Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 11
PERKAMPUNGAN
dalam rimba itu terdiri dari beberapa buah bangunan yang cukup besar dan
dikelilingi pagar bambu yang runcing dan dijaga ketat. Yo Han termenung di
dalam kamarnya, memikirkan jalan baik untuk dapat menyelamatkan Sian Li dan
Sian Lun.
Pemuda ini
merasa prihatin sekali. Dia maklum bahwa serbuan orang-orang kang-ouw dan
terutama sekali para pendeta Lama dan pasukan Tibet akan menimbulkan perang
atau pertempuran yang mati-matian di tempat itu. Dia membayangkan dengan hati
sedih bahwa pertempuran itu tentu akan mengakibatkan tewasnya banyak orang.
Dia sendiri
tak pernah mau menggunakan ilmu kepandaiannya untuk membunuh orang lain. Dia
tak pernah menilai jahat kepada orang lain karena dia maklum bahwa seorang yang
dianggap jahat dan melakukan perbuatan yang jahat, sebetulnya hanyalah orang
yang sedang menderita penyakit saja.
Orang yang
menyeleweng dari pada kebenaran adalah orang sakit. Bukan badannya yang sakit,
melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, penyakit batin
ini suatu waktu akan dapat sembuh pula. Sedangkan orang yang sehat batinnya,
sekali waktu mungkin saja jatuh sakit.
Setiap orang
mengakui bahwa tidak ada seorang pun manusia yang sempurna. Yang sempurna
hanyalah Tuhan. Setiap orang manusia sudah pasti mempunyai kesalahan, setiap
orang manusia berdosa. Dan kita sendiri, setiap orang dari kita, juga seorang
manusia, karenanya kita masing-masing ini adalah orang berdosa dan bersalah.
Oleh karena
itu, pantaskah kita mencela orang lain yang bersalah? Orang itu sama saja
dengan kita, hanya macam kesalahan atau macam dosanya saja yang berbeda, ada
yang kadarnya besar ada yang kecil. Akan tetapi, kita ini senasib
sependeritaan, takkan dapat lepas dari pada kesalahan, dari pada dosa.
Seyogianya
kalau melihat orang lain berdosa, kita membantunya dengan petunjuk dan
peringatan, seperti melihat orang lain sakit, sepatutnya kita memberi obat dan
hiburan. Jangan melihat orang lain terperosok ke dalam lumpur, malah kita injak
lagi kepalanya! Uluran tangan untuk menariknya keluar dari lumpur merupakan
kewajiban yang luhur.
Yo Han
teringat kembali akan ancaman pertempuran. Ia menghela napas panjang. Apa yang
dapat dia lakukan?
Di dunia ini
penuh dengan perang. Perang merupakan korban api besar yang timbul dari
percikan api kecil. Dimulai dari konflik atau pertentangan dalam batin setiap
manusia sendiri. Konflik yang timbul karena adanya keinginan-keinginan yang tak
ada habisnya.
Konflik
dalam batin sendiri ini mencuat keluar menimbulkan konflik antar pribadi,
karena bentrokan kepentingan, bentrokan keinginan, saling berebut kebenaran,
berebut nikmat sendiri. Konflik-konflik antar pribadi ini bisa membengkak
menjadi konflik antar keluarga, antar golongan, kemudian berkobar menjadi
konflik antar bangsa dan antar negara yang menimbulkan perang.
Yo Han telah
memesan pada para orang kang-ouw untuk membantunya membebaskan Sian Lun dan
Sian Li. Dia pun sudah minta kepada mereka agar jangan membunuh dan setelah
kedua orang muda itu dapat diselamatkan, supaya para orang kang-ouw tidak mencampuri
perang yang terjadi antara pasukan Tibet dan para pemberontak. Ia sendiri pun
tidak akan ikut campur dengan pertempuran itu. Dia hanya ingin melindungi Sian
Li dan Sian Lun agar dapat lolos dari tempat itu dengan selamat.
Setelah Ki
Bok melaporkan tentang Yo Han yang berkunjung sebagai utusan Sin-ciang Taihiap
dan sekarang pemuda itu tidak mau pergi karena menuntut dibebaskannya Sian Li,
Lulung Lama segera memanggil semua pimpinan dan pembantunya untuk diadakan
perundingan. Mereka semua berkumpul di bangunan induk, di suatu ruangan yang
luas di mana selalu dipergunakan untuk mengadakan pertemuan.
Mereka semua
berkumpul dan karena waktu itu sedang terjadi perkabungan kematian Dobhin Lama,
maka seluruh pimpinan dan pembantu yang tadinya bertugas di luar, telah
berkumpul pula untuk berkabung. Lengkaplah mereka yang kini berada di ruangan
itu.
Lulung Lama
yang ditemani muridnya, Cu Ki Bok, duduk di kursi pimpinan. Belasan orang
pendeta Lama jubah hitam yang menjadi pembantu-pembantunya ikut hadir pula.
Gulam Sing, Pangeran dari Nepal itu pun hadir bersama para pembantunya,
termasuk Badhu dan Sagha. Dari pihak Pek-lian-kauw, selain Pek-lian Sam-li juga
hadir tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang datang melayat. Hek-pang Sin-kai juga
hadir bersama empat orang rekannya. Jumlah mereka yang berada di ruangan itu
tak kurang dari empat puluh orang. Di dekat Pek-lian Sam-li duduk pula Liem
Sian Lun.
Wajah tampan
Sian Lun yang biasanya cerah itu kini nampak agak muram. Kerut merut di antara
kedua alisnya, pandang matanya yang sayu, mulutnya yang agak cemberut itu
menggambarkan betapa dia tidak tenang dan tidak senang.
Pek-lian
Sam-li agaknya sudah salah perhitungan terhadap pemuda ini. Memang dalam
kesempatan pertama, Sian Lun yang masih hijau dalam hal pengalaman itu mudah
saja mereka rayu dan mereka jatuhkan. Sian Lun dibakar oleh nafsunya sendiri.
Apa lagi tiga orang wanita Pek-lian-auw itu menggunakan kekuatan sihir.
Pemuda itu
bertekuk lutut dan melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Bahkan dia
mentaati saat mereka menyuruh dia menawan sumoi-nya sendiri, wanita pertama
yang pernah menjatuhkan hatinya! Dan ia bahkan menganggap perbuatan itu sebagai
bagian dari perjuangan mereka, karena para pimpinan itu menghendaki agar dia
menawan dan membujuk Sian Li sehingga gadis itu mau pula membantu perjuangan
mereka.
Kesalahan
perhitungan Pek-lian Sam-li adalah bahwa mereka mengira Sian Lun sudah
benar-benar setia kepada mereka, mengira bahwa mereka sudah dapat menundukkan
pemuda itu dengan kecantikan mereka sehingga mereka menjadi lengah dan tidak
lagi mempergunakan kekuatan sihir untuk menguasai Sian Lun. Dan dalam keadaan
sadar sepenuhnya inilah Sian Lun mulai merasa menyesal.
Nafsu
bagaikan gelembung sabun. Kesenangan yang didatangkannya hanya selewatan saja,
disusul kebosanan karena nafsu mendorong kita mengejar yang baru, yang belum
kita miliki. Kita dipermainkan nafsu bagaikan anak kecil dipermainkan
mainan-mainan. Mainan lama yang dahulunya amat disenangi, mendatangkan bosan
dan diganti mainan baru yang mengasyikkan.
Daya tarik
tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu berkurang kekuatannya sehingga Sian Lun mulai
dapat melihat betapa perbuatanaya selama ini amat memalukan. Dia telah
membiarkan dirinya menjadi boneka, menjadi permainan tiga orang wanita itu.
Bahkan dia begitu buta sehingga tidak melihat bahwa dia diperalat.
Ia mau saja
melakukan penipuan untuk menawan Sian Li secara amat curang. Padahal dia amat
mencinta sumoi-nya itu. Dia merasa malu, malu kepada Sian Li, malu kepada diri
sendiri dan kalau dia membayangkan betapa guru-gurunya akan mendengar tentang
dirinya, betapa kedua orang gurunya yang sudah melepas budi besar kepadanya,
yang menganggap dia seperti anak sendiri, akan merasa berduka, kecewa dan
menyesal, ingin Sian Lun menjerit-jerit dan menangis. Namun, semua telah
terlambat.
Ia telah
mengkhianati sumoi-nya. Perjuangan menentang penjajah Mancu memang baik dan
tiap pendekar sepatutnya bangga bila membantu perjuangan membebaskan rakyat dan
tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu. Tapi, bagaimana mungkin perjuangan
itu dapat melalui jalan yang benar kalau dipimpin orang-orang sesat seperti Pek-lian
Sam-li dari Pek-lian-kauw, para pemberontak Nepal dan pemberontak Tibet?
Malam tadi,
walau pun ada Pek-lian Sam-li yang menemaninya, dia tidak dapat tidur
memikirkan Sian Li. Dia merasa bersalah kepada sumoi-nya itu dan merasa
menyesal sekali. Ia harus bisa membebaskan sumoi-nya, dan sudah mengambil
keputusan untuk minta kepada Lulung Lama agar Sian Li dibiarkan bebas. Kalau
permintaannya ditolak, dia pun akan menyatakan tidak mau lagi membantu mereka!
Dan sore hari ini, Lulung Lama memanggil semua sekutunya untuk mengadakan
pertemuan di ruangan luas itu.
Setelah
memberi salam kepada semua orang, Lulung Lama berkata dengan suara yang
lantang, “Kita telah mengadakan persiapan dan penjagaan untuk menyambut
datangnya Sin-ciang Taihiap yang pasti akan datang ke sini untuk membebaskan
Nona Tan Sian Li. Akan tetapi sampai hari ini, dia tidak muncul dan mengirim
utusan untuk menuntut supaya nona itu kita bebaskan. Padahal, seperti kalian
ketahui, kita menghendaki agar Nona Tan Sian Li dan juga kalau mungkin
Sin-ciang Taihiap sendiri, suka bekerja sama dengan kita menentang penjajah
Mancu. Bila dia tak mau kita tidak bisa membebaskan Nona Tan Sian Li karena ia
sudah mengetahui semua rahasia pergerakan kita. Bagai mana pendapat anda
sekalian?”
Melalui
penterjemahnya Pangeran Gulam Sing lalu berkata, “Siapakah utusan Sin-ciang
Taihiap itu? Di mana dia sekarang? Seharusnya dia itu ditangkap ketika datang
ke sini.”
“Suhu,
biarlah teecu (saya) yang menjelaskan, karena teecu mengetahui dengan jelas,”
kata Cu Ki Bok kepada Lulung Lama yang mengangguk setuju.
Setelah
mendapat persetujuan gurunya, Ki Bok mulai memberi keterangan. “Utusan itu
bernama Yo Han dan dia adalah kakak misan Nona Tan Sian Li. Dia pula yang
menjadi perantara ketika aku mengajukan tantangan kepada Sin-ciang Taihiap
untuk bertanding melawan ketua kita mendiang Dobhin Lama. Ketika dia mendengar
bahwa kita tidak akan membebaskan Nona Tan Sian Li, Yo Han berkeras tidak mau
pergi dan hendak menemani Nona Tan Sian Li di sini. Sekarang, dia masih berada
di sini, di pondok yang menjadi tempat tinggal nona itu. Aku juga sudah memesan
kepada para penjaga agar melakukan pengawasan yang ketat.”
Gulam Sing
yang masih merasa penasaran karena dia gagal memperkosa Sian Li, berkata,
“Kalau begitu, Yo Han itu dan juga gadis itu harus dihadapkan ke sini sekarang
juga! Kita paksa nona itu bekerja sama, dan kita paksa pula utusan itu untuk
membujuk Sin-ciang Taihiap agar mau datang ke sini dan bekerja sama pula. Kalau
mereka tidak mau, kita bunuh saja mereka!”
Karena
pendapat ini dianggap benar, dan demi keselamatan serta kepentingan mereka agar
rahasia persekutuan mereka tidak sampai terbongkar, semua orang mengangguk
setuju. Juga Lulung Lama mengangguk-angguk.
Tentu saja
Cu Ki Bok menjadi khawatir sekali. Dia tahu bahwa akan sulit bahkan hampir
tidak mungkin membujuk Sian Li supaya mau bekerja sama. Nasib gadis itu
sekarang terancam bahaya maut. Dan mungkin saja untuk menyenangkan hati
Pangeran Gulam Sing, sekutu yang dianggap kuat dan dapat diandalkan itu, gurunya
akan menyerahkan Tan Sian Li kepadanya.
Dia dapat
membayangkan betapa ngerinya nasib gadis yang dicintanya itu bila terjatuh ke
tangan Gulam Sing. Akan tetapi, sebelum dia sempat menemukan kata-kata untuk
membantah dan membela Sian Li, tiba-tiba Sian Lun sudah bangkit berdiri.
“Losuhu,
biar aku yang memanggil mereka ke sini!” tanpa menanti jawaban, Sian Lun sudah
melangkah cepat, keluar dari ruangan itu.
Cu Ki Bok
sudah tahu bahwa Sian Lun telah mengkhianati Sian Li dan dia amat dibenci gadis
itu. Kalau Sian Lun yang pergi memanggil Sian Li dan Yo Han, tentu akan terjadi
keributan, apa lagi dia tidak suka dan tidak percaya kepada pemuda yang begitu
mudah terjatuh ke dalam bujuk rayu tiga orang wanita seperti Pek-lian Sam-li.
“Dia tidak
semestinya pergi. Dia belum dapat dipercaya benar!” serunya.
“Ha-ha-ha,
biarlah aku saja yang memanggil mereka!” kata Pangeran Gulam Sing yang segera
berlari keluar, diikuti oleh Badhu, Sagha dan beberapa orang pembantunya.
Pek-lian
Sam-li yang juga mengkhawatirkan Sian Lun yang kini sudah tidak lagi mereka
pengaruhi dengan sihir, bangkit dan berdiri keluar pula. Setelah mereka semua
tiba di luar, ternyata Sian Lun sudah tidak nampak. Agaknya pemuda itu berlari
cepat untuk meninggalkan tempat itu.
Segera
mereka semua melakukan pengejaran ke tempat pemondokan Sian Li. Melihat para
pimpinan yang tadi mengadakan pertemuan rapat itu kini berlarian ke arah pondok
tawanan, para petugas yang melakukan penjagaan menjadi terkejut dan mereka pun
mengikuti dari belakang.
Sian Lun
memang berlari secepatnya ke pondok di mana Sian Li berada. Dia sudah mengambil
keputusan nekat. Dia harus membebaskan Sian Li. Jika dia berterus terang kepada
Lulung Lama, tidak mungkin permintaannya akan dikabulkan.
Tadi dia
sudah mendengar sendiri rencana mereka. Kalau Sian Li tidak mau menyerah dan
bekerja sama, mereka akan membunuhnya supaya gadis itu tidak membocorkan
rahasia persekutuan mereka. Tidak ada jalan lain. Dia harus segera membebaskan
Sian Li atau memberi kesempatan kepada Sian Li untuk melarikan diri selagi
kesempatan itu ada, selagi para pimpinan yang lihai mengadakan pertemuan di
ruangan itu. Dia akan melindunginya, menjadi perisai, kalau perlu
mempertaruhkan nyawa menghadapi para penjaga yang mengejar agar Sian Li dapat
lari. Dia sudah melakukan dosa besar dan dia harus menebusnya sekarang juga
selagi masih ada kesempatan.
Sian Li dan
Yo Han terkejut ketika mereka mendengar orang mendorong pintu pondok terbuka
dan ketika mereka berdua keluar dari dalam kamar masing-masing, mereka melihat
Sian Lun dengan wajah pucat telah berada di situ.
“Hemm,
jahanam busuk, mau apa engkau ke sini?!” Sian Li membentak, dan seketika
kemarahannya berkobar begitu dia melihat Sian Lun. Bahkan dia sudah bergerak
maju hendak menyerang pemuda itu.
“Li-moi,
jangan terburu nafsu, dengarkan dulu apa kehendaknya,” Yo Han mencegah dan
menghampiri mereka.
Sian Lun
memandang pada Yo Han, tidak mengenal pemuda itu akan tetapi dia dapat menduga
bahwa tentu pemuda inilah yang tadi dibicarakan sebagai utusan Sin-ciang
Taihiap. Dia tidak peduli dan memandang kembali kepada Sian Li.
“Sumoi,
cepat. Engkau larilah sekarang juga, biarkan aku yang akan menghadapi para
pengejar. Cepat, selagi para pimpinan sedang sibuk mengadakan rapat pertemuan
di bangunan induk. Cepat, mereka akan membunuhmu kalau engkau tidak mau
membantu mereka. Aku telah bersalah, Sumoi, tetapi biarlah kesempatan terakhir
ini kugunakan untuk menebus dosa. Cepat larilah engkau dari tempat ini, Sumoi.”
Melihat
sikap dan mendengar ucapan suheng-nya itu, Sian Li tertegun. Ia masih sangsi.
Benarkah suheng-nya itu telah sadar dan hendak menolongnya? Ataukah ini pun
hanya siasat busuk belaka? Agaknya Sian Lun maklum pula akan kesangsian
sumoi-nya.
“Lihat,
Sumoi. Aku telah membunuh empat orang penjaga di depan. Engkau larilah melalui
pintu belakang, langsung ke pagar bambu sebelah selatan dan lolos dari sana.
Kalau ada yang mengejar, biar aku yang akan menghadapi mereka.”
Sian Li
berlari ke depan. Ia melihat betapa empat orang penjaga di situ benar-benar
sudah menggeletak mandi darah. Diam-diam ia terkejut. Kiranya Sian Lun
benar-benar tidak membual.
Ia menoleh
kepada Yo Han untuk minta pendapatnya. Yo Han juga sejenak tertegun melihat
perubahan tiba-tiba pada diri Sian Lun itu. Akan tetapi, Yo Han segera dapat
menduga bahwa tentu kini Sian Lun telah sadar, menyesal dan ingin menebus
dosanya! Maka dia pun diam-diam merasa girang sekali.
“Kalau
memang hendak meloloskan diri, marilah kita bertiga lari bersama selagi ada
kesempatan!” kata Yo Han.
Akan tetapi
pada saat itu, rombongan para pimpinan yang tadi melakukan pengejaran sudah
tiba pula di depan pondok, dipimpin oleh Pangeran Gulam Sing dan tiga orang
Pek-lian Sam-li.
Melihat ini,
Sian Lun terkejut dan dia pun cepat berkata, “Sumoi, pergilah ke belakang.
Cepat!”
Dia sendiri
sudah melompat keluar untuk menyambut para pengejar. Dia tahu bahwa bicara dengan
mereka pun tidak ada gunanya lagi. Dia sudah membunuh empat orang penjaga.
Tentu mereka tidak akan mengampuninya, apa lagi kini melihat dia berusaha
membantu Sian Li melarikan diri. Dengan pedang di tangan dia pun menyerbu ke
arah Pangeran Gulam Sing yang berada paling depan.
“Kalian
hendak memberontak?” Pek-lian Sam-li membiarkan pemuda bekas kekasihnya itu
dihadapi Gulam Sing yang mereka yakin akan mampu menundukkan pemuda itu. Mereka
sudah meloncat ke depan Sian Li dan Yo Han, diikuti oleh para pimpinan lain.
Sian Li
sudah siap untuk melawan, walau pun ia tidak memegang senjata. Akan tetapi Yo
Han maklum bahwa keadaan mereka tidak menguntungkan. Kini agaknya terpaksa dia
harus membuka rahasianya. Dia harus melindungi Sian Li walau pun agaknya sudah
terlambat untuk melindungi Sian Lun.
Jarak di
antara mereka terlalu jauh dan kalau dia meloncat untuk melindungi pemuda itu,
berarti dia harus meninggalkan Sian Li dan hal ini berbahaya sekali. Karena
mereka berpisah, maka dia tidak mungkin dapat melindungi keduanya dan tentu
saja dia lebih memberatkan Sian Li dari pada pemuda itu. Dia sudah siap membela
Sian Li dan telah melangkah maju untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang
lihai dari persekutuan pemberontak itu.
Sementara
itu, tanpa mengeluarkan kata apa pun. Sian Lun sudah menyerang Gulam Sing
dengan pedangnya. Kalau tadinya dia memandang Gulam Sing sebagai rekannya,
sebab keduanya menjadi kekasih Pek-lian Sam-li, sekarang ia memandangnya
sebagai musuh dan serangan-serangan yang dilancarkan Sian Lun adalah serangan
maut yang dimaksudkan untuk membunuh.
Tetapi Gulam
Sing ternyata lihai sekali. Tingkat kepandaian pangeran Nepal ini memang lebih
tinggi dibandingkan Sian Lun. Dia menggunakan goloknya yang melengkung untuk
membendung gelombang serangan pedang Sian Lun. Tiap kali golok bertemu pedang,
Sian Lun merasakan tangannya tergetar dan pedangnya terpental. Dia kalah tenaga
dan sebentar saja dia mulai terdesak hebat.
“Kalian
hendak melarikan diri? Jangan harap bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan
bernyawa!” kata Ji Kui sambil tersenyum mengejek, kemudian, setelah memberi
isyarat kepada dua orang adiknya Ji Kui yang sudah mengerahkan kekuatan sihir
dibantu dua orang adiknya, membentak nyaring. “Tan Sian Li dan Yo Han
pandanglah kami dan kalian berdua harus mentaati perintah kami! Berlututlah
kalian! Hayo, berlutut!”
Sian Li
merasa ada kekuatan aneh yang seperti hendak menariknya untuk menjatuhkan diri
berlutut. Akan tetapi karena ia sudah siap siaga sebelumnya, ia dapat
mengerahkan sinkang dan melawan. Tiba-tiba saja kekuatan aneh yang menariknya
itu lenyap seperti disapu angin dan tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu
mengeluarkan suara terkejut dan heran. Mereka agak terhuyung ke belakang dan
terengah-engah.
Pengerahan
tenaga sihir mereka membalik dan menghantam isi dada mereka sendiri! Kini
mereka siap untuk menyerang, dan ketiganya sudah mencabut pedang. Gerakan itu
diikuti oleh kawan-kawannya yang sudah mengepung Yo Han dan Sian Li.
Akan tetapi,
sebelum para pengepung itu bergerak maju menyerang, tiba-tiba terdengar
bentakan, “Tahan semua senjata!”
Pek-lian
Sam-li menengok dan mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah Cu Ki Bok.
Tiga orang wanita ini diam-diam merasa tak suka kepada pemuda ini. Pertama,
mereka tidak mampu mempermainkan Ki Bok, dan ke dua mereka juga tidak berani
menentangnya mengingat bahwa Ki Bok adalah murid dan kepercayaan Lulung Lama.
“Cu-enghiong
(Orang Gagah Cu), dua orang ini jelas hendak melarikan diri, mengapa engkau
melarang kami membunuhnya? Mereka hendak memberontak!” kata Ji Kim.
“Itu fitnah
belaka,” kata Ki Bok. “Suhu membutuhkan bantuan mereka, juga bantuan dari
Sin-ciang Taihiap. Bagaimana kalian dapat lancang membunuh mereka? Pula, mereka
sama sekali tidak melarikan diri. Liem Sian Lun itu yang hendak berkhianat.”
“Empat orang
penjaga telah mereka bunuh!” kata Ji Kui.
“Tidak
mungkin. Lihatlah, Nona Tan Sian Li dan saudara Yo Han ini sama sekali tidak
memegang senjata, sedangkan keempat orang penjaga itu jelas tewas karena
bacokan dan tusukan pedang. Yang memegang pedang hanyalah Sian Lun, jadi ialah
yang telah membunuh para penjaga, bukan dua orang tamu ini. Atas nama Suhu, aku
melarang kalian mengganggunya. Suhu perlu bicara dengan mereka.”
Sikap Cu Ki
Bok keras dan tegas sehingga para anak buah Hek-I Lama tidak berani melanggar,
juga para tamu tentu saja tidak berani menentang tuan rumah. Apa lagi karena
apa yang dikemukakan pemuda itu memang benar. Empat orang penjaga itu tewas
karena terluka pedang, sedangkan dua orang itu sama sekali tidak memegang
senjata.
“Suheng...!”
tiba-tiba Sian Li berseru, terbelalak dan ia pun meloncat dari situ.
Ternyata
Sian Lun telah terkena tendangan Gulam Sing yang disusul bacokan golok melengkung.
Bacokan itu merobek perutnya dan pemuda itu roboh sambil kedua tangan menekan
perutnya yang terluka parah untuk menahan agar isi perutnya tidak terburai
keluar! Pangeran Gulam Sing tertawa bergelak dengan bangga sambil membersihkan
goloknya, dan Sian Li sudah berlutut di dekat tubuh suheng-nya.
Sian Lun
mendekap perut dan darah membasahi seluruh tubuhnya. Akan tetapi ia masih
sempat memandang Sian Li dan berkata lemah, “Sumoi, kau maafkanlah... aku...
dan mintakan ampun… untukku... dari Suhu dan Subo... aku... aku berdosa...”
Kepala itu terkulai, kedua tangan terlepas dari perut dan ususnya terburai.
“Suheng...!”
Sian Li menjerit ngeri melihat keadaan suheng-nya.
Dan ia pun
melompat berdiri, membalik dan menghadapi Pangeran Gulam Sing dengan mata
melotot dan muka merah.
“Kau...
kau... jahanam busuk... kau telah membunuhnya!”
Sian Li
menerjang dengan nekat, menggunakan tangan kosong sambil mengerahkan sinkang
dingin dari Pulau Es. Sambil tertawa dan memandang ringan, pangeran Nepal itu
menangkis dan hendak menangkap kedua tangan gadis itu. Dia terlalu memandang
rendah, tidak tahu bahwa dalam serangan itu, Sian Li mengerahkan seluruh tenaga
Swat-im Sinkang dari Pulau Es.
Maka, begitu
dua pasang tangan bertemu, Pangeran Gulam Sing terdorong ke belakang dan ia pun
menggigil kedinginan! Dia terkejut setengah mati dan terpaksa dia melempar
tubuh ke belakang dan bergulingan agar tidak menerima serangan susulan lawan.
Akan tetapi
hal itu sebenarnya tidak perlu karena Yo Han sudah berada di dekat Sian Li,
menyabarkan gadis itu. “Hentikan seranganmu, Li-moi. Serahkan saja urusan ini
kepada Sin-ciang Taihiap.”
Ucapan itu
selain dapat menyabarkan Sian Li, juga membuat para pengepung menjadi gentar
karena Yo Han menyebut-nyebut nama Sin-ciang Taihiap yang tentu akan marah
sekali karena Sian Lun sudah dibunuh. Sian Li kembali menghampiri mayat
suheng-nya dan menangis.
Ki Bok cepat
mendekatinya. “Sudahlah Sian Li, tak ada gunanya lagi ditangisi. Aku akan
menyuruh orang-orangku mengurus jenazah suheng-mu baik-baik dan memperabukan
jenazah itu agar abunya bisa kau bawa kalau kau menghendakinya. Sebaiknya
engkau dan Yo-toako berdiam saja di pondokmu malam ini dan jangan keluar.”
Sian Li
mengangguk dan merasa berterima kasih sekali. Kalau tak ada Ki Bok, mungkin dia
dan Yo Han juga sudah dikeroyok banyak orang dan entah bagaimana akibatnya.
Agaknya, murid Lulung Lama ini memang benar-benar jujur dan hendak menolongnya,
tentu saja tidak berani berterang karena kalau hal itu diketahui Lulung Lama,
tentu dia sendiri akan celaka dan dianggap sebagai seoretng pengkhianat.
Yo Han
agaknya mengerti akan keadaan Ki Bok, maka dia pun cepat mengajak Sian Li
memasuki kembali pondok mereka.
Peristiwa
kematian Sian Lun itu tentu saja menimbulkan perubahan pada rencana yang tadi
telah diputuskan, yaitu untuk menghadapkan Sian Li dan Yo Han dan minta mereka
menentukan sikap. Bagaimana pun juga, Sin-ciang Taihiap yang pernah mengadu
ilmu melawan Dobhin Lama menuntut dibebaskannya Sian Lun dan kini pemuda itu
sudah tewas. Tentu akan terjadi hal yang lebih gawat, maka atas permintaan Ki
Bok, Lulung Lama menunda keputusan itu.
Penjagaan
diperkuat karena mereka khawatir kalau Sin-ciang Taihiap telah mendengar akan
kematian Sian Lun itu dan akan datang menyerbu malam itu.
Sementara
itu, di dalam pondok Sian Li masih duduk termenung. Wajahnya agak pucat dan
kedua matanya berlinang air mata. Biar pun tadinya ia marah dan membenci Sian
Lun yang mengkhianatinya dan melihat suheng-nya itu bermain gila dengan tiga
orang wanita Pek-lian-kauw, namun pada akhir hidupnya suheng-nya itu telah
bersikap gagah, bahkan telah mengorbankan nyawa sendiri demi membelanya.
Sian Lun
telah bertekad untuk membebaskannya dengan pengorbanan nyawanya. Biar pun usaha
membebaskannya itu gagal karena keburu ketahuan para tokoh persekutuan itu,
namun tidak urung nyawanya menjadi korban. Akan tetapi pada akhir hidupnya Sian
Lun sudah menebus kesalahannya dengan perbuatan gagah dan membuktikan cintanya
kepadanya.
Terkenanglah
ia akan masa lalunya, ketika ia dan Sian Lun masih sama-sama belajar ilmu di
bawah pimpinan Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, selama lima tahun lebih.
Teringatlah ia betapa Sian Lun selalu bersikap manis dan baik kepadanya, betapa
Sian Lun selalu menyayangnya dan teringat akan semua ini, air matanya runtuh
kembali.
“Suheng...!”
Ia mengeluh.
Yo Han
menghampirinya dan duduk di depannya, terhalang oleh meja. “Li-moi, tak ada
gunanya menangisi kematian Sian Lun. Bagaimana pun juga, dia sudah tewas
sebagai seorang pendekar yang gagah dan tidak mengecewakan!”
Sian Li
mengusap air matanya dan menghela napas. “Dia patut dikasihani, Han-ko.”
Yo Han
mengangguk. “Sudah kuduga. Kesesatannya tentu tidak wajar. Dia masih terlalu
muda dan kurang pengalaman sehingga mudah saja dikuasai musuh dengan ilmu
sihir. Akan tetapi dia telah menebus kesalahannya, telah menghapus dosanya
dengan darah dan dia... dia ternyata amat mencintamu, Li-moi.”
Sian Li
mengangguk. Teringat akan pengalamannya di perahu dengan Sian Lun, ketika
pemuda itu menyatakan cinta kepadanya dan ia bahkan mendorong suheng-nya hingga
tercebur di air!
“Memang
Suheng pernah menyatakan cintanya kepadaku, akan tetapi aku menolaknya karena
aku menyayanginya sebagai kakak seperguruan, tidak lebih dari pada itu.”
Yo Han
menarik napas panjang, melihat kenyataan yang membuat nuraninya mencela diri sendiri.
Kenapa hatinya merasa senang mendengar bahwa Sian Li tidak membalas cinta kasih
Sian Lun?
“Kita harus
waspada malam ini. Kalau tidak meleset perhitunganku, malam inilah akan terjadi
penyerbuan itu. Karena Sian Lun sudah tidak ada, sekarang kita hanya mencari
kesempatan untuk melarikan diri saja dari tempat ini. Aku sendiri tak ingin
terlibat dalam pertempuran nanti antara persekutuan ini melawan pasukan Tibet.
Mengertikah engkau, Li-moi?”
Gadis itu
mengerutkan alisnya. “Tetapi aku harus membunuh pangeran Nepal jahanam itu,
Han-ko!”
Yo Han
menatap tajam wajah Sian Li. “Kenapa harus, Li-moi?”
“Pertama,
dia pernah hampir memperkosaku, dan untung waktu itu ada Cu Ki Bok yang
menolongku. Ke dua, dia telah membunuh Suheng. Tidak pantaskah bila aku membalas
dendam dan membunuhnya?”
“Li-moi,
siapakah kita ini maka boleh membunuh sesama manusia begitu saja? Li-moi, kita
mempelajari ilmu bukan untuk menjadi pembunuh. Kurasa ayah ibumu sendiri, juga
guru-gurumu tentu telah memberi tahu akan kebenaran itu. Kita sebagai manusia
tidak berhak untuk membunuh manusia lain, dengan alasan apa pun juga.”
“Tapi,
Han-ko. Bukankah dia juga sudah membunuh Suheng? Bukankah dia hampir saja
memperkosaku dan hal-hal itu saja sudah membuktikan betapa jahatnya dia? Dia
layak dihukum, dibunuh supaya jangan menambah kejahatannya lagi dan mengganggu
orang lain.”
Yo Han
menggelengkan kepalanya. “Katakanlah dia jahat dan dia pun telah membunuh
suheng-mu. Kalau kini kita membalas dan membunuhnya, lalu apa bedanya antara
dia dengan kita?”
“Jelas
bedanya, Han-ko! Kita membunuhnya untuk memberantas kejahatan sedangkan dia
membunuh Suheng untuk melakukan kejahatan...”
“Tidak
begitu, Li-moi. Kalau kita tanya kepadanya, tentu dia memiliki alasan yang
cukup kuat mengapa dia membunuh suheng-mu. Setiap orang yang melakukan sesuatu
tentu akan mempunyai alasan untuk membela diri. Padahal yang mendorong
pembunuhan adalah sama, yaitu balas dendam, kebencian dan permusuhan. Kalau
engkau hendak membunuhnya, maka jelas dasarnya adalah dendam kebencian.”
“Aih,
sekarang aku mengerti mengapa Ayah dan Ibu mengatakan engkau seorang yang baik
hati akan tetapi aneh, Han-ko.”
“Apa yang dikatakan
ayah ibumu tentang diriku?” Yo Han ingin sekali mendengarnya.
“Ayah dan
Ibu pernah bercerita kepadaku bahwa engkau memiliki bakat ilmu silat yang luar
biasa, akan tetapi anehnya, engkau sama sekali tidak mau mempelajari ilmu silat
karena engkau selalu berpendapat bahwa ilmu silat ialah ilmu memukul dan
membunuh orang. Sekarang, setelah engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi,
engkau pantang membunuh orang, betapa pun jahatnya orang itu. Aku pun telah
mendengar akan sepak terjangmu sebagai Sin-ciang Taihiap. Han-ko, kalau begitu,
untuk apa engkau belajar ilmu silat sampai begitu tinggi?”
“Untuk apa?
Selain untuk membela diri dari ancaman bahaya, untuk menyehatkan dan menguatkan
tubuh, untuk menguasai gerakan yang mengandung seni tari yang indah, juga
kepandaian itu dapat kupergunakan untuk menolong orang lain yang terancam
bahaya. Bahkan dengan kepandaian ini dapat kita pakai untuk menekan orang
tersesat agar mereka kembali ke jalan yang benar. Bagaikan obat bagi orang
sakit, obat yang keras namun manjur, ilmu silat dapat kita pergunakan
menyembuhkan orang sakit batin sehingga dia jera menjadi penjahat dan kembali
ke jalan benar.”
Sampai
beberapa lamanya, Sian Li berdiam diri, memikirkan apa yang dikatakan Yo Han,
lalu ia menghela napas panjang. “Kalau begitu, dalam pertemuan nanti, aku tidak
boleh mencari Gulam Sing dan tidak boleh menyerangnya?”
“Dia lihai
sekali, Li-moi.”
“Aku tidak
takut, dan aku tidak gentar biar terancam maut melawannya!” kata gadis itu
dengan sikap gagah.
Yo Han
tersenyum. “Aku percaya, Limoi. Dan aku pun tidak akan membiarkan engkau
menghadapi dia seorang diri. Akan tetapi, ingatlah bahwa dia akan memimpin
orang-orangnya untuk melawan pasukan Tibet. Kalau kita ikut bertempur berarti
kita sudah terlibat dalam perang antara mereka. Padahal, aku minta bantuan
kepada orang-orang kang-ouw hanya agar kita mendapat kesempatan untuk melarikan
diri saja, bukan untuk bertempur dan saling bunuh.”
“Jadi
berarti... aku harus membiarkan saja Gulam Sing itu melakukan kejahatan tanpa
dihukum?”
“Li-moi, tak
ada perbuatan tanpa akibat yang menimpa Si Pembuat sendiri. Tiada orang yang
tidak menuai dan memakan hasil tanamannya sendiri. Tuhan Maha Adil, Li-moi.
Ingatlah, seorang yang berjiwa pendekar pantang untuk mendendam, karena
perbuatan apa pun yang didasari dendam dan kebencian, maka perbuatan itu sudah
pasti sesat dan jahat. Kita menentang perbuatan jahat tanpa dendam kebencian
pada orang yang melakukan kejahatan itu. Sekali engkau menurutkan perasaan hati
dalam tindakanmu, maka engkau juga akan melakukan hal yang bagi orang lain akan
dianggap jahat pula. Musuh yang paling berbahaya bukan terdapat di luar diri
kita, melainkan di dalam diri sendiri. Musuh itu adalah kalau nafsu sudah
merajalela di dalam hati akal pikiran.”
“Aihh, aku
menjadi pening, Han-ko. Terserah kepadamu sajalah. Aku ingat bahwa Ayah dan Ibu
menganggap engkau seorang yang berbudi mulia, karena itu, apa pun yang kau
katakan tentu benar.”
Dua orang
ini sama sekali tak mengira bahwa pada saat itu, para pimpinan gerombolan itu
pun sedang bersiap siaga. Mereka pun mengadakan pertemuan dan membicarakan
kematian Sian Lun dan akibatnya.
“Biarlah
Sin-ciang Taihiap datang kalau dia marah karena aku membunuh pemuda itu,” kata
Pangeran Gulam Sing. “Aku tidak takut kepadanya. Dan kita begini banyak. Kalau
kita maju bersama menghadapinya, apakah seorang saja ia akan mampu mengalahkan
kita?”
“Ada satu
hal yang aneh sekali dan membuat kami berpikir-pikir,” berkata Ji Kui, orang
tertua dari Pek-lian Sam-li.
“Apakah yang
kau maksudkan?” Lulung Lama bertanya karena barusan suara wanita itu terdengar
penuh rahasia dan penuh kesungguhan. Sekarang semua orang memandang kepadanya.
“Tentu
kalian telah melihat sendiri betapa kami bertiga mempergunakan kekuatan sihir
untuk memaksa Sian Li dan Yo Han berlutut kepada kami. Akan tetapi, mereka
berdua sama sekali tidak jatuh berlutut, bahkan kami terhuyung oleh pukulan
tenaga kami yang membalik. Bukanlah ini aneh sekali?”
“Apanya yang
aneh?” kata Lulung Lama mendongkol. “Gadis itu adalah keturunan dari keluarga
Pendekar Pulau Es dan Naga Gurun Pasir. Kalau ia dapat menolak kekuatan sihir
kalian, tidak dapat dibilang aneh.”
Melihat
Ketua Hek-I Lama yang baru itu marah-marah, Pek-lian Sam-li hanya berdiam diri.
Juga semua orang diam. Suasana menjadi sunyi sampai tiba-tiba Pangeran Gulam
Sing menggebrak meja.
“Memang
aneh!” katanya melalui penterjemahnya. “Aku sudah mengenal kekuatan sihir
Pek-lian Sam-li, cukup kuat bahkan lebih kuat dari pada kekuatan sihirku. Tak
mungkin nona itu akan dapat bertahan menghadapi serangan sihir mereka, apa lagi
menolak dan bahkan membuat tenaga mereka membalik. Menghadapi sihirku saja, ia
tidak tahan dan tunduk...” Dia menoleh kepada Cu Ki Bok, teringat betapa dia
sudah hampir berhasil menguasai Sian Li akan tetapi muncul pemuda itu yang
menggagalkannya.
“Itulah yang
membuat kami terus berpikir-pikir,” kata Ji Kui yang mendapat angin oleh
pertanyaan Gulam Sing itu. “Kami pun tahu akan kemampuan gadis itu. Jelas bukan
ia yang menolak kekuatan sihir kami, akan tetapi Yo Han, kakak misannya itu…”
“Hemmm,
rasanya tidak mungkin,” kata Cu Ki Bok, “Yo Han itu hanya utusan Sin-ciang
Taihiap, dan sepanjang pengetahuanku, dia seorang pemuda yang lemah dan...”
“Kami sudah
mempertimbangkan semua itu dan kami hampir merasa yakin bahwa Yo Han itu adalah
Sin-ciang Taihiap sendiri!” kata pula Ji Kui dan sekali ini semua orang
terlonjak saking kaget hati mereka.
“Omitohud...!
Apa maksudmu? Dia... dia Sin-ciang Taihiap?” teriak Lulung Lama.
“Kami hampir
yakin akan hal itu,” berkata pula Ji Kui sambil menoleh ke arah Pangeran Gulam
Sing. “Pangeran, ingatkah engkau betapa mudahnya engkau menundukkan Sian Li
dengan sihirmu? Rasanya tak mungkin jika sekarang ia bukan saja mampu bertahan
terhadap pengaruh sihir kami, bahkan membuat tenaga kami membalik. Jelaslah
bahwa yang memiliki kekuatan dahsyat itu tentu pemuda bernama Yo Han itu. Siapa
di antara kita yang sudah membuktikan sendiri bahwa pemuda itu lemah? Dan biar
pun selama ini Sin-ciang Taihiap menutupi mukanya, dan biar pun mungkin
suaranya yang diubah, akan tetapi bentuk tubuhnya serupa benar dengan Yo Han
itu. Kalau dia pemuda biasa yang lemah, lalu bagaimana dia dapat bersikap
sedemikian beraninya, bukan saja dia mengunjungi adik misannya di sini, bahkan minta
ditahan pula di sini dengan alasan menemani gadis itu! Hemm, siapa lagi dia
kalau bukan Sin-ciang Taihiap?”
“Omitohud...!
Kalau begitu, celakalah, kita sudah kebobolan! Ki Bok, bagaimana hal ini sampai
dapat terjadi?” Lulung Lama menegur muridnya.
Wajah Cu Ki
Bok berubah, matanya terbelalak. Pendapat Pek-lian Sam-li itu sungguh masuk di
akal dan dia sendiri pun baru sekarang menyadari kemungkinan itu. Yo Han adalah
Sin-ciang Taihiap! Kenapa dia tidak memikirkan kemungkinan itu? Biasanya dia
amat cerdik dan tidak mudah ditipu.
Inilah
akibatnya kalau dia tergila-gila! Karena mencinta Sian Li, dia tidak ingat
apa-apa lagi kecuali untuk melindungi gadis itu. Dia bangkit berdiri. “Suhu,
kalau benar demikian, teecu yang akan menangkap Yo Han itu!”
Dia pun
berlari keluar, namun dari luar dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka
yang berada di dalam.
“Kalau dia
Sin-ciang Taihiap, maka kita harus menyerbu beramai-ramai, sekarang juga!”
terdengar teriakan suhu-nya.
Ki Bok
maklum bahwa inilah saat dia harus bertindak cepat. Dia harus menyelamatkan
Sian Li terlebih dulu. Mengenai Yo Han, jika benar dia Sin-ciang Taihiap dan
tidak mau bekerja sama, dia sendiri akan membantu untuk mengeroyok dan membunuh
pendekar yang berbahaya itu.
Akan tetapi,
yang paling penting baginya, sekarang juga sebelum terlambat dia harus
menyingkirkan Sian Li dari situ, harus dapat membiarkan gadis itu lolos. Dia
tidak tahu betapa ketika semua orang menyerbu keluar, Ji Kui, orang pertama
dari Pek-lian Sam-li, mendekati Lulung Lama kemudian membisikkan sesuatu yang
membuat Lulung Lama mengerutkan alisnya dan nampak terkejut serta marah.
Ki Bok
mengerahkan seluruh kepandaiannya, berloncatan dengan cepat sekali dan dia
mengetuk daun pintu pondok di mana Sian Li dan Yo Han tinggal. Enam orang
petugas jaga segera menghampirinya dari tempat penjagaan, juga ada belasan
orang muncul dari tempat persembunyian.
Ternyata
pondok itu dijaga sangat ketat sehingga kalau penghuninya hendak melarikan
diri, maka tentu usaha itu akan ketahuan. Akan tetapi ketika para petugas itu
mengenal Ki Bok, mereka memberi hormat dan segera mundur kembali setelah Ki Bok
memberi isyarat.
Sian Li dan
Yo Han tidak tidur. Di kamar masing-masing mereka sedang duduk bersila dan menghimpun
tenaga, menanti datangnya saat penyerbuan seperti yang diharapkan Yo Han. Pada
saat mereka mendengar ketukan pada daun pintu depan, keduanya yang memang
selalu siap siaga, segera keluar dari dalam kamar.
Yo Han
memberi isyarat kepada Sian Li untuk membuka daun pintu, sedangkan dia
menyelinap kembali ke dalam kamarnya. Sian Li maklum bahwa Yo Han ingin
mengintai apa yang akan terjadi.
“Siapa di
luar?” Sian Li bertanya dari balik daun pintu.
“Sian Li,
ini aku, Ki Bok. Cepat buka ada urusan penting sekali,” terdengar suara Ki Bok
berbisik dari luar pintu.
Mendenger
ini, Sian Li cepat membuka daun pintu. Ki Bok masuk dan memandang ke
sekeliling, wajahnya cemas.
“Ki Bok, ada
apakah? Apa yang terjadi?" tanya Sian Li, memandang tajam.
“Di mana
Yo-toako?” tanyanya lirih.
Sian Li
menoleh ke arah kamar Yo Han. “Dia masih tidur, ada apakah?”
“Sian Li,
keadaan mulai gawat. Mereka hendak datang memaksamu bekerja sama dan kalau
engkau menolak, mereka akan membunuhmu. Aku... aku tidak mungkin mampu menolongmu,
tak mungkin mencegah mereka. Sekarang, kau ambillah keputusan, Sian Li. Maukah
engkau membantu kami dan bekerja sama dengan kami?”
Sian Li
mengerutkan alisnya. “Engkau sudah tahu akan watakku, Ki Bok. Aku tidak mau
bekerja sama dengan siapa pun juga.”
“Kalau
begitu, Sian Li, engkau harus cepat lari, sekarang juga. Marilah kubantu engkau
lolos dari sini. Cepat, mereka akan mengejar kita!” Ki Bok menyambar tangan
Sian Li. “Kita melalui jalan belakang!”
Tetapi Sian
Li merenggutkan tangannya hingga terlepas. “Aku akan bertanya kepada Han-ko
lebih dulu,“ katanya.
Pada saat
itu, terdengar suara gaduh di luar pondok, suara banyak orang datang ke tempat
itu. Wajah Ki Bok berubah. “Celaka, mereka sudah datang. Sian Li mari cepat
kita lari!”
Pada saat
Sian Li meragu, Yo Han muncul dari dalam kamarnya.
“Pergilah
menyelamatkan diri, Li-moi, biarlah aku yang akan menghadapi mereka dan
menghadang mereka yang akan mengejarmu.”
Tadinya Yo
Han sudah siap untuk mengajak Sian Li melarikan diri begitu penyerbuan tiba dan
menggunakan kesempatan selagi terjadi pertempuran sehingga mereka dapat
meloloskan diri tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Tapi
kini agaknya keadaan berubah. Sebelum serbuan itu tiba, keselamatan Sian Li
terancam.
“Tidak
Han-ko. Aku akan tinggal di sini membantumu menghadapi mereka,” kata Sian Li.
“Li-moi,
jangan bodoh! Musuh terlampau banyak Larilah duluan, aku akan menghalang mereka
dan nanti akan menyusulmu. Saudara Ki Bok, kalau benar engkau mencintanya,
cepat selamatkan adikku itu!”
Setelah
berkata demikian, Yo Han berlari keluar sambil cepat-cepat mengenakan caping
lebarnya yang tadi dia lipat dan sembunyikan di balik baju ketika dia akan
memasuki perkampungan itu. Caping lebar yang bertirai itu menyembunyikan
mukanya.
Ki Bok
mencabut sabuk baja yang kedua ujungnya berpisau, kemudian menodongkan sebatang
pisaunya ke punggung Sian Li sambil berkata, “Engkau berpura-pura menjadi
tawananku supaya kita lebih mudah mengelabui mereka!” bisiknya. Tangan kanannya
menodongkan pisau dan tangan kirinya memegang pergelangan tangan Sian Li.
Gadis itu
maklum. Ia tidak dapat membantah lagi karena Yo Han telah berlari keluar dan ia
mengerti akan maksud Ki Bok. Biar pun hatinya amat mengkhawatirkan keselamatan
Yo Han, namun ia harus mentaati keinginan Yo Han. Kalau ia membangkang dan
nekat melawan, tentu hal itu bahkan membuat Yo Han harus repot melindunginya.
Maka, ia pun menurut saja ketika Ki Bok menariknya melarikan diri keluar dari
pondok itu melalui jendela kamar Yo Han yang berada di sudut belakang.
Saat mereka
meloncat keluar dari rumah itu, mereka melihat betapa di belakang rumah itu pun
sudah penuh dengan anak buah Hek-I Lama yang memegang senjata. Melihat Cu Ki
Bok, mereka tertegun, akan tetapi pemuda itu dengan tenang segera berkata,
“Kalian
kepung dan jaga rumah ini, jangan biarkan siapa pun keluar. Aku harus cepat
mengamankan tawanan ini supaya dia jangan sampai lolos!” Setelah berkata
demikian, dengan sikap kasar dia menarik lengan Sian Li sambil menodongkan
pisaunya ke arah tengkuk gadis itu.
Para anak
buah perkumpulan pendeta Lama yang memberontak terhadap Tibet itu saling
pandang, akan tetapi mereka tidak berani mencegah Cu Ki Bok, apa lagi mereka
masih belum tahu apa artinya semua keributan itu. Mereka hanya melihat para
pimpinan berlari menyerbu ke rumah pondok itu dari depan dan mereka mendapat
perintah untuk mengepung pondok itu.
Tadi mereka
hanya mendengar bahwa Sin-ciang Taihiap sudah menyelundup ke sarang mereka. Hal
ini saja sudah cukup membuat mereka tegang. Siapa yang takkan merasa gentar
mendengar bahwa Sin-ciang Taihiap, pendekar yang sudah mengalahkan dan
mengakibatkan tewasnya Dobhin Lama itu, sekarang berada di antara mereka?
Sin-ciang
Taihiap atau Yo Han telah membuka daun pintu depan pondok itu, tepat pada saat
semua orang yang tadi berlari dari bangunan induk itu ke situ telah tiba di
depan pondok. Banyak anak buah Hek-I Lama memegang obor sehingga tempat itu
menjadi terang. Suara berisik mereka itu seketika lenyap dan mereka terdiam,
bahkan ada yang menahan napas saking tegang dan juga jeri.
Mereka
melihat pria bercaping lebar yang mukanya tersembunyi di balik tirai caping itu
berdiri tegak di depan pintu, menentang mereka. Sesosok tubuh yang mendatangkan
ketegangan dan kegentaran itu sebetulnya biasa saja. Tubuh yang sedang dan
tegap, dengan pakaian sederhana pula, tidak memegang senjata apa pun.
Rambut hitam
panjangnya terurai lepas. Mukanya sama sekali tak nampak, akan tetapi sepasang
mata di balik tirai tipis itu seperti mencorong menembus tirai tertimpa sinar
obor yang bergerak-gerak. Sosok tubuh yang tidak mengesankan, akan tetapi
karena semua orang tahu bahwa pendekar ini baru saja menyebabkan Dobhin Lama
tewas, maka mereka menjadi gentar...
Dari balik
tirainya, Yo Han melihat bahwa pondok itu sudah didatangi sedikitnya tiga puluh
orang dan masih ada puluhan orang anak buah Hek-I Lama berada di belakang
rombongan itu. Dia melihat Pangeran Nepal Gulam Sing bersama Badhu dan Sagha,
juga beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, Hek-pang Sin-kai dan para anak buahnya,
beberapa Pendeta Lama yang agaknya menjadi pimpinan. Akan tetapi dia tidak
melihat adanya Lulung Lama, juga tidak melihat Pek-lian Sam-li.
Dia tahu
bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat berbahaya karena selain
mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, memiliki pula ilmu sihir dan
ahli menggunakan racun, juga mereka berjumlah banyak. Kiranya tak mungkin dia
seorang diri saja akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau Sian Li
sudah lolos, agaknya bukan tak mungkin baginya untuk melarikan dan meloloskan
diri dari kepungan mereka.
“Omitohud...
kiranya Sin-ciang Taihiap yang terkenal itu tidak datang baik-baik melalui
pintu gerbang depan seperti seorang gagah, tetapi secara curang menyelundup
masuk seperti maling!” kata seorang pendeta Lama, seorang di antara para
pembantu Lulung Lama sambil memegang sebatang tongkat pendeta berkepala naga
yang lebih panjang dari pada tubuhnya yang tinggi.
“Losuhu,
siapa yang curang agaknya perlu diteliti lebih jauh, aku ataukah perkumpulan
Hek-I Lama yang terdiri dari pendeta-pendeta yang sudah sepantasnya bersikap
jujur, adil dan mengharamkan perbuatan-perbuatan sesat. Ketua kalian, Dobhin
Lama, sudah menantangku untuk mengadu ilmu dengan taruhan bahwa kalau dia
kalah, dia akan mengembalikan mutiara hitam dan membebaskan Liem Sian Lun. Kami
bertanding dan Tuhan membimbingku sehingga ketua kalian kalah. Dobhin Lama
telah dengan gagah mengakui kekalahan dan mengembalikan mutiara hitam, tapi
kalian tidak membebaskan Liem Sian Lun, bahkan secara curang sekali sudah
menawan Tan Sian Li. Nah, siapa yang curang?”
Tiba-tiba
Gulam Sing mencabut goloknya yang melengkung, mengangkat goloknya itu tinggi di
atas kepalanya. Setelah mendengar ucapan Yo Han melalui penterjemahnya, dia pun
berteriak dalam bahasanya sendiri.
“Sin-ciang
Taihiap, engkau ini manusia sombong! Engkau sudah mengalahkan Dobhin Lama,
tetapi hal itu terjadi karena dia sudah tua dan kehabisan tenaga. Kini engkau
berani lancang menyusup ke sini seperti pencuri, jangan harap akan dapat keluar
lagi hidup-hidup!”
Ketika
ucapan itu hendak diterjemahkan, Yo Han mendahului. “Aku mengerti apa yang kau
katakan, Pangeran Gulam Sing. Dan aku sudah mengerti pula kenapa engkau dan
gerombolanmu keluar dari Nepal sebagai orang-orang pemberontak pelarian.
Sekarang engkau bergabung dengan Lama Jubah Hitam yang juga tengah memberontak
terhadap pemerintah Tibet, tentu hanya untuk mencari kawan saja agar kelak
dapat membalas budi dan membantumu memberontak terhadap pemerintah Nepal!”
“Sin-ciang
Taihiap, mati hidupmu ada di tangan kami dan engkau masih membuka mulut besar?
Kepung dan keroyok!” teriak seorang pemimpin Hek-I Lama.
Pangeran
Nepal itu sudah mendahului dengan serangan golok melengkung yang amat tajam
itu, disusul rekan-rekannya sehingga dalam beberapa detik saja hujan senjata
telah menyerang ke arah tubuh Yo Han. Yo Han maklum bahwa dia diserang oleh
banyak orang pandai, maka dia mengerahkan ginkang-nya. Tubuhnya berkelebat
bagaikan seekor burung walet cepatnya, berloncatan dan mengelak dari hujan
senjata yang menyambar dari segenap penjuru itu.
Dia harus
memberi waktu kepada Sian Li untuk dapat lolos terlebih dahulu sebelum dia
sendiri melarikan diri. Sebaiknya dia memancing datangnya semua tokoh di tempat
itu supaya pelarian Sian Li dapat berjalan lancar. Sian Lun sudah tewas dan
tidak perlu dipikirkan lagi. Sambil berloncatan mengelak, kaki tangannya
bergerak dengan tamparan-tamparan dan tendangan. Beberapa orang pengeroyok
terpelanting, usahanya memang berhasil. Semua tokoh yang dirinya memiliki
kepandaian yang tinggi saja yang hanya mengepung dengan senjata di tangan,
tanpa berani lancang ikut mengeroyok.
Akan tetapi
Yo Han tetap merasa khawatir karena belum juga nampak Lulung Lama dan Pek-Sian
Sam-Li turut mengeroyok. Dia khawatir kalau-kalau empat orang yang paling lihai
itu menjadi penghalang bagi lolosnya Sian Li yang tadi dibantu oleh Cu Ki Bok.
Kekhawatiran Yo Han itu memang terbukti benar. Cu Ki Bok berhasil membawa Sian
Li lari sampai ke dekat pagar bambu runcing dan tidak pernah ada penjaga yang
berani menghalanginya. Mereka berhenti di bawah pagar bambu runcing.
“Nah, engkau
loncatlah ke atas dan cepat tinggalkan tempat ini, Sian Li,” berkata Cu Ki Bok,
suaranya agak gemetar.
Sian Li
memegang tangan pemuda itu. Ia dapat mendengar getaran suara itu dan ia pun
terharu. “Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Ki Bok? Mereka akan tahu
bahwa engkau telah membebaskan aku, dan tentu engkau akan celaka...”
Ki Bok
tersenyum dan menggeleng kepala. ”Aku cukup penting bagi perjuangan Suhu dan
kawan-kawan. Kesalahanku itu kecil saja karena engkau bukanlah orang Mancu,
bukan musuh yang penting. Sudahlah, aku pasti dapat menjaga diriku sendiri,
Sian Li. Kau pergilah...!”
Sian Li
melepaskan pegangan tangannya, melangkah ke arah pagar bambu, akan tetapi
terhenti lagi dan menengok. “Ki Bok...” ia meragu.
“Ada apa
lagi, Sian Li? Cepat-cepatlah, jangan sampai mereka datang mengejar.”
“Aku hanya
ingin minta maaf padamu...”
“Minta maaf?
Untuk apa?” Ki Bok memandang heran.
“Engkau
begitu mencintaiku dan sudah kau buktikan dengan pertolongan ini, akan tetapi
aku... aku tidak dapat membalas cintamu. Maafkan aku, Ki Bok.”
Cu Ki Bok
tertawa, namun suara ketawanya sumbang, “Sudah nasibku Sian Li, cinta tak dapat
bertepuk sebelah tangan. Engkau tidak bersalah. Cinta tidak dapat dipaksakan,
hanya aku yang tidak tahu diri. Nah, pergilah dan jangan pikirkan aku lagi...”
Mendadak
mereka melihat beberapa bayangan berkelebat. Mata Ki Bok terbelalak pada saat
melihat bahwa gurunya, Lulung Lama, ketiga Pek-Lian Sam-li dan belasan orang
pembantu mereka telah mengepung tempat itu!
“Omitohud,
tidak kusangka bahwa muridku yang paling kupercaya, sekarang bahkan
mengkhianatiku! Sungguh seperti memelihara anak harimau, ketika kecil dan lemah
dirawat dan dipelihara, setelah besar dan kuat hendak menubruk pemeliharanya
sendiri. Engkau murid murtad!”
“Suhu, teecu
hanya hendak membebaskan Nona Tan Sian Li karena dia tidak bersalah dan karena
teecu tidak tega melihat dia celaka. Suhu, Nona Tan bukan musuh kita, dan
membebaskannya tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perjuangan kita.
Bagai mana Suhu dapat mengatakan bahwa teecu murtad dan pengkhianat? Suhu,
kalau Suhu menghendaki supaya perjuangan kita mendapat dukungan para pendekar
di dunia kang-ouw, sebaiknya Suhu membebaskan Nona ini.”
Terdengar
suara tertawa merdu, disambung suara Ji Kim, orang ke tiga dari Pek-lian Sam-li
yang cantik manis dan lincah. “Hi-hi-hik, apakah Losuhu masih belum mengerti?
Muridmu itu telah tergila-gila kepada gadis ini, dan orang yang tergila-gila
seperti dia itu mau berbuat apa saja untuk orang yang dicintainya. Kalau perlu
melawan guru sendiri demi membela wanita yang dicintainya, heh-heh!”
“Benar
sekali, Losuhu. Muridmu ini tidak ada harganya sama sekali, bahkan berbahaya
karena sewaktu-waktu dia dapat mengkhianati kita,” kata Ji Kui.
Cu Ki Bok
marah sekali dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka tiga orang
wanita itu. “Pek-Lian Sam-li, kalian ini hanya tamu akan tetapi tidak tahu
diri! Aku tahu kenapa kalian membenciku, karena aku tak sudi melayani rayuan
kalian, bukan? Kalian sungguh menjemukan, kalian perempuan-perempuan hina yang
berkedok pejuang!”
“Ki Bok
tutup mulutmu!” Lulung Lama membentak.
Sian Li yang
sejak tadi mendengarkan saja, kini melangkah maju dan ia pun berseru nyaring.
“Ucapan Ki Bok benar! Tiga orang wanita jalang ini tak tahu malu! Ki Bok seribu
kali lebih berharga dari pada mereka ini, Losuhu.”
“Hi-hik,
engkau sudah mau mampus masih banyak lagak!” bentak Ji kui, dan bersama adiknya
ia sudah menyerang ke arah Sian Li.
Gadis
berpakaian merah ini bergerak cepat. Dia mengelak, dan meski pun ia bertangan
kosong, ia membalas dengan serangan yang dahsyat.
“Ki Bok,
pinceng tidak mungkin dapat membiarkan engkau kelak mengkhianatiku. Nah,
terimalah hukuman dariku ini!’ Pendeta Lama itu menerjang ke depan dan
menghantam dengan tangan kanan ke arah kepala murid sendiri.
“Suhu...!”
Ki Bok berseru.
Dia cepat
melempar tubuhnya ke belakang. Biar pun dia sudah mengelak cepat, namun angin
pukulan itu masih menyambar dahsyat dan tubuhnya terjengkang dan
terguling-guling sampai lima meter lebih.
“Ki Bok...!
Losuhu engkau tidak boleh membunuhnya!” Sian Li berteriak.
Akan tetapi
tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu sudah menyerangnya dari tiga penjuru dan
walau pun ia dapat menangkis dan mengelak, tetap saja ia terhuyung ke belakang.
Seorang penjaga yang memegang pedang menyambutnya dengan tusukan pedangnya.
Sian Li
adalah seorang gadis gemblengan. Walau pun dia kurang pengalaman dan
ilmu-ilmunya belum masak benar, namun ia telah mewarisi ilmu-ilmu hebat. Ketika
ada angin tusukan pedang menyambar tubuh bagian iga dari samping, dia masih
dapat menekuk tubuhnya sehingga pedang lewat di dekat iganya. Kakinya menendang
dan pergelangan tangan yang memegang pedang itu terkena sambaran ujung kakinya.
Tangannya juga cepat merenggut dan pada lain detik pedang itu sudah berpindah
ke tangannya! Begitu memegang pedang, senjata itu langsung menyambar sehingga
penyerangnya tadi pun roboh oleh pedangnya sendiri.
Dengan
pedang di tangan, Sian Li lantas mengamuk, memainkan Liong-siauw Kiam-sut
dengan pedang rampasan itu. Namun Pek-lian Sam-li yang juga sudah menggunakan
pedang, mengepung dan mengeroyoknya, membuat Sian Li tidak mungkin lagi dapat
mendekati Ki Bok lagi. Pemuda itu bangkit berdiri setelah tadi
terguling-guling, hanya untuk melihat suhu-nya sudah berdiri di depannya, kini
dengan sepasang senjata gelang roda besar di kedua tangan, serta matanya
mencorong marah, penuh nafsu membunuh.
“Suhu,
ampunkan teecu...” Cu Ki Bok meratap.
Dia tidak
takut mati konyol di tangan gurunya sendiri, walau pun hanya untuk kesalahan
sekecil itu. Kalau diingat betapa semenjak kecil ia diperlakukan dengan baik
oleh Lulung Ma, sungguh penasaran bila sekarang terancam maut di tangan orang
yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya, yang menyayang dan
disayangnya. Agaknya Lulung Lama juga tak tega untuk membunuh pemuda yang
selama ini menjadi tumpuan harapan dan yang disayangnya, yang selama ini setia
kepadanya itu, maka dia nampak ragu-ragu.
“Losuhu,
ingat, ia agaknya pun berbaik dengan Sin-ciang Taihiap. Dia amat berbahaya,
seperti musuh dalam selimut!” teriak Ji Kim yang merasa kecewa dan sakit hati
karena selamanya baru sekali ia dan encinya ditolak pria, yaitu ketika mereka
gagal merayu Ki Bok.
Mendengar
teriakan ini, bangkit kembali kemarahan Lulung Lama. Memang muridnya ini yang
menerima Yo Han.
“Mampuslah...!”
bentaknya dan dia pun menyerang dengan sepasang rodanya.
Ki Bok
terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak. Dia tetap tidak mau melawan
gurunya dan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari
cengkeraman maut. Akan tetapi, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh
dibandingkan gurunya, maka sebuah tendangan kaki Lulung Lama mencium lutut
kanannya dan dia pun terpelanting.
“Sian Li,
larilah... cepat...!” Dia masih sempat berteriak sebelum sebuah roda di tangan
kiri Lulung Lama menghantam kepalanya dan pemuda itu tewas seketika.
Lulung Lama
berdiri seperti patung, memandang ke arah pemuda yang kepalanya retak dan tewas
itu, dan baru dia merasa menyesal bukan main.
“Ki Bok...
omitohud... apa yang kulakukan ini? Ki Bok...,” dia mengeluh.
Seolah
menjawab kata-katanya, terdengar sorak-sorai riuh sekali dan nampak obor-obor
dinyalakan di luar pagar bambu, kemudian terdengar suara hiruk pikuk pada saat
pagar bambu yang mengelilingi perkampungan itu dijebol orang dari luar.
Perkampungan itu diserbu orang dari luar. Dapat dibayangkan alangkah kagetnya
rasa hati Lulung Lama ketika pagar itu jebol. Dia melihat banyak pendeta Lama
di antara para penyerbu yang terdiri dari pasukan Tibet!
“Celaka...!”
serunya.
Dia maklum
bahwa sarangnya diserbu oleh pasukan pemerintah Tibet bersama anak buah Dalai
Lama. Dia pun cepat lari ke bangunan induk untuk memimpin anak buahnya
mengadakan perlawanan. Akan tetapi, dengan kaget Lulung Lama melihat bahwa para
penyerbu bukan hanya terdiri dari pasukan Tibet dan para pendeta Lama saja,
tetapi juga puluhan orang kang-ouw.
Orang-orang
kang-ouw itu kini membantu Yo Han yang dikeroyok dan yang tadi sedang mengamuk.
Maklumlah Lulung Lama bahwa dia harus melawan mati-matian. Karena itu, sambil
mengeluarkan teriakan menantang, dia sudah menyerbu ke arah Yo Han yang kini
dia ketahui adalah Sin-ciang Taihiap sendiri. Yo Han menyambut senjata roda di
tangan Lulung Lama dan terjadilah perkelahian hebat di antara mereka.
Sementara
itu, pada waktu melihat serbuan pasukan Tibet dan para pendeta Lama, juga
orang-orang kang-ouw, Sian Li menjadi girang sekali dan ia pun tidak jadi
melarikan diri. Bahkan ia lalu menggunakan suling emasnya yang tadi ia terima
kembali dari Cu Ki Bok untuk membantu para penyerbu, mengamuk sambil
mencari-cari Pangeran Gulam Sing yang amat dibencinya untuk membalas kematian
suheng-nya.
Gadis ini
menerima sebuah suling berselaput emas dari Kam Bi Eng, nenek yang telah
menggemblengnya. Meski pun ia juga pandai memainkan pedang, namun ia lebih suka
kalau memegang suling ini sebagai senjatanya. Akhirnya Sian Li menemukan orang
yang dicari-carinya. Ternyata Pangeran Gulam Sing yang tinggi besar brewok dan
gagah perkasa itu, dengan senjatanya yang mengerikan, yaitu golok melengkung
yang amat tajam, sedang bertanding malawan Gak Ciang Hun dan ibunya.
Pangeran
Nepal itu memang tangguh, dan terutama sekali dia memiliki tenaga raksasa yang
membuat Ciang Hun dan ibunya kewalahan. Setiap kali senjata ibu dan anak itu
bertemu dengan golok melengkung itu, tentu pedang mereka terpental. Hanya
setelah Ciang Hun mengerahkan tenaga sinkang-nya, barulah dia berani beradu
senjata. Akan tetapi ibunya tidak berani mengadu senjata secara langsung, hanya
mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengeroyok.
“Pangeran
jahanam!” Sian Li berseru dan sekali lompat, tubuhnya menjadi bayangan merah
dan suling emasnya mengeluarkan bunyi melengking ketika ia menotok ke arah
leher pangeran yang tinggi besar itu.
“Ha-ha-ha-ha,
Si Bangau Merah datang. Bagus, marilah kita main-main sebentar, nona manis!”
kata pangeran itu dalam bahasa yang patah-patah.
Goloknya
digerakkan dengan pengerahan tenaga, dihantamkan ke arah suling emas yang
menusuk lehernya, dengan maksud agar senjata di tangan nona pakaian merah itu
terpental dan lepas. Akan tetapi Sian Li bukan seorang gadis bodoh. Dia sudah
tahu bahwa lawannya ini mempunyai tenaga yang sangat besar, maka dia menarik
kembali sulingnya dan secepat kilat, sulingnya yang lepas dari tangkisan lawan
itu sudah balas menotok ke arah ulu hati lawan!
Pada saat
yang bersamaan, Gak Ciang Hun dan ibunya, Souw Hui Lian atau Nyonya Gak, sudah
menyerang pula dengan pedang mereka dari kanan kiri. Melihat dirinya diserang
oleh tiga orang lawan yang kesemuanya tidak boleh dipandang ringan, Pangeran
Gulam Sing lantas mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan yang mengandung
kekuatan sihir.
Tiga orang
lawan itu tergetar seperti kehilangan tenaga dan di lain saat, kaki Pangeran
Nepal itu sudah merobohkan Nyonya Gak dengan tendangan kakinya yang mengenai
paha. Goloknya menyambar ke arah Gak Ciang Hun yang masih sempat melempar diri
ke belakang sehingga serangan itu luput, sementara tangan kiri pangeran Nepal
itu mencengkeram ke arah kepala Sian Li!
Gadis ini
terkejut. Tadi ketika Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan, ia pun ikut
tergetar dan seperti kehilangan tenaga sehingga tusukan sulingnya gagal. Kini
tiba-tiba lengan yang panjang itu telah terjulur secepat kilat dan telapak
tangan yang besar itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya!
Sian Li
cepat miringkan kepala mengelak. Akan tetapi tangan itu terus menyambar dan
mencengkeram ke arah pundak kirinya dan terdengar pangeran itu tertawa
bergelak.
“Ha-ha-ha,
Nona merah, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku... ehhh...!” Dia terkejut
karena mendadak saja cengkeraman tangannya itu tertolak ke belakang oleh tenaga
dahsyat dari sinar emas yang menyambar ke arah tangannya itu.
Dia cepat
meloncat ke belakang dan ketika dia mengangkat muka, dia melihat bahwa di situ
telah berdiri seorang lelaki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih,
berpakaian sederhana. Melihat pria ini sama sekali tidak mengesankan, tetapi
sepasang matanya mencorong penuh wibawa.
Pria itu
memandang kepada Sian Li yang tadi terkejut dan juga lega bahwa ada orang yang
menyelamatkannya. Terdengar dia berkata, “Nona, biarlah aku yang menghadapi
orang Nepal ini.”
Pangeran
Gulam Sing yang menjadi marah tidak memberi kesempatan kepada lawan yang
tangguh itu untuk banyak bicara. Dengan geram dia telah mengeluarkan bentakan
nyaring yang disertai kekuatan sihirnya sambil menggerakkan golok melengkung
untuk menyerang.
Akan tetapi
pria itu bersikap tenang saja, agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh
bentakan itu dan dia sudah mencabut kembali sebatang suling dari ikat
pinggangnya. Suling itu terbuat dari kayu, akan tetapi mengkilap sepeti emas,
dan ketika dia gerakkan, maka terdengar suara melengking seolah suling itu
ditiup orang. Golok melengkung itu tertolak keras ketika bertemu suling,
membuat Pangeran Gulam Sing menjadi terkejut. Dia pun mengamuk dan menyerang
membabi buta, dilayani oleh pria yang sederhana itu.
Sian Li,
Nyonya Gak, dan Ciang Hun memandang kagum. Terutama sekali Sian Li yang
sekarang melongo dan terheran-heran. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa suling
itu dimainkan oleh Si Pria tiada bedanya sama sekali dengan permainannya
sendiri, itulah Liong-siauw-kiam-sut (ilmu Pedang Suling Naga)! Dimainkan
dengan gerakan perlahan saja, namun anehnya, golok melengkung itu sama sekali
tidak mampu banyak berlagak lagi setelah berhadapan dengan permainan suling
pria itu!
Sian Li
teringat akan neneknya, yaitu Kam Bi Eng, istri kakek Suma Ceng Liong. Seperti itulah
kalau Nenek Kam Bi Eng memainkan sulingnya! Dan meski pun ia sendiri telah
digembleng nenek itu dan sudah menguasai Liong-siauw Kiam-sut, namun tentu saja
tingkatnya masih jauh. Mungkin ia telah menguasai gerakannya, namun ‘isinya’
belum matang sehingga tenaga yang dikandung dalam gerakannya masih belum begitu
kuat.
Akan tetapi,
Sian Li tak sempat banyak melamun karena seperti juga Ciang Hun dan ibunya, dia
sudah harus berkelahi lagi dengan anak buah Pangeran Gulam Sing, yaitu
orang-orang Nepal yang juga terpaksa harus menggerakkan senjata menyambut para
penyerbu. Terjadilah pertempuran hebat pada malam itu.
Pria yang
baru tiba itu memang hebat. Pangeran Gulam Sing yang gagah perkasa itu pun
tidak mampu menandinginya. Belum juga lima puluh jurus, setelah Pangeran Nepal
itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, dia sudah terdesak dan
terhimpit oleh gulungan sinar suling di tangan orang itu.
Maklum bahwa
dia tidak akan mampu mengalahkan lawan ini, tiba-tiba Pangeran Gulam Sing
mengeluarkan teriakan nyaring dan kakinya yang panjang dan besar itu melakukan
tendangan-tendangannya yang sungguh ampuh. Kedua kaki itu bertubi-tubi
melakukan tendangan, menyambar dari bawah ke atas, dari kanan kiri dan
mendatangkan angin yang menyambar-nyambar.
Namun, lawannya
agaknya tidak menjadi terkejut melihat ilmu tendangan yang sangat dahsyat itu.
Tubuhnya mencelat ke atas dan setelah berjungkir balik, dia pun meluncur turun
dan didahului oleh sinar sulingnya, menyambut tendangan kaki Gulam Sing!
“Tukk!
Tukk!” Gulam Sing terjengkang, kedua kakinya roboh.
Saat itu
dipergunakan oleh Sian Li yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian itu
sambil menjaga diri dari serangan para anak buah Gulam Sing, untuk meloncat ke
dekat Gulam Sing. Sulingnya menyambar dan sebelum Pangeran Nepal itu sempat
mengelak, suling di tangan Sian Li telah menotok tengkuknya dari samping dan
pangeran Nepal itu pun terkulai.
“Awaaas...!”
Pria itu
cepat menyambar lengan Sian Li dan ditariknya. Untunglah dia bertindak cepat
karena saat itu pula, dalam keadaan sekarat Gulam Sing masih mampu melontarkan
goloknya ke arah Sian Li. Demikian kuat dan cepatnya lemparan golok itu
sehingga andai kata Sian Li tidak ditarik orang tadi, tentu dara ini akan
menjadi korban sambaran golok. Melihat robohnya Gulam Sing, anak buahnya
menjadi panik dan mereka lari cerai berai, disambut oleh pasukan Tibet.
“Gak-twako
dan Bibi, mari kita bantu Han-ko!” kata Sian Li dan ia pun menghadapi pria itu
sambil memberi hormat. ”Paman yang gagah perkasa, terima kasih atas pertolongan
Paman. Kalau Paman suka, kami harap Paman suka membantu kami sampai selesai!”
Pria itu
tersenyum. “Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar keributan di sini. Aku
datang dan melihat engkau tadi terancam, Nona. Mari, aku ikut di belakang
kalian.”
Sian Li,
Ciang Hun, Nyonya Gak dan diikuti pria itu lalu mencari Yo Han. Sementara itu, Yo
Han yang tadi bertanding melawan Lulung Lama, tidak menggunakan waktu terlalu
lama. Biar pun Lulung Lama dibantu oleh Pek-lian Sam-li namun Yo Han dapat
mendesak mereka dengan gerakan yang aneh.
Ia
menggunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng. Begitu empat orang lawannya menyerangnya,
mereka itu bahkan terjengkang sendiri. Makin hebat mereka menyerang, semakin
kuat pula mereka tertolak dan terbanting!
Memang ilmu
yang diwarisi Yo Han dari mendiang Kekek Ciu Lam Hok ini merupakan ilmu yang
luar biasa. Ilmu ini dapat menghimpun tenaga sakti yang mengandung daya tolak
yang luar biasa sehingga setiap orang penyerang, apa lagi kalau hatinya dibakar
kebencian dan kemarahan, tentu akan langsung terpukul sendiri oleh serangannya
yang membalik.
Ketika itu,
para pendeta Lama telah berdatangan dan melihat Lulung Lama terjengkang
berkali-kali setiap menyerang Yo Han, maka para pendeta Lama itu lalu menubruk
dan meringkus pemberontak itu. Akan tetapi terhadap Pek-lian Sam-li, baru
pendeta Lama dan pasukan tidak memberi ampun. Tiga orang wanita ini dikeroyok
dan di bawah hujan senjata, mereka pun tewas. Demikian pula kedua orang
pembantu Gulam Sing, yaitu Badhu dan Sagha, juga para tosu Pek-lian-lauw yang
menjadi kawan-kawan Pek-lian Sam-li semua tewas.
Pada saat Yo
Han melihat Sian Li, Ciang Hun dan Nyonya Gak, juga ada seorang pria sederhana
datang hendak membantunya, dia yang sedang meneriaki orang kang-ouw untuk
menghentikan pertempuran, segera berkata kepada mereka. “Mari kita tinggalkan
tempat ini. Kita tidak perlu mencampuri pertempuran antara pasukan Tibet yang
sedang menangkapi para pemberontak.”
Orang-orang
kang-ouw itu kemudian meninggalkan tempat itu, lari cerai berai setelah
mendengar perintah dari Sin-ciang Taihiap yang mereka taati. Ada pun Sian Li,
Ciang Hun dan ibunya, juga pria itu, segera mengikuti Yo Han melarikan diri
keluar dari kancah pertempuran itu. Mereka lari menuruni bukit itu. Setelah
mereka tiba di kaki bukit, malam mulai berganti pagi dan mereka berhenti di
tempat sunyi untuk istirahat.
Kesempatan ini
dipergunakan oleh Sian Li untuk sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada
pria yang telah menolongnya. “Paman, terima kasih atas bantuan Paman. Kalau
tidak ada Paman, mungkin aku telah menjadi korban golok Pangeran Gulam Sing
yang lihai.”
Ia mengamati
wajah pria itu dengan kagum dan heran sekali. “Permainan senjata suling dari
Paman begitu hebatnya, padahal gerakannya serupa benar dengan permainanku.
Kalau boleh aku mengetahui, siapa nama Paman yang terhormat?”
Tiba-tiba
Nyonya Gak berkata, “Sian Li, apakah engkau tak pernah mendengar tentang
pendekar sakti yang berjuluk Suling Naga? Aku berani bertaruh bahwa kita semua
kini sedang berhadapan dengan pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw.
Benarkah dugaanku itu, saudara yang gagah perkasa?”
Mendengar
itu, pria yang sederhana itu lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada,
memberi hormat kepada Souw Hui Lian atau Nyonya Gak. “Toanio memiliki
penglihatan tajam dan pandangan luas. Saya yang rendah memang bernama Sim Houw.
Dan kalau boleh saya mengenal, siapakah Toanio dan siapa pula orang-orang muda
yang gagah perkasa ini?”
Mendengar
bahwa pria itu bernama Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga, Sian Li
mengeluarkan seruan girang dan cepat ia lalu memberi hormat. “Aihhh, kiranya
Locianpwe yang nama besarnya sudah sering kudengar dari Bibi Nenek Kam Bi Eng!”
Kini Sim
Houw tersenyum lebar. “Aha, kiranya engkau menguasai Liong-siauw Kiam-sut dari
Sumoi Kam Bi Eng! Nona berbaju merah, siapakah engkau dan siapa pula orang
tuamu?” Sim Houw memandang dengan wajah berseri-seri karena hatinya girang
bukan main.
“Locianpwe,
sekarang kita semua berada di antara orang sendiri. Mungkin Locianpwe tidak
mengenal Ayahku. Ayahku bernama Tan Sin Hong...!”
“Ayahnya
berjuluk Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih), murid Istana Gurun Pasir!” kata
nyonya Gak gembira.
“Hebat!” Sim
Houw berseru girang, “Kiranya ayahmu pendekar yang namanya terkenal itu.
Sungguh girang sekali aku dapat bertemu denganmu, Nona baju merah!”
“Locianpwe,
namaku Sian Li. Tan Sian Li. Ada pun ibuku bernama Kao Hong Li...”
“She Kao...?
Apa hubungannya dengan bekas Panglima Kao Cin Liong di Pao-teng?”
“Dia adalah
Kakekku!” Sian Li berseru gembira.
Sim Houw
tertawa bergelak, bukan main girang rasa hatinya. Tiba-tiba dia mengambil
sulingnya dan meniup suling kayu berbentuk naga itu. Terdengarlah suara suling
yang melengking-lengking, merdu dan halus, akan tetapi mengandung getaran yang
sangat kuat sehingga menimbulkan gelombang suara yang mencapai tempat jauh.
Dan
tiba-tiba terdengar suara suling yang lebih lembut dan melengking tinggi. Meski
pun tidak sekuat suara suling yang ditiup oleh Sim Houw, namun cukup jelas
terdengar dari tempat itu. Suara suling yang menjawab itu dengan cepat terdengar
semakin dekat dan tidak lama kemudian, muncullah seorang wanita cantik. Wanita
itu berusia empat puluh tahun, namun nampak manis dan jauh lebih muda, matanya
membayangkan kelincahan dan kejenakaan, juga kecerdikan.
“Aihh, aku
sudah mulai tidak sabar menunggumu dan ternyata di sini terdapat banyak orang.
Siapakah mereka ini?” tanya wanita itu sambil memandang kepada semua orang satu
demi satu.
“Lihatlah,
Nona baju merah ini adalah puteri dari Pendekar Bangau Putih, dan ibunya adalah
puteri bekas panglima Cin Liong. Juga, ia telah menguasai Liong-siauw Kiam-sut
yang dipelajarinya dari Sumoi Kam Bi Eng. Hebat tidak?” kata Sim Houw kepada
wanita itu yang bukan lain adalah isterinya yang bernama Can Bi Lan.
Can Bi Lan
yang berwatak jenaka dan gembira itu segera maju dan memegang lengan Sian Li.
“Aihh, betapa gagahnya kau! Siapa namamu, Nona merah?”
Gembira
sekali hati Sian Li bertemu dengan suami isteri yang namanya sudah pernah ia
dengar dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu. “Bibi yang gagah dan cantik
jelita, namaku Tan Sian Li dan orang memberi julukan kepadaku Si Bangau Merah!”
“Si Bangau
Merah? Puteri Pendekar Bangau Putih? Heh-heh-heh, sungguh tepat sekali, Sian
Li, siapakah orang-orang yang lain ini? Perkenalkan mereka kepadaku.”
“Aku sendiri
pun belum sempat berkenalan dengan yang lain,” kata Sim Houw kepada isterinya.
“Pertama-tama saya harap Toanio suka mengenalkan diri. Agaknya Toanio mengenal
keadaan keluarga kami, akan tetapi kami tidak tahu siapa Toanio.”
“Kukira
Paman dan Bibi tentu sudah mengenal Bibi Gak. Suaminya adalah mendiang Beng-san
Sian-eng. Dan ini adalah puteranya Gak Ciang Hun.”
“Aih,
kiranya isterinya sepasang Locianpwe kembar, Sepasang Garuda dari Beng-san?”
seru Sim Houw, “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.”
Juga Can Bi
Lan memberi hormat kepada Nyonya Gak yang cepat-cepat membalas penghormatan
itu, diturut oleh puteranya.
“Dan
siapakah pemuda ini? Sepintas lalu tadi aku melihat betapa hebatnya dia ketika
melawan pengeroyokan lawan-lawannya yang lihai. Aku yakin dia ini pun bukan
orang sembarangan!” kata Sim Houw sambil memandang kepada Yo Han yag sejak tadi
diam saja.
Akan tetapi
diam-diam Yo Han mengamati wajah Can Bi Lan. Pernah dia mendengar cerita
mendiang ibunya ketika dia masih kecil tentang seorang Sumoi dari ibunya yang
berjuluk Siauw Kwi (Setan Cilik). Mendiang ibunya sendiri pernah menjadi
seorang tokoh sesat berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), dan Sumoi dari ibunya itu
kalau tidak salah ingat bernama Can Bi Lan. Wanita ini adalah Sumoi dari
mendiang ibunya!
Sian Li yang
merasa sangat bangga dan suka pamer segera memperkenalkan Yo Han. “Pernahkah
Paman dan Bibi dalam perantauan kalian mendengar nama besar Sin-ciang Taihiap
di daerah ini? Nah, inilah orangnya. Namanya Yo Han!”
“Tentu saja
kami pernah mendengarnya!” kata Can Bi Lan kagum. “Seorang pendekar yang tidak
pernah membunuh, seorang pendekar budiman yang menalukkan orang-orang jahat dan
menyadarkan mereka. Masih begini muda? Sungguh tak kusangka!”
“Sin-ciang
Taihiap, engkau masih begini muda, namun sudah membuat nama besar. Tentu gurumu
seorang yang sakti dan terkenal sekali!” kata Sim Houw.
“Dan ayah
ibumu tentu juga tokoh-tokoh dunia persilatan!” sambung Can Bi Lan.
Yo Han
memberi hormat kepada suami isteri itu dan kemudian berkata kepada Can Bi Lan,
“Bibi Guru, teecu Yo Han menghaturkan hormat. Mendiang Ibu adalah Ciong Siu
Kwi...”
“Aihhh...!”
Bi Lan berseru dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda putera suci-nya
itu. “Suci...? Aku mendengar bahwa Suci menikah dengan seorang pemuda sederhana
she Yo... dan mereka tewas bersama sebagai orang-orang gagah di tangan para
pemberontak. Kiranya engkau... ahhh, engkau keponakanku...!” Bi Lan maju dan
memegang kedua tangan pemuda itu, penuh rasa kagum dan juga bangga. “Syukurlah,
akhirnya Suci meninggalkan seorang keturunan yang begini gagah perkasa dan
berjiwa pendekar! Aku ikut merasa bangga, Yo Han!”
Rombongan
itu lalu duduk di atas akar dan batu, dan bercakap-cakap dengan gembira, saling
menceritakan pengalaman masing-masing. Karena mereka adalah orang-orang
segolongan, bahkan di antara mereka masih ada hubungan, baik kekeluargaan mau
pun perguruan, maka tentu saja suasana menjadi akrab sekali.
Nyonya Gak
atau Souw Hui Lin menceritakan betapa kedua orang suaminya, Si kembar Gak Jit
Kong dan Gak Goat Kong yang dikenal dengan julukan Beng-san Sian-eng, telah
meninggal dunia dan ia hidup berdua dengan putera tunggalnya yaitu Gak Ciang
Hun yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun.
“Pertemuan
dengan kalian semua membuat aku terkenang kembali kepada kampung halaman,” kata
Nyonya Gak sambil menghela napas panjang. “Sejak kematian suamiku, aku mengajak
Ciang Hun merantau, karena aku merasa hidupku kosong. Ternyata aku hanya
mengejar bayangan belaka. Kelahiran dan kematian merupakan kodrat Tuhan yang
tidak dapat dimengerti oleh kita. Kita hanya menerima dan menjalani saja, tidak
kuasa mengatur, maka kematian merupakan hal wajar yang tidak perlu disedihkan
terus menerus. Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san.”
Gak Ciang
Hun memandang kepada ibunya dengan mata bersinar dan wajah berseri. Selama ini
dia menghibur hati ibunya yang menjadi berduka sekali karena kematian kedua
orang ayahnya. Namun betapa pun dia membujuk, ibunya tidak mau kembali ke
Beng-san yang katanya hanya akan membuat ia berduka dan teringat kepada
ayah-ayahnya. Akan tetapi sekarang, ibunya sudah menyadari dan bahkan ingin
kembali.
Tentu saja
Ciang Hun menjadi girang bukan main. Kalau ibunya sudah mau kembali ke
Beng-san, tentu dia dapat memikirkan untuk berumah tangga. Tidak seperti
sekarang ini, selama hampir dua tahun hanya merantau ke sana sini tanpa tempat
tinggal yang tetap.
“Bagaimana
dengan engkau, Sian Li?” tanya Can Bi Lan kepada gadis itu.
Sian Li
bercerita tentang pengalamannya, betapa ia bersama mendiang Sian Lun yang
menjadi suheng-nya meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi berkunjung ke
Bhutan bersama Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Betapa kemudian dia bersama
suheng-nya bertemu dengan Lulung Lama sehingga mengalami banyak hal yang hebat.
“Dan di mana
sekarang suheng-mu itu?” tanya Sim Houw.
Sian Li
mengerutkan alisnya dan memandang kepada Yo Han. Berat rasa hatinya untuk
menceritakan penyelewengan yang sudah dilakukan suheng-nya itu, apa lagi
mengingat bahwa dalam saat-saat terakhir hidupnya, Sian Lun telah menyadari
kesesatannya dan bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Melihat gadis itu
memandang kepadanya seperti orang meminta bantuan, Yo Han lalu menjawab
untuknya.
“Sayang sekali,
dalam pertentangan menghadapi persekutuan pemberontak itu, Liem Sian Lun telah
tewas di tangan para pimpinan penjahat yang lihai.”
Gak Ciang
Hun dan ibunya menunduk. Mereka dapat menduga bahwa suheng dari Si Bangau Merah
itu telah menyeleweng, namun mereka tak ingin mencampuri urusan itu dan diam
saja.
Sim Houw
menghela napas panjang. “Memang demikianlah resiko menjadi seorang pendekar
yang membela kebenaran dan keadilan. Kalau pihak penjahat lebih kuat, mungkin
saja seorang pendekar akan mengorbankan nyawanya, mati muda. Akan tetapi
kematian seperti itu tidaklah sia-sia, karena dia mati dalam membela kebenaran,
dia seorang pahlawan kemanusiaan.”
“Lalu
sekarang engkau hendak pergi ke mana Sian Li?” tanya Can Bi Lan yang terlihat
amat sayang kepada gadis berpakaian merah itu.
“Aku ingin
segera pulang ke rumah Paman Suma Ceng Liong, Bibi, karena sudah lama
meninggalkan dusun Hong-cun. Ayah dan Ibu tentu akan merasa khawatir kalau
mereka datang menjemputku dan aku belum pulang. Dan Han-ko akan ikut denganku
karena dia pun sudah merasa rindu kepada Ayah Ibuku.”
Mereka semua
memandang pada Yo Han dan pemuda ini mengangguk membenarkan. ”Kasihan kalau
adik Sian Li harus pulang seorang diri, padahal ketika pergi ia bersama
mendiang suheng-nya. Selain itu, saya ingin bertemu dengan ayah ibunya, yaitu
guru-guru saya yang pertama.”
“Paman dan
Bibi sendiri hendak pergi ke manakah?” Sian Li bertanya kepada suami isteri
itu.
Dan mereka
semua merasa heran karena pertanyaan itu agaknya membuat suami isteri itu seperti
termenung, bahkan ada bayangan kesedihan meliputi wajah mereka. Tetapi Can Bi
Lan memiliki dasar watak yang lincah dan gembira, maka ia tidak membiarkan
wajahnya muram terlalu lama.
Segera ia
tersenyum lagi dan setelah menghela napas panjang, ia lalu berkata, “Biarlah
kami ceritakan keadaan kami karena kalian bukan orang luar, melainkan masih
terhitung anggota keluarga sendiri. Mungkin kalian sudah mendengar tentang nama
kami, tetapi tentu merasa heran mengapa selama ini kami berdua tidak pernah memperlihatkan
diri, bahkan seperti mengasingkan diri dari dunia persilatan. Sesunguhnya ada
musibah besar menimpa keluarga kami. Terjadinya kurang lebih dua puluh tahun
lalu. Ketika itu, anak tunggal kami, seorang anak perempuan yang baru berusia
tiga tahun, telah lenyap dari rumah kami.”
“Ahhh...!”
Mereka yang mendengarkan cerita itu berseru kaget. “Apakah sampai kini belum
juga dapat ditemukan, Bibi?” tanya Sian Li.
Can Bi Lan
menggeleng kepala sambil menghela napas.
“Adik Bi
Lan, bagaimana mungkin peristiwa seperti itu dapat menimpa suami isteri yang
sakti seperti kalian berdua? Apakah yang telah terjadi dengan puterimu?” tanya
Nyonya Gak dengan terkejut, penasaran dan heran. Sukar membayangkan ada orang
berani menculik puteri dari suami isteri Pendekar Suling Naga!
Bi Lan
kembali menghela napas. “Ketika itu, anak kami Sim Hui Eng yang baru berusia
tiga tahun sedang diasuh oleh seorang pelayan di taman belakang rumah dan
tiba-tiba kami mendengar jeritan pelayan kami di taman belakang. Kami cepat
lari ke sana dan mendapatkan pelayan kami sudah tewas tanpa luka. Setelah kami
memeriksa dengan teliti, ternyata ia telah tewas oleh tepukan pada ubun-ubun
kepalanya yang merusak isi kepala tanpa menimbulkan luka, dan anak kami lenyap
tanpa bekas. Di atas tanah terdapat tulisan yang mungkin sudah ditulis lebih
dahulu, yang menyatakan bahwa kalau kami melakukan pengejaran, anak kami akan
dibunuhnya seperti orang itu membunuh pelayan kami.” Bi Lan menghentikan
ceritanya dan memejamkan mata, agaknya masih ngeri membayangkan apa yang
terjadi pada diri anaknya.
“Terkutuk!
Bibi, siapakah pelaku yang jahat itu?” Gak Ciang Hun berseru marah.
Sekarang Sim
Houw yang menjawab, suaranya tetap tenang walau pun terdengar jelas bahwa
pendekar ini pun menahan kesedihan hatinya. “Sampai sekarang kami belum dapat
menduga siapa pelakunya. Kami berdua dengan sangat hati-hati melakukan
pencarian, takut kalau ancamannya itu dilaksanakan penculik itu. Akan tetapi,
ternyata orang itu memang lihai bukan main karena sampai sekarang, dua puluh
tahun telah lewat dan kami berdua belum juga berhasil menemukan Hui Eng. Kami
tidak tahu pria atau wanita yang menculik anak kami itu, apa lagi namanya.
Semua masih gelap bagi kami. Namun kami menduga bahwa perbuatan ini tentu
merupakan balas dendam. Di waktu muda kami banyak menentang para tokoh sesat
dan tentu mereka itu ada di antaranya yang mendendam kepada kami. Akan tetapi
karena banyak sekali tokoh sesat yang pernah kami tentang, kami tidak tahu
benar siapa penculik itu. Kami sudah menyelidiki di seluruh penjuru, sampai ke
tempat ini, namun tidak pernah berhasil.” Suami isteri itu menunduk dan jelas
bahwa mereka menderita tekanan batin yang amat hebat.
“Luar
biasa!” Sian Li berseru. ”Kenapa sama benar dengan yang telah terjadi padaku?
Paman dan Bibi, ketika aku masih kecil, berusia empat tahun, aku pun diculik
orang dari taman! Akan tetapi untung ada Han-ko ini, kalau tidak, mungkin
nasibku sama dengan puteri Paman dan Bibi, sampai sekarang tidak dapat bertemu
lagi dengan orang tuaku!”
Sim Houw dan
Bi Lan memandang kaget dan heran. “Siapa yang menculikmu ketika itu?” tanya
mereka hampir berbareng karena tentu saja mereka merasa tertarik sekali
mendengar terjadinya peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi pada diri
anak mereka.
“Yang
menculik aku adalah Ang-I Moli Tee Kui Cu, puteri dari mendiang Tee Kok dari
Yunan, ketua Ang-I Mo-pang. Akan tetapi Ang-I Moli juga menjadi tokoh
Pek-lian-kauw dan sekarang ia telah mati dihukum pemerintah karena bersekutu
dengan pemberontak. Nah, ketika aku diculik, Han-koko masih tinggal bersama
orang tuaku dan dia inilah yang membebaskan aku dari tangan Ang-I Moli dengan
cara menggantikan aku dengan dirinya sendiri.”
“Aihh,
Li-moi. Ketika engkau diculik, engkau sedang bermain-main denganku, maka aku
merasa bertanggungjawab,” kata Yo Han ketika semua mata memandang kepadanya
dengan kagum.
Cerita Sian
Li itu membuat suami isteri itu saling pandang dan berpikir. “Hemmm, kami kira
memang ada persamaannya. Tentu penculik itu juga mendendam kepada orang tuamu,”
kata Sim Houw. “Akan tetapi, kami tidak berhasil menemukan kembali anak kami,
padahal kini ia tentu telah berusia dua puluh tiga tahun dan kami tidak tahu
apa yang telah terjadi dengannya.”
“Yang
membuat hatiku terasa hancur kalau membayangkan adalah keadaannya yang tidak
menentu itu. Kami akan merasa lebih bersedih kalau ia sampai dibawa sesat oleh
penculiknya, lebih sedih dari pada kalau andai kata ia sudah terbunuh,” kata Bi
Lan dan nyonya ini nampak berduka sekali.
Yo Han yang
semenjak tadi mendengarkan merasa iba sekali. “Maaf, Paman dan Bibi, peristiwa
itu telah berlalu selama dua puluh tahun. Kini puteri Jiwi (Kalian) tentu sudah
merupakan seorang gadis dewasa berusia dua puluh tiga tahun. Namanya pun
mungkin sudah diganti nama baru oleh penculiknya. Bagaimana Paman dan Bibi akan
dapat mengenalnya andai kata bertemu dengannya, apa lagi kalau dia menggunakan
nama baru?”
Bi Lan
memandang kepada pemuda itu. “Kami pun sudah berpikir demikian. Nama memang
bisa saja diganti, akan tetapi ada dua buah tanda pada tubuh anak kami itu yang
tidak mungkin dipunyai oleh anak lain. Di pundak kirinya terdapat sebuah tahi
lalat hitam yang jelas dan di telapak kaki kanannya terdapat tanda noda merah
sebesar ibu jari kaki. Dengan adanya dua tanda itu, kami tentu akan dapat
mengenal anak kami.”
Tanpa
mengeluarkan sepatah pun kata, Yo Han mencatat semua itu di dalam hatinya. Dia
akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menemukan Sim Hui Eng untuk suami
isteri yang sudah menderita duka selama dua puluh tahun itu. Tak lama kemudian,
mereka terpecah menjadi tiga rombongan. Sim Houw dan Can Bi Lan meninggalkan
tempat itu, untuk kembali ke Lok-yang, tempat tinggal mereka, sebab sudah
terlalu lama mereka meninggalkan rumah dalam perantauan mereka mencari anak
mereka dan juga untuk menghibur diri.
Nyonya Gak
dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga pergi kembali ke Beng-san di mana mereka
masih mempunyai sebuah rumah peninggalan mendiang Beng-san Siang-eng yang
makamnya juga berada di puncak gunung itu. Ada pun Sian Li diantar Yo Han
melakukan perjalanan pulang ke dusun Hong-cun di luar kota Cin-an...
Sore itu,
seperti yang mereka lakukan selama beberapa hari ini, Suma Ceng Liong dan
isterinya, Kam Bi Eng, duduk di serambi luar sambil bercakap-cakap,
kadang-kadang mereka melayangkan pandang mata ke jalan di depan rumah mereka.
Mereka setiap hari menanti dengan hati mengharap-harap kembalinya murid-murid
mereka, yaitu Liem Sian Lun dan Tan Sian Li.
“Kenapa
mereka belum juga pulang?” gumam Suma Ceng Liong. “Dalam waktu sebulan lagi,
tahun baru tiba dan tentu Sin Hong dan Hong Li akan datang berkunjung untuk
menjemput puteri mereka. Sungguh tidak enak kalau mereka datang, Sian Li belum
juga pulang.”
“Mengapa
mesti merasa tidak enak?” isterinya membantah. “Sian Li bukan pergi sendiri,
melainkan diajak oleh Kakak Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Pula, ada Sian Lun
yang menemaninya agar ia tidak pulang seorang diri. Andai kata mereka terlambat
dan ayah ibu Sian Li yang datang lebih dahulu, mereka tentu akan dapat
mengerti.”
“Engkau
benar. Sin Hong dan Hong Li adalah orang-orang bijaksana. Buktinya biar pun mereka
berdua sendiri memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak menolak permintaan kita
untuk mendidik anak mereka selama lima tahun. Bahkan sebelum anak dan mantu
kita datang, aku akan minta bantuan mereka untuk menyusun daftar nama dari
mereka yang hendak kuundang dalam perayaan ulang tahun ke enam puluh yang juga
akan kupergunakan untuk suatu pertemuan besar berikut keluarga mereka semua.”
Isterinya
memandang dengan wajah berseri. “Jadikah rencanamu untuk mengumpulkan demikian
banyaknya keluarga dari tiga perguruan besar itu?”
“Mengapa
tidak? Kalau tidak dikumpulkan agar mereka saling berkenalan, tentu anak cucu
mereka tidak akan saling mengenal dan hubungan baik antara ketiga keluarga
besar itu akan terputus. Sayang sekali, bukan? Sejak dahulu, nama besar dari
keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, dan keluarga Lembah
Gunung Naga telah dikenal di seluruh dunia persilatan. Kini keturunan mereka
cerai berai, padahal di antara ketiga perguruan besar itu telah terjalin
hubungan kekeluargaan yang amat erat.”
Isterinya
mengangguk setuju. Mereka sendiri adalah gabungan dari dua keluarga besar. Suma
Ceng Liong adalah cucu dalam dari Pendekar Pulau Es, putera dari Pendekar
Siluman Kecil. Sedangan Kam Bi Eng adalah puteri dari Kam Hong Si Pendekar Suling
Emas dan Bu Ci Sian yang terhitung murid ayah mertuanya pula.
“Pasti akan
menggembirakan sekali dan merupakan peristiwa besar kalau cita-citamu itu
sampai terlaksana, “ katanya.
“Kenapa
tidak? Tentu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng, juga sudah menerima suratku
dan tak lama lagi mereka tentu akan tiba di sini. Hubungan kekeluargaan harus
diperbaiki, tidak seperti sekarang ini. Bertahun-tahun di antara keluarga tidak
sempat bertemu karena terpisah jauh. Ingat saja kematian ayahmu. Sampai-sampai
kita sendiri tidak mengetahui! Orang tentu akan menganggap aku seorang mantu
yang sama sekali tak berbakti, ayah mertua meninggal sampai dikebumikan tapi
tidak tahu sama sekali.”
Isterinya
menyentuh lengan suaminya. “Sudahlah, tidak perlu lagi disesalkan hal itu. Ibu
sendiri mengatakan bahwa memang sengaja Ibu tidak mengabarkan tentang kematian
Ayah, sesuai dengan pesan terakhir dari Ayah. Dan aku mengenal watak Ayah.
Dahulu Ayah sering kali bicara tentang kematian sebagai perjalanan pulang
kampung! Ayah tidak setuju kalau orang meninggal ditangisi dan dikabungi, yang
dikatakan semua itu hanya upacara pura-pura dan palsu belaka. Sepatutnya
keluarga bersyukur kalau ada orang yang dikasihinya ‘pulang kampung’ karena
terbebas dari siksa dunia. Yah, Ayah memang aneh dan kukira setiap orang
berilmu tinggi di dalam ini mempunyai keanehan masing-masing yang tidak mereka
sadari bahwa mereka berbeda dengan orang-orang awam.”
“Engkau
benar, isteriku. Aku tidak menyesali peristiwa itu, hanya alangkah baiknya bila
sebelum mati, kita selalu memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga besar
kita.”
Percakapan
mereka terhenti seketika karena pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor
kuda menuju ke rumah itu. Ketika nampak dua ekor yang ditunggangi Tan Sin Hong
dan Kao Hong Li, suami itu cepat bangkit berdiri dengan wajah berseri. Mereka
memang sedang menanti-nanti kedatangan mereka. Setiap tahun sekali, semenjak
Sian Li berada di situ, Sin Hong dan Hong Li pasti datang berkunjung, yaitu
menjelang hari raya sin-cia (tahun baru). Dan kunjungan mereka kali ini adalah
untuk menjemput kembali puteri mereka yang sudah tiba waktunya untuk pulang
setelah berada di bawah bimbingan kakek dan nenek itu selama lima tahun.
Tan Sin Hong
yang sekarang telah berusia empat puluh tahun itu masih nampak gagah dengan
pakaian yang sederhana berwarna serba putih, yang membuat dia dijuluki Pendekar
Bangau Putih di dunia persilatan. Sedangkan isterinya, Kao Hong Li yang berusia
tiga puluh sembilan tahun itu masih nampak muda, cantik, lincah dan gagah.
Dengan sigapnya mereka berdua meloncat turun dari atas punggung kuda. Dua orang
pelayan yang mengenal kewajiban dan mengenal pula dua orang tamu itu sudah
datang berlari-lari menyambut dan mereka segera mengurus dua ekor kuda itu.
Sin Hong dan
Hong Li cepat maju memberi hormat kepada tuan dan nyonya rumah, yang disambut
dengan ramah dan gembira. “Aha, kami memang sudah menanti-nanti kalian!” kata
Suma Ceng Liong sambil membalas penghormatan mereka. “Mari silakan duduk di
dalam.”
“Harap
kalian jangan kecewa, Sian Li tidak turut menyambut karena ia masih belum
pulang,” berkata Kam Bi Eng sambil tersenyum ketika melihat suami isteri itu
melihat-lihat ke sekeliling, mencari-cari.
“Bibi, ia
pergi kemanakah?” tanya Hong Li heran.
“Duduklah
dulu dan nanti kita bicara,” kata Suma Ceng Liong yang mengajak dua orang
tamunya duduk di ruangan sebelah dalam.
Setelah
mereka semua duduk, berceritalah kakek dan nenek itu mengenai kunjungan Suma
Cian Bun dan Gangga Dewi dan betapa Sian Lun ikut kedua orang itu berpesiar ke
Bhutan.
“Ke Bhutan?”
Kao Hong Li berseru kaget. “Tapi tempat itu amat jauh dan perjalanannya
berbahaya sekali!”
Suaminya
juga sangat terkejut mendengar bahwa puteri mereka pergi ke Bhutan melalui
pegunungan dan gurun yang berbahaya.
“Sian Li
mendesak dan kami tak dapat mencegahnya. Apa lagi ia pergi bersama Kakak Suma
Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan ia pun ditemani suheng-nya, Liem Sian Lun. Kami
pikir, mereka berdua sudah mempunyai ilmu kepandaian yang cukup untuk dapat menjaga
diri. Pula, bukankah amat penting bagi mereka untuk meluaskan pengalaman
mereka!” kata Suma Ceng Liong.
Mendengar
penjelasan itu, Sin Hong dan Hong Li dapat menerimanya dan mereka pun menjadi
tenang kembali. Bagaimana pun juga, mereka berdua dahulu pun merupakan
petualang-petualang yang malang-melintang di dunia kang-ouw. Hanya pengalaman
di dunia kang-ouw saja yang akan membuat seseorang menjadi matang, pikir mereka
dan mereka pun menghilangkan kekhawatiran mereka.
“Akan
tetapi, menurut perhitungan kami, dalam hari-hari mendatang ini ia dan Sian Lun
tentu akan segera datang, kata Kam Bi Eng.
“Kalau
begitu, biarlah kami menunggu kedatangan Sian Li di sini, Bibi!” kata Hong Li.
Suma Ceng
Liong tersenyum. “Itulah yang kuharapkan karena aku ingin minta bantuan kalian
berdua untuk melengkapi catatan daftar keluarga yang akan kami kumpulkan pada
hari ulang tahunku yang keenam puluh. Aku ingin agar tidak ada anggota keluarga
yang terlewat. Yang kumaksudkan dengan keluarga adalah keluarga dari tiga perguruan
besar, yaitu keluarga Istana Pulau Es, keluarga Istana Gurun Pasir, keluarga
Lembah Gunung Naga, dan sekalian murid-murid mereka.”
Sin Hong dan
Hong Li ikut gembira mendengar niat ini. Sebuah niat yang baik sekali dan pasti
pesta pertemuan itu sangat menggembirakan. Membayangkan akan bertemu muka
dengan seluruh keluarga tiga perguruan itu saja sudah membuat mereka merasa
tegang dan gembira.
Selama
beberapa hari menunggu kedatangan Sian Li beserta Sian Lun, suami isteri itu
membantu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyusun daftar para anggota keluarga.
Tentu saja hanya yang mereka ingat dan kenal. Keluarga dari tiga perguruan itu
sudah berkembang menjadi sangat luas dan banyak sehingga untuk dapat mengetahui
seluruh anggota keluarga secara lengkap akan memakan waktu lama dan harus
bertanya-tanya kepada anggota keluarga lain.
“Kita mulai
dahulu dari keluarga Istana Pulau Es,” kata Suma Ceng Liong dengan sikap
gembira. Di depan empat orang itu, di atas meja, telah dipersiapkan sebuah buku
daftar untuk mencatat nama dan alamat keluarga yang akan diundang.
“Sebaiknya
kita susun dari anggota keluarga yang paling tua berikut keluarga
masing-masing,” usul isterinya.
“Benar
sekali,” kata Suma Ceng Liong sambil mengingat-ingat. “Sekarang ini anggota
keluarga Istana Pulau Es yang paling tua tentulah Enci Suma Hui.”
Hong Li
mengangguk senang. “Memang, agaknya Ibuku itulah yang paling tua di antara
keluarga Suma.”
“Nah, kita
mulai dengan nama Enci Suma Hui, dan suaminya juga kebetulan merupakan anggota
tertua dari keluarga Istana Gurun Pasir,” kata Suma Ceng Liong. “Kita mulai
dengan keluarga mereka di tempat teratas, dan tentu saja anak cucu dan para
murid mereka.”
Dengan
bantuan isterinya dan dua orang tamunya, Suma Ceng Liong mulai menyusun daftar
keluarga yang dikirim undangan untuk pertemuan besar itu. Dan setelah bekerja
beberapa hari lamanya, tersusunlah daftar sementara seperti berikut.
Keluarga
Istana Pulau Es terdiri dari: Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, yang
tinggal di kota Pao-teng, serta anak mereka Kao Hong Li yang bersama suaminya,
Tan Sin Hong tinggal di kota Ta-tung bersama puteri mereka, Tan Sian Li.
Suma Ciang
Bun bersama isterinya, Gangga Dewi yang kini tinggal di istana Kerajaan Bhutan,
yaitu kota raja Thim-phu. Tidak diketahui apakah keduanya mempunyai murid
ataukah tidak.
Kemudian
Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun di
luar kota Cin-an, bersama seorang murid mereka bernama Liem Sian Lun. Puteri
mereka, Suma Lian bersama suaminya, Gu Hong Beng, yang tinggal di kota Ping-san
di selatan Pao-teng, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai murid pula.
Nyonya Gak
dapat dibilang masih keluarga Istana Pulau Es, karena ia adalah isteri dari dua
saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu putera dari mendiang Gak
Bun Beng dan Puteri Milana, yaitu masih puteri Pendekar Super Sakti. Maka
Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, juga masuk dalam daftar undangan. Kini
ibu dan anak itu tinggal di puncak Beng-san.
Ada pun
keluarga Istana Gurun Pasir yang tertua yaitu Kao Cin Liong, suami Suma Hui
yang sudah masuk urutan pertama dari daftar itu. Ayah Kao Cin Liong, mendiang
Kao Kok Cu mempunyai murid, yaitu Can Bi Lan yang kini bersama suaminya, Sim
Houw, tinggal di Lok-yang, dan ada puteri mereka, Sim Hui Eng, yang kabarnya
lenyap ketika berusia tiga tahun, demikian yang diketahui Suma Ceng Liong.
Sepanjang
yang diketahuinya, Sim Houw dan Can Bi Lan mempunyai seorang putera pertama,
Sim Hok Bu, akan tetapi anak itu meninggal dalam usia delapan tahun karena
penyakit. Kalau pun masih ada murid-murid dari keluarga Istana Gurun Pasir, hal
itu tidak diketahui sama sekali oleh mereka berempat dan harus mereka selidiki
lebih dulu dengan menanyakan kepada anggota keluarga lain.
Keluarga
lain yang mereka catat adalah anggota keluarga dari Lembah Gunung Naga, atau
keturunan dari perguruan Suling Emas. Setelah Kam Hong meninggal dunia, maka
yang tertua tentu saja adalah Bu Ci Sian ibunda Kam Bi Eng, nenek yang kini
tinggal seorang diri di puncak Bukit Nelayan menunggui makam suaminya. Tidak
diketahui jelas siapa murid mereka, bahkan Kam Bi Eng sendiri juga tidak tahu
karena ibunya tdak pernah memberi tahu.
Kemudian ada
Cu Kun Tek yang bersama isterinya, Pouw Li Sian murid Gak Bun Beng, tinggal di
Lembah Gunung Naga sebagai pewaris keluarga Cu. Tidak diketahui dengan pasti
keadaan mereka dan siapa saja yang masih terhitung murid atau keluarga dari
perguruan Suling Emas dan Naga Siluman ini.
"Jangan
dilupakan nama Yo Han," Sin Hong mengingatkan. "Biar pun dia putera
Yo Jin dan Ciong Siu Kwi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ketiga
perguruan, namun Yo Han pernah menjadi murid kami berdua, dan dia bahkan pernah
kami anggap seperti anak sendiri."
Suma Ceng
Liong mengangguk dan dia pun mencatat nama Yo Han. Masih jauh dari pada lengkap
daftar itu, hanya mereka catat nama-nama yang mereka kenal saja. Pada hari
kelima, muncullah Tan Sian Li bersama Yo Han. Pagi hari itu, Suma Ceng Liong,
Kam Bi Eng, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li sedang duduk di serambi depan. Mereka
berempat menengok dan begitu melihat Sian Li, mereka melompat bangun dan
memandang dengan wajah berseri.
"Ibu...!
Ayah...!" Sian Li berteriak begitu melihat ayah ibunya, lalu berlari
menghampiri mereka dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan ibunya.
Mereka
gembira bukan main sampai melupakan Yo Han yang berdiri termangu. Hatinya
diliputi keharuan ketika dia melihat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Oleh karena
mereka semua sedang asyik dan sibuk, dia pun tidak berani mengganggu dan hanya
berdiri di bawah, di luar serambi sambil memandang.
Setelah Sian
Li memberi hormat kepada ayah ibunya serta kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi
Eng, barulah dua orang tua ini berseru heran, dan memandang kepada Yo Han.
"Sian Li, mana Sian Lun? Dan dia itu... siapa dia yang datang
bersamamu?" tanya Suma Ceng Liong dengan suara heran.
Kao Hong Li
yang masih merangkul puterinya juga memandang kepada Yo Han dan bertanya,
"Sian Li, engkau datang bersama siapakah?"
Dalam
perjalanan mereka, Yo Han pernah menasehatkan Sian Li untuk melapor kepada Suma
Ceng Liong dan isterinya bahwa suheng-nya itu tewas sebagai seorang pendekar
dan tidak bercerita tentang penyelewengannya. Kini Sian Li, yang tak biasa
berbohong, dengan muka ditundukkan lalu berkata, suaranya lirih.
"Ayah
Ibu, Kakek dan Nenek, dengan menyesal sekali aku harus mengabarkan bahwa Suheng
Liem Sian Lun telah... tewas..."
Tentu saja
empat orang itu terkejut mendengar ini, terutama sekali Suma Ceng Liong dan Kam
Bi Eng. Mendengar betapa murid mereka tewas, keduanya saling pandang, lalu
mengamati wajah Sian Li dan Kam Bi Eng bertanya.
"Tewas?
Sian Lun... tewas? Apa yang terjadi? Siapa yang telah berani membunuhnya?"
"Panjang
ceritanya..." Sian Li mengeluh.
Kemudian dia
menceritakan betapa dalam perjalanan ke Bhutan itu mereka bertemu dengan Lulung
Lama dan kemudian, ketika mereka pulang dari Bhutan, mereka bahkan terlibat dan
bentrok dengan persekutuan pemberontak yang terdiri dari para Lama jubah hitam,
Pangeran Gulam Sing dari Nepal, para pengemis Tongkat Hitam, serta orang-orang
Pek-lian-kauw.
"Kami
terlibat dengan mereka, terjadi bentrokan, bahkan aku sendiri pernah tertawan
oleh mereka. Dan dalam pertempuran itu, Suheng tewas di tangan Pangeran Gulam
Sing dari Nepal. Kami dibantu oleh pasukan Tibet dan para orang kang-ouw,
bahkan kami mendapat bantuan dari Bibi Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun. Bahkan
di sana kami bertemu dan dibantu oleh Paman Sim Houw, Pendekar Suling
Naga." Dan dengan panjang lebar Sian Li kemudian menceritakan tentang
pertempuran yang akhirnya dapat membasmi para pemberontak itu.
"Beberapa
kali aku terancam bahaya maut dan tentu sudah tewas pula seperti Suheng kalau
saja tidak dibantu olehnya," katanya sebagai penutup sambil menuding ke
arah Yo Han yang masih berdiri di luar sambil mendengarkan dan menundukkan
mukanya.
"Sian
Li, siapakah dia?" Kao Hong Li bertanya kepada puterinya sambil mengamati
wajah yang menunduk itu.
"Ayah
dan Ibu, benarkah kalian tidak mengenalnya?" tanya Sian Li sambil tertawa.
Karena Sin
Hong dan Hong Li kini mengamati wajahnya, Yo Han segera menjatuhkan diri
berlutut dan memberi hormat kepada mereka, berkata dengan suara terharu.
"Suhu dan Subo, harap maafkan teecu..."
"Yo
Han...!" suami isteri itu berteriak.
Mereka sama
sekali tidak mengira bahwa pemuda itu adalah Yo Han walau pun mereka merasa
bahwa wajah pemuda itu tidak asing bagi mereka. Kini, mereka segera dapat
mengenalinya dan keduanya cepat keluar dari serambi. Dengan gembira Sin Hong
lalu menarik tangan Yo Han dan disuruhnya bangkit berdiri.
"Yo
Han, terima kasih kepada Tuhan bahwa engkau dalam keadaan sehat dan baik!"
seru Sin Hong.
Wajah Sin
Hong berseri karena gembira melihat pemuda itu yang pernah membuat dia merasa
prihatin sekali karena kepergiannya. Dia kadang merasa berdosa kepada Yo Jin
dan Bi Kwi, ayah ibu pemuda itu yang telah mempercayakan Yo Han kepadanya.
"Yo
Han, sekarang engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa!" seru Hong Li
yang sebenarnya juga merasa sangat sayang kepada murid yang pandai membawa diri
ini.
"Ayah,
ibu, kalian tidak tahu bahwa Han-ko sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap
yang memiliki kesaktian hebat! Kalau tidak ada dia, tentu aku tidak akan dapat
pulang hari ini!" Sian Li memuji, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Benarkah?
Luar biasa sekali! Bukankah sejak kecil engkau tidak suka mempelajari ilmu
silat, Yo Han?" tegur Sin Hong.
Suma Ceng
Liong dan Kam Bi Eng yang masih tertegun mendengar kematian murid mereka,
segera mengajak mereka semua untuk masuk dan berbicara di dalam. Setelah semua
duduk di ruangan dalam, barulah Yo Han menceritakan pengalamannya sejak dia
dibawa pergi oleh Ang-I Moli sebagai penukaran atau tebusan atas diri Sian Li
yang dibebaskan iblis betina itu. Betapa dia kemudian menyadari akan perlunya
membekali diri dengan ilmu kepandaian agar dapat menegakkan kebenaran dan
keadilan, membela yang lemah tertindas dan menyadarkan mereka yang mengambil
jalan sesat.
"Thian-li-pang?"
kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. "Seingatku, Thian-li-pang di Bukit
Naga adalah satu perkumpulan para patriot yang menentang pemerintah. Mereka
terkenal gagah perkasa dan di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang yang
sakti. Akan tetapi, aku juga pernah mendengar bahwa Thian-li-pang kemudian
menjadi perkumpulan yang tidak bersih namanya. Para muridnya suka melakukan
hal-hal yang jahat, bahkan kabarnya pernah mengadu domba perguruan-perguruan
silat yang besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai.
Kabarnya perkumpulan itu diselewengkan oleh dua orang tokohnya yang berjuluk
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong. Entah sampai di mana kebenaran berita
itu."
Sin Hong dan
isterinya amat terkejut. "Yo Han, benarkah itu? Dan engkau menjadi murid
Thian-li-pang yang tersesat itu?" Sin Hong bertanya sambil menatap wajah
pemuda itu penuh selidik.
"Apa
yang barusan diucapkan Suma Locianpwe memang benar. Thian-li-pang adalah
perkumpulan yang anti pemerintah, anti penjajah, akan tetapi setelah Ban-tok
Mo-ko dan Thian-te Tok-ong yang memegang pimpinan, perkumpulan itu dibawa
menyeleweng ke jalan sesat. Memang mula-mula teecu dipaksa menjadi murid dua
orang datuk itu. Akan tetapi kemudian teecu bertemu dengan orang ke tiga dari
para datuk Thian-li-pang yang kemudian menjadi guru teecu yang sebenarnya.
Beliau bernama Ciu Lam Hok dan di sana beliau menjadi orang hukuman yang
disiksa oleh dua orang suheng-nya Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong itu. Kaki
dan tangannya dibuntungi dan beliau dihukum di dalam sumur yang amat dalam.
Teecu berhasil bertemu dan menjadi muridnya. Setelah beliau meninggal karena
usia tua, teecu berhasil keluar. Ban-tok Mo-ko serta Thian-te Tok-ong lalu
saling menyalahkan ketika mendengar kematian Suhu Ciu Lam Hok dan mereka saling
serang sendiri sampai keduanya tewas. Teecu yang menerima tugas dari mendiang
Suhu untuk meluruskan kembali Thian-li-pang, berhasil menundukkan serta
membujuk para pimpinan dan sekarang teecu yakin bahwa Thian-li-pang telah
kembali ke jalan benar."
"Ciu
Lam Hok...? Hemm, tidak pernah aku mendengar nama itu. Yang terkenal hanyalah
Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong," kata Suma Ceng Liong.
"Ayah,
nama Han-ko sebagai Sin-ciang Taihiap sudah sangat terkenal di daerah barat.
Dibandingkan dengan dia, kemampuanku tidak ada artinya..."
"Aih,
Li-moi, harap jangan terlalu memuji. Engkau membuat aku menjadi malu
saja."
Pujian yang
tiada hentinya dari Sian Li membuat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li kagum, akan
tetapi juga penasaran. Rasanya tidak mungkin Yo Han memiliki kepandaian yang
melebihi Sian Li. Akan tetapi mereka tidak memperlihatkan rasa penasaran ini,
hanya tersenyum gembira.
"Sian
Li, ceritakan yang lebih jelas tentang kematian suheng-mu," Kam Bi Eng
yang masih belum dapat menghilangkan perasaan dukanya atas kematian Sian Lun,
tiba-tiba berkata. Suma Ceng Liong mengangguk-angguk membenarkan permintaan
isterinya.
Sian Li
mengerutkan alisnya. Berat tugas ini terasa olehnya. Ia seorang yang tidak suka
berbohong, tidak biasa membohong akan tetapi sekali ini, terpaksa ia harus
berbohong. Yo Han yang mengajarkan kepadanya bahwa untuk urusan ini, amat
bijaksanalah kalau dia berbohong.
Bagaimana
pun juga, Sian Lun sudah tewas, dan harus dia akui bahwa pada saat-saat
terakhir, Sian Lun sudah menebus penyelewengannya dengan perbuatan gagah, yaitu
membelanya sampai mengorbankan nyawa. Jika dia menceritakan penyelewengan Sian
Lun, hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, bahkan tentu akan membuat kakek
dan nenek itu merasa menyesal bukan main. Tapi bagaimana pun juga, amat sukar
baginya untuk berbohong seluruhnya, maka ia pun mengambil ‘jalan tengah’.
Sian Li
menceritakan lebih jelas tentang semua pengalamannya bersama Sian Lun saat
mereka terlibat dalam pertentangan dengan persekutuan pemberontak itu.
"Aku
bersama Suheng tertawan musuh yang selain lihai juga amat banyak jumlahnya,”
katanya. "Kemudian mereka itu, dengan kekuatan sihir mereka, menyihir
Suheng dan mempengaruhi Suheng sehingga nampaknya Suheng suka membantu mereka.
Apa lagi mereka itu menggunakan dalih perjuangan melawan pemerintah penjajah
Mancu. Akan tetapi, pada saat terakhir, Suheng bisa membebaskan diri dari
pengaruh sihir, kemudian Suheng mengamuk dengan gagah perkasa. Tapi lawannya,
Pangeran Gulam Sing dari Nepal memang tangguh bukan main sehingga akhirnya
Suheng roboh dan tewas. Aku sendiri dapat terbebas dari maut karena ada Han-ko
yang mengamuk di dekatku dan yang selalu melindungi aku."
Suma Ceng
Liong menghela napas panjang. "Sudahlah, memang sudah nasibnya mati muda.
Bagaimana pun juga, kita tidak perlu menyesali kematiannya karena dia gugur
sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku bahkan kecewa tidak dapat ikut
melawan gerombolan itu disamping Sian Lun."
"Hemm,
ingin aku mencoba kepandaian pangeran Nepal itu!" kata Kam Bi Eng dengan
gemas dan dengan kedua mata agak merah karena ia menahan tangisnya.
“Kita tidak
perlu mengingat lagi pangeran itu karena dia sudah tertangkap oleh pasukan
Tibet dan sudah pasti akan dihukum mati," kata Sian Li.
Setelah
tinggal di situ selama dua hari dua malam, Sin Hong dan Hong Li lalu mengajak
puteri mereka dan Yo Han untuk pulang ke Ta-tung. Mereka berjanji akan membantu
Suma Ceng Liong untuk menyebar undangan kepada para sanak keluarga yang akan
diundang menghadiri perayaan ulang tahun sekalian mengadakan pertemuan keluarga
besar itu.
Di sepanjang
perjalanan, Sin Hong dan Hong Li kembali minta kepada Sian Li dan Yo Han untuk
menceritakan lagi dengan terperinci semua pengalamannya. Bahkan Yo Han juga
terpaksa menceritakan semua pengalamannya secara lengkap, yang didengarkan pula
oleh Sian Li karena kepada gadis itu, sebelumnya Yo Han hanya menceritakan
garis besarnya saja.
**************
Ada rasa
khawatir di dalam hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ketika mereka melihat sikap
yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han di sepanjang perjalanan menuju
pulang itu. Mereka melihat betapa mesra dan manisnya sikap Sian Li kepada Yo
Han. Memang mereka mengetahui bahwa sejak kecil, Sian Li amat sayang kepada Yo
Han yang juga menyayangnya. Akan tetapi, dahulu rasa sayang mereka adalah
seperti rasa sayang antara kakak dan adik, dan hal itu pun tidak aneh karena
sejak Sian Li masih bayi, Yo Han yang mengasuhnya dan menjadi teman bermain.
Tetapi ketika itu mereka masih kecil dan sekarang mereka bukan kanak-kanak
lagi.
Yo Han sudah
menjadi seorang laki-laki yang dewasa, sedangkan Sian Li telah berusia tujuh
belas tahun, seperti setangkai bunga yang mulai berkembang dan mekar menjadi
dewasa. Kemesraan yang diperlihatkan Sian Li terhadap Yo Han membuat suami
isteri itu khawatir, apa lagi melihat betapa sinar mata Sian Li demikian penuh
rasa kagum ketika memandang Yo Han.
Dan Yo Han
telah merupakan seorang laki-laki yang tampan, gagah dan halus budi, sifat yang
mudah sekali menjatuhkan hati setiap orang gadis. Mereka berdua dilanda
kekhawatiran yang sama seperti dulu ketika Sian Li masih kecil. Khawatir kalau
Sian Li terpengaruh! Walau pun yang mereka khawatirkan itu berbeda.
Dahulu
mereka khawatir kalau Sian Li ketularan watak Yo Han yang tidak suka belajar
ilmu silat sehingga Sian Li juga akan malas belajar silat dan menjadi seorang
gadis yang lemah. Sekarang mereka khawatir kalau puteri mereka itu akan jatuh
cinta kepada Yo Han, cinta seorang wanita terhadap seorang pria!
Setiap kali
mendapat kesempatan berbicara berdua, yaitu pada waktu malam di dalam sebuah
kamar rumah penginapan di mana mereka berdua berada, mereka berbisik-bisik
membicarakan puteri mereka dan Yo Han, dan keduanya memang sudah sepakat dan
satu hati.
"Tidak
dapat disangkal bahwa Yo Han memang sudah menjadi seorang pemuda yang ganteng,
tampan dan halus budi. Kalau dilihat dari keadaan lahiriahnya, memang tidak
akan mengecewakan andai kata dia menjadi suami anak kita," kata Hong Li.
"Engkau
benar. Dan meski pun aku sendiri belum membuktikan, akan tetapi dari cerita
Sian Li, aku percaya bahwa Yo Han memang sudah mempunyai ilmu kepandaian yang
tinggi. Memang jika dilihat keadaan wajahnya, tubuhnya, kepandaiannya, kita
tidak akan malu mempunyai seorang mantu seperti dia."
Isterinya
mengangguk. "Memang sungguh sayang sekali. Sayang bahwa ibunya adalah Bi
Kwi. Masih ngeri hatiku kalau mengenang kembali kejahatan yang pernah dilakukan
ibunya. Seorang iblis betina yang kejam dan amat jahat, walau pun pada
waktu-waktu terakhir dia telah menyadari kesalahannya dan bertobat. Siapa tahu,
sifatnya yang jahat itu akan diwarisi oleh puteranya."
Sin Hong
menghela napas panjang. "Aku pun merasa berat sekali untuk berpikir seperti
itu, akan tetapi apa boleh buat, demi kebahagiaan anak tunggal kita. Tidak
mungkin kita membiarkan anak kita kelak hidup menderita bila suaminya berubah
wataknya menjadi jahat. Kita tidak dapat yakin bahwa Yo Han tidak mewarisi
watak jahat ibunya. Memang nampaknya selama ini dia mirip dengan watak mendiang
Yo Jin, ayahnya yang walau pun petani sederhana dan tidak pandai silat namun
berjiwa gagah. Kita tidak mungkin mempertahankan nasib Sian Li secara
untung-untungan.”
Hong Li
termenung dan nampak khawatir sekali. "Akan tetapi aku melihat sinar mata
Sian Li kalau memandang kepadanya. Ah, aku khawatir kalau anak kita telah jatuh
cinta kepada Yo Han..."
"Aaahh,
kalau pun demikian, cintanya itu hanyalah cinta monyet. Sian Li belum dewasa
benar, usianya baru tujuh belas tahun, cintanya akan mudah goyah dan berubah.
Justru karena itu maka mereka harus cepat dipisahkan, kalau dibiarkan mereka
bergaul lebih dekat dan akrab, bukan tidak mungkin mereka akan saling jatuh
cinta."
Hong Li
menghela napas panjang. "Sebetulnya aku merasa malu dan tidak enak sekali.
Yo Han demikian baik, akan tetapi klta... ahhh, dulu kita juga ingin memisahkan
mereka, sekarang pun kita masih tidak menghendaki mereka bergaul dekat. Kalau
dipandang sepintas saja, kita yang keterlaluan. Akan tetapi, demi kebahagiaan
anak kita..."
“Ya, demi
kebahagiaan anak kita. Akan tetapi kita harus mencari cara agar tidak kentara,
dan terutama sekali agar Yo Han tidak sampai tersinggung."
"Itulah
yang merisaukan hatiku. Alasan apa pula yang dapat kita pergunakan sekarang?
Dahulu, kebetulan muncul Ang-I Moli yang mengajak Yo Han pergi sebagai
pengganti Sian Li. Akan tetapi sekarang? Bagaimana mungkin kita mengusir dia
begitu saja?"
"Memang
tidak boleh kita mengusirnya begitu saja. Dulu aku telah berjanji kepada ayah
ibunya untuk merawat dan mendidik Yo Han, dan andai kata tidak ada permasalahan
dengan Sian Li, janji itu sudah pasti akan kupegang teguh!"
"Lalu
bagaimana kita harus bertindak supaya pengusiran itu tidak menyinggung hatinya,
akan tetapi berhasil baik?"
"Aku
ada akal. Ingatkah engkau akan cerita Sian Li tentang puteri dari Pendekar
Suling Naga Sim Houw? Nah, hilangnya anak itu dapat kita pergunakan untuk
membujuk Yo Han! Ibu anak itu, siapa namanya... oh ya, Sim Hui Eng, ibunya Can
Bi Lan adalah sumoi dari Bi Kwi, ibu Yo Han. Aku tahu benar betapa erat dan
baiknya hubungan antara suci dan sumoi itu, seperti dua saudara kandung saja.
Nah, kita ingatkan kepada Yo Han bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membela
keluarga Can Bi Lan yang dahulu berjuluk Siauw Kwi itu, sebagai pengganti
ibunya. Melihat hubungan yang amat baik antara ibunya dan Can Bi Lan, maka dia
seperti keluarga sendiri saja dan sudah sepatutnya jika ia menggunakan
kepandaiannya untuk berusaha mencari sampai dapat Sim Hui Eng yang kini hilang
itu, atau setidaknya, memperoleh keterangan bagaimana jadinya dengan anak yang
hilang itu."
Kao Hong Li
mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. "Memang itu boleh kita
jadikan pendorong agar dia pergi. Akan tetapi rasanya masih kurang kuat.
Bagaimana kalau aku memberi tahu kepadanya, tentu saja dengan lembut dan
hati-hati, bahwa sekarang dia sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau berdiri
sendiri dan bahwa kini Sian Li sudah mulai besar dan dewasa sehingga tidak
pantaslah kalau dia serumah dengan Sian Li? Juga dapat kusindirkan dengan halus
kepadanya bahwa kita sudah menerima usul dan sedang menjajaki dan
mempertimbangkan ikatan jodoh antara anak kita dengan seorang pangeran..."
Tan Sin Hong
menatap tajam wajah isterinya. "Pangeran...?"
Kao Hong Li
tersenyum. "Lupakah engkau akan Pangeran Cia Sun? Dulu kita pernah
berjumpa dengan dia dan aku tidak dapat melupakan betapa engkau kagum
kepadanya, dan pernah melontarkan harapan agar anak kita dapat menjadi
jodohnya?"
"Ihh,
engkau melamun dari mengkhayal, terlalu jauh dan tinggi! Bagaimana mungkin kita
mendapat mantu seorang pangeran seperti dia?" Tan Sin Hong tersenyum, akan
tetapi matanya bersinar-sinar penuh harapan.
Pangeran Cia
Sun memang bukan putera mahkota, bukan seorang pangeran yang nanti ada harapan
untuk menjadi Kaisar. Walau pun demikian, dia adalah seorang pangeran yang
tentu saja hidup mulia dan berkecukupan, juga lowongan jabatan dan kedudukan
tinggi terbuka lebar untuk seorang pangeran.
Apa lagi
Pangeran Cia Sun masih muda, terpelajar tinggi, dan pandai ilmu silat, bahkan
pernah minta petunjuk kepada mereka tentang ilmu silat. Meski pun masih belum
dapat dinamakan murid mereka karena hanya menerima petunjuk dan baru dilatih
selama beberapa bulan saja ketika suami isteri itu pergi ke kota raja, namun
mereka mengenal pangeran itu sebagai seorang pemuda yang baik, berbakat dan
pantas menjadi mantu mereka.
Yang membuat
mereka mengharapkan terjadinya hal ini adalah pernah ayah pangeran muda itu,
yaitu Pangeran Cia Yan, secara berkelakar mengatakan bahwa ia akan amat senang
jika dapat berbesan dengan Pendekar Bangau Putih, ketika mendengar bahwa
pendekar itu mempunyai seorang puteri yang kini sedang memperdalam ilmu silatnya
di rumah paman kakeknya.
Pangeran Cia
Sun memang hanya seorang cucu dari Kaisar Kian Liong, namun karena dia
pangeran, tentu saja dalam pandangan suami isteri itu, dia lebih segala-galanya
dari pada pemuda lain. Akhirnya mereka tiba di kota Ta-tung dan Sian Li merasa
gembira sekali tiba kembali di rumah orang tuanya yang telah ia tinggalkan
selama lebih dari lima tahun.
********
Sin Hong dan
Hong Li mempergunakan kesempatan selagi puteri mereka, Sian Li pergi berbelanja
untuk keperluan menyambut hari sin-cia yang akan tiba sepekan lagi, untuk
mengajak Yo Han berbicara. Mereka memanggil Yo Han untuk bicara di ruangan
depan. Hal ini mereka maksudkan supaya kalau Sian Li pulang, mereka dapat
melihatnya dan puteri mereka itu tidak sempat ikut mendengarkan percakapan
mereka.
Sin Hong
memulai percakapan itu dengan suara yang serius tapi juga ramah. "Yo Han,
sudah beberapa hari ini engkau berada di sini, dan setelah engkau beristirahat,
barulah hari ini aku ingin membicarakan suatu hal yang sejak kami bertemu kembali
denganmu dan mendengar cerita Sian Li selalu menjadi ganjalan di hati kami.”
Yo Han
memandang Sin Hong dengan sepasang matanya yang tajam seperti hendak menembus
dan menjenguk hati orang yang dianggapnya sebagai guru pertama, bahkan sebagai
pengganti ayahnya itu. "Suhu, katakanlah apa yang menjadi ganjalan hati
Suhu dan Subo, mudah-mudahan teecu dapat membantu melegakan hati Suhu dan
Subo."
"Memang
hanya engkau yang bisa melegakan hati kami, Yo Han. Ganjalan di hati kami itu
adalah saat kami mendengar tentang hilangnya Sim Hui Eng, puteri bibi gurumu
Can Bi Lan. Kami merasa kasihan sekali kepada Pendekar Suling Naga dan
isterinya. Putera mereka meninggal dunia ketika masih kecil, kemudian puteri
mereka yang menjadi satu-satunya anak yang ada, semenjak berusia tiga tahun
sudah diculik orang. Kami dapat membayangkan betapa sengsara hidup mereka dan
pantaslah mereka itu seperti hidup mengasingkan diri, tidak pernah menghubungi
keluarga dan para handai taulan. Apakah engkau tidak merasa kasihan, Yo Han?"
"Yo
Han, tahukah engkau betapa akrab dulu hubungan antara mendiang ibumu dengan
sumoi-nya, yaitu Can Bi Lan?" Hong Li ikut bicara.
Yo Han
mengangguk. "Tentu saja teecu juga merasa kasihan sekali mendengarkan
nasib mereka yang kehilangan anak tunggal. Dan teecu masih ingat bahwa mendiang
Ibu amat sayang kepada Bibi Can Bi Lan."
"Syukurlah
kalau engkau masih ingat," kata Sin Hong. "Nah, sekarang tentang
ganjalan di hati kami itu, Yo Han. Ayah dan ibumu dahulu menitipkan engkau
kepadaku, dan aku akan merasa berdosa sekali kalau tidak menganjurkan supaya
engkau sekarang pergi mencari Sim Hui Eng sampai dapat! Siapa lagi kalau bukan
engkau yang membantu bibimu Can Bi Lan itu menemukan kembali puterinya? Dan aku
yakin bahwa arwah ibumu akan bersyukur dan berterima kasih sekali kalau engkau
dapat melakukan hal itu kepada bibimu Bi Lan. Mereka akan merasa berbahagia
sekali, dan kami berdua juga akan merasa bangga. Setidaknya, bukan hal yang
sia-sia saja Ibumu dahulu menitipkan engkau kepadaku."
Yo Han
mengangguk-angguk mengerti, walau pun diam-diam dia mengeluh karena ke mana dan
bagaimana dia akan mungkin dapat menemukan anak yang sudah dua puluh tahun
menghilang itu? Dia ingat bahwa anak perempuan itu mempunyai ciri-ciri yang
khas di pundak dan telapak kakinya, namun alangkah akan sukarnya mencari
seorang gadis yang mempunyai ciri-ciri di tempat yang tertutup dan tersembunyi
itu!
"Ada
sebuah hal lagi yang ingin kusampaikan kepadamu, Yo Han. Bagaimana pun juga,
kami berdua sudah menganggap engkau seperti keluarga sendiri, karena dahulu
oleh orang tuamu engkau diserahkan dan dititipkan kepada suamiku. Nah, sekarang
usiamu sudah dewasa, kalau tidak salah, usiamu sudah dua puluh lima tahun.
Karena itu, kami ingin melihat engkau berumah tangga. Kalau kami berhasil
merayakan pernikahanmu, barulah suamiku akan merasa puas dan lega, menganggap bahwa
tugasnya merawat dan mendidikmu baru sempurna. Selain itu, karena engkau sudah
kami anggap seperti anak sendiri, tidak baiklah kalau sampai adikmu Sian Li
menikah lebih dahulu...," kata Hong Li seperti sambil lalu saja.
Yo Han
memandang kepada suami isteri itu dengan wajah yang berubah kemerahan. Anjuran
kepadanya untuk segera menikah dianggapnya wajar saja, akan tetapi yang
mengejutkan hatinya adalah berita tentang Sian Li dan pernikahan!
"Tapi...
Li-moi... kalau tidak salah baru berusia tujuh belas tahun..." katanya
hanya untuk mengucapkan sesuatu agar tidak diam dan bengong saja.
"Sudah
mulai dewasa, dan bukan kanak-kanak lagi. Bahkan kami pernah menerima usul
perjodohannya dengan seorang pangeran... ahhh, hal itu belum resmi, tidak perlu
kami beri tahukan sekarang," kata Hong Li.
Yo Han
merasa betapa dadanya bagaikan ditekan sesuatu yang berat. Sian Li sudah
dipilihkan calon suami? Seorang pangeran? Wah...! Entah kenapa dia sendiri
tidak tahu, akan tetapi berita ini sama sekali tidak mendatangkan kegembiraan
di dalam hatinya, bahkan membuat dia merasa tidak tenang.
"Nah,
kami harap engkau segera bersiap-siap untuk mulai dengan tugasmu itu, Yo Han,
dan tidak mengecewakan kami. Kalau hal ini ditunda lebih lama lagi, kami
khawatir akan terlambat. Dan ketahuilah bahwa andai kata engkau dapat menemukan
puteri bibimu Can Bi Lan itu, selain hal itu akan amat membanggakan hati kami,
juga kalau gadis itu memang baik dan pantas, kami akan merasa berbahagia sekali
untuk berbesan dengan Pendekar Suling Naga."
"Maksud
Suhu...?"
"Akan
baik sekali kalau engkau dapat menemukan kembali puteri mereka dan kemudian
engkau menikah dengannya."
"Ahh,
Suhu...!" Yo Han tersipu.
Betapa
muluknya jalan pikiran gurunya ini. Mencari saja belum tentu bisa dapat, sudah
hendak menjodohkannya. Ayah bunda gadis itu sendiri yang merupakan suami isteri
yang sakti, selama dua puluh tahun mencari anak mereka tanpa hasil. Apa lagi
dia yang sekarang baru hendak mulai.
"Sudahlah,
hal itu kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, sanggupkah engkau memenuhi
permintaan suhu-mu untuk mencari Sim Hui Eng sampai dapat?" tanya Hong Li.
"Teecu
akan berusaha sekuat tenaga."
"Jadi
engkau sanggup?" Sin Hong mendesak.
"Teecu
sanggup, Suhu."
"Bagus!
Engkau membuat lega hati kami, Yo Han. Andai kata kelak tidak berhasil sekali
pun, namun engkau sudah berusaha sekuat tenaga dan itu saja sudah melegakan
hati kami terhadap arwah orang tuamu."
"Nah,
lebih baik engkau membuat persiapan. Semakin cepat dimulai pencarian itu akan
semakin baik, Yo Han," kata Hong Li.
Yo Han
mengangguk lalu mengundurkan diri, masuk ke kamarnya membuat persiapan. Dia
tidak boleh bersikap lemah. Meski pun hari sin-cia kurang sepekan lagi, akan
tetapi rasanya amat cengeng kalau dia harus menunda tugasnya itu sampai lewat
hari sin-cia. Seperti anak kecil saja, padahal tugas itu penting sekali.
Akan tetapi
dia harus meninggalkan Sian Li! Hal inilah yang membuat dia termenung sedih.
Rasanya sangat berat untuk berpisah lagi dari gadis itu setelah berpisah selama
tiga belas tahun dan kini saling jumpa dan berkumpul kembali. Dia tahu bahwa
gadis itu pun tentu akan merasa bersedih kalau dia tinggalkan lagi.
Selagi dia
sedang mengumpulkan pakaian untuk dijadikan sebuah buntalan, daun pintu
kamarnya diketuk orang. Dia membuka daun pintu itu, berharap Sian Li yang
datang walau pun gadis itu tak pernah mengetuk pintunya melainkan langsung
masuk saja bila hendak bicara. Akan tetapi ternyata yang datang berkunjung
adalah Kao Hong Li!
"Subo...,"
kata Yo Han dengan sikap hormat.
"Yo
Han, ada satu hal penting yang tadi kami lupa untuk memesan kepadamu."
"Hal
apakah itu, Subo?"
"Engkau
tahu, Sian Li kadang-kadang suka kekanak-kanakan. Ia lupa bahwa ia bukan
kanak-kanak lagi, melainkan sudah menjadi seorang gadis dewasa. Karena itu,
mungkin sekali kalau engkau memberi tahu kepadanya bahwa engkau akan pergi
mencari Sim Hui Eng, ia akan rewel dan ingin ikut. Kalau ia rewel seperti itu,
kuharap engkau suka dan dapat membujuknya agar dia tidak ikut pergi. Engkau
tentu cukup maklum bahwa tidak mungkin kami membolehkan ia pergi lagi
meninggalkan kami, apa lagi sekarang ia sudah dewasa. Bagaimana kalau sampai
calon suaminya mendengar bahwa dia pergi merantau berdua saja dengan seorang
pemuda, walau pun pemuda itu adalah engkau, yang dapat dibilang sebagai kakak
angkatnya? Engkau maklum, bukan?"
Yo Han
merasa betapa hatinya pedih mendengar ini, akan tetapi tentu saja dia dapat
memaklumi apa yang dimaksudkan oleh subo-nya itu. "Baik, Subo. Kalau sampai
Li-moi hendak ikut, tentu akan teecu bujuk ia agar tidak melakukan hal
itu."
Akan tetapi,
pelaksanaan selalu lebih sulit dari pada rencana. Sore hari itu, pada waktu
mereka berdua bicara dalam taman bunga di belakang rumah, Yo Han berpamit dari
Sian Li bahwa sore hari itu juga dia akan pergi meninggalkan rumah itu.
Sian Li
terbelalak menatap wajah Yo Han. "Pergi? Engkau hendak pergi, Han-ko?
Pergi ke mana dan mengapa?" Sian Li menghampiri Yo Han dan memegang kedua
tangan pemuda itu. Ia memang selalu bersikap akrab, bahkan manja kepada pemuda
itu.
"Li-moi,
ingatkah engkau akan Sim Hui Eng?"
Sian Li
membelalakkan mata. "Sim Hui Eng? Siapa yang kau maksudkan? Ahhh, she Sim!
Ingat aku sekarang, bukankah ia puteri Paman Sim Houw yang hilang dua puluh
tahun yang lalu itu?" Kini matanya memandang tajam penuh selidik.
"Mengapa engkau tiba-tiba menyebut namanya, Han-ko?"
"Nah,
aku harus pergi karena aku berkewajiban membantu Bibi Can Bi Lan menemukan
kembali puterinya. Mendiang Ibuku sangat akrab dan sayang kepada Bibi Bi Lan,
maka arwah Ibuku akan senang sekali kalau aku membantu Bibi Bi Lan untuk
menemukan kembali puterinya yang hilang itu."
Sian Li
menatap wajah pemuda itu dan mukanya agak berubah. "Han-ko, baru saja kita
berkumpul kembali dan kini engkau akan meninggalkan aku lagi? Sampai berapa
lama Han-ko?"
"Entahlah,
Li-moi. Engkau pun tahu bahwa aku juga ingin selalu berada di sampingmu. Akan
tetapi tugas ini penting sekali. Pula, tidak ada perjumpaan tanpa diakhiri
dengan perpisahan, Li-moi. Engkau tentu tidak ingin melihat aku menjadi seorang
yang tidak mengenal budi dan tidak mau mewakili mendiang Ibu untuk menolong
Bibi Bi Lan."
Sian Li
merasa kepalanya nanar. Berita kepergian Yo Han demikian tiba-tiba datangnya.
Baru saja dia bergembira, berbelanja untuk keperluan sin-cia dan sin-cia kali
ini terasa amat istimewa baginya karena di situ terdapat Yo Han yang akan
merayakan sin-cia bersamanya. Dan kini, mendadak Yo Han menyatakan hendak pergi
meninggalkannya, entah untuk berapa lama!
"Han-ko,
kapan engkau akan berangkat?" Sian Li bertanya, suaranya mulai terdengar
sumbang.
"Sekarang
juga, Li-moi. Aku sudah berkemas dan siap berangkat, tadi hanya menanti engkau
untuk berpamit saja."
Sian Li
terbelalak dan tiba-tiba dia merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda
itu. "Han-ko, aku ikut engkau pergi!" katanya mantap dan
bersungguh-sungguh.
Yo Han
terkejut, tetapi juga merasa betapa hatinya berdebar penuh perasaan bahagia,
girang dan terharu. Dia memejamkan kedua matanya ketika merasa betapa lingkaran
kedua lengan gadis itu amat ketat, dan dia menguatkan hatinya agar jangan
menuruti kehendak batinnya yang ingin membalas, ingin mendekap kepala yang
disayangnya itu ke dadanya.
"Li-moi,
janganlah begitu. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku. Perjalanan ini tidak
menentu kapan berakhirnya. Engkau tak boleh meninggalkan ayah ibumu. Biarkan
aku pergi, Li-moi."
"Tidak...
tidak... aku tak mau kau tinggalkan, aku tak mau berpisah lagi darimu,
Han-ko!" Sian Li berkata, kini gadis itu menangis di atas dada Yo Han dan
rangkulannya semakin kuat. Yo Han menjadi bingung, apa lagi pada saat itu
muncul Sin Hong dan Hong Li!
"Yo
Han, apa yang kau lakukan ini?!" terdengar Tan Sin Hong membentak marah.
"Suhu,
Subo... maafkan teecu...," berkata Yo Han tanpa berdaya karena Sian Li
masih merangkulnya.
"Yo
Han, sungguh tidak pantas kelakuanmu ini. Sian Li, lepaskan dia!" Hong Li
juga berseru marah.
Sian Li tidak
melepaskan rangkulannya, akan tetapi ia mengangkat mukanya dari dada Yo Han dan
menoleh kepada orang tuanya.
"Ayah,
Ibu, Han-ko tidak bersalah apa-apa. Aku... aku ingin ikut dengannya, aku tidak
mau ditinggalkannya lagi..."
Yo Han
menguatkan hatinya, melepaskan rangkulan Sian Li dengan lembut. Dia harus
mengambil keputusan yang tepat. Tidak boleh ia menyenangkan hatinya sendiri
dengan mengorbankan perasaan Sin Hong dan Hong Li, dua orang yang dihormatinya
itu.
"Li-moi,
lepaskanlah. Aku tak mau mengajak engkau pergi. Engkau hanya akan menjadi beban
saja, dan aku mempunyai tugas penting.”
"Han-ko...!"
Sian Li berseru dan dengan mata basah oleh air mata memandang kepada Yo Han
seperti orang yang tidak percaya. "Engkau... engkau...?"
Yo Han
menunduk sambil menghela napas pandang. "Sudahlah, Li-moi, engkau tidak
boleh membikin marah ayah ibumu. Suhu dan Subo, teecu berangkat sekarang.
Li-moi, jaga baik-baik dirimu!” Pemuda itu lalu melangkah lebar memasuki rumah,
mengambil buntalannya dan akan segera pergi.
"Han-koko...!”
Sian Li
hendak mengejar, akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya.
"Sian
Li, sungguh memalukan sekali sikapmu ini!"
Akan tetapi
Sian Li meronta, melepaskan pegangan ibunya dan berlari ke dalam rumah mengejar
Yo Han. Ayah ibunya saling pandang, menggeleng kepala, kemudian berlari
mengikuti. Akan tetapi setelah tiba di kamar Yo Han, Sian Li tidak melihat lagi
pemuda itu.
Yo Han telah
pergi dengan cepat sekali. Sian Li mencari ke sana sini dan memanggil-manggil,
namun percuma, yang dipanggilnya sudah pergi tanpa meninggalkan bekas.
"Han-ko...!
Han-koko...!" Ia berteriak-teriak dan hampir bertubrukan dengan ayah
ibunya di ruangan tengah.
"Sian
Li!" bentak Sin Hong marah.
"Sian
Li, kelakuanmu ini sungguh tidak patut," ibunya juga mengomeli anaknya.
"Yo Han telah pergi, ia pergi melaksanakan tugas. Engkau bukan anak kecil
lagi yang begitu saja hendak ikut pergi. Engkau sudah dewasa, seorang gadis
dewasa. Bagaimana mungkin seorang gadis pergi begitu saja, berdua dengan
seorang pemuda? Memalukan!"
Sian Li
memandang ayah dan ibunya, wajahnya pucat dan basah air mata. "Ayah dan
Ibu yang melakukan semua ini! Ayah dan Ibu yang mengusahakan supaya dia pergi
meninggalkan aku. Dahulu, Ayah Ibu pula yang memisahkan kami, sekarang ayah dan
Ibu pula yang mengulangi hal itu. Aku ingin dekat Han-ko! Apakah Ayah dan Ibu
tidak tahu? Aku cinta kepada Han-ko. Aku cinta padanya...!” Sian Li menjatuhkan
diri di atas bangku dan menangis.
Sin Hong dan
Hong Li saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala. Hong Li mendekati
anaknya, merangkulnya. Sian Li menoleh, lalu merangkul ibunya.
"Ibu...!"
Dan ia menangis tersedu-sedudi dada ibunya.
"Sian
Li, kami juga mencinta Yo Han. Akan tetapi engkau dan Yo Han sudah seperti
saudara sendiri. Dia cinta padamu sebagai seorang kakak, dan engkau masih
terlalu kecil untuk mencinta sebagai seorang wanita. Ingatlah, kita semua akan
ternoda aib bila sebagai seorang gadis baik-baik, engkau pergi merantau bersama
seorang pemuda. Tugasnya berat. Dia harus membantu bibinya mencari puteri
mereka yang hilang. Kita sendiri pun harus membantu pamanmu Sim Houw. Kita
bertiga juga akan pergi mencari keterangan. Kita akan pergi ke kota raja, siapa
tahu kita akan dapat menemukan Sim Hui Eng."
Dihibur ayah
ibunya dan dijanjikan akan diajak pergi membantu pencarian Sim Hui Eng, Sian Li
menghentikan tangisnya.
"Sian
Li, ingatlah bahwa sebetulnya tidak tepat sama sekali jika engkau
memperlihatkan kecengengan seperti ini." Sin Hong berkata, "Engkau
bukanlah seorang anak kecil lagi. Engkau seorang gadis hampir dewasa dan usiamu
sudah tujuh belas tahun. Lebih dari pada itu, engkau telah memiliki ilmu
kepandaian yang lumayan. Bahkan engkau sudah pantas dijuluki Si Bangau Merah
sebagai imbangan ayahmu yang dijuluki orang sebagai Pendekar Bangau Putih.
Karena itu engkau harus memperdalam ilmu silat keluarga kita, yaitu Pek-ho
Sin-kun. Dan untuk menyesuaikan kesukaanmu akan warna merah dan julukanmu Si
Bangau Merah, aku akan mengubah sedikit dalam Pek-ho Sin-kun supaya lebih tepat
dinamakan Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), khusus untukmu."
Akhirnya
Sian Li dapat melupakan kesedihannya. Apa lagi karena dia mengharapkan bahwa
kelak dia akan dapat bertemu kembali dengan Yo Han. Mungkin dalam pesta
perayaan dan pertemuan besar yang diadakan oleh Kakek Suma Ceng Liong, atau
jika Yo Han tak muncul di sana, tentu pemuda itu akan muncul setelah berhasil
menemukan Sim Hui Eng. Juga janji ayah ibunya untuk mengajak dia membantu
pencarian Sim Hui Eng, dimulai di kota raja, mendatangkan kegembiraan di
hatinya yang pada dasarnya memang lincah gembira, tidak dapat menyimpan
kesedihan terlalu lama.
T A M A T
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment