Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 09
Diam-diam
Sim Houw yang duduk dekat api unggun memandang kepadanya. Ada rasa haru yang
besar sekali dan mendalam di dasar hatinya melihat gadis itu tidur meringkuk
dengan bibir tersenyum, begitu pasrah, begitu lemah dan tak berdaya. Seorang
gadis yatim piatu, seperti dia, seorang gadis yang secara aneh muncul dalam
kehidupannya.
Sama sekali
tak pernah dia menyangka bahwa dalam hidupnya, dia akan berduaan dengan seorang
gadis seperti pada malam hari ini. Melakukan perjalanan bersama, kehujanan
bersama, makan berdua dan kini dia memandangi gadis yang tidur pulas itu.
Timbul rasa
kasihan di hatinya melihat Bi Lan meringkuk, menekuk kaki dan menjepit tangan
di antara pahanya. Dia mempunyai sebuah baju mantel yang lebar dan yang kini
sudah kering. Diambilnya mantel itu dan diselimutkannya pada tubuh Bi Lan,
menutupi tubuh dari leher sampai ke kaki. Dia melakukannya begitu hati-hati dan
perlahan-lahan agar tidak membangunkan Bi Lan dari tidurnya yang nyenyak.
Akan tetapi,
tubuh yang terlatih sejak kecil itu amat peka terhadap sentuhan dari luar dan
urat syaraf tubuh itu selalu dalam keadaan siap terhadap bahaya dari luar
sehingga dalam tidur sekali pun, agaknya syaraf-syaraf itu tetap bersiap siaga.
Maka begitu merasa tubuhnya tersentuh kain, walau pun tadinya tidak
berprasangka yang bukan-bukan, sentuhan ini cukup membuat Bi Lan sadar dari
tidurnya.
Akan tetapi,
ia segera memejamkan matanya kembali dan pura-pura masih pulas ketika ia
melihat bahwa yang menyentuh tubuhnya itu adalah hamparan baju mantel yang
diselimutkan oleh Sim Houw di atas tubuhnya. Diam-diam gadis ini merasa
berterima kasih dan senyumnya bertambah manis ketika ia terseret penuh oleh
kepulasan…..
***************
Di jaman
para kaisar masih berkuasa, para pembesar yang bertugas mencatat sejarah,
selalu hanya mencatat yang baik-baik saja tentang kaisar dan keluarganya. Kalau
ada catatan sejarah yang memburukkan seorang penguasa, maka catatan itu sudah
pasti dilakukan oleh pihak yang membencinya. Oleh karena itu, maka sukarlah
dipercaya kebenaran catatan sejarah di dunia ini.
Seperti
catatan sejarah tentang pembangunan dan tentang kebesaran kerajaan Mancu yang
semakin berkembang. Akan tetapi sejarah tak mencatat betapa banyaknya korban
jatuh dari pihak mereka yang menentang kaisar, baik karena urusan pribadi mau
pun karena kebangkitan mereka yang merasa dijajah dan ingin menumbangkan
kekuasaan Mancu.
Kalau dia
sudah dinilai, setiap orang manusia, baik dia kaisar sekali pun, tentu memiliki
dua macam sifat yang berlawanan, yaitu baik dan buruk, kelebihan dan
kekurangannya, tentu saja bergantung kepada pendapat si penilai berdasarkan
rasa suka atau tidak suka dari si penilai sendiri. Demikian pula Kaisar Kian
Liong. Pada masa itu, dialah orang yang paling tinggi kedudukannya, yang paling
berkuasa sehingga memburukkan namanya merupakan suatu pemberontakan dan dosa
besar, dan orang yang berani melakukannya dapat saja dipenggal lehernya sebagai
hukumannya. Oleh karena itu, catatan riwayat dan sejarahnya hanya yang
baik-baik saja.
Betapa pun
juga, orang tak mungkin menyimpan rahasia untuk selamanya. Akhirnya membocor
keluar juga dari istana segala perilaku kaisar itu yang dianggap tidak patut.
Di antaranya adalah hubungan kaisar di masa tuanya itu dengan Hou Seng yang
tampan, yang kini semakin tinggi saja kedudukannya dan semakin besar
kekuasaannya. Bahkan di luar sudah terdengar bisik-bisik bahwa Hou Seng inilah
orangnya yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri dalam waktu dekat.
Dan bisik
bisik atau desas-desus ini memang tidak merupakan kabar bohong begitu saja.
Bukan saja Hou Seng menjadi ‘kekasih’ kaisar, akan tetapi bahkan dia telah
dapat mempengaruhi kaisar hingga semua urusan dalam istana sudah dipercayakan
padanya. Sekarang dialah yang menjadi orang ke dua setelah kaisar di istana
itu, bahkan semua pelaksanaan peraturan dan lain-lain berada di tangannya dan
kaisar hanya mendengar dan percaya akan laporan kekasih ini saja.
Ambisi
merupakan racun yang sekali mencengkeram batin kita, tidak mudah untuk
dilepaskan lagi. Ambisi adalah kemurkaan, seperti binatang babi, makin diberi
makan, semakin kelaparan saja. Makin banyak yang didapat, semakin bertambah
keinginan hati yang dicengkeram ambisi.
Demikian
pula dengan Hou Seng. Dia tadinya hanya seorang tukang pikul tandu kaisar.
Setelah dia diangkat menjadi kekasih kaisar dan menjadi ‘penasehat’ kaisar,
berarti dia sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Namun, dia masih jauh
dari pada puas karena dia melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa dia akan lebih
besar lagi.
Dan untuk
mencapai ambisi atau cita-citanya itu, dia tidak hanya dapat mengandalkan
kepercayaan kaisar kepadanya. Terlalu banyak musuhnya yang ingin melihat dia
jatuh kembali ke bawah. Banyak menteri-menteri yang tak suka kepadanya, bahkan
ada yang secara halus berani memperingatkan kaisar tentang bahayanya kalau
terlalu percaya kepada seseorang dan menyerahkan segala kekuasaan di tangan Hou
Seng mengenai urusan dalam istana.
Hou Seng
semakin cerdik dan mulai memperkuat diri. Bukan hanya dengan cara makin
menempel kaisar, tetapi juga diam-diam dia mengumpulkan tenaga-tenaga yang
boleh diandalkan, selain untuk mengawal dan melindungi dirinya, juga untuk
melaksanakan perintah-perintah dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Beberapa
orang musuhnya sudah dilenyapkan, tewas secara aneh. Tentu saja tidak aneh bagi
Hou Seng. Dia telah memelihara orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan kekejaman seperti iblis. Tentu saja dengan bayaran yang sangat tinggi,
memberi kemewahan dan memenuhi permintaan apa saja dari orang-orang sakti itu.
Juga memberi janji bahwa jika dia dapat menjadi Perdana Menteri, apa lagi kalau
kelak dapat menjadi kaisar, dia tidak akan melupakan para pembantu itu dan
tentu akan memberi kedudukan tinggi kepada mereka!
Pada suatu
malam, dengan pengawalan ketat, Hou Seng keluar dari istana menuju ke sebuah
rumah tidak jauh dari kompleks istana. Rumah ini merupakan sebuah gedung yang
dikelilingi pagar tembok tinggi dan nampak terjaga oleh penjaga-penjaga yang
berpakaian seragam. Rumah peristirahatan ini adalah milik Hou Seng, satu di
antara banyak rumah yang dimilikinya. Dia sendiri tinggal di sebuah gedung
seperti istana saja mewahnya, bersama isterinya!
Benar, Hou
Seng telah beristeri. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong merasa risi juga
akibat banyaknya menteri yang menyindirkan hubungannya dengan Hou Seng, dan
untuk menutupi atau sekedar mengurangi santernya desas-desus, dia memerintahkan
kepada Hou Seng untuk menikah dengan seorang wanita dayang pilihan dari istana.
Tentu saja
Hou Seng menerima perintah ini dengan hati senang. Bayangkan saja, selain
memperoleh kekayaan dan kehormatan, juga dia memperoleh seorang isteri yang
cantik ‘hadiah’ dari kaisar sendiri. Dengan adanya isteri, tentu dia dapat
memelihara banyak selir dan kini tak perlu lagi dia bersembunyi-sembunyi kalau
dia menginginkan seorang wanita. Pernikahannya itu telah berlangsung tiga tahun
yang lalu dan kini dia telah mendapatkan beberapa orang anak dari isterinya dan
selir-selirnya.
Kereta yang
ditumpangi Hou Seng memasuki halaman rumah setelah pintu gerbangnya dibuka oleh
para penjaga. Pintu gerbang lalu ditutup kembali dan nampak seorang laki-laki
berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah tampan dan cerdik, bermuka
halus seperti muka perempuan. Itulah Hou Seng, dengan pakaiannya yang
gemerlapan. Dia seorang laki-laki pesolek, mukanya dirias dan pakaiannya mewah!
Kiranya di
dalam keretanya itu bersembunyi dua orang wanita berusia kurang lebih tiga
puluhan tahun, cantik dan bertubuh ramping serta gesit. Mereka ini adalah dua
orang pengawal pribadi yang dapat menjadi apanya pun juga. Menjadi selir, juga
pelayan atau pengawal yang melindungi keselamatannya.
Kedua orang
wanita ini adalah ahli-ahli silat yang pandai dan sengaja dipilih oleh Hou
Seng, bukan hanya karena kecantikan mereka semata, tetapi terutama sekali
karena ketangguhan mereka melindungi keselamatannya. Oleh karena itu, dua orang
pengawal pribadi ini tidak pernah meninggalkannya, ke mana pun dia pergi.
Ketika Hou Seng turun dari kereta, dua orang wanita ini turun sebelum dan
sesudahnya, menjaga dari depan belakang atau kanan kiri penuh kewaspadaan.
Dari pintu
depan yang terbuka dari rumah gedung itu muncullah seorang nenek yang kalau
orang melihatnya di tempat yang tidak begitu terang tentu akan mengiranya
seorang wanita yang masih belum tua benar. Padahal nenek ini usianya sudah
kurang lebih tujuh puluh tahun!
Selain
gerak-geriknya masih gesit dan sikapnya yang genit, juga mukanya memakai
lapisan bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi, di samping penghitam alisnya
yang sudah habis bulunya itu. Pakaiannya juga mewah dan nenek pesolek ini
memegang sebatang kebutan yang gagangnya terbuat dari emas dan bulunya yang
putih lemas itu tidak boleh dipandang ringan.
Itu bukan
kebutan biasa pengusir lalat, melainkan sebuah senjata yang amat ampuh karena
bulu-bulu kebutan itu terbuat dari bulu seekor monyet putih yang hanya terdapat
di daerah Himalaya bagian barat. Menurut dongeng, monyet putih di daerah itu
memiliki bulu yang amat kuat sehingga tahan bacokan, membuat monyet itu kebal!
Entah benar tidaknya dongeng itu, akan tetapi yang jelas, kebutan di tangan
nenek ini pun selain mampu untuk membunuh orang, juga dapat menangkis segala
macam senjata tajam yang bagaimana ampuh pun tanpa putus sedikit pun.
Begitu
bertemu dengan nenek yang tubuhnya masih nampak ramping dan wajahnya cantik
karena dirias itu, Hou Seng memberi hormat berbareng dengan nenek itu yang juga
menjura dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil memegangi kebutannya
yang bulunya menjuntai ke bawah dengan lemasnya.
Nampaknya
seorang nenek-nenek yang tidak berdaya saja. Akan tetapi, Hou Seng yang
merupakan orang kedua setelah kaisar di dalam istana, kelihatan begitu
menghormati nenek ini. Apa lagi dua orang pengawal pribadinya itu jelas
memperlihatkan sikap jeri sekali ketika mereka memandang kepada nenek itu dan
mengerling ke arah kebutan berbulu putih bergagang emas itu. Dalam hati mereka
selalu timbul pertanyaan berapa ribu nyawa sudah yang dipaksa meninggalkan
badannya oleh kebutan nenek itu, setiap kali mereka bertemu dengan Kim Hwa
Nionio, demikian nama nenek itu.
Kim Hwa
Nionio telah menjadi pembantu utama dari Hou Taijin (Pembesar Hou) dan
memperoleh kepercayaan dari kekasih kaisar ini karena Kim Hwa Nionio telah
berulang kali membuktikan kesetiaannya. Sudah ada enam orang pembesar rendahan
dan dua orang pembesar tingkat menteri yang tiba-tiba saja tewas, begitu pada
kemarin harinya Kim Hwa Nionio menerima perintah dari Hou Taijin untuk
melenyapkannya!
Selain itu,
juga Kim Hwa Nionio yang mengatur penjagaan atau pengawal-pengawal rahasia dari
Hou Taijin. Pengawal-pengawal ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Kim Hwa
Nionio untuk melakukan penjagaan secara rahasia. Dan kini Kim Hwa Nionio
menerima tugas yang lebih penting lagi, ialah mengumpulkan dan mengundang
tenaga-tenaga yang tangguh dari para tokoh dunia hitam untuk memperkuat kedudukan
Hou Taijin.
Siapakah Kim
Hwa Nionio? Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar kesenangan
melalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah
menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan tetapi
setelah ia berhasil menguras semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nionio
lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota
besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang
dipilih dan disukainya.
Dengan
kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk
melayaninya. Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh
menyambarnya bulu-bulu kebutan itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang
melayaninya juga harus ditebus dengan nyawanya. Dalam hal kejahatan dan
kekejamannya, Kim Hwa Nionio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih
bersumber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi.
Setelah
usianya mulai tua, Kim Hwa Nionio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan
hanya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan
tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, ia sudah mulai
kehilangan kesenangan-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan
yang dikejarnya adalah kedudukan dari kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota
raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia
lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia
berhasil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.
"Selamat
malam, Taijin," nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, "dan
silakan masuk."
Pembesar
yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu mengangguk
dan langsung bertanya, "Benarkah yang datang Lama itu?" Dia
mencari-cari dengan pandang matanya. "Begitu mendengar berita yang dikirim
oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan
sendiri."
Kim Hwa
Nionio mengangguk. "Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan
menimbulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada
Taijin. Sekarang pun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah
Taijin."
"Baik,
locianpwe, minta kepada losuhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu."
Hou Taijin
lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa
Nionio lalu mengundurkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa
Nionio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin
bersama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya. Dua orang
wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di
belakang tubuh pembesar itu.
Para
pengawal, tidak kurang dari dua belas orang, berjaga di dalam ruangan itu pula,
berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi
mondar-mandir di luar ruangan ini. Mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak
mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi ke mana pun Hou Seng
pergi.
Pengawal-pengawal
inilah anak buah Kim Hwa Nionio dan karena mereka semua yang berpakaian preman
itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka
para penjaga tempat-tempat yang sedang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan
mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang dilakukan untuk menjaga
keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri
kaisar sendiri.
Hou Taijin
adalah seorang yang cerdik dan pandai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu
yang datang bersama Kim Hwa Nionio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah
enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepalanya
gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna merah kuning, mukanya
begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya
kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu
bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan
oleh Kim Hwa Nionio kepadanya.
Dia tahu
siapa kakek ini, ialah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat
memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang
ini bisa menjadi pembantunya bersama Kim Hwa Nionio, pikirnya. Dan agaknya
makin mudah pula memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan
sebagai penasehat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya,
seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nionio yang juga olehnya diperkenalkan
kepada kaisar sebagai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Himalaya yang
sakti.
Setelah
pendeta Lama dan Kim Hwa Nionio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit
berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu
segera memberi hormat, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil berkata
dengan suara seperti berdoa, "Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah
usia panjang dan rejeki yang berlimpah-limpah!"
Hou Seng
tersenyum. "Selamat datang, losuhu dan silakan duduk. Silakan,
locianpwe."
Sai-cu Lama
dan Kim Hwa Nionio mengambil tempat duduk setelah nenek itu dengan isyarat
tangannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruang itu. Para pengawal
segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang
berada di ruang tamu kini hanyalah Hou Taijin bersama dua orang selir yang
mengawalnya, Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama.
"Hou
Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet. Saya memenuhi undangan
Kim Hwa Nionio yang telah pinceng kenal baik untuk menghadap taijin. Harap
maafkan kelancangan pinceng."
Hou Seng
tertawa bergelak. Hatinya senang sekali mendengar seorang kakek yang menurut
Kim Hwa Nionio amat sakti ini merendahkan diri. "Ahh, tidak ada yang perlu
dimaafkan karena memang saya yang minta kepada locianpwe Kim Hwa Nionio untuk
mengundang losuhu. Losuhu telah melakukan perjalanan yang melelahkan dan amat
jauh, untuk menyambut kedatangan losuhu, saya akan mengadakan perjamuan kecil
sebagai ucapan selamat datang."
Hou Taijin
mengangguk kepada Kim Hwa Nionio, memberi tanda bahwa perjamuan itu boleh
dimulai. "Kita dapat bercakap-cakap setelah makan minum."
"Maafkan
pinceng, taijin. Sebelum itu, pinceng juga ingin mempersembahkan sesuatu kepada
taijin. Seorang gadis remaja berusia dua belas tahun yang cantik jelita sekali,
yang kebetulan pinceng temukan di dalam perjalanan pinceng."
Hou Seng
mengerutkan alisnya. Betapa pun juga pernyataan pendeta Lama itu agak
menyinggung kehormatannya. Pendeta ini berani mengatakan akan mempersembahkan
seorang gadis remaja yang ditemukannya begitu saja di tengah perjalanan?
Persembahan
seperti itu merendahkan martabatnya, betapa cantik pun gadis itu, dan tidak
patut untuk di ketengahkan dalam pertemuan dan perkenalan pertama sebagai suatu
persembahan kehormatan.
Agaknya Kim
Hwa Nionio melihat ketidak senangan hati majikannya. Iapun cepat-cepat berkata,
"Hendaknya paduka maklumi bahwa gadis remaja yang dibawa oleh rekan saya
Sai-cu Lama itu bukan gadis biasa, melainkan derajatnya jauh lebih tinggi dari
pada seluruh wanita yang telah paduka miliki. Ia itu adalah keturunan keluarga
para pendekar Pulau Es yang terkenal itu!"
"Ahhh...!"
Wajah pembesar itu berseri bangga dan matanya terbelalak. "Bukan main
kalau begitu! Lekas bawa ke sini, saya ingin melihatnya!"
Kim Hwa
Nionio memberi isyarat dengan tepuk tangan lima kali. Tidak lama kemudian pintu
sebelah kanan ruangan tamu itu terbuka dan masuklah dua orang pengawal bertubuh
tinggi besar. Di antara mereka terdapat Suma Lian, yang mereka pegang pada
pangkal lengannya dari kanan kiri dan mereka jinjing. Kaki dan tangan gadis cilik
itu terbelenggu!
Jelaslah
bahwa Suma Lian tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi sepasang
matanya hidup, bersinar penuh keangkuhan dan kemarahan, berdiri tegak ia ketika
dilepas oleh kedua orang yang segera memberi hormat lalu meninggalkan lagi
ruangan itu dan menutupkan pintunya dari luar. Pandang mata gadis cilik itu
ditujukan kepada Sai-cu Lama dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian.
Seperti kita
ketahui, ketika Sai-cu Lama kewalahan juga karena sambil menggendong gadis
cilik itu dia menghadapi pengeroyokan nenek Teng Siang In yang masih nekat
walau pun sudah terluka dan Hong Beng, pemuda ini berhasil membebaskan totokan
dari tubuh Sama Lian dengan sambitan kerikil.
Dan setelah
terbebas dari totokan, diam-diam Suma Lian mengambil tusuk konde atau hiasan
rambutnya yang runcing dan menancapkan benda kecil itu di tengkuk Sai-cu Lama.
Kalau saja ia tidak merasa ngeri melihat muncratnya darah dari tengkuk itu
sehingga mengakibatkan tangannya lemas, tentu tusukannya itu akan lebih dalam
lagi dan andai kata tidak sampai menewaskan kakek itu pun tentu akan
mengakibatkan luka yang cukup berat.
Sai-cu Lama
terkejut, kesakitan dan berhasil menampar gadis itu pingsan, kemudian melarikan
diri sambil tetap membawa tubuh Suma Lian dan tengkuk yang bercucuran darah!
Dia tahu bahwa kalau sampai keluarga Suma mengetahui tentu dia akan dikejar dan
beratlah rasanya menghadapi mereka tanpa bantuan.
Dia berlari
terus dengan cepat, akan tetapi dia cerdik. Setelah keluar dari pintu gerbang
utama, dia lalu mengitari tembok dusun menuju ke selatan, kemudian membelok ke
timur memasuki hutan lebat. Jejaknya hilang dan suami isteri Suma Ceng Liong
dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran ke utara terus karena ada yang melihat
pendeta itu lari keluar dari pintu gerbang utara.
Luka di
tengkuknya hanya mengeluarkan darah, namun tidak berbahaya. Ketika dia
memeriksa benda yang menancap di tengkuknya, dia terkejut. Benda itu tentu akan
dapat menancap lebih dalam lagi, pikirnya. Akan tetapi kenapa tidak? Padahal,
seorang gadis biar pun baru berusia dua belas tahun seperti anak ini, tentu
mampu menusuk lebih kuat. Mengapa gadis cilik ini tidak menusuknya lebih kuat?
Pikiran ini membuat kemarahannya berkurang terhadap Suma Lian.
Ia
menurunkan tubuh Suma Lian, lalu demi keamanan, membelenggu kaki tangan gadis
itu dengan tali pengikat yang kuat. Baru dia menotoknya beberapa kali dan
membuatnya sadar kembali. Begitu sadar, Suma Lian meronta, akan tetapi tak
mampu melepaskan ikatan kaki tangannya dan ia hanya memandang dengan mata
melotot.
"Kau
manusia busuk, manusia jahat!" bentaknya.
Sai-cu Lama
tertawa. "Ha-ha-ha, anak baik. Jika aku manusia busuk dan jahat, kenapa
engkau tak jadi membunuhku? Kenapa tusukanmu pada tengkukku itu hanya setengah
tenaga saja, tidak sungguh-sungguh?" katanya sambil mengeluarkan obat
bubuk dan menempelkan obat itu kepada luka kecil di tengkuknya yang segera
mengering.
"Padahal,
benda ini runcing dan keras, dengan sedikit tenaga saja tengkukku pasti bisa
ditembus!" katanya dan sekali menggerakkan tangan, perlahan-lahan dia
menusukkan tusuk sanggul itu ke dalam sebatang pohon. Benda kecil itu langsung
amblas sampai tak nampak lagi!
"Huh,
sayang aku menjadi tidak sampai hati melihat darah muncrat, dan aku merasa malu
harus berbuat curang. Kalau tidak, engkau tentu sudah mati dan aku
terbebas!" kata Suma Lian, sekarang baru merasa menyesal mengapa ia tadi
tidak menggunakan seluruh tenaganya dan mengeraskan hatinya saja.
"Ha-ha-ha,
sudah kuduga! Engkau seorang gadis manis yang baik hati. Ha-ha-ha, dan karena
itulah engkau sampai sekarang masih hidup. Jika engkau menusuk lebih keras,
sebelum mati tentu tamparanku akan meremukkan kepalamu tadi. Dan sekarang pun,
karena kebaikan hatimu itu, aku tidak akan membunuhmu, tidak, aku malah membuat
engkau hidup mulia. Mari...!" Dengan tangan kirinya dia menyambar tubuh
gadis cilik itu dan dipanggulnya lalu dibawa lari.
"Lepaskan
aku! Lepaskan...!" Suma Lian meronta dan menjerit, akan tetapi pendeta
Lama itu menggunakan jari tangan menekan tengkuknya dan dia pun tidak mampu
lagi mengeluarkan suara.
Demikianlah,
Sai-cu Lama membawa Suma Lian ke kota raja. Di dalam perjalanan itu, dia
menyembunyikan tubuh yang sudah dibelenggu dan ditotoknya itu ke dalam sebuah
kantung kain yang diberi lubang-lubang untuk pernapasan gadis itu, dan
sekali-sekali, dia harus memaksa gadis itu untuk makan, dengan membuka mulut
gadis itu dan menuangkan bubur ke dalam perutnya. Tanpa paksaan, Suma Lian yang
keras hati itu tidak mau makan atau minum!
Setelah tiba
di gedung tempat tinggal Hou Taijin yang menjadi sarang Kim Hwa Nionio yang
menghubunginya, Sai-cu Lama disambut dengan girang oleh Kim Hwa Nionio, apa
lagi saat temannya itu memberi tahukan bahwa gadis cilik yang ditawannya adalah
keturunan para pendekar Pulau Es. Para datuk sesat memang selalu memusuhi para
pendekar, terutama sekali keturunan keluarga Pulau Es sejak dahulu, semenjak
nenek moyang mereka, telah menjadi musuh besar yang harus selalu ditentang.
"Bagus,
tentu Hou Taijin akan suka sekali!" serunya. "Atau kalau tidak,
hemmm... anak ini bertulang baik, bagaimana kalau ia menjadi muridku
saja?"
"Ha-ha-ha,
sungguh serupa benar jalan pikiran kita," kata Sai-cu Lama. "Aku pun
sudah mempunyai pikiran demikian. Amat bangga kalau kita dapat memiliki murid
keturunan para pendekar Pulau Es, kita didik sedemikian rupa sehingga kelak dia
menjadi tokoh dari golongan kita yang memusuhi para pendekar. Ha-ha-ha!"
"Bagus!
Aku pun ingin terbawa namaku dalam jasa itu. Bagaimana kalau kita didik anak
itu bersama-sama?"
"Omitohud,
usia tuamu sama sekali tidak menghilangkan kecerdikanmu, seperti tidak pula
melenyapkan kecantikanmu, Kim Hwa Nionio!" Sai-cu Lama memuji.
Keduanya
lalu membuat persiapan untuk memberi laporan kepada Hou Taijin bahwa tamu dari
Tibet yang diundang telah tiba. Dan seperti kita ketahui, Hou Taijin demikian
girang mendengar ini sehingga dia datang sendiri demi untuk menemui tamu itu
dan mengenalnya sendiri karena oleh Kim Hwa Nionio sudah diceritakan bahwa tamu
yang berjuluk Sai-cu Lama dari Tibet ini memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, bahkan tidak kalah oleh Kim Hwa Nionio sendiri, demikian kata nenek
itu.
"Omitohud...,
anak baik, engkau sedang menghadap Hou Taijin, harus berlutut memberi
hormat!" kata Sai-cu Lama.
Akan tetapi
Suma Lian tetap berdiri dengan mata melotot, sedikit pun tidak takut dan ketika
ia memandang kepada orang berpakaian mewah yang duduk di depan pendeta Lama
itu, matanya memandang penuh selidik. Mata anak ini demikian tajam sehingga
hati pembesar itu merasa kecut juga. Akan tetapi pada saat itu, seorang di
antara dua orang selir yang menjadi pengawalnya itu berbisik dekat telinganya.
"Taijin
harus bersikap baik kepadanya, dan suruh membebaskan ikatan kaki tangannya,
agar ia mudah dijinakkan."
Hou Taijin
mengangguk-angguk, kemudian sambil memandang kepada gadis cilik itu, ia
berkata, "Losuhu, kasihan sekali puteri kecil ini dibelenggu. Harap
lepaskan belenggu kaki tangannya!"
"Taijin,
biar pun masih kecil, ia sudah lihai dan berbahaya, juga liar seperti seekor
kuda binal!"
"Sai-cu
Lama, perintah Taijin harus kita laksanakan tanpa membantah." Tiba-tiba
Kim Hwa Nionio memperingatkan temannya yang belum tahu akan watak Hou Taijin
yang tidak mau dibantah.
Mendengar
ini, Sai-cu Lama mengangguk dan cepat dia menghampiri Suma Lian yang berdiri
tegak. Untuk mendemonstrasikan kelihaiannya, dengan jari-jari tangan, ringan
sekali gerakannya dia membikin putus semua tali, seolah-olah tali-tali itu
hanya sehelai benang saja!
"Adik
yang baik, ke sinilah dan jangan takut. Kami tidak akan menyusahkanmu
lagi," berkata Hou Seng.
Memang orang
ini pandai sekali bersandiwara. Dan mendengar suaranya yang lemah lembut, serta
melihat wajahnya yang kini memperlihatkan kesungguhan dan keramahan, Suma Lian
mulai percaya bahwa orang itu tentu memiliki niat yang baik terhadap dirinya.
Ia memang
tidak mendengarkan apa yang dipercakapkan oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio
bahwa dirinya akan diberikan kepada pembesar Hou Seng untuk dijadikan selir!
Maka, mengingat bahwa ia berhadapan dengan seorang pembesar di kota raja,
seperti yang didengarnya tadi dari para pengawal bahwa ia akan dihadapkan
kepada seorang pembesar istana kota raja, ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
Memang
selain belajar ilmu silat tinggi, Suma Lian diajar tentang ilmu baca tulis,
juga tentang kesopanan sehingga ia mampu bersikap semestinya ketika berhadapan
dengan seorang pembesar, apa lagi jika mengingat bahwa pembesar ini bersikap
baik, bahkan telah menolongnya dari belenggu.
"Taijin,
harap paduka suka mengirim saya untuk kembali ke rumah orang tua saya, atau
membiarkan saya pergi dari sini. Dan untuk budi ini saya Suma Lian tidak akan
pernah melupakanmu."
Kembali
terdengar bisik-bisik dari seorang selir di belakangnya. Hou Seng
mengangguk-angguk lagi. "Nona Suma Lian, membiarkan engkau pergi seorang
diri sungguh amat berbahaya. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa atas
dirimu? Berarti aku harus ikut bertanggung jawab. Sai-cu Lama telah menyerahkan
engkau kepadaku, berarti akulah yang sekarang melindungimu. Jangan khawatir,
sekali waktu pasti aku akan mengantar engkau kembali ke tempat tinggalmu, akan
tetapi sementara ini, selagi aku masih sibuk, biarlah engkau tinggal di sini
bersama Kim Hwa Nionio. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan
memberontak atau mencoba untuk melarikan diri."
Suma Lian
adalah seorang anak yang cerdik. Jika tadi ia memperlihatkan sikap marah, itu
adalah karena Sai-cu Lama selalu bersikap keras kepadanya dan ia membenci
pendeta yang menculiknya itu. Sekarang ia melihat bahwa tidak ada pilihan lain
baginya kecuali mentaati perintah pembesar ini, kalau ia tidak ingin
diperlakukan kasar lagi.
Ia mengerti
bahwa ia menjadi semacam tahanan. Akan tetapi jauh lebih baik tertahan dalam keadaan
bebas dari pada dibelenggu terus atau disekap terus di dalam kamar tahanan.
Dalam keadaan bebas, tentu akan banyak kesempatan terbuka baginya untuk
melarikan diri!
"Baiklah
Taijin, saya berjanji tidak akan memberontak dan terima kasih atas kebaikan Taijin."
"Locianpwe,"
berkata Hou Taijin dengan suara halus kepada Kim Hwa Nionio, "harap
locianpwe atur dan serahkan adik ini kepada para pengasuh lebih dulu, sediakan
kamar yang baik, pakaian yang cukup dan makan yang enak, setelah itu kami masih
menanti locianpwe di sini untuk mengadakan perundingan lebih lanjut."
"Baik,
Taijin." Kim Hwa Nionio lalu menggandeng tangan Suma Lian. "Nah,
kalau sejak kemarin engkau tidak memberontak, tentu kami sudah memperlakukan
engkau dengan baik. Marilah, anak manis."
Kalau saja
Sai-cu Lama yang menggandengnya, biar pun kini ia tidak memberontak lagi, Suma
Lian tentu tidak akan mau. Akan tetapi ia tidak membenci nenek ini walau pun ia
juga tidak menyukainya, dan ia pun menurut saja ketika digandeng dan hendak
diajak keluar dari ruangan itu.
Setelah
menyerahkan Suma Lian kepada para pembantunya agar anak itu memperoleh rawatan
yang baik dan sekali-kali tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi diam-diam
Kim Hwa Nionio memerintahkan anak buahnya untuk mengamati anak itu baik-baik
dan menjaganya supaya ia tidak sampai melarikan diri dari situ, nenek itu lalu
kembali ke ruangan tamu.
"Locianpwe
berdua, kami menerima dengan gembira anak keluarga Suma itu, tetapi untuk
sementara saya titipkan dahulu ia di sini. Terutama locianpwe Kim Hwa Nionio
harap dapat menjaganya baik-baik karena sekali waktu tentu ia akan kubawa ke
istana. Jangan sampai ia kekurangan sesuatu dan jangan sampai melarikan diri.
Akan tetapi, harap rahasiakan tempat persembunyiannya dari orang luar.
Mengertikah, locianpwe?"
Kim Hwa
Nionio mengangguk-angguk. "Baik Taijin. Saya sendiri yang akan menjaga
anak itu."
Wajah pembesar
itu nampak lega dan dia pun berkata gembira. "Sekarang, harap keluarkan
hidangan dan hiburan untuk menjamu Losuhu dari Tibet sebagai sambutan selamat
datang dari kami."
Kim Hwa
Nionio bertepuk tangan beberapa kali sebagai perintah dan pintu pun terbuka.
Beberapa orang pelayan, laki-laki dan wanita, kesemuanya muda-muda dan
berpakaian bersih, yang pria tampan dan wanita cantik, masuk dengan sikap gesit
dan terlatih baik. Mereka kemudian mengatur masakan-masakan di atas meja dan
bagaikan sekumpulan burung dara delapan orang pelayan ini pulang pergi
mengambil masakan-masakan dari dapur dan ruangan itu pun menjadi sedap baunya
oleh uap masakan-masakan yang masih panas itu.
Rombongan
ini disusul oleh rombongan tari dan nyanyi yang terdiri dari dua orang wanita
dan empat orang laki-laki. Mereka mengenakan pakaian seniman yang beraneka
warna sambil membawa alat-alat musik mereka. Muka mereka, baik yang laki-laki
mau pun yang perempuan, dirias dengan bedak tebal dan gincu hingga hampir
menyerupai kedok-kedok.
"Taijin,
rombongan seni ini sengaja saya undang dari kota raja," kata Kim Hwa
Nionio memperkenalkan enam orang itu.
Hou Sen
mengangguk-angguk. "Bagus, bagus, kalau permainan kalian malam ini amat
memuaskan, tentu kami akan memberi hadiah yang besar."
Enam orang
itu berlutut menghadap pembesar itu, tetapi sebelum mereka menjawab, dari pintu
yang terbuka itu menerobos masuk sepuluh orang pengawal anak buah Kim Hwa
Nionio dan muka mereka memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang hebat telah
terjadi. Melihat mereka masuk begitu saja tanpa dipanggil, berkerut sepasang
alis Kim Hwa Nionio.
"Kalian
ada laporan apa?" bentaknya marah.
Seorang di
antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan menjadi komandan regu itu,
melangkah maju dan dengan sikap gugup dia menuding ke arah enam orang seniman
yang masih berlutut di situ. "Mereka... mereka ini... palsu! Mereka
membunuh enam orang rombongan seniman dari kota raja dan mereka
menyamar..."
"Apa...?"
Hou Taijin membentak dan dengan wajah berubah pucat memandang kepada enam orang
seniman palsu itu. "Siapa kalian dan mau apa datang ke sini?"
"Mau
membunuh kau laki-laki cabul!" Tiba-tiba seorang di antara mereka
berteriak dan serentak dua orang wanita dan empat orang laki-laki itu sudah
mencabut keluar pedang masing-masing yang tadi disembunyikan bersama alat-alat
musik dan pakaian!
Akan tetapi,
belasan orang pengawal sudah mengepung mereka itu sehingga mereka tidak dapat
menyerang Hou Seng yang oleh Kim Hwa Nionio lalu dibawa ke pinggir dan
dilindunginya. Sedangkan Sai-cu Lama hanya memandang dengan sikap tenang saja,
malah dia menyambar seguci arak dan mulai minum-minum melihat betapa belasan
orang pengawal itu mulai mengeroyok enam orang musuh untuk menangkap mereka,
hidup atau mati.
Akan tetapi,
ternyata enam orang itu lihai sekali ilmu pedang mereka sehingga dalam beberapa
gebrakan saja, enam orang pengawal sudah roboh tertusuk atau terbacok pedang!
Hal ini membuat Hou Taijin menjadi ketakutan, akan tetapi Kim Hwa Nionio
menenangkannya.
"Jangan
khawatir, Taijin, ada saya di sini," kemudian ia berkata kepada Sai-cu
Lama. "Lama, apakah engkau masih mau enak-enak minum arak saja sekarang?
Taijin sudah tak sabar lagi untuk melihat kemampuanmu!"
Sai-cu Lama
lalu bangkit dan menghampiri arena perkelahian, kemudian dari mulutnya
menyemburkan arak yang menderas bagaikan hujan. Akan tetapi yang membuat semua
orang yang sedang bertempur itu, baik para pengawal mau pun enam orang
penyerbu, terpaksa mundur adalah karena mereka tidak dapat membuka mata
terhadap serangan percikan arak yang begitu kuat dan seperti dapat menusuk
kulit muka!
"Para
pengawal, mundurlah dan bawa pergi teman-temanmu yang terluka keluar dari sini,
agar gerakan pinceng tidak terhalang!" kata kakek gendut itu tenang-tenang
saja.
Para
pengawal lalu menolong enam orang kawan mereka yang terluka, membawa mereka
keluar dari ruangan tamu yang amat luas itu. Kini kakek itu menghampiri enam
orang seniman yang ternyata adalah orang-orang yang datang untuk membunuh Hou
Taijin.
"Kalian
sudah bosan hidup dan datang hanya untuk mengantar nyawa. Hayo berlutut agar
pinceng dapat membunuh kalian tanpa menyiksa lagi."
Tentu saja
enam orang itu menjadi marah. Dengan semburan arak tadi pun mereka sudah tahu
bahwa pendeta gendut ini lihai sekali. Akan tetapi karena mereka berenam dan
mereka juga berada di dalam sarang musuh, mereka menjadi nekat dan serentak
mereka maju menyerang Sai-cu Lama yang berdiri menantang. Enam batang pedang
dengan gerakan cepat sekali meluncur atau melayang ke arah tubuh gendut itu
dari segala jurusan.
Enam orang
itu jelas bukan orang sembarangan karena sekali bentrok saja mereka
masing-masing telah mampu merobohkan seorang pengeroyok dengan pedang mereka.
Permainan pedang mereka cukup cepat dan kuat. Akan tetapi, yang mereka serang
saat itu adaiah Sai-cu Lama, orang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih
tinggi dari mereka.
Dari gerakan
mereka tadi saja Sai-cu Lama sudah tahu bahwa enam orang itu bukan merupakan
lawan yang terlalu kuat. Kalau dia menghendaki, dalam beberapa gebrakan saja
dia mampu untuk merobohkan enam orang lawannya.
Akan tetapi,
di situ terdapat Hou Seng, pembesar yang berkuasa di istana itu dan dia ingin
memperlihatkan kepandaiannya. Maka, begitu melihat datangnya tusukan-tusukan
dan bacokan-bacokan, ia sengaja memperlihatkan kekebalannya. Dengan kedua
lengan tangan telanjang, ia menangkisi semua serangan itu, bahkan tusukan
sebatang pedang dari belakang dan bacokan pedang dari kiri yang mengenai
punggung dan lehernya, dia sengaja diamkan saja tanpa ditangkis.
Terdengar
suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental begitu terkena tangkisan
lengannya mau pun yang mengenai punggung dan lehernya, tanpa sedikit pun
melukai kulitnya, kecuali merobek bajunya di bagian punggung!
Tentu saja
Hou Seng kagum bukan main, sebaliknya enam orang penyerang itu terkejut
setengah mati. Tak mereka sangka bahwa di situ hadir seorang pendeta Lama yang
demikian lihainya. Akan tetapi, untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin
karena tempat itu dijaga oleh banyak sekali pengawal. Mereka menjadi nekat dan
sekarang menyerang kembali dengan pedang mereka, hanya kini menujukan serangan
mereka ke arah bagian-bagian tubuh yang kiranya tidak dapat dilindungi
kekebalan, terutama di bagian mata.
Menghadapi
serangan ini, Sai-cu Lama tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini kumpulan
tikus-tikus kecil berani bermain gila di depan seekor harimau!"
Kaki
tangannya bergerak dengan aneh sambil dibarengi bentakan-bentakannya yang
melumpuhkan dan dalam waktu singkat saja lima dari enam orang penyerbu itu
telah roboh tewas. Dan yang ke enam, yang wanita dan usianya sekitar tiga puluh
tahun, berwajah cantik, sudah ditangkapnya! Wanita itu terpaksa melepaskan
pedangnya dan kini tertotok roboh tak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya
lumpuh.
"Ha-ha-ha,
apakah Hou Taijin ingin melihat bagaimana macamnya orang ini di balik
pakaiannya?"
Dan sekali
tangannya bergerak, terdengar kain robek dan pakaian bagian depan dari wanita
itu telah dirobek lepas! Nampak tubuhnya yang lumayan mulusnya, dan wanita itu
hanya mampu merintih namun tidak mampu bergerak untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang bagian depannya itu.
"Nanti
dulu, jangan bunuh orang ini. Kita harus tahu siapa yaag menyuruh mereka!"
Tiba-tiba Hou Taijin berseru keras.
Dalam
keadaan seperti itu, mana dia tertarik melihat tubuh wanita telanjang? Lagi
pula, wanita itu sudah terlalu tua untuknya. Bagi pembesar istana ini, usia
wanita lewat lima belas tahun sudah terlalu tua!
Mendengar
ini, Sai-cu Lama mengangguk-angguk dan tertawa, dia maklum apa yang dikehendaki
oleh Hou Taijin. "He-heh-heh, tikus betina, kau sudah mendengar sendiri
ucapan Hou Taijin. Hayo katakan, siapa yang mengutus kalian berusaha membunuh
Hou Taijin? Hayo cepat katakan, jika tidak aku akan mengerat tubuhmu sepotong
demi sepotong, tidak sampai kau mati, tetapi akan membuat engkau hidup sebagai
seorang yang tanpa batang hidung, tanpa daun telinga, tanpa jari tangan dan
kaki!"
Wanita itu
memang maklum bahwa ia sudah tidak berdaya. Mendengar ancaman itu, ia bergidik.
Dia tidak dapat membayangkan betapa ngeri dan sengsaranya dibiarkan hidup dalam
keadaan cacad seperti itu. Lebih baik dibunuh saja! Dan ia pun tahu bahwa
seorang sakti dan kejam seperti pendeta Lama ini tentu akan memenuhi
gertakannya tadi. Maka, dengan lirih dan suara gemetar ia pun membuat
pengakuan.
"Yang
mengutus kami adalah... adalah... Pangeran Cui..."
"Apa?
Pangeran Cui yang mana? Yang tua atau yang muda?"
"Pangeran...
Cui muda..."
"Keparat!"
bentak Hou Seng sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke atas telapak tangan
kirinya sendiri. Wajahnya berubah merah dan dia marah sekali.
Pangeran Cui
muda itu adalah seorang pangeran yang menjadi keponakan kaisar, dan termasuk
seorang di antara mereka yang tidak suka kepadanya. Meski di dalam sebuah pesta
yang diadakan pangeran muda Cui pernah menghinanya dengan sindiran dengan
bercerita tentang kehidupannya sebagai selir pria kaisar, namun dia menahan
dirinya.
Pangeran
muda Cui itu bukan merupakan lawan yang membahayakan kedudukannya, karena itu
tiada artinya memperbesar permusuhan dengannya, tidak menguntungkan. Akan
tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa agaknya pangeran muda itu
demikian benci kepadanya sehingga diam-diam mengutus enam orang jagoan untuk
membunuhnya!
"Losuhu,
jika losuhu bisa membawa kepala pangeran Cui muda kepadaku, barulah aku percaya
akan kesetiaan losuhu kepadaku!" Setelah berkata demikian, dengan
tergesa-gesa Hou Seng meninggalkan rumah itu, pulang ke rumah sendiri dengan
keretanya, dikawal dengan ketat oleh anak buah Kim Hwa Nionio.
"Celaka,
di mana anak setan itu?" Tiba-tiba Kim Hwa Nionio berteriak.
Ia telah
kehilangan Suma Lian! Tadi, ketika ia melindungi Hou Taijin, ia lupa kepada
anak perempuan itu. Kini, setelah Hou Seng pergi, baru ia teringat akan Suma
Lian dan setelah mengatur anak buahnya untuk mengawal Hou Seng dengan ketat, ia
kemudian mencari dan memaki-maki karena kehilangan anak perempuan itu.
"Ia,
takkan mampu lari jauh, Nionio. Sebaiknya engkau membantuku, apa yang harus
kulakukan dengan perempuan ini dan bagaimana aku dapat memenuhi permintaan Hou
Taijin tadi!? kata Sai-cu Lama sambil memandang kepada wanita yang masih
terlentang di atas lantai itu. "Kubunuh saja dia ini?" Dia menuding
ke arah tubuh wanita itu.
"Enam
orang anak buahku terluka oleh mereka. Lemparkan ia untuk enam orang anak
buahku yang terluka. Kemudian kita rundingkan mengenai perintah tadi. Biar
kubawa sendiri perempuan ini!" Kim Hwa Nionio lalu menjambak rambut yang
terlepas dari sanggulnya itu, sekali renggut saja tubuh yang lemas itu bangkit
berdiri dan Kim Hwa Nionio membentak penuh ancaman, "Hayo katakan siapa
nama pemimpin rombongan kalian dan yang mana dia?”
Perempuan
yang sudah sangat ketakutan itu hanya bisa memandang dengan sepasang matanya
yang terbelalak ketakutan ke arah seorang di antara mereka yang berjenggot
panjang dan bertubuh tinggi kurus dan yang sudah menggeletak dengan nyawa
putus. "Dia... dialah pemimpin dan toako kami, bernama...Ban Leng..."
"Nah,
Sai-cu Lama, lekas kau ambil kepalanya dan bawa dalam bungkusan. Aku akan
mengantar dulu perempuan ini!"
Kim Hwa
Nionio pergi sambil menyeret perempuan itu. Dia menengok enam orang anak
buahnya yang tadi terluka oleh pedang dan ia melemparkan perempuan itu di
antara mereka yang masih rebah. "Nih, untuk obat jerih payah kalian!"
Lalu ia
meninggalkan perempuan itu di dalam kamar. Telinganya masih menangkap jerit
rintih perempuan itu di antara suara ketawa orang-orangnya, dan dia pun
tersenyum sadis.
Ketika ia kembali ke ruangan tamu, Sai-cu Lama
telah membungkus kepala si jenggot panjang dengan kain, setelah memenggal leher
mayat itu dengan pedang rampasan. Kim Hwa Nionio memerintahkan orang-orangnya
untuk membawa pergi mayat-mayat itu dan membersihkan ruang tamu, sedangkan ia sendiri
kemudian mengajak Sai-cu Lama berunding di kamarnya.
Dan malam
itu juga, keduanya pergi meninggalkan rumah besar itu. Sai-cu Lama pergi
membawa buntalan besar, sedangkan Kim Hwa Nionio bersama lima orang pembantu
pilihan pergi mencari Suma Lian. Dia percaya bahwa tidak mungkin Suma Lian
dapat meninggalkan kota raja pada malam hari itu. Anak itu tentu masih berada
di kota raja, bersembunyi di suatu tempat.
Malam sudah
menjelang pagi ketika sesosok tubuh yang tinggi besar berperut gendut memasuki
halaman sebuah rumah mungil berwarna merah. Dua orang penjaga segera keluar
dari pintu gerbang, menghadang pendeta yang berperut gendut dan membawa
buntalan besar itu. Rumah itu adalah rumah pelesir, tidak mungkin seorang
pendeta datang ke situ untuk mencari perempuan! Apa lagi pada saat seperti itu!
"Heiii,
tahan dulu. Siapa kau dan mau mencari siapa? Kami rasa engkau telah keliru
masuk rumah orang!"
Pendeta itu
menggelengkan kepala. "Salah masuk? Bukankah ini rumah pelesir Pintu
Merah? Dan bukankah Pangeran Cui Muda berada di sini?"
Dua orang
itu adalah pengawal-pengawal pangeran itu yang bertugas jaga di luar, sedangkan
kawan-kawan mereka bertugas jaga di dalam. Mereka sedang kesepian, mengantuk
dan kedinginan. Kini mereka merasa beruntung ada sesuatu yang penting dapat
mereka sampaikan paling dulu kepada sang pangeran.
"Ehhh?
Bagaimana kau menyangka seorang pangeran berada di tempat ini? Jangan bicara
sembarangan, losuhu!" kata seorang di antara mereka ketika kini Sai-cu
Lama berdiri di bawah sinar lampu sehingga mereka berdua dapat melihat jelas
bahwa dia adalah seorang pendeta.
"Dari
siapa engkau bisa mengatakan bahwa Pangeran Cui Muda berada di sini?"
tanya seorang ke dua.
"Janganlah
mencurigai pinceng, kawan-kawan. Pinceng adalah sahabat baik dari Ban Leng, dan
pinceng datang ke sini karena diutus oleh Ban Leng. Dia sendiri bersama
kawan-kawannya tak mungkin datang karena harus bersembunyi dan mereka tidak
ingin diketahui orang lain saat datang menghadap sang pangeran, oleh karena itu
mengutus pinceng agar tidak menimbulkan kecurigaan. Siapa akan mencurigai
seorang pendeta? Ha-ha-ha! Tolong laporkan kepada Pangeran Cui Muda bahwa
pinceng Tiong Hwesio utusan Ban Leng datang mohon menghadap untuk menyampaikan
berita tentang enam orang seniman yang menyerbu musuh!"
Tentu saja
dua orang pengawal itu mengenal baik siapa Ban Leng itu. Kepala dari enam
jagoan yang dipercaya oleh pangeran. Oleh karena itu, seorang di antara mereka
lalu cepat melapor ke dalam dan para kepala pengawal yang mengerti akan pentingnya
urusan, lalu memberanikan diri menggugah sang pangeran dari tidurnya.
Pangeran Cui
Muda, seperti para bangsawan pada waktu itu, juga merupakan seorang bangsawan
muda yang suka pelesir. Isteri dan selir-selirnya yang berjumlah lebih dari dua
belas orang di rumah itu agaknya mulai membosankannya dan kadang-kadang dia
pergi mengunjungi rumah-rumah pelesir untuk menikmati pengalaman-pengalaman
baru dengan pelacur-pelacur yang tentu saja lebih pandai dalam hal melayani
kaum pria dibandingkan dengan selir-selirnya.
Malam itu
memang dia sengaja memilih Pintu Merah, rumah pelesir kaum bangsawan untuk
menjadi tempat dia menantikan Ban Leng dan kawan-kawannya yang diutusnya untuk
membunuh Hou Seng! Begitu para penyelidiknya memberi kabar bahwa malam itu Hou
Seng memanggil serombongan seniman untuk menghibur tamu, dia lalu cepat menyuruh
Ban Leng dan saudara-saudaranya untuk bertindak.
Ban Leng dan
lima orang saudara seperguruannya memang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan
pembunuh-pembunuh bayaran kelas tinggi yang sudah lama dipercaya dan diperalat
oleh Pangeran Cui Muda. Mereka lalu mencegat rombongan seniman itu, dan
membunuh serta menyamar menggantikan kedudukan mereka sampai mereka berhasil
berhadapan dengan Hou Seng! Akan tetapi mereka salah perhitungan, sama sekali
tidak tahu bahwa di rumah itu terdapat orang-orang sakti seperti Kim Hwa Nionio
dan Sai-cu Lama!
Karena sudah
berjanji untuk menanti Ban Leng dan kawan-kawannya di tempat itu, ketika dia
digugah dan diberi tahu bahwa seorang yang diutus oleh Ban Leng mohon
menghadap, sang pangeran menjadi girang dan cepat menyuruh para pengawalnya
yang berjumlah tujuh orang itu untuk membawa utusan Ban Leng itu segera
menghadap kepadanya.
Ketika
pendeta Lama yang tinggi besar berperut gendut itu menghadap Pangeran Cui Muda,
mereka saling pandang penuh selidik dan sang pangeran merasa agak heran, sama
sekali tidak mengira bahwa utusan Ban Leng itu adalah seorang pendeta hwesio
Lama yang belum pernah dilihatnya.
"Siapakah
losuhu ini? Benarkah engkau disuruh oleh Ban Leng?" tanya pangeran itu
dengan alis berkerut dan memandang ke arah buntalan yang berada di atas pundak
pendeta itu.
"Pinceng
adalah hwesio Tiong yang diutus Ban Leng untuk menyerahkan kepala... ehh,
sebelum pinceng melanjutkan, benarkah pinceng sedang berhadapan dengan Pangeran
Cui Muda?"
"Akulah
Pangeran Cui Muda! Ban Leng mengutusmu menyerahkan sebuah kepala? Apakah mereka
telah berhasil?" tanya pangeran itu dengan wajah gembira bercampur tegang.
Para
pengawal yang mendengar percakapan itu juga merasa tegang. Mereka semua
mendekat, mengepung hwesio itu untuk melihat kepala siapa yang akan di haturkan
itu.
Sai-cu Lama
tertawa. "Mereka selamat... ha-ha-ha, inilah kiriman dari Ban Leng untuk
paduka, Pangeran Cui!"
Dan dia pun
membuka buntalan itu perlahan-lahan di depan sang pangeran dan anak buah
pengawal. Perlahan-lahan, sebuah kepala nampak dan ketika buntalan itu sudah
terbuka semua, nampak sebuah kepala yang tengadah dan terdengar pangeran itu
berteriak kaget karena dia segera mengenal bahwa kepala itu adalah kepala dari
Ban Leng sendiri! Juga para pengawal berteriak kaget.
"Pegang
orang ini!" Sang pangeran berseru keras.
Para
pengawal sudah mengepung Sai-cu Lama yang kini tertawa bergelak. Ketika tujuh
orang itu dibarengi oleh jerit ketakutan beberapa orang wanita pelacur yang
mencoba untuk mengintai dan mereka melihat kepala yang berlumuran darah,
menyerang ganas, Sai-cu Lama lalu menggerakkan kaki tangannya dan tujuh orang
pengawal itu seperti daun-daun kering tertiup angin saja, berpelantingan ke
sana-sini!
"Heh-heh,
perlahan dulu, pangeran!" Sai-cu Lama menggerak-gerakkan tangan kirinya ke
depan, ke arah pangeran itu seperti orang melambai dan memanggil dan.... tubuh
pangeran yang sudah sampai ke pintu itu terjengkang dan bergulingan sampai ke
depan kaki Sai-cu Lama!
Pada saat
itu, seorang pengawal yang dapat bangkit kembali dan melihat majikannya
terancam, sudah menggerakkan goloknya menyerang dengan bacokan ke arah leher
pendeta Lama itu. Akan tetapi, gerakan golok itu terhenti di tengah udara
ketika tiba-tiba kaki Sai-cu Lama meluncur ke depan, mengenai lambungnya. Orang
itu memekik keras, goloknya terlempar ke atas dan ketika meluncur turun, sudah
disambut oleh tangan kiri Sai-cu Lama.
"Ampun...
ampunkan aku...," ratap sang Pangeran Cui.
Akan tetapi
ketika nampak sinar golok itu berkelebat, leher pengeran itu sudah putus dan
kepalanya sudah terangkat ke atas dengan dijambak rambutnya oleh Sai-cu Lama.
Dan pendeta Lama itu pun tidak mau bekerja kepalang tanggung. Dia membawa
kepala yang masih bertetesan darah itu sambil mengamuk dan tanpa ampun lagi
dibunuhnya tujuh orang pengawal itu, termasuk suami isteri tua pemilik rumah
pelacuran itu dan tak ketinggalan pula lima orang pelacur yang berada di situ
dan dua orang pelayan!
Habis sudah
seluruh penghuni Pintu Merah itu dibantai oleh Sai-cu Lama menggunakan golok
rampasannya. Kemudian, sekali berkelebat dia pun sudah meninggalkan rumah itu
sambil membawa sebuah kepala, kepala yang dibuntalnya pula dengan kain bekas
pembungkus kepala Ban Leng tadi!
Pada pagi
hari itu juga, tanpa diketahui seorang pun, diam-diam Sai-cu Lama mengirim
kepala itu ke rumah Hou Taijin! Ketika Hou Taijin terbangun dari tidurnya,
tahu-tahu di meja kamarnya telah terdapat buntalan itu yang ketika dibuka
ternyata berisi kepala Pangeran Cui Muda! Tentu saja Hou Seng menjadi girang
akan tetapi juga ngeri, cepat dia memerintahkan orang kepercayaannya untuk
mengubur kepala itu secara rahasia.
Kini dia
baru percaya benar akan kelihaian dan kesetiaan Sai-cu Lama dan hatinya merasa
girang bukan main. Kini, di samping Kim Hwa Nionio, dia memperoleh tenaga
bantuan seorang yang boleh diandalkan, yang tentu saja akan memperkuat
kedudukan dirinya dalam persaingan dengan para pembesar yang tidak suka
kepadanya…..
**************
Sementara
itu, Suma Lian yang tadi mengikuti keributan yang terjadi di rumah itu karena
penyerbuan enam orang musuh Hou Taijin yang menyamar sebagai seniman-seniman,
menggunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan tak seorang pun
memperhatikan dirinya, untuk menyelinap keluar dari rumah.
Para
pengawal dan penjaga yang mengerahkan seluruh perhatiannya terhadap enam orang
yang sedang digempur oleh Sai-cu Lama, tentu saja tidak menaruh perhatian
terhadap Suma Lian, apa lagi tidak ada perintah apa pun dari Kim Hwa Nionio.
Suma Lian
lari dalam kegelapan malam, berlindung di bagian-bagian gelap, menyelinap di
antara rumah-rumah orang dan ia merasa agak lega bahwa tidak terdengar ada
orang mengejarnya. Akan tetapi setelah berjalan berputar-putar di kota raja
yang besar itu, tidak tahu ke mana harus melarikan diri, tahu-tahu malam mulai
berganti pagi dan kegelapan mulai terusir oleh sinar matahari. Hatinya pun
mulai gelisah.
Kegelisahannya
berubah kekhawatiran dan ketakutan ketika tiba-tiba, dari balik sebuah rumah,
ia melihat Kim Hwa Nionio dan lima orang pengawal di depan dan berhenti di
simpang empat. Ia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik rumah itu,
jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kalau mereka itu berpencar mencarinya,
tentu ia akan terpegang!
Ia menoleh
ke belakang. Ada sebuah jembatan besar di jalan itu. Kalau saja ia dapat
melewati jembatan itu tanpa terlihat, tentu ia akan dapat lari menjauh, dan
mencari tempat sembunyi yang aman! Di seberang jembatan nampak banyak
pohon-pohon dan semak-semak, ia dapat bersembunyi di balik pohon-pohon atau di
balik semak-semak itu!
Dengan nekat
Suma Lian lalu lari, agak membongkok-bongkok, melalui bagian gelap dari
jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya seperti diangkat ke atas dan
tahu-tahu tubuh itu sudah terlempar keluar dari jembatan!
Jika saja
bukan Suma Lian, gadis cilik yang memiliki ketabahan luar biasa, tentu sudah
menjerit. Akan tetapi Suma Lian menahan rasa ngerinya dan tidak menjerit,
bahkan tak sempat menjerit karena tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan
tidak lagi mampu mengeluarkan suara karena ia sudah tertotok!
Suma Lian
mengejap-ngejapkan matanya untuk membiasakan mata itu dalam cuaca yang agak
gelap itu. Ternyata ia sudah berada di bawah jembatan dan ketika ia dapat
melihat lebih jelas, ia telah terduduk dan tak mampu bergerak, sedangkan di
dekatnya duduk seorang kakek tua yang berpakaian jembel butut!
Wajah kakek
itu penuh rambut yang semuanya sudah putih, rambutnya awut-awutan menutupi
muka, bercampur dengan jenggot dan kumisnya yang semuanya juga sudah putih.
Seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel, seorang pengemis yang kotor!
Dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh kakek itu membuat Suma Lian demikian
kaget dan takutnya sehingga ia merasa jantungnya hampir copot.
Kakek itu
merenggut semua pakaiannya, merobek-robek pakaian itu dan melemparnya ke bawah,
setelah membuntal sepotong batu dengan pakaian itu. Tentu saja pakaian itu
tenggelam ke dalam air sungai! Dan kini, kakek itu tanpa banyak cakap lagi,
memercik-mercikkan air kotor berlumpur ke seluruh tubuh Suma Lian. Air
berlumpur itu dicampur dengan bungkusan obat yang dikeluarkan dari saku jubahnya
yang butut.
Seluruh
tubuh anak itu berlumur campuran ini yang membuat seluruh kulitnya, dari tumit
sampai ke kulit kepala bawah rambut, menjadi kecoklatan. Dan rambut anak itu
diawut-awut secara kasar! Kemudian, dia mengeluarkan sehelai kain yang butut
dan penuh tambalan, dan memaksa Suma Lian mengenakan pakaian ini dan berubahlah
Suma Lian menjadi seorang anak pengemis yang amat buruk, kotor dan berbau busuk
pula!
"Hemmm,
sudah agak patut, tetapi rambutmu terlalu bersih, tidak ada kutunya seekor pun.
Ini tidak mungkin bukan?" Entah kepada siapa dia bicara, kepada diri
sendiri atau kepada Suma Lian atau kepada seseorang yang tidak nampak.
Kemudian,
dengan hati-hati, di dalam cuaca yang masih agak gelap di bawah jembatan itu,
dia mulai mencari kutu-kutu dari rambutnya yang putih awut-awutan dan setiap
kali mendapatkan seekor, lalu kutu rambut itu dia letakkan ke dalam rambut Suma
Lian. Tentu saja anak ini merasa amat jijik, takut dan ngeri sehingga kalau
saja dia mampu mengeluarkan suara, tentu ia akan menjerit-jerit!
Diam-diam ia
memperhatikan kakek itu dan memandang dengan kedua mata terbelalak penuh
kemarahan dan kebencian. Celaka, pikir Suma Lian. Ini yang namanya lolos dari
sumur terjerumus ke dalam lubang! Terlepas dari tangan orang-orang macam Sai-cu
Lama, kini terjatuh ke tangan seorang kakek yang selain lebih sadis, lebih
jahat, juga masih ditambah kenyataan yang mengerikan, yaitu gila! Sepuluh kali
lebih baik menjadi tawanan Sai-cu Lama atau nenek yang bernama Kim Hwa Nionio
itu dari pada ditawan oleh kakek gila ini.
Ia tidak
mampu bergerak dan tak mampu bersuara karena ditotok, juga tidak tahu nasib apa
yang akan dihadapinya. Namun jelas amat mengerikan karena kakek ini memang
orang gila. Baru mencium bau pakaian kakek itu, serta dari pakaian yang
dipaksakan menutupi tubuhnya saja, ia sudah muak dan hampir muntah.
Tiba-tiba
terdengar suara panggilan lembut, suara lembut akan tetapi nyaring menusuk
telinga, suara Kim Hwa Nionio! "Anak baik, keluarlah dari tempat
sembunyimu! Jangan membikin marahku, nanti kujewer telingamu!"
Beberapa
kali suara itu terdengar dan Suma Lian berusaha mengerahkan tenaga untuk
membebaskan totokan yang membuat suaranya tak dapat dikeluarkan. Agaknya kakek
tadi menotok sembarangan sehingga dengan pengerahan tenaga sinkang-nya,
akhirnya ia mampu mengeluarkan suara, "... aku...!"
Akan tetapi
baru mengeluarkan kata itu yang dimaksudkan untuk memberi tahu Kim Hwa Nionio
bahwa ia berada di bawah jembatan, kakek jembel itu nampak terkejut dan sudah
menotoknya lagi!
"Sialan
kau anak gila!" bisik kakek itu.
Huh, kakek
jembel, engkau yang gila, malah memaki aku gila, balas Suma Lian memaki dalam
hatinya.
"Kalau
mereka tadi mendengar dan minta kita keluar, engkau harus keluar dengan kaki
terpincang-pincang. Mengerti?"
Suma Lian
menentang pandang mata kakek itu dengan penuh kemarahan dan sengaja
menggelengkan kepala tanda bahwa ia tidak mau menurut!
"Kau
harus terpincang-pincang!" kakek itu berbisik lagi, nada suaranya memaksa.
Akan tetapi
tetap saja Suma Lian menggeleng kepala dan tersenyum mengejek. Ada rasa girang
di hatinya bahwa ia mampu melawan dan membuat kakek itu kecewa, walau pun hanya
dengan tidak mentaati perintah gila dan aneh itu!
Pada saat
itu terdengar derap kaki banyak orang di atas jembatan! Kemudian terdengar
bentakan suara Kim Hwa Nionio dengan nyaring, "Siapa berada di bawah
jembatan? Hayo keluar!"
Kakek itu
tak menjawab. Tiba-tiba nampak kepala Kim Hwa Nionio menjenguk ke bawah
jembatan. "Heiii, kalian! Hayo keluar, cepat!" bentaknya.
Kakek itu
kini membebaskan totokan pada kaki tangan Suma Lian, akan tetapi tetap tak
membebaskan totokan yang membuatnya tak mampu bersuara, lalu dia menggerakkan
jari telunjuknya mengetuk tulang kering kaki kiri Suma Lian.
"Tukkk...!"
Bukan main
nyeri rasa kaki yang diketuk itu. Suma Lian tentu menjerit kesakitan kalau saja
ia tidak tertotok dan ia hanya mampu memegangi dan mengurut-urut kaki itu yang
rasanya seperti patah-patah tulang keringnya. Akan tetapi kakek itu menariknya
keluar dari jembatan itu.
Tanpa
diperintah lagi, Suma Lian yang ditarik itu berjalan terpicang-pincang.
Tangannya tak pernah terlepas dari pegangan si kakek, begitu kerasnya pegangan
itu, seolah-olah merupakan ancaman bahwa kalau ia memberi tanda-tanda, tentu
tangannya itu akan dicengkeram sampai hancur!
Kim Hwa
Nionio dan lima orang temannya menghampiri kakek jembel itu. "Siapa anak
ini?" bentak Kim Hwa Nionio.
"Heh-heh,
anak sialan ini? Ia cucuku, akan tetapi ia timpang dan gagu. Huh, tidak ada harapan
untuk menampung hari tuaku. Eh, kalian mau membelinya? Akan kujual murah, asal
kalian mempunyai seguci arak saja dan beberapa keping uang untukku, kuberikan
anak ini, heh-heh-heh!"
Bukan main
marahnya Suma Lian! Ia dikatakan timpang dan gagu, dan mau dijual. Bukan
dijual, malah hanya ditukar dengan seguci arak! Kakek gila ini benar-benar
jahat sekali, lebih jahat dari pada Sai-cu Lama! Tetapi karena genggaman pada
tangannya itu keras sekali dan ia tidak mau tangannya remuk, apa lagi ia tahu
bahwa kakek ini amat lihai dan belum tentu kalah oleh Kim Hwa Nionio, ia pun
diam saja hanya menundukkan mukanya.
Kim Hwa
Nionio sudah putus harapan melihat anak perempuan jembel itu. Sama sekali bukan
Suma Lian, bumi dan langit jauh bedanya. Anak ini hitam, kotor, berbau, timpang
dan gagu lagi. Tiba-tiba dia menggunakan kebutannya untuk menyingkap pakaian
yang membungkus tubuh anak itu. Nampaklah kulit tubuhnya yang kotor kecoklatan,
maka ditutupnya lagi dengan menarik kembali kebutannya.
Nenek ini
memang cerdik. Kalau tadi nampak tubuh itu putih mulus, tentu akan timbul
kecurigaannya. Akan tetapi anak perempuan itu memang kotor luar dalam!
"Maukah
kalian beli? Mau? Murah saja..."
"Huh,
mampuslah engkau tua bangka pemabuk gila. Mari kita pergi!" Kim Hwa Nionio
mendengus dan mengajak anak buahnya pergi dari situ.
Kakek itu
menggerutu panjang pendek. "Sialan! Terkutuk! Dijual murah pun tidak
laku... hayaaaa...!"
Dan dia pun
menyeret tubuh Suma Lian. Gadis cilik ini terpaksa mengikutinya dengan kaki
terpincang-pincang karena rasa nyeri di kakinya belum juga sembuh.
Kakek itu
terus menyeret tubuh Suma Lian sampai ke pintu gerbang. Pintu gerbang itu sudah
dibuka dan orang-orang mulai keluar masuk. Para penjaga pintu gerbang tentu
saja tidak mencurigai kakek jembel itu, walau pun pada pagi hari itu terjadi
geger dan penjagaan di situ amat ketat dan pengawasan terhadap orang-orang yang
keluar masuk lebih teliti.
Berita
tentang peristiwa pembunuhan yang hebat di rumah pelesir Pintu Merah itu sudah
tersiar dan terdengar oleh mereka pula. Dikabarkan orang betapa Pangeran Cui
Muda telah tewas di tempat itu dan kepalanya hilang entah ke mana. Semua
pengawal dan penghuni rumah itu pun tewas, dan ada pula sebuah kepala yang
dikenal sebagai kepala orang yang bernama Ban Leng, seorang jagoan di kota
raja. Tentu saja hal ini mengejutkan dan menggegerkan, karena tidak ada seorang
pun dapat menduga siapa pembunuh semua orang itu.
Baru setelah
tiba di luar kota, jauh dari tembok kota raja, di tempat yang sunyi, kakek tua
renta itu mengajak Suma Lian berhenti. Sekali saja dia mengurut kaki yang
diketuk tadi, rasa nyeri pun lenyap. Setelah itu, dia membebaskan totokan yang
membuat Suma Lian tadi gagu. Begitu bisa bicara dan dilepaskan pegangan
tangannya, Suma Lian langsung memaki-maki.
"Kau
kakek gila, kakek jembel busuk yang bau! Hemm, kalau aku ada kemampuan, tentu
akan kubunuh kau! Aku benci padamu! Kau telah menghinaku, menyakiti aku,
ahhh... betapa jahat engkau kakek gila!"
Kakek itu
memandang kepadanya dan tersenyum, agaknya dia senang menyaksikan keberanian
anak perempuan itu. "Ha-ha-ha, engkau memang pemberani dan tabah, akan
tetapi kurang panjang akal. Tidak tahukah bahwa semua yang kulakukan itu hanya
sandiwara saja? Kau kuajak bermain untuk menipu nenek galak itu dan ternyata
aku berhasil. Ha-ha, nenek galak itu berhasil kutipu. Kita menjadi
pemain-pemain sandiwara yang baik sekali."
"Bohong!"
Suma Lian berteriak marah, suaranya nyaring dan keras karena sejak tadi ia
menahan-nahan kemarahannya dan baru sekarang ini ada kesempatan baginya untuk
mengeluarkan semua kemarahan itu. "Engkau sengaja menipuku! Engkau jahat,
tentu engkau mempunyai niat buruk dan terkutuk! Engkau gila dan jahat, kakek
jembel bau busuk! Kau buang pakaianku, kau..."
"Sssttt
apa kau hendak menghancurkan segala keberhasilan kita dengan teriak-teriak
begitu dan mengundang datangnya musuh? Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari
pengejaran mereka tadi. Sekarang engkau telah terbebas, engkau boleh pergi ke
mana engkau suka."
Suma Lian
tercengang. Kakek ini tidak bohong! Dan barusan ia telah memaki-makinya,
memaki-maki kakek yang sudah menolongnya bebas dari tangan Sai-cu Lama dan Kim
Hwa Nionio. Ahhh, benar, dia yang bodoh. Kalau saja ia tidak penuh kecurigaan
tadi, sehingga kakek itu tidak terpaksa mengetuk kakinya sampai terpaksa dia
terpincang-pincang tentu dia telah mengikuti permainan sandiwara itu dan kini
dapat tertawa-tawa bersama kakek itu!
"Hemm,
kiranya benar engkau!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu Kim
Hwa Nionio telah muncul di situ! "Kau tua bangka telah berhasil menipuku
di sana, akan tetapi tetap saja aku dapat menemukanmu dan kau harus menebus
dosamu dengan nyawa!"
Suma Lian
merasa menyesal bukan main. Kakek itu menolongnya, malah kini terancam nyawanya
karena kesalahannya! Kalau ia tidak marah-marah dan memaki-maki, belum tentu
Kim Hwa Nionio dapat menemukan mereka! Maka, ia pun lalu melangkah maju
menghadapi Kim Hwa Nionio dan berkata lantang.
"Nenek,
aku Suma Lian tidak mau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bawalah aku
kembali, tetapi jangan ganggu kakek jembel tua itu. Kalau engkau mengganggunya,
aku akan mengadu kepada Hou Taijin dan minta agar dia menghukummu. Hayo bawa
aku kembali kepada Hou Taijin!"
Tentu saja
Suma Lian tidak tahu betapa ketika ia menyebutkan nama marganya, kakek jembel
itu nampak terkejut bukan main. Kakek itu kini malah memegang lengan Suma Lian
dan memutar tubuh anak itu menghadapinya sambil bertanya, "Anak baik,
apakah benar kau she (nama marga) Suma? Hayo katakan, siapa ayahmu?"
Suma Lian
merasa heran, akan tetapi lalu menjawab, "Ayahku bernama Suma Ceng Liong.
Jangan khawatir, kek. Aku akan menanggung bahwa kau takkan diganggu oleh nenek
itu."
Akan tetapi
kakek itu sudah tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, engkau bernama Suma Lian,
puteri dari Suma Ceng Liong? Ha-ha-ha-ha, heiii, Kim Hwa Nionio. Berani benar
engkau menculik puteri keturunan keluarga para pendekar Pulau Es? Apakah engkau
sudah bosan hidup? Hayo, mari kita yang sudah sama tuanya ini mengadu
kepandaian, dan jangan ganggu seorang anak kecil!" Berkata demikian, kakek
jembel itu kemudian melangkah lebar menghadapi Kim Hwa Nionio dengan sikap
memandang rendah sekali.
Kim Hwa
Nionio mengerutkan alisnya, bulu-bulu kebutan di tangannya tergetar. Akan
tetapi nenek ini tidak mau ceroboh. Ia tahu bahwa biar pun orang ini nampaknya
tua renta dan jembel berbau busuk yang seperti orang gila, akan tetapi mungkin
saja dia menyembunyikan kesaktian di balik kegilaan dan kemiskinannya itu.
Hampir semua
tokoh dunia persilatan pernah didengarnya, walau pun belum semua dijumpainya,
maka ia segera bertanya, suaranya berwibawa, "Tua bangka bosan hidup,
siapakah namamu?"
"Ha-ha-ha,
namaku? Aku seorang pengemis tua tanpa nama. Hayo majulah, kecuali jika takut
atau kasihan melawan aku, pergilah dan jangan ganggu lagi anak perempuan
ini!"
"Wirrrrr...
singgg...!"
Kebutan itu
menyambar. Demikian kuatnya tenaga yang mendorongnya sehingga tidak hanya
mengeluarkan angin berdesir keras, tetapi juga menimbulkan suara berdesing
seperti kalau senjata tajam digerakkan dengan amat kuatnya! Kebutan itu
menyambar ke depan, bulu-bulunya saja terpecah menjadi beberapa gumpalan dan
masing-masing gumpalan itu seperti ular-ular hidup mematuk ke arah jalan-jalan
darah di sekitar pundak dan leher kakek jembel itu.
"Hayaaaa...!
Kiranya engkau lihai sekali...!" Kakek itu berseru dan biar pun nampaknya
terkejut dan mengagumi kehebatan nenek itu, akan tetapi tanpa banyak kesukaran
dia sudah dapat menghindarkan diri dari sambaran kebutan dengan melempar tubuh
ke belakang dan berjungkir balik tiga kali.
Kembali
kebutan sudah menyambar. Akan tetapi kedua tangan kakek itu membuat
dorongan-dorongan aneh, kemudian setelah dari kedua tangannya itu keluar angin
yang menolak bulu-bulu kebutan dan membuyarkan gumpalan-gumpalan bulu itu
menjadi mawut bagai rambut kepala wanita tertiup angin, dia membuat
coretan-coretan di udara dan tahu-tahu dua jari telunjuknya telah melakukan
totokan-totokan bertubi-tubi sampai sembilan kali ke arah jalan-jalan darah
terpenting di tubuh nenek Kim Hwa Nionio!
"Ahhh...!"
Nenek itu terpaksa mengeluarkan teriakan kaget.
Cepat ia
memutar kebutannya melindungi diri. Akan tetapi masih saja jari-jari tangan itu
sempat menerobos gulungan sinar kebutan sehingga terpaksa nenek itu yang kini
melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menyelamatkan dirinya.
Suma Lian
yang tadinya hanya memandang bengong, tiba-tiba saja berteriak, "Hong-in
Bun-hoat!"
"Ha-ha-ha,
anak baik, ternyata engkau cukup cerdas!" kakek jembel itu berseru sambil
menoleh dan tersenyum kepada Suma Lian.
Akan tetapi
nenek Kim Hwa Nionio yang merasa penasaran sudah menerjangnya lagi, membuat
kakek itu tak sempat lagi untuk senyum-senyum. Nenek itu terlalu berbahaya
untuk tidak dihadapi dengan sungguh-sungguh. Kini terjadilah perkelahian yang
sangat hebat, yang lantas membuat pandang mata Suma Lian menjadi kabur saking
cepatnya gerakan kedua orang tua itu.
Memang
perkelahian itu hebat sekali, terjadi antara dua orang tua yang masing-masing
memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kim Hwa Nionio diam-diam terkejut bukan
main. Ia adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian, oleh karena ia adalah
murid dari Pek-bin Lo-sian yang sudah mewarisi ilmu dari kakek itu.
Pek-bin
Lo-sian selain gurunya, juga menjadi kekasihnya dan hanya karena pada
akhir-akhir itu ia melakukan penyelewengan, suka bermain gila dengan laki-laki
lain yang jauh lebih muda dari gurunya itu, maka di antara mereka terdapat
suatu jurang pemisah. Dan itu jugalah sebabnya mengapa Pek bin Lo-sian tidak
memberikan Pedang Suling Naga kepadanya!
Tetapi ilmu
kepandaian Pek-bin Lo-sian telah diwarisinya semua dan jika dibandingkan dengan
Sam Kwi yang menjadi saudara-saudara misan seperguruan, ilmu kepandaian Kim Hwa
Nionio ini tingkatnya tidak kalah tinggi, bahkan mungkin lebih matang dan lebih
tangguh setelah ia memiliki ilmu memainkan kebutannya yang amat lihai itu.
Akan tetapi
sekarang, dan baru sekarang ini, dia menemui tandingan yang demikian tangguhnya
dalam diri kakek jembel tua ini! Ia merasa penasaran sekali dan nenek itu
segera mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu simpanannya
untuk mengalahkan lawan.
Namun, ia
selalu kecelik. Semua ilmunya dapat disambut dengan amat baiknya oleh kakek itu
dan suatu kali, bahkan tangan kiri Kim Hwa Nionio beradu dengan tangan kanan si
kakek jembel dengan kuat sekali.
"Dukkkk...!"
Kim Hwa
Nionio mengerahkan tenaganya yang sudah diperkuat dengan latihan ilmu hitam
ketika ia bertapa di Pegunungan Himalaya. Maka ketika kedua tangan bertemu,
tenaga yang keluar dari tangan kirinya itu dahsyat bukan main. Tapi, pertemuan
tenaga itu hanya membuat kakek itu mundur dua langkah, sedangkan ia sendiri
terhuyung ke belakang, tanda bahwa ia masih kalah kuat dalam tenaga sinkang
melawan kakek tua renta itu.
Akan tetapi
hal itu tidaklah begitu mengejutkan hatinya. Yang membuat ia amat terkejut
adalah ketika ia merasa betapa tangan kirinya itu ketika bertemu dengan tangan
kanan kakek itu, dijalari oleh hawa panas seperti bara api yang terus menyusup
ke seluruh lengannya! Ia terkejut dan cepat-cepat mengerahkan tenaga dari dalam
untuk menolak hawa panas itu, karena kalau dibiarkan terus menyusup ke dalam
dadanya dapat membuat ia terluka dalam!
Setelah ia
berhasil menolak keluar hawa panas itu, Kim Hwa Nionio yang menjadi makin
penasaran dan marah itu kembali menubruk dan melancarkan serangan bertubi,
suatu kombinasi antara serangan kebutan yang sudah lihai itu dengan
tamparan-tamparan tangan kiri yang mengeluarkan bunyi berkerotokan, dan masih
diselingi oleh tendangan-tendangan kedua kakinya.
"Lihat...
ha-ha-ha, selama ini tak pernah bertemu lawan, sekali bertanding menghadapi
siluman perempuan yang lihai. Haiiiiitt...!" Tiba-tiba saja kakek tua
renta itu nampak gembira sekali dan dia pun menyambut semua serangan lawan itu
dengan tangkisan, elakan, dan juga membalas dengan serangan-serangan yang tidak
kalah ampuhnya.
Walau pun
dia hanya bertangan kosong, akan tetapi setiap kali kaki atau tangannya
bergerak, maka angin pukulan dahsyat sekali menyambar dan membuat pakaian nenek
itu berkibar-kibar keras! Sekali waktu, dengan tiba-tiba nenek itu menyatukan
bulu-bulu kebutannya yang berubah kaku oleh tenaga sinkang-nya dan seperti
sebatang pedang saja, kebutan yang bulunya bersatu dan kaku itu menusuk ke arah
tenggorokan kakek itu!
"Wahhhhh...!"
Kakek itu terbelalak kagum, dan kini tangan kirinya dengan jari tangan terbuka
lalu menangkis ke arah pedang aneh itu.
"Takkkk...!"
Ujung
kebutan yang menjadi kaku itu bertemu dengan telapak tangan, seperti pedang
bertemu perisai yang kuat, akan tetapi nenek itu terbelalak dan meloncat kaget
bukan main. Ketika kebutannya tadi bertemu dengan tangan itu, ada hawa dingin
seperti es menjalar ke dalam lengan kanannya dan hal inilah yang amat
mengejutkan hatinya.
"Kiranya
engkau seorang dari Pulau Es! Siapa engkau?" bentaknya dengan muka agak
pucat karena diam-diam ia merasa bahwa isi dadanya terguncang dan ia menderita
luka walau pun tidak parah.
Hal ini
adalah karena tadi ia bersiap siaga untuk serangan dengan hawa panas. Siapa
tahu tiba-tiba saja sinkang kakek itu berubah dingin seperti es. Dan tahulah ia
bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli dari Pulau Es!
"Ha-ha-ha,
orang seperti engkau ini mana ada harganya untuk mengenal orang-orang bersih
dari keluarga para pendekar Pulau Es? Hayo, masih hendak kau lanjutkan
lagi?" tantang kakek itu.
Kim Hwa
Nionio tahu diri. Kalau di situ ada Sai-cu Lama, tentu ia akan minta kepada
kawannya itu untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi, ia hanya seorang diri
saja dan ia tahu bahwa kakek jembel tua renta itu masih terlampau kuat
untuknya. Maka ia lalu menjura.
"Baiklah,
sekali ini aku mengalah, akan tetapi lain kali aku tidak akan mengampuni
nyawamu, jembel tua bangka!" Setelah berkata demikian, dia lalu meloncat
dan lari kembali ke kota raja, diiringi suara ketawa dari kakek jembel itu.
Sejak tadi
Suma Lian nonton dengan penuh perhatian, tetapi juga penuh kekaguman. Ketika ia
mendengar ucapan Kim Hwa Nionio bahwa kakek itu adalah orang dari Pulau Es, ia
jadi terkejut, akan tetapi juga terheran-heran di samping kegirangannya. Ia
girang bahwa kalau memang benar kakek ini dari Pulau Es, berarti masih kerabat.
Akan tetapi ia terheran-heran karena kalau benar dia seorang keluarga Pulau Es,
kenapa begitu jorok dan tingkah lakunya seperti oranq yang miring otaknya?
"Ha-ha-ha!"
kini kakek itu tertawa-tawa memandang kepada Suma Lian. "Iblis betina
seperti itu saja berani mengganggu kita, keluarga dari para pendekar Pulau Es,
sungguh tak tahu diri, ya?"
Suma Lian
ikut tersenyum pula. Biar pun kakek ini tertawa tanpa disertai matanya yang
nampak sayu seperti orang menderita duka, namun kata-katanya lucu.
"Kek,
engkau sungguh hebat sekali!"
"Kelak
engkau harus lebih hebat dari pada aku, anak yang baik. Namamu Suma Lian dan
kau puteri Suma Ceng Liong? Ha, sungguh hebat, engkau memang pantas menjadi
keturunan keluarga Suma!"
"Bu-beng
Lo-kai, jelaskan padaku..."
"Nanti
dulu! Siapa yang kau ajak bicara itu? Siapa itu Bu-beng Lo-kai?"
Suma Lian
tersenyum. "Siapa lagi kalau bukan engkau. Bukankah tadi nenek Kim Hwa
Nionio bertanya namamu dan kau menjawab bahwa engkau adalah seorang Pengemis
Tua Tanpa Nama (Bu-beng Lo-kai). Nah, engkau adalah Bu-beng Lo-kai."
Kakek itu nampak
girang sekali dengan julukan baru ini. Selama ini dia tidak pernah
memperkenalkan nama kepada siapa pun juga sehingga dia sendiri seperti sudah
lupa kepada nama sendiri, akan tetapi sekarang dia seperti mendapatkan sebuah
sebutan nama baru yang cocok dengan keadaan dirinya. Bu-beng Lo-kai (Pengemis
Tua Tanpa Nama)!
"Ha-ha-ha,
Bu-beng Lo-kai? Bagus, bagus... engkau memang anak pandai."
"Bu-beng
Lo-kai, sekarang jelaskan siapa dirimu dan bagaimana engkau bisa pandai
memainkan Hong-in Bun-hoat! Dan agaknya engkau mengenal pula nama ayahku."
"Kenapa
tidak? Ayahmu yang bernama Suma Ceng Liong itu adalah putera tunggal dari Suma
Kian Bu dan Teng Siang In, bukan?"
"Benar
sekali! Ahh, bagaimana engkau dapat mengenal keluarga kami?"
"Karena
Suma Kian Bu, kakekmu itu, adalah adik kandung dari mendiang isteriku yang
tercinta..."
"Ah...!"
Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. "Jadi engkau... engkau adalah
suami nenek Milana? Engkau adalah kakek Gak Bun Beng...?"
Kakek itu
merangkul Suma Lian dan anak ini pun merasa terharu, akan tetapi ia harus
menahan kemuakan karena hidungnya mencium bau apek, tanda bahwa kakek itu
agaknya memang benar-benar telah terlantar dan tak pernah mandi, entah sejak
berapa lamanya!
"Sudah
lama aku mengubur nama sial itu, biarlah mulai sekarang sampai mati, aku adalah
Bu-beng Lo-kai saja," kata kakek itu.
Suma Lian
semakin terharu mendengar betapa ada isak tertahan di dalam suara yang seperti
keluhan itu. Kakek ini menderita batin dan kelihatan berduka sekali, pikirnya.
Ia pun merangkul dan memandang wajah yang tertutup rambut, kumis dan jenggot
putih lebat itu, memandang sepasang mata yang masih bersinar tajam akan tetapi
seperti tertutup awan gelap itu.
Para pembaca
yang mengikuti kisah-kisah terdahulu dari seri 'Pendekar Super Sakti' atau
'Suling Emas Naga Siluman', tentu tidak asing dengan nama ini. Gak Bun Beng! Di
dalam cerita 'Sepasang Pedang Iblis' telah diceritakan dengan jelas dan menarik
tentang kehidupan pendekar ini, seorang pendekar besar yang setelah mengalami
jatuh bangun akhirnya berjodoh dengan wanita yang dicinta dan mencintanya,
yaitu Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri
Nirahai.
Seperti kita
ketahui, mereka hidup menjauhkan diri dari istana di mana Puteri Milana pernah
membantu kaisar untuk menghadapi para pemberontak. Mereka mempunyai sepasang
anak kembar, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang kemudian menjadi
Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).
Ketika nenek
Milana masih hidup, Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, berkali-kali
membujuk sepasang anak kembar itu untuk segera menikah karena mereka berdua
sudah ingin sekali memondong cucu. Akan tetapi, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong
tidak pernah mau menuruti permintaan orang tua mereka ini. Keduanya tak pernah
dapat saling berpisah, jadi sukar sekali bagi mereka untuk mendapatkan
isteri-isteri yang cocok.
Akhirnya,
puteri atau nenek Milana marah sekali dan setiap hari memarahi kedua orang
putera kembarnya yang usianya sudah semakin banyak itu. Hal ini membuat Gak Jit
Kong dan Gak Goat Kong lalu pergi minggat meninggalkan Beng-san. Mereka
merantau dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini,
mereka mempunyai seorang murid wanita bernama Souw Hui Lan dan ternyata wanita
inilah satu-satunya wanita yang mereka cinta berdua, dan ternyata kemudian Souw
Hui Lan juga mencinta mereka!
Sementara
itu, kakek Gak Bun Beng dan nenek Milana, untuk menghibur hati mereka yang
merasa kecewa atas sikap kedua orang anak mereka itu, mengasingkan diri di
puncak Beng-san dan mereka hanya bertapa.
Kemudian,
pada suatu hari, muncullah dua orang putera mereka itu bernama seorang gadis
manis dan mereka menyatakan bahwa kini mereka ingin menikah dengan gadis itu,
yang juga menjadi murid mereka! Mereka itu, kedua orang anak kembar mereka itu,
hendak menikah dengan seorang gadis saja! Milana menentang keras dan hampir
saja turun tangan membunuh anak-anaknya sendiri kalau saja tidak dicegah
suaminya yang minta kepada kedua orang anak kembarnya itu untuk pergi dan
mengurus sendiri saja pernikahan yang dianggapnya memalukan itu.
Sepeninggal
tiga orang itu yang terpaksa meninggalkan Beng-san dengan hati tertekan, nenek
Milana meninggal karena sakit. Pukulan batin yang hebat ini tak tertahankan
oleh kakek Gak Bun Beng. Urusan kedua orang puteranya sudah membuat dia berduka
dan kecewa sekali, dan kini dia ditinggal mati isterinya yang tercinta dalam
keadaan batinnya masih menderita oleh pukulan pertama.
Dengan hati
penuh duka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong mengajak murid dan calon isteri
mereka untuk berkunjung lagi ke Beng-san dan menyembahyangi jenazah ibu mereka.
Mereka minta ampun kepada jenazah ibu mereka, dan ketika mereka minta ampun
kepada Gak Bun Beng, pendekar ini hanya menggeleng kepala dengan penuh duka.
"Aku
tidak mencampuri lagi urusan kalian. Lakukanlah apa yang kalian suka, aku...
aku... sudah tak bisa berpikir lagi... tinggalkanlah aku sendiri bersama
kuburan isteriku," demikian katanya setelah jenazah Milana dikubur dan
sampai berbulan-bulan Gak Bun Beng hidup di dekat kuburan isterinya, tak pernah
mau merawat dirinya.
Duka, kecewa
dan kesengsaraan batin selalu menjadi akibat dari pada ikatan. Ikatan batin
selalu mendatangkan duka nestapa. Isteriku, anakku, hartaku, kedudukanku,
MILIKKU.
Kalau batin
sudah ikut memiliki apa yang dipunyai oleh badan, maka sekali waktu yang
dimiliki itu menentangnya, tidak menurut, atau meninggalkannya, maka batin itu
akan menderita, kecewa, berduka. Badan memang membutuhkan banyak hal untuk
dipunyai, karena badan harus bertumbuh terus, mempertahankan hidupnya. Badan
membutuhkan sandang, pangan, papan, bahkan badan berhak menikmati kesenangan
melalui panca indriya dan alat-alat tubuhnya.
Akan tetapi,
semua yang dibutuhkan badan itu, biarlah dipunyai oleh badan saja. Kalau sampai
batin ikut memiliki, maka akan timbul ikatan. Segala sesuatu yang dimiliki itu
akan berakar di dalam batin, sehingga kalau sewaktu-waktu yang dimiliki itu
dicabut dan dipisahkan, batin akan berdarah dan merasa nyeri, kehilangan,
kecewa, berduka dan akhirnya mendatangkan sengsara. Batin harus bebas dari
ikatan, tak memiliki apa-apa!
Mempunyai
akan tetapi tidak memiliki, itulah seninya! Yang mempunyai adalah badan, akan
tetapi mengapa batin ikut-ikut memilikinya? Cinta kasih bukan berarti memiliki
dan menguasai! Dan cinta kasih ini urusan batin, bukan urusan badan. Urusan
badan adalah cinta asmara, nafsu birahi dan kesenangan badaniah.
Badan
mengalami sesuatu yang mendatangkan nikmat dan kesenangan, dan ini adalah
urusan badan. Kalau sudah habis sampai di situ saja, memang semestinya
demikianlah. Akan tetapi kalau sang aku, yaitu pikiran atau ingatan,
mencatatnya dan sang aku ingin mengulanginya, ingin menikmatnya lagi, maka ini
berarti batin ingin memiliki sehingga timbullah ikatan terhadap yang
menimbulkan kenikmatan atau kesenangan itu. Dan jika sekali waktu kita harus
berpisah dari yang telah mengikat kita, maka timbullah duka dan sengsara.
Seperti juga
Gak Bun Beng dan Milana, kita selalu mengatakan dengan mulut bahwa kita
mencinta anak-anak kita. Akan tetapi cinta kita itu membuat kita ingin selalu
ditaati oleh anak-anak kita! Kita merasa berkuasa atas diri mereka! Kita merasa
bahwa kita memiliki mereka dan berhak mengatur kehidupan mereka! Dan yang
beginilah yang kita anggap cinta!
Kalau sekali
waktu anak-anak kita membantah dan tidak mentaati kehendak kita, maka kita lalu
kecewa, marah-marah, berduka dan mungkin saja cinta kita berubah menjadi
kebencian dan sakit hati. Inikah yang dinamakan cinta? Bukankah cinta kita
kepada anak-anak kita ini kita samakan dengan cinta kita terhadap binatang
peliharaan atau benda-benda lain yang mendatangkan kesenangan bagi kita?
Di dalam
cinta kasih, tidak ada lagi ‘aku yang ingin disenangkan’! Di dalam nafsu dan
kesenangan, selalu ‘aku’ yang menonjol. Cinta kasih tidak menuntut apa-apa
untuk ‘aku’. Cinta kasih mementingkan orang yang dicinta, sama sekali tidak
berpamrih untuk diri pribadi. Cinta kasih beginilah yang tidak akan menimbulkan
duka dan sengsara, karena tidak mengejar kesenangan untuk diri sendiri saja,
yang sudah mengikat batin, yang akan mendatangkan duka dan sengsara sebagai
kebalikannya.
Kurang lebih
setahun kemudian, Gak Bun Beng baru meninggalkan kuburan isterinya. Akan tetapi
dia telah berubah. Kakek yang tadinya merupakan seorang pertapa yang gagah
perkasa itu, yang arif bijaksana itu, kini menjadi seorang kakek jembel yang
kotor sekali tubuhnya. Tidak pernah mau mengurus tubuhnya, dan hidup
berkeliaran bagaikan pengemis yang gila. Tak seorang pun mempedulikannya dan
dia pun tak mempedulikan apa-apa lagi.
Kasihan
sekali Gak Bun Beng, walau pun semua itu adalah akibat dari pada keadaan
batinnya sendiri. Dia merasa kesepian. Dia merasa amat iba kepada dirinya
sendiri dan dia merasa nelangsa karena merasa tidak ada gunanya lagi hidup di
dunia, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain.
Selama ini,
yang dimilikinya sampai mengikat batinnya adalah isterinya dan dua orang
puteranya. Namun dua orang puteranya tidak mentaatinya, bahkan kemudian
isterinya, satu-satunya orang yang masih tersisa, satu-satunya yang masih
menjadi miliknya lahir batin, meninggalkan dirinya.
Dalam
perantauan yang tidak ada tujuan ini, akhirnya dia berkeliaran di kota raja!
Biar pun keadaannya telah menjadi seorang kakek jembel yang seperti tidak waras
otaknya, namun Gak Bun Beng bekas pendekar yang sudah sering menjelajah di kota
raja. Dia mengenal keadaan kota raja dan masih peka oleh berita-berita yang
bersimpang siur.
Dia
mendengar pula tentang keadaan yang kacau balau di istana, tentang pembesar Hou
Seng yang menguasai istana dan membuat kaisar menjadi seperti boneka. Semua
percakapan di jalan didengarnya dengan peka. Namun, dia hanya tertawa dan sama
sekali tidak mempedulikannya.
Sampai pada
saat dia sedang beristirahat di bawah jembatan dan melihat seorang anak
perempuan berlari-lari itu. Sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang lewat di
atas jembatan itu dan mencari-cari seorang anak perempuan. Timbul perasaan iba
di hatinya yang memang berwatak pendekar dan suka menolong mereka yang
tertindas. Kasihan dia melihat seorang anak perempuan dikejar-kejar, apa lagi
karena dia melihat bahwa seorang di antara pengejarnya adalah Kim Hwa Nionio!
Dia
mendengar nama ini dari orang-orang di tepi jalan, bahwa Kim Hwa Nionio adalah
pengawal pribadi utama dari pembesar Hou Seng! Hatinya tertarik, terutama
sekali saat melihat betapa gerak-gerik nenek itu jelas memperlihatkan
kelihaiannya sebagai orang yang memiliki ilmu kesaktian!
Kalau
biasanya dia acuh saja terhadap segala peristiwa di sekelilingnya, dan andai
kata ada suatu peristiwa yang membuat dia terpaksa turun tangan, maka semua itu
dia lakukan dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang. Akan tetapi, dia
merasa kasihan kepada anak perempuan itu dan cepat dia menariknya ke kolong
jembatan dan tanpa banyak cakap lagi karena waktunya hanya sempit, dia lalu
menukar pakaian dan melumuri tubuh Suma Lian agar pantas menyamar sebagai
seorang anak perempuan pengemis.
Dan usahanya
campur tangan secara diam-diam itu berhasil. Akan tetapi pada saat dia hendak
membebaskan anak itu, kembali muncul Kim Hwa Nionio sehingga terpaksa dia
mempergunakan kepandaian yang selama ini disembunyikannya saja untuk melindungi
anak itu dan dirinya sendiri. Dan sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa
anak itu ternyata adalah cucu keponakannya sendiri, puteri dari keponakannya,
Suma Ceng Liong!
Bu-beng
Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama), nama baru yang dipergunakan Gak Bun Beng,
memegang tangan anak itu dan tersenyum ramah. "Suma Lian, kini ceritakan
kepadaku bagaimana engkau bisa sampai ke kota raja dan jatuh ke tangan orang
seperti Kim Hwa Nionio itu."
"Yang
menculik aku bukan nenek itu, kek, melainkan seorang pendeta Lama berjuluk
Sai-cu Lama." Anak itu lalu bercerita tentang kemunculan Sai-cu Lama di
kebun rumah orang tuanya di dusun Hong-cun, menculiknya ketika ia sedang
berlatih silat di bawah pimpinan neneknya. Bu-beng Lo-kai mendengarkan penuh
perhatian.
"Nenekmu
Teng Siang In tidak mampu melindungimu dan merampasmu kembali dari tangan
Sai-cu Lama itu? Wah, kalau begitu pendeta Lama itu tentu lihai bukan
main!" kata kakek itu.
"Memang
dia lihai sekali dan sekarang dia membantu Kim Hwa Nionio menjadi kaki tangan
pembesar yang disebut Hou Taijin itu."
Kakek itu
mengangguk-angguk, kemudian memandang wajah anak itu. "Dan bagaimana
sekarang, cucuku? Engkau sudah berada di kota raja dan sudah bebas, apakah
engkau kini ingin pulang ke Hong-cun? Aku akan mengantarmu sampai ke luar
dusunmu, lalu engkau kutinggalkan di sana kalau kau ingin pulang."
"Dan
engkau sendiri hendak pergi ke mana, kek?" tanya anak itu, memandang
kepada orang tua itu dengan sinar mata mengandung rasa belas kasihan. Kakek ini
demikian menderita, pikirnya.
"Aku?
Ha, aku sendiri tidak tahu akan ke mana. Aku tidak punya apa-apa lagi... di
mana pun menjadi tempat tinggalku. Aku tidak butuh apa-apa lagi..." Akan
tetapi di dalam suaranya ini terkandung kedukaan dan keputus asaan yang
mendalam.
Merantau!
Ah, betapa keinginan ini sejak lama sudah memenuhi hati Suma Lian. Sudah
beberapa kali ia mengajak ayah ibunya, juga neneknya, supaya ia dibawa
merantau, terutama ke kota raja. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa keadaan
sekarang tidak aman dan ia masih terlampau kecil untuk melakukan perjalanan jauh.
Sekarang, ia telah berada di kota raja. Sayang kalau ia harus pulang kembali
begitu saja. Jiwa petualang bergelora di dalam hatinya.
"Kek,
aku tidak mau pulang!" Tiba-tiba ia berkata dengan suara lantang.
"Ehhh?"
Bu-beng Lo-kai memandang heran. "Tidak mau pulang?"
"Aku
tidak mau pulang dulu, aku ingin ikut denganmu!"
"Ikut
denganku?" kakek itu termenung.
Akan tetapi
Suma Lian melihat dengan jelas perubahan di wajah yang ditutupi rambut itu.
Sepasang mata yang masih tajam itu kini mengeluarkan sinar, walau pun masih
redup. Ada gairah.
"Mau
ikut denganku? Hidup seperti ini? Tanpa rumah dan tanpa apa-apa, seperti jembel
berkeliaran dan terlantar?"
"Mengapa
tidak? Bagi seorang perantau, tak perlu tempat tinggal tetap. Aku dapat tidur
di mana saja. Bukankah keluarga kita, keturunan para pendekar Pulau Es, berjiwa
perantau dan tabah menghadapi segala hal? Aku dapat tidur di kuil, di hutan, di
mana saja, kek."
"Tanpa
pakaian indah, tidak ada uang, tidak ada kekayaan apa pun?"
"Aku
tidak ingin pakaian yang indah-indah, asalkan bersih. Kebersihan perlu sekali,
kek. Bukankah seperti kata nenekku, kebersihan itu pangkal kesehatan dan
kesehatan itu pangkal kegembiraan? Bagaimana kita bisa gembira kalau kita tidak
sehat, dan bagai mana kita bisa sehat kalau kita tidak bersih? Bagaimana,
kakekku yang baik, bolehkah cucumu ini ikut merantau bersamamu dan tiap ada
kesempatan kau mengajarkan ilmu silat keluarga kita kepadaku?"
Ada semacam
cahaya memasuki hati kakek itu. Suma Lian, anak perempuan berusia dua belas
tahun ini, mendatangkan gairah hidup di dalam batinnya, membuat ia merasa bahwa
ia masih dibutuhkan orang! Dia masih berguna!
"Baiklah,
cucuku. Baik, kita merantau bersama."
Bukan main
girangnya rasa hati Suma Lian. Ia setengah bersorak merangkul kakek itu, akan
tetapi lalu menutupi hidungnya. "Ihh, engkau berbau tak enak sekali, kek.
Engkau harus mandi yang bersih, mencuci rambut itu, mengikatnya dan juga
berganti pakaian. Aku juga. Hampir muntah aku kalau tercium bau bajuku sendiri
ini!"
"Berganti
pakaian? Aku tidak punya cadangan pakaian. Selimut bututku sudah menjadi
pakaianmu."
"Aku
akan mencarikan ganti untukmu, kek. Mari kita ke dusun atau kota terdekat, dan
aku akan mencari pakaian untuk kita berdua."
Anak itu
menarik tangan kakek itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke
kota raja karena mereka khawatir kalau bertemu dengan Kim Hwa Nionio dan
kawan-kawannya. Kakek itu membawa Suma Lian ke sebuah dusun yang cukup ramai di
sebelah barat kota raja dan mereka berdua berhenti di sebuah kuil tua yang
kosong.
"Apakah
perutmu tidak merasa lapar, kek?" tiba-tiba anak itu bertanya.
Kakek itu
mengangguk. "Sejak kemarin siang aku tidak makan apa-apa," jawabnya
jujur.
Harus
diakuinya di dalam hati bahwa dia kadang-kadang sudah tidak peduli lagi apakah
perutnya terisi atau tidak, bahkan dia sudah lupa bagaimana rasanya kenyang
atau lapar itu. Selama ini dia seperti mayat hidup saja.
"Kalau
begitu, kau tinggal saja dan tunggu aku di sini, kek. Aku akan mencari makanan
dan pakaian untuk kita."
Kakek itu
memandang dengan alis berkerut. "Kau akan membelinya?"
Suma Lian
tersenyum lucu penuh rahasia. "Kau tunggu sajalah, dan tanggung beres,
kek." Anak itu lalu berlari-larian meninggalkan kuil, diikuti pandangan
mata yang penuh keharuan oleh kakek tua renta itu.
Mulailah
pohon yang hampir mati kekeringan itu memperoleh air kehidupan lagi, mulai
bersemi semangat untuk hidup dan bergairah. Dia merasa seolah-olah Suma Lian
itu cucunya sendiri, cucu yang sangat diharapkan selama bertahun-tahun oleh dia
dan mendiang isterinya, cucu yang tidak kunjung ada dan kini tiba-tiba saja
muncul seorang cucu dalam kehidupannya!
Dia tidak
khawatir akan keselamatan Suma Lian. Anak itu pandai berjaga diri, dan dia pun
tidak perlu mengkhawatirkan munculnya Kim Hwa Nionio. Kuil itu berada di dekat
pintu pagar dusun sebelah timur sehingga kalau ada orang muncul dari jurusan
kota raja, dia akan dapat melihatnya lebih dulu sebelum orang itu dapat bertemu
dengan Suma Lian yang berada di tengah dusun itu.
Kurang lebih
sejam kemudian, sesosok bayangan kecil datang berloncatan. Suma Lian masuk ke
dalam kuil itu melalui tembok belakang yang dengan mudah diloncatinya. Ia
membawa buntalan yang cukup besar dan wajahnya berseri-seri ketika ia menghadap
Bu-beng Lo-kai di ruangan kuil tua yang lantainya sudah mereka bersihkan tadi.
"Makanan
dan pakaian yang cukup untuk kita, kek!" kata anak itu sambil membuka
buntalannya di depan kakek itu.
Bu-beng
Lo-kai memandang dan mengerutkan alisnya ketika dia melihat dua buah panci yang
terisi masakan-masakan dan daging, juga bakmi yang masih panas. Dan selain
makanan itu, juga terdapat beberapa potong pakaian yang masih baru untuknya,
juga untuk anak itu!
"Hai...!
Dari mana kau memperoleh semua ini? Tak mungkin kalau engkau mengemis dan
diberi orang!" tegur kakek itu.
"Aihh,
kek. Nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang, paling perlu mengisi perut
yang sudah lapar dengan makanan ini. Dan ini seguci arak untukmu!" Seperti
main sulap saja, Suma Lian mengeluarkan seguci arak yang ketika dibuka
tutupnya, berbau harum sekali, membuat kakek itu menelan air ludah saking ingin
segera mencicipinya.
Kakek itu
mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga dari mana pun asalnya makanan itu, kini
sudah berada di situ dan memang sebaiknya dimakan saja dulu, baru nanti dia
akan menuntut keterangan dan kalau perlu memberi teguran keras kepada anak ini
kalau benar seperti dugaannya bahwa anak ini telah melakukan pencurian!
Dan, barang
curian atau bukan, kalau perut sudah sedemikian laparnya, masakan itu luar
biasa enaknya! Baru sekarang selama dia ditinggal mati isterinya, kakek itu
makan sedemikian lahapnya dan enaknya. Suma Lian juga makan dengan lezat,
melupakan bau tidak sedap yang datang dari kakek itu dan dari pakaiannya
sendiri. Tidak lama kemudian, makanan itu sudah mereka sikat habis dan kakek
itu dengan wajah puas lalu meneguk arak dari gucinya.
"Nah,
sekarang kau..."
"Nanti
dulu, kek. Ketika aku pergi tadi, ada kulihat sebatang sungai kecil di belakang
kuil ini. Airnya jernih sekali. Mari kita membersihkan badan, mandi dan
berganti pakaian dulu, baru bicara. Akan lebih enak begitu. Marilah, kek!"
Anak itu
kemudian menarik tangan Bu-beng Lo-kai yang terpaksa bangkit berdiri sambil
membawa guci araknya. Suma Lian membawa buntalan pakaian dan mereka keluar dari
kuil, lalu membelok ke arah belakang kuil di mana benar saja terdapat sebuah
anak sungai yang jernih airnya.
"Nah,
kau mandilah dan ganti pakaianmu itu dengan pakaian ini, kek. Lihat, kupilihkan
yang polos kuning dan putih untukmu, dengan ikat pinggang biru. Tentu pantas
sekali untukmu. Dan ini minyak pencuci rambutmu. Cucilah rambutmu dan badanmu
yang bersih, kek. Aku menanti di sini," katanya sambil duduk di bawah
sebatang pohon besar, tak jauh dari anak sungai itu yang berada di bawah, tidak
nampak dari situ.
"Kau
dulu yang mandi dan bertukar pakaian. Aku nanti saja setelah engkau. Aku akan
berjaga di sini sambil minum arak. Arak ini enak sekali!" kata kakek itu
malas-malasan.
"Baiklah,
akan tetapi setelah aku selesai, engkau harus mandi dan berganti pakaian, kek.
Berjanjilah!”
Kakek itu
hendak membantah, akan tetapi ketika melihat wajah anak perempuan itu, tak
sampai hatinya membantah. Dia mengangguk-angguk. "Baiklah." Dan
menenggak arak lagi seteguk dari gucinya, mengecap-ngecap dan menjilat-jilat
bibirnya.
Suma Lian
membawa satu stel pakaian berwarna biru muda dan sambil tertawa-tawa ia
berloncatan menuruni tebing menuju ke sungai itu. Tak lama kemudian terdengar
suara ia berkecimpung di dalam air sambil bernyanyi-nyanyi kecil, suara yang
amat asing dan baru baginya, namun indah sekali dan menyegarkan batinnya. Kini
dia dapat tersenyum-senyum penuh kegembiraan seorang diri, bukan lagi senyum
untuk menyembunyikan kedukaan hatinya.
Tak lama
kemudian, Suma Lian sudah berada lagi di depannya. Segar sekali wajah yang kini
bersih dan putih kembali itu, rambutnya yang hitam panjang itu masih basah
kuyup dan diperasnya, lalu dibiarkan terurai agar cepat kering, kedua kakinya
memakai sepatu baru dan pakaian yang dipakainya itu membuatnya nampak manis
sekali.
"Nah,
sekarang engkaulah yang mandi, mencuci rambutmu dan berganti pakaian,
kek!" kata Suma Lian sambil menyerahkan pakaian untuk kakek itu.
Bu-beng
Lo-kai memandang pakaian yang berwarna putih dan kuning polos itu dengan alis
berkerut, seperti seorang anak kecil memandang obat pahit yang harus
ditelannya. Beberapa kali dia menggelengkan kepalanya.
"Wah,
bagaimana aku bisa memakai pakaian sebersih itu? Tentu aku akan takut duduk di
tempat sembarangan, selalu harus menjaga agar pakaianku tak menjadi kotor. Wah,
repot sekali kalau begitu, tidak bebas lagi aku..."
"Janji,
kek. Janji harus dipenuhi, bukankah itu satu di antara sifat kegagahan?"
"Ya-ya,
akan tetapi..."
"Tidak
ada tapi, kek. Aku yakin bahwa dulu, entah kapan, pernah engkau merupakan
seorang yang suka akan kebersihan, tidak seperti sekarang ini! Engkau sudah
berjanji akan mandi dan berganti pakaian, kek!"
Mendengar
ucapan itu, Bu-beng Lo-kai termenung dan teringat akan isterinya. Isterinya,
Puteri Milana, ketika masih muda, sebagai isterinya, juga suka sekali akan
kebersihan. Dia sering diomeli isterinya itu kalau menaruh barang di
sembarangan tempat, juga isterinya itu menghendaki agar dia selalu bersih, baik
badannya mau pun pakaiannya.
Dan dia pun
selalu menjaga dirinya agar bersih. Akan tetapi bertahun-tahun sudah dia hidup
tanpa peduli akan apa yang dinamakan kebersihan. Bahkan tidak ada yang kotor
baginya. Bukankah daun-daun kering itu juga bersih? Tanah dan lumpur itu pun
bersih! Akan tetapi sekarang, kata-kata dan sikap Suma Lian mengingatkan dia
kembali akan kehidupannya dahulu, sebelum isterinya meninggalkannya untuk
selamanya.
"Akan
tetapi... pakaian seperti ini...? Ingat, cucuku, mulai tadi aku sudah memakai
nama Bu-beng Lo-kai. Ingat, apa artinya lo-kai? Pengemis tua! Kalau aku memakai
pakaian begini, mana bisa namaku Lo-kai? Seorang pengemis tua harus mengenakan
pakaian butut dan penuh tambalan, kalau tidak begitu, mana mungkin dia laku
mengemis? Tak akan ada orang mau memberi sedekah!"
Tiba-tiba
Suma Lian tertawa menutupi mulutnya. "Hi-hi-hik, sudah kuduga engkau akan
mengajukan alasan itu, karena itu aku pun sudah siap, kek. Nah, lihat
ini!"
Ia
mengeluarkan jarum dan benang, lalu ia merobek pakaian kakek itu di sana-sini,
merobek kain kuning paha celana dan memindahkan atau menempelkan robekan itu di
pundak baju putih dan sebaliknya. Ia merobek sana-sini, tambal sana tambal sini
dan akhirnya pakaian itu menjadi pakaian penuh tambalan yang sesungguhnya
merupakan pemindahan saja dari bagian-bagian yang dirobek tadi. Kini bajunya
yang putih penuh tambalan kuning, sedangkan celana kuning penuh tambalan putih.
"Nah,
pakaianmu sudah penuh tambalan, syarat bagi seorang pengemis, bukan? Akan
tetapi, betapa pun miskinnya, seorang pengemis tetap berhak untuk hidup bersih.
Dan karena itu, di sini masih tersedia dua stel lagi untukmu dan lima stel
pakaian untukku. Setiap hari kita berganti pakaian, yang kotor akan kucuci
sampai bersih, dan setiap hari kita mandi!"
Kembali
kakek itu termenung, dia teringat akan mendiang isterinya. Sama benar watak
isterinya dengan anak ini, ketika isterinya masih muda. Keras, lincah, galak,
pandai bicara dan juga amat suka akan kebersihan. Ia sudah kehabisan akal untuk
membantah lagi dan terpaksa dia menerima satu stel pakaian yang sudah penuh
tambalan itu dan menuruni tebing. Dan Suma Lian menahan ketawanya ketika ia
mendengar kakek itu berkecimpung dan mendengar pula senandung yang digumamkan
mulut itu.
"Yang
bersih, kek! Rambutnya juga...!" ia berteriak ke arah bawah tebing.
Dari bawah
sana terdengar suara ketawa. "Wah, engkau cerewet benar seperti seorang
nenek tua saja!" Dan Suma Lian kembali tertawa.
Bu-beng
Lo-kai membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk membersihkan tubuhnya yang
sangat kotor, terutama rambutnya yang sudah menjadi gimbal saling melekat itu.
Akan tetapi ada suatu keanehan terjadi pada dirinya. Begitu dia merendam
tubuhnya di dalam air dan membersihkan semua kotoran, dia merasa hatinya
demikian ringan dan senang, membuat dia gembira seperti seorang anak kecil
saja.
Betapa
keriangan hati itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, asalkan batin
tidak dipenuhi oleh segala macam persoalan yang sebenarnya hanyalah
peristiwa-peristiwa yang kita jadikan persoalan sendiri! Tidak ada masalah di
dunia ini kecuali hal itu dibuat menjadi masalah. Tidak ada kesusahan kecuali
kejadian itu kita buat sendiri menjadi kesusahan!
Kalau batin
tidak sibuk lagi oleh segala macam penilaian yang menimbulkan aku yang kemudian
melahirkan iba diri, maka segala hal dapat kita hadapi sebagaimana adanya,
sebagai suatu kewajaran dan segala tindakan kita terhadap hal yang terjadi itu
muncul dari kecerdasan akal budi, tanpa keluhan lagi. Keriangan hati akan
selalu terasa oleh kita apabila batin kita bersih dari segala persoalan yang
dibuat oleh pikiran.
Kenikmatan
terdapat di dalam hal-hal yang kecil dan remeh, karena hidup merupakan suatu
berkah di mana segala-galanya sudah terdapat untuk kita nikmati. Di tanah, di
air, di udara, di mana saja terdapat kenikmatan itu, kenikmatan hidup karena
setelah batin kita bersih dari pada segala kekuasaan si aku, akan nampaklah
sinar cinta kasih yang menerangi alam!
Kakek itu
benar-benar mencuci rambut dan tubuhnya sampai bersih! Dan ketika naik ke
tebing itu, dia nampak belasan tahun lebih muda. Wajahnya yang tua nampak segar
walau pun penuh dengan kumis dan jenggot putih, dan rambutnya terurai di
belakang punggung. Nampak bersih segar dan sehat, apa lagi karena garis-garis
mukanya masih memperlihatkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan dan
gagah.
"Nah,
kini engkau sudah kelihatan bersih dan gagah, kek!" Suma Lian bertepuk
tangan kegirangan, membuat orang yang dipuji itu merah mukanya dan untuk
menghilangkan rasa kikuknya, kakek itu hendak menjatuhkan diri duduk di atas
tanah.
"Eiiiittt,
hati-hati, kek!" Suma Lian meloncat dan memegang tangan kakek itu,
ditariknya agar tidak jadi duduk. "Jangan kotorkan pakaianmu dengan duduk
begitu saja di atas tanah yang basah. Tuh, duduk di atas batu itu, sudah
kubersihkan tadi!"
Kakek itu
menarik napas panjang. "Nah, nah, sudah mulai bukan? Sekarang aku harus
selalu menjaga pakaianku agar tidak kotor. Menambah kerepotan saja!"
"Bukan
begitu, kek. Kalau sudah terbiasa nanti tentu dengan sendirinya engkau tidak
mau mengotori pakaianmu. Ingat, engkau tidak ingin membuat kedua tanganku
lecet-lecet, bukan?"
"Tentu
saja tidak! Ehh... apa maksudmu dengan tangan lecet-lecet itu?"
"Ingat,
akulah yang akan mencuci pakaianmu setiap hari. Kalau engkau sembarangan saja
membuat pakaianmu kotor sekali, bukankah aku yang mencuci yang akan bekerja
berat setengah mati, sampai kedua tanganku lecet-lecet karena harus mencuci
pakaian yang kotor sekali?"
Bu beng
Lo-kai tertawa. "Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Baiklah, mulai
sekarang akan kujaga pakaian ini agar tetap bersih."
"Nah,
begitu barulah engkau kakekku yang baik sekali, terima kasih sebelumnya,
kek!" Dan Suma Lian lalu memberi hormat kepada kakek itu dengan sikap yang
lucu.
"Ahh,
apa yang terjadi dengan pakaianmu itu? Kenapa sekarang juga penuh
tambalan?" kakek itu berseru sambil memandang ke arah pakaian yang dipakai
oleh anak itu. Pakaian itu tadi nampak indah, akan tetapi sekarang penuh
tambalan walau pun hal ini tidak mengurangi kepantasan anak itu memakainya.
"Kek,
engkau Bu-beng Lo-kai dan aku cucumu. Cucu seorang pengemis tua harus memakai
pakaian tambal-tambalan juga, baru cocok!"
Kakek itu
kembali tertawa dan mengangguk-angguk, kemudian tiba-tiba dia memandang wajah
anak itu dengan sikap serius dan suaranya juga terdengar tegas, tidak main-main
lagi, "Nah, sekarang lekas ceritakan, dari mana engkau memperoleh makanan,
arak dan pakaian ini!"
Melihat
sikap kakek itu, nyali Suma Lian menjadi kecil juga. Ia menundukkan mukanya,
jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya, kadang-kadang mengangkat muka
memandang, lalu menunduk kembali.
"Hayo
katakan! Kau... mencuri, ya?" bentak kakek Bu-beng Lo-kai.
Dengan
pandang mata takut-takut, Suma Lian memandang kakeknya dari bawah bulu mata
sambil menundukkan muka, "Kau.. kau marah, kek...?"
"Tentu
saja kalau kau membohong! Hayo katakan yang sebenarnya. Kau curi semua
itu?"
Suma Lian
mengangguk.
Bu-beng
Lo-kai marah atau berpura-pura marah. Dia bangkit berdiri dan membanting
kakinya. "Waduh, celaka! Cucuku menjadi pencuri? Menjadi maling? Tidak,
kau harus kembalikan semua ini kepada...."
Tiba-tiba ia
tak dapat melanjutkan kata-katanya karena teringat bahwa semua makanan tadi,
juga araknya, sudah masuk ke dalam perutnya! Mana mungkin bisa dikembalikan
lagi? Suma Lian yang cerdik anaknya dapat menduga isi pikirannya dan dengan
suara mengandung kemenangan anak itu pun berkata,
"Makanan
sudah kita makan, mana bisa dikembalikan, kek?"
"Baiklah,
akan tetapi pakaian ini... mana pakaianku yang butut tadi?” Dia menjenguk ke
bawah tebing dan kembali menjambak rambutnya. "Hayaa… celaka, pakaian itu
sudah kuhanyutkan tadi!"
"Punyaku
juga, kek. Dan lagi, kalau dikembalikan pun, yang punya tentu sudah tidak mau
menerimanya, sudah kutambal-tambal..."
Bu-beng
Lo-kai teringat bahwa pakaian yang sudah dipakainya itu, selain tidak dapat
dilepaskan karena pakaian bututnya sudah hilang, juga sudah penuh tambalan, tidak
mungkin dikembalikan. "Masih ada yang baru, yang lain itu, pakaian
cadangan itu harus dikembalikan..."
"Tidak
bisa juga, kek. Lihat ini," dan Suma Lian memperlihatkan cadangan pakaian
untuk kakek itu dan untuknya sendiri. Ternyata semuanya telah ditambal-tambal
oleh Suma Lian, dilakukan ketika kakek tadi mandi dengan lamanya.
"Wah,
wah...! Kau setan cilik..."
"Ehh,
kenapa kakek marah-marah dan memaki orang? Kata nenek, kebiasaan memaki itu
tidak baik, kelak di neraka lidah akan dicabut keluar oleh malaikat..."
"Hushh!
Sembarangan saja kau bicara. Apakah nenekmu Teng Siang In itu juga tidak pernah
mengajarkan kepadamu bahwa mencuri adalah perbuatan yang amat tidak baik?
Keturunan para pendekar Pulau Es bukan pencuri!"
"Aku
selalu dilarang mencuri oleh ayah ibu dan nenekku, kek. Akan tetapi, apa yang
kulakukan tadi adalah karena terpaksa. Dan yang kuambil pakaian dan makanannya
adalah keluarga yang kaya raya, yang agaknya tidak akan merasa kehilangan
apa-apa. Bukankah makanan tadi kuambil karena kita berdua kelaparan dan pakaian
ini kuambil karena kita berdua amat membutuhkan? Kek, kalau kita mencuri yang
mengakibatkan orang yang kecurian itu menderita, dan barang yang kita curi itu
untuk kita pakai berfoya-foya, itu barulah tidak benar dan..."
"Cukup!
Sekali mencuri tetap mencuri! Maling tetap maling, biar yang dimaling itu batu
koral mau pun batu permata! Mengambil barang orang lain yang bukan menjadi
haknya adalah perbuatan jahat. Kita adalah keluarga pendekar, bukan keluarga
maling dan pendekar berkewajiban untuk menentang para penjahat, termasuk
pencuri. Mulai saat sekarang kau tidak boleh mencuri lagi. Kita belajar ilmu
bukan untuk menjadi pencuri. Berjanjilah, kalau tidak, terpaksa aku akan
membawamu pulang ke Hong-cun dan..."
Kakek itu
berhenti marah-marah ketika melihat betapa ada dua tetes air mata jatuh dari
sepasang mata yang memandangnya dengan penuh sesal itu. Dia menarik napas
panjang. "Sudahlah, aku sudah melihat bahwa kau benar menyesal dan
bertobat. Lebih baik minta-minta untuk menolong diri sendiri kalau memang kita
sudah tidak mampu bekerja lagi, dan lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi
penjahat! Mengertikah engkau, cucuku?"
Suma Lian
mengangguk. "Aku mengerti, kakekku yang baik."
Bu-beng
Lo-kai tersenyum dan anak itu pun tersenyum lagi dan cuaca menjadi cerah.
"Nah,
mari sekarang kita pergi menghadap orang yang kau curi miliknya itu."
Suma Lian
membelalakkan matanya. "Wahh...! Mana aku berani...?"
"Seorang
pendekar harus berani bertanggung jawab. Aku pun tadi telah makan barang
curian, dan sekarang memakai barang curian, aku pun harus bertanggung jawab.
Mari, bawa aku ke rumah di mana engkau melakukan pencurian itu."
Dengan muka
sebentar merah sebentar pucat, Suma Lian terpaksa membawa kakek itu ke rumah
besar di mana tadi ia melakukan pencurian. Ia memang seorang anak yang lincah
dan karena sejak kecil sudah digembleng oleh ayah ibunya dan neneknya, maka ia
memiliki kelincahan dan tidak sukar baginya untuk meloncat naik ke atas tembok
rumah itu, kemudian dengan kecepatannya ia menyusup ke dalam kamar-kamar dan
dapur, mencuri makanan dan pakaian tanpa diketahui oleh seorang pun di antara
para penghuni rumah itu.
Rumah itu
besar, terlalu besar untuk ukuran dusun. Suma Lian benar. Memang rumah itu
milik orang kaya raya yang takkan merasa kehilangan kalau miliknya hanya
diambil sekian saja. Dan ternyata rumah itu milik keluarga bangsawan dari kota
raja!
Kadang-kadang,
untuk mencari ketenteraman yang tidak bisa mereka dapatkan di kota raja yang
ramai itu, keluarga Pouw, pemilik rumah itu, pergi ke dusun di luar kota raja
ini dan di rumah mereka inilah mereka tinggal. Jika saja keluarga itu tidak
kebetulan berada di situ, tentu tadi Suma Lian hanya dapat mencuri pakaian saja
yang ditinggalkan di situ, akan tetapi tidak akan memperoleh makanan-makanan
yang lezat, melainkan makanan sederhana yang biasa dimasak oleh para pelayan
dan penjaga rumah itu.
Para penjaga
pintu, memandang kakek dan anak perempuan itu penuh keraguan ketika mereka minta
untuk bertemu dengan pemilik rumah, akan tetapi karena dua orang tamu aneh ini
tampak bersih dan majikan mereka pun suka menerima siapa saja yang datang
bertamu, para penjaga lalu membuat laporan ke dalam, mengatakan bahwa ada dua
orang tamu yang aneh, seorang kakek tua sekali dan seorang anak perempuan yang
manis, keduanya memakai pakaian bersih dan tambal-tambalan, minta diperkenankan
menghadap.
"Mereka
tidak memberi nama dan tidak mengenal nama Taijin, hanya minta menghadap
pemilik rumah," demikian penjaga itu mengakhiri laporannya.
Laki-laki
yang disebut Taijin itu tersenyum. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang
lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar dan wajahnya membayangkan kesabaran
yang penuh wibawa.
Pemilik
rumah itu adalah seorang bangsawan, bahkan dia memiliki pangkat yang cukup
tinggi karena dia adalah seorang di antara para menteri pembantu kaisar! Dia
pernah menjabat sebagai seorang panglima pasukan keamanan kota raja, dan kini
ia menjadi seorang menteri yang mengatur tentang pendapatan istana, yaitu semua
pemasukan pendapatan dari pajak dan lain-lain.
Pada waktu
itu, Pouw Taijin atau dulu pernah dikenal sebagai Pouw-ciangkun (perwira Pouw),
bersama isterinya dan lima orang anak-anaknya, empat laki-laki dan seorang anak
perempuan, sedang beristirahat di dusun itu. Akhir-akhir ini, memang dia
semakin sering saja berada di dusun itu, karena keadaan di kota raja membuat
dia tidak betah di gedungnya di kota raja.
Bu-beng
Lo-kai dan Suma Lian disuruh masuk ke ruangan tamu oleh seorang penjaga dan
belum berapa lama mereka duduk, muncullah tuan rumah dari pintu sebelah dalam.
Bu-beng Lo-kai cepat mengajak cucunya bangkit berdiri dan memberi hormat kepada
laki-laki yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak penuh keheranan
itu.
"Maafkan
kami kalau mengganggu," kata Bu-beng Lo-kai dan kata-katanya yang teratur
menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang gelandangan biasa saja, "cucuku ini
ingin membuat pengakuan kepada tuan rumah."
Pouw Tong
Ki, nama dari pembesar itu, semakin heran memandang kepada kakek tua renta dan
anak perempuan itu. Dia seorang berpengalaman, dan melihat pakaian kakek dan
anak perempuan itu yang baru akan tetapi tambal-tambalan, jelas baginya bahwa
pakaian itu bukan membutuhkan tambalan melainkan sengaja ditambal-tambal, ia
dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kang-ouw yang memiliki
kebiasan yang aneh-aneh.
"Saya
Pouw Tong Ki, pemilik rumah ini. Silakan kalian duduk..."
"Nanti
saja kami duduk setelah cucuku membuat pengakuannya," kata Bu-beng Lo-kai
dengan tegas dan dia pun mencowel lengan cucunya.
Suma Lian
berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Bukan main malunya apa lagi
melihat betapa tuan rumah itu amat ramah memandang kepadanya.
"Nona
kecil yang baik, apakah yang hendak nona katakan? Katakan saja dan jangan
ragu-ragu," katanya sambil tersenyum ramah.
Sikap ini
banyak menolong dan setelah beberapa kali menelan ludah, akhirnya Suma Lian
berkata, suaranya lirih akan tetapi cukup tegas dan jelas.
"Saya...
saya minta maaf karena tadi saya..." sukar sekali baginya untuk
mengeluarkan kata-kata pengakuan itu.
Mengaku
menjadi pencuri! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi dirinya, bagi
‘aku’ nya. Makin tinggi orang membentuk gambaran tentang dirinya, semakin sukar
pula baginya untuk mengenal dan mengakui kesalahannya.
"Cucuku,
apakah engkau ingin menjadi seorang pengecut?" tiba-tiba kakek itu
bertanya dan ucapan ini seperti api yang membakar dada Suma Lian!
"Saya
datang untuk minta maaf dan mengaku bahwa tadi saya telah mencuri makanan yang
sudah kami makan berdua, dan pakaian beberapa stel yang sudah kami pakai dan
kami jadikan cadangan-cadangan kami!" katanya dengan sikap gagah dan
sepasang matanya yang jernih itu memandang kepada wajah tuan rumah tanpa
mengenal takut sedikit pun!
Pouw Tong Ki
nampak terkejut dan terheran-heran. "Tapi... tapi… pakaian yang kalian
pakai itu bukan milik kami. Kami tidak mungkin memiliki pakaian
tambal-tambalan..."
"Memang
sengaja telah saya tambal-tambal agar sesuai dengan keadaan kami sebagai
pengemis," jawab Suma Lian.
"Maaf,"
sambung Bu-beng Lo-kai. "Kami sudah terbiasa memakai pakaian
tambal-tambalan sehingga tidak enak rasanya memakai pakaian utuh tanpa tambalan."
"Ahh...!
Ahh...! Bukan main ji-wi (kalian berdua) ini...! Anakku harus melihat ini,
harus dapat mencontoh!" Pouw Taijin bertepuk tangan dan dua orang penjaga
muncul di pintu luar.
"Cepat
kalian cari siocia dan minta agar datang ke sini dengan cepat!"
"Saya
sudah minta maaf, kenapa harus memanggil orang lain?" Suma Lian memprotes
karena bagaimana pun juga, ia merasa tidak suka kalau perbuatannya mencuri itu
diberi tahukan kepada orang-orang lain!
"Nona,
harap jangan salah duga. Yang kupanggil adalah puteriku, puteri tunggal, dan
karena pakaiannyalah yang kau ambil dan kau pakai itu, bukankah sudah
sepatutnya kalau ia datang sendiri menerima permintaan maaf darimu?"
Suma Lian
tak mampu membantah lagi, hanya mukanya berubah merah sekali. Ia harus
menebalkan muka lagi, berhadapan dengan orang yang kini pakaiannya ia pakai!
Tidak lama
kemudian, dari pintu dalam muncul seorang gadis cilik yang manis, sebaya dengan
Suma Lian, pembawaannya tenang sekali akan tetapi sepasang matanya terang
membayangkan kecerdikan. Sejenak gadis cilik itu memandang kepada Bu-beng
Lo-kai dan Suma Lian, lalu bertanya kepada Pouw Tong Ki,
"Ayah,
ada apakah ayah memanggil aku agar cepat datang ke sini dan siapa pula dua
orang yang pakaiannya aneh-aneh ini?"
"Li
Sian, dengar baik-baik. Ayah pun tak mengenal kedua orang ini, akan tetapi
mereka datang minta bertemu dengan kita berdua karena nona kecil ini ingin
menyampaikan sesuatu kepada kita. Kepadaku dia sudah sampaikan maksud
kedatangannya dan kini dengarlah apa yang akan ia katakan kepadamu."
Nona cilik
itu memandang kepada Suma Lian, memandang penuh perhatian dari rambut sampai ke
sepatunya, kemudian ia mengerutkan alisnya dan berkata pada Suma Lian,
"Siapakah engkau yang berpakaian seaneh ini dan hendak menyampaikan
apa?"
Suaranya
halus teratur, tidak galak dan mengandung kelembutan, akan tetapi agaknya ia
terkejut dan terheran-heran mendengar kata-kata ayahnya tadi.
Sekarang
untuk kedua kalinya Suma Lian mengangkat mukanya, meluruskan kepala dan
membusungkan dadanya, lalu berkata, "Aku datang ke sini untuk minta maaf
dan membuat pengakuan bahwa tadi aku telah menyelinap ke dalam rumah ini dan
mencuri makanan, yaitu dua panci masakan, seguci arak dari dapur, serta dari
dalam kamar-kamar aku mengambil... ehhh, mencuri beberapa stel pakaian untuk
kakekku ini dan untukku sendiri, juga sepatu ini. Pakaian-pakaian itu sudah
kutambal-tambal, jadi tidak mungkin dikembalikan seperti yang dikehendaki
kakekku, juga makanan itu terlanjur kami makan habis."
Pouw Li Sian
menjadi bengong, memandang ke arah pakaian Suma Lian. Ia mengenal bajunya
sendiri yang sudah ditambal-tambal itu, juga ia mengenal sepatunya. Namun, yang
membuat ia bengong, kenapa anak ini, yang sudah berhasil melakukan pencurian
tanpa diketahui, kini malah datang membuat pengakuan dan minta maaf?
"Nah,
Li Sian. Engkau sendiri menjadi terheran heran mendengar pengakuannya. Sikap
seperti inilah yang harus kau tiru, anakku!"
"Maksud
ayah... berpakaian pengemis dan... dan mencuri itu?"
"Bukan!
Tetapi sikap berani mempertanggung jawabkan segala perbuatan itulah! Aihh,
betapa akan baiknya kalau semua pejabat dapat bertanggung jawab seperti anak
ini! Li Sian, jika ada orang-orang seperti ini kehabisan pakaian dan kelaparan,
lalu mengambil makanan dan pakaian darimu, yang bagi kita tidak ada artinya,
apakah engkau rela?"
Li Sian
mengerutkan alisnya yang hitam indah itu. Lalu ia menggeleng kepalanya.
"Aku tidak rela, ayah. Kalau mereka datang dan minta kepadaku, mungkin aku
akan memberi yang lebih baik dan lebih banyak dari pada yang telah diambilnya.
Akan tetapi mencuri? Tidak, itu tidak benar dan aku tidak rela!"
"Akan
tetapi, mereka sudah datang minta maaf. Lalu bagaimana pendapatmu? Apakah
mereka kau maafkan?"
"Aku
tidak mau memaafkan orang yang mencuri karena ia tentu kelak akan mencuri lagi.
Pencurian harus dihukum dan hukumannya terserah kepada ayah. Akan tetapi kalau
mengenai barang-barangku, itu kurelakan dan sekarang juga kusumbangkan kepada
mereka, ayah."
"Bagus!"
Tiba-tiba Bu-beng Lo-kai berkata dengan pandang mata kagum kepada puteri tuan
rumah. "Itu pun merupakan suatu pendirian yang gagah dan harus dihormati.
Lihat, cucuku, puteri tuan rumah ini pantas kau jadikan teladan. Tegas dan adil!"
Pouw Tong Ki
yang kini merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, lalu
pura-pura bertanya, "Orang tua, apakah hanya itu saja maksud kedatangan
ji-wi ke sini? Hanya untuk membuat pengakuan dan minta maaf begitu saja?"
Kakek tua
renta itu kini menujukan pandang matanya kepada tuan rumah. Diam-diam Pouw Tong
Ki merasa terkejut dan kagum, juga jeri sekali. Sepasang mata itu dapat
mengeluarkan sinar mencorong seperti api!
"Benar,
akan tetapi aku setuju sekali dengan pendapat puterimu. Yang bersalah harus dihukum.
Kami telah bersalah dan kami juga bukan orang yang suka menghindarkan diri dari
hukuman. Nah, kami telah mengaku salah, kami telah datang menyerahkan diri,
kalau mau menjatuhkan hukuman, silakan!"
"Baik,
kami akan menghukum ji-wi dan ji-wi sudah berjanji untuk menerima hukuman
itu."
"Tetapi
hukuman itu harus benar-benar adil, jika tidak, aku akan menentangnya! Sudah
menjadi kewajiban kita untuk menentang ketidak adilan, bukankah begitu,
kek?" tiba-tiba Suma Lian berkata kepada tuan rumah dan dia pun tegak
berdiri menanti hukuman dengan sikap gagah!
"Hukuman
untuk ji-wi adalah satu bulan lamanya harus mau menjadi tamu kehormatan kami di
rumah ini! Locianpwe ini akan menjadi temanku bercakap-cakap, sedangkan nona
cilik ini menjadi teman bermain dari Pouw Li Sian, anak kami ini. Locianpwe,
saya bernama Pouw Tong Ki, menjabat Menteri Pendapatan Istana yang sedang
beristirahat di sini, harap locianpwe tidak menolak undangan kami untuk menjadi
tamu kehormatan kami!"
Kakek dan
cucunya itu menjadi bengong! Mana di dunia ini ada hukuman berupa menjadi tamu
kehormatan dan menjadi sahabat? Dan tuan rumah ini ternyata seorang menteri!
Seorang ‘tiong-sin’ menteri setia dan bijaksana seperti nampak pada sikapnya,
dan dapat mengenal dirinya maka bersikap demikian hormat.
"Bagaimana
ini, kakek? Hukumannya aneh sekali!" kata Suma Lian bingung.
"Ha-ha-ha,
kita sudah berjanji dan sanggup untuk menerima, sekali-kali tidak baik kalau
menolaknya, cucuku."
Pouw Li Sian
menjadi girang sekali dengan keputusan ayahnya dan dia pun maju dan memegang
tangan Suma Lian. "Engkau anak yang aneh sekali dan aku sangat suka
kepadamu. Namaku Pouw Li Sian. Siapakah namamu?"
"Namaku
Suma Lian. Dan aku pun merasa heran ada puteri seorang menteri suka bersahabat
dengan seorang anak pengemis. Tidak malukah engkau bersahabat dengan aku?"
Pouw Li Sian
merangkul pundaknya. "Engkau dahulu lahir telanjang seperti aku, hanya
pakaian saja yang memberi sebutan-sebutan itu. Mari kita lihat kebun buah kami,
kini sedang musim apel, banyak dan besar-besar. Mari kita petik!" Ia lalu
menggandeng tangan Suma Lian yang mengikutinya dengan rasa girang tanpa menoleh
lagi kepada kakeknya.
"Locianpwe,
mari kita bicara di ruangan dalam. Silakan!" Pembesar itu bangkit dan
mengajak kakek itu masuk ke dalam, diikuti oleh Bu-beng Lo-kai yang merasa
semakin suka saja kepada laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi akan tetapi
berjiwa sederhana itu.
Setelah
mereka duduk di ruang dalam, Pouw Tong Ki memperkenalkan isterinya kepada kakek
itu, juga empat orang puteranya yang berusia dari sembilan belas tahun sampai
enam belas tahun, kakak-kakak dari Pouw Li Sian. Bu-beng Lo-kai semakin hormat
kepada keluarga ini, contoh keluarga pembesar yang baik dan ramah.
Sebaliknya,
keluarga itu menganggap kakek yang berpakaian tambal-tambalan dan diaku sebagai
tamu kehormatan oleh pembesar itu sebagai seorang kakek yang tentu berilmu
tinggi. Setelah mereka mundur dan para pelayan menghidangkan minuman arak dan
makanan kering, pembesar itu lalu bertanya, suaranya bersungguh-sungguh.
"Kalau
saya tidak salah duga, locianpwe tentulah seorang pendekar dari keluarga Pulau
Es, bukan?"
Bu-beng
Lo-kai terkejut, sama sekali tidak mengira akan ditanya demikian.
"Bagaimana Taijin dapat menduga demikian?" Dia balas bertanya sambil
memandang tajam.
Jika
penghormatan ini didasarkan dugaan tuan rumah bahwa dia dan cucunya keluarga
para pendekar Pulau Es, berarti bahwa penerimaan dan penghormatan keluarga ini
mengandung suatu pamrih tertentu dan dia harus berhati-hati.
"Tadinya
saya tidak menduga apa-apa, akan tetapi setelah cucumu berkenalan dengan
puteriku dan mengaku bernama Suma Lian, maka timbullah dugaan itu di hati saya.
Bukankah nama marga Suma itu jarang sekali dan dimiliki oleh keluarga Pulau
Es?"
Kakek itu
menarik napas lega. Dia percaya dan memang benar ucapan pembesar ini. Nama
marga Suma yang bukan merupakan keluarga Pulau Es memang ada, akan tetapi tidak
banyak dan karena keluarga Pulau Es terkenal di antara para pembesar di kota
raja, maka tidak mengherankan kalau pembesar ini segera dapat menduganya
demikian.
"Dugaanmu
memang tidak keliru, Pouw Taijin. Cucuku Suma Lian itu adalah keturunan
langsung dari keluarga Pulau Es."
"Dan
bolehkah saya mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia?"
"Aihhh...
saya sendiri sudah lupa akan nama saya. Saya hanya orang luar dan saya hanya
mempunyai sebutan Bu-beng Lo-kai."
Pouw Tong Ki
tidak merasa kecil hati mendengar ini. Dia berpengalaman luas dan tahu apa
artinya itu. Berarti bahwa kakek ini tak mau dikenal oleh siapa pun juga.
Memang banyak sekali orang-orang sakti yang ingin menyembunyikan diri dan
kepandaiannya. Maka dia semakin kagum dan menduga bahwa tentu kakek ini memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Dan diam-diam dia pun mempunyai harapan.
Di antara
lima orang anaknya, justru Li Sian seorang satu-satunya anak perempuannya yang
menaruh minat akan latihan silat, dan juga berbakat sekali. Alangkah akan
girang hatinya kalau Li Sian dapat menjadi murid kakek ini, menjadi saudara
seperguruan atau saudara angkat dari anak perempuan bernama Suma Lian yang
mengagumkan hatinya itu!
Mereka lalu
bercakap-cakap. Ternyata oleh tuan rumah bahwa kakek yang kelihatannya saja seperti
seorang pengemis tua ini, ternyata memiliki daya tangkap yang tajam dan
pengetahuan yang luas sekali. Kakek tua renta itu bahkan pandai menanggapi
ketika percakapan menyinggung keadaan kaisar.
Kakek itu
amat menyayangkan bahwa seorang kaisar secakap Kaisar Kian Liong itu akhirnya
dapat begitu mudah diperdaya oleh seorang menteri durna seperti Hou Seng, hanya
karena kaisar itu tergila-gila kepadanya dan menganggapnya penjelmaan dari
seorang wanita yang pernah dicintanya.
"Kaisar
merupakan mercu suar dari pemerintahan," demikian antara lain kata kakek
tua renta ini. "Jika kaisarnya lemah, maka pemerintahan pun lemah dan hal
ini menurunkan kewibawaan pemerintah terhadap rakyat, juga memberi angin kepada
para pembesar durna untuk merajalela. Akibatnya, rakyat yang akan tertindas dan
kalau sampai rakyat merasa tidak puas dengan suatu pemerintah, itu tandanya
bahwa pemerintah itu sudah mulai rapuh dan akan mudah jatuh kalau sampai
terjadi pemberontakan, karena rakyat tentu akan lebih condong membantu
pemberontak dari pada pemerintah yang tidak disukanya. Dan jika kaisar lemah,
sudah menjadi kewajiban para menteri dan pembesar tinggi untuk
mengingatkannya."
"Pendapat
locianpwe memang tepat sekali. Namun celakanya, Hou Seng itu agaknya memang
sudah membuat persiapan. Selain sukar untuk membuktikan korupsinya yang hanya
diketahui beberapa orang yang bersangkutan dengan kekayaan negara saja, juga
dia kelihatan amat setia kepada kaisar dan bahkan kini mengumpulkan kekuatan
rahasia untuk memperkuat kedudukannya. Menteri-menteri yang kuat
disingkirkannya, baik melalui kekuasaan kaisar atau pun melalui kaki tangannya.
Menteri-menteri yang mentalnya tidak kuat, dirangkul dengan sogokan-sogokan
besar. Siapa pun yang berani menentangnya, tahu-tahu mati dalam keadaan amat
menyedihkan dan aneh. Seperti baru saja terjadi pada diri Pangeran Cui Muda
yang kedapatan mati bersama seluruh pengawalnya di sebuah rumah pelesir, tanpa
ada tanda-tanda siapa yang melakukan pembunuhan itu. Saya sendiri sudah tahu
bahwa itu tentulah perbuatan orang sakti yang menjadi kaki tangan Hou Seng itu.
Aihhh... sungguh sedih sekali hatiku melihat keadaan istana. Karena itulah maka
saya lebih sering berada di dusun sunyi ini dari pada di kota raja. Kalau saja
orang-orang seperti Panglima Kao Cin Liong itu masih menjadi pembesar di kota
raja. Ah, hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi seperti dialah yang akan
mampu membendung kekuasaan Hou Seng yang merajalela. Saya kira locianpwe tahu
siapa adanya Panglima Kao Cin Liong itu, bukan?"
Bu-beng
Lo-kai mengangguk-angguk. Tentu saja dia sudah mendengar tentang putera dari
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu!
"Panglima
Kao Cin Liong adalah seorang di antara para sahabat baik saya, locianpwe.
Ketika dia masih menjabat panglima, saya dapat mengajaknya bertukar pikiran
setiap ada keruwetan di istana. Tetapi sekarang, ahh, ia sudah lama sekali
mengundurkan diri dan kini hanya menjadi seorang pedagang rempah-rempah di
Pao-teng. Betapa saya amat merindukan nasehat-nasehatnya dalam keadaan seperti
ini." Pembesar itu hanya terdengar menarik napas panjang saat mengakhiri
keluhannya.
Bu-beng
Lo-kai makin suka kepada pembesar she Pouw ini. Kalau menteri ini sahabat baik
bekas Panglima Kao Cin Liong yang terkenal itu, jelaslah bahwa dia memang
seorang menteri yang baik dan bijaksana, dan dia merasa gembira dapat menjadi
tamunya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment