Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Bangau Putih
Jilid 02
Pemuda itu
tetap biasa saja, sedikit pun tidak dilanda nafsu birahi. Biar pun wanita tak
bermalu itu mengeluarkan semua kepandaiannya dalam merayu pria, biar pun kedua
tangan bahkan seluruh tubuhnya sibuk untuk merangsang, tetap saja Sin Hong
tenang dan tak terpengaruh. Diam-diam dia merasa bersyukur sekali karena hawa
yang hangat itu melindunginya. Syukur... syukur!
"Keparat!"
Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan makian ketika mendapat kenyataan betapa
sikap Sin Hong biasa saja, sedikit pun tidak tersentuh gairah. "Apakah
engkau tidak mau melayaniku? Apakah engkau malu-malu karena engkau masih
perjaka?"
Saking
mendongkolnya karena nafsu birahi sudah sampai ke ubun-ubunnya akan tetapi
pemuda itu sedikit pun belum tersentuh, Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu lagi
marah marah di depan dua orang kakek yang menjadi rekannya.
“Ha-ha-ha,
Mo-li, dia seperti mayat saja? Ha-ha-ha, mungkin dia yang tolol ataukah engkau
yang sudah terlalu tua!” kata Thian Kong Cinjin.
Kakek ini
biasanya pendiam, sikapnya halus dan berwibawa, akan tetapi sekali ini dia
mendongkol melihat sikap rekannya itu. Mereka benar berhasil membasmi Istana
Gurun Pasir, akan tetapi juga kehilangan banyak anak buah. Sute-nya, Ok Cin Cu,
juga tewas, dan wanita iblis itu hanya bersenang-senang saja melampiaskan nafsu
birahinya, tanpa malu-malu di depannya lagi! Oleh karena itu, rasa dongkol itu
membuat dia kini mampu mentertawakan Sin-kiam Mo-li.
Sin-kiam
Mo-li memandang ke arah kakek itu dengan mata melotot. Dia marah sekali, akan
tetapi dia pun maklum bahwa wakil ketua Pat-kwa-pai itu sama sekali tidak boleh
dipandang ringan, dan dia pun tidak ingin mencari keributan.
Dengan kasar
ia pun mencengkeram tubuh Sin Hong dan dibawanya lari berloncatan ke tempat
lain, menjauhi kedua orang kakek itu dan bersembunyi di balik semak-semak bunga
di kebun itu. Dia tidak peduli mendengar suara ketawa dua orang kakek itu dan
melempar tubuh Sin Hong ke atas rumput.
“Jika
sekarang engkau tetap tak mau melayaniku, akan kupaksa kau sampai mampus!”
desisnya.
Dan kembali
dia membelai-belai dan merayu, bahkan kini Sin-kiam Mo-li mengerahkan kekuatan
ilmu sihirnya pula untuk menguasai Sin Hong.
Di bawah
sinar api unggun kecil yang dibuatnya, Sin Hong terbelalak melihat bahwa kini
Sin-kiam Mo-li nampak masih muda dan amat cantik! Kembali darah mudanya
tersirap dan mulai bangkit kembali gairah nafsu birahi di dalam dirinya secara
wajar dan normal.
Sin-kiam
Mo-li dapat mengetahui hal ini maka girangnya bukan main. Ia menciumi dan
mengecupi seluruh tubuh Sin Hong dengan mulutnya, seperti seekor ayam mematuki
beras, berusaha sebisa mungkin untuk mengobarkan gairah yang mulai nampak
bangkit dalam diri pemuda itu.
Namun, Sin
Hong mengerahkan batinnya, memusatkan perhatiannya kepada bayangan tiga orang
gurunya dan sungguh aneh. Hawa di pusarnya menjadi semakin panas dan kini
bergerak mengalir ke luar, berputaran melindungi seluruh tubuhnya dan perlahan
lahan gairah yang menguasainya tadi menjadi lemah dan semakin padam. Betapa pun
Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaga sihirnya, tetap saja kekuatan sihir itu
membuyar ketika menguasai Sin Hong.
Pemuda ini
mengerti bahwa kekuatan yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu telah
bekerja dan menyelamatkannya. Dia pun merasa girang sekali. Tenaga dari Ilmu
Silat Pek-ho Sin-kun telah memperlihatkan kehebatannya, padahal dia belum
mengerahkan sinkang-nya, hanya mengerahkan kekuatan batin untuk menolak
pengaruh aneh tadi. Kini, wajah yang nampak muda dan cantik sekali itu berubah
menjadi seperti semula, wajah seorang wanita cantik yang mulai nampak tua.
Melihat
betapa api gairah yang tadi telah mulai bernyala di tubuh pemuda itu mendadak
menjadi padam kembali, bukan main marahnya Sin-kiam Mo-li. Ia marah tetapi juga
heran, dan merasa terhina! Selama ini, jarang ada pemuda yang ditawannya mampu
menolak hasratnya, baik secara suka rela atau pun dipengaruhi sihirnya.
Tapi pemuda
ini, pemuda lemah yang sama sekali tidak pandai silat, dapat menghadapi
sihirnya dengan tenang saja dan sama sekali tidak terpengaruh! Dia sungguh
merasa terhina, bukan saja ia merasa ditolak seorang laki-laki, akan tetapi
juga sihirnya seperti tidak manjur.
Karena
kecewa dan marah, sedangkan nafsu birahi telah membakar dirinya dan naik ke
ubun-ubunnya, Sin-kiam Mo-li menjadi seperti gila. Wanita tua ini mulai
menampari Sin Hong, mencakar, menggigit, di samping terus merayu sampai
akhirnya tubuh Sin Hong penuh dengan luka cakaran dan tamparan.
Dan akhirnya
pemuda ini tidak kuat lagi dan roboh pingsan di atas rumput! Sedangkan Sin-kiam
Mo-li terengah-engah, kelelahan dan ia pun akhirnya tertidur dalam keadaan
kehabisan tenaga dan hampir pingsan dibakar nafsu yang dikobarkannya sendiri.
Ketika Sin
Hong siuman, malam sudah amat larut, antara tengah malam dan fajar. Dia merasa
betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang-tulangnya melalui kulit tubuhnya
yang tidak tertutup pakaian, juga ada rasa perih karena luka-lukanya. Ketika
membuka mata dan melihat bahwa dia rebah terlentang di atas rumput, dan tidak
jauh dari situ rebah pula tubuh Sin-kiam Mo-li yang mendengkur lirih, tahulah
dia bahwa wanita itu telah tidur nyenyak karena kelelahan.
Inilah
kesempatan baik baginya, pikir Sin Hong. Dua orang kakek itu pun tidak nampak,
agaknya tidur di bagian lain dari kebun itu dan malam itu cukup gelap, tidak
ada bintang nampak di langit yang tertutup awan hitam.
Dengan
hati-hati sekali Sin Hong mengambil pakaiannya yang tadi direnggut lepas semua
dari tubuhnya oleh Sin-kiam Mo-li, dan melihat dua batang pedang yang berada di
dekat Sin-kiam Mo-li, ingin dia mengambilnya. Akan tetapi, seperti orang yang
selalu siap siaga, lengan kanan Sin-kiam Mo-li berada di atas pedang itu
sehingga Sin Hong tidak berani melanjutkan niatnya.
Apa lagi,
dia tidak membutuhkan pedang. Tiga orang gurunya telah menggemblengnya
sedemikian rupa sehingga dia tidak membutuhkan senjata pelindung diri lagi.
Pula, dari para gurunya dia mendengar bahwa pedang Ban-tok-kiam dan pedang
Cui-beng-kiam merupakan dua batang pedang yang amat jahat, mengandung racun
yang amat ampuh dan telah minum darah dan mencabut nyawa entah berapa ribu
orang! Dia tidak ingin memiliki dua batang pedang itu dan kalau tadi timbul
niatnya mengambil, hanya karena dia teringat bahwa Ban-tok-kiam milik subo-nya
(ibu gurunya) sedangkan Cui-beng-kiam milik Tiong Khi Hwesio, salah seorang di
antara dua gurunya yang laki-laki.
Tanpa
mengenakan pakaiannya lebih dahulu, hanya membawanya saja, Sin Hong lalu
meninggalkan Sin-kiam Mo-li dan keluar dari kebun itu. Dia tahu bahwa dia harus
dapat cepat-cepat pergi karena kalau sampai diketahui ketiga orang iblis itu,
tanpa dia dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, kalau hanya berlari biasa
saja, tentu akan segera dapat disusul, apa lagi melalui daerah gurun pasir yang
kering, tanpa adanya hutan atau bahkan tumbuh-tumbuhan untuk menyembunyikan
diri.
Akan tetapi,
dia mengenal benar daerah di sekitar gurun pasir itu dan dia tahu di mana
letaknya bukit terdekat, bukit yang penuh hutan, yaitu di sebelah barat, dari
situ tidak nampak karena tertutup oleh bukit-bukit gurun pasir. Orang lain yang
tidak mengenal daerah itu dengan baik, seperti tiga orang jahat itu, sudah
mengambil jalan ke selatan, jalan yang teraman karena jalan ke selatan itu
menuju ke daerah tanah keras. Padahal, menuju ke bukit di barat itu lebih dekat
dibandingkan jarak menuju ke selatan.
Perhitungan
Sin Hong ternyata tepat. Ketika Sin-kiam Mo-li terbangun dan tidak melihat
pemuda itu, tentu saja ia marah sekali. Kemarahannya semakin memuncak ketika
dua orang tosu itu mentertawakannya. Dia pun mengajak mereka untuk segera
melakukan pengejaran.
“Akan
kusiksa dia dan kurobek kulitnya, kemudian kucabut jantungnya!” Wanita iblis
itu mengancam dengan muka merah sekali.
Pemuda itu
tidak saja telah menolak untuk melayaninya, bahkan ilmu sihirnya pun tidak
mempan, dan kini tahu-tahu telah melarikan diri. Dan seperti diperhitungkan
oleh Sin Hong, tiga orang lihai itu melakukan pengejaran secepatnya menuju ke
selatan.
Tentu saja
mereka tidak berhasil menyusul Sin Hong yang telah tiba di bukit sebelah barat
dengan aman. Dia memasuki hutan yang memenuhi bukit itu, hutan lebat yang
jarang didatangi manusia karena selain hutan ini amat liar, juga letaknya
begitu jauh dari kota dan dusun. Ketika Sin Hong berkeliaran di dalam hutan
yang memenuhi seluruh perbukitan di daerah itu, dia melihat banyak binatang
hutan dan pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan maka dia pun mengambil
keputusan untuk bersembunyi terus di dalam tempat ini sampai pertapaannya
selama setahun itu lewat.
Di tempat
ini, dia tak akan mengalami gangguan manusia dan dia dapat melaksanakan tapanya
dengan aman. Dia pun memilih sebuah goa untuk dijadikan tempat tinggal, dan
beberapa bulan kemudian, dalam perantauannya menjelajahi perbukitan itu, dia
hanya menemukan beberapa orang pertapa saja tinggal di tempat-tempat
tersembunyi.
Ada yang
tinggal di dalam goa, ada yang membuat pondok sederhana. Mereka adalah orang-orang
yang mengasingkan diri dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat ramai. Ada
yang bertapa untuk melarikan diri dan pertapaan itu hanya merupakan suatu
pelarian dari keadaan hidup yang serba tidak menyenangkan, ada pula yang
bertapa dengan pamrih memperoleh sesuatu dari hasil pertapaannya, yang pada
hakekatnya juga merupakan pelarian dari suatu keadaan yang tidak disukainya
untuk mendapatkan suatu keadaan yang diharapkan dan dibayangkan akan
mendatangkan kesenangan bagi dirinya.
Sin Hong
tinggal dengan aman di dalam goa yang agak terpencil untuk menyelamatkan
dirinya. Sungguh berat Ilmu Pek-ho Sin-kun yang diterimanya dari tiga orang
gurunya itu, karena selama setahun, ia sama sekali tak boleh mengerahkan
sinkang dan karena itu tentu saja dia terancam bahaya.
Untung
baginya bahwa ketika menjadi tawanan Sin-kiam Mo-li, dia berhasil meloloskan
diri. Jika tidak, ia tentu akan menjadi korban kekejaman tiga orang iblis itu.
Keadaannya serba salah. Untuk melawan, terpaksa dia mengerahkan sinkang dan dia
akan tewas pula, seperti yang dipesankan oleh tiga orang gurunya. Tidak
melawan, akhirnya dia akan mereka bunuh!
Demikianlah,
selama setahun Sin Hong bersembunyi di dalam hutan itu, dan memenuhi pesan tiga
orang gurunya. Setiap hari dia bersemedhi, melatih diri untuk menguasai hawa
sakti yang bergelora di dalam tubuhnya sampai akhirnya dia berhasil menguasai
dan mengendalikan hawa sakti itu, dapat mempergunakan sesuai dengan
kehendaknya.
Bahkan
kemudian ketika dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun setiap gerakannya dapat
mengatur tenaga sakti sesuai dengan takarannya. Kini, bahaya dari hawa sakti
itu bagi dirinya sendiri lenyap dan dia pun kini menjadi seorang yang amat
lihai.
Pada hari
terakhir dia berada di dalam hutan itu, dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun dan
kalau saja tiga orang gurunya bisa menyaksikannya, tentu mereka akan merasa
bangga bukan main. Pemuda itu bersilat dengan tangan kosong, gerakannya nampak
perlahan saja, namun pohon-pohon di sekelilingnya seperti dilanda angin taufan,
dan di lain saat, gerakan-gerakannya sama sekali tidak menggerakkan daun-daun
pohon, namun ketika jari tangannya yang terbuka menyentuh batang pohon, batang
pohon itu seperti dibabat dengan pedang tajam dan tumbang!
Sin Hong
sendiri terkejut melihat hasil ini, juga girang namun berjanji pada diri
sendiri untuk berhati-hati menggunakan Pek-ho Sin-kun karena ternyata merupakan
gabungan ilmu-ilmu yang amat ampuh dan akibatnya dapat mengerikan bagi
lawannya.
Akhirnya dia
pergi meninggalkan perbukitan itu dengan pakaian compang-camping oleh karena
selama setahun dia tidak dapat berganti pakaian, kecuali kadang-kadang kalau
pakaiannya dicuci, dia mengenakan cawat dari kulit batang pohon.
********
Biar pun pakaiannya
compang-camping, namun Sin Hong nampak gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu
dikuncir tebal dan dikalungkan di lehernya. Bajunya sudah penuh tambalan dan
terbuka di bagian dada atas, memperlihatkan dadanya yang bidang dan kulit
dadanya yang kemerahan karena ditimpa sinar matahari yang terik.
Wajah pemuda
berusia dua puluh dua tahun ini tidak tampan akan tetapi juga tidak buruk,
namun sinar matanya lembut dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan dua hal
inilah yang mendatangkan daya tarik dan kesejukan pada wajahnya. Bentuk
tubuhnya sedang saja, namun di balik kulit itu terdapat kekuatan dahsyat yang
tidak kelihatan, namun yang membuat tubuhnya kokoh seperti batu karang.
Dengan
mempergunakan ilmunya berlari cepat, pemuda ini melakukan perjalanan ke
selatan, melewati gurun pasir. Gurun itu sepi sekali dan ini menguntungkan Sin
Hong yang dapat melakukan perjalanan secepatnya. Kalau di situ lalu lintasnya
ramai, tentu keadaannya akan menarik perhatian orang. Bukan hanya pakaiannya
yang compang-camping seperti jembel, akan tetapi juga larinya yang cepat
bagaikan terbang itu.
Tujuan
perjalanannya sudah jelas. Pertama, dia akan pergi ke kota Ban-goan, yaitu kota
kelahirannya untuk menyelidiki mengenai kematian ayahnya setelah terlebih
dahulu dia menyelidiki ke Tuo-lun di mana ayahnya tewas dalam sebuah hutan di
luar kota Tuo-lun seperti yang didengarnya dari Tiong Khi Hwesio.
Kemudian,
setelah urusannya selesai, dia akan berkunjung ke kota Pao-teng, mencari
suheng-nya, yaitu Kao Cin Liong, putera tunggal suami isteri Kao Kok Cu dan Wan
Ceng yang menjadi gurunya, untuk mengabarkan tentang tewasnya dua orang tua itu
dan terbasminya Istana Gurun Pasir.
Karena dia
mempergunakan ilmu berlari cepat, maka dalam beberapa hari saja dia pun sudah
tiba di Tuo-lun. Dia lalu melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para
piauwsu yang berada di kota ini.
Akan tetapi,
semua orang yang ditanya tidak ada yang dapat memberi keterangan lebih jelas
dari pada apa yang sudah pernah didengarnya dari Tiong Khi Hwesio, yaitu bahwa
mendiang ayahnya bersama sepuluh orang anak buahnya kedapatan tewas semua di
dalam hutan di selatan kota Tuo-lun itu.
Dia pun
segera mencari hutan itu dan pada suatu pagi, dia menemukan gundukan tanah
kuburan yang cukup tinggi di dalam hutan. Sin Hong berdiri di depan tanah
kuburan itu dan membaca tulisan yang diukir dengan kasar pada sebuah batu yang
besar dan yang ditaruh di depan kuburan.
Terbaca nama
ayahnya sebagai piauwsu, karena bunyi tulisannya hanya ‘Kuburan Tan Piauwsu
bersama sepuluh orang temannya’.
Sin Hong
merasa terharu. Tentu gurunya, Tiong Khi Hwesio itu yang sudah mengubur
ayahnya, dikubur menjadi satu di tempat ini. Ia pun lalu berlutut memberi
hormat kepada makam ayahnya.
Sin Hong
pergi meninggalkan hutan itu dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak berhasil
mendapat keterangan yang berharga di Tuo-lun. Harapannya kini tinggal
penyelidikan ke kota kelahirannya di Ban-goan. Ia akan menyelidiki dan mencari
Tang-piauwsu yang dulu menjadi wakil dan pembantu utama ayahnya. Mudah-mudahan
saja Tang-piauwsu berhasil lolos dari kejaran para perampok berkedok itu,
pikirnya. Kalau Tang-piauwsu juga tewas, sukarlah baginya untuk menyelidiki
siapa gerangan para perampok itu dan siapa pula yang membunuh ayah ibunya.
Pada suatu
hari, tibalah dia di Tembok Besar, tempat penyeberangan para pedagang dan
pengawal kalau hendak ke luar Tembok Besar. Matahari telah naik tinggi dan Sin
Hong berhenti sebentar sambil menghapus keringatnya dengan ujung baju yang
sudah compang-camping itu.
Keadaan di
situ sunyi sekali. Hanya beberapa hari saja dalam sebulan jalan itu ramai
dilalui rombongan pedagang. Kini, para pedagang hanya berani melakukan
perjalanan membawa barang-barang mereka secara rombongan, dikawal oleh para
piauwsu yang kuat karena akhir-akhir ini timbul banyak perampok di daerah
perbatasan itu.
Dari tempat
yang agak tinggi itu Sin Hong mengamati ke arah selatan. Kembali dia mengenang
perjalanannya bersama ibunya menyusul ayahnya di Tuo-lun, dikawal oleh
Tang-piauwsu. Lalu teringatlah dia akan pendapat nenek Wan Ceng, subo-nya
setelah mendengar akan semua peristiwa yang menimpa dirinya.
Nenek yang
cerdik itu menyatakan kecurigaannya kepada Tang-piauwsu! Dia tak begitu ingat
lagi bagaimana sikap Tang-piauwsu terhadap keluarganya dan dia pun tak begitu
yakin akan kebenaran persangkaan subo-nya itu. Akan tetapi, bagaimana pun juga,
dia akan menyelidiki dengan cermat dan hati-hati agar jangan sampai menuduh
orang yang tidak bersalah.
Selagi dia
termenung, tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya belasan orang dari balik
tembok dan batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai
tampang menyeramkan. Sikap mereka kasar, serta tangan mereka memegang golok
telanjang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan penuh ancaman ketika
mereka berloncatan menghampirinya.
Diam-diam
Sin Hong merasa girang. Mereka ini, dilihat dari sikapnya, tentulah sebangsa
perampok dan agaknya dia menemukan jejak pertama untuk bahan penyelidikannya.
Maka dia pun menanti dengan tenang dan memperhatikan laki-laki yang berada
paling depan. Tentu dia kepalanya, pikirnya.
Laki-laki
itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan berkumis lebat sekali, sekepal
sebelah, dengan jenggot pendek tebal. Tubuhnya tinggi besar bagaikan raksasa
dan mukanya yang sebagian bawah tertutup jenggot dan kumis itu berkulit hitam.
Matanya melotot lebar dan garang.
“Keparat!”
Tiba-tiba kepala perampok itu menyumpah-nyumpah setelah dia berhadapan dengan
Sin Hong, matanya yang lebar melotot memandang pemuda itu dari atas ke bawah,
melihat pakaiannya yang compang-camping. “Kukira belut gemuk yang lunak
dagingnya, kiranya hanya seekor cacing!”
Para anggota
perampok tertawa mendengar makian kepala perampok itu. Mereka tadi melihat
munculnya seorang laki-laki dari jauh, kemudian mereka bersembunyi, dan lalu
keluar untuk menyergap calon korban itu. Sudah sebulan ini mereka tidak
memperoleh mangsa dan dalam keadaan haus mereka telah bergembira melihat
munculnya seorang calon mangsa. Siapa kita, orang itu hanyalah seorang jembel
muda yang sama sekali tidak dapat diharapkan memiliki sesuatu yang berharga.
“Ha-ha-ha,
cacing juga cacing kurus pula, kulitnya pun tidak ada harganya satu sen!” kata
seorang di antara mereka.
“Toako, kita
bunuh dan cincang saja daging dan tulangnya supaya menjadi santapan
anjing-anjing hutan!” kata seorang perampok lainnya.
Dengan sikap
buas dan beringas, belasan orang itu sudah maju mengepung Sin Hong dan mereka
pun merasa heran mengapa pemuda itu tidak berlutut dan menangis minta ampun.
Sebaliknya, pemuda itu malah tersenyum menghadapi kepala perampok itu dan kini
Sin Hong berkata lembut,
“Kalian ini
memang seperti anjing-anjing hutan kelaparan. Akan tetapi kebetulan sekali
kalian datang, karena aku ingin minta keterangan dari kalian. Kuharap kalian
suka memberi tahu kepadaku apakah kalian tahu tentang gerombolan perampok yang
suka memakai kedok. Nah, katakanlah dan aku yang berterima kasih tak akan
mengganggu kalian selanjutnya!”
Para
perampok itu saling pandang dan ada di antara mereka yang tertawa bergelak,
merasa lucu karena sikap pemuda itu seakan-akan mengancam mereka! Akan tetapi
kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Matanya semakin lebar melotot
ketika dia membentak.
“Cacing
tanah busuk! Berani kau membuka mulut besar? Engkau tidak tahu berhadapan
dengan siapa, keparat! Aku adalah Hek-san-coa (Ular Gunung Hitam) dan bersama
kawan-kawanku, kami terkenal di seluruh Tembok Besar!”
Sin Hong
tersenyum mengejek. “Kebetulan sekali! Engkau adalah ular hitam, dan aku adalah
Pek-ho (Bangau Putih) yang kelaparan. Bolehlah si bangau makan si ular untuk
membersihkan daerah ini!”
Tentu saja
ucapan pemuda itu mendatangkan kemarahan besar kepada belasan orang itu. Pemuda
jembel begini berani menentang mereka, bahkan barusan menghina kepala perampok!
Padahal mereka adalah gerombolan yang ditakuti semua orang dan amat terkenal
bagi para pedagang dan pengawal yang suka lewat di situ.
“Toako,
biarkan aku menyembelih tikus ini!” bentak salah seorang di antara mereka yang
bertubuh tinggi kurus dengan mata sipit dan muka kuning pucat.
Tanpa
menanti jawaban pemimpinnya, si tinggi kurus ini telah menggerakkan goloknya,
membacok ke arah Sin Hong dengan cepat dan kuat sekali. Agaknya orang ini
hendak membuktikan ancamannya, sekali tebas menyembelih leher pemuda yang sudah
berani menghina mereka itu.
Namun, tentu
saja serangan ini terlampau lamban dan terlampau lemah bagi seorang pemuda
gemblengan seperti Sin Hong, tiada ubahnya permainan kanak-kanak saja. Dia
menundukkan kepala untuk membiarkan golok lewat di atas kepalanya. Dan begitu
dia menggerakkan tangan, jari tangannya sudah menotok ke bawah siku lengan dan
begitu golok terlepas, dia sudah menyambar golok itu yang langsung dia luncurkan
ke bawah, tapi sengaja dia balikkan sehingga punggung golok yang tidak tajam
menghantam lutut si tinggi kurus.
“Takkk...!
Aduuuhhhhh...!”
Si tinggi
kurus terjungkal dan meloncat lagi, berloncatan dengan kaki kanan, sedangkan
dua tangannya memegang lutut kirinya yang terasa nyeri bukan main. Saking
nyerinya, dia roboh lagi, memijit-mijit tulang kering di bawah lututnya.
Tulang
kering dipukul golok, biar hanya punggung golok, akan tetapi besi yang berat
itu tentu saja cukup membuat tulang keringnya retak dan nyerinya sampai menusuk
ke tulang sumsum! Sin Hong melempar golok itu ke atas tanah sampai ke
gagangnya!
Terkejutlah
semua perampok, terkejut dan marah. Tak mereka sangka bahwa pemuda jembel itu
pandai ilmu silat, bahkan demikian lihainya sehingga dalam segebrakan saja
telah membuat si tinggi kurus itu roboh tak berdaya. Hanya satu gebrakan saja!
Hampir mereka tidak percaya dan menganggap bahwa hal itu hanya suatu kebetulan
saja. Akan tetapi, kemarahan melihat seorang temannya terluka membuat mereka marah
dan ganas seperti ikan-ikan hiu mencium darah.
“Jembel
busuk, mampuslah!” teriak seorang yang gemuk pendek dengan perut gendut dan
orang ini yang berdiri di belakang Sin Hong, sudah membacokkan goloknya dari
atas ke bawah, mengarah kepala pemuda itu. Kalau terkena sasaran itu tentu
kepala itu terbelah dua dan isi kepala akan berhamburan.
Namun, tanpa
menoleh, hanya dengan mengandalkan pendengarannya yang tajam, Sin Hong
miringkan tubuhnya. Golok yang menjadi sinar terang itu menyambar lewat dan
tangannya bergerak ketika tubuhnya diputar membalik tanpa mengubah kedudukan
dua kaki dan di lain saat, golok itu sudah pindah tangan karena pemegangnya
merasa lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang telah
terjadi, golok itu, dengan terbalik, menyambar kakinya.
“Takkk...!
Auuuwww... aduhhh... aduhhhh...!”
Dan dia pun
berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari, kaki kanannya diangkat dan kaki
kiri berloncatan seperti halnya orang pertama, kemudian dia pun jatuh
terjungkal, memijiti lutut kanannya yang terpukul punggung golok.
Kini para
perampok itu mengeroyok Sin Hong dengan serangan golok mereka! Sin Hong kembali
sudah melempar golok rampasannya setelah tadi mengetuk lutut lawan. Golok
meluncur dan menancap di batu sampai ke gagangnya, kemudian dengan kedua tangan
kosong dia menghadapi pengeroyokan para perampok itu.
Hebat sekali
sepak terjang Sin Hong. Tubuhnya sudah demikian peka sehingga seolah-olah di
mana-mana tubuhnya memiliki mata dan mampu mengelakkan setiap serangan. Ilmu
Silat Pek-ho Sin-kun tidak dipergunakannya karena dia tidak ingin
memperlihatkan ilmu itu kalau tidak penting sekali.
Akan tetapi
ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi sudah mendarah daging dengan tubuhnya. Maka
tiap kali ia mengelak sambil menyerang, sudah pasti yang menyerangnya berbalik
roboh sambil mengaduh-aduh. Ada yang tulang kakinya retak, tulang pundaknya
patah, atau lengannya terkilir.
Satu demi
satu mereka roboh. Tak seorang pun tewas, akan tetapi tidak seorang pun mampu
bangkit atau ikut mengeroyok lagi. Sin Hong hanya berdiri di tempat tadi, tidak
melangkah jauh, hanya mengubah kedudukan kuda-kuda kaki sesuai dengan serangan
lawan. Dia menanti lawan menyerang, kemudian menghadapi serangan dan sekaligus
merobohkannya.
Melihat
dalam sekejap mata saja lebih dari setengah jumlah orangnya roboh, kepala
perampok itu marah bukan main. “Bocah setan, akulah lawanmu!”
Melihat
kepala perampok sendiri yang maju, enam orang sisa anak buah perampok yang
belum roboh segera mundur, memberi kesempatan kepada pemimpin mereka. Kepala
perampok itu memegang sebatang golok yang besar dan tebal, nampak amat berat,
tanda bahwa dia memiliki tenaga besar.
Dengan mata
melotot dia menghadapi Sin Hong. Sekarang dia tak memandang rendah setelah
melihat betapa pemuda itu dengan mudah mampu merobohkan tujuh orang anak buahnya.
Dia ingin tahu siapa adanya pemuda jembel yang lihai ini karena belum pernah
dia mendengar, apa lagi melihat tentang pemuda ini.
“Bocah
setan, siapakah engkau sesungguhnya?” bentaknya.
Sin Hong
tersenyum. Tidak ada gunanya berkenalan dengan segala macam perampok seperti
ini, pikirnya.
“Engkau Ular
Gunung Hitam, dan aku si Bangau Putih. Nah, lekas katakan saja tentang perampok
yang berkedok itu, dan aku akan pergi dengan aman.”
“Bangsat
sombong! Jangan mengira engkau akan dapat terlepas dari hukuman golok
keramatku!” Dan kepala perampok itu pun sudah memutar goloknya.
Golok yang
besar dan berat itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang
berdesing-desing mengerikan. Akan tetapi sikap Sin Hong tetap tenang, hanya
menanti kepala perampok itu melakukan serangan. Kepala perampok itu tak segera
menyerang karena sesungguhnya dia pun mulai merasa jeri melihat kelihaian
pemuda itu.
Maka
sekarang dia pun berseru kepada enam orang anak buahnya yang belum roboh.
“Kepung, keroyok dan kita bunuh dia! Cincang badannya!”
Melihat
betapa kini pemimpin mereka sendiri yang maju, enam orang itu pun berbesar hati
dan mereka segera menyerang dari semua jurusan, menghujankan serangan golok
mereka ke arah tubuh Sin Hong. Kepala perampok itu pun ikut pula menyerang!
Kembali Sin
Hong dikeroyok, sekali ini lebih hebat dari pada yang tadi. Akan tetapi, Sin
Hong tetap tenang dan bersikap menanti. Setiap kali serangan datang, dia
mengelak sambil terus merobohkan penyerangnya, dengan tangan, kaki atau
punggung golok.
Akibatnya
sama saja. Yang terkena tamparan tangannya, tentu akan patah tulang iga atau
tulang pundak, yang tertendang patah tulang kaki. Dalam waktu hanya beberapa
menit saja, enam orang sisa anak buah itu pun sudah roboh semua.
Kepala
perampok yang licik itu tadi hanya menyerang dengan hati-hati saja untuk turut
mengeroyok sehingga dia belum sampai dirobohkan. Kini, melihat betapa semua
anak buahnya roboh, tanpa banyak cakap lagi dia pun cepat membalikkan tubuh dan
hendak melarikan diri! Melihat ini, Sin Hong memungut sebatang golok yang
tercecer, kemudian menyambitkan golok itu.
“Ceppp...!”
Kepala
perampok itu mengeluh dan roboh dengan punggung ditembusi golok. Tidak seperti
anak buahnya, dia pun tewas seketika. Sin Hong sengaja membunuhnya, karena dia
berpendapat bahwa kalau kepala perampok itu tidak dibunuh, akan percuma saja
menasihati anak buahnya untuk bertobat. Kepala perampok itu tentu akan memaksa
anak buahnya untuk merampok lagi dan dengan adanya kepala perampok yang ganas
dan jahat, maka anaknya pun akan menjadi lebih berani.
Tiga belas
anak buah perampok itu masih rebah atau duduk sambil mengaduh-aduh kesakitan.
Wajah mereka semua berubah pucat ketika mereka melihat betapa pemimpin mereka
tewas dan kini pemuda yang amat perkasa itu menghampiri mereka.
“Nah,
sekarang kalian katakan padaku, siapakah gerombolan perampok berkedok yang pada
beberapa tahun yang lalu merajalela di sini, bahkan telah membunuh Tan-piauwsu
dari Ban-goan, dan menyerang pula Tang-piauwsu. Hayo ceritakan yang benar,
kalau tidak, terpaksa akan kubunuh kalian semua seperti yang sudah aku lakukan
terhadap pemimpinmu ini!”
Para
perampok itu saling pandang dengan bingung dan ketakutan, akan tetapi seorang
di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, dan menderita patah
tulang pundaknya, segera bangkit dan berkata kepada Sin Hong.
“Harap
Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan kami orang-orang kasar yang tidak
mengenal orang pandai dan berani kurang ajar. Kiranya di antara kami hanya saya
saja yang tahu akan perampok-perampok berkedok yang delapan tahun yang lalu
merampok dan membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan karena pada waktu itu, saya
kebetulan melihatnya dari jauh.”
Bukan main
girang rasa hati Sin Hong mendengar ini dan dia pun cepat menghampiri orang
itu. “Bagus sekali! Ceritakan bagaimana terjadinya dan siapa mereka itu, siapa
pula pemimpin mereka!”
Orang itu
menarik napas panjang dan menggelengkan kepala.
“Sungguh
menyesal sekali saya sendiri tidak mengenal mereka, Taihiap. Saya melihat
rombongan Tan-piauwsu dihadang dan diserang oleh dua puluh orang lebih orang
yang mengenakan kedok, merampas barang yang dikawalnya dan membunuh Tan-piauwsu
dan kawan-kawannya. Kemudian mereka melarikan diri menunggang kuda. Hanya ada
satu hal penting yang dapat saya ceritakan, yaitu sebelum penghadangan itu
terjadi, saya melihat rombongan perampok itu tadinya mengenakan pakaian seperti
rombongan piauwsu. Mereka berhenti di dalam hutan, mengganti pakaian dan
mengenakan kedok. Maka, saya menduga bahwa gerombolan itu agaknya hanya perampok
palsu saja, Taihiap, penyamaran dari rombongan piauwsu.”
Sin Hong
mengerutkan alisnya. Agaknya tepat dugaan mendiang subo-nya, pikirnya.
Jangan-jangan Tang-piauwsu yang merencanakan semua itu, untuk merampas barang
kawalan yang berharga. Akan tetapi mengapa Tang-piauwsu sendiri kemudian
dihadang perampok berkedok? Apakah itu juga hanya siasatnya saja, untuk
membunuh dia dan ibunya? Benarkah seperti yang diduga oleh subo-nya yang cerdik
itu?
“Engkau
masih ada penjelasan lain lagi?” tanyanya.
Perampok itu
menggeleng kepalanya. Akan tetapi, keterangan itu cukup penting bagi Sin Hong
dan sudah cukup banyak pula. Dia harus menyelidiki ke Ban-goan.
Sin Hong
teringat bahwa dia tidak mempunyai bekal, juga bahwa pakaiannya haruslah
diganti, maka dia lalu berkata kepada mereka.
“Kalian
sudah biasa merampok orang, sekarang aku membutuhkan uang. Berikan uang yang
ada pada kalian kepadaku!”
Perampok
yang memberi keterangan tadi lalu berkata, “Kami tidak mempunyai banyak uang,
Taihiap. Sedikit harta yang kami terima dari ketua kami biasanya cepat habis
untuk foya-foya. Akan tetapi saya yakin pemimpin kami itu memiliki barang
berharga.” Dia lalu menghampiri mayat kepala perampok, dan tak lama kemudian
menghampiri Sin Hong sambil membawa sebuah pundi-pundi kecil terisi uang emas
dan perak!
Akan tetapi
Sin Hong tidak membutuhkan uang sebanyak itu. Sebagian dia bagi-bagikan kepada
para anggota perampok sambil berkata, “Kali ini aku masih memaafkan kalian dan
hanya membunuh pemimpin kalian. Akan tetapi lain kali kalau aku melihat kalian
masih merampok, terpaksa aku akan membasmi kalian. Kuharap kalian suka
menyadari bahwa pekerjaan merampok itu terkutuk, dan sekali waktu kalian pasti
akan menerima hukuman, baik itu dari pasukan keamanan, dari para pendekar atau
setidaknya, sudah pasti akan datang hukuman dari Tuhan! Bertobatlah dan ubahlah
jalan hidup kalian. Jika kalian mau bekerja, tentu kalian akan dapat mencari
makan. Nah, selamat tinggal!”
“Nanti dulu,
Taihiap!” teriak orang tua yang tadi memberi keterangan. “Kami ingin sekali
bertobat dan mengubah jalan hidup kami, akan tetapi kami ingin lebih dahulu
mengenal siapakah Taihiap?”
Sin Hong
tersenyum. “Sebut saja aku si Bangau Putih.”
Begitu dia
berkelebat, bayangannya lenyap di antara pohon-pohon dan meninggalkan
orang-orang itu yang menjadi bengong saking heran dan kagum mereka. Mulai
peristiwa ini dan seterusnya, dunia kang-ouw mulai mengenal nama Pek Ho Enghiong
(Pendekar Bangau Putih) karena memang Sin Hong jarang memperkenalkan namanya
sendiri dan sepak terjangnya seperti seekor burung bangau putih yang menyambar
dan melayang-layang.
Memang dia
suka sekali mengenakan pakaian putih. Setelah dia mempunyai uang dan
berkesempatan membeli pakaian, dia membeli pakaian yang sederhana, berwarna
putih dengan garis pinggir berwarna kuning atau biru. Dan dengan pakaian putih
ini, semakin terkenallah julukan Si Bangau Putih.
Kota
Ban-goan tidaklah besar. Akan tetapi karena kota ini merupakan kota yang
menjadi awal penyeberangan ke luar Tembok Besar, maka kota ini dikunjungi
banyak pedagang yang ingin membawa barang dagangannya menyeberang lewat Tembok
Besar.
Perusahaan
piauwkiok (ekspedisi) yang mengawal barang dagangan juga makin subur dan sibuk.
Banyak terdapat perusahaan ekspedisi atau pengawal di kota ini, dan satu di
antaranya, yang terkenal dan dipercaya orang, adalah perusahaan piauwkiok yang
dulu dipimpin oleh Tan-piauwsu.
Tidak sukar
bagi Sin Hong untuk menemukan Tang-piauwsu, yaitu orang yang sedang dicarinya.
Tang-piauwsu ternyata masih melanjutkan pekerjaan ayahnya, melanjutkan
perusahaan ekspedisi yang dahulu dipegang ayahnya, dan Sin Hong masih belum
lupa akan rumah bekas tempat tinggal orang tuanya itu.
Tidak banyak
perubahan pada rumah itu yang bagian depannya merupakan kantor, juga papan nama
Peng An Piauwkiok (Kantor Ekspedisi Selamat) masih tergantung di depan kantor.
Bahkan rumah itu kini nampak butut dan seolah-olah tidak terpelihara lagi. Dua
orang kuli tua duduk di depan kantor, di atas bangku reyot dan melihat mereka
berdua mengobrol sambil menghisap rokok dapat diketahui bahwa perusahaan itu
sepi saja.
Sin Hong
masih ingat kepada dua orang kuli tua ini, walau pun dia tidak tahu lagi siapa
nama mereka. Tulang-tulang menonjol di balik kulit yang menjadi keras karena
kerja berat itu menambah bayangan kemiskinan diderita dua orang ini.
Melihat ada
seorang pemuda menghampiri kantor itu, dua orang kuli ini cepat bangkit memberi
hormat dan kegembiraan membayang di wajah mereka, kegembiraan penuh harap untuk
mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan hasil bagi mereka.
“Selamat
pagi, Tuan Muda. Apakah Tuan Muda hendak mengirim barang yang perlu
pengawalan?” tanya seorang di antara mereka penuh harapan.
Begitu
mudahnya membaca kegembiraan penuh harapan membayang di wajah mereka sehingga
Sin Hong merasa terharu. Melihat rumah ini, bertemu dengan dua wajah tua yang
tidak asing ini, mendatangkan kenangan lama dan mengingatkan dia akan ayah
ibunya yang sudah tiada.
Pohon cemara
itu masih tumbuh di samping rumah dan dia masih mengenal cabang-cabangnya yang
kini semakin besar dan tinggi. Juga batu besar di bawahnya, di mana dahulu dia
sering kali bermain di atasnya. Hatinya terharu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan
perasaan hatinya dan dia masih tersenyum ramah ketika menjawab,
“Ji-wi Lopek
(Paman Tua Berdua), aku ingin bertemu dengan Tang-piauwsu. Apakah dia berada di
sini?”
Dahulu,
delapan tahun yang lalu, Tang-piauwsu merupakan pembantu utama ayahnya dan
pengawal ini dahulu adalah seorang bujangan berusia tiga puluh tahun lebih,
tidak berkeluarga dan tinggalnya mondok pula di rumah ayahnya. Tentu kini ia
sudah berusia empat puluh tahun.
Sin Hong
ingin sekali tahu apakah pengawal itu masih tinggal di situ ataukah pindah ke
rumah lain dan hanya berkantor di situ. Diam-diam dia menjadi gelisah,
jangan-jangan Tang-piauwsu sudah tiada, tewas pula ketika mengawal dia dan
ibunya dan kemudian dikeroyok oleh para perampok berkedok. Tetapi jawaban orang
itu melegakan hatinya.
“Tang-piauwsu?
Tentu saja dia berada di sini, Kongcu. Kongcu hendak bicara tentang pesanan
pengawalan? Biar saya panggilkan dia, tentu sedang berada di bagian dalam
rumahnya. Akhir-akhir ini kesehatannya sering kali terganggu.”
Dua orang
itu lalu masuk ke dalam setelah mempersilakan Sin Hong duduk menanti di bangku
yang terdapat di dalam kantor itu. Sin Hong duduk sambil mengamati keadaan
kantor itu.
Seingatnya,
kantor ini dahulu lebih bersih dan lebih banyak mejanya, dan sedikitnya ada lima
orang piauwsu yang duduk di situ melayani tamu. Juga ada sedikitnya lima orang
kuli yang menerima barang-barang kemudian menyimpannya ke dalam gudang sebelum
dikirimkan. Akan tetapi sekarang kantor itu kosong sama sekali tidak ada
orangnya, dan meja yang terdapat di situ hanya dua, kini kosong tanpa pegawai.
Suara sepatu
dari dalam membuat dia mengangkat muka memandang. Dan muncullah Tang-piauwsu.
Dia masih ingat benar wajah itu, hanya kini nampak jauh lebih tua dari pada
delapan tahun yang lalu.
Tubuh yang
tinggi besar dari Tang Lun, demikian nama piauwsu itu, sekarang sedikit
membungkuk. Kumis dan jenggotnya tidak terpelihara. Meski usianya baru empat
puluh tahun lebih sedikit, rambutnya telah banyak bercampur uban. Mukanya
memperlihatkan garis-garis pengalaman pahit yang dalam.
Dan yang
lebih mengherankan hati Sin Hong adalah buntungnya telinga kiri piauwsu itu!
Daun telinga kirinya tidak ada. Sin Hong cepat bangkit berdiri dan Tang-piauwsu
yang mengira mendapat langganan baru, segera memberi hormat.
“Selamat
pagi, Kongcu. Apakah Kongcu mencari saya? Sayalah Tang-piauwsu, dan jika Kongcu
membutuhkan pengawalan…”
“Paman Tang,
lupakah Paman kepadaku?” kata Sin Hong, suaranya agak menggetar karena
keharuan.
Orang ini
dahulu pernah membela dia dan ibunya dari serangan gerombolan perampok
berkedok. Melihat wajah orang ini, seketika lenyaplah keraguannya. Dia hampir
yakin bahwa dugaan mendiang subo-nya itu keliru.
Orang tinggi
besar dan telinga kirinya buntung itu memandang kepada Sin Hong penuh perhatian
dan keraguan. Betapa pun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu
mengenal pemuda itu.
“Maaf...
maafkan saya yang sudah tua dan lemah ingatan, akan tetapi siapakah Kongcu
ini...,” katanya agak bingung.
Sin Hong
tersenyum ramah sambil melangkah maju mendekati Tang Lun, kemudian dia berkata
lembut, “Paman Tang Lun, aku adalah Sin Hong, Tan Sin Hong, sudah lupakah
engkau?”
Sepasang
mata itu terbelalak dan wajah itu menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah.
Matanya memandang penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia
menubruk Sin Hong dan menangis! Orang tua itu, yang dulu terkenal sebagai
seorang piauwsu yang gagah perkasa, kini merangkul Sin Hong sambil menangis
terisak-isak seperti anak kecil.
Sin Hong
membiarkan saja karena maklum bahwa agaknya baru sekarang orang ini mendapatkan
kesempatan melepaskan semua penanggungan batinnya melalui tangis. Bukan hanya
pelepas derita batin, tetapi juga mungkin karena keharuan, kekagetan dan
kegembiraan melihat Sin Hong masih hidup.
Akhirnya dia
dapat juga bicara. Sambil tetap memegang kedua pundak Sin Hong, dia mendorong
halus dan mengamati wajah pemuda itu dengan air mata masih bercucuran. Bukan
air mata buaya, pikir Sin Hong dan dia masih tetap percaya akan kejujuran orang
tua ini.
“Sin Hong!
Tan Sin Hong… ya Tuhan Yang Maha Kuasa! Siapa dapat percaya? Siapa yang dapat
mengenalmu? Sudah bertahun-tahun aku menangisi kalian semua, ayahmu, ibumu,
engkau sendiri. Siapa kira kini engkau muncul dalam keadaan selamat, masih
hidup dan sudah dewasa pula? Ya Tuhan, apa saja yang telah terjadi denganmu,
Nak? Bagaimana mungkin engkau masih dapat keluar dengan selamat dan di mana
ibumu?”
“Nanti dulu,
Paman. Aku tentu akan menceritakan semua pengalamanku selama ini, tapi lebih
dulu aku ingin mendapatkan keterangan darimu tentang segala yang telah terjadi,
segala urusan mengenai keadaan ayah pada delapan tahun yang lalu.”
Orang itu
mengangguk-angguk. “Baik, baik akan tetapi mari kita duduk, Sin Hong.”
Mereka duduk
berhadapan. Tang Lun menatap wajah pemuda itu, kemudian berkata, “Sebelum aku
menjawab semua pertanyaanmu dan menceritakan segala hal yang aku ketahui dengan
sebenarnya, terlebih dahulu aku ingin mengetahui satu hal. Jawablah, Sin Hong,
katakanlah bagaimana keadaan ibumu.”
Melihat
betapa sepasang mata itu memandang dengan penuh selidik, penuh harap dan penuh
kecemasan, Sin Hong merasa tidak tega untuk membuat orang tua itu berada dalam
keadaan bimbang dan gelisah.
“Paman Tang
Lun, ibuku telah meninggal dunia, diserang badai di gurun pasir...“
“Ahhhhh...!”
Tang Lun
menutupi mukanya dengan kedua tangannya, kembali dia menangis! Sampai lama baru
dia dapat bicara. “Aku yang berdosa, aku... aku yang menyuruh engkau dan ibumu
melarikan diri ke gurun pasir sehingga ibumu mendapatkan kematiannya di sana
dan engkau... ahhh, hanya berkat perlindungan Tuhan saja engkau masih dapat
hidup sampai sekarang... aihhh, Sin Hong, betapa aku selama ini membayangkan
kengerian kalian di gurun pasir... dan semua... itu karena aku yang
menyuruhmu...”
Sin Hong
mengerutkan alisnya. Hemm, kenapa orang ini berkata demikian? Apa benar juga
dugaan mendiang subo-nya? Dia merasa tegang, akan tetapi berhasil menekan
perasaannya. Dia harus menyelidiki semua ini dengan bebas. Setelah orang tua
itu tenang kembali, mulailah dia bertanya.
“Paman Tang
Lun, sekarang aku minta dengan hormat supaya engkau suka menjawab dan
menceritakan seluruhnya secara jujur padaku. Aku berhak untuk mengetahui segala
yang telah terjadi pada kedua orang tuaku, bukan? Nah, pertama, ceritakanlah
tentang kepergian ayah ke Tuo-lun, barang apa yang dikawalnya dan siapa yang
menyuruhnya. Ceritakanlah dengan jelas dari awal mulanya, Paman.”
Peristiwa
yang terjadi delapan tahun yang lalu itu selalu terbayang di dalam benak Tang
Lun, maka tanpa banyak mengingat lagi dia pun bercerita, dengan lancar…..
Pada suatu
hari, demikian ia bercerita, datanglah seorang hartawan ke kantor ekspedisi
Peng An Piauwkiok itu. Hartawan itu datang bersama keempat orang pelayannya.
Dia seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah
sekali bahkan keretanya pun indah.
Ia mengaku
sebagai seorang hartawan dari kota raja yang datang ke Ban-goan dengan maksud
mengirimkan sebuah peti besar berisi emas permata yang harganya tak kurang dari
seratus kati emas. Hartawan itu mengaku she Lay dan untuk selanjutnya disebut
Lay-wangwe (hartawan Lay) yang katanya membuka toko rempah-rempah yang sangat
besar di kota raja.
Karena peti
itu berisi barang berharga, maka Tan-piauwsu menuntut biaya pengawalan yang besar,
yaitu sepuluh kati emas atau sepersepuluh dari harga barang yang akan
dikawalnya. Lay-wangwe sambil tertawa menyetujui dan mengatakan bahwa dia
bahkan akan menambah jumlah itu dengan hadiah lain kalau barangnya itu tiba di
tempat tujuan dengan selamat.
“Demikianlah
Sin Hong. Karena barang itu sangat berharga, ayahmu tidak tega untuk
menyerahkan pengawalannya kepada anak buah. Ayahmu berangkat mengawal sendiri
bersama sepuluh orang anak buahnya yang dipilihnya, dan urusan di sini
diserahkan kepadaku.”
Tang-piauwsu
kemudian melanjutkan keterangannya...
Sebulan kemudian setelah Tan-piauwsu mengawal kiriman berharga itu, datang utusan
Tan-piauwsu yang mengabarkan bahwa dia telah tiba dengan selamat di kota
Tuo-lun dan minta agar isteri dan puteranya menyusul ke Tuo-lun karena di kota
itu sedang ada keramaian dan perayaan besar.
“Karena aku
khawatir akan keselamatan ibumu dan engkau, maka aku sendirilah yang mengawal
kalian. Akan tetapi ternyata diperjalanan kita diserang gerombolan berkedok
itu. Selanjutnya engkau dan ibumu kusuruh menyelamatkan diri dari kejaran
gerombolan dengan menunggang onta memasuki gurun pasir. Ahhh, peristiwa itu
menghantui aku setiap malam selama ini, karena aku merasa seolah-olah aku
menyuruh kalian berdua memasuki jurang kematian!”
“Nanti dulu,
Paman. Siapakah orang yang mengirim berita dari ayah itu? Orang yang
menyampaikan pesan ayah dari Tuo-lun?”
“Aku sudah
mencari orang itu namun tidak berhasil. Ketika dia datang melapor itu, aku
sudah merasa heran mengapa Tan-toako tidak mengutus seorang di antara para anak
buahnya, melainkan seorang yang asing dan tak kukenal. Orang itu mengatakan
bahwa dia adalah anggota rombongan piauwsu yang mengawal barang dari Tuo-lun ke
selatan, dan Tan-toako yang sudah mengenalnya, menitipkan pesan itu untuk
kita.”
“Dan engkau
masih ingat orangnya? Wajahnya? Namanya?”
Tang Lun
menarih napas panjang dan menggelengkan kepala. “Itulah kesalahan dan
kecerobohanku. Karena tak menduga buruk, aku lupa lagi akan namanya, dan
wajahnya juga wajah orang biasa sehingga aku sudah tidak ingat lagi. Akan
tetapi aku merasa yakin bahwa dia adalah seorang anggota gerombolan orang
berkedok itu yang sengaja memancing kita melakukan perjalanan jauh itu.”
Pada saat
itu, dari luar muncullah seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima
tahun. Orangnya bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat kekuningan tetapi
sepasang matanya berkilat dan dia nampak cerdik serta gagah. Sebatang pedang
tergantung di punggungnya dan pakaiannya juga pakaian seorang piauwsu.
Melihat
orang ini, Sin Hong segera mengenalnya. Orang ini adalah Ciu-piauwsu, nama
lengkapnya Ciu Hok Kwi, salah seorang di antara piauwsu-piauwsu pembantu
ayahnya. Sebaliknya, Ciu Hok Kwi tidak mengenal pemuda yang sedang
bercakap-cakap dengan Tang-piauwsu itu. Disangkanya Sin Hong seorang tamu biasa
yang hendak mengirim barang, maka dia pun acuh saja.
“Paman Ciu!”
Sin Hong menegurnya.
Orang itu
terkejut, kemudian memandang Sin Hong penuh perhatian. Pandang matanya
mengandung keheranan karena dia tidak mengenal pemuda yang menyebutnya paman
itu.
“Ciu-te,
apakah engkau sudah lupa kepadanya? Dia ini adalah Tan Sin Hong,” berkata
Tang-piauwsu.
Sepasang
mata yang bersinar itu terbelalak dan kini dia pun teringat. Kalau tadi dia
seperti juga Tang-piauwsu, tidak ingat kepada Sin Hong, adalah karena mereka
sudah mengira bahwa Sin Hong telah tewas.
“Sin
Hong...!” Ciu-piauwsu berseru.
Dia cepat
menghampiri, lalu memegang lengan pemuda itu. “Syukurlah, engkau masih selamat,
masih hidup! Sungguh merupakan keajaiban! Dan bagaimana dengan ibumu?”
“Ibu telah
meninggal dunia diserang badai di gurun pasir.”
“Ahhh...!
Kasihan...!”
“Ciu-te,
kebetulan engkau pun datang. Sin Hong sudah pulang dan ia minta keterangan
tentang semua peristiwa yang terjadi, dan tadi aku sudah menceritakan tentang
sebab keberangkatan ayahnya, kemudian mengenai perjalanan dia dan ibunya yang
kukawal. Kalau aku lupa dalam keteranganku, engkau dapat menambahkan.”
Ciu Hok Kwi
mengangguk dan duduk berhadapan dengan mereka. “Semua itu agaknya sudah
direncanakan orang yang memusuhi keluargamu, Sin Hong,” kata Ciu-piauwsu dengan
suara penuh keyakinan.
“Aku pun
sudah mengatakan demikian,” sambung Tang-piauwsu.
“Nanti dulu,
Paman berdua. Lebih dahulu aku ingin mendengar cerita Paman Tang Lun tentang
pengalamannya pada waktu aku dan ibu berpisah darimu, Paman. Ceritakanlah
selengkapnya, karena mungkin keterangan Paman ini penting bagiku.”
Tang Lun
lalu melanjutkan ceritanya. Saat ia mengawal nyonya Tan Hok dan Sin Hong,
mereka dihadang oleh perampok berkedok dan dia melakukan perlawanan mati-matian
bersama dua belas orang anak buahnya. Namun, pihak perampok ternyata selain
lebih banyak jumlahnya, juga lihai sekali sehingga satu demi satu anak buahnya
roboh dalam keadaan binasa.
“Melihat
keadaan yang tidak menguntungkan dan berbahaya bagi kalian berdua, aku mengajak
kalian melarikan diri. Karena para perampok berkedok itu terus melakukan
pengejaran, ketika mendapatkan binatang onta, aku menyuruh kalian melarikan
diri ke dalam gurun pasir, sedangkan aku kemudian menanti para pengejar untuk
melakukan perlawanan mati-matian dan membiarkan kalian dapat menyelamatkan
diri.” Sampai di sini Tang-piauwsu diam dan meraba-raba telinga kirinya yang
sudah tidak berdaun lagi.
Tang Lun
melakukan perlawanan mati-matian, dikeroyok oleh banyak orang berkedok dan biar
pun dia mengamuk dengan golok besarnya, akhirnya dia roboh pingsan karena
luka-lukanya dan daun telinga kirinya putus.
“Ketika aku
siuman, mereka sudah tidak ada. Ternyata mereka membiarkan aku hidup dan hanya
membuntungi daun telinga kiriku! Ahhh, inilah yang membuatku menyesal bukan
main, Sin Hong. Aku sudah menyuruh engkau dan ibumu lari ke gurun pasir karena
khawatir kalau kita semua akan dibunuh. Ternyata mereka tidak membunuh aku, dan
kalian... kalian sudah kusuruh memasuki gurun pasir dan ternyata ibumu tewas di
gurun pasir!”
Kedua mata
kakek tua itu menjadi basah. Tentu ia telah menderita tekanan batin hebat
sehingga dalam umur empat puluh tahun lebih dia sudah kelihatan bagaikan
seorang kakek-kakek!
“Paman Tang,
harap kau lanjutkan ceritamu. Setelah engkau siuman, lalu bagaimana?” tanya Sin
Hong, sejak tadi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah orang tua itu,
memandang penuh selidik.
“Dalam
keadaan luka-luka aku berusaha mencari kalian di gurun pasir, akan tetapi aku
kehilangan jejak karena jejak onta itu dihapus oleh pasir yang tertiup angin. Karena
aku menderita luka-luka, aku pun pulang ke Ban-goan dan sesudah luka-lukaku
sembuh, bersama Ciu-te ini aku pergi melakukan penyelidikan ke Tuo-lun.
Ternyata ayahmu tidak pernah sampai ke Tuo-lun. Ketika kami menyelidiki, kami
mendengar dari para piauwsu di sana bahwa ayahmu bersama sepuluh orang anak
buahnya...” Tang Lun tidak dapat melanjutkan ceritanya, khawatir jika Sin Hong
akan terkejut mendengar nasib ayahnya.
“Paman Tang,
aku sudah tahu bahwa ayah dan anak buahnya telah meninggal dunia, tewas dalam
sebuah hutan di luar kota Tuo-lun.”
“Aihhh...
engkau sudah tahu pula?” kata Tang Lun, agak lega hatinya karena dia tidak usah
menceritakan lagi peristiwa yang menyedihkan itu.
“Kami
bersembahyang di depan makam ayahmu dan anak buahnya yang di jadikan satu dan
menurut para piauwsu, jenazah mereka dikubur oleh seorang hwesio tua dibantu
mereka. Kami tidak berani lancang memindahkan kuburan ayahmu ke sini, karena
tidak ada lagi keluargamu di sini...”
“Selanjutnya
bagaimana, Paman?” desak Sin Hong.
“Lay-wangwe
menuntut barang-barangnya yang berharga seratus kati emas itu! Tentu saja kami
di sini tidak mampu mengembalikan harta sedemikian banyaknya. Hartawan itu lalu
menyita semua barang. Semua barang yang berada di rumah orang tuamu lalu
dilelang dan dijual, akan tetapi tetap saja tidak mampu melunasi atau mengganti
harga barang kiriman itu. Akhirnya tinggal rumah dan kantor ini, yang harus
dijual pula. Untung ada Ciu-te ini yang mengusahakan pinjaman uang sebanyak dua
ribu tail perak untuk membeli sendiri rumah dan kantor ini dan uangnya
diserahkan kepada Lay-wangwe. Nah, kini Peng An Piauwkiok tidak memiliki
apa-apa lagi, bahkan rumah kantor ini pun menjadi hak milik salah seorang paman
dari Ciu-te dengan perjanjian bahwa jika dalam waktu sepuluh tahun tidak
berhasil mengembalikan uang itu bersama bunganya yang layak, terpaksa akan
diambil alih. Akan tetapi, sejak terjadi peristiwa itu, perusahaan kita tidak
laku lagi. Orang mulai tidak percaya, apa lagi ayahmu tidak ada sehingga kami
benar-benar bangkrut. Paling lama dalam dua tahun lagi rumah dan kantor ini
harus diserahkan kepada yang berhak.” Tang Lun mengakhiri ceritanya dengan
suara sedih.
Akan tetapi
Sin Hong tidak tertarik tentang rumah itu.
“Paman Tang
dan Paman Ciu, kalian tadi mengatakan bahwa semua peristiwa itu pasti
direncanakan oleh orang-orang yang memusuhi ayah. Mengapa kalian dapat menduga
demikian dan siapakah orang-orang yang memusuhi ayah?”
“Sin Hong,
peristiwa yang dahulu menewaskan ayahmu, juga dua puluh orang anggota pengawal
kita, bahkan sudah membuat Peng An Piauwkiok bangkrut, tentu saja tidak bisa
kami diamkan. Mala petaka itu masih ditambah lagi dengan lenyapnya engkau dan
ibumu. Kami, terutama sekali aku dan Ciu-te ini, berbulan-bulan lamanya
melakukan penyelidikan untuk mengungkap rahasia itu. Kami telah menghubungi
banyak piauwsu, bahkan kami memasuki daerah hitam untuk mencari keterangan dari
para gerombolan perampok tentang gerombolan berkedok itu. Akan tetapi, semua usaha
kami gagal. Tak seorang pun tahu tentang gerombolan itu, bahkan tak ada yang
pernah mendengar ada gerombolan berkedok di daerah ini. Kami kemudian mengambil
kesimpulan bahwa tentu gerombolan itu bukan perampok biasa, melainkan
orang-orang yang menyamar sebagai perampok, oleh karena itu mereka memakai
kedok agar muka mereka tidak dikenal.”
Sin Hong
dalam hatinya menyetujui. Memang perampok berkedok itu bukan perampok,
pikirnya, melainkan para piauwsu yang menyamar perampok!
“Lalu
siapakah menurut dugaan Paman yang mengatur semua itu?”
“Setelah
kami berdua menyelidiki urusan ini, maka kami mengambil kesimpulan bahwa besar
sekali kemungkinan yang mengatur semua ini adalah Kwee-piauwsu pemilik dari
Ban-goan Piauwkiok!” kata Tang Lun dengan nada suara penuh keyakinan.
Sin Hong
mengerutkan alisnya. Dia telah berusia empat belas tahun saat meninggalkan
Ban-goan. Sebagai putera kepala piauwkiok, tentu saja dia tahu siapa
Kwee-piauwsu itu. Ban-goan Piauwkiok merupakan saingan Peng An Piauwkiok.
Ia pernah
mendengar pula bahwa keluarga Kwee yang memimpin Ban-goan Piauwkiok mempunyai
ilmu silat tinggi. Namun, selama itu dia hanya mendengar persaingan dalam
perusahaan itu, maka tentu saja dia terkejut dan meragu mendengar bahwa
keluarga Kwee yang mengatur semua rencana busuk ini untuk menghancurkan
keluarganya dan membikin bangkrut Peng An Piauwkiok.
“Hemmm,
dengan alasan apa maka Jiwi (Kalian) lalu mempunyai dugaan seperti itu?”
tanyanya mendesak.
Ciu Hok Kwi
membantu rekannya. “Kami berdua sudah melakukan penyelidikan secara mendalam
dan kiranya tidak ada golongan lain yang dapat dicurigai kecuali keluarga Kwee
dari Ban-goan Piauwkiok. Memang tidak dapat disangkal bahwa sebagai seorang
piauwsu, mendiang ayahmu mempunyai banyak musuh di antara para perampok. Akan
tetapi, tidak ada perampok yang mempergunakan cara seperti itu, berkedok pula.
Biar pun kami belum memperoleh bukti meyakinkan, akan tetapi hanya keluarga
Kwee saja yang mempunyai alasan kuat untuk melakukan semuanya itu. Pertama,
anak buahnya menyamar sebagai perampok dan berkedok karena kalau tidak, tentu
ayahmu, juga Tang-toako dan para anak buah piauwkiok kita akan mengenal mereka.
Kedua, mereka tentu sudah mendengar bahwa kami memperoleh biaya besar, maka
mereka merasa iri dan mereka melakukan penghadangan. Dengan demikian, mereka
memperoleh banyak keuntungan. Pertama mendapatkan harta besar itu dan kedua,
bisa menghancurkan kita sebagai saingannya yang terbesar di kota ini. Kemudian
yang ketiga, hal ini pun hasil penyelidikan kami, dahulu, sebelum mendiang
ibumu menjadi isteri mendiang ayahmu, pernah mendiang ibumu dipinang oleh Kwee
Tay Seng, yaitu Kwee-piauwsu. Pinangan itu ditolak. Hal ini pun memperkuat
alasan mengapa dia lalu menghancurkan keluarga ayahmu.”
Mendengar
semua itu, Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya cocok keterangan itu dengan
apa yang didengarnya dari anggota perampok bahwa gerombolan berkedok itu
tadinya merupakan rombongan piauwsu yang menyamar!
Benarkah
Kwee-piauwsu yang mengatur semua ini? Dia tidak mau sembrono. Harus diselidikinya
lebih dulu sampai terdapat bukti. Tanpa bukti, tidak mungkin dia menuduh
keluarga Kwee begitu saja.
“Akan
tetapi, andai kata benar dia, setelah berhasil membunuh ayah dan merampas harta
kiriman, mengapa pula dia menyerang engkau, Paman Tang? Dan mengganggu ibu dan
aku.”
“Mungkin
untuk membasmi keluarga ayahmu, agar jangan menimbulkan balas dendam di
kemudian hari, atau... ahhh, entahlah. Betapa pun juga aku yakin bahwa dialah
yang melakukan semua ini.”
“Tetapi,
setelah engkau dikeroyok dan dikalahkan, kenapa engkau tidak dibunuhnya?”
“Tadinya aku
pun merasa heran, akan tetapi kemudian aku bisa mengerti mengapa dia membiarkan
aku hidup. Tentu saja agar aku dapat mengurus piauwkiok ini, memenuhi
pertanggung jawabannya sehingga di mata masyarakat, piauwkiok ini menjadi
bangkrut, dan mungkin agar aku menjadi saksi hidup bahwa yang menyerang adalah
perampok-perampok berkedok, bukan anak buah piauwkiok itu. Ah, dia telah
menyiksaku dengan membiarkan aku tetap hidup, merasa berdosa dan menanggung
malu karena piauwkiok menjadi begini...“
Sin Hong
mengerutkan alis. Semua dugaan memang menuding ke arah Kwee-piauwsu dan biar
pun belum ada bukti, namun hati siapa pun memang condong untuk menuduh keluarga
Kwee.
“Oya, Paman
Tang. Lay-wangwe itu membuka toko rempah-rempah yang besar di kota raja? Tahukah
engkau di jalan mana dia tinggal di kota raja dan bagaimana macam wajahnya?”
“Ah, dia
sama sekali tidak dapat kita curigai, Sin. Hong,” kata Ciu-piauwsu. “Dia telah
menderita rugi yang amat banyak. Harta kekayaannya yang berharga seratus kati
emas itu, setelah dia menyita semua harta milik keluargamu, belum juga ada
sepersepuluh bagian! Jadi, dalam urusan ini dia yang menderita rugi harta
paling banyak dan kami tidak pernah mencurigai dia.”
“Aku pun
tidak mencurigai siapa-siapa selama belum ada bukti,” kata Sin Hong, “Akan
tetapi aku harus mengetahui dengan jelas semua orang untuk bahan
penyelidikanku. Paman Tang di mana alamatnya dan bagaimana macamnya orang itu?”
“Aku hanya
dua kali bertemu dengan dia, Sin Hong. Pertama kali pada saat dia datang membawa
peti bersama beberapa orang pembantunya dengan naik kereta. Kemudian ketika dia
datang lagi untuk penggantian hartanya yang dirampok, lalu dia menyerahkan
pengurusan penggantian itu kepada pengawalnya. Menurut keterangan pegawainya,
Lay-wangwe memiliki toko rempah-rempah besar di Jalan Singa Batu, dan rumahnya
seperti istana. Ada pun wajah dan bentuk badannya tidak sulit untuk dikenal.
Tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali, kepalanya bundar dan matanya lebar,
memakai gigi emas. Hidungnya besar dan mulutnya selalu tersenyum-senyum
menyeringai, apa lagi kalau berhadapan dengan wanita seperti yang kulihat
ketika dia berkunjung dan melihat wanita lewat di depan pintu. Dia termasuk
laki-laki yang memiliki ciri mata keranjang. Usianya ketika itu tiga puluh
tahunan, jadi sekarang, sudah hampir empat puluh tahun.”
“Terima
kasih, Paman. Keterangan itu sudah cukup bagiku,” kata Sin Hong.
“Sin Hong,
kupikir apa yang dikatakan Ciu-te tadi benar. Engkau hanya akan membuang waktu
sia-sia belaka jika menyelidiki keadaan Lay-wangwe. Bahkan jika engkau muncul
dan dia tahu bahwa engkau ialah putera Tan-toako, tentu dia akan marah-marah
karena diingatkan akan kerugiannya. Mungkin dia akan menuntut penggantian
darimu karena engkau adalah putera Tan-toako. Sebaiknya kalau engkau
menyelidiki Kwee-piauwsu. Dia amat mencurigakan dalam hubungan ini sebab ada
satu hal yang perlu kau ketahui. Akan tetapi biarlah nanti saja kuceritakan
kepadamu.”
Sin Hong
merasa heran sekali karena dia melihat betapa pandang mata Tang-piauwsu
mengerling ke arah Ciu-piauwsu, seakan-akan hendak memberi tanda bahwa dia
tidak ingin apa yang hendak diceritakan kepada Sin Hong itu dapat terdengar
oleh orang lain. Agaknya Ciu-piauwsu tak tersinggung atau tidak memperhatikan
ucapan Tang-piauwsu itu.
Malam itu,
setelah makan malam dan berganti pakaian, Sin Hong beristirahat di dalam
kamarnya. Di dalam kamar itu, kamarnya sendiri waktu dia belum meninggalkan
tempat ini, akan tetapi kamar yang sudah kosong dan hanya terdapat sebuah dipan
sederhana, dia merebahkan diri sambil termenung. Langit-langit kamar itu masih
sama seperti dulu, dicat biru namun catnya sudah luntur dan terdapat noda-noda
bekas air hujan yang bocor.
Dia merasa
terharu karena kamar ini sama sekali tidak asing, bahkan dia merasa akrab rebah
di situ. Karena lelah, juga karena batinnya lelah pula setelah banyak berpikir,
dia pun tertidur dan malam pun mulai makin menghitam dan makin sepi.
**************
Manusia
hidup tak mungkin bebas dari persoalan sebab hidup berarti komunikasi antara
manusia, berarti pergaulan di masyarakat ramai dan dalam setiap persoalan sudah
pasti kadang-kadang terjadi pergesekan-pergesekan atau pertentangan pendapat
yang lantas menimbulkan persoalan.
Juga dalam
hidup manusia menghadapi pula peristiwa-peristiwa yang menempatkan dirinya
harus berhadapan dengan hal-hal yang tak menyenangkan, dengan hal-hal yang
mengancam, dengan kehilangan-kehilangan dan sebagainya, yang tentu saja
akhirnya menimbulkan masalah atau persoalan yang kita namakan problem.
Hidup ini
seolah-olah menjadi ladang di mana problem tumbuh seperti jamur di musim hujan,
tiada hentinya, sejak kecil sampai tua dan mati, sejak pagi bangun tidur sampai
menjelang pulas di malam hari! Benarkah hidup harusnya begini? Tidak dapatkah
kita terbebas dari problem, dari persoalan?
Selama kita
masih hidup, tidak mungkin kita terhindar dari persoalan karena persoalan
merupakan peristiwa yang terjadi setiap saat, dalam pekerjaan, dalam hukuman
antara keluarga, antara sahabat, bahkan dalam permainan selalu timbul problem.
Namun, kalau
kita mau mengkaji dengan seutuhnya, atau lebih tepat lagi, kalau kita mau
membuka mata dengan waspada, mengamati segala peristiwa yang terjadi tanpa
penilaian, tanpa prasangka, tanpa gambaran bahwa aku diuntungkan atau dirugikan,
kalau kita menghadapi segala peristiwa yang terjadi sebagai suatu fakta,
sebagai suatu kenyataan yang sedang terjadi dan tidak dapat diubah oleh apa pun
juga, maka akan nampaklah oleh kita bahwa sesungguhnya problem itu tidak ada.
Problem
dalam hal ini diartikan sebagai masalah yang menyusahkan, menyulitkan atau
merugikan diri kita. Peristiwa yang terjadi sama sekali tiada sangkut pautnya
dengan problem dan problem itu baru ada kalau memang kita problemkan, kita
adakan! Yang kita anggap sebagai problem biasanya adalah sesuatu yang
menimbulkan rasa khawatir atau takut, sesuatu yang kita anggap amat merugikan,
sesuatu yang mengancam, dan sesuatu yang melenyapkan sumber kesenangan kita.
Segala macam
peristiwa, baik yang kita anggap menyenangkan atau menyusahkan, ialah suatu
kenyataan, suatu kewajaran, suatu proses yang terjadi karena suatu sebab, dan
karena merupakan fakta yang wajar dan di situ tidak ada susah atau senang,
untung atau rugi. Baru setelah kita menilai, berdasarkan untung rugi bagi diri
sendiri, maka fakta itu kita nilai sebagai baik atau buruk, menguntungkan atau
merugikan, dan yang merugikan, yang buruk, kita jadikan sebagai suatu problem.
Contohnya
demikian. Hujan datang. Ini wajar. Ini kenyataan, fakta yang sedang terjadi dan
tak dapat diubah oleh siapa pun. Ini suatu proses dari sebab-sebab tertentu.
Tidak ada untung atau rugi dalam hujan, tidak ada baik mau pun buruk. Akan
tetapi, kita menghadapinya dengan si aku menilai-nilai.
Si penjemur
terigu merasa dirugikan dan menyumpah-nyumpah, atau menangis karena terigunya
rusak dan dia menderita rugi banyak. Sebaliknya si petani yang memang
membutuhkan air hujan bagi tanahnya, memuja dan memuji Tuhan, berterima kasih
dan tertawa-tawa karena peristiwa itu menguntungkan dirinya! Jelaslah bahwa
hujan itu tetap hujan, suatu peristiwa yang wajar, namun menjadi problem atau
tidak tergantung kepada kita sendiri yang menilainya. Jelas bahwa problem itu
tidak ada kalau tidak kita adakan sendiri!
Demikian
pula dengan peristiwa apa pun juga di dunia ini. Jatuh sakit, itu pun suatu
kenyataan yang wajar, suatu proses yang bersebab. Kalau kita menerimanya dengan
pengamatan yang waspada, dan menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup, tanpa
menilai, maka batin kita tidak menjadi keruh oleh suka duka, dan kita dapat
bertindak berdasarkan kebijaksanaan untuk menanggulangi sakit yang datang itu.
Sampai kepada kematian seseorang. Kita hadapi sebagai suatu kenyataan yang
wajar, suatu proses bersebab, dan kita tidak akan diseret oleh duka melainkan
dapat bertindak dengan bijaksana.
Jika sudah
begini, akan nampaklah oleh kita bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
sudah pasti bersebab, dan segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kewajaran,
dan di dalam setiap peristiwa terdapat suatu pelajaran, suatu hikmah yang amat
berharga! Tinggal kita mau membuka mata dengan waspada atau membutakan mata
dengan tangis dan rintihan.
Sin Hong
adalah seorang yang semenjak kecilnya mengalami banyak hal-hal yang amat hebat
dan jika dipandang sepintas lalu, tentu saja semua peristiwa itu amat merugikan
dirinya. Ayahnya dibunuh orang, ibunya juga tewas secara menyedihkan, kemudian
tiga orang gurunya sekaligus, terbunuh orang pula.
Semua itu
terjadi tanpa dia dapat menolong. Akan tetapi, gemblengan tiga orang sakti
membuat dia menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin, tidak mudah terseret
si aku yang selalu ingin menang sendiri. Hal ini menjauhkan perasaan dendam
dari batinnya dan jika dia menyelidiki tentang peristiwa yang menimpa
keluarganya, hal itu dilakukan tanpa perasaan dendam dan benci, tetapi sebagai
pemenuhan tugas seorang pendekar yang harus menentang kejahatan. Orang-orang
yang menghancurkan keluarga ayahnya amatlah jahat, dan dia ingin tahu apa yang
menyebabkan mereka melakukan semua kejahatannya.
Malam itu
sunyi sekali dan biar pun Sin Hong tidur pulas karena lelah lahir batin,
sedikit suara yang tidak wajar sudah cukup untuk membuatnya terbangun dengan
kaget. Dia mendengar gerakan tidak wajar di atas genteng rumah itu dan
mendengar pula suara orang merintih. Hal ini sudah cukup membuat dia sadar
sepenuhnya, dan di lain saat tubuhnya sudah meloncat keluar dari dalam kamar,
keluar dan langsung dia meloncat naik ke atas genteng.
Malam itu
gelap, hanya diterangi cahaya ribuan bintang, namun cukup terang baginya untuk
melihat berkelebatnya bayangan orang yang berlari di atas wuwungan.
“Heiii,
berhenti dulu!” Sin Hong meloncat dan mengejar.
Bayangan
hitam itu tiba-tiba membalik dan ternyata dia mengenakan kedok hitam, dan
begitu Sin Hong tiba dekat, dia sudah menyambutnya dengan serangan totokan pada
ulu hati Sin Hong. Gerakannya demikian cepat dan mengandung hawa pukulan
dahsyat yang mengejutkan Sin Hong. Pemuda ini cepat menangkis sambil memutar
telapak tangan untuk menangkap lengan orang.
“Plakkk...
brettt!”
Bayangan itu
tertangkap lengannya, akan tetapi lengan itu dibetot dan lengan bajunya saja
yang robek dan tertinggal di tangan Sin Hong. Orang berkedok itu meloncat dari
atas wuwungan, melayang masuk ke dalam malam gelap di antara pohon dan rumah
tetangga dan lenyap.
Sin Hong
tidak mengejar karena dia belum tahu siapa orang itu dan apa maksudnya
malam-malam datang ke rumahnya. Karena tidak tahu, maka tadi pun dia tidak
turun tangan secara keras, hanya berusaha menangkap saja namun gagal dan hal
itu saja sudah membuktikan bahwa bayangan hitam itu memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi. Karena khawatir mendengar suara rintihan tadi, Sin Hong cepat
meloncat turun kembali ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar Tang-piauwsu
karena di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua.
Daun pintu
kamar itu terbuka lebar. Suara rintihan lemah masih terdengar dari sebelah
dalam kamar. Cepat Sin Hong meloncat masuk. Kamar itu agak remang-remang, hanya
diterangi sebatang lilin di atas meja di sudut ruangan. Sin Hong melihat
sesosok tubuh berlumuran darah menggeletak di atas lantai, dan ternyata orang
itu bukan lain adalah Tang-piauwsu!
“Paman...!”
Seru Sin Hong sambil menghampiri dan berlutut, cepat memeriksa keadaan orang
itu. Luka di dadanya amat parah dan tahulah dia bahwa tidak ada harapan lagi
bagi Tang Lun.
“Paman,
siapa yang melakukan ini?”
Dengan napas
terengah Tang Lun menjawab, “...tidak... tahu... amat cepat... berkedok... Sin
Hong...“
Sin Hong
cepat menotok beberapa jalan darah di dada dan pundak Tang Lun. Totokan ini
menolong mengurangi rasa nyeri, sesak, dan Tang Lun melanjutkan kata-katanya,
agak lancar. “Sin Hong dahulu sebelum dilamar ayahmu, ibumu pernah saling
mencinta dengan Kwee Tay Seng...“
“Paman,
siapa yang melakukan ini terhadap Paman? Siapakah yang menyerang tadi? Seorang
berkedok, akan tetapi siapa kiranya dia, Paman?”
“Entahlah….
luar biasa lihainya...” Tang Lun tidak kuat lagi, lehernya terkulai kemudian
nyawanya melayang.
Sin Hong
mengepal tinju. Tang Lun tak mengenal pembunuh itu! Ia merasa yakin bahwa tentu
pembunuh itu ada hubungannya dengan mereka yang membasmi keluarganya. Dia
merasa menyesal sekali mengapa tadi tidak dikejarnya orang berkedok itu dan
menawannya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa orang
berkedok ini telah membunuh Tang Lun.
Dan Tang Lun
hanya memberi tahu bahwa ibunya pernah saling cinta dengan Kwee Tay Seng, atau
Kwee-piauwsu, orang yang telah dicurigai oleh Tang Lun dan Ciu Hok Kwi sebagai
pembasmi keluarganya. Agaknya itulah yang hendak diceritakan kepadanya namun
ditahannya, sore tadi di depan Ciu-piauwsu. Hemmm, apakah karena cintanya
terhadap ibunya gagal oleh karena ibunya menikah dengan ayahnya lalu orang she
Kwee itu menjadi marah dan menaruh dendam kepada ayahnya? Jadi ibunya mencinta
laki-laki itu, akan tetapi kakeknya dahulu menolak pinangan keluarga Kwee!
Pada
keesokan harinya, ketika mendengar akan peristiwa itu, Ciu Hok Kwi datang dan
dia pun berlutut dan menangisi jenazah Tang Lun. Ketika jenazah itu dimasukkan
peti oleh para piauwsu lainnya yang datang berlayat bersama para tetangga, dan
setelah diperiksa oleh pembesar yang berwenang untuk itu, Ciu Hok Kwi lalu
bersembahyang dengan suara yang cukup nyaring.
“Tang-toako!
Kita yakin bahwa yang melakukan ini tentulah pembunuh Tan-toako pula, yaitu
anjing she Kwee. Tenangkanlah rohmu, Toako, karena sekarang juga aku, Ciu Hok
Kwi, akan menuntut balas kepada anjing she Kwee itu!” Setelah berkata demikian,
dengan langkah lebar Ciu Hok Kwi lalu pergi meninggalkan rumah itu.
Semua orang
memandang dengan gelisah. Sin Hong lalu melangkah keluar pula dari rumah itu,
diam-diam membayangi Ciu Hok Kwi yang pergi dengan muka merah dan sikap marah.
Dia ingin sekali melihat apa yang hendak dilakukan oleh piauwsu itu.
Seperti yang
sudah diduga dan dikhawatirkannya, Ciu Hok Kwi langsung saja menuju ke rumah
Kwee Tay Seng, pemimpin dari Ban-goan Piauwkiok. Beberapa orang piauwsu segera
keluar dari kantor perusahaan itu menyambut kedatangan Ciu Hok Kwi dengan sikap
heran.
“Aku ingin
berjumpa dan bicara dengan Kwee Tay Seng!” demikian Ciu Hok Kwi berkata
lantang, dengan sikap marah.
Selagi para
piauwsu memperlihatkan sikap kurang senang, tiba-tiba dari dalam muncul seorang
laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dari belakang batang
pohon tak jauh dari situ, Sin Hong menonton dan kehadirannya tidak menarik
perhatian karena di tempat itu sudah berkumpul beberapa orang yang tertarik
melihat ribut-ribut itu.
Sin Hong
masih dapat mengenal Kwee-piauwsu. Masih nampak gagah dan tampan, bertubuh
tinggi besar dan berdada bidang. Seorang laki-laki yang jantan dan gagah, dan
kini dia memandang dengan penilaian lain karena teringat bahwa laki-laki ini
pernah saling mencinta dengan ibunya di waktu masih muda. Seorang pria yang
ganteng, dan tidak heran kalau ibunya pernah saling mencinta dengannya.
“Kiranya Ciu
Piauwsu yang datang berkunjung,” berkata Kwee-piauwsu dengan sikap ramah dan
pandang matanya tajam penuh selidik. “Silakan masuk dan mari kita bicara di
dalam.”
“Tidak perlu
masuk, di sini pun cukup!” Ciu Piauwsu berkata dengan suara membentak marah.
“Kwee Tay Seng, kini aku datang untuk menuntut balas atas kematian
saudara-saudaraku Tan Hok dan Tang Lun! Majulah dan mari kita membuat
perhitungan dengan senjata!” Tangan kanannya bergerak dan Ciu Piauwsu telah
menghunus pedang yang bergantung di punggungnya.
Sin Hong
mengerutkan alisnya, sama sekali tidak setuju melihat sikap Ciu Hok Kwi biar
pun orang itu menyatakan hendak membalaskan dendam atas kematian ayahnya dan
Tang-piauwsu. Ciu Hok Kwi dianggapnya terlalu kasar dan sembrono, padahal sama
sekali belum ada bukti nyata bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh
Kwee Piauwsu. Dia pun hanya menonton saja, akan tetapi diam-diam dia pun
bersiap untuk melindungi keselamatan Ciu Hok Kwi kalau sampai terancam bahaya
maut.
Akan tetapi
Kwee Piauwsu kelihatan heran mendengar tantangan dan melihat sikap Ciu Hok Kwi.
“Hemmm, Ciu Hok Kwi, sungguh sikapmu ini membuat kami merasa bingung dan tak
mengerti. Saudara Tan Hok telah tewas dalam tugasnya, beberapa tahun yang lalu,
dan kini yang melanjutkan perusahaan Peng An Piauwkiok adalah saudara Tang Lun.
Bagaimana engkau kini mengatakan hendak membalas kematian saudara Tang Lun? Dan
mengapa pula kepadaku?”
“Orang she
Kwee, tidak perlu lagi berpura-pura! Orang lain boleh jadi tidak tahu, akan
tetapi aku yakin bahwa yang membunuh Tang-toako malam tadi adalah engkau! Dan
dahulu pun yang melakukan pencegatan, merampas barang kiriman serta membunuh
Tan-toako adalah engkau pula dan para anak buahmu. Nah, sekarang aku membuat
perhitungan, hadapi pedangku kalau memang engkau laki-laki sejati! Jangan
bertindak dalam rahasia, memakai kedok segala!”
Melihat
sikap ini, para piauwsu anak buah Kwee Piauwsu menjadi marah dan beberapa orang
sudah mencabut senjata hendak menyerangnya. Melihat ini, Kwee Piauwsu cepat
memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur.
“Jangan
kalian mencampuri urusan ini, biar aku sendiri yang menghadapi Ciu-piauwsu!”
Kemudian dia melangkah maju menghadapi Ciu Hok Kwi dengan sikap tenang, akan
tetapi mukanya menjadi merah karena marah.
“Ciu-piauwsu,
semua tuduhanmu tadi merupakan fitnah yang amat keji! Aku sama sekali tidak
tahu bahwa Tang-piauwsu semalam dibunuh orang, dan aku pun sama sekali tidak
tahu-menahu tentang kematian Tan-piauwsu beberapa tahun yang lalu. Apa buktinya
bahwa aku melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Jangan engkau melempar fitnah
seenak perutmu sendiri tanpa bukti!”
“Buktinya?
Engkau adalah saingan paling besar dari perusahaan kami, dan engkau pun saingan
mendiang Tan-toako dalam merebut hati wanita. Engkau mendendam padanya dan
karena itu sudah jelas engkau yang melakukan semua pembunuhan itu!”
“Keparat!”
Kwee-piauwsu menjadi marah karena urusan pribadinya mengenai cintanya terhadap
mendiang isteri Tan-piauwsu diungkit-ungkit oleh orang itu. “Aku tidak pernah
melakukan pembunuhan itu, tetapi jangan dikira aku takut menghadapi tantanganmu
yang sangat ngawur dan tidak berdasar!” Berkata demikian, piauwsu yang tinggi
besar itu melolos sabuknya.
Sabuk itu
ternyata sebuah sabuk rantai baja yang tebal dan panjangnya hampir satu
setengah meter. Melihat lawannya sudah mengeluarkan senjatanya, segera Ciu Hok
Kwi menerjang dengan pedangnya sambil membentak.
“Mampuslah!”
Akan tetapi,
Kwee Tay Seng adalah seorang ahli silat Bu-tong-pai yang lihai sekali.
Tangannya segera bergerak dan rantai baja itu membentuk sinar bergulung
menangkis serangan pedang yang ditusukkan oleh lawan.
“Tranggg...!”
Nampak bunga
api berhamburan ketika pedang bertemu rantai. Keduanya melangkah ke belakang,
merasakan betapa tangan mereka tergetar hebat oleh pertemuan kedua senjata itu,
tanda bahwa masing-masing memiliki tenaga yang amat kuat.
Ciu Hok Kwi
menerjang lagi dan kembali mengirim serangan-serangan dahsyat dengan pedangnya,
dan harus diakui bahwa permainan pedang orang she Ciu ini cukup lihai.
Kwee-piauwsu tidak berani memandang rendah. Dia menangkis, dan membalas dengan
serangan rantainya. Segera kedua orang itu terlibat dalam perkelahian yang seru
dan mati-matian.
Dari
belakang batang pohon, kini Sin Hong telah maju bercampur dengan orang-orang
yang nonton, tak jauh dari tempat perkelahian. Tadinya dia telah siap untuk
melindungi Ciu-piauwsu, akan tetapi segera dia mendapat kenyataan yang
mengagumkan bahwa tingkat kepandaian Ciu-piauwsu tidak kalah dibandingkan
dengan tingkat lawan. Karena itu legalah hatinya dan ia pun mengikuti jalannya
perkelahian itu, siap untuk mencegah apabila seorang di antara mereka terancam
bahaya maut. Biar pun dia berdiri di bagian terdepan, dia tidak takut dikenal
orang karena baru kemarin dia tiba di Ban-goan dan tidak ada orang mengenal
dia.
Perkelahian
itu berlangsung semakin seru dan makin banyak orang datang menonton. Para
anggota piauwsu anak buah Kwee-piauwsu membuat pagar untuk menghalangi para
penonton mendekat, dan di antara para penonton banyak yang membicarakan
perkelahian itu dengan dugaan-dugaan mereka. Sin Hong tentu saja memasang
telinga mendengarkan dan percakapan dua orang di sebelahnya menarik
perhatiannya.
“Hebat
sekali orang itu, dapat menandingi Kwee-piauwsu, siapakah dia itu?”
“Apakah
engkau tidak tahu? Dia adalah orang ke dua dari Peng An Piauwkiok setelah
Tang-piauwsu.”
“Akan tetapi
mengapa dia datang dan menyerang Kwee-piauwsu?”
“Biasa,
orang dagang. Tentu karena persaingan.”
Karena Sin
Hong menoleh, maka dalam waktu beberapa detik lamanya perhatiannya terpecah dan
dia tidak melihat betapa pada saat itu rantai di tangan Kwee-piauwsu mengenai
lengan kanan Ciu-piauwsu. Pedang itu lepas dari pegangan Ciu-piauwsu dan Kwee-piauwsu
sudah cepat menyusulkan sebuah tendangan yang mengenai lutut Ciu Hok Kwi dan
membuatnya roboh terlentang! Akan tetapi Kwee Tay Seng tak menyerang lagi,
melainkan berdiri saja memandang kepada lawan yang sudah dikalahkannya.
Sin Hong
sempat melihat betapa kekalahan Ciu Hok Kwi itu karena kesalahan sendiri.
Agaknya orang ini terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga menerima
sambaran rantai itu dengan lengannya, agaknya dengan niat untuk dapat membalas
secepatnya. Akan tetapi ternyata pukulan rantai itu membuat pedangnya terlepas
dan tendangan lawan tak dapat dielakkannya lagi.
Akan tetapi
Ciu Hok Kwi sudah memungut pedangnya, bangkit berdiri dan memandang kepada
bekas lawannya dengan mata melotot.
“Hari ini
aku mengaku kalah, akan tetapi lain hari aku akan datang menebus kekalahan
ini!” Setelah berkata demikian, tanpa pamit dia kemudian pergi dengan langkah
agak terpincang.
“Hei, orang
she Ciu!” Kwee Tay Seng berseru ke arah lawan yang sudah berjalan pergi itu.
“Demi Tuhan aku tidak melakukan apa yang kau tuduhkan itu!”
Akan tetapi
Ciu Hok Kwi tak peduli dan terus saja melangkah pergi. Setelah perkelahian itu
selesai, orang-orang bubaran, termasuk Sin Hong yang merasa lega juga melihat
kesudahan perkelahian itu. Biar pun kalah, Ciu-piauwsu tidak terluka parah.
Bahkan kekalahan itu perlu sebagai pelajaran kepada Ciu Hok Kwi untuk
kelancangannya.
Akan tetapi,
setelah melihat sikap Kwee Tay Seng, di dalam hatinya Sin Hong merasa semakin
kurang yakin bahwa orang she Kwee itulah yang merencanakan pembunuhan terhadap
keluarganya. Orang itu memperlihatkan sikap yang demikian gagah. Orang seperti
itu, jika menghadapi urusan kiranya akan merasa malu menggunakan cara-cara yang
curang. Sikapnya terhadap Ciu Hok Kwi tadi saja sudah menunjukkan wataknya yang
gagah.
Setelah Sin
Hong tiba di rumah kembali, Ciu-piauwsu telah berada di situ dan nampak murung.
“Ehhh, Paman Ciu, engkau pergi ke mana sajakah?” Sin Hong bertanya, pura-pura
tidak tahu akan peristiwa yang terjadi di depan perusahaan Ban-goan Piauwkiok
tadi.
“Aku tadi
pergi menemui Kwee Tay Seng dari Ban-goan Piauwkiok hendak membuat
perhitungannya dengan dia. Akan tetapi, dia terlampau lihai dan aku kalah.”
Diam-diam
Sin Hong merasa kasihan juga kepada orang yang dengan jujur mengakui
kekalahannya itu. Biar pun lancang dan kasar, namun bagaimana pun juga orang
ini ingin menuntut balas atas kematian ayah ibunya, juga kematian Tang Lun. Sin
Hong tidak banyak bertanya dan mereka lalu mengurus penguburan jenazah
Tang-piauwsu.
Setelah
upacara pemakaman selesai, Ciu-piauwsu lalu mengajak Sin Hong
berbincang-bincang mengenai Peng An Piauwkiok. Bagaimana kini baiknya setelah
Tang-piauwsu meninggal dunia dan apa yang akan dilakukan pemuda itu
selanjutnya.
“Paman Ciu,
rumah dan kantor ini sudah digadaikan dan tinggal kurang dari dua tahun lagi
masanya akan habis. Aku tidak suka melanjutkan pekerjaan ayah, dan tak sanggup
untuk mengembalikan uang pinjaman. Karena itu, terserah padamu, akan kau
lanjutkan perusahaan ekspedisi ini ataukah akan ditutup saja. Dan rumah ini
boleh kau serahkan saja kepada yang berhak, yaitu si pemilik uang yang telah
memberi pinjaman kepada mendiang Tang-piauwsu untuk mengganti kerugian.”
“Aku akan
melanjutkannya, Sin Hong. Piauwkiok ini dengan susah payah dibangun oleh
mendiang Tan-toako, masa sekarang harus ditutup begitu saja? Biarlah kelak aku
yang akan membayar hutang itu. Akan tetapi, karena nama Peng An Piauwkiok sudah
kurang dipercaya pedagang, nama piauwkiok ini akan kuganti dan akan
kuperbaharui segala-galanya. Pemilik uang itu adalah seorang hartawan yang
menjadi sahabat baikku, tentu aku akan dapat meminjam modal dan kelak aku akan
menebus rumah dan kantor ini. Akan kusaingi Ban-goan Piauwkiok!” katanya
penasaran.
Sin Hong
mengangguk. “Terserah padamu, Paman. Aku tidak akan mencampuri urusan
Piauwkiok. Bahkan aku akan pergi sekarang juga.”
“Ke mana Sin
Hong?”
“Ke mana
saja, Paman. Aku ingin merantau,” kata Sin Hong, tidak mau memberitahukan
keinginannya untuk melanjutkan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu.
Dia masih
merasa bingung. Setelah melihat sikap Kwee-piauwsu, dia seperti kehilangan
pegangan. Kalau bukan orang she Kwee itu yang merencanakan semua pembunuhan
itu, lalu siapa lagi? Dan siapa pula orang berkedok yang membunuh Tang Lun?
Orang
berkedok itu lihai sekali, hal ini dapat diketahuinya ketika dia gagal
menangkap lengannya, hanya mendapatkan potongan lengan baju. Akan diselidikinya
sampai dia dapat membongkar rahasia itu, pikirnya. Sekarang dia tidak yakin
akan keterlibatan Kwee-piauwsu, namun dia tetap akan menemui piauwsu itu dalam
penyelidikannya.
Pada hari
itu juga, Sin Hong berpamit dan pergi meninggalkan Ciu Hok Kwi, membawa
buntalan pakaian dan sisa bekal uang yang dirampasnya dari kepala perampok. Ciu
Hok Kwi dengan wajah duka, mengantarnya sampai ke pintu gerbang kantor
Piauwkiok yang sudah butut itu. Mereka pun berpisah.
Kota
Sang-cia-kou terletak di sebelah selatan kota Ban-goan, juga Tembok Besar
berdiri megah di luar kota ini yang merupakan perbatasan pula antara Propinsi
Ho-pei dan Mongol. Dari kota inilah dulu tentara Mancu banyak yang menerobos
melewati Tembok Besar.
Di sebuah
lereng bukit yang berdiri di luar kota Sang-cia-kou terdapat perkampungan
dengan bangunan-bangunan besar seperti benteng. Dari tempat ini, kota
Sang-cia-kou dapat dilihat dengan jelas dan seluruh penduduk Sang-cia-kou dan
sekitarnya mengenal belaka bangunan besar itu, yang nampak seperti benteng di
lereng bukit.
Perkampungan
itu ialah tempat perkumpulan Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) yang amat
terkenal sebagai perkumpulan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan memiliki pula watak yang keras dan menjagoi di seluruh daerah itu. Bukan
hanya karena ketuanya dan anak buahnya berwatak keras dan berkepandaian tinggi
yang membuat orang-orang merasa jeri, tapi karena perkumpulan itu pun
dilindungi oleh pemerintah.
Perkumpulan
Tiat-liong-pang sudah berjasa kepada pemerintah Mancu ketika pasukan Mancu
menyerbu ke selatan, banyak memperoleh bantuan dari perkumpulan ini. Oleh karena
itu, sesudah pemerintah Mancu, yaitu Dinasti Ceng berkuasa, perkumpulan ini
tentu saja dianggap berjasa dan dilindungi oleh pemerintah.
Hal ini
membuat Tiat-liong-pang menjadi sebagai perkumpulan yang berpengaruh dan kaya.
Perkumpulan ini bergerak di bidang keamanan. Dengan dalih menjaga keamanan,
perkumpulan ini minta sumbangan-sumbangan besar dari para hartawan dan pedagang
yang selalu memenuhi tuntutan mereka demi keamanan!
Pada waktu
itu, setelah dipegang secara turun-temurun, Tiat-liong-pang jatuh ke tangan
seorang yang mempunyai kepandaian sangat tinggi sebagai ketuanya. Seluruh dunia
kang-ouw tahu belaka nama Siangkoan Tek atau yang lebih terkenal dengan
panggilan Siangkoan Lohan (orang tua gagah Siangkoan).
Baru
mendengar namanya saja, orang-orang sudah menjadi gentar karena entah sudah
berapa ratus atau berapa ribu orang jatuh di tangannya karena berani
menentangnya! Kepandaiannya sedemikian hebatnya sehingga menjadi dongeng di
antara orang-orang kang-ouw, seolah-olah Siangkoan Lohan memiliki kesaktian
seperti dewa!
Pada hari
itu, jalan pendakian ke bukit itu terlihat ramai oleh orang-orang yang mendaki
bukit, tak seperti biasanya. Sejak pagi, ada saja orang mendaki, ada yang
menunggang kuda, ada yang menunggang kereta, ada pula yang berjalan kaki. Dan
mereka yang naik ke bukit itu terdiri dari bermacam-macam orang, akan tetapi
rata-rata kelihatan seperti orang-orang kang-ouw, bahkan banyak yang
menyeramkan.
Memang
mereka adalah orang-orang kang-ouw yang mendaki bukit untuk memenuhi undangan
Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang karena pada hari itu, di perkumpulan itu
diadakan pesta perayaan ulang tahun Siangkoan Lohan yang ke enam puluh.
Siangkoan
Lohan tidak mengundang terlalu banyak orang. Dia hanya memilih mereka yang
kedudukannya sudah tinggi saja, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw kenamaan,
ketua-ketua dan tokoh-tokoh perkumpulan besar. Biar pun demikian, tetap saja
melihat mengalirnya para tamu sejak pagi, tidak kurang dari seratus orang
datang bertamu!
Para murid
Siangkoan Lohan, yang menerima tugas dari guru mereka, mengadakan pemilihan.
Para tamu yang dianggap sebagai kaum muda yang tingkatnya belum tinggi,
dipersilakan duduk di bagian luar sedangkan mereka yang dianggap sebagai tamu
kehormatan dipersilakan duduk di dalam dan yang paling dihormati duduk di
panggung bersama-sama Siangkoan Lohan sendiri!
Hanya kurang
lebih tiga puluh orang duduk di ruangan dalam, di antaranya beberapa orang
duduk semeja dengan Siangkoan Lohan, sedangkan selebihnya duduk di ruang luar,
di jamu oleh para pembantu dan murid Siangkoan Lohan. Akan tetapi, mereka yang
duduk di luar tidak merasa terhina, karena mereka pun maklum bahwa mereka masih
belum cukup pantas untuk duduk satu ruangan, apa lagi satu meja, dengan ketua
Tiat-liong-pang itu!
Siangkoan
Tek atau Siangkoan Lohan yang usianya sudah enam puluh tahun itu masih nampak
lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya yang tinggi kurus masih tetap tegap dan
nampak kokoh kuat. Mukanya merah dengan jenggot panjang sampai ke dadanya.
Rambutnya yang mulai dihias uban itu digelung dan ditutupi sebuah topi yang
dihias bulu merak dan emas. Pakaiannya gemerlapan, indah dan berwibawa,
membayangkan kehormatan serta kekayaan. Sepasang matanya yang mencorong seperti
mata naga itu membuat kebanyakan orang tidak berani menatap pandang matanya
terlalu lama.
Siangkoan
Lohan adalah orang yang congkak, mengandalkan kedudukan, kepandaian dan
hartanya sehingga di dalam semua surat undangannya, dia mencantumkan bahwa
keluarganya tidak menerima sumbangan dalam perayaan itu dan diharapkan agar
para tamu datang tanpa membawa sumbangan! Hal ini saja merupakan ketidak
lajiman dan sekaligus memperlihatkan kecongkakannya seolah-olah dia hendak
mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan sumbangan-sumbangan karena dia sudah
kaya raya!
Dan semua
orang juga tahu belaka akan kekayaan kakek ini. Ketika dia berusia tiga puluh
tahun lebih, mengingat akan jasa perkumpulan Tiat-liong-pang, dia telah
dihadiahi seorang puteri dari istana. Seorang gadis yang amat cantik, dan
setelah mendapatkan isteri puteri, tentu saja hubungannya dengan istana menjadi
dekat dan mengumpulkan kekayaan bagaikan orang mencari pasir di sungai saja
bagi Siangkoan Lohan.
Isterinya
itu sayang sekali meninggal dunia ketika melahirkan seorang putera. Semenjak
diboyong dari istana ke bukit itu, sang puteri memang selalu berduka. Meski
Siangkoan Lohan termasuk seorang pria yang gagah dan tidak buruk, akan tetapi
wataknya yang keras, juga kesukaannya mengumpulkan wanita cantik, sudah
merongrong hati puteri itu sehingga ketika melahirkan, kesehatannya demikian
lemah dan ia pun meninggal dunia ketika melahirkan.
Puteranya
merupakan anak tunggal karena Siangkoan Lohan tidak pernah lagi memiliki anak
dari wanita lain, sungguh pun sangat banyak wanita yang sudah digaulinya baik
secara sah mau pun tidak. Oleh karena hanya mempunyai seorang anak saja, maka
sudah tentu dia amat memanjakan anaknya yang diberi nama Siangkoan Liong,
sesuai dengan nama perkumpulannya.
Dia pun
menggembleng puteranya itu sejak kecil dengan ilmu silat, dan mengundang
guru-guru kesusastraan untuk mengajar Siangkoan Liong. Dan anak ini memang
cerdik sekali, maka dia dapat menguasai kedua ilmu itu dengan amat baiknya
sehingga kini dia menjadi seorang pemuda yang sangat lihai ilmu silatnya, akan
tetapi juga amat pandai membawa diri seperti seorang terpelajar tinggi.
Ketika para
tamu yang duduk di ruangan dalam melihat siapa yang duduk di kursi kehormatan,
banyak di antara mereka yang terheran-heran dan berbisik-bisik di antara mereka
sendiri. Ada beberapa orang duduk di kursi kehormatan, semeja dengan ketua
Tiat-liong-pang itu, mengelilingi sebuah meja bundar yang luas.
Selama ini
mereka mengenal Tiat-liong-pang sebagai perkumpulan yang dekat dengan
pemerintah Kerajaan Ceng. Walau pun sepak terjang ketua dan para anggotanya
keras dan sering menekan terhadap rakyat jelata, namun mereka menggolongkan
diri mereka sebagai pahlawan, sebagai pendekar dan sama sekali tidak mau
mencampuri atau pun mendekati golongan hitam atau sesat! Dan kini apa yang
mereka lihat?
Ketua
Tiat-liong-pang duduk menjamu tokoh-tokoh hitam yang terkenal sebagai
datuk-datuk iblis! Di antara para tamu yang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan
terdapat seorang wanita berusia kurang lebih setengah abad akan tetapi masih
nampak cantik, tinggi ramping dengan pakaian mewah dan riasan mukanya tebal
menunjukkan bahwa dia seorang pesolek. Wanita ini bukan lain adalah iblis
betina Sin-kiam Mo-li yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw
sebagai tokoh besar yang amat kejam dan lihai.
Selain nenek
ini, terdapat pula dua orang kakek tua renta yang membuat para tamu yang duduk
di ruangan dalam itu terkejut bukan main karena mereka melihat tanda gambar
pat-kwa (segi delapan) di dada seorang di antara mereka, dan gambar bunga
teratai di dada yang lain. Jelas mereka berdua adalah tokoh-tokoh dari
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dua perkumpulan pemberontak yang amat terkenal
karena penyelewengan dan kejahatan mereka sebagai perkumpulan iblis.
Dan memang
benar. Kakek yang rambut dan jenggotnya telah putih semua, tinggi kurus
berwibawa, membawa tongkat setinggi badan itu adalah Thian Kong Cinjin, wakil
ketua Pat-kwa-pai. Sedangkan kakek kedua yang kurus kering bermuka merah darah,
yang memegang tongkat naga hitam dan matanya seperti mata kucing, adalah Thian
Kek Sengjin, tokoh besar perkumpulan Pek-lian-pai.
Selain
ketiga orang datuk sesat ini, di tempat kehormatan itu hadir pula tiga orang
lain yang amat menarik perhatian. Yang seorang adalah Toat-beng-kiam-ong (Raja
Pedang Pencabut Nyawa) Giam San Ek yang usianya sekitar empat puluh lima tahun.
Dia seorang
pendekar selatan, ahli bermain pedang dan kabarnya, setiap kali jagoan ini
mencabut pedangnya, pedang itu tak akan kembali ke sarungnya sebelum minum
darah lawan! Dia ditakuti sekali, dan menjadi sahabat Siangkoan Lohan sejak
lama. Tubuhnya sedang dan wajahnya masih tampan, apa lagi karena dia pesolek,
pakaiannya indah dan sikapnya agak ceriwis.
Orang ke dua
nampak gagah tinggi besar, mukanya hitam matanya besar mengingatkan orang akan
tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi, dan hanya beberapa orang saja
mengenal tokoh ini. Dia adalah Ciok Kim Bouw, berusia lima puluh tahun dan dia
menjadi pangcu (ketua) dari Cin-sa-pang, sebuah perkumpulan di Secuan yang
terkenal kuat pula. Ciok Kim Bouw tidak begitu akrab dengan Siangkoan Lohan,
tetapi mungkin karena mengingat akan kebesaran nama perkumpulannya, maka
Siangkoan Lohan lalu mengundangnya.
Orang ke
tiga jelas merupakan seorang Mongol, nampak berwibawa dengan pakaian sukunya.
Ia pun bukan orang sembarangan karena dia adalah Agakai, kepala suku yang cukup
besar dan berpengaruh di Mongol. Agakai ini berusia lima puluh tahun lebih. Dia
adalah putera Tailucin, tokoh Mongol yang amat terkenal dan pernah
menggemparkan, yang terbunuh oleh keluarga Pulau Es.
Agakai ini
mengaku bahwa nenek moyangnya masih keturunan Jenghis Khan! Dia pun menjadi
tamu kehormatan, bukan karena kepandaiannya yang tidak seberapa hebat jika
dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang semeja dengannya, tapi karena kedudukannya
sebagai kepala suku yang berpengaruh di utara.
Pesta itu
meriah karena hidangan yang serba lezat, arak wangi yang berlimpah-limpah dan
terutama sekali karena pesta itu diramaikan oleh serombongan gadis cantik yang
memainkan musik, bernyanyi dan menari. Mereka bukan rombongan penyanyi dari
luar, melainkan para selir dari Siangkoan Lohan sendiri yang memang terlatih
memainkan alat musik, bernyanyi, dan menari.
Semua orang
menjadi kagum mendengar bahwa gadis-gadis yang masih muda-muda dan
cantik-cantik, pandai bermain musik, menyanyi dan menari itu adalah selir-selir
dari tuan rumah! Diam-diam di antara para tamu muda banyak yang timbul perasaan
iri hati! Jika orang sedang berbintang terang, pikir mereka, semua kesenangan
yang diinginkan tercapai! Kepandaian tinggi, kedudukan mulia, harta benda,
kehormatan, berkecukupan lahir batin dan dikelilingi wanita-wanita muda yang
cantik-cantik!
Demikianlah
kebiasaan kita, suka membayangkan keadaan orang lain yang dianggap serba lebih
dari pada keadaan kita. Kita selalu membayangkan hal-hal yang belum kita
miliki, membayangkan hal-hal yang kita anggap serba lebih indah, lebih
menyenangkan, tanpa kita sadari bahwa semua bayangan keinginan ini sungguh jauh
bedanya dengan kenyataannya. Seperti bumi dengan langit bedanya.
Karena kita
belum memilikinya, maka yang kita bayangkan itu hanyalah segi indah dan
senangnya saja. Padahal, tidak ada apa pun di dunia ini yang sifatnya hanya
sepihak, hanya indah dan menyenangkan saja. Kalau sesuatu itu menyenangkan,
maka sesuatu itu pula pada suatu saat akan berbalik menyusahkan, karena
senang-susah merupakan dua hal yang kembar dan berpasangan, tidak terpisahkan
pada akhirnya, walau pun nampaknya tidak bersamaan.
Karena itu,
orang yang tidak berkedudukan membayangkan betapa senangnya orang yang berkedudukan,
terhormat, mulia dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang sudah berkedudukan, di
samping kesenangannya yang makin lama makin terasa menipis, juga mengalami
segi-segi buruknya akibat dari kedudukannya itu, misalnya pertanggungan
jawabnya, iri hati dari orang lain, mereka yang ingin merebut kedudukannya,
resiko-resikonya, kebosanannya dan sebagainya lagi.
Demikian
pula bagi yang tak memiliki harta, memandang dan membayangkan keadaan orang
berharta tentu saja yang dibayangkan hanya segi senangnya saja. Banyak uang,
apa pun yang dikehendaki tercapai! Padahal, tidak semua hal yang dikehendaki
dapat dicapai dengan uang! Ketenteraman hati, kedamaian, cinta kasih, semua itu
tak dapat dicapai dengan uang segunung sekali pun.
Bagi yang
sudah banyak uang, maka kenikmatan karena banyak uang sudah tak terasa, atau
kalau pun terasa, makin lama semakin menipis. Sebaliknya, gangguan-gangguan
yang timbul karena banyak uang, terasa setiap hari! Tiada bedanya dengan
memiliki banyak selir cantik, dan lain-lain hal yang dianggap kesenangan luar
biasa bagi mereka yang belum mempunyainya.
Karena itu,
seorang bijaksana akan waspada, tidak akan silau oleh semua gemerlap itu, sadar
bahwa yang berkilauan itu belum tentu emas, dan kesenangan sama sekali bukanlah
kebahagiaan. Kesenangan hanya sedalam kulit, bagaikan awan tipis berarak di
angkasa, bagaikan angin semilir lembut dan semua itu hanya akan lewat sebentar
saja! Bahkan akan nampak betapa di balik kesenangan itu pasti bersembunyi
saudara kembarnya, yaitu kesusahan!
Maka,
seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan, tidak akan menginginkan
hal-hal yang belum dimilikinya. Akan tetapi bukan berarti menolak kesenangan
yang ada! Kesenangan hidup merupakan satu di antara anugerah yang boleh
dinikmati oleh setiap orang karena untuk menikmatinya kita sudah diberi alat
yang amat sempurna.
Dari seluruh
tubuh kita tersedia sarana yang sempurna untuk menikmati kesenangan, yaitu
kesenangan yang ada pada kita. Sekali kita mengejar kesenangan, maka kita akan
diperbudak oleh nafsu sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran dan
penyelewengan-penyelewengan.
Di antara
mereka yang duduk semeja dengan tuan rumah, terdapat seorang yang tidak
kelihatan segembira yang lain. Dia nampak acuh saja, hanya lebih sering minum
arak dari pada makan hidangan dan nonton pertunjukan hiburan. Bahkan alisnya
sering kali berkerut dan sepasang matanya berkilat penuh penasaran kalau
memandang ke arah Siangkoan Lohan.
Orang ini
adalah Ciok Kim Bouw, atau Cin-sa-pangcu. Hatinya kesal bukan main pada saat
dia melihat Sin-kiam Mo-li berada di antara orang-orang yang duduk di panggung
kehormatan bersama dia dan tuan rumah beserta yang lain-lain. Dia mengenal
siapa adanya Sin-kiam Mo-li! Seorang datuk sesat, seorang iblis betina yang
pernah secara kejam membunuhi beberapa orang murid Cin-sa-pang setelah terjadi
bentrokan antara mereka. Hal itu terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu.
Ketika itu,
Cin-sa-pang diketuai oleh suheng-nya yang bernama Louw Pa. Dia sendiri tidak
mencampuri pekerjaan suheng-nya yang memimpin Cin-sa-pang, karena dia tidak
suka akan keadaan suheng-nya yang pernah menjadi bajak laut. Ia lebih suka
berkelana seorang diri dan memperdalam ilmu silatnya.
Akan tetapi,
terjadilah peristiwa itu. Suheng-nya, Louw Pa, memiliki seorang putera yang
bernama Louw Heng Siok. Pemuda ini menarik perhatian iblis betina Sin-kiam
Mo-li yang menangkapnya dan mempermainkannya, kemudian membunuhnya. Mendengar
ini, Louw Pa memimpin anak buahnya, lebih dari tiga puluh orang banyaknya,
menyerbu tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, di kaki Pegunungan Heng-tuan-san di
tepian Sungai Cin-sa.
Tempat itu
berbahaya sekali dan akhirnya, Louw Pa dan seluruh anak buahnya tewas dibantai
oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Hanya seorang saja yang sempat lolos
karena belum memasuki daerah itu sampai dalam, dan dialah yang menceritakan
keadaan Louw Pa dan anak buahnya itu.
Melihat
keadaan Cin-sa-pang sesudah suheng-nya tewas, Ciok Kim Bouw lalu turun tangan,
membangun kembali Cin-sa-pang, memperkuatnya, menerima anggota baru dan
mengubah sama sekali cara hidup Cin-sa-pang sehingga perkumpulan itu menjadi
perkumpulan orang gagah yang cukup terkenal. Bukan lagi perkumpulan para bajak!
Dan dia pun
tidak mendendam kepada Sin-kiam Mo-li karena selain iblis betina itu lihai
sekali, juga dia menganggap bahwa kematian suheng-nya adalah karena
kesalahannya sendiri. Akan tetapi, kini dia didudukkan semeja, makan bersama
dengan iblis betina itu! Tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang. Tak
disangkanya bahwa Siangkoan Lohan yang dianggap sebagai seorang tokoh yang
bersih, kini bergaul dengan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li dan para tosu
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai!
Sementara
itu, pada bagian mereka yang duduk di ruangan dalam, di bawah panggung
kehormatan, banyak juga yang merasa penasaran. Apa lagi melihat sikap jagoan
yang bernama Giam San Ek, yang genit, banyak di antara mereka yang merasa muak.
Giam San Ek agaknya sudah setengah mabuk.
Tanpa
malu-malu setiap kali ada seorang selir habis menari, dia bangkit dari tempat
duduknya, menghampiri penari itu dan memberi hadiah beberapa potong perak
dengan gaya yang royal! Siangkoan Lohan tersenyum saja melihat hal ini.
Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek adalah seorang sahabatnya, dan dia tahu benar
akan kelihaian pendekar pedang itu, dan dia pun maklum bahwa sahabat ini adalah
seorang laki-laki yang mata keranjang dan paling suka wanita muda yang cantik,
suatu kesukaan yang menjadi kesukaannya pula.
“Ha-ha-ha-ha,
Toat-beng-kiam-ong, kalau engkau suka, boleh engkau memilih satu dua orang di
antara mereka untuk menemanimu malam ini, ha-ha-ha!” Ucapan Siangkoan Lohan itu
pun dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan, terdengar oleh banyak orang yang merasa
semakin muak.
Tentu saja
banyak pula di antara para tamu yang menjadi gembira dan menyambut ucapan itu
dengan sorakan. Akan tetapi, orang-orang yang menghargai kegagahan dan
kesopanan, tentu saja menjadi merah mukanya mendengar kelakar yang saru (tabu)
itu.
Salah satu
yang bermuka tebal adalah Si Raja Pedang Pencabut Nyawa sendiri. Saat mendengar
penawaran tuan rumah, dia tertawa bergelak dan dengan sikap genitnya dia
melirik ke arah Sin-kiam Mo-li. Sejak tadi memang pendekar pedang yang pesolek
ini bermain mata dengan Sin-kiam Mo-li.
Meski pun
datuk wanita ini sudah berusia lanjut, hampir setengah abad, namun harus diakui
bahwa ia masih nampak cantik jelita dan lemah lembut. Tubuhnya tinggi ramping
dan masih padat berisi dan montok, juga pandang mata dan senyumnya menunjukkan
bahwa ia adalah seorang wanita yang sudah matang!
Sifat-sifat
ini jauh lebih menarik bagi Giam San Ek dari pada para selir tuan rumah yang
masih muda-muda dan dianggapnya tentu belum berpengalaman seperti Sin-kiam
Mo-li. Juga kabar yang pernah didengarnya tentang kelihaian Sin-kiam Mo-li,
terutama dalam permainan pedang sehingga wanita itu dijuluki Pedang Sakti, amat
menarik hatinya dan membuat dia makin bergairah. Maklumlah bahwa dia sendiri
juga seorang jago pedang yang hebat.
“Ha-ha-ha-ha,
Lohan, banyak terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi, para selirmu begini
muda-muda dan cantik-cantik, mana aku dapat bertahan melayani mereka? Dan pula,
semenjak semula hatiku telah terpikat oleh kehadiran pendekar wanita yang amat
hebat, baik dalam hal ilmu pedang mau pun kecantikan dan nama besarnya,
sehingga mataku tidak dapat melihat lain wanita lagi!” Berkata demikian, dia
memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan senyum memikat.
Mendengar
ucapan ini dan melihat sikap sahabatnya yang dia tahu memang seorang yang mata
keranjang, Siangkoan Lohan juga tertawa lagi. Dia mengenal pula watak
sahabatnya itu yang polos, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi.
“Ha-ha-ha-ha,
aku tidak heran, Kiam–ong, kalau kalian saling tertarik karena memang keduanya
merupakan ahli pedang yang sukar ditemukan tandingnya. Aihhh, Sin-kiam Mo-li,
di antara sahabat sendiri tidak perlu kita bersungkan-sungkan. Bagaimana kalau
engkau dan Kiam-ong saling memperlihatkan ilmu pedang masing-masing dalam suatu
latihan bersama untuk meramaikan suasana pesta sederhana ini? Kuharap kalian
sudi memenuhi permintaanku, hitung-hitung menyumbang untuk menyenangkan hatiku
agar hidupku dapat lebih panjang.”
Semua orang
merasa tegang, baik mereka yang ikut bergembira mau pun yang tidak senang
mendengar kelakar mereka berdua yang tidak sopan tadi. Mereka semua sudah
mendengar akan nama Sin-kiam Mo-li sebagai seorang wanita iblis yang amat
lihai, juga ilmu pedangnya amat hebat, demikian pula nama Toat-beng-kiam-ong
Giam San Ek bukan nama yang tidak dikenal orang. Kalau kedua tokoh pedang ini
memperlihatkan ilmu pedang mereka tentu akan merupakan tontonan yang amat
menarik.
Sin-kiam
Mo-li yang merasa tertarik kepada si Raja Pedang yang memang tampan dan gagah,
dan yang sejak tadi melempar senyum dan kerling mata memikat kepadanya, kini
tersenyum manis sekali. “Aihh, Lohan, mana mungkin aku berani memperlihatkan
kebodohanku di depan Raja Pedang? Jangan-jangan nyawaku akan tercabut dalam
beberapa jurus saja!” Tentu saja wanita ini menyindir karena julukan Giam San
Ek adalah Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa)!
Giam San Ek
cepat bangkit berdiri dan menjura ke arah Sin-kiam Mo-li sambil berkata, “Aihh,
Sin-kiam Sian-li harap jangan merendahkan diri sedemikian rupa, membuat aku
merasa malu saja. Sudah lama mendengar nama besar Sian-li, sungguh besar sekali
kebahagiaanku hari ini dapat bertemu dan jika Sian-li sudi, aku akan merasa
berterima kasih sekali menerima pelajaran cara memainkan pedang.”
Tentu saja
hati wanita itu menjadi girang bukan main. Orang ini sangat pandai merayu dan
mengambil hati, pikirnya. Julukannya adalah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang
Sakti), akan tetapi pria ini mengubah sebutan Mo-li menjadi Sian-li yang
berarti dari julukan Iblis Betina berubah menjadi Bidadari!
“Kata orang,
belajar tak mengenal batas, maka biarlah aku menambah pengetahuanku tentang
ilmu pedang dari Kiam-ong,” katanya.
Dia pun
bangkit lalu meninggalkan kursinya, menuju ke tengah panggung yang cukup luas,
dan bersiap menghadapi lawan untuk memperlihatkan kehebatan ilmu pedangnya.
Giam San Ek
merasa gembira sekali. Dia pun meninggalkan kursinya, lalu berkata kepada
Siangkoan Lohan. “Lohan, semenjak dulu orang mengetahui bahwa sekali aku
mencabut pedangku, maka pedang itu takkan kembali ke sarungnya sebelum berubah
warna menjadi merah. Akan tetapi, tentu saja terhadap Sin-kiam Sian-li aku
tidak mau mempergunakan pedangku. Sungguh terlalu sayang kalau sampai ada
secuwil kulit dagingnya terluka pedang, segumpal rambutnya sampai terbabat
putus. Sungguh pun aku akan merasa bangga kalau tewas di ujung pedang seorang
wanita perkasa seperti dirinya!” Kembali kata-katanya amat manis terdengar oleh
Sin-kiam Mo-li, penuh pujian.
Siangkoan
Lohan tertawa dan memberi tanda kepada anak buahnya untuk memberikan sebatang
pedang biasa kepada Raja Pedang itu. “Bagaimana dengan engkau, Mo-li? Apakah
engkau pun tidak tega terhadap Kiam-ong dan ingin mempergunakan pedang pinjaman
yang tidak berbahaya?”
Sin-kiam
Mo-li tersenyum dan ia pun mencabut pedangnya dengan tangan kanan, dan
kebutannya dengan tangan kiri. “Orang bilang bahwa pedang tidak bermata, akan
tetapi aku yakin bahwa pedang dan kebutanku bermata sehingga tidak ada
bahayanya aku akan kesalahan tangan mencelakai Kiam-ong, kecuali kalau dia
menghendaki hal itu terjadi.”
Dalam ucapan
Sin-kiam Mo-li ini pun terkandung sindiran bahwa apa yang akan terjadi akibat
dari adu kepandaian itu tentu saja tergantung dari Toat-beng Kiam-ong sendiri.
Pendeknya, dia siap siaga untuk mengimbangi sikap orang itu. Mau bersahabat dan
hanya main-main, boleh, jika hendak bersungguh-sungguh dan bertanding
mati-matian, ia pun tidak gentar!
Giam San Ek
memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya. Sudah banyak dia menggauli
wanita sepanjang hidupnya, akan tetapi mereka itu selalu wanita muda yang
cantik, dan belum pernah dia bersahabat akrab dengan seorang wanita gagah
perkasa seperti ini, maka gairahnya semakin berkobar.
“Sin-kiam
Sian-li, mari kita main-main sebentar!” teriaknya gembira dan dia pun berseru
untuk memberi tanda bahwa dia mulai dengan serangannya.
Dan memang
hebat serangannya itu. Agaknya untuk membuktikan bahwa julukannya sebagai Raja
Pedang tidaklah kosong belaka, begitu menyerang, pedangnya berkelebat dan
lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan
bunyi berdengung ketika menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li.
Semua orang
menahan napas dengan kagum. Dari gerakan pertama ini saja sudah bisa dilihat
bahwa Giam San Ek memang seorang ahli pedang yang hebat.
Namun,
sambil tersenyum manis Sin-kiam Mo-li mengelebatkan pedangnya menangkis
dibarengi kebutannya yang menyambar ke depan, ke arah pelipis kanan Raja
Pedang. Gerakannya lembut, akan tetapi dahsyat mematikan dan serangan balasan
itu dilakukan ketika pedangnya menangkis pedang lawan, sehingga merupakan
serangan balasan yang langsung!
“Bagus…!”
Kiam-ong
memuji sambil meloncat ke belakang. Dia menghindarkan kebutan lawan dan menarik
kembali pedangnya yang lantas diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dari
desakan lawan. Perkiraannya benar. Begitu melihat lawannya mundur, Mo-li
mendesak dengan serangan lanjutan, ujung kebutan menotok jalan darah di pundak
kanan lawan sedangkan pedangnya membabat pinggang.
“Tranggg...!”
Bunga api
berpijar ketika dua batang pedang saling bertemu dan dengan gerakan indah
Kiam-ong mengelak dari totokan ujung kebutan. Pedangnya yang barusan menangkis,
sengaja dipentalkan untuk membalas dengan tikaman dari bawah menyerong, menuju
ke lambung lawan.
Mo-li
mengelak cepat dan balas menyerang, namun sekali ini, Kiam-ong mengeluarkan
kelihaiannya. Pedang itu berputar cepat membentuk gulungan sinar yang
menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga serangan Mo-li kembali tertangkis. Bahkan
sebagai balasan, ada sinar pedang mencuat ke arah pangkal kebutan, dengan
maksud untuk membabat putus bulu kebutan itu.
“Hemmm,
bagus!” Sin-kiam Mo-li memuji dengan kagum karena sungguh indah gerakan pedang
lawan.
Pantas orang
ini dijuluki Raja Pedang karena memang gerakan pedangnya amat cepat, kuat dan
indah sekali. Dari gerakan dasarnya, dia dapat menduga bahwa agaknya si Raja
Pedang ini memiliki dasar ilmu silat pedang dari Bu-tong-pai. Tetapi tentu
sudah dibaur dengan ilmu-ilmu pedang lain karena gerakan-gerakannya mengandung
gerakan ilmu pedang yang diperkuat tendangan dari daerah utara, juga perputaran
badan sambil memutar pedang seperti ilmu pedang dari Korea.
Betapa pun
juga, dia harus mengakui bahwa lawannya memang lihai sekali bermain pedang.
Lihai dan memiliki tenaga yang dahsyat, juga kecepatan yang mengagumkan. Meski
pun mereka hanya main-main Mo-li harus mengakui bahwa andai kata ia hanya
mengandalkan pedangnya, tanpa dibantu senjata kebutannya yang dalam banyak hal
bahkan lebih lihai dari pada pedangnya, agaknya akan sukar sekali baginya untuk
dapat memenangkan suatu pertandingan ilmu pedang melawan Raja Pedang ini.
Makin seru
pertandingan itu, makin kagumlah para tamu karena baru sekarang mereka
menyaksikan pertandingan ilmu pedang yang sedemikian hebatnya. Siangkoan Lohan
juga diam-diam merasa kagum. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang
berpengalaman, dia pun tahu bahwa gulungan sinar pedang kedua orang ahli itu
amatlah berbahaya, baru sinarnya saja sudah cukup untuk dapat membunuh lawan!
Untuk
membuktikan dugaannya, juga untuk menambah kegembiraan dan kekaguman mereka
yang menonton, tuan rumah ini mengambil delapan batang sumpit dari atas meja,
kemudian satu demi satu dia melontarkan sumpit-sumpit itu ke arah dua orang
yang sedang bertanding ilmu silat pedang. Dan sumpit-sumpit itu begitu
tersentuh sinar pedang, tanpa menimbulkan suara, berjatuhan ke atas lantai
dalam keadaan terpotong-potong, ada yang menjadi empat, tiga atau dua, seperti
lilin-lilin lunak terpotong pisau tajam saja!
Melihat ini,
para tamu semakin kagum dan terkejut, juga ngeri. Pantas dikabarkan bahwa
setiap kali mencabut pedangnya, pedang itu tentu kembali ke sarungnya dalam
keadaan berlepotan darah, kiranya ilmu pedang dari Kiam-ong memang hebat. Akan
tetapi, ternyata Sin-kiam Mo-li tidak kalah hebatnya, nampak betapa wanita ini
mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Toat-beng Kiam-ong.
Setelah
lewat kurang lebih lima puluh jurus, tiba-tiba dari dua gulungan sinar pedang
itu nampak bunga api berpijar dibarengi suara benturan pedang yang amat
nyaring, disusul tubuh Kiam-ong meloncat keluar dari arena pertempuran. Pedang
yang dipegangnya, pedang pinjaman dari murid Tiat-liong-pang tadi, ternyata
telah buntung ujungnya! Dia tersenyum dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.
“Sin-kiam
Sian-li sungguh lihai bukan main! Aku mengaku kalah dalam pertandingan adu
pedang. Akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu kekuatan di bidang lain, aku
yakin akan mampu mengalahkanmu, Sian-li!” Ucapan ini bagi mereka yang sudah
biasa bercakap-cakap dengan kata-kata yang tak senonoh dan kata sandi yang
mengandung makna dalam, memancing senyum mereka.
Tentu saja
Sin-kiam Mo-li juga maklum apa yang dimaksudkan oleh Raja Pedang itu. Ia pun
kagum akan kelihaian orang itu yang tadi sudah banyak mengalah, maka sambil
tersenyum manis dan melempar kerling tajam penuh tantangan, ia pun menjawab,
“Di dalam
bidang apa pun, aku siap menandingimu, Kiam-ong!” Jawaban ini membuat
mulut-mulut yang sudah tersenyum kini menjadi semakin lebar dan Siangkoan Lohan
mengeluarkan suara ketawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
sungguh merupakan pertunjukan ilmu pedang yang sangat hebat! Terima kasih,
Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong, kalian berdua memang serasi sekali untuk
menjadi pasangan dalam hal apa pun, ha-ha-ha!”
Dua orang
yang tadi bertanding pedang itu hanya tersenyum mendengar ucapan ini dan kini,
seperti sudah mereka sepakati bersama, keduanya lalu mengatur duduk mereka
sehingga saling berdampingan menghadapi meja makan, saling menuangkan arak dan
bercakap-cakap secara mesra dan akrab tanpa mempedulikan orang lain!
Sementara
itu, ketua Cin-sa-pang yang semenjak pertama kali melihat kehadiran datuk-datuk
sesat dalam pesta itu sudah merasa tidak senang dan tidak puas, kini tak dapat
lagi menahan kemarahannya. Kini jelas sudah baginya betapa tuan rumah, Siangkoan
Lohan ketua Tiat-liong-pang telah berbalik muka, mengikat persahabatan dengan
tokoh-tokoh sesat dan kaum pemberontak. Kalau tadi dia masih ragu-ragu dan
mengira bahwa Tiat-liong-pangcu itu hanya menganggap mereka semua sebagai
tamu-tamu biasa saja, kini dia merasa yakin bahwa ada sesuatu di antara mereka,
semacam persekutuan dan tentu Siangkoan Lohan memiliki hubungan yang mendalam
sekali dengan orang-orang yang amat mencurigainya itu.
Tiada
seorang pun pendekar gagah di mana pun juga yang akan sudi bergaul dengan
orang-orang macam Sim-kiam Mo-li, apa lagi dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw! Mereka adalah orang-orang yang berkedok agama dan perkumpulan,
berpakaian pejuang, untuk menyembunyikan kejahatan mereka. Mereka menyebarkan agama
sesat, mengumpulkan kekayaan secara kotor, suka mempermainkan wanita dan
bersekongkol dengan para pembesar korup dan penindas rakyat.
Dan sekarang
ketua Tiat-liong-pang bergaul dengan orang-orang seperti itu! Apa lagi melihat
sikap yang diperlihatkan Siangkoan Lohan terhadap Sin-kiam Mo-li dan Giam San
Ek tadi, sungguh membuat hati Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang menjadi panas
sekali. Dia sudah banyak minum arak dan hawa minuman keras ini pun menambah
berkobarnya api kemarahan dalam hatinya.
“Brakkk...!”
Dia
menggebrak meja, tentu saja mengejutkan semua orang yang duduk di panggung
kehormatan itu dan semua mata kini ditujukan kepada Ciok Kim Bouw. Laki-laki
tinggi besar bermuka hitam yang matanya lebar sehingga mirip dengan tokoh
Sam-kok yang bernama Thio Hwi itu sekarang bangkit berdiri dan dia kelihatan
gagah sekali. Mukanya berubah menjadi semakin hitam gelap karena warna merah
yang menjalar di mukanya akibat kebanyakan minum arak. Dia sama sekali tidak
mabuk walau pun telah banyak minum arak, namun hawa panas arak itu membuat
hatinya yang sudah marah menjadi semakin bernyala besar.
Sejenak dia
memandang kepada semua tamu yang hadir semeja dengannya di tempat kehormatan
itu, kemudian dia menatap tajam kepada Siangkoan Lohan yang juga telah bangkit
berdiri mengerutkan alisnya melihat sikap tamunya ini. Siangkoan Lohan tidak
pernah mempunyai hubungan akrab dengan ketua Cin-sa-pang, dan mengundangnya
karena nama Cin-sa-pangcu ini memang terkenal sekali.
“Adakah
sesuatu yang sudah tidak menyenangkan hatimu, Ciok-pangcu, maka engkau
menggebrak meja?” tanya Siangkoan Lohan sambil memicingkan mata menatap wajah
tamunya itu penuh selidik.
“Siangkoan,
Pangcu, seorang gagah tidak akan menyimpan penasaran di dalam hatinya dan
sebaiknya kalau penasaran itu dikeluarkan saja dengan terus terang! Karena
itulah, kalau pernyataanku ini akan menyakiti hati dan menyinggung, sebelumnya
harap dapat dimaafkan.”
Suara ketua
Cin-sa-pang ini lantang sekali sehingga terdengar oleh semua tamu, baik yang
berada di ruangan dalam bahkan terdengar pula oleh mereka yang duduk di luar.
Mendengar ucapan yang lantang ini, semua tamu menghentikan percakapan mereka
sendiri. Suasana menjadi hening karena semua orang mendengarkan penuh
perhatian.
Siangkoan
Lohan tertawa, “Ha-ha-ha, memang seharusnya demikian Ciok Pangcu. Nah,
keluarkanlah isi hatimu!”
“Kami semua
sudah mendengar akan riwayat Tiat-liong-pang, mengenal perkumpulan besar ini
sebagai perkumpulan orang-orang gagah, dan diakui pula oleh pemerintah, bahkan
keluarga pimpinannya juga masih ada hubungan dekat dengan keluarga kaisar!
Karena itu, pada waktu menerima undangan, kami bergegas datang berkunjung untuk
memberi hormat karena memang di dalam hati kami terdapat rasa hormat kepada
pimpinan Tiat-liong-pang yang gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap
pemerintah mau pun terhadap rakyat dengan pembersihan yang dilakukan terhadap
para penjahat. Akan tetapi, apa yang kami temukan di sini sungguh jauh dari
pada dugaan kami semula! Di sini kami tidak melihat adanya wakil pemerintah,
juga tidak melihat partai-partai persilatan besar yang dipimpin para pendekar.
Sebaliknya kami melihat banyak orang yang tak sepatutnya hadir di sini, seperti
orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan terutama sekali orang seperti
Sin-kiam Mo-li. Siapakah yang tidak tahu bahwa dia adalah seorang datuk sesat,
seorang wanita iblis yang tidak pernah mengharamkan segala macam perbuatan
jahat? Siangkoan Lohan, pertemuan macam apa yang kini kau adakan? Pertemuan di
antara para penjahat dan pemberontak? Kalau begitu, sungguh amat mengherankan
sekali!”
“Keparat
bermulut lantang!” Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li membentak.
Tubuhnya
sudah melayang ke arah ketua Cin-sa-pang. Bagaikan seekor burung garuda saja,
iblis betina itu menyerang dengan loncatan melalui atas meja perjamuan mereka
karena Ciok Kim Bouw duduk di seberang. Melihat serangan dengan cengkeraman dua
tangan ke arah kepala dan pundaknya itu, ketua Cin-sa-pang maklum akan
datangnya bahaya maut, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga untuk menangkis
dengan kedua tangannya.
“Bresss...!”
Dua pasang
lengan saling bertemu dan akibatnya, Ciok Kim Bouw hampir terpelanting, akan
tetapi tubuh Sin-kiam Mo-li juga terdorong ke samping di mana wanita itu dapat
berjungkir balik dengan indahnya.
Keduanya
telah meraba gagang senjata masing-masing saat Siangkoan Lohan berseru keras,
“Kalian tidak boleh membikin ribut di sini!”
Bentakan ini
berwibawa sekali dan baik Sin-kiam Mo-li mau pun Ciok Kim Bouw tidak berani
bergerak melakukan serangan. Bahkan sambil tersenyum mengejek Sin-kiam Mo-li
melangkah kembali ke kursinya di dekat Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Akan
tetapi Ciok Kim Bouw tetap berdiri dan kini dia saling pandang dengan tuan
rumah.
Wajah
Siangkoan Lohan yang biasanya memang merah itu kini menjadi semakin merah dan
matanya mencorong tajam. Ada api kemarahan terpancar di dalamnya. Kemudian dia
melirik ke arah para tamu yang duduk di ruangan dalam. Alisnya berkerut ketika
dia melihat kurang lebih dua puluh orang tamu sudah bangkit berdiri dan sikap
mereka seolah-olah mereka itu mendukung pernyataan ketua Cin-sa-pang dan mereka
semua itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung penuh
pertanyaan dan keraguan.
Suaranya
terdengar tegas ketika dia bicara, bukan ditujukan kepada Ciok Kim Bouw ketua
Cin-sa-pang, akan tetapi juga kepada semua tamu, terutama mereka yang berdiri
dan nampaknya berpihak kepada pernyataan Ciok Kim Bouw tadi.
“Ciok-pangcu,
semua tamu yang kuundang adalah para sahabat dari semua golongan! Mereka yang
menjadi tamuku saat ini maklum belaka bahwa mereka datang untuk turut merayakan
hari ulang tahunku yang ke enam puluh. Pertemuan ini adalah murni pesta
perayaan ulang tahun, bukan pertemuan yang membicarakan urusan politik. Siapa
yang kuundang itu merupakan hakku dan agaknya tidak perlu aku minta nasehat
darimu. Kalau engkau merasa tidak suka dengan pesta ini, engkau boleh pergi dan
aku tidak akan menahanmu! Siapa pun di antara para tamu yang tidak suka akan
keadaan di sini, boleh saja pergi!” Kalimat terakhir ini jelas ditujukan kepada
para tamu yang masih berdiri.
Terdengar
suara ketawa dan ternyata yang tertawa itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San
Ek. Jagoan ini merasa mendongkol bukan main melihat Sin-kiam Mo-li yang
dianggapnya sebagai calon kekasih barunya, tadi sudah dihina oleh orang, maka
kini dia hendak melampiaskan rasa dongkolnya.
“Ha-ha-ha,
sesudah kekenyangan makan dan minum, sengaja mencari alasan untuk mencela dan
pergi. Ha-ha-ha, sungguh tidak tahu malu!”
Mendengar
ucapan ini dan melihat betapa Siangkoan Lohan ikut pula mentertawakan dirinya,
Ciok Kim Bouw membuka mulut dan memasukkan jari telunjuk kanan ke dalam
tenggorokannya. Segera Cin-sa-pangcu muntah-muntah dan keluarlah semua makanan
dan minuman yang tadi memasuki perutnya!
“Siangkoan-pangcu,
lihat semua yang kumakan dan kuminum sudah kukembalikan! Kini engkau dengarlah
baik-baik. Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai
pernah membunuh tiga puluh orang lebih murid-murid Cin-sa-pang! Aku tidak
mendendam untuk itu karena memang pihak Cin-sa-pang ketika itu ada pula yang
bersalah. Akan tetapi, melihat betapa kini ia dan kawan-kawannya duduk bersamaku
di sini, sungguh aku merasa terhina sekali. Sekarang aku tantang Sin-kiam Mo-li
atau orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai!”
“Orang she
Ciok!” Siangkoan Lohan membentak. “Engkau ini sungguh tidak tahu diri. Engkau
adalah tamu, mengerti? Dan aku tuan rumah! Aku larang engkau membikin rusuh di
sini dan menantang para tamuku!”
“Kalau
begitu, aku menantang engkau. Siangkoan Lohan, karena engkau kini telah
menyeleweng dan melindungi datuk-datuk sesat, dan sudah mengusirku berarti
sudah pula menghinaku!” Setelah berkata demikian, Ciok Kim Bouw lalu meloncat
ke tengah panggung dan mencabut golok besarnya.
Bagi seorang
gagah, nama dan kehormatan lebih penting dari pada nyawa. Dia tadi telah dihina
orang, bahkan diusir, maka satu-satunya jalan untuk mencuci penghinaan ini
hanyalah mengadu nyawa di ujung senjata.
Mendengar
tantangan ini, semua tamu di ruangan dalam dan luar menjadi tegang. Tak mereka
sangka akan terjadi pertentangan seperti itu. Siangkoan Lohan sendiri menjadi
marah, akan tetapi wajahnya yang merah itu masih nampak tersenyum walau pun
sinar matanya makin mencorong. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menjura
kepada para tamunya, “Harap Cu-wi (Anda sekalian) suka memaafkan kami karena
kami terpaksa harus menyingkirkan dulu pengacau ini.”
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara halus. “Harap Ayah duduk saja dan biarkan aku
yang mengusir anjing yang banyak menggonggong ini.”
Semua orang
melihat munculnya seorang pemuda. Begitu saja dia muncul dan tahu-tahu berada
di atas panggung. Entah dari mana datangnya. Mungkin karena semua orang tadi
mencurahkan perhatian kepada Ciok Kim Bouw dan Siangkoan Lohan, maka tidak
melihat munculnya pemuda ini karena memang pemunculannya amat luar biasa.
Bagaikan
seekor burung walet saja tadi dia melompat dari bawah panggung kemudian hinggap
di atas panggung dengan sikap yang amat tenang. Mendengar ucapan pemuda ini,
semua orang yang belum pernah mengenalnya baru tahu bahwa inilah putera
Siangkoan Lohan, putera dan anak tunggal yang bernama Siangkoan Liong dan semua
orang tertegun dan kagum.
Siangkoan
Liong memang amat mengagumkan. Seorang pemuda bertubuh sedang dan berusia
kurang lebih dua puluh enam tahun, dengan wajah yang tampan sekali. Begitu
tampannya wajah itu sehingga seperti wajah wanita saja. Kulit mukanya putih
halus, dengan hidung mancung dan bibir merah, akan tetapi sepasang matanya
mencorong seperti mata naga, seperti mata ayahnya dan alis yang tebal hitam itu
menghilangkan keraguan orang bahwa dia adalah seorang pria tulen.
Pakaiannya
seperti seorang siu-cai (sastrawan) namun mewah, seperti biasa pakaian seorang
pemuda bangsawan terpelajar. Gerak-geriknya halus lembut dan seperti
gerak-gerik seorang sastrawan tulen yang tak mengenal ilmu silat. Padahal, ilmu
silat pemuda ini tak kalah hebat dibandingkan dengan kepandaian ayahnya,
setidaknya sudah hampir menyusulnya.
Sekarang
dengan sikapnya yang lembut, Siangkoan Liong menghadapi Ciok Kim Bouw. Sejenak
mereka saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang saling menilai dan
mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata.
“Paman, apa
pun yang telah terjadi, engkau sebagai seorang tamu telah melakukan pelanggaran
sopan santun. Aku tidak tahu apa persoalannya dan tidak ingin pula tahu, akan
tetapi aku melihat betapa dengan sengaja Paman telah menumpahkan makanan dan
minuman suguhan Ayah ke atas lantai, menimbulkan kejijikan dan kotor. Karena
itu, kalau Paman mau membersihkan kotoran yang Paman tumpahkan, kemudian pergi
dari sini dengan aman, aku pun menganggap urusan ini selesai dan akan mintakan
maaf kepada ayahku. Nah, bersihkan lantai itu, Paman.”
Biar pun
sikap dan omongannya halus, namun Ciok Kim Bouw merasa terhina sekali.
Bagaimana dia akan dapat melihat dunia kang-ouw kalau dia menuruti permintaan
ini, membersihkan lantai dari tumpahan perutnya tadi, di depan sekian banyaknya
para tamu?
“Orang muda,
sikapmu jauh lebih baik dari pada ayahmu. Akan tetapi engkau tidak tahu kenapa
aku menumpahkan semua makanan itu ke atas lantai. Aku terpaksa melakukan itu,
dan siapa pun yang menyuruhku, aku tidak akan sudi membersihkannya. Terserah
kepadamu, akan tetapi aku tidak sudi membersihkan tumpahan itu!”
Sepasang
mata yang jeli itu mengeluarkan sinar berkilat.
“Paman, aku
tidak suka bermusuhan dengan siapa pun, akan tetapi aku tadi mendengar
tantanganmu kepada ayahku. Kalau engkau tidak mau membersihkannya, terpaksa aku
akan mewakili Ayah untuk memberi hajaran kepadamu.”
Sikap ini
terlampau memandang rendah dan tentu saja Ciok Kim Bouw menjadi marah. Kiranya
di balik kelemah lembutan sikap pemuda ini tersembunyi kesombongan yang luar
biasa.
“Orang muda,
tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kau coba untuk
memberi hajaran kepadaku!”, tantangnya sambil melintangkan golok besarnya di
depan dada.
Golok besar
dan berat, berkilauan saking tajamnya dan nampak mengerikan. Ciok Kim Bouw
adalah seorang yang lihai, dan dengan golok di tangannya, dia bagaikan seekor
harimau tumbuh sayap. Para tamu ingin sekali melihat bagaimana putera tuan
rumah ini akan menghadapi Ciok Kim Bouw atau Cin-sa-pangcu yang lihai itu dan
senjata apa pula yang akan dipergunakannya.
Akan tetapi,
betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat pemuda itu tersenyum berkata
lembut, “Paman, pergunakanlah golokmu, aku akan menghadapimu dengan kedua
tangan kosong saja.”
Ciok Kim
Bouw sendiri terbelalak mendengar ini. Betapa sombongnya anak ini, pikirnya.
Menghadapi golok besarnya dengan tangan kosong? Siapa tokoh di dunia persilatan
akan berani melakukan hal itu? Akan tetapi, pemuda itu sendiri yang mencari
penyakit. Dia akan menghajar pemuda ini, tentu saja dia tidak berniat untuk
membunuhnya atau melukainya secara hebat.
“Baiklah,
agaknya engkau memiliki kepandaian yang setingkat mendiang guruku maka berani
menghadapi golokku dengan tangan kosong. Nah, bersiaplah untuk menerima
seranganku, orang muda yang sombong!”
Ciok Kim
Bouw memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mempersiapkan diri dengan
memasang kuda-kuda. Akan tetapi, pemuda itu tetap berdiri seperti tadi, seperti
orang bermalas-malasan, dengan kedua lengan hanya tergantung di kanan kiri,
berdiri seenaknya.
“Aku sudah
siap siaga, Paman. Mulailah dengan seranganmu!”
“Bagus!
Lihat golokku!” bentak Ciok Kim Bouw sebelum menyerang dan di lain detik,
goloknya telah berubah menjadi sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar.
Golok itu membuat gulungan sinar putih yang lebar, dan menyerang ke arah pemuda
itu dari berbagai jurusan, bertubi-tubi dan susul menyusul, ganas bagaikan
seekor burung garuda menyambari anak-anak ayam.
Kalau
tadinya para tamu merasa terkejut dan khawatir, kini mereka memandang dengan
mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka melongo melihat betapa tubuh pemuda
itu pun lenyap dan kini hanya nampak bayangannya saja berkelebatan di antara
gulungan sinar golok! Hebat bukan main tontonan itu.
Kiranya
pemuda itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali,
yang membuat dia dapat menyelinap di antara sambaran golok secara cepat.
Diam-diam
Ciok Kim Bouw sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa putera
Siangkoan Lohan yang masih semuda itu telah memiliki ilmu yang demikian hebat.
Dia merasa seperti menyerang sesosok bayangan saja, maka kalau tadinya dia
hanya ingin mengalahkan pemuda itu tanpa melukainya, hal itu kini sama sekali tidak
mungkin dan dia pun menyerang dengan sungguh-sungguh.
Ciok Kim
Bouw mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu
goloknya. Akan tetapi, tetap saja bayangan pemuda itu tidak dapat tercium ujung
goloknya, bahkan kini pemuda itu mulai membalas dengan tamparan-tamparan dan
tendangan yang cepat datangnya, yang beberapa kali hampir saja mengenai
tubuhnya.
Dari
serangan balasan ini pun dia sadar bahwa selain ilmu meringankan tubuh yang
hebat, pemuda itu juga mempunyai sinkang (tenaga sakti) yang sangat kuat
sehingga tamparannya didahului angin pukulan yang mantap. Maklumlah dia bahwa
dia sedang menghadapi seorang lawan yang sangat lihai. Pantas saja pemuda ini
tadi demikian sombongnya, tidak tahunya memang berkepandaian tinggi sekali.
Para
penonton kini banyak yang melongo dan penuh kagum. Bahkan Sin-kiam Mo-li
sendiri sampai terbelalak kagum. Ia dapat menilai ilmu golok ketua Cin-sa-pang
itu jauh lebih lihai dibandingkan dengan mendiang Louw Pa, ketua Cin-sa-pang
yang dulu.
Dia sendiri
tentu akan sanggup merobohkan Ciok Kim Bouw, akan tetapi jelas tidak dengan
kedua tangan kosong! Dan kini apa yang dilihatnya? Seorang pemuda berusia muda
sekali, paling banyak dua puluh tahun, menghadapi ketua Cin-sa-pang itu dengan
tangan kosong, bahkan ia melihat benar betapa pemuda itu mempermainkan
lawannya!
Bukan main!
Dan pemuda itu demikian tampan, seperti perempuan! Kagumlah hatinya. Dia sudah
mendengar betapa tuan rumah hanya memiliki seorang anak, yaitu laki-laki yang
tidak pernah diperkenalkan kepada para tamunya. Bahkan ketika diadakan pesta
tadi, pemuda ini tidak memperlihatkan diri. Sekarang, kemunculannya
menggegerkan orang.
Tiba-tiba
sebuah tangan menyentuh lengannya. Sin-kiam Mo-li menengok dan ternyata
Toat-beng Kiam-ong yang menyentuhnya sambil memandangnya dengan alis berkerut.
“Engkau kagum melihatnya? Ingat, ada aku di sini...,“ bisik laki-laki itu, agak
cemburu.
Sin-kiam
Mo-li tersenyum dan memutar lengannya hingga tangannya dapat menangkap tangan
Raja Pedang itu, lalu digenggamnya sejenak sebelum dilepas lagi. “Ihhh, belum
apa-apa sudah cemburu,” bisiknya kembali. “Akan tetapi, hati siapa yang tidak
kagum kepada pemuda itu? Masih begitu muda, namun kepandaian silatnya sudah
demikian lihainya!”
“Tidak perlu
diherankan. Memang Siangkoan Liong amat lihai, mungkin sekarang malah sudah
lebih lihai dari ayahnya sendiri,” kata Giam San Ek yang mengenal baik keadaan
keluarga sahabatnya itu.
“Ehhh?!
Bukankah ayahnya yang menjadi gurunya?”
“Benar, guru
pertama. Akan tetapi dua tahun yang lalu dia bertemu dengan seorang manusia
dewa yang menjadi gurunya...“
“Manusia
dewa...?”
“Ssttt,
lihatlah...!” kata Toat-beng Kiam-ong sambil menunjuk ke arah dua orang yang
masih bertanding dengan seru itu.
Sin-kiam
Mo-li cepat menengok dan sekarang terjadi perubahan pada pertempuran itu.
Gulungan sinar golok menjadi lemah dan menyempit, dan ternyata pemuda itu yang
kini mendesak dengan tamparan-tamparan dan tendangannya yang dilakukan amat
cepat dan dengan cara aneh dari segala posisi!
Akhirnya,
betapa pun Ciok Kim Bouw hendak bertahan, sebuah tendangan mengenai tangannya
yang memegang golok, disusul totokan pada siku kanannya.
“Tranggg...!”
Golok itu
terpaksa lepas dari tangannya dan jatuh ke atas lantai! Ciok Kim Bouw berdiri
tegak, memegang siku lengan kanan dengan tangan kiri dan memijit-mijitnya
karena lengan kanan itu setengah lumpuh. Kemudian dengan muka berubah agak
pucat dia mengangguk ke arah Siangkoan Lohan dan berkata dengan suara lantang,
“Siangkoan
Lohan, aku Ciok Kim Bouw hari ini mengaku kalah terhadap puteramu. Sudahlah,
aku memang tidak berguna dan juga tidak sudi untuk bergaul dengan datuk-datuk
sesat!”
Dia lalu
memungut goloknya dan melangkah keluar dari tempat pesta. Dua puluh orang lebih
yang tadi mendukungnya, kini juga bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu
tanpa banyak cakap. Mereka adalah orang-orang yang selalu menentang golongan
sesat, dan merasa betapa kini Siangkoan Lohan telah berubah dan mereka tidak
mau ikut terlibat dalam urusan persekutuan dengan datuk-datuk sesat.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment