Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 02
Semua orang
memandang dengan heran karena tidak ada yang mengenal dari mana dan siapa
rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka kenal. Hanya Kao Cin Liong, orang
tertua di antara mereka semua, yang memandang dengan alis berkerut dan dia pun
menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada Suma Ceng Liong. Suma Hui juga
mengikuti suaminya dan mendekati adiknya.
"Hanya
ada sebuah partai yang kiranya dapat memakai tanda bendera seperti itu, yaitu
Pao-beng-pai (Partai Pembela Terang)."
"Akan
tetapi partai itu tidak pernah terdengar lagi sekarang," kata Suma Hui.
"Pao-beng-pai?
Partai macam apakah itu?" tanya Suma Ceng Liong kepada cihu-nya (kakak
iparnya), yaitu suami dari enci-nya yang dahulu pernah menjadi panglima perang
dan memiliki banyak sekali pengalaman.
"Pao-beng-pai
itu partai yang berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng yang sudah
jatuh dengan pemberontakan terhadap pemerintah yang sekarang," kata Kao
Cin Liong.
Mereka
berhenti bicara dan pada saat itu, seorang di antara para anggota pasukan yang
berpakaian warna abu-abu itu berteriak lantang. "Kami utusan dari
Pao-beng-pai mohon bertemu dengan pimpinan dari keluarga Pulau Es, keluarga
Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman yang kini sedang berkumpul di
sini!"
Semua orang
terkejut mendengar ini. Suma Ceng Liong kemudian minta kepada suami enci-nya,
yaitu Kao Cin Liong sebagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili
seluruh keluarga dan menerima pengunjung yang baru datang.
Karena jelas
bahwa rombongan itu ingin bertemu dengan pimpinan tiga keluarga, bukan dengan
tuan rumah, Kao Cin Liong yang menjadi orang tertua di situ tidak keberatan
untuk mewakili seluruh keluarga. Di dalam hatinya dia merasa heran sekali. Mau
apakah orang-orang Pao-beng-pai mencari mereka? Kalau hendak mencari gara-gara,
mungkin orang-orang Pao-beng-pai itu sudah gila. Siapa di dunia ini begitu gila
mencari perkara dengan para pendekar dari tiga keluarga besar yang saat itu
berkumpul di situ?
Kakek yang
kini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan
rombongan itu. Para anggota pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan
menyibak ke kanan dan kiri sehingga kakek itu kini berhadapan dengan joli yang
tirainya masih saja tertutup. Semua orang memandang dari belakang kakek Kao Cin
Liong dan suasana menjadi hening sekali karena semua orang memperhatikan.
"Kami
sedang berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan keluarga dan kami tidak
mempunyai pimpinan. Karena aku kebetulan yang tertua, maka para anggota
keluarga kami minta supaya aku mewakili mereka. Nah, apakah yang dikehendaki
Pao-beng-pai dengan kunjungan mendadak dan tanpa diundang ini? Di antara kami
tidak ada yang mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai." Suara kakek itu
cukup berwibawa walau pun sikapnya tenang sekali.
Bahkan dua
belas orang anggota pasukan yang tadinya nampak kereng dan kokoh kuat itu kini
nampak gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang, berwibawa dan
penuh kepercayaan pada diri sendiri. Tadinya mereka mengira bahwa setiap orang
di dunia persilatan akan menjadi jeri melihat bendera tanda pengenal partai
mereka. Siapa tahu kakek ini bersikap seolah mereka hanyalah sebagai pengganggu
biasa saja yang tidak terkenal!
Seperti
anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua
memandang ke arah joli. Si pemegang bendera segera berkata dengan suara
lantang, jelas dimaksudkan agar didengar oleh semua orang karena bila hanya
ditujukan kepada penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang itu.
"Nona
yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silakan Nona yang mulia
keluar untuk bicara dengan dia!"
Tentu saja
semua orang menjadi semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona
yang mulia itu? Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli
yang sejak tadi tidak bergerak, dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan
ke atas tanah. Tirai itu pun semenjak tadi tidak pernah bergoyang. Pada saat
empat orang penggotong joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan
seolah-olah penumpang joli itu teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul
itu yang amat kuat?
Kini tirai
dari sutera hijau itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi
empat orang gadis pendamping joli untuk cepat menghampiri bagian depan joli.
Mereka menyingkap tirai itu dan ketika melakukan ini, mereka berempat
membungkuk sampai dalam, dan yang berpakaian kuning lalu berkata penuh hormat.
"Silakan, Siocia (Nona Muda)!"
Semua orang
memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang
cantik dan bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah,
dan ia nampak anggun dan cantik. Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri
atau seorang ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau canggung walau pun
banyak pasang mata yang tajam dan mencorong mengamatinya.
Usianya
sukar diketahui dengan pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa dia bukan
remaja lagi, cukup dewasa dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya
digelung tinggi di atas kepala, dan rambut itu dihias sebuah tiara kecil yang
berkilauan karena terhias intan permata. Matanya yang tajam seakan-akan dapat
menembus dan menjenguk isi dada orang.
Akan tetapi
kecantikannya itu amat dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan
angkuh ini nampak di sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya
memegang sebuah hud-tim (kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau
pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk. Akan tetapi kebutan ini indah,
dengan gagang yang terbuat dari emas. Kebutan itu sendiri terbuat dari benang
yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.
Setelah
menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada
Kao Cin Liong. Bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis.
Lalu kakinya melangkah turun dari joli, dengan gerakan sopan bagaikan seorang
puteri yang menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan.
Setelah
turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya
yang ramping, dengan pinggang yang kecil laksana pinggang lebah hitam,
sedangkan pinggulnya besar menonjol. Dia berdiri dengan tegak dan anggun,
seperti seorang ratu di hadapan para hulubalangnya.
"Kiranya
Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil," katanya. Suaranya lembut akan
tetapi terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan
orang dalam mimpi!
Akan tetapi,
kalimat pendek ini mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu.
Bagaimana gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah
menjadi panglima?
"Hemm,
sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?" Kakek ini
sudah merasa kalah penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan
tetapi dia sama sekali belum mengenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.
"Aku
biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah mempunyai nama. Walau pun sekarang
engkau bukan lagi jenderal, tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan
Mancu, bukan?"
Jelas sekali
bagi para anggota keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika
mengucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak
merasa heran karena biar pun belum pernah berurusan dengan orang-orang
Pao-beng-pai yang selalu bergerak secara rahasia, tapi mereka pernah mendengar
bahwa partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.
"Sudahlah,
tidak perlu kita mempersoalkan apakah aku pernah menjadi panglima, juga apakah
Nona mempunyai nama atau tidak. Yang terpenting sekarang, apakah maksud
kedatangan Nona sebagai utusan Pao-beng-pai? Seperti kami katakan tadi, kami
tidak pernah mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai, maka apa maksud kunjungan
Nona ini?" kata kakek Kao Cin Liong dengan suara yang tetap tenang dan
penuh kesabaran. Sebagian anggota keluarga itu sudah ada yang melotot dan
marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mengganggu kakek Kao Cin
Liong yang mewakili mereka.
Gadis itu
menggerakkan tangan kirinya. Ujung kebutannya bergerak seolah ia mengusir lalat
yang datang mendekatinya, kemudian kembali senyumnya mekar penuh ejekan.
"Apa maksud kunjunganku? Panglima Kao Cin Liong, sudah lama sekali
Pao-beng-pai mendengar bahwa dalam tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir,
dan Lembah Naga memiliki banyak pendekar yang pandai, yang tidak memandang
sebelah mata kepada kelompok dan aliran lain di dunia persilatan. Juga bahwa
ketiga keluarga itu berwatak tinggi hati, suka mencampuri urusan aliran lain,
tidak segan menggunakan kepandaian mengalahkan kelompok lain, dan yang lebih
tidak menyenangkan lagi, mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti
turut membantu kekuasaan para penjajah. Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin
sekali membuktikan sendiri apakah berita mengenai kegagahan mereka itu benar,
atau hanya omong kosong saja."
Mendengar
ucapan gadis itu, Kao Hong Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil
mengepal tinju. Akan tetapi, Tan Sin Hong yang semenjak tadi sudah waspada
melihat keadaan isteri dan puterinya, yang dia tahu keduanya memiliki watak
keras dan galak, cepat menangkap lengan mereka dan memberi isyarat dengan
geleng kepala.
"Ayah
mewakili kita semua, jangan diganggu," bisiknya.
Kao Hong Li
lantas teringat, demikian pula Sian Li, maka ibu dan anak ini menahan
kemarahannya dalam hati. Sebagai pihak pemilik rumah yang kedatangan tamu,
tidak pantas kalau mereka maju mengganggu Kao Cin Liong yang mewakili mereka
semua.
Kakek Kao
Cin Liong tersenyum mendengar ucapan gadis yang berani itu. Diam-diam dia
terheran dan terkejut. Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan
kata-kata keras mencela tiga keluarga besar, padahal para anggota keluarga
lengkap berada di situ? Biar semua datuk persilatan di dunia kang-ouw, para
datuk sesat sekali pun, tidak mungkin akan berani senekat itu!
Andai kata
Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan berikut anak buahnya sekali pun,
menghadapi seluruh keluarga ini, mereka akan sama dengan ombak samudera ganas
yang menghantam bukit karang, akan hancur lebur dengan sendirinya. Apakah gadis
ini miring otaknya, ataukah sudah bosan hidup dan sedang mencari cara membunuh
diri yang dapat dianggap gagah? Dia mengelus jenggotnya yang sudah putih semua.
"Bu-beng
Siocia (Nona Tanpa Nama), kalau Pao-beng-pai hendak membuktikan sendiri berita
mengenai kegagahan ketiga keluarga kami, lalu apa yang kau kehendaki dengan
kunjungan ini?"
"Aku
mewakili Pao-beng-pai sepenuhnya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang
tokoh yang paling tinggi ilmu kepandaiannya dari ketiga keluarga ini untuk
mengadu kepandaian. Aku tahu, bahwa aku mendatangi goa penuh singa dan naga,
dan kalian semua bisa saja maju dan membunuhku. Akan tetapi hal itu hanya akan
membuktikan bahwa kalian hanyalah para pengecut, bukan orang gagah..."
"Tutup
mulutmu yang bau busuk, iblis betina tanpa nama!" Tiba-tiba Kao Hong Li
yang terkenal galak sudah meloncat maju ke depan wanita itu. "Berani
engkau mengeluarkan kata-kata yang menghina ayahku dan seluruh keluarga kami? Bocah
sombong macam engkau hendak menantang kami? Majulah, akulah yang akan mewakili
semua keluarga untuk menghajarmu!"
Gadis muda
itu tersenyum mengejek, lalu mengeluarkan suara dengus dari hidungnya,
memandang rendah. "Engkau ini puteri Panglima Kao Cin Liong? Tentu engkau
yang bernama Kao Hong Li. Bibi muda, kepandaianmu masih terlalu rendah. Mengapa
tidak menyuruh suamimu saja, Si Bangau Putih Tan Sin Hong untuk mewakilimu? Aku
ingin bertanding dengan tokoh paling tangguh dari tiga keluarga besar, bukan
dengan orang yang ilmu kepandaiannya masih tanggung-tanggung."
Kembali
semua orang terheran. Wanita muda ini agaknya mengenal para anggota tiga
keluarga besar itu. Tidak salah lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu
sebelumnya telah mempelajari keadaan mereka, wajah dan nama-nama mereka, dan
mungkin sekali mendapat keterangan jelas tentang ilmu yang mereka miliki
masing-masing. Sikap gadis itu telah membakar hati para pendekar wanita yang
berada di tempat itu.
"Biarkan
aku saja yang menghadapinya!" terdengar bentakan nyaring dan nampaklah
bayangan berkelebat ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.
Gadis itu
memandang penuh perhatian. "Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan
dan berjuluk Siauw-kwi (Setan Kecil). Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan
engkau. Kulihat suamimu Pendekar Suling Naga Sim Houw juga berada di sini.
Kalau dia yang maju barulah ada harganya untuk melawan aku!"
"Wah,
bocah sombong, agaknya otakmu tidak waras!" terdengar bentakan dan tubuh
Kam Bi Eng berkelebat cepat mendekati gadis itu. "Hayo engkau cepat
menggelinding pergi dari sini, atau aku yang akan menghancurkan mulutmu yang
lancang!"
Gadis itu
memandang kepada Kam Bi Eng penuh perhatian, kemudian menoleh untuk memandang
kepada Suma Ceng Liong. "Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan keluarga Suling
Emas dan Naga Siluman! Tapi lebih baik lagi kalau suamimu yang maju karena
sudah lama aku mendengar nama besar Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari
Pendekar Sakti Pulau Es!"
"Ibu,
biarkan aku yang menghajarnya!" Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata
mencorong marah.
"Tidak,
lebih baik aku saja yang menghadapinya!" lagi terdengar teriakan yang
dibarengi berkelebatnya bayangan merah dan Sian Li sudah pula berada di situ.
Nyonya Gak
atau Souw Hui Lian, Suma Hui, yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para
murid perempuan yang hadir di situ, semua maju, mempersiapkan diri untuk
melawan tamu yang kurang ajar itu.
Gadis itu
kini tertawa. Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan
giginya yang rapi dan bersih.
"Ha-ha-ha,
agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar masih memiliki semangat dan
galak-galak. Tetapi aku tetap menghendaki orang terkuat yang maju menandingiku
karena aku hanya akan menantang seorang saja, kecuali tentu saja kalau kalian
hendak mengeroyokku."
"Jahanam
sombong, kau sambutlah seranganku!" Suma Lian sudah menerjang dengan
dahsyat ke arah gadis itu.
Suma Lian
tak bisa menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi tanda
penyerangan, dia telah menyerang dengan totokan jari-jari tangannya. Terdengar
suara bersuitan ketika tangannya bergerak, menunjukkan betapa kuat tangan yang
melakukan serangan totokan itu. Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)
yang amat lihai.
"Hemmm,
bagus!" Gadis itu berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat
bagaikan kilat dan dia sudah melayang ke belakang, ke tempat terbuka yang lebih
luas sambil tadi menghindarkan diri dari totokan maut. "Di sini lebih
luas, mari kita main-main sebentar. Engkau ini tentu yang bernama Suma Lian,
bukan? Namamu cukup terkenal, pantas untuk menjadi lawanku. Mari!"
Suma Lian
yang berusia empat puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi
Eng. Selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li
Sian ia pernah digembleng oleh Bu Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng. Agaknya di
antara semua anggota keluarga wanita yang hadir di situ pada saat itu, Suma
Lian merupakan orang yang paling tangguh. Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih
belum setinggi ia tingkat kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh
gadis tamu yang aneh itu maka ia suka menerima Suma Lian menjadi lawannya.
Suma Lian
meloncat ke depan gadis itu. Semua orang memandang dengan hati tegang dan penuh
perhatian karena meski pun gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku
tidak bernama, tetapi dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal
alirannya. Mereka tahu bahwa Pao-beng-pai merupakan partai pemberontak yang
selalu menentang pemerintah, sama seperti halnya Thian-li-pang, Pat-kwa-pai,
Pek-lian-kauw dan yang lain, akan tetapi Pao-beng-pai bukan perkumpulan silat
maka para tokohnya memiliki ilmu silat dari bermacam aliran.
Kedua orang
wanita itu sekarang saling berhadapan dalam keadaan siap siaga. Dalam usia
empat puluh tahun Suma Lian masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia
tidak pernah bosan untuk berlatih silat bersama suaminya. Oleh karena ia pun
seorang pendekar wanita yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa gadis yang
bersikap sombong dan berani menantang para anggota tiga keluarga besar itu
tentu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, ia pun
bersikap hati-hati dan diam-diam ia pun sudah mengerahkan tenaga Swat-im
Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke dalam kedua lengannya.
Gadis itu
bersikap tenang, kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Matanya mencorong
memandang lawan, mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak
bahwa ia pun tidak berani main-main. Agaknya ia memang telah mendapat
keterangan yang cukup mengenai para anggota keluarga, dan ia maklum bahwa yang
dihadapinya adalah pendekar wanita anggota keluarga Pulau Es yang amat tangguh.
Gadis itu
bersikap tenang sekali. Melihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan
kebutannya kepada gadis berbaju kuning yang tadi mengawalnya. Kebutan itu
meluncur deras bagaikan anak panah ke arah gadis baju kuning, amat mengejutkan
semua orang karena seolah-olah gadis itu menyerang pembantunya sendiri!
Akan tetapi,
gadis baju kuning dengan tenang namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah
berhasil menjepit gagang kebutan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah!
Diam-diam para pendekar menjadi semakin heran. Kalau si baju kuning itu, yang
agaknya hanya merupakan pelayan, memiliki kemampuan seperti itu, mudah diduga
bahwa nona majikannya tentu jauh lebih lihai.
Gadis itu
sekarang membetulkan ikat sabuk sutera di pinggangnya, menggulung kedua lengan
baju sampai ke siku sehingga nampak kedua lengannya yang kecil panjang dan
berkulit halus.
"Suma
Lian, aku sudah siap. Keluarkan semua kepandaianmu!" Gadis itu menantang.
"Iblis
betina sombong, engkau yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang
boleh bergerak lebih dulu!" Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda
tegak. Kedua lengan menyilang di depan dada, sepasang matanya mencorong di
antara kedua tangan yang dibuka jari-jarinya.
"Awas,
aku mulai menyerang, ha-ha-hi-hi-hi...!"
Gadis itu
tertawa dan suara tawanya makin lama semakin meninggi. Dua belas orang
pengawalnya dan empat orang pelayan wanitanya mengambil sesuatu dan menyumbat
sepasang telinga masing-masing dengan benda kecil itu.
Suma Lian
terkejut pada saat merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya.
Keturunan keluarga Pulau Es ini segera tahu bahwa gadis itu bukan sekedar
tertawa, melainkan sudah melakukan penyerangan seperti yang dikatakan olehnya
tadi, penyerangan melalui getaran suara tawa!
Ilmu macam
ini, menggunakan getaran suara untuk menyerang lawan, merupakan ilmu yang hanya
mampu dilakukan oleh orang yang telah mempunyai sinkang (tenaga sakti) yang
amat kuat. Suma Lian sendiri adalah puteri Suma Ceng Liong, keturunan Pulau Es
yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir dari nenek moyangnya.
Tentu saja Suma Lian sudah pernah mempelajari ilmu ini dan menguasai kekuatan
sihir.
Maka,
menghadapi serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan
tenaga melindungi diri. Ia ‘menutup’ pendengarannya dari dalam dan memandang
gadis yang tertawa itu dengan senyum mengejek.
Para anggota
keluarga para pendekar yang hadir di situ juga mengerahkan sinkang dan mereka
semua mampu menangkis getaran suara tawa itu. Akan tetapi, belasan orang
tetangga yang masih hadir sebagai tamu, tersiksa sekali. Mereka coba untuk
menutupi telinga dengan kedua tangan, akan tetapi agaknya getaran itu menembus
tangan yang menutupi telinga dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal
pingsan.
Melihat ini,
Suma Lian membentak dengan suara lantang penuh wibawa, mengerahkan kekuatan
sihirnya.
"Iblis
betina, hentikan tawamu yang tidak ada gunanya itu!"
Dan suara
tawa itu pun terhenti. Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak
mempengaruhi lawan mau pun para anggota keluarga lainnya, hanya merobohkan
orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.
"Kamu
anak kecil sombong! Kau kira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat
menakut-nakuti kami?!" bentak Suma Lian.
Dan nyonya
ini pun membalas dengan serangan tamparan tangan kiri. Terdengar bunyi angin
menyambar dahsyat. Gadis itu cepat mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke
arah dada Suma Lian. Pukulan ini dielakkan pula oleh Suma Lian dan segera
terjadi perkelahian yang seru di antara kedua orang wanita cantik itu.
Semua
pendekar menonton dengan penuh keheranan. Mereka semua tahu betapa lihai Suma
Lian. Wanita ini sudah mempelajari banyak ilmu silat tingkat tinggi yang
dahsyat. Ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es ditambah pula ilmu-ilmu dari Lembah
Naga Siluman.
Tidak tanggung-tanggung
Suma Lian mengeluarkan ilmu-ilmu itu. Ia telah mengeluarkan beberapa jurus dari
ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), juga dari
Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), bahkan sudah menggunakan ilmu totokan
Coa-kut-ci dan Toat-beng-ci (Jari Penembus Tulang dan Jari Pencabut Nyawa).
Namun
anehnya, gadis itu seolah-olah mengenal semua jurus itu dan mampu mengelak atau
menangkis. Ketika para pendekar memperhatikan dasar gerakan yang digunakan
gadis cantik wakil Pao-beng-pai itu, mereka merasa heran. Gerakan silat gadis
itu sukar dikenal dasarnya karena mengandung dasar banyak macam aliran silat.
Yang jelas
kekokohan kuda-kuda Siauw-lim-pai nampak di situ, juga kelincahan gerakan silat
Bu-tong-pai. Akan tetapi, gerakan kedua tangan pada waktu mengelak dan balas
menyerang, jelas bukan dari kedua aliran itu, dan cara penyerangan yang
tiba-tiba dan licik berbahaya itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu dari
golongan sesat!
Namun,
ternyata gadis itu lihai bukan main. Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal,
dan agaknya sedikit banyak ia telah mengenal jurus-jurus silat yang
dipergunakan Suma Lian untuk menyerangnya sehingga ia mampu mengelak atau
menangkis dengan tepat. Sementara itu, dalam hal tenaga sinkang dan keringanan
tubuh, ia juga tidak berada di bawah tingkat Suma Lian! Hal ini saja sudah
sangat mengagumkan dan mengherankan hati para pendekar yang berada di situ.
Pendekar
Bangau Putih Tan Sin Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling Naga
Sim Houw, tiga orang di antara para pendekar yang mempunyai ilmu kepandaian
paling tinggi di antara mereka semua, diam-diam merasa heran dan kaget bukan
main.
Pada jaman
itu, kiranya sukar sekali mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi
ilmu kepandaian Suma Lian. Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh
semua anggota keluarga, yang dikagumi sebagai anggota keluarga termuda yang
telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, agaknya masih belum dapat menandingi
Suma Lian.
Akan tetapi,
gadis muda yang hanya dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu
menandingi, bahkan kini mulai mendesak Suma Lian dengan ilmu silatnya yang
aneh. Dia melakukan dorongan-dorongan atau pukulan jarak jauh yang sangat
dahsyat, yang mendatangkan angin laksana gelombang samudra sedang membadai.
Suma Lian
mengerahkan tenaga dari Pulau Es untuk menahan dorongan-dorongan itu, namun
agaknya ia masih kalah kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi bentrokan
tenaga sakti, jelas bahwa pasangan kuda-kuda kaki Suma Lian tergeser sedikit ke
belakang, sedangkan kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap teguh.
"Haiiiiittttt...!"
Tiba-tiba
gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan tetapi kini ia
mengubah kuda-kuda kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya merendah
seperti berjongkok. Pinggulnya yang besar menonjol hampir menyentuh tanah.
Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya menyambar angin
dahsyat ke arah perut Suma Lian.
Suma Lian
yang sudah cukup pengalaman itu dapat mengenal serangan dahsyat yang berbahaya.
Akan tetapi kalau dia mengelak terus, hal itu akan membuktikan bahwa dia tak
berani mengadu tenaga sehingga membuat ia nampak terdesak. Maka, wanita yang
keras hati dan pemberani itu tidak mau mengalah.
Ia pun
mengerahkan tenaga gabungan dari Tenaga Sakti Inti Api dan Tenaga Sakti Inti
Salju dari Pulau Es. Biar kepandaiannya dalam pengerahan sinkang ini belum
setingkat ayahnya, namun dibandingkan tokoh-tokoh wanita keturunan keluarga
Pulau Es, Suma Lian sudah merupakan yang terkuat. Ia kerahkan tenaga gabungan
itu dan menyambut serangan lawannya dengan dorongan kedua tangannya pula.
Benturan
dahsyat antara dua tenaga sakti tidak dapat dihindarkan pula. Memang tidak
nampak oleh mata, dan dua pasang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua
meter, akan tetapi keduanya seperti mendorong dinding yang kokoh kuat.
Tubuh Suma
Lian nampak terguncang, sedangkan gadis itu masih tak bergerak, bahkan kini
bibirnya mengembangkan senyum mengejek. Keduanya tak pernah mengendurkan
tenaga, dan sebentar saja nampak betapa Suma Lian berkeringat serta dari
kepalanya mengepul uap.
Melihat
peristiwa ini, semua orang merasa tegang dan khawatir. Sebagai ahli-ahli silat
tinggi, mereka maklum bahwa adu tenaga sinkang itu sudah mencapai titik yang
gawat. Seorang di antara mereka akan terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang
berada di pihak yang terancam. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan
melerai, karena hal itu bahkan sangat berbahaya bagi kedua orang wanita perkasa
yang sedang mengadu tenaga itu.
Akan tetapi,
seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat
bahaya maut mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga
dan menggunakan kedua tangannya untuk melerai.
Kakek
perkasa yang berusia enam puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut
Mendorong Bukit ke Kanan dan Kiri. Kedua tangannya dikembangkan dan didorongkan
dari samping ke arah tengah-tengah di antara dua orang wanita yang sedang
mengadu tenaga sinkang itu.
Seperti
angin badai meniup dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua orang
yang sedang bertanding itu terdorong dan hilang keseimbangan. Tenaga mereka
yang tadi saling tekan itu terlepas, dan akibatnya Suma Lian terpelanting
sedang gadis tanpa nama itu terdorong ke belakang.
Suma Lian
cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat meloncat bangun dengan muka agak
pucat dan napas terengah, sedangkan gadis itu pada saat terdorong ke belakang,
membuat gerakan jungkir-balik yang indah sampai tiga kali, baru tubuhnya
melayang turun dan berdiri tegak. Suma Lian terbebas dari ancaman bahaya, namun
dari akibat dorongan kekuatan sinkang Suma Ceng Liong yang melerai, semua orang
tahu bahwa dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian berada di pihak yang
terdesak.
Gadis itu
menatap wajah Suma Ceng Liong dengan sinar mata yang mencorong. Kulit wajahnya
memerah karena marah, mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak
pinggang, telunjuk tangan kiri diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.
"Pendekar
besar Suma Ceng Liong tidak malu melakukan pengeroyokan?" Dia berkata
mengejek.
Di waktu
mudanya, Suma Ceng Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak
ugal-ugalan. Akan tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun, tentu saja
tidak seperti dulu lagi, walau pun dia masih berwatak gembira. Melihat sikap
gadis itu yang menuduhnya melakukan pengeroyokan dia hanya tersenyum.
"Bu-beng
Siocia, aku tidak melakukan pengeroyokan, hanya melerai. Puteri kami Suma Lian
sudah kalah olehmu. Nah, sekarang engkau mau apa lagi? Masih penasaran dan
ingin menantang seorang di antara kami?"
Walau pun
kata-kata itu membuat pengakuan akan kekalahan Suma Lian, namun juga mengandung
penawaran kalau saja gadis itu masih mau menantang lagi. Semua orang juga tahu
bahwa menghadapi Suma Lian, gadis itu hanya lebih unggul sedikit. Jelas jika
melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh yang setingkat, ia tak akan mampu
menang.
"Seperti
kukatakan tadi, aku datang mewakili Pao-beng-pai untuk membuktikan sendiri
kehebatan serta nama besar para pendekar dari tiga keluarga Pulau Es, Lembah
Naga, dan Gurun Pasir. Aku hanya ingin bertanding satu kali saja, kecuali kalau
kalian hendak mengeroyokku! Aku hanya ingin meninggalkan pesan bahwa
Pao-beng-pai merupakan perkumpulan para patriot yang tidak rela melihat tanah
air dan bangsa ini dijajah oleh orang-orang biadab Mancu. Sebaliknya, ketiga
keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek dan penjilat penjajah asing!
Selamat tinggal!"
Gadis itu
membalikkan tubuh, dengan sikap angkuh sekali hendak memasuki jolinya,
sedangkan dua belas orang laki-laki dan empat orang gadis cantik sudah siap di
kanan kiri joli seperti pasukan pengawal. Dia pun menerima kembali kebutannya
dari tangan gadis berpakaian kuning yang menyerahkan kebutan itu sambil memberi
hormat. Sikap gadis itu tiada ubahnya bagai seorang puteri istana, sedangkan
para pengikutnya amat menghormatinya.
Semenjak
tadi Tan Sian Li telah terbakar hatinya. Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya,
sudah sejak tadi sebelum Suma Lian maju, dia sendiri sudah menerjang gadis itu.
Kini, mendengar ucapan gadis itu yang dianggapnya sangat menghina tiga keluarga
besar, mana mungkin Sian Li mampu menahan diri? Dadanya seperti meledak
rasanya, dan sebelum ayah ibunya melarangnya, ia sudah meloncat ke atas.
Bagaikan
seekor burung bangau merah, tubuhnya meluncur ke arah gadis di depan joli itu
dan mulutnya membentak garang, "Iblis betina sombong! Sambut
seranganku!"
Tapi gadis
itu memberi isyarat dan empat orang gadis cantik yang menjadi pengawalnya
itulah yang menyambut Sian Li. Mereka berempat maju bersama dan tangan mereka
menyambut dorongan tangan Sian Li dari atas.
"Dukkk!"
Sian Li
terpaksa berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat orang
yang digabung itu, dan ia pun melayang turun. Hatinya semakin panas. Gadis
sombong itu menyuruh empat orang pelayan mewakilinya, seolah-olah gadis itu
menganggap dia tidak cukup berharga untuk menjadi lawannya!
"Jangan
mengganggu nona kami yang mulia!" berkata si baju kuning yang sepertinya
merupakan pemimpin dari mereka berempat. Mereka sudah mengepung Sian Li serta
menghadang Sian Li, melindungi nona mereka. Melihat ini, Sian Li marah bukan
main.
"Minggir!
Apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak Sian Li galak.
"Sian
Li, jangan membunuh orang!" Ayahnya memperingatkan.
Tiba-tiba
gadis cantik di depan joli itu tertawa renyah. Suara tawanya merdu sehingga
nampak aneh dan mengerikan, karena suara tertawa seperti itu sepatutnya
dikeluarkan oleh wajah yang ramah dan periang, bukan oleh wajah yang biar pun
cantik tetapi dingin itu.
"He-he-heh,
ingin kulihat apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?"
Ditantang
seperti itu, Sian Li lalu membentak, "Iblis betina, engkau boleh sekalian
maju mengeroyokku, akan kurobohkan kalian semua!"
Setelah
berteriak demikian, langsung Sian Li menerjang ke depan, disambut oleh empat
orang gadis pelayan yang berpakaian menyolok masing-masing mewakili satu warna
itu.
Setelah
bergebrak, barulah Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang
gadis pelayan itu bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah
menguasai ilmu silat tinggi dan menjadi lawan yang amat tangguh! Mereka itu,
terutama sekali si baju kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti empat ekor
burung walet, dan rata-rata memiliki sinkang yang cukup kuat.
Ternyata
gadis tanpa nama wakil Pao-beng-pai itu tidak membual ketika menertawakan Sian
Li. Empat orang pelayannya memang lihai bukan main. Mereka adalah gadis-gadis
berbakat yang agaknya telah digembleng secara khusus. Hal ini tidaklah aneh
karena mereka berempat adalah empat orang pilihan dari pasukan wanita
Pao-beng-pai yang mewakili empat dari tujuh kelompok warna yang ada.
Diam-diam
Sian Li juga terkejut dan merasa kecelik. Tadi dia memang memandang rendah
kepada empat orang pelayan itu, walau pun ia tidak berani memandang rendah
kepada gadis cantik Pao-beng-pai yang tadi ia lihat sendiri mampu menandingi
bibinya, Suma Lian. Kini dia sendiri merasa repot ketika empat orang
pengeroyoknya bergerak cepat sehingga nampak mereka itu menjadi empat macam
bayangan dengan warna menyilaukan mata berkelebatan di sekeliling dirinya.
Mereka pun
melakukan serangan bertubi-tubi secara teratur sekali, bergiliran dan setiap
kali Sian Li membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu mengelak, maka
mereka mempersatukan tenaga untuk menangkisnya! Dengan demikian, serangan Sian
Li selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang membuat ia cukup repot. Dan
yang lebih menyakitkan hatinya, suara tertawa merdu itu sering terdengar
seakan-akan gadis Pao-beng-pai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan
menertawakannya!
Panaslah
rasa hati Sian Li. Kalau sejak tadi dia belum mampu mendesak empat orang
pengeroyoknya dan memperoleh kemenangan, hal itu adalah akibat peringatan
ayahnya agar dia tidak membunuh orang. Maka dia pun menahan diri, menahan
sebagian tenaga dan tidak pula mengeluarkan semua kepandaiannya. Kini,
mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan mulai memainkan
ilmu andalannya, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah).
Tubuhnya
melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia menyambar turun dan
menyerang empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah, seindah gerakan
burung bangau. Oleh karena pakaiannya serba merah, maka memang tepat sekali dia
dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu itu.
Ilmu yang
sangat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat, dan kini empat orang
pelayan wanita Pao-beng-pai itu nampak terkejut. Mereka berusaha menahan diri
dengan menggabungkan tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang
itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan mereka terbanting roboh.
Mereka tidak
tewas, tidak pula terluka parah, tapi dari sudut bibir mereka nampak darah,
tanda bahwa mereka sudah menderita luka-luka dalam walau pun tidak parah. Hal
ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, mengingat akan pesan
ayahnya tadi.
Dengan
senyum mengejek Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya.
"Iblis betina, sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki
keberanian!"
Gadis itu
mendengus. "Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih
banyak waktu untuk memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!"
Setelah
berkata demikian, gadis itu memasuki jolinya dan memberi isyarat kepada para
pengawalnya. Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari
situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan
wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.
"Heiii,
tunggu kau iblis betina!" Sian Li hendak mengejar.
"Sian
Li, tahan...!" Sin Hong berseru.
Gadis itu terpaksa
menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan
cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang
kepada ayahnya. Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh.
Ketika ia
menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat
dan sedikit kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai
(Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian
Li terkejut.
"Bibi
Suma Lian, engkau keracunan...!" katanya sambil menghampiri wanita perkasa
itu.
Semua orang
menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian
tidak merasakan sesuatu.
"Celaka,
ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!" kata Suma Ceng Liong.
"Biar
kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!" kata Gu Hong Beng
yang mengkhawatirkan keadaan isterinya.
"Jangan!"
cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis
itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.
"Harap
Bibi jangan khawatir, aku mampu mengobati Bibi," berkata Sian Li setelah
dia memeriksa nadi tangan Suma Lian. "Marilah kita ke kamar. Ibu, aku
minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sinkang-ku," katanya kepada
ibunya, Kao Hong Li. Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.
Setelah
membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li
bersila di belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya
membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya
mengerahkan sinkang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian.
Setelah
beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup dalam tubuh Suma Lian
melalui punggungnya, Sian Li berbisik lirih. "Bibi, harap gerakkan kedua
lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga
sinkang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi."
Suma Lian
yang merasa betapa hawa yang hangat dan amat kuat memasuki tubuhnya melalui
punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan dua lengannya dan
mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang
keluar dari kedua tapak tangannya. Atas anjuran Sian Li, sampai tiga kali ia
melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta
ibunya melepaskan tangannya pula.
Ketika Kao
Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, dia girang sekali melihat wajah itu
tidak lagi pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi
sepasang alis Suma Lian berkerut karena sekarang ia bisa merasakan sedikit
kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberi tahukan ini kepada Sian Li, gadis itu
tersenyum.
"Itulah
bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah
keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu
rasa nyeri itu akan lenyap."
Sian Li
mengeluarkan sebuah botol, kemudian mengambil tiga butir pil dari dalam botol,
menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.
"Hebat,
obatmu manjur sekali, Sian Li," katanya tak lama kemudian sambil merangkul
Sian Li.
"Mari
kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi,"
kata Sian Li.
Semua orang
bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah
sembuh. Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir
semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka
parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat,
bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat
dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sinkang untuk mengusir racun
dalam tubuh orang yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si
penderita.
Pesta ulang
tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa amat
lega bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi bisa diatasi. Suasana menjadi
gembira kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu meninggalkan
tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka lalu membicarakan
gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.
Mereka semua
merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah
ada urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka.
Melihat
semua anggota dari tiga keluarga besar itu merasa penasaran, Kao Cin Liong
mengangkat kedua tangan, minta supaya mereka semua diam. Kemudian dia berkata,
"Mungkin aku dapat menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti
itu."
Semua orang
mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lantas mulai
menceritakan dugaannya. "Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai
Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan digantikan
oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan
dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah
yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang
mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang untuk mendirikan kembali
Kerajaan Beng, dan terus berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah
Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bekas
keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan
itu gagal dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat.
Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai
itu telah hancur dan telah mati."
"Akan
tetapi, mengapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?"
tanya Suma Hui isterinya, dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu
muncul pula di dalam hati mereka.
"Aku
sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga.
Kita semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang
menentang para penjahat atau golongan sesat. Bila sekarang Pao-beng-pai
memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Beng tidak,
hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dan dipimpin oleh
golongan sesat. Dan ada kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita
sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu bahwa di samping memiliki
pimpinan dari golongan sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang
pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena
kita menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tidak dapat disangkal
lagi, keluarga kita pernah membantu pemerintah Kerajaan Ceng." Kao Cin
Liong berhenti dan menghela napas panjang.
"Akan
tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!" Gak
Ciang Hun berseru penasaran.
"Memang
benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat
dengan pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau
Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, biar pun tidak pernah membantu pemerintah
Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau
sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikatakan keturunan ibu Mancu.
Kenyataan inilah yang agaknya membuat keluarga Pulau Es lantas dianggap sebagai
antek Mancu oleh Pao-beng-pai."
Mereka yang
merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es saling pandang, dan tidak dapat
membantah kenyataan itu, walau pun dalam hati mereka merasa penasaran. Biar pun
nenek mereka seorang puteri Mancu, akan tetapi mereka tidak pernah membantu
pemerintah penjajah Mancu.
"Dan
sekarang tentang keluarga Gurun Pasir," berkata pula Kao Cin Liong
melanjutkan. "Memang sekarang ini keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang
membantu Kerajaan Ceng. Akan tetapi dulu, ketika aku masih muda, aku pernah
menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal ini yang membuat aku sampai kini
merasa menyesal, walau pun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah
perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku
menyadari tidak baiknya pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak
itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Namun,
tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah yang
menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita."
"Pendapat
paman Kao Cin Liong memang masuk akal," kini Cu Kun Tek yang berkata.
Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, tapi
sekarang, setelah ia menjadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat
puluh lima tahun, ia bersikap sangat tenang. "Akan tetapi, mengapa pula
Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?"
Kao Cin
Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu, kemudian berkata.
"Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu
pemerintah Ceng, akan tetapi anggota keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan
yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan
keluarga Gurun Pasir. Selain itu, para anggota keluarga Lembah Naga Siluman
juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau turut dimasukkan
dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai."
"Jika
benar begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok
perjuangan, seperti halnya Pek-lian-kauw dan lain-lain!" kata Kao Hong Li.
Ayahnya
menghela napas panjang. "Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat
gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu
silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit
banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua."
Demikianlah,
para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang sudah berani mati
membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan
tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasehati yang muda agar
tidak tergesa-gesa mengambil tindakan.
"Sebaiknya
kalau kita bersikap waspada saja dan jangan mengambil tindakan
sendiri-sendiri," kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu.
"Bagaimana pun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi
pemerintah Ceng, hal itu bukanlah urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat
saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu
akan mendatangkan kehebohan di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak
terjadi hal yang lebih hebat lagi, dan kita juga sudah mampu memperlihatkan
bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap
memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak
lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu
hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri."
Para tokoh
tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan,
mengerutkan alis dan dia pun mengeluarkan pendapatnya. "Aku melihat dari
sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat
janggal. Biar pun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya
kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan
sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat
kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang
meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Dan melihat tingkat
kepandaiannya yang sudah cukup tinggi itu, tidak mungkin ia begitu tolol
menantang kita selagi semua anggota keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya
terdorong kebencian yang amat besar."
"Atau
mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan
sampai di mana kekuatan kita," kata Kam Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong.
Demikianlah,
para anggota tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis
Pao-beng-pai itu. Mereka menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu
memang amat aneh dan mencurigakan.
Jika ada
pihak golongan sesat yang datang memusuhi seorang atau dua orang di antara
mereka, hal itu tidaklah aneh sebab memang mereka selalu menentang kejahatan.
Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggota
dari tiga keluarga besar selagi mereka semua berkumpul, sungguh ini hanya bisa
dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya
takut.
Dan gadis
itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah
dari tiga keluarga itu sudah pasti takkan mengeroyoknya. Agaknya kunjungannya
itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak.
Memang,
andai kata yang menghadapi gadis tadi adalah Suma Ceng Liong atau Sim Houw,
atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu
gadis itu tidak akan menang. Akan tetapi siapa pun di antara tiga orang
pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apa lagi membunuh seorang
gadis muda yang menjadi lawan mereka. Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh
gadis Pao-beng-pai itu, maka ia berani menantang sedemikian nekatnya.
Sampai jauh
malam barulah para anggota tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar
masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.
Pada
keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang
bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke
sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para
anggota keluarga yang melihat gadis itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun
melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi,
wajahnya muram dan khawatir sekali.
Tan Sin Hong
menghiburnya. "Sudahlah, anak kita toh bukan lagi anak kecil yang perlu
diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup
untuk menjaga diri sendiri."
"Tapi
anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat
terancam bahaya," isterinya membantah.
Semua
anggota kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.
Kao Hong Li
menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong.
"Lihatlah Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana
baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apa lagi jika mengingat akan peristiwa
yang baru kemarin terjadi."
Dengan
tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara
cukup keras agar terdengar oleh semua anggota keluarga yang mendengarkan.
Dalam
suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa
ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari
Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang semenjak kecil itu. Juga dia ingin
melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai.
‘Harap Ayah
dan Ibu tidak khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati,' demikian ia
mengakhiri suratnya.
"Aih,
anak itu, kenapa demikian nekat!" seru Can Bi Lan. "Biar pun kami
berterima kasih sekali kepada Sian Li, akan tetapi ke mana dia akan mencari
anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena
bertahun-tahun mencari tanpa pernah berhasil!"
"Memang
semenjak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!" kata Kao Hong
Li. "Bagaimana pun juga, ia masih belum matang benar meski pun
kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan dapat menghadapi kecurangan dan
kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?"
Mendengar
ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa. "Ha-ha-ha, Hong Li,
kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si
Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup
mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika
ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi?
Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah
pengetahuan."
Gangga Dewi
mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata,
"Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong. Sian Li sudah memiliki
kemampuan besar untuk menjaga diri. Biar pun ia keras hati, namun ia tidak
ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik."
Mendengar
ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.
Setelah para
tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li,
tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun. "Ibu, apakah ibu mengijinkan
kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui
Eng yang hilang sambil menyelidiki Pao-beng-pai?"
Semua orang
merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu.
Mendengar
pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu, wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian
menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia
pun mengangguk dan menjawab singkat. "Engkau sudah dewasa, aku tidak
berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kau lakukan itu baik
dan benar, Ciang Hun."
Pemuda itu
kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya.
"Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para
Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!"
Tanpa
menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu, dengan
cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah ia persiapkan
sejak ia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!
Tan Sin Hong
dan Kao Hong Li lalu saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang
berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekali pun, peristiwa tadi dapat
mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya
jatuh cinta kepada puteri mereka.
Bukan karena
mereka tidak setuju, karena betapa pun Gak Ciang Hun juga merupakan seorang
pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang juga merupakan anak
murid keluarga Pulau Es. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk
menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun.
Maka, dengan
lirih Kao Hong Li berkata, "Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang
karena kami bertiga lagi bermaksud pergi ke kota raja untuk meresmikan
pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun."
"Pangeran?"
Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. "Engkau akan
bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberi tahu
kami?"
Tentu saja
kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai
antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak
lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu. Dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa dia
hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!
Tentu saja
Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan oleh kakek itu. Sin Hong
cepat membantu isterinya. "Ayah, kami memang belum memberi tahu karena hal
itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan
dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak
itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk
mengukuhkan itu."
"Tapi...
tapi kenapa seorang pangeran...?" Kao Cin Liong berkata lirih.
Ia tentu
saja tahu siapa Pangeran Cia Yan, yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong. Maka
dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!
Mendengar
ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya. "Jika seorang pangeran, kenapa,
Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran
Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami pun sudah melihat dan
menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan,
juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian
Li."
Kao Cin
Liong hanya menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu
menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanyalah membuka
kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari
pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya
merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan
bangsanya.
Sementara
itu, tentu saja diam-diam, Nyonya Gak mengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh
cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi
isterinya. Dan kini dia mendengar sendiri dari orang tua gadis itu bahwa Sian
Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya pasrah dan hatinya
merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Jika memang anaknya
berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat
menjadi suami isteri juga.
Selama
beberapa hari, berangsur-angsur para anggota keluarga meninggalkan rumah Suma
Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua
isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung
seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian
cerah meriah dengan adanya para anggota keluarga, dan kini rumah itu menjadi
kosong dan sunyi.
Makin sedih
hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang
telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan.
Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu
terlibat dalam urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun
terbunuh oleh para pemberontak.
Tentu saja
suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa
murid mereka yang tersayang itu sebenarnya sudah melakukan penyelewengan
sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang
penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga supaya suami isteri
ini tidak merasa menyesal.
"Kita
harus mengambil seorang murid lagi!" tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata
kepada isterinya.
"Ah, ke
mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang
dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik
sejak masih kecil, seperti Sian Lun." Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih
ketika teringat kepada Sian Lun.
"Kita
harus mencarinya," berkata suaminya. "Telah puluhan tahun kita
mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita
sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini
akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada
seorang murid yang pantas."
"Hemm,
kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan
ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian
Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan.
Kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri
yang akan kita warisi ilmu-ilmu kita."
"Benar,
akan tetapi baik Suma Lian mau pun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima
ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga memiliki guru-guru lain. Aku ingin seorang
murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, juga aku ingin menggabung
ilmu-ilmu silat kita supaya kelak dapat diteruskan serta dikembangkan oleh
seorang murid yang berbakat." Pendekar itu menarik napas panjang.
Isterinya
tersenyum. "Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari
seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita
salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang nanti
menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya."
Suaminya
mengangguk-angguk. "Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke
mana saja sampai kita berhasil menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana
pendapatmu?"
Isterinya
memandang dengan wajah berseri. "Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian
di sini, jika melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi
keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang
Pao-beng-pai."
Sepasang
suami isteri itu saling pandang sambil tersenyum. Tanpa perlu sepatah kata pun,
mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing.
Lembah
bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan
sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar
yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa
dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang
menjadi buronan pemerintah mau pun buruan para pendekar, bila sudah memasuki
lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap.
Di lembah
itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa
yang berbisa. Bahkan di beberapa tempat terdapat pula lumpur maut, yaitu rawa
berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalam rawa itu.
Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, maka jangan harap akan dapat
selamat jika tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar.
Pada saat
malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar
suara-suara aneh seakan-akan laksaan iblis berpesta pora di sana. Karena ini,
maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan)!
Akan tetapi,
jika ada orang yang mempunyai kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian
tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah ini, maka dia akan
ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu.
Di dataran
yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar,
terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi
oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun
bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya.
Petak rumput
itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun
dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan
merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik
pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat
baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.
Ada sesuatu
yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Gedung yang jelas terawat
baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tak nampak seorang
pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana.
Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tak mungkin rumah
gedung itu kosong. Untuk merawat mulai dari petak rumput, halaman, taman dan
gedung itu saja, setiap hari tentu dibutuhkan tenaga belasan orang!
Pagi hari
itu cuaca amat cerah. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh
bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar,
daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau
dicangkul, yang berhembus dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun
yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi
semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng
sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di
sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan suara seperti ketakutan. Juga
suara monyet-monyet di pohon-pohon besar, yang cecowetan sambil berloncatan
dari dahan ke dahan dengan kacau, menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan.
Semak-semak
bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering
tersaruk kaki. Ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu
adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu.
Seorang yang
berjalan paling depan memegang sebatang golok. Dengan benda tajam ini dia
membabati semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak
nampak adanya lorong atau jalan setapak sekali pun karena memang tidak pernah
ada manusia berani lewat di sana. Terlalu besar bahayanya!
Karena
itulah, maka ketiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali
mereka menemui jalan buntu, akan tetapi ternyata mereka bukanlah orang-orang
lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah
Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang
berkepandaian dan kuat.
Ketika
mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba
di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga merasa
penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas terbabat, mereka mengenal tempat itu,
tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya
berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari
hutan!
"Hemm,
kita tersesat jalan!" kata orang terdepan yang memegang golok. "Tadi
pun kita sudah lewat di sini."
"Sudah
tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat
keluar dari hutan keparat ini?" orang kedua mengomel.
"Jelaslah
bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur
sehingga berupa semacam jebakan. Kita harus berhati-hati," kata orang
pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
"Kita
adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani membuat jebakan di
dalam hutan ini untuk menghina kita?" orang ke dua bertanya penasaran.
Dia bertubuh
pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar
itu. Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
"Kalian
tenang dan bersabarlah," kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka
kuning. "Kita sendiri yang bersalah, kita terlalu tergesa-gesa memasuki
daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka
pihak tuan rumah kini sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di
sini."
Ketiga orang
itu berhenti melangkah, nampak seperti kebingungan. Mereka adalah tiga orang
yang berusia kurang lebih lima puluh tahun. Melihat dandanan mereka, mudah
diduga bahwa mereka ialah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang
yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit, kerasnya
tulang serta lihainya ilmu silat.
"Hemm,
seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang
rendah kita?" si muka hitam mengomel lagi.
"Ssttt,
Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut," cela orang pertama yang kurus tinggi
bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. "Kita adalah tamu
dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang
mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon."
Dia lalu
meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti
seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar
itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.
"Ahhh,
bukan main...! Betapa megahnya sarang mereka...! Itu, di sana sarang mereka,
besar dan megah sekali!"
Si muka
hitam dan si gendut yang berada di bawah merasa tertarik, dan mereka pun cepat
memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan
megah itu. Nampaknya tak jauh lagi dari situ, sebuah bangunan besar yang
nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.
"Mari
kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!" kata si gendut yang
segera menyerosot turun dari pohon.
Mereka lalu
melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi
mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka
babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si
gendut girang sekali.
"Wah,
sekarang baru enak jalannya!" katanya.
Ia pun
hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput,
kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok
ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut
terbelalak kaget dan ketakutan, apa lagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari
bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
"Tolooonggg...!
Twako.... Ji-ko, tolong...!" Dia berkaok bagaikan seekor babi disembelih,
matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali.
Melihat hal
ini, si muka hitam terkejut. Segera dia berjongkok di tepi kubangan lumpur
tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh
ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak
segerombolan itu dan menangkap tangan itu, memegangi dengan kedua tangannya
kemudian ia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar
dari dalam lumpur.
Akan tetapi,
terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi
besar itu berteriak karena dia terbetot dan tanpa dapat dielakkannya lagi, dia
pun turut terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kiranya, tenaga
tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi
si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan
mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.
"Tolong...!
Twako (Kakak Tertua) tolong...!"
Sekarang si
muka hitam juga ikut berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat
ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang!
Ada pun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.
Ketika
melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus
itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di
dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi),
akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah
seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh!
"Tenang,
jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!" bentaknya mendongkol.
Mendengar
bentakan kakak mereka, kedua orang itu tersadar. Mereka pun kini berdiam diri,
sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka pun tidak cepat-cepat terbenam
semakin dalam. Mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga
kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat
melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.
Sementara
itu, orang pertama dari Tiat-liong Sam-heng-te segera mencari sepotong dahan
pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang
kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu pada sebatang pohon yang
besar, lalu melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang
menyambutnya dengan girang sekali.
Kini kedua
orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang pada dahan kayu, dibantu si
kumis tipis. Biar pun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya
mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup
di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling
pandang, mereka tertawa bergelak saking gembira dan lega hati mereka, juga
karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
"Kalian
sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga
kehilangan ketenangan," sang kakak mengomel.
"Aihh,
maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan
tetapi siapa orangnya yang tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur
itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian
merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh,
masih ngeri bila dikenang kembali!" kata si gendut.
"Hemmm,
kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik
dan kejam bukan main. Huhhh!" kata si muka hitam.
"Sudahlah,
mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana.
Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada
jebakan lain," kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka
sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu
mengikuti dari belakang.
Memang tidak
terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti
melangkah karena kini mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tidak dapat
dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak,
tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke
dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang.
Mereka
mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka
sama sekali buntu, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak
menggunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu
lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan
kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan,
berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu
berada. Jalan buntu!
"Jahanam!
Kita bertiga diundang hanya untuk dipermainkan!" si gendut mengomel dan
mengepal tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel
di tubuhnya mulai mengering sehingga tubuhnya terasa kaku dan gatal-gatal.
"Keparat
memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!" berkata pria si muka
hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya.
Darah
muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah
menempel sambil menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik
dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu.
Memang
penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang
lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba
menjadi kecil tidak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat
keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang
dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.
Kembali si
tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya
yang kasar. "Kalian jangan sembarang bicara! Kita berada di daerah
kekuasaan Pao-beng-pai!"
Dia
memandang ke arah seberang sana, lalu memasang kedua tangan seperti corong di
kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khikang dan berteriak lantang.
"Saudara
pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di
sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!"
Suara itu
terdengar lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan
pengerahan khikang, dan gemanya terdengar membalik dari sekeliling tempat itu.
"Tiat-liong
Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan,"
tiba-tiba terdengar suara lembut.
Mereka
bertiga kaget sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang
mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini
seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, hanya tahu-tahu
sudah di situ, tersenyum manis.
Wanita ini
masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya serba putih
dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya
ia seorang siluman, bukan manusia!
Si gendut
pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang
juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata. "Nona manis,
engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?"
Si tinggi
kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu
tersenyum ramah. "Aku adalah manusia biasa. Aku salah seorang di antara
prajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga)."
"Bukan main!"
kata si muka hitam yang sejak tadi terpesona dan baru sekarang dapat
mengeluarkan suara. "Apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik
jelita bagaikan engkau ini, Nona?"
Gadis itu
menggelengkan kepala. "Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi
suka mengikuti aku."
"Nanti
dulu!" si gendut berteriak. "Bagaimana aku dapat bertemu dengan
mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!"
"Aku
juga!" kata si muka hitam.
Mereka
berdua tadi bertanya apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti
nona ini. Kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa
tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.
Gadis itu
tersenyum dan nampaklah deretan giginya yang berkilauan. "Jangan khawatir.
Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya sangat
jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana."
Berangkatlah
tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan
membelok ke kiri memasuki hutan! Gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan
cepat, diikuti oleh ketiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan
menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.
Dengan hati
ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi
yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan
lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu
menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian
yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di
permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi
kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.
Setelah
melewati hutan itu, mendadak saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil
yang airnya jernih. Di dekat situ terdapat pula sebuah air terjun kecil yang
bersih pula airnya.
Seperti
berebut saja, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun,
membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal
mereka dibungkus oleh kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka di
dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor. Kini
mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.
Sementara
menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggi kurus yang
berkumis tipis itu duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih.
Tidak banyak keterangan yang dapat dia peroleh dari gadis itu.
Gadis itu
hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa
namanya, sedang mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk
berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.
"Aku
tidak boleh banyak bicara. Nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan
diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih
jelas," demikian katanya mengakhiri keterangannya.
"Akan
tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dulunya dipimpin oleh orang-orang yang
menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw.
Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana
sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang banyak orang-orang
kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi,
dihina seperti yang telah kami derita tadi." Dia menunjuk ke arah kedua
orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.
Gadis itu
kembali tersenyum. "Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberi
tahu, bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang,
daerah kami merupakan daerah berbahaya sehingga kalau orang memasukinya tanpa
persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi,
baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang untuk
menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi."
Si tinggi
kurus menghela napas panjang. "Sudahlah, bagaimana pun juga kamilah yang
bersalah sebab tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan
yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?"
"Sudah
banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini."
Dua orang
yang membersihkan diri sekarang sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan
senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini sudah
mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi
dan nampak lebih berkilau karena mereka menggunakan minyak. Mereka kini
berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria
kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata
keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.
Mereka
melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya
merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak
sejauh tadi, walau pun masih tidak mungkin diloncati orang meski memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh
meter dan dalamnya tidak dapat diukur.
"Wah,
kita terhalang jurang lagi," kata si gendut.
"Tentu
ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?" tanya si kulit hitam.
Gadis itu
menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana. "Tidak ada jalan lain.
Inilah jalan satu-satunya."
"Maksudmu,
Nona?" Si tinggi kurus bertanya heran.
"Menyeberangi
jurang ini," kata gadis itu dengan sikap tenang.
Tiga orang
yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang sambil terbelalak. "Akan
tetapi, siapakah yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?"
tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.
"Tidak
meloncati, melainkan menyeberang."
"Tapi,
bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya...," kata pula si muka hitam.
"Tunggu
dan lihat sajalah," kata gadis itu yang agaknya mulai tidak sabar
menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.
Gadis
berpakaian putih itu lalu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari
tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan
irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali
sempritannya.
Tidak lama
kemudian, dari seberang sana terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban.
Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana,
muncullah seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang
sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.
"Singgg...
wirrrrr...!"
Anak panah
itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan
sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah
dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali, hanya miringkan
tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang
cepat bagaikan seekor ular mematuk.
Tiat-liong
Sam-heng-te memandang kagum dan baru kini mereka percaya bahwa gadis berpakaian
putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang
cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari
seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat. Mereka
melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan
yang kuat tetapi mengait kendur sehingga dari seberang sana, dengan mengendurkan
tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat
ditarik ke seberang sana.
"Nah,
kita menyeberang melalui jembatan tali ini," kata gadis pakaian putih.
"Wah-wah-wah,
jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!" kata si gendut.
Biar pun dia
sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, tetapi belum pernah dia
mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri
dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tidak
dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat
dipastikan bahwa nyawa akan melayang ketika badan terbanting hancur di dasar
jurang!
Gadis itu
tersenyum mengejek. "Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah
ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada
yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para
pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang ke sana dengan tali ini, berarti tidak
pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai."
Setelah
berkata demikian, ia kemudian melompat dan seperti seekor burung saja, kedua
kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia
sempat membalik dan berkata. "Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang."
Setelah
berkata demikian, lalu ia pun mulai melangkah ke depan dan berjalan dengan
enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.
"Jangan
membikin malu saja," kata si tinggi kurus.
Dia pun meloncat
ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti
pula oleh si gendut. Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang telah
menguasai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan tinggi, maka
sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi
mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apa lagi tali itu
direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang
sekali.
Setelah
mereka semua tiba di seberang jurang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu
kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut,
jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walau pun wajahnya tersenyum dan
berusaha memperlihatkan ketenangan dan kegagahan, tapi jelas kedua kaki itu
menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang, walau pun tadi ia pun
sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang,
karena membayangkan akibatnya kalau-kalau sampai terjatuh.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment