Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 12
Selagi Siu
Kwi termenung karena jawaban pemuda tani itu, tiba-tiba pemuda itu nampak
menjadi gelisah. "Nona, harap kau cepat bersembunyi di balik pohon dan
semak-semak itu. Cepat, di sana sedang datang tiga orang pemuda berandalan.
Mereka baru sepekan berkeliaran di sini, dan mereka itu pemuda-pemuda dari kota
yang berandalan. Cepat, bersembunyilah, nona, agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan."
Siu Kwi
sadar dari lamunannya dan ia menengok. Benar saja, dari jauh nampak tiga orang
laki-laki yang agaknya bicara sambil bergurau dan tertawa-tawa. Akan tetapi
mereka masih terlalu jauh untuk dapat didengar apa yang mereka bicarakan dan
untuk melihat orang-orang macam apa adanya mereka.
Kalau
menuruti wataknya yang biasa, tentu saja Siu Kwi akan memandang rendah segala
pemuda berandalan seperti itu. Akan tetapi sekali ini memang terjadi hal yang
aneh dalam hati Ciong Siu Kwi. Mendengar ucapan pemuda petani itu, ia tidak mau
membantah, melainkan cepat-cepat pergi bersembunyi di balik semak-semak tak jauh
dari tempat itu, di tepi jalan dekat pohon besar.
Semakin
dekatlah tiga orang laki-laki yang keluyuran sambil bersendau gurau itu dan
akhirnya mereka tiba juga di tepi sawah di mana pemuda petani itu sudah
melanjutkan pekerjaannya yang tadi, yaitu mencangkul tanah. Tiga orang pemuda
iseng itu sejak tadi memang sudah merasa bosan karena tempat itu sunyi dan kini
melihat pemuda yang sedang mencangkul tanah, timbul kegembiraan mereka. Mereka
menemukan seorang yang dapat dijadikan bahan olok-olok dan keberandalan mereka.
"Hei,
lihat itu si tolol bekerja keras!" teriak orang pertama yang kepalanya
besar dan kedua telinganya kecil seperti telinga tikus.
"Ha-ha-ha,
kusangka dia tadi seekor kerbau yang sedang meluku sawah!" teriak orang ke
dua. Orang ini kurus kering seperti berpenyakitan.
"Kau
kira apa? Apa sih bedanya si tolol dengan seekor kerbau? Hei, tolol! Coba
tirukan suara kerbau, bagaimana?" teriak orang ke tiga yang gendut.
Mereka itu
tiga orang pemuda yang dilihat dari pakaiannya saja dapat diketahui bahwa
mereka itu adalah orang-orang kota! Padahal, mereka pun tadinya adalah
orang-orang dari dusun yang tidak jauh dari situ, hanya saja sudah lama mereka
tinggal di kota dan ketularan kesombongan orang-orang kota yang memandang
rendah kepada para petani yang miskin. Kini mereka memperolok seorang pemuda
petani, padahal mereka lahir di rumah-rumah keluarga petani.
Pemuda yang
sedang mencangkul itu sudah mendengar bahwa tiga orang pemuda itu adalah pemuda
berandalan yang sudah sepekan suka melakukan hal-hal yang buruk, memperlihatkan
kenakalan mereka, sering mendatangkan keributan serta perkelahian, juga
kekacauan. Oleh karena itu dia bersikap tidak peduli dan pura-pura tak
mendengar saja.
Ketiga orang
pemuda itu mendongkol juga karena olok-olok mereka sama sekali tidak dilayani.
Mereka selalu memperoleh kegembiraan dari olok-olokan mereka, baik kalau yang
dihina itu melawan mau pun ketakutan. Akan tetapi pemuda petani itu diam saja,
menganggap mereka seperti angin saja! Marahlah mereka.
"Hei,
tolol! Apakah kamu tuli atau gagu?"
"Hayo
naik ke sini, kau harus bersihkan sepatu kami dengan baik!"
"Kalau
tidak, akan kuhajar kamu! Hayo naik ke sini!"
Akan tetapi,
pemuda itu tetap diam saja, hanya melirik sedikit dan di dalam hatinya dia
mengambil keputusan bahwa kalau tiga orang itu berani masuk ke sawahnya, dia
akan melawan mereka, akan membuat mereka berenang di sawahnya dan minum air
lumpur!
"Hayo naik
kamu, pengecut! Naik ke sini biar kuhajar kau sampai minta-minta ampun!"
teriak pula tiga orang pemuda itu sambil mencak-mencak dengan marah.
Mereka tidak
berani memasuki sawah karena takut kalau sepatu dan pakaian mereka menjadi
kotor. Namun pemuda petani itu tetap diam saja dan melanjutkan pekerjaannya
mencangkul dengan tekun.
"Kurang
ajar! Serang dia dengan batu!" kata seorang dari mereka dan mereka bertiga
kini mencari batu-batu sebesar kepalan tangan dan menyambitkan batu-batu itu ke
arah pemuda petani.
Pemuda
petani itu berusaha untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi masih ada batu
yang mengenai kepalanya sampai timbul benjolan besar. Tiga orang pemuda itu
tertawa-tawa. Hati mereka mulai girang karena mereka dapat menghajar pemuda
petani itu. Mereka akan menghujankan batu sampai pemuda itu roboh dan
minta-minta ampun!
Melihat
keadaan pemuda petani itu, hati Siu Kwi merasa khawatir. Ia sudah marah sekali
terhadap tiga orang pemuda berandalan dan kalau ia mau, sekali menggerakkan
tangan saja ia akan dapat membunuh mereka dan hal itu tentu sudah dilakukannya
sejak tadi kalau saja tidak terjadi perubahan besar dalam hati Siu Kwi. Kini ia
keluar dari balik semak-semak dan berseru dengan suara yang sengaja dibikin
supaya terdengar seperti suara orang ketakutan.
"Jangan
sambiti dia... ahhh, jangan sakiti dia...!"
Tiga orang
pemuda itu terkejut dan menoleh heran. Akan tetapi wajah mereka menjadi terang
berseri dan mulut mereka menyeringai nakal ketika mereka melihat bahwa yang
berseru itu adalah seorang wanita yang sedemikian cantik manisnya! Mereka
merasa tercengang dan tidak pernah menduga sama sekali bahwa di tempat sunyi
itu mereka akan dapat bertemu dengan seorang wanita secantik itu! Tentu saja
mereka menjadi girang sekali karena mereka sudah membayangkan kesenangan yang
akan mereka dapat dari wanita itu.
"Ahhh...!
Tidak mimpikah aku?" teriak si gendut.
"Benarkah
di depanku ada wanita secantik bidadari?"
"Luar
biasa sekali! Petani tolol busuk itu bahkan mempunyai seorang pacar yang begini
cantiknya!" kata si kepala besar.
"Hati-hati,
kawan. Jangan-jangan ia ini seorang siluman!" kata si kurus kering.
Siu Kwi
merasa heran sekali atas perubahan yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia tidak
marah dan membunuh mereka ini? Dahulu, jangankan sampai menggoda dengan nada
menghina, baru memandang secara kurang ajar saja, kalau ia tidak suka kepada
pria itu, tentu akan dibunuhnya seketika!
"Dia
tidak bersalah apa-apa, mengapa kalian menganggunya?" Hanya itu saja yang
ia katakan, itu pun dengan nada meminta agar para pemuda itu jangan mengganggu
si petani.
Sementara
itu, pemuda petani itu terkejut bukan main melihat munculnya wanita cantik itu
dari balik semak-semak. Dia tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu tentu
tidak akan mau melepaskan wanita itu begitu saja. Oleh karena khawatir kalau
gadis itu menderita akibat gangguan mereka yang kurang ajar, pemuda petani itu
cepat-cepat melangkah keluar dari dalam sawah, lalu segera menghampiri mereka
dan berdiri di depan gadis itu dengan sikap melindungi.
Kuharap
kalian tidak mengganggu gadis ini. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah
mengganggu kalian, maka kuminta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu
kami," kata pemuda itu dengan sikap tenang.
Melihat
pemuda yang bertelanjang dada dan berlepotan lumpur ini sekarang berani
melindungi wanita itu, tiga orang pemuda berandalan menjadi marah sekali.
"Petani
busuk, mampuslah!" bentak si perut gendut dan dia sudah menyerang dengan
pukulan keras menyambar ke arah muka si pemuda petani.
"Desss...!"
Pemuda
petani itu tidak mengira bahwa dia akan dipukul, maka dia tidak sempat lagi
menangkis dan mukanya kena dipukul. Pukulan ini tepat mengenai batang
hidungnya, maka segera nampak darah keluar dari lubang hidungnya.
"Plakkk...!"
Karena
marah, si pemuda petani membalas dan tangannya yang menampar mengenai pipi si
gendut. Tubuh si gendut terpelanting. Tamparan itu demikian kerasnya sampai
membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut, ditambah rasa panas
dan pedih di pipinya. Dua orang temannya segera maju mengeroyok.
Pemuda
petani itu mengamuk. Sekarang dia dikeroyok tiga, dan ketiga orang pemuda
berandalan itu seperti tiga ekor serigala yang mengeroyok seekor anjing pemburu
yang melawan mati-matian. Akan tetapi karena pemuda petani itu tidak pandai
silat, hanya mengandalkan kekuatan tubuh yang tahan pukulan dan tenaga besar
serta semangat berkobar, dia menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan tiga
orang pengeroyoknya.
Meski
demikian, sungguh ia bertubuh kuat dan biar pun dihujani pukulan dan dikeroyok,
dia masih sempat berteriak. "Nona, cepat kau pergilah dari sini!"
Siu Kwi
memandang dengan penuh kagum. Pemuda petani itu kini menjadi seorang yang
kegagahannya tidak kalah oleh para pendekar mana pun juga. Bahkan mungkin lebih
gagah, pikirnya. Seorang pendekar berani membela orang lain, oleh karena dia
mengandalkan kepandaian silatnya dan senjatanya.
Akan tetapi,
pemuda ini membelanya mati-matian, padahal pemuda sederhana ini tidak pandai
silat. Bahkan di dalam hujan pukulan itu dia masih minta kepadanya untuk
menyelamatkan diri. Dia benar-benar merasa gembira karena selama hidupnya baru
sekaranglah dia bertemu dengan seorang pria yang membelanya mati-matian tanpa
pamrih sedikit pun juga!
Biasanya, di
dalam kehidupannya yang lalu, kalau ada pria membelanya, maka di balik
pembelaan itu tentu mengandung pamrih tertentu. Seperti Bhok Gun misalnya. Para
pria yang bersikap baik kepadanya tentu mengharapkan imbalan jasa. Akan tetapi
pemuda petani ini sama sekali tidak! Mereka tidak saling mengenal, dan pemuda
itu jelas tidak mengharapkan apa-apa, bahkan minta agar ia pergi secepatnya.
Keharuan,
suatu perasaan aneh yang baru pertama ini dikenal Siu Kwi, menyelubungi hatinya
dan ia pun cepat pura-pura melarikan diri. Tetapi ia cepat menyelinap kembali,
tanpa diketahui mereka, kemudian bersembunyi di balik pohon tidak jauh dari
tempat perkelahian itu terjadi, mengintai dengan hati penuh kagum dan khawatir.
Pemuda tani
itu benar-benar hebat! Biar pun tubuhnya menjadi bulan-bulan pukulan dan
tendangan sehingga dada yang bidang itu, juga lengannya, menjadi matang biru,
bahkan mukanya juga benjol-benjol, akan tetapi dia pantang menyerah. Seperti
seekor harimau terbuka dia mengamuk terus, tidak sedikit pun keluhan keluar
dari mulutnya.
Sebaliknya,
setiap kali dia membalas dan mengenai tubuh lawan, tentu pengeroyok yang kena
dipukul atau ditendang berteriak kesakitan lalu memaki-maki dan membalas dengan
serangan membabi buta. Dari keadaan perkelahian itu saja sudah dapat dinilai
watak masing-masing.
Pemuda
petani itu bertubuh sangat kuat sehingga akhirnya ketiga orang lawan yang
mengeroyoknya dan lebih banyak memukulnya itu menjadi kewalahan sendiri. Mereka
lalu mencabut pisau belati dan mengepung dengan wajah beringas seperti serigala
haus darah.
Melihat
berkilatnya tiga buah pisau belati di tangan mereka, Siu Kwi mengerutkan alis.
Pemuda petani itu tentu akan celaka kalau dia tidak turun tangan, pikirnya.
Jari-jari tangannya memungut tiga butir batu kerikil dan tiga kali tangannya
terayun ke depan.
Tiga orang
pemuda yang sudah mencabut pisau belati itu tiba-tiba mengeluarkan pekik
kesakitan, pisau mereka terlepas dari tangan dan untuk beberapa detik lamanya
mereka tidak mampu bergerak. Kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda tani, yang
tidak tahu penyebab tiga orang itu tiba-tiba melepaskan kembali pisau-pisau
mereka, untuk maju menghajar mereka dengan pukulan-pukulan keras.
Tiga orang
pemuda itu jatuh bangun dan semangat mereka sudah buyar sama sekali. Mereka
masih ketakutan karena tanpa sebab mereka tadi merasa tangan mereka nyeri bukan
main, pisau mereka terlepas dan mereka tidak mampu bergerak. Teringatlah mereka
akan wanita cantik tadi dan kembali timbul dugaan bahwa wanita itu tentu
siluman dan kini membantu si pemuda petani. Maka, tanpa dikomando lagi, mereka
bertiga lalu melarikan diri tunggang langgang!
Pemuda
petani itu berdiri memandang mereka sampai bayangan mereka lenyap di antara
pepohonan. Dia lalu menyeka darah dari hidung dan bibirnya yang pecah-pecah,
menggunakan punggung tangan yang juga matang biru membengkak. Setelah ketiga
orang lawannya pergi, baru dia merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan
dia pun agak terhuyung menghampiri pohon besar di tepi jalan.
"Ahhh,
kau terluka..."
Hampir saja
pemuda petani itu menerjang dan menyerang Siu Kwi yang muncul dengan tiba-tiba
dari balik batang pohon besar. Ia telah melupakan wanita itu yang disangkanya
tentu sudah melarikan diri ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat itu.
"Ahh,
kau...?" serunya kaget, juga girang bukan main. “Kukira engkau sudah pergi
jauh dari tempat ini, nona."
Dengan hati
merasa lega sekali pemuda tani itu lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput,
karena tubuhnya kini terasa lelah bukan main, tenaganya seperti hampir habis.
Siu Kwi
cepat berlutut di dekatnya. "Ah, tubuhmu luka-luka semua, babak bundas...
ah, tentu nyeri sekali...," katanya dan dengan lembut jari-jari tangan
wanita itu menyentuh dada, pundak dan pangkal lengan yang memar dan matang
biru.
Sentuhan-sentuhan
lembut itu seperti obat yang amat nyaman terasa oleh pemuda tani. Biar pun
usianya sudah dua puluh lima tahun, akan tetapi dia belum pernah menikah,
bahkan jarang bergaul dengan wanita. Dan kini, tiba-tiba muncul seorang wanita
yang luar biasa cantiknya berdekatan dengannya, dan menyentuh tubuhnya dengan
lembut.
Jantung
pemuda petani itu berdebar keras sekali dan hal ini mudah nampak oleh Siu Kwi
sehingga wanita ini pun diam-diam merasa girang sekali. Ia sudah berpengalaman,
sudah mengenal banyak pria dan tahu akan keadaan seorang pria. Maka mudah saja
ia mengetahui bahwa pria dusun ini pun amat tertarik kepadanya, bahwa
pendekatannya membuat pemuda itu berdebar jantungnya. Dan anehnya, sekali ini
ia merasa demikian girang dan bangga akan kenyataan ini!
"Luka-lukamu
ini perlu dirawat. Aku biasa merawat luka, marilah kuantar engkau pulang dan
akan kurawat luka-lukamu... ahhh..." Tiba-tiba Siu Kwi teringat sesuatu.
Mukanya berubah pucat dan ia pun bangkit dan melangkah mundur.
Pria petani
itu sudah merasa girang mendengar bahwa wanita cantik itu akan ikut dia pulang
dan akan merawat luka-lukanya, akan tetapi terkejut melihat perubahan sikap
wanita itu. Dia pun bangkit berdiri, memandang penuh selidik.
"Ada
apakah, nona?"
"Kau...ah,
tentu di rumahmu ada isteri dan keluargamu yang akan merawatmu...," kata
Siu Kwi, memandang penuh pertanyaan dan dengan hati gelisah.
Mengapa dia
tidak ingat akan hal itu? Seorang pria sedewasa ini, apa lagi hidup di dusun,
sudah tentu pria ini sudah menikah dan mungkin sudah mempunyai beberapa orang
anak! Hatinya seperti ditusuk-tusuk.
Kalau dulu,
ia tidak akan peduli apakah seorang laki-laki itu berkeluarga atau tidak, mau
atau tidak padanya. Kalau ia suka, dengan halus mau pun kasar ia tentu akan
memiliki pria itu, atau membunuhnya. Akan tetapi sekarang, ia ragu-ragu,
khawatir dan berduka membayangkan bahwa laki-laki ini tentu sudah beristeri!
Pemuda
petani itu tersenyum. Senyumnya cerah, wajar dan sehat. "Nona, aku belum
pernah menikah. Di rumahku hanya tinggal aku dan ayahku seorang. Ibuku sudah
lama meninggal."
Merasa
bagaikan sebongkah batu dilepaskan dari hatinya yang tertindih, Siu Kwi ingin
sekali merangkul dan mencium pemuda itu. Namun keanehan terjadi lagi. Ia merasa
malu melakukannya, dan ia menahan gejolak perasaannya itu. "Aih, kalau
begitu baru aku berani ikut denganmu dan merawat luka-lukamu."
Karena
pertanyaan wanita itu, kini si pemuda petani juga memandang ragu. Masih nonakah
wanita ini ataukah sudah nyonya? Kiranya sukar dipercaya kalau masih nona,
karena usianya sudah tidak begitu muda lagi meski kecantikannya membuat ia
nampak jauh lebih muda. Setidaknya, tidak lebih muda darinya dan wanita seusia
ini tak mungkin masih perawan.
"Dan
bagaimana dengan engkau sendiri, nona... atau... nyonyakah?"
Luar biasa
sekali! Siu Kwi merasa mukanya panas dan ia tentu akan terheran-heran kalau
dapat melihat betapa kulit mukanya berubah kemerahan seperti seorang perawan
yang tersipu malu! Heran sekali dia, mengapa dia merasa begini malu dan canggung
ditanya oleh pemuda ini apakah ia masih gadis ataukah sudah menikah? Tentu saja
akan tidak enak sekali jika ia mengaku masih gadis, karena usianya sudah tak
pantas untuk itu.
"Aku...
aku seorang janda yang sudah ditinggal mati suamiku beberapa tahun yang lalu.
Semenjak itu, aku hidup seorang diri saja..."
"Ahh...!
Maafkan pertanyaanku jika telah menyinggung perasaanmu dan mendatangkan kembali
kenangan yang menyedihkan," kata pemuda itu, agak terkejut.
Siu Kwi
tersenyum, manis sekali.
"Hal
itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, kesedihan sudah lama meninggalkan
hatiku. Akan tetapi, aku ingin mengetahui siapakah namamu dan di mana
rumahmu?"
"Aku
she Yo bernama Jin, tinggal berdua dengan ayah di dusun sebelah selatan
itu." Dia menudingkan telunjuknya ke arah selatan, di mana nampak dari
situ sekelompok rumah dusun.
"Namamu
Jin (Welas Asih), pantas engkau berhati mulia, mau membela dan menolong aku
yang sama sekali tidak kau kenal. Aku she Ciong, namaku Siu Kwi dan lempat
tinggalku tidak tetap karena aku sudah tidak memiliki keluarga lagi."
Pemuda dusun
yang bernama Yo Jin itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan dia
menggeleng kepala. “Akan tetapi... apakah sama sekali tidak mempunyai anggota
keluarga? Orang tua, saudara-saudara..."
Akan tetapi
Ciong Siu Kwi menggeleng kepala dan ia memang tidak berbohong. Dia sendiri
sudah tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali ketika dipungut oleh Sam Kwi.
"Aku
hidup sebatang kara, seorang diri saja di dunia yang luas ini. Aihh, kenapa
kita bercakap-cakap saja, engkau perlu dirawat. Mari kuantar engkau
pulang."
Siu Kwi lalu
memegang lengan pemuda itu dan membantunya bangkit berdiri. Melihat betapa
wanita itu memegang lengannya, kembali jantung Yo Jin tergetar dan dia pun
masih merasa ragu-ragu. Seorang wanita secantik ini, sudah menjanda dan nampak
begitu mewah pakaiannya, hendak menggandengnya!
"Tapi,
nyonya..."
"Hemm,
Yo Jin. Aku sudah memperkenalkan bahwa namaku Siu Kwi, bukan?"
"Baiklah,...
adik Kwi. Aku... aku masih sangsi apakah mungkin seorang seperti engkau ini
merawatku...?"
Senang hati
Siu Kwi disebut Kwi-moi (adik Kwi) walau pun ia yakin bahwa ia lebih tua dari
pemuda itu. Dia pun sengaja menyebut toako (kakak) untuk mengimbangi sebutan Yo
Jin dan untuk menghormati pemuda dusun itu.
"Kenapa
tidak, Jin-toako? Engkau telah menolongku, menyelamatkanku dari gangguan tiga
pemuda berandalan itu. Budimu terlampau besar dan sudah sepatutnya kalau aku
kini merawatmu, sekedar untuk membalas kebaikanmu dan menyatakan terima
kasihku. Akan tetapi... tentu saja aku tidak berani memaksa kalau engkau tidak
sudi dirawat oleh seorang janda yang hidup merana dan kesepian."
Dalam
kalimat terakhir itu terkandung isak dan ini pun bukan pura-pura karena memang
hati Siu Kwi merasa sedih sekali membayangkan hatinya yang sedang kesepian dan
merana itu menderita pukulan karena ditolak oleh Yo Jin.
Ia merasa
kagum dan suka sekali kepada pemuda ini. Bukan sekedar nafsu birahi yang
mendorongnya. Entah bagaimana, melihat sikap pemuda ini yang tadi sudah
melindungi dan membelanya mati-matian tanpa pamrih, ia merasa aman sentosa saat
berada di samping Yo Jin. Perasaan sepi lenyap.
"Aih,
mana mungkin aku menolak uluran tanganmu, Kwi-moi? Mari, marilah kita
pulang."
"Pulang?"
Seperti dalam mimpi Siu Kwi mengulang kata yang terdengar amat luar biasa itu,
amat asing namun amat indahnya.
"Ya,
pulang! Bukankah engkau tadi mengajakku pulang? Ke rumahku, rumah ayahku."
"Pulang...?"
Kembali Siu Kwi mengulang kata itu, kata yang baginya mengandung arti yang
asing dan indah, seolah-olah ‘pulang’ merupakan sebuah tempat milik mereka
berada, sebuah sarang yang aman sentosa, yang nyaman dan penuh kedamaian.
Ayah Yo Jin
adalah seorang kakek petani yang bertubuh tinggi besar, berwatak jujur dan dia
menyambut pulangnya puteranya dengan alis berkerut. Tentu saja dia merasa heran
bukan main melihat anaknya pulang bersama seorang, wanita cantik berpakaian
mewah yang menggandengnya. Mereka nampak demikian mesra!
Akan tetapi
perasaan heran ini menjadi kekagetan dan kekhawatiran ketika dia melihat betapa
muka anaknya itu matang biru dan bengkak-bengkak. Baru dia mengerti setelah Yo
Jin menceritakan bahwa dia diganggu dan dikeroyok oleh tiga orang pemuda kota
yang berandalan itu dalam membela Ciong Siu Kwi yang hendak diganggu.
"Nyonya...
ehhh, adik Ciong Siu Kwi ini menemani aku karena dia hendak merawat luka-lukaku,
ayah. Aku tidak dapat menolak maksud baiknya itu."
Ayahnya
mengangguk-angguk kemudian menatap wajah wanita ini dengan tajam penuh selidik.
Pandang mata itu membuat Siu Kwi merasa kikuk sekali, akan tetapi ia hanya
menundukkan mukanya.
"Mari, Jin-toako,
kucuci luka-luka itu, karena kalau didiamkan saja dan terkena kotoran dapat
membengkak dan berbahaya," katanya halus kepada Yo Jin.
Pemuda itu
mengangguk dan mulailah Siu Kwi merawatnya. Ia mencuci luka-luka itu, dengan
jari-jari tangan menyentuh halus ia menggosok bagian yang bengkak, menaruh obat
pada bagian yang memar dan matang biru.
Entah mana
yang lebih manjur, obat yang digunakan Siu Kwi ataukah sentuhan jari-jari
tangannya, akan tetapi Yo Jin merasa betapa kenyerian di tubuhnya lenyap seketika.
Mau rasanya dia dipukuli orang setiap hari kalau sesudah itu dirawat oleh
jari-jari tangan wanita cantik ini! Karena dia memang jujur, maka suara hatinya
ini tak dapat ditahannya.
"Wah,
aku sungguh beruntung!" katanya. Ayahnya sudah meninggalkan mereka yang
berada di ruangan samping.
"Beruntung?
Kenapa?" tanya Siu Kwi, ingin tahu sekali.
"Ya,
beruntung telah dipukuli orang sampai babak belur dan matang biru."
Siu Kwi
memandang heran. "Ehh? Betapa anehnya!"
"Kalau
tidak begitu, bagaimana mungkin aku akan mendapatkan perawatanmu seperti
ini?"
Siu Kwi
merasa betapa jantungnya berdebar. Ingin ia merangkul pemuda itu, akan tetapi
hal itu tak dilakukannya. Ia harus bersikap biasa, ia tidak menuruti lagi
segala kehendak hatinya seperti yang sudah-sudah. Namun ia tidak dapat terbebas
dari perasaan jengah sehingga mukanya berubah kemerahan.
"Jin-toako,
masih sakitkah bekas pukulan dan tendangan itu?"
"Tidak,
sama sekali sudah lenyap. Sentuhan tanganmu yang lembut mengusir semua rasa
nyeri," jawab Yo Jin sungguh-sungguh.
"Senangkah
engkau kurawat begini?"
"Senang
sekali! Mau rasanya aku setiap hari menerima pukulan asal engkau yang
merawatnya."
Siu Kwi
memandang penuh perhatian. Sedang bersandiwarakah pemuda ini? Apakah ia
sebenarnya seorang laki-laki yang pandai merayu hati wanita dan kini
berpura-pura sebagai seorang pemuda dusun yang bodoh? Tidak, dia merasa yakin
bahwa pemuda ini bukan seorang perayu, melainkan seorang yang amat jujur. Apa
yang dirasakannya, apa yang dipikirkannya, langsung saja keluar melalui
mulutnya. Dan ia merasa betapa ada suatu kegembiraan besar memenuhi dadanya.
Tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan nyaring di luar rumah dan ayah Yo Jin memasuki
ruangan itu dengan wajah membayangkan kekhawatiran besar.
"Mereka
bertiga datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun di timur! Ahh, Yo Jin,
engkau mencari gara-gara saja. Bagaimana baiknya sekarang?"
Yo Jin
mengerutkan alisnya dan dia pun bangkit. Sedikit pun dia tidak merasa takut.
"Ayah,
mereka itu pengacau-pengacau tidak tahu malu. Kalau mereka berani datang untuk
membikin ribut di sini, biarlah aku yang akan menghajar mereka lagi,"
berkata demikian, dengan sikap gagah Yo Jin lalu melangkah keluar.
"Toako,
berhati-hatilah...," Siu Kwi berseru dan dia pun sudah bangkit dan
memegang lengan pemuda itu.
Yo Jin
menoleh. "Lebih baik engkau jangan keluar, jangan memperlihatkan diri.
Biar aku yang menghadapi mereka."
"Tapi...
tapi engkau akan dikeroyok lagi, dipukuli..."
Yo Jin
tersenyum dan untuk beberapa detik lamanya tangannya menggenggam tangan wanita
itu. "Tak perlu dirisaukan! Bukankah di sini ada engkau yang akan
mengobati semua bekas pukulan?" Dia lalu melepaskan tangannya dan
cepat-cepat keluar karena orang-orang itu sudah berteriak-teriak lagi.
Siu Kwi
berdiri bengong dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. Ia merasa seperti
seorang gadis remaja yang baru pertama kalinya jatuh cinta! Akan tetapi dia
segera mengkhawatirkan keadaan Yo Jin dan ia pun cepat mengintai dari balik
pintu.
Ternyata
ketiga orang pemuda berandalan itu, setelah tadi melarikan diri segera pergi
menghadap Lui-kongcu (tuan muda Lui), putera dari kepala dusun tempat asal tiga
orang pemuda itu. Mereka memang berkawan dengan putera kepala dusun yang
terkenal mata keranjang.
Mereka
memuji-muji kecantikan wanita yang menjadi pacar seorang pemuda petani di dusun
selatan sehingga Lui-kongcu tertarik sekali. Apa lagi mendengar betapa tiga
orang pemuda itu yang dianggap sebagai anak buahnya, telah dihajar babak-belur
oleh pemuda itu karena memperebutkan wanita cantik, Lui-kongcu merasa amat
penasaran. Mengandalkan kedudukan ayahnya, dia memang sudah terbiasa merajalela
dan suka membikin kacau, menekan para penduduk yang tentu saja takut kepadanya
mengingat akan kedudukan ayahnya, yaitu kepala dusun Lui.
Ketika Yo
Jin muncul diikuti oleh ayahnya yang memandang khawatir, Lui-kongcu sudah
menyambutnya dengan dampratan. "Monyet inikah yang telah lancang tangan
berani memukuli tiga orang pemuda dari dusun kami?" Dia membentak sambil
menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Yo Jin. "Siapakah namamu?"
Yo Jin tidak
mengenal pemuda yang bertubuh jangkung kurus dan berwajah tampan akan tetapi
angkuh ini. Akan tetapi tadi ayahnya sudah memberi tahu bahwa tiga orang pemuda
berandalan itu datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun timur. Maka dia
dapat menduga tetu pemuda tampan jangkung berpakaian mewah ini putera kepala
dusun itu.
"Maaf,
bukan aku yang memukuli dan mengeroyokku. Aku hanya membela diri saja. Namaku
adalah Jin she Yo..."
"Bagus,
Yo Jin. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun kami di timur. Engkau telah
berani kurang ajar terhadap kami, hayo cepat berlutut minta ampun!"
Bukan watak
Yo Jin untuk merendahkan diri karena takut. Dia tidak merasa bersalah, maka dia
pun tidak takut terhadap siapa juga.
"Lui-kongcu,
tadi sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah. Merekalah yang terkenal sebagai
pemuda-pemuda berandalan yang suka membikin kacau. Maka sebaiknya jika
Lui-kongcu sebagai putera kepala dusun, menghukum mereka agar mereka tidak lagi
menjadi berandalan-berandalan yang suka mengacau ke kampung-kampung."
"Tutup
mulutmu! Engkau berani membantah dan melawan aku, ya?" bentak Lui-kongcu
marah sambil melangkah maju mendekati Yo Jin. "Hayo lekas berlutut!"
"Aku
tidak bersalah apa-apa, kenapa harus berlutut?" jawab Yo Jin dengan sikap
tenang dan alis berkerut, pandang mata tajam ditujukan kepada wajah kongcu itu.
"Engkau
melawanku?" Lui-kongcu membentak, lalu membuat gerakan memasang kuda-kuda
dengan gagah dan membentak, "Haiiiittt...!"
Lalu
tubuhnya menerjang ke depan, tangannya yang dikepal memukul bertubi-tubi.
Yo Jin
menyangka bahwa anak kepala dusun ini akan memukulnya, dan dia pun merasa
sungkan untuk membalas, maka dia menangkis sedapatnya. Karena tidak membalas,
dan karena dia masih lelah, beberapa pukulan telah mengenai tubuhnya, dan tentu
saja terasa nyeri karena ada beberapa pukulan mengenai bagian yang memar dan
masih biru. Lui-kongcu melanjutkan serangannya sambil berteriak-teriak seperti
lagak seorang jagoan tulen.
Karena
kesakitan, Yo Jin lalu melawan. Dia membalas dengan pukulan tangan kanan yang
mengenai dada Lui-kongcu sehingga tubuh si jangkung ini terpelanting! Kiranya,
hanya lagaknya saja seperti jagoan.
Memang dia
pernah belajat silat, tetapi orang seperti dia mana ada ketekunan belajar
secara sungguh-sungguh? Dia belajar hanyalah untuk berlagak, maka yang
dihafalnya hanya pasangan kuda-kuda dan gerakan-gerakan yang nampak indah,
namun karena ia tidak tekun mempelajari dasar-dasarnya, maka semua gerakannya
itu kosong belaka, bagaikan bungkusan indah yang tidak ada isinya. Maka, begitu
Yo Jin membalas, dia pun terkena pukulan dan terpelanting.
Melihat
demikian, tiga orang pemuda berandalan itu pun maju mengeroyok. Tentu saja Yo
Jin yang masih belum pulih kesehatannya, dan masih lelah itu, harus menerima
hajaran empat orang pengeroyoknya, dipukul dan ditendang sampai babak belur.
Akan tetapi, dengan gigih dia membela diri dan melawan, sedikit pun tidak
pernah mengeluh.
"Heiii,
jangan berkelahi! Jangan pukuli anakku...!" Ayah Yo Jin yang melihat
puteranya dipukuli orang lalu maju untuk melerai, akan tetapi dia disambut oleh
pukulan-pukulan yang membuat ia roboh terpelanting pula!
Melihat
kejadian itu, Siu Kwi lalu keluar dari tempat persembunyiannya. "Tahan,
jangan berkelahi!"
Mendengar
ada suara perempuan, empat orang pengeroyok itu menghentikan amukan mereka dan
Lui-kongcu memandang bengong ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat
cantik jelita berdiri disitu. Tiga orang pemuda berandalan itu pun memandang
dan mereka segera mengenal wanita itu.
"Kongcu,
itulah pacarnya yang cantik!"
Lui-kongcu
tidak perlu diberi tahu lagi karena matanya yang berminyak sudah melahap
kecantikan yang berada di depan matanya dan dia pun sudah dapat menduga bahwa
tentu wanita ini yang menjadi gara-gara keributan itu, yang diperebutkan, dan
dia tidak menyalahkan anak buahnya kalau tergila-gila kepada wanita ini. Memang
cantik jelita!
"Yo
Jin, aku akan mengampunimu kalau engkau mau memberikan pacarmu ini padaku,
setidaknya biar kupinjam dia untuk beberapa malam lamanya!" kata
Lui-kongcu tanpa malu-malu lagi.
Dapat
dibayangkan betapa panas rasanya hati Yo Jin. Dia sudah jatuh cinta kepida Siu
Kwi dan kini mendengar kata-kata yang tidak sopan dan kurang ajar itu, yang
ditujukan kepada Siu Kwi, tentu saja dia menjadi marah. "Lui-kongcu, andai
kata ia itu pacarku, tunanganku atau isteriku, tentu takkan kuserahkan kepadamu,
dan akan kuhajar engkau yang berani bersikap kurang ajar! Akan tetapi sayang,
ia hanya seorang sahabat baru dan seorang tamuku yang terhormat."
Mendengar
jawaban ini, Lui-kongcu dan tiga orang pemuda berandalan itu lalu saling
pandang. Si gendut, seorang di antara tiga pemuda berandalan itu, berseru tak
percaya.
"Kau
bohong! Jika bukan pacarmu, kenapa engkau membelanya sampai mati-matian?"
"Hemmm,
orang-orang macam kalian ini tentu merasa heran. Akan tetapi orang-orang sopan
tentu mengerti bahwa sudah sepatutnya kalau seorang pria menghormati wanita,
membelanya, bukan seperti kalian yang hendak mempermainkan dan
menghinanya!"
"Ha-ha-ha,
bocah petani dusun tolol! Orang macam engkau hendak memberi kuliah kepadaku?
Kalau ia bukan apa-apamu, sudah, mundur kau dan jangan turut campur!" kata
Lui-kongcu. Diam-diam ia merasa jeri juga melihat kenekatan Yo Jin yang agaknya
tidak mengenal takut dan sakit.
Ia
menghampiri Siu Kwi dan tersenyum menyeringai sambil memasang aksinya.
"Nona cantik, marilah engkau ikut bersamaku. Aku adalah Lui-kongcu, putera
kepala dusun di timur yang kaya raya. Engkau tentu akan mengalami kesenangan
kalau ikut bersamaku. Jadilah tamuku yang terhormat dan kita bersenang-senang
bersama. Marilah, manis!"
Dia mengulur
tangan hendak memegang tangan Siu Kwi. Agaknya, pemuda ini selalu yakin bahwa
setiap orang perempuan tentu akan tunduk dan memyambut ajakannya dengan girang.
Wanita mana yang dapat menolaknya? Dia masih muda, tampan dan gagah, kaya raya
dan ayahnya menjadi kepala dusun yang hidupnya seperti seorang raja kecil di
dusunnya! Sudah terlalu banyak wanita yang tunduk kepadanya, seperti kerbau
dicocok hidungnya kalau dia merayu dan mengajak mereka.
Siu Kwi
ingin sekali tampar menghancurkan kepala Lui-kongcu itu. Akan tetapi ia masih
terus sadar dan teringat bahwa ia kini harus menjadi seorang yang baru sama
sekali, tidak boleh lagi mempergunakan ilmunya untuk mengulangi lagi kehidupan
sesat dan kejam seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, tentu saja ia tidak
dapat memadamkan kemarahan yang berkobar di dalam dadanya melihat sikap anak
kepala dusun itu.
"Tidak,
aku tidak mau pergi ke mana-mana, tidak mau pergi meninggalkan Jin-toako yang
membutuhkan perawatanku. Kalian pergilah dari sini dan jangan membikin
kacau!"
Lu-kongcu
tertawa dan membelalakkan matanya. "Aihh, kenapa begitu, nona manis?
Apakah engkau lebih suka tinggal di sini, di tempat yang kotor dan amat tidak
pantas bagimu ini? Dan lihat si tolol Yo Jin ini, seorang petani busuk yang
kotor dan bodoh. Tidak patut sama sekali engkau bersahabat dengan orang tolol
semacam ini. Untuk menjadi bujangmu pun, dia belum pantas!"
Siu Kwi
menjadi marah bukan main. "Huh, toako Yo Jin ini adalah seorang laki-laki
sejati. Dia seribu kali lebih baik dari pada kamu dan kawan-kawanmu itu.
Pergilah dan jangan menganggu kami lagi!"
Mendengar
ucapan ini, Lui-kongcu menjadi marah. Mukanya merah sekali. Pemuda dusun itu
seribu kali lebih baik dari dia?
"Hajar
mampus petani busuk ini, baru kularikan gadis tak tahu diri itu!" katanya
dan dia pun sudah menyerang Yo Jin dengan marah, dibantu kawan-kawannya. Kini
mereka mencabut pisau yang sudah mereka persiapkan lebih dulu.
"Jin-toako,
kau pukullah mereka sampai puas!" tiba-tiba Siu Kwi berkata. "Cepat
hajar mereka, toako!"
Tentu saja
Yo Jin terheran mendengar seruan itu, akan tetapi dia menjadi semakin heran dan
girang melihat betapa empat orang pemuda yang mengeroyoknya itu tiba-tiba saja
menghentikan gerakan-gerakan mereka dan ketika dia memukul mereka, empat orang
itu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis atau mengelak. Dia tidak tahu
bahwa dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Siu Kwi telah membuat mereka
untuk sementara lumpuh dengan sambitannya, mempergunakan kerikil-kerikil kecil
sekali.
Enak saja Yo
Jin membabat mereka dengan kaki tangannya, memukul dan menendang sampai mereka
itu terguling-guling. Ketika pengaruh totokan sudah hilang dan mereka mampu
bergerak kembali, mereka sudah menjadi ketakutan.
Lui-kongcu
bangkit berdiri, sempoyongan dan memandang kepada Yo Jin dan Siu Kwi
bergantian, lalu dia memandang kepada ayah Yo Jin dan berkata sambil
menudingkan telunjuknya ke arah muka Siu Kwi, "Dia seorang siluman! Ya,
seorang siluman betina yang jahat dan akan menghancurkan keluargamu!"
Setelah
berkata demikian, Lui-kongcu segera melarikan diri diikuti tiga orang pemuda
berandalan. Tadi, tiga orang pemuda itu sudah menceritakan betapa mereka
mengalami hal yang aneh ketika mencabut pisau sehingga mereka dihajar oleh Yo
Jin. Sekarang, kembali mereka mengalami hal yang sama dan juga Lui-kongcu
mengalaminya. Maka, mereka semua condong percaya kepada dugaan pemuda
berandalan berkepala besar bahwa agaknya Yo Jin dibantu siluman, dan siapa lagi
kalau bukan perempuan cantik itu silumannya?
"Mereka
sungguh kurang ajar!" bentak Yo Jin marah ketika mendengar wanita yang
telah menjatuhkan hatinya dimaki siluman.
"Biarkan
mereka pergi, Jin-toako. Mereka adalah anak-anak yang masih bodoh dan hanya
mengandalkan kedudukan orang tua dan kekayaan saja. Wah, luka-lukamu lecet
kembali, mari kuberi obat lagi."
"Baik,
Kwi-moi dan terima kasih atas kebaikanmu." Dua orang muda itu hendak masuk
kembali ke dalam rumah.
"Nanti
dulu!" Tiba-tiba terdengar ayah Yo Jin membentak.
Orang tua
ini benar-benar amat terpengaruh oleh kata-kata yang tadi ditinggalkan oleh
Lui-kongcu. Pada jaman itu, memang semua orang amat percaya akan tahyul,
percaya akan siluman-siluman yang suka mendatangkan gangguan dalam kehidupan
manusia, percaya pula akan dewa-dewa pelindung dan segala macam tahyul lagi.
Mendengar
ucapan Lui-kongcu, ayah ini pun terkejut sekali dan sejak tadi dia sudah
mengamati Siu Kwi penuh perhatian. Seorang wanita yang amat cantik, dengan
pakaian mewah dan perhiasan emas permata yang mahal-mahal. Dan wanita seperti
itu mau mendekati puteranya, seorang petani biasa! Dan pula, wanita itu muncul
begitu tiba-tiba mengaku tak memiliki keluarga, tak memiliki rumah tinggal.
Mana mungkin ini? Seorang wanita gelandangan tidak mungkin sekaya ini, apa lagi
secantik ini.
Dan mengapa
Yo Jin tiba-tiba saja menjadi begitu nekat membelanya sehingga anak itu bahkan
berani menentang seorang putera kepala dusun? Agaknya anaknya itu sudah
tergila-gila kepada siluman ini, yang tentu saja telah mempergunakan ilmunya
untuk menundukkan Yo Jin.
Puteranya
itu biar pun sudah berusia dua puluh lima tahun, akan tetapi dia yakin masih
seorang perjaka tulen dan menurut dongeng, siluman memang suka mengubah diri
menjadi seorang perempuan cantik untuk menghisap sari tenaga dari tubuh seorang
perjaka! Dan menurut dongeng, seorang perjaka yang terpikat oleh siluman, akan
mati kehabisan darah, bahkan keluarganya juga akan ikut tertimpa mala petaka!
Mendengar
bentakan ayahnya dan kini melihat betapa ayahnya memandang dengan mata
terbelalak kepada Siu Kwi, Yo Jin merasa heran. "Ada apakah, ayah?"
"Tidak
boleh... nona ini tidak boleh memasuki rumah kita...!" Lalu orang tua itu
menjadi sangat ketakutan ketika teringat bahwa seorang siluman amat sakti dan
akan mampu membunuhnya hanya dengan pandang matanya, dan juga amat kejam.
Maka cepat
dia menjura kepada Siu Kwi. "Nona, harap maafkan kami... harap suka
mengasihani seorang tua seperti aku, seorang duda yang hidup berdua dengan
anakku Yo Jin. Harap engkau suka memaafkan kami dan jangan... jangan menjadikan
anakku korban... carilah korban lain, masih banyak terdapat perjaka di dusun
ini dan dusun-dusun lainnya..."
Biar pun Yo
Jin dan Siu Kwi terheran-heran mendengar ucapan yang tersendat-sendat itu,
mereka berdua sudah maklum apa yang dimaksudkan oleh orang tua itu. Kakek itu
menuduh Siu Kwi siluman!
"Ayah...!
Jangan begitu..."
"Lopek,
aku mengerti apa yang kau maksudkan. Engkau menuduh aku seorang siluman betina,
bukankah begitu?" kata Siu Kwi, suaranya terdengar dingin menusuk.
Wanita ini
memang marah bukan main. Gatal-gatal kedua tangannya. Dia telah diusir, bahkan
dituduh seorang siluman. Kalau dulu, beberapa hari yang lalu saja, tak mungkin
ia dapat mengampuni orang yang berani mengusirnya dan menuduhnya siluman. Tentu
ia akan membunuh orang itu. Akan tetapi, ia kini hanya merasa marah dan juga
berduka sekali. Ayah pria yang menjatuhkan hatinya kini mengusirnya dan
menuduhnya siluman.
Kakek itu
menjura. "Maafkan... maafkan kami..."
Siu Kwi
tidak dapat menahan kesedihannya. Ia terisak lalu berlari pergi.
"Kwi-moi...!
Tunggu, jangan tinggalkan aku, Kwi-moi...!" Yo Jin berteriak dan mengejar.
"Yo
Jin, berhenti kau!" Ayahnya menghardik.
Selama ini
Yo Jin hanya hidup berdua dengan ayahnya, maka tentu saja dia sangat menyayangi
ayah ini dan mentaatinya. Kini, mendengar bentakan ayahnya, dia seperti
tertahan oleh sesuatu yang sangat kuat, berhenti berlari, menoleh dan dia
kemudian menjatuhkan diri berlutut.
"Ayah...,
Kwi-moi...!" Dan pemuda ini pun terguling, pingsan.
Setelah
mengalami pengeroyokan sampai dua kali, menerima gebukan-gebukan yang amat
banyak, dan hanya sentuhan dan sikap Siu Kwi saja yang menguatkan hatinya
sehingga dia dapat bertahan, sekarang dia tidak dapat menahan pukulan batin
melihat ayahnya menuduh kekasihnya itu siluman dan Siu Kwi pergi
meninggalkannya.....
***************
"Orang
she Yo, sungguh besar sekali nyalimu! Engkau telah membiarkan anakmu yang
kurang ajar itu memukul dan melukai Lui-kongcu, putera kepala dusun timur!
Sungguh, engkau membikin malu aku yang menjadi kepala dusun di sini!" kata
kepala dusun Tong kepada kakek Yo.
Dia menerima
pengaduan dari rekannya, kepala dusun Lui dan karena merasa malu hati terhadap
rekannya, maka dia cepat memanggil kakek Yo untuk datang menghadap dan
menegurnya dengan keras. "Sekarang juga Yo Jin harus menyerahkan diri agar
dapat kuantarkan kepada kepala dusun Lui untuk menerima hukuman!"
Tentu saja
kakek Yo amat terkejut mendengar ini dan dia cepat-cepat memberi hormat.
"Mohon beribu ampun dan kebijaksanaan dari Tong-thungcu," katanya.
"Sesungguhnya anak saya Yo Jin sama sekali tak bersalah, akan tetapi dia
terbujuk oleh siluman betina. Untung bahwa saya telah berhasil mengusir siluman
betina itu dan menyelamatkan anakku dari ancaman mala petaka."
Kepala dusun
itu tertegun. "Siluman...? Apa maksudmu?"
Kakek Yo
lalu menceritakan tentang munculnya siluman betina yang menyamar sebagai
seorang wanita cantik sehingga menjadi perebutan antara anaknya dan Lui-kongcu
dan terjadi perkelahian. Akan tetapi, anaknya itu terbujuk oleh siluman dan
dalam keadaan tidak sadar.
"Jika
terlambat sedikit saja saya mengusir siluman itu, tentu anakku telah mati.
Siluman itu sudah saya usir, dan harap Tong-thungcu suka membujuk Lui-thungcu
agar supaya mengampuni anak saya yang sebenarnya tak bersalah karena berada
dalam pengaruh siluman dan tidak sadar."
"Ah,
jangan mencari alasan dengan cerita yang gila!" bentak kepala dusun Tong.
"Siapa mau percaya omonganmu? Hayo bawa Yo Jin ke sini, ataukah aku
sendiri harus ke sana untuk menangkapnya?"
"Ahhh,
Tong-thungcu tidak percaya? Marilah, harap dilihat sendiri keadaan anak saya
yang sampai sekarang masih belum sadar benar," kata kakek Yo.
Kepala dusun
itu merasa heran dan dia pun segera mengikuti kakek Yo, dikawal oleh tiga orang
anak buahnya. Setelah tiba di dalam rumah kakek Yo, kepala dusun Tong melihat
sendiri betapa Yo Jin benar-benar berada dalam keadaan sakit dan tidak sadar.
Pemuda itu berbaring demam dan gelisah di pembaringan di dalam kamarnya.
Mukanya amat merah, tubuhnya panas dan pemuda itu mengigau, berkali-kali
memanggil sebuah nama.
"Kwi-moi…!
Kwi-moi…!"
"Nah,
begitulah keadaannya, thungcu. Yang dipanggilnya itu adalah nama siluman itu.
Maka harap Tong-thungcu suka mengasihaninya dan suka pula membujuk
Lui-thungcu." Kakek Yo dengan suara mohon dikasihani meminta kebijaksanaan
kepala dusun Tong sambil menyerahkan sebuah bungkusan yang terisi seluruh
simpanan uangnya kepada pembesar itu.
Mula-mula
kepala dusun itu berpura-pura menolaknya. Akan tetapi, melihat bahwa isi
buntalan itu cukup banyak, dia pun menyuruh pengawalnya untuk menerima
bungkusan itu sambil berkata, "Sebenarnya, berat bagiku untuk memenuhi
permintaanmu karena aku merasa malu hati kepada rekanku, kepala dusun Lui. Akan
tetapi, melihat keadaan anakmu, aku percaya dan biarlah saya akan membicarakan
hal ini dengan dia."
Kakek Yo
merasa girang dan berterima kasih, dan sambil membungkuk-bungkuk dia mengantar
kepala dusun itu meninggalkan rumahnya sampai di luar pekarangan. Dia rela
kehilangan semua simpanannya asal anaknya tidak ditangkap.
Kakek Yo betul-betul percaya bahwa anaknya
sakit akibat berdekatan dengan siluman. Hawa siluman yang menimbulkan sakit
panas itu, maka dia pun mengundang seorang dukun untuk menyembuhkan puteranya.
Dukun itu
seorang tosu yang suka mempelajari ilmu klenik dan sang tosu, dengan biaya yang
cukup besar tentunya, segera melakukan sembahyangan di situ, menggunakan darah
anjing dipercik-percikkan di empat penjuru rumah dan berkemak-kemik membaca
mantera. Dengan rambut riap-riapan dan pedang di tangan dia berjalan pula
mengitari rumah sampai tujuh kali putaran. Akhirnya dia meninggalkan rumah
kakek Yo sambil mengantongi hadiah yang cukup banyak, juga sebungkus masakan
yang lezat.
Akan tetapi,
penyakit Yo Jin tidak menjadi sembuh, bahkan setelah lewat tiga hari,
keadaannya menjadi semakin payah. Dan pada malam hari ke tiga itu, setelah
kakek Yo tertidur nyenyak saking lelahnya, sesosok bayangan hitam berkelebat di
atas genteng rumah itu. Bayangan itu melakukan pengintaian dari atas genteng,
membuka genteng di atas kamar Yo Jin dan ia mendekam sambil mengintai ke dalam kamar.
Dilihatnya Yo Jin rebah terlentang dengan muka merah akan tetapi kurus sekali,
dan pemuda itu bergerak gelisah ke kanan kiri dengan gerakan lemah.
"Kwi-moi...
Kwi-moi... janganlah tinggalkan aku... Kwi-moi..." Demikianlah dia
mengigau berkali-kali, mengulang-ulang nama itu dengan bisikan-bisikan lemah.
"Ohhh...!"
Bayangan itu terisak dan menangis.
Bayangan itu
adalah Siu Kwi dan ia pun cepat melayang turun dan memasuki kamar Yo Jin.
Ditubruknya Yo Jin dan dirangkulnya tubuh yang panas itu. Yo Jin membuka kedua
matanya dan melihat wajah orang yang dirindukannya, dia pun merangkul.
"Kwi-moi...!"
"Jin-toako!
Aihh... toako, kau kenapakah...?"
"Kwi-moi,
tangan tinggalkan aku lagi...," pemuda itu mengeluh lemah.
"Tidak,
tidak ah,... betapa bodohku telah meninggalkanmu." Ia mencium dahi pemuda
itu. "Hemm, badanmu panas. Engkau demam."
Cepat Siu
Kwi memeriksa keadaan Yo Jin. Wanita pandai yang banyak pengalaman ini maklum
bahwa pemuda itu terserang demam karena luka-lukanya yang tidak terawat
sekarang membengkak dan ia keracunan! Cepat ia bekerja, mencuci luka-luka itu
dan menaruhkan obat luka yang selalu dibawanya, dan juga menyuruh Yo Jin
menelan dua butir pel kuning. Setelah menelan pel, Yo Jin langsung tidur pulas
dengan kepala di atas pangkuan Siu Kwi.
Siu Kwi
duduk di tepi pembaringan, mengelus-elus rambut dikepala Yo Jin yang kusut. Ia
memandangi wajah yang kurus itu dan tak terasa dua butir air mata menetes
turun, keluar dari kedua matanya. Hatinya diliputi keharuan yang amat mendalam.
Selama tiga
hari ini dia sendiri tersiksa sekali. Ia berkeliaran di hutan-hutan dan
gunung-gunung, mencoba untuk melupakan Yo Jin, namun tidak berhasil sama
sekali. Makin dilupakan, makin teringat dan selama tiga hari ini ia hampir
tidak makan dan tidak tidur sama sekali. Akhirnya, ia pun tidak kuat dan
memaksa diri kembali ke dusun itu dan di saat malam telah menggelapkan dusun,
ia pun mendatangi rumah pria yang dicintanya untuk menengoknya dengan
diam-diam.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Yo Jin ternyata dalam keadaan
sakit yang cukup payah. Dan lebih terharu lagi ketika ia mendengar igauan
pemuda itu dalam sakitnya. Barulah ia tahu bahwa sepeninggalnya, Yo Jin jatuh
sakit dan terus mencari-cari dan memanggil-manggilnya!
"Ahh,
Jin-toako... aku cinta padamu... aku cinta padamu...," bisiknya
berkali-kali dan ia mendekap kepala di pangkuannya itu seperti mendekap sebuah
mustika yang takkan pernah dilepaskannya lagi.
Karena ia
sendiri selama tiga hari kurang tidur, setelah kini bertemu kembali dengan Yo
Jin, bahkan pemuda itu tertidur di pangkuannya, hati Siu Kwi merasa demikian
tenteram sehingga ia pun memejamkan matanya, bersandar pada dinding dan dengan
kepala pemuda itu masih di atas pangkuannya, ia pun tertidur pulas.
Seperti
itulah keadaan mereka ketika pada esok harinya kakek Yo memasuki kamar anaknya.
Dia berdiri terpukau di ambang pintu, terbelalak, bahkan sempat menggosok mata
dengan punggung tangan beberapa kali seperti tidak percaya akan penglihatannya
sendiri. Perempuan siluman itu telah berada dalam kamar anaknya!
Agaknya
kehadiran kakek ini cukup untuk membangunkan Siu Kwi. Ia lalu membuka matanya
dan melihat kakek itu berdiri di ambang pintu kamar, ia segera teringat akan
keadaannya. Wajahnya menjadi merah sekali dan dengan lembut ia menurunkan
kepala Yo Jin dari atas pangkuannya.
"Aku...
aku datang untuk mengobati Jin-toako yang ternyata terserang demam karena
luka-lukanya," katanya lirih kepada kakek Yo.
Kakek Yo
masih tidak mampu bersuara. Ada perasaan marah akan tetapi juga takut terhadap
perempuan di depannya. Pada saat itu, Yo Jin juga terbangun.
"Kwi-moi...,"
keluhnya dan ketika dia membuka mata dan melihat Siu Kwi telah berada di dekat
pembaringan, dia cepat menangkap tangan gadis itu. "Ahh, Kwi-moi, benarkah
engkau ini? Engkau telah datang kembali?" tanyanya dengan suara gemetar.
Siu Kwi
meremas tangan pemuda itu. "Aku datang untuk mengobatimu, Jin-toako."
"Ah,
terima kasih, Kwi-moi. Aku sudah sembuh! Melihat engkau datang saja aku sudah
sembuh sama sekali. Lihat, aku sudah bisa duduk!" Seperti seorang anak
kecil yang kegirangan, pemuda itu bangkit duduk walau pun dengan tubuh yang
masih lemas. Hati Siu Kwi merasa terharu bukan main.
Kakek Yo
tidak dapat menyangkal bahwa anaknya benar-benar kelihatan sembuh. Akan tetapi,
hal ini bahkan memperkuat dugaannya bahwa Siu Kwi tentulah seorang siluman
tulen yang sengaja membuat Yo Jin sakit dan kini kembali untuk mengobati Yo Jin
agar dia dapat percaya! Akan tetapi, untuk menuduh demikian, dia tidak berani.
Pertama, dia pun ingin melihat anaknya sembuh dulu, dan ke dua, dia mulai
merasa ngeri dan takut terhadap Siu Kwi.
"Kwi-moi,
jangan kau pergi lagi, Kwi-moi...," kata Yo Jin sambil menggenggam tangan
wanita itu.
"Tidak,
Jin-toako. Aku kembali untuk menemanimu dan merawatmu sampai sembuh."
"Sampai
sembuh dan engkau akan pergi lagi? Tidak, Kwi-moi, engkau tidak boleh pergi,
selamanya, dari sampingku!" Genggaman tangan Yo Jin semakin erat
seolah-olah dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau wanita itu akan pergi
lagi.
Siu Kwi
memandang ke arah kakek Yo. "Kalau saja Yo-lopek mau mengijinkannya."
"Ayah,
biarkan Kwi-moi di sini. Aku... aku tidak dapat hidup tanpa dia, ayah!" Yo
Jin berkata dengan suara lantang dan nekat.
Sikap ini
sungguh membuat Siu Kwi terharu sekali dan kembali dua titik air mata runtuh
dari matanya yang berlinang-linang. Pemuda ini belum pernah menyatakan cinta,
akan tetapi setiap katanya, setiap pandang mata, selalu penuh dengan sinar
cinta yang mendalam.
Kakek itu
menghela napas dan memutar otaknya. Dia tentu saja tidak setuju, akan tetapi
tidak berani mengaku terus terang di depan siluman itu. Akhirnya dia memperoleh
akal dan berkata, "Baiklah, biar dia merawatmu sampai engkau sembuh.
Setelah engkau sembuh, barulah kita bicara lagi tentang itu." Setelah berkata
demikian, kakek Yo lalu meninggalkan kamar itu.
Setelah
kakek itu memberi perkenan, bukan main lega dan girang rasa hati Siu Kwi. Ia
melepaskan tangan Yo Jin dan berkata, "Nah, sekarang engkau harus tidur
lagi. Aku akan membuatkan bubur untukmu, engkau harus makan yang banyak, selalu
minum obat, dan banyak tidur..."
"Akan
tetapi, aku ingin bercakap-cakap denganmu, Kwi-moi..."
"Hsshhh,
belum waktunya mengobrol. Ingat, aku perawatmu dan kau harus mentaati semua
permintaanku!" Ia mengangkat telunjuknya seperti orang mengancam, dengan
sikap yang manja dan genit saking girang hatinya.
Yo Jin
tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku akan mentaatimu dan menutup mulutku."
"Heii,
jangan ditutup terus. Tidak enak jika kau kelihatan marah dan tidak mau
mengajak bicara padaku."
Mereka
tertawa dan di dalam suara ketawa mereka terkandung keriangan. Keadaan hatinya
saja sudah merupakan obat yang amat mujarab bagi penyakit Yo Jin.
Selama tiga
hari, Siu Kwi merawat Yo Jin dengan amat tekunnya. Ia juga mencucikan pakaian
Yo Jin. Kakek Yo tetap tidak mau dibantunya dan bahkan tidak membolehkan Siu
Kwi mencucikan pakaiannya yang kotor! Pendeknya, dia tidak mau bersentuhan
dengan siluman! Segala yang dimasak oleh Siu Kwi, kakek itu tidak mau
menyentuhnya juga. Dia selalu makan di luar, di rumah teman-teman atau di
warung nasi selama Siu Kwi berada di rumahnya.....
***************
Ketahyulan
membuat orang dapat melakukan hal yang amat bodoh. Ketahyulan muncul kalau
orang mudah percaya kepada diri sendiri, tidak mau melihat kenyataan yang ada
melainkan dipermainkan oleh khayal, mengagungkan hal-hal yang dianggap aneh dan
berada di luar pengertian mereka. Jelaslah bahwa ketahyulan adalah suatu
kebodohan dan orang dapat melakukan segala hal yang tidak masuk akal.
Perasaan
takut Kakek Yo masih tebal terhadap setan-setan, semua sebagai akibat dari
ketahyulannya. Menghadapi kehadiran Siu Kwi, dia percaya sepenuhnya bahwa
wanita itu adalah siluman. Banyak hal yang dianggapnya cukup menjadi bukti
bahwa Siu Kwi adalah siluman.
Pertama,
asal-usul wanita ini yang tidak jelas, kemunculannya begitu saja. Hal ke dua,
kecantikannya yang menyolok dan betapa orang yang secantik dan sekaya itu,
melihat kemewahan pakaiannya, bisa jatuh cinta kepada anaknya, seorang pemuda
tani dusun. Ke tiga, kepandaiannya dalam mengobati. Ke empat, kemunculannya
kembali yang amat aneh, tahu-tahu berada di dalam kamar! Sungguh seperti setan!
Karena rasa
takutnya itu, kakek Yo lalu melaporkan kembalinya Siu Kwi kepada kepala dusun
Tong secara diam-diam dan mendengar bahwa di rumah kakek Yo telah datang
siluman yang ditakuti itu, kepala dusun Tong cepat memberi kabar kepada kepala
dusun Lui. Terjadilah persekongkolan antara kakek Yo dan dua orang pejabat itu
untuk secara bersama-sama menghadapi siluman.
Si tosu
dusun lalu dihubungi dan tosu inilah yang mendatangkan tosu-tosu lain,
tokoh-tokoh yang akan membuat dua orang kepala dusun itu sendiri terkejut
setengah mati kalau mengenal mereka karena para tosu itu adalah tokoh-tokoh
besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan)
yang condong ke arah golongan sesat dan terkenal pula sebagai
pemberontak-pemberontak.
Setelah
mereka yang bersekongkol itu mengadakan pertemuan mengatur siasat, kakek Yo
kemudian mendapat tugas untuk membawa Yo Jin ke rumah kepala dusun Lui yang
menjadi sarang pertemuan mereka. Mereka akan melihat gelagat lebih dahulu
sebelum menggunakan kekerasan karena menurut para tosu, siluman dapat memiliki
kesaktian yang sukar dikalahkan.
Demikianlah,
setelah Yo Jin kelihatan sembuh benar, ayahnya lalu mengajaknya untuk pergi
menghadap ke rumahnya kepala dusun Lui. "Kita harus pergi ke sana, anakku.
Memang, dengan bijaksana kepala dusun Lui telah memaafkanmu, akan tetapi yang
memintakan maaf adalah aku. Kalau engkau sendiri yang datang menghadap dan
minta maaf, tentu dia akan lebih senang hatinya dan selanjutnya, kita tidak
akan mengalami gangguan lagi."
Siu Kwi
mendengarkan percakapan itu dan ia mengerutkan alisnya. "Jin-toako,
kuharap kau berhati-hati menghadapi orang-orang seperti Lui-kongcu itu.
Orang-orang seperti itu tidak mudah melupakan kekalahan dan selalu menaruh
dendam, dan mereka mungkin akan menggunakan siasat untuk menjebakmu. Kurasa
lebih baik kalau engkau tidak pergi ke sana."
Yo Jin
tadinya sudah siap mengikuti ayahnya. Mendengar ucapan Siu Kwi, dia menjadi
ragu-ragu. "Kurasa benar juga pendapat Kwi-moi, ayah. Kenapa aku harus
menghadap ke sana kalau aku tidak bersalah apa-apa terhadap mereka? Pula,
mereka sudah diam saja, berarti sudah tidak ada masalah apa-apa. Kuharap saja
Lui-thungcu tidak jahat seperti puteranya dan dapat menyadari kesesatan
puteranya dan dengan kesadaran itu memaafkan aku. Kalau aku muncul,
jangan-jangan dia malah menjadi marah kembali dan melakukan tindakan yang tidak
menguntungkan."
Tentu saja
kakek Yo kecewa bukan main dan hatinya mendongkol. Puteranya itu selalu taat
kepadanya, akan tetapi setelah siluman itu mencengkeram dan menguasainya, kini
berani membangkang terhadap perintahnya.
"Yo
Jin...," bentaknya marah. Dia hanya berani memarahi anaknya, sedangkan
terhadap Siu Kwi, dia memandang pun tidak berani. "Selama ini engkau
seorang anak penurut, akan tetapi sekarang engkau berani membantah kehendak
ayahmu! Baik, engkau boleh tidak menurut kepadaku, akan tetapi selamanya engkau
tidak perlu mentaati aku lagi!" Berkata demikian, kakek itu lalu memutar
tubuh dan keluar.
"Ayah...!"
Yo Jin berseru dengan kaget, cepat dia lari keluar mengejar ayahnya. Setelah
tiba di luar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. "Ayah,
maafkan aku, bukan maksudku untuk membantah..."
"Cukup,
cepat berganti pakaian dan ikut aku ke rumah Lui-thungcu atau... jangan sebut
aku ayah lagi!"
Tentu saja
Yo Jin tidak berani membantah. Dia masuk lagi ke dalam kamar dan berganti
pakaian sambil berkata kepada Siu Kwi, "Kwi-moi, kau maafkan aku. Aku
terpaksa pergi sebentar ikut ayah. Dia marah dan kau tentu maklum bahwa aku
tidak mungkin dapat menentang kehendaknya."
Siu Kwi
tersenyum sabar. "Aku mengerti, toako. Pergilah, aku akan menanti
kembalimu di sini dengan sabar hati."
Lega rasa
hati Yo Jin mendengar dan melihat sikap Siu Kwi itu dan dia pun segera pergi
bersama ayahnya, meninggalkan dusun mereka yang terletak di sebelah selatan itu
untuk berkunjung kepada kepala dusun Lui di dusun sebelah timur.
Selama
sepanjang perjalanan itu, kakek Yo memperoleh kesempatan untuk menasehati
anaknya. Dia memperingatkan anaknya tentang bahaya yang mengancam dirinya kalau
semakin akrab dan dekat dengan wanita cantik yang menjadi tamu mereka.
"Sadarlah
engkau, anakku," demikian dia menutup nasehatnya yang agaknya tak terlalu
dipedulikan oleh Yo Jin, didengarkan tanpa dijawab. "Engkau kini sudah
berada dalam cengkeramannya, engkau sudah dibikin mabok oleh hawa siluman.
Masih untung jika selama ini engkau belum tidur bersama siluman itu, karena
kalau hal itu terjadi, akan celakalah engkau. Sadar dan mundurlah sebelum
terlambat, anakku."
Meski Yo Jin
maklum bahwa ayahnya membujuknya untuk menjauhi Siu Kwi terdorong oleh rasa
sayang karena ayahnya tidak ingin melihat dia celaka, akan tetapi hatinya
terasa panas dan tidak enak mendengar betapa ayahnya yakin bahwa Siu Kwi adalah
seorang siluman.
"Ayah,
sudah beratus kali kukatakan bahwa Ciong Siu Kwi bukanlah seorang siluman,
melainkan seorang wanita yang patut dikasihani, yang berhati mulia."
"Tapi
tosu itu..."
"Persetan
dengan tosu tahyul itu, ayah! Dengarlah, ayah. Sudah beberapa lama aku mengenal
Siu Kwi dan belum pernah satu kali pun ia melakukan hal yang bukan-bukan. Ia
selalu sopan dan merawatku dengan teliti dan tekun. Ia suka kepadaku, hal itu
amat kuharapkan dan nampaknya begitu, dan aku... cinta padanya, ayah, akan
tetapi selama ini belum pernah dia memperlihatkan perasaannya dengan perbuatan
yang melanggar susila. Ia seorang wanita baik-baik, ayah, seorang wanita yang
telah banyak menderita."
Kakek itu
mengerutkan alisnya. Agak ragu-ragu juga hatinya setelah mendengar ucapan
anaknya itu. Memang tidak ada bukti nyata bahwa Siu Kwi seorang siluman. Akan
tetapi keganjilan-keganjilan yang terjadi bersama kemunculannya membuat ia
kembali meragu dan hanya menggelengkan kepala.
Biarlah,
biarlah Lui-thungcu yang akan menangani persoalan ini. Dia sudah berunding
dengan kepala dusun itu. Ajakannya kepada puteranya untuk menghadap kepala
dusun Lui ini juga termasuk pelaksanaan dari rencana mereka. Dia harus mengajak
Yo Jin ke sana agar para tosu sakti yang sudah berada di rumah Lui-thungcu
dapat mengobati dan membersihkan diri Yo Jin dari hawa siluman itu. Hal ini
akan lebih mudah kalau dilakukan sewaktu Yo Jin tidak berada di rumah.
Ayah dan
anak ini disambut oleh kepala dusun Lui yang didampingi Lui-kongcu dan juga dua
orang tosu tua yang memegang tongkat. Tosu pertama memakai pakaian yang longgar
berwarna putih dan di dadanya terdapat lukisan bunga teratai putih di atas
dasar biru yang berbentuk bulat. Tosu ini usianya sudah tujuh puluhan tahun,
mukanya merah sekali seperti berdarah dan tangannya memegang sebatang tongkat
berbentuk naga berwarna hitam. Tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus
kulit saja.
Ada pun tosu
ke dua, tinggi besar dan perutnya gendut. Pakaiannya berwarna kuning dengan
lukisan pat-kwa (segi delapan) di dadanya. Berbeda dengan tosu pertama yang
rambutnya digelung ke atas, tosu ke dua ini rambutnya dibiarkan riap-riapan dan
karena rambutnya sudah putih semua, maka nampaklah dia seperti seorang yang
suci. Juga dia memegang tongkat hitam berbentuk ular, lebih kecil dari pada
tongkat tosu pertama. Tosu ke dua ini bermuka pucat kekuningan, seperti orang
berpenyakitan.
Begitu
menghadap kepala dusun ini, kakek Yo yang di tengah perjalanan tadi sudah
memberi tahu kepada anaknya apa yang harus dilakukan kalau sudah berhadapan
dengan kepala dusun Lui, menyentuh lengan anaknya memberi isyarat.
Yo Jin
mengerutkan alisnya. Begitu menghadap kepala dusun itu dan melihat betapa
kepala dusun memandangnya dengan sinar mata marah, terutama sekali Lui-kongcu
yang jelas sekali kelihatan marah kepadanya dan memandangnya penuh kebencian,
hatinya sudah merasa menyesal mengapa dia datang ke tempat ini. Akan tetapi,
untuk menyenangkan hati ayahnya, dia lalu melangkah maju dan memberi hormat
kepada kepala dusun itu bersama puteranya, sambil berkata dengan suara lantang.
"Lui-thungcu
dan Lui-kongcu, mentaati perintah ayahku, maka saya datang menghadap ji-wi
untuk mohon maaf atas segala hal yang telah terjadi antara saya dan
Lui-kongcu."
Ayah dan
anak yang biasanya dihormati orang dan diagungkan bagaikan keluarga raja kecil
itu, mengerutkan alis lebih dalam karena mereka merasa tidak puas melihat sikap
Yo Jin.
"Kenapa
tidak dari dulu engkau datang mohon maaf?" bentak Lui-kongcu dengan suara
marah.
Yo Jin
menoleh kepada ayahnya. Sikap pemuda itu sama sekali tidak diduganya, sebab
menurut ayahnya, keluarga Lui sudah memaafkannya, akan tetapi mengapa
Lui-kongcu masih bersikap demikian keras? Dia melihat ayahnya hanya menunduk,
maka dia lalu mengangkat muka menentang pandang mata Lui-kongcu. Dilihatnya
kongcu itu sedang memandang kepadanya dengan sikap yang amat angkuh. Bangkitlah
rasa penasaran di dalam hati pemuda ini.
"Saya
baru saja sembuh dari sakit, dan baru hari ini ayah mengajak saya datang ke sini,"
jawabnya singkat dan suaranya juga sama sekali tidak merendah.
"Brakkk!"
Tangan
kepala dusun Lui menggebrak meja di depannya. "Yo Jin, engkau sungguh
seorang pemuda yang keras kepala! Di depan kami engkau berani bersikap seperti
ini? Hayo lekas berlutut!"
Wajah Yo Jin
menjadi merah karena penasaran.
Ayahnya
kembali menyentuh lengannya. "Anakku, taatilah perintah Lui-thungcu."
Akan tetapi
Yo Jin tidak mau. "Tidak, ayah. Aku tidak bersalah, mengapa aku harus
berlutut minta ampun dan mohon dikasihani? Tidak, aku mau pulang saja!"
Berkata
demikian, Yo Jin lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi tanpa pamit dari
depan kepala dusun itu.
"Ehhh,
bocah laknat, berani kau kurang ajar kepadaku? Kembali kau!" bentak kepala
dusun itu dengan marah.
"Hemm,
Yo Jin, kembalilah kau!"
Tiba-tiba
terdengar suara parau dan yang mengeluarkan ucapan ini ialah tosu bermuka
merah, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dia berkata sambil menggerakkan tangan kiri ke
arah Yo Jin. Dan terjadilah keanehan!
Mendadak Yo
Jin yang sudah melangkah pergi itu menghentikan langkahnya, menoleh dan memutar
tubuh lalu kembali ke depan kepala dusun Lui! Pemuda itu sendiri terkejut bukan
main. Pada waktu mendengar suara parau tadi, seolah-olah ada kekuatan aneh yang
memaksanya, bahkan kemauannya seperti membeku dan kedua kakinya, seluruh
tubuhnya bergerak sendiri di luar kehendaknya. Dia kini berdiri di depan kepala
dusun itu, berdiri tegak dan mukanya menunjukkan kekerasan hatinya yang enggan
tunduk.
Kembali
tokoh Pek-lian-kauw itu menggerakkan tangan kirinya seperti orang melambai.
"Yo Jin, berlututlah di depan Lui-thungcu!"
Sungguh luar
biasa sekali. Yo Jin tidak sudi berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja kakinya
terasa lemas dan dia pun jatuh bertekuk-lutut! Terdengar kakek dari
Pek-lian-kauw itu terkekeh girang. Yo Jin mengangkat mukanya memandang, dan
terkejut melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong seperti mata kucing.
"Kau...
kau... bukan manusia, kaulah yang siluman!" bentaknya dan suara ini baru
bisa dia keluarkan setelah menguatkan hatinya dan memaksa mulutnya untuk
meneriakkan kata-kata ini.
"Bocah
kurang ajar kau!" bentak Lui-thungcu sambil menggapai empat orang prajurit
pengawal yang berjaga tak jauh dari situ. "Hajar dia!"
"Ha-ha,
tak perlu pakai banyak orang, Lui-thungcu. Biar pinto yang menghajarnya!"
yang bicara adalah kakek tokoh Pat-kwa-kauw yang bertubuh tinggi besar itu dan
sebelum si kepala dusun menjawab, tangan kirinya sudah menyambar ke depan.
Angin yang
kuat sekali keluar dari gerakan tangan itu dan tubuh Yo Jin terpelanting
seperti didorong oleh tenaga yang amat keras! Pemuda itu terkejut, mencoba
bangkit kembali, akan tetapi setiap kali tosu Pat-kwa-kauw itu menggerakkan
tangan, dia pun terbanting dengan keras. Sampai beberapa kali Yo Jin jatuh
bangun dan terbanting keras di atas lantai, bergulingan di depan kepala dusun
Lui dan puteranya yang tertawa girang melihat betapa musuh yang dibencinya itu kini
menjadi bulan-bulan kesaktian dua orang kakek itu.
Sementara
itu, kakek Yo terkejut sekali melihat betapa anaknya disiksa. Dia pun cepat
maju berlutut di depan kepala dusun Lui. "Lui-thungcu, maafkanlah anakku.
Perjanjian antara kita tidak begini! Harap jangan pukul lagi puteraku!"
Kepala dusun
Lui menjadi marah. "Usir tua bangka yang tidak mampu mengajar anak ini
keluar dan penjarakan Yo Jin!"
Empat orang
pengawal itu maju, memegang lengan kakek Yo dan menariknya bangun. Kakek itu
menjadi marah sekali.
"Aturan
mana ini? Kita berjanji untuk bersama-sama menghadapi siluman, akan tetapi
mengapa anakku disiksa dan aku diusir? Lui-thungcu, apakah engkau sudah
melupakan perjanjian antara kita...?"
"Usir
dia! Seret dan pukul agar dia tidak banyak cerewet lagi!" bentak kepala
dusun Lui.
Memang benar
bahwa kakek Yo pernah mengadakan perjanjian bersekutu dengannya untuk
menghadapi siluman yang berada di rumah keluarga Yo. Tetapi, kepala dusun itu
yang sekarang dibantu oleh dua orang kakek tosu yang sakti, masih tidak
melupakan dendamnya ketika puteranya dipukuli Yo Jin sehingga pulang dengan
muka bengkak-bengkak. Kakek Yo hanya melaporkan tentang adanya siluman dan dia
akan membasmi siluman itu bersama dua orang tosu sakti. Kakek Yo tidak
dibutuhkannya sama sekali, bahkan perlu dihajar karena keluarga Yo pernah
menghina puteranya.
Kini kakek
Yo menjadi marah. Dia meronta dan melepaskan pegangan, mengamuk dan memukul
roboh seorang pengawal. Akan tetapi tiga orang pengawal itu mengeroyoknya dan
tubuhnya yang tua dihujani pukulan. Kakek Yo yang tinggi besar dan biasa
bekerja berat dan kasar ini, melawan mati-matian dan ternyata tubuhnya memang
kuat. Empat orang pengawal itu sampai kewalahan untuk dapat menangkap dan
menyeretnya ke luar.
"Ha-ha,
biar aku yang melemparnya keluar," kata tosu Pat-kwa-kauw yang membiarkan
Yo Jin yang tadi terbanting-banting itu kini mendekam lemas dan pusing, lalu
dia turun dari atas kursinya, menghampiri kakek Yo.
Kakek Yo
yang sudah menjadi marah sekali, menyambutnya dengan pukulan keras!
"Dukkk!"
Tongkat
berbentuk ular itu menotok dan seketika tubuh kakek Yo roboh lemas. Tongkat itu
bergerak lagi, mengungkit dan seperti orang melempar kulit pisang menggunakan
sebatang tongkat, sekali tangannya bergerak, tubuh kakek yang tinggi besar itu
lantas terlempar keluar pintu dan terbanting roboh dengan keras sekali di luar
pintu!
Kakek Yo
merangkak bangun, dari mulut dan hidungnya keluar darah. Totokan tongkat yang
tepat mengenai dadanya tadi membuat dadanya terasa seperti akan pecah dan
kekuatan dalam tubuhnya habis. Dia merangkak, tertatih-tatih bangkit.
"Ayahhh...!"
Yo Jin berteriak melihat betapa ayahnya disiksa.
Akan tetapi,
empat orang pengawal itu telah menangkapnya, mengikat kedua lengannya ke
belakang dan menyeretnya dari ruangan itu untuk dijebloskan dalam kamar
tahanan.
"Ayah
peringatkan Kwi-moi...!" Yo Jin masih sempat berteriak dan teriakan ini
didengar oleh kakek Yo.
Kini baru
kakek Yo teringat akan semua ucapan puteranya, betapa jahatnya keluarga Lui dan
betapa Siu Kwi adalah seorang wanita yang amat baik, seorang janda yang patut
dikasihani dan yang agaknya saling mencinta dengan Yo Jin. Timbul penyesalan di
dalam hatinya dan kakek ini maklum kini bahwa perlakuan keluarga Lui kepada dia
dan puteranya adalah karena Lui-kongcu ingin mendapatkan wanita cantik itu!
Wanita itu
bukan siluman dan kini terancam bahaya! Dia merasa menyesal sekali telah
memusuhi Siu Kwi dan dialah yang mendorong puteranya hingga kini Yo Jin
ditangkap dan Siu Kwi terancam bahaya. Penyesalannya mendatangkan kekuatan baru
pada diri kakek ini dan biar pun dia telah menderita luka parah di dalam tubuhnya,
namun dia masih mampu mengeluarkan tenaga terakhir untuk berlari pulang
secepatnya.
Tenaga kakek
Yo habis ketika dia tiba di depan rumahnya dan dia pun roboh terguling. Pada
saat itu, Siu Kwi yang melihat dia pulang berlari-lari sendirian saja, sudah
cepat keluar menyambut. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siu Kwi
melihat kakek itu roboh dengan muka pucat sekali. Napasnya terengah-engah, dari
mulut dan hidungnya keluar darah.
Cepat ia
berlutut. Ketika ia mengangkat tubuh atas kakek itu untuk didudukkan, wanita
ini terkejut. Dengan pengalaman dan kepandaiannya, ia dapat melihat bahwa kakek
ini telah menderita luka dalam yang amat hebat dan tidak akan dapat disembuhkan
lagi! Kakek ini telah menerima serangan orang yang menggunakan ilmu kepandaian
tinggi, mungkin totokan atau tamparan. Hatinya mulai merasa gelisah, apa lagi
karena Yo Jin tidak pulang bersama kakek itu.
"Yo-lopek,
kau kenapakah? Apa yang telah terjadi dan mana Jin-toako?"
Kakek itu
membuka mulut hendak bicara, tetapi yang keluar hanya suara menggelogok diikuti
tumpahan darah! Siu Kwi cepat menekan bagian dada kakek itu dan menotok
beberapa jalan darah. Kakek itu kini berhasil mengeluarkan suara.
“Yo Jin...
ditangkap... Lui-thungcu... dua tosu sakti... aaahhh..." kakek itu menghentikan
kata-katanya, matanya terbelalak, lalu terpejam dan kepalanya terkulai lemas.
Siu Kwi
maklum bahwa kakek itu telah tewas. Dia mengangkat tubuh kakek itu dan
membawanya ke dalam rumah. Setelah merebahkan mayat itu di dalam kamar kakek
Yo, ia lalu melompat keluar dan seperti terbang saja Siu Kwi sudah berlari
menuju ke dusun timur. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi juga marah. Yo Jin
sudah ditangkap dan ayahnya dibunuh!
Hari telah
sore ketika Siu Kwi tiba di dusun timur dan ia langsung mencari rumah kepala
dusun. Setelah tiba di depan pintu gerbang pekarangan rumah yang besar itu, Siu
Kwi langsung saja masuk. Dua orang penjaga menghadangnya dan dua orang ini
senyum-senyum kurang ajar ketika melihat bahwa tamu yang datang adalah seorang
wanita cantik.
"Nona
hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara mereka sambil
melintangkan tombaknya dengan lagak galak, akan tetapi sinar matanya seperti
hendak menelanjangi wanita yang berdiri di depannya.
"Apakah
ini rumah kepala dusun Lui?"
"Benar,"
jawab orang ke dua yang perutnya gendut.
"Dan
kalian ini penjaga-penjaga di sini?" Siu Kwi bertanya lagi.
Dua orang
itu mengangguk. Siu Kwi menahan diri agar tidak sembarangan membunuh orang.
Kepala dusun itulah yang harus dihadapi, bukan segala macam penjaga tingkat
rendahan. Maka ia lalu melangkah maju lagi untuk masuk ke dalam rumah itu,
mencari kepala dusun Lui.
"Hei,
nona, tunggu dulu!"
"Kau
tidak boleh masuk begitu saja! Beri tahukan nama dan keperluan, dan kami akan
lebih dulu melapor ke dalam!"
Siu Kwi
memandang kepada dua orang penjaga yang sudah melintangkan tombak di depannya
itu. Kesabarannya hilang dan ia membentak, "Pergilah!"
Kedua
tangannya dipentang seperti orang membuka daun pintu dan tubuh dua orang
penjaga itu pun terpelanting ke kanan kiri dan terguling-guling sampai jauh!
Siu Kwi tidak mempedulikan lagi kedua orang yang merangkak bangun dengan mata
terbelalak dan kepala nanar itu, dan ia terus melangkah maju sampai ke ruangan
depan.
Lima orang
pengawal mengejar keluar ketika mendengar suara ribut-ribut dan mereka tadi
sempat melihat betapa dua orang rekan mereka terguling-guling dan seorang
wanita cantik berjalan memasuki ruangan itu. Cepat mereka mengepung wanita itu.
"Aku
tidak mau berurusan dengan kalian. Suruh kepala dusun Lui keluar, atau aku akan
mencarinya sendiri dan menyeretnya keluar!" kata Siu Kwi, suaranya dingin
sekali oleh karena dia sudah marah.
Kalau saja
ia masih Siu Kwi sebulan yang lalu, tentu ia tidak akan banyak cakap lagi dan
membunuh lima orang ini. Juga dua orang penjaga tadi tentu kini tak dapat
bangun lagi. Tetapi sekarang ia menjaga diri dengan ketat agar jangan sampai ia
sembarangan saja membunuh orang.
Tentu saja
lima orang pengawal itu tidak sudi memenuhi permintaannya. Mereka tadi sudah
melihat betapa wanita ini merobohkan dua orang rekannya, hal ini saja sudah
menunjukkan bahwa wanita ini datang sebagai musuh majikan mereka. Betapa pun
juga, lima orang pengawal ini masih memandang rendah kepada Siu Kwi. Mereka
yang sudah mengepung itu langsung mengulurkan tangan dan menubruk, seperti
hendak berlomba menangkap dan memeluk perempuan cantik itu.
"Pergilah
kalian!" bentak Siu Kwi.
Mendadak
tubuh Siu Kwi bergerak dengan kecepatan luar biasa. Terdengar lima orang
pengeroyok itu mengaduh dan tubuh mereka pun terpelanting ke kanan dan kiri,
roboh berserakan. Sejenak mereka menjadi nanar dan terheran-heran. Mereka tidak
tahu bagaimana mereka tadi sampai roboh. Kedua tangan wanita itu bergerak
membagi-bagi tamparan seperti kilat menyambar-nyambar saja.
Kini mereka
pun sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang wanita yang mempunyai
ilmu silat tinggi, maka mereka cepat bangkit lagi sambil mencabut golok dari
pinggang. Mereka mengepung lagi dengan besar hati karena keributan itu telah
menarik perhatian orang dan sekarang dari dalam muncul pasukan pengawal
berjumlah belasan orang, mengiringkan Lui-thungcu yang datang bersama
Lui-kongcu dan dua orang tosu.
Akan tetapi,
serangan golok lima orang itu pun tidak ada artinya sama sekali bagi Siu Kwi.
Ketika melihat lima orang itu menyerang serentak dengan golok mereka, Siu Kwi
cepat mendahului mereka. Tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu lima orang itu
sudah berpelantingan kembali, golok mereka pun beterbangan dan kini mereka
terbanting lebih keras dari pada tadi sehingga mereka tak dapat serentak bangun
seperti tadi melainkan merangkak-rangkak sambil mengeluh seperti segerombolan
anjing kena gebuk!
"Itulah
siluman itu!" tiba-tiba Lui-kongcu berseru sambil telunjuknya menuding ke
arah Siu Kwi. Mendengar ini, kepala dusun Lui segera memberi isyarat kepada
tiga belas orang pengawalnya untuk maju.
"Tangkap
siluman ini, hidup atau mati!" perintahnya.
Tiga belas
orang pengawal itu merupakan pengawal-pengawal pribadi yang pilihan dan
rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak seperti lima orang
pengawal biasa yang tadi telah dirobohkan itu. Mereka bergerak hati-hati,
mencabut pedang dan perisai baja, lalu mengepung Siu Kwi.
Wanita ini
melihat bahwa ruang itu terlampau sempit untuk menghadapi pengeroyokan, maka ia
pun meloncat turun ke pekarangan yang lebar. Ketiga belas orang itu segera
mengejarnya tanpa meninggalkan gerakan barisan yang teratur.
Ternyata
tiga belas orang pengawal ini bukan orang-orang sembarangan dan mereka bergerak
dalam gaya barisan Cap-sha Kiam-tin (Barisan Pedang Tiga belas) yang terus
berubah-ubah seperti garis perbintangan. Karena itu, walau pun Siu Kwi melompat
ke pekarangan, tetap saja wanita itu dalam keadaan terkepung.
Kini Siu Kwi
berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Kegembiraannya timbul kembali. Sudah
terlalu lama ia menganggur dan tak pernah menghadapi perkelahian. Sekarang,
dikepung tiga belas orang yang berpedang, timbul lagi gairahnya untuk
berkelahi.
Namun,
kesadarannya akan kesesatan yang dimasukinya dalam kehidupannya yang lalu tak
pernah meninggalkan batinnya sehingga kini ia menghadapi mereka tanpa ada
perasaan benci. Perasaan benci inilah yang membuat orang dapat berbuat kejam,
dapat membuat orang membunuh orang lain dengan mudah saja. Tidak, ia takkan
membunuh orang, biar pun untuk menyelamatkan Yo Jin ia mau berbuat apa saja.
Melihat
orang yang mereka kepung itu hanya berdiri tegak sambil bertolak pinggang, tiga
belas orang itu menjadi penasaran. Wanita ini sungguh memandang rendah kepada
mereka.
Orang yang
memimpin barisan itu, yang berkumis panjang, mengeluarkan aba-aba dan tiga
orang yang berada di belakang Siu Kwi sudah menyerang dengan pedang mereka.
Seorang membacok ke arah leher, seorang lagi menusuk ke punggung dan orang ke
tiga membabat ke arah kaki! Sungguh merupakan serangan dari belakang yang
sangat berbahaya sebab semua bagian tubuh lawan, atas, tengah dan bawah
diserang dengan berbareng. Dan yang diserang masih kelihatan enak-enakan saja.
"Ia
akan mampus sekarang!" kata kepala dusun Lui melihat serangan itu.
"Heh-heh-heh,
dugaanmu keliru, thungcu. Orang-orangmu yang akan kalah!" Ucapan ini
keluar dari mulut tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berada di dekatnya sehingga
kepala dusun itu terkejut bukan main.
Memang
dugaan tosu itulah yang tepat. Saat tiga batang pedang itu sudah menyambar
dekat, tiba-tiba tubuh Siu Kwi meloncat ke depan sehingga tiga serangan dari
belakang itu luput dan wanita itu kini malah menyerang pengepung yang berada di
depannya.
Empat orang
serentak menyambutnya dengan pedang dan perisai. Akan tetapi agaknya Siu Kwi
tidak peduli akan ini. Kaki tangannya bergerak cepat sekali dan terdengar suara
keras ketika dua perisai baja pecah oleh tendangan Siu Kwi dan kakinya masih
terus mengenai dada para pemegangnya, sedangkan kedua tangannya sudah
merobohkan dua orang lain lagi. Dalam segebrakan saja, dari keadaan diserang
oleh empat orang di belakangnya, wanita itu telah merobohkan empat orang di
depannya!
Hal ini
sungguh sama sekali tidak pernah disangka oleh barisan tiga belas orang itu.
Mereka kini tinggal sembilan orang dan mereka cepat melangkah mengitari Siu Kwi
yang kembali berdiri tegak sambil bertolak pinggang di tengah lingkaran.
Tubuhnya sama sekali tak bergerak, hanya kedua bola matanya yang bergerak
mengikuti gerakan sembilan orang pengepung itu.
"Orang
she Lui!" Siu Kwi sempat berseru kepada kepala dusun yang berdiri di
kepala anak tangga bersama puteranya dan dua orang tosu itu. "Bebaskan Yo
Jin dan aku akan meninggalkan tempat ini!"
Akan tetapi
pada saat itu, sembilan orang pengepungnya sudah menerjang maju secara
serentak. Banyak pedang berkilat dari segenap penjuru, menyerang ke arah tubuh
Siu Kwi. Agaknya, sembilan orang itu hendak mencincang tubuh wanita itu menjadi
bahan bakso!
Namun, Siu
Kwi menyambut serangan itu dengan gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu tubuhnya
berkelebat, bayangannya saja yang nampak, tubuhnya sudah lenyap saking cepatnya
ia bergerak. Sembilan orang itu terus menyerang ke arah bayangan, namun mereka
kalah cepat. Bayangan itu sudah menerjang ke kanan kiri, depan belakang dan
berturut-turut terdengar pekik kesakitan disusul robohnya seorang pengeroyok.
Siu Kwi tidak pernah menghentikan gerakannya. Bayangannya terus berkelebatan
dan akhirnya, sembilan orang pengeroyok itu pun roboh seperti empat orang
pertama!
Pedang dan
perisai berserakan. Mereka mengaduh-aduh karena biar pun tak seorang di antara
mereka tewas, namun mereka menderita patah tulang atau setidaknya salah urat
yang membuat mereka tidak mampu berkelahi lagi. Dengan muka pucat dan mata
terbelalak tiga belas orang itu kini memandang gentar, lalu merangkak bangun
dan menyusul lima orang rekan mereka yang sudah lebih dulu mengundurkan diri,
minggir di tempat aman sambil berusaha untuk mengobati cedera pada tubuh
mereka.
Kepala dusun
Lui dan puteranya saling pandang dengan muka berubah pucat. Tidak mereka duga
bahwa dua puluh orang penjaga dan pengawal semua roboh oleh wanita itu!
"Ia
benar-benar siluman!" bisik Lui-kongcu yang sekarang menjadi ketakutan
sehingga lenyaplah semua gairahnya terhadap wanita cantik itu.
Namun,
selagi ayah dan anak itu memandang khawatir dan mulai ketakutan, tiba-tiba
terdengar suara ketawa dari dua orang tosu itu.
"Ha-ha-ha,
siluman betina ini memiliki kepandaian yang lumayan! Timbul kegembiraan pinto
untuk mencobanya!" Dan tosu bermuka pucat tokoh Pat-kwa-kauw telah
menuruni anak tangga dan menghampiri Siu Kwi.
"Heh-heh,
tosu. Hati-hatilah, atau kau akan kalah. Pinto tadi melihat gerakan-gerakan
yang luar biasa dari kaki tangannya, dan sepertinya pinto pernah kenal
jurus-jurus yang digunakannya," kata tosu Pek-lian-kauw yang juga menuruni
anak tangga.
Siu Kwi yang
masih berdiri tegak, kini menghadapi dua orang tosu itu dan memandang tajam
penuh selidik. Tosu pertama yang memakai jubah berlukiskan gambar pat-kwa itu
memiliki wajah yang pucat dan kekuningan, hampir sama kuningnya dengan
jubahnya. Perawakannya tinggi besar akan tetapi karena mukanya pucat, ia nampak
seperti orang menderita sakit. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat
berbentuk ular hitam, panjangnya seperti pedang dan ujungnya yang berupa ekor
ular itu runcing.
Ada pun tosu
ke dua, usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari tosu yang pertama. Tubuhnya
kurus kering, pakaiannya putih dengan tanda gambar teratai di dada. Tosu kurus
kering ini mukanya berwarna merah darah sehingga kembali Siu Kwi terkejut. Di
tangan tosu ini terdapat sebatang tongkat panjang sepanjang tubuh tosu itu,
berbentuk naga hitam.
Biar pun ia
tidak pernah bertemu dengan mereka dan tidak mengenal mereka, namun dengan
mudah Siu Kwi dapat menduga bahwa tosu pertama tentulah seorang tokoh
Pat-kwa-kauw, sedangkan tosu ke dua tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Dan
dari warna muka mereka, juga dari sinar mata mereka, tahulah ia bahwa ia
berhadapan dengan dua orang sakti yang tidak boleh dipandang ringan.
"Heii,
siluman betina. Sebenarnya siapa kamu? Berterus teranglah kepada pinto, karena
kalau engkau mau bersikap lunak, mungkin pinto dapat pula bersikap lunak
kepadamu, heh-heh-heh!" Sepasang mata tosu Pat-kwa-kauw yang mencorong itu
kini menjelajahi wajah dan tubuh wanita di depannya.
Sekali
pandang saja maklumlah Siu Kwi bahwa tosu tua bertubuh tinggi besar dan
berperut gendut ini adalah seorang mata keranjang.
"Siancai...,
toyu Ok Cin Cu memang gemar bersikap lunak terhadap wanita. Memang sebaiknya
kalau engkau mau mengaku terus terang siapa dirimu dan apa sebenarnya maksudmu
sehingga orang seperti engkau ini membela dan melindungi seorang dusun seperti
orang she Yo itu!" kata pula tosu Pek-lian-kauw.
Tentu saja
hati Siu Kwi menjadi panas sekali. Ia dan ketiga orang gurunya adalah
orang-orang yang tidak pernah mengenal takut dan walau pun mereka tidak pernah
memilih kelompok, akan tetapi ia sendiri tidak pernah bermusuhan dengan
orang-orang Pek-lian-kauw atau pun Pat-kwa-kauw.
"Ji-wi
totiang (dua pendeta), aku bernama Ciong Siu Kwi dan selamanya tidak pernah
bentrok dengan Pek-Lian-kauw mau pun Pat-kwa-kauw. Jalan hidupku bersimpangan
dengan jalan hidup ji-wi. Karena itu, demi keutuhan dunia persilatan, kuharap
ji-wi tidak mencampuri urusan pribadiku. Aku membela dia karena aku
mencintanya! Nah, aku sudah berterus terang, hendaknya ji-wi juga suka bersikap
jujur."
Dua orang
tosu itu adalah orang-orang yang terpandang di dalam golongan masing-masing,
bahkan menduduki tingkat tinggi sebagai ketua-ketua cabang perkumpulan
masing-masing. Melihat sikap dan mendengar ucapan Siu Kwi, dua orang kakek itu
tersenyum lebar dan diam-diam mereka pun dapat menduga bahwa wanita yang masih
muda ini tentu bukan orang sembarangan. Jelas bukan siluman seperti yang mereka
katakan dengan yakin untuk membuat kepala dusun Lui percaya kepada mereka. Dan
mereka pun tahu bahwa wanita bernama Ciong Siu Kwi ini lihai sekali ilmu
silatnya, seorang wanita yang sudah banyak makan asam garamnya hidup di dunia
sesat yang penuh kekerasan.
Wanita ini
bukan golongan pendekar, hal ini dapat diduga oleh mereka. Dan seorang wanita
yang keras hati dan jujur sehingga mengaku begitu saja tentang cintanya kepada
seorang pemuda dusun, hal yang sendirinya sudah merupakan suatu keganjilan.
Aneh sekali selera wanita ini, pikir mereka. Mengapa menjatuhkan pilihan kepada
seorang pemuda dusun yang bodoh dan tolol dan amat sederhana? Pada hal, wanita
seperti ini, akan mudah saja memilih dan mendapatkan pacar di antara para
kongcu yang kaya dan pandai di kota-kota besar.
"Ho-ho,
engkau hendak berkenalan dengan pinto, nona? Pinto memang ketua cabang
Pat-kwa-kauw berjuluk Ok Cin Cu. Pinto juga tidak ingin bermusuhan dengan
engkau, hanya memenuhi permintaan Lui-thungcu untuk menghadapi siluman, Akan
tetapi, pinto tidak membenci siluman, asal ia bersikap manis kepada pinto,
heh-heh!" Kakek mata keranjang ini mengedipkan sebelah matanya untuk
memberi isyarat kepada Siu Kwi.
"Dan
pinto adalah ketua cabang Pek-lian-kauw, berjuluk Thian Kek Seng-jin. Benarlah
seperti katamu, nona. Di antara kita orang-orang dunia persilatan tak perlu
pecah belah. Karena itu, marilah kita tinggalkan saja urusan lurah Lui dengan
keluarga Yo, dan kita memperdalam perkenalan ini. Bagaimana?" Tosu Pek
lian-kauw terkekeh.
"Ji-wi
totiang memang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan ini. Tetapi urusan
ini langsung menyangkut diriku! Orang yang kucinta, Yo Jin, sedang ditawan,
bahkan ayahnya telah tewas. Aku harus membebaskan Yo Jin, baru aku mau
meninggalkan tempat ini bersama dia dan tidak akan memperpanjang urusan."
"Ho-ho-ho,
nanti dulu, nona. Yo Jin sudah berdosa terhadap Lui-thungcu, tidak dapat
dibebaskan begitu saja sebelum menerima hukuman. Dan pinto yang telah membantu
Lui-thungcu untuk menangkapnya," kata Thian Kek Seng-jin sambil tertawa.
"Kalau
begitu, aku akan membebaskannya dengan menggunakan kekerasan!" kata Siu
Kwi. Tubuhnya sudah meloncat ke samping untuk memasuki rumah besar itu mencari
pria yang dikasihaninya dan ditawan di tempat itu.
Akan tetapi
nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu
sudah menodong dada Siu Kwi dari samping. "Ha-ha-ha, tidak begitu mudah,
nona. Sebaiknya engkau bersikap manis dan menurut saja kepada pinto agar tidak
perlu pinto menghadapimu sebagai lawan."
Kesabaran
yang semenjak tadi ditahan-tahan oleh Siu Kwi sudah habis. "Tosu
keparat!" bentaknya.
Ia pun
menerjang dengan sengit. Tangan kirinya memukul dengan jari terbuka ke arah
dada lawannya sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala, bagaikan
hendak menjambak rambut putih yang riap-riapan itu.
"Heh-heh,
liar juga engkau, nona!" kakek Pat-kwa-kauw itu tertawa mengejek dan dari
sikapnya ini jelas bahwa dia memandang rendah kepada lawannya yang hanya
seorang wanita muda. Tongkat hitamnya diputar untuk menangkis pukulan ke arah
dadanya sedangkan tubuhnya melangkah mundur agar cengkeraman ke arah kepalanya
itu tidak sampai.
"Uhhhh..."
Sikap
memandang rendah dari Ok Cin Cu hampir saja mencelakakan dirinya sendiri ketika
tiba-tiba saja kepalanya nyaris kena dicengkeram oleh tangan Siu Kwi yang terus
mengejarnya. Lengan wanita itu dapat memanjang dan dapat melanjutkan
cengkeraman tangannya walau pun sudah dielakkan! Kalau saja Ok Cin Cu tidak
memandang rendah, tentu dia tidak sekaget itu.
Kini,
terpaksa ia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali
sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ketika dia sudah berdiri kembali. Wajahnya
yang pucat kuning itu berubah agak merah.
Kini dia
tidak berani memandang rendah lagi dan tanpa banyak cakap, dia memutar
tongkatnya dan menerjang ke depan. Tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar
hitam yang amat kuat. Melihat gerakan tongkat ini, Siu Kwi terkejut juga.
Kiranya tongkat itu merupakan senjata pengganti pedang dan permainan pedang
lawannya amat lihai.
Diam-diam ia
merasa amat menyesal mengapa ia tidak membawa pedang. Semenjak ia bertemu
dengan Yo Jin, ia telah menyembunyikan pedangnya dan mengubur senjata itu di
dalam hutan tak jauh dari dusun tempat tinggal Yo Jin. Akan tetapi Siu Kwi
tidak takut. Ia mengandalkan kelincahan gerakannya dan juga kekebalan yang
disalurkan di kedua lengannya untuk menghadapi tongkat lawan dengan tangan kosong.
Ia masih tetap memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, ilmu simpanan mendiang Raja
Iblis Hitam yang membuat lengannya dapat memanjang.
Akan tetapi
ilmu tongkat tosu Pat-kwa-kauw itu benar-benar ampuh dan gulungan sinar hitam
itu tidak dapat ditembus Hek-wan Sip-pat-ciang. Wanita yang mempunyai banyak
macam ilmu silat itu lalu merubah-rubah gerakannya dan mainkan berbagai ilmu
yang dipelajarinya dari mendiang Sam Kwi. Tadi ia sudah mempergunakan ilmu
tendangan Pat-hong-twi yang ampuh, mainkan ilmu silat Hun-kin-tok-ciang yang
sangat berbahaya, bahkan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang). Namun,
lawannya memang hebat.
Ok Cin Cu
adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar Pat-kwa-kauw yang sudah memiliki
tingkat kepandaian tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi, juga kakek ini memiliki tenaga yang kuat. Kalau saja Siu Kwi
tidak memiliki ilmu kebal Kulit Baja yang diwarisi dari mendiang Iblis Akhirat,
tentu ia sudah roboh karena sudah tiga kali tongkat ular hitam itu berhasil mengenai
tubuhnya.
Kini dua
orang tosu itu benar-benar kagum dan juga penasaran. Hanya karena mereka merasa
bahwa kedudukan mereka sudah tinggi yang mencegah mereka melakukan
pengeroyokan. Walau pun kadang-kadang merasa kewalahan, Ok Cin Cu merasa malu
untuk minta bantuan kawannya, sedangkan Thian Kek Sengjin juga merasa sungkan
untuk turun tangan mengeroyok. Di situ terdapat banyak orang menonton dan apa
akan kata dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka berdua mengeroyok seorang
wanita muda?
"Takkk...!"
Untuk ke
empat kalinya, ujung tongkat ular hitam itu menotok dan mengenai lambung Siu
Kwi, namun wanita itu hanya terhuyung mundur sedikit dan kini Siu Kwi yang juga
merasa penasaran mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya seperti
lenyap menjadi bayangan yang bergerak cepat sekali. Dan angin kuat
menyambar-nyambar ganas dibarengi suara bercuitan ketika ia maju menyerang! Ok
Cin Cu terkejut bukan main sehingga dia terdesak mundur sampai lima langkah!
"Tahan...!"
terdengar bentakan Thian Kek Sengjin.
Tongkat tosu
ini meluncur melintang ke depan dan menghadang Siu Kwi yang terpaksa
menghentikan gerakan serangannya.
"Nona,
aku mengenal ilmu-ilmumu. Masih ada hubungan apakah antara engkau dengan Sam
Kwi?" tanya kakek dari Pek-lian-kauw itu.
Siu Kwi
tidak ingin memperkenalkan guru-gurunya, tetapi karena lawan sudah mengenal
ilmu silatnya, maka dia pun menjawab dengan ketus, "Mereka adalah
guru-guruku dan seingatku, baik Sam Kwi mau pun aku sendiri, tidak pernah
sekali pun bentrok dengan pihak Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!"
"Siancai...!
Kalau begitu engkau tentu yang berjuluk Bi-kwi!" kakek Pek-lian-kauw itu
berseru lagi sambil memandang dengan penuh selidik.
Siu Kwi
menarik napas panjang. Nama julukan Bi-kwi telah begitu tersohor dan kotor,
bahkan jauh lebih terkenal dari orangnya sendiri. Buktinya, tosu Pek-lian-kauw
ini tidak mengenal dirinya, akan tetapi telah mengenal nama julukannya. Dan ia
sendiri sudah mengambil keputusan untuk membuang nama julukan itu jauh-jauh,
tidak akan pernah memakainya lagi. Akan tetapi kini ia diingatkan bahwa nama
julukannya adalah Bi-kwi!
"Nama
itu pernah kupakai, sekarang tidak lagi!" jawabnya dengan suara dingin.
"Bagus!
Kiranya di antara para antek-antek Hou Seng masih ada juga yang berkeliaran di
sini!" berkata demikian, Thian Kek Sengjin sudah menerjang maju lagi
dengan tongkat panjangnya yang berbentuk naga hitam. Gerakannya nampak lambat,
akan tetapi terasa mendatangkan angin pukulan yang keras dan didahului oleh
suara berdesir.
Siu Kwi
cepat mengelak, akan tetapi dari samping, Ok Cin Cu menyambutnya dengan tongkat
ular hitamnya Wanita ini meloncat dan menghadapi dua orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi itu, ia lalu memainkan ilmu silatnya yang paling baru, yaitu
Sam Kwi Cap-sha-kun!
Ilmu silat
ini memang ciptaan Sam Kwi yang paling hebat, diciptakan bersama dengan
bersumber dari semua ilmu silat mereka yang pilihan, digabungkan menjadi satu.
Dalam ilmu silat ini terkandung gerakan pukulan ilmu silat Hek-wan
Sip-pat-ciang, tendangan Pat-hong-twi dan ilmu silat Hun-kin Tok-ciang, juga
terkandung Kiam-ciang yang ampuh.
Dua orang
tosu itu terkejut menghadapi ilmu silat ini yang memang dahsyat sekali dan
beberapa kali mereka sampai terdesak mundur. Namun, mereka adalah orang-orang
yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga banyak pengalaman dalam
perkelahian, maka dengan berpencar, kedua tosu itu lalu mengurung dan gerakan
tongkat mereka dapat membendung kedahsyatan Sam-kwi Cap-sha-kun.
Apa lagi
pada waktu Thian Kek Sengjin mulai mengeluarkan bentakan-bentakan dengan
suaranya yang parau dan penuh wibawa, mengandung tenaga sakti ilmu hitam dan
ilmu sihir, maka beberapa kali Siu Kwi merasa jantungnya terguncang. Oleh karena
suara ini gerakannya menjadi kurang sempurna sehingga beberapa kali hampir saja
ia menjadi korban hantaman tongkat.
Siu Kwi
mulai terdesak. Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba tongkat hitam di
tangan tokoh Pek-lian-kauw itu berhasil menghantam pundak kirinya.
"Bukkk...!"
Biar pun
tubuh Siu Kwi sudah terlindung ilmu kekebalan, tetap saja ia terpelanting dan
hampir terbanting roboh kalau saja ia tidak cepat-cepat membuat gerakan jungkir
balik beberapa kali. Siu Kwi menggigit bibir menahan rasa nyeri. Biar pun dia
tidak terluka, namun kerasnya pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dadanya!
Dan kedua
orang kakek itu masih menerjang terus tanpa mengenal ampun. Siu Kwi berusaha
mengelak, namun sebuah tusukan dengan tongkat ular hitam dari Ok Cin Cu yang
menyambar dadanya ketika ia mengelak, masih saja menyerempet pangkal lengan
kanannya sehingga kulit dan sedikit dagingnya robek dan mengucurkan darah!
Maklumlah
Siu Kwi bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan tewas di tangan dua orang
kakek sakti ini. Dan kalau dia mati, berarti Yo Jin tidak akan ada yang
menolong lagi. Maka, tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke atas tanah,
bergulingan dan ketika dua orang kakek itu mengejarnya, Siu Kwi menggerakkan
kedua tangannya.
Sinar hitam
menyambar ke arah muka kedua orang lawannya. Yang disambitkannya itu hanyalah
pasir dan tanah, namun tidak boleh dipandang rendah karena yang diserang adalah
muka dan sambitan itu didorong oleh tenaga sinkang yang amat kuat sehingga
jangankan sampai mengenai mata, sedangkan baru mengenai kulit muka saja sudah
dapat mengakibatkan luka-luka.
Dua orang
kakek itu terkejut dan cepat-cepat memutar tongkat sambil berlompatan ke
beiakang. Kesempatan ini digunakan oleh Siu Kwi untuk melompat jauh dan
melarikan diri. Cuaca sudah mulai remang-remang gelap sehingga ia dapat
menyelinap hilang di dalam bayangan rumah-rumah dan pohon-pohon. Dua orang
kakek itu pun tidak berniat melakukan pengejaran.
***************
Malam itu
gelap dan sunyi sekali di rumah kepala dusun Lui. Agaknya peristiwa sore tadi
masih berbekas. Robohnya semua pengawal yang jumlahnya dua puluh orang itu
sungguh membuat gelisah hati keluarga Lui, walau pun kemudian ternyata bahwa
dua orang tosu sakti itu dapat mengusir ‘siluman’.
Sekarang
diam-diam kepala dusun Lui mendatangkan pengawal-pengawal baru yang jumlahnya
tak kurang dari lima puluh orang, berjaga-jaga di sekitar perumahan keluarga
itu. Terutama sekali di sekitar kamar tahanan terdapat penjagaan yang amat
ketat, oleh karena di situlah tempat Yo Jin ditahan dan kepala dusun Lui tidak
ingin melihat tahanan ini lolos.
Walau pun
dia berada di dalam tahanan, Yo Jin mendengar dari percakapan para penjaga di
luar kamarnya tentang siluman betina yang mengamuk dan merobohkan dua puluh
orang pengawal akan tetapi kemudian dapat diusir pergi oleh kedua orang tosu.
Diam-diam dia merasa heran sekali. Siapakah yang mereka maksudkan dengan
siluman betina itu? Benarkah ia itu Siu Kwi? Siu Kwi mengamuk dan mengalahkan
dua puluh orang pengawal? Sukar baginya untuk mempercayai berita ini. Siu Kwi
demikian lemah-lembut.
Alisnya
berkerut ketika dia teringat bahwa wanita itu dituduh sebagai siluman, bahkan
ayahnya sendiri pun menganggapnya demikian. Jangan-jangan memang benar! Kini
Siu Kwi mengamuk sebagai siluman! Dia bergidik dan cepat-cepat mengusir pikiran
ini, lalu membayangkan ayahnya.
Ayahnya
dipukul dan disiksa, dan dia merasa gelisah sekali memikirkan ayahnya. Dia
menarik-narik belenggu kaki tangannya, namun tiada guna. Hal itu sudah
dilakukannya sejak dia ditahan dan sampai kulit pergelangan kaki dan tangannya
lecet-lecet dan nyeri bukan main.
Menjelang
tengah malam, nampak sesosok bayangan berkelebatan di luar pekarangan perumahan
kepala dusun Lui. Bayangan ini adalah Siu Kwi. Setelah sore tadi ia berhasil
melarikan diri, ia bersembunyi di dalam hutan dan duduk bersila, memulihkan
tenaganya dan memulihkan pula kesehatannya karena hantaman pada pundak dan
tusukan pada pangkal lengannya.
Ia sudah
mengobati luka di pangkal lengannya. Hatinya gelisah bukan main. Ia belum
berhasil membebaskan Yo Jin dan di tempat itu masih terdapat dua orang lawan
yang demikian tangguhnya. Hatinya terasa perih jika teringat kepada pria yang
dikasihinya.
Tak lama
kemudian, ia lalu berlari cepat, kembali ke dusun selatan dan dengan bantuan
para tetangga, ia mengurus pemakaman kakek Yo. Karena keadaan, maka terpaksa
jenazah itu dikubur secara sederhana sekali. Para tetangga juga melakukannya
dengan ketakutan setelah mendengar dari Siu Kwi bahwa kakek itu mati karena
dipukuli oleh orang-orang kepala dusun Lui, dan juga bahwa Yo Jin ditangkap
oleh mereka.
Maka,
setelah selesai mengubur jenazah itu malam itu juga, para tetangga bergegas
pulang ke rumah masing-masing, takut kalau sampai tersangkut urusan itu. Dan
Siu Kwi lalu melakukan perjalanan kembali ke dusun timur. Bagaimana pun juga,
ia harus dapat menyelamatkan Yo Jin, harus dapat membebaskan pemuda itu dari
dalam tahanan.
Sampai lama
ia berkeliaran di luar rumah keluarga Lui. Dengan susah payah, tadi ia mengisi
perutnya. Ia hampir tak dapat menelan nasi, akan tetapi dipaksakannya karena ia
maklum bahwa ia membutuhkan tenaga sepenuhnya untuk dapat menyelamatkan Yo Jin.
Kalau ia membiarkan perutnya kosong, tentu tenaganya menjadi berkurang.
Kini ia
berkeliaran di luar pekarangan, untuk meneliti keadaan. Hatinya terasa girang.
Agaknya keluarga Lui menyangka bahwa ia sudah jera untuk datang lagi, sudah
takut terhadap dua orang kakek itu, maka kini keadaan di rumah itu sunyi saja,
tidak terdapat penjagaan yang ketat. Sunyi dan gelap.
Namun, Siu
Kwi bukan seorang bodoh. Ia tidak mau mudah terjebak oleh siasat musuh. Siapa
tahu kalau-kalau pihak musuh mengatur jebakan dan sengaja memancingnya. Karena
itu ia tidak segera masuk, melainkan melakukan pengintaian dan pemeriksaan dari
luar. Ia menanti sampai tengah malam dan setelah melihat bahwa benar-benar
tidak terdapat penjaga di sekitar pagar tembok, baru ia meloncat naik ke atas
pagar tembok, mendekam di atasnya untuk mengintai ke dalam.
Ia merasa
amat heran. Keadaan amat sunyi dan gelap. Benarkah keluarga Lui demikian
lengahnya sehingga setelah kemenangan dua orang kakek sore tadi lalu menganggap
bahwa ia tidak akan berani muncul kembali? Ataukah setelah ia merobohkan dua
puluh orang penjaga itu, lalu tidak ada penjaga lain yang menggantikan karena
mereka semua itu lelah dan mengalami patah tulang dan luka-luka? Tentu saja ia
tidak dapat menerima kemungkinan ini. Tak mungkin, pikirnya. Andai kata kepala
daerah itu lengah, dua orang tosu lihai itu pasti tidak.
Tetapi,
mengingat akan Yo Jin, dia tidak peduli lagi. Biarlah mereka mengatur jebakan,
ia tidak takut. Ia akan berusaha membebaskan Yo Jin, kalau perlu dengan taruhan
nyawa! Setelah meneliti keadaan di dalam dan tidak nampak berkelebatnya orang,
dia lalu meloncat turun ke dalam kebun di belakang rumah itu dan menyelinap di
antara semak-semak, mendekati bangunan rumah di sebelah belakang. Dia menduga
bahwa tentu tempat tahanan itu berada di bagian belakang.....
***************
Yo Jin
mendengar percakapan para penjaga di luar pintu kamar tahanan itu dengan hati
khawatir.
"Kalau
dombanya dijaga, tentu harimaunya tidak berani muncul. Karena itu maka kita
harus tetap bersembunyi." Demikian antara lain dia mendengar seorang
penjaga bicara, kemudian terdengar suara mendesis tanda bahwa pembicara itu
disuruh diam.
Keadaan lalu
menjadi sunyi dan ketika Yo Jin bangkit berdiri dan menjenguk dari jeruji
pintu, ia melihat betapa di luar pintu tidak terdapat seorang pun penjaga lagi.
Keadaaan amat sunyi karena tempat itu hanya diterangi oleh sebuah lampu gantung
saja. Agaknya lampu-lampu lainnya telah dibawa pergi atau dipadamkan. Suasana
sunyi sekali, tidak nampak seorang pun di luar kamar tahanan. Sunyi dan gelap
di kebun belakang itu, yang nampak dari dalam kamar tahanan.
Yo Jin
menggerakkan kedua kakinya melangkah ke arah pintu. Suara belenggu kakinya
terseret memecahkan kesunyian. Dia berdiri di belakang pintu kamar yang terbuat
dari besi itu, dan berpegang dengan kedua tangan yang terbelenggu pada jeruji
besi, lalu memandang ke luar, termenung. Apakah maksud ucapan penjaga tadi?
Diakah yang diumpamakan domba tadi? Dan siapakah harimaunya yang diharapkan
akan muncul? Siu Kwi kah?
Jantungnya
berdebar tegang. Dia tidak dapat yakin bahwa Siu Kwi yang dimaksudkan harimau
itu. Betapa pun, dia tahu bahwa para penjaga itu sedang mengatur siasat untuk
memancing dan menjebak seseorang yang disebut harimau, dengan menggunakan dia
sebagai domba, sebagai umpannya. Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Yo
Jin meninggalkan belakang pintu, lalu dia memandang ke luar dengan penuh
perhatian. Sepasang matanya seperti ingin menembus kegelapan malam di depan
sana.
Entah sudah
berapa lama dia berdiri memandang keluar itu. Tiba-tiba pandang matanya
menangkap berkelebatnya sesosok bayangan hitam. Dia terkejut dan mengikuti
dengan pandang matanya. Bayangan itu dengan gesit melompat dan tahu-tahu di
bawah lampu gantung, hanya lima meter dari pintu kamar tahanan, berdiri seorang
wanita yang bukan lain adalah Siu Kwi!
"Kwi-moi...!"
serunya lirih, matanya terbelalak seolah-olah dia tak dapat percaya kepada
pandang matanya sendiri. "Kaukah itu...?" Dan dia pun merasa betapa
bulu tengkuknya meremang. Kalau wanita ini ternyata benar Siu Kwi, apakah ia
benar-benar...siluman? Cara pemunculannya ini…!
"Sssttt...!"
Wanita itu menaruh telunjuknya di depan bibir. "Jin-toako, aku datang
untuk membebaskanmu..."
Akan tetapi
Yo Jin teringat akan percakapan para penjaga dan wajahnya berubah pucat.
Celaka, kiranya harimaunya benar Siu Kwi dan tentu kini Siu Kwi telah
terperangkap.
"Kwi
moi, awas! Ini sebuah perangkap...!" teriaknya. "Kau larilah,
pergilah!"
Pada saat
itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang disusul suara berisik. Dan ketika Siu
Kwi membalikkan tubuh memandang, ternyata tempat itu telah dikepung oleh
puluhan orang bersenjata lengkap di tangan kanan dan dengan obor di tangan
kiri. Agaknya mereka tadi bersembunyi dan serentak memasang obor sambil
mengepung tempat itu. Dan muncullah dua orang tosu yang sore tadi telah
mengalahkannya!
"Ha-ha-ha-ha,
siluman betina ini berani muncul lagi. Benar-benar dia keras kepala dan sudah
bosan hidup!" kata Ok Cin Cu dan perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang
ketika dia tertawa.
"Ia
bukan siluman!" Yo Jin membentak marah dari dalam kamar tahanan.
"Heh-heh-heh,
siapa bilang bahwa Bi-kwi bukan siluman? Engkau telah mabok oleh rayuannya,
orang muda, heh-heh!"
"Tutup
mulutmu yang kotor!" Siu Kwi membentak.
Ia menyerang
ke arah Thian Kek Sengjin yang masih tertawa. Hatinya merasa panas mendengar
dirinya dihina di depan Yo Jin. Saat tosu Pek-lian-kauw itu mengelak sambil
memutar tongkatnya untuk balas menyerang, Siu Kwi sudah mencabut pedangnya dan
menangkis. Ia tadi sudah mengambil senjata ini dan begitu menangkis, ia pun
menusuk dengan ganasnya.
"Tranggg..."
Bunga api
berpijar ketika pedangnya kini ditangkis dari samping oleh Ok Cin Cu yang
menggunakan tongkat ular hitamnya. Ketua cabang Pek-lian-kauw itu pun menerjang
dengan tongkat naga hitam, untuk membantu kawannya. Kembali terjadi
pengeroyokan. Akan tetapi Siu Kwi mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap
berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya.
Yo Jin
memandang bengong. Baru dia tahu bahwa wanita yang dicintanya itu sama sekali
bukanlah seorang wanita lemah, melainkan seorang ahli silat yang amat lihai!
Kini dia pun sadar mengapa dalam perkelahian-perkelahiannya, dia selalu menang
walau pun dikeroyok, dan kini terjawab pula keanehan ketika para pengeroyoknya
mencabut belati akan tetapi tidak sempat menggunakan senjata itu. Tentu Siu Kwi
bukan siluman betina, melainkan seorang pendekar wanita yang berkepandaian
tinggi!
"Kwi
Moi...!" keluhnya dengan terharu.
Seorang
pendekar wanita telah bersikap demikian baik kepadanya! Kini dia menonton
dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada rasa heran, bangga, akan tetapi juga
rasa kegelisahan besar melihat betapa kini kekasihnya itu dikeroyok oleh banyak
orang.
Para
pengawal itu sudah mendengar bahwa banyak rekan mereka sore tadi dilukai oleh
wanita ini. Maka, mereka pun tidak tinggal diam dan ikut menyerang. Hasilnya
sungguh celaka bagi mereka. Begitu ada para pengawal ikut menyerang, gulungan
sinar pedang Siu Kwi semakin melebar dan setiap kali ada sinar mencuat dari
gulungan cahaya itu, terdengar pekik disusul robohnya seorang pengawal. Dalam
waktu sebentar saja, tidak kurang dari tujuh orang pengawal roboh dan terluka
oleh ujung pedang di tangan Siu Kwi! Melihat ini, dua orang tosu itu menjadi
marah.
"Kalian
semua mundur! Biarkan kami berdua yang menangkapnya!" teriak Thian Kek Sengjin.
Mendengar
teriakan ini, para pengawal itu mundur karena mereka pun jeri melihat betapa
dalam segebrakan saja, setiap orang rekannya yang berani menyerang pasti roboh
terluka. Kini mereka mengepung sambil menonton dua orang tosu itu mengeroyok
Siu Kwi!
Seperti sore
tadi, kembali lagi Siu Kwi dikeroyok dua. Sekali ini mereka berkelahi lebih
mati-matian karena pedang di tangan Siu Kwi kini tidak sungkan-sungkan lagi
mengirim serangan maut yang amat berbahaya. Namun, seperti juga tadi, Siu Kwi
belum cukup kuat untuk menghadapi pengeroyokan dua orang tosu yang amat lihai
itu.
Setelah
lewat lima puluh jurus, gulungan sinar pedangnya makin menyempit dan ia pun
terdesak terus oleh dua batang tongkat panjang dan pendek itu. Apa lagi seperti
tadi, Thian Kek Sengjin mengeluarkan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan
sihir untuk melemahkan lawan, maka Siu Kwi hampir tidak mampu balas menyerang
lagi, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur.
Yo Jin tidak
dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik karena selain dia berdiri di
belakang pintu jeruji yang sempit, juga jalannya perkelahian itu telampau cepat
baginya sehingga ia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya yang menjadi
kabur. Dia hanya melihat gulungan sinar putih dari pedang Siu Kwi dikurung dua
gulungan sinar hitam, dan kadang-kadang saja nampak tubuh tiga orang itu atau
kaki mereka yang menginjak tanah. Namun, hatinya merasa khawatir sekali.
"Bukkk...!"
Sebuah
pukulan tongkat Thian Kek Sengjin mengenai punggung Siu Kwi dan sedikit darah
keluar dari mulut wanita itu. Ia telah terluka. Maka ia pun tahu bahwa sekali
ini ia juga tidak berhasil. Diputarnya pedangnya dengan nekat sambil
membalikkan tubuhnya.
Para
pengawal yang berada di belakangnya menjadi panik, apa lagi ketika ketika dua
orang pengawal roboh. Terpaksa mereka mundur dan membuka kepungan. Siu Kwi
menerobos keluar dan meloncat ke dalam kebun, terus meloncat naik ke atas
tembok pagar dan melarikan diri. Seperti sore tadi, dua orang tosu itu tidak
mengejarnya sama sekali, melainkan tertawa mengejek.
Terhuyung-huyung
Siu Kwi lari memasuki hutan. Ketika tiba di tengah hutan, di bagian terbuka, ia
pun menjatuhkan diri di atas rumput, menelungkup dan menangis! Ia bukan
menangis karena lukanya, melainkan menangis karena tidak mampu manyelamatkan Yo
Jin. Kalau ia mengingat kembali betapa Yo Jin berdiri di belakang pintu jeruji
dengan kaki tangan terbelenggu dan muka pucat, ia merasa kasihan sekali dan tangisnya
makin mengguguk.
Akan tetapi,
wanita yang keras hati ini segera dapat menguasai dirinya. Tugasnya masih belum
selesai. Yo Jin belum diselamatkan. Dan ia kembali terluka, sekali ini lebih
parah karena pukulan dengan tenaga sinkang itu telah mengakibatkan luka dalam,
meski tidak amat berbahaya namun membutuhkan pengobatan dengan segera.
Diusirnya bayangan Yo Jin yang melemahkan batinnya.
Siu Kwi
mengeluarkan obat dan menelan dua butir pil merah. Kemudian ia pun duduk
bersila untuk mengumpulkan hawa murni, mengobati luka dan memulihkan tenaganya.
Ia terus bersila sampai pagi, kesehatannya berangsur-angsur pulih, dan juga
tenaganya mulai pulih kembali.
Matahari
mulai meneroboskan cahayanya melalui celah-celah ranting dan daun pohon, namun
Siu Kwi masih bersemedhi dengan lelap. Demikian lelapnya sampai ia tidak tahu
bahwa di dalam hutan itu muncul dua orang yang sejak tadi mengintainya. Baru
setelah dua orang itu melangkah dekat menghampirinya, ia sadar dan cepat ia
membuka mata. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal mereka
sebagai Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin!
Akan tetapi
rasa kaget ini juga dibarengi kemarahan yang meluap-luap karena kedua orang
inilah yang telah menggagalkan usahanya untuk membebaskan Yo Jin. Maka ia
meloncat dan menghadapi dua orang tosu itu dengan sepasang mata bernyala ganas
penuh kebencian.
"Dua
tosu jahanam, kalian masih hendak mendesakku? Baik, aku akan mengadu nyawa
dengan kalian!" bentaknya dan dia pun sudah langsung memasang kuda-kuda,
siap untuk berkelahi mati-matian.
Akan tetapi
dua orang tosu itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap bemusuhan, bahkan
tersenyum.
"Bi-kwi..."
"Namaku
Ciong Siu Kwi dan aku tidak mau menggunakan julukan itu lagi!" bentak Siu
Kwi memotong kata-kata Ok Cin Cu.
Kakek tinggi
besar dan berperut gendut dengan rambut riap-riapan ini tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, harimau hendak berganti bulu domba, ya? Baiklah, nona Ciong Siu
Kwi, kami datang bukan untuk mendesakmu, melainkan untuk berdamai
denganmu."
Siu Kwi
memandang dengan mata tajam penuh selidik. Tentu saja ia tidak dapat begitu
saja percaya kepada orang-orang seperti tosu itu.
"Apa
kehendak kalian?" tanyanya singkat, masih bersikap seperti seorang musuh.
"Ha-ha-ha,
bukankah engkau menghendaki agar pemuda she Yo itu kami bebaskan?" kini
Thian Kek Sengjin, ketua cabang Pek-lian-kauw bertanya.
Mendengar
pertanyaan ini, sepasang mata Siu Kwi berkilat. Tentu saja timbul gairahnya
mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi ia seorang cerdik, dan cepat wajahnya
nampak biasa seolah-olah pertanyaan itu bukan merupakan penawaran yang memikat
hatinya.
"Hal
yang sudah jelas itu mengapa kau tanyakan lagi?" Ia balas bertanya.
Kembali
kedua orang tosu itu tersenyum lebar. "Kita adalah orang-orang segolongan
dalam dunia persilatan, karena itu, perlu apa kita harus saling bermusuhan?
Sebaiknya kalau kita bekerja sama, saling bantu, bukankah hal itu akan lebih
menguntungkan kita kedua pihak?" kata pula Thian Kek Sengjin yang lebih
pandai bicara dibandingkan Ok Cin Cu.
"Kau
maksudkan, kalian akan membebaskan Yo Jin dan sebagai gantinya aku harus
melakukan sesuatu untuk kalian?"
"Ha-ha-ha,
dia memang seorang wanita yang amat cerdik, toyu!" Ok Cin Cu tertawa
girang dan Thian Kek Sengjin mengangguk-angguk.
"Tepat
dugaanmu, nona Ciong. Engkau membutuhkan pembebasan Yo Jin, dan kami berdua
juga mempunyai kebutuhan yang kami harapkan akan mendapat bantuanmu agar
terlaksana."
"Katakan,
apa yang harus kulakukan untuk membantu kalian?"
"Kami
berdua mempunyai kebutuhan masing-masing, dan kami akan membebaskan Yo Jin
kalau engkau suka memenuhi dua permintaan kami untuk kebutuhan kami itu. Bagai
mana, nona Ciong?" tanya pula Thian Kek Sengjin.
"Katakan,
apa yang harus kulakukan." jawab Siu Kwi dan di dalam batinnya, wanita ini
tentu saja telah menyetujui permintaan mereka. Demi menyelamatkan Yo Jin, pria
yang dicintanya itu, apa pun akan ia lakukan.
Thian Kek
Sengjin memandang kepada Ok Cin Cu, kemudian kepada Siu Kwi lagi sambil berkata.
" Biarlah sahabat Ok Cin Cu akan menceritakan sendiri permintaannya. Ada
pun pinto ingin engkau membantu pinto menghadapi seorang musuh besar. Kami
sudah maju berdua, namun belum dapat menandinginya. Kulau engkau maju membantu
kami, aku yakin akan dapat mengalahkan musuh besar itu."
Siu Kwi
terkejut. Kalau dua orang seperti tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini saja
tidak mampu menandingi orang itu, tentu musuh besar Thian Kek Sengjin itu
seorang yang lihai bukan main. Akan tetapi ia hanya membantu mereka berdua, dan
hal ini tentu saja tidak berat baginya. Hanya, ia sudah mengambil keputusan
tidak akan melakukan perbuatan jahat, maka ia pun ingin tahu lebih dahulu siapa
orang yang akan mereka keroyok itu.
"Siapakah
orang itu?"
"Dia
adalah seorang keturunan pendekar Pulau Es."
Siu Kwi
terkejut sekali dan mengerutkan alisnya. Justru keluarga Pulau Es inilah yang
sudah menghancurkan semua cita-citanya, dan walau pun tadinya dia sudah tidak
mau memikirkan hal itu dan tidak mau menanam permusuhan dengan siapa pun, akan
tetapi sedikit banyak ada perasaan tidak suka terhadap keluarga Pulau Es dalam
hatinya. Maka mendengar bahwa musuh besar ketua cabang Pek-lian-kauw ini adalah
seorang anggota keluarga Pulau Es, ia pun tanpa berpikir panjang lagi lalu
mengangguk.
"Baiklah!
Aku akan membantu kalian menghadapi musuh itu, akan tetapi kalian harus
membebaskan Yo Jin."
"Heh-heh-heh,
nanti dulu!" Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata sambil menyeringai sehingga
nampak mulutnya yang tinggal mempunyai beberapa buah gigi yang besar-besar.
"Itu adalah syarat yang diajukan sahabat Thian Kek Sengjin, sedangkan
syarat dari pinto masih belum. Kalau engkau membantu menghadapi musuh itu,
berarti baru separuh dari syarat kami kau penuhi. Engkau tentu tidak ingin kami
membebaskan separuh badan orang she Yo itu, bukan? Kau memilih dari pinggang ke
atas atau dari pinggang ke bawah yang harus dibebaskan?"
Siu Kwi tak
mau menyambut kelakar ini. Tentu saja ia tidak mau mendapatkan setengah saja
dari badan Yo Jin. "Katakanlah, apa syaratmu!" katanya cepat dan
ketus.
Ok Cin Cu
menyeringai dan Thian Kek Seng Jin mentertawakan temannya itu. Tetapi yang
ditertawakan itu sama sekali tidak merasa malu, bahkan nampak gembira sekali
ketika berkata, "Ciong Siu Kwi, sudah lama sekali pinto mendengar akan
nama Bi-kwi yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai sekali dalam hal lain
mengenai pria. Nah, ilmu silatmu sudah pinto lihat dan rasakan. Akan teapi
pinto ingin membuktikan sendiri kelihaianmu dalam hal yang lain itu. Pinto
ingin agar engkau tidur bersama pinto satu malam dan melayani pinto. Baru pinto
mau membebaskan Yo Jin seutuhnya!"
Kalau lain
wanita yang diajukan itu, tentu ia akan merasa malu dan tersinggung sekali.
Akan tetapi, bagi Siu Kwi, hubungan dengan pria bukan merupakan hal yang aneh.
Sejak remaja ia sudah melayani Sam Kwi, tiga orang gurunya yang sudah
kakek-kakek juga, dan selama ia bertualang sebagai Bi-kwi, entah sudah berapa
banyak pria yang dipermainkannya untuk melampiaskan napsunya. Permintaan
terang-terangan dari Ok Cin Cu itu dianggapnya biasa saja, walau pun ia merasa
terhina karena biasanya ialah yang memilih laki-laki.
Kecuali Sam
Kwi, belum pernah ia melayani pria secara terpaksa. Akan tetapi, sekali ini, ia
tidak berani marah, ia akan melakukan apa saja untuk pembebasan Yo Jin dan
syarat yang diajukan oleh Ok Cin Cu itu, baginya adalah lebih berat dari pada
syarat yang diajukan Thian Kek Sengjin. Menyerahkan badannya bagi Siu Kwi tidak
ada artinya, karena hatinya sudah ia serahkan sebulatnya kepada satu orang
saja, yaitu Yo Jin! Dan dia melakukan hal itu bukan karena penyelewengan, bukan
karena pemuasan nafsu, melainkan semata-mata untuk menyelamatkan Yo Jin!
"Baiklah,
aku terima syaratmu. Nah, sekarang kalian bebaskan Yo Jin, dan aku akan
memenuhi syarat kalian!"
"Ho-ho-ho,
jangan tergesa-gesa, nona manis," Thian Kek Sengjin berseru. "Kami
yang mengajukan syarat, maka kami harus melihat syarat-syarat itu terlaksana
lebih dulu, baru kami akan membebaskan Yo Jin."
Betapa
mendongkolnya rasa hatinya, terpaksa Siu Kwi menurut. Pagi hari itu juga kedua orang
tosu mengajak Siu Kwi untuk membantu mereka menghadapi musuh besar Thian Kek
Sengjin. Hari telah siang ketika mereka bertiga tiba dilereng sebuah bukit
tandus yang penuh dengan batu-batu besar dan goa-goa. Dan di sebuah di antara
goa-goa itulah terdapat musuh besar yang dimaksudkan!
Laki-laki
itu sedang duduk bersila di mulut goa ketika Ok Cin Cu, Thian Kek Sengjin dan
Ciong Siu Kwi memandang penuh perhatian. Hatinya tertarik untuk melihat orang
yang demikian lihainya sehingga dua orang tosu seperti Ok Cin Cu dan Thian Kek
Sengjin sampai tidak mampu menandinginya.
Laki laki
itu belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun usianya. Mukanya bulat
dengan kulit yang agak gelap, namun bentuk mukanya tampan dan gagah, juga
terawat rapi. Rambutnya yang dikuncir mengkilap bersih dan halus karena minyak,
wajahnya juga bersih, tidak ditumbuhi brewok karena agaknya ia cukup rajin
mencukur kumis dan jenggotnya. Pakaiannya juga baik dan bersih, bahkan agak
mewah.
Seorang pria
yang pesolek, pikir Siu Kwi. Ia belum pernah bertemu dengan pria ini. Di
punggung pria yang duduk bersila itu nampak sepasang pedang beronce biru dan
sarungnya terukir indah.
Pria yang
gagah ini memang benar keluarga Pulau Es. Bahkan dia masih cucu dari mendiang
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, karena dia adalah Suma Ciang Bun! Seperti
kita ketahui, delapan tahun yang lalu, Suma Ciang Bun menyelamatkan nyawa Gu
Hong Beng yang kemudian selama tujuh tahun digemblengnya di pegunungan.
Setelah Hong
Beng menjadi seorang pemuda yang lihai, Suma Ciang Bun mengutus muridnya itu
untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan, pergi ke kota raja untuk melakukan
penyelidikan terhadap pembesar Hou Seng. Dan seperti telah diceritakan di
bagian depan, akhirnya dengan bergabung bersama para pendekar sakti, Hong Beng
membantu runtuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Hou Seng itu.
Sementara
itu Suma Ciang Bun sendiri lalu menyepi ke gunung-gunung untuk bertapa. Seperti
biasa di sepanjang perjalanannya, kalau melihat hal-hal yang tidak adil, dia
pasti turun tangan sebagai seorang pendekar. Sudah beberapa pekan lamanya dia
berada di pegunungan tandus itu, menanti kembalinya Hong Beng karena dia sudah
berpesan kepada muridnya itu supaya dua tahun kemudian datang mencarinya di
pegunungan tandus itu.
Kehadiran
Suma Ciang Bun di dalam goa di gunung itu diketahui oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek
Sengjin. Dua orang tokoh besar Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw ini segera
mengenal pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini karena semenjak dahulu memang
kedua aliran ini menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh besar.
Semenjak
jaman Pendekar Super Sakti masih muda, kedua aliran ini, terutama sekali
Pek-lian-kauw, sudah memusuhi Pendekar Pulau Es. Melihat Suma Ciang Bun, tentu
saja Thian Kek Sengjin yang kebetulan berada di situ cepat turun tangan
menyerang. Akan tetapi, dia tak dapat menandingi kelihaian Suma Ciang Bun.
Bahkan ketika Ok Cin Cu membantunya, dua orang tosu itu tetap saja kewalahan
dan malah akhirnya mereka melarikan diri.
Itulah
sebabnya, melihat kelihaian Siu Kwi, Thian Kek Sengjin lalu mempunyai akal
untuk mengajak wanita itu membantunya dengan janji akan membebaskan Yo Jin dan
seperti telah diperhitungkannya, Siu Kwi yang benar-benar jatuh cinta kepada Yo
Jin, tak dapat menolak syaratnya.
Dengan hati
besar karena mereka kini datang bertiga, Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin
tertawa melihat musuh besar itu masih duduk bersila.
"Ha-ha-ha,
Suma Ciang Bun! Kematianmu sudah berada di depan mata. Bangunlah dan terimalah
kematianmu di tangan kami!" Thian Kek Sengjin berseru dengan suara yang
nyaring sedangkan Ok Cin Cu hanya tertawa bergelak. Siu Kwi tidak bertanya,
hanya memandang tajam dan mengamati gerak-gerik orang yang sedang duduk bersila
itu.
Tiba-tiba
saja Siu Kwi berseru, "Awas jarum...!" ketika Suma Ciang Bun
menggerakkan tangan kirinya.
Jarum-jarum
halus sekali menyambar ke arah mereka bertiga. Dua orang tosu itu amat kaget
dan mereka pun cepat meloncat ke pinggir sambil mengebutkan lengan baju. Siu
Kwi sendiri meloncat tinggi hingga beberapa jarum yang menyambar ke arahnya
lewat di bawah kakinya.
Hebat bukan
main serangan jarum-jarum halus itu, yang dilakukan oleh Suma Ciang Bun yang
masih tetap duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya. Pendekar itu
menyerang mereka hanya mengandalkan pendengarannya saja.
Ketika
mereka bertiga sudah berdiri tegak kembali dan memandang, ternyata Suma Ciang
Bun kini sudah bangkit, menghadapi mereka dengan alis berkerut. Siu Kwi agak
gentar melihat sinar mata yang mencorong itu dan ia dapat menduga bahwa
pendekar ini berwatak keras.
Suma Ciang
Bun tadi menyerang mereka dengan jarum-jarumnya karena pendekar ini merasa
jengkel bahwa semedhinya di ganggu oleh dua orang tosu yang sudah pernah
dikalahkannya itu. Namun dia mendengar seruan seorang wanita dan melihat betapa
wanita itu dengan gerakan yang luar biasa ringannya sudah meloncat ke atas ketika
menghindarkan diri diri sambaran jarum-jarumnya. Tahulah dia bahwa dua orang
tosu itu telah datang lagi membawa seorang teman yang amat lihai.
"Siapakah
engkau yang membantu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Aku tidak pernah
bermusuhan denganmu!" Suma Ciang Bun memandang tajam kepada wanita cantik
dan pesolek itu.
Sebelum
Ciong Siu Kwi yang merasa bimbang itu menjawab, Thian Kek Sengjin sudah
mendahuluinya. "Ha-ha, engkau tidak mengenal Bi-kwi murid mendiang Sam Kwi
yang tewas di tangan para pendekar Pulau Es?"
Memang Thian
Kek Sengjin ini cerdik sekali. Dia sudah tahu akan keadaan Siu Kwi, maka dia
segera menghadapkan wanita yang membantunya itu sebagai musuh besar Suma Ciang
Bun. Mendengar bahwa wanita itu adalah murid Sam Kwi yang menjadi tokoh-tokoh besar
dari dunia sesat, Ciang Bun tidak merasa heran kalau wanita itu kini membantu
musuh-musuhnya.
"Bagus!"
serunya marah. "Kalian memang harus dibasmi dan sekali ini aku tidak mau
kepalang tanggung!" Berkata demikian, Suma Ciang Bun menggerakkan tangan
untuk mencabut sepasang pedangnya. Sekarang sepasang pedang yang mengeluarkan sinar
berkilauan telah berada di kedua tangannya dan dia pun sudah berdiri dengan
tegak, sikapnya menantang.
Ok Cin Cu
sudah melintangkan tongkat ular hitamnya yang dimainkan sebagai pedang,
sedangkan Thian Kek Sengjin menggerakkan tongkat naga hitamnya sebagai sebatang
tongkat panjang yang ampuh. Melihat ini, teringat akan janjinya, Siu Kwi juga
melolos pedangnya ikut mengepung pendekar itu.
Ciang Bun
sudah pernah bertanding melawan pengeroyokan dua orang tosu itu dan dia maklum
bahwa tingkat kepandaian mereka hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya
sendiri. Kalau dia mampu mengalahkan mereka kanyalah karena ilmu silatnya yang
luar biasa sehingga dua orang kakek itu menjadi bingung dan kacau dibuatnya.
Tetapi,
tenaga mereka tidak lebih kecil dari pada tenaga sinkang-nya walau pun ia telah
menguasai dua macam tenaga sakti yang bertentangan dari Pulau Es, yaitu
Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Sayang bahwa dia tidak pernah berhasil
menguasai dua sinkang itu sampai ke puncaknya.
Biar pun
tidak begitu mudah baginya mengalahkan pengeroyokan dua orang tosu itu, namun
dia percaya bahwa sekali ini pun dia akan mampu mengalahkan, bahkan juga
mungkin merobohkan mereka, kalau saja di situ tidak ada wanita yang memiliki
gerakan demikian ringannya.
Untuk
menguji sampai di mana kehebatan wanita itu, dia lalu langsung menggerakkan
tubuhnya menyerang Siu Kwi dengan pedang kanannya yang menusuk ke arah dada
disambung pula dengan gerakan pedang kiri yang dari atas membacok ke arah
kepala.
Serangan ini
amat cepat dan hebat karena merupakan bagian dari ilmu silat Siang-mo Kiam-sut
(Ilmu Pedang Sepasang Iblis), yaitu jurus yang dinamakan Siang-mo Jio-cu
(Sepasang Iblis Berebut Mustika). Jurus ini juga dapat dikembangkan dengan
serangan-serangan kanan kiri yang berlawanan atau berbeda arahnya dan dilakukan
sambung-menyambung menjadi serangkaian serangan yang amat berbahaya.
Melihat
betapa sepasang pedang itu menyerangnya dari depan dan atas, berarti hanya satu
jurusan saja, Siu Kwi yang memiliki gerakan cepat itu karena ia telah
mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), cepat membuang diri ke kiri untuk
mengelak. Akan tetapi sambil mengelak, ia telah menusukkan pedangnya dari
samping ke arah lambung lawan disusul tendangan kilat ke arah lutut. Karena
maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh, maka Siu Kwi bergerak cepat,
begitu diserang, mengelak sambil membalas dengan tidak kalah hebatnya.
"Cringgg...!"
Ciang Bun
terkejut melihat kehebatan wanita itu. Tepat dugaannya bahwa wanita itu lihai,
buktinya, menghadapi serangannya tadi, dia dapat langsung saja membalas. Dia
menangkis dengan pedang kirinya kemudian membabat kaki yang menendang dengan
pedang kanan. Akan tetapi Siu Kwi sudah menarik kakinya dan meloncat ke
belakang untuk mengatur kedudukannya.
Pada saat
itu Ok Cin Cu sudah menyerang dari samping, menusukkan tongkat ular hitam ke
arah leher, sedangkan dari belakang, Thian Kek Sengjin juga ikut menyerang
dengan babatan tongkat panjangnya ke arah kaki! Ciang Bun cepat memutar tubuh,
menangkis tongkat yang menusuk leher, kemudian dia meloncat ke atas membiarkan
tongkat lewat di bawah kakinya, tubuhnya terus meluncur ke depan, masih
menyerang Siu Kwi!
Kini
sepasang pedangnya itu bergerak dari kanan kiri dengan jurus Siang-mo Koan-bun
(Sepasang Iblis Menutup Pintu). Gerakannya ini memang merupakan lingkaran sinar
pedang yang menutup jalan ke luar lawan. Lawan yang diserangnya tidak akan
mampu mengelak ke kanan atau ke kiri lagi sehingga tiada kesempatan untuk balas
menyerang.
Namun, Siu
Kwi mengenal serangan berbahaya. Ia menggunakan kelincahan tubuhnya, sudah
meloncat ke belakang sehingga kembali serangan Ciang Bun yang amat cepat itu
luput dari sasaran! Hal ini membuat Ciang Bun penasaran dan pada saat itu,
melihat betapa kedua orang tosu telah menerjangnya lagi dari kanan kiri, dia
memutar sepasang pedangnya menyambut.
Berkali-kali
terdengar bunyi nyaring. Nampak bunga api berpijar ketika pedang di tangan
pendekar itu bertemu dengan tongkat lawan. Siu kwi yang melihat betapa pendekar
itu agaknya berbalik hendak mendesak kedua orang tosu, sudah cepat menerjang
dengan serangan-serangan pedangnya yang sinarnya bergulung-gulung. Tentu saja
serangan-serangan wanita ini tidak dapat dipandang ringan dan memecah perhatian
Ciang Bun yang terpaksa harus melayani tiga orang pengeroyoknya yang tangguh.
Kalau ada
yang menonton pertandingan ini, tentu orang akan merasa kagum bukan main, walau
pun cepatnya gerakan mereka membuat mata biasa sukar untuk dapat mengikuti
pertandingan, sukar melihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak. Yang nampak
hanya gulungan sinar senjata mereka, dan bayangan tubuh mereka terbungkus
gulungan sinar itu, hanya kadang-kadang saja nampak bayangan mereka dan kaki
mereka menyentuh tanah.
Suma Ciang
Bun adalah seorang keturunan langsung dari keluarga Pulau Es dan dia telah
menguasai ilmu-ilmu yang luar biasa tingginya. Akan tetapi, perlu diketahui
bahwa yang menjadi penentu terakhir mengenai tinggi rendahnya tingkat seorang
ahli silat adalah si orang itu sendiri, bukan ilmunya.
Ilmu silat
memang ada yang bagus ada yang buruk, ada yang lambat ada yang cepat, ada yang
praktis tanpa kembangan ada yang memakai banyak kembangan. Namun, setelah
dikuasai seseorang, tentu saja sifat-sifat itu terseret oleh keadaan orang itu
sendiri.
Dan perlu
diketahui bahwa sejak kecilnya, bakat ilmu silat Suma Ciang Bun tidaklah begitu
menonjol dan kalah jauh kalau dibandingkan dengan keturunan keluarga Pulau Es
yang lain. Ilmu-ilmu silat yang dikuasainya memang hebat bukan main, akan
tetapi tidak mencapai tingkat yang terlalu tinggi sehingga kini menghadapi
pengeroyokan tiga orang yang lihai ini, Suma Ciang Bun mulai terdesak hebat...
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment