Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 15
SELAMA
ratusan tahun, hubungan antara kedua partai ini baik saja. Sungguh pun berbeda
agama, akan tetapi mereka tak mau saling menyinggung, juga tak mau saling
mengejek, walau pun tak boleh dibilang bahwa hubungan mereka itu erat dan baik
pula. Pendeknya, kedua pihak sadar bahwa di antara mereka masih ada hubungan
saudara seperguruan, dan untuk menjaga agar jangan sampai terjadi salah paham,
sengaja kedua pihak saling menjauhi dan hanya ‘saling mendoakan’ saja dari
jauh!
Akan tetapi,
kurang lebih dua tahun yang lalu, mulailah terjadi permusuhan antara dua partai
yang bersaudara ini. Di kaki pegunungan Bu-tong-san, di sebuah dusun terdapat
dua orang pemuda kakak beradik Lai Tek dan Lai Seng. Semenjak kecil Lai Tek
menjadi anak murid Kim-san-pai, sedangkan Lai Seng pada waktu sedang
menggembala kerbau, dibawa oleh seorang hwesio Bu-tong-pai yang melihat bakat
baik di dalam dirinya dan selanjutnya Lai Seng menjadi murid Bu-tong-pai.
Setelah
tamat mempelajari ilmu silat di Kim-san-pai, Lai Tek pulang ke dusunnya sambil
membawa kepandaian tinggi dan dia menjadi petani menggantikan pekerjaan
ayahnya. Ada pun Lai Seng dibujuk oleh gurunya untuk masuk menjadi hwesio sebab
oleh gurunya dianggap bahwa murid ini hanya akan memperoleh kebahagiaan hidup
abadi apa bila suka menjadi hwesio.
Lai Seng
tidak mau menerima bujukan ini, bahkan minggat dari Bu-tong-pai dan pulang ke
dusunnya, di mana dia membantu pekerjaan kakaknya yang tentu saja girang sekali
melihat adiknya pulang sudah menjadi seorang pandai pula.
Sayang sekali
bahwa watak Lai Seng jauh bedanya dengan kakaknya. Lai Tek seorang yang amat
jujur dan berbudi baik, menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Sebaliknya
setelah turun gunung, Lai Seng menjadi ‘binal’ dan mulailah melakukan hal-hal
yang tidak patut. Bahkan dia berani mengandalkan kepandaiannya untuk mengganggu
anak gadis orang dan minta harta secara paksa setengah merampok.
Lai Tek yang
mendengar akan kejahatan dan penyelewengan adiknya sudah berkali-kali menegur,
bahkan pernah pula terjadi perkelahian antara kakak beradik ini yang berakhir
dengan kemenangan Lai Tek.
Akan tetapi,
Lai Seng ternyata tidak kapok dan masih sering kali melanggar, sungguh pun kini
secara bersembunyi supaya jangan diketahui kakaknya. Lai Tek maklum di dunia
ini dia hanya mempunyai adiknya itu seorang sebagai anggota keluarganya, maka
dia juga tak mau main keras, hanya kadang-kadang memberi nasehat dengan
pengharapan kelak adiknya yang masih muda itu dapat merubah kesalahannya.
Pada suatu
hari, pada waktu Lai Tek sedang bekerja di sawahnya, seorang tetangganya datang
berlari-lari dan memberi tahu bahwa adiknya tengah bertempur dengan dua orang
hwesio gundul. Lai Tek segera meninggalkan paculnya di tengah sawah. Dengan
kedua kaki tangan masih penuh lumpur, ia berlari pulang. Alangkah kaget dan
marahnya ketika ia melihat Lai Seng roboh, terpukul oleh dua orang hwesio itu
tepat pada saat ia datang.
“Keparat
gundul, kau membunuh adikku?” bentaknya sambil menyerang.
Dua orang
hwesio itu melompat mundur. “Nanti dulu, Sicu. Pinceng berdua datang untuk
menghukum seorang anak murid Bu-tong-pai yang sudah menyeleweng dan melakukan
kejahatan. Harap kau jangan mencampuri urusan pinceng.”
Lai Tek
maklum bahwa dua orang hwesio ini tentu orang-orang Bu-tong-pai yang datang
menghukum Lai Seng. Akan tetapi pada saat itu perasaan kasih sayang terhadap
adiknya yang disertai oleh kesedihan besar melihat adiknya menggeletak mati itu
sudah menutup semua pertimbangan Lai Tek.
“Dia itu
adik kandungku, bagaimana tidak boleh ikut campur? Hwesio keji, semenjak lahir
dia itu sudah menjadi adikku, sedangkan dia baru menjadi murid Bu-tong-pai
setelah dia sudah besar. Kalian membunuhnya secara keji tanpa minta
pertimbanganku terlebih dulu. Hutang nyawa harus dibayar nyawa pula!”
Sesudah
berkata demikian, Lai Tek mengambil pedangnya dan menyerang kedua orang hwesio
itu. Tingkat kepandaian Lai Tek memang sudah tinggi, ada pun serangannya itu
dilakukan dalam keadaan nekad dan marah sekali.
Dalam sebuah
pertempuran mati-matian, akhirnya seorang hwesio Bu-tong-pai tewas di tangan
Lai Tek dan hwesio ke dua melarikan diri, memberi laporan kepada para pimpinan
Bu-tong-pai.
Lo Beng
Hosiang, Bu-tong-san Ciangbunjin adalah seorang kakek yang sabar dan alim.
Mendengar laporan ini, ia menarik napas panjang dan berkata,
“Lai Tek
membalas sakit hatinya oleh karena dia melihat adiknya dihukum mati, itu sudah
sewajarnya. Hanya sayang sekali dia sebagai seorang gagah tidak menjunjung
keadilan, tidak rela melihat adiknya dihukum padahal adiknya itu jelas-jelas
sudah menjadi seorang penjahat pengganggu rakyat. Akan tetapi, perbuatannya itu
bukan berarti bahwa dia pun jahat, hanya dia tidak dapat melepaskan kasih
sayangnya terhadap adiknya. Apa lagi dia itu masih anak murid Kim-san-pai. Oleh
karena itu, biarlah urusan ini dihabiskan saja, tak perlu diperpanjang.”
Akan tetapi,
para hwesio lainnya diam-diam tidak menyetujui pendapat ini dan beberapa orang
hwesio yang merasa penasaran, diam-diam lalu pergi naik ke puncak Kim-san-pai,
menjumpai ketuanya dan menyampaikan protes.
Thian Beng
Cu, ketua Kim-san-pai yang sudah tua itu, mendengarkan protes para hwesio
Bu-tong-pai dengan tenang, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala sambil
berkata,
“Baiklah,
pinto akan memanggil Lai Tek dan akan minta pertanggungan jawabnya. Kalau
memang betul dia bersalah, pasti pinto akan menghukumnya. Harap sampaikan salam
pinto kepada Lo Beng Hosiang dan semoga kelak dia tidak sampai keliru memilih
murid.”
Kata-kata
ini seakan memperingatkan bahwa gara-gara semua peristiwa itu adalah akibat
kesalahan pihak Bu-tong-pai dalam memilih murid. Inilah kata-kata mengandung
sindiran yang memperingatkan bahwa kesalahan bukan berada di pundak pihak
Kim-san-pai dan semua ini sebetulnya adalah sudah sepatutnya.
Para hwesio
Bu-tong-pai yang mendengar ini pun dapat mengerti, maka mereka sudah merasa
puas mendengar janji dari Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai bahwa Lai Tek akan
diadili. Sambil menghaturkan terima kasih mereka turun dari puncak Kim-san dan
pulang ke Bu-tong-san.
Akan tetapi,
ketika pada keesokan harinya atas perintah Thian Beng Cu, tiga orang tosu
Kim-san-pai mendatangi dusun tempat tinggal Lai Tek untuk memanggil pemuda ini
ke Kim-san-pai, mereka mendapatkan Lai Tek telah menggeletak di kamarnya dengan
tubuh rusak dicacah-cacah senjata tajam dan pada tembok kamarnya terdapat
tulisan dengan huruf darah.
Mampuslah
Lai Tek, anak murid partai peniru Bu-tong-pai!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati ketiga orang tosu itu. Tanpa memberi tahukan
guru mereka lagi, mereka segera menyerbu Bu-tong-pai dan di sana mereka
menantang. Mereka merasa yakin bahwa yang membunuh Lai Tek pasti orang-orang
Bu-tong-pai.
Terjadi pertempuran
di puncak Bu-tong-san. Akan tetapi tiga orang tosu yang tingkatnya hanya ke
tiga ini tentu saja kalah oleh hwesio Bu-tong-pai yang tentu saja mengajukan
jago yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan hati sakit dan tubuh luka-luka, tiga
orang tosu itu pulang ke Kim-san-pai dan mengadu kepada Thian Beng Cu.
Ketua
Kim-san-pai mengerutkan kening, meraba-raba jenggotnya yang putih, kemudian
menggeleng-geleng kepalanya
“Eh, ehh,
bagaimana bisa terjadi seperti ini? Mereka membunuh Lai Tek, kalau ini untuk
membalaskan kematian seorang hwesio Bu-tong, itu masih tidak apa. Akan tetapi
mereka menghancurkan tubuh Lai Tek, ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan
watak seorang penganut agama! Dan mereka menuliskan kata-kata menghina, hemm,
dalam hal apakah partai Kim-san-pai meniru Bu-tong-pai?”
“Dan mereka
itu tidak mau mengakui bahwa mereka yang membunuh Lai Tek, Suhu,” kata seorang
di antara tiga orang tosu itu.
Thian Beng
Tosu mengangguk-angguk. “Bisa dimengerti... bisa dimengerti. Sudah tentu saja
Lo Beng Hosiang dan lain-lain tokoh Bu-tong-pai tak akan mau mengakui perbuatan
rendah itu dan mungkin sekali pekerjaan busuk itu dilakukan secara diam-diam
oleh salah seorang murid Bu-tong-pai. Akan tetapi baiklah kita tunggu, tentu Lo
Beng Hosiang akan berusaha menangkap pembunuh Lai Tek itu.”
Demikianlah,
ketua kedua pihak sama-sama bersikap sabar dan tidak mau memperbesar urusan
itu. Akan tetapi anak buah kedua pihak makin panas hati dan semenjak hari itu,
sering kali terjadi bentrokan di antara anak-anak murid Bu-tong-pai dan
anak-anak murid Kim-san-pai.
Ada pun lima
orang tosu yang bertemu di lereng gunung dengan Ang I Niocu itu, mereka adalah
tosu-tosu Kim-san-pai. Dua orang yang terluka adalah Thian Hok Cu dan Thian Lok
Cu, yaitu dua orang sute dari Thian Beng Cu, sedangkan yang tiga orang lagi
adalah murid-murid Thian Beng Cu yang sudah tinggi kepandaiannya.
Tujuh orang
tosu ini tadinya diutus oleh Thian Beng Cu untuk mewakilinya, berangkat ke
Bu-tong-pai untuk berunding dengan pihak Bu-tong-pai yang maksudnya mendamaikan
urusan pertikaian antara anak-anak murid kedua pihak itu. Akan tetapi sebelum
sampai di kuil para hwesio Bu-tong-pai, baru saja tiba di lereng bukit,
kebetulan mereka bertemu dengan serombongan hwesio Bu-tong-pai yang melarang
mereka naik.
Karena kedua
pihak memang telah mendendam, lalu diadakan pibu di lereng gunung itu.
Masing-masing pihak lantas mengajukan jagonya. Untuk mencegah pihaknya
mengalami kekalahan, maka Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang tosu tua itu
mengajukan diri. Dari pihak Bu-tong-pai maju dua orang hwesio tua yang kosen
pula.
Pertempuran
berjalan sengit sekali dan akhirnya Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dapat
merobohkan dua orang lawannya. Kemudian dari pihak Bu-tong-pai muncul seorang
jago muda, bukan seorang hwesio. Pemuda ini lihai sekali dan melihat
gerakan-gerakannya, dia itu bukanlah anak murid Bu-tong-pai, melainkan lebih
tepat kalau menjadi anak murid Go-bi-pai karena ilmu pedangnya lihai sekali.
Menghadapi
pemuda yang menjadi jago Bu-tong-pai ini, seorang demi seorang kedua tosu tua
Kim-san-pai kena dirobohkan! Setelah dua orang susiok ini roboh, tentu saja
lima orang tosu Kim-san-pai yang lainnya tidak berani maju, tahu bahwa hal itu
akan percuma saja dan akan menambah besar rasa malu.
Mereka lalu
menggotong tubuh dua orang tosu tua itu untuk dibawa kembali ke puncak Kim-san
dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu. Demikian penuturan Siauw
Seng Cu, murid dari Thian Beng Cu atau seorang di antara lima orang tosu tadi.
Mendengar
ini, ketua Kim-san-pai nampak marah, akan tetapi masih berusaha sedapat mungkin
menahan perasaannya.
“Kembali hal
ini tidak ada hubungannya dengan Lo Beng Hosiang. Keributan itu terjadi di
lereng Bu-tong-san dan di luar pengetahuan Lo Beng Hosiang. Pinto tak bisa ikut
campur. Hal ini hanya akan mengeruhkan suasana. Sayang sekali kedua orang sute
kurang dapat menyabarkan hati, bahkan sudah terjun ke dalam pertempuran sebelum
bertemu dengan Lo Beng Hosiang sendiri.”
Dia menarik
napas panjang, lalu menyuruh murid-muridnya membawa Thian Hok Cu dan Thian Lok
Cu ke dalam kamar untuk dirawat selanjutnya. Walau pun luka-luka mereka parah,
akan tetapi tidak membahayakan jiwa.
Sesudah dua
orang tosu yang terluka itu dibawa masuk, pandang mata Thian Beng Cu menyapu
para tosu anak-anak murid Kim-san-pai yang hadir di tempat itu dan jumlahnya
empat puluh orang lebih, lalu berkata,
“Kalian
harus mampu menjaga diri dan menahan perasaan. Mulai hari ini, sekali-kali
tidak boleh mencari gara-gara dengan pihak Bu-tong-pai. Kalau ada pihak mereka
yang datang mencari gara-gara, jangan ada yang turun tangan akan tetapi cepat
memberi tahu supaya pinto sendiri yang dapat membereskan!”
Di dalam
kata-kata ini biar pun terkandung nasehat supaya anak murid Kim-san-pai dapat
bersabar, namun bukan sekali-kali memperlihatkan sifat takut, karena kalau ada
apa-apa, Thian Beng Cu sendiri hendak turun tangan. Terang bahwa tosu tua ini
mengalah, akan tetapi bukan takut.
Tiba-tiba di
antara pakaian para tosu yang berwarna putih, kuning dan abu-abu itu, mata
Thian Beng Cu yang masih tajam melihat warna merah yang menyolok mata. Ketika
dia memandang, dia terkejut dan heran bukan main melihat seorang gadis cantik
jelita duduk di bagian belakang para hadirin.
“Ehh,
siapakah Nona yang berada di sana?” tegurnya.
Siauw Seng
Cu cepat berkata, “Maaf bahwa tadi teecu belum sempat memberi tahukan akan
kedatangan seorang tamu. Dia itu adalah seorang utusan dari Sin-taihiap Bu Pun
Su.”
Berseri
wajah tosu tua itu dan tangannya memberi isyarat kepada semua anak muridnya
supaya bubar dari ruangan itu. Kemudian ia melambai ke arah Ang I Niocu dan
berkata, “Harap jangan berkecil hati bahwa pinto tidak dari tadi menyambut,
karena adanya sedikit keributan tadi. Mari, Nona, silakan duduk di sini.”
Ang I Niocu
menghampiri Ketua Kim-san-pai itu dan memberi hormat. “Locianpwe, harap maafkan
jika kedatanganku mengganggu. Aku diutus oleh Susiok-couw Bu Pun Su untuk
bertemu dengan Locianpwe.”
“Aha, jadi
Pendekar Sakti Bu Pun Su itu masih ada di dunia ini? Sungguh merupakan
kehormatan besar sekali kalau seorang pendekar besar dan sakti seperti dia itu
masih ingat bahwa di dunia ini terdapat sebuah partai kecil seperti
Kim-san-pai. Nona, siapakah namamu dan kau diutus apakah oleh Susiok-couw-mu
itu?”
“Maaf,
Locianpwe, maaf kalau aku tidak dapat memberi tahukan nama kecilku yang telah
kulupakan. Orang menyebutku Ang I Niocu dan kedatanganku di sini adalah atas
perintah Susiok-couw Bu Pun Su. Susiok-couw mendengar tentang pertikaian yang
timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Orang tua itu merasa prihatin sekali
mendengar akan hal ini, maka mengutus aku datang ke sini untuk mohon kepada
Locianpwe atau lebih luas lagi kepada pihak Kim-san-pai agar supaya suka
menghentikan segala permusuhan di antara kawan sendiri yang hanya mendatangkan
kerugian bersama. Susiok-couw Bu Pun Su minta agar aku menyampaikan bahwa pada
saat ini, negara sedang terancam bahaya perang dari pihak
pemberontak-pemberontak, dan rakyat sedang menderita karena timbul kekacauan di
mana-mana. Dan oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk menghimpun tenaga
serta memperkuat persatuan, menghapus segala macam salah paham di antara kita.
Demikianlah pesan Susiok-couw dan orang tua itu mengharap supaya Locianpwe sudi
mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai.”
Thian Beng
Cu tersenyum dan mengangguk-angguk perlahan.
“Ang I
Niocu, kau masih begini muda sudah melupakan nama sendiri, alangkah hebatnya
kesengsaraan yang kau derita. Pinto hanya berharap kau akan kuat menahan ujian
hidup ini dan tidak menjadi putus harapan. Karena kau yang sudah dipilih oleh
Bu Pun Su untuk mewakilinya dalam urusan ini, tentu kau sudah memiliki kekuatan
itu. Pandangan Bu Pun Su yang kau kemukakan tadi memang betul, akan tetapi, apa
kau kira pinto sendiri tidak menyadari akan hal itu? Kalau sekiranya pinto
tidak menjaga keutuhan hubungan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, apakah
sejak siang-siang tidak sudah terjadi pertumpahan darah besar-besaran? Kau
sudah sejak tadi berada di tempat ini, kiranya kau pun sudah mendengar sendiri
peristiwa apa yang baru saja terjadi. Pinto sudah berusaha hendak mendamaikan
urusan, akan tetapi sayangnya, utusan pinto bahkan dihadang di jalan dan dua
orang sute-ku dilukai. Nona biar pun masih muda, akan tetapi kau adalah utusan
Bu Pun Su, oleh karena itu, pinto serahkan urusan ini kepadamu untuk
dibereskan. Usaha untuk damai dari pihak kami sudah cukup dan kalau dipaksakan
lagi, kiranya hanya akan mendatangkan keributan saja. Biar sekarang kau yang
mencoba untuk membereskan.”
Thian Beng
Cu memang cerdik. Dia sama sekali tidak gentar menghadapi Bu-tong-pai, akan
tetapi tadi ia mendengar bahwa kedua orang sute-nya itu dirobohkan oleh seorang
anak murid Go-bi-pai. Hal ini bukan main-main, karena kalau tidak berhati-hati,
bisa jadi Kim-san-pai akan bertambah seorang musuh lagi, yakni Go-bi-pai.
Kalau ini
terjadi, sungguh amat berbahaya dan akan semakin membahayakan kedudukan
Kim-san-pai. Oleh karena itu, setelah kini Ang I Niocu muncul sebagai utusan Bu
Pun Su, biarlah dia mengoperkan tugas perdamaian itu kepada gadis ini.
Ang I Niocu
menyanggupi. Pada malam hari itu Ang I Niocu mendengar penuturan para tosu
Kim-san-pai tentang asal mula pertikaian itu timbul. Sementara itu, diam-diam
Thian Beng Cu menyuruh salah seorang muridnya untuk pergi ke Propinsi Hokkian
dan mencari seorang sute-nya yang sudah lama merantau, yakni Eng Yang Cu.
Sute-nya ini
jauh lebih muda darinya, usianya paling banyak lima puluh tahun. Akan tetapi
kalau dibanding tingkat kepandaiannya, kiranya Eng Yang Cu ini termasuk orang
paling tinggi tingkatnya di Kim-san-pai. Memang Eng Yang Cu adalah murid yang
dahulu paling disayang oleh mendiang guru mereka, dan menerima warisan ilmu
yang paling banyak.
Sebetulnya,
Eng Yang Cu inilah dahulunya yang dicalonkan menjadi ketua Kim-san-pai. Akan
tetapi ternyata bahwa Eng Yang Cu mempunyai darah perantau dan tidak betah
tinggal di puncak gunung. Oleh karena itu, terpaksa kedudukan ciangbunjin
diserahkan kepada Thian Beng Cu, murid tertua dan Eng Yang Cu melakukan perantauan
di Propinsi Hokkian.
Thian Beng
Cu memanggil sute-nya yang boleh diandalkan itu untuk menjaga kalau-kalau usaha
perdamaian gagal dan pecah pertempuran di antara kedua pihak. Hanya sute-nya
inilah yang boleh ia andalkan.
Pada esok
harinya, pagi-pagi sekali Ang I Niocu sudah bangun dan bersiap-siap hendak ke
Bu-tong-pai. Ia telah memperoleh keterangan dan penjelasan dari Ketua
Kim-san-pai, sekarang ia harus menemui Ketua Bu-tong-pai sehingga sesudah
mendengar keterangan dari kedua belah pihak, akan mudah baginya untuk
mendamaikan urusan ini. Ia merasa girang sekali bahwa ternyata pihak
Kim-san-pai sangat bijaksana dan tidak menghendaki dilanjutkannya permusuhan
itu.
“Mudah-mudahan
saja pihak Bu-tong-pai juga dapat diajak berunding,” pikirnya.
Akan tetapi,
sebelum ia berangkat, tiba-tiba ia melihat beberapa orang tosu berlari-larian
masuk dengan muka berubah dan mendengar mereka memberi laporan kepada Thian
Beng Cu bahwa ada beberapa orang hwesio Bu-tong-pai datang menyerbu
Kim-san-pai. Mendengar ini, Ang I Niocu berkata,
“Locianpwe,
biarkan aku menghadapi mereka!”
Ia merasa
penasaran sekali dan melihat gelagat seperti ini, ia hampir menduga bahwa di
dalam pertikaian itu, pihak Bu-tong-pailah yang keterlaluan!
Dengan
menggunakan ilmu lari cepat, Ang I Niocu turun dari puncak. Tak lama kemudian
benar saja, dia dapat melihat serombongan orang mendaki puncak itu. Mereka ini
terdiri dari tujuh orang hwesio gundul dan seorang pemuda yang tampan dan
gagah.
Melihat
sikap mereka, makin besar dugaan Ang I Niocu bahwa mereka ini sengaja datang
mencari keributan, maka ia lalu mencabut pedangnya dan memegang pedang itu
dengan sikap tenang dan gagah. Setelah mereka datang dekat, baru ia tahu bahwa
mereka ini ialah rombongan orang-orang Bu-tong-pai yang dulu pernah membantunya
menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan pasukan pemberontak Lie. Pemuda itu
ternyata adalah pemuda tampan yang mengejar-ngejarnya untuk berkenalan!
Ada pun
ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, pemuda itu
serta rombongannya segera mengenalnya. Pemuda itu melompat cepat
menghampirinya.
“Kau di
sini, Nona...,” tegurnya dengan wajah berseri.
Akan tetapi
Ang I Niocu hanya memandang kepadanya dengan muka dingin dan sinar mata
menyelidik. Kemudian Ang I Niocu menghadapi tujuh orang hwesio itu dan berkata,
suaranya nyaring akan tetapi halus,
“Cu-wi Suhu
sekalian ini bukankah hwesio-hwesio Bu-tong-pai?”
Seorang di
antara tujuh orang hwesio itu, yang tertua, menjawab,
“Betul,
Nona, pinceng dan saudara-saudara pinceng ini adalah murid-murid Bu-tong-pai.
Kau sendiri siapakah dan mengapa dahulu dikeroyok oleh pasukan pemberontak?”
“Aku Ang I
Niocu dan urusanku dengan mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang
lain. Yang terpenting sekarang, kalian ini datang ke Kim-san mempunyai
keperluan apakah?”
Hwesio itu
nampaknya tidak senang.
“Ang I
Niocu, kau bilang tadi bahwa urusanmu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami.
Sebaliknya, urusan kami di Kim-san ini pun kiranya tak ada sangkut-pautnya
denganmu!”
Ang I Niocu
tersenyum dan jika tadinya di antara para hwesio itu ada yang marah, maka
kemarahan itu sekaligus mencair oleh senyum yang luar biasa manisnya ini.
Pemuda tampan itu sampai melongo dan mukanya sebentar pucat sebentar merah.
Begitu hebat wajah Ang I Niocu menarik hatinya.
“Hwesio-hwesio
dari Bu-tong-pai, ketahuilah. Aku sudah mendapat tugas dari Locianpwe Thian
Beng Cu untuk menyelesaikan urusan pertikaian antara Kim-san-pai dengan pihak
Bu-tong-pai. Sekarang aku justru hendak pergi ke Bu-tong-pai untuk menghadap Lo
Beng Hosiang dan mendamaikan urusan. Akan tetapi, baru kemarin utusan
Kim-san-pai yang datang ke Bu-tong-pai untuk mendamaikan urusan, telah dilukai
orang…” Ang I Niocu lalu menggunakan lirikan matanya yang tajam menyambar ke
arah pemuda tampan itu. “Dan melihat gelagatnya, agaknya kalian inilah yang
menyerang mereka. Kini kalian datang ke sini dengan sikap aneh, membawa-bawa
pula seorang jagoan. Mau apakah?”
Pemuda itu
menjadi merah mukanya! Cepat ia maju dan menjura kepada Ang I Niocu, lalu
bicara dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan,
“Maaf,
maaf... harap Niocu sudi memberi maaf. Agaknya dalam urusan ini ada kesalah
pahaman, dan antara kau dan aku kiranya ada persamaan tugas. Ketahuilah, Nona,
aku Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai mewakili Susiok Twi Mo Siansu, datang ke
Bu-tong-pai juga dengan maksud untuk mendamaikan urusan perselisihan antara
Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai.”
Tiba-tiba
pemuda itu menunda kata-katanya karena ia melihat betapa sepasang mata yang
indah itu mengeluarkan sinar berapi-api dan wajah gadis itu menjadi merah.
Jelas sekali bahwa gadis itu marah luar biasa kepadanya.
“Ehh,
Nona... kau... mengapa kau marah kepadaku?” tanyanya gagap.
Memang, Ang
I Niocu marah sekali sehingga ia merasa seluruh tubuhnya tergetar-getar. Tangan
yang memegang pedang menggigil dan jika ia tidak mengerahkan seluruh tenaga
batin, tentu sejak tadi ia sudah menyerang pemuda di depannya ini.
Jadi inilah
pemuda yang bernama Liem Sun Hauw, inilah pemuda yang disebut-sebut oleh
ayahnya dahulu, pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Inilah pemuda yang
menjadi gara-gara, menjadi biang keladi hingga ia kehilangan kekasihnya dan
kehilangan ayahnya pula. Kalau tidak ada pemuda ini di muka bumi, kiranya ia
tidak akan kehilangan ayahnya, dan kiranya ia akan dapat berjodoh dengan Gan
Tiauw Ki.
“Kau...?!”
Ketika hendak mengeluarkan kata-kata, ternyata lehernya seperti tercekik dan
yang keluar hanya sebuah kata-kata itu saja.
Pemuda itu
memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa nona cantik ini begitu marah
kepadanya. Akan tetapi Ang I Niocu teringat akan tugasnya, teringat bahwa dia
sedang melakukan tugas yang diperintahkan oleh susiok-couw-nya Bu Pun Su. Kalau
ia menuruti nafsu hatinya sehingga urusan itu menjadi kacau, tentu ia akan
mendapat marah besar dari susiok-couw-nya.
Setelah
dapat menekan debar jantungnya, ia berkata, melanjutkan kata-katanya tadi. “Kau
bilang hendak mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang tosu
Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke puncak
Bu-tong-san? Kenapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu
Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?”
Menghadapi
tuduhan Ang I Niocu ini, Liem Sun Hauw merasa penasaran sekali. Sebagai mana
telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini telah dipilih oleh Twi Mo Siansu
ketua Go-bi-pai sebagai wakilnya memenuhi permintaan Bu Pun Su. Tugas Liem Sun
Hauw adalah untuk mendamaikan pertikaian yang timbul antara Bu-tong-pai dan
Kim-san-pai.
Dan seperti
telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan
telah mendatangkan rasa kagum pada Kiang Liat sehingga pendekar itu mempunyai
niat untuk memungut pemuda ini sebagai mantunya!
Setelah Liem
Sun Hauw berpisah jaIan dengan Kiang Liat, pemuda ini lalu melanjutkan
perjalanannya ke Bu-tong-pai yang amat jauh itu. Karena perjalanan ini melalui
Propinsi Shansi, dan kampungnya hanya terletak seratus li dari jalan itu, ia
hendak singgah dulu di kampungnya, Peng-kan-mui untuk memberi tahu ayahnya akan
segala pengalamannya. Pemuda ini memang seorang anak berbakti dan dia tidak
tega meninggalkan ayahnya seorang diri terlalu lama.
Alangkah
sedihnya ketika ia mendapatkan ayahnya yang sudah tua dan duda itu ternyata
sedang menderita sakit panas yang agak berat juga. Terpaksa dia harus menunda
dulu perjalanannya. Tugas yang dia terima dari susiok-nya boleh jadi penting,
akan tetapi lebih penting lagi menjaga dan merawat ayahnya. Oleh karena inilah
maka perjalanannya jadi terlambat. Sampai lima bulan lebih ia tinggal di
rumahnya untuk merawat ayahnya.
Ketika dia
pergi, yang merawat ayahnya ialah Tang Siok Lan, gadis tetangga yang sudah
dikenalnya semenjak kecil. Gadis ini sangat manis dan terkenal sebagai bunga
kampung Peng-kan-mui, dan melihat gelagatnya, semenjak dahulu gadis itu ‘ada
hati’ kepadanya. Akan tetapi, tentu saja tidak pernah menyatakan hal ini dengan
kata-kata atau gerakan, hanya sinar matanya saja yang berkata banyak.
Sebaliknya,
Sun Hauw juga amat suka kepada gadis itu, kawan mainnya semenjak kecil. Seperti
juga dia, Siok Lan telah ditinggal mati ibunya dan. hanya hidup bersama ayahnya
dan kakaknya yang sudah menikah dan tinggal satu rumah dengan ayahnya.
Sesudah Sun
Hauw datang, Siok Lan mengundurkan diri dan pemuda itu yang kemudian
menggantikannya merawat ayahnya sendiri. Akan tetapi boleh dibilang setiap hari
Siok Lan pasti datang untuk membawa ini-itu, untuk menyatakan ini-itu, sehingga
diam-diam Sun Hauw makin suka dan merasa berhutang budi kepada gadis manis itu.
Akhirnya
ayahnya sembuh kembali dan Sun Hauw teringat lagi akan tugasnya. Dia lalu
menceritakan semua pengalamannya pada ayahnya, kecuali tentang maksud Kiang
Liat menariknya menjadi mantu.
“Berangkatlah,
Sun Hauw. Sudah menjadi tugasmu untuk memenuhi perintah susiok-mu itu. Akan
tetapi kau berhati-hatilah dan jangan terlalu lama pergi. Setelah tugasmu
selesai kau harus segera pulang, karena aku bermaksud merayakan pernikahanmu.”
Sun Hauw
kaget. “Pernikahan...?!”
Ayahnya
mengangguk. “Kau sudah cukup dewasa, Sun Hauw. Dan kau melihat sendiri betapa
baiknya Siok Lan. Kiranya di atas dunia ini sukar mencari keduanya. Lagi pula,
bukankah dia kawan mainmu semenjak kecil? Dan bukankah kalian sudah saling
suka? Aku sudah mengambil keputusan dan berdamai dengan ayahnya, perjodohan
antara kau dan Siok Lan sudah kuikat. Kau kuberi waktu setengah tahun, Anakku.
Ayah sudah tua dan sudah ingin melihat seorang cucu.”
Sun Hauw
menundukkan kepalanya saja, tidak berani membantah. Memang harus ia akui bahwa
selama ini, satu-satunya gadis yang menarik hatinya hanyalah Siok Lan seorang.
Akan tetapi, mendengar ucapan ayahnya tentang perjodohannya dengan Siok Lan, ia
jadi teringat akan usul Kiang Liat dan ia menjadi ragu-ragu.
Tak dapat
disangkalnya bahwa Siok Lan merupakan seorang gadis pilihan. Cukup cantik manis
dan ia sudah tahu dan kenal betul akan watak gadis itu yang lemah-lembut, halus
dan berbudi mulia. Akan tetapi, gadis itu adalah seorang yang lemah, yang tidak
pernah belajar ilmu silat sedikit pun juga!
Berbeda
dengan puteri dari Kiang Liat, pendekar yang berilmu tinggi itu. Apa lagi
menurut penuturan Kiang Liat sendiri, puterinya yang bernama Kiang Im Giok dan
berjuluk Ang I Niocu itu, kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari pada Kiang
Liat. Padahal kepandaian Kiang Liat saja sudah tinggi sekali!
Hati Sun
Hauw menjadi bimbang. Bingung ia kalau harus memilih. Siok Lan cantik jelita,
berbudi baik, akan tetapi tidak pandai silat. Ang I Niocu Kiang Im Giok lihai
ilmu silatnya akan tetapi ia belum pernah melihatnya, tidak tahu apakah dia itu
juga cantik dan bagai mana pula wataknya.
Akan tetapi
Sun Hauw tidak berani membantah. Ia tidak mau membikin ayahnya kecewa dan
berduka, oleh karena itu dia tidak menyatakan sesuatu tentang perjodohan ini.
Maka berangkatlah Sun Hauw menuju ke Bu-tong-san.
Ketika tiba
di kaki Pegunungan Min-san, di tengah jalan ia bertemu serombongan anak murid
Bu-tong-pai. Sun Hauw bermata tajam dan sekali melihat saja dia dapat menduga
bahwa rombongan yang terdiri dari belasan orang ini adalah orang-orang
berkepandaian silat. Maka ia menyapa mereka dan mengajak berkenalan.
Alangkah
girangnya ketika mereka itu terus terang mengaku bahwa mereka adalah para
anak-anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan tugas meronda. Ternyata bahwa
Bu-tong-pai tidak tinggal diam dan berpeluk tangan saja melihat adanya
pemberontakan-pemberontakan di berbagai tempat. Atas perintah Lo Beng Hosiang
ketua Bu-tong-pai, anak-anak murid yang bukan hwesio diberi tugas melakukan
penjagaan dan penyelidikan di beberapa tempat.
Min-san
termasuk wilayah perbatasan Secuan-Kansu-Shensi, karena itu di tempat ini pun
terdapat pula murid Bu-tong-pai yang melakukan ronda dan penjagaan. Rombongan
yang bertemu dengan Sun Hauw ini adalah rombongan anak murid Bu-tong-pai yang
sedang melakukan penyelidikan.
“Kebetulan
sekali,” berkata Sun Hauw. “Siauwte juga sedang menuju ke Bu-tong-pai atas
perintah dari Susiok Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai.” Dengan singkat ia lalu
menuturkan tentang tugasnya.
Tentu saja
rombongan Bu-tong-pai itu merasa girang. Akan tetapi mereka menyatakan bahwa
pada waktu itu mereka sedang menyelidiki ke puncak Min-san, karena mendengar
kabar tentang datangnya pasukan pemberontak, yakni anak buah pasukan
pemberontak Lie di propinsi Shensi.
“Kami harus
menyelidiki apa yang mereka lakukan di sini, dan kalau perlu mengusir mereka,”
kata seorang di antara rombongan Bu-tong-pai itu.
Karena Sun
Hauw juga termasuk orang yang anti pemberontak, ia segera menyatakan
kesediaannya untuk membantu. Demikianlah, mereka lalu mendaki puncak Min-san
dan kebetulan sekali melihat Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh pasukan
pemberontak, lalu turun tangan membantunya. Seperti sudah dituturkan di bagian
depan, Ang I Niocu tidak mau menghubungi mereka dan pergi meninggalkan Sun Hauw
yang sangat tertarik oleh kecantikannya.
Memang Sun
Hauw benar-benar tertarik sekali. Harus dia akui bahwa selama hidupnya belum
pernah dia melihat seorang dara demikian ayu dan demikian tinggi ilmu silatnya.
Tidak mengherankan apa bila ia terpesona sekali dan merasa seakan-akan
semangatnya terbetot keluar mengikuti bayangan nona itu.
Diam-diam
ada juga dugaan di dalam hatinya yang berdebar-debar. Nona itu berpakaian serba
merah, cantik jelita dan lihai sekali. Apakah dia itu yang disebut Ang I Niocu,
puteri dari Kiang Liat? Kalau teringat akan dugaan ini, Sun Hauw menjadi
berdebar-debar. Kalau betul nona itu Ang I Niocu yang hendak dijodohkan dengan
dia, aduuuh! Bukan main cantiknya! Dan bukan main tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi,
wataknya... mengapa demikian galak?
Bersama
rombongan Bu-tong-pai ini, Sun Hauw lalu menuju ke Bu-tong-san. Kebetulan
sekali, baru saja ia naik sampai di lereng puncak Bu-tong-san dan disambut oleh
para hwesio penyambut, tiba-tiba seorang hwesio berlari-larian dari bawah
melaporkan bahwa ada orang-orang Kim-san-pai datang menyerbu!
Sementara
itu, di sepanjang perjalanan Sun Hauw telah mendengar cerita dari anak-anak
murid Bu-tong-pai bahwa Kim-san-pai selalu mencari perkara dan permusuhan, dan
biar pun Bu-tong-pai sudah banyak mengalah, selalu Kim-san-pai mendesak
mengandalkan ilmu silatnya yang katanya lebih tinggi dari Bu-tong-pai!
Hal ini
memang sudah wajar. Tiap kali ada dua pihak yang bermusuhan, masing-masing
pihak tentu saja tidak mau mengaku salah, dan selalu menganggap pihak yang lain
amat jahat. Siapakah orangnya yang berani mengaku dia yang salah dan pihak
lawan yang benar? Orang demikian inilah betul-betul orang gagah, akan tetapi di
dunia hanya ada satu setiap seribu!
Sun Hauw
tidak mau berlaku ceroboh. Meski pun ia sudah mendapat kesan jelek tentang
Kim-san-pai dari para anak murid Bu-tong-pai, akan tetapi ia hendak melihat
dahulu dan tidak akan mencampuri kalau tidak perlu sekali. Maka ia pun ikut
dengan para hwesio itu turun lagi dari lereng untuk menyambut datangnya rombongan
Kim-san-pai.
Apa bila dua
pihak yang bermusuhan dan di dalam hati sudah mengandung dendam dan benci
saling bertemu, sukarlah untuk mengharapkan kata-kata yang baik. Suasana tentu
menjadi panas sekali dan hal ini dapat dimaklumi. Ketika melihat tujuh orang
tosu naik ke puncak Bu-tong-pai sambil menggunakan ilmu lari cepat, para hwesio
Bu-tong-pai sudah menduga salah sehingga menuduh mereka itu sengaja memamerkan
kepandaian mereka dalam ilmu lari cepat!
Kini kedua
rombongan itu sudah saling berhadapan.
“Tosu-tosu
sombong, mau apa kalian berani naik ke sini?” seorang hwesio Bu-tong-pai
menegur. Sementara itu, semua hwesio Bu-tong-pai telah mencabut pedang dan
bersiap sedia. Mereka memandang kepada para tosu itu dengan penuh curiga.
Melihat
sikap bermusuhan dari hwesio-hwesio Bu-tong-pai, para tosu Kim-san-pai itu pun
merasa tersinggung dan tak senang. Apa lagi kalau mereka lihat bahwa
hwesio-hwesio yang menyambut mereka dengan sikap kurang ajar dan bermusuh ini
bukanlah hwesio-hwesio tingkat tinggi, melainkan hwesio tingkat rendah saja.
Yang datang
adalah dua orang sute dari Ketua Kim-san-pai bersama lima orang hwesio tingkat
tinggi, ini merupakan rombongan orang-orang terkemuka dari Kim-san-pai. Akan
tetapi kedatangan mereka disambut secara kasar oleh hwesio-hwesio dari tingkat
rendah. Benar-benar hal ini merupakan penghinaan bagi Kim-san-pai.
Thian Hok Cu
dan Thian Lok Cu, dua orang sute dari Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai
mengerutkan kening. Thian Lok Cu adalah seorang tosu yang berwatak keras.
Melihat sikap para hwesio itu ia lalu melangkah maju dan berkata nyaring,
“Sobat-sobat
gundul, ketahuilah bahwa kami datang untuk berbicara dengan Lo Beng Hosiang,
bukan untuk ribut mulut dengan kalian. Lekas kalian laporkan kedatangan kami
kepada Lo Beng Hosiang atau kalian cepat menyingkir supaya kami dapat naik
sendiri ke kuil Bu-tong-pai!”
“Tosu
sombong! Orang macam kalian ini mau bertemu dengan guru besar kami? Kalau ada
keperluan, lekas beri tahu kepada kami, bila tidak lebih baik kalian
lekas-lekas pergi dari sini sebelum kami terpaksa mendorong kalian
menggelundung turun!” kata seorang hwesio yang pernah menjadi pecundang dalam
sebuah pertempuran dengan anak murid Kim-san-pai beberapa hari yang lalu.
Suasana
menjadi makin panas ketika serombongan hwesio turun pula dari atas. Mereka ini
sebagian besar adalah hwesio-hwesio tingkatan rendah yang merasa paling
‘dendam’ kepada pihak Kim-san-pai, maka ramailah mereka mengeluarkan kata-kata
menantang.
Para tosu
Kim-san-pai juga sudah mencabut pedang, takut kalau-kalau para hwesio yang amat
banyak itu menyerbu dengan tiba-tiba. Thian Lok Cu menggerak-gerakkan tangan
sambil membentak,
“Hwesio-hwesio
tidak tahu aturan, apakah kalian hendak mengeroyok kami?”
Seorang
hwesio bermuka hitam segera melompat keluar dan melintangkan toya di depan
dadanya. Hwesio ini adalah Twi Kang Hwesio, murid termuda dari Lo Beng Hosiang,
sifatnya jujur dan amat berangasan, tidak mau kalah. Ia sudah marah sekali
mendengar kata-kata Thian Lok Cu tadi, maka katanya dengan suara menggeledek,
“Tosu bau!
Masa untuk menghadapi seorang Kim-san-pai saja harus dilakukan dengan
keroyokan? Pinceng sendiri sudah cukup mencegah kau naik dan membikin ribut.
Hayo segera turun, atau kau berani menghadapi toyaku ini?” Diamang-amangkan
toyanya di depan muka Thian Lok Cu.
“Keparat
gundul, kami datang dengan maksud baik, kalian sengaja mengajak pibu? Baik,
baik, jangan kira Kim-san-pai tidak mempunyai orang lihai. Kalau aku kalah
olehmu, aku akan kembali ke Kim-san-pai dan belajar sepuluh tahun lagi.”
Tak dapat
dicegah pula, pertempuran hebat pasti akan terjadi. Melihat hal ini, Thian Hok
Cu yang lebih tua dan lebih sabar dari pada Thian Lok Cu, menggoyang-goyang
tangan dan berkata,
“Sahabat-sahabat
dari Bu-tong-pai, harap tenang dan sabar. Lebih baik laporkan kepada Lo Beng
Hosiang bahwa kami hendak bertemu bukan mencari keributan di sini.”
Akan tetapi
suasana yang sudah panas itu mana dapat dibikin dingin oleh Thian Hok Cu yang
tidak pandai bicara? Seorang hwesio tinggi kurus yang memegang pedang, yakni
suheng dari Twi Kang Hwesio yang bernama Lu Pek Hwesio, lantas melangkah maju
menghadapi Thian Hok Cu sambil berkata,
“Tosu, kalau
kau tidak berani menerima tantangan pibu, lebih baik kau pulang saja dan jangan
berlagak pula di sini. Ingat bahwa di sini adalah tempat kami!”
Terdengar
suara seorang hwesio dari belakang, “'Hah! Satu lawan satu saja dia sudah
ketakutan. Lihat mukanya pucat seperti mayat, ha-ha-ha. Tosu pengecut!”
Memang Thian
Hok Cu memiliki muka yang pucat kuning, maka sindiran ini benar-benar
menyakitkan hatinya.
Thian Lok Cu
berkata kepada suheng-nya, “Suheng, apakah kita harus diamkan saja orang-orang
hutan ini menghina partai kita? Sedikitnya kita harus menjaga nama baik Kim-san-pai.
Marilah kita layani tantangan pibu mereka.”
Didesak
seperti itu, akhirnya Thian Hok Cu kehilangan kesabaran pula. Dia memandang
kepada rombongan hwesio dan berkata, “Biarlah kami berdua melayani tantangan
pibu kalian. Akan tetapi apa bila kami menang, kami harus boleh naik menemui Lo
Beng Hosiang!”
Twi-Kang
Hwesio dan Lu Pek Hwesio sudah siap sedia. Twi Kang Hwesio Si muka hitam
menghadapi Thian Lok Cu dan berkata, “Menang kalah masih belum tentu mengapa
ribut-ribut? Kalau kalian mampu menangkan kami, tentu saja kalian boleh lakukan
apa yang kalian suka, siapa berani menghalangi? Siaplah dan lihat senjata!”
Sambil
berkata begini, toyanya menyelonong ke depan melakukan serangan pertama. Dengan
mudah Thian Lok Cu menangkis, dan terjadilah pertempuran sengit antara Thian
Lok Cu melawan Twi Kang Hwesio dan Thian Hok Cu yang bertempur melawan Lu Pek
Hwesio.
Berbeda
dengan sute-nya yang bermain toya, Lu Pek Hwesio bermain pedang sehingga
pertempuran ini lebih ramai. Suara senjata bertemu senjata terdengar sangat
nyaring dan menegangkan hati, berkelebatnya sinar senjata menambah keseraman
pertempuran itu.
Liem Sun
Hauw semenjak tadi hanya menonton, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
Dia diberi tugas untuk mendamaikan pertikaian antara Kim-san-pai dan
Bu-tong-pai, dan sekarang ia menjadi saksi pertempuran antara kedua partai itu!
Kalau ia
turun tangan keadaannya tak akan menjadi lebih baik, pikirnya. Suasana sudah
terlalu panas dan kedua pihak sudah marah sekali. Apa bila dia datang memisah,
belum tentu mereka suka menurut, bahkan dia sendiri mungkin akan dimusuhi oleh
kedua pihak! Ia telah mendapat kesan baik tentang Bu-tong-pai dan kesan buruk
tentang Kim-san-pai, dan sekarang dia melihat bahwa pertempuran itu adalah
sebuah pibu yang adil, maka ia menjadi serba salah dan hanya menonton di
pinggir.
Tak lama
kemudian ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang tosu Kim-san-pai itu masih
lebih tinggi dari pada kepandaian Twi Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio. Dalam
waktu yang hampir bersamaan, dua orang hwesio itu roboh dengan menderita
luka-luka ringan, terkena tusukan dan babatan pedang dua orang tokoh Kim-san-pai
itu.
Para hwesio
Bu-tong-pai menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing
dan lebih dari lima puluh orang hwesio ini agaknya akan menyerbu, mengeroyok
tujuh orang tosu Kim-san-pai. Melihat hal ini, Liem Sun liauw cepat melompat ke
tengah, mendahului para hwesio itu dan menghadapi Thian Hok Cu dan Thian Lok
Cu.
“Ji-wi
totiang harap mundur saja dan jangan lanjutkan maksud naik ke puncak,” katanya
nyaring.
Para hwesio
yang melihat pemuda utusan Ketua Go-bi-pai itu maju, berhenti bergerak dan
menjadi besar hati. Mereka tahu akan kelihaian utusan Go-bi-pai ini maka
diam-diam mereka hanya memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ada pun
Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, sesudah mendapat kemenangan, tentu saja tidak
mau mundur. Mereka menganggap amat tidak adil kalau pihak yang menang justru
harus mundur! Bukankah tadi sudah dijanjikan bahwa karena mereka menang, mereka
akan diperkenankan menemui Lo Beng Hosiang?
“Kau ini
siapakah dan ada hak apakah akan melarang kami?” Thian Lok Cu membentak marah.
Liem Sun
Hauw tersenyum. “Totiang, siauwte sekali-kali bukan melarang, hanya siauwte
menganggap jauh lebih baik menghindari pertengkaran yang makin menghebat dari
pada berkeras kepala.”
“Kami sudah
menang, kau mau apa? Kalau masih ada yang penasaran, boleh coba-coba. Kami
selalu sedia melayani, asal jangan dilakukan pengeroyokan secara pengecut!”
kata pula Thian Lok Cu.
Sun Hauw
mengerutkan kening. Sikap yang diperlihatkan oleh tosu ini sama sekali tidak
baik, pikirnya. Sikap yang seperti inilah yang memperbesar permusuhan, yakni
sikap tak mau mengalah dan keras kepala. Tosu ini menganggap diri sendiri yang
paling pandai, dan kiranya perlu diberi hajaran. Demikian Sun Hauw berpikir.
Kalau sampai
terjadi pertempuran keroyokan, kiranya keselamatan jiwa tujuh orang tosu ini
akan berbahaya sekali. Dari pada pertempuran keroyokan lebih baik dia turun
tangan dulu mengusir mereka turun gunung.
“Totiang,
kau memang keras kepala dan mengira di dunia ini kau sendiri yang paling kuat.
Aku ingin sekali mencoba-coba!” Sambil berkata demikian, Sun Hauw lalu
mengeluarkan pedangnya dan berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.
Thian Lok Cu
mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah
mulai menyerang sambil berseru, “Bocah lancang, lihat pedang!”
Akan tetapi
alangkah kagetnya pada saat pemuda itu menangkis. Thian Lok Cu merasa tangannya
tergetar hebat, tanda bahwa pemuda itu mempunyai tenaga yang amat besar.
Kemudian dia menjadi lebih kaget dan heran lagi menyaksikan ilmu pedang yang
cepat dan ganas, jauh bedanya dengan ilmu pedang Bu-tong-pai!
Akan tetapi
ia tidak sudi mundur dan melawan dengan gerakan cepat dan nekat. Akan tetapi,
ternyata bahwa ilmu pedang dari pemuda tampan ini lihai sekali. Setelah tiga
puluh jurus lebih bertempur dengan sengit dan seru, akhirnya dengan
mengeluarkan jurus yang hebat, yakni jurus yang disebut Sin-mo Sam-bu (Payung
Sakti Memutar Tiga Kali), Sun Hauw berhasil merobohkan Thian Lok Cu.
Jurus ini
sebetulnya bukan jurus ilmu pedang Go-bi-pai, melainkan ilmu pedang Thian Mo
Siansu yang di samping memiliki ilmu silat Go-bi-pai juga mempunyai ilmu silat
lihai dari orang-orang sakti sehingga Thian Mo Siansu dapat menciptakan ilmu
pedang tersebut.
Dengan
pedang diputar merupakan bundaran sehingga nampak seperti orang memakai payung,
Sun Hauw berhasil melukai kedua pundak Thian Lok Cu sehingga tosu itu roboh tak
dapat bangun lagi. Kawan-kawannya menolongnya dan Thian Hok Cu melompat maju
dengan pedang di tangan.
“Anak muda,
pinto lihat ilmu pedangmu bukan dari Bu-tong-pai, agaknya kau adalah anak murid
Go-bi-pai, mengapa kau mencampuri urusan kami? Apakah Twi Mo Siansu sudah
mengajarmu untuk menjadi orang yang usil dan suka mencampuri urusan orang
lain?”
Mendengar
ini, Liem Sun Hauw kaget. Ternyata tosu ini dapat mengenal ilmu pedang dan
agaknya kenal pula kepada Ketua Go-bi-pai, susiok-nya Twi Mo Siansu. Cepat ia
menjura memberi hormat dan berkata,
“Totiang,
harap suka maafkan. Memang siauwte anak murid Go-bi-pai yang datang untuk
mendamaikan urusan antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Akan tetapi sayang
sekali Totiang dan kawan-kawan Totiang datang mengacaukan keadaan dan
memperbesar permusuhan. Oleh karena itu, siauwte harap Totiang sudi pulang saja
ke Kim-san-pai dan lain hari siauwte akan datang minta maaf kepada Ketua
Kim-san-pai.”
“Bocah
sombong, kau kira pinto takut kepadamu? Kau bilang datang untuk mendamaikan
urusan, akan tetapi kau bahkan melukai sute-ku! Kalau kau mau menjadi jago
undangan Bu-tong-pai, mari kita coba-cobal”
Sambil
berkaia demikian, Thian Hok Cu menyerang dengan pedangnya. Tosu ini tentu saja
tidak mau mengalah karena keadaan sudah seperti itu. Sute-nya terluka dan kalau
ia mengundurkan diri begitu saja, sikapnya ini bersifat pengecut sekali.
Sun Hauw
menarik napas panjang dan terpaksa melayani. Sesungguhnya dia tidak suka
berkelahi dengan tosu-tosu Kim-san-pai dan kalau pun bertempur, ia tidak suka
melukai mereka.
Akan tetapi
kepandaian tosu ini sudah sangat tinggi sehingga sukarlah baginya mencapai
kemenangan tanpa melukainya. Ia hanya menang sedikit saja, menang dalam hal
ilmu pedang, maka seperti juga tadi, terpaksa ia membalas dengan
serangan-serangan yang tidak kalah lihainya.
Pertempuran
kedua ini lebih hebat dari pada tadi, kedua pihak nampak berimbang dan sama
kuatnya. Para hwesio Bu-tong-pai dan tosu Kim-san-pai menonton pertempuran itu
sambil menahan napas. Tentu saja di dalam hati mereka, masing-masing pihak
menjagoi jago sendiri.
Di pihak
Bu-tong-pai yang hadir di situ, pemuda Go-bi-pai ini merupakan orang terpandai,
demikian pula di pihak Kim-san-pai yang berada di situ, Thian Hok Cu merupakan
jago terlihai. Oleh karena itu, pertempuran ini adalah pertempuran terakhir
yang menentukan. Kalau pihak Kim-san-pai kalah, berarti tidak ada yang akan
berani maju lagi dan mereka harus turun gunung. Sebaliknya, andai kata pemuda
itu kalah, tentu hwesio Bu-tong-pai akan lari naik dan melaporkan hal ini
kepada guru besar mereka.
Akan tetapi,
akhirnya ternyata pula bahwa Liem Sun Hauw lebih unggul. Pemuda ini telah
mewarisi ilmu silat yang aneh-aneh dari gurunya, yakni Thian Mo Siansu, ada pun
Thian Mo Siansu sendiri sudah pernah menerima latihan oleh kakek sakti Hok Peng
Taisu di Hong-lun-san.
Sesudah
bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya Thian Hok Cu terpaksa harus
mengakui keunggulan Sun Hauw dan tosu ini roboh pula oleh babatan pedang pada
paha dan pukulan tangan kiri pada dadanya. Sun Hauw terpaksa merobohkannya
dengan cara ini karena kalau tidak, kiranya dia sendiri yang akan termakan oleh
pedang Thian Hok Cu yang lihai.
Demikianlah,
para hwesio Kim-san-pai bersorak-sorak girang dan para tosu yang tinggal lima
orang itu lalu memondong tubuh susiok mereka dan berlari turun gunung. Ada pun
para hwesio Bu-tong-pai lalu mengantar Sun Hauw naik ke puncak di mana dia
disambut oleh Lo Beng Hosiang yang mengerutkan keningnya ketika mendengar apa
yang sudah terjadi.
Hwesio tua
ini menggeleng-geleng kepalanya dan berkata penuh sesal, “Ahh, mengapa terjadi
hal seperti itu di lereng sini dan tak seorang pun memberi laporan kepada pinceng?
Kalau pinceng tahu sejak tadi, tentu pinceng akan mencegah terjadinya
pertempuran.”
“Mereka
terlalu menghina, Suhu,” kata seorang hwesio. “Dua orang Suheng sudah roboh
terluka dan kiranya teecu semua takkan ada yang dapat melawan dan terpaksa
menelan hinaan dari orang-orang Kim-san-pai itu kalau saja Liem-enghiong ini
tidak keburu datang menolong dan membersihkan nama kita.”
Lo Beng
Hosiang memandang kepada pemuda tampan yang hadir di situ dan tadi telah
memberi hormat kepadanya. “Sicu dari manakah?” tanyanya singkat.
“Teecu
bernama Liem Sun Hauw, anak murid Go-bi-pai. Teecu diutus oleh Susiok Twi Mo
Siansu untuk menghadap Locianpwe dan untuk berusaha mendamaikan pertikaian yang
terjadi antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Susiok berpesan bahwa semua ini
adalah atas usul desakan Sin-taihiap Bu Pun Su yang menghendaki agar pada waktu
sekarang ini kita melupakan segala kesalah pahaman dengan golongan sendiri, dan
menghimpun persatuan guna membela negara serta melindungi rakyat dari ancaman
perang. Karena hal itu, Susiok lalu menunjuk teecu untuk datang ke sini. Dan
kebetulan sekali tadi teecu melihat pertempuran antara serombongan tosu
Kim-san-pai dengan para hwesio di sini. Teecu sudah berusaha memisah, memohon
kepada tosu-tosu Kim-san-pai untuk pulang, akan tetapi siapa kira, mereka itu
justru berkeras memperlihatkan kepandaian sehingga terpaksa teecu menghadapi
mereka. Selanjutnya mohon petunjuk Locianpwe, bagaimana pendapat Locianpwe dan
usaha apa yang kiranya dapat dilakukan untuk mendamaikan pertikaian ini.”
Lo Beng
Hosiang menghela napas lagi. “Kau datang hendak mendamaikan urusan, akan tetapi
kau bahkan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Bagaimana ini?”
“Teecu
bertanggung jawab sepenuhnya akan hal ini,” jawab Sun Hauw gagah. “Teecu akan
datang ke Kim-san-pai dan akan teecu jelaskan kepada Ketua Kim-san-pai disertai
permintaan maaf.”
“Bagus,
seorang laki-laki harus berani memikul akibat dari perbuatannya sendiri. Sayang
kedua orang muridku Kang Bok Sian dan Kang Ek Sian sudah turun gunung, kalau
saja mereka masih ada di sini, biar pun mereka itu bukan orang-orang yang
menggunduli kepala mereka kiranya takkan terjadi keributan-keributan ini.”
Lo Beng
Hosiang menulis sepucuk surat kepada Thian Beng Cu, lalu memanggil murid
kepalanya, yakni hwesio gemuk pendek Ki Keng Hosiang dan menyuruh muridnya
untuk membawa surat itu dan membawa semua hwesio yang pernah melakukan
pertempuran dengan pihak Kim-san-pai, bersama Liem Sun Hauw menuju ke Kim-san!
“Serahkan
surat pinceng ini kepada Thian Beng Cu, sampaikan salamku dan serahkan pula
semua anak murid Bu-tong-pai yang pernah bertempur. Katakan kepada Thian Beng
Cu bahwa dia boleh saja menghukum anak-anak murid Bu-tong-pai ini sebagai
seorang paman guru!”
Liem Sun
Hauw memuji kebijaksanaan Guru Besar Bu-tong-pai yang sungguh-sungguh hendak
melenyapkan permusuhan sampai habis dengan jalan menyuruh semua anak muridnya
datang ke Kim-san-pai menerima hukuman. Demikianlah Liem Sun Hauw lalu pergi ke
Kim-san-pai bersama anak murid Bu-tong-pai itu dan seperti telah dituturkan di
bagian depan, rombongan ini ketika sampai di lereng Bukit Kim-san, disambut
oleh Ang I Niocu!
Pada saat
melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, Liem Sun Hauw
menjadi terkejut, heran dan girang sehingga dia menyapanya. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Ang I Niocu sebaliknya menyindirnya, mengatakan
pemuda ini menjadi ‘jago’ pihak Bu-tong-pai dan bermaksud untuk menghina
Kim-san-pai.
Liem Sun
Hauw menolak semua tuduhan itu dan menyatakan bahwa ia pun bertugas sama, yaitu
mendamaikan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, tetapi Ang I Niocu marah bukan
main. Marah karena sekarang ia tahu bahwa pemuda tampan ini adalah pemuda yang
diusulkan oleh almarhum ayahnya untuk menjadi calon suaminya! Pemuda yang dicap
menjadi penyebab kematian kekasihnya, Gan Tiauw Ki beserta kematian ayahnya.
Ang I Niocu
menahan-nahan nafsu marahnya dan hanya memaki Sun Hauw dengan kata-kata pedas,
“Kau bilang hendak mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang
tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke
puncak Bu-tong-san? Kenapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu
Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?”
Sun Hauw
seperti orang tuli. Dia tidak memperhatikan semua kata-kata itu dan sepasang
matanya seperti kena hikmat, tanpa berkedip memandang bibir indah yang
berkata-kata. Kecantikan Ang I Niocu yang luar biasa itu benar-benar membikin
Sun Hauw seperti gila. Apa lagi kalau dia ingat betapa ayah dari gadis jelita
ini sudah memilihnya menjadi calon mantu!
“Jawab
pertanyaanku!” Ang I Niocu membentak marah, mukanya agak merah karena ia maklum
apa artinya pemuda itu menjadi termenung seperti patung.
Ada pun tujuh
orang hwesio Bu-tong-pai yang terpilih sebagai orang-orang bertanggung jawab
dalam pertikaian terhadap Kim-san-pang adalah hwesio-hwesio yang tingkatnya
sudah tinggi, yakni anak murid Lo Beng Hosiang sendiri. Mendengar desakan Ang I
Niocu kepada Liem Sun Hauw, seorang di antara mereka membela Sun Hauw yang
kelihatan ‘mati kutunya’ menghadapi nona baju merah itu.
“Ang I
Niocu, harap jangan salah sangka terhadap Liem-sicu. Dia ini betul-betul
penolong kami dan bermaksud baik...”
“Siapa
menyangkal bahwa dia itu penolong Bu-tong-pai? Akan tetapi sekali-kali aku tak
percaya dia ini menjadi pendamai! Menolong sepihak namun memusuhi pihak lain
sama sekali bukan sifat seorang pendamai, karena dia berat sebelah dan menghina
orang lain dengan mengandalkan kepandaiannya yang dia kira tidak ada keduanya
di kolong langit! Aku datang sebagai pendamai antara Kim-san-pai dengan
Bu-tong-pai, sudah pasti sekali aku tidak mau menghina Bu-tong-pai juga tidak
mau memusuhi Kim-san-pai.”
Liem Sun
Hauw menjadi serba salah dan memang kepandaian kata-katanya telah lenyap entah
ke mana setelah ia berhadapan dengan Ang I Niocu. Dalam pandangannya, segala
gerak-gerik Ang I Niocu menarik hati dan menambah kemanisan dan kecantikannya.
Kini dimarahi oleh Ang I Niocu, dia hanya tundukkan mukanya yang sebentar merah
sebentar pucat, seperti seorang anak nakal dimarahi oleh ibunya.
“Lihiap,
untuk meredakan permusuhan, sekarang pinceng sekalian datang ke sini hendak
menghadap Locianpwe Thian Beng Cu, dan Liem-sicu yang bertugas sebagai pendamai
dari Go-bi-pai, ikut sebagai perantara,” kembali hwesio itu membela Sun Hauw.
“Jika Losuhu
bertujuh datang hendak menghadap Ketua Kim-san-pai untuk menjernihkan suasana,
hal itu amat baik dan patut dipuji, dan memang demikianlah seharusnya kalau orang
hendak memperbaiki hubungan satu sama lain. Aku pun sedang hendak berangkat
menemui Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi orang she Liem
ini biar di sini jangan ikut masuk, dia tidak akan mendamaikan urusan bahkan
mungkin akan mengacau lagi!”
“Niocu harap
kau suka maafkan aku...,” akhirnya Sun Hauw dapat bicara kembali setelah
menenteramkan hatinya yang berguncang. “Memang aku telah berlaku terburu nafsu
dan melukai dua orang tosu Kim-san-pai dalam pibu yang terjadi di Bu-tong-san.
Oleh karena itu maka kedatanganku ini pun hendak memohon ampun kepada Locianpwe
Thian Beng Cu dan bersama para Suhu ini hendak menyerahkan diri menerima
hukuman. Sekarang baru Niocu saja sudah tidak dapat memaafkan, apa lagi para
tosu Kim-san-pai. Biarlah kalau begitu kau bunuh saja aku untuk menebus dosaku
terhadap Locianpwe Sin-taihiap Bu-Pun Su...” Sambil berkata demikian, Sun Hauw
melolos pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Ang I Niocu.
Gadis itu
tak mau menerima pedang, malah agak heran dan terkejut mendengar pemuda itu
menyebut-nyebut nama Bu Pun Su. “Mengapa pula kau menyebut-nyebut nama
Susiok-couw Bu Pun Su?” tanyanya wajar.
“Sesungguhnya,
tugasku ini adalah kehendak Sin-taihiap Bu Pun Su yang menyampaikan pesannya
kepada Susiok Twi Mo Siansu melalui utusannya, yakni Lo-enghiong Kiang Liat
yang akhirnya menjadi sahabat baikku. Aku dipilih oleh Susiok untuk mengerjakan
tugas ini, tak tahunya karena kebodohanku aku bahkan membuat keadaan jadi
semakin buruk. Kalau Sin-taihiap Bu Pun Su mendengar akan hal ini, apakah aku
masih dapat diampuni? Kalau Kiang Lo-enghiong yang baik hati dan mulia itu
mendengar, bukankah aku bisa mati saking maluku?”
Tentu saja
Sun Hauw sengaja menyebut-nyebut nama Bu Pun Su dan Kiang Liat untuk mengambil
hati gadis yang kecantikannya telah merobohkan hatinya itu. Dia sama sekali
tidak tahu bahwa semua kata-katanya itu bahkan merupakan garam yang diulaskan
pada luka di dalam hati Ang I Niocu, mendatangkan rasa perih dan sakit karena
mengingatkan ia akan semua peristiwa duka yang dialaminya. Hal ini bahkan
menambah kebenciannya terhadap Sun Hauw sehingga kalau mungkin di saat itu juga
ia memenggal leher pemuda itu.
Akan tetapi
pada saat itu, dari puncak bukit datang Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai,
diiringi oleh tosu-tosu muridnya, merupakan sebuah rombongan yang kereng dan
agung. Para tosu Kim-san-pai yang berada di situ cepat memberi hormat kepada
ketua mereka.
Dengan air
muka tenang dan ramah, Thian Beng Cu memandang kepada para hwesio Bu-tong-pai
yang tujuh orang itu, melempar pandang tak acuh kepada Sun Hauw, lalu berkata
kepada para hwesio itu,
“Cu-wi Suhu
dari Bu-tong-pai, harap tidak berkecil hati kalau pinto terlambat menyambut.
Pesan apakah yang Cu-wi bawa dari sahabat Lo Beng Hosiang?”
Melihat
sikap dan mendengar kata-kata Ketua Kim-san-pai ini, para hwesio Bu-tong-pai
menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri dan heran mengapa Ketua
Kim-san-pai yang selama ini disangka sombong, ternyata seorang kakek yang baik
hati dan ramah tamah. Serta merta mereka berlutut memberi hormat.
Kakek
Kim-san-pai itu sudah begitu merendahkan diri, maka kini tanpa ragu-ragu lagi
para hwesio Bu-tong-pai maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang
tua yang berhati mulia dan tunduklah mereka.
Ki Keng
Hosiang, pendeta gemuk pendek yang memimpin rombongan Bu-tong-pai itu lalu
berkata, “Teecu bertujuh menerima titah Suhu untuk menghadap kepada Susiok,
selain untuk menyerahkan surat serta menyampaikan salam dari Suhu, juga teecu
yang sudah melakukan banyak dosa menghina saudara-saudara dari Kim-san-pai,
sengaja datang menyerahkan diri untuk menerima hukuman.”
Thian Beng
Cu menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya. Wajahnya nampak gembira
sekali dan apa bila diperhatikan, orang akan melihat sepasang matanya menjadi
basah.
“Gurumu Lo
Beng Hosiang adalah seorang bijaksana. Kalian tidak salah apa-apa, bahkan
saudara-saudara mudamu dari Kim-san-pai yang keliru. Kesinikan surat dari
suhu-mu supaya pinto dapat segera mengetahui petunjuk apa yang diberikan kepada
pinto yang bodoh.”
Pada saat
itu, Liem Sun Hauw yang merasa terharu menyaksikan pertemuan tokoh-tokoh dari
kedua pihak yang saling mengalah, merasa malu terhadap Thian Beng Cu yang
ternyata seorang kakek yang begitu halus dan baik hati. Ia pun lalu, berlutut
dan berkata,
“Locianpwe,
teecu Liem Sun Hauw utusan dari Go-bi-pai, karena cupat pengetahuan dan
lancang, sudah salah tangan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Sekarang teecu
sudah insyaf akan kesalahan sendiri dan menghadap untuk menerima hukuman.”
Thian Beng
Cu menunda niatnya membaca surat dari Lo Beng Hosiang, memandang kepada Liem
Sun Hauw dan mengangguk-angguk.
“Anak murid
Go-bi-pai memang amat mengagumkan, masih begini muda sudah memiliki kepandaian
tinggi, dan berani pula bertanggung jawab atas perbuatannya. Liem-sicu, jika
kau tidak datang mengakui kesalahanmu, memang nama baik Go-bi-pai akan
tercemar, akan tetapi dengan pengakuanmu ini, segala apa sudah beres. Di dalam
pibu, kalah atau menang sudah lumrah, terluka atau tewas bukan hal aneh. Antara
kau atau Go-bi-pai dengan kami tidak ada urusan apa-apa, habis sampai di sini
saja.”
Sun Hauw
menjadi girang sekali, akan tetapi kata-kata itu membuat ia makin tunduk dan
malu. Thian Beng Cu lalu membuka surat dari Lo Beng Hosiang. Selain permintaan
maaf bagi murid-muridnya, di dalam surat itu Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa
mengenai pembunuhan atas diri Lai Tek, sebenarnya bukanlah perbuatan anak murid
Bu-tong-pai, dan menurut dugaan Lo Beng Hosiang, tentunya dilakukan oleh pihak
ke tiga yang ingin mengadu-dombakan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Oleh karena
itu, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa penjahat atau pihak ke tiga inilah yang
harus dicari.
Thian Beng
Cu menghadapi Ang I Niocu yang masih berdiri di situ. Ketika melihat betapa
para hwesio mengaku salah dan betul-betul datang hendak menerima hukuman, gadis
ini juga menjadi girang dan terharu. Tak disangkanya bahwa tugasnya dapat
selesai dengan demikian mudahnya, apa lagi ketika ia melihat Sun Hauw juga
menerima salah dan rela dihukum, kebenciannya terhadap pemuda ini agak
berkurang.
“Ang I
Niocu, sebagai utusan Sin-taihiap Bu Pun Su, kau sudah mendengar dan melihat
sendiri keadaan anak-anak murid Bu-tong-pai yang ternyata jauh lebih baik
dibandingkan anak-anak murid Kim-san-pai. Karena kedatangan mereka inilah, maka
segala kesalah pahaman telah dapat dibikin beres dan dihabiskan sampai di sini
saja. Di dalam suratnya ini, Lo Beng Hosiang juga menyatakan bahwa pihak
Bu-tong-pai betul-betul tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap diri Lai
Tek, dan menduga bahwa tentu ada pihak ke tiga yang melakukan perbuatan itu
untuk mengadu domba antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Tidak tahu
bagaimanakah baiknya kalau menurut pendapat Niocu?”
“Soalnya
sudah jelas bahwa memang tentu ada penjahat yang membunuh Lai Tek dan berbuat
seakan-akan yang melakukan hal itu adalah dari pihak Bu-tong-pai. Akan tetapi,
perbuatan penjahat itu mendatangkan kerugian lebih besar kepada pihak
Bu-tong-pai dari pada kepada Kim-san-pai. Lai Tek anak murid Kim-san-pai tewas
sebagai orang gagah dan tidak ada kecewanya, sebaliknya dengan perbuatan itu,
nama baik Bu-tong-pai jadi tercemar. Oleh karena itu, menurut pikiranku, sudah
menjadi kewajiban Bu-tong-pai untuk menyelidiki hal ini dan menangkap
pembunuhnya. Sungguh pun begitu, demi kembalinya hubungan baik di antara kedua
partai, yang sudah menjadi tugas yang kupikul menurut perintah Susiok-couw, aku
akan turut berusaha pula untuk membongkar rahasia ini dan membekuk
penjahatnya.”
Sun Hauw
melompat berdiri, menjura kepada Thian Beng Cu, lalu menghadapi Ang I Niocu
sambil berkata cepat, “Niocu, cocok sekali petunjukmu tadi. Memang sudah
seharusnya Bu-tong-pai mencuci bersih namanya dari perbuatan terkutuk penjahat
yang membunuh Lai Tek itu. Dan untuk pekerjaan ini, biarlah aku yang akan
melakukannya. Aku telah berlaku lancang dan biar pun aku diberi tugas
menjernihkan suasana antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, ternyata aku bahkan
mengeruhkan suasana. Sekarang ada pekerjaan ini, maka biarlah aku yang
diwajibkan, hitung-hitung menebus dosaku!”......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment