Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pusaka Pulau Es
Jilid 02
Meski
pakaiannya seperti pedagang dan tubuhnya tinggi kurus nampak lemah, kiranya
Juragan Lui bukan seorang yang lemah. Cepat sekali tubuhnya bergerak dan dia
sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok dengan mengelak ke
sana-sini. Kemudian dia mengambil huncwe yang panjangnya selengan tangan itu
dari mulutnya dan mulailah dia membalas dengan mempergunakan huncwe itu sebagai
senjata.
“Trang-tranggg...!”
Dua batang
golok tertangkis huncwe dan dua orang pemegang golok itu terhuyung ke belakang.
Orang ke tiga yang membacokkan goloknya ke arah leher Juragan Lui justeru
terhuyung ke depan ketika goloknya mengenai tempat kosong, dan tiba-tiba saja
ujung huncwe telah menyodok dadanya.
“Dukkk...!”
Orang itu
mengaduh, goloknya terlepas dan dia pun roboh bergulingan, nampak amat
kesakitan. Dua orang kawannya menjadi marah dan kembali mereka menyerang dari
kanan kiri. Akan tetapi gerakan juragan Lui terlalu gesit bagi mereka. Setelah
mengelak, huncwe itu berkelebat dua kali. Dua orang pengeroyok itu pun roboh
tertusuk huncwe bagian dada dan perut mereka.
Tiga orang
itu merangkak bangun dan melarikan diri. Tentu saja kemenangan Juragan Lui
membuat para nelayan menjadi lega dan gembira. Mereka memuji-muji kegagahan
Juragan Lui yang menjadi sangat bangga.
Sambil
menyedot huncwe-nya kemudian mengepulkan asap dari mulutnya, Juragan Lui
berkata bangga, “Hemmm, segala macam bangsat kecil berani mengganggu wilayahku.
Baru mengenal kelihaian Juragan Lui sekarang! Hayo kalian berkemas dan
bekerja!”
Para nelayan
lalu sibuk mempersiapkan diri untuk mulai pergi mencari ikan. Akan tetapi Keng
Han yang semenjak tadi melihat semua peristiwa itu dengan hati tertarik,
melihat datangnya beberapa orang berlarian menuju ke tempat itu dan hatinya
merasa khawatir.
Tak lama
kemudian, lima orang telah tiba di situ, dipimpin seorang yang mukanya hitam
seperti dilumuri arang dan tubuhnya tinggi besar. Orang ini membawa sebatang
golok besar telanjang yang berkilauan saking tajamnya. Empat orang kawannya
membawa golok juga yang masih tergantung di pinggang masing-masing. Si muka
hitam berteriak dengan suara lantang.
“Siapa yang
bernama Juragan Lui?”
Para nelayan
yang tadinya sibuk bekerja itu menjadi panik melihat munculnya lima orang itu.
Akan tetapi Juragan Lui dengan tenang menghampiri mereka dan dengan alis
berkerut dia pun menegur.
“Siapakan
kalian dan mau apa mencari Juragan Lui? Akulah orangnya yang bernama Juragan
Lui!” Dan dia mengepulkan asap huncwe dari mulutnya.
Si muka
hitam melangkah maju menghampiri dan mengelebatkan golok besarnya. “Jadi engkau
ini yang bernama Juragan Lui? Engkau sudah berani memukul tiga orang anak
buahku, maka aku sendiri, Hek Houw (Harimau Hitam) datang untuk menghukummu!”
“Hemmm,
bagus! Anak buahmu yang berani melakukan pengacauan di wllayahku dan engkau
justru hendak membela mereka? Huncwe-ku tentu tidak akan mengampunimu. Ataukah
engkau hendak melakukan pengeroyokan dengan empat orang kawanmu? Aku pun dapat
mengerahkan semua orangku untuk mengeroyok. Katakan, engkau hendak main
keroyokan banyak orang atau hendak bertanding satu lawan satu sebagaimana
layaknya orang gagah?”
“Ha-ha-ha,
si lintah darat Lui masih juga dapat bicara tentang orang gagah. Mari kita
bertanding satu lawan satu, dan kalau aku menang, engkau harus menyediakan
perahu-perahu untuk kami tiga puluh orang pergi ke pulau kosong!”
“Hemmm,
kiranya kalian sebangsa perampok. Bagaimana kalau engkau yang kalah?”
“Aku Si
Harimau Hitam, kalah olehmu? Ha-ha-ha, jangan mimpi! Kalau aku kalah, aku dan
kawan-kawanku tidak akan mengganggu dusun ini lagi.”
“Bagus! Mari
kita mulai!”
Dua orang
itu lalu memasang kuda-kuda. Si muka hitam, mengangkat goloknya tinggi di atas
kepala sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Juragan Lui dengan sikap
yang tenang melintangkan huncwe-nya di depan dada.
“Lihat
seranganku!” bentak si muka hitam yang menyerang lebih dulu dengan goloknya.
Golok itu menyambar dahsyat ke arah kepala Juragan Lui. Yang diserang
cepat-cepat menggerakkan huncwe-nya menangkis.
“Tranggggg...!”
Pertemuan
antara dua tenaga dahsyat itu hebat sekali. Nampak api berpercikan keluar dari
tempat tembakau huncwe itu dan keduanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan
bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang berimbang.
Agaknya Hek
Houw menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang kepala perampok yang sudah
terkenal di daerah itu dan baru sekali ini bertemu tanding yang seimbang dalam
diri seorang juragan nelayan! Karena marah bukan main, dia lalu menyerang lagi
dan menggerakkan goloknya dengan sangat hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan seluruh ilmu goloknya.
Akhirnya,
Juragan Lui terdesak juga oleh permainan golok yang amat cepat dan kuat itu.
Senjatanya yang berupa huncwe itu tidak menguntungkan, hanya dapat dipakai
untuk menotok saja, sedangkan golok lawan dapat digunakan untuk membacok dan
menusuk.
“Sing-sing-singgg...!”
Golok itu
menyambar-nyambar sehingga Juragan Lui terpaksa harus terus berloncatan ke sana
ke mari untuk menghindarkan diri. Dia tidak mendapat kesempatan untuk balas
menyerang lagi saking cepatnya serangan lawan yang bertubi-tubi.
“Trakkk...!”
Mendadak
golok itu tertahan di udara oleh sebatang ranting kayu. Si Harimau Hitam merasa
betapa tangannya kesemutan dan goloknya seolah tertahan dan melekat pada
ranting kayu itu. Dia cepat menarik goloknya, kemudian melangkah mundur.
Ternyata
yang memegang sebatang ranting dan yang menahan goloknya itu adalah seorang
pemuda remaja yang tampan dan gagah. Pemuda yang usianya paling banyak lima
belas tahun, bermata lebar, hidungnya mancung dan mulutnya tersenyum-senyum.
Pemuda itu
adalah Tao Keng Han. Tadinya dia hanya menonton saja perkelahian yang terjadi
itu. Akan tetapi melihat betapa Juragan Lui terdesak dan terancam, dia tak
dapat tinggal diam saja, lalu memungut sepotong ranting dan turun tangan
menangkis golok yang menyambar-nyambar itu.
“Keparat! Engkau
bocah tak tahu diri, siapa engkau yang berani menangkis golokku?”
Keng Han
tersenyum. “Tidaklah penting siapa adanya aku, akan tetapi engkau hendak
memaksakan kehendak supaya ditaati orang lain. Itu merupakan perbuatan jahat
yang harus kutentang. Orang-orang ini adalah para nelayan yang harus bekerja
dan mencari nafkah, mengapa engkau mengganggu mereka dan memaksa mereka
mengantarmu berlayar?”
“Anak kecil,
kau tahu apa?! Hayo pergi dari sini atau akan kupenggal batang lehermu!”
“Hemmm,
hendak kulihat bagaimana caranya engkau akan memenggal batang leherku,
sebaliknya aku akan mematahkan batang hidungmu!” kata Keng Han.
Dia tadi
sudah menyaksikan pertandingan antara kepala perampok ini dengan Juragan Lui
dan melihat betapa dangkal permainannya. Gerakan kepala perampok itu hanyalah
mengandalkan tenaga luar saja dan amat lamban baginya, maka dia merasa yakin
akan mampu mengalahkannya.
Mendengar
ucapan pemuda remaja itu, Harimau Hitam menjadi marah sekali. Dia pun mengayun
goloknya dengan penuh tenaga sambil membentak.
“Hyaaaaattt...!”
Akan tetapi
bacokan itu luput karena dengan lincahnya Keng Han sudah mengelak. Anak ini
sudah menerima gemblengan ilmu silat dari Gosang Lama yang tingkatnya jauh
lebih tinggi dari pada ilmu golok penjahat itu, maka Keng Han bisa
mempermainkannya. Setelah enam tujuh kali dia mengelak dari sambaran golok
kepala perampok itu, Keng Han mulai menggerakkan ranting kayu di tangannya.
“Prattt-prattt!”
Dua kali
ranting kayu menyambar dan tak dapat dihindarkan lagi muka kepala perampok itu
terkena lecutan ujung ranting kayu sehingga nampak dua jalur merah pada kedua
pipinya! Rasa nyeri dan pedih membuat dia semakin marah dan kini mengamuk
seperti harimau terluka. Akan tetapi, semakin hebat dia mengamuk semakin sering
pula ranting kayu itu melecut dan beberapa kali mengenai batang hidungnya
sehingga tulang batang hidung yang tidak keras itu menjadi patah-patah dan
berdarah!
Melihat
kepala perampok itu tidak menjadi jera, bahkan mengamuk semakin ganas, Keng Han
lalu menggerakkan tongkatnya dua kali ke arah lutut. Dia menotok kedua lutut
Harimau Hitam itu dan kepala perampok itu jatuh berlutut! Empat orang anak
buahnya yang tidak berani mencampuri karena di situ selain terdapat Juragan
Lui, juga terdapat banyak sekali nelayan, segera membantu ketua mereka,
mengangkatnya bangun dan memapahnya pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi.
Para nelayan
pun menyambut kemenangan Keng Han dengan sorak dan tepuk tangan. Juragan Lui
segera menghampiri Keng Han, kemudian memberi hormat sambil berkata,
“Siauw-hiap (Pendekar Muda) sungguh lihai dan mengagumkan sekali. Terima kasih
atas pertolonganmu tadi.”
Namun, Keng
Han yang tadi telah bertanya-tanya dan mendapat keterangan beberapa orang
nelayan siapa adanya Juragan Lui itu, sudah berkata dengan ketus kepadanya,
“Engkau juga bukan orang baik-baik, Juragan Lui!”
Mendengar
ini, mata Juragan Lui terbelalak dan berseru, “Engkau keliru, orang muda! Aku
adalah penolong seluruh nelayan di daerah ini! Siapa yang memberi modal kepada
mereka untuk memperbaiki jala dan perahu? Aku! Siapa yang memberi mereka makan
dan pakaian di waktu angin besar tidak memungkinkan mereka mencari nafkah? Aku!
Kalau tidak ada aku, mereka tentu banyak yang sudah kelaparan!”
“Hemmm,
memang baik sekali kalau engkau menolong mereka dari kesukaran. Akan tetapi
engkau menolong dengan pamrih untuk menarik keuntungan sebesarnya. Kalau musim
menangkap ikan tiba, engkau mengharuskan mereka menyerahkan seluruh hasil
tangkapan ikan kepadamu. Engkau lalu memperhitungkan bantuan-bantuanmu sebagai
hutang dengan bunga yang berlipat ganda. Itu bukan pertolongan namanya,
melainkan pemerasan! Engkau tak ubahnya seperti lintah darat, tidak lebih baik
dari pada kepala perampok tadi!”
“Itu
filtnah! Engkau lancang mulut dan perlu dihajar, orang muda!” Juragan Lui
berkata dengan marah sekali.
“Benarkah?
Aku atau engkau yang perlu dihajar?” Keng Han mengejek.
Karena
merasa dihina di depan banyak orang, Juragan Lui segera menyerang dengan
huncwe-nya. Serangannya cepat dan berbahaya, namun bagi Keng Han serangan itu
tidak ada artinya. Dia mengelak dan sekali tongkatnya bergerak, ujung
tongkatnya telah menotok pergelangan tangan yang memegang huncwe sehingga pipa
tembakau itu terlepas dari pegangan tangan Juragan Lui.
Para tukang
pukulnya yang ketika itu sudah berkumpul di situ dan ada belasan orang
banyaknya sudah siap membantu juragan mereka. Akan tetapi Keng Han menodongkan
ujung rantingnya ke leher Juragan Lui dan membentak,
“Mundur
kalian semua! Atau, aku akan membunuh juragan kalian ini lebih dahulu, baru
membunuh kalian!”
Juragan Lui
yang ditodong lehernya maklum bahwa sekali tongkat itu bergerak menotok maka
dia akan tewas. Dengan ketakutan dia lalu berkata, suaranya gemetar.
“Ampunkan
aku, Siauw-hiap. Aku akan mentaati semua permintaanmu.”
Keng Han
menarik tongkatnya. “Aku tidak menghendaki apa pun darimu, akan tetapi mulai
sekarang engkau tidak boleh memeras para nelayan. Kalau memberi pinjaman,
mintalah bayaran dengan bunga yang wajar saja sehingga para nelayan
berkesempatan untuk menaikkan taraf hidup mereka. Mereka itu manusia, sama
dengan engkau dan aku yang membutuhkan kesejahteraan dan kesenangan, bukan
sekedar makan saja. Kalau lain kali aku melihat engkau masih memeras mereka,
aku akan membunuhmu!”
“Baik,
Siauw-hiap. Aku akan melaksanakan perintahmu.”
“Sekarang
aku hendak menyewa sebuah perahu berikut tukang perahu yang dapat mengantar aku
ke Pulau Es yang muncul belasan tahun yang lalu.”
Wajah
Juragan Lui menjadi pucat. “Ah, akan tetapi di antara kami tidak ada yang
berani ke sana, Siauw-hiap.”
“Mengapa
tidak berani?” tanya Keng Han dengan heran.
“Karena...
karena pulau itu berhantu!”
“Berhantu?
Apakah ada yang pernah melihat hantu di pulau itu?”
“Melihat sih
belum, akan tetapi kabar yang tersiar di mana-mana menyatakan bahwa pulau itu
berhantu. Sudah ada beberapa orang nelayan yang berani mencari ikan agak dekat
dengan pulau itu kedapatan mati, mati dengan tubuh hangus seperti dibakar! Nah,
siapa lagi yang melakukan hal ini kalau bukan hantu? Kami... maafkan,
Siauw-hiap, tidak ada di antara kami yang berani...”
“Aku yang
menanggung keselamatannya. Orang yang mengantarku ke sana tidak perlu ikut
mendarat, cukup mengantar sampai aku tiba di sana saja. Setelah aku mengadakan
penelitian di sana, dia boleh mengantar aku kembali, dan untuk itu aku mau
membayar sewa perahu dan upah yang memadai.”
Mendengar
ini, Juragan Lui lalu menoleh ke belakang, ke arah para nelayan. Kemudian dia
bertanya, “Kalian semua telah mendengar permintan Siauw-hiap ini, apakah ada di
antara kalian yang sanggup mengantarkan dia ke pulau itu?”
Para nelayan
itu nampak ketakutan, saling pandang dan menggelengkan kepala. Akan tetapi,
seorang nelayan yang berusia lima puluh tahun segera melangkah maju dan
berkata, “Biarlah saya yang akan mengantar Siauw-hiap ini ke sana! Dia sudah
melepas budi kepada kami, memperbaiki nasib kami, maka sebagai tanda terima
kasih biar saya mengantar dia ke sana!”
Orang-orang
bertepuk tangan memuji ketika ada seorang di antara mereka yang berani
mengajukan diri. Orang itu bernama Ji Koan, seorang nelayan kawakan yang sejak
kecil sudah menjadi nelayan di tempat itu.
“Terima
kasih, Paman,” kata Keng Han. “Siapakah nama Paman?”
“Namaku Ji
Koan, Siauw-hiap.”
“Paman Ji,
berapa sewa perahumu? Aku akan membayarnya lebih dulu.”
“Tidak usah,
Siauw-hiap. Soal sewanya mudah, nanti saja jika Siauw-hiap telah berhasil tiba
ke pulau itu dan kembali dengan selamat ke sini. Kapan berangkat, Siauw-hiap?”
“Sekarang
juga, Paman Ji. Dan jangan sebut aku siauw-hiap. Namaku Tao Keng Han.”
“Baiklah,
Tao-kongcu. Nah, saya sudah siap. Itu perahuku yang layarnya kuning,” kata Ji
Koan dengan nada gembira dan bangga bahwa dia satu-satunya orang yang berani
mengantar pemuda perkasa itu ke Pulau Hantu. Semua ini dia lakukan karena rasa
terima kasihnya. Berkat sepak terjang pemuda itu, kehidupan para nelayan di
situ akan menjadi jauh lebih baik.
Para nelayan
yang lain membantu ketika Ji Koan membuat persiapan dan ketika perahu berangkat
berlayar. Semua orang memandang dan mengikuti perahu itu dengan sinar mata
penuh ketegangan dan juga kekhawatiran. Tetapi Ji Koan adalah seorang nelayan
yang tidak memiliki keluarga, hidup sebatang kara saja di dunia ini sehingga
tidak ada anggota keluarga yang mengkhawatirkannya.
Semua
penduduk perkampungan nelayan itu dicekam ketakutan kalau ada orang bicara
tentang Pulau Hantu, demikian mereka menamakan pulau kosong itu. Karena itu,
begitu perahu yang dikemudikan oleh Ji Koan hilang dari pandangan, semua orang
yang ada di sana segera bergegas pulang dan menutup pintu rumah mereka
rapat-rapat.
Rasa takut
adalah suatu perasaan yang timbul apabila orang menghadapi sesuatu yang belum
terjadi. Kalau orang membayangkan hal-hal yang hebat, mala petaka yang akan
menimpanya di masa depan, maka orang itu akan dicekam perasaan takut.
Takut dan
khawatir hanyalah permainan dari pikiran kita sendiri yang membayangkan hal-hal
yang belum tiba, memikirkan masa depan dan mengkhayalkan kejadian-kejadian
mengerikan yang mungkin menimpa diri kita. Kalau kejadian itu sudah datang
menimpa kita, maka rasa takut itu pun tidak akan ada lagi, yang ada rasa takut
membayangkan hal lain yang mungkin datang menimpa kita, yang lebih hebat lagi.
Kalau ada
wabah mengamuk, kita yang belum terkena penyakit tentu menjadi ketakutan kalau
membayangkan bahwa kita akan terkena penyakit itu. Akan tetapi kalau penyakit
benar-benar sudah menimpa kita, kita tidak lagi takut menghadapi penyakit yang
sudah diderita, yang kita takuti mungkin kematian yang belum tiba. Pendeknya,
segala hal yang belum datang dan mungkin menimpa diri kita pada masa depan.
Memikirkan atau membayangkan hal itulah yang menimbulkan perasaan takut dan
ngeri.
Seperti
orang takut akan hantu, setan, iblis dan sebagainya. Karena kita belum pernah
melihatnya, belum pernah bertemu, kita lalu membayangkan hal-hal yang
mengerikan kalau bertemu benar-benar. Andai kita sudah bertemu dengan iblis
seperti kita melihat makhluk-makhluk lainnya, pasti tidak ada lagi rasa takut
itu.
Kalau kita
tidak membayangkan hal-hal yang belum datang, tidak membayangkan masa depan,
maka kita hanya akan menghadapi saat ini, peristiwa yang kita hadapi sekarang
ini dan kita bebas dari pada rasa takut akan masa depan. Orang yang begini
adalah seorang yang waspada dan pasti akan mampu menghadapi segala hal yang
dialaminya, dan orang yang bebas dari rasa takut adalah seorang yang
berbahagia.
Lebih baik
kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan
yang mengatur segala apa yang terjadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan
kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan
tertimpa apa pun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai
kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka.
Namun bukan
berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, dan menyerahkan segalanya kepada
Tuhan tanpa berusaha. Tidak! Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk bisa
mendapatkan yang terbaik, tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga
apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan kegagalan dalam
usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kita harus mencari
kesalahannya dalam sepak terjang kita sendiri!
Pagi itu
udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat
sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang sementara
angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han bisa meluncur
dengan sempurna.
Keng Han
merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya pada saat bertamasya
dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ahhh,
seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya?
Menurut
ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah. Kata ibunya,
tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung
Hong. Hidungnya mancung dengan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya
indah! Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya.
Dan ayah
serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para
nelayan itu lahir! Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya saja sudah
timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau yang aneh itu, apa lagi
sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan.
Cerita ini
tak membuatnya takut, malah menambah keinginan tahunya. Benar-benarkah ada
hantu di pulau itu? Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini? Hantu
seperti dalam bentuknya aneh-aneh dan mengerikan?
Setelah
berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan
berseru.
“Itulah
dia... Pulau Hantu...” saat menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi
bisikan.
Keng Han
yang sedang melamun menjadi kaget. Ia cepat memandang nelayan itu yang
menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak
jauh lagi dari situ.
Pulau itu
tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu
tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan. Padahal, ibunya pernah
bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di
telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir
atau timbul kembali muncul dari dalam lautan.
Dia tidak
bisa mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu.
Mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk
lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak
pohon-pohonnya.
“Ahhh,
kelihatannya pulau biasa saja, mengapa disebut Pulau Hantu? Paman Ji Koan,
arahkan perahu mendekat.”
“Tao-kongcu...
saya... saya takut...!”
“Aih, apa
yang ditakuti? Mari, biar aku yang mengemudikan perahu!” katanya dan Keng Han
mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan.
Tadi dia
sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik
maka sebentar saja dia sudah mampu menguasai kepandaian itu. Sekarang dia
mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu
di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan
pohon-pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja.
Karena sudah
dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya. Dia pun
melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han,
dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba
dia menuding ke air.
“Kongcu,
lihat...!” Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung
menggigil.
Keng Han
melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di
dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar
kelingking jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling
panjang dua kaki. Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali.
Tiba-tiba
dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji
Koan berteriak, namun Keng Han menggunakan dayungnya menghantam sehingga dua
ekor ular itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat.
Lalu terjadi
hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawan-kawannya sendiri,
tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan. Agaknya ular-ular laut yang merah ini
ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini
terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.
“Kongcu...
mari kita kembali saja...,” dia mengeluh ketakutan.
Akan tetapi
pengalaman itu bagi Keng Han justru menambah keinginan tahunya. “Tidak, Paman.
Kita terus ke pulau, kita mendarat!” katanya sambil menggerakkan dayungnya
dengan penuh tenaga.
Ji Koan tak
dapat membantah lagi. Dia terpaksa ikut pula mendayung, biar pun pandang
matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan
bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat
sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.
“Lihat itu,
Paman!” tiba-tiba Keng Han menuding ke depan.
Ji Koan
memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada
tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.
“Saya takut
mendarat, Kongcu.”
“Kalau
begitu, tinggallah saja di perahu ini di dekat pantai, biar nanti aku sendiri
yang mendarat. Akan tetapi Paman harus menunggu, jangan pergi sebelum aku
kembali.”
“Baik,
Kongcu,” kata Ji Koan yang masih ketakutan.
Keng Han
lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan pada punggungnya dan meloncat
dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain
sampai akhirnya dia dapat mendarat. Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh
batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terdapat di balik
batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang
sangat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia
tadi tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang
dia dapat mendengarnya.
Di tempat
itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti
raksasa, yang semua rambutnya sudah putih bagai kapas, tengah mengamuk
dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si
Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu. Sungguh
mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya
mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari mana dan lebih dulu berlayar sampai
ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi
pertempuran di antara mereka.
Akan tetapi
Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu
ganas bukan main. Ke mana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang
roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan, lalu berkelojotan
dan mati! Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam
air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup
membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya
hawa pukulannya saja yang menyambar!
Tiga puluh
orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan amat nekat,
namun satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang
sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa
yang amat ganas dan lihai itu. Akan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan
sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah,
delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama
kemudian.
“Ha-ha-ha-ha,
segala macam cacing tanah ini berani melawanku. Aku Swat-hai Lo-kwi (Iblis Tua
Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha-ha, mampuslah kalian
semua, ha-ha-ha!”
Keng Han merasa
penasaran sekali. Dia menganggap kakek itu terlalu sombong dan terlalu kejam,
dengan begitu saja membunuhi tiga puluh orang. Dia tak dapat menahan kemarahan
hatinya dan Keng Han pun segera melompat keluar dari balik batu besar sambil
berseru, “Kakek tua, sungguh engkau seorang manusia yang kejam seperti iblis!”
Kakek itu
menoleh. Ketika melihat seorang pemuda remaja memakinya kejam seperti iblis,
dia tidak menjadi marah, bahkan lalu tertawa bergelak.
“Bagus, aku
memang kejam bagaikan iblis, dan memang aku ini Iblis Tua Lautan Salju. Karena
engkau telah memujiku, maka aku mengampunimu dan tak akan membunuhmu,
ha-ha-ha!”
Akan tetapi
Keng Han menjadi semakin marah. “Kakek iblis, bukan engkau yang hendak membunuhku,
melainkan aku yang akan membunuhmu. Iblis seperti engkau ini harus dibasmi dari
permukaan bumi agar tidak lagi membunuhi manusia!”
Keng Han
meloncat ke depan dan menghampiri kakek raksasa berambut putih itu. Dia seperti
seekor burung yang baru saja dapat terbang, tidak takut terhadap apa pun. Dia
menganggap ilmu silatnya sudah cukup tinggi untuk membela diri, tidak tahu
bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia iblis yang selain kejam juga lihai
bukan main.
Dengan
gerakan cepat, Keng Han sudah menyerang kakek itu dengan kepalan tangan
kanannya. Akan tetapi kakek itu hanya tertawa dan sama sekali tidak mengelak
atau pun menangkis.
“Bukkk...!”
Pukulan
tangan Keng Han mengenai dada kakek itu, akan tetapi bukan kakek itu yang roboh
melainkan Keng Han sendiri yang terlempar dan terjengkang ke atas tanah. Dia
seperti memukul bukit baja yang mengeluarkan tenaga mendorong amat kuatnya.
“Ha-ha-ha-ha,
engkau berani melawan aku? Baiklah, kalau begitu engkau sudah bosan hidup,
mampuslah!” Kakek itu lalu mengirim pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya.
Melihat ini,
Keng Han teringat kepada para perampok yang roboh karena pukulan jarak jauh
itu, maka dia tahu alangkah berbahayanya pukulan ini. Cepat dia menggulingkan
tubuhnya sehingga hawa pukulan yang menyambarnya itu luput.
Pada saat
itu, nampak sinar kecil merah menyambar ke arah kakek raksasa itu.
“Ihhh...!”
Kakek itu
mendengus dan sekali tangannya menyampok, ular merah itu terpukul hancur. Dua
ular lain melayang dan menyerangnya, akan tetapi juga dua ekor ular ini
ditangkis dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.
Kakek itu
merasa penasaran karena melihat pukulannya ke arah Keng Han tadi dapat
dielakkan. Dia memburu dengan langkah panjang ke arah Keng Han dan kembali dia
melancarkan pukulan jarak jauh.
Kini, biar
pun Keng Han sudah melompat ke kiri untuk menghindar, tetap saja tubuhnya
dilanda hawa pukulan yang membuat dia terlempar dan terbanting keras. Hawa yang
amat dingin menyerang seluruh tubuhnya membuat dia menggigil. Akan tetapi dia masih
dapat bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk melawan sampai akhir.
Pada saat
itu, banyak sekali ular merah yang tadi mengikuti perahu Keng Han mendarat
seperti barisan ular yang banyak sekali. Ketika melihat Keng Han bangkit
terhuyung ke arah barisan ular, menyongsongnya di luar kesadarannya, langsung
saja tiga ekor ular menyerangnya. Dia tidak mampu mengelak atau menangkis
sehingga seekor ular telah menggigit lehernya, seekor lagi menggigit tangannya
dan seekor lagi menggigit kakinya!
Digigit tiga
ekor ular merah itu, Keng Han seperti terkena sengatan halilintar. Matanya
terbelalak, tidak menggigil lagi, dan seperti mendadak menjadi gila. Keng Han
tertawa dan menangis, lalu merenggut ular yang menggigit lehernya lalu...
membuka mulutnya dan menggigit ular itu, dikunyahnya seperti orang makan kue
yang lezat saja! Kemudian dia berteriak-teriak sambil berlari ke tengah pulau,
masih memegangi tubuh ular yang berlepotan darah sedangkan dua ular masih
bergantung kepada tangan dan kakinya.
Sementara
itu, kakek raksasa rambut putih kini diserang oleh puluhan, bahkan ratusan ular
merah! Dia sibuk berloncatan ke sana sini sambil mengibaskan kedua tangannya.
“Hwe-hiat-coa
(ular darah api)...?! Banyak sekali...! Wah, sungguh-sungguh berbahaya. Benar-benar
Pulau Hantu...!”
Kakek itu
lalu melarikan diri, melompat ke atas sebuah perahu. Kebetulan dia melompat ke
perahu yang ditumpangi Ji Koan yang ketakutan. Melihat ada orang di dalam
perahu, raksasa itu menendang dan tubuh Ji Koan terlempar ke air dalam keadaan
sudah tewas karena tendangan itu kuat bukan main!
Segera kakek
itu mendayung perahu ke tengah, mengembangkan layar dan cepat-cepat pergi dari
pulau itu dengan wajah membayangkan bahwa dia juga gemetar menghadapi barisan
ular yang disebutnya Hwe-hiat-coa itu.
Keng Han
seperti telah menjadi gila. Dia berlari terus sambil makan ular itu. Digigitnya
sepotong tubuh ular dan dikunyahnya dengan nikmat. Bibirnya berlepotan darah.
Tetapi dia berlari terus sambil kadang menangis kadang tertawa, atau berteriak-teriak.
“Panas...!
Panas...!” teriaknya.
Akan tetapi
tak lama kemudian teriakannya berubah.
“Dingin...!
Dingin...!”
Dia berlari
terus ke tengah pulau yang merupakan bukit. Dia mendaki bukit gundul itu, tidak
tahu dan tak menyadari apa yang sedang dilakukannya. Setelah seekor ular habis
dimakannya, dia mengambil lagi ular yang masih bergantung menggigit tangannya
dan kembali dia makan ular itu, dimulai dari kepalanya!
Keadaan
pemuda remaja itu benar-benar mengerikan sekali. Wajahnya kadang menjadi pucat,
kadang merah sekali. Matanya terbelalak lebar, napasnya kadang memburu dan
terengah-engah. Akan tetapi ular itu terus dimakannya. Setelah ular kedua
habis, dia mengambil ular ketiga yang bergantungan di kakinya sehingga akhirnya
tiga ekor ular itu habis dimakannya. Kini dia tiba di sebuah goa, tetapi dia
sudah tidak kuat bertahan lagi. Keng Han pun terguling roboh ke dalam goa itu,
pingsan!
Keadaan Keng
Han sangat mengerikan dan mencemaskan. Tetapi yang jelas, pukulan yang
mengandung hawa sinkang amat dingin itu, yang tadi telah membunuh tiga puluh
orang dalam keadaan tubuh membeku, ternyata tidak sampai membunuh Keng Han. Dan
lebih aneh lagi, gigitan tiga ekor ular merah itu pun tidak membunuhnya.
Padahal biasanya, sekali saja tergigit seekor ular darah api itu, orangnya akan
tewas seketika dan tubuhnya menjadi hangus seperti terbakar!
Memang
kematian seseorang sepenuhnya tergantung kepada kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan
menghendaki seseorang itu harus mati, kalau sudah tiba saat kematiannya, apa
pun di dunia ini tidak akan dapat mencegahnya. Biar andai kata orang itu
bersembunyi ke dalam liang semut, akhirnya sang maut akan datang pula
menjemputnya. Sebaliknya kalau Tuhan belum menghendaki seseorang itu mati, biar
pun sudah terancam bahaya maut, sudah berada di dalam mulut harimau umpamanya,
dia tetap akan dapat lolos dari maut dan selamat.
Banyak orang
yang sejak muda sekali menjadi seorang perajurit, sudah ratusan kali berperang
dan bertempur, tetapi selalu saja dia lolos dari cengkeraman maut. Setelah tua
dan pensiun, berhenti dari pekerjaannya yang penuh bahaya itu, berada di rumah
yang aman, datang penyakit dan dia pun meninggal dunia!
Demikianlah,
mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Apakah kalau sudah
mengetahui akan kenyataan ini orang lalu boleh bersikap masa bodoh terhadap
keselamatan dirinya, menyerahkan saja kepada kekuasaan Tuhan untuk mengaturnya?
Tentu saja tidak! Manusia hidup sudah mempunyai kewajiban semenjak dilahirkan
untuk menjaga diri, untuk mempertahankan hidup ini, senang atau pun tidak
senang. Ikhtiar itu suatu kewajiban mutlak, keputusan akhir adalah menjadi
kekuasaan Tuhan.
Keadaan Keng
Han yang mengherankan itu pun bukannya tanpa sebab.
Keng Han
tentu sudah tewas akibat menerima pukulan kakek raksasa berambut putih yang
menamakan dirinya Swat-hai Lo-kwi itu, pukulan yang mengandung hawa sinkang
dingin sekali, membuat orang yang dipukulnya mati beku, karena tenaga sinkang
anak itu belum mampu melawannya. Dia tentu sudah tewas kalau saja pada saat itu
dia tidak tergigit oleh tiga ekor ular merah!
Dan dia
tentu sudah mati pula oleh gigitan ular darah api itu yang mengandung racun
panas, yang membuat orang yang digigit mati dengan tubuh hangus, bila saja dia
tidak terpukul oleh Swat-hai Lo-kwi. Dan karena ia tergigit oleh tiga ekor ular
sekaligus, maka racun ketiga ekor ular itu sebenarnya masih terlalu kuat bagi
hawa sinkang dingin yang menyerang tubuh Keng Han.
Akan tetapi
dalam keadaan seperti gila karena diombang-ambingkan antara dua hawa dingin dan
hawa panas, yang membuat dia menangis dan tertawa, dia telah makan ular-ular
itu, hal ini justru merupakan obat penawar yang bukan main hebatnya.
Keng Han
tergelimpang di dalam goa, pingsan sampai hari berubah malam. Semalam suntuk
dia seperti telah mati, di dalam tubuhnya terjadi pertempuran yang hebat antara
dua tenaga yang berlawanan itu. Darahnya keracunan dua macam hawa, maka seluruh
tubuhnya dijalari hawa dingin dan panas itu.
Akhirnya, pada
esok harinya, setelah matahari mulai memandikan permukaan pulau itu dengan
cahayanya yang keemasan, Keng Han mengeluh dan membuka matanya. Dia
mengejap-ngejapkan mata, silau karena kebetulan mukanya menghadap ke matahari,
lalu menggosok-gosok kedua matanya.
Kemudian dia
teringat akan kakek raksasa rambut putih dan ular merah, maka dia cepat bangkit
duduk. Ketika membuat gerakan ini, dia terkejut sendiri karena tubuhnya terasa
demikian ringan seolah tidak berbobot! Dia lalu duduk bersila dan mengingat-ingat
apa yang telah terjadi.
Dia naik
perahu bersama Paman Ji Koan nelayan tua itu, menuju ke pulau kosong yang oleh
para nelayan disebut Pulau Hantu. Dia telah tiba di pulau dan nampak ada tujuh
buah perahu di tepi dekat batu-batu. Lalu ada ular-ular merah menyerangnya.
Kemudian dia melompat ke atas batu meninggalkan Ji Koan dan melihat seorang
kakek raksasa berambut putih bertempur melawan para perampok yang dipimpin oleh
Hek Houw. Dan semua perampok telah dibunuh oleh kakek raksasa. Dia keluar dari
balik batu menegur dan dia lalu dipukul oleh kakek itu. Dan dia digigit
ular-ular merah!
Hanya itulah
yang diingatnya. Dia tidak tahu bagaimana kini dia berada di tempat itu, di
sebuah goa yang menganga besar bagai mulut seekor naga raksasa. Mengingat bahwa
ia telah terpukul oleh kakek raksasa bernama Swat-hai Lo-kwi yang membuat
tubuhnya terasa dingin sekali itu, dan mengingat bahwa dia digigit ular-ular
merah, dia terkejut sekali. Kenapa dia tidak mati seperti yang lain?
Dia kemudian
memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan dalam. Ternyata tubuhnya tidak
mengalami luka dalam. Dia menyalurkan hawa dari tantian untuk melihat apakah
tenaga sinkang-nya masih ada. Dan dia terkejut.
Saat ia
mulai mengerahkan tenaga, ada tenaga yang amat dahsyat bangkit membubung ke
atas dari tantian dan hampir saja dia tidak dapat mengendalikannya dan tubuhnya
terjengkang! Untung dia segera menghentikan pengerahan tenaganya sehingga dia
tak sampai terguncang dan terluka oleh hawa sakti itu sendiri.
Tubuhnya
mendadak menggigil kedinginan, lalu berubah menjadi kepanasan. Ada dua hawa
yang berlawanan berada di dalam tubuhnya dan kedua hawa itu demikian kuatnya
mempengaruhi tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa hawa dingin akibat
pukulan Swat-hai Lo-kwi itu menjadi berlipat ganda kuatnya setelah dia makan
tiga ekor ular itu, perbuatan yang tidak diingatnya lagi.
Sekarang di
tubuhnya ada dua tenaga sakti yang luar biasa dahsyatnya. Hal ini mulai dia
rasakan dan ketahui dan diam-diam Keng Han juga dapat menduga bahwa ini tentu
akibat pukulan kakek raksasa dan akibat gigitan ular merah. Keng Han adalah
seorang pemuda yang cerdik, karena itu dia sudah dapat menduga akan hal ini.
Tentu saja dia merasa girang sekali.
Dia lalu
bangkit berdiri, keluar dari dalam goa itu dan menghampiri sebuah batu sebesar
gajah. Dia memasang kuda-kuda yang kokoh dan mengerahkan tenaga sinkang-nya,
kemudian memukul dengan kedua telapak tangan ke depan. Serangkum tenaga yang
tadi membuatnya terjengkang keluar melalui kedua tangannya, menghantam batu
besar itu dan... batu besar itu meledak-ledak pecah lalu menggelinding sampai
jauh!
Keng Han
cepat menyimpan kembali tenaganya dan dia memandang kagum. Ahhh, dia harus
berhati-hati sekali dan tidak boleh bermain-main dengan tenaganya itu. Dia
harus melatih diri untuk dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya sehingga dapat
dia gunakan seperlunya.
Kemudian dia
teringat kepada Ji Koan. Paman itu masih dia tinggalkan di dalam perahu!
Teringat akan ini, dia lalu melompat dan berlari turun. Hampir saja dia
bergulingan jatuh kalau tidak cepat dia menyimpan tenaganya. Ketika dia
mengerahkan tenaganya berlari, tubuhnya terdorong oleh kekuatan yang demikian
hebat sehingga dia seolah terbang!
Dia telah
lupa lagi! Dia belum menguasai benar tenaga itu sehingga seolah-olah masih
liar. Tenaga liar yang menguasai tubuhnya sangatlah berbahaya kalau tidak mampu
dia kendalikan. Dia lalu berjalan biasa saja menuruni bukit itu, menuju ke tepi
di mana dia mendarat kemarin. Dia pun tidak tahu bahwa semalam telah lewat,
disangkanya hari itu masih hari kemarin ketika dia datang.
Pada saat
tiba di tempat itu, dia masih melihat tiga puluh orang perampok itu malang
melintang dan sudah tewas semua, dan banyak barang berceceran di tempat itu.
Golok dan pedang, peti-peti terisi barang berharga, mungkin barang rampokan,
segala macam perabot masak dan lain-lain. Akan tetapi raksasa rambut putih itu
sudah tidak berada di situ. Hal ini melegakan hatinya dan cepat dia naik ke
atas batu-batu di tepi pantai.
Hatinya
berdebar penuh ketegangan dan kekecewaan. Bukan saja dia tidak melihat Ji Koan,
akan tetapi juga dia tidak melihat sebuah pun perahu di situ! Dan melihat
bekas-bekasnya, agaknya, air laut pernah pasang dan menyapu pergi semua perahu
yang berada di situ. Bekas air laut sampai naik ke dekat tempat orang-orang itu
bertempur dan beberapa buah peti agaknya terbawa air karena dia melihat
beberapa buah peti itu terapung di laut.
Tentu
perahu-perahu itu telah hanyut oleh air pasang. Atau ada yang membawa pergi?
Dia tidak tahu benar dan apa pun yang telah terjadi, kenyataannya bahwa dia
ditinggal di situ tanpa perahu! Bagaimana dia akan dapat meninggalkan pulau
itu?
Keng Han
merasa lemas hatinya dan dia duduk termenung di atas batu, memandang jauh ke
laut yang tidak bertepi. Dia tidak percaya kalau Ji Koan, paman nelayan yang
baik hati itu, sengaja meninggalkannya! Kakek raksasa yang amat kejam itu! Dan
dia mengkhawatirkan nasib Ji Koan.
“Tenangkan
hati dan pikiranmu, Keng Han!” katanya kepada diri sendiri. Dalam keadaan
seperti itu, dia harus bersikap tenang. Harus dapat menentukan apa yang lebih
baik dan lebih dulu harus dia lakukan.
Mayat-mayat
itu! Kalau dia dipaksa harus tinggal di tempat itu, lebih dulu mayat-mayat itu
harus dikubur dengan baik. Kalau tidak mereka akan membusuk dan menimbulkan
penyakit yang membahayakan dirinya. Setelah berpikir demikian, dia segera memilih
tempat yang tanahnya agak lunak, menggunakan golok yang banyak terdapat di situ
dan menggali beberapa buah lubang yang besar.
Enam buah
lubang besar dia gali dan ketika melakukan pekerjaan ini, dirasakan mudah
sekali. Tenaganya amat besar dan menggali lubang itu dirasakan ringan saja.
Setelah menggali lubang-lubang itu, dia lalu mengubur tiga puluh mayat itu.
Lima buah dalam satu liang dan setelah semua dikubur, dia menimbuni liang-liang
itu dengan tanah. Setelah selesai, dia mencuci kedua tangan dan kakinya dengan
air laut sampai bersih benar. Kemudian kembali dia duduk berpikir. Apa yang
harus dikerjakan sekarang?
Mengumpulkan
barang-barang yang akan berguna baginya. Kalau dia terpaksa hidup di pulau itu,
dia harus memiliki barang-barang yang berguna. Mulailah dia memilih-milih di
antara barang yang berserakan, milik para perampok itu.
Dia
mengambil dua batang golok yang terbaik, lalu mengambil perabot-perabot masak.
Lalu dia mengangkut barang-barang berharga seperti kain dan perhiasan-perhiasan
dan mengumpulkan semua itu ke dalam goa di atas bukit. Goa itulah satu-satunya
tempat yang baik baginya untuk dijadikan tempat tinggal.
Pekerjaan
ini dilakukan sampai malam tiba. Perutnya terasa lapar sekali, akan tetapi
karena malam telah tiba dia tidak dapat pergi mencari makanan. Dia membuat api
dan membakar api unggun di mulut goa, lalu tertidur beralaskan sehelai
permadani yang dia temukan di antara banyak kain dan barang berharga tadi.
Dia merasa
heran, mengapa tadi dia tidak melihat ada seekor pun ular merah. Agaknya
ular-ular itu pergi bersembunyi ketika air laut pasang, pikirnya. Akhirnya dia
pun tertidur saking lelahnya dan lapar di perutnya tidak dirasakannya lagi.
Pada esok
harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, pertama-tama yang dilakukan Keng Han
adalah mencari sumber air di pulau itu. Hal ini amatlah penting sebab tanpa
adanya air tawar, bagaimana dia dapat hidup? Dan dia yakin bahwa di pulau di
mana terdapat begitu banyak pohon, tentu ada sumber airnya dan dia pun benar.
Dia
menemukan sumber air di lereng belakang bukit di mana terdapat hutan. Dengan
gembiranya dia membersihkan diri dan minum sepuasnya, baru dia mencari makanan.
Akan tetapi ternyata di tempat itu tidak terdapat binatang buruan kecuali
burung-burung yang sukar ditangkap.
Dia lalu
pergi ke pantai untuk mencari ikan dan sekali ini dia melihat banyak ular merah
berenang di pantai, dan ada pula yang berkeliaran di pantai. Dia menjauhi
ular-ular yang ganas itu dan ketika itu pula dia melihat banyak tumbuh-tumbuhan
semacam jamur di antara bebatuan. Agaknya jamur-jamur itu tumbuh akibat terkena
siraman air laut yang kadang-kadang pasang dan terkena sinar matahari. Jamur
itu berwarna kecoklatan.
Keng Han
sudah mempelajari dari bangsanya cara memilih bahan makanan yang tidak beracun,
yaitu dengan cara merasakan bahan itu dengan lidahnya. Kalau terasa keras,
menyengat dan berbau keras, janganlah dimakan.
Dia lalu
mencoba jamur itu, digigitnya sedikit. Rasanya lunak dan enak! Baunya pun
sedap. Dia girang sekali dan mengambil jamur-jamur itu secukupnya, kemudian dia
baru mencari ikan dengan goloknya. Banyak terdapat ikan di situ dan ketika
melihat ada ular merah berenang di dekatnya, sekali sabet dia membuat kepala
ular itu terpisah dari tubuhnya.
Dari
pengalaman di dusunnya dia tahu cara memasak daging ular berbisa. Yang berbisa
itu adalah kepalanya karena bisa ular berkumpul di kepalanya. Jika kepalanya
dibuang, dagingnya dapat dimasak dan dimakan.
Demikianlah,
dia mendapat bahan makanan berupa jamur serta daging ular dan ikan. Di daratan
dia mendapatkan pula daun-daun muda yang dapat dipakai untuk membuat masakan
sayuran. Dan hari itu Keng Han makan masakan yang luar biasa.
Ternyata
rasanya enak, terutama jamur itu yang bisa mengenyangkan perutnya. Hatinya
girang bukan main. Dua kebutuhan yang paling mutlak sudah ditemukan, yaitu
sumber makanan dan sumber air. Setelah perutnya kenyang, barulah Keng Han
merasa tertarik oleh keadaan goa itu. Sebuah goa yang lebar dan dalam, tidak
kurang dari lima meter lebarnya dan dalamnya ada sepuluh meter.
Dia mencoba
memasuki goa itu lebih dalam. Ternyata dia menemukan sebuah lorong yang tadinya
tertutup batu besar. Setelah dengan mudah dia menggeser batu yang menutupi
lorong itu, terbukalah sebuah lorong dalam tanah. Karena lorong itu gelap, dia
lalu membuat obor memasuki lorong itu.
Panjang
lorong itu kira-kira dua puluh meter dan ketika tiba di ujung lorong, ada sinar
menerangi ujung itu. Ternyata ujung itu merupakan ruangan yang lebarnya ada
empat meter persegi dan di atasnya ada lubang, maka ada sinar matahari yang
masuk. Jadi ruangan itu seperti sebuah dasar sumur yang besar.
Dengan
obornya Keng Han memeriksa dinding ruangan itu dan dia terbelalak! Keempat
dinding itu penuh dengan huruf-huruf terukir, indah dan masih dapat dibaca
jelas. Dan ternyata huruf-huruf itu adalah pelajaran ilmu silat!
Keng Han
merasa beruntung sekali bahwa dia pernah mendapat pelajaran dari Gosang Lama
mengenai sastra sehingga pengetahuannya cukup mendalam dan dia mampu membaca
semua tulisan itu dengan jelas. Mengingat betapa pulau ini pernah tenggelam
selama puluhan tahun, dan kalau tulisan itu hanya digurat di tanah liat saja
tentu kini telah terhapus habis.
Akan tetapi
hebatnya, guratan itu dilakukan orang pada batu yang keras! Ini berarti bahwa
penulisnya tentu orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan hanya
seorang saja. Melihat bentuk tulisannya, Keng Han dapat membedakan dan
mengetahui bahwa tulisan itu dibuat oleh tiga orang.
Dugaan Keng
Han memang benar. Pulau yang sekarang menjadi pulau yang subur itu dahulunya
memang Pulau Es. Dahulu, di situ terdapat Istana Pulau Es yang kemudian telah
terbakar rata dengan bumi, dan ketika pulau itu tenggelam, maka segala sisa
dari istana itu hilang sama sekali. Akan tetapi di dalam istana itu terdapat
sebuah lorong bawah tanah dan lorong itu adalah yang ditemukan Keng Han
sekarang ini. Istana itu sendiri kini hanya tinggal sebagai goa itulah.
Dahulu,
penghuni Pulau Es ada tiga orang, yaitu seorang pendekar sakti bersama dua
orang isterinya. Pendekar itu adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan
Pendekar Super Sakti atau juga ada yang menyebut Pendekar Siluman karena dia
pandai ilmu sihir. Ada pun dua orang isterinya adalah Puteri Nirahai dan yang
ke dua adalah Puteri Lulu. Kedua orang isterinya itu adalah keturunan Mancu.
Tulisan itu
dibuat oleh ketiga orang ini walau pun ilmu-ilmu mereka sudah diwariskan kepada
anak cucu. Maksud mereka adalah bahwa mereka hendak bersikap adil, yaitu tidak
hanya menurunkan kepada anak cucu sendiri, akan tetapi kalau ada orang luar
yang menemukan tulisan itu dan mempelajarinya, maka hal itu adalah sudah
menjadi kehendak Tuhan dan itulah yang dinamakan jodoh. Mereka masing-masing
menuliskan inti sari ilmu mereka yang sebetulnya tidak akan mudah dipelajari
orang.
Ketika Keng
Han secara kebetulan menemukan tempat itu, berarti dialah yang berjodoh
mendapatkan Pusaka Pulau Es itu. Memang kebetulan sekali.
Andai kata
dia tidak mendapatkan dua tenaga dahsyat yang berlawanan akibat pukulan
Swat-hai Lo-kwi dan gigitan ular-ular darah api, belum tentu dia mampu
mempelajari dua macam ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sinkang (Tenaga
Sakti Inti Salju) dan Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) yang dituliskan
oleh Pendekar Super Sakti di dinding pertama dan kedua!
Pada dinding
ke tiga terdapat pelajaran Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Tangan Lembut
Pencabut Nyawa) yang hanya dapat dilatih oleh orang yang telah memillki sinkang
kuat sekali. Dan pada dinding ke empat terdapat goresan tulisan pelajaran ilmu
silat Hong-In Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), yaitu semacam ilmu silat
yang sangat hebat, berdasarkan tulisan huruf-huruf yang dapat dilakukan dengan
tangan kosong mau pun dengan pedang.
Setelah
membaca semua tulisan itu, Keng Han yang cerdik berpendapat bahwa dia menemukan
tiga orang guru yang dia tidak tahu siapa, maka dia lalu menjatuhkan diri
berlutut di tengah ruangan itu dan berkata dengan lantang, “Sam-wi Suhu (Ketiga
Guru), teecu menghaturkan terima kasih atas peninggalan ilmu-ilmu ini dan teecu
berjanji akan mempelajarinya sampai sempurna!”
Dia tahu
bahwa penghimpunan tenaga dalam merupakan inti ilmu silat, maka sebelum
mempelajari yang lain, dia lebih dulu mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam
Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang. Sebetulnya, pelajaran ini amatlah sukar
bagi orang lain dan biar pun Keng Han pernah digembleng oleh Gosang Lama,
agaknya dia tidak akan mampu menguasai kedua ilmu ini kalau saja dia tidak
memiliki dua tenaga yang sudah menjadi inti dari kedua ilmu itu. Dengan
mempelajari kedua ilmu itu, berarti dia akan mampu menguasai kedua tenaga
mujijat yang terkandung di dalam tubuhnya secara kebetulan sekali itu.
Keng Han
sudah bersumpah dalam hatinya akan mempelajari semua ilmu itu dengan
sungguh-sungguh sampai sempurna. Ia takkan meninggalkan pulau itu sebelum mampu
menguasai semua ilmu itu dengan baik. Pula, bagaimana dia dapat meninggalkan
pulau itu kalau tidak ada perahu di situ?
Demikianlah,
mulai hari itu Keng Han menjadi penghuni tunggal pulau kosong itu, setiap hari
mempelajari ilmu dengan amat tekunnya. Setiap hari dia makan jamur laut, ikan
dan daging ular serta daun-daun muda dan buah yang tumbuh di pulau itu dan yang
dapat dimakannya.
Tanpa
disadari oleh Keng Han, dari makanan itu, terutama jamur laut dan daging ular
merah, sudah mendatangkan kekuatan yang semakin hebat dalam tubuhnya. Sekarang
tubuhnya telah terbiasa menerima racun, sehingga dia tidak perlu takut lagi
akan segala macam racun, betapa pun hebatnya racun itu. Tubuhnya telah menjadi
kebal racun!
Untuk
berganti pakaian, dia juga tidak kekurangan karena para perampok itu membawa bahan
kain yang serba mahal, hasil perampokan mereka. Dia membuat pakaian dari kain,
sejadi-jadinya asal dapat membungkus tubuhnya dan tidak menjadi telanjang.
Bertahun-tahun
Keng Han tekun belajar. Ternyata ilmu-ilmu itu amat sukarnya sehingga semacam
ilmu saja harus dipelajari dan dilatihnya sedikitnya satu tahun….
Kita
tinggalkan dulu Keng Han yang terkurung di dalam pulau kosong mempelajari
ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang kebetulan ditemukannya dan kita menengok bagian
lain dari kisah ini.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Mahkota Tao Kuang selamat dari
pengkhianatan saudara-saudaranya sendiri, yaitu kedua kakaknya, Tao Seng dan
Tao San. Ia telah diselamatkan oleh seorang datuk yang berjuluk Sin-tung
Koai-jin bernama Liang Cun bersama puterinya yang bernama Liang Siok Cu.
Kemudian, Liang Siok Cu yang memang cantik manis itu menjadi selir Pangeran Tao
Kuang yang tercinta.
Setahun
kemudian selir ini melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Tao Kwi
Hong. Dan sebagai puteri pangeran mahkota, tentu saja sejak kecli Kwi Hong amat
dimanja oleh ayah ibunya. Terutama sekali kakeknya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun
amat memanjakan cucunya.
Sejak masih
kecil, Sin-tung Koai-jin menggembleng anak itu dengan dasar-dasar ilmu silat.
Ayahnya juga tidak melupakan pendidikan ilmu surat kepada puterinya sehingga
Kwi Hong menjadi seorang anak perempuan yang cerdik dan juga gagah.
Semenjak
lancar membaca, Kwi Hong yang baru berusia lima belas tahun itu gemar sekali
membaca dan perpustakaan istana menjadi langganannya. Perpustakaan istana itu
lengkap sekali, bahkan banyak terdapat kitab-kitab kuno yang sudah sulit
dimengerti oleh pembaca di jaman itu. Hanya sedikit saja ahli-ahli sastra kuno
yang akan mampu membacanya. Dan anehnya, gadis remaja ini bahkan paling suka
memeriksa kitab-kitab kuno ini yang kebanyakan berupa kitab-kitab agama dan
filsafat, juga catatan-catatan sejarah oleh para sastrawan jaman dahulu.
Suatu hari,
Puteri Tao Kwi Hong menemukan sebuah kitab kuno yang sudah berdebu. Dia
tertarik sekali karena pada sampulnya terdapat gambar segi lima dengan gambar
Im-yang di dalamnya dan ada sepasang pedang bersilang di atasnya. Gambar pedang
itulah yang menarik perhatiannya dan ketika ia membukanya, ternyata itu
merupakan sebuah kitab kuno ilmu pedang! Akan tetapi bahasanya kuno dan banyak
sekali huruf yang tidak dikenalnya.
Ia lalu
mengatakan kepada penjaga perpustakaan bahwa ia hendak meminjam kitab itu untuk
dibacanya. Para penjaga perpustakaan tak berani menolak permintaan puteri dari
Pangeran Mahkota, mereka hanya berpesan agar setelah selesai dibaca, kitab itu
harus dikembalikan, kemudian mencatatnya dalam buku catatannya.
Kwi Hong
membawa pulang kitab itu dan memperlihatkannya kepada kakeknya.
“Ah, aku
pernah mendengar tentang adanya ilmu pedang Ngo-heng Sin-kiam yang telah hilang
dari peredaran dan tidak ada lagi yang mampu memainkannya. Agaknya inilah
kitabnya! Ahh, engkau beruntung sekali dapat menemukan kitab ini, Kwi Hong!”
“Akan tetapi
isinya amat sukar dimengerti, Kong-kong. Banyak huruf yang tidak kukenal.
Bagaimana dapat mempelajarinya kalau banyak huruf tidak dapat diketahui
artinya?”
Sin-tung
Koai-jin sendiri bukan seorang ahli sastra yang pandai. Ketika dia membuka-buka
kitab itu, alisnya berkerut dan harus dia akui bahwa dia bahkan hampir tidak
dapat membaca kitab itu.
“Kita tidak
boleh memperlihatkan kitab ini kepada sembarang orang, Kwi Hong. Tetapi untuk
dapat membaca ini, engkau harus menanyakan kepada ahli-ahli sastra kuno yang
banyak terdapat di kota raja. Lalu bagaimana baiknya?”
Kwi Hong
adalah seorang gadis yang sangat cerdik. Setelah berpikir sejenak, sepasang
matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri.
“Aku
mempunyai akal, Kong-kong. Aku akan menuliskan semua huruf yang tidak aku kenal
dan hanya huruf-huruf itu saja yang akan kutanyakan artinya kepada ahli sastra
kuno. Dengan demikian dia tidak akan dapat membaca kitab ini, hanya beberapa
huruf kuno saja.”
“Bagus!
Akalmu itu sungguh cemerlang. Aku akan mencari ahli sastra kuno dan engkau
boleh mulai menuliskan huruf-huruf yang tidak kau kenal itu!”
Demikianlah,
dengan akal itu, akhirnya Kwi Hong bisa membaca semua isi kitab itu dan dapat
mempelajari ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Dalam melatih gerakannya yang
kadang terasa sukar, dia diberi petunjuk oleh kakeknya dan akhirnya, dalam
waktu dua tahun, dara ini berhasil menguasai Ngo-heng Sin-kiam dengan baik.
Dengan
menguasai ilmu pedang pasangan itu, kakeknya sendiri akan kewalahan untuk dapat
menandinginya! Memang demikian hebatnya ilmu pedang itu! Untuk mengimbangi ilmu
pedang itu, kakeknya membuatkan sepasang pedang yang indah dan baik.
Kwi Hong
memang manja dan sifatnya agak bengal. Sering kali, setelah menguasai ilmu
silat yang cukup mendalam, ia minggat dari istana untuk merantau di dalam
bahkan luar kota raja, jauh dari jangkauan para pengawal. Ia merasa tidak
leluasa dan tidak senang bila setiap kali keluar selalu harus diikuti pengawal
yang menjaga keselamatannya!
Tentu saja
sebagai seorang gadis yang cantik jelita, ketika keluar seorang diri, banyak
pula yang tidak tahu bahwa dia puteri pangeran, berani kurang ajar dan
menggodanya. Akan tetapi Kwi Hong merobohkan mereka satu demi satu sehingga
namanya menjadi terkenal di kota raja dan daerahnya. Karena ia selalu memakai
hiasan burung bangau dari emas di sanggul rambutnya, Ia mendapat julukan Si
Nona Bangau Emas!
Setelah Kwi
Hong berusia tujuh belas tahun dan ia telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam, ia
mulai minggat lagi dari istana dan kini ia merantau sampai jauh dari kota raja.
Bukan saja namanya yang terkenal membuat pria yang hendak mengganggunya menjadi
jeri, akan tetapi kini ke mana pun ia pergi ada sepasang pedang bersilang di
punggungnya, membuat laki-laki yang hendak kurang ajar kepadanya menjadi lebih
gentar lagi.
Agaknya
cerita yang sering didengar dari kakeknya sebagai seorang pendekar, sudah
menumbuhkan jiwa pendekar dalam diri gadis ini. Biar pun ia seorang gadis
bangsawan yang seharusnya berada di dalam istana, dihormati dan dilayani,
gerak-geriknya lembut dan halus, namun jiwa pendekar bergejolak dalam dirinya
dan ia suka pergi tanpa pamit sampai berpekan-pekan. Selama berada di luaran ia
selalu bertindak sebagai pendekar wanita, menentang para penjahat dan membela
yang lemah!
Pada suatu
hari, Kwi Hong memasuki kota Tung-san, yaitu sebuah kota kecil di sebelah
selatan kota raja. Karena merasa perutnya lapar, gadis ini lalu memasuki sebuah
rumah makan yang cukup besar.
Pada siang
hari itu, rumah makan sudah dipenuhi para tamu dan hampir semua orang menengok
memandang kepada gadis yang baru masuk itu, terutama para tamu pria. Siapa yang
tidak akan menoleh dan terpesona memandang gadis itu.
Di usianya
yang tujuh belas tahun, Kwi Hong memang merupakan seorang dara yang cantik
jelita dan manis sekali. Rambutnya hitam sekali, panjang dan halus lebat.
Rambut itu digelung tinggi ke atas dan dihias burung bangau emas, pada bagian
belakang diikat dengan pita merah.
Di atas
dahinya yang halus mulus itu terdapat anak-anak rambut yang melingkar-lingkar,
terutama di depan kedua telinganya. Alisnya seperti dilukis, hitam melengkung,
panjang dan kecil. Anggun sekali.
Sepasang
matanya dihias bulu mata yang lentik. Mata itu sendiri bersinar tajam serta
jeli dan jernih, dengan ujung kedua mata itu agak sipit menjungkat ke atas
sehingga kalau dia mengerling nampak manis bukan main. Hidungnya kecil mancung,
setimpal sekali dengan mulutnya.
Mulut itu
memang mempesonakan. Mulut yang kecil dengan sepasang bibir yang selalu
kemerahan, merah basah dan berkulit tipis tetapi penuh. Di kanan kiri mulut itu
terdapat lesung pipit yang membuat mulut itu makin menarik. Sukar dikatakan
mana yang lebih mempesonakan. Matanya ataukah mulutnya. Di kedua anggota muka
itulah letak inti daya tarik Kwi Hong.
Dagunya
runcing dan lehernya panjang, putih mulus. Sepasang pipinya selalu berwarna
kemerahan seperti buah tomat walau pun tidak memakai pemerah pipi. Wajah cantik
itu hanya dipolesi bedak tipis-tipis saja karena Kwi Hong bukan seorang gadis
pesolek. Pakaiannya juga tidak terlalu mewah bagi seorang puteri istana, walau
pun cukup indah. Celana sutera biru tua dan bajunya biru muda, dengan sabuk
kuning emas, sepatunya hitam mengkilap.
Seorang
gadis yang sangat menarik hati, namun juga gagah karena terdapat sepasang
pedang melintang di punggungnya. Pedang itulah yang membuat semua mata pria
yang memandang, tidak memandang langsung melainkan melirik karena mereka agak
gentar melihat pedang di punggung itu. Jelas bahwa gadis jelita itu adalah
seorang gadis yang pandai ilmu silat.
Seorang
pelayan rumah makan tergopoh menyambut. Hatinya gembira bukan main. Dia
mendapat kesempatan menyambut tamu yang demikian cantiknya hingga semua tamu
yang lain menaruh perhatian. Dia membungkuk sebagai tanda menghormat dan berkata
dengan suara hormat pula,
“Selamat
siang, Nona. Silakan, di sudut sana masih ada meja kosong.”
Kwi Hong
mengangguk. Tanpa mempedulikan lirikan mata begitu banyak orang, dia pun
melangkah mengikuti pelayan itu menuju ke meja kosong, di sudut kiri rumah makan
itu. Selama dia melakukan perjalanan merantau keluar dari istana, sudah terlalu
sering dia melihat pandang mata laki-laki seperti itu.
Memang
tadinya hal ini amat mengganggu dan membuat ia marah, akan tetapi akhirnya dia
mengetahui bahwa hampir semua laki-laki adalah mata keranjang dan tidak dapat
melewatkan seorang gadis cantik. Kalau hanya pandang mata saja, dara ini tidak
lagi mengambil peduli dan pura-pura tidak melihatnya, asal tidak ada yang
mengganggunya dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar.
Bahkan
sedikit banyak timbul perasaan bangga di hatinya karena diperhatikan banyak
pria. Itu berarti bahwa dirinya memang cantik jelita dan menarik! Hanya bangga
akan diri sendiri, sama sekali bukan senang karena ia tahu bahwa sebagian besar
dari mereka itu pandang matanya penuh gairah dan nafsu.
“Nona hendak
memesan makanan apa?”
“Beri aku
nasi dan panggang ayam, juga masak sayur jamur dan lidah bebek.”
“Minumnya,
Nona? Arak?”
“Tidak,
cukup air teh saja.”
“Baik,
Nona.” Pelayan itu lalu pergi untuk memenuhi pesanan Kwi Hong.
Tiba-tiba
dari meja sebelah terdengar orang berbisik-bisik. Ketika Kwi Hong melirik, dia
melihat ada tiga orang laki-laki berusia antara dua puluh sampai tiga puluh
tahun saling berbisik dan tersenyum-senyum. Jangan-jangan mereka akan bersikap
kurang ajar, pikir Kwi Hong. Akan tetapi ia bersikap tenang saja dan
berpura-pura tidak melihatnya.
Akhirnya,
benar seperti yang diduganya, salah seorang di antara mereka yang bertubuh
jangkung kurus, bangkit berdiri dan menghampiri, lalu berdiri di depannya dan
berkata sambil sedikit membungkuk,
“Nona, makan
seorang diri sungguh tidak menyenangkan. Bagaimana kalau Nona kami undang makan
bersama kami? Kebetulan kami hanya bertiga, dan meja kami masih dapat menerima
seorang lagi. Silakan, Nona. Pesanan Nona biar diantar ke meja kami.”
Kwi Hong
mengerutkan alisnya. Seorang pria yang tak dikenal menegur seorang gadis, apa
lagi mengundang makan, sudah merupakan hal yang tidak wajar. Namun karena
laki-laki jangkung kurus ini bersikap sopan, ia pun menahan kemarahannya.
“Tidak,
terima kasih. Aku ingin makan sendiri saja dan harap jangan mengganggu aku.”
Mendengar
jawaban ini, lelaki tinggi kurus itu hanya senyum-senyum agak malu karena
penolakan itu didengar pula oleh para tamu yang lainnya. Akan tetapi seorang di
antara kawan-kawannya, yang bertubuh gendut dan bermuka merah akibat telah
terlalu banyak minum arak, berkata dengan suara mengejek,
“Aih, nona
manis, harap jangan menjual mahal! Kami adalah pemuda-pemuda hartawan yang
mampu membayar pesanan makanan apa saja yang Nona sukai!”
Mendengar
ucapan kurang ajar ini, sekali melompat Kwi Hong sudah berada di dekat si
gendut itu.
“Apa yang
kau katakan?!” bentaknya.
Laki-laki
gendut itu agaknya tidak tahu diri atau dia sudah terlalu mabuk. “Ha-ha-ha, aku
bilang jangan jual mahal, nona manis, aku...”
Tiba-tiba
tangan kiri Kwi Hong bergerak menjambak rambut kepala pria itu, kemudian
membenamkan mukanya pada panci terisi kuah panas di depannya.
“Haepp...haeppppp...!”
Laki-laki
itu gelagapan. Setelah Kwi Hong melepaskan jambakannya, laki-laki itu lantas
melonjak-lonjak kepanasan karena mukanya terasa seperti dibakar. Sepasang
matanya pun tidak dapat dibuka.
Kwi Hong
telah duduk kembali di depan mejanya. Ia tak menyangka sama sekali bahwa dua
orang laki-laki teman si gendut menjadi marah melihat teman mereka diperlakukan
seperti itu oleh Kwi Hong.
Mula-mula
kedua orang itu menolong si gendut, mencuci dan membersihkan mukanya yang
menjadi semakin merah seperti udang direbus. Ketika dia sudah mampu membuka
matanya, kedua matanya itu menjadi sipit dan kemerahan. Kemudian dua orang itu
meloncat ke depan meja Kwi Hong dengan sikap marah.
“Nona,
engkau kejam sekali! Berani engkau menghina kami? Kami adalah murid-murid dari
Pek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Putih)!”
Melihat
kedua orang itu kini nampaknya marah kepadanya, Kwi Hong hanya tersenyum
mengejek. “Tak peduli kalian dari perguruan Harimau Putih atau Harimau Belang,
siapa pun berani menghinaku pasti akan kuhajar! Masih untung tadi aku tidak
menghancurkan mulutnya sekalian!”
“Engkau
sombong!” kata orang yang tubuhnya pendek besar dan dia sudah mengayun
tangannya untuk menampar muka Kwi Hong.
Akan tetapi,
sambil duduk Kwi Hong sudah mengelak dan sekali kakinya menendang, orang itu
pun langsung terjengkang dan mengaduh karena perutnya mendadak menjadi mulas
terkena tendangan ujung kaki yang bersepatu hitam itu.
Si tinggi
kurus sekarang menerjang maju dengan kedua tangannya, agaknya dia hendak
menangkap Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong tetap duduk di atas kursinya dan
ketika kedua tangan itu datang dia sudah menggerakkan kedua tangannya menotok
ke arah pergelangan tangan, lalu kembali kakinya menendang ke depan.
Si tinggi
kurus merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kaku dan sebelum dia
sempat mengelak, tahu-tahu kaki gadis itu sudah menendangnya. Dia pun
terjengkang ke belakang seperti si pendek besar.
Kini si
gendut sudah dapat bangkit. Dia menghunus sebatang pedang dari atas meja. Akan
tetapi sebelum dia sempat bergerak, Kwi Hong telah menyambar sebatang sumpit
dan sekali sambit, pemuda gendut itu mengaduh-aduh dan pedangnya jatuh ke
lantai. Ternyata lengan kanannya sudah ditembusi sumpit itu!
Dua orang
kawannya terkejut, akan tetapi sebelum mereka mencabut pedang, Kwi Hong
menggertak,
“Jika kalian
nekat, sumpit-sumpit ini akan menembus jantung kalian!” Berkata demikian, dia
melemparkan sumpit ke arah tembok dan dua batang sumpit itu menancap sampai
setengahnya lebih ke dalam tembok!
Melihat hal
ini, dua orang itu terbelalak dan tidak jadi mencabut pedang mereka. Mereka
lalu menarik kawan si gendut yang terluka dan lari dari rumah makan itu.
Terdengarlah teriakan si gendut.
“Nona kejam,
kalau engkau memang gagah, tunggu pembalasanku!”
Akan tetapi
Kwi Hong duduk kembali, seolah-olah tidak ada terjadi sesuatu. Pada saat
hidangan yang dipesannya tiba, dia segera makan dengan sikap tenang sekali.
Para tamu lainnya yang menyaksikan peristiwa itu segera bicara sendiri
membicarakan gadis yang mereka anggap hebat luar biasa itu.
Semua orang
di Tung-san mengenal siapa murid-murid perguruan Harimau Putih yang suka
bersikap ugal-ugalan karena mengandalkan perguruan mereka yang mempunyai banyak
murid dan guru mereka yang terkenal dengan julukan Pek-houw-eng (Pendekar
Harimau Putih)? Tidak ada yang berani menentang mereka. Para murid itu
sebenarnya bukan orang-orang jahat dan tidak pernah melakukan kejahatan, hanya
sikap mereka ingin menang sendiri saja dan tidak mau ditentang, seolah mereka
yang menguasai kota Tung-san.
Tidak jauh
dari situ, di tengah-tengah ruangan rumah makan itu, semenjak tadi seorang
pemuda memperhatikan peristiwa itu. Melihat betapa gadis itu menghajar ketiga
orang tadi, dia tersenyum-senyum puas.
Pemuda itu
seorang pemuda yang berusia antara dua puluh atau dua puluh satu tahun.
Tubuhnya sedang-sedang saja, terbalut pakaiannya yang sederhana, namun wajahnya
tampan dan gagah. Matanya lebar, hidung mancung dan mulutnya ramah selalu
dihias senyum. Dagunya agak sedikit berlekuk sehingga menambah kejantanannya.
Siapakah pemuda gagah tampan sederhana ini? Dia bukan lain adalah Tao Keng Han.
Seperti yang
kita ketahui, Keng Han terjebak di pulau kosong, tidak dapat meninggalkan pulau
karena tidak ada perahu. Akan tetapi dia pun tidak ingin meninggalkan pulau itu
sebelum dia menguasai ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang dia temukan tergores pada
dinding sebuah ruangan di bawah tanah.
Dia melatih
diri dengan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, dua tenaga sakti yang
sifatnya panas dan dingin. Dia dapat menguasai ilmu ini karena dalam tubuhnya
sudah terdapat kekuatan dahsyat yang sifatnya dingin dan panas itu. Dengan
menguasai dua ilmu sinkang itu, dia kini dapat mengendalikan dua tenaga sakti
dalam tubuhnya.
Hampir tiga
tahun dia hanya melatih diri dengan dua ilmu pengerahan tenaga sakti ini.
Setelah dia berhasil baik, barulah dia melatih dua ilmu silat yang terdapat di
dinding itu, yaitu ilmu silat Toat-beng Bian-kun yang sifatnya lemas namun
mengandung kekuatan dahsyat sekali dan yang kedua adalah Hong-in Bun-hoat yang
halus dan nampak indah seperti orang menari sambil menuliskan huruf, akan
tetapi mengandung daya serangan yang luar biasa hebatnya. Dia menghabiskan
waktu dua tahun untuk melatih ilmu ini dengan baik sehingga tanpa terasa lagi
dia sudah lima tahun tinggal di Pulau Hantu itu.
Setelah dia
menguasai semua ilmu itu, dengan menggunakan sebatang golok dia lalu merusak
dinding itu sehingga coretan huruf-huruf itu lenyap dan rusak. Dia tidak ingin
ilmu itu kelak dipelajari orang lain, apa lagi dipelajari orang jahat. Ilmu itu
terlalu hebat dan kalau terjatuh ke tangan orang jahat tentu akan membahayakan
dunia.
Selama lima
tahun, dia hanya makan jamur laut, ikan laut, dan daging ular serta
sayur-sayuran aneh dan buah-buahan aneh pula. Tanpa disadarinya sendiri,
makanan yang dimakannya selama lima tahun itu memberinya kekuatan yang hebat
pula. Dia tidak menyadari bahwa dia kini telah menjadi seorang pemuda yang
memiliki kekuatan yang amat dahsyat!
Kini, setelah
semua ilmu habis dipelajari timbul keinginannya untuk meninggalkan pulau itu.
Dia lalu menggunakan golok menebang pohon yang cukup besar, dan membuat perahu
sedapatnya sehingga jadilah sebuah perahu kecil yang sederhana sekali. Untuk
layarnya, dia menggunakan kain-kain sutera yang dahulu dia kumpulkan dari milik
para perampok. Juga dia membuat dayung dari kayu.
Setelah
perahu itu jadi, Keng Han lalu membawa pakaian yang dibuatnya sendiri, dan
mulailah dia berlayar meninggalkan pulau itu. Ketika dia mendorong perahu itu
ke air, beberapa ekor ular merah menyerangnya, akan tetapi sambil tertawa dia
menggunakan tangannya menyampok ular-ular itu yang baginya kini sama sekali
tidak berbahaya lagi. Bahkan biasanya ular-ular itu dia tangkapi untuk dimasak
dagingnya!
Demikianlah,
setelah berhasil mendarat di pantai daratan besar, meninggalkan pulau itu
dengan selamat, maka mulailah Keng Han melakukan perjalanan menuju ke kota
raja. Dia hendak mencari ayahnya!
Dan dalam
perjalanan inilah dia tiba di kota Tung-san. Ketika dia mendarat, dia segera
membuat pakaian yang biasa, membelinya dari toko. Dan untuk itu dia memiliki
banyak emas dan perak peninggalan para perampok yang dulu dia kumpulkan di
Pulau Hantu. Segera dia berganti pakaian dan membuang semua pakaian buatan
sendiri yang amat sederhana seperti jubah pendeta itu. Selama dalam
perjalanannya itu, dia tidak pernah mengalami gangguan karena penampilannya
sebagai pemuda biasa dan sederhana.
Ketika dia
lapar dan memasuki rumah makan di Tung-san itu, dia menyaksikan peristiwa waktu
gadis cantik jelita itu menghajar tiga orang pemuda berandalan. Dia tersenyum
kagum. Jarang ada gadis yang demikian pemberani dan lihai pula, apa lagi
melihat dari pakaiannya, gadis itu agaknya puteri seorang bangsawan atau hartawan.
Keng Han
menjadi kagum. Akan tetapi tidak seperti para pria lain, dia menyembunyikan
kekagumannya dan dengan hati geli mendengar betapa orang-orang di beberapa meja
itu saling berbisik memuji-muji kelihaian dan kecantikan gadis itu.
Akan tetapi
pemilik rumah makan merasa khawatir sekali. Bukan hanya khawatir akan
keselamatan gadis itu, juga terutama sekali khawatir kalau-kalau rumah makannya
akan menjadi medan pertempuran sehingga akan merugikan isi rumah makan dan
membikin takut para langganannya. Ia tak ingin terjadi pertempuran besar di
situ, apa lagi sampai terjadi pembunuhan. Maka dia segera menghampiri Kwi Hong
yang sedang makan dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan
dada.
“Maafkan
kalau saya mengganggu Nona yang sedang makan,” katanya dengan jeri.
Kwi Hong
yang sedang makan itu mengerutkan alisnya dan menoleh sedikit ke arah orang
itu. “Engkau mau apa?” tanyanya tak senang.
“Maafkan,
Nona. Akan tetapi Nona agaknya tidak tahu. Pek-houw Bu-koan itu adalah sebuah
perkumpulan atau perguruan silat yang besar dan berpengaruh sekali di kota ini.
Nona telah memukul tiga orang murid mereka. Tentu mereka itu akan datang
membalas dendam kepadamu. Oleh sebab itu saya anjurkan Nona segera meninggalkan
tempat ini dan pergi sebelum terlambat.”
“Aku tidak
takut! Biar mereka semua datang, kalau berani menggangguku, akan kuberi hajaran
satu demi satu!” kata Kwi Hong.
“Akan
tetapi, Nona. Kalau terjadi perkelahian di sini bagaimana dengan rumah makanku
ini? Tentu akan hancur berantakan dan para langgananku akan berlarian
meninggalkan rumah makanku. Aku akan menderita kerugian besar sekali...”
Pemilik rumah makan itu hampir menangis. Baginya, yang terpenting adalah
keselamatan rumah makannya.
“Hemmm, jadi
engkau adalah pemilik rumah makan ini? Jangan khawatir, kalau terjadi
kerusakan, aku akan memaksa mereka untuk mengganti semua kerugianmu, atau aku
sendiri yang akan menggantinya. Sekarang, pergilah dan jangan mengganggu aku
yang sedang makan!” Kwi Hong melanjutkan makannya dan pemilik rumah makan itu
tidak berani bicara lagi, melainkan pergi dengan muka pucat dan wajah penuh
kekhawatiran.
Kembali Keng
Han yang mendengarkan semua itu tersenyum kagum. Gadis yang tabah luar biasa,
juga bertanggung jawab. Sungguh seorang gadis yang memiliki kepribadian yang
kuat dan berwibawa. Ingin dia melihat kelanjutan peristiwa itu dan kalau memang
diperlukan, dia siap membantu gadis itu.
Kwi Hong
makan dengan tenang saja. Padahal tentu saja ia tahu bahwa ucapan pemilik rumah
makan itu bukan hanya kosong belaka dan memang besar sekali kemungkinan ketiga
orang tadi akan mengundang kawan-kawan mereka, bahkan guru mereka. Akan tetapi
sedikit pun ia tidak merasa gentar, bahkan ia sudah mengambil keputusan untuk
memberi hajaran kepada Pek-houw Bu-koan jika benar mereka itu hendak membela
tiga orang muda yang kurang ajar tadi.
Kekhawatiran
pemilik rumah itu ternyata terbukti benar. Serombongan orang terdiri dari tiga
puluh orang lebih mendatangi rumah makan itu, dipimpin oleh seorang laki-laki
yang berusia empat puluhan tahun serta mengenakan pakaian serba putih. Itulah
guru silat Pek-houw Bu-koan yang berjuluk Pendekar Harimau Putih!
Melihat ini,
pemilik rumah makan cepat berlari keluar dan berlutut di depan kaki orang
berpakaian putih itu. “Teng-kauwsu (Guru Silat Teng), mohon dikasihani, harap
jangan berkelahi di dalam rumah makan kami sehingga menghancurkan segalanya.
Kami sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tadi dan kami sama
sekali tidak bersalah...”
Guru silat
yang berjuluk Pek-houw-eng dan menjadi kepala dari Pek-houw Bu-koan itu.
mendengus. “Hemmm, mana perempuan yang telah menghina murid-murid kami itu?”
“Ia masih makan
di dalam, Teng-kauwsu. Akan tetapi harap Kauwsu suka bersabar dan menanti
sampai ia keluar. Kasihanilah tamu-tamu lain yang tidak bersalah dan jangan
merusak rumah makan kami.”
“Hemmm,
baiklah. Hei, kalian jaga di empat sudut, jangan biarkan perempuan itu dapat
meloloskan diri!” perintahnya kepada anak buahnya dan dia sendiri menjaga di
depan pintu pekarangan rumah makan itu.
Para tamu
lainnya yang melihat kedatangan rombongan itu menjadi ketakutan. Mereka segera
membayar harga makanan dan bergegas meninggalkan tempat itu karena takut
terlibat.
Kwi Hong
melihat hal ini, akan tetapi dia tetap tenang dan melanjutkan makannya. Dia
melihat semua tamu telah pergi, kecuali seorang pemuda berpakaian sederhana
yang duduk di meja tengah ruangan itu. Dia tidak peduli. Setelah selesai makan,
dia menyeka mulutnya dan memanggil pelayan. Dengan sikap seenaknya dia lalu
membayar harga makanan, barulah ia melenggang keluar dari rumah makan itu.
Keng Han
mengikutinya dengan pandang matanya. Akhirnya dia membayar pula harga makanan
dan menyelinap keluar.
Karena
memang sudah dinanti, begitu keluar dari rumah makan yang sudah sunyi itu, Kwi
Hong langsung dihadang oleh Pek-houw-eng Teng Coan bersama tiga puluh orang
muridnya! Guru silat itu tercengang juga. Tidak disangkanya bahwa perempuan
yang sudah menghina dan menghajar ketiga orang muridnya itu adalah seorang
gadis yang cantik jelita dan masih remaja! Paling banyak tujuh belas tahun
usianya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia harus tetap menjaga nama baik
dan kehormatan Pek-houw Bu-koan!
“Nona,
berhenti dulu!” bentak Teng Coan saat melihat Kwi Hong melangkah terus tanpa
mempedulikan dia dan para muridnya, dan sengaja dia menghadang di depan gadis
itu.
Kwi Hong
mengangkat muka memandang, seolah baru sekarang dia melihat ada orang
menghadangnya. “Hemm, siapa engkau dan mau apa engkau menahan perjalananku?”
tanyanya dengan sikap acuh tak acuh.
“Nona,
apakah benar engkau yang tadi telah menghina dan memukuli tiga orang murid
kami?”
“Hemmm,
kalau memang betul, mengapa?”
“Nona,
engkau ini terlalu kejam. Tanpa alasan yang kuat engkau melukai murid-murid
kami, akan tetapi melihat bahwa engkau hanya seorang gadis remaja, maka biarlah
aku akan habiskan urusan itu kalau saja engkau suka mohon maaf sambil berlutut
di depan kakiku!”
Guru silat
itu merasa tidak enak sendiri kalau harus berkelahi dengan seorang gadis
remaja, maka dia hendak menghapus penghinaan itu dengan balas menghina dara
itu. Kalau dara itu mau berlutut dan minta maaf, dia pun sudah akan puas dan
semua orang tentu akan melihat dan membicarakannya.
Akan tetapi
Kwi Hong mengerutkan alisnya. “Apa katamu? Aku berlutut minta maaf kepadamu?
Jadi engkau guru mereka? Sepatutnya engkau yang mintakan maaf bagi mereka
kepadaku. Tahukah engkau apa sebabnya aku menghajar tiga orang muridmu? Semua
orang melihat betapa mereka bertiga itu bersikap kurang ajar kepadaku, maka aku
mewakilimu untuk menghajarnya! Sepatutnya engkau menghaturkan terima kasih dan
mohon maaf kepadaku!”
Keng Han yang
menonton pertemuan itu hampir tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Gadis itu
benar-benar hebat. Selain tabah dan berani, ternyata juga amat pandai bicara
dan bicaranya tidak ngawur!
Akan tetapi
kepala perguruan silat itu menjadi merah mukanya dan dia pun menggertak, “Nona,
engkau masih tidak mau minta maaf? Lihatlah, tiga puluh orang muridku siap
untuk membalaskan dendam saudara mereka. Apakah engkau tidak takut? Cepatlah
minta maaf agar urusan ini segera beres dan habis.”
“Kalau
engkau dan mereka itu datang untuk membela orang-orang yang bersalah, aku sama
sekali tidak takut, bahkan kalian semua ini patut dihajar karena membela yang
salah!” Kwi Hong marah.
“Bagus,
engkau ternyata keras kepala dan sombong sekali, maka sudah sepatutnya aku
menghajarmu!” teriak guru silat itu agar semua orang mendengar bahwa dia
terpaksa melawan seorang gadis remaja karena gadis itu sombong dan tidak mau
minta maaf.
Setelah
berkata demikian, dengan gerakan sembarangan saja tangannya menampar ke arah
pundak gadis itu. Betapa pun juga Teng Coan bukan penjahat, bahkan julukannya
adalah Pendekar Harimau Putih, maka ia menganggap dirinya seorang pendekar
sejati. Dia tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, maksudnya cukup asal
menjatuhkan gadis itu saja untuk menghukumnya.
Akan tetapi
dia kecelik kalau mengira dengan satu tamparan dapat mengalahkan Kwi Hong.
Dengan amat mudahnya Kwi Hong menarik pundaknya ke belakang sehingga tamparan
itu hanya mengenai angin kosong saja. Melihat tamparannya dapat dielakkan
dengan mudah, Teng Coan menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menampar,
kini lebih cepat serta kuat dan ditujukan ke arah muka gadis itu.
“Wuuuttttt...!”
Kembali
tamparannya mengenai tempat kosong karena dengan mudah dielakkan oleh Kwi Hong
yang menggeser kakinya ke kanan lalu tangannya bergerak cepat membalas serangan
lawan dengan tonjokan ke arah dada guru silat itu. Karena Kwi Hong tidak
memandang rendah lawan, maka tonjokannya tidak dilakukan dengan setengah tenaga
melainkan dengan cepat dan amat kuat.
Melihat tonjokan
ini, Teng Coan cepat menarik tangannya dan sambil miring ke kiri dia
mempergunakan tangan kanan untuk menangkis pukulan Kwi Hong. Dia mengerahkan
seluruh tenaganya dengan maksud membuat pukulan itu bukan hanya tertangkis,
akan tetapi supaya gadis itu terdorong dan lengannya terasa sakit bertemu
dengan lengannya sendiri.
“Dukkkkk...!”
Dua buah
lengan tangan bertemu, yaitu lengan tangan yang bertulang besar dan berotot
kekar melawan lengan tangan yang bertulang kecil dan berkulit putih halus
seolah tidak berotot. Akan tetapi akibatnya benar-benar sangat mengherankan.
Tubuh guru silat itu terhuyung ke belakang, sedangkan Kwi Hong tetap berdiri
tegak sambil tersenyum!
Kini anak
buah atau murid-murid Teng Coan sudah tidak sabar lagi. Dengan senjata golok
dan pedang di tangan, mereka maju mengeroyok.
Melihat hal
ini, Teng Coan tidak melerai bahkan dia pun menghunus pedangnya. Karena
menghadapi banyak orang yang memegang senjata tajam, Kwi Hong melompat jauh ke
belakang sambil menggerakkan kedua tangannya ke punggung dan di lain saat kedua
tangannya sudah memegang sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Para
penonton menjadi panik melihat mereka semua sudah memegang senjata tajam.
Banyak yang segera menjauhkan diri dan memandang dengan ngeri, dan khawatir
akan keselamatan gadis cantik itu.
Akan tetapi,
begitu Kwi Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut serbuan para murid
Pek-houw-bukoan, terdengar jerit-jerit kesakitan dan tiga orang sudah roboh dan
terluka. Ada yang pundaknya, ada yang pangkal lengannya, ada pula yang pahanya
terserempet pedang di tangan Kwi Hong yang amat lihai itu.
Keng Han
yang melihat gerakan itu, tidak mengkhawatirkan Kwi Hong. Melihat gerakan
sepasang pedang itu, maklumlah dia bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan
tidak akan kalah walau pun dikeroyok banyak orang. Akan tetapi karena
pengeroyoknya terlampau banyak, mungkin saja gadis itu akan melakukan banyak
pembunuhan dan hal inilah yang dikhawatirkannya.
“Nona,
jangan membunuh orang!” teriaknya.
Keng Han
melompat maju. Kaki tangannya bergerak dan para pengeroyok itu langsung
berpelantingan bagaikan diamuk badai. Mereka hanya merasa ada hawa yang
tiba-tiba mendatangkan angin demikian kuatnya sehingga mereka semua terdorong
ke belakang dan terjengkang bergulingan!
Sementara
itu, Kwi Hong sudah bertanding melawan guru silat Teng Coan. Akan tetapi baru
sekarang Pek-hou-eng Teng Coan menyadari betapa lihainya gadis itu. Sepasang
pedang itu menutup semua lubang dan sebaliknya dapat menyerang dari arah mana
pun sehingga dia yang menjadi repot harus melindungi dirinya dari serangan
sepasang pedang yang baginya seolah-olah telah berubah menjadi lima buah
banyaknya itu! Dan bayangan pedang-pedang yang menyerangnya itu saling
mendukung, susul menyusul datangnya seperti rangkaian yang tidak pernah putus!
Belum sampai
dua puluh jurus, setelah dengan susah payah dia melindungi tubuhnya, akhirnya
pedang kiri Kwi Hong mengenai pundak kanannya sehingga tangan kanannya menjadi
lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangan.
“Singgg...!”
Tahu-tahu
sepasang pedang di tangan Kwi Hong telah menyilang di lehernya sehingga dia
tidak mampu bergerak karena bergerak berarti lehernya akan terluka.
“Nah, cepat
perintahkan semua muridmu untuk mundur!” bentak Kwi Hong kepada Teng Coan.
Guru silat
ini dengan muka sebentar pucat sebentar merah saking malunya, melirik dan
melihat betapa para muridnya itu sedang diamuk seorang pemuda dengan tamparan
dan tendangan.
“Semua
murid, hentikan serangan!” bentaknya.
Para murid
Pek-houw Bu-koan segera berlompatan ke belakang. Mereka memang telah jeri
melihat sepak terjang pemuda yang tiba-tiba muncul membantu Kwi Hong itu. Dan
kini mereka melihat betapa guru mereka sudah dikalahkan gadis itu, maka
semangat mereka langsung menjadi hilang.
Keng Han
menghampiri guru silat itu dan berkata dengan suara halus tapi mengandung
teguran, “Engkau adalah pemimpin perguruan, sepatutnya engkau dapat mengajarkan
kesusilaan dan sopan santun kepada para muridmu di samping ilmu silat. Ilmu
silat bukan untuk main ugal-ugalan dan menang-menangan sendiri. Tiga orang
muridmu itu tadi bersikap kurang ajar terhadap Nona ini dan akulah seorang di
antara para saksi yang berada di dalam rumah makan. Engkau baru dapat disebut
orang gagah kalau mau mengakul kesalahanmu, maka suruhlah murid-muridmu tadi
minta ampun kepada Nona ini!”
Pek-houw-eng
Teng Coan menyadari kesalahannya. Dia terburu nafsu mendengarkan laporan tiga
orang muridnya. Sekarang baru dia bertemu batunya, menghadapi gadis remaja saja
dia kalah.
“Hayo kalian
bertiga cepat maju ke sini!” bentaknya kepada para muridnya.
Tiga orang
murid yang tadi membuat kekacauan di rumah makan maju dengan sikap takut. Kwi
Hong sendiri sudah menyimpan pedang dan ia memandang kepada pemuda sederhana itu
dengan heran dan kagum. Ia tadi juga sempat melihat betapa pemuda itu dengan
tangan kosong telah merobohkan belasan orang murid tanpa melukai mereka. Tentu
pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Setelah tiga
orang murid itu mendekat, Teng Coan lalu menggerakkan tangannya, tiga kali
menampar dan tiga orang muridnya itu terpelanting.
“Hayo cepat
berlutut dan minta maaf kepada Nona ini!” kata Teng Coan.
Kini
kemarahannya sepenuhnya ditujukan kepada tiga orang murid yang menimbulkan
gara-gara itu sehingga dia mendapat malu di depan banyak orang. Kalau bukan
karena ulah tiga orang muridnya itu tentu dia tidak sampai terlihat orang-orang
dikalahkan oleh seorang gadis remaja!
Tiga orang
murid itu merangkak ke depan kaki Kwi Hong dan memberi hormat sambil berlutut.
“Nona, kami mohon maaf atas kesalahan kami,” kata mereka.
Kwi Hong
tersenyum. “Sudah, bangkitlah. Aku pun tahu bahwa kebanyakan orang muda memang
sering kali ugal-ugalan. Akan tetapi kalian jangan sekali-kali menggoda wanita.
Sepatutnya orang-orang yang belajar silat seperti kalian malah menjadi
pelindung dan pembela wanita dari gangguan orang jahat. Apakah kalian memang
ingin menjadi orang jahat yang suka mengganggu wanita?”
“Tidak,
tidak..., Nona,” kata mereka serempak.
“Bagus,
kalian harus menjadi pendekar-pendekar yang sejati, yang menghormati wanita dan
membela mereka sebagaimana patutnya seorang pendekar yang menentang orang jahat
dan melindungi si lemah. Nah, sudahlah, kuhabiskan urusan sampai di sini!”
“Terima
kasih, Nona.” Tiga orang itu bangkit berdiri kemudian mundur ke tempat
kawan-kawannya.
Pek-houw-eng
Teng Coan juga memberi hormat kepada Kwi Hong dan Keng Han. “Hari ini aku Teng
Coan menerima pelajaran dari Ji-wi, untuk itu kami menghaturkan terima kasih.
Mulai hari ini aku akan meneliti kelakuan murid-murid perguruan kami dan akan
bertindak sesuai dengan nasehat Ji-wi (Kalian berdua).”
Setelah
berkata demikian, dengan sikap bengis dia membentak para muridnya untuk kembali
ke perguruan sehingga tempat itu kembali sepi. Para penonton juga bubaran dan
tentu saja Kwi Hong menjadi bahan pembicaraan mereka......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment