Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 15
CIN HAI
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk dapat berenang secepat
mungkin, akan tetapi di dalam air dia tidak seleluasa seperti di darat di mana
dia boleh mempergunakan ginkang-nya untuk bergerak cepat. Tidak saja kepandaian
renangnya memang kurang sempurna, akan tetapi air laut itu berombak dan dia
tidak kuat melawan ombak air sehingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan
sebentar juga perahu yang dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya.
Keadaan di
atas permukaan laut itu lebih gelap lagi. Satu-satunya petunjuk jalan bagi Cin
Hai adalah cahaya terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.
Ia masih
bergulat dengan ombak laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat dan gadis ini
tanpa mempedulikan mereka yang berperang mati-matian, segera berlari naik ke
atas bukit untuk mencari Lin Lin. Ketika dia naik semakin tinggi, sungguh luar
biasa, karena cahaya terang itu semakin menghilang dan keadaan di atas bukit
sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali.
Ang I Niocu
berseru keras memanggil, “Lin Lin…!”
Suaranya
yang dikerahkan dengan tenaga khikang ini terdengar bergema nyaring sekali,
bahkan terdengar lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih berenang di laut!
“Niocu...!”
Cin Hai berseru memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu.
Hatinya
bingung dan cemas sekali. Akan tetapi, biar pun ia mengerahkan khikang-nya, di
dalam air itu suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh bunyi riak
ombak yang menggelora.
“Lin
Lin...!” terdengar lagi teriakan Ang I Niocu dan suara ini membangunkan
semangat Cin Hai yang lalu mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat maju lebih
cepat.
Ang I Niocu
terus berlari ke atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia telah berjanji kepada
Cin Hai untuk menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia bertekad tak akan
kembali sebelum mendapatkan Lin Lin.
Ketika Ang I
Niocu tiba di sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah. Kedua
matanya langsung terbelalak dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi
matanya oleh karena tiba-tiba matanya menjadi silau.
Di bawah,
tidak jauh dari situ dia melihat pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan
sanubarinya. Di bawah puncak itu ia melihat api sedang berkobar-kobar besar
sekali dan bernyala-nyala seolah-olah neraka sendiri yang terbuka di hadapan
kakinya! Inilah danau penuh minyak tanah yang dibakar oleh kaki tangan Pangeran
Vayami!
Dengan hati
penuh kengerian dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, “Lin Lin…! Lin Lin…! Di
mana kau…??”
Akan tetapi
suara teriakannya yang amat keras ini seakan-akan hanya menambah besar
berkobarnya api yang membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata
terbelalak memandang ke arah api dan tiba-tiba ia melihat seolah-olah bayangan
Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api sambil tersenyum-senyum serta
melambai-lambaikan tangan kepadanya!
Ang I Niocu
menggigil dengan penuh kengerian dan mukanya penuh keringat. Dia cepat
menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas
saja. Sambil berseru ngeri dan takut, Ang I Niocu lalu berlarian ke sana ke
mari sambil memekik-mekik memanggil nama Lin Lin,
“Lin Lin...!
Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!”
Namun,
sampai serak suaranya memanggil-manggil dengan kerasnya sambil berlari-lari
menubruk sana menubruk sini, akan tetapi yang dipanggilnya tidak juga menjawab
atau muncul.
Nyala api di
danau yang membesar dan membubung tinggi itu terlihat juga oleh Hai Kong
Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang semakin
keras kepada Balutin sambil berteriak minta supaya supek-nya membantu.
Kiam Ki
Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan
bajunya yang lebar. Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin
sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa! Dia mencoba berkelit, akan tetapi
serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyung-huyung ke belakang,
dan pada saat itu pula tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah
yang ada di lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan
tewas!
Kiam Ki
Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan
terbang, kakek gagu ini cepat meninggalkan tempat pertempuran menuju ke pantai
dan keduanya lalu melarikan diri di atas sebuah perahu!
Cin Hai juga
melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan seolah-olah hendak
membakar awan-awan di atas itu. Dia semakin bingung dan gelisah, lalu
berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.
“Niocu...!
Lin Lin...!” Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan suara ombak yang
menderu.
Pada waktu
itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang
sedang berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di atas
bukit itu mendadak saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi terang
oleh karena sudah terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan
Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka!
Cin Hai
membelalakkan matanya dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia
masih mendengar suara Ang I Niocu lapat-lapat.
“Lin Lin...
Lin Lin... Hai-ji...!”
Cin Hai
merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya seakan-akan
tercekik oleh sesuatu! Sebagai akibat dari pada letusan dahsyat itu, tiba-tiba
ombak besar datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu
diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula!
Cin Hai
mencoba berseru lagi. “Niocu... Lin Lin...!”
Akan tetapi
suaranya tak dapat keluar dari kerongkongannya. Ia merasa betapa tubuhnya
menjadi lemas dan tidak kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam,
akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara bisikan.
“Hai-ji...
kuatkanlah hatimu... Lin Lin menanti-nantimu...”
Cin Hai
terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat
timbul lagi ke permukaan air. Dia memandang ke sana ke mari mencari-cari, akan
tetapi yang nampak hanya ombak dengan kepala ombak keputih-putihan yang
menyambar kembali hingga ia terombang-ambing dan menjadi permainan ombak.
Kembali tubuhnya menjadi lemas dan ketika dia sudah merasa putus asa tiba-tiba
dia melihat bayangan wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis
itu bergerak-gerak dalam bisikan,
“Hai-ji... kuatkanlah
hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu...”
Dengan
tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda
keras yang ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Dia segera
mengangkat perahu itu dan membalikkannya, ternyata itu adalah perahunya yang
siang tadi dia naiki bersama Ang I Niocu dan yang sudah dilarikan oleh Si
Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu!
Agaknya
perahu itu terpukul ombak lantas terguling, dan entah bagaimana nasib kedua
pendeta itu! Dengan sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu
dan akhirnya jatuh pingsan di dalam perahu kecil yang masih terombang-ambing
oleh ombak besar itu.
Ternyata
bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka
minyak yang telah menjadi api itu lalu membakar seluruh pulau, bahkan kini
minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga
seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah
menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya.
Seluruh
benda, berjiwa mau pun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa dan terbakar
habis. Jangankan makhluk tanpa sayap yang tak dapat melarikan diri, sedangkan
burung-burung yang berada di atas pohon pun tak dapat menghindarkan diri dari
bencana sebab sebelum mereka terbang cukup tinggi, sudah terpukul oleh letusan
itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk hebat.
Perahu kecil
yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak hingga kembali ke pantai daratan
Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari pingsannya, dia merasa kepalanya masih
pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan ternyata dia sudah berada di dalam
perahu kecil itu semalam penuh karena waktu itu telah menjelang pagi! Karena
melihat bahwa dia berada dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun
ke air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai.
Tiba-tiba ia
mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia
cepat berlari menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget berbareng girang
ketika melihat bahwa di sebelah kiri, yakni dekat pantai di mana air laut masih
bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang sedang bertempur
hebat!
Ketika dia
sudah datang mendekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek
Mo-ko. Inilah yang membuat dia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya
memukul girang adalah ketika ia melihat bahwa di dekat tempat pertempuran itu,
empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan lain Kwee An, Biauw
Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng!
Hati Cin Hai
berdebar girang sekali karena melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di sana,
karena bukankah Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua itu? Akan tetapi
hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa
berada di situ!
Cin Hai lalu
berlari cepat menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang lain mau pun yang
sedang bertempur, dia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan
terus menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara tak sabar,
“Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?”
Kedatangan
pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka
mereka berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang
tidak ambil peduli dan terus bertempur dengan hebat dan mati-matian!
“Locianpwe,
bagaimana dengan Lin Lin?” Cin Hai bertanya lagi dengan muka pucat dan tubuh
menggigil karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.
“Ah, Cin
Hai... engkau selamatkah...?” tanya Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali.
Kemudian, ketika melihat keadaan pemuda itu yang sangat mengkhawatirkan, dia
segera menyambung. “Lin Lin dan Ma Moa selamat, mereka berdua pergi dengan
Yousuf!”
Mendengar
betapa Lin Lin sudah selamat, tiba-tiba saja Cin Hai menangis tersedu-sedu,
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, “Lin
Lin... ahh, Niocu...!” lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi!
Semua orang
sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan
memijat-mijat belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar
kembali dalam pelukan Kwee An. Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk
dan pemuda ini menangis lagi.
Seribu satu
macam hal sudah berada di ujung lidah mereka hendak diceritakan atau pun
ditanyakan kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran
hebat di dekat mereka. Malah Cin Hai juga tak sempat menceritakan pengalamannya,
dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu, dia tak tahan
pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An, “Mengapa
mereka saling hantam sendiri?”
Dengan muka
sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu, “Cin Hai, hanya
kau yang dapat menolong. Gunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling
membunuh.”
Cin Hai
tidak mengerti akan maksud Kwee An, oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An
dengan Hek Mo-ko. Akan tetapi oleh karena dia percaya penuh kepada Kwee An, dia
lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.
Akan tetapi
ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil
menggunakan pedang mereka yang luar biasa, sudah menggunakan serangan-serangan
nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke
belakang.
Pek Mo-ko
terus roboh binasa dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis
Hitam ini sendiri telah kena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat
menghantam dadanya sehingga Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang sangat hebat dan
jantungnya terguncang.
Setelah
melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak lalu
merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa
bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali.
Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek
Mo-ko.
Mengapa
kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa
bertempur mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An,
Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan
di tempat itu sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.
Setelah Kwee
An serta kedua iblis itu mengamuk lalu membasmi Pangeran Vayami dan seluruh
anak buahnya, mereka bertiga kemudian mengajukan perahu itu ke arah Pulau
Kim-san-to. Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat
sehingga menjadi takut dan memutar arah perahu.
Tiba-tiba
terjadi letusan hebat itu hingga perahu mereka yang besar menjadi permainan
gelombang air laut dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat
dan ketakutan ketiganya cepat melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau
Emas yang menjadi neraka itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis
yang berhati kejam dan tidak kenal takut, kini sesudah melihat pemandangan
mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.
Terutama
sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu
yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi
menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka?
Tanpa terasa
pula Kwee An mengalirkan air mata karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa
kedua orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah
orangnya yang kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api
itu?
Menjelang
fajar tiba-tiba ada sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka
dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada
saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya cepat
sekali dan ketika telah dekat, kedua orang itu bukan lain adalah Biauw Suthai
dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada
waktu yang bersamaan ini segera berlari menghampiri dan berteriak memanggil.
Akan tetapi,
Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan
pembunuhan-pembunuhan hebat yang dia lakukan bersama Hek Mo-ko di atas perahu
Pangeran Vayami, sudah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi dia
lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat.
Nelayan
Cengeng terkejut sekali ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang
tinggi besar yang berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang
lemah, maka dengan mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,
“Ehh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau
kemasukan setan Pulau Kim-san-to?”
Akan tetapi,
ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat
mengelak dari seranganya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih
hebat lagi.
“Pek-susiok,
jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!” Akan
tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin
hebat lagi.
Sementara
itu, Biauw Suthai yang mendengar nama dua orang yang sedang bertempur itu
disebut oleh Kwee An, tidak ragu lagi untuk memilih pihak. Dia sudah lama
mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan golongan
pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko sudah terkenal sebagai iblis jahat
yang kejam. Maka, ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak
hebat, Biauw Suthai segera melompat maju sambil mencabut keluar hudtim-nya dan
berseru, “Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!”
Pek Mo-ko
tertawa pada saat melihat tokouw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita
pendeta yang bermata satu dan beroman buruk ini.
“Biauw
Suthai, kebetulan sekali aku sedang gembira! Marilah kau maju sekalian untuk
menerima binasa!” Sambil berkata begini Pek Mo-ko lantas mencabut keluar
pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang dengan penuh semangat.
Biauw Suthai
cepat menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu
berkata, “Suthai, jangan kuatir, aku membantumu membasmi iblis ini,”
Lalu kakek
nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan kosong melawan pedang Pek Mo-ko.
Dia mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan lihai dan meski pun bertangan
kosong, namun kakek yang lihai ini tidak kurang berbahayanya.
Dikeroyok
dua, Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak. Pengeroyoknya bukanlah
orang-orang biasa dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apa
bila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya menghadapi mereka ini.
Akan tetapi,
tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko sudah masuk
menyerbu ke tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat dua iblis ini
memang merupakan kepandaian pasangan sehingga apa bila kedua iblis ini telah
maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw
Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua pedang Hek Mo-ko dan Pek
Mo-ko yang luar biasa.
Ketika
melihat gurunya berada dalam bahaya, Pek I Toanio tidak mau tinggal dan maju
membantu. Namun apa artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah
jauh? Tetap saja sepasang iblis itu mendesak hebat sambil tertawa-tawa.
Kwee An
menjadi sibuk sekali. Berkali-kali dia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan
tetapi suaranya tak dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu,
seperti biasa kalau mereka berkelahi dan dapat mendesak serta mempermainkan
lawan! Kwee An tak dapat membiarkan dua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka
terpaksa ia lalu mencabut pedang dan ikut menyerbu membantu Biauw Suthai dan
kawan-kawannya.
Pertempuran
berjalan makin hebat. Akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat ‘anaknya’ maju
membantu lawan, dia pun menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba berteriak,
“Tahan dan
mundur semua!” Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali sehingga semua orang
menahan senjata masing-masing.
“Siauw-mo
(Setan Cilik), mengapa kau membantu musuh?” Hek Mo-ko bertanya sambil memandang
Kwee An dengan heran tapi suaranya penuh nada mencinta.
“Maaf, Ayah.
Mereka ini adalah kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih
dapat pula disebut guruku sendiri. Ayah dan Pek-susiok tidak boleh membinasakan
mereka!” kata Kwee An dengan gagah sambil menentang pandang mata ayah
angkatnya.
Hek Mo-ko
menghela napas kemudian berkata perlahan, “Kalau begitu biarlah aku tidak
menyerang mereka lagi.”
Akan tetapi
Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan
pedangnya ke arah Kwee An dan membentak. “Anjing tak kenal budi! Beginikah cara
kau membalas kami? Bagaimana pun, hari ini aku harus mencium bau darah
orang-orang ini!”
Sesudah
berkata demikian, Pek Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat. Akan tetapi
pedang Kwee An segera menangkis pedangnya dan anak muda ini berseru,
'“Pek-susiok! Kebaikan mereka lebih dari pada kekejamanmu! Kalau kau tetap
berkeras, terpaksa aku memberanikan diri melawanmu!”
Pek Mo-ko
makin marah. “Bagus sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!”
Ia lalu
mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh
karena tenaga Pek Mo-ko benar-benar hebat hingga tangkisan itu membuat ia
terhuyung-huyung belakang. Pek Mo-ko memburu dan mengirim serangan hebat
sehingga terpaksa Kwee An membuang diri ke belakang sambil terus bergulingan di
atas tanah untuk dapat menghindarkan diri dari serangan maut.
“Ha-ha-ha!
Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana!” teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk
memberi tusukan terakhir.
Akan tetapi
pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga
terdengar suara keras dan kedua pedang itu mengeluarkan api! Baru sekali ini
selama mereka hidup, pedang mereka ini saling beradu.
Pek Mo-ko
memandang kepada Hek Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda
bahwa dia merasa penasaran dan marah sekali, juga heran.
“Suheng,
kau... kau... hendak melawan aku?” tanyanya gagap.
Hek Mo-ko
memandang tajam. “Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!”
“Apa? Dia
bukan anakmu, dia adalah kawan musuh-musuh kita!” Pek Mo-ko membentak sambil
menubruk lagi ke arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.
“Pek-sute!
Jangan kau serang anakku!” teriak Hek Mo-ko dengan marah.
“Suheng,
tinggal kau pilih. Kau akan membela aku atau membela binatang ini!” jawab Pek
Mo-ko dengan melolotkan mata.
“Pikir saja
sendiri olehmu! Anak dan Sute, mana lebih berat?”
Tiba-tiba
Pek Mo-ko tertawa bergelak. “Anak? Ha-ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya
anak! Ha-ha, kau tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!”
Kini
mengertilah semua orang bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu,
merasa iri hati melihat Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw
Suthai, Pek I Toanio, dan Si Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan
penuh perhatian dan tanpa terasa pula mereka berdiri saling mendekati,
merupakan kelompok yang menonton pertentangan antara kedua iblis itu.
Mendengar
ucapan adiknya itu, Hek Mo-ko menjadi marah bukan main. Karena itu ia lalu
menggerak-gerakkan pedang di tangannya dan berkata tegas. “Siapa peduli
ocehanmu? Pendeknya, kalau kau mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan
pedangku ini dulu!”
“Kau sudah
bosan hidup!” Pek Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat.
Hek Mo-ko
juga menggereng marah dan menangkis lalu balas menyerang. Demikianlah, dua
saudara yang tadinya sehidup semati itu kemudian bertempur mati-matian sehingga
mereka tidak menghiraukan kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati
di ujung pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini juga terkena pukulan hebat
dari Pek Mo-ko sehingga menderita luka dalam yang berbahaya dan roboh pingsan.
Melihat
keadaan Hek Mo-ko, hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi,
menjadi terharu sekali. Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat
kepala iblis itu di pangkuannya sambil mengeluh, “Ayah...”
Tentu saja
Cin Hai dan lain-lainnya merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak
mengerti melihat kelakuan Kwee An itu!
Kwee An
segera memeriksa keadaan Hek Mo-ko, lalu pemuda ini menengok pada Biauw Suthai
yang pandai dalam hal pengobatan sambil berkata, “Suthai, tolonglah kau obati
dia ini!”
Biar pun
hatinya meragu untuk memeriksa dan menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan
kejam itu, Biauw Suthai tidak menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri
dan memeriksa dada yang terpukul, akan tetapi ia lalu menggeleng-gelengkan
kepalanya dan berkata,
“Tak ada
gunanya lagi. Jantungnya telah kena pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi
pukulan ini.” Ia lalu mengurut dan menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa
sakit yang diderita oleh Iblis Hitam itu.
Tidak lama
kemudian Hek Mo-ko membuka matanya. Ketika melihat bahwa dia berada di dalam
pelukan Kwee An, dia tersenyum dan dari kedua matanya mengalir air mata!
“Bagus...
bagus... kau benar-benar anakku yang kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat
mati dalam pelukan anakku...” Agaknya Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya
yang terakhir untuk mengucapkan kata-kata ini, karena lehernya lalu tiba-tiba
menjadi lemas dan dia pun menghembuskan napas terakhir.
Kwee An
menahan isak tangis yang mendorong perasaannya dari dalam dada. Kemudian dengan
hati sedih dan tak banyak mengeluarkan kata-kata dia lalu menggali lubang, dan
dibantu oleh Cin Hai dan Si Nelayan Cengeng, mereka lalu menguburkan kedua
jenazah sepasang iblis yang telah menggemparkan dunia kang-ouw untuk puluhan
tahun lamanya itu.
Sesudah
penguburan kedua jenazah itu selesai, barulah semua orang berkumpul untuk
menuturkan riwayat serta perjalanan masing-masing. Sebelum menuturkan
pengalaman dirinya, lebih dulu Cin Hai menengok ke arah Pulau Kim-san-to dengan
pandangan sayu dan melihat betapa pulau itu masih tetap berkobar bagaikan api
neraka mengamuk.
Dengan suara
terputus-putus dan keharuan besar mempengaruhi lidahnya, dia kemudian
menceritakan riwayatnya, semenjak berpisah dari Kwee An dalam pertempuran
melawan Hai Kong Hosiang dulu sampai tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama
Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu mencari Pulau Emas. Ketika dia menceritakan
tentang pertempuran Ang I Niocu dengan seekor burung Kim-tiauw, dia menghela
napas dan berkata,
“Memang
betul ramalan pendeta itu bahwa pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu
mendatangkan bencana besar. Niocu yang bertempur melawan burung itu sekarang
tak ketahuan nasibnya di pulau yang berubah menjadi neraka, sedangkan kedua
pendeta yang tertimpa kotoran burung itu pun agaknya telah kena bencana pula.
Buktinya perahu mereka kudapatkan terbalik di lautan sedangkan mereka tidak
kelihatan lagi!”
Semua orang
merasa terharu dan kasihan sekali pada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai
mendekati pulau untuk mencari Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu
menuju ke pulau yang berbahaya, padahal dia sudah mendengar dari Pangeran
Vayami bahwa pulau itu hendak dibakar dan diledakkan!
Dara Baju
Merah yang luar biasa itu ternyata sudah mengorbankan diri guna menolong dan
membela Cin Hai dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang mulia sekali. Apa lagi bagi
Cin Hai yang mengetahui apa yang terkandung dalam hati sanubari Dara Baju Merah
itu terhadap dirinya.
Sesudah Cin
Hai selesai menuturkan pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An
untuk menuturkan perjalanannya. Dia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke
dalam sungai lalu dirinya terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya
yang ganas dan kemudian jiwanya tertolong oleh Hek Mo-ko.
Kemudian ia
diambil anak oleh Iblis Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek
Pek Mo-ko lalu pergi mencari Pulau Emas hingga berhasil membantu Cin Hai dan
Ang I Niocu yang dikeroyok di perahu Pangeran Vayami. Ia menuturkan betapa
kedua iblis itu sudah membasmi seluruh anak buah Pangeran Vayami dan
membinasakan pangeran itu sendiri dan betapa perahunya terdampar oleh gelombang
besar ke pantai.
Setelah ia
menuturkan semua pengalamannya, maka mengertilah semua orang mengapa Kwee An
yang telah diakui sebagai anak dan diberi nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh
Pek Mo-ko itu begitu sayang kepada lblis Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap
wajar oleh semua pendengarnya, oleh karena memang demikianlah semestinya sifat
seorang ksatria yang biar pun kejam dan jahat, namun masih diliputi hati sayang
dan cinta suci terhadap seorang anak pungut.
Biauw Suthai
dan Pek I Toanio yang mendapat giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak
dapat bercerita banyak. Mereka ini oleh karena mengkhawatirkan keadaan Ang I Niocu
dan Lin Lin yang diam-diam pergi meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu
menyusul.
Akan tetapi,
walau pun sudah merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak dua
orang gadis itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orang-orang dusun di utara yang
bicara tentang penyerbuan tentara Turki ke timur hingga hal yang aneh ini
menarik hati Biauw Suthai dan dia pun mengajak muridnya untuk menyusul ke timur
dan melihat apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya
mereka dapat pula menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng
bertempur melawan Pek Mo-ko dan membantu kakek nelayan yang gagah ini.
Sekarang
tiba giliran Si Nelayan Cengeng untuk menuturkan riwayatnya yang didengar
dengan penuh perhatian oleh Cin Hai, Kwee An, Biauw Suthai dan muridnya. Kong
Hwat Lojin menghela napas berulang-ulang, kemudian ia mulai ceritanya yang
panjang…
Sebagaimana
telah diketahui di bagian depan, setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan
kemahirannya di dalam air dan berhasil mengambil perahu Yousuf yang tenggelam
dari dasar sungai, dia dan Yousuf dengan bantuan Ma Hoa dan Lin Lin segera
memperbaiki perahu itu dan kemudian berangkat berlayar menuju ke laut.
Di sepanjang
pelayaran mereka, Yousuf dapat menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan
Ma Hoa dengan bermacam-macam cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang
Turki ini telah memiliki banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak
melakukan perantauan-perantauan ke luar negeri. Ia bercerita tentang
orang-orang yang tinggi besar seperti raksasa, berambut merah dan bermata biru,
sehingga Lin Lin dan Ma Hoa menjadi ngeri dan takut.
“Apakah
mereka itu suka makan orang?” Ma Hoa bertanya sambil menggeser duduknya
mendekati Lin Lin oleh karena ketika itu telah malam dan kegelapan malam
membuat dia membayangkan hal-hal yang mengerikan pada waktu mendengar cerita
Yousuf tentang orang-orang aneh itu.
Mendengar
pertanyaan ini, Yousuf lalu tertawa geli. “Ahh, tidak, mereka itu juga manusia
seperti kita. Bahkan, mereka itu mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan dapat
membuat barang-barang yang aneh dan indah. Hanya saja, mereka itu bersikap
kasar dan tidak tahu adat. Mereka tinggal di Barat.”
“Apakah yang
disebut Dunia Barat?” tanya Lin Lin.
Pada waktu
itu Tiongkok telah mengenal India yang di sebut dengan Dunia Barat, bahkan
Agama Buddha datangnya juga dari India. Mendengar bahwa raksasa-raksasa
berambut merah dan bermata biru itu berada di Barat, maka Lin Lin mengajukan
pertanyaan itu.
“Bukan,
mereka bahkan tinggal lebih jauh lagi dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia
Barat memang tinggi besar akan tetapi kulit dan warna rambut mereka sama dengan
kita. Mungkin banyak yang lebih hitam kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian
orang-orang Han. Akan tetapi adat istiadat mereka itu tak berbeda jauh dengan
kita sendiri.”
Kemudian
Yousuf menceritakan pula pengalaman-pengalamannya pada saat ia merantau jauh ke
utara hingga ia menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat
ludah yang dikeluarkan dari mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah!
Pendeknya, banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar Tiongkok yang bagi ketiga
orang pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah,
diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang sekali.
Juga
perasaan mereka terhadap Yousuf yang peramah dan pandai membawa diri itu jadi
makin berkesan baik. Setelah bergaul selama beberapa hari di atas perahu, kedua
gadis itu harus mengakui bahwa Yousuf adalah seorang laki-laki yang sopan
santun, pandai berkelakar dengan sopan, dan memiliki pribudi tinggi. Bahkan
Nelayan Cengeng terpaksa harus melempar syakwasangka yang tadinya timbul di
hatinya ketika bertemu dengan orang Turki ini.
“Dahulu kau
berkata tentang Pulau Kim-san-to, maukah kau menceritakan tentang pulau itu?
Kita sedang menuju ke sana, maka ada baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui
serba cukup mengenai hal-ihwal pulau itu,” kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin
serta Ma Hoa pun mendesak sambil mendengarkan.
Sesudah
bergaul dengan ketiga orang Han ini, Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan
ia mengagumi sepenuh hatinya sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini
percaya bahwa di Tiongkok memang banyak sekali pendekar-pendekar atau
orang-orang gagah yang pekerjaannya hanya menolong sesama manusia dan menjadi
pelopor-pelopor serta penegak-penegak keadilan.
Terhadap
Nelayan Cengeng dia merasa kagum sekali dan memandang penuh hormat seperti
seorang saudara tua, sedangkan terhadap Ma Hoa dan Lin Lin, ia merasa sayang
dan suka. Hatinya yang tadinya tertarik seperti tertariknya hati laki-laki
terhadap seorang wanita, lambat laun berubah menjadi kasih sayang seorang tua
terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya.
Hal ini
timbul dari kesadarannya yang tinggi dan tak mengijinkan hatinya untuk memaksa
seorang gadis mencintainya, dan meski ia mencinta gadis itu dengan
sungguh-sungguh, melihat sikap Lin Lin terhadapnya yang polos dan jujur bagai
sikap seorang adik sendiri, maka nafsu-nafsu birahi yang tadinya mengotori
kasih sayangnya terhadap gadis itu, kini menjadi luntur dan banyak mengurang.
Pada saat
mendengar permintaan mereka untuk menceritakan perihal Pulau Kim-san-to, Yousuf
merasa ragu-ragu. Akan tetapi, kemudian ia berkata,
“Cerita ini
sekaligus membongkar rahasiaku dan keadaan diriku. Apakah hal ini tak akan
menimbulkan kekecewaan kalian dan tidak akan membuat kalian membenciku? Sungguh
tak enak kalau kita yang melakukan pelayaran seperahu dan setujuan ini akan
memiliki perasaan tak suka dan benci satu kepada yang lain!”
Nelayan
Cengeng tertawa. “Saudara Yo Se Fei! Kau sungguh-sungguh terlalu sungkan! Bila
sekiranya hal ini tak dapat kau ceritakan kepada kami, janganlah kau ceritakan!
Kami juga tidak begitu nekat untuk memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?”
Akan tetapi
Nelayan Cengeng menjadi tertegun ketika Ma Hoa dan Lin Lin dengan suara
berbareng dan tegas berkata, “Ahh, Yo-sianseng (Tuan Yo) harus menceritakan
tentang pulau itu kepada kita!”
Bahkan Lin
Lin segera berkata lagi, “Apakah Yo-sianseng kurang percaya kepada kami
sehingga masih menyimpan segala rahasia?”
Kalau
Nelayan Cengeng tercengang, Yousuf tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata,
“Ha-ha, Kong Hwat Lojin yang masih mempunyai sikap sungkan-sungkan, bukan aku
dan bukan pula kedua nona ini! Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!”
Kemudian setelah minum air teh yang dibuat oleh Lin Lin dan dihidangkan oleh Ma
Hoa, orang Turki itu bercerita,
“Beberapa
tahun yang lalu, aku dan dua orang kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu
malam, ketika kami melalui banyak pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami
dikejutkan oleh pemandangan yang dahsyat dan aneh, dan yang sebentar lagi juga
akan dapat kalian saksikan. Sebuah pulau di depan kami, yakni pulau yang
disebut Pulau Gunung Emas, nampak bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang
menakjubkan. Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh
aneh sekali. Kami lalu berhenti berlayar dan malam itu kami tidak tidur, terus
berdiri di perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada keesokan
harinya, kami mendayung perahu mendekati pulau itu kemudian mendarat. Akan
tetapi, apa yang menyambut kami? Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat
di pulau itu, dari belakang sebatang pohon, tiba-tiba saja keluarlah seekor
harimau besar yang memiliki sebuah tanduk di tengah-tengah kepalanya! Harimau
itu lari menerjang, kami terpaksa melawannya. Harus diketahui bahwa kedua
kawanku itu pun memiliki kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah
kepandaianku, akan tetapi kami bertiga masih tak dapat mengalahkan harimau itu!
Dan dalam saat yang berbahaya itu tiba-tiba dari atas menyambar turun seekor
burung rajawali berbulu kuning emas ke arah kami kemudian menyerang dengan
tidak kalah hebatnya! Kami menjadi sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang
kawan kami sudah kena cakar harimau itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-tiauw
hingga keadaan kami makin berbahaya! Akan tetapi, ketika kami sudah berada di
pinggir jurang maut, tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah anehnya. Penolong
ini adalah seekor burung merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur
kuning keemasan yang indah sekali. Merak ini cepat menyambar turun sambil
mengeluarkan bunyi nyaring dan aneh! Dan begitu melihat merak ajaib ini,
Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk itu lalu mengeluarkan keluhan panjang
kemudian berlarian pergi seolah-olah dalam ketakutan hebat!”
“Merak ajaib
itu lalu turun dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia
berjalan hilir mudik seolah-olah membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku
merasa sangat tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara
Sin-kong-ciak (Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba dia mengibaskan sayap
kirinya dan aku jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga
yang luar biasa besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan
Rajawali Emas itu takut menghadapinya. Ternyata merak itu bukanlah binatang
sembarangan dan mempunyai kesaktian luar biasa!”
Nelayan
Cengeng menjadi kagum sekali mendengar cerita tentang merak ajaib ini, maka dia
lalu berkata, “Aku pernah mendengar tentang burung merak yang datang dari
negeri sebelah selatan Tiongkok, dan kabarnya merak di negeri itu pun sangat
cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang burung merak
sehebat seperti yang kau ceritakan itu.”
Juga Lin Lin
dan Ma Hoa merasa kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak supaya Yousuf suka
melanjutkan penuturannya.
“Terpaksa
kami berdua membawa kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu.
Kami tidak berani mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni
yang aneh-aneh dan lihai sekali. Kami hanya mendayung perahu mengitari pulau
itu dan sungguh aneh. Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami tidak melihat
apa-apa lagi. Kami lalu mendarat pada bagian lain untuk menyelidiki, dan
ternyata di puncak bukit terdapat sebuah telaga yang airnya berwarna indah,
kadang kala hijau, ada merahnya, lalu kuning, bagaikan warna pelangi di udara,
akan tetap pada dasarnya berwarna kehitam-hitaman. Kami mempunyai keyakinan
bahwa pulau itu tentulah menyimpan harta yang luar biasa, sebab itu kami lalu
berputar sambil memeriksa. Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari
pantai, oleh karena selagi kami berjalan, tiba-tiba saja dari atas terdengar
suara yang menakutkan dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami takuti itu
telah menyambar dari atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutar-mutar
pedang di atas kepala untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu
itu sambil berlarian ke perahu kami. Dan dengan penuh ketakutan, kami lalu
pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang terluka itu terpaksa kami lempar ke
laut oleh karena dia meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah, kami lantas
kembali ke negeri kami dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu
memerintahkan barisan besar untuk menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap
kalian tidak kaget, aku adalah orang yang ditugaskan untuk memimpin rombongan
penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki.”
Ketika
melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia
lalu melanjutkan, “Aku pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk
membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau itu.” Sambil berkata begini, ia
memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka
pendengarnya.
Akan tetapi
Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan ia lalu berkata,
“Aku ingin sekali melihat binatang-binatang aneh itu.”
Juga Lin Lin
dan Ma Hoa berkata. “Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak
sakti itu.”
Maka
gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak
mau atau tak ambil peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega
hatinya, Yousuf lalu menyanyikan sebuah lagu Turki yang didengar oleh
kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biar pun
mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun
lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka sehingga terdengar
sumbang dan lucu.
Pada saat
Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah sampai di
dekat Pulau Kim-san-to. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata, “Nah,
kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-san-to benar-benar pulau yang
menakjubkan?”
Nelayan
Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata
terbelalak pada saat melihat pemandangan ajaib yang terbentang di hadapan mata
mereka. Mereka telah melihat Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang
mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat dari pada emas murni.
“Mungkinkah
ini?” Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.
“Apakah aku
sedang bermimpi?” bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya
seakan-akan tidak percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga
gadis ini berdiri diam bagaikan patung batu.
“Hebat
bukan? Aku sendiri pada waktu melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan
menyebut nama Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan
di atas tempat ini. Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata,
bukan?” terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela
napas.
“Betul-betul
hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan
timbul persangkaanku bahwa kau berbohong atau melebih-lebihkan ceritamu. Akan
tetapi melihat pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang
penghuni pulau yang aneh-aneh itu,” kata Nelayan Cengeng.
“Mari kita
ke sana sekarang juga!” kata Ma Hoa dengan gembira.
Lin Lin juga
mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi
Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Jangan
pergi sekarang. Aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu
tidak ada makhluk lain yang berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah
hal yang sembrono dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu
sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati.”
Nelayan
Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas, menyetujui
ucapan ini sehingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti
itu menekan perasaan mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya
duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya.
Melihat
pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu
teringat kepada kekasih masing-masing. Dan mendadak wajah mereka menjadi
berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka Lin Lin, maka dia bertanya
perlahan, “Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang
berduka?”
Lin Lin
tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma
Hoa, ia bertanya, “Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?”
Ma Hoa
memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata, “Jadi
itukah yang mengganggu pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar,
Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin Hai dan... dia akan selamat oleh karena
mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi.”
Lin Lin
maklum bahwa keadaan hati serta pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan
keadaan hati dan pikirannya maka dia tidak mau bicara mengenai hal kedua pemuda
itu terlebih lanjut. Dalam berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan
jantung mereka masing-masing yang membuat mereka merasa saling tertarik lebih
dekat lagi.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sesudah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru
berani mendarat di pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan
sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti
pulau-pulau lainnya.
Mereka
berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada
binatang luar biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan
terutama Yousuf merasa heran karena binatang yang dulu dilihatnya tak ada
seekor pun kelihatan muncul.
“Apakah
selama beberapa tahun ini mereka telah mati?” katanya pada diri sendiri akan
tetapi diucapkan dengan mulut.
“Mungkin
juga, karena benda atau makhluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah
terhadap kematian?” kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan
berat dipanggul di pundak.
Mereka lalu
menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau
di atas pohon, pulau itu nampaknya tidak ada makhluk yang berbahaya. Mereka
kemudian mengunjungi danau yang pernah diceritakan oleh Yousuf, dan
bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.
“Agaknya ada
sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini,” Nelayan Cengeng berkata sehingga
Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegangan tangan oleh
karena kedua gadis ini pun merasa betapa danau ini agak berbeda dengan danau
biasa, seakan-akan ada sesuatu di dasarnya yang hitam dan mengerikan!
Yousuf lalu
mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk
mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu, akan tetapi
mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga.
Matahari
sudah naik tinggi pada saat mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi
banyak bunga-bunga indah.
Tiba-tiba
Lin Lin berseru, “Ada goa di sini!”
Pada saat
semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang
tinggi terdapat pintu goa yang cukup besar dan tinggi. Goa itu tadinya gelap
oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf
menggunakan pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam goa menjadi
terang karena kebetulan sekali goa itu menghadap ke barat dan matahari yang
sudah condong ke barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam goa.
Dengan
didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, empat orang itu segera memasuki goa
dengan perlahan dan hati-hati, dan tidak lupa mereka juga menyiapkan senjata di
tangan masing-masing untuk menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Kiranya goa
itu memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja
dan di dalam goa itu kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba
saja Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan sudah diserang oleh
sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya,
“Ada apakah?”
Dengan
tangan menggigil Lin Lin menunjuk ke bawah, dan ternyata bahwa kaki gadis itu
tadi sudah tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari
tanah yang tertutup pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja,
sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat
lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan
menimbulkan hati takut dan ngeri.
“Tentu ada
apa-apanya di bawah ini,” berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai
menggali pasir yang menimbun tangan rangka itu.
Setelah
digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan di
sebelah rangka itu terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan
pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi.
Sisa ini pun sudah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong
kayu lapuk.
Sambil
memegang pedang bobrok itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian,
Nelayan Cengeng berkata sambil menghela napas.
“Ah, kalau
saja pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang
ini yang tentu indah menarik sekali. Apa lagi tubuh manusia, sedangkan pedang
yang aku percaya tadinya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya
tinggal sisanya saja yang sudah tidak berharga lagi!” Sambil berkata demikian,
Nelayan Cengeng segera menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan
itu di dekat rangka itu.
“Kita harus
tanam kembali rangka ini dengan pasir,” katanya penuh kekecewaan karena tidak
mendapatkan sesuatu di situ.
“Nanti dulu,
Locianpwe!” tiba-tiba Lin Lin berkata. “Agaknya tidak percuma tangan rangka ini
tadi menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan
sisa pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini.”
Nelayan
Cengeng tertawa. “Engkau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?”
Akan tetapi
semua orang tidak melarang pada waktu Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang
bobrok itu dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam sapu tangannya, lalu
menyelipkannya di ikat pinggang.
Setelah mengubur
kembali tulang itu secara baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk
bermalam di goa ini yang merupakan tempat yang baik sekali untuk berlindung
dari serangan angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.
Berhari-hari
keempat orang itu tinggal di Pulau Kim-san-to dan setiap hari Yousuf keluar
melakukan pemeriksaan dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau
itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di
pulau itu hanya batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng
serta kedua orang gadis itu yang tidak terlalu bernafsu untuk mencari harta
terpendam, maka jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di
pulau itu.
Pada hari ke
tiga, mendadak terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya
menjadi kaget sekali dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget
melihat Yousuf sedang mencekik seekor ular yang besarnya hanya selengan tangan
orang, akan tetapi wajah orang Turki itu telah menjadi pucat sekali. Lin Lin
memburu dengan pedang di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah
terpotong menjadi dua.
Yousuf
melepaskan leher ular yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah. Namun semua
orang menjadi kaget sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor
ular itu, ternyata merupakan kepala pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf
dan kini masih menempel di situ.
Ternyata
bahwa ular itu adalah seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa
dan mencari-cari sambil menyingkap rumput alang-alang, mendadak ular tadi
menyambar dan hendak menggigitnya. Yousuf tidak keburu berkelit, maka dia cepat
mengulur tangan menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan langsung
menggunakan kekuatannya mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri
lagi.
Akan tetapi,
mendadak Yousuf merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget serta herannya
pada waktu melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak
menyangka bahwa ekor ular itu pun merupakan kepala kedua sehingga dia tidak
sempat mengelak dan pundaknya lalu kena tergigit. Yousuf merasa tubuhnya
menjadi panas dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula dia menjerit
sehingga kawan-kawannya datang menolong.
Sesudah
melepaskan kepala ular yang dicekiknya, Yousuf lantas roboh pingsan dengan muka
merah sekali. Ketika Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang
Turki itu terasa panas sekali. Kong Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang
masih menggigit pundak walau pun telah mati dan melemparkannya jauh-jauh,
kemudian dia memondong tubuh Yousuf ke dalam goa tempat mereka bermalam.
Lin Lin yang
biar pun sedikit tapi pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu
Biauw Suthai, lalu memeriksa luka pada pundak Yousuf. Ia terkejut sekali
melihat betapa pundak itu sudah menjadi matang biru dan maklum bahwa ular yang
menggigit Yousuf itu adalah ular beracun yang berbahaya sekali.
Selagi
mereka bertiga kebingungan, tiba-tiba di luar goa terdengar suara aneh. Mereka
memburu keluar dan melihat seekor burung merak yang berbulu biru bercampur
kuning keemas-emasan sehingga dari jauh nampak seperti hijau. Merak ini indah
sekali dan juga besarnya melebihi merak biasa.
Mereka
terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang amat
lihai. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk
menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,
“Jangan
ganggu dia! Lihat, dia membawa buah Pek-kim-ko (Buah Emas Putih). Buah inilah
yang kubutuhkan pada saat ini untuk menolong jiwa Yo sian seng.”
Merak itu
seakan-akan mengerti bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan
Lin Lin sambil memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan
indah. Lin Lin lalu melangkah maju tanpa kelihatan jeri sedikit pun, karena di
dalam hatinya dia menganggap tidak mungkin seekor burung yang begini indahnya
dapat mempunyai watak jahat.
Setelah
dekat, Lin Lin tidak berani langsung mengambil buah itu dari mulut merak karena
menganggap hal itu kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka dia
kemudian mengulurkan tangan kanan seperti orang minta-minta. Dan benar saja,
merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan buah yang
berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Lin menerima buah itu
dan ketika melihat bahwa itu adalah benar-benar buah Pek-kim-ko seperti yang ia
duga, ia menjadi girang sekali dan tak terasa pula ia mengangguk kepada burung
merak itu dan berkata, “Sin-kong-ciak-ko (Saudara Merak Sakti), terima kasih
banyak!”
Lalu gadis
ini berlari masuk ke dalam goa, diikuti oleh Nelayan Cengeng serta Ma Hoa yang
memandang terheran-heran. Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di
atas pembaringan tanpa dapat berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah
serta tubuhnya panas sekali bagaikan dibakar.
Tanpa banyak
membuang waktu dan banyak bicara lagi, Lin Lin cepat-cepat mencabut pedangnya
dan mempergunakan ujung pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah
dibuka bajunya, yaitu di bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan
ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka dengan mudah oleh ujung
pedang yang tajam dan runcing itu, lalu setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin
lalu memasukkan buah Pek-kim-ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan.
Rasa buah
itu pahit sekali dan di dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh
lidah, gigi, dan kulit di dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang
merah dan berbentuk indah itu ke arah luka bekas goresan pedang pada pundak
Yousuf, lalu segera dihisapnya! Setelah menghisap, dia lalu meludahkan darah
hitam yang dapat disedot dari luka itu.
Berkali-kali
dia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan
darah di sekitar pundak yang tergigit ular itu. Dan akhirnya, habislah bisa
ular yang meracuni darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di mukanya dan warna
matang biru pada pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis menurun.
Ternyata
bahwa khasiat buah Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin
Lin, agar jangan sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko,
Lin Lin tidak akan berani melakukan penghisapan racun dengan mulutnya itu,
karena hal ini berbahaya sekali dan dapat menewaskannya.
Setelah jiwa
Yousuf tertolong dari ancaman racun ular, Lin Lin lalu keluar dari goa untuk
mencari air dan mencuci mulutnya sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa
saling pandang. Rasa haru yang mendalam terasa oleh hati kedua orang ini
melihat ketinggian budi Lin Lin. Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu.
Ketika Lin
Lin sedang mencuci mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak
gunung itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan
ketika ia menoleh, terlihat olehnya seekor harimau yang besar sekali! Yang aneh
adalah bahwa di tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang
melengkung ke atas laksana tanduk seekor badak.
Lin Lin
cepat berdiri dan melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum
bahwa binatang ini tentulah harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan
oleh Yousuf di atas perahu dulu.
Memang benar
bahwa harimau inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang
ini lihai dan kuat. Akan tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu
untuk menyerang, hanya memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum
kecil seakan-akan menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini
atau tidak.
Mendadak
terdengar suara pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin
menyambar kepalanya dari arah atas. Cepat gadis ini mengelak secara tepat oleh
karena tanpa peringatan lagi, dari atas telah manyambar turun seekor Rajawali
Emas yang amat besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak secara tepat, tentu
kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang gelak itu!
Lin Lin
makin terkejut oleh karena dia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan
kini setelah dua macam binatang lihai ini berada di depannya, apakah yang dapat
ia lakukan? Sedangkan Yousuf yang begitu gagah dan dibantu oleh dua orang
kawannya pun masih tidak kuat melawan dua ekor binatang ini, apa lagi dia kini
berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula?
Namun gadis
ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut
sedikit pun. Bahkan ketika itu dia memandang kepada harimau dan rajawali sakti
itu dengan pandangan mata kagum dan senang.
Setelah
menyambar turun rajawali itu lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan
ternyata bahwa tubuh rajawali itu jauh lebih tinggi dari pada tubuh harimau
itu! Dua ekor binatang ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya
merasa ragu-ragu melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap
bermusuhan dengan mereka, malah tidak mengeluarkan senjata untuk melukai
mereka.
Tiba-tiba
saja terdengar bunyi nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata
merak yang luar biasa tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di
depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk lalu menggoyang-goyangkan ekornya
dan menundukkan kepala, ada pun Rajawali Emas itu lalu mengebut-ngebutkan
sepasang sayapnya sambil menunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat
kepada merak ini.
Merak Sakti
itu mengangkat dadanya dengan bangga, lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis
ini gembira sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan
sebelah kakinya sedang kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun
Coa-tok-te, yaitu sejenis daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan
luka akibat gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan
sambil tersenyum manis gadis itu berkata,
“Ah, Saudara
Merak Sakti. Sungguh kau benar-benar baik hati dan amat pandai.” Sambil berkata
demikian Lin Lin mengulurkan tangan menerima rumput atau daun-daun panjang itu
dari kaki merak. Kemudian dengan mesranya Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang
indah sekali serta halus dan bersih itu.
Merak itu
menjulurkan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan pada lengan tangan
gadis yang mengelus-elusnya itu, seolah-olah ia merasa gembira sekali. Sikapnya
seperti seekor binatang peliharaan yang amat jinak. Sedangkan harimau bertanduk
dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahan-lahan dengan mata
mengeluarkan pandangan mengiri.
Lin Lin
tertawa dan dengan tabahnya dia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu
dan mengelus-elus punggung mereka. Si Harimau bertanduk itu
menggoyang-goyangkan ekornya dan mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor
kucing yang merasa senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itu pun kemudian
mengembangkan sayapnya dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya bagaikan
seekor burung murai yang dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.
Tiba-tiba
harimau itu mencium-cium ke arah pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram
keras sehingga gadis itu terkejut, juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak
kaget. Lin Lin teringat akan pedang karatan yang berada di pinggangnya dan
otomatis ia mencabut pedang itu, dan sungguh aneh. Ketika melihat pedang
karatan itu, ketiga binatang itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan sedih
dan ketiganya lalu mendekam di hadapan Lin Lin seakan-akan berlutut.
Lin Lin
adalah seorang gadis yang cerdik dan dapat mengerjakan otaknya cepat sekali. Ia
dapat menduga tepat bahwa ketiga binatang sakti ini tentulah murid-murid atau
binatang-binatang peliharaan orang sakti yang telah meninggal dunia di dalam
goa dan kini ketiga ekor binatang ini mengenal pedang pusaka orang sakti itu!
Maka Lin Lin
lalu ikut berlutut pula dan mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan
hendak memperlihatkan kepada ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung
tinggi dan menghormat pemilik pedang itu. Kemudian ia berdiri dan memasukkan
pedang bobrok itu ke dalam ikat pinggang lagi. Kini ketiga binatang itu nampak
girang sekali dan mereka menjadi begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang amat
menurut.
Pada saat
itu terdengar seruan heran dan ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan
Cengeng dan Ma Hoa telah berdiri mengintai dari belakang pohon dengan mata
terbelalak heran. Lin Lin tersenyum lalu berkata kepada binatang itu dengan
suara keras tapi halus,
“Sin-kong-ciak
(Merak Sakti), Sin-kim-tiauw (Rajawali Emas Sakti), dan kau It-kak-houw
(Harimau Tanduk Satu). Lihatlah baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah
sahabat-sahabat baikku dan janganlah kalian mengganggunya. Juga kawan yang
sedang terluka oleh ular berbisa itu adalah kawan baikku!”
Ketiga ekor
binatang sakti itu mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti
ucapan Lin Lin sehingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang
sekali. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus
pundak ketiga ekor binatang itu yang menjadi heran sekali. Terutama Ma Hoa,
gadis ini merasa suka benar kepada Sin-kong-ciak dan mengagumi bulu merak itu
tiada habisnya.
Kemudian
mereka lalu kembali ke goa, diikuti oleh tiga ekor binatang itu. Ternyata bahwa
tadi Nelayan Cengeng dan Ma Hoa juga mendengar suara binatang-binatang itu
hingga mereka lalu memburu keluar karena khawatir kalau-kalau Lin Lin berada
dalam bahaya. Akan tetapi mereka berdiri tercengang sambil mengintai dari balik
pohon ketika melihat peristiwa yang aneh dan menakjubkan yang terjadi antara
Lin Lin dan ketiga binatang itu.
Lin Lin lalu
meremas-remas daun Racun Ular, dan obat ini digunakan untuk mengobati luka
Yousuf, dibalurkan di tempat bekas gigitan dan sebagian airnya diminumkan.
Tak lama
kemudian Yousuf siuman kembali dan keadaannya baik sekali. Ketika melihat
betapa Lin Lin merawatnya dengan telaten dan penuh perhatian, tak terasa pula
air mata mengalir turun dari kedua matanya. Apa lagi ketika Ma Hoa menceritakan
betapa Lin Lin menyedot keluar semua racun yang ada di dalam tubuhnya dengan
menggunakan mulutnya, orang Turki ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya
dan dia menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Dia tak dapat mengucapkan
kata-kata, hanya memandang kepada Lin Lin dengan pandangan penuh mengandung
pernyataan terima kasih yang besar.
Lin Lin
tersenyum dengan muka merah. “Enci Ma Hoa,” katanya kepada gadis itu, “mengapa
kau menceritakan hal itu? Kau hanya melebih-lebihkan hal yang tidak ada
artinya.” Kemudian kepada Yousuf ia berkata,
“Yo-sianseng,
kita adalah sahabat-sahabat baik yang sedang berada di tempat asing dan
berbahaya. Bila kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa hidup? Aku
yakin bahwa kau pun tentu tidak akan ragu-ragu lagi melakukan hal ini apa bila
aku yang mendapat kecelakaan.”
Yousuf hanya
mengangguk-anggukkan kepala, tapi ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata
oleh karena hatinya merasa terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak
kuasa membuka mulut. Dia ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding goa
karena menyesal kepada diri sendiri dan diam-diam ia memaki pada diri sendiri.
“Ahh,
Yousuf! Kau manusia tersesat dan gila! Mengapa kau biarkan setan menguasai hati
dan pikiranmu hingga kau pernah tergila-gila dan memiliki pikiran buruk
terhadap seorang gadis yang demikian mulia hatinya? Kalau kau mempunyai seorang
anak perempuan pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti gadis ini!”
Demikianlah
Yousuf menyesali diri oleh karena memang ia pernah mengandung maksud untuk
mengambil Lin Lin sebagai permaisurinya apa bila cita-citanya tercapai.
Semenjak saat itu rasa cintanya kepada Lin Lin sama sekali berubah dari cinta
seorang lelaki pada seorang wanita menjadi cinta kasih seorang ayah terhadap
seorang anak perempuannya!
“Lin Lin,”
katanya ketika gadis itu menyiapkan obat untuknya dan mereka berada berdua
saja, karena Ma Hoa beserta Nelayan Cengeng dengan ditemani oleh harimau
bertanduk dan Rajawali Emas sedang keluar mencari buah-buahan yang enak
dimakan. “Setelah apa yang kau lakukan untuk membelaku, sudilah kiranya kau
menyebut Ayah kepadaku? Kau kuanggap anakku sendiri, Lin Lin, dan oleh karena
kau tak berayah ibu lagi, biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu. Sukakah kau, Nak?”
Mendengar
suara yang diucapkan dengan menggetar, juga melihat betapa wajah Yousuf
memandangnya dengan penuh harapan, Lin Lin menjadi amat terharu dan teringat
pada ayahnya. Maka dia segera berlutut di depan pembaringan Yousuf dan tanpa
ragu lagi dia menyebut, “Ayah!” sambil menangis.
Yousuf yang
sudah kuat kembali tubuhnya lalu bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua
tangannya di atas kepala gadis itu dan berkata, “Lin Lin, semenjak saat ini kau
adalah anakku dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, semoga
Dewata Yang Agung memberkahimu.”
Ketika
Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar tentang pemungutan anak ini, mereka berdua
juga merasa girang sekali. Nelayan Cengeng sudah percaya penuh akan ketulus
ikhlasan dan kejujuran hati orang Turki itu, maka ia pun tidak merasa keberatan
apa-apa, sedangkan Ma Hoa yang juga telah kehilangan ayahnya, lalu menangis
dengan terharu sekali sambil memeluk leher Lin Lin.
Nelayan
Cengeng menghela napas, “Ma Hoa, aku tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih,
akan tetapi kau ingatlah, Ma Hoa, bahwa semenjak saat kau merantau denganku,
aku Kong Hwat Lojin sudah menjadi guru dan ayahmu sendiri! Walau pun kau
menyebut Suhu kepadaku, tapi kau kuanggap anak sendiri dan hal ini pun tentu
kau maklumi, maka janganlah kau bersedih, Anakku.”
Ma Hoa
menjatuhkan diri berlutut di hadapan suhu-nya dan berkata, “Terima kasih, Suhu,
dan demi Tuhan, sedikit pun tak pernah teecu meragukan kemuliaan hati Suhu.”
Setelah
Yousuf sembuh kembali, mereka melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di
pulau itu, akan tetapi kalau dulu Yousuf mencari dengan cita-cita hendak
mengangkat diri menjadi kaisar dan mengawini Lin Lin, kini cita-citanya itu
diubah sedikit. Dia masih ingin menjadi kaisar dan memiliki harta besar itu,
akan tetapi semua itu demi kemuliaan Lin Lin yang akan dijadikan seorang puteri
kerajaan yang agung.
Akan tetapi,
sesudah beberapa hari tinggal di pulau itu, ternyata belum juga didapatkan
tanda-tanda bahwa pulau itu betul-betul mengandung banyak emas seperti yang
tadinya disangka......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment