Wednesday, June 27, 2018

Cerita Silat Serial Si Tangan Sakti Jilid 03



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
          Serial Si Tangan Sakti
                     Jilid 03


SETELAH tiba di seberang, dengan sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang situ dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi makin gembira. Jika Pao-beng-pai memiliki prajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!

"Nona, bila tak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat menyeberang?" tanya si tinggi kurus.

Sekarang si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. "Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami," ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya tersenyum geli.

"Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pemimpin kami," kata si baju putih.

Mereka melanjutkan perjalanan. Si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju kuning berjalan paling belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.

Ketiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Pao-beng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!

Kalau tadi dari atas pohon mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu kini mereka muncul, bagaikan semut saja nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para prajurit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sangat berdisiplin.

Saat Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang berpakaian abu-abu. Mereka berkelompok mulai di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendopo bagian luar gedung itu. Mereka berdiri dengan sikap tegak laksana arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat kepada gadis berpakaian putih seperti prajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya.

Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang prajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.

Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, "Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi untuk menanti pula di sana seperti para tamu yang lain."

Tiat-liong Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jeri dan maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang besar dan kuat.

Kiranya, dalam sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu, sekarang sudah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang Tiat-liong Sam-hengte dapat mengenali beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang-ouw yang terhitung sebagai golongan hitam atau golongan sesat.

Mereka melihat adanya orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air, merasa cocok dan senang. Apa lagi di ruangan itu, para tamu yang dipersilakan menanti tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah.

Setelah gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang sudah mereka kenal. Dan di ruangan ini, mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di belakang Pao-beng-pai ini.

Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini adalah perkumpulan yang tadinya telah mati akibat dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu).

Telah muncul seorang yang gagah perkasa. Dialah yang mengumpulkan kembali bekas para anak buah Pao-beng-pai, menggunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-beng-pai bangkit kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat dari pada dulu.

Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti-bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, tetapi karena dia kaya raya dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik menjadi anggota Pao-beng-pai percaya saja.

Di samping harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana datangnya, namun menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat. Telah banyak jagoan yang tadinya menentangnya, sebab tidak percaya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menakluk lalu menjadi pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang berilmu tinggi.

Siangkoan Kok memiliki seorang isteri yang selain cantik juga lihai bukan main. Isterinya itu bernama Lauw Cu Si dan kini berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku sebagai keturunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan para tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut ‘pangcu’ (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya ‘toanio’ (nyonya besar).

Masih ada lagi seorang tokoh di dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita, akan tetapi tidak kalah lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng.

Ayah ibunya menyebutnya Eng Eng, tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya Siocia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun tetapi dingin inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.

Lima tahun yang lalu, keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng-pai. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru berusia delapan belas tahun, berhasil membangkitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat.

Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggota itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini. Lebih dari separuh jumlah itu adalah anggota pria yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya lebih tinggi dari pada yang abu-abu.

Ada pun sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka digembleng secara khusus sehingga merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para anggota pria. Para anggota wanita ini memiliki dua tingkat pula. Yang pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, di antara mereka hanya terdapat empat orang sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam hitam, kuning, dan biru.

Para anggota yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih dari tiga puluh tahun usianya. Mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena Pao-beng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang besar, hidup serba kecukupan, tetapi mereka harus taat akan semua peraturan dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar.

Di antara peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi anggota Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para anggota wanitanya, selain tidak boleh menikah, tidak boleh pula melahirkan anak.

Bisa dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggota itu adalah orang-orang yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja sangat menyiksa. Tetapi karena mereka merasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggota Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman, mereka pun tidak ada yang berani melanggarnya.

Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua anggota, dan larangan melahirkan bagi anggota wanita. Akibatnya, untuk penyaluran kebutuhan birahi mereka, terjadilah hubungan gelap yang tidak wajar, bahkan kadang-kadang amat jahat.

Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi orang awam, maka banyak di antara para anggota pria mempunyai kekasih di luar, bahkan ada pula yang melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun yang berada di luar daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki Gunung Setan.

Juga para anggota wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam menjalin hubungan gelap dengan sesama anggota pria, atau mempunyai kekasih gelap yang mereka pilih dari para penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap itu.

Mereka adalah orang-orang dari golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka anggap wajar saja. Maka tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti oleh penduduk di pegunungan itu.

Siangkoan Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun mereka bersikap tidak peduli. Selama para anggota tidak melanggar peraturan dan larangan, cukuplah sudah.

Selain itu, Siangkoan Kok yang meski pun kaya raya namun harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk perkumpulannya, segera mengambil tindakan untuk mendatangkan dana. Caranya adalah menundukkan dan menalukkan semua gerombolan penjahat di kota-kota dan dusun-dusun sekitar Kui-san, lalu memaksa mereka mengakui kekuasaan Pao-beng-pai. Siapa pun yang membangkang dihancurkan, dan yang takluk diharuskan membayar semacam ‘upeti’ setiap bulan. Bahkan Pao-beng-pai juga menguasai banyak tempat perjudian dan pelacuran di berbagai kota, sehingga dari semua penghasilan itu keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat.

Semua sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk perjuangan, yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!

Mungkin orang lain akan menganggap bahwa cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan mimpinya terlalu muluk. Tetapi, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini dia mulai hendak mendekati semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia berhasil, maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi pemerintah Mancu.

Dia mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tak rela tanah air dan bangsa ini dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban-kwi-kok di Gunung Setan dan mengadakan pertemuan besar.

Dan pada hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai. Seperti juga halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan kagum. Setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-beng-pai, mereka disambut oleh seorang murid Pao-beng-pai dan diantar sampai ke gedung yang megah bagai istana itu. Di sepanjang perjalanan ini saja mereka bisa melihat kenyataan betapa tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh, berbahaya dan penuh jebakan alam.

Tidak kurang dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari itu. Bukan hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai golongan yang anti pemerintah Mancu seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan orang-orang sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang datang berkunjung.

Mereka ini pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih dekat karena mereka merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini bangkit kembali. Jika golongan para pendekar ini datang untuk mencari tahu, sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu saja datang untuk melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk memperoleh keuntungan besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja tidak sudi melelahkan diri.

Karena undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk umum, yaitu para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung. Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula datang, walau pun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh dari pada pantas untuk menghadiri pertemuan seperti itu.

Siangkoan Kok memang pandai mengambil hati orang. Sebelum pertemuan dimulai, sebelum dia keluar menemui para tamu, mereka itu sudah disuguhi arak dan anggur yang baik, makanan yang lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat royal.

Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain. Daging segala macam binatang berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan masakan-masakan termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang tercengang dan terheran-heran melihat masakan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini sangat menyenangkan para tamu. Tadi tanpa merasa sungkan mereka dijamu hidangan secara royal, karena pihak tuan rumah hanya mewakilkan kepada para gadis cantik yang menjadi anggota Pao-beng-pai.

Para gadis cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah. Bahkan mereka tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan ucapan yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa taatnya para anggota Pao-beng-pai.

Biasanya, para anggota wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka ini membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu. Akan tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka supaya melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.

Dalam suasana gembira dan sesudah puas makan minum sampai kenyang, para tamu menyambut munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-beng-pai itu muncul sambil tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan. Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilatan, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebat!

Siangkoan Kok memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya yang tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya pun mantap dan gagah seperti seekor singa.

Sebatang pedang tergantung di pinggang serta pakaiannya rapi dan terbuat dari sutera mahal, meski tidak berkesan mentereng. Rambutnya tidak dikuncir, melainkan digelung kemudian diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria harus menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.

Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang umurnya empat puluh lima tahun, akan tetapi masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum yang membayangkan kebanggaan, seperti senyum seorang puteri kerajaan yang menyadari akan kekuasaannya, kemuliaannya dan kecantikannya.

Dia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Pao-beng-pai yang selalu disebut Toanio oleh para anggotanya. Semua mata memandang kagum karena wanita ini memang pantas untuk menjadi seorang wanita bangsawan tinggi.

Akan tetapi yang paling menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati. Usianya sekitar dua puluh tiga tahun, pakaiannya lebih mewah dari pada pakaian ibunya.

Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil penuh permata berkilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat dingin. Pandang matanya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang langsung merasa ngeri karena sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga.

Di punggung gadis ini nampak sebatang pedang beronce merah, sedang tangan kirinya memegang sebuah hud-tim berbulu merah. Kebutan pendeta ini benar-benar membuat orang merasa heran. Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh seorang pendeta? Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis yang pernah menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.

Di belakang ayah, ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggota wanita dari Pao-beng-pai. Mereka dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya. Tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggotanya disebut Siocia atau Nona.

Para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, dan sesudah tepuk tangan itu reda barulah Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka.

Dengan isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu untuk duduk, dan seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan pengerahan khikang.

"Cuwi (Anda Sekalian) yang terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk kembali dan diharap supaya masing-masing memperkenalkan diri. Sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran mana, dan bertempat tinggal di mana."

Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa angkuhnya sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara mereka segera memperkenalkan diri.

Satu per satu kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang diwakilinya, dan tempat tinggal mereka. Dengan cara demikian, tuan rumah dapat mengenal siapa tamu-tamunya, dan seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri.

Lebih dari delapan puluh orang telah memperkenalkan diri masing-masing, mewakili tiga puluh perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian besar dari golongan sesat. Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena mereka ini termasuk mereka yang menganggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh.

Saat melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya kembali bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.

"Para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, diharap suka memperkenalkan diri secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!"

Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat pula wakil-wakil dari partai persilatan yang besar. Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, juga dua orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid dari Kun-lun-pai. Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang terkenal sebagai golongan pendekar.

Untuk menjaga kebesaran nama partai masing-masing, delapan orang ini sudah saling pandang. Dari pandang mata saja mereka sudah maklum bahwa mereka berpendapat sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan diri dan akan melihat perkembangan selanjutnya.

Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri nampak ragu-ragu, karena mereka pun bersandar pada sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu, mereka merasa tidak enak juga.

Mereka adalah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara royal sekali. Jika sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka untuk memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan hal itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka sudah merendahkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang sama sekali belum mereka kenal orang-orang macam apa adanya mereka itu.

Mendadak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Agaknya mereka mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.

"Kami bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memprotes cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Oleh karena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan kami menuntut supaya pihak tuan rumah terlebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!"

Agaknya ucapan gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil keempat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat bagaimana sikap tuan rumah.


Semua orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Tapi ketua Pao-beng-pai itu, isterinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja kepada gadis berpakaian putih yang mewakili Siangkoan Kok bicara. Dengan sinar matanya yang tajam, gadis berpakaian putih itu memandang kepada si muka bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.

"Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya telah setuju dengan usul saudara yang baru saja berbicara. Baiklah, jika begitu kami akan memberi penjelasan. Semenjak kedatangan para Cuwi, ketua kami telah menyambut Cuwi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan keramahan. Cuwi dijemput dan diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin..."

"Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendirilah yang menghidangkan!" bantah si muka bulat dan banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.

"Begitukah?" Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. "Kalau begitu dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!"

"Wahh!" Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah akibat darah sudah naik ke kepalanya. "Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang belum mengenalkan diri menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami!"

Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Dan melihat betapa banyak di antara para tamu menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga tiba-tiba meloncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat.

Suasana menjadi tegang. Namun, karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja gemar melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para tamu kini ingin sekali melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.

Gadis berbaju putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Namun ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu.

Melihat tanda ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, "Kami menerima usul itu, dan menyambut tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!"

Si muka bulat yang sekarang menjadi perhatian para tamu merasa bangga dan dengan membusungkan dada dia berkata, "Kami bertiga pengurus Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!"

Tetapi, tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu sudah berhadapan dengan tiga orang penantang. Gadis yang tadi berbicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.

"Tak mudah untuk mengadu ilmu dengan ketua kami, harus bisa mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Siocia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!" Gadis itu tersenyum mengejek. "Sam-wi sudah maju, dan tiga orang rekan kami pun sudah maju menyambut tantangan. Nah, kami persilakan apa bila Sam-wi hendak bertanding.”

Tentu saja tiga orang tokoh dari Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan, karena dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.

"Bagus, kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah pada orang lain. Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!" bentak si muka bulat.

Seorang di antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang, "Kami bertiga sudah siap."

"Sambut serangan kami!" bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang gadis yang bicara itu.

Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat saat mereka membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga.

Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka jelas kalah kuat. Maka mereka menggunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka, dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka lantas berkelebatan menjadi bayangan putih yang sulit sekali diserang oleh tiga orang pria itu, seperti tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.

Para ahli silat yang menjadi tamu di situ diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan mereka mencurahkan perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu. Mereka ingin mengenal ilmu silat mereka supaya mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu itu sehingga dengan sendirinya dapat pula mengenal ilmu silat para pimpinan Pao-beng-pai.

Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran sekali karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh ketiga orang gadis berpakaian putih. Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan bercampur dengan aliran lain.

Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran! Hanya dipilih gerakan yang baik dan menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat!

Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang jagoan dari Garuda Putih itu lantas terdesak dan mereka lebih banyak mengelak serta menangkis dari pada menyerang. Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi.

Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan gerakan mereka. Muka mereka nampak merah.

Kiranya, di tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang sudah dapat direnggutnya lepas dari kepala lawan. Di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada lawannya, dan biar pun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikat kuncirnya terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.

"Maafkan kami," kata seorang di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.

Si muka bulat menghela napas panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, lalu menghadap pihak tuan rumah sambil berkata, "Kami bertiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan, dan saya Liu Pin sebagai ketuanya. Kami mengaku kalah."

Dia dan dua orang sute-nya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai saja mereka kalah. Apa lagi melawan pimpinannya!

Mereka yang telah mengenal kelihaian Pek-eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai sekarang tidak merasa ragu lagi dan mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain. Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai. Juga masih ada lagi tiga orang lelaki muda yang nampaknya belum mau memperkenalkan diri.

Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu kembali berseru, "Apakah masih ada di antara Cuwi (Anda Sekalian) yang sebelum memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?"

Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan dalam bisikan.

Gadis itu mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah kelompok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.

"Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai sebagai setingkat dan sederajat. Karena itu, wakil dari masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!"

Kebetulan ada dua orang wakil dari masing-masing partai besar itu adalah orang-orang muda. Tadinya mereka tak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu merendahkan diri, seperti orang-orang bawahan menghadap orang atasan saja.

Akan tetapi kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak bila tak mau berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan rumah, dan memang mereka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai.


Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga ketua Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil itu sekarang baru tahu bahwa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok. Bersama isteri dan puterinya yang diperkenalkan sebagai Siangkoan Eng, mereka bertiga inilah merupakan pimpinan Pao-beng-pai. Sedangkan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa itu.

Setelah para wakil dari empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan berseru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.

"Pangcu kami menganggap bahwa Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan. Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu sekeluarga."

"Siancai, siancai...!" Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat.

Kiranya dia seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri yang disulam dengan benang emas berbentuk sebuah pat-kwa (segi delapan).

Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, dan nampak kokoh kuat. Di punggungnya tergantung pedang. Matanya lebar, hidungnya pun besar dan mulutnya berbibir tebal. Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.

"Pat-kwa-pai kami juga memiliki peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi perutnya lebih dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin sekali mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai melalui pertandingan silat." Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.

Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan rumah hendak bangkit, tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan menghampiri wakil Pat-kwa-pai yang telah berdiri menanti.

Sekarang semua orang melihat betapa ketua itu mempunyai gerak-gerik yang anggun dan berwibawa, tetapi wajahnya cerah. Dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Pat-kwa-pai.

"Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, jika kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan Thian Ho Sianjin?" Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sangat sopan seperti cara bicara seorang yang terpelajar tinggi.

Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seakan-akan sudah mengenal baik ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia merupakan murid pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sute-nya dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.

"Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai," katanya.

"Ahh, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. Sahabat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding," ucapan itu seperti suatu teguran.

"Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-beng-pai," bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.

Siangkoan Kok tersenyum. "Baiklah, kalau begitu marilah kita latihan sebentar. Berapa orang dari Pat-kwa-pai yang datang?"

"Kami datang berempat."

"Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan."

Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sute-nya. Lebih kuat keadaan mereka lebih baik, pikirnya. Ketiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh mereka melayang ke sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ, nampaklah betapa tiga orang ini pun bertubuh tegap dan nampak kokoh kuat.

"Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah sekali. Nah, sekarang kalian berempat boleh menyerangku sekuat kalian. Aku tak akan mengelak, takkan membalas pula, hanya menangkis saja. Kalau dalam dua puluh jurus kalian berhasil memukulku, berarti aku kalah."

Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong! Semua orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apa lagi empat orang itu adalah murid-murid ketua Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi.

Tidak akan mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa membalas, hanya menangkis saja? Ketua Pao-beng-pai itu pasti akan celaka oleh kesombongannya sendiri.

"Baik, kami setuju!" kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat bertahan, apa lagi orang sombong ini, pikirnya.

"Nah, mulailah, aku sudah siap." Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.

Keempat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda serta menghimpun tenaga sakti. Akan tetapi Siangkoan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika salah seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Sekarang ia dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.

"Pangcu, jaga serangan kami!" seru si gendut yang berada di depan.

Dia mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga orang pengeroyok lainnya juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan Kok berkibar.

Ketua Pao-beng-pai ini tidak mengelak, sesuai dengan janjinya tadi. Akan tetapi kedua tangannya bergerak cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil memutar tubuhnya.

"Duk-duk-duk-plakkk!" Empat orang itu terpental ke belakang!

Mereka terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini mempunyai tenaga sinkang yang hebat bukan main. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak hanya mengandalkan tangkisan.

Akan tetapi, karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti yang sudah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan, menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga mereka. Bahkan mereka juga mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun!

Namun, Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.

Sepuluh jurus sudah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok, apa lagi memukulnya. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk mempercepat serangan. Dia hanya memiliki dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!

Akan tetapi, sebelum isyarat ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk mengetahui kedudukan badan lawan, karena tubuh itu berputar sangat cepat dan kedua tangannya menjadi banyak sekali.

Mereka masih mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu. Akan tetapi setiap kali pukulan mereka bertemu dengan tangkisan lawan lantas membuat mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-bengkak karena berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok.

Si gendut lalu memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri, tak menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama!

Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas. Di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu terjengkang dan roboh!

Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula.

Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.

"Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kini kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para pimpinan Pat-kwa-pai," kata si gendut.

"Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin," kata ketua Pao-beng-pai itu. Dengan tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.

"Siancai..., tenaga sinkang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat bukan main. Kami semua merasa kagum!" Tiba-tiba terdengarlah suara yang diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung.

Semua orang memandang. Dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya sudah enam puluh empat tahun. Tubuhnya pendek kurus tetapi masih nampak segar seperti tubuh kanak-kanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.

Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata, "Totiang (Pak Pendeta) tentunya wakil dari Pek-lian-pai. Apa kehendak Totiang?"

"Siancai...! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai tadi, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bila bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain pedang?"

Sekali tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya.

Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Sekarang ia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sute-nya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.

Kembali keluarga ketua Pao-beng-pai nampak saling berbisik. Agaknya Siangkoan Eng meminta perkenan kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu Pek-lian-kauw itu. Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thiancu.

"Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?"

Mendengar pertanyaan itu, Kui Thiancu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw yang masih terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua Pek-lian-kauw pula!

"Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, supaya melihat apakah Pao-beng-pai cukup pantas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman guru kami."

"Andai kata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk berlatih pedang. Akan tetapi sekarang hanya murid keponakannya yang datang. Aku akan mewakilkan saja kepada puteriku untuk bertanding ilmu pedang!"

Siangkoan Eng kemudian bangkit dan dengan tenangnya melangkah menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu. Semua orang memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun, cantik jelita, bagaimana akan dapat menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan kelihaiannya?

Kui Thiancu sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usianya baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia telah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling banyak hanya belajar silat selama belasan tahun saja. Apa lagi dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang yang lihai, sedangkan gadis ini? Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sungguh-sungguh.

Kui Thiancu tersenyum pahit karena merasa sangat direndahkan dengan kemunculan seorang bocah untuk menandinginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu Pek-lian-kauw yang sudah tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan ilmu sihir.

Ia lalu mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya. Sepasang matanya bagai menembus mata gadis itu, sedang mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Kemudian terdengar suaranya yang menggetar mengandung penuh wibawa.

"Nona yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Bila tergores sedikit saja, kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena ngeri. Nah, sekarang pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah karena engkau memang pantas dikasihani! Menangislah...!"

Kui Thiancu merasa diremehkan, maka kini dia hendak membalas dan membikin malu keluarga ketua Pao-beng-pai dengan ilmu sihirnya. Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah memandang kepadanya dengan matanya yang mencorong, lalu bertanya dengan suara yang sungguh-sungguh, "Totiang, bagai mana sih caranya menangis itu? Aku tidak pernah menangis, harap Totiang memberi contoh."

Tentu saja Kui Thiancu merasa heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh aneh.

"Bagaimana caranya menangis? Engkau sungguh belum tahu? Begini, Nona, beginilah caranya orang menangis..."

Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi muka dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tetap memegang pedang.

"Huauuu-uuuuu... huuuuu-uuuhhh..."



 cerita silat karya kho ping hoo


Terdengar suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek yang tubuhnya pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak amat tua itu, yang mengenakan jubah pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, sekarang seperti anak kecil menangis di depan Siangkoan Eng yang cantik dan kini tersenyum-senyum mengejek.

Mendengar suara tawa orang-orang di situ, Kui Thiancu baru menyadari keadaannya. Diam-diam dia terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu menangis bahkan seperti senjata makan tuan. Gadis itu ternyata tak terpengaruh sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah kekuatannya sendiri, membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang lalu menangis, tanpa disadarinya sendiri bahwa ia telah melakukan perbuatan yang lucu dan memalukan.

Tentu saja Kui Thiancu marah sekali, akan tetapi ia bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biar pun dia mendapat malu di depan banyak orang, namun dia dapat melihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu amarah.

Dia menyadari bahwa dia sudah membuat kesalahan besar, keliru menafsirkan orang dan terlalu memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai ilmu sihir. Maka tidak mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.

"Hemmm, Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah, sekarang aku ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona."

Dia menggerakkan tangan dan memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat dan cepatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan terdengar bunyi desing yang menyeramkan.

Siangkoan Eng masih tersenyum mengejek. Tangan kanannya bergerak dan dia sudah mencabut pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim (kebutan) yang bergagang emas dan bulunya merah mengkilap itu.

Dengan sikap tenang gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada, lalu berkata, "Totiang, aku sudah siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!"

Dalam ucapan yang dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui Thiancu sehingga membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati.

Ini memang merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan akan dapat melemahkan orang, membuat orang menjadi kurang waspada. Maka bagi seorang ahli silat, marah pada waktu bertanding merupakan pantangan besar karena hanya akan merugikan diri sendiri.

Kui Thiancu yang sudah amat marah itu tidak mau lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang yang jauh lebih tua, apa lagi memiliki kedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu bila harus menyerang lebih dahulu dalam sebuah pi-bu melawan seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah amat marah, dia tidak lagi peduli dan putaran pedangnya di atas kepala semakin kuat dan cepat.

"Nona, jaga baik-baik seranganku ini!" bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing membentuk sinar yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari lingkaran itu mencuat sinar menyambar ke arah Siangkoan Eng secara bertubi-tubi.

Gadis itu pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sementara kakinya membuat langkah-langkah melingkar sehingga semua serangan itu gagal, luput atau tertangkis. Kemudian sambil menangkis, dia pun membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu berubah kaku seperti kawat baja, dapat dipergunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti rambut yang dapat membelit lawan.

Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali. Karena merasa dirinya sebagai wakil perkumpulan besar, tentu saja Kui Thiancu tidak mau kalah melawan seorang gadis. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.

Namun agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai. Buktinya, gadis itu dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat sekali. Bahkan serangan balasan dengan kebutannya, setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek-lian-kauw itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan diri.

Diam-diam kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat lihai! Dia semakin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Namun tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tidak mampu ditembus oleh gulungan sinar pedangnya. Sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke kanan kiri dan memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.

Ketika kembali dia membacokkan pedangnya dengan pengerahan tenaga, bulu kebutan itu menyambut dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular. Dan pada saat yang sama pula, pedang di tangan gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang!

Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thiancu kecuali melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya terbabat buntung di pergelangannya! Dengan muka berubah kemerahan dia meloncat ke belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hud-tim.

Siangkoan Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada lawannya, lalu berkata, "Totiang, terimalah kembali pedangmu!"

Dia menggerakkan hud-tim di tangan kiri, dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah tokoh Pek-lian-pai itu berubah pucat, akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun maklum bahwa dia tidak akan menang melawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum bukan main.

Kalau puterinya saja sehebat itu, apa lagi ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu Si, ialah seorang keturunan para pimpinan Beng-kauw, perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai perkumpulan besar kaum sesat yang telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki ilmu yang lihai, di samping ilmu sihir.

"Nona memang hebat, pinto mengaku kalah," lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan memberi hormat. "Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai merupakan kawan seperjuangan yang layak dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw."

Tentu saja Siangkoan Kok merasa girang. "Terima kasih, Totiang dan silakan duduk."

Setelah tokoh Pek-lian-kauw itu duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda yang belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit. Gerakannya tangkas ketika dia melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.

"Melihat kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya memperkenalkan diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu dengan ilmu silat puteri tuan rumah! Nona, silakan maju dan melayaniku beberapa belas jurus!" Sikapnya kaku dan agak takabur, seperti bukan sikap seorang ahli silat di dunia kang-ouw yang berpengalaman.

Siangkoan Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi dia mewakil ayahnya menandingi Kui Thiancu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah perkumpulan pejuang yang besar dan dia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan tetapi, biar laki-laki muda itu murid perkumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya demikian hijau dan dungu.

Dia memberi isyarat kepada seorang di antara pelayannya, yaitu yang berpakaian serba kuning, pelayannya yang paling lihai, lalu berkata lantang.

"Sahabat dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada salah seorang pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas menantangku!"

Sesosok bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga cantik itu tahu-tahu telah berdiri di depan pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau mengenalkan diri sebelum menguji kepandaian.

"Kongcu (Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!"

Diam-diam murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid unggulan dari Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk mewakili Kong-thong-pai. Namun di sini dia dipandang rendah sekali, tingkatnya hanya disejajarnya dengan seorang pelayan dari puteri tuan rumah! Keterlaluan sekali!

Maka, dia pun melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap yang angkuh, "Baik, sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi, saya tidak mau mencari kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama dua puluh jurus maka aku mengaku kalah!"

Melihat lagak orang yang meremehkan dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja. Dengan sikap tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, dia tersenyum dan memberi hormat,

"Kongcu, saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh jurus itu."

Melihat sikap si pelayan yang menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak, "Lihat seranganku!"

Dan dia pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat Kong-thong-pai yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan seperti sepasang sayap burung rajawali dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan kiri secara cepat sekali. Serangan pertama itu dilakukan dengan gerakan seperti seekor harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu membuat gerakan ke depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat.

Akan tetapi, nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, serta merupakan pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya. Menghadapi terkaman yang dahsyat itu, dia pun bersikap lincah dan meloncat ke belakang, lalu memutar tubuh sehingga serangan lawan luput dan dia pun telah menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi, membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan!

Melihat kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia memutar lengannya dan berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi gadis pelayan itu sudah maklum akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali kakinya, meloncat dengan gerakan cepat sekali ke kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala lawan!

Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk menangkis tidak ada waktu lagi, maka terpaksa dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang cukup berbahaya itu karena dia dapat merasakan sambaran angin pukulan yang cukup kuat. Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, biar pun hanya seorang pelayan, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat.

Maka ia pun tidak berani lagi memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa sungkan lagi. Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan, bahkan mendesak pun tak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran.

Ia segera mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu mampu menandinginya, bahkan mampu pula membalas dengan tak kalah kuatnya. Dua puluh jurus lewat dan pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur. Mukanya berubah merah sekali.

"Dua puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah!”

Siangkoan Eng tersenyum, kini senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimana pun juga, dia senang dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu-malu untuk mengakui kekalahannya sesuai dengan janjinya, walau pun sebenarnya dia belum kalah.

"Lanjutkanlah sampai ada yang kalah karena sesungguhnya engkau belum kalah, sobat dari Kong-thong-pai!" katanya lembut.

"Hemmm, aku Koan Tek adalah seorang lelaki sejati yang menjunjung tinggi nama dan kebesaran nama Kong-thong-pai. Tadi aku sudah berjanji, dan ternyata setelah lewat dua puluh jurus aku masih belum mampu mengalahkannya, berarti aku kalah. Pangcu, terimalah hormatku!" katanya sambil memberi hormat kepada Siangkoan Kok.

Ketua Pao-beng-pai yang tinggi besar ini mengangguk dan membalas penghormatan pemuda wakil Kong-thong-pai itu. "Silakan duduk, saudara Koan Tek!"

Kini tinggal dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua orang pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Sekarang perhatian semua tamu ditujukan kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka berdua. Di antara mereka yang hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua orang pemuda yang tidak terkenal berani bersikap begitu angkuh, tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu kepada pihak tuan rumah!

Dua orang pemuda yang merasa menjadi pusat perhatian itu, kini juga saling pandang. Mereka belum saling mengenal, namun mereka berdua seperti merasakan suatu ikatan dan sepenanggungan. Keduanya merasa menjadi pusat perhatian sebab hanya mereka berdua saja yang kini belum lagi memperkenalkan diri, dan diharapkan mereka berdua akan menguji pihak tuan rumah seperti tadi dilakukan oleh wakil-wakil Pek-eng Bu-koan, Pat-kwa-pai, Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai.

Pemuda pertama berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, berperawakan sedang dan tegap. Wajahnya bulat, berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya agak besar dan mancung, mulutnya selalu terhias senyum manis dan alisnya tebal.

Dia seorang pemuda yang tampan. Sikapnya juga sangat anggun, tidak malu-malu dan berwibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Cia Sun yang sedang melakukan penyamaran!

Dia meninggalkan istana untuk mencari pengalaman, menyamar sebagai pemuda biasa. Karena dia seorang yang semenjak kecil suka mempelajari silat, kini ia ingin meluaskan pengetahuan dan menjelajahi dunia kang-ouw.

Maka, mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai, apa lagi sesudah mendengar bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan yang anti terhadap pemerintahan kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong, dia tertarik dan sengaja datang berkunjung. Tentu saja dia tidak akan mengaku bahwa dia adalah seorang pangeran, karena hal itu sama saja dengan mencari kematian.

Kalau perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng, tentu mereka akan membunuhnya ketika mengetahui bahwa dia seorang pangeran Mancu! Di sepanjang perjalanannya pun ia mengaku bernama Cia Ceng Sun. Dia memakai namanya sendiri, hanya menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu yang berarti kerajaan atau Dinasti Kerajaan Mancu.

Dan karena sejak kecil dia hidup dalam pendidikan seperti orang Han, maka tidak ada seorang pun yang tahu bahwa ia seorang pangeran Mancu. Dalam segala hal ia adalah seorang pemuda Han biasa. Dia pandai silat dan pandai pula dalam hal kesusastraan bangsa Han.

Pemuda yang kedua juga tampan, berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan sikapnya lebih matang dan pendiam. Dia pun tampan, walau pun ketampanannya berbeda dengan ketampanan Pangeran Cia Sun yang kini kita kenal sebagai pemuda Cia Ceng Sun.

Pemuda ke dua ini bermuka lonjong dengan dua mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya ramah tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya tebal dengan dahi lebar. Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia Ceng Sun, sedang dan tegap. Gerak-geriknya amat tenang, sikapnya seperti acuh tak acuh walau pun wajahnya ramah.

Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han, pemuda perkasa yang dijuluki Sin-ciang Taihiap (Pendekar Besar Tangan Sakti). Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan Sakti itu tidak pernah ada orang yang melihat wajahnya, maka sekarang tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebagai pendekar itu di dalam pertemuan orang-orang dunia persilatan di situ.

Berbeda dengan Cia Ceng Sun yang pergi meninggalkan istana dengan tujuan hendak memperdalam pengetahuan dan meluaskan pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu dalam rangka menunaikan tugasnya yang teramat sulit, yaitu mencari puteri bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si Pendekar Suling Naga Sim Houw.

Para pembaca kisah Si Bangau Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim piatu. Mendiang ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun berjiwa gagah, sedangkan mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang sudah bertobat, berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), su-ci dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim Houw.

Semenjak kecil, Yo Han dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li sehingga sejak kecil Yo Han sudah akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah sebagai kakak seperguruan. Akan tetapi, ketika kecilnya, Yo Han sama sekali tidak suka belajar atau berlatih ilmu silat.

Biar pun suami isteri Tan Sin Hong Si Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami isteri yang sakti dan mengajarkan silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari teorinya saja dan tidak pernah mau berlatih. Dia selalu menganggap bahwa ilmu silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari orang-orang yang suka berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain.

Karena ulahnya ini, maka suami isteri pendekar itu merasa khawatir kalau-kalau puteri mereka yang amat akrab dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu. Oleh karena itu mereka ingin memisahkan dua orang anak itu dengan menitipkan Yo Han pada sebuah perguruan silat yang baik.

Yo Han mendengar hal ini dan dia pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu. Dengan nekat dia mengikuti seorang iblis betina setelah berhasil membujuk iblis betina itu untuk melepaskan Sian Li kecil yang diculiknya dan dia menyerahkan diri sebagai penukarnya.

Demikianlah, setelah ikut dengan iblis betina itu ia mengalami banyak penderitaan yang aneh-aneh sampai akhirnya dia bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, namun yang memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han menjadi pewaris tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng dari kakek itu, yang lalu membuat dia menjadi seorang pendekar sakti.

Ketika Yo Han merantau ke barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Taihiap yang mukanya tidak pernah dikenal oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu kembali dengan Sian Li yang telah menjadi seorang gadis cantik. Mereka saling mengenal dan kasih sayang yang sejak kecil sudah tumbuh dalam hati mereka, kini berubah menjadi cinta kasih dewasa antara pria dan wanita!

Namun, kembali ayah dan ibu Sian Li tidak menyetujui hubungan mereka karena suami isteri pendekar itu khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang ibunya yang dulu pernah menjadi seorang wanita golongan sesat yang jahat. Maka, terang-terangan mereka memberi tahu kepada Yo Han bahwa Sian Li telah dijodohkan dengan seorang pangeran di kota raja!

Yo Han menjadi sangat terpukul. Pada saat diingatkan akan lenyapnya puteri bibinya, dia pun bertekad untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan dia kembalikan kepada bibinya.


Demikianlah tentang riwayat singkat Yo Han Si Pendekar Tangan Sakti. Dan pada hari itu, sebetulnya dia mendengar tentang pertemuan para orang gagah yang diadakan oleh Pao-beng-pai, maka dia pun sengaja berkunjung dengan maksud untuk mencari jejak adik misannya yang dicuri penjahat pada waktu masih kecil. Yo Han maklum sepenuhnya alangkah sulitnya tugas yang dipikulnya. Mencari seorang anak perempuan yang hilang dua puluh tahun yang lalu, dan ketika hilang diculik orang masih berusia tiga tahun!

Dia tidak tahu siapa penculiknya, juga tidak pernah melihat anak perempuan itu. Yang dia ketahui hanya bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw dan Can Bi Lan, nama anak itu Sim Hui Eng dan mempunyai tanda pengenal yang mustahil untuk dapat dilihat orang, yaitu noda merah di tapak kaki kanan dan tahi lalat hitam di pundak kiri.

Bagaimana mungkin melihat kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan bajunya? Dan sudah pasti pula anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama sekali akan ayah dan ibu kandungnya, tak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang diculik. Itu pun kalau anak itu masih hidup!

Sungguh merupakan suatu usaha yang teramat sulit, bahkan agaknya mustahil untuk bisa menemukan anak yang hilang pada dua puluh tahun yang lalu itu. Akan tetapi, Yo Han mempunyai akal. Bila dia tidak dapat menemukan kembali anak itu, setidaknya dia berusaha menyelidiki siapa pelaku penculikan itu. Hal ini tentu hanya dapat dia lakukan dengan menyelidiki dunia kang-ouw, bahkan di antara golongan sesat. Maka, untuk tugas itulah sekarang ia sengaja datang menghadiri pertemuan itu dan sengaja dia tidak mau memperkenalkan diri sesuai dengan rencana siasatnya.

Ketika dua orang pemuda itu saling pandang, Yo Han tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat, mempersilakan pemuda tampan murah senyum itu untuk bertindak lebih dahulu. Dia hadir di sana karena ingin menyelidiki keberadaan adik misannya yang belum tentu terdapat di tempat itu, tidak memiliki tujuan lain.

Melihat isyarat gerakan tangan itu, Cia Ceng Sun tersenyum lebar dan mengangguk. Pemuda ini pun kemudian mulai melangkah dengan ringan dan santai menuju ke ruang tempat bertanding silat. Dia berdiri di tengah ruangan dan menjura kepada pihak tuan rumah. Terdengarlah suaranya yang halus dan sopan, juga dengan gaya bahasa yang menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang kang-ouw kasar biasa, melainkan seorang yang terpelajar.

"Harap Pangcu dari Pao-beng-pai sekeluarga suka memaafkan saya. Bukan karena ketinggian hati maka saya belum memperkenalkan nama, namun karena tertarik akan kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan yang tadi telah diperlihatkan. Oleh karena saya memang bermaksud meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, maka saya ingin mempergunakan kesempatan ini untuk sekedar menambah pengetahuan dengan jalan bertanding silat secara persahabatan, sebelum saya memperkenalkan nama saya yang tidak berarti."

Sikap yang lembut dan kata-kata yang amat sopan seperti biasa dilakukan orang-orang terpelajar dan kaum bangsawan, tidak disuka oleh kebanyakan orang dunia kang-ouw, maka di sana-sini terdengar ejekan terhadap pemuda tampan itu. Bahkan ada pula yang menganggap bahwa pemuda ini tentu tak memiliki kemampuan yang berarti dalam ilmu silat, hanya pandai berlagak saja.

Akan tetapi tidak demikianlah kesan yang didatangkan Cia Ceng Sun kepada keluarga tuan rumah. Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan pula, bahkan masih keturunan keluarga Kaisar Beng. Sejak kecil dia terbiasa dengan tata-cara dan sopan-santun yang berlaku di antara para bangsawan, di antaranya sikap yang halus dan kata-kata yang indah. Oleh karena itu, sikap pemuda tampan itu sungguh menarik perhatiannya dan dia merasa senang.

Demikian pula dengan Siangkoan Eng. Biar pun tidak mengalami kehidupan bangsawan istana, namun karena di dalam keluarganya, ayahnya masih memakai peraturan seperti keluarga bangsawan, ia pun tertarik melihat pemuda yang berbeda dari pemuda biasa itu.

Pemuda itu berwajah tampan, anggun dan berwibawa. Sikapnya begitu lemah lembut, akan tetapi telah berani maju untuk menguji ilmu silat. Seketika hatinya tertarik kepada pemuda itu, maka ia berbisik-bisik kepada pelayannya, si baju kuning yang lihai, dengan pesan agar pelayannya itu kembali mewakilinya menguji si pemuda, akan tetapi jangan sekali-kali dilukai atau dibikin malu.

Si baju kuning mengerti dan mengangguk, kemudian ia maju menghadapi Cia Ceng Sun sambil memberi hormat.

"Kongcu, saya bertugas melaksanakan perintah Siocia (Nona) untuk mewakili keluarga Siangkoan dan melayanimu beberapa jurus."

Cia Ceng Sun tersenyum, ia tidak merasa dipandang rendah. Maka dia pun cepat-cepat membalas penghormatan pelayan yang lihai itu.

"Aku tadi sudah melihat kelihaianmu, Nona pelayan. Tentu nona majikanmu jauh lebih lihai, maka untunglah engkau yang maju sehingga bagaimana pun juga, lawanku lebih ringan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kelihaianmu."

Si nona baju kuning juga amat senang melihat sikap pemuda tampan ini yang demikian rendah hati, bahkan sikapnya menghormat terhadap dirinya, padahal ia hanya seorang pelayan.

"Kongcu, silakan mulai, saya sudah siap!" katanya lembut dan memperlihatkan senyum ramah.

"Baik, lihat seranganku!" dan Cia Ceng Sun sudah menggerakkan tangan melakukan serangan.

Karena ia maklum bahwa pelayan baju kuning ini cukup lihai, tentu saja ia tidak berani memandang rendah. Begitu bergerak, dia sudah menyerang dengan sungguh-sungguh, memainkan jurus yang ampuh dari ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Kepalan tangan kiri yang memukul lurus ke depan itu mendatangkan angin pukulan yang kuat.

Nona baju kuning itu mengeluarkan seruan kagum dan cepat ia mengelak dengan lincah ke kiri sambil membalas dengan sebuah tendangan. Namun, Cia Ceng Sun yang sudah menguasai banyak macam Ilmu silat itu dapat menghindar dengan baik, bahkan lantas mengirim serangan balasan dengan cepat sekali, mencengkeram pundak gadis pelayan itu dari samping.

Gerakan ini mengejutkan lawan yang kembali terpaksa harus meloncat ke belakang karena serangan pemuda itu sungguh tidak boleh dipandang ringan dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan murid Kong-thong-pai tadi. Maka, si nona baju kuning kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi, walau pun ia tetap ingat akan pesan nonanya agar tidak melukai atau membikin malu pemuda itu.

Diam-diam dia mengeluh. Bagaimana mungkin? Untuk menang pun tidak akan mudah, pikirnya. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tampan dan sopan ini demikian lihainya dan ia pun merasa sangat heran.

Selama ini Pao-beng-pai sudah menyebarkan banyak mata-mata untuk menyelidiki para tokoh dunia persilatan, bahkan mencatat dan mempelajari ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, pemuda ini agaknya luput dari pengawasan sehingga tidak dikenal oleh keluarga majikannya. Padahal, kepandaian pemuda ini cukup hebat. Ia sendiri sampai kewalahan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus. Mulailah ia terdesak hebat!

Para tamu yang menonton pertandingan itu pun menjadi kagum. Apa lagi para tokoh dari aliran persilatan besar seperti wakil Siauw-lim-pai. Mereka tertegun melihat betapa pemuda tampan itu memainkan beberapa jurus dari ilmu silat aliran mereka!

Ilmu silat pemuda itu campur aduk, akan tetapi setiap jurus yang dimainkannya sudah mendekati kesempurnaan! Dan mereka semua tidak pernah mengenal pemuda tampan itu!

Hal ini memang tidak aneh. Sebagai seorang pangeran, Cia Ceng Sun atau Cia Sun tentu saja tidak menjadi murid biasa dalam sebuah perguruan. Dengan kekuasaannya dan kedudukan ayahnya, mudah saja dia mendatangkan guru-guru silat dari berbagai aliran yang melatihnya secara rahasia.

Apa lagi, di antara para jagoan istana bangsa Mancu terdapat banyak tokoh persilatan pandai. Mereka ini sudah berhasil mencari dan menguasai ilmu-ilmu silat dari berbagai aliran itu sehingga mereka dapat mengajarkannya kepada Pangeran Cia Sun tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.

Keadaan pangeran ini tentu saja berbeda dengan kakeknya, yaitu yang kini menjadi kaisar ketika masih muda. Kaisar Kian Liong pun ketika masih muda juga bertualang dan mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia mempelajarinya dari para tokoh persilatan secara berterang sehingga namanya dikenal oleh semua tokoh kang-ouw.

Siangkoan Eng memandang kagum dan hatinya semakin tertarik. Bukan main pemuda itu, pikirnya sambil termenung. Ilmu silatnya tinggi, bahkan pandai memainkan jurus dari berbagai aliran persilatan. Wajahnya tampan, sikapnya agung seperti bangsawan, serta gerak-geriknya lembut dan cara bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar.

Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini! Dan pemuda itu mampu mengimbangi pelayannya yang utama sampai lebih dari empat puluh jurus, bahkan kini pelayannya sudah terdesak hebat.

"Haiiiiittttt!"

Tiba-tiba Cia Ceng Sun berseru nyaring dan serangannya mendatangkan angin pukulan yang amat kuat, membuat nona baju kuning itu terpaksa menggunakan kedua tangan menangkis.

"Dukkk!"

Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, nona baju kuning itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir saja roboh kalau Siangkoan Eng tidak cepat melompat ke depan dan menyambar lengannya.

"Kau mundurlah!" kata Siangkoan Eng.

Pelayan itu pun mundur dan kini nona cantik jelita itu berhadapan dengan Cia Ceng Sun yang cepat memberi hormat.

"Maaf kalau aku kesalahan tangan. Aku sudah puas dapat menguji ilmu silat dan biarlah kini aku mengaku dan memperkenalkan namaku. Aku bernama Cia Ceng Sun, seorang pemuda perantau yang hidup di antara langit dan bumi tanpa tempat tinggal tertentu. Aku pun tidak mewakili golongan mana pun, hanya ingin meluaskan pengalaman." Dia memberi hormat ke arah ketua Pao-beng-pai dan hendak kembali ke tempat duduknya.

"Cia Kongcu (tuan muda Cia), nanti dulu!" terdengar seruan halus dan Cia Ceng Sun menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya dan memandang kepada gadis jelita yang berhadapan dengannya.

"Nona, aku sudah memperkenalkan diri sebagai tamu, ada urusan apa lagikah yang dapat kulakukan untuk keluarga tuan rumah?"

Siangkoan Eng tersenyum. Nampak giginya yang rata dan putih itu berkilauan sejenak. "Harap jangan salah mengerti, Kongcu. Tadi engkau sudah memperkenalkan diri, tidak sepatutnya jika aku sebagai nona rumah juga tidak memperkenalkan diri. Aku bernama Siangkoan Eng dan aku hendak mewakili orang tuaku dan mewakili Pao-beng-pai untuk berkenalan dengan ilmu silatmu yang tinggi. Ingin sekali aku mengajak engkau berlatih sejenak untuk mengenal ilmu masing-masing. Sudikah engkau memenuhi keinginanku ini, Kongcu?"

Cia Ceng Sun terbelalak. Bukan main gadis ini! Begitu pandai membawa diri dan kalau tadi nampak begitu dingin, kini begitu ramah dan wajahnya cerah seperti matahari baru terbit dari balik gunung.

Dan manisnya bukan main, cantik jelita seperti seorang puteri istana! Lebih lagi karena jika puteri istana dikekang oleh adat istiadat yang kaku, gadis ini demikian bebas seperti bunga mawar hutan yang semerbak harum dan indah.

Dia teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak jatuh hati kepada gadis lain, karena dia sudah ditunangkan dengan seorang gadis lain yang juga seorang gadis perkasa dengan julukan Si Bangau Merah. Akan tetapi, dia belum pernah berhadapan dengan Si Bangau Merah. Apakah ia secantik gadis di depannya ini?

"Nona Siangkoan terlalu memujiku. Kepandaian silatku memang hanya sejajar dengan tingkat kepandaian pelayanmu, Nona. Kalau untuk melawanmu, mana mungkin aku bisa mengimbangimu?"

"Cia Kongcu, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kita hanya berlatih sebentar untuk menambah pengetahuan masing-masing dan harap jangan sungkan. Marilah, Kongcu."

Sikap Siangkoan Eng begitu membujuk dan manis sehingga Cia Ceng Sun yang tadinya tidak ingin bertanding lagi, menjadi tertarik.

"Baik, harap jangan terlalu kejam kepadaku, Nona. Nah, aku sudah siap, silakan Nona mulai."

Pemuda itu maklum bahwa dia menghadapi lawan yang sangat tangguh. Maka kini dia telah memasang kuda-kuda Lo-han-hun dari aliran Siauw-lim-pai, kuda-kuda yang amat kokoh, kuat dan tangguh seperti benteng baja. Ketika melihat kuda-kuda ini, Siangkoan Eng tersenyum.

"Cia Kongcu, awas terhadap seranganku! Hiaaaaattttt...!"

Dan ia pun menyerang dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai pula! Tentu saja Cia Ceng Sun terkejut dan kagum, maka dia pun menyambut serangan itu dengan tangkisan dan membalas serangan lawan dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai.

Belasan jurus mereka saling serang dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian tiba-tiba gadis itu mengubah ilmu silatnya. Kini ia menyerang dengan ilmu silat dari Bu-tong-pai. Dan Cia Ceng Sun juga mengimbangi dengan ilmu silat yang sama!

Demikianlah, pertandingan itu berlangsung seru bukan main. Keduanya menukar-nukar ilmu silat dan selalu diimbangi lawan dengan ilmu yang sama. Gerakan mereka tangkas dan gesit, juga dalam hal tenaga sinkang, mereka seimbang.

Sesungguhnya, kalau Siangkoan Eng menghendaki, tingkatnya masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Cia Ceng Sun dan biar pun pemuda itu merupakan lawan yang tangguh baginya, namun kalau ia bersungguh-sungguh akhirnya pemuda itu akan kalah. Apa lagi kalau gadis itu mau mempergunakan kekuatan sihir atau ilmu pukulan sesat beracun yang amat berbahaya dari didikan ibunya, tentu pemuda itu akan celaka.

Hanya saja, gadis itu memang tidak ingin mencelakai Cia Ceng Sun. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Siangkoan Eng merasa tertarik dan sayang kepada seorang pemuda dan ia sengaja mengalah.

Enam puluh jurus sudah lewat dan pertandingan itu masih ramai dan seru, seolah tidak ada yang menang atau pun kalah, dan nampaknya seimbang dan setingkat. Kecepatan gerakan mereka, keindahan gerakan mereka, membuat semua orang merasa kagum.

Lauw Cu Si, ibu dari Siangkoan Eng, berbisik kepada suaminya, "Anakmu agaknya telah menjatuhkan pilihan hatinya."

Siangkoan Kok mengelus jenggotnya yang panjang dan rapi. "Jika memang benar, apa salahnya? Pemuda itu cukup tampan dan gagah, dan pembawaannya seperti seorang bangsawan. Kita hanya perlu mengetahui siapa orang tuanya," suaminya berbisik pula.

Pada saat itu, Cia Ceng Sun merasa penasaran juga. Belum pernah dia dikalahkan oleh seorang wanita dalam pertandingan silat, dan sekarang dia sama sekali tidak mampu mengalahkan gadis ini, bahkan mendesak pun dia tidak mampu. Dia merasa penasaran sekali.

Tiba-tiba dia melompat ke depan, lalu menyerang dengan kedua lengan diluruskan dan kedua tangan terbuka mendorong ke depan dengan jurus Pat-bun Twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung). Kedua kakinya terpentang sedangkan lutut ditekuk, kedua tangan lurus mendorong ke arah lawan sambil mengerahkan tenaga sinkang. Jurus ini merupakan serangan yang mengandalkan tenaga sakti. Hawa dorongannya saja mampu membuat lawan terlempar.

Tetapi melihat serangan ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau menangkis, melainkan meloncat pula ke depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangan pula, juga dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lututnya. Kedudukan mereka persis sama, dan kini dua pasang tangan yang terbuka itu saling bertemu.

"Plakkk!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan terguncang karena pertemuan tenaga sinkang itu, akan tetapi keduanya dapat bertahan!
Mereka saling pandang dalam jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan.

Mereka dapat saling merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh masing-masing, dan keduanya tersenyum. Mereka seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh. Keduanya saling dorong, akan tetapi Siangkoan Eng sengaja membatasi tenaganya sehingga kedudukan mereka seimbang dan dua pasang telapak tangan itu seperti melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi.

Banyak di antara para tamu yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga seperti itu amatlah berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat merenggut nyawa salah seorang di antara mereka.

Tentu saja mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena sebenarnya tenaga sinkang Siangkoan Eng masih lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur dan mengendalikan adu tenaga itu. Kalau tenaga mereka seimbang, memang berbahaya sekali.

Agaknya Cia Ceng Sun juga menyadari bahwa sebetulnya dia kalah kuat. Buktinya, gadis itu nampak santai saja dan tidak nampak khawatir seperti dia. Maka dia pun kini tersenyum dan maklum bahwa keadaan mereka sama sekali tidak berbahaya karena gadis itu menguasai tenaga mereka. Jantung pangeran ini berdebar pada saat melalui telapak tangan itu ia bisa merasakan suatu kehangatan dan kelembutan yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.

Pada saat itu nampak Yo Han cepat naik ke tempat pertandingan itu. Tanpa ragu-ragu lagi dia menengahi, menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah dua pasang tangan yang saling tempel.

"Cukup, harap kalian mundur!" katanya.

Dari dorongannya muncul tenaga yang sangat dahsyat, yang membuat Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun terdorong mundur sampai tiga langkah. Dengan sendirinya tempelan dua pasang tangan itu terlepas, namun tidak mendatangkan bahaya kepada keduanya. Mereka hanya merasa kedua lengan mereka tergetar dan mereka terdorong hawa pukulan yang dahsyat.

Diam-diam Cia Ceng Sun terkejut dan memandang kepada Yo Han dengan sinar mata penuh kagum.

"Siangkoan Siocia, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepadaku," katanya sambil memberi hormat kepada gadis itu.

Siangkoan Eng membalas dan tersenyum. "Cia Kongcu, engkaulah yang telah memberi pelajaran kepadaku. Terima kasih."

Sekarang Cia Ceng Sun menghadapi Yo Han. Sesudah mereka saling pandang penuh perhatian, pangeran itu berkata, "Sobat, engkau hebat. Terima kasih."

Lalu dia kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ, berhadapan dengan Siangkoan Eng. Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak marah, akan tetapi pada saat itu, ayahnya berkata dengan suara yang dalam.

"Eng Eng, engkau mundurlah, biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu."

Kiranya ketua Pao-beng-pai ini sudah waspada setelah melihat gerakan Yo Han tadi. Dia tahu bahwa puterinya mempunyai tenaga sinkang yang sudah kuat, dan tahu pula bahwa puterinya tadi mengalah terhadap pemuda she Cia itu sehingga biar pun mereka nampaknya mengadu tenaga sinkang, namun puterinya dapat mengendalikan tenaga mereka dan keadaan keduanya sama sekali tldak berbahaya.

Lalu muncul pemuda yang lain itu, yang dengan sekali dorong saja mampu membuat kedua orang itu terdorong mundur. Ini berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini memiliki kekuatan sinkang yang amat hebat, yang dapat sekaligus melawan kekuatan Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun yang bergabung menjadi satu!

Maklum akan hal ini, Siangkoan Kok dapat menduga bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai sekali dan mungkin puterinya tak akan mampu menandinginya, maka dia sendiri yang maju. Setelah puterinya mundur, ia pun bangkit dan melangkah maju menghadapi Yo Han.

Dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap angkuh dan dingin karena sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah dia rencanakan.

Untuk dapat mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung dalam dunia kang-ouw, bergaul dengan golongan sesat dan bersikap seperti seorang pemuda sesat pula. Atau setidaknya seorang pemuda yang memusuhi keluarga besar para pendekar, terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak yang diculik itu. Itulah sebabnya dia lalu bersikap bagaikan seorang pemuda yang tinggi hati, dingin serta kejam. Sikap seorang pemuda golongan sesat!

Setelah saling pandang beberapa lamanya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau menghormatinya, Siangkoan Kok mengerutkan alisnya. Dengan suara yang mengguntur dia berkata, "Sobat muda! Engkau datang ke sini, berarti engkau adalah tamu kami. Nah, perkenalkan namamu dan katakan mengapa engkau usil tangan mencampuri adu ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?"

Yo Han mengangguk dan dengan sikap congkak dia pun berkata, "Pangcu, aku sudah mendengar bahwa engkau adalah pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Pertemuan ini memang kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang sehaluan dan juga segolongan. Dan aku belum memperkenalkan nama, karena memang aku menunggu kesempatan terakhir ini untuk bicara kepada seluruh saudara segolongan yang kini berkumpul di sini!"

Sikap yang congkak ini membuat Siangkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga membuat dia ingin sekali tahu siapa pemuda ini dan apa maunya.

"Hemm, baiklah, kau perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Jika memang beralasan kami mau menerimanya, tapi kalau engkau hanya ingin mengacau, jangan salahkan kalau terpaksa kami akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok kembali duduk di kursinya.....























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12