Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 26
SETELAH
menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak
Mongol dengan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat
Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,
“Di balik
peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tidak
mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang
jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki.”
“Memang hal
itu aneh sekali,” kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat serta banyak tipu
muslihatnya sehingga maut pun seakan-akan jeri mencabut nyawanya. Dia telah
menjadi buta dan terguling ke dalam jurang, akan tetapi kini tiba-tiba saja ia
muncul dan sebelah matanya masih bisa digunakan, bahkan dia telah berhasil
menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu dia mempergunakan akal muslihat
yang keji. Marilah kita menyelidiki mereka!”
“Cin Hai
tentu tahu akan hal ini sebab ia sedang pergi mencari suhu-nya itu, maka sudah
pasti dia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya
sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari
tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka
itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.
Semua orang
setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa kemudian keluar dari
Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.
Ketika
mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor
burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.
“Lihat,
bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia
mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.
“Betul,
marilah kita pergi menyusul ke sana!” Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata
Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali
karena dengan adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di
tempat itu.
Melihat
kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi dia hanya
tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari hingga sampai di
tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke
depan goa besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ,
meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah
bulunya itu.
Ma Hoa
berlari masuk goa dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat, “Manusia tidak
tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan
tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang
pendek.
“Lin Lin!”
Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan
berbahaya itu. “Ini aku... Ma Hoa…!”
Akan tetapi
Lin Lin yang gilanya kumat kembali itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan
menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma
Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk digunakan menangkis dan
menjaga diri.
Ma Hoa
merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi karena
ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai dan semua gerakannya sangat sulit untuk
diduga, maka terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk
menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin!
Kalau saja
Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang amat lihai itu, pasti
dengan mudah saja dia sudah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari
Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin
Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan
kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya lantas digerakkan secara hebat
untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam goa itu terjadilah pertandingan
yang amat dahsyat.
Berkali-kali
Ma Hoa berseru, “Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!”
Tiga ekor
burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil
mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak
Sakti, tidak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka
kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa
hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba
Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung
itu seakan-akan bertempur sendiri di udara!
Mendengar
ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera berlari menghampiri dan ia merasa terkejut
sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa
yang terus mempertahankan diri dengan sibuknya.
“Enci Im
Giok, lekas... lekas tangkap dia, agaknya dia sudah berubah ingatan!” seru Ma
Hoa menahan isak.
Ang I Niocu
berdiri bagaikan patung dan menjerit, “Lin Lin...!”
Tiba-tiba
suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya
itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,
“Enci Im
Giok...!”
Pedangnya
terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena dia merasa pening
sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh
pulas di dalam pelukannya!
Maka
melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak
dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin
Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh
tertidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini.
Ang I Niocu
duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa
lalu memeriksa keadaan goa itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ. Akan
tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan goa, di situ
tidak terdapat sesuatu lagi.
Beberapa
lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang
tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Dia bangun dan ketika
melihat bahwa dia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, dia menggosok-gosok
kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian
dia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.
“Enci Im
Giok...”
“Lin Lin,
kau kenapakah...?” bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya.
Kemudian,
Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang. Pada saat ia menengok dan
melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.
“Enci Hoa...
kau juga datang…?”
“Ehh, ehhh,
anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?”
tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan begitu
hebatnya sehingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”
Lin Lin
memandangnya dengan hati terheran-heran. “Apakah penyakitku itu sudah datang
lagi? Ah, celaka...” dan ia lalu menangis sedih.
Ma Hoa
beserta Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka
benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.
“Lin Lin,”
kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi pada waktu Ma Hoa
masuk ke dalam goa ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian mendadak
kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu itu
karena kami pun sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su
membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ahhh,
apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar
biasa ini?”
Lin Lin
segera menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam
kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian dia terluka
dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan
Song Kun serta mendapatkan obat penawar pengaruh racun di dalam tubuhnya, akan
tetapi yang mengakibatkan datangnya ‘penyakit gila’ yang kadang-kadang
menyerangnya itu.
Ang I Niocu
dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata
bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong
jiwa Lin Lin, dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat berhasil ditewaskan
oleh Cin Hai sehingga sebuah di antara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu
kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, sudah terpenuhi. Akan tetapi mereka
merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang
semacam penyakit yang aneh.
“Dan
sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada
Lin Lin.
“Mereka
sedang pergi kepada dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari
keterangan tentang pengaruh obat itu.”
Tiada
habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa
gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu dengan Dara Baju Merah yang
dahulu dianggapnya telah tewas itu, walau pun dia sudah mendengar dari Cin Hai
bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga dia merasa gembira mendengar akan
pengalaman Ma Hoa yang juga terluput dari pada bahaya kematian bersama
tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.
“Aku ingin
sekali bertemu dengan An-ko, mengapa dia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu
sekali kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.
“Dia bersama
Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan goa rahasia yang sudah
ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika
melihat pertempuran Bu Pun Su.
Tiga orang
dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti
kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan
Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I
Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu sekarang telah
mempunyai calon.
“Adik Hoa,
kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah
berlaku nakal sekali, supaya kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda.
Sementara
itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, dia pun
berbisik, “Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku
selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu kini terkabul! Berita
ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!” Dan ucapan ini memang
sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata
yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan dia menggunakan sapu
tangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.
“Terima
kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya sederhana.
***************
Mari kita
ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di
mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Pada waktu mereka tiba di tempat
itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, kini hanya
terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi
saja.
Kemudian
ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka
cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.
“Dukun
pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan
kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya mengeluarkan
ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu
merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kau
sebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”
“Benar,
siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun
itu dengan suara bangga.
“Apakah
setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama
sekali?”
“Pasti
sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua
racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!”
dia menjawab.
“Apakah
tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?”
“Tidak,
tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh,
merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku
sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu,
hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku
melihat seekor ular hijau sedang dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan
matilah si ular hijau! Aku lalu menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut
merah itu bersarang di bawah sebatang pohon bunga yang kembangnya kecil
berwarna merah pula. Semut-semut itu sudah mendapatkan racunnya dari sari
kembang inilah, dan karena itu pula kembang itu kusebut kembang semut merah yang
mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk
mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”
Bu Pun Su
memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat
melihat bahwa dukun itu tidak membohong.
“Akan tetapi
mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa
ingatan dan marah-marah bagai orang gila kemudian tertidur setelah
marah-marah?” tanyanya.
Dukun itu
tersenyum dan mengangguk-angguk. “Memang, memang demikian,” katanya dan
sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu.
Racun semut merah itu akan mengalir pada seluruh urat syaraf dan membersihkan
serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat-urat yang besar, peristiwa
itu tidak akan mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada waktu kedua macam racun
itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang
akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara
waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”
Cin Hai tak
sabar untuk berdiam diri, “Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu
seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.
“Tidak ada
bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang
terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka
kira-kira satu bulan pula dia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga
hari, paling lama tiga hari pula dia akan terserang hal itu.”
Bu Pun Su
dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih
sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.
“Dan di mana
perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.
“Ke mana
lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di goa itu?” Dukun Mahambi berkata
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manusia-manusia semacam mereka itu yang
dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka
tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”
Bu Pun Su
lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak
dia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku
akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian
besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan
menimbulkan berbagai kejahatan pula.”
Cin Hai
mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke
goa di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke goa
Tun-huang!
Bu Pun Su
berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di goa Tun-huang, di mana ia melihat
banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Dia tidak melihat adanya
Hai Kong dan kawan-kawannya, karena itu dia dapat menduga bahwa pendeta jahat
beserta kawan-kawannya itu tentu berada di dalam goa, sedang mengambil harta
pusaka.
Dengan
sekali melompat, Bu Pun Su sudah berada di depan goa, melewati kepala para
penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka
bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya
yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel
yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.
“Hai Kong,
Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi
harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!”
Tiba-tiba,
Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari goa
itu dengan muka merah karena marah.
“Bu Pun Su,
jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau sudah mencuri harta pusaka itu dan
membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang
kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”
“Apa
katamu?!” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.
“Harta
Pusaka itu sudah kau curi dan kau bawa pergi, mau berkata apa lagi?” Hai Kong
Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya
kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh
Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dahulu dan menyerang
Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!
Menghadapi
serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tak menaruh hati gentar sedikit
pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar
membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk
konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu
mengelak cepat dan berkata,
“Aku masih
belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!”
Secepat
kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam goa dan tidak lama kemudian ia keluar
lagi kemudian berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil
tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha!
Puluhan anjing kelaparan berebut tulang, namun akhirnya secara diam-diam anjing
tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak
demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan
marah.
“Kau
maksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu adalah jago tua Hok Peng
Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.
“Dasar kau
yang bodoh,” tegur Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu?
Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding
tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian
boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian
orang-orang yang serakah dan bodoh!”
“Lu Kwan Cu,
kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio
berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya.
Akan tetapi
kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dahulu. “Wi Wi, sekarang kau
tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain
dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan
rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak
bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat
tinggal!”
“Lu Kwan Cu,
pada suatu hari aku akan membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun
Su telah berkelebat pergi dari situ.
Hai Kong
Hosiang dan kawan-kawannya tidak berani menghalangi kepergiannya karena mereka
maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan harta
pusaka sekarang telah tercuri orang lain, maka untuk apa mereka harus memusuhi
kakek jembel itu?
Ternyata
bahwa harta pusaka itu memang benar sudah tercuri orang. Beberapa orang penjaga
bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan,
tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga
mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu.
Orang ini
lalu masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua
benda berharga itu, kemudian mempergunakan tongkatnya untuk menuliskan atau
mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut:
Harta pusaka
di goa rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat
jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!
Tadinya Hai
Kong Hosiang bersama kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu
adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena
mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang
menggunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak
pernah membawa tongkat bambu. Baru sesudah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng
Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka segera mengambil
keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah
dicurinya.
Mereka ini
tidak tahu bahwa secara diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar,
sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka mengenai niat mereka
mencari Hok Peng Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su
pergi dengan cepat ke goa di mana Lin Lin berada.
***************
Ketika Cin
Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhu-nya itu tiba di goa, dengan
girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Dia kemudian menceritakan
segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh
yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.
“Agaknya
penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat
kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka.
“Pada saat ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar
dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya
ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, dia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya
pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu,
Lin Lin?”
Gadis itu
sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. “Entahlah, aku tidak ingat sama
sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi.”
“Lebih baik
kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena
sungguh tak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk pada
orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasehat ini.
Tiba-tiba
Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak
mengagetkannya, “Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu sudah datang. Ingatlah
baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!”
Lin Lin
mengangguk-angguk dan maklum bahwa apa bila tidak memusatkan pikirannya,
mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!
Benar saja,
Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su
dengan tenang lalu menceritakan mengenai perbuatan Hok Peng Taisu yang
mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada
rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa
merasa girang sekali mendengar tentang suhu-nya ini akan tetapi dia merasa
kecewa juga mengapa suhu-nya itu tidak datang menemuinya.
“Dan satu
hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai
Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu
dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu
hal ini kepada Suhu-mu supaya dia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita
semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya cukup lihai
dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang sangat
berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan, setelah
itu barulah kalian boleh pergi ke Goa Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!”
Sehabis
berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar
suaranya di luar menggema, “Tiga burung kubawa serta!”
Ketika semua
orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya
kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.
Ang I Niocu
berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai, “Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo
lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana
menunggu kalian berdua.”
“Enci Im
Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dahulu sebelum aku dan Hai-ko
menyusul ke sana,” kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan
bertemu dengan ayah angkatnya.
Ang I Niocu
dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi
meninggalkan goa itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang
sunyi itu.
“Lin-moi,
sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tidak baik kalau selama itu kita
hanya menganggur. Lebih baik kita bersemedhi dan membersihkan napas untuk
melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”
Lin Lin
menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, dia lalu duduk bersila di dalam goa
itu, bersemedhi memperkuat tenaga dalamnya.
***************
Sementara
itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee
An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka
mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.
Kwee An,
Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai,
segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu
melarangnya.
“Jangan,
sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin seban munculnya wajah baru
hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apa
bila sepekan telah lawat dan dia telah sembuh, dia dan Cin Hai harus menyusul
kita ke tempat ini.”
Kemudian,
Kwee An segera menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui
hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng.
Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki
peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai
Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat.
Mereka
berdua pergi ke goa-goa Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di situlah
terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja
dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan goa rahasia
tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan
tangan memegang senjata.
Nelayan
Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat
penjaga-penjaga itu, Nelayan Cengeng berkata,
“Mungkin
sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan
kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum
Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?”
Kwee An
menjawab, ”Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana apa bila ternyata Bu Pun
Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kita?”
“Jangan
kuatir, betapa pun juga, aku tetap tidak pernah percaya bahwa orang sakti itu
benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pastilah dia terkena pengaruh jahat. Hai
Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut
dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan
itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su
mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita
mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin
bahwa betapa pun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka
melihat betapa harta pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”
“Apa bila
kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya
Kwee An yang berhati polos dan jujur.
Nelayan
Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena dia merasa geli maka
dari kedua matanya keluarlah air mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita
ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu
bercerita bahwa harta itu ialah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian
pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan.
Tentu sudah sepatutnya pula kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka
yang berhak!”
“Yang
berhak?” tanya Kwee An dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam
ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka
siapakah yang berhak menerimanya kembali?”
Tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat
harus dikembalikan kepada rakyat!”
Nelayan
Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali dan segera mereka menengok. Ternyata
di atas mereka sudah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dengan
memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena
maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin
dia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.
“Apakah
Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?”
tiba-tiba kakek botak itu bertanya.
Nelayan
Cengeng lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hok Peng Taisu, silakan kau
turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!”
Kakek botak
itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering
ringannya.
“Nelayan
Cengeng, biar pun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji
ketajamannya,” katanya.
Nelayan
Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, dia
lalu teringat akan cerita gadis itu tentang suhu-nya yang baru, maka dia
sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan
Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk
menerka siapa adanya kakek aneh ini.
“Bagaimana
dengan murid kita itu?” tanya Hok Peng Taisu.
“Baik, baik,
dan kuhaturkan terima kasih kepadamu yang sudah memberi bimbingan pada dia.
Kepandaian yang kau berikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tidak mungkin
dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.
“Ahh, memang
kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji.
Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang mari kita bicara tentang hal penting. Ehh,
siapakah anak muda ini?”
“Dia adalah
calon suami murid kita.”
Hok Peng
Taisu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum. Baru mendengar pertanyaan
Kwee An mengenai harta itu tadi saja sudah membuat dia dapat menghargai sikap
dan kebersihan hati pemuda itu.
“Sekarang
dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku
mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku ingin
menggunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak
mengambil harta pusaka itu!”
Nelayan
Cengeng memandangnya tajam, “Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”
“Ha-ha-ha-ha!
Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri
pertanyaan itu dengan jawaban yang kau berikan kepada pemuda ini tadi!”
Nelayan
Cengeng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku setuju membantumu.”
Kakek botak
itu lalu berkata, “Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan
mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban
untuk menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu kepada rakyat jelata
yang miskin. Bagaimana, sanggupkah kalian?”
Tentu saja
Nelayan Cengeng dan Kwee An langsung menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian,
Hok Peng Taisu meminta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek
botak itu telah lenyap dari pandangan mata.
Nelayan
Cengeng menarik napas panjang lantas berkata, “Entah mana yang lebih tinggi
kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang
itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”
Kwee An juga
merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai
ke arah goa itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat sekali laksana
seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga sudah
tertotok roboh olehnya.
“Bukan
main!” seru Kwee An dengan kagum sekali.
Tadi dia
melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk
menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian
cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para
penjaga itu untuk melawan atau pun melihatnya!
Tidak lama
kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari goa dan menuju ke tempat mereka
dan sekarang dia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali.
Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk
membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam
waktu yang amat cepatnya.
“Nah, kalian
terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, di antara harta
pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang
pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku
hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak,
terserah padamu. Nah, aku pergi dulu!” Dan sebelum Kwee An mau pun Nelayan
Cengeng dapat membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!
Nelayan
Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan
menceritakan semua pengalamannya. Saat mereka memeriksa harta pusaka itu, ternyata
memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, karena itu
Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf
dan berkata,
“Saudara Yo,
bangsamulah yang berhak menerima sebagian dari pada harta ini. Bawalah kembali
ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya.”
Yousuf
menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. “Kedudukan Pangeran Tua
yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda
menggunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka
pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung,
karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan
Turki.”
“Terserah
kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”
Yousuf lalu
menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat
menyimpan sekalian harta pusaka itu.
Demikianlah
pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An seperti yang mereka tuturkan kepada Ang
I Niocu dan Ma Hoa.
“Kalau
demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su
Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagikan
harta pusaka itu dengan baik.”
“Harta ini
harus cepat dibagikan dan tidak boleh ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong
Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada
pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu
tanpa menundanya lagi.”
“Akan
tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menunggu
sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata ragu-ragu.
“Tak perlu,”
jawab Ang I Niocu. “Bukankah Susiok-couw sudah memberi perintah kepada mereka
untuk menyusul ke Goa Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu
dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”
“Biarlah aku
yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua
ini,” Yousuf menyatakan kesanggupannya.
Semua orang
telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat
kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, serta Kwee An
lalu masing-masing mendapat sekantung.
Setelah
berpamit kepada Yousuf serta kawan-kawannya, empat orang pendekar itu pergi
meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka
menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada
rakyat miskin.
Pemberian
ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi
sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin
tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka.
Maka timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im)
telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang sedang
menderita sengsara.
***************
Setelah
tinggal di dalam goa batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin
Lin sudah pulih kembali seperti sedia kala. Penyakitnya yang aneh, yaitu
gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut
merah itu telah lenyap sama sekali.
Hal ini
dapat dia rasakan karena kalau biasanya tiap hari dia sering merasakan
kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga Cin Hai terpaksa
memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk
membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, sekarang denyutan kepala itu
telah hilang sama sekali! Bahkan ketekunannya berlatih dan semedhi membuat dia
dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.
Sepasang
teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut
di hadapan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati
terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,
“Lin Lin,
anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau
sudah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhu-mu Bu Pun Su,
sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang sudah
menolongmu.”
Lin Lin dan
Cin Hai terkejut. “Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”
Yousuf
menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata,
“Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau
harus berpisah lagi dengan kau.”
Yousuf
tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. “Anakku yang
baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan
sudah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini
sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku masih dapat memperoleh seorang anak
seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku
selain hidup dekat dengan engkau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup
beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar
ucapan terakhir ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai menjadi merah mukanya.
“Kalau
begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan
girang.
Kembali
Yousuf menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai
berangkatlah dahulu menyusul Suhu-mu, karena aku masih mempunyai tugas yang
amat penting.”
Kemudian
orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu, dan juga
menuturkan bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan
tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.
“Sedangkan
emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan lebih dahulu ke
negeriku supaya dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah
dikacau oleh Pangeran Muda.”
Karena dapat
mempertimbangkan bahwa hal itu memang sangat penting dan memang sudah menjadi
kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara serta bangsanya, maka
terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.
“Hanya
kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan
segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak
berada di dekatku.”
Sesudah
melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan mengenai tewasnya Pek I
Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Mendengar ini, bukan main
marah dan terkejutnya Lin Lin, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai
untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio
dimakamkan.
Lin Lin
bersembahyang di depan kuburan guru dan suci-nya dan sambil menangis ia pun
bersumpah,
“Suci dan
Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalaskan dan bangsat
gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati
Subo dan Suci.”
Setelah
berdiam di makam subo dan suci-nya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu
melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai
Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat
sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini sudah melukainya dan
kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan
melayang pula!
Cin Hai
maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut dia berkata,
“Lin-moi, janganlah kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku
yang dulu telah melepaskan hwesio itu dan tidak membinasakannya sehingga dia
masih hidup dan kini mendatangkan mala petaka pula.”
Lin Lin
memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.
“Koko yang
baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!”
Melihat
senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang sangat dicintanya itu,
hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena dia pun tahu bahwa kekasihnya telah
melupakan kesedihannya.
Mereka
melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya
dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu melakukan perjalanan
bersama! Dalam kegembiraannya ini, sering kali mereka berhenti di bawah pohon
yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi
permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan
pedangnya dan di dalam pandangan mata Cin Hai, apa bila Lin Lin menari diiringi
sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya dari pada tarian Ang I Niocu
sendiri!
Untuk
membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin
Hai minta supaya dia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang
mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.
Memang, bagi
siapa saja yang pernah mengalaminya, tentu akan mengaku bahwa tidak ada
kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat dari pada berduaan dengan seorang
tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau namun tetap
saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan
dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang
ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka
nikmati.
Tetapi, Lin
Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang sudah sama-sama mendapat
gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka
telah menjadi kuat dan batin mereka sudah bersih. Mereka telah menjadi majikan
dari pada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat,
bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang malah dikuasai dan diperhamba
oleh nafsu yang menunggangi mereka.
PADA suatu
hari, ketika mereka tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang
berlari-lari cepat dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat.
Dua orang itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah
sekali dan yang memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri
hidungnya, matanya tajam dan sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah
seorang gadis yang sangat cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis bukan
main, akan tetapi pada waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya
mengandung kedukaan besar,
“Mereka
seperti orang ketakutan, mari kita tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai
mengangguk. Mereka lalu menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,
“Ji-wi harap
berhenti dulu!”
Kedua orang
yang sedang berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal
mereka berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.
“Mengapa
ji-wi berlari-lari seakan-akan ada yang mengejar ji-wi?” Lin Lin bertanya
sambil memandang dengan kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.
“Memang kami
sedang dikejar-kejar orang, akan tetapi urusan ini adalah urusan bangsa kami
sendiri dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki
tadi dengan suara gagah, menandakan bahwa dia memiliki keangkuhan serta
ketinggian hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.
Cin Hai
tersenyum. “Sahabat, ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat tetapi kami
hanya ingin menolong kepadamu, yaitu apa bila kau berada dalam bahaya.”
“Memang aku
dan anakku ini sedang berada dalam keadaan bahaya. Akan tetapi bagi seorang
kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain
orang untuk memusuhi bangsa sendiri!”
“Suku
Haimi?” seru Cin Hai yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu
dulu menceritakan pengalamannya. “Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona
ini Nona Meilani?”
Kedua orang
itu tercengang. “Bagaimana kau dapat mengetahui nama kami?” Sonoko bertanya
dengan muka heran.
Lin Lin yang
juga sudah mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, “Nona
Meilani, kau tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?”
Mendengar
nama ini disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah. “Dia...
dia adalah suamiku...”
“Benar,”
kata Lin Lin yang sudah tahu pula akan ‘perkawinan’ itu. “Dan aku adalah bekas
adik iparmu, karena Kwee An itu adalah kakakku!”
Mendengar
ucapan ini, Meilani mengeluarkan isak tangis, lalu dia maju menubruk Lin Lin.
Dua orang gadis itu berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang
yang luar biasa harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.
Juga Sanoko
menjadi girang sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Maaf,
maaf! Tidak tahunya kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu
siapakah nama enghiong yang mulia?”
“Siauwte
bernama Sie Cin Hai.”
“Apakah kau
juga masih keluarga Kwee An?” tanya Sanoko.
Cin Hai
merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.
“Dia itu
adalah tunanganku.”
Meilani yang
sudah pandai berbahasa Han, membelalakkan matanya yang sangat indah dan sambil
tersenyum manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia
bertanya kepada Lin Lin, “Apakah artinya tunangan?”
“Tunangan
adalah... calon suami.”
“Ahh...”
Meilani kemudian berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua
pipinya.
Tentu saja
Cin Hai menjadi kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya
menjadi merah bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi
heran sekali, akan tetapi sebagai seorang wanita, dia menjadi cemburu dan
wajahnya berubah pucat.
Sanoko
agaknya tahu akan hal ini, maka cepat-cepat ia berkata,
“Nona,
kebiasaan suku bangsa kami adalah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan
diharuskan memberi selamat kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara
seperti itu.”
Kini legalah
hati Lin Lin, karena dia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi
kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis
yang secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan
hati Cin Hai. Dan apa bila dia harus mendapat saingan dari seorang gadis
seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap,
Meilani adalah gadis yang jarang terdapat karena cantik jelitanya.
Meilani
kembali menghampiri Lin Lin dan memeluknya. “Siapakah namamu, Adikku yang
baik?” tanyanya.
“Panggil
saja Lin Lin kepadaku,” jawab Lin Lin sambil tersenyum.
Diam-diam ia
mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium
bau kembang yang harum dan sedap itu? Demikian pikirnya.
“Sanoko
Lo-enghiong, karena sudah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka
ceritakanlah mengapa kau bersama Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang
sedang mengejarmu?”
“Amat
memalukan kalau diceritakan,” kata orang tua itu sambil menarik napas panjang,
“Semua ini adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyap sudah sifat-sifat
ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah dia merantau dan memiliki
kepandaian dari... orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tak
bermaksud menghina orang-orang Han.”
Cin Hai
tersenyum dan mengangguk. “Siauwte juga tidak akan membela bangsa sendiri kalau
memang dia benar-benar jahat dan terus terang saja, di antara bangsa Han juga
banyak yang jahat, sebagaimana terdapat pula pada bangsa lain. Teruskanlah
ceritamu, Lo-enghiong.”
Sanoko
segera bercerita secara singkat. Ternyata bahwa biar pun sudah menjadi ‘janda’
yaitu setelah ditinggal pergi oleh Kwee An saat baru saja melangsungkan
‘pernikahannya’ dengan Meilani, Meilani tetap menjadi pujaan para pemuda bangsa
Haimi. Akan tetapi, agaknya gadis itu telah mengalami penyakit patah hati
sehingga ia menolak tiap pinangan pemuda bangsanya. Menurut adat kebiasaan
mereka, seorang janda yang telah ditinggal oleh suaminya lebih dari seratus
hari, maka dia berhak untuk menerima pinangan laki-laki lain dan si suami itu
apa bila telah kembali, tidak berhak lagi terhadap bekas isterinya.
Meilani
tinggal menjadi janda kembang sampai berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati
juga pada seorang pemuda yang baru saja kembali pulang dari perantauan, yaitu
seorang pemuda pemburu yang gagah berani bernama Manoko. Ketika Manoko
mengajukan pinangan, maka pinangan itu diterima.
Akan tetapi,
pada saat itu datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri yang semenjak
kecil telah merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari silat dari seorang
guru bangsa Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini datang, maka semua
orang mengaguminya karena dia memang benar-benar pandai dan berilmu silat
tinggi. Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya.
Juga
orang-orang Haimi banyak yang membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari
Sanoko itu beradat buruk, jahat, dan sombong sekali. Dia bertingkah meniru
lagak orang-orang Han, bahkan dia tidak memelihara kumis dan cambang seperti
orang Han, dan berbicara pun dia selalu mempergunakan bahasa Han!
Semenjak
datang dan kembali tinggal bersama bangsa sendiri, telah sering kali Saliban
mengganggu anak bini orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada
Meilani, saudara misannya itu. Dia tidak mau atau memang dia tidak suka
mengikat diri dengan sebuah pernikahan dan niatnya hanya ingin menjadikan
Meilani sebagai kekasihnya saja! Tentu hal ini tidak dapat diterima oleh
Meilani yang memang menaruh hati benci kepada pemuda yang mempunyai lagak
menjemukan itu.
Ketika
pinangan Manako diterima, Saliban menjadi marah sekali. Dia lalu menggunakan
kepandaian dan pengaruhnya untuk menghasut teman-temannya kemudian mengadakan
pemberontakan. Hal ini terjadi pada hari perkawinan Meilani dengan Manako.
Tiba-tiba
saja Saliban menyerang, sehingga terjadi pertempuran hebat di antara bangsa
sendiri. Pengikut-pengikut Sanoko tak ada yang kuat melawan Saliban sehingga
banyak yang menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri terluka pada pundaknya dan
melarikan diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani setelah mengadakan perlawanan
hebat, ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang tangguh itu, maka mereka
melarikan diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan kawan-kawannya yang bermaksud
membunuh Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi kepala suku dan memaksa
Meilani menjadi kekasihnya!
Bukan main
marahnya hati Cin Hai dan Lin Lin mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko
mengakhiri cerita-ceritanya, tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.
“Itulah
mereka telah datang, biarlah aku dengan anakku mengadakan perlawanan sampai
titik darah penghabisan!” kata Sanoko sambil bangun berdiri dan memegang
pedangnya dengan sikap gagah. Juga Meilani telah mencabut pedangnya dan bersiap
sedia.
“Duduklah,
Lo-enghiong, dan kau juga, Meilani. Biarkan aku yang menghadapi bangsat-bangsat
itu!” kata Lin Lin dengan gagahnya.
Meilani dan
Sanoko ragu-ragu, akan tetapi Cin Hai berkata, “Benar, Lo-enghiong, biarkan
tunanganku itu menghadapi Saliban. Kau dan Nona Meilani sudah lelah, kini
mengasolah sambil menonton!” Mendengar kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini
dan membiarkan Lin Lin seorang diri menghadapi Saliban.
Benar saja,
yang datang itu adalah serombongan orang Haimi terdiri dari belasan orang yang
dipimpin oleh seorang pemuda Haimi yang berpakaian seperti orang Han dan yang
lagaknya sombong sekali. Melihat betapa orang-orang Haimi yang masih muda-muda
itu semuanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung dan menjungat ke
atas, tak dapat ditahan lagi Lin Lin tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa
lagi meraba-raba kulit bawah hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi
kumis itu.
Saliban
melihat betapa seorang gadis Han yang cantik luar biasa dengan sikap gagah
menghadang di jalan, sedangkan Sanoko bersama Meilani hanya duduk di bawah
pohon seakan-akan dilindungi oleh gadis itu, menjadi terheran-heran dan melihat
kecantikan Lin Lin, timbullah sikap kurang ajarnya. Ia tersenyum dibuat-buat
dan berkata,
“Nona
cantik, apakah kau sudah mendengar nama Saliban yang gagah perkasa sehingga
sengaja kau datang menyambutku untuk berkenalan?”
“Jadi inikah
tikus yang bernama Saliban? Eh, tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan
Meilani?” berkata Lin Lin dengan suara mengejek.
“Lin-moi,
dia itu bukan tikus! Lihat saja dia tidak berkumis, mungkin kumisnya itu telah
dia sembunyikan di belakang menjadi ekor! Dia ini lebih cocok disebut monyet
buduk!” kata pula Cin Hai untuk mengejek orang itu.
Bukan main
marahnya Saliban mendengar ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya hendak
mengganggu Lin Lin, berubah menjadi kebencian besar.
“Dari mana
datangnya dua ekor anjing kurang ajar ini?” dia membalas memaki dan sekali
tangan kirinya bergerak, sebatang piauw menyambar ke arah Cin Hai yang sedang
duduk di bawah pohon dan sekali lagi tangannya bergerak, maka sebatang piauw
lain sudah pula menyambar ke leher Lin Lin!
Dengan
tenang Cin Hai memungut ranting kayu yang terletak di dekatnya dan pada saat
piauw itu menyambar ke arahnya, dia menggerakkan ranting itu dan sekaligus
piauw itu kena dipukul sedemikian rupa sehingga piauw itu membuat gerakan
membalik dan kini meluncur kembali ke arah kaki Saliban!
Sementara
itu, piauw yang meluncur ke arah leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin
oleh gadis itu. Ketika piauw menyambar, dia lalu mengulur tangan dan berhasil
menjepit piaiuw itu di antara jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw
yang melayang ke arah Cin Hai telah di’retour’ oleh pemuda itu, dia menanti
sampai piauw itu melayang ke kaki Saliban dan saat melihat Saliban meloncat
naik untuk mengelak dari sambaran piauwnya sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia
pun lalu menyambitkan piauw yang ditangkapnya tadi ke arah kaki Saliban lagi
yang justru hendak turun. Terpaksa Saliban melompat lagi ke atas sehingga dia
telah berlompat-lompatan dua kali untuk menghindarkan diri dari sambaran piauwnya
sendiri!
“Ha-ha-ha!
Lihat, benar-benar ia monyet yang pandai menari-nari!” Cin Hai tertawa sambil
menuding ke arah Saliban, sedangkan Lin Lin juga tertawa mengejek.
Sanoko dan
Meilani terpaksa ikut tersenyum melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata
dapat mempermainkan Saliban. Diam-diam Meilani merasa kagum sekali melihat Lin
Lin yang mempunyai cara demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak
dekat dan mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.
Saliban
makin marah, maka dia lalu mencabut pedangnya sambil berseru,
“Bangsat-bangsat
kurang ajar! Kau mencampuri urusan suku bangsa lain?”
“Saliban,
orang rendah! Jangan kau membuka mulut besar! Kami berdua memang selalu
mencampuri urusan semua orang-orang biadab macam kau yang hendak mengandalkan
kejahatan untuk mencelakakan orang. Kau sungguh tidak tahu malu. Meilani tidak
suka menjadi permainanmu, mengapa kau hendak memaksa?”
“Meilani
adalah adik misanku. Dia telah menjadi janda dan memalukan sekali kalau dia menerima
pinangan orang lain! Itu berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak
apakah mencampuri urusan rumah tangga kami?”
“Dengarlah!”
bentak Lin Lin dengan marah. “Meilani adalah kakak iparku karena ia adalah
janda dari kakakku Kwee An. Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau dia menikah
lagi dengan orang yang dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini
mempunyai hak apa maka berani menghalanginya?”
“Bagus,
kalau begitu biarlah kalian kubinasakan semua!”
Sambil
berkata demikian Saliban lalu maju menubruk dan menyerang dengan pedangnya ke
arah Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin dengan tenang sekali menghadapinya dengan
tangan kosong.
“Adik Lin
Lin, kau pergunakan pedangku ini!” kata Meilani karena merasa kuatir melihat
betapa gadis itu menghadapi Saliban yang lihai dengan tangan kosong saja.
Akan tetapi
Lin Lin menoleh dan hanya tersenyum kepadanya sambil menjawab, “Untuk
menghadapi seekor tikus… ehh, monyet macam ini perlu apakah harus mempergunakan
pedang? Tanganku cukup untuk merobohkannya!”
Juga Cin Hai
yang melihat gerakan Saliban walau pun cukup lihai namun masih belum cukup
berbahaya bagi Lin Lin, berkata kepada Meilani, “Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup
kuat menghadapinya dengan tangan kosong.”
Sementara
itu, Saliban yang merasa terhina sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu
menyerang sambil mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi,
sambil menari-nari dan mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang sudah
dipelajarinya, Lin Lin mempermainkan Saliban hingga Meilani memandang bengong.
Bagaimana mungkin menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan
menari-nari macam itu?
Kawan-kawan
Saliban maju mengeroyok Lin Lin, akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat cepat dan tahu-tahu beberapa buah senjata di tangan mereka melayang
dan terpental ke mana-mana. Ternyata Cin Hai yang begitu melihat gerakan mereka
sudah mendahului dan dengan sekali bergerak saja ia telah membuat pedang dan
golok mereka terlepas dari pegangan!
Orang-orang
Haimi itu terkejut sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba
kembali tubuh Cin Hai berkelebat dan bergerak, dan terdengar jerit kesakitan
berkali-kali. Pada waktu mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa
sakit dan perih, ternyata bahwa Cin Hai sudah mempergunakan kecepatan
gerakannya untuk mencabuti kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!
Sambil
melemparkan rambut-rambut kumis itu ke udara sehingga beterbangan tertiup
angin, Cin Hai tertawa-tawa sehingga Meilani yang melihat hal ini tak kuasa
lagi menahan geli hatinya dan ikut tertawa terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat
kehebatan gerakan itu dengan kepala pening, juga tersenyum meski di dalam
hatinya dia merasa kasihan juga kepada anak buahnya yang memberontak itu karena
bagi seorang laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama dengan dicabut kepalanya
dari leher!
“Kalian yang
memberontak dan mengikuti bangsat Saliban, tidak pantas berkumis lagi!” kata
Cin Hai sambil memandang kepada belasan orang yang sekarang telah kehilangan
kumisnya itu. Mereka menundukkan kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah
itu, dan merasa amat malu karena tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan
berdiri telanjang dihadapan orang lain!
“Kalau
kalian sayang jiwa, hayo berlutut minta ampun kepada kepala suku yang asli,
yaitu Sanoko!” teriak Cin Hai lagi.
Orang-orang
itu telah merasai kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tidak berani membantah
lagi, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko yang berdiri
sambil memandang dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu, Saliban telah
merasa pening karena dipermainkan oleh Lin Lin, dan pada waktu gadis itu sudah
merasa cukup puas mempermainkan Saliban, tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan
kini dia mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na yang lihai, ilmu silat yang diajarkan
oleh Bu Pun Su!
Saliban
terkejut sekali ketika tubuh gadis itu melompat tinggi dan menyambar-nyambar
dari atas bagai seekor burung besar menyerang marah. Ia menyabet dengan
pedangnya, namun lebih dulu sudah ditotok oleh Lin Lin dan sebelum dia tahu bagaimana
hal itu bisa terjadi tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan!
Saliban
merasa amat terkejut dan hendak melompat pergi. Akan tetap kaki Lin Lin telah
mendahuluinya menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling
roboh sambil mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah
terlepas.
Melihat
keponakannya yang jahat itu sudah roboh, Sanoko lalu menghampiri Cin Hai dan
Lin Lin dan memintakan ampun untuk jiwa Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin
merasa kagum akan kemurahan hati kepala Suku ini.
“Saliban,”
kata Cin Hai kepada pemuda Haimi itu, “dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun
untuk kau yang telah memberontak dan berbuat jahat kepadanya. Tidak malukah
kau? Orang seperti engkau ini seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat
jahat, kau pun telah merusak nama baik Suhu-mu yang tentu seorang Han adanya.
Kau tidak lekas minta ampun?”
Melihat
kelihaian Lin Lin dan Cin Hai, Saliban segera insyaf bahwa ilmu kepandaiannya
sebetulnya masih amat rendah dan ia merasa malu dan menyesal, maka sambil
merayap ia berlutut minta ampun kepada pamannya dan bersumpah bahwa dia takkan
mengulang perbuatannya lagi.
Pada saat
itu, dari jauh datang serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako. Pemuda
ini walau pun sudah terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan
kawan-kawan dan menyusul untuk menyerbu Saliban serta menolong calon isteri dan
mertuanya. Juga Manako memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin
diam-diam memuji ketampanan serta kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam
menyayangkan bahwa anak muda ini sebenarnya belum pantas memakai cambang yang
demikian tebal dan panjangnya.
Setelah
mereka bercakap-cakap dan beramah tamah dengan orang-orang Haimi serta
meninggalkan banyak nasehat kepada Saliban, Cin Hai dan Lin Lin kembali
melanjutkan perjalanannya menuju ke timur.
Pada saat
mereka berdua tiba di Pegunungan Lian-ko-san yang tidak jauh lagi dari Goa
Tengkorak, hanya tinggal satu hari perjalanan lagi, dan sedang berjalan melalui
sebuah padang rumput, tiba-tiba muncul tiga orang yang membuat mereka terkejut
dan bersiap sedia, karena tiga orang itu bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian
Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.
Tiga orang
ini yang sudah dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang
menjadi musuh mereka itu masih berada di daerah barat, maka sengaja mereka
menghadang di sana untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ,
mereka bersembunyi saja tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat
kedatangan Cin Hai dan Lin Lin, mereka lalu muncul dan menghadang di jalan
dengan hati penuh dendam, terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas
dendam terhadap Lin Lin atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang
menjadi gara gara semua permusuhan.
Cin Hai
berlaku tenang-tenang saja, juga Lin Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan
kepada diri sendiri berdiri di sebelah kiri kekasihnya sambil memandang tajam
kepada musuh-musuh besar itu.
“Eh, kiranya
Sam-wi Lo-suhu yang berada di sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka
menghadang perjalanan kami?” kata Cin Hai dengan sikap hormat.
“Pendekar
Bodoh! Telah berkali-kali kau dengan kawan-kawanmu memusuhi dan menjadi
penghalang kami, bahkan Suhu-mu sendiri sudah menghina kepada kami. Kini
kebetulan kita bertemu di sini, masih hendak bertanya tentang maksud kami?
Cabutlah senjatamu dan biarlah saat ini akan menentukan siapa diantara kita
yang lebih kuat!” kata Thai Kek Losu kepada Cin Hai.
Sedangkan Bo
Lang Hwesio dengan mata memandang marah membentak kepada Lin Lin. “Dan kau
tentu masih ingat akan dosamu membinasakan muridku, maka sekarang aku hendak
membalas dendam. Hutang jiwa ya harus dibayar jiwa pula!” Sambil berkata
demikian, Bo Lang Hwesio mengeluarkan sepasang poan-koan-pit.
Lin Lin
sudah mendengar mengenai pertempuran tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su,
maka melihat poan-koan-pit itu, ia menyindir, “Bo Lang Hwesio, agaknya kau
telah mencuri sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat
digunakan lagi?”
Marahlah Bo
Lang Hwesio mendengar ini, maka sambil menerjang maju dia membentak lagi,
“Perempuan rendah, bersedialah untuk mampus!”
Dengan
tenang Lin Lin kemudian mencabut keluar Han-le-kiam dari pinggangnya, segera
menyampok poan-koan-pit lawan yang menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun
lalu balas menyerang dengan hebat.
Sementara
itu, Thai Kek Losu sudah mengeluarkan senjatanya yang sangat hebat, yaitu
tengkorak kecil yang rantai pengikatnya kini telah diperbaikinya dan diganti,
ada pun Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yakni
sebatang gendewa. Juga gendewanya yang dulu telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu
kini telah digantinya dengan sebatang gendewa yang baru, terbuat dari pada besi
kuning.
Cin Hai
maklum akan kelihaian senjata-senjata lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku
sungkan lagi, segera mencabut keluar sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang
panjang dan pendek, dipegang pada kedua tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha
itu terkejut melihat sepasang pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu, maka
mereka maklum bahwa sepasang pedang itu tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh
dan tajam sekali. Mereka lalu membentak dan mendahului menyerang dengan hebat.
Cin Hai
memperlihatkan kegesitannya dan melawan dengan tenang serta waspada. Dia
melihat betapa gerakan Thai Kek Losu jauh lebih gesit dari pada dulu, agaknya
selama ini pendeta itu sudah melatih diri, sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga
hebat bukan main. Untung ia mempergunakan sepasang pedang Liong-cu-kiam yang
tajam sehingga kedua lawannya tidak berani menahan pedangnya dengan senjata
mereka sehingga serangan dua orang itu dapat dibalas dengan serangan-serangan
kilat yang cukup membuat kedua lawannya berlaku hati-hati sekali karena maklum
bahwa murid Bu Pun Su ini tidak boleh dibuat gegabah!
Sementara
itu, pertempuran antara Lin Lin dan Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali.
Ilmu Pedang Han-le-kiam memang luar biasa dan sangat cepat, sedangkan kini Lin
Lin telah memperoleh kemajuan hebat dan bahkan telah melatih diri dengan limu
Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na.
Akan tetapi
menghadapi Bo Lang Hwesio yang sudah jauh lebih berpengalaman dan ulet itu, dia
mendapatkan lawan yang amat kuat dan tangguh. Sepasang poan-koan-pit pada
tangan Bo Lang Hwesio menyambar-nyambar ke arah jalan darah yang berbahaya dan
juga setiap kali pedang Han-le-kiam kena disampok oleh poan-koan-pit, Lin Lin
merasa betapa telapak tangannya menggetar sebab ternyata tenaga hwesio itu
masih lebih besar sedangkan ilmu lweekang-nya pun lebih tinggi dari pada Lin
Lin.
Maka gadis
ini yang tahu akan keadaan itu segera mempergunakan kelincahannya dan
ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari desakan poan-koan-pit, sedangkan
jurus-jurus berbahaya yang ia keluarkan dari ilmu pedangnya membuat Bo Lang
Hwesio diam-diam merasa terkejut juga.
Alangkah
beda tingkat ilmu pedang gadis ini dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu
ketika dia dengan Ke Ce menyerbu ke atas bukit tempat tinggal Yousuf dan
berhasil menjatuhkan Kwee An dan Ma Hoa ke dalam jurang. Ketika dahulu itu, walau
pun ilmu pedang gadis ini sudah aneh dan luar biasa, akan tetapi gerakannya
belum sematang ini. Maka hwesio itu cepat mengerahkan seluruh kepandaiannya
sehingga setelah bertempur lama, Lin-Lin merasa terdesak juga!
Ada pun Cin
Hai yang dikeroyok dua oleh Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, meski pun belum
terdesak, tetapi sukar pula baginya untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu
tinggi. Terutama sekali tengkorak di tangan Thai Kek Losu sangat berbahaya
karena Cin Hai tidak berani menangkisnya dengan pedang. Dia maklum bahwa
tengkorak itu amat berbahaya dan bila ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum
beracun yang lihai sekali.
Juga gendewa
di tangan Sian Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biar pun dia dapat
menduga ke arah mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk
menghadapi kedua lawan yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu
pedang dengan kedua tangannya.
Pedang
panjang di tangan kanan ia mainkan dengan jurus-jurus dari Ilmu Pedang Daun
Bambu, sedangkan pedang pendek di tangan kiri ia mainkan Ilmu Pedang
Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sehingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar
merasa terkejut dan mengadakan perlawanan dengan mati-matian. Mereka harus
mengakui bahwa selain Bu Pun Su, belum pernah mereka menemukan tandingan
seorang pemuda yang sedemikian tinggi ilmu silatnya!
Pada saat
pertempuran sedang berjalan dengan seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki
yang gerakannya ringan sekali dan laki-laki ini langsung membentak marah,
“Pendeta-pendeta
pada dewasa ini hanya menggunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di
dalam tubuh mengandung iman yang bobrok dan batin yang amat rendah! Jangan
kalian berani mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!”
Kemudian
laki-laki itu menarik keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil
berkata kepada Lin Lin. “Nona, kau bantulah kawanmu itu dan biarkan Si Gundul
ini tewas dalam tanganku.”
Lin Lin
mendengar suara ini diucapkan dengan halus dan sopan akan tetapi mengandung
pengaruh besar, karena itu dia lalu meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat
untuk membantu Cin Hai.
Lin Lin
maklum bahwa ilmu kepandaian Thai Kek Losu terlampau tinggi baginya, maka ia
lalu menyerang Sian Kek Losu! Memang perhitungannya tepat karena di antara
ketiga orang lawan yang paling lihai dan sangat berbahaya untuk dilawan adalah
Thai Kek Losu.
Bo Lang
Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah tingkat
kepandaian pendeta Sakya Buddha ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo
Lang Hwesio lebih tinggi tingkatnya! Ada pun Sian Kek Losu hanya memiliki
tenaga besar saja dan ilmu silatnya biar pun tinggi, namun tidak selihai kedua
orang kawannya itu.
Kini
pertempuran terpecah menjadi tiga dan keadaan berubah dengan cepatnya. Orang
yang baru datang tadi dengan ilmu pedangnya yang gerakannya luar biasa cepat
dan aneh, segera berhasil mendesak Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai
mendapat kesempatan memandang ke arah orang itu, hampir saja mereka berseru
karena heran dan kagum.
Ternyata
ilmu pedang yang dimainkan oleh orang itu memiliki dasar-dasar gerakan yang
sama dengan ilmu silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika
bertemu dengannya di dalam goa bersama Ang I Niocu, karena itu sambil menangkis
serangan gendewa di tangan Sian Kek Losu ia berseru,
“Enghiong
yang gagah bukankah Lie-enghiong tunangan Ang I Niocu?”
Orang itu
tersenyum dan sambil menangkis poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio, dia pun
menjawab, “Betul, dan Ji-wi tentulah Nona Lin Lin dan Saudara Cin Hai!”
Mendengar
percakapan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Hal ini merupakan kejutan baginya,
yaitu merupakan hal yang sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang
I Niocu? Dan demikian gagah perkasa?
Hatinya
menjadi girang dan dia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri pertempuran ini agar
supaya dapat bercakap-cakap dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian yang
sama dengan kepandaiannya sendiri.
Ia dulu
mendengar bahwa Ang I Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju
Merah itu tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia
maklum bahwa orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih
suheng-nya sendiri pula.
Dengan Ilmu
Pedang Han-le Kiam-hoat Lin Lin dapat mendesak Sian Kek Losu dan pada saat gendewa
di tangan Sian Kek Losu menangkis dengan sekuat tenaga untuk membuat pedang
pendek di tangan Lin Lin terpental, gadis itu dengan sangat cerdik dan cepatnya
lantas menarik kembali pedangnya dan ketika melihat ada lowongan yang terbuka
segera menggunakan gerak tipu Ang I Memetik Kembang, langsung pedangnya
ditusukkan ke arah iga lawan di bawah lengan yang memegang gendewa.
Sian Kek
Losu berusaha mengelak. Akan tetapi gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan
juga tidak diduganya semula, maka tiada ampun lagi pedang Han-le-kiam yang
tajam itu dengan jitu menusuk dadanya dari bawah lengan! Sian Kek Losu
menjerit, kemudian gendewanya terlepas, tubuhnya sempoyongan lalu roboh dan
tewas pada saat itu juga!
Juga Bo Lang
Hwesio yang sudah tidak tahan menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu
memutar-mutar poan-koan-pit di tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka
yang sudah nekat hendak mengadu jiwa. Lie Kong Sian terus mengurung dengan
sinar pedangnya sehingga kini Bo Lang Hwesio terpaksa mempergunakan
lweekang-nya untuk mengerahkan tenaga pada kedua senjatanya, menangkis sambil
terdesak mundur.
Ujung pedang
Lie Kong Sian berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio
lantas membuat gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan
keselamatan sendiri. Pada waktu pedang itu meluncur ke arah lehernya, dia hanya
sedikit miringkan kepala dan berbareng dengan itu mengirim tusukan dengan
sepasang poan-koan-pit ke arah dada Lie Kong Sian.
Bila Lie
Kong Sian meneruskan serangannya dengan membalikkan pedang, maka ia pun akan
termakan oleh sepasang poan-koan-pit itu dan keduanya pasti akan tewas! Akan
tetapi tentu saja Lie Kong Sian tidak mau diajak mati bersama, maka ia berseru
keras dan menggerakkan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih.
Kiranya Lie
Kong Sian telah menggunakan gerakan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk
menangkis tusukan poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya tetap dia teruskan
dengan bacokan ke arah leher lawan!
Bo Lang
Hwesio merasa girang melihat ini karena dia telah mengerahkan seluruh tenaga
lweekang-nya yang tinggi ke arah tangan yang memegang senjata, maka ia merasa
pasti bahwa tusukannya akan menewaskan musuh. Tidak tahunya, ketika tangan kiri
Lie Kong Sian menyampok, poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga
yang luar biasa sehingga dia merasa terkejut sekali. Pada waktu itu pedang Lie
Kong Sian telah datang menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi
terlambat. Ia pun menjerit keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir putus
oleh pedang Lie Kong Sian!
Kini Lin Lin
dan Lie Kong Sian melihat pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek
Losu dengan serunya. Thai Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri,
merasa jeri sekali karena dia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat
betapa Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio sudah tewas, dia menjadi nekat dan
menyerang Cin Hai dengan mati-matian. Tengkorak kecil di tangannya lalu
diputar-putar laksana maut sendiri terbang berkeliaran mencari korban.
Ada pun Cin
Hai yang pernah menghadapi That Kek Losu, bahkan dahulu hampir saja mendapatkan
celaka karena pengaruh racun jahat yang keluar dari tengkorak itu, bersilat
dengan sangat hati-hati. Sebegitu jauh dia belum berani membacok tengkorak itu,
kuatir kalau-kalau racun jahat dan senjata-senjata rahasia yang ada di dalam
tengkorak itu akan menyambar keluar dan biar pun ia akan dapat mengelak namun
hawa beracun yang luar biasa itu masih tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun
baru lewat dekat mukanya saja dan dia mencium bau racun, dia telah terkena
celaka dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan suhu-nya, tentu dia telah
binasa.
Melihat
keragu-raguan kekasihnya, Lin Lin hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai
melarangnya. “Mundurlah Lin-moi, sekarang juga aku akan merobohkannya. Lihat!”
Lin Lin
melompat mundur kembali dan pada saat itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin
Hai dengan mulut di depan seakan-akan hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai
tidak mengelak, hanya memandang dengan tajam dan kedua pedang di tangannya
telah siap sedia.
Ketika
tengkorak itu sudah datang dekat, tiba-tiba saja pedang pendek di tangan
kirinya menyambar dari samping dengan miring, yaitu dia tidak menggunakan
tajamnya pedang untuk membacok, hanya mempergunakan permukaan pedang untuk
menampar dari arah samping dengan tenaga yang diatur sedemikian rupa hingga
tengkorak itu kena ditampar dan terbalik, kini mukanya menghadap kepada Thai
Kek Losu.
Secepat
kilat pedang Cin Hai di tangan kanan lalu membacok tengkorak itu dari belakang
sambil menggunakan tenaga lweekang sekerasnya dan ketika terdengar suara
ledakan yang terjadi pada waktu tengkorak itu kena bacok, Cin Hai segera lompat
menjauh dan kebetulan sekali Lin Lin pada saat itu berdiri dekat, maka Cin Hai
segera menyambar lengan kekasihnya dan dibawanya melompat juga!
Memang Cin
Hai telah berlaku sangat hati-hati dan hal ini ada baiknya bagi dia dan Lin
Lin, karena kalau ia tidak bertindak cepat, mungkin mereka akan terancam
bahaya. Pada waktu tengkorak itu meledak, tidak hanya dari mulut, hidung serta
matanya saja keluar jarum-jarum beracun yang amat jahat dan yang kesemuanya
melayang ke arah Thai Kek Losu, akan tetapi setelah semua jarum habis,
tengkorak itu sendiri meledak dan pecah berhamburan menjadi potongan-potongan
kecil yang lantas menyambar ke sekelilingnya. Potongan ini tidak boleh
dipandang rendah, karena setiap potongan kecil ini mengandung racun jahat dan
apa bila melukai kulit, akan membahayakan jiwa yang terluka!
Thai Kek
Losu yang tadinya sudah merasa gembira melihat Cin Hai berani membacok tengkorak
itu, menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa semua senjata rahasia yang
keluar dari tengkorak yang telah terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak
mengelak pergi, akan tetapi terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai
tubuhnya dan tanpa berteriak lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya
sendiri!
Lie Kong
Sian juga melompat pergi ketika ledakan tengkorak terjadi, dan dia kemudian
menghampiri Cin Hai dan Lin Lin.
“Sute dan
Sumoi, kalian benar-benar gagah perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su dalam keadaan
sehat-sehat saja?” katanya sambil tersenyum tenang.
Melihat
sikap orang ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap
Lie Kong Sian polos, jujur, dan sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu
Pun Su.
Setelah
menjura dan memberi hormat, Cin Hai segera memegang tangan Lie Kong Sian dengan
girang dan berkata, “Beliau sehat, Suheng. Sudah lama aku mendengar tentang
namamu yang besar. Alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau, apa lagi
karena mendengar tadi bahwa kau telah bertunangan dengan Ang I Niocu!”
Kembali Lie
Kong Sian tersenyum. “Aku memang sedang mencarinya, di manakah dia?”
Cin Hai lalu
menceritakan pengalamannya dan menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang
lain-lainnya mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka
kepada rakyat miskin.
“Lie-suheng,
ada berita girang untukmu,” tiba-tiba saja Lin Lin yang lincah dan jenaka itu
berkata kepada Lie Kong Sian sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan
itu.
Lie Kong
Sian sudah mendengar dari Ang I Niocu tentang kejenakaan gadis ini dan dia tahu
bahwa tunangannya amat mengasihinya maka sambil tertawa dia berkata, “Sumoi,
kau tentu akan menggodaku. Silakanlah, apakah berita girang yang kau
maksudkan?”
“Aku sudah
mendengar tentang syarat-syarat yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu
dan...”
“Ehh, ehhh,
dari mana kau bisa mengetahui hal itu?” Lie Kong Sian memotong sambil memandang
heran, akan tetapi dia tidak marah karena bibirnya tetap tersenyum.
“Dari Enci
Ma Hoa.”
Lie Kong
Sian mengangguk-angguk dan Lin Lin melanjutkan bicaranya, “Dan sekarang, dua
dari pada tiga syarat itu telah terpenuhi. Aku dan Engko Hai sudah bertemu
kembali sebagaimana yang diharapkan oleh Enci Im Giok dan syarat ke dua pun
telah terlaksana.”
Lie Kong
Sian menatap wajah Lin Lin dengan tajam, kini senyumnya menghilang. “Sumoi, apa
maksudmu? Syarat yang mana? Lekas kau ceritakan padaku!”
“Sute-mu
yang jahat itu telah tewas dalam tangan Hai-ko!”
“Apa?!”
Wajah Lie Kong Sian menjadi pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun.
Ia memandang
kepada Cin Hai yang berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun
sudah mendengar betapa besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap
dan wajah Cin Hai ini membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali.
Kalau saja
yang membunuh Song Kun bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan
membalas dendam. Akan tetapi, pemuda ini adalah sute-nya sendiri pula, murid Bu
Pun Su yang tidak saja kepandaiannya lebih tinggi dari pada dirinya sendiri,
akan tetapi pemuda ini adalah seorang pemuda yang sangat dicinta oleh Ang I
Niocu.
“Sute, kau
benar-benar lihai sekali. Tak sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan
terus terang saja, aku sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kau tuturkan
bagaimana hal itu terjadi.”
“Maafkan aku
banyak-banyak, Lie-suheng. Memang dia lihai sekali dan andai kata dia tak
tersesat dan menjadi seorang jahat, mungkin aku pun tidak akan dapat
mengalahkannya. Akan tetapi, kejahatan pasti akan hancur dan kalah pada
akhirnya.”
Kemudian Cin
Hai lalu menceritakan mengenai pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan
oleh Bu Pun Su. Juga menuturkan pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan
menggunakan obat itu untuk mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin.
Mendengar
ini semua, Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Sayang betapa pun gagah
seseorang, apa bila ia tidak memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang
sehina-hinanya dan serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan
mengalami bencana besar dalam hidupnya.”
“Kau benar,
Suheng,” kata Cin Hai dan Lin Lin hampir berbareng.
“Dan
sekarang kalian hendak pergi ke manakah?”
“Kami hendak
pergi ke Goa Tengkorak, tempat tinggal Suhu Bu Pun Su,” jawab Cin Hai.
“Bagus! Aku
pun ingin sekali bertemu dengan orang tua itu,” kata Lie Kong Sian.
“Untuk
memenuhi syarat ke tiga, bukan Suheng?” Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian
mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandangnya.
“Kau
benar-benar nakal, Sumoi.” Ketiganya lalu tertawa.
“Sebelum
kita pergi, lebih dulu marilah kita mengubur jenazah tiga orang ini.”
Mendengar
ucapan Lie Kong Sian ini, Lin Lin dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji
keluhuran budi tunangan Ang I Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang
I Niocu mendapat calon suami yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.
Jenazah Thai
Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik,
menjadi tiga gundukan tanah berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian
memindahkan tiga batang pohon Siong yang masih kecil, dan ditanam di depan
kuburan-kuburan itu.
Matahari
telah menurun ke barat ketika mereka bertiga selesai melakukan pekerjaan itu
dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Goa Tengkorak.
Kini kita
ikuti perjalanan Ang I Niocu yang bertugas membagi-bagikan sekantung harta
pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini
memang sudah biasa melakukan perjalanan seorang diri, dan pula untuk
membagi-bagikan harta benda itu memang seharusnya berpencar, maka dia segera
memisahkan diri dan berjanji akan saling bertemu dengan kawan-kawannya ini di
rumah Lin Lin di Tiang-an sebagai tempat tujuan terakhir.
Mereka
saling berpesan bahwa apa bila ada yang berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin,
harus memberi tahu bahwa kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an.
Dengan demikian, maka nantinya mereka tak usah saling mencari dan dapat
mengarahkan tujuan perjalanan mereka ke suatu tempat tertentu.
Ang I Niocu
lalu melakukan perjalanan seorang diri seperti biasa, bebas bagaikan seekor
burung di udara. Dia membagi-bagi harta benda itu dengan adil dan memilih
orang-orang yang benar-benar berada dalam keadaan yang amat sengsara. Pekerjaan
ini dia lakukan dengan hati gembira sebab keharuan dan kegirangan wajah orang-orang
yang menerima pembagian itu membuat hatinya ikut merasa terharu dan girang
sekali.
Pada suatu
hari, ketika ia tiba di luar kota Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua
orang dari jalan simpangan. Ang I Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang
pohon ketika melihat bahwa dua orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan
Wi Wi Toanio. Kedua orang itu berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka
diam-diam Ang I Niocu mengikuti mereka......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment