Wednesday, June 27, 2018

Cerita Silat Serial Si Bangau Merah Jilid 10



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Si Bangau Merah

                    Jilid 10


Seperti Yo Han, sekarang ia pun memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu. Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.

Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat dua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.

"Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang-orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Jika boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"

Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita, setengah tua itu tidak bersalah, apa lagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.

"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami sudah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di hati, tetapi karena keinginan tahu siapa penghuni rumah di tempat yang sunyi ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."

Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah. "Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan lalu kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, namun siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biar pun kami berhasil mengusir mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."

"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.

Gak Ciang Hun memandang pada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa terpesona dan sangat kagum. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi sudah mampu menyambut dua kali pukulan ibunya. Selain itu, ternyata gadis itu juga amat cantik jelita dan nampaknya cerdik bukan main.

"Nona, bagaimana Nona dapat mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"

"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari keluarga pendekar Pulau Es."

Wanita itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang pada gadis itu.

"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"

Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani sekali. Dia tersenyum mengejek. "Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, mengapa main bentak saja? Kalau seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"

Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata, "Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibuku menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa amat terkejut dan heran sekali mendengar bahwa Nona mengenali ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmu-ilmu Pulau Es?"

Sian Li tersenyum. "Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sinkang, lalu tamparan kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang. Namun setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."

Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat. "Jika begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar Pulau Es?"

"Katakan lebih dahulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap ‘jual mahal’ untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.

"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es ini dari mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.

"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"

"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."

Sekarang Sian Li terbelalak. "Aihh...? Bukankah Locianpwe itu yang bernama Gak Bun Beng?"

Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

"Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga sudah meninggal dunia pula kurang lebih setahun yang lalu. Setelah Ayah meninggal, Ibu tak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."

Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu. "Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup dekat..."

"Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan. "Engkau sudah mengetahui siapa adanya kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."

"Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku yang bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun diambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."

Wanita itu membelalakkan matanya. Wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri. "Ahhh... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar besar Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada hubungan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat di kaki bukit, melainkan sejak kedua pamanmu meninggal dunia..."

Sian Li sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.

"Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan lagi. Kita semua pun akan mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Bila Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya malah hanya akan mengganggu kesehatan sendiri."

"Bukan main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata yang bersinar-sinar. "Masih begini muda tetapi telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggota keluarga Pulau Es?"

"Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di pekarangan saja? Anak-anak baik, marilah kita bicara di dalam pondok. Silakan masuk!" kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok.

Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dulu bernama Souw Hui Lian, yaitu murid dari sepasang pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada dua orang gurunya, dan demikian pula sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak Ciang Hun.

Sepasang Pendekar Gak yang berjulukan Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu merupakan putera tunggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai.

Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai masih sempat mengoperkan tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dua puluh tujuh tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat, dan akhirnya memilih bukit itu sebagai tempat tinggal.

Mereka sekarang duduk di dalam pondok, di mana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.

"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"

Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini pun maklum akan perasaan hati Yo Han. "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."

Mendengar ucapan Sian Li itu, Yo Han lalu mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng atau yang selalu menyembunyikan wajahnya dan disebut Sin-ciang Taihiap, bukan karena dia sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya, Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam.

Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang kejahatan membuat nama Sin-ciang Taihiap terkenal. Bila mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Taihiap pun akan lenyap bersama dia.

Terhadap orang-orang golongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasia dirinya itu, apa lagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin pula mereka akan melakukan kecurangan. Dia tak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat. Jika ada dua orang ibu dan anak yang juga berkepandaian tinggi ini bisa saling bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.

"Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di saat saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orang tua Adik Tan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja." Yo Han berhenti, tidak tahu harus menceritakan apa lagi. Melihat ini, Sian Li lalu membantunya.

"Kakak Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu lagi di tempat ini! Bukankah hal itu amat mengherankan dan membawa kebahagiaan?”

Souw Hui Lian mengangguk-angguk. "Memang sungguh mengherankan sekali. Kalian yang keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"

"Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan lebih dahulu siapa gurunya kalau bukan keluarga Pulau Es," kata Ciang Hun.

"Ahh, guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...," kata Yo Han merendah.

Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya. "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, bukan? Ataukah belum pernah?"

"Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, tapi tidak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena dia selalu menyembunyikan mukanya dibalik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.

"Nah, inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han.

Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. "Saya tak sengaja menggunakan nama julukan seperti itu...," katanya. “Saya mohon setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, Jiwi akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciang Taihiap."

Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan sekarang orangnya berada di depan mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberi tahu, tentu mereka tidak akan percaya.

Ciang Hun cepat-cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han. "Ah, kiranya kami berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"

Yo Han cepat membalas. "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) menghendaki bersahabat dengan saya."

"Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biar pun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biar pun dia penentang kejahatan yang gigih, tapi dia tidak suka akan kekerasan. Apa lagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"

"Ihh, Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han.

Ibu dan anak itu memandang penuh kagum.

"Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian bisa saling berjumpa di tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.

"Bibi, aku sedang bersama seorang Suheng-ku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian Lun..."

"Ahhh, kakakmu?" tanya Ciang Hun.

"Bukan, Toako, meski pun namanya mirip dengan namaku. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi suheng-ku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."

"Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyonya Gak.

"Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi," Sian Li menjelaskan.

"Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suheng-mu itu?"

"Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak kembali ketimur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang Hek-I Lama dan para anggota pengemis tongkat hitam. Kami lalu bentrok dengan mereka sehingga Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciang Taihiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka tawan."

"Wah, wah! Kalau begitu kita harus cepat menolong suheng-mu itu! Kita harus segera membebaskannya dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa gembira dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.

"Benar, kita harus cepat membebaskan suheng-mu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.

"Itulah persoalannya, Bibi," kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah mereka amat banyak, merupakan persekutuan, lagi pula di antara para pimpinan Hek-I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."

Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia makin yakin bahwa gadis yang ketika kecil diasuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suheng-nya sendiri.

"Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suheng-mu, " katanya dengan nada suara penuh keyakinan.

"Kebetulan kita bisa saling berjumpa di sini," berkata pula Nyonya Gak. "Mari kita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka untuk membebaskan suheng-mu itu, Sian Li."

"Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Tetapi, Ketua Hek-I Lama sudah menantang Sin-ciang Taihiap untuk mengadu ilmu di puncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan membebaskan Suheng-ku dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sin-ciang Taihiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."

"Ahh, jadi mereka akan datang ke puncak ini?" tanya Ciang Hun.

"Benar, Toako, Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian. Tentu saja kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua Hek-I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap."

"Kapan pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.

"Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan di sini, jangan sampai kami terjebak dan terkepung."

Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya. Bagai seorang pemimpin mengatur siasat, dia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga.

"Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan siapkan tangga tali yang kita buat itu di tepi jurang! Kau tahu apa yang harus kau lakukan!"

"Baik, Ibu!" kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.

"Kita harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan diri supaya dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun telah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri kalau ada bahaya," wanita gagah itu menerangkan.

"Aihh, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus melarikan diri, apa lagi kita sudah saling berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan dibebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."

Wanita itu terbelalak. "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang-orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik leluhur beserta guru-guru kalian?"

Sian Li menoleh kepada Yo Han. "Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."

"Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerja sama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentu akan saya tentang kejahatan mereka itu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan yang jahat. Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan supaya saya membantu perjuangan menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."

Sian Li tersenyum. "Bagus! Aku pun memang berpendapat demikian juga, maka aku menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari, bukan?"

"Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati, maka suheng-mu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan liciknya bukan main, penuh tipu muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam begini, tidak dapat kalian hadapi hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."

"Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat tadi bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan gagah berani dari pada hidup sebagai seekor babi yang menguik-nguik melarikan diri dengan cara pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati, tidak akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"

"Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya kita dengarkan juga pendapat Bibi Gak yang terhormat ini," kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.

"Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing digebuk atau seekor babi yang hendak disembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Apa bila bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kau tandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanyalah merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk.

"Ah, benar sekali pendapat Bibi barusan. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terima kasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek-I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita pun tidak perlu melarikan diri."

Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh gerombolan itu dan Yo Han telah terluka. Andai kata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suheng-nya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi.

Mendadak Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang. "Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"

"Apa yang kau lihat?" tanya nyonya itu.

"Ada dua orang pendeta berjubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."

"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"

"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang lain naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."

"Jahanam!" Sian Li mengepal tinju. "Ternyata mereka memang hendak main curang!"

Nyonya Gak bersikap tenang. "Sudah kuduga demikian. Ingat, jika nanti mereka mulai memperlihatkan kecurangan, akan mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja maka kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biarlah Sin-ciang Taihiap yang keluar menandingi Ketua Hek-I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apa bila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dulu dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul mendadak nanti. Yo Han, kau sambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."

Yo Han dan Sian Li kagum sekali. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang telah berpengalaman. Bersikap tenang dan bisa mengatur segalanya dengan teliti dan tegas.

Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tak bisa percaya. Inilah Sin-ciang Taihiap yang namanya telah menggetarkan daerah perbatasan itu!

Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, beserta Cu Ki Bok. Meski pun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, akan tetapi ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang, Yo Han yang sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.

Meski dia telah menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apa lagi yang muncul di hadapannya adalah Ketua Hek-I Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, memberi hormat dan membungkuk.

"Selamat datang, Jiwi Locianpwe." Yo Han hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh!

Pemuda itu memandang kearah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Taihiap!

Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau roda besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suheng-nya bicara.

"Ha-ha-ha! Omitohud, selain lihai ilmu silatnya, kiranya Sin-ciang Taihiap juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau kelak dapat bekerja sama denganmu!"

"Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara mengenai tantangan Ketua Hek-I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?" Dia menatap kearah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu.

Kakek yang tinggi kurus dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah, akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa di antara mereka semua, Ketua Hek-I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu.

Pandang mata Sin-ciang Taihiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andai kata dia tidak kalah sekali pun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suheng-nya.

Dobhin Lama yang telah tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Taihiap. Sebetulnya tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan sudah memesan agar sute-nya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Taihiap.

Kini ia telah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun Dobhin Lama tidak pernah menemukan lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa gembira serta timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.

"Omitohud...!" Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Taihiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."

Yo Han melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjang itu. Dia pun memberi hormat. "Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan juga menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."

"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"

"Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuangan menentang penjajah Mancu!"

"Bagus! Janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan dipercaya. Sekarang majulah, Sin-ciang Taihiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaianmu sama tingginya dengan nama besarmu."

Kakek itu berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di depan dahi, lengan kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak.

Yo Han tidak berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok bahwa tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang sangat berbahaya karena kekuatan sihir mereka. Dalam hal ilmu silat, tokoh-tokoh persilatan Tibet hanya mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, sedangkan mengenai gerakan silatnya, tidak seberapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan mengandalkan sinkang yang diperkuat oleh ilmu sihir, maka gerakan itu menjadi amat kuat dan berbahaya sekali.

Oleh karena itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari ilmu Bu-kek Hoat-keng, yaitu ilmu sakti yang menjadi andalan mendiang gurunya. Sesuai dengan wataknya, Yo Han tidak pernah mau mempergunakan senjata dari baja, karena dia sama sekali tidak mau melukai orang, bahkan dia pantang membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya.

Namun, dengan menguasai Bu-kek Hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan segala macam senjata lagi. Tenaga sinkang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya, terutama kedua lengannya, menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang bagai mana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini hanya pada bagian tubuh di mana dia menyalurkan sinkang-nya. Bagian yang tidak dilindungi sinkang yang dia salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, tetapi akibat lindungan tenaga sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.

"Locianpwe, saya sudah siap," katanya.

Dia pun berdiri dengan sikap tenang. Kedua kaki terpentang dan tubuhnya agak miring menghadapi lawan, kedua tangan dirangkap seperti menyembah di depan dada kirinya. Inilah jurus yang oleh gurunya dinamakan jurus ‘Menyembah Tuhan dengan Hati Tulus’.

"Sin-ciang Taihiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"

Yo Han menggeleng kepala. "Locianpwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang. Saya tak ingin membunuh siapa pun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap dan sempurna. Saya sudah siap, silakan Locianpwe."

"Omitohud, engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang terlalu tinggi hati? Nah, pinceng telah mendengar ucapanmu. Sambut serangan pinceng ini!"

Kakek berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah ketiak, maka terdengarlah sambaran angin yang berdengung bagaikan ada ratusan ekor kumbang terbang menyerang!

Yo Han telah menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dan kekuatan sihir untuk menyerangnya, maka dia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika kakinya digeser, maka sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat dan mengandung hawa panas.

Dia harus menghormati lawannya yang sudah tua, yang lebih pantas menjadi kakeknya. Karena itu, Yo Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa membalas. Serangan itu datang bertubi-tubi, makin lama semakin kuat dan berbahaya sekali.

Akan tetapi, Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran tongkat yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa pukulan tongkat itu sedemikian kuatnya, membuat rambutnya yang panjang itu berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu diterbangkan! Dengan terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai terbuka dan dapat memperlihatkan mukanya.

Setelah tiga kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan alisnya yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani memandang rendah padanya sehingga hanya mengalah saja, tidak membalas?

"Sin-ciang Taihiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang lawan yang terlalu lemah bagimu?"

"Sama sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu saya lakukan untuk menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua dari pada saya. Sekarang saya akan membalas, Locianpwe."

"Bagus! Nah, sambutlah ini!"

Kakek itu kembali menyerang. Tongkatnya membuat gerakan berputar dengan ujungnya membentuk lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu tiba-tiba ujung itu meluncur kearah dada Yo Han!

Sekali ini Yo Han tidak mengelak, melainkan mempergunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk memutar lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat ke arah dadanya itu. Ilmu ini adalah ilmu kesaktian yang amat hebat. Salah satu di antara keampuhannya adalah hadirnya tenaga mukjijat yang menolak semua hawa kebencian yang datang dari lawan, terkandung dalam serangan lawan. Betapa kuat dan tinggi pun ilmu lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati membenci, maka serangannya itu akan membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!

"Plakkk!"

Tangkisan yang disertai tenaga sinkang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu membalik dan menyerang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebencian terkandung di dalam serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang, dan Dobhin Lama juga terdorong ke belakang beberapa langkah!

Keduanya saling pandang dengan rasa kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorang muda yang mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga pendeta itu merupakan lawan paling tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan tidak ada kebencian di hatinya! Diam-diam dia merasa girang dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi lawannya yang hebat itu.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi di pekarangan itu bergetar, daun-daun pohon yang berada di dekat situ rontok.

Lulung Lama dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Mereka merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Taihiap, karena kalau hal itu terjadi, mereka pasti kalah. Apa lagi Cu Ki Bok, bahkan gurunya, Lulung Lama, setelah menyaksikan pertandingan itu, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu.

Makin lama, kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga kagum bukan main. Walau pun lawannya sudah tua sekali, tetapi semua serangan balasannya bagai membentur tembok baja yang amat kuat, yang sukar sekali ditembus.

Mereka saling serang dan saling desak, tapi tidak pernah dapat membobolkan benteng pertahanan lawan sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih sudah terlewat! Dan selama itu, keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, karena siapa yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka mainkan tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka sekarang tidak lagi mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sinkang.

Akhirnya, keadaan usia menguntungkan Yo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya kini sudah mandi keringat dan napasnya mulai terengah saking kehabisan tenaga. Bahkan dari kepala yang tidak berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas sekali.

Maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu mengeluarkan jurusnya yang terhebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkatnya menyambar dari atas ke arah kepala Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa.

Melihat ini, Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya, mendorong ke atas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.

"Brakkkk...!"

Yo Han terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong! Kakek itu nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan tongkatnya ke atas tanah.

"Omitohud... pinceng mengaku kalah...!" Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata kepada Lulung Lama. "Sute... bebaskan pemuda itu..."

Dia mengeluarkan sebuah kalung dari saku jubahnya, kalung dengan mainan sebuah mutiara hitam dan melemparkan benda itu kepada Yo Han. "Nah, terimalah mutiara hitam ini!"

Yo Han menerima sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat. Hatinya merasa terharu dan juga kagum sekali. "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe sudah mengalah dan menepati janji."


Lulung Lama bertepuk tangan. Dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua orang pendeta Lama jubah hitam. Sian Lun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia dibimbing oleh dua orang pendeta itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun sehingga pemuda ini roboh tertelungkup.

Dari dalam pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan sudah berada di dekat Yo Han. Melihat munculnya sumoi-nya, Sian Lun berkata lirih, "Sumoi, tolonglah aku..."

Sian Li menghampiri Sian Lun, lalu berlutut dan meraba pundak suheng-nya itu untuk memulihkan kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi, pada saat itu mendadak saja Sian Lun menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di punggung sumoi-nya! Gerakkannya ini sama sekali tidak terduga oleh Sian Li sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya, tahu-tahu dia sudah tertotok dan lemas. Sian Lun sudah merangkul pinggang Sian Li dan membawanya meloncat ke belakang Lulung Lama dan Cu Ki Bok!

Dari dalam pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai. Begitu melihat Sian Li ditangkap oleh suheng-nya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka tertegun heran. Akan tetapi Nyonya Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.

"Sin-ciang Taihiap, mereka bertindak curang!" teriak nyonya itu.

Yo Han memang tertegun dan amat bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah menangkap sumoi-nya. Akan tetapi, pada saat itu muncullah puluhan orang dari depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para pendeta Lama jubah hitam yang dibantu oleh para anggota pengemis tongkat hitam dan beberapa orang Nepal. Nampak pula Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan juga muncul tiga orang wanita cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.

"Lulung Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!" Yo Han berseru.

Tubuhnya sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih bingung dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut pengeroyokan banyak orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.

"Locianpwe Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?" teriak Yo Han penasaran. Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata itu tidak menjawab, juga tidak bergerak.

Terpaksa Yo Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan. Dia tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti Nyonya Gak dan puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga bagaimana pun juga, tiga orang itu mulai terdesak.

"Mari kita pergi!" tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han.

Yo Han maklum bahwa melanjutkan perkelahian juga tidak ada gunanya, bahkan amat berbahaya. Padahal dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat menolong Sian Li kemudian. Kalau sekarang dia nekat sekali pun, belum tentu dia akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian Lun.

Pula, dia belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu. Siapa tahu itu merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoi-nya. Yang penting, dia harus menyelamatkan diri.

"Baik, Bibi Gak!" katanya dan dia pun membuka jalan dengan berkelebatan di antara para pengeroyok yang roboh satu demi satu.

Nyonya Gak dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak ada pengeroyok berani yang mendekati mereka. Mereka lari ke belakang pondok, dipimpin oleh Nyonya Gak dan benar seperti keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya. Nyonya Gak dan puteranya sudah mengambil tangga-tangga tali dari balik semak belukar dan cepat memasang tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon di belakang semak di tepi jurang.

"Mari, kita lari lewat tangga ini! Yo Han, kau ikutilah aku!" kata Nyonya Gak, sedangkan Ciang Hun sudah menuruni tangga tali yang lain. Yo Han tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak menuruni tangga tali menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu.

Tangga tali itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah goa besar. Setelah mereka bertiga tiba di goa, ibu dan anak itu segera menarik tangga-tangga tali itu dengan sentakan tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung tangga pada akar pohon terlepas.

"Tidak ada seorang pun manusia yang mampu menuruni tebing ini tanpa tangga tali, kecuali kalau dia bisa terbang seperti burung," kata Nyonya Gak. "Dari goa ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju ke lereng bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong yang menembus goa sehingga kecuali kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."

Yo Han duduk di atas batu dalam goa, termenung. "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan Sian Li," suaranya mengandung kekhawatiran.

Ciang Hun berkata dengan suara marah. "Tentu nanti kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya! Yang amat kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li bersikap seperti itu? Jelas bahwa dia tadi berpura-pura ketika didorong dan tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah menotoknya, kemudian menawannya. Apa artinya ini?"

Nyonya Gak juga berkata, "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih hubungan Sian Li dengan suheng-nya dan orang macam apa suheng-nya itu?"

Yo Han menggeleng kepalanya. "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi. Pada waktu Li-moi dan suheng-nya itu dikeroyok oleh persekutuan gerombolan itu, saya menolong mereka, akan tetapi hanya dapat melarikan Li-moi, sedangkan suheng-nya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau mengingat bahwa pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."

Nyonya Gak mengerutkan alisnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu. Para pendeta Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di bawah pengaruh sihir."

"Bagaimana pun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama adik Tan Sian Li, Bibi."

"Yo Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang mempunyai kepandaian tinggi. Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil mengalahkan Ketua Hek-I Lama," kata Ciang Hun dengan kagum. "Akan tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimana pun juga, kepandaianmu ada batasnya. Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak itu? Ibu dan aku akan membantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, namun kita harus berhati-hati dan menggunakan siasat yang baik."

"Benar ucapan anakku, Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus menggunakan siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya takkan berhasil menolong Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah tertawan atau tewas konyol," kata Nyonya Gak.

"Saya akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan kini menjadi orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin mereka akan suka membantu saya," kata Yo Han.

Ibu dan anak itu memandang kagum. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Taihiap yang tidak pernah membunuh para penjahat, melainkan menalukkan mereka dan menasehati, dengan cara kasar mau pun halus berhasil membuat banyak penjahat mengambil jalan hidup yang sama sekali berubah, dari jalan sesat ke jalan yang benar. Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum meninggalkan goa itu melalui sebuah terowongan pendek di bawah tanah yang sudah dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng bukit melalui pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa...

Apakah yang terjadi dengan diri Sian Lun? Mengapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap seperti itu, berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara para anak buah gerombolan?

Liem Sian Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw ini adalah tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul. Pek-lian Sam-li sudah terkenal sebagai tiga kakak beradik yang genit, mata keranjang dan mesum. Setiap kali bertemu dengan pria yang tampan, mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk merayunya, bahkan kalau pria itu menolak, mereka akan memaksanya.

Selain ilmu silat mereka lihai sekali, mereka juga pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga dengan berbagai cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka. Ketika mereka berhasil menawan Liem Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apa lagi mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Pulau Es!

Mereka akan mendapat banyak sekali keuntungan jika berhasil menguasai pemuda ini. Pertama, pemuda ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen, tampan dan bertubuh kuat. Ke dua, dengan menundukkan pemuda itu, berarti mereka dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka terhadap musuh-musuh besar Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es sebab pemuda itu merupakan murid Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para pendeta Lama jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun, tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula.

Sian Lun pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Sejak dewasa, sudah sering kali dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan birahinya. Dia pun sudah sering kali memandang kepada sumoi-nya, Tan Sian Li, dengan pandang mata penuh gairah birahi.

Apa lagi setelah ia mendengar percakapan suhu dan subo-nya, yang ingin menjodohkan dia dengan Sian Li, sering kali ia membayangkan betapa senangnya bila ia bermesraan dengan sumoi-nya yang cantik itu sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam dalam cinta. Bahkan sering kali terbawa dalam mimpi.

Ketika mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja ia tidak merasa takut kepada sumoi-nya yang dalam hal kepandaian silat jauh lebih tangguh darinya, tentu sudah dia nyatakan perasaan hatinya itu dengan perbuatan. Terasa amat menyiksa baginya, bagai seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa boleh memakannya, atau seorang yang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya.

Berkobarnya nafsu birahi yang sering kali menggodanya itu masih dapat dilawannya dengan dua keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar, dan kedua menuruti nafsunya itu tentu dia akan celaka karena sumoi-nya yang cantik itu amat galak dan lihai!

Nafsu birahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang wajar, bahkan terbawa sejak lahir, merupakan alat bagi manusia untuk hidup di dunia. Nafsu birahi merupakan sesuatu yang amat penting, bahkan mutlak sebagai pendorong agar manusia tidak akan musnah, agar dapat berkembang biak.

Segala macam ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu seperti ini, yaitu nafsu yang mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan dari persatuan ini terciptalah manusia atau makhluk sejenis yang baru, yang dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan buah bagi tumbuh-tumbuhan. Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan baru.

Tuhan Maha Kasih! Di dalam nafsu birahi ini, disertakan rasa nikmat sehingga semua makhluk termasuk manusia terdorong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan di dalam rasa nikmat inilah setan menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia menjadi lupa diri.

Karena mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, tapi terjadi kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi majikan dari pada nafsu birahi, malah nafsu birahi yang menjadi majikan dan manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Kalau sudah begini, terjadilah perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain atau bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri.

Semua agama serta filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang diwahyukan oleh Tuhan, semua bertujuan untuk mengingatkan manusia supaya sadar akan bahayanya pengaruh nafsu sendiri di dalam diri. Namun, jarang ada orang yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan akal pikiran kita pun sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apa pun yang klta lakukan, di situ pasti terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam kehidupan ini, kalau kita melihat dan meneliti keadaan diri kita sendiri.

Betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui dan mengerti benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita tahu benar bahwa amarah itu tidak benar dan tidak baik, akan tetapi sekali kemarahan muncul, kita tidak berdaya untuk mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita.

Demikian pula dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, pada makanan, kepada orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar nafsu, yang menjadi pemikat bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk mengubahnya.

Nafsu merupakan pembawaan yang diikut sertakan saat kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang teramat penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tak akan dapat hidup seperti manusia yang wajar. Akan tetapi, di samping kepentingannya yang mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan, yang akan menjauhkan kita dari kewajiban utama sebagai manusia, yaitu mendekati Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini.

Nafsu penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah sejak jaman pra sejarah, manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu manusia sudah berusaha untuk menaklukkan nafsu, mengekang dan mengendalikan nafsu. Ada yang dengan cara bertapa, menjauhkan diri dari dunia ramai, ada yang dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi.

Tetapi, semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran. Maka terjadilah pertentangan sendiri di dalam batin, tarik menarik antara keinginan untuk bersenang-senang menuruti gejolak nafsu, dan keinginan menolak gejolak nafsu karena sadar akan akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan.

Jelaslah bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan untuk mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesusahan yang timbul karena pengejaran itu! Dan pertempuran ini tiada habisnya selama kita hidup. Kadang nafsu yang menang dan berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, bagai api di dalam sekam yang tiap waktu akan dapat berkobar lagi.

Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena ‘kita’ inilah nafsu itu sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan, pada dasarnya hanyalah untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada yang kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan buatan nafsu.

Setan memang amat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya untuk menggoda kita. Bila kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, tidak akan mungkin kita mampu mengalahkan setan! Jalan satu-satunya hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat menundukkan segala yang ada. yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh Tuhan!

Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah tanpa syarat, menyerah dengan total dan mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh batin kita. Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat mengembalikan nafsu dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu kehidupan manusia di dunia dan tak lagi menjadi majikan yang kejam, tak lagi menjadi pemikat dan pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan.

Menyerah tanpa syarat, bukan ‘menyerah demi untuk memperoleh sesuatu’, karena jika demikian halnya, maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu belaka dan kita akan tetap berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan tawakal saja!

Sian Lun yang masih hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik seperti Pek-lian Sam-li. Apa lagi ketiga orang wanita cabul itu bukan sekedar merayu biasa. Mereka pun mencampurkan racun pembius dan perangsang ke dalam minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan masih ditambah lagi dengan kekuatan sihir mereka!

Sian Lun jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi sahabat baik dan rekan pengumbar nafsu birahi dari tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, juga membantu dengan ilmu sihirnya, membuat Sian Lun menjadi kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh. Kalau tadinya dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan ketiga orang wanita itu dia berubah menjadi seperti seekor domba jinak!

Dia merasa seakan-akan dia sudah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan dan diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat mencintanya dan memanjakannya hingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian Li, gadis yang biar pun pernah membuatnya tergila-gila namun yang tak terjangkau olehnya itu!

Hanya dalam waktu satu malam, Sian Lun sudah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah, dan di dalam pelukan tiga orang wanita itu dia bersumpah untuk bekerja sama dengan mereka, mentaati semua keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan yang tanpa batas.

Dalam keadaan seperti inilah, Pangeran Gulam Sing datang mendekati dan menjanjikan kedudukan tinggi, pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai suatu cita-cita yang teramat besar dan mulia.

Demikianlah, ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, dan diperintah oleh Pek-lian Sam-li untuk berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoi-nya sendiri, dia lalu melakukannya dengan suka rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para pimpinan Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing.

Sian Li tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika secara tiba-tiba suheng-nya menotoknya. Karena sama sekali tak menyangka bahwa suheng-nya yang hendak ditolongnya itu malah menotoknya, gadis itu dapat dirobohkan dengan mudah. Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran sekali ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian Lun.

Makin besar keheranan Sian Li pada saat dia dibawa oleh suheng-nya ke sarang Hek-I Lama! Dalam perjalanan tadi, saat suheng-nya melarikannya, ia masih diam saja karena mengira bahwa suheng-nya tentu bermaksud akan menyelamatkannya, mengira bahwa suheng-nya akan melarikannya ke tempat yang aman. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu gerbang sarang perkumpulan pendeta Lama jubah hitam itu!

"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu selain melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah tanpa tenaga sehingga untuk mengeluarkan suara pun tidak dapat keras.

"Kau diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita," jawab Sian Lun.

Anehnya, ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, para pendeta Lama yang berada di situ hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum atau menyeringai. Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di situ. Dia langsung saja membawa sumoi-nya ke sebuah kamar dan merebahkan tubuh gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu.

Sian Li membelalakkan mata ketika melihat suheng-nya mengambil sehelai tali sutera dan mulai mengikat pergelangan kaki dan kedua tangannya.

"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" kembali ia bertanya.

Kini suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga ia mulai dapat menggerakkan kaki tangan walau pun masih lemah. Namun, ikatan tali sutera itu kuat bukan main dan ia pun tidak mampu melepaskan diri.

Sian Lun tidak menjawab, melainkan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin bahwa ikatan kaki tangan sumoi-nya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya datar saja, seperti tanpa perasaan. "Sumoi, terpaksa aku mengikat kaki tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan kebodohan dan memberontak."

"Suheng, lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"

Pemuda itu menundukkan muka, dia tidak berani menentang pandang mata sumoi-nya secara langsung! Bagaimana pun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa canggung dan salah tingkah, walau pun di dalam hatinya dia membenarkan tindakannya ini.

"Sumoi, tiada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang penjajah Mancu. Tak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita gunakan untuk membela negara dan bangsa."

Sian Li membelalakkan matanya. Kini totokan itu sudah pulih, dan jalan darahnya telah normal kembali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dia mencoba mengerahkan tenaga untuk membikin putus belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia.

Sian Lun maklum bagaimana harus membuat sumoi-nya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur, tidak mudah dibikin putus. Andai kata belenggu itu terbuat dari rantai baja yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li dapat mematahkannya. Akan tetapi tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan senjata tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suheng-nya.

Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek-lian Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum dan menepuk pundak Sian Lun.

"Bagus, engkau telah berhasil baik, Sian Lun."

"Tentu saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku," berkata pula Ji Hwa yang putih mulus, orang ke dua, dan dengan mesra dia lalu merangkul Sian Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah dan dengan sikap genit.

"Nih upah untuk kekasih yang gagah!" kata pula Ji Kim yang termuda, cantik jelita dan ia pun dengan sikap genit mencium Sian Lun pada bibirnya.

Sian Li terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga apa yang kiranya telah terjadi. Suheng-nya telah jatuh ke tangan tiga orang wanita genit mesum ini. Suheng-nya yang selama ini sebagai murid paman kakeknya seperti seekor serigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit domba dan nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.

"Jahanam busuk! Liem Sian Lun, kiranya kau hanyalah seorang murid murtad, seorang keparat berhati busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuih, muak aku melihat mukamu!" Dan Sian Li membuang muka, dia tidak sudi lagi memandang wajah suheng-nya yang merupakan pria pertama yang hampir menjatuhkan hatinya.

"Sian Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!" kata Ji Kui sambil menggandeng tangan Sian Lun. "Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang menjinakkannya."

Tiga orang wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak meninggalkan kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata sekarang nampak beberapa orang bertubuh tinggi hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar pintu kamar.

Sian Li berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelangan tangan dan kakinya, namun hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya akan menghabiskan tenaga, maka ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung.

Hal yang amat menyakitkan hatinya yaitu bila ia teringat kepada Sian Lun. Suheng-nya itu telah menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan marah sekali. Akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mendengar hal ini? Hanya ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan, dan untuk itu ia harus dapat membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana?

Sian Li tak merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun tahu bahwa gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak, mereka tidak akan membunuhnya, dan yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu mereka, bekerja sama dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi!

Hanya ada satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan pada Pangeran Gulam Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia kalau teringat pada pangeran Nepal itu. Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah, nampak jantan. Akan tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan melihat domba!

Sian Li menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Membayangkan hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa cemas saja. Ia masih memiliki kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih ada Yo Han! Yo Han yang dibantu oleh Nyonya Gak dan juga Gak Ciang Hun.

Mereka bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh. Bukankah Bibi Gak telah mengatur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam? Pula, ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian sakti masih tidak mampu menandinginya!

Sungguh mengherankan sekali kenyataan itu. Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat silat, yang membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang Taihiap yang demikian saktinya.

Terdengar suara laki-laki di depan pintu sedang bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengertinya, lalu beberapa orang Nepal itu meninggalkan pintu kamar. Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu yang muncul?

Ketika orang itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang melainkan Cu Ki Bok, pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ memandang kepadanya. Sian Li yang sedang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh kemarahan dan kebencian.

Pemuda itu tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melangkah memasuki kemar dengan ringan dan cepat. Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.

"Nona, dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengarlah, engkau telah tertawan dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap damai, tidak memberontak karena percuma saja kalau engkau hendak melarikan diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau tidak akan diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan memberontak atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau berjanji?"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walau pun ia tidak dapat percaya sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu sebuah tipu muslihat. Ia harus berhati-hati. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat membela diri lebih baik kalau terancam bahaya.

Melihat keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya. "Nona tentu mencurigai aku. Akan tetapi ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu, bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau Pangeran Gulam Sing datang dan mengganggu dirimu? Pula, dalam keadaan terbelenggu ini, bagaimana mungkin engkau akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau melarikan diri, maka aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan engkau akan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat."

Sian Li mengangguk. "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku tidak akan membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."

Cu Ki Bok memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun dengan terus terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!

"Tentu saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk itu engkau harus memperlihatkan sikap lunak supaya para pimpinan percaya bahwa kau tidak akan memberontak dan lari." Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu.

Sian Li bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kaki untuk melancarkan jalan darah sambil mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik. Karena merasa tidak enak bicara dengan pemuda itu selagi dia duduk di atas pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang terdapat di kamar itu.

"Cu Ki Bok, apa artinya ini? Katakan saja terus terang, mengapa engkau menolongku? Dengan pamrih apa? Kalau ini merupakan siasat busukmu, lebih baik aku mengamuk sekarang dan tewas di tangan kalian!"

"Sabar dan tenanglah, Nona. Percayalah, kali ini aku tidak bersiasat. Apa perlunya aku bersiasat dan membebaskanmu dari belenggu kalau tadi engkau sudah tidak berdaya?"

"Lalu, kenapa engkau membebaskan aku dari ikatan kaki tanganku?"

Tentu saja Cu Ki Bok tidak berani menyatakan secara terang bahwa sejak pertama kali berjumpa, dia sudah jatuh hati pada gadis muda perkasa ini. Tak mungkin dia mengaku cinta begitu saja, karena selain hal itu mentertawakan, juga sudah pasti gadis itu tidak akan percaya dan menganggap dia merayu atau bersiasat.

"Ada dua hal yang memaksa aku tak bisa membiarkan engkau tertawan dalam keadaan tersiksa dalam belenggu, Nona. Pertama, engkau seorang pendekar gagah perkasa, bukan penjahat, bahkan tenagamu dibutuhkan oleh rakyat untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan. Kalau pun menjadi tawanan, engkau patut diperlakukan dengan hormat dan tidak dibelenggu seperti itu. Dan ke dua, terus terang saja aku merasa muak dan tidak suka melihat cara engkau ditawan oleh Liem Sian Lun."

Bagaimana pun juga, hati Sian Li masih merasa curiga dan ia tetap waspada terhadap pemuda tampan murid Lulung Ma itu.

"Apa yang terjadi dengan Liem Sian Lun? Mengapa dia bersikap seperti itu, berpihak kepada kalian dan mengkhianatiku?"

Cu Ki Bok menghela napas panjang. "Ia bukan seorang jantan. Dia lemah dan bertekuk lutut terhadap rayuan Pek-lian Sam-li yang bekerja sama dengan Pangeran Gulam Sing. Berjuang menentang penjajah Mancu memang tugas seorang gagah dan boleh saja dia bergabung dengan kami untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu. Akan tetapi dia bukan orang gagah, dia menaluk karena terbujuk rayuan tiga orang wanita itu."

"Hemmm, kau sendiri, orang baik-baikkah? Kenapa engkau menjadi antek para Lama dan juga bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal?"

"Aku murid Suhu Lulung Lama, tentu saja aku membantu Suhu. Kami memang pejuang, akan tetapi bukan penjahat. Kerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal hanya kerja sama di bidang menghadapi musuh, bukan untuk urusan lain. Aku amat tidak suka cara-cara pengecut dan curang."


 Si bangau merah


Sian Li mengamati wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik. Ada benarnya pula ucapan pemuda itu. Jujurkah dia dalam usahanya menolongnya? Memang benar juga bahwa tidak ada gunanya mempergunakan muslihat. Ia tadi sudah tidak berdaya. Andai kata ada muslihat di balik pertolongan pemuda ini tentulah hanya untuk menyenangkan hatinya supaya dia mau bekerja sama, membantu mereka dalam perjuangan melawan penjajah Mancu. Dan seperti juga Yo Han, ia tidak melihat sesuatu yang buruk dalam urusan membantu menentag pemerintah Mancu.

"Hemm, kalau begitu, sekarang aku menjadi tawanan, dan tidak boleh keluar dari tempat ini? Apakah aku boleh keluar dari kamar ini dan dengan bebas melihat-lihat keadaan di dalam sarang kalian ini?"

"Nona, akulah yang bertugas menjaga dan mengamatimu, dan aku sudah memberi tahu kepada semua anggota Hek-I Lama agar engkau dibiarkan tinggal di sini dengan bebas, asalkan engkau tidak membikin ribut, tidak pula berusaha melarikan diri. Akulah yang bertanggung jawab atas dirimu, maka kalau Nona melarikan diri, berarti membikin susah padaku. Aku telah berusaha menghindarkan dirimu dari keadaan yang tidak enak, maka kuharap engkau juga suka menjaga agar aku tidak sampai mendapat kesusahan karena engkau lari."

Sian Li lantas mengangguk-angguk. "Baiklah, Cu Ki Bok. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Liem Sian Lun, jahanam itu. Aku harus membuat perhitungan dengan dia!" Sian Li mengepal tinju, marah sekali kalau teringat kepada suheng-nya itu.

Cu Ki Bok mengerutkan alisnya. "Nona Sian Li, jika kebetulan engkau bertemu dengan suheng-mu itu tentu saja..."

"Dia bukan suheng-ku lagi! Mungkin aku akan membunuh jahanam itu kalau bertemu dengan dia!"

"Nah, itulah yang kurisaukan. Kalau Nona bertemu dan bicara dengan dia, hal itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau sampai Nona menyerangnya, padahal kini Sian Lun sudah menjadi sekutu kami, tentu semua orang akan membantunya dan Nona akan dipersalahkan. Oleh karena itu, mengingat bahwa urusan antara Nona dengan Sian Lun merupakan urusan pribadi, sebaiknya Nona bersabar hati dan menunggu sampai kelak setelah kalian berada di luar lingkungan kami, barulah Nona bisa membuat perhitungan. Jangan di sini, Nona.”

Sian Li mengangguk-angguk. Benar juga, pikirnya. Sian Lun kini telah menjadi sekutu mereka. Kalau dia menyerang Sian Lun, tentu mereka akan membantunya, bahkan pemuda di depannya ini tentu saja terpaksa harus berpihak kepada Sian Lun pula.

"Baiklah, aku tidak akan menyerangnya. Akan tetapi setidaknya ajaklah dia ke sini agar aku dapat bertanya sendiri kepadanya. Dengan begitu, hatiku baru akan puas dan yakin bahwa dia benar-benar telah menyeleweng."

"Akan kuusahakan, Nona."

Pemuda itu lalu mengajak Sian Li keluar dari kamarnya. Dan kini, dalam keadaan sadar dan tidak terbelenggu, gadis itu mendapat kesempatan mengamati keadaan di sarang Hek-I Lama itu.

Tempat itu merupakan perkampungan besar dan di tengah-tengah terdapat bangunan induk yang bentuknya seperti kuil. Bangunan induk itu besar sekali, sedangkan tempat di mana ia dikurung merupakan bangunan di sebelah kiri bangunan induk.

Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah-rumah yang bentuknya sama, dan itulah tempat tinggal para anggota Hek-I Lama. Terdapat pula bangunan baru berupa pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anggota pasukan Nepal, juga tempat para tamu dari pengemis tongkat hitam.

Setelah keluar dari rumah tempat ia di tahan, nampaklah oleh Sian Li betapa melarikan diri dari situ merupakan hal yang tidak mungkin. Banyak sekali anggota gerombolan itu berkeliaran, dan penjagaan juga diadakan dengan amat ketatnya. Baru rumah di mana ia dikurung itu saja dijaga oleh sedikitnya dua puluh orang! Tak mungkin ia dapat pergi tanpa diketahui dan sekali ketahuan, tentu ia akan dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang.

Cu Ki Bok berkata benar. Alangkah bodohnya bila ia berusaha melarikan diri. Sebaiknya bersabar menunggu kesempatan yang lebih baik. Selama tak diganggu, ia akan tinggal di situ, menanti kesempatan melarikan diri, atau menunggu sampai munculnya Yo Han karena dia merasa yakin bahwa Yo Han pasti tidak akan membiarkan saja dia menjadi tawanan gerombolan. Teringat akan Yo Han, Sian Li tersenyum. Bekas suheng-nya itu hebat bukan main!

"Kenapa Nona tersenyum?" tanya Cu Ki Bok. Ketika gadis itu memandang kepadanya, pemuda itu pun tersenyum. "Senang melihat Nona gembira," sambungnya.

"Tempat ini indah sekali, dan penjagaannya sangat kuat. Engkau benar sekali, Ki Bok. Aku harus menunggu dengan sabar dan tidak akan mencoba kebodohan melarikan diri. Dan kalau engkau beritikad baik, jangan sebut Nona kepadaku. Namaku Sian Li."

Wajah pemuda itu berseri. "Aku tahu bahwa engkau adalah gadis yang selain gagah perkasa dan cerdik, juga berhati mulia, Nona... ehh, Sian Li. Sungguh aku akan merasa bahagia sekali kalau akhirnya akan dapat menjauhkanmu dari bencana dan ancaman bahaya. Nah, sekarang engkau akan kutinggal. Akan tetapi sekali lagi kuperingatkan, jangan mencoba untuk membuat keributan. Nona... eh, kau akan selalu diawasi, Sian Li. Dan seperti yang kukatakan tadi, aku yang diserahi tugas menjagamu dan bertanggung jawab."

Sian Li mengangguk tegas. "Baiklah, Ki Bok. Dan aku sudah berjanji, bukan? Aku tidak akan suka melanggar janjiku sendiri."

Ki Bok tersenyum dan pergi meninggalkannya. Hemm, pemuda itu semakin tampan bila tersenyum, pikir Sian Li. Sayang pemuda sebaik itu berada di tengah orang-orang Hek-I Lama, tempat yang sungguh tidak sesuai dengan dirinya. Dan ia teringat betapa Ki Bok juga telah menguasai ilmu kepandaian silat yang tangguh.

Sian Li berjalan-jalan, dan kemana pun ia pergi di dalam kampung para pendeta Lama itu, ia tahu bahwa semua mata mengamatinya. Dia selalu dibayangi secara diam-diam.

Pada saat ia tiba di pintu gerbang, satu-satunya pintu gerbang di perkampungan itu, ia melihat betapa di situ terdapat puluhan orang penjaga! Dan perkampungan itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi, bahkan di sudut-sudutnya terdapat menara di mana terdapat penjaga pula. Seperti benteng saja. Belum lagi perondaan yang dia lihat dilakukan oleh pasukan kecil Hek-I Lama.

Sukarlah untuk dapat melarikan diri dari perkampungan itu, dan agaknya lebih sukar lagi untuk menyusup masuk! Walau pun demikian, dia yakin bahwa Yo Han akan mampu menyerbu masuk dan menemukan dirinya.

Benar seperti dikatakan Ki Bok, kemana pun ia pergi, sampai ke pintu gerbang pun, tidak ada orang yang melarangnya, namun makin dekat dengan pintu gerbang, semakin banyak orang membayangi dan mengamatinya. Agaknya semua anggota Hek-I Lama sudah mendapat perintah untuk mengamatinya, akan tetapi tanpa mengganggunya.

Diam-diam dia bersyukur dan berterima kasih kepada Cu Ki Bok. Akan tetapi karena teringat betapa ia ditipu Sian Lun, bahkan lalu dibelenggu oleh bekas suheng-nya itu, ia amat membenci Sian Lun. Ia berusaha untuk menemui bekas suheng itu, sekarang ia tidak sudi lagi mengaku suheng kepadanya, namun usahanya sia-sia saja.

Ia sampai pula di pemondokan para orang Nepal, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu lagi ketika melihat betapa mata orang-orang Nepal itu memandang padanya seperti sekumpulan serigala memandang seekor domba muda yang gemuk. Juga ia merasa jijik ketika melihat sekelompok anggota pengemis tongkat hitam yang berpakaian butut dan dekil, kotor sekali dan jorok.

Dengan berindap-indap ia kini menghampiri bangunan yang berbentuk kuil. Baru tiba di pekarangan saja sudah mendengar suara orang berdoa, diiringi ketukan kayu berirama. Dan ketika ia tiba di ambang pintu gerbang masuk, nampak asap tebal mengepul tebal dari ruangan depan yang menjadi ruangan sembahyang seperti pada kuil-kuil biasa.

Kiranya bangunan induk ini di bagian depannya memang merupakan kuil yang luas dengan ruangan sembahyang yang mewah. Dan di tempat ini, penjagaan lebih ketat lagi walau pun penjaganya tidak tampak berjaga, melainkan para pendeta yang bertugas di situ.

Ia dibiarkan masuk ke ruangan ke dua di belakang ruangan sembahyang dan ternyata ruangan ini lebih luas lagi. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat sebuah peti mati berada di tengah ruangan ini, lengkap dengan meja sembahyang dan dikelilingi pendeta-pendeta Lama yang berdoa. Ada orang mati di sini!

Dan setelah dia menjenguk ke dalam, barulah dia tahu mengapa tadi dalam perjalanan berkeliaran di perkampungan itu, dia tidak bertemu dengan tokoh-tokoh persekutuan itu. Kiranya mereka semua berkumpul di ruangan ini, agaknya melayat yang mati!

Dan semua orang itu agaknya tidak mempedulikan Sian Li yang berada di luar pintu. Dengan terang-terangan Sian Li memandang ke arah kelompok yang duduk di ruangan itu. Ia melihat mereka lengkap semua! Lulung Lama, Cu Ki Bok, Hek-pang Sin-kai ketua perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam, Pangeran Gulam Sing dengan dikawal oleh dua orang jagoannya yaitu Badhu dan Sagha. Ada pula Pek-lian Sam-li bersama Liem Sian Lun yang duduk di tengah-tengah antara mereka.

Ia melihat lagi ke arah peti mati besar itu. Aih! Semua orang melayat dan Dobhin Lama tidak nampak di antara mereka. Siapa lagi kalau bukan ketua para Lama Jubah Hitam itu yang berada di dalam peti mati? Tentu kakek tua renta itu tewas setelah bertanding melawan Yo Han!

Ia melihat Sian Lun mengangkat muka memandang kepadanya, akan tetapi suheng-nya itu menunduk kembali. Sian Li ingin menghampiri bekas suheng itu, memaki-makinya, atau menyeretnya dan menyerangnya. Akan tetapi ia teringat akan janjinya kepada Ki Bok.

Pada saat itu, dia melihat Ki Bok juga memandang kepadanya. Bahkan pemuda itu lalu bangkit dan dengan tenang menghampirinya, keluar dari pintu kemudian dengan suara lirih berkata,

"Harap jangan memasuki ruangan berkabung ini, Sian Li. Kecuali kalau engkau hendak melayat.”

“Dobhin Lama?" tanya Sian Li, juga berbisik sambil memandang ke arah peti mati.

Ki Bok mengangguk. "Supek sudah terlalu tua. Pertandingan dengan Sin-cang Taihiap telah menghabiskan tenaganya. Ia meninggal akibat kehabisan tenaga dan napas, tidak terluka. Pendekar aneh itu terlalu lihai baginya..."

Diam-diam Sian Li merasa bangga dan girang bukan main. Akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu melirik ke arah Sian Lun yang masih menunduk, dan berkata, "Aku masih ingin bicara dengan jahanam itu."

Ki Bok mengangguk. "Tentu akan kuusahakan, akan tetapi tidak sekarang. Nanti setelah selesai pengurusan jenasah Supek. Engkau tidak hendak melayat dan duduk di dalam?"

Sian Li menggeleng kepala. Untuk apa ia masuk ke ruangan itu dan melihat Sian Lun di antara tiga wanita cabul itu? Ia khawatir tidak akan dapat menahan hatinya untuk tidak menyerang bekas suheng-nya itu. Pula, tidak perlu berkabung terhadap kematian Ketua Hek-I Lama yang menyebabkan Sian Lun tersesat dan ia sendiri tertawan. Ia kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar lagi.

Senja telah mendatang, dan lampu-lampu penerangan mulai dipasang di perkampungan itu. Sian Li kembali ke kamarnya. Seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan pakaian pengganti kepadanya, juga mempersiapkan air untuk mandi.

Sian Li merasa senang. Ternyata Ki Bok memegang janjinya. Dia diperlakukan seperti seorang tamu terhormat, dilayani semua keperluannya walau pun diam-diam ia tidak pernah dilepaskan dari pengamatan tajam. Kepada pelayan itu ia pun dapat memesan semua keperluannya, minta disediakan makan malam.

Bagaimana pun juga, Sian Li tetap berhati-hati, lebih dulu memeriksa semua makanan dan minuman sebelum memakan dan meminumnya. Penerangan dalam kamarnya juga cukup terang dan suasana cukup menyenangkan.

Malam itu sore-sore bulan sudah muncul. Udara cerah dan langit pun bersih, bulan tiga perempat menyinarkan cahaya lembut. Sian Li tidak betah berada di kamarnya. Dia keluar dan berjalan-jalan di taman bunga dalam perkampungan itu. Sebuah taman yang cukup luas dan terpelihara baik-baik. Agaknya, para pendeta Lama ini bukanlah orang-orang kasar, melainkan suka pula akan kedamaian dan keindahan.

Agaknya para tokoh masih berada di ruangan berkabung, dari mana terdengar doa-doa untuk si mati. Sian Li melihat banyak pula penjaga di taman itu, bahkan ia bisa menduga bahwa begitu ia memasuki taman, maka tempat itu telah dikepung para anggota Hek-I Lama yang bertugas mengamatinya. Ia kemudian menduga-duga, apakah Ki Bok juga ikut mengamatinya, ataukah pemuda itu sudah begitu percaya kepadanya sehingga ikut berkabung di ruangan itu.

Di dekat empang ikan emas terdapat bangku-bangku yang terlindung oleh atap. Sian Li duduk di situ sambil termenung. Bulan menari-nari di air yang digerakkan perlahan oleh ikan-ikan yang berkejaran. Dia teringat akan Yo Han dan kembali bibirnya tersenyum.

Senang sekali mengingat pemuda itu, orang yang paling disayangnya ketika dia masih kecil. Dan sekarang, sesudah mereka kembali saling berjumpa dalam keadaan sudah sama dewasa, ia tidak tahu!

Yang jelas, penyelewengan Sian Lun hanya membuatnya marah, sama sekali tidak membuat ia bersedih. Diam-diam ia malah merasa gembira sebab hal ini membuktikan bahwa meski pun tadinya ia sayang kepada Sian Lun, kesayangan itu adalah keakraban antara kakak beradik seperguruan yang selalu ingin akrab dalam pergaulan, dalam latihan bersama. Ia tidak pernah mencinta Sian Lun! Dan Yo Han? Dia tidak tahu, yang jelas, ia merasa bangga, kagum dan juga senang sekali dapat bertemu kembali dengan Yo Han!

Yo Han takkan membiarkan ia terancam bahaya! Ia yakin bahwa pemuda itu pasti akan datang menyelamatkannya. Ia teringat betapa sejak kecil, ketika ia baru berusia empat tahun, dan Yo Han juga hanya seorang anak remaja yang lemah, Yo Han sudah berani membelanya mati-matian, bahkan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri dengan menukar dirinya menjadi tawanan iblis betina Ang-I Moli. Kali ini pun Yo Han pasti akan menolongnya!

Kini ia mencoba mengenang kembali apa yang dapat diingatnya ketika ia masih kecil, ketika Yo Han masih menjadi murid ayah ibunya. Samar-samar masih teringat olehnya betapa dahulu ia sering digendong oleh Yo Han, diajak bermain-main, dihibur dan selalu disenangkan hatinya.

"Nona, alangkah cantiknya engkau...!"

Tentu saja Sian Li terkejut dan serentak sadar dari lamunan ketika tiba-tiba mendengar kata-kata pujian yang lembut itu. Ia meloncat berdiri dan membalik karena suara itu tadi datang dari belakang dan ia berhadapan dengan pria tinggi besar gagah perkasa itu. Pangeran Gulam Sing! Kalau saja ia tidak ingat akan janjinya kepada Cu Ki Bok, tentu Sian Li sudah menerjang dan menyerang pangeran Nepal yang dibencinya ini.

"Mau apa engkau? Pergi, aku tidak ingin bicara denganmu!" bentaknya, lalu dia duduk kembali, membelakangi pangeran itu.

"Aduh, alangkah cantiknya! Marah-Marah semakin cantik jelita. Bukan main!" Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Han yang patah-patah sehingga terdengar lucu, namun cukup membuat kedua pipi Sian Li menjadi merah oleh perasaan malu dan marah.

"Manusia biadab! Jangan mencari perkara, atau aku akan kehilangan kesabaran dan akan membunuhmu!” Sian Li membentak lagi.

Sekarang dia memutar duduknya, menghadapi pangeran itu dengan sinar mata berapi. Wajahnya tertimpa sinar bulan dan nampak cantik bukan main.

Pangeran itu mengerutkan alis. Sebelum bangsa Han dijajah Mancu, memang Kerajaan Beng menganggap orang asing adalah bangsa yang biadab. Maka tentu saja Pangeran Gulam Sing merasa dihina sekali. Akan tetapi dia malah tertawa, suara tawanya bening dan aneh.

"Nona Tan Sian Li, aku seorang pangeran! Pandanglah wajahku baik-baik, aku seorang pangeran Nepal, bukan bangsa biadab. Seluruh bangsa Nepal akan menghormati dan memuliakan aku kalau melihatku, bahkan tidak mampu bergerak. Engkau juga, Nona! Pandang aku baik-baik, aku seorang pangeran dan engkau harus tunduk kepadaku!"

Pangeran tinggi besar itu kini melangkah maju menghampiri Sian Li. Gadis itu hendak meloncat bangun, akan tetapi aneh, ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya! Terngiang di dalam telinganya perintah pangeran itu bahwa ia harus tunduk dan tidak mampu bergerak. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sinkang-nya pada saat pangeran itu sudah memegang kedua tangannya dan menariknya bangkit berdiri...

Di lain saat, ia sudah didekap dalam pelukan kedua lengan yang panjang dan besar itu, dan ia mencium bau keharuman yang aneh keluar dari dada pangeran itu, di mana wajahnya didekap rapat.

"Pangeran, lepaskan nona itu!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Pangeran Gulam Sing terkejut, lalu menoleh. Kiranya Cu Ki Bok yang membentak itu.

"Nona Tan Sian Li, mundurlah engkau!"

Sungguh aneh, baru sekarang Sian Li dapat bergerak, seolah tenaga tak nampak yang tadi mempengaruhi dirinya telah lenyap. Tahulah dia bahwa dia tadi di bawah pengaruh sihir pangeran Nepal itu, dan agaknya Cu Ki Bok yang membebaskannya dari pengaruh sihir.

"Pangeran Iblis! Keparat busuk engkau!" Ia pun membentak dan sudah menerjang serta menyerang Pangeran Gulam Sing.

Pengeran itu mengelak dengan loncatan ke belakang. Ketika Sian Li hendak menyerang lagi, Ki Bok telah menghadang di depannya.

"Sian Li, ingat akan janjimu. Jangan membuat keributan di sini!"

Sian Li teringat dan ia pun menahan diri, mukanya merah dan matanya masih berkilat.

Sementara itu, Pangeran Gulam Sing tertawa, "Ha-ha-ha, saudara Cu Ki Bok, engkau malah membela Si Bangau Merah ini? Sungguh aneh sekali!"

"Pangeran," kata Cu Ki Bok dan suaranya mengandung kemarahan. "Kalau Ketua Hek-I Lama mendengar akan apa yang sudah kau lakukan ini, tentu beliau akan menjadi tidak senang."

"Hemm, Ketua Hek-I Lama sudah mati, bahkan petinya juga belum diangkat dari ruang berkabung!” kata pangeran itu membantah.

"Pangeran! Engkau tentu tahu bahwa wakil ketua adalah guruku, Lulung Lama, dan setelah kini Supek Dobhin Lama meninggal dunia, gurukulah yang menjadi ketua! Nona Tan Sian Li ini menjadi tamu yang dihormati, dan Ketua Hek-I Lama yang menugaskan aku untuk menjaganya. Kuharap Pangeran tidak membuat keributan di sini dan bersikap sebagai tamu serta sahabat yang baik."

"Aku protes!" Pangeran itu marah-marah. "Saudara Liem Sian Lun dan ketiga Pek-lian Sam-li sudah berjanji akan menghadiahkan gadis ini kepadaku, dan sekarang mengapa engkau hendak menghalangiku?! Beginikah sikap seorang sahabat?"

"Pangeran, lupakah Pangeran siapa itu Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li? Mereka pun hanya tamu-tamu dari Hek-I Lama seperti juga engkau. Sedangkan Nona Tan ini adalah seorang tawanan kami, dan yang berhak memutuskan mengenai dirinya adalah ketua kami. Ketua kami menganggap Nona ini seorang pendekar wanita gagah perkasa yang patut diajak bekerja sama berjuang menentang orang Mancu. Bagaimana mungkin para tamu seperti Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li tiba-tiba dapat menghadiahkan Nona ini kepadamu? Mereka tidak berhak!"

"Orang muda, berani engkau bersikap seperti ini terhadap aku? Bagaimana kalau aku memaksa untuk memiliki gadis ini?"

Sepasang mata pemuda itu berkilat. Dia meraba pinggangnya di mana terdapat sabuk bajanya yang kedua ujungnya dipasangi pisau, senjatanya yang ampuh, dan dia berkata dengan tegas.

"Pangeran, aku adalah utusan Ketua Hek-I Lama dan aku melaksanakan tugas yang diperintahkan untuk menjaga Nona ini. Kalau ada yang berani mengganggunya, berarti dia melanggar peraturan di sini dan aku akan menghadapinya sebagai wakil ketua Hek-I Lama!"

"Bocah sombong...!"

Akan tetapi pada saat itu, entah dari mana datangnya, nampak beberapa orang pendeta Lama Jubah Hitam bermunculan. Mereka hanya berdiri memandang, akan tetapi sikap mereka jelas siap untuk membantu Cu Ki Bok.

Melihat ini, Pangeran Gulam Sing sadar bahwa dia berada di tempat orang sebagai tamu. Dia memandang kepada Sian Li dan mengepal tinju. Daging lunak yang sudah berada di depan bibir, terpaksa harus dia lepaskan! Dengan bersungut-sungut, memaki-maki dalam bahasanya sendiri, dia pun meninggalkan taman itu.

Beberapa orang pendeta Lama itu pun seperti bayangan-bayangan saja, lenyap pula dari dalam taman. Tahulah Sian Li bahwa andai kata Cu Ki Bok tidak berada di situ pun, para pendeta Lama itu tentu akan melihat ulah Pangeran Gulam Sing dan mereka akan turun tangan membantunya dan melapor kepada Cu Ki Bok.

Betapa pun juga, dia berterima kasih kepada pemuda ini dan dia bergidik kalau teringat betapa tadi ia didekap oleh pangeran Nepal yang tinggi besar itu tanpa mampu berkutik! Sian Li mulai percaya pada Cu Ki Bok, bahwa pemuda murid Lulung Lama ini memang benar-benar hendak melindunginya.

"Ki Bok, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Apa yang telah terjadi denganku tadi? Kenapa aku tidak mampu bergerak? Apakah jahanam itu mempergunakan sihir?"

"Benar, Sian Li. Maafkan, aku agak terlambat. Akan tetapi, seperti kau lihat tadi, selalu ada beberapa orang anggota Hek-I Lama yang membayangimu sehingga engkau selalu aman. Para anggota tadi tidak mengira bahwa pangeran itu akan menggunakan sihir."

"Kalau begitu, engkau pun ahli sihir, Ki Bok?" tanya Sian Li dan pemuda itu tersenyum, merasa girang bukan main melihat sikap gadis itu terhadapnya kini berubah, tidak lagi angkuh dan ketus seperti sebelumnya, kini nampak ramah bersahabat!

"Sian Li, engkau sudah tahu bahwa aku murid Suhu Lulung Lama, murid seorang tokoh pendeta Lama. Karena itu, selain ilmu silat, aku pun mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan juga ilmu kebatinan sehingga tidak aneh kalau aku pun mempelajari ilmu sihir."

"Hemm, kata orang tuaku dan juga paman kakek yang menjadi guruku, ilmu sihir dapat membuat orang menjadi sesat. Kenapa engkau mempelajari ilmu seperti itu, Ki Bok?"

Pemuda itu tertawa. "Aihh, engkau ini yang aneh sekali, Sian Li. Engkau sendiri masih keturunan keluarga Pendekar Pulau Es, bahkan juga pendekar Gurun Pasir! Padahal, menurut yang kudengar, dahulu Pendekar Super Sakti Pulau Es adalah seorang sakti yang selain hebat ilmu silatnya, juga ahli dalam ilmu sihir!"

Sian Li tersenyum. "Memang engkau benar, namun menurut orang tuaku, mempelajari ilmu sihir amatlah berbahaya karena ilmu seperti itu condong untuk menyeret orangnya kepada kesesatan."

Pemuda itu kini duduk di bangku, berhadapan dengan Sian Li yang juga sudah duduk. "Segala macam ilmu mengandung daya tarik yang dapat menyesatkan orang, Sian Li. Ilmu apa pun juga membuat orang merasa lebih pandai dari pada orang lain, dan ada kecondongan mempergunakan ilmu yang dikuasainya itu untuk berkuasa atau mencari pengaruh atas orang-orang lain. Ilmunya sendiri tidak baik, tidak pula pun buruk. Baik buruknya tergantung dari dia yang mempergunakannya. Betapa baik pun sebuah ilmu, jika dipergunakan untuk mencelakai orang lain, ilmu itu menjadi jahat. Sebaliknya, ilmu yang dianggap jahat, kalau dipergunakan untuk menolong orang lain, akan menjadi ilmu yang baik. Bukankah begitu?"

Sian Li pernah mendengar ini, maka dia pun mengangguk. Kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berubah. Ia tidak tahu benar bahwa semua agama di dunia ini mengajarkan orang agar hidup baik serta bijaksana. Pelajaran agama yang dipelajari Ki Bok dari pendeta Lama tentu juga mengatakan yang baik-baik. Kalau terjadi kejahatan dilakukan orang beragama, maka hal itu berarti bahwa orang itu telah menyeleweng dari pada pelajaran agamanya sendiri.

Tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menjadi jahat. Justru yang disebut agama adalah pelajaran tentang budi pekerti, mengajarkan orang untuk menjadi manusia yang baik dan berguna bagi manusia lain.

Cu Ki Bok yang semenjak kecil menjadi murid pendeta Lama, tentu saja juga membaca kitab-kitab agama yang pada hakekatnya tiada bedanya dengan kitab-kitab agama lain, yaitu menuntun manusia ke arah jalan hidup yang benar.

"Sebenarnya, dari orang tuaku serta paman kakekku, aku pun sudah menerima latihan kekuatan batin yang dimaksudkan menolak pengaruh sihir. Akan tetapi, tadi aku sama sekali tidak mengira bahwa pangeran Nepal itu akan menggunakan ilmu sihir sehingga aku menjadi lengah. Ki Bok, apakah kau kira Sian Lun juga terpengaruh sihir?" Tiba-tiba timbul dugaan ini dalam pikiran Sian Li.

Ki Bok menarik napas panjang. "Mungkin saja, tetapi yang jelas suheng-mu itu seorang pria yang lemah dan mudah dirayu. Sungguh sayang sekali karena sesungguhnya dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau dia mau bekerja sama dengan kami untuk menentang penjajah Mancu, hal itu baik-baik saja. Akan tetapi aku khawatir kalau dia sampai terseret oleh Pek-lian-kauw, melakukan hal-hal yang tidak patut."

Hening sejenak. Kemudian Sian Li mengangkat muka memandang pemuda itu. "Ki Bok, engkau kini kuanggap sebagai seorang sahabat. Aku percaya kepadamu. Katakanlah, apa maksud gurumu dengan menahanku di sini? Berterus terang sajalah supaya hatiku tidak menjadi ragu kepadamu."

"Mudah sekali diduga, Sian Li. Engkau pasti tahu bahwa Hek-I Lama sedang menyusun kekuatan..."

"Hemm, untuk memberontak kepada pemerintah Dalai Lama di Tibet?"

"Benar, akan tetapi selain hal itu merupakan urusan dalam para pendeta Lama, juga satu di antara penyebabnya karena pemerintah Tibet mengakui kekuasaan pemerintah Mancu. Nah, Hek-I Lama dianggap memberontak karena tidak menyetujui hal itu. Oleh karenanya, Hek-I Lama yang kini dipimpin oleh Suhu Lulung Lama menyusun kekuatan sambil mengharapkan bantuan dari orang-orang kuat, untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu, juga untuk menentang pemerintah Tibet yang mau menjadi taklukan orang Mancu."

"Jadi aku ditahan untuk dibujuk agar mau bekerja sama dengan Hek-I Lama?"

"Begitulah. Suhu mengharapkan engkau akan suka membantu pula. Bukankah penjajah Mancu merupakan penjajah yang menindas bangsa kita? Aku sendiri pun mempunyai darah Han, Sian Li. Aku akan merasa gembira sekali kalau engkau suka bekerja sama dengan kami."

"Dan bagaimana kalau aku menolak kerja sama? Apakah aku akan dibunuhnya?”

Cu Ki bok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala keras-keras.

"Suhu tak akan memaksa orang untuk bekerja sama. Paksaan itu akhirnya hanya akan merugikan kami sendiri, karena orang yang dipaksa bekerja sama akhirnya mudah saja menjadi pengkhianat. Tidak, engkau tidak akan dipaksa. Andai kata pun ada yang akan memaksa atau mengganggumu, demi Tuhan, aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku, Sian Li!"

Pemuda itu bicara penuh semangat, membuat Sian Li terheran dan ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik. Namun, sinar bulan tidak cukup terang sehingga tidak melihat betapa wajah pemuda itu berubah kemerahan.

"Akan tetapi... kenapakah, Ki Bok? Mengapa engkau hendak membelaku seperti itu? Mengapa engkau begini baik kepadaku? Padahal, bukankah sejak pertama kali saling bertemu, kita berhadapan sebagai musuh?"

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Hanya salah paham, Sian Li, hanya karena saling memperebutkan kebenaran masing-masing. Sudahlah, sebaiknya engkau kembali saja ke dalam kamarmu untuk beristirahat. Besok, sesudah jenazah Supek diperabukan, bila mungkin Suhu akan bicara denganmu tentang ajakan bekerja sama itu."

"Apa yang harus kujawab?"

"Sudah kukatakan, kalau engkau suka bekerja sama, aku akan merasa bahagia sekali, Sian Li."

"Kalau aku menolak?"

Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku akan merasa kecewa sekali. Akan tetapi tentu saja terserah kepadamu, dan aku yang akan membantumu agar dapat pergi dari sini dalam keadaan bebas dan aman."

Tentu saja hati Sian Li menjadi girang bukan main. "Sungguh mati, amat sukar menilai keadaan hati atau watak asli seseorang," dia berkata. "Tadinya kukira engkau seorang yang luar biasa jahat, Ki Bok, tidak tahunya engkau adalah seorang yang berhati mulia. Sebaliknya, suheng-ku yang dulu kunilai sebaik-baiknya orang, ternyata malah seorang manusia yang budinya rendah!"

Pemuda itu tersenyum. "Karena itu, jangan tergesa-gesa menilai seseorang, Sian Li. Yang hari ini kau nilai baik, mungkin besok akan kau cela, sebaliknya yang kemarin kau cela, hari ini akan kau puji. Mungkin kalau hari ini aku kau nilai baik, besok lusa akan kau nilai jahat lagi, siapa tahu?"

Sian Li tertawa. "Aku sudah mengerti, Ki Bok. Penilaian seseorang tergantung dari pada kepentingan si penilai, kalau dia diuntungkan, tentu menilai baik, kalau dirugikan, akan menilai buruk. Akan tetapi, juga tergantung kepada orang yang dinilai. Setiap perbuatan baik tentu mendatangkan kekaguman, sebaliknya perbuatan buruk akan mendatangkan celaan. Bukankah demikan?"

"Engkau memang cerdik, Sian Li. Nah kau bersabar dan tenanglah saja, dan harap kau menjaga diri supaya jangan sampai terpancing keributan sebelum Suhu Lulung Lama bicara denganmu. Selamat malam dan selamat tidur."

Sian Li yang sudah bangkit, tersenyum. "Selamat bermimpi, Ki Bok."

Mereka berpisah dan Sian Li sama sekali tidak mengira bahwa ucapannya tadi sungguh terjadi. Ia mengatakan selamat bermimpi hanya untuk berkelakar, tidak tahunya malam itu Ki Bok telah benar-benar bermimpi semalam suntuk, mimpi bertemu dengannya dan berkasih sayang dengannya.


                  **************


Gak Ciang Hun, ibunya, dan Yo Han langsung bekerja dengan cepat. Yo Han segera menghubungi para tokoh di perbatasan yang pernah disadarkannya, sedangkan Nyonya Gak dan puteranya juga pergi menghadap para pendeta Lama dan pasukan pemerintah yang berada di benteng daerah perbatasan tak jauh dari tempat itu.

Panglima yang menjadi komandan pasukan Tibet itu menerima laporan Gak Ciang Hun dan ibunya. Dia segera berunding dengan para pendeta Lama. Tentu saja mereka telah mendengar akan adanya gerakan Hek-I Lama, akan tetapi karena gerombolan itu tidak melakukan kekacauan, pasukan pemerintah pun tadinya mendiamkan saja. Bagaimana pun juga para pimpinan Hek-I Lama dahulunya adalah tokoh-tokoh pendeta Lama yang terkenal.

Akan tetapi, ketika mendengar laporan Gak Ciang Hun dan ibunya bahwa gerombolan pendeta Lama jubah hitam itu kini bersekutu dengan orang-orang Nepal yang menjadi pelarian dari negara mereka, juga bersekutu dengan kaum pengemis sesat dan orang-orang Pek-lian-kauw, komandan itu merasa khawatir dan dia pun cepat mengerahkan pasukan, siap untuk melakukan penyerbuan terhadap gerombolan yang kini merupakan persekutuan besar dan hendak melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Tibet itu.

Sementara itu, para tokoh sesat yang kini sudah sadar akibat kebijaksanaan Sin-ciang Taihiap, ketika pendekar aneh itu minta bantuan mereka, tentu saja mereka menjadi gembira dan mereka seakan berlomba untuk membuktikan bahwa kini mereka bukanlah penjahat-penjahat lagi, tetapi orang-orang gagah yang siap mengganyang pemberontak dan penjahat yang mengganggu ketenteraman.

Setelah menerima kesanggupan para tokoh kang-ouw itu, Yo Han yang ketika menemui mereka mengenakan capingnya yang menyembunyikan mukanya dan mengurai rambut, cepat kembali ke bukit yang dijadikan sarang Hek-I Lama. Dia pun lalu menanggalkan penyamarannya dan ketika muncul di depan pintu gerbang yang seperti benteng itu, dia sudah menjadi seorang pemuda biasa, bukan lagi sebagai pendekar Sin-ciang Taihiap yang selalu menyembunyikan mukanya itu.

Yo Han maklum bahwa dia tidak perlu menyamar kalau ingin memasuki perkampungan yang dijadikan sarang gerombolan itu dengan aman. Pemuda murid Lulung Lama itu pernah melihat dia bersama Sian Li, pernah pula bicara dengan dia. Oleh karena itu, ketika para penjaga pintu gerbang menghadang dan membentaknya, dia pun berkata dengan suara tenang.

"Aku bernama Yo Han, dan aku ingin bertemu dengan saudara Cu Ki Bok. Aku sudah mengenalnya."

Yo Han dipersilakan menunggu. Dua orang penjaga lalu berlari masuk untuk memberi kabar kepada Cu Ki Bok. Selama dua hari ini, sejak jenazah Dobhin Lama diperabukan, ketua baru mereka, Lulung Lama, memerintahkan supaya penjagaan diperketat dan semua anggota Hek-I Lama diharuskan bersiap siaga.

Lulung Lama maklum bahwa Sin-ciang Taihiap tentu tidak akan tinggal diam dan akan datang menyerbu untuk membebaskan Tah Sian Li. Dan oleh karena ingin memancing munculnya Sin-ciang Taihiap inilah maka dia pun memerintahkan supaya gadis itu tetap menjadi tawanan, walau pun diperlakukan dengan baik.

Dia sudah membujuk agar gadis itu suka membantu perjuangannya, dengan harapan kalau gadis itu mau bekerja sama seperti halnya Sian Lun, mungkin Sin-ciang Taihiap akan mau pula membantunya. Dan mengingat bahwa gadis itu dan suheng-nya adalah murid keluarga Pulau Es, maka kalau mereka bekerja sama dengan perkumpulannya, tentu lebih mudah menarik tokoh-tokoh kang-ouw untuk bekerja sama pula.

Ketika dua orang penjaga itu melapor bahwa ada orang bernama Yo Han mencarinya, Cu Ki Bok yang sudah lupa lagi akan nama itu, lalu menduga-duga siapa orang yang mencarinya di tempat itu. Apa lagi nama orang itu menunjukkan bahwa dia tentu orang Han.

Dia sedang bingung memikirkan Sian Li. Gurunya tidak berhasil membujuk gadis itu untuk bekerja sama. Sian Li selalu menolak, dengan halus mau pun kasar. Akan tetapi gurunya tetap belum mau membebaskan Sian Li. Menurut gurunya, gadis itu sengaja ditahan untuk memancing datangnya Sin-ciang Taihiap. Agaknya Lulung Lama masih penasaran dan belum puas kalau belum mendapatkan bantuan pendekar aneh itu.

Sian Li juga bertahan, tidak mau bekerja sama. Ia selalu mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri, dan harapan satu-satunya hanya pada Cu Ki Bok yang selama ini bersikap baik dan tidak mencurigakan.

Kemarin, ketika ia kebetulan bertemu dengan Sian Lun di taman bunga, ia tidak mampu mengendalikan kemarahannya.

"Keparat busuk, penghianat jahanam!” bentaknya. “Orang macam engkau layak untuk mampus!"

Dan Sian Li langsung saja menyerang bekas suheng-nya itu dengan penuh kebencian. Saking dahsyatnya serangan gadis itu, biar pun Sian Lun sudah menangkis, tetap saja dia terhuyung ke belakang.

"Sumoi, nanti dulu...!" teriaknya.

"Siapa sumoi-mu? Aku tidak sudi menjadi sumoi seorang pengkhianat jahanam!"

Dan Sian Li sudah menyerang lagi, mengerahkan seluruh tenaganya dan kembali Sian Lun terhuyung ke belakang.

"Sumoi...!"

Sian Li tidak memberi kesempatan kepada bekas suheng-nya untuk banyak cakap lagi karena ia sudah menerjang lagi, dengan serangan-serangan yang dimaksudkan untuk membunuh! Sian Li bukan hanya membenci Sian Lun karena sudah mengkhianatinya, membantu pihak musuh untuk mencurangi dan menangkapnya, akan tetapi juga karena ia mendengar dan melihat sendiri betapa bekas suheng itu telah bermain gila dengan tiga orang wanita cabul dari Pek-lian-kauw!

Ketika Sian Lun terhuyung dan Sian Li terus mendesaknya, dan berhasil menendang paha Sian Lun sehingga pemuda itu terpelanting, tiba-tiba muncul Pek-lian Sam-li yang segera turun tangan membantu Sian Lun dan mengeroyok Sian Li!

Melihat munculnya ketiga orang wanita yang memang dibencinya ini, Sian Li menjadi semakin marah dan ia pun mengamuk. Akan tetapi, tiga orang wanita itu juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, apa lagi mereka maju bertiga sehingga begitu mereka membalas dan mendesak, Sian Li mulai terdesak mundur.

"Tahan! Jangan berkelahi!" Tiba-tiba muncul Cu Ki Bok melerai. "Sam-li, ajak Sian Lun manyingkir," katanya.

Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah. Mereka tahu bahwa Ki Bok adalah seorang pemuda yang berdisiplin. Setelah kini Lulung Lama menjadi Ketua Hek-I Lama, maka pemuda itu berarti menjadi wakilnya. Mereka bertiga lalu menggandeng tangan Sian Lun dan diajak pergi dari situ. Sementara itu, Ki Bok menghampiri Sian Li dan menghiburnya.

"Sian Li, apa gunanya membuat ribut dengan bekas suheng-mu itu? Bila engkau sudah tidak menyukainya dan tidak mau berhubungan dengannya, lebih baik kau diamkan saja dia. Membikin ribut di sini sungguh tak menguntungkan dirimu, dan pula, jangan-jangan orang akan menganggap engkau..."

"Menganggap aku kenapa?" Sian Li mendesak, muka gadis itu masih kemerahan akibat marah.

"Maaf, mungkin saja orang akan menganggap engkau cemburu melihat keakrabannya dengan Pek-lian Sam-li..."

"Gila! Akan kuhancurkan mulut orang yang menganggap aku cemburu! Siapa pula yang cemburu? Biar pun dia menggandeng seratus orang perempuan, apa peduliku? Biar dia mampus! Yang membuat aku marah adalah karena dia adalah murid paman kakekku. Kalau guru-gurunya mengetahui akan kelakuannya, tentu dia pun akan mereka hukum berat!”

“Sudahlah, kelak dapat saja engkau membuat laporan kepada guru-gurumu, atau boleh saja engkau menghukum dia, akan tetapi kalau kalian sudah tidak berada di sini. Kalau engkau membuat ribut di sini, tentu aku akan ikut repot menanggung akibatnya."

Demikianlah, sampai hari itu, Lulung Lama masih belum memberi keputusan mengenai diri Sian Li. Dan Ki Bok sedang menimbang-nimbang dan mencari jalan terbaik untuk membebaskan gadis itu. Dia jatuh cinta kepada Sian Li, akan tetapi kalau gadis itu tidak mau bekerja sama dengan Hek-I Lama, terpaksa mereka harus berpisah dan dia harus mencarikan jalan terbaik agar gadis itu dapat keluar dari perkampungan yang menjadi pusat Hek-I Lama itu secara aman.

Pada waktu dua orang penjaga melapor tentang munculnya seorang bernama Yo Han mencarinya, Ki Bok segera menuju ke pintu gerbang. Begitu melihat Yo Han, teringatlah dia akan pemuda yang dia temui bersama Sian Li tempo hari. Pemuda yang menjadi perantara menyampaikan tantangan mendiang Dobhin Lama kepada Sin-ciang Taihiap.

Alisnya berkerut karena pertemuan ini sungguh mengejutkan hatinya. Akan tetapi ia pun diam-diam merasa gembira dan menaruh harapan untuk dapat mengadakan hubungan dengan Sin-ciang Taihiap melalui ‘perantara’ ini.

"Ahh, kiranya saudara Yo Han yang datang berkunjung! Selamat datang, dan benarkah bahwa engkau hendak bicara dengan aku?" tanya Ki Bok.

Yo Han memberi hormat. "Benar sekali, dan saya datang untuk bicara tentang nona Tan Sian Li."

"Silakan masuk, saudara Yo Han. Kita bicara di dalam," ajak Ki Bok, mempersilakan tamunya untuk memasuki pondok penjagaan di dekat pintu gerbang.

Dengan lagak seorang yang jujur dan tidak curiga, Yo Han melangkah masuk mengikuti pemuda tinggi tegap yang tampan gagah itu, dan mereka lalu duduk berhadapan di atas bangku, di dalam pondok atau gardu penjagaan.

Ki Bok sudah memberi isyarat kepada para petugas jaga untuk menjauhi gardu supaya mereka berdua dapat berbicara dengan leluasa tanpa terdengar orang lain. Karena pemuda itu merupakan seorang tokoh penting dalam perkumpulan Lama Jubah Hitam, maka para petugas menghormatinya dan mentaati perintahnya.

"Saudara Yo Han, selamat datang. Aku girang sekali menerima kunjunganmu ini. Angin baik apakah yang membawamu ke sini?”

Diam-diam Yo Han mendongkol, akan tetapi juga waspada sekali. Pemuda di depannya ini sudah dia kenal ilmunya, dan ternyata selain lihai, juga cerdik dan licin bagaikan ular, pandai pula bersikap manis budi seperti ini.

Yo Han mengerutkan alis. "Aku datang karena diutus oleh Sin-ciang Taihiap…," katanya sengaja berhenti, untuk melihat tanggapan orang itu.

Wajah Ki Bok tampak berseri mendengar disebutnya pendekar itu. Agaknya harapannya akan semakin besar dan kesempatan semakin terbuka untuk dapat mengajak pendekar sakti itu bekerja sama. “Aihh, sungguh merupakan kehormatan sekali dan terima kasih atas perhatian Sin-ciang Taihiap yang kami kagumi.”

“Sudahlah, tidak perlu bersandiwara lagi,” kata Yo Han. “Taihiap marah sekali karena kecurangan kalian. Tak pernah kami duga bahwa Hek-I Lama, perkumpulan besar yang terhormat itu dapat melanggar janji dan melakukan kelicikan dan kecurangan. Bukankah janjinya sebelum bertanding, kalau ketua kalian kalah oleh Taihiap, maka Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan dikembalikan? Mutiara itu memang telah diberikan kepada Taihiap, akan tetapi kenapa Sian Lun tidak dibebaskan, sebaliknya adikku Sian Li malah ditangkap pula? Pantaskah hal securang itu dilakukan oleh orang-orang Hek-I Lama yang gagah? Sepatutnya hanya dilakukan orang-orang pengecut, bukan anggota perkumpulan pejuang yang menganggap dirinya pahlawan.”

Ki Bok tidak marah mendengar umpat caci ini. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang cerdik dan mampu mengendalikan perasaan hatinya. Dia malah tersenyum ramah.

“Harap tenang dan bersabar, saudara Yo Han, atau lebih baik kusebut Yo-toako (Kakak Yo) saja karena tadi engkau mengatakan bahwa engkau adalah kakak Nona Sian Li. Benarkah itu?”

Yo Han mengangguk. “Aku adalah kakak misan Tan Sian Li,” jawabnya.

Dia tidak berterus terang, akan tetapi juga tidak terlalu membohong, karena bukankah dia juga termasuk kakak dari gadis itu, walau pun bukan kakak misan melainkan kakak seperguruan? Dia juga merasa seperti anak sendiri dari orang tua gadis itu, maka sudah sepatutnya kalau dia mengakui gadis itu sebagai adiknya.

“Bagus, kalau begitu aku pun dapat bicara terus terang. Sesungguhnya, Sian Lun telah setuju untuk membantu perjuangan kami melawan orang-orang Mancu. Oleh karena itu, dia sengaja menawan sumoi-nya agar suka pula bekerja sama dengan kami. Sekarang, Nona Sian Li menjadi tamu kami, bukan tawanan dan diperlakukan dengan baik dan terhormat. Kami menunggu sampai Nona Sian Li juga menyetujui sikap suheng-nya, dan mau pula bekerja sama dengan kami. Bahkan kami mengharapkan agar engkau suka menyampaikan himbauan kami kepada Sin-ciang Taihiap untuk bergabung dengan kami, bersama-sama menentang penjajah Mancu.”

“Hemm, aku tidak tahu apakah Taihiap suka menerima ajakan itu atau tidak. Yang jelas, dia marah sekali karena janji yang merupakan taruhan pertandingan itu dilanggar. Pula, bagaimana aku dapat percaya bahwa adikku Sian Li diperlakukan dengan baik di sini sebelum aku bertemu dengannya dan melihatnya sendiri?”

“Engkau ingin bertemu dengan adikmu itu, Yo-toako? Baik, baiklah, tentu saja engkau boleh dan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi tentu saja kita harus terlebih dahulu menghadap Suhu dan minta persetujuannya.”

“Menghadap ketua kalian Dobhin Lama?”

“Tidak, menghadap Suhu Lulung Lama,” jawab Ki Bok singkat.

Yo Han merasa heran, akan tetapi diam saja tanpa bertanya lagi. Dia mengikuti Cu Ki Bok yang mengajaknya memasuki perkampungan itu. Di rumah induk, dia dibawa Cu Ki Bok ke ruangan depan rumah besar itu, dan di situ Yo Han tidak saja melihat Lulung Lama, akan tetapi juga para tokoh lain. Di tengah ruangan depan itu tergeletak sebuah peti mati.

Diam-diam Yo Han terkejut. Kini mengertilah dia mengapa dia diajak menghadap Lulung Lama, bukan Dobhin Lama. Kiranya ketua perkumpulan Hek-I Lama itu telah meninggal dunia! Padahal, kemarin masih bertanding dengan dia.

Jika begitu, agaknya kakek yang sudah tua renta itu terlalu memaksa diri mengerahkan tenaga pada waktu bertanding sehingga tubuh yang sudah tua itu kehabisan tenaga dan tewas. Mungkin ketika dia duduk bersila sesudah selesai bertanding kemarin, dan diam saja melihat kecurangan anak buahnya yang mengeroyok, kakek itu sudah tewas.

Kalau benar demikian, bukan Dobhin Lama yang curang, melainkan Lulung Lama dan anak buahnya. Juga penangkapan atas diri Sian Li tentu telah diatur oleh Lulung Lama. Buktinya, sesudah Dobhin Lama merasa kalah, kakek tua itu mengembalikan mutiara hitam dan menyuruh Lulung Lama membebaskan Sian Lun.

“Siapa yang meninggal dunia itu?” tanya Yo Han, pura-pura terkejut dan tidak tahu.

“Dia adalah ketua kami...“

“Dobhin Lama yang bertanding melawan Sin-ciang Taihiap?” Yo Han bertanya.

Cu Ki Bok menganggukkan kepala. Kesempatan ini digunakan oleh Yo Han untuk cepat menghampiri peti mati dan berlutut di depan peti mati sambil mengeluarkan kata-kata yang bernada sedih penuh penyesalan.

“Losuhu, maafkan saya. Sungguh saya menyesal sekali bahwa Losuhu tewas karena pertandingan melawan Sin-ciang Taihiap. Bagaimana pun, saya turut merasa menyesal karena saya yang menjadi perantara. Akan tetapi, Taihiap tak sengaja melukai Losuhu, Taihiap tidak pernah mau membunuh lawannya. Sayangnya, setelah Losuhu tidak ada, para anak buah Losuhu berbuat curang, tidak menepati janji. Bukan saja Sian Lun tidak dibebaskan, bahkan adikku Sian Li ditawan. Losuhu, saya menyesal sekali. Andai kata Losuhu tidak meninggal, tentu adik saya tidak ditawan...“

Sementara itu, Ki Bok telah mendekati Lulung Lama dan menerangkan siapa adanya pemuda yang berlutut di depan peti mati itu. Setelah mendengar keterangan muridnya, Lulung Lama bangkit dan menghampiri Yo Han.

“Saudara Yo, bangkitlah. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan tidak ada yang perlu disesalkan. Juga kami tidak melanggar janji. Ketahuilah bahwa Liem Sian Lun dengan suka rela berada di sini, bukan kami tawan. Dia memang telah sadar dan ingin berjuang bersama kami menentang penjajah Mancu. Dialah yang menghendaki agar sumoi-nya ikut pula membantu perjuangan kami yang suci. Maka, tidak salah kiranya kalau engkau suka membujuk Sin-ciang Taihiap agar suka bekerja sama pula dengan kami.”

Yo Han bangkit dan memberi hormat kepada Lulung Lama, lalu berkata dengan suara mengandung penasaran. “Saya datang sebagai utusan Taihiap yang menuntut supaya Liem Sian Lun dan adikku Tan Sian Li dibebaskan dari sini, sesuai perjanjian.”

“Omitohud, sudah pinceng katakan bahwa kami tidak menawan Liem Sian Lun dan...”

“Bagaimana saya dapat percaya kalau tidak bertemu sendiri dengan adik saya?”

Lulung Lama yang telah mendengar penjelasan muridnya, tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, saudara Yo Han. Engkau boleh bertemu dengan adikmu itu. Ki Bok, antarkan dia bertemu dengan Nona Tan Sian Li.”

Cu Ki Bok mengajak Yo Han meninggalkan ruangan itu. Yo Han girang bahwa mereka itu agaknya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dialah sebenarnya Sin-ciang Taihiap. Kini Ki Bok mengajaknya ke bagian belakang perkampungan yang luas itu dan akhirnya dia melihat Sian Li yang duduk seorang diri di ruangan depan sebuah pondok.

Ketika tadi diajak pergi ke tempat itu, diam-diam Yo Han memperhatikan dan dia tahu bahwa di tempat itu terdapat amat banyak orang yang diam-diam melakukan penjagaan sehingga untuk mengajak Sian Li dan Sian Lun melarikan diri dari tempat itu bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Dia juga tadi melihat bahwa di ruang perkabungan terdapat banyak sekali orang yang tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia melihat pula orang-orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, juga orang-orang Han yang melihat pakaian mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

Ketika Sian Li yang sedang termenung memikirkan sikap Sian Lun yang aneh, berubah sama sekali dan menjadi seperti boneka yang memuakkan di bawah pengaruh Pek-lian Sam-li, melihat ada orang datang menghampirinya, ia mengangkat muka.

Ia girang melihat Cu Ki Bok yang amat baik kepadanya itu. Akan tetapi ketika ia melihat orang ke dua, ia terbelalak saking kagetnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Yo Han akan muncul begitu saja, secara terang-terangan, di tempat itu. Karena ia tidak tahu bagaimana maksud Yo Han dengan kemunculannya, maka ia pun tidak berani lancang membuka suara dan hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Li-moi, syukurlah engkau dalam keadaan selamat dan sehat!” Yo Han berteriak sambil menghampiri dan memegang kedua tangan gadis itu.

Melihat sikap Yo Han yang wajar saja, Sian Li merasa lega. Apa lagi ia pun percaya bahwa Cu Ki Bok adalah seorang pemuda yang baik dan yang ingin menolongnya.

“Han-ko, bagaimana engkau bisa datang ke sini?”

“Aku sedang menjadi utusan Sin-ciang Taihiap untuk menyampaikan tuntutan kepada Hek-I Lama supaya engkau dan suheng-mu itu dibebaskan, Li-moi. Mereka mengatakan bahwa engkau beserta Sian Lun mau bekerja sama dengan mereka dan tidak ditahan, maka aku minta agar dapat melihat dengan mata sendiri dan dapat bicara denganmu.”

“Selama ini aku memang diperlakukan dengan baik di sini, Koko, sebagai tamu. Ada pun Suheng...” ia ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

Yo Han memotong dan berkata kepada Cu Ki Bok, suaranya mengandung penasaran. “Aku menuntut agar adikku dibebaskan sekarang juga. Kalau tidak, aku tidak akan pergi dari sini, aku harus menemani adik misanku ini!”

Ki Bok tersenyum. “Yo-toako, engkau melihat sendiri bahwa Nona Tan Sian Li dalam keadaan sehat dan selamat. Sebaiknya kalian bicara berdua di sini, untuk membuktikan bahwa kalian di sini diberi kebebasan dan bukan menjadi tahanan.” Setelah berkata demikian, Ki Bok meninggalkan mereka berdua di ruangan depan pondok itu.

Setelah Ki Bok pergi, segera Sian Li berkata, “Han-ko, duduklah. Kau tahu, Cu Ki Bok itu ternyata baik sekali. Dia bersungguh-sungguh hendak menolongku.”

Ia lalu menceritakan tentang pertolongan Ki Bok pada saat ia hendak dinodai pangeran Nepal. Setelah menceritakan semua pengalamannya sejak ditangkap oleh suheng-nya sendiri, ia bertanya, “Akan tetapi kenapa engkau malah muncul di sini secara berterang, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tahu siapa sebenarnya engkau?”

“Aku sengaja masuk ke sini supaya nanti dapat membantu kalau orang-orang kang-ouw yang sudah kuhubungi datang menyerbu. Kita sendiri tidak mungkin mampu melawan mereka yang jumlahnya amat banyak. Aku sudah minta bantuan orang-orang kang-ouw, sedangkan saudara Gak Ciang Hun beserta ibunya melapor kepada para pendeta Lama dan pasukan pemerintah di Tibet mengenai usaha pemberontakan Lulung Lama. Bagai mana kabarnya dengan suheng-mu? Di mana dia sekarang?”

Mendengar pertanyaan ini, wajah Sian Li berubah muram. Ia mengepal tinju tangannya. “Dia telah tersesat, menyeleweng dan kalau ada kesempatan akan kuhajar dia!”

Yo Han terkejut. “Li-moi, apa yang terjadi?”

“Huh, jahanam keparat itu, pengkhianat busuk itu! Dia sudah merendahkan diri menjadi antek mereka. Dia terbujuk oleh perempuan-perempuan hina Pek-lian-kauw, dan malah menipuku, menangkapku ketika aku hendak menolongnya.”

Melihat gadis itu seperti akan menangis, Yo Han dapat menduga betapa sakit rasa hati gadis itu. Tentu Sian Li mencinta suheng-nya dan sekarang amat kecewa melihat ulah suheng-nya.

“Li-moi, sebenarnya bagaimana watak dan sikap suheng-mu selama ini, sebelum dia tertawan oleh gerombolan ini?”

Sian Li mengerutkan alisnya. “Selama ini dia baik, setia dan membelaku. Akan tetapi agaknya dia sudah tergila-gila kepada Pek-lian Sam-li, dan agaknya demi perempuan-perempuan itu, dia tidak segan untuk mengkhianatiku.”

Muka Sian Li merah sekali. Jelas bahwa dia menahan diri agar tidak menangis karena ia memang merasa penasaran dan kecewa bukan main kalau mengenang sikap Sian Lun kepadanya.

Yo Han merasa kasihan kepada gadis itu. “Li-moi, engkau jangan khawatir, aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan dia.”

Sepasang mata itu terbelalak. “Apa maksudmu? Untuk apa bersusah payah memikirkan dia? Dia sama sekali tidak minta dibebaskan... hemm, aku hanya ingin menghajarnya, membunuhnya!”

“Li-moi, tenang dan bersabarlah. Ada sesuatu yang aneh dengan sikap suheng-mu itu. Kalau biasanya ia berwatak baik, maka sikapnya sekarang ini tidak wajar. Aku menduga bahwa ia tentu berada di bawah pengaruh sihir. Ingat, para pendeta Lama, orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Nepal adalah ahli-ahli sihir yang pandai.”

Sian Li termenung dan menundukkan kepalanya. Ia pun sudah menduga akan hal itu, akan tetapi bagaimana pun hatinya tetap merasa panas dan tidak senang melihat sikap Sian Lun yang demikian akrab dan mesra terhadap tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu. Wajahnya menjadi semakin merah karena sekarang ia teringat akan ucapan Cu Ki Bok bahwa sikapnya itu bisa disangka orang sebagai tanda bahwa ia cemburu. Cemburukah ia terhadap Pek-lian Sam-li yang demikian mesra dengan Sian Lun?

Bagaimana pun juga, tentu saja dia merasa tidak enak. Sian Lun sudah dianggapnya sebagai suheng-nya yang baik dan setia, bahkan dia tahu bahwa suheng-nya itu jatuh cinta kepadanya. Baik ia membalas cinta itu ataukah tidak, tetap saja hatinya tidak enak sekali melihat betapa suheng-nya menjadi kekasih tiga orang Pek-lian-kauw dan sudah mengkhianatinya.

“Ingatlah, Li-moi, engkau tadi menceritakan bahwa engkau juga terkena pengaruh sihir pangeran Nepal itu dan untung ada Cu Ki Bok yang menolongmu. Nah, kuat dugaanku bahwa demikian pula halnya suheng-mu itu. Karena pengaruh sihir, dia mau melakukan apa saja. Kita lihat saja nanti kalau dia sudah sadar dan tidak lagi terpengaruh oleh sihir mereka.”

“Kapankah penyerbuan itu akan terjadi?” tanya Sian Li yang mulai ragu-ragu tentang keadaan suheng-nya, meski pun ia yakin bahwa setelah melihat sikap Sian Lun, kiranya tidak akan mungkin lagi baginya untuk membalas cinta pemuda itu.

“Menurut perhitungan, malam ini mereka akan datang untuk mengepung dan menyerbu tempat ini. Kita harus membantu dari dalam untuk membebaskan suheng-mu dari cengkeraman mereka, baru melarikan diri keluar ketika penyerbuan terjadi.”

Mereka menghentikan percakapan ketika nampak Cu Ki Bok datang menghampiri ke arah mereka. “Dia orang baik Han-ko. Kurasa hanya dialah yang mempunyai landasan bersih dalam perjuangan melawan orang-orang Mancu.”

“Akan tetapi bukankah dia murid Lulung Lama?”

“Benar, akan tetapi dia mengatakan bahwa andai kata aku tidak mau bekerja sama dengan mereka, dia tetap akan mencarikan jalan agar aku dapat lolos dari tempat ini.”

“Hemm, agaknya dia cinta padamu, Li-moi.”

Sian Li mengerutkan alisnya. “Entahlah, akan tetapi aku yakin bahwa dia orang baik.” Percakapan terpaksa dihentikan dulu karena Ki Bok yang berjalan santai menghampiri mereka telah tiba di situ. Dia tersenyum ramah.

“Bagaimana, Yo-toako. Sudah yakinkah engkau sekarang bahwa kami tak menganggap adikmu sebagai tawanan melainkan sebagai tamu?”

Yo Han bangkit berdiri dan memandang marah. “Biar pun diperlakukan dengan baik dan dianggap sebagai tamu, tetap saja adikku ini adalah tamu yang dipaksa dan ditahan di sini. Aku menuntut agar adikku dibebaskan sekarang juga dan ikut dengan aku pergi. Kalau tidak, terpaksa aku akan tinggal di sini menemaninya!”

Melihat sikap ini, Ki Bok lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan suara perlahan. “Yo-toako, apakah adikmu belum menceritakan semuanya? Sebaiknya engkau jangan membuat keributan karena kalau terjadi hal itu, aku sendiri takkan dapat melindungimu. Ketahuilah bahwa perkumpulan kami adalah pejuang-pejuang yang gigih dan kalau ada yang menentang akan dibunuh. Suhu sedang mengharapkan agar Sian Li suka bekerja sama membantu perjuangan, demikian pula Sin-ciang Taihiap. Andai kata Sian Li tidak mau pun, tak perlu menggunakan kekerasan dan percayalah, aku yang akan menjamin bahwa Sian Li akan dapat lolos dari sini dengan selamat.”

Yo Han memandang penuh selidik. “Hemm, engkau adalah seorang tokoh di sini, bagai mana engkau hendak melindungi Li-moi? Apa maksudmu melindunginya mati-matian? Tanpa sebab yang jelas bagaimana kami berdua dapat mempercayaimu?”

“Han-ko, aku percaya padanya. Dia sudah membuktikannya!” kata Sian Li yang merasa tidak enak terhadap Ki Bok.

“Justru perlindungannya itu patut dicurigai, Li-moi. Bukankah dia ini seorang di antara mereka yang memusuhi engkau dan suheng-mu? Tanpa alasan yang kuat, bagaimana mungkin dia melindungimu tanpa pamrih yang buruk?”

Mendengar ucapan Yo Han itu, Ki Bok segera berkata dengan terus terang, “Baiklah, Yo-toako, aku membuat pengakuan. Aku bersedia melakukan apa pun untuk Sian Li dengan taruhan nyawaku karena aku jatuh cinta padanya.”

“Ki Bok...!” Sian Li berseru kaget dan memandang wajah pemuda peranakan Tibet itu.

Tadinya ia hanya menganggap Ki Bok seorang yang baik sekali kepadanya, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya. Dan kini pemuda itu membuat pengakuan sedemikian jujurnya di depan Yo Han!

Cu Ki Bok menghela napas panjang sambil memandang kepada gadis itu. “Maafkan aku, Sian Li. Terpaksa aku harus berterus terang. Aku merasa kagum dan jatuh cinta padamu, dan tak peduli apakah engkau akan membalas cintaku, tak peduli apakah akan menerima atau menolak ajakan kerja sama, tetap saja aku harus membebaskan dirimu. Karena itulah, kuharap kalian berdua bersabar dan tidak membuat keributan. Aku akan mencarikan kesempatan sebaik dan seamannya untuk kalian.”

Yo Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku akan tinggal di sini menemani Li-moi, harap saudara Cu Ki Bok menyampaikan kepada pimpinan di sini.”

“Baik, Yo-toako, aku akan melaporkan kepada Suhu,” berkata Ki Bok yang segera pergi meninggalkan mereka.

Ketika melihat para penjaga mendekat, dia berbisik kepada mereka agar melakukan penjagaan yang ketat, dan juga memberi tahu bahwa Yo Han adalah kakak misan Sian Li yang tinggal di situ pula untuk menemani adiknya.

Di pondok itu memang terdapat dua buah kamar, maka Yo Han dapat menempati kamar yang ke dua. Akan tetapi setelah Ki Bok pergi, Yo Han dan Sian Li yang sejak tadi diam termenung, masih bercakap-cakap di ruangan depan.

“Kiranya dia jatuh cinta padamu, Li-moi,” kata Yo Han melihat gadis itu termenung saja.

Sian Li menarik napas panjang. “Sungguh sama sekali tidak pernah aku memikirkan hal itu, tak pernah menduganya. Begitu beraninya mengaku cinta!” Wajah gadis itu berubah kemerahan.

“Jangan marah kepadanya, Li-moi. Aku bahkan kagum, karena ia seorang laki-laki yang jantan, gagah dan jujur. Sekarang yang terpenting kita harus mencari di mana adanya suheng-mu. Aku ingin bertemu dengannya dan kalau mungkin akan kusadarkan dia dari pengaruh sihir.”

“Bagaimana jika dia tidak terpengaruh sihir, melainkan kalau dia memang menyeleweng dan tersesat, Han-ko? Menurut keterangan Ki Bok, Suheng memang telah terpikat oleh Pek-lian Sam-li.” Di dalam suara gadis itu masih terkandung kemarahan terhadap Sian Lun.

“Kalau memang demikian, aku akan berusaha untuk menyadarkan dan mengingatkan dia agar kembali ke jalan benar. Bagaimana pun juga dia adalah suheng-mu dan perlu diingatkan kalau dia tergoda, Li-moi.”

“Terserah kepadamu, Han-ko. Namun, kita harus berhati-hati sekali karena biar pun aku kelihatan bebas, tetapi setiap gerak-gerikku diamati dan sedikit saja mereka itu curiga, tentu mereka akan langsung mengepung dan mengeroyok kita. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Han-ko, karena kalau mereka tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Taihiap, tentu mereka takkan memberi ampun. Engkau telah membunuh Dobhin Lama.”

Yo Han menggeleng kepala. “Aku tidak membunuhnya. Ketika kami bertanding, biar pun aku dapat mematahkan tongkatnya, akan tetapi aku tidak melukainya. Dia tewas karena usianya yang sudah tua, dan agaknya ia telah terlalu memaksa diri sehingga kehabisan tenaga. Tentu aku akan berlaku hati-hati sekali untuk menyelidiki suheng-mu. Sebaiknya engkau gambarkan keadaan perkampungan ini dan di mana aku dapat mencari Sian Lun.”

Mereka berbisik-bisik dan Sian Li memberi gambaran tentang perkampungan di situ. Setelah mendapat keterangan jelas, mereka lalu memasuki pondok...























Terima kasih telah membaca Serial ini






No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12