Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 03
Bu Pun Su
menarik napas panjang, "Belum kuceritakan semua keterangan yang dapat
kukumpulkan, Sute. Aku mendengar berita yang tentu saja masih belum dapat
dipercaya betul, bahwa tiga orang yang kini sudah menguasai golongan Mo-kauw
itu, bercita-cita untuk menaklukkan semua orang kang-ouw di negeri ini.
Mereka adalah orang-orang dari barat, dan
kalau mereka berhasil menaklukkan semua orang kang-ouw, dan hal ini bukan tidak
mungkin melihat kelihaian mereka yang kudengar memang luar biasa sekali, tentu
saja urusan ini dekat sekali hubungannya dengan kebangsaan dan kebudayaan kita.
Apa kau tidak ingat betapa orang-orang asing selalu mengilar dan ingin
mencaplok negara kita?
Kalau sampai
orang-orang kang-ouw berada di bawah kekuasaan ketiga orang ini sehingga dapat
mereka perintah dan pergunakan, apa sukarnya merampas negara kita? Dan kalau
sampai kepandaian mereka itu dapat disebar dan menggantikan ilmu silat dari
bangsa kita, bukankah berarti kebudayaan kita akan terpengaruh oleh kebudayaan
asing pula?
Ini bukanlah
soal kecil, Sute, karenanya aku sengaja mencarimu supaya kau suka membantuku,
demikian pula kita harus mendatangi semua ketua partai persilatan itu untuk
bersama-sama menghadapi mereka itu.”
“Siapa
sebetulnya mereka itu, Suheng? Dan orang-orang macam apakah mereka itu?”
“Aku sendiri
belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi aku sudah rnendapat keterangan
serba terbatas mengenai mereka. Konon mereka itu adalah saudara-saudara
segolongan. Yang pertama bernama atau berjuluk Hek-te-ong (Raja Tanah Hitam),
yang ke dua berjuluk Pek-in-ong (Raja Awan Putih) dan yang ke tiga berjuluk
Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau). Mereka datang dari barat dan begitu datang
mereka lalu merobohkan semua tokoh Mo-kauw sehingga para tokoh Mo-kauw itu
takluk dan mengangkat mereka menjadi ketua serta menyebut mereka Thian-te
Sam-kauwcu (Tiga Ketua Agama Bumi dan Langit). Selain itu, rnereka mengajar
agama baru yang berpusat pada penyembahan dan pemujaan terhadap Bumi, Langit
dan Laut. Selanjutnya aku tidak mendengar jelas dan karenanya aku ingin
menyelidikinya sendiri.”
“Sekarang
apa yang hendak kau lakukan, Suheng?”
“Aku hendak
mengajak engkau untuk membantuku membubarkan sarang murid-murid dari Thian-te
Sam-kauwcu.”
“Sarang dari
muridnya? Di sini?”
“Ya, di
lembah Huang-ho di sebelah selatan itu. Kira-kira lima puluh li dari sini.
Thian-te Sam-kauwcu menyebarkan anak buahnya untuk mendirikan cabang di
mana-mana untuk membujuk dan mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw.
Dengan secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa muridnya, Hek Pek Mo-ko,
bersarang di daerah ini. Aku tidak tahu sampai di mana kelihaian mereka, namun
mendengar akan kehebatan kepandaian Thian-te Sam-kauwcu, aku tak mau berlaku
sembrono, lebih menguntungkan kalau kau ikut serta.”
Han Le merasa
agak terheran. Dia percaya akan kepandaian suheng-nya yang sepuluh kali lipat
lebih tinggi dari pada kepandaiannya, tapi mengapa suheng-nya mengajaknya?
“Suheng,
bukankah kau mengajak aku hanya untuk menjadi saksi agar sepak terjangmu
terhadap mereka itu tidak akan disalah tafsirkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw?”
Bu Pun Su
tersenyum. “Kau makin cerdik, Sute. Memang demikianlah. Kita tahu bahwa sejak
dulu Hek Pek Mo-ko biar pun menjadi tokoh Mo-kauw yang amat terkenal, namun
belum pernah dua orang itu mengganggu kita orang-orang kang-ouw, bahkan mereka
dapat disebut sebagai tokoh-tokoh Mo-kauw yang selalu menjauhkan diri dan
menjaga supaya jangan sampai timbul bentrokan antara mereka dengan Beng-kauw.
Akan tetapi sekarang aku hendak menyelidiki dan kalau perlu membasmi sarang
mereka, maka amat baik kalau kau ikut menyaksikannya.”
Berangkatlah
dua orang sakti ini menuju ke tempat yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su. Tempat
yang dimaksudkan itu adalah sebuah dusun di pinggir Sungai Huang-ho, yang
dikelilingi oleh hutan-hutan kecil dan kelihatannya menyeramkan. Begitu kedua
orang ini tiba di luar dusun, mereka berjalan biasa saja.
Berturut-turut
beberapa orang dusun, ada yang berpakaian seperti petani dan ada pula seperti
nelayan, bertemu dengan mereka. Setiap orang dusun ini melayangkan pandang mata
dan mereka ini kelihatan curiga. Bahkan ada beberapa orang nelayan yang masih
muda dan kelihatannya kuat-kuat diam-diam mengikuti Han Le dan Bu Pun Su. Tentu
saja dua orang sakti ini mengetahui hal itu, akan tetapi mereka pura-pura tidak
melihat dan berjalan dengan biasa dan tenang.
Sebuah
kelenteng besar yang berada di dusun itu sungguh tidak sesuai dengan keadaan
rumah-rumah penduduk di sekitarnya yang kecil lagi miskin. Kelenteng ini
agaknya belum lama diperbarui dan anehnya, yang kelihatan membersihkan
kelenteng itu bukanlah para hwesio seperti pada kelenteng-kelenteng lain, akan
tetapi orang-orang dusun, lelaki dan perempuan yang bekerja di halaman depan,
di kanan kiri dan di dalam kelenteng itu!
Pada waktu
melihat Bu Pun Su dan Han Le memasuki pekarangan kelenteng, mereka ini segera
melarikan diri ke dalam kelenteng seperti orang ketakutan.
Bu Pun Su
tersenyum dan berbisik kepada Han Le, “Lihat, Sute, betapa besar pengaruh dan
kekuasaan mereka. Agaknya rakyat dusun juga terkena tipu daya mereka dan sudah
mulai memeluk agama baru itu.”
Han Le
memandang ke dalam kelenteng. Dari pintu yang terbuka, nampak tiga buah arca
sebesar manusia, berupa tiga orang laki-laki tua yang pakaiannya seperti
hwesio-hwesio dari Tibet, bertubuh tinggi besar dan angker. Yang tengah
benar-benar amat tinggi besar seperti raksasa, yang berdiri di kiri agak kurus
sehingga mukanya seperti tengkorak, ada pun yang berdiri di kanan punggungnya
bongkok dan matanya sipit sekali seperti meram.
“Itulah
agaknya patung-patung Thian-te Sam-kauwcu yang dipuja-puja oleh pengikutnya,”
kata Bu Pun Su pula kepada Han Le.
Dari pintu
dalam muncullah dua orang dan Han Le hampir tertawa geli ketika dia melihat
kedua orang itu. Yang seorang bertubuh pendek dan kate sama sekali, telinganya
besar bagai telinga gajah, pakaiannya serba hitam. Ada pun orang yang ke dua
bertubuh tinggi besar, telinganya kecil seperti telinga tikus, sedangkan
pakaiannya serba putih.
Usia mereka
kurang lebih empat puluh tahun dan dari mata mereka, mudah bagi Han Le untuk
menduga bahwa mereka adalah ahli-ahli lweekeh yang memiliki kepandaian tinggi.
Juga, melihat pakaian mereka biar pun ia belum pernah bertemu dengan dua orang
ini, Han Le dapat menduga bahwa mereka tentulah Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko
yang bertubuh kecil pendek itu tertawa bergelak melihat dua orang pendekar itu.
“Ha-ha-ha-ha,
selamat datang, Bu Pun Su dan Han Le, Ji-wi Taihiap! Benar-benar kami mendapat
kehormatan besar sekali dengan kunjungan Ji-wi ini, dan ketiga orang guru besar
kami tentu akan berterima kasih sekali!”
Bu Pun Su
dan Han Le tertegun. Bagaimana dengan sekali pandang saja iblis hitam kate itu
dapat mengenali mereka? Padahal selamanya mereka belum pernah bertemu muka
dengan sepasang iblis hitam putih ini dan keadaan Bu Pun Su mau pun Han Le
tidak sedemikian aneh seperti Hek Mo-ko sehingga mudah dikenal orang.
Berbeda
dengan Hek Mo-ko yang senang tertawa dan mukanya lucu, Pek Mo-ko selalu
bersungut-sungut dan wajahnya murung.
“Kalian ini
orang-orang Beng-kauw ada urusan apakah mengunjungi kami yang kalian anggap
sebagai orang-orang busuk dari Mo-kauw?” tanyanya sambil memandang tajam dengan
sepasang matanya yang sipit.
Bu Pun Su
tidak biasa memutar-mutar omongan dan dia selalu berbicara dan bertindak secara
langsung. Sambil tersenyum ia berkata terus terang,
“Hek Pek
Mo-ko, baru kali ini kita kebetulan saling bertemu dan keadaan kalian ternyata
tetap dan sesuai sekali dengan nama kalian yang terkenal jahat dan aneh.
Ketahuilah, aku dan sute-ku ini datang ke sini karena kami mendengar tentang
adanya tiga orang See-thian yang kini mencengkeram Mo-kauw, tiga orang
See-thian yang sombong dan bercita-cita menaklukkan dunia kang-ouw kita. Aku
mendengar pula mengenai hilangnya kitab rahasia dari Siauw-lim-pai dan pedang
pusaka dari Kun-lun-pai, dan aku juga telah mendengar bahwa banyak tokoh
Mo-kauw yang tadinya biar pun berbeda paham dengan Beng-kauw namun tetap
menjaga kegagahan, tapi sekarang bersaing dan berebut untuk menikah dengan
gadis-gadis muda, yang tentu saja dipaksanya! Bahkan aku mendengar pula bahwa
kalian iblis-iblis tua ini pun telah menikah.”
Pek Mo-ko
mengeluarkan suara gerengan dari tenggorokannya, akan tetapi Hek Mo-ko tertawa
geli. Suara ketawanya mula-mula rendah dan perlahan, akan tetapi makin lama
semakin meninggi dan nyaring sehingga menyakitkan telinga. Mendengar ini saja
Han Le maklum bahwa lweekang dari Hek Mo-ko ini amat tinggi sehingga dia
sendiri belum tentu dapat menandinginya.
“Bu Pun Su,
baru kali ini aku mendengar kau menaruh perhatian kepada nasib golongan
Mo-kauw! Ada apakah kau mencampuri urusan dunia orang golongan kami? Memang
ketiga guru besar kami sudah datang, mereka sengaja datang dari barat untuk
memberi bimbingan kepada kami dan untuk menjaga agar kami tidak selalu dihina
dan dipandang rendah oleh golongan lain. Apakah kau iri hati? Ha-ha-ha, agaknya
kau benar-benar iri hati, apa lagi tentang pernikahan-pernikahan kami dengan
gadis-gadis muda yang cantik manis, karena kau sendiri sampai tua tidak laku,
ha-ha-ha!”
“Ngaco!” Han
Le membentak marah. “Bagaimana jawabanmu mengenai hilangnya kitab rahasia
Siauw-lim-pai dan pedang pusaka Kun-lun-pai?”
Hek Mo-ko
memandang kepada Han Le, lalu dia tersenyum sindir. “Hilangnya kitab dan
pedang, ada hubungan apakah dengan kami? Kau dan suheng-mu ini terkenal sebagai
orang-orang sakti, masa untuk mencari benda-benda yang hilang harus bertanya
kepada kami? Carilah sendiri kalau memang pandai.”
“Baiklah,
Hek Pek Mo-ko, aku akan mencari ke dalam kelenteng ini!” kata Bu Pun Su.
“Jangan kau
berani menginjak kotor tempat suci kami...!” kata Pek Mo-ko marah dan dia
bergerak untuk menghalangi.
Akan tetapi
ia segera melongo karena gerakan Bu Pun Su luar biasa cepatnya sehingga sebelum
Pek Mo-ko tiba di depan pintu untuk menghadang, Bu Pun Su sudah berkelebat
masuk ke dalam kelenteng!
Pek Mo-ko hendak
mengejar ke dalam, akan tetapi mendadak tangannya dipegang oleh Hek Mo-ko.
“Sute, tak perlu dikejar, biarkanlah dia melihat-lihat tempat kita!”
Tadinya Han
Le sudah bersiap-siap untuk bertempur, akan tetapi melihat mereka tidak jadi
mengganggu Bu Pun Su, ia pun diam saja, berdiri tenang sambil tersenyum.
Dengan cepat
sekali Bu Pun Su memasuki kelenteng. Tiga orang yang agaknya menjadi pelayan
atau pembantu Hek Pek Mo-ko, yaitu orang-orang lelaki yang berpakaian seperti
pendeta dan gerakannya cepat dan kuat, lantas maju menubruknya.
Akan tetapi
mereka berseru kaget sekali dan bulu tengkuk mereka berdiri ketika tiba-tiba
mereka bertiga itu terjengkang ke belakang sebelum tangan mereka menyentuh
pakaian Bu Pun Su, seakan-akan ada tenaga aneh keluar dari pendekar sakti ini
yang mendorong mereka ke belakang!
Bu Pun Su
tidak pedulikan mereka lagi, terus ia menyelidiki keadaan di dalam kelenteng
dengan mata yang awas dan tajam sekali. Setiap kamar diselidikinya, akan tetapi
ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kalau kitab serta pedang itu
disembunyikan di dalam kelenteng, kiranya tidak akan terlepas dari pandang mata
pendekar ini.
Di dalam dua
kamar, ia melihat dua orang wanita cantik yang masih muda dan bermuka pucat.
Mereka ini tidak menjerit melihat dia datang, hanya memandangnya dengan mata
yang terbelalak.
“Apakah kau
isteri Hek Mo-ko?” tanyanya kepada wanita di dalam kamar pertama.
Wanita itu
menggelengkan kepalanya, “Aku isterinya Pek Mo-ko, engkau siapakah berani
berlancang memasuki kamarku?” Kemudian wanita ini tertawa menyeringai hingga
muka yang tadinya cantik ini berubah seperti muka iblis.
Bu Pun Su
berdebar kaget. Ternyata isteri Pek Mo-ko ini agak miring otaknya! Dia tidak
bertanya lebih lanjut dan ketika dia bertemu dengan wanita ke dua di kamar
lainnya, dia bertanya pula, “Hemm, kau agaknya isteri Hek Mo ko.”
“Benar,”
wanita itu menjawab, “Kau siapakah dan bagaimana suamiku mengijinkan kau masuk
ke sini?”
Bu Pun Su
sebetulnya segan untuk bicara dengan isteri orang lain, akan tetapi melihat
wanita ini masih amat muda dan cantik, sedangkan Hek Mo-ko demikian buruk rupa
dan setengah tua, ia tak dapat menahan hatinya untuk tidak bertanya.
“Apakah Hek
Mo-ko telah menculik dan memaksamu menjadi isterinya?”
Untuk
sejenak wanita itu hanya diam saja, kemudian dia berdiri dan berkata marah,
“Kau ini manusia dari manakah begini kurang ajar? Aku menikah dengan suamiku
secara sah dan baik-baik, ada sangkut-paut apakah dengan kau maka kau
bertanya-tanya?”
Bu Pun Su
merasa seperti ditampar pipinya. Mukanya menjadi merah sekali. Inilah hal yang
tidak disangka-sangkanya sama sekali dan baru sekarang ini dia melihat atau
dapat menduga bahwa isteri Hek Mo-ko ini sedang mengandung.
“Maaf,
maaf...,” katanya perlahan dan ia lalu keluar lagi dari kamar itu.
Setelah puas
menyelidiki di dalam kelenteng dan tidak mendapatkan sesuatu, dia segera keluar
lagi. Setibanya di ruangan luar, dia berdiri menghadapi tiga patung yang
sebesar manusia itu.
Buatan
patung ini begitu halus hingga benar-benar menyerupai manusia. la memandang
kepada wajah patung yang mewakili Thian-te Sam-kauwcu itu untuk memperhatikan
tiga orang ini. Mereka benar-benar kelihatan angker dan dari sikap mereka ia
dapat menduga bahwa tiga orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba
saja dia teringat akan sesuatu. Siapa tahu kalau-kalau dua benda yang dicuri
dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai itu disembunyikan di dalam patung-patung
ini?
Ia pun
melangkah maju dan meraba pundak patung Pek-in-ong yang berdiri di kiri, yakni
patung yang tinggi kurus mukanya seperti tengkorak. Tiba-tiba terdengar suara
mendesis dan dari mulut patung itu menyambar keluar sinar hitam yang menyerang
ke arah leher dan muka Bu Pun Su!
Pendekar ini
bukan sembarangan ahli silat, melainkan seorang sakti yang telah mewarisi ilmu
silat dan ilmu-ilmu aneh dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Seorang ahli silat
tinggi lainnya belum tentu dapat menghindarkan serangan tiba-tiba dari mulut
patung itu, akan tetapi Bu Pun Su dengan sangat tenang miringkan kepalanya
sehingga sinar hitam itu menyambar lewat.
Ia mencium
bau yang amat amis, maka diam-diam ia bergidik. Tahulah Bu Pun Su bahwa yang
menyambar lewat tadi adalah segenggam jarum-jarum halus berwarna hitam yang
mengandung bisa yang amat jahat.
Bu Pun Su
tersenyum. Dia maklum bahwa dua patung yang lain tentu mengandung alat rahasia
pula, akan tetapi dia bukan Bu Pun Su kalau merasa gentar. Orang lain mungkin
akan merasa khawatir dan tidak berani mengganggu dua patung yang lain, akan
tetapi Bu Pun Su bahkan tertarik dan ingin sekali mengetahui bagaimana cara dua
patung yang lain akan menyerangnya!
Ia mau
coba-coba dan ini pun tidak aneh, karena orang seperti Bu Pun Su ini memang
sudah biasa menantang dan bermain-main dengan maut! Dia lalu menghampiri patung
di kanan, yakni patung dari Ceng-hai-ong yang bertubuh kurus bongkok dan
matanya sipit itu.
Dengan
tenang Bu Pun Su menepuk pundak patung itu. Dan secepat kilat kedua tangan
patung itu bergerak, dengan kukunya yang panjang patung itu mencengkeram ke
depan, kedua tangan menyambar dari kanan kiri!
“Aha, kau
ahli gulat kiranya!” Bu Pun Su mengejek sambil bergerak melangkahkan kaki
mundur, mengelak dari cengkeraman itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba dari jari-jari tangan itu menyambar keluar benda cair berwarna hijau
yang baunya harum! Bu Pun Su kali ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan
ujung lengan baju sebelah kiri dari mana keluar tenaga Pek-in Hoat-sut yang
mengepulkan uap putih, sehingga benda cair itu terpercik kembali dan membasahi
muka patung.
“Hemm,
kiranya semua ahli racun yang berbahaya,” pikir Bu Pun Su.
Ia pikir
bahwa patung yang berada di tengah, yang amat menyeramkan dan tinggi besar itu,
tentulah yang paling lihai. Akan tetapi dia tidak merasa gentar, bahkan gembira
dan sambil tersenyum dia melangkah menghampiri patung ini.
“Coba
perlihatkan kelihaianmu!” katanya sambil menepuk dada patung tinggi besar ini.
Patung ini besar dan tinggi sekali sehingga Bu Pun Su hanya sampai di leher
tingginya.
Begitu
tangan kanan Bu Pun Su menepuk dada patung, terdengar suara keras dan dada
patung itu tiba-tiba terbuka, dari mana keluar menyambar uap hitam yang
menyerang ke depan. Ini masih disusul pula dengan bergeraknya kaki kanan patung
yang melakukan tendangan kilat ke depan, kemudian dari mata, hidung, telinga
serta mulut patung itu menyambar keluar asap hitam sedangkan kedua tangan
memukul pula ke depan.
Inilah
serangan sekaligus yang sangat luar biasa dan berbahaya sehingga Bu Pun Su
sendiri menjadi terkejut. Pendekar sakti ini tidak berani menangkis, melainkan
melompat mundur cepat sekali sambil menggoyang-goyang kepalanya.
“Kau jahat
sekali... jahat sekali...” Setelah berkata demikian, ia lalu melompat keluar
dari kelenteng.
Ia sudah
merasa puas karena pada saat tangannya menepuk patung-patung tadi, ia telah
mengerahkan lweekang-nya sehingga apa bila di sana tersembunyi benda keras
seperti pedang mustika, tentu bunyi pedang itu akan terdengar. Namun tadi ia
hanya mendengar suara mendengung tanda bahwa di dalam patung itu hanya berisi
hawa, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan merusak patung itu secara diam-diam.
Dia benci
melihat ketiga patung itu, bukan benci kepada orang karena macamnya, akan
tetapi benci kalau mengingat betapa tiga orang dari barat ini sudah menguasai
Mo-kauw dan menyebarkan pelajaran atau agama baru yang sesat. Di mana ada
pendeta-pendeta suci yang menganjurkan pemeluk-pemeluk agamanya memuja dan
menyembah mereka sendiri?
Setibanya di
luar kelenteng, Bu Pun Su disambut oleh Pek Mo-ko dengan muka merah. “Bu Pun Su
kau sudah menghina kami, kau sudah mengotori kelenteng kami yang suci. Meski
pun namamu sudah terkenal di seluruh kolong langit, jangan kira bahwa aku Pek
Mo-ko takut melawanmu!”
“Habis, kau
mau apa?” Bu Pun Su bertanya. “Seperti sudah kukatakan tadi, aku datang buat
mencari kitab dan pedang dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang hilang dan
terus terang saja aku mencurigai Thian-te Sam-kauwcu. Akan tetapi sayang aku
tidak dapat menemukannya di dalam kelenteng ini.”
Terdengar
Hek Mo-ko tertawa mengejek. “Kau memang gatal tangan dan suka sekali ikut
mencampuri urusan orang lain. Bu Pun Su, setelah kau datang dan mengacau
kelenteng kami, sebagai tuan rumah terpaksa kami harus membela diri dari hinaan
ini. Kedatangan kalian mengacau kelenteng ini berarti sebuah tantangan, kalau
saja kami tidak melayani, bukankah kami akan ditertawai orang? Nah, bersiaplah,
kita boleh main-main sebentar.”
Sambil
berkata demikian, Hek Mo-ko beserta Pek Mo-ko masing-masing mengeluarkan senjata
mereka. Dua orang Iblis Hitam Putih ini amat lihai dan senjata mereka juga
bukan senjata sembarangan.
Tangan kanan
mereka memegang sebatang pedang yang ujungnya bercabang. Pedang ini bukan saja
sangat ampuh dan kuat karena terbuat dari bahan yang baik, akan tetapi juga
ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan untuk mengait dan merampas serta
merusak senjata lawan.
Akan tetapi,
betapa pun lihainya pedang di tangan kanan, masih lebih lihai lagi senjata aneh
yang berada pada tangan kiri mereka. Senjata ini berupa seuntai tasbeh dari
logam hitam.
Tasbeh ini
dapat dimainkan begitu saja, akan tetapi sambungannya dapat pula dilepas
sehingga merupakan sebuah pian atau senjata rantai yang hebat. Senjata ini juga
masih bisa digunakan dengan cara lain, yakni batu-batu tasbeh itu dapat
diloloskan keluar dari untaiannya dan dipergunakan sebagai senjata yang
berbahaya!
Melihat
sikap Hek Pek Mo-ko yang menantang ini, Han Le mendahului suheng-nya. Dia cepat
melompat ke depan menghadapi mereka sambil mencabut pedangnya yang jarang
keluar dari sarung itu.
“Hek Pek
Mo-ko, kalian berdua dan kami pun berdua. Biarlah kita mencoba kepandaian
masing-masing, seorang dari pada kalian boleh melawan aku, ada pun yang seorang
lagi nanti menghadapi Suheng Bu Pun Su.”
“Hek Pek Mo-ko
dua saudara tidak pernah berpisah,” Hek Mo-ko berkata. “Kami sudah bersumpah
hidup bersama mati berdua, dalam pertempuran kami selalu maju bersama.”
“Itu tidak
adil!” kata Han Le. Dia tidak gentar menghadapi seorang di antara mereka akan
tetapi kalau dikeroyok dua, selain berat juga tidak adil.
“Suheng,
biarlah sekali ini aku menghadapi dia sendiri!” kata Pek Mo-ko yang berwatak
berangasan dan baru saja dia berkata demikian, tasbeh di tangan kirinya sudah
bergerak menyambar kepala Han Le.
“Bagus!”
seru pengemis sakti ini. Cepat dia mengelak sambil menggerakkan pedangnya yang
menusuk ke arah ulu hati lawannya.
Akan tetapi
Pek Mo-ko ternyata memiliki gerakan yang gesit sekali. Tusukan pedang ini
segera dia tangkis dengan pedangnya yang berujung aneh itu. Cabang ujung
pedangnya menempel dan diputar demikian rupa untuk mengait badan pedang Han Le
dan hendak mematahkannya.
Akan tetapi
Han Le bukanlah murid Ang-bin Sin-kai kalau ia tidak dapat menghindarkan diri
dari serangan lawan ini. Dengan gerakan Sian-jin Khai-in (Dewa Membuka Awan) ia
melakukan gerakan ‘membuka’ dari ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat yang diajarkan
oleh Ang-bin Sin-kai.
Pedangnya
yang terkait itu secara aneh sudah membuka serangan lawan sehingga Pek Mo-ko
bukannya dapat merampas atau mematahkan pedang lawannya, bahkan telapak
tangannya merasa panas sekali sehingga dia cepat-cepat menarik pulang
pedangnya. Sebagai gantinya, kembali tasbeh menyambar ke lambung Han Le.
Han Le
terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan ini mampu bergerak secepat itu,
cepat melakukan serangan lanjutan begitu serangan pertama ditangkis. Dia lalu
memutar pedangnya dan mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk menghadapi
lawan yang amat lihai ini. Di lain pihak, secara diam-diam Pek Mo-ko harus
mengakui kelihaian kiam-hoat lawannya.
Tidak saja
sangat lihai, akan tetapi juga aneh sekali dan memiliki gerakan yang otomatis
setiap kali menghadapi desakannya. Ia tentu saja tidak tahu bahwa selain telah
mewarisi Hun-khai Kiam-hoat dan ilmu-ilmu silat tinggi dari gurunya, yakni
Ang-bin Sin-kai, juga Han Le secara tekun telah mempelajari lukisan-lukisan di
Pulau Pek-hio-to sehingga biar pun hanya kulitnya, ia telah sedikit-sedikit
mempelajari ilmu-ilmu yang lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng! Pelajaran ini
membuat gerakan Han Le menjadi otomatis dan matanya amat tajam dapat mengikuti
semua arah tujuan serangan lawan.
Pek Mo-ko
menggereng keras. Dua senjatanya yang aneh itu diputar cepat, bertubi-tubi dan
berganti-ganti melakukan serangan maut. Namun, dengan pedangnya, Han Le dapat
membendung gelombang gerakan serangan ini sehingga sampai lima puluh jurus
lebih mereka bertempur, tidak ada yang terdesak. Kepandaian mereka jauh berbeda
sifatnya, namun tingkat mereka boleh dikatakan seimbang sehingga pertempuran
itu benar-benar merupakan pertempuran yang amat seru.
Saking
penasaran menghadapi lawan yang sangat tangguh ini, Pek Mo-ko melepaskan
sambungan tasbehnya sehingga tasbeh ini kini bukan merupakan lingkaran, akan
tetapi menjadi seutas pian yang lemas dan panjang.
Pek Mo-ko
beserta suheng-nya telah melakukan ratusan pertempuran dan jarang sekali ada
orang yang sanggup mengalahkan mereka. Di sebelah barat atau selatan dari
Tibet, mereka berdua merupakan sepasang iblis yang ditakuti dan disegani,
bahkan golongan-golongan partai persilatan besar di barat seperti Go-bi-pai dan
Kun-lun-pai, semuanya mengakui kelihaian Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi kini
menghadapi Han Le, Pek Mo-ko tak berdaya, bahkan tidak dapat mendesak, sungguh
pun ia tidak dapat dikatakan kalah oleh pengemis sakti itu.
Saking
marahnya, dalam jurus ke tujuh puluh, Pek Mo-ko berseru keras dan secepat kilat
pedangnya membacok dari kanan ke kiri. Pada saat Han Le mengelak, pedang ini cepat
sekali membalik dan menyambar ke leher. Inilah gerakan yang tidak terduga-duga,
apa lagi ketika tasbeh yang sudah menjadi pian itu menyambar ke lambung!
Han Le
maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua serangan yang
dilakukan sekaligus ini, maka dia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang amat
lihai dan keberaniannya yang luar biasa. Pedang yang menyambar lehernya
ditangkisnya dengan pedangnya sendiri, sambil mengerahkan tenaga ‘menempel’
sehingga begitu dua pedang itu bertemu lalu tidak dapat terpisah kembali,
seakan-akan besi berani dengan besi! Ada pun tasbeh yang menyambar ke lambung
kirinya, cepat ditangkis dengan tangan kiri, lalu ia mengerahkan tenaga
membetot.
Sekarang
keadaan dua orang itu benar-benar aneh. Keduanya tidak bergerak, bagaikan
patung dalam kuda-kuda yang amat kuat. Tangan kanan yang memegang pedang saling
mendorong akan tetapi tangan kiri yang memegang tasbeh saling membetot.
Pertarungan
kini beralih kepada pertarungan tenaga lweekang, tapi bukan pertandingan lweekang
yang biasa, karena tenaga pada seluruh tubuh disalurkan menjadi dua bagian,
atau terpecah menjadi dua. Sebagian disalurkan ke tangan kanan yang mendorong,
dan sebagian lagi disalurkan ke tangan kiri yang menarik! Hal ini tidak mampu
dilakukan oleh sembarang ahli silat yang tenaga lweekang-nya belum tinggi.
Sampai
beberapa puluh detik mereka tak bergerak sama sekali, dan nyata sekali bahwa
masing-masing mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya untuk mencuri kemenangan.
Sekarang sudah tidak ada jalan untuk mundur lagi, karena siapa yang mundur
lebih dulu, banyak bahaya akan menderita luka hebat! Tidak ada jalan lain lagi
kecuali mengerahkan tenaga dan mendesak lawan dengan lweekang.
Pertandingan
ini berubah menjadi perjuangan mati hidup! Dari kepala dua orang jago ini telah
mengepul uap putih, tanda bahwa mereka telah mengerahkan tenaga yang terakhir!
Tiba-tiba
saja Hek Mo-ko tertawa bergelak, “Sute, mengapa kau sekarang begini lemah?”
katanya. Dengan ringan dan cepat sekali ia telah meloncat di belakang Pek Mo-ko
sambil menepuk-nepuk punggungnya seakan-akan orang yang mencela dan menegur.
Akan tetapi
Han Le terkejut bukan main, ketika pada saat Hek Mo-ko menepuk punggung
sute-nya, ia merasa tubuhnya bergetar dan kuda-kudanya tergempur!
“Hek Mo-ko,
tidak malukah engkau?” tiba-tiba Bu Pun Su menegur.
Pendekar
sakti ini berdiri di belakang Han Le dengan jarak satu tombak lebih. Dia tidak
menghampiri sute-nya untuk membantu, melainkan menggerakkan kedua tangan ke
arah sute-nya itu seperti orang mendorong, dan dari kedua tangannya keluar uap
putih. Inilah ilmu Pek-in Hoat-sut yang tiada taranya di dunia!
Hek Mo-ko
yang masih menempelkan tangan di punggung sute-nya tiba-tiba terdorong oleh
tenaga yang amat hebat, yang keluar dari sepasang tangan Han Le, sebaliknya Han
Le merasa betapa punggungnya kemasukan hawa hangat yang menyegarkan semangat
dan tubuh sehingga ia mengerahkan tenaganya lagi.
Pek Mo-ko
dan Hek Mo-ko hendak mempertahankan diri, namun tenaga bantuan dari Bu Pun Su
benar-benar hebat sehingga mereka berteriak keras dan tubuh mereka terlempar ke
belakang berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih sampai dua tombak lebih!
Pedang dan tasbeh di tangan Pek Mo-ko tadi terlepas dari tangan dan jatuh di
tanah, menimpa batu sehingga menimbulkan suara berkerontangan!
Baiknya Bu
Pun Su tidak berniat mencelakai kedua orang iblis ini sehingga mereka tidak terluka
hebat, hanya Hek Mo-ko yang terkena langsung pembalikan tenaga Pek Mo-ko
sehingga wajahnya memucat dan mulutnya menyemburkan darah. Akan tetapi, sesudah
mengatur napas dia pun pulih kembali. Sambil memandang dengan terheran-heran,
Hek Mo-ko menghadapi Bu Pun Su dengan melompat berdiri.
“Bu Pun Su,
kau benar-benar lihai sekali. Aku dan sute-ku terima kalah,” katanya sambil
menjura.
Akan tetapi
Bu Pun Su tidak mempedulikannya, hanya berpaling kepada Han Le. “Sute, kita
tidak mempunyai urusan lagi di sini, mari kita pergi.”
Pada saat
kedua orang sakti itu hendak pergi, tiba-tiba saja dari atas genteng kelenteng
melayang turun bayangan tubuh yang ramping dan tercium bau yang harum.
Tahu-tahu seorang wanita sudah berdiri menghadang Bu Pun Su dan Han Le.
Dua orang
sakti ini berdiri bengong, tertegun dan takjub, bukan karena kecantikan yang
luar biasa dari gadis itu, melainkan melihat cara gadis itu melompat turun dari
genteng seakan-akan melayang atau terbang! Inilah menandakan bahwa ginkang dari
gadis ini telah mencapai puncak kesempurnaan. Bahkan Bu Pun Su yang menjadi
ahli waris dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan memiliki ginkang yang jauh melebihi
kebanyakan ahli silat tinggi, menjadi terheran-heran.
Orang yang
melayang turun itu adalah seorang gadis cantik sekali, pakaiannya mewah dan
indah, rambutnya yang panjang dan hitam disanggul dalam cara yang amat menarik.
Kulit mukanya putih kemerahan, nampak halus dan segar, sepasang matanya
bagaikan bintang di langit cerah, bibirnya tersenyum-senyum manis sekali.
Pendek kata, selama hidupnya, baik Han Le mau pun Bu Pun Su sendiri, belum
pernah melihat seorang gadis secantik ini.
Melihat muka
dan potongan badannya, orang akan menaksir bahwa paling banyak gadis ini
berusia dua puluh tahun. Akan tetapi orang itu akan terkejut dan tidak mau
percaya kalau diberi tahu bahwa gadis ini adalah seorang wanita yang usianya
sudah tiga puluh tahun lebih! Inilah dia murid terpandai sekaligus terkasih
dari Thian-te Sam kauwcu, yang disebut Bi Sian-li (Bidadari Cantik) Pek Hoa
Pouwsat!
Tadinya Han
Le dan Bu Pun Su sendiri tidak dapat menduga siapa adanya gadis ini. Akan
tetapi ketika Bu Pun Su melihat setangkai bunga yang bentuknya indah dan aneh,
berwarna putih seperti salju menghias rambut yang digelung indah itu, tiba-tiba
saja dia teringat. Akan tetapi dia masih ragu-ragu sehingga dia kemudian
bertanya,
“Apakah kami
berhadapan dengan Pek Hoa Pouwsat?”
Gadis itu
tersenyum lebar. Bibirnya merah bergerak-gerak sehingga nampaklah deretan gigi
yang bersih dan berkilau seperti mutiara.
“Bu Pun Su
sungguh-sungguh bermata tajam sekali, sayang kau terlalu ganas dan gatal tangan
sehingga kau berani merusak tiga patung dari guru-guruku. Untuk kedosaan ini
kau harus menerima hukuman! Hek Pek Sute, mari kita gempur dia yang telah merusak
patung Sam-wi Suhu!”
Sambil
berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu dia telah memegang
sepasang siang-kiam (sepasang pedang), kemudian tanpa banyak cakap lagi dia
segera menggerakkan kedua pedang itu yang meluncur dan menyerang leher dan dada
Bu Pun Su!
Hek Pek
Mo-ko sudah gentar menghadapi Bu Pun Su dan mereka sudah maklum pula akan
kelihaian pendekar sakti ini, akan tetapi ketika mereka mendengar bahwa Bu Pun
Su telah merusak patung tiga orang suhu dan pemimpin mereka, Hek Pek Mo-ko
menjadi marah sekali. Apa lagi sekarang mereka dibantu pula oleh Pek Hoa
Pouwsat, maka hati mereka menjadi tabah dan semangat besar. Sambil mengeluarkan
suara mengancam, sepasang iblis hitam putih ini lalu menyerbu dan mengeroyok Bu
Pun Su.
Melihat
suheng-nya dikeroyok, Han Le tentu saja tidak mau tinggal diam. Dia mencabut
pedangnya.
Namun
tiba-tiba Bu Pun Su berkata, “Simpan kembali pedangmu, Sute. Perempuan ini
lihai sekali, kau takkan menang. Biarkan aku menghadapi mereka bertiga,
hitung-hitung mengukur kepandaian Thian-te Sam-kauwcu!”
Han Le
percaya akan kata-kata suheng-nya, sebab ia memang melihat betapa sepasang
pedang dari Pek Hoa Pouwsat itu amat lihai. Sepasang pedang ini bergerak terus
susul menyusul dalam serangannya, merupakan serangan berantai yang tiada habisnya.
Akan tetapi dia lebih percaya akan kesaktian Bu Pun Su maka dia cepat melompat
ke pinggir dan berdiri menonton pertempuran itu dengan hati tenang.
Pertempuran
itu berjalan seru sekali, jauh lebih ramai dari pada pertempuran antara Pek
Mo-ko dan Han Le tadi. Akan tetapi pertandingan ini sebetulnya berat sebelah.
Tidak saja Bu Pun Su dikeroyok tiga, juga ketiga orang lawannya menggunakan
senjata pasangan sehingga mereka bertiga menggunakan enam buah senjata, ada pun
Bu Pun Su sendiri bertangan kosong!
Akan tetapi
di sinilah terlihat kelihaian Pendekar Sakti ini! Tiga orang pengeroyoknya itu
merupakan tokoh-tokoh dari tingkat tinggi, bisa dibilang duduk pada tingkatan
nomor satu dalam deretan tokoh-tokoh persilatan di masa itu, akan tetapi ia
masih dapat menghadapi mereka dengan mengandalkan sepasang tangan berikut ujung
lengan baju saja!
Di sini
terlihat pula kehebatan dari pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng dan terbukti
bahwa ilmu silat Pek-in Hoat-sut yang diciptakan oleh Bu Pun Su benar-benar
hebat luar biasa. Menghadapi keroyokan tiga orang lawannya, tidak hanya
sepasang lengannya saja yang mengeluarkan uap putih, bahkan seluruh tubuhnya
diliputi uap putih yang mengandung tenaga mukjijat.
Patut sekali
ilmu silat ini dinamakan Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), oleh karena
pengaruhnya seperti ilmu sihir saja. Setiap serangan senjata yang digerakkan
oleh lawan dengan pengerahan tenaga lweekang tinggi, begitu terbentur oleh
sambaran uap putih itu langsung terpental membalik kepada penyerangnya sendiri.
Ini masih
belum hebat. Yang membuat Pek Hoa Pouwsat kadang-kadang berseru kaget adalah
ketika Bu Pun Su membalasnya dengan serangan yang sama seperti gerakannya
sendiri!
Bagaimana Bu
Pun Su bisa meniru limu silatnya? Ilmu silat pedang kepunyaan Pek Hoa Pouwsat
adalah ilmu asli dari barat, bukan ilmu silat Tiongkok. Sungguh pun sumbernya
memang ada hubungan, bahkan boleh dibilang sama, namun perkembangannya sudah
demikian berbeda sehingga jauh bedanya apa bila dipandang begitu saja.
Semenjak
kecil Pek Hoa Pouwsat hidup di Nepal, bahkan belajar ilmu silat di sana pula,
dari Thian-te Sam-kauwcu. Lalu bagaimanakah sekarang Bu Pun Su bisa
menyerangnya dengan ilmu silat yang gerakannya serupa?
Dia tidak
tahu bahwa inilah kehebatan ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Di dalam
ilmu silat yang dipelajarkan oleh kitab rahasia ini, terdapat pelajaran dari
pokok gerakan semua ilmu silat dan semua gerakan kaki tangan, sehingga belum
tiba serangan lawan, dari gerakan pundak dan pangkal paha saja Bu Pun Su telah
mengetahui apa yang akan dilakukan oleh lawan dalam penyerangannya. Ilmu ini
ditambah oleh ketajaman mata dan kecerdikan ingatannya sehingga sekali lihat
saja ia sudah dapat pula menangkap inti sari setiap serangan, kemudian dapat
melakukan serangan semacam itu pula dengan sama hebatnya, kalau tidak boleh
dibilang lebih sempurna lagi!
Di lain
pihak Bu Pun Su memuji ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Ilmu
pedang ini kelihaiannya tak kalah oleh Hun-khai Kiam-hoat ciptaan Ang-bin
Sin-kai, dan dia tadi tidak membohong ketika menyatakan bahwa Han Le tak akan
dapat menang dari gadis ini. Juga yang membikin gadis itu sukar dilawan adalah
ginkang-nya yang luar biasa, seakan-akan gadis ini benar-benar seorang bidadari
yang dapat terbang.
Setelah bertempur
beberapa puluh jurus dan memperhatikan gerakan Pek Hoa Pouwsat, Bu Pun Su baru
tahu kenapa gadis itu dapat bergerak sedemikian ringan dan cepatnya. Setiap
gerakan yang cepat didahului oleh terbukanya pangkal lengan, dan matanya yang
tajam dapat melihat bahwa di punggung gadis ini, tersembunyi di balik pakaian,
terdapat semacam alat yang terisi angin. Agaknya semacam alat penggerak yang
mengandung tenaga yang kerjanya seperti sepasang sayap. Memang harus diakui
bahwa ginkang dari gadis itu lebih tinggi dari pada Han Le, akan tetapi tanpa
bantuan alat tak mungkin gadis itu dapat bergerak seperti terbang!
Dalam
menghadapi tiga orang pengeroyoknya ini, Bu Pun Su memang hanya bermaksud
menguji kepandaian mereka saja, sama sekali tidak bermaksud melukai atau
membunuh mereka. Biar pun tidak mudah baginya, akan tetapi kalau dia mau ia
mampu merobohkan tiga orang lawannya ini.
Biar pun
demikian, tangkisan-tangkisan dari tenaga Pek-in Hoat-sut telah membuat muka
Hek Pek Mo-ko menjadi pucat. Ini adalah akibat dari benturan tenaga Pek-in
Hoat-sut yang membuat setiap serangan tenaga lweekang mental kembali dan balik
menghantam penyerangnya sendiri.
Tidak
demikian dengan Pek Hoa Pouwsat. Gadis ini maklum bahwa dalam hal lweekang ia
tidak mampu menandingi Bu Pun Su, maka serangannya dia andalkan pada kegesitan
tubuhnya. Tiap tusukan atau sabetan pedangnya hanya dilakukan dengan tenaga
lemas sehingga ia tidak terserang oleh tenaganya sendiri yang membalik.
Dipandang
dari sudut ini saja sudah dapat diketahui bahwa gadis ini jauh lebih cerdik
dari pada Hek Pek Mo-ko. Dan juga Bu Pun Su mendapat kenyataan bahwa walau pun
kedua iblis itu dalam hal tenaga lweekang lebih kuat dari pada Pek Hoa Pouwsat,
akan tetapi kepandaian gadis ini masih lebih tinggi.
Setelah
menyerang sampai enam puluh jurus lebih, tahulah Pek Hoa Pouwsat bahwa dia dan
dua orang kawannya tak akan mungkin menangkan Bu Pun Su. Ia telah berkali-kali
mengeluarkan hoat-sutnya, berkemak-kemik dan berkali-kali menyebarkan hawa
beracun yang berbau harum sekali.
Lain orang
apa bila terkena serangan ini pasti akan menjadi lemas dan jatuh pingsan. Akan
tetapi berkat hawa Pek-in Hoat-sut, semua serangan ilmu hitam ini buyar tidak
ada pengaruhnya terhadap Bu Pun Su!
“Ombak
pasang! Buka layar dan mendarati!” tiba-tiba Pek Hoa Pouwsat berseru.
Inilah
bahasa rahasia dari perkumpulan mereka dan tiba-tiba saja gadis ini membanting
sesuatu di antara dia dan Bu Pun Su. Pendekar sakti ini sudah dapat menduga,
maka cepat-cepat ia melompat mundur.
Terdengar
ledakan keras. Asap hitam memenuhi tempat itu, membuat pandangan mata menjadi
gelap. Setelah asap hitam membuyar, bayangan Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko
tidak kelihatan lagi! Sebagai gantinya, di sekeliling tempat itu, penduduk
dusun itu telah mengurung Bu Pun Su dan Han Le. Mereka ini membawa senjata dan
memandang dengan sikap mengancam!
“Sute, kau
pergilah ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, beri tahukan supaya mereka dan semua
partai persilatan golongan Beng-kauw agar supaya berhati-hati terhadap Thian-te
Sam-kauwcu. Kurasa mereka mengandung maksud kurang baik. Biar aku mencari kitab
dan pedang yang hilang!” Sehabis berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su
lenyap dari situ.
Semua petani
yang sudah dipengaruhi oleh agama baru itu menjadi terheran-heran. Tapi kini
mereka mengurung dan mendekati Han Le dengan sikap mengancam, seakan-akan
hendak mengeroyoknya.
Han Le
tertawa pahit. Kemudian dengan sekali melompat saja, dia pun lenyap melalui
atas kepala para pengurungnya sehingga kembali para penduduk dusun itu melongo
dan saling pandang!
Bu Pun Su
menyelinap ke dalam kelenteng hendak mencari Pek Hoa Pouwsat serta Hek Pek
Mo-ko untuk dipaksa mengaku di mana adanya Thian-te Sam-kauwcu, atau di mana
adanya kitab dan pedang. Akan tetapi setelah tiba di dalam kelenteng, ia tak
melihat lagi bayangan mereka, bahkan dua orang isteri Hek Pek Mo-ko sudah
tenyap pula.
***************
Kita kembali
ke dusun Sui-chun yang sungguh pun hanya sebuah dusun namun besar menyerupai
kota yang cukup ramai. Di rumah keluarga Song pada malam hari itu amat sunyi.
Song Lo-kai, atau kini lebih terkenal dengan sebutan Song-lo-wangwe karena dia
memang kaya raya, sudah tidur pulas. Para pelayan juga sudah tidak kelihatan
lagi.
Akan tetapi,
apa bila orang mau menengok ke dalam taman bunga yang luas di belakang gedung
itu, dia akan melihat bahwa di dalam kebun itu masih ada beberapa orang yang
sedang bercakap-cakap. Mereka ini bukan lain adalah Song Bi Li, Ceng Si
pelayannya, dan seorang pemuda yang tampan.
Pemuda ini
bukan lain adalah Cia Sun, siucai miskin yang mencinta Bi Li. Atas bantuan Ceng
Si pelayan dari nona itu, Cia Sun pada malam hari ini berhasil memasuki taman.
Tadinya Song
Bi Li terkejut, marah dan amat khawatir melihat pemuda itu sangat lancang
berani memasuki tamannya. Akan tetapi Cia Sun segera menjatuhkan diri berlutut
sambil menangis tersedu-sedu!
“Song-siocia,
kau benar-benar berhati kejam. Ambillah sebatang pedang dan bunuhlah saja Cia
Sun yang miskin dan malang ini. Untuk apa hidup lebih lama lagi di dunia ini?”
Demikian Siucai tampan itu menangis.
Song Bi Li
yang masih hijau itu tentu saja dapat dikelabuhi dan merasa amat terharu.
“Cia-siucai,
kenapa kau begini berduka? Jangan begitu dan kau pergilah, jika Kongkong tahu
bahwa kau masuk ke sini, kau tentu akan mendapat kesukaran.”
“Lebih baik
diketahui oleh Kongkong-mu agar aku dibunuh! Song-siocia, kau benar-benar kejam
sekali. Bagaimana kau dapat menerima pinangan orang lain? Kalau kau menjadi
isteri orang lain, bagaimana dengan aku, Cia Sun yang bodoh dan miskin?”
Muka Song Bi
Li menjadi merah. Ia bingung dan bibirnya gemetar, tidak tahu bagaimana harus
menjawab. Akhirnya Ceng Si yang mewakili nonanya bicara,
“Cia-kongcu,
sudahlah, jangan kau terlalu berduka. Nona terpaksa menerima kehendak
kongkong-nya karena dalam pernikahan, apakah daya seorang gadis terhadap
kehendak orang tua? Ada pun tentang kau, Kongcu, Siocia tentu saja tidak akan
melupakan begitu saja. Bahkan Siocia sudah berjanji kepadaku untuk memberi
bekal kepadamu agar kau melanjutkan pelajaranmu di kota raja, agar kelak kau
bisa menjadi seorang berpangkat.”
Cia Sun
menangis lagi. “Bagaimanakah seorang miskin seperti aku ini dapat melanjutkan
pelajaran di kota raja? Tidak saja biaya perjalanan ke sana amat besar, juga
kehidupan di kota raja amat mahal. Apakah kau ingin aku menjadi seorang
pengemis kelaparan di sana?”
“Bukan
begitu, Cia-sicu,” kata Bi Li, “Biar pun aku tidak terlalu kaya, akan tetapi
kiranya aku akan dapat membantumu. Aku sudah merencanakan hal ini dengan Ceng
Si, dan ini ada sedikit uang untuk bekal di perjalanan. Kalau kiranya tidak
mencukupi, kelak dengan perantaraan Ceng Si, aku akan dapat membantumu lagi.”
Sambil
berkata demikian Bi Li memberi tanda dengan matanya kepada Ceng Si. Pelayan ini
kemudian mengeluarkan sekantung uang emas yang memang sudah disediakan oleh
nonanya, lalu memberikan kantung itu kepada Cia Sun.
Pemuda itu
menerimanya kemudian berpura-pura marah dan berduka. Dia melemparkan kantung
uang itu ke atas, lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Apa artinya
uang bagiku? Apa artinya kalau aku dapat melanjutkan pelajaran sehingga
menerima pangkat tinggi sekali pun? Apa artinya hidup tanpa adanya kau di
sampingku, Song-siocia? Cinta kasihku tidak semurah ini, tidak akan terbeli
oleh harta dunia, takkan dapat ditukar dengan emas segunung Thai-san!”
“Cia-siucai,
harap kau dapat berpikir lebih panjang dan jangan membikin susah padaku,” kata
Bi Li. “Memang telah menjadi kehendak Thian bahwa di dunia ini kita tidak
berjodoh. Harap kau suka menaruh kasihan padaku. Terimalah uang itu dan kelak
akan kutambah sewaktu-waktu kau memerlukannya.”
Pada saat
itu kelihatan sinar lampu di kamar Kakek Song yang tadinya padam gelap.
“Nah, Loya
agaknya bangun...,” kata Ceng Si ketakutan.
“Cia-siucai,
lekas pergi, Kongkong bangun...,” kata Bi Li.
Ceng Si
mengambil kantung uang itu dan langsung menarik tangan Cia Sun menuju ke pintu
taman. Pemuda ini cepat-cepat membawa kantung uang itu dan keluar dari taman.
“Ceng Si,
jangan lupa membujuk dia memberikan mainan indah, hiasan rambut berupa
kupu-kupu dan bunga cilan yang dia terima dari calon suaminya itu,” katanya
perlahan ketika mereka hendak berpisah.
Ceng Si
mengangguk. “Asal kau jangan lupa mengawiniku kelak,” jawabnya.
Kemudian
pemuda itu menyelinap di dalam gelap, sedangkan Ceng Si kembali ke dalam taman.
Akan tetapi, baru saja beberapa langkah Cia Sun berjalan dengan hati gembira
sambil membawa sekantung uang emas itu, tiba-tiba menyambar bayangan yang
sangat ringan.
Cia Sun
terkejut sekali ketika melihat bayangan orang menyambar turun di depannya dan
tercium bau yang amat harum olehnya. Saking kagetnya hampir saja dia berteriak,
akan tetapi begitu bayangan itu mengulur tangan dan jari-jari yang halus
menyentuh lehernya, pemuda ini tidak dapat mengeluarkan suara apa-apa. Jalan
darah Ah-tai-hiat di lehernya telah ditotok! Maka ia hanya dapat memandang
dengan mata terbelalak.
“Hemm, kau
hendak mempermainkan seorang gadis kaya? Bagus sekali, orang macam kau harus
dicongkel kedua matanya!” terdengar bentakan yang halus merdu, “Kau rebah dulu
di sini, hendak kulihat gadis macam apa dia yang hendak kau permainkan itu.”
Kembali
jari-jari halus itu bergerak menotok pundak dan robohlah Cia Sun, roboh dengan
tubuh lemas tak dapat bergerak, karena kini jalan darah Thian-hu-hiat yang
sudah ditotok secara istimewa sekali.
Cia Sun
tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan ini, karena keadaan sangat gelap. Dia
hanya tahu bahwa orang itu adalah seorang wanita yang memiliki suara merdu,
serta berbau harum sekali.
Perempuan
ini tidak lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te
Sam-kauwcu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia telah dikalahkan
oleh Bu Pun Su dan berhasil melarikan diri setelah melepaskan semacam alat
peledak yang bisa menimbulkan asap hitam tebal.
Akan tetapi,
sesudah melarikan diri beberapa hari kemudian, dia merasa bagaikan selalu
dikejar-kejar atau diikuti oleh Bu Pun Su! Sungguh pun ia tidak pernah melihat
pendekar sakti ini mengikutinya, tetapi perasaannya selalu tidak enak dan
demikianlah, malam hari itu ia terus melanjutkan perjalanannya sampai di dusun
Sui-chun.

Melihat
rumah gedung Song Lo-kai, dia tertarik dan ingin mencuri masuk dan beristirahat
di situ. Secara kebetulan ia lalu melihat pertemuan antara Song Bi Li dan Cia
Sun dan kemudian ia membikin pemuda itu tidak berdaya.
PEK HOA
POUWSAT atau lebih singkat disebut Pek Hoa karena memang demikianlah nama
asalnya, melompat ringan dan tiba kembali dalam taman bunga. Keadaan di situ
tadinya hanya remang-remang belaka, maka ia tidak dapat melihat jelas bagaimana
wajah Bi Li, Ceng Si dan juga Cia Sun. Kini setelah Cia Sun pergi, Bi Li berani
menyuruh pelayannya menyalakan lampu taman sehingga keadaan di situ terang.
Melihat
wajah Bi Li, Pek Hoa amat kagum. Tanpa terasa ia berseru, “Ayaa, tidak tahunya
gadis ini cantik jelita sekali...”
Suaranya
terdengar oleh Bi Li dan Ceng Si sehingga dua orang gadis itu terkejut sekali.
Selagi mereka bingung dan terheran-heran, muncullah Pek Hoa dari balik batang
pohon, muncul bagaikan seorang peri, cantik jelita dan menyiarkan aroma yang
harum melebihi bunga-bunga di taman.
Ceng Si
buru-buru berlutut. “Ampunkan hamba, Pouwsat yang baik...,” ratapnya.
Pek Hoa
tersenyum lalu berkata, “Memang, orang yang mengandung dosa dalam hatinya
paling mudah ketakutan dan paling mudah minta ampun kepada Kwan Im Pouwsat!”
Tadinya Bi
Li tertegun dan dia pun amat kagum melihat seorang wanita yang demikian cantiknya.
Sekarang melihat sikap Ceng Si dan mendengar kata-kata Pek Hoa, timbullah
dugaannya bahwa memang yang datang ini tentulah Dewi Welas Asih Kwan Im Pouwsat
yang sering muncul di dalam dongeng kuno. Maka ia pun lalu melanjutkan diri
berlutut di depan Pek Hoa.
“Hamba mohon
berkah dari Kwan Im Pouwsat yang mulia,” kata gadis ini perlahan.
Pek Hoa
melangkah maju dan mengangkat bangun gadis itu. “Song-siocia, bangunlah. Aku
memang seorang dewi, tetapi bukan Kwan-Im Powsat, melainkan Pek Hoa Pouwsat.
Kau cantik sekali, Nona. Siapakah namamu?”
Bi Li
mengangkat muka dan memandang dengan terheran. Mengapa sikap seorang dewi
kahyangan seperti ini? Begini biasa, seperti umumnya sikap seorang gadis biasa?
Akan tetapi alangkah cantik jelitanya, alangkah harum baunya.
“Nama hamba
Song Bi Li, dan tentang kecantikan... walau pun hamba mendapat berkah Kwan Im
Pouwsat, namun kalau dibandingkan dengan Paduka, hamba kalah jauh...”
Bukan main
girangnya hati Pek Hoa Pouwsat. Sejak usia belasan tahun, memang gadis ini amat
gila untuk menjadi cantik dan dia selalu merasa khawatir apa bila kecantikannya
sampai berkurang atau hilang. Oleh karena ini, dengan ilmu kepandaiannya, dia
berhasil menemukan cara pengobatan untuk merawat kecantikannya, bahkan untuk
membuat dia kelihatan selalu muda belia.
Oleh karena
inilah maka biar pun usianya sudah tiga puluhan, ia masih kelihatan seperti
seorang gadis muda yang demikian ayu, tentu saja dia merasa amat terpuji dan
bangga. Dengan hati bangga dan girang dia menggandeng tangan Bi Li, kemudian
dia bergerak cepat dan tahu-tahu Ceng Si telah kena ditotok sehingga menjadi kaku
seperti patung.
Akan tetapi
di dalam pandangan mata Bi Li, ia hanya melihat Pek Hoa menunjuk dengan jarinya
ke arah Ceng Si yang masih berlutut dan pelayannya itu lalu menjadi kaku.
“Jangan
bergerak dan berlutut di sana sampai kami selesai bercakap-cakap!” kata Pek
Hoa.
Peristiwa
ini membuat Bi Li semakin percaya bahwa dia sedang bercakap-cakap dengan
seorang dewi tulen! Ia menurut saja ketika Pek Hoa mengajaknya duduk di atas
bangku-bangku yang dipasang di dekat kolam ikan emas, di bawah penerangan lampu
minyak yang berwarna merah.
“Bi Li,
biarlah selanjutnya aku menyebut namamu saja, dan kau boleh menyebutku cici,”
kata Pek Hoa.
Bi Li
terkejut. Bagaimana dia boleh menyebut cici (kakak) kepada seorang bidadari?
“Akan
tetapi...”
“Jangan
membantah. Ini perintahku, mengerti? Aku lebih tua dari padamu.”
Mendengar
kata-kata ini, Bi Li menjadi berani. “Akan tetapi, sesungguhnya kau kelihatan
lebih muda dariku, maka lebih pantas kalau aku menyebut moi-moi.”
Pek Hoa
memandang tajam sambil tersenyum girang sekali. “Adikku yang baik! Apakah
kata-katamu ini betul?”
“Bagaimana
aku berani berbohong? Begini cantik jelita, seperti bunga baru mekar, paling
banyak usiamu tujuh belas tahun dan aku sudah delapan belas!” jawab Bi Li.
Pek Hoa
tertawa geli, akan tetapi hatinya girang luar biasa. Dipuja oleh laki-laki,
baginya tidak aneh dan dianggapnya bahwa semua laki-laki hanya tukang membohong
untuk bisa membujuk dan mengambil hati. Akan tetapi dipuji oleh seorang gadis
yang begini cantik, ini soal lain lagi.
“Tidak,
Li-moi aku lebih tua. Usiaku sudah... sembilan belas tahun. Li-moi,
sesungguhnya kedatanganku ini hendak memberi berkah dan pertolongan kepadamu
dengan Siucai she Cia itu, akan tetapi aku lebih suka mendengar dari mulutmu
sendiri. Sebenarnya, apakah yang terjadi antara kau dan dia?”
Bi Li
terkejut sekali. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia berhadapan dengan
seorang bidadari, ia tidak merasa aneh, bahkan tidak malu-malu untuk membuat
pengakuan.
“Aku sudah
lama kenal dengan Cia-siucai, Cici Pek Hoa. Dan dia itu... dia menyatakan cinta
kepadaku.”
“Apa kau
tidak cinta kepadanya?”
Bi Li
termenung dan merasa ragu-ragu. “Entahlah, Cici, kau lebih tahu tentunya. Aku
tak mengerti tentang cinta ini.”
“Teruskan,
lalu bagaimana?”
“Kemudian,
atas kehendak Kongkong-ku, aku harus menikah dengan seorang she Kiang dari kota
Sian-koan, yaitu seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolong nyawa
Kongkong.”
“Dan kau
tidak suka kepadanya?”
Kembali Bi
Li termenung bingung. “Ini pun aku tidak bisa memastikan, Cici. Kelihatannya
dia gagah dan baik budi, juga... tampan, bahkan jauh lebih tampan dari pada
Cia-siucai. Karena aku tidak mungkin menolak kehendak Kongkong, tadi Cia-siucai
datang dan dia menyatakan kehancuran hatinya, bahkan hendak nekat membunuh
diri. Baiknya aku dan pelayanku Ceng Si dapat membujuknya supaya dia
melanjutkan sekolah di kota raja dan akulah yang akan membiayainya sampai
maksudnya tercapai. Calon suamiku itu orang yang amat kaya, sedangkan Kongkong
juga bukan orang miskin, maka kiraku jalan inilah yang terbaik, yakni untuk
menghibur hatinya.”
Pek Hoa
mengangguk-angguk. “Kau anak baik, dan kau pun amat cantik jelita. Kau layak
hidup bahagia dan mendapatkan seorang suami yang baik dan tampan. Kau bilang
tadi calon suamimu lebih cakap dari pada Cia-siucai?”
Merah muka
Bi Li, akan tetapi dia mengangguk. “Bukan hanya aku yang menganggap demikian,
Cici, juga pelayanku Ceng Si menganggap demikian pula.”
“Dan kau
bilang gagah perkasa? Apakah dia itu pandai ilmu silat?”
“Tentunya
amat pandai. Kongkong pernah bilang kepadaku bahwa dia adalah murid dari
seorang sakti dan aneh yang bernama Han Le yang menjadi murid dari orang sakti
yang dipuja-puja Kongkong, yakni mendiang Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi aku
sendiri tak kenal siapa adanya orang sakti yang bernama Han Le itu.”
Kalau Pek
Hoa tidak tinggi ilmunya dan dapat mengerahkan lweekang serta menyalurkan darah
ke mukanya, tentu Bi Li akan melihat perubahan air mukanya ketika ia mendengar
nama Han Le ini.
“Jadi calon
suamimu itu she Kiang dan tinggal di kota Sian-koan?” tanya Pek Hoa pula.
Bi Li
mengangguk.
Pek Hoa
berdiri dan memandang wajah Bi Li sekali lagi lalu berkata, “Adikku yang manis,
kelak kalau kau sudah punya anak, mungkin kita bertemu lagi karena aku ingin
sekali melihat wajah anakmu.”
Bi Li hendak
menjawab, akan tetapi tiba-tiba dengan sekali menggerakkan kaki, Pek Hoa sudah
melompat di depan Ceng Si, membebaskan totokannya kepada tubuh pelayan ini dan
sekali berkelebat ia lenyap dari pandangan mata!
Ceng Si
menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya seperti ayam
sedang makan padi, sambil mengeluh panjang pendek, “Pouwsat yang mulia,
ampunkan hamba... jangan mencabut nyawa hamba...”
Bi Li juga
menjatuhkan diri berlutut, bibirnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih
kepada bidadari yang mengaku kakak kepadanya itu. Kemudian terpaksa dia
menyeret Ceng Si berdiri oleh karena pelayan yang ketakutan ini masih saja
terus berlutut sambil sesambatan.
***************
Kita ikuti
perjalanan Pek Hoa. Setelah melompat keluar dari taman bunga keluarga Song, ia
menghampiri Cia Sun. Sekali tepuk saja ia sudah membikin pemuda ini sadar
kembali. Sebelum Cia Sun sempat membuka mulut, tahu-tahu ia merasa tubuhnya
terapung tinggi dan ternyata ia telah dikempit dan dibawa lari oleh Pek Hoa.
Setibanya di
tempat terang, yakni sudut jalan yang diterangi oleh lampu, Pek Hoa baru
menurunkan pemuda itu, lalu memandangi wajah dan tubuhnya. Agaknya dia puas dan
senyumnya manis sekali.
Di lain
pihak, Cia Sun menjadi bengong. Ia terpesona oleh kecantikan gadis ini dan bau
harum yang luar biasa mendebarkan jantungnya.
“Hemm... kau
tampan juga...,” terdengar gadis itu berkata sambil meraba-raba pipinya.
Dari takut
dan kaget, Cia Sun menjadi girang. Tak disangka bahwa orang yang dikiranya
setan dan yang sudah mengganggu dirinya itu ternyata adalah seorang gadis muda
yang demikian cantik jelitanya, bahkan jauh lebih cantik dari pada Ceng Si,
juga lebih cantik dan menarik dari pada Bi Li yang pendiam dan malu-malu. Gadis
ini sebaliknya kelihatan ‘berani’ sekali, berani memuji ketampanannya, bahkan
berani membelai-belai pipinya.
“Aduh, Nona.
Bukankah kau bidadari kahyangan yang turun dari bulan purnama? Apakah hendak
mencabut nyawa hamba...?” katanya setengah bergurau.
Melihat
pandangan mata Cia Sun, pandangan mata yang penuh arti, sekonyong-konyong Pek
Hoa menjadi jemu. Semenjak usia belasan tahun wanita ini telah sering kali
bertukar kekasih, hidupnya demikian busuk dan kotor, dan terkenal sebagai
seorang wanita yang cabul.
Hubungannya
dengan banyak sekali orang laki-laki membuat dia menjadi jemu apa bila melihat
sikap laki-laki yang kurang ajar. Dan melihat laki-laki binal dan ceriwis, ia
menjadi bosan dan mual. Apa bila sekiranya Cia Sun bersikap takut-takut atau
malu-malu, atau marah-marah melihatnya, mungkin Pek Hoa akan jatuh hati pada
pemuda yang tampan ini.
Pek Hoa
tidak membutuhkan laki-laki yang ceriwis, karena dia telah bosan dengan sikap
seperti ini. Dia membutuhkan laki-laki yang alim, laki-laki yang tidak mudah
tergoda oleh kecantikannya. Maka dengan sebal hati dia melemparkan tubuh Cia
Sun ke pinggir jalan, merampas kantung uang pemberian Bi Li tadi, lantas dengan
cepat pergi meninggalkan pemuda itu yang terlampau kaget dan takut untuk dapat
mengeluarkan suara!
Baru saja
bayangan Pek Hoa berkelebat pergi, di belakangnya kira-kira sepuluh tombak
jauhnya, berkelebat bayangan lain yang tidak kalah gesitnya, yang mengikuti
perjalanan gadis itu secara diam-diam tanpa diketahui oleh yang diikutinya.
***************
Kiang Liat
merasa berbahagia sekali. Tidak pernah disangka-sangkanya bahwa nasibnya
demikian baik dan menyenangkan. Tidak saja dia beruntung bertemu dengan
pengemis sakti Han Le dan menjadi muridnya selama satu tahun, mewarisi ilmu
kepandaian yang sangat tinggi sehingga kepandaiannya yang sudah lihai itu
menjadi semakin maju, juga terutama sekali ia bertemu dengan Song Lo-kai dan
diambil cucu mantu.
Yang membuat
ia benar-benar merasa bahagia adalah ketika ia bertemu dengan Song Bi Li. Siapa
pernah mengira bahwa cucu seorang kakek bekas pengemis demikian cantik
jelitanya? Tidak hanya cantik, juga sikapnya demikian halus lemah-lembut,
menimbulkan kasih sayang dan begitu bertemu muka, Kiang Liat terus saja jatuh
cinta!
Ia sudah
mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi pernikahannya yang akan
dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia telah mengatur rumahnya yang selama ini
hanya ia tinggali bersama inang pengasuhnya, sudah mengatur semua persiapan
supaya isterinya kelak suka dan kerasan tinggal di rumahnya ini.
Kemudian ia
menyuruh inang pengasuhnya dan beberapa orang pembantu dari kotanya untuk
berangkat lebih dulu ke Sui-chun, ke rumah keluarga Song untuk membuat segala
persiapan. Ia sendiri sibuk membagi-bagikan undangan kepada sahabat-sahabat
baiknya supaya mereka suka datang kemudian ikut mengantarnya ke Sui-chun untuk
menambah kegembiraan.
Persiapan
terakhir telah dilakukan dan Kiang Liat merasa gembira sekali. Esok pagi-pagi
ia akan berangkat ke Sui-chun, bersama beberapa belas orang kawan-kawan baik
yang akan menjadi pengiringnya.
Seharian itu
ia telah pergi jauh ke luar kota, mengunjungi kawan-kawannya yang paling jauh
rumahnya. Ia merasa agak lelah ketika sore hari itu ia pulang, melompat turun
dari kudanya yang indah, menuntun kuda itu dan menghampiri pintu depan.
Karena di
rumahnya sudah kosong tidak ada orang lain, maka rumah itu pintunya selalu ditutup.
Semua pelayan telah dikirim ke Sui-chun agar setelah pernikahan dilangsungkan
bisa mengiringkan sepasang pengantin itu pulang ke Sian-koan. Oleh karena itu,
selama beberapa hari ini, Kiang Liat tinggal seorang diri di rumahnya. Akan
tetapi, kesepian ini takkan lama lagi, hanya tinggal semalam lagi dan besok
pagi-pagi ia akan berangkat ke rumah calon isterinya!
Berpikir
sampai di sini, terutama membayangkan wajah Bi Li yang cantik manis, Kiang Liat
menjadi berseri wajahnya. Sambil tersenyum-senyum ia membuka pintu. Dia tidak
tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang bening dan indah selalu
mengintainya.
Mata ini
bersinar-sinar ketika melihat potongan tubuh pemuda yang sangat ganteng ini.
Tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang amat tampan dengan kulit muka putih
bersih, sepasang alis yang hitam tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata
yang lebar dan bersinar-sinar penuh semangat. Memang Kiang Liat adalah seorang
pemuda yang amat gagah dan tampan.
Setelah
meninggalkan kudanya di depan pintu, Kiang Liat masuk ke dalam rumah sambil
bernyanyi-nyanyi kecil. Dia hendak mandi, berganti pakaian, kemudian pergi
keluar lagi. Memang sungguh tidak enak duduk seorang diri di dalam rumah tanpa
kawan, apa lagi menghadapi peristiwa yang demikian hebat, yakni pernikahannya
dengan Nona Song Bi Li! Ia hendak pergi ke beberapa orang sahabat baiknya,
mengajak mereka datang ke sini lalu memesan makan minuman dari rumah makan.
Akan tetapi,
ia masih belum tahu bahwa pada saat itu, sepasang mata bening dan jeli terus
mengintainya! Mata yang memandangnya penuh kekaguman, penuh nafsu, dan
kadang-kadang penuh kebencian!
Kiang Liat
melangkah tegap ke arah kamarnya, mendorong daun pintu kamar tidurnya,
melangkah masuk dan...
“Siapa
kau…?!” tanyanya terkejut sekali dan terheran-heran.
Di atas
pembaringannya duduk seorang gadis yang berpakaian indah, seorang gadis sebaya
dengan Bi Li yang cantik sekali, yang duduk menggoyang-goyangkan kedua kaki
kecil yang tergantung dari pembaringan sambil miringkan kepala memandang
kepadanya dan bibirnya tersenyum-senyum manis sekali!
Tadinya
untuk sesaat Kiang Liat mengira bahwa inilah yang disebut orang siluman wanita,
yang sering muncul dalam dongeng-dongeng. Kalau tidak demikian, bagaimana
seorang dara juwita seperti itu tahu-tahu dapat memasuki kamar tidur seorang
pemuda dan duduk di atas pembaringan dengan kakinya ongkang-ongkang dan senyum
manis menantang?
Akan tetapi,
ketika melihat gagang siang-kiam tersembul dari balik punggung gadis itu, Kiang
Liat berpikir lain. Wanita ini tentu seorang gadis kang-ouw dan kedatangannya
pasti mengandung maksud tertentu, entah baik entah buruk, akan tetapi lebih
condong kepada maksud yang tidak baik.
“Kau
siapakah, Nona? Dan apakah kehendakmu memasuki kamarku?” tanyanya lagi.
Kini
suaranya tidak sekeras tadi karena pemuda ini cepat dapat menekan perasaannya.
Ia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat gadis yang sedemikian
cantiknya dan pandang mata kagum ini menyenangkan hati gadis itu yang segera
memperlebar senyumnya.
“Jawab dulu,
senangkah kau melihat aku di kamar tidurmu?” gadis ini bertanya, suaranya merdu
merayu dan pandang matanya mencuri hati dengan kerling tajam menyambar.
Kiang Liat
mengerutkan keningnya. “Bagaimana aku bisa menyatakan senang atau tidak kalau
aku belum tahu siapa adanya kau ini dan apa keperluanmu datang ke sini?”
Gadis manis
itu tertawa kecil. “Kau betul juga, sekarang jawablah pertanyaan yang lebih
mudah. Cukup cantikkah aku dalam pandanganmu?”
Kini
merahlah wajah Kiang Liat. Hatinya berdebar-debar. Selama hidupnya belum pernah
dia melihat gadis secantik ini, kecuali Bi Li, dan gadis yang berani seperti
ini. Akan tetapi, sikap genit dan kecabul-cabulan ini sama sekali tidak
menyenangkan hatinya. Kiang Liat bukan sebangsa pemuda pemogoran yang mudah
menjadi gila melihat wajah cantik!
“Nona,
omongan apakah ini? Aku bukan orang yang biasa menilai kecantikan orang lain!
Sekarang katakan siapa kau dan apa perlumu masuk ke kamarku?”
Meski pun
jawaban ini ketus dan membayangkan kemarahan hati, namun aneh sekali, gadis ini
tidak marah, bahkan sebaliknya ia kelihatan gembira sekali.
“Ha, kau
gagah ganteng, tampan dan baik sekali, tidak seperti segala macam hidung belang
yang menjemukan!” gadis itu berseru.
Kemudian,
sekali menggerakkan tubuh dia sudah melompat turun. Gerakannya sangat ringan
sehingga mengejutkan hati Kiang Liat.
“Kiang Liat,
aku tahu siapa kau. Engkau adalah murid dari Han Le si pengemis hina itu,
bukan? Dan kau akan menikah dengan Nona Song Bi Li yang cantik jelita, bukan?”
Kiang Liat
kembali terkejut dan mengerutkan kening.
“Benar semua
dugaanmu itu, sungguh pun aku sama sekali tak mengerti bagaimana kau bisa
mengetahui semua itu. Akan tetapi, siapakah kau, Nona?”
“Orang-orang
di dunia barat biasa menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, akan tetapi bagimu,
kau boleh memanggil aku Pek Hoa saja, atau Hoa-moi, bukankah itu lebih enak dan
manis terdengarnya?”
Kiang Liat
belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi sikap Pek Hoa yang semakin binal
dan genit ini benar-benar menyebalkan hatinya. Ia tidak dapat menyangkal bahwa
gadis ini amat cantik, lagi menyiarkan bau yang amat harum memenuhi kamarnya,
akan tetapi kegenitan gadis ini melenyapkan kekagumannya. Alangkah jauh bedanya
dengan Bi Li calon isterinya! Walau pun dalam kecantikan, agaknya Bi Li sendiri
pun tidak akan menang dari gadis luar biasa ini yang memiliki kecantikan
seperti bidadari.
“Jangan kau
mengacau tidak karuan!” Kiang Liat membentak marah. “Aku tidak kenal kau siapa
dan tidak peduli tentang semua panggilan itu. Lekas katakan, apa maksudmu
datang ke kamarku?” Pemuda ini sekarang menjadi curiga dan juga amat marah.
Watak Pek
Hoa memang aneh. Kalau sekiranya Kiang Liat bersikap lemah seperti yang
diperlihatkan oleh pemuda Cia Sun, kalau saja Kiang Liat terpesona oleh
kecantikannya, memuji-mujinya dan mencoba untuk bersikap kurang ajar, mungkin
sekali Pek Hoa akan menjadi sebal dan mungkin akan segera turun tangan
membunuhnya, karena dia adalah murid Han Le yang amat dibenci oleh Pek Hoa. Di
dunia ini hanya dua orang yang amat dibenci oleh Pek Hoa, yakni Bu Pun Su dan
Han Le, terutama sekali Bu Pun Su.
Akan tetapi,
oleh karena sikap Kiang Liat amat keras dan sama sekali tidak tunduk oleh
kecantikannya, hati Pek Hoa menjadi runtuh! Baru sekarang gadis ini bertemu
dengan seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, yang tidak bertekuk lutut
menghadapi kecantikannya.
Inilah
pemuda yang diidam-idamkannya, pemuda yang dicari-carinya! Maka, menghadapi
bentakan yang penuh kemarahan dari Kiang Liat, dia menjadi makin tertarik dan
semakin gembira.
“Kiang Liat,
kau menjadi makin gagah kalau marah-marah. Kau mau tahu mengapa aku datang ke
kamar tidurmu? Karena ketika tiba di rumah ini aku tidak melihat seorang pun
manusia, maka aku memilih kamar tidur ini untuk mengaso.”
“Apa
maksudmu mengunjungi aku?” tanya Kiang Liat gemas melihat sikap genit dan
mendengar jawaban melantur itu.
“Kau adalah
murid pengemis tua bangka Han Le dan dia itu musuhku, maka tentu saja aku
datang untuk mengambil nyawamu. Akan tetapi, melihat mukamu aku lantas merasa
kasihan sekali sehingga aku akan mengampuni dan takkan mengganggumu, sebaliknya
aku ingin sekali membikin kau bahagia. Permusuhan antara kita akan hilang kalau
saja kau mau membatalkan pernikahanmu dengan Song Bi Li dan sebagai gantinya,
kau bisa mengambil aku sebagai isterimu...”
“Tutup
mulutmu yang kotor!” Kiang Liat marah sekali dan mencabut pedangnya. “Kau ini
perempuan jalang berani sekali bermain gila di sini...?” Kiang Liat benar-benar
marah sehingga ia mendamprat gadis itu.
“Kiang Liat,
butakah matamu? Buka matamu baik-baik dan lihatlah, apakah aku tidak lebih muda
dan jauh lebih cantik dari pada Bi Li. Selain lebih cantik, aku pun lebih
gagah, lebih kaya! Apa bila kau menjadi suamiku, apa yang kurang bagimu? Ingin
senang? Aku cukup cantik dan aku tahu bagaimana untuk menyenangkan hatimu. Kau
hendak hidup mewah? Kekayaanku jauh lebih besar dari pada kekayaanmu atau
kekayaan Bi Li. Atau kau menghadapi musuh-musuh besar? Tidak usah khawatir,
kalau aku Pek Hoa menjadi isterimu, tanpa aku turun tangan semua musuh-musuhmu
akan melarikan diri tunggang-langgang!”
“Jangan
ngoceh lagi! Lekas kau minggat dari sini, aku tidak sudi melihat mukamu atau
mendengar suaramu! Pergi...!”
Pek Hoa
mulai marah. Pipinya yang halus dan putih itu kini menjadi merah. Ia tidak suka
melihat laki-laki lemah yang mudah jatuh oleh kecantikan, akan tetapi ia pun
tidak suka melihat laki-laki yang memandang rendah kecantikannya. Apa lagi
hinaan yang keluar dari mulut Kiang Liat sudah melampaui batas.
Kalau
menuruti kemarahannya, ingin dia sekali turun tangan merampas nyawa pemuda ini.
Akan tetapi bila ia memandang muka yang tampan dan gagah itu, hatinya tidak
tega. Bagaimana pun juga, ia harus mendapatkan laki-laki ini sebagai suaminya
atau sebagai kekasihnya. Sukar mencari seorang pemuda seperti Kiang Liat ini.
“Kalau aku
tidak mau pergi, kau mau apa sih?” tanyanya sambil tersenyum mengejek.
“Aku akan
memaksamu dengan pedangku!” Kiang Liat membentak.
“Aha, kau
mau main-main senjata dengan nonamu? Mari-mari, anak manis, mari keluar, kita
boleh main-main sedikit!” Sambil berkata demikian Pek Hoa melambaikan tangannya
dan sekali berkelebat ia telah menerobos keluar dari jendela.
Diam-diam
Kiang Liat terkejut sekali melihat ginkang yang luar biasa ini, akan tetapi ia
bukan seorang penakut. Cepat ia pun melompat keluar melalui jendela, mengejar
wanita aneh itu.
Ternyata Pek
Hoa sudah menunggunya di luar rumah, di pekarangan yang lebar dan diterangi
oleh lampu minyak yang tergantung di bawah genteng. Gadis ini memandang ringan
sekali kepada Kiang Liat. Karena kepandaian Han Le saja ia tidak takut dan
masih sanggup menangkan, apa lagi kepandaian muridnya, pikirnya! Ia tidak tahu
bahwa Kiang Liat hanya satu tahun menjadi murid Han Le, dan bahwa sebelum
menjadi murid Han Le pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tinggi juga.
Melihat Pek
Hoa telah berdiri dengan lagak menantang, sambil bertolak pinggang tanpa
mengeluarkan senjata, Kiang Liat membentak, ”Perempuan rendah, keluarkan
senjatamu kalau kau hendak mencoba kelihaianku!”
“Mengapa
harus mengeluarkan senjata? Apa kau kira dapat mengalahkan Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat biar pun aku hanya bertangan kosong? Orang muda, maju dan seranglah,
tidak usah ragu-ragu, jangan takut kalau kulit tubuhku akan lecet terkena
pedangmu yang tumpul!”
Kiang Liat
marah sekali. “Lihat pedang!” teriaknya dan ia mulai menyerang.
Mula-mula,
pemuda ini tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, karena betapa pun gemasnya
melihat gadis genit dan cabul ini, ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada di
antara gadis ini dengan gurunya, dan ia tidak tega serta merasa malu untuk
melukai seorang gadis muda yang melawannya dengan bertangan kosong saja.
Akan tetapi,
segera ia menjadi terheran-heran dan kaget. Tak disangkanya bahwa gadis itu
ternyata luar biasa dan selain gerakannya cepat sekali, juga ilmu silatnya
sangat lihai. Hanya beberapa gebrakan saja, pedangnya sudah hampir kena
dirampas oleh gerakan mencengkeram dari Pek Hoa!
Setelah
melihat kelihaian lawannya, Kiang Liat tidak mau berlaku sungkan-sungkan lagi.
Cepat dia menggerakkan pedangnya dan kini dia bersilat dengan ilmu pedang
keluarga Kiang yang kini sudah diperkuat dan diperbaiki setelah dia belajar
setahun lamanya pada Han Le.
Pek Hoa
makin kagum melihat Kiang Liat. Tak disangkanya bahwa ilmu silat pemuda ini
benar-benar hebat, tidak kalah jauh oleh Han Le. Bahkan kalau dilihat-lihat,
ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda ini sama sekali bukan ilmu pedang Han
Le.
Ilmu pedang
yang dimainkan Kiang Liat sangat indah gerakan-gerakannya. Tentu saja seorang
pemuda yang demikian ganteng dan tampan mainkan ilmu pedang yang indah ini,
kelihatan seperti seorang penari ulung tengah menari, amat menarik hati dan
indah dilihat. Makin sayanglah Pek Hoa kepada kepada pemuda ini, dan ia tahu
bahwa kalau ia menghadapi dengan tangan kosong saja, akan sangat berbahaya
baginya.
Timbul
kegembiraan di dalam hati Pek Hoa untuk menguji terus sampai di mana tingkat
kepandaian pemuda ini. Ia pun segera mencabut sepasang pedangnya.
“Kau lihai
sekali, orang muda. Akan tetapi coba kau tahan siangkiam-ku!” Setelah berkata
demikian ia memutar sepasang pedangnya dengan cepat, melakukan serangan balasan
yang sesungguhnya, tapi bukan serangan benar-benar, hanya untuk menguji saja.
Kiang Liat
kaget sekali. Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu juga hebat, apa lagi
lawannya mempergunakan sepasang pedang yang tentu saja dapat menyerangnya lebih
cepat dari pada sebatang pedang.
Pemuda ini
diam-diam mengeluh dan merasa malu terhadap diri sendiri. Bagaimana dia yang
sudah terkenal sebagai Jeng-ciang-sian (Dewa Bertangan Seribu), kemudian sudah
mendapat gemblengan selama setahun oleh pengemis sakti Han Le, tetapi hanya
dalam tenaga lweekang saja ia tidak kalah, akan tetapi ia kalah jauh dalam
kecepatan gerakan, dan dalam hal ilmu silat, agaknya gadis ini memiliki
kepandaian yang luar biasa sekali.
Namun Kiang
Liat tidak mau menyerah kalah. Meski pun dia seakan-akan dikurung oleh laksaan
ujung pedang lawan, dia masih terus mempertahankan diri, memutar pedangnya
sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh tembok baja yang
kokoh kuat.
Berkali-kali
Pek Hoa memuji dan mulutnya mengoceh terus, “Kau gagah, ilmu pedangmu lihai...
kau patut menjadi suamiku...”
Kata-kata
seperti ini memperbesar api kemarahan Kiang Liat sehingga kini ia bertanding
dengan nekat, sama sekali tidak takut mati. Ini membuat Pek Hoa kewalahan.
Memang ilmu
pedang milik pemuda ini sudah tinggi, sulit baginya untuk merobohkan, apa lagi
menawan. Sekarang ditambah pula oleh kenekatan pemuda itu. Maka Pek Hoa lalu
mengeluarkan sapu tangannya yang berwarna merah, mengeluarkan seruan nyaring
dan ketika sapu tangan itu dikebutkan, tiba-tiba Kiang Liat mencium bau harum
yang amat keras dan tidak lama kemudian ia terhuyung-huyung dan roboh tak
sadarkan diri dengan pedang masih di tangannya!
Pek Hoa
tertawa girang. Ia cepat membungkuk, merampas pedang, mengelus-elus pipi pemuda
itu, tertawa lagi lalu menotok jalan darah di pundak Kiang Liat untuk menjaga
kalau pemuda itu siuman kembali. Biar pun siuman kembali, setelah ditotok,
Kiang Liat takkan berdaya, tubuhnya sudah lemas dan ia tak akan dapat
memberontak lagi.
Sambil
kadang-kadang membelai rambut dan muka pemuda itu, Pek Hoa tertawa-tawa dan
memanggul tubuh Kiang Liat dengan mudahnya. Kemudian berlarilah ia menghilang
di dalam gelap malam yang mulai menyelimuti alam.
Akan tetapi,
baru saja beberapa li ia lari, setelah ia keluar dari kota Sian-koan dan tiba
di tempat sunyi, tiba-tiba Pek Hoa merasa pundaknya yang sebelah kanan ditowel
orang. Ia memanggul tubuh Kiang Liat di pundak kirinya, maka merasa towelan
ini, mula-mula ia tidak bercuriga dan berlari terus.
Sekonyong-konyong,
pundaknya ditowel lagi dan terdengar suara perlahan,
“Siluman
cabul, kau masih tidak mau melepaskan Kiang Liat?”
Pek Hoa amat
terkejut, melompat ke depan sejauh empat tombak lebih lalu membalikkan
tubuhnya. Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki setengah
tua yang pada saat itu ia harapkan berada di neraka. Satu-satunya orang yang
tak ingin dilihatnya pada saat seperti itu, yakni bukan lain adalah Bu Pun Su
Si Pendekar Sakti!
Karena tahu
menghadapi lawan yang amat berat, yang biar pun dikeroyok dengan kedua sute-nya
masih saja dia kalah, Pek Hoa tidak mempunyai nafsu untuk melawan Bu Pun Su. Ia
melepaskan tubuh Kiang Liat yang dipanggulnya itu ke atas tanah, lalu mencabut
pedang Kiang Liat yang dirampasnya.
Niatnya
ingin menewaskan pemuda ini dengan sekali bacok, sebab kalau ada Bu Pun Su di
situ, tak mungkin kehendaknya menjadikan pemuda itu sebagai permainannya dapat
terlaksana. Setelah maksud ini digagalkan oleh Bu Pun Su, tidak ada jalan lain
baginya kecuali membunuh Kiang Liat, sehingga dengan demikian, dia dapat
melakukan sedikit pembalasan atas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su dan Han Le.
Akan tetapi,
baru saja ia mencabut pedang rampasan itu, tiba-tiba pedang itu terlepas dari
tangannya yang menjadi kaku. Dia mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya,
akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa bahwa tidak hanya tangan kanan
saja, malah setengah bagian tubuhnya sebelah kanan bagai lumpuh! Terdengar
olehnya suara ketawa yang tenang dari Bu Pun Su.
Pek Hoa
melompat mundur sambil menjerit. Tahulah ia sekarang. Pundak kanannya tadi
sudah kena ditowel dua kali oleh Bu Pun Su dan ternyata bahwa towelan itu
merupakan totokan yang amat lihai, yang baru terasa pengaruhnya setelah ia
menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga.
Sambil
berdiri, Pek Hoa cepat-cepat mengerahkan lweekang untuk membebaskan diri dari
totokan itu, tetapi tidak berhasil. Terpaksa gadis ini menekan hawa kemarahan
yang naik ke dadanya, lalu bersila di atas tanah.
Selagi dia
berusaha membebaskan diri dari pengaruh tiam-hoat yang dilakukan secara lihai
oleh Bu Pun Su, pendekar sakti ini menghampiri Kiang Liat. Dua kali tepukan
pada pundak dan punggung membuat pemuda itu terbebas, dan Kiang Liat cepat
berlutut di hadapan paman gurunya.
“Kiang Liat,
aku bangga melihatmu. Kau memang patut menjadi murid Han Le. Sekarang
lekas-lekas kau pulang dan langsungkan pernikahanmu. Kelak aku akan datang
memberi hadiah dua tiga pukulan kepadamu.”
Kiang Liat
girang sekali. Sesudah menghaturkan terima kasih, dia mengambil pedangnya dan
pergi dari situ. Ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Pek Hoa, karena
sebenarnya, betapa pun marahnya terhadap gadis itu, dia tidak tega melihat
kalau-kalau Bu Pun Su akan membunuh Pek Hoa.
Akan tetapi,
Bu Pun Su bukanlah seorang yang mudah saja membunuh orang. Dia lalu melangkah
maju, tersenyum melihat gadis itu masih terus berjuang untuk membebaskan diri
dari pengaruh totokan.
“Pek Hoa,
totokan itu tak akan dapat dibebaskan kalau tidak dengan suling ini,” katanya
sambil mencabut keluar sebatan suling bambu yang sudah tua.
Tadi ia
memang menotok pundak gadis itu dengan sulingnya, karena Bu Pun Su merasa segan
untuk melakukan hal ini dengan tangannya. Pada saat ujung sulingnya menyentuh
jalan darah pada pundak Pek Hoa, seketika gadis ini pulih kembali keadaannya.
Dengan berang dia cepat-cepat melompat berdiri memandang kepada Bu Pun Su
seperti seekor harimau betina hendak menubruk mangsanya, lalu berkata,
“Bu Pun Su,
aku benci sekali kepadamu!”
“Bagus!”
kata Bu Pun Su sambil tersenyum “Seribu kali lebih aman kau benci dari pada kau
cinta. Kecantikan dan kasih sayangmu jauh lebih berbahaya dari pada watak buruk
dan kebencianmu, Pek Hoa.”
Setelah
berkata begitu, Bu Pun Su termenung. Ia teringat akan semua pengalamannya di
waktu muda, betapa dia pernah menjadi korban dari kecantikan dan kasih sayang
palsu dari seorang wanita yang cantik dan jahat seperti Pek Hoa ini.
Pek Hoa
membanting-banting kaki saking gemas. “Jadi kau selalu mengintai aku selama
ini? Sungguh tidak tahu malu! Kalau memang kau gagah berani, mengapa tidak
melawan guru-guruku? Mengapa kau menghina seorang perempuan?”
Pek Hoa
hampir menangis. Ingin sekali ia mencabut siangkiam-nya dan mempergunakan
senjata rahasia atau senjata berbisa, namun dia cukup maklum bahwa semua ini
takkan ada gunanya terhadap Bu Pun Su.
“Memang aku
hendak mencari guru-gurumu, yakni Thian-te Sam-kauwcu yang ternama,” jawab lagi
pendekar sakti itu.
“Jadi kau
mengikuti aku untuk mengetahui di mana adanya guru-guruku?”
“Bukan hanya
demikian, akan tetapi yang terpenting untuk melihat tingkah-lakumu, untuk
menjaga agar supaya kau jangan sampai mengganggu orang-orang seperti yang tadi
kau lakukan. Tentang guru-gurumu, agaknya mereka itu takut kepadaku maka tidak
berani muncul.”
Kata-kata
ini sengaja diucapkan oleh Bu Pun Su untuk dapat membakar hati gadis itu. Dan
maksudnya ini berhasil karena Pek Hoa memandangnya dengan marah.
“Bu Pu Sun,
kau sombong! Kau menggunakan kepandaian untuk menghinaku, seorang perempuan
lemah! Awas kau, akan datang saatnya aku membalas semua ini, membalas kepadamu
dan kepada Han Le! Akan tiba saatnya aku menghancurkan kau dan semua orang yang
ada hubungannya denganmu! Apa bila kau memang berani, datanglah ke lembah
Sungai Yalu-cangpo, tepat di mana sungai suci itu berbalik ke barat. Di sanalah
kau akan kami tunggu dan kalau kau tidak berani datang, ternyata Bu Pun Su
hanyalah seorang pengecut besar yang berani dan berlagak di tempat dan kandang
sendiri saja!” Sehabis mengeluarkan kata-kata ini, Pek Hoa lalu melompat dan
menghilang di dalam gelap.
Bu Pun Su
tidak mengejar. Ia percaya bahwa keterangan itu tidak bohong. Memang ia pernah
mendengar bahwa tempat tinggal tiga orang aneh dari barat itu adalah di sekitar
barat Gunung Heng-tuan-san dan sebagai seorang perantau besar dia pun sudah
pernah mengunjungi daerah ini. Ia pun tahu bahwa daerah ini amat dekat dengan
daerah-daerah asing seperti Nepal, Bhutan dan India, karena itu sudah
sepatutnya kalau tiga orang itu mendirikan markas pusat di sana.
**************
Upacara
pernikahan antara Kiang Liat dengan Song Bi Li dilangsungkan dengan meriah.
Banyak sekali tamu yang datang memberi selamat, dan di antaranya bahkan
terdapat Han Le Si Pengemis Sakti.
Oleh karena
Cap-si Kaipangcu, empat belas orang ketua perkumpulan pengemis yang lihai juga
hadir, maka para tamu tentu saja terheran-heran melihat begitu banyak orang tua
berpakaian pengemis, akan tetapi mendapat penghormatan terbesar dari pihak tuan
rumah! Tentu saja mereka yang terheran-heran ini adalah orang-orang biasa,
karena orang-orang kang-ouw yang hadir di situ tentu saja mengenal tokoh-tokoh
besar ini.
Siapakah
yang tidak mengenal It-gan Sin-kai pengemis tinggi kurus yang bermata satu itu,
yang pernah membikin geger istana karena mencuri masuk ke dalam dapur istana
untuk menikmati hidangan-hidangan kaisar. Siapa pula tidak mengenal Pat-jiu
Siauw-kait pengemis kate berperut gendut seperti orang cacingan itu, yang kini
duduk menghadapi meja sambil minum arak begitu saja dari guci yang besarnya
hampir sama dengan tubuhnya?
Masih banyak
sekali tokoh-tokoh besar, seperti Tiat-tho Mo-kai dan terlalu banyak untuk
disebutkan di sini. Pendeknya, empat belas orang pemimpin pengemis yang
dinamakan Cap-si Kaipangcu, hadir semua. Juga masih ada belasan orang
tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah kenal dengan Kiang Liat, hadir di situ. Mereka
semua ini, termasuk Cap-si Kaipangcu, menghormati Han Le yang merupakan tokoh
tertinggi di tempat itu.
Sesudah
upacara pernikahan selesai, Han Le mendengar dari muridnya tentang Bu Pun Su,
maka dia segera meninggalkan tempat itu untuk mencari suheng-nya. Han Le sudah
menyelesaikan tugasnya, sudah memberi tahu kepada tokoh-tokoh pimpinan partai
besar untuk berhati-hati dan siap siaga menghadapi pengaruh-pengaruh asing dari
barat.
***************
Semenjak
saat pertemuan kedua mempelai, Bi Li yakin bahwa dia sudah mendapatkan seorang
suami yang benar-benar baik. Dan dugaannya ini ternyata tepat sekali, karena
memang Kiang Liat amat mencintanya. Tak mengherankan apa bila suami isteri ini
hidup penuh kerukunan dan saling mencinta. Sangat sedap dipandang mata, betapa
sepasang suami isteri yang keduanya sama-sama elok ini setiap hari
berjalan-jalan di taman bunga sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan
kata-kata bermadu.
Karena Kiang
Liat sudah tidak ada ayah bundanya, maka Kakek Song, dibantu pula oleh Bi Li
membujuknya agar sepasang suami isteri itu jangan buru-buru pindah ke
Sian-koan. Kiang Liat tidak keberatan, karena baginya tidak ada perbedaannya.
Hidupnya sekarang hanya untuk isterinya seorang. Di mana saja dia tinggal,
asalkan bersama isterinya, dia sudah puas dan bahagia.
Juga ia tidak
keberatan ketika isterinya menyatakan kesayangannya kepada Ceng Si dan hendak
menjadikan gadis ini pelayannya dan juga kawannya bercakap-cakap apa bila Kiang
Liat sedang keluar rumah. Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat tidak suka kepada
gadis pelayan ini.
Sikap gadis
ini mengingatkan dia kepada Pek Hoa, wanita siluman itu. Senyuman dan lirikan
mata Ceng Si yang juga manis sekali itu, apa bila ditujukan kepadanya, bukan
lagi merupakan senyum dan kerling sopan dari seorang pelayan wanita terhadap
majikannya, tetapi senyum dan kerling seorang wanita muda yang berusaha
memancing hati seorang pria!
Di bagian
depan telah dituturkan betapa lihai dan licin adanya pelayan muda ini. Ceng Si
telah melihat keadaan Kiang Liat, tentu saja memilih majikannya ini dari pada
Cia Sun. Ia pikir lebih baik memikat hati majikannya ini yang terang-terangan
sudah menjadi suami nona majikannya.
Kalau dia
bisa menarik hati Kiang Liat dan menjadi kekasih atau bini mudanya, hidupnya
tentu terjamin dan dia pun akan menjadi seorang nyonya ke dua yang terhormat.
Dengan kecantikannya yang lumayan ia berdaya upaya untuk menarik hati Kiang
Liat.
Akan tetapi
betapa kecewa dan mendongkolnya hati gadis pelayan ini ketika pada suatu hari,
dalam pertemuan empat mata dengan Kiang Liat di ruang belakang, majikannya ini
membentaknya perlahan,
“Ceng Si,
jangan kau main gila! Aku tak suka kau tersenyum dan memandang kepadaku seperti
itu. Nyonyamu akan menjadi salah mengerti dan akan marah kepadamu. Jangan kau
berani ulangi lagi, mengerti?”
Tentu saja
Ceng Si merasa seakan-akan mukanya ditampar. Sambil menangis ia berlari masuk
ke dalam kamarnya, di mana ia membanting diri di atas pembaringan kemudian
menangis terisak-isak. Hatinya perih sekali, apa lagi kalau ia teringat bahwa
impiannya buyar seperti asap tertiup angin. Ternyata suami nonanya itu bukan
laki-laki biasa, bukan laki-laki mata keranjang seperti kebanyakan laki-laki di
masa itu.
Akan tetapi
Ceng Si tidak kehilangan akal. Dia mulai membujuk Bi Li, bahkan akhirnya berani
mengancam dengan menyindir bahwa kalau Bi Li tidak mau membantunya, maka ia
akan membuka rahasia tentang hubungan nonanya ini dengan Cia Sun dulu sebelum
menikah!
Akhirnya, Bi
Li menjumpai suaminya dan ketika mereka bercakap-cakap gembira, Bi Li berkata
perlahan,
“Suamiku,
kelak kalau kau mempunyai niat untuk mengambil seorang isteri ke dua, aku baru
merasa rela dan senang hati kalau kau mengambil Ceng Si sebagai bini mudamu.”
Kiang Liat
terkejut sekali dan ia membelalakkan matanya. “Ehh, apa yang kau ucapkan ini?
Bagaimana kau bisa bicara seperti ini, isteriku? Bagaimana kau bisa bicara
tentang aku mengambil bini muda?”
Bi Li
memeluk suaminya dan terseyum. “Kenapa begitu saja kau kaget? Bukankah sudah
menjadi kebiasaan umum di kalangan bangsawan dan hartawan untuk mengambil
isteri muda sampai tiga empat orang? Tentu saja aku lebih bersukur bila kau
tidak melakukan ini, akan tetapi kalau terpaksa... ambillah Ceng Si, pelayanku
yang setia itu.”
“Omongan apa
ini? Aku takkan menikah lagi dengan siapa pun juga! Aku cinta kepadamu dan kau
seorang bagiku sudah cukup. Mengapa mesti menurut kebiasaan gila itu? Apa lagi
harus mengambil Ceng Si? Ah...! Tidak, seribu kali tidak!” kata-katanya ini
diucapkan keras-keras.
Mereka tidak
tahu bahwa Ceng Si mendengarkan di luar jendela. Gadis ini menjadi pucat
mendengar ucapan keras dari Kiang Liat sehingga untuk kedua kalinya, dia
menangis di kamarnya.
Setelah
yakin bahwa usahanya mendekati Kiang Liat tidak berhasil dan harapannya untuk
menjadi isteri ke dua dari Kiang Liat sudah tidak mungkin lagi, Ceng Si
mengambil jalan ke dua. Sekarang dia mengalihkan perhatiannya kepada Cia Sun
dan mulailah dia mengadakan hubungan dengan siucai itu. Mulailah pula ia
memeras Bi Li untuk memberi uang dan perhiasan kepada Cia Sun melalui dia. Bahkan
ia berani menyampaikan pesan Cia Sun, minta perhiasan rambut kupu-kupu dan
bunga cilan yang amat indahnya itu.
Bi Li tidak
berani menolak. Nyonya muda ini maklum bahwa dia sudah berada dalam kekuasaan
Ceng Si dan Cia Sun. Sekali saja ia menolak permintaan mereka dan mereka
menyampaikan rahasianya kepada suaminya, akan celakalah dia! Bi Li terlalu
mencinta suaminya dan baru sekarang terbuka matanya bahwa dahulu dia tertipu.
Bahwa Cia Sun mencintanya karena dia cantik dan terutama sekali karena dia kaya.
Dan ia pun
kini tahu pula bahwa antara Cia Sun dan Ceng Si terdapat perhubungan yang
kotor. Baru terbuka matanya betapa rendah dan jahatnya siasat dua orang itu
terhadap dirinya, dan dia pun menyesal.
Pernikahannya
dengan Kiang Liat membuat Bi Li merasa berbahagia sekali. Akan tetapi dia
menjadi gelisah kalau teringat akan ancaman-ancaman dari Ceng Si dan Cia Sun.
Ia tahu bahwa nasibnya terletak di dalam genggaman tangan Ceng Si. Pelayan ini
sudah berhasil mendapatkan surat yang dahulu ia tulis untuk Cia Sun, dan dengan
surat inilah Ceng Si selalu mengancamnya apa bila minta sesuatu.
Bi Li tidak
berani membuka semua rahasia ini kepada suaminya. Kalau saja dia berani
melakukan hal ini, kiranya semua akan beres dan takkan timbul urusan besar. Ia
belum dapat menyelami jiwa yang gagah dari suaminya, tak mengenal akan watak
orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan dan
menghargai kejujuran.
Bi Li merasa
ngeri untuk menceritakan mengenai urusannya dan kesulitannya itu kepada suaminya.
Ia takut kalau-kalau disangka yang bukan-bukan, disangka telah berlaku tidak
senonoh di waktu dahulu. Padahal, kalau ia bercerita terus terang, Kiang Liat
akan dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana.
Sayang
seribu sayang bahwa Bi Li tidak berani membuka rahasia, bahkan menutupinya
dengan penuh rasa khawatir, dan dia memberikan apa saja yang dikehendaki oleh
Ceng Si dan Cia Sun sehingga banyak uang dan perhiasan mengalir keluar!
Keadaan ini
berlangsung terus tanpa diketahui oleh Kiang Liat sampai beberapa bulan
kemudian Kiang Liat mengajak isterinya pindah ke Sian-koan. Tadinya Kiang Liat
segan mengajak Ceng Si, akan tetapi atas desakan Bi Li, terpaksa Ceng Si ikut
juga, menjadi pelayan pribadi Bi Li......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment