Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Bangau Merah
Jilid 10
Seperti Yo
Han, sekarang ia pun memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok
itu. Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa,
namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua
puluh tujuh tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan
alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan
bersinar tajam.
Pemuda itu
kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi
mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat dua tangan di
depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian
Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo
Han dengan setengah hati.
"Harap
Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar.
Hendaknya Jiwi ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang-orang jahat, maka
ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Jika boleh kami mengetahui,
siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"
Selain
suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur,
tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera
merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li
telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita, setengah tua itu
tidak bersalah, apa lagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya
membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.
"Kamilah
yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan.
"Kami sudah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di
hati, tetapi karena keinginan tahu siapa penghuni rumah di tempat yang sunyi
ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."
Pemuda
tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah. "Namaku Gak Ciang Hun,
dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan lalu kami memilih tempat ini sebagai
tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian,
namun siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami bertemu dengan
orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biar pun kami berhasil mengusir
mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap
orang asing."
"Apakah
orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau
pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.
Gak Ciang
Hun memandang pada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia
memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa terpesona dan sangat
kagum. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi sudah mampu menyambut
dua kali pukulan ibunya. Selain itu, ternyata gadis itu juga amat cantik jelita
dan nampaknya cerdik bukan main.
"Nona,
bagaimana Nona dapat mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para
pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"
"Tentu
saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang
sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku
tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sinkang dan
Swat-im Sinkang dari keluarga pendekar Pulau Es."
Wanita itu
mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat
mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang pada
gadis itu.
"Hemm,
bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"
Sian Li
sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani sekali. Dia tersenyum
mengejek. "Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, mengapa main
bentak saja? Kalau seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi
menjawab. Nah, kau mau apa?"
Sebelum
ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata,
"Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibuku menjadi
pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua
merasa amat terkejut dan heran sekali mendengar bahwa Nona mengenali ilmu-ilmu
dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari
ilmu-ilmu Pulau Es?"
Sian Li
tersenyum. "Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sinkang,
lalu tamparan kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang. Namun setahuku, para
murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul
saja."
Mendengar
ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat. "Jika begitu, Nona adalah murid
keluarga pendekar Pulau Es?"
"Katakan
lebih dahulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan
menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap ‘jual mahal’ untuk
melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh
ibu pemuda itu.
"Nona
Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es ini dari
mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.
"Siapa
nama mendiang kakekmu itu?"
"Mendiang
kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."
Sekarang
Sian Li terbelalak. "Aihh...? Bukankah Locianpwe itu yang bernama Gak Bun
Beng?"
Ia teringat
akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para
pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi
ilmu-ilmu dari Pulau Es.
"Benar,
Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga sudah meninggal dunia pula
kurang lebih setahun yang lalu. Setelah Ayah meninggal, Ibu tak betah lagi
tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai
ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."
Kini Sian Li
tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat
kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun
galak itu. "Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi
bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup
dekat..."
"Hemm,
cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan.
"Engkau sudah mengetahui siapa adanya kami, akan tetapi kami belum tahu
siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."
"Bibi,
aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku
yang bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku
pun diambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng
Liong."
Wanita itu
membelalakkan matanya. Wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri.
"Ahhh... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar besar
Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua
tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada hubungan yang dekat. Maafkan
sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan
pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat di kaki bukit, melainkan
sejak kedua pamanmu meninggal dunia..."
Sian Li
sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan
menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat
Kong, putera Gak Bun Beng.
"Sudahlah
Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan lagi. Kita semua pun akan
mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan
perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh
sengketa ini. Bila Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya malah hanya akan
mengganggu kesehatan sendiri."
"Bukan
main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan
mata yang bersinar-sinar. "Masih begini muda tetapi telah memiliki
pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini?
Apakah juga murid atau anggota keluarga Pulau Es?"
"Ciang
Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak
bicara di pekarangan saja? Anak-anak baik, marilah kita bicara di dalam pondok.
Silakan masuk!" kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan
mereka pun memasuki pondok.
Siapakah ibu
dan anak itu? Nyonya itu dulu bernama Souw Hui Lian, yaitu murid dari sepasang
pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada
dua orang gurunya, dan demikian pula sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua
orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri
dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak Ciang
Hun.
Sepasang
Pendekar Gak yang berjulukan Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari
Beng-san) itu merupakan putera tunggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang
pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti
dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai.
Pada akhir
hayatnya, Bu Beng Lokai masih sempat mengoperkan tenaga sakti Hui-yang Sinkang
dan Swat-im Sinkang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah menjadi
seorang pemuda perkasa berusia dua puluh tujuh tahun dan belum menikah.
Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar
itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak
betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat,
dan akhirnya memilih bukit itu sebagai tempat tinggal.
Mereka
sekarang duduk di dalam pondok, di mana terdapat bangku-bangku batu buatan
Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.
"Nah,
sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo,
tentu bukan keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"
Yo Han
menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini pun maklum akan
perasaan hati Yo Han. "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan
orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita
dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."
Mendengar
ucapan Sian Li itu, Yo Han lalu mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar
bertopeng atau yang selalu menyembunyikan wajahnya dan disebut Sin-ciang
Taihiap, bukan karena dia sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah
perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya,
Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam.
Karena
bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya
menentang kejahatan membuat nama Sin-ciang Taihiap terkenal. Bila mustika itu
sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang
Taihiap pun akan lenyap bersama dia.
Terhadap
orang-orang golongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasia dirinya
itu, apa lagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai,
juga banyak jumlahnya dan mungkin pula mereka akan melakukan kecurangan. Dia
tak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat.
Jika ada dua orang ibu dan anak yang juga berkepandaian tinggi ini bisa saling
bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.
"Bibi
dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak memiliki hubungan sama
sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan
tetapi di saat saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orang tua Adik Tan
Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku
sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara
saja." Yo Han berhenti, tidak tahu harus menceritakan apa lagi. Melihat
ini, Sian Li lalu membantunya.
"Kakak
Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan
diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami
saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun
kemudian, kita saling bertemu lagi di tempat ini! Bukankah hal itu amat
mengherankan dan membawa kebahagiaan?”
Souw Hui
Lian mengangguk-angguk. "Memang sungguh mengherankan sekali. Kalian yang
keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini?
Tentu menarik sekali ceritanya!"
"Nanti
dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan lebih dahulu siapa gurunya
kalau bukan keluarga Pulau Es," kata Ciang Hun.
"Ahh,
guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak
dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...," kata Yo Han merendah.
Sikap ini
membuat Sian Li mengerutkan alisnya. "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum
lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah
mendengar nama Sin-ciang Taihiap, bukan? Ataukah belum pernah?"
"Pendekar
yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang
menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, tapi
tidak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena dia selalu menyembunyikan
mukanya dibalik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.
"Nah,
inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo
Han.
Pemuda ini
mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. "Saya tak sengaja
menggunakan nama julukan seperti itu...," katanya. “Saya mohon setelah
mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, Jiwi akan menyimpannya sebagai
rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciang Taihiap."
Ibu dan anak
itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu
memiliki kesaktian yang luar biasa, dan sekarang orangnya berada di depan
mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li
yang memberi tahu, tentu mereka tidak akan percaya.
Ciang Hun
cepat-cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han. "Ah, kiranya kami
berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku,
Taihiap!"
Yo Han cepat
membalas. "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi
(Kalian Berdua) menghendaki bersahabat dengan saya."
"Gak-toako,
bersikaplah biasa saja. Biar pun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi,
namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan
dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biar pun
dia penentang kejahatan yang gigih, tapi dia tidak suka akan kekerasan. Apa
lagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"
"Ihh,
Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han.
Ibu dan anak
itu memandang penuh kagum.
"Sekarang,
ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian bisa
saling berjumpa di tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.
"Bibi,
aku sedang bersama seorang Suheng-ku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama
Sian Lun..."
"Ahhh,
kakakmu?" tanya Ciang Hun.
"Bukan,
Toako, meski pun namanya mirip dengan namaku. Dia bernama Liem Sian Lun dan
menjadi suheng-ku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga
Dewi pergi ke Bhutan."
"Aku
tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyonya Gak.
"Nenek
Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti
Dewi," Sian Li menjelaskan.
"Aihhh...!
Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suheng-mu itu?"
"Inilah
persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari
Bhutan hendak kembali ketimur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang
Nepal, orang-orang Hek-I Lama dan para anggota pengemis tongkat hitam. Kami
lalu bentrok dengan mereka sehingga Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciang
Taihiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka
tawan."
"Wah,
wah! Kalau begitu kita harus cepat menolong suheng-mu itu! Kita harus segera
membebaskannya dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini,
diam-diam Yo Han merasa gembira dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda
yang gagah berani.
"Benar,
kita harus cepat membebaskan suheng-mu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.
"Itulah
persoalannya, Bibi," kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah
mereka amat banyak, merupakan persekutuan, lagi pula di antara para pimpinan
Hek-I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."
Mendengar
suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia makin yakin bahwa
gadis yang ketika kecil diasuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh
cinta kepada suheng-nya sendiri.
"Li-moi,
jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan
suheng-mu, " katanya dengan nada suara penuh keyakinan.
"Kebetulan
kita bisa saling berjumpa di sini," berkata pula Nyonya Gak. "Mari
kita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka untuk
membebaskan suheng-mu itu, Sian Li."
"Terima
kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Tetapi, Ketua Hek-I Lama sudah
menantang Sin-ciang Taihiap untuk mengadu ilmu di puncak bukit ini, dengan
taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan membebaskan Suheng-ku dan menyerahkan
mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sin-ciang Taihiap kalah, dia
harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."
"Ahh,
jadi mereka akan datang ke puncak ini?" tanya Ciang Hun.
"Benar,
Toako, Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian. Tentu saja
kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua
Hek-I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap."
"Kapan
pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.
"Hari
ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan di sini, jangan
sampai kami terjebak dan terkepung."
Nyonya Gak
bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap
semua bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya. Bagai seorang pemimpin
mengatur siasat, dia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri
dan siap siaga.
"Ciang
Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan siapkan tangga tali yang
kita buat itu di tepi jurang! Kau tahu apa yang harus kau lakukan!"
"Baik,
Ibu!" kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah
keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.
"Kita
harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga
mempersiapkan diri supaya dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun telah membuat
persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri kalau ada
bahaya," wanita gagah itu menerangkan.
"Aihh,
Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan
sekali kalau harus melarikan diri, apa lagi kita sudah saling berjanji bahwa
ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau
menang. Kalau menang, suheng akan dibebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada
Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita
dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah
Mancu."
Wanita itu
terbelalak. "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau
murid-murid pendekar sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang
kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang-orang jahat
dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik
leluhur beserta guru-guru kalian?"
Sian Li
menoleh kepada Yo Han. "Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat
atau taruhan itu."
"Memang
benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya
akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerja
sama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya
mengetahuinya, tentu akan saya tentang kejahatan mereka itu! Dan saya kira,
berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan yang jahat. Karena itulah
saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan supaya saya membantu
perjuangan menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."
Sian Li
tersenyum. "Bagus! Aku pun memang berpendapat demikian juga, maka aku
menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak
perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari, bukan?"
"Hemm,
kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak
cukup berhati-hati, maka suheng-mu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia
kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu
silatnya, akan tetapi juga cerdik dan liciknya bukan main, penuh tipu muslihat
dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam begini, tidak dapat kalian hadapi
hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat
pula."
"Akan
tetapi, Bibi, bukankah pendapat tadi bertentangan dengan kehormatan seorang
pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan?
Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan
gagah berani dari pada hidup sebagai seekor babi yang menguik-nguik melarikan
diri dengan cara pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati,
tidak akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"
"Memang
benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya kita dengarkan juga pendapat Bibi
Gak yang terhormat ini," kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah
tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.
"Pendapatmu
itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan
diri seperti seekor anjing digebuk atau seekor babi yang hendak disembelih?
Engkau salah sangka, Sian Li. Apa bila bertanding secara jantan dan gagah,
memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah
atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya
menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kau
tandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanyalah merupakan perbuatan
tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan
diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan,
menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat
membedakan kedua hal itu!"
Sian Li
mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia
dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk.
"Ah,
benar sekali pendapat Bibi barusan. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat
sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia
belaka. Baiklah Bibi, terima kasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua
Hek-I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita pun tidak perlu melarikan
diri."
Sian Li
teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh
gerombolan itu dan Yo Han telah terluka. Andai kata mereka gagah-gagahan dan
nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu,
mereka akan mati konyol dan suheng-nya tentu tidak ada yang akan menolongnya
lagi.
Mendadak
Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang. "Ibu, mereka sudah
naik ke puncak!"
"Apa
yang kau lihat?" tanya nyonya itu.
"Ada
dua orang pendeta berjubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui
jalan depan."
"Hanya
itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"
"Dari
jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang lain naik secara sembunyi dan
menyusup-nyusup."
"Jahanam!"
Sian Li mengepal tinju. "Ternyata mereka memang hendak main curang!"
Nyonya Gak
bersikap tenang. "Sudah kuduga demikian. Ingat, jika nanti mereka mulai
memperlihatkan kecurangan, akan mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus
lari ke belakang pondok, lurus saja maka kalian akan tiba di tepi jurang. Di
sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa
dapat dikejar musuh. Sekarang biarlah Sin-ciang Taihiap yang keluar menandingi
Ketua Hek-I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apa
bila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dulu dalam pondok untuk membuat
mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul mendadak nanti. Yo Han, kau sambut
mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara
menggelap."
Yo Han dan
Sian Li kagum sekali. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang telah
berpengalaman. Bersikap tenang dan bisa mengatur segalanya dengan teliti dan
tegas.
Sementara
itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan
dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh
kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi
membuat mereka hampir tak bisa percaya. Inilah Sin-ciang Taihiap yang namanya
telah menggetarkan daerah perbatasan itu!
Yang datang
menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu
tongkatnya, Lulung Lama, beserta Cu Ki Bok. Meski pun Dobhin Lama berjalan
dibantu tongkatnya yang panjang, akan tetapi ternyata mereka bertiga dapat tiba
di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang,
Yo Han yang sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap berdiri di tengah
pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.
Meski dia
telah menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang
selalu sopan dan menghormati orang lain. Apa lagi yang muncul di hadapannya
adalah Ketua Hek-I Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua.
Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, memberi hormat dan membungkuk.
"Selamat
datang, Jiwi Locianpwe." Yo Han hanya memberi hormat kepada dua orang
pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang
angkuh!
Pemuda itu
memandang kearah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa
pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah
Sin-ciang Taihiap!
Lulung Lama
yang memegang dua buah gelang atau roda besar bersirip dengan tangan kirinya,
tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suheng-nya bicara.
"Ha-ha-ha!
Omitohud, selain lihai ilmu silatnya, kiranya Sin-ciang Taihiap juga mengenal
aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau kelak dapat bekerja
sama denganmu!"
"Nanti
saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara mengenai
tantangan Ketua Hek-I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran
kepada saya?" Dia menatap kearah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu.
Kakek yang
tinggi kurus dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah,
akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa di antara mereka semua, Ketua Hek-I Lama
inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding
melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan
muridnya itu.
Pandang mata
Sin-ciang Taihiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan
betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun
kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu
ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andai kata dia tidak kalah
sekali pun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu,
maka dia diam saja menanti perintah suheng-nya.
Dobhin Lama
yang telah tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang
Taihiap. Sebetulnya tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia
menyetujui pertandingan itu, bahkan sudah memesan agar sute-nya itu jangan
melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang
Taihiap.
Kini ia
telah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah
bertahun-tahun Dobhin Lama tidak pernah menemukan lawan yang dianggapnya cukup
tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun
tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan
orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa
gembira serta timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang
tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.
"Omitohud...!"
Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua
pikun yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Taihiap. Nah,
majulah dan mari kita main-main sebentar."
Yo Han
melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjang itu. Dia pun memberi hormat.
"Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat
menerima pelajaran darimu. Tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu
janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini,
Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan juga menyerahkan kembali mutiara
hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."
"Heh-heh,
tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"
"Sesuai
dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuangan menentang penjajah
Mancu!"
"Bagus!
Janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan dipercaya. Sekarang
majulah, Sin-ciang Taihiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah
kepandaianmu sama tingginya dengan nama besarmu."
Kakek itu
berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di
depan dahi, lengan kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak.
Yo Han tidak
berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok
bahwa tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang sangat berbahaya karena
kekuatan sihir mereka. Dalam hal ilmu silat, tokoh-tokoh persilatan Tibet hanya
mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, sedangkan mengenai
gerakan silatnya, tidak seberapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah
ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan mengandalkan sinkang
yang diperkuat oleh ilmu sihir, maka gerakan itu menjadi amat kuat dan
berbahaya sekali.
Oleh karena
itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari
ilmu Bu-kek Hoat-keng, yaitu ilmu sakti yang menjadi andalan mendiang gurunya.
Sesuai dengan wataknya, Yo Han tidak pernah mau mempergunakan senjata dari
baja, karena dia sama sekali tidak mau melukai orang, bahkan dia pantang
membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya.
Namun,
dengan menguasai Bu-kek Hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan segala macam
senjata lagi. Tenaga sinkang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya,
terutama kedua lengannya, menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang
bagai mana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini hanya pada bagian tubuh di mana
dia menyalurkan sinkang-nya. Bagian yang tidak dilindungi sinkang yang dia
salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, tetapi
akibat lindungan tenaga sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.
"Locianpwe,
saya sudah siap," katanya.
Dia pun
berdiri dengan sikap tenang. Kedua kaki terpentang dan tubuhnya agak miring
menghadapi lawan, kedua tangan dirangkap seperti menyembah di depan dada
kirinya. Inilah jurus yang oleh gurunya dinamakan jurus ‘Menyembah Tuhan dengan
Hati Tulus’.
"Sin-ciang
Taihiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"
Yo Han
menggeleng kepala. "Locianpwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang.
Saya tak ingin membunuh siapa pun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah
melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap dan sempurna. Saya sudah siap, silakan
Locianpwe."
"Omitohud,
engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang terlalu tinggi hati? Nah,
pinceng telah mendengar ucapanmu. Sambut serangan pinceng ini!"
Kakek
berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah
ketiak, maka terdengarlah sambaran angin yang berdengung bagaikan ada ratusan
ekor kumbang terbang menyerang!
Yo Han telah
menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dan kekuatan sihir untuk
menyerangnya, maka dia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika
kakinya digeser, maka sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin
pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat dan mengandung hawa panas.
Dia harus
menghormati lawannya yang sudah tua, yang lebih pantas menjadi kakeknya. Karena
itu, Yo Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa
membalas. Serangan itu datang bertubi-tubi, makin lama semakin kuat dan
berbahaya sekali.
Akan tetapi,
Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran
tongkat yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa
pukulan tongkat itu sedemikian kuatnya, membuat rambutnya yang panjang itu
berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu diterbangkan! Dengan
terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai terbuka
dan dapat memperlihatkan mukanya.
Setelah tiga
kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan
alisnya yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani
memandang rendah padanya sehingga hanya mengalah saja, tidak membalas?
"Sin-ciang
Taihiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang
lawan yang terlalu lemah bagimu?"
"Sama
sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu
saya lakukan untuk menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua
dari pada saya. Sekarang saya akan membalas, Locianpwe."
"Bagus!
Nah, sambutlah ini!"
Kakek itu
kembali menyerang. Tongkatnya membuat gerakan berputar dengan ujungnya
membentuk lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu tiba-tiba
ujung itu meluncur kearah dada Yo Han!
Sekali ini
Yo Han tidak mengelak, melainkan mempergunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk
memutar lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat ke arah dadanya itu. Ilmu
ini adalah ilmu kesaktian yang amat hebat. Salah satu di antara keampuhannya
adalah hadirnya tenaga mukjijat yang menolak semua hawa kebencian yang datang
dari lawan, terkandung dalam serangan lawan. Betapa kuat dan tinggi pun ilmu
lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati membenci, maka serangannya
itu akan membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!
"Plakkk!"
Tangkisan
yang disertai tenaga sinkang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu
membalik dan menyerang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak
ada kebencian terkandung di dalam serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan
kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang, dan Dobhin Lama juga
terdorong ke belakang beberapa langkah!
Keduanya
saling pandang dengan rasa kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorang
muda yang mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga
pendeta itu merupakan lawan paling tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan
tidak ada kebencian di hatinya! Diam-diam dia merasa girang dan dia pun
mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi
lawannya yang hebat itu.
Pertandingan
itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi di
pekarangan itu bergetar, daun-daun pohon yang berada di dekat situ rontok.
Lulung Lama
dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata terbelalak dan penuh kagum.
Mereka merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Taihiap,
karena kalau hal itu terjadi, mereka pasti kalah. Apa lagi Cu Ki Bok, bahkan
gurunya, Lulung Lama, setelah menyaksikan pertandingan itu, maklum bahwa dia
tidak akan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu.
Makin lama,
kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga
kagum bukan main. Walau pun lawannya sudah tua sekali, tetapi semua serangan
balasannya bagai membentur tembok baja yang amat kuat, yang sukar sekali ditembus.
Mereka
saling serang dan saling desak, tapi tidak pernah dapat membobolkan benteng
pertahanan lawan sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih sudah
terlewat! Dan selama itu, keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, karena siapa
yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka mainkan tidak
mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka sekarang tidak lagi
mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sinkang.
Akhirnya,
keadaan usia menguntungkan Yo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya
kini sudah mandi keringat dan napasnya mulai terengah saking kehabisan tenaga.
Bahkan dari kepala yang tidak berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak
tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas sekali.
Maklum bahwa
dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu
mengeluarkan jurusnya yang terhebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia
mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkatnya menyambar dari atas ke arah kepala
Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa.
Melihat ini,
Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya,
mendorong ke atas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.
"Brakkkk...!"
Yo Han
terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong!
Kakek itu nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan
tongkatnya ke atas tanah.
"Omitohud...
pinceng mengaku kalah...!" Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata
kepada Lulung Lama. "Sute... bebaskan pemuda itu..."
Dia
mengeluarkan sebuah kalung dari saku jubahnya, kalung dengan mainan sebuah
mutiara hitam dan melemparkan benda itu kepada Yo Han. "Nah, terimalah
mutiara hitam ini!"
Yo Han menerima
sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat. Hatinya merasa terharu
dan juga kagum sekali. "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe sudah mengalah
dan menepati janji."
Lulung Lama
bertepuk tangan. Dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua
orang pendeta Lama jubah hitam. Sian Lun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia
dibimbing oleh dua orang pendeta itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun
sehingga pemuda ini roboh tertelungkup.
Dari dalam
pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan sudah berada di dekat Yo
Han. Melihat munculnya sumoi-nya, Sian Lun berkata lirih, "Sumoi,
tolonglah aku..."
Sian Li
menghampiri Sian Lun, lalu berlutut dan meraba pundak suheng-nya itu untuk
memulihkan kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi, pada saat
itu mendadak saja Sian Lun menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di
punggung sumoi-nya! Gerakkannya ini sama sekali tidak terduga oleh Sian Li
sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya, tahu-tahu dia sudah
tertotok dan lemas. Sian Lun sudah merangkul pinggang Sian Li dan membawanya
meloncat ke belakang Lulung Lama dan Cu Ki Bok!
Dari dalam
pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai. Begitu
melihat Sian Li ditangkap oleh suheng-nya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka
tertegun heran. Akan tetapi Nyonya Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.
"Sin-ciang
Taihiap, mereka bertindak curang!" teriak nyonya itu.
Yo Han
memang tertegun dan amat bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah
menangkap sumoi-nya. Akan tetapi, pada saat itu muncullah puluhan orang dari
depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para pendeta Lama jubah hitam yang dibantu
oleh para anggota pengemis tongkat hitam dan beberapa orang Nepal. Nampak pula Badhu
dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan juga muncul tiga orang wanita
cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.
"Lulung
Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!" Yo Han berseru.
Tubuhnya
sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih
bingung dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi,
betapa kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke
belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut pengeroyokan banyak
orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.
"Locianpwe
Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?" teriak Yo
Han penasaran. Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata
itu tidak menjawab, juga tidak bergerak.
Terpaksa Yo
Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan.
Dia tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti
Nyonya Gak dan puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan
beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang
pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga bagaimana pun juga,
tiga orang itu mulai terdesak.
"Mari
kita pergi!" tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han.
Yo Han
maklum bahwa melanjutkan perkelahian juga tidak ada gunanya, bahkan amat
berbahaya. Padahal dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat
menolong Sian Li kemudian. Kalau sekarang dia nekat sekali pun, belum tentu dia
akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian Lun.
Pula, dia
belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu.
Siapa tahu itu merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoi-nya. Yang
penting, dia harus menyelamatkan diri.
"Baik,
Bibi Gak!" katanya dan dia pun membuka jalan dengan berkelebatan di antara
para pengeroyok yang roboh satu demi satu.
Nyonya Gak
dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak ada pengeroyok
berani yang mendekati mereka. Mereka lari ke belakang pondok, dipimpin oleh
Nyonya Gak dan benar seperti keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang
yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya. Nyonya Gak dan puteranya
sudah mengambil tangga-tangga tali dari balik semak belukar dan cepat memasang
tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon di belakang semak di tepi
jurang.
"Mari,
kita lari lewat tangga ini! Yo Han, kau ikutilah aku!" kata Nyonya Gak,
sedangkan Ciang Hun sudah menuruni tangga tali yang lain. Yo Han tidak
mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak menuruni tangga tali
menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu.
Tangga tali
itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah goa
besar. Setelah mereka bertiga tiba di goa, ibu dan anak itu segera menarik
tangga-tangga tali itu dengan sentakan tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung
tangga pada akar pohon terlepas.
"Tidak
ada seorang pun manusia yang mampu menuruni tebing ini tanpa tangga tali,
kecuali kalau dia bisa terbang seperti burung," kata Nyonya Gak.
"Dari goa ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju ke lereng
bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong yang menembus goa
sehingga kecuali kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."
Yo Han duduk
di atas batu dalam goa, termenung. "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan
Sian Li," suaranya mengandung kekhawatiran.
Ciang Hun
berkata dengan suara marah. "Tentu nanti kita akan berusaha sekuat tenaga
untuk menolongnya! Yang amat kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li
bersikap seperti itu? Jelas bahwa dia tadi berpura-pura ketika didorong dan
tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah menotoknya,
kemudian menawannya. Apa artinya ini?"
Nyonya Gak
juga berkata, "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih
hubungan Sian Li dengan suheng-nya dan orang macam apa suheng-nya itu?"
Yo Han
menggeleng kepalanya. "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi.
Pada waktu Li-moi dan suheng-nya itu dikeroyok oleh persekutuan gerombolan itu,
saya menolong mereka, akan tetapi hanya dapat melarikan Li-moi, sedangkan
suheng-nya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau mengingat bahwa
pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya
tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."
Nyonya Gak
mengerutkan alisnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda
itu. Para pendeta Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu
sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di bawah pengaruh sihir."
"Bagaimana
pun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama
adik Tan Sian Li, Bibi."
"Yo
Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang mempunyai
kepandaian tinggi. Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil
mengalahkan Ketua Hek-I Lama," kata Ciang Hun dengan kagum. "Akan
tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimana pun juga, kepandaianmu ada batasnya.
Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak
itu? Ibu dan aku akan membantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, namun kita
harus berhati-hati dan menggunakan siasat yang baik."
"Benar
ucapan anakku, Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus
menggunakan siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya takkan berhasil menolong
Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah tertawan atau tewas konyol," kata
Nyonya Gak.
"Saya
akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan
kini menjadi orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin
mereka akan suka membantu saya," kata Yo Han.
Ibu dan anak
itu memandang kagum. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang
Taihiap yang tidak pernah membunuh para penjahat, melainkan menalukkan mereka
dan menasehati, dengan cara kasar mau pun halus berhasil membuat banyak
penjahat mengambil jalan hidup yang sama sekali berubah, dari jalan sesat ke
jalan yang benar. Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum
meninggalkan goa itu melalui sebuah terowongan pendek di bawah tanah yang sudah
dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng bukit melalui
pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa...
Apakah yang
terjadi dengan diri Sian Lun? Mengapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap
seperti itu, berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara
para anak buah gerombolan?
Liem Sian
Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw
ini adalah tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul. Pek-lian Sam-li
sudah terkenal sebagai tiga kakak beradik yang genit, mata keranjang dan mesum.
Setiap kali bertemu dengan pria yang tampan, mereka tidak pernah melewatkan
kesempatan untuk merayunya, bahkan kalau pria itu menolak, mereka akan
memaksanya.
Selain ilmu
silat mereka lihai sekali, mereka juga pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga
dengan berbagai cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka.
Ketika mereka berhasil menawan Liem Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah
mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apa lagi mengingat bahwa
pemuda itu adalah murid Pulau Es!
Mereka akan
mendapat banyak sekali keuntungan jika berhasil menguasai pemuda ini. Pertama,
pemuda ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen,
tampan dan bertubuh kuat. Ke dua, dengan menundukkan pemuda itu, berarti mereka
dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka terhadap musuh-musuh besar
Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es sebab pemuda itu merupakan murid
Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para
pendeta Lama jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki
kepandaian silat tinggi seperti pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun,
tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula.
Sian Lun
pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Sejak dewasa, sudah
sering kali dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan birahinya. Dia
pun sudah sering kali memandang kepada sumoi-nya, Tan Sian Li, dengan pandang
mata penuh gairah birahi.
Apa lagi
setelah ia mendengar percakapan suhu dan subo-nya, yang ingin menjodohkan dia
dengan Sian Li, sering kali ia membayangkan betapa senangnya bila ia bermesraan
dengan sumoi-nya yang cantik itu sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada
Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam dalam cinta. Bahkan
sering kali terbawa dalam mimpi.
Ketika
mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja ia tidak merasa takut kepada
sumoi-nya yang dalam hal kepandaian silat jauh lebih tangguh darinya, tentu
sudah dia nyatakan perasaan hatinya itu dengan perbuatan. Terasa amat menyiksa
baginya, bagai seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa boleh memakannya,
atau seorang yang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya.
Berkobarnya
nafsu birahi yang sering kali menggodanya itu masih dapat dilawannya dengan dua
keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar, dan
kedua menuruti nafsunya itu tentu dia akan celaka karena sumoi-nya yang cantik
itu amat galak dan lihai!
Nafsu
birahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang
wajar, bahkan terbawa sejak lahir, merupakan alat bagi manusia untuk hidup di
dunia. Nafsu birahi merupakan sesuatu yang amat penting, bahkan mutlak sebagai
pendorong agar manusia tidak akan musnah, agar dapat berkembang biak.
Segala macam
ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu seperti ini, yaitu
nafsu yang mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan
dari persatuan ini terciptalah manusia atau makhluk sejenis yang baru, yang
dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan buah bagi tumbuh-tumbuhan.
Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan baru.
Tuhan Maha
Kasih! Di dalam nafsu birahi ini, disertakan rasa nikmat sehingga semua makhluk
termasuk manusia terdorong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan
di dalam rasa nikmat inilah setan menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat
oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia menjadi lupa diri.
Karena
mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, tapi
terjadi kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi
majikan dari pada nafsu birahi, malah nafsu birahi yang menjadi majikan dan
manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Kalau sudah begini, terjadilah
perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain
atau bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri.
Semua agama
serta filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang
diwahyukan oleh Tuhan, semua bertujuan untuk mengingatkan manusia supaya sadar
akan bahayanya pengaruh nafsu sendiri di dalam diri. Namun, jarang ada orang
yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan akal pikiran kita pun
sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apa pun yang klta lakukan, di situ pasti
terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam
kehidupan ini, kalau kita melihat dan meneliti keadaan diri kita sendiri.
Betapa
banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui
dan mengerti benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita
tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita tahu benar bahwa amarah itu tidak benar
dan tidak baik, akan tetapi sekali kemarahan muncul, kita tidak berdaya untuk
mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita.
Demikian pula
dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, pada makanan,
kepada orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar
nafsu, yang menjadi pemikat bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk
mengubahnya.
Nafsu merupakan
pembawaan yang diikut sertakan saat kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang
teramat penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tak akan dapat
hidup seperti manusia yang wajar. Akan tetapi, di samping kepentingannya yang
mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan,
yang akan menjauhkan kita dari kewajiban utama sebagai manusia, yaitu mendekati
Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini.
Nafsu
penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah
sejak jaman pra sejarah, manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu
manusia sudah berusaha untuk menaklukkan nafsu, mengekang dan mengendalikan
nafsu. Ada yang dengan cara bertapa, menjauhkan diri dari dunia ramai, ada yang
dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi.
Tetapi,
semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran. Maka terjadilah pertentangan
sendiri di dalam batin, tarik menarik antara keinginan untuk bersenang-senang
menuruti gejolak nafsu, dan keinginan menolak gejolak nafsu karena sadar akan
akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan.
Jelaslah
bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal
pikiran yang sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan untuk mengejar kesenangan
dan keinginan menjauhi kesusahan yang timbul karena pengejaran itu! Dan
pertempuran ini tiada habisnya selama kita hidup. Kadang nafsu yang menang dan
berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, bagai api di
dalam sekam yang tiap waktu akan dapat berkobar lagi.
Lalu apa
yang dapat kita lakukan? Kita tak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena
‘kita’ inilah nafsu itu sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah
bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan, pada dasarnya hanyalah
untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada yang
kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan
buatan nafsu.
Setan memang
amat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya
untuk menggoda kita. Bila kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran
saja, tidak akan mungkin kita mampu mengalahkan setan! Jalan satu-satunya
hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan saja yang
akan dapat menundukkan segala yang ada. yang nampak dan yang tidak nampak oleh
mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh
Tuhan!
Jalan
satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah
tanpa syarat, menyerah dengan total dan mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal
dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh
batin kita. Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat mengembalikan nafsu
dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu
kehidupan manusia di dunia dan tak lagi menjadi majikan yang kejam, tak lagi
menjadi pemikat dan pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan.
Menyerah tanpa
syarat, bukan ‘menyerah demi untuk memperoleh sesuatu’, karena jika demikian
halnya, maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu
belaka dan kita akan tetap berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya
rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan tawakal saja!
Sian Lun
yang masih hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik
seperti Pek-lian Sam-li. Apa lagi ketiga orang wanita cabul itu bukan sekedar
merayu biasa. Mereka pun mencampurkan racun pembius dan perangsang ke dalam
minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan masih ditambah lagi dengan
kekuatan sihir mereka!
Sian Lun
jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi
sahabat baik dan rekan pengumbar nafsu birahi dari tiga orang tokoh
Pek-lian-kauw itu, juga membantu dengan ilmu sihirnya, membuat Sian Lun menjadi
kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh. Kalau tadinya
dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan ketiga orang wanita
itu dia berubah menjadi seperti seekor domba jinak!
Dia merasa
seakan-akan dia sudah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan
dan diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat
mencintanya dan memanjakannya hingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian
Li, gadis yang biar pun pernah membuatnya tergila-gila namun yang tak
terjangkau olehnya itu!
Hanya dalam
waktu satu malam, Sian Lun sudah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah,
dan di dalam pelukan tiga orang wanita itu dia bersumpah untuk bekerja sama
dengan mereka, mentaati semua keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat
mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti terbuai dalam kemesraan dan
kenikmatan yang tanpa batas.
Dalam
keadaan seperti inilah, Pangeran Gulam Sing datang mendekati dan menjanjikan
kedudukan tinggi, pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak
berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai suatu cita-cita yang teramat
besar dan mulia.
Demikianlah,
ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, dan diperintah oleh Pek-lian Sam-li
untuk berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoi-nya sendiri, dia
lalu melakukannya dengan suka rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa
untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para pimpinan Hek-I Lama dan
Pangeran Gulam Sing.
Sian Li
tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika secara
tiba-tiba suheng-nya menotoknya. Karena sama sekali tak menyangka bahwa
suheng-nya yang hendak ditolongnya itu malah menotoknya, gadis itu dapat
dirobohkan dengan mudah. Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran sekali
ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian
Lun.
Makin besar
keheranan Sian Li pada saat dia dibawa oleh suheng-nya ke sarang Hek-I Lama!
Dalam perjalanan tadi, saat suheng-nya melarikannya, ia masih diam saja karena
mengira bahwa suheng-nya tentu bermaksud akan menyelamatkannya, mengira bahwa
suheng-nya akan melarikannya ke tempat yang aman. Akan tetapi, alangkah heran
dan kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu gerbang
sarang perkumpulan pendeta Lama jubah hitam itu!
"Suheng,
apa yang kau lakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu
selain melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah tanpa tenaga sehingga
untuk mengeluarkan suara pun tidak dapat keras.
"Kau
diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita," jawab Sian
Lun.
Anehnya,
ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, para pendeta
Lama yang berada di situ hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang
tersenyum atau menyeringai. Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di
situ. Dia langsung saja membawa sumoi-nya ke sebuah kamar dan merebahkan tubuh
gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu.
Sian Li
membelalakkan mata ketika melihat suheng-nya mengambil sehelai tali sutera dan
mulai mengikat pergelangan kaki dan kedua tangannya.
"Suheng,
apa yang kau lakukan ini?" kembali ia bertanya.
Kini
suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga
ia mulai dapat menggerakkan kaki tangan walau pun masih lemah. Namun, ikatan
tali sutera itu kuat bukan main dan ia pun tidak mampu melepaskan diri.
Sian Lun
tidak menjawab, melainkan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin
bahwa ikatan kaki tangan sumoi-nya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya
datar saja, seperti tanpa perasaan. "Sumoi, terpaksa aku mengikat kaki
tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan kebodohan
dan memberontak."
"Suheng,
lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"
Pemuda itu
menundukkan muka, dia tidak berani menentang pandang mata sumoi-nya secara
langsung! Bagaimana pun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa
canggung dan salah tingkah, walau pun di dalam hatinya dia membenarkan
tindakannya ini.
"Sumoi,
tiada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang
penjajah Mancu. Tak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita
gunakan untuk membela negara dan bangsa."
Sian Li
membelalakkan matanya. Kini totokan itu sudah pulih, dan jalan darahnya telah
normal kembali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki
tangannya yang terbelenggu. Dia mencoba mengerahkan tenaga untuk membikin putus
belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia.
Sian Lun
maklum bagaimana harus membuat sumoi-nya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur,
tidak mudah dibikin putus. Andai kata belenggu itu terbuat dari rantai baja
yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li dapat mematahkannya. Akan tetapi
tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan senjata
tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suheng-nya.
Pada saat
itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain
adalah Pek-lian Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui
yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum dan menepuk pundak Sian Lun.
"Bagus,
engkau telah berhasil baik, Sian Lun."
"Tentu
saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku," berkata pula
Ji Hwa yang putih mulus, orang ke dua, dan dengan mesra dia lalu merangkul Sian
Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah dan dengan sikap genit.
"Nih
upah untuk kekasih yang gagah!" kata pula Ji Kim yang termuda, cantik
jelita dan ia pun dengan sikap genit mencium Sian Lun pada bibirnya.
Sian Li
terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga
apa yang kiranya telah terjadi. Suheng-nya telah jatuh ke tangan tiga orang
wanita genit mesum ini. Suheng-nya yang selama ini sebagai murid paman kakeknya
seperti seekor serigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit domba dan
nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.
"Jahanam
busuk! Liem Sian Lun, kiranya kau hanyalah seorang murid murtad, seorang
keparat berhati busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuih,
muak aku melihat mukamu!" Dan Sian Li membuang muka, dia tidak sudi lagi
memandang wajah suheng-nya yang merupakan pria pertama yang hampir menjatuhkan
hatinya.
"Sian
Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!" kata Ji Kui sambil
menggandeng tangan Sian Lun. "Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang
menjinakkannya."
Tiga orang
wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak
meninggalkan kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata sekarang
nampak beberapa orang bertubuh tinggi hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar
pintu kamar.
Sian Li
berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelangan tangan dan kakinya,
namun hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya
akan menghabiskan tenaga, maka ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan
untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung.
Hal yang
amat menyakitkan hatinya yaitu bila ia teringat kepada Sian Lun. Suheng-nya itu
telah menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan
marah sekali. Akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mendengar hal ini? Hanya
ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan, dan untuk itu ia harus dapat
membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana?
Sian Li tak
merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia
pun tahu bahwa gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya,
tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak, mereka tidak akan membunuhnya, dan
yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu mereka, bekerja sama
dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi!
Hanya ada
satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga
orang wanita Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan pada Pangeran Gulam
Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia kalau teringat pada pangeran Nepal itu.
Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah, nampak jantan. Akan
tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan
melihat domba!
Sian Li
menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak.
Membayangkan hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa
cemas saja. Ia masih memiliki kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih
ada Yo Han! Yo Han yang dibantu oleh Nyonya Gak dan juga Gak Ciang Hun.
Mereka
bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh.
Bukankah Bibi Gak telah mengatur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam?
Pula, ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian
sakti masih tidak mampu menandinginya!
Sungguh
mengherankan sekali kenyataan itu. Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat
silat, yang membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang
Taihiap yang demikian saktinya.
Terdengar
suara laki-laki di depan pintu sedang bicara dalam bahasa asing yang tidak
dimengertinya, lalu beberapa orang Nepal itu meninggalkan pintu kamar.
Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu yang muncul?
Ketika orang
itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang
melainkan Cu Ki Bok, pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang
tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ memandang kepadanya. Sian Li yang
sedang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya dengan sinar mata yang
penuh kemarahan dan kebencian.
Pemuda itu
tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melangkah memasuki kemar dengan ringan
dan cepat. Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.
"Nona,
dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengarlah, engkau telah tertawan dan
aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap
damai, tidak memberontak karena percuma saja kalau engkau hendak melarikan
diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau tidak akan
diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan
memberontak atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau
berjanji?"
Sian Li
mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walau pun ia
tidak dapat percaya sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu
sebuah tipu muslihat. Ia harus berhati-hati. Akan tetapi, tentu saja lebih baik
kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat
membela diri lebih baik kalau terancam bahaya.
Melihat
keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya. "Nona tentu
mencurigai aku. Akan tetapi ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu,
bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau Pangeran Gulam Sing datang dan
mengganggu dirimu? Pula, dalam keadaan terbelenggu ini, bagaimana mungkin engkau
akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau
melarikan diri, maka aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan engkau akan
diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat."
Sian Li
mengangguk. "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku
tidak akan membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."
Cu Ki Bok
memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun
dengan terus terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!
"Tentu
saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk
itu engkau harus memperlihatkan sikap lunak supaya para pimpinan percaya bahwa
kau tidak akan memberontak dan lari." Pemuda itu lalu melepaskan ikatan
tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu.
Sian Li
bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kaki untuk melancarkan
jalan darah sambil mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik.
Karena merasa tidak enak bicara dengan pemuda itu selagi dia duduk di atas
pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang terdapat di
kamar itu.
"Cu Ki
Bok, apa artinya ini? Katakan saja terus terang, mengapa engkau menolongku?
Dengan pamrih apa? Kalau ini merupakan siasat busukmu, lebih baik aku mengamuk
sekarang dan tewas di tangan kalian!"
"Sabar
dan tenanglah, Nona. Percayalah, kali ini aku tidak bersiasat. Apa perlunya aku
bersiasat dan membebaskanmu dari belenggu kalau tadi engkau sudah tidak
berdaya?"
"Lalu,
kenapa engkau membebaskan aku dari ikatan kaki tanganku?"
Tentu saja
Cu Ki Bok tidak berani menyatakan secara terang bahwa sejak pertama kali
berjumpa, dia sudah jatuh hati pada gadis muda perkasa ini. Tak mungkin dia
mengaku cinta begitu saja, karena selain hal itu mentertawakan, juga sudah
pasti gadis itu tidak akan percaya dan menganggap dia merayu atau bersiasat.
"Ada
dua hal yang memaksa aku tak bisa membiarkan engkau tertawan dalam keadaan
tersiksa dalam belenggu, Nona. Pertama, engkau seorang pendekar gagah perkasa,
bukan penjahat, bahkan tenagamu dibutuhkan oleh rakyat untuk membebaskannya
dari belenggu penjajahan. Kalau pun menjadi tawanan, engkau patut diperlakukan
dengan hormat dan tidak dibelenggu seperti itu. Dan ke dua, terus terang saja
aku merasa muak dan tidak suka melihat cara engkau ditawan oleh Liem Sian
Lun."
Bagaimana
pun juga, hati Sian Li masih merasa curiga dan ia tetap waspada terhadap pemuda
tampan murid Lulung Ma itu.
"Apa
yang terjadi dengan Liem Sian Lun? Mengapa dia bersikap seperti itu, berpihak
kepada kalian dan mengkhianatiku?"
Cu Ki Bok
menghela napas panjang. "Ia bukan seorang jantan. Dia lemah dan bertekuk
lutut terhadap rayuan Pek-lian Sam-li yang bekerja sama dengan Pangeran Gulam
Sing. Berjuang menentang penjajah Mancu memang tugas seorang gagah dan boleh
saja dia bergabung dengan kami untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu.
Akan tetapi dia bukan orang gagah, dia menaluk karena terbujuk rayuan tiga
orang wanita itu."
"Hemmm,
kau sendiri, orang baik-baikkah? Kenapa engkau menjadi antek para Lama dan juga
bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal?"
"Aku
murid Suhu Lulung Lama, tentu saja aku membantu Suhu. Kami memang pejuang, akan
tetapi bukan penjahat. Kerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal hanya
kerja sama di bidang menghadapi musuh, bukan untuk urusan lain. Aku amat tidak
suka cara-cara pengecut dan curang."

Sian Li
mengamati wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik. Ada benarnya pula ucapan
pemuda itu. Jujurkah dia dalam usahanya menolongnya? Memang benar juga bahwa
tidak ada gunanya mempergunakan muslihat. Ia tadi sudah tidak berdaya. Andai
kata ada muslihat di balik pertolongan pemuda ini tentulah hanya untuk
menyenangkan hatinya supaya dia mau bekerja sama, membantu mereka dalam
perjuangan melawan penjajah Mancu. Dan seperti juga Yo Han, ia tidak melihat
sesuatu yang buruk dalam urusan membantu menentag pemerintah Mancu.
"Hemm,
kalau begitu, sekarang aku menjadi tawanan, dan tidak boleh keluar dari tempat
ini? Apakah aku boleh keluar dari kamar ini dan dengan bebas melihat-lihat
keadaan di dalam sarang kalian ini?"
"Nona,
akulah yang bertugas menjaga dan mengamatimu, dan aku sudah memberi tahu kepada
semua anggota Hek-I Lama agar engkau dibiarkan tinggal di sini dengan bebas,
asalkan engkau tidak membikin ribut, tidak pula berusaha melarikan diri. Akulah
yang bertanggung jawab atas dirimu, maka kalau Nona melarikan diri, berarti
membikin susah padaku. Aku telah berusaha menghindarkan dirimu dari keadaan
yang tidak enak, maka kuharap engkau juga suka menjaga agar aku tidak sampai
mendapat kesusahan karena engkau lari."
Sian Li
lantas mengangguk-angguk. "Baiklah, Cu Ki Bok. Akan tetapi aku ingin
bertemu dengan Liem Sian Lun, jahanam itu. Aku harus membuat perhitungan dengan
dia!" Sian Li mengepal tinju, marah sekali kalau teringat kepada
suheng-nya itu.
Cu Ki Bok
mengerutkan alisnya. "Nona Sian Li, jika kebetulan engkau bertemu dengan
suheng-mu itu tentu saja..."
"Dia
bukan suheng-ku lagi! Mungkin aku akan membunuh jahanam itu kalau bertemu
dengan dia!"
"Nah,
itulah yang kurisaukan. Kalau Nona bertemu dan bicara dengan dia, hal itu masih
tidak mengapa. Akan tetapi kalau sampai Nona menyerangnya, padahal kini Sian
Lun sudah menjadi sekutu kami, tentu semua orang akan membantunya dan Nona akan
dipersalahkan. Oleh karena itu, mengingat bahwa urusan antara Nona dengan Sian
Lun merupakan urusan pribadi, sebaiknya Nona bersabar hati dan menunggu sampai
kelak setelah kalian berada di luar lingkungan kami, barulah Nona bisa membuat
perhitungan. Jangan di sini, Nona.”
Sian Li
mengangguk-angguk. Benar juga, pikirnya. Sian Lun kini telah menjadi sekutu
mereka. Kalau dia menyerang Sian Lun, tentu mereka akan membantunya, bahkan
pemuda di depannya ini tentu saja terpaksa harus berpihak kepada Sian Lun pula.
"Baiklah,
aku tidak akan menyerangnya. Akan tetapi setidaknya ajaklah dia ke sini agar
aku dapat bertanya sendiri kepadanya. Dengan begitu, hatiku baru akan puas dan
yakin bahwa dia benar-benar telah menyeleweng."
"Akan
kuusahakan, Nona."
Pemuda itu
lalu mengajak Sian Li keluar dari kamarnya. Dan kini, dalam keadaan sadar dan
tidak terbelenggu, gadis itu mendapat kesempatan mengamati keadaan di sarang
Hek-I Lama itu.
Tempat itu
merupakan perkampungan besar dan di tengah-tengah terdapat bangunan induk yang
bentuknya seperti kuil. Bangunan induk itu besar sekali, sedangkan tempat di
mana ia dikurung merupakan bangunan di sebelah kiri bangunan induk.
Di dalam
perkampungan itu terdapat banyak rumah-rumah yang bentuknya sama, dan itulah
tempat tinggal para anggota Hek-I Lama. Terdapat pula bangunan baru berupa
pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anggota pasukan Nepal, juga
tempat para tamu dari pengemis tongkat hitam.
Setelah
keluar dari rumah tempat ia di tahan, nampaklah oleh Sian Li betapa melarikan
diri dari situ merupakan hal yang tidak mungkin. Banyak sekali anggota
gerombolan itu berkeliaran, dan penjagaan juga diadakan dengan amat ketatnya.
Baru rumah di mana ia dikurung itu saja dijaga oleh sedikitnya dua puluh orang!
Tak mungkin ia dapat pergi tanpa diketahui dan sekali ketahuan, tentu ia akan
dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang.
Cu Ki Bok
berkata benar. Alangkah bodohnya bila ia berusaha melarikan diri. Sebaiknya
bersabar menunggu kesempatan yang lebih baik. Selama tak diganggu, ia akan
tinggal di situ, menanti kesempatan melarikan diri, atau menunggu sampai
munculnya Yo Han karena dia merasa yakin bahwa Yo Han pasti tidak akan
membiarkan saja dia menjadi tawanan gerombolan. Teringat akan Yo Han, Sian Li
tersenyum. Bekas suheng-nya itu hebat bukan main!
"Kenapa
Nona tersenyum?" tanya Cu Ki Bok. Ketika gadis itu memandang kepadanya,
pemuda itu pun tersenyum. "Senang melihat Nona gembira," sambungnya.
"Tempat
ini indah sekali, dan penjagaannya sangat kuat. Engkau benar sekali, Ki Bok.
Aku harus menunggu dengan sabar dan tidak akan mencoba kebodohan melarikan
diri. Dan kalau engkau beritikad baik, jangan sebut Nona kepadaku. Namaku Sian
Li."
Wajah pemuda
itu berseri. "Aku tahu bahwa engkau adalah gadis yang selain gagah perkasa
dan cerdik, juga berhati mulia, Nona... ehh, Sian Li. Sungguh aku akan merasa
bahagia sekali kalau akhirnya akan dapat menjauhkanmu dari bencana dan ancaman
bahaya. Nah, sekarang engkau akan kutinggal. Akan tetapi sekali lagi
kuperingatkan, jangan mencoba untuk membuat keributan. Nona... eh, kau akan
selalu diawasi, Sian Li. Dan seperti yang kukatakan tadi, aku yang diserahi
tugas menjagamu dan bertanggung jawab."
Sian Li
mengangguk tegas. "Baiklah, Ki Bok. Dan aku sudah berjanji, bukan? Aku
tidak akan suka melanggar janjiku sendiri."
Ki Bok
tersenyum dan pergi meninggalkannya. Hemm, pemuda itu semakin tampan bila
tersenyum, pikir Sian Li. Sayang pemuda sebaik itu berada di tengah orang-orang
Hek-I Lama, tempat yang sungguh tidak sesuai dengan dirinya. Dan ia teringat
betapa Ki Bok juga telah menguasai ilmu kepandaian silat yang tangguh.
Sian Li
berjalan-jalan, dan kemana pun ia pergi di dalam kampung para pendeta Lama itu,
ia tahu bahwa semua mata mengamatinya. Dia selalu dibayangi secara diam-diam.
Pada saat ia
tiba di pintu gerbang, satu-satunya pintu gerbang di perkampungan itu, ia
melihat betapa di situ terdapat puluhan orang penjaga! Dan perkampungan itu
dikelilingi pagar tembok yang tinggi, bahkan di sudut-sudutnya terdapat menara
di mana terdapat penjaga pula. Seperti benteng saja. Belum lagi perondaan yang
dia lihat dilakukan oleh pasukan kecil Hek-I Lama.
Sukarlah
untuk dapat melarikan diri dari perkampungan itu, dan agaknya lebih sukar lagi
untuk menyusup masuk! Walau pun demikian, dia yakin bahwa Yo Han akan mampu
menyerbu masuk dan menemukan dirinya.
Benar
seperti dikatakan Ki Bok, kemana pun ia pergi, sampai ke pintu gerbang pun,
tidak ada orang yang melarangnya, namun makin dekat dengan pintu gerbang,
semakin banyak orang membayangi dan mengamatinya. Agaknya semua anggota Hek-I
Lama sudah mendapat perintah untuk mengamatinya, akan tetapi tanpa
mengganggunya.
Diam-diam
dia bersyukur dan berterima kasih kepada Cu Ki Bok. Akan tetapi karena teringat
betapa ia ditipu Sian Lun, bahkan lalu dibelenggu oleh bekas suheng-nya itu, ia
amat membenci Sian Lun. Ia berusaha untuk menemui bekas suheng itu, sekarang ia
tidak sudi lagi mengaku suheng kepadanya, namun usahanya sia-sia saja.
Ia sampai
pula di pemondokan para orang Nepal, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu
lagi ketika melihat betapa mata orang-orang Nepal itu memandang padanya seperti
sekumpulan serigala memandang seekor domba muda yang gemuk. Juga ia merasa
jijik ketika melihat sekelompok anggota pengemis tongkat hitam yang berpakaian
butut dan dekil, kotor sekali dan jorok.
Dengan
berindap-indap ia kini menghampiri bangunan yang berbentuk kuil. Baru tiba di
pekarangan saja sudah mendengar suara orang berdoa, diiringi ketukan kayu
berirama. Dan ketika ia tiba di ambang pintu gerbang masuk, nampak asap tebal
mengepul tebal dari ruangan depan yang menjadi ruangan sembahyang seperti pada
kuil-kuil biasa.
Kiranya
bangunan induk ini di bagian depannya memang merupakan kuil yang luas dengan
ruangan sembahyang yang mewah. Dan di tempat ini, penjagaan lebih ketat lagi
walau pun penjaganya tidak tampak berjaga, melainkan para pendeta yang bertugas
di situ.
Ia dibiarkan
masuk ke ruangan ke dua di belakang ruangan sembahyang dan ternyata ruangan ini
lebih luas lagi. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat sebuah peti
mati berada di tengah ruangan ini, lengkap dengan meja sembahyang dan
dikelilingi pendeta-pendeta Lama yang berdoa. Ada orang mati di sini!
Dan setelah
dia menjenguk ke dalam, barulah dia tahu mengapa tadi dalam perjalanan
berkeliaran di perkampungan itu, dia tidak bertemu dengan tokoh-tokoh
persekutuan itu. Kiranya mereka semua berkumpul di ruangan ini, agaknya melayat
yang mati!
Dan semua orang
itu agaknya tidak mempedulikan Sian Li yang berada di luar pintu. Dengan
terang-terangan Sian Li memandang ke arah kelompok yang duduk di ruangan itu.
Ia melihat mereka lengkap semua! Lulung Lama, Cu Ki Bok, Hek-pang Sin-kai ketua
perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam, Pangeran Gulam Sing dengan dikawal oleh dua
orang jagoannya yaitu Badhu dan Sagha. Ada pula Pek-lian Sam-li bersama Liem
Sian Lun yang duduk di tengah-tengah antara mereka.
Ia melihat
lagi ke arah peti mati besar itu. Aih! Semua orang melayat dan Dobhin Lama
tidak nampak di antara mereka. Siapa lagi kalau bukan ketua para Lama Jubah
Hitam itu yang berada di dalam peti mati? Tentu kakek tua renta itu tewas
setelah bertanding melawan Yo Han!
Ia melihat
Sian Lun mengangkat muka memandang kepadanya, akan tetapi suheng-nya itu
menunduk kembali. Sian Li ingin menghampiri bekas suheng itu, memaki-makinya,
atau menyeretnya dan menyerangnya. Akan tetapi ia teringat akan janjinya kepada
Ki Bok.
Pada saat
itu, dia melihat Ki Bok juga memandang kepadanya. Bahkan pemuda itu lalu
bangkit dan dengan tenang menghampirinya, keluar dari pintu kemudian dengan
suara lirih berkata,
"Harap
jangan memasuki ruangan berkabung ini, Sian Li. Kecuali kalau engkau hendak
melayat.”
“Dobhin
Lama?" tanya Sian Li, juga berbisik sambil memandang ke arah peti mati.
Ki Bok
mengangguk. "Supek sudah terlalu tua. Pertandingan dengan Sin-cang Taihiap
telah menghabiskan tenaganya. Ia meninggal akibat kehabisan tenaga dan napas,
tidak terluka. Pendekar aneh itu terlalu lihai baginya..."
Diam-diam
Sian Li merasa bangga dan girang bukan main. Akan tetapi dia diam saja, bahkan
lalu melirik ke arah Sian Lun yang masih menunduk, dan berkata, "Aku masih
ingin bicara dengan jahanam itu."
Ki Bok
mengangguk. "Tentu akan kuusahakan, akan tetapi tidak sekarang. Nanti
setelah selesai pengurusan jenasah Supek. Engkau tidak hendak melayat dan duduk
di dalam?"
Sian Li
menggeleng kepala. Untuk apa ia masuk ke ruangan itu dan melihat Sian Lun di
antara tiga wanita cabul itu? Ia khawatir tidak akan dapat menahan hatinya
untuk tidak menyerang bekas suheng-nya itu. Pula, tidak perlu berkabung
terhadap kematian Ketua Hek-I Lama yang menyebabkan Sian Lun tersesat dan ia
sendiri tertawan. Ia kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar lagi.
Senja telah mendatang,
dan lampu-lampu penerangan mulai dipasang di perkampungan itu. Sian Li kembali
ke kamarnya. Seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan pakaian pengganti
kepadanya, juga mempersiapkan air untuk mandi.
Sian Li
merasa senang. Ternyata Ki Bok memegang janjinya. Dia diperlakukan seperti
seorang tamu terhormat, dilayani semua keperluannya walau pun diam-diam ia
tidak pernah dilepaskan dari pengamatan tajam. Kepada pelayan itu ia pun dapat
memesan semua keperluannya, minta disediakan makan malam.
Bagaimana
pun juga, Sian Li tetap berhati-hati, lebih dulu memeriksa semua makanan dan
minuman sebelum memakan dan meminumnya. Penerangan dalam kamarnya juga cukup
terang dan suasana cukup menyenangkan.
Malam itu
sore-sore bulan sudah muncul. Udara cerah dan langit pun bersih, bulan tiga
perempat menyinarkan cahaya lembut. Sian Li tidak betah berada di kamarnya. Dia
keluar dan berjalan-jalan di taman bunga dalam perkampungan itu. Sebuah taman
yang cukup luas dan terpelihara baik-baik. Agaknya, para pendeta Lama ini
bukanlah orang-orang kasar, melainkan suka pula akan kedamaian dan keindahan.
Agaknya para
tokoh masih berada di ruangan berkabung, dari mana terdengar doa-doa untuk si
mati. Sian Li melihat banyak pula penjaga di taman itu, bahkan ia bisa menduga
bahwa begitu ia memasuki taman, maka tempat itu telah dikepung para anggota
Hek-I Lama yang bertugas mengamatinya. Ia kemudian menduga-duga, apakah Ki Bok
juga ikut mengamatinya, ataukah pemuda itu sudah begitu percaya kepadanya
sehingga ikut berkabung di ruangan itu.
Di dekat
empang ikan emas terdapat bangku-bangku yang terlindung oleh atap. Sian Li
duduk di situ sambil termenung. Bulan menari-nari di air yang digerakkan
perlahan oleh ikan-ikan yang berkejaran. Dia teringat akan Yo Han dan kembali
bibirnya tersenyum.
Senang
sekali mengingat pemuda itu, orang yang paling disayangnya ketika dia masih
kecil. Dan sekarang, sesudah mereka kembali saling berjumpa dalam keadaan sudah
sama dewasa, ia tidak tahu!
Yang jelas,
penyelewengan Sian Lun hanya membuatnya marah, sama sekali tidak membuat ia
bersedih. Diam-diam ia malah merasa gembira sebab hal ini membuktikan bahwa
meski pun tadinya ia sayang kepada Sian Lun, kesayangan itu adalah keakraban
antara kakak beradik seperguruan yang selalu ingin akrab dalam pergaulan, dalam
latihan bersama. Ia tidak pernah mencinta Sian Lun! Dan Yo Han? Dia tidak tahu,
yang jelas, ia merasa bangga, kagum dan juga senang sekali dapat bertemu
kembali dengan Yo Han!
Yo Han
takkan membiarkan ia terancam bahaya! Ia yakin bahwa pemuda itu pasti akan
datang menyelamatkannya. Ia teringat betapa sejak kecil, ketika ia baru berusia
empat tahun, dan Yo Han juga hanya seorang anak remaja yang lemah, Yo Han sudah
berani membelanya mati-matian, bahkan mempertaruhkan keselamatan dirinya
sendiri dengan menukar dirinya menjadi tawanan iblis betina Ang-I Moli. Kali
ini pun Yo Han pasti akan menolongnya!
Kini ia
mencoba mengenang kembali apa yang dapat diingatnya ketika ia masih kecil,
ketika Yo Han masih menjadi murid ayah ibunya. Samar-samar masih teringat
olehnya betapa dahulu ia sering digendong oleh Yo Han, diajak bermain-main,
dihibur dan selalu disenangkan hatinya.
"Nona,
alangkah cantiknya engkau...!"
Tentu saja
Sian Li terkejut dan serentak sadar dari lamunan ketika tiba-tiba mendengar
kata-kata pujian yang lembut itu. Ia meloncat berdiri dan membalik karena suara
itu tadi datang dari belakang dan ia berhadapan dengan pria tinggi besar gagah
perkasa itu. Pangeran Gulam Sing! Kalau saja ia tidak ingat akan janjinya
kepada Cu Ki Bok, tentu Sian Li sudah menerjang dan menyerang pangeran Nepal
yang dibencinya ini.
"Mau
apa engkau? Pergi, aku tidak ingin bicara denganmu!" bentaknya, lalu dia
duduk kembali, membelakangi pangeran itu.
"Aduh,
alangkah cantiknya! Marah-Marah semakin cantik jelita. Bukan main!"
Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Han yang patah-patah sehingga terdengar
lucu, namun cukup membuat kedua pipi Sian Li menjadi merah oleh perasaan malu
dan marah.
"Manusia
biadab! Jangan mencari perkara, atau aku akan kehilangan kesabaran dan akan
membunuhmu!” Sian Li membentak lagi.
Sekarang dia
memutar duduknya, menghadapi pangeran itu dengan sinar mata berapi. Wajahnya
tertimpa sinar bulan dan nampak cantik bukan main.
Pangeran itu
mengerutkan alis. Sebelum bangsa Han dijajah Mancu, memang Kerajaan Beng
menganggap orang asing adalah bangsa yang biadab. Maka tentu saja Pangeran
Gulam Sing merasa dihina sekali. Akan tetapi dia malah tertawa, suara tawanya
bening dan aneh.
"Nona
Tan Sian Li, aku seorang pangeran! Pandanglah wajahku baik-baik, aku seorang
pangeran Nepal, bukan bangsa biadab. Seluruh bangsa Nepal akan menghormati dan
memuliakan aku kalau melihatku, bahkan tidak mampu bergerak. Engkau juga, Nona!
Pandang aku baik-baik, aku seorang pangeran dan engkau harus tunduk
kepadaku!"
Pangeran
tinggi besar itu kini melangkah maju menghampiri Sian Li. Gadis itu hendak
meloncat bangun, akan tetapi aneh, ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya!
Terngiang di dalam telinganya perintah pangeran itu bahwa ia harus tunduk dan
tidak mampu bergerak. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sinkang-nya pada saat
pangeran itu sudah memegang kedua tangannya dan menariknya bangkit berdiri...
Di lain
saat, ia sudah didekap dalam pelukan kedua lengan yang panjang dan besar itu,
dan ia mencium bau keharuman yang aneh keluar dari dada pangeran itu, di mana
wajahnya didekap rapat.
"Pangeran,
lepaskan nona itu!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Pangeran Gulam
Sing terkejut, lalu menoleh. Kiranya Cu Ki Bok yang membentak itu.
"Nona
Tan Sian Li, mundurlah engkau!"
Sungguh
aneh, baru sekarang Sian Li dapat bergerak, seolah tenaga tak nampak yang tadi
mempengaruhi dirinya telah lenyap. Tahulah dia bahwa dia tadi di bawah pengaruh
sihir pangeran Nepal itu, dan agaknya Cu Ki Bok yang membebaskannya dari
pengaruh sihir.
"Pangeran
Iblis! Keparat busuk engkau!" Ia pun membentak dan sudah menerjang serta
menyerang Pangeran Gulam Sing.
Pengeran itu
mengelak dengan loncatan ke belakang. Ketika Sian Li hendak menyerang lagi, Ki
Bok telah menghadang di depannya.
"Sian
Li, ingat akan janjimu. Jangan membuat keributan di sini!"
Sian Li
teringat dan ia pun menahan diri, mukanya merah dan matanya masih berkilat.
Sementara
itu, Pangeran Gulam Sing tertawa, "Ha-ha-ha, saudara Cu Ki Bok, engkau
malah membela Si Bangau Merah ini? Sungguh aneh sekali!"
"Pangeran,"
kata Cu Ki Bok dan suaranya mengandung kemarahan. "Kalau Ketua Hek-I Lama
mendengar akan apa yang sudah kau lakukan ini, tentu beliau akan menjadi tidak
senang."
"Hemm,
Ketua Hek-I Lama sudah mati, bahkan petinya juga belum diangkat dari ruang
berkabung!” kata pangeran itu membantah.
"Pangeran!
Engkau tentu tahu bahwa wakil ketua adalah guruku, Lulung Lama, dan setelah
kini Supek Dobhin Lama meninggal dunia, gurukulah yang menjadi ketua! Nona Tan
Sian Li ini menjadi tamu yang dihormati, dan Ketua Hek-I Lama yang menugaskan
aku untuk menjaganya. Kuharap Pangeran tidak membuat keributan di sini dan
bersikap sebagai tamu serta sahabat yang baik."
"Aku
protes!" Pangeran itu marah-marah. "Saudara Liem Sian Lun dan ketiga
Pek-lian Sam-li sudah berjanji akan menghadiahkan gadis ini kepadaku, dan
sekarang mengapa engkau hendak menghalangiku?! Beginikah sikap seorang
sahabat?"
"Pangeran,
lupakah Pangeran siapa itu Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li? Mereka pun hanya
tamu-tamu dari Hek-I Lama seperti juga engkau. Sedangkan Nona Tan ini adalah
seorang tawanan kami, dan yang berhak memutuskan mengenai dirinya adalah ketua
kami. Ketua kami menganggap Nona ini seorang pendekar wanita gagah perkasa yang
patut diajak bekerja sama berjuang menentang orang Mancu. Bagaimana mungkin
para tamu seperti Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li tiba-tiba dapat
menghadiahkan Nona ini kepadamu? Mereka tidak berhak!"
"Orang
muda, berani engkau bersikap seperti ini terhadap aku? Bagaimana kalau aku
memaksa untuk memiliki gadis ini?"
Sepasang
mata pemuda itu berkilat. Dia meraba pinggangnya di mana terdapat sabuk bajanya
yang kedua ujungnya dipasangi pisau, senjatanya yang ampuh, dan dia berkata
dengan tegas.
"Pangeran,
aku adalah utusan Ketua Hek-I Lama dan aku melaksanakan tugas yang
diperintahkan untuk menjaga Nona ini. Kalau ada yang berani mengganggunya,
berarti dia melanggar peraturan di sini dan aku akan menghadapinya sebagai
wakil ketua Hek-I Lama!"
"Bocah
sombong...!"
Akan tetapi
pada saat itu, entah dari mana datangnya, nampak beberapa orang pendeta Lama
Jubah Hitam bermunculan. Mereka hanya berdiri memandang, akan tetapi sikap
mereka jelas siap untuk membantu Cu Ki Bok.
Melihat ini,
Pangeran Gulam Sing sadar bahwa dia berada di tempat orang sebagai tamu. Dia
memandang kepada Sian Li dan mengepal tinju. Daging lunak yang sudah berada di
depan bibir, terpaksa harus dia lepaskan! Dengan bersungut-sungut, memaki-maki
dalam bahasanya sendiri, dia pun meninggalkan taman itu.
Beberapa
orang pendeta Lama itu pun seperti bayangan-bayangan saja, lenyap pula dari
dalam taman. Tahulah Sian Li bahwa andai kata Cu Ki Bok tidak berada di situ
pun, para pendeta Lama itu tentu akan melihat ulah Pangeran Gulam Sing dan
mereka akan turun tangan membantunya dan melapor kepada Cu Ki Bok.
Betapa pun
juga, dia berterima kasih kepada pemuda ini dan dia bergidik kalau teringat
betapa tadi ia didekap oleh pangeran Nepal yang tinggi besar itu tanpa mampu
berkutik! Sian Li mulai percaya pada Cu Ki Bok, bahwa pemuda murid Lulung Lama
ini memang benar-benar hendak melindunginya.
"Ki
Bok, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Apa yang telah terjadi denganku
tadi? Kenapa aku tidak mampu bergerak? Apakah jahanam itu mempergunakan
sihir?"
"Benar,
Sian Li. Maafkan, aku agak terlambat. Akan tetapi, seperti kau lihat tadi,
selalu ada beberapa orang anggota Hek-I Lama yang membayangimu sehingga engkau
selalu aman. Para anggota tadi tidak mengira bahwa pangeran itu akan
menggunakan sihir."
"Kalau
begitu, engkau pun ahli sihir, Ki Bok?" tanya Sian Li dan pemuda itu
tersenyum, merasa girang bukan main melihat sikap gadis itu terhadapnya kini
berubah, tidak lagi angkuh dan ketus seperti sebelumnya, kini nampak ramah
bersahabat!
"Sian
Li, engkau sudah tahu bahwa aku murid Suhu Lulung Lama, murid seorang tokoh
pendeta Lama. Karena itu, selain ilmu silat, aku pun mempelajari ilmu-ilmu
keagamaan dan juga ilmu kebatinan sehingga tidak aneh kalau aku pun mempelajari
ilmu sihir."
"Hemm,
kata orang tuaku dan juga paman kakek yang menjadi guruku, ilmu sihir dapat
membuat orang menjadi sesat. Kenapa engkau mempelajari ilmu seperti itu, Ki
Bok?"
Pemuda itu
tertawa. "Aihh, engkau ini yang aneh sekali, Sian Li. Engkau sendiri masih
keturunan keluarga Pendekar Pulau Es, bahkan juga pendekar Gurun Pasir!
Padahal, menurut yang kudengar, dahulu Pendekar Super Sakti Pulau Es adalah
seorang sakti yang selain hebat ilmu silatnya, juga ahli dalam ilmu
sihir!"
Sian Li
tersenyum. "Memang engkau benar, namun menurut orang tuaku, mempelajari
ilmu sihir amatlah berbahaya karena ilmu seperti itu condong untuk menyeret
orangnya kepada kesesatan."
Pemuda itu
kini duduk di bangku, berhadapan dengan Sian Li yang juga sudah duduk.
"Segala macam ilmu mengandung daya tarik yang dapat menyesatkan orang,
Sian Li. Ilmu apa pun juga membuat orang merasa lebih pandai dari pada orang
lain, dan ada kecondongan mempergunakan ilmu yang dikuasainya itu untuk
berkuasa atau mencari pengaruh atas orang-orang lain. Ilmunya sendiri tidak
baik, tidak pula pun buruk. Baik buruknya tergantung dari dia yang
mempergunakannya. Betapa baik pun sebuah ilmu, jika dipergunakan untuk
mencelakai orang lain, ilmu itu menjadi jahat. Sebaliknya, ilmu yang dianggap
jahat, kalau dipergunakan untuk menolong orang lain, akan menjadi ilmu yang
baik. Bukankah begitu?"
Sian Li
pernah mendengar ini, maka dia pun mengangguk. Kini pandangannya terhadap
pemuda itu sama sekali berubah. Ia tidak tahu benar bahwa semua agama di dunia
ini mengajarkan orang agar hidup baik serta bijaksana. Pelajaran agama yang
dipelajari Ki Bok dari pendeta Lama tentu juga mengatakan yang baik-baik. Kalau
terjadi kejahatan dilakukan orang beragama, maka hal itu berarti bahwa orang
itu telah menyeleweng dari pada pelajaran agamanya sendiri.
Tidak ada
agama di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menjadi jahat. Justru yang
disebut agama adalah pelajaran tentang budi pekerti, mengajarkan orang untuk
menjadi manusia yang baik dan berguna bagi manusia lain.
Cu Ki Bok
yang semenjak kecil menjadi murid pendeta Lama, tentu saja juga membaca
kitab-kitab agama yang pada hakekatnya tiada bedanya dengan kitab-kitab agama
lain, yaitu menuntun manusia ke arah jalan hidup yang benar.
"Sebenarnya,
dari orang tuaku serta paman kakekku, aku pun sudah menerima latihan kekuatan
batin yang dimaksudkan menolak pengaruh sihir. Akan tetapi, tadi aku sama
sekali tidak mengira bahwa pangeran Nepal itu akan menggunakan ilmu sihir
sehingga aku menjadi lengah. Ki Bok, apakah kau kira Sian Lun juga terpengaruh
sihir?" Tiba-tiba timbul dugaan ini dalam pikiran Sian Li.
Ki Bok
menarik napas panjang. "Mungkin saja, tetapi yang jelas suheng-mu itu
seorang pria yang lemah dan mudah dirayu. Sungguh sayang sekali karena
sesungguhnya dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau dia mau bekerja
sama dengan kami untuk menentang penjajah Mancu, hal itu baik-baik saja. Akan
tetapi aku khawatir kalau dia sampai terseret oleh Pek-lian-kauw, melakukan
hal-hal yang tidak patut."
Hening
sejenak. Kemudian Sian Li mengangkat muka memandang pemuda itu. "Ki Bok,
engkau kini kuanggap sebagai seorang sahabat. Aku percaya kepadamu. Katakanlah,
apa maksud gurumu dengan menahanku di sini? Berterus terang sajalah supaya
hatiku tidak menjadi ragu kepadamu."
"Mudah
sekali diduga, Sian Li. Engkau pasti tahu bahwa Hek-I Lama sedang menyusun
kekuatan..."
"Hemm,
untuk memberontak kepada pemerintah Dalai Lama di Tibet?"
"Benar,
akan tetapi selain hal itu merupakan urusan dalam para pendeta Lama, juga satu
di antara penyebabnya karena pemerintah Tibet mengakui kekuasaan pemerintah
Mancu. Nah, Hek-I Lama dianggap memberontak karena tidak menyetujui hal itu.
Oleh karenanya, Hek-I Lama yang kini dipimpin oleh Suhu Lulung Lama menyusun
kekuatan sambil mengharapkan bantuan dari orang-orang kuat, untuk bersama-sama
menentang penjajah Mancu, juga untuk menentang pemerintah Tibet yang mau
menjadi taklukan orang Mancu."
"Jadi
aku ditahan untuk dibujuk agar mau bekerja sama dengan Hek-I Lama?"
"Begitulah.
Suhu mengharapkan engkau akan suka membantu pula. Bukankah penjajah Mancu
merupakan penjajah yang menindas bangsa kita? Aku sendiri pun mempunyai darah
Han, Sian Li. Aku akan merasa gembira sekali kalau engkau suka bekerja sama
dengan kami."
"Dan
bagaimana kalau aku menolak kerja sama? Apakah aku akan dibunuhnya?”
Cu Ki bok
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala keras-keras.
"Suhu
tak akan memaksa orang untuk bekerja sama. Paksaan itu akhirnya hanya akan
merugikan kami sendiri, karena orang yang dipaksa bekerja sama akhirnya mudah
saja menjadi pengkhianat. Tidak, engkau tidak akan dipaksa. Andai kata pun ada
yang akan memaksa atau mengganggumu, demi Tuhan, aku akan membelamu dengan
taruhan nyawaku, Sian Li!"
Pemuda itu
bicara penuh semangat, membuat Sian Li terheran dan ia menatap wajah pemuda itu
penuh selidik. Namun, sinar bulan tidak cukup terang sehingga tidak melihat
betapa wajah pemuda itu berubah kemerahan.
"Akan
tetapi... kenapakah, Ki Bok? Mengapa engkau hendak membelaku seperti itu?
Mengapa engkau begini baik kepadaku? Padahal, bukankah sejak pertama kali
saling bertemu, kita berhadapan sebagai musuh?"
Pemuda itu
menggelengkan kepala. "Hanya salah paham, Sian Li, hanya karena saling
memperebutkan kebenaran masing-masing. Sudahlah, sebaiknya engkau kembali saja
ke dalam kamarmu untuk beristirahat. Besok, sesudah jenazah Supek diperabukan,
bila mungkin Suhu akan bicara denganmu tentang ajakan bekerja sama itu."
"Apa yang
harus kujawab?"
"Sudah
kukatakan, kalau engkau suka bekerja sama, aku akan merasa bahagia sekali, Sian
Li."
"Kalau
aku menolak?"
Pemuda itu
menghela napas panjang. "Aku akan merasa kecewa sekali. Akan tetapi tentu
saja terserah kepadamu, dan aku yang akan membantumu agar dapat pergi dari sini
dalam keadaan bebas dan aman."
Tentu saja
hati Sian Li menjadi girang bukan main. "Sungguh mati, amat sukar menilai
keadaan hati atau watak asli seseorang," dia berkata. "Tadinya kukira
engkau seorang yang luar biasa jahat, Ki Bok, tidak tahunya engkau adalah
seorang yang berhati mulia. Sebaliknya, suheng-ku yang dulu kunilai
sebaik-baiknya orang, ternyata malah seorang manusia yang budinya rendah!"
Pemuda itu
tersenyum. "Karena itu, jangan tergesa-gesa menilai seseorang, Sian Li.
Yang hari ini kau nilai baik, mungkin besok akan kau cela, sebaliknya yang
kemarin kau cela, hari ini akan kau puji. Mungkin kalau hari ini aku kau nilai
baik, besok lusa akan kau nilai jahat lagi, siapa tahu?"
Sian Li
tertawa. "Aku sudah mengerti, Ki Bok. Penilaian seseorang tergantung dari
pada kepentingan si penilai, kalau dia diuntungkan, tentu menilai baik, kalau
dirugikan, akan menilai buruk. Akan tetapi, juga tergantung kepada orang yang
dinilai. Setiap perbuatan baik tentu mendatangkan kekaguman, sebaliknya
perbuatan buruk akan mendatangkan celaan. Bukankah demikan?"
"Engkau
memang cerdik, Sian Li. Nah kau bersabar dan tenanglah saja, dan harap kau
menjaga diri supaya jangan sampai terpancing keributan sebelum Suhu Lulung Lama
bicara denganmu. Selamat malam dan selamat tidur."
Sian Li yang
sudah bangkit, tersenyum. "Selamat bermimpi, Ki Bok."
Mereka
berpisah dan Sian Li sama sekali tidak mengira bahwa ucapannya tadi sungguh
terjadi. Ia mengatakan selamat bermimpi hanya untuk berkelakar, tidak tahunya
malam itu Ki Bok telah benar-benar bermimpi semalam suntuk, mimpi bertemu
dengannya dan berkasih sayang dengannya.
**************
Gak Ciang
Hun, ibunya, dan Yo Han langsung bekerja dengan cepat. Yo Han segera
menghubungi para tokoh di perbatasan yang pernah disadarkannya, sedangkan
Nyonya Gak dan puteranya juga pergi menghadap para pendeta Lama dan pasukan
pemerintah yang berada di benteng daerah perbatasan tak jauh dari tempat itu.
Panglima
yang menjadi komandan pasukan Tibet itu menerima laporan Gak Ciang Hun dan
ibunya. Dia segera berunding dengan para pendeta Lama. Tentu saja mereka telah
mendengar akan adanya gerakan Hek-I Lama, akan tetapi karena gerombolan itu
tidak melakukan kekacauan, pasukan pemerintah pun tadinya mendiamkan saja.
Bagaimana pun juga para pimpinan Hek-I Lama dahulunya adalah tokoh-tokoh
pendeta Lama yang terkenal.
Akan tetapi,
ketika mendengar laporan Gak Ciang Hun dan ibunya bahwa gerombolan pendeta Lama
jubah hitam itu kini bersekutu dengan orang-orang Nepal yang menjadi pelarian
dari negara mereka, juga bersekutu dengan kaum pengemis sesat dan orang-orang
Pek-lian-kauw, komandan itu merasa khawatir dan dia pun cepat mengerahkan
pasukan, siap untuk melakukan penyerbuan terhadap gerombolan yang kini
merupakan persekutuan besar dan hendak melakukan pemberontakan terhadap
pemerintah Tibet itu.
Sementara
itu, para tokoh sesat yang kini sudah sadar akibat kebijaksanaan Sin-ciang
Taihiap, ketika pendekar aneh itu minta bantuan mereka, tentu saja mereka
menjadi gembira dan mereka seakan berlomba untuk membuktikan bahwa kini mereka
bukanlah penjahat-penjahat lagi, tetapi orang-orang gagah yang siap mengganyang
pemberontak dan penjahat yang mengganggu ketenteraman.
Setelah
menerima kesanggupan para tokoh kang-ouw itu, Yo Han yang ketika menemui mereka
mengenakan capingnya yang menyembunyikan mukanya dan mengurai rambut, cepat
kembali ke bukit yang dijadikan sarang Hek-I Lama. Dia pun lalu menanggalkan
penyamarannya dan ketika muncul di depan pintu gerbang yang seperti benteng
itu, dia sudah menjadi seorang pemuda biasa, bukan lagi sebagai pendekar
Sin-ciang Taihiap yang selalu menyembunyikan mukanya itu.
Yo Han
maklum bahwa dia tidak perlu menyamar kalau ingin memasuki perkampungan yang
dijadikan sarang gerombolan itu dengan aman. Pemuda murid Lulung Lama itu
pernah melihat dia bersama Sian Li, pernah pula bicara dengan dia. Oleh karena
itu, ketika para penjaga pintu gerbang menghadang dan membentaknya, dia pun
berkata dengan suara tenang.
"Aku
bernama Yo Han, dan aku ingin bertemu dengan saudara Cu Ki Bok. Aku sudah
mengenalnya."
Yo Han
dipersilakan menunggu. Dua orang penjaga lalu berlari masuk untuk memberi kabar
kepada Cu Ki Bok. Selama dua hari ini, sejak jenazah Dobhin Lama diperabukan,
ketua baru mereka, Lulung Lama, memerintahkan supaya penjagaan diperketat dan
semua anggota Hek-I Lama diharuskan bersiap siaga.
Lulung Lama
maklum bahwa Sin-ciang Taihiap tentu tidak akan tinggal diam dan akan datang
menyerbu untuk membebaskan Tah Sian Li. Dan oleh karena ingin memancing
munculnya Sin-ciang Taihiap inilah maka dia pun memerintahkan supaya gadis itu
tetap menjadi tawanan, walau pun diperlakukan dengan baik.
Dia sudah
membujuk agar gadis itu suka membantu perjuangannya, dengan harapan kalau gadis
itu mau bekerja sama seperti halnya Sian Lun, mungkin Sin-ciang Taihiap akan
mau pula membantunya. Dan mengingat bahwa gadis itu dan suheng-nya adalah murid
keluarga Pulau Es, maka kalau mereka bekerja sama dengan perkumpulannya, tentu
lebih mudah menarik tokoh-tokoh kang-ouw untuk bekerja sama pula.
Ketika dua
orang penjaga itu melapor bahwa ada orang bernama Yo Han mencarinya, Cu Ki Bok
yang sudah lupa lagi akan nama itu, lalu menduga-duga siapa orang yang
mencarinya di tempat itu. Apa lagi nama orang itu menunjukkan bahwa dia tentu
orang Han.
Dia sedang
bingung memikirkan Sian Li. Gurunya tidak berhasil membujuk gadis itu untuk
bekerja sama. Sian Li selalu menolak, dengan halus mau pun kasar. Akan tetapi
gurunya tetap belum mau membebaskan Sian Li. Menurut gurunya, gadis itu sengaja
ditahan untuk memancing datangnya Sin-ciang Taihiap. Agaknya Lulung Lama masih
penasaran dan belum puas kalau belum mendapatkan bantuan pendekar aneh itu.
Sian Li juga
bertahan, tidak mau bekerja sama. Ia selalu mencari kesempatan untuk dapat
meloloskan diri, dan harapan satu-satunya hanya pada Cu Ki Bok yang selama ini
bersikap baik dan tidak mencurigakan.
Kemarin,
ketika ia kebetulan bertemu dengan Sian Lun di taman bunga, ia tidak mampu
mengendalikan kemarahannya.
"Keparat
busuk, penghianat jahanam!” bentaknya. “Orang macam engkau layak untuk
mampus!"
Dan Sian Li
langsung saja menyerang bekas suheng-nya itu dengan penuh kebencian. Saking
dahsyatnya serangan gadis itu, biar pun Sian Lun sudah menangkis, tetap saja
dia terhuyung ke belakang.
"Sumoi,
nanti dulu...!" teriaknya.
"Siapa
sumoi-mu? Aku tidak sudi menjadi sumoi seorang pengkhianat jahanam!"
Dan Sian Li
sudah menyerang lagi, mengerahkan seluruh tenaganya dan kembali Sian Lun
terhuyung ke belakang.
"Sumoi...!"
Sian Li
tidak memberi kesempatan kepada bekas suheng-nya untuk banyak cakap lagi karena
ia sudah menerjang lagi, dengan serangan-serangan yang dimaksudkan untuk
membunuh! Sian Li bukan hanya membenci Sian Lun karena sudah mengkhianatinya,
membantu pihak musuh untuk mencurangi dan menangkapnya, akan tetapi juga karena
ia mendengar dan melihat sendiri betapa bekas suheng itu telah bermain gila
dengan tiga orang wanita cabul dari Pek-lian-kauw!
Ketika Sian
Lun terhuyung dan Sian Li terus mendesaknya, dan berhasil menendang paha Sian
Lun sehingga pemuda itu terpelanting, tiba-tiba muncul Pek-lian Sam-li yang
segera turun tangan membantu Sian Lun dan mengeroyok Sian Li!
Melihat
munculnya ketiga orang wanita yang memang dibencinya ini, Sian Li menjadi
semakin marah dan ia pun mengamuk. Akan tetapi, tiga orang wanita itu juga
memiliki ilmu kepandaian yang hebat, apa lagi mereka maju bertiga sehingga
begitu mereka membalas dan mendesak, Sian Li mulai terdesak mundur.
"Tahan!
Jangan berkelahi!" Tiba-tiba muncul Cu Ki Bok melerai. "Sam-li, ajak
Sian Lun manyingkir," katanya.
Tiga orang
tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah. Mereka tahu bahwa Ki Bok adalah
seorang pemuda yang berdisiplin. Setelah kini Lulung Lama menjadi Ketua Hek-I
Lama, maka pemuda itu berarti menjadi wakilnya. Mereka bertiga lalu menggandeng
tangan Sian Lun dan diajak pergi dari situ. Sementara itu, Ki Bok menghampiri
Sian Li dan menghiburnya.
"Sian
Li, apa gunanya membuat ribut dengan bekas suheng-mu itu? Bila engkau sudah
tidak menyukainya dan tidak mau berhubungan dengannya, lebih baik kau diamkan
saja dia. Membikin ribut di sini sungguh tak menguntungkan dirimu, dan pula,
jangan-jangan orang akan menganggap engkau..."
"Menganggap
aku kenapa?" Sian Li mendesak, muka gadis itu masih kemerahan akibat
marah.
"Maaf,
mungkin saja orang akan menganggap engkau cemburu melihat keakrabannya dengan
Pek-lian Sam-li..."
"Gila!
Akan kuhancurkan mulut orang yang menganggap aku cemburu! Siapa pula yang
cemburu? Biar pun dia menggandeng seratus orang perempuan, apa peduliku? Biar
dia mampus! Yang membuat aku marah adalah karena dia adalah murid paman
kakekku. Kalau guru-gurunya mengetahui akan kelakuannya, tentu dia pun akan
mereka hukum berat!”
“Sudahlah,
kelak dapat saja engkau membuat laporan kepada guru-gurumu, atau boleh saja
engkau menghukum dia, akan tetapi kalau kalian sudah tidak berada di sini.
Kalau engkau membuat ribut di sini, tentu aku akan ikut repot menanggung
akibatnya."
Demikianlah,
sampai hari itu, Lulung Lama masih belum memberi keputusan mengenai diri Sian
Li. Dan Ki Bok sedang menimbang-nimbang dan mencari jalan terbaik untuk
membebaskan gadis itu. Dia jatuh cinta kepada Sian Li, akan tetapi kalau gadis
itu tidak mau bekerja sama dengan Hek-I Lama, terpaksa mereka harus berpisah
dan dia harus mencarikan jalan terbaik agar gadis itu dapat keluar dari
perkampungan yang menjadi pusat Hek-I Lama itu secara aman.
Pada waktu
dua orang penjaga melapor tentang munculnya seorang bernama Yo Han mencarinya,
Ki Bok segera menuju ke pintu gerbang. Begitu melihat Yo Han, teringatlah dia
akan pemuda yang dia temui bersama Sian Li tempo hari. Pemuda yang menjadi
perantara menyampaikan tantangan mendiang Dobhin Lama kepada Sin-ciang Taihiap.
Alisnya
berkerut karena pertemuan ini sungguh mengejutkan hatinya. Akan tetapi ia pun
diam-diam merasa gembira dan menaruh harapan untuk dapat mengadakan hubungan
dengan Sin-ciang Taihiap melalui ‘perantara’ ini.
"Ahh,
kiranya saudara Yo Han yang datang berkunjung! Selamat datang, dan benarkah
bahwa engkau hendak bicara dengan aku?" tanya Ki Bok.
Yo Han
memberi hormat. "Benar sekali, dan saya datang untuk bicara tentang nona
Tan Sian Li."
"Silakan
masuk, saudara Yo Han. Kita bicara di dalam," ajak Ki Bok, mempersilakan
tamunya untuk memasuki pondok penjagaan di dekat pintu gerbang.
Dengan lagak
seorang yang jujur dan tidak curiga, Yo Han melangkah masuk mengikuti pemuda
tinggi tegap yang tampan gagah itu, dan mereka lalu duduk berhadapan di atas
bangku, di dalam pondok atau gardu penjagaan.
Ki Bok sudah
memberi isyarat kepada para petugas jaga untuk menjauhi gardu supaya mereka
berdua dapat berbicara dengan leluasa tanpa terdengar orang lain. Karena pemuda
itu merupakan seorang tokoh penting dalam perkumpulan Lama Jubah Hitam, maka
para petugas menghormatinya dan mentaati perintahnya.
"Saudara
Yo Han, selamat datang. Aku girang sekali menerima kunjunganmu ini. Angin baik
apakah yang membawamu ke sini?”
Diam-diam Yo
Han mendongkol, akan tetapi juga waspada sekali. Pemuda di depannya ini sudah
dia kenal ilmunya, dan ternyata selain lihai, juga cerdik dan licin bagaikan
ular, pandai pula bersikap manis budi seperti ini.
Yo Han
mengerutkan alis. "Aku datang karena diutus oleh Sin-ciang Taihiap…,"
katanya sengaja berhenti, untuk melihat tanggapan orang itu.
Wajah Ki Bok
tampak berseri mendengar disebutnya pendekar itu. Agaknya harapannya akan
semakin besar dan kesempatan semakin terbuka untuk dapat mengajak pendekar
sakti itu bekerja sama. “Aihh, sungguh merupakan kehormatan sekali dan terima
kasih atas perhatian Sin-ciang Taihiap yang kami kagumi.”
“Sudahlah,
tidak perlu bersandiwara lagi,” kata Yo Han. “Taihiap marah sekali karena
kecurangan kalian. Tak pernah kami duga bahwa Hek-I Lama, perkumpulan besar
yang terhormat itu dapat melanggar janji dan melakukan kelicikan dan
kecurangan. Bukankah janjinya sebelum bertanding, kalau ketua kalian kalah oleh
Taihiap, maka Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan dikembalikan?
Mutiara itu memang telah diberikan kepada Taihiap, akan tetapi kenapa Sian Lun
tidak dibebaskan, sebaliknya adikku Sian Li malah ditangkap pula? Pantaskah hal
securang itu dilakukan oleh orang-orang Hek-I Lama yang gagah? Sepatutnya hanya
dilakukan orang-orang pengecut, bukan anggota perkumpulan pejuang yang
menganggap dirinya pahlawan.”
Ki Bok tidak
marah mendengar umpat caci ini. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang
cerdik dan mampu mengendalikan perasaan hatinya. Dia malah tersenyum ramah.
“Harap
tenang dan bersabar, saudara Yo Han, atau lebih baik kusebut Yo-toako (Kakak
Yo) saja karena tadi engkau mengatakan bahwa engkau adalah kakak Nona Sian Li.
Benarkah itu?”
Yo Han
mengangguk. “Aku adalah kakak misan Tan Sian Li,” jawabnya.
Dia tidak
berterus terang, akan tetapi juga tidak terlalu membohong, karena bukankah dia
juga termasuk kakak dari gadis itu, walau pun bukan kakak misan melainkan kakak
seperguruan? Dia juga merasa seperti anak sendiri dari orang tua gadis itu,
maka sudah sepatutnya kalau dia mengakui gadis itu sebagai adiknya.
“Bagus,
kalau begitu aku pun dapat bicara terus terang. Sesungguhnya, Sian Lun telah
setuju untuk membantu perjuangan kami melawan orang-orang Mancu. Oleh karena
itu, dia sengaja menawan sumoi-nya agar suka pula bekerja sama dengan kami.
Sekarang, Nona Sian Li menjadi tamu kami, bukan tawanan dan diperlakukan dengan
baik dan terhormat. Kami menunggu sampai Nona Sian Li juga menyetujui sikap
suheng-nya, dan mau pula bekerja sama dengan kami. Bahkan kami mengharapkan
agar engkau suka menyampaikan himbauan kami kepada Sin-ciang Taihiap untuk
bergabung dengan kami, bersama-sama menentang penjajah Mancu.”
“Hemm, aku
tidak tahu apakah Taihiap suka menerima ajakan itu atau tidak. Yang jelas, dia
marah sekali karena janji yang merupakan taruhan pertandingan itu dilanggar.
Pula, bagaimana aku dapat percaya bahwa adikku Sian Li diperlakukan dengan baik
di sini sebelum aku bertemu dengannya dan melihatnya sendiri?”
“Engkau
ingin bertemu dengan adikmu itu, Yo-toako? Baik, baiklah, tentu saja engkau
boleh dan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi tentu saja kita harus terlebih
dahulu menghadap Suhu dan minta persetujuannya.”
“Menghadap
ketua kalian Dobhin Lama?”
“Tidak,
menghadap Suhu Lulung Lama,” jawab Ki Bok singkat.
Yo Han
merasa heran, akan tetapi diam saja tanpa bertanya lagi. Dia mengikuti Cu Ki
Bok yang mengajaknya memasuki perkampungan itu. Di rumah induk, dia dibawa Cu
Ki Bok ke ruangan depan rumah besar itu, dan di situ Yo Han tidak saja melihat
Lulung Lama, akan tetapi juga para tokoh lain. Di tengah ruangan depan itu
tergeletak sebuah peti mati.
Diam-diam Yo
Han terkejut. Kini mengertilah dia mengapa dia diajak menghadap Lulung Lama,
bukan Dobhin Lama. Kiranya ketua perkumpulan Hek-I Lama itu telah meninggal dunia!
Padahal, kemarin masih bertanding dengan dia.
Jika begitu,
agaknya kakek yang sudah tua renta itu terlalu memaksa diri mengerahkan tenaga
pada waktu bertanding sehingga tubuh yang sudah tua itu kehabisan tenaga dan
tewas. Mungkin ketika dia duduk bersila sesudah selesai bertanding kemarin, dan
diam saja melihat kecurangan anak buahnya yang mengeroyok, kakek itu sudah
tewas.
Kalau benar
demikian, bukan Dobhin Lama yang curang, melainkan Lulung Lama dan anak
buahnya. Juga penangkapan atas diri Sian Li tentu telah diatur oleh Lulung
Lama. Buktinya, sesudah Dobhin Lama merasa kalah, kakek tua itu mengembalikan
mutiara hitam dan menyuruh Lulung Lama membebaskan Sian Lun.
“Siapa yang
meninggal dunia itu?” tanya Yo Han, pura-pura terkejut dan tidak tahu.
“Dia adalah
ketua kami...“
“Dobhin Lama
yang bertanding melawan Sin-ciang Taihiap?” Yo Han bertanya.
Cu Ki Bok
menganggukkan kepala. Kesempatan ini digunakan oleh Yo Han untuk cepat
menghampiri peti mati dan berlutut di depan peti mati sambil mengeluarkan
kata-kata yang bernada sedih penuh penyesalan.
“Losuhu,
maafkan saya. Sungguh saya menyesal sekali bahwa Losuhu tewas karena
pertandingan melawan Sin-ciang Taihiap. Bagaimana pun, saya turut merasa
menyesal karena saya yang menjadi perantara. Akan tetapi, Taihiap tak sengaja
melukai Losuhu, Taihiap tidak pernah mau membunuh lawannya. Sayangnya, setelah
Losuhu tidak ada, para anak buah Losuhu berbuat curang, tidak menepati janji.
Bukan saja Sian Lun tidak dibebaskan, bahkan adikku Sian Li ditawan. Losuhu,
saya menyesal sekali. Andai kata Losuhu tidak meninggal, tentu adik saya tidak
ditawan...“
Sementara
itu, Ki Bok telah mendekati Lulung Lama dan menerangkan siapa adanya pemuda
yang berlutut di depan peti mati itu. Setelah mendengar keterangan muridnya,
Lulung Lama bangkit dan menghampiri Yo Han.
“Saudara Yo,
bangkitlah. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan tidak ada yang perlu
disesalkan. Juga kami tidak melanggar janji. Ketahuilah bahwa Liem Sian Lun
dengan suka rela berada di sini, bukan kami tawan. Dia memang telah sadar dan
ingin berjuang bersama kami menentang penjajah Mancu. Dialah yang menghendaki
agar sumoi-nya ikut pula membantu perjuangan kami yang suci. Maka, tidak salah
kiranya kalau engkau suka membujuk Sin-ciang Taihiap agar suka bekerja sama
pula dengan kami.”
Yo Han
bangkit dan memberi hormat kepada Lulung Lama, lalu berkata dengan suara
mengandung penasaran. “Saya datang sebagai utusan Taihiap yang menuntut supaya
Liem Sian Lun dan adikku Tan Sian Li dibebaskan dari sini, sesuai perjanjian.”
“Omitohud,
sudah pinceng katakan bahwa kami tidak menawan Liem Sian Lun dan...”
“Bagaimana
saya dapat percaya kalau tidak bertemu sendiri dengan adik saya?”
Lulung Lama
yang telah mendengar penjelasan muridnya, tersenyum dan mengangguk. “Baiklah,
saudara Yo Han. Engkau boleh bertemu dengan adikmu itu. Ki Bok, antarkan dia
bertemu dengan Nona Tan Sian Li.”
Cu Ki Bok
mengajak Yo Han meninggalkan ruangan itu. Yo Han girang bahwa mereka itu
agaknya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dialah sebenarnya Sin-ciang
Taihiap. Kini Ki Bok mengajaknya ke bagian belakang perkampungan yang luas itu
dan akhirnya dia melihat Sian Li yang duduk seorang diri di ruangan depan
sebuah pondok.
Ketika tadi
diajak pergi ke tempat itu, diam-diam Yo Han memperhatikan dan dia tahu bahwa
di tempat itu terdapat amat banyak orang yang diam-diam melakukan penjagaan
sehingga untuk mengajak Sian Li dan Sian Lun melarikan diri dari tempat itu
bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Dia juga tadi melihat bahwa di ruang
perkabungan terdapat banyak sekali orang yang tentu mempunyai ilmu kepandaian
tinggi. Dia melihat pula orang-orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, juga
orang-orang Han yang melihat pakaian mereka mudah diduga bahwa mereka adalah
orang-orang Pek-lian-kauw.
Ketika Sian
Li yang sedang termenung memikirkan sikap Sian Lun yang aneh, berubah sama
sekali dan menjadi seperti boneka yang memuakkan di bawah pengaruh Pek-lian
Sam-li, melihat ada orang datang menghampirinya, ia mengangkat muka.
Ia girang
melihat Cu Ki Bok yang amat baik kepadanya itu. Akan tetapi ketika ia melihat
orang ke dua, ia terbelalak saking kagetnya. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa Yo Han akan muncul begitu saja, secara terang-terangan, di tempat itu.
Karena ia tidak tahu bagaimana maksud Yo Han dengan kemunculannya, maka ia pun
tidak berani lancang membuka suara dan hanya memandang dengan mata terbelalak.
“Li-moi,
syukurlah engkau dalam keadaan selamat dan sehat!” Yo Han berteriak sambil
menghampiri dan memegang kedua tangan gadis itu.
Melihat
sikap Yo Han yang wajar saja, Sian Li merasa lega. Apa lagi ia pun percaya
bahwa Cu Ki Bok adalah seorang pemuda yang baik dan yang ingin menolongnya.
“Han-ko, bagaimana
engkau bisa datang ke sini?”
“Aku sedang
menjadi utusan Sin-ciang Taihiap untuk menyampaikan tuntutan kepada Hek-I Lama
supaya engkau dan suheng-mu itu dibebaskan, Li-moi. Mereka mengatakan bahwa
engkau beserta Sian Lun mau bekerja sama dengan mereka dan tidak ditahan, maka
aku minta agar dapat melihat dengan mata sendiri dan dapat bicara denganmu.”
“Selama ini
aku memang diperlakukan dengan baik di sini, Koko, sebagai tamu. Ada pun
Suheng...” ia ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
Yo Han memotong
dan berkata kepada Cu Ki Bok, suaranya mengandung penasaran. “Aku menuntut agar
adikku dibebaskan sekarang juga. Kalau tidak, aku tidak akan pergi dari sini,
aku harus menemani adik misanku ini!”
Ki Bok
tersenyum. “Yo-toako, engkau melihat sendiri bahwa Nona Tan Sian Li dalam
keadaan sehat dan selamat. Sebaiknya kalian bicara berdua di sini, untuk
membuktikan bahwa kalian di sini diberi kebebasan dan bukan menjadi tahanan.”
Setelah berkata demikian, Ki Bok meninggalkan mereka berdua di ruangan depan
pondok itu.
Setelah Ki
Bok pergi, segera Sian Li berkata, “Han-ko, duduklah. Kau tahu, Cu Ki Bok itu
ternyata baik sekali. Dia bersungguh-sungguh hendak menolongku.”
Ia lalu
menceritakan tentang pertolongan Ki Bok pada saat ia hendak dinodai pangeran Nepal.
Setelah menceritakan semua pengalamannya sejak ditangkap oleh suheng-nya
sendiri, ia bertanya, “Akan tetapi kenapa engkau malah muncul di sini secara
berterang, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tahu siapa sebenarnya engkau?”
“Aku sengaja
masuk ke sini supaya nanti dapat membantu kalau orang-orang kang-ouw yang sudah
kuhubungi datang menyerbu. Kita sendiri tidak mungkin mampu melawan mereka yang
jumlahnya amat banyak. Aku sudah minta bantuan orang-orang kang-ouw, sedangkan
saudara Gak Ciang Hun beserta ibunya melapor kepada para pendeta Lama dan
pasukan pemerintah di Tibet mengenai usaha pemberontakan Lulung Lama. Bagai
mana kabarnya dengan suheng-mu? Di mana dia sekarang?”
Mendengar
pertanyaan ini, wajah Sian Li berubah muram. Ia mengepal tinju tangannya. “Dia
telah tersesat, menyeleweng dan kalau ada kesempatan akan kuhajar dia!”
Yo Han
terkejut. “Li-moi, apa yang terjadi?”
“Huh,
jahanam keparat itu, pengkhianat busuk itu! Dia sudah merendahkan diri menjadi
antek mereka. Dia terbujuk oleh perempuan-perempuan hina Pek-lian-kauw, dan
malah menipuku, menangkapku ketika aku hendak menolongnya.”
Melihat
gadis itu seperti akan menangis, Yo Han dapat menduga betapa sakit rasa hati
gadis itu. Tentu Sian Li mencinta suheng-nya dan sekarang amat kecewa melihat
ulah suheng-nya.
“Li-moi,
sebenarnya bagaimana watak dan sikap suheng-mu selama ini, sebelum dia tertawan
oleh gerombolan ini?”
Sian Li
mengerutkan alisnya. “Selama ini dia baik, setia dan membelaku. Akan tetapi
agaknya dia sudah tergila-gila kepada Pek-lian Sam-li, dan agaknya demi
perempuan-perempuan itu, dia tidak segan untuk mengkhianatiku.”
Muka Sian Li
merah sekali. Jelas bahwa dia menahan diri agar tidak menangis karena ia memang
merasa penasaran dan kecewa bukan main kalau mengenang sikap Sian Lun
kepadanya.
Yo Han
merasa kasihan kepada gadis itu. “Li-moi, engkau jangan khawatir, aku pasti
akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan dia.”
Sepasang
mata itu terbelalak. “Apa maksudmu? Untuk apa bersusah payah memikirkan dia?
Dia sama sekali tidak minta dibebaskan... hemm, aku hanya ingin menghajarnya,
membunuhnya!”
“Li-moi,
tenang dan bersabarlah. Ada sesuatu yang aneh dengan sikap suheng-mu itu. Kalau
biasanya ia berwatak baik, maka sikapnya sekarang ini tidak wajar. Aku menduga
bahwa ia tentu berada di bawah pengaruh sihir. Ingat, para pendeta Lama,
orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Nepal adalah ahli-ahli sihir yang
pandai.”
Sian Li
termenung dan menundukkan kepalanya. Ia pun sudah menduga akan hal itu, akan
tetapi bagaimana pun hatinya tetap merasa panas dan tidak senang melihat sikap
Sian Lun yang demikian akrab dan mesra terhadap tiga orang wanita Pek-lian-kauw
itu. Wajahnya menjadi semakin merah karena sekarang ia teringat akan ucapan Cu
Ki Bok bahwa sikapnya itu bisa disangka orang sebagai tanda bahwa ia cemburu.
Cemburukah ia terhadap Pek-lian Sam-li yang demikian mesra dengan Sian Lun?
Bagaimana
pun juga, tentu saja dia merasa tidak enak. Sian Lun sudah dianggapnya sebagai
suheng-nya yang baik dan setia, bahkan dia tahu bahwa suheng-nya itu jatuh
cinta kepadanya. Baik ia membalas cinta itu ataukah tidak, tetap saja hatinya
tidak enak sekali melihat betapa suheng-nya menjadi kekasih tiga orang Pek-lian-kauw
dan sudah mengkhianatinya.
“Ingatlah,
Li-moi, engkau tadi menceritakan bahwa engkau juga terkena pengaruh sihir
pangeran Nepal itu dan untung ada Cu Ki Bok yang menolongmu. Nah, kuat dugaanku
bahwa demikian pula halnya suheng-mu itu. Karena pengaruh sihir, dia mau
melakukan apa saja. Kita lihat saja nanti kalau dia sudah sadar dan tidak lagi
terpengaruh oleh sihir mereka.”
“Kapankah
penyerbuan itu akan terjadi?” tanya Sian Li yang mulai ragu-ragu tentang
keadaan suheng-nya, meski pun ia yakin bahwa setelah melihat sikap Sian Lun,
kiranya tidak akan mungkin lagi baginya untuk membalas cinta pemuda itu.
“Menurut
perhitungan, malam ini mereka akan datang untuk mengepung dan menyerbu tempat
ini. Kita harus membantu dari dalam untuk membebaskan suheng-mu dari
cengkeraman mereka, baru melarikan diri keluar ketika penyerbuan terjadi.”
Mereka
menghentikan percakapan ketika nampak Cu Ki Bok datang menghampiri ke arah
mereka. “Dia orang baik Han-ko. Kurasa hanya dialah yang mempunyai landasan
bersih dalam perjuangan melawan orang-orang Mancu.”
“Akan tetapi
bukankah dia murid Lulung Lama?”
“Benar, akan
tetapi dia mengatakan bahwa andai kata aku tidak mau bekerja sama dengan
mereka, dia tetap akan mencarikan jalan agar aku dapat lolos dari tempat ini.”
“Hemm,
agaknya dia cinta padamu, Li-moi.”
Sian Li
mengerutkan alisnya. “Entahlah, akan tetapi aku yakin bahwa dia orang baik.”
Percakapan terpaksa dihentikan dulu karena Ki Bok yang berjalan santai
menghampiri mereka telah tiba di situ. Dia tersenyum ramah.
“Bagaimana,
Yo-toako. Sudah yakinkah engkau sekarang bahwa kami tak menganggap adikmu
sebagai tawanan melainkan sebagai tamu?”
Yo Han
bangkit berdiri dan memandang marah. “Biar pun diperlakukan dengan baik dan
dianggap sebagai tamu, tetap saja adikku ini adalah tamu yang dipaksa dan
ditahan di sini. Aku menuntut agar adikku dibebaskan sekarang juga dan ikut dengan
aku pergi. Kalau tidak, terpaksa aku akan tinggal di sini menemaninya!”
Melihat
sikap ini, Ki Bok lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan suara perlahan.
“Yo-toako, apakah adikmu belum menceritakan semuanya? Sebaiknya engkau jangan
membuat keributan karena kalau terjadi hal itu, aku sendiri takkan dapat
melindungimu. Ketahuilah bahwa perkumpulan kami adalah pejuang-pejuang yang
gigih dan kalau ada yang menentang akan dibunuh. Suhu sedang mengharapkan agar
Sian Li suka bekerja sama membantu perjuangan, demikian pula Sin-ciang Taihiap.
Andai kata Sian Li tidak mau pun, tak perlu menggunakan kekerasan dan
percayalah, aku yang akan menjamin bahwa Sian Li akan dapat lolos dari sini
dengan selamat.”
Yo Han
memandang penuh selidik. “Hemm, engkau adalah seorang tokoh di sini, bagai mana
engkau hendak melindungi Li-moi? Apa maksudmu melindunginya mati-matian? Tanpa
sebab yang jelas bagaimana kami berdua dapat mempercayaimu?”
“Han-ko, aku
percaya padanya. Dia sudah membuktikannya!” kata Sian Li yang merasa tidak enak
terhadap Ki Bok.
“Justru
perlindungannya itu patut dicurigai, Li-moi. Bukankah dia ini seorang di antara
mereka yang memusuhi engkau dan suheng-mu? Tanpa alasan yang kuat, bagaimana
mungkin dia melindungimu tanpa pamrih yang buruk?”
Mendengar
ucapan Yo Han itu, Ki Bok segera berkata dengan terus terang, “Baiklah,
Yo-toako, aku membuat pengakuan. Aku bersedia melakukan apa pun untuk Sian Li
dengan taruhan nyawaku karena aku jatuh cinta padanya.”
“Ki Bok...!”
Sian Li berseru kaget dan memandang wajah pemuda peranakan Tibet itu.
Tadinya ia
hanya menganggap Ki Bok seorang yang baik sekali kepadanya, sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya. Dan kini pemuda itu
membuat pengakuan sedemikian jujurnya di depan Yo Han!
Cu Ki Bok
menghela napas panjang sambil memandang kepada gadis itu. “Maafkan aku, Sian
Li. Terpaksa aku harus berterus terang. Aku merasa kagum dan jatuh cinta
padamu, dan tak peduli apakah engkau akan membalas cintaku, tak peduli apakah
akan menerima atau menolak ajakan kerja sama, tetap saja aku harus membebaskan
dirimu. Karena itulah, kuharap kalian berdua bersabar dan tidak membuat
keributan. Aku akan mencarikan kesempatan sebaik dan seamannya untuk kalian.”
Yo Han
mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku akan tinggal di sini menemani Li-moi,
harap saudara Cu Ki Bok menyampaikan kepada pimpinan di sini.”
“Baik,
Yo-toako, aku akan melaporkan kepada Suhu,” berkata Ki Bok yang segera pergi
meninggalkan mereka.
Ketika
melihat para penjaga mendekat, dia berbisik kepada mereka agar melakukan
penjagaan yang ketat, dan juga memberi tahu bahwa Yo Han adalah kakak misan
Sian Li yang tinggal di situ pula untuk menemani adiknya.
Di pondok
itu memang terdapat dua buah kamar, maka Yo Han dapat menempati kamar yang ke dua.
Akan tetapi setelah Ki Bok pergi, Yo Han dan Sian Li yang sejak tadi diam
termenung, masih bercakap-cakap di ruangan depan.
“Kiranya dia
jatuh cinta padamu, Li-moi,” kata Yo Han melihat gadis itu termenung saja.
Sian Li
menarik napas panjang. “Sungguh sama sekali tidak pernah aku memikirkan hal
itu, tak pernah menduganya. Begitu beraninya mengaku cinta!” Wajah gadis itu
berubah kemerahan.
“Jangan
marah kepadanya, Li-moi. Aku bahkan kagum, karena ia seorang laki-laki yang
jantan, gagah dan jujur. Sekarang yang terpenting kita harus mencari di mana
adanya suheng-mu. Aku ingin bertemu dengannya dan kalau mungkin akan kusadarkan
dia dari pengaruh sihir.”
“Bagaimana
jika dia tidak terpengaruh sihir, melainkan kalau dia memang menyeleweng dan
tersesat, Han-ko? Menurut keterangan Ki Bok, Suheng memang telah terpikat oleh
Pek-lian Sam-li.” Di dalam suara gadis itu masih terkandung kemarahan terhadap
Sian Lun.
“Kalau
memang demikian, aku akan berusaha untuk menyadarkan dan mengingatkan dia agar
kembali ke jalan benar. Bagaimana pun juga dia adalah suheng-mu dan perlu
diingatkan kalau dia tergoda, Li-moi.”
“Terserah
kepadamu, Han-ko. Namun, kita harus berhati-hati sekali karena biar pun aku
kelihatan bebas, tetapi setiap gerak-gerikku diamati dan sedikit saja mereka
itu curiga, tentu mereka akan langsung mengepung dan mengeroyok kita. Aku
mengkhawatirkan keselamatanmu, Han-ko, karena kalau mereka tahu bahwa engkau
adalah Sin-ciang Taihiap, tentu mereka takkan memberi ampun. Engkau telah
membunuh Dobhin Lama.”
Yo Han
menggeleng kepala. “Aku tidak membunuhnya. Ketika kami bertanding, biar pun aku
dapat mematahkan tongkatnya, akan tetapi aku tidak melukainya. Dia tewas karena
usianya yang sudah tua, dan agaknya ia telah terlalu memaksa diri sehingga
kehabisan tenaga. Tentu aku akan berlaku hati-hati sekali untuk menyelidiki
suheng-mu. Sebaiknya engkau gambarkan keadaan perkampungan ini dan di mana aku
dapat mencari Sian Lun.”
Mereka
berbisik-bisik dan Sian Li memberi gambaran tentang perkampungan di situ.
Setelah mendapat keterangan jelas, mereka lalu memasuki pondok...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment