Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 01
BAGI mereka
yang bukan pedagang keliling dan yang tak pernah melakukan perjalanan melintasi
Tembok Besar, pastilah menyangka bahwa kekuasaan Kerajaan Ceng yang dipegang
oleh bangsa Mancu tentu berhenti sampai di Tembok Besar itu saja. Padahal
sesungguhnya tidaklah demikian.
Bangsa Mancu
sendiri adalah bangsa yang tinggal jauh di utara yang sangat dingin, di daerah
yang keras dan kejam, dan di luar Tembok Besar masih terdapat daerah yang
sangat luas. Di sebelah utara Tembok Besar masih ada Propinsi Liaoning dan
Jilin yang berbatasan dengan Korea, daerah Mancuria sendiri yang luas, kemudian
masih terdapat pula daerah Mongolia Dalam atau Mongol, dan daerah Mongolia yang
lebih luas.
Akan tetapi,
setelah melewati Tembok Besar memang merupakan daerah yang liar serta kejam,
dengan tidak terhitung banyaknya bukit di antara padang pasir yang luas dan
merupakan lautan pasir yang ganas.
Padang pasir
seperti ini memang ganas, dan bahkan kadang-kadang kejam sekali. Dari
tulang-tulang kuda, onta, bahkan manusia yang terdapat berserakan di sana sini
dapat diketahui bahwa lautan pasir itu sudah banyak menelan korban. Mayat
manusia dan bangkai binatang yang tewas dalam perjalanan melintasi lautan pasir
dibiarkan saja berserakan, membusuk dimakan terik panas matahari, atau pun
digerogoti anjing-anjing serigala dan binatang buas lainnya, dibiarkan tinggal
tulang-tulangnya saja yang lama-lama mengering.
Lautan pasir
yang kelihatan tak bertepi itu memang kejam, juga mengandung kesunyian yang
mendatangkan suasana menyeramkan penuh keajaiban. Bayangkan saja betapa
mengerikan tersesat di lautan pasir seperti itu, di mana tidak dapat ditemukan
setetes pun air, sebatang rumput pasir. Yang ada hanya pasir di mana-mana,
panas dan silau, tidak diketahui lagi mana utara dan mana selatan. Belum lagi
kalau datang badai yang membuat pasir bergulung-gulung dan seakan berombak
seperti air di lautan, menelan apa saja yang menghalang di depan.
Para
pedagang yang melakukan perjalanan dan kemudian tersesat, kehabisan air minum,
kelelahan dan terjebak di dalam lautan pasir tanpa mengetahui ke arah mana
mereka harus menuju, saking takut dan ngerinya, banyak di antara mereka yang
dapat melihat pemandangan-pemandangan khayal yang aneh-aneh.
Ada yang
melihat air terjun dengan air yang melimpah-limpah dan segar sejuk, akan tetapi
ketika mereka menghampiri, yang ada hanya pasir belaka! Ada yang melihat anak
sungai dengan airnya yang segar, atau melihat kebun dengan pohon-pohon
menghijau dan buah-buah yang sudah masak, dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu
hanyalah bayangan khayal belaka, yang timbul karena alangkah besarnya keinginan
hati mereka mengharapkan air, pohon dan sebagainya yang amat mereka butuhkan
itu.
Di
tengah-tengah salah satu di antara padang-padang pasir yang amat luas itu,
terdapat sebuah gedung istana kuno, lengkap dengan kebun yang cukup luas,
dengan pohon-pohon buah yang subur, dan sayur-sayuran, bahkan tumbuh pula
gandum di ladang. Terdapat pula sumber air tidak jauh dari istana kuno itu.
Sungguh merupakan suatu keadaan yang ajaib. Andai kata ada orang tersesat
sampai ke daerah itu lalu melihat bangunan istana berikut perkebunannya yang
subur itu, tentu dia akan mengira bahwa dia pun hanya melihat pemandangan
khayal belaka.
Akan tetapi
tidaklah demikian sesungguhnya. Bangunan itu memang sebuah bangunan istana yang
besar, pernah di jaman dulu bangunan ini merupakan istana peristirahatan dari
seorang raja-diraja, seorang kaisar besar yang bukan lain adalah Kaisar Jenghis
Khan dari Kerajaan Mongol.
Akan tetapi,
puluhan tahun yang lalu, istana itu dihuni oleh seorang sakti yang aneh, yang
di dunia persilatan tingkat tinggi dikenal sebagai tokoh dongeng yang bernama
Dewa Bongkok. Nama Dewa Bongkok yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir ini
tidak kalah terkenalnya dan dianggap sebagai setengah dongeng saja, seperti
halnya PENDEKAR SUPER SAKTI penghuni Pulau Es! Setelah Dewa Bongkok meninggal
dunia, kini yang menjadi penghuni istana Gurun Pasir itu adalah muridnya yang
bernama Kao Kok Cu, yang di dunia persilatan dikenal sebagai Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir!
Nama besar
Pendekar Naga Sakti ini pernah menggemparkan dunia persilatan, dan dia tidak
kalah terkenalnya dibandingkan mendiang gurunya. Kini Kao Kok Cu telah menjadi
seorang kakek yang tua renta, tinggal di dalam istana kuno itu berdua saja
dengan isterinya.
Isterinya
bukanlah wanita sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang juga pernah
menggemparkan dunia persilatan. Namanya Wan Ceng, dan ketika kecil pernah
tinggal di Kerajaan Bhutan, jauh di barat bahkan menjadi saudara angkat Puteri
Syanti Dewi dari Bhutan sehingga ia memperoleh nama julukan Candra Dewi.
Wan Ceng
juga memiliki kesaktian dan kini ia dalam usia tujuh puluh dua tahun tinggal
bersama suaminya di Istana Gurun Pasir. Mereka berdua hidup di situ tanpa
pelayan, hanya berdua saja, mengerjakan ladang dan kebun sendiri yang hasilnya
jauh lebih dari pada cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Sebagian besar dari waktu luang mereka dipergunakan untuk bersemedhi dan bertapa.
Keadaan
sepasang suami isteri ini tidak dapat disamakan dengan keadaan para pertapa
yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai, pergi bertapa dengan suatu
pamrih tertentu.
Orang pergi
meninggalkan dunia ramai untuk bertapa di puncak bukit yang sunyi, di dalam goa
yang sederhana, hanya mengenakan cawat saja, hanya makan seadanya, menyiksa
diri menahan haus dan lapar, tentu mempunyai suatu tujuan tertentu. Tujuan
inilah pamrih, dan semua pamrih, baik yang terbuka mau pun terselubung, tentu
selalu menjangkau suatu keadaan yang menyenangkan.
Walau pun
pamrih mendapatkan keadaan yang menyenangkan ini diperhalus dengan sebutan
muluk, tetap saja merupakan pamrih demi kesenangan diri. Mungkin dia akan
mengatakan bahwa dia bertapa untuk mencari kesempurnaan hidup, mencari Tuhan,
mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Namun pencariannya itu sendiri membuktikan
bahwa dia menginginkan sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan
dalam bentuk kedamaian, kebahagiaan, dan lain sebutan lagi.
Sepasang suami
isteri itu tidak mencari apa-apa. Istana Gurun Pasir itu memang milik mereka,
peninggalan dari Dewa Bongkok kepada muridnya, yaitu kakek Kao Kok Cu. Mereka
berdua memang amat senang tinggal di tempat sunyi itu, bukan untuk mencari
sesuatu atau menjadikan tempat yang sunyi itu sebagai pelarian dari dunia
ramai. Sama sekali tidak. Mereka memang merasa senang tinggal di tempat yang
penuh keheningan itu dan merasa berbahagia.
Akan tetapi,
pada hari itu, Istana Gurun Pasir tidaklah setenang biasanya. Dari dalam gedung
istana tua itu kini terdengar suara gelak tawa dan percakapan yang diselingi
suara ketawa gembira. Kiranya suami isteri tua itu kedatangan seorang tamu yang
sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka.
Tamu itu
bukan seorang asing. Dia seorang hwesio yang bernama Tiong Khi Hwesio, usianya
juga sudah tujuh puluh dua tahun dan tentu saja kunjungan hwesio ini disambut
gembira oleh kakek dan nenek itu, terutama sekali nenek itu karena hwesio ini
bukan lain adalah saudara tirinya sendiri, seayah berlainan ibu.
Pada waktu
mudanya, Tiong Khi Hwesio adalah seorang pendekar sakti yang pernah
menggemparkan dunia kang-ouw dengan julukan yang mengerikan, yaitu Si Jari
Maut! Dia menikah dengan Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan dan sampai tua dia
tinggal di kerajaan kecil itu. Setelah isterinya meninggal dunia, dia hampir
gila karena duka. Akan tetapi, pertemuannya dengan seorang pendeta tua
menyadarkannya dan mulai saat itu, Wan Tek Hoat, demikian namanya, lalu
menggundul rambut kepala dan mengenakan jubah, menjadi seorang hwesio yang
berkelana.
Mereka
bertiga bercakap-cakap sambil makan sederhana dengan sayuran segar yang dimasak
sendiri oleh nenek Wan Ceng. Kemudian mereka bertiga keluar dari istana itu dan
duduk di serambi depan sambil bercakap-cakap. Kao Kok Cu yang dahulu berjuluk
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, walau pun usianya sudah hampir delapan
puluh tahun masih nampak gagah penuh semangat.
Lengan
kirinya yang buntung itu tak membuatnya terlihat mengerikan, bahkan membuat
dirinya nampak lebih berwibawa. Wajahnya yang tampan membayangkan kelembutan,
sinar matanya mencorong seperti mata naga namun juga membayangkan kelembutan
dan kesabaran. Melihat sepintas lalu, takkan ada orang mengira bahwa kakek tua
renta yang lengan kirinya buntung ini memiliki kesaktian yang amat hebat.
Dua macam
ilmu simpanannya, yaitu Sin-liong Hok-te, jurus pasangan kuda-kuda yang membuat
tubuhnya seperti mendekam di atas tanah bagaikan seekor naga, kemudian dapat
menimbulkan tenaga dahsyat yang mukjijat, dan Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat,
jarang dapat ditandingi di dunia persilatan.
Isterinya,
nenek Wan Ceng, meski pun usianya juga sudah tua sekali, masih nampak sehat.
Mukanya tidak penuh keriput dan kulit muka itu masih halus kemerahan saking
sehatnya, walau pun giginya telah ompong dan rambut di kepala telah putih
semua.
Nenek ini pun
memiliki ilmu simpanan yang khas, yaitu Ban-tok-ciang. Kalau dia sudah
mengerahkan tenaga memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya mengandung selaksa
racun (ban-tok) yang amat dahsyat dan berbahaya bagi lawan. Dan juga pedangnya,
Ban-tok-kiam, merupakan pusaka yang mengerikan.
Ada pun tamu
itu, Tiong Khi Hwesio, biar pun sudah setua nenek itu, namun tubuhnya masih
tegap, jalannya masih tegak. Jubahnya kuning bersih, matanya tajam berkilat dan
mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek yang dulunya pernah berjuluk
Toat-beng-ci (Si Jari Maut) ini mempunyai berbagai ilmu silat simpanan seperti
Pat-mo Sin-kun, Pat-sian Sin-kun, dan memiliki ilmu sinkang (tenaga sakti) yang
diberi nama Tenaga Inti Bumi. Juga pedangnya, Cui-beng-kiam, adalah sebuah
pedang pusaka yang ampuh sekali.
Sebetulnya
baru beberapa bulan yang lalu, Tiong Khi Hwesio berjumpa dengan kakek dan nenek
itu ketika mereka semua menghadiri pernikahan Pendekar Suling Naga yang bernama
Sim Houw, dengan Can Bi Lan, gadis yang pernah mendapat bimbingan ilmu silat
dalam waktu singkat dari kakek dan nenek ini sehingga dapat dibilang gadis itu
murid mereka. Pernikahan itu diadakan di rumah Pendekar Kao Cin Liong, yaitu
putera tunggal suami isteri dari Istana Gurun Pasir ini.
Akan tetapi
karena pertemuan itu terjadi di dalam sebuah pesta di mana hadir banyak tamu,
mereka merasa kurang leluasa bercakap-cakap. Siapa kira, tahu-tahu kini hwesio
tua itu muncul di istana mereka, tentu saja kakek dan nenek itu menjadi gembira
bukan main.
“Tek Hoat,
sungguh aku girang bukan main bahwa engkau sudi datang berkunjung pada kami.
Pertemuan dalam usia yang amat tua ini sungguh mendatangkan kenangan ketika
masih muda, dan menggembirakan sekali. Terima kasih, Tek Hoat.”
Nenek itu
memang selalu menyebut saudara tirinya dengan nama kecilnya saja, tidak peduli
bahwa sekarang saudara tirinya itu sudah menjadi seorang hwesio tua, seorang
pendeta!
Tiong Khi
Hwesio tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bertemu dan bercakap-cakap denganmu membuat
orang sama sekali lupa bahwa ia telah menjadi tua bangka, Wan Ceng. Sikap dan
kata-katamu seakan tidak pernah berubah, aku melihatmu seperti melihat engkau
ketika masih gadis, ha-ha-ha!”
Kao Kok Cu
juga turut tersenyum. Kemudian dia yang biasa bersikap serius, berkata dengan
halus namun meyakinkan, “Memang, waktu berjalan dengan cepatnya dan tahu-tahu
kita semua telah menjadi tua, sudah masak untuk meninggalkan dunia ini. Akan
tetapi, pernahkah kita menyelidiki pada diri sendiri, kebaikan dan kegunaan apa
saja yang pernah kita lakukan untuk mengisi kehidupan kita yang tidak berapa
panjang ini?”
Ucapan ini
membuat Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio termenung sampai beberapa lama. Mereka
terbenam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Tiong Khi Hwesio berkata.
“Omitohud
Kao-taihap, ucapanmu itu menggugah semua kenangan lama dan pinceng melihat
betapa selama hidup pinceng itu, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya
dan perbuatan pinceng jauh lebih banyak buruknya dari pada baiknya. Perbuatan
buruk itu pinceng lakukan karena ada dorongan nafsu, sedangkan perbuatan baik
pun pinceng lakukan dengan menyembunyikan pamrih demi keuntungan diri pribadi.
Omitohud, kalau dikaji benar, tidak ada baiknya perbuatan pinceng.”
“Aihh,
jangan kau berkata demikian, Tek Hoat. Aku tahu bahwa apa pun yang terjadi,
engkau berjiwa pendekar yang gagah perkasa. Kalau tidak demikian, mana mungkin
enci Syanti Dewi sampai tergila-gila dan jatuh cinta kepadamu? Engkau memang
terlalu merendahkan diri sendiri,” kata Wan Ceng. “Banyaklah sudah kegagahan
kau lakukan karena memang watakmu yang gagah perkasa, seperti seorang pendekar
sejati, tanpa pamrih.”
“Tapi...
tapi... kalau pinceng ingat sekarang, semua perbuatan itu pinceng lakukan demi
cinta pinceng kepada mendiang isteriku, Syanti Dewi. Andai kata tidak ada
Syanti Dewi, tidak ada cintaku terhadapnya... ahh, tidak tahulah aku, apa yang
akan terjadi dengan diriku...“ Tiong Khi Hwesio nampak termangu.
Kao Kok Cu
menarik napas panjang. “Memang demikian keadaannya. Kita tidak pernah bebas.
Perbuatan kita tidak pernah bebas dari pada pamrih. Karena ikatan-ikatan maka
kita selalu berbuat dengan adanya pamrih di belakang perbuatan itu, membuat
semua perbuatan kita palsu adanya. Betapa pun baiknya suatu perbuatan itu
menyembunyikan pamrih, maka perbuatan itu adalah suatu kejahatan pula, karena
perbuatan itu hanya menjadi semacam cara untuk mendapatkan hasil yang kita
kehendaki.”
Tiong Khi
Hwesio juga menarik napas panjang. “Omitohud, bijaksana sekali ucapanmu itu,
Kok-taihiap. Akan tetapi, bagaimana mungkin perbuatan kita tidak menyembunyikan
pamrih?”
“Bukankah
pamrih itu muncul dari ikatan kepada sesuatu? Ikatan inilah yang menjadi pamrih
dalam perbuatan kita. Karena itu, satu-satunya kebenaran adalah kebebasan!
Sebelum bebas dari semua ikatan, tak mungkin perbuatan kita benar, dalam arti
yang sedalam-dalamnya. Kita harus berani bebas, harus berani sendirian, sebab
bersendirian ini merupakan kenyataan hidup. Masing-masing dari kita membawa
kehidupan sendiri-sendiri dan akan mengakhiri kehidupan ini sendiri-sendiri
pula. Kita takut bersendirian, melihat kenyataan betapa kita ini masing-masing
kosong, lemah tidak berarti, maka timbullah rasa takut dan kita lalu mencari
pegangan, mencari ikatan sebanyaknya agar si aku tidak kehilangan pijakan. Kita
memperbanyak ikatan yang kita anggap mampu mendatangkan kekuatan dan
mendatangkan hiburan, seperti orang takut terhadap setan lalu mencari banyak
teman. Padahal, ikatan-ikatan ini pangkal semua kesengsaraan.”
Wan Ceng
yang sejak tadi mendengarkan, mengerutkan alis. Sudah sering ia bercakap-cakap
dengan suaminya tentang hal ini, namun masih juga merasa sukar untuk dapat
menangkap maknanya yang tepat. Sekarang ada Tiong Khi Hwesio di situ, maka dia
mengajukan bantahannya lagi agar dapat lebih mudah menyelidiki dan mengerti.
“Akan
tetapi, kalau kita membiarkan diri bebas dari ikatan, lalu mana ada cinta?
Apakah kita harus bersikap tak peduli, apakah kita harus meniadakan
kewajiban-kewajiban dan hidup dengan sikap acuh dan masa bodoh?”
Suaminya
tersenyum, senyum penuh kasih yang selalu ditujukan pada isterinya. Sudah
sering isterinya membantah seperti ini, dan dia tahu bahwa isterinya masih juga
belum mengerti benar dan kini hendak minta dukungan Tiong Khi Hwesio terhadap
sanggahan atau bantahannya itu.
“Benar
sekali, Kao-taihiap, seperti apa yang dikemukakan isterimu. Agaknya kebebasan
seperti ini, seperti yang kau katakan tadi, berlawanan dengan tugas-tugas dalam
hidup ini, seperti kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, pemerintah dan lain
sebagainya. Bukankah jika sudah bebas dari segalanya seperti itu, kita lalu
menjadi acuh dan hidup seperti boneka saja?”
Kao Kok Cu
tersenyum dengan penuh kesabaran. Ia tahu betapa sukarnya mempelajari hidup,
betapa sukarnya membuka mata melihat kenyataan hidup seperti apa adanya. Dia
sendiri pun baru-baru ini saja, dalam usia tua renta, dapat melihat kenyataan
ini dengan waspada.
“Marilah
kita selidiki bersama. Semua perbuatan kita ini merupakan pencerminan dari
keadaan batin, bukan? Kalau batin tidak bebas, perbuatan pun tidak akan bebas
dari pamrih. Karena itu, yang dimaksudkan dengan kebebasan di sini bukanlah
kebebasan lahiriah. Lahiriah, kita tidak mungkin bebas. Kita adalah bagian dari
masyarakat, bagian dari bangsa dan negara dengan segala macam adat istiadat dan
hukumnya. Kita secara lahiriah tidak mungkin bebas dari semua itu, dari
kewajiban terhadap keluarga, terhadap pemerintah, terhadap pekerjaan, terhadap
teman, masyarakat dan sebagainya. Akan tetapi, haruskah batin juga terikat? Tak
dapatkah secara lahiriah kita mempunyai, akan tetapi batin tidak ikut memiliki?
Hanya batin yang bebas saja yang akan dapat mengenal cinta kasih, bukan cinta
nafsu yang mengikat.”
Tiong Khi
Hwesio dan Wan Ceng mendengarkan, terdiam dan seperti terpesona karena mereka
pun dapat melihat kenyataan melalui petunjuk ini.
“Sekarang
aku mulai bisa melihat,” kata Wan Ceng mengangguk-angguk. “Bebas bukan berarti
bebas semau gua, karena semau gua merupakan tindakan lahiriah, tindakan badan
yang penuh nafsu, tindakan pikiran yang selalu ingin enak sendiri. Bebas batin
mendatangkan cinta kasih, dan perbuatan yang didasari cinta kasih tentu tidak
akan menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Omitohud...!”Tiong
Khi Hwesio memuji sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Betapa
bahagianya hati pinceng, betapa beruntungnya pinceng dan puji syukur kepada
Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah menuntun pinceng untuk berkunjung ke sini
sehingga sempat berbincang-bincang dengan kalian berdua. Pinceng mengalami
sendiri akan buruknya ikatan. Pinceng terikat lahir batin dengan Syanti Dewi
sehingga ketika isteriku itu meninggal dunia, pinceng seperti orang gila karena
kehilangan!”
“Ikatan
selalu mendatangkan duka dan kehilangan. Yang bisa kehilangan hanya mereka yang
memiliki. Kalau batin tidak memiliki apa-apa, bagaimana bisa kehilangan? Itulah
namanya bebas batiniah, biar pun lahiriah terikat kaki tangan dan lehernya oleh
segala macam kewajiban hidup.”
“Wah-wah,
terima kasih!” Tiong Khi Hwesio bangkit dengan wajah cerah dan gembira sekali.
“Tetapi, mengapa kita tenggelam ke dalam hal-hal yang begini serius? Pinceng
ingin sekali melihat-lihat lautan pasir yang maha luas ini. Kabarnya di padang
pasir sering terjadi keanehan-keanehan, nampak kekuasaan alam yang maha hebat.
Maukah kalian mengantar pinceng melihat-lihat dan menunjukkan segala kehebatan
itu kepada pinceng?”
Kao Kok Cu
dan Wan Ceng juga bangkit sambil tertawa dan mereka bertiga lalu pergi
meninggalkan istana itu, menuju ke selatan karena istana itu menghadap ke
timur, ke arah Mongol dari mana Kaisar Jenghis Khan berasal.
Tiong Khi
Hwesio kagum bukan main ketika suami isteri itu membawanya ke bagian-bagian
yang luar biasa dari padang pasir itu. Ada bagian di mana pasirnya besar-besar
dan agak hitam, ada pula bagian di mana pasirnya lembut sekali dengan warna
putih berkilauan seperti bubuk perak. Ada yang permukaannya demikian halus
seperti sutera, ada pula yang membentuk keriput-keriput seperti alun samudera.
Juga terdapat bagian di mana terdapat batu-batu besar berbentuk aneh-aneh
karena permainan angin dan terpukul pasir-pasir yang diterbangkan angin.
Luar biasa
sekali melihat betapa ada permukaan pasir yang tak pernah diam, seperti air di
lautan, selalu berubah bentuknya karena pasir-pasir halus di permukaan itu
terbawa angin membentuk garis-garis yang selalu berubah. Seolah-olah ada
kehidupan yang tak nampak di tempat yang teramat sunyi itu. Berkali-kali Tiong
Khi Hwesio mengeluarkan suara pujian dengan penuh kagum dan heran.
Melihat
kegembiraan saudara tirinya, Wan Ceng menjadi ikut bergembira dan bangga.
“Engkau belum melihat yang paling hebat, Tek Hoat,” katanya bangga.
“Wah?! Masih
ada yang lebih hebat dari ini? Bawa pinceng ke sana, pinceng ingin melihat yang
paling hebat!”
“Bagian itu
jauh di selatan, makan waktu perjalanan hampir satu hari, disebut sebagai
Lautan Maut. Di sana engkau akan melihat badai lautan pasir, melihat pasir
bagaikan air laut menderu-deru, dengan ombak yang setinggi rumah.”
“Wah, hebat!
Hayo kita lekas ke sana!” ajak Tiong Khi Hwesio, tertarik sekali. Sebagai
seorang bekas pendekar, tentu saja keadaan bahaya merupakan tantangan yang amat
menggairahkan hatinya.
“Di sana
berbahaya sekali,” kata Kao Kok Cu. “Bahkan rombongan onta dengan orang-orang
yang paling berpengalaman sekali pun akan menjauhi bagian itu dan lebih baik
melakukan perjalanan memutar yang lebih jauh dari pada harus menempuh Lautan
Maut itu.”
“Akan tetapi
kita bukanlah orang-orang yang lemah seperti mereka!” kata Wan Ceng kepada
suaminya. “Bukankah kita pernah beberapa kali ke sana dan mampu menahan
serangan badai?”
Kao Kok Cu
tersenyum kepada isterinya. “Haa! Agaknya engkau lupa bahwa hal itu terjadi
puluhan tahun yang lalu. Ketika itu usia kita belum lima puluh tahun.”
“Apa
bedanya? Kita masih kuat dan bahwa kita bertiga dapat menguji diri apakah masih
ada kemampuan dalam tubuh yang tua ini.”
“Cocok! Ha-ha-ha-ha,
Kao-taihiap, apakah engkau tidak ingin menggembirakan seorang sahabat seperti
pinceng ini? Sebelum maut datang menjemput, pinceng ingin sekali melihat dan
merasakan betapa hebatnya badai di Lautan Maut itu.”
Kao Kok Cu
menarik napas panjang. “Baiklah, tentu saja kita bertiga dapat melindungi diri
sendiri dari badai. Di sana terdapat banyak batu besar yang dapat dipergunakan
sebagai tempat berlindung. Akan tetapi perjalanan itu tentu akan makan waktu
dua hari pulang pergi dan di sana tidak terdapat makanan atau minuman apa pun.
Kita harus membawa bekal.”
Mereka
kembali ke istana tua. Sibuklah mereka membuat perbekalan untuk perjalanan
besok. Mereka bergembira seperti tiga orang pemuda remaja yang membuat
persiapan untuk perbekalan perjalanan tamasya besok.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bertiga sudah berangkat meninggalkan
istana gurun pasir, menuju ke selatan. Lewat tengah hari mereka tiba di bagian
lautan pasir yang dimaksudkan oleh Wan Ceng. Sebelum mereka berangkat, Kao Kok
Cu memperingatkan mereka agar berhati-hati.
“Sekarang
musim yang paling ganas di sana, di waktu badai sedang besarnya dengan adanya
pemutaran angin dari utara ke timur.”
Dengan
buntalan perbekalan di punggung mereka, ketiga orang ini memasuki daerah Lautan
Maut. Nampaknya memang tidak ada apa-apa dan Tiong Khi Hwesio mulai kecewa.
Akan tetapi makin ke selatan, terasa angin semakin keras dan dibandingkan
dengan pasir yang mereka injak, yang panas, angin itu terasa dingin sekali. Dan
ketika mereka tiba di daerah yang berbatu-batu, tiba-tiba saja badai datang
mengamuk.
Mula-mula
dari arah barat dan utara, nampak seperti awan hitam dan debu angin tiba-tiba
terhenti. Akan tetapi tidak lama kemudian, awan hitam dan debu yang ternyata
gelombang pasir itu datang menerpa, didorong angin yang amat kuatnya.
Tiga orang
gagah itu lalu memasang kuda-kuda sambil mengerahkan tenaga melawan hantaman
pasir halus yang dibawa angin. Mereka seakan-akan masuk ke dalam tirai pasir
yang mendorong kuat dari depan. Makin lama semakin kuat saja hantaman pasir dan
angin itu.
Pertama-tama
Wan Ceng yang agak terhuyung. Cepat ia berpegangan tangan dengan suaminya yang
membantunya, dan ketika akhirnya Tiong Khi Hwesio juga terhuyung, Kao Kok Cu
berteriak nyaring untuk mengatasi gemuruh suara badai pasir.
“Cepat, kita
berlindung di balik batu di sana itu!” Dia menunjuk ke arah sebuah batu karang
yang besar dan kokoh kuat.
Memilih
tempat berlindung ini pun ada bahayanya. Karena kalau salah pilih, bisa saja
ada batu yang roboh dilanda badai sehingga menindih dan membunuh orang-orang
yang berlindung di bawahnya.
Wan Ceng dan
Tiong Khi Hwesio, sejak mudanya memang memiliki hati yang pantang menyerah.
Oleh karena itu, ajakan Kao Kok Cu itu diterima dengan gelengan kepala, bahkan
Wan Ceng sudah melepaskan pegangan tangan suaminya, kembali memasang kuda-kuda
lagi dan mengerahkan tenaganya. Demikian pula Tiong Khi Hwesio, agaknya tidak
mau kalah oleh saudara tirinya!
Melihat
lagak kedua orang ini, mau tidak mau Kao Kok Cu tertawa geli dan gembira. Dia
pun lalu memasang kuda-kuda untuk melawan badai yang semakin kuat datangnya
itu. Akan tetapi beberapa menit kemudian, Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio
terpaksa harus mengakui keunggulan badai karena mereka terdorong sampai roboh
bergulingan!
Terpaksa
mereka sekarang membiarkan diri mereka diseret. Wan Ceng berpegangan tangan
dengan Tiong Khi Hwesio sedang Kao Kok Cu dengan satu tangan kanannya memegang
tangan hwesio itu dan menyeretnya di atas pasir menuju ke balik batu besar dan
barulah mereka dapat bernapas lega karena terjangan badai ditangkis oleh batu
karang yang kokoh kuat itu.
Akan tetapi,
kegembiraan mereka semakin menjadi-jadi. Setelah beristirahat dan dapat
mengumpulkan tenaga kembali, melihat betapa badai masih saja membesar, Tiong
Khi Hwesio lalu meloncat keluar dari balik batu karang dan kini dia mulai
bersilat menentang badai. Hebat memang kakek hwesio ini.
Ia ternyata
telah menggabungkan dua macam ilmu silat yang merupakan ilmu silat yang saling
berlawanan, yaitu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian
Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa)! Tidak saja dia telah mampu menggabungkan
dua aliran silat yang bertentangan ini, akan tetapi juga dia mempergunakan
tenaga sakti yang hebat, yaitu Tenaga Inti Bumi.
Biar pun
usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun gerakannya demikian gesit dan pukulan-pukulannya
demikian kuat sehingga angin menderu-deru dari kaki tangannya menentang badai
sehingga pasir-pasir yang diterbangkan badai itu membuyar terkena hantaman
angin pukulan kaki tangannya!
Tiong Khi
Hwesio bersilat terus sampai akhirnya dia melompat kembali ke balik batu karang
dengan muka merah, keringat membasahi tubuh dan napasnya terengah-engah, akan
tetapi matanya berseri dan mulutnya tertawa gembira.
Wan Ceng
tidak mau kalah. Nenek yang usianya sebaya dengan saudara tirinya ini juga
meloncat keluar dan bersilat menentang badai. Ia mengeluarkan ilmu silat
simpanannya, yaitu Ban-tok-ciang dan dari kedua telapak tangannya nampak ada
uap yang kadang-kadang berwarna hitam, lalu hijau atau biru, berubah lagi
kemerahan.
Melihat ini,
diam-diam Tiong Khi Hwesio bergidik karena dia pun tahu betapa ampuhnya
pukulan-pukulan adik tirinya itu. Nenek ini pun bersilat sampai ia tidak kuat
bertahan lagi dan terpaksa harus meloncat ke belakang batu karang dengan tubuh
basah keringat dan napasnya terengah-engah.
Melihat
kegembiraan kedua orang itu, Kao Kok Cu lantas ketularan. Dia pun keluar dan
menentang badai, lalu ia mulai bersilat, di tonton dengan penuh rasa kagum oleh
Tiong Khi Hwesio. Dia melihat betapa kakek berlengan sebelah ini bersilat
secara aneh sekali, dengan tubuh kadang-kadang meluncur ke depan bagaikan
seekor naga, akan tetapi gerakannya membawa angin pukulan yang bercuitan.
Sekarang dia
melihat betapa di bagian depan Kao Kok Cu seolah-olah ada dinding atau perisai
yang tidak nampak, terbuat dari hawa pukulan sehingga pasir yang terbang dari
depan itu terhenti dan runtuh dengan sendirinya, seperti membentur batu karang!
Kakek berlengan buntung yang usianya telah tujuh puluh delapan tahun ini
bersilat paling lama dibandingkan Tiong Khi Hwesio atau Wan Ceng, tapi ketika
akhirnya dia menghentikan gerakannya dan kembali ke belakang batu karang,
napasnya tidak terengah-engah dan wajahnya biasa saja walau pun napasnya agak
memburu.
“Wahh! Usia
tua menggerogoti dari dalam sehingga tenaga dan daya tahanku banyak berkurang,”
katanya sambil mengatur pernapasan.
“Kao-taihiap,
engkau amat hebat!” Tiong Khi Hwesio memuji. “Engkau yang paling tua di antara
kita, namun ternyata tenaga dan daya tahanmu paling kuat. Sungguh membuat aku
takluk dan kagum sekali!”
Akan tetapi
Kao Kok Cu tidak menjawab, melainkan menuding ke arah barat.
“Lihat,
bukankah itu suara onta yang datang dari arah sana?”
Dua orang
itu menoleh ke arah barat, namun tidak kelihatan sesuatu, hanya memang mereka
mendengar ada suara onta. Suaranya merintih seperti sedang menderita.
“Onta tidak
pernah merintih kecuali menghadapi kematiannya dan di mana ada binatang onta
terancam maut, di situ tentu ada pula penunggangnya yang juga terancam mala
petaka,” sambung Wan Ceng. “Mari kita lihat!”
Dua orang
kakek itu mengangguk setuju dan mereka bertiga segera berloncatan keluar dari
balik batu karang dan berlari cepat menuju ke barat, ke arah datangnya suara
tadi. Tidak terlalu lama mereka mencari karena segera mereka melihat seekor
onta yang dalam keadaan sekarat, tergencet batu yang roboh menimpa dan
menghimpitnya. Dan di dekatnya nampak seorang wanita yang telah tewas pula,
sedangkan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun
berlutut dan mengguncang-guncang tubuh wanita itu.
“Ibu...
ibu... bangunlah, ibu... kuatkanlah, mari kugendong ibu pergi dari sini...“
kata anak itu dengan suara pilu dan gemetar.
Dia lalu
dengan susah payah menarik tubuh ibunya yang kedua kakinya terhimpit tubuh
onta, kemudian mencoba untuk menggendongnya. Akan tetapi baru beberapa langkah
saja anak itu berjalan, dia disambar hantaman badai dan dia pun terguling
bersama mayat ibunya, bergulingan.
“Ibuuuuu...!”
Anak itu berteriak.
Pada saat
itu, Tiong Khi Hwesio telah menyambar tubuhnya dan dibawa meloncat ke balik
sebuah batu karang untuk berlindung dari serangan badai. Wan Ceng juga sudah
menyambar mayat wanita itu dan membawanya ke tempat yang sama.
“Ibuuu...!
Lepaskan ibuku, jangan ganggu ibuku...!”
Tiba-tiba
anak itu meronta dan saking marah dan khawatirnya, anak itu memiliki tenaga
yang demikian hebatnya sehingga dia berhasil melepaskan diri dari pegangan
Tiong Khi Hwesio dan kini dia menyerang Wan Ceng yang masih memondong tubuh
wanita yang telah mati itu. Anak laki-laki itu menubruk, tangan kirinya mendorong
ke arah dada Wan Ceng, dan tangan kanannya mencoba untuk merampas tubuh wanita
itu, gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat.
Wan Ceng
tidak melawan, hanya menarik tubuh atas untuk mengelak dari dorongan anak itu,
dan ia membiarkan anak itu merampas tubuh mayat itu. Anak laki-laki itu kini
memandang mayat itu, menghadapi tiga orang tua itu dengan mata terbelalak. Mata
itu liar dan beringas, seperti mata seekor anak harimau tersudut. Dia siap
melawan tiga orang itu mati-matian untuk mempertahankan dan melindungi ibunya.
“Jangan
kalian mengganggu ibuku! Akan kulawan sampai mati! Walau pun kalian Dewa
Kematian, Dewa Badai dan Dewa Padang Pasir, aku tidak takut!”
Dia
menantang dan sikapnya sungguh berani, sikap seorang yang sudah nekat karena
tidak melihat jalan lain.
Tiga orang
tua renta itu sejenak terpesona, juga terharu. Mereka adalah orang-orang sakti
yang sudah banyak makan garam, banyak pengalaman dan tahu saja artinya duka
karena mereka pun sudah kenyang mengalami duka dalam kehidupan mereka.
Oleh karena
itu, mereka dapat menduga bahwa anak ini menjadi demikian nekat dan berani
karena terhimpit duka yang bertubi-tubi dan yang terakhir kalinya agaknya
karena melihat ibunya yang tercinta tewas. Atau mungkin juga saking bingung,
khawatir dan dukanya, dia sampai tidak sadar bahwa ibunya telah kehilangan
nyawanya dan yang hendak dilindungi dan dipertahankan itu ialah sesosok mayat
yang telah mulai menjadi dingin!
Dengan hati
terharu penuh iba, Kao Kok Cu melangkah maju. “Anak yang baik, kami bukan dewa
atau iblis, kami adalah orang-orang biasa yang datang ingin menolongmu. Tidak
ada yang akan mengganggu ibumu lagi, Nak, karena ibumu itu telah meninggal
dunia. Lihatlah baik-baik dan jangan keliru menyangka orang.”
Suara itu
begitu halus, tenang dan sabar dan suara itu saja sudah cukup membuat anak itu
percaya. Kini anak itu memandangi wajah mayat yang dipeluknya. Wajah seorang
wanita yang kurus pucat, dengan mata setengah terbuka, dengan pandang kosong
tanpa cahaya sama sekali, seperti mata sebuah patung yang pernah dilihatnya.
Dia lalu mengangkat mayat itu mendekat dan merendahkan mukanya sampai mukanya
dekat sekali dengan muka mayat itu. Hidung dan mulut ibunya tidak bernapas
lagi!
“Ibuuuuu...!”
Untuk kedua
kalinya dia pun terjungkal bersama mayat ibunya, dan roboh pingsan di dekat
mayat itu.
“Omitohud...!”
Tiong Khi Hwesio mengeluh ketika dia melihat peristiwa ini.
Kao Kok Cu menarik
napas dan menggeleng-geleng kepalanya sedangkan Wan Ceng lalu mendekati anak
itu, berlutut dan mengurut tengkuk dan dadanya.
Anak itu pun
mengeluh, lalu membuka matanya. Dia segera mencari dengan pandang matanya dan
ketika dia melihat tubuh ibunya menggeletak tidak jauh dari situ, dia pun
bangkit dan menubruk mayat ibunya sambil menangis. Akan tetapi, anak itu
agaknya memang memiliki kekerasan dan ketabahan hati.
Tidak lama
dia menangis dan agaknya dia sudah teringat lagi akan tiga orang tua itu. Maka
ia bangkit berdiri memandang, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap mereka,
agaknya sama sekali tak peduli akan luka-luka yang diderita tubuhnya, babak
belur dan lecet-lecet. Juga kaki kanannya kehilangan sepatunya, sedangkan
pergelangan kaki itu menggembung besar, tanda bahwa kaki itu salah urat.
“Harap
Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Tua Perkasa) memberi ampun kepada saya yang tadi
bersikap kurang ajar. Dalam keadaan seperti ini, saya menjadi bingung dan
mengira Sam-wi (Kalian Bertiga) bukan manusia.“
Tiga orang
itu saling pandang dan sependapat bahwa anak ini ternyata mempunyai pendidikan
yang baik dan mengenal aturan. Juga, mata mereka yang tajam dapat mengenal
bahwa anak ini memiliki nyali yang besar, sikap gagah dan juga bakat yang baik
sekali untuk menjadi seorang pendekar.
“Anak baik,
sekarang belum waktunya banyak bicara. Apakah engkau hanya berdua dengan ibumu
ini?” tanya Kao Kok Cu. Anak itu mengangguk.
“Kalau
begitu, yang terpenting sekarang, mari ikut bersama kami dan kami juga akan
membawa jenazah ibumu supaya mendapatkan penguburan yang sepatutnya di tempat
kami.”
“Baik,
Locianpwe, dan terima kasih atas perhatian Sam-wi,” kata anak itu.
Anak itu
segera bangkit. Tanpa diperintah lagi ia menghampiri mayat ibunya, bermaksud
untuk memondongnya. Hal ini saja membuat tiga orang tua itu menjadi kagum. Anak
ini tidak cengeng, tahu diri, cerdik dan tabah sekali.
“Biarkan
pinceng yang membawa jenazah ibumu, anak baik,” kata Tiong Khi Hwesio dan
sekali kedua lengannya bergerak, mayat wanita itu telah dipondongnya.
Anak itu
terbelalak dan merasa seperti melihat sulapan atau sihir saja. Dia hampir tidak
melihat hwesio tua itu menyentuh mayat ibunya atau mengulurkan tangan,
seolah-olah mayat itu yang terbang ke dalam pondongan hwesio tua itu!
“Dan engkau
pun tidak sehat benar, marilah engkau kugendong!” kata pula Kao Kok Cu.
Dan anak itu
menjadi semakin terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang naik dan
tahu-tahu dia telah berada di atas punggung kakek yang lengan kirinya buntung!
Hampir dia menjerit ketakutan dan hampir kehilangan lagi kepercayaannya bahwa
tiga orang itu adalah manusia. Jangan-jangan mereka ini ternyata benar-benar
iblis-iblis yang hendak membawa pergi dia dan mayat ibunya!
Akan tetapi,
nenek itu berkata, “Mari kita pergi!”
Kini anak
itu mengalami peristiwa yang membuat dia tidak akan dapat melupakannya selama
hidupnya. Dia merasa dibawa terbang oleh kakek berlengan satu dan ketika dia
melirik ke kanan, dia melihat hwesio itu pun seperti terbang membawa mayat
ibunya, sedangkan nenek itu terbang paling depan.
Badai masih
mengamuk hebat, akan tetapi tiga orang ini dapat berlari secepat terbang,
menempuh badai yang menyerang dari samping. Cepat sekali gerakan mereka dan
berkali-kali dia harus memejamkan matanya saking ngeri. Dan ketika mereka
keluar dari daerah badai, anak itu merasa betapa mereka berlari lebih cepat
lagi.
Kadang-kadang
mereka melompati jurang-jurang seperti terbang, membuat dia merasa ngeri bukan
main. Akhirnya dia pun hanya memejamkan mata agar tidak melihat betapa tubuhnya
meluncur pesat di atas pundak kakek yang terbang di atas pasir.
Setelah
mereka berhenti, barulah anak itu membuka matanya dan dia pun menahan
keinginannya untuk berteriak saking herannya. Dia diturunkan, lalu digandeng
masuk ke dalam sebuah istana besar yang indah dan juga menyeramkan karena
istana itu berdiri megah ditengah-tengah gurun pasir, tidak mempunyai tetangga
seorang pun!
Jenazah
ibunya juga dibawa masuk dan nenek itu lalu merawat jenazah ibunya, diberi
pakaian yang utuh, kemudian diadakan upacara sembahyang sekadarnya sehingga dia
sebagai putera ibunya dapat memberi hormat dan berkabung atas kematian ibunya.
Dia pun menurut saja ketika tiga orang tua itu mengusulkan agar ibunya segera
dikubur pada hari itu juga. Mereka kemudian menggali lubang di kebun belakang
dan mengubur jenazah itu tanpa peti.
Setelah
penguburan selesai dan mereka semua kembali ke dalam istana, barulah anak itu
yakin bahwa semua yang dialaminya bukanlah mimpi. Kemarin sore dia dibawa oleh
tiga orang tua ini, bersama jenazah ibunya, dengan cara yang luar biasa, lari
bagaikan terbang, sehingga malam-malam mereka tiba di istana ini. Hanya semalam
ibunya yang telah menjadi jenazah itu dirawat dan pada keesokan harinya,
penguburan ibunya telah dilakukan dengan baik dan selesai.
Kini dia
telah menjadi seorang anak yang kehilangan ibu, tidak tahu berada di tempat
apa, merasa berada di tempat yang aneh, bukan bagian dari dunia, bersama tiga
orang manusia yang juga luar biasa. Apakah dia masih hidup, ataukah dia sudah
berada di akhirat? Akan tetapi kalau dia sudah mati, tentu dia bertemu dengan
ibunya. Tidak, dia masih hidup! Ibunyalah yang telah mati, dan dia berada di
tempat tiga orang sakti.
Sebagai
putera seorang ahli silat, tentu saja dia pernah mendengar tentang orang-orang
tua yang sakti, akan tetapi biasanya mereka itu adalah pertapa-pertapa atau
pendeta-pendeta di kuil. Dan kini, tiga orang tua itu, biar pun yang seorang
adalah hwesio, bukan tinggal di dalam goa, melainkan di dalam sebuah istana!
Demikianlah
anak itu membolak-balik pikirannya sendiri ketika dia berlutut di atas lantai,
di depan tiga orang yang duduk di bangku rendah sambil bersila. Kemudian dia
teringat betapa tiga orang tua ini sudah melimpahkan kebaikan-kebaikan
kepadanya.
Pertama,
kalau tidak ada mereka yang datang ketika dia diserang badai digurun pasir itu,
tentu dia sudah tewas pula bersama ibunya dan onta mereka. Kedua, mereka pula
yang membawa dia dan jenazah ibunya ke istana aneh ini, dan ketiga, mereka
sudah mengurus penguburan ibunya sampai selesai.
Teringat
akan semua ini, dia kemudian memberi hormat kepada mereka sampai dahinya
berkali-kali menyentuh lantai.
“Sam-wi
Locianpwe telah menyelamatkan saya dan telah mengurus pemakaman ibu, sungguh
budi kemuliaan ini sampai mati pun saya tidak akan melupakannya,” demikian dia
berkata berulang kali dan baru berhenti setelah kakek yang lengan kirinya
buntung itu berkata dengan suara halus.
“Anak baik,
duduklah yang benar, dan ceritakan dengan jelas bagaimana asal mulanya maka
engkau bersama mendiang ibumu dapat berada di tempat yang berbahaya itu dan
terserang badai.”
“Nanti
dulu!” Tiba-tiba Wan Ceng berkata. “Siapa tahu dia menderita luka berat. Mari,
majulah ke dekatku ke sini, Nak, akan kuperiksa keadaanmu.”
Mendengar
ini, anak itu tidak berani membantah dan dia pun merangkak dan mendekati nenek
itu. Wan Ceng cepat-cepat memeriksa dan ternyata anak itu hanya menderita
lecet-lecet dan babak belur, luka di kulit saja, sedangkan pergelangan kakinya
yang membengkak itu adalah karena salah urat. Dengan cepat Wan Ceng mengurut
kaki itu dan membetulkan kembali urat yang tertarik dan salah duduk, dan
mengobati lecet-lecet dengan obat luka.
“Nah, engkau
tidak apa-apa sekarang, ceritakanlah keadaanmu,” kata Wan Ceng.
Anak itu
lalu berlutut kembali seperti tadi dan menceritakan riwayatnya. “Nama saya Tan
Sin Hong, tinggal bersama orang tua saya di kota Ban-goan di selatan Tembok
Besar. Ayah saya dikenal sebagai Tan-piauwsu (pengawal Tan) karena ayah saya
membuka perusahaan piauw-kiok (perusahaan pengawal barang kiriman) yang
mengawal barang-barang dagangan yang dikirim dari dan keluar Tembok Besar…”
Anak itu,
yang bernama Tan Sin Hong, dengan lancar kemudian menceritakan semua peristiwa
yang baru-baru ini menimpa keluarganya.
Pada suatu
hari, Tan-piauwsu ayah Sin Hong, menerima tugas untuk mengawal barang-barang
berharga untuk diantar ke kota Tuo-lun, sebuah kota yang terletak di daerah
Mongol. Barang itu berupa sebuah peti besar terisi emas permata yang amat
berharga. Karena itu, Tan-piauwsu tidak berani menyerahkan pengawalan kepada
anak buahnya saja. Dia berangkat sendiri mengawal barang itu dan menyerahkan
urusan perusahaan kepada Tang-piauwsu, yaitu wakilnya.
Sebulan
kemudian, datanglah seorang utusan yang membawa pesan dari Tan-piauwsu agar
isterinya dan puteranya menyusul kekota Tuo-lun untuk diajak nonton keramaian
tradisionil yang diadakan oleh suku bangsa campuran Mancu dan Mongol yang
tinggal di sana. Biar pun perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama, namun
Nyonya Tan dan puteranya dengan girang memenuhi pesan itu.
Tang-piauwsu
merasa khawatir dan dia sendiri yang rnelakukan pengawalan, memimpin dua belas
orang anggota piauw-kiok. Berangkatlah rombongan ini keluar dari Tembok Besar
menuju ke utara. Saat mereka tiba di dekat kota Tuo-lun, di kaki bukit yang
sunyi, tiba-tiba muncul gerombolan perampok bertopeng yang jumlahnya lebih dari
dua puluh orang. Gerombolan perampok ini menyerang dan tentu saja Tang-piauwsu
memimpin anak buahnya melakukan perlawanan.
Pertempuran
hebat terjadi, akan tetapi gerombolan perampok itu lihai dan dua kali lebih
besar jumlahnya, maka pihak pengawal terdesak dan mulai ada yang roboh. Melihat
keadaan berbahaya ini, Tang-piauwsu lalu melarikan kereta yang membawa Nyonya
Tan dan Sin Hong, melarikan diri dari tempat itu. Namun, setelah merobohkan
semua pengawal, gerombolan perampok bertopeng itu melakukan pengejaran.
Tang-piauwsu
melarikan kereta tanpa tujuan dan akhirnya mereka tiba di padang pasir. Melihat
ada penduduk daerah itu yang membawa garam dengan menunggang seekor onta,
Tang-piauwsu lalu membeli onta itu dan menyuruh Nyonya Tan beserta Sin Hong
untuk melanjutkan larinya dengan menunggang onta, sedangkan dia sendiri menanti
di situ dengan pedang di tangan untuk menahan gerombolan perampok yang tadi
sudah mengancam hendak menawan Nyonya Tan yang masih kelihatan muda dan cantik.
Karena
ketakutan, Nyonya Tan dan Sin Hong lalu menunggang onta, membawa bekal seadanya
saja dan onta itu pun memasuki gurun pasir! Mereka tidak lagi melihat apa yang
telah terjadi selanjutnya dengan Tang-piauwsu.
“Karena
takut ditawan gerombolan perampok yang kasar itu, yang menurut perkiraan
Tang-piauwsu agaknya hendak menangkap ibu beserta saya untuk membalas dendam
kepada ayah, ibu lalu melarikan onta itu tanpa tujuan, terus memasuki gurun
pasir yang luas. Akhirnya kami tidak tahu jalan lagi, di mana-mana hanya pasir
belaka dan kami membiarkan saja onta itu mengambil jalan sendiri. Entah berapa
hari kami melakukan perjalanan seperti itu, kehabisan bekal, bahkan kantung air
yang banyak itu pun sudah hampir habis. Kami menderita sekali dan akhirnya kami
diserang badai. Kami berlindung di balik batu karang, akan tetapi batu karang
itu lalu runtuh dan menimpa kami, dan selanjutnya... Sam-wi telah mengetahui…”
Begitu Sin
Hong mengakhiri ceritanya, Tiong Khi Hwesio langsung berseru. “Omitohud...
permusuhan yang tidak ada hentinya antara yang untung dan yang rugi! Para
perampok merasa dirugikan oleh para piauwsu, sehingga banyak bentrokan terjadi
antara mereka yang hendak merampok dan mereka yang hendak melindungi barang
kiriman!”
“Ada yang
mencurigakan di dalam urusan ini,” kata Kao Kok Cu, “Bagaimana seorang piauwsu
yang berpengalaman begitu sembrono untuk memanggil isteri dan puteranya
menyuruh ke tempat yang demikian jauh, melalui perjalanan yang berbahaya.”
“Memang
mencurigakan sekali. Dan Tang-piauwsu itu malah membiarkan ibu dan anak itu
melintasi gurun pasir dengan binatang onta tanpa pengawalan, benar-benar
gegabah sekali,” kata pula Wan Ceng.
“Biarlah
pinceng (saya) yang akan pergi ke Tuo-lun untuk mencari Tan-piauwsu dan memberi
kabar kepadanya tentang isteri dan puteranya. Sin Hong, engkau tinggal dulu
saja di sini sampai pinceng dapat menemukan ayahmu dan dapat mengetahui apa
yang sebenarnya telah terjadi.”
Tan Sin Hong
mengangguk, “Baik, Locianpwe, saya di sini akan menanti berita dari hasil
penyelidikan Locianpwe.”
Dia merasa
suka sekali di tempat yang indah itu, dan dia merasa berhutang budi. Ingin dia
membalas budi itu, walau pun hanya dengan membersihkan tempat itu, istana tua
itu yang nampaknya tidak begitu terawat dengan baik. Apa lagi ketika dia lantas
mendapat kenyataan bahwa di istana tua itu tidak terdapat seorang pun pelayan.
Sambil
menanti kembalinya Tiong Khi Hwesio, Sin Hong mendengar lebih banyak dari nenek
Wan Ceng tentang istana tua itu dan kini dia tahu bahwa penghuni Istana Gurun
Pasir itu adalah kakek dan nenek she Kao ini, sedangkan Tiong Khi Hwesio yang
kini pergi mencari ayahnya adalah seorang sahabat baik dan tamu kehormatan dari
mereka.
Tiga hari
kemudian, muncullah Tiong Khi Hwesio. Setelah minum air sejuk jernih yang
dihidangkan oleh Sin Hong, kakek ini menarik napas panjang.
“Omitohud...,
Tan Sin Hong. Pinceng kali ini terpaksa membawa berita yang amat tidak
menyenangkan untukmu.” Dan dia pun mengelus kepala anak itu yang sudah berlutut
di depannya.
Anak itu
memang berhati tabah. Biar mukanya agak pucat dan matanya membayangkan
kekhawatiran, namun suaranya masih tenang ketika dia berkata kepada hwesio tua
itu. “Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan ayah saya?”
Nenek Wan
Ceng juga tidak sabar. “Tek Hoat, apa yang telah terjadi di sana?”
Kakek yang
masih terlihat lelah karena habis melakukan perjalanan jauh itu mengusap peluh
dari leher dan mukanya menggunakan sehelai sapu tangan lebar, lalu menghela
napas dan memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata kasihan.
“Pinceng
tiba di kota Tuo-lun dan melakukan penyelidikan. Akan tetapi ternyata bahwa
Tan-piauwsu tidak pernah sampai di kota itu...“
“Ayah...!”
Sin Hong berseru dengan suara tertahan, matanya menatap wajah Tiong Khi Hwesio,
penuh pertanyaan dan kekhawatiran.
“Di kota itu
pinceng bertemu dengan beberapa orang sahabat baik Tan-piauwsu karena memang
sudah beberapa kali Tan-piauwsu mengawal barang ke kota itu. Dan bersama mereka
pinceng lalu menyelidiki sepanjang jalan menuju ke kota itu dari selatan yang
biasa diambil oleh rombongan piauw-kiok dan di sebuah hutan pinceng menemukan
mereka.” Suara kakek ini menurun dan Sin Hong kembali menatap dengan muka
pucat.
“Locianpwe
menemukan ayah...?“ tanyanya, kini suaranya agak gemetar, jelas bahwa dia telah
menduga buruk. Dan kakek itu mengangguk.
“Pinceng
menemukan Tan-piauwsu dan sepuluh orang anak buahnya, semuanya telah tewas
terbunuh.”
“Ayah...!
Ibu...!” Teriakan Sin Hong ini lirih saja, seperti keluhan dan dalam keadaan
berlutut dia menutupi muka dengan kedua tangannya.
Tiga orang
tua itu hanya memandang dan membiarkan saja. Sampai beberapa lamanya Sin Hong
menutupi mukanya, tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi air mata
mengalir dari celah-celah jari tangannya. Kemudian dia mengusap air matanya
dengan kedua tangan, lalu dengan suara agak parau dia bertanya kepada Tiong Khi
Hwesio.
“Locianpwe,
siapa yang membunuh ayah?”
Tiong Khi
Hwesio menggeleng kepala. “Tidak ada yang tahu dan tiada tanda-tandanya. Mereka
semua tewas dan agaknya dirampok karena tidak ada barang berharga lagi di sana,
kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka.”
“Ahh, siapa
lagi kalau bukan para perampok bertopeng itu? Dan yang mengirim utusan
mengundang nyonya Tan serta Sin Hong tentu juga anggota perampok bertopeng itu
yang sengaja menghadang dan menjebak,” kata kakek Kao Kok Cu. “Agaknya mereka
adalah gerombolan perampok yang mendendam kepada Tan-piauwsu sehingga selain
merampok, juga ingin membasmi keluarganya.”
“Aku lebih
condong untuk mencurigai Tang-piauwsu itu!” Tiba-tiba Wan Ceng berkata.
“Mengawal barang yang sangat berharga tentunya amat dirahasiakan dan kukira
yang mengetahui hanyalah Tan-piauwsu dan pembantunya itu. Aku tidak akan heran
kalau kelak diketahui bahwa yang mengatur semua perampokan dan pembunuhan itu
adalah Tang-piauwsu. Oleh karena itu dia pulalah yang menyuruh nyonya Tan dan
Sin Hong melarikan diri ke gurun pasir, yang artinya sama dengan mengirim
mereka ke lembah maut.”
“Omitohud,
kita tidak boleh sembarangan sangka. Urusan ini adalah urusan Sin Hong dan
biarlah dia saja yang kelak melakukan penyelidikan. Engkau tenangkan hatimu Sin
Hong. Teman-teman ayahmu sudah mengurus penguburan jenazah ayahmu dan anak
buahnya, dan kalau suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak
berkeberatan, pinceng mengusulkan agar Sin Hong tinggal di sini mempelajari
ilmu dari kita bertiga.”
Suami isteri
itu agak terkejut dan memandang wajah hwesio itu penuh perhatian. “Apa alasanmu
berkata demikian, Tek Hoat?” kata nenek Wan Ceng.
“Banyak
peristiwa aneh-aneh yang terjadi di dunia, dan biasanya kita anggap sebagai hal
yang kebetulan saja. Akan tetapi, bukankah di balik peristiwa itu sudah ada
yang mengaturnya? Bukankah sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa maka
bisa terjadi hal-hal yang kelihatan kebetulan itu? Contohnya Tan Sin Hong ini.
Keluarganya tertimpa mala petaka, ibunya tewas, ayahnya tewas pula dan ia pun
nyaris tewas. Coba lihatlah segala macam kebetulan yang sudah terjadi!
Pertama-tama, kebetulan sekali pinceng mengunjungi kalian dan kemudian
kebetulan sekali kita bertiga bermain-main dengan badai gurun pasir! Kalau
tidak kebetulan pinceng berkunjung tentu kita tidak bermain-main dengan badai
dan kalau tidak kebetulan kita bermain-main dengan badai tentu kita tidak akan
melihat Sin Hong! Dan kalau begitu, apa jadinya? Tentu dia telah tewas pula!
Bukankah semua kebetulan itu seperti telah diatur oleh Thian (Tuhan)? Nah, kita
jangan menolak kehendak Thian dan harus menerima sebagai perintah-Nya. Mari
kita menerima anak ini sebagai murid kita yang terakhir, untuk menampung
peninggalan terakhir dari kita. Bagaimana pendapat kalian?”
Suami isteri
itu saling pandang. Mereka telah mewariskan semua ilmu mereka kepada putera tunggal
mereka yang bernama Kao Cin Liong dan kini tinggal dikota Pao-teng dekat kota
raja. Juga mereka mengajarkan beberapa macam ilmu kepada Can Bi Lan yang kini
menjadi nyonya Sim Houw. Apakah kini mereka harus mengambil seorang murid lagi
ketika usia mereka sudah amat tua?
Tetapi, ada
benarnya juga pendapat Tiong Khi Hwesio tadi tentang peristiwa kebetulan yang
merupakan tanda kekuasaan dan kehendak Thian. Mereka mengangguk setuju dan Wan
Ceng berkata sambil tersenyum.
“Tek Hoat,
kalau begitu engkau juga harus tinggal di sini untuk mewariskan ilmu-ilmumu
kepadanya.”
“Ha-ha-ha,
tentu saja! Pinceng memang suka sekali menghabiskan sisa usia pinceng di sini,
tentu saja kalau kalian tidak berkeberatan.”
“Kenapa
keberatan? Kami suka sekali!” kata kakek Kao Kok Cu. “Akan tetapi kita tidak
boleh melupakan hal yang terpenting, yaitu apakah Tan Sin Hong suka tinggal di
sini sebagai murid kita?”
Sin Hong
sejak tadi mendengarkan saja percakapan itu. Dia sedang tenggelam dalam lamunan
penuh duka. Ayah ibunya tewas secara mendadak dan dia tidak memiliki apa-apa
lagi. Terutama sekali, dia terkesan sekali oleh percakapan tiga orang tua itu
tentang kematian ayahnya.
Ayahnya
dibunuh orang! Agaknya sudah direncanakan. Tang-piauwsu patut dicurigai, walau
pun belum ada buktinya. Dan dialah yang kelak harus menyelidiki dan membuka
rahasia itu. Untuk itu dia perlu memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu silat
yang pernah dipelajarinya dari ayahnya masih tidak ada artinya. Ayahnya sendiri
pun tewas melawan penjahat, apa lagi dia!
Kini,
mendengar percakapan tiga orang tua sakti itu yang ingin mengambilnya sebagai
murid, dan mendengar kakek Kao Kok Cu menyinggung apakah dia suka menjadi murid
mereka atau tidak, tanpa ditanya lagi dia lalu menjatuhkan diri bertiarap di
atas lantai, menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali.
“Sam-wi
Locianpwe, teecu (murid) Tan Sin Hong bersumpah untuk menjadi murid yang baik
kalau Sam-wi sudi mengambil teecu sebagai murid.” Berulang-ulang dia berkata
demikian.
Dengan
suaranya yang lantang dan tegas kakek Kao Kok Cu berkata, “Tan Sin Hong,
benarkah engkau bersedia untuk mematuhi semua perintah kami kalau engkau
menjadi murid kami?”
“Teecu
bersumpah untuk mentaati dan mematuhi semua petunjuk dan perintah Sam-wi
Locianpwe!” kata Sin Hong dengan setulus hatinya.
“Dan engkau
tak akan mengeluh menghadapi latihan yang amat berat?” sambung Tiong Khi
Hwesio.
“Biar sampai
mati sekali pun dalam mentaati perintah, teecu tidak akan mengeluh.”
Tiga orang
tua itu diam-diam menjadi girang dan mulai hari itu, Tan Sin Hong tinggal di
sana. Dia bekerja keras sebagai pelayan, membersihkan istana dan bekerja di
kebun, melayani semua kebutuhan tiga orang tua itu, akan tetapi sebagai
imbalannya, dia pun mulai digembleng oleh mereka bertiga! Menjadi murid seorang
saja di antara tiga orang sakti ini sudah merupakan suatu keberuntungan besar,
apa lagi sekaligus menjadi murid mereka bertiga!
Sin Hong
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini dan dia pun belajar dan
berlatih dengan amat tekunnya, siang malam tak pernah berhenti kecuali kalau
sedang bekerja. Bahkan dalam melaksanakan pekerjaannya sekali pun, ia melatih
diri sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Kalau malam, setelah lelah
berlatih, dia mencurahkan pikirannya untuk mengingat semua pelajaran yang
diterimanya dari tiga orang gurunya.
Tiga orang
tua renta itu maklum bahwa bagi seorang murid seperti Sin Hong, tidaklah
mungkin dapat mempelajari semua ilmu mereka bertiga, akan memakan waktu terlalu
lama. Mereka sudah tua sekali, selain itu sudah merasa malas untuk banyak
bergerak melatih ilmu silat, juga maklum bahwa akan sayang kalau sampai mereka
mati sebelum ilmu mereka dapat diterima dengan baik oleh murid terakhir itu.
Oleh karena
itulah mereka masing-masing sengaja memilih ilmu-ilmu simpanan mereka saja
untuk diajarkan kepada Sin Hong, setelah menggembleng pemuda itu untuk dapat
menguasai langkah-langkah dan gerakan-gerakan dasar dari ilmu mereka bertiga.
Kao Kok Cu
menurunkan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dan meski muridnya tidak berlengan
buntung, dia mengajarkan juga caranya menghimpun tenaga sakti melalui Ilmu
Sin-liong Hok-te. Nenek Wan Ceng juga mengajarkan Ilmu Ban-tok-ciang dan
melatih pemuda itu untuk menghimpun tenaga beracun agar dapat melakukan Ilmu
Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dengan baik. Sementara itu Tiong Khi
Hwesio menurunkan gabungan Ilmu Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, juga
melatih menghimpun tenaga sakti lewat ilmu sinkang Tenaga Inti Bumi!
Tentu saja
untuk bisa menguasai ilmu-ilmu yang sakti itu, Sin Hong harus berlatih mati
matian, menggembleng diri sehingga ia tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang
kurus saking bekerja keras setiap hari dan malam untuk menguasai ilmu-ilmu itu!
Dan semenjak tinggal di situ, ia hanya mau memakai pakaian serba putih untuk
mengabungi ayah ibunya yang tewas secara menyedihkan.
Tiga tahun
kemudian ketika dia berada di situ mempelajari ilmu, pada suatu hari datang
berkunjung seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia lima puluh tiga tahun.
Dia ini bukan lain adalah Kao Cin Liong, putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan
Ceng, yang datang berkunjung dan membujuk ayah ibunya yang telah tua itu untuk
tinggal bersama dia di Pao-teng.
“Kini ayah
dan ibu telah berusia lanjut, dan saya sekeluarga tinggal jauh di Pao-teng.
Sungguh tidak enak bagi saya kalau mengingat keadaan ayah dan ibu. Sebaiknya
kalau ayah berdua tinggal bersama kami di Pao-teng supaya kami dapat mengurus
semua keperluan ayah berdua,” demikian antara lain Kao Cin Liong membujuk orang
tuanya.
Akan tetapi
ayah ibunya tetap tidak mau menuruti permintaan puteranya. “Ketahuilah bahwa
aku lebih suka tinggal di tempat yang sunyi ini bersama ayahmu, Cin Liong. Kami
dapat mengurus diri sendiri dan andai kata kelak kami meninggal dunia, kami
dapat saling mengurus atau merawat dan ada satu di antara kami yang akan
mengabarimu di Pao-teng,” demikian nenek Wan Ceng berkata.
Puteranya
tidak merasa heran mendengar ibunya sedemikian enaknya bicara tentang kematian.
Dia sudah mengenal watak ibu dan ayahnya yang menganggap kematian sebagai hal
yang biasa saja.
“Pula, kami
sekarang mempunyai seorang murid yang juga melayani semua keperluan kami.
Inilah dia, namanya Tan Sin Hong.” kata Kao Kok Cu. “Juga di sini tinggal pula
Tiong Khi Hwesio yang menambah kegembiraan kami. Tak perlu engkau memusingkan
kami tiga orang-orang tua dan biarkan kami dalam kegembiraan kami sendiri.”
Dia lalu
menceritakan tentang Sin Hong yang segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong
yang disebutnya ‘suheng’ (kakak seperguruan). Diam-diam Cin Liong merasa heran
dan kagum akan baiknya nasib anak itu yang secara tak terduga telah menjadi
murid ayah ibunya dan juga Tiong Khi Hwesio!
Kao Cin
Liong tinggal selama satu minggu di Istana Gurun Pasir, dan setelah dia pergi
meninggalkan tempat itu, pulang ke Pao-teng, kehidupan di situ menjadi seperti
biasa lagi. Sin Hong tekun berlatih silat, dan ketiga orang tua renta itu
kadang-kadang masih suka berkeliaran di padang pasir, bahkan beberapa kali
masih senang bermain-main dengan badai.
Sang waktu
berjalan dengan amat cepatnya. Kalau kita masing-masing menengok ke belakang,
kepada kehidupan kita di masa lalu di masa kanak-kanak, di masa muda dan
selanjutnya, akan nampak betapa cepatnya waktu berjalan.
Bagi seorang
dewasa, masa kanak-kanak yang lewat belasan tahun yang lalu, hanya seolah-olah
baru kemarin saja. Semua peristiwa di masa kanak-kanak nampak seperti baru
terjadi kemarin dan kenangan pada masa lalu ini akan membuat setiap orang
menyadari bahwa tahu-tahu dia telah menjadi tua!
Demikian
pendeknya kehidupan ini, kenapa waktu yang pendek itu tidak kita isi dengan
langkah-langkah yang berguna, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain?
Apa yang telah kita lakukan bagi manusia, bagi dunia, bagi Tuhan? Pertanyaan
seperti ini sudah sepatutnya kita pertanyakan kepada diri sendiri
masing-masing, dan bagi mereka yang belum pernah melakukan hal yang berguna
atau merasa belum pernah, marilah mulai dari saat ini juga.
Langkah
hidup apakah yang berguna? Tentu bukan langkah hidup atau perbuatan yang
mengandung pamrih bagi kepentingan diri sendiri, karena langkah seperti itu
hanya akan menimbulkan konflik atau pertentangan. Langkah hidup yang benar dan
berguna hanyalah langkah atau perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Karena
itu, mengapa tidak membiarkan cinta kasih bersinar menerangi batin?
Bukan dengan
cara memupuk cinta kasih, karena hal ini tidak mungkin. Bukan dengan jalan
mempraktekkan cinta kasih atau mengusahakan agar kita bisa menjadi baik dan
menjadi seorang pengasih. Sama sekali tidak mungkin. Kita hanya dapat
menyingkirkan hal-hal yang memenuhi batin kita, hal-hal yang bukan cinta kasih,
bahkan yang justru membuat batin tertutup bagi masuknya sinar cinta kasih.
Kita harus
menyingkirkan kebencian, permusuhan, dendam, pementingan diri, ambisi pribadi,
iri hati dan segala macam keinginan yang didorong oleh nafsu. Kalau batin sudah
bersih dari semua itu, tanpa kita panggil, tanpa kita cari, sinar cinta kasih
akan menerangi batin. Dalam keadaan demikian, semua perbuatan kita akan
didasari cinta kasih, berarti hidup kita berguna, baik bagi manusia mau pun
bagi Tuhan!
Tanpa terasa
lagi, sudah tujuh tahun Tan Sin Hong tinggal di Istana Gurun Pasir! Dan berkat
ketekunannya, kerajinannya yang tak mengenal lelah, dalam usia dua puluh satu
tahun, berhasillah dia menguasai seluruh ilmu yang diajarkan oleh ketiga orang
gurunya kepadanya.
Sementara
itu, tiga orang tua yang tinggal di Istana Gurun Pasir, kini menjadi semakin
tua! Tiong Khi Hwesio sudah berusia hampir delapan puluh tahun, demikian pula
nenek Wan Ceng, sedangkan suaminya Kao Kok Cu, telah berusia delapan puluh lima
tahun! Mereka merasa betapa tenaga mereka digerogoti usia dari dalam, daya
tahan mereka telah berkurang, hanya penggunaan otak mereka yang belum mundur,
bahkan mereka menjadi semakin waspada dan pandai.
Karena
merasa bahwa mereka bertiga sudah mendekati akhir usia, setelah melakukan
latihan semedhi bersama, mereka bertiga mendapat kesempatan untuk bersama-sama
menciptakan suatu ilmu yang khas untuk diwariskan kepada murid mereka yang baik
itu. Selama tujuh tahun mereka melihat betapa Sin Hong adalah seorang yang
selain tekun, tabah dan juga berkemauan keras, memiliki kesetiaan dan kebaktian
terhadap mereka. Hal ini membuat mereka merasa suka dan sayang kepada Sin Hong.
Mereka pun
mulai menciptakan suatu ilmu bersama dan setelah berhasil, mereka lalu
mengajarkan ilmu ini kepada Sin Hong. Ilmu ini diilhami oleh gerakan seekor
burung bangau, walau pun intinya mengandung sari dari ilmu ketiga orang tua
itu. Dan karena gerakannya, mereka memberi nama ilmu ini Pek-ho Sin-kun (Silat
Sakti Bangau Putih) dan kemudian mengajarkannya kepada Sin Hong.
Akan tetapi,
bukan mudah mempelajari ilmu silat yang didasari ilmu batin yang kuat ini. Sin
Hong sendiri tertegun karena kaget mendengar pesan Kao Kok Cu yang mewakili
mereka bertiga.
“Sin Hong,
ketahuilah bahwa ilmu yang akan kami berikan kepadamu ini bukanlah ilmu
sembarangan, melainkan ilmu perahan dari seluruh kepandaian kami bertiga.
Sinkang yang dikandung ilmu silat ini merupakan sinkang gabungan dari kami
bertiga yang akan kami salurkan kepadamu pula. Untuk itu, sebelumnya engkau
harus tahu bahwa setelah engkau menerima saluran sinkang dari kami, lalu
mempelajari Pek-ho Sin-kun sampai tamat, engkau harus menghindarkan dirimu dari
semua gerakan ilmu silat selama satu tahun penuh. Sanggupkah engkau?”
Sambil
berlutut Sin Hong bertanya. “Sebelum teecu menyatakan kesanggupan teecu, ingin
teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan dengan menghindarkan diri dari semua
gerakan silat itu?”
“Engkau
tidak boleh bersilat walau pun menghadapi ancaman apa pun juga, dan sama sekali
tidak boleh mengerahkan sinkang. Dan setiap kali ada kesempatan, engkau harus
bersemedhi dengan mengendurkan seluruh otot dan syaraf, meniadakan segala
pikiran dan kemauan, supaya tenaga yang kami salurkan kepadamu dapat mengendap
dan menyesuaikan diri dengan tubuhmu. Kalau engkau melanggarnya, engkau akan
celaka oleh tenagamu itu sendiri. Nah, syaratnya amat berat. Sanggupkah engkau?”
Sin Hong
berpikir dengan keras. Sungguh berat sekali syarat itu. Bagaimana dia dapat
membiarkan diri kosong seperti itu selama setahun? Berlatih silat pun tidak
boleh! Akan tetapi, makin sukar syaratnya, tentu semakin hebat pula ilmunya.
Maka dia pun segera mengangguk.
“Teecu
menerima syarat itu, Suhu. Akan tetapi teecu mohon keterangan lagi untuk dapat
teecu mengerti benar dan agar tidak sampai teecu melakukan pelanggaran kelak.
Bagaimana kalau ada orang yang mengancam dan menyerang teecu?”
“Omitohud…
kenapa engkau dihantui rasa khawatir, Sin Hong?” kata Tiong Khi Hwesio. ”Biar
pun ada yang menyerangmu, hendak membunuhmu sekali pun engkau tidak boleh
menggerakkan ilmu silat yang akan menggerakkan pula tenaga sinkang di tubuhmu.”
“Jadi teecu sama
sekali tidak boleh membela diri walau pun teecu takkan menentang?”
“Tentu saja
kau boleh berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi engkau hanya boleh
menggunakan akal atau kalau terpaksa menggunakan tenaga juga, hanya tenaga otot
biasa saja, bukan tenaga sinkang. Sudah tentu engkau dapat terancam bahaya maut
dengan syarat ini, tetapi itu sudah menjadi resikonya mempelajari ilmu yang
dahsyat,” kata Wan Ceng.
“Baik, teecu
menerima syarat itu!” berkata Sin Hong dengan suara tegas dan penuh semangat.
Mulailah dia
mempelajari Ilmu Pek-ho Sin-kun. Karena dia sudah menguasai ilmu-ilmu simpanan
dari tiga orang gurunya, maka ilmu gabungan ini dapat dikuasainya dalam waktu
pendek saja. Kemudian, dia disuruh duduk bersila. Ketiga orang gurunya duduk
bersila pula di belakangnya.
Tiong Khi
Hwesio lalu menempelkan telapak tangan kanan ke pundak kanannya, Kao Kok Cu
menempelkan telapak tangan di punggungnya, dan Wan Ceng menempelkan tangan di
pundak kirinya. Perlahan-lahan, setelah dia disuruh membuka dirinya tanpa melakukan
perlawanan sedikit pun, Sin Hong lalu merasa betapa hawa yang hangat mengalir
ke dalam tubuhnya melalui tiga bagian tubuh yang ditempel telapak tangan itu.
Makin lama hawa itu menjadi semakin banyak mengalir dan menjadi semakin panas,
berputar di seluruh tubuhnya, kemudian perlahan-lahan berkumpul di pusarnya.
Dia tahu
betapa ada hawa sakti yang luar biasa kuatnya memasuki tubuhnya, maka dia hanya
menerima saja tanpa melawan sedikit pun. Setelah tiga orang itu menghentikan
penyaluran hawa sakti itu dan ketiganya menggeser duduk mereka ke belakang, Sin
Hong merasa betapa ada hawa yang kuat sekali berpusing di dalam pusarnya. Dia
membalik dan berlutut menghadap ketiga orang gurunya.
Mereka itu
agak pucat dan terengah, namun mereka tersenyum memandang kepadanya dengan
pandang mata penuh kasih sayang. Hal ini membuat Sin Hong terharu bukan main
dan dia pun bertiarap, menyentuh lantai di depan kaki mereka dengan dahinya
berulang kali sambil menghaturkan terima kasih.
“Sekarang,
sebaiknya engkau segera melakukan siu-lian (semedhi) di dalam kamarmu, Sin
Hong. Boleh engkau melaksanakan pekerjaanmu, akan tetapi yang penting saja dan
selebihnya dari waktumu, pergunakan untuk semedhi. Dan ingat pesan kami
bertiga.”
Sin Hong
kembali menghaturkan terima kasih kemudian dia pun keluar dari ruangan itu,
memasuki kamarnya dan cepat duduk bersila dan bersemedhi mengendurkan seluruh
tubuhnya luar dalam dan membiarkan tenaga sakti yang berpusingan di dalam
pusarnya itu bergerak-gerak seperti benda hidup di dalam tubuhnya!
Seperti
biasa, dengan amat tekun Sin Hong kini mempergunakan kesempatan untuk
bersemedhi. Dengan girang dia mendapat kenyataan betapa keliaran tenaga sakti
yang dia terima dari tiga orang gurunya itu, semakin teratur dan bergerak
mengelilingi semua bagian tubuhnya dengan lembut, tidak lagi liar seperti pada
hari-hari pertama. Semakin lama tenaga itu mengendap di pusarnya dan dia
mendapat kenyataan betapa sedikit ketegangan saja sudah cukup untuk membuat
tenaga itu bangkit dan berputaran di seluruh tubuhnya.
Kini tahulah
dia akan maksud guru-gurunya yang melarang dia mengerahkan sinkang selama satu
tahun. Kalau dia mengerahkan tenaga, maka tenaga sakti yang amat besar itu akan
bangkit dan mengamuk, dan tentu tubuhnya bagian dalam tidak akan mampu menahannya
karena tenaga sakti itu masih setengah liar dan belum dapat dikendalikan
sepenuhnya.
Keadaan
seperti itu berlangsung terus selama sepuluh bulan. Kini, semenjak mereka
selesai mengajarkan ilmu gabungan terakhir kepada Sin Hong, tiga orang tua itu
banyak menganggur dan mereka lebih banyak bersemedhi. Mereka merasa betapa
tenaga mereka makin berkurang, bukan karena disalurkan kepada Sin Hong,
melainkan karena dimakan usia tua.
Pada suatu
pagi yang cerah, istana itu nampak sunyi sekali. Empat orang penghuninya semua
masih duduk bersila, melakukan semedhi pagi yang amat baik karena pada saat
itu, sinar matahari pagi merupakan sumber yang sangat baik, mengandung kekuatan
yang dahsyat. Dengan bersemedhi, mereka dapat menampung kekuatan ini, kekuatan
yang menghidupkan.
Akan tetapi,
tidak seperti biasanya, di tempat yang sunyi itu kini didatangi serombongan
orang yang aneh-aneh. Nampak tak kurang dari tujuh belas orang yang perlahan-lahan
menghampiri Istana Gurun Pasir. Mereka datang dari arah selatan dan sikap
mereka amat berhati-hati, bahkan seperti orang-orang yang takut-takut, agaknya
gentar karena mereka sudah mendengar akan kehebatan nama Istana Gurun Pasir
ini. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan, tentu saja mereka tahu bahwa
penghuni Istana Gurun Pasir ini adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang
sakti, bahkan isterinya juga seorang nenek yang sakti.
Di halaman
depan istana itu, mereka berhenti. Enam orang di antara mereka, agaknya yang
menjadi pemimpin, berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu dan sikap mereka
jelas membayangkan perasaan gentar. Bagi orang yang sudah biasa menjelajahi
dunia kang-ouw, akan mengenal enam orang ini karena mereka adalah tokoh-tokoh besar
yang terkenal di dunia persilatan.
Orang
pertama adalah seorang wanita yang usianya sudah enam puluh tujuh tahun, akan
tetapi masih nampak cantik karena ia pesolek, dan pakaiannya juga serba indah,
sikapnya lemah lembut dan gerak-geriknya yang halus tidak menunjukkan bahwa ia
sebenarnya adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
namanya ditakuti banyak orang di dunia persilatan.
Tubuhnya
tinggi ramping dengan pinggang yang lemas seperti batang pohon yang-liu. Inilah
Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), seorang yang tidak saja memiliki
ilmu pedang yang dahsyat, akan tetapi bahkan pandai pula ilmu sihir! Kini ia
berdiri dengan tangan kanan memegang pedang dan tangan kiri memegang kebutan
bergagang emas.
Orang ke dua
adalah seorang laki-laki berusia lima puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar
dengan brewok. Dia juga bukan orang sembarangan karena dia terkenal sebagai
seorang pencuri yang amat lihai, berjuluk Sai-cu Sin-touw (Maling Sakti Muka
Singa), memiliki sepasang tangan yang bergerak cepat sekali sehingga dengan
kedua tangan kosong saja dia berani menghadapi lawan tangguh yang bersenjata.
Sai-cu Sin-touw ini merupakan seorang tangan kanan dan pembantu yang dipercaya
oleh Sin-kiam Mo-li.
Orang ke
tiga seorang kakek berusia tujuh puluh dua tahun, juga bertubuh tinggi besar
dengan perut gendut sekali seperti karung beras, mengenakan jubah kuning yang
di bagian dadanya bergambar pat-kwa. Dari jubahnya ini mudah dikenal bahwa dia
adalah seorang tokoh Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang tinggi
kedudukannya.
Rambutnya
yang telah putih semua itu menutupi sebagian mukanya karena riap-riapan.
Mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi Ok Cin Cu,
kakek pendeta ini, lihai bukan main dengan tongkatnya yang berbentuk ular dan
berwarna hitam.
Orang ke
empat adalah suheng-nya, bernama Thian Kong Cinjin dan dia adalah wakil ketua
Pat-kwa-kauw cabang utara. Usianya sudah tua sekali, tujuh puluh delapan tahun.
Rambut dan jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi kurus namun berwibawa.
Sikapnya halus lemah lembut. Dia membawa sebatang tongkat setinggi tubuhnya.
Dibandingkan para pendeta lainnya, Thian Kong Cinjin ini yang paling lihai dan
tingkat kepandaiannya bahkan seimbang dengan Sin-kiam Mo-li yang dianggap
pimpinan rombongan ini.
Orang ke
lima juga sudah tua, tujuh puluh lima tahun usianya. Dia adalah Thian Kek
Sengjin. Melihat jubahnya yang bergambar bunga teratai di dadanya, dapat
diketahui bahwa dia adalah seorang tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw. Biar
pun usianya sudah tua namun mukanya merah seperti darah, tubuhnya kurus kering
dan dia memiliki sepasang mata bagai mata kucing. Ia juga membawa sebatang
tongkat yang berbentuk ular berwarna hitam.
Orang ke
enam dari kelompok pimpinan ini bernama Coa-ong Sengjin, usianya tujuh puluh
dua tahun dan dia juga tokoh Pek-lian-kauw, sute (adik seperguruan) dari Thian
Kek Sengjin. Tubuhnya kecil bongkok, mukanya buruk mirip muka monyet. Akan
tetapi jangan dipandang rendah kakek kecil buruk ini, karena selain ilmu silat yang
cukup lihai dengan tongkat ular hidup sepanjang lima kaki, dia juga ahli atau
pawang ular yang dapat memanggil ular-ular berbisa untuk membantunya menghadapi
lawan!
Enam orang
ini bersatu dibawah pimpinan Sin-kiam Mo-li yang dianggap paling lihai. Hanya
Sin-kiam Mo-li seorang yang tidak menjadi tokoh dari suatu perkumpulan agama
sedangkan lima orang itu, yang seorang adalah pembantunya, sedangkan empat yang
lain adalah para pendeta Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Bahkan sebelas orang
yang menjadi anak buah mereka adalah para anggota Pek-lian-kauw yang pilihan
dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Apakah
maksud kedatangan tujuh belas orang itu ke Istana Gurun Pasir? Para pendeta itu
terkena hasutan Sin-kiam Mo-li yang menganggap dua keluarga dari Pulau Es dan
Istana Gurun Pasir sebagai musuh-musuh besarnya. Dan karena dua perkumpulan
itu, Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, juga merupakan dua perkumpulan pemberontak
yang telah banyak melakukan penyelewengan dan kejahatan, maka sudah seringkali
mereka bentrok dengan anggota keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, ketika
dihasut dan diajak oleh Sin-kiam Mo-li untuk menyerbu Istana Gurun Pasir,
mereka pun menyambut dengan baik walau pun mereka masih ragu-ragu dan
takut-takut.
Melihat
betapa para pendeta itu kelihatan jeri sekali setibanya di pekarangan depan
istana, sambil berbisik-bisik Sin-kiam Mo-li mengulangi bujukannya.
“Kenapa
kalian tiba-tiba saja menjadi takut lagi? Sudah kukatakan berkali-kali, menurut
perhitunganku, suami isteri itu telah menjadi kakek dan nenek yang tua sekali,
jauh lebih tua dari pada kalian semua. Tentu mereka telah menjadi kakek dan
nenek pikun yang akan mudah saja kita kalahkan. Apa yang perlu kita takuti?
Kita semua berjumlah tujuh belas orang, sedangkan mereka hanya berdua, seorang
kakek dan seorang nenek yang mungkin sudah berpenyakitan. Dan ingat akan harta
benda dan pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya di dalam istana! Semuanya
akan menjadi milik kita kalau sudah membunuh mereka.”
“Tapi...
tapi... bagaimana kalau putera mereka dan para pendekar lain berada di dalam
istana itu? Kita semua akan mati konyol!” bantah Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-kauw
itu. Keraguannya ini disetujui oleh tiga orang pendeta lainnya karena mereka
mengangguk-angguk membenarkan.
“Ahhh,
kalian kira aku sudah begitu bodoh? Sebelum berangkat, aku sudah melakukan
penyelidikan ke Pao-teng dan Kao Cin Liong bersama keluarganya berada di rumah.
Percayalah, di dalam istana tua ini hanya ada kakek dan nenek itu, dan aku yakin
kita akan mampu mengalahkan mereka. Mari...!” Sin-kiam Mo-li lalu melangkah
maju terus menghampiri istana.
Keadaan
istana yang amat sunyi itu membuat para pendeta menjadi berani dan mereka mulai
percaya akan keterangan Sin-kiam Mo-li. Istana itu memang nampak sunyi saja,
seperti tidak ada penghuninya saja atau kalau pun ada, tentu tidak banyak.
Rombongan
penyerbu ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa barang-barang yang mereka
sangat inginkan itu, terutama kitab-kitab ilmu, tidak akan mereka dapatkan di
tempat itu. Tiga orang kakek itu, terutama Kao Kok Cu dan Wan Ceng sudah sejak
lama membakar semua kitab pelajaran. Mereka berpendapat bahwa ilmu merupakan
sesuatu yang amat berbahaya kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Oleh
karena itu, setelah merasa bahwa mereka sudah tua dan setelah mereka mewariskan
ilmu-ilmu mereka kepada murid terakhir, mereka lalu membakar semua kitab yang
ada!
Juga
Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya sama sekali tak tahu bahwa penghuni Istana
Gurun Pasir walau pun sudah tua renta namun masih amat lihai dan cerdik
sehingga kedatangan mereka itu sudah semenjak tadi diketahui. Oleh karena itu,
ketika mereka menyerbu serambi depan istana tua itu, tiba-tiba saja pintu depan
terbuka dan mereka melihat tiga orang tua sedang duduk bersila di belakang
ambang pintu depan, dengan sikap yang tenang, bahkan tersenyum menghadapi
mereka!
Melihat ini,
para pendeta itu hampir berteriak kaget dan kembali nyali mereka menjadi kecil,
apa lagi mereka melihat kenyataan bahwa suami isteri tua penghuni Istana Gurun
Pasir itu ternyata ditemani oleh seorang hwesio yang mereka kenal sebagai Tiong
Khi Hwesio yang juga lihai! Mereka tentu saja mengenal hwesio ini yang
dahulunya adalah seorang pendekar dengan julukan Si Jari Maut!
“Celaka,”
pikir mereka. “Kiranya di samping Pendekar Naga Sakti dan isterinya, masih ada
lagi Si Jari Maut!”
Akan tetapi,
Sin-kiam Mo-li yang tadinya kaget juga melihat adanya Tiong Khi Hwesio di situ,
membesarkan hati kawan-kawannya dan berkata, “Mari maju, mereka hanyalah tiga
orang tua bangka yang sudah mau mampus!”
“Omitohud...!”
Tiong Khi Hwesio berseru sambil tersenyum lebar. “Bukankah yang datang ini
sahabat-sahabat lama, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawan dari Pat-kwa-kauw dan
Pek-lian-kauw? Sin-kiam Mo-li, sudah bertahun-tahun engkau agaknya belum juga
mau bertobat? Mau apakah engkau dan teman-temanmu mengunjungi tempat sunyi
ini?”
Sin-kiam
Mo-li memandang kepada hwesio itu dengan marah sekali. Tiong Khi Hwesio adalah
musuh besarnya. Adalah hwesio ini yang dahulu memimpin para pendekar untuk
menentang ibu angkatnya, yaitu mendiang Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama sehingga
ibu angkatnya itu tewas. Melihat kehadiran kakek ini di Istana Gurun Pasir,
bukan saja mengejutkan hatinya, akan tetapi lebih lagi mendatangkan kemarahan
dan kebencian mendalam. Ia tidak takut karena kini hwesio itu nampak sudah
demikian tua!
“Tiong Khi
Hwesio, tua bangka yang mau mampus. Kebetulan engkau berada di sini sehingga
kami dapat membasmi dirimu sekalian!” bentaknya.
Selama
beberapa tahun ini, Wan Ceng sudah dapat memenangkan diri sendiri. Ia yang
dahulunya merupakan seorang wanita yang gagah perkasa, galak dan keras hati,
kini menjadi seorang nenek yang berhati lembut. Biar pun ia tahu bahwa Sin-kiam
Mo-li dan kawan-kawannya itu adalah tokoh-tokoh sesat yang amat jahat, namun
tidak timbul kebencian atau kemarahan dalam hatinya.
Melihat
kenyataan ini, bukan main girangnya rasa hati Wan Ceng. Inilah ujian terakhir
baginya, ujian bagi keadaan batinnya apakah benar-benar dia sudah bebas dari
pada kemarahan dan kebencian. Dan dia melihat kenyataan yang menggembirakan
bahwa kemunculan orang-orang jahat yang berniat buruk ini pun kini tidak dapat
mengusik dan memunculkan kemarahan atau kebencian dalam batinnya.
Ia menoleh
kepada suaminya yang nampak tenang saja seolah-olah tidak menghadapi ancaman,
dan kepada Tiong Khi Hwesio yang tertawa-tawa. Hatinya terharu. Sungguh Wan Tek
Hoat kini telah berubah sama sekali. Dahulu pernah dijuluki Si Jari Maut yang
bersikap keras tanpa mengenal ampun kepada orang jahat atau musuhnya, akan
tetapi sekarang telah menjadi seorang hwesio yang masih tertawa-tawa biar pun
diancam dan dimaki.
Kakek Kao
Kok Cu yang bersikap tenang itu bangkit berdiri, diikuti oleh isterinya dan
Tiong Khi Hwesio, dan berkata dengan halus namun berwibawa sekali, “Kami
penghuni Istana Gurun Pasir sudah puluhan tahun tidak pernah mempunyai urusan
dengan siapa pun juga, dan kami pun tidak mau bermusuhan dengan Cu-wi (Kalian).
Harap kalian suka tinggalkan kami yang ingin hidup aman dan damai.”
Melihat
sikap Pendekar Naga Sakti yang mereka takuti demikian lunak, dan nampaknya
sudah tua sekali, hati Sin-kiam Mo-li menjadi besar.
“Hemmm,
ingin kami melihat sampai di mana kebenaran nama besar Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir! Biar pun kalian tinggal diam di sini, namun keturunan dan
murid-murid kalian bersama murid keluarga Pulau Es, selalu memusuhi kami.
Karena itu hari ini kami sengaja datang untuk membunuh kalian. Kami berpendapat
bahwa membunuh sebatang pohon haruslah membongkar akarnya dahulu, baru seluruh
pohonnya akan rontok.”
“Omitohud...!”
seru Tiong Khi Hwesio. “Sin-kiam Mo-li dan para sobat dari Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw. Kebetulan bahwa musuh kalian yang paling besar adalah diri kalian
sendiri! Tidak sadarkah kalian bahwa kalian banyak mendapat tentangan adalah
akibat dari pada tindakan kalian sendiri? Kalau kalian mengambil jalan yang
benar, tak pernah mengganggu orang baik-baik, pasti tidak akan ada yang
menentang kalian. Dari pada membunuh kami bertiga orang tua yang tidak akan ada
gunanya, lebih berguna kalau kalian mawas diri dan mengubah cara hidup
kalian...“
“Tutup
mulutmu, hwesio busuk!” bentak Sin-kiam Mo-li. “Kami datang bukan untuk
mendengarkan khotbah atau ceramah. Hayo kalian bertiga keluarlah kalau memang
berani, kami menunggu di luar!”
Wanita ini
menantang dan memberi isyarat pada teman-temannya untuk mundur sampai ke
pekarangan istana yang luas. Dia memang cerdik. Kalau dia dan kawan-kawannya
menyerbu ke dalam, selain ruangan di sana tidak begitu luas sehingga sukar
melakukan pengepungan dan pengeroyokan, juga dia khawatir kalau istana tua itu
mengandung jebakan-jebakan dan alat rahasia yang membahayakan. Kalau berkelahi
di pekarangan ini, dia dapat mengerahkan semua temannya yang berjumlah tujuh
belas orang untuk mengepung dan mengeroyok tiga orang tua itu.
Tiong Khi
Hwesio melangkah keluar sambil tertawa. Sedangkan Kao Kok Cu saling pandang
dengan Wan Ceng, dan keduanya tersenyum.
“Suamiku,
kalau Tuhan menghendaki, biarlah kita berpisah di dunia ini untuk bertemu di
alam lain.”
Kao Kok Cu
mengangguk, tersenyum dan tangan mereka saling sentuh dengan mesra, penuh
perasaan kasih sayang. “Selamat berpisah, isteriku.”
Mereka pun
bergandeng tangan keluar mengikuti Tiong Khi Hwesio. Sejenak mereka berdua
seolah-olah merasa sedang menjadi pengantin, melangkah perlahan di belakang
seorang pendeta yang mengawinkan mereka, menuju ke tempat sembahyangan!
Setelah
ketiga orang tua ini tiba di pekarangan, Sin-kiam Mo-li segera memberi isyarat
kepada semua temannya dan tujuh belas orang itu lalu mengepung dua orang kakek
dan seorang nenek yang berdiri saling membelakangi membentuk segi tiga.
“Bagaimana, Kao-taihiap?
Apakah kita harus melayani mereka ini?” terdengar Tiong Khi Hwesio bertanya
sambil tersenyum. Pertanyaan itu seolah-olah hendak menguji apakah jalan
pikiran sahabatnya itu sama dengan pikirannya.
“Tentu
saja,” jawab Kao Kok Cu tenang.
“Omitohud!
Untuk apa?” Tiong Khi Hwesio mendesak.
“Pertama,
sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri dari semua
ancaman yang datang dari dalam mau pun luar, dan ke dua, sudah menjadi
kewajiban kita pula sebagai orang-orang yang pernah mempelajari ilmu untuk
mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang sesat,” kini yang
menjawab adalah nenek Wan Ceng.
“Ha-ha-ha,
bagus!” kata Tiong Khi Hwesio. “Tetapi, kita membela diri dan menghadapi mereka
ini tanpa marah dan benci?”
“Tanpa marah
dan benci!” kata kakek Kao Kok Cu dengan suara tegas.
Sementara
itu, mendengarkan tiga orang tua itu bercakap-cakap seenaknya, dengan sikap
acuh seakan-akan mereka sedang bercengkerama, bukan sedang dikepung dan diancam
musuh, Sin-kiam Mo-li menjadi marah sekali. Ia menganggap tiga orang tua itu
memandang rendah kepadanya dan teman-temannya, maka ia pun berteriak dengan
suara lantang sekali.
“Serbuuuuu!
Bunuh mereka...!”
Sin-kiam
Mo-li sendiri sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yaitu pedang di tangan
kanan dan kebutan di tangan kiri, menyerang kepada kakek Kao Kok Cu karena ia
tahu bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang buntung lengan kirinya inilah
yang paling tangguh.
Sai-cu
Sin-touw si Maling Sakti Muka Singa sudah cepat menyusulkan serangan pula
dengan kedua tangannya, membantu Sin-kiam Mo-li. Namun dengan gerakan ringan
dan halus, Kao Kok Cu dapat menghindarkan serangan mereka itu dengan elakan dan
kebutan ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong.
Ok Cin Cu
dan Thian Kong Cinjin, dua orang tokoh Pat-kwa-kauw itu, segera menerjang Tiong
Khi Hwesio dengan tongkat mereka. Tiong Khi Hwesio bergelak tertawa dan dia pun
mencabut Cui-beng-kiam yang tadi sudah dipersiapkannya ketika mereka bertiga
bersila menyambut datangnya rombongan tamu tak diundang itu. Terjadilah
perkelahian antara dia dan dua orang pengeroyoknya yang lihai.
Wan Ceng
juga sudah mencabut Ban-tok-kiam untuk menghadapi terjangan dua orang kakek
tokoh Pek-lian-kauw, yaitu Thian Kek Sengjin yang bersenjatakan tongkat naga
hitam dan Coa-ong Sengjin yang bersenjatakan seekor ular hidup dan dua orang
ini menyerang dengan ganas. Akan tetapi nenek Wan Ceng menghadapi mereka dengan
tenang. Pada wajahnya sedikit pun tidak terbayang kemarahan, sungguh jauh
bedanya dengan wataknya di waktu yang lalu.
Sebelas
orang anak buah Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw yang mengepung mereka juga telah
memegang senjata masing-masing. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebongkok
hio (dupa biting), membakar ujungnya sampai membara, dan lalu membagi-bagikan
hio itu, masing-masing mendapatkan tiga batang. Kemudian, tiga batang hio itu
mereka pasang di kepala, diselipkan pada ikat kepala yang sudah mereka pakai.
Kemudian,
sebelas orang itu memakai dupa di kepalanya ini lalu berlari-lari mengelilingi
pertempuran itu sambil membaca mantera. Kiranya, seperti yang sebelumnya sudah
mereka rencanakan, dipimpin oleh seorang pendeta Pek-lian-kauw, mereka
membentuk sebuah barisan siluman yang mempergunakan kekuatan mantera dan ilmu
hitam dari Pek-lian-kauw!
Barisan yang
memupuk tenaga ilmu hitam ini berlari-larian, makin lama semakin cepat
mengitari pertempuran itu, kemudian tiba-tiba membalik dan demikian
berkali-kali sambil membaca mantera sampai muka mereka dipenuhi keringat dan
kini ada sinar aneh pada pandang mata mereka seperti mata orang yang tidak
sadar lagi, bahkan mulut mereka, yang masih berkemak-kemik itu kini
mengeluarkan busa! Kiranya sebelas orang itu kini seperti dalam keadaan
kesurupan. Mulailah mereka melakukan pengeroyokan kepada tiga orang tua dari
Istana Gurun Pasir itu.
Namun,
berkat kekuatan batin yang hebat, mereka dapat menghalau semua pengaruh ilmu
hitam itu. Bahkan saat sebelas orang itu ikut mengeroyok, tiga orang tua ini
melihat seakan-akan sebelas orang itu sudah menjadi ratusan banyaknya! Namun,
pengerahan sinkang membuat mata mereka terbuka penuh kewaspadaan dan lenyaplah
bayangan ratusan orang tua itu, dan yang nampak tetap saja sebelas orang yang
seperti gila atau kesurupan!
Akan tetapi,
sepak terjang sebelas orang itu ternyata lebih hebat dari pada enam orang
pemimpin mereka yang lihai. Jika enam orang pemimpin mereka hanya mengandalkan
kepandaian saja, maka sebelas orang itu selain kepandaian pribadi, juga
mengandalkan kekuatan yang tidak lumrah manusia, dan kenekatan yang mengerikan!
Ketiga orang
tua yang dikeroyok itu sebentar saja sudah terdesak hebat. Kalau dibuat
perbandingan, tentu saja kakek Kao Kok Cu mempunyai tingkat kepandaian yang
paling tinggi di antara isterinya dan hwesio itu. Juga tingkatnya masih lebih
tinggi dari pada Sin-kiam Mo-li sekali pun.
Pada saat
tadi dikeroyok dua oleh Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw, dia masih dapat
mengimbangi kekuatan mereka, bahkan membuat mereka kewalahan. Akan tetapi kini
ditambah lima orang anak buah yang mengeroyok seperti kesurupan itu, segera
kakek ini terdesak hebat dan beberapa kali tubuhnya sudah terkena tusukan
pedang Sin-kiam Mo-li dan bacokan golok di tangan anak buah yang kesetanan itu.
Tapi, dengan
sikap yang masih gagah dan tenang, kakek penghuni Istana Gurun Pasir itu terus
membela diri dengan gigih dan sabetan ujung lengan baju kirinya, ketika dia
mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te, merobohkan dua orang anggota pasukan yang
kesetanan itu. Mereka tewas seketika dengan kepala retak! Akan tetapi, yang
tiga orang lagi menyerang semakin nekat, juga Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu
Sin-touw memperhebat desakan mereka melihat betapa kakek berlengan tunggal itu
sudah menderita luka-luka.
Keadaan
nenek Wan Ceng lebih parah lagi dari pada suaminya. Tingkat kepandaiannya hanya
seimbang dibandingkan Coa-ong Sengjin, bahkan masih kalah jika dibandingkan
tingkat Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu. Dikeroyok dua saja
dia sudah repot, hanya mengandalkan pedang Ban-tok-kiam yang ampuh itu sajalah
dia masih dapat melindungi dirinya.
Akan tetapi,
ketika tiga orang yang kesetanan itu maju mengeroyok, dia pun tak dapat
menghindarkan lagi senjata para pengeroyok sehingga menderita luka-luka, bahkan
ada hantaman tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin yang mengenai
pundak dekat lehernya, membuat ia menderita luka dalam yang cukup parah.
Akan tetapi
nenek ini memang hebat sekali. Luka-luka di tubuhnya tetap saja tak dapat
membangkitkan kemarahannya. Ia menahan rasa nyeri dan gerakan pedangnya tetap
hebat sehingga ia pun berhasil menusuk roboh Coa-ong Sengjin dengan pedangnya.
Begitu
tertusuk lambungnya oleh Ban-tok-kiam, Coa-ong Sengjin menjerit dan roboh tak
berkutik lagi, tubuhnya berubah menjadi kehitaman karena racun yang amat hebat
dari pedang Ban-tok-kiam. Melihat betapa sute-nya tewas, Thian Kek Sengjin
menjadi makin marah dan mendesak hebat sehingga tongkatnya kembali berhasil
menghantam betis kanan nenek Wan Ceng sehingga roboh terguling!
Tiga orang
yang kesetanan itu menubruk dengan golok mereka. Akan tetapi, Wan Ceng membabat
dan dua orang roboh lagi oleh Ban-tok-kiam dan tewas seketika. Wan Ceng
berhasil melompat dan segera membuat pedangnya menghadapi pengeroyokan Thian
Kek Sengjin yang sekarang hanya dibantu oleh seorang anak buah yang masih nekat
kesetanan. Tapi, pengeroyokan dua orang ini cukup membuat Wan Ceng sempoyongan
karena ia sudah menderita luka-luka parah.
Bagaimana
dengan Tiong Khi Hwesio? Sama saja! Seperti halnya nenek Wan Ceng, tingkat
kepandaian Tiong Khi Hwesio hanya menang sedikit saja dibanding Ok Cin Cu,
seorang di antara pengeroyoknya, namun dia masih kalah dibandingkan dengan
Thian Kong Cinjin. Menghadapi pengeroyokan dua orang ini saja dia sudah
kewalahan, apa lagi dua orang itu dibantu oleh tiga orang anak buah yang
seperti orang kesurupan itu.
Biar pun
kadang-kadang masih terdengar suara tertawanya, namun tubuh hwesio tua itu
berkali-kali terkena hantaman tongkat dan serempetan golok sehingga dia
menderita luka-luka. Namun, tidak percuma hwesio tua ini dulu berjuluk Si Jari
Maut, dan pedang Cui-beng-kiam di tangannya adalah sebatang pedang pusaka dari
Pulau Neraka yang amat ampuh.
Maka biar
pun dia menderita luka-luka, dia berhasil pula membabat roboh tiga orang
kesetanan itu dengan pedangnya walau pun dia pun roboh terguling karena pada
saat itu, tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menghantam pahanya. Begitu
roboh, sebuah tendangan kaki Thian Kong Cinjin membuat tubuh Tiong Khi Hwesio
bergulingan.
Ok Cin Cu
mengejar dan menubruk dengan tongkat hitamnya yang berbentuk ular itu. Tongkat
itu menghantam ke arah kepala Tiong Khi Hwesio tanpa dapat dielakkannya lagi.
Tiong Khi Hwesio yang sudah maklum bahwa dia tidak akan mampu bertahan lagi,
menggunakan kesempatan terakhir untuk menusukkan pedang Cui-beng-kiam ke arah
lawan yang menyerangnya.
“Krakkk!”
“Cappp...!”
Tiong Khi
Hwesio terkulai dengan kepala retak, tewas seketika, akan tetapi juga tubuh Ok
Cin Cu terguling dan tewas tak lama kemudian karena dadanya ditembus pedang
Cui-beng-kiam! Thian Kong Cinjin memandang dengan mata terbelalak, dia hampir
tidak percaya melihat betapa hwesio itu berhasil membinasakan sute-nya, juga
merobohkan tiga orang anak buah pasukan iblis itu.
Pada saat
yang hampir bersamaan, Wan Ceng roboh pula oleh hantaman tongkat naga di tangan
Thian Kek Sengjin, namun pada saat dia terguling karena batang lehernya patah
terkena ayunan tongkat, Wan Ceng melontarkan pedang Ban-tok-kiam yang tepat
mengenai perut anak buah pasukan iblis yang mengeroyoknya. Juga nenek ini,
dalam pengeroyokan yang berat sebelah itu, sudah berhasil membunuh Coa-ong
Sengjin dan tiga orang anak buah pasukan iblis.
Kakek Kao
Kok Cu masih dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buah dari pasukan
iblis, karena dalam perkelahian selanjutnya tadi Kao Kok Cu sudah berhasil
merobohkan Sai-cu Sin-touw ketika Maling Sakti ini berhasil menangkap ujung
lengan bajunya yang kosong, yaitu yang kiri. Ketika itu Sin-kiam Mo-li
menusukkan pedangnya yang mengenai pundak Kao Kok Cu, namun kakek sakti ini
berhasil menampar dengan tangan kanannya, mengenai pelipis Saicu Sin-touw yang
roboh dan tewas seketika.
Pada saat
tiga orang anak buah pasukan iblis menubruk, tendangan kakinya yang keras
merobohkan salah seorang anak buah dan menewaskannya. Sekarang dia menghadapi
pengeroyokan Sin-kiam Mo-li dan dua orang anak buahnya yang tersisa. Ia masih
terus menggerakkan kedua kakinya dan sebelah tangannya untuk membela diri, akan
tetapi gerakannya menjadi makin lambat dan lemah karena banyak darah keluar
dari tubuhnya yang sudah amat tua itu.
“Wuuuttttt...!”
Tiba-tiba
ujung kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li datang menyambar. Kao Kok Cu
menggerakkan tangan kanan menangkap kebutan dan mengerahkan tenaganya.
“Brettttt...!”
Bulu kebutan
itu putus seluruhnya dan kini bulu-bulu yang beracun itu berada di tangan Kao
Kok Cu, sedangkan yang tertinggal di tangan Sin-kiam Mo-li hanya tinggal gagang
emasnya saja.
“Cappppp...!”
Dalam
kemarahannya, Sin-kiam Mo-li membarengi tusukan pedangnya yang mengenai lambung
Kao Kok Cu. Kakek ini sudah kehabisan tenaga, tidak mungkin lagi melindungi
tubuhnya dengan sinkang-nya, apa lagi karena penyerangnya juga mempunyai tenaga
sinkang yang amat kuat, maka pedang itu pun memasuki lambungnya.
Kao Kok Cu
terhuyung dan tersenyum melirik ke arah tubuh isterinya dan tubuh Tiong Khi
Hwesio yang kini sudah menggeletak tak bernyawa. Mendadak dia menyambitkan
bulu-bulu kebutan itu ke arah dua orang anak buah yang menyergapnya dari
samping. Mereka langsung roboh berkelojotan karena bulu-bulu itu menancap di
muka dan dada mereka, sedangkan bulu kebutan itu mengandung racun yang amat
kuat.
Kao Kok Cu
terhuyung menghampiri tempat di mana Wan Ceng roboh tadi, dan dia pun terkulai
roboh di samping mayat isterinya, menghembuskan napas terakhir dengan amat
tenang tanpa sekarat.
Sin-kiam
Mo-li berdiri tertegun seperti dua orang temannya. Mereka termangu kagum dan
juga terkejut melihat kenyataan betapa hebatnya tiga orang tua renta itu. Sudah
begitu tua dan tenaganya sudah banyak berkurang, namun ternyata masih demikian
hebatnya sehingga mereka yang datang berjumlah tujuh belas orang, kini hanya
tinggal tiga orang saja yang masih hidup! Empat belas orang teman mereka telah
tewas semua!
Bahkan
mereka bertiga, sisa dari tujuh belas orang itu yang masih hidup, juga tidak
keluar dari pertempuran itu tanpa luka! Punggung Sin-kiam Mo-li masih biru dan
nyeri karena tadi sempat tercium ujung lengan baju kiri kakek Kao Kok Cu, Thian
Kong Cinjin agak terpincang karena pahanya tadi tercium tendangan Tiong Khi
Hwesio, sedangkan Thian Kek Sengjin juga robek bajunya dengan luka di pundaknya
terkena cengkeraman tangan kiri nenek Wan Ceng!
Sin-kiam
Mo-li bergidik dan menoleh kepada dua orang temannya. Mereka pun berdiri
termangu dan bergidik ngeri. Selama hidup mereka, tiga orang tokoh sesat ini
baru kini menemukan tanding yang demikian lihainya, padahal tiga orang itu
sudah amat tua dan mereka tadi sudah mempersiapkan segalanya, mengeroyok mereka
dengan tujuh belas orang, bahkan sebelas orang anak buah mereka tadi
menggunakan pasukan iblis yang mengandung tenaga ilmu hitam!
Seorang
pemuda berpakaian serba putih muncul dari ambang pintu depan. Tiga orang itu
terkejut dan sudah memegang senjata masing-masing, siap untuk menyerang dan
memandang pada pemuda itu penuh rasa heran dan juga gelisah. Siapa tahu, pemuda
itu adalah calon lawan yang amat tangguh, pikir mereka, juga merasa heran
mengapa kalau memang masih ada penghuni di dalam istana tua itu, mereka tadi
tidak keluar membantu tiga orang tua yang mereka keroyok.
Akan tetapi
pemuda itu, yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, tidak mempedulikan mereka,
melainkan melangkah maju perlahan-lahan, menghampiri tiga mayat orang tua itu
yang rebah berdekatan, apa lagi Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang rebah dekat sekali
dan tangan kakek itu memegang tangan si nenek.
Sin Hong
lalu menjatuhkan diri berlutut, tanpa menangis tanpa mencucurkan air mata,
namun dengan tubuh lemas, wajah pucat dan mata sayu, dia mencium ujung kaki
ketiga orang gurunya yang sudah tidak bernyawa lagi! Bagaimana pun juga hatinya
penuh diliputi penyesalan.
Jika saja
dia tidak terikat oleh janji dan sumpahnya, bahwa selama satu tahun dia tidak
boleh melakukan gerakan silat dan tidak boleh mengerahkan tenaga sakti, jika
saja dia tadi dapat membantu tiga orang gurunya melawan pengeroyokan belasan
orang jahat itu, belum tentu tiga orang gurunya tewas!
Akan tetapi
dia tidak boleh menurutkan perasaannya, bahkan dia dapat dengan segera
melenyapkan segala penyesalan tadi. Ketika belasan orang itu datang, dia pun
sudah tahu dan justru dialah yang memberi tahu mereka akan kedatangan belasan
orang yang mencurigakan tadi. Akan tetapi, ketiga orang gurunya bersikap tenang
saja, bahkan lalu duduk bersila di balik pintu dan mereka memesan agar dia
bersembunyi saja di dalam dan jangan memperlihatkan diri.
“Pesanku,
Sin Hong, andai kata terjadi sesuatu dengan kami dan kami sampai tewas, hal
yang lumrah saja bagi manusia karena ada kelahiran pasti ada pula kematian,
maka jika engkau mendapat kesempatan, bawalah mayat kami ke dalam istana lalu
bakarlah istana ini,” demikian pesan kakek Kao Kok Cu.
Mereka tidak
sempat bicara lebih panjang karena belasan orang itu sudah tiba di luar pintu.
Sin Hong kemudian bersembunyi dan ketiga orang tua itu membuka daun pintu
menggunakan alat rahasia yang terdapat di situ.
Setelah
pertempuran selesai dan dia melihat betapa tiga orang gurunya tewas, barulah
Sin Hong keluar dengan hati hancur. Tak mungkin dia menyembunyikan diri lagi
seperti pesan guru-gurunya, walau pun dia keluar hanya untuk memberi hormat
atas kepergian ketiga orang gurunya, bukan bermaksud melawan musuh.
Melihat
munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang berlutut dan mencium kaki tiga
mayat kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir itu, Thian Kong Cinjin dan
Thian Kek Sengjin yang sudah panik itu segera menggerakkan senjata mereka untuk
menyerangnya. Akan tewaslah Sin Hong kalau saja Sin-kiam Mo-li tidak
menggerakkan pedangnya dan meloncat melindunginya, menangkis datangnya tongkat.
“Perlahan
dulu, Totiang (Bapak Pendeta)!” kata wanita ini.
Ia merasa
tertarik melihat pemuda berpakaian putih ini, yang nampaknya halus dan memiliki
daya tarik besar itu. Sejak tadi ia mengamati dan siap menyerang pula, akan
tetapi melihat sikap pemuda itu, dia melarang dua orang temannya untuk turun
tangan menyerangnya.
Seorang
pemuda yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, mempunyai wajah yang
sederhana saja, tidak dapat disebut tampan sekali, akan tetapi juga tidak buruk
sekali. Bentuk wajahnya sederhana, seperti dapat ditemui pada pemuda-pemuda
biasa. Akan tetapi kulitnya bersih dengan pandang mata yang lembut dan disertai
mulut yang selalu membayangkan senyum ramah itu mempunyai daya tarik yang
besar. Dan bagaimana pun juga, ditemukannya seorang pemuda di istana kuno ini,
Istana Gurun Pasir milik Pendekar Naga Sakti, menunjukkan bahwa pemuda ini
bukan pemuda biasa!
Kedua orang
pendeta itu menahan tongkat mereka dan memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan
alis berkerut dan rasa heran. Mengapa iblis betina ini mencegah mereka membunuh
pemuda itu?
Mereka sudah
mengenal watak cabul Sin-kiam Mo-li, akan tetapi menurut penglihatan mereka,
tidak ada apa-apanya pada pemuda ini yang dapat menggerakkan hati wanita cabul
yang mata keranjang. Kalau saja pemuda ini memiliki wajah yang tampan sekali,
atau tubuh yang berotot membayangkan kejantanan, mereka masih dapat mengerti.
Tetapi pemuda ini biasa saja, di mana-mana dapat ditemukan pemuda macam ini!
“Orang muda,
siapa engkau?” Sin-kiam Mo-li bertanya dengan pedang masih di tangan karena
sekali saja pemuda itu membuat gerakan menyerang, tentu akan didahuluinya
dengan pedangnya.
Tan Sin Hong
bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menghadapi wanita yang bertanya itu.
“Namaku Tan Sin Hong,” jawabnya singkat, akan tetapi suaranya tetap halus,
tidak memperlihatkan isi hatinya.
“Engkau
masih ada hubungan apa dengan mereka bertiga itu?” bertanya pula Sin-kiam Mo-li
sambil menuding ke arah tiga mayat itu.
“Aku adalah
pelayan mereka,” jawab pula Sin Hong, tenang saja.
Mendengar
jawaban ini, Sin-kiam Mo-li bertukar pandang dengan dua orang kawannya.
Sekarang dua orang pendeta itu mengerti bahwa iblis betina itu tadi melarang
mereka menyerang karena agaknya hendak menanyai pemuda ini dan memang hal ini
penting sebelum mereka menyerbu masuk untuk mencari harta pusaka. Pedang
Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam semenjak tadi sudah dipungut oleh
Sin-kiam Mo-li dan kini kedua pedang itu telah diikatkan di pinggangnya, di
kanan dan kiri!
“Selain
engkau dan mereka bertiga ini, siapa lagi yang tinggal di dalam istana kuno ini
sekarang?”
“Tidak ada
lagi, hanya kami berempat,” jawab Sin Hong.
“Pada saat
tadi tiga orang majikanmu ini bertempur melawan kami, apakah engkau juga
mengetahui?”
Tenang,
tenanglah, bisik hati Sin Hong, kini tiba saatnya menghadapi kesukaran. “Aku
tahu karena aku mengintai dari balik dinding itu.” Dia menuding ke arah pintu
depan dari mana dia tadi keluar.
“Kenapa
engkau tidak muncul dan membantu ketiga orang majikanmu?” Sin-kiam Mo-li
bertanya lagi, suaranya agak ketus sedangkan sinar matanya mencorong penuh
selidik memandang wajah yang nampak tidak begitu cerdik itu.
“Aku tidak
bisa berkelahi, pula perkelahian itu bukan urusanku, mengapa aku harus
membantu?” katanya perlahan.
“Akan tetapi
engkau berduka melihat mereka tewas?”
“Tentu saja,
mereka adalah orang-orang yang baik kepadaku.”
“Engkau
benar-benar tidak bisa berkelahi? Tidak pandai silat?” bertanya pula Sin-kiam
Mo-li dengan suara mengancam.
Sin Hong menggeleng
kepalanya, tanpa menjawab.
“Jawab! Bisa
berkelahi atau tidak?”
“Aku tidak
bisa berkelahi,” jawaban ini tidak berbohong sebab pada saat itu dia memang
tidak boleh dan tidak dapat berkelahi. Baru setengah tahun lewat, masih
setengah tahun lagi dia harus menjadi orang yang lemah.
Mendadak
tangan kiri Sin-kiam Mo-li melayang ke arah mukanya. Tentu saja Sin Hong
melihat ini dengan jelas dan kalau dia menghendaki, dengan sangat mudah dia
dapat menangkis atau mengelak. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.
“Plakkk!”
Tamparan itu
keras sekali. Biar pun Sin-kiam Mo-li tidak menggunakan tenaga sinkang,
melainkan tenaga otot lengannya saja, akan tetapi tubuh Sin Hong terpelanting
dan pipi kanannya menjadi merah kebiruan serta membengkak. Dia bangkit berdiri,
kemudian memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan mata terbelalak.
“Kenapa
engkau memukul aku?” tanyanya, sikapnya masih tenang.
Sin-kiam
Mo-li terheran-heran. Jelas bahwa pemuda ini tidak pandai silat, dan untung
tadi dia tidak menggunakan sinkang karena kalau demikian, tentu tamparan tadi
dapat membunuhnya.
Akan tetapi
yang amat mengherankan adalah sikap pemuda itu. Kenapa dapat demikian tenang?
Padahal tamparan tadi keras sekali dan pemuda lain yang tidak pandai ilmu silat
tentu akan menjadi ketakutan dan mungkin menangis kesakitan dan minta ampun.
Pemuda ini tenang saja, padahal pipi kanannya membengkak.
“Aku
memukulmu karena engkau membohong! Engkau tentu pandai silat!” bentak lagi
Sin-kiam Mo-li.
Dan kini
kakinya melayang, menendang ke arah bagian tubuh mematikan dari pemuda itu, di
bawah pusar! Tendangan itu amat cepat dan kuat, dan kalau mengenai sasaran,
tentu orangnya mati seketika. Sin Hong juga melihat ini, dan kalau dia mau,
tentu dia dapat pula menghindarkan diri. Namun dia sudah nekat dan pasrah saja.
“Bukkkk!”
Kaki wanita
itu diserongkan dan bukan bagian tubuh mematikan yang kena tendangan, melainkan
paha kiri Sin Hong. Untuk kedua kalinya pemuda itu terlempar dan terbanting
jatuh dengan kerasnya! Dia merangkak bangun dengan muka yang agak pucat karena
menahan rasa nyeri, kemudian terpincang dia menghampiri Sin-kiam Mo-li.
“Engkau
sungguh kejam! Engkau menyiksaku, mau bunuh pun aku tidak akan dapat melawanmu.
Bunuhlah kalau memang itu yang kau kehendaki!”
Sin-kiam
Mo-li mengeluarkan seruan kagum! Pemuda ini benar-benar tidak pandai ilmu
silat, akan tetapi memiliki nyali yang lebih besar dari pada pemuda yang pandai
ilmu silat sekali pun! Ia merasa kagum sekali dan tahulah ia mengapa pemuda ini
dipilih oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir untuk menjadi pelayan di situ.
Memang
seorang pemuda pilihan, seorang pemuda aneh yang mempunyai nyali naga! Agaknya
ketabahan dan keuletannya itulah yang menjadi keanehannya karena sudah
selayaknya jika orang yang tinggal di tempat macam ini memiliki keistimewaan
masing-masing.
Kembali
tangan kiri Sin-kiam Mo-li bergerak dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram
tengkuk Sin Hong. Jari-jari tangan wanita itu kecil mungil, tetapi dapat
mencengkeram bagaikan jepitan baja dan begitu ia memperkuat cengkeramannya, Sin
Hong merasa kenyerian yang menyusup sampai ke tulang punggungnya.
“Bawa kami
ke dalam istana kuno itu dan tunjukkan di mana kamar-kamarnya. Awas kalau
sampai ada yang menyerang kami dan kalau engkau berbohong, aku akan lebih dulu
membunuhmu. Hayo jalan!” Sin-kiam Mo-li mendorong pemuda itu menuju ke pintu
depan, dengan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Sin Hong dan tangan kanan
memegang pedang.
Sin Hong
mengeluarkan keringat dingin saking nyerinya, dengan terpincang-pincang dia
melangkah. Pahanya yang tertendang tadi pun masih nyeri bukan main.
Kedua orang
pendeta sesat itu menyeringai, girang bahwa mereka tadi tidak sampai membunuh
pemuda ini yang ternyata sangat berguna bagi mereka. Diam-diam mereka kagum
akan kecerdikan Sin-kiam Mo-li. Membayangkan bahwa mereka akan segera menemukan
pusaka-pusaka berharga, terutama kitab-kitab ilmu yang tinggi dari Istana Gurun
Pasir, terobatlah rasa kehilangan dan kedukaan mereka atas tewasnya sute mereka
dan anak buah mereka.
Sin Hong
membawa mereka memasuki seluruh kamar yang ada. Ketiga orang itu makin lama
makin kecewa karena mereka tidak menemukan sesuatu seperti yang mereka harapkan
semula! Yang ada hanyalah perabot-perabot rumah yang walau pun kuno, namun
terlalu besar untuk dibawa menyeberangi gurun pasir dan juga tidak berharga.
Tiada harta benda, tidak ada senjata pusaka kecuali kedua pedang yang
dipergunakan Wan Ceng dan Tiong Khi Hwesio tadi, tidak ada sebuah pun kitab
pelajaran ilmu silat atau sehelai pun catatan yang penting!
“Hayo lekas
tunjukkan di mana disimpannya pusaka mereka!” berkali-kali Sin-kiam Mo-li
membentak dan memperkuat cengkeramannya pada tengkuk Sin Hong. Tetapi pemuda
itu hanya menggeleng kepalanya.
“Tidak ada
apa-apa di sini kecuali semua ini...“
“Desss...!”
Saking
marahnya, Sin-kiam Mo-li memukul punggung pemuda itu. Sin Hong terlempar, jatuh
bergulingan dan pingsan!
“Bunuh saja
dia! Mungkin dia sengaja menyembunyikan!” kata Thian Kong Cinjin sambil
menggerakkan tongkatnya.
Akan tetapi
Thian Kek Sengjin menahannya. “Jangan bunuh, lebih baik siksa dia dan paksa dia
mengaku!”
Dengan
urutan pada punggungnya, Sin Hong sadar kembali akan tetapi begitu sadar,
rambutnya dijambak dan tubuhnya diseret oleh Thian Kek Sengjin yang bermuka
merah menyeramkan dan matanya mencorong seperti mata kucing!
“Hayo
katakan, di mana disimpannya pusaka Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Ia dan
isterinya adalah orang-orang sakti, tidak mungkin mereka tidak meninggalkan
pusaka!”
“Aku tidak
tahu, tidak ada pusaka apa pun di sini,” jawab Sin Hong, tetap tenang dan
pasrah.
“Kubunuh
engkau kalau tidak mau memberi tahu di mana pusaka itu!” kata Thian Kek Sengjin
penuh ancaman.
Sin Hong
menatap muka yang merah dan kurus kering itu tanpa merasa takut, dan dia
menggeleng kepala. “Aku tidak tahu.”
“Tukkk!”
Gagang
tongkat naga hitam itu menotok lambung. Sin Hong terkejut lalu meronta-ronta
dan menggeliat kesakitan karena yang ditotok adalah jalan darah yang
mendatangkan rasa nyeri luar biasa sekali.
“Hayo
katakan, kalau tidak, akan kutambah lagi!” bentak Thian Kek Sengjin, matanya
bersinar-sinar gembira melihat korbannya menggeliat kesakitan.
Akan tetapi
terjadi keanehan pada tubuh Sin Hong. Seperti juga tadi, ketika berkali-kali
mengalami pukulan, rasa nyeri itu hanya sebentar saja dan ada hawa hangat di
dalam tubuhnya yang berkumpul di tempat yang sakit, lalu rasa nyeri itu lenyap
seketika. Itulah hawa sakti di tubuhnya yang bekerja dengan otomatis, berkumpul
di bagian tubuh yang rusak karena serangan dari luar dan memulihkannya kembali.
“Aku tidak
tahu,” katanya lagi.
“Desss!”
Tongkat itu
kembali bergerak, menyerampang kedua kaki Sin Hong, sehingga membuat tubuhnya
kembali terpelanting dan bergulingan. Thian Kong Cinjin lantas menambahnya
dengan tendangan sehingga tubuhnya terus menggelinding dan membentur dinding.
Dia pun rebah tak bergerak lagi, kembali pingsan!
“Jangan
bunuh dulu!” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru ketika melihat betapa dua orang
pendeta itu hendak melanjutkan siksaan mereka dan agaknya ingin membunuh pemuda
itu karena kecewa.
“Huh, Mo-li,
laki-laki macam ini saja membuatmu tergila-gila? Apanya sih yang menarik? Di
setiap dusun engkau akan dapat menemukan pemuda semacam ini ratusan orang
banyaknya!” berkata Thian Kek Sengjin, pendeta Pek-lian-kauw yang kurus kering
dan bermuka merah itu, dengan nada cemburu.
Memang
pendeta ini pernah diajak tidur bersama oleh Sin-kiam Mo-li, akan tetapi wanita
itu tidak suka padanya dan tidak pernah lagi mengulang perbuatannya, padahal
kakek ini kagum dan suka sekali kepada Sin-kiam Mo-li. Melihat betapa wanita
itu sekarang melindungi seorang pemuda yang biasa saja, timbul pula rasa
cemburu di hatinya!
“Benar, dia
harus dibunuh. Jika tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja,” kata
pula Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-kauw.
“Hemmm,
kalian ini selalu berpikiran kotor dan menuduhku yang tidak-tidak. Pula, andai
kata aku memilih dia untuk melayaniku, apa sangkutannya dengan kalian? Dia
memang tidak tampan, tidak pandai ilmu silat, akan tetapi ketabahannya membuat
aku kagum. Kalian lupa bahwa tenaga dia masih dapat kita gunakan. Ingat saja
mayat-mayat yang berserakan di luar itu, apakah kalian akan membiarkan saja
mayat sute-sute kalian dan anak buah kalian membusuk di sana? Dia ini dapat
kita pergunakan tenaganya untuk menggali lubang dan mengubur mayat-mayat itu.”
“Ahhh, benar
juga!” kata Thian Kek Sengjin, malu kepada diri sendiri yang tadi hanya mencela
karena cemburu.
“Dan engkau
tidak perlu khawatir dia akan mendatangkan gangguan kelak, Thian Kong Cinjin.
Pertama, dia seorang pemuda lemah yang tidak pandai ilmu silat, bahkan kalau
dia sekarang mulai belajar sekali pun, sampai kita mati tua dia masih belum
apa-apa. Kedua, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, dia tentu akan kubunuh.”
Thian Kong
Cinjin mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa jika Sin-kiam Mo-li telah bosan dengan
seorang pemuda, maka pemuda itu akan dibunuhnya dan biasanya, dalam waktu
beberapa hari saja Sin-kiam Mo-li sudah akan merasa bosan. Apa lagi pemuda ini
seorang laki-laki lemah. Mana dia dapat bertahan melayani Sin-kiam Mo-li si
iblis betina yang haus laki-laki itu?
“Nah, mulai
sekarang, harap kalian jangan pedulikan pemuda ini. Ia punyaku, budakku, jangan
diganggu dan akulah yang kelak akan membunuhnya,” dan berkata demikian,
Sin-kiam Mo-li menghampiri Sin Hong yang masih pingsan lalu mengurut-urut
beberapa bagian tubuhnya sehingga dia sadar kembali.
Begitu
sadar, Sin Hong bangkit duduk. Sedikit pun dia tidak mengeluh karena memang
sama sekali tak ada yang dirasakan nyeri. Hal ini membuat Sin-kiam Mo-li makin
kagum saja.
“Engkau
tidak menderita sesuatu? Apanya yang nyeri?”
Sin Hong
sendiri merasa heran. Dia telah dihujani pukulan, tendangan dan siksaan, tapi
sedikit pun tidak ada bekas-bekasnya lagi.
“Tidak
apa-apa,“ katanya sambil menggeleng kepala.
Bukan main,
pikir Sin-kiam Mo-li, anak ini memiliki daya tahan yang luar biasa hebatnya!
Mungkin akan dapat mendatangkan kesenangan besar baginya!
“Siapa
namamu tadi?”
“Tan Sin
Hong.”
Namanya juga
sederhana, shenya she Tan dan terdapat banyak sekali orang she Tan, nama
keluarganya amat besar.
“Sin Hong,
engkau ini nekat mempertahankan pusaka Istana Gurun Pasir, atau memang benar di
sini tidak ada pusaka?” tanyanya dengan ramah.
Sekarang,
timbul dari kekagumannya, wajah pemuda itu kelihatan menarik sekali dan
menimbulkan gairahnya. Dengan gerakan lembut dan mesra dia mengusap darah yang
masih nampak di ujung bibir Sin Hong, dengan jari-jari tangannya. Tentu saja
hal ini membuat Sin Hong merasa risi bukan main, akan tetapi didiamkannya saja.
“Aku tidak mempertahankan
pusaka apa pun, dan memang setahuku di sini tidak ada apa-apa.”
“Tidak ada
kitab-kitab pelajaran ilmu silat?”
“Aku tidak
tahu, yang kutahu hanya bahwa beberapa bulan yang lalu, mereka bertiga telah
membakari banyak kitab-kitab...“
“Keparat
jahanam!” seru Thian Kong Cinjin dengan kecewa sekali.
“Sayang,
sungguh sayang sekali!” teriak pula Thian Kek Sengjin, sangat marah kepada tiga
orang tua renta itu yang dianggapnya hanya membuat dia kecele.
“Kenapa
kitab-kitab pusaka itu dibakar?” tanya Sin-kiam Mo-li kepada pemuda itu, juga
merasa amat kecewa.
Sin Hong
hanya menggeleng kepala, “Aku tidak tahu.”
Dia tidak
berbohong karena memang dia tidak tahu mengapa suami isteri tua renta yang
menjadi gurunya itu membakari banyak kitab-kitab yang diketahuinya adalah
kitab-kitab pelajaran silat.
“Pantas saja
kita tidak menemukan apa-apa. Kiranya tua bangka-tua bangka laknat itu telah
memusnahkan pusaka mereka!” kata pula Sin-kiam Mo-li. “Sin Hong, hayo engkau
membantu kami mengubur mayat-mayat itu!”
Ia memegang
tangan Sin Hong dan ditariknya pemuda itu keluar dari dalam istana kuno yang
dianggap menyeramkan dan mengecewakan itu. Sin Hong tidak membantah dan dia
mengunakan cangkul yang biasa dipakai bekerja di ladang, lalu mulai mencangkul,
membuat lubang-lubang untuk mengubur mayat-mayat itu.
Dia
diperintah untuk membuat tiga buah lubang biasa, yaitu masing-masing untuk
mayat Sai-cu Sin-touw, Ok Cin Cu, dan Coa Ong Sengjin, dan kemudian sebuah
lubang besar untuk sebelas orang anak buah mereka yang tewas. Karena ia tak
berani menggunakan tenaga sinkang dan hanya menggunakan tenaga biasa,
menggunakan sebuah cangkul, maka tentu saja Sin Hong harus bekerja sehari
lamanya dan barulah empat belas buah mayat itu selesai dikubur.
Dia lalu
mengangkati tiga buah mayat gurunya ke dalam istana. Melihat ini, Sin-kiam
Mo-li membentak. “Apa yang akan kau lakukan itu? Biarkan saja mereka membusuk
di sini, kita berangkat pergi sekarang juga dan engkau harus ikut dengan kami!”
“Terserah
aku menurut saja, tetapi bagaimana pun juga aku harus lebih dulu membakar mayat
ketiga orang ini, sebelum itu, biar di bunuh sekali pun, aku tidak akan mau
ikut!” Diam-diam Sin Hong berjudi dengan nyawanya, akan tetapi hal ini
dilakukannya dengan sengaja.
Dia seorang
pemuda yang cerdik sekali. Dia tahu bahwa nyawanya diselamatkan oleh wanita tua
cantik ini hanya karena wanita ini tertarik kepadanya, oleh keberanian dan
kenekatannya! Maka kini untuk memenuhi pesan guru-gurunya, dia pun
memperlihatkan sikap nekat dengan harapan agar wanita itu memenuhi
permintaannya. Perhitungannya yang tidak ngawur ini memang tepat!
Kembali
Sin-kiam Mo-li memandang tajam penuh rasa kagum. Seorang pemuda biasa, mungkin
hanyalah pemuda petani yang bekerja sebagai tukang kebun dan pelayan di istana
kuno ini, namun memiliki keberanian dan nyali yang agaknya hanya patut dimiliki
oleh para penghuni istana Gurun Pasir!
Juga ia
merasa tertarik sekali mendengar bahwa pelayan ini hendak membakar jenazah tiga
orang sakti itu. Pantasnya keluarga mereka yang melakukan hal ini, bukan
seorang pelayan biasa.
“Kenapa
engkau berkeras hendak membakar mayat mereka?” tanyanya.
“Karena ketika
masih hidup, mereka pernah mengatakan bahwa kalau mereka sudah mati, mereka
suka mayat mereka dibakar.”
“Akan tetapi
untuk membakar mayat mereka, kenapa harus mayat mereka kau usung ke dalam
istana?” tanya Thian Kong Cinjin yang juga merasa tertarik.
“Karena aku
ingin membakar mereka di dalam istana agar istana itu pun ikut terbakar habis.”
Jawaban ini
membuat tiga orang itu melongo dan Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Celaka,
jangan-jangan pemuda yang dikaguminya ini miring otaknya!
“Mengapa istana
ini hendak dibakar?” tanyanya, memandang tajam. Akan tetapi wajah pemuda itu
biasa saja.
“Mereka
telah meninggal dunia dan aku akan pergi dari sini. Jika tidak ada yang tinggal
lagi di sini dan tidak ada yang mengurusnya, tempat ini hanya akan menjadi
buruk sekali dan akhirnya akan ambruk pula. Maka sebaiknya dibakar saja. Dengan
demikian, dapat membuktikan kebenaran pengakuanku bahwa tak ada pusaka apa pun
yang tersimpan di sini. Bukankah begitu?” Ucapan ini cerdik sekali dan tiga
orang itu pun mengangguk-angguk.
“Benar
sekali!” kata Thian Kek Sengjin. “Biar dibakarnya habis, biar rata dengan
tanah, biarlah terbasmi lenyap seperti halnya Istana Pulau Es. Ha-ha-ha, dunia
kang-ouw akan tahu bahwa Istana Gurun Pasir terbasmi lenyap dari permukaan bumi
oleh kita bertiga. Ha-ha-ha!”
Thian Kong
Cinjin juga tertawa, senang bahwa setidaknya mereka dapat melampiaskan
kedongkolan hati karena teman-teman banyak yang mati dan mereka tidak menemukan
pusaka, dengan cara melihat istana itu terbakar habis.
Sementara
itu, tanpa mempedulikan apakah tiga orang itu setuju atau tidak, Sin Hong telah
mengangkuti mayat ini ke dalam, meletakkan mereka di atas tiga dipan yang telah
dipersiapkannya, kemudian dia pergi ke bagian belakang untuk mengambil beberapa
guci minyak. Semua gerakannya ini diperhatikan oleh Sin-kiam Mo-li, sedangkan
dua orang pendeta sudah tidak peduli lagi, masih mencoba mencari ke sana sini
barangkali menemukan sesuatu yang berharga untuk dibawa pulang sebagai
oleh-oleh.
Biar pun
tubuhnya terasa lelah karena mencangkul tiada hentinya sampai sore, namun Sin
Hong merasakan lagi keanehan, betapa kelelahan itu sebentar saja sudah lenyap
dan kesegaran tubuhnya pulih kembali, seperti ketika tadi dia menderita
luka-luka. Maka dengan tenang dia menuangkan minyak ke sudut-sudut ruangan
istana itu, juga pada dipan-dipan di mana tiga sosok mayat itu rebah. Setelah
itu, dia pun menyalakan api dimulai dari serambi depan yang telah dibasahi pula
dengan minyak. Dia menghabiskan semua persediaan minyak di gudang dan sebentar
saja api pun berkobar besar sekali, membakar istana itu dan segala isinya.
Sin-kiam
Mo-li, Thian Kong Cinjin serta Thian Kek Sengjin berdiri jauh di pekarangan
depan memandang ke arah api yang berkobar semakin tinggi, sedangkan Sin Hong
berdiri pula di situ bagai patung memandang ke arah api. Diam-diam hatinya
menangis. Tidak disangkanya bahwa dalam sehari dia kehilangan tiga orang
gurunya yang amat dicintanya! Guru-gurunya dibantai orang, dibunuh dan istana
diserbu tanpa dia dapat membela sedikit pun.
Kalau dia
tadi membela dan melawan, dia tahu bahwa akan terjadi bentrokan hebat di dalam
tubuhnya dan mungkin sekali dia akan tewas. Dia tidak takut menghadapi bahaya
kematian itu, namun dia merasa ngeri untuk melanggar janji dan sumpahnya
terhadap tiga orang gurunya.
Setelah
istana itu terbakar, baru teringat oleh Sin-kiam Mo-li bahwa sebenarnya mereka
masih membutuhkan istana itu, setidaknya untuk satu malam. Hari sudah mulai
gelap dan mereka membakar satu-satunya tempat untuk melewatkan malam dengan
enak!
“Wah,
celaka! Kita malam ini harus bermalam di mana?” katanya kepada dua orang
temannya.
“Ha-ha-ha,
perlu apa bermalam? Kita langsung saja meninggalkan neraka ini!” berkata Thian
Kong Cinjin.
“Benar, aku
pun merasa tidak suka tinggal lebih lama di tempat ini,” sambung Thian Kek
Sengjin.
Kedua orang
kakek pendeta sesat ini sebenarnya jeri kalau-kalau pembunuhan atas diri tiga
orang tua itu dan pembakaran istana itu akan mendatangkan akibat yang hebat,
kalau-kalau kebakaran itu kelihatan orang dan ada kerabat Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir yang datang.
“Ihhh, mana
mungkin melakukan perjalanan melintas gurun pasir pada waktu malam? Sungguh
berbahaya sekali. Biarlah malam ini kita bermalam di sini, setidaknya di kebun
sana itu banyak terdapat pohon-pohon. Mari kita mencari tempat istirahat di
sana,” kata Sin-kiam Mo-li.
Dua orang
kawannya setuju karena mereka pun mengerti betapa bahayanya melakukan
perjalanan melintasi gurun pasir yang luas di waktu malam gelap.
Sin-kiam
Mo-li menarik tangan Sin Hong, diajak ke kebun di mana memang terdapat banyak
pohon buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan lain yang berguna. Sin-kiam Mo-li memilih
tempat di bawah sebatang pohon besar, dan ia pun tidak lagi mempedulikan dua
orang temannya yang mengambil tempat istirahat di bawah sebatang pohon lainnya
lagi. Rumput-rumput hijau menjadi hamparan tikar hijau yang lembut dan lunak.
Sin-kiam
Mo-li memandang Sin Hong yang masih berdiri menghadap ke arah istana yang masih
terbakar itu. “Sin Hong, kumpulkan kayu bakar dan daun kering. Nanti kita
membuat api unggun di sini.”
Sin Hong
tidak menjawab akan tetapi juga tidak membantah, lalu mengumpulkan kayu bakar.
Dia tahu bahwa akan percuma saja kalau dia melarikan diri sekarang, karena
ketika melirik, wanita itu mengikuti setiap gerakannya dengan pandang mata,
juga dua orang pendeta di sana itu memandang kepadanya.
Setelah
bahan api unggun terkumpul, dia pun berdiri lagi termenung memandang ke arah
istana yang terbakar, diam-diam mengharapkan agar tiga jenazah gurunya itu akan
terbakar sempurna sehingga semuanya akan menjadi abu. Dia tidak merasa menyesal
bahwa guru-gurunya telah meninggal dunia. Semua orang akhirnya akan mati juga
dan kematian tiga orang gurunya adalah kematian orang-orang yang gagah perkasa.
Pernah dia
mendengar mereka bertiga itu berbincang-bincang mengenai kematian dan ketiganya
mempunyai harapan agar mereka dapat mati sebagai pendekar! Dan ternyata harapan
mereka itu terpenuhi! Mereka mati dengan gagah perkasa, dikeroyok belasan orang
tokoh sesat yang lihai, dan sebelum mati mereka berhasil menewaskan empat belas
orang lawan!
Kematian
mereka tidak perlu disesalkan. Yang terpenting sekarang harus mencari jalan
untuk melarikan diri karena selama dia belum dapat meloloskan diri dari
pengawasan tiga orang ini, nyawanya tetap saja terancam maut yang mengerikan.
“Sin Hong,
mengapa engkau melamun? Apakah engkau menyesal akan kematian tiga orang tua
bangka itu?” tiba-tiba Sin-kiam Mo-li bertanya.
Sin Hong
menggelengkan kepala dan menjawab lirih namun suaranya tegas, “Tidak!”
Sin-kiam
Mo-li duduk di atas rumput hijau. Ia telah menurunkan tiga batang pedang itu
dari pinggangnya. Pedangnya sendiri, Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam dan menaruh
di atas rumput tidak jauh dari jangkauannya. Ia melonggarkan ikat pinggangnya,
bahkan melepas sepatunya untuk mengusir kelelahan akibat perke-lahian
mati-matian tadi.
“Sin Hong,
engkau duduklah di sini,” katanya sambil memandang penuh gairah kepada pemuda
itu.
Sin Hong
duduk dengan mengangkat kedua lututnya itu tanpa menoleh. Sin-kiam Mo-li
memandang kagum sekali. Pemuda ini sama sekali tidak pandai ilmu silat, akan
tetapi agaknya memiliki tubuh yang sangat kuat daya tahannya.
Pemuda itu
tadi telah ditamparnya, ditendang dan dipukul oleh dua orang pendeta itu, dan
biar pun pukulan-pukulan itu dilakukan tanpa pengerahan sinkang tetap saja
sudah tentu akan membuat pemuda itu menderita nyeri. Dan semua itu masih
ditambah lagi dengan ancaman-ancaman yang menakutkan, dan hebatnya lagi dia
harus mencangkul dan mengubur jenazah empat belas orang tadi. Mencangkul
seharian penuh. Dan kini pemuda itu kelihatannya sama sekali tidak kelelahan!
Sin Hong
sedang melamun, mencari akal bagaimana akan dapat meloloskan diri dari tiga
orang ini tanpa menggunakan kekerasan, ketika tiba-tiba ada sebuah tangan yang
kecil dengan jari-jari mungil menyentuh pundaknya dan rambutnya, lalu membelai
dan mengusap rambutnya. Ketika dia menoleh, hidungnya mencium keharuman pupur
dan minyak, dan ternyata wajah wanita cantik kejam seperti iblis itu telah
berada dekat sekali dengan mukanya. Sin-kiam Mo-li sudah duduk dekat sekali
dengannya dan sekarang merangkul lehernya.
Sin Hong
adalah seorang pemuda yang sudah dewasa, sudah dua puluh satu tahun usianya.
Walau pun selama hidupnya dia belum pernah berhubungan dengan wanita, bahkan
bergaul dekat pun belum pernah, namun tentu saja dia mengerti apa maksud wanita
ini mendekatinya dan bersikap demikian mesra. Seketika wajahnya menjadi merah
dan jantungnya berdegup kencang penuh ketegangan.
Dia melihat
betapa dua orang kakek iblis itu duduk tidak jauh dari situ, dapat dengan mudah
melihat apa yang dilakukan wanita ini, tetapi agaknya wanita ini tidak merasa
sungkan atau malu lagi. Dia merasa ngeri. Manusia-manusia macam apakah yang
telah menawannya ini?
“Sin Hong,
berapakah usiamu sekarang?” Sin-kiam Mo-li berbisik dekat telinga pemuda itu,
bahkan bibir itu lalu mengecup leher di bawah telinga.
Meremang
bulu tengkuk Sin Hong ketika merasa betapa bibir basah yang mengeluarkan napas
panas itu menyentuh lehernya. Akan tetapi dia menguatkan perasaannya dan
menjawab dengan sikap dan suara biasa saja.
“Dua puluh
satu tahun.”
“Aih, kalau
begitu engkau sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Sin Hong, pernahkah engkau
mempunyai seorang pacar?” Kini kedua tangan wanita itu tanpa malu-malu membelai
dan jari-jari tangan itu merayap-rayap ke seluruh bagian tubuh Sin Hong.
Pemuda ini
merasa ngeri bukan main, ngeri dan jijik. Belaian-belaian itu lebih menyiksa
baginya dari pada tamparan dan tendangan tadi, dan ingin sekali dia menyerang
wanita iblis yang tidak tahu malu ini. Tetapi janjinya terhadap tiga orang
gurunya merupakan belenggu yang amat kuat dan dia pun mengerahkan kekuatan
batinnya.
“Belum
pernah.” jawabnya pula, sikapnya acuh saja sehingga wanita itu menjadi makin
bergairah.
Seorang
pemuda yang sudah berusia dua puluh satu, sudah dewasa dan sedang
segar-segarnya, belum pernah berdekatan dengan wanita, seorang perjaka tulen!
“Bagus
sekali!” Sin-kiam Mo-li berseru girang. “Kalau begitu malam ini akan kujadikan
seorang laki-laki sejati yang lengkap. Engkau layani aku dan senangkan hatiku,
dan aku mungkin akan menyelamatkanmu, bahkan akan mengambilmu sebagai murid
sekaligus kekasihku. Hemmm, engkau mau, bukan?”
Sin-kiam
Mo-li merangkul dan kini bagaikan seorang kelaparan melahap sepotong roti,
wanita itu menghujankan ciuman pada muka Sin Hong di bibirnya, matanya,
hidungnya, pipinya, sampai pemuda itu gelagapan dan seluruh tubuhnya menggigil
saking ngerinya! Sin Hong merasa seperti dijilati seekor harimau yang hendak
mengganyangnya.
Melihat
betapa pemuda itu diam saja, tidak menanggapi dan tak membalas ciumannya, akan
tetapi juga tidak melawan, makin berkobar nafsu birahi dalam diri Sin-kiam
Mo-li. Dirangkulnya Sin Hong dan ditariknya pemuda itu rebah di atas rumput
yang lunak, jari-jari tangannya mulai membuka kancing dan menanggalkan pakaian
pemuda ini.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri rasa hati Sin Hong. Dia merasa ketakutan, muak, dan
juga jijik dan bagaimana pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang normal.
Jantungnya berdebar dan api gairah mulai merayap dan hendak membakar dirinya.
Namun,
karena batinnya memang kosong dan bersih dari pada bayangan nafsu, maka nafsu
yang muncul karena keadaan badan yang sehat itu pun tak membuatnya mabuk.
Bahkan kini ada hawa hangat yang aneh, yang memang berkumpul di dalam pusarnya,
mengalir ke seluruh tubuhnya dan hawa yang hangat ini membuyarkan gairah yang
mulai timbul. Dia pun mendiamkan saja segala yang diperbuat oleh Sin-kiam Mo-li
atas dirinya.
“Sin Hong,
layanilah aku, senangkan hatiku. Sin Hong, ohhhhh…!” Wanita itu merayu,
merintih, mengajak dan melakukan segala usaha untuk bisa membangkitkan gairah
Sin Hong. Namun sia-sia belaka.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment