Wednesday, June 27, 2018

Cerita Silat Serial Si Tangan Sakti Jilid 02



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
          Serial Si Tangan Sakti
                     Jilid 02


Semua orang memandang dengan heran karena tidak ada yang mengenal dari mana dan siapa rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka kenal. Hanya Kao Cin Liong, orang tertua di antara mereka semua, yang memandang dengan alis berkerut dan dia pun menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada Suma Ceng Liong. Suma Hui juga mengikuti suaminya dan mendekati adiknya.

"Hanya ada sebuah partai yang kiranya dapat memakai tanda bendera seperti itu, yaitu Pao-beng-pai (Partai Pembela Terang)."

"Akan tetapi partai itu tidak pernah terdengar lagi sekarang," kata Suma Hui.

"Pao-beng-pai? Partai macam apakah itu?" tanya Suma Ceng Liong kepada cihu-nya (kakak iparnya), yaitu suami dari enci-nya yang dahulu pernah menjadi panglima perang dan memiliki banyak sekali pengalaman.

"Pao-beng-pai itu partai yang berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh dengan pemberontakan terhadap pemerintah yang sekarang," kata Kao Cin Liong.

Mereka berhenti bicara dan pada saat itu, seorang di antara para anggota pasukan yang berpakaian warna abu-abu itu berteriak lantang. "Kami utusan dari Pao-beng-pai mohon bertemu dengan pimpinan dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman yang kini sedang berkumpul di sini!"

Semua orang terkejut mendengar ini. Suma Ceng Liong kemudian minta kepada suami enci-nya, yaitu Kao Cin Liong sebagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili seluruh keluarga dan menerima pengunjung yang baru datang.

Karena jelas bahwa rombongan itu ingin bertemu dengan pimpinan tiga keluarga, bukan dengan tuan rumah, Kao Cin Liong yang menjadi orang tertua di situ tidak keberatan untuk mewakili seluruh keluarga. Di dalam hatinya dia merasa heran sekali. Mau apakah orang-orang Pao-beng-pai mencari mereka? Kalau hendak mencari gara-gara, mungkin orang-orang Pao-beng-pai itu sudah gila. Siapa di dunia ini begitu gila mencari perkara dengan para pendekar dari tiga keluarga besar yang saat itu berkumpul di situ?

Kakek yang kini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan rombongan itu. Para anggota pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan menyibak ke kanan dan kiri sehingga kakek itu kini berhadapan dengan joli yang tirainya masih saja tertutup. Semua orang memandang dari belakang kakek Kao Cin Liong dan suasana menjadi hening sekali karena semua orang memperhatikan.

"Kami sedang berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan keluarga dan kami tidak mempunyai pimpinan. Karena aku kebetulan yang tertua, maka para anggota keluarga kami minta supaya aku mewakili mereka. Nah, apakah yang dikehendaki Pao-beng-pai dengan kunjungan mendadak dan tanpa diundang ini? Di antara kami tidak ada yang mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai." Suara kakek itu cukup berwibawa walau pun sikapnya tenang sekali.

Bahkan dua belas orang anggota pasukan yang tadinya nampak kereng dan kokoh kuat itu kini nampak gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang, berwibawa dan penuh kepercayaan pada diri sendiri. Tadinya mereka mengira bahwa setiap orang di dunia persilatan akan menjadi jeri melihat bendera tanda pengenal partai mereka. Siapa tahu kakek ini bersikap seolah mereka hanyalah sebagai pengganggu biasa saja yang tidak terkenal!

Seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua memandang ke arah joli. Si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas dimaksudkan agar didengar oleh semua orang karena bila hanya ditujukan kepada penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang itu.

"Nona yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silakan Nona yang mulia keluar untuk bicara dengan dia!"

Tentu saja semua orang menjadi semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona yang mulia itu? Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang sejak tadi tidak bergerak, dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan ke atas tanah. Tirai itu pun semenjak tadi tidak pernah bergoyang. Pada saat empat orang penggotong joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan seolah-olah penumpang joli itu teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul itu yang amat kuat?

Kini tirai dari sutera hijau itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi empat orang gadis pendamping joli untuk cepat menghampiri bagian depan joli. Mereka menyingkap tirai itu dan ketika melakukan ini, mereka berempat membungkuk sampai dalam, dan yang berpakaian kuning lalu berkata penuh hormat. "Silakan, Siocia (Nona Muda)!"

Semua orang memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang cantik dan bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia nampak anggun dan cantik. Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri atau seorang ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau canggung walau pun banyak pasang mata yang tajam dan mencorong mengamatinya.

Usianya sukar diketahui dengan pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa dia bukan remaja lagi, cukup dewasa dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya digelung tinggi di atas kepala, dan rambut itu dihias sebuah tiara kecil yang berkilauan karena terhias intan permata. Matanya yang tajam seakan-akan dapat menembus dan menjenguk isi dada orang.

Akan tetapi kecantikannya itu amat dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh ini nampak di sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah hud-tim (kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk. Akan tetapi kebutan ini indah, dengan gagang yang terbuat dari emas. Kebutan itu sendiri terbuat dari benang yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.

Setelah menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada Kao Cin Liong. Bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu kakinya melangkah turun dari joli, dengan gerakan sopan bagaikan seorang puteri yang menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan.

Setelah turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ramping, dengan pinggang yang kecil laksana pinggang lebah hitam, sedangkan pinggulnya besar menonjol. Dia berdiri dengan tegak dan anggun, seperti seorang ratu di hadapan para hulubalangnya.

"Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil," katanya. Suaranya lembut akan tetapi terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!

Akan tetapi, kalimat pendek ini mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu. Bagaimana gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah menjadi panglima?

"Hemm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?" Kakek ini sudah merasa kalah penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali belum mengenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.

"Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah mempunyai nama. Walau pun sekarang engkau bukan lagi jenderal, tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?"

Jelas sekali bagi para anggota keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika mengucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak merasa heran karena biar pun belum pernah berurusan dengan orang-orang Pao-beng-pai yang selalu bergerak secara rahasia, tapi mereka pernah mendengar bahwa partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.

"Sudahlah, tidak perlu kita mempersoalkan apakah aku pernah menjadi panglima, juga apakah Nona mempunyai nama atau tidak. Yang terpenting sekarang, apakah maksud kedatangan Nona sebagai utusan Pao-beng-pai? Seperti kami katakan tadi, kami tidak pernah mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai, maka apa maksud kunjungan Nona ini?" kata kakek Kao Cin Liong dengan suara yang tetap tenang dan penuh kesabaran. Sebagian anggota keluarga itu sudah ada yang melotot dan marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mengganggu kakek Kao Cin Liong yang mewakili mereka.

Gadis itu menggerakkan tangan kirinya. Ujung kebutannya bergerak seolah ia mengusir lalat yang datang mendekatinya, kemudian kembali senyumnya mekar penuh ejekan. "Apa maksud kunjunganku? Panglima Kao Cin Liong, sudah lama sekali Pao-beng-pai mendengar bahwa dalam tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga memiliki banyak pendekar yang pandai, yang tidak memandang sebelah mata kepada kelompok dan aliran lain di dunia persilatan. Juga bahwa ketiga keluarga itu berwatak tinggi hati, suka mencampuri urusan aliran lain, tidak segan menggunakan kepandaian mengalahkan kelompok lain, dan yang lebih tidak menyenangkan lagi, mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti turut membantu kekuasaan para penjajah. Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin sekali membuktikan sendiri apakah berita mengenai kegagahan mereka itu benar, atau hanya omong kosong saja."

Mendengar ucapan gadis itu, Kao Hong Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil mengepal tinju. Akan tetapi, Tan Sin Hong yang semenjak tadi sudah waspada melihat keadaan isteri dan puterinya, yang dia tahu keduanya memiliki watak keras dan galak, cepat menangkap lengan mereka dan memberi isyarat dengan geleng kepala.

"Ayah mewakili kita semua, jangan diganggu," bisiknya.

Kao Hong Li lantas teringat, demikian pula Sian Li, maka ibu dan anak ini menahan kemarahannya dalam hati. Sebagai pihak pemilik rumah yang kedatangan tamu, tidak pantas kalau mereka maju mengganggu Kao Cin Liong yang mewakili mereka semua.

Kakek Kao Cin Liong tersenyum mendengar ucapan gadis yang berani itu. Diam-diam dia terheran dan terkejut. Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan kata-kata keras mencela tiga keluarga besar, padahal para anggota keluarga lengkap berada di situ? Biar semua datuk persilatan di dunia kang-ouw, para datuk sesat sekali pun, tidak mungkin akan berani senekat itu!

Andai kata Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan berikut anak buahnya sekali pun, menghadapi seluruh keluarga ini, mereka akan sama dengan ombak samudera ganas yang menghantam bukit karang, akan hancur lebur dengan sendirinya. Apakah gadis ini miring otaknya, ataukah sudah bosan hidup dan sedang mencari cara membunuh diri yang dapat dianggap gagah? Dia mengelus jenggotnya yang sudah putih semua.

"Bu-beng Siocia (Nona Tanpa Nama), kalau Pao-beng-pai hendak membuktikan sendiri berita mengenai kegagahan ketiga keluarga kami, lalu apa yang kau kehendaki dengan kunjungan ini?"

"Aku mewakili Pao-beng-pai sepenuhnya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang tokoh yang paling tinggi ilmu kepandaiannya dari ketiga keluarga ini untuk mengadu kepandaian. Aku tahu, bahwa aku mendatangi goa penuh singa dan naga, dan kalian semua bisa saja maju dan membunuhku. Akan tetapi hal itu hanya akan membuktikan bahwa kalian hanyalah para pengecut, bukan orang gagah..."

"Tutup mulutmu yang bau busuk, iblis betina tanpa nama!" Tiba-tiba Kao Hong Li yang terkenal galak sudah meloncat maju ke depan wanita itu. "Berani engkau mengeluarkan kata-kata yang menghina ayahku dan seluruh keluarga kami? Bocah sombong macam engkau hendak menantang kami? Majulah, akulah yang akan mewakili semua keluarga untuk menghajarmu!"

Gadis muda itu tersenyum mengejek, lalu mengeluarkan suara dengus dari hidungnya, memandang rendah. "Engkau ini puteri Panglima Kao Cin Liong? Tentu engkau yang bernama Kao Hong Li. Bibi muda, kepandaianmu masih terlalu rendah. Mengapa tidak menyuruh suamimu saja, Si Bangau Putih Tan Sin Hong untuk mewakilimu? Aku ingin bertanding dengan tokoh paling tangguh dari tiga keluarga besar, bukan dengan orang yang ilmu kepandaiannya masih tanggung-tanggung."

Kembali semua orang terheran. Wanita muda ini agaknya mengenal para anggota tiga keluarga besar itu. Tidak salah lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu sebelumnya telah mempelajari keadaan mereka, wajah dan nama-nama mereka, dan mungkin sekali mendapat keterangan jelas tentang ilmu yang mereka miliki masing-masing. Sikap gadis itu telah membakar hati para pendekar wanita yang berada di tempat itu.

"Biarkan aku saja yang menghadapinya!" terdengar bentakan nyaring dan nampaklah bayangan berkelebat ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.

Gadis itu memandang penuh perhatian. "Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan dan berjuluk Siauw-kwi (Setan Kecil). Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan engkau. Kulihat suamimu Pendekar Suling Naga Sim Houw juga berada di sini. Kalau dia yang maju barulah ada harganya untuk melawan aku!"

"Wah, bocah sombong, agaknya otakmu tidak waras!" terdengar bentakan dan tubuh Kam Bi Eng berkelebat cepat mendekati gadis itu. "Hayo engkau cepat menggelinding pergi dari sini, atau aku yang akan menghancurkan mulutmu yang lancang!"

Gadis itu memandang kepada Kam Bi Eng penuh perhatian, kemudian menoleh untuk memandang kepada Suma Ceng Liong. "Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan keluarga Suling Emas dan Naga Siluman! Tapi lebih baik lagi kalau suamimu yang maju karena sudah lama aku mendengar nama besar Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari Pendekar Sakti Pulau Es!"

"Ibu, biarkan aku yang menghajarnya!" Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata mencorong marah.

"Tidak, lebih baik aku saja yang menghadapinya!" lagi terdengar teriakan yang dibarengi berkelebatnya bayangan merah dan Sian Li sudah pula berada di situ.

Nyonya Gak atau Souw Hui Lian, Suma Hui, yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para murid perempuan yang hadir di situ, semua maju, mempersiapkan diri untuk melawan tamu yang kurang ajar itu.

Gadis itu kini tertawa. Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan bersih.

"Ha-ha-ha, agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar masih memiliki semangat dan galak-galak. Tetapi aku tetap menghendaki orang terkuat yang maju menandingiku karena aku hanya akan menantang seorang saja, kecuali tentu saja kalau kalian hendak mengeroyokku."

"Jahanam sombong, kau sambutlah seranganku!" Suma Lian sudah menerjang dengan dahsyat ke arah gadis itu.

Suma Lian tak bisa menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi tanda penyerangan, dia telah menyerang dengan totokan jari-jari tangannya. Terdengar suara bersuitan ketika tangannya bergerak, menunjukkan betapa kuat tangan yang melakukan serangan totokan itu. Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat lihai.

"Hemmm, bagus!" Gadis itu berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat dan dia sudah melayang ke belakang, ke tempat terbuka yang lebih luas sambil tadi menghindarkan diri dari totokan maut. "Di sini lebih luas, mari kita main-main sebentar. Engkau ini tentu yang bernama Suma Lian, bukan? Namamu cukup terkenal, pantas untuk menjadi lawanku. Mari!"

Suma Lian yang berusia empat puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li Sian ia pernah digembleng oleh Bu Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng. Agaknya di antara semua anggota keluarga wanita yang hadir di situ pada saat itu, Suma Lian merupakan orang yang paling tangguh. Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih belum setinggi ia tingkat kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh gadis tamu yang aneh itu maka ia suka menerima Suma Lian menjadi lawannya.

Suma Lian meloncat ke depan gadis itu. Semua orang memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian karena meski pun gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku tidak bernama, tetapi dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal alirannya. Mereka tahu bahwa Pao-beng-pai merupakan partai pemberontak yang selalu menentang pemerintah, sama seperti halnya Thian-li-pang, Pat-kwa-pai, Pek-lian-kauw dan yang lain, akan tetapi Pao-beng-pai bukan perkumpulan silat maka para tokohnya memiliki ilmu silat dari bermacam aliran.

Kedua orang wanita itu sekarang saling berhadapan dalam keadaan siap siaga. Dalam usia empat puluh tahun Suma Lian masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia tidak pernah bosan untuk berlatih silat bersama suaminya. Oleh karena ia pun seorang pendekar wanita yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa gadis yang bersikap sombong dan berani menantang para anggota tiga keluarga besar itu tentu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati dan diam-diam ia pun sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke dalam kedua lengannya.

Gadis itu bersikap tenang, kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Matanya mencorong memandang lawan, mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak bahwa ia pun tidak berani main-main. Agaknya ia memang telah mendapat keterangan yang cukup mengenai para anggota keluarga, dan ia maklum bahwa yang dihadapinya adalah pendekar wanita anggota keluarga Pulau Es yang amat tangguh.

Gadis itu bersikap tenang sekali. Melihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan kebutannya kepada gadis berbaju kuning yang tadi mengawalnya. Kebutan itu meluncur deras bagaikan anak panah ke arah gadis baju kuning, amat mengejutkan semua orang karena seolah-olah gadis itu menyerang pembantunya sendiri!

Akan tetapi, gadis baju kuning dengan tenang namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah berhasil menjepit gagang kebutan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah! Diam-diam para pendekar menjadi semakin heran. Kalau si baju kuning itu, yang agaknya hanya merupakan pelayan, memiliki kemampuan seperti itu, mudah diduga bahwa nona majikannya tentu jauh lebih lihai.

Gadis itu sekarang membetulkan ikat sabuk sutera di pinggangnya, menggulung kedua lengan baju sampai ke siku sehingga nampak kedua lengannya yang kecil panjang dan berkulit halus.

"Suma Lian, aku sudah siap. Keluarkan semua kepandaianmu!" Gadis itu menantang.

"Iblis betina sombong, engkau yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang boleh bergerak lebih dulu!" Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda tegak. Kedua lengan menyilang di depan dada, sepasang matanya mencorong di antara kedua tangan yang dibuka jari-jarinya.

"Awas, aku mulai menyerang, ha-ha-hi-hi-hi...!"

Gadis itu tertawa dan suara tawanya makin lama semakin meninggi. Dua belas orang pengawalnya dan empat orang pelayan wanitanya mengambil sesuatu dan menyumbat sepasang telinga masing-masing dengan benda kecil itu.

Suma Lian terkejut pada saat merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya. Keturunan keluarga Pulau Es ini segera tahu bahwa gadis itu bukan sekedar tertawa, melainkan sudah melakukan penyerangan seperti yang dikatakan olehnya tadi, penyerangan melalui getaran suara tawa!

Ilmu macam ini, menggunakan getaran suara untuk menyerang lawan, merupakan ilmu yang hanya mampu dilakukan oleh orang yang telah mempunyai sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat. Suma Lian sendiri adalah puteri Suma Ceng Liong, keturunan Pulau Es yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir dari nenek moyangnya. Tentu saja Suma Lian sudah pernah mempelajari ilmu ini dan menguasai kekuatan sihir.

Maka, menghadapi serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan tenaga melindungi diri. Ia ‘menutup’ pendengarannya dari dalam dan memandang gadis yang tertawa itu dengan senyum mengejek.

Para anggota keluarga para pendekar yang hadir di situ juga mengerahkan sinkang dan mereka semua mampu menangkis getaran suara tawa itu. Akan tetapi, belasan orang tetangga yang masih hadir sebagai tamu, tersiksa sekali. Mereka coba untuk menutupi telinga dengan kedua tangan, akan tetapi agaknya getaran itu menembus tangan yang menutupi telinga dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal pingsan.

Melihat ini, Suma Lian membentak dengan suara lantang penuh wibawa, mengerahkan kekuatan sihirnya.

"Iblis betina, hentikan tawamu yang tidak ada gunanya itu!"

Dan suara tawa itu pun terhenti. Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak mempengaruhi lawan mau pun para anggota keluarga lainnya, hanya merobohkan orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.

"Kamu anak kecil sombong! Kau kira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat menakut-nakuti kami?!" bentak Suma Lian.

Dan nyonya ini pun membalas dengan serangan tamparan tangan kiri. Terdengar bunyi angin menyambar dahsyat. Gadis itu cepat mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke arah dada Suma Lian. Pukulan ini dielakkan pula oleh Suma Lian dan segera terjadi perkelahian yang seru di antara kedua orang wanita cantik itu.

Semua pendekar menonton dengan penuh keheranan. Mereka semua tahu betapa lihai Suma Lian. Wanita ini sudah mempelajari banyak ilmu silat tingkat tinggi yang dahsyat. Ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es ditambah pula ilmu-ilmu dari Lembah Naga Siluman.

Tidak tanggung-tanggung Suma Lian mengeluarkan ilmu-ilmu itu. Ia telah mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), juga dari Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), bahkan sudah menggunakan ilmu totokan Coa-kut-ci dan Toat-beng-ci (Jari Penembus Tulang dan Jari Pencabut Nyawa).

Namun anehnya, gadis itu seolah-olah mengenal semua jurus itu dan mampu mengelak atau menangkis. Ketika para pendekar memperhatikan dasar gerakan yang digunakan gadis cantik wakil Pao-beng-pai itu, mereka merasa heran. Gerakan silat gadis itu sukar dikenal dasarnya karena mengandung dasar banyak macam aliran silat.

Yang jelas kekokohan kuda-kuda Siauw-lim-pai nampak di situ, juga kelincahan gerakan silat Bu-tong-pai. Akan tetapi, gerakan kedua tangan pada waktu mengelak dan balas menyerang, jelas bukan dari kedua aliran itu, dan cara penyerangan yang tiba-tiba dan licik berbahaya itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu dari golongan sesat!

Namun, ternyata gadis itu lihai bukan main. Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal, dan agaknya sedikit banyak ia telah mengenal jurus-jurus silat yang dipergunakan Suma Lian untuk menyerangnya sehingga ia mampu mengelak atau menangkis dengan tepat. Sementara itu, dalam hal tenaga sinkang dan keringanan tubuh, ia juga tidak berada di bawah tingkat Suma Lian! Hal ini saja sudah sangat mengagumkan dan mengherankan hati para pendekar yang berada di situ.

Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling Naga Sim Houw, tiga orang di antara para pendekar yang mempunyai ilmu kepandaian paling tinggi di antara mereka semua, diam-diam merasa heran dan kaget bukan main.


Pada jaman itu, kiranya sukar sekali mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi ilmu kepandaian Suma Lian. Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh semua anggota keluarga, yang dikagumi sebagai anggota keluarga termuda yang telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, agaknya masih belum dapat menandingi Suma Lian.

Akan tetapi, gadis muda yang hanya dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu menandingi, bahkan kini mulai mendesak Suma Lian dengan ilmu silatnya yang aneh. Dia melakukan dorongan-dorongan atau pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat, yang mendatangkan angin laksana gelombang samudra sedang membadai.

Suma Lian mengerahkan tenaga dari Pulau Es untuk menahan dorongan-dorongan itu, namun agaknya ia masih kalah kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi bentrokan tenaga sakti, jelas bahwa pasangan kuda-kuda kaki Suma Lian tergeser sedikit ke belakang, sedangkan kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap teguh.

"Haiiiiittttt...!"

Tiba-tiba gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan tetapi kini ia mengubah kuda-kuda kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya merendah seperti berjongkok. Pinggulnya yang besar menonjol hampir menyentuh tanah. Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya menyambar angin dahsyat ke arah perut Suma Lian.

Suma Lian yang sudah cukup pengalaman itu dapat mengenal serangan dahsyat yang berbahaya. Akan tetapi kalau dia mengelak terus, hal itu akan membuktikan bahwa dia tak berani mengadu tenaga sehingga membuat ia nampak terdesak. Maka, wanita yang keras hati dan pemberani itu tidak mau mengalah.

Ia pun mengerahkan tenaga gabungan dari Tenaga Sakti Inti Api dan Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es. Biar kepandaiannya dalam pengerahan sinkang ini belum setingkat ayahnya, namun dibandingkan tokoh-tokoh wanita keturunan keluarga Pulau Es, Suma Lian sudah merupakan yang terkuat. Ia kerahkan tenaga gabungan itu dan menyambut serangan lawannya dengan dorongan kedua tangannya pula.

Benturan dahsyat antara dua tenaga sakti tidak dapat dihindarkan pula. Memang tidak nampak oleh mata, dan dua pasang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua meter, akan tetapi keduanya seperti mendorong dinding yang kokoh kuat.

Tubuh Suma Lian nampak terguncang, sedangkan gadis itu masih tak bergerak, bahkan kini bibirnya mengembangkan senyum mengejek. Keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, dan sebentar saja nampak betapa Suma Lian berkeringat serta dari kepalanya mengepul uap.

Melihat peristiwa ini, semua orang merasa tegang dan khawatir. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka maklum bahwa adu tenaga sinkang itu sudah mencapai titik yang gawat. Seorang di antara mereka akan terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang berada di pihak yang terancam. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan melerai, karena hal itu bahkan sangat berbahaya bagi kedua orang wanita perkasa yang sedang mengadu tenaga itu.

Akan tetapi, seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat bahaya maut mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk melerai.

Kakek perkasa yang berusia enam puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut Mendorong Bukit ke Kanan dan Kiri. Kedua tangannya dikembangkan dan didorongkan dari samping ke arah tengah-tengah di antara dua orang wanita yang sedang mengadu tenaga sinkang itu.

Seperti angin badai meniup dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terdorong dan hilang keseimbangan. Tenaga mereka yang tadi saling tekan itu terlepas, dan akibatnya Suma Lian terpelanting sedang gadis tanpa nama itu terdorong ke belakang.

Suma Lian cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat meloncat bangun dengan muka agak pucat dan napas terengah, sedangkan gadis itu pada saat terdorong ke belakang, membuat gerakan jungkir-balik yang indah sampai tiga kali, baru tubuhnya melayang turun dan berdiri tegak. Suma Lian terbebas dari ancaman bahaya, namun dari akibat dorongan kekuatan sinkang Suma Ceng Liong yang melerai, semua orang tahu bahwa dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian berada di pihak yang terdesak.

Gadis itu menatap wajah Suma Ceng Liong dengan sinar mata yang mencorong. Kulit wajahnya memerah karena marah, mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.

"Pendekar besar Suma Ceng Liong tidak malu melakukan pengeroyokan?" Dia berkata mengejek.

Di waktu mudanya, Suma Ceng Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak ugal-ugalan. Akan tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun, tentu saja tidak seperti dulu lagi, walau pun dia masih berwatak gembira. Melihat sikap gadis itu yang menuduhnya melakukan pengeroyokan dia hanya tersenyum.

"Bu-beng Siocia, aku tidak melakukan pengeroyokan, hanya melerai. Puteri kami Suma Lian sudah kalah olehmu. Nah, sekarang engkau mau apa lagi? Masih penasaran dan ingin menantang seorang di antara kami?"

Walau pun kata-kata itu membuat pengakuan akan kekalahan Suma Lian, namun juga mengandung penawaran kalau saja gadis itu masih mau menantang lagi. Semua orang juga tahu bahwa menghadapi Suma Lian, gadis itu hanya lebih unggul sedikit. Jelas jika melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh yang setingkat, ia tak akan mampu menang.

"Seperti kukatakan tadi, aku datang mewakili Pao-beng-pai untuk membuktikan sendiri kehebatan serta nama besar para pendekar dari tiga keluarga Pulau Es, Lembah Naga, dan Gurun Pasir. Aku hanya ingin bertanding satu kali saja, kecuali kalau kalian hendak mengeroyokku! Aku hanya ingin meninggalkan pesan bahwa Pao-beng-pai merupakan perkumpulan para patriot yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa ini dijajah oleh orang-orang biadab Mancu. Sebaliknya, ketiga keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek dan penjilat penjajah asing! Selamat tinggal!"

Gadis itu membalikkan tubuh, dengan sikap angkuh sekali hendak memasuki jolinya, sedangkan dua belas orang laki-laki dan empat orang gadis cantik sudah siap di kanan kiri joli seperti pasukan pengawal. Dia pun menerima kembali kebutannya dari tangan gadis berpakaian kuning yang menyerahkan kebutan itu sambil memberi hormat. Sikap gadis itu tiada ubahnya bagai seorang puteri istana, sedangkan para pengikutnya amat menghormatinya.

Semenjak tadi Tan Sian Li telah terbakar hatinya. Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya, sudah sejak tadi sebelum Suma Lian maju, dia sendiri sudah menerjang gadis itu. Kini, mendengar ucapan gadis itu yang dianggapnya sangat menghina tiga keluarga besar, mana mungkin Sian Li mampu menahan diri? Dadanya seperti meledak rasanya, dan sebelum ayah ibunya melarangnya, ia sudah meloncat ke atas.

Bagaikan seekor burung bangau merah, tubuhnya meluncur ke arah gadis di depan joli itu dan mulutnya membentak garang, "Iblis betina sombong! Sambut seranganku!"

Tapi gadis itu memberi isyarat dan empat orang gadis cantik yang menjadi pengawalnya itulah yang menyambut Sian Li. Mereka berempat maju bersama dan tangan mereka menyambut dorongan tangan Sian Li dari atas.

"Dukkk!"

Sian Li terpaksa berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat orang yang digabung itu, dan ia pun melayang turun. Hatinya semakin panas. Gadis sombong itu menyuruh empat orang pelayan mewakilinya, seolah-olah gadis itu menganggap dia tidak cukup berharga untuk menjadi lawannya!

"Jangan mengganggu nona kami yang mulia!" berkata si baju kuning yang sepertinya merupakan pemimpin dari mereka berempat. Mereka sudah mengepung Sian Li serta menghadang Sian Li, melindungi nona mereka. Melihat ini, Sian Li marah bukan main.

"Minggir! Apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak Sian Li galak.

"Sian Li, jangan membunuh orang!" Ayahnya memperingatkan.

Tiba-tiba gadis cantik di depan joli itu tertawa renyah. Suara tawanya merdu sehingga nampak aneh dan mengerikan, karena suara tertawa seperti itu sepatutnya dikeluarkan oleh wajah yang ramah dan periang, bukan oleh wajah yang biar pun cantik tetapi dingin itu.

"He-he-heh, ingin kulihat apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?"

Ditantang seperti itu, Sian Li lalu membentak, "Iblis betina, engkau boleh sekalian maju mengeroyokku, akan kurobohkan kalian semua!"

Setelah berteriak demikian, langsung Sian Li menerjang ke depan, disambut oleh empat orang gadis pelayan yang berpakaian menyolok masing-masing mewakili satu warna itu.

Setelah bergebrak, barulah Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang gadis pelayan itu bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah menguasai ilmu silat tinggi dan menjadi lawan yang amat tangguh! Mereka itu, terutama sekali si baju kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti empat ekor burung walet, dan rata-rata memiliki sinkang yang cukup kuat.


Ternyata gadis tanpa nama wakil Pao-beng-pai itu tidak membual ketika menertawakan Sian Li. Empat orang pelayannya memang lihai bukan main. Mereka adalah gadis-gadis berbakat yang agaknya telah digembleng secara khusus. Hal ini tidaklah aneh karena mereka berempat adalah empat orang pilihan dari pasukan wanita Pao-beng-pai yang mewakili empat dari tujuh kelompok warna yang ada.

Diam-diam Sian Li juga terkejut dan merasa kecelik. Tadi dia memang memandang rendah kepada empat orang pelayan itu, walau pun ia tidak berani memandang rendah kepada gadis cantik Pao-beng-pai yang tadi ia lihat sendiri mampu menandingi bibinya, Suma Lian. Kini dia sendiri merasa repot ketika empat orang pengeroyoknya bergerak cepat sehingga nampak mereka itu menjadi empat macam bayangan dengan warna menyilaukan mata berkelebatan di sekeliling dirinya.

Mereka pun melakukan serangan bertubi-tubi secara teratur sekali, bergiliran dan setiap kali Sian Li membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu mengelak, maka mereka mempersatukan tenaga untuk menangkisnya! Dengan demikian, serangan Sian Li selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang membuat ia cukup repot. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, suara tertawa merdu itu sering terdengar seakan-akan gadis Pao-beng-pai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan menertawakannya!

Panaslah rasa hati Sian Li. Kalau sejak tadi dia belum mampu mendesak empat orang pengeroyoknya dan memperoleh kemenangan, hal itu adalah akibat peringatan ayahnya agar dia tidak membunuh orang. Maka dia pun menahan diri, menahan sebagian tenaga dan tidak pula mengeluarkan semua kepandaiannya. Kini, mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan mulai memainkan ilmu andalannya, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah).

Tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia menyambar turun dan menyerang empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah, seindah gerakan burung bangau. Oleh karena pakaiannya serba merah, maka memang tepat sekali dia dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu itu.

Ilmu yang sangat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat, dan kini empat orang pelayan wanita Pao-beng-pai itu nampak terkejut. Mereka berusaha menahan diri dengan menggabungkan tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan mereka terbanting roboh.

Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, tapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka sudah menderita luka-luka dalam walau pun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, mengingat akan pesan ayahnya tadi.

Dengan senyum mengejek Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya. "Iblis betina, sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki keberanian!"

Gadis itu mendengus. "Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih banyak waktu untuk memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!"

Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki jolinya dan memberi isyarat kepada para pengawalnya. Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.

"Heiii, tunggu kau iblis betina!" Sian Li hendak mengejar.

"Sian Li, tahan...!" Sin Hong berseru.

Gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya. Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh.

Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan sedikit kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.

"Bibi Suma Lian, engkau keracunan...!" katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu.

Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian tidak merasakan sesuatu.

"Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!" kata Suma Ceng Liong.

"Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!" kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan keadaan isterinya.

"Jangan!" cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.

"Harap Bibi jangan khawatir, aku mampu mengobati Bibi," berkata Sian Li setelah dia memeriksa nadi tangan Suma Lian. "Marilah kita ke kamar. Ibu, aku minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sinkang-ku," katanya kepada ibunya, Kao Hong Li. Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.

Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sinkang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian.

Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup dalam tubuh Suma Lian melalui punggungnya, Sian Li berbisik lirih. "Bibi, harap gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga sinkang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi."

Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan amat kuat memasuki tubuhnya melalui punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan dua lengannya dan mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari kedua tapak tangannya. Atas anjuran Sian Li, sampai tiga kali ia melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta ibunya melepaskan tangannya pula.

Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, dia girang sekali melihat wajah itu tidak lagi pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi sepasang alis Suma Lian berkerut karena sekarang ia bisa merasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberi tahukan ini kepada Sian Li, gadis itu tersenyum.

"Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan lenyap."

Sian Li mengeluarkan sebuah botol, kemudian mengambil tiga butir pil dari dalam botol, menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.

"Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li," katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian Li.

"Mari kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi," kata Sian Li.

Semua orang bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah sembuh. Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sinkang untuk mengusir racun dalam tubuh orang yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.

Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa amat lega bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi bisa diatasi. Suasana menjadi gembira kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu meninggalkan tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka lalu membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.

Mereka semua merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah ada urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka.

Melihat semua anggota dari tiga keluarga besar itu merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat kedua tangan, minta supaya mereka semua diam. Kemudian dia berkata, "Mungkin aku dapat menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu."

Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lantas mulai menceritakan dugaannya. "Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan digantikan oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan terus berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bekas keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati."

"Akan tetapi, mengapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?" tanya Suma Hui isterinya, dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula di dalam hati mereka.

"Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para penjahat atau golongan sesat. Bila sekarang Pao-beng-pai memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Beng tidak, hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dan dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu bahwa di samping memiliki pimpinan dari golongan sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena kita menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tidak dapat disangkal lagi, keluarga kita pernah membantu pemerintah Kerajaan Ceng." Kao Cin Liong berhenti dan menghela napas panjang.

"Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!" Gak Ciang Hun berseru penasaran.

"Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, biar pun tidak pernah membantu pemerintah Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikatakan keturunan ibu Mancu. Kenyataan inilah yang agaknya membuat keluarga Pulau Es lantas dianggap sebagai antek Mancu oleh Pao-beng-pai."

Mereka yang merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es saling pandang, dan tidak dapat membantah kenyataan itu, walau pun dalam hati mereka merasa penasaran. Biar pun nenek mereka seorang puteri Mancu, akan tetapi mereka tidak pernah membantu pemerintah penjajah Mancu.

"Dan sekarang tentang keluarga Gurun Pasir," berkata pula Kao Cin Liong melanjutkan. "Memang sekarang ini keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng. Akan tetapi dulu, ketika aku masih muda, aku pernah menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal ini yang membuat aku sampai kini merasa menyesal, walau pun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Namun, tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah yang menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita."

"Pendapat paman Kao Cin Liong memang masuk akal," kini Cu Kun Tek yang berkata. Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, tapi sekarang, setelah ia menjadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, ia bersikap sangat tenang. "Akan tetapi, mengapa pula Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?"

Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu, kemudian berkata. "Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggota keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Selain itu, para anggota keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau turut dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai."

"Jika benar begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti halnya Pek-lian-kauw dan lain-lain!" kata Kao Hong Li.

Ayahnya menghela napas panjang. "Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua."

Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang sudah berani mati membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasehati yang muda agar tidak tergesa-gesa mengambil tindakan.

"Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan jangan mengambil tindakan sendiri-sendiri," kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. "Bagaimana pun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng, hal itu bukanlah urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan kehebohan di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi, dan kita juga sudah mampu memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri."

Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alis dan dia pun mengeluarkan pendapatnya. "Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biar pun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Dan melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi itu, tidak mungkin ia begitu tolol menantang kita selagi semua anggota keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat besar."

"Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana kekuatan kita," kata Kam Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong.

Demikianlah, para anggota tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai itu. Mereka menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan.


cerita silat karya kho ping hoo


Jika ada pihak golongan sesat yang datang memusuhi seorang atau dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh sebab memang mereka selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggota dari tiga keluarga besar selagi mereka semua berkumpul, sungguh ini hanya bisa dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut.

Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari tiga keluarga itu sudah pasti takkan mengeroyoknya. Agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak.

Memang, andai kata yang menghadapi gadis tadi adalah Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang. Akan tetapi siapa pun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apa lagi membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawan mereka. Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-beng-pai itu, maka ia berani menantang sedemikian nekatnya.

Sampai jauh malam barulah para anggota tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.

Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggota keluarga yang melihat gadis itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali.

Tan Sin Hong menghiburnya. "Sudahlah, anak kita toh bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri."

"Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam bahaya," isterinya membantah.

Semua anggota kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.

Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong. "Lihatlah Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apa lagi jika mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi."

Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggota keluarga yang mendengarkan.

Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang semenjak kecil itu. Juga dia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai.

‘Harap Ayah dan Ibu tidak khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati,' demikian ia mengakhiri suratnya.

"Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!" seru Can Bi Lan. "Biar pun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li, akan tetapi ke mana dia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena bertahun-tahun mencari tanpa pernah berhasil!"

"Memang semenjak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!" kata Kao Hong Li. "Bagaimana pun juga, ia masih belum matang benar meski pun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan dapat menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?"

Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa. "Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi? Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan."

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata, "Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong. Sian Li sudah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri. Biar pun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik."

Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.

Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun. "Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang sambil menyelidiki Pao-beng-pai?"

Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu.

Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu, wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat. "Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kau lakukan itu baik dan benar, Ciang Hun."

Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya. "Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!"

Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu, dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah ia persiapkan sejak ia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li lalu saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekali pun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka.

Bukan karena mereka tidak setuju, karena betapa pun Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang juga merupakan anak murid keluarga Pulau Es. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun.

Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata, "Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami bertiga lagi bermaksud pergi ke kota raja untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun."

"Pangeran?" Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. "Engkau akan bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberi tahu kami?"

Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu. Dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa dia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!

Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan oleh kakek itu. Sin Hong cepat membantu isterinya. "Ayah, kami memang belum memberi tahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu."

"Tapi... tapi kenapa seorang pangeran...?" Kao Cin Liong berkata lirih.

Ia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan, yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong. Maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!

Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya. "Jika seorang pangeran, kenapa, Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami pun sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li."

Kao Cin Liong hanya menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanyalah membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.

Sementara itu, tentu saja diam-diam, Nyonya Gak mengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya. Dan kini dia mendengar sendiri dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya pasrah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Jika memang anaknya berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.

Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggota keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggota keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi.

Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalam urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak.

Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka yang tersayang itu sebenarnya sudah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga supaya suami isteri ini tidak merasa menyesal.

"Kita harus mengambil seorang murid lagi!" tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.

"Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun." Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.

"Kita harus mencarinya," berkata suaminya. "Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas."

"Hemm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan. Kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri yang akan kita warisi ilmu-ilmu kita."

"Benar, akan tetapi baik Suma Lian mau pun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga memiliki guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, juga aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita supaya kelak dapat diteruskan serta dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat." Pendekar itu menarik napas panjang.

Isterinya tersenyum. "Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang nanti menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya."

Suaminya mengangguk-angguk. "Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai kita berhasil menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?"

Isterinya memandang dengan wajah berseri. "Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, jika melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai."

Sepasang suami isteri itu saling pandang sambil tersenyum. Tanpa perlu sepatah kata pun, mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing.


Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pemerintah mau pun buruan para pendekar, bila sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap.

Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa. Bahkan di beberapa tempat terdapat pula lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalam rawa itu. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, maka jangan harap akan dapat selamat jika tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar.

Pada saat malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seakan-akan laksaan iblis berpesta pora di sana. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan)!

Akan tetapi, jika ada orang yang mempunyai kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah ini, maka dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu.

Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya.

Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.

Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat mulai dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja, setiap hari tentu dibutuhkan tenaga belasan orang!

Pagi hari itu cuaca amat cerah. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang berhembus dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.

Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan suara seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar, yang cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau, menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan.

Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki. Ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu.

Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok. Dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekali pun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di sana. Terlalu besar bahayanya!

Karena itulah, maka ketiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka menemui jalan buntu, akan tetapi ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.

Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga merasa penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas terbabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!

"Hemm, kita tersesat jalan!" kata orang terdepan yang memegang golok. "Tadi pun kita sudah lewat di sini."

"Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?" orang kedua mengomel.

"Jelaslah bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga berupa semacam jebakan. Kita harus berhati-hati," kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

"Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani membuat jebakan di dalam hutan ini untuk menghina kita?" orang ke dua bertanya penasaran.

Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu. Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.

"Kalian tenang dan bersabarlah," kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning. "Kita sendiri yang bersalah, kita terlalu tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah kini sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini."

Ketiga orang itu berhenti melangkah, nampak seperti kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun. Melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka ialah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit, kerasnya tulang serta lihainya ilmu silat.

"Hemm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?" si muka hitam mengomel lagi.

"Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut," cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. "Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon."

Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.

"Ahhh, bukan main...! Betapa megahnya sarang mereka...! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!"

Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah merasa tertarik, dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Nampaknya tak jauh lagi dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.

"Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!" kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon.

Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.

"Wah, sekarang baru enak jalannya!" katanya.

Ia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apa lagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.

"Tolooonggg...! Twako.... Ji-ko, tolong...!" Dia berkaok bagaikan seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali.

Melihat hal ini, si muka hitam terkejut. Segera dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan itu, memegangi dengan kedua tangannya kemudian ia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.

Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tanpa dapat dielakkannya lagi, dia pun turut terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.

"Tolong...! Twako (Kakak Tertua) tolong...!"

Sekarang si muka hitam juga ikut berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Ada pun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.

Ketika melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh!

"Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!" bentaknya mendongkol.

Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu tersadar. Mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka pun tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam. Mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.

Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Sam-heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu pada sebatang pohon yang besar, lalu melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali.

Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang pada dahan kayu, dibantu si kumis tipis. Biar pun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergelak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.

"Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan," sang kakak mengomel.

"Aihh, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya yang tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri bila dikenang kembali!" kata si gendut.

"Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!" kata si muka hitam.

"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain," kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.

Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena kini mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tidak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang.

Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali buntu, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak menggunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada. Jalan buntu!

"Jahanam! Kita bertiga diundang hanya untuk dipermainkan!" si gendut mengomel dan mengepal tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering sehingga tubuhnya terasa kaku dan gatal-gatal.

"Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!" berkata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya.

Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah menempel sambil menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu.

Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tidak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.

Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar. "Kalian jangan sembarang bicara! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!"

Dia memandang ke arah seberang sana, lalu memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khikang dan berteriak lantang.

"Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!"

Suara itu terdengar lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khikang, dan gemanya terdengar membalik dari sekeliling tempat itu.

"Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan," tiba-tiba terdengar suara lembut.

Mereka bertiga kaget sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, hanya tahu-tahu sudah di situ, tersenyum manis.

Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!

Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata. "Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?"

Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah. "Aku adalah manusia biasa. Aku salah seorang di antara prajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga)."

"Bukan main!" kata si muka hitam yang sejak tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. "Apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita bagaikan engkau ini, Nona?"

Gadis itu menggelengkan kepala. "Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku."

"Nanti dulu!" si gendut berteriak. "Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!"

"Aku juga!" kata si muka hitam.

Mereka berdua tadi bertanya apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini. Kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.

Gadis itu tersenyum dan nampaklah deretan giginya yang berkilauan. "Jangan khawatir. Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya sangat jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana."

Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh ketiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.

Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.

Setelah melewati hutan itu, mendadak saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih. Di dekat situ terdapat pula sebuah air terjun kecil yang bersih pula airnya.

Seperti berebut saja, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus oleh kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka di dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor. Kini mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.

Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggi kurus yang berkumis tipis itu duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih. Tidak banyak keterangan yang dapat dia peroleh dari gadis itu.

Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, sedang mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.

"Aku tidak boleh banyak bicara. Nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas," demikian katanya mengakhiri keterangannya.

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dulunya dipimpin oleh orang-orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang banyak orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi." Dia menunjuk ke arah kedua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.

Gadis itu kembali tersenyum. "Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberi tahu, bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya sehingga kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang untuk menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi."

Si tinggi kurus menghela napas panjang. "Sudahlah, bagaimana pun juga kamilah yang bersalah sebab tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?"

"Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini."

Dua orang yang membersihkan diri sekarang sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini sudah mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka menggunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.

Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walau pun masih tidak mungkin diloncati orang meski memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.

"Wah, kita terhalang jurang lagi," kata si gendut.

"Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?" tanya si kulit hitam.

Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana. "Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satu-satunya."

"Maksudmu, Nona?" Si tinggi kurus bertanya heran.

"Menyeberangi jurang ini," kata gadis itu dengan sikap tenang.

Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang sambil terbelalak. "Akan tetapi, siapakah yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?" tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.

"Tidak meloncati, melainkan menyeberang."

"Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya...," kata pula si muka hitam.

"Tunggu dan lihat sajalah," kata gadis itu yang agaknya mulai tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.

Gadis berpakaian putih itu lalu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya.

Tidak lama kemudian, dari seberang sana terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncullah seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.

"Singgg... wirrrrr...!"

Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali, hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk.

Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru kini mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat. Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan yang kuat tetapi mengait kendur sehingga dari seberang sana, dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.

"Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini," kata gadis pakaian putih.

"Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!" kata si gendut.

Biar pun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, tetapi belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tidak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan bahwa nyawa akan melayang ketika badan terbanting hancur di dasar jurang!

Gadis itu tersenyum mengejek. "Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang ke sana dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai."

Setelah berkata demikian, ia kemudian melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata. "Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang."

Setelah berkata demikian, lalu ia pun mulai melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.

"Jangan membikin malu saja," kata si tinggi kurus.

Dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti pula oleh si gendut. Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang telah menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan tinggi, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apa lagi tali itu direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.

Setelah mereka semua tiba di seberang jurang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walau pun wajahnya tersenyum dan berusaha memperlihatkan ketenangan dan kegagahan, tapi jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang, walau pun tadi ia pun sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, karena membayangkan akibatnya kalau-kalau sampai terjatuh.......























Terima kasih telah membaca Serial ini


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12