarga dan menjebloskan mereka ke dalam
penjara. Hari itu juga perintah ini dilaksanakan dan gemparlah kota raja saat
mendengar berita bahwa Panglima Gan ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan
atas perintah kaisar sendiri!
Kaisar lalu
memanggil semua menteri dan hulubalangnya. Di depan mereka ini, Tek Ciang
mengulang apa yang diketahuinya dan kaisar menyuruh baca surat dari para
pendekar yang ditujukan kepada Panglima Gan itu.
“Sekarang
juga kita harus mengirim pasukan besar ke Hutan Cemara, menangkapi semua
pemberontak laknat itu. Lekas panggil Jenderal Kao, dialah orangnya yang akan
memimpin pasukan menangkapi para pemberontak!” bentak kaisar.
“Harap
paduka sudi mengampunkan kelancangan hamba, akan tetapi hamba rasa tidaklah
tepat menyuruh jenderal itu memimpin pasukan menyergap para pemberontak, sri
baginda!” Tiba-tiba Tek Ciang berkata dan semua pembesar yang berada di situ
terkejut.
Orang ini
sudah bosan hidup, pikir mereka, berani mencela keputusan sri baginda kaisar.
Akan tetapi Kaisar Kian Liong yang sudah merasa berterima kasih kepada Tek
Ciang tidak menjadi marah, hanya merasa heran.
“Louw Tek
Ciang, apa maksudmu dengan ucapanmu itu? Jenderal Kao Cin Liong ialah seorang
panglima cakap, dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya dialah yang
akan mampu menandingi para pendekar!”
“Ampun, sri
baginda. Hamba berani mengemukakan pendapat hamba ini atas dasar perhitungan
yang matang. Hendaknya paduka ketahui bahwa para pemberontak itu terdiri dari
para pendekar dan banyak pula keluarga para pendekar Pulau Es hadir di sana.
Seperti paduka ketahui, Jenderal Kao Cin Liong adalah mantu dari salah seorang
pendekar Pulau Es. Maka kalau dia yang bertugas memimpin pasukan, hamba berani
berkeyakinan bahwa usaha penyergapan itu tidak akan berhasil, mungkin malah
gagal dan siapa tahu Jenderal Kao itu diam-diam bersekongkol dengan para
pemberontak, atau setidaknya merasa simpati kepada mereka. Maka, akan lebih
tepatlah jika paduka memerintahkan seorang panglima lain yang memimpin pasukan
untuk menyergap di Hutan Cemara. Ada pun mengenai para pendekar di sana, hamba
sendiri pun sanggup untuk membantu pasukan menghadapi mereka!”
Kaisar Kian
Liong mengangguk-angguk dan alisnya berkerut. Ia langsung teringat akan
permohonan jenderal Kao Cin Liong untuk mengundurkan diri. Sudah pernah
jenderal muda itu mohon supaya diperkenankan mengundurkan diri meninggalkan
jabatannya, akan tetapi dia menahannya. Dan sekarang ada pemberontakan para pendekar
itu!
“Baiklah,
kami akan mengutus Jenderal Cao Hui untuk menyergap para pemberontak itu.
Jenderal Cao, bersiaplah dengan lima ribu orang tentara dan sergap hutan itu,
tangkap semua pemberontak. Akan tetapi sebelumnya, kau coba dulu Louw Tek Ciang
ini apakah cukup tepat untuk membantumu, apakah benar dia ada kepandaian
ataukah tidak.”
Jenderal Cao
Hui adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh lima tahun.
Selain pandai dalam ilmu perang, dia juga pandai ilmu silat dan mempunyai
tenaga besar. Pernah dia belajar ilmu silat pada seorang hwesio Siauw-lim-pai
dan karena itu dia cukup lihai. Setelah menerima perintah kaisar, Jenderal Cao
Hui bangkit berdiri sesudah memberi hormat kepada kaisar dan menghadapi Louw
Tek Ciang yang masih berlutut.
“Louw-sicu,
mari kita mentaati perintah sri baginda.”
Tek Ciang
berlutut memberi hormat kepada kaisar yang memberi isyarat dengan tangan agar
dia bangkit dan menghadapi jenderal itu. Mereka berdua kini sudah berdiri
saling berhadapan ditonton oleh kaisar dan para hulubalang.
“Louw-sicu,
sambutlah seranganku ini!”
Jenderal Cao
Hui menggerakkan kedua tangannya, langsung mengirim serangan sambil mengerahkan
tenaga. Kaisar memerintahkan agar dia menguji, maka dia pun hanya ingin menguji
kecepatan dan kekuatan orang yang barusan melapor tentang adanya pemberontakan
dan menjanjikan bantuan kepadanya itu.
“Ciangkun,
maafkanlah saya!” jawab Tek Ciang sambil menggerakkan kedua tangan ke depan
menyambut serangan panglima itu. Gerakan ini cepat bukan main dan ternyata
kedua telapak tangannya dengan tepat menerima kedua tangan Cao-goanswe.
“Plakkk!”
Tubuh
jenderal yang tinggi besar itu terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan
tubuh Tek Ciang sebaliknya sedikit pun tak terguncang. Tentu saja jenderal itu
menjadi terkejut bukan main. Juga semua panglima yang hadir merasa kagum bukan
main.
Mereka
mengenal jenderal itu sebagai seorang yang memliki tenaga raksasa, namun kini
beradu tangan dengan pemuda itu terdorong dan terhuyung sedangkan pemuda itu
sendiri tak tergoyah sedikit pun! Baru segebrakan itu saja sudah membuktikan
bahwa pemuda itu memang sesungguhnya seorang yang kuat sekali. Hal ini pun
diketahui oleh Cao-goanswe, maka dia pun berlutut lagi memberi hormat kepada
kaisar.
“Harap
paduka ketahui bahwa ilmu silat dan ketangguhan Louw-sicu ini sangat boleh
diandalkan untuk membantu hamba dalam penyerangan itu.”
Kaisar Kian
Liong juga bukanlah seorang yang asing dalam hal ilmu silat. Di waktu mudanya
kaisar ini sebagai seorang pangeran suka sekali merantau dan berkenalan dengan
orang-orang kang-ouw. Oleh karena itu, sekali melihat pertandingan tadi, walau
pun hanya segebrakan, namun dia sudah tahu bahwa Louw Tek Ciang adalah orang
yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada jenderalnya itu. Tentu saja Kaisar
Kian Liong menjadi girang sekali dan segera memerintahkan jenderal Cao dibantu
oleh Tek Ciang untuk segera berangkat mempersiapkan pasukan yang kuat agar pada
waktunya dapat melakukan pengepungan dan penyergapan.
Berita
tentang dipersiapkannya pasukan besar oleh Jenderal Cao ini dan ditangkapnya
Gan-ciangkun sekeluarga, sampai pula ke telinga Jenderal Kao Cin Liong.
Jenderal muda ini terkejut bukan main, apalagi mendengar bahwa pasukan itu
sudah berangkat pagi-pagi sekali. Dia cepat memberi tahukan hal ini kepada
isterinya dan ayah ibunya yang masih berada di rumahnya, juga kepada Puteri
Milana dan Gak Bun Beng.
Mendengar
ini, keluarga ini pun terkejut sekali. Para pendekar itu harus diselamatkan,
apalagi kalau diingat bahwa Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri
mereka hadir pula dalam pertemuan di Hutan Cemara itu. Maka, berangkatlah
mereka dengan cepat mengejar pasukan pemerintah agar dapat tiba di hutan itu
lebih dulu dari pada para prajurit pemerintah.
Kita kembali
ke hutan itu. Para pendekar yang tahu bahwa hutan itu sudah dikepung pasukan
yang besar, sebagian menjadi panik juga.
Akan tetapi
Sim Hong Bu sudah meloncat ke depan dan berseru. “Harap saudara sekalian tenang
dan siap mempertahankan diri. Inilah ujian pertama bagi kita dan demi
perjuangan yang suci, kalau perlu kita siap mengorbankan nyawa!”
Ucapan ini
segera disambut dengan gembira dan bangkitlah semangat para pendekar itu.
Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan bersiap menghadapi serbuan
pasukan besar yang sudah mengepung hutan itu.
“Kita
berpencar dan bersembunyi, memecah-belah kekuatan mereka serta membuka jalan
darah untuk menyelamatkan diri!” kembali Sim Hong Bu berseru. Ternyata dalam
keadaan terancam bahaya itu pendekar ini memperlihatkan ketenangan, ketabahan
dan kepandaiannya untuk memimpin.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara nyaring. “Tahan dulu....!” dan muncullah Kao Cin
Liong, Kao Kok Cu, Wan Ceng, Puteri Milana, Gak Bun Beng yang masing-masing
mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua agar tenang.
“Saudara-saudara,
dengarlah dulu sebelum turun tangan!”
Yang bicara
ini adalah Puteri Milana. Wanita yang sudah nenek-nenek ini nampak masih anggun
dan gagah, suaranya nyaring penuh wibawa, membuat semua pendekar terkejut dan
memandang kepada rombongan yang baru tiba ini. Melihat mereka ini, Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu bersama isteri mereka juga bergabung.
“Siapakah
mereka itu....?” Bi Eng bertanya kepada Ceng Liong yang masih berdiri di
dekatnya.
Ceng Liong
juga terkejut melihat hadirnya semua keluarganya itu. Dia melihat betapa Ciang
Bun juga kini sudah menggabungkan diri dengan mereka. Hampir lengkaplah
keluarga para pendekar Pulau Es berkumpul di situ! Mendengar pertanyaan
kekasihnya, Ceng Liong menjawab lirih.
“Mereka
adalah keluarga para pendekar Pulau Es....”
“Ahhh....?
Yang mana ayahmu dan ibumu....?” gadis itu bertanya penuh kagum karena
rambongan itu memang nampak gagah perkasa.
“Itulah ayah
dan ibu, dan itu bibi Puteri Milana bersama suaminya, dan di sana itu paman
Suma Kian Lee dan isterinya.”
“Siapakah orang
gagah berpakaian panglima itu?”
“Dia itu
kakak iparku, Jenderal Kao Cin Liong bersama enci Suma Hui, isterinya. Dan
kakek berlengan satu itu adalah Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama
isterinya pula....”
“Ahhh....!”
Bi Eng tiada hentinya mengeluarkan seruan kaget dan kagum. Dia sudah pernah
mendengar nama-nama itu yang disebut dan dikagumi ayah ibunya, dan baru
sekarang ia dapat melihat mereka semua.
Munculnya
keluarga para pendekar Pulau Es ini memang mengejutkan semua orang, terutama
sekali mereka yang sudah mengenal beberapa di antara anggota keluarga itu.
Pimpinan Pek-lian-kauw yang baru saja mengalami kekalahan dan penghinaan sudah
mengenal pula Puteri Milana yang menjadi musuh besar mereka.
Ci Hong Tosu
bangkit dan mengangkat tongkatnya sambil berseru. “Mereka itu adalah keluarga
Pulau Es! Mereka sudah mengkhianati kita! Tentu merekalah yang membawa pasukan
pemerintah. Siapa tidak mengenal Puteri Milana, puteri Mancu yang dahulu sudah
banyak membasmi teman-teman kita yang berjuang untuk mengusir penjajah?”
Teriakan
tosu ini tentu saja membangkitkan amarah di dalam hati para pendekar, akan
tetapi karena yang bicara adalah tosu Pek-lian-kauw yang tadi sudah
memperlihatkan perangai buruk, sebagian besar para pendekar masih ragu-ragu.
“Saudara
sekalian, dengarkan dulu kata-kataku baru kalian boleh mengambil keputusan apa
yang akan kalian lakukan!” Puteri Milana berkata lagi dengan lantang. “Rencana
kalian untuk memberontak adalah suatu perbuatan bodoh yang waktunya tidak
tepat. Apa yang akan kalian capai dengan pemberontakan? Hanya perang besar yang
akan membuat rakyat jelata menderita. Puluhan ribu orang akan tewas, rakyat
kehilangan keluarga, harta benda dan ketenteraman hidup. Karena itu, sebelum
terlambat, kami datang untuk memperingatkan dan menyadarkan kalian supaya
menyerah dan jangan melawan!”
“Kami adalah
patriot-patriot yang tidak takut mati. Kami berjuang untuk membebaskan rakyat
dari belenggu penjajahan Bangsa Mancu. Engkau seorang puteri Mancu tentu saja
membela pemerintahan bangsamu!”
“Aku bukan
puteri Mancu. Aku puteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....”
“Tetapi
ibumu puteri Nirahai, puteri Mancu!” bentak kepala rombongan Pek-lian-pai.
“Cu-wi,
dengarlah baik-baik!” Kini Cin Liong yang berseru nyaring. “Lihatlah aku. Aku adalah
Jenderal Kao Cin Liong, tetapi aku datang bukan sebagai pemimpin pasukan untuk
menyerbu kalian, melainkan datang untuk menyadarkan kalian. Sebagai seorang
panglima aku tahu benar akan keadaan pemerintah. Di bawah pimpinan Sri Baginda
Kaisar Kian Liong, harus kita akui bahwa negara mengalami kemajuan dan taraf
hidup rakyat tidak sengsara. Lagi pula pemerintah ini selalu menentang golongan
jahat dan melindungi rakyat.”
“Engkau
penjilat orang Mancu! Huhh, tidak tahu malu!” terdengar pula teriakan dari golongan
Pat-kwa-pai dan Thian-lian-pai.
Akan tetapi
Cin Liong masih bersikap tenang. “Cu-wi adalah orang-orang yang gagah perkasa,
bukan orang-orang ceroboh yang tidak memperhitungkan setiap tindakan. Kita
harus memakai perhitungan apa untungnya dan apa ruginya kalau kita mau
bertindak. Camkanlah, kalau kalian melakukan pemberontakan, ruginya sudah
jelas. Rakyat akan menderita karena perang, karena perang mengakibatkan
kematian dan kehilangan, juga menimbulkan meraja lelanya kejahatan karena
kurang adanya penjagaan keamanan. Juga, keadaan pemerintah sekarang amat
kuatnya, setiap pemberontakan sama artinya dengan bunuh diri. Apalagi kalian
sekarang sudah dikepung oleh sepuluh ribu orang pasukan! Melawan berarti mati
semua. Dan apakah keuntungannya memberontak tidak pada saatnya yang tepat?
Cita-cita boleh muluk, akan tetapi andai kata dapat menang, hal yang sungguh
tidak mungkin terjadi dalam keadaan seperti sekarang di waktu rakyat belum
siap. Dan seandainya menang, belum tentu kalian akan mendapatkan seorang
pengganti kaisar yang baik, sebaik sri baginda kaisar sekarang ini!”
“Aha, enak
saja bagimu untuk bicara, Jenderal Kao Cin Liong. Lantas tindakan kami seperti
apakah yang akan kau anggap gagah? Apakah kita harus berlutut menyerahkan diri
dan minta ampun kepada orang Mancu? Ha-ha-ha, itukah yang akan kau anggap
sebagai perbuatan gagah?”
Kao Cin
Liong memandang kepada kakek yang bicara ini. Kakek ini bukan lain adalah
Bu-taihiap! Pernah terjadi sesuatu antara dia dan keluarga ini, suatu perasaan
tidak enak ketika dia menolak perjodohan yang dikehendaki keluarga itu antara
dia dan Bu Siok Lan, seorang puteri dari Bu-taihiap.
Dengan sikap ramah Cin Liong memberi hormat
kepada Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. “Harap Bu-locianpwe suka melihat kenyataan
dan tidak mendahulukan prasangka. Saya bersama semua keluarga Pulau Es datang
bukan untuk menentang cu-wi, juga bukan untuk membantu pemberontakan, tetapi
untuk mengingatkan akan bahayanya rencana cu-wi ini.”
“Nanti dulu,
orang muda!” Tiba-tiba terdengar suara Sim Hong Bu lantang. Orang gagah ini
telah melangkah maju dan dengan sinar mata mencorong dia menentang rombongan
keluarga Pulau Es. “Aku merasa heran sekali melihat betapa keluarga para
Pendekar Pulau Es dapat bersikap seperti ini!” Dia menatap tajam ke arah Suma
Kian Bu yang pernah dihubunginya. “Kalau kita takut menghadapi bahaya dan
kematian dalam suatu perjuangan, berarti kita pengecut dan bukan patriot
sejati. Setiap perjuangan tentu akan menjatuhkan korban. Setiap pembaharuan
harus berani meruntuhkan lebih dulu yang lama. Siapa yang tidak tahu akan hal
ini? Kerugian dan kematian yang diderita dalam setiap perjuangan merupakan
pupuk bagi perjuangan itu sendiri!”
Kini Suma
Kian Bu yang dipandang tajam oleh Sim Hong Bu, maju dan menjura kepada Sim Hong
Bu. “Saudara Sim memang seorang gagah perkasa dan tidak ada seorang pun
meragukan kegagahanmu dan jiwa patriotmu. Saudara Sim, seperti pernah kita
bicara, aku sendiri pun mengerti tentang jiwa patriot yang kini berkobar di
hati kalian. Bahkan aku menyetujui kalau negara dibebaskan dari penjajahan. Akan
tetapi, kini aku pun melihat bahwa hal itu harus dilakukan dengan perhitungan
yang amat masak, tidak secara sembrono saja. Kita harus dapat melihat keadaan
dan ingatlah, perjuangan ini adalah perjuangan rakyat, bukan perjuangan
beberapa gelintir pendekar saja. Untuk gerakan yang amat besar itu dibutuhkan
seorang pemimpin yang benar-benar jujur dan mencinta rakyat. Cobalah saudara
lihat, apakah orang-orang seperti dari Pek-lian-kauw dan perkumpulan lain yang
selalu memberontak karena kepentingan pribadi itu dapat dijadikan teman
seperjuangan? Nah, karena itu, aku Suma Kian Bu mewakili seluruh keluarga para
pendekar Pulau Es untuk minta pengertian dan kesadaran cu-wi dan menyerah saja
tanpa perlawanan.”
“Bukan
berarti kita takut, melainkan kita sadar dan bertindak bijaksana menghindarkan
jatuhnya banyak korban dengan sia-sia,” sambung Suma Kian Lee.
“Saya
sendiri yang akan menghadap sri baginda mintakan ampun bagi kita semua!” kata
Jenderal Kao Cin Liong.
“Aku pun
akan menghadap sri baginda, memohon agar sri baginda membebaskan cu-wi semua
dan menghabiskan urusan ini. Bagaimana pun juga, cu-wi belum memberontak, baru
mengadakan pertemuan dan jika cu-wi tidak melawan pasukan yang mengepung, maka
dosa cu-wi tidaklah begitu besar.”
“Omong
kosong!” Tiba-tiba Bu-taihiap berseru dengan suaranya yang amat keras. “Heh,
para keluarga pendekar Pulau Es, dengarlah baik-baik! Aku sudah banyak
mendengar akan kehebatan dan nama besar keluarga Pulau Es, juga aku sudah lama
mendengar kehebatan nama Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi tidak
kusangka bahwa mereka ini ternyata hanyalah penjilat-penjilat kaisar atau
pengecut-pengecut lemah. Kalau memang kalian hendak menjadi antek kaisar Bangsa
Mancu, majulah, kami tidak takut mati. Mati bagi kami merupakan suatu kebanggaan
karena kami mati untuk membela bangsa dan tanah air!”
Ucapan
Bu-taihiap ini kembali membangkitkan semangat para pendekar dan mereka bersorak
menyambut ucapan ini. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tidak
terbawa emosi dan dapat mempergunakan akal budinya untuk melihat kebenaran
dalam ucapan para keluarga pendekar Pulau Es tadi. Dan mereka ini lalu
menggeser tempat berdiri mereka, mendekati kelompok keluarga pendekar Pulau Es
di mana termasuk pula keluarga Kao. Sebagian lagi yang dibakar emosi berdiri di
belakang Bu-taihiap yang berdiri gagah bersama empat orang isterinya.
“Kita lawan
sampai mati....!” Bu Seng Kin berseru dan kembali disambut sorak-sorai oleh
seratus orang lebih mereka yang mendukungnya.
Sim Hong Bu
yang sudah terbakar pula semangatnya oleh sikap Bu-taihiap, meloncat ke depan,
di samping Bu-taihiap dan menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat mengerikan
ketika Pek-kong Po-kiam dicabutnya dan dia pun berteriak. “Kita adalah
patriot-patriot sejati! Sekaranglah saatnya kita membuktikan bahwa kita
berjuang bukan guna kepentingan diri sendiri, bahkan rela berkorban nyawa!”
Sikap Sim
Hong Bu ini segera menambah semangat mereka. Kembali para pendekar menyambut
dengan sorak-sorai. Melihat ini, Sim Houw putera Sim Hong Bu juga lalu melompat
ke dekat ayahnya dan bersikap gagah penuh semangat.
“Eng-moi....!”
Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras melihat Bi Eng tiba-tiba saja meloncat pula
ke depan, ke dekat guru dan tunangannya. Muka dara itu pucat, akan tetapi sinar
matanya penuh semangat dan dia pun sudah melolos suling emasnya.
Pada saat
itu terdengar bunyi terompet susul menyusul dan pasukan yang mengepung itu
mulai bergerak maju memasuki hutan cemara itu. Penyergapan dimulai! Tadi, Kao
Cin Liong menemui Jenderal Cao Hui dan minta Cao-goanswe menangguhkan dulu
penyergapan karena dia hendak membujuk dan menyadarkan para pendekar.
Cao-goanswe
amat segan kepada rekannya ini. Maka dia memberi waktu selama habis terbakarnya
sebatang hio. Dan agaknya waktu yang ditangguhkan itu sudah lewat dan sekarang
terpaksa Gao-goanswe mulai menggerakkan pasukannya menyerbu ke dalam hutan!
Melihat ini,
Puteri Milana cepat berseru. “Saudara-saudara yang sadar harap berdiri di
belakang kami!”
Mereka yang
tadi merasakan benarnya omongan keluarga para pendekar Pulau Es, segera
berkumpul di belakang keluarga itu dan Puteri Milana segera minta kepada
keluarganya untuk berdiri mengelilingi mereka untuk memberi perlindungan. Ada
pun para pendekar lainnya yang mendukung Sim Hong Bu dan Bu-taihiap, sudah
mencabut senjata masing-masing. Mereka berpencaran untuk menyambut serbuan para
prajurit pemerintah.
“Liong-ji....!”
Teng Siang In berseru keras pada waktu melihat puteranya meloncat dan
menyelinap bersama para pendekar yang hendak melawan pasukan!
“Ibu, aku
harus melindungi Eng-moi!” hanya itulah jawaban Ceng Liong.
Ibu ini
diam-diam merasa khawatir sekali. Dia tadi melihat betapa puteranya berdiri di
dekat seorang gadis gagah yang juga ikut maju bersama para pendekar melawan
pemerintah dan tahulah ibu ini bahwa tentu puteranya itu telah jatuh hati
kepada gadis pemberontak itu.
Diam-diam
dia merasa gelisah sekali, tetapi karena dia pun bertugas melindungi para
pendekar yang sudah sadar dan tidak melawan, ia tidak dapat meninggalkan tempat
itu. Lagi pula, apa yang dapat dilakukannya kalau memang puteranya itu jatuh
cinta kepada gadis pemberontak itu dan kini puteranya hendak melindunginya?
Ia tidak
dapat berbuat apa-apa lagi karena pada saat itu pertempuran sudah terjadi
dengan amat serunya. Ketika ada pasukan yang menghampiri rombongan mereka yang
mengelilingi para pendekar yang tak ingin melawan, Milana dan Ceng Liong
bergantian berseru. “Jangan serang kami! Kami orang sendiri!”
Para
prajurit tentu saja mengenal Jenderal Kao Cin Liong dan juga sebagian besar
prajurit yang sudah bertugas lama mengenal Puteri Milana, maka pasukan tidak
ada yang berani menyerang rombongan yang memang tidak melawan ini. Akan tetapi,
pasukan menghadapi perlawanan yang amat hebat dari para pendekar yang dipimpin
oleh Bu-taihiap dan Sim Hong Bu!
Biar pun
jumlahnya jauh lebih banyak, namun kini pasukan itu menghadapi orang-orang yang
selain memiliki ilmu kepandaian silat, juga bersemangat tinggi dan para
pendekar itu melakukan perlawanan nekat dan mati-matian. Mereka telah terbakar
semangatnya oleh sikap dan kata-kata Bu-taihiap dan Sim Hong Bu sehingga mereka
itu tidak ingat apa-apa lagi kecuali melawan dan melawan!
Hutan Cemara
yang biasanya sunyi dan bersih itu, kini telah berubah menjadi tempat yang
gaduh dan kotor oleh darah! Bagaikan orang-orang membabat rumput saja, para
pendekar itu mengamuk dan para prajurit itu roboh bergelimpangan. Terutama
sekali amukan Bu-taihiap dan keempat orang isterinya. Segera mayat para
prajurit berserakan dan bertumpuk-tumpuk di sekitar mereka.
Tak kalah
hebatnya adalah amukan Sim Hong Bu dan puteranya, Sim Houw. Pedang Pek-kong
Po-kiam di tangan Sim Hong Bu bagaikan telah berubah menjadi seekor naga,
seekor naga yang haus darah. Darah muncrat-muncrat dan membanjiri tanah ketika
pendekar ini mengamuk dengan pedangnya.
Sim Houw
yang baru saja kembali dari gemblengan yang diterimanya dari pendekar sakti Kam
Hong, juga mengamuk hebat. Dia bahkan lebih lihai dari pada ayahnya dan walau
pun pedangnya bukan merupakan sebuah pusaka yang sehebat dan seampuh Pek-kong
Po-kiam, akan tetapi pedang itu dapat bergerak lebih hebat lagi.
Hanya saja,
agaknya pemuda ini tidak begitu bernafsu untuk membunuh lebih banyak orang,
maka gerakannya tidak begitu ganas dan walau pun setiap orang lawan yang
menghadapinya tentu roboh, akan tetapi pedangnya tak menjatuhkan korban
sebanyak yang roboh oleh Pek-kong Po-kiam di tangan ayahnya.
Pedang
Pek-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Putih) memang tidaklah sedahsyat pedang
Koai-liong Po-kiam yang telah diminta kembali oleh Cu Han Bu, akan tetapi
pedang ini pun bukan pedang biasa. Sim Hong Bu memperoleh pedang ini dari
seorang tosu pertapa yang merasa kagum akan semangat perjuangannya.
Sementara
itu, Bi Eng juga mengamuk dengan suling emasnya. Akan tetapi tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu dara ini berhadapan dengan Ceng Liong!
“Eng-moi, jangan....!”
kata pemuda itu.
Bi Eng
terpaksa menghentikan gerakan suling emasnya ketika ia melihat pemuda yang
dicintanya itu menghadang di depannya.
“Liong-ko,
minggirlah. Biarkan aku membantu para pejuang!” kata Bi Eng, suaranya gemetar
dan matanya basah. Gadis ini memang sedang merasa gelisah dan bingung sekali.
Tidak disangkanya bahwa terjadi perpecahan di antara para pendekar, terutama
sekali antara gurunya dan keluarga Ceng Liong!
“Eng-moi,
jangan.... demi aku.... demi cinta kita, jangan kau lanjutkan....!” Ceng Liong
berkeras menahannya.
Suling emas
itu digengam erat-erat di tangan kanan Bi Eng. Ia menghadapi kekasihnya dengan
muka pucat.
“Koko,
kenapa engkau menentangku? Menentang kami? Kenapa....? Jangan halangi aku dan
minggirlah, biarkan aku melawan para penjajah, aku tidak takut mati....!”
“Eng-moi,
ingatlah, sadarlah. Lihatlah baik-baik. Kalau keluarga Pulau Es memang mau
menentang kalian, tentu kami sudah bergerak dan melawan kalian. Apakah kalian
akan mampu berbuat banyak kalau begitu? Lihatlah, kami diam saja. Kami tidak
membantu kalian, akan tetapi kami pun tidak menentang kalian. Eng-moi, marilah.
Mari engkau ikut pergi denganku, Eng-moi. Kita pergi jauh sekali, meninggalkan
semua kerusuhan dan keributan, semua bunuh-membunuh yang haus darah ini.
Lihatlah, tidak mengerikankah semua ini....?” Ceng Liong membuka kedua
tangannya menunjuk ke empat penjuru. Memang amat mengerikan melihat mayat-mayat
berserakan dan darah membanjir di sekitar tempat itu.
Akan tetapi,
Bi Eng yang dikuasai semangat perlawanan yang hebat itu tidak mudah dibujuk.
“Koko, aku
harus melawan mereka! Aku harus mempunyai setia kawan terhadap para pendekar.
Dan engkau.... engkau seorang gagah perkasa, mari berjuang bersamaku, koko!”
“Tidak,
Eng-moi, ingatlah, engkau keliru. Mereka semua itu keliru. Sekarang aku sudah
sadar bahwa semua ini merupakan perbuatan tergesa-gesa dan gegabah, tidak
pernah diperhitungkan masak-masak dan tiada gunanya lagi. Mari kita berdua
pergi saja dari sini, Eng-moi....”
“Tidak,
koko, aku harus membunuh anjing-anjing Mancu itu, sebanyak mungkin!” Gadis itu
menggerakkan sulingnya sehingga nampak sinar berkelebat.
“Aih,
Eng-moi, kenapa engkau tidak mendengarkan kata-kataku? Baiklah, Eng-moi, jika
memang engkau begitu haus darah, nah, ini dadaku. Kau bunuhlah aku lebih dulu
dari pada melihat engkau akhirnya akan tertawan atau terbunuh dan membuat aku
menjadi menyesal dan berduka.” Suma Ceng Liong melangkah maju mendekati gadis
itu.
Wajah Bi Eng
menjadi pucat sekali. Suling yang sudah diangkatnya itu turun kembali, matanya
terbelalak memandang wajah Ceng Liong. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan
akhirnya gadis yang gagah perkasa dan penuh semangat itu menjadi bingung dan
gelisah, lalu menangis!
“Kam-siocia
(nona Kam), apakah orang ini mengganggumu?” terdengar bentakan dan nampak sinar
berkilat menyambar ke arah leher Ceng Liong.
Pemuda ini
terkejut, tahu bahwa yang menyerangnya adalah seorang yang amat lihai, maka dia
pun melempar tubuh ke belakang dan pedang itu meluncur bagaikan kilat
menyambar.
Penyerangnya
itu adalah Sim Houw, pemuda putera Sim Hong Bu yang menjadi calon suami atau
tunangan Bi Eng! Pemuda itu memang hebat sekali. Begitu serangannya luput,
pedangnya sudah membalik dan meluncur lagi seperti kilat menyambar-nyambar,
pedangnya lenyap membentuk sinar bergulung-gulung menyilaukan mata. Inilah ilmu
pedang gabungan dari Koai-liong Kiam-sut dan Sin-sauw Kiam-sut yang
dipelajarinya dari pendekar sakti Kam Hong. Memang belum sempurna benar dia
menggabung kedua ilmu itu, akan tetapi biar pun belum sempurna, keampuhannya
sudah hebat. Sinar pedang itu bergulung-gulung dan mengeluarkan suara seperti
suling ditiup!
Tentu saja
Ceng Liong merasa terkejut sekali. Cepat dia pun menggerakkan tubuhnya mencelat
ke sana-sini untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut yang memancar
dari sinar pedang lawan itu. Dia sudah mengenal kehebatan Sim Hong Bu, akan
tetapi tidak pernah disangkanya bahwa putera pendekar itu sedemikian hebatnya
ilmu pedangnya.
Juga terjadi
semacam keraguan dan kebingungan di dalam hati Ceng Liong. Dia sudah mengenal
pemuda ini sebagai calon suami kekasihnya. Maka, kini dia merasa tidak enak
hati sekali. Bagaimana pun juga, dia sudah merampas calon isteri pemuda ini,
maka ada semacam perasaan bersalah terhadapnya dan kini dia merasa sungkan
untuk melawan.
Maka, biar
pun Sim Houw menyerangnya bertubi-tubi, Ceng Liong hanya berloncatan ke
sana-sini untuk mengelak saja, masih merasa ragu-ragu untuk membalas. Padahal,
kalau hanya bertahan saja tanpa balas menyerang terhadap seorang lawan seperti
Sim Houw, sungguh amat berbahaya sekali. Pedang pemuda itu bagaikan seekor naga
mengamuk dan sebentar saja gulungan sinar pedang itu menutup semua jalan keluar
Ceng Liong. Pemuda ini masih bertahan, melempar dirinya ke belakang dan
bergulingan di atas tanah.
“Brettttt....!”
Biar pun
kulit tubuhnya belum tersayat, akan tetapi ujung bajunya terobek ujung pedang.
Barulah Ceng Liong benar-benar merasa terkejut sekarang. Jarang ada lawan yang
akan mampu merobek ujung bajunya dengan pedang, dan hal ini saja membuktikan
bahwa lawannya benar-benar amat tangguh.
“Tringgg....!”
Tiba-tiba
nampak api berpijar ketika pedang di tangan Sim Houw yang masih terus mengejar
Ceng Liong itu tertangkis sebatang suling emas.
“Nona
Kam.... kau.... kenapa....?” Sim Houw terkejut sekali dan terbelalak memandang
wajah Bi Eng.
Biar pun
gadis ini dengan resmi menjadi tunangannya, bahkan di antara mereka masih ada
hubungan perguruan karena dia digembleng ayah gadis itu dan sebaliknya gadis
itu menjadi murid ayahnya, namun mereka berdua tidak pernah bergaul dan Sim
Houw adalah seorang pemuda pemalu yang tidak pernah bergaul dengan wanita. Oleh
karena itu dia merasa sungkan dan malu dan menyebut gadis itu dengan sebutan
‘nona’. Tentu saja pemuda ini merasa kaget dan heran sekali melihat betapa
tunangannya itu malah menangkis pedangnya yang hendak menyerang laki-laki yang
membuat tunangannya tadi nampak bingung dan menangis!
“Sim-koko,
jangan serang dia!” kata Bi Eng dengan mata masih basah dengan air mata.
Pada saat
itu empat orang prajurit pemerintah datang menerjang. Pedang di tangan Sim Houw
dan suling di tangan Bi Eng bergerak membentuk sinar dan robohlah empat orang
prajurit itu tanpa dapat bangun mau pun bergerak lagi.
“Eng-moi,
mari kita pergi....!” kata Ceng Liong.
Bi Eng
nampak ragu-ragu dan Ceng Liong lalu memegang tangan gadis itu, menariknya
pergi dari situ. Melihat ini, Sim Houw memandang bengong dan bingung.
Pada saat
itu, terdengar teriakan ayahnya. Sim Houw cepat membalikkan tubuhnya dan terkejut
bukan main melihat ayahnya dikeroyok oleh puluhan orang perwira dan prajurit
pemerintah. Di antara para perwira yang rata-rata lihai itu terdapat seorang
lelaki yang gerakannya aneh dan lihai sekali, yang memainkan sebatang pedang,
dan membuatnya terkejut karena dia seperti mengenal gerakan-gerakan yang mirip
dengan Koai-liong Kiam-sut!
Ayahnya
bukan hanya terdesak, tetapi agaknya sudah terluka parah. Tubuhnya mandi darah
dan biar pun pedang Pek-kong Po-kiam masih amat hebat dan merobohkan lagi beberapa
orang, namun luka-luka di tubuhnya akibat anak panah dan bacokan-bacokan
membuat ayahnya terhuyung-huyung.
Kiranya,
betapa pun lihainya Sim Hong Bu, menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang
tidak pernah berkurang jumlahnya karena setiap kali ada yang roboh, ada pula
penggantinya yang maju, akhirnya kakek ini kehabisan tenaga serta kecepatannya
berkurang sehingga dia terluka oleh beberapa batang anak panah dan senjata
lawan. Apalagi ketika Louw Tek Ciang membantu belasan orang perwira yang
mengeroyok pendekar ini, keadaan Sim Hong Bu benar-benar repot.
“Ayah....!”
Sim Houw berteriak dan lari menghampiri tempat dimana ayahnya terkurung ketat
itu.
Dia pun
mengamuk. Pedang di tangannya mengeluarkan suara melengking-lengking dan banyak
prajurit dan perwira roboh oleh sinar pedangnya. Akibat kehebatan pemuda ini,
Tek Ciang sendiri menjadi terheran-heran dan kagum bukan main. Tadi pun ia
telah mengenal Kai-liong Kiam-sut.
Sebagai
murid keluarga Cu, tentu saja dia sudah mendengar tentang Sim Hong Bu yang dianggap
murid bahkan menantu durhaka dari keluarga Cu itu. Maka ketika tadi dia
mengeroyok pendekar itu, dia mengenal gerakan Koai-liong Kiam-sut yang
mempunyai dasar-dasar gerakan mirip dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari
keluarga Cu, dan melihat suami Cu Pek In itu, timbul keinginan hati Tek Ciang
untuk membunuhnya.
Guru-gurunya
sudah bercerita tentang kehebatan ilmu pedang itu dan sekarang dia pun
mendapatkan kenyataan betapa lihainya pendekar itu. Akan tetapi sesudah dia dan
kawan-kawannya hampir berhasil merobohkan Sim Hong Bu, tiba-tiba muncul pemuda
yang amat lihai itu.
“Ayahhh....!”
Sim Houw merangkul ayahnya ketika berhasil membuat para pengeroyok ayahnya
kocar-kacir.
“Houw-ji....
aku sudah terluka.... tinggalkan aku dan selamatkanlah dirimu.... engkau tidak
boleh mati.... kelak engkau harus melanjutkan perjuanganku.... menyusun tenaga
baru....” Sim Hong Bu terengah-engah menahan nyeri dan dia tetap gagah,
pedangnya melintang di depan dada.
“Tidak,
ayah.... aku harus melindungimu....”
Pada saat
itu, Louw Tek Ciang yang merasa penasaran karena ingin sekali merampas pedang
pusaka, sudah menghimpun pembantu-pembantu yang lihai dan mengepung lalu
menerjang ayah dan anak itu. Sim Houw menyambut dan terjadilah perkelahian seru
antara Sim Houw dan Tek Ciang.
Sim Houw
terkejut bukan main mendapat kenyataan betapa lawannya ini amat tangguh, bukan
hanya mampu menahan serangan pedangnya, bahkan mampu membalasnya pula dengan
amat hebat! Lebih terkejut lagi ketika kini dia dapat melihat semakin nyata
bahwa dasar-dasar gerakan ilmu pedang dari orang ini sangat mirip dengan
Koai-liong Kiam-sut!
Maka dia pun
cepat memutar pedangnya dan begitu dia mainkan gabungan Koai-liong Kiam-sut dan
Sin-siauw Kiam-sut, Tek Ciang mengeluarkan seruan kaget dan terdesak hebat!
Suara melengking-lengking yang keluar dari pedang pemuda itu mengingatkan
dirinya akan suara tiupan suling keluarga Kam yang pernah membuatnya kalah.
Sementara
itu, keadaan Sim Hong Bu makin payah. Oleh karena sudah terlalu banyak
mengeluarkan darah, orang tua yang gagah perkasa ini semakin berkurang
tenaganya dan menghadapi pengeroyokan para perwira, biar pun dia masih
berbahaya dan dapat merobohkan lawan yang terlalu dekat dengannya, namun dia
menerima pula beberapa kali tusukan tombak dan tubuhnya semakin terhuyun-huyung.
Melihat
keadaan ayahnya ini Sim Houw memutar pedangnya meninggalkan Tek Ciang dan
melindungi ayahnya. Pedangnya membentuk gulungan sinar yang panjang dan luas,
membuat para pengeroyok Sim Hong Bu kocar-kacir lagi. Akan tetapi, tiba-tiba
Tek Ciang bersama kawan-kawannya datang menyerbu.
Sim Houw
merangkul ayahnya dan ayah ini berkata. “Houw-ji, pergunakan pedang ini,
pergunakan Pek-kong Po-kiam....”
Sim Houw
bertukar pedang dengan ayahnya. Begitu dia memutar Pek-kong Po-kiam, akibatnya
sangat hebat. Empat orang perwira terjungkal dan Tek Ciang sendiri terpaksa
melompat mundur sampai jauh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sim Houw untuk
memondong ayahnya yang sudah lemah itu dengan lengan kiri, lalu meloncat pergi.
“Pemberontak,
hendak lari ke mana kau?” Louw Tek Ciang yang menginginkan pedang pusaka itu
melakukan pengejaran.
Akan tetapi
Sim Houw bersama ayahnya sudah menghilang di antara banyak prajurit yang masih
bertempur dengan seru itu. Tek Ciang menjadi kecewa dan marah, lalu membantu para
prajurit yang masih mengepung para pendekar.
Keluarga
Bu-taihiap juga mengamuk dengan hebatnya. Pendekar yang sudah tua ini lihai
bukan main, bertempur sambil tertawa-tawa gembira. Juga empat orang isterinya
adalah wanita-wanita yang hebat. Tang Cun Ciu yang dahulu terkenal dengan
julukan Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa), bekas isteri tokoh keluarga Cu
yang lihai, kini biar pun sudah berusia enam puluh tahun, masih ganas dan
lihai. Juga Cu Cui Bi yang bekas nikouw itu pun mengamuk di samping suaminya.
Puteri
Nandini, puteri Nepal yang menjadi seorang di antara isteri-isteri Bu-taihiap
juga mengamuk dengan hebat. Wanita ini pernah menjadi panglima Nepal dan memang
sejak dahulu ia bermusuhan dengan pemerintah, maka kini ia memperoleh
kesempatan melampiaskan dendamnya dan mengamuk, membunuh banyak sekali prajurit
yang berani mendekatinya. Isteri ke empat adalah seorang bongkok bernama Gan
Cui yang juga lihai sekali. Nenek ini pun mengamuk dan keluarga Bu yang terdiri
dari lima orang ini telah merobohkan puluhan orang prajurit pemerintah.
Selain
keluarga Bu ini, juga para pendekar yang tadi tidak dapat dibujuk oleh keluarga
para pendekar Pulau Es mengamuk. Termasuk di antara mereka ini adalah
orang-orang Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan Thian-li-pai yang sejak dulu memang
merupakan musuh-musuh lama pemerintah.
Perang kecil
itu terjadi di Hutan Cemara dan biar pun ratusan orang prajurit pemerintah
roboh dan tewas, namun satu demi satu para pemberontak itu dapat dirobohkan
karena kehabisan tenaga atau kehabisan darah dari luka-luka mereka.
Mulailah
sebagian dari mereka mencari jalan untuk melarikan diri. Karena melihat bahwa
perlawanan mereka akan sia-sia saja, di antara mereka itu pun mulai menyelinap
dan mencari kesempatan menyelamatkan diri dari pembantaian para prajurit.
Akan tetapi
Bu-taihiap bersama empat orang isterinya tidak mau mundur selangkah pun!
Bu-taihiap yang sudah tua itu agaknya tahu bahwa usianya tidak akan lama lagi
dan dia memilih mati sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa. Agaknya keempat
orang isterinya itu sangat setia kepadanya dan juga berpendirian sama, maka
mereka pun mengamuk di samping suami mereka itu, sedikit pun tidak ingin
mundur.
Akan tetapi,
seperti juga para pendekar yang lain, tenaga keluarga Bu-taihiap ini ada batasnya.
Biar pun banyak sekali prajurit yang roboh tewas di tangan mereka, akan tetapi
saking banyaknya jumlah lawan, mereka pun mulai kehabisan tenaga dan mulai
terkena senjata lawan sehingga luka-luka. Akhirnya, seorang demi seorang dari
empat isteri Bu-taihiap itu pun roboh dan Bu Seng Kin sendiri akhirnya pun
roboh. Dia dan isteri-isterinya telah mempertahankan diri sampai titik darah
terakhir dan tewas sebagai pejuang-pejuang yang amat gagah perkasa.
Perihal
mereka ini, dan perihal pertempuran di Gunung Hutan Cemara itu akan selalu
dikenang oleh para patriot di sepanjang masa. Mereka yang akhirnya berhasil
lolos dari Hutan Cemara itulah yang kemudian bercerita tentang kegagahan
keluarga Bu-taihiap dan pertempuran di Hutan Cemara itu terkenal dengan nama
Banjir Darah Di Hutan Cemara.
Di antara
seratus lebih orang yang melawan pasukan pemerintah, hanya ada belasan orang
saja yang berhasil lolos dan selebihnya tewas dengan tubuh hancur di bawah
hujan senjata. Akan tetapi, korban para pejuang yang jumlahnya kurang dari
seratus orang itu ditebus dengan nyawa hampir seribu orang prajurit Mancu!
Louw Tek
Ciang merasa gemas sekali melihat betapa keluarga Pulau Es telah berhasil
menyadarkan cukup banyak pendekar yang kemudian hanya digiring ke kota raja
oleh Jenderal Cao seperti yang diminta oleh Kao Cin Liong dan Puteri Milana.
Tek Ciang tidak berani membantah, bahkan dia tidak berani memperlihatkan
mukanya di depan keluarga Pulau Es, melainkan mendahului pasukan pulang ke kota
raja.
Pada saat
keluarga Pulau Es diperkenankan menghadap kaisar bersama para pendekar yang
urung memberontak, barulah Tek Ciang menyelinap di antara para panglima. Ketika
Cin Liong dan Suma Hui melihat Louw Tek Ciang berada di antara para panglima
menghadap kaisar, mereka terkejut bukan main. Juga Suma Kian Lee mengerutkan
alisnya dan para keluarga Pendekar Pulau Es ini pun diam-diam tahu siapakah
yang menjadi pengkhianat sehingga pertemuan antara pendekar itu sampai
diketahui kaisar dan disergap. Tentu iblis itulah yang menjadi biang keladinya.
Akan tetapi
keluarga Pulau Es tidak tahu apa yang telah terjadi dan bagaimana iblis itu
memperoleh kepercayaan kaisar. Hanya seorang di antara para pendekar yang
berada di situ, yaitu Kwee Cin Koan, yang mengerutkan alisnya.
Pada waktu
berada di Hutan Cemara, sebelum pasukan menyerbu, dia berkesempatan bertemu
dengan wakil Kun-lun-pai dan dia mendengar bahwa kekasihnya, Can Kui Eng,
terbunuh oleh susiok-nya sendiri. Ketika dia bertanya dengan hati hancur
tentang surat titipannya yang ditujukan kepada seorang panglima di kota raja,
para wakil Kun-lun-pai tidak tahu. Mereka hanya menceritakan bahwa juga sebuah
kitab pelajaran lenyap dari kamar perpustakaan Kun-lun-pai.
Ketika
keluarga Pulau Es muncul dan menyadarkan para pendekar, Kwee Cin Koan dan lima
orang sute-nya dari Kong-thong-pai juga ikut sadar. Mereka menggabung dengan
keluarga Pulau Es, apalagi karena semangatnya telah menjadi setengah lumpuh
oleh berita tentang kematian kekasihnya.
Wakil-wakil
Kun-lun-pai yang dapat melihat keadaan, ikut di dalam rombongan keluarga Pulau
Es pula. Saat berada di dalam rombongan itu dan hanya menyaksikan terjadinya
pertempuran, wakil-wakil Kun-lun-pai yang sempat melihat Louw Tek Ciang di
antara para perwira, memberi tahu kepada Kwee Cin Koan bahwa orang itu adalah
seorang tamu Kun-lun-pai yang menyaksikan terbunuhnya Can Kui Eng.
Oleh karena
itulah, ketika mereka semua dibawa menghadap kaisar, Kwee Cin Koan mengerutkan
alisnya dan memandang kepada Louw Tek Ciang dengan bermacam perasaan. Orang
itulah yang tahu tentang kematian kekasihnya dan agaknya hanya orang itu yang
akan dapat memberi keterangan dengan jelas. Para wakil Kun-lun-pai agaknya
tidak mau banyak bicara tentang kematian Can Kui Eng dan dia sendiri pun merasa
sungkan untuk mendesak.
Kaisar Kian
Liong merasa sedih mendengar pelaporan tentang penyerbuan di Hutan Cemara. Dia
merasa penasaran sekali mendengar betapa tokoh-tokoh pendekar yang dikenalnya,
bahkan tokoh-tokoh yang dikagumi dan yang pernah menolongnya ketika dia masih
pangeran dahulu seperti Bu-taihiap dan isteri-isterinya, turut pula menjadi
pemberontak dan tewas oleh pasukannya.
“Penasaran!
Penasaran!” Kaisar menepuk-nepuk pahanya dengan wajah amat murung. “Kenapa
mereka memberontak? Kenapa para pendekar yang dulu selalu melindungiku, kini
malah memberontak dan memusuhi aku?”
“Maaf, sri
baginda,” tiba-tiba Puteri Milana berkata sesudah memberi hormat kepada kaisar.
“Sesungguhnya mereka itu sama sekali tidak memusuhi paduka secara pribadi.”
Kaisar
memandang kepada nenek itu dengan alis berkerut. “Bibi Milana, engkau yang
termasuk pendekar, akan tetapi pernah pula menjadi panglima kerajaan,
jelaskanlah apakah yang menyebabkan mereka memberontak kalau mereka tidak
membenci dan memusuhi aku?”
Wanita itu
kembali memberi hormat. “Hamba tahu benar bahwa para pendekar itu pada umumnya
sayang kepada paduka, menjunjung tinggi keadilan dan memuji dengan kagum
kebijaksanaan paduka di dalam pemerintahan. Akan tetapi, sejak dahulu, para
pendekar itu merasa tidak senang melihat betapa tanah air mereka terjajah.
Itulah sebabnya mengapa mereka memberontak.”
Kaisar Kian
Liong menjadi lemas dan menundukkan muka sampai lama, berulang kali menarik
napas panjang. Jauh di lubuk hatinya dia dapat merasakan apa yang diderita oleh
para pendekar itu. Dan apa yang dapat dilakukannya? Penjajahan dari bangsanya,
Bangsa Mancu, terhadap seluruh Tiongkok ini dilakukan oleh nenek moyangnya dan
dia hanya sebagai keturunan yang melanjutkan pemerintahan saja. Namun dia sudah
berusaha untuk mendirikan pemerintahan yang baik adil dan bijaksana. Bagaimana
pun juga, tidak mungkin dia menghapus rasa tidak suka karena dijajah itu dari
hati para pendekar.
“Dan
bagaimana dengan para pendekar yang kalian bawa menghadap itu?” tanya kaisar
kemudian, dengan sinar mata kesal memandang kepada mereka yang menghadap,
berlutut di situ dan menundukkan muka.
“Hamba dan
Panglima Kao Cin Liong berhasil menyadarkan mereka dan selanjutnya terserah
kepada paduka,” kata Puteri Milana.
Kaisar
menoleh kepada panglima muda Kao Cin Liong dan kaisar mengerutkan alisnya. Dia
teringat akan laporan Louw Tek Ciang. Tadinya dia sendiri mencurigai Jenderal
Kao ini dan keluarga Pulau Es, akan tetapi ternyata sekarang bahwa keluarga
Pulau Es yang telah menyadarkan sebagian para pendekar dan karena itu maka
pertempuran tidaklah sehebat kalau mereka semua memberontak. Sukar dibayangkan
betapa hebatnya dan betapa banyaknya prajurit yang akan tewas sekiranya
keluarga Pendekar Pulau Es ikut pula memberontak!
“Bagaimana,
Kao-ciangkun? Apa keteranganmu tentang semua peristiwa ini?”
Cin Liong
melirik ke arah Tek Ciang, lalu memberi hormat dan berkata dengan suara
lantang, sedikit pun tidak terlihat takut. “Harap sri baginda maafkan kalau
hamba bicara secara terus terang saja. Sebetulnya, para pendekar yang
mengadakan pertemuan di Hutan Cemara itu sama sekali belum melakukan perbuatan
memberontak. Pendekar-pendekar itu hanya ingin mengadakan pertemuan untuk
memilih seorang bengcu di antara mereka. Memang, harus diakui bahwa sebagian
besar dari mereka mempunyai jiwa patriot dan merasa tidak suka akan penjajahan.
Akan tetapi, pada waktu mereka mengadakan pertemuan itu, sama sekali belum ada
rencana pemberontakan apa lagi gerakan memberontak.”
Kaisar
mengangguk-angguk. “Boleh jadi demikian, tetapi mereka telah bersekongkol
dengan Jenderal Gan!”
“Hamba tidak
tahu akan hal itu, sri baginda. Yang hamba ketahui bahwa para pendekar itu
mengadakan pertemuan dan begitu hamba mendengar tentang persekutuan dengan
Jenderal Gan dan ditangkapnya panglima itu, hamba bersama keluarga Pulau Es
segera pergi ke Hutan Cemara untuk menyadarkan mereka. Sayang bahwa sebagian
dari mereka tidak mau dibujuk sehingga terjadi pertempuran itu. Akan tetapi,
hamba telah berjanji kepada mereka yang sadar untuk memintakan ampun kepada
paduka dan hamba percaya akan kebijaksanaan paduka untuk mengampuni saudara-saudara
yang sama sekali belum memperlihatkan perbuatan memberontak ini.”
“Hamba juga
memohonkan ampun bagi mereka,” kata pula Puteri Milana dan perbuatan ini
diturut pula oleh para keluarga Pulau Es.
Kaisar Kian
Liong menghela napas panjang. “Baiklah, kami mengampuni mereka, akan tetapi
mereka akan dicatat dan kalau sampai ketahuan mengadakan persekutuan untuk
memberontak lagi, kami akan bertindak dan tidak akan dapat mengampuni mereka
lagi.” Para pendekar lalu menghaturkan terima kasih atas kebijaksanaan kaisar.
Mereka lalu diperkenankan keluar dari istana.
Peristiwa di
Hutan Cemara itu tak habis sampai di situ saja. Kao Cin Liong yang merasa
betapa semenjak itu sikap kaisar berubah terhadap dirinya, dan karena dia
sendiri pun merasa betapa batinnya terpecah antara kesetiaan kepada kaisar dan
setia kawan kepada para pendekar dan patriot, tidak lama kemudian lalu
mengajukan permintaan untuk mengundurkan diri.
Permohonan
yang kedua kalinya ini tidak ditolak oleh kaisar. Bukan hanya peristiwa itu
saja yang mendorong Kao Cin Liong mengundurkan diri, melainkan ada sebab lain
lagi, yaitu ketika dia mendengar bahwa Louw Tek Ciang diberi anugerah oleh
kaisar dengan diangkat menjadi seorang pembesar militer yang bertugas di utara!
“Si keparat
itu!” Isterinya, Suma Hui mengepal tinju. Wajahnya nampak membayangkan
kebencian. “Kalau tidak membalasnya sekarang, kalau sampai dia menjadi
pembesar, maka usahaku membalas kepadanya tentu akan mudah dicap pemberontak.”
Demikian
antara lain isterinya mengeluh dan akhirnya Kao Cin Liong memaksakan diri
mengajukan permohonan kepada kaisar untuk meletakkan jabatannya. Setelah urusan
itu selesai, ia bersama isterinya mulai melakukan penyelidikan dan mencari
kesempatan untuk dapat menyergap Louw Tek Ciang dan membalas dendam sebelum
orang itu memegang jabatannya di utara.
“Ayah....!”
Sim Houw mengeluh dengan sedih.
Ayahnya
terluka berat dan hampir kehabisan darah karena luka-lukanya. Sekarang dia
meletakkan tubuh ayahnya di bawah pohon dan dia sendiri berlutut di dekat
ayahnya. Dia berhasil melarikan ayahnya dari hutan di mana terjadi pertempuran
dan kini berada di tempat aman, di sebuah hutan di balik bukit yang penuh
hutan.
“Ayah,
bagaimana keadaanmu?”
Sim Hong Bu
membuka matanya dan memandang kepada puteranya. Mukanya pucat sekali, sepasang
mata itu pun telah kehilangan sinarnya. Dia menggerakkan tangannya dan Sim Houw
mendekatkan mukanya. Hatinya seperti diremas melihat ayahnya yang sudah
demikian payah keadaannya. Ayahnya menggerakkan bibir dan dia mendengar
bisikan-bisikan ayahnya.
“Houw-ji,
kau.... kau melihat.... Bi Eng....?”
Sim Houw
mengerutkan alisnya, teringat betapa Bi Eng membela pemuda yang dia tahu adalah
seorang anggota keluarga Pulau Es.
“Tadi aku
tahu, ayah, akan tetapi dia pergi, entah ke mana.” Hatinya tidak senang.
Mengapa ayahnya yang keadaannya separah itu bicara tentang gadis itu?
“Houw-ji....
kau melihat Suma Ceng Liong....?”
“Siapa dia,
ayah? Aku tidak tahu....”
“Dia.... dia
cucu Pendekar Super Sakti...., dia.... dia saling mencinta dengan Bi Eng....
ahh, aku menyesal sekali.... mengapa dahulu mengikatkan perjodohan antara
kalian....”
“Ayah, perlu
apa bicara tentang hal itu? Aku sama sekali tidak memikirkan tentang perjodohan
itu!”
“Benarkah....?
Benarkah itu, anakku? Benarkah bahwa ternyata engkau.... engkau tidak mencinta
Bi Eng....?”
Sim Houw
menjadi makin heran. Dia mengerutkan alisnya. Apakah karena luka-lukanya yang
parah membuat ayahnya berubah pikiran? Kalau tidak demikian, kenapa ayahnya
menanyakan hal yang bukan-bukan?
“Ayah, kami
belum sempat bergaul dan saling mengenal. Biar pun kami sudah saling
bertunangan, akan tetapi tanpa saling mengenal mana mungkin ada cinta?”
Anehnya,
mendengar ucapan itu, wajah orang tua itu nampak girang! “Bagus, bagus....
ahhh, senang hatiku mendengar hal ini.... Houw-ji, engkau.... engkau pergilah
menemui pendekar Kam Hong dan.... terus terang saja.... kau putuskan tali
perjodohan itu dengan resmi....”
Sim Houw
membelalakkan matanya. “Ayah, apa.... apa maksudmu?”
Dia masih
bingung dan heran, tidak tahu sama sekali mengapa ayahnya membicarakan hal
perjodohan yang harus dia putuskan itu.
Ayahnya yang
sudah payah keadaannya itu memegang lengan puteranya dengan kuat untuk beberapa
detik lamanya, lalu pegangannya mengendur. “Dengar baik-baik.... Bi Eng saling
mencinta dengan Suma Ceng Liong.... aku telah melihat dan mendengarnya
sendiri.... dan aku tidak menghendaki engkau mengalami nasib yang sama dengan
ayahmu.... Ingatlah, nak.... aku dan ibumu.... juga menikah tanpa rasa
cinta.... dan akibatnya kau tahu sendiri kami berpisah.... sebelum terlambat,
putuskan tali perjodohan itu dan.... dan jangan sekali-kali.... kau menanamkan
permusuhan dengan.... keluarga Suma....” Kakek itu tidak kuat lagi, terkulai
lemas.
“Ayaaaahhh....!”
Sim Houw menjerit dan merangkul ayahnya yang sudah tidak bernapas lagi itu.
Baru pada
detik inilah pemuda itu merasakan kedukaan yang hebat, rasa kesepian dan
sendirian ditinggalkan pergi satu-satunya orang yang sangat dicintanya. Ibunya
tidak pernah mempedulikannya, bahkan terlalu galak terhadap dirinya dan
semenjak ayah dan ibunya berpisah seperti yang didengarnya dari ayahnya,
diam-diam dia merasa tidak senang kepada ibunya yang membiarkan ayahnya
terbuang dari Lembah Naga Siluman. Dan kini ayahnya meninggalkannya untuk
selamanya, bahkan meninggalkan pesan yang juga menyakitkan hatinya itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment