Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 16
Ang I Niocu
memandang kepada pemuda itu dengan tajam dan diam-diam ia harus akui bahwa Liem
Sun Hauw adalah seorang pemuda yang bersemangat dan gagah. Pantas saja ayah
suka kepada pemuda ini dan hendak menjodohkannya dengan aku, pikirnya.
Kebenciannya terhadap pemuda itu makin berkurang saja.
“Bagaimana,
Locianpwe? Apakah Locianpwe dapat menyetujui jika teecu yang mencoba untuk
menangkap penjahat pembunuh Lai Tek-enghiong itu?” tanya Sun Hauw kepada Thian
Beng Cu dengan suara mendesak.
Thian Beng
Cu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Liem-sicu, kau memang gagah dan kiranya
tepat kalau kau yang mencarinya. Untuk hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ang
I Niocu tadi, pinto serahkan saja urusan ini kepada pihak Bu-tong-pai. Pinto
hanya bisa menyampaikan terima kasih atas maksudmu yang mulia ini, Liem-sicu.”
“Kalau
demikian, perkenankan teecu berangkat sekarang untuk membekuk batang leher
pembunuh Lai Tek-enghiong!” kata Sun Hauw penuh semangat sambil mengerling pada
Ang I Niocu.
Tiba-tiba
terdengar suara orang, lemah-lembut terdengarnya, “Tidak usah, tidak usah...
penjahat itu telah tertangkap...!”
Tiba-tiba
berkelebat bayangan dan tahu-tahu di sana berdiri seorang tosu yang usianya
kurang lebih lima puluhan tahun, gerak-geriknya halus, akan tetapi sinar matanya
tajam berpengaruh.
“Eng Yang
Cu-sute... kau baru datang...?” Thian Beng Cu berkata dengan suara girang. “Dan
betulkah penjahat itu telah tertangkap?”
Tosu itu
bukan lain adalah Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai yang menjadi sute termuda dari
Thian Beng Cu dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada semua tokoh
Kim-san-pai lainnya, akan tetapi yang selalu merantau. Tosu itu memberi hormat
kepada suheng-nya lalu berkata,
“Memang
benar, penjahat itu bukan lain adalah Siang-hek-pian (Sepasang Pian Hitam) Bwee
Cat. Seperti Suheng tentu masih ingat, dahulu Siang-hek-pian Bwee Cat pernah
memusuhi Kim-san-pai dan pernah jatuh oleh siauwte. Agaknya ia mengandung
dendam sakit hati dan melihat salah paham yang timbul antara Kim-san-pai dan
Bu-tong-pai, dia lalu turun tangan, menewaskan muridku Lai Tek kemudian
menggunakan nama Bu-tong-pai untuk mengadu domba.”
“Sute yang
baik, bagaimana kau bisa mengetahui ini semua dan bagaimana kau bilang bahwa
dia itu sudah tertangkap?” tanya Thian Beng Cu dengan girang, sedangkan wajah
Liem Sun Hauw menjadi muram sekali mendengar bahwa penjahat yang menjadi biang
keladi pertikaian itu telah tertangkap.
“Dalam
perantauan siauwte mendengar mengenai pertikaian antara Kim-san-pai dengan
Bu-tong-pai dan siauwte sudah mendengar pula sebab-sebab pertikaian itu.
Siauwte tidak percaya bahwa Bu-tong-pai akan dapat berlaku sekeji itu, maka
siauwte teringat kepada Siang-hek-pian Bwee Cat. Apa bila ada orang yang hendak
mencelakakan Kim-san-pai, kiranya hanya penjahat itulah yang menaruh dendam dan
pernah menjadi pecundang. Siauwte lalu mencarinya dan sesudah berjumpa, betul
saja bahwa dia yang melakukan pembunuhan terhadap Lai Tek, katanya untuk
memancing siauwte supaya mencarinya. Kami bertempur dan ternyata selama ini ia
telah mempertinggi ilmunya sehingga hampir saja siauwte kalah dan celaka dalam
tangannya. Tidak heran bila Lai Tek mudah saja ia tewaskan, tidak tahunya
penjahat itu sudah berguru lagi semenjak kalah di Kim-san-pai. Masih baik nasib
siauwte, pada saat itu datang dua orang bersaudara, yakni Kang Bok Sian dan
Kang Eng Sian. Dua orang pendekar muda ini ternyata adalah anak-anak murid
Bu-tong-pai dan mereka pun telah mendengar pula tentang pertikaian antara
Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Dari orang-orang kang-ouw mereka mendengar tentang
Siang-hek-pian Bwee Cat yang menyombongkan perbuatannya, yakni sudah membunuh
Lai Tek murid Kim-san-pai. Karena dua orang saudara Kang yang gagah perkasa itu
telah mendengar pula akan sebab pertikaian kedua partai mereka lalu mengerti
bahwa biang keladinya adalah Bwee Cat dan mencarinya. Kebetulan sekali siauwte
terdesak dan mereka berdua turun tangan membantu. Barulah penjahat itu dapat
dirobohkan, sayang sekali dalam keadaan tewas sehingga tidak mungkin siauwte
seret ke sini untuk membuat pengakuan.”
Thian Beng
Cu menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian ia menoleh kepada para anak muridnya
dan kepada tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang berada di situ, lalu berkata dengan
suaranya yang halus berpengaruh,
“Kalian para
murid-murid Kim-san-pai dan murid-murid Bu-tong-pai dengarlah baik-baik.
Penuturan sute-ku Eng Yang Cu ini menjadi cermin bagi kalian. Kalian yang
berada di sini ribut-ribut saling menuduh dan saling menyerang menurutkan hati
panas. Sebaliknya Eng Yang Cu dan dua orang saudara Kang sebagai murid-murid
Kim-san-pai dan Bu-tong-pai yang jauh dari sini, bahkan sudah bekerja sama
untuk menangkap penjahat. Murid-murid Kim-san-pai, kalian tirulah sikap susiok kalian
ini dan murid-murid Bu-tong-pai harap suka meniru perbuatan kedua saudara Kang
yang gagah perkasa.”
Sementara
itu, Liem Sun Hauw lalu berkata kepada Thian Beng Cu dengan muka muram,
“Locianpwe,
ternyata bahwa teecu seorang yang tidak ada gunanya sama sekali, kalau lebih
lama di sini hanya akan mengotorkan tempat saja. Mohon maaf sebanyaknya dan
perkenankan teecu pergi. Cuwi Suhu dari Bu-tong-pai, tolong sampaikan rasa
hormatku kepada Locianpwe Lo Beng Hosiang di Bu-tong-pai. Nona Ang I Niocu, aku
telah banyak melakukan kesalahan terhadapmu, maaf...”
Setelah
berkata demikian, dengan cepat sekali Liem Sun Hauw melompat dan pergi dari
situ, berlari turun dari lereng Bukit Kim-san-pai.
Semua orang
memandang dengan bengong dan diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda tampan
dan gagah itu yang sebenarnya bukan bertindak salah, hanya kurang teliti dan
kurang hati-hati.
“Saudara
Liem, tunggu dulu!” Ang I Niocu berseru dan di lain saat dia sudah melompat
sambil berkata, “Totiang, maafkan aku tak dapat lebih lama lagi tinggal di
sini!”
Sebelum
Ketua Kim-san-pai menjawab, tubuhnya sudah lenyap dan yang nampak hanya
bayangan merah berkelebat dan meluncur turun gunung.
“Siapa
mereka itu?” tanya Eng Yang Cu kagum sekali melihat kehebatan dua orang muda itu.
“Yang
pertama adalah Liem Sun Hauw, murid mendiang Thian Mo Siansu dari Go-bi-pai
untuk mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Yang ke dua tadi
adalah Ang I Niocu, puteri dari Jeng-jiu-sian Kiang Liat, Bu Pun Su adalah
susiok-couw-nya dan dia pun datang atas perintah Bu Pun Su untuk maksud yang
sama, yakni mendamaikan kedua partai.”
Eng Yang Cu
menarik napas panjang. “Ahhh, anak-anak muda sekarang memang hebat. Kepandaian
mereka tadi benar lihai, apa lagi nona baju merah tadi, ginkang-nya sudah
sampai di tingkat yang melebihi kita...”
Semua yang
ada di situ mengangguk-angguk. Sunyi sepi di tempat itu, hanya beberapa kali
terdengar suara orang menarik napas panjang.
***************
Liem Sun
Hauw merasa amat malu. Ia kecewa sekali karena usahanya melakukan tugas yang
diserahkan kepadanya oleh Twi Mo Siansu selalu menemui kegagalan. Dia bahkan
membuat suasana semakin keruh dan sebelum ia dapat menebus kesalahannya, dengan
menangkap biang keladi permusuhan, ia telah didahului oleh Eng Yang Cu!
Saking malu
dan kecewanya dia lalu meninggalkan Kim-san-pai. Yang membuat dia malu
sesungguhnya bukan terhadap orang lain, melainkan terhadap Ang I Niocu. Dia
sudah tertarik dan jatuh hati kepada gadis ini, apa lagi setelah dia tahu bahwa
gadis itulah yang dicalonkan menjadi isterinya oleh Kiang Liat. Dan sekarang di
depan gadis itu ia kelihatan sebagai seorang yang bodoh!
Biar pun ia
berlari cepat sekali, sebentar saja ia tersusul oleh Ang I Niocu. Tadi Sun Hauw
mendengar suara panggilan Ang I Niocu, akan tetapi ia mengira bahwa gadis yang
cantik tapi galak itu akan menyalahkan dan menyindirnya, maka ia tidak mau
berhenti sebelum jauh dari para tokoh Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Selain ini
dia pun hendak menguji ilmu lari cepat dari gadis itu dan diam-diam dia segera
mengerahkan ilmu lari cepat yang paling diandalkan, yakni Liok-te Hui-teng
(Lari Seperti Terbang di Atas Bumi), karena ia tahu bahwa gadis itu
mengejarnya.
Akan tetapi
alangkah kagumnya ketika tak lama kemudian gadis itu sudah menyusulnya.
Bayangan merah berkelebat di samping kanannya dan di lain saat gadis itu telah
berdiri beberapa tombak jauhnya di sebelah depan, tersenyum menghadang di
jalan.
Ang I Niocu
sengaja mengejar Sun Hauw karena gadis ini ingin sekali mendengar dari pemuda
ini mengenai hubungan ayahnya dengan pemuda ini. Ingin dia mengetahui bagai
mana pemuda ini bertemu dengan ayahnya dan bagaimana pula ayahnya sampai punya
maksud menjodohkan dia dengan pemuda itu.
Selain ini,
ia pun agak menyesal atas sikapnya yang menghina dan keras terhadap Sun Hauw,
dan sekarang ternyata bahwa sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang yang
menyombongkan kepandaian dan sengaja membantu Bu-tong-pai melakukan penghinaan
terhadap Kim-san-pai. Semua pertengkaran yang terjadi hanya timbul diakibatkan
kesalah pahaman.
Sungguh pun
pada mukanya terbayang kemuraman, namun di dalam hatinya Sun Hauw merasa girang
sekali melihat gadis itu. “Nona, apakah kau masih merasa penasaran? Aku sudah
mengaku salah dan...”
“Saudara
Liem, jangan kau salah sangka. Tadi kau menyebut nama ayahku. Di mana kau
pernah bertemu dengan Ayah dan kapankah? Aku ingin sekali mendengar penuturanmu
tentang Ayah.”
Seketika
wajah Sun Hauw berseri, hatinya berdebar-debar girang dan dia menarik napas
lega.
“Aku bertemu
kemudian berkenalan dengan ayahmu yang gagah perkasa dan mulia itu di
Go-bi-san,” dia mulai bercerita, “ketika aku menghadap Susiok Twi Mo Siansu,
kebetulan ayahmu datang dan menyampaikan pesan dari Sin-taihiap Bu Pun Su
kepada Susiok-ku. Susiok lalu memilih aku untuk berusaha mendamaikan pertikaian
antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai dan hal ini menimbulkan iri hati dan tidak
senangnya beberapa orang anak murid Go-bi-pai. Aku sendiri biar pun anak murid
Go-bi-pai, akan tetapi suhu-ku adalah seorang perantau dan hampir tidak
mempunyai hubungan lagi dengan Go-bi-pai.”
Kemudian Sun
Hauw menuturkan bagaimana dia telah diserang oleh tokoh Go-bi-pai Tek Le Tojin
dan hampir celaka kalau saja dia tidak ditolong oleh Kiang Liat. Dan bagaimana
perjalanannya ke Bu-tong-pai tertunda dan terlambat karena dia singgah di
kampungnya dan terpaksa menunda perjalanan ke Bu-tong-san sebab dia harus
terlebih dulu merawat ayahnya yang sedang sakit payah. Semua peristiwa ini
sudah dituturkan di bagian depan dan kiranya tak perlu diulang pula.
“Demikianlah,
Nona. Apakah ayahmu sudah pulang ke Sian-koan dan apakah kau telah bertemu
dengan orang tua yang mulia itu?” Sun Hauw menutup penuturannya dan balas
bertanya.
Ang I Niocu
tak dapat menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa bagai ditusuk-tusuk karena
teringatlah dia akan segala peristiwa antara dia dan ayahnya yang menyebabkan
kematian ayahnya.
Sun Hauw
makin berdebar. Kalau gadis ini sudah bertemu dengan ayahnya, tentu sudah
mendengar pula mengenai maksud pertalian jodoh itu. Matanya bersinar-sinar,
mukanya merah ketika ia menatap wajah dara cantik jelita yang berdiri sambil
menundukkan muka di depannya itu.
“Syukurlah
jika ayahmu telah pulang, Nona. Kuharap saja orang tua yang gagah perkasa itu
dalam sehat-sehat dan selamat. Ah, alangkah inginku menghadap
Kiang-lo-enghiong, alangkah rindu hatiku bertemu muka dengan dia lagi. Aku amat
menghormat dan memuja ayahmu, Nona, selembar nyawaku ini masih bisa berada di
dalam tubuhku hanya berkat pertolongan ayahmu.”
Mendengar
kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh ini, Ang I Niocu menjadi sangat
terharu. Ia meramkan kedua matanya dan merasa hatinya perih sekali. Ketika ia
membuka lagi kedua matanya, ia tak dapat menahan air matanya yang mengucur
deras. Cepat-cepat ia menggunakan ujung lengan baju untuk menutupi matanya dan
mengusap air matanya.
“Ang I
Niocu... kau kenapa…? Maafkan kalau aku kesalahan bicara...” Sun Hauw berkata
kaget.
Ang I Niocu
dapat menekan perasaannya dan kini menjadi tenang kembali. “Saudara Liem, harap
kau maafkan kelemahanku. Sebenarnya, perlu kiranya kau ketahui bahwa Ayah telah
meninggal dunia tujuh bulan yang lalu.”
Tiba-tiba
muka Sun Hauw menjadi pucat dan ia merasa seperti kehilangan semangatnya.
Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan biar pun ia tidak mengeluarkan suara, kedua pundaknya
bergerak-gerak dan tahulah Ang I Niocu bahwa pemuda ini telah menangis!
Diam-diam ia
menjadi terharu hadap pemuda ini, sekarang perasaan benci lenyap dan ia harus
mengakui bahwa kecuali mendiang Gan Tiauw Ki, pemuda ini merupakan seorang
pemuda pilihan dan baik, yang pernah ditemuinya.
“Gakhu...,”
terdengar kata-kata dari mulut pemuda itu, hanya perlahan sekali
Wajah Ang I
Niocu menjadi merah sekali ketika mendengar pemuda itu mengeluarkan kata-kata
sebutan gakhu (ayah mertua) itu, akan tetapi kata-kata itu diucapkan perlahan
sekali dan agaknya pemuda itu menahan hatinya supaya tidak mengeluarkan suara.
lagi.
Memang di
samping keharuan dan kesedihannya, Sun Hauw juga merasa bimbang dan gelisah.
Calon mertuanya sudah meninggal dunia, apakah nona ini sudah tahu tentang
perjodohan yang diikat? Bagaimana kalau Nona ini belum diberi tahu oleh ayahnya.
Ingin sekali
ia bertanya kepada Ang I Niocu tentang ini, akan tetapi tentu saja ia merasa
malu dan sungkan. Sebaliknya ia lalu menenangkan hatinya, diam-diam ia
mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri lagi. Kedua matanya masih basah
dan mukanya merah.
“Niocu...,”
suaranya serak dan pandang matanya kepada Ang I Niocu penuh perasaan kasih dan
iba, “sungguh aku ikut berduka cita dan betapa kaget hatiku mendengar warta
yang menyedihkan ini. Niocu, ayahmu demikian sehat dan gagah perkasa ketika
bertemu dengan aku, bagaimana ia bisa meninggal dengan mendadak? Apa sebabnya?”
Jika saja
masih ada kemarahan dan kebencian dalam hati Ang I Niocu terhadap pemuda ini,
tentu dia akan menjawab dengan makian dan tuduhan bahwa pemuda inilah yang
menjadi gara-gara kematian ayahnya. Akan tetapi sikap Sun Hauw mendatangkan
kesan baik dalam hati Ang I Niocu dan gadis itu hanya menjawab singkat,
“Ayah
meninggal karena sakit pada bagian jantungnya.”
Keduanya
lalu berdiam diri agak lama. Sun Hauw tidak tahu harus berbuat atau berkata apa
untuk menghibur nona itu. Akhirnya ia hanya dapat bertanya dengan perlahan,
“Niocu,
apakah... apakah mendiang ayahmu ada meninggalkan sesuatu pesanan untuk
aku...?”
Tentu saja
Ang I Niocu dapat menangkap maksud dari pertanyaan itu, tentu pemuda ini hendak
bertanya tentang maksud perjodohan yang direncanakan ayahnya. Akan tetapi ia
hanya menggeleng kepala dan tidak berkata apa-apa.
“Niocu,
apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”
Kembali Ang
I Niocu menggeleng kepalanya.
“Kau
sebatang kara di dunia ini?” pertanyaan ini penuh perasaan iba.
Ang I Niocu
mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara karena tahu bahwa suaranya tentu
akan gemetar. Pertanyaan-pertanyaan ini telah membangkitkan kesedihan hatinya.
Sampai lama Sun Hauw diam saja, penuh bimbang, ragu dan iba.
“Niocu, aku
hendak melaporkan urusan Bu-tong-pai dan Kim-san-pai yang sudah selesai itu
kepada Susiok di Go-bi-pai, setelah itu aku akan menghadiri pertemuan yang
hendak diadakan oleh Sin-taihiap Bu Pun Su. Kalau aku boleh bertanya, kau
hendak ke mana?”
“Aku juga
harus menghadiri pertemuan di puncak Gunung Thai-san, seperti yang dipesan oleh
Susiok-couw Bu Pun Su.”
Wajah Sun
Hauw berseri. “Kalau begitu, Niocu, apa bila kau tak menganggap aku terlalu
lancang dan kurang ajar, maukah kau mengijinkan aku mengiringkan perjalananmu?
Kita sejalan, dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau dibolehkan melakukan
perjalanan bersamamu.”
Karena sikap
pemuda itu memang sangat baik dan menyenangkan hatinya, Ang I Niocu tidak
merasa keberatan. Di atas dunia ini ia memang hidup sebatang kara, tiada
keluarga tiada teman, sekarang ada pemuda yang baik hati dan sopan ini, mengapa
dia menolak perjalanan bersama? Sedikitnya dia akan dapat menyelidiki dan
mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari pemuda yang menjadi pilihan
ayahnya ini.
Maka
berangkatlah dua orang muda itu menuruni Bukit Kim-san dan dengan kepandaian
mereka yang tinggi, mereka perjalanan cepat sekali. Sikap Sun Hauw benar-benar
amat sopan dan baik sehingga Ang I Niocu makin suka kepadanya, meski pun sukar
dikatakan bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya. Sesudah kehilangan ayahnya
dan Gan Tiauw Ki, memang amatlah sukar bagi Ang I Niocu untuk dapat mencinta
pemuda lain.
Memang Sun
Hauw seorang pemuda yang baik dan gagah. Tidak saja dia telah memiliki
kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia juga amat pandai membawa diri.
Perjalanan yang selama berbulan-bulan bersama Ang I Niocu menjadi ujian
baginya. Walau pun dia sudah tergila-gila kepada Ang I Niocu, mabuk oleh
kecantikan gadis ini yang memang sungguh luar biasa sehingga dia mencinta gadis
ini dengan sepenuh hati dan perasaannya, tetapi belum pernah dia memperlihatkan
sikap yang kurang ajar dan melanggar tata susila.
Bahkan, biar
pun sepasang matanya selalu menyorotkan sinar cinta kasih yang berkobar-kobar,
tetapi bibirnya tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun tentang perasaan yang
terkandung dalam hatinya itu. Tiap malam, kalau Ang I Niocu sudah pulas di
dalam kamar lain di penginapan, atau di dalam kamar pada sebuah kelenteng
kosong di mana mereka bermalam, Sun Hauw gelisah tak dapat tidur.
Kadang-kadang
dia hanya duduk bersandar pada meja sembahyang di dalam kelenteng dan melamun!
Tentu saja yang terbayang hanyalah Ang I Niocu yang gagah perkasa dan cantik
jelita, dan terbayanglah pula pertemuannya yang pertama kali dengan dara pujaan
hatinya itu.
Kadang-kadang
pemuda ini menjadi muram wajahnya, penuh kegelisahan dan kedukaan, kalau dia
teringat betapa akan sengsara hidupnya kalau gadis itu kelak menolaknya! Dia
pun merasa bingung mencari jalan bagaimana untuk bicara dengan Ang I Niocu
tentang kehendak mendiang Kiang Liat mengenai tali perjodohan itu.
Oleh karena
nama Ang I Niocu sudah mulai terkenal, apa lagi semenjak dia membasmi
gerombolan perampok di Bukit Min-san itu, tidak ada penjahat yang berani
sembarangan mengganggunya dalam perjalanan itu. Lebih-lebih karena di situ ada
Liem Sun Hauw dan pemuda ini yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw bersama
mendiang suhu-nya, juga merupakan tokoh yang terkenal dan ditakuti penjahat.
Para kaum
liok-lim mempunyai mata yang sangat awas dan telinga yang tajam. Mereka tak mau
mengganggu orang-orang gagah yang sekiranya malah akan merugikan mereka
sendiri.
Ketika mereka
tiba di jalan simpangan yang dekat dengan kampung tempat tinggal Sun Hauw,
pemuda itu berkata, “Nah, di sinilah jalan yang menuju ke rumah ayahku, Niocu.
Kau tentu tidak keberatan apa bila kita singgah sebentar, bukan? Aku harus
menengok keadaan Ayah karena ketika kutinggalkan, dia baru saja sembuh dari
sakit.”
Hal ini
memang sering kali dikemukakan oleh Sun Hauw dalam perjalanan, yakni bahwa
pemuda itu hendak singgah di kampung halamannya. Ang I Niocu tidak keberatan
dan ia memang ingin sekali melihat keadaan keluarga pemuda ini.
Mereka
membelok dan dengan cepat menuju ke kampung Peng-kan-mui. Akan tetapi, ketika
mereka sampai di luar kampung itu, tiba-tiba Sun Hauw menghentikan kakinya dan
mukanya berubah. Ang I Niocu juga berhenti dan menoleh, memandang heran kepada
pemuda itu.
“Mengapa
kita berhenti di sini?” tanyanya.
Mendadak Sun
Hauw teringat akan sesuatu yang membuat hatinya berdebar cemas dan yang
membuatnya tiba-tiba berhenti. Ia teringat akan Siok Lan, gadis yang oleh
ayahnya dicalonkan menjadi isterinya!
Ia mengajak
Ang I Niocu ke rumahnya, bahkan bermaksud minta kepada ayahnya agar melamar
gadis ini sebagai calon isterinya. Namun bagaimana dengan Siok Lan? Karena
dahulu ayahnya sudah menetapkan perjodohannya dengan Siok Lan, maka urusan ini
menjadi sulit dan harus dipecahkan dengan perlahan.
Kalau ia
mengajak Ang I Niocu ke rumah ayahnya, bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tak
dikehendakinya? Bagaimana kalau andai kata ayahnya marah-marah dan Ang I Niocu
mendengar tentang pertunangannya dengan Siok Lan? Bisa ribut dan tentu Ang I
Niocu akan tersinggung, akan marah!
“Niocu, baru
sekarang aku ingat dan betapa pun besar malu dan kecewaku kepadamu, terpaksa
hal ini harus kukemukakan secara terus terang padamu. Kau tahu bahwa Ayah
adalah seorang dusun yang kuno dan pendiriannya masih kolot. Kalau tiba-tiba
saja aku datang bersama engkau, tentu ia akan menduga yang bukan-bukan dan
mengira bahwa aku sudah menyeleweng. Hal ini bukan saja tidak baik bagiku, juga
akan menyinggung perasaanmu. Oleh karena itu, aku harap kau sudi memaafkan aku,
Niocu. Biarlah nanti aku yang masuk terlebih dahulu, memberi tahukan tentang
perjalananku dan mengenai kunjunganmu, agar orang tua itu tidak salah paham dan
bisa menyambut kunjunganmu.”
Wajah Ang I
Niocu menjadi merah. Akan tetapi bagaimana dia bisa marah? Pemuda ini bicara
dengan begitu terus terang dan secara terbuka, sehingga sama sekali tidak dapat
disebut menghinanya, bahkan telah melindunginya dari keadaan yang benar-benar
akan dapat menyinggung dan menghinanya, misalnya kalau tiba-tiba ayah pemuda
itu lantas memaki-maki puteranya di depannya, tentu hal ini akan membuat dia
merasa terhina. Oleh karena itu ia pun, tersenyum manis sekali dan berkata,
“Aku
mengerti, Saudara Liem. Tidak apa, karena memang aku tidak berhak mengganggu
orang tua itu. Kau masuklah ke kampung dan tengok orang tuamu. Biar aku
berjalan-jalan di kampung ini melihat-lihat. Kiranya setengah hari cukup untuk
melepas rindu kepada ayahmu, bukan? Nah, sekarang masih pagi. Nanti lewat
tengah hari kita bertemu pula di luar kampung ini untuk melanjutkan
perjalanan.”
Sun Hauw
tidak berani banyak membantah. Masuklah dua orang muda itu ke kampung
Peng-kan-mui dalam keadaan berpisah. Sun Hauw membelok ke kanan dan Ang I Niocu
membelok ke kiri.
Kampung itu
besar juga sehingga Ang I Niocu takkan merasa kesepian selama menanti Sun Hauw
menyelesaikan kunjungannya ke rumah. Dia berjalan perlahan di sepanjang jalan
kampung itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang terheran-heran dan
kagum melihatnya.
***************
Di bawah
sebatang pohon di belakang rumahnya, Tang Siok Lan berdiri dan termenung. Gadis
manis ini kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang membelai-belai batang pohon
dengan jari-jari tangannya yang halus. Baru saja ia mendengar warta girang,
warta yang dianggapnya paling baik di antara segala berita. Warta tentang
datangnya Liem Sun Hauw, kekasih dan tunangannya!
Ia sudah
‘jatuh hati’ kepada Liem Sun Hauw semenjak ia masih kecil! Teringat ia ketika
dahulu, sama-sama masih seorang anak berusia sekitar enam atau tujuh tahun, ia
selalu bermain-main dengan Sun Hauw di tempat ini, di kebun rumahnya di mana
setiap hari Sun Hauw selalu datang mengajaknya bermain-main.
Semenjak
kecilnya, Sun Hauw memang sudah gagah atau setidak-tidaknya bercita-cita
menjadi seorang gagah. Sering kali Sun Hauw membuat kuda-kudaan dari batang
pohon, lalu berlari-lari ‘naik kuda’ dengan lagak seorang pahlawan berangkat ke
medan perang! Dan di tengah jalan ia melambai-lambaikan tangan kepada Siok Lan
yang dibalas dengan lambaian tangan pula. Sering kali mereka bermain-main, Sun
Hauw menjadi pangeran dan Siok Lan menjadi puterinya, sang pangeran menolong
sang puteri yang ditawan oleh penjahat!
Siok Lan
tersenyum dan kadang-kadang tertawa kecil menutupi mulut dengan tangannya kalau
dia teringat akan semua ini. Sekarang Sun Hauw sudah pulang! Sedangkan ayah Sun
Hauw dan ayahnya sendiri sudah setuju bahwa kalau Sun Hauw pulang, pernikahan
antara dua orang muda ini akan segera dilangsungkan.
Tiba-tiba
pintu belakang rumah itu terbuka dan seorang wanita muda yang cantik juga
datang berlari-lari sambil tertawa,
“Siok Lan,
kau sedang apa di situ? Mengapa kau tidak lekas-lekas berganti pakaian dan
membereskan rambutmu? Sebentar lagi tentu dia akan datang ke sini...!” kata
wanita itu yang ternyata adalah kakak ipar dari Siok Lan.
“Ahhh...
Soso suka menggoda orang...,” jawab Siok Lan dan mukanya yang putih halus
menjadi merah, lesung di atas tahi lalat yang berada di dagu kirinya segera
membayang, menambah kemanisannya.
Dua orang
wanita ini lalu bersendau-gurau dan Siok Lan digoda terus oleh kakak iparnya.
Keduanya tertawa-tawa gembira tidak tahu bahwa tak jauh dari situ dua orang
mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.
***************
Bila di
rumah Siok Lan terjadi hal yang menggembirakan, sebaliknya di rumah Sun Hauw
terjadi hal yang ribut. Terdengar ayah pemuda itu berteriak-teriak marah,
diselingi suara Sun Hauw yang tenang dan lemah-lembut, agaknya hendak menghibur
ayahnya.
Akhirnya
dengan suara yang menyatakan kekecewaan, kemarahan, dan kedukaan, ayah pemuda
itu berkata, “Sudahlah, Sun Hauw. Kalau kau berkukuh, aku pun tak dapat
memaksa, karena kaulah yang akan menikah. Akan tetapi, untuk membatalkan ikatan
jodoh dengan keluarga Tang, harus kau sendiri yang datang memberi tahukan. Aku
tidak sampai hati, aku tidak tega membikin malu dan susah Siok Lan, anak yang
baik itu... Baru saja dia masih demikian lincah gembira... penuh harapan,
sekarang kau hendak menghancurkan hatinya...”
“Ayah,
sesungguhnya anak pun merasa amat kasihan kepada Siok Lan. Akan tetapi apa
daya, Ayah. Anak merasa lebih cocok dan anak mencintai Ang I Niocu, seorang
wanita gagah yang lebih sesuai dengan keadaan anak sendiri. Mengenai Siok Lan,
biarlah anak anggap sebagai adik sendiri dan kelak anak yang akan mencarikan
calon suami.”
“Masa
bodoh... masa bodoh... anak muda sekarang memang tidak kenal budi!”
Biar pun
secara terpaksa sekali harus mendapat persetujuan ayahnya, Sun Hauw girang juga
bahwa akhirnya ayahnya menyerahkan hal perjodohan ini kepadanya. Dia lalu cepat
meninggalkan rumahnya dan menuju ke rumah Siok Lan. Ia harus bertindak cepat
karena khawatir kalau membuat Ang I Niocu terlalu lama menunggu.
Akan tetapi,
sesudah dia sampai di dekat rumah Siok Lan, hatinya merasa berdebar juga.
Bagaimana dia harus menyampaikan hal yang amat pahit bagi Siok Lan itu? Lebih
baik kusampaikan kepada Siok Lan sendiri, pikirnya.
Untuk
menyampaikan hal ini kepada ayah Siok Lan, atau kakak Siok Lan, ia merasa lebih
sukar lagi karena hubungannya dengan mereka ini kurang erat. Semenjak kecil
memang kakak Siok Lan itu bekerja di kota lain dan pulang-pulang sudah membawa
isteri. Akan tetapi kalau dengan Siok Lan, semenjak kecil ia memang sudah kenal
baik sehingga biar pun amat berat rasa hati menyampaikan hal yang menghancurkan
perasaan gadis itu, namun masih lebih mudah apa bila dibandingkan dengan
menyampaikan kepada ayah atau kakaknya.
Ketika Sun
Hauw melompati pagar belakang rumah, ternyata dia mendapatkan Siok Lan tengah
duduk seorang diri di bawah pohon. Kebetulan sekali, setelah bergurau dengan
kakak iparnya yang barusan menggodanya, kakak ipar itu kembali ke dalam rumah
untuk melanjutkan pekerjaan rumah tangga. Siok Lan kemudian melamun seorang
diri di dalam kebunnya, mengambil keputusan di dalam hatinya, hanya akan keluar
kalau Sun Hauw sudah datang berkunjung ke rumahnya.
Akan tetapi
kini ia telah berganti pakaian seperti yang dinasehatkan oleh kakak iparnya
tadi, dan rambutnya yang hitam halus dan panjang sudah disisirnya rapi. Mukanya
yang jarang dibedaki, karena ia memang bukan seorang pesolek, akan tetapi yang
putih dan halus, kini bertambah menarik dengan bedak tipis-tipis, ada pun
senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Saat-saat seperti ini, menunggu datangnya
kekasih hati, memang merupakan saat paling bahagia bagi seorang dara.
Ketika
melompat turun ke dalam kebun itu, untuk sesaat Sun Hauw berdiri tertegun. Ia
terharu. Teringat ia akan masa kanak-kanak dahulu. Setiap kali dia pun memasuki
kebun Siok Lan dengan cara seperti ini. Hanya bedanya, kalau dulu ia masuk
menerobos pagar kebun yang rusak, adalah sekarang dengan mudahnya dia dapat
melompati pagar tanpa mengeluarkan suara.
“Siok
Lan...” Ia memanggil dengan nada suara seperti dahulu ketika masih kecil pula.
Gadis itu
terkejut, serasa dalam mimpi. Seperti pada waktu dahulu, dia pun tersenyum,
menoleh dan memandang ke Sun Hauw.
“Hauw-ko...
kau baru datang...?” Kemudian ia teringat bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi,
maka merahlah mukanya dan disambungnya dengan kata. kata itu, “Ehh, mengapa kau
datang dari belakang?”
Sun Hauw
makin terharu melihat wajah wanita itu tersenyum bahagia, sepasang mata yang
sudah dikenalnya baik semenjak kanak-kanak itu berseri seri, akan tetapi ia
tidak bisa membalas senyum dan wajahnya nampak muram.
“Aku sengaja
datang dari belakang untuk bertemu dan bicara dengan kau, Siok Lan.”
Dia lalu
menghampiri gadis itu dan mulai mengucapkan kata-kata yang sudah dirangkai dan
dihafalkannya di sepanjang jalan tadi.
“Siok Lan,
semenjak kita masih kanak-kanak, kita sudah menjadi sahabat baik, bahkan boleh
dibilang sudah seperti kakak beradik saja. Oleh karena itu, biarlah sekarang
kau anggap aku bicara selaku kakakmu dan bagi aku, lebih baik aku bicara
sendiri denganmu dari pada dengan ayah atau kakakmu. Sebagai seorang kakak aku
hendak bicara terus terang saja, demi kebaikan kita berdua dan demi kebaikan
keluarga kita. Kau tahu bahwa selamanya aku menganggap kau sebagai adikku,
karena aku sendiri tidak mempunyai saudara. Akan tetapi, ketika aku pulang
tadi, aku mendengar dari Ayah bahwa antara kita telah diikat tali perjodohan.”
Mendengar
ini Siok Lan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali sampai ke telinga
dan lehernya. Ia tidak berani bergerak, hanya tersenyum-senyum malu dan ujung
kasutnya menggurat-gurat tanah di bawah kaki, hanya itulah gerakan satu-satunya
yang ia berani lakukan. Ia merasa malu, jengah, dan juga... girang bukan main.
“Siok Lan,
kau sendiri tentu tahu bahwa aku selalu akan merasa gembira dan berterima
kasih, bahwa aku tentu akan menerima perjodohan itu dengan tangan dan hati
terbuka, karena kau memang seorang yang kutahu amat bijaksana, amat mulia, dan
seorang dara pilihan, kalau saja...”
Mendadak
wajah menunduk yang kemerahan itu menjadi pucat dan diangkat, sepasang mata
yang bingung dan kaget, menatap wajah Sun Hauw bagaikan mata seekor kelinci
melihat harimau, membuat Sun Hauw merasa kerongkongannya tersumbat! Akan tetapi
pemuda itu mengeraskan hati dan ia harus sanggup mengakhiri kalimat yang paling
sulit diucapkannya itu.
“Kalau saja
aku belum mempunyai seorang kekasih, Siok Lan. Memang ini salahku. Aku sudah
jatuh cinta kepada seorang gadis gagah perkasa bernama Ang I Niocu Kiang Im
Giok, dan aku... aku bahkan sudah bertunangan dengan dia, aku pulang untuk
meminta Ayah meminangnya, maka tali perjodohan antara kau dan aku ini tentu
saja menjadi tak mungkin...! Kau tahu Siok Lan, aku sayang kepadamu seperti
seorang kakak menyayang adiknya, dan terhadap Ang I Niocu... dia itu pilihan
hatiku, tidak mungkin diganti oleh lain orang...”
Kalau ada
geledek yang menyambarnya di saat itu, kiranya Siok Lan takkan begitu kaget
seperti ketika mendengar kata-kata ini. Sepasang matanya terbelalak, mukanya
pucat, bibirnya gemetar dan bergerak-gerak tanpa mampu mengeluarkan satu patah
kata pun, kakinya menggigil dan akhirnya air mata membanjir keluar dibarengi
keluhan suaranya,
“Hauw-ko...”
dan gadis ini berlari dengan limbung, memasuki rumahnya.
Sun Hauw
menarik napas panjang dengan perasaan kasihan bercampur lega. Akhirnya
kata-kata itu dapat juga dikeluarkan dan nona itu tentu akan menyampaikannya
kepada kakaknya dan ayahnya dan semua bereslah! Ia lalu membalikkan tubuh dan
melompati pagar kebun itu, kembali ke rumah ayahnya, untuk menyampaikan bahwa hal
itu sudah beres.
Walau pun
kebun itu sudah ditinggalkan oleh Siok Lan dan Sun Hauw, akan tetapi orang yang
semenjak tadi mengintai di situ masih belum pergi. Ia berdiri bersembunyi,
seperti patung, rupa-rupanya terpengaruh oleh semua yang sudah didengarnya,
semenjak Siok Lan bergurau dengan kakak iparnya tentang Sun Hauw sampai
pertemuan antara Siok Lan dan Sun Hauw.
Tiba-tiba
terdengar jerit mengerikan dari dalam rumah sederhana, rumah keluarga Tang itu.
Orang yang tadi bersembunyi, cepat sekali berkelebat, berubah menjadi bayangan
merah dan di lain saat ia telah naik ke atas genteng rumah itu. Dilihatnya dari
atas betapa Siok Lan berlari dikejar oleh kakak dan iparnya.
Bayangan
merah di atas genteng hendak melompat turun mengejar, akan tetapi sudah terlambat.
Siok Lan sudah sampai di dekat dinding dan dengan sekuat tenaga gadis yang
malang ini lantas membenturkan kepalanya pada dinding.
Terdengar
suara keras dan gadis itu roboh terkulai, darah mengalir dari pelipisnya,
keluar pula dari mulut, hidung, dan matanya yang terbuka lebar tanpa cahaya,
mata seorang yang sudah tewas...!
Kakak Siok
Lan menggereng-gereng, isterinya menjerit-jerit dan seorang kakek tua, yakni
ayah Siok Lan, terbungkuk-bungkuk berlari dari dalam, lalu menubruk jenazah
puterinya sambil menangis dan berkata-kata tidak karuan bagaikan orang yang
ingatannya sudah berubah, seperti orang gila saking sedihnya.
Bayangan
merah itu menggigit bibir dan menghapus dua titik air mata yang membasahi
pipinya, kemudian berkelebat pergi.
Sun Hauw
menjadi terkejut dan menyesal sekali pada saat mendengar tentang perbuatan Siok
Lan yang nekad. Tak terasa lagi air matanya turun bertitik, karena betapa pun
juga, ia sesungguhnya amat sayang kepada Siok Lan. Kalau di sana tidak ada Ang
I Niocu, kiranya ia akan menerima Siok Lan sebagai isteri dengan perasaan
gembira dan bahagia.
Ayahnya juga
menangis sesenggukan, membanting diri di atas pembaringan sambil terus
memaki-maki anaknya, “Sun Hauw, dasar kau manusia tidak kenal budi! Kau sudah
melakukan perbuatan yang membikin kotor nama keluarga kita, kau telah melakukan
dosa besar sekali oleh karena sesungguhnya kaulah yang membunuh Siok Lan...!”
Setelah
memaki-maki, ayah ini berkata, “Kau boleh mencari isteri yang mana saja, akan
tetapi bagiku, kau sudah mempunyai isteri Siok Lan! Aku tak akan sudi
melamarkan lain orang gadis untuk menjadi isterimu!”
Tentu saja
Sun Hauw merasa amat berduka. Akan tetapi, di samping kedukaannya ini, ia pun
diam-diam merasa girang karena sekarang perjodohannya dengan Ang I Niocu tidak
terhalang oleh apa pun juga lagi! Kalau ayahnya tidak mau meminang, dia dapat
minta perantaraan susiok-nya. Memang, seorang yang telah dimabuk cinta kadang
kala sampai lupa akan kebajikan, yang diingat hanyalah kesenangan diri sendiri
saja.

Sesudah
meninggalkan sebagian besar uangnya untuk disumbangkan kepada keluarga Tang,
Sun Hauw lalu berpamit kepada ayahnya untuk melanjutkan perjalanan. Tak dapat
dilukiskan betapa remuk perasaan hati ayahnya. Ayah ini hanya memiliki seorang
putera dan sekarang, putera ini telah mengecewakan hatinya, bahkan hanya
setengah hari saja pulang, dan hendak pergi lagi.
Sebaliknya,
setelah keluar dari rumahnya, Sun Hauw merasa seakan-akan seekor burung
terlepas dari sangkar yang sempit. Ia berlari-lari menuju ke luar kampung di
mana tadi ia berpisah dari Ang I Niocu. Kemuraman wajahnya yang tadi telah
lenyap dan terganti oleh seri penuh harapan dan kegembiraan. Masa depannya
penuh madu dan kebahagiaan bersama Ang I Niocu, dara perkasa yang cantik
seperti bidadari, mengapa pula ia harus berduka?
Dengan hati
gembira ia berlari keluar dari pintu gerbang dusunnya dan dari jauh ia sudah
melihat dara baju merah itu menunggu kedatangannya, berdiri tegak dengan gagah
dan cantiknya. Gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya bersinar-sinar
menatap wajah Sun Hauw.
“'Kuharap
aku tidak terlalu lama pergi sehingga kau tidak menjadi kesal hati,” kata Sun
Hauw.
“Tidak sama
sekali,” jawab Ang I Niocu dengan suara merdu dan sikap menarik sekali.
“Saudara Liem, mengapa selama ini kau tak pernah bercerita kepadaku tentang
maksud-maksud mendiang ayahku?”
Sun Hauw
terkejut, hatinya berdebar. “Apa yang kau maksudkan, Niocu?”
Ang I Niocu
tersenyum manis. “Sebelum menutup mata, Ayah telah meninggalkan pesan kepadaku
tentang kita.”
Dapat
dibayangkan betapa girangnya hati Sun Hauw. Jadi kalau begitu selama ini Ang I Niocu
sudah tahu bahwa dia merupakan pilihan ayahnya? Dan gadis itu mau melakukan
perjalanan bersama dia. Ah, kalau begini dapat diharapkan sembilan dari sepuluh
bagian cita-citanya terlaksana!
“Jadi kau...
kau sudah tahu, Niocu? Aku diam saja karena tidak ingin membikin kau tak enak
hati dan malu. Memang, mendiang ayahmu dahulu sudah… mengusulkan tentang...
ikatan jodoh antara kita...”
“Saudara
Liem, apakah kau suka kepadaku?” Ang I Niocu bertanya, sepasang matanya menatap
tajam, mulutnya tetap tersenyum manis.
Diam-diam
Sun Hauw terheran-heran juga kenapa gadis ini tidak kelihatan likat atau pun
sungkan, dan bicara tentang ikatan jodoh nampaknya demikian biasa!
“Suka
kepadamu, Niocu? Ah, kiranya tak perlu kujelaskan dan Niocu yang berpandangan
tajam tentu sudah mengetahui akan isi hatiku. Semenjak pertemuan kita yang
pertama kali, aku... aku sedetik pun tidak pernah dapat melupakanmu, Niocu. Aku
cinta kepadamu dengan seluruh jiwaku...”
Senyum di
mulut Ang I Niocu melebar sehingga nampak sekilas giginya yang putih dan rapi.
“Begitukah? Akan tetapi kau harus tahu bahwa sebelum Ayah menyatakan
keinginannya supaya aku berjodoh denganmu, aku sudah bersumpah bahwa aku hanya
akan menikah dengan seorang pria yang dapat mengalahkan pedangku. Nah, Saudara
Liem, kalau kau memang benar-benar cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku,
coba kau kalahkan pedangku ini!” Sambil berkata demikian Ang I Niocu mencabut
pedangnya dan menanti dengan sikap garang.
Tentu saja
Liem Sun Hauw menjadi terkejut, tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa. Akan
tetapi, melihat senyum Ang I Niocu tadi, hatinya menjadi besar. Melihat
gelagatnya, nona ini pun membalas cinta kasihnya. Sudah tentu saja Ang I Niocu
memegang harga diri dan mengadakan ‘sayembara’ ini untuk mempertinggi harga
dirinya. Akan tetapi kalau nona ini membalas cintanya, masa Ang I Niocu akan
bertempur sungguh-sungguh?
Dan pula,
andai kata Ang I Niocu bersungguh-sungguh, ia pun tidak takut karena biar pun
dalam hal ginkang ia harus mengakui masih kalah oleh nona baju merah ini, akan
tetapi dalam ilmu pedang, dia tidak percaya kalau kalah. Dia telah menerima
gemblengan dari mendiang Thian Mo Siansu dan telah mempelajari ilmu pedang yang
lebih lihai dari pada ilmu pedang Go-bi-pai.
“Begitukah
kehendakmu, Niocu? Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku,” dia berkata sambil
mencabut pedang dan memasang kuda-kuda. Ia sengaja memasang pertahanan untuk
memberi kesempatan kepada Ang I Niocu menyerang lebih dulu.
Ang I Niocu
tidak sungkan-sungkan lagi. “Lihat pedang!” serunya
Pada lain
saat Sun Hauw harus cepat-cepat membuang diri ke kanan sambil menyampok karena
pedang gadis itu telah lenyap berubah sinar bagaikan kilat menyambarnya, cepat
bukan main.
“Hebat...!”
tak terasa lagi Sun Hauw mengeluarkan seruan terkejut.
Kembali
sinar pedang di tangan Ang I Niocu menyambarnya. Dalam beberapa jurus Sun Hauw
terus terdesak hebat dan serangan-serangan Ang I Niocu benar-benar luar biasa
ganasnya. Akan tetapi Sun Hauw tidak mau membalasnya, hanya sedapat mungkin dia
memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.
“Balaslah,
aku paling tidak suka bila melihat orang berlaku mengalah. Memangnya ilmu
pedangmu jauh lebih menang?” kata Ang I Niocu. Sambil berkata-kata, dia
melanjutkan serangan-serangannya dengan cepat.
Melihat
gerakan pedang Ang I Niocu, diam-diam Sun Hauw terkejut sekali dan tahulah ia
bahwa gadis itu benar-benar lihai, ada pun ilmu pedangnya amat tinggi
tingkatnya, sukar diduga gerak-gerik dan perubahannya. Akan tetapi ia masih
percaya penuh bahwa tidak nanti Ang I Niocu mau melukainya, maka sambil
tersenyum manis ia berkata,
“Niocu,
bagaimana aku berani menyerangmu? Sejak dahulu ayahmu telah memberi tahu bahwa
kepandaianmu tinggi sekali, bahkan lebih tinggi dari pada ayahmu sendiri. Pula,
pedang tidak bermata, bagaimana aku tega menyerangmu? Kalau sampai kulitmu
terluka pedang, bukankah aku akan menyesal setengah mati?”
Ang I Niocu
yang tadinya bersikap manis, sekarang mengeluarkan suara ketus. “Orang she
Liem, kita dalam pibu, luka atau mati merupakan soal biasa! Aku akan
menyerangmu sungguh-sungguh!”
Sun Hauw
masih saja tidak sadar akan perubahan suara ini. Dia masih tersenyum dan
berkata manis, “Niocu, aku tidak percaya kau akan melukaiku. Apakah kau tega
melihat tunangan sendiri menjadi korban ujung pedangmu? Kalau kau tega,
silakan, aku rela mati dalam tangan orang yang paling kucinta...“
Ang I Niocu
tidak mampu menahan marahnya lagi. Ia menghentikan gerakan pedangnya, berdiri
tegak dan dengan muka merah dia menudingkan pedangnya ke arah muka Sun Hauw.
“Bangsat
rendah! Kau kira kau ini orang macam apakah berani sekali bicara seperti itu di
depanku? Ketahuilah, buka telingamu lebar-lebar, jangankan kau tidak dapat
menangkan pedangku, andai kata kau mampu menangkan juga, belum tentu aku sudi
menjadi isteri seorang kejam macam kau!”
Kali ini
benar-benar Sun Hauw terkejut. Mukanya berubah pucat ketika ia bertanya, “Ehh,
Niocu, mengapa kau marah kepadaku? Apakah kesalahanku?”
“Manusia
rendah, kau pandai berpura-pura! Tentu Ayah dahulu juga sudah tertarik oleh
gerak-gerik dan kata-katamu yang palsu, menyangka kau seorang baik-baik tak
tahunya kau menyimpan hati yang palsu. Apa yang kau sudah lakukan terhadap Siok
Lan?”
Sun Hauw
merasa semangatnya terbang. “Siok Lan...? Bagaimana kau bisa tahu...?”
Ang I Niocu
tersenyum akan tetapi kini senyumnya mengiris jantung, senyum mengejek dan
memandang rendah.
“Kau sanggup
menghancurkan hati seorang gadis suci seperti Siok Lan, dan kau sudah
mempermainkan perasaan cintanya. Kemudian, setelah gadis itu membunuh diri, masih
hangat jenazahnya, kau sudah berani beraksi di depanku seolah-olah aku ini
kekasihmu. Cih, laki-laki tak tahu malu!” Setelah berkata demikian, dengan
sikap menghina sekali Ang I Niocu membalikkan tubuh dan meninggalkan pemuda
itu.
Dapat
dibayangkan betapa hancur perasaan Sun Hauw pada saat itu. Malu dan marah
karena terhina, kecewa dan berduka karena cintanya ditolak mentah-mentah,
menyesal sekali atas perbuatannya terhadap Siok Lan, semua perasaan ini
teraduk-aduk menjadi satu dalam hati dan pikirannya.
Kemudian,
melihat Ang I Niocu meninggalkannya, ia mengejar sambil rnembentak, “Ang I
Niocu, ayahmu telah menjanjikan aku untuk menjadi suamimu! Apakah kau hendak
melanggar janji? Apakah hendak mencemarkan nama baik ayahmu dengan mengingkari
janji?”
Tiba-tiba
saja Ang I Niocu membalikkan tubuh dan menantangnya dengan pandang mata
berapi-api.
“Kau masih
berani menyebut-nyebut ayahku? Bangsat rendah, aku tidak membunuh kau seperti
anjing saja sudah sangat untung bagimu. Kau berani menuduh aku mengingkari
janji? Kaulah yang menipu Ayah, kau sudah bertunangan dengan Siok Lan masih
berani menerima uluran tangan Ayah! Kau yang sudah mengingkari janjimu terhadap
keluarga Siok Lan. Ada pun aku, aku sama sekali tidak mengingkari janji. Sudah
kukatakan tadi bahwa orang yang hendak menjadi suamiku harus dapat mengalahkan
pedangku. Nah, sanggupkah kau mengalahkan pedangku?” Kata-kata ini disusul
dengan tarikan pedang yang dilintangkan di depan dada dengan gaya menantang
sekali.
Hati Sun
Hauw yang telah remuk dan putus asa, yang merasa kebahagiaannya jatuh dan
hancur berantakan, kini menjadi panas dan membuatnya nekad. Dia rela mati kalau
tidak bisa mendapatkan Ang I Niocu sebagai isterinya. Maka cepat dihadapinya
Ang I Niocu dengan pedang di tangan dan katanya, “Baiklah, Niocu. Kalau begitu
besar keinginanmu hendak mengadu ilmu, mari kulayani kau!”
Sun Hauw
kini menerjang dengan sengitnya dan sebentar kemudian dua orang muda itu sudah
bertanding dengan seru. Ilmu pedang dari Sun Hauw memang lihai sekali, karena
di dalam ilmu pedang yang berdasar pada ilmu pedang Go-bi-pai ini terdapat
pukulan-pukulan aneh yang dulu diwarisi oleh Thian Mo Siansu dari orang sakti
Hok Peng Taisu. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar
bergulung-gulung, bagai seekor naga mengejar awan.
Namun kini
ia menghadapi Ang I Niocu, dara perkasa ahli pedang yang mewarisi ilmu pedang
dari keluarga Kiang, kemudian yang sudah menerima petunjuk dari orang sakti Bu
Pun Su. Dalam menghadapi pemuda lihai ini, Ang I Nio tidak berani main-main dan
cepat memainkan limu pedang Sian-li Kiam-sut yang gerakan-gerakannya sangat
indah akan tetapi di dalamnya mengandung tangan maut yang setiap saat mengancam
nyawa lawannya.
Setelah
mendapat kenyataan betapa tangguh ilmu pedang Ang I Niocu dan bahwa gadis itu
benar-benar hendak merobohkan dirinya, Sun Hauw menjadi marah dan hatinya sakit
sekali. Dia merasa dipermainkan oleh gadis ini yang tadinya dikira ‘ada hati’
kepadanya. Dengan seluruh tenaga dan kepandaian yang ada padanya, ia tidak
sungkan-sungkan lagi dan kini ia benar-benar ingin mengalahkan Ang I Niocu,
baik dengan melukainya mau pun kalau perlu membunuhnya!
Pertempuran
di luar kampung Peng-kan-mui menjadi semakin seru dan hebat. Beberapa orang
kampung yang melihat pertempuran ini memberi kabar kepada lain orang sehingga
sebentar saja di tempat itu banyak berkumpul orang kampung. Akan tetapi mereka
itu hanya menonton saja, tak ada yang berani mencampuri. Apa lagi dua orang itu
bertempur bagaikan telah saling libat dengan sinar pedang, seperti menjadi
satu.
Kalau bukan
seorang ahli, mana bisa mencampuri mereka? Di samping ini, biar pun Sun Hauw
orang kampung itu, akan tetapi ia sudah mendatangkan kesan yang buruk kepada
penduduk kampung itu dengan peristiwa yang terjadi pada diri Siok Lan.
Seratus
jurus sudah lewat dan mendadak terdengar Ang I Niocu mengeluarkan bentakan
nyaring, disusul dengan robohnya tubuh Liem Sun Hauw yang dada kirinya telah
tertusuk oleh pedang dara baju merah itu. Aneh sekali, dalam menghadapi maut
ini, tiba-tiba Sun Hauw teringat kepada Siok Lan dan seperti dalam mimpi ia
berseru, “Siok Lan... kau tunggulah aku...!”
Dan tewaslah
ia dengan pedang masih di tangan. Melihat ini, Ang I Niocu merasa terharu juga,
terharu karena pemuda ini tewas sebagai akibat mencintainya. Dia menoleh kepada
orang-orang kampung yang masih berdiri memandangnya.
“Yang
menewaskan Liem Sun Hauw adalah aku, Ang I Niocu. Aku membalaskan sakit hati
Nona Siok Lan.” Setelah berkata demikian, Ang I Niocu berjalan pergi dengan
langkah tenang dan lambat, akan tetapi anehnya, sebentar saja dia sudah lenyap
dari pandangan mata orang-orang kampung.
Ang I Niocu
segera menuju ke Thai-san untuk menghadiri pertemuan orang-orang gagah yang
diadakan oleh susiok-couw-nya. Memang sebetulnya dia tidak diharuskan ke sana,
akan tetapi setelah sekarang ia menjadi seorang perantau, peristiwa ini menarik
hatinya dan ingin ia melihat dan bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang
ternama. Ketika ia tiba di sebuah hutan di kaki Gunung Thai-san, selagi ia
berjalan perlahan-lahan, tiba-tiba terdengar bentakan!
“Perempuan
rendah, sudah lama aku menunggu di sini!”
Dengan
tenang Ang I Niocu memandang. Dia melihat Koai-tung Toanio muncul bersama
seorang kakek tua yang bermuka hijau. Ang I Niocu maklum bahwa Koai-tung Toanio
tentu akan membalas sakit hati karena telah dua kali ia kalahkan, apa lagi
akhir-akhir ini ia telah melukai pundak seorang puterinya, bahkan telah
membunuh dua orang anaknya yang menjadi anggota Min-san Sam-kui, yakni Kwan
Liong dan Kwan Bi Hwa. Karena itu tahulah ia bahwa kali ini ia harus bertempur
mati-matian.
Terhadap
Koai-tung Toanio dia tidak takut. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek
yang menyertai nenek galak itu tentulah seorang berkepandaian tinggi.
“Toanio,
kita berjumpa pula di sini. Kali ini apa kehendakmu?” tanya Ang I Niocu tenang
akan tetapi siap sedia.
Sementara
itu, kakek muka hijau itu semenjak tadi sudah memandang dengan bengong kepada
Ang I Niocu.
“Ci Im,
inikah nona yang bernama Ang I Niocu?” tanya kakek itu kepada Koai-tung Toanio
yang sebetulnya bernama Kwan Ci Im.
“Betul,
Susiok. Dia inilah siluman betina yang telah membunuh dua orang anakku,” jawab
Koai-tung Toanio penuh kebencian.
“Kau keliru,
Ci Im. Dia ini tidak seperti siluman, tapi lebih patut menjadi bidadari. Hemm,
alangkah cantik manisnya. Aku telah hidup selama lima puluh tahun lebih, baru
sekarang ini melihat seorang wanita secantik ini...! Bukan main...!”
Dapatlah
dibayangkan alangkah mendongkol dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar
kata-kata bandot tua itu. Dari kata-katanya itu sudah dapat dinilai orang macam
apa yang sekarang dia hadapi.
“Anjing-anjing
tua yang tidak tahu malu!” makinya sambil mencabut pedangnya. “Kalian
menggonggong di sini mau apakah?”
“Setan
perempuan, kuhancurkan kepalamu!”
Koai-tung
Toanio sudah tak dapat menahan marahnya lagi dan tongkatnya menyambar. Ang I
Niocu cepat menangkis sehingga tongkat itu terpental kembali.
“Ci Im,
jangan! Biarkan aku menangkapnya. Sayang kalau sampai kulitnya yang putih halus
itu lecet oleh tongkatmu! Aku akan menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya.
Nona manis, marilah ikut dengan aku!”
Kakek tua
bermuka hijau itu melompat maju. Kedua tangannya dikembangkan, jari-jari
tangannya seperti cakar setan.
Ang I Niocu
marah bukan main. Pedangnya berkelebat membabat dua lengan itu. Kakek itu
tertawa bergelak, tangannya disampokkan ke arah pedang.
“Triiing...!”
Kedua pihak
kaget. Ang I Niocu terkejut sekali karena pedangnya sudah ditangkis oleh kuku
jari-tangan kakek itu! Benar-benar kepandaian yang luar biasa dan hebat.
Agaknya kakek ini telah melatih jari tangannya berikut kukunya untuk menghadapi
senjata tajam lawan. Di lain pihak, kakek itu pun kaget setengah mati karena
bukan saja ia tidak dapat merampas pedang seperti yang ia duga semula, bahkan
jari tangannya terasa sakit ketika bertemu dengan pedang.
“Ehh, ehhh,
kau ternyata berisi juga, Nona manis. Akan tetapi sekarang bertemu dengan
Tiat-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Besi), jangan harap kau dapat berlagak!”
Setelah berkata demikian, ia mencabut keluar sebatang golok yang memakai
gelangan-gelangan kecil pada punggung golok, gelangan yang dapat mengeluarkan
bunyi gemerincing yang gunanya untuk mengacaukan lawan.
Ang I Niocu
diam-diam terkejut juga. Ia pernah mendengar nama julukan Tiat-sim Lo-mo ini,
yaitu seorang tokoh besar Kong-thong-pai yang menyeleweng dan sudah tidak
diakui di partainya. Tiat-sim Lo-mo terkenal sebagai seorang penjahat cabul
yang kejam sekali. Di samping ini ia pun sering kali merampok rumah orang dan
dalam melakukan semua kejahatan ini, ia bisa berlaku kejam dan membunuh seisi
rumah tanpa berkedip mata, dari yang tua sampai anak-anak kecil. Oleh karena
itulah maka dia diberi julukan Iblis Tua Berhati Besi untuk menggambarkan
betapa kejam hatinya.
“Ahh,
kiranya kau iblis jahat. Kebetulan sekali, aku ingin membalaskan sakit hati
puluhan orang yang menjadi korbanmu!” kata Ang I Niocu sambil memainkan
pedangnya.
“Ha-ha-ha,
kau sendiri akan menjadi korban baru, bagaimana kau akan membalas sakit hati?
Ha-ha-ha-ha, lebih baik kau menyerah dengan tenang dari pada harus lecet-lecet
kulitmu!”
Ang I Niocu
tidak mau melayaninya bicara lagi, pedangnya bergerak hebat dan mengerti bahwa
ia berhadapan dengan orang lihai, Ang I Niocu langsung mengeluarkan jurus-jurus
yang paling lihai dari ilmu pedangnya.
Sebetulnya
tingkat dari Tiat-sim Lo-mo ini lebih tinggi dari Ang I Niocu, akan tetapi oleh
karena dia seorang pemogoran sehingga lweekang-nya banyak berkurang, pula
karena ilmu pedang dari Ang I Niocu memang luar biasa, sebentar saja ia
terdesak hebat dan goloknya hanya mampu menangkis saja. Baiknya ia masih
mempunyai andalan tangan kirinya yang kadang-kadang melakukan serangan
mencengkeram yang berbahaya sekali sehingga Ang I Niocu harus berlaku hati-hati
sekali dan tidak mudah merobohkan iblis tua ini.
Melihat
Tiat-sim Lo-mo belum juga dapat mendesak, apa lagi mengalahkan Ang I Niocu,
Koai-tung Toanio menjadi kecewa bukan main. Nenek ini kemudian menyerbu dengan
tongkatnya, membantu Tiat-sim Lo-mo dan mengeroyok Ang I Niocu!
Kali ini Ang
I Niocu benar-benar terdesak hebat. Kepandaian nenek bertongkat itu sudah
tinggi. Menghadapi kakek muka hijau itu saja sudah amat berat baginya, apa lagi
kini nenek itu ikut-ikut mengeroyok. Terpaksa Ang I Niocu mengerahkan tenaga
dan memutar pedangnya melindungi tubuhnya sehingga jangan kata baru senjata
lawan, biar angin dan air pun takkan mampu menembus benteng sinar pedangnya!
Akan tetapi,
pertempuran seperti ini apa bila dilanjutkan tentu ia akan kalah juga, kalah
karena kehabisan tenaga. Ia hanya mampu melindungi diri tanpa mendapat
kesempatan membalas sama sekali. Sudah delapan puluh jurus lebih Ang I Niocu
bertahan diri. Dia mulai lelah karena untuk menangkis semua serangan kedua
lawannya, dia harus mengerahkan tenaga lweekang. Ang I Niocu merasa gemas
sekali.
Untuk
membalas serangan lawan, ia tidak mampu karena dirinya sudah dikurung hebat.
Untuk melarikan diri, memang dapat karena dalam hal ginkang ia masih menang,
akan tetapi ia tidak sudi melakukan hal ini. Ia bertahan terus.
Seratus
jurus telah lalu dan kini peluh telah membasahi jidat dan leher gadis itu.
Tiat-sim Lo-mo sudah tertawa-tawa mengejek dan mengeluarkan kata-kata kotor
yang menambah kemarahan Ang I Niocu.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring, “Dua orang siluman bangkotan sungguh tidak tahu
malu! Ang I Niocu, jangan khawatir, aku datang membantumu!”
Berkelebat
bayangan yang gerakannya cepat dan gesit, sebatang pedang menyerang dan menahan
tongkat Koai-tung Toanio. Serangan ini cukup kuat dan cepat sehingga terpaksa
Koai-tung Toanio meninggalkan Ang I Niocu dan menghadapi lawan baru ini.
Ternyata dia
adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian sastrawan. Sungguh pun
gerak-geriknya lemah, akan tetapi ternyata ilmu pedangnya ini cukup kuat,
apalagi tenaga lweekang-nya cukup hebat.
Ang I Niocu
melirik dan melihat pemuda tampan ini, ia menjadi heran. Belum pernah ia
bertemu dengan pemuda ini, mengapa begitu datang langsung membantunya dan sudah
mengenal namanya? Akan tetapi segera nona baju merah ini mengerutkan kening.
Walau pun ia
sudah ditinggalkan Koai-tung Toanio sehingga ia kini dapat membalas dan
mendesak Tiat-sim Lo-mo, akan tetapi sebaliknya, pemuda itu lalu terdesak oleh
tongkat Koai-tung Toanio yang hebat dan ganas. Sekali pandang saja Ang I Niocu
sudah dapat mengenal ilmu pedang pemuda itu, yakni ilmu pedang dari
Bu-tong-pai, dan biar pun ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi masih
belum cukup kuat untuk mengalahkan Koai-tung Toanio.
Di lain
pihak, meski pun dia sendiri mengurung lawan dengan sinar pedangnya, ternyata
bahwa Tiat-sim Lo-mo benar-benar seorang yang luar biasa. Pengalaman bertempur
kakek ini sudah banyak sekali, maka ia tak mudah ditipu oleh gerakan pedang dan
dapat menjaga diri dengan baiknya, bahkan kadang-kadang tangan kirinya masih
melakukan serangan yang berbahaya.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa nyaring. “Ha-ha-ha, iblis tua berani mengganggu Sumoi?
Ini artinya kau akan segera mampus!”
Berbareng
dengan ucapan itu sinar pedang gemerlapan menyambar leher Tiat-sim Lo-mo yang
menjadi kaget sekali karena serangan ini benar-benar cepat dan ganas.
“Giok Gan
Kui-bo (Biang Iblis Bermata Kemala)!” teriak Koai-tung Toanio ketika ia melihat
gadis yang baru datang.
“Enci Kim
Lian...!” Ang I Niocu berseru girang dan juga heran.
Dengan
majunya Kim Lian mengeroyok Tiat-sim Lo-mo, sebentar saja kakek itu menjadi
kewalahan. Walau pun ilmu pedang Kim Lian tidak sehebat ilmu pedang Ang I
Niocu, namun memiliki keganasan sesuai dengan wataknya dan dalam lain-lain hal,
kepandaian gadis ini hanya kalah sedikit saja oleh sumoi-nya.
Akibat
rangsekan dua orang gadis ini, tak lama kemudian pedang Ang I Niocu telah dapat
membabat lehernya, dan pedang Kim Lian membabat putus lengan kirinya. Kakek itu
roboh tanpa dapat berteriak lagi dan tewas pada saat itu juga!
Ang I Niocu
tidak cepat menyambut suci-nya, melainkan terus saja menyerang Koai-tung
Toanio, membantu pemuda itu. Mana Koai-tung Toanio dapat menahannya? Dalam lima
jurus kemudian, ia pun roboh binasa oleh pedang Ang I Niocu.
Setelah itu,
baru Ang I Niocu menoleh kepada suci-nya. Kim Lian tertawa, akan tetapi
sepasang mata yang indah sekali itu menjadi basah air mata! Ang I Niocu
memandang terharu dan di lain saat dua orang gadis itu saling berpelukan.
“Im Giok...
aku bahagia sekali kau sudah pulih kembali, sudah gembira dan bertambah
cantik!” kata Song Kim Lian atau dengan julukan baru Giok Gan Kui-bo sambil
menatap wajah sumoi-nya.
Sebaliknya,
Ang I Niocu juga memperhatikan suci-nya yang sekarang kelihatan pesolek sekali,
jauh melebihi dulu. Bahkan sepasang pipi dan bibirnya juga diberi merah-merah!
Pakaiannya indah dan terbuat dari sutera mahal. Ang I Niocu teringat akan
pemuda itu, lalu ia menoleh dan menghadapinya.
“Tuan
siapakah? Sungguh gegabah sekali berani menyerang Koai-tung Toanio. Bila tidak
cepat-cepat Suci datang membantu, bukankah kau hanya akan mengantarkan nyawamu
dengan cuma-cuma?” tegurnya, akan tetapi suara dan pandang matanya manis.
Pemuda itu
menjura dan sepasang matanya yang bening dan menyinarkan watak jujur dan halus
itu berseri. “Niocu,” katanya tersenyum, “andai kata aku harus tewas dalam
membantumu, aku rela! Aku adalah Kang Ek Sian dan aku mewakili Bu-tong-pai
untuk menghadiri pertemuan di Thai-san. Di Bu-tong-pai aku telah banyak
mendengar tentang engkau, Niocu, kau sudah berjasa mengakurkan kembali
Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Budimu terlalu besar dan nyawaku tidak berharga
dibandingkan itu!”
Mendengar
ini, diam-diam Ang I Niocu menjadi senang dan memuji pemuda yang pandai bicara
ini. Akan tetapi tiba-tiba Giok Gan Kui-bo membentaknya, “Bocah lancang! Awas,
jangan kau berani main gila. Kau telah jatuh cinta pada sumoi-ku, ya? Jangan
kau main-main, orang seperti kau ini mana ada harganya untuk mencinta Sumoi?”
“Suci!” Ang
I Niocu menegur gadis itu. “Jangan kau bicara sembarangan dan menghina orang
tanpa alasan. Kalau Susiok-couw mendengarnya, kau akan menerima hukuman!”
Nama Bu Pun
Su sangat ditakuti Kim Lian. Ia menjadi pucat dan menengok ke sana ke mari.
“Apakah Susiok-couw berada di sini?” tanyanya.
“Apa kau
masih belum tahu?” Ang I Niocu menjawab. “Susiok-couw sedang mengadakan
pertemuan di puncak Gunung Thai-san ini. Sewaktu-waktu Susiok-couw bisa muncul
di sini. Maka jangan kau bicara sembarangan!”
Song Kim
Lian menjadi makin ketakutan. Ia buru-buru pergi sambil berkata, “Aku pergi
dulu, Sumoi, ada urusan penting sekali. Biar lain kali kita bertemu kembali.”
Akan tetapi
sesudah agak jauh, dia mengamang-ngamangkan tinjunya ke arah Kang Ek Sian
sambil berkata, “Awas kau, aku tahu kau tergila-gila pada Sumoi!” Dan di lain
saat Giok Gan Kui-bo Song Kim Lian lenyap dari situ.
Kang Ek Sian
berdiri seperti patung, mukanya agak pucat. Ang I Niocu merah mukanya dan ia
merasa malu sekali atas sikap suci-nya.
“Harap kau
suka memaafkan Suci, memang wataknya aneh luar biasa,” katanya kepada pemuda
itu.
Kang Ek Sian
memandangnya dengan tajam. “Tidak ada yang harus dimaafkan, Niocu. Bahkan aku
diam-diam memikirkan apakah kata-katanya itu tidak tepat sekali.”
Kedua mata
Ang I Niocu memancarkan api kemarahan, akan tetapi melihat wajah yang jujur dan
terbuka itu, ia menahan kemarahannya. Hanya ia merasa mendongkol sekali.
Pada saat
yang sama, dua orang laki-laki telah tergila-gila kepadanya. Tadi si tua bangka
bermuka hijau itu tergila-gila, sekarang pemuda ini! Akan tetapi selain
kedongkolannya, timbul perasaan aneh di dalam hatinya. Perasaan seperti orang
gembira dan puas. Puas melihat orang-orang lelaki yang tergila-gila kepadanya
karena dia maklum bahwa mereka akan tergila-gila dengan sia-sia belaka, tak
akan menerima balasan darinya. Biar mereka itu menjadi korban cinta, pikirnya.
Biar laki-laki bodoh itu makan hati, biar sengsara karena kebodohan sendiri
telah mabuk oleh cinta, seperti yang sudah pernah ia alami...!
Kang Ek Sian
sadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang kurang patut, maka ia lalu
berkata cepat-cepat, “Maaf, Niocu. Aku... aku hendak mengurus dua jenazah ini
lebih dulu.”
Pemuda itu
lalu menggali lubang dan mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio.
Ang I Niocu melihat semuanya ini dengan hati memuji. Pemuda ini benar-benar
seorang yang berbudi luhur, meski pun Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio
merupakan penjahat-penjahat keji, akan tetapi sesudah mereka tewas, pemuda itu
mau mengubur jenazah mereka. Jarang terdapat pemuda yang demikian baik hati,
pikirnya.
“Anak baik,
kau siapakah?” tiba-tiba terdengar suara halus.
Belum juga
orangnya nampak, Ang I Niocu sudah cepat menjatuhkan diri berlutut dan betul
saja tak lama kemudian, tiba-tiba di situ berdiri Bu Pun Su, pendekar sakti
yang kini pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis. Kakek sakti itu memandang
kepada Ang I Niocu yang memberi hormat sambil menyebut, “Susiok-couw!”
Kakek itu
mengangguk-angguk senang, lalu menoleh kepada Kang Ek Sian yang sudah selesai
dengan pekerjaannya.
Ketika Kang
Ek Sian mendengar bahwa kakek ini adalah Sin-taihiap Bu Pun Su, ia cepat
menjatuhkan diri memberi hormat dan menjawab, “Boanpwe adalah Kang Ek Sian,
murid Bu-tong-pai. Suhu Lo Beng Hosiang menyuruh boanpwe mewakili Bu-tong-pai
untuk menghadiri pertemuan di puncak Thai-san. Harap Locianpwe maafkan kalau
boanpwe tidak melihat kedatangan Locianpwe sehingga tidak sempat menyambut.”
“Tidak apa,
tidak apa. Kau mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio, itu amat
baik! Terima kasih, orang muda. Dengarlah, dan kau juga Im Giok, pertemuan di
puncak tidak jadi diadakan. Perang sudah meletus, para pemberontak sudah
bergerak di sana-sini. Celakanya, banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw membantu
mereka! Benar-benar dunia kang-ouw telah terpecah dua dengan adanya
pemberontakan ini.” Bu Pun Su menghela napas dan memandang ke angkasa.
“Kehendak
Thian, siapakah orangnya dapat membantah? Im Giok, kau jagalah di lereng bukit
sebelah barat, tunggu selama tiga hari. Kalau ada orang datang, sampaikan
terima kasih dan salamku, dan katakan bahwa pertemuan tak mungkin diadakan
karena banyak tokoh-tokoh kang-ouw sudah turun tangan, ikut terjun dalam
peperangan. Jadi tidak perlu dirunding-runding lagi. Dan kau, Kang Ek Sian, kau
jagalah di lereng timur, jaga sampai tiga hari dan lakukan seperti yang
kukatakan kepada Im Giok tadi. Aku sendiri hendak meninjau keadaan di mana
terjadi perang supaya rakyat jangan terlalu menderita akibat kerusuhan yang timbul
karenanya.”
Dua orang
muda yang berlutut itu menyatakan kesanggupan mereka. Pada saat hendak pergi,
Bu Pun Su berkata, “Im Giok, kelak kau harus mengawasi baik-baik suci-mu Kim
Lian itu. Aku sekarang tidak sempat, sampaikan peringatanku kepadanya supaya
dia menjaga langkah hidupnya dan jangan menyeleweng!”
Sebelum Ang
I Niocu menjawab, kakek itu berkelebat lenyap! Dua orang muda itu bangkit
berdiri, saling pandang dan Kang Ek Sian berkata, “Alangkah besar untungku,
dapat bertemu dengan pendekar sakti itu. Niocu, setelah kita melakukan tugas
ini selama tiga hari, bolehkah aku menemuimu di lereng barat? Aku merasa
bahagia dan terhormat sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, dan sudikah
kau menerimaku berkunjung di lereng barat untuk bercakap-cakap?”
Permintaan
ini cukup pantas, bagaimana ia dapat menolaknya? ”Apa salahnya? Tentu saja aku
suka menerima kunjunganmu, asal saja aku masih ada di sana,” jawabnya
menyimpang, kemudian gadis itu berlari cepat menuju ke lereng barat.
Kang Ek Sian
memandang ke arah bayangan merah itu dengan bengong, semangat dan hatinya
seakan-akan ikut melayang bersama bayangan merah itu.
***************
Benar
seperti dugaan Bu Pun Su, hanya sedikit saja orang yang datang mengunjungi
puncak Thai-san untuk menghadiri pertemuan. Mereka ini segera turun kembali
setelah diberi tahu oleh Ang I Niocu atau Kang Ek Sian. Tak seorang pun di
antara mereka berani mengganggu dua orang muda ini karena siapakah orangnya
berani main-main terhadap orang kepercayaan Bu Pun Su?
Tiga hari
telah lewat dan pada hari ke empat, ketika masih pagi-pagi sekali, Kang Ek Sian
telah berlari-lari menuju ke lereng sebelah barat untuk bertemu dengan gadis
baju merah yang selama tiga hari tiga malam telah membuat dia tak dapat
memejamkan mata barang semenit! Akan tetapi setelah tiba di tempat itu, ia
tidak melihat lagi bayangan Ang I Niocu.
“Niocu...!”
ia memanggil. Tidak ada jawaban. “Ang I Niocu...!” ia memperkeras suaranya.
Hanya kumandangnya saja yang menjawab.
Sambil
berseru memanggil-manggil nama gadis yang telah merampas hatinya itu, Kang Ek
Sian mencari terus di daerah itu, semakin lama suaranya yang memanggil-manggil
nama Ang I Niocu itu makin jauh sampai akhirnya tidak kedengaran lagi.
Bayangan
merah berkelebat dari balik gerombolan pohon dan Ang I Niocu berdiri di situ
menarik napas panjang berkali-kali. Ia tidak mau mendekati Kang Ek Sian. Pemuda
ini orang baik-baik dan memiliki watak yang mulia. Kalau dia dekati, mungkin
akan menjadi berubah seperti halnya Liem Sun Hauw.
Bukankah Sun
Hauw tadinya juga seorang pemuda gagah perkasa yang berbudi mulia? Akan tetapi
menjadi buta dan tidak kenal pribudi setelah tergoda oleh cinta. Ia tidak mau
melihat Kang Ek Sian menjadi seperti itu.
Setelah
berpikir sebentar, Ang I Niocu segera berlari-lari cepat turun gunung.
Tujuannya adalah Pek-tiauw-san (Bukit Rajawali Putih) di mana ia akan mencari
telur Rajawali Putih untuk dibuat obat anti tua agar ia tetap cantik jelita
seperti Pek Hoa Pouwsat dahulu! Ang I Niocu tidak mau melayani kasih sayang
pria, akan tetapi ia pun tidak mau menjadi tua, hendak muda selalu, cantik
jelita selalu, dan menjatuhkan hati laki-laki.
Setelah dia
mendapatkan telur Pek-tiauw dan meminumnya bersama obat sebagaimana yang
diajarkan oleh mendiang Pek Hoa Pouwsat, benar saja Ang I Niocu menjadi makin
cantik jelita, mukanya menjadi semakin halus kemerahan dan bercahaya, dan meski
pun tahun demi tahun usianya meningkat, namun wajah serta bentuk tubuhnya masih
tetap seperti seorang remaja berusia tujuh belas tahun!
Tidak terbilang
banyaknya pria yang tergila-gila kepadanya, tua muda, ahli silat dan sastrawan,
bangsawan dan petani, hartawan dan miskin. Namun, Ang I Niocu tetap tidak mau
menerima seorang di antara mereka, hanya tersenyum makin manis sambil pergi
meninggalkan mereka yang kehilangan semangat dan hati, pergi meninggalkan
mereka yang bertekuk lutut mengharapkan balasan cintanya. Di samping semua ini,
Ang I Niocu tidak lupa melakukan pekerjaan sebagai seorang pendekar wanita
menolong orang-orang yang tertindas, membasmi si jahat dan si penindas.
Oleh karena
itu beberapa tahun kemudian, nama Ang I Niocu terkenal sebagai seorang pendekar
wanita yang gagah perkasa, kadang-kadang ganas sekali dan tidak mengenal ampun
menghadapi penjahat. Seorang pendekar wanita yang cantik jelita seperti
bidadari akan tetapi yang berhati batu, dingin membeku tidak pernah
menghiraukan segala bujuk rayu kaum pria.
T A M A T
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment