Cerita Silat kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 22
Su Ok maklum
akan kelihaian nyonya ini maka dia pun segera mengelak dan balas menyerang.
Ngo-ok yang merasa yakin bahwa sekali ini dia akan memperoleh korban baru yang
istimewa karena nyonya ini bukan wanita sembarangan, sudah membantu temannya.
Tang Cun Ciu tidak menjadi gentar dan wanita ini sudah memainkan ilmu silat
yang amat diandalkannya yaitu Pat-hong Sin-kun.
Melihat
betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan
berkata dengan nada suara mengejek, “Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan
dapat lolos lagi dari tangan kami!”
“Begitukah?
Boleh coba!” jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum.
Dia sudah
sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa
lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh
mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan
kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang
dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir.
Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup
kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali.
Twa-ok,
Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang merupakan musuh lama.
Sekarang melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh
pangeran mahkota, yang kepada mereka telah diperintahkan oleh seorang pembesar
bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah
mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa
yakin akan sanggup melakukannya, biar pun tingkat kepandaian pendekar ini sejak
dahulu sudah lebih tinggi dari pada seorang di antara mereka. Hal ini sudah
sering kali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga
mengejar-ngejar pendekar ini.
Tentu
pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun
sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan sekarang jauh lebih hebat
dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu.
Ji-ok yang
bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang
seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik
tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena
lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang
menangis. Dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang
bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jari-jari
lainnya digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar
hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.
“Srattt....!
Srattt....!”
Bu-taihiap
terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan
balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke
dua dari Im-kan Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang
baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kiam-ci (Jari Pedang)
yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu. Akan tetapi, karena
tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi dari pada wanita itu, dia tidak
merasa gentar dan balas menyerang dengan sangat hebatnya, dengan
pukulan-pukulan berat yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga ketika
berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.
Sam-ok,
orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah
cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian
lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan,
yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang
dilakukan dengan tubuh berpusing. Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar
dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya.
Akan tetapi
kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya
bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan
cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat
berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat. Maka Bu-taihiap
sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu.
Sementara
itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus
mereka berdua masih belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lantas
mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan
tubuh merendah sampai hampir berjongkok, dia mendorongkan kedua tangannya dan
dari tenggorokannya keluar suara berkokok yang aneh.
Hawa dahsyat
dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang,
namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah
mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan,
nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok. Melihat
ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang
dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan
untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh
ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat.
Keadaan Bun
Seng Kin sendiri tidak lebih baik dari pada wanita itu. Dia pun terdesak
setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang sangat hebat
itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan
memberi kesempatan kepada teman-temannya melakukan siasat mereka, yaitu
menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk bisa menculik Pangeran sehingga
kelak akan mudah menimpakan kesalahan kepada para penyerbu ini.
“Ciu-moi,
mari ke tempat yang lebih luas!” teriaknya.
Dan
tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya
menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat. Tiga orang
lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini
dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang
juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua,
Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat, cepat keluar dari ruangan itu.
“Im-kan
Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana
sekali ini aku akan membasmi kalian!” teriak Bu Seng Kin.
Im-kan
Ngo-ok yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi
penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar
bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan
marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas,
di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya
sinar bulan ditambah lampu gantung yang berada di depan kuil itu. Namun
cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya
mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.
Setelah
Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah
berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka
bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan
kedudukan saling membelakangi, berarti mereka akan dapat saling melindungi dan
menghindarkan diri dikepung lawan. Dan selain itu, juga tempat itu sudah
dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu
sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa
toya atau tongkat panjang.
Melihat ini,
Im-kan Ngo-ok serentak tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak lawan yang maju
berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain
Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi
hwesio-hwesio itu.
“Heh-heh-heh,
bairlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!” Su-ok terkekeh dan
meloncat maju.
“Ihh,
lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio
gagal?” Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu.
Akan tetapi
Su-ok tak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul
sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia
dan teman-temannya, sungguh pun telah memiliki ilmu silat yang lumayan, namun
sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka
bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan kalau dapat menahan seorang di antara
mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya.
Memang ada
benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biar pun kini mereka dapat
saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok merupakan hal yang amat
berat dan berbahaya. Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali
menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya
itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja, dan ia selalu
memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di
antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa
kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga
demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali.
Cara Ngo-ok
bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia
mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja
sebelah kaki lawan yang bergerak aneh itu dapat menendang pergelangan tangan.
Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah
dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada
saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja
diselewengkan ke arahnya.
Cun Ciu yang
sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan
mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu,
akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya
untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia
kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan
berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam!
Selagi ia
terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak
mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah
seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan
kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana. Maka,
biar pun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di
bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat
menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya
menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu!
Ngo-ok
terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas
pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok
mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang,
sedangkan mukanya berubah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok! Dia maju
lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat
isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya.
Sementara
itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio mempermainkan tujuh orang hwesio
itu sambil tertawa-tawa. “Heh-heh-heh, Amithaba.... bagaimana kalian berani
melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-ha-ha!”
Dan memang
orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka
dapat membalas, sungguh pun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua
pukulan toya luput, dan kalau pun ada yang mengenal tubuh Si Cebol, toya-toya
itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio
itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan
mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sinkang-nya ketika menampar atau
memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.
“Sute, kau
ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan
bantu kami!” Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, oleh karena mereka
berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walau pun
mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan
sukar ditembus.
“Heh-heh-heh,
bukankah katamu sendiri tadi bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana
aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana....
ha-ha-ha!”
“Sute, cepat
bantu kami!” Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani
main-main lagi, maklum bahwa kalau toako-nya sudah bicara, maka tentu serius
dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.
“Baik,
Toako!” katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak
Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.
“Wuuuuttt....
dessss....!”
Dan tubuh
Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang
terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang
hwesio tinggi besar bermuka hitam yang barusan tadi telah menangkisnya. Bukan
main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak
Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras!
Hwesio muka
hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain, “Harap
Ciong-suhu dan saudara-saudara lainnya mundur.”
Ciong-hwesio
girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang, Hwesio tinggi besar muka hitam
yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang
bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya
sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya.
Su-ok yang
merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti
harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke
arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang
ampuh. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis
dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang
memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.
“Dessss....!”
Akibatnya
hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan pada saat dia
mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si
Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka
dalam! Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran.
Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari
hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan
kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si
Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia
pun maju dan menangkis.
“Plakkk!”
Dan Ji-ok
terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih
kuat dari pada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap! Pada
saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih
berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang
ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak
mempedulikan tengkuknya ditendang. Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok
terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai
tengkuk lawan, kakinya terasa terpental seperti membentur besi. Pada saat itu
tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah
perutnya.
Tentu saja
Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri.
Untunglah pada saat yang amat berbahaya ini Toa-ok sudah menggerakkan kakinya
menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.
“Desss....!”
Tubuh Ngo-ok
terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan
hwesio muka hitam itu.
Toa-ok
maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat
menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara
suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau
setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok. Meski gerakan-gerakannya
sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat
ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka
hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya.
Akan tetapi,
diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan
tangan terbuka pula. Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu
tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Plakkk!”
Dua telapak
tangan bertemu dengan sangat dahsyatnya, dan akibatnya, keduanya terdorong
mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini
memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berarti setingkat pula dengan
Bu-taihiap.
Sementara
itu, setelah mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat
Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan
sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur.
Pada saat
itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan
ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya
menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio. Bukan main hebatnya senjata ini
dan amat berbahaya, maka Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini
maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda
kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan
Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan
cepat sekali.`
Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka
hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan
melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget, “Sam-te....!”
Hwesio muka
hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
Mendengar
seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi
besar yang amat lihai itu terkejut pula, “Ahh, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang
Bu....“
Orang tinggi
besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat
dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin
dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga
Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran-heran, apalagi pada saat mendengar
betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.
“Apa yang
terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio
Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?”
Oleh karena
khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio
lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati
mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh
para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda,
sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.
“Bagus....!”
kata Ciong-hwesio, “Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita
bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang
datang bersama Im-kan Ngo-ok!”
Akan tetapi,
Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tak enak sekali melihat munculnya Cu Kang
Bu yang menyamar sebagai hwesio, “Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka
dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang
penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada
Ciong-suhu.”
Pendekar
bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam,
sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu
segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik
penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.
Dan dugaan
Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga,
menjelang pagi, sudah banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan
beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang
peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang
diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong.
Oleh karena
Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan
Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah. Apalagi karena mereka tidak
mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu
mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang!
Ciong-hwesio
menyambut mereka semua dengan hormat dan seolah memperlihatkan keheranannya,
“Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke
kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup?
Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar sekali
dan dia sangat pandai membaca sajak....“
Seorang di
antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh
peringatan, “Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran
Mahkota sendiri yang menyamar!”
“Amithaba....!”
Ciong-hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada dan tidak bicara lagi. Dia
tentu saja hanya berpura-pura, akan tetapi sebagai seorang pendeta dia tidak
mau banyak membohong, maka merasa lebih baik kalau tutup mulut saja.
“Oleh karena
itu, lenyapnya Sang Pangeran di kuil ini tentu merupakan bahaya juga bagi kuil
ini,” demikian pendekar itu melanjutkan, “Katakan, siapakah yang melakukan
penculikan ini?”
“Bagaimana
pinceng tahu? Yang pinceng ketahui hanyalah ada lima orang penjahat yang lihai
sekali menyerbu kuil. Kami berusaha untuk menghalaunya karena mengira mereka
itu perampok-perampok biasa. Dan ketika kami sedang sibuk melawannya, pemuda
itu tahu-tahu lenyap dilarikan orang. Siapa lagi kalau bukan teman-teman para
penjahat itu yang melakukannya?”
“Seperti apa
macamnya penjahat-penjahat yang menyerbu itu?”
“Yang lima
orang itu? Wah, mereka itu lihai bukan main. Kami semua bukanlah tandingannya,
akan tetapi agaknya mereka tidak ingin membunuh kami. Mereka adalah lima orang
yang amat menakutkan.... seperti iblis-iblis....“
Ciong-hwesio
kemudian menceritakan keadaan lima orang itu, yang tentu saja sudah
diketahuinya bahwa mereka adalah Im-kan Ngo-ok. Mendengar cerita kakek pendeta
itu, orang-orang kang-ouw yang mendengarkan menjadi pucat wajahnya.
“Im-kan
Ngo-ok....!” bisik beberapa orang di antara mereka dengan nada suara gentar.
“Celaka....!
Kalau mereka yang menculik....”
Dan para
pendekar itu dengan cepat kemudian meninggalkan kuil untuk melakukan pengejaran
dengan hati penuh kebimbangan serta ketakutan. Ciong-suhu menahan senyumnya.
Siasatnya berhasil baik sekali. Teman-temannya tentu kini telah berhasil
mengamankan Pangeran itu untuk keperluan mereka, keperluan rakyat, dan
keperluan perjuangan! Kaisar tentu akan dapat dibikin tidak berdaya kalau
puteranya menjadi tawanan kaum patriot. Setidaknya, nasib mereka akan menjadi
lebih baik, dan Kaisar harus memenuhi tuntutan mereka!
Akan tetapi
ketika kakek ini dengan hati gembira memasuki kamar semedhinya, dia terkejut
bukan main melihat ada sesosok bayangan orang berdiri tegak di dalam kamar itu!
Bulu tengkuknya meremang. Dia adalah seorang ahli silat yang tak dapat dibilang
bertingkat rendah, penglihatan dan pendengarannya masih kuat berkat latihan
bertahun-tahun. Tetapi, bagaimana ada orang memasuki kamarnya tanpa dia
mengetahuinya, tanpa dia dapat mendengar atau melihatnya? Setankah bayangan
ini. Ibliskah?
“Amithaba....!”
Dia berbisik beberapa kali, memandang dengan tajam ke arah bayangan itu.
Bayangan itu
yang tadinya di sudut gelap, melangkah maju dan nampaklah seorang pria muda
yang sama sekali tidak menyerupai iblis atau setan. Sebaliknya malah, pria muda
itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh empat atau tiga puluh lima
tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sederhana namun bersih dan rapi,
pakaiannya tertutup jubah besar lebar. Sepasang matanya itu saja yang tidak
lumrah manusia, seperti mata beberapa orang tertentu, mata Bu-taihiap misalnya,
yaitu mengandung sinar mencorong dan tajam sekali. Sikap orang ini pendiam dan
agak dingin, akan tetapi senyum bibir dan pandang matanya membayangkan
kehalusan budi.
“Siapa....
siapakah engkau....?” Ciong-hwesio bertanya.
“Maaf,
Losuhu, tidak perlu benar diketahui siapa saya, akan tetapi saya datang untuk
bertanya, benarkah Im-kan Ngo-ok menyerbu kuil ini dan menculik Pangeran
Mahkota dari sini?”
Pertanyaan
yang langsung ini berbeda dengan pertanyaan para orang kang-ouw tadi, dan
pemuda ini agaknya tidak takut untuk langsung bertanya tentang Im-kan Ngo-ok.
Penglihatan Ciong-hwesio yang sudah banyak pengalaman itu segera dapat menduga
bahwa orang muda ini lain dari pada yang lain, dan tentu merupakan seorang
pendekar tak terkenal yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Benar,
Sicu. Mereka menyerbu dan ketika kami sibuk menghadapi mereka yang kami sangka
hanyalah pengacau dan perampok biasa, tahu-tahu pemuda yang baru pinceng
ketahui ternyata adalah Sang Pangeran itu lenyap diculik orang. Tentu
kawan-kawan Im-kan Ngo-ok yang melakukannya.”
Orang muda
itu mengangguk dan memandang tajam sekali, seolah-olah sinar matanya mampu
menembus dada kakek itu, membuat Ciong-hwesio merasa seram.
“Kalau
Losuhu dan para hwesio kuil ini dapat menentang Im-kan Ngo-ok dan keluar dengan
selamat dari pertempuran, sungguh itu hanya menandakan bahwa Losuhu dan para
suhu di kuil ini memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya!”
Ciong-hwesio
terkejut sekali dan merasa tersudut, maka sebagai seorang yang banyak
pengalaman dan cerdik, dia cepat menggoyang tangan dan menarik napas panjang.
“Amithaba....!
Orang seperti pinceng dan para teman yang lemah ini, mana mungkin dapat
menandingi mereka? Untung ada Bu-taihiap dan isterinya yang membantu sehingga
kami semua dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu.”
Orang muda
itu mengangguk-angguk. “Ahhh, jadi Bu-taihiap dan isterinya yang tadi
menghadapi mereka? Akan tetapi, Sang Pangeran tetap saja hilang?”
Ciong Hwesio
menjadi waspada. Orang muda ini tidak boleh dipandang ringan, dan memiliki
kecerdikan dan ketenangan yang luar biasa. Maka dia pun menjawab dengan
merangkapkan tangan di depan dadanya, “Amithaba, begitulah yang terjadi, Sicu.
Pinceng sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya, hanya menduga siapa lagi
kalau bukan teman-teman Im-kan Ngo-ok yang sengaja menyerbu dan memancing kami
semua keluar dari kuil menghadapi mereka sehingga Sang Pangeran yang tadinya
kami kira tamu biasa, dapat diculik orang dengan mudahnya.”
“Jadi tidak
ada seorang pun suhu di kuil ini yang sempat melihat siapa penculiknya?”
Ciong-hwesio
menggeleng kepalanya dan orang muda itu lalu menjura, “Terima kasih atas semua
keterangan Losuhu.” Orang muda itu berkelebat dan lenyap seperti pandai
menghilang saja.
Setelah
orang muda itu menghilang, Ciong-hwesio menjadi gelisah. Dia tidak mengenal
siapa adanya pendekar muda ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini
lihai sekali. Celakanya, dia tidak dapat menduga di golongan mana pendekar ini
berpihak. Di golongan musuh Pangeran seperti Im-kan Ngo-ok yang hendak membunuh
Pangeran? Ataukah di golongan kaum patriot? Agaknya tidak mungkin kalau pemuda
itu memihak kaum patriot, karena kalau demikian halnya tentu dia telah mengenalnya,
dan sikapnya tidak seperti itu, seolah-olah mencurigai dan menyelidikinya.
Ataukah di golongan pelindung Pangeran seperti banyak terdapat pada golongan
pendekar? Mungkin sekali.
Belum lama
ini pun, Siauw-lim-pai telah menganjurkan murid-muridnya untuk melindungi
Pangeran yang dianggapnya bijaksana, tidak seperti ayahnya yang kini menjadi
kaisar. Akan tetapi, semenjak Kaisar memusuhi Siauw-lim-pai, ada perintah baru
dari pihak Siauw-lim-pai, dan siasat yang sekarang ini pun disetujui
Siauw-lim-pai, yaitu hendak mempergunakan Pangeran sebagai sandera untuk
mengekang kelaliman Kaisar.
Karena
sangsi dan khawatir, Ciong-hwesio lalu mengumpulkan anak buahnya dan dia
sendiri lalu naik kuda dan diam-diam pada pagi hari sekali itu sudah
membalapkan kudanya untuk segera menyusul rombongan pembantu-pembantunya yang
melarikan Sang Pangeran.
Sementara
itu, ‘Sang Pangeran’ yang dilarikan oleh lima orang hwesio itu membalapkan
kudanya memasuki hutan yang gelap. Setelah tiba di tempat gelap, terpaksa kuda
mereka tidak dapat dibalapkan lagi dan seorang di antara para hwesio itu
menangkap kendali kuda dan menuntun kuda yang ditunggangi Sang Pangeran ini
supaya berjalan perlahan-lahan menyusup ke dalam hutan.
Setelah
munculnya hwesio tinggi besar muka hitam yang ternyata telah dikenal oleh Tang
Cun Ciu sebagai Cu Kang Bu, tokoh ke tiga dari penghuni Lembah Suling Emas,
maka tentu mudah diduga oleh para pembaca siapa adanya hwesio bertubuh kecil
ramping yang ternyata seorang wanita dan yang kini menggantikan kedudukan Sang
Pangeran dengan penyamarannya yang persis itu. Tentu saja, siapa lagi kalau
bukan Ang-siocia atau Yu Hwi yang pandai melakukan penyamaran seperti itu?
isteri Cu Kang Bu ini, bekas murid Hek-sin Touw-ong, selain pandai ilmu silat
yang tinggi, juga pandai sekali dalam ilmu mencopet atau mencuri dan di samping
ini pandai sekali dalam ilmu menyamar. Tentu saja nenek tua yang berjubel di
antara mereka yang bersembahyang di kuil Hok-te-kong siang hari sebelumnya
adalah Yu Hwi juga, yang datang sebagai nenek untuk melakukan penyelidikan dan
ia telah melihat Bu-taihiap di dalam kuil.
Yu Hwi dan
suaminya, Cu Kang Bu, pergi meninggalkan Lembah Naga Siluman, yaitu nama
sebutan baru dari Lembah Suling Emas setelah keluarga Cu dikalahkan oleh Kam
Hong sebagai ahli waris Suling Emas, karena mereka berdua merasa khawatir akan
keselamatan Cu Pek In, keponakan mereka. Tadinya mereka mengira bahwa Cu Pek In
hanya akan pergi sebentar saja. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai
sebulan tidak juga gadis itu pulang, Cu Kang Bu merasa tidak enak sekali
terhadap twako-nya yang kini bersama Ji-konya bertapa di tempat yang terasing.
Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan dara itu, maka dia pun lalu
meninggalkan lembah bersama isterinya untuk mencari Cu Pek In yang minggat itu
dan membujuknya agar pulang ke lembah.
Karena jejak
dara itu menuju ke timur, maka mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya
mereka tiba di kota Pao-ci di mana mereka secara kebetulan mendengar percakapan
para pendekar yang melindungi Pangeran bahwa Sang Pangeran yang menyamar
sebagai seorang pemuda biasa itu kini menginap di dalam kuil Hok-te-kong. Cu
Kang Bu merasa tertarik, demikian pula isterinya.
Sudah lama
mereka berdua mendengar di dalam perjalanan itu tentang keributan di istana,
tentang kematian Sam-thaihouw, tentang kelaliman Kaisar yang memusuhi
Siauw-lim-pai. Juga tentang Pangeran Kian Liong yang kabarnya amat bijaksana
dan mencintai rakyat. Timbul perasaan suka dan kagum dalam hati suami isteri
perkasa ini. Akan tetapi ketika secara kebetulan pula mereka melihat Im-kan
Ngo-ok berada di kota itu, hati mereka terkejut bukan main dan penuh
kekhawatiran.
Mereka
bukanlah orang-orang yang semata-mata membela Pangeran karena politik, bukan
pula menentang kaum patriot. Mereka ini adalah suami isteri yang tidak ingin
melibatkan diri dengan semua urusan perebutan kekuasaan itu, akan tetapi mereka
berpihak kepada Pangeran hanya dengan dasar bahwa menurut yang mereka dengar,
Pangeran adalah seorang pemuda yang bijaksana dan mencinta rakyat. Seorang yang
baik, dan kini orang yang mereka kagumi itu agaknya terancam bahaya besar
dengan adanya Im-kan Ngo-ok berkeliaran di kota yang sama.
Itulah
sebabnya mengapa Yu Hwi menyamar sebagai seorang nenek tua yang ingin bertemu
dengan Ciong-hwesio untuk minta diberi nama pada cucu buyutnya. Kehadiran
Bu-taihiap di tempat itu membuat mereka maklum bahwa urusan ini bukan urusan
kecil, tetapi urusan yang mengandung politik di mana orang-orang yang memiliki
kesaktian ikut pula terlibat. Maka mereka bersikap hati-hati. Bagi mereka yang
terpenting adalah menyelamatkan Sang Pangeran Mahkota, baik dari tangan
orang-orang yang hendak membunuhnya, mau pun dari tangan siapa pun yang
mempunyai itikad buruk terhadap Pangeran itu.
Demikianlah,
dengan kepandaiannya dalam ilmu penyamaran, Yu Hwi lalu berdandan dan
mendandani suaminya. Dengan topeng-topeng yang memang selalu siap di dalam
buntalannya, dia dan suaminya berubah menjadi hwesio-hwesio. Dengan berani
mereka menemui Ciong-hwesio, berhasil mengelabuhi semua hwesio dan diterima
sebagai rekan-rekan yang boleh dipercaya. Ketika mereka berdua diuji oleh
Ciong-hwesio, tentu saja mereka mampu mainkan beberapa jurus ilmu silat
Siauw-lim-pai yang umum.
Tentu saja
‘Pangeran’ yang dikawal oleh lima orang anak buah Ciong-hwesio itu adalah Yu
Hwi yang menyamar. Tadinya, Cu Kang Bu bersama Pangeran Kian Liong yang
menyamar sebagai dua orang hwesio itu, turut pula mengawal. Akan tetapi tidak
lama kemudian, sesuai dengan rencana suami isteri itu, Cu Kang Bu lalu mengajak
Sang Pangeran itu untuk kembali ke kuil dan menyuruh lima orang hwesio untuk
melanjutkan pengawalan mereka.
“Pinceng
berdua mesti menolong Ciong-suhu menghadapi orang-orang jahat,” demikian Cu Kang
Bu yang menyamar sebagai hwesio tinggi besar muka hitam itu memberi alasan
kepada para hwesio anak buah Ciong-hwesio itu.
Tentu saja
mereka merasa setuju, mengingat bahwa yang menyerbu kuil adalah tokoh-tokoh
sakti seperti Im-kan Ngo-ok itu. Dan demikianlah, Cu Kang Bu menggendong
Pangeran dan dengan cepat lari kembali ke kuil tanpa dilihat oleh para hwesio
yang mengawal ‘Pangeran’ itu. Cu Kang Bu kemudian menyuruh Pangeran Kian Liong
yang menyamar sebagai hwesio itu menanti agak jauh dari kuil, bersembunyi di
dalam bagian yang gelap, sedangkan dia sendiri dengan gerakan cepat sekali lari
ke kuil dan seperti telah kita ketahui, dia berhasil membantu Bu Seng Kin dan
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu memukul mundur Im-kan Ngo-ok.
Oleh karena
suaminya pergi bersama Sang Pangeran sesuai dengan rencana, yaitu suaminya akan
membawa pergi Pangeran Kian Liong dan mengamankannya dari pengejaran semua
orang yang beritikad buruk terhadap Sang Pangeran, maka Yu Hwi yang sekarang
menggantikan kedudukan Pangeran itu berada sendirian saja dengan lima orang
hwesio yang mengawalnya. Ia tidak segera mau bergerak, menanti sampai lama
untuk memberi kesempatan kepada suaminya agar suaminya dapat membawa Sang
Pangeran ke tempat yang jauh dan aman betul.
Ia tidak
tahu bahwa ada sedikit perubahan, yaitu bahwa suaminya tidak langsung membawa
pergi Pangeran Kian Liong, melainkan kembali ke kuil untuk membantu menghadapi
Im-kan Ngo-ok. Hal ini di luar perhitungannya, menyimpang dari siasat mereka.
Yu Hwi tidak tahu bahwa melihat bekas Toaso itu harus berhadapan dengan Im-kan
Ngo-ok yang lihai, hati suaminya tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa
membantu.
Kini hati
wanita yang cerdik ini menjadi tenang setelah Sang Pangeran berhasil diajak
pergi oleh suaminya. Kalau ia mau, tentu pada saat itu juga dengan mudah ia
akan dapat meloloskan diri dari ‘pengawalan’ lima orang hwesio itu. Akan tetapi
Yu Hwi tidak mau menimbulkan keributan dan membuka rahasia pada malam itu juga
karena dengan demikian tentu suaminya yang membawa pergi Sang Pangeran itu
belum tiba di tempat seperti yang mereka rencanakan.
Menurut
rencana mereka, malam itu juga Cu Kang Bu akan membawa Sang Pangeran menuju ke
kota besar Sian melalui jalan sungai dan baru pada keesokan harinya, Yu Hwi
akan menyusulnya dengan jalan darat. Mereka akan saling bertemu di Sian. Dan Yu
Hwi akan meninggalkan para pengawalnya, kalau mungkin tanpa mereka ketahui
sehingga para pengawal itu hanya akan kehilangan ‘pangeran’ dan menduga bahwa
Pangeran itu tentu diculik orang tanpa setahu mereka. Dan hal ini tidak mungkin
dilakukan oleh Yu Hwi selama mereka berenam masih menunggang kuda di dalam
hutan itu.
Dan ternyata
enam orang hwesio itu membawanya berkuda terus sampai mereka keluar dari hutan
itu dan tiba di luar hutan, di sebuah lereng sunyi di tepi sungai, setelah
hampir pagi! Di tempat sunyi itu telah disediakan sebuah pondok kayu sederhana
dan para hwesio itu mempersilakan Sang Pangeran untuk beristirahat di dalam
kamar kayu di pondok itu. Mereka sendiri lalu membuat api unggun karena hawa
udara amat dinginnya, dan ada yang memasak air. Ada pula seorang di antara
mereka yang bersiap siaga di luar jendela kamar itu dengan toya di tangan.
Yu Hwi
merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang berada dalam kamar itu. Ia merasa
lelah dan mengantuk sekali. Tentu saja dia merasa lelah karena dia harus
menunggang kuda hampir semalam suntuk, terutama karena kedua kakinya diganjal
agar ia menjadi sejangkung Pangeran.
Akan tetapi,
tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara yang tidak wajar, di
luar jendela kamarnya. Cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dia
meloncat turun dan mengintai dari lubang celah-celah jendela. Dan matanya
terbelalak melihat sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali, berkelebat tiba
di belakang hwesio penjaga yang memegang toya itu dan sekali bayangan itu
menggerakkan tangan menepuk pundak maka hwesio itu tanpa mengeluh menjadi lemas
dan pingsan!
Bayangan itu
kemudian menarik hwesio penjaga, merebahkannya dengan posisi duduk bersandar
dinding pondok, toyanya bersandar dinding pula, dan nampaknya seperti penjaga
itu masih berjaga namun sambil duduk karena lelah dan kantuknya! Kemudian,
bayangan itu mendorong daun jendela terbuka dan meloncat masuk. Yu Hwi sudah
bersiap-siap, tetapi ia menjadi bengong dan begitu besar keheranan dan
kekejutannya sampai ia tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara apa pun.
Tentu saja
ia mengenal bayangan ini setelah memasuki kamar pondok, oleh karena bayangan
ini bukan lain adalah Kam Hong!
“Sssttt....
harap jangan bersuara, Pangeran,” bisik Kam Hong. ”Paduka berada dalam bahaya.
Hwesio-hwesio itu ialah anggota kaum patriot yang menentang Kaisar. Hamba
datang untuk menyelamatkan Paduka.”
Dan sebelum
Yu Hwi hilang kagetnya, tiba-tiba saja Kam Hong sudah memondongnya dan membawanya
meloncat keluar dari jendela itu, terus berloncatan dengan kecepatan kilat
menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang masih remang-remang itu!
Tentu saja
Yu Hwi menjadi terkejut, terheran, marah, malu dan entah perasaan macam apa
lagi yang mengaduk hatinya ketika ia dipondong dengan tangan Kam Hong seperti
itu dan dibawa lari ke dalam hutan! Kalau menurut perasaannya, ingin dia
meronta, bahkan mungkin sambil memukul pria muda yang pernah menjadi calon
suaminya, menjadi tunangannya yang syah!
Akan tetapi
ia tidak mau membikin gaduh karena kalau terjadi demikian, tentu para hwesio
akan mendengar dan rahasianya bahwa ia bukanlah Pangeran Kian Liong akan
terbuka. Oleh karena itu, terpaksa ia menahan dirinya, diam saja membiarkan
dirinya dipondong dan dilarikan oleh Kam Hong. Akan tetapi setelah mereka lari
jauh ke dalam hutan dan sinar matahari pagi mulai menerobos masuk hutan melalui
celah-celah daun pohon, tiba-tiba Yu Hwi tak dapat menahan rasa malunya lagi
dan ia segera menjerit, “Lepaskan aku! Lepaskan!”
Kam Hong
terkejut bukan main mendengar jeritan ini. Mengapa suara Pangeran Kian Liong
berubah menjadi suara perempuan? Dia cepat melepaskan pondongannya dan
memandang dengan kedua mata terbelalak. Orang ini masih Pangeran yang dibawanya
lari tadi! Akan tetapi suara itu....!
“Pangeran....,”
katanya bingung. “Ada apakah maka Paduka....”
“Pangeran!
Pangeran! Apakah matamu sudah buta? Tak tahu malu!” Dan Yu Hwi sudah melangkah
maju dan kedua tangannya menyambar untuk menampar muka Kam Hong!
Tentu saja
pendekar ini terkejut dan menjadi semakin heran. Tamparan Pangeran itu bukanlah
tamparan orang biasa, melainkan tamparan yang dilakukan oleh orang yang
memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka tentu saja dia mengelak mundur,
masih bingung karena kembali dia mendengar betapa suara pangeran ini mirip
suara seorang wanita.
Teringatlah
Kam Hong kini betapa ketika dia memondong dan melarikan Pangeran tadi, dia
mencium bau harum yang lembut dan juga dia merasa betapa tubuh Pangeran itu
mempunyai kehangatan dan kelembutan yang membuat dia tadi diam-diam merasa
heran. Ia tadi mengira bahwa memang seorang pangeran, seorang pemuda bangsawan
tertinggi dan kehidupannya serba mulia dan mewah memang sudah sepatutnya
memiliki kelembutan seperti wanita, maka semua itu tidak dipedulikannya.
Sekarang
barulah dia mengerti. Kiranya Pangeran Kian Liong ini seorang wanita! Dan
terkejutlah dia. Pangeran itu sudah terkenal sekali dan jelas bukan wanita.
Kalau begitu, ini tentu seorang wanita yang menyamar sebagai Pangeran Kian
Liong! Dan sepanjang pengetahuannya, wanita yang pandai melakukan penyamaran
sehebat itu di dunia ini hanya seorang saja!
“Kau.... kau
siapa? Dan apa artinya ini....?” Dia memandang terbelalak sambil terus mengelak
mundur.
“Apa
artinya....? Artinya.... engkau buta atau memang kurang ajar, mempergunakan
kesempatan....!” Yu Hwi terus mendesak dan sekarang bukan hanya ingin menampar,
melainkan melakukan serangan-serangan pukulan yang dahsyat!
Kam Hong
mengelak dan kadang-kadang menangkis. Sekarang dia yakin benar bahwa ‘pangeran’
ini tentu penyamaran Yu Hwi, bekas tunangannya itu! Dan dia disangka telah tahu
akan penyamaran itu dan dengan dalih menolong pangeran ia dikira menggunakan
kesempatan itu untuk memondong dan memeluknya!
“Ah kau
salah duga.... dengarlah dulu....,” Kam Hong berkata. Akan tetapi wanita yang
berwatak keras itu menyerangnya terus.
Tiba-tiba
terdengar suara yang nyaring, “Hwi-moi, apa artinya ini?”
Mendengar
suara ini, Yu Hwi menghentikan serangan-serangannya, menoleh, lalu lari
menubruk dan merangkul suaminya sambil menangis! Sedangkan Kam Hong berdiri
memandang dengan muka merah, merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Yu Hwi, ada
apakah....?” Cu Kang Bu merangkul isterinya, kemudian mengangkat muka memandang
kepada Kam Hong dengan sinar mata berkilat, alisnya berkerut mengandung
keraguan dan juga kecurigaan.
Melihat
isterinya masih menangis sesenggukan, kembali Cu Kang Bu bertanya, “Apa artinya
ini? Hwi-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?”
“Dia.... dia
memondongku.... hu-huuh....!” Yu Hwi akhirnya berkata sambil menangis.
Mendengar
ini, Cu Kang Bu terkejut bukan main. Dia adalah seorang pendekar yang gagah
perkasa. Andai kata dia tidak mengenal Kam Hong, tentu ucapan isterinya itu
akan diselidiki lebih dulu sebab-sebabnya mengapa isterinya dipondong orang.
Akan tetapi dia mengenal Kam Hong sebagai bekas tunangan isterinya, maka ucapan
isterinya itu tentu saja membuat mukanya seketika menjadi merah dan sinar
matanya mengandung kemarahan besar. Dia melepaskan rangkulannya dan melangkah
maju menghadapi Kam Hong.
“Orang she
Kam....,” suaranya terdengar kaku. “Aku mengenal siapa engkau, tahu bahwa
engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan kami pernah
dikalahkan olehmu, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapi
kematian di tanganmu untuk membela kehormatan isteriku! Majulah, kita hanya
dapat mencuci penghinaan ini dengan darah!”
Kam Hong
menarik napas panjang dan mukanya yang tadinya pucat itu kini menjadi merah. Dia
menggeleng kepalanya beberapa kali. Menarik napas panjang lagi, lalu memandang
kepada pria tinggi besar itu dengan sinar mata penuh penyesalan.
“Maafkanlah
kalau tanpa kusengaja aku telah membuatmu marah, Saudara Cu Kang Bu. Akan
tetapi dengar dulu penjelasanku sebelum engkau mengambil kesimpulan dan
pendapat yang mungkin keliru dan kelak hanya akan membuatmu menyesal. Kebetulan
aku mendengar tentang bahaya yang mengancam Pangeran Kian Liong di kota Pao-ci
dan kebetulan pula aku melihat Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan
penyelidikan pagi lewat tengah malam tadi di kuil di mana Pangeran itu mondok.
Aku mendengar dari para hwesio bahwa kuil diserbu Im-kan Ngo-ok dan bahwa
Pangeran diculik teman-teman Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan pengejaran dan
pencarian. Akhirnya aku melihat Sang Pangeran di dalam pondok yang dijaga oleh
beberapa orang hwesio. Aku lalu memasuki pondok dan aku cepat memondong dan
melarikan Pangeran dari pondok itu, khawatir kalau-kalau sampai ada Im-kan
Ngo-ok yang mengejar. Aku khawatir jika harus menghadapi lima orang tangguh
itu, tentu aku tak dapat melindungi Pangeran dengan baik. Sungguh mati aku
tidak tahu bahwa yang kupondong adalah seorang pangeran palsu. Sungguh sukar
membedakan karena.... karena memang cuaca masih agak gelap dan aku sama sekali
tidak menyangka....“
Wajah yang
tadinya merah itu kini berseri dan Cu Kang Bu merasa lapang dadanya. Dia
menoleh kepada isterinya. “Hwi-moi, benarkah itu....?”
Yu Hwi
mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
“Kalau benar,
mengapa engkau menangis dan marah-marah?” suaminya bertanya.
Yu Hwi
mengangkat mukanya. “Habis, apakah aku harus merasa senang dan tertawa? Dia
memondongku, mengertikah engkau? Aku merasa terhina!”
“Ahhh,
Hwi-moi, mengapa pandanganmu begitu dangkal? Kam-taihiap melakukannya karena
tak sengaja, karena tidak tahu bahwa yang dipondongnya bukan Pangeran asli!
Ha-ha-ha-ha!” Cu Kang Bu tertawa karena merasa betapa lucunya peristiwa itu. Yu
Hwi masih menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut.
“Aku mohon maaf,
baik kepada Adik Yu Hwi mau pun kepadamu, Saudara Cu,” kata Kam Hong.
“Ahhh, kami
yang harus minta maaf kepadamu, Kam-taihiap. Isteriku telah bersikap
kekanak-kanakan dan tidak adil padamu, sedangkan aku....,“ pria tinggi besar
itu menghela napas panjang. “Agaknya aku masih harus banyak belajar darimu,
Taihiap. Aku masih belum dapat menguasai diri, mudah terseret oleh perasaan dan
cemburu. Sungguh memalukan sekali.”
Mendengar
percakapan dua orang gagah itu, Yu Hwi kini baru sadar bahwa memang sikapnya
tadi amat keterlaluan. Ia pun dapat mengerti bahwa bekas tunangannya itu tentu
saja tidak dapat mengenal penyamarannya. Dan ia pun tadi marah-marah karena
dorongan emosi yang timbul karena merasa canggung dan malu.
Maka untuk
membelokkan percakapan mengenai urusan itu, ia cepat-cepat bertanya kepada
suaminya, “Di mana beliau? Kenapa tak kelihatan bersamamu?”
Dan memang
membelokkan percakapan ini tepat sekali. Suaminya menghela napas panjang dan
kelihatan kecewa dan gelisah sekali setelah teringat akan Pangeran itu.
“Sungguh aku
merasa menyesal bukan main. Beliau telah lenyap....”
“Lenyap?”
Penegasan ini dikeluarkan oleh dua mulut, yaitu mulut Kam Hong dan Yu Hwi.
Kembali Cu
Kang Bu menarik napas panjang. “Salahku....! Pada waktu aku membawa Pangeran
keluar, aku melihat pertempuran antara Im-kan Ngo-ok melawan Bu Seng Kin dan
Toaso-ku....”
“Ahh, Subo
juga ikut....?” Yu Hwi berseru kaget dan heran.
Suaminya
mengangguk. “Subo-mu kini agaknya telah bersatu dengan Bu Seng Kin....,” di
dalam suaranya terkandung kepahitan, mengingatkan dia akan kematian twako-nya
karena perbuatan Toaso-nya yang berjinah dengan Bu Seng Kin. ”.... melihat
kelihaian Im-kan Ngo-ok, dan mengingat akan hubungan antara Toaso dengan
keluarga kita, terutama mengingat bahwa betapa pun juga ia adalah gurumu, maka
aku lalu menyuruh Pangeran bersembunyi dan aku lalu membantu mereka mengusir Im-kan
Ngo-ok. Akan tetapi setelah berhasil, dan aku kembali ke tempat di mana
kutinggalkan Pangeran, beliau telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Aku
mencarinya sampai berputar-putar dan akhirnya aku hendak menyusulmu untuk
kuajak mencari bersama-sama. Nah, aku jumpai kalian di sini....”
“Saudara Cu,
Adik Yu Hwi, selamat berpisah, aku harus mencari Pangeran!” Setelah berkata,
dengan tiba-tiba saja Kam Hong meloncat dan lenyap.
Suami isteri
itu merasa kagum dan mereka pun pergi dari situ karena tidak ingin diketahui
orang bahwa mereka yang telah melarikan Pangeran. Yu Hwi cepat berganti pakaian
dan kini suami isteri ini tidak menyamar lagi….
Ke manakah
perginya Pangeran Kian Liong? Ketika Pangeran itu bersama hwesio tinggi besar
meninggalkan kuil dan Pangeran itu menyamar sebagai seorang hwesio pula,
Pangeran Kian Liong merasa amat gembira dan juga tegang hatinya. Baru sekarang
dia mengalami peristiwa yang amat mendebarkan, lucu dan menggelikan. Dia
menyamar sebagai hwesio! Hal ini merupakan semacam pengalaman atau permainan
baru bagi Pangeran muda yang tabah ini. Dia pernah menyamar sebagai seorang
pelajar biasa, seorang pelancong, bahkan pernah dia menyamar sebagai seorang
jembel muda ketika dia melakukan perjalanan mengembara untuk memperdalam
pengalamannya dan untuk dapat mengenal kehidupan rakyatnya secara lebih dekat
lagi. Tetapi menjadi hwesio? Baru sekarang inilah! Dia menjadi seorang hwesio
gundul tanpa kehilangan rambutnya yang panjang tebal.
Pangeran
Kian Liong bersembunyi di dalam bayangan yang gelap ketika hwesio tinggi besar
itu meninggalkannya dan memesan agar dia tinggal dulu di situ karena hwesio
tinggi besar itu akan melihat keadaan dan membantu para hwesio menghalau
pengacau yang datang menyerbu dan yang mempunyai maksud buruk dan jahat terhadap
Sang Pangeran.
Tetapi,
tidak lama kemudian setelah hwesio tinggi besar itu meloncat pergi, Pangeran
itu merasa tidak betah tinggal menyembunyikan dirinya di balik bayangan gelap
itu. Dia kan sudah menyamar sebagai hwesio? Siapa yang akan tahu bahwa hwesio
ini adalah Pangeran Mahkota? Terdorong oleh sifatnya yang pemberani, juga oleh
kesenangannya menonton pertempuran adu silat, dan tertarik oleh suara-suara
perkelahian di dalam kuil itu, Pangeran Kian Liong akhirnya keluar dari tempat
persembunyiannya dan melangkah menuju ke kuil kembali untuk melihat
perkelahian!
Dan pada
saat dia tiba di dinding pagar kuil, tiba-tiba terdengar seruan perlahan
memanggilnya, “Paduka di sini, Pangeran?”
Otomatis
lupa akan penyamarannya, Pangeran itu menjawab, “Benar, siapakah Anda?”
Pemuda
tampan gagah itu tidak menjawab, langsung menyambar dan memanggulnya, dan
melarikan diri di tempat gelap. Sebelum Pangeran itu sempat mengeluarkan suara,
dua buah jari tengah telah menekan tengkuknya, membuat Pangeran itu tidak mampu
mengeluarkan suara lagi. Dan pemuda itu berlari dengan kecepatan yang luar
biasa, membuat Sang Pangeran terpaksa harus memejamkan mata karena ngeri juga.
Menjelang
pagi, barulah pemuda itu berhenti dan mereka sudah berada jauh di sebelah utara
kota Pao-ci, sudah mendekati kota Thian-sui yang berada di luar perbatasan
Propinsi Shan-si dan sudah termasuk dalam Propinsi Kan-su. Dan ternyata di
sebuah tempat yang sunyi dalam sebuah dusun, di situ telah menanti sebuah
kereta dan Pangeran Kian Liong kemudian dibawa masuk ke dalam kereta oleh
pemuda yang melarikannya itu.
Di dalam
kereta telah menanti tiga orang wanita cantik, dan kini, setelah ‘pemuda’ itu
tidak lari lagi dan dapat dilihat wajahnya, Sang Pangeran baru maklum dan
merasa terheran-heran mendapat kenyataan bahwa pemuda itu pun ternyata adalah
seorang wanita! Bahkan kini dia pun teringat bahwa dia pernah melihat empat
orang wanita cantik ini sebagai pembantu dan pengawal mendiang Sam-thaihouw!
Dia tidak
mengenal nama mereka, tidak tahu siapakah adanya empat orang wanita cantik ini,
akan tetapi dia pernah melihat mereka ini mengawal Ibu Suri Ke Tiga itu. Maka
Sang Pangeran pun mengertilah bahwa dia terjatuh ke tangan orang-orang yang
sangat boleh jadi memusuhinya, atau setidaknya mereka ini adalah bekas tangan
kanan atau pembantu-pembantu Sam-thaihouw yang selalu menganggapnya sebagai
musuh.
“Bagus
sekali, A-ciu, engkau berjasa besar sekali ini. Memang aku tahu, hanya engkau
di antara kita yang paling pandai menyamar,” A-hui, orang pertama dari Su-bi
Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) itu berkata memuji adiknya yang paling muda.
“Wah, tetapi
aku merasa tegang dan ngeri, Twa-ci (Kakak Perempuan Tertua), kalau mengingat
betapa orang-orang sakti berada di sana, sedang bertempur menghadapi suhu-suhu
kita,” jawab A-Ciu sambil bergidik. “Untung sekali orang sakti, hwesio tinggi
besar itu meninggalkan Pangeran seorang diri, kalau tidak, mana aku berani
turun tangan?”
“Betapa pun
juga, kita telah berhasil. Mari kita cepat membawanya pergi dari sini,” kata
pula A-hui.
Mereka itu
bercakap-cakap di depan Pangeran, seolah-olah Sang Pangeran itu tidak ada saja,
sama sekali tak peduli bahwa Sang Pangeran mendengar semua percakapan mereka.
A-ciu yang masih menyamar sebagai pria itu kini duduk di tempat kusir dan
mencambuk dua ekor kuda yang segera lari menarik kereta itu. Sedangkan tiga
orang cici-nya duduk di dalam kereta bersama Sang Pangeran.
Para pembaca
tentu masih ingat akan Su-bi- Mo-li, empat orang wanita cantik yang menjadi
murid-murld terkasih itu. Sampai sekarang pun, semuanya belum juga menikah dan
masih hidup berempat sebagai petualang-petualang wanita yang namanya ditakuti
oleh banyak orang kang-ouw, karena selain mereka ini amat lihai, juga mereka
ini kejam dan ganas sekali.
Yang tertua
bernama A-hui, kini berusia tiga puluh lima tahun dan seperti juga dahulu, ia
selalu memakai baju berwarna kuning. Ada tahi lalat di dagunya dan tahi lalat
ini di samping mendatangkan kemanisan pada wajahnya, juga mendatangkan bayangan
kekerasan hati yang mengerikan. Orang ke dua bernama A-kiauw, berusia tiga
puluh dua tahun, selalu memakai baju merah. Orang ke tiga, yang memakai baju
biru bernama A-bwee, berusia tiga puluh satu tahun, sedangkan A-ciu, yang
termuda berusia tiga puluh tahun, jika berpakaian biasa sebagai wanita selalu
memakai baju hijau dan A-Ciu ini wajahnya manis sekali, gerak-geriknya lincah
dan sedikit lebih genit dari pada kakak-kakaknya. Mereka semua merupakan
ahli-ahli pedang yang lihai dan jarang mereka itu bergerak sendiri-sendiri,
tentu selalu berempat.
Di dalam
kereta Sang Pangeran menghadapi tiga orang wanita itu. Beberapa saat lamanya
dia memandang tajam kepada mereka tanpa kata-kata. Dan tiga orang wanita itu,
yang oleh orang-orang kang-ouw dinamakan iblis-iblis betina, orang-orang yang
sudah terbiasa dengan segala perbuatan kejam, yang dapat membunuh orang tanpa
berkedip mata, kini lebih banyak menundukkan muka, tidak dapat bertahan lama
menentang pandang mata Pangeran muda itu.
Sikap
Pangeran ini sungguh amat mengagumkan dan menimbulkan rasa segan dan takut.
Sikap yang sedikit pun tidak membayangkan rasa takut atau khawatir, bahkan dari
sepasang mata yang tajam dan jernih itu terdapat pandangan seperti orang dewasa
melihat tingkah laku anak-anak nakal, bibirnya mengandung senyum bertoleransi
besar, seolah-olah dia maklum sudah mengapa anak-anak di depannya itu berbuat
nakal seperti itu dan sudah siap untuk memaafkan!
Akhirnya,
menghadapi tiga orang wanita yang duduk bersila di depannya, yang hampir tak
berani lagi mengangkat muka memandangnya karena tanpa setahunya ada wibawa
keluar dari dirinya, Sang Pangeran berkata, suaranya halus namun mengandung
nada teguran.
“Bukankah
kalian berempat ini dulu pernah menjadi pengawal-pengawal dari mendiang
Sam-thaihouw?”
Tiga orang
wanita itu mengangkat kepala untuk saling pandang dan mereka itu nampak bingung
dan gugup, akan tetapi terpaksa A-hui, sebagai seorang pertama yang memimpin,
memberanikan hatinya yang berdebar untuk mengangkat muka memandang wajah
Pangeran itu. “Benar, Pangeran....,“ jawabnya, suaranya lirih. Akan tetapi
setelah ia memandang mata yang tajam dan peramah itu, keberaniannya mulai
timbul kembali dan ia mulai tersenyum manis.
Pangeran
Kian Liong yang tahu bahwa tiada gunanya lagi baginya untuk menyamar, karena
empat orang wanita ini sudah mengenalnya, lalu melepaskan topengnya, yaitu
topeng penutup muka dan kepalanya. Kepala gundul itu pun berubahlah menjadi
kepala yang berambut hitam tebal, dan nampaklah wajahnya yang asli, wajah
seorang pemuda tampan.
Dan kini
A-hui dan dua orang adiknya memandang kagum. Sinar matahari pagi telah
menerobos masuk ke dalam kereta melalui celah-celah jendela kereta, dan melihat
pemuda yang tampan dan berwibawa, yang sedikit pun tidak memperlihatkan rasa
takut itu, diam-diam mereka kagum dan tunduk sekali. Pangeran Kian Liong
menanggalkan pula jubah pendeta dan kini sepenuhnya dia telah menjadi pangeran
kembali, sungguh pun dia masih mengenakan sepatu pendeta karena sepatunya
sendiri telah dipakai oleh Yu Hwi.
“Nah,
katakan, apa maksud kalian melarikan aku ini? Apa yang kalian kehendaki
dariku?”
Pertanyaan
yang diajukan dengan kata-kata yang jelas, dengan suara yang tenang dan pandang
mata yang tajam itu membuat A-hui nampak gugup.
“Kami....
kami....“ dan ia tak mampu melanjutkan kata-katanya, mukanya sebentar pucat
sebentar merah.
Hal ini
tidaklah mengherankan. Orang yang baginya penuh keinginan, penuh dengan ambisi,
adalah orang yang tidak bebas sehingga gerak-geriknya tidak lagi dapat tenang
dan wajar, melainkan setiap gerak-geriknya dipengaruhi oleh keadaan batinnya
yang penuh keinginan itu. Orang yang demikian inilah yang selalu menjilat-jilat
di depan orang yang lebih tinggi atau yang dianggap lebih tinggi, dan selalu
bersikap kejam dan menghina terhadap orang yang dianggap lebih rendah.
“Kalian
disuruh oleh orang-orangnya mendiang Sam-thaihouw untuk menculikku dan kemudian
membunuhku?” Pangeran Kian Liong membentaknya, suaranya masih tenang, sedikit
pun tidak nampak rasa takut pada wajahnya.
“Ahh, tidak!
Tidak sama sekali, Pangeran,” jawab A-hui. “Sesungguhnya.... kami.... ehh,
menyelamatkan Paduka dari cengkeraman beberapa golongan yang memperebutkan
Paduka. Guru-guru kami sendiri tidak tahu bahwa kami sudah berhasil....
berhasil menyelamatkan Paduka.”
Pangeran Kian
Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau percaya begitu saja kepada
mereka ini. Dari kerling dan senyum mereka, dia tahu orang-orang macam apa
adanya wanita-wanita ini. Ada kecabulan dan kegenitan membayang di dalam sinar
mata dan senyum mulut mereka. Ada ketamakan besar terbayang dalam sinar mata
itu.
“Hemm,
begitukah? Ceritakan apa yang terjadi, dan mengapa kalian menyelamatkan aku,
dan menyelamatkan dari apa?”
Setelah
menarik napas panjang dan batuk-batuk kecil beberapa kali, menenangkan hatinya,
akhirnya A-hui dapat bercerita dengan lancar, dengan sikap yang manis sekali.
“Pangeran, setelah mendiang Sam-thaihouw meninggal, kami keluar dari istana.
Para suhu kami, yaitu Im-kan Ngo-ok, masih terus berhubungan dengan para kaki
tangan Sam-thaihouw, akan tetapi kami tidak lagi. Memang benar bahwa guru-guru
kami menghendaki kami mengamat-amati Paduka dan membantu mereka untuk memberi
laporan dan menanti saat baik agar mereka dapat menangkap Paduka. Dan memang
kami yang melaporkan kepada mereka bahwa Paduka berada di Pao-ci, menyamar
sebagai pemuda biasa dan bermalam di Kuil Hok-te-kong. Akan tetapi ketika kami
melihat guru-guru kami berniat buruk terhadap Paduka, dan ketika guru-guru kami
sedang berhadapan dengan orang-orang sakti yang sedang memperebutkan Paduka,
yaitu di antara mereka adalah kaum patriot yang membenci Paduka karena
kebangsaan Paduka, dan juga orang-orang kang-ouw yang sakit hati terhadap Sri
Baginda Kaisar, maka kami mengambil jalan sendiri. Kami melihat Paduka
dilarikan seorang hwesio tinggi besar yang amat lihai. Kami dapat menduga bahwa
hwesio yang dipanggul itu tentulah Paduka, karena tadinya, hwesio yang mirip
penyamaran Paduka adalah seorang hwesio Siauw-lim-pai yang pandai. Maka ketika
Paduka ditinggal seorang diri, adik kami A-Ciu lalu melarikan Paduka, sedangkan
kami bertiga bersiap di sini dengan kereta.”
Sang
Pangeran mengangguk-angguk. Tentu saja dia maklum sekali bahwa di balik semua
itu terkandung keinginan pribadi dari empat orang ini, karena sungguh sangat
tidak boleh jadi kalau perbuatan mereka itu semata-mata hendak ‘menolong’
dirinya, melainkan hanya merupakan suatu cara untuk mencapai apa yang mereka
lnginkan darinya, tentu saja!
“Sekarang,
setelah kalian dapat membawaku, lalu apa yang hendak kalian lakukan? Ke mana
kalian hendak membawaku pergi?”
“Paduka
masih terancam, karena orang-orang sakti dari beberapa golongan itu tentu masih
akan terus mencari Paduka dan kalau mereka itu menemukan kami, tentu saja kami
tidak mungkin akan dapat melawan mereka. Di antara mereka itu terdapat golongan
guru-guru kami pula! Maka, harap Paduka suka ikut bersama kami dan akan kami
sembunyikan di suatu tempat. Setelah keadaan mereda dan aman, barulah kami akan
mengantar Paduka kembali ke kota raja dengan selamat.”
Sebelum
memasuki kota Thian-sui, kereta itu membelok ke kanan dan di lembah Sungai
Cing-ho mereka menuju ke sebuah pondok tua yang terpencil dan keadaan
sekeliling tempat itu sunyi sekali. Namun ketika Pangeran dipersilakan masuk,
ternyata pondok itu di sebelah dalamnya bersih dan baru saja dicat, dengan
perabot sederhana tapi serba baru dan bersih. Agaknya, empat orang wanita ini
memang sudah mempersiapkan tempat itu kalau-kalau mereka berhasil menguasai
Pangeran dan secara cerdik mereka yang pura-pura membantu guru-guru mereka itu
ternyata mempunyai rencana sendiri.
Ternyata
bukan hanya isi pondok itu saja yang sudah mereka persiapkan, bahkan di situ
terdapat bahan-bahan masakan sehingga ketika mereka semua sudah memasuki pondok
dan kereta disembunyikan di belakang pondok, empat orang wanita itu sibuk
masak-masak sambil bernyanyi dan bersendau-gurau, membiarkan Sang Pangeran
beristirahat di dalam sebuah kamar yang cukup bersih pula.
Akhirnya
mereka berkumpul lagi di tengah pondok, di mana telah diatur meja makan bundar
dan masakan-masakan yang masih mengepul panas memenuhi meja.
“Silakan
makan dahulu, Pangeran!” kata mereka sambil tersenyum manis. Ada yang
menuangkan air teh panas, ada yang mengambilkan masakan dan lain-lain.
Pendeknya,
Sang Pangeran dilayani dengan manis budi oleh mereka. Pangeran Kian Liong juga
menerima pelayanan itu tanpa banyak komentar, karena dia merasa lapar dan
Pangeran ini makan dan minum tanpa sungkan lagi.
Setelah
selesai makan dan meja dibersihkan, barulah Pangeran Kian Liong bertanya kepada
empat orang wanita itu, yang kini telah membersihkan diri dan bertukar pakaian
baru, bahkan A-ciu yang tadinya menyamar sebagai seorang pemuda itu kini
ternyata merupakan wanita yang tercantik di antara mereka.
“Nah,
sekarang katakanlah kepadaku. Mengapa kalian mau bersusah-payah hendak
menolongku? Bukankah kalian ini bekas kaki tangan Sam-thaihouw yang selalu
memusuhiku? Apa pamrih kalian yang bersembunyi di balik kebaikan kalian ini?
Kalian menghendaki hadiah dariku?”
Keempat
orang wanita itu saling pandang, kemudian A-hui, sebagai yang tertua dan pemimpin
mereka, dengan sikap manis berkata, “Terus terang saja, Pangeran, memang kami
berempat mengharapkan anugerah Paduka, maka kami mati-matian menentang
orang-orang sakti dan berani merebut dan menyelamatkan Paduka dari ancaman
mereka.”
“Hemm,
anugerah apa yang kalian kehendaki dariku?” Pangeran itu bertanya, tidak merasa
heran karena memang sudah diduganya bahwa mereka ini tidak mungkin menolongnya
tanpa pamrih. “Uang?”
“Tidak,
Pangeran. Kami tidak membutuhkan uang. Kami hanya menghendaki agar.... Pangeran
mengambil kami sebagai selir-selir Paduka.”
“Ahhh....?”
Wajah Pangeran itu berubah merah, karena malu dan juga marah. “Apa.... apa
alasannya maka kalian ingin menjadi selir-selirku?”
“Sejak lama
kami berempat merasa amat kagum kepada Paduka, dan mencinta.... dan kami baru
akan merasa berbahagia kalau dapat menjadi selir-selir Paduka yang selalu
melayani Paduka dengan penuh kasih sayang....,“ kata pula A-hui dengan sikap
manis.
Hampir-hampir
saja Pangeran Kian Liong tertawa bergelak mendengar ucapan yang dikeluarkan
dengan suara halus ini. Tentu saja isi hati wanita-wanita itu sudah jelas
nampak olehnya.
“Hemm,
kalian tidak menghendaki uang karena kalian akan mudah saja memperoleh uang
kalau kalian kehendaki, maka kalian menginginkan agar memperoleh kedudukan
tinggi, dan kelak mungkin akan menjadi seperti Sam-thaihouw, mempunyai
kekuasaan besar di istana, Begitukah?”
“Terserah
penilaian Paduka. Tapi itulah kehendak kami, yaitu menjadi selir-selir Paduka
sebagai imbalan atas pertolongan kami hari ini kepada Paduka, telah
menyelamatkan Paduka dari ancaman maut di tangan musuh-musuh Paduka.”
“Kalau aku
tidak mau memenuhi kehendakmu menjadi selir-selirku itu?”
“Mau tidak
mau Paduka harus memenuhi keinginan kami,” kata A-hui sambil tersenyum. “Ingat,
Paduka berada di tangan kami, dan betapa mudahnya bagi kami untuk membunuh
Paduka sekarang juga kalau kami kehendaki!” kata A-Ciu, wanita termuda yang
tadi menyamar sebagai pria.
Sang
Pangeran tersenyum. “Mengancam lagi. Hehh, perempuan-perempuan bodoh, apakah
kalian kira aku takut mati? Kalau aku takut mati, tak mungkin aku berada di
sini. Entah sudah berapa puluh kali kematian mengancamku. Dan tidak ada seorang
pun di dunia ini yang dapat memaksaku melakukan sesuatu yang tidak kusukai.”
Empat orang
wanita itu saling pandang dan mereka merasa gelisah juga melihat sikap yang
tenang sekali dari Pangeran muda itu. Mereka seperti dapat merasakan bahwa
seorang pangeran seperti ini tidak mungkin diancam dan dipaksa, maka jalan
satu-satunya adalah bersikap manis dan membujuknya sampai berhasil.
“Harap
Paduka maafkan kami, Pangeran,” tiba-tiba A-bwe, orang ke tiga yang berbaju
biru berkata halus. “Tentu saja kami tidak akan berani mengganggu seujung
rambut pun dari Paduka. Akan tetapi, sementara ini Paduka hanya tinggal bersama
kami di sini, karena musuh-musuh Paduka masih berkeliaran mencari-cari Paduka.”
Pangeran
Kian Liong maklum bahwa orang-orang seperti mereka ini tidak akan segan-segan
untuk melakukan kekerasan, bahkan mungkin saja membunuhnya. Dia pun bukan orang
bodoh yang nekat dan membiarkan mereka membunuhnya begitu saja. Dia harus
mencari kesempatan untuk membebaskan diri atau menanti sampai ada orang gagah
yang membebaskannya dari tangan empat wanita ini. Sementara itu, dia harus
bersabar, walau pun ini bukan berarti bahwa dia akan merendahkan diri dan
menuruti kemauan mereka.
“Boleh saja
aku tinggal di sini asal kalian menyediakan kebutuhanku.”
“Apa
kebutuhan Paduka?”
“Buku bacaan
yang baik, sejarah-sejarah kuno dan kitab-kitab syair. Makan minum tiap hari
yang cukup pantas, kemudian, jangan kalian menggangguku dan membiarkan aku
sendirian membaca kitab.”
“Baiklah,
Pangeran,” kata A-hui sambil berkedip kepada tiga orang adiknya, karena ia tahu
bahwa terhadap seorang pangeran muda yang luar biasa ini mereka harus pandai
bersiasat dan tidak bersikap kasar.
Biarlah Sang
Pangeran merasa tenang dulu, hilang marahnya terhadap mereka dan perlahan-lahan
mereka berempat akan dapat membujuk dan merayunya. Seorang pria muda seperti
itu, mustahil tidak akan jatuh menghadapi rayuan maut mereka berempat, apa lagi
kalau dibantu dengan obat-obat perangsang yang dapat dengan mudah mereka
campurkan di dalam makanan untuk Sang Pangeran.
Demikianlah,
Sang Pangeran Mahkota disembunyikan oleh empat orang wanita itu tanpa ada yang
mengetahuinya dan semua pencarian yang dilakukan oleh orang-orang berilmu
tinggi itu, baik golongan yang memusuhi Pangeran dan hendak membunuhnya,
golongan patriot yang hendak menawannya, mau pun golongan pendekar yang hendak
melindunginya, menjadi sia-sia belaka. Dan tersiarlah berita bahwa Pangeran
Mahkota telah lenyap dari kota Pao-ci tanpa meninggalkan jejak dan berita ini
yang pernah dibicarakan oleh para pimpinan Kun-lunpai kepada Suma Kian Bu, Teng
Siang In dan Bu Ci Sian.
Berita ini
pula yang membuat para pimpinan Kun-lun-pai mengutus murid Kun-lun-pai yang
pada waktu itu dianggap paling boleh diandalkan, yaitu seorang pemuda bernama
Cia Han Beng, untuk mewakili Kun-lun-pai dan ikut mencari Sang Pangeran. Tentu
saja pencarian dari pihak Kun-lun-pai ini mengandung maksud lain lagi.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang
gagah yang patriotik, maka kalau mereka mencari Pangeran Mahkota, tentu
dasarnya lain dan untuk kepentingan usaha mereka yang selalu ingin membebaskan
bangsa dari cengkeraman penjajah. Dan wakil mereka, yaitu pemuda Cia Han Beng,
adalah seorang pemuda yang disakitkan hatinya oleh Kaisar Yung Ceng. Ayahnya
dibunuh dan ibunya dijadikan selir Kaisar! Biar pun dendam telah dienyahkan
dari batinnya, yaitu dendam pribadi, diisi dengan cita-cita patriotik untuk
bangsanya, namun setidaknya peristiwa itu mempertebal sikapnya memusuhi pihak
penjajah yang pada waktu itu dipimpin oleh Kaisar yang telah menghancurkan
kelurga orang tuanya.
Dengan
berita tentang hilangnya Pangeran Kian Liong, maka bermunculanlah tokoh-tokoh
kang-ouw yang sakti dan mereka ini dapat dibagi menjadi empat golongan.
Golongan
pertama adalah golongan yang hendak menangkap dan bahkan membunuh Sang
Pangeran, yaitu mereka yang dulunya menjadi anak buah Sam-thaihouw seperti
Im-kan Ngo-ok dan yang lain-lain. Golongan ke dua adalah para patriot yang
selain hendak menyelamatkan Pangeran yang dianggapnya baik dan menguntungkan
rakyat jikalau menjadi kaisar kelak, juga hendak mereka jadikan semacam sandera
untuk memaksa Kaisar memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.
Golongan ke
tiga adalah golongan para pembela Pangeran, yaitu selain para pembela resmi,
tokoh-tokoh pembesar dan pengawal kerajaan, juga para rendekar yang tulus
mencinta Pangeran itu dan hendak menyelamatkannya dari ancaman bahaya
musuh-musuhnya tentu saja, sedangkan golongan ke empat adalah golongan
orang-orang seperti Cu Kang Bu dan Yu Hwi, yaitu yang membela Pangeran sebagai
pendekar-pendekar yang tidak ingin melihat perbuatan jahat dilakukan di depan
mereka tanpa mereka menentangnya.
Su-bi Mo-li,
empat orang wanita cantik itu, telah melakukan penyelewengan besar dan berbahaya
sekali. Mereka berempat telah berani mengkhianati atau menyeleweng dari
perintah lima orang Im-kan Ngo-ok, guru-guru mereka. Mereka telah membelakangi
lima orang tokoh datuk besar itu dan tidak peduli lagi akan bahaya besar yang
mengancam mereka kalau sampai perbuatannya ketahuan.
Semua
penyelewengan bentuk apa pun juga didasari karena pengejaran akan sesuatu yang
menyenangkan. Itulah yang membuat kita kadang-kadang menjadi buta, tidak
mengenal bahaya, seperti sekelompok laron yang tertarlk oleh sinar api sehingga
tidak tahu akan bahaya dan akhirnya mati terbakar api itu sendiri.
Mengapa
setiap kesibukan kita, setiap tindakan kita, selalu menyembunyikan sesuatu
pamrih untuk mencapai sesuatu yang kita anggap membahagiakan? Mengapa kita
selalu membayangkan telah melihat kebahagiaan tersembunyi di balik sesuatu
sehingga kita mengejar-ngejar sesuatu itu dan berani mempertaruhkan
segala-galanya untuk mengejar ini?
Kita bisa
saja memberi nama yang muluk-muluk kepada pengejaran ini. Namakanlah ia cita-cita,
ambisi dan sebagainya. Berilah alasan muluk-muluk pula bahwa pengejaran ini,
cita-cita ini yang akan mengatakan kemajuan sukses, dan sebagainya. Namun dari
manakah timbulnya pengejaran ini? Pengejaran ini timbul karena adanya suatu
tujuan, suatu titik di ‘sana’ yang kita anggap sebagai sesuatu yang akan
mendatangkan kesenangan. Keinginan mencapai tujuan yang dianggap menjadi sumber
kesenangan tertentu inilah yang melahirkan pengejaran. Ada yang mengejar-ngejar
harta benda. Ada yang mengejar-ngejar kedudukan. Tentu saja dengan anggapan
bahwa harta benda atau kedudukan itu akan mendatangkan kesenangan yang
kadang-kadang dipandang sebagai kebahagiaan.
Benarkah
kita akan bahagia jika sudah memperoleh apa yang kita kejar itu? Kepuasan
karena terpenuhinya keinginan sesaat itu memang mungkin akan kita rasakan, akan
tetapi kepuasan seperti itu sama sekali bukanlah kebahagiaan. Kesenangan itu
hanya bertahan sebentar saja. Segera akan terganti oleh kebosanan, dan kita
akan melihat kenyataan bahwa yang tadinya dikejar-kejar dan kini sudah terdapat
itu ternyata tidaklah seindah seperti yang kita gambarkan semula ketika kita
masih mengejarnya! Dan kita sudah dicengkeram oleh pengejaran akan sesuatu yang
lain lagi, yang lebih indah lagi menurut pandangan kita, dan mulailah kita
terseret dan hanyut ke dalam arus keinginan yang tidak akan pernah berhenti
sebelum kita mati. Dan kekecewaan-kekecewaan, kebosanan-kebosanan silih
berganti menjadi ekor dari berhasilnya setiap pengejaran.
Ada pula
pengejaran yang tujuannya bukan hal-hal lahiriah, melainkan hal-hal batiniah.
Akan tetapi, pada hakekatnya, mengejar sorga dan mengejar uang sama saja.
Mengejar sorga pun bagaikan mengejar uang, disebabkan oleh keinginan memperoleh
sesuatu yang kita anggap menyenangkan. Semua yang dikejar itu hanyalah
kesenangan, tentu saja dapat ‘dibungkus’ dengan pakaian yang bersih-bersih dan
muluk-muluk.
Dan setiap
pengejaran tentu mendatangkan konflik, karena pengejaran itu sendiri sudah
merupakan hasil dari konflik, yaitu tidak puas dengan apa adanya dan
menginginkan sesuatu yang belum ada. Pengejaran pasti menimbulkan kekerasan,
karena dalam pengejaran kita akan menghalau segala sesuatu yang kita anggap
sebagai perintang. Juga akan mendatangkan penyelewengan, karena kita ingin
secepatnya memperoleh yang kita kejar, dengan cara apa pun juga. Dari sini
timbullah penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan.
Kita selalu
haus akan kebahagiaan, karena kita merasa tidak bahagia! Kita selalu jauh
memandang ke depan, dengan anggapan bahwa disanalah terdapat kebahagiaan! Semua
ini membuat kita menjadi lengah. Kenapa kita tidak mau membuka mata dan
menghadapi saat ini, sekarang ini, menyelidiki yang di sini, dan tidak terbuai
oleh khayal dari keinginan akan hal-hal yang belum ada? Mengapa menujukan pandang
mata ke seberang sana dan tidak pernah mau mengamati seberang sini?
Memang lucu
dan menyedihkan sekali hal ini. Kita dapat melihat hal ini tergambarkan jelas
oleh keadaan orang-orang yang suka memancing ikan. Mereka yang duduk di
seberang sana melempar kail mereka sejauh mungkin mendekati seberang sini
dengan anggapan bahwa di seberang sinilah terdapat ikan terbanyak. Sebaliknya
yang duduk di seberang sini berusaha melemparkan kailnya sejauh mungkin
mendekati seberang sana dengan pendapat yang sama, yaitu di seberang sanalah
terdapat ikan terbanyak! Perangai seperti inilah yang membuat mata kita selalu
melihat bunga di kebun orang lebih indah dari pada bunga di kebun sendiri!
Padahal,
kebahagiaan hanya terdapat dalam saat demi saat sekarang, bukan terdapat dalam
masa depan. Namun, kita tidak pernah mau menyelidiki kenyataan ini. Pikiran
kita selalu penuh dengan kenangan masa lalu dan bayangan-bayangan masa depan,
membuat kita buta terhadap saat itu!
Su-bi Mo-li
sudah mempersiapkan segala-galanya demi berhasilnya usaha mereka. Mereka
bercita-cita untuk menjadi selir Pangeran, agar kelak dapat menjadi selir-selir
Kaisar! Dan mereka sudah merasa yakin akan hasil usaha mereka ini. Maka mereka
memperlakukan Pangeran dengan manis budi, setiap hari berusaha membujuk dan
merayu Pangeran Kian Liong. Mereka bahkan secara diam-diam memberi obat-obat ke
dalam makanan Pangeran itu. Dan semua ini tentu saja berhasil.
Sang
Pangeran mulai merasakan adanya rangsangan birahi yang hebat, yang setiap hari
semakin memuncak. Hal ini menyiksanya dengan hebat. Namun, Pangeran ini adalah
seorang pemuda yang luar biasa, seorang laki-laki sejati yang tidak lemah, dan
betapa pun hebat tubuhnya terpengaruh obat perangsang itu, namun batinnya masih
kuat dan ia tak pernah mau tunduk! Obat perangsang itu hanya mampu mempengaruhi
tubuhnya namun tidak dapat menodai batinnya, sehingga betapa pun empat orang
wanita itu merayunya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan menolak kehendak
mereka yang bermaksud menjerumuskannya ke dalam perjinahan dengan mereka!
Melihat
kekerasan hati Pangeran yang sukar diluluhkan ini, Su-bi Mo-li menjadi kecewa
sekali. Akan tetapi mereka tidak berani menambah obat-obat perangsang itu
karena obat-obat itu kalau terlalu banyak dapat menjadi racun yang akan membunuh
Sang Pangeran. Maka, oleh kegagalan bujuk rayu ini mereka mengatur rencana
lain.
“Pangeran
yang keras kepala itu sukar ditundukkan,” kata A-hui pada saat berunding dengan
adik-adiknya. “Kita sudah terlanjur bertindak sendiri. Tidak ada lain jalan
lagi, kita harus mempergunakannya sebagai jalan untuk memperoleh pengampunan
dan memperoleh kedudukan dari Kaisar!”
“Ahh, apa
yang kau maksudkan, Toaci?” tanya A-ciu terkejut.
“Maksudku?
Tiada lain jalan, kita harus menghadap Kaisar, menceritakan bahwa kita telah
berhasil menyelamatkan Pangeran dari cengkeraman maut dan untuk itu kita selain
minta diampuni sebagai bekas orang-orang Sam-thaihouw, juga minta diberi
kedudukan, kalau mungkin sebagai orang dalam istana!”
“Aihh, ngeri
aku kalau harus menghadap Kaisar!” kata A-ciu yang tahu bahwa Kaisar bukan
orang sembarangan. Betapa dengan gerakan jarinya saja Kaisar bisa menyuruh
tangkap dan membunuh mereka seketika tanpa ada setan yang akan menyelamatkan
mereka.
“Kita akan
ditangkap dan dibunuh!” kata pula A-bwee, orang ke tiga dengan wajah berubah
pucat.
“Tapi, Toaci
berkata benar,” kata A-kiauw, orang ke dua. “Apakah kalian lebih senang kalau
bertemu dengan para suhu dan tewas di tangan mereka?”
Dua orang
adiknya bergidik. Mati di tangan guru mereka, apalagi di tangan Ngo-ok, sungguh
mengerikan sekali.
“Tiada
pilihan lain bagi kita,” kata A-hui, “Bertemu para suhu, kita akan celaka. Akan
tetapi kalau menghadap Kaisar dengan membawa Pangeran, masih ada harapan bahwa
permohonan kita akan terkabul. Betapa pun juga, Sang Pangeran tentu akan
menolong dan melindungi kita, bukankah kita selalu bersikap baik kepadanya?”
Para
sumoi-nya setuju mendengar ucapan A-hui ini, dan pula memang mereka tidak
mempunyai pilihan lagi yang lebih baik. Maka beramai-ramai mereka lalu
menghadap Pangeran Kian Liong.
Sang
Pangeran yang sedang asyik membaca kitab itu memandang kepada mereka dan
mengerutkan alisnya.
“Hemm, Su-bi
Mo-li, kalian hendak melakukan apa lagi terhadap diriku?”
Seperti
telah disetujui bersama, A-hui dan para sumoi-nya lalu menjatuhkan dirinya
berlutut menghadap Sang Pangeran. Pangeran Kian Liong terheran. Memang
biasanya, empat orang wanita ini selalu bersikap baik, manis, bahkan
kadang-kadang terlalu manis dan genit, bersikap membujuk dan merayunya. Akan
tetapi belum pernah mereka memperlihatkan sikap begitu menghormat, apa lagi
sampai berlutut seperti sekarang. Tahulah Sang Pangeran yang cerdas ini bahwa
tentu ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap ini, maka dia pun bersikap
waspada sungguh pun dia masih tetap nampak tenang-tenang saja.
“Hamba
berempat memohon ampun kepada Thaicu (Pangeran Mahkota) kalau ada kesalahan
hamba sekalian selama hamba menyembunyikan dan melindungi Paduka di tempat
ini,” kata A-hui mewakili adik-adiknya.
Pangeran
Kian Liong tersenyum. Sikap dan ucapan ini menunjukkan bahwa mereka ini agaknya
sudah kehilangan akal kehabisan daya untuk merayunya, maka dengan cerdik mereka
sebelumnya telah memohon ampun dan menonjolkan jasa mereka yang telah
‘melindunginya’. Akan tetapi hal itu saja sudah membuat hatinya merasa lega.
Agaknya dia tidak akan terganggu lagi oleh rayuan-rayuan mereka, pikirnya.
“Kalau
memang kalian merasa telah melakukan sesuatu kesalahan, sadar akan kesalahan
itu dan tidak melakukan lagi, maka itulah yang terutama. Bertobat jauh lebih
penting dari pada minta maaf.” Lalu dia memandang tajam dan bertanya,
“Sekarang, apakah selanjutnya yang akan kalian lakukan terhadap diriku?”
“Hamba
bermaksud untuk mengantar Paduka kembali ke istana Paduka di kota raja dengan
naik kereta. Akan tetapi, mengingat bahwa hamba berempat pernah membantu
mendiang Sam-thaihouw, maka hamba merasa takut kepada Sri Baginda Kaisar.
Siapakah yang akan dapat melindungi hamba sekalian di kota raja kecuali Paduka
Thaicu yang bijaksana dan budiman? Oleh karena itu, hamba sekalian menyerahkan
mati hidup hamba di tangan Paduka dan mohon Paduka sudi melindungi kami atas
kemarahan Sri Baginda Kaisar kepada hamba berempat nanti.”
Pangeran
Kian Liong mengangguk-angguk. “Permintaan kalian cukup pantas, akan
kupertimbangkan kalau kita sudah tiba di kota raja dengan selamat.”
Biar pun
jawaban Sang Pangeran itu belum meyakinkan, namun empat orang wanita itu sudah
merasa lega. Mereka sudah tahu akan kebijaksanaan dan kemurahan hati Pangeran
ini, maka Pangeran Mahkota yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang
pangeran yang budiman ini tentu tidak akan menarik kembali janjinya. Dan memang
sikap mereka kini menjadi baik sekali, penuh hormat dan kegenitan mereka pun
lenyap.
Malam itu
mereka menjamu Pangeran dengan masakan-masakan bersih dan lezat, dan pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka telah mempersiapkan kereta dan
mempersilakan Sang Pangeran naik ke dalam kereta, ditemani oleh tiga orang di
antara mereka, sedangkan A-ciu yang sudah menyamar sebagai seorang pria, duduk
di tempat kusir.
Maka
berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu untuk mengawal Sang Pangeran kembali
ke kota raja. Tentu saja sebelumnya mereka telah melakukan penyelidikan dan
melihat bahwa keadaan telah menjadi tenang dan dingin kembali, dan tidak nampak
ada orang-orang sakti yang berkeliaran di sekitar daerah itu.
Perjalanan
ini dilakukan melalui lembah Sungai Huang-ho yang subur. Di sepanjang
perjalanan, Sang Pangeran sempat mengagumi keindahan dan kesuburan tanah di
sepanjang lembah sungai ini dan merasa gembira sekali melihat hasil sawah
ladang para petani di sepanjang perjalanan itu. Su-bi mo-li juga merasa girang
dan lega karena selama melakukan perjalanan sampai selama tiga hari, tidak
pernah ada gangguan terhadap mereka dan tidak pernah mereka melihat bayangan
orang-orang sakti yang dulu pernah mencoba untuk memperebutkan Sang Pangeran di
kota Pao-ci. Namun, perjalanan menuju ke kota raja masih jauh dan mereka baru
akan merasa aman benar kalau sudah tiba di istana dan kalau Kaisar sudah
benar-benar suka mengampuni mereka.
Pada hari ke
empat, mereka menyeberangi Sungai Huang-ho. Dengan dua buah perahu besar,
mereka membawa kereta menyeberang, dan setelah tiba di seberang, mereka
melanjutkan perjalanan memasuki daerah Propinsi Shan-si, dengan maksud menuju
ke kota besar Tai-goan. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di jalan
yang di kanan kirinya diapit oleh padang rumput yang luas.
Daerah ini
merupakan daerah rawa sehingga tidak mudah ditanami oleh para petani. Karena
agak rendah maka sering digenangi air sungai kalau sedang naik. Maka yang
tumbuh di situ hanya rumput yang membentuk daerah itu menjadi padang rumput
yang luas. Akan tetapi jalan itu menuju ke sebuah bukit yang menjanjikan
suasana lebih menyenangkan, dengan kehijauan pohon-pohon yang telah nampak dari
padang rumput itu.
“Kita
berhenti mengaso di bukit itu,” kata Pangeran Kian Liong setelah dia menyingkap
tirai depan. “Aku sudah merasa lelah dan lapar.”
“Baik,
Pangeran,” jawab A-hui cepat dan ia menyuruh adiknya, A-ciu yang menjadi kusir
itu untuk mempercepat jalannya kereta sampai ke bukit di depan.
Pagi tadi
mereka sudah menukar kuda mereka dengan kuda-kuda baru yang segar dan kuat,
maka perjalanan itu dapat dilanjutkan dengan cepat. Kalau tadi di tepi sungai
masih nampak banyak orang, kini makin lama jalan yang mereka lalui menjadi
semakin sepi dan akhirnya setelah kereta tiba di bukit dan memasuki daerah
berhutan, tak nampak ada seorang pun manusia kecuali mereka berlima.
Pada saat
melihat ada sebatang pohon besar yang daunnya amat rindang di tepi jalan, A-ciu
menghentikan keretanya dan mereka lalu mempersilakan Pangeran Kian Liong untuk
beristirahat dan menyuguhkan makan minum kepadanya. Semua ini dilakukan di
dalam kereta saja, karena demi menjaga keamanan Sang Pangeran sendiri, Pangeran
itu diminta agar tetap tinggal di dalam kereta dan tidak memperlihatkan dirinya.
Bahkan tiga orang wanita itu pun hanya berani keluar kalau tidak ada orang
lain. Mereka ini juga menyembunyikan diri di dalam kereta, dan hanya A-ciu
seorang, yang telah menyamar sebagai seorang pemuda, yang berani memperlihatkan
diri di atas tempat duduk kusir.
Mereka makan
bersama. Tiga orang wanita bersama Pangeran Kian Liong di dalam kereta
sedangkan A-ciu yang berpakaian pria itu di atas kereta, di tempat duduk kusir.
Dengan ramah dan sopan, penuh hormat, tiga orang wanita itu melayani Pangeran Kian
Liong makan minum, dan Pangeran yang sudah merasa lelah dan lapar itu pun tidak
malu-malu lagi, makan dengan enaknya.
Tiba-tiba
terdengar teriakan mengerikan dan kereta itu berguncang. Pangeran Kian Liong
hendak menyingkap tirai, akan tetapi lengannya di pegang oleh A-bwee, sedangkan
A-hui sendiri lalu mengintai dari balik tirai. Wanita itu hampir menjerit dan
menutup mulut dengan tangannya ketika ia melihat bahwa A-ciu telah tewas dalam
keadaan masih duduk di tempat kusir. Darah menetes-netes turun dari sebuah
lubang di pelipis kepalanya!
Tentu saja
A-hui terkejut, juga kedua orang adiknya yang sudah ikut mengintai. Mereka
bertiga berloncatan keluar dengan marah bukan main melihat betapa adik
seperguruan mereka yang paling muda itu telah dibunuh orang! Begitu melompat
keluar, mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing. Namun, ketika
nampak berkelebatnya beberapa bayangan orang, tiga orang wanita ini menjadi
pucat sekali, mata mereka terbelalak, mulut ternganga tanpa dapat mengeluarkan
suara, hanya memandang bengong kepada lima orang yang bermunculan di depan
mereka itu. Im-kan Ngo-ok!
Tentu saja
tubuh tiga orang wanita ini menggigil dan mereka merasa ketakutan saat
berhadapan dengan lima orang guru mereka yang datang dengan lengkap itu. Mereka
memang sudah saling berunding dan mengambil keputusan bahwa kalau hanya satu
atau dua di antara guru-guru mereka muncul, mereka berempat akan melakukan
perlawanan dengan nekad. Akan tetapi kini mereka berlima muncul semua! Dan di
pihak mereka, bahkan A-ciu telah di tewaskan! Apa daya mereka? Melawan? Sama
dengan membunuh diri! Maka, dengan hati penuh rasa ngeri dan takut, tiga orang
wanita itu yang merasa betapa lutut kaki menggigil dan lemas, segera
menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu
sekalian.... harap ampunkan bahwa teecu telah terlambat.... tapi.... tetapi
teecu sudah menawan Pangeran dan hendak menyerahkannya kepada Suhu....,“ kata
A-hui, mewakili dua orang adiknya yang sudah tidak mampu mengeluarkan suara
lagi itu.
“Hemm,
kalian kira kami tidak tahu bahwa kamu ingin menguasai Pangeran sendiri,
kemudian hendak membawa Pangeran ke istana di kota raja, juga demi memenuhi
keinginan kalian sendiri? Murid-murid murtad!” bentak Sam-ok.
Mendengar
ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin ketakutan dan kini mengertilah
mereka mengapa A-ciu telah dibunuh oleh para guru mereka ini. Kiranya rahasia
mereka telah diketahui oleh lima orang sakti itu! A-bwee yang mengingat betapa
Ngo-ok amat mencintanya sebagai seorang kekasih, cepat maju ke depan kaki orang
termuda dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Ngo-suhu....
ampunkan teecu....!” ratapnya.
Ngo-ok
tersenyum, lantas mengulurkan tangannya. Melihat ini, giranglah hati A-bwee.
Kalau guru ke lima ini melindunginya, agaknya masih ada harapan baginya untuk
dapat terbebas dari kematian di tangan guru-guru mereka ini. Maka ia pun dengan
manja mempergunakan kecantikannya sebagai seorang wanita, bangkit dan
menyerahkan diri ke dalam pelukan Ngo-ok, merangkul dan membelainya.
Jari-jari
tangan itu merayap ke mana-mana, sampai ke kukunya dan tiba-tiba A-bwee
mengeluarkan jeritan yang menyayat hati, tubuhnya terjengkang dan tangannya,
kanan dan kiri, berlepotan darah oleh karena kedua kuku ibu jari tangannya
telah dicabut oleh Ngo-ok! Rasa nyeri menyelinap dan menusuk-nusuk jantungnya,
membuat wanita itu merintih-rintih memelas.
Akan tetapi
lima orang datuk kaum sesat itu sama sekali tidak tergerak hatinya, sama sekali
tidak menaruh kasihan kepada bekas murid-murid mereka sendiri. Ngo-ok sudah
memasangkan kuku-kuku tadi pada tasbehnya yang aneh, tasbeh yang terbuat dari
pada ratusan kuku-kuku ibu jari para wanita yang pernah menjadi korbannya!
A-hui dan
A-kiauw yang menyaksikan peristiwa itu menjadi putus asa dan maklum bahwa
mereka tidak mungkin dapat diampuni, maka keduanya lalu meloncat dan hendak
melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, Su-ok tertawa dan bersama dengan
Sam-ok dia sudah meloncat ke depan, dan sebelum dua orang wanita itu dapat
melihatnya, mereka sudah menghadang di depan. Dua orang wanita itu menjadi
nekad, menggerakkan pedangnya untuk menyerang. Akan tetapi, beberapa jurus saja
mereka sudah roboh terguling dengan kepala pecah dan tewas seketika! Sedangkan
A-bwee yang masih belum tewas itu lalu diseret oleh Ngo-ok ke balik semak-semak
di mana Ngo-ok mempermainkan sampai akhirnya A-bwee juga tewas.
Ketika Ngo-ok
sedang melampiaskan nafsu iblisnya di balik semak-semak, empat orang datuk
lainnya menghampiri kereta. Sang Pangeran sejak tadi menonton peristiwa di luar
kereta itu dengan hati ngeri dan marah. Mengingat betapa di negerinya terdapat
orang-orang yang demikian kejamnya! Mengapa pemerintah tidak turun tangan
membasmi orang-orang yang begini jahat?
Dia
mengambil keputusan bahwa kelak, jikalau dia sudah menjadi kaisar, dia akan
mengerahkan orang-orang pandai untuk menangkapi, menghukum atau membunuh penjahat-penjahat
seperti Im-kan Ngo-ok ini, karena kalau orang-orang jahat dan kejam seperti ini
dibiarkan berkeliaran di dunia, tentu hanya akan menimbulkan
kejahatan-kejahatan yang mengerikan seperti yang ditontonnya sekarang ini.
Dalam
keadaan seperti itu, Sang Pangeran sama sekali tidak memikirkan dirinya yang
terancam bahaya maut maka dia pun sama sekali tidak merasa takut. Baru setelah
empat orang kakek itu menghampiri ke arah kereta, Sang Pangeran merasa ngeri
dan teringat bahwa Im-kan Ngo-ok itu muncul untuk menangkap dirinya!
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara berdesing nyaring sekali dan disusul oleh
teriakan Ngo-ok. Empat orang kakek itu terkejut dan cepat-cepat memutar
tubuhnya memandang ke arah semak-semak di mana tadi Ngo-ok menyeret tubuh
A-bwee yang masih merintih-rintih itu. Dan mata mereka terbelalak melihat tubuh
Ngo-ok keluar dari semak-semak dalam keadaan masih setengah telanjang dan kakek
tosu yang bertubuh jangkung ini mendekap dadanya yang mengucurkan darah, terus
mundur terhuyung. Dari semak-semak itu keluar seorang pemuda yang bertubuh
tinggi tegap, bersikap gagah sekali, memegang sebatang pedang yang mengeluarkan
cahaya kemerahan, dan memiliki sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa
pemuda itu adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda ini bukan
lain adalah Cia Han Seng!
Seperti kita
ketahui, pemuda ini adalah murid Kun-lun-pai yang menerima pendidikan langsung
dari Ketua Kun-lun-pai Thian Heng Tosu dan merupakan satu-satunya murid
Kun-lun-pai yang mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari tosu pertapa Ketua Kun-lun-pai
itu. Thian Heng Tosu memang sengaja memilih pemuda ini mewakili Kun-lun-pai
melaksanakan cita-cita Kun-lun-pai yang berjiwa patriot, yaitu menentang
pemerintah penjajah dan membantu para pendekar Siauw-lim-pai yang telah
dimusuhi oleh Kaisar itu. Dan tugas pertama dari Cia Han Beng adalah ikut
menyelidiki dan mencari Pangeran Kian Liong yang dikabarkan hilang di kota
Pao-ci itu.
Ketika Cia
Han Beng tiba di tempat itu dan melihat Su-bi Mo-li dibunuh oleh guru-guru
mereka sendiri, dia tidak mau mencampurinya. Dia hanya ingin melindungi
Pangeran yang diduganya tentu berada di dalam kereta itu setelah dia mendengar
percakapan antara Im-kan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li. Akan tetapi, ketika dia
melihat Ngo-ok di belakang semak-semak sedang mempermainkan seorang di antara
Su-bi Mo-li, pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Bagaimana pun
jahatnya, Su-bi Mo-li adalah wanita-wanita dan melihat A-bwee yang sudah
setengah mati itu dipermainkan secara biadab oleh Ngo-ok sampai mati di
belakang semak-semak, Han Beng segera menerjang dan menyerang dengan pedangnya!
Serangan Han
Beng itu hebat bukan main, dengan jurus rahasia dari Kun-lun-pai. Dan Ngo-ok,
seperti biasa, memandang rendah kepada pemuda yang tak pernah dikenalnya ini,
maka dia pun menghadapi serangan itu dengan seenaknya saja. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu pedang itu menerobos dan menusuk
dadanya! Dia mengerahkan sinkang-nya, namun ternyata tenaga yang dipakai untuk
menusuk itu pun kuat bukan main sehingga dia baru dapat melepaskan diri setelah
pedang itu menusuk cukup dalam, membuat dia terhuyung-huyung ke belakang dan
mengeluarkan teriakan kesakitan.
Melihat
betapa Ngo-ok agaknya terluka parah oleh pemuda yang tak terkenal itu, empat
orang datuk menjadi marah bukan main. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda
ini merupakan seorang di antara pendekar yang melindungi Pangeran, maka Su-ok
dan Sam-ok sudah menerjang maju dengan dahsyat. Karena mereka berdua maklum
bahwa orang yang telah melukai Ngo-ok dalam waktu sesingkat itu tentu memiliki
kepandaian tinggi, maka keduanya sudah menerjang dengan pengerahan sinkang
sekuatnya dan begitu menerjang mereka pun sudah mengeluarkan ilmu mereka yang
paling hebat. Sam-ok sudah mengeluarkan Ilmu Thian-te Hong-i, yaitu menyerang
sambil memutar-mutar tubuhnya seperti gasing itu, sedangkan Su-ok juga sudah
mempergunakan pukulan Katak Buduknya yang ampuh.
Akan tetapi
pendekar muda dari Kun-lun-pai ini adalah seorang murid yang selama
bertahun-tahun digembleng sendiri oleh Thian Heng Tosu, seorang pertapa sakti
yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas sekali dalam ilmu silat. Han Beng
mempunyai pengertian yang mendalam dari pelbagai ilmu silat tinggi, dan dari
suhu-nya dia pernah pula mendengar keistimewaan dari ilmu-ilmu seperti yang
kini dihadapinya. Gurunya pernah bicara tentang ilmu silat yang dilakukan
dengan badan berputaran itu, juga pernah bicara tentang ilmu pukulan yang
dilakukan sambil berjongkok itu.
Maka dia pun
tidak bersikap ceroboh, maklum akan kelihaian lawan dan dia memutar pedangnya
dengan cepat. Ia tak mau menangkis pukulan Su-ok, dan juga dia menahan bahaya
yang datang dari Sam-ok dengan sinar pedangnya yang bercahaya kemerahan. Pedang
di tangan pemuda ini bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pusaka dari
Kun-lun-pai yang diterima dari suhu-nya. Pedang itu berpamor daun-daun merah
maka mempunyai sinar merah dan bernama Ang-hio-kiam (Pedang Daun Merah).
Sinar merah
yang bergulung-gulung itu mengeluarkan suara berdesing nyaring dan segera
nampak bahwa pemuda dengan pedang pusakanya itu ternyata memiliki ilmu pedang
yang amat hebat sehingga tokoh ke tiga dan ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu pun
sampai terdesak oleh gulungan sinar pedang! Tentu saja mereka menjadi terkejut
sekali.
Kalau mereka
berlima kewalahan menghadapi Bu-taihiap dan isterinya yang dibantu oleh
Ban-kin-sian Cu Kang Bu, hal itu tidak membuat mereka penasaran. Bu-taihiap
adalah seorang pendekar sakti yang telah amat terkenal namanya sedangkan satu
di antara isterinya yang tempo hari membantunya bukan lain adalah Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu, wanita sakti yang sudah menggegerkan dunia persilatan
dengan perbuatannya yang amat berani, yaitu mencuri pedang Koai-liong-pokiam
dari dalam istana.
Kemudian
yang membantu mereka, Ban-kin-sian Cu Kang Bu, biar pun jarang keluar dari
Lembah Suling Emas dan tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun merupakan tokoh
penghuni lembah itu, maka kekalahan Im-kan Ngo-ok dari mereka bukanlah
merupakan hal yang perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kalau sekarang ini,
dalam beberapa gebrakan saja Ngo-ok telah terluka, dan kini Su-ok bernama
Sam-ok yang mengeroyok pemuda tak bernama itu malah terdesak, sungguh membuat
orang merasa penasaran bukan main.
“Tahan!”
teriakan Toa-ok ini amat berpengaruh dan dua orang temannya sudah mundur, juga
Cia Han Beng menghentikan gerakan pedangnya, memandang tajam kepada lima orang
datuk itu.
Ngo-ok masih
mendekap dada dengan tangan kiri, akan tetapi tidak mengeluh lagi. Tadi dia
telah mengobati lukanya dan biar pun luka itu cukup parah, namun tidak membuat
dia roboh. Sekarang dia pun berdiri sambil memandang dengan muka merah penuh
kebencian dan kemarahan kepada pemuda itu.
“Orang muda,
siapakah engkau dan juga mengapa engkau menyerang kami? Mengapa pula engkau
mencampuri urusan kami?” Toa-ok bertanya karena menyaksikan kelihaian pemuda
itu, dia harus lebih dulu mengenal siapa adanya orang ini sebelum turun tangan.
Pemuda itu
melintangkan pedangnya di depan dada, memandang jijik kepada Ngo-ok, kemudian
menjawab, suaranya lantang namun tenang, “Aku bernama Cia Han Beng dari
Kun-lun-pai.”
“Ahh,
kiranya seorang pendekar Kun-lun!” kata Toa-ok dengan sikapnya yang lemah
lembut dan halus itu, sungguh tidak sesuai dengan keadaan muka dan badannya
yang mirip gorila, “Kalau benar engkau dari Kun-lun-pai, orang muda, sungguh
ada dua hal yang amat mengherankan hati kami.”
“Katakanlah,
apa yang mengherankan hati kalian Im-kan Ngo-ok?”
“Hem, bagus,
kiranya engkau malah sudah mengenal kami. Di antara Kun-lun-pai dan kami sejak
dahulu tidak pernah ada permusuhan. Engkau sebagai seorang muda dari
Kun-lun-pai telah mengenal kami, tentu telah mengenal pula Su-bi Mo-li,
murid-murid kami yang tadi kami hukum mati karena berkhianat dan murtad,
mengapa engkau hendak mencampuri urusan antara kami dan murid-murid kami?
Itulah soal pertama yang mengherankan kami”
“Mudah saja
aku menjawabnya,” kata Han Beng. “Walau pun di antara Kun-lun-pai dan Im-kan
Ngo-ok tidak pernah ada permusuhan pribadi, tetapi hal itu tidak menghalangi
aku untuk turun tangan apabila menyaksikan perbuatan yang jahat dan kejam. Aku
tidak mencampuri urusan antara guru dan murid, sama sekali tidak. Aku tidak
peduli apa yang terjadi antara kalian dan empat orang murid kalian yang sama
sesatnya itu.”
“Ehh,
omongan ngacau!” Ngo-ok membentak. “Kalau tidak mencampuri, kenapa engkau
menyerangku?”
“Mudah saja
jawabnya. Aku melihat seorang laki-laki yang berwatak binatang atau iblis sedang
menganiaya dan memperkosa seorang wanita, maka tidak peduli siapa laki-laki itu
dan siapa pula wanita itu, aku tidak dapat tinggal diam saja. Aku tidak
berpihak, melainkan menentang perbuatan yang amat keji itu, oleh siapa dan
terhadap siapa pun dilakukannya!”
“Hemm, hal
itu dapat kami mengerti. Akan tetapi urusan ke dua yang kami heran. Di dalam
kereta itu terdapat Pangeran Kian Liong, Pangeran Mahkota. Kami hendak
menangkap dan membawanya pergi. Apakah engkau juga hendak menghalangi kami?”
“Tentu saja!”
jawab Han Beng.
“Dan apa
pula alasannya?” tanya Toa-ok. “Bukankah Kun-lun-pai terkenal sebagai tempat
para pendekar yang selalu menentang pemerintah penjajah? Apakah sekarang
Kun-lun-pai sudah berbalik hati, menjadi anjing penjilat pemerintah penjajah?”
“Tutup mulut
kalian yang busuk!” Han Beng membentak marah sekali. “Siapa tidak tahu bahwa
Im-kan Ngo-ok yang menjadi anjing penjilat penjajah, dan kini membalik karena
keadaan yang tak menguntungkan? Ketahuilah, Im-kan Ngo-ok, kami Kun-lun-pai
tetap berjiwa patriot, apa pun yang terjadi. Oleh karena itulah maka aku harus
melindungi Pangeran Kian Liong dan sama sekali bukan berarti bahwa kami hendak
menjadi penjilat penjajah!”
“Bocah
sombong!” Terdengar Ji-ok menjerit marah.
Wanita ini
sudah menerjang ke depan, jari telunjuknya menyerang dengan ilmu yang dinamakan
Kiam-ci (Jari Pedang) dan sinar yang tajam mengeluarkan suara mencicit
menyambar ke arah leher Han Beng.
“Cringgg....!”
Han Beng
menggerakkan pedang menangkis dan balas menyerang. Sinar pedangnya meluncur ke
arah dada wanita itu yang cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, diam-diam
harus mengakui bahwa gerakan pedang pemuda itu sungguh berbahaya sekali. Toa-ok
juga tidak tinggal diam, sudah menubruk maju dengan kedua lengannya yang berbulu
itu bergerak aneh, akan tetapi dari gerakan itu timbul angin yang keras
menyambar ke arah Han Beng. Pemuda itu pun mengelak dan balas menyerang. Dan
majulah orang kelima Im-kan Ngo-ok mengeroyok, berjungkir balik dan
mempergunakan kedua kakinya yang panjang untuk menyerang.
Cia Han Beng
bukan tidak tahu bahwa lima orang lawannya adalah orang-orang sakti yang
memiliki kepandaian tinggi sekali, maka dia sama sekali tidak memandang rendah,
bahkan bersikap amat hati-hati. Pedangnya diputar cepat menutupi dan melindungi
seluruh tubuhnya dan dia tidak berani sembarangan menyerang setelah kini
dikeroyok lima. Mengurangi sedikit saja daya tahannya berarti akan mendatangkan
bahaya, dan menyerang berarti mengurangi pertahanannya. Padahal, menghadapi
lima orang itu, dia harus benar-benar melakukan pertahanan yang amat kuat.
Memang harus
diakui bahwa Cia Han Beng telah mewarisi hampir semua kepandaian Ketua
Kun-lun-pai yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Akan tetapi betapa pun
juga, pemuda ini masih kurang pengalaman berkelahi menghadapi lawan-lawan
tangguh dan kini, begitu keluar dari pertapaan, dia harus menghadapi lima orang
Im-kan Ngo-ok sekaligus. Tentu saja hal ini merupakan beban yang terlampau
berat baginya.
Biar pun dia
telah mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat terkenal itu, yang telah
dikuasainya sampai di bagian paling rahasia, namun menghadapi pengeroyokan lima
orang datuk kaum sesat ini, perlahan-lahan Han Beng mulai terdesak hebat.
Tetapi dia masih terus melakukan perlawanan dengan memutar pedangnya sedemikian
rupa sehingga angin pukulan-pukulan aneh dari mereka itu bahkan tidak mampu
menembus gulungan sinar yang bertahan itu.
Betapa pun
juga, pemuda itu bukan tidak tahu bahwa kalau dilanjutkan lambat-laun dia akan
kehilangan tenaga dan akhirnya akan menjadi semakin lemah. Tidak demikian
dengan pengeroyoknya karena dia harus mengeluarkan tenaga lima kali lipat untuk
menghadapi lima orang pengeroyok ini. Akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu
akhirnya akan kalah. Pemuda ini mulai merasa bingung. Dia tidak pernah
memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri, melainkan bingung memikirkan bagaimana
dia akan dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, bagaimana dia akan mampu
menyelamatkan Sang Pangeran yang masih berada di dalam kereta.
Dari dalam
keretanya, Pangeran Kian Liong yang menyaksikan itu semua dan hatinya menjadi
semakin tak senang, Sepak terjang Im-kan Ngo-ok sungguh membuat hatinya tidak
senang. Dia melihat kecurangan dan kekejaman yang luar biasa pada diri lima
orang datuk sesat itu. Melihat pemuda gagah perkasa itu dikeroyok lima orang
kakek yang sudah menjadi datuk kaum sesat, Sang Pangeran merasa penasaran
sekali.
Macam itukah
watak datuk-datuk yang biasanya membanggakan dirinya? Ternyata merupakan
pembunuh-pembunuh dan tukang-tukang pukul tak tahu malu yang suka mengandalkan
kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah besar saja!
“Hei!,
Im-kan Ngo-ok, apakah kalian berlima tidak malu? Bukankah kalian adalah
orang-orang tua yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw? Bahkan Sam-ok
adalah bekas Koksu Nepal, bukan? Mengapa kalian tidak malu melakukan
pengeroyokan? Kalian telah membunuh murid-murid kalian sendiri, hayo bebaskan
pemuda gagah itu dan aku akan menyerah kepada kalian!”
Teriakan
lantang dari Pangeran Kian Liong yang membuka tirai kereta itu sangat
mengherankan hati Han Beng. Pemuda ini memang sudah banyak mendengar tentang
kegagahan dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota ini dan meski dia selalu ingat
bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, seorang keluarga Kaisar
penjajah, tetapi tetap saja dia merasa amat kagum mendengar ucapan yang
mengandung kegagahan luar biasa itu.
Sementara
itu, mendengar ucapan Sang Pangeran, Im-kan Ngo-ok merasa malu dan menjadi
makin penasaran dan marah. Su-ok yang telah mengalami banyak kekecewaan karena
Pangeran ini, lalu meninggalkan Han Beng.
“Amithaba,
Pangeran itu sungguh telah mendatangkan banyak kepusingan. Biarlah kini
kuhabiskan saja riwayatnya.” Si Gundul Pendek ini kemudian menggelinding menuju
ke kereta.
Melihat ini,
Cia Han Beng menjadi khawatir sekali akan keselamatan Sang Pangeran, maka ia
memutar pedangnya untuk mencari kesempatan meloncat dan menyelamatkan Sang
Pangeran. Namun, empat orang pengeroyoknya yang maklum akan kehendaknya itu
mengepung dan menyerang semakin ketat sehingga terpaksa Han Beng harus menjaga
dirinya.
Su-ok telah
berdiri di dekat kereta dan melihat Sang Pangeran duduk di dalam kereta,
memandang kepadanya melalui jendela kereta yang sudah dibuka tirainya itu.
“Heh-heh-heh,
Pangeran Kian Liong, engkau telah banyak merugikan kami, dan telah
menghancurkan harapan kami untuk memperoleh kedudukan di istana. Oleh karena
itu, aku akan membunuhmu sekarang juga.”
“Kakek yang
munafik, mati merupakan hal yang jauh lebih bersih dari pada hidup akan tetapi
seperti engkau ini, berlagak menjadi hwesio akan tetapi hidup sebagai datuk
sesat yang jahat. Engkau mencemarkan agama, maka hidupmu tentu akan terkutuk!”
“Heh-heh-heh,
mengocehlah selagi engkau bisa, Pangeran. Sekarang bersiaplah untuk mampus!”
Berkata demikian, Su-ok lalu merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga dari
ilmu Katak Buduk, bermaksud menghantam ke arah kereta agar Sang Pangeran tewas
bersama hancurnya kereta itu.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan ada sinar keemasan
barkelebat, langsung sinar emas ini menyambar ke arah kepala gundul Su-ok!
Su-ok terkejut, karena dia sudah mengerahkan tenaga, maka dia pun lalu memukul
dengan ilmu pukulan Katak Buduk ke arah sinar kuning emas yang menyambar itu.
“Dessss....!”
Bukan main
hebatnya pertemuan antara tenaga Katak Buduk dan sinar kuning emas itu dan
akibatnya.... tubuh Su-ok terguling-guling seperti sebuah bal ditendang! Tentu
saja Su-ok terkejut bukan main, dadanya terasa panas dan nyeri. Ketika dia
bangkit berdiri, ternyata di situ telah berdiri seorang dara cantik yang gagah,
yang memegang sebatang suling Emas!
Bukan main
rasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Melihat pemuda Kun-lun-pai itu saja
sudah mendatangkan penasaran, sekarang muncul seorang dara yang memiliki tenaga
sedemikian dahsyatnya, sehingga mampu menyambut pukulan saktinya, bahkan
membuatnya terpelanting dan terguling-guling sampai jauh dengan dada terasa
panas dan nyeri.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment