Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 16
PADA suatu
hari, ketika Yousuf dan kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka
melihat banyak sekali pendeta Sakya Buddha anak buah Pangeran Vayami naik ke
pulau itu dan melakukan pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat
mempergunakan alang-alang dan pohon-pohon kecil untuk dipakai menutupi goa
mereka sehingga tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain, lantas diam-diam
mereka mengintai pendeta-pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan.
Ketika
Nelayan Cengeng mengusulkan untuk menyerang Pendeta-pendeta Jubah Merah itu,
Yousuf mencegahnya dan berkata, “Aku tahu, mereka ini adalah kaki tangan
Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu di mana letak harta
terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru kita turun
tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa yang mereka
lakukan.”
Lin Lin lalu
memerintahkan kepada ketiga binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan
menyerang orang-orang itu. Selama tiga hari pendeta-pendeta itu bekerja, akan
tetapi sebagaimana hasil kerja Yousuf, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.
Kemudian,
dengan kaget sekali Yousuf dan kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu
pasukan Turki sedang disusul dan dikejar oleh perahu-perahu pasukan kerajaan.
Yousuf tahu bahwa barisan bangsanya telah tiba di situ dan hendak menguasai
pulau itu sebagai mana direncanakannya dan tahu pula bahwa kalau mereka
melihatnya, tentu dia akan ditangkap oleh karena selama itu dia tidak pernah
memberi kabar mengenai hasil penyelidikannya sehingga ia dapat dituduh sebagai
pengkhianat yang hendak mengambil sendiri harta itu.
Kemudian
mereka melihat pertempuran besar yang terjadi antara pasukan Turki dengan
barisan Tiongkok, dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakya Buddha
itu, ia menjadi terkejut sekali oleh karena pendeta-pendeta itu kemudian
menyalakan api dan membakar danau minyak yang segera berkobar hebat menjadi
lautan api.
“Celaka!
Danau itu dibakar dan mungkin akan meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari
pulau neraka ini!' katanya.
Kawannya
menjadi panik dan Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang
masih mengintai dan menonton pertempuran hebat dari jauh.
Kedua orang
gadis itu pun terkejut sekali mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi
tanda suitan memanggil ketiga binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke
perahu mereka yang disembunyikan di belakang alang-alang, diikuti oleh ketiga
binatang itu. Akan tetapi, ketika mereka telah naik ke atas perahu, tiba-tiba
ketiga binatang itu memekik keras dan ketiganya lalu membalikkan diri dan
kembali ke pulau.
Lin Lin
berteriak-teriak memanggil sambil mengejar dan ketika ia memasuki goa, ternyata
tiga ekor binatang sakti itu sedang mendekam dan berlutut di depan makam rangka
yang mereka tanam dahulu. Lin Lin membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya
tidak mau pindah dari tempat mereka, seakan-akan bersiap untuk mati di depan
kuburan tuannya. Lin Lin menjadi bingung dan memeluk leher Merak Sakti. Ia
berkata sambil menangis,
“Saudara
Merak Sakti, bagaimana aku dapat tega meninggalkan kau? Kau adalah seperti
saudaraku sendiri, dan pulau ini akan terbakar habis. Marilah kau ikut padaku.
Tegakah kau membiarkan aku merasa sedih seumur hidupku?”
Merak Sakti
itu mengeluarkan keluhan panjang dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir
keluar dua butir air mata. Dari jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil
namanya, dan Lin Lin terpaksa keluar dari goa sambil menangis. Beberapa kali ia
masih menengok memandang ketiga kawannya yang aneh ini.
Dan ketika
ia berlari ke perahu dengan tubuh lemas dan hati berduka, tiba-tiba terdengar
suara keras di atas kepalanya dan ternyata bahwa Merak Sakti itu telah
menyusulnya. Lin Lin menjadi girang sekali dan segera lari ke perahu diikuti
oleh Merak Sakti yang agaknya tidak tega untuk melepas Lin Lin pergi seorang
diri dan ikut menyusul.
Baru saja
Lin Lin naik ke perahu, tiba-tiba serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat
mereka. Sambil berteriak-teriak buas mereka langsung menyerbu dan Nelayan
Cengeng serta kawan-kawannya segera menyambut serangan mereka dan terjadilah
pertempuran sengit.
“Lekas
kalian bertiga jalankan perahu, biarlah aku sendiri menahan serbuan
anjing-anjing merah ini!” kata Nelayan Cengeng.
Yousuf yang
melihat betapa api berkobar semakin hebat, lalu cepat menjalankan perahu, akan
tetapi Ma Hoa berteriak,
“Suhu jangan
melawan mereka seorang diri, teecu akan membantumu!”
“Jangan!”
teriak Si Nelayan Cengeng dengan suara tetap dan keras. “Kau harus ikut pergi
lebih dulu! Aku tidak takut segala anjing ini, dan biar pun tanpa perahu, aku
mudah saja menyeberang ke daratan Tiongkok!” jawab suhu-nya yang gagah perkasa
sambil terus memutar-mutar dayungnya dan mengamuk hebat.
Lin Lin
mendapatkan akal. Dia segera menghampiri Merak Sakti dan berkata, “Saudaraku
yang baik. Kau bantulah Nelayan Cengeng dan cakarlah habis-habis pendeta busuk
itu!”
Sin-kong-ciak
mengeluarkan pekik keras, tanda bahwa dia girang sekali menerima tugas ini dan
sebentar saja tubuhnya melesat dan melayang ke atas. Sesudah Merak Sakti ini
menyerbu, maka terdengarlah jerit dan tangis yang ribut sekali di kalangan para
Pendeta Sakya Buddha ini dan Nelayan Cengeng menjadi gembira sekali.
“Bagus
Kong-ciak-ko, bagus! Hayo, kita hantam bersama!”
Perahu yang
ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan
pendeta-pendeta Baju Merah itu merasa tidak kuat menghadapi Nelayan Cengeng
yang tangguh dan yang dibantu oleh Merak Sakti yang aneh itu. Maka sambil
berteriak-teriak ketakutan mereka lalu melarikan diri ke arah perahu-perahu
kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat mereka segera melarikan diri dengan
perahu-perahu itu dari pulau yang telah mulai berkobar hebat itu.
Nelayan
Cengeng juga tidak membuang waktu lagi, ia berkata kepada Merak Sakti,
“Kong-ciak-ko,
sekarang kau terbanglah menyusul perahu Lin Lin dan aku akan berenang. Hayo
kita berlomba, kau terbang dan aku berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul
perahu, dialah yang menang!”
Merak Sakti
agaknya mengerti omongan ini dan sambil mengeluarkan teriakan panjang dan
girang, ia lalu terbang melayang ke atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang
telah berlayar jauh sekali.
Sementara
itu, Nelayan Cengeng juga segera menceburkan diri ke dalam laut, kemudian
mempergunakan kepandaian dan tenaganya yang luar biasa untuk berenang ke
daratan pantai Tiongkok. Akan tetapi dia telah tertinggal jauh dan dia harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar perahu itu sehingga dia
berenang cepat sekali bagaikan seekor ikan besar. Air tidak kelihatan terpercik
ke atas, namun tubuhnya bergerak maju pesat sekali.
Akan tetapi,
setelah ia dapat melihat bayangan perahu itu dalam kegelapan, tiba-tiba saja
terdengar letusan hebat dari pulau yang terbakar itu sehingga Kong Hwat Lojin
terlempar jauh, terbawa ombak yang datang setinggi gunung dan yang
melemparkannya ke arah lain, jauh dari kapal itu, dan ke lain jurusan!
Ilmu kepandaian
di dalam air yang dimiliki oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka
ketika melihat betapa dirinya menjadi permainan ombak, dia lalu menahan napas
dan menyelam ke dalam. Tekanan air makin ke bawah semakin kuat, akan tetapi
tidak bergelombang sehebat di permukaan air itu. Dengan demikian, Nelayan
Cengeng dapat berenang terus, dekat di atas dasar laut itu dan ia pun menuju ke
pantai.
Akan tetapi
oleh karena gelombang yang hebat itu pun membuat perahu yang ditumpangi oleh
Yousuf dan kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika
Nelayan Cengeng sudah muncul di darat, ia berada jauh sekali dari perahu itu,
dan sedikit pun tidak tahu dirinya berada di mana!
Dan pada
waktu dia melompat ke darat, datanglah Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu
menyerangnya hingga terjadi pertempuran sengit yang kemudian disusul oleh
datangnya Biauw Suthai dan Pek I Toanio dan yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Dan
seperti yang telah diketahui, akhirnya karena Kwee An ikut mencampuri
pertempuran itu, Hek Mo-ko bertempur sendiri melawan Pek Mo-ko yang
mengakibatkan tewasnya kedua orang Iblis Hitam dan Putih itu!
Kwee An dan
Cin Hai merasa senang sekali mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa ada di bawah
perlindungan Yousuf yang baik hati. Sungguh pun mereka tidak tahu ke mana
perginya ketiga orang itu, namun mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu
berada dalam keadaan selamat.
Sementara
itu, Pulau Kim-san-to masih saja berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai
berkeras tidak mau meninggalkan pantai sebelum keadaan aman kembali, dan dia
berniat hendak menggunakan perahu mencari Ang I Niocu!
Semua orang
tahu akan isi hati serta kehancuran kalbu pemuda ini. Maka, oleh karena mereka
semua pun merasa sangat kagum dan kasihan kepada Ang I Niocu, mereka juga
menunggu di pantai sambil melihat ke arah pulau yang musnah dimakan api itu.
Pada hari ke
tiga, padamlah api yang membakar seluruh Pulau Kim-san-to dan lenyaplah
gelombang besar yang diakibatkan oleh kejadian mengerikan itu. Laut kembali
menjadi tenang dan semua orang memandang ke arah pulau itu, hati mereka
tertegun dan untuk beberapa lama tak seorang pun di antara mereka dapat
mengeluarkan kata-kata.
Ternyata
bahwa pulau yang tadinya menjulang dari permukaan laut dan pada malam hari
nampak bagaikan sorga itu, kini telah lenyap sama sekali, bagaikan sepotong kue
besar yang habis ditelan oleh mulut raksasa. Sedikit pun tak nampak
bekas-bekasnya lagi.
Semua orang
lalu mulai dengan usaha mereka mencari-cari, tetapi ke manakah mereka harus
mencari Ang Niocu? Cin Hai sendiri lalu menggunakan perahu kecil bersama Kwee
An dan mendayung perahu itu ke tempat di mana tadinya terdapat pulau itu.
Mereka
melihat banyak barang mengambang di permukaan air laut, barang besar kecil yang
berupa benda-benda hitam memenuhi air laut itu. Sesudah mereka berputar-putar
sehari lamanya dan orang-orang lain telah kembali ke pantai oleh karena telah
berputus asa, tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu mengambang di air dan dia lalu
menjerit dengan suara mengandung isak tangis.
“Niocu!”
Kemudian pemuda ini lalu melompat ke dalam air.
Kwee An
terkejut sekali dan mendayung perahunya mengejar Cin Hai yang berenang cepat ke
depan. Dia melihat Cin Hai mengambil sesuatu dari permukaan air laut itu dan
saat dilihatnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh Cin Hai adalah selembar kain
warna merah. Sambil menangis Cin Hai berenang kembali ke perahu dan naik ke
dalam perahu sambil memegang erat-erat potongan kain merah itu, lalu dia
terduduk menangis sambil menyembunyikan mukanya di dalam kain itu dan mengeluh
tiada hentinya.
“Niocu...
Niocu...”
Kwee An
teringat bahwa kain ini sama benar dengan kain pakaian yang biasa dipakai oleh
Ang I Niocu, maka dia menjadi amat terharu dan tak dapat berkata-kata apa
kecuali menggunakan tangannya menepuk-nepuk Cin Hai.
“Kuatkanlah
hatimu, Cin Hai... dan bolehkah aku mendayung perahu kembali ke pantai?”
Cin Hai tak
dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk dengan muka masih tersembunyi
ke dalam sobekan kain merah itu. Agaknya tubuh Ang I Niocu telah hancur karena
ledakan dahsyat itu dan secara ajaib sekali sepotong pakaiannya sudah terlempar
dan terbawa hawa ledakan hingga jatuh di air dan tidak ikut terbakar. Tentu
saja Cin Hai menjadi sedih sekali oleh karena sobekan pakaian ini menjadi bukti
nyata bahwa Gadis Baju Merah itu telah tewas dan hanya meninggalkan sesobek
kain dari pakaiannya.
Nelayan
Cengeng yang hampir seharian penuh berenang kian-kemari mencari-cari, juga
tidak menemukan sesuatu dan sekarang telah berada di pantai dengan orang-orang
lain. Pada saat mereka melihat kain merah yang ditemukan oleh Cin Hai, mereka
hanya dapat menghela napas saja, bahkan Pek I Toanio tidak dapat menahan
keharuan hatinya dan berkata kepada Cin Hai.
“Jangan kau
terus bersedih hati, karena itu tidak ada gunanya. Ang I Niocu agaknya telah
tewas, tetapi dia tewas sebagai seorang pendekar gagah perkasa dan boleh
dibanggakan maka tidak perlu kita terlalu menyedihi kematiannya. Bukankah kita
semua ini kelak pun akan pergi ke tempat di mana dia mendahului kita? Lebih
baik sekarang kita berusaha mencari di mana adanya Lin Lin dan Ma Hoa.”
Nelayan
Cengeng yang diam-diam juga mengalirkan air mata tanda menangis itu cepat
menggunakan ujung lengan bajunya yang basah oleh air untuk mengusap pipinya
sambil mengangguk-angguk. “Benar ucapan Pek I Toanio. Marilah kita sekarang
menyusul dan mencari ke mana mendaratnya perahu Yousuf itu.”
Kata-kata
ini memperingatkan Cin Hai bahwa Lin Lin masih hidup dan hal ini merupakan
hiburan yang besar sekali. Dia lalu mempertahankan dan menguatkan hatinya,
kemudian memandang kepada mereka.
“Maafkanlah
kelemahanku dan terima kasih kuucapkan kepada Cuwi sekalian yang telah begitu
baik hati untuk ikut bersusah payah.”
Setelah
mengadakan perundingan, maka diputuskan bahwa mereka akan dipecah dalam tiga
rombongan sebagai usaha mereka mencari kedua gadis itu. Kwee An hendak pergi
bersama Cin Hai, Pek Toanio bersama gurunya dan Nelayan Cengeng pergi seorang
diri. Tempat di mana perahu orang Turki itu mendarat belum diketahui, maka
mereka segera berpencar dan mulai mencari dan menyusul Lin Lin, Ma Hoa dan
Yousuf.
***************
Berkat
kecerdikannya dan kepandaian supek-nya yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil
melarikan diri dari Pulau Kim-san-to dan karenanya ia terhindar dari bahaya
maut. Ketika perahunya mendarat, ia pun dapat melihat pula pertempuran yang
terjadi antara Nalayan Cengeng yang dibantu Biauw Suthai dan Toanio melawan Hek
Pek Mo-ko.
Akan tetapi,
oleh karena melihat bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang
memiliki kepandaian tinggi sekali, terutama Hek Pek Mo-ko yang sudah dia
ketahui memiliki ilmu kepandaian luar biasa, Hai Kong Hosiang segera mengajak
supek-nya yang gagu untuk terus berlari dan jangan mencampuri urusan mereka.
Hatinya
merasa mendongkol dan marah sekali oleh karena kembali dia sudah mengalami
kesialan. Pertama, dia telah kena dibujuk oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah
bertemu dengan Balutin dan bertempur tanpa bisa merobohkan pendeta asing itu,
dan ketiganya ia hampir saja mendapat celaka besar di pulau yang terbakar dan
meledak.
Di sepanjang
jalan Hai Kong Hosiang terus menyumpahi Cin Hai. Dia merasa menyesal sekali
mengapa dulu ketika Cin Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak
lekas-lekas membunuh anak muda itu.
Sekarang
anak muda itu tentu masih hidup dan selanjutnya akan merupakan penghalang besar
baginya oleh karena bahwa Cin Hai bersama beberapa orang kawannya tentu tak
akan tinggal diam saja dan akan terus mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam
atas kematian keluarga Kwee! Sedangkan kepandaiannya sendiri yang tadinya dia
banggakan itu, baru menghadapi Balutin saja belum mampu mengalahkannya!
Maka ia lalu
mengajak supek-nya, yakni Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu untuk
bersembunyi di atas sebuah gunung yang sunyi, lalu mengerahkan seluruh
perhatiannya untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kiam Ki Sianjin
yang lihai! Dengan bujukan-bujukan dan pujian-pujian, ia berhasil mengeduk
semua ilmu yang dimiliki Kim Ki Sianjin yang lihai, sehingga kepandaian Hai
Kong Hosiang sudah meningkat tinggi sekali, bahkan dia dengan giatnya
meyakinkan ilmu lweekang yang berdasarkan ilmu yoga dari barat.
Lweekang ini
dilatih secara terbalik, yaitu mengatur pernapasan dan pergerakan tenaga dalam
secara jungkir balik, kepala di bawah dan dua kaki di atas. Berkat latihan ini,
maka Hai Kong Hosiang mempunyai ilmu silat yang diajarkan oleh supek-nya, yakni
Ilmu Silat Kalajengking yang amat lihai.
Ilmu silat
ini bukan digerakkan dengan tubuh dalam keadaan biasa, akan tetapi dalam
keadaan kaki di atas dan kepala di bawah! Dengan kepala di atas tanah, kedua
kaki Hai Kong Hosiang bisa bergerak secara lihai sekali, mengirim
serangan-serangan maut yang tidak terduga datangnya. Oleh karena tenaga kaki
memang lebih besar dari pada tenaga tangan maka kedua kaki yang
menendang-nendang dan menyerang secara hebat itu sulit ditahan oleh lawan.
Ini masih
belum begitu hebat, akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan
melancarkan serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar
dilawan. Kalau lawan sampai kena terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang
yang berada di bawah, maka celakalah dia!
Ilmu
kepandaian Kiam Ki Sianjin lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Hek Pek
Mo-ko. Dalam usia yang sangat tua saja ia masih amat lihai, maka kini setelah
Hai Kong Hosiang dapat mewarisi seluruh kepandaiannya dapatlah dibayangkan
betapa hebatnya kelihaian Hai Kong Hosiang yang masih kuat dan bertenaga besar
itu!
Selain Ilmu
Silat Kalajengking yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal
Kim-ciong-ko yang membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata
tajam. Kim-ciong-ko yang dapat dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukan
Kim-ciong-ko yang biasa dipelajari dalam dunia persilatan, oleh karena
didasarkan khikang yang dilatih secara jungkir balik sehingga dia bisa
menyalurkan tenaga dalamnya disertai hawa dalam badan yang membuat kulitnya
dapat melembung dan mengempis laksana karet. Karena itu, jangankan pedang
biasa, bahkan pedang pusaka yang tajam pun apa bila digunakan oleh orang yang
memiliki tenaga biasa tidak akan dapat melukainya!
Setelah
merasa bahwa kepandaiannya sudah sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari
gunung dan bersama supek-nya lalu pergi ke kota raja. Di situ ia mendengar
tentang terbunuhnya perwira Boan Sip. Maka kebencian dan kemarahannya kepada
Cin Hai dan kawan-kawannya makin meluap dan bersumpah hendak membunuh mereka
ini semua!
Nama-nama
Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, serta Pek I
Toanio termasuk dalam daftarnya dan dia hendak mencari orang-orang ini untuk
dibinasakan! Tentu nama Bu Pun Su juga tak pernah terlupa olehnya walau pun ia
masih merasa jeri dan ragu-ragu apakah ia akan dapat menghadapi kakek jembel
yang sangat kosen itu!
Pada suatu
hari, Hai Kong Hosiang dalam perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh
karena di dusun itu tak ada penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang
terdekat dan masuk saja tanpa permisi kepada tuan rumah.
Seorang
petani tua yang mendiami rumah itu menjadi marah sekali saat melihat seorang
gundul memasuki rumahnya begitu saja, maka ia lalu membentak, “Eh, ehh, hwesio
dari manakah dan perlu apa memasuki rumahku tanpa permisi.”
Hai Kong
Hosiang memandang kepada petani tua itu dengan mendelik, dan sekali dia
mengulurkan tangan, pundak petani itu telah kena dipegangnya dan ia lalu
melemparkan tuan rumah itu keluar jendela. Tubuh petani itu jatuh berdebuk di
luar rumah, kemudian bergulingan beberapa kali. Untung sekali Hai Kong Hosiang
tidak berniat membunuhnya dan ia terbanting di atas rumput tebal, kalau tidak
tentu ia akan tewas seketika itu juga.
Petani ini
menjadi marah sekali. Dia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung dan
memberi tahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar
kekurang ajaran ini, segera membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang,
akan tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah kecil itu, Hai Kong Hosiang
telah melompat keluar dengan bertolak pinggang.
“Kalian ini
orang-orang dusun mau apakah?” tanyanya dengan muka bengis.
“Hwesio
kurang ajar! Mengapa kau merampas rumah orang begitu saja?”
“Siapa
merampas rumah? Aku hendak meminjamnya sebentar untuk beristirahat. Kalian
orang-orang kampung sungguh tak tahu aturan. Sepatutnya kalian cepat
menghidangkan makanan dan minuman untukku seperti layaknya tuan rumah
menghormati tamunya.”
“Mana ada
aturan macam itu?” berkata seorang petani lain yang menjadi marah melihat sikap
dan mendengar perkataan yang keterlaluan ini. “Kau bukanlah seorang tamu, akan
tetapi kau masuk rumah orang seperti perampok, bahkan sudah berani melempar
tuan rumah yang mempunyai rumah ini.”
“Sudahlah,
jangan banyak cakap lagi. Kalian mau memberi hidangan cepat keluarkan dan
jangan banyak mengobrol karena aku menjadi tidak sabar lagi.”
“Hweso
jahat!” teriak orang-orang kampung itu kemudian menyerbu hendak memukul dan
mengusir Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi,
orang-orang kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini
mana dapat menghadapi orang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki
kepandaian tinggi.
Ketika
berbagai senjata menyambar ke tubuhnya, Hai Kong Hosiang lalu menggunakan
lengan kiri untuk menangkis senjata-senjata itu, ada pun tangan kanannya tetap
bertolak pinggang. Semua petani berteriak kesakitan saat senjata-senjata mereka
beradu dengan lengan tangan Hai Kong Hosiang, karena senjata-senjata itu
terpental dan terlepas dari pegangan, sedangkan telapak tangan mereka menjadi
perih dan sakit.
Beberapa
orang yang berhati tabah masih merasa penasaran dan maju memukul. Akan tetapi
pada saat kepalan tangan mereka mengenai dada Hai Kong Hosiang yang bidang,
mereka kembali menjerit-jerit kesakitan dan tangan mereka menjadi
bengkak-bengkak.
“Ha-ha-ha-ha!
Cacing tanah busuk! Hayo kalian lekas ambil pergi semua makanan yang enak
untukku, kalau tidak mau, semua orang kampung ini akan kubikin mampus semua!”
Sesudah berkata demikian, Hai Kong Hosiang bergerak cepat dan
melempar-lemparkan orang-orang yang terdekat dengannya seperti orang
melempar-lemparkan rumput kering saja.
Orang-orang
kampung berteriak-teriak kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga
takut menghadapi hwesio yang jahat seperti setan dan yang mempunyai ilmu
kepandaian mukjijat yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Maka
sambil berteriak-teriak mereka lalu melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong
Hosiang membentak,
“Tidak lekas
kau sediakan makanan enak dan arak yang baik? Atau kalian menunggu sampai aku
membikin dusun ini hancur lebur?”
Takutlah
orang-orang kampung itu mendengar ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa
hwesio jahat ini pasti sanggup membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu
cepat mengeluarkan semua hidangan yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada
Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi,
demi melihat suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dan hanya
sedikit terdapat daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali dia
menggerakkan kakinya, semua hidangan melayang dan hancur berantakan di atas
tanah. Orang-orang kampung mundur ketakutan dan hwesio jahat itu lalu
membentak, “Bawa ke sini seekor babi. Hayo cepat!”
“Kami...kami
orang sedusun tidak mempunyai babi seekor pun,” jawab seorang petani mewakili
kawan-kawannya.
“Tidak ada
babi? Awas, jangan kau membohong! Kalau kau membohong, kau sendirilah yang
kujadikan babi dan kupanggang tubuhmu!”
“Benar-benar
kami tidak mempunyai babi, Losuhu,” kata seorang petani lain.
Hai Kong
Hosiang baru mau percayai keterangan mereka. “Kalau begitu, bawalah seekor
kerbau ke sini!”
Orang-orang
kampung itu menjadi pucat. “Kami hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami
pekerjakan sebagai penggarap sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya, bagaimana
nasib kami?”
“Tutup mulut
kalian dan lekas bawa seekor kerbau yang paling gemuk! Awas, aku sudah lapar
sekali dan kalau aku habis sabar, mungkin kau yang akan kumakan!”
Tentu saja
semua orang terkejut dan ngeri mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu
menuntun kerbau tergemuk di kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu
memandang tubuh kerbau yang gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.
“Nah, ini
pun boleh!”
Secepat
kilat ia merampas sebatang golok dari tangan seorang petani dan sekali saja
tangannya bergerak, leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur
keluar dari dalam perut binatang itu melalui lehernya yang berlubang dan kedua
mata binatang itu masih terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan lalu
terdiam.
Terdengar
pekik seorang kanak-kanak dan mendadak dari rombongan para petani yang
memandang penyembelihan kerbau secara istimewa ini dengan wajah pucat dan mata
terbelalak, keluar berlari seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih.
Anak ini segera menubruk tubuh kerbau yang telah mati itu sambil menangis
keras.
“Heii,
siapakah anjing kecil ini?” Hai Kong Hosiang bertanya kepada seorang wanita
yang menarik-narik anak itu sambil mengeluarkan kata-kata hiburan.
“Dia... dia
ini adalah anakku dan kerbau itu… adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil
dia bersama-sama kerbau ini, maka ia menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu,
karena dia tidak tega melihat kawan bermainnya itu terbunuh.”
“Ha-ha-ha!
Anak goblok! Anak bodoh! Apakah dia belum tahu bagaimana rasanya daging
sahabatnya itu? Kalau sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu ia akan senang melihat
sahabatnya disembelih! Hayo anak kau ikut aku pesta dan menikmati daging
sahabatmu ini!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang memegang tangan anak
itu dan menariknya masuk ke dalam rumah. Ketika ibunya hendak mengejar, Hai
Kong Hosiang membentak,
“Aku hendak
mengajak anakmu makan besar, apa salahnya?! Kalau kau mengganggu, aku akan
bunuh kamu berdua!”
Terpaksa ibu
ini melangkah mundur dengan muka pucat, kemudian ia menjatuhkan diri di atas
tanah sambil menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari sana oleh
karena merasa khawatir kalau hwesio jahat itu akan marah dan benar-benar
melakukan pembunuhan.
“Hayo lekas
masak daging ini!” Hai Kong Hosiang memerintah sambil minum arak yang
disuguhkan di atas meja dalam rumah itu.
Anak yang
tadi ditariknya kini didudukkan di depannya dan sambil memandang anak itu, Hai
Kong Hosiang tiada hentinya minum arak sambil terus tertawa-tawa. Anak itu
duduk dengan muka pucat dan tubuh menggigil, tetapi ia tidak berani berteriak!
Setelah
masakan daging kerbau sudah matang dan disuguhkan di atas meja depan Hai Kong
Hosiang dan anak itu, Hai Kong Hosiang lalu mulai makan dengan enaknya.
“Hayo kau
makan daging kawanmu ini. Enak dan lezat sekali rasanya!” berkata Hai Kong
Hosiang kepada anak itu. Akan tetapi sambil menggigit bibirnya dan menahan
runtuhnya air mata yang mengembeng di bulu matanya, anak itu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hayo
makan!” teriak Hai Kong Hosiang dengan suara yang menggeledek laksana guntur
hingga semua orang tani yang berada di luar rumah itu menjadi terkejut dan
kuatir sekali.
Akan tetapi,
sekali lagi anak itu menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging
kerbaunya yang dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya
kini sudah dimasak dan dimakan oleh hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan
hancur sekali.
Melihat
kekerasan anak ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan penasaran. Dia lalu
mengambil sepotong daging dengan tangannya dan begitu ia mengulurkan tangan,
maka tangan kirinya sudah menangkap mulut anak itu hingga dipaksa menyelangap
dan lalu memasukkan daging itu ke dalam mulut anak tadi! Anak itu membelalakkan
matanya dan ketika merasa betapa daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya,
lantas tiba-tiba dia pun muntah-muntah!
Bukah main
marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini. Ingin dia memukul mati anak di
depannya ini, akan tetapi baru saja ia mengangkat tangannya untuk memukul, ia
teringat bahwa jika membunuh anak ini, maka setidaknya tentu akan terjadi heboh
dan ribut yang hanya akan mengganggu istirahatnya saja. Karena itu dia tidak
jadi memukul, akan tetapi memegang batang leher anak itu dan sekali ia
menggerakkan tangan, anak itu menjerit karena tubuhnya terlempar keluar pintu!
Baiknya di
luar pintu itu orang-orang tani sedang duduk berkumpul dengan hati berdebar
penuh kekhawatiran, karena itu tubuh anak kecil itu jatuh menimpa mereka hingga
tidak mengalami luka hebat. Anak itu jatuh pingsan karena sedih, ngeri dan rasa
takutnya, dan orang-orang kampung itu cepat menggotongnya pulang sambil
menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air mata karena merasa sedih, dan
tak berdaya!
Hai Kong
Hosiang melanjutkan makan-minumnya seakan-akan tak pernah ada gangguan apa-apa.
Nafsu makannya besar sekali dan sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas
meja itu habis bersih!
Memang
hwesio ini mempunyai sifat aneh. Dia dapat bertahan tidak makan sampai tiga
hari tiga malam, dan sekali dia makan, agaknya dia hendak menebus hutangnya
kepada perutnya itu dan takaran makan yang tiga hari itu dirangkap menjadi
sekali makan!
Setelah
hidangan itu habis semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai
reyot di dalam rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur
keras, seolah-olah kerbau yang dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba
bangkit kembali di dalam perut dan menguak-uak!
Semalam
suntuk itu Hai Kong Hosiang tertidur tanpa berkutik dari tempat tidurnya. Telah
beberapa pekan dia meninggalkan kota raja dan supek-nya ditinggalkan di kota
raja, oleh karena supek-nya yang sudah tua itu menyatakan lelah dan bosan
merantau, hingga Hai Kong Hosiang pergi seorang diri.
Pada
keesokan harinya, kebetulan sekali Biauw Suthai bersama Pek I Toanio yang pergi
mencari jejak Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf tiba di dusun itu. Kedua orang ini
merasa heran melihat kelesuan muka orang-orang kampung itu ketika pada pagi
hari itu mereka pergi ke ladang sambil memanggul cangkul mereka.
Pek I Toanio
lalu bertanya kepada seorang petani tua yang bertemu di jalan, “Lopek (Uwa),
agaknya kalian penduduk desa ini sedang berduka dan kebingungan. Mala petaka
apakah gerangan yang menimpa desamu?”
Tadinya si
petani ini tak berani banyak bicara. Akan tetapi ketika melihat gagang pedang
yang tergantung di punggung Pek I Toanio, segera timbul kepercayaannya, bahkan
ia lalu berharap kalau-kalau dua wanita yang nampak gagah ini akan dapat
menolong desanya.
“Ketahuilah,
Toanio. Desa kami baru saja kedatangan seorang hwesio jahat sekali yang
mengganggu kami dan bahkan merampok kami. Itu masih belum seberapa, bahkan dia
berani memukul dan melukai orang.”
Bangkitlah
semangat pendekar dalam dada Pek I Toanio ketika mendengar penuturan ini, ada
pun Biauw Suthai yang lebih sabar lalu minta kepada petani tua itu untuk
menuturkan sejelasnya. Petani itu lalu menceritakan tentang kejahatan Hai Kong
Hosiang dan Biauw Suthai menjadi marah sekali, apa lagi saat mendengar betapa
hwesio jahat itu memaksa anak kecil itu makan daging kerbaunya sendiri dan
kemudian melempar tubuh anak itu keluar ketika dia tidak mau makan daging
kerbau kesayangannya.
“Hwesio
bangsat yang kurang ajar! Hendak kulihat siapakah dia yang begitu jahat dan tak
mengenal kemanusiaan itu.”
Sesudah
berkata demikian, dengan tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, Biauw
Suthai langsung pergi menuju ke rumah yang diceritakan oleh petani tadi.
Sementara itu, petani tua itu lalu menceritakan kepada kawan-kawannya dan
sebentar saja semua orang tahu bahwa ada dua orang wanita gagah yang hendak
mengusir dan menghukum hwesio jahat yang mengganggu mereka. Semua orang lalu
meninggalkan pekerjaan mereka dan beramai-ramai menuju ke rumah itu. Akan tetapi
mereka tidak datang mendekat, hanya memandang dari jauh dengan perasaan tegang.
Ketika
melihat bahwa pintu rumah itu masih tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio
lalu melompat ke atas genteng dan membuka dua genteng untuk mengintai ke dalam.
Dan mereka melihat pemandangan yang aneh.
Seorang
hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan, sedang
berdiri dengan kepala di tanah dan kedua kakinya di atas. Hwesio ini menaruh
kedua tangannya di belakang kepala dan saat itu sedang memutar-mutar tubuhnya
sedemikian rupa sehingga dari atas kelihatan bagaikan sebuah gangsingan atau
semacam barang permainan yang terputar-putar. Di dekatnya kelihatan menggeletak
sebuah topi bambu yang lebar.
Ketika Biauw
Suthai dan muridnya memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali
karena mengenal hwesio itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang. Ternyata
bahwa Hai Kong Hosiang sedang melatih lweekang-nya yang hebat dan aneh.
Kepalanya dapat berloncat-loncat dan berpindah-pindah dengan cepat tanpa
mengeluarkan suara, ada pun sepasang kakinya bergerak-gerak sehingga di dalam
kamar itu berkesiur angin yang kuat.
Tiba-tiba
terdengar Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan tahu-tahu sepasang kakinya
ditendangkan ke atas. Angin hebat menyerang ke atas genteng di mana Biauw
Suthai dan Pek I Toanio sedang mengintai.
“Awas!” seru
Biauw Suthai dan untung ia masih keburu membetot lengan muridnya, oleh karena
tiba-tiba genteng di mana mereka tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke
atas tinggi sekali sebagai akibat pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang
dahsyat.
”Hai Kong
pendeta bangsat!” Biauw Suthai memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong
Hosiang sudah berada di luar dan berdiri sambil tertawa berkakakan dan
memandang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri.
Biauw Suthai
menjadi marah sekali dan sambil mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah
kebutan berbulu merah, dia lalu melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I
Toanio yang juga telah mencabut keluar pedangnya.
“Ha-ha-ha,
tokouw mata satu yang buruk! Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan
agaknya engkaulah orang pertama yang akan mampus dalam tanganku, mendahului
anjing-anjing lain yang hendak kubasmi semua. Dan muridmu yang cantik ini pun
takkan ketinggalan dan akan mengiringkan kau! Ha-ha-ha!”
“Hai Kong
Hwesio keparat yang patut mampus. Memang sudah sejak lama pinni hendak
menyingkirkan kau dari muka bumi ini oleh karena kedosaanmu telah melewati
takaran. Bersedialah untuk mati!” Sambil berkata demikian Biauw Suthai lalu
menggerak-gerakkan hudtim-nya yang lihai.
Kalau dulu
sebelum memperdalam ilmu silatnya, jika ia harus berhadapan dengan Biauw
Suthai, tentu Hai Kong Hosiang akan merasa jeri oleh karena ia pun telah maklum
akan ketangguhan tokouw mata satu ini, dan karena ia maklum akan kelihaian para
musuhnya, maka ia lalu mengajak supek-nya untuk menemaninya dalam perantauan.
Akan tetapi,
sekarang setelah mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam
Ki Sianjin, ia memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan berani melakukan
perjalanan seorang diri tanpa dikawani supek-nya.
Memang Hai
Kong Hosiang mempunyai dasar watak yang sombong dan tinggi hati serta memandang
rendah kepandaian orang lain, akan tetapi harus diakui bahwa dia memang
mempunyai dasar atau bakat yang baik sekali. Jarang ada orang yang dapat
mempelajari ilmu silat sebaik dan secepat dia.
Ilmu Silat
Kalajengking yang aneh gerakannya dan dilakukan secara berjungkir balik itu
telah dapat dimainkannya dengan sempurna dalam waktu tidak lebih dari tiga
bulan saja. Juga di samping ilmu silat ini dia telah meyakinkan ilmu-ilmu silat
lain dan bahkan sudah mendapat kemajuan ilmu lweekang yang berdasarkan yoga
dari Barat.
Kini melihat
betapa Biauw Suthai sudah menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga
bulu-bulu halus kebutan itu mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh
karena tenaga dalam tokouw itu telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk
menghadapi hwesio yang sangat tangguh ini, Hai Kong Hosiang kembali tertawa
bergelak-gelak dan tiba-tiba ia menyerang dengan tangan kosong.
Serangan ini
berarti penghinaan serta memandang rendah terhadap Biauw Suthai yang memegang
kebutan, maka tokouw ini menjadi marah sekali. Benar-benarkah hwesio ini
mengangap ia begitu ringan sehingga tak perlu dilawan dengan senjata? Ia
berseru keras dan menggerakkan kebutannya dalam tipu gerakan Angin Badai
Memutar Ombak.
Terdengar
angin bersuitan ketika hudtim berkelebat merupakan cahaya merah dan dalam
segebrakan saja ujung hudtim-nya menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke
arah pelipis kepala Hai Kong Hosiang lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan
darah di leher untuk melakukan totokan maut dan terus disambung lagi dengan
serangan ke tiga yaitu mengebut ke arah ulu hati hwesio itu.
Akan tetapi
Hai Kong Hosiang memang lihai sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali
serang mengancam tiga tempat yang berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, dia
tidak menjadi gugup. Dia gunakan kedua tangannya yang dibuka untuk
digerak-gerakkan ke arah ujung kebutan dan ternyata tenaga khikang yang kuat
sekali itu berhasil memukul buyar ujung hudtim sebelum senjata itu mengenai
tubuhnya.
Biauw Suthai
terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang
telah maju sedemikian hebatnya dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam
hwesio ini telah maju pesat dan telah berada di tingkat yang lebih tinggi dari
pada tenaga dalamnya sendiri.
Akan tetapi,
Hai Kong Hosiang terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak tahu bahwa
tokouw ini adalah tokoh persilatan yang boleh dibilang ‘kawakan’ atau jago tua
yang telah malang melintang dalam dunia kang-ouw sampai puluhan tahun lamanya
dan jarang menemui tandingan.
Biauw Suthai
telah terlalu sering menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan yang
tangguh, hingga ia tidak menjadi jeri menghadapi Hai Kong Hosiang, biar pun ia
maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan
kepandaiannya yang terlihai dan sekarang kebutannya bergerak bagaikan seekor
naga mengamuk dan semua serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai
Kong Hosiang agar supaya dapat mempertahankan nyawanya lagi.
Sesudah
bertempur dengan hebatnya sampai lima puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang
terpaksa mengakui keunggulan permainan silat Biauw Suthai dalam lima puluh
jurus lebih itu. Telah beberapa kali ia mengeluarkan keringat dingin dan
menjadi pucat sebab hampir saja ia menjadi korban senjata hudtim lawannya. Maka
ia segera berseru keras,
“Biauw
Suthai, rasakan kerasnya senjataku!” dan ia lalu mencabut keluar tongkat
ularnya yang terkenal ganas dan ampuh.
“Hai Kong
manusia sombong! Hayo kau keluarkan semua kesaktianmu, dan jangan kira aku
takut kepadamu!”
“Ha-ha-ha!
Biauw Suthai, kematian sudah di depan mata tapi kau masih berani berlagak.
Sungguh-sungguh tua bangka tak tahu diri. Muridmu yang cantik itu telah menjadi
pucat dan tidak berani bergerak, maka jagalah dirimu baik-baik!” Sambil berkata
demikian, Hai Kong Hosiang menubruk maju sambil menggerakkan tongkatnya yang
istimewa sehingga Biauw Suthai harus berlaku hati-hati karena maklum akan
berbahayanya tongkat ini.
Sementara
itu, Pek I Toanio mendengar penghinaan Hai Kong Hosiang yang mengatakan bahwa
mukanya pucat dan takut bergerak menjadi marah sekali. Sambil melompat maju dia
menyerang dengan pedangnya dan membentak, “Hwesio gundul keparat! Aku Pek I
Toanio tidak takut iblis macam kau!”
“Jangan
maju!” teriak Biauw Suthai memperingatkan muridnya, akan tetapi terlambat.
Ketika
pedang Pek I Toanio menusuk dada Hai Kong Hosiang, pendeta gundul ini sama
sekali tidak menangkis karena maklum bahwa tenaga Pek I Toanio tidak perlu dia
takuti, maka sengaja ia memasang dadanya untuk menerima tusukan itu. Terdengar
bunyi kain terobek pedang!
Akan tetapi
Pek I Toanio terkejut sekali karena di balik pakaian itu, ujung pedangnya
membentur kulit dan daging yang keras dan dapat membuat pedangnya terpental
kembali seakan-akan dia menusuk sebuah benda yang keras dan licin. Sebelum
hilang kagetnya, ujung tongkat Hai Kong Hosiang yang sebenarnya adalah seekor
ular kering dan berbisa itu telah menyambar dan tepat mengenai lehernya.
Pek I Toanio
memekik perlahan sambil memegangi lehernya. Tubuhnya terhuyung-huyung kemudian
roboh dan tewas dengan muka serta leher berubah menjadi hitam karena pengaruh
bisa yang keluar dari tongkat itu.
“Ha-ha-ha-ha,
Biauw Suthai, lihatlah! Muridmu yang cantik sudah berubah buruk seperti
mukamu!”
Bukan main
marah dan sedihnya hati Biauw Suthai melihat hal ini. Dia berubah menjadi buas
dan liar karena marahnya.
“Hai Kong,
kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang tewas saat ini!”
Lalu
hudtim-nya diputar hebat dan ia pun menyerang dengan mati-matian! Belum pernah
selama hidupnya Biauw Suthai marah seperti ini dan tentu saja serangannya
menjadi ganas dan berlipat ganda lebih hebat dari pada biasa.
Hai Kong
Hosiang terkejut dan diam-diam dia mengakui bahwa ilmu kepandaian Biauw Suthai
benar-benar hebat. Dia memainkan tongkatnya dengan hati-hati dan tidak berani
berlaku sembrono, sebab maklum bahwa serangan-serangan tokoh yang disertai
dengan kemarahan hebat dan penuh dendam ini bukanlah hal yang boleh dipandang
ringan!
Setelah
mereka bertempur seratus jurus lebih dengan ramai dan hebat sekali sehingga
orang-orang kampung yang tadinya menonton dari jauh dan takut melihat betapa
Pek I Toanio tewas, kini tidak berani bergerak atau mengeluarkan suara melihat
pertempuran yang luar biasa ramainya itu, tiba-tiba Biauw Suthai lalu merubah
gerakannya dan kini ia menujukan perhatian serta mencurahkan tenaganya untuk
merampas tongkat Hai Kong Hosiang yang lihai.
Pada suatu
ketika ujung kebutan Biauw Suthai berhasil membelit ujung tongkat ular itu
dengan erat sekali. Hai Kong Hosiang mengerahkan tenaganya untuk menarik
kembali tongkatnya, akan tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba
Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan aneh dan menyeramkan dan tahu-tahu
tubuhnya berjungkir balik, kepalanya di atas tanah dan pada saat itu juga,
kedua kaki dan tangannya bergerak menyerang Biauw Suthai!
Gerakan ini
sungguh-sungguh diluar dugaan Biauw Suthai. Tadi setelah ujung hudtim-nya
berhasil membelit, Hai Kong Hosiang berusaha membetot tongkatnya, karena itu ia
cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menahan dan pada waktu Hai Kong Hosiang
tiba-tiba melepaskan pegangan, tongkat itu tertarik oleh hudtim dan melayang
kepadanya, maka cepat-cepat Biauw Suthai mengelak. Akan tetapi dia tidak
menyangka sama sekali bahwa sesudah melepaskan tongkatnya, Hai Kong Hosiang
lalu berjungkir balik dan menyerang dirinya dalam keadaan yang aneh sehingga
dia menjadi bingung.
Sebagaimana
sudah jadi watak wanita, dia paling takut diserang dari bawah, maka Biauw
Suthai terlalu mencurahkan perhatian pada dua tangan Hai Kong Hosiang yang
bergerak menyerang dari arah bawah! Ia menggerakkan hudtim-nya untuk menyapu ke
bawah dan menangkis pukulan-pukulan itu, akan tetapi tahu-tahu sepasang kaki Hai
Kong Hosiang bergerak bagaikan dua batang cangkul ke arah pundaknya di kanan
kiri dengan tenaga yang hebat sekali!
Biauw Suthai
terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget serta cepat miringkan tubuh. Ia dapat
mengelak dari serangan pada pundak kanannya, akan tetapi secara telak pundak
kirinya telah kena terpukul oleh ujung sepatu dari kaki Hai Kong Hosiang.
Terdengar jerit perlahan dan tubuh Biauw Suthai terhuyung-huyung ke belakang.
Tokouw
bermata satu ini telah menderita pukulan maut yang hebat sekali dan kalau lain
orang yang terkena pukulan ini, pasti pada saat itu juga telah roboh tak
bernyawa! Biauw Suthai yang telah menderita luka dalam yang hebat oleh karena
totokan keras di pundak ini tidak saja membuat tulang punggungnya remuk, akan
tetapi hawa pukulan juga telah menyerang jantungnya, masih kuat melayangkan
kebutannya dengan gerakan terakhir yang hebat ke arah tubuh Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi,
biar pun keadaannya berjungkir dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di
atas, tapi gerakan pendeta gundul ini tidak kalah cepatnya. Kepalanya cepat
membuat gerakan dan tubuhnya tiba-tiba saja rebah di atas tanah hingga sambitan
hudtim itu tidak mengenai sasaran.
Hudtim itu
melayang cepat dan menghantam sebuah batu besar di belakang Hai Kong Hosiang.
Terdengar suara keras karena sebagian besar batu itu hancur terpukul hudtim!
Dapat dibayangkan bahwa apa bila hudtim itu mengenai tubuh manusia maka tentu
akan hancur lebur. Demikian hebatnya tenaga sambitan yang dilakukan dengan
menggunakan tenaga terakhir itu.
Setelah
menyambit dengan hudtim-nya, Biauw Suthai lantas roboh dan ternyata dia telah
menghembuskan napas terakhir. Tubuhnya menggeletak di samping tubuh Pek I
Toanio.
Hai Kong
Hosiang tertawa bergelak-gelak, akan tetapi sesudah melakukan pembunuhan hebat
ini ia merasa lebih aman untuk segera meninggalkan tempat itu, oleh karena
siapa tahu kalau-kalau kawan-kawan tokouw itu berada di dekat tempat itu. Bukan
karena dia takut kepada mereka, akan tetapi oleh karena dalam pertempuran
dengan Biauw Suthai tadi dia sudah mengerahkan banyak sekali tenaga dan sudah
menjadi lelah, maka kalau sekarang harus menghadapi musuh tangguh yang lain
lagi, hal ini akan berbahaya. Maka dia segera angkat kaki dan meninggalkan
tempat itu.
Sesudah
melihat bahwa hwesio jahat itu benar-benar telah pergi meninggalkan kampung
mereka, para petani baru berani beramai-ramai menghampiri dua mayat yang
tergeletak di situ. Mereka merasa terharu sekali oleh karena kedua wanita itu
binasa dalam tugas membela mereka sekampung.
Karena itu
kedua jenazah Biauw Suthai dan muridnya lalu diurus baik-baik, ditangisi dan
dikabungi, kemudian dikebumikan dengan penuh penghormatan. Bahkan petani tua
yang rumahnya dirampas oleh Hai Kong Hosiang, lalu menyimpan hudtim Biauw
Suthai dan pedang Pek I Toanio yang dipasangnya di dinding rumahnya sebagai
perhormatan dan setiap orang kampung apa bila melihat kedua senjata ini, mereka
menundukkan kepala kepada dua senjata itu untuk memberi hormat.
***************
Perahu yang
ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat
meninggalkan pulau yang telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian,
terdengar suara burung merak sakti dan Lin Lin menjadi girang sekali melihat
merak sakti melayang turun kemudian berdiri di atas perahu. Akan tetapi dia
merasa kuatir karena tidak melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi
melihat ke arah air oleh karena maklum bahwa suhu-nya tentu akan menyusul
dengan berenang.
“Kong-ciak-ko,
di mana Kong Hwat Lojin?” tanya Lin Lin sambil memegang leher merak sakti.
Binatang
sakti itu hanya mengeluarkan suara perlahan dan memandang ke arah pulau,
seolah-olah hendak mengatakan bahwa tadi mereka berpisah di pantai Pulau
Kim-san-to. Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gelisah sekali, demikian pula Yousuf.
Mereka bertiga lalu berdiri di pinggir perahu sambil memandang ke air.
Tiba-tiba, di bawah cahaya api yang berkobar besar, mereka melihat bayangan
hitam bergerak di permukaan air.
“Itu tentu
Suhu!” kata Ma Hoa dengan girang sekali dan dia merasa yakin bahwa yang
begerak-gerak itu tentu suhu-nya yang berenang cepat laksana seekor ikan.
Mendengar seruan ini, Lin Lin dan Yousuf juga ikut bergirang hati.
Tiba-tiba
terdengar letusan hebat dari pulau itu sehingga ketiganya terhuyung dan jatuh
di dalam perahu. Bukan main terkejut hati mereka dan sebelum mereka sempat
melihat di mana adanya Nelayan Cengeng, tiba-tiba datang lagi gelombang sebesar
gunung yang membawa perahu mereka terlempar jauh sekali.
Dengan
dibantu dua orang gadis itu, Yousuf mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk
mencegah perahu mereka terbalik dan dalam keadaan tidak berdaya itu mereka
terpaksa mengikuti kemana ombak besar membawa perahu mereka. Jika perahu itu
kecil, mungkin mereka masih sanggup menguasainya di antara permainan ombak,
akan tetapi perahu mereka besar dan berat sehingga mereka benar-benar tak
berdaya.
Ombak demi
ombak datang menyerbu dan membawa perahu mereka semakin jauh dari tempat yang
mereka tuju. Perahu itu terus terbawa menuju ke utara. Sampai satu malam penuh
mereka terbawa semakin jauh dan pada keesokan harinya barulah ombak menjadi
lemah sehingga mereka dapat mendayung perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi
mereka maklum bahwa mereka telah terdampar jauh sekali dari pantai yang hendak
mereka tuju.
Ketika
mereka telah mendarat dan beristirahat oleh karena lelah sekali, mendadak
datang barisan besar ke tempat itu. Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan
bahwa barisan ini adalah tentara Turki yang sengaja datang menyusul rombongan
pertama. Pada saat melihat Yousuf, pemimpin barisan itu lalu berseru, “Tangkap
pengkhianat itu!”
Banyak
anggota tentara lalu menyerbu hendak menangkap Yousuf. Akan tetapi beberapa
orang di antara mereka jatuh tunggang langgang karena dihantam dengan sengit
oleh Lin Lin dan Ma Hoa.
Pemimpin
barisan merasa kaget dan heran sekali, kenapa Yousuf dibela oleh dua orang
gadis Han yang cantik jelita. Maka dia lalu tertawa menghina dan memaki,
“Bagus sekali,
Yousuf! Kau tidak saja pandai mengkhianati kerajaan dan menipu kami, akan
tetapi juga pandai membujuk dua orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini
muda dan pembela. Ha-ha-ha...!”
“Bangsat
anjing bermulut jahat!” Lin Lin memaki sengit sebab gadis ini sedikit-sedikit
telah mempelajari bahasa Turki dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan
pemimpin itu.
Dalam
kemarahannya, Lin Lin mencabut pedang dan menyerang pemimpin barisan itu. Akan
tetapi, puluhan tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini
suka sekali untuk menghadapi dua orang gadis cantik itu. Mereka berniat
mempermainkan dua dara jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin bergerak
diikuti oleh Ma Hoa, beberapa orang serdadu terguling mandi darah.
Kini mereka
baru tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah pendekar pedang yang luar biasa,
maka sambil berteriak-teriak marah, Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan
orang, sedangkan ratusan tentara berteriak-teriak di belakang mereka yang
mengeroyok. Yousuf marah sekali dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah
berhasil menangkap dua orang tentara yang diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan
sebagai senjata.
Tentara
Turki terkejut sekali dan mereka menjadi jeri karena sudah tahu bahwa Yousuf
merupakan seorang jagoan terkenal di negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf
ini, kepungan mengendur dan pengeroyok-pengeroyok berkelahi dengan hati-hati.
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring dari angkasa dan tahu-tahu seekor burung merak yang
indah dan besar, menyambar-nyambar turun dan setiap kali sayapnya menyampok,
maka seorang Turki segera terpukul roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan
burung merak ini ternyata lebih hebat dari pada amukan Yousuf.
Menghadapi
empat orang lawan yang tangguh luar biasa ini, pengeroyokan tentara Turki
menjadi kacau balau dan Yousuf yang tidak saja segan untuk melawan serta
mengamuk bangsa sendiri akan tetapi juga berpikir bahwa tidak mungkin mereka
harus menghadapi jumlah lawan yang sedikitnya ada lima ratus orang itu, lalu
berseru, “Mari kita pergi!”
Lin Lin dan
Ma Hoa mengerti pula bahwa jumlah musuh terlalu banyak, karena itu tanpa
membantah, mereka cepat-cepat ikut melompat pergi, melalui kepala pengeroyok
sambil menggulingkan tiap penghalang. Juga Sin-kong-ciak lalu memekik nyaring
dan mengikuti ketiga orang itu. Sebenarnya burung merak ini merasa kecewa
karena baru enak-enak membabat lawan-lawannya yang empuk itu, kini
diperintahkan untuk pergi.
Ilmu berlari
cepat dari ketiga orang itu cukup tinggi untuk memungkinkan mereka segera lari
meninggalkan mereka yang mengejar sambil berteriak-teriak, dan tak lama
kemudian mereka bertiga tak mendengar lagi suara teriakan barisan Turki yang
mengejar itu. Merak sakti tetap terbang di atas mereka dan ketika Yousuf
berhenti, merak itu pun melayang turun dan membelai-belai tangan Lin Lin dengan
leher dan kepalanya.
“Lin Lin dan
Ma Hoa,” kata Yousuf yang kini juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena
orang tua ini sudah menganggap dia sebagai keluarga sendiri. “Kalian tahu bahwa
aku dikejar-kejar dan dimusuhi, oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati
mereka.” Ia menghela napas panjang. “Maka, demi keselamatan kalian berdua,
kalian kembalilah ke pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu dan Nelayan
Cengeng. Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah utara
itu. Kalau kalian bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya
saja.”
“Ayah,
janganlah kau berkata begitu,” bantah Lin Lin. “Bagiku, kau adalah ayahku
sendiri, dan ke mana kau pergi, aku sudah sewajarnya ikut.”
“Yo-peh-peh,”
kata Ma Hoa yang kini menyebut peh-peh atau uwa kepada Yousuf, “benar seperti
yang dikatakan Lin Lin. Semenjak berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun
menganggap kau sebagai orang tua sendiri, maka kenapa sedikit bahaya saja
membuat kita harus berpisah? Marilah Peh-peh bersama aku dan Adik Lin Lin
kembali ke selatan kemudian mencari Suhu dan kawan-kawan lainnya. Ada pun
tentang segala bahaya yang menyerang dirimu, akan kita hadapi bertiga, bahkan
berempat dengan Sin-kong-ciak.”
Yousuf
merasa terharu sekali. Dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk memegang
tangan Lin Lin dan Ma Hoa.
“Kalian memang
anak-anak baik dan berhati mulia. Semenjak dahulu aku hidup sebatang kara,
setelah bertemu dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan
ada di dunia ini perkara yang lebih kusukai dari pada hidup di dekat kalian dan
sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi kalian anak-anak muda
harus tahu pula bahwa aku adalah seorang Turki. Apakah mungkin aku harus
melawan serta membunuh tentara bangsaku sendiri? Ahh, itu tidak mungkin. Lebih
baik untuk sementara waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apa bila
tentara Turki sudah kembali ke negeriku dan keadaan sudah aman kembali, barulah
aku menyusul ke selatan dan mencari kalian.”
Akan tetapi
Lin Lin merasa tidak tega untuk meninggalkan Yousuf dalam keadaan sedang
dikejar-kejar itu. Bagaimana kalau dia diketemukan dan akhirnya sampai mati?
“Tidak,
Ayah. Biarlah aku ikut kau bersembunyi untuk sementara waktu, dan nanti kalau
keadaan telah aman kembali, kita bersama menuju ke selatan mencari
kawan-kawan.”
Ma Hoa yang
berpikir bahwa keadaan itu tak akan berlangsung lama, oleh karena setelah
ternyata bahwa Pulau Kim-san-to terbakar habis, tentu tentara Turki itu tidak
mau tinggal berlama-lama di tempat yang bukan menjadi daerah mereka ini, maka
ia segera berkata,
“Memang
demikian sebaiknya, Yo-peh-peh. Lin Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk
beberapa pekan, atau beberapa bulan kalau memang keadaan menghendaki.”
Yousuf
merasa girang sekali dan wajahnya yang agak kecoklat-coklatan itu berseri-seri
gembira. “Bagus, anak-anakku, kalian benar-benar membuat aku merasa bahagia
sekali. Jangan kalian kuatir, di lereng salah satu bukit dekat tapal batas
Tiongkok, aku dulu telah meninggalkan sebuah rumah yang mungil dan indah. Mari
kita pergi ke sana dan untuk sementara waktu kita tinggal di tempat itu, di
mana pemandangannya indah dan hawanya sejuk. Tentang biaya, jangan kuatir!”
Sambil berkata demikian Yousuf pun mengeluarkan sekantung emas yang disimpan di
dalam saku dalam bajunya.
Demikianlah,
ketiganya, berempat dengan Merak Sakti, lalu segera menuju ke bukit yang
dimaksudkan oleh Yousuf.
Benar saja
sebagaimana kata Yousuf, keadaan di sana menyenangkan sekali. Tamasya alam
indah dan mengagumkan, hawa pegunungan segar dan menyehatkan. Orang-orang yang
tinggal di sekitar bukit itu adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan
hidup sederhana.
Rumah Yousuf
masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu
bekerja keras membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di
sekitar rumah, oleh karena di bukit itu terdapat banyak kembang-kembang yang
indah.
Dan beberapa
hari kemudian, para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya
mengagumi keindahan tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah
semenjak rombongan ini tiba. Memang, siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil
namun indah bentuknya, dikelilingi oleh kembang-kembang tanaman kedua gadis
itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus dan
ramah tamah, bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang
bidadari dari kahyangan, ditambah lagi dengan adanya seekor merak yang berbulu
bagus sekali!
Yousuf
dengan hati sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa
dan oleh karena ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika
dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok walau pun pada dasarnya tak berbeda
jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat ini.
Tingkat
kepandaian Yousuf memang masih lebih tinggi dari pada tingkat kedua gadis itu
sehingga berkat latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju
pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat, ketiga orang itu tidak merasa
sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di tempat itu. Hanya, kadang-kadang
saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang
membuat mereka termenung, akan tetapi pikiran ini segera terhibur apa bila
mereka mengingat bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali.
Sementara
itu, Merak Sakti yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, setiap hari hanya
berjalan-jalan di dalam taman atau kadang-kadang ia terbang tinggi sekali
berputar-putar sehingga mengagumkan orang-orang yang melihatnya. Merak ini
agaknya juga merasa senang sekali tinggal di situ dan bulunya makin indah
mengkilap.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment