Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 01
DI SEBELAH
barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat
sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu
tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis pada dinding dan bermaksud
sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi ‘Lam Bu O Mi To Hud’ masih dapat
terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang pada depan pintu luar
dan berbunyi ‘Ban Hok Tong’ atau ‘Kuil Selaksa Rejeki’.
Pada siang
hari yang sunyi itu terdengar suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio
dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara
liamkeng pendeta bukan merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian
adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh
suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!”
terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.
“Tahu,
tahu...,” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat
penjuru samudera, semua adalah saudara!”
“Bagus!
Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”
“Siapa,
Sianseng (Pak Guru)? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,”
terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.
“Bodoh! Yang
dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar
kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan peri kemanusiaan,
tahu?”
Suara anak
itu menandakan bahwa ia masih amat kecil, mana mungkin ia bisa menikmati
‘makanan rohani’ yang berat ini. Maka terdengar jawabannya yang takut-takut,
“Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sianseng.”
“Memang kau
tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja,
harus dengan tangan. Nah, kau rasakan ini supaya mengerti!”
Lalu
terdengarlah suara tamparan, akan tetapi sedikit pun tidak terdengar pekik
kesakitan walau pun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang
anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah
pipinya. Anak itu hanya menggigit bibirnya.
“Nah,
sekarang kau sebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.”
“Ujar-ujar
yang manakah, Sianseng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,”
jawab murid itu.
“Ujar-ujar
yang ke tiga.”
Sunyi
sebentar, lalu terdengarlah suara lantang anak itu, “Janganlah kau perbuat
kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat
kepadamu!”
“Bodoh, itu
adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut
ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar ini yang bisa memasuki batok
kepalamu yang keras itu.”
“Memang
hakseng paling suka kepada ujar-ujar yang satu ini, Sianseng,” jawab anak itu
yang tiba-tiba menjadi berani.
“Mengapa
begitu?”
“Harap
Sianseng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan
betul?”
“Tentu saja,
tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”
“Kalau
begitu, apakah Sianseng suka kalau kutampar mukamu?”
“Apa katamu?
Kau... kau bangsat....”
“Sianseng
tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi
ujar-ujar yang kita pelajari?”
Untuk
beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi
kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu pula di luar kuil
terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.
Seorang
hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar
menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya,
berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali
yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke
arah pintu kuil dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba
saja dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga
pendeta-pendeta penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu
digelung ke atas dan diikat di tengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh
sebab yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek
namun gerak-geriknya gesit sekali, ada pun yang seorang lagi tinggi besar dan
bercambang bauk yang menyongot ke sana sini, berbeda dengan dua orang kawannya
yang berjenggot putih panjang dan halus.
Ketika
melihat tiga tosu ini keluar dari pintu kuil, hwesio gundul tinggi besar itu
tampak terkejut karena memang dia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka
di sana. Sebaliknya, ketika melihat hwesio, ketiga orang tosu itu juga terkejut
sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh meloncat menghampiri. Loncatan
ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah
melayang ke tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak
(setombak kira-kira dua meter)!
“Hai Kong,
kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus
bertanya sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas tanah.
Tiba-tiba
hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara tawanya ini
aneh sekali. Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan
suara orang bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat jauh hingga guru
dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil itu menjadi
terkejut.
Anak kecil
itu tak dapat menahan keinginan tahunya, karena itu sambil membawa suling
bambunya ia lalu berlari keluar dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya
sambil berteriak,
“Cin Hai…
Cin Hai.... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”
Karena
dikejar-kejar, Cin Hai berlari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu
memanjat naik. Ketika siucai (sasterawan) tua yang kurus sekali bagai orang
cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas genteng!
Ternyata Cin
Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di
sepanjang wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan
bulat kecil itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!
Gurunya
berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu,
tetapi tiba-tiba sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh
yang kini saling berhadapan di luar kuil itu. Dia menjadi ketakutan dan
buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil!
Cin Hai kini
duduk di atas genteng sambil memandang ke bawah. Dia juga heran sekali melihat
ketiga orang tosu itu yang kini siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar.
Sementara
itu, sesudah tertawa keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul
itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua
lengannya yang hebat sambil berkata, “Ha-ha-ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang
Cu, dan Giok Keng Cu, jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada
beberapa tahun yang lalu di Heng-san! Apakah kau kira aku takut menghadapi
Kanglam Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha-ha-ha! Dahulu
kalian maju bertiga baru mampu mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan
bertiga, kau tambah tiga belas lagi akan kutewaskan semua, ha-ha-ha!”
Hwesio
gundul itu kemudian menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat bukan main.
Berbeda dengan tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebat dan gesit
sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja yang nampak
bergerak menyerang ketiga lawannya!
Tetapi
Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan
orang. Mereka adalah tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan
ketiganya merupakan saudara seperguruan yang memiliki kepandaian silat tinggi
dan keistimewaan masing-masing.
Giok Im Cu
yang tertua memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari
keduanya, Giok Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan mempunyai tenaga gwakang
(tenaga luar, kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan,
sedangkan Giok Keng Cu adalah ahli menggunakan piauw (senjata rahasia yang
disambitkan) bersayap. Di samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga
tinggi dan lihai sekali.
Maka,
menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan
menghadapi hwesio itu dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa,
karena gerak-geriknya sangat aneh bagai menari berlenggak-lenggok, sama sekali
bukan seperti gerakan silat.
Kedua
tangannya bagaikan dua ekor ular yang hidup, ada pun sepuluh jari tangannya
juga hidup bergerak-gerak dan setiap jari selalu mengancam jalan darah
lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan dinamakan Jian-coa Kun-hoat atau
Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular dan setiap serangan yang
dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba
tak terduga sama sekali!
Baiknya
ketiga tosu yang menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga
tahun yang lalu di puncak Heng-san sehingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu
pula akan keganasan ilmu silat ini sehingga mereka dapat menjaga diri dan
melancarkan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Cin Hai yang
duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira
sekali. Memang dia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota
diadakan keramaian dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu
pasti ada di antara penonton, dan minggat dari gedung pamannya biar pun sudah
dilarang.
Kini ada
tontonan adu silat tanpa bayar, tentu saja ia senang sekali. Apa lagi adu silat
kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas
panggung.
Ia melihat
betapa empat orang yang berkelahi itu bergerak-gerak dengan aneh sekali dan
kedua matanya menjadi kabur dan silau ketika melihat betapa tubuh keempat orang
itu lenyap terganti dengan bayang-bayang hitam yang bergerak cepat sekali.
Matanya yang silau kini tidak dapat membedakan lagi mana hwesio gundul dan mana
tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang saja warna merah dari
jubah hwesio gundul itu masih tampak dan ternyata ia terkurung di
tengah-tengah.
Sungguh satu
tontonan yang mengasyikkan dan menegangkan hati, apa lagi karena Cin Hai tahu
bahwa hwesio gundul itu dikeroyok bertiga dalam pertempuran yang
sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda dengan segala pibu (adu kepandaian
silat). Maka dengan tak terasa pula saking tegangnya, Cin Hai memasukkan ujung
suling ke mulut seperti orang sedang meniup suling.
Sementara
itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang semakin lama semakin terdesak
oleh Jian-coa Kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena
kepandaian Si Gundul ini betul-betul telah maju hebat, jauh bedanya kalau
dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu.
Karena tahu
bahwa apa bila terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah,
tiba-tiba Giok Im Cu berseru keras, “Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu
jiwa?”
Setelah
berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting
kayu yang tadi ketika bertempur ia selipkan pada ikat pinggangnya. Biar pun
ranting itu hanya kecil saja, namun berada di dalam tangannya lalu berubah
menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang lemas itu dapat menerima
tenaga lweekang yang dia salurkan ke dalamnya.
Kedua
kawannya lalu meniru perbuatan ini. Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan
sangat gesit itu kemudian mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia
putar-putar sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi
besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok)
kemudian mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking
tajamnya!
Ketiga tosu
dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya seperti
serangan badai mengamuk.
“Ha-ha-ha!
Hayo kalian lekas keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang
demi seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang
senjata aneh, yang tadi tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak
kelihatan.
Senjata ini
dilihat dari jauh kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan
bengkak-bengkok, tetapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata
itu adalah seekor ular yang sudah kering! Walau pun telah mati dan kering, tapi
tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot dan
lidahnya yang terjulur itu membuat ular itu seakan-akan masih hidup. Senjata
ini selain aneh juga berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular,
tapi seekor ular berbisa yang luar biasa jahatnya.
Hai Kong
Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya sehingga kalau dia
memainkan senjata istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam itu
dapat pula digunakan untuk menotok jalan darah, ada pun mulut bergigi ular itu
dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang
memenuhi mulut ular itu, yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat
menyeretnya ke lubang kuburan!
Sebentar
saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena
kalau tadi tubuh mereka masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke
sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap dan
sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk dan
warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan seram, tapi yang membuat
pemandangan indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin
gembira lagi.
Hampir saja
dia bersorak dan bertepuk tangan, namun tiba-tiba kakinya yang menginjak
genteng terpeleset hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah
duduk di tempat yang lebih rendah.
Sementara
itu, gurunya yang tadi bersembunyi di balik pintu, pada waktu mencoba untuk
menjenguk keluar dan menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat
orang itu kini bertempur dengan senjata tajam. Karena itu segera kepala yang
nongol itu ditariknya kembali ke belakang dengan cepat seperti kepala
kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus kering seperti cecak itu menggigil
ketakutan!
Biar pun
senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang
berdasarkan permainan ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular)
lihai dan berbahaya, tapi menghadapi tiga macam permainan senjata dari Kanglam
Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga. Gerakannya mulai tak tetap
dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.
“Ha, Hai
Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek itu
menyindir sambil memperhebat gerakan golok besarnya.
“Ha-ha-ha!
Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha-ha-ha!”
Biar pun
dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian
terdengar bunyi melengking yang sangat aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai
bunyi suling dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.
Dan pada
saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas
tanah, kemudian bergoyang-goyang dan tutupnya terangkat naik seperti di
dalamnya ada apa-apa yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika bunyi
lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, maka terbukalah tutup
keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali!
Ular itu
mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar. Lidahnya yang merah dan tajam
itu menusuk-nusuk keluar masuk dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Kedua
matanya liar memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya.
Kemudian ia
keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu
terangkat, naik bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari
dalam keranjang keluar pula ular lain berturut-turut sehingga semua isi
keranjang yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah
keluar semua.
Tiga orang
tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang terkejut sekali melihat betapa
kelima ekor ular itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi
lima yang teratur. Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan
tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah kehijauan itu
berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa semua gerakan
mereka terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang!
Giok Keng Cu
cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali
menggerakkan tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di
depannya. Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua
benda hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga batang piauw yang
masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata gerakannya
gesit sekali itu!
Biar pun
pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar
biasa, tapi ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang
menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang keadaan di bawah
dengan mata yang terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang keluar
dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan perasaannya
tidak enak sekali.
Sementara
gurunya yang bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengar bunyi
lengking yang aneh itu, tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat.
Meski pun masih menggigil ketakutan, ia lalu memaksakan diri untuk menongolkan
kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya sekarang terlampau hebat dan
mengerikan untuknya.
Jantungnya
terasa berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam
dadanya kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa
lemas dan roboh pingsan bagai sehelai kain yang dilepaskan, ada pun di bawah
tubuhnya tiba-tiba saja menjadi basah!
Keadaan
ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi
lengking dari Hai Kong Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi
sedikit kurungan mereka semakin rapat dan ketiga tosu yang bergerak di dalam
kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin sempit.
Mereka
mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, namun
lima ular itu ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan setiap serangan
senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal diam,
tetapi juga ikut menyerang dengan tak kurang hebatnya!
Keadaan tiga
orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi
pada saat itu, dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya dari pada
bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh!
Mendengar
bunyi lengking yang lain ini, kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali.
Gerakan mereka menjadi kacau-balau, mereka berlima hanya mengangkat-angkat
kepala tinggi-tinggi seolah-olah tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali
bahwa mereka sedang mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk
dapat mendengar ‘perintah’ itu lebih nyata dan jelas lagi!
Melihat hal
ini, Hai Kong Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia
menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk memperkuat perintahnya sehingga lengking
yang keluar dari mulutnya makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu
juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu makin panik
dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena disabet oleh ranting pada
tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!
Sebenarnya
apakah yang terjadi tadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan
enak-enak asyik nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya
meremang melihat lagak dan keganasan ular-ular itu, makin lama semakin tak
tertahan mendengar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang
karena suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung
menusuk-nusuk hatinya.
Karena itu
dia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang semenjak tadi telah dimasukkan
di mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia suka meniru-niru segala
macam lagu yang didengarnya.
Kini
mendengar nada lengking hwesio gundul yang aneh itu, dia lalu mencoba-coba dan
bersusah payah untuk menirunya pula. Tapi, biar pun ia telah meniup nada yang
setinggi-tingginya tak juga dapat meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara
lengking sulingnya terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga dari pada
suara Hai Kong Hosiang!
Akan tetapi
aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, semakin tinggi nada yang ditiupnya,
makin berkuranglah rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang
dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras
bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah, kegembiraannya bertambah karena
dia melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci
itu tampaknya marah sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan
gerakannya.
Cin Hai lalu
meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang
tinggi-tinggi saja! Ia sama sekali tak mengira bahwa karena perbuatannya ini
maka ular-ular itu kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah menolong tiga
orang itu.
Bukan main
marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu
ternyata telah menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal
tadi dia sudah merasa pasti sekali bahwa tidak lama lagi ketiga tosu itu tentu
akan dapat ia robohkan.
Sebaliknya,
tiga orang tosu itu pada saat melihat betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan
ular-ularnya sudah kacau, segera mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat
keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan keringat dingin karena keadaan
mereka tadi benar-benar berbahaya.
“Hai Kong,
kau makin tua semakin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu dia
mengajak kedua kawannya pergi secepat mungkin.
Ia tahu
bahwa meski pun seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat
ekor ularnya yang lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan
sulit dilawan. Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa sengaja telah
menolong jiwa mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.
Hai Kong
Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Dia tidak mau mengejar, karena
biar pun ia tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi jika dapat mengejar
juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya ia takkan menang
menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu.
Ia marah
sekali karena telah gagal membunuh tiga orang musuh lamanya, bahkan seekor
ularnya masih berkelojotan akibat kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai.
Tentu tulang punggung ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu,
pikirnya. Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup
sulingnya. Hwesio gundul itu lalu mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor
batu hitam menyambar.
Cin Hai sama
sekali tak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di
tangannya dan sedang ditiup itu sudah terbang bagaikan direnggut oleh tangan
yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah, kembali tangan kiri Hai
Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah kepala Cin
Hai!
Dengan muka
merah karena gemas, Hai Kong Hosiang sudah membayangkan betapa kepala anak
kecil yang gundul bagai kepalanya sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan
betapa tubuh itu akan menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula.
Tapi alangkah heran dan kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja melenceng
arahnya dan sebaliknya malah menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus
dan tembok itu berlubang!
Ketika ia
sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur. “Tidak
malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?”
Dan
tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua yang berpakaian
penuh tambalan. Kakek ini bertubuh sedang, mukanya penuh cambang kasar dan
kaku, bajunya tambal-tambalan, semuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran
hingga agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran yang halus dan sabar
itu keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!
Ketika
melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap
lagi dia mengambil semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam
keranjang kembali. Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi secepat
terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.
“Setan alas
benar-benar! Belum pernah seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi
Kang-lam Sam-lojin, lalu bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya dia
tidak menurunkan tangan jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya
lagi aku melelahkan diri?”
Tapi Hai
Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah
padanya karena pada saat itu juga dia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya
itu menjadi berat dan tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah ke atas
pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya. Apa
yang dilihatnya?
Kelima
ularnya sudah mati semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang
mengalirkan darah. Dia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun
Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh
ular-ular itu.
Melihat
betapa binatang-binatang peliharaan yang sudah bertahun-tahun dipelihara serta
dididiknya sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua, tiba-tiba
Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio gundul yang
bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu melampiaskan rasa
dongkol dan marahnya. Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil
berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su, lain kali aku akan membunuhmu untuk
ini!”
Cin Hai yang
masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di
belakangnya itu telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta,
dia tadi menyambit dengan apakah?”
Bu Pun Su
(Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara
ketawanya sama sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus.
“Ehh, anak
tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua
renta, sekarang kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
Sementara
itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di
luar sunyi dan suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan
memanggil-manggil.
“Cin Hai...
Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”
Akan tetapi
Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan dia lalu bertanya kepada kakek yang
menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”
“Kau ingin
mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.
“Tentu saja,
asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.
“Cin Hai...
Cin Hai...!” terdengar gurunya memanggil lagi.
“Tunggulah
sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai
berteriak dari atas.
“Ya Tuhan
Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat-cepat dia menyelinap lagi ke
belakang daun pintu.
Cin Hai
menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek jembel itu, “Dia juga Guruku dan
mengajar ilmu surat padaku.”
Bu Pun Su
tertawa dan berkata, “Bila kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru
padaku.”
“Boleh,
boleh, jika mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal
ujar-ujar yang sulit dan membingungkan.”
“Lebih dari
itu, anak bodoh. Kau harus tunduk dan taat kepadaku serta menurut segala
perintahku.”
Tiba-tiba
Cin Hai merengut. “Semua orang menyebutku bodoh, bahkan kau caIon guruku juga!
Lama-lama aku bisa percaya bahwa aku benar-benar bodoh.”
“Ha-ha-ha,
memang kau bodoh. Bagaimana, kau mau mentaati segala perintahku?”
“Tentu,
tentu saja. Ada ujar-ujar yang berkata bahwa apa pun juga kata guru, murid
harus taat dan menurut.”
“Nah, kalau
begitu, kau loncatlah ke bawah!”
“Lo... lo...
loncat ke bawah?” Ci Hai memandang kakek jembel itu dengan matanya yang bundar
terbelalak. “Tapi, tapi... begini tinggi...”
Kakek jembel
yang matanya lebih bundar dan lebih lebar itu berdiri. “Ingat, apa pun juga
kata guru, murid harus...”
“Iya, dah!
Aku loncat!” kata Ci Hai yang lalu mengenjot kakinya dan mengayun tubuh ke
bawah!
Tapi ia
tidak terbanting dan kakinya tidak patah-patah sebagaimana yang ia khawatirkan,
karena pada saat ia terjun, sebuah tangan yang kuat telah memegang leher
bajunya dan membawanya turun dengan ringan.
“Bagus, kau
harus turuti segala perintahku. Sekarang kau pulanglah dengan gurumu itu dan
setahun kemudian, sekembaliku dari Nam-thian, kau akan kuambil!”
Cin Hai yang
kini maklum akan kelihaian kakek jembel ini, lalu mengangguk-anggukkan
kepalanya yang gundul! Dan pada saat itu pun Bu Pun Su berkelebat lenyap dari
depan anak itu!
Cin Hai lalu
mencari gurunya di belakang pintu. Guru sekolahnya itu sampai menjumbul karena
merasa kaget ketika Cin Hai tiba-tiba muncul di depannya sambil berteriak
keras, “Sianseng!”
Melihat anak
kecil itu, guru itu mulai marah lagi. Dengan lengan terulur ia hendak menjiwir
telinga Cin Hai, namun anak itu mengangkat kedua lengan ke atas melindungi
telinganya sambil berkata,
“Sianseng,
jangan kau berbuat sesuatu kepada lain orang apa yang kau sendiri tak suka
orang lain berbuat kepadamu!” dan ketika guru kurus kering itu menjadi makin
marah dan hendak menjatuhkan tamparan padanya, dia buru-buru berkata lagi,
“Sianseng, bukankah kau tadi mengajarkan Su-hai-ci-lwee-heng-te-ya? Lalu kenapa
Sianseng selalu memukul hakseng tanpa ingat peri kemanusiaan?”
Dihujani
ujar-ujar yang sering ia ajarkan kepada muridnya itu, Si Guru menjadi bohwat
(habis daya) dan tangan yang sudah diangkat naik itu diturunkan kembali.
“Hayo kita
lekas pulang, takut kalau siluman-siluman itu datang lagi.”
Dia lalu
memegang lengan muridnya dan menyeretnya sambil berlari anjing menuju ke kota
yang tak berapa jauh karena tembok kotanya tampak dari kuil itu.
***************
Anak kecil
yang bernama Cin Hai itu adalah seorang anak yatim piatu. Semenjak berusia
empat tahun, dia sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan ia lalu
dipelihara oleh ie-ienya (bibi adik ibu) yang menjadi isteri ke dua dari Kwee
In Liang, seorang pembesar militer berpangkat touwtong yang tinggal di
Tiang-an. Karena ketika ditinggal mati kedua orang tuanya dia masih kecil
sekali, maka Cin Hai tidak dapat ingat lagi bagaimana rupa kedua ayah bundanya
dan tidak tahu pula bagaimana matinya.
Kwee-ciangkun
(Panglima Kwee) telah ditinggal mati oleh isterinya yang pertama hingga ia
kawin lagi dengan ie-ie dari Cin Hai itu. Dari isteri pertama ia mempunyai enam
orang anak, lima orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak
laki-laki yang sulung berusia sepuluh tahun dan tiap tahun bertambah seorang
anak hingga anak perempuan yang bungsu itu kini sudah berusia lima tahun!
Mungkin karena setiap tahun melahirkan anak inilah yang menyebabkan isteri
Kwee-ciangkun menjadi lemah kemudian jatuh sakit sampai matinya.
Kwee-ciangkun
sangat memanjakan anak-anaknya hingga mereka itu rata-rata bersifat manja dan
nakal. Akan tetapi hal ini dapat dimengerti karena keenam orang anak-anak itu
ditinggal mati ibunya ketika usia mereka masih belum dewasa.
Ketika itu
Loan Nio, bibi Cin Hai itu, menjadi pelayan di gedung keluarga Kwee, dan dia
memang telah bekerja di sana sejak masih kanak-kanak hingga dewasa. Boleh
dibilang semua anak-anak Kwee-ciangkun ketika kecilnya diasuh oleh gadis ini
sehingga mereka menjadi suka dan biasa kepada Loan Nio. Maka, sesudah ibu
anak-anak itu meninggal, dan melihat sifat-sifat yang baik serta wajah yang
manis dari gadis itu, Kwee-ciangkun lalu mengambilnya menjadi isteri kedua.
Memang boleh
dipuji tindakan panglima yang masih muda ini, karena pilihannya memang tepat
dan bijaksana, tidak semata-mata terdorong oleh nafsu ingin senang sendiri,
tetapi sebagian besar didasarkan untuk kepentingan anak-anaknya. Demikianlah,
Loan Nio lalu menjadi seorang isteri panglima dan sekaligus menjadi ibu enam orang
anak, seorang ibu yang baik karena di dalam hatinya memang dia mempunyai rasa
kasih sayang terhadap anak-anak yang semenjak kecil diasuhnya itu.
Cuma
sayangnya, anak-anak itu sudah terlampau manja dan karena mereka pun tahu bahwa
ibunya yang sekarang ini bukanlah ibu sendiri, perasaan mereka tentu berbeda
dan kadang-kadang terasa ada suatu ganjalan yang tak menyenangkan.
Apa lagi
pada saat Loan Nio mendatangkan anak kemenakannya yang telah yatim piatu, yakni
Cin Hai, maka sering terjadi hal-hal yang menyakitkan hati Cin Hai dan Loan
Nio, sungguh pun kejadian-kejadian itu terjadi di luar tahu Kwee In Liang
sendiri.
Kwee In
Liang adalah seorang pembesar militer yang memiliki kepandaian silat tinggi,
karena dia adalah seorang murid dari Kun-lun-pai. Karena ini, maka tidak heran
bila dia mendidik kelima puteranya dengan ilmu silat, di samping mendidik
mereka dalam ilmu surat.
Ketika
isterinya membawa Cin Hai ke dalam gedung, hal ini diterima oleh Kwee-ciangkun
dengan tangan terbuka dan senang hati, karena ia yang berhati baik juga merasa
kasihan kepada Cin Hai. Melihat bahwa Cin Hai usianya sebaya dengan puteranya
yang ke lima, maka ia lalu sekalian menyuruh Cin Hai belajar sama-sama dengan
putera-puteranya, di bawah pimpinan seorang guru sastera dan untuk belajar
silat, untuk tingkat permulaan ia serahkan mereka kepada seorang guru silat she
Tan yang terkenal di kota itu.
Tapi
ternyata bahwa Cin Hai menjadi korban dari segala ejekan dan kebencian. Anak
ini kepalanya sengaja digundul plontos karena dulu sering mendapat sakit kulit
di kepalanya. Pula, mukanya yang membayangkan kebodohan, mungkin karena bingung
dan banyak menangis pada saat ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, membuat
ia menjadi bahan godaan semua orang.
Apa bila
sedang belajar bersama-sama dengan anak-anak Kwee-ciangkun, kalau ia tidak
menghafal dan tak dapat menjawab pertanyaan guru, ia dimaki tolol dan bodoh
bahkan si guru tak segan-segan untuk mengetok kepalanya yang gundul itu. Tetapi
kalau dia rajin menghafal hingga pengertiannya melebihi lima anak-anak
Kwee-ciangkun, ia lalu dibenci oleh mereka itu dan dianggap sombong. Tak jarang
di luar tahunya orang-orang tua, dia dikeroyok, dipukuli, dan dimaki-maki oleh
kelima anak laki-laki Kwee-ciangkun itu.
Guru silat
she Tan yang mengajar mereka agaknya juga sengaja menghina Cin Hai. Entah
mengapa, mungkin karena mengingat bahwa anak gundul itu datang dari dusun, atau
karena ingin menyenangkan hati tuan-tuan muda, yakni lima putera Kwee-ciangkun,
atau memang ia sendiri mempunyai rasa tak suka melihat wajah Cin Hai, tapi
nyatanya ia tidak mengajar sungguh-sungguh kepada Cin Hai. Bahkan sering kali
dia menyuruh Cin Hai menghadapi Kwee Tiong, putera tertua yang sudah berusia
sepuluh tahun itu untuk berlatih. Tentu saja Cin Hai hanya mendapat
gebukan-gebukan dalam latihan itu karena selain kalah besar, juga kalah tenaga
dan kalah kepandaian!
Baiknya,
sikap yang tahu diri dan agung dari Loan Nio yang kini telah menjadi ‘nai-nai’
(nyonya) itu membuat semua orang tidak berani menghina Cin Hai secara berterang
di muka nyonya muda itu. Dan Loan Nio menjadi tempat Cin Hai menumpahkan segala
kesedihannya.
Kalau ia
sedang digoda atau dipukul, tak sebutir pun air mata dapat meloncat keluar dari
kedua matanya yang bundar, tapi kalau sudah berada dengan bibinya, dan kepala
yang gundul rebah di pangkuan nyonya muda itu, barulah air mata membanjir
keluar. Betapa pun juga, tak pernah satu kali pun ia mengadu kepada bibinya
mengapa ia menangis, mengapa kepalanya benjol-benjol dan mukanya biru-biru.
Bibinya
hanya menganggap bahwa lazim bagi seorang anak laki-laki untuk kadang kala
berkelahi sampai kepalanya benjol! Dan ia menyangka bahwa kesedihan anak itu
karena teringat akan orang tuanya, maka dia tidak pernah bertanya karena tak
mau menambah kesedihan anak itu.
Akan tetapi,
tidak semua orang berhati kejam dan buruk. Ada beberapa orang pelayan yang
merasa kasihan melihat nasib Cin Hai lalu diam-diam memberitahukan kepada Loan
Nio tentang perlakuan guru itu kepada Cin Hai.
Biar pun
hatinya sangat panas, tapi sebagai seorang bijaksana yang panjang pikir, Loan
Nio tidak menimbulkan ribut-ribut. Ia hanya memberi tahu kepada Cin Hai supaya
jangan belajar silat lagi dan sengaja ia memanggil seorang guru sasterawan tua
untuk mengajar Cin Hai. Cita-citanya hanya agar supaya anak itu kelak menjadi
seorang pandai yang dapat menempuh ujian dan menggondol pangkat tinggi. Dan ia
sengaja menyewa sebuah kamar di kelenteng yang terletak di luar tembok kota
sebelah barat itu untuk tempat Cin Hai belajar.
Nyonya muda
bijak yang mencinta kemenakannya itu tentu saja tidak tahu bahwa Cin Hai memang
tak begitu rajin belajar dan guru kurus kering ini pun berlaku sewenang-wenang
dan main ketok kepala saja. Agaknya kepala Cin Hai yang gundul plontos itu
memang mempunyai daya tarik kepada orang untuk mengulurkan tangan dan
mengetoknya!
Lima putera
Kwee-ciangkun semua berwajah tampan dan gagah. Yang sulung bernama Kwee Tiong,
ke dua Kwee Sin, ke tiga Kwee Bun, ke empat Kwee Siang, ke lima Kwee An.
Sedangkan anak ke enam yang perempuan adalah seorang anak mungil dan manis,
bermuka bundar dengan mulut kecil dan mata lebar, namanya Kwee Lin dan biasanya
disebut Lin Lin.
Karena hanya
mempunyai seorang saja anak perempuan, tak heran bila Kwee-ciangkun sangat
cinta kepada Lin Lin dan diam-diam, di luar tahu orang lain, setelah Lin Lin
berusia lima tahun, ia mulai menurunkan kepandaian silat yang tinggi pada anak
perempuannya ini!
Biar pun
orang luar tidak tahu, namun Lin Lin tentu saja sebagai seorang anak kecil tak
dapat menyimpan rahasia dan membocorkannya kepada saudara-saudaranya. Semua
saudaranya merasa iri hati, tetapi mereka tidak berani mengganggu Lin Lin,
karena tahu betapa sayangnya ayah mereka kepada anak yang bungsu lagi perempuan
ini.
***************
Guru Cin Hai
yang kurus kering itu adalah seorang she Kui. Setelah mengalami peristiwa aneh
yang menyeramkan di luar kuil tempat dia mengajar itu, dia segera lari ke
gedung Kwee-ciangkun sambil menarik tangan muridnya bagaikan dikejar setan. Ia
tak pedulikan celananya yang telah menjadi basah karena tak tahan lagi saking
kagetnya ketika melihat orang-orang aneh itu bertempur, dan melihat ular-ular
yang mengerikan itu.
Pada saat
memasuki pekarangan gedung keluarga Kwee, mereka bertemu dengan Kwee Tiong.
“Ehh,
Kui-sianseng, mengapa kau lari-lari seperti maling dikejar?” tanya anak itu.
“Twa-kongcu
(Tuan Muda Terbesar)... celaka, ada... ada... siluman...,” jawab kakek kurus
kering itu gagap.
Kwee Tiong
terbelalak memandang. “Apa katamu? Siluman?”
Cin Hai
memotong, “Ya, siluman menyeramkan sekali. Beginilah macamnya...” Dia lalu
mempergunakan kedua tangan untuk menarik mata dan mulutnya sambil mengeluarkan
suara, “hii... hiii... hiiii...”
Kwee Tiong
menggerakkan hidungnya ke atas mengejek, “Ahh, betapa pun buruknya, kukira
siluman itu tidak lebih buruk dari pada mukamu!”
Cin Hai
hanya tertawa ha-ha-hi-hi dan dia menurut saja ketika gurunya terus menarik
tangannya dibawa ke dalam gedung menghadap bibinya.
Tentu saja
nyonya muda itu amat terkejut melihat kedatangan mereka yang tidak seperti
biasanya, apa lagi melihat muka Kui-sianseng itu pucat dan tubuhnya gemetar.
“Ehh,
Kui-sianseng, kenapa masih begini siang sudah pulang? Apakah yang terjadi? Cin
Hai, apakah kau tadi berlaku nakal?”
Cin Hai
tersenyum kepada bibinya dan menggelengkan kepala.
“Maaf...
saya... saya tidak sanggup mengajar di kuil itu... ada... siluman...,”
Kui-sianseng itu masih saja gugup, bingung dan takut.
“Sabarlah,
Kui-sianseng, sebetulnya apakah yang telah terjadi?”
Dengan suara
terputus-putus, sasterawan tua kurus kering itu lalu menceritakan segala
peristiwa yang dilihatnya tadi dengan ditambahi bumbu-bumbu yang timbul dari
khayalan pikirannya yang penuh kepercayaan tahyul hingga Cin Hai tertawa geli.
Akhirnya
tanpa dapat ditahan lagi, guru yang hafal segala ujar-ujar dan filsafat semua
nabi, tapi yang satu pun tak pernah terbukti dalam segala perbuatannya itu,
lalu berpamit dan minta berhenti, kemudian pergi dari situ. Kalau tidak takut
kepada bibinya, tentu Cin Hai bersorak karena girang hati bahwa akhirnya ia
terlepas jua dari siksaan dan godaan guru she Kui yang memaksa dia ‘makan’
segala ujar-ujar di dalam buku-buku tebal itu secara bulat-bulat!
Nyonya muda
itu menghela napas. “Cin Hai, mengapa nasibmu begini buruk? Agaknya tidak ada
seorang guru pun yang suka mengajarmu, habis bagaimanakah dan kau akan menjadi
apakah kelak? Biarlah, mulai sekarang, aku sendiri akan mengajarmu membaca dan
menulis, tapi pengertianku dalam hal ini juga tidak sangat banyak. Apakah
terpaksa aku harus memberi pelajaran menjahit dan menyulam padamu?”
Cin Hai
menggunakan tangan kiri untuk menutup mulutnya supaya tidak tertawa geli. Dia
belajar menyulam? Tapi ia menjawab, “Ie-ie, kalau memang kau anggap perlu,
boleh saja aku belajar menjahit dan menyulam.”
Bibinya
melerok. “Anak tolol, masak anak lelaki belajar menyulam?”
“Ie-ie,
mengapa semua orang menyebutku bodoh dan tolol, bahkan tadi ie-ie sendiri juga
menyebutku tolol? Apakah aku benar-benar tolol? Ahh... tentu saja aku bodoh dan
tolol, kalau tidak masak semua guru membenciku?”
Bibinya
menjadi terharu dan menariknya dekat-dekat. “Tidak, Cin Hai, kau tidak bodoh,
asal saja kau mau rajin-rajin belajar.” Nyonya muda yang murah hati itu
mengelus-elus kepala Cin Hai yang gundul plontos.
“Itulah
sukarnya, ie-ie, terus terang saja, aku lebih suka belajar silat dan meniup
suling.”
“Anak
tolol...”
Cin Hai
mengangkat telunjuk ke atas. “Nah, nah, lagi-lagi aku disebut tolol!”
“Sudahlah,
aku lupa. Kau tidak boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus belajar ilmu
surat agar kelak menjadi seorang pandai yang memegang jabatan penting dan
menjadi seorang pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku kelak kalau
kau bisa menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di sini suara
nyonya muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia terisak.
Cin Hai
memegang tangan bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku akan belajar
ilmu membaca dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku teringat bahwa
sulingku telah lenyap, maka aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan sebelah
utara kota ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat dibuat
suling. Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”
“Baru saja
datang mau pergi lagi! Bagaimana kalau le-thio-mu sewaktu-waktu bertanya
tentang kau?”
“Apa bila
le-thio (Paman, suami Bibi) bertanya beri tahukan saja, ie-ie, dan lagi, untuk
apa le-thio menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”
“Kau suka
benar akan suling, Cin Hai?” tanya ie-ie-nya.
“Ie-ie,
suling adalah satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak menyatakan segala
perasaan hatiku, aku nyatakan kepada seorang kawan baikku, sedangkan aku
tidak... ya, kecuali kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi selain suling
bambu yang dapat kutiup sesuka hatiku...”
Nyonya muda
itu menghela napas dan menggunakan sapu tangan untuk menahan air matanya.
“Pergilah, Cin Hai. Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.”
Cin Hai
dengan girang hati lalu berlari-lari keluar.
“Engko Hai.
Kau mau ke mana?” mendadak terdengar suara halus menegur dari sebelah kiri dan
seorang anak perempuan muncul dengan rambutnya yang dikuncir bergantungan di
kanan-kiri lehernya.
“Ehh, Lin
Lin! Sampai kaget aku. Kau tahu, sesudah bertemu dengan para siluman dan setan
itu, aku menjadi mudah kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”
Anak
perempuan itu mencibirkan mulutnya yang kecil manis, tetapi matanya yang lebar
terbelalak, tanda bahwa ia tertarik sekali. “Apa? Kau tadi melihat siluman? Di
mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu sekali.
“Ahh, nanti
saja lain kali kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”
“Engko Hai,
kau mau ke manakah?”
“Mau ke
hutan di sebelah utara itu mencari bambu.”
“Aneh benar,
itu di belakang kan banyak bambu, mengapa mesti mencari jauh-jauh?”
“Ahh, kau
tahu apa? Bambu yang kucari ini adalah bambu untuk suling.”
“Engko Hai,
aku ikut! Nanti di jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”
“Jangan!”
“Aku mau!
Aku tidak minta kau gendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak perempuan itu
berkeras.
Oleh karena
tak dapat menolak lagi, dengan muka ‘apa boleh buat’ Cin Hai lalu bertindak
keluar, diikuti oleh Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan topi milik
kakeknya dan memakainya sehingga dari belakang dan dari jauh dia kelihatan
seperti seorang laki-laki. Memang anak-anak dari Kwee-ciangkun sangat dimanja
dan bebas sehingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani
mencegah.
Kedua anak
itu berjalan dengan tindakan yang pendek-pendek tapi cepat menuju ke jalan yang
kecil. Jalan itu mengarah ke utara, menuju luar kota di mana terdapat sebuah
hutan yang cukup besar.
Di sepanjang
jalan Cin Hai kemudian bercerita tentang pengalamannya siang tadi, dan ia
menambahkan betapa dengan suara sulingnya ia dapat mengusir semua ular siluman!
Ia menambah-nambahi ceritanya dan menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan
hingga Lin Lin memandang padanya dengan matanya yang bagus itu setengah percaya
dan kagum!
Memang di
antara anak-anak Kwee-ciangkun, yang tidak membenci pada Cin Hai hanya Lin Lin
seorang. Ini pun bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena kalau mereka
berdua dekat, sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau sendiri, tapi
tidak sampai saling pukul atau saling membenci.
Sejak kecil
Lin Lin memang telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta memiliki
perangai yang halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu
silat sehingga pada saat itu biar pun usianya belum lebih dari lima tahun, ia
telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat.
“Engko Hai,
itu yang kita tuju sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke sana!”
Cin Hai
memandang Lin Lin dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga, “Boleh, hayo
kita mulai. Satu… dua... ti... ga!”
Dan larilah
ia secepatnya untuk mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin sejauh
mungkin supaya ia dapat sampai di hutan lebih dahulu dan menanti anak perempuan
itu sambil mentertawakannya!
Pada waktu
ia menengok, tidak tahunya ternyata Lin Lin telah lari di sebelahnya, bahkan
perlahan-lahan tapi tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat ia heran adalah
kedua kaki Lin Lin tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar dan tinggi!
Kini Lin Lin
sudah mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok sambil tersenyum manis tapi
yang menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya senyum itu mengejeknya! Ia
merapatkan gigi dan mempercepat larinya hingga benar-benar saja ia bisa
menyusul lagi dan mereka lari berendeng.
Akan tetapi,
tidak seperti kelihatannya, hutan yang di depan itu ternyata bukanlah dekat,
jauhnya tak kurang dari setengah li hingga ketika mereka tiba di hutan dengan
berbareng, Cin Hai membuka mulutnya dan dadanya turun naik karena ia
terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya
mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja!
Tentu saja
hal ini tidak mengherankan, karena anak perempuan itu semenjak kecil sudah
dilatih oleh Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas
oleh ayahnya sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari sekuatnya dan mempergunakan
tenaganya tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tak pernah diberi
latihan dasar pelajaran silat.
Walau pun
merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai terhindar dari
rasa malu karena mereka tiba di hutan berbareng.
“Tak
kusangka, Lin Lin, larimu secepat kelinci!” katanya setelah napasnya pulih
kembali.
Lin Lin
tersenyum. “Dan larimu seperti kuda.” Keduanya tertawa.
“Di mana
tempat bambu yang kau maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil memandang ke
sekelilingnya, takut-takut karena hutan itu memang besar dan agak gelap sebab
matahari telah mulai turun.
“Di sebelah
kiri sana, hayo!” Cin Hai mengajak kawannya.
Betul saja,
tidak jauh dari sana terdapat rumpun bambu kuning gading yang bagus dan
kecil-kecil serta lurus batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat bahwa ia
tidak membawa pisau atau senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus mengambil
itu?
Sementara
itu karena berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan makin gelap hingga mereka
menjadi cemas dan menyangka bahwa senja sudah tiba. Cin Hai tidak berpikir
panjang lagi, maju dan memegang batang bambu yang diinginkan lalu mencabut
sekuat tenaganya.
Namun
sia-sia saja karena bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula. Jangankan
tenaga seorang anak-anak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa sekali pun belum
tentu akan dapat mencabut sebatang bambu dari rumpunnya.
Betapa pun
juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba dan
mencoba lagi sampai akhirnya dia berteriak kesakitan karena tangannya penuh
bulu bambu yang gatal!
“Biarkan aku
mencobanya,” kata Lin Lin.
Ia ingat
ketika ayahnya pernah memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih
sinkang. Saat itu ayahnya pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan
menendang sebatang pohon hingga pohon itu jebol berikut akar-akarnya.
Karena
tangannya sudah gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin mencoba. Dia
menyangka bahwa anak perempuan itu tentu akan mencoba untuk mencabut seperti
yang dilakukannya tadi, karena itu ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin
Lin, banyak bulu-bulu gatal!”
Tapi
alangkah herannya ketika Lin Lin tidak mencabut, tetapi memasang kuda-kuda,
lalu berseru keras, “Haihhh…!”
Anak itu
menggunakan kaki kanan menyapu sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang
dan dua helai daunnya rontok, akan tetapi batangnya tidak dapat dijebolkan oleh
tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali anak itu mencoba dengan kedua kakinya,
tapi sia-sia.
Tiba-tiba
terdengar seruan orang memuji, “Bagus betul!”
Lin Lin dan
Cin Hai terkejut dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui, di belakang
mereka telah berdiri seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah buruk
sekali. Kulit muka tokouw itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan pipinya
telah kisut berkerut-kerut dan matanya sebelah kanan buta. Tokouw itu
pakaiannya panjang dan longgar berwarna putih dan pada tangan kanannya terdapat
sebuah hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di
punggungnya tampak gagang sebilah pedang.
Lin Lin dan
Cin Hai terkejut sekali melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan Lin Lin
merasa agak takut.
“Bagus, anak
yang manis. Siapakah yang telah mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan Menyapu Ribuan
Tiang itu tadi?”
Biar pun
agak takut-takut Lin Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”
“Bagus!
Sekarang kau lihat ini!”
Tokouw itu
menggerakkan hudtim yang dipegangnya sehingga ujung bulu hudtim yang hanya
beberapa lembar itu, yaitu bulu-bulu yang terpanjang, membelit beberapa batang
bambu.
“Naik!”
Tokouw itu berseru dan heran sekali, rumpun bambu dengan kurang lebih lima
belas batang bambu itu dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut
akar-akarnya.
Tokouw itu
kembali mengerakkan hudtim-nya dan rumpun bambu itu terlempar beberapa tombak
jauhnya seperti dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali, lalu roboh ke arah
lain sehingga daun-daunnya tidak menimpa mereka!
Lin Lin
melongo dan terheran-heran, sedangkan Cin Hai tidak dapat ditahan lagi bertepuk
tangan dan berseru, “Bagus! Bagus!”
Ia tidak
saja girang menyaksikan kehebatan tenaga ini, tetapi juga girang karena bambu
yang dikehendaki telah berada di situ, tinggal ambil saja!
“Nah, anak
baik, sekarang kau turutlah padaku dan menjadi muridku!”
“Tidak mau,
aku tidak mau!” Lin Lin berkata sambil melangkah mundur ketakutan.
Tokouw itu
mengedikkan kepalanya sehingga mukanya yang buruk itu nampak semakin
mengerikan. “Dengarlah, anak manis. Ribuan orang akan berlutut dan
memohon-mohon di hadapanku untuk minta menjadi muridku. Tapi kau menolak begitu
saja!”
Lin Lin
sekali lagi memandang muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa rambut
tokouw itu dikuncir panjang dan membelit-belit pada lehernya bagaikan seekor
ular yang menambah keburukan rupanya, anak itu melangkah mundur dan berkata
lagi.
“Tidak, aku
tidak mau...!”
Tapi tokouw
itu tertawa ha-ha hi-hi lalu berkata lagi, “Kau berjodoh dengan aku, betapa pun
juga kau harus menjadi muridku!” dan ia bertindak maju hendak memegang lengan
Lin Lin.
Tetapi pada
saat itu Cin Hai membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih, tidak tahu malu,
orang tidak sudi menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”
Tokouw itu
menggunakan mata kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam, namun mulutnya
tetap tersenyum dan berkata, “Kau boleh juga, tapi tak berjodoh dengan aku.”
Lin Lin yang
merasa ketakutan karena hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan ketika
tokouw itu mendekat serta mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang kecil
lalu memukul tangan itu. Biar pun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia sudah
terlatih baik dan pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik.
Tokouw buruk
rupa itu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik... kau mau
main-main? Boleh coba kau serang terus padaku agar dapat kuketahui sampai di
mana kau telah mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari
pukulan-pukulan Lin Lin.
Tiba-tiba
saja Cin Hai membentak. “Tokouw jahat, kau mengganggu orang saja, apakah itu
baik?”
Ia lalu
menyerang. Tapi karena Cin Hai belum pernah belajar silat dengan baik, tentu
saja pukulannya ngawur dan sekenanya saja!
Melihat
kenekatan Cin Hai, tokouw itu segera menangkap tangan anak itu. Tapi tiba-tiba
tokouw itu meringis dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga
lebih dulu telah menggunakan giginya dan menggigit tangan itu!
Dengan
gerakan perlahan tokouw itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu
merasa tulang-tulang punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil
merintih-rintih. Baiknya tokouw itu hanya ingin melampiaskan kedongkolan
hatinya saja dan tidak membanting sesungguhnya, hingga ia hanya menderita sakit
di luar saja. Tapi dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa,
sambil maju terpincang-pincang ia menyerang lagi!
Untuk kedua
kalinya Cin Hai terbanting ke tanah setelah kena ditowel pundaknya oleh jari
telunjuk tokouw itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang sejak tadi dan selalu
memukul dan menendang angin, telah mulai lelah dan berpeluh.
Kebetulan
sekali pada waktu itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan) lewat di
situ, hendak kembali ke kota dari mengunjungi seorang kenalannya. Ia terkejut
dan heran sekali melihat betapa Lin Lin sedang menyerang seorang tokouw yang
bermuka seperti setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak kesakitan.
“Hai, tahan
dulu!” Tan-kauwsu membentak pertapa wanita itu yang segera menghadapi guru
silat itu. “Kau seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”
Tokouw itu
tersenyum hingga wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak membawa anak
perempuan ini untuk dijadikan murid,” katanya berterus terang.
Tan-kauwsu
terkejut dan bertanya, “Siankouw siapakah?”
“Sicu (Tuan
yang gagah) berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal kepada pinni? Sungguh
aneh! Ketahuilah Pinni she Biauw.”
Tan-kawsu
makin terkejut karena dia teringat akan seorang pertapa wanita yang disebut
Biauw Suthai dan yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan.
“Ahh, jadi
siauwte berhadapan dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”
“Ha, agaknya
namaku terdengar juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu senang.
Tan-kauwsu
tidak berani berkata kasar lagi dan sesudah menjura, dia kemudian berkata,
“Siankouw, tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte
adalah guru yang diserahi tugas oleh ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu
saja siauwte tidak merasa keberatan apa bila Siankouw sudi memungut ia sebagai
murid, akan tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu,
saya persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal
ini.”
“Sicu
seperti tidak tahu saja kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Jika kita
menghendaki sesuatu yang dirasa baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak rewel
dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan rundingan dengan segala ciangkun? Aku
hendak mengambil dia sebagai murid dan habis perkara!”
“Kalau
begitu, terpaksa siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”
“Ha, kau
hendak menghalangi maksudku membawa anak ini?”
“Biarlah
kali ini siauwte melupakan kebodohan sendiri.”
Tokouw yang
buruk rupa itu tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh ejekan. Melihat
sikap pendeta perempuan itu Tan-kauwsu segera mencabut pedangnya. Suara ketawa
Biauw Suthai terdengar makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan
Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan di tangannya menyambar ke arah guru
silat itu!
Tan-kauwsu
maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak berani
berlaku sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat membalas serangan,
ternyata ujung kebutan tokouw itu telah menyambar kembali, bahkan sudah
mengirim serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu mengarah
jalan darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali.
Tan-kauwsu
cepat menggunakan pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, namun tiba-tiba
hudtim itu bagai bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan sekali tokouw
itu menggerakkan tangannya, pedangnya sudah terampas tanpa dia dapat bertahan
pula! Dan pada saat itu juga, kembali ujung hudtim telah menyambar pundaknya.
Tan-kauwsu
merasa betapa tubuhnya menjadi kesemutan akibat urat darahnya tersentuh
sehingga tidak ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak bertenaga. Ketika ia
merayap bangun lagi, ternyata tokouw itu telah lenyap, begitu pun Lin Lin telah
hilang pula!
Walau pun
merasa benci kepada tokouw berwajah buruk itu, tetapi melihat betapa dalam
beberapa gebrakan saja guru silat Tan Hok itu jatuh bangun dan pedangnya
terampas, Cin Hai merasa puas sekali. Ia memang sangat benci terhadap guru
silat ini yang tidak pernah mengajar silat padanya, sebaliknya malah sering
kali memukul dan mengadunya dengan Kwee Tiong sehingga ia sering dipukul sampai
matang biru.
Maka, untuk
menyatakan kepuasan hatinya, dia tersenyum-senyum dan berkata kepada
Tan-kauwsu.
“Tan-suhu,
sakitkah engkau? Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”
Mendengar
kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa semakin gemas dan mendongkol sekali. Segala
perasaan ini dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi kemarahan besar
yang kini seluruhnya ditujukan kepada Cin Hai.
“Anak setan!
Engkau sedang berbuat apa di sini dan mengapa kau ajak Nona Lin Lin? Tahukah
kau bahwa kali ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali? Nona Lin Lin
diculik orang, dan tahukah engkau apa artinya ini? Batok kepalamu pasti akan
diketok sampai pecah oleh Kwee-ciangkun!”
“Bukan aku
yang membawa Lin Lin, akan tetapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut. Aku
hendak mencari bambu ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah
itu?”
“Anak tolol,
kalau bukan salahmu, lalu siapa lagi?”
“Tan-suhu,
aku sih bukan lawan tokouw siluman itu. Tetapi engkau adalah guru silat yang
katanya mempunyai kepandaian tinggi, kenapa kau biarkan saja Lin Lin diculik
olehnya? Mengapa baru satu gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”
Baru saja
bicara sampai di sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang gundul itu
ditempeleng hingga Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa
berputaran. Ia terhuyung-huyung dan sebuah tendangan membuat ia terlempar dan
tertelungkup di atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya,
sebuah batu menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.
Anak ini
marah sekali di dalam hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan segala rasa sakit
pada tubuhnya. Ia cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak sedangkan
sepasang matanya memandang tajam, sedikit pun tidak takut dan jeri.
“Nah, kau
baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” Tan Hok berkata sambil
uring-uringan.
“Tan-suhu
memang beraninya hanya terhadap anak kecil yang tidak berdaya. Alangkah baiknya
kalau kegagahanmu ini kau perlihatkan pada saat menghadapi Biauw Suthai tadi,
sehingga Lin Lin tidak sampai terculik.”
“Bangsat
kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru silat itu lalu melangkah maju dengan sikap
mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.
“Boleh,
boleh! Pukullah aku sampai mati. Sayang, Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”
Teringatlah
Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari
Kwee-hujin maka ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas untuk
menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil
membentak, “Hayo kita pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah
membela Nona Lin Lin dengan mati-matian. Kau harus terangkan duduknya perkara
yang sebetulnya di hadapan Kwee-ciangkun!”
Cin Hai tak
menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan
ia menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari cepat!
Alangkah
terkejut dan marahnya Kwee In Liang ketika dia mendengar laporan Tan Hok.
Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata, “Hamba sudah
melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tapi ternyata Biauw Suthai
sangat lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak
berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin sudah dibawa pergi cepat
sekali.”
Karena
sangat marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di hadapannya sambil
membentak kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa kau ajak Lin Lin ke hutan tanpa
memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang sekali!”
Cin Hai
merasa hatinya seperti tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali terhadapnya,
tidak pernah memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu atau
mengajak dia bicara. Sekarang ie-thio-nya membentak dan memakinya, sungguh
menyakitkan hati.
“Ie-thio
(Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah
sekarang aku pergi mencari Adik Lin Lin sampai dapat...”
Hampir saja
Cin Hai mengeluarkan air mata karena hatinya merasa pilu. Dia meraba-raba
kepala gundulnya yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.
Melihat
betapa kepala anak itu merah serta bibirnya pecah-pecah, kemarahan Kwee In
Liang lantas berkurang, “Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”
Sebelum Cin
Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu akan mengadu,
cepat berkata, “Apa bila hamba tidak lekas-lekas datang, tentu kemenakan
Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”
Cin Hai
melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek. “Benar, ie-thio,
sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah
terampas pedangnya dan bahkan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw
siluman itu!”
“Begitu
lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.
“Memang dia
luar biasa lihai, dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku dengan muka
merah karena malu, dan kebenciannya terhadap Cin Hai semakin bertambah.
Karena
kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin yang diberitahu
oleh pelayan akan peristiwa itu segera berlarian keluar dan sambil menangis
tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta sekali
kepada Lin Lin dan telah menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita
ini benar-benar menghancurkan hatinya.
“Cin Hai,
kau... kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke
hutan? Bukankah engkau berpamit padaku, tetapi mengapa engkau tidak menyatakan
hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.
“Ie-ie,
sungguh aku menyesal sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin
Lin, tetapi ketika aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku
mengaku terus terang bahwa aku hendak mencari bambu kuning di hutan dan ia
memaksa hendak ikut.”
Sementara
itu, melihat bahwa nyonya muda itu keluar, Tan Hok segera mengundurkan diri.
Kwee In Liang segera memerintahkan para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu,
dan ia sendiri naik kuda mencari sampai jauh ke dalam hutan.
Biar pun
kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak pernah menceritakan mengenai perlakuan
Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tak suka mengadu dan
segala hal yang menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada sendiri saja.
Ia selalu
ingat akan ujar-ujar yang bermaksud: Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan
kejahatan dengan keadilan! Maka dia menganggap kurang adil apa bila ia membalas
kejahatan Tan-kauwsu dengan mengadukan hal itu kepada ie-ie-nya atau
ie-thio-nya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati, maka
baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak
akan tiba masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu.
Hatinya
telah merupakan sebuah buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan
baik dan buruk yang dijatuhkan orang kepada dirinya, dan yang ia anggap sudah
menjadi kewajibannya untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik
yang jahat mau pun yang baik......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment