Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 01
PRIA
penunggang kuda itu menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling dan dia
terpesona. Memang pagi itu indah bukan main. Di sekeliling tempat itu terdapat
bukit-bukit berjajar-jajar. Bukit-bukit di timur masih nampak gelap sebab
matahari baru muncul mengintai dari balik punggung mereka. Akan tetapi
bukit-bukit di sisi barat sudah mulai menerima sinar matahari pagi yang kuning
keemasan.
Nampaklah
kabut menyingkir perlahan dihalau sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi yang
masih lembut akan tetapi sudah garang itu menerobos di antara kabut, sungguh
merupakan keindahan yang sukar untuk dilukiskan. Keindahannya lebih terasa di
dalam hati dari pada di dalam mata.
Burung-burung
mulai beterbangan meninggalkan sarang, meski masih ada yang sempat berkicau di
antara ranting-ranting pohon, membuat suasana makin ceria gembira dan mendorong
seseorang untuk turut bernyanyi. Matahari pagi mulai muncul dan sinarnya
menghidupkan segalanya, membangunkan semuanya yang tadinya terlelap tidur dalam
kegelapan sang malam.
Nampak
beberapa ekor kelinci dan kijang menyeberangi semak dengan hati-hati sekali.
Telinga mereka membantu mata yang menoleh ke kanan kiri, lalu mereka
melanjutkan jalan menuju ke semak lain. Tidak ada seorang pun manusia lain
kecuali si penunggang kuda yang menghentikan kudanya di atas puncak sebuah
bukit kecil itu.
Kekuasaan
dan kecintaan Tuhan sungguh mengalir sepenuhnya di pagi hari itu, terasa sekali
di dalam hati. Dan orang itu merasa bahwa dirinya menjadi satu dengan segala
keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari isi alam mayapada yang
demikian indah. Dia merasa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya,
padahal biasanya dia merupakan orang penting yang diperhatikan, dihormati dan
dilayani oleh banyak orang.
Laki-laki
itu masih muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Seorang pemuda yang
tampan dan gagah. Rambutnya dikuncir menjadi sebuah kuncir yang gemuk dan
panjang, ujungnya diikat sutera kuning. Rambut itu di atasnya disisir rapi dan
mengkilap karena minyak rambut yang harum.
Dahinya
lebar, dengan sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Sepasang matanya
mencorong bagaikan mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk
indah dengan bibir mengarah senyum mengejek. Dandanannya menunjukkan bahwa dia
tentu seorang bangsawan muda yang kaya-raya.
Siapakah
pemuda tampan gagah yang pakaiannya perlente dan amat pesolek ini? Dia memang
bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang pangeran! Namanya Pangeran Tao Seng,
putera dari Kaisar Cia Cing (1796-1820). Kenapa dan mau apakah seorang pangeran
berada di antara pegunungan di tempat yang begitu jauh di utara itu, seorang
diri pula?
Pangeran Tao
Seng memang seorang petualang besar. Semenjak kecil dia bukan saja mempelajari
ilmu kesusastraan, bahkan juga belajar ilmu silat dengan tekun sehingga setelah
menjadi dewasa, dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Agaknya dia
tertarik dengan riwayat kakeknya, Kaisar Kian Liong yang di waktu mudanya suka
merantau dan memasuki dunia kang-ouw mencari pengalaman. Demikian pula dengan
Tao Seng. Agaknya dia mewarisi jiwa petualang dari kakeknya ini.
Sering kali
dia merantau seorang diri saja, mengandalkan ilmu silatnya untuk melindungi
dirinya. Dia sudah sering menjelajahi dunia kang-ouw dan mengumbar
kesenangannya, yaitu senang menggauli wanita-wanita cantik. Mudah saja baginya
untuk mendapatkan wanita cantik karena wanita mana yang tidak tertarik
kepadanya? Dia masih muda, tampan dan gagah, dan seorang pangeran pula!
Pada pagi
hari itu dia tiba di pegunungan utara. Dia tahu bahwa dia memasuki daerah yang
dikuasai orang-orang suku Khitan, akan tetapi dia tidak pernah mengenal takut.
Apa lagi dia juga pandai berbahasa Khitan, bahkan ibunya masih memiliki darah
Khitan. Pula, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dia dapat menjaga diri sendiri
dengan baik. Apa yang harus ditakuti? Pangeran Tao Seng sudah sering kali
menghadapi bahaya, namun selalu dapat lolos dengan selamat. Dia seorang
petualang besar.
Tiba-tiba
dia melihat ada seorang penunggang kuda mendaki bukit itu dengan cepat. Kudanya
bagus dan penunggangnya mahir sekali menunggang kuda. Duduknya tegak dan
keseimbangan tubuhnya mantap. Dekat hutan di sebelah bawahnya, penunggang kuda
itu turun dari atas kudanya, mengikat kudanya pada sebatang pohon, kemudian
menyusup ke semak-semak dalam hutan itu.
Pangeran Tao
Seng tersenyum. Dia sudah melihat bahwa penunggang kuda itu seorang gadis yang
berpakaian seperti gadis Khitan dan cantik sekali, membawa busur dan anak
panah. Tentu seorang gadis yang sedang memburu binatang hutan dan agaknya gadis
itu melihat binatang buruan di dalam hutan itu.
Dia merasa
gembira, lalu menggerakkan kudanya turun dari puncak bukit itu menuju ke hutan.
Setelah tiba di dekat kuda yang ditambatkan di pohon itu, dia pun turun dari
atas kudanya, menambatkan kudanya tidak jauh dari kuda gadis itu dan dia pun
menyusup masuk ke dalam hutan, hendak mencari gadis pemburu tadi.
Akhirnya dia
melihat gadis pemburu tadi berindap-indap di bawah sebatang pohon dan ternyata
yang diincarnya adalah seekor kijang jantan muda yang sedang makan daun muda.
Gadis itu sudah menarik tali busurnya dan siap melepaskan anak panah ke arah
dada binatang itu. Akan tetapi perhatian Pangeran Tao Seng segera tertarik ke
atas pohon, di bawah mana gadis itu berdiri.
“Awas...!”
Tiba-tiba Pangeran Tao Seng berteriak nyaring.
Tepat pada
saat itu, sang ular besar yang tadi bergantung di pohon itu melepaskan diri dan
jatuh ke atas tubuh gadis itu yang sedang melepas anak panah. Karena kaget oleh
teriakan, bidikannya terguncang dan anak panah itu luput dari sasaran. Dan
selagi ia membalikkan tubuh hendak marah kepada orang yang berteriak, tiba-tiba
saja ular itu menjatuhi dirinya dan membelit tubuhnya.
Saking
kagetnya gadis itu menjerit. Tangan kanannya sudah ikut terbelit dan tak mampu
bergerak. Akan tetapi ketika ular itu mendekatkan moncongnya dan hendak
menggigit, dia menahan leher ular itu dengan tangan kirinya. Ular sebesar paha
seorang pria itu memperkuat libatan dan menggerak-gerakkan lehernya yang
dicekik oleh tangan kiri yang kecil namun kuat itu. Sekali tangan itu terlepas,
moncong yang terbuka lebar itu tentu akan menelan kepala gadis itu dengan
mudah!
Akan tetapi,
Pangeran Tao Seng sudah lompat mendekat dengan pedang terhunus di tangan kanan.
Sekali pedangnya berkelebat cepat, kepala ular itu putus dan darahnya muncrat
mengenai pipi kiri gadis itu. Belitannya mengendur sehingga gadis itu dapat
melepaskan dirinya. Saking ngeri dan kagetnya, dia terhuyung dan tentu sudah
jatuh terpelanting kalau saja Pangeran Tao Seng tidak cepat menyambar
pinggangnya dan merangkulnya.
“Bahaya
sudah lewat, jangan takut,” katanya dalam bahasa Khitan dengan suara amat
lembut.
Gadis itu
memandang kepadanya dengan sepasang mata seperti seekor kelinci. “Kau... kau...
telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya maut...”
Pangeran Tao
Seng tersenyum, menyimpan pedangnya dengan tangan kirinya masih merangkul
pinggang. Kemudian tangan kanannya mengambil sehelai sapu tangan dan berbisik,
“Pipimu bernoda darah...!”
Dia lalu
mengusap pipi kiri itu dengan sapu tangan dan membersihkan darah itu, dan dia
terpesona! Setelah muka itu menjadi bersih dari darah, baru nampak betapa
cantiknya wajah itu! Cantik segar bagaikan setangkai mawar hutan tersiram embun
pagi. Kedua pipi yang segar kemerahan dan halus mulus. Sepasang mata yang lebar
dengan sinar yang jernih. Hidung kecil mancung dan mulut yang setengah terbuka
itu nampak indah, dengan deretan gigi mengintai dari balik bibir yang merah
basah.
“Aduh,
engkau cantik sekali, Nona. Bidadari dari sorgakah engkau?”
Gadis itu
tiba-tiba tertawa. Lenyaplah semua rasa kaget dan ngeri tadi, dan dia merasa
lucu dan senang. Pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut itu
adalah seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, dan bicaranya lucu, pandai
berbahasa Khitan pula.
“Kalau aku
seorang dewi dari sorga, tentunya engkau seorang dewa dari kahyangan,” katanya
sambil melepaskan rangkulan pemuda itu.
Pangeran Tao
Seng tertawa dan nampaklah deretan giginya yang bersih dan kuat. Dia nampak
semakin tampan kalau tertawa dan agaknya hal ini diketahuinya benar, maka dia
pun tertawa dengan bebas dan lepas.
“Ha-ha-ha-ha,
engkau pandai bicara, Nona. Aku beruntung sekali hanya manusia biasa seperti
engkau, manusia yang bisa jatuh cinta! Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa berada
seorang diri di hutan liar ini? Melihat pakaian dan kudamu, tentu engkau bukan
gadis Khitan sembarangan, sedikitnya tentu puteri kepala suku!”
“Hemm,
selain gagah perkasa ternyata engkau juga amat pandai mengenal orang. Aku
Silani, puteri kepala suku Khitan di daerah ini. Dan engkau sendiri, siapakah?
Engkau seperti bukan orang Khitan, akan tetapi engkau pandai bahasa kami dan
pakaianmu sangatlah indahnya. Engkau seorang bangsawan, ya? Aku pernah melihat
bangsawan-bangsawan yang datang berkunjung kepada ayahku. Ayahku adalah
Khalaban, kepala suku yang terkenal gagah perkasa.”
“Engkau pun
pandai menduga. Aku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng, namaku Pangeran Tao
Seng.”
Gadis itu
nampak terkejut. “Ahhh, seorang pangeran?” Matanya bersinar-sinar. “Betapa
gagahnya!”
“Ahaa,
benarkah itu? Benarkah engkau menganggap aku tampan dan gagah? Aku pun melihat
engkau sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan amat gagah, Silani. Betapa
akan amat mudahnya bagiku untuk jatuh cinta padamu.”
Mendengar
ucapan itu, Silani tersenyum lebar. Bagi seorang gadis suku Khitan seperti dia,
tidaklah aneh mendengar pernyataan cinta seorang pria secara demikian terbuka.
“Ahh,
benarkah?”
“Kenapa
tidak benar? Aku berani bersumpah, Silani!”
Mereka
berdiri saling berhadapan dalam jarak satu meter, saling pandang, dan sinar
mata mereka saling bertemu dan bertaut, penuh ketegangan dan kebahagiaan.
Betapa
anehnya cinta antara pria dan wanita. Pria pada umumnya akan jatuh cinta karena
kecantikan atau kepribadian si wanita. Akan tetapi wanita lain lagi. Ia dapat
saja jatuh cinta karena kagum, karena iba, karena hutang budi, atau karena
rayuan walau pun ketampanan wajah dan kepribadian juga memegang peran penting.
Silani
merasa berhutang budi, sudah diselamatkan dari ancaman maut, ini saja sudah
merupakan penolong baginya untuk jatuh hati. Apa lagi ditambah pengetahuan
bahwa pria itu adalah seorang pangeran besar dari kerajaan yang besar, seorang
pria yang tampan dan gagah perkasa yang dapat membunuh ular besar dengan sekali
bacokan pedangnya, pria yang pandai pula merayu. Maka anehkah kalau ia seketika
jatuh cinta kepada Pangeran Tao Seng?
Cinta
pertama pada pandangan pertama memang berkesan dalam di hati. Tentu saja gadis
Khitan yang sederhana jalan pikirannya ini sama sekali tidak tahu bahwa pria di
depannya itu akan jatuh cinta kepada wanita mana pun asalkan wanita itu cantik
jelita dan dapat dirayunya!
Tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dan Silani bagaikan sadar dari mimpi.
“Ah, itu
ayahku dan para pengawal datang ke sini!” katanya sambil melangkah beberapa
tindak mundur menjauhi Pangeran Tao Seng.
Sepuluh
orang penunggang kuda, dikepalai oleh seorang kepala suku Khitan yang tinggi
kurus datang dan berlompatan turun dari kuda masing-masing. Kepala suku Khitan
yang tinggi kurus itu adalan Khalaban, ayah Silani. Melihat puterinya
bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing dan di situ terdapat seekor bangkai
ular besar, Khalaban segera lari menghampiri puterinya dan menegur.
“Silani,
kenapa engkau mendahului kami masuk hutan ini? Dan ular itu, apa yang telah
terjadi? Siapa pula pemuda ini?” tanyanya dengan tak sabar.
“Ayah, tadi
aku mengejar seekor kijang. Akan tetapi mendadak aku diserang ular besar ini
yang menjatuhkan diri dari atas pohon. Kalau tidak ada pemuda ini yang
menolongku membunuh ular, tentu sekarang ini anakmu sudah berada di dalam perut
ular itu!”
Khalaban
yang berusia lima puluh tahun ini tentu saja terkejut bukan main mendengar
kata-kata puterinya, akan tetapi juga gembira bahwa puterinya dapat
diselamatkan.
“Ahhh,
syukur bahwa engkau selamat, Silani. Lalu, siapakah pemuda gagah yang telah
menolongmu ini?”
“Ayah tentu tIdak
akan pernah dapat menduganya! Ayah, pemuda ini adalah seorang pangeran kerajaan
Ceng. Namanya Pangeran Tao Seng!”
Mendengar
hal ini, Khalaban lebih terkejut lagi dan cepat-cepat ia membungkuk dengan
sikap hormat.
“Pangeran,
sungguh kami berterima kasih sekali bahwa Paduka telah menyelamatkan puteri
kami, dan maafkan, karena tidak tahu maka kami bersikap kurang hormat.”
Tao Seng
tertawa. “Ha-ha-ha, Paman, kenapa menggunakan banyak peraturan? Secara
kebetulan sekali aku bertemu dengan puterimu yang cantik dan gagah, dan
kebetulan pula aku dapat menolongnya ketika ular itu menyerangnya. Tidak perlu
berterima kasih, Paman.”
“Khalaban
nama saya, Pangeran. Dan kami persilakan Paduka untuk singgah di tempat
perkampungan kami agar kami dapat menjamu Paduka menjadi tamu kehormatan kami
dan juga untuk menghaturkan terima kasih kami.”
“Baik,
Paman. Memang aku pun ingin berkenalan lebih jauh dengan Silani.”
“Jadi engkau
mau berkunjung ke kampung kami, Pangeran? Aihh, aku gembira sekali!” kata
Silani dengan sikap akrab.
Melihat
sikap ini, Khalaban merasa gembira sekali, akan tetapi ada seorang pemuda
Khitan di antara rombongan itu yang memandang dengan alis berkerut dan mata
jalang bersinar tak senang.
Pemuda ini
seorang pemuda Khitan yang bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah
serta penampilannya nampak kokoh dan kuat. Seorang jantan dan memang dia
merupakan jagoan di antara para muda Khitan, mahir ilmu bela diri terutama
sekali ilmu gulat.
Di antara
para muda, pemuda bernama Kalucin ini memang dianggap sebagai seorang yang
memiliki harapan besar untuk mempersunting Silani, puteri kepala suku dan juga
menjadi kembangnya para dara di antara mereka. Kini, melihat Silani nampak
akrab dengan seorang pemuda asing, pangeran pula, tentu saja timbul perasaan
tidak senang dan cemburu besar di dalam hati Kalucin.
Kata orang,
cemburu adalah kembangnya cinta. Hal ini memang tidak dapat disangkal selama
cinta kasih itu berdasarkan nafsu. Cinta nafsu selalu membuat yang mencinta
ingin memiliki, ingin menguasai yang dicintai, seperti seseorang yang menyukai
sebuah benda yang amat berharga. Tidak ingin disentuh orang lain, apa lagi
dimiliki orang lain.
Itulah
cemburu yang mendorong agar orang yang dicinta menjadi miliknya pribadi, tanpa
diganggu orang lain. Dan cinta kita pada umumnya seperti itu. Cinta kasih yang
hanya berdasarkan nafsu!
Demikian
pula cinta dalam hati Kalucin terhadap Silani. Dia ingin Silani menjadi
miliknya sendiri. Sekarang melihat ada pria lain mendekati gadis itu, bahkan
ada kecenderungan berhubungan akrab, hatinya dipenuhi perasaan cemburu yang
mendalam.
Bagi
Khalaban sendiri, tentu saja dia merasa girang sekali kalau puterinya bergaul
akrab dengan seorang pangeran. Pangeran kerajaan Ceng yang besar dan jaya,
tampan dan gagah pula. Bahkan lebih dari itu, pangeran itu telah menyelamatkan
nyawa puterinya. Kalau saja puterinya dapat menjadi isteri seorang pangeran,
alangkah senang hatinya!
Pangeran Tao
Seng dijamu dengan hormat dalam sebuah pesta yang meriah. Tentu saja Tao Seng
gembira sekali, apa lagi disuguhi tari-tarian Khitan yang menggairahkan. Ketika
Silani sendiri tampil sebagai seorang primadona dalam tarian itu, kekagumannya
terhadap Silani semakin bertambah.
Di tengah
makan minum itu, dengan beraninya Tao Seng bertanya kepada Khalaban, “Paman,
kalau boleh aku mengetahui, apakah Silani telah bersuami?”
“Ah, belum,
Pangeran. Sudah banyak yang datang meminang, akan tetapi anak saya itu memang
keras kepala. Ia selalu menolak sehingga kini usianya sudah sembilan belas
tahun dan ia belum menikah.”
“Ahhh...
apakah sudah ada calon suaminya?”
Sejenak
Khalaban teringat akan Kalucin, akan tetapi segera dilupakannya pemuda itu.
Kalau saja dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, tentu saja Kalucin kalah
dalam segala-galanya. Kalucin memang seorang pemuda hebat, dan tentu dia akan
memilih Kalucin di antara para pemuda Khitan. Akan tetapi dibandingkan dengan
Pangeran Tao Seng, Kalucin laksana seekor burung merak dibandingkan dengan
burung Hong! Kalah segala-galanya!
“Belum,
Pangeran. Silani belum memiliki calon suami. Mengapa Paduka menanyakan hal
itu?” Dia memancing.
“Ehemmm...
jika sekiranya Paman setuju, aku suka sekali kepada Silani dan aku ingin
mengawini dia.”
“Tentu saja
kami setuju sekali, tentu saja kalau Silani juga mau. Dan saya kira ia juga
setuju, lihat saja sikapnya terhadap Paduka.”
Mereka
memandang ke arah Silani yang masih menari dan benar saja, pandang mata Silani
ditujukan kepada Tao Seng dan gadis itu tersenyum-senyum kepadanya, senyum yang
manis sekali!
“Akan
tetapi, Paman. Karena aku adalah seorang pangeran putera mahkota yang kelak
akan menggantikan ayah menjadi kaisar, aku tidak boleh menikah begitu saja.
Oleh karena itu, aku ingin menikah dengan Silani di sini. Apakah Paman setuju?”
Mendengar
bahwa pangeran ini adalah seorang pangeran mahkota yang nantinya akan menjadi
kaisar, Khalaban nyaris berjingkrak menari saking girangnya. Puterinya menjadi
permaisuri kaisar dan dia menjadi ayah mertua kaisar!
“Setuju,
Pangeran. Kami setuju sekali. Dan pernikahan itu dilangsungkan lebih cepat
lebih baik. Oya, sekarang ini semua rakyat saya sedang berkumpul, sebaiknya
kalau saya menggunakan kesempatan ini untuk mengumumkan pertunangan itu!”
Tao Seng tersenyum.
“Paman lupa untuk bertanya dulu kepada Silani, apakah ia setuju ataukah tidak?”
“Baik, akan
saya tanyakan sekarang juga, Pangeran!”
Khalaban
lalu menggapai ke arah puterinya yang sedang menari. Silani menghentikan
tariannya dan menghampiri ayahnya.
“Silani,
dengar baik-baik. Pangeran Tao Seng ini seorang putera mahkota calon kaisar,
dan beliau ini meminang engkau untuk menjadi isterinya. Bersediakah engkau
menikah dengannya?”
Wajah gadis
itu berubah kemerahan dan mulutnya tersenyum malu-malu. “Aihh, Ayah...!
Bagaimana Ayah sajalah, aku hanya menurut saja!” katanya sambil berlari dan
duduk di belakang ayahnya.
Khalaban
tertawa bergelak, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar para penari
menghentikan tarian mereka dan juga musik dihentikan. Dan setelah suasana
menjadi tenang, Khalaban lalu berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas
sebagai isyarat bahwa dia hendak mengumumkan sesuatu dan supaya semua orang
mendengarkan dengan tenang.
“Saudaraku
semua, aku hendak menyampaikan sebuah pengumuman penting sekali. Pada malam
hari ini, Pangeran Mahkota Tao Seng dari kerajaan Ceng telah meminang puteriku
Silani dan kami pun sudah menerima pinangan itu. Mulai saat ini mereka telah
bertunangan, sedangkan pesta pernikahan akan dilaksanakan secepat mungkin dalam
beberapa hari ini!”
Rakyat
Khitan yang berkumpul dalam pesta itu serentak bersorak dan bertepuk tangan
menyambut pengumuman itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda berdiri dan
berseru dengan suara mengguntur. “Kami protes...!”
Melihat
bahwa pemuda itu adalah Kalucin, Khalaban mengerutkan alis. Dengan marah dia
membentak, “Kalucin apa maksudmu dengan protes itu?” katanya mengancam.
“Maaf, paman
Khalaban. Sudah menjadi adat kebiasaan bangsa kita semenjak turun menurun bahwa
seorang calon suami harus mampu melindungi calon isterinya, maka setiap calon
suami harus menunjukkan kegagahannya. Apa lagi sekarang yang dipinang adalah
puteri paman Khalaban sendiri sebagai ketua suku kita. Jika Pangeran Tao Seng
meminang Silani, dia harus membuktikan bahwa dia cukup berharga untuk menjadi
pelindung Silani dan mampu mengalahkan aku dalam kegagahan! Pangeran Tao Seng,
aku menantangmu untuk mengadu kekuatan dan kepandaian membela diri!”
“Kalucin!
Berani engkau bersikap seperti ini?!” bentak Khalaban.
Akan tetapi
Tao Seng segera bangkit sambil tersenyum, lalu berkata kepada Khalaban. “Paman,
ucapannya tadi memang benar sekali. Baiklah, aku akan melayaninya, harap Paman
menjadi saksi saja.”
Lalu Tao
Seng melangkah lebar menuju ke tengah ruangan di mana tadi dipergunakan untuk
menari. Di situ memang dibangun sebuah panggung yang agak tinggi sehingga tadi
semua orang dapat melihat para penari. Tao Seng menggapai kepada Kalucin.
“Namamu
Kalucin? Ke sinilah, aku memenuhi tantanganmu!”
Semua orang
terheran-heran dan menjadi tegang. Mereka semua mengenal Kalucin sebagai
seorang pemuda yang amat kuat dan pandai berkelahi, terutama sekali pandai
dalam ilmu gulat. Kalau hanya dikeroyok tiga empat orang saja, sukarlah
mengalahkan pemuda ini. Dan pangeran yang kelihatan halus itu kini menerima
tantangan Kalucin!
Kalucin
sendiri merasa kagum saat pangeran itu menerima tantangannya. Sikap ini saja
sudah mendatangkan kekaguman dan membuat dia menghormatinya. Dia melompat ke
atas panggung dan melangkah menghampiri. Setelah berhadapan Kalucin lalu
memberi hormat.
“Maafkan
sikap saya ini, Pangeran. Oleh karena ini merupakan tradisi lama kami, maka
saya berani menantang Paduka.”
“Sudahlah,
Kalucin. Katakan saja bagaimana kita hendak mengadu kepandaian, dengan senjata
atau dengan tangan kosong?”
“Ini hanya
sekedar mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih kuat, bukan saling
membunuh, Pangeran. Maka cukup dengan tangan kosong saja. Dan siapa pun yang
terbanting roboh, dia dinyatakan kalah. Bagaimana, apakah Paduka setuju?”
“Ha-ha-ha,
aku mendengar bahwa orang Khitan ahli gulat, maka engkau mengajak aku untuk
saling banting. Bagaimana kalau engkau roboh bukan karena terbanting namun
terkena pukulan atau tendangan? Apakah itu juga dianggap kalah?” Tao Seng
bertanya sambil terus tersenyum.
“Tentu saja.
Roboh terbanting atau karena terkena tendangan dan pukulan sama saja, tetap
dianggap kalah!” jawab Kalucin tegas
“Baik kalau
begitu, nah, aku sudah siap. Engkau boleh mulai.”
Menghadapi
pangeran yang sikapnya begini tabah, sudah ada rasa hormat dan suka di hati
Kalucin. Sikap orang ini begitu gagah. Kalau tenaganya kuat dan pandai
berkelahi, memang dia pantas untuk menjadi suami Silani, pikirnya.
“Pangeran,
Paduka adalah seorang tamu, sebaiknya kalau Paduka menyerang terlebih dahulu,”
kata Kalucin dengan sikap merendah.
Tao Seng
juga suka kepada pemuda ini. Tahulah dia bahwa pemuda ini mencinta Silani maka
berani bersikap seperti itu. Akan tetapi pada dasarnya, dia seorang pemuda yang
gagah perkasa dan baik budi.
“Baiklah,
aku akan menyerangmu. Lihat tendangan!”
Tao Seng
melakukan tendangan dengan kaki kiri. Akan tetapi dengan sigapnya Kalucin
mengelak ke kanan, kemudian tangannya meluncur cepat hendak menangkap kaki yang
menendang itu. Sekali saja kaki itu tertangkap tentu dengan mudah Pangeran Tao
Seng akan dapat dijatuhkan.
Akan tetapi
Tao Seng adalah seorang ahli silat yang lihai. Dia maklum akan maksud lawan,
maka dia sudah cepat-cepat menarik kembali kakinya dan kini tangannya yang
mengirim tamparan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan.
Dan Kalucin
segera terdesak hebat. Pemuda ini harus menangkis dan mengelak ke sana sini
kalau tidak mau terkena tamparan kedua tangan pangeran itu. Dia membalas dengan
usaha menangkap tangan itu, dan kalau ada kesempatan, dia menubruk untuk
menyergap tubuh sang pangeran, akan tetapi gerakan Tao Seng terlalu lincah
baginya. Sebaliknya, beberapa kali tamparan pangeran itu mengenai sasaran. Akan
tetapi tubuh Kalucin memang kuat bukan main dan kebal sehingga
tamparan-tamparan itu seperti tidak terasa olehnya.
Pertandingan
itu sudah berjalan hampir seperempat jam. Sekarang Pangeran Tao Seng menganggap
sudah cukup lama untuk memberi muka kepada lawannya. Dia tidak ingin cepat
menjatuhkan lawan. Dia ingin mengawini Silani, akan tetapi tak ingin bermusuhan
dengan Kalucin. Setelah menganggap cukup, dia membiarkan tangan kirinya
ditangkap Kalucin!
Kalucin
girang sekali dan semua orang memandang tegang karena maklum bahwa jika Kalucin
sudah dapat menangkap tangan lawan, maka di saat lain tentu lawan itu akan
terbanting keras ke atas lantai! Kalucin sudah membalik dan memutar tubuhnya
untuk membuat tangan Tao Seng terpuntir dan dibanting.
Namun
tiba-tiba jari tangan Tao Seng bergerak menyentuh pundaknya dengan totokan dan
seketika juga Kalucin tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi. Dan pada
saat itu, Tao Seng memutar tubuhnya dan kakinya menyabet kedua kaki Kalucin.
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kalucin lalu ambruk dan jatuh ke atas lantai
dalam keadaan telentang!
Tao Seng
membangunkan Kalucin sambil membebaskan totokannya. Setelah kembali berdiri,
Kalucin segera membungkuk dalam-dalam untuk memberi hormat dan mengakui
kekalahannya di bawah sorak sorai dan tepuk tangan para penonton.
Yang agak
menyakitkan hati Kalucin adalah melihat betapa Silani juga bertepuk tangan
penuh semangat. Tahulah dia bahwa Silani sudah jatuh cinta kepada Tao Seng dan
hal ini mengobati hatinya. Jika Silani sudah jatuh cinta kepada pangeran itu,
mau apa lagi? Juga pangeran itu ternyata gagah perkasa dan dia harus mengakui
kekalahannya. Ahh, bukan hanya Silani perempuan di dunia ini, dia menghibur
hatinya.
Menerima
kenyataan dan menerima keadaan adalah suatu sikap yang amat bijaksana. Orang
akan dapat melalui keadaan yang bagaimana hebat dan sengsara sekali pun kalau
memiliki sikap seperti itu. Menerima kenyataan yang ada dan menerima keadaan
tanpa tenggelam ke dalam duka. Bukan berarti lalu berhenti dan jatuh, melainkan
tetap berusaha hanya tidak tenggelam ke dalam duka dan putus harapan.
Kalau orang
bersikap menerima kenyataan, maka akan timbul saja harapan-harapan baru dan
dapat memetik hikmah dari setiap keadaan yang betapa buruk pun! Menerima
kenyataan ini berarti iman yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maklum bahwa segala
sesuatu ditentukan oleh Tuhan, karena itu tidak ada yang perlu dan patut
dikeluhkan lagi. Melainkan menengadah, menerima kenyataan dan menyerah kepada
kekuasaan Tuhan dengan penuh keikhlasan. Beginilah sikap seorang bijaksana dan
sikap seperti ini akan membebaskan kita dari belenggu duka.
Beberapa
hari kemudian, dilangsungkanlah pernikahan antara Pangeran Tao Seng dan Silani.
Pernikahan dilangsungkan dengan meriah sekali. Seluruh rakyat suku Khitan di
daerah itu ikut berpesta gembira. Pesta diadakan selama sehari semalam. Akan
tetapi yang paling merasa berberbahagia adalah sepasang mempelai. Tidak ada
kebahagiaan melebihi dua orang yang paling mencinta dipertemukan dalam sebuah
pernikahan.
Pangeran Tao
Seng adalah seorang pemuda yang amat berpengalaman dalam merayu wanita. Maka
setelah Silani menjadi isterinya, wanita ini pun seperti mabuk kebahagiaan
pengantin baru. Mereka seolah tak terpisahkan walau sesaat pun. Ke mana pun
mereka berdua dan selalu berkasih-kasihan.
Silani bukan
hanya berbahagia karena mempunyai suami yang tampan gagah dan amat mencintanya,
akan tetapi juga berbahagia karena dia membayangkan betapa kelak dia menjadi
seorang permaisuri kaisar. Benarkah pengakuan Tao Seng bahwa dia adalah seorang
putera mahkota yang kelak menggantikan kaisar?
Sebetulnya
tidaklah demikian. Hanya karena pandainya Tao Seng bicara saja maka dia dapat
mengelabui Silani dan ayahnya, Khalaban. Dia memang benar putera dari Kaisar
Cia Cing yang baru saja menggantikan Kaisar Kian Liong, tapi sama sekali bukan
putera mahkota. Bahkan Kaisar Cia Cing belum mengangkat putera mahkota karena
baru saja dia menjadi kaisar.
Juga
andaikan kelak Kaisar Cia Cing mengangkat seorang di antara puteranya menjadi
pangeran mahkota, tentu bukan Tao Seng yang diangkatnya karena Tao Seng hanyalah
putera seorang selir dan berketurunan Khitan pula. Tao Seng mengaku demikian
hanya demi gengsi saja, agar diterima lamarannya menjadi suami Silani. Padahal,
andai kata dia tidak berbohong sekali pun tentu dia akan diterima pula karena
mempunyai mantu pangeran saja sudah merupakan kehormatan besar bagi Khalaban.
Selama tiga
bulan pengantin baru itu setiap hari hanya berkasih-kasihan. Kadang kala mereka
ditemani oleh Kalucin yang dianggap sebagai sahabat baik oleh Pangeran Tao
Seng. Kadang mereka berburu bertiga saja. Dan Kalucin kini sudah tidak iri
lagi. Dia menganggap Silani sebagai adiknya sendiri dan dia ikut merasa gembira
betapa Silani hidup berbahagia bersama Pangeran Tao Seng.
Setelah
tinggal di situ selama tiga bulan, pada suatu hari Tao Seng berpamit dari
mertua dan isterinya untuk kembali ke selatan. Silani menangis hendak ikut
suami tercinta.
“Jangan
sekarang, isteriku. Pertama, engkau tentu belum dapat diterima dengan resmi dan
tidak diperbolehkan memasuki istana. Dan kedua, engkau sedang mengandung, tak
baik melakukan perjalanan jauh dan sukar. Kelak, apa bila aku sudah melapor
kepada ayahanda kaisar dan sudah mendapat perkenan beliau, engkau tentu akan
kujemput ke istana. Juga menanti sampai anakmu terlahir.”
Oleh karena
alasan yang dikemukakan Pangeran Tao Seng masuk akal, akhirnya Silani dapat
menerimanya. Juga ayahnya membujuk agar menaati pesan suaminya.
“Kalucin,
selama aku pergi, harap kau jaga baik-baik isteriku yang kau anggap sebagai
adikmu sendiri.”
“Jangan
khawatir, Paduka,” jawab Kalucin dengan tulus.
“Akan
tetapi, Pangeran suamiku. Sebelum engkau pergi, aku ingin terlebih dulu engkau
memenuhi janjimu untuk mengajak aku pesiar ke lautan. Aku ingin sekali pergi
melihat lautan seperti yang kau janjikan, naik perahu layar mengarungi samudera
luas!” Silani merengek dan karena memang dia sudah berjanji di waktu
berpengantinan, Pangeran Tao Seng akhirnya tidak dapat menolak permintaan itu.
Mereka
bertiga, Pangeran Tao Seng, Silani dan ditemani Kalucin segera berangkat ke
pesisir utara. Mereka melakukan perjalanan santai saja, menggunakan kereta
supaya dapat cepat dan tidak terlalu mengganggu kesehatan Silani yang sedang
mengandung dua bulan.
Setelah tiba
di pantai lautan, Tao Seng menyewa sebuah perahu layar dan dengan pertolongan
seorang nelayan mereka pun pergi berlayar. Bukan main girangnya hati Silani.
Selamanya belum pernah ia melihat lautan dan kini ia dapat berlayar mengarungi
samudera yang amat luas itu.
Mereka telah
cukup jauh meninggalkan pantai. Selagi Tao Seng hendak memerintahkan tukang
perahu untuk kembali ke daratan, tiba-tiba air bergelombang dengan hebatnya.
Tukang perahu merasa heran dan terkejut bukan main. Tiada badai, angin pun
biasa saja, bagaimana mendadak timbul gelombang demikian hebatnya?
Untuk
menjaga agar supaya perahu tidak terbalik, tukang perahu menggulung layar dan
mengemudikan perahu sedapat mungkin. Kemudian terdengar suara menggelegar dan
mereka semua melihat air laut mengeluarkan busa yang mengepulkan uap dan asap
panas.
Air
bergelombang lebih hebat dan tiba-tiba, di depan mata mereka, kurang lebih satu
mil jauhnya, muncul sebuah benda hitam yang amat besar. Makin lama semakin
besar dan ternyata itu adalah sebuah pulau! Sebuah pulau yang lahir begitu saja
dari permukaan laut. Mungkin terjadi di letusan gunung berapi di bawah laut,
mungkin di dasar laut itu timbul perubahan yang luar biasa dari letusan gunung
yang akhirnya melahirkan sebuah pulau!
Gelombang
lautan sedemikian hebatnya mengguncang perahu. Tukang perahu segera
memperingatkan tiga orang penumpangnya agar mengikat pinggang mereka pada tiang
layar agar tidak terlontar keluar.
Tao Seng
mengikat pinggang isterinya dan Kalucin pada tiang perahu sedangkan dia lalu
mengikat pinggangnya sendiri pula. Demikian pula tukang perahu yang masih tetap
memegang kemudi. Perahu terguncang ke kanan kiri, kadang-kadang dilambungkan ke
atas. Seandainya mereka tidak mengikat pinggang mereka dengan tiang, tentu
mereka sudah terlempar keluar dari perahu.
Mereka
merasa tersiksa. Silani muntah-muntah, bahkan Kalucin juga muntah-muntah.
Pangeran Tao Seng hampir putus asa, merasa bahwa kematian sudah di depan mata.
Suara menggelegar bagaikan letusan masih terdengar berulang-ulang. Banyak
perahu nelayan yang berkeadaan sama dengan mereka, bahkan ada yang sudah
terguling dan penumpangnya entah bernasib bagaimana.
Akhirnya
gelombang yang amat ganas itu mereda dan letusan pun tidak terdengar lagi.
Gelombang tidak sehebat tadi, tinggal sisanya saja. Dan pulau itu baru lahir
itu nampak lengkap sudah. Sebuah pulau yang kehitaman.
Tukang
perahu melepas ikatan dari pinggangnya, demikian pula Tao Seng dan Kalucin. Tao
Seng melepaskan pula ikatan di pinggang Silani yang segera merangkulnya sambil
menangis. Tao Seng memeluk dan menghiburnya.
“Ya Tuhan,
pulau itu...!” Tukang perahu tiba-tiba berseru.
Tao Seng
menoleh. Ia melihat pulau itu biasa saja. Akan tetapi tukang perahu terbelalak
memandang pulau itu. Mulutnya berkemak kemik tanpa suara seperti orang berdoa.
“Paman,
kenapakah dengan pulau itu?”
“Itu...
seperti Pulau Es.... yang dahulu dikabarkan tenggelam. Bentuknya sama benar,
hanya ini tidak ditimbuni es!”
Tao Seng
sudah pernah mendengar akan dongeng mengenai Pulau Es, bahkan sudah mendengar
pula akan Keluarga Pulau Es yang terdiri dari orang-orang yang sakti. Akan
tetapi dia tidak mempedulikannya lagi, melainkan menyuruh tukang perahu agar
cepat mengembangkan layar dan kembali ke pantai.
Baru setelah
perahu meluncur dengan lajunya ke pantai dan laut tidak bergelombang lagi,
Pangeran Tao Seng bertanya lebih lanjut tentang pulau itu kepada tukang perahu,
didengarkan pula oleh Silani dan Kalucin.
“Kalau
melihat bentuknya, tidak salah lagi. Pulau yang baru muncul itu agaknya Pulau
Es yang dulu dikabarkan lenyap ditelan air. Di daerah ini terdapat tiga pulau
yang amat ditakuti para nelayan. Pertama Pulau Neraka yang sekarang masih ada,
Pulau Nelayan yang juga masih ada. Kedua pulau itu kosong akan tetapi amat
gawat karena selain sukar didekati, terdapat banyak batu karang yang tajam,
juga kabarnya dihuni binatang-binatang buas, dan ada kabar desas-desus
mengatakan bahwa kedua pulau itu bahkan dihuni oleh makhluk-makhluk halus
seperti jin dan iblis. Tadinya Pulau Es lenyap, dan sekarang muncul lagi, entah
pertanda apa itu. Pulau Es juga ditakuti nelayan, karena merupakan pulau
larangan. Sudahlah, tak baik membicarakan pulau-pulau itu.” Tukang perahu
mengakhiri ceritanya dan perahu pun sudah tiba di pantai.
Pangeran Tao
Seng, Silani dan Kalucin segera pulang kembali ke perkampungan Khitan yang
bercampur pula dengan bangsa Mongol. Setelah memenuhi permintaan isterinya
untuk bertamasya ke laut, akhirnya Pangeran Tao Seng meninggalkan isterinya,
diantar sampai ke luar perkampungan oleh Silani sambil menangis.
Setelah
pangeran yang menunggang kuda itu lenyap dari pandangannya dan derap kaki kuda
sudah tidak terdengar lagi, barulah Silani pulang sambil menangis dan mendekap
sebatang pedang bengkok yang berbalut emas. Pedang bengkok ini adalah pemberian
suaminya, sebatang pedang kesukaan Tao Seng yang mendapatkannya dari barang
rampasan bangsa Kazak pada waktu pasukan kerajaan menundukkan suku Kazak yang
membuat kerusuhan di Barat Laut.
Malam itu,
suaminya menyerahkan pedang bengkok bersarung emas dihias permata itu sambil
berkata kepadanya.
“Isteriku,
pedang ini kutinggalkan bukan hanya sebagai kenang-kenangan, melainkan juga
sebagai tanda bahwa yang membawa pedang ini adalah keluargaku. Kelak, kalau
anak kita lahir pria, aku minta agar engkau beri nama Keng Han, Tao Keng Han.
Akan tetapi kalau terlahir wanita, boleh engkau pilihkan nama yang baik
untuknya. Dan kalau engkau atau anak kita datang ke kota raja memperlihatkan
pedang ini, pasti orang akan membawa pembawa pedang ini datang kepadaku.”
Demikianlah
pesan suaminya, maka Silani tidak pernah memisahkan pedang itu dari sisinya.
Pedang itu baginya seolah menjadi pengganti diri suaminya. Dengan adanya pedang
itu, hatinya agak terhibur, seolah-olah pedang itu merupakan kunci pintu yang
akan membuka perpisahan antara ia dan suaminya, yang akan mempertemukan ia dan
suaminya…..
***************
Kembalinya
Pangeran Tao Seng disambut dengan sangat gembira oleh keluarga istana. Pangeran
itu sudah merantau selama setahun, maka ketika dia kembali dalam keadaan sehat,
bahkan nampak lebih dewasa dalam penampilan, keluarganya, terutama ibunya tentu
saja menjadi gembira dan bangga sekali.
Dan Pangeran
Tao Seng sendiri merasa semakin yakin bahwa dia tentu akan diangkat menjadi
putera mahkota oleh Ayahnya, Kaisar Cia Cing. Meski dia seorang putera selir,
akan tetapi di antara putera kaisar dialah yang merupakan putera sulung,
sedangkan yang lebih tua darinya semua adalah puteri. Dan dia pun mendengar
dari ibunya bahwa ayahnya memang sudah mengambil keputusan untuk mengangkat
seorang putera mahkota dalam waktu dekat ini.
Kerajaan
Ceng-tiauw kini mengalami penurunan. Banyak pemberontak yang tadinya sudah
ditundukkan oleh Kaisar Kian Liong, sekarang mulai bangkit lagi. Kerajaan Ceng
tidaklah begitu jaya seperti di jaman kakeknya, yaitu Kaisar Kang Hsi
(1663-1722).
Walau pun
selama pemerintahannya, Kaisar Kiang Liong (1736-1796) selalu sibuk untuk
memadamkan pemberontakan, namun dia sudah berhasil dengan baik dan kekuasaan
kerajaan Ceng bersinar sampai jauh ke barat dan utara. Tetapi semenjak
pemerintahan dipegang oleh Kaisar Cia Cing, pemberontakan banyak bermunculan,
terutama sekali pemberontakan di dalam negeri.
Para
pemberontak yang paling gigih antara lain ialah Pek-lian-pai (Partai Teratai
Putih), Pat-kwa-pai (Partai Segi Delapan) dan masih banyak lagi. Thian-li-pang
yang terkenal pula sebagai partai atau perkumpulan para pendekar perkasa mulai
bergerak karena para pendekar ini pun merasa tidak senang dengan pemerintahan
Ceng yang mereka anggap sebagai pemerintahan bangsa Mancu yang menjajah negeri
dan bangsanya.
Dalam
keadaan seperti itu, Kaisar Cia Cing lalu mulai memilih seorang putera mahkota
dengan maksud agar jangan terjadi perebutan di dalam istana antara keluarga
sendiri. Dan dia memilih pangeran urutan ke tiga, yaitu putera permaisuri.
Pangeran Tao Kuang, sebagai putera mahkota.
Begitu hal
ini diumumkan, para pangeran lain segera menerimanya, kecuali dua orang
pangeran. Yang pertama adalah Pangeran Tao Seng sebagai putera pertama dan yang
kedua adalah Pangeran Tao San sebagai putera ke dua. Kedua pangeran ini
kemudian mengadakan pertemuan dan mereka memaki-maki ayah mereka sendiri yang
dikatakan tidak adil dan pilih kasih.
“Si Tao
Kuang itu bisa apakah? Mentang-mentang dia putera permaisuri, dia diangkat
menjadi putera mahkota. Akan tetapi ibunya juga seorang wanita biasa, dari
rakyat jelata, hanya putera seorang panglima saja. Dia lebih muda dariku,
sepatutnya sebagai putera sulung akulah yang diangkat menjadi putera mahkota!”
Tao Seng memaki-maki dengan marah ketika dia bersama Tao San mengadakan pertemuan
di kamar rahasia.
“Benar tidak
adil! Dia melangkahi engkau dan juga aku, Toako!” kata Tao San dengan nada
suara penasaran. “Bagaimana pun kita harus bertindak untuk menentang ketidak
adilan ini!”
“San-te, apa
yang mampu kita lakukan untuk menentang keputusan ayahanda Kaisar? Menentang
kehendak beliau sama saja dengan pemberontakan yang akan membuat kita celaka.
Satu-satunya jalan hanyalah menyingkirkan Tao Kuang dari muka bumi, akan tetapi
hal ini jangan sampai ada yang menduga bahwa kita yang melakukannya.”
“Pikiran
yang bagus!” kata Tao San girang. “Apa rencanamu, Toako?”
Pada saat
itu muncul seorang thaikam (lelaki kebiri) utusan kaisar yang mempersilakan
mereka berdua menghadap kaisar yang memanggil semua puteranya. Ketika dua orang
pangeran itu mendengar perintah ini, tentu saja mereka terkejut sekali.
Mereka baru
saja membicarakan tentang rencana mereka menyingkirkan Pangeran Tao Kuang dan
tahu-tahu kaisar memanggil mereka. Akan tetapi dengan wajah tenang saja mereka
mengikuti thaikam itu pergi ke dalam dan menghadap kaisar. Ternyata para
pangeran lain juga sudah berkumpul di situ, termasuk Pangeran Tao Kuang.
“Aku
mengumpulkan kalian semua untuk memberi penjelasan mengenai diangkatnya
Pangeran Tao Kuang menjadi putera mahkota,” Kaisar mulai berkata.
Semua
pangeran mendengarkan sambil menundukkan muka dengan sikap hormat dan taat.
Mereka itu seolah mengenakan sebuah topeng menutupi muka masing-masing, topeng
ketaatan yang menyembunyikan apa sebenarnya yang menjadi isi hati mereka.
Terutama sekali Tao Seng dan Tao San yang saling lirik.
“Aku
mengangkat Tao Kuang dengan perhitungan masak. Kulihat para pangeran lain tidak
memiliki kebijaksanaan dan bakat untuk kelak menjadi kaisar. Pangeran Tao Seng
biar pun sulung, akan tetapi dia suka bertualang dan mengejar kesenangan, maka
tidak dapat diharapkan dia menjadi kaisar yang baik. Juga Pangeran Tao San agak
pemalas, padahal mengurus negara dibutuhkan orang yang amat rajin. Sebaliknya
Pangeran Tao Kuang rajin dan sejak kecil dia suka memperhatikan urusan
pemerintahan, maka dialah yang cocok untuk kelak menggantikan aku menjadi
kaisar. Nah, kalian semua sudah mengerti?”
Seperti
sekelompok burung para, pangeran itu mengangguk dan menyatakan mengerti.
“Dan kuharap
tidak akan ada yang merasa iri hati. Kelak kalian masing-masing akan
mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan kemampuan kalian.”
Pertemuan
itu dibubarkan. Tao Seng bersama Tao San dengan sengaja mendampingi Pangeran
Tao Kuang ketika keluar dari ruangan itu.
“Ehh,
Kuang-te, kami harap setelah menjadi putera mahkota engkau tidak mengubah
sikapmu terhadap kami,” kata Tao Seng sambil tersenyum.
“Benar!
Jangan-jangan Kuang-te akan memandang remeh kepada kami!” kata Tao San.
“Aihh,
mengapa kalian dapat berkata demikian?” kata Pangeran Tao Kuang. “Kita tetap
bersaudara dan selamanya aku tidak akan mengubah sikap. Bagiku sama saja
menjadi putera mahkota atau tidak. Semua ini hanya mentaati kehendak ayahanda
Kaisar.”
“Bagus, kami
pun hanya bercanda. Ehh, Kuang-te, kami bermaksud untuk pergi berburu ke hutan
buatan di luar kota raja. Engkau tentu suka ikut dengan kami seperti biasa,
bukan?”
“Tentu
saja!” kata Pangeran Tao Kuang gembira. Dia memang suka sekali pergi berburu
binatang-binatang di hutan buatan di mana memang dilepas banyak binatang
buruan. “Kapan kita berangkat?”
“Aku belum
membuat persiapan. Nanti tiga hari lagi kita berangkat. Menurut hitungan, tiga
hari lagi cuacanya baik, tidak turun hujan yang akan mengganggu kita,” kata Tao
Seng.
Mereka
berpisah dan Tao Seng mengajak Tao San berbicara di kamar rahasia. Mereka
mengatur siasat untuk menyingkirkan Pangeran Tao Kuang atau membunuhnya dalam
perburuan itu. Akan diusahakan supaya pembunuhan itu terjadi secara wajar,
dilakukan oleh para pemberontak yang sengaja menyerang mereka di dalam hutan
itu. Mereka akan mempersiapkan satu regu pasukan, tidak terlalu banyak, cukup
dua belas orang saja dari pasukan pengawal kepercayaan mereka.
Kekuasaan
didambakan setiap orang, baik di dalam rumah tangga, di antara saudara, di
antara kawan, di dalam masyarakat, sampai dalam ketatanegaraan. Setiap orang
ingin berkuasa karena tahu benar bahwa di dalam kekuasaan terletak segala
keinginan yang mungkin terpenuhi. Maka tidaklah mengherankan jika dunia ini
terus bergolak. Manusia terus menerus menciptakan pertentangan, mulai dari
permusuhan hingga perang, hanya untuk merebutkan kemenangan yang berarti
kekuasaan!
Saling jegal
di antara pejabat, pemberontakan-pemberontakan terhadap yang berkuasa, semula
dengan dalih mengakhiri kekuasaan yang semena-mena, tetapi berakhir dengan
timbulnya kekuasaan baru yang seperti biasanya selalu ingin memaksakan
kehendak. Siapa menang dialah berkuasa, dan siapa berkuasa dia selalu benar dan
kehendaknya harus ditaati! Ini sudah menjadi watak manusia, maka herankah kita
bila melihat perang lalu terjadi di mana-mana? Perang antar bangsa, antar
golongan, antar kelompok, antar negara.
Tiga hari
kemudian, saat masih pagi-pagi benar, berangkatlah tiga orang pangeran yang
hendak pergi berburu itu. Selosin pasukan pengawal yang berpakaian indah
mengawal mereka. Mereka semua menunggang kuda yang tinggi besar dan taat, dan
di sepanjang perjalanan menuju keluar pintu gerbang mereka menjadi tontonan
yang menarik. Semua orang merasa kagum kepada tiga orang pangeran ini.
Mereka
bertiga memang amat menarik untuk ditonton. Bukan saja karena kuda mereka
merupakan kuda pilihan, atau pakaian mereka yang sangat mentereng, akan tetapi
juga karena mereka adalah tiga orang pangeran muda yang berwajah tampan sekali.
Juga mereka
membawa perlengkapan yang tidak biasa mereka bawa. Sebatang busur besar
dikalungkan di pundak, dan di punggung mereka terdapat belasan batang anak
panah dengan bulu beraneka warna. Di pinggang mereka tergantung sebatang pedang
panjang dan terselip pula beberapa batang belati pendek. Pokoknya mereka
membawa perlengkapan yang serba cukup. Perlengkapan lain dibawa oleh para
pengawal.
Pangeran Tao
Seng yang kini berusia dua puluh enam tahun itu jelas merupakan yang paling
tampan dan gagah di antara mereka bertiga. Kuncirnya yang hitam lebat itu
dikalungkan di lehernya, ujungnya terikat sutera kuning dan rambut di atas
kepala disisir rapi dan halus licin.
Dahinya
lebar dan alis matanya tebal. Kedua matanya yang seperti mata burung Hong itu
bersinar-sinar. Hidungnya mancung dan bibirnya terus tersenyum-senyum mengejek.
Dandanannya juga mewah sekali. Apa lagi duduk di atas kuda yang tinggi besar
itu, dia nampak gagah bukan main.
Pangeran Tao
San, putera kedua dari Kaisar Cia Cing, juga nampak tampan dan gagah. Pangeran
ini agak gemuk, dengan wajah yang bulat dan berkilauan. Bentuk tubuhnya agak
pendek sehingga dia kelihatan semakin gemuk. Hidungnya tidak begitu mancung dan
matanya sipit sekali. Akan tetapi karena pakaiannya juga mentereng, dia
kelihatan tampan juga. Pangeran ini, seperti yang dinilai oleh ayahnya sendiri,
memang pemalas dan suka pelisir, akan tetapi dia sangat berambisi dan ingin
berkuasa.
Orang ke
tiga adalah Pangeran Tao Kuang. Usianya dua puluh tiga tahun, setahun lebih
muda dari Pangeran Tao San. Dibandingkan dua orang kakaknya, dandanan Pangeran
Tao Kuang tidaklah demikian mewah, biar pun tentu saja bagi orang awam
pakaiannya itu sudah sangat indah. Wajahnya tampan dan anggun. Sepasang matanya
cerdik dan biar pun dia lebih sederhana, namun pakaiannya rapi dan kuncirnya
juga dijalin dengan rapi dan bagus.
Di sepanjang
jalan kota raja, mereka bertiga menjadi perhatian semua orang, terutama para
wanita muda yang terpesona melihat ketiga orang pangeran ini menunggang kuda
sambil melempar pandang dan tersenyum ke kanan kiri untuk membalas penghormatan
orang-orang yang membungkuk dengan hormat.
Setelah
keluar dari pintu gerbang sebelah utara, rombongan itu baru mempercepat lari
kuda mereka. Tiga orang pangeran itu berada di depan, diiringkan oleh dua belas
orang pasukan pengawal yang bersenjata lengkap.
Akhirnya
mereka tiba di hutan buatan itu. Mereka segera memasuki hutan untuk terus masuk
ke bagian tengah hutan yang lebat.
“Kenapa
terus masuk? Lihat itu, di sana ada serombongan kijang, Toako!” berkata Tao
Kuang dengan heran. “Bukankah di situ juga terdapat banyak binatang buruan?
Kenapa harus masuk ke dalam hutan yang lebat?”
Tiba-tiba
sikap kedua orang pangeran itu berubah. Tao Seng mencabut pedangnya dan
berkata, “Bocah sombong, engkaulah yang menjadi buruan kami!”
Pangeran Tao
San juga mencabut pedangnya. “Bocah tak tahu diri, engkau akan mati di tempat
ini!”
Tentu saja
Pangeran Tao Kuang terbelalak memandang kedua orang kakaknya itu. “Eh, Toako,
San-ko, harap jangan main-main!”
“Siapa
main-main? Kami memang hendak membunuhmu!”
Toa Kuang
baru tahu bahwa mereka itu bersungguh-sungguh. Ia menoleh kepada para pengawal
untuk minta perlindungan, akan tetapi para pengawal itu hanya memandang
kepadanya sambil tersenyum mengejek.
Segera dia
menyadari bahwa memang semua sudah diatur oleh kedua orang kakaknya untuk
membunuhnya dan para pengawal itu tentulah orang-orang kepercayaan mereka.
Begitu mendapat kenyataan ini, dia segera memutar dan membedal kudanya melompat
ke depan untuk melarikan diri!
“Ehh, dia
lari! Kejar!” Teriak Tao Seng.
“Kejar,
jangan sampai lolos!” teriak pula Tao San.
Dua pangeran
itu, juga selosin orang pengawal, segera membedal kuda masing-masing dan cepat
melakukan pengejaran. Pangeran Tao Kuang yang maklum bahwa nyawanya sedang
terancam maut, lalu membalapkan kudanya tanpa mempedulikan arah sehingga
kudanya menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar. Para pengejarnya semakin
dekat dengannya dan dalam kegugupannya, ketika kudanya berlari menyusup semak
berduri, dia pun tersangkut dan tak dapat dicegah lagi dia pun terlempar jatuh
dari atas kudanya!
Pangeran Tao
Kuang yang jatuh itu merangkak berdiri dan mencabut pedangnya untuk membela
diri. Akan tetapi Pangeran Tao Seng yang berkepandaian tinggi sudah tiba di
situ, melompat turun dari atas kudanya sambil tertawa mengejek, kemudian
mengayun pedangnya ke arah leher adiknya.
“Tranggg...!”
Pangeran Tao
Kuang menangkis dan pedangnya terpental dan terlepas dari tangannya. Bahkan
saking kerasnya pertemuan kedua pedang tadi dia hampir jatuh dan terhuyung ke
belakang. Kesempatan ini langsung dipergunakan oleh Pangeran Tao San untuk
mengayun pedang membacok.
“Trakkk!”
Tiba-tiba
pedang yang menuju ke leher Pangeran Tao Kuang itu terhenti di tengah jalan.
Ternyata pedang itu telah tertangkis sebatang kayu ranting yang dipegang oleh
seorang gadis yang entah dari mana tahu-tahu muncul di situ. Di samping gadis
itu berdiri pula seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memegang sebatang
tongkat bambu.
“Ehhh, apa
kesalahan Kongcu ini maka dia akan dibunuh?” tanya kakek itu, sementara
Pangeran Tao San terhuyung ke belakang oleh tangkisan kayu ranting itu yang
berada di tangan gadis yang bertubuh ramping dan berwajah ayu.
Tao Seng
membentak. “Orang tua, jangan kau mencampuri urusan kami. Kami adalah
pangeran-pangeran dari istana! Pergilah atau kalian berdua akan kami bunuh
pula!”
“Hemmm, mana
ada pangeran bersikap seperti ini?” Gadis itu membentak. “Sikap kalian bukan
seperti pangeran melainkan seperti orang-orang jahat!”
Tao Seng
menjadi marah bukan main. “Bunuh mereka bertiga!” teriaknya kepada anak buahnya
dan dia sendiri sudah menyerang kakek yang memegang tongkat itu.
“Singgggg...!”
Pedang di
tangan Tao Seng menyambar dahsyat dan menusuk ke arah dada kakek itu. Akan
tetapi dengan tenang sekali kakek itu menggerakkan tongkatnya menangkis.
“Tranggggg...!”
Pedang itu
hampir saja terpental dari tangan Tao Seng saat ditangkis tongkat itu. Tentu
saja Pangeran Tao Seng terkejut bukan main. Dia memperkuat serangannya, namun
serangannya dapat dielakkan atau ditangkis kakek yang ternyata lihai bukan main
itu.
Melihat ini,
Pangeran Tao San lalu membantu kakaknya menyerang kakek bertongkat secara
membabi buta. Kakek itu dikeroyok dua, akan tetapi dia masih tenang saja dan
semua serangan kedua orang pangeran itu dapat selalu dihindarkan.
Sementara
itu, gadis berpakaian serba hijau itu kini melindungi Pangeran Tao Kuang dari
serbuan para pengawal. Pangeran itu berlindung di balik sebatang pohon besar
dan gadis itu berdiri di depan pohon, menghalau semua penyerang.
Tidak
seperti kakek itu, gadis itu bergerak cepat dan juga ganas. Setiap pengawal
yang berani mendekat tentu ditotoknya dengan tongkatnya. Semua serangan pedang
dapat dihalau dengan putaran ranting itu dan hebatnya, tiap kali rantingnya
bergerak menotok, seorang pengawal tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali!
Tao Kuang
juga melihat betapa hebatnya gadis itu menghajar para pengawal. Ketika dia
melihat dua orang kakaknya mengeroyok kakek yang memegang tongkat, dia
berteriak.
“Locianpwe,
harap jangan membunuh mereka berdua! Mereka adalah kakak-kakakku sendiri!”
Tentu saja
kakek itu menjadi terkejut dan heran bukan main. Mengapa ada dua orang kakak
hendak membunuh adiknya? Akan tetapi timbul rasa kagum dan suka di dalam
hatinya terhadap Tao Kuang. Sudah akan dibunuh, tapi kini malah minta agar dia
tidak membunuh dua orang kakak pemuda itu!
Dia
mempercepat gerakan tongkatnya dan dua orang pangeran yang dikeroyoknya itu pun
roboh tertotok. Pedang mereka terlepas dan terpental dan berdua juga tidak
dapat bergerak kembali!
Setelah
merobohkan dua orang lawannya, kakek itu lalu membantu gadis berbaju hijau yang
masih dikeroyok, dan dalam waktu singkat saja mereka berdua telah merobohkan
selosin pengawal itu. Mereka semua roboh tertotok dan tak mampu lagi
menggerakkan tubuh. Ternyata ayah dan anak ini adalah ahli-ahli totok yang amat
lihai, menggunakan tongkat mereka.
Setelah
mereka semua dibuat tidak berdaya, Tao Kuang cepat memberi hormat sambil
mengangkat kedua tangan di depan dada kepada mereka berdua dan berkata, “Terima
kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda berdua). Kalau tidak ada Ji-wi, tentu
sekarang aku sudah menjadi mayat.”
“Ahh,
Kongcu. Tak perlu berterima kasih. Sudah menjadi kewajiban kami ayah dan anak
untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Akan tetapi
mengapa Kongcu hendak dibunuh oleh mereka ini? Siapakah Kongcu?” Ia bertanya
dengan ragu karena sekarang ia melihat bahwa pemuda itu mengenakan pakaian yang
amat mewah, tidak seperti seorang kongcu (tuan muda) biasa, melainkan bagaikan
seorang pemuda bangsawan tinggi.
“Aku adalah
Pangeran Tao Kuang, putera mahkota, Locianpwe.”
Mendengar
ini, kakek itu dan puterinya segera menjatuhkan diri berlutut.
“Ahhh, mohon
maaf bahwa hamba berdua tidak mengetahui siapa Paduka sehingga tadi bersikap
kurang hormat.”
“Ah,
Locianpwe, harap jangan begitu. Kalian sudah menolongku, bangkitlah dan jangan melakukan
banyak peradatan di tempat seperti ini.”
“Dan kedua
orang muda itu...?” si kakek bertanya sambil memandang kepada Tao Seng dan Tao
San.
“Mereka
adalah kedua orang kakakku dan selosin orang ini adalah anak buah mereka.
Sekarang harap Locianpwe dan Nona suka membantuku, membawa mereka ke kota raja.
Biarlah ayahanda Kaisar sendiri yang mengadili mereka.”
Tao Seng dan
Tao San menjadi ketakutan. Tao Seng segera berkata dengan suara memohon tanpa
dapat menggerakkan kaki tangannya.
“Adikku,
Kuang-te, kami hanya main-main. Harap maafkan kami dan kami berjanji tidak akan
melakukan lagi. Bebaskanlah kami.”
“Hemmm, aku
tahu kenapa engkau dan San-ko hendak membunuhku, Seng-ko. Kalian iri hati
karena aku diangkat sebagai putera mahkota maka kalian hendak membunuhku. Aku
tidak dapat membebaskanmu, biarlah ayahanda Kaisar yang memutuskan.”
Karena kedua
orang pangeran ini masih terus membujuk dan merayu, gadis itu lantas
menggerakkan rantingnya ke arah leher mereka sehingga kedua orang pangeran itu
tak mampu mengeluarkan suara lagi. Kemudian, dengan dibantu oleh anaknya, kakek
itu lalu mengikat semua pengawal dan dua orang pangeran di atas kuda mereka
dengan tali yang memang telah disiapkan oleh para pengawal untuk mengikat
binatang buruan. Kini semua orang terikat sudah di atas kuda masing-masing.
Setelah
pekerjaan itu selesai, Pangeran Tao Kuang merasa girang sekali.
“Locianpwe,
siapakah nama Locianpwe dan siapa Nona ini? Aku harus mengenal para
penolongku.”
“Hamba
bernama Liang Cun, dan ini adalah puteri hamba bernama Liang Siok Cu. Kami
tinggal di satu dusun yang berada di kaki Pegunungan Thian-san dan sekarang
sedang dalam perjalanan merantau. Kebetulan kami berada di sini dan melihat
peristiwa tadi.”
“Aku
bersyukur sekali, Paman Liang Cun. Sebaiknya kusebut paman saja padamu, dan
engkau Nona Liang, sungguh engkau seorang gadis yang hebat, memiliki ilmu silat
yang demikian tinggi.”
“Aihh,
Paduka terlalu memuji, Pangeran,” kata Siok Cu tersipu.
“Sekarang harap
Paman dan Nona suka mengawalku membawa semua tawanan ini ke istana.”
“Baik,
Pangeran. Kami siap melakukannya.”
Demikianlah,
dua belas orang tawanan yang terikat di atas kuda itu lalu digiring keluar dari
hutan, diikuti oleh Pangeran Tao Kuang yang menunggang kuda dan diikuti pula
oleh ayah dan anak itu yang berjalan kaki.
Tentu saja
mereka menjadi tontonan orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika mereka
berangkat tadi, saat menjadi tontonan yang mengagumkan, kini menjadi tontonan
yang menggegerkan dan membingungkan.
Orang-orang
bertanya-tanya, mengapa kedua orang pangeran dan dua belas pengawal itu diikat
di atas kuda, akan tetapi tidak ada seorang pun dapat menjawabnya. Dan tak
seorang pun berani bertanya kepada Pangeran Tao Kuang atau kepada Liang Cun dan
puterinya yang mengawal di belakang para tawanan sambil menggiring rombongan
kuda itu.
Para
pengawal istana juga gempar melihat Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San
diikat di atas kuda. Akan tetapi ketika mereka menghampiri dan bertanya-tanya, mereka
dibentak oleh Pangeran Tao Kuang.
“Cepat
laporkan kepada ayahanda Kaisar bahwa aku mohon menghadap karena ada urusan
yang penting sekali!”
Para
pengawal dalam dan para thaikam juga menjadi gempar. Segera Kaisar Cia Cing
mendengar akan permohonan putera mahkota. Dia segera menyatakan akan menerima
puteranya menghadap. Saat melihat Pangeran Tao Kuang ditemani seorang kakek dan
seorang gadis menggiring Tao Seng dan Tao San berikut dua belas orang pengawal
itu menghadap, tentu saja kaisar menjadi heran sekali.
“Tao Kuang,
apa artinya semua ini?!” seru kaisar sambil mengerutkan alisnya.
Dengan
tenang dan panjang lebar, Pangeran Tao Kuang lalu bercerita tentang semua
peristiwa yang terjadi, betapa dia hampir saja dibunuh oleh Tao Seng dan Tao
San bersama dua belas orang pengawal mereka, dan betapa dia diselamatkan oleh
Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu.
Mendengar
laporan ini wajah Kaisar Cia Cing menjadi pucat, lalu berubah merah sekali.
Hampir dia tidak dapat mempercayai cerita putera mahkota itu dan dia menghardik
dua belas orang pengawal itu.
“Benarkah
kalian para pengawal ini hendak membunuh putera mahkota Pangeran Tao Kuang?
Kenapa kalian melakukan hal itu?”
Dengan suara
serempak dan berlutut ketakutan dua belas orang itu menjawab, “Ampun beribu
ampun, Yang Mulia. Hamba semua hanyalah menjalankan perintah dari kedua
pangeran...!”
Kini hati
kaisar itu tidak ragu lagi bahwa dua orang puteranya memang mempunyai maksud
jahat terhadap adik mereka sendiri.
“Tangkap
kedua belas orang pengawal ini dan penggal kepala mereka. Tangkap pula keluarga
mereka dan jebloskan ke dalam penjara!” perintahnya dan para pengawalnya segera
turun tangan melaksanakan perintah, menggusur kedua belas orang pengawal para
pangeran itu keluar dari persidangan.
Kaisar Cia
Cing memandang kepada dua orang puteranya dan membentak, “Nah, apa yang hendak
kalian katakan sekarang? Kalian telah begitu tega untuk membunuh adik sendiri.
Tentu kalian lakukan itu karena iri hati, karena dia kami angkat menjadi putera
mahkota, bukan?”
“Ampun
beribu ampun, Paduka Ayahanda. Hamba berdua merasa bersalah dan hanya dapat
mengharapkan pengampunan,” kata mereka berdua sambil membentur-benturkan dahi
ke lantai. Bahkan Pangeran Tao Seng menangis dengan sedihnya.
“Hemmm,
bagaimana mungkin kami dapat mengampuni anak-anak yang murtad dan jahat macam
kalian?”
Pada saat
itu, Pangeran Tao Kuang yang sejak tadi menyaksikan semua itu, berlutut pula.
“Mohon Paduka mengampuni mereka, Ayah. Mereka melakukan karena terdorong nafsu
iri hati. Mereka tentu akan bertobat dan tidak akan mengulang perbuatan mereka
lagi.”
Melihat
sikap ini, Liang Cun dan puterinya merasa kagum sekali. Benar-benar seorang
pangeran yang berbudi mulia, pikir mereka.
“Apa? Engkau
nyaris dibunuh dan kini malah memintakan ampun untuk mereka?” tanya kaisar
dengan heran dan penasaran.
“Ayah,
bagaimana pun juga, mereka adalah kakak-kakak hamba sendiri. Bagaimana hamba
tega melihat mereka dihukum mati?” kata Pangeran Tao Kuang.
“Nah,
dengarkah kalian berdua? Pangeran Tao Kuang malah memintakan ampun untuk
kalian! Baiklah, melihat permohonan Tao Kuang, kalian tidak dihukum mati
melainkan dihukum buang ke Sin-kiang selama dua puluh tahun!”
Dua orang
pangeran itu menangis tersedu-sedu, akan tetapi kaisar tidak dapat terbujuk
lagi untuk mengubah keputusan itu. Segera petugas diteriaki dan mereka datang
untuk menggiring dua orang pangeran itu keluar dari ruangan.
Demikianlah
peristiwa antar keluarga kaisar itu selesai dengan terhukumnya dua orang
pangeran itu. Seperti biasa, kalau terjadi hal-hal buruk dalam keluarga kaisar,
maka hal itu dilewatkan begitu saja oleh pencatat sejarah karena kaisar tidak
menghendaki ada noda hitam dalam sejarah keluarganya.
Sementara
itu, Liang Cun diangkat menjadi guru silat oleh Pangeran Tao Kuang yang kini
menyadari betapa pentingnya ilmu silat tinggi bagi dirinya, untuk melindungi
dirinya sendiri kalau-kalau terjadi mala petaka seperti yang pernah dialaminya
itu.
Liang Cun
sebenarnya bukan seorang kakek biasa yang sekedar pandai ilmu silat saja. Dia
adalah seorang datuk kenamaan dengan julukan Sin-tung Koai-jin (Orang Aneh
Bertongkat Sakti) dari kaki Pegunungan Thai-san, dan Liang Siok Cu sudah
mewarisi ilmu tongkatnya yang hebat. Ayah dan anak ini selain memiliki ilmu
tongkat, juga amat terkenal dengan ilmu mereka dalam menotok jalan darah lawan.
Setelah
bergaul beberapa bulan lamanya, Pangeran Tao Kuang tidak dapat menyimpan lagi
perasaan cintanya kepada Siok Cu yang tumbuh semenjak ia ditolong gadis itu
dari tangan para calon pembunuhnya. Dan ternyata perasaan cintanya tak bertepuk
sebelah tangan. Ketika Liang Cun mendengar tentang pinangan itu, dia pun
merelakan puterinya menjadi selir Pangeran Tao Kuang.
Demikianlah,
Liang Siok Cu lalu menjadi selir terkasih dari pangeran mahkota itu. Tentu saja
kini ilmu silat Pangeran Tao Kuang menjadi semakin maju di bawah bimbingan
selirnya sendiri…..
***************
Waktu
berjalan dengan sangat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat
seperti sebatang anak panah lepas dari busurnya, walau pun kalau diperhatikan
sang waktu dapat merayap seperti seekor siput.
Kita kembali
kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng.
Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan
montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi
nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani.
Akan tetapi,
suaminya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal
ini membuat Silani berduka sekali. Dia merasa disia-siakan.
Juga
Khalaban, kepala suku Khitan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia
lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Jika Tao Seng
tidak datang, apa yang dapat dia lakukan? Dengan prihatin Khalaban lalu
mendidik cucunya.
Dalam hal
ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya
kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika
Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat
dan gulat kepada anak itu.
Khalaban
yang tak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah
keturunan pangeran, kemudian memanggil seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu
kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota
raja tidak akan memalukan ayahnya.
Kebetulan
sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncullah
seorang kakek yang pandai dan sakti. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah
Kuning yang diusir dari Tibet dan kemudian merantau sampai ke daerah itu.
Setelah
mengetahui bahwa pendeta Lama ini adalah seorang yang sakti, Khalaban lalu
menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan kemudian mengangkatnya menjadi
guru bagi Keng Han. Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Ia adalah
seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan
menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang
baik, di mana dia dihormati dan segala keperluannya dicukupi.
Ketika dia
diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya
untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja. Dia hanya sedikit memperhatikan
Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh.
Akan tetapi
setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia menjadi
terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan
bakat demikian hebat. Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han
bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat
sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini.
Sejak
berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima
tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia
telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin
yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat sehingga dalam
usia lima belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu
menandinginya, baik dalam ilmu bela diri mau pun ilmu gulat.
Melihat
puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil puteranya itu ke
dalam kamarnya.
“Keng Han,
sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu
mengelak untuk memberitahu!”
“Ya,
mengapa, Ibu? Mengapa Ibu seolah-olah menyembunyikan keadaan Ayah dariku?
Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hidup?”
“Sekarang
engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau sudah boleh mengetahui semua, anakku.
Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja
kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu
seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!”
“Ahhh...!
Aku... putera seorang pangeran mahkota?” tanya Keng Han dengan kaget.
Pamannya
Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan
menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka
pernah mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang bangsawan. Siapa kira, ayahnya
seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kaisar!
“Benar,
anakku. Engkau memang keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Sudah selama lima belas tahun
ayahmu meninggalkan kita, dan mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dulu
ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini
merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi
ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya.”
Silani
menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu dan Keng Han menerima pedang
itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah bukan main.
Gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Saat ia mencabut
pedang itu, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.
Di dalam
hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang
dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi
kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga?
Akan tetapi,
di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan
marah sekali. Kenapa ayahnya pergi meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun
padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan
memboyong mereka ke istana?
Ayahnya
telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah,
menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya masih tidak mau
memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki
itu!
Selagi ibu
dan anak ini bercakap-cakap, mendadak Kalucin muncul dan berkata, “Keng Han,
engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu.”
Keng Han
segera meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya
yang sudah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula
Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.
“Kakek, ada
urusan apakah memanggilku? Ada apakah pula dengan Suhu?” Keng Han memandang
kepada gurunya.
“Keng Han,
gurumu berpamit hendak meninggalkan kita hari ini juga.”
Tentu saja
Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak.
“Ehh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?”
“Tidak
apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini,
sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau.”
“Akan tetapi
Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah
menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!” bantah Keng Han yang amat menyayangi
gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.
“Engkau
benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya
berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk
pergi.”
Mendengar
ucapan yang tegas itu, Keng Han tak berani membantah lagi. Terpaksa dia
membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian serta sekantung
emas pemberian kakeknya untuk bekal di jalan. Biar pun Gosang Lama menolaknya,
namun Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga.
Setelah
selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu
diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin hingga ke luar dari daerah
perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke arah selatan
dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu.
Tiga hari
kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama
dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya ketiga orang pendeta yang
usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MeIihat ada tiga
orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han
dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban.
Khalaban
membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah, “Selamat datang di
perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada
kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?”
Tiga orang
pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang
mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang
bertanya, “Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang
bernama Gosang Lama?”
“Ahhh,
Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami
ini!” kata Khalaban terus terang.
“Hemmm,
sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih
dulu melarikan diri. Keparat!” kata pendeta itu dengan gemas.
Mendengar
makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju. “Mengapa kalian
bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?” bentaknya.
Tiga orang
pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata,
“Hemmm, engkau muridnya? Jika sekarang dia berada di sini, tentu kami akan
menangkapnya.”
“Ditangkap?
Kenapa?” Keng Han bertanya penuh penasaran.
“Dia adalah
seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum.”
“Hei, orang
muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi
bersembunyi!” kata pendeta yang jenggotnya panjang. “Hayo beritahukan kepada
kami!” Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak
Keng Han.
Keng Han yang
sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul
ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat
mengenai perutnya.
“Bukkk...!”
Keras sekali
pukulan Keng Han. Akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa,
sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri.
Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja. Dan
sebelum dia sempat mengelak, pendeta itu sudah mendorongnya sehingga tubuh Keng
Han terdorong dan roboh terjengkang.
Khalaban
cepat maju memberi hormat. Orang tua ini maklum bahwa dia berhadapan dengan
tiga orang pendeta yang lihai.
“Harap
maafkan cucu kami ini. Biar pun dia menjadi murid Gosang Lama, akan tetapi dia
tidak tahu di mana adanya Gosang Lama. Kemarin dulu dia berpamit dari kami
untuk melanjutkan perjalanan ke selatan, entah ke mana dia tidak memberitahu.
Harap jangan memaksa kami!”
Mendengar
kata-kata kepala suku itu, dan melihat pula betapa banyaknya orang Khitan
berdatangan mengepung tempat itu, tiga orang pendeta itu pun agaknya maklum
bahwa kalau mereka menggunakan kekerasan tentu akan berhadapan dengan ratusan
orang Khitan, maka tiga orang itu lalu mengangguk dan pergi dari situ tanpa
bicara lagi.
Peristiwa
itu menggores dalam-dalam di hati Keng Han. Dia sudah kehilangan gurunya, dan
tiga hari kemudian dia mendapat kenyataan bahwa semua ilmu yang sudah pernah
dipelajarinya dari Gosang Lama, ternyata tak banyak gunanya. Hanya melawan
seorang pendeta tua saja dia tidak mampu menang dan dikalahkan dalam segebrakan
saja!
Gosang Lama
memang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silat di dunia ini tak ada
batasnya dan banyak terdapat orang pandai di dunia ini. Kenyataan ini menghapus
kebanggaan dirinya bahwa dia merupakan pemuda terkuat di perkampungannya. Dia
harus mencari guru lagi yang lebih pandai. Dia harus pergi merantau mencari
guru yang pandai, dan juga merantau ke selatan mencari ayahnya!
Keng Han
pernah mendengar cerita dari ibunya mengenai lahirnya sebuah pulau yang
menimbulkan gelombang besar di laut utara.
“Hampir saja
ayah dan ibumu celaka dalam gelombang besar itu,” Ibunya menceritakan. “Kalau
kami tidak mengikat diri di tiang layar, tentu ibumu dan ayahmu sudah terlempar
keluar ditelan gelombang lautan. Dan menurut cerita tukang perahu, pulau yang
baru lahir itu adalah yang dahulu disebut Pulau Es. Dan ayahmu pernah bercerita
kepadaku bahwa pulau itu dahulu menjadi tempat tinggal keluarga yang sakti luar
biasa.”
Kisah yang
diceritakan ibunya ini menarik perhatiannya. Bagaimana hatinya tidak akan
tertarik? Peristiwa aneh itu dialami oleh ibu dan ayahnya sendiri dan mendengar
bahwa pulau itu dahulunya dihuni manusia-manusia sakti, hatinya amat tertarik.
Keng Han baru berusia lima belas tahun. Jiwa petualangan sedang berkembang
dengan suburnya di dalam hatinya.
Maka dia
lalu menghadap ibunya dan menyatakan bahwa dia hendak pergi ke selatan untuk
mencari ayahnya. Dia sama sekali tidak menceritakan keinginannya mengunjungi
pulau aneh itu karena tentu ibunya tidak akan mengijinkannya.
Mendengar
puteranya akan pergi mencari ayahnya, Silani tidak dapat melarangnya. Dia hanya
berpesan agar puteranya berhati-hati dan agar pedang bengkok itu disimpannya
baik-baik dan jangan sampai hilang sebelum bertemu dengan ayahnya.
Khalaban dan
Kalucin memberi banyak nasehat kepada pemuda remaja itu. Tadinya Kalucin hendak
menemani keponakannya pergi merantau, akan tetapi niatnya itu ditolak keras
oleh Keng Han.
“Paman, aku
sudah besar dan aku hendak merantau mencari pengalaman. Bagaimana aku akan
dapat menambah pengalaman dan pengetahuan kalau dikawal oleh Paman? Dan aku
sudah cukup kuat untuk menjaga diri sendiri,” bantahnya.
Kalucin
tidak dapat berkata apa-apa lagi karena dalam kenyataannya dia sendiri pun
tidak akan menang melawan kekuatan dan kepandaian keponakannya itu.
Tao Keng Han
berangkat dengan diantar oleh kakeknya serta Kalucin sampai keluar
perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa
kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting
sekali.
Puteranya
itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai
kedudukan yang tinggi. Bagi dirinya sendiri, dia sudah menerima nasib. Biarlah
dia tidak dijemput ke istana, asal puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan
puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini, maka hatinya
yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi agak terhibur.
Harapan
memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan bisa menimbulkan gairah
hidup. Bila masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita
yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang
putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak
orang membunuh diri karena sudah putus harapan. Akan tetapi sebaliknya, harapan
yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya, karena
hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak
terkabul!
Karena itu,
orang tidak boleh putus harapan. Akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu
mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan
keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi
sekali pun, biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik
yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal lain
lagi yang dianggap lebih baik.
Akan tetapi
bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak
dijemput oleh suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian
berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu.
Harapan supaya puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat
diterima sebagai seorang pangeran…..
****************
Setelah
keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan
seperti yang disangka ibunya dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur
karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau
yang diceritakan ibunya itu. Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar,
melalui pegunungan yang seolah tidak ada habis-habisnya. Dia naik turun gunung
dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan.
Akan tetapi,
sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri seperti itu,
dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa
kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia selalu
berhasil membunuh binatang buas yang mengancamnya.
Akhirnya
tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di pinggir
pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan
di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar
dari rumah.
Akan tetapi
Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke
timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang sangat menakjubkan.
Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah-olah
terbakar. Warna langit yang merah itu bertepi kuning emas dan di sana sini
nampak awan putih kebiruan. Indah sekali. Bagaikan pintu gerbang sorga di dalam
dongeng.
Kemudian
muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api
yang amat besar, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari
dalam lautan. Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor
makhluk aneh yang muncul dari dalam lautan.
Bola api
merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua.
Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin
tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah
bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Sinarnya kini mulai membuat
jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali.
Agung sekali!
Bersama
munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti
kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarangnya, takut
kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta.
Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan
laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut,
berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan
jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.
Kekusaan
Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat
disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.
Sayang
sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat
menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan
berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang
nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu
belaka.
Keng Han
terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu. Dia bahkan sudah lupa akan
dirinya sendiri yang seolah-olah kini sudah bersatu dengan semua keindahan itu,
bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.
Keramaian
yang makin banyak terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya
matahari pagi yang sekarang sinarnya mulai tak dapat tertahankan oleh pandang
mata, menyadarkan dirinya dari lamunan. Apa lagi ketika terdengar suara
ribut-ribut di sebelah sana.
Ia
mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga
orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dengan belasan
orang nelayan yang ribut mulut.
“Kami tidak
peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus serahkan
sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis
perkara!”
“Tapi hal
itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami
adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami pun harus
membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami
dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”
“Kamu berani
membantah?” Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah
pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh.
“Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapakah yang akan membela
kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”
“Hei, siapa
berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan
muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan,
tetapi lebih mirip para jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan
membela para nelayan ini!”
Tiga orang
pendatang itu menoleh dan menjadi marah. “Siapakah kalian berdua yang berani
mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek
dan mulutnya besar.
“Kami adalah
pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya sudah ditanggung
oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada
Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagai
mana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini
dan jangan membuat ribut di sini, atau kami akan menghajar kalian!”
“Ahhh,
kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat
sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”
Tiga orang
itu lalu maju menyerang kedua orang tukang pukul itu sehingga terjadilah
perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu
menandligi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan
diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin
ketakutan.
“Hayo cepat
sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si
hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kalian kerjakan, atau kalian ingin
kami menghajar kalian semua?”
“Perlahan
dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” mendadak
terdengar seruan dan muncullah seorang pria berusia lima puluh tahun yang
memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.
Disebut tiga
orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera
menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang
pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.
“Juragan
Lui, kami tadi dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka
memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan
Lui telah mereka hajar!”
Mendengar
ini, si hidung pesek tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inilah yang disebut
Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan
untuk mengisi padat kantung uangmu, juga memberi pinjaman dengan bunga berlipat
ganda. Dan engkau berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup
rupanya!”
“Hemmm,
kalian bertiga inilah yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot
huncwe-nya, lalu meniupkan asap tembakau yang berbau apek itu ke arah mereka.
“Keparat,
berani kau!” Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya.
Akan tetapi
dengan amat mudahnya Juragan Lui mengelak, lalu menangkap siku tangan yang
memukul. Hanya dengan sekali puntir dan mendorong, Si Pesek itu sudah roboh
menelungkup mencium tanah.
Dua orang
kawannya menjadi marah bukan main.
“Jahanam
yang bosan hidup!” bentak mereka.
Mereka
meloloskan golok dari pinggang mereka. Juga si hidung pesek yang ketika jatuh
menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini
sudah meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa
banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok
mereka.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment