Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 02
SONG LO KAI
tinggal di Sui-chun, kini sudah menjadi seorang hartawan yang hidup berdua
dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-kai sesuai dengan
sebutannya, yakni lo-kai atau pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan
pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-si Kaipangcu.
Sejak
cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular,
kakek she Song ini sudah berubah pendiriannya. Tadinya dia memang tidak
mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan senang hidup bebas sebagai
pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia, dan Bi Li
hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu.
Sungguh
kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta
terpendam di sebuah goa rahasia. Dia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini,
maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan
besar. Kejadian inilah yang membuat dia ditangkap oleh Cap-si Kaipang dan
hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat.
Song Bi Li
ternyata seorang gadis yang sangat cantik, berwajah ayu manis dan bertubuh
langsing. Kulitnya putih halus dan pipinya kemerahan. Selain cantik jelita,
juga dia sangat cerdas sehingga dengan mudah dia dapat menguasai kepandaian
tulis dan baca, bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah.
Di samping
ini, dia pun sangat terkenal di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus.
Pendeknya di dalam kota Sui-chun, tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau
pandainya sehingga dia pun terkenal sebagai kembang kota Sui-chun. Lebih lagi
sesudah kakeknya menjadi kaya raya, pakaiannya bagus-bagus, menambahkan
kecantikannya.
Dua tahun
yang lalu, ketika dia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar yang
dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang.
Untuk pertama kalinya gadis yang pada waktu itu umurnya baru tujuh belas tahun,
mengalami godaan asmara.
Waktu itu
masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang gedung
kakeknya. Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak
pohon-pohon yang tidak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami
bunga-bunga yang indah.
Bi Li memang
sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur sendiri secara bagaimana kebun itu
akan ditanami bunga-bunga, di mana harus membuat kolam dan sebagainya. Kakek
Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada cucunya.
Bi Li
dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di rumah gedung itu.
Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di dusun, tidak saja
untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin supaya cucunya
mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang cantik
juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak itu
menjadi majikannya.
“Ceng Si, di
ujung barat itu harus didirikan satu bangunan kecil untuk dapat beristirahat,
di depannya digali empang yang dipasangi jembatan melengkung. Di ujung timur
harus digali empang ikan emas dan juga diisi tanaman bunga teratai. Kembang
botan ditanam di sebelah sini dan kembang cilan di sebelah sana. Kau nanti
jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan kalau
ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,” kata
Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil
terpelihara.
“Baik,
Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, maksudnya Kakek Song), tukang kebun akan
datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di
sini.”
“Jangan
ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang tengahnya
saja, tetapi biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan yang-liu (cemara)
itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kerig. Yang lain
boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang
cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi
pagar, malah banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan
habis dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku.”
“Memang benar,
Siocia (Nona). Belum lagi kalau ada maling masuk,” kata Ceng Si.
Ceng Si
menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi ketawanya
segera terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan. “Aduh, dia benar-benar
datang, Siocia…”
Bi Li
terkejut dan bertanya, “Kau bilang ada maling…?” Sambil berkata demikian, ia
cepat membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang.
Ternyata
benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu melalui
pagar yang telah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya
berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa
lelaki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.
“Dia tidak
kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak bekerja di
sini?”
“Ssttt, kau
terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun? Dia bukan maling dan
bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang kongcu (tuan
muda) dan orangnya begitu… begitu tampan!”
“Hush, genit
kau…!” Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa yang datang
itu memang seorang pemuda yang tampan dan ganteng, yang berpakaian seperti
seorang siucai (pelajar), yang sikapnya halus dan sopan.
Bi Li dahulu
tinggal bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona
hartawan dan bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang
bertemu dengan laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk. Juga
ia tidak takut karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di
situ dengan pelayannya, sungguh pun mereka merasa curiga ketika memandang
kepada pemuda ini. Dia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya dia lupa
lagi bila mana dan di mana.
Pemuda itu
menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Dia nampak
ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika dia memandang kepada Bi Li, sungguh
pun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.
“Kau
siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?” Bi Li menegur,
suaranya ketus dan matanya bersinar marah.
Pemuda itu
nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia pun menjura dengan hormat,
lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,
“Song-siocia,
benar-benarkah kau sudah lupa padaku? Benar-benarkah, setelah kini kau menjadi
kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin yang
menjadi penghuninya?”
Bi Li
semakin marah. “Aku tidak kenal padamu, lekaslah pergi dari sini, kalau
Kongkong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!”
Pemuda itu
berdiri tegak dan tersenyum duka. “Jangankan dipukul, dibunuh pun aku rela.
Kongkong-mu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu
tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah
Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kongkong-nya?”
“Siapakah
kau? Mengapa kau begini kurang ajar?” Bi Li memandang pemuda itu dengan alis
dikerutkan.
“Nona,
lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di dusun
kita?” pemuda itu berkata.
Bi Li
memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.
“Ahh, kau...
kau Cia-siucai...,” katanya gagap.
Terbayanglah
semua pengalamannya pada saat ia masih tinggal di dusunnya. Ketika itu, kedua
orang tuanya secara berturut-turut sudah meninggal dunia karena penyakit yang
merajalela di dusun itu. Banyak orang dusun datang pada waktu jenazah ayah
bundanya dirawat di dalam kuil, yaitu satu-satunya kuil di dusun itu, tempat di
mana sebagian besar orang-orang yang meninggal diurus dan disembahyangi.
Di antara
mereka yang datang ini, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja
pulang kembali ke dusun setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di
kota raja. Pemuda ini adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan
Cia-siucai.
Bi Li tahu
bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-siucai, memuji-mujinya karena
bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu, juga ia sangat
pandai membuat sajak. Semua tulisan pada lian yang digantung di kuil, tulisan
yang amat indah itu, seluruhnya adalah buatan Cia Sun.
Pada saat
itu Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi tergila-gila.
Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang tengah menjalani upacara
sembahyang. Seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat penuh air
mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal mati
oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak dihibur
oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-kai, Kongkong-nya.
Cia Sun
demikian tergila-gila sehingga ketika ia sudah terlalu banyak minum arak, tanpa
peduli apa-apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di
atas tembok kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat.
Bi Li sampai
sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena pada waktu itu ketika melihat
ribut-ribut ia pun lalu ikut membaca tulisan itu yang berbunyi demikian:
Layu pucat
Teratai Putih, kehilangan sinar matahari.
Mengembang
di empang tanpa kawan
Hati siapa
takkan rawan?
Nona suci
hidup seorang diri
Hati siapa
takkan perih?
Kasihan
kumelihatnya.
Hancur pilu
hati dibuatnya.
Apakah
dayaku, si bodoh hina ini
Untuk
menghibur Teratai suci?
Sajak itu
tentu saja dengan sangat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang berada
di situ memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim piatu dan
bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu bertemu
dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta.
Akan tetapi,
Song Lo-kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik
tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tidak pernah bertemu muka
kembali. Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu
tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan
peristiwa itu. Akan tetapi siapa kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu
muncul di hadapannya, dengan jalan menerobos kebun!
Sementara
itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, dia menjadi girang sekali dan
wajahnya yang tampan berseri-seri.
“Aduh,
terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkan diriku yang
hina ini, Nona Song...”
“Siapa
bilang?” Bi Li membentak marah. “Cia-siucai, kau lancang sekali! Kau masuk ke
sini tanpa permisi dan kau sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak pada
tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?”
“Kedatanganku
hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku cinta
kepadamu...”
“Tidak!
Kurang ajar, pergi kau dari sini!” Bi Li membelalakkan matanya yang indah dan
mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora hatinya.
Cia Sun
menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.
“Song-siocia,
kakekmu telah menghinaku, telah menolak pinanganku, dan kini kau masih mengusirku
pula?” Suara ini terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang
mendengar ini menjadi pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Ada pun Bi
Li ketika melihat pemuda itu tiba-tiba berlutut di depannya dan mengeluarkan
kata-kata itu, menjadi makin bingung.
“Cia-siucai,
jangan kau begini! Apa sih yang kau kehendaki?”
“Nona,
Kongkong-mu dulu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau telah menjadi
tunangan dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku
tidak mau menjadi seorang yang tak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah
kepadaku secara terus terang, Nona, apakah betul kau sudah menjadi tunangan
orang lain? Betulkah kau sudah bertunangan?”
“Kau peduli
apakah dengan itu? Hal itu bukan urusanmu, Cia-siucai. Sudahlah, lebih baik kau
lekas-lekas pergi dari sini.”
“Jawab dulu,
Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain? Apa bila benar
demikian, aku Cia Sun bersumpah tidak akan mau mengganggumu lagi.”
Bi Li tidak
mampu menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini dia ketahui benar, karena
memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan siapa pun juga.
Namun, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja tentang
pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan.
Ceng Si
melihat keraguan nonanya, maka ia yang mewakili Bi Li menjawab, “Sebenarnya
Siocia belum bertunangan Cia-siucai. Sudahlah, harap kau sudi meninggalkan
tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk sekali bagi
Siocia?”
Mendengar
ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan dia masih tetap
berlutut.
“Penasaran!
Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku? Memang ia membohong
dan menolak pinanganku? Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak akan
dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-siocia...”
Mendengar
ini, muka Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak
berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda
yang masih berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.
Bi Li tiba
di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kongkong-nya tidak
ada. Di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena memang belum
memanggil pelayan-pelayan lain.
Hatinya berdebar,
tidak karuan rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang. Entah kenapa,
mengingat betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun dan
menjadi rebutan serta impian para gadis dusun itu kini bertekuk lutut
kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar
menggirangkan hatinya. Akan tetapi dia sendiri tidak mengerti perasaan apakah
ini yang membuat dia menjadi merasa kebingungan.
Tak lama
kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.
“Siocia,
bagaimana ini baiknya?” pelayan muda dan cantik itu langsung berkata sambil
meremas-remas tangan. “Dia tidak mau pergi…”
“Dia tidak
mau pergi…? Habis bagaimana baiknya…?” Bi Li memandang kepada Ceng Si dengan
bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.
“Siocia, dia
harus dikasihani. Dia benar-benar mencinta kepada Siocia dengan sepenuh hati
dan nyawanya. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut di sana sampai mati
kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian
yang ia bilang kepadaku, Siocia.”
Sekarang air
mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga bingung,
ditambah rasa takut. Kalau sampai kongkong-nya atau ada orang lain tahu akan
halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger? Bukankah orang lain akan menyangka
yang tidak-tidak terhadap dirinya? Sampai lama ia tidak menjawab.
Ahh, Bi Li
memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum pernah
mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja terjadi
ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya.
Begitu dia
pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap
nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti
bisikan mesra,
“Siucai,
kenapa kau begitu lemah? Bangunlah, urusan ini bisa diatur bagaimana baiknya.
Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu...”
Mula-mula
Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang cantik
itu, kemudian sesudah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan suara
hati Ceng Si. Dia menjadi sangat girang dan memeluk pundak Nona pelayan itu
sambil berkata,
“Nona manis
yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan terhadap diriku yang malang
ini?”
Ceng Si
pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,
“Cih, tak
tahu malu! Baru saja Siocia pergi, hatinya telah berubah dan hendak membujuk
aku, benar-benar lelaki tidak setia!”
Cia Sun
segera menjura dan berkata dengan suara memohon, “Nona yang baik, siapa
orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis? Kasihanilah aku, aku
benar-benar lebih baik mati kalau Siocia-mu tidak mempedulikan aku. Bantulah
aku, bujuk siocia-mu supaya dia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan
aku berjanji, kelak kalau aku berhasil menjadi suami siocia-mu, engkaulah orang
pertama yang akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua)!”
Ceng Si
mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benar-benarkah janjimu ini?
Atau hanya bujukan kosong belaka?”
“Demi langit
dan bumi, aku bersumpah bahwa kelak apa bila aku berhasil menjadi suami Nona
Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona... ehh, siapa namamu?”
Ceng Si
mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benarkah itu? Namaku, ehh,
Ceng Si,” jawabnya cepat-cepat.
“Ceng Si
nama yang manis.” Kemudian ia berdongak ke arah langit dan melanjutkan lagi
sumpahnya, “Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai ji-hujin! Nah,
langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi siocia-mu dan
bujuk agar supaya dia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi
sedikit tanda mata.”
“Baiklah,
akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan dapat
menuntut balas!” Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi
Li.
Demikianlah,
semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar dari Ceng Si
bahwa Cia Sun masih berlutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi sangat
terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga dia rela
mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.
“Habis, apa
yang harus kulakukan, Ceng Si?” kemudian ia bertanya, minta nasehat pada
pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini.
Berbeda
dengan Bi Li, di dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini lebih
mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun. Dia sudah dapat menduga ke mana
maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan siocia-nya yang memang amat
cantik itu, akan tetapi di samping ini mengandung maksud yang lebih besar,
yakni hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-loya
yang kaya-raya!
Aku harus
berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga siocia menerimanya dan
kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun menyia-nyiakannya, maka
akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar Siocia menjadi isterinya
agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan kelak akan menjadi nyonya ke
dua, akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua).
Kedudukan
nyonya kedua di masa itu memang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada
kedudukan nyonya ke tiga, ke empat atau seterusnya. Apa lagi bila dibandingkan
dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!
“Siocia,
apakah… apakah Siocia juga… suka kepadanya?”
Wajah Bi Li
menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata terbuka
lebar. Maksudnya hendak marah, namun dia tidak dapat, karena wajah Ceng Si
memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, ada pun ia sedang bingung dan membutuhkan
pertolongan pelayan ini.
“Aku tidak
tahu, Ceng Si, aku... tidak tahu...”
“Siocia,
Cia-kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan saja,
tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!”
“Aduh,
bagaimana kalau Kongkong datang dan melihat dia di sana?” Bi Li ketakutan.
“Apa lagi
kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-bukan.”
Ceng Si menambah kebingungan siocia-nya dengan maksud agar nona majikannya itu
terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasehatkan.
Benar saja,
mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena bingung dan
cemas. “Ceng Si, apakah yang harus kulakukan? Tolonglah aku, Ceng Si!”
Pelayan muda
yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun mau pun Bi Li sudah
minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak cita-citanya pasti
tercapai, menjadi Ji-hujin yang kaya dan terhormat!
“Siocia, tak
baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula membiarkan dia
begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia menghibur hatinya
dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!”
“Memberi
apa, Ceng Si? Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?”
Ceng Si
berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna apa bila memberikan barang yang
berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari
batu giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal
itu terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Dia masih belum tahu akan isi hati
Cia Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.
“Lebih baik
Siocia memberikan sapu tangan Siocia itu, supaya ia merasa bahwa Siocia menaruh
kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar dia mau pergi
dari kebun.”
Bi Li tentu
saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat sapu tangannya yang
tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi tidak ada jalan
lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi, lebih celaka
lagi!
“Baiklah,
kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau pergi.”
Ceng Si
dengan girang menerima sapu tangan itu dan membawa benda itu ke kebun, di mana
Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding, akhirnya
Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak.
Demikianlah.
Ceng Si menjalankan siasatnya secara licin sekali. Sampai kebun itu sudah
berubah menjadi taman yang indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan
ini yang mengadakan hubungan dengan Cia Sun.
Dengan amat
cerdiknya Ceng Si menjaga sedemikian rupa sehingga Bi Li mau memberi
benda-benda tanda mata, membalas surat-surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan
Bi Li yang bagaikan seekor lalat terjebak dalam sarang laba-laba berani
bersumpah bahwa dia hanya akan bersuamikan Cia Sun!
Sampai dua
tahun perhubungan ini berjalan diam-diam. Memang betul bahwa Bi Li tidak pernah
melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis ini teguh
menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, akan tetapi di
dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun.
Tentu saja
Cia Sun menjadi besar hati, karena meski pun dia pernah ditolak lamarannya oleh
Kakek Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak
kakek itu meninggal dunia, akhirnya tetap dialah yang akan menjadi suami Bi Li
dan bisa menguasai semua harta benda yang besar itu!
Akan tetapi,
setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari tiba-tiba Kakek
Song pulang bersama seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, yang berpakaian
sebagai seorang pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi Li
dikenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya.
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, sesudah berpisah dari suhu-nya, Kiang Liat langsung
menuju ke dusun Sui-chun. Ia sengaja tidak mau pulang dulu ke kotanya di
Sian-koan dan sengaja memakai pakaian seperti pengemis untuk melihat apakah
Kakek Song dan cucunya masih tidak berubah pendiriannya melihat dia sudah
menjadi seorang pengemis.
Tidak
tahunya, baru saja dia tiba di luar dusun Sui-chun, dia sudah disambut oleh
Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini
menunggu dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan
pemuda yang pernah menolongnya itu sudah tiba.
Oleh karena
itu, begitu melihat Kiang Liat, dia segera berlari menghampiri bersama para
pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan segala kehormatan.
“Kiang
Taihiap, sudah tiga hari ini lohu selalu menanti di sini. Bagus sekali, kau
kelihatan sehat-sehat saja dan lebih gagah!”
“Akan
tetapi, aku telah menjadi pengemis yang miskin, Lopek.”
“Ha-ha-ha,
dahulu pun aku seorang pengemis yang lebih miskin dari padamu, Taihiap. Sudah
lupa lagikah kau akan hal itu? Marilah, kita bicara di rumah.”
Diam-diam
Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tak berubah sama sekali.
Memang dia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan
tetapi dia masih belum melihat bagaimana macamnya cucu perempuan kakek ini yang
hendak dijodohkan dengan dia.
Rumah gedung
tempat tinggal kakek itu, sungguh pun untuk di Sui-chun termasuk paling baik,
namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di kota
Sian-koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika
memasuki gedung ini.
“Suruh
Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang mulia!” kata Song Lo-kai dengan
girang kepada seorang pelayan perempuan.
Berdebar
hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari dalam,
kemudian mulut pintu tersingkap dan segera muncul seorang bidadari dalam
pandangan pemuda ini. Dia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang
Liat ketika dia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik.
Dia
memandang wajah yang cantik jelita itu, yang mulutnya tersenyum manis dengan
ramah tamah, yang wajah ayunya berseri-seri dengan sepasang matanya
bersinar-sinar. Memang Bi Li sudah pernah diceritakan oleh kongkong-nya bahwa
ketika menghadapi bencana maut kongkong-nya telah ditolong oleh seorang
pendekar muda.
Tentu saja
kini mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kongkong-nya dia
harus menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu
ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagahnya.
Kiang Liat
menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memandang bagaikan dalam
mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk,
maka timbullah rasa sungkan dan malu pada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya
menjura memberi hormat.
“Bi Li,
mengapa kau diam saja terhadap tuan penolongku? Tidak saja Tuan penolong, dia
pun calon suamimu, Nak!”
Sesudah
berkata demikian, kakek ini mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas
hendak menitikkan air mata saking terharu dan girangnya.
Mendengar
ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan dua kakinya terjeblos ke dalam jurang.
Kagetnya setengah mati dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan
tetapi dia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh, terus berlari ke
dalam kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya
keluar.
Bagi
anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan malu,
maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.
“Lopek,
sungguh pun aku sebatang kara dan sudah yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah
di Sian-koan. Biarlah aku pulang lebih dahulu, baru kemudian aku akan mengirim
wakil untuk membicarakan urusan perjodohan ini.”
Kakek Song
mengerutkan keningnya dengan rasa khawatir. “Akan tetapi kau… kau telah setuju,
bukan?”
Muka Kiang
Liat menjadi merah, tak dapat menjawab, maka dia hanya menganggukkan kepalanya
dengan pasti! Kakek Song tertawa bergelak, kemudian dengan suara keras ia
memberi perintah kepada para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat
bagi calon mantunya.
Sesudah
minum arak serta menikmati hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek Song,
Kiang Liat lalu berpamitan dan sebagai tanda mata, ia meninggalkan pedangnya.
Dengan hati gembira pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke kota
tempat tinggalnya.
Ia disambut
dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang sudah seperti neneknya sendiri
saja. Kiang Liat gembira karena melihat rumahnya tidak berubah dan tidak
terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya.
Dia lalu
menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali dia bercerita
tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-chun. Inang pengasuh
itu girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu
mengurus hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-chun
mengenai ketetapan hari pernikahan.
***************
Sementara
itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan menyatakan tidak
mau menikah.
“Anak bodoh,
usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi? Apakah kau mau
menunggu kakekmu mati?” akhirnya Kakek Song berkata lemas.
Bi Li menubruk
kakeknya. “Tidak demikian Kongkong, akan tetapi aku… aku belum suka menikah...”
“Bi Li,
jangan kau membikin bingung dan susah hati kongkong-mu. Perjodohan ini sudah
kujanjikan kepada Kiang-taihiap setahun yang lalu. Sebentar lagi kalau
utusannya datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan
baik. Kau tidak boleh berkeras kepala lagi, kecuali jika kau suka melihat
kongkong-mu mampus saking jengkel dan susah.”
Bi Li tidak
dapat menjawab, hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis
terisak-isak.
Pada saat
itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada Kakek Song
untuk keluar. Kakek ini heran akan tetapi dia menurut saja. Akhirnya mereka
bicara di dalam ruangan belakang dan tak seorang pun pelayan lain boleh
mendekati mereka.
“Ceng Si,
ada apakah? Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!” Kakek Song berkata
kurang senang.
Ceng Si
berlutut. “Mohon beribu ampun Lo-ya. Sebetulnya saya sudah banyak berusaha
untuk mencegah hal ini terjadi, akan tetapi apa hendak dikata, sebelum saya
menjadi pelayan di sini, hal itu sudah terjadi.”
“Hal ini,
hal itu, apa maksudmu? Bicaralah yang jelas!” Kakek Song membentak dengan hati
kurang enak.
“Siocia
tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan hati
sendiri.”
“Apa? Kau
tahu akan hal ini tetapi tidak memberi tahukan kepadaku? Berani benar kau
membiarkan Siocia merusak nama baik keluarganya sendiri? Jahanam benar...”
Wajah Kakek Song menjadi pucat sekali.
“Tidak
demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Walau pun Siocia sudah mempunyai
pilihan hati, namun Siocia tidak pernah bertemu dengan dia, hanya
berkirim-kiriman saja dan sebagainya.”
“Bedebah…!”
“Jika Loya
benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi mempertimbangkan keadaan
Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka mendengar penuturan saya
dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia pindah ke sini, di antara
Siocia dan pemuda itu memang telah ada pertalian batin yang erat. Mereka saling
mencinta dan saling bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain. Ada pun
menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda terpelajar yang amat
sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya tak kalah oleh
Kiang-taihiap. Siocia pasti akan hidup bahagia selama hidupnya kalau Loya
membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-taihiap dan sebaliknya menjodohkan
Siocia dengan pilihan hatinya sendiri.”
“Cukup,
tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa? Siapakah adanya jahanam yang
berani menggoda cucuku itu? Hayo katakan siapa dia?”
“Dia adalah
seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-hiang.”
Kakek Song
termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. Dia lalu
menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur siocia-nya.
“Katakan
kepada Siocia-mu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik,” katanya.
Kakek ini
teringat akan pemuda she Cia yang dahulu pernah melamar Bi Li, dan menurut
penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, dulu
ia telah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang
gagah supaya kelak dapat melindungi cucunya itu. Kakek Song sendiri adalah
seorang ahli silat dan biar pun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu
akan manfaat kegagahan pada jaman itu.
Apa lagi
sekarang dia sudah menjodohkan cucunya kepada Kiang Liat, seorang pemuda gagah
perkasa yang pernah menolongnya dan yang amat dikaguminya. Apa lagi karena
pemuda itu kini menjadi murid dari seorang sakti.
“Sungguh
menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana dia masih berani
mengganggu Bi Li? Sebenarnya apakah maksud pemuda she Cia itu?” Demikian Kakek
Song berpikir-pikir.
Kemudian dia
mendapatkan akal. Dia maklum akan keadaan keluarga Cia yang miskin, maka
didatangilah rumah keluarga Cia di dusun Lee-hiang. Dia disambut oleh Janda
Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah dan penuh penghormatan, seperti
biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun yang miskin.
Kakek Song
minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun lalu
menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia telah dapat
menduga bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li,
sedangkan dia selama beberapa hari ini belum mendapat berita apa pun dari Ceng
Si. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi dia menghadap Kakek Song dengan sikap
sopan dan memberi hormat sebagaimana mestinya.
“Kedatanganku
ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan cucuku,” kata Kakek
Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun. Tentu saja Nyonya Cia tidak tahu akan
kelakuan puteranya, maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.
“Cia-hujin,
seperti kau tentu masih ingat, dulu pinangan puteramu terhadap cucuku sudah
kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi
akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba
untuk berhubungan dengan cucuku. Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai
sekarang, kuperingatkan agar puteramu ini jangan sekali-kali berani
menghubunginya. Ingat bahwa cucuku sudah bertunangan.”
“Hal itu
tidak betul,” Cia Sun memotong, “Aku mendengar bahwa Song-siocia sama sekali
belum bertunangan.”
“Hemm,
begitukah?” Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol bukan main. “Itu hanya
dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kiang di kota Sian-koan
dan dalam beberapa pekan ini pun pernikahannya segera akan dilangsungkan. Oleh
karena itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apa bila kau mencoba untuk berlaku
tidak patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan
kekerasan atau aku akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu.
Sebaliknya, kalau kau berjanji tak mengganggu dan mendekatinya lagi, orang she
Song akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan kebaikan ini. Nah,
biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian sehingga tak perlu keluar
rumah.” Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak dan meletakkan itu di atas
meja yang reot di depan Nyonya Cia.
Nyonya janda
Cia merasa terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan terima
kasih dan berkata kepada Kakek Song,
“Song-loya,
harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan hingga mengganggu
Loya. Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi ke sana. Terima kasih banyak
atas kemurahan hati Song-loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima
kasih kepada Song-loya.”
Cia Sun
menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa menjura dan
mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi puas dan
segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya.
Cia Sun
menjatuhkan diri di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya.
Kini hancurlah cita-citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh
harta benda itu!
“Anakku,
bagaimana sih kau ini? Song-siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana bisa
katak mencapai bulan? Kau betul-betul amat lancang dan sembrono berani
mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa
Song-loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya dari pada marah kepada
kita, ia hanya memberi peringatan secara halus dan malah memberi uang begini
banyak.”
Namun Cia
Sun masih terbenam di dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang
sekantung ini bila dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah
gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya? Ia memutar-mutar otak
mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri,
“Hanya Ceng
Si yang akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku... kekasihku...
sebenarnya engkaulah yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku
merasa tak berdaya...”
Ada pun
Kakek Song yang pulang ke rumah gedungnya, diam-diam menyuruh beberapa orang
pelayan untuk mengamat-amati dan menjaga agar jangan sampai ada orang luar yang
dapat masuk ke dalam taman dan agar supaya mengusir setiap orang muda yang
mendekati tembok sekitar gedung dan pekarangannya. Dengan penjagaan ini, maka
baik Cia Sun mau pun Ceng Si sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk saling
bertemu atau menyampaikan berita.
Sementara
itu, sepekan kemudian datanglah utusan dari Sian-koan. Kakek Song terkejut
bercampur gembira bukan main, juga dia merasa heran sekali. Utusan yang datang
itu adalah seorang setengah tua yang berpakaian mewah, datang membawa sebuah
kereta yang penuh dengan barang-barang berharga. Tadinya Kakek Song mengira
bahwa yang datang ini tentulah seorang saudagar kaya, akan tetapi dia menjadi
melongo ketika tamu ini memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Kiang
di Sian-koan!
“Saya datang
atas perintah dari Kiang-kongcu sambil membawa sekedar hadiah untuk
Song-siocia, dan juga untuk membicarakan tentang hari pernikahan,” kata utusan
itu.
Pada saat
barang-barang hadiah itu dibongkar, semua orang terheran-heran dan kagum bukan
main. Lima belas kayu kain sutera yang paling halus dan mahal dan yang jarang
sekali dilihat oleh orang-orang seisi rumah itu, lima buah barang ukiran dari
perak yang amat indahnya, untuk hiasan dinding kamar, empat peti besar terisi
kain-kain untuk muili, kelambu, dan lain-lain keperluan rumah tangga, sekantung
uang emas dan sekantung pula uang perak, kemudian yang terakhir, sebuah hiasan
rambut terbuat dari emas dan dihiasi batu kemala yang amat indahnya, berbentuk
seekor kupu-kupu yang hinggap di atas setangkai bunga Cilan.
Jangankan
para pelayan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak sambil menahan
napas, bahkan Kakek Song sendiri sampai melongo. Hanya orang yang kaya raya,
bahkan jauh lebih kaya dari pada dirinya sendiri, yang akan sanggup mengirimkan
hadiah kepada calon pengantin seroyal ini.
Kakek Song
segera menjamu tamu itu dan dari tamu ini ia mendapat keterangan bahwa
Kiang-kongcu merupakan ahli waris satu-satunya dari keluarga Kiang yang amat
terkenal kekayaannya. Juga ia mendengar bahwa nenek moyang Kiang Liat adalah
orang-orang ternama belaka, bangsawan-bangsawan tinggi yang bernama besar. Maka
bukan main girangnya hati Kakek Song mendengar ini.
Mereka terus
mengobrol sambil minum arak dan makan hidangan yang mahal. Kemudian utusan itu
menyampaikan pesan dari Kiang-kongcu mengenai hari pernikahan yang akan
dilangsungkan dalam bulan itu juga.
Sementara
itu, Ceng Si yang cerdik segera mendengar bahwa pemuda she Kiang yang dahulu
berpakaian sebagai seorang pengemis itu, ternyata adalah seorang pemuda yang
kaya raya, bahkan lebih kaya dari pada keluarga Song sendiri! Apa lagi setelah
ia melihat barang-barang hadiah yang dibawa oleh utusan keluarga Kiang, hatinya
lantas berdebar dan matanya yang indah itu berseri-seri.
Diam-diam
dia meremas-remas tangan sendiri dan mengatur siasat. Kemudian dia berlari
menuju ke kamar Bi Li, diikuti oleh para pelayan yang memanggul barang-barang
hadiah itu, sebab Kakek Song memberi perintah supaya barang-barang itu langsung
dibawa ke kamar Bi Li.
“Siocia,
kionghi!” Ceng Si berseru sambil memeluk nona majikannya.
“Ceng Si,
apakah kau gila? Aku lagi berduka, kau datang-datang memberi selamat.”
“Kionghi,
Siocia! Tidak tahunya, pemuda she Kiang yang kelihatan seperti pengemis itu,
ternyata adalah seorang pangeran!”
“Apa katamu?
Seorang pangeran?” Bu Li menggerakkan alis karena terheran-heran.
“Lihat saja,
lihat saja semua barang-barang hadiahnya!”
Pintu
terbuka dan mengalirlah barang-barang itu memasuki kamar.
Bi Li juga
merasa kagum sekali melihat benda-benda mahal itu, apa lagi melihat hiasan
rambut yang luar biasa indah itu, dia benar-benar amat suka, hanya merasa malu
untuk menjamahnya. Ia hanya duduk dan melihat satu demi satu semua benda itu
yang diambil dari tempatnya oleh Ceng Si. Gadis pelayan ini sambil memamerkan
benda-benda itu, tiada hentinya bercakap-cakap.
“Siocia,
sungguh kau gadis yang beruntung sekali. Memang orang baik selalu mendapat
perlindungan dari Thian. Siapa sangka pemuda berpakaian tambalan itu ternyata
adalah seorang yang kaya raya, bahkan jauh lebih kaya dari pada Song-loya
sendiri? Lihatlah, begini indah dan mahalnya barang-barang ini.
“Ceng Si,
aku bukan seorang yang haus akan benda-benda indah dan mahal.”
“Akan tetapi
orangnya pun sangat gagah dan tampan! Siocia, terus terang saja, apa bila
diingat-ingat, Kiang-kongcu itu malah lebih tampan dari pada... pemuda she Cia
itu. Dan tentu saja jauh lebih gagah, ingat saja, ia pernah menolong nyawa
Song-loya!”
“Ceng Si!”
Bi Li membentak dan mukanya menjadi pucat. “Aku bukan orang yang begitu mudah
lupa akan sumpah sendiri!”
“Siocia,
dalam hal ini kita tak boleh menurutkan perasaan dan nafsu sendiri. Ingatlah
dan pertimbangkan masak-masak. Memang betul Siocia sudah bersumpah, namun semua
itu dilakukan dalam keadaan melamun dan tak sadar. Siocia juga tidak bersumpah
di depan Cia-kongcu dan hubungan kalian juga hanya dengan surat-surat sajak
saja. Sebaliknya, coba pikir baik-baik. Pemuda hartawan dan gagah perkasa she
Kiang itu, pertama-tama dia telah menolong nyawa kongkong-mu, kedua kalinya dia
memang patut menjadi suami Siocia karena ia memang tampan dan gagah sekali,
ketiga kalinya, ia seorang hartawan besar, jadi seribu kali lebih cocok dari
pada Cia-siucai yang miskin itu.”
“Ceng Si...!
Aku... aku kasihan kepadanya, juga karena ia tidak berdaya dan miskin.”
Berseri
wajah Ceng Si, memang inilah yang dinanti-nantinya. “Jika begitu, Siocia, mudah
saja untuk menolongnya! Dia miskin, membutuhkan uang. Kalau Siocia selalu
memberi sesuatu yang berharga kepadanya, bukankah itu berarti sudah
menolongnya?”
“Ceng Si,
bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau aku sudah menjadi isteri orang lain,
bagaimana aku sudi dan berani mengadakan hubungan dengan laki-laki lain?”
“Mudah saja
Siocia. Jika aku Ceng Si yang bodoh selalu menjadi pelayan pribadi Siocia,
selalu berada di samping Siocia, apa sih sukarnya? Kalau Siocia masih selalu
menolong pemuda she Cia itu, pendeknya mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan
kalau perlu membiayai dia melanjutkan pelajarannya, di kota raja, bukankah itu
berarti bahwa Siocia mempunyai pribudi yang tinggi?”
Bi Li
berpikir dan ia berkali-kali menarik napas panjang. “Akan tetapi aku khawatir
sekali, Ceng Si. Surat-suratku banyak yang berada di tangannya! Kalau kelak...
orang yang menjadi suamiku mengetahui akan hal ini, bukankah ini akan
mendatangkan malapetaka hebat!”
Dalam
hatinya, Ceng Si tersenyum laksana iblis. Akan tetapi pada wajahnya yang manis
itu tersungging senyuman manis yang penuh hiburan. “Jangan khawatir, Siocia.
Akulah yang akan minta kembali semua tulisan-tulisan itu.”
Akhirnya Bi
Li dapat dibujuk dan dihibur. Gadis ini mengeluarkan surat-surat dari Cia Sun
yang tadinya disimpannya, lalu menyerahkan semua surat itu kepada Ceng Si
dengan perintah agar semua surat ini dibakar.
Ceng Si
memang melakukan perintah ini, akan tetapi tidak semua surat dibakarnya, ada
beberapa helai yang diam-diam ia sembunyikan dan simpan. Dua helai surat dari
Cia Sun ini merupakan senjataku yang paling ampuh terhadap Song-siocia,
pikirnya.
Kita tunda
dulu dan membiarkan nona Song Bi Li melamun tentang pernikahannya yang
dihadapi, dan mari kita mengikuti peristiwa lain yang amat hebat.
***************
Di lembah
Sungai Huang-ho, nampak dua orang setengah tua berjalan perlahan. Mereka ini
adalah Bu Pun Su dan Han Le, dua kakak beradik seperguruan yang berilmu tinggi.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka berdua baru saja
meninggalkan Kiang Liat dan kini mereka jalan bersama-sama sambil bercakap-cakap.
“Lu-suheng,
mengapa kau sekarang banyak berubah? Kau kelihatan seperti orang yang menderita
kesedihan besar,” pertama-tama Han Le menegur suheng-nya.
“Sute,
sebelum kita berbicara lebih lanjut, kuperingatkan padamu, jangan sekali-kali
lagi kau menyebut Lu-suheng kepadaku. Jangan sekali-kali nama Lu Kwan Cu
disebut lagi. Nama itu sudah mampus dan sekarang aku adalah Bu Pun Su, tidak
ada sambungannya lagi, mengerti?” Suaranya terdengar keras dan kaku, tanda
bahwa dia benar-benar tidak suka mendengar nama kecilnya disebut-sebut.
Han Le
beberapa kali memandang kepada wajah Bu Pun Su penuh perhatian. Biasanya,
pandangan mata Han Le tajam sekali dan dengan melihat wajah orang, dia akan
dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi tarikan wajah Bu Pun Su demikian sukar
dimengerti, seolah-olah kulit muka orang sakti itu memakai kedok. Hanya
garis-garis yang memenuhi muka dan rambut serta alis yang sudah tidak begitu
hitam lagi saja yang bercerita bahwa selama ini, Bu Pun Su mengalami tekanan
dan penderitaan batin yang hebat.
“Suheng, kau
sudah banyak mengalami penderitaan. Maafkan Sute, meski Sute seorang yang bodoh
dan lemah, namun Sute menyediakan raga dan nyawa untuk membantu Suheng
memecahkan semua kesulitan itu.”
Bu Pun Su
menoleh pada adik seperguruan ini. Untuk beberapa detik sepasang matanya hanya
memandang, seakan-akan hendak mengalirkan air mata. Akan tetapi sepasang mata
itu tiba-tiba berseri-seri dan meledaklah suara ketawa Bu Pun Su. Suara
ketawanya demikian nyaring dan keras sehingga kalau di situ terdapat orang lain
yang tidak berilmu tinggi, pasti orang ini akan lumpuh terkena daya tenaga
lweekang-nya yang disalurkan dalam suara ketawa ini! Baiknya Han Le sendiri
sudah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, namun tetap saja ia merasa
jantungnya memukul keras dan terpaksa ia menahan napasnya agar jangan terkena
getaran hebat dan melukai jantungnya.
“Ha-ha-ha,
kau masih tidak berubah, Sute! Kau masih dikuasai oleh perasaanmu, kau lemah
dan baik hati. Tidak, Sute. Aku tidak menderita sesuatu. Bagaimana Bu Pun Su
bisa menderita? Kalau si lemah Lu Kwan Cu yang sudah mampus, memang dia itu
lemah hati, mudah dikuasai oleh nafsu, dia buta dan tuli, terlalu mengandalkan
kepandaiannya yang tidak berarti, terlalu membanggakan tenaganya yang
sebenarnya lemah. Ha-ha-ha, Lu Kwan Cu sudah mampus, demikian pula orang-orang
yang seperti dia. Akan selalu mengalami suka duka dan hidup bagaikan benda mati
yang dipermainkan oleh alam. Akan tetapi aku sekarang bukan seperti dia, aku
sudah menguburkan Lu Kwan Cu. Aku Bu Pun Su hidup bukan sebagai bujang
perasaan, aku hidup bebas, menggunakan akal budi dan pertimbangan, mengeluarkan
segala yang pernah kupelajari untuk membantu pekerjaan alam!”
Han Le dapat
mengerti akan kata-kata yang kedengarannya tidak karuan ini. Dia sendiri sudah
banyak mengalami kepahitan hidup, sudah banyak menderita dan kecewa. Maka ia
dapat menduga bahwa suheng-nya ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat
luar biasa, hal-hal yang menghancurkan hatinya, mungkin sekali telah melakukan
dosa yang dianggapnya terlalu berat dan besar sehingga suheng-nya ini mematikan
dirinya sendiri, mematikan dan menghilangkan semua ingatan mengenai diri Lu
Kwan Cu, seakan-akan dia memulai hidup baru menjadi seorang bernama Bu Pun Su
atau Si Tiada Kepandaian, manusia aneh yang hidupnya hanya untuk membantu
pekerjaan alam, yakni tegasnya membantu manusia lain.
Han Le menjura
kepada suheng-nya dan berkata girang, “Jika begitu, aku mengucapkan selamat,
Suheng. Dan demi Thian Yang Maha Kuasa, aku pun hendak mencoba sedapat mungkin
untuk mencontoh perbuatanmu yang amat mulia ini. Tadi suheng bilang hendak
menyampaikan sesuatu yang amat penting, apakah gerangan urusan itu?”
Karena dia
sudah lupa lagi akan hal-hal dahulu mengenai diri Lu Kwan Cu, Bu Pun Su kembali
pula kegembiraannya.
“Sute, aku
perlu sekali bantuanmu, juga bantuan semua orang yang masih berbangsa dan
berkebudayaan.”
“Eh, apakah
yang terjadi, Suheng?” tanya Han Le terkejut, karena kata-kata suheng-nya ini
terdengar menyeramkan.
Bu Pun Su
mengajak sute-nya duduk di dekat pantai Sungai Huang-ho di mana tumbuh sebatang
pohon besar yang akarnya bergantungan dan bermain-main di permukaan air sungai.
Tempat itu amat indahnya dan setiap orang, apa lagi para pemancing ikan, pasti
akan suka sekali duduk di situ.
“Sute, di
dunia kang-ouw sudah terjadi hal yang hebat sekali dan amat membahayakan
kedudukan orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan putih. Apa lagi bagi
mereka yang menganut sesuatu kepercayaan atau agama.”
“Kenapa,
Suheng? Bukankah golongan Mo-kauw (Agama Sesat) pada hakekatnya tidak begitu
kuat dan selalu dapat dikendalikan oleh golongan Beng-kauw (Agama Asli), ada
pun golongan Beng-kauw walau pun agama dan kepercayaannya berlainan dan banyak
sekali macamnya, akan tetapi dapat menjaga kerukunan dan menghormati
kepercayaan masing-masing?”
“Betul
kata-katamu itu, akan tetapi hal itu adalah keadaan pada beberapa tahun yang
lalu. Memang jarang ada orang kang-ouw yang mengetahui kejadian ini, karena hal
itu mereka sembunyikan dan selalu dijaga penuh rahasia agar jangan sampai
bocor.”
“Eh, apa sih
sebetulnya yang terjadi, Suheng? Aku menjadi tertarik dan ingin sekali lekas
mendengar penjelasanmu.”
Bu Pun Su
lalu menceritakan apa yang telah ia ketahui. Di dalam dunia kang-ouw terbagi
menjadi dua golongan yang biasanya disebut golongan putih dan hitam. Golongan
putih adalah para pendekar atau mereka yang memiliki kegagahan dan yang sepak
terjangnya selalu bersih, sebaliknya golongan hitam adalah mereka yang selalu
disebut pengikut hek-to (jalan hitam) atau lebih tepat lagi orang-orang yang
mempunyai pekerjaan jahat seperti para perampok, bajak-bajak, maling, copet dan
lain-lain. Antara kedua golongan itu telah dapat diselesaikan dengan kemenangan
pihak golongan putih.
Untuk dapat
mengendalikan golongan hitam ini banyak tokoh besar dunia kang-ouw yang sengaja
menjadi perampok atau maling, yakni menjadi ketuanya dan selalu mengawasi sepak
terjang anak buahnya sehingga mereka itu tidak menyeleweng, yakni dengan lain
kata, tidak merampok atau mengganggu orang-orang yang dianggap tak patut
diganggu. Bagi orang-orang gagah di waktu itu, merampok harta orang kaya yang
pelit, membunuh mati orang yang berwatak jahat dan kejam, dianggap sebagai
perbuatan yang bersih dan mulia juga.
Pendeknya,
waktu itu golongan penjahat pun terpecah dua, yakni jahat yang dilakukan demi
memberantas kejahatan, dan jahat sebab memang pada hakekatnya jahat dan keji.
Golongan-golongan ini hanya kecil saja, atau boleh disebut golongan perorangan
yang meliputi tokoh-tokoh yang hidup menyendiri.
Tapi ada
pula golongan-golongan besar seperti perkumpulan-perkumpulan, dan terutama
sekali perkumpulan agama dan partai-partai besar persilatan yang tak lepas dari
agama dan kepercayaan, dan justru golongan-golongan besar ini menjadi induk
dari golongan-golongan kecil. Dan di dalam golongan-golongan besar ini terdapat
perpecahan pula!
Perpecahan
ini tadinya meluas sehingga antara satu partai dengan partai lainnya terjadi
bentrokan dan permusuhan hebat, hanya dikarenakan kepercayaan atau agama mereka
berlainan. Akan tetapi, ratusan yang lalu, ketika muncul tokoh-tokoh besar
seperti Tiat Mouw Couwsu dan lain-lain tokoh dari See-thian (Dunia Barat),
bentrokan-bentrokan ini dapat diselesaikan dengan jalan rukun, sungguh pun
kepercayaan mereka, bahkan ajaran limu silat mereka berlainan. Dan oleh
tokoh-tokoh besar itu diletakkan garis yang memisahkan antara golongan yang
disebut penganut Beng-kauw serta mereka yang menganut Mo-kauw.
Golongan
Beng-kauw atau agama asli ini tentu saja mempunyai anggota paling banyak.
Partai persilatan seperti Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai,
Hoa-san-pai dan lain-lain, semua menyebut diri sebagai golongan Beng-kauw. Hal
ini tentu saja dapat dimengerti karena siapakah yang mau menyebut dirinya bukan
penganut ‘agama asli’? Golongan ini terdiri dari partai-partai besar yang
menganut Agama Buddha, ajaran Locu atau To-kauw, penganut ajaran Khong Hu Cu,
penganut Kwan Im Pouwsat, dan lain-lain.
Siapakah
gerangan yang termasuk agama Mo-kauw? Sebetulnya tak ada golongan yang mau
mengaku sebagai penganut Agama Sesat, akan tetapi golongan-golongan yang tak
beragama atau orang-orang kasar, atau mereka yang pernah melakukan pelanggaran
dan dianggap jahat, mereka ini yang oleh golongan Beng-kauw disebut sebagai
golongan Kaum Sesat!
Mereka ini
sebagian besar merupakan kelompok orang yang menyembunyikan diri, yang bersakit
hati dan karena mereka didesak ke sudut oleh golongan yang menganggap diri
bersih, mereka ini dengan sengaja kemudian berlaku keaneh-anehan, sengaja
mereka membentuk sekumpulan tokoh-tokoh yang lihai ilmu silatnya, memisahkan
diri dan tidak mau peduli lagi dengan urusan agama.
Mereka lalu
melakukan apa saja yang mereka suka, dan hidup berkeliaran tidak tentu
tempatnya. Akan tetapi mereka tidak pernah mendengar atau mencari perkara
dengan golongan Beng-kauw, karena maklum bahwa golongan ini memiliki banyak
orang pandai.
Akan tetapi,
jangan dikira bahwa golongan Mo-kauw ini sedikit jumlahnya anggotanya. Mereka
makin lama makin banyak, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang putus
asa, sakit hati, dan orang-orang yang berwatak aneh.
Beberapa
tahun yang lalu, muncullah tiga orang aneh dari See-thian (Dunia Barat) yang
sebentar saja sudah dapat merebut kekuasaan di golongan Mo-kauw. Ketiga orang
ini mempunyai kepandaian yang amat tinggi, tidak saja kepandaian ilmu silat
mereka amat tinggi, juga mereka adalah ahli-ahli hoatsut (ilmu sihir) yang
aneh. Dalam beberapa bulan saja mereka dapat mengangkat diri di dalam golongan
Mo-kauw sehingga semua orang penganut agama sesat ini menganggap mereka bertiga
sebagai ketua atau pemimpin.
Tiga orang
aneh ini tahu akan keadaan orang-orang kang-ouw golongan Mo-kauw yang sangat
terdesak dan dianggap orang-orang jahat oleh orang-orang kang-ouw umumnya.
Maka, dengan menggunakan rasa dendam dan sakit hati ini, mereka sebentar saja
dapat membentuk sebuah perserikatan yang amat kuat. Hal ini terjadi tanpa
banyak ribut-ribut, karena memang kehidupan para penganut Mo-kauw ini
tersembunyi, tidak diketahui oleh masing-masing orang kang-ouw.
Apa bila
persoalannya sampai di situ saja, kiranya tidak akan ada perubahan dan tidak
akan menggegerkan. Akan tetapi ternyata bahwa tiga orang aneh ini mempunyai
niat dan cita-cita yang lebih besar. Mereka ingin menguasai seluruh dunia
kang-ouw, juga ingin menaklukkan partai-partai besar dan ingin mengangkat diri
menjadi ketua perkumpulan yang paling berpengaruh di Tiongkok!
Setelah
orang-orang Mo-kauw ini berada di bawah pimpinan mereka, terjadilah hal-hal
yang aneh di dunia kang-ouw. Kitab pelajaran limu silat yang amat dipuja-puja
oleh partai Siauw-lim-pai, yakni kitab peninggalan dari Tiat Mouw Couwsu, pada
suatu hari tiba-tiba telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!
Selagi
Siauw-lim-pai geger dan semua tokoh Siauw-lim-pai berusaha mencari kitab yang
hilang ini, tiba-tiba saja puncak Kun-lun-pai juga geger karena hilangnya pedang
pusaka Pek-kong-kam yang ditaruh di ruangan suci kelenteng partai besar itu!
Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai merupakan partai-partai besar yang sudah berpuluh tahun
terkenal sebagai partai persilatan yang berpengaruh dan memiliki banyak orang
pandai. Oleh karena itu, kehilangan dua benda pusaka ini tentu saja membuat
mereka menjadi amat penasaran dan juga malu.
Mereka
menjaga rapat peristiwa ini agar jangan sampai tersiar di luaran, dan di
samping itu mereka mengerahkan orang-orang pandai untuk mencari benda pusaka
yang lenyap itu. Akan tetapi, betapa pun rapat mereka menjaga rahasia, berita
itu tetap bocor juga dan sebentar saja seluruh kalangan kang-ouw mendengar
bahwa kitab peninggalan Tiat Mouw Couwsu dari Sauw-lim-pai beserta pedang
pusaka Pek-liong-kiam dari Kun-lun-pai telah dicuri orang.
Ini
merupakan hal yang menggegerkan pula, karena biasanya tidak seorang pun anggota
Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai yang berani membocorkan hal yang dirahasiakan.
Maka timbullah dugaan bahwa kejadian ini memang sengaja dibocorkan oleh
orang-orang atau seseorang yang melakukan pencurian itu. Akan tetapi apa
kehendak mereka?
Tokoh besar
di dunia persilatan, yang baru belasan tahun muncul akan tetapi namanya sudah
dijunjung tinggi serta disegani dengan penuh kekaguman dan hormat oleh semua
ketua partai besar, yakni Bu Pun Su mendengar pula akan hal ini. Ia cepat
menyelidiki. Dengan kepandaiannya akhirnya Bu Pun Su menaruh pikiran curiga
terhadap golongan Mo-kauw. Bahkan ia mendengar pula akan adanya tiga orang aneh
di golongan Mo-kauw ini yang kabarnya memiliki kepandaian luar biasa tingginya.
“Demikianlah,
Sute,” kata Bu Pun Su kepada Han Le sesudah menuturkan itu semua. “Kiranya
tidak akan meleset terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai
hubungan dengan kedua pencurian ini. Kalau bukan mereka, siapa lagi yang berani
dan begitu gegabah mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai? Dan aku mendengar kabar pula bahwa Hek Mo-ko dan
Pek Mo-ko, itu tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas,
telah diambil murid oleh tiga orang itu. Apa bila Hek Pek Mo-ko dua bersaudara
yang berkepandaian begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa
kepandaian mereka memang benar tinggi sekali. Selain ini, aku masih mendengar
kabar lagi bahwa kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih memiliki seorang
murid perempuan yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai dari pada Hek Pek
Mo-ko. Kalau pihak Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai,
sedangkan sepak terjang mereka selalu tersembunyi, aku merasa kuatir sekali.”
"Suheng,
urusan itu sebenarnya tidak amat besar, tetapi kenapa tadi Suheng
menyebut-nyebut mengenai kebangsaan dan kebudayaan? Apa hubungannya kehilangan
kitab dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan
kebudayaan?"......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment