Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 02
KETIKA
Ie-thio-nya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu
puluhan pengawal dan anak buahnya, sedangkan bibinya masih menangisi nasib Lin
Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di kebun
belakang sambil asyik menggosok bambu itu, menghilangkan bulu-bulu bambu dan
mencabut daun dan cabang-cabangnya. Tiba-tiba terdengar suara anak-anak
memasuki kebun itu.
“Nah, itu
dia Si Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata.
Yang masuk
adalah lima orang anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini
tampan wajahnya dan indah-indah pakaiannya. Yang sulung bernama Kwee Tiong
berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga
Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima
ialah Kwee An berusia enam tahun.
Di antara
mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain
Kwee An memiliki perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi
lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul atau memaki
Cin Hai.
Kini
mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin
Hai ke hutan, maka marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih akibat
kehilangan adiknya, juga merasa marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin
Hai duduk seorang diri membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera
menangkapnya!
Kwee Tiong
lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin
Hai di situ dengan tali tadi. Cin Hai tidak dapat melawan sebab dia sudah lelah
sekali, malah tubuhnya masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan
terutama bekas tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima
anak-anak itu, sama sekali dia tidak melawan, walau pun andai kata dia melawan
juga tak akan berguna.
“Bangsat,
mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara atas lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong
membentak.
“Bukan,
bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandang mata Kwee Tiong dengan
berani.
“Kepala
anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.
“Bukan aku!”
Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.
Lima saudara
yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai
yang gundul, tetapi meski pun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini
tetap berteriak-teriak, “Bukan aku... bukan aku!”
Melihat
betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya semakin parau dan
lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.
“Koko
sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala hal kita
harus berlaku gagah berani. Sekarang kita mengikat Cin Hai dan memukulinya
tanpa dia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah
berani seperti yang sudah dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat
perbuatan kita ini tentu kita akan mendapat marah.”
“Ehh,
pengecut, apa kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah kepada
adiknya.
“Dia bukan
pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru mukanya dan
lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini mempunyai kegagahan
lebih besar dari pada kalian berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil
saja mesti melakukan pengeroyokan secara pengecut.”
“Plokk!”
Tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah
bengkak karena jatuh terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula
dan mengeluarkan darah baru.
“Twako,
kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah secara jujur.
Lepaskan dia lebih dahulu dan berkelahilah dengan adil!” Kwee An berkata marah
melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan Cin
Hai.
“Baik, baik!
Kau bukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong
gembira.
Cin Hai merasa
seluruh tubuhnya lemas dan tidak bertenaga, maka biar pun dia sudah dilepaskan
dari ikatan, tetap saja dia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh
tegap dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki kepandaian silat yang
sudah cukup lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang kepalan dan
tendangan kakinya.
Berkali-kali
Cin Hai dipukul jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak merayap
bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya sehingga ia
kembali tersungkur lagi.
“Nah,
rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang menjadi
gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang! Rasakan ini!”
Sambil
menunggangi tubuh Cin Hai pada punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada
seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai
lalu meramkan mata dan mempergunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia
tidak dapat memukul, tetapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap.
Karena
kebingungan dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin
Hai menjadi nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang
tadinya tertelungkup itu sehingga menjadi miring. Tangan kanannya lantas
menyerang ke depan dan mencengkeram, dan seketika itu juga terdengar Kwee Tiong
memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram anggota
rahasia Kwee Tiong.
Mendengar
jeritan ini barulah Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah
senang hatinya mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya
untuk sekali remas membikin hancur anggota tubuh yang dicengkeramnya itu supaya
anak jahat yang selama ini cukup banyak menghina dan cukup sering menyiksanya
itu mampus seketika itu juga.
Tetapi entah
kenapa, di dalam pikirannya yang telah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar
nabi yang dipelajarinya. Betapa pun hebat Kwee Tiong menyiksanya dan
menghinanya, akan tetapi anak itu tidak sampai membunuhnya, apa bila sekarang
ia membalas dengan membunuh, itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang
ia lupa lagi bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh
membunuh sesamanya hanya untuk sekedar melampiaskan kemarahan dan memuaskan
perasaan. Teringat akan semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.
Tadinya Kwee
Tiong sudah sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia telah mengeluarkan
kata-kata, “Cin Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...”
Tetapi
ucapan ini agaknya tak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman
Cin Hai mengendur, kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang
segera merenggut tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.
“Bangsat!
Anjing! Pengecut hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong memaki-maki sambil
menggunakan kedua kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai.
Namun anak
gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.
“Tahan,
Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat berlutut.
“Hahh?!
Mati...?!”
Kwee Tiong
terkejut sekali dan seketika itu juga wajahnya berubah pucat. Juga semua
adiknya yang tadi turut memaki-maki menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai
mereka berlutut untuk melihat dan memeriksa tubuh Cin Hai. Sebetulnya Cin Hai
hanya pingsan saja, namun karena banyak mengeluarkan darah dan perutnya kosong,
maka mukanya nampak pucat sekali seperti mayat.
Pada saat
itu terdengar teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena yang
datang bukan lain adalah Loan Nio, bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan
Nio menyangka bahwa kemenakannya itu sudah mati, maka dia berteriak kaget. Dua
orang pelayan lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak itu ke dalam
kamar, sedangkan Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.
“An-ji, coba
kau ceritakan, apakah yang sudah terjadi tadi?” Loan Nio atau Kwee-hujin itu
sengaja bertanya kepada Kwee An, oleh karena ia yang telah mengenal perangai
semua anak-anak itu sejak kecil, tahu bahwa hanya Kwee An yang boleh ia
percaya.
“Cin Hai
telah berkelahi dengan Engko Tiong,” Kwee An berkata terus terang, kemudian dia
menceritakan mengenai sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah sekali
karena menganggap bahwa Cin Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin Lin.
Loan Nio
menghela napas, lalu dia berkata dengan suara kereng, “Anak-anak, memang perbuatan
Cin Hai mengajak Lin Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan tidak baik.
Seharusnya ia memberi tahu dulu kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin Hai sudah
cukup terhukum apa lagi jika diingat bahwa dia biar pun kecil juga telah
membela Lin Lin hingga terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya bisa
memaafkannya. Pula peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu,
sekarang kalian tambahi kepusingan orang-orang tua dengan
perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”
Pada saat itu
Kwee In Liang kembali dari pengejarannya kepada penculik itu. Wajahnya muram
dan tampak lelah sekali.
“Bagaimana,
terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.
Kwee-ciangkun
menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas, nampaknya susah sekali.
Kemudian melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang ketakutan.
“Anak-anak
ini sedang bekerja apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar dan belajar?”
Terpaksa
Loan Nio yang tidak pernah membohong segera menceritakan bahwa ia baru saja
menegur mereka karena berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak itu jatuh
pingsan. Muka Kwee In Liang semakin muram mendengar ini, lalu ia membentak
mereka supaya pergi ke kamar masing-masing.
Melihat
kemarahan serta kesedihan suaminya ini, dengan manis budi Loan Nio mencoba
menghiburnya. Tapi ayah yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan berkali-kali menghela napas.
“Tadi aku
mendengar bahwa Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang wanita gagah
dan tokoh yang ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak mempunyai
maksud buruk. Barang kali dia memang benar-benar senang kepada Lin Lin dan
hanya bermaksud untuk menurunkan ilmu silatnya dan segala kepandaiannya pada
anak kita.” Kwee hujin menghibur.
Sesudah
berulang-ulang kali menghela napas, Kwee In Liang hanya menjawab perlahan,
“Mudah-mudahan begitu. Karena apa bila siluman wanita itu sampai berani mengganggu
selembar rambut saja dari anakku, maka dia harus mengganti dengan selembar
jiwanya!”
Dan panglima
gagah ini mengertak-ngertak gigi serta mengepal-ngepal tinju tangannya,
sedangkan kedua matanya mengeluarkan sinar mengancam. Isterinya lalu menghiburnya
lagi dan mengajak suaminya yang sedang bersedih itu masuk ke dalam gedung
karena di luar sudah mulai gelap.
Malam itu
keadaan di gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar
suara anak-anak menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang
mengeluarkan suara keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi
tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.
Cin Hai
sendiri berbaring terlentang dengan mata terbelalak memandang ke langit-langit
kamar dan pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa sakit, namun
hatinya telah terhibur sebab tadi bibinya datang dan menghiburnya, serta
memerintahkan pelayan untuk menyediakan makan. Bahkan dengan kedua tangannya
sendiri bibi yang baik hati itu membaluri seluruh tubuhnya yang bengkak-bengkak
dan matang biru dengan minyak gosok.
Ketika tadi
bibinya menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa terharu dan
diam-diam air matanya mengalir di kedua pipinya. “Ie-ie, sebenarnya di manakah
kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.
Tangan
bibinya yang menggosok-gosok punggungnya itu mendadak menggigil dan untuk
sesaat berhenti menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa
berkali-kali kau tanyakan hal ini? Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa
kedua orang tuamu telah kembali ke alam baka?”
“Tetapi di
manakah makam mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam kedua orang
tuaku.”
”Aku tidak
tahu, Cin Hai.”
“Mengapa kau
tidak tahu ie-ie, bukankah kau adik mendiang ibuku?”
“Sudah
berapa kali kukatakan bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah, jangan kau terus
mendesak. Kau harus mengaso dan aku akan kembali ke kamar, ie-thio-mu masih
sangat bersedih.”
Nyonya muda
itu mengelus-elus kepala kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi
sebelum melangkah ke luar pintu, Cin Hai menegur, “Ie-ie yang baik!”
Nyonya muda
itu berhenti lalu menengok, dan Cin Hai sempat melihat betapa ie-ie-nya telah
mengalirkan air mata!
“Setidak-tidaknya
beritahukan padaku siapa nama dan she Ayahku!”
“Kau she
Kwee juga, bukankah sudah pernah kuberitahukan padamu?”
“She...
Kwee...? Ahh, tak mungkin... ahh, kenapa kau membohongi, Ie-ie yang baik? Aku
bukan she Kwee...”
Tetapi
Ie-ie-nya sudah melangkah keluar dari pintu dan Cin Hai mendengar suara sandal
bibinya itu makin menjauhi kamarnya.
Demikianlah,
setelah bibinya pergi, sampai jauh malam Cin Hai masih tak bisa meramkan
matanya. Bibinya telah membohong padanya ketika menerangkan bahwa dia she Kwee!
Juga bibinya telah membohong ketika bilang bahwa dia tidak mengetahui makam
kedua orang tuanya.
Ia dapat
merasakan kebohongan itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara tentang hal
kedua orang tuanya, selalu nyonya muda itu mendadak menjadi sedih dan gelisah,
dan jawabannya selalu ragu-ragu. Aku harus mencari kedua orang tuaku, dan aku
harus tahu siapa sebenarnya diriku ini.
Cin Hai lalu
turun dari pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya dan mendesak
keterangan dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan sepatu agar
tindakan kakinya tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau membangunkan
orang lain dari tidurnya. Ketika sudah tiba di dekat kamar bibinya, tiba-tiba
ia mendengar suara bibinya terisak menangis, kemudian suara pamannya yang besar
itu seakan-akan sedang memarahi bibinya.
Cin Hai
bergerak hati-hati sekali ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam
belum dipadamkan. Ia mendekati jendela dan mengintai. Ternyata bibinya sedang
duduk di pembaringan sambil menutup mukanya dengan selampai, menahan tangis.
Pamannya berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu.
“Ayahnya
yang berdosa, dan Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus dosa itu dan
semua dihukum penggal leher. Sekarang janganlah kau ikut-ikutkan pula anaknya
yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya muda itu berkata sambil menangis.
“Kau kira
aku manusia berhati sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku mengijinkan anak
pemberontak itu berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun? Pemberontak she Sie
yang menjadi iparmu itu sudah dihukum mati berikut semua keluarganya, dan aku
sama sekali tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”
“Tiada
sangkut-paut, hanya engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata Loan Nio.
“Apa
salahnya? Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she Sie itu
yang tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, biar pun andai kata adikku
sendiri yang menjadi pemberontak, tentu aku akan menangkapnya. Inilah jiwa
seorang gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan pakaian yang
tiap hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya
boleh menerima hasil saja tanpa harus memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang
ingin dia dihukum, tetapi ini perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan
pribadi jangan dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu marah betul karena terdorong
kesedihan hatinya kehilangan Lin Lin.
Hening
sejenak kecuali isak Loan Nio dan helaan napas Kwee In Liang, kemudian baru
terdengar lagi nyonya muda itu berkata agak sabar, “Aku tahu semua itu, dan aku
tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini, Cin Hai yang malang... kau
berlakulah murah hati sekali.”
“Istriku,
betapa pun juga kau pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih sayang Cin Hai
dari pada suamimu? Aku benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan dia dengan
orang tuanya. Akan tetapi, semenjak Lin Lin hilang....,” sampai di sini
suaranya sember dan sedih, “...aku tak tahan melihat muka Cin Hai lagi. Betapa
pun juga, Lin Lin diculik orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini
tidak akan pernah hilang dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka
tidak baik kiranya apa bila anak itu berada di depan mataku. Tidak baik
untuknya dan tidak baik untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini, titipkanlah
kepada keluarga lain...”
Semenjak
tadi, di luar Jendela Cin Hai mendengar dengan air mata turun bagaikan hujan
membasahi kedua pipinya. Orang tuanya, juga semua keluarganya, mendapat hukuman
penggal kepala! Alangkah hebatnya!
Ayahnya yang
she Sie itu disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah pemberontak itu?
Perasaannya yang terasa perih itu semakin hancur mendengar betapa bibinya
sampai bertengkar dengan Ie-thio-nya karena dia! Pula, hatinya sakit sekali
mendengar betapa ie-thio-nya kini membencinya karena hilangnya Lin Lin dan
ie-thio-nya sudah mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!
Cin Hai
menggigit bibirnya yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan angkuh di
dalam kepalanya yang gundul. Orang tidak menghendaki dia di situ, untuk apa
menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu minta-minta ampun dan mohon agar
diperkenankan tinggal terus di situ. Dia harus pergi karena dia bukan keluarga
Kwee! Hanya ie-ie-nyalah yang selama ini menahan ia berada di tempat itu,
karena itu ia amat mencinta ie-ie-nya yang berbudi baik itu.
Dengan
pikiran kacau balau Cin Hai lalu pergi dari situ. Dengan hati-hati sekali ia
hendak keluar dan minggat dari gedung keluarga Kwee. Dia benci sekali kepada
Kwee In Liang, sebab dari mulut pamannya itu sendiri dia tadi mendengar bahwa
yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu sendiri.
Ia memasuki
kamarnya dan mengambil semua pakaiannya, lalu dibuntal. Tetapi tiba-tiba ia
teringat akan kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian yang
dipakai itu adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian
kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi seluruh
keluarga Sie.
Tiba-tiba
timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua pakaiannya dan dilemparkannya buntalan
itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Dia tak akan membawa pakaian pemberian
pamannya.
Lalu dia
teringat akan pakaiannya sendiri. Yang dipakainya ini pun pakaian pemberian
bibinya yang berarti pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah
ia lalu menanggalkan semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari
keluar.
Tetapi dari
mana ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci.
Cin Hai yang gundul dan telanjang itu lalu lari ke belakang dan memasuki kebun.
Angin malam yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi
dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun.
Memang ia
telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah
saja ia dapat memanjat dinding mempergunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan
yang terdapat di beberapa bagian dinding.
“He, bangsat
kecil, kau hendak berbuat apa lagi?!”
Itu adalah
suara Tan-kauwsu! Cin Hai terkejut sekali dan dia memegang sulingnya erat-erat
di tangan kanan. Memang, anak gundul itu tidak membawa bekal apa-apa bahkan
pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan sendiri itu tak akan ia
lupakan.
Ketika
Tan-kauwsu sudah datang dekat dan melihat betapa Cin Hai dengan bertelanjang
bulat berada di atas dinding, ia merasa heran sekali dan untuk beberapa lama ia
berdiri bengong memandang. Sudah gilakah anak ini? Demikian ia berpikir, dan
kemudian timbul maksudnya hendak menangkap lalu menyerahkan anak ini kepada
Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar anak itu dan juga bibinya merasa
malu!
“Bangsat
tolol, turun kau!” bentaknya.
Tetapi dalam
takut dan bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Dia meloncat ke
sebelah luar dan untung sekali dia jatuh ke dalam semak-semak hingga kakinya
tidak patah-patah, hanya tubuhnya yang telanjang itu saja lecet-lecet. Ia
segera berdiri dan lari secepat mungkin di dalam kegelapan malam.
Tan Hok,
guru silat yang membenci Cin Hai itu menjadi penasaran dan marah. Sekali loncat
saja ia sudah berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia
tak melihat Cin Hai. Ia memanggil-manggil dan memaki-maki.
Tiba-tiba ia
mendengar suara keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak
jauh itu kakinya tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya
terguling! Karena dadanya yang telanjang tertumbuk pada akar, maka tanpa
disengaja ia mengeluh hingga terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini meloncat
turun dari tembok dan mengejar ke arah suara itu sambil memaki,
“Anak totol,
apakah kau sudah gila?”
Cin Hai
makin takut dan dia berdiri lagi, lalu memaksa kakinya yang terasa sakit karena
jatuh itu untuk berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah malam hingga
keadaan gelap sekali. Namun dari suara kaki Cin Hai yang berlari-lari dapat
juga Tan Hok mengejar ke mana anak itu berlari. Hanya keadaan yang sangat gelap
itu membuat Tan-kauwsu tidak mungkin dapat berlari cepat, takut kalau-kalau dia
akan menabrak pohon atau terjeblos ke dalam tanah berlubang.
Sebaliknya,
Cin Hai yang ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini dan ia lari
sekerasnya. Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya supaya dapat
menghindarkan diri dari tangan guru silat yang jahat dan yang tentunya akan
membawa dia kembali ke tempat yang tak disukainya itu.
Oleh karena
berlari dengan nekad membuta ini, tiba-tiba saja dia terjeblos ke bawah! Cin
Hai terkejut sekali tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau
pengejarnya mendengarnya.
Ketika ia
meraba-raba di sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke dalam tanah
lumpur yang lembek berair. Sesudah berpikir-pikir sejenak dapatlah ia menduga
bahwa ia tentu terjatuh ke dalam kolam lumpur yang biasa dipergunakan oleh para
penggembala kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di situ.
Anehnya, apa
bila tadi dia merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang meniup-niup
tubuhnya, kini sesudah masuk ke dalam lumpur itu, dia merasa hangat! Agaknya
seperti ada hawa yang aneh dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.
Akan tetapi,
rasa girangnya hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar suara makian guru
silat yang masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi gemas sekali. Kalau
saja ia kuasa mengalahkan guru silat itu, pasti ia akan menghajar habis-habisan
padanya! Ia memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari
akal.
Tan Hok si
guru silat merasa mendongkol sekali. Biar pun ia lari tidak cepat, tetapi sudah
dua kali ia menabrak pohon dan tabrakan yang ke dua kali membuat hidungnya
berdarah! Ia tidak menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang itu, akan tetapi
menimpakan semua penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada Cin Hai.
“Anak tolol,
anak binatang rendah, anak haram! Kalau saja kau sampai terpegang olehku, tentu
akan kubeset kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju terus, tetapi
kini dengan kedua tangan di depan agar jangan sampai tertumbuk pada pohon lagi.
Tiba-tiba
saja dia mendengar suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia mendengar jelas
betapa napas anak itu terengah-engah dan beberapa kali pula mengaduh-aduh.
Girang hatinya mendengar ini.
“Bangsat
kecil, kau hendak lari ke mana sekarang?!” bentaknya.
Dia
mempercepat larinya, karena dia pun mendengar suara kaki anak itu berlari
semakin cepat. Dia maju dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa
tindak tiba-tiba dia menjerit dan terdengar betapa tubuhnya yang besar itu
jatuh terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya dia jatuh telungkup hingga
mukannya penuh tertutup lumpur.
“Ha-ha-ha!
Alangkah lucunya!” terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat itu.
Ternyata
tadi anak itu mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri di seberang
kolam lumpur, lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan suara napas
terengah-engah.
Tubuh
Tan-kauwsu telungkup di dalam lumpur bagai seekor kerbau besar! Setelah puas
memaki-maki dan mengejek serta mentertawakan Tan Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi
ke depan dengan cepat. Kini malam telah hampir terganti fajar hingga
samar-samar mata dapat menembus kegelapan yang dari warna gelap hitam menjadi
abu-abu.
Sudah tentu
rasa marah Tan Hok meluap. Untuk beberapa lama dia tak berdaya karena selain
merasa pengap akibat lubang hidungnya tertutup lumpur, juga dia merasa bingung
bagaimana harus membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya!
Akhirnya ia
dapat juga ke luar dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan bajunya yang
masih bersih, yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan
lumpur dari hidung, mulut dan matanya. Walau pun mata kirinya masih terasa
pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan dia dapat memandang ke depan.
Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia
segera lari mengejar.
Fajar telah
menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai
di depan. Guru silat ini mengeluarkan seruan girang, karena sebentar lagi dia
pasti akan bisa memuaskan hati membalas dendam kepada setan cilik itu! Ia lalu
memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara dia dan Cin Hai yang berlari
sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!
“Bocah
tolol! Sekarang kau hendak lari ke mana? Bersiaplah untuk mampus di tanganku!”
teriak Tan Hok dengan girang sekali dan dia sudah siap-siap mengulurkan tangan
untuk menangkap.
Cin Hai yang
sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia
sudah mengambil keputusan tetap bahwa bila mana ia tertangkap, sebelum mati ia
hendak melawan dahulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya
untuk melawan. Ia ingat akan bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata bahwa
lebih baik mati sebagai harimau dari pada mati sebagai babi!
Tetapi pada
saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat
sekali di belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di
depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk di atas
lengan seorang tua yang pendek.
Cin Hai
menjadi terkejut, heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua
pendek di depannya dan bagaimana maka dia tahu-tahu sudah melayang ke atas
lantas duduk di atas lengan kanan orang tua yang bertubuh pendek itu, yang
mulutnya selalu menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula. Maka
teringatlah dia bahwa orang ini bukan lain adalah seorang di antara tiga orang
yang belum lama ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan
Kelenteng Ban-hok-tong!
Sementara
itu, ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan
berdiri di depannya, Tan Hok menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang
bukan lain adalah Giok Keng Cu, yakni orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin
(Tiga Orang Tua dari Kanglam), tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan
Hok.
Ia tidak
mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang
telah mulai mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh
dengan lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang sambil
menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.
Ketika
melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai
seorang pendeta, Tan-kauwsu menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja berada di
situ. Maka ia lalu membentak keras karena hatinya masih panas penuh kemarahan,
“Totiang,
kau berikan anak tolol itu kepadaku!”
Mendengar
kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya. “Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah
anak ini?”
“Siapa sudi
menjadi ayah anak haram ini? Dia ini... adalah bujang dari keluarga Kwee yang
melarikan diri dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!”
“Sabar dulu,
Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak ini sampai
bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan kenapa pula kau juga agaknya mandi
lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur.”
Tiba-tiba
saja Cin Hai tertawa geli. Dia menganggap tosu ini lucu dan dia merasa senang
mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Dia pun maklum bahwa tosu pendek ini
lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.
“Totiang,
kau seharusnya menonton pada waktu kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam
lumpur! Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang, dia mengejarku dari malam tadi
dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya.”
“Bangsat
kecil!”
Tan Hok
meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu
itu, tetapi dengan sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar
ke atas hingga terhindar dari serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu
turun, diterima lagi dengan lengannya!
“Sabar dulu,
Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba kau
ceritakan kepadaku hal yang sesungguhnya telah terjadi.”
Diam-diam
tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran kenapa
bocah kecil yang membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan di seluruh
tubuhnya penuh dengan lumpur.
Dengan
singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung keluarga
Kwee karena ia dibenci. Ia sama sekali tak mau menceritakan tentang sebab-sebab
yang sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan pula bahwa dia sengaja
meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong pun barang dari
gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan ia
lalu dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.
“Betul
demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.
“Sudahlah,
kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan
keluarga Kwee-ciangkun dan aku adalah guru silat di gedung itu. Janganlah kau
mencari penyakit!” Tan Hok membentak marah.
Giok Keng Cu
berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya, kemudian bertanya
sambil tertawa, “Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?”
“Bukan
sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu aku akan dibunuhnya!” jawab Cin
Hai terus terang.
“Apakah kau
berani melawannya kalau diberi kesempatan?”
“Kalau aku
mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar
kepalanya sampai benjut!”
“Anjing
kecil, kau turunlah!” Tan Hok menantang.
“Nah, kalau
kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!” kata Giok Keng Cu
sambil tertawa.
Cin Hai
belum mengerti benar maksud tosu itu. Tetapi ia yakin bahwa tosu ini bermaksud
membantunya, maka dia lalu mengangguk-angguk dan berkata, “Baik, baik, akan
kupukul kepalanya sampai benjol dan benjut.”
“Pukullah!”
Giok Keng Cu berkata sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat
Tan Hok dan benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru
silat itu.
Mana Tan Hok
mandah saja dirinya dipukul. Dia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan
kanannya memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul lantas
menjatuhkan anak itu dari atas lengan Si tosu. Akan tetapi Giok Keng Cu
menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke lengan kiri!
“Guru silat,
kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!” Giok
Keng Cu mengejek.
Tan Hok
marah sekali dan ia lalu menyerang. Tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan
tosu itu dan dengan cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak
itu lalu balas menghantam!
Tan Hok
dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu Cin-jip
Houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau), sebuah serangan yang sangat hebat karena
dilakukan dengan kedua tangan. Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan
ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang pecah!
Tetapi
dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan
lengannya dengan cepat sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa badannya terlempar ke
atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat anak itu menggunakan kakinya menyepak
ke arah kepala itu! Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi marah sekali dan
menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu,
namun tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin
Hai dan dibawa turun lagi.
Demikianlah,
dengan gerakan-gerakan aneh serta cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa
oleh lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai
yang kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu sekerasnya,
tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena anggota tubuh
guru silat yang terlatih itu keras dan kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah
tak terlatih.
“Totiang,
tanganku sakit…,” Cin Hai berbisik.
“Anak tolol,
kau pukul daun telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.
Benar saja,
semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok
hingga guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan
daun telinganya pedas dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi.
Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya tidak dapat
dilatih dan terasa sekali hingga biar pun pukulan seorang anak kecil juga
mendatangkan rasa sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam
telinganya!
Cin Hai
merasa girang sekali karena ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Kini
dia tidak hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram, menusuk lubang telinga
dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap
dan isi kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!
Tan Hok
sudah mendapat hajaran hebat. Ketika guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng
Cu sengaja menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak, “Masih belum
cukupkah?”
Tangkisan
itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari
ujung jari sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan sakit sekali,
hingga sambil meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata, “Aku sudah menerima
pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah Totiang ini dan apa pula
hubungannya dengan anak tolol ini sehingga Totiang membantunya serta tanpa
segan-segan memberi pukulan kepada siauwte.”
Pada saat
itu matahari telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang
gundul pelontos tampak nyata. Pada saat mendengar ucapan guru silat itu, Giok
Keng Cu lalu memandang muka anak kecil yang ditolongnya.
“Ehh, kau?”
tanyanya.
Cin Hai
tersenyum mengangguk sambil berkata, “Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua
Totiang yang lain?” tanyanya.
Giok Keng Cu
lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan daun-daun
pohon.
“Dengarlah,
guru silat buruk adat! Kau sedang berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau
nama ini tidak kau kenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang
termuda dari Kanglam Sam-lojin. Ada pun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin
(penolong) kami!”
Bukan main
kagetnya Tan Hok mendengar bahwa dia berhadapan dengan seorang dari pada
Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah menggemparkan dunia
kang-ouw dengan kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika
dia mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap sebagai in-jin
mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura dalam-dalam sambil
berkata,
“Maafkan
siauwte yang tak bisa mengenali Gunung Thai-san menghalang di depan mata (Orang
Gagah berdiri di depan mata) bahkan berani berlancang tangan. Biarlah siauwte
memberi laporan kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol...,” dia menahan
makiannya, lalu melanjutkan, “…anak ini telah ikut dengan Locianpwe.”
Tetapi Giok
Keng Cu yang kegirangan dapat bertemu lagi dengan ‘tuan penolong’ itu, tak
mempedulikan lagi guru silat itu dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari
pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama.
Berulang-ulang
kali Tan Hok menghela napas dan hatinya penasaran, malu dan gemas.
Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan
Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam
tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba
saja berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai! Semua ini
gara-gara Cin Hai si setan kecil.
Kemudian
guru silat ini pergi ke gedung Kwee-ciangkun untuk memberi laporan bahwa Cin
Hai pergi bersama seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia
tentu saja tak mau menceritakan pengalamannya memalukan itu, hanya bercerita bahwa
orang tua yang membawa Cin Hai itu agak miring otaknya, ada pun Cin Hai sendiri
ketika ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.
Kwee In
Liang tidak terlalu memperdulikan peristiwa ini, akan tetapi Loan Nio lalu lari
ke kamarnya dan setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu
pergi tanpa membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, dia langsung
menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali.
***************
Giok Keng Cu
berlari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuh Cin Hai yang segera
menutup mata karena angin kencang menderu-deru di kedua telinganya. Akhirnya
tosu ini membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari
situ.
Baru saja
tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam. “Twa-suheng (Kakak
Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan
lihat siapa yang kubawa ini!”
Baru saja
ucapan itu habis dikatakan, dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan
orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus dan Giok Yang Cu si tinggi besar
yang brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur
itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka cepat ia
berkata girang.
“In-kongcu
(tuan penolong muda)!”
Cin Hai
segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu
dengan muka bodoh. “Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku
penolong? Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan kenyataan?
Sebetulnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut penolong,
bagaimanakah ini?”
Ketiga tosu
ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.
“Kau tidak
tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di
depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh kelima
ularnya yang berbahaya dan lihai sekali. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau
penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu,
tentu sekarang Kanglam Sam-lojin sudah tidak ada lagi! Kepada Hai Kong si
hwesio itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”
Barulah Cin
Hai mengerti kenapa ia disebut sebagai tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa
dan berkata, “Sungguh aku gembira sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang,
tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar
suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit lantas
kugunakan sulingku untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu sudah dapat
menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku, melainkan
seharusnya kepada suling ini!” Dia lalu mengangkat dan mengacung-acungkan
suling barunya.
“Anak baik,
kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu
tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,
“Tun Hek Ki
Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”
Syair ini
bukan sembarangan syair, tetapi merupakan syair dari kitab To-tek-keng yang
merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabinya para penganut agama
To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,
Berlakulah
sopan jujur seperti balok.
Berwataklah
sunyi agung seperti jurang dalam.
Dan
bersikaplah seperti air keruh!
Cin Hai
semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab
Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno
lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, dia hanya hafal seperti burung beo
saja, dapat mengucapkan tanpa mengerti isi dan maksudnya.
Jangankan
baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa pun tak akan
mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biar pun singkat jika
dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin mendalam. Oleh
karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab
ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang
dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab
To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar
sambungan atau lanjutan dari pada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.
“Siok Ling
Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa dapat
bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar
lambat laun memetik buahnya)”
Maka
terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai.
Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sejak muda
sangat tekun mempelajari ujar-ujar nabi Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai
dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu
disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia pun menjadi kagum dan heran.
Diangkatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia
menyebut,
“Siancai,
siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”
Sesudah cukup
memuji-muji Cin Hai, ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya, “Anak baik,
sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan pembesar
she Kwee itu?”
Cin Hai
bermuka sedih ketika menjawab, “Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang
tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin
adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali Ie-ie
tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan untuk pergi
saja!” Juga kepada tiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan
menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah
terjadi baru-baru ini.
“Tidak apa,
tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah
selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai?
Bagaimana kalau kau menjadi murid kami bertiga?”
Girang
sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar
silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu
tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai murid,
tentu saja hal ini menggembirakan sekali.
Kedua
matanya telah bersinar dan mukanya berseri-seri, tetapi tiba-tiba dia teringat
akan janjinya kepada seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhu-nya,
yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura
dan berkata,
“Besar
sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi
Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi.”
“Ehh,
mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran.
Tosu tinggi besar ini adatnya kaku tapi amat jujur. “Apa kau anggap kami
bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”
“Bukan
demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan
seorang saja sudah cukuplah!”
“Siapa?
Siapa suhu-nya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.
Cin Hai
menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Akan tetapi
keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia
mengangkat mukanya dan berkata gagah, “Guruku itu adalah seorang jembel tua
yang tidak memiliki kepandaian apa-apa!”
Di luar
dugaannya, biar pun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba
menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri
seakan-akan ada yang ditakutinya.
“Gurumu
adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua
aneh itu!”' kata Giok Im Cu menyesal.
“Jadi,
Sam-wi Totiang sudah kenal kepada suhu-ku. Di mana dia sekarang?” tanya Cin Hai
dengan girang.
Tetapi
ketiga tosu itu menggeleng-gelengkan kepala menyatakan bahwa mereka pun tak
tahu. Kemudian, karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang
tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.
”Dan
sekarang, bila kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau mengajukan sebuah
permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada
seorang di antara kami sehingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah
untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami.”
“Tetapi
teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan
yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tapi
ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!”
Kembali Giok
Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang sudah paham akan ilmu
batin. Padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan dia
selalu menggunakan ujar-ujar hafalan itu untuk diucapkan pada saat yang tepat
dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!
“Biar pun
kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, tetapi kami akan selalu
merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang
Cu. Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.
“Pertama,”
katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!”
Ketiga tosu
itu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil
kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa sheji (sungkan) lagi
Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa dia tidak berpakaian,
ia menggunakan lengan tangan dan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah
makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.
“Permintaan
teecu yang ke dua adalah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak
malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”
Sekali lagi
tiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu
karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika
ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka.
Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian?
Tapi karena
permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka segera
mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu
itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama
kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian warna putih.
Pada saat
dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana mau pun
jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang
sangat kebesaran, maka tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam
lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu.
Sambil
tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu
longgar. Akhirnya pakaian itu dapat juga dipakai, walau pun potongannya sangat
kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka sehingga terpaksa
dibelit-belitkan pada lengannya!
Betapa pun
juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu
bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah
kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli di mana?
Setelah
merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk
sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,
“Permintaan
teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tak keberatan teecu mohon diijinkan ikut
dan belajar silat dari Sam-wi!”
Sekali ini
ketiga tosu itu tertawa girang. Mereka merasa puas karena ternyata akhirnya
bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.
“Jika
begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata
Giok Keng Cu.
Tetapi
ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala.
Kemudian
anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata, “Sam-wi Totiang,
tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu
hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”
“He?! Mana
bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai
mengangkat muka memandang, “Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu
tak ingin minta balasan dan tak ingin apa-apa? Kenapa Sam-wi Totiang mendesak?
Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal
tidak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa
sekali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun tidak akan
mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang
budiman berludah, tak akan ia jilat kembali?”
“Ha-ha-ha!
Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku
kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke goa kami dan belajar silat
sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!”
Tapi pada
saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk dia
tidak tidur dan berlari-larian hingga dia sangat lelah dan mengantuk. Kini
menghadapi tiga tosu yang mengajak dia berbantahan saja itu, membuat dia
semakin lelah dan semakin mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya
yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega sehingga tiba-tiba
saja kedua matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas
sambil duduk!
“Kasihan,
anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kau pondonglah dia dan mari kita
berangkat.”
“Anak yang
tolol!” sambil mengomel Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh
Cin Hai yang telah mendengkur itu.
Ketiga tosu
itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut
mereka. Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka
seakan-akan tidak menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang
saja.
Karena tidur
nyenyak di dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai
tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Saat ia sadar dan
membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan karena
kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan
hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang!
Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat dia
mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan memandang
keluar.
Ternyata
mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tidak
heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran
ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat dengan muka
tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang bertempur
seru!
Karena
kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun
dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba
tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.
“Jangan
mendekat!” Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara yang menyatakan bahwa
larangannya itu sungguh-sungguh.
Cin Hai
merasa heran akan tetapi dia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga
tosu demikian tegang. Maka dia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang
yang sedang bertempur.
Ternyata
yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita
berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam
sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang memenuhi
punggungnya.
Usianya
paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru
melihat pertama kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang
dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya hebat sekali karena
gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung kepinis.
Laki-laki
yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya bagaikan seorang siucai
(pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun
dan mukanya putih agak kepucat-pucatan.
Kedua orang
itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat dari pada
kalau orang bertempur dengan senjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka
hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu merupakan serangan maut
yang berbahaya sekali.
Kepandaian
mereka berimbang. Tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan dua kakinya lalu
bergerak bagaikan kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa
tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian
bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan
atau ditangkis!
“Celaka,
Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas
Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kau tolong
dia?”
Namun Giok
Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, “Ssttt! Jangan berisik, kau
lihat saja!”
Memang
tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan
tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu,
bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis mengharukan.
“Hi-hi-hi!
Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa harus mengeluarkan
tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu
Tendangan Tujuh Bintang) yang kau sohorkan itu? Hi-hi, orang she Kang,
keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!”
Sambil
menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari
dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi setiap
gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!
Tiba-tiba
wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau
tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang luar biasa lemas
sambil mengelit serangan lawan, sekarang ia menggerakkan kedua tangannya ke
belakang dan depan. Jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi
sebenarnya ini adalah serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya
dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya lelaki yang
dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.
“Pengecut,
rebahlah kau!” Tiba-tiba wanita itu berseru.
Dan benar
saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biar pun
kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu
roboh! Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala
sambil tertawa ha-ha hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya
menyeramkan perasaan.
Tiba-tiba
perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak
bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, kemudian
mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.
“Baiknya
tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku terpaksa harus
merobohkan beberapa orang lagi!” Wanita itu berkata seakan-akan kepada diri
sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua
kawannya.
Giok Im Cu
menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti kepada diri
sendiri, “Kami Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang usilan.”
Maka
tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah
dia berlari turun gunung dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu
berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang hitam, yang juga ikut
berkibar-kibar tertiup angin di belakangnya. Dipandang dari jauh, ia laksana
seekor kupu-kupu besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari
pendengaran.
Giok Im Cu
menghela napas. “Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?” dia berkata
perlahan seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.
“Totiang,
siapakah perempuan yang pandai menari itu?”
Giok Yang Cu
tertawa mendengar ucapan ini. “Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan
kini setelah bangun bicara tidak karuan. Kau anggap dia itu menari-nari?
Ha-ha-ha!”
Giok Im Cu
lalu berkata sambil menghela napas lagi. “Mana kau tahu? Tarian itu justru
kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan. Itulah
ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaiannya ini maka
dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Kumala) dan namanya
menggemparkan seluruh permukaan bumi.”
“Tetapi
mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?” tanya Cin Hai penasaran.
“Takut sih
tidak,” jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, “hanya saja, kita
tidak tahu seluk-beluk urusan mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?”
Tetapi
pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu teringat akan laki-laki yang
masih rebah di atas tanah, maka buru-buru mereka segera menghampiri. Laki-laki
yang rebah terlentang dengan wajahnya yang telah pucat itu kini makin kuning
dan kedua matanya meram.
Ketika Giok
Im Cu perlahan meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah
mendapat luka dalam yang cukup hebat, biar pun tidak dapat dikatakan
membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu menggunakan kepandaiannya menotok
serta mengurut pundak yang terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo yang halus putih
tetapi ganas lihai itu!
Laki-laki
itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat tiga orang
tosu itu. “Kanglam Sam-lojin?” tanyanya perlahan.
Giok Im Cu
mengangguk. “Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan dia?”
Laki-laki
itu kembali tersenyum lalu duduk. “Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur
kepandaian sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata
Intan), sungguh tidak tahu diri!” jawaban ini merupakan tangkisan terhadap
pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu pun maklum bahwa orang tak suka
menceritakan sebab musabab pertempurannya.
“Untung
bagimu dia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut,” dia berkata
singkat lalu mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.
“Totiang,
sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu? Kulihat dia hanyalah
seorang perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya,” kata Cin
Hai yang sungguh-sungguh tak mengerti kenapa seorang perempuan seperti itu
ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.
“Ha-ha-ha,
anak tolol, dengarlah!” kata Giok Yang Cu.
Cin Hai
segera berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut
tolol dan bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena
Giok Yang Cu selalu berterus terang kepadanya.
“Perempuan
yang kau anggap lemah-lembut tadi, yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai
Biang Iblis Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan seorang diri saja
telah naik ke Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, menewaskan
lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal dan membasmi lebih dari tiga
puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang seorang diri saja sudah mendatangi
hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah
kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan
orang? Pendeknya, jarang ada orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya
yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan untuk berurusan dengan dia!”
“Dan lagi,”
sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kau lihat yang seorang lagi. Lebih
hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jeri.
“Yang satu
lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok
Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sute-nya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi
adalah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Giok-gan
Kuibo. Wanita ini adalah Sumoi-nya (Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk
Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona ini
masih muda dan ilmu kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian
Suci-nya (Kakak Perempuan Seperguruan) itu! Ang I Niocu seorang diri pernah
naik ke Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-pai dan
ternyata ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!”
Mendengar
kelihaian-kelihaian sedemikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking
kagumnya. “Hebat sekali!” serunya kagum.
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu,
merasa tubuhnya tergantung dan tidak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat
sekali sehingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang
yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga orang tosu itu hingga
berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah.
Ia diam-diam
berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar
biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, padahal
tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji kepandaian orang lain,
maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang yang mereka
puji itu! Karena itu timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras
supaya ia pun bisa mempunyai kepandaian itu sehingga kelak tidak ada lagi orang
di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.
Di sepanjang
jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai pasti tertawa geli karena di dalam
pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan
aneh sekali.
“Mungkin
anak gila,” terdengar orang berkata.
“Mungkin
karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata orang lain.
Ketiga tosu
merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah,
dikecilkan dan dijahit pula.
Namun dengan
keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab, “Tidak, biarkan sajalah!
Biarkan saja anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit!
Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!”
Tiga orang
tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan serta ketabahan hati
anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tak peduli kepada semua
orang yang mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan
sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan beberapa
lagu merdu!
Tiga hari
kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam. Dengan menggunakan ilmu lari
cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat
liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rumput
bersih dan indah permai, berbeda dengan tempat yang penuh rumput, alang-alang,
dan pohon-pohon tua dan liar.
Di
tengah-tengah padang rumput itu terdapat sebuah gunung kecil yang ditumbuhi
oleh pohon-pohon liu, ada pun bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu.
Di sebelah kiri terdapat mulut goa yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal
Kanglam Sam-lojin.
Benar-benar
tempat yang indah menyenangkan. Di dekat goa terdapat sumber air yang memancar
keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya bagai
berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus.
Ada pun burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.
Cin Hai
merasa senang sekali berada di tempat itu. Biar pun mulut goa itu tampak gelap,
akan tetapi sesudah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk
melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.
Semenjak
hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga
tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari sana
dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi,
kadang kala berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.
Kanglam
Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu merupakan tiga saudara seperguruan,
sebab itu kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan, yaitu cabang
persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan khusus,
yaitu seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka bertempur
menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu.
Giok Im Cu
yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang sudah mencapai
tingkat tinggi sehingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh
di dalam tangannya akan berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Oleh karena
mengandalkan tenaga lweekang-nya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulu
pun pada waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang
ranting kayu.
Sebaliknya
dari pada suheng-nya, Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang
memiliki tenaga luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih
sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, dia mahir
sekali memainkan pedang yang digerakkannya secara luar biasa cepat dan
kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya ini adalah Liong-san Kiam-hoat yang memang
dikenal memiliki gerakan-gerakan yang cukup lihai.
Tosu ke tiga
jika dipandang begitu saja memang dapat menimbulkan pandangan rendah sebab
tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tapi janganlah orang memandang
rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua
suheng-nya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap
di kanan kirinya sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Di samping ini,
dia memiliki ginkang yang paling sempurna dibandingkan kedua suheng-nya
sehingga gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.
Walau pun
Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun
dia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan terhadap
sesuatu yang disukainya. Justru ia suka ilmu silat dan sudah semenjak dulu ia
ingin sekali mempelajarinya. Apa lagi ketika dia sering menerima pukulan serta
hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi.
Kini, ketika
sekaligus dia mendapat didikan dari tiga orang lihai, tentu saja dia tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah dia menerima pelajaran
dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.
Karena
ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi
pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan
hendak membalasnya, bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap
muridnya, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai
peraturan lagi!
Mereka
berganti-gantian memberi pelajaran silat Liong-san Kun-hoat secara cepat
sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus
dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga
seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara
bertubi-tubi mana dapat mengingatnya?
Selain itu,
Ilmu Silat Liong-san-pai bukan ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan
oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna
saja membutuhkan latihan-latihan keras berhari-hari. Memang karena penolakan
Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat ketiga tosu itu
menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir
bahwa jika anak itu diberi kepandaian asli sampai sempurna, padahal ia bukan
anak murid Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka
tidak berhak melarangnya, karena dia bukan anak murid Liong-san-pai.
Oleh karena
tindakan ketiga tosu ini, Cin Hai menjadi bingung sekali dan dia tidak dapat
berlatih dengan baik. Baru saja dia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali
belum sempurna, lain tosu sudah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya!
Dengan begitu, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah
terlupa lagi!
Meski pun
masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli
filsafat yang dipelajarinya dahulu, dia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga
tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan
segera melakukan hal yang cerdik juga.
Dengan
diam-diam dia mempergunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk
mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas selembar kertas!
Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, dia segera mengingat baik-baik dan
malamnya pada saat berada seorang diri dalam kamarnya di goa itu, ia segera
mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh
tosu yang mengajarnya tadi!
Demikianlah
dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai
itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh
Cin Hai. Tapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya
bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul.
Melihat
ketololan anak itu, ketiga tosu diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu
khawatir lagi, akan tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tidak senang dan
sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini
sebenarnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol, tetapi adalah karena waktunya
banyak dia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya
baik-baik secara rahasia.
Seperti
semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus
akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari teman-teman
untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk
menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di
dalam goa dan kalau ia keluar dari goa, yang ada hanya hutan betantara yang
penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.
Pernah
terjadi ketika pada beberapa bulan yang lampau dia pergi agak jauh dari goa dan
memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang
jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali, kedua kakinya gemetar dan dadanya
berdebar-debar. Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku waspada.
Sambil
mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada saat itu Cin Hai
sudah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Maka, melihat datangnya
terkaman harimau itu, otomatis kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan Tong-ki
atau Monyet Tua Meloncati Cabang sehingga ia terhindar dari terkaman harimau.
Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari sana, tetapi
terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!
Biar pun
matanya tak melihat, akan tetapi ternyata latihan-latihan silat yang
dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh
harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan
membalik, pada saat harimau itu lewat di sampingnya, ia lalu memukul dengan
telapak tangan terbuka ke arah lambung harimau!
Namun apakah
artinya pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang
dari dua tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat
kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi!
Cin Hai
benar-benar terdesak dan ia hanya dapat menggunakan segala kepandaian yang
dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tak menyangka bahwa
biar pun baru mempelajari beberapa belas jurus dari Liong-san Kun-hoat, ia
telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa lama! Apa bila
ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah
menjadi mangsa binatang itu.
Tiba-tiba
Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu.
Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya,
maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lantas menurunkan semacam
kepandaian loncat tinggi kepadanya!
Ilmu loncat
ini merupakan pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te Hui-teng
Kang-hu yang jika sudah dipelajari secara sempurna dapat dipergunakan untuk
meloncat jauh sambil menggunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga
tampaknya seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran pada
bagian loncat tinggi saja, yakni tipu gerakan Cian-liong Seng-thian (Naga Naik
ke Langit).
Demikianlah,
sesudah teringat dengan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu
menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang
pohon yang memiliki cabang rendah dan berada di atas kepalanya. Ketika harimau
itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin Hai menerobos ke
bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas
cabang pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong Seng-thian yang sudah
dipelajarinya itu!
Ia berhasil
dan tubuhnya melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki
mengenjot diri pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali
dia berbuat demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu,
tiba-tiba saja si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari,
segera meloncat pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan
bunyi keras! Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu
berdongak memandang ke arah Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan
aman.
Anak itu
dengan hati geli dan senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, serta
meludahinya dan melemparinya dengan cabang-cabang kering yang dia dapatkan di
atas pohon-pohon! Harimau itu mengaum-ngaum dan meraung-raung, mengeluarkan
suara keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang marah dan kecewa.
Untuk
beberapa lamanya binatang itu terus mendekam di bawah pohon, menanti calon
mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas
dengan hidung kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki, bahkan anak itu
lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu!
Entah karena
jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau
segera berdiri dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali
lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.
Cin Hai tak
berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di
dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani
turun dan lari pulang ke goa. Semenjak pengalamannya itu Cin Hai tahu akan
manfaat kepandaiannya, maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi
meninggalkan goa terlalu jauh.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment