Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 08
Dengan
sepasang matanya yang masih awas ia memandang penuh ketelitian dan akhirnya ia
yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan pendeta Lama yang berusia
enam puluhan tahun, tinggi besar berperut gendut, berkepala gundul akan tetapi
mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa itu.
Setelah puas
meneliti, ia lalu membentak, "Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan
dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!"
"Omitohud...!"
Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona.
Bukan main
wanita ini, pikirnya. Biar pun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih
begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih saja membayangkan kecantikan
walau pun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang
gagah!
"Omitohud
apa! Orang semacam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya
saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan
penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau ini sebelum kau mampus tanpa
nama!"
"Omitohud...
belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari
cucumu ini, sayang sudah tua."
"Keparat
jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!" bentak Teng Siang In.
Ia sudah
menerjang dengan hebatnya. Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah
mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan
dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh
tenaga sinkang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah
tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!
Bukan main
kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan
teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang. Dia
tak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja
menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat, sehingga sekali saja dia
memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali!
Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung.
Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.
"Haiiittttt...!"
Tiba-tiba
dia berteriak. Tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sinkang
yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga
sinkang-nya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sinkang yang
dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain
menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar
ke arah muka Teng Siang In.
Akan tetapi
nenek itu tertawa. "Heh-heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari
depanmu dan menghancurkan kepalamu!"
Nenek itu
menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mata Sai-cu Lama!
Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan
memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar
pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan
diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu.
Dan mulai
nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan
tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang
belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini
adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam
kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan
dirinya.
"Omitohud,
kiranya engkau siluman betina...!" bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia
sama sekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan
tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu.
Nenek Teng
Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan dia pun
terbelalak melihat pedang itu.
"Ban-tok-kiam...!
Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama
busuk?" bentaknya dengan terheran-heran.
Tentu saja
ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik
isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam
tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng,
isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?
"Ha-ha-ha,
anggap saja pinceng adalah Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk
mencabut nyawamu, nenek cantik!" kata Sai-cu Lama dan dia memutar
Ban-tok-kiam lagi, lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.
Nenek Teng
Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah
ilmu sihirnya, tanpa senjata pun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan
tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh. Maka cepat ia
menyambar sebatang ranting, lantas berteriak sambil memutar rantingnya,
"Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!"
Kembali
Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang
seekor naga pada ujung ekornya dan naga itu beterbangan hendak menyambar
dirinya.
"Omitohud...!"
Kakek itu berseru.
Kembali dia
melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya. Sambil
mengerahkan tenaga dia pun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun
tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting
pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.
"Ha-ha-ha-ha,
kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar..."
Akan tetapi
terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek
itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian
tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke
bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi.
Nenek Teng
Siang In mulai khawatir. Lawan ini terlalu tangguh, tak bisa ditundukkannya
dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya
menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan
seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat
membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai
dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)!
Menyesallah
ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan
mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini. Akan tetapi,
nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah.
Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan
dirinya melalui ilmu sihirnya.
Sementara
itu, Sai-cu Lama sendiri masih bisa menyelamatkan diri karena di tangannya
terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu
Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu
hitam, maka dia pun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis
serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andai kata tidak ada
Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walau pun ilmu
silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang
kebingungan.
"Lumpuhlah
kau! Kedua kakimu lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!"
bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia
benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh!
Kalau saja
dia tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan
ranting yang di tangan nenek itu bisa berubah lihai sekali. Kemudian, dengan
pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak
begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.
"Ha-ha-ha,
nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores
Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus
dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan
benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!"
"Jahanam
busuk lepaskan cucuku!" dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi.
Ia menyerang
dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti
berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari
sana-sini mengarah pada bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia juga
membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti
seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan
ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak
dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!
"Ayaaaa!"
Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut.
Tendangannya
itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak
dikehendaki oleh nenek itu. Dalam keadaan yang begitu berbahaya bagi keselamatan
cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah
dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa
pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat,
ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu,
lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnya dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
sekarang racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan
mampus!"
Nenek Teng
Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah
terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang
penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya. Maka dengan nekat,
tanpa mempedulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam,
nenek Teng Siang In menubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-tendangan,
pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut.
Melihat
kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Kalau saja nenek ini masih muda, tentu
dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil sebagai isteri atau
murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar
dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan
dapat menyusul ke sini, dia akan celaka. Ngeri juga dia membayangkan kelihaian
mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang
masih muda.
Tetapi, baru
saja dia memutar pedang hendak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja
berkelebat bayangan biru dan sebuah tendangan yang mengeluarkan angin pukulan
berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat
menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru
yang tadi bermaksud merampas anak perempuan di punggung kakek itu terpaksa
menarik kembali tangannya. Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng!
Seperti
telah kita ketahui pada waktu kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari
tangan Bi Lan, Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat ikut mengeroyok kakek
yang tangguh itu. Kemudian setelah cintanya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi
sesudah menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terhadap Kun Tek,
dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk
memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan tentang pembesar
bernama Hou Seng yang konon merajalela di istana dan membuat kaisar yang
semakin tua itu menjadi seperti boneka.
Sesuai
dengan petunjuk suhu-nya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di
dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di tengah perjalanan, dia melihat
perkelahian itu. Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula
anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama
yang sudah dikenalnya.
Melihat
keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan
mati-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng
tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa
Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek
itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka sekali turun tangan
dia sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena
memang Sai-cu Lama hebat sekali kepandaiannya.
Teng Sian In
semenjak mudanya berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa kepandaian Lama yang
kini menjadi lawannya itu hebat bukan main. Ia tidak ingin ada orang yang
membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau ada orang yang mati karena
membantunya.
"Orang
muda, aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah sebelum mati konyol oleh jahanam
busuk ini!" teriaknya dan ia masih menyerang dengan tendangan-tendangan
ampuhnya.
"Sai-cu
Lama ini masih ada urusan dengan aku juga, nek!" kata Hong Beng.
Dia pun
sudah menyerang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biar pun
dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti
orang menulis di udara, akan tetapi setiap ‘coretan’ merupakan serangan yang
amat ampuh dan mendatangkan hawa dingin seperti es!
Bukan hanya
Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi
nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran "Hong-in Bun-hoat! Kau
murid siapa?" tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.
"Guru
saya bernama Suma Ciang Bun..."
"Aihh!
Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali
cucuku!"
Mendengar
seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain
girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya!
Kalau begitu tentu nenek ini ibu dari Suma Ceng Liong!
"Baik...!"
Dan dia pun kini cepat mengerahkan tenaga sinkang yang dilatihnya dari gurunya,
tenaga sinkang yang bersumber dari Swat-im Sinkang dan Hwi-yang Sinkang, dua
tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api.
Akan tetapi,
dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri
belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang
panas atau yang dingin. Namun, itu pun sudah hebat karena dia sudah menguasai
hampir setengah bagian dari kedua ilmu pengerahan tenaga sakti itu! Apa lagi
dia sudah menguasai beberapa ilmu asli dari Pulau Es dan kini dia mengubah
gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat.
Ilmu ini
aslinya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan
mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan
gerakan-gerakan ilmu pedang ini, dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong
kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang
Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan
tangan.
Dia
mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan
Hong-in Bun-hoat yang halus. Dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini,
dibantu pula oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan
tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama langsung terdesak mundur!
Hong Beng
seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa selama pedang yang ampuh dan
mengandung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan
sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan
nenek itu. Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya,
agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya.
Hong Beng
juga pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia.
Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat
lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu.
Selain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang
biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau
menggunakan senjata gelap dalam perkelahian.
Sekarang dia
merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan
lawan yang pasti terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu,
melainkan untuk membebaskan cucu perempuan nenek itu dari pengaruh totokan. Dia
percaya bahwa biar pun usianya baru kurang lebih dua belas tahun, sebagai anak
keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia
berhasil dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek
itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak!
Pikiran
inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan dengan tendangan kedua kaki
sambil bergulingan. Namanya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang
kasar sekali dan bergulingan. Saat bergulingan inilah Hong Beng sudah
mencengkeram kerikil-kerikil tanpa diketahui lawan.
Mereka
berdua masih berusaha mendesak terus. Tiba-tiba, setelah melihat kesempatan
baik, kedua tangan Hong Beng lalu bergerak-gerak ke depan menyambitkan
batu-batu kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.
Sai-cu Lama
melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil.
Selain batu-batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga
sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya.
Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai
jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini kini sudah
mampu bergerak lagi.
Suma Lian
juga seorang anak yang cerdik bukan main. Walau pun seketika ia dapat bergerak
dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak bergerak dan tidak
mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya
dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk rambut
terbuat dari emas yang berujung runcing! Ia lalu berpikir-pikir.
Pernah ia
mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan darah, tetapi ia
belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah.
Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan
pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu
dengan tepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan
gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik.
Akan tetapi
sasaran itu yang paling mudah, tinggal mengangkat dan menusukkan benda runcing
itu saja. Ia lalu mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal
ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu pendeta ini
akan mengetahuinya, akan tetapi pada saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu
mendesak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang
sudah mulai lemah itu, tiba-tiba berteriak, "Sai-cu Lama, kau lihat
baik-baik jimatku!"
Dan nenek
ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk
membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis cilik itu telah
mengangkat tangan. Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang
gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang
gendut.
"Crottt...!"
"Aduhhhh...!"
Kedua tangan
Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena
ketika benda itu menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan
anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak
tega! Bagaimana mungkin ia terus menusukkan benda runcing ke dalam tengkuk
gendut itu, yang mirip dengan perut orok? Hampir ia pingsan ketika darah itu
muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat
menghindar ketika tangan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk
kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh pingsan!
Sai-cu Lama
telah terluka. Walau pun tidak terlalu dalam, namun dia semakin khawatir. Gadis
cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia tentu akan
celaka! Maka dia cepat memutar Ban-tok-kiam sedemikian rupa sehingga dua orang
lawannya terpaksa berloncatan ke belakang. Kesempatan ini digunakan olehnya
untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya!
Hong Beng
berseru marah, "Kakek jahat, kau hendak lari ke mana?" Dia meloncat
dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah, "...jangan...
kejar..."
Dia menoleh
dan melihat nenek itu terguling roboh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu
sudah terluka parah. Maka dia pun cepat meloncat menghampiri dan berlutut di
dekat tubuh nenek itu.
"Bagaimana
baiknya, locianpwe...?" tanyanya, bingung.
"Aku...keadaanku...payah...lekas
bawa aku pulang... kita laporkan hal ini... kepada... Ceng Liong..." Ia
menuding ke barat dan terkulai, pingsan.
Hong Beng
cepat memondong tubuh nenek itu dan berlari menuju ke barat seperti yang
ditudingkan oleh nenek itu. Dia pun tadi sudah mendapat keterangan bahwa
jurusan itu menuju ke dusun Hong-cun.
Dapat dibayangkan
betapa kaget rasa hati Suma Ceng Liong dan isterinya ketika mereka melihat
seorang pemuda berpakaian serba biru memondong tubuh nenek Teng Siang In yang
pingsan. Tadinya mereka yang tidak melihat anak mereka dan nenek itu mengira
bahwa nenek itu mengajak cucunya berjalan-jalan seperti biasa, atau bermain ke
suatu tempat.
Sedikit pun
mereka tidak pernah merasa khawatir kalau anak perempuan mereka pergi bersama
neneknya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu nenek itu pulang dalam pondongan
seorang pemuda serta dalam keadaan pingsan dan tidak nampak Suma Lian bersama
mereka!
"Apa
yang terjadi dengan ibu?" Suma Ceng Liong berseru dan terkejut melihat
betapa wajah ibunya sudah biru menghitam.
"Di
mana anakku, Suma Lian? Di mana ia...?"
Melihat
kebingungan suami isteri itu, Hong Beng dapat memakluminya. Begitu melihat
munculnya suami isteri itu, dia sudah merasa kagum sekali. Suma Ceng Liong
memang gagah perkasa, tepat seperti yang diceritakan suhu-nya kepadanya.
Seorang pria
berusia sekitar tiga puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan muka lonjong
dan dagu meruncing, mulutnya seperti selalu tersenyum, wajahnya cerah dan sinar
matanya begitu tajam seperti mencorong. Menurut keterangan suhu-nya, susiok
(paman guru) ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari suhu-nya.
Juga isteri
susiok-nya itu menurut gurunya, mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali karena
dia mewarisi ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)! Dan dalam usia
yang sebaya suaminya bibi guru itu nampak masih amat cantik menarik seperti
seorang gadis saja! Selain cantik, juga sepasang matanya amat tajam dan
sikapnya gesit dan gagah sekali. Akan tetapi, saat itu suami isteri yang hebat
ini sedang dalam keadaan gelisah dan Hong Beng tidak mau membuang banyak waktu
lagi.
"Saya
melihat nenek ini bertanding dengan seorang pendeta Lama, kurang lebih lima li
disebelah timur dusun ini dan seorang anak perempuan terikat di punggung
pendeta itu. Nenek ini terluka dan saya berusaha membantunya, akan tetapi kami
tidak berhasil dan kakek pendeta itu sudah melarikan diri membawa anak
perempuan di punggungnya..."
"Cukup!
bentak Kam Bi Eng, "ke arah mana larinya kakek yang menculik anakku
itu?"
"Dari
sini ke timur, setelah lima li ada hutan kecil, dia lari ke arah utara,"
jawab Hong Beng. Dan tiba-tiba saja wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ!
Suma Ceng
Liong juga akan lari, akan tetapi teringat akan ibunya dan dia berdiri bingung.
Dia cepat berjongkok dan memeriksa keadaan ibunya. Alisnya berkerut dan dua titik
air mata membasahi matanya. Pendekar ini lalu bangkit berdiri.
"Siapa
kau?"
Hong Beng
menjatuhkan diri berlutut. "Susiok, nama saya Gu Hong Beng dan teecu
adalah murid dari suhu Suma Ciang Bun. Teecu diutus menyelidiki keadaan
pembesar Hou Seng di kota raja akan tetapi oleh suhu disuruh singgah dulu di
sini untuk minta keterangan dan nasehat dari Susiok."
"Hemm,
kau jaga dulu ibuku ini. Ia sudah... tak mungkin dapat ditolong lagi. Tahukah
engkau dengan apa pahanya itu dilukai?"
"Dengan
Ban-tok-kiam."
"Ban-tok-kiam?
Bagaimana kau bisa tahu... ah, sudahlah, nanti saja bercerita. Kau jaga ibuku
dan aku akan mengejar kakek iblis itu!" Dan tubuhnya berkelebat lenyap
pula dari depan Hong Beng.
Pemuda ini
semakin kagum dan dia pun memondong tubuh nenek itu, dibawanya ke dalam sebuah
kamar menurut petunjuk seorang pelayan yang tadi mendengarkan percakapan mereka
dan percaya kepada pemuda ini yang mengaku murid keponakan majikannya. Gu Hong
Beng menunggui tubuh nenek itu.
Wajah nenek
itu biru kehitaman dan menakutkan sekali, matanya melotot dan mulutnya terbuka.
Napasnya masih belum terhenti, namun terengah-engah dan tinggal satu-satu,
tubuhnya panas seperti dibakar api. Dia mengingat-ingat pelajaran tentang
pengobatan yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan dirabanya pergelangan
tangan kiri nenek itu, kemudian yang kanan. Denyut jantungnya lemah sekali di
bagian kiri, akan tetapi di lengan kanan itu tidak ada denyut sama sekali.
Dia pun tahu
bahwa nenek ini sukar sekali ditolong, kecuali kalau ada obat dewa. Andai kata
nenek ini masih dapat ditolong, tidak mungkin pendekar Suma Ceng Liong akan
meninggalkannya begitu saja untuk mengejar penculik anaknya. Tentu lebih dahulu
dia akan menolong dan mengobati ibunya.
Tiba-tiba
timbul pikiran Hong Beng untuk membantu nenek itu agar jalan darahnya lebih
cepat dan biar pun hal itu bukan merupakan pertolongan terhadap nyawa nenek
itu, namun mungkin saja dapat membuat nenek itu sadar, walau pun hanya untuk
beberapa detik lamanya. Siapa tahu, nenek ini hendak meninggalkan pesan.
Kasihan orang yang mau mati tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dengan
hati-hati sekali, dengan tenaga yang dikendalikannya baik-baik, ia lalu menotok
beberapa jalan darah di pundak, tengkuk dan punggung, dan mengurut lengan
kanan.
Harapannya
terkabul. Tak lama kemudian, mata yang terbelalak itu bergerak-gerak dan
memandang dengan wajar padanya tanpa menoleh. Hong Beng mendekatkan mukanya
karena melihat bibir itu bergerak-gerak. Nenek itu berbisik-bisik.
"Kau...
berjanjilah untuk mentaati perintahku..."
Bukan main
nenek ini, pikir Hong Beng. Sudah menghadapi maut, masih keras hati dan minta
dia mentaati perintahnya! Dia mengangguk-angguk, menghormati pesan seorang di
ambang pintu kematian.
"Saya
berjanji untuk mentaati, nek."
"...ber...
bersumpah!"
Hong Beng
terbelalak, akan tetapi tidak berani menolak. Kembali dia mengangguk dan
berkata, "Saya bersumpah, nek!"
Wajah yang
sudah menghitam itu nampak tenang, mulut yang sudah membiru bibirnya itu tersenyum
menyeramkan jadinya! "Bagus! Kelak kau... kau harus menjadi suami Suma
Lian..."
Hampir saja
Hong Beng terlonjak kaget dan dia cepat membantah, "Akan tetapi, nek!
Nenek... ah, nenek...ini tidak bisa... nek...!" Percuma saja dia
berteriak-teriak karena nenek itu sudah tak bernapas lagi!
Pelayan yang
berada di luar kamar mendengar teriakan-teriakan Hong Beng lalu masuk dan
segera terdengar jerit tangis pelayan perempuan itu yang menarik perhatian para
tetangga. Tak lama kemudian, terdengar tangis kaum wanita yang menjadi tetangga
nenek itu. Sudah menjadi suatu kelajiman, bahwa pada setiap kematian, tentu
terdengar tangis wanita. Agaknya kalau tidak terdengar tangis wanita akan
menjadi aneh sekali tentu!
Tak seorang
pun mempedulikan Hong Beng yang duduk di ruang luar sambil bengong terlongong.
Kadang-kadang dia menarik napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala seperti
hendak membantah sesuatu, lalu nampak menyesal sekali seperti orang mau
menangis. Dia memang merasa menyesal bukan main.
Bagaimana
nenek aneh itu meninggalkan pesan seperti itu kepadanya? Dan dia sudah
berjanji, bersumpah malah! Bersumpah untuk mentaati perintahnya. Siapa tahu
perintah terakhir itu begitu gila? Bagaimana mungkin dia harus menjadi calon
suami... siapa lagi nama anak perempuan yang menjadi cucunya itu? Suma Lian,
benar, Suma Lian. Mana mungkin ini?
Suma Lian
adalah puteri tunggal Suma Ceng Liong. Sedangkan dia? Hanya anak yatim piatu,
hanya keturunan tukang kayu sederhana. Seorang pemuda yang sudah tidak memiliki
apa-apa lagi. Ayah tidak, ibu tidak, uang sepeser pun tidak, rumah tidak dan
keluarga pun tidak! Untuk menjadi bujang Suma Lian saja agaknya masih belum
tentu diterima, apa lagi menjadi suami!
Dan siapa
berani memberi tahukan pesan itu kepada keluarga susiok-nya? Biar sampai mati
dia tidak akan berani! Dia tahu tentu akan ditolak, dan mungkin dia tidak
dipercaya dan disangkanya dia bikin-bikin saja. Alangkah akan malunya, dan dia
akan merasa terhina sekali. Tidak, dia tidak akan bercerita kepada siapa pun
juga! Akan tetapi, dia sudah bersumpah untuk mentaati pesan terakhir yang
berupa perintah itu!
"Hayaaaa...
nenek aneh, kenapa sih engkau meninggalkan pesan yang begitu aneh dan gila?
Engkau menambahkan beban pada pundakku, membuat kehidupan ini menjadi semakin
berat rasanya..."
Baru saja
dia dilanda duka karena penolakan cinta dan sekarang dia dihadapkan pada
persoalan yang jauh lebih rumit lagi. Kalau persoalan mengenai diri Bi Lan,
dianggapnya sudah selesai. Cintanya ditolak dan habis perkara! Dia akan
menderita atau tidak adalah urusannya sendiri, tidak ada lagi hubungan dan
sangkut pautnya dengan orang lain.
Akan tetapi
urusan pesan nenek itu? Celaka! Begitu banyaknya orang akan tersangkut. Bukan
hanya diri Suma Lian langsung yang terkena pesan itu, akan tetapi juga dia
berhadapan dengan ayah ibu anak perempuan itu, dan gurunya sendiri tentu akan
ikut terbawa akibat buruknya, dan salah-salah seluruh keluarga Pendekar Pulau
Es akan memusuhinya karena menganggap dia menghina keluarga itu!
Akan tetapi,
kalau dia diam saja karena pesan terakhir itu hanya diketahui oleh dia dan
nenek itu sendiri, selama hidupnya akan ada perasaan bersalah di dalam hatinya.
Selama hidupnya! Karena dia sudah berani bersumpah di depan seorang nenek yang
hampir mati dan tidak menetapi janjinya, tidak memenuhi sumpahnya. Dan untuk
itu, selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh batin sendiri.
"Celaka,
mengapa nasibku begini aneh dan buruk?" dan hampir saja Hong Beng menangis
kalau saja saat itu tidak datang suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Mereka
pulang dengan tangan kosong dan dengan muka sedikit pucat mengandung
kegelisahan hati. Mereka melihat Hong Beng duduk di ruangan depan, akan tetapi
melihat banyaknya tetangga dan tangis para wanita, suami isteri itu tidak
mempedulikan Hong Beng dan mereka segera lari ke dalam rumah.
Tangis di
dalam rumah itu menjadi semakin riuh dengan kedatangan suami isteri itu. Para
tamu wanita itu, para tetangga, harus memperlihatkan keprihatinan dan kesedihan
mereka di depan tuan dan nyonya rumah. Itu namanya sopan santun. Dan seorang
saja menangis, tanpa diperintah lagi yang lain pun turut menangis. Otomatis air
mata pun bercucuran! Namanya juga perempuan!
Makin berat
rasa hati Hong Beng. Kedatangannya seolah-olah membawa bencana pada keluarga
pendekar Suma ini! Melihat betapa suami isteri itu pulang dengan tangan kosong,
tahulah dia bahwa mereka kehilangan jejak Sai-cu Lama! Dan dialah pembawa
berita buruk tentang diculiknya anak mereka dan bahkan membawa ibu pendekar itu
dalam keadaan sekarat. Dan kini, bagaimana mungkin dia, si pembawa berita
buruk, si pendatang pembawa sial, akan pernah berani membuka rahasia pesan
terakhir nenek itu?
Akan tetapi,
ada berita baik yang dapat disampaikannya kepada mereka, yaitu ke mana larinya
Sai-cu Lama. Dia tahu hal ini! Bukankah Tiong Ki Hwesio pernah mengatakan bahwa
kalau hendak mencari Sai-cu Lama, harus mencarinya di istana kota raja? Wah,
sedikitnya dia akan berjasa kalau memberi tahukan hal itu.
Hong Beng
sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, hendak berlari masuk, tetapi
pikirannya melarangnya. Mengapa harus memberi tahukan mereka? Biarlah dia
sendiri yang akan mengejar ke kota raja. Dia sendiri yang akan menolong anak
perempuan itu!
Ya, dia
harus menolong Suma Lian, bukan memperisterinya seperti yang dipesankan oleh
nenek aneh itu! Kalau dia dapat menyelamatkan Suma Lian, baru dia membuka
rahasia itu hanya dengan maksud menyampaikan pesan terakhir, bukan bermaksud
menuntut haknya! Tidak, dia tidak akan menuntut haknya, dia tidak akan memaksa
Suma Lian menjadi jodohnya.
Sekali saja
berhubungan hati dengan wanita sudah cukuplah. Dia sudah jera. Sakitnya bukan
alang kepalang kalau cintanya ditolak! Dia tidak mau mengalaminya untuk ke dua
kalinya. Biarlah, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh lagi, tidak akan
membiarkan dirinya jatuh cinta kepada seorang wanita. Pula, wanita mana sih
yang sudi menjadi calon isteri seorang pemuda yang miskin, yatim piatu, tidak
punya apa-apa, bahkan memiliki kepandaian pun tidak ada gunanya?
Buktinya,
kepandaiannya itu tak mampu menyelamatkan nenek itu, tak dapat merampas Suma
Lian. Dia hanya akan mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, bahkan
seluruh hidupnya, untuk melaksanakan perintah suhu-nya, dan sekarang ditambah
lagi, untuk mencari dan menyelamatkan Suma Lian. Untung bahwa dua tugas hidup
yang sudah ditentukannya sendiri itu semua terletak di kota raja.
Dia akan
pergi sekarang juga, untuk melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama. Dia tahu
betapa tangguhnya pendeta Lama itu, dan belum tentu dia akan berhasil. Akan
tetapi, kalau perlu dia akan berkorban nyawa untuk dua tugas itu! Didatanginya
seorang pelayan yang berada di luar dan dia berkata lirih,
"Paman,
tolong nanti engkau beri tahukan kepada tuan dan nyonya rumah kalau mereka
menanyakan aku, bahwa aku pergi untuk mencari nona Suma Lian." Tanpa
menanti jawaban, dia lalu pergi meninggalkan rumah duka itu yang mulai
dibanjiri tangis yang datang berlayat.
Kenapa kita
selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis?
Kenapa dalam urusan hidup dan mati kita pun masih menggunakan perhitungan rugi
untung? Merasa beruntung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau
kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggota keluarga? Kalau bukan karena
merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati?
Hanya ada
dua jawaban yang akan kita dapat kalau kita bertanya kepada mereka yang
menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggota keluarga meninggal
dunia. Jawaban itu tentu, pertama: Karena mencinta yang mati dan merasa
kehilangan maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah Karena merasa iba kepada
yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu? Benarkah
kita menangis karena kita mencinta si mati? Dan benarkah kita merasa iba kepada
si mati maka kita menangis?
Jawaban ke
dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan,
dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan
orang yang mati itu? Sakitkah? Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia
yang mati? Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita
kalau dia tidak merasakan apa-apa lagi?
Jadi, merasa
iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada
dia yang mati, melainkan iba kepada dirinya sendiri karena ditinggalkan. Coba
dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap
tangisnya?
Kita
mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita! Kita mengatakan lalu
bagaimana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk selamanya? Bukankah semua
itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri,
bukan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sendiri?
Kemudian
jawaban yang pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan
ditinggalkan, maka berduka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kematiannya
kita buat sedih? Bukankah kesedihan muncul karena adanya ikatan kita kepada si
mati? Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada
orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang
mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan.
Cinta bukan
berarti belenggu ikatan batin. Cinta seperti itu hanya akan menimbulkan
cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta
yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan
kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang
membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang
menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka.
Cinta
membuat kita ingin melihat yang dicinta itu berbahagia! Dan yakinkah kita bahwa
dia akan lebih berbahagia kalau masih hidup? Ada yang ketika hidupnya sakit
parah sampai bertahun-tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sayang dan
cinta! Nah, banyak lika-likunya tentang kata ‘cinta’ ini kalau kita mau
menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu
ringan mulut mengaku ‘cinta’.
Keluarga
Suma tidak dapat berlama-lama menahan peti jenazah nenek Teng Siang In, bahkan
tidak sempat menanti kedatangan para keluarga yang tinggal jauh dari situ,
karena mereka ingin cepat-cepat mengubur peti jenazah itu agar mereka dapat
cepat pergi mencari puteri mereka yang lenyap dibawa lari. Mereka berdua merasa
terkejut dan menyesal sekali melihat bahwa Hong Beng telah pergi tanpa pamit
kepada mereka, hanya meninggalkan pesan kepada seorang pelayan bahwa pemuda itu
pergi untuk mencari Suma Lian.
Mereka
merasa sangat menyesal mengapa tadi saking duka hati mereka tertimpa dua
kemalangan secara berbareng, yaitu terculiknya Suma Lian dan matinya nenek Teng
Siang In, mereka tidak memperhatikan lagi pemuda itu. Mereka sangat memerlukan
pemuda itu yang tidak sempat bercerita sejelasnya tentang kakek yang melarikan
Suma Lian. Mereka berdua tidak tahu siapa kakek pendeta itu, siapa namanya dan
dari mana datangnya.
Walau pun
pemuda itu sendiri pun belum tentu tahu, namun setidaknya pemuda itu dapat
menceritakan bagaimana bentuk dan rupa kakek itu dan tentang Ban-tok-kiam yang
tiba-tiba saja berada di tangan kakek yang membunuh nenek Teng Siang In dan
menculik Suma Lian.
Pedang
Ban-tok-kiam adalah Pedang pusaka milik nenek Wan Ceng isteri Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir. Tidak mungkin kalau pendeta itu suruhan mereka. Sungguh
tidak mungkin! Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pedang Ban-tok-kiam itu
dicuri dari tangan nenek Wan Ceng oleh kakek penculik Suma Lian itu, mengingat
betapa lihainya kakek itu sehingga nenek Teng Siang In juga terluka dan tewas
di tangannya.
Tidak ada
lain jalan, ke sanalah mereka pergi. Ke Istana Gurun Pasir, tempat tinggal
suami isteri sakti itu, di luar Tembok Besar, jauh di utara. Mereka harus
menyelidiki dulu tentang Ban-tok-kiam dan mungkin dari sana mereka akan
mendengar siapa adanya kakek yang tiba-tiba saja memusuhi keluarga mereka itu.
Setelah
penguburan selesai, dengan pakaian berkabung suami isteri ini pun segera
meninggalkan rumah, berangkat menuju ke utara.
*************
Pegunungan
Tai-hang-san terkenal sebagai pegunungan yang indah, memanjang dari selatan ke
utara. Di pegunungan itu terdapat banyak puncak-puncaknya yang selain amat
indah pemandangan alamnya, juga amat sulit didaki orang karena untuk mencapai
puncak, orang harus menuruni jurang dan memanjat tebing-tebing yang amat curam.
Bahkan para pemburu pun jarang berani mendekati puncak-puncak yang berbahaya
itu, melainkan mencari binatang buruan di sekitar lereng pegunungan di mana
terdapat banyak hutan-hutan yang luas.
Pegunungan
ini terletak di tepi daerah pegunungan yang memenuhi sebagian besar daratan
Cina, di tepi timur sehingga dari puncak-puncaknya, nampaklah bagian timur yang
datar dan rendah, penuh dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari barat dan
utara yang penuh dengan pegunungan itu. Tetapi kalau dari puncak Tai-hang-san
orang memandang ke utara, selatan dan terutama barat, maka yang nampak hanya
pegunungan belaka, dan daerah-daerah tandus yang tinggi.
Karena di
bagian timurnya datar dan tidak terhalang gunung, pemandangan matahari terbit
di puncak Tai-hang-san amat indahnya. Matahari terbit pagi sekali karena tidak
terhalang apa-apa. Ketika pagi hari nampak matahari seperti muncul dari tanah
yang merupakan garis di kejauhan sepanjang mata memandang, dan nampak bola
merah itu menyembul perlahan-lahan, besar dan merah darah, makin lama makin
tinggi sampai mata tidak kuat memandang lagi karena semakin tinggi bola merah
itu naik, semakin kuat cahayanya. Warna merah pun berganti keemasan, lalu jika
sudah berubah seperti warna perak, matahari itu sudah naik tinggi.
Tapi, ketika
bola itu masih berwarna merah darah, pemandangan alam di atas puncak sukar
dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya, indah yang mengandung sesuatu yang dapat
mendatangkan perasaan damai penuh ketenangan di dalam hati, mendatangkan
perasaan takjub dan hening, menggugah kesadaran betapa diri kita ini kecil dan
sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebesaran alam.
Menyadarkan batin bahwa kita ini merupakan sebagian kecil saja dari alam, yang
ikut berputar dalam arus kekuasaan alam yang sudah mengatur segala-galanya
secara sempurna.
Betapa kita
ini merupakan mahluk yang hanya dapat hidup karena adanya semua yang nampak dan
tidak nampak di alam ini. Cahaya matahari, udara, bumi, pohon-pohonan, air.
Semua sudah teratur sedemikian sempurna, saling kait-mengait, saling mematikan,
saling menghidupkan, tidak boleh kurang satu pun juga, sesuai dengan hukum
alam.
Sayang bahwa
kesadaran ini hanya kadang-kadang saja memasuki batin kita, dan sebagian besar
dari waktu kita terisi oleh pikiran yang menciptakan sang aku, sehingga
bayangan aku inilah yang paling besar, paling penting, dan harus dipaling
dahulukan!
Padahal,
tanpa perlu pergi ke puncak gunung seperti puncak Tai-hang-san sekali pun,
dengan meneliti tubuh kita sendiri, kita akan menemukan keajaiban-keajaiban
itu, akan menemukan kekuasaan alam yang bekerja dengan sempurna pada diri kita,
karena keadaan diri kita tiada ubahnya dengan keadaan alam!
Lihatlah,
rambut kita yang tak dapat kita hitung banyaknya itu, bulu-bulu di tubuh kita,
satu demi satu hidup sendiri-sendiri tanpa kita kuasai, ada yang panjang ada
yang pendek ada yang rontok ada yang tumbuh lagi. Garis-garis kulit kita, lekuk
dan lengkung tubuh kita, badan kita seluruhnya, isi kepala dan perut, otak
kita, semua tumbuh sendiri-sendiri tanpa dapat diatur oleh sang aku! Jantung
kita berdenyut setiap saat, baik kita sedang sadar mau pun tidak, seolah-olah
hidup tersendiri.
Lalu apa
sesungguhnya kemampuan sang aku yang begitu kita agung-agungkan? Dan bukankah
sang aku itu hanya ciptaan pikiran kita saja yang selalu mengejar hal-hal yang
menyenangkan dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah kita
alami?
Di mana ada
pengejaran kesenangan maka aku menjadi-jadi pentingnya. Segala jenis nafsu
mengaku menjadi sang aku. Dan begitu ada pengejaran kepentingan diri untuk
kesenangan, mulailah di antara kita saling bertumbukan, saling berebut
kesenangan yang kita beri nama kebenaran dan sebagainya yang muluk-muluk.
Bahkan perang pun terjadi di antara bangsa karena cetusan keinginan untuk
mengejar kesenangan masing-masing itulah, mengejar kepentingan diri pribadi.
Hampir setiap pagi, di atas satu di antara
puncak-puncak pegunungan itu, seorang pria selalu menyambut munculnya matahari
sambil meniup sulingnya. Keadaan sekitarnya, pemandangan alam yang nampak di
matanya, bunyi-bunyian antara binatang-binatang malam yang mulai mengendur dan
berganti suara kokok ayam dan kicau burung yang memasuki telinganya, keharuman
tanah yang dibasahi air embun, rumput dan daun-daun pohon yang memasuki
hidungnya, perasaan hati yang tenang dan hening, semua itu seolah-olah memberi
ilham kepadanya untuk mengalunkan suara sulingnya tanpa memainkan suatu lagu
tertentu!
Semua yang
didengarnya, dilihatnya dan diciumnya itu seolah-olah hendak ia masukkan ke
dalam tiupan sulingnya, atau lebih tepat lagi, dia ingin mengiringi semua itu
dengan alunan suara yang serasi, dan dia meniup dengan sepenuh perasaan, hanyut
ke dalam suara buatan sulingnya sendiri.
Pria itu
berusia tiga puluh tiga tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan,
namun sepasang matanya yang tajam itu seperti diselimuti kesayuan, seperti mata
orang yang pernah dilanda duka. Pakaiannya sederhana sekali, namun bersih. Dia
duduk di atas sebuah batu hitam, menghadap ke timur dan suara sulingnya
akhirnya berhenti setelah matahari naik semakin tinggi dan cahayanya mulai
menyilaukan mata.
Begitu suara
sulingnya berhenti, ramailah terdengar suara burung-burung berkicau dan
pergantian suara ini bukan membikin suasana menjadi buruk, bahkan kini suasana
menjadi gembira sekali, seakan-akan burung-burung itu bergembira menyambut hari
yang cerah. Suara suling tadi mendatangkan kesyahduan dan agaknya banyak burung
ikut mendengarkan dan baru sekarang mereka semua berkicau dan ada yang mulai
terbang meninggalkan pohon untuk pergi mencari makan.
Melihat
sulingnya yang mengeluarkan cahaya ketika tertimpa sinar matahari yang mulai
naik tinggi tentu akan membuat orang terkejut karena suling itu terbuat dari
pada kayu menghitam yang diukir indah seperti bentuk naga akan tetapi tajam dan
runcing seperti pedang. Dan memang benda itu adalah Liong-siauw-kiam (Pedang
Suling Naga) dan pemegangnya adalah Pendekar Suling Naga Sim Houw!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Sim Houw pernah pergi jauh ke daerah
Himalaya untuk mengunjungi keluarga Cu Kang Bu yang masih merupakan keluarga
mendiang ibunya. Ibunya, mendiang Cu Pek In, adalah keponakan dari pendekar Cu
Kang Bu. Ketika berkunjung itulah dia berhasil mengalahkan mendiang Pek-bin
Lo-sian dan menerima hadiah Liong-siauw-kiam itu. Oleh karena pedang ini amat
cocok untuk dipakai sebagai suling dan pedang, maka dia pun menyerahkan kembali
suling emas yang diterima dari ibunya dulu, juga mengembalikan Koai-liong
Po-kiam yang memang asalnya dari lembah keluarga Cu.
Sejak itu,
dia pun merantau selama tujuh tahun. Pedangnya yang sudah mengalahkan entah
berapa banyak tokoh-tokoh kaum sesat, membuat nama Pendekar Suling Naga semakin
terkenal. Akan tetapi, semakin dia terkenal, Sim Houw menjadi semakin rendah
hati. Dia yang sejak muda sudah biasa hidup di alam bebas, menyatukan diri
dengan kebesaran alam, dapat melihat bahwa dirinya itu sesungguhnya bukan
apa-apa, hanya kebetulan menjadi pewaris ilmu silat yang tinggi dan pusaka yang
ampuh begitu saja.
Seperti juga
semua manusia lain, tentu dia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dia
kelihatan terkenal dan dikagumi orang, akan tetapi hidupnya selalu sebatang
kara dan sampai hari itu, dia masih juga hidup menyendiri. Dia sudah tidak
memiliki keluarga kecuali keluarga Cu yang tinggal jauh di Himalaya itu, dan
kalau sampai berusia tiga puluh tiga tahun dia belum juga menikah, hal itu sama
sekali bukan karena dia pantang menikah, melainkan karena dia belum pernah bertemu
dengan seorang wanita yang cocok untuk menjadi jodohnya, seorang yang saling
mencinta dengan dia!
Dia tidak
mau patah hati untuk kedua kalinya. Kegagalan cinta dan tali perjodohannya
dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, membuat
Sim Houw berhati-hati sekali dan tidak mau sembarangan jatuh hati kepada wanita
sebelum dia yakin benar bahwa cintanya takkan bertepuk tangan sebelah. Dan
sampai sekarang, dia masih merasa belum bertemu dengan jodohnya.
Kalau ada
wanita yang menarik hatinya, ternyata wanita itu tidak cinta kepadanya, dan
sebaliknya kalau ada gadis yang tertarik kepadanya, dia sendiri tidak mencinta
gadis itu. Dia tidak mencari gadis yang cantik jelita, atau yang kepandaian
silatnya setingkat dia. Dia tidak mempunyai syarat apa pun, kecuali saling
mencinta. Dan bagi cinta, agaknya wajah dan kepandaian itu tidak dapat dipakai
sebagai dasar atau ukuran. Cinta adalah urusan hati, sedangkan kepandaian dan
kecantikan adalah urusan badan. Walau pun ada kaitannya, namun keindahan
lahiriah itu tidak menjadi syarat yang menentukan bagi cinta.
Kadang-kadang
timbul pula rasa kesepian di lubuk hati pria yang masih muda ini, dan rasa
kesepian ini menakutkan sekali. Sebagai seorang pendekar sakti, belum pernah ia
takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun, tetapi menghadapi kesepian
ini kadang-kadang membuatnya merasa ngeri! Haruskah hidupnya selalu begini,
seorang diri saja? Akan tetapi ada kalanya kesepian itu menjadi keheningan yang
menyejukkan hati, yaitu di waktu pikirannya tenang dan tidak mengada-ada.
"Bagus
sekali, mengapa berhenti?" Tiba-tiba terdengar suara halus.
Sejak tadi,
pendekar ini tahu bahwa ada orang datang dari arah belakang dan orang itu
berhenti sampai lama. Biar pun dia tadi masih meniup sulingnya, akan tetapi
andai kata orang di belakangnya itu menyerangnya secara tiba-tiba, ia tentu
akan dapat melindungi dirinya.
Karena sudah
tahu bahwa di belakangnya ada orang, semestinya dia tidak kaget ketika
mendengar teguran itu. Akan tetapi, kenyataannya Sim Houw terkejut dan
terheran. Cepat dia menoleh karena tak disangkanya bahwa orang yang datang
adalah seorang wanita dan teguran tadi pun sama sekali tidak menunjukkan nada
permusuhan. Dan kekagetannya bertambah ketika dia menoleh dan melihat bahwa
yang menegurnya adalah seorang dara yang masih muda, paling banyak delapan
belas tahun usianya dan dara itu manis sekali.
Kini gadis
itu berdiri, baru saja keluar dari balik batang pohon di mana ia tadi
mengintai, dan tersenyum. Memang luar biasa manisnya gadis ini kalau dia
tersenyum. Wajahnya memang selalu cerah, sikapnya selalu gembira dan jenaka,
akan tetapi kalau dia lagi tersenyum, mulut yang kecil itu dihias sepasang
lesung pipit di kanan kiri sehingga Sim Houw terpesona dan sejenak timbul
pikiran tahyul bahwa yang muncul ini bukan manusia melainkan seorang dewi!
Akhirnya
dapat juga dia menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan itu dan dia
pun bertanya, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya tadi, "Apa
yang kau katakan tadi?"
"Aku
berkata bahwa tiupan sulingmu itu bagus dan merdu bukan main, akan tetapi
kenapa berhenti?"
Sim Houw
tersenyum dan bangkit berdiri, menghadapi gadis itu. "Tiupanku hanya asal
bunyi saja, bagaimana bisa bagus? Dan aku berhenti meniup karena memang sudah
habis." Sukar dia menguraikan mengapa dia meniup suling, digerakkan oleh
suasana dan suasana pula yang menghentikan tiupan sulingnya.
"Ehh,
lagu apakah tadi? Indah sekali!" kembali gadis itu bertanya sambil
mendekat.
"Lagu
asal bunyi saja. Adik ini siapakah dan datang dari mana dan hendak ke mana?
Sungguh aneh melihat seorang dara muda seperti engkau ini dapat datang ke
puncak ini. Bagaimana kau bisa datang ke sini dan bersama siapa, ada keperluan
apa?"
"Wah-wah-wah,
pertanyaanmu datang bertubi seperti hujan deras saja. Kenapa kau
bertanya-tanya? Apakah puncak ini milikmu?"
Ditanya
demikian, Sim Houw lalu membelalakkan matanya. Suasana otomatis menjadi
demikian gembira setelah gadis ini bicara. Mungkin karena wajahnya yang cerah
itu, atau senyumnya yang manis, atau juga karena kata-katanya yang jenaka.
"Puncak
ini? Puncak ini memang milikku, juga milikmu, dan milik siapa saja yang mau
mengakuinya."
"Wah,
jawabanmu aneh dan ngaco! Mana bisa semua orang boleh memilikinya asal mau
mengakuinya?"
"Siapa
pula yang mau memiliki gunung? Aku bertanya karena merasa heran bagaimana
engkau bisa datang ke sini."
"Aku
datang seorang diri tanpa kawan, dan apa anehnya?”
"Akan
tetapi tidak mudah naik ke puncak ini, apa lagi bagi seorang..."
"Bagiku
mudah saja!"
Mengertilah
Sim Houw bahwa yang datang ini adalah seorang gadis yang memiliki ilmu
kepandaian silat cukup tinggi maka dapat dengan mudah mendaki puncak ini.
"Kalau boleh aku bertanya, apakah keperluanmu datang ke sini?"
"Mencari
orang! Dan sekarang, untuk pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu, aku mau membalas
dengan satu pertanyaan saja. Setelah kau jawab, aku segera pergi dari sini dan
tidak akan menganggumu lagi."
Sim Houw
tersenyum lagi. Sikap dan cara bicara anak ini sungguh lucu sekali dan lincah
jenaka. "Tanyalah, adik yang baik, jangankan hanya satu pertanyaan, biar
selosin pun akan kujawab."
"Tak
usah banyak-banyak, satu saja karena aku datang bukan untuk mengajak orang
mengobrol. Begini paman yang baik. Aku mendengar bahwa orang yang sedang kucari
itu berada di sekitar Pegunungan Tai-hang-san ini, dan ketika aku
bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di bawah sana, mereka memberi tahu
bahwa untuk mencari orang itu aku harus bertanya kepada seorang penyuling yang
mungkin berada di puncak ini. Nah, aku pun datang di sini dan karena engkau
pandai bermain suling, agaknya engkaulah penyuling itu. Tentu saja kecuali
kalau ada penyuling lain lagi."
Hati Sim
Houw mulai merasa tidak enak, namun dengan sikap tenang dia menyimpan
Liong-siauw-kiam di sarungnya yang terselip di pinggang di balik bajunya yang
panjang, dan dia bertanya. "Nona, siapakah yang kau cari itu?"
Dara itu
bukan lain adalah Can Bi Lan. Setelah ia mendengar dari Kun Tek bahwa kalau
hendak mencari Pendekar Suling Naga, ia harus pergi ke Tai-hang-san sebab
pendekar itu suka berkeliaran di daerah itu, maka ia pun langsung saja pergi ke
Tai-hang-san. Di sekitar kaki dan lereng pegunungan itu, ditanyainya penghuni
dusun barang kali ada yang mengenal orang yang bernama Sim Houw berjuluk
Pendekar Suling Naga.
"Yang
kucari adalah Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw." Sepasang mata yang
jernih tajam itu memandang penuh selidik. "Tahukah engkau, paman?"
Sim Houw
mengangguk dan menekan hatinya yang agak menegang. Heran dia kenapa dicari oleh
dara muda ini. Hatinya merasa tegang, padahal andai kata yang mencarinya itu
beberapa orang yang kelihatan jahat dan mengambil sikap bermusuhan sekali pun,
belum tentu dia akan kehilangan ketenangan.
"Nona,"
dia tidak menyebut lagi adik setelah mendengar betapa gadis itu menyebutnya
‘paman’. Memang, melihat keadaan gadis itu yang masih muda, sudah sepatutnyalah
kalau dia disebut paman. "Kalau engkau hendak mencarinya, yang bernama Sim
Houw adalah aku sendiri. Tidak tahu ada keperluan apakah?"
Bi Lan
melongo dan kini sepasang matanya memandang pria itu dari kepala ke kaki dengan
penuh selidik. "Luar biasa! Engkau pendekar yang namanya terkenal sekali
itu? Ahhh, siapa kira..."
"Ternyata
hanya begini saja, ya?" Sim Houw tersenyum pahit, tidak menyesal hanya
merasa lucu. Beginilah jadinya kalau orang menjadi terkenal. Lebih enak menjadi
orang yang tidak dikenal, sehingga tidak ada yang kecewa atau heran melihat
keadaannya.
"Ahhh,
bukan begitu. Tapi hemm, bentuk badan dan wajah memang agak cocok dengan
keterangan suci. Tubuhmu sedang dan wajahmu cukup tampan. Akan tetapi tidak
setua ini! Kata suci, engkau seorang pemuda yang hebat, tampan dan lihai. Tapi
walau pun engkau tampan, engkau tidak muda lagi dan pakaianmu begini sederhana,
sama sekali bukan seperti pendekar."
"Kalau
pendekar itu harus seperti bagaimana?" Sim Houw yang ketularan kejenakaan
gadis itu, bertanya sambil berkelakar.
"Seperti...
seperti...apa ya? Aku sendiripun tidak tahu."
Ia teringat
akan Gu Hong Beng dari Cu Kun Tek. Keduanya adalah pendekar-pendekar muda, akan
tetapi mereka pun seperti orang biasa. Hampir lupa ia bahwa pendekar pun orang,
maka tentu tidak ada bedanya dengan orang lain.
"Nona,
siapakah suci-mu itu? Dan apa keperluanmu mencari aku?"
"Beberapa
tahun yang lalu suci pernah kalah olehmu... ahhh, pantas, sudah lewat beberapa
tahun, tentu saja engkau menjadi lebih tua. Mungkin karena terlalu sederhana
kau jadi kelihatan lebih tua. Berapa sih usiamu sekarang?"
Melihat
betapa percakapan itu menjadi tidak karuan, malah bertanya umur segala, Sim
Houw tidak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa dan sekarang nampak bahwa dia sesungguhnya
belum tua karena begitu dia tertawa wajahnya nampak masih muda.
"Eh,
kenapa kau malah tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku?" Pandang mata
Bi Lan penuh kemarahan dan alisnya berkerut.
Tiba-tiba
saja Sim Houw menghentikan suara ketawanya. Dia seperti melihat bahwa jika dia
tertawa terus, tentu gadis itu akan langsung menyerangnya. Sekarang pun sudah
menyerangnya dengan pandang mata yang lebih runcing dari pada mata pedang!
"Aku
tidak mentertawakanmu, nona, melainkan ketawa karena kata-katamu yang lucu.
Jika mau tahu usiaku, aku berusia tiga puluh tiga tahun sekarang. Nah, memang
sudah tua, bukan?"
"Engkau
tidak tua tidak muda, engkau... yah, cukupan. Belum tua tapi sudah masak,
begitulah andai kata engkau ini buah."
"Siapa
bilang belum tua? Sudah seratus tahun kurang..."
"Ehhh?
Jadi kau tadi membohong ketika mengaku berumur tiga puluh tiga..."
"Seratus
tahun kurang enam puluh tujuh kan berarti seratus tahun kurang." Sim Houw
yang biasanya pendiam itu mendadak saja pandai berkelakar.
"Huh,
kalau begitu aku pun seratus tahun kurang! Kau kira aku ini anak kecil, mudah
saja dibohongi?"
"Kau
memang bukan anak kecil, akan tetapi dibandingkan dengan aku, engkau ini yah,
katakanlah remaja yang sudah matang. Usiamu tentu paling banyak enam belas
tahun." Sengaja Sim Houw mengurangi taksirannya untuk menggoda. Dia sama
sekali tidak tahu bahwa wanita paling suka kalau dikatakan masih muda, dan
ucapannya tadi bukan merayu, melainkan hanya untuk menggoda.
Akan tetapi
Bi Lan girang sekali. "Masih kelihatan begitu muda? Padahal, aku sudah
hampir delapan belas tahun! Eh, paman... bagaimana ya baiknya kupanggil paman
atau kakak?"
"Terserah
kepada yang panggil, itu adalah urusan orang yang akan memanggil, boleh kau
sebut paman, kakak, kakek, asal jangan menyebut bibi saja."
"Aha,
kau pandai berkelakar, ya? Lucu ya? Tidak lucu, ah!"
Kembali Sim
Houw tertawa. Bukan main gembira hatinya. Selama hidup baru satu kali ini dia
benar-benar merasa gembira bercakap-cakap dengan seseorang. Gadis remaja yang
satu ini memang bukan main. Lucunya tidak dibuat-buat, memang sikapnya,
kata-katanya dan pandang matanya, mulutnya, semua serba lucu dan menarik.
"Ehh,
ketawa lagi! Aku jadi ragu-ragu apakah benar engkau yang dipanggil Pendekar
Suling Naga! Masa ada pendekar kok begini sederhana dan suka berkelakar? Tidak
berwibawa seujung rambut pun. Pantasnya kau ini..."
Gadis itu
memandang seperti orang menimbang-nimbang, menggeleng sana-sini seperti seorang
gadis remaja menaksir sepotong baju baru yang akan dipilihnya.
"Pantasnya
jadi apa?" tanya Sim Houw yang sudah siap untuk tertawa lagi karena baru
sikap gadis itu sudah begitu menyenangkan dan menggelikan. Dia tidak mungkin
bisa marah dikatakan apa saja oleh gadis seperti ini!
"Hemm...
jadi petani dusun, terlalu tampan dan kulitmu terlalu halus. Jadi seorang kutu
buku! Yah, seorang kutu buku, yang kerjanya setiap hari hanya baca buku,
melamun, baca buku sambil menangis sendiri, tertawa sendiri..."
"Wah,
seperti orang gila? Menangis sendiri tertawa sendiri?"
"Bukan
gila. Aku melihat semua kutu buku begitulah. Kalau cerita yang dibacanya itu
menyedihkan dan mengharukan, dia menangis sendiri, kalau ada yang lucu,
ketawa-ketawa sendiri, memang seperti orang gila, tapi bukan. Ehh, benarkah kau
ini bernama Sim Houw dan yang dijuluki Pendekar Suling Naga?"
"Namaku
memang Sim Houw dan tentang julukan itu adalah orang-orang lain yang
menyebutnya, aku sendiri tidak pernah merasa menjadi pendekar."
"Akan
tetapi kata suci-ku, Pendekar Suling Naga mempunyai sebuah pusaka, yaitu
Liong-siauw-kiam!"
Sim Houw
dapat menduga bahwa kedatangan gadis ini tentu ada hubungannya dengan pedang
itu, maka dia pun mencabut Liong-siauw-kiam dari sarungnya. "Benda inilah
yang disebut Liong-siauw-kiam, suling yang kutiup tadi."
Sepasang
mata yang indah itu terbelalak. Ia melihat sebatang kayu semacam tongkat
berbentuk naga, berlubang-lubang seperti suling, namun tajam juga runcing
bagaikan pedang. Akan tetapi benda itu hanya dari kayu, buruk kehitaman pula.
"Itu? Yang kau tiup tadi? Itukah yang disebut Liong-siauw-kiam dan
diperebutkan oleh begitu banyak orang? Aihhh, apakah mereka semua itu sudah
gila?"
Sim Houw
menyarungkan lagi pedangnya, "Gila? Mereka siapa yang gila?"
"Tentu
saja yang memperebutkannya dengan taruhan nyawa. Bukankah itu pedang yang
tadinya berada di tangan kakek Pek-bin Lo-sian dan diperebutkan? Engkau juga
termasuk yang mungkin gila, memperebutkan pedang kayu seperti itu dengan
taruhan nyawa. Dijual tidak akan laku sepuluh tael perak! Engkau, suci-ku yang
berjuluk Bi-kwi, juga Sam Kwi guru-guruku, mereka itu juga sudah gila. Aku pun
termasuk yang sudah gila karena aku mau saja mewakili suci-ku untuk merampas
pedang macam itu darimu. Kalau bukan karena mewakili suci, huh, diberi juga aku
sendiri tidak sudi! Apa lagi harus merampas segala macam!"
Sim Houw
terkejut, alisnya berkerut dan rasa kecewa yang amat besar menyelinap di dalam
hatinya. Gadis ini murid Sam Kwi? Dan ia datang diutus oleh Bi-kwi, wanita
iblis jahat itu untuk merampas pedang pusaka ini? Sungguh sukar untuk
dipercaya. Dan pandangannya pun berubah!
Dia kini
menganggap bahwa semua kelucuan gadis ini tadi dibuat-buat saja, sengaja untuk
menjatuhkan hatinya, untuk merayunya! Dan memang gadis ini tadi telah berhasil
menarik hatinya, membuat dia merasa suka sekali kepada gadis ini. Akan tetapi
begitu dia mendengar bahwa gadis ini murid Sam-Kwi, segera dia usir semua rasa
suka itu, walau pun dengan hati penuh penyesalan dan kekecewaan.
Tidaklah
aneh sikap Sim Houw ini. Bukankah kita semua juga mendasari rasa suka dan tidak
suka melalui penilaian dan semua penilaian ini dipengaruhi perhitungan untung
atau rugi? Baik untung rugi batin mau pun untung rugi lahir. Kalau
menguntungkan kita, maka kita menilai orang itu sebagai orang baik, sebaliknya
kalau merugikan kita, kita menilai orang itu sebagai orang tidak baik.
Kita suka
atau tidak suka pada seseorang berdasarkan penilaian itu! Tak mengherankan apa
bila seseorang itu bisa hari ini baik dan besok tidak baik, hari ini dibenci
tapi besok disuka, sebab perbuatan-perbuatannya tentu saja bisa menguntungkan
atau merugikan, hari ini menguntungkan, besok merugikan dan sebaliknya dan
selanjutnya.
Kalau saja
kita dapat menghadapi apa dan siapa saja tanpa penilaian ini, tentu kita akan
terbebas dari pada rasa suka atau tidak suka kepada sesuatu atau seseorang.
Dengan kebebasan seperti ini, barulah sinar cinta kasih dapat menyinari batin.
"Hemm,
jadi engkau ini murid Sam Kwi? Dan datang ke sini mencari aku untuk mewakili
suci-mu, mencoba untuk merampas Liong-siauw-kiam?" tanya Sim Houw. Dia
terheran-heran mengapa Sam Kwi dan Bi-kwi mengutus seorang gadis yang
tingkatnya masih seperti kanak-kanak ini.
Bi Lan
mengangguk. "Akan tetapi menurut suci, ia pernah kalah olehmu dan menurut
ceritanya, engkau lihai bukan main. Agaknya aku pun bukan tandinganmu dan aku
akan gagal mengalahkan engkau untuk merampas pusaka itu."
"Kalau
begitu, mengapa engkau datang juga, seorang diri tanpa pembantu pula? Apa yang
memaksamu untuk nekat mencariku kalau engkau sudah merasa bahwa engkau tidak
akan berhasil merampas Liong-siauw-kiam dari tanganku?" tanya pula Sim
Houw, suaranya tidak lagi ramah karena dia menganggap gadis ini nekat atau
jahat atau menggunakan siasat pula dengan modal kecantikan, kemanisan dan
kepandaiannya bicara.
"Yang
memaksa diriku adalah janji dan sumpahku kepada suci. Aku telah bersumpah
kepada suci untuk merampaskan pusaka itu dari tanganmu, maka aku memaksa diri
untuk datang juga mencarimu. Kalau aku gagal dan tewas di tanganmu, bagaimana
pun juga aku sudah memenuhi janji dan sumpahku. Sebaliknya kalau aku tidak
berani melakukannya, biar pun aku tetap hidup, aku akan menjadi orang yang
mengingkari sumpahnya sendiri, dan berarti hidup tanpa isi. Bagiku, lebih baik
mati melaksanakan sesuatu yang gagah dari pada hidup sebagai orang tanpa
guna."
Kembali Sim
Houw tertegun. Kata-kata itu semua keluar dari dalam hati anak itu sendiri
ataukah memang sudah dihafalkan sebelumnya, merupakan siasat untuk menjatuhkan
hatinya? Saking terpengaruh benar oleh ucapan Bi Lan, dia bengong terlongong
saja.
"Heiiii!
Kau mendengar atau tidak? Aku mau merampas Liong-siauw-kiam! Kau berikan
kepadaku atau terpaksa aku menggunakan kekerasan merampasnya darimu!"
Ditegur
demikian, barulah Sim Houw sadar. Bagaimana pun juga, anak perempuan ini murid
Sam Kwi, agaknya tidak mungkin baik walau pun memiliki daya tarik yang luar
biasa dari pribadinya. Dan karena kedatangannya untuk merampas
Liong-siauw-kiam, maka harus dihadapi dengan kekerasan, biar pun sifatnya untuk
memberi hajaran saja.
"Mau
merampas Pedang Suling Naga? Boleh, silakan saja kalau kau mampu," katanya
tenang.
Bi Lan
sendiri memang masih belum percaya kalau orang yang di depannya ini memiliki
ilmu kepandaian yang demikian dipuji-puji suci-nya, maka ia pun tidak main-main
lagi dan ingin mengujinya sendiri. Mula-mula ia menggerak-gerakkan kedua
lengannya dan Sim Houw merasa ngeri juga mendengar, biar pun perlahan, bunyi
berkerotokan pada kedua lengan itu. Seorang gadis begini muda dan cantik
menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang hanya pantas dimiliki orang sesat!
"Orang
she Sim, awas sambut seranganku ini!" bentak Bi Lan dan ia telah menyerang
dengan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan Jurus Lutung Hitam)
yang hebat.
Ilmu ini
adalah ilmu andalan Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) dan memang hebat sekali
gerakannya. Mula-mula Bi Lan mempergunakan jurus Hek-wan Pai-san (Lutung Hitam
Mendorong Gunung), kedua lengannya itu didorongkan ke arah dada lawan sambil
mengerahkan tenaga sinkang. Hebatnya dari ilmu ini, ketika Sim Houw menarik
mundur tubuhnya untuk mengelak, kedua lengan gadis itu masih terus mulur
sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka masih menuju ke dada lawan!
Kiranya
lengan gadis muda itu dapat memanjang seperti karet. Dan ini pun kehebatan dari
ilmu yang didapatnya dari ciptaan Hek-kwi-ong. Biar pun kedua lengan Bi Lan
tidak dapat memanjang seperti kalau Hek-kwi-ong sendiri yang melakukannya,
namun sudah sempat membuat Sim Houw terkejut.
"Ehhh...!"
Serunya ketika di luar perhitungannya, kedua tangan yang sudah dielakkan itu
masih mampu mengejar terus.
Terpaksa dia
menggunakan kelincahan kakinya untuk melangkah ke kiri dan menarik kembali
tubuhnya. Akan tetapi, Bi Lan sudah menyusulkan jurus Hek-wan-hoan-hwa (Lutung
Hitam Mercari Bunga) dan kedua tangannya sudah membalik dan kalau tangan kanan
mencengkeram ke kepala lawan, tangan kiri menghantam ke lambung kanan.
Gerakannya
cepat dan kedua kakinya berloncatan lincah seperti gerakan seekor lutung. Ilmu
silat ini berbeda dengan Ilmu Silat Kauwkun (Silat Monyet) yang mengandalkan
kecepatan, melainkan lebih mengandalkan tenaga sinkang dan juga keanehan kedua
lengan yang dapat memanjang.
Namun kini
Sim Houw telah mengetahui keistimewaan kedua lengan yang dapat mulur itu, maka
menghadapi serangan-serangan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang itu, dia pun
mengandalkan kelincahan tubuhnya dan kalau mengelak, ditambahnya jarak mengelak
itu sehingga lebih jauh dari biasa. Dengan demikian, lima kali serangan dari
lima jurus yang dipilihnya dari delapan belas jurus Hek-wan Sip-pat-ciang itu
gagal mengenai tubuh Pendekar Suling Naga dan Bi Lan cepat sudah mengganti ilmu
silatnya.
Kini, tanpa
banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan lebih dahsyat karena kini kedua
kakinya yang melakukan penyerangan. Bukan serangan biasa, tetapi
tendangan-tendangan yang susul-menyusul dan kedua kakinya itu datang dari
segenap penjuru menendang, menyepak, mendorong dari samping dari depan dan
secara langsung ke belakang. Kedua kakinya dengan hidup dan cepatnya melakukan
serangan bertubi-tubi. Itulah Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan
Penjuru Angin), keahlian dari Im-kan-kwi ( Iblis Akhirat), orang ke dua dari
Sam Kwi.
Kembali Sim
Houw kagum, akan tetapi juga merasa sayang. Tendangan-tendangan itu memang
dahsyat, akan tetapi kadang-kadang nampak amat kasar tanpa mengindahkan segi
keluwesannya, tanpa memperhitungkan segi keindahan seni tarinya yang terdapat
dalam semua gerakan ilmu silat. Kadang-kadang nampak lucu seperti seekor monyet
menari-nari.
Akan tetapi
dia tidak berani memandang rendah karena dia sudah maklum bahwa biar pun masih
muda, ternyata gadis ini memang telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup
tinggi. Dia sudah tak begitu ingat lagi keadaan Bi-kwi beberapa tahun yang lalu
ketika menyerangnya, akan tetapi agaknya gadis ini tidak kalah lihai dari
suci-nya itu.
Saat Sim
Houw menggunakan lengannya menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya, tubuh Bi
Lan terhuyung-huyung dan berputaran. Ia terkejut sekali. Ilmu tendangannya itu,
begitu tertangkis, membuat tubuhnya terputar kehilangan keseimbangan. Maka
dengan gemas ia mengubah lagi ilmu serangannya, dan sekali ini mengeluarkan
Ilmu Hun-kin-tok-ciang!
Dari telapak
tangannya keluar lagi bunyi berkerotokan dan nampak pula ada uap agak kehitaman
saat kedua tangan itu bergerak. Gerakannya kaku, seolah-olah kedua lengan gadis
itu tidak dapat ditekuk, akan tetapi hebatnya luar biasa karena itulah ilmu
silat dari Si Iblis Mayat Hidup, orang ke tiga dari Sam Kwi. Hun-kin-tok-ciang
(Tangan Beracun Putuskan Otot) memang mengandung hawa beracun, dan jari-jari
tangan yang nampak kaku itu menotok sana-sini seperti sumpit-sumpit baja yang
mampu membikin putus otot tubuh lawan kalau mengenai sasaran.
"Ihhh...!"
Sim Houw mencela ilmu yang dianggapnya keji ini.
Dan dia pun
kini menyambut, bukan hanya mengelak terus, melainkan menangkis dan membalas
dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan untuk merobohkan lawan tanpa
melukai hebat. Akan tetapi, ternyata Bi Lan cukup lincah dan dapat pula
menghindarkan diri dari serangan-serangan balasan itu. Dan beberapa jurus
kemudian, melihat betapa Ilmu Hun-kin-tok-ciang juga tidak sanggup membuat ia
mendesak lawan, ia mempergunakan ilmu simpanannya, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun!
Inilah Ilmu
Tiga Belas Jurus yang diciptakan bersama oleh Sam Kwi setelah mereka bertapa
selama satu tahun. Ilmu yang sengaja mereka ciptakan untuk menghadapi Pendekar
Suling Naga yang menurut penuturan murid mereka amat lihai itu.
Dan kini Sim
Houw benar-benar terkejut. Hebat sekali memang ilmu itu. Ketika Bi Lan mulai
menyerangnya, dari kedua tangan gadis itu keluar suara bercuitan dan ilmu ini
memang menggunakan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang), hanya gerakan-gerakan
silatnya saja yang mereka susun secara teliti. Dan memang ampuh bukan main.
Gerakan-gerakannya
aneh, kedua tangan itu tiada ubahnya sepasang pedang yang menyerang dengan
kekuatan yang luar biasa. Sim Houw hampir saja celaka ketika tangan kiri Bi Lan
menyambar ke arah lambung. Untung dia masih sempat miringkan tubuhnya dan
bajunya terkait robek oleh tangan yang berubah seperti pedang tajamnya itu!
"Aih, engkau
sungguh nekat!" bentaknya marah.
"Serahkan
Liong-siauw-kiam atau aku akan menyerangmu terus sampai mati!" bentak Bi
Lan.
"Srattttt...!"
Pedang kayu
berbentuk naga itu dicabut karena Sim Houw mulai merasa kewalahan menghadapi
Sam Kwi Cap-sha-ciang. "Inilah pusaka itu, tetapi bukan untuk diserahkan
kepada siapa pun juga, melainkan untuk melawan siapa saja yang berniat
buruk."
Bi Lan
melanjutkan serangannya dengan menggunakan Cap-sha-ciang itu, hatinya agak
girang karena ternyata ilmu ciptaan tiga orang gurunya ini memang ampuh
sehingga lawannya terdesak dan terpaksa mengeluarkan pedang itu. Kalau pedang
kayu begitu saja, mana ia takut? Pedang baja saja ia tidak gentar, dapat
menggunakan kekebalan Ilmu Kulit Baja yang sudah dipelajarinya dari Im-kan-kwi
Apa lagi sebatang pedang kayu! Huh, mainan kanak-kanak pikirnya.
"Wirrr-wirrrrr...!"
Nampak sinar
berkelebatan, sinar hijau kehitaman dan mula-mula terdengar desir angin, akan
tetapi kemudian terdengar suara melengking-lengking.
Gadis itu
menjadi kaget bukan main. Jurus-jurus Cap-sha-ciang yang hebat itu seketika
seperti kacau gerakannya. Ia pun merasa tenaganya lemas karena jantungnya
tergetar oleh suara suling itu! Baru ia tahu bahwa pusaka itu memang
benar-benar hebat dan ampuh, ketika dimainkan oleh pendekar itu seolah-olah ada
bayangan seekor naga yang mengamuk sambil melengking-lengking!
Dari pedang
itu keluar tenaga yang hebat karena ketika dia dengan nekat mengadu tangannya
yang terisi hawa Kiam-ciang (Tangan Pedang) dengan sinar itu, selain dia merasa
tangannya menjadi nyeri, juga tubuhnya terdorong dan hampir saja dia roboh.
Dengan amat marah dan penasaran, gadis itu menyerang lagi dengan tangan
kirinya, menebaskan tangan itu ke arah leher lawan.
"Takkkk!"
Tangan itu
tertangkis pedang suling dan menempel pada senjata itu. Ada tenaga sedot yang
luar biasa kuatnya dari suling itu yang membuat tangannya melekat dan betapa
pun ia hendak menarik tangannya, ia tak berhasil.
"Wuuuuttt...!"
Kini tangan
kanannya yang menyambar. Tubuh lawan menyelinap ke arah belakang melalui
kanannya.
Bi Lan
mengejar dengan hantaman tangan yang mengandung hawa Kiam-ciang ke belakang,
akan tetapi tangan kiri lawan menangkap pergelangan tangan kanannya dan
tiba-tiba saja tubuhnya ditelikung dengan kedua lengannya ditarik ke belakang
oleh lawan yang sudah berada di belakangnya!
Dengan
keadaan seperti itu, tentu saja Bi Lan tidak berdaya. Akan tetapi ia adalah
murid Sam Kwi yang juga pernah menerima gemblengan Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir bersama isterinya, maka ia masih belum kehabisan akal walau pun kedua
lengannya sudah ditelikung ke belakang.
Tiba-tiba ia
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan kakinya sudah menyepak ke belakang,
lebih kuat dari sepakan seekor kuda! Dan tentu saja kaki itu menuju ke arah
selangkangan lawan, tempat yang paling lemah dan berbahaya bagi kaum pria kalau
diserang!
Kalau
sepakan itu hanya sepakan biasa, tentu Sim Houw masih mampu menangkis dengan
lututnya atau mengelak dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi sepakan itu
adalah sepakan dari Ilmu Tendangan Pat-hong-twi yang hebat. Memang, kalau Sim
Houw mau mendahului, dia bisa merobohkan Bi Lan lebih dahulu sehingga
sepakannya kandas di tengah jalan, akan tetapi dia tidak ingin mencelakakan
gadis ini, hanya ingin mengalahkannya tanpa melukainya untuk memberi hajaran.
Melihat sepakan yang berbahaya ini, tidak ada lain jalan baginya kecuali
melepaskan kedua lengan itu dan melompat jauh ke belakang.
Bi Lan cepat
membalikkan tubuh. Dengan muka merah saking marahnya, dia mulai memasang
kuda-kuda yang aneh. Tubuhnya merendah seperti hendak tiarap dan itulah
pembukaan dari Ilmu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang pernah
dia pelajarinya dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
Mula-mula
Sim Houw melihat dengan merasa lucu dan karena kasihan dia menyimpan pedang
pusakanya kembali, ingin menghadapi dan mengalahkan gadis itu dengan tangan
kosong saja, kecuali kalau dia terdesak lagi. Tiba-tiba dengan suara bentakan
panjang dan nyaring, tubuh gadis itu bergerak, bagaikan seekor naga saja,
langsung tubuh yang tadinya hampir tiarap itu menerjang ke depan, menyerang
lawan seperti terbang saja!
Bukan main
terkejut rasa hati Sim Houw karena dia seperti pernah mendengar tentang ilmu
ini, bahkan pernah melihat dimainkan orang. Dia cepat mengelak dan memutar
lengan untuk menangkis, namun demikian hebatnya serangan itu sehingga tubuhnya
sendiri terpelanting ke kiri! Hampir saja dia terbanting roboh kalau dia tidak
cepat-cepat membuang dirinya dan membuat gerakan jungkir balik! Dia dapat
berdiri kembali dan memandang dengan mata terbelalak!
"Rasakan
kau sekarang!" seru Bi Lan dengan girang dan kembali ia menerjang maju,
kini gerakannya semakin aneh dan dari kedua telapak tangannya keluar angin
berdesir.
Itulah
Ban-tok Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari nenek Wan Ceng, isteri dari
pendekar Kao Kok Cu yang berlengan satu, Sang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir
itu! Kembali Sim Houw terkejut dan cepat-cepat dia melompat lagi ke belakang
karena sekarang dia teringat akan gerakan ilmu-ilmu aneh tadi.
"Heiii,
berhenti dulu. Kau hebat! Apakah engkau atau Sam Kwi telah mencuri ilmu dari
Istana Gurun Pasir?"
Bi Lan
bertolak pinggang, matanya hampir bulat karena dibelalakkan marah, kedua
pipinya merah sekali karena selain marah ia juga telah bekerja keras tadi
sehingga denyut darahnya berjalan cepat, keringatnya membasahi dahi dan leher.
"Kau
sendiri pencuri perampok bajak copet maling!" Ia memaki-maki marah.
"Selama hidup aku tak pernah mencuri! Jangan menuduh yang bukan-bukan
kau!"
Sim Houw
tidak dapat marah dimaki-maki karena cara memaki itu nampak lucu. Dalam keadaan
marah sekali pun gadis ini masih nampak lucu dan mulai Sim Houw menduga bahwa
memang pembawaan, pribadi gadis ini yang lincah jenaka dan lucu, sama sekaii
bukan suatu permainan sandiwara. Andai kata semua tadi hanya sandiwara atau
rayuan tentu setelah berkelahi, sikap pura-pura itu akan hilang. Akan tetapi
gadis ini tetap saja lucu!
"Apa
anehnya kalau menuduh mencuri kepada Sam Kwi? Bukankah mereka terkenal sebagai
datuk-datuk kaum sesat, raja-raja iblis di antara para penjahat?"
"Sam
Kwi boleh melakukan apa saja, akan tetapi aku bukan Sam Kwi dan Sam Kwi bukan
aku! Aku memang pernah menjadi murid mereka, akan tetapi aku menjadi murid
untuk belajar silat, bukan belajar mencuri!"
"Kalau
begitu, dari mana engkau dapat memainkan ilmu silat dari keluarga Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir?"
"Huh!
Itu masih belum, sobat!" kata Bi Lan mengejek. "Kalau saja
Ban-tok-kiam masih berada di tanganku, pasti akan kubikin buntung pedang
pusakamu yang dari kayu itu!"
"Ban-tok-kiam!
Itu milik dari isteri pendekar majikan Istana Gurun Pasir!" teriak Sim
Houw semakin heran. "Bagaimana pula bisa menjadi milikmu?"
Kembali Bi
Lan tersenyum mengejek, bibirnya yang merah basah dan mungil itu berjebi.
"Kau
ingin mendengar penjelasanku mengenai keluarga Istana Gurun Pasir dan
aku?"
"Tentu
saja... tentu saja, apa hubunganmu dengan mereka?"
"Kau
boleh minta maaf dulu, baru aku mau menceritakan!"
"Minta
maaf?" Sim Houw memandang heran. Ada-ada saja permintaan gadis ini yang
aneh-aneh dan di luar dugaan. "Untuk apa?"
"Karena
kau tadi menuduh aku mencuri."
Hampir Sim
Houw tertawa bergelak, akan tetapi dia menahan rasa gelinya dan dia pun
tersenyum. "Baiklah, aku minta maaf atas tuduhanku tadi. Akan tetapi,
lebih baik usap dulu keringatmu. Lihat, dahi dan lehermu basah semua!" Dia
merasa risi dan kasihan melihat betapa peluh mengalir membasahi leher baju dan
yang dari dahi juga mulai menetes ke bawah membasahi pipi.
Bi Lan
tercengang. Baginya, lawannya ini juga aneh sekali dan dia pun lalu menyeka
peluhnya dengan sapu tangan biru yang dikeluarkannya dari saku bajunya.
"Dengarlah, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir atau majikan Istana Gurun
Pasir yang bernama Kao Kok Cu, dengan isterinya yang bernama nenek Wan Ceng,
adalah guru-guruku!"
"Wah,
mana mungkin...!"
"Mungkin
saja! Buktinya begitu kok tidak mungkin. Buktinya mereka telah mengajarkan ilmu
silat kepadaku selama satu tahun, bahkan subo Wan Ceng sudah meminjamkan
Ban-tok-kiam kepadaku, akan tetapi pedang itu dirampas oleh orang lain."
Sukar untuk
tidak percaya kepada omongan seorang gadis seperti ini, tetapi agaknya tidak
masuk di akal pula kalau murid Sam Kwi bisa menerima pelajaran silat dari
pendekar sakti itu dan isterinya.
"Nona,
ketahuilah bahwa aku menganggap keluarga Kao dari Istana Gurun Pasir itu
sebagai para locianpwe yang kuhormati dan kukagumi di samping keluarga dari
Pulau Es. Mereka adalah keluarga sakti yang gagah perkasa. Kalau engkau menjadi
murid suami isteri pendekar Kao itu, maka tentu saja aku tidak berani
mengangkat tangan melawanmu dan bagiku engkau bukan seorang musuh. Sekarang
mari kita duduk dan ceritakan kepadaku bagaimana di satu pihak engkau bisa
menjadi murid Kao locianpwe, hal yang memang patut kulihat pada dirimu, tapi di
lain pihak engkau pun menjadi murid Sam Kwi dan bahkan menjadi utusan Bi-kwi
untuk merampas Liong-siauw-kiam."
Sim Houw
sudah mengambil tempat duduk lagi di atas batu yang tadi dipakainya bersila
ketika dia meniup suling dan mempersilakan Bi Lan untuk duduk pula di atas
batu-batu di depannya.
Akan tetapi
Bi Lan menolak. "Nanti dulu! Enak saja engkau mengajak aku mengobrol
begitu saja. Aku datang untuk merampas pedang pusaka Suling Naga, bukan untuk
kongkouw (ngobrol-ngobrol) denganmu!"
"Kita
bukan hanya bicara tentang dirimu, akan tetapi juga tentang pedang pusaka ini.
Percayalah, aku tentu akan membantumu agar engkau tidak sampai hidup sebagai
orang yang tidak memenuhi janji dan sumpah sendiri."
"Benar?
Tidak bohong?"
Sim Houw
menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah berbohong."
"Kalau
perlu kau akan memberikan pusaka itu kepadaku?"
"Kalau
perlu, boleh saja." Sim Houw tersenyum.
"Sumpah
dulu kau tidak bohong, baru aku mau duduk mengobrol!"
Sim Houw
tersenyum lebar. Kini dia mengerti. Gadis ini pada dasarnya adalah seorang
gadis yang berjiwa pendekar, yang baik budi, jauh dari watak kejam dan jahat
dan mungkin karena melihat sifat-sifat baik inilah maka seorang sakti seperti
majikan Istana Gurun Pasir mau mengajarkan ilmu-ilmu kepadanya.
Akan tetapi
karena menjadi murid Sam Kwi dan hidup di dalam lingkungan para datuk sesat,
tentu saja dia pun ketularan watak-watak yang aneh dan mau enaknya sendiri
saja. Watak-watak yang buruk dari Sam Kwi dan watak-watak pendekar dari suami
isteri Istana Gurun Pasir itu agaknya bercampur dan menciptakan watak yang lucu
dan aneh pada diri gadis ini.
"Baiklah,
kalau perlu aku akan memberikan pusaka Suling Naga kepadamu dan aku akan
membantumu, aku bersumpah bahwa aku tidak berbohong."
Bi Lan
tertawa dan Sim Houw merasa luar biasa sekali, seolah-olah sinar matahari di
pagi hari itu tiba-tiba saja menjadi semakin cerah, suara burung-burung di
dalam pohon menjadi semakin merdu dan bau-bau rumput dan daun pohon dan bunga
di sekitar tempat itu menjadi semakin harum!
Demikianlah
keadaan hati yang tidak dibebani rasa duka! Kalau segala macam rasa duka,
kecewa, sesal dan sengsara hati lenyap dari batin kita, maka panca indera kita
akan bekerja lebih peka lagi dan kita akan lebih dapat menikmati segala
keindahan di dalam kehidupan ini!
Bi Lan yang
tersenyum cerah karena hatinya merasa lega itu kini duduk di atas batu hitam,
dekat dengan Sim Houw sehingga pria itu mampu menangkap bau badan gadis yang
berkeringat itu. Bau yang aneh dan terasa sampai ke jantungnya, yang mampu
menggerakkan semua kejantanan dalam dirinya, yang tiba-tiba menimbulkan gairah,
mendorong perasaan ingin sekali semakin dekat dengan gadis itu dan kalau
mungkin, selamanya tidak akan terpisah darinya dan akan selalu dapat mencium
bau yang khas itu!
"Nah,
sebelum aku mulai bercerita, sebagai tuan rumah yang baik, engkau harus lebih
dulu menceritakan kepadaku, apakah benar namamu Sim Houw dan bagaimana engkau
bisa memperoleh pedang pusaka itu dan sebagainya lagi mengenai dirimu."
Kembali Sim
Houw tersenyum. Dia sudah lupa lagi bahwa selama bertahun-tahun ini dia hampir
tak pernah atau jarang sekali tersenyum dan di pagi hari sekali, seolah-olah
sinar matahari dan di pagi hari ini, semenjak bertemu dengan gadis itu, entah
sudah berapa kali dia tersenyum, bahkan tertawa. Senyum yang benar-benar
langsung keluar dari perasaan hatinya, bukan sekedar senyum pengantar sopan
santun seperti yang nampak pada senyum kebanyakan orang.
"Namaku
Sim Houw dan tentang pedang ini..."
"Nanti
dulu! Namamu Sim Houw dan usiamu tadi kau katakan tiga puluh tahun? Siapa
isterimu?"
Tiba-tiba
saja muka pendekar itu menjadi merah sekali, kemudian agak pucat dan dia
menundukkan mukanya, memejamkan sebentar kedua matanya, kemudian setelah dia
mengangkat mukanya memandang gadis itu wajahnya sudah pulih kembali dan bahkan
senyumnya sudah membayang lagi di bibirnya, "Aku tidak punya
isteri..."
"Ahh...!
Sudah... sudah matikah ia? Atau... bercerai?"
Sim Houw
menggeleng kepalanya perlahan-lahan. "Aku belum pernah beristeri."
"Aneh,
seusia engkau ini belum beristeri? Tetapi... suci-ku pun usianya sudah sebaya
denganmu dan belum bersuami pula. Cuma... ia… ia mempunyai banyak sekali pacar!
Berganti-ganti, apakah... apakah engkau pun begitu?"
"Begitu
bagaimana maksudmu?" tanya Sim Houw hampir membentak.
"Seperti
suci-ku itu? Berganti-ganti pacar?"
Kalau bukan
gadis itu yang berkata demikian, ingin rasanya Sim Houw menampar mulut itu.
"Tidak! Jangan engkau samakan semua orang seenakmu saja. Bukankah engkau
sendiri, yang menjadi sumoi-nya, tidak sama dengan suci-mu itu, berganti-ganti
pacar?"
"Aku
sih tidak sudi! Aku benci laki-laki mata keranjang!"
"Nah,
engkau dengarkan saja, kalau begini terus ceritaku tidak akan ada habisnya! Aku
bernama Sim Houw, belum punya isteri, dan kedua ayah ibuku sudah meninggal
dunia. Guruku bernama Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas dan tinggal
di Istana Khong-sim Kai-pang, di puncak Bukit Nelayan, tak sangat jauh dari
sini. Cukup bukan tentang diriku?"
Bi Lan yang
tadi dibentak, sekarang mengangguk-angguk. "Sudah cukup jelas, terutama
bahwa selain belum pernah beristeri, engkau tidak pernah berganti-ganti
pacar..." Dia tersenyum memandang kepada Sim Houw yang kini juga tersenyum
senang. "Dan bagaimana tentang Liong-siauw-kiam itu?"
"Seorang
kakek pertapa di Himalaya yang bernama Pek-bin Lo-sian, aku yakin engkau tentu
mengenal nama itu karena dia masih terhitung susiok (paman guru) dari Sam Kwi,
telah merasa tua dan ingin mewariskan pedang pusaka Suling Naga kepada
seseorang yang dianggapnya cukup pantas untuk memilikinya. Dia tidak suka
kepada tiga orang keponakannya, yaitu Sam Kwi, dan dia lalu mulai mencari orang
yang akan mampu mengalahkan dirinya, karena dia hanya akan memberikan pusaka
ini kepada orang yang mampu mengalahkannya. Entah berapa banyak sudah orang
yang roboh di tangannya, luka atau mati, ketika dia mencari calon pemilik baru
dari Liong-siauw-kiam ini. Akhirnya dia bertemu denganku dan kebetulan aku
dapat mengalahkannya maka dia menyerahkan senjata pusaka ini kepadaku."
Bi Lan
mengangguk-angguk. "Jadi engkau tidak merampasnya atau mencurinya dari
kakek itu? Aku percaya ceritamu. Dan tidak aneh kalau engkau menang, karena
ilmu kepandaianmu memang amat hebat. Aku sendiri pun bukan lawanmu. Kalau kau mau
membunuhku dengan senjata itu tentu mudah saja. Heiii...! Mengapa...?"
Tiba-tiba
gadis itu meloncat dari tempat duduknya dan gerakannya yang tiba-tiba itu
mengejutkan Sim Houw sehingga pemuda ini pun terloncat bangun.
"Mengapa...
apa...?" tanyanya bingung oleh karena gadis itu kembali telah memandang
kepadanya dengan mata melotot marah.
"Mengapa
engkau tidak membunuhku atau setidaknya merobohkan aku? Padahal jelas bahwa
kedatanganku ini untuk merampas Liong-siauw-kiam? Ehh, engkau... engkau...
bukan sebangsa jai-hwa-cat, ya?"
Kembali Sim
Houw menjadi gemas dan ingin menampar mulut itu kalau saja yang bicara orang
lain.
"Kenapa
kau bertanya begitu?" balasnya, tentu saja dia mendongkol karena
jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) adalah kejahatan yang paling
dibencinya.
"Karena
sudah banyak sekali kulihat orang-orang yang ilmunya tinggi, bersikap baik
kepada wanita hanya untuk maksud-maksud tertentu yang rendah dan hina.
Tetapi... tetapi... ahhh, engkau tentu bukan orang macam mereka itu. Aku
percaya padamu, maafkan pertanyaanku tadi, ya?"
Ucapan yang
disertai senyum ini sekaligus menghapus bersih kedongkolan hati Sim Houw.
"Sekarang ceritakan tentang dirimu dan tentang hubunganmu dengan keluarga
Kao dari Istana Gurun Pasir."
"Sam
Kwi bukan saja guru-guruku, tetapi juga penolongku dan penyelamat nyawaku.
Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku dan ayah ibuku meninggalkan kampung
halaman kami di selatan untuk lari mengungsi karena ada perang pemberontakan
dan serbuan dari orang-orang Birma. Di tengah perjalanan, kami dihadang pasukan
orang Birma. Ayah ibuku tewas dan aku hampir celaka. Kalau tidak ada Sam Kwi
yang tiba-tiba muncul, tentu aku mengalami nasib seperti ibuku, diperkosa oleh
mereka sampai mati."
Gadis itu
memejamkan kedua matanya untuk mengusir pemandangan tentang ibu dan ayahnya itu
yang membayang dalam ingatannya. Diam-diam Sim Houw merasa terharu sekali dan
juga kasihan. Pantas gadis ini memiliki watak yang aneh. Begitu kecil sudah
mengalami musibah yang demikian hebat.
"Nah,
semenjak itulah aku menjadi murid Sam Kwi setelah mereka bertiga membunuh semua
anggota pasukan Birma itu. Aku berhutang budi dan mereka baik sekali padaku.
Akan tetapi suci-ku Bi-kwi, tidak baik kepadaku. Ia yang mewakili Sam Kwi melatihku,
akan tetapi latihan-latihan itu diselewengkan sehingga aku keracunan dan hampir
tewas kalau tidak pada suatu hari, di dalam hutan, aku bertemu dengan suhu dan
subo dari Istana Gurun Pasir itu. Merekalah yang mengobatiku sampai sembuh dan
mengajarkan ilmu-ilmu silat sampai setahun lamanya."
Sim Houw
mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan semakin kagum. Sejak berusia sepuluh
tahun gadis ini menjadi murid Sam Kwi, akan tetapi tidak tumbuh dewasa menjadi
seperti Bi-kwi, hal itu sungguh mengagumkan, tanda bahwa memang gadis ini
memiliki dasar watak yang baik dan kuat.
"Lalu
bagaimana engkau sampai bisa hutang budi juga kepada Bi-kwi, padahal ia yang
hampir mencelakaimu dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang sengaja disesatkan
itu?"
"Bi-kwi
bertempur denganmu dan kalah, lalu Sam Kwi bertapa selama satu tahun untuk
menciptakan ilmu silat baru yang hebat untuk kami dapat menghadapimu..."
"Ahh,
ilmu silat yang hebat tadi? Bukan main, memang Sam Kwi lihai..."
"Itulah
Ilmu Sam Kwi Cap-sha-ciang. Setelah mereka berhasil menciptakan ilmu baru itu,
mereka mengajarkannya kepada aku dan Bi-kwi, lalu kami berdua menerima tugas
untuk mencarimu dan merampas Liong-siauw-kiam. Sam Kwi lalu mengadakan pesta
makan minum untuk mengucapkan selamat jalan kepada kami dan dalam kesempatan
itu, aku dibikin mabok, ditawan oleh Sam Kwi untuk diperkosa..."
"Ahhh...!
Betapa kejinya!" Sim Houw hampir meloncat saking marah dan kagetnya.
"Hal
seperti itu biasa saja bagi mereka. Bi-kwi juga sudah mereka perlakukan
demikian sehingga selalu menjadi murid juga menjadi kekasih mereka. Aku tidak
sudi melayani mereka. Mereka bermaksud menundukkan aku seperti Bi-kwi, akan
tetapi aku tidak mau. Mereka mengancam akan memperkosa, dan ketika itulah
Bi-kwi turun tangan, membebaskan aku dan kami melarikan diri. Akan tetapi aku
lalu harus membuat janji dan sumpah bahwa aku akan membantunya mendapatkan
kembali Liongsiauw-kiam."
Sim Houw
mengangguk-angguk dan tertarik sekali. Diam-diam dia semakin kagum kepada Bi
Lan. Gadis ini sudah pernah hampir tewas oleh Bi-kwi, akan tetapi sekali
ditolong, ia bersumpah membalas budi itu dan sekali bersumpah ia akan
melaksanakan walau bertaruh nyawa. Sukar mencari seorang gadis berhati baja
seperti ini, juga yang bernasib malang sekali terjatuh ke dalam lingkungan kaum
sesat.
"Kemudian
bagaimana?"
Dengan
singkat Bi Lan lalu menceritakan perjalanannya dengan Bi-kwi sampai ia hampir
pula menjadi korban dan hampir diperkosa oleh Bhok Gun, cucu murid Pek-bin
Lo-sian. "Karena dua kali mengalami peristiwa seperti itu, hampir
diperkosa oleh Sam Kwi yang mula-mula baik kepadaku, kemudian oleh Bhok Gun
yang bekerja sama dengan suci, maka tadi aku teringat dan terkejut karena jangan-jangan
engkau juga seorang seperti mereka itu!"
"Hemmm,
tidak semua orang jahat, nona. Akan tetapi, engkau belum menceritakan sesuatu
yang paling penting padaku."
"Apa
itu?"
"Namamu!"
Bi Lan
tertawa. Ketawanya juga bebas, tanpa menutupi mulut karena kadang-kadang ia
lupa akan sedikit pelajaran tentang sopan santun yang pernah ia terima dari
nenek Wan Ceng. Ia memang merupakan seekor kuda betina yang tadinya liar, atau
setangkai bunga mawar hutan yang tidak pernah terawat dengan baik, walau pun
hal itu tidak mengurangi keindahan dan keharumannya.
"Aku
lupa dan engkau tidak menanyakan sih! Namaku Can Bi Lan, mendiang ayah bernama
Can Kiong, seorang petani biasa dari Yunan."
"Dan
sekarang, adik Bi Lan, boleh aku menyebut adik kepadamu, bukan?"
"Tentu
saja, dan aku akan menyebut toako (kakak besar) kepadamu. Tidak pantas menyebut
paman karena usiamu hanya sebaya dengan Bhok Gun yang masih terhitung suheng
dariku. Sim-toako, nah, itulah sebutanku untukmu. Kau tadi hendak bicara
apa?"
"Begini
Lan-moi (adik Lan), bagaimana pula engkau bisa tahu bahwa aku berada di
Pegunungan Tai-hang-san dan bisa menemukan aku di sini?"
"Aku
bertemu dengan seorang pemuda bernama Cu Kun Tek. Dialah yang memberi tahu
kepadaku bahwa mungkin aku bisa menemukanmu di Pegunungan Tai-hang-san."
"Cu Kun
Tek?" Sim Houw berseru girang. "Wah, dia itu masih terhitung
pamanku!"
"Apa?
Bagaimana ini? Dia masih begitu muda, sebaya denganku, mana bisa menjadi
pamanmu?"
"Ayahnya
yang bernama Cu Kang Bu adalah paman mendiang ibuku. Bukankah dengan demikian
Cu Kun Tek adalah pamanku? Tentu dia sudah dewasa sekarang. Aku tidak bertemu
dengan dia semenjak aku mengunjungi lembah keluarga Cu dan di sanalah aku
bertemu dengan kakek Pek-bin Lo-sian. Jadi engkau bertemu dengan Kun Tek?
Bagaimana dapat berkenalan dengan dia?"
"Dia
penolongku, ketika aku memasuki perangkap Bhok Gun. Tiba-tiba ketika aku dalam
keadaan luka dikeroyok oleh Bhok Gun dan kawan-kawannya, muncul Kun Tek yang
mengamuk sehingga kami berdua berhasil lolos dari kepungan. Kami berkenalan dan
dialah yang memberi tahu aku bahwa engkau mungkin berada di sini."
Tentu saja
hati Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Kun Tek yang dulu baru berusia
dua belas tahun itu sekarang sudah menjadi seorang pendekar yang boleh
dibanggakan! Pantas menjadi keturunan keluarga Cu yang gagah perkasa dan pantas
pula menjadi pemilik Koai-liong Po-kiam!
Dia merasa
amat gembira bahwa dia telah mengembalikan pedang pusaka itu kepada keluarga
Cu. Dengan demikian, terhapuslah sudah semua rasa tidak enak yang pernah ada
antara keluarga Cu dan keluarga Kam, yaitu Pendekar Suling Emas yang menjadi
gurunya.
Tiba-tiba Bi
Lan bangkit berdiri. "Sudah terlalu banyak kita ngobrol dan terlalu lama
aku disini. Sekarang, seperti janji dan sumpahmu tadi, serahkan
Liong-siauw-kiam kepadaku untuk kuberikan kepada suci." Ia menengadahkan
tangan kanannya yang diulur untuk menerima pemberian pedang.
"Nanti
dulu, Lan-moi. Aku tidak akan menarik kembali janjiku. Akan tetapi engkau tahu
betapa berbahayanya kalau pusaka seperti ini menjadi milik seorang jahat
seperti Bi-kwi atau Sam Kwi. Tentu seperti harimau buas yang tumbuh
sayap."
"Jadi
kau tidak mau memberikan?" Bi Lan mengerutkan alisnya, mulai marah.
"Nanti
dulu, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Aku akan menyerahkannya
kepadamu, akan tetapi aku pun akan ikut menyaksikan ketika engkau
menyerahkannya kepada suci-mu. Dan ketika itu, setelah engkau menyerahkan
pedang berarti engkau… engkau…"
Bi Lan
berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk. "Aku mengerti. Memang aku pun
tidak suka kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan suci. Ia amat jahat dan
tentu ia akan menjadi semakin jahat kalau mempunyai pusaka yang dapat
diandalkan. Baik, mari kita serahkan pusaka itu kepada suci dan kau boleh
merampasnya kembali dari tangannya, terserah."
"Di
mana dia sekarang?"
"Menurut
rencana mereka, yaitu suci dan Bhok Gun, mereka akan pergi ke kota raja untuk
bekerja membantu guru Bhok Gun yang sudah berada di kota raja pula."
"Di
kota raja?"
"Ya, di
istana kaisar. Guru Bhok Gun itu sudah mengabdi kepada seorang pembesar bernama
Hou Seng, dan mereka akan bergabung ke sana untuk mencari kedudukan. Kebetulan
sekali aku pun harus pergi ke kota raja untuk mencari orang yang sudah merampas
Ban-tok-kiam dari tanganku."
"Ahh,
kau tadi pernah bercerita tentang Ban-tok-kiam. Siapa yang merampasnya?"
“Menurut
keterangan seorang hwesio bernama Tiong Khi Hwesio, perampas yang amat lihai
itu berjuluk Sai-cu Lama dan pendeta Lama itu tentu berada di kota raja, karena
kabarnya pendeta Lama itu pun bersekongkol dengan persekutuan di kota raja. Aku
harus merampasnya kembali, betapa pun lihai Lama itu, karena Ban-tok-kiam hanya
dipinjamkan saja kepadaku oleh subo di Istana Gurun Pasir."
"Aih,
begitu banyak masalah yang kau hadapi, Lan-moi. Biarlah aku akan membantumu
kelak mendapatkan kembali Ban-tok-kiam. Pedang pusaka itu harus kembali kepada
pemiliknya, majikan Istana Gurun Pasir."
"Terima
kasih, toako. Kau baik sekali!" kata Bi Lan dengan hati girang.
Hari itu
juga mereka turun dari puncak itu setelah Sim Houw mengajak Bi Lan makan lebih
dulu di tempat tinggalnya, sebuah gubuk darurat di puncak itu. Sim Houw masih
menyimpan bahan makanan dan Bi Lan dengan girang lalu memasak dan mereka berdua
makan dulu sebelum meninggalkan puncak.
Sedikit
ucapan dari Bi Lan pada waktu mereka makan bersama, membuat hati Sim Houw
merasa terharu, akan tetapi anehnya, juga mendatangkan rasa duka walau pun
hanya tipis saja perasaan duka ini. Kata-kata itu adalah, "Sim-toako, aku
merasa seolah-olah engkau ini benar-benar kakakku sendiri! Betapa bahagianya
hatiku kalau mempunyai seorang kakak seperti engkau yang selalu membimbing dan
membantuku!"
Kedukaan
tipis yang menyelubungi hati Sim Houw itu timbul karena dia sendiri sudah tahu
akan keadaan hati sendiri. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini! Untuk kedua
kalinya dalam hidupnya dia jatuh cinta. Pertama kali kepada Kam Bi Eng dan dia
gagal karena cintanya bertepuk tangan sebelah. Kam Bi Eng mencinta Suma Ceng
Liong yang kini sudah menjadi suaminya. Dan sekarang dia jatuh cinta kepada Bi
Lan.
Akan tetapi,
usianya sudah tiga puluh tiga tahun sedangkan Bi Lan baru berusia paling banyak
delapan belas tahun. Sekarang saja gadis itu sudah mengatakan bahwa dia
dianggap sebagai kakak! Apakah mungkin gadis ini kelak dapat membalas cintanya?
Ataukah dia harus mengalami lagi nasib seperti cinta pertamanya, mengulang
kembali kegagalan cintanya? Dia hanya menarik napas panjang dan menyerahkan
segalanya kepada Tuhan…..
***************
Ternyata
kedua orang itu tidak usah mencari terlalu jauh sampai ke kota raja untuk
menyerahkan pedang Liong-siauw-kiam kepada Bi-kwi! Pada saat mereka berdua, Sim
Houw dan Bi Lan, berjalan perlahan-lahan menuruni pegunungan itu sambil
bercakap-cakap gembira karena kelincahan Bi Lan mendatangkan suasana yang amat
gembira dalam hati Sim Houw, dan mereka tiba di kaki puncak, di lereng bawah,
mendadak saja Bi-kwi muncul di depan mereka bersama Bhok Gun dan dua puluh
orang lebih anggota Ang-i Mo-pang yang berpakaian serba merah!
Kiranya
Bi-kwi dan Bhok Gun, setelah yang terakhir ini gagal menangkap Bi Lan karena
pertolongan Cu Kun Tek, dapat mengikuti jejak Bi Lan yang menuju ke
Tai-hang-san dan diam-diam mereka mengikuti terus. Ketika dalam penyelidikan
mereka kepada para penduduk dusun mereka tahu bahwa Pendekar Suling Naga berada
di puncak yang kini didaki oleh Bi Lan, mereka lalu bersembunyi dan hendak
menanti kembalinya Bi Lan.
Kalau Bi Lan
berhasil merampas pedang pusaka itu, mereka tinggal memintanya dan merampas
dari tangan Bi Lan kalau gadis ini tidak menyerahkannya. Atau kalau Bi Lan
gagal, mereka akan mengajak Bi Lan membantu mereka menyerbu ke puncak. Bi-kwi
yakin bahwa bagaimana pun juga, Bi Lan yang keras hati tidak akan mau melanggar
janjinya dan tentu akan mau membantunya merampas pedang pusaka itu.
Karena itu,
betapa kaget dan heran akan tetapi juga girang rasa hati mereka ketika pada
siang hari itu, mereka melihat Bi Lan turun dari puncak bersama sang pendekar
yang dicari-cari! Akan tetapi dalam suasana yang demikian akrab, berjalan
berdampingan sambil bercakap-cakap.
Bi-kwi dan
Bhok Gun tidak khawatir jika Bi Lan akan membantu Pendekar Suling Naga, karena
Bi Lan terikat oleh sumpahnya untuk membantu merampas kembali pedang itu! Dan
dengan bantuan Bi Lan, bahkan tanpa bantuannya pun, mereka berdua yakin bahwa
mereka akan mampu mengalahkan Sim Houw, apa lagi di situ ada dua puluh orang
lebih anak buah mereka.
"Suci...!"
Bi Lan berseru heran. "Engkau di sini...?" Dan alisnya berkerut
ketika ia melihat Bhok Gun dan anak buahnya berada pula di situ.
Bi-kwi
tersenyum mengejek. "Aha, sumoi-ku yang manis. Kau kira aku begitu bodoh,
membiarkan engkau sendirian menemui si Pendekar Suling Naga? Kiranya dia malah
telah memikat hatimu sehingga engkau sudah lupa akan tugasmu merampas pusaka
itu, malah kini menjadi pacarnya. Hemm, kulihat kau mulai pandai
berpacaran..."
"Bi-kwi,
tutup mulutmu yang kotor!" Sim Houw membentak marah.
"Ha-ha-ha,
siapa yang kotor? Sumoi, agaknya adik kecil kita itu belajar asmara dari
Pendekar Suling Naga, ha-ha!" Bhok Gun juga tertawa, padahal di dalam
hatinya dia merasa panas melihat betapa Bi Lan yang dirindukannya itu nampak
demikian akrab dengan Sim Houw.
"Bhok
Gun, Sim-toako bukanlah laki-laki hina dina dan rendah kotor macam kamu!"
Bi Lan tiba-tiba membentak dan memandang dengan sinar mata berapi-api.
"Jangan kalian ini manusia-manusia cabul menuduh orang-orang lain serupa
saja dengan kalian yang tak tahu malu!"
"Cukup,
Siauw-kwi!" kini Bi-kwi mulai mempergunakan pengaruhnya sebagai pelatih
dan suci. "Bagaimana dengan janjimu dahulu ketika aku membebaskanmu dari
Sam Kwi? Engkau dahulu sudah berjanji akan membantuku sampai berhasil
mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam dan membantu aku merebut kedudukan jagoan
nomor satu di dunia persilatan!"
"Aku
hanya berjanji akan merampaskan kembali Liong-siauw-kiam, dan tentang merebut
kedudukan jagoan nomor satu itu, kalau memang kebetulan aku menyaksikan tentu
aku membantumu. Aku tidak akan mengingkari janji. Lihat, Liong siauw-kiam sudah
berada di tanganku!"
Gadis itu
menyingkap bajunya dan memang benar, Liong-siauw-kiam dengan sarung pedangnya
telah terselip di ikat pinggangnya. Memang pedang ini diserahkan oleh Sim Houw
kepadanya pada waktu mereka hendak berangkat tadi, untuk penjagaan kalau
sewaktu-waktu Bi-kwi muncul.
Melihat
betapa pedang pusaka itu benar-benar telah berada pada Bi Lan, Bi-kwi dan Bhok
Gun saling pandang dan mereka nampak terkejut dan heran. Akan tetapi Bi-kwi
menjadi girang sekali.
"Bagus
sekali, sumoi! Kiranya engkau memang telah memenuhi janjimu. Lekas berikan Liong-siauw-kiam
itu kepadaku, adikku!" Suaranya menjadi manis sekali, dan ia sudah
mengulurkan tangan.
"Nanti
dulu, suci. Aku akan menyerahkan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini padamu,
akan tetapi dengan demikian berarti aku sudah terbebas dari ikatan janjiku
kepadamu! Aku tidak akan hutang budi apa-apa lagi darimu dan kalau pedang ini
sudah kuberikan kepadamu, berarti tidak ada ikatan apa-apa lagi antara kita.
Berarti bahwa janji dan sumpahku telah kupenuhi dan kelak engkau tidak berhak
untuk menekan aku lagi berdasarkan janji sumpah yang sudah kupenuhi dengan
penyerahan pedang pusaka Liong-siauw-kiam ini. Benarkah begitu?"
"Benar,
dan mana pedang itu? Ke sinikan!" kata Bi-kwi tak sabar lagi.
"Katakan
dulu bahwa kalau engkau sudah menerima pedang ini dariku, maka aku sudah tidak
terikat dengan janji apa-apa lagi!" kata Bi Lan sambil mencabut sarung
pedang itu dari ikat pinggangnya, akan tetapi belum mau menyerahkannya.
"Baik.
Kalau pedang itu sudah kuterima, engkau tidak terikat janji apa-apa lagi. Nah,
berikan Liong-siauw-kiam itu padaku."
Bi Lan
menanti dua detik dan seperti telah direncanakan oleh Sim Houw, tiada tanda
apa-apa dari Sim Houw. Hal ini berarti bahwa dia sudah boleh menyerahkan pedang
itu kepada suci-nya. Menurut rencana itu, kalau belum tiba saatnya menyerahkan
pedang, Sim Houw tentu akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sim Houw kini diam
saja, hal ini merupakan isyarat dari Sim Houw bahwa pedang itu sudah boleh
diberikan kepada Bi-kwi.
"Nah,
terimalah ini sebagai pembayaran janji dan sumpahku kepadamu dan aku sudah
bebas dari ikatan apa pun dengan dirimu," katanya sambil mengulurkan
tangan yang memegang pedang dengan sarungnya itu tanpa melangkah ke depan.
Dengan
demikian, terpaksa Bi-kwi yang melangkah ke depan dan ia menerima pedang itu
dari tangan sumoi-nya. Sebagai seorang yang cerdik dan ahli silat yang lihai,
cara mengambil pedang itu dari tangan sumoi-nya dilakukan seperti orang
merampas.
Disambarnya
pedang itu dan begitu sudah berada di tangannya, ia cepat melompat ke belakang.
Hal ini untuk menghindarkan kalau-kalau sumoi-nya bertindak curang dan
menyerangnya pada saat ia menerima pedang. Akan tetapi ia tetap kalah cepat,
atau memang sama sekali tidak mengira bahwa pada saat ia menerima pedang, tubuh
Sim Houw sudah meluncur ke depan.
"Sumoi,
awas...!" teriak Bhok Gun yang melihat gerakan Sim Houw dan dia pun sudah
meloncat ke depan.
Bi-kwi
terkejut sekali ketika tiba-tiba tubuh Sim Houw, bagaikan seekor garuda terbang
menyambar ke bawah, tangan kanan mencengkeram ke atas ubun-ubun kepalanya
sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pedang! Serangan itu hebat bukan main
dan kalau ia terlambat sedikit saja melindungi tubuhnya, tentu kepalanya
menjadi sasaran. Jangankan sampai dicengkeram, terkena totokan satu kali pada
ubun-ubun kepalanya, ia akan mati konyol!
Cepat Bi-kwi
membuang diri ke belakang sambil menangkis pukulan itu, kakinya sambil membuang
diri menendang ke depan. Akan tetapi, betapa pun cepat reaksi gerakannya, tetap
saja tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang itu telah
terampas oleh Sim Houw.
"Bukkkk...!"
Pada saat
itu, hantaman Bhok Gun tiba menimpa punggung Sim Houw. Dalam usaha membantu
sumoi-nya tadi, Bhok Gun sudah mengerahkan tenaganya dan memukul punggung Sim
Houw.
Sim Houw
maklum akan serangan ini, tetapi dia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada
usahanya merampas kembali Liong-siauw-kiam karena kalau sekali serangan itu dia
gagal, akan semakin sukarlah untuk mendapatkan kembali pusakanya itu. Maka,
sambil melanjutkan usahanya merampas pedang, dia menerima saja hantaman pada
punggungnya itu sambil menggunakan sebagian dari sinkang-nya saja untuk
melindungi punggung.
Terkena
hantaman yang amat kuat itu, tubuh Sim Houw terpelanting dan bergulingan sampai
jauh, akan tetapi pedang Liong-siauw-kiam sudah berada kembali ke tangannya.
Dengan kemarahan meluap Bi-kwi dan Bhok Gun mengejar dan mereka berdua sudah
menyerang dengan bertubi-tubi untuk merampas kembali pedang itu.
Bhok Gun
mempergunakan pedangnya, dan Bi-kwi sudah mengeluarkan Ilmu Silat Sam Kwi
cap-sha-ciang yang hebat itu. Baru saja Sim Houw yang terkena hantaman tadi
meloncat berdiri dan dari mulutnya mengalir darah segar sebagai bukti bahwa
pukulan tadi telah melukainya sebelah dalam tubuh atau setidaknya membuat
sebelah dalam tubuhnya terguncang, kini dia sudah diserang lagi dengan
dahsyatnya.
Dia mengelak
dari sambaran pedang Bhok Gun, namun sebuah tamparan dengan jurus Ilmu silat
Cap-sha-ciang yang ampuh itu kembali membuatnya terpaksa melempar diri dan
bergulingan. Tetapi sambil bergulingan dia mencabut pedang Liong-siauw-kiam dan
begitu dia meloncat bangun dan memutar pedangnya, terdengar suara
berkerintingan dan beberapa belas buah paku beracun yang disambitkan Bhok Gun
berjatuhan akibat tertangkis oleh sinar pedang.
Setelah
pedang Liong-siauw-kiam berada di tangannya, kini Sim Houw menghadapi mereka
berdua dan terdengarlah bunyi senjatanya itu yang melengking-lengking seperti
suling ditiup, akan tetapi mengandung ketajaman pedang pusaka yang sakti,
bahkan sinar pedang itu saja bersama suaranya sudah mampu membuat lawan menjadi
repot. Terjadilah perkelahian mati-matian.
Tanpa
diperintah lagi, dua puluh lebih anak buah Bhok Gun itu sudah mengurung arena
perkelahian itu dengan senjata golok atau pedang di tangan. Melihat ini, sejak
tadi Bi Lan sudah memperhatikan.
"Siauw-kwi,
hayo kau bantu kami!" bentak Bi-kwi dengan suara penuh wibawa kepada adik
seperguruannya itu.
Akan tetapi
dengan tenang Bi Lan menjawab, "Bi-kwi, ingat bahwa sejak kau terima
pedang itu, di antara kita sudah tidak terdapat ikatan apa-apa!" Berkata
demikian, gadis ini lalu menerjang maju dan menyerang dua puluh lebih anak buah
Bhok Gun itu!
"Kau pengkhianat...!"
Bhok Gun berteriak marah ketika melihat betapa dua orang anak buahnya roboh
terguling oleh serangan Bi Lan yang segera dikeroyok oleh semua anak buah itu.
"Bukan
pengkhianat macam engkau yang curang!" balas Bi Lan dan gadis ini dengan
enaknya membagi-bagi pukulan dan tendangan kepada dua puluh lebih pengeroyok
yang bukan merupakan tandingan yang berat baginya.
"Celaka!
Kita tertipu...!" Tiba-tiba Bi-kwi berseru. "Mereka sudah
merencanakan ini...!"
Menghadapi
lawan seperti Sim Houw, walau pun mengeroyok dua, sama sekali tidak boleh
membagi perhatian. Begitu Bi-kwi berteriak demikian sambil sedikit melirik ke
arah sumoi-nya, sinar pedang Suling Naga menyambar dibarengi lengkingan
mengerikan. Ia menangkis dengan lengannya, akan tetapi ternyata ujung suling
pedang itu berkelebat ke atas. Terdengar kain robek disusul jerit tertahan
Bi-kwi yang terluka pada pundaknya!
Melihat
betapa Bi-kwi terluka dan anak buahnya kocar-kacir diamuk Bi Lan, Bhok Gun
menjadi gugup dan dia pun berseru nyaring "Mari kita pergi...!"
Betapa
mendongkol rasa hatinya, terpaksa Bi-kwi menuruti nasehat suheng-nya itu dan
bersama Bhok Gun, ia pun meloncat dan melarikan diri, diikuti
terpincang-pincang oleh dua puluh lebih anak buah Ang-i Mo-pang yang saling
menopang kawan yang terluka. Bi Lan berdiri sambil bertolak pinggang, tertawa
terbahak-bahak melihat mereka. Sim Houw juga tersenyum, akan tetapi tiba-tiba
dia mengeluh dan cepat dia duduk bersila, sambil memejamkan kedua matanya.
Melihat
kawannya itu diam saja dengan tiba-tiba lalu duduk bersila, Bi Lan teringat
bahwa Sim Houw tadi terkena pukulan Bhok Gun pada punggungnya sampai mulutnya
mengeluarkan darah. Ia cepat mendekati pemuda itu dan melihat betapa Sim Houw
mengatur pernapasan untuk mengumpulkan hawa murni mengobati lukanya sendiri, ia
pun lalu duduk agak menjauh. Ingin sekali ia membantu pemuda itu dengan
penyaluran tenaganya, akan tetapi ia tidak berani melakukannya dan tidak mau
mengganggu Sim Houw yang sedang semedhi. Ia kagum bukan main kepada pemuda itu.
Tadi ia
melihat cara Sim Houw merampas kembali pedang pusaka dan karena itu ia pun
melihat bahwa Sim Houw sengaja membiarkan punggungnya terpukul karena pemuda
itu memaksa diri harus dapat merampas pedang itu dalam satu serangan, dan
ternyata usahanya itu pun berhasil dengan baik! Ia percaya bahwa pendekar itu
sudah membuat perhitungan dengan masak sehingga pukulan yang mengenai punggung
itu, walau pun mengguncang hebat dan menimbulkan luka dalam sampai memuntahkan
sedikit darah, namun tentu tidak berbahaya.
Buktinya,
dalam keadaan terluka tadi Sim Houw telah mampu mendesak dan melukai pundak
Bi-kwi, biar pun suci-nya tadi mempergunakan Ilmu Cap-sha-kun dan Bhok Gun yang
tingkat kepandaiannya sama dengan Bi-kwi mempergunakan pedangnya. Bahkan
membuat kedua orang itu kemudian terpaksa melarikan diri!
Sambil
menunggui Sim Houw yang sedang mengobati luka dalam di tubuhnya, Bi Lan kini
mulai memperhatikan pria itu. Bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang
laki-laki, seorang jantan yang berwatak lemah lembut dan sederhana, tak pernah
tinggi hati dan tidak suka berlagak walau pun jelas bahwa ilmu kepandaiannya
tinggi sekali dan namanya terkenal sebagai seorang pendekar sakti.
Seorang yang
pada wajahnya membayangkan bekas kedukaan yang membuat dirinya menjadi pendiam
dan lebih suka menyendiri di tempat-tempat sunyi. Dan tiba-tiba saja hatinya
merasa kasihan sekali. Laki-laki yang baik budi ini, agaknya juga tidak
memiliki siapa pun di dunia ini, seperti dirinya.
Ah, mengapa
ia mendadak saja termenung? Mengapa membiarkan pikiran dikelabukan awan yang
hanya akan membuatnya bersedih? Wataknya yang gembira dan jenaka sudah sejak
lama terlatih untuk mengatasi segala duka. Bahkan ketika ia menderita sakit
keracunan yang membuatnya seperti orang gila, hanya sebentar saja ia menangis,
kemudian ia sudah bergembira kembali, dengan alam, dengan sekitarnya.
Ia pun sudah
melenyapkan kesedihan yang tadi terseret oleh rasa kasihan yang timbul terhadap
Sim Houw dan kini wajahnya sudah berseri kembali. Tugas pertama sudah dilaksanakannya
dengan baik. Ia sudah berhasil menemukan kembali Liong-siauw-kiam dan
membebaskan dirinya dari ikatan janjinya terhadap Bi-kwi. Budi kebaikan Sam Kwi
telah lunas ketika Sam Kwi hampir saja memperkosa dirinya. Budi kebaikan itu
telah ditebus dengan perbuatan mereka yang hina itu.
Ia tidak
akan mendendam sakit hati atas perbuatan Sam Kwi yang terakhir terhadap
dirinya, biarlah perbuatan itu sebagai pembayar semua budi mereka terhadap
dirinya sejak dia bertemu dengan mereka. Kemudian, dia pun tidak lagi berhutang
budi kepada Bi-kwi karena sudah ditebusnya dengan menyerahkan Liong-siauw-kiam
tadi. Soal dia tidak mampu mempertahankan pusaka itu ketika dirampas kembali
oleh Sim Houw, itu adalah masalah Bi-kwi sendiri dan dia tidak perlu
mencampurinya.
Kini tinggal
satu tugas lagi. Mencari Ban-tok-kiam! Dan Sim Houw telah berjanji untuk
membantunya. Ia percaya kepada pria ini. Ia merasa aman, merasa begitu pasti
akan berhasil karena ada Sim Houw di sampingnya. Bahkan ia hampir merasa yakin,
begitu besar percayanya kepada sahabat barunya ini, bahwa ia akan mampu
mendapatkan kembali Ban-tok-kiam untuk bisa dikembalikan kepada subo-nya di
Istana Gurun Pasir. Setelah berhasil, ia akan mengunjungi suhu dan subo-nya itu
di sana!
"Lan
moi, kau sedang melamun apa?" tiba-tiba Bi Lan menoleh dan dia melihat Sim
Houw sedang memandang kepadanya. Wajah Sim Houw sudah nampak segar, tanda bahwa
pria itu sudah sehat kembali. "Kau tersenyum-senyum seorang diri."
"Sim-toako,
bagaimana dengan lukamu? Sudah sembuhkah?" Ia cepat menghampiri ketika Sim
Houw bangkit berdiri.
Sim Houw
meraba-raba dadanya dan mengangguk. "Pukulan orang itu amat kuat, hal yang
sama sekali tidak kusangka. Dia amat lihai. Dia itukah yang bernama Bhok Gun
itu, cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian?"
"Benar,
tetapi tak perlu kau memuji-mujinya. Buktinya, dia dan suci yang mengeroyok
engkau dalam keadaan sudah terluka pun tidak mampu menang, malah mereka lari
seperti dua ekor tikus dipotong ekornya."
Sim Houw
tersenyum. Dia sudah sering mendengar orang mengambil perumpamaan ‘anjing
dipukul’, akan tetapi baru sekarang mendengar orang membuat perumpamaan dua
orang lari seperti tikus-tikus dipotong ekornya. "Adik Lan, apakah engkau
pernah melihat tikus dipotong ekornya lalu melarikan diri?"
"Belum,
akan tetapi bisa kubayangkan. Kalau tidak percaya, coba saja tangkap tikus,
potong ekornya lalu dilepaskan. Lihat apakah dia tidak akan lari secepatnya
karena ketakutan!"
Setelah
keduanya ketawa, Sim Houw lalu bertanya, "Lan-moi, orang she Bhok itu
murid siapakah? Biar pun aku pernah bertemu dan menerima pusaka dari mendiang
Pek-bin Lo-sian, akan tetapi aku tidak tahu siapa muridnya. Apakah engkau
pernah mendengar dari suci-mu siapa gurunya itu?"
Bi Lan
menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sim-toako, aku pun tidak pernah tahu atau
mendengar siapa gurunya. Hanya dari percakapan antara mereka aku tahu bahwa
Bhok Gun mengajak anak buahnya untuk pergi ke kota raja, bergabung dengan
gurunya untuk mengabdi kepada pembesar yang bernama Hou Seng itu."
Mereka
berdua lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja, karena seperti yang
pernah dijanjikan oleh Sim Houw, mereka akan menyelidiki tentang Sai-cu Lama
yang merampas Ban-tok-kiam di kota raja. Setelah terjadi peristiwa pengeroyokan
itu di antara kedua orang ini terjadi hubungan yang semakin akrab.
Biar pun
ketika dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, Sim Houw tidak membutuhkan bantuan
Bi Lan, akan tetapi maju dan mengamuknya Bi Lan terhadap dua puluh lebih anak
buah Ang-i Mo-pang yang mengepung tempat itu menimbulkan kepercayaan baru dalam
hati Sim Houw terhadap Bi Lan. Ternyata dan terbuktilah dari pertempuran ini
bahwa Bi Lan berwatak baik dan bersih, berjiwa pendekar dan menentang kejahatan
walau pun ia mengaku murid Sam Kwi.
Sebaliknya,
Bi Lan semakin suka dan percaya kepada Sim Houw karena di sepanjang perjalanan,
Sim Houw tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar. Selalu sopan, ramah,
bahkan memandang kepadanya dengan sinar mata yang begitu lembut.
Dia merasa
suka bercakap-cakap dengan pria yang dari percakapannya saja sudah diketahui
mempunyai pengetahuan luas itu. Dan kalau ada waktu, Sim Houw selalu memberi
petunjuk-petunjuk kepadanya tentang cara-cara menghimpun tenaga sinkang,
mengumpulkan hawa murni dengan cara yang benar. Ia yang hanya mendapat tuntunan
selama setahun dari suami isteri Istana Gurun Pasir, kini dapat melihat dengan
lebih jelas perbedaan antara latihan yang benar dan latihan-latihan dari kaum
sesat sehingga perlahan-lahan ia kini dapat mengusir sisa-sisa tenaga sesat
yang didapatnya ketika ia berlatih di bawah ajaran Sam Kwi dan Bi-kwi.
Sudah dua
pekan lebih mereka meninggalkan Tai-hang-san dan pada suatu sore, di luar kota
Thian-cin, tiba-tiba hujan lebat turun dari atas yang sejak siang tadi telah
dipenuhi awan mendung. Terpaksa Sim Houw mengajak Bi Lan untuk berlari dan
mencari tempat yang baik untuk berlindung dari serangan air hujan.
Sim Houw
ingat bahwa tak jauh dari situ, di luar sebuah hutan, terdapat sebuah kuil tua
yang tidak dipergunakan lagi. Biar pun kuil itu sudah tua dan rusak, namun
atapnya masih ada dan dapat dipakai untuk meneduh. Di dalam perantauannya,
pernah dia beberapa kali bermalam di kuil tua itu, maka kini dia mengajak Bi
Lan lari ke tempat itu.
Mereka
akhirnya tiba di kuil itu dan berlarian masuk dengan tubuh basah. Betapa pun
pandainya kedua orang ini, mereka tetap saja basah kuyup ketika berlari-larian
tadi, tak mungkin dapat menghindar dari siraman air hujan. Namun keduanya
merasa gembira, tertawa-tawa ketika memasuki kuil, seperti dua orang anak kecil
yang habis bermain di bawah siraman air hujan.
Berbahagialah
orang-orang yang masih bisa bergembira ria sehabis kehujanan, karena itu
merupakan pertanda bahwa tubuh dan batinnya masih sehat. Sebaliknya, orang yang
tertimpa air hujan sedikit saja lalu sakit, dia seorang yang lemah dan mereka
yang mengeluh dan jengkel karena kehujanan, berarti batin mereka yang lemah.
Orang yang dapat merasakan kembali kegembiraan kanak-kanak, dia seorang
beruntung.
Sambil
tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw
juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau
kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes
dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut.
Setelah
memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu
kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah
bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun. Buntalan
berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar
cepat kering.
Bi Lan
sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian
di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar
dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan
belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan
lain-lain bagian, sudah runtuh. Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di
luar dan beberapa ruang sebelah dalam, yang masih tertutup atap walau pun bocor
di sana-sini.
Lantainya
cukup bersih, oleh karena di tempat ini sering juga ada orang-orang yang
kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari
ini. Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur
di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apa lagi kalau
hujan. Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya mereka berdua yang sore
hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan
duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering.
Setelah ada
pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan
kemudian membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang
gelap, terhalang dinding dan ia pun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu
Sim Houw juga berganti pakaian, lalu mereka berdua duduk kembali dekat api.
Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat
tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.
"Kenapa
kau tertawa?"
"Hi-hi-hik,
apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?"
"Apa
itu?"
"Engkau
memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!"
Sim Houw
tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua
bersikap demikian? Demikian pikirnya.
Segala
peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi ‘kehormatan’ sudah
sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia
palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya,
kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri
agung dan terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sendiri mau
pun orang lain. Betapa sering kali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya
angan-angan belaka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si aku, biarlah
badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah.
Sampai di
jaman ini pun kita semua menjadi hamba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat
saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita
menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan!
Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian ‘sopan’ demi untuk
kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk
kehormatan. Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi
untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita
kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelakuan kita, demi kehormatan itu,
seperti tidak normal lagi.
Si aku yang
gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak
normal lagi! Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang
hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama
demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan
dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan
tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi
berlebih-lebihan bahkan tidak praktis lagi!
"Sayang
roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan,"
kata Sim Houw. "Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota
Thian-cin, dan kita membeli makanan di sana."
Akan tetapi
hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis
itu, walau pun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, akan tetapi semakin
menderita akibat menahan lapar. Hawa yang nyaman karena dingin dilawan
kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi
karena baru saja mereka tadi mengeluarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut
mereka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan? Kuil itu
berada di ujung hutan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang.
Tiba-tiba Sim
Houw bangkit dari tempat duduknya di dekat api unggun. "Kau di sini
sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita."
"Tapi,
hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!" Bi Lan membantah.
"Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan
makanan malam malam hujan begini?"
Sim Houw
tersenyum. "Kau tunggu sajalah. Pakaianku sudah kering semua, nanti dapat
berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria
yang bertugas mencari bahan makanan untuk kita yang kelaparan? Nah, aku pergi
sebentar!" Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ.
Bi Lan tak
mau menganggur. Ia menambahkan kayu pada api unggun, lalu dengan teliti ia
mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah
panci butut, akan tetapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci
itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua buah
panci itu dapat menampung air yang jernih.
Siapa tahu
kalau-kalau nanti Sim-toako benar-benar bisa memperoleh bahan makanan,
pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaimana? Dan mereka juga membutuhkan
air minum, dan air hujan itu cukup bersih.
Tidak lama
kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang
telah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya amat kotor terkena
lumpur, akan tetapi dia tersenyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia lalu
menurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.
"Wah,
bagaimana kau bisa mendapatkan... ehhh, lekas kau tukar pakaian dulu, toako,
kau basah semua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!"
kata Bi Lan dengan girang tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki
kepandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula kesehatan yang baik dan daya
tahan yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa.
Akan tetapi
Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang.
Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambutnya sudah diperas dari
air hujan, dia melihat bahwa dengan menggunakan kedua tangannya, Bi Lan sudah
mulai menguliti kijang itu menarik dan merobeknya begitu saja!
"Lan-moi,
kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan
memotong-motong dagingnya?"
"Aku
tidak punya pisau..."
"Suling
ini dapat dipakai sebagai pedang dan..."
"Hushh,
jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini,
kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak
mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu."
"Wah,
sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi
tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan
seperti apa rasanya?"
Dia pun
mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam
sebuah poci kecil sehingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini
memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian,
terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa semakin lapar!
Habislah
daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum
air hujan yang telah dimasak sampai mendidih. Dan seperti biasa, perut kenyang
mendatangkan kantuk! Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan
menumpuk jerami kering di lantai.
"Kau
tidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini
kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus
turun. Kau tidurlah."
"Dan
kau, Sim-toako?"
"Aku
sudah terbiasa beristirahat sambil duduk, dan aku juga perlu mengulang kembali pengobatan
dalam tubuhku."
Kepercayaan
Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biar pun mereka hanya
berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun
tidak ada sedikit pun kekhawatiran di dalam hatinya. Bahkan membayangkan yang
bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya. Maka segera ia
dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk karena terasa hawa dingin
yang dihembus angin dari luar...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment