Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 11
"Dan
mereka memang lihai sekali," sambungnya ketika melihat betapa tiga orang
pria itu semua memandang kepadanya. "Yang tinggi sekali itu adalah suhu
Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) yang memiliki Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang yang
tangguh. Lengannya dapat mulur sampai dua setengah kali lebih panjang. Yang
amat pendek itu adalah Iblis Akhirat, biar pun pendek akan tetapi tubuhnya
kebal dan tendangan Pat-hong-twi yang dikuasainya amat berbahaya, di samping
sinkang-nya yang kuat dan senjata Toat-beng Hui-to (Golok Terbang Pencabut
Nyawa) juga tak boleh dipandang ringan. Yang ke tiga, seperti tengkorak itu
adalah Iblis Mayat Hidup. Ilmunya Hun-kin Tok-ciang berbahaya, sekali, juga di
antara mereka bertiga, Iblis Mayat Hidup inilah yang memiliki Kiam-ciang paling
kuat. Harus diingat bahwa dalam usia mereka yang sudah tujuh puluh tahun lebih
itu, mereka bertiga telah menciptakan ilmu baru, yaitu Sam Kwi Cap-sha-kun yang
amat lihai."
"Dan
engkau telah menguasai semua ilmu itu, nona Bi Lan? Sungguh hebat!" kata
Kun Tek.
Bi Lan
mengerutkan alisnya. Hong Beng dan Kun Tek kini tiba-tiba saja menyebut ‘nona’
kepadanya. Kenapa ada perubahan sikap mereka itu setelah ia menolak cinta
mereka? Nampak kaku, berkurang keakraban mereka, bahkan begitu canggung.
"Memang
aku telah mempelajari itu semua, akan tetapi ilmu yang kupelajari masih mentah,
saudara Kun Tek, sama sekali tak boleh dibandingkan dengan mereka."
Ia pun
menambahkan sebutan ‘saudara’, mengubah kebiasaannya yang dulu menyebut dua
orang pemuda itu dengan begitu saja memanggil nama mereka. Diam-diam gadis ini
merasa heran mengapa penolakan cinta itu seolah-olah menciptakan suatu jurang
pemisah di antara ia dan dua orang pemuda itu!
"Aihh,
untung kedua orang muda gagah ini datang menolong kita, Lan-moi," kata Sim
Houw. "Jika kita berusaha meloloskan diri sendiri dan harus menghadapi
mereka semua itu tentu akan repot juga!" Sim Houw lalu memandang kepada
dua orang pemuda itu. "Terima kasih kuhaturkan kepada paman Cu Kun Tek dan
juga saudara Hong Beng yang telah menolong kami tadi."
"Bagaimana
kalian berdua dapat mengetahui bahwa kami berdua menjadi tawanan di sana?"
tanya Bi Lan.
Hong Beng
lalu bercerita, betapa dia dan Kun Tek berjumpa di sebuah restoran dan mereka
berdua sama-sama menghadapi pengeroyokan Bhok Gun dan Bi-kwi bersama anak buah
mereka. Mereka melarikan diri dan mulailah mereka melakukan penyelidikan
tentang Hou Taijin, dan dengan jalan melakukan pengintaian, mereka melihat
betapa Sim Houw dan Bi Lan digiring sebagai tawanan.
"Karena
kami dapat menduga betapa bahayanya menjadi tawanan para iblis itu, maka kami
segera mengambil keputusan untuk pada malam ini menyelundup ke gedung itu dan
berusaha membebaskan kalian."
"Untung
kalian datang tepat pada saatnya," kata Sim Houw.
Mendengar
betapa Pendekar Suling Naga itu memuji-muji dua orang pemuda itu, Bi Lan merasa
tidak senang.
"Hendaknya
kalian ketahui bahwa sebelum kalian datang, sebenarnya Sim-toako sudah berhasil
membebaskan kami berdua dari pengaruh totokan dan belenggu kaki tangan. Kami
memang sudah siap untuk melarikan diri dan tepat ketika terjadi keributan,
kalian muncul."
"Dan
tentu saja memudahkan kami meloloskan diri," kata Sim Houw pula yang ingin
menyembunyikan jasa sendiri akan tetapi hendak mengangkat jasa dua orang muda
itu. "Akan tetapi, kami masih belum selesai dengan mereka. Aku harus
merampas kembali Liong-siauw-kiam, sedangkan Lan-moi harus merampas kembali
Ban-tok-kiam."
"Akan
tetapi itu berbahaya sekali," kata Hong Beng sambil memandang wajah gadis
yang pernah menolak cintanya itu. "Ban-tok-kiam dikuasai oleh Sai-cu Lama
yang lihai sedangkan Liong-siauw-kiam telah dirampas Kim Hwa Nionio, apa lagi
sekarang di sana terdapat Sam Kwi, kedudukan mereka menjadi semakin kuat."
"Betapa
pun besar bahayanya, aku harus mendapatkan kembali Ban-tok-kiam dan aku akan
pergi bersama Sim-toako," kata Bi Lan.
"Biar
aku membantu kalian!" kata Hong Beng.
"Aku
juga!" kata Kun Tek.
"Paman
Kun Tek dan saudara Hong Beng, terima kasih atas kebaikan kalian. Tetapi,
menyusup ke tempat seperti ini lebih baik dilakukan secara berpencar,"
kata Sim Houw.
Mendadak dia
berhenti bicara dan memberi isyarat kepada tiga orang temannya untuk diam.
Mereka semua diam tak bergerak, mencurahkan ketajaman pendengaran mereka.
Lapat-lapat terdengar suara lirih di luar kuil itu.
"Omitohud...,
harap sam-wi tidak mencurigai pinceng. Katakan saja kepada nona yang kehilangan
Ban-tok-kiam bahwa pinceng datang untuk membicarakan tentang pedang itu."
Mendengar
suara itu, Bi Lan bangkit berdiri. "Ssttt, kalau tak salah...itu sura
hwesio yang dulu mengejar Sai-cu Lama..."
"Benar...
sepertinya suara Tiong Khi Hwesio...," berkata Hong Beng yang teringat
akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama Bi Lan dan pedang itu
terampas oleh Sai-cu Lama kemudian muncul hwesio tua renta itu.
"Kalian
masih mengenal suara pinceng? Bagus!" terdengar suara dari luar itu dan
Sim Houw sendiri terkejut.
Hwesio di
luar itu benar-benar memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Maka mereka
berempat lalu menyambut keluar. Dan memang benar dugaan Bi Lan dan Hong Beng,
diluar berdiri seorang hwesio tua yang berjubah kuning. Itulah Tiong Khi
Hwesio, nama baru dari Wan Tek Hoat.
"Locianpwe
hendak bicara dengan saya?" tanya Bi Lan sambil memandang tajam dan penuh
perhatian. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal orang ini dan tidak tahu
hwesio ini seorang kawan ataukah seorang lawan.
"Locianpwe,
silakan masuk dan kita bicara di dalam," kata Sim Houw yang tidak
ragu-ragu lagi bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti.
Mereka lalu
masuk ke ruangan belakang itu setelah tiga orang hwesio penjaga kuil itu dapat
diyakinkan bahwa hwesio tua yang baru tiba ini memang telah mengenal para
pendekar muda itu. Setelah mengambil tempat duduk, hwesio tua itu kemudian
berkata mendahului mereka.
"Pinceng
sudah mendengar semua akan peristiwa yang terjadi di gedung markas Kim Hwa
Nionio itu. Kalian adalah orang-orang muda yang berani dan pinceng merasa kagum
sekali. Pinceng sudah mengenal dua orang di antara kalian." Dia lalu
menunjuk kepada Bi Lan. "Engkau adalah murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng, para
majikan Istana Gurun Pasir, dan engkau telah kehilangan Ban-tok-kiam yang dirampas
Sai-cu Lama. Dan engkau," dia menunjuk kepada Hong Beng, "engkau
adalah murid keluarga Pulau Es. Akan tetapi pinceng belum mengenal kalian dua
orang muda yang lain. Murid-murid siapakah kalian?"
"Locianpwe,
saya bernama Sim Houw dan guru-guru saya adalah mendiang ayah saya sendiri yang
bernama Sim Hong Bu dan suhu yang bernama Kam Hong," kata Sim Houw dengan
sikap merendah.
"Wah,
apakah Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas itu? Kalau begitu bukan
orang lain, masih segolongan sendiri."
"Dan
saya bernama Cu Kun Tek, guru saya adalah ayah saya sendiri yang bernama Cu
Kang Bu. Sim Houw ini masih terhitung keponakan saya, dan kami tinggal di
Lembah Naga Siluman."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Keluarga Cu memiliki nama besar. Sungguh pinceng
girang sekali bahwa pinceng mendapat kesempatan bertemu dengan orang-orang muda
perkasa, yang mengingatkan pinceng akan masa muda pinceng dahulu. Orang-orang
muda, pinceng sudah mendengar bahwa selain Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu
Lama, juga pedang pusaka milik seorang di antara kalian telah dirampas oleh Kim
Hwa Nionio."
"Pedang
Sim-toako ini yang dirampas, pedang itu adalah Liong-siauw-kiam dan oleh
Sim-toako diserahkan begitu saja karena mereka mengancam akan membunuh saya
yang sudah ditangkap lebih dahulu," kata Bi Lan.
Hwesio itu
mengangguk-angguk. "Tadi pinceng sudah mendengar bahwa kalian hendak
memasuki sarang itu untuk merampas pedang. Hal itu sama sekali tak boleh
dilakukan. Untuk menangkap harimau, orang harus memancing harimau-harimau itu
keluar dari sarangnya, bukan memasuki sarang. Itu berbahaya sekali.”
"Saya
mengerti maksud locianpwe. Lalu bagaimana baiknya? Saya harus merampas kembali
Ban-tok-kiam," kata Bi Lan.
"Ha-ha-ha,
andai kata engkau tidak ingin merampas kembali, aku tentu akan berusaha untuk
mengambil kembali dari tangan pendeta palsu itu untuk dikembalikan kepada Wan
Ceng," kata Tiong Ki Hwesio. "Pihak lawan amat kuat. Kalian tentu
sudah tahu betapa lihainya Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio. Dan ditambah lagi
dengan Sam Kwi, maka kekuatan di pihak mereka sama sekali tidak boleh dipandang
ringan. Itu semua masih ditambah lagi dengan pasukan pemerintah. Kalau sampai
pasukan pemerintah dikerahkan, mana mungkin kita mampu melawan pemerintah? Kita
bisa dicap sebagai pemberontak, kemudian akan berhadapan dengan bala tentara
pemerintah. Kita harus memakai akal dan membagi-bagi tugas. Aku akan memancing
keluar mereka dari dalam sarang sehingga kita tidak mudah terkepung."
Empat orang
muda itu serentak tunduk terhadap kakek ini yang kelihatan demikian tegas dan
mantap dalam semua rencananya. Akan tetapi di tengah-tengah percakapan mereka,
Bi Lan yang selalu ingin tahu dengan jelas memotong percakapan itu dan
bertanya,
"Maafkan
dulu, locianpwe. Kini di antara kita telah terdapat suatu persekutuan untuk
melawan musuh dan terus terang saja, kami orang-orang muda tunduk dan dapat
menerima semua akal dan rencana locianpwe. Locianpwe telah mengenal kami semua,
tetapi kami sebaliknya belum tahu benar siapa sesungguhnya locianpwe ini.
Bukankah sudah waktunya bagi kami untuk mengenal siapa sebenarnya diri
locianpwe?"
Mendengar
ucapan gadis itu, tiga orang muda itu mengangguk-angguk membenarkan. Memang
mereka semua juga sudah menduga-duga siapa sesungguhnya kakek ini, akan tetapi
mereka tidak seberani Bi Lan untuk menanyakannya.
Mendengar
ucapan gadis itu, Tiong Khi Hwesio tertawa. "Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu,
kaum wanita lebih teliti dan lebih ingin tahu. Tetapi memang sebaiknya
demikianlah, karena kerja sama harus didasari saling percaya yang sepenuhnya.
Bi Lan, kalau engkau ini murid dari nenek Wan Ceng, engkau harus menyebut aku
susiok (paman guru) karena antara kami ada pertalian persaudaraan. Namun, sudah
puluhan tahun aku memisahkan diri ke barat sehingga antara kami tidak ada
hubungan lagi."
"Ahh,
kalau begitu, mungkin saya dapat menebak siapa adanya locianpwe ini!" Hong
Beng berseru dengan sepasang mata bersinar gembira.
Murid ini di
waktu senggang banyak mendengar cerita dari gurunya tentang keluarga para
pendekar Pulau Es, maka mendengar bahwa antara nenek Wan Ceng dan hwesio itu
terdapat pertalian persaudaraan, dia pun dapat menduga siapa orangnya.
"Benarkah
kau dapat menebaknya siapa, Hong Beng?" Kun Tek bertanya, ikut gembira.
"Omitohud,
agaknya murid keluarga Pulau Es banyak mendengar tentang diri pinceng. Cobalah,
barangkali tebakanmu tepat, orang muda." Hwesio itu pun membujuknya.
"Sebelumnya
harap locianpwe sudi memaafkan saya, akan tetapi bukankah locianpwe, seperti
juga nenek Wan Ceng, masih terhitung keluarga Pulau Es pula?"
Hwesio itu
mengangguk sambil tersenyum. "Boleh dibilang begitulah, walau pun sebagai
keluarga luar."
"Kalau
begitu, agaknya tidak keliru lagi bahwa locianpwe dahulu di waktu muda adalah
pendekar yang berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, dan yang kemudian
menikah dengan seorang puteri dari Bhutan dan..."
“Cukuplah,
anak baik. Tak pinceng sangkal, memang dahulu pinceng bernama Wan Tek Hoat,
akan tetapi kini pinceng adalah Tiong Khi Hwesio, tidak punya apa-apa lagi,
sudah habis semua yang pernah pinceng miliki. Nah, tentu sekarang engkau lebih
percaya kepadaku, bukan?" tanyanya kepada Bi Lan. Gadis itu menundukkan
mukanya yang menjadi agak kemerahan.
"Sejak
tadi pun aku sudah percaya kepada locianpwe, hanya ingin tahu saja. Kiranya
locianpwe... ehhh, susiok malah masih saudara dari subo."
"Nah,
sekarang kalian semua perhatikan dengan baik-baik. Kita harus mengatur siasat
yang sudah direncanakan baik-baik. Ketahuilah bahwa sebelum menghubungi kalian,
pinceng sudah bertemu dengan keluarga Pulau Es yang kini telah berada di kota raja,
yaitu Kao Cin Liong dan isterinya, juga Suma Ceng Liong dan isterinya."
Mendengar
ini, empat orang muda itu menjadi girang dan mereka mendengarkan siasat yang
direncanakan oleh kakek sakti itu dengan penuh perhatian. Mereka menganggap
siasat itu baik sekali, untuk mempertemukan golongan sesat itu dengan para
pendekar dan mengadakan pertandingan perkelahian tanpa campur tangan
pemerintah.
***************
Para penjaga
gedung yang menjadi sarang Kim Hwa Nionio menjadi gempar ketika pada suatu
pagi, mereka melihat sebatang pisau menancap di daun pintu gerbang dan pisau
itu membawa sebuah sampul putih dengan tulisan berwarna merah, ditujukan ke
pada Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio! Bergegas komandan jaga mengambil pisau dan
sampul itu, kemudian berlari-lari masuk menghadap Kim Hwa Nionio.
Nenek itu
bersama para temannya sudah duduk menghadapi hidangan makan pagi. Di sini hadir
Sai-cu Lama, ketiga orang Sam Kwi, Bhok Gun, Bi-kwi dan mereka kelihatan
gembira. Malam tadi, berkat kelihaian Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, mereka
telah berhasil menyingkirkan dua orang selir yang juga menjadi dua orang
pengawal pribadi Hou Seng. Dua orang selir ini dianggap sebagai saingan oleh
Kim Hwa Nionio, karena dua orang ini sering kali mempengaruhi Hou Taijin dengan
bisikan-bisikan mereka.
Ketika Suma
Lian diserahkan sebagai hadiah oleh Sai-cu Lama kepada Hou Seng, dua orang
selir ini yang membisikkan agar pembesar itu menerima saja, akan tetapi harus
memperlakukan anak itu dengan baik-baik dan jangan diganggu, memperingatkan Hou
Taijin bahwa Pendekar Pulau Es masih ada hubungan keluarga dengan kaisar.
Dan masih
banyak nasehat-nasehat yang diberikan oleh dua orang selir itu, yang selalu
diturut oleh Hou Seng. Oleh karena itu Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama merasa
bahwa mereka berdua itu merupakan saingan yang mengkhawatirkan. Bagaimana kalau
sekali waktu dua orang selir itu membisikkan agar Hou Taijin tidak mempercayai
Kim Hwa Nionio dan teman-temannya lagi?
Dan
kesempatan baik mereka peroleh ketika mereka memperkenalkan Sam Kwi kepada
pembesar itu. Malam itu, Hou Taijin berkenan menerima mereka bersama Sam Kwi
untuk datang menghadap. Seperti biasa, Hou Taijin menyambut pembantu-pembantu
baru yang berilmu tinggi itu dengan perjamuan makan. Dan seperti biasa pula,
dua orang selir yang pandai ilmu siiat itu tidak pernah meninggalkan Hou
Taijin, seolah-olah menjadi bayangannya.
Setelah Sam
Kwi diperkenalkan, Hou Taijin merasa gembira sekali. Tiga orang dengan bentuk
tubuh dan muka seperti itu, demikian menyeramkan, bahkan mengerikan, tanpa
diuji lagi dia sudah percaya bahwa mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi.
Maka dari
itu, Hou Taijin lalu berkata sambil tersenyum lebar, "Kedatangan sam-wi
amat menggembirakan hatiku, karena itu kami ingin menyambut kedatangan sam-wi
dengan secawan arak!"
Mendengar
ucapan ini, seorang di antara dua selir merangkap pengawal pribadi itu lalu
melayani majikan mereka dengan menuangkan secawan arak dari guci yang tersedia,
ke dalam cawan pembesar itu yang sudah tersedia pula di atas meja. Juga Sam Kwi
sambil tertawa mengisi cawan mereka dengan arak sampai penuh, kemudian mereka
semua mengangkat cawan arak masing-masing.
Akan tetapi,
sebelum cawan itu menempel di bibir Hou Taijin, Kim Hwa Nionio berseru,
"Taijin, tahan!"
Secepat
kilat, ia pun menyambar cawan itu dari tangan Hou Seng, kemudian terdengar
suara gaduh dan dua orang selir itu telah roboh dan tewas seketika karena
mereka telah terkena pukulan maut dari Sai-cu Lama. Pukulan kedua tangan kakek
itu tadi langsung menyambar ganas dan tepat mengenai dada mereka, membuat
mereka roboh tanpa dapat menjerit lagi, muka mereka menjadi agak kehitaman
karena pukulan tadi adalah pukulan beracun!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya Hou Taijin. Ia terbelalak. "Apa... apa artinya
ini...?!"
Ia
membentak, khawatir bahwa jangan-jangan para pembantunya ini akan mengadakan
pengkhianatan dan pemberontakan. Akan tetapi hatinya lega karena sikap mereka
tidak demikian.
Kim Hwa
Nionio berkata halus, "Harap paduka maafkan kelancangan kami, akan tetapi
kami telah menyelamatkan nyawa paduka dari pengkhianatan yang dilakukan oleh
dua orang pengawal pribadi paduka ini," kata Kim Hwa Nionio dan cawan arak
tadi masih berada di tangannya.
"Apa?
Mereka ini hendak berkhianat? Ahh, hal itu tidak mungkin! Kalian tentu keliru.
Mereka adalah selir-selirku yang setia!"
"Kim
Hwa Nionio berkata benar, Taijin. Kami berdua melihat betapa tadi mereka sudah
memasukkan bubukan putih ke dalam cawan paduka. Itu tentu racun yang amat
jahat!" kata Sai-cu Lama. "Karena itu, selagi Kim Hwa Nionio mencegah
paduka minum, saya mendahului mereka dan membunuhnya agar tidak sempat
menyerang paduka."
Hou Taijin
masih ragu-ragu dan ketika dia memandang kepada tiga orang tamu baru, Sam Kwi
yang sudah tahu akan rencana teman-temannya, mengangguk-angguk. "Kami pun
melihatnya," kata mereka. "Begini saja, Taijin. Tuduhan kami itu
perlu dibuktikan agar Taijin dapat percaya."
Melihat
pembesar itu yang masih memandang mayat dua orang selirnya dengan muka pucat,
Kim Hwa Nionio lalu berteriak menyuruh dua orang pengawal cepat membawa dua
ekor kucing ke situ.
Sebelum
kucing yang diminta itu datang, Kim Hwa Nionio berkata, "Taijin, kalau
taijin belum percaya, boleh taijin periksa di saku atau ikat pinggang mereka,
tentu mereka membawa sebotol kecil bubukan putih."
Dengan
jari-jari tangan gemetar, pembesar itu memeriksa dan benar saja, di tubuh dua
orang selirnya, masing-masing terdapat sebuah botol kecil berisi bubukan putih,
yang disembunyikan di dalam ikat pinggang mereka. Dia lalu mengambil
botol-botol itu dan meletakkannya di atas meja.
"Apakah
ini?" tanyanya, suaranya masih agak gemetar karena hatinya masih diliputi
ketegangan.
"Racun
yang jahat sekali, taijin. Dan sebagian dari racun itu tadi ditaburkan ke dalam
cawan taijin ini," kata pula Kim Hwa Nionio.
Dua ekor
kucing yang diminta itu datang. Kim Hwa Nionio membuka dengan paksa mulut
kucing itu dan menuangkan arak dari cawan Hou Seng ke dalam mulut kucing. Walau
pun kucing itu meronta, percuma saja, arak itu telah memasuki perutnya. Dan
seketika kucing itu berkelojotan dan tewas, tubuhnya berubah menghitam!
"Nah,
apa akan jadinya kalau saya tadi tidak mencegah paduka minum arak dari cawan
itu?" kata Kim Hwa Nionio.
Hou Seng
bergidik, kembali memandang kepada dua orang selirnya, sekarang pandang matanya
mulai mengandung kemarahan dan kebencian. "Mereka.. mereka nampaknya
begitu baik, mencinta dan setia... dan aku telah memberi segala-galanya,
tetapi... tapi mengapa..."
"Tidak
aneh, taijin. Musuh taijin banyak sekali dan agaknya mereka itu mampu merubah
pendirian dua orang ini. Karena itu, taijin harus berhati-hati dan percayalah,
selama ada kami, kami akan selalu melindungi taijin dari ancaman bahaya,"
berkata Sai-cu Lama dengan suaranya yang halus.
Kini dari
dua botol itu dituangkan bubuk putih ke dalam arak, lalu dituangkan dengan
paksa ke dalam mulut kucing yang ke dua dan akibatnya, kucing ini pun
kejang-kejang berkelojotan dan tewas seketika. Percayalah Hou Taijin dan dua
mayat dan bangkai kucing itu lalu disingkirkan, dan perjamuan itu dilanjutkan,
walau pun Hou Taijin sudah kehilangan seleranya.
Demikianlah,
peristiwa semalam itu tentu saja sudah diatur oleh komplotan Kim Hwa Nionio
yang amat cerdik. Melalui para pelayan, mereka berdua memperoleh keterangan
bahwa dua orang selir itu selalu membawa sebotol kecil racun. Racun ini selalu
mereka bawa karena mereka ingin membunuh diri dengan cepat kalau sekali waktu
mereka itu terjatuh ke tangan musuh-musuh Hou Seng, sehingga mereka tidak usah
menderita siksaan dan juga tidak ada bahayanya mereka akan membocorkan rahasia
suami dan juga majikan mereka itu. Demikian besarnya kesetiaan mereka kepada
Hou Seng.
Akan tetapi
justru keterangan inilah yang memudahkan Kim Hwa Nionio mengatur siasat keji
itu. Ketika Hou Seng hendak minum araknya, tentu saja di dalam arak itu tidak
ada apa-apanya. Ia sengaja merampasnya hanya untuk membuat suasana menjadi
kalut dan memberi kesempatan kepada Sai-cu Lama untuk membunuh dua orang selir
itu.
Walau pun
memiliki kepandaian silat yang lumayan, tentu saja dua orang selir itu sama
sekali bukan tandingan Sai-cu Lama dan sama sekali tidak mampu menghindar
ketika pukulan maut datang menyambar. Dan dalam kegaduhan ini, dengan mudah Kim
Hwa Nionio memasukkan bubuk racun ke dalam cawan arak itu. Ketika diminumkan
kepada kucing, tentu saja kucing itu tewas seketika. Dan botol bubuk racun itu
benar saja dapat ditemukan dan karena memang benda itu adalah racun, ketika
diminumkan kucing ke dua, binatang itu pun mati!
Kim Hwa
Nionio dan kawan-kawannya menganggap bahwa siasat itu berhasil dengan amat
baiknya. Dua orang selir yang mereka anggap saingan yang berbahaya itu telah
berhasil mereka singkirkan, dan yang lebih penting, Hou Seng agaknya percaya
akan pengkhianatan selir-selirnya sehingga dengan demikian, semua kepercayaan
pembesar itu tentu akan jatuh ke tangan mereka! Untuk kemenangan ini, pada
keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah merayakan kemenangan itu dengan
sarapan pagi yang mewah.
Akan tetapi,
kegembiraan mereka itu terganggu oleh datangnya pengawal yang dengan muka pucat
menyerahkan pisau dan sampul. "Kami tidak tahu siapa yang menancapkan
pisau itu di pintu gerbang, karena tahu-tahu ketika kami membuka pintu gerbang,
pisau itu sudah menancap di daun pintu, membawa sampul itu." Demikian
laporan pengawal itu.
Oleh karena
surat itu ditujukan kepada Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, nenek yang dianggap
sebagai pimpinan kelompok pembantu Hou Taijin itu segera membuka sampul dan
mengeluarkan suratnya yang bertuliskan dengan tinta merah. Ternyata surat itu
adalah tantangan untuk pi-bu (mengadu ilmu silat), seperti yang biasa dilakukan
di dunia persilatan. Yang menantang adalah Tiong Khi Hwesio yang menantang
Sai-cu Lama, dan Sim Houw menantang Kim Hwa Nionio. Pada hari itu lewat tengah
hari, dua orang penantang itu menunggu di tepi hutan di sebelah utara pintu
gerbang kota raja!
"Heemmm...
keparat!" Kim Hwa Nionio memaki dengan muka merah dan melemparkan surat
itu kepada Sai-cu Lama.
Pendeta ini
membacanya dan dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio sudah
mengejarku sampai di sini? Ha-ha-ha, dia memang sudah bosan hidup. Dengan
Ban-tok-kiam di tangan, dia pasti akan mampus di tanganku sekali ini!"
Sambil tertawa-tawa, Sai-cu Lama menyerahkan surat itu kepada Iblis Mayat Hidup
yang duduk di sebelahnya.
Sam Kwi
membaca surat itu bergantian, kemudian Bhok Gun dan Bi-kwi juga turut
membacanya. Ketika surat itu kembali ke tangan Kim Hwa Nionio, Iblis Akhirat,
si cebol dari Sam Kwi, yang melihat betapa Kim Hwa Nionio tidak gembira,
berkata dengan suaranya yang lantang dan membuyarkan ketegangan yang timbul
oleh surat itu.
"Suci,
tidak usah takut menghadapi Sim Houw itu. Bukankah Liong-siauw-kiam sudah
berada di tanganmu? Dan kami pun akan membantumu."
Kim Hwa
Nionio mengerutkan alisnya. "Siapa bilang aku takut menghadapi orang muda
itu? Akan tetapi, aku khawatir kalau-kalau surat tantangan ini hanya suatu
perangkap belaka untuk memancing harimau keluar dari sarang!"
"Ha-ha-ha!"
Sai-cu Lama tertawa gembira. "Harimau tetap harimau, di dalam mau pun di
luar sarang, kita tetap berani dan menang!"
"Apakah
engkau akan mengabaikan saja tantangan pi-bu ini, suci?" tanya Iblis
Akhirat dengan khawatir, oleh karena mengabaikan tantangan pi-bu amat
mencemarkan nama seorang datuk persilatan.
"Pinceng
pasti datang memenuhi tantangan Tiong Khi Hwesio, ha-ha-ha!" Sai-cu Lama
masih tertawa-tawa memandang rendah lawannya.
Dan dia pun
memiliki alasannya untuk memandang rendah. Bukankah dia dahulu kalah oleh Tiong
Khi Hwesio dalam perkelahian yang seimbang dan setelah berjalan lama baru
akhirnya dia kalah? Kalau kini dia menggunakan pedang Ban-tok-kiam, dia merasa
yakin akan dapat mengalahkan lawannya itu.
"Mengabaikan
tantangan pibu tidak mungkin, akan tetapi..." Kim Hwa Nionio masih
kelihatan ragu-ragu.
"Kalau
kita semua pergi bertujuh, walau andai kata mereka itu membawa teman-teman,
kita tidak perlu takut," kata pula Iblis Akhirat membesarkan hati
suci-nya.
"Aku
mengerti akan kekhawatiran subo," tiba-tiba Bhok Gun berkata. "Dan
memang kekhawatiran itu beralasan. Penantang kita adalah musuh-musuh dan bisa
saja mereka menggunakan pi-bu ini sebagai pancingan untuk menjebak kita semua.
Akan tetapi, subo, justru kita harus dapat memanfaatkan keadaan dan mengambil
keuntungan dari perangkap yang mereka pasang ini."
"Ehh?
Maksudmu bagaimana?" tanya Kim Hwa Nionio kepada muridnya yang cerdik itu.
"Mereka
menggunakan muslihat memancing harimau keluar sarang? Baik, kita keluar! Akan
tetapi diam-diam aku akan menghubungi Coa-ciangkun agar dikerahkan pasukan
sebanyak seratus orang untuk mengepung tempat itu dan begitu lawan berkumpul
dan kita hendak dijebak, kita kerahkan pasukan untuk menangkap mereka semua.
Dengan demikian berarti perangkap kita menghancurkan perangkap mereka."
Sai-cu Lama
mengangguk-angguk. "Wah, Nionio, muridmu ini boleh juga!"
Semua orang
menyatakan kagum dan Kim Hwa Nionio dapat menerima usul itu. Mereka melanjutkan
makan minum sambil menyusun rencana untuk menghadapi pihak lawan yang
mengajukan tantangan.
Tempat yang
dipilih dalam surat tantangan pi-bu itu memang sunyi sekali. Di luar kota raja
sebelah utara terdapat sebuah hutan yang lebat, dan di luar hutan ini terdapat
lapangan rumput. Kalau musim semi tiba dan rumput di situ telah gemuk sekali,
banyak penggembala ternak membawa ternaknya ke situ untuk makan rumput. Akan
tetapi pada waktu itu, rumput di situ gundul dan kering maka tiada seorang pun
pengembala mau membawa ternaknya ke tempat itu dan keadaan di situ amat sunyi.
Matahari
amat cerahnya dan cahayanya yang panas menimpa segala yang nampak di permukaan
bumi, memberi kehidupan yang segar. Kita adalah mahluk-mahluk yang sama sekali
tidak dapat menikmati berkah yang berlimpahan dalam kehidupan ini. Satu di
antara berkah-berkah yang berlimpahan adalah sinar matahari!
Tanpa sinar
matahari, kita dan segala sesuatu di permukaan bumi ini akan mati! Sinar
matahari menyehatkan, menghidupkan, dan memberi segala yang menjadi kebutuhan
mutlak kita. Memberi panas, kehangatan, penerangan, kenikmatan yang tiada
habis-habisnya. Namun, hanya sedikit di antara kita dapat menikmatinya.
Segala
keindahan yang terbentang di depan kita hidup karena sinar matahari. Bahkan
pandang mata kita tidak akan ada artinya tanpa sinar matahari. Sedikit saja di
antara kita yang dapat menghirup berkah melimpah ini dengan sepuasnya,
mereguknya dan menikmatinya. Dan yang sedikit itu pun hanya dapat menikmatinya
jarang sekali, di waktu mereka teringat saja.
Dan di
samping sinar matahari, masih banyak sekali berkah itu, seperti hawa udara,
air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Namun otak ini sudah terlalu penuh dengan
dijejali persoalan-persoalan, dengan masalah-masalah yang kita buat sendiri
sehingga hidup di dunia yang begini indah penuh berkah ini tidak terasa lagi
sebagai suatu keindahan melainkan berubah menjadi neraka karena kita terbenam
ke dalam duka dan sengsara oleh problema-problema buatan kita sendiri itu.
Bayangan
makin memendek mendekati kaki, tanda bahwa matahari sudah naik semakin tinggi.
Tengah hari pun terlewat dan tak lama kemudian, tempat yang sunyi itu berubah
dengan munculnya beberapa orang di lapangan rumput itu. Yang muncul adalah
seorang kakek tua renta yang berjubah pendeta hwesio dan berkepala gundul,
bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sederhana. Mereka ini adalah
Tiong Khi Hwesio dan Sim Houw, dua orang penantang pi-bu itu!
Belum lama
kedua orang penantang ini muncul di lapangan rumput yang luas, nampak
bermunculan Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, diiringkan oleh Sam Kwi, Bhok Gun
dan Bi-kwi! Kim Hwa Nionio tersenyum mengejek, hatinya girang sekali karena
kini nenek itu tidak khawatir akan terjebak pihak musuh.
Ada seratus
dua puluh orang pasukan sejak pagi tadi bersembunyi di dalam hutan itu, siap
untuk menyerbu setiap saat mereka dibutuhkan! Bahkan Coa-ciangkun sendiri,
perwira tinggi yang menjadi sekutu Hou Seng Taijin, memimpin pasukan itu. Tidak
ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Dan tentang pi-bu itu sendiri, ia pun
tidak takut.
Andai kata
kemudian ternyata bahwa ia tidak mampu menandingi orang muda she Sim itu, di
sebelahnya masih ada Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi yang tentu tidak akan tinggal
diam. Apa lagi ketika melihat bahwa yang muncul hanya dua orang penantang itu,
Kim Hwa Nionio tersenyum mengejek.
"Ha-ha-ha-ha!"
Sai-cu Lama tertawa bergelak setelah berhadapan dengan Tiong Khi Hwesio.
"Kiranya engkau sampai juga ke sini. Tiong Khi Hwesio, mau apakah engkau jauh-jauh
menyusulku dari Tibet, kemudian mengajukan tantangan pi-bu itu?"
Tiong Khi
Hwesio memandang tajam kepada lawannya. "Sai-cu Lama, pinceng memiliki
kewajiban untuk menangkapmu karena engkau telah membunuh dua orang pimpinan
Lama. Dahulu pinceng merasa kasihan dan membebaskanmu, akan tetapi engkau tidak
mengubah kelakuan yang buruk, bahkan menimbulkan kekacauan di mana-mana."
"Menangkap
aku? Ha-ha-ha, jangan sesombong itu, Tiong Khi Hwesio. Dahulu pun, hanya
setelah berkelahi mati-matian sampai ribuan jurus, baru engkau dapat sedikit
mengungguli aku. Tetapi sekarang, jangan harap lagi! Aku bahkan akan membunuhmu
di sini, ha-ha!" Berkata demikian, Sai-cu Lama menggerakkan tangan
kanannya dan nampaklah sinar berkelebat dan berkilat ketika sebatang pedang
yang mengandung hawa menyeramkan telah dicabutnya. Itulah Ban-tok-kiam!
"Omitohud,
kejahatanmu semakin meningkat saja, Sai-cu Lama. Engkau menggunakan pedang yang
kau rampas dari orang lain. Dan justru karena pedang itulah maka pinceng
semakin bersemangat untuk mengejarmu. Selama ini pinceng pantang mempergunakan
senjata, akan tetapi sekali ini terpaksa, omitohud,...!"
Dan ketika
tangan Tiong Khi Hwesio bergerak ke bawah jubahnya, dia sudah mencabut sebatang
pedang yang mengandung hawa sedemikian menyeramkan sehingga semua orang
merasakan ini. Bahkan Sam Kwi sendiri bergidik ketika melihat pedang itu. Tidak
mengherankan karena kini Tiong Khi Hwesio mengeluarkan senjata pusakanya yang
selama ini disembunyikannya saja, yaitu pedang pusaka yang bernama
Cui-beng-kiam (Pedang Pencabut Nyawa)!
Pedang
pusaka ini dahulu milik seorang datuk sesat seperti iblis yang menjadi penghuni
Pulau Neraka bernama Cui-beng Koai-ong (Raja Setan Pengejar Nyawa), sebatang
pedang yang luar biasa ampuhnya dan akan menjadi lawan yang kuat seimbang
sekali bagi Ban-tok-kiam.
Sementara
itu, Kim Hwa Nionio sudah berhadapan dengan Sim Houw. "Hemm, orang muda,
engkau berhasil meloloskan diri dan kini datang mengantar nyawa, sungguh lucu
sekali. Dengan Liong-siauw-kiam di tanganku, bagaimana kau akan mampu
menandingi aku?" Nenek itu mencabut Liong-siauw-kiam yang dipegangnya
dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kebutannya. Sepasang
senjata ini memang membuat Kim Hwa Nionio menjadi semakin lihai bukan main.
"Senjata
pusaka itu milikku dan engkau merampasnya dengan cara licik. Akan tetapi,
jangan mengira aku takut menghadapimu, Kim Hwa Nionio." Berkata demikian,
kedua tangan Sim Houw pun bergerak.
Dia telah
mengeluarkan sepasang senjata, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang
yang juga memiliki sinar yang menyeramkan sekali. Pedang di tangan kanannya itu
bukan lain adalah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman). Mudah saja
diduga dari mana Sim Houw memperoleh sepasang senjata ini.
Sebelum
datang ke tempat pi-bu ini, Cu Kun Tek telah menyerahkan dan meminjamkan
sepasang senjatanya kepada pendekar ini, senjata yang tadinya memang menjadi
milik Sim Houw dan dahulu dikembalikannya kepada keluarga Cu itu,
meminjamkannya agar Sim Houw dapat menandingi nenek yang memegang
Liong-siauw-kiam.
Seperti juga
Sai-cu Lama yang terkejut melihat betapa lawannya mempunyai sebatang pedang
pusaka yang kelihatannya ampuh itu, Kim Hwa Nionio tercengang melihat lawannya
kini memegang sepasang senjata suling emas dan pedang pusaka berkilauan dan
memiliki hawa yang demikian menyeramkan. Diam-diam dia pun merasa jeri dan
mengerling ke arah Sam Kwi, sebagai tanda kepada tiga orang sutenya itu agar
bersiap-siap membantunya.
"Heh-heh,
sudah lama aku mendengar nama Pendekar Suling Naga, dan kesempatan ini takkan
kusia-siakan!" kata Iblis Akhirat dan tiba-tiba saja tangannya bergerak.
Sinar terang
berkelebat meluncur dari tangannya, menyambar ke arah Sim Houw. Itulah
Toat-beng Hui-to (Golok Terbang Pencabut Nyawa), yang telah dipergunakan secara
curang oleh Im-kan Kwi, orang pertama dari Sam Kwi itu.
Akan tetapi,
Sim Houw telah mendengar banyak tentang kelihaian dan kecurangan tiga orang
yang dia dapat menduga adalah Sam Kwi ini, maka dia telah bersikap waspada
sejak tadi. Dia dapat cepat menundukkan kepala mengelak dan golok itu terbang
di atas kepalanya, kemudian kembali kepada pemiliknya! Diam-diam Sim Houw terkejut.
Ilmu melempar golok yang hebat, pikirnya, dan berbahaya sekali. Golok yang
dapat terbang kembali seperti itu dapat dipergunakan berkali-kali. Dia sudah
sering mendengar cerita Bi Lan tentang kehebatan tiga orang iblis ini.
"Hemm,
kiranya Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama hanya berani menerima tantangan karena
mengandalkan banyak lawan," kata Sim Houw mengejek.
"Omitohud,
sudah pinceng duga bahwa kalian akan bertindak curang. Kalian datang bertujuh,
maka sudah sepatutnya kalau kami pun keluar bertujuh!" Kakek ini tiba-tiba
mengeluarkan suara melengking panjang dan dari balik batu-batu besar
bermunculan lima orang yang dengan cepatnya berlari menuju ke padang rumput
itu.
Kim Hwa
Nionio dan teman-temannya cepat memandang. Yang muncul itu lima orang, akan tetapi
mereka hanya mengenal seorang di antara mereka, yaitu Bi Lan. Ada pun empat
orang lainnya adalah Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, kemudian Suma Ceng
Liong dan isterinya, Kam Bi Eng! Dua pasang suami isteri inilah yang telah
bertemu dengan Tiong Khi Hwesio dan mereka segera diajak berunding untuk
bersama-sama menghadapi gerombolan datuk sesat yang menjadi kaki tangan Hou
Seng.
Seperti
telah kita ketahui, Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng yang kematian
nenek Teng Siang In dan kehilangan puteri mereka, Suma Lian, tak sempat
mendengar dari Hong Beng siapa adanya kakek yang menculik puteri mereka ini.
Akan tetapi mereka mengenal luka yang diakibatkan oleh pedang Ban-tok-kiam,
maka mereka lalu melakukan perjalanan cepat pergi mengunjungi keluarga Kao,
yaitu penghuni Istana Gurun Pasir di luar Tembok Besar.
Dari nenek
Wan Ceng, mereka mendengar bahwa pedang itu tadinya oleh nenek Wan Ceng
dipinjamkan kepada muridnya, yang juga menjadi murid Sam Kwi. Tetapi nenek Wan
Ceng memperkuat keyakinannya bahwa muridnya itu tidak mungkin melakukan
kejahatan, dan ia mengkhawatirkan bahwa pedang itu telah terampas oleh orang
jahat dari tangan muridnya.
Setelah
mendengar penuturan nenek Wan Ceng tentang pedang Ban-tok-kiam, suami isteri
itu kembali ke selatan dan sampai di kota raja. Mereka hendak mengunjungi Kao
Cin Liong untuk minta bantuannya, akan tetapi kebetulan sekali Kao Cin Liong
dan Suma Hui juga baru saja tiba di kota raja dan mereka bertemu di perjalanan.
Pertemuan
mereka yang mengharukan di tengah jalan itu menarik perhatian seorang kakek
hwesio yang bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio. Wajah Suma Ceng Liong yang
mirip dengan wajah Suma Kian Bu di waktu muda, menarik perhatiannya dan melihat
sikap dan gerakan mereka, Tiong Khi Hwesio dapat mengetahui bahwa empat orang
itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia pun segera menghubungi mereka dan
memperkenalkan diri sebagai Tiong Khi Hwesio yang dahulu pernah bernama Wan Tek
Hoat.
Tentu saja
nama ini amat dikenal oleh Suma Ceng Liong dan Suma Hui, dan mereka lalu
mengadakan perundingan. Girang hati Suma Ceng Liong ketika mendengar dari kakek
ini bahwa yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam adalah seorang pendeta Lama
bernama Sai-cu Lama.
Apa lagi
setelah mereka berempat itu dipertemukan dengan Hong Beng, Kun Tek dan terutama
Bi Lan. Mereka dapat mendengar secara jelas segala hal mengenai Sam Kwi dan
Sai-cu Lama. Dan mereka bersama-sama lalu mengadakan perundingan, dipimpin oleh
Tiong Khi Hwesio yang mengatur siasat. Mereka itu merupakan sekelompok kecil
anggota keluarga para pendekar Pulau Es, kecuali Cu Kun Tek, dan mereka
membagi-bagi tugas.
Melihat
munculnya lima orang itu, Sam Kwi, Bi-kwi dan Bhok Gun cepat menyambut mereka.
Sesuai dengan tugas mereka, Kao Cin Liong menghadapi Iblis Akhirat, Suma Ceng
Liong menghadapi Raja Iblis Hitam, Kam Bi Eng yang sudah siap dengan suling
emasnya menghadapi Iblis Mayat Hidup, Bhok Gun dihampiri oleh Suma Hui
sedangkan Bi-kwi dihadapi Bi Lan! Kini mereka benar-benar melakukan pi-bu satu
lawan satu dan semua ini sudah diperhitungkan oleh keluarga Pulau Es itu!
Sam Kwi yang
tidak mengenal lawannya, memandang rendah. Terutama sekali Im-kan Kwi (Iblis
Akhirat), orang pertama dari Sam Kwi, ketika melihat majunya seorang laki-laki
setengah tua yang tidak begitu mengesankan, memandang rendah. Dia sama sekali
tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah Kao Cin Liong, bekas panglima yang
amat terkenal di kota raja, putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
"Ha-ha-ha,
kalian ini semua sudah bosan hidup, mengantar nyawa untuk mati konyol!"
Berkata demikian, Ibiis Akhirat ini membuka perkelahian satu lawan satu itu
dengan serangannya yang ganas, yaitu dengan menggunakan Kiam-ciang (Tangan
Pedang) menubruk ke arah Cin Liong.
Melihat
lawan maju dan menyerang sembarangan dengan tangan kanan dibarengi pengerahan
tenaga sinkang yang membuat tangan itu berdesing seperti senjata tajam, Cin
Liong yang sudah mendengar tentang si cebol ini dari Bi Lan, menyambut dengan
tangkisan dan untuk mengadu tenaga, dia pun mengerahkan sinkang-nya yang
istimewa, pelajaran dari Istana Guruu Pasir.
"Desss...!"
Dan Iblis
Akhirat mengeluarkan pekik kaget karena tangkisan itu bukan saja mampu
menangkis serangan Kiam-ciang, akan tetapi bahkan dia merasa betapa seluruh
lengan kanannya tergetar hebat seperti bertemu dengan baja yang lemas namun
kuat sekali.
Dan ternyata
Iblis Akhirat tidak menyendiri dalam kekagetannya. Raja Iblis Hitam yang
menyerang Ceng Liong, membuka serangan dengan menggunakan jurus dari Hek-wan
Sip-pat-ciang, tangan kirinya mencengkeram dan lengannya mulur panjang melewati
kepala lawan, lalu dari belakang tubuh lawan, lengan itu membalik dan tangannya
mencengkeram ke arah kepala Ceng Liong!
Cucu
Pendekar Super Sakti ini sudah mendengar pula dari Bi Lan tentang kepandaian si
Raja Iblis Hitam, bahkan Bi Lan sudah mendemonstrasikan semua ilmu tiga orang
gurunya, maka dia pun tidak terkejut melihat lengan yang dapat mulur memanjang
itu. Dia membalik dan menangkis, mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang.
"Dukkkk...!"
Dan seperti
juga rekannya, Raja Iblis Hitam yang tinggi besar ini mengeluarkan teriakan
kaget dan cepat menarik kembali lengan kirinya yang mulur tadi karena tangkisan
lawan itu bukan saja membuat pukulannya membalik dan tangannya terpental, akan
tetapi seluruh lengannya merasa dingin seperti dimasuki air es! Dia terkejut
dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar Pulau Es, maka dia pun
tidak berani main-main lagi.
Sama saja
kekejutan yang dialami oleh Iblis Mayat Hidup. Kakek yang seperti tengkorak
hidup ini pun tadinya memandang ringan kepada Kam Bi Eng, wanita yang masih
nampak cantik jelita dalam usianya yang tiga puluh dua tahun itu. Seorang
wanita yang hanya bersenjatakan sebatang suling emas! Maka dia ingin menangkap
wanita ini hidup-hidup, dan sudah menubruk dengan Ilmu Hun-kin Tok-ciang untuk
membikin putus otot kedua pundak lawan dan sekaligus membekuknya.
Seperti juga
suaminya, Kam Bi Eng sudah mempelajari lebih dahulu ilmu-ilmu dari calon
lawannya. Diketahuinya sudah bahwa lawannya ini memiliki Sam Kwi Cap-sha-ciang
seperti yang lain, juga paling ahli dalam penggunaan Kiam Ciang, dan memiliki
ilmu silat yang berbahaya, yaitu Hun-kin Tok ciang.
Kini,
melihat datangnya serangan, ia mengenai jurus Hun-kin Tok-ciang dan cepat ia
sudah memutar sulingnya. Terdengar suara melengking-lengking dan tahu-tahu
lengan kanan Iblis Mayat Hidup sudah tertangkis, sedangkan lengan kirinya
tiba-tiba menjadi kejang karena serangannya disambut oleh totokan yang cepat
sekali datangnya dari suling yang menangkis lengan kanan tadi, mengenai tepat
pada pergelangan tangannya dan membuat lengan itu menjadi kejang. Dia menahan
pekiknya akan tetapi melangkah mundur untuk mengurut lengan kirinya, lalu maju
lagi menyerang dengan Kiam-ciang, bertubi-tubi dan dengan marah sekali.
Bhok Gun
yang dihadapi Suma Hui terkejut bukan main dan segera dia mengerti bahwa wanita
ini bukan lawannya! Wanita ini memiliki pukulan-pukulan yang mengandung hawa
panas sekali, bagaikan api, dan ketika menangkis mengenai lengan kirinya ada
hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam lengannya! Hampir saja dia
melepaskan pedangnya, dan ia cepat-cepat melompat mundur dengan mata
terbelalak. Suma Hui tersenyum mengejek dan ialah yang kini menerjang mendesak
lawannya cepat memutar pedangnya melindungi tubuh.
Bi-kwi
seoranglah yang agaknya menemukan tandingan yang seimbang. Akan tetapi ia
menjadi semakin penasaran saja karena semua serangannya terhadap Bi Lan atau
Siauw-kwi yang ketika kecil menjadi muridnya ini, dapat dihindarkan oleh Bi
Lan, bahkan Bi Lan membalas dengan tidak kalah sengitnya! Dua orang ini, ketika
mempergunakan ilmu silat dari Sam Kwi, nampaknya seperti orang berlatih saja
karena gerakan mereka sama, dan kelincahan mereka berimbang.
Bi-kwi
menjadi semakin penasaran dan sambil mencoba untuk mendesak sumoi-nya, ia
berteriak-teriak memaki dan menghina, disambut oleh Bi Lan sambil tersenyum
saja. Memang ialah yang minta kepada Tiong Khi Hwesio agar diperbolehkan
menghadapi suci-nya, karena ia sudah hafal akan semua ilmu suci-nya, dan ia pun
tahu bagaimana caranya untuk menghadapi dan melawannya.
Ada sedikit
kelebihan pada diri Bi-kwi, yaitu ia lebih matang dalam hal ilmu-ilmu dari Sam
Kwi dibandingkan sumoi-nya. Akan tetapi kekurangan Bi Lan ini tertutup oleh
ilmu-ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang pernah dilatihnya, bahkan ilmu-ilmu
ini akan membuat Bi-kwi bingung kalau dikeluarkan oleh Bi Lan.
Sementara
itu, Kim Hwa Nionio sudah terlibat dalam perkelahian yang amat hebat dan seru
melawan Sim Houw. Liong-siauw-kiam di tangan nenek itu memang membuatnya
semakin lihai. Kebutan di tangan kirinya itu sudah berbahaya sekali. Ujung bulu
kebutan yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku seperti batangan-batangan
baja itu menyambar-nyambar ganas dan setiap ujung bulu kebutan itu dapat
menghancurkan otot atau jalan darah dapat ditotoknya. Ini semua masih ditambah
lagi dengan pedang suling yang menyambar-nyambar seperti seekor naga.
Akan tetapi,
dalam hal penggunaan Liong-siauw-kiam ini, nenek Kim Hwa Nionio hanya dapat
memanfaatkan ketajamannya saja, sedangkan lubang-lubang di pedang itu hanya
mengeluarkan suara mendengung panjang, tidak seperti jika dimainkan oleh Sim
Houw. Biar pun demikian, karena pedang suling itu bekerja sama dengan kebutan,
nenek itu benar-benar merupakan lawan yang berbahaya dan kuat sekali.
Akan tetapi,
Sim Houw telah mempergunakan sepasang senjata yang memang menjadi senjata
istimewanya sebelum dia memiliki pedang suling. Sekarang pedang di tangan
kanannya berkelebatan dan mengaung-ngaung seperti seekor naga sedang mengamuk,
sedangkan suling emas di tangan kiri mengeluarkan suara melengking-lengking,
malah lebih kuat dari pada lengking suara suling yang keluar dari suling emas
di tangan Kam Bi Eng, sumoi-nya yang menghadapi Iblis Mayat Hidup, seorang di
antara Sam Kwi. Dan dengan sepasang senjata yang ampuh ini, Sim Houw mampu
menandingi dan mengimbangi permainan sepasang senjata Kim Hwa Nionio sehingga
mereka terlibat dalam pertandingan yang amat seru.
Perkelahian
antara Sai-cu Lama dan Tiong Khi Hwesio agaknya merupakan perkelahian yang
paling hebat di antara mereka. Dua orang kakek ini memiliki tingkat kepandaian
yang sangat tinggi, dan keduanya memiliki tenaga sinkang yang sudah matang,
juga pengalaman berkelahi puluhan tahun lamanya. Lebih lagi, kini keduanya
menggunakan pedang pusaka yang amat ampuh dan baru sinar pedangnya saja sudah
cukup untuk menggentarkan hati lawan.
Kalau
tadinya Sai-cu Lama mengandalkan keampuhan Ban-tok-kiam sehingga dengan senjata
ampuh itu dia dapat menebus kekalahannya yang sedikit dari Tiong Khi Hwesio,
kini harapannya itu kandas. Ternyata pedang pusaka di tangan lawan itu tidak
kalah ampuhnya, bahkan kini Tiong Khi Hwesio memainkan ilmu pedang yang amat
aneh dari Pulau Neraka, membuat Sai-cu Lama repot dan harus melindungi diri
kuat-kuat.
Dengan
demikian dia mulai terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang.
Terasa beratlah melawan kakek yang menggunakan pedang Cui-beng-kiam dengan Ilmu
Pedang Cui-beng Kiam-sut dan didasari dengan tenaga Inti Bumi, yaitu semacam
sinkang yang hebat dari Pulau Neraka.
Hebat bukan
main perkelahian yang terjadi di luar hutan, di padang rumput yang sunyi itu.
Yang terdengar adalah sambaran-sambaran senjata yang berdesingan,
bentrokan-bentrokan senjata dan teriakan-teriakan yang mengiringi suatu
serangan.
Akan tetapi,
lebih-lebih dari itu semua, terdengar dua suara suling melengking-lengking
seperti ditiup, yaitu dari suling emas yang digerakkan oleh Kam Bi Eng dan yang
digerakkan oleh Sim Houw. Biar pun Kam Bi Eng adalah puteri Pendekar Suling
Emas Kam Hong, akan tetapi dalam hal memainkan suling emas, dia masih kalah
matang dibandingkan suheng-nya, Sim Houw. Dua batang suling yang berkelebatan
bagaikan naga itu selain mengeluarkan hawa pukulan yang hebat, mengintai nyawa
lawan, juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup dan dimainkan
saja.
Yang paling
repot di antara gerombolan datuk sesat itu adalah Bhok Gun. Dia diserang dan
terus didesak oleh Suma Hui yang kini sudah mengeluarkan senjatanya pula, yaitu
sepasang pedang! Padahal tadi, dengan kedua tangan kosong saja ia masih mampu
mengatasi pedang lawan. Karena jengkel tak dapat segera mengalahkan lawan, Suma
Hui telah mencabut sepasang pedangnya dan kini ia mainkan Siang-mo Kiam-sut
(Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang luar biasa ganasnya.
Bhok Gun
amat terkejut dan dia terus didesak mundur oleh lawan. Hal ini sungguh sama
sekali di luar perhitungan Bhok Gun. Ketika berangkat, Kim Hwa Nionio begitu
yakin bahwa mereka bertujuh akan mampu mengalahkan lawan tanpa perlu bantuan
pasukan. Akan tetapi sekarang, ternyata mereka menghadapi tujuh orang lawan
yang demikian tangguhnya sehingga mereka semua terdesak. Maka, Bhok Gun segera
mengeluarkan suara teriakan tiga kali.
Mendengar
ini, Kim Hwa Nionio yang juga sedang terdesak hebat dan maklum bahwa dari
teman-temannya ia tidak dapat mengharapkan bantuan karena mereka sendiri pun
terdesak, segera bersuit tiga kali.
Teriakan
Bhok Gun dan suitan gurunya itu merupakan isyarat untuk segera bergerak bagi
pasukan yang bersembunyi di dalam hutan. Terdengar sorak-sorai dan seratus dua
puluh orang prajurit keluar dari dalam hutan menuju ke padang rumput. Akan
tetapi, pada saat itu, nampak seorang laki-laki tinggi besar berlari-lari
mendahului para prajurit ke arah padang rumput dan di belakangnya ikut berlari
Hong Beng dan Kun Tek!
Pada waktu
tiba di dekat padang rumput, panglima itu dibawa meloncat oleh Hong Beng ke
atas sebuah batu besar. Panglima itu kemudian mengeluarkan sebuah sempritan
dari saku bajunya dan meniup alat ini berkali-kali. Mendengar itu, para
prajurit menahan langkah mereka dan hanya mengurung tempat perkelahian itu, dan
semua prajurit itu memandang ke arah orang berpakaian panglima itu dengan
bingung.
"Berhenti
di tempat! Dilarang bergerak mencampuri perkelahian!"
Mendengar
teriakan ini, tentu saja para prajurit tak berani bergerak. Yang mengeluarkan
perintah itu adalah Coa-ciangkun, komandan mereka sendiri! Ketika mereka
membuat persiapan di dalam hutan tadi, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok
dan masing-masing kelompok memiliki seorang perwira atau kepala kelompok. Dan
kini, para kepala kelompok itu sendiri menjadi bingung dan cepat memberi
aba-aba agar anak buahnya jangan bergerak. Mereka terkejut dan merasa heran
sekali akan perintah dari komandan mereka itu.
Tentu saja
Kim Hwa Nionio menjadi lebih kaget lagi. "Coa-ciangkun, cepat bergerak
menangkap pemberontak-pemberontak ini!" teriaknya sambil terus memutar
sepasang senjatanya melindungi tubuhnya dari desakan Sim Houw.
"Kim
Hwa Nionio, kami tidak melihat adanya seorang pun pemberontak. Mereka adalah
para pendekar, keluarga dari para pendekar Pulau Es! Karena perkelahian ini
adalah urusan pribadi dan tidak menyangkut pemerintah, kami tidak mau ikut
campur tangan. Seluruh pasukan mundur...!"
Sempritan
itu ditiupnya beberapa kali sebagai isyarat agar pasukannya mundur. Para
perwira juga cepat memberi aba-aba dan pasukan itu pun mundur kembali ke dalam
hutan!
Semua ini
adalah hasil rencana yang matang dari Tiong Khi Hwesio. Dia sudah dapat menduga
bahwa orang-orang licik semacam Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, untuk mencari
kemenangan, tentu bukan hanya membawa semua temannya, melainkan juga
mengandalkan bantuan pasukan pemerintah.
Perhitungannya
itu tepat ketika pagi hari itu, para pendekar melihat masuknya pasukan yang
seratus orang lebih besarnya ke dalam hutan dengan cara sembunyi. Mereka itu
agaknya keluar dari pintu gerbang timur, lalu mengambil jalan memutar ke utara
dan memasuki hutan itu dari timur.
Melihat ini,
Hong Beng dan Kun Tek segera melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh Tiong
Khi Hwesio kepada mereka berdua. Dua orang pendekar muda ini menyusup ke dalam
hutan, mendekati tempat persembunyian para prajurit.
Ketika
mereka melihat betapa Coa-ciangkun sedang memberi perintah dan keterangan serta
perintah kepada para pembantunya, mereka hanya terus mengintai saja. Selesai
Coa-ciangkun memberi perintah dan pasukan itu sudah dibagi menjadi enam
kelompok, masing-masing dikepalai oleh seorang perwira, dan panglima itu
mengundurkan diri dan beristirahat ke dalam sebuah pondok darurat yang dibuat
oleh anak buahnya, barulah mereka berdua turun tangan.
Dengan
kepandaian mereka yang tinggi, mudah saja bagi Hong Beng dan Kun Tek untuk
menyergap dan membuat para prajurit yang berjaga di belakang pondok tiba-tiba
saja roboh pingsan tanpa mengetahui apa yang menimpa diri mereka.
Totokan-totokan yang dilakukan dua orang pendekar itu membuat enam orang
prajurit roboh terkulai dan seperti orang tidur saja. Mereka lalu membongkar
dinding belakang pondok darurat itu dan masuk ke dalam.
Dapat
dibayangkan betapa kaget Coa-ciangkun ketika tiba-tiba ada dua orang pemuda
gagah berdiri di depan pembaringannya selagi dia beristirahat. Sebelum dia
sempat berteriak, Kun Tek sudah menodongkan sebatang pisau belati ke arah dada
pembesar militer itu dan Hong Beng cepat menotok urat gagunya dan membuat tubuh
pembesar itu lemas.
Kemudian,
dua orang pemuda itu membawa tubuh Coa-ciangkun keluar pondok melalui pintu
belakang, dan terus membawanya jauh ke dalam hutan, tempat yang memang sudah
mereka persiapkan. Di tempat sunyi ini, Hong Beng membebaskan totokannya
sehingga panglima itu dapat bergerak dan bicara kembali.
"Maafkan
kami, Coa-ciangkun, akan tetapi kami terpaksa melakukan hal ini terhadap
ciangkun, karena kami sedang menghadapi fitnah yang dilakukan oleh Kim Hwa
Nionio dan Sai-cu Lama bersama kawan-kawan mereka!"
Setelah
merasa dirinya bebas dan dua orang pemuda itu tidak menodongnya lagi, Panglima
Coa marah sekali. Dia bukan orang lemah, bahkan orang yang memiliki ilmu
kepandaian silat yang cukup tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu
menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada Hong Beng. Pemuda ini tidak
mengelak, malah menerima pukulan itu begitu saja.
"Bukkk...!"
Bukan pemuda
itu yang roboh, melainkan panglima itu terkejut dan berseru keras sambil
meloncat ke belakang. Saat tangannya bertemu dada pemuda itu, ia merasa
tangannya sakit dan ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam
tubuhnya melalui tangan yang memukul!
"Siapa...
siapa kalian...?!" bentaknya, "dan... apa maksud kalian berbuat
kurang ajar seperti ini terhadap aku?"
"Maaf,
ciangkun. Harap engkau suka dengarkan dulu baik-baik. Kami tujuh orang adalah
pendekar-pendekar yang melihat betapa ada sekelompok datuk kaum sesat kini
sedang merajalela di kota raja. Mereka adalah Kim Hwa Nionio, Sai-cu Lama, Sam
Kwi dan yang lain-lain. Kami harus menentang mereka dan hari ini kami menantang
mereka mengadakan pi-bu di luar hutan ini. Akan tetapi kami tahu bahwa tentu
orang-orang sesat itu mengunakan akal jahat, menarik pasukan pemerintah untuk
campur tangan dengan tuduhan bahwa kami adalah pemberontak-pemberontak. Karena
itu terpaksa kami mendahului, mendatangi ciangkun untuk memperkenalkan diri dan
menceritakan hal yang sebenarnya."
Coa-ciangkun
adalah seorang pembesar militer yang korup dan ambisius, dan karena inilah maka
mudah saja dia diperalat oleh Hou Seng. Tentu saja dia mengerti bahwa Hou Seng
mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk memperkuat kedudukan. Hal itu tidak
dia pedulikan karena dianggap bukan urusannya. Yang penting baginya, dia
memperoleh banyak hadiah dan janji bahwa kelak kedudukannya akan dinaikkan
kalau dia membantu Hou Taijin yang sedang berkembang kekuasaannya itu. Oleh
karena itu, mendengar ucapan Hong Beng, dia tidak merasa heran, bahkan
memandang dengan sikap tidak peduli, bahkan dia mencurigai Hong Beng.
"Orang
muda, mana aku tahu bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan
pemberontak-pemberontak. Aku hanya mendengar laporan bahwa ada
pemberontak-pemberontak sedang hendak ditangkap oleh Kim Hwa Nionio dan
teman-temannya, maka aku hendak menangkap mereka dengan kekuatan
pasukanku."
"Tentu
saja ciangkun juga telah kena dikelabui. Tahukah ciangkun bahwa kami bertujuh
dipimpin oleh seorang hwesio tua?"
"Ya,
menurut laporan, para pemberontak ini dipimpin oleh seorang hwesio tua yang
bernama Tiong Khi Hwesio."
"Hemm,
ciangkun adalah seorang panglima yang sudah lama bertugas, tentu mengenal pula
catatan sejarah dan riwayat para panglima besar di kota raja yang setia kepada
kaisar dan pemerintah. Tentu ciangkun pernah pula mendengar nama Puteri Milana,
bukan? Apakah ciangkun mau berpura-pura tidak mengenal pada puteri dari
mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu? Dan kenalkah akan nama Puteri
Nirahai?"
Coa-ciangkun
menelan ludah dan mukanya berubah ketika dia menatap wajah pemuda itu.
"Tentu... tentu aku mengenal nama Puteri Nirahai dan... ketika masih muda
sekali pernah aku melihat Puteri Milana memimpin pasukan. Gagah sekali, akan
tetapi apa hubungannya dengan ini semua?"
"Sabarlah,
ciangkun dan dengarkan ceritaku. Ciangkun tahu bahwa yang memimpin kami bertujuh
adalah Tiong Khi Hwesio dan hwesio tua itu bukan lain adalah Pendekar Jari Maut
Wan Tek Hoat, cucu tiri Pendekar Super Sakti, suami Puteri Syanti Dewi dari
Bhutan."
"Ahhh...!"
panglima itu terkejut.
"Nah,
apakah ciangkun masih percaya bahwa tujuh orang yang dipimpin oleh pendekar Wan
Tek Hoat yang kini telah menjadi seorang pendeta itu, para pendekar budiman dan
gagah perkasa itu benar-benar hendak memberontak? Hanya tujuh orang dan hendak
memberontak? Apakah itu masuk di akal?"
Panglima itu
mulai merasa bimbang. "Aku... aku tidak tahu..."
"Dan
ketahuilah pula, bahwa di antara kami yang dianggap pemberontak ini, terdapat
pula bekas Panglima Kao Cin Liong! Tentu ciangkun juga belum lupa dengan nama
besarnya...!"
Panglima Coa
menjadi semakin gelisah. Tentu saja dia mengenal Kao Cin Liong yang sudah lama
mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima. Namun Panglima Kao itu
terkenal jujur dan bersih sehingga tidak disuka di antara rekan-rekannya.
"Dan
mereka semua, ketujuh orang yang akan mengadakan pi-bu dengan Kim Hwa Nionio
dan kawan-kawannya, semua adalah anggota keluarga Pulau Es."
"Hemm,
engkau sendiri agaknya seorang di antara mereka dari Pulau Es, bukan?"
Panglima itu bertanya.
Hong Beng
mengangguk. Memang tadi dia sengaja menerima pukulan dari panglima ini untuk
mendemonstrasikan kekuatan Swat-im Sinkang dari Pulau Es.
"Guru
saya adalah cucu dari Pendekar Pulau Es, ciangkun."
"Hemm,
kalau begitu, apa yang kalian kehendaki?"
"Kami
mengharap kebijaksanaan Coa-ciangkun agar menarik mundur pasukan, agar tidak
mencampuri pi-bu antara kami dan para datuk sesat itu."
Coa-ciangkun
mengerutkan alis. Mana mungkin hal ini dilakukan? Kalau dia melakukan hal itu,
tentu Hou Seng akan marah kepadanya. Bukankah Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya
itu merupakan para pembantu yang amat dipercaya oleh Hou Taijin? Dia menggeleng
kepala beberapa kali.
"Tidak
mungkin aku melakukan hal itu. Sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi
pemberontak. Kalau aku tidak setia kepada kewajibanku, berarti aku berdosa
besar dan mendapat hukuman."
Hong Beng
mengerutkan alisnya dan mencoba membantah. "Akan tetapi, ciangkun sama
sekali tidak dapat melihat bukti bahwa kami memberontak terhadap pemerintah.
Kami hanya menentang para datuk kaum sesat yang merajalela di kota raja!"
"Aku
tidak tahu akan hal itu. Mereka itu adalah pembantu-pembantu Hou Taijin..."
Tahulah Hong
Beng bahwa panglima ini sudah menjadi antek Hou Taijin, maka dia segera berkata
dengan nada suara tegas. "Kalau ciangkun tidak mau memenuhi permintaan
kami dengan baik, terpaksa kami akan membunuh ciangkun!"
"Hong
Beng, bunuh saja dia ini! Dia tentu antek Hou Seng dan sedang merencanakan
pemberontakan terhadap kaisar!" Kun Tek juga berkata dengan sikap
mengancam.
Orang
seperti Panglima Coa ini hanya galak terhadap bawahannya atau terhadap rakyat
jelata yang tidak mampu melawan saja. Kalau dia sendiri menghadapi ancaman dan
berada dalam keadaan tak berdaya, kekuasaan dan anak buahnya tidak lagi mampu
melindunginya, dia berubah menjadi seorang penakut dan pengecut.
Orang yang
paling kejam sebetulnya adalah orang yang menyembunyikan rasa takut yang besar
sekali di dalam batinnya. Melihat betapa dua orang pemuda yang dia tahu amat
lihai ini bersikap hendak membunuhnya, Coa-ciangkun segera menjadi ketakutan.
Wajahnya berubah pucat dan tubuhnya gemetar.
"Jangan
kira kami akan kalah kalau kau tidak mau memenuhi permintaan kami!" bentak
Hong Beng. "Kami dapat membunuhmu, kemudian kami masih mempunyai waktu
cukup untuk membunuh enam orang perwira pembantu itu, barulah kami akan
mengamuk membunuhi pasukan yang tentu akan kacau karena kehilangan pimpinan
itu. Kami tidak melakukan hal itu, justru karena kami bukan pemberontak dan
kami juga tidak mau menyusahkan pasukan pemerintah. Nah, cepat kau pilih
sekarang juga!"
Ucapan itu
merupakan desakan yang membuat Coa-ciangkun tidak berdaya lagi. Dia tahu bahwa
orang-orang kang-ouw ini berbahaya sekali. Membunuh atau dibunuh bagi mereka
tidak ada artinya, seperti para prajurit yang maju perang.
"Baiklah,"
akhirnya dia berkata sambil menundukkan muka, seperti tunduknya hati yang sudah
tidak mampu mencari jalan keluar lagi. Dia terpaksa melakukan ini, dan tentang
akibatnya dengan Hou Taijin, itu urusan nanti dan dia baru akan mencari jalan
keluarnya kalau saatnya sudah tiba.
Demikianlah,
Hong Beng dan Kun Tek lalu membawa pembesar militer itu mendekati padang
rumput, sambil bersembunyi. Ternyata perkelahian pibu itu sudah dimulai dan
ketika Bhok Gun dan Kim Hwa Nionio memberi isyarat kepada pasukan yang bergerak
maju, dua orang pendekar muda itu kemudian membawa Coa-ciangkun keluar. Karena
terpaksa, Coa-ciangkun meneriakkan perintahnya agar pasukannya itu tidak
bergerak lalu mengundurkan diri.
Tentu saja
peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangka-sangka oleh Kim Hwa Nionio dan
kawan-kawannya. Mereka terkejut bukan main dan sekaligus menjadi gelisah. Pasukan
itu mundur ke dalam hutan dan mereka tidak terlindung pasukan lagi! Pada hal,
mereka semua terdesak dengan hebat oleh pihak lawan.
"Coa-ciangkun,
engkau akan dihukum gantung oleh Hou Taijin atas perbuatanmu ini...!"
Kim Hwa
Nionio berteriak marah, akan tetapi kemarahannya yang ditujukan kepada
Coa-ciangkun inilah yang mencelakakannya.
Ia sudah
terdesak hebat oleh suling dan pedang di tangan Sim Houw, dan karena ia
marah-marah dan meneriakkan kata-kata itu kepada Coa-ciangkun sambil menoleh ke
arah batu besar di mana panglima itu berdiri, berarti dia membagi perhatiannya,
dan kelengahan sedikit saja membuat Sim Houw melihat lowongan yang baik sekali.
"Singgg...
srattt...!"
Darah
muncrat dan Kim Hwa Nionio terpekik. Liong-siauw-kiam terlepas dari tangan
kanannya dan Sim Houw sudah cepat menyambar pedang pusaka itu dengan suling
emasnya. Pedang pusaka itu dapat ditempel suling dan ditariknya, lalu
dipegangnya dengan tangan kiri sambil menyimpan suling emas.
Kim Hwa
Nionio terbelalak melihat lengan kanannya. Ujung pedang Koai-liong Po-kiam tadi
dengan kecepatan seperti kilat melihat lowongan dan sudah menyambar ke arah
lengan kanan, membuat putus urat nadi lengan kanannya sehingga darahnya
muncrat-muncrat keluar.
Kim Hwa
Nionio menotok lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah, kemudian sambil
mengeluarkan teriakan melengking saking marahnya, ia menggunakan kebutan di
tangan kiri untuk menyerang Sim Houw dengan membabi-buta. Akan tetapi, kalau
tadi saja ketika ia masih menggunakan dua senjata, ia selalu terdesak oleh Sim
Houw, apa lagi sekarang setelah lengan kanannya tak dapat dipergunakan lagi
untuk menyerang!
Dengan mudah
saja Sim Houw mengelak, lalu nampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika
Koai-liong Po-kiam meluncur dan membabat. Nampak bulu-bulu kebutan itu
berhamburan karena terbabat putus dan selagi nenek itu terhuyung, Liong-siauw-kiam
sudah bergerak di tangan kiri Sim Houw.
"Tukkk...!”
Nampaknya
ujung Liong-siauw-kiam itu hanya menyentuh sedikit saja belakang kepala nenek
itu sebelah kiri, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Nenek Kim Hwa Nionio
mengeluarkan jeritan mengerikan dan tubuhnya terjengkang dan terbanting ke atas
tanah, dan tubuh itu diam tak bergerak lagi.
Kiranya
ujung pedang pusaka Suling Naga itu telah membikin retak bagian kepala itu dan
merusak isi kepala sehingga nenek itu pun tewas seketika setelah mengeluarkan
jeritan itu. Kebutan buntungnya masih tergenggam di tangan kirinya. Nenek ini,
bagai mana pun juga tewas sebagai seorang gagah, tidak pernah menyerah sampai
maut merenggut nyawanya.
Jeritan
nenek yang mengantar nyawanya itu disusul pekik yang keluar dari mulut Bhok
Gun. Sejak tadi, di antara tujuh orang di masing-masing pihak, Bhok gun yang
paling repot keadaannya. Tingkat kepandaian lawannya, yaitu Suma Hui, masih
lebih tinggi dengan selisih yang lumayan. Maka sejak bentrokan pertama terjadi,
Bhok Gun selalu terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang.
Ketika
mendengar teriakan Coa-ciangkun yang memerintahkan pasukannya mundur, wajahnya
menjadi pucat sekali, dan jeritan gurunya benar-benar merupakan pukulan hebat
baginya. Tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia tak mampu lagi menghindarkan
benturan pedangnya dengan pedang kiri Suma Hui yang langsung membuat pedangnya
menyeleweng dan terpental, kemudian tahu-tahu pedang kanan lawan telah menembus
dadanya. Dengan teriakan panjang dia pun roboh dan nyawanya melayang, menyusul
nyawa subo-nya.
Kematian dua
orang ini tentu saja mendatangkan perasaan tidak tenang dan gelisah dalam dada
Bi Kwi, Sam Kwi dan bahkan Sai-cu Lama sendiri. Di antara mereka, hanya Sai-cu
Lama dan Bi Kwi yang dapat mengimbangi permainan lawan, sedangkan tiga orang
Sam Kwi itu harus mengakui bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang sakti dan
mereka merasakan betapa beratnya menandingi mereka.
"Sai-cu
Lama, kembalikan Ban-tok-kiam milik keluarga Gurun Pasir itu!" Sim Houw
yang sudah mengembalikan pedang dan suling kepada Kun Tek kini maju menerjang
Sai-cu Lama dengan Liong-siauw-kiam, membantu Tiong Khi Hwesio.
Diserang
oleh senjata pusaka itu dari samping, Sai-cu Lama terkejut karena serangan
dengan pedang pusaka itu selain mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, juga
mengeluarkan suara lengkingan nyaring seolah-olah ada suling ditiup dekat
telinganya dan mengguncang jantungnya. Suara itu pun mengandung khikang yang
amat hebat! Dia cepat menggerakkan Ban-tok-kiam menangkis.
"Cringggg...!"
Nampak bunga api berhamburan ketika Ban-tok-kiam bertemu dengan
Liong-siauw-kiam.
"Bagus!
Kalian ini pendekar macam apa? Main keroyok!" bentak Sai-cu Lama dengan
sikap congkak untuk menutupi kegelisahannya, matanya sudah liar mencari-cari
jalan keluar untuk melarikan diri.
"Ingat,
Sai-cu Lama. Yang melakukan tantangan adalah aku dan locianpwe Tiong Khi Hwesio
terhadap Kim Hwa Nionio dan engkau, jadi boleh saja aku maju melawanmu dan
membantu locianpwe ini karena lawanku sudah tewas." Dan Sim Houw
melanjutkan serangannya.
"Omitohud...,
memang sudah tiba saatnya engkau harus menyerah, Sai-cu Lama. Ucapan Pendekar
Suling Naga itu benar, dan pinceng tidak malu harus mengeroyokmu agar engkau
cepat takluk!"
Tiong Khi
Hwesio juga menyerang dengan pedang pusakanya, Cui-beng-kiam yang ampuh itu.
Hwesio tua ini maklum bahwa andai kata dia akan menang pun, akan makan waktu
banyak sekali untuk menundukkan Lama yang menyerang Ban-tok-kiam. Akan tetapi,
kalau seorang pendekar muda sakti seperti Sim Houw itu maju membantunya, pihak
lawan tentu takkan dapat bertahan lama.
Sai-cu Lama
tidak melihat adanya lowongan untuk melarikan diri. Melarikan diri dari dua
orang lawan yang sakti itu berarti bunuh diri, maka dia pun mengamuk dan
melawan mati-matian dan sekuat tenaga. Tentu saja sekarang dia harus bergerak
lebih cepat dan mengalurkan tenaga lebih banyak dari pada dua orang yang
mengeroyoknya. Karena itu, sebentar saja tubuhnya sudah penuh dengan keringat,
napasnya memburu dan dari kepalanya yang gundul itu keluar uap tebal!
Setelah
merobohkan lawannya, Suma Hui membalikkan tubuhnya dan melihat betapa suaminya,
Kao Cin Liong masih terlibat dalam perkelahian yang amat seru melawan kakek
cebol Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat, wanita yang gagah ini mengeluarkan suara
melengking nyaring dan ia pun menerjang ke dalam perkelahian itu.
"Haiiiittt...!"
Sepasang pedang
di tangannya sudah berubah menjadi dua sinar bergulung-gulung yang
menyambar-nyambar ke arah kepala dan tubuh Iblis Akhirat. Tentu saja orang
pertama dari Sam Kwi ini terkejut bukan main. Menghadapi Kao Cin Liong saja dia
sudah merasa repot dan terdesak terus, makin lama dia merasa tubuhnya semakin
lemah dan lelah sedangkan lawannya nampak masih segar. Kini, isteri lawannya
yang memainkan sepasang pedang dengan amat ganasnya ikut maju mengeroyok! Tentu
saja dia menjadi panik dan gerakannya kacau. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Kao Cin Liong utuk mengirim sebuah tendangan ke arah perut kakek cebol itu.
"Dukkk...!"
Iblis
Akhirat yang juga seorang ahli tendangan Pat-hong-twi itu, berhasil menangkis
tendangan itu dengan kakinya, akan tetapi pada detik yang sama, pedang di
tangan kiri Suma Hui ‘masuk’ dan menyayat paha kakinya.
"Srattt...!"
Darah mengucur deras dari celana dan kulit paha yang robek.
Iblis
Akhirat terkejut, golok Toat-beng Hui-to yang hanya dapat digunakan dalam jarak
jauh, kini dibabatkan ke arah perut Suma Hui, sedangkan tangan kirinya
mencengkeram ke arah selangkangan Kao Cin Liong. Hebat memang orang pertama
dari Sam Kwi ini.
Dalam
keadaan terluka itu, dia masih mampu sekaligus membagi serangan kepada dua
orang lawannya. Dan serangan berganda ini pun sama sekali tidak boleh dipandang
ringan karena kalau mengenai sasaran, tentu dua orang lawannya itu akan roboh
tewas! Akan tetapi, tentu saja suami isteri keturunan Gurun Pasir dan Pulau Es
itu tidak mudah dirobohkan oleh lawan yang sudah terdesak.
"Tranggg...!"
Golok itu
dibabat oleh pedang sedemikian kerasnya sehingga patah, dan tangan yang
mencengkeram itu pun dapat ditangkis oleh Cin Liong yang menyusulkan tamparan
ke arah kepala. Dan pada saat yang sama, sepasang pedang di tangan Suma Hui
telah melakukan gerakan menggunting, satu ke arah kaki dan satu ke arah
pinggang! Dalam detik yang sama, tubuh Iblis Akhirat menghadapi serangan ke
arah kepala, pinggang dan kakinya. Dia terkejut dan dengan gugup berusaha
meloncat ke belakang. Namun kurang cepat.
"Prokk!"
Iblis Akhirat tidak sempat mengeluh karena kepalanya retak terkena tamparan
tangan Cin Liong dan tubuhnya terlempar lalu terbanting jatuh tanpa dapat
bergerak kembali!
Suma Hui
yang seperti seekor naga betina haus darah, begitu lawan ke dua ini tewas, ia
sudah menerjang lagi memasuki perkelahian antara Iblis Mayat Hidup dan Kam Bi
Eng. Sepasang pedangnya bergulung-gulung mengurung tubuh Iblis Mayat Hidup yang
menjadi terkejut karena sejak tadi dia pun sudah repot menghadapi suara suling
emas yang melengking-lengking dan yang membawa sinar-sinar maut itu dari
lawannya, Kam Bi Eng.
Melihat
betapa Suma Hui menerjang maju membantunya, Kam Bi Eng lalu berseru, "Enci
Hui, kuserahkan tengkorak ini kepada enci dan cihu (kakak ipar) berdua, aku mau
membantu suamiku!" Berkata demikian, Kam Bi Eng meloncat keluar dari
perkelahian itu dan langsung menubruk ke arah Raja Iblis Hitam yang sedang
berkelahi melawan suaminya, Suma Ceng Liong.
Sebenarnya,
kalau dia menghendaki, Suma Ceng Liong sudah akan dapat merobohkan lawannya
sejak tadi. Tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari lawannya. Namun
pendekar ini memang sengaja mempermainkan lawannya. Betapa pun juga, tiada niat
membunuh lawan dalam hatinya.
Tapi
tiba-tiba isterinya masuk dan mengirim serangan dahsyat ke arah Raja Iblis
Hitam yang menjadi kaget dan terhuyung ke belakang. Maka dia pun menerjang maju
lagi membantu isterinya yang tentu saja membuat Hek-kwi-ong si Raja Iblis Hitam
menjadi semakin repot dan terdesak.
Kao Cin
Liong juga tidak membiarkan isterinya maju sendiri melawan Iblis Mayat Hidup.
Dia pun membantu isterinya sehingga kedua orang Sam Kwi yang masih tinggal itu
menjadi repot bukan main menghadapi pengeroyokan suami isteri pendekar itu.
Baik Raja Iblis Hitam mau pun Iblis Mayat Hidup sama sekali bukan lawan suami
isteri yang maju bersama itu. Dalam waktu belasan jurus saja, Raja Iblis Hitam
roboh oleh pukulan suling di tangan Kam Bi Eng, sedangkan Iblis Mayat Hidup
roboh oleh tusukan pedang Suma Hui!
Sam Kwi
sudah tewas, dan sekarang tinggal Bi-kwi dan Sai-cu Lama saja yang masih
mempertahankan diri.
Ketika Hong
Beng hendak membantunya, Bi Lan berseru nyaring, "Jangan bantu aku,
biarkan aku sendiri yang membuat perhitungan dengan Bi-kwi!"
Karena
teriakan ini maka para pendekar hanya nonton saja, dan biar pun mereka tidak
ada yang membantu karena teriakan itu, namun mereka bersiap-siap untuk
melindungi Bi Lan kalau sampai terancam. Betapa pun juga, Bi-kwi merupakan
lawan yang berat bagi Bi Lan karena mereka berdua itu memiliki tingkat yang
seimbang.
Sementara
itu, Sai-cu Lama menjadi semakin lemah. Beberapa kali dia terhuyung dan Sim
Houw yang ingin merampas Ban-tok-kiam, mempergunakan kesempatan itu untuk
menerjang dengan Liong-siauw-kiam di tangannya. Senjata pusaka ini mengancam
kepala lawan dan pada saat yang sama, tangan Tiong Khi Hwesio mencengkeram ke
arah pusar. Sai-cu Lama yang sudah kerepotan itu menangkis cengkeraman dengan
tangan kiri sedangkan pedang Ban-tok-kiam menyambut serangan Liong-siauw-kiam.
"Cringgg...
tukk...!”
Pertemuan
pedang pusaka itu disusul totokan yang dilakukan cepat sekali oleh Sim Houw,
tepat mengenai pundak kanan Sai-cu Lama. Biar pun tubuh Sai-cu Lama kebal dan
totokan itu hanya membuat lengan kanannya kesemutan sebentar, namun ini cukup
bagi Sim Houw untuk merenggut dan merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan yang
dalam beberapa detik kesemutan dan kehilangan tenaga itu! Pada saat
Ban-tok-kiam terampas, kaki Tiong Khi Hwesio menendang, tepat mengenai lutut
Sai-cu Lama dan pendeta ini pun roboh!
"Ha-ha-ha,
Tiong Khi Hwesio, engkau menang dengan keroyokan. Sekarang apa yang hendak kau
lakukan kepadaku?" Sai-cu Lama yang sudah tak berdaya itu masih tertawa
mengejek.
"Pinceng
akan membawamu ke Tibet supaya diadili oleh para pimpinan Dalai Lama,"
jawab Tiong Khi Hwesio.
"Ha-ha-ha,
kau hanya akan dapat membawa mayatku!"
Tiba-tiba
saja, sebelum ada orang mampu mencegahnya, tangan kanan pendeta Lama itu
bergerak ke arah kepalanya sendiri dan jari-jari tangannya sudah mencengkeram
dan amblas ke dalam kepalanya. Dia mengeluarkan pekik dahsyat dan tewas
seketika dengan kelima jari tangannya masih terbenam ke dalam kepalanya. Darah
dan otak mengalir keluar dari jari jari tangan yang masih menancap itu.
Mengerikan!
"Lan-moi,
terimalah kembali pedangmu!" Sim Houw berkata sambil menyusup masuk dalam
perkelahian antara Bi Lan dan Bi-kwi.
Bi Lan
menyambut pedang Ban-tok-kiam dengan girang. Sekarang dia seperti seekor
harimau betina yang tumbuh sayap. Begitu pedang berada di tangannya dan
diputarnya, Bi-kwi nampak terkejut dan jeri. Akan tetapi tiba-tiba saja Bi-kwi
menjatuhkan dirinya berlutut di depan Bi Lan!
Wanita ini
melihat betapa enam orang yang lain telah tewas. Melanjutkan perkelahian tidak
ada gunanya lagi. Menghadapi Bi Lan saja sejak tadi ia tidak mampu menang.
Setiap kali gadis itu mengeluarkan ilmu yang didapatnya dari Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir, Bi-kwi selalu menjadi bingung dan terdesak. Maka, ketika Bi
Lan menerima Ban-tok-kiam dari Sim Houw, Bi-kwi maklum bahwa kalau ia
melanjutkan perkelahian, ia tentu akan roboh di tangan bekas sumoi-nya sendiri.
Maka ia pun mempergunakan siasat, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut.
"Sumoi,
jika kau mau melupakan hubungan lama dan hendak membunuhku, bunuhlah!"
katanya. Wanita ini sudah mengenal betul watak sumoi-nya ini. Di balik
kekerasan hati dan keberanian Bi Lan, tersembunyi watak yang halus dan mengenal
budi.
Melihat
bekas suci-nya berlutut di depan kakinya, Bi Lan menjadi bengong. Dia pun
teringat betapa bagaimana pun juga, selama bertahun-tahun wanita inilah yang
sudah mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadanya, mewakili Sam Kwi. Biar pun
kemudian Bi-kwi menyelewengkan ajaran-ajaran itu, namun harus diakuinya bahwa
ia mempelajari banyak dari Bi-kwi.
Apa lagi
kalau diingat bahwa ketika ia berada di ambang kehancuran, tertawan oleh Sam
Kwi dan hendak dijadikan mangsa mereka, Bi-kwilah yang menyelamatkannya dan
membebaskannya. Semua ini terbayang di dalam ingatannya dan Bi Lan menjadi
lemas.
"Bangkit
dan pergilah dari sini. Selamanya jangan sampai jumpa dengan aku lagi,"
kata Bi Lan.
Bi-kwi
bangkit, dia hampir tidak percaya. Ia memandang kepada Bi Lan dengan bibir
mengulum senyum, hatinya mengejek, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi,
dengan muka tunduk ia lalu pergi dari situ. Para pendekar memandang saja, tidak
ada yang berani mencampuri, walau pun diam-diam merasa heran bagaimana Bi Lan
membiarkan seorang wanita sejahat itu bebas.
"Omitohud...
suatu tindakan yang amat bijaksana," tiba-tiba terdengar Tiong Khi Hwesio
berseru kagum. "Sudah terlalu banyak orang yang mati terbunuh, mengerikan
sekali!" Dia memandang kepada enam mayat yang berserakan di situ dan semua
orang pun ikut memandang.
Akan tetapi
tidak ada seorang pun di antara para pendekar itu yang merasa menyesal.
Orang-orang seperti Sam Kwi, Sai-cu Lama, Kim Hwa Nionio dan muridnya itu,
kalau tidak disingkirkan dari dunia, tentu hanya akan memperbanyak jumlah
perbuatan jahat saja dan membikin banyak orang tak berdosa menderita oleh
perbuatan mereka.
Hanya dua
orang yang kelihatan menyesal dan bingung. Mereka adalah Suma Ceng Liong dan
Kam Bi Eng. "Mereka telah tewas, akan tetapi... di mana adanya anak kami
yang diculik oleh Sai-cu Lama?"
Tiba-tiba
terdengar suara yang besar dan tegas, "Jangan khawatir, anak kalian
selamat, berada di sini bersamaku!"
Semua orang
menengok dan dari dalam hutan keluarlah seorang kakek tua renta yang
menggandeng dua orang anak perempuan di kanan kirinya. Seorang di antara dua
anak perempuan itu adalah Suma Lian.
"Ayah...!
Ibu...!" Suma Lian berlari menghampiri orang tuanya yang menyambutnya
dengan rangkulan dan ciuman penuh kegembiraan dan keharuan.
"Ayah,
tahukah ayah siapa kakek yang menyelamatkan aku ini?" Suma Lian berlari
dan menggandeng tangan kakek tua renta yang datang menghampiri sambil menuntun
anak perempuan kedua sambil tersenyum.
Suma Ceng
Liong dan isterinya memandang, juga semua orang memandang.
"Omitohud!"
Tiong Khi Hwesio berseru paling dulu. "Locianpwe sudah meninggalkan
Beng-san dan hidup merantau dalam pakaian pengemis? Sungguh aneh sekali dan
amat mengherankan!"
Kakek yang
kini memakai nama julukan Bu-beng Lo-kai itu tersenyum. "Tidak begitu
mengherankan seperti melihat engkau, mantu raja ini, sekarang malah menjadi
seorang hwesio!" Dan dua orang kakek itu pun tertawa.
Mendengar
bahwa kakek berpakaian pengemis itu datang dari Beng-san, Suma Ceng Liong
sangat terkejut. "Dari Beng-san...?" Serunya. "Apakah...
locianpwe ini... paman... paman..." Dia masih ragu-ragu untuk menyebutkan
nama orang itu.
"Ayah,
kakek ini adalah suami nenek Milana!"
"Benar,
dia paman Gak Bun Beng!" Seru Suma Hui dan ia bersama Suma Ceng Liong
segera memberi hormat kepada kakek berpakaian jembel itu.
Kakek itu
tertawa dan memandang kepada Tiong Khi Hwesio. "Agaknya keadaanku tidak
jauh bedanya dengan dia yang kini telah menjadi hwesio itu. Nama lama itu sudah
hampir kulupa, namaku sekarang adalah Bu-beng Lo-kai, nama yang diberikan oleh
Suma Lian kepadaku, ha-ha-ha. Dan engkau, hwesio yang baik, siapakah
namamu?"
Tiong Khi
Hwesio menjura dengan hormat. "Nama pinceng adalah Tiong Khi Hwesio."
Kakek jembel
itu kini memandang kepada Suma Lian. "Nah, Suma Lian, engkau sudah bertemu
dengan orang tuamu. Bagaimana sekarang? Aku akan segera pergi bersama Li
Sian."
"Enci
Lian, mari kita pergi!" kata Li Sian.
Suma Lian
memandang kepada ayah ibunya. "Ayah dan ibu, bolehkah aku ikut dengan
kakek untuk belajar ilmu silat?"
Suami isteri
itu saling pandang. Tentu saja mereka merasa berat untuk berpisah dari anak
satu-satunya ini. Akan tetapi mereka pun merasa sungkan terhadap kakek itu jika
hanya melarang begitu saja. Ceng Liong lalu bertanya kepada Bu-beng Lo-kai.
"Benarkah
bahwa paman ingin mengajak Suma Lian untuk dibimbing dalam ilmu silat?"
Bu-beng
Lo-kai tersenyum. "Usiaku tidak berapa banyak lagi dan memang aku ingin
meninggalkan semua ilmu yang pernah kupelajari kepada Suma Lian dan Li Sian,
kalau saja kalian tidak menaruh keberatan."
Semakin
tidak enak rasa hati Suma Ceng Liong kalau dia harus melarang, maka dia
mengharapkan bantuan anaknya. "Lian-ji, di rumah engkau dapat belajar ilmu
silat dari ayah ibumu. Kenapa engkau ingin ikut paman Gak?"
"Ayah,
aku suka sekali kepada kakek Bu-beng Lo-kai, juga aku suka sekali kepada Li
Sian. Aku ingin ikut dia merantau, menjelajahi dunia sambil berlatih silat
bersama adik Li Sian. Ayah, aku tidak akan melupakan ayah dan ibu, dan setelah
selesai belajar, tentu aku akan pulang lagi."
Suami isteri
itu saling pandang. Kakek itu menghendakinya, bahkan tadi dengan suara memohon
seolah menyatakan keinginannya untuk mewariskan ilmu-ilmunya pada Suma Lian,
dan anak itu sendiri pun menginginkannya. Tentu akan janggal sekali rasanya
jika mereka melarang.
Mereka
adalah pendekar-pendekar dan di waktu masih kecil dan masih muda, itulah
saatnya bagi seorang pendekar untuk menerima gemblengan-gemblengan dalam hidup,
menderita kesukaran-kesukaran dan pengalaman-pengalaman berbahaya. Semua itu
telah mereka alami dahulu di waktu mereka masih muda.
Tentu saja
mereka tidak ingin puteri mereka menjadi lemah dan luput dari
pengalaman-pengalaman yang amat diperlukan itu. Maka mereka pun menyetujui dan
Kam Bi Eng menahan air matanya ketika ia dan suaminya mengikuti bayangan anak
mereka yang digandeng pergi oleh kakek tua renta itu, bersama seorang anak
perempuan lain, puteri keluarga Pouw yang juga telah menderita musibah yang
amat hebat.
Para
pendekar yang tadi terlibat dalam perkelahian, kini di bawah pimpinan Tiong Khi
Hwesio sibuk melakukan penguburan atas semua mayat bekas lawannya. Kemudian
mereka pun bubar dan meninggalkan tempat itu yang kembali menjadi sunyi-senyap
seperti biasanya. Peristiwa hebat itu, perkelahian antara datuk-datuk sesat dan
para pendekar, hanya ditandai dengan adanya sebuah makam baru di tepi hutan
itu.
Peristiwa
hebat yang mengakibatkan terbasminya semua pembantu Hou Seng, bukan tidak ada
pengaruhnya bagi pergolakan yang terjadi di kota raja karena ulah pembesar Hou
Seng. Perubahan besar terjadi dengan sendirinya. Saat mendengar betapa semua pembantunya
dibasmi oleh para pendekar, terutama keturunan para pendekar Pulau Es, Hou Seng
menjadi terkejut bukan main. Berita itu tersiar luas sampai kaisar sendiri
mendengarnya dan bertanya kepadanya, ada hubungan apa antara para datuk sesat
itu dengan dirinya!
Tetapi Hou
Seng memang cerdik. Sambil menangis dia mengadu kepada kaisar betapa limpahan
kasih sayang dari kaisar itu menimbulkan iri hati yang membuat dia dimusuhi
oleh banyak pejabat. Karena merasa dirinya terancam, terpaksa dia mempergunakan
tenaga luar untuk melindungi keselamatannya, dan dia sama sekali tidak tahu
bahwa tenaga luar itu kemasukan tokoh-tokoh dari dunia sesat.
Sebagai
contoh, ia menceritakan tentang dibunuhnya dua orang pengawal pribadi yang
merangkap selirnya oleh para datuk sesat. Panjang lebar dia bercerita dan
berbagai alasan dikemukakan sampai akhirnya kaisar merasa kasihan dan berpihak
kepadanya! Dan sejak itu, urusan para datuk yang menyelundup ke kota raja itu
tidak dibicarakan lagi, kesalahan Hou Seng dimaafkan.
Akan tetapi,
Hou Seng sendiri tidak berani banyak tingkah semenjak peristiwa itu dan dia
tidak lagi mau mencari gara-gara. Kedudukannya sudah cukup baik dan dia harus
tahu diri dan tidak mengadakan tindakan-tindakan yang menimbulkan kecurigaan
kaisar.
Hou Seng tidak
begitu membela kematian para datuk itu karena dia telah mengetahui bahwa kedua
orang selir yang menjadi pengawal pribadi itu sebetulnya difitnah oleh Kim Hwa
Nionio dan kawan-kawannya. Hal ini diketahuinya sebelum terjadi pembunuhan atas
diri para datuk sesat oleh para pendekar.
Diketahuinya
karena dia merasa curiga melihat betapa kematian kedua kucing itu tidak sama
keadaannya. Kucing pertama mati dengan muka kehitaman, akan tetapi kucing ke
dua tidak demikian. Hal itu menunjukkan bahwa racun pertama yang diminumkan
kucing dari cawan araknya itu tidak sama dengan racun yang diambil dari tubuh
selir-selirnya yang diminumkan kucing ke dua.
Racun-racun
yang dibawa dua orang selirnya itu membuat kucing mati tanpa hitam pada
mukanya, sedangkan racun yang berada dalam cawan araknya itu merupakan racun
yang lain lagi, berarti racun itu berada dalam cawan araknya bukan dari kedua
orang selirnya melainkan dari luar!
Apa lagi
ketika dia mendengar dari para selirnya bahwa dua orang selir merangkap
pengawal pribadi itu memang selalu membawa racun di tubuhnya, untuk membunuh
diri jika sampai mereka tertangkap musuh agar mereka tidak perlu disiksa untuk
mengakui dan membuka rahasia Hou Seng! Mendengar ini, Hou Seng merasa menyesal
sekali dan kepercayaannya terhadap para datuk sudah goyah.
Itulah
sebabnya, ketika mendengar betapa para datuk itu tewas oleh para pendekar, dia
pura-pura tidak tahu saja. Bahkan Coa-ciangkun tak ditegurnya sama sekali!
Diam-diam dia malah bersyukur akan tindakan Coa-ciangkun. Bayangkan saja kalau
pasukan itu mencampuri dan kemudian terdengar berita bahwa pasukan itu bekerja
sama dengan para datuk sesat atas perintahnya! Mungkin kaisar sendiri tidak
akan memaafkannya kalau sampai terjadi hal seperti itu.
Betapa pun
juga, usaha para pendekar menentang Kim Hwa Nionio, dan pada akhirnya dapat
membasmi komplotan itu, amat berhasil dan keadaan kota raja menjadi tenteram
kembali. Diam-diam para pembesar yang setia kepada kaisar bersyukur dan
memuji-muji para pendekar. Mereka maklum akan kelemahan kaisar dan mereka tidak
akan mengadakan reaksi terhadap Hou Seng sebagai kekasih dan kepercayaan kaisar
kalau saja Hou Seng tidak mengadakan tindakan yang bukan-bukan. Dan kini,
dibasminya komplotan kaki tangan Hou Seng, membuat pembesar itu menjadi jeri
dan tidak begitu menonjol lagi.
Sementara
itu, para pendekar sudah kembali ke tempat masing-masing. Suma Ceng Liong dan
isterinya, Kam Bi Eng, yang kehilangan puteri mereka dengan suka rela, hanya
bercakap-cakap sebentar, karena adanya Sim Houw di situ membuat suami isteri
ini merasa kurang enak hatinya.
Seperti
diketahui, Kam Bi Eng tadinya adalah tunangan dari Sim Houw menurut ikatan
orang tua mereka, tetapi kemudian tunangan itu terputus karena Bi Eng tidak
mencinta Sim Houw, melainkan mencinta Suma Ceng Liong. Setelah suami isteri itu
pergi, Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui juga berpamit setelah Cin Liong
meningggalkan pesan kepada Bi Lan.
"Sumoi,
biar pun engkau baru setahun belajar dari ayah ibuku, engkau tetap seorang
sumoi (adik seperguruan) dariku. Ibu telah meminjamkan Ban-tok-kiam, hal itu
berarti bahwa ibu sayang dan percaya kepadamu. Dan aku sendiri, dalam pergaulan
beberapa saat ini, tahu bahwa pilihan ayah ibu terhadap dirimu tidak keliru.
Nah, engkau berhati-hatilah menjaga Ban-tok-kiam dan bawa pusaka itu kembali
kepada ibuku."
Tiong Khi
Hwesio juga meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Bhutan, karena semua
pengalamannya setelah bertemu dengan para pendekar itu, membuka matanya bahwa
dia telah terlalu menurutkan kedukaan hati sehingga lupa bahwa dia telah
melupakan puterinya sendiri, Wan Hong Bwee atau Puteri Gangga Dewi yang kini
hidup bersama suaminya di Bhutan. Dia ingin kembali dan tiba-tiba merasa rindu
kepada puterinya itu, ingin menghabiskan sisa usianya di dekat keluarga
puterinya dan dekat pula dengan makam isterinya.
Setelah Gu
Hong Beng dan Cu Kun Tek juga pergi untuk melanjutkan lagi perjalanan
masing-masing, tinggallah Bi Lan dan Sim Houw berdua. Mereka saling pandang dan
akhirnya Sim Houw yang bertanya lebih dahulu, "Lan-moi, sekarang engkau
hendak ke manakah?"
Sampai lama
Bi Lan tak mampu menjawab. Gadis ini sedang merasakan sesuatu yang amat aneh
terjadi di dalam hatinya. Ia melihat Sam Kwi, tiga orang gurunya, tewas dan
tidak merasa kehilangan. Kepergian Bi-kwi yang disusul kepergian semua
pendekar, termasuk Hong Beng dan Kun Tek, juga tidak sedikit pun membekas di
dalam hatinya. Ia tidak merasa kehilangan dan kesepian.
Akan tetapi
mengapa sekarang, setelah berada di ambang perpisahannya dengan Sim Houw,
tiba-tiba saja ia merasa bahwa tak mungkin dia dapat berpisah dari orang ini?
Ia seakan-akan sudah seharusnya berada di samping Sim Houw, menghadapi kehidupan
yang penuh dengan kesulitan ini bersama Sim Houw! Ia merasa bahwa begitu
berpisah, ia akan kehilangan segala-galanya. Apa pula gejala seperti ini? Apa
artinya? Apakah ia jatuh cinta kepada Sim Houw? Tidak mungkin!
Selama dalam
perjalanan berdua, Sim Houw bersikap seperti seorang kakak, begitu penuh
perhatian dan sayang, akan tetapi kesayangan seorang saudara. Sedikit pun Sim
Houw tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia cinta padanya. Berbeda dengan
sikap Hong Beng atau Kun Tek ketika berdua bersamanya. Dan ia sendiri?
Tiba-tiba Bi
Lan merasa nelangsa. Bagaimana kalau ia benar-benar mencinta orang ini akan
tetapi di lain pihak Sim Houw tidak cinta kepadanya? Tiba-tiba ia menjadi
panik, takut kehilangan Sim Houw!
"Eh,
Lan-moi, kenapa kau kelihatan melamun dan tidak menjawab pertanyaanku?"
Sim Houw bertanya, suaranya mengandung perasaan iba.
Dia tahu
bahwa sejak kecil, gadis ini bergaul dengan Sam Kwi sebagai guru-guru dan
penolongnya. Juga dengan Bi-kwi sebagai suci-nya yang pernah mendidiknya seperti
diceritakan gadis itu kepadanya. Dan kini tiba-tiba saja ia kehilangan semua
orang itu! Tentu Bi Lan berduka, walau pun tidak diperlihatkannya, demikian Sim
Houw berpikir.
Bi Lan
menjadi kaget dan kedua pipinya berubah merah. "Aku... aku... ahh, aku
tidak mendengar pertanyaanmu, toako. Engkau bertanya apakah tadi?"
"Aku
bertanya, ke mana engkau hendak pergi sekarang, Lan-moi."
"Ke
mana...? Ahhh, tadi aku bingung, toako. Yang jelas, aku harus mengembalikan
pedang Ban-tok-kiam ini kepada subo."
"Itu
benar, Lan-moi. Dan mengapa engkau menjadi bingung?"
"Entahlah,
toako Setelah semua orang pergi, juga setelah semua tujuan perjalananku
tercapai, semua masalah yang tadinya kujadikan tujuan dan kewajiban terpenuhi,
aku merasa kosong, sunyi dan bingung. Baru terasa olehku betapa hampanya hidup
ini, toako. Aku tadinya mempunyai guru-guru, mempunyai suci, mempunyai mereka
sebagai musuh-musuhku juga. Sekarang mereka telah tiada. Dan aku seperti berada
seorang diri saja di dunia ini, kosong dan sunyi, tidak ada gunanya
lagi..."
"Ahh,
engkau dilanda perasaan kesepian, Lan-moi. Pernah aku mengalaminya..." Sim
Houw menghentikan kata-katanya, merasa bahwa dia telah terlanjur bicara. Akan tetapi,
ucapannya itu rupanya menarik perhatian Bi Lan karena gadis itu cepat
mendesaknya.
"Pernah
kau mengalami kesepian seperti aku ini, toako? Kapan engkau mengalaminya? Dan
mengapa? Orang seperti engkau ini, yang memiliki kepandaian tinggi, pengetahuan
luas, banyak kawan-kawan baik, bagaimana bisa kesepian seperti aku?"
Belum pernah
selamanya Sim Houw menceritakan keadaan dirinya kepada siapa pun juga. Biar pun
dia pernah menderita sengsara karena kesepian, namun hal itu selama ini menjadi
rahasia hatinya. Akan tetapi, entah bagaimana, kini mendengar desakan Bi Lan,
dia ingin membuka rahasia hatinya! Dia ingin sekali nampak oleh gadis itu
sebagai mana adanya, tanpa rahasia dan biarlah segala keburukan dan cacatnya
nampak, kalau ada!
"Baru-baru
ini perasaan itu berakhir, Lan-moi, akan tetapi selama bertahun-tahun, aku
bagai hidup di alam mimpi. Setiap hari aku melamun dan ada rasa kesepian yang
selalu menghantui diriku. Dan semua itu timbul karena... putus cinta,
Lan-moi."
Bi Lan
tertarik sekali. "Ceritakan, toako, ceritakanlah. Aku ingin sekali
mendengarkan tentang cinta itu!"
Melihat
betapa gadis itu kini nampak bersemangat, Sim Houw tersenyum. "Mari kita
tinggalkan dulu tempat ini," dia melirik ke arah gundukan tanah di mana
terkubur enam mayat itu. "Di dalam hutan sana itu aman kita bicara."
Mereka lalu
memasuki hutan dan di bawah sebuah pohon besar, di mana terdapat batu batu yang
kering dan bersih, mereka duduk berhadapan.
"Ketahuilah,
Lan-moi. Ketika aku berusia belasan tahun, oleh orang tuaku aku telah
ditunangkan dengan seorang gadis yang kemudian menjadi sumoi-ku sendiri karena
gadis itu adalah puteri tunggal dari suhu-ku. Akan tetapi, kalau aku yang telah
menerima ikatan perjodohan itu dengan taat mulai memperhatikan gadis itu dan
sudah mempunyai perasaan cinta, sebaliknya gadis itu tidak cinta kepadaku,
melainkan cinta kepada orang lain! Melihat kenyataan ini, maka aku mengalah.
Akulah yang kemudian memutuskan tali perjodohan itu sehingga gadis itu dapat
menikah dengan pria yang dicintainya." Sampai di sini, Sim Houw berhenti
dan termenung.
"Dan
kau...?" Bi Lan bertanya, hatinya merasa terharu. Ia dapat membayangkan
betapa sedihnya hati pemuda itu, dan betapa luhur budinya. Pemuda ini mengalah
karena ingin membahagiakan gadis yang dicintanya.
"Aku...?"
Sim Houw tersenyum pahit. "Aku lalu merantau... sampai sekarang ini."
"Sumoi-mu...?
Ah, bukankah wanita cantik yang sakti itu, yang memegang suling emas, isteri
dari pendekar Suma Ceng Liong, ia itulah sumoi-mu? Jadi iakah orangnya gadis...
yang pernah menjadi tunanganmu itu?"
Sim Houw
sudah menguasai kembali hatinya dan dia mengangguk sambil tersenyum. "Ia
hebat dan lihai, bukan? Dan suaminya juga hebat. Mereka memang pasangan yang
sepadan dan cocok. Aku juga ikut gembira melihat ia berbahagia dengan suaminya
dan mereka telah mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manis."
Bi Lan
memandang dengan sinar mata kasihan. "Dan engkau sekarang masih merasa
kesepian, toako?"
"Tidak,
tidak lagi! Penderitaan itu sudah lewat bagiku."
Diam-diam
Sim Houw maklum bahwa yang melenyapkan perasaan kesepian itu adalah setelah dia
berjumpa dengan Bi Lan! Dia mencinta gadis ini, akan tetapi cintanya sekali ini
bukan sekedar cinta nafsu yang dibangkitkan oleh gairah karena tertarik oleh
pribadi dan kecantikan Bi Lan.
Tidak! Ia
mencinta Bi Lan, merasa kasihan kepada Bi Lan dan dia ingin melihat orang yang
dicintanya ini bahagia. Bukan hanya ingin memperoleh gadis ini sebagai
isterinya agar selamanya tidak berpisah darinya, Dia tidak akan menderita lagi
walau pun dia tidak menjadi suami Bi Lan, asal gadis ini hidup bahagia.
"Dan
sejak itu kau... kau tak pernah jatuh cinta lagi?"
Pertanyaan
yang tiba-tiba ini mengejutkan hati Sim Houw. Akan tetapi dia tenang sekali
sehingga kekagetannya tidak sampai nampak di wajahnya. Dia hanya menggelengkan
kepalanya. Apa lagi yang dapat dilakukannya? Mengaku bahwa kini dia telah jatuh
cinta kepada Bi Lan? Tidak!
Biar pun dia
sungguh mencinta gadis ini, dia tak akan membuat pengakuan, tidak akan memberi
kesempatan gadis ini mentertawakannya. Putus cinta merupakan suatu kegagalan
yang pernah dialaminya, dan akan merupakan hal yang lebih menyakitkan lagi jika
cintanya ditertawakan. Biarlah cintanya kepada Bi Lan menjadi suatu rahasia
saja bagi dirinya sendiri.
Tiba-tiba
ada suatu keinginan menyelinap di hati Bi Lan. Ia ingin menghapus kedukaan Sim
Houw akibat penderitaan putus cinta itu. Ia ingin membahagiakan orang ini. Ia
ingin orang ini dapat jatuh cinta lagi dan bukan kepada orang lain, kecuali
kepada dirinya!
Betapa akan
bahagianya dicinta oleh seorang pendekar yang mempunyai cinta kasih sedemikian
besar dan tulusnya. Seorang pria yang sudah matang, tidak dan bukan pemuda
mentah seperti Hong Beng dan Kun Tek, cinta yang penuh cemburu, dan cinta yang
membanding-bandingkan seperti Kun Tek. Ahhh…, Hong Beng dan Kun Tek! Dua orang
pemuda itu dapat membantunya. Setidaknya, nama mereka.
"Cinta
memang membuat orang menjadi bingung, ya, toako? Aku sendiri pun bingung
menghadapinya!" Tiba-tiba Bi Lan berkata dan wajahnya membayangkan
kedukaan.
Rasa kaget
yang lebih besar melanda hati Sim Houw. Tidak lagi! Begitu kejamkah nasib
sehingga baru saja bertemu dan jatuh cinta, dia sudah harus mendengar bahwa Bi
Lan juga sudah mencinta pemuda lain? Terlalu cepat datangnya, terlalu kejam
walau pun dia sudah siap dengan kekuatan batin yang sudah mengalami luka patah
cinta. Dia tetap tenang ketika bertanya.
"Hemm...
apakah hatimu juga dilanda cinta, Lan-moi?"
"Aku
tidak tahu. Akan tetapi ada dua orang pemuda yang sama-sama menyatakan cinta
kepadaku. Mereka adalah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek..."
"Ahhh!"
Sim Houw tercengang karena hal ini sama sekali tak pernah dibayangkannya. Paman
cilik itu telah jatuh cinta! Hampir dia tertawa, tetapi lalu teringat bahwa
sekarang Kun Tek bukan seorang anak kecil lagi, melainkan seorang pemuda yang
telah dewasa!
"Mula-mula
Hong Beng yang lebih dahulu mengaku cinta. Kemudian Kun Tek juga menyatakan
cinta kepadaku. Hong Beng pernah merasa cemburu dan berkelahi dengan Kun Tek.
Akan tetapi sekarang agaknya mereka sudah dapat mengatasi rasa cemburu itu dan
keduanya nampak sudah rukun dan akrab. Aku menjadi bingung, Sim-toako."
"Kenapa
bingung? Pilih saja salah satu, mana yang berkenan di hatimu."
"Sim-toako,
kalau menurut pandanganmu, siapa di antara kedua pemuda itu yang lebih
baik?" Bertanya demikian, Bi Lan menatap wajah itu dengan penuh perhatian
dan sinar matanya yang tajam itu seolah-olah hendak menembus ke dalam dan
menjenguk isi hati Pendekar Suling Naga.
Sim Houw
mengerutkan alisnya. Dia berpikir dengan sungguh-sungguh karena dia ingin
menanggapi permintaan gadis itu dengan kesungguhan hati pula. "Lan-moi,
sungguh pertanyaanmu ini aneh sekali. Perjodohan hanya benar kalau berdasarkan
cinta kasih, dan hanya engkau sendiri yang mengetahui siapa di antara kedua
orang pemuda itu yang kau cinta."
"Justru
itu yang tidak aku ketahui, toako. Selama hidupku, belum pernah aku jatuh
cinta. Aku tidak tahu yang mana di antara mereka yang kucinta. Akan tetapi
terus terang saja, aku suka keduanya karena mereka berdua adalah murid-murid
orang sakti, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Keduanya adalah pendekar-pendekar
sejati, dan keduanya telah pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Oleh
karena itu, sukar bagiku untuk memilih seorang di antara mereka. Tolonglah,
toako, tolong bantu aku. Menurut engkau, siapa di antara mereka yang lebih
baik?" Ia berhenti sebentar lalu menyambung, "Terus terang sajalah,
Sim-toako, apakah aku harus memilih salah satu dan pilih yang mana, ataukah aku
harus menolak dua-duanya?"
Tentu saja
kalau menurut kata hatinya, Sim Houw akan mengatakan supaya gadis itu menolak
keduanya! Akan tetapi Sim Houw tidak melakukan hal ini, tidak mau melakukan
begitu karena dia tidak mau mempengaruhi pilihan hati Bi Lan. Betapa pun juga,
dia harus membantu gadis itu agar jangan salah pilih.
"Aku
tidak ingin mempengaruhimu, Lan-moi. Engkau tahu bahwa Cu Kun Tek adalah
pamanku, walau pun usianya jauh lebih muda dariku. Akan tetapi hubungan
keluarga itu sama sekali tidak kumasukkan dalam penilaianku. Mari kita nilai
mereka itu seorang demi seorang. Pertama kita menilai Gu Hong Beng. Dia murid
pendekar Sakti Suma Ciang Bun, seorang anggota keluarga Pulau Es, akan tetapi
aku tidak tahu siapa orang tuanya. Dan menurut ceritamu, dia berwatak
pencemburu, sedangkan sifat-sifatnya tentu engkau yang lebih tahu karena engkau
pernah bergaul dengannya. Sekarang Cu Kun Tek. Dia keturunan penghuni Lembah
Naga Siluman dan keturunan keluarga Cu yang terkenal sebagai keluarga yang
memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan luar biasa, dan tentu dia telah
mewarisi ilmu dari keluarga itu. Sepanjang pengetahuanku, dia jujur dan keras
akan tetapi sifat-sifat itu memang merupakan sifat keluarga Cu di Lembah Naga
Siluman. Ada pun sifat-sifat lainnya, engkau yang lebih mengenalnya pula. Nah,
sekarang terserah kepadamu untuk memilih yang mana."
Diam-diam
sejak tadi Bi Lan memperhatikan Sim Houw dan mendengar ucapan dan melihat sikap
yang sungguh-sungguh itu, tiba-tiba saja Bi Lan merasa kecewa. Agaknya pendekar
ini sama sekali tidak peduli ia akan berjodoh dengan pria mana! Pendekar ini
sama sekali tidak menaruh perhatian kepada dirinya!
Tiba-tiba
saja Bi Lan merasa nelangsa sekali. Ia merasa betapa kini, satu-satunya orang
yang dekat dirinya, dekat pula dengan hatinya, hanyalah Sim Houw. Kalau Sim
Houw begitu acuh terhadap pilihannya akan seorang calon suami, berarti pendekar
ini tidak menaruh hati kepadanya. Ia menarik napas panjang.
"Sudahlah,
Sim-toako. Aku sendiri sudah menolak cinta mereka. Hong Beng kuanggap
kekanak-kanakan dan pencemburu besar, sedangkan Kun Tek hanyalah seorang
laki-laki yang tinggi hati mengenai wanita. Aku sudah menolak cinta mereka
berdua karena aku tidak cinta kepada mereka! Sekarang aku mau pergi saja,
mencari subo... selamat tinggal!" Dan gadis itu sudah meloncat dan lari
dengan cepat meninggalkan Sim Houw.
"Heiii!
Nanti dulu, Lan-moi...!" Sim Houw mengejar, akan tetapi gadis itu
mengerahkan seluruh ilmu ginkang (meringankan tubuh) dan tenaganya sehingga
tubuhnya berlari seperti terbang saja. Sim Houw harus mengerahkan tenaga pula
untuk dapat menyusul dan setelah mereka berlari berkejaran sampai jauh
meninggalkan hutan itu, barulah Bi Lan dapat tersusul oleh Sim Houw.
"Lan-moi,
berhentilah sebentar, aku mau bicara dulu!" kata Sim Houw setelah berhasil
mendahului lalu menghadang di depan gadis itu. Dia melihat betapa selain
terengah-engah kelelahan, juga ada bekas-bekas air mata di kedua pipi Bi Lan.
Mudah dilihat bahwa ketika berlari-larian, Bi Lan telah menangis!
"Sim-toako,
kenapa engkau mengejarku?" Bi Lan bertanya, dan suaranya yang agak parau
juga membayangkan bekas tangis. Akan tetapi karena gadis itu berusaha keras
menyembunyikan tangisnya, biar pun Sim Houw merasa heran sekali, dia pura-pura
tidak melihat tangis itu.
"Lan-moi,
engkau begitu tergesa-gesa pergi. Engkau hendak mencari keluarga Istana Gurun
Pasir, apakah engkau sudah tahu di mana tempat itu?"
Bi Lan
menggelengkan kepala. "Aku belum pernah ke sana, akan tetapi subo pernah
memberi keterangan tentang arah dan tanda-tandanya menuju ke sana setelah
keluar dan melewati Tembok Besar di utara."
"Aih,
perjalanan itu begitu jauhnya! Lewat Tembok Besar? Sungguh merupakan daerah
yang asing dan berbahaya sekali, Lan-moi. Karena itu, aku akan mengantarmu sampai
engkau tiba di Istana Gurun Pasir."
Sinar
kegembiraan yang cerah menerangi wajah yang tadinya kusut dan keruh itu. Dengan
sepasang mata terbelalak gadis itu menatap wajah Sim Houw. Melihat betapa
sepasang mata yang masih basah itu kini terbelalak lebar dan indah
memandangnya, dan bayangan senyum didahului lesung pipit di kanan kiri pipi,
Sim Houw memejamkan kedua matanya. Kagum dan haru memenuhi hatinya, akan tetapi
dia memejamkan mata agar tidak terpesona oleh keindahan yang dilihatnya.
"Sim-toako...
benarkah engkau hendak mengantar aku?"
Sim Houw
mengangguk, tersenyum. "Tentu saja benar."
"Tapi...
aku hanya akan mengganggu waktumu..."
"Sama
sekali tidak, Lan-moi. Aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tidak mempunyai
tugas sesuatu, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal. Kemana pun aku pergi,
sama saja. Di mana-mana adalah tempat tinggalku. Perjalanan itu amat berbahaya
dan hatiku tidak rela membiarkan engkau pergi seorang diri menempuh bahaya
sebesar itu."
"Akan
tetapi... kenapa, toako? Kenapa engkau mau bersusah payah untukku?
Kenapa?"
Ingin sekali
Sim Houw mengatakan seperti yang juga diharapkan oleh Bi Lan, bahwa untuk Bi
Lan dia mau melakukan apa saja karena dia mencinta gadis itu. Akan tetapi Sim
Houw menahan mulutnya dan tidak mau mengatakan hal seperti itu. Tidak, dia
tidak akan membuka rahasia hatinya kepada Bi Lan sebelum dia yakin benar bahwa
Bi Lan juga mencintanya dan akan menerima dan membalas cintanya.
"Lan-moi,
engkau masih bertanya lagi kenapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat yang
baik? Bukankah kita sudah sama-sama mengalami hal-hal yang hebat, bahkan
sama-sama menghadapi bahaya maut di tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio dan
kawan-kawan mereka? Setelah apa yang kita alami bersama itu, bagaimana mungkin
sekarang aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya melakukan perjalanan ke
luar Tembok Besar? Dan aku pun hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat
tinggal, jadi, tiada salahnya kalau aku menemanimu pergi ke utara sampai engkau
tiba di tempat yang kau cari, bukan?"
Bi Lan merasa
kurang puas dengan jawaban itu, akan tetapi karena hatinya terlalu gembira
mendengar keputusan Sim Houw yang hendak mengantarnya mencari Istana Gurun
Pasir, ia pun tersenyum gembira kini.
"Ahh,
terima kasih, Sim-toako, engkau sungguh baik sekali kepadaku. Ahh, bagaimana
aku akan dapat membalas semua kebaikanmu? Engkau pernah menolongku, bahkan
engkau juga membantu aku mendapatkan kembali Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu
Lama, dan sekarang engkau pun hendak mengantarkan aku mencari subo dan suhu di
gurun pasir! Ahh, betapa senangnya hatiku. Tadinya aku sudah bingung. Biar pun
subo sudah memberi gambaran tentang jalan menuju ke tempat itu, aku masih
bingung dan aku... aku takut!"
Sim Houw
tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Saat ini hatinya juga dipenuhi oleh
perasaan girang yang belum pernah dirasakannya selama ini. Melihat gadis itu
demikian gembira mendatangkan perasaan nyaman di hatinya. Kalau saja selamanya
dia dapat membuat gadis itu bergembira selalu!
"Lan-moi,
ucapanmu itu membuat aku merasa lucu, Engkau takut? Aihh, selama ini aku
mengenalmu sebagai seorang gadis perkasa yang tidak mengenal takut! Sungguh
aneh dan lucu mendengar engkau berkata bahwa engkau takut."
"Sungguh,
toako, aku tidak bohong. Aku ketakutan, bukan takut akan ancaman orang
tertentu, bukan takut akan bahaya. Melainkan takut... eh, aku merasa begitu
sunyi dan terpencil, seperti seekor semut di tengah-tengah daun yang hanyut di
tengah sungai. Aku takut akan kesepian itu sendiri, toako."
Sim Houw
mengangguk-angguk. Tentu saja ketakutan seperti itu pernah dia rasakan pula.
Kesepian, merasa hidup sendirian dan tidak dibutuhkan oleh siapa-siapa lagi!
Hal yang betapa mengerikan.
"Aku
mengerti, Lan-moi. Marilah kita berangkat sebelum hari menjadi gelap. Kita
harus mencari tempat istirahat yang baik malam ini karena kita terlalu lelah
setelah semua pengalaman dan perkelahian yang menegangkan itu. Kita tak perlu
tergesa-gesa, tetapi harus dapat menikmati perjalanan ini, menikmati semua keindahan
alam yang tentu berlainan dengan keadaan tempat-tempat yang pernah kita
kunjungi. Dan waspada akan bahaya di tempat asing itu. Mari kita
berangkat."
Dengan wajah
berseri keduanya lalu berjalan berdampingan, menuju ke utara, melalui jalan
yang sunyi itu. Akan tetapi kini mereka tidak merasa sunyi lagi. Bahkan sinar
matahari nampak cerah sekali, dan awan-awan di angkasa membentuk gambar-gambar
yang menarik, seperti sekelompok domba yang berjalan perlahan-lahan menuju ke
timur dalam suasana yang begitu bersih, jernih dan gembira…..
***************
Wanita itu
menangis seorang diri, terisak-isak dan tersedu-sedan di dalam pondok tua di
tepi jalan yang sunyi itu. Sudah berjam-jam ia menangis seorang diri, pundaknya
masih terguncang-guncang dan kadang-kadang tangisnya terdengar menyedihkan.
Ia seorang
wanita cantik, usianya tiga puluh dua tahun. Sebetulnya ia mengenakan pakaian
yang indah, dari sutera yang mahal dan mewah, dengan hiasan-hiasan rambut dan
tubuh terbuat dari pada emas permata. Akan tetapi pakaian yang indah itu kini
kusut dan bahkan kotor karena beberapa hari tidak pernah diganti. Rambutnya
yang panjang hitam itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan menutupi sebagian
mukanya. Di dekatnya, terletak di atas lantai, nampak sebuah pedang dalam sarung
pedang yang indah.
Ia bukan
wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi.
Jarang ada orang dapat menandinginya. Ia seorang wanita kosen dan lihai. Akan
tetapi, sekarang ia berada dalam kedukaan dan ketika ia menangis seperti itu,
nampak betapa bagaimana pun juga, ia hanyalah seorang perempuan yang lemah tak
berdaya dan membutuhkan perlindungan!
Wanita itu
adalah Ciong Siu Kwi atau yang dikenal dengan julukan Bi-kwi (Iblis Cantik).
Seperti telah kita ketahui, gerakan wanita ini dengan semua sekutunya telah
mengalami kegagalan dan hanya berkat pengampunan yang diberikan oleh Bi Lan
atau Siauw-kwi (Iblis Cilik) sajalah maka ia sendiri dapat keluar dari
pertempuran itu dengan selamat.
Sekutunya
telah hancur, semua orang yang bekerja sama dengannya telah tewas dalam
pertempuran melawan para pendekar. Tiga orang guru-gurunya, Sam Kwi, telah
tewas semua, juga Bhok Gun, kekasihnya yang terakhir, sudah tewas. Demikian
pula orang-orang sakti seperti Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio tewas di tangan
para pendekar.
"Uuhhhh...hu-hu-huhhh...!"
Ciong Siu Kwi menangis terisak-isak.
Ia bukan
menangisi mereka itu. Sama sekali tidak. Bagaimana pun juga, permainan cintanya
dengan Bhok Gun hanya merupakan petualangannya saja. Tidak ada rasa cinta di
dalam hatinya terhadap Bhok Gun atau siapa pun juga. Ia, wanita ini belum
pernah mencinta orang, arti kata yang sesungguhnya. Permainan cintanya dengan
pria-pria seperti yang sudah-sudah, hanyalah merupakan pelampiasan nafsu
belaka. Juga tidak ada rasa cinta terhadap Sam Kwi, tiga orang gurunya yang
juga memperlakukan sebagai kekasih.
Cinta kasih
tidak mendatangkan duka. Cinta kasih tidak membelenggu batin. Cinta kasih itu
bebas dan wajar, seperti sinar matahari yang menghidupkan segala yang berada
dalam sentuhannya, menghidupkan dan membahagiakan, sama sekali tanpa pamrih
untuk kepentingan atau kesenangan diri sendiri. Sebaliknya, nafsu birahi,
seperti segala macam nafsu, menimbulkan ikatan, membelenggu. Dan tentu saja
menimbulkan derita karena ikatan berarti ketergantungan.
Kita
menggantungkan kesenangan batin terhadap sesuatu atau seseorang dan kalau
gantungan itu terlepas, tentu kita akan jatuh dan kita menderita duka. Ikatan
itu dapat saja berupa ikatan terhadap kekasih, keluarga, harta benda,
kedudukan, bahkan ikatan terhadap suatu cita-cita. Dan yang suka menggantungkan
diri, mengikatkan diri adalah si aku, ciptaan pikiran.
Pikiran
menciptakan aku yang selalu ingin senang, pikiran menimbulkan ikatan terhadap
segala sesuatu yang menyenangkan si aku, dan kalau terjadi kegagalan dan
perpisahan sehingga terlepas ikatan itu, maka pikiran pula yang tenggelam ke
dalam duka. Si aku selalu condong untuk membesarkan iba diri, pementingan diri
pribadi, karena dasarnya adalah pengejaran terhadap kesenangan pribadi serta
pelarian terhadap hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan.
Siu Kwi
tidak menyedihi kematian orang-orang itu. Tidak ada ikatan dalam batinnya
terhadap mereka. Guru-gurunya, Bhok Gun dan yang lain-lain itu baginya hanya
berupa alat belaka, untuk mencapai idaman hatinya, cita-citanya. Kehilangan
alat-alat itu tidak mendatangkan duka, karena dapat saja ia mencari alat-alat
lain.
Akan tetapi,
yang menimbulkan duka adalah hancurnya semua cita-citanya. Habislah
segala-galanya. Gagal semuanya dan rasa kecewa dan iba diri membuatnya berduka
sehingga ia, seorang wanita perkasa yang biasanya amat keras hati, kini
menangis dan air matanya mengalir deras tanpa dapat dibendungnya. Ia sudah
tidak dapat menguasai dirinya lagi yang dicengkeram duka. Ia merasa hampa,
kosong dan tidak ada artinya hidup ini baginya. Hatinya nelangsa dan terasa
kesepian yang mengerikan mencekam hatinya.
Apa lagi
kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoi-nya,
bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang dulu
membimbing dan melatihnya semenjak awal. Bahkan ia telah menyelewengkan
pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati,
tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Membanding-bandingkan
keadaan dirinya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri
sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah
menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan
dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir!
Penilaian
secara otomatis menimbulkan perbandingan antara keadaan diri kita sendiri
dengan orang lain dan muncullah ketidak puasan, bahkan putus harapan. Kita
selalu merasa kurang, selalu merasa alangkah buruk keadaan kita karena kita
menilai dan membandingkan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan,
tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Hasil
pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pikiran merupakan suatu sumber
kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara baik buruk,
untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan,
melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa penilaian, tanpa
perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada
alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan
sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri
sendiri?
Siu Kwi
menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup
penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa
kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai
hidup baru.
Mengapa
hidupnya begini sengsara dan serba mengecewakan? Mengapa seakan-akan ia
dikutuk? Ketika hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang
membuat Siu Kwi menghentikan tangisnya, mukanya pucat dan sepasang matanya yang
menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke
depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu.
Nalurinya
membisikkan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penyelewengan dan kejahatan.
Sebagai manusia, tentu saja ia memiliki kesadaran dan pengertian tentang baik
buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilakukannya itu mendatangkan hasil
baik dan mendatangkan kesenangan, ia tidak mau peduli dan seperti lupa bahwa
yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan
suatu mala petaka yang menimpa diri, timbullah penyesalan! Walau pun penyesalan
itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertobat, namun lebih condong
menyesali kegagalan atau mala petaka itu!
Akan tetapi,
Siu Kwi merasa benar-benar menyesal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke
dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengubah cara hidupnya,
meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jalan yang ditempuh oleh sumoi-nya. Akan
tetapi bagaimana caranya? Jalan apakah yang harus diambil?
Namanya
sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorang pun manusia di dunia ini,
kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayainya sehingga mau
menerimanya. Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka
sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah
merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang
dirasakannya sekarang.
Pengetahuan
tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan
dalam batin kita. Kalau kita tahu bahwa kita berbuat baik, maka pengetahuan ini
saja sudah menyembunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu
tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan
suatu keuntungan! Sebaliknya, tahu tentang kejahatan disertai pengetahuan bahwa
perbuatan jahat itu membuahkan keburukan dan kerugian kepada kita.
Dengan
demikian, kita berusaha untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa
hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau
melakukan kejahatan dengan pengetahuan bahwa hal itu pasti akan mencelakakan
kita sendiri. Jelas bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini bisa
mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan
tidak wajar!
Tentu saja
bukan maksud kita untuk mengabaikan pengetahuan tentang baik dan jahat. Tetapi
kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak
palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali
kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir. Amat jauh
bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apa pun juga
yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih!
Jika sinar
cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita
lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, segala
perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, bagaikan matahari
menyinarkan cahayanya, bagaikan bunga menyiarkan keharuman dan keindahannya,
bagaikan ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!
Ketika Siu
Kwi sedang terombang-ambing dalam lamunannya sendiri, mulai timbul rasa
penyesalan terhadap segala perbuatannya yang sudah-sudah, dan timbul keinginan
untuk mengubah jalan hidupnya, meninggalkan kesesatannya, mendadak ia mendengar
suara seorang laki-laki bernyanyi. Suara itu lantang dan bersih, meski
kadang-kadang suaranya tersendat seperti tertahan sesuatu, dan lagunya pun adalah
lagu dusun yang sederhana sekali, seperti orang membaca sajak saja.
Alangkah
cantiknya duniaku!
Langit biru
terhias awan bergumpal-gumpal
Itulah atap
rumahku!
Pohon-pohon
berdaun hijau
berbunga
aneka warna
Itulah
dinding rumahku!
Tanah segar
dengan babut rumput hijau
Itulah
lantai rumahku...!
Siu Kwi
membelalakkan kedua matanya. Hatinya tersentuh. Ada kesederhanaan dan keaslian
di dalam suara itu. Kewajaran yang indah walau pun isi nyanyian itu teramat
sederhana. Dan suara itu begitu wajar dan segar, membayangkan bahwa penyanyinya
tentulah berada dalam kebahagiaan.
Siu Kwi yang
tadinya merasa sengsara, jauh dari kebahagiaan yang didambakannya, menjadi
tertarik sekali. Tangisnya terlupa, terhenti dengan sendirinya dan sejak tadi
ia terbawa hanyut oleh suara nyanyian.
Suara itu
masih bernyanyi, mengulang-ulang kata-kata itu namun tidak menjemukan, seperti
suara burung-burung pagi berkicau dengan riang.
Siu Kwi
bangkit berdiri, membereskan pakaiannya yang kusut, juga rambutnya yang
awut-awutan, dalam keadaan setengah sadar karena gerakan itu hanya terjadi
karena kebiasaan, kemudian ia keluar dari dalam pondok tua dan berjalan menuju
ke arah suara nyanyian. Wajahnya masih agak pucat, bekas-bekas air mata masih
nampak di kedua pipinya. Matanya masih kemerahan dan agak membengkak. Isaknya
terkadang masih mengguncang dadanya, seperti gema tangisnya tadi. Ia berjalan
perlahan ke arah suara.
Pria itu
berusia antara dua puluh lima tahun. Dia tidak berbaju, hanya memakai sebuah
celana dari kain kasar yang berwarna hitam. Celana panjang itu digulungnya
sampai ke lutut dan di sana-sini ternoda lumpur. Badan yang tidak tertutup baju
itu memperlihatkan otot-otot yang berkembang dengan bagusnya, bergerak-gerak
ketika kedua lengannya mengayun cangkul.
Tubuh yang
tegap itu nampak penuh dengan tenaga. Wajahnya sederhana saja, bersih dan penuh
kejantanan. Pria itu mencangkul tanah berlumpur sambil bernyanyi, suara
nyanyiannya kadang tersendat kalau cangkulnya terayun dan menghunjam tanah
basah di depan kakinya.
“Crokk!
Crokk!” Bunyi cangkulnya seirama dengan nyanyiannya dan agaknya suara itu
menjadi pengiring nyanyiannya yang sederhana.
Pria itu
memusatkan perhatiannya sepenuhnya kepada tanah yang dicangkulnya dan ini
merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, cangkulnya dapat menghantam batu atau
menyeleweng ke arah kakinya sendiri. Akan tetapi ada yang lebih dari pada itu,
yaitu rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya! Dan rasa cinta inilah yang
mendatangkan ketekunan, mendatangkan pencurahan perhatian, sepenuhnya.
Dan
sepatutnya, kita semua mencontoh pemuda itu, yaitu melakukan segala pekerjaan
dengan perasaan cinta terhadap apa saja yang kita kerjakan! Dan kalau sudah
begitu, kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, karena di dalam pekerjaan itu
sendiri kita sudah menemukan suatu kebahagiaan besar. Ada pun hasil pekerjaan
itu hanyalah merupakan akibat saja dari pekerjaan kita, merupakan bunga dan
buah dari pada pohon yang kita tanam.
Siu Kwi
memandang ke arah pria itu dengan terpesona. Sampai lama ia berdiri seperti
patung mengamati pria itu, mengikuti seluruh nyanyiannya, mengikuti setiap
gerak kaki tangannya. Biasanya, ia memandang rendah kepada orang-orang yang
bekerja kasar, apa lagi seorang petani miskin dan kotor seperti pria itu!
Seorang pria yang tentu saja tidak terpelajar, bodoh dan juga lemah, hanya
memiliki tenaga kasar saja, bukan ahli silat! Biasanya, terhadap seorang pria
mencangkul sawah seperti ini, ia tentu sama sekali acuh, menengok pun tidak
sudi. Akan tetapi sekarang, ia terpesona!
Ada
keindahan tersendiri yang khas pada tubuh pria itu. Wajahnya yang sederhana,
tubuhnya yang tegap, nyanyiannya, semua itu nampak begitu riang dan cerah,
seperti burung yang berkicau sambil berlompatan dari dahan ke dahan, seperti
sinar matahari pagi itu.
Ahhh, dia tentu
seorang yang berbahagia, pikir Siu Kwi. Dan ia pun ingin sekali tahu. Bagaimana
ia akan bisa memperoleh kebahagiaan? Bagaimana pula petani sederhana ini dapat
hidup demikian bahagia, walau pun bergelimang kesederhanaan, lumpur kotor dan
mungkin kemiskinan? Pada hal pria itu jelas seorang yang amat sederhana, bodoh
hanya seorang petani biasa!
Siu Kwi
melangkah maju menghampiri sampai ia tiba di tepi sawah. Pemuda yang sedang
mencangkul itu belum juga melihat kedatangannya. Ini saja biasanya cukup untuk
menjengkelkan hati Siu Kwi yang merasa tidak diperhatikan, pada hal jarak
antara ia dan pemuda itu hanya beberapa meter saja.
"Heii,
bung! Aku ingin bertanya sedikit padamu." Akhirnya Siu Kwi berkata dan
biar pun tiada kemarahan di hatinya terhadap pemuda itu, karena sudah menjadi
kebiasaannya, suaranya terdengar lantang dan juga galak.
Pria petani
itu nampak terkejut. Tidak disangkanya akan ada seorang wanita datang
menegurnya dan ketika dia menengok, dia menjadi semakin terkejut sehingga
sampai beberapa lamanya dia hanya bengong saja memandang, menoleh ke arah Siu
Kwi dengan cangkul masih dalam genggaman kedua tangan. Tentu saja, melihat
seorang wanita dengan pakaian indah dan sedemikian cantiknya kini berdiri di
depannya dan mengajak dia bicara, tentu saja merupakan suatu pengalaman yang
amat mengejutkan dan mengherankan bagi petani itu. Tentu saja dia menjadi
bengong dan tak mampu mengeluarkan jawaban.
Siu Kwi
mengerutkan alisnya. Biasanya, melihat pertanyaannya tidak segera dijawab
orang, tentu akan membuat ia marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak.
Ia seperti dapat mengerti bahwa pria ini terheran-heran dan terkejut, sehingga
melihat orang itu bengong, ia merasa geli sendiri.
"Heii,
bung! Apakah engkau ini tuli ataukah gagu sehingga tidak mendengar dan tidak
dapat menjawab?"
Barulah
pemuda petani itu nampak semakin gugup. Ia cepat menurunkan cangkulnya,
demikian keras dan canggung sehingga cangkul itu menimpa lumpur yang memercik
ke atas dan mengenai dagunya! Melihat ini, Siu Kwi menjadi semakin geli
sehingga tanpa disadarinya, wanita itu tersenyum lebar dan ia pun tidak sadar
betapa senyumnya ini membuat wajahnya manis sekali.
"Uhh,
maaf...!" kata pemuda itu, kemudian mencoba untuk membungkuk sebagai tanda
penghormatan. "Nyonya... ehhh, nona... tadi bertanya apakah?"
Sikap
canggung dan suara yang lantang itu saja sudah mendatangkan kegembiraan di hati
Siu Kwi.
"Aku
belum bertanya," jawabnya, "akan tetapi aku ingin bertanya sedikit
padamu dan maafkan jika aku mengganggu pekerjaanmu."
Siu Kwi
merasa heran sendiri ketika mendengar sikap dan bahasanya. Ia seolah-olah
mendengar suara orang lain yang bicara melalui dirinya. Belum pernah ia
‘seramah’ dan ‘sesopan’ ini terhadap orang lain, apa lagi hanya seorang pria
petani.
Pemuda itu
tentu saja mengira bahwa tentu nona kota ini hendak bertanya jalan, atau
menanyakan dusun di sekitar tempat itu, maka dia menjawab, "Boleh saja
kalau nona mau bertanya. Apakah yang nona tanyakan?"
"Yang
ingin kutanyakan adalah, apakah engkau berbahagia?"
Petani muda
itu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya dia akan menerima pertanyaan
seperti itu. "Apa...? Ehh...... aku...? Bahagia? Ahh, aku tidak tahu,
nona."
Pemuda ini
terlalu polos dan jujur, kalau mengatakan tidak tahu, tentu benar-benar tidak
tahu, atau tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Ia mengangguk yakin.
"Engkau tentu seorang yang hidup bahagia. Ya, aku yakin engkau tentu
berbahagia!"
Akan tetapi
pemuda itu tidak yakin. "Bahagia? Apa sih bahagia itu, nona?"
Kini Siu Kwi
yang bengong. Apa sih bahagia itu?
"Bahagia...
ya, bahagia, hidupnya senang dan tenteram, aman makmur penuh damai..."
Pemuda itu
mengangguk-angguk. "Itukah yang dinamakan bahagia?"
"Begitulah...
atau mungkin aku keliru, entahlah."
Pemuda itu
memandang bingung. "Bagaimana pula ini? Kalau nona sendiri tidak tahu
dengan jelas, apa lagi aku. Aku tidak pernah mendengar kata itu dan agaknya aku
pun tidak membutuhkan kebahagiaan itu."
Siu Kwi
membelalakkan kedua matanya. Tidak membutuhkan kebahagiaan! Pemuda sederhana
ini tidak membutuhkan kebahagiaan! Sedangkan ia yang berenang di dalam
kemewahan begitu rindu dan butuh akan kebahagiaan karena merasa tidak bahagia,
karena merasa nelangsa dan berduka. Agaknya itulah jawabannya.
Pemuda itu
berbahagia di dalam kesederhanaannya, berbahagia karena dia tidak butuh bahagia
lagi. Dan ia yang berduka, merasa ditinggalkan kebahagiaan, maka ia amat
membutuhkan kebahagiaan! Kalau saja ia tidak berduka, kalau saja ia dapat
menikmati segalanya seperti pemuda ini, tentu ia pun tidak akan butuh
kebahagiaan karena sudah berbahagia!
"Ya,
tentu engkau berbahagia, karena engkau bekerja sambil bernyanyi-nyanyi gembira.
Engkau tentu seorang yang hidup berbahagia," katanya lagi, memandang wajah
dan tubuh pemuda itu dengan kagum.
Pemuda itu
mengerutkan alis sejenak, lalu mengangguk-angguk pula. "Boleh jadi. Aku
dapat melihat semua keindahan pagi ini, dapat mendengarkan kicau burung yang
riang gembira, melihat bunga-bunga dan pohon-pohon, mencium keharuman tanah
yang kucangkul, dapat menghirup udara segar dengan bebas, kalau lapar dapat
makan dan kalau haus dapat minum, memiliki pekerjaan. Mau apa lagi?"
Siu Kwi
semakin tertarik dan memandang kagum. Bukan kagum dan bukan seperti biasanya
tertarik oleh laki-laki karena dorongan nafsu birahi. Bukan, sama sekali.
Sekali ini, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam hatinya. Ia merasa tertarik
dan kagum karena ia melihat betapa laki-laki yang berlepotan lumpur ini lebih
utuh sebagai manusia dari pada dirinya sendiri. Laki-laki ini jauh lebih berarti
dalam kehidupan ini.
Ia seperti
melihat mutiara gemerlapan di dalam lumpur. Seorang pemuda yang amat polos,
jujur terbuka, bersih seperti batu kemala yang belum digosok, nampak kasar dan
biasa saja namun mengandung keindahan yang amat berharga di dalamnya. Jawaban
pemuda itu merupakan suatu pelajaran yang tak ternilai harganya, walau pun
pemuda itu tidak sengaja hendak mengajarkan sesuatu kepadanya.
Memang
demikianlah. Guru berada di mana-mana kalau saja kita mau membuka mata lahir
batin dan mau mengamati segala sesuatu di dalam dunia ini, di luar dan di dalam
diri sendiri, secara seksama dan waspada. Melayangnya sehelai daun kering dari
atas pohon karena patah dari tangkainya, sudah dapat merupakan suatu pelajaran
tentang hidup dan mati.
Dalam
mempelajari dan mengerti tentang hidup, tak perlu mencari guru dalam bentuk
seorang manusia, karena kehidupan adalah sesuatu yang bergerak terus. Kehidupan
adalah suatu kenyataan yang kita hayati sendiri. Sedangkan apa yang dapat
diajarkan oleh seorang guru hanyalah pengetahuan mati tentang kehidupan.
Jawaban
pemuda petani itu pun dapat merupakan suatu pembukaan rahasia tentang
kebahagiaan. Dia sudah dapat menerima segala sesuatu yang ada sebagai suatu
kenikmatan hidup. Dia tidak mencari sesuatu yang tidak ada padanya! Karena
itulah dia tidak merasa kekurangan apa-apa, dia tidak mengejar apa-apa. Kalau
sudah begitu, tentu saja tidak ada kekecewaan, tidak ada iri, tidak ada
kebutuhan akan sesuatu dan tidak ada duka. Dan kalau sudah begini, tentu saja
dia tidak membutuhkan kebahagiaan, karena kebutuhan akan kebahagiaan muncul
apabila kita merasa bahwa kita tidak bahagia!
Kalau semua
orang seperti pemuda petani itu, tentu tidak akan ada kemajuan! Demikian orang
membantah. Mungkin mereka benar! Akan tetapi, apakah yang kita namakan kemajuan
itu? Kita mendambakan kemajuan, kita mengagung-agungkan kemajuan. Akan tetapi
apakah sebenarnya kemajuan itu?
Model celana
dipotong pendek, lalu panjang lagi, lalu pendek lagi, panjang lagi. Sempit,
lalu longgar, sempit lagi. Itukah kemajuan? Benda-benda dibikin modern supaya
lebih menyenangkan. Jadi, kemajuan berarti pengejaran sesuatu yang dianggap
lebih menyenangkan! Itukah kemajuan? Dan sampai di mana kita sekarang ini maju?
Sudah majukah? Sudah sampai di batas manakah?
Matahari
menyinarkan cahayanya yang cerah. Burung-burung berkicau di pohon-pohon.
Bunga-bunga mekar semerbak harum. Sejak jutaan tahun yang lalu sudah begitu,
dan terus begitu. Semua itu tidak mengejar kemajuan, melainkan bertumbuh dengan
wajar. Apakah keadaan alam seperti itu dapat kita katakan tidak maju?
Pikiran yang
didorong oleh keinginan mencari kesenangan yang lebih, tidak mungkin berdaya
cipta (creative). Tidak akan menjadikan kita bijaksana dan cerdas. Sebaliknya,
pikiran yang selalu mengejar kesenangan yang lebih akan menjadi licik dan penuh
akal, kejam dan tak pernah mengenal puas. Perbaikan keadaan tentu terjadi
karena manusia mempergunakan akal budi yang memang sudah ada padanya sejak
lahir.
Keburukan
hidup menghadapi alam, akan mendorong manusia mempergunakan akal budinya untuk
mengatasi segala kesukaran. Daya cipta akan berkembang secara wajar, demi
kesejahteraan hidup, bukan demi pergejaran kesenangan...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment