Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 27
DARA BAJU
MERAH ini merasa benci bukan main terhadap Hai Kong Hosiang yang sudah
mencelakakan Lin Lin, maka dia sudah mengambil keputusan untuk mencari
kesempatan membunuh hwesio jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan
pula. Akan tetapi, melihat bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia
merasa ragu-ragu untuk turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk
menghadapi dua orang tangguh itu.
Kedua orang
itu menuju ke sebelah barat kota dan secara diam-diam Ang I Niocu terus
mengikuti mereka. Sesudah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah
gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan dari belakang dan pada saat
melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan
mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar
karena terkejut dan heran.
Ternyata
bahwa di dalam gedung itu terdapat sebuah ruangan yang amat lebar dan yang
dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan
justru orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena dia melihat
wajah-wajah yang telah dikenalnya baik, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi
kerajaan, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan
tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im
Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin
dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!
Orang-orang
ini adalah sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili
golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan
yang semuanya telah dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang
mengadakan pertemuan bersama? Apakah mereka hendak mengadu kepandaian?
Ang I Niocu
mengintai dengan hati-hati sekali oleh karena dia maklum bahwa orang yang
berada di dalam itu bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya apa
bila sampai dapat terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu
terdapat setumpuk rumput kering, maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang
baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah
jendela yang berada dekat di situ.
Agaknya Hai
Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nantikan,
karena setelah mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu
dipersilakan duduk, perwira itu segera berdiri dari tempat duduknya dan berkata
kepada semua orang.
“Cu-wi
sekalian. Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang bagi
Cu-wi sekalian yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini.
Hal ini membuktikan bahwa bagaimana pun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan
kebangsaan sendiri. Sebagaimana yang Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang
menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang.
Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan
sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan
membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta
pusaka dari tangan kita.”
Hai Kong
Hosiang berdiri sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong
Sin berhenti bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu
itu bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia berbicara.
“Kam-ciangkun,
pencuri harta pusaka itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan
tangguh. Selain dia, masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan,
karena kami tahu bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu
kalau-kalau kedua orang tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh
dipandang ringan, karena selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat
anak muridnya yang tak boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I
Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwee An, dan ada pula Nelayan Cengeng!”
Kam Hong Sin
mengangguk-angguk, “Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan
kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga
kita dibantu dengan para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah
sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?”
Wi Wi Toanio
berdiri dan biar pun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia
merasa gemas dan marah sekali ketika ia berkata,
“Apa artinya
berbicara tentang merampas kembali harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar
dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau
perundingan ini dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau turut serta!”
Setelah berkata demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.
Terdengar
seruan-seruan marah dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka itu sudah
dibagi-bagi kepada rakyat. Ada pun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu,
hanya tersenyum dan berkata,
“Cuwi
sekalian, memang benar ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun sudah mendengar
tentang hal itu, dan rupanya para pemberontak itu hendak menghasut rakyat agar
supaya memberontak pula dengan menyogok harta benda pada mereka. Akan tetapi,
kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan
mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang
ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa.”
Sambil
berkata demikian, Kam Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus
sutera kuning bersulamkan burung Hong. Ketika dia membacakan surat itu, semua
orang terdiam dengan penuh hormat, karena bagaimana pun juga, menerima surat
dari kaisar sendiri adalah satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasakan
orang!
Isi surat
itu ternyata adalah satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka
membantu usaha Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin
oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu!
Ternyata
dalam sakit hatinya untuk dapat membalas kekalahannya, Kam Hong Sin sudah
berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar
itu supaya dia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain mengharapkan
untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa
orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong kelak akan diberi
pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah
uang yang banyak sekali.
Tentu saja
semua orang yang hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar
itu. Bukan semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan
penghormatan. Kini terbukalah kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat
pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus
semua dosa mereka yang lalu!
Memang,
hampir semua orang yang hadir di sana, kecuali hamba-hamba Kaisar, dahulu
sering kali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada
Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan
dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang
berkedudukan tinggi!
“Kalau
demikian, aku setuju!” kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan
kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi,
“Bukan, karena aku inginkan semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan
mendapat kesempatan membalas dendam kepada Bu Pun Su yang sudah menghina kita
dan kepada Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka itu! Tentang
kelihaian mereka, jangan kuatir, aku memiliki seorang supek yang menjadi tokoh
nomor satu di daerah barat, yaitu Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta
bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan Hok Pek Taisu biar ditambah seratus
orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat dihancurkan!”
Semua orang
memandang heran karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat
yang disebut Pok Pok Sianjin itu kabarnya sudah musnah dan sudah naik ke Sorga
menjadi dewa! Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.
Hai Kong
Hosiang tertawa. “Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar
yang dapat disebut menduduki tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah
selatan dan timur, nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai dua
tokoh besar tanpa tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok
Sianjin, ada pun di bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek
Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sudah tewas oleh Pendekar
Bodoh, maka kalau kita pergi ke utara dan melaporkan hal ini kepada Swi Kiat
Siansu, mustahil dia tidak akan turun gunung membantu kita!”
Semua orang
merasa girang sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau
turun gunung membantu, pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih
ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari
tempat duduknya dan berkata,
“Cu-wi, sesudah
diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada
baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang
dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di
antara kita semua!”
Mendengar
ucapan ini, semua orang saling pandang dan mulailah mereka sama-sama
mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.
“Seorang
ketua harus mempunyai kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang
patut menjadi ketua, lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian
calon-calon itu menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup
pandai untuk diangkat menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.
Orang-orang
lalu saling bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu
yang melihat dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau
mereka semua telah bersatu dan berhasil memanggil kedua orang tokoh besar yang
tadi disebutkan, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh.
Ia pernah
mendengar nama Pok Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah
mendengar nama Swi Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan
kabarnya kedua orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan
napas agar jangan mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan
pengintaiannya.
Sesudah
dipilih-pilih, pada akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang
dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi
Toanio, dan Kam Hong Sin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga
dipilih, akan tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil
berkata,
“Hai Kong
Suheng telah dipilih, kenapa pula aku sebagai Sumoi-nya harus maju? Biarlah dia
yang mewakili aku sekalian!”
Sambil
tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, “Oleh
karena kita berada di antara kawan-kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian
ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana yang biasa dilakukan oleh perwira-perwira
kerajaan.”
“Bagus,
bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?” tanya Wi Wi Toanio.
“Di waktu
para perwira menguji kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit gading
yang dipegang pada tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan
sumpit itu mereka saling menjepit dan berusaha membetot sumpit pada tangan
lawannya dan siapa yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”
“Baik
sekali!” Hai Kong Hosiang memuji. “Memang siapa yang lebih tinggi lweekang-nya
akan mendapat kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang
tangan orang dengan sumpit itu, bukan?”
“Tidak boleh
sama sekali! Dalam hal ini tentunya kita harus mengandalkan kejujuran dan
kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai tangan lawan!”
Setelah
mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu
duduk mengelilingi sebuah meja dan para pelayan segera mengambil tiga pasang sumpit
gading. Untuk menguji kekuatan sumpitnya itu, Kam Hong Siang lalu berseru keras
dan menancapkan sepasang sumpit itu di atas meja sehingga sumpit itu menancap
sampai setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.
Wi Wi Toanio
tersenyum. Ia pun ingin menguji kekuatan sumpitnya yang akan digunakan dalam
pertandingan ini, maka dia pun mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan
hancurlah ujung meja itu berhamburan ke bawah.
Hai Kong
Hosiang tidak mau kalah. Dia menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang
pensil dan menggurat-guratkan ujungnya pada permukaan meja. Maka tampaklah
guratan-guratan yang dalam pada permukaan meja itu, bagaikan tanah lempung yang
digurat-gurat dengan pisau tajam saja.
Orang-orang
yang melihat demonstrasi lweekang dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang
I Niocu sendiri diam-diam merasa kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang
tidak boleh dianggap ringan itu.
Menurut
kebiasaan seperti dituturkan oleh Kam Hong Sin, karena pengikut pertandingan
itu ada tiga orang, maka segera dilakukan undian untuk menentukan siapa yang
harus bertanding lebih dulu. Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan
berhadapan dengan orang ke tiga untuk menentukan juara dan jabatan ketua.
Pada saat
undian dilakukan, ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Kam Hong
Sin dan Wi Wi Toanio. Mereka tersenyum dan duduk berhadapan dengan tangan
menjepit sumpit masing-masing.
“Ciangkun,
silakan kau mulai lebih dulu, oleh karena kau yang lebih tahu mengenai cara
pertandingan ini.”
Kam Hong Sin
mengangguk dan berseru, “Toanio, jagalah sumpitmu!” Sambil berkata demikian,
sepasang sumpit Kam Hong Sin digerakkan dengan terbuka seperti sepasang patuk
burung, hendak menjepit sumpit di tangan Wi Wi Toanio.
Nenek tua
ini tidak mengelak karena dia hendak mengukur sampai di mana kehebatan tenaga
lawan. Ia membiarkan sepasang sumpitnya terjepit dan tenyata bahwa sepasang
sumpitnya itu terjepit kuat bagaikan terjepit oleh catut besi saja. Kini adu
tenaga dimulai.
Kam Hong Sin
mengerahkan tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan.
Akan tetapi ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga
lweekang-nya tidak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya
dengan menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya
hingga ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak
sedikit pun tidak.
“Ciangkun,
kau sudah terlalu lama menjepit!” kata Wi Wi Toanio sambil tersenyum.
Hal ini
mengherankan Kam Hong Sin oleh karena di dalam pengerahan tenaga khikang,
mengucapkan kata-kata merupakan pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio
membuka mulut, lalu membetot keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas,
akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu menjadi
demikian licin hingga jepitannya terlepas.
Kini Wi Wi
Toanio yang menggerakkan sumpitnya dan ketika sumpitnya sudah terjepit sepasang
sumpit Kam Hong Sin, nenek itu tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan
membetot. Ini adalah gerakan yang licin dan penuh perhitungan, karena pada
waktu itu Kam Hong Sin memang sedang mengerahkan tenaga untuk menahan
sumpitnya, maka tentu saja ketika tiba-tiba didorong, tangannya menjadi
terdorong dan sumpitnya hampir terlepas.
Pada saat
dia mempertahankan diri dan mulai merobah tenaganya dari menarik menjadi
mendorong untuk melawan tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara
tidak terduga-duga membetot sekerasnya sambil berseru,
“Lepas!”
Hal ini
betul-betul tak pernah diduganya, maka Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan
sumpitnya lagi dan sungguh pun dia masih mampu mempertahankan sebatang, yang
lain telah kena dibetot terlepas! Kam Hong Sin bangun berdiri dan menjura di
depan Wi Wi Toanio mengaku kalah, sedangkan para hadirin bertepuk tangan
memuji.
Hai Kong
Hosiang tertawa terbahak-bahak. “Permainan yang bagus sekali! Selain tenaga dan
keuletan, dalam permainan ini juga diperlukan kecepatan serta kelincahan,
ditambah lagi otak yang cerdik! Aku yang bodoh mana dapat melawan Toanio?” Akan
tetapi sambil berkata demikian, dia lalu duduk menghadapi Wi Wi Toanio,
menggantikan tempat Kam Hong Sin yang sudah kalah.
“Seranglah,
Hai Kong!” kata Wi Wi Toanio menantang.
“Tidak,
engkau saja yang menyerang, aku hendak mempertahankan diri saja,” jawab Hai
Kong Hosiang yang cerdik.
Hwesio ini
terkenal amat cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku
hati-hati sekali. Nenek ini benar-benar ingin diangkat menjadi ketua, karena
hal ini akan menguntungkannya. Kalau dia yang menjadi pemimpin, maka dia
mendapat kesempatan lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia
maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih
lebih tinggi dari Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia
sering mengagumi hwesio ini.
Wi Wi Toanio
segera menyergap dengan sumpitnya untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang,
akan tetapi tiba-tiba hwesio ini membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit
itu menjadi saling jepit! Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong
Hosiang sebelah bawah, sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit
sumpit Wi Wi Toanio sebelah atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang
saling gigit dalam sebuah perkelahian yang sengit!
Saking
tegangnya pertandingan itu, tiada terdengar sedikit pun suara di antara
penonton yang memandangnya. Kini Wi Wi Toanio maklum bahwa Hai Kong Hosiang
yang cerdik tidak mau mengadu kecepatan, karena itu dia sengaja menjepit sebuah
sumpit lawan dan membiarkan sumpitnya yang sebatang terjepit pula sehingga
dalam keadaan demikian, terpaksa mereka harus mengandalkan tenaga belaka.
Mereka
masing-masing tidak mau mengalah, dan dua pasang sumpit itu sampai tergetar
saking serunya pertemuan tenaga mereka yang disalurkan melalui sepasang sumpit
pada tangan masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke kiri,
akan tetapi keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan telah
tumbuh menjadi satu!
Dari
getaran-getaran yang menyerang ke jari-jari tangannya, Hai Kong Hosiang maklum
akan kehebatan tenaga lweekang Wi Wi Toanio. Akan tetapi, nenek tua itu pun
merasa betapa sepasang sumpit di tangan Hai Kong Hosiang demikian kokoh kuatnya
bagaikan dua bukit karang yang sukar dirobohkan!
Lama sekali
adu tenaga ini berlangsung dan pada jidat Hai Kong Hosiang sudah nampak
keringat keluar membasahi jidatnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak
pucat! Kam Hong Sin berdiri dengan mata terpentang lebar karena baru kali ini
dia menyaksikan pertandingan sumpit yang demikian seru dan hebatnya.
Tiba-tiba Wi
Wi berseru keras sekali dan dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong
mencoba untuk bertahan, akan tetapi tiba-tiba…
“Krekkk!”
Terdengar
suara keras dan tiga batang sumpit telah patah, yaitu dua batang sumpit Hai
Kong Hosiang dan sebatang sumpit Wi Wi Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa
lweekang Wi Wi Toanio masih menang setingkat!
Hai Kong
Hosiang menghapus keringatnya sambil tertawa. “Sudah kukatakan bahwa aku tak
akan bisa menang menghadapi Wi Wi Toanio yang tangguh! Akan tetapi, kita semua
enak-enak mengadu kepandaian hingga melupakan orang yang mengintai dari luar!”
Ang I Niocu
merasa terkejut bukan main dan serba salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang
yang tinggal satu itu awas sekali dan sudah dapat melihatnya. Ang I Niocu tidak
kenal arti takut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia benar-benar menjadi
bingung. Kalau ia melarikan diri dari situ, dia akan merasa malu kepada diri
sendiri, sebaliknya jika dia melompat masuk, dia yakin bahwa dia tidak akan
kuat menghadapi sekian banyaknya orang-orang gagah.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari sebelah atasnya yang disusul
ucapan mengejek, “Ha-ha-ha, memang semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana
aku bisa masuk sebelum diundang?”
Ang I Niocu
terkejut bukan main. Bagaimana ada orang bisa berada di atasnya tanpa dia
ketahui sama sekali? Dia menengok dan melihat seorang kakek botak duduk di atas
tiang yang melintang di atas kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang
anak-anak sedang menonton pertunjukan indah, sedangkan pada lengan kirinya
terjepit sepasang tongkat bambu warna kuning.
Dia menjadi
tercengang karena dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok Peng Taisu yang
pernah diceritakan oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang inilah agaknya yang sudah
mencuri harta pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang bukan lain adalah Hok
Peng Taisu itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata sambil menyeringai,
memberi tanda agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan suara.
Sementara
itu, ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu,
segera berjaga-jaga dan Kam Hong Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, “Tamu
yang berada di luar dipersilakan masuk!”
Terdengar
suara tertawa bergelak dan tiba-tiba ada tubuh seorang kakek botak melayang
masuk dengan gerakan yang ringan sekali. Dengan sepasang matanya yang amat
tajam, kakek botak itu menyapa semua orang yang berada di ruang itu dan berkata,
“Aduh, semua
telah berkumpul. Bagus, bagus! Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang
bagus. Aku tua bangka pun memiliki semacam permainan sumpit yang sama, akan
tetapi apakah ada orang yang cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main
atau tidak, entahlah!”
“Biarlah
pinceng melayanimu, Kakek Tua!” kata Hai Kong Hosiang.
“Bagus,
bagus, akan tetapi sebagai tamu baru, aku belum mendapat jamuan, sedangkan
perutmu yang gendut sudah diisi penuh, tentu saja aku akan kalah tenaga!
Biarkan aku makan beberapa mangkok sayur dahulu!” Sambil berkata demikian, Hok
Peng Taisu lalu mengambil semangkok daging kambing dan sepasang sumpit bambu.
Sambil berdiri dia makan daging itu sepotong demi sepotong dan kelihatannya dia
menikmati makanan itu.
“Locianpwe ini
siapakah?” Kam Hong Sin bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang
yang tidak tahu akan kesopanan.
“Baru saja
namaku kau sebut-sebut, sekarang hendak bertanya pula, bukankah ini aneh
namanya? Akan tetapi, aku jangan kau bandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!”
Terkejutlah
semua orang, dan ketika mereka melihat ke arah dua batang tongkat bambu yang
dikempit di bawah lengan kiri, Kam Hong Sin menjadi pucat dan bertanya,
“Apakah kau
Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka?”
Tiba-tiba
Hok Peng Taisu tertawa bergelak-gelak. “Sudah berpuluh tahun aku orang tua
menyembunyikan diri dalam goa dan akibat perbuatan orang-orang yang suka
mencurilah yang menyebabkan aku keluar dari goa. Sekarang aku bahkan dituduh
menjadi pencuri. Lucu, lucu!” Kemudian, dengan tangan kiri masih menyangga
mangkok sedang di bawah lengan kiri itu masih terjepit tongkat-tongkat
bambunya, tangan kanan memegang sumpit, ia menuding ke arah Hai Kong Hosiang
dengan sumpitnya itu dan bertanya,
“Bagaimana,
apakah kau masih mau melayani aku bermain sumpit?”
“Boleh, asal
kau orang tua jangan bermain curang!”
Kembali Hok
Peng Taisu tertawa bergelak dan dia mengulurkan tangan yang memegang sumpit
sambil berkata, “Nah, kau jepitlah sumpitku ini!”
Hai Kong
Hosiang yang melihat bahwa sepasang sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa
saja, lalu melangkah maju dan dengan sumpit gading yang kuat dia lalu menyerang
maju, akan tetapi bukan menjepit sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan
sepasang sumpitnya ke arah pergelangan tangan Hok Peng Taisu!
Akan tetapi,
kakek botak ini agaknya tidak tahu akan kecurangan lawan, maka dia hanya
menggerakkan sumpitnya ke bawah, lalu sesudah dapat menangkis sumpit di tangan
Hai Kong Hosiang, dia memutar sumpitnya sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong
Hosiang ikut terputar-putar tanpa dapat ditahan pula!
Terpaksa Hai
Kong Hosiang lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot, akan tetapi
sumpitnya seolah-olah sudah timbul akar pada sumpit kakek itu sehingga tak
dapat dibetot. Ia mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek itu
melepaskannya sehingga tubuh Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-ha!
Kau lucu sekali hwesio!” katanya, lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong
daging yang dimasukkan ke dalam mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi
sesuatu!
Wi Wi Toanio
yang dapat memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, secara diam-diam
menghampirinya dari belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.
“Hok Peng
Taisu, aku pun ikut bermain-main dengan sumpit!”
Dan belum
juga habis kata-kata ini dia ucapkan, dia telah menyerang dengan sepasang
sumpitnya, menotok jalan darah Hok Peng Taisu dari belakangnya! Kakek botak itu
tidak bergerak atau pun membalikkan tubuh, seakan-akan dia tidak mendengar
ucapan tadi, hanya tangan kanannya yang memegang sumpit saja digerakkan ke
belakang tubuhnya. Pada saat itu, Hai Kong Hosiang yang merasa penasaran, lalu
menyerang lagi dari depan dengan sepasang sumpitnya digerakkan ke arah kakek
botak itu.
Biar pun
diserang dari belakang dan depan, agaknya Hok Peng Taisu masih saja terus
enak-enakan mengunyah daging beberapa potong yang tadi dimasukkan ke dalam
mulut. Ketika sumpit Wi Wi Toanio telah dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba saja
sumpit di tangan kanannya bergerak dan…
“Krekkk!”
Terdengar
suara, diikuti seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa telapak
tangannya sakit sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah terpotong
menjadi dua, setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu!
Sedangkan
dua batang sumpit Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu hatinya, juga
tidak dielakkan oleh kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba dia membuka
mulutnya dan dua kali dia meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari mulut!
Daging-daging itu meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai ujung
sepasang sumpit itu.
Hai Kong
Hosiang hanya merasa betapa tusukan sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat
sekali dan tahu-tahu dia melihat betapa dua batang sumpitnya telah menancap
pada dua potong daging bakso yang besar! Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang
melihat hal ini dan dia merasa dirinya dipermainkan, maka dia pun berseru.
“Jangan jual
lagak di sini!” Sambil berseru demikian dia mengayunkan tangan sehingga
sepasang sumpitnya yang masih ada baksonya itu meluncur cepat ke arah dua mata
Hok Peng Taisu!
Akan tetapi
kakek botak itu sambil terkekeh-kekeh lalu berkata. “Hwesio, mengapa kau tidak
makan bakso-bakso itu?”
Lalu dia
mengangkat kedua tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang
melayang itu. Heran sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit,
bakso yang berada di ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai
Kong Hosiang, ada pun sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi
Toanio!
Hai Kong Hosiang
mengelak dan sambil menyumpah-nyumpah segera mencabut keluar tongkat ularnya.
Sedangkan Wi Wi Toanio juga menjadi marah dan menyampok kedua batang sumpit
yang melayang ke arah dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek
ini pun maju menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda.
Sebenarnya, Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek
ini bukan Eng-jiauw-kang biasa, maka gerakannya aneh serta lihai sekali.
Melihat
dirinya akan dikeroyok, Hok Peng Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat
bambunya dan dua kali tubuhnya berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai
Kong Hosiang sudah kena dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena
sabetan itu pada pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.
Hok Peng
Taisu tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini benar-benar merupakan tuan rumah yang
kurang sopan! Sekarang lebih baik aku pergi saja lagi!” Sesudah berkata
demikian, kakek botak itu menggerakkan kakinya dan melayang pergi.
“Locianpwe,
tunggu dulu!” tiba-tiba Kam Hong Sin berseru dan memburu ke pintu.
“Apa
kehendakmu?” terdengar suara kakek botak itu dari atas genteng.
“Kami hendak
menantangmu dan juga Bu Pun Su untuk mengadakan pertandingan adu kepandaian di
Puncak Hoa-san pada bulan tiga. Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?”
Kembali
kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh. “Tak usah kau ceritakan, aku pun sudah
maklum akan maksud kalian yang buruk itu. Baik, baik, memang sudah lama sekali
aku ingin bertemu dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Mengenai Bu Pun
Su, aku tidak tanggung bahwa dia akan mau melayani ajakan kalian yang gila
itu!”
Hok Peng
Taisu lalu melayang ke tempat mana Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda
dengan tangan agar supaya Dara Baju Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu segera
melompat ke atas genteng dan mengikuti kakek itu pergi dari sana. Sesudah
berada di tempat jauh, kakek botak itu berkata,
“Bukankah
kau yang bernama Ang I Niocu?”
Ang I Niocu
menjura dengan sangat hormatnya. “Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh
mendengar tentang nama Locianpwe dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat
bertemu dengan seorang sakti seperti Locianpwe.”
“Ahh, jangan
terlalu memuji, Nona. Kau tentu sudah mendengar semua kehendak mereka itu,
bukan? Nah, sekarang semua terserah padamu apakah kau hendak menyampaikan
undangan mereka terhadap Bu Pun Su atau tidak. Hanya saja, boleh kau katakan
pada Bu Pun Su bahwa aku tua bangka tentu akan menghadapi tantangan mereka itu
pada waktunya di Puncak Hoa-san!”
Setelah
berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu
kemudian melanjutkan perjalanannya. Memang dia pun ada maksud untuk pergi ke
Goa Tengkorak menemui susiok-couw-nya, sekalian hendak menemui Bu Pun Su untuk
minta ijin orang tua itu tentang perjodohannya dengan Lie Kong Sian.
***************
Nelayan
Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagikan harta itu sambil
melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun
mengalami banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.
Pada waktu
mereka menyeberang sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan
Cengeng melihat ada beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan
bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran
ini membangkitkan hatinya dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang
sudah dinikmatinya semenjak masih muda, maka dia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee
An.
“Ma Hoa dan
Kwee An, sudah lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang
nelayan, mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di
atas air! Terus terang saja kuakui bahwa hampir setiap malam aku bermimpi duduk
di atas perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya
bulan di waktu malam. Kini kalian sudah saling berjumpa kembali dan juga
kawan-kawanmu telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan
senang. Oleh karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di
sungai ini. Kalian teruskan perjalanan kalian dan ini adalah sisa harta benda
yang harus kubagi-bagikan, boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat
miskin. Kelak apa bila sudah tiba saatnya kalian hendak melangsungkan
pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang.”
Ma Hoa
maklum pula bahwa suhu-nya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai
seorang nelayan, bahkan dulu suhu-nya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di
dalam sebuah perahu, maka berkata,
“Suhu,
sungguh berat hatiku harus berpisah dengan Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu
menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan
merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu supaya
teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas budi.”
Nelayan
Cengeng tertawa bergelak sampai air matanya keluar.
“Muridku,
anakku yang baik!” katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa.
“Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia
dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apa bila aku sudah bosan di sungai
ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu.”
Sesudah banyak
mendapat nasehat-nasehat serta petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik
hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Ma Hoa
mengajak Kwee An mengunjungi suhu-nya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit
Hong-lun-san, di mana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu
masih indah seperti dahulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati.
Ketika mereka tiba di puncak, mendadak mereka mendengar suara angin pukulan
yang hebat sambil dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi.
Dengan cepat
mereka lalu menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya pada waktu
melihat betapa suhu-nya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya.
Gerakan kakek botak itu sedemikian kuatnya sehingga semua daun-daun di
sekitarnya bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan
sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main
melihat kehebatan kakek luar biasa itu.
“Suhu, kau
orang tua benar-benar rajin sekali!” Ma Hoa memuji.
Hok Peng
Taisu segera menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil
tersenyum. Ma Hoa kemudian menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang
juga berlutut.
“Bagus,
bagus, bagus sekali kalian datang ke sini. Di mana Nelayan Cengeng?”
“Dia rindu
kepada perahu dan sungai, Suhu, maka dia tidak melanjutkan perjalanan dan
hendak hidup beberapa lama di atas Sungai Liang-ho,” jawab Ma Hoa.
Hok Peng
Taisu menarik napas panjang. “Nelayan Cengeng memang orang beruntung. Tidak
seperti aku yang sudah tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan.
Tahukah kau bahwa aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san pada bulan
tiga? Oleh karena itu aku harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang
sudah kaku!”
Di waktu
mudanya kakek botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan
orang-orang pandai, maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam
menghadapi tantangan Hai Kong Hosiang. Kemudian dia segera menceritakan
mengenai tantangan itu kepada Ma Hoa dan Kwee An.
“Bu Pun Su
adalah seorang tokoh besar, maka tentu saja dia pun akan menyambut tantangan
ini. Aku kenal padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi
sebuah tantangan yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu dia akan turun
gunung. Oleh karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah
tentang tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya.
Katakan bahwa selatan dan timur tak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”
Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su
takkan kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar
dari barat dan utara itu!
Ma Hoa dan
Kwee An kemudian turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah
mendengar dari Cin Hai di mana letak Goa Tengkorak itu, maka mereka langsung
menuju ke sana.
Ketika
mereka sampai di depan Goa Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk
dengan bengong bagai orang melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan
mereka, gadis ini tidak merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis
sedih.
Kwee An yang
sudah lama sekali tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, cepat
mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya, “Adikku sayang, mengapa kau
bersedih? Di manakah Cin Hai dan di mana pula Suhu-mu?”
Sesudah
tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata, “Mereka berada di dalam. Suhu sedang
menderita sakit keras. Hai-ko dan Enci Im Giok yang menjaganya. Aku… aku tak
dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan
Suhu aku tidak berani memperlihatkan kesedihanku.”
Bukan main
kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An mendengar penjelasan ini. Segera Ma Hoa
bertanya,
“Suhu-mu
adalah seorang yang sakti, mengapa ia bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I
Niocu tiba di sini?”
Kemudian,
dengan suara perlahan supaya suara mereka jangan sampai terdengar dari dalam
dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin
Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun
Su sudah berbaring tak sadarkan diri di dalam goa, dijaga oleh tiga ekor burung
sakti yang diam tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula.
Lie Kong
Sian yang paham akan ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan
menyatakan bahwa Bu Pun Su menderita kelemahan karena usia tua, dan agaknya
kesedihan hati membuat jantungnya terserang hebat, juga penderitaan batin
membuat kakek itu tidak kuat menahan dan jatuh pingsan. Pemuda itu lalu
mengatakan kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan
membantu kesempurnaan jalan darahnya dengan tenaga lweekang, sedangkan ia
sendiri hendak pergi ke pulaunya untuk mencari semacam rumput darah yang
mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.
Semenjak
masuk Goa Tengkorak, Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhu-nya dan
mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah
sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak di dekat suhu-nya dan hanya
makan sedikit sekali, itu pun kalau sudah dipaksa-paksa oleh Lin Lin.
Baru tiga
hari yang lalu Ang I Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga
susiok-couwnya siang malam bersama mereka.
“Apakah
selama ini Suhu-mu tidak pernah siuman?” tanya Kwee An dengan terharu.
“Pernah satu
kali, dan sesudah siuman dia hanya mengucapkan tiga kata, yaitu bahwa dia sudah
tua, lalu jatuh pingsan lagi.” Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata
Lin Lin.
Tiga orang
muda itu lalu masuk ke dalam Goa Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan
hati-hati sekali. Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai
di dalam kamar hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati.
Terlihat Cin
Hai duduk di sisi kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil
bersemedhi mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk membantu aliran hawa ke dalam
tubuh suhu-nya, ada pun Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak
bergerak bagaikan patung. Biar pun ilmu lweekang-nya belum setinggi Cin Hai,
namun kadang kala dia menggantikan Cin Hai dengan memegang tangan kiri kakek
itu untuk membantunya dengan tenaga lweekang-nya agar Cin Hai tidak merasa
terlalu lelah.
Melihat hal
ini Ma Hoa teringat akan kepandaian suhu-nya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang
ilmu pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk
keluar dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau
tidak mempedulikan kedatangan mereka.
Ketika Kwee
An dan Ma Hoa melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruangan tengkorak tanpa
bergerak dan dengan muka seakan-akan sedang berduka sekali, mereka merasa amat
terharu. Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan
seperti manusia biasa.
Setelah tiba
di luar goa, Kwee An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.
“An-ko,
harap kau suka secepatnya pergi pada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal
ini kepada Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup
menolong Bu Pun Su Locianpwe.”
Mendengar
hal ini, Lin Lin menyatakan kegirangannya, maka dia pun mendesak kepada
kakaknya untuk segera minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An lantas
menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya
mereka berdua menjaga di luar goa, agar jangan sampai ada musuh yang datang
membuat kekacauan pada waktu Bu Pun Su menderita sakit keras. Kwee An kemudian
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke
Hong-lun-san.
Dengan
adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan goa dan duduk di atas
batu karang sambil bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling
menuturkan pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang
ditewaskannya Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya,
ketika mendengar tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok
Peng Taisu dan Bu Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan
seperti itu, bagaimana suhu-nya akan dapat memenuhi tantangan itu?
Pada waktu
mereka sedang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat
bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua
sudah berdiri di hadapan mereka. Dengan hati terkejut Lin Lin dan Ma Hoa
bangkit berdiri dan memandang dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!
Melihat
nenek ini, Lin Lin menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu
Pun Su ini sudah menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhu-nya itu. Maka
sambil mencabut Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,
“Mau apa kau
datang ke sini?”
Wi Wi Toanio
memandang dengan mata mengejek lalu jawabnya, “Aku tidak mempunyai urusan
dengan kalian anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu
Kwan Cu!”
“Tidak! Tak
seorang pun boleh masuk ke dalam goa ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum
pedangku bicara!”
“Anak kecil
kurang ajar! Kau berani menghina dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah
sekali.
Ma Hoa juga
sudah mencabut sepasang bambu runcingnya dan berkata, “Nenek jahat, kau
pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari mati.”
Makin
marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini. Dengan seruan keras dia melompat dan
menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai
dan berbahaya itu. Akan tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya
dengan mengirim serangan-serangan mematikan.
Ternyata Wi
Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada
kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biar pun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua
dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi
gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.
Sambil
bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya
menyambar-nyambar bagai seekor burung garuda. Ginkang-nya ternyata telah
mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah
dia dapat terbang saja. Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak
mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.
Pada saat
pertempuran terjadi, Cin Hai sedang membantu suhu-nya dengan mengalirkan hawa
melalui telapak tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila sambil bersemedhi
untuk mengumpulkan tenaga yang sudah banyak dikerahkan membantu susiok-couw-nya
itu.
Kini dia
mendengar suara-suara orang berkelahi di luar, maka tahulah dia bahwa Lin Lin
dan Ma Hoa sedang menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, dia
lantas mengambil sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin
Hai, kemudian dia bertindak keluar.
Pada saat
itu, sambil memekik keras Wi Wi Toanio melompat ke atas dengan kedua tangannya
terulur ke depan dan bermaksud merampas senjata kedua lawannya. Akan tetapi,
tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya
berkilauan langsung menyambutnya dengan serangan hebat!
Wi Wi Toanio
sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu
pun melayang menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagai seekor burung hong
yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka dia lalu
berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik
beberapa kali ke belakang!
Melihat Ang
I Niocu datang membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu
mainkan senjata mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini
merasa sibuk juga menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan
tiga ekor naga betina itu!
Ang I Niocu
memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam di kedua tangan,
dia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Juga Lin Lin dengan Han-le
Kiam-hoat-nya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini
boleh dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu
pedang, ada pun Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan
yang tidak mudah dilawan!
Tentu saja
setelah ketiga orang dara ini maju mengeroyok, biar pun ilmu kepandaian Wi Wi
Toanio tinggi dan pengalamannya banyak, namun tetap saja dia merasa kewalahan
sehingga sebentar saja dia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!
Wi Wi Toanio
mengeluarkan jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya lantas diayun menyebar
puluhan batang jarum ke arah tiga dara itu. Akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar
sepasang bambu rucingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya,
hingga semua jarum kena terpukul runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik,
Lin Lin maju mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan
cepat.
Wi Wi Toanio
mencoba mengelak akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah
gerakannya dan pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam
pula oleh sabetan pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang
menotok ke iganya, maka dengan bingung dia membanting diri ke belakang!
Meski pun
gerakannya sudah cepat sekali, akan tetapi ujung pedang pendek Han-le-kiam di
tangan Lin Lin masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak
Wi Wi Toanio yang lalu berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari
serangan-serangan selanjutnya.
Tiga orang
gadis itu hendak mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba
terdengar suara dari dalam goa, “Jangan bunuh dia!”
Ang I Niocu,
Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang dan mereka cepat-cepat menahan senjata
masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa jeri menghadapi tiga orang
gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya!
Ang I Niocu
merasa girang sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka
tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhu-nya, maka dia
lalu cepat-cepat mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam goa.
Mereka
melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan
tubuh lemah, ada pun Cin Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu
Pun Su memang hebat sekali, karena biar pun dia berada dalam keadaan sedemikian
rupa, namun pendengarannya masih sangat tajam sehingga dia dapat mendengar
pertempuran yang terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya
baik-baik, maka dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mencegah ketiga orang
gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa menyaksikan dengan mata sendiri, dari
pendengaran dan dugaan saja dia maklum bahwa Wi Wi Toanio tak akan dapat menang
menghadapi tiga dara yang gagah perkasa itu!
Ang I Niocu,
Lin Lin, dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun
Su tersenyum dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,
“Kalian
lihat, betapa pun tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”
Kemudian Bu
Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang ke sini
tentu mempunyai maksud tertentu. Katakanlah!”
Ma Hoa
tadinya segan untuk menceritakan mengenai pesanan suhu-nya, dan tadinya dia
berniat untuk menahan saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak
tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud
tertentu, maka sambil berlutut dia lalu berkata,
“Maafkan
teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang
sedang menderita sakit.”
Terdengar suara
tertawa Bu Pun Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini
suara ketawanya tidak sekeras dahulu. “Anak yang baik, tubuhku memang sakit,
akan tetapi semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah.”
“Sebetulnya
teecu sudah diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan
Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe.”
“Hemm, Hai
Kong menantang aku dan Hok Peng?”
“Benar,
Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di
Puncak Hoa-san, dan mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat
sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu
menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah
terhadap barat dan utara!”
Bu Pun Su
tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya makin lemah. “Hok Peng ternyata lebih
muda semangatnya dari pada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku
dapat menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi dia lalu menarik napas
panjang dan berbisik,
“Tak
mungkin, bulan tiga masih lama, aku tak akan dapat bertahan selama itu...”
Mendengar
ucapan ini, tak dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.
“Ehh, ehhh,
Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa kau menangis? Suhu-mu sebentar lagi
terbebas dari pada kesengsaraan, kenapa kau malah menangis? Seharusnya kau
malah bersyukur dan bergembira!”
Akan tetapi,
mendengar ini, Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma
Hoa juga ikut menangis.
Bu Pun Su
menarik napas panjang, “Hm-hmm... perempuan, perempuan... kalau tidak menangis,
kau bukan perempuan lagi namanya...”
Setelah
tangisnya reda, Lin Lin lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, perkenankan pada
teecu untuk mengajukan sebuah permohonan.”
“Nah, nah,
sesudah menangis lalu mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman
dahulu bahwa di balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”
“Teecu ingin
mohon perkenan dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan
perjodohannya dengan Lie Kong Sian Suheng!”
Mendengar
ucapan Lin Lin ini, Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya hendak
menyembunyikan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.
Bu Pun Su
menjawab dan suaranya makin melemah seperti bisikan. “Aku tahu... semenjak
mereka datang aku sudah tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku
setuju...,” tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan,
tak sadarkan diri seperti orang tidur pulas!
Cin Hai
cepat menyambar nadi tangan suhu-nya dan berbisik, “Suhu telah terlalu banyak
menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap.”
Tiba-tiba
saja masuk seorang laki-laki ke dalam Goa Tengkorak dan ketika semua orang
memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan
cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang dia ambil dari pulaunya,
memeras daun itu dan meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu,
pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu
peredaran hawa dalam tubuh supek-nya.
Tak lama
kemudian, bagaikan api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su
menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah sudah
bekerja dan dia merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan
duduk.
“Im Giok,
kuulangi kata-kataku tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa
girang sekali bahwa kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!”
Ang I Niocu
dan Lie Kong Sian menundukkan kepala dan tidak berani bergerak karena
jengahnya.
Kemudian Bu
Pun Su berkata sambil menuding keluar goa, “Ada orang datang!”
Semua orang
memandang karena mereka tak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat
mendengar tindakan kaki yang halus sekali. Dan benar saja, tidak lama kemudian,
masuklah Kwee An bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak
lalu menghampiri Bu Pun Su.
Bu Pun Su
juga tertawa girang. “Hok Peng, apa kau datang hendak memeriksa tubuhku yang
sudah bobrok ini?”
“Bu Pun Su,
benar-benarkah kau hendak mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun
saja dariku, dan menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”
Setelah
berkata demikian, Hok Peng Taisu segera duduk di dekat Bu Pun Su kemudian
mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu.
Sesudah
memeriksa sambil memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya,
“Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama lagikah?”
Kakek botak
itu memandang wajah Bu Pun Su dengan tajam. “Bu Pun Su, aku tidak ingin
mengetahui urusan pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak
menerima luka di jantung akibat tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali
karena kau agaknya telah teringat akan hal-hal yang sudah lampau, yang membuat
kau merasa malu, marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya
akan dapat bertahan selama satu pekan saja!”
“Bagus,
kalau begitu masih ada waktu beberapa hari lagi,” kata Bu Pun Su.
“Sungguh
sayang Bu Pun Su. Benar-benar sayang, karena sebenarnya aku ingin sekali
mengajak kau menikmati adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan bermain-main
sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi
seorang diri saja ke Hoa-san kurang menggembirakan!”
Bu Pun Su
tertawa, “Apa dayaku? Tadi aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang
tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!”
Mendengar bahwa
usia Bu Pun Su tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek
yang aneh itu membicarakan kematian Bu Pun Su bagai orang yang hendak pergi
melancong saja, Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati
lagi sehingga terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki suhu-nya dan menangis sedih.
“Ehh, ehh,
kembali kau memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su.
Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada kakek botak,
“Hok Peng,
jangan kau kecewa, karena betapa pun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus
kita hadapi! Memang aku tidak dapat datang sendiri, tetapi aku hendak
mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi mereka.”
“Suhu, teecu
masih terlalu lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi
Kiat Siansu yang sakti itu,” kata Cin Hai.
“Jangan
khawatir, mereka itu sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti
aku! Kita masih mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan semua
sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula, sesudah aku pergi, kau boleh minta
bimbingan Hok Peng untuk memperdalam kepandaianmu sehingga tidak akan
mengecewakan kelak apa bila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok
Peng!”
“Bagus!”
kata Hok Peng. “Aku setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena dia
mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun
Su. Pergunakanlah sisa waktu yang tak lama lagi itu dengan sebaiknya dan
selamat berpisah sampai berjumpa kembali.”
Bu Pun Su
mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Terima kasih, paling lama lima tahun lagi
kita bertemu!”
Hok Peng
tertawa bergelak-gelak. “Mungkin sekali sebelum lima tahun aku sudah akan
menyusulmu!” Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan
mata.
Bu Pun Su
menarik napas panjang. “Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena
sekarang aku merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarkan pesanku yang
terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan
semoga kalian berdua hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada
Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai sedang yang pendek untuk Im
Giok karena kalian berdualah yang telah mendapatkannya.”
Cin Hai, Ang
I Niocu dan Lie Kong Sian menghaturkan terima kasih.
“Masih ada
lagi,” Bu Pun Su berkata, “Kelak, apa bila kalian memperoleh keturunan, juga
bagi Nona Ma Hoa, kuanjurkan supaya menuruti nasehat ini, kalian harus
menggunduli putera-puteramu.”
Semua orang
memandang heran dan menganggap bahwa kakek itu sudah mulai bicara tidak karuan
seperti biasanya orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.
“Hal ini
jangan kalian pandang rendah,” kata Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kau
anggap Gurumu berkelakar dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala,
karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki lebih baik rambutnya digunduli
ketika ia masih kecil agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut
hingga membuat kepala anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya
sehingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang
lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di
dalam goa ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hio-louw besar, kemudian
kalian tinggalkan goa ini dan menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu
tutuplah goa ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku
ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini.”
Semua orang
mendengarkan pesan ini dengan hati terharu sekali.
“Nah,
sekarang kalian keluarlah semua, kecuali Cin Hai sebab aku hendak menggunakan
sisa waktuku untuk melatihnya sebagai persiapan untuk menghadapi adu kepandaian
di Puncak Hoa-san kelak.”
Dengan hati
sedih dan wajah muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An
lalu mengundurkan diri dan keluar dari goa itu. Mereka menjaga di luar sambil
bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu
ke dalam di mana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin
Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya.
Tentu saja
dalam waktu yang hanya beberapa hari itu, Cin Hai tidak mungkin mempelajari
semua ilmu itu berikut prakteknya, dan hanya dapat mempelajari pokok-pokok
teorinya saja, untuk kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah
mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu dengan teliti sehingga Bu Pun Su
menjadi puas.
Lima hari
kemudian, Cin Hai keluar dari dalam goa dengan wajah muram dan ia memberi tanda
kepada kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan
ketika melihat tubuh suhu-nya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia
segera menubruknya sambil menangis.
Bu Pun Su
menggerakkan tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.
“Jangan
menangis, jangan menangis,” bisiknya, “jangan antarkan kepergianku dengan air
mata... aku tidak suka...!” Lin Lin cepat menahan tangisnya dan terisak-isak
dengan hati hancur.
“Anak-anak...
pesanku terakhir... sesudah selesai pertandingan pibu di Hoa-san... kalian
pulanglah dan langsungkan perjodohan... hiduplah dengan aman dan tenteram
bahagia, jauhi segala permusuhan...!” dia terengah-engah karena sebenarnya
waktu lima hari yang dia pergunakan siang malam untuk memberikan gemblengan
terakhir kepada Cin Hai itu terlampau melelahkannya dan membuatnya cepat lemah.
“Sekarang...
antarkan kepergianku dengan cita-cita tinggi dan luhur... selamat... tinggal!”
lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat
tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang
merenggut nyawanya.
Lin Lin, Ang
I Niocu, dan Ma Hoa berusaha menahan tangis mereka karena mereka ingin mentaati
pesan terakhir dari Bu Pun Su. Mereka berenam lalu mengadakan persiapan untuk
menyempurnakan jenazah kakek itu kemudian membakarnya di dalam goa dengan penuh
khidmat.
SETELAH
selesai dan mayat itu sudah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu disimpan di
dalam hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar.
Selama
beberapa hari mereka mengadakan perkabungan di tempat itu dan mengadakan
sembahyangan untuk memberi penghormatan terakhir, kemudian beramai-ramai mereka
lantas menutup pintu Goa Tengkorak dengan batu-batu besar dan menimbunnya
dengan pohon-pohon kecil sehingga goa itu tertutup sama sekali dan tidak tampak
dari luar.
Sesudah itu,
atas anjuran Ma Hoa, mereka berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi
kabar kepada Hok Peng Taisu mengenai kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu
menerima warta ini sambil tersenyum dan menarik napas panjang.
“Ahh, dia
lebih beruntung dari pada aku. Sekarang dia sudah enak-enak sedangkan aku masih
harus menderita.”
Oleh karena
waktu untuk menerima tantangan tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu
lalu melatih Cin Hai dengan berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari
oleh anak muda itu sampai hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang
lain merasa suka sekali tinggal di bukit yang indah itu dan mereka juga
berlatih silat di bawah pengawasan Hok Peng Taisu.
Setelah
menganggap bahwa ilmu kepandaian Cin Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu
mengajak mereka mulai melakukan perjalanan menuju ke Puncak Hoa-san.
Untuk
memperkuat rombongan mereka, Ma Hoa minta perkenan kepada Hok Peng Taisu untuk
singgah di tempat kediaman Nelayan Cengeng, yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata
kakek nelayan itu sedang enak-enakan di atas sebuah perahu kecil,
bersenang-senang seorang diri mencari ikan sambil bernyanyi-nyanyi.
Melihat
kedatangan mereka, Nelayan Cengeng merasa girang bukan main, dan ia segera
menyatakan keinginannya untuk ikut pergi ke Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun
Su, ia menyambutnya dengan ucapan yang hampir sama dengan ucapan Hok Peng Taisu
dulu, karena ia berkata, “Aku harap akan dapat segera menyusulnya!”
Hok Peng
Taisu lalu menyerahkan pimpinan rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena dia
hendak melakukan perjalanan dari lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal
beberapa orang kenalannya.
“Kalau sudah
tiba di kaki Bukit Hoa-san, kalian tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang
datang lebih dahulu, aku pun akan menanti kalian,” kata kakek botak itu yang
lalu berkelebat pergi. Seperti juga Bu Pun Su, Kakek aneh ini tidak suka
melakukan perjalanan dengan orang lain, dan lebih suka berjalan seorang diri
saja.
Ternyata
bahwa pihak Hai Kong Hosiang telah berkumpul di Puncak Hoa-san menanti
kedatangan dua orang musuh besar, yaitu Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi
Toanio sudah berhasil mengundang datang Pok Pok Sianjin, supek-nya yang tinggal
di Puncak Go-bi-san daerah barat yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri
itu.
Wi Wi Toanio
tak berani menceritakan tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek
itu hanya menceritakan bahwa dia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan
Hok Peng Taisu dan karena merasa tidak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan
supek ini.
Sebenarnya
Pok Pok Sianjin tidak mau mempedulikan segala urusan dunia. Akan tetapi
mendengar nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu sebagai dua orang tokoh tertinggi
dari daerah selatan dan timur, maka tergeraklah hatinya hingga timbul
kegembiraannya untuk mengukur kepandaian mereka. Apakah salahnya mengukur
tenaga di dalam sebuah pibu yang adil dan dilakukan dalam suasana persahabatan?
Oleh karena inilah maka Pok Pok Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.
Sementara
itu, Swi Kiat Siansu, guru Thai Kek Losu, pada waktu dibujuk oleh Hai Kong
Hosiang yang menceritakan betapa kedua orang muridnya, yaitu Thai Kek Losu dan
Sian Kek Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong Sian, tergerak
pula hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya itu, dibela
pula oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu.
Kalau saja
kedua tokoh besar itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh dua
muridnya, tentu ia tidak akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar
tentang kesesatan murid-muridnya itu. Akan tetapi dia tergerak untuk mencoba
pula kepandaian Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.
Rombongan
Hai Kong Hosiang terdiri dari dua belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat
Siansu, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam
Hong Sin, Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok
Yang Cu. Selain dua belas orang-orang yang lihai ini, masih terdapat ratusan
perwira yang sengaja menjaga di sekitar tempat itu.
Melihat
keadaan rombongan yang berjumlah banyak ini, terutama melihat para perwira, Pok
Pok Sianjin merasa heran dan bertanya kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, kenapa
begini banyak orang berada di sini? Apakah kalian hendak mengadakan perang
besar?”
“Tidak,
Supek. Mereka adalah kawan-kawan teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk
penjagaan kalau-kalau pihak lawan membawa pula bantuan besar untuk sengaja
mencari permusuhan.”
Juga Swi
Kiat Siansu merasa heran melihat banyaknya orang menjaga di situ, maka dia
berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Aku tidak menghendaki adanya pertempuran
besar. Kalian boleh saja bertempur dan bermusuhan, akan tetapi jangan harap
untuk melibatkan diriku dalam keadaan semacam itu!”
Hai Kong
Hosiang segera menyatakan kesanggupannya untuk mencegah para perwira itu
membuat kacau dan hanya minta agar supaya Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu
menghadapi Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu di dalam pibu yang hendak diadakan.
Pok Pok
Sianjin dan Swi Kiat Siansu merasa girang dapat saling bertemu dan mereka
segera bermain catur di bawah sebatang pohon dan tidak mempedulikan lagi
keadaan di sekitarnya.
Pada saat
dua orang kakek yang sudah amat tua itu asyik bermain catur, maka datanglah
rombongan Hok Peng Taisu yang hanya terdiri dari delapan orang, yaitu Hok Peng
Taisu sendiri, Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian
dan Nelayan Cengeng.
Dengan sikap
tenang dan gagah Hok Peng Taisu berjalan memimpin semua kawannya naik bukit
Hoa-san dan sama sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret
menyambut kedatangan mereka itu.
Pada saat
Hai Kong Hosiang dan yang lain-lainnya menyambut, Hok Peng Taisu berlaku
seakan-akan tidak melihat mereka, akan tetapi langsung menghampiri kedua orang
kakek yang tengah bermain catur itu sambil tertawa dan berkata, “Kalau saja Bu
Pun Su belum meninggalkan kita, kalian berdua tentu akan dipukul hancur dalam
permainan catur ini. Sayang aku tidak pandai bermain catur!”
Pok Pok
Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sudah melihat kedatangannya, segera berdiri
sambil tertawa.
“Hok Peng,
kau nyata masih nampak sehat-sehat saja biar pun kepalamu sudah menjadi botak
dan hampir habis semua rambutmu!” kata Pok Pok Sianjin.
Sedangkan
Swi Kiat Siansu berkata dengan kecewa. “Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah
meninggalkan kita? Ah, sayang sekali...! Dari tempat jauh, aku datang karena
ingin merasakan pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi...
sungguh sayang.”
Hok Peng
Taisu tertawa pula. “Jangan kau kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguh pun Bu Pun Su
telah berpulang ke asalnya, akan tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan
mengirim seorang wakil yang akan cukup menggembirakan hatimu.”
Swi Kiat
Siansu memandang tajam. “Apa? Apakah kau mewakili dia pula?”
Hok Peng
Taisu menggeleng-gelengkan kepala. “Apa kau kira aku sedemikian serakah untuk
memborong semua kehormatan? Bukan, bukan aku, akan tetapi muridnya.” Kakek
botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin Hai yang segera menghampiri
mereka.
“Inilah
wakil Bu Pun Su, dia disebut Pendekar Bodoh!”
Cin Hai lalu
menjura dengan penuh penghormatan kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin
sambil berkata, “Teecu Sie Cin Hai yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar
dapat bertemu dengan Ji-wi Locianpwe.”
Pok Pok
Sianjin bertubuh tinggi kurus dan agak bongkok. Rambut serta kumisnya sudah
putih semua dan terurai ke bawah tak terawat sama sekali. Tangan kanannya
membawa sebatang tongkat panjang yang bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu
mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
Dia
mengangguk-angguk senang melihat sikap Cin Hai yang sopan santun. Melihat sikap
serta pandang mata pemuda itu, maklumlah dia bahwa pemuda ini adalah seorang
yang ‘berisi’.
Swi Kiat
Siansu bertubuh gemuk bulat bagai patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya
berupa sehelai kain yang dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya
memegang sebatang kipas dan agaknya dia selalu merasa kepanasan karena kipas
itu tiada hentinya digunakan untuk mengipasi tubuhnya.
Ketika
mendengar bahwa julukan pemuda itu adalah Pendekar Bodoh, kakek yang juga sudah
tua sekali ini segera menaruh hormat dan tahu bahwa orang yang menggunakan
julukan serendah itu pasti memiliki kepandaian yang berarti.
“Bagus
sekali,” kata Swi Kiat Siansu. ”Bu Pun Su, ternyata pandai memilih murid-murid,
tidak seperti aku yang selalu salah memilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula
yang telah membantuku memberi hajaran pada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian
Kek Losu?”
Cin Hai
menjawab dengan tenang. “Locianpwe, mana teecu berani memberi hajaran kepada
orang lain? Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja hendak membunuh teecu dan
kawan-kawan, maka terpaksa kami membela diri.”
Swi Kiat
Siansu mengangguk-angguk, lalu dia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong
Bengyu, kau telah berhasil mengundang aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun
Su dan Hok Peng Taisu dan kini mereka berdua telah datang, biar pun Bu Pun Su
sendiri hanya diwakili oleh muridnya. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu
ini adalah urusan kami sendiri dan kau bersama kawan-kawanmu yang banyak
jumlahnya itu tidak boleh mencampuri urusan kami. Urusan pribadi terhadap para
tamu tiada hubungannya dengan pibu ini!”
Pok Pok
Sianjin juga berkata kepada Wi Wi Toanio, “Aku telah bertemu dengan jago-jago
dari selatan dan timur, jangan mengganggu pibu ini.”
Hai Kong
Hosiang dan Wi Wi Toanio biar pun merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak
berani membantah, hanya mereka mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok
Peng Taisu kena dikalahkan, karena dengan begitu akan mudah bagi mereka untuk
menyerang Ang I Niocu dan kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap
Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su dan biar pun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai
yang mewakili Bu Pun Su, namun mereka tidak begitu jeri terhadap Cin Hai.
Sementara
itu, Hok Peng Taisu lalu menghadapi kedua kakek sakti dari barat dan utara itu
dan berkata, “Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, kita ini seperti anak-anak
kecil yang bodoh hingga dapat dibujuk oleh orang-orang muda untuk datang ke
sini sehingga saling berhadapan! Akan tetapi setelah kita bertemu di sini, maka
kita tidak perlu merasa sungkan lagi karena aku juga dapat menduga isi hati
kalian yang tentu tidak jauh bedanya dengan isi hatiku. Bukankah kalian datang
ini karena ingin menguji kepandaianku dan kepandaian Bu Pun Su?”
Swi Kiat
Siansu tertawa. “Ha-ha-ha-ha! Benar, benar! Orang-orang yang sudah terlalu tua
seperti kita ini memang kembali menjadi bocah-bocah lagi. Sayang sekali Bu Pun
Su tak dapat hadir, kalau dia ada alangkah senangnya!”
“Locianpwe,”
kata Cin Hai dengan masih menghormat, “dahulu mendiang Suhu pernah menyatakan
kekecewaannya karena tak dapat menerima penghormatan ini sendiri, akan tetapi
Suhu telah menitahkan teecu untuk mewakilinya. Oleh karena taat kepada perintah
Suhu, maka teecu melupakan kebodohan sendiri dan berani berlaku lancang
menghadapi Ji-wi Locianpwe untuk melayani Locianpwe berdua bermain-main!”
Pok Pok
Sianjin dan Swi Kiat Siansu saling pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Pendekar Bodoh,” kata Pok Pok Sianjin. “Kau terlalu merendahkan diri sendiri
dan dapat menyesuaikan dirimu, bagus sekali!”
“Locianpwe,”
Cin Hai berkata, “teecu teringat akan ujar-ujar Nabi Khong Cu yang pernah
menyatakan bahwa jika orang bodoh suka menggunakan cara sendiri dan orang
rendah berlaku agung, maka dia akan selamat. Sedangkan orang yang tak dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya dan berkukuh memegang aturan kuno
yang sudah tidak sesuai lagi, maka orang demikian itu tentu akan mengalami
bencana yang menimpa dirinya!”
“Itulah
ujar-ujar dalam kitab Tiong-yong!” seru Pok Pok Sianjin dengan kagum. “Ehh,
anak muda, kau benar-benar mengherankan! Ucapan-ucapanmu tidak pantas keluar
dari mulut seorang semuda engkau! Tahukah engkau bahwa usiamu ini membuat kau
lebih pantas menjadi cucuku? Dan kau hendak melayani kami bermain-main?”
“Locianpwe,
para bijak jaman dahulu pernah menyatakan bahwa kepandaian dan pribudi orang tak
diukur dari tinggi rendah usianya, seperti juga kebersihan lahir batin
seseorang tidak dapat dilihat dari pakaiannya! Oleh karena itu, apakah salahnya
perbedaan usia di antara kita? Apakah artinya muda dan tua? Buah yang sudah
terlalu tua akan membusuk dan kemudian jatuh ke atas tanah untuk bersemi lagi
menjadi pohon muda, dan akhirnya pun akan menjadi tua kembali! Lagi pula,
Locianpwe hanya bermaksud untuk main-main, maka biarlah teecu menerima
pengajaran dan supaya bertambah pengalaman teecu dari main-main ini!”
“Ha-ha-ha-ha!
Kau memang pandai sekali, Pendekar Bodoh!” kata Pok Pok Sianjin. “Hok Peng
Taisu, tak salah kau membawa anak muda ini! Sekarang biarlah aku bermain-main
dengan anak muda ini lebih dulu sedangkan Swi Kiat Siansu bermain-main dengan
kau, dan kemudian kita bertukar lawan!”
Hok Peng
Taisu hanya mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah Pok Pok Sianjin. Kalian
berdua pada saat ini boleh kuanggap sebagai tuan rumah, sebab itu biarlah
ketentuan-ketentuannya terserah kepadamu saja.”
Pok Pok
Sianjin lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian ia mengambil dua
biji catur dan menyerahkannya sebuah kepada Cin Hai sambil berkata, “Pendekar
Bodoh, kita masing-masing memegang sebuah biji catur dan marilah kita menaruh
biji catur ini di kepala. Kemudian kita saling serang dan berusaha menjatuhkan
biji catur itu dari atas kepala. Siapa yang biji caturnya terjatuh, harus
berani mengaku kalah!”
Cin Hai
diam-diam merasa terkejut oleh karena biar pun ‘main-main’ ini nampaknya tidak
berbahaya, namun karena biji catur itu ditaruh di atas kepala, maka untuk
menjaga agar jangan sampai biji catur itu terpukul jatuh, sama halnya dengan
menjaga kepala sendiri, sebab kepala itu tak akan terluput dari pada bahaya
pukulan! Akan tetapi, dengan tenang dia mengangguk dan lalu menaruh biji catur
itu di atas kepalanya sesudah menyingkap rambutnya sehingga biji catur itu
menyentuh kulit kepala.
“Teecu telah
siap, Locianpwe!” katanya.
“Bagus, mari
kita mulai!”
Kakek tua
yang tinggi kurus dan agak bongkok itu lalu melangkah maju dan mengebutkan
tangannya ke arah biji catur di atas kepala Cin Hai dan pemuda ini merasakan
betapa sambaran angin yang keluar dari kibasan tangan ini sungguh dahsyat dan
keras hingga ia merasa betapa rambut kepalanya tertiup keras! Ia segera
menggerakkan dua lengannya dan mainkan gerak Pek-in Hoat-sut kemudian menolak
sambaran angin itu dengan angin pukulannya, bahkan lantas membalas dengan
pukulan Mega Putih Menutup Matahari ke arah biji catur di atas kepala Pok Pok
Sianjin.
Melihat
betapa sampokannya tadi terpental kembali oleh uap putih yang keluar dari kedua
lengan Cin Hai, Pok Pok Sianjin lalu tertawa dan berkata, “Bagus, Pek-in
Hoat-sut yang kau mainkan ini mengingatkan aku kepada Bu Pun Su! Ha-ha-ha-ha,
kau benar-benar merupakan Bu Pun muda!”
Kemudian dia
menyerang kembali dengan kebutan tangan atau tamparan yang dilakukan dengan
cepat serta mendatangkan angin pukulan yang hebat. Cin Hai berlaku waspada dan
hati-hati sekali. Ia cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil
balas menyerang.
Demikianlah,
kedua orang itu saling serang dengan hebatnya dan biar pun tubuh mereka
berkelebatan ke sana ke mari, akan tetapi belum pernah kedua lengan tangan
mereka beradu karena mereka mempergunakan lweekang dan ginkang untuk menyerang
lawan dengan angin pukulan saja!
Nelayan
Cengeng beserta kawan-kawan lainnya yang menonton pertempuran ini hatinya
merasa berdebar-debar penuh ketegangan karena sungguh pun mereka berdua itu
hanya ‘main-main’ belaka, namun kehebatan pertandingan itu lebih mendebarkan
hati dari pada pertempuran dua ekor naga yang saling terkam! Juga Hok Peng
Taisu memandang tajam dan diam-diam ia mengagumi kelincahan dan ketenangan Cin
Hai.
Harus
diketahui bahwa pertandingan adu kepandaian semacam ini lebih berat dari pada
pertandingan dalam pertempuran biasa karena di dalam pertandingan bersyarat ini
orang harus membagi dua perhatiannya, yaitu selain menjaga pukulan lawan juga
harus dapat menjaga supaya biji catur di atas kepala itu jangan tergelincir
jatuh di waktu tubuh mereka bergerak. Dengan tenaga khikang tentu dapat
menyedot biji catur itu hingga seakan-akan menempel pada kulit kepala, akan
tetapi sebentar saja perhatian mereka terlepas, maka biji catur itu ada kemungkinan
terguling ke bawah yang berarti kekalahan bagi mereka!
Supaya dapat
melakukan hal ini dibutuhkan kepandaian tinggi serta khikang yang sudah
sempurna, maka Pok Pok Sianjin sengaja memilih cara ini karena bila mana anak
muda itu tidak sanggup melakukannya berarti bahwa kepandaiannya belum cukup
tinggi untuk melayaninya!
Akan tetapi,
alangkah kagum hatinya ketika melihat bahwa bukan saja Cin Hai sanggup
melakukan permainan ini dengan begitu baik, bahkan dapat juga melancarkan
serangan balasan yang cukup mengejutkannya! Dia tidak tahu bahwa Cin Hai sudah
mempelajari pokok-pokok pergerakan silat dengan sempurna sehingga dapat menduga
ke mana arah serangan lawannya, sehingga sungguh pun ia harus mengakui bahwa
lweekang dari Pok Pok Sianjin lebih tinggi dari pada lweekang-nya sendiri, akan
tetapi oleh karena dia telah mengetahui lebih dulu arah serangan lawan, maka
dia dapat menjaga diri lebih cepat dari pada lawannya.
Tipu
berganti tipu dan ilmu bertukar ilmu, akan tetapi setelah bertempur lima puluh
jurus, belum juga Pok Pok Sianjin berhasil mengalahkan Cin Hai. Ia makin
menjadi kagum dan juga penasaran, dan ketika Cin Hai mainkan ilmu serangan yang
baru-baru ini dia terima dari Bu Pun Su, yakni Ilmu Serangan Halilintar
Menyambar Hujan, pukulan-pukulannya telah berhasil membuat biji catur di atas
kepala Pok Pok Sianjin menjadi miring.
Bukan main
kagum dan terkejutnya hati Pok Pok Sianjin saat melihat hebatnya serangan
pemuda itu, hingga dia berseru keras memuji.
“Kau
benar-benar murid Bu Pun Su tulen!” katanya sambil menyambar tongkatnya yang
tadi ditancapkan di atas tanah. “Keluarkan senjatamu, Pendekar Bodoh, dan
marilah kita bermain-main dengan senjata agar lebih menyenangkan!”
Cin Hai
dengan hati gelisah terpaksa mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam. Akan tetapi
oleh karena suara kakek itu diliputi dengan kegembiraan, ia menenteramkan
hatinya dan menggerakkan pedang itu dengan cepat.
“Pedang
bagus!” Pok Pok Sianjin memuji pula.
Tongkatnya
segera berkelebat dengan hebatnya sehingga Cin Hai merasa amat kagum. Belum
pernah dia menyaksikan ilmu tongkat sehebat ini. Biar pun ilmu pedangnya sudah
mencapai tingkat tinggi sekali hingga tidak mudah orang melawannya, tetapi
menghadapi ilmu tongkat Pok Pok Sianjin, ia benar-benar tidak berdaya.
Tentang
kecepatan bergerak dan lihainya perubahan gerakan, mungkin ilmu pedangnya tidak
kalah karena beberapa kali Pok Pok Sianjin mengeluarkan seruan kaget akibat
tidak menduga perubahan yang tiba-tiba terjadi pada pedang Cin Hai, akan tetapi
permainan tongkat kakek ini mengandung tenaga-tenaga yang mukjijat. Tongkat di
tangannya itu seolah-olah hidup sehingga dapat digunakan untuk menempel,
memutar, membetot, atau mendorong dengan tenaga yang cocok sekali hingga
beberapa kali hampir saja pedang Cin Hai kena dirampas.
Cin Hai lalu
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan oleh karena ilmu pedangnya Daun Bambu
memang sungguh hebat dan dapat disesuaikan dengan kepandaian lawan yang
bagaimana pun juga, maka dia dapat melakukan perlawanan cukup seru. Tetapi dia
kalah pengalaman dan juga ilmu tongkat Pok Pok Sianjin itu memang lain dari
pada yang lain hingga lagi-lagi ketika dia menusuk, pedangnya kena ditempel
oleh tongkat itu.
Kakek itu
memutar-mutar tongkatnya dan ternyata tenaga putaran itu luar biasa kuatnya.
Pedang Cin Hai ikut terputar dan tiba-tiba saja tongkat itu meluncur ke atas
kepalanya, menyabet biji catur itu dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.
Cin Hai
terkejut sekali, akan tetapi anak muda ini memang mempunyai ketenangan yang
sempurna dan kecerdikan luar biasa. Melihat bahwa ia tak dapat mengelak lagi,
apa lagi menangkis, ia lalu berseru keras dan mengerahkan khikang-nya hingga
tiba-tiba biji catur di atas kepalanya mumbul setengah kaki lebih dan setelah
tongkat kakek itu lewat di atas kepalanya, biji catur itu turun kembali di atas
kepalanya seperti tadi.
Hal ini
membuat semua orang yang menonton berseru kagum dan juga Pok Pok Sianjin
tertawa bergelak-gelak sambil menancapkan tongkatnya di atas tanah lagi.
“Ha-ha-ha-ha!
Dasar kau murid Bu Pun Su selain lihai juga cerdik dan licin sekali. Kau pantas
sekali disebut Pendekar Bodoh! Hebat, hebat!” Pok Pok Sianjin berseru dengan
gembira sekali sambil menepuk-nepuk pundak Cin Hai.
Pemuda ini
merasa betapa tangan kakek yang menepuk pundaknya seperti orang memuji itu
berat sekali, maka cepat-cepat dia lalu mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Pok
Pok Sianjin merasa betapa pundak pemuda itu lemas bagaikan kapuk! Ia
memperhebat suara ketawanya dan Cin Hai menyimpan pedang sambil menjura dan
berkata,
“Locianpwe
kalau teecu bisa mempelajari ilmu tongkatmu, teecu akan merasa berbahagia
sekali!”
Bukan main
senangnya hati Pok Pok Sianjin mendengar ucapan ini karena ucapan ini saja
menunjukkan betapa pemuda itu menghargainya, maka dia tertawa lagi dan berkata,
“Kalau ada jodoh dan usiaku masih panjang, aku akan senang sekali mewariskan
ilmu tongkat ini kepada salah seorang keturunanmu!”
Walau pun
ucapan ini dikeluarkan seperti main-main belaka dan sambil lalu, akan tetapi
Cin Hai mencatat di dalam hati dengan baik-baik.
Swi Kiat
Siansu dan Hok Peng Taisu juga memuji kepandaian mereka yang baru saja mengadu
kepandaian dan kini kedua orang itu saling pandang. “Sekarang tiba giliran
kita, Hok Peng Taisu. Sudah lama aku mengagumi Ilmu Silat Bambu Runcingmu,
marilah kita main-main sebentar.”
Hok Peng
Taisu tersenyum dan tidak mau berlaku sungkun-sungkan lagi. Dia langsung
memegang sepasang tongkat bambunya pada kedua tangan dan sesudah menjura lantas
berkata, “Mana sepasang tongkat bambuku dapat dibandingkan dengan kipas
mautmu?”
Memang
senjata Swi Kiat Siansu ialah kipas yang selalu dipakai untuk mengebut-ngebut
tubuhnya itu. Kipas ini sangat lebar dan gagangnya terbuat dari pada gading
gajah yang ujungnya runcing, sedangkan permukaannya terbuat dari pada kulit
harimau yang sudah direndam obat sehingga menjadi kuat dan keras. Kini dia
memegang kipas itu di tangan kanan dan siap menanti datangnya serangan lawan.
“Karena pibu
ini harus dilakukan dengan kepala dingin, maka lebih baik kita gunakan pula
syarat seperti yang dilakukan oleh Pok Pok Sianjin tadi,” kata Swi Kiat Siansu.
“Terserah
kepadamu, Sahabat, karena seperti telah kukatakan tadi, sebagai tuan rumah kau
berhak mengambil penentuan,” jawab Hok Peng Taisu.
“Baiknya
diatur begini saja. Kalau seorang di antara kita sampai kena diserang ujung
baju atau ujung lengan bajunya hingga robek, maka dia dianggap kalah.”
Hok Peng
Taisu mengangguk dan tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa pihak
lawan benar-benar tidak menghendaki pertempuran mati-matian.
“Baik, baik.
Mari kita mulai!”
Dua orang
kakek tua itu segera bergerak dan sebentar saja mereka berdua lenyap dalam
sebuah pertempuran yang memusingkan pandangan mata orang yang kurang tinggi
ilmu kepandaiannya. Gerakan mereka sama cepat dan gerakan senjata mereka sama
lihai, hingga bayangan mereka terkurung oleh gulungan sinar senjata yang
berkelebatan hebat sekali.
Semua orang
yang menonton pertempuran ini merasa kagum dan juga khawatir karena agaknya di
dalam pertempuran semacam ini tidak mungkin dapat menang apa bila tidak
merobohkan lawan dengan serangan maut!
Akan tetapi
bagi Hok Peng Taisu dan Swi Kiat Siansu yang sedang bertempur, mereka berdua
maklum akan tingkat kepandaian lawan yang seimbang. Akan tetapi betapa pun juga
Swi Kiat Siansu secara diam-diam mengakui bahwa Ilmu silat Bambu Runcing dari
Hok Peng Taisu benar-benar lihai sekali dan masih dapat menekan permainan
kipasnya sendiri! Dia terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
menjaga diri dan demikianlah, mereka bertempur dengan hebat sampai puluhan
jurus lamanya.
Tiba-tiba
terdengar Swi Kiat Siansu berseru, “Aku mengaku kalah!“
Sedangkan
Hok Peng Taisu juga berseru, “Kau lihai sekali!”
Dan
kedua-duanya melompat ke belakang sambil menahan senjata masing-masing dan
menjura sebagai penghormatan kepada lawan. Ternyata bahwa sepasang bambu runcing
Hok Peng Taisu telah berhasil melobangi jubah Swi Kiat Siansu di kanan kiri
sedangkan ujung lengan baju Hok Peng Taisu pada saat yang sama juga kena
terobek oleh gagang kipas kakek gemuk itu! Melihat hal ini mudah diputuskan
bahwa Hok Peng Taisu masih menang setingkat.
Swi Kiat
Siansu berkata kepada Pok Pok Sianjin sambil tertawa, “Memang orang-orang
selatan dan timur lebih rajin melatih diri dari pada kita.” Kemudian ia
menghadapi Cin Hai dan berkata, “Pendekar Bodoh, marilah kita main-main
sebentar, ingin aku merasakan lihainya ilmu pedangmu!”
Cin Hai lalu
mencabut Liong-cu-kiam-nya dan bersiap sedia. Suhu-nya pernah berpesan agar
supaya berhati-hati menghadapi kakek gemuk ini oleh karena meski pun tabiatnya
jujur dan baik, akan tetapi Swi Kiat Siansu memiliki dasar watak yang enggan
mengaku kalah. Lain halnya dengan Pok Pok Sianjin yang lebih berani mengaku
kalah dan juga berani pula mengaku salah. Kini menghadapi kakek gemuk ini, Cin
Hai berlaku hati-hati sekali.
“Locianpwe,
sebelumnya terima kasih atas pengajaranmu ini. Apakah syaratnya masih sama
dengan tadi, yaitu saling berusaha menyerang pakaian?”
“Ya, dan kau
berhati-hatilah menjaga kipasku supaya aku jangan sampai salah tangan!” Sambil
berkata demikian, Swi Kiat Siansu lalu maju menyerang kepada Cin Hai.
Kakek gemuk
ini biar pun tadi mengakui keunggulan Hok Peng Taisu, namun diam-diam dia
merasa jengkel dan penasaran juga, maka kini menghadapi Cin Hai, dia mengambil
keputusan untuk mencari kemenangan untuk menebus kekalahannya yang tadi. Maka
tak heran apa bila kipasnya bergerak dengan kecepatan yang sukar untuk dapat
diikuti oleh pandangan mata, merupakan gulungan sinar kuning yang menggulung
dengan dahsyat ke arah tubuh Cin Hai!
Cin Hai
terkejut dan cepat mainkan pedangnya untuk melindungi dirinya dan setiap kali
pedangnya bertemu dengan gagang kipas dia merasa betapa telapak tangannya
tergetar! Dari bentrokan ini saja dia dapat mengukur sampai di mana kehebatan
tenaga lawannya, maka dengan penuh ketekunan dan hati-hati sekali dia segera
mainkan ilmu pedangnya, Daun Bambu dengan tangan kanan, sedangkan untuk menjaga
diri, tangan kirinya lantas melakukan gerakan-gerakan Pek-in Hoat-sut.
Sementara
itu Pok Pok Sianjin berkata kepada Hok Peng Taisu, “Hok Peng Taisu marilah kita
main-main sebentar agar aku mengenal lebih baik bambu runcingmu!”
“Mari!” Hok
Peng Taisu menjawab sambil tersenyum dan bersiap sedia dengan sepasang bambu
runcingnya.
Keduanya
lalu menggerakkan senjata masing-masing dan bertempur seru. Sungguh pun di
antara keduanya tidak menggunakan syarat apa-apa, akan tetapi sebagai
tokoh-tokoh berilmu tinggi mereka bisa menjaga diri. Biar pun serangan-serangan
mereka merupakan pukulan maut, akan tetapi di dalam hati sama sekali tidak
memiliki niat atau nafsu untuk membunuh atau melukai lawan.
Hai Kong
Hosiang beserta kawan-kawannya merasa kecewa sekali melihat betapa empat orang
itu mengadu kepandaian secara persahabatan, oleh karena kini lenyaplah harapan
mereka untuk mengalahkan Hok Peng Taisu mau pun Cin Hai. Biar pun andai kata
kalah terhadap Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, tetapi kekalahan itu belum
tentu membuat Hok Peng Taisu dan Cin Hai mundur untuk membela kawan-kawan
lainnya yang hendak mereka basmi.
Kini melihat
betapa keempat orang itu sedang bertempur dengan serunya, diam-diam dia
mengeluarkan jarum-jarumnya yang mengandung racun Ular Hijau yang amat
berbahaya itu lalu tiba-tiba saja dia mengayunkan tangannya menyerang dengan
jarum-jarumnya ke arah Cin Hai dan Hok Peng Taisu!
Pada saat
itu, pertempuran antara Cin Hai dan Swi Kiat Siansu sedang berjalan dengan
ramai-ramainya. Biar pun Cin Hai sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya, namun
pada suatu saat, kipas pada tangan Swi Kiat Siansu menyambar sedemikian
hebatnya sambil mengibas dengan tenaga sepenuhnya hingga pedang Cin Hai kena
disampok dan lepas dari pegangan!
Akan tetapi,
dalam kagetnya, Cin Hai lalu menggunakan tangan kiri melancarkan pukulan
Halilintar Menyambar Hujan yang mengandung daya pukulan luar biasa sekali.
Pukulan ini ditujukan kepada kipas di tangan Swi Kiat Siansu dengan tenaga
sepenuhnya dan…
“Brakk!”
Permukaan
kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu menjadi robek dan hancur
berkeping-keping sedangkan pedang Liong-cu-kiam yang terpental dari tangan Cin
Hai, menancap di atas lantai!
Pada saat
itulah datangnya jarum-jarum dari Hai Kong Hosiang secara tiba-tiba. Cin Hai
yang masih tergetar oleh pukulan kipas tadi mendengar datangnya angin senjata
rahasia yang lembut itu. Ia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja ada sebatang
jarum Ular Hijau menancap pada pundaknya hingga dia terhuyung-huyung lalu roboh
dengan tubuh terasa panas sekali.
Akan tetapi
ia cepat dapat mengerahkan lweekang-nya untuk menolak pengaruh racun itu hingga
ia masih dapat menguasai dirinya dan tidak menjadi pingsan. Sambil bersila ia
lalu mengatur napas dan memelihara jalan darahnya.
Sementara
itu, Swi Kiat Siansu yang merasa terkejut sekali karena senjata kipasnya kena
dipukul hancur oleh Cin Hai, kini melihat betapa pemuda itu terkena serangan
senjata rahasia yang dilepas oleh Hai Kong Hosiang, menjadi marah sekali.
“Bangsat
gundul curang!” bentaknya marah. “Kau membikin malu saja kepadaku!” Sambil
berkata demikian, dia lalu menyambit dengan gagang kipasnya yang masih
terpegang di dalam tangannya.
Gagang kipas
itu meluncur cepat menuju ke arah tenggorokan Hai Kong Hosiang yang cepat
mengelak hingga mengenai tempat kosong. Swi Kiat Siansu masih penasaran dan
cepat tubuhnya berkelebat ke arah Hai Kong Hosiang kemudian menyerangnya dengan
pukulan tangan terbuka.
Hai Kong
Hosiang bukanlah orang yang lemah dan ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat
tinggi, maka tentu saja ia dapat mengelak dan membalas dengan pukulan nekat. Ia
maklum bahwa ia telah gagal mengharapkan bantuan kakek ini yang sekarang bahkan
menyerangnya karena marah melihat kecurangannya tadi, maka sambil berseru keras
ia melawan sekuat tenaga, berkali-kali ia berjungkir balik, kepala di bawah dan
kaki di atas sambil menggerak-gerakkan dua kakinya untuk menyerang Swi Kiat
Siansu secara hebat sekali.
Tentu saja
Swi Kiat Siansu makin marah dan dengan seruan keras ketika kaki Hai Kong
Hosiang menendang ke arah kedua pundaknya, dia lantas menangkap kaki itu dan
cepat membanting tubuh Hai Kong Hosiang yang tinggi besar itu ke atas batu
karang! Segera terdengar pekik keras dan kepala hwesio jahat itu pecah
berantakan ketika dibenturkan kepada batu karang!
Sementara
itu, Lin Lin lalu berlari menghampiri Cin Hai dan memeluk kekasihnya dengan
hati bingung. Ada pun Hok Peng Taisu yang sedang bertempur mengadu kepandaian
dengan Pok Pok Sianjin, cepat melompat mundur dan menghampiri Swi Kiat Siansu
yang masih marah sekali itu.
Melihat
kesedihan Lin Lin, Swi Kiat Siansu lalu mengeluarkan sebotol obat warna merah.
Sebagai seorang pertapa di daerah Mongolia ia maklum akan berbahayanya
jarum-jarum Ular Hijau dan dia tahu pula obatnya, karena dia pun adalah seorang
ahli pengobatan. Untuk menjaga diri, dia selalu membawa obat-obat anti racun
dan obat Semut Merah tersedia pula dalam saku bajunya.
Dengan amat
berterima kasih, Lin Lin cepat meminumkan obat itu kepada Cin Hai dan seketika
itu juga sembuhlah Cin Hai. Akan tetapi, seperti Lin Lin dulu, begitu dia
sembuh, perang tanding antara Racun Ular Hijau dan Obat Semut Merah itu lalu
mempengaruhi otaknya dan tiba-tiba dia menjadi marah sekali. Hanya karena
kekuatan batinnya sudah jauh lebih kuat dari pada Lin Lin, maka dia masih dapat
membedakan mana kawan mana lawan.
Pada suatu
saat, Wi Wi Toanio beserta kawan-kawannya datang menyerbu, diikuti oleh perwira-perwira
di bawah perintah Kam Hong Sin. Cin Hai langsung melompat ke atas, memungut
pedangnya yang menancap di tanah, lalu mengamuk hebat sekali. Juga Lin Lin, Ang
I Niocu, Lie Kong Sian, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng tidak mau tinggal
diam dan menyambut serbuan musuh yang besar jumlahnya itu.
Perang
tanding terjadi amat hebatnya, sedangkan Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, dan
Hok Peng Taisu merasa segan untuk ikut mencampuri pertempuran itu, sungguh pun
mereka merasa penasaran melihat betapa Cin Hai dan kawan-kawannya dikeroyok
oleh sekian banyak orang.
Dalam
kemarahannya yang bukan sewajarnya, Cin Hai mendesak Wi Wi Toanio, Siok Kwat
Mo-li, dan Lok Kun Tojin yang mengeroyoknya. Pedang Liong-cu-kiam di tangannya
menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya hingga ketiga orang pengeroyoknya yang
berilmu tinggi itu merasa kewalahan karena belum pernah mereka menyaksikan
sepak terjang yang demikian hebatnya!
Dalam jurus
ke dua puluh lebih, Wi Wi Toanio kena terbabat pinggangnya oleh pedang
Liong-cu-kiam sehingga sambil menjerit wanita itu roboh mandi darah dan tewas
seketika itu juga! Siok Kwat Moli dan Lok Kun Tojin terkejut dan gentar hingga
gerakan mereka menjadi lambat karenanya.
Cin Hai
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua kali ia membuat gerakan tangan
kanan menusuk dan tangan kirinya melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan
ke arah Lok Kun Tojin. Terdengar pekik mengerikan ketika pedang itu menembus
dada Siok Kwat Mo-li dan pukulan tangan kirinya yang dahsyat memecahkan kepala
Lok Kun Tojin.
Setelah
membunuh tiga orang lawannya, tiba-tiba Cin Hai merasa pening dan mengantuk
sekali dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling dan telah tidur
mendengkur sambil memegang pedang Liong-cu-kiam yang telah menjadi merah karena
darah.
Sementara
itu, pertempuran masih berjalan hebat dan Ang I Niocu dan kawan-kawannya
mengamuk hebat serta menjatuhkan banyak korban di pihak lawan. Akan tetapi
musuh terlampau banyak hingga mereka terdesak hebat.
Tiba-tiba
berkelebat tiga bayangan orang dan di mana saja tubuh mereka menyambar,
senjata-senjata para perwira terpental ke atas. Mereka ini ternyata adalah tiga
orang kakek sakti yang tidak tahan pula melihat pertempuran itu karena merasa
ngeri melihat banyaknya darah berhamburan. Sambil bergerak mereka berseru,
“Tahan pertempuran, tahan!”
Semua orang
merasa jeri juga melihat mereka ikut turun tangan, karena itu semua lalu
mengundurkan diri.
Dengan marah
Swi Kiat Siansu lalu menghadapi Kam Hong Sin dan kawan-kawannya sambil berkata,
“Kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah panglima kerajaan, sekarang juga tentu
kuhancurkan kepalamu! Kau telah bersekutu dengan Hai Kong yang jahat, dan
dengan tipu muslihat kalian berhasil mengundang aku bersama Pok Pok Sianjin
sehingga terpaksa kami turun gunung membuat dosa-dosa baru. Tapi, tidak tahunya
kalian hendak menggunakan kami agar memusuhi orang-orang baik dan membela Hai
Kong yang jahat. Lihatlah bukti kekuasaan dan keadilan Tuhan Yang Agung. Mereka
yang jahat menemui kematian mengerikan!” Ia menuding ke arah mayat Hai Kong
Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Siok Kwat Mo-li. “Biarlah kali ini menjadi pelajaran
bagimu agar supaya lain kali di dalam menjalankan tugas, kau akan berlaku
hati-hati dan dapat mempertimbangkan orang yang baik dan yang jahat!”
Kam Hong Sin
memberi hormat dan berkata dengan tegas, “Locianpwe, siauwte adalah seorang
petugas yang hanya menjalankan kewajiban siauwte sebagai seorang panglima. Anak
murid Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu ini telah merampas harta pusaka dan mereka
membagikan harta pusaka kepada mereka yang tidak berhak. Padahal harta pusaka
itu adalah hak milik kerajaan. Bagi siauwte, lebih baik mati sebagai seorang
perwira yang menjalankan tugasnya dari pada mati sebagai seorang pengkhianat.”
Mendengar
ucapan yang gagah dan patut dihargai ini, Hok Peng Taisu melangkah maju dan
berkata, “Kam-ciangkun, aku sudah lama mendengar bahwa engkau adalah seorang
perwira yang gagah, dan ternyata bahwa hal ini ada betulnya. Akan tetapi,
agaknya kau masih terlampau muda untuk memegang jabatan tinggi itu hingga
pertimbanganmu belum masak benar. Ketahuilah bahwa harta pusaka itu adalah
hasil rampokan di jaman dahulu, dan rakyat yang dirampok. Maka aku dan
kawan-kawan lain mengembalikan harta itu dan membagi-bagikan kepada para rakyat
miskin, bukankah ini sudah adil namanya? Apakah artinya harta sekian banyak itu
bagi Kaisar yang sudah kaya? Akan tetapi besar sekali artinya bagi rakyat yang
hampir tak dapat makan karena miskinnya!”
Kam Hong Sin
merasa terpukul oleh ucapan ini dan dia lalu menjura dan bertanya, “Kalau betul
siauwte telah salah jalan, habis apakah yang sekarang harus kulakukan?”
“Lekaslah
tarik mundur anak buahmu dan bawalah semua orang yang tewas untuk diurus
sebaiknya. Kemudian, setiap langkahmu harus kau perhatikan baik-baik agar kau
jangan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang gagah, agar kau dapat
memperhatikan dan membedakan antara orang-orang gagah dengan penjahat-penjahat
seperti Hai Kong Hosiang itu!” kata Hok Peng Taisu.
Kam Hong Sin
lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat semua korban dan dibawa turun
gunung, sedangkan kawan-kawannya pun ikut turun gunung pula. Ceng To Tosu
menghampiri Cin Hai yang sementara itu telah didekati oleh Lin Lin dan telah
sadar kembali, sembuh seperti sedia kala. Bahkan anak muda ini sudah lupa bahwa
dia telah membunuh Siok Kwat Mo-li, Wi Wi Toanio, dan Lok Kun Tojin.
Ceng To Tosu
yang selalu mewek itu menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Sie-taihiap, kau
maafkan pinto yang sudah lancang tangan sehingga terbawa-bawa dalam urusan ini,
karena pinto hanya memenuhi tugas sebagai pembantu kerajaan Kaisar.”
Cin Hai
tersenyum. “Tidak apa, Totiang, dan maaf sama-sama. Kita semua menunaikan tugas
masing-masing, hanya sayangnya dalam bidang lain sehingga timbullah kesalahan
paham ini.” Ceng To Tosu mengangguk-angguk dan mulutnya semakin mewek bagaikan
benar-benar hendak menangis.
“Aku juga
minta maaf, Taihiap,” berkata Ceng Tek Hwesio sambil tertawa-tawa gembira,
seakan-akan baru saja tadi bukan terjadi perang hebat, akan tetapi pesta minum
arak yang menggirangkan hatinya!
“Kau adalah
orang yang paling berbahagia, Ceng Tek Hwesio, dan semoga kau masih panjang
usia sehingga kelak kita dapat bertemu kembali,” jawab Cin Hai.
Keduanya
lalu mengundurkan diri, berlari-lari menyusul rombongan Kam Hong Sin turun
gunung.
Cin Hai dan
kawan-kawannya lalu menghampiri Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin dan pemuda
itu menjatuhkan diri berlutut lalu berkata, “Ji-wi Locianpwe yang mulia, teecu
menghaturkan banyak terima kasih atas budi serta kebaikan Locianpwe berdua yang
telah dapat menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kebijaksanaan. Terutama
sekali kepada Swi Kiat Siansu Locianpwe, terima kasih atas pertolongan kepada
teecu.” Cin Hai tadi telah mendengar dari Lin Lin akan pertolongan yang
diberikan oleh kakek itu kepadanya.
Bukan main
kagum dan senangnya hati kedua tokoh dari barat dan utara itu melihat sikap Cin
Hai yang meski pun tingkat ilmu kepandaiannya tidak lebih rendah dari pada
mereka, akan tetapi telah berani bersikap demikian sopan santun dan merendah.
Swi Kiat Siansu mengangkat bangun kepadanya dan berkata,
“Sikapmu ini
telah menjatuhkan hati kami, Pendekar Bodoh. Bukan kepandaian saja yang bisa
menjatuhkan seseorang, akan tetapi sikap yang baik jauh lebih berpengaruh.
Melihat sikapmu saja, kami dapat mengetahui bahwa permusuhan antara pihakmu
dengan pihak Hai Kong, pihakmu yang berada di pihak benar. Sekarang maafkan
kami. Tentang ilmu kepandaian, terus terang kunyatakan bahwa orang-orang
selatan dan timur benar-benar pandai, tidak seperti kami yang menyembunyikan
diri dan lupa untuk berlatih diri.”
“Kalian
jangan terlalu merendah,” jawab Hok Peng Taisu. “Ilmu kipas dari Swi Kiat
Siansu sungguh mengagumkan, sedangkan ilmu tongkat Pok Pok Sianjin benar-benar
membuat aku merasa tunduk.” Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan merendah, kedua
kakek dari barat dan utara itu lalu berkelebat pergi.
Sedangkan
Hok Peng Taisu lalu berkata, “Untung sekali bahwa persoalan ini dapat
diselesaikan dengan mudah. Sekarang kalian pulanglah dan jauhkan diri dari
segala persengketaan yang tak perlu. Ma Hoa kalau kelak kau melangsungkan
pernikahanmu, jangan lupa mengundang aku untuk minum arak!” Setelah berkata
demikian, kakek botak ini pun lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Nelayan
Cengeng tertawa bergelak karena girangnya dan air matanya mengalir keluar.
“Ha-ha-ha! Memang yang benar selalu pasti menang! Sekarang segala hal sudah
beres, dan aku pun ingin sekali segera menyaksikan kalian semua melangsungkan
pernikahan dan membangun rumah tangga yang bahagia!”
Cin Hai
menyatakan bahwa dia bersama Lin Lin hendak bersembahyang dahulu di depan Goa
Tengkorak sebagai penghormatan terakhir dan sebagai laporan kepada mendiang
suhu-nya bahwa tugas sudah diselesaikan dengan baik. Setelah berjanji akan
bertemu di Tiang-an dengan kawan-kawannya, sepasang teruna remaja ini dengan cepat
lalu turun gunung.
Nelayan
Cengeng tertawa girang. “Lebih cepat dilangsungkan pernikahan mereka dan
pernikahan Ma Hoa, lebih baik lagi. Marilah kita langsung menuju ke Tiang-an.
Dan Niocu hendak pergi ke manakah?” tanyanya kepada Ang I Niocu.
Dara Baju
Merah itu tak dapat menjawab dan Ma Hoa tersenyum lalu menggoda sambil
mengerling ke arah Lie Kong Sian. “Syarat-syarat telah dipenuhi semua, mau
tunggu apa lagi? Lie-taihiap, kenapa kau diam saja?”
Lie Kong
Sian maklum akan maksud kata-kata ini, biar pun ia merasa malu dan mukanya
menjadi merah, akan tetapi karena ia berhati jujur dan polos, ia lalu berkata
kepada Ang I Niocu, “Moi-moi, di depan kawan-kawan baik yang menjadi saksi,
biar kuulangi lagi pinanganku yang dulu itu. Benar sebagaimana kata Nona Ma Hoa
tadi, semua syarat-syaratmu telah terpenuhi. Sie-sute dan Nona Lin Lin telah
bertemu kembali, Sute-ku Song Kun juga telah tewas, dan kita telah mendapat
persetujuan dari mendiang Supek Bu Pun Su.”
Merahlah
muka Ang I Niocu, melebihi merahnya warna bajunya! Sambil menundukkan
kepalanya, ia pun berkata, “Dulu pernah kukatakan bahwa selain yang tiga itu,
masih ada sebuah syarat lagi.”
“Apakah itu?
Biarlah kawan-kawan menjadi saksi, aku akan memenuhi syarat ke empat ini,
betapa pun beratnya!”
Ang I Niocu
mengerling tajam. “Pantaskah diucapkan di sini?”
Nelayan
Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Niocu, di antara kawan sendiri,
mengapa harus malu-malu? Atau, haruskah kami bertiga pergi dulu dari sini?”
Makin
malu-lah Ang I Niocu mendengar ini. Ia menjadi serba salah, kemudian dia
berkata perlahan, “Syarat yang ke empat adalah cita-citaku semenjak dulu, yaitu
orang yang patut menjadi suamiku harus lebih dulu dapat menjatuhkan aku dalam
sebuah pertandingan!”
Tercenganglah
semua orang mendengar syarat ini, tidak terkecuali Lie Kong Sian. Akan tetapi,
Lie Kong Sian dengan tenang-tenang saja lalu berkata, ”Baiklah apa bila
demikian kehendakmu, terpaksa aku akan berusaha menjatuhkanmu!”
Ang I Niocu
mencabut Liong-cu-kiamnya dan bersiap menghadapi tunangannya. Ma Hoa, Kwee An,
dan Nelayan Cengeng lalu mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dari tempat
yang akan dijadikan gelanggang pertempuran antara kedua orang itu.
“Cobalah
kalau bisa!” kata Ang I Niocu dengan mata bersinar gembira dan bibir tersenyum
manis. Sikapnya menantang sekali, karena dia merasa telah dapat mempermainkan
Lie Kong Sian dan karena ia merasa bahwa nilai dirinya telah naik!
“Jagalah!”
seru Lie Kong Sian sambil mencabut pedangnya pula lantas maju menyerang dengan
hebat.
Sebentar
saja kedua orang itu bertempur hebat sekali hingga tubuh mereka seakan-akan
menjadi satu gulungan warna merah dari baju Ang I Niocu dan warna biru dari
baju Lie Kong Sian!
Diam-diam
Lie Kong Sian menggunakan tangan kirinya melepaskan dua helai tali sutera warna
hijau dan menggenggam tali itu pada tangannya. Kemudian, ketika pedang Ang I
Niocu menyambar, dia sengaja memasang pundaknya untuk menerima tusukan itu!
Ang I Niocu
terkejut sekali dan sambil menjerit ngeri ia miringkan pedangnya agar jangan
sampai menusuk pundak Lie Kong Sian, tetapi terlambat! Pedangnya masih
menggores bahu kanan Lie Kong Sian hingga bajunya robek dan mengalirlah darah
dari bajunya.
Akan tetapi
Lie Kong Sian yang memang sengaja melakukan hal ini, mempergunakan kesempatan
selagi Ang I Niocu terkejut dan menyesal, tangan kirinya bergerak cepat dan
tahu-tahu sutera hijau itu telah melayang dan melibat kedua tangan Ang I Niocu
yang terus dibetotnya dan sekali dia menggerakkan tangan kiri lagi, tali sutera
ke dua langsung melayang dan membelit pergelangan kaki gadis itu!
Beberapa
kali dia menggerakkan tangan dan tali-tali itu sudah mengikat kedua kaki dan
kedua tangan Ang I Niocu dengan kencang, sedangkan pedang Liong-cu-kiam juga
telah terampas oleh Lie Kong Sian! Tubuh Ang I Niocu terguling dan kini dia
rebah setengah duduk di atas tanah dengan kaki tangan terbelenggu!
Ia menjadi
bingung sekali dan berkata, “Lepaskan aku, lepaskan!”
Akan tetapi
Lie Kong Sian hanya berdiri bertolak pinggang sambil memandang dengan
tersenyum!
“Lepaskan...
lepaskan aku...!” Ang I Niocu berkata lagi dan ia hampir saja menangis.
Dia
meronta-ronta dan mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk dapat melepaskan diri
dari pada belenggu itu. Akan tetapi tali sutera itu terbuat dari pada bahan
yang tidak saja kuat dan ulet sekali, akan tetapi juga mempunyai sifat lunak
dan dapat mulur sehingga tenaga lweekang-nya tiada berguna!
Terdengar
suara tawa bergelak-gelak dari Nelayan Cengeng yang segera menghampiri Ang I
Niocu. Juga Kwee An dan Ma Hoa menghampirinya sambil tertawa-tawa.
“Lo-enghiong,
Kwee An, Ma Hoa! Lekas lepaskan aku...!” kata Ang I Niocu dengan suara memohon
karena Dara Baju Merah ini merasa malu sekali.
“Ha-ha-ha!” Nelayan
Cengeng tertawa geli hingga air matanya mengalir keluar di sekujur pipinya.
“Mempelai wanita sudah tertawan...! Ha-ha-ha!” Kakek ini dengan gelinya tertawa
gembira dan sama sekali tak mau menolong Ang I Niocu.
“Kwee An,
tolonglah aku!” kata Ang I Niocu.
Sambil
mengangkat jari telujuknya, Kwee An berkata, “Niocu, kini kau sudah mendapat
bukti akan kelihaian calon suamimu! Tidak boleh seorang calon isteri menantang
suami, inilah jadinya!” Dia menggoda sambil tersenyum.
“Ma Hoa,
benar-benarkah kau tak mau menolongku membuka belenggu ini?” Ang I Niocu
menengok kepada Ma Hoa.
Akan tetapi
gadis itu yang kini telah menyanggul rambutnya atas permintaan Kwee An sebagai
‘pembayaran kaul’ karena musuh-musuh telah dapat ditewaskan dan dikalahkan
semua, hanya tertawa saja, bahkan kemudian bertepuk tangan gembira sambil
bernyanyi menggoda, “Mempelai perempuan telah tertawan! Masuk perangkap
mempelai pria!”
Berkali-kali
Ma Hoa bernyanyi sambil bertepuk tangan hingga Ang I Niocu menjadi makin jengah
dan malu.
“Adik Hoa,
awas! Bila sampai terbuka ikatan tanganku, akan kucubit bibirmu yang nakal.
Hayo lepaskan aku!” kata Ang I Niocu.
Akan tetapi
dengan sikap nakal dan menggoda, Ma Hoa berkata, “Enci Im Giok, yang mengikat
kaki tanganmu bukanlah aku. Mengapa aku yang harus membukanya? Mintalah kepada
orang yang melakukannya!”
Lie Kong
Sian menghampiri Ang I Niocu dengan senyum di bibir. “Bagaimana, Moi-moi, sudah
takluk kau kepadaku kini?”
Ang I Niocu
tak dapat menjawab, hanya meronta-ronta sambil berkata, “Lepaskan... lepaskan!”
Lie Kong
Sian menjura kepada Nelayan Cengeng, juga kepada Kwee An dan Ma Hoa sambil
berkata, “Maafkan, kami hendak pergi dahulu, kembali ke pulau tempat kediaman
kami. Kelak, apa bila dilangsungkan pernikahan antara Saudara Kwee An dan Nona
Ma Hoa, juga antara Sie-sute dan Sumoi Lin Lin, kami tentu akan hadir!”
Setelah
berkata demikian, tanpa melepaskan ikatan kaki tangan Ang I Niocu, pemuda itu
lalu membungkuk dan memondong tubuh kekasihnya itu dan membawanya berlari cepat
bagaikan terbang, menuju ke pulaunya yang indah yang merupakan sarang bahagia
bagi dia dan calon isterinya.
Nelayan
Cengeng, Kwee An, serta Ma Hoa merasa girang dan juga terharu sekali dapat
menyaksikan kebahagiaan orang muda itu. Bahkan Ma Hoa sampai menitikkan air
mata sambil berkata, “Syukurlah, kalau Enci Im Giok berbahagia. Dia orang
berbudi mulia...”
Kemudian
mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Tiang-an untuk menanti
datangnya Cin Hai dan Lin Lin di Tiang-an. Tak lama kemudian, datanglah Cin Hai
dan Lin Lin membawa tiga ekor burung sakti, dan sebulan kemudian
dilangsungkanlah perkawinan yang meriah antara Kwee An dengan Ma Hoa, dan Cin
Hai dengan Lin Lin.
Selain Ang I
Niocu dan Lie Kong Sian yang sudah menjadi suami isteri, hadir pula banyak
tokoh persilatan dari seluruh penjuru dunia, dan di antaranya yang hadir adalah
Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu, Eng Yang Cu, Giok Gan Kui-bo,
Sie Lok dan Sie Kiong kedua paman Cin Hai, dan banyak orang lagi.
Yousuf juga
datang dan orang Turki ini selanjutnya tinggal bersama Cin Hai dan Lin Lin,
menikmati kebahagiaan hidup sebagai ayah angkat yang dikasihi dan dihormat.
Perkawinan
diberkahi oleh Kwee Tiong sebagai seorang hwesio yang mengucapkan doa sambil
mengalirkan air mata oleh karena merasa bahagia melihat kedua adiknya, Kwee An
dan Lin Lin, melangsungkan upacara pernikahan dengan bahagia.
Yang sangat
menggembirakan hati kedua pasang mempelai itu ialah datangnya Sanoko, kepala
suku Haimi itu, bersama Meilani dan suaminya Manoko, dan juga Kam Hong Sin,
panglima yang dulu pernah menjadi lawan, datang menghadiri pesta pernikahan itu
dan melupakan segala permusuhan yang telah lalu.
Setelah
upacara pernikahan selesai, Ang I Niocu bersama suaminya kembali ke Pulau
Pek-le-to dimana mereka hidup penuh kebahagiaan, jauh dari dunia ramai,
dikawani oleh Rajawali Sakti yang diberikan oleh Lin Lin kepada mereka. Juga
Kwee An bersama isterinya dan Cin Hai dengan Lin Lin, hidup penuh kebahagiaan,
masing-masing didampingi oleh Nelayan Cengeng dan Yousuf yang merupakan ayah
angkat bagi Ma Hoa dan Lin Lin.
T A M A T
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment