Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 03
SETELAH tiba
di seberang, dengan sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang
situ dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu
melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik
sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi makin gembira. Jika Pao-beng-pai
memiliki prajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk
menjadi sahabat!
"Nona,
bila tak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian
dapat menyeberang?" tanya si tinggi kurus.
Sekarang si
pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi.
"Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan
rahasia kami," ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya
tersenyum geli.
"Marilah,
Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pemimpin kami,"
kata si baju putih.
Mereka
melanjutkan perjalanan. Si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang
tamu itu, dan si baju kuning berjalan paling belakang. Tak lama kemudian,
nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si tinggi kurus dari puncak
pohon.
Ketiga orang
itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang
Pao-beng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru
mereka melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar
nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah,
pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!
Kalau tadi
dari atas pohon mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu kini mereka
muncul, bagaikan semut saja nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi.
Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada
pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para prajurit itu bertubuh
kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sangat
berdisiplin.
Saat
Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang
berpakaian abu-abu. Mereka berkelompok mulai di pintu gerbang, di pekarangan
dan di pendopo bagian luar gedung itu. Mereka berdiri dengan sikap tegak
laksana arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat
kepada gadis berpakaian putih seperti prajurit memberi hormat kepada seorang
yang lebih tinggi pangkatnya.
Tiga orang
itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan
seorang prajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.
Setelah tiba
di pendapa, gadis baju putih berkata, "Pertemuan belum dimulai dan para
tamu yang sudah datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di
bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi untuk menanti pula
di sana seperti para tamu yang lain."
Tiat-liong
Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka
telah kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang
pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga
yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jeri dan
maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang besar dan kuat.
Kiranya,
dalam sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk
keperluan itu, sekarang sudah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang
Tiat-liong Sam-hengte dapat mengenali beberapa orang segolongan, yaitu
orang-orang kang-ouw yang terhitung sebagai golongan hitam atau golongan sesat.
Mereka
melihat adanya orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat
yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air,
merasa cocok dan senang. Apa lagi di ruangan itu, para tamu yang dipersilakan
menanti tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah.
Setelah
gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera
bertemu dan bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang sudah mereka
kenal. Dan di ruangan ini, mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu
siapa orang-orang yang berdiri di belakang Pao-beng-pai ini.
Pao-beng-pai
yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini adalah perkumpulan yang tadinya
telah mati akibat dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan
lain yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu).
Telah muncul
seorang yang gagah perkasa. Dialah yang mengumpulkan kembali bekas para anak
buah Pao-beng-pai, menggunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru
sehingga Pao-beng-pai bangkit kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang
lebih besar dan lebih kuat dari pada dulu.
Tokoh itu
bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang
bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam
dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng
yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti-bukti bahwa
dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu,
tetapi karena dia kaya raya dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik
menjadi anggota Pao-beng-pai percaya saja.
Di samping
harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana
datangnya, namun menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan
keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat. Telah
banyak jagoan yang tadinya menentangnya, sebab tidak percaya akan
kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menakluk lalu menjadi
pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat
dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang
berilmu tinggi.
Siangkoan
Kok memiliki seorang isteri yang selain cantik juga lihai bukan main. Isterinya
itu bernama Lauw Cu Si dan kini berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal
karena mengaku sebagai keturunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah
perkumpulan para tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau
Siangkoan Kok disebut ‘pangcu’ (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini
memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya ‘toanio’ (nyonya besar).
Masih ada
lagi seorang tokoh di dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis
berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita, akan tetapi tidak kalah
lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu.
Namanya adalah Siangkoan Eng.
Ayah ibunya
menyebutnya Eng Eng, tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya
Siocia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun tetapi dingin
inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah
Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.
Lima tahun
yang lalu, keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali
Pao-beng-pai. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang
ketika itu baru berusia delapan belas tahun, berhasil membangkitkan
Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat.
Anak buah
mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggota itu
dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini. Lebih dari
separuh jumlah itu adalah anggota pria yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya
lebih tinggi dari pada yang abu-abu.
Ada pun
sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua
puluh sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka digembleng secara
khusus sehingga merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para
anggota pria. Para anggota wanita ini memiliki dua tingkat pula. Yang pertama
adalah mereka yang berpakaian putih-putih, di antara mereka hanya terdapat
empat orang sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam
hitam, kuning, dan biru.
Para anggota
yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih
dari tiga puluh tahun usianya. Mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena
Pao-beng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang
besar, hidup serba kecukupan, tetapi mereka harus taat akan semua peraturan
dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar.
Di antara
peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi
anggota Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para
anggota wanitanya, selain tidak boleh menikah, tidak boleh pula melahirkan
anak.
Bisa
dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggota itu adalah
orang-orang yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja sangat menyiksa.
Tetapi karena mereka merasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati
sebagai anggota Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman,
mereka pun tidak ada yang berani melanggarnya.
Akan tetapi,
larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua anggota, dan larangan
melahirkan bagi anggota wanita. Akibatnya, untuk penyaluran kebutuhan birahi
mereka, terjadilah hubungan gelap yang tidak wajar, bahkan kadang-kadang amat
jahat.
Karena
mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi
orang awam, maka banyak di antara para anggota pria mempunyai kekasih di luar,
bahkan ada pula yang melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun
yang berada di luar daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki
Gunung Setan.
Juga para
anggota wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam
menjalin hubungan gelap dengan sesama anggota pria, atau mempunyai kekasih
gelap yang mereka pilih dari para penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini
berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap itu.
Mereka
adalah orang-orang dari golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka
anggap wajar saja. Maka tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang
amat ditakuti oleh penduduk di pegunungan itu.
Siangkoan
Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun
mereka bersikap tidak peduli. Selama para anggota tidak melanggar peraturan dan
larangan, cukuplah sudah.
Selain itu,
Siangkoan Kok yang meski pun kaya raya namun harus mengeluarkan biaya cukup
besar untuk perkumpulannya, segera mengambil tindakan untuk mendatangkan dana.
Caranya adalah menundukkan dan menalukkan semua gerombolan penjahat di
kota-kota dan dusun-dusun sekitar Kui-san, lalu memaksa mereka mengakui kekuasaan
Pao-beng-pai. Siapa pun yang membangkang dihancurkan, dan yang takluk
diharuskan membayar semacam ‘upeti’ setiap bulan. Bahkan Pao-beng-pai juga
menguasai banyak tempat perjudian dan pelacuran di berbagai kota, sehingga dari
semua penghasilan itu keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat.
Semua sepak
terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk
perjuangan, yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali
Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!
Mungkin
orang lain akan menganggap bahwa cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan
mimpinya terlalu muluk. Tetapi, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini
dia mulai hendak mendekati semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia
berhasil, maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi
pemerintah Mancu.
Dia mengirim
undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tak rela tanah
air dan bangsa ini dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban-kwi-kok di
Gunung Setan dan mengadakan pertemuan besar.
Dan pada
hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai.
Seperti juga halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan
kagum. Setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-beng-pai, mereka disambut oleh
seorang murid Pao-beng-pai dan diantar sampai ke gedung yang megah bagai istana
itu. Di sepanjang perjalanan ini saja mereka bisa melihat kenyataan betapa
tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh,
berbahaya dan penuh jebakan alam.
Tidak kurang
dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari
itu. Bukan hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai golongan
yang anti pemerintah Mancu seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi
juga dari gerombolan orang-orang sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang
datang berkunjung.
Mereka ini
pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih dekat karena
mereka merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini
bangkit kembali. Jika golongan para pendekar ini datang untuk mencari tahu,
sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu saja datang untuk
melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk memperoleh keuntungan
besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja tidak sudi
melelahkan diri.
Karena
undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan
untuk umum, yaitu para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang
berkunjung. Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan,
ikut pula datang, walau pun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh dari pada
pantas untuk menghadiri pertemuan seperti itu.
Siangkoan
Kok memang pandai mengambil hati orang. Sebelum pertemuan dimulai, sebelum dia
keluar menemui para tamu, mereka itu sudah disuguhi arak dan anggur yang baik,
makanan yang lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang
yang amat royal.
Berpestalah
para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain. Daging segala macam
binatang berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan masakan-masakan
termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang tercengang dan
terheran-heran melihat masakan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Setelah
selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya
muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini sangat menyenangkan para
tamu. Tadi tanpa merasa sungkan mereka dijamu hidangan secara royal, karena
pihak tuan rumah hanya mewakilkan kepada para gadis cantik yang menjadi anggota
Pao-beng-pai.
Para gadis
cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah. Bahkan
mereka tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda
mereka dengan ucapan yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir
di situ. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa taatnya para anggota
Pao-beng-pai.
Biasanya,
para anggota wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka
ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai
pria itu. Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tak pernah marah,
bahkan tidak berani marah karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka supaya
melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap keras
terhadap mereka.
Dalam
suasana gembira dan sesudah puas makan minum sampai kenyang, para tamu
menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-beng-pai itu
muncul sambil tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua
orang memandang kagum dan segan. Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak
terkenal di dunia persilatan, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi
ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa
ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebat!
Siangkoan
Kok memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu
karang. Wajahnya yang tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya
pun mantap dan gagah seperti seekor singa.
Sebatang
pedang tergantung di pinggang serta pakaiannya rapi dan terbuat dari sutera
mahal, meski tidak berkesan mentereng. Rambutnya tidak dikuncir, melainkan
digelung kemudian diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak
mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria harus menguncir rambutnya!
Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
Di samping
kirinya melangkah seorang wanita yang umurnya empat puluh lima tahun, akan
tetapi masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping.
Sepasang mata wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum
yang membayangkan kebanggaan, seperti senyum seorang puteri kerajaan yang
menyadari akan kekuasaannya, kemuliaannya dan kecantikannya.
Dia adalah
Lauw Cu Si, isteri ketua Pao-beng-pai yang selalu disebut Toanio oleh para
anggotanya. Semua mata memandang kagum karena wanita ini memang pantas untuk
menjadi seorang wanita bangsawan tinggi.
Akan tetapi
yang paling menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan
di belakang suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat
menarik hati. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya lebih mewah dari
pada pakaian ibunya.
Rambutnya
yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil
penuh permata berkilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat
dingin. Pandang matanya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat
muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang langsung merasa ngeri karena
sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga.
Di punggung
gadis ini nampak sebatang pedang beronce merah, sedang tangan kirinya memegang
sebuah hud-tim berbulu merah. Kebutan pendeta ini benar-benar membuat orang
merasa heran. Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang
biasanya dibawa oleh seorang pendeta? Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis
yang pernah menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar
Suma Ceng Liong.
Di belakang
ayah, ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang
berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari
semua anggota wanita dari Pao-beng-pai. Mereka dapat juga dianggap sebagai
murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya. Tingkat
kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh
para anggotanya disebut Siocia atau Nona.
Para tamu
bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, dan sesudah tepuk
tangan itu reda barulah Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat
duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai
ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka.
Dengan
isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu untuk duduk, dan
seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang
keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena
diteriakkan dengan pengerahan khikang.
"Cuwi
(Anda Sekalian) yang terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk
kembali dan diharap supaya masing-masing memperkenalkan diri. Sebutkan nama,
dari perkumpulan atau aliran mana, dan bertempat tinggal di mana."
Semua tamu
saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa
angkuhnya sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian
besar di antara mereka segera memperkenalkan diri.
Satu per
satu kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang
diwakilinya, dan tempat tinggal mereka. Dengan cara demikian, tuan rumah dapat
mengenal siapa tamu-tamunya, dan seorang gadis berpakaian putih sibuk
menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri.
Lebih dari
delapan puluh orang telah memperkenalkan diri masing-masing, mewakili tiga
puluh perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang
sebagian besar dari golongan sesat. Tinggal dua puluh orang lebih yang masih
belum memperkenalkan diri karena mereka ini termasuk mereka yang menganggap sikap
tuan rumah itu sombong dan angkuh.
Saat melihat
kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya kembali
bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.
"Para
tamu lain yang belum memperkenalkan diri, diharap suka memperkenalkan diri
secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!"
Di antara
tiga puluh orang lebih itu, terdapat pula wakil-wakil dari partai persilatan
yang besar. Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, juga dua
orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid dari Kun-lun-pai. Empat perkumpulan
besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka memiliki
murid-murid yang pandai dan yang terkenal sebagai golongan pendekar.
Untuk
menjaga kebesaran nama partai masing-masing, delapan orang ini sudah saling
pandang. Dari pandang mata saja mereka sudah maklum bahwa mereka berpendapat
sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan
diri dan akan melihat perkembangan selanjutnya.
Sisa dari
mereka yang belum memperkenalkan diri nampak ragu-ragu, karena mereka pun
bersandar pada sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri
seperti mereka delapan orang itu, mereka merasa tidak enak juga.
Mereka
adalah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara
royal sekali. Jika sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka untuk
memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan hal
itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka sudah merendahkan diri
kepada pimpinan Pao-beng-pai yang sama sekali belum mereka kenal orang-orang
macam apa adanya mereka itu.
Mendadak
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya
sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Agaknya
mereka mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata,
suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang
tadi mewakili ketuanya.
"Kami
bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami
ingin memprotes cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang,
bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Oleh karena itu, kami
menolak cara perkenalan seperti ini, dan kami menuntut supaya pihak tuan rumah
terlebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri
kami!"
Agaknya
ucapan gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri,
bahkan para wakil keempat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati
mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah.
Semua orang
memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Tapi ketua Pao-beng-pai itu,
isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu
dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang mewakili
Siangkoan Kok bicara. Dengan sinar matanya yang tajam, gadis berpakaian putih
itu memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum
memperkenalkan diri.
"Kami
melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya telah setuju
dengan usul saudara yang baru saja berbicara. Baiklah, jika begitu kami akan
memberi penjelasan. Semenjak kedatangan para Cuwi, ketua kami telah menyambut
Cuwi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan. Cuwi dijemput dan
diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin..."
"Kami
tidak pernah minta makanan, kalian sendirilah yang menghidangkan!" bantah
si muka bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan
itu.
"Begitukah?"
Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. "Kalau
begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya
kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian.
Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!"
"Wahh!"
Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah akibat
darah sudah naik ke kepalanya. "Sombong amat! Kalau begitu, begini saja.
Biar kami semua yang belum mengenalkan diri menguji kepandaian para pimpinan
Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan
tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami!"
Kembali
banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Dan melihat betapa banyak di
antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang
adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat dengan gerakan
ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup
luas untuk dipakai bertanding silat.
Suasana
menjadi tegang. Namun, karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang
tentu saja gemar melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang
kegembiraan karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat
yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu kini ingin sekali
melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap
tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.
Gadis
berbaju putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan
murid ketua dan pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua.
Namun ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap
muridnya itu.
Melihat
tanda ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, "Kami menerima usul
itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!"
Si muka
bulat yang sekarang menjadi perhatian para tamu merasa bangga dan dengan
membusungkan dada dia berkata, "Kami bertiga pengurus Pek-eng Bu-koan
(Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!"
Tetapi,
tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi
isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian
putih itu sudah berhadapan dengan tiga orang penantang. Gadis yang tadi
berbicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.
"Tak
mudah untuk mengadu ilmu dengan ketua kami, harus bisa mengalahkan wakilnya,
yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dulu mengalahkan Siocia.
Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Siocia harus lebih dahulu dapat
mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!" Gadis itu tersenyum
mengejek. "Sam-wi sudah maju, dan tiga orang rekan kami pun sudah maju
menyambut tantangan. Nah, kami persilakan apa bila Sam-wi hendak bertanding.”
Tentu saja
tiga orang tokoh dari Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka
merasa diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak
membual atau meremehkan, karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat
tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.
"Bagus,
kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah pada orang lain.
Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!" bentak si muka bulat.
Seorang di
antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata
tenang, "Kami bertiga sudah siap."
"Sambut
serangan kami!" bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia
sudah menyerang gadis yang bicara itu.
Dua orang
rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun,
tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan
mereka ringan sekali, juga amat cepat saat mereka membalas. Terjadilah
pertandingan tiga lawan tiga.
Agaknya tiga
orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar,
mereka jelas kalah kuat. Maka mereka menggunakan kecepatan dan keringanan
gerakan mereka, dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka
lantas berkelebatan menjadi bayangan putih yang sulit sekali diserang oleh tiga
orang pria itu, seperti tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga
ekor dara putih yang gesit sekali.
Para ahli
silat yang menjadi tamu di situ diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan
mereka mencurahkan perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis
itu. Mereka ingin mengenal ilmu silat mereka supaya mereka dapat menentukan
dari aliran mana ilmu itu sehingga dengan sendirinya dapat pula mengenal ilmu
silat para pimpinan Pao-beng-pai.
Akan tetapi,
mereka menjadi bingung dan heran sekali karena mereka sama sekali tidak
mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh ketiga orang gadis berpakaian putih.
Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan
tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan bercampur
dengan aliran lain.
Agaknya ilmu
silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran! Hanya
dipilih gerakan yang baik dan menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang
merangkai ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!
Pertandingan
sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga
orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya,
maka tiga orang jagoan dari Garuda Putih itu lantas terdesak dan mereka lebih
banyak mengelak serta menangkis dari pada menyerang. Mereka tidak diberi
kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu
datang bertubi-tubi.
Tiba-tiba
tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan
menghentikan gerakan mereka. Muka mereka nampak merah.
Kiranya, di
tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang sudah dapat direnggutnya lepas
dari kepala lawan. Di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada
lawannya, dan biar pun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya
sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikat kuncirnya
terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu
menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan
tiga orang lawan dengan pukulan.
"Maafkan
kami," kata seorang di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.
Si muka
bulat menghela napas panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan ke
depan dada, lalu menghadap pihak tuan rumah sambil berkata, "Kami bertiga
adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan, dan saya Liu Pin sebagai ketuanya. Kami
mengaku kalah."
Dia dan dua
orang sute-nya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani
lagi mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah
Pao-beng-pai saja mereka kalah. Apa lagi melawan pimpinannya!
Mereka yang
telah mengenal kelihaian Pek-eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan
tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai sekarang tidak merasa ragu lagi dan
mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain.
Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai,
Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil
dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai. Juga masih ada lagi tiga orang lelaki muda
yang nampaknya belum mau memperkenalkan diri.
Melihat
masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu
kembali berseru, "Apakah masih ada di antara Cuwi (Anda Sekalian) yang
sebelum memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?"
Tiba-tiba
ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik
kepada si gadis pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan
ketuanya, menerima pesan dalam bisikan.
Gadis itu
mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah kelompok yang belum
memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.
"Pangcu
(Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai
dan Go-bi-pai sebagai setingkat dan sederajat. Karena itu, wakil dari
masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan
keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!"
Kebetulan
ada dua orang wakil dari masing-masing partai besar itu adalah orang-orang
muda. Tadinya mereka tak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena
hal itu dianggap terlalu merendahkan diri, seperti orang-orang bawahan
menghadap orang atasan saja.
Akan tetapi
kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak bila tak
mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan
rumah, dan memang mereka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para
pimpinan Pao-beng-pai.
Berturut-turut,
didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk
keluarga ketua Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil
itu sekarang baru tahu bahwa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama
Siangkoan Kok. Bersama isteri dan puterinya yang diperkenalkan sebagai
Siangkoan Eng, mereka bertiga inilah merupakan pimpinan Pao-beng-pai. Sedangkan
undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di
antara tokoh-tokoh persilatan masa itu.
Setelah para
wakil dari empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa
direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan berseru lagi, ditujukan
kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
"Pangcu
kami menganggap bahwa Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan
seperjuangan. Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka
maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu sekeluarga."
"Siancai,
siancai...!" Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke
sudut ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat.
Kiranya dia
seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di
bajunya, di dada kiri yang disulam dengan benang emas berbentuk sebuah pat-kwa
(segi delapan).
Dia seorang
pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, dan nampak
kokoh kuat. Di punggungnya tergantung pedang. Matanya lebar, hidungnya pun
besar dan mulutnya berbibir tebal. Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan
besar.
"Pat-kwa-pai
kami juga memiliki peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi
perutnya lebih dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin
sekali mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai melalui pertandingan
silat." Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.
Semua orang
kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik
jelita tuan rumah hendak bangkit, tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan
hati gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai
sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan menghampiri wakil
Pat-kwa-pai yang telah berdiri menanti.
Sekarang
semua orang melihat betapa ketua itu mempunyai gerak-gerik yang anggun dan
berwibawa, tetapi wajahnya cerah. Dia tersenyum ketika berdiri berhadapan
dengan tokoh Pat-kwa-pai.
"Saudara
wakil dari Pat-kwa-pai, jika kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan
Thian Ho Sianjin?" Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sangat sopan
seperti cara bicara seorang yang terpelajar tinggi.
Diam-diam
utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seakan-akan sudah
mengenal baik ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah
gurunya, dan dia merupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama
tiga orang sute-nya dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang
kuat.
"Kami
yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua
Pat-kwa-pai," katanya.
"Ahh,
kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. Sahabat, kalian kami undang ke sini untuk
persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding," ucapan itu
seperti suatu teguran.
"Akan
tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami
tentang Pao-beng-pai," bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan
Kok tersenyum. "Baiklah, kalau begitu marilah kita latihan sebentar. Berapa
orang dari Pat-kwa-pai yang datang?"
"Kami
datang berempat."
"Silakan
yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan."
Mendengar
ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sute-nya. Lebih kuat
keadaan mereka lebih baik, pikirnya. Ketiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit
dan nampak tubuh mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan
ketika sudah berdiri di situ, nampaklah betapa tiga orang ini pun bertubuh
tegap dan nampak kokoh kuat.
"Bagus,
Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah sekali. Nah, sekarang kalian
berempat boleh menyerangku sekuat kalian. Aku tak akan mengelak, takkan
membalas pula, hanya menangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian
berhasil memukulku, berarti aku kalah."
Empat orang
itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong! Semua
orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apa lagi empat orang
itu adalah murid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi.
Tidak akan
mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka. Akan tetapi
menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa
membalas, hanya menangkis saja? Ketua Pao-beng-pai itu pasti akan celaka oleh kesombongannya
sendiri.
"Baik,
kami setuju!" kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri
belum tentu akan dapat bertahan, apa lagi orang sombong ini, pikirnya.
"Nah,
mulailah, aku sudah siap." Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.
Keempat
orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda serta menghimpun tenaga
sakti. Akan tetapi Siangkoan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan
melirik pun tidak ketika salah seorang di antara empat orang lawan itu
melangkah ke belakangnya. Sekarang ia dikepung empat orang yang mengambil
kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.
"Pangcu,
jaga serangan kami!" seru si gendut yang berada di depan.
Dia mulai
menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi
tiga orang pengeroyok lainnya juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan
mereka itu kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan
Kok berkibar.
Ketua
Pao-beng-pai ini tidak mengelak, sesuai dengan janjinya tadi. Akan tetapi kedua
tangannya bergerak cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil memutar
tubuhnya.
"Duk-duk-duk-plakkk!"
Empat orang itu terpental ke belakang!
Mereka
terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini mempunyai tenaga sinkang yang
hebat bukan main. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak hanya
mengandalkan tangkisan.
Akan tetapi,
karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti yang sudah dijanjikan,
mereka pun memperhebat serangan, menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil
mengerahkan seluruh tenaga mereka. Bahkan mereka juga mengerahkan tenaga yang
mengandung hawa beracun!
Namun,
Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak
terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap
kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka
terasa nyeri bukan main.
Sepuluh
jurus sudah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok,
apa lagi memukulnya. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si
gendut memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk mempercepat serangan.
Dia hanya memiliki dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat
orang, tidak akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja
mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!
Akan tetapi,
sebelum isyarat ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan
nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk
mengetahui kedudukan badan lawan, karena tubuh itu berputar sangat cepat dan
kedua tangannya menjadi banyak sekali.
Mereka masih
mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu. Akan tetapi setiap kali pukulan
mereka bertemu dengan tangkisan lawan lantas membuat mereka terpelanting. Kini
kedua lengan mereka sudah bengkak-bengkak karena berkali-kali bertemu dengan
lengan Siangkoan Kok.
Si gendut
lalu memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk memasang kuda-ruda dan
berdiam diri, tak menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan
putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik
yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan
lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari
depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama!
Tiba-tiba
Siangkoan Kok meloncat ke atas. Di udara tubuhnya merentang, kedua tangan
menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini,
tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu
terjengkang dan roboh!
Tentu saja
semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji,
memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula.
Empat orang
tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu
sambil mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak,
lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.
"Kami
mengakui kelihaian Pangcu dan kini kami mempunyai bahan untuk menceritakan
kepada para pimpinan Pat-kwa-pai," kata si gendut.
"Sampaikan
salamku kepada Thian Ho Sianjin," kata ketua Pao-beng-pai itu. Dengan
tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat
pada wajah dan lehernya.
"Siancai...,
tenaga sinkang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat bukan main. Kami semua
merasa kagum!" Tiba-tiba terdengarlah suara yang diikuti berkelebatnya
sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung.
Semua orang
memandang. Dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang.
Usianya sudah enam puluh empat tahun. Tubuhnya pendek kurus tetapi masih nampak
segar seperti tubuh kanak-kanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan
sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan
terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria
itu, gadis berpakaian putih segera berkata, "Totiang (Pak Pendeta)
tentunya wakil dari Pek-lian-pai. Apa kehendak Totiang?"
"Siancai...!
Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai tadi, kami dari Pek-lian-pai ingin pula
membuktikan sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku)
tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian
kalian bila bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai
yang berani melayani pinto bermain pedang?"
Sekali
tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang
pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja
menunjukkan kemahirannya.
Tentu saja
dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang
lihai dan dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Sekarang ia
datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sute-nya. Dia tadi sudah
melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu,
dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.
Kembali
keluarga ketua Pao-beng-pai nampak saling berbisik. Agaknya Siangkoan Eng
meminta perkenan kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu
Pek-lian-kauw itu. Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat
duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thiancu.
"Sobat,
kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?"
Mendengar
pertanyaan itu, Kui Thiancu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua
Pek-lian-kauw yang masih terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai
ini mengenal ketua Pek-lian-kauw pula!
"Pangcu,
ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, supaya
melihat apakah Pao-beng-pai cukup pantas untuk menjadi rekan seperjuangan.
Ketua kami adalah paman guru kami."
"Andai
kata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk
berlatih pedang. Akan tetapi sekarang hanya murid keponakannya yang datang. Aku
akan mewakilkan saja kepada puteriku untuk bertanding ilmu pedang!"
Siangkoan
Eng kemudian bangkit dan dengan tenangnya melangkah menghampiri tosu
Pek-lian-kauw itu. Semua orang memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu
nampak demikian lembut dan anggun, cantik jelita, bagaimana akan dapat
menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan kelihaiannya?
Kui Thiancu
sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah. Dia sudah pandai bermain
pedang sebelum gadis yang usianya baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia
telah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling
banyak hanya belajar silat selama belasan tahun saja. Apa lagi dalam hal
pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang
yang lihai, sedangkan gadis ini? Mungkin belum pernah bertemu tanding yang
sungguh-sungguh.
Kui Thiancu
tersenyum pahit karena merasa sangat direndahkan dengan kemunculan seorang
bocah untuk menandinginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap
orang tosu Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai
menggunakan ilmu sihir.
Ia lalu
mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya. Sepasang matanya
bagai menembus mata gadis itu, sedang mulutnya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.
"Nona
yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Bila
tergores sedikit saja, kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan
menangis karena ngeri. Nah, sekarang pun engkau sudah ingin menangis.
Menangislah, Nona, menangislah karena engkau memang pantas dikasihani!
Menangislah...!"
Kui Thiancu
merasa diremehkan, maka kini dia hendak membalas dan membikin malu keluarga
ketua Pao-beng-pai dengan ilmu sihirnya. Akan tetapi, gadis itu tidak menangis,
malah memandang kepadanya dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan
suara yang sungguh-sungguh, "Totiang, bagai mana sih caranya menangis itu?
Aku tidak pernah menangis, harap Totiang memberi contoh."
Tentu saja
Kui Thiancu merasa heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh
aneh.
"Bagaimana
caranya menangis? Engkau sungguh belum tahu? Begini, Nona, beginilah caranya
orang menangis..."
Dan tosu itu
lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi muka dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang.
"Huauuu-uuuuu...
huuuuu-uuuhhh..."
Terdengar
suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek
yang tubuhnya pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak amat tua itu,
yang mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, sekarang seperti anak kecil
menangis di depan Siangkoan Eng yang cantik dan kini tersenyum-senyum mengejek.
Mendengar
suara tawa orang-orang di situ, Kui Thiancu baru menyadari keadaannya.
Diam-diam dia terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu
menangis bahkan seperti senjata makan tuan. Gadis itu ternyata tak terpengaruh
sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah kekuatannya sendiri,
membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang lalu menangis, tanpa
disadarinya sendiri bahwa ia telah melakukan perbuatan yang lucu dan memalukan.
Tentu saja
Kui Thiancu marah sekali, akan tetapi ia bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia
adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biar pun dia
mendapat malu di depan banyak orang, namun dia dapat melihat kenyataan dan
tidak menuruti hawa nafsu amarah.
Dia
menyadari bahwa dia sudah membuat kesalahan besar, keliru menafsirkan orang dan
terlalu memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar
bahwa Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng
yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak
mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.
"Hemmm,
Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah,
sekarang aku ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona."
Dia
menggerakkan tangan dan memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat
dan cepatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan
sinar yang menyilaukan mata dan terdengar bunyi desing yang menyeramkan.
Siangkoan
Eng masih tersenyum mengejek. Tangan kanannya bergerak dan dia sudah mencabut
pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim
(kebutan) yang bergagang emas dan bulunya merah mengkilap itu.
Dengan sikap
tenang gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada, lalu berkata,
"Totiang, aku sudah siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang
hebat!"
Dalam ucapan
yang dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh
Kui Thiancu sehingga membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di
dalam hati.
Ini memang
merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan akan dapat
melemahkan orang, membuat orang menjadi kurang waspada. Maka bagi seorang ahli
silat, marah pada waktu bertanding merupakan pantangan besar karena hanya akan
merugikan diri sendiri.
Kui Thiancu
yang sudah amat marah itu tidak mau lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai
seorang yang jauh lebih tua, apa lagi memiliki kedudukan tinggi sebagai wakil
sebuah perkumpulan besar seperti Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu bila
harus menyerang lebih dahulu dalam sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda.
Akan tetapi karena sudah amat marah, dia tidak lagi peduli dan putaran
pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.
"Nona,
jaga baik-baik seranganku ini!" bentaknya dan pedang itu makin cepat
berdesing membentuk sinar yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari
lingkaran itu mencuat sinar menyambar ke arah Siangkoan Eng secara
bertubi-tubi.
Gadis itu
pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sementara kakinya membuat
langkah-langkah melingkar sehingga semua serangan itu gagal, luput atau
tertangkis. Kemudian sambil menangkis, dia pun membalas dengan serangan hud-tim
di tangan kirinya. Begitu digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku
seperti kawat baja, dapat dipergunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat
lemas seperti rambut yang dapat membelit lawan.
Pertandingan
itu berlangsung dengan seru sekali. Karena merasa dirinya sebagai wakil
perkumpulan besar, tentu saja Kui Thiancu tidak mau kalah melawan seorang
gadis. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu
pedangnya.
Namun
agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai.
Buktinya, gadis itu dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat sekali.
Bahkan serangan balasan dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus,
membuat tokoh Pek-lian-kauw itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan diri.
Diam-diam
kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar
amat lihai! Dia semakin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh
ilmu pedangnya. Namun tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tidak
mampu ditembus oleh gulungan sinar pedangnya. Sebaliknya, sambaran bulu-bulu
kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke kanan kiri dan memutar
pedang untuk melindungi tubuhnya.
Ketika
kembali dia membacokkan pedangnya dengan pengerahan tenaga, bulu kebutan itu
menyambut dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular. Dan pada saat
yang sama pula, pedang di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah
pergelangan tangannya yang memegang pedang!
Serangan ini
hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thiancu kecuali melepaskan
pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya terbabat
buntung di pergelangannya! Dengan muka berubah kemerahan dia meloncat ke belakang
dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hud-tim.
Siangkoan
Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada
lawannya, lalu berkata, "Totiang, terimalah kembali pedangmu!"
Dia
menggerakkan hud-tim di tangan kiri, dan pedang rampasan itu meluncur ke arah
pemiliknya! Wajah tokoh Pek-lian-pai itu berubah pucat, akan tetapi dia
menyambut pedangnya dan dia pun maklum bahwa dia tidak akan menang melawan
gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum bukan main.
Kalau
puterinya saja sehebat itu, apa lagi ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu
gadis ini, Lauw Cu Si, ialah seorang keturunan para pimpinan Beng-kauw,
perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai perkumpulan besar kaum sesat yang
telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki ilmu yang
lihai, di samping ilmu sihir.
"Nona
memang hebat, pinto mengaku kalah," lalu dia menghadap ke arah tuan rumah
dan memberi hormat. "Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai
merupakan kawan seperjuangan yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar
kepada para pimpinan Pek-lian-kauw."
Tentu saja
Siangkoan Kok merasa girang. "Terima kasih, Totiang dan silakan
duduk."
Setelah
tokoh Pek-lian-kauw itu duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang
pemuda yang belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga
puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning
dengan mata yang sipit. Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan
tempat mengadu ilmu itu dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.
"Melihat
kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya
memperkenalkan diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih
dahulu dengan ilmu silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan melayaniku
beberapa belas jurus!" Sikapnya kaku dan agak takabur, seperti bukan sikap
seorang ahli silat di dunia kang-ouw yang berpengalaman.
Siangkoan
Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi dia
mewakil ayahnya menandingi Kui Thiancu adalah karena mengingat bahwa
Pek-lian-pai sebuah perkumpulan pejuang yang besar dan dia tahu bahwa para tosu
Pek-lian-kauw amat lihai. Akan tetapi, biar laki-laki muda itu murid
perkumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya demikian hijau dan dungu.
Dia memberi
isyarat kepada seorang di antara pelayannya, yaitu yang berpakaian serba
kuning, pelayannya yang paling lihai, lalu berkata lantang.
"Sahabat
dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada salah
seorang pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas
menantangku!"
Sesosok
bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga
cantik itu tahu-tahu telah berdiri di depan pemuda Kong-thong-pai yang tidak
mau mengenalkan diri sebelum menguji kepandaian.
"Kongcu
(Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!"
Diam-diam
murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid
unggulan dari Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya
untuk mewakili Kong-thong-pai. Namun di sini dia dipandang rendah sekali,
tingkatnya hanya disejajarnya dengan seorang pelayan dari puteri tuan rumah!
Keterlaluan sekali!
Maka, dia
pun melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap yang angkuh,
"Baik, sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah.
Akan tetapi, saya tidak mau mencari kemenangan dari seorang pelayan! Kalau
wakil Nona Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama dua puluh jurus maka
aku mengaku kalah!"
Melihat
lagak orang yang meremehkan dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja.
Dengan sikap tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya,
dia tersenyum dan memberi hormat,
"Kongcu,
saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh jurus
itu."
Melihat
sikap si pelayan yang menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin
penasaran. Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak,
"Lihat seranganku!"
Dan dia pun
sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat
Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan
seperti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari
kanan kiri secara cepat sekali. Serangan pertama itu dilakukan dengan gerakan
seperti seekor harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu
membuat gerakan ke depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan
tubuh melompat.
Akan tetapi,
nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, serta
merupakan pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di
antara rekan-rekannya. Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, dia pun bersikap
lincah dan meloncat ke belakang, lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan
luput dan dia pun telah menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi, membalas
serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan!
Melihat
kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia
memutar lengannya dan berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi
gadis pelayan itu sudah maklum akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali
kakinya, meloncat dengan gerakan cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia
mengirim tamparan ke arah kepala lawan!
Sekali ini,
pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk menangkis tidak ada waktu lagi,
maka terpaksa dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang
cukup berbahaya itu karena dia dapat merasakan sambaran angin pukulan yang
cukup kuat. Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, biar pun hanya
seorang pelayan, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan
berat.
Maka ia pun
tidak berani lagi memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa
sungkan lagi. Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu
mengalahkan lawan, bahkan mendesak pun tak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai
itu menjadi semakin penasaran.
Ia segera
mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu
mampu menandinginya, bahkan mampu pula membalas dengan tak kalah kuatnya. Dua
puluh jurus lewat dan pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur. Mukanya
berubah merah sekali.
"Dua
puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah!”
Siangkoan
Eng tersenyum, kini senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimana pun juga,
dia senang dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu-malu untuk mengakui
kekalahannya sesuai dengan janjinya, walau pun sebenarnya dia belum kalah.
"Lanjutkanlah
sampai ada yang kalah karena sesungguhnya engkau belum kalah, sobat dari
Kong-thong-pai!" katanya lembut.
"Hemmm,
aku Koan Tek adalah seorang lelaki sejati yang menjunjung tinggi nama dan
kebesaran nama Kong-thong-pai. Tadi aku sudah berjanji, dan ternyata setelah
lewat dua puluh jurus aku masih belum mampu mengalahkannya, berarti aku kalah.
Pangcu, terimalah hormatku!" katanya sambil memberi hormat kepada
Siangkoan Kok.
Ketua
Pao-beng-pai yang tinggi besar ini mengangguk dan membalas penghormatan pemuda
wakil Kong-thong-pai itu. "Silakan duduk, saudara Koan Tek!"
Kini tinggal
dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua
orang pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Sekarang perhatian
semua tamu ditujukan kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa
kiranya mereka berdua. Di antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal
mereka, maka tentu saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda
yang tidak terkenal berani bersikap begitu angkuh, tidak mau memperkenalkan
diri lebih dulu kepada pihak tuan rumah!
Dua orang
pemuda yang merasa menjadi pusat perhatian itu, kini juga saling pandang.
Mereka belum saling mengenal, namun mereka berdua seperti merasakan suatu
ikatan dan sepenanggungan. Keduanya merasa menjadi pusat perhatian sebab hanya
mereka berdua saja yang kini belum lagi memperkenalkan diri, dan diharapkan
mereka berdua akan menguji pihak tuan rumah seperti tadi dilakukan oleh
wakil-wakil Pek-eng Bu-koan, Pat-kwa-pai, Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai.
Pemuda
pertama berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, berperawakan sedang dan
tegap. Wajahnya bulat, berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya
agak besar dan mancung, mulutnya selalu terhias senyum manis dan alisnya tebal.
Dia seorang
pemuda yang tampan. Sikapnya juga sangat anggun, tidak malu-malu dan berwibawa.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Cia Sun yang sedang melakukan penyamaran!
Dia
meninggalkan istana untuk mencari pengalaman, menyamar sebagai pemuda biasa.
Karena dia seorang yang semenjak kecil suka mempelajari silat, kini ia ingin
meluaskan pengetahuan dan menjelajahi dunia kang-ouw.
Maka,
mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai, apa lagi sesudah
mendengar bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan yang anti terhadap pemerintahan
kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong, dia tertarik dan sengaja datang berkunjung.
Tentu saja dia tidak akan mengaku bahwa dia adalah seorang pangeran, karena hal
itu sama saja dengan mencari kematian.
Kalau
perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng, tentu mereka akan
membunuhnya ketika mengetahui bahwa dia seorang pangeran Mancu! Di sepanjang
perjalanannya pun ia mengaku bernama Cia Ceng Sun. Dia memakai namanya sendiri,
hanya menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu yang berarti kerajaan atau
Dinasti Kerajaan Mancu.
Dan karena
sejak kecil dia hidup dalam pendidikan seperti orang Han, maka tidak ada
seorang pun yang tahu bahwa ia seorang pangeran Mancu. Dalam segala hal ia
adalah seorang pemuda Han biasa. Dia pandai silat dan pandai pula dalam hal
kesusastraan bangsa Han.
Pemuda yang
kedua juga tampan, berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan
sikapnya lebih matang dan pendiam. Dia pun tampan, walau pun ketampanannya
berbeda dengan ketampanan Pangeran Cia Sun yang kini kita kenal sebagai pemuda
Cia Ceng Sun.
Pemuda ke
dua ini bermuka lonjong dengan dua mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya
ramah tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya
tebal dengan dahi lebar. Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia Ceng
Sun, sedang dan tegap. Gerak-geriknya amat tenang, sikapnya seperti acuh tak
acuh walau pun wajahnya ramah.
Pemuda ini
bukan lain adalah Yo Han, pemuda perkasa yang dijuluki Sin-ciang Taihiap
(Pendekar Besar Tangan Sakti). Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan Sakti
itu tidak pernah ada orang yang melihat wajahnya, maka sekarang tidak ada
seorang pun yang mengenalnya sebagai pendekar itu di dalam pertemuan
orang-orang dunia persilatan di situ.
Berbeda
dengan Cia Ceng Sun yang pergi meninggalkan istana dengan tujuan hendak
memperdalam pengetahuan dan meluaskan pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu
dalam rangka menunaikan tugasnya yang teramat sulit, yaitu mencari puteri
bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si Pendekar Suling Naga Sim Houw.
Para pembaca
kisah Si Bangau Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim
piatu. Mendiang ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun
berjiwa gagah, sedangkan mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang sudah
bertobat, berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), su-ci dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim
Houw.
Semenjak
kecil, Yo Han dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li sehingga
sejak kecil Yo Han sudah akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah sebagai kakak
seperguruan. Akan tetapi, ketika kecilnya, Yo Han sama sekali tidak suka
belajar atau berlatih ilmu silat.
Biar pun
suami isteri Tan Sin Hong Si Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami
isteri yang sakti dan mengajarkan silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari
teorinya saja dan tidak pernah mau berlatih. Dia selalu menganggap bahwa ilmu
silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari orang-orang yang suka
berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain.
Karena
ulahnya ini, maka suami isteri pendekar itu merasa khawatir kalau-kalau puteri
mereka yang amat akrab dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu. Oleh
karena itu mereka ingin memisahkan dua orang anak itu dengan menitipkan Yo Han
pada sebuah perguruan silat yang baik.
Yo Han
mendengar hal ini dan dia pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu. Dengan
nekat dia mengikuti seorang iblis betina setelah berhasil membujuk iblis betina
itu untuk melepaskan Sian Li kecil yang diculiknya dan dia menyerahkan diri
sebagai penukarnya.
Demikianlah,
setelah ikut dengan iblis betina itu ia mengalami banyak penderitaan yang
aneh-aneh sampai akhirnya dia bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang
buntung kaki tangannya, namun yang memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han
menjadi pewaris tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng dari kakek itu, yang lalu membuat
dia menjadi seorang pendekar sakti.
Ketika Yo
Han merantau ke barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Taihiap yang
mukanya tidak pernah dikenal oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu
kembali dengan Sian Li yang telah menjadi seorang gadis cantik. Mereka saling
mengenal dan kasih sayang yang sejak kecil sudah tumbuh dalam hati mereka, kini
berubah menjadi cinta kasih dewasa antara pria dan wanita!
Namun,
kembali ayah dan ibu Sian Li tidak menyetujui hubungan mereka karena suami
isteri pendekar itu khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang ibunya
yang dulu pernah menjadi seorang wanita golongan sesat yang jahat. Maka,
terang-terangan mereka memberi tahu kepada Yo Han bahwa Sian Li telah
dijodohkan dengan seorang pangeran di kota raja!
Yo Han
menjadi sangat terpukul. Pada saat diingatkan akan lenyapnya puteri bibinya,
dia pun bertekad untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan
dia kembalikan kepada bibinya.
Demikianlah
tentang riwayat singkat Yo Han Si Pendekar Tangan Sakti. Dan pada hari itu,
sebetulnya dia mendengar tentang pertemuan para orang gagah yang diadakan oleh
Pao-beng-pai, maka dia pun sengaja berkunjung dengan maksud untuk mencari jejak
adik misannya yang dicuri penjahat pada waktu masih kecil. Yo Han maklum
sepenuhnya alangkah sulitnya tugas yang dipikulnya. Mencari seorang anak
perempuan yang hilang dua puluh tahun yang lalu, dan ketika hilang diculik
orang masih berusia tiga tahun!
Dia tidak
tahu siapa penculiknya, juga tidak pernah melihat anak perempuan itu. Yang dia
ketahui hanya bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw dan Can Bi Lan,
nama anak itu Sim Hui Eng dan mempunyai tanda pengenal yang mustahil untuk
dapat dilihat orang, yaitu noda merah di tapak kaki kanan dan tahi lalat hitam
di pundak kiri.
Bagaimana
mungkin melihat kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan
bajunya? Dan sudah pasti pula anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama
sekali akan ayah dan ibu kandungnya, tak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang
diculik. Itu pun kalau anak itu masih hidup!
Sungguh
merupakan suatu usaha yang teramat sulit, bahkan agaknya mustahil untuk bisa
menemukan anak yang hilang pada dua puluh tahun yang lalu itu. Akan tetapi, Yo
Han mempunyai akal. Bila dia tidak dapat menemukan kembali anak itu, setidaknya
dia berusaha menyelidiki siapa pelaku penculikan itu. Hal ini tentu hanya dapat
dia lakukan dengan menyelidiki dunia kang-ouw, bahkan di antara golongan sesat.
Maka, untuk tugas itulah sekarang ia sengaja datang menghadiri pertemuan itu
dan sengaja dia tidak mau memperkenalkan diri sesuai dengan rencana siasatnya.
Ketika dua
orang pemuda itu saling pandang, Yo Han tersenyum dan dengan tangannya dia
memberi isyarat, mempersilakan pemuda tampan murah senyum itu untuk bertindak
lebih dahulu. Dia hadir di sana karena ingin menyelidiki keberadaan adik
misannya yang belum tentu terdapat di tempat itu, tidak memiliki tujuan lain.
Melihat
isyarat gerakan tangan itu, Cia Ceng Sun tersenyum lebar dan mengangguk. Pemuda
ini pun kemudian mulai melangkah dengan ringan dan santai menuju ke ruang
tempat bertanding silat. Dia berdiri di tengah ruangan dan menjura kepada pihak
tuan rumah. Terdengarlah suaranya yang halus dan sopan, juga dengan gaya bahasa
yang menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang kang-ouw kasar biasa, melainkan
seorang yang terpelajar.
"Harap
Pangcu dari Pao-beng-pai sekeluarga suka memaafkan saya. Bukan karena
ketinggian hati maka saya belum memperkenalkan nama, namun karena tertarik akan
kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan yang tadi telah diperlihatkan. Oleh
karena saya memang bermaksud meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan,
maka saya ingin mempergunakan kesempatan ini untuk sekedar menambah pengetahuan
dengan jalan bertanding silat secara persahabatan, sebelum saya memperkenalkan
nama saya yang tidak berarti."
Sikap yang lembut
dan kata-kata yang amat sopan seperti biasa dilakukan orang-orang terpelajar
dan kaum bangsawan, tidak disuka oleh kebanyakan orang dunia kang-ouw, maka di
sana-sini terdengar ejekan terhadap pemuda tampan itu. Bahkan ada pula yang
menganggap bahwa pemuda ini tentu tak memiliki kemampuan yang berarti dalam
ilmu silat, hanya pandai berlagak saja.
Akan tetapi
tidak demikianlah kesan yang didatangkan Cia Ceng Sun kepada keluarga tuan
rumah. Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan pula, bahkan masih keturunan
keluarga Kaisar Beng. Sejak kecil dia terbiasa dengan tata-cara dan
sopan-santun yang berlaku di antara para bangsawan, di antaranya sikap yang
halus dan kata-kata yang indah. Oleh karena itu, sikap pemuda tampan itu
sungguh menarik perhatiannya dan dia merasa senang.
Demikian
pula dengan Siangkoan Eng. Biar pun tidak mengalami kehidupan bangsawan istana,
namun karena di dalam keluarganya, ayahnya masih memakai peraturan seperti
keluarga bangsawan, ia pun tertarik melihat pemuda yang berbeda dari pemuda
biasa itu.
Pemuda itu
berwajah tampan, anggun dan berwibawa. Sikapnya begitu lemah lembut, akan
tetapi telah berani maju untuk menguji ilmu silat. Seketika hatinya tertarik
kepada pemuda itu, maka ia berbisik-bisik kepada pelayannya, si baju kuning yang
lihai, dengan pesan agar pelayannya itu kembali mewakilinya menguji si pemuda,
akan tetapi jangan sekali-kali dilukai atau dibikin malu.
Si baju
kuning mengerti dan mengangguk, kemudian ia maju menghadapi Cia Ceng Sun sambil
memberi hormat.
"Kongcu,
saya bertugas melaksanakan perintah Siocia (Nona) untuk mewakili keluarga
Siangkoan dan melayanimu beberapa jurus."
Cia Ceng Sun
tersenyum, ia tidak merasa dipandang rendah. Maka dia pun cepat-cepat membalas
penghormatan pelayan yang lihai itu.
"Aku
tadi sudah melihat kelihaianmu, Nona pelayan. Tentu nona majikanmu jauh lebih
lihai, maka untunglah engkau yang maju sehingga bagaimana pun juga, lawanku
lebih ringan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kelihaianmu."
Si nona baju
kuning juga amat senang melihat sikap pemuda tampan ini yang demikian rendah
hati, bahkan sikapnya menghormat terhadap dirinya, padahal ia hanya seorang
pelayan.
"Kongcu,
silakan mulai, saya sudah siap!" katanya lembut dan memperlihatkan senyum
ramah.
"Baik,
lihat seranganku!" dan Cia Ceng Sun sudah menggerakkan tangan melakukan
serangan.
Karena ia
maklum bahwa pelayan baju kuning ini cukup lihai, tentu saja ia tidak berani
memandang rendah. Begitu bergerak, dia sudah menyerang dengan sungguh-sungguh,
memainkan jurus yang ampuh dari ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Kepalan tangan
kiri yang memukul lurus ke depan itu mendatangkan angin pukulan yang kuat.
Nona baju
kuning itu mengeluarkan seruan kagum dan cepat ia mengelak dengan lincah ke
kiri sambil membalas dengan sebuah tendangan. Namun, Cia Ceng Sun yang sudah
menguasai banyak macam Ilmu silat itu dapat menghindar dengan baik, bahkan
lantas mengirim serangan balasan dengan cepat sekali, mencengkeram pundak gadis
pelayan itu dari samping.
Gerakan ini
mengejutkan lawan yang kembali terpaksa harus meloncat ke belakang karena
serangan pemuda itu sungguh tidak boleh dipandang ringan dan sama sekali tidak
boleh disamakan dengan murid Kong-thong-pai tadi. Maka, si nona baju kuning
kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi, walau pun ia tetap
ingat akan pesan nonanya agar tidak melukai atau membikin malu pemuda itu.
Diam-diam
dia mengeluh. Bagaimana mungkin? Untuk menang pun tidak akan mudah, pikirnya.
Tak disangkanya bahwa pemuda yang tampan dan sopan ini demikian lihainya dan ia
pun merasa sangat heran.
Selama ini
Pao-beng-pai sudah menyebarkan banyak mata-mata untuk menyelidiki para tokoh
dunia persilatan, bahkan mencatat dan mempelajari ilmu-ilmu silat mereka. Akan
tetapi, pemuda ini agaknya luput dari pengawasan sehingga tidak dikenal oleh
keluarga majikannya. Padahal, kepandaian pemuda ini cukup hebat. Ia sendiri
sampai kewalahan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus. Mulailah ia
terdesak hebat!
Para tamu
yang menonton pertandingan itu pun menjadi kagum. Apa lagi para tokoh dari
aliran persilatan besar seperti wakil Siauw-lim-pai. Mereka tertegun melihat
betapa pemuda tampan itu memainkan beberapa jurus dari ilmu silat aliran
mereka!
Ilmu silat
pemuda itu campur aduk, akan tetapi setiap jurus yang dimainkannya sudah
mendekati kesempurnaan! Dan mereka semua tidak pernah mengenal pemuda tampan
itu!
Hal ini
memang tidak aneh. Sebagai seorang pangeran, Cia Ceng Sun atau Cia Sun tentu
saja tidak menjadi murid biasa dalam sebuah perguruan. Dengan kekuasaannya dan
kedudukan ayahnya, mudah saja dia mendatangkan guru-guru silat dari berbagai
aliran yang melatihnya secara rahasia.
Apa lagi, di
antara para jagoan istana bangsa Mancu terdapat banyak tokoh persilatan pandai.
Mereka ini sudah berhasil mencari dan menguasai ilmu-ilmu silat dari berbagai
aliran itu sehingga mereka dapat mengajarkannya kepada Pangeran Cia Sun tanpa
ada orang lain yang mengetahuinya.
Keadaan
pangeran ini tentu saja berbeda dengan kakeknya, yaitu yang kini menjadi kaisar
ketika masih muda. Kaisar Kian Liong pun ketika masih muda juga bertualang dan
mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia mempelajarinya dari para tokoh
persilatan secara berterang sehingga namanya dikenal oleh semua tokoh kang-ouw.
Siangkoan
Eng memandang kagum dan hatinya semakin tertarik. Bukan main pemuda itu,
pikirnya sambil termenung. Ilmu silatnya tinggi, bahkan pandai memainkan jurus
dari berbagai aliran persilatan. Wajahnya tampan, sikapnya agung seperti
bangsawan, serta gerak-geriknya lembut dan cara bicaranya menunjukkan bahwa dia
seorang terpelajar.
Belum pernah
dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini! Dan pemuda itu mampu mengimbangi
pelayannya yang utama sampai lebih dari empat puluh jurus, bahkan kini
pelayannya sudah terdesak hebat.
"Haiiiiittttt!"
Tiba-tiba
Cia Ceng Sun berseru nyaring dan serangannya mendatangkan angin pukulan yang
amat kuat, membuat nona baju kuning itu terpaksa menggunakan kedua tangan
menangkis.
"Dukkk!"
Dua pasang
lengan bertemu dan akibatnya, nona baju kuning itu terdorong ke belakang,
terhuyung-huyung dan hampir saja roboh kalau Siangkoan Eng tidak cepat melompat
ke depan dan menyambar lengannya.
"Kau
mundurlah!" kata Siangkoan Eng.
Pelayan itu
pun mundur dan kini nona cantik jelita itu berhadapan dengan Cia Ceng Sun yang
cepat memberi hormat.
"Maaf
kalau aku kesalahan tangan. Aku sudah puas dapat menguji ilmu silat dan biarlah
kini aku mengaku dan memperkenalkan namaku. Aku bernama Cia Ceng Sun, seorang
pemuda perantau yang hidup di antara langit dan bumi tanpa tempat tinggal
tertentu. Aku pun tidak mewakili golongan mana pun, hanya ingin meluaskan
pengalaman." Dia memberi hormat ke arah ketua Pao-beng-pai dan hendak
kembali ke tempat duduknya.
"Cia
Kongcu (tuan muda Cia), nanti dulu!" terdengar seruan halus dan Cia Ceng
Sun menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya dan memandang kepada gadis
jelita yang berhadapan dengannya.
"Nona,
aku sudah memperkenalkan diri sebagai tamu, ada urusan apa lagikah yang dapat
kulakukan untuk keluarga tuan rumah?"
Siangkoan
Eng tersenyum. Nampak giginya yang rata dan putih itu berkilauan sejenak.
"Harap jangan salah mengerti, Kongcu. Tadi engkau sudah memperkenalkan
diri, tidak sepatutnya jika aku sebagai nona rumah juga tidak memperkenalkan
diri. Aku bernama Siangkoan Eng dan aku hendak mewakili orang tuaku dan
mewakili Pao-beng-pai untuk berkenalan dengan ilmu silatmu yang tinggi. Ingin
sekali aku mengajak engkau berlatih sejenak untuk mengenal ilmu masing-masing.
Sudikah engkau memenuhi keinginanku ini, Kongcu?"
Cia Ceng Sun
terbelalak. Bukan main gadis ini! Begitu pandai membawa diri dan kalau tadi
nampak begitu dingin, kini begitu ramah dan wajahnya cerah seperti matahari
baru terbit dari balik gunung.
Dan manisnya
bukan main, cantik jelita seperti seorang puteri istana! Lebih lagi karena jika
puteri istana dikekang oleh adat istiadat yang kaku, gadis ini demikian bebas
seperti bunga mawar hutan yang semerbak harum dan indah.
Dia teringat
akan pesan ayahnya agar dia tidak jatuh hati kepada gadis lain, karena dia
sudah ditunangkan dengan seorang gadis lain yang juga seorang gadis perkasa
dengan julukan Si Bangau Merah. Akan tetapi, dia belum pernah berhadapan dengan
Si Bangau Merah. Apakah ia secantik gadis di depannya ini?
"Nona
Siangkoan terlalu memujiku. Kepandaian silatku memang hanya sejajar dengan tingkat
kepandaian pelayanmu, Nona. Kalau untuk melawanmu, mana mungkin aku bisa
mengimbangimu?"
"Cia
Kongcu, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kita hanya berlatih sebentar
untuk menambah pengetahuan masing-masing dan harap jangan sungkan. Marilah, Kongcu."
Sikap
Siangkoan Eng begitu membujuk dan manis sehingga Cia Ceng Sun yang tadinya
tidak ingin bertanding lagi, menjadi tertarik.
"Baik,
harap jangan terlalu kejam kepadaku, Nona. Nah, aku sudah siap, silakan Nona
mulai."
Pemuda itu
maklum bahwa dia menghadapi lawan yang sangat tangguh. Maka kini dia telah
memasang kuda-kuda Lo-han-hun dari aliran Siauw-lim-pai, kuda-kuda yang amat
kokoh, kuat dan tangguh seperti benteng baja. Ketika melihat kuda-kuda ini,
Siangkoan Eng tersenyum.
"Cia
Kongcu, awas terhadap seranganku! Hiaaaaattttt...!"
Dan ia pun
menyerang dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai pula! Tentu saja Cia Ceng Sun
terkejut dan kagum, maka dia pun menyambut serangan itu dengan tangkisan dan
membalas serangan lawan dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai.
Belasan
jurus mereka saling serang dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian tiba-tiba
gadis itu mengubah ilmu silatnya. Kini ia menyerang dengan ilmu silat dari
Bu-tong-pai. Dan Cia Ceng Sun juga mengimbangi dengan ilmu silat yang sama!
Demikianlah,
pertandingan itu berlangsung seru bukan main. Keduanya menukar-nukar ilmu silat
dan selalu diimbangi lawan dengan ilmu yang sama. Gerakan mereka tangkas dan
gesit, juga dalam hal tenaga sinkang, mereka seimbang.
Sesungguhnya,
kalau Siangkoan Eng menghendaki, tingkatnya masih lebih tinggi dari pada
tingkat kepandaian Cia Ceng Sun dan biar pun pemuda itu merupakan lawan yang
tangguh baginya, namun kalau ia bersungguh-sungguh akhirnya pemuda itu akan
kalah. Apa lagi kalau gadis itu mau mempergunakan kekuatan sihir atau ilmu
pukulan sesat beracun yang amat berbahaya dari didikan ibunya, tentu pemuda itu
akan celaka.
Hanya saja,
gadis itu memang tidak ingin mencelakai Cia Ceng Sun. Untuk pertama kali dalam
hidupnya, Siangkoan Eng merasa tertarik dan sayang kepada seorang pemuda dan ia
sengaja mengalah.
Enam puluh
jurus sudah lewat dan pertandingan itu masih ramai dan seru, seolah tidak ada
yang menang atau pun kalah, dan nampaknya seimbang dan setingkat. Kecepatan
gerakan mereka, keindahan gerakan mereka, membuat semua orang merasa kagum.
Lauw Cu Si,
ibu dari Siangkoan Eng, berbisik kepada suaminya, "Anakmu agaknya telah
menjatuhkan pilihan hatinya."
Siangkoan
Kok mengelus jenggotnya yang panjang dan rapi. "Jika memang benar, apa
salahnya? Pemuda itu cukup tampan dan gagah, dan pembawaannya seperti seorang
bangsawan. Kita hanya perlu mengetahui siapa orang tuanya," suaminya
berbisik pula.
Pada saat
itu, Cia Ceng Sun merasa penasaran juga. Belum pernah dia dikalahkan oleh
seorang wanita dalam pertandingan silat, dan sekarang dia sama sekali tidak
mampu mengalahkan gadis ini, bahkan mendesak pun dia tidak mampu. Dia merasa
penasaran sekali.
Tiba-tiba
dia melompat ke depan, lalu menyerang dengan kedua lengan diluruskan dan kedua
tangan terbuka mendorong ke depan dengan jurus Pat-bun Twi-san (Atur Pintu
Tolak Gunung). Kedua kakinya terpentang sedangkan lutut ditekuk, kedua tangan
lurus mendorong ke arah lawan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Jurus ini
merupakan serangan yang mengandalkan tenaga sakti. Hawa dorongannya saja mampu
membuat lawan terlempar.
Tetapi
melihat serangan ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau menangkis, melainkan
meloncat pula ke depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu
dengan dorongan kedua tangan pula, juga dengan kedua kaki terpentang dan
ditekuk lututnya. Kedudukan mereka persis sama, dan kini dua pasang tangan yang
terbuka itu saling bertemu.
"Plakkk!"
Dua pasang
telapak tangan itu bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan
terguncang karena pertemuan tenaga sinkang itu, akan tetapi keduanya dapat
bertahan!
Mereka
saling pandang dalam jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan.
Mereka dapat
saling merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh masing-masing, dan keduanya
tersenyum. Mereka seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh.
Keduanya saling dorong, akan tetapi Siangkoan Eng sengaja membatasi tenaganya
sehingga kedudukan mereka seimbang dan dua pasang telapak tangan itu seperti
melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi.
Banyak di
antara para tamu yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga seperti
itu amatlah berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat merenggut nyawa salah
seorang di antara mereka.
Tentu saja
mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena sebenarnya tenaga
sinkang Siangkoan Eng masih lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur dan
mengendalikan adu tenaga itu. Kalau tenaga mereka seimbang, memang berbahaya
sekali.
Agaknya Cia
Ceng Sun juga menyadari bahwa sebetulnya dia kalah kuat. Buktinya, gadis itu
nampak santai saja dan tidak nampak khawatir seperti dia. Maka dia pun kini
tersenyum dan maklum bahwa keadaan mereka sama sekali tidak berbahaya karena
gadis itu menguasai tenaga mereka. Jantung pangeran ini berdebar pada saat
melalui telapak tangan itu ia bisa merasakan suatu kehangatan dan kelembutan
yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.
Pada saat
itu nampak Yo Han cepat naik ke tempat pertandingan itu. Tanpa ragu-ragu lagi
dia menengahi, menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah
dua pasang tangan yang saling tempel.
"Cukup,
harap kalian mundur!" katanya.
Dari
dorongannya muncul tenaga yang sangat dahsyat, yang membuat Siangkoan Eng dan Cia
Ceng Sun terdorong mundur sampai tiga langkah. Dengan sendirinya tempelan dua
pasang tangan itu terlepas, namun tidak mendatangkan bahaya kepada keduanya.
Mereka hanya merasa kedua lengan mereka tergetar dan mereka terdorong hawa
pukulan yang dahsyat.
Diam-diam
Cia Ceng Sun terkejut dan memandang kepada Yo Han dengan sinar mata penuh
kagum.
"Siangkoan
Siocia, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepadaku," katanya
sambil memberi hormat kepada gadis itu.
Siangkoan
Eng membalas dan tersenyum. "Cia Kongcu, engkaulah yang telah memberi
pelajaran kepadaku. Terima kasih."
Sekarang Cia
Ceng Sun menghadapi Yo Han. Sesudah mereka saling pandang penuh perhatian,
pangeran itu berkata, "Sobat, engkau hebat. Terima kasih."
Lalu dia
kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ,
berhadapan dengan Siangkoan Eng. Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak
marah, akan tetapi pada saat itu, ayahnya berkata dengan suara yang dalam.
"Eng
Eng, engkau mundurlah, biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu."
Kiranya
ketua Pao-beng-pai ini sudah waspada setelah melihat gerakan Yo Han tadi. Dia
tahu bahwa puterinya mempunyai tenaga sinkang yang sudah kuat, dan tahu pula
bahwa puterinya tadi mengalah terhadap pemuda she Cia itu sehingga biar pun
mereka nampaknya mengadu tenaga sinkang, namun puterinya dapat mengendalikan
tenaga mereka dan keadaan keduanya sama sekali tldak berbahaya.
Lalu muncul
pemuda yang lain itu, yang dengan sekali dorong saja mampu membuat kedua orang
itu terdorong mundur. Ini berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini memiliki
kekuatan sinkang yang amat hebat, yang dapat sekaligus melawan kekuatan
Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun yang bergabung menjadi satu!
Maklum akan
hal ini, Siangkoan Kok dapat menduga bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai
sekali dan mungkin puterinya tak akan mampu menandinginya, maka dia sendiri
yang maju. Setelah puterinya mundur, ia pun bangkit dan melangkah maju
menghadapi Yo Han.
Dua orang
laki-laki itu berdiri berhadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap
angkuh dan dingin karena sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah
dia rencanakan.
Untuk dapat
mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung dalam dunia
kang-ouw, bergaul dengan golongan sesat dan bersikap seperti seorang pemuda
sesat pula. Atau setidaknya seorang pemuda yang memusuhi keluarga besar para
pendekar, terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak yang diculik itu. Itulah
sebabnya dia lalu bersikap bagaikan seorang pemuda yang tinggi hati, dingin
serta kejam. Sikap seorang pemuda golongan sesat!
Setelah
saling pandang beberapa lamanya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau
menghormatinya, Siangkoan Kok mengerutkan alisnya. Dengan suara yang mengguntur
dia berkata, "Sobat muda! Engkau datang ke sini, berarti engkau adalah
tamu kami. Nah, perkenalkan namamu dan katakan mengapa engkau usil tangan
mencampuri adu ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?"
Yo Han
mengangguk dan dengan sikap congkak dia pun berkata, "Pangcu, aku sudah
mendengar bahwa engkau adalah pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan
Kok. Pertemuan ini memang kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan
orang-orang sehaluan dan juga segolongan. Dan aku belum memperkenalkan nama,
karena memang aku menunggu kesempatan terakhir ini untuk bicara kepada seluruh
saudara segolongan yang kini berkumpul di sini!"
Sikap yang
congkak ini membuat Siangkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga membuat dia
ingin sekali tahu siapa pemuda ini dan apa maunya.
"Hemm,
baiklah, kau perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Jika
memang beralasan kami mau menerimanya, tapi kalau engkau hanya ingin mengacau,
jangan salahkan kalau terpaksa kami akan membunuhmu!" Setelah berkata
demikian, Siangkoan Kok kembali duduk di kursinya.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment